Tidak dapat dipungkiri bahwa ummat Islam sekarang ini telah terperosok ke dalam ukhuwah semu kalau tidak ingin disebut perpecahan yang barangkali telah melembaga, dimana kebedaan pemahaman atas suatu hal mengakibatkan rusaknya kebersamaan. Hal tersebut mengakibatkan ummat terpilah berkeping-keping, mandul karena eksistensinya yang kecil dengan suara tak bergaung, sedang yang besar memekakkan. Ironisnya, masing-masing menganggap pendapatnya benar tanpa merasa perlu mencari rujukan hukumnya seperti apa yang telah diperintahkan, dan tidak juga memberi ruang gerak yang cukup bagi pemahaman lain, yang pada kenyataannya mengambil rujukan dari sumber yang layak. Di samping itu masih ada pendapat yang menganggap ringan masalah-masalah besar dengan menyikapi usaha perbaikan sebagai pemecahbelah ukhuwah. Ukhuwah semu sebenarnya merupakan keadaan yang membahayakan karena tidak tampak jelas walaupun dirasakan keberadaannya. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya pertanyaan-pertanyaan diseputar hal-hal mendasar seperti tata-tertib shalat, tahlilan, hisab dan ru’yat, untuk menyebut sebagian dari berbagai pemahaman yang memerlukan jawaban mendesak. Shalat misalnya, tidak berlebihan bila dijumpai di dalam sebuah masjid terdapat lebih dari sepuluh macam praktik pelaksanaannya. Banyak orang yang
tabu untuk membicarakan perlu tidaknya membaca ushallii, bersedekap di saat i’tidal, menggoyangkan telunjuk saat tasyahud, dan bersalam-salaman usai shalat. Demikian pula halnya dengan tahlilan, banyak yang melakukannya karena tradisi, ada pula yang karena sungkan kepada tetangga kemudian beramal dengan setengah hati namun tidak merasa perlu mengetahui maknanya. Hatinya tidak tergerak untuk menelisik sumber hukumnya karena menganggap itu semua merupakan wilayah kerja kyai saja. Kemudian predikat Haji yang masih didambakan oleh sebagian masyarakat sepulangnya dari tanah suci, dan masih segudang lagi permasalahan yang memerlukan penjabaran yang mencerahkan. Hal-hal tersebut selamanya tidak akan pernah hilang bila pemahaman aqidah tidak sempurna. Untuk itulah tulisan ini disajikan dengan menguraikan pemahaman dasar akan rukun iman dan islam kemudian terapannya di masyarakat, dan diakhiri dengan tata-tertib beberapa peribadatan, mengambil rujukan dari sumbersumber yang patut. Islam Kaffah di sini kami batasi dalam kerangka keimana saja yang mencakup iman (aqidah), islam (ibadah) dan ihsaan (budi pekerti) sebagai trilogi keimanan.
2
Aqidah adalah motivasi untuk mempertahankan dan memperbaiki pengetahuan agama. Bila pemahaman agamanya keliru, kemudian tidak mempunyai motivasi untuk memperbaikinya maka dikatakan aqidahnya bengkok. Aqidah yang lurus sangat diperlukan di jaman yang serba boleh ini untuk membentengi diri dengan tauhid mengesakan Allah swt. Rujukannya adalah rukun iman yang enam: Iman kepada Allah, iman kepada para malaikat, iman kepada kitab-kitabNya, iman kepada para rasul, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir. Iman kepada Allah swt. merupakan hal yang terpenting dalam pembahasan ini karena merupakan dasar bagi pemahaman keimanan-keimanan berikutnya. Dengan memiliki ertian yang baik akan keimanan ini, selanjutnya akan mudah untuk memahami keimanankeimanan yang lain seperti beriman kepada malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul dan hari akhir yang hanya disajikan selayang pandang dengan mengetengahkan rujukan ayat-ayat yang menjadi landasannya. Secara khusus ulasan agak panjang mengenai masalah takdir sengaja dipaparkan, karena inilah topik bahasan yang tersulit untuk dipahami dari seluruh rangkaian diskusi tentang iman pada Bab-I. Kalau memang takdir telah di set-up, mengapa pula harus berhati-hati di jalan? Pertanyaan-pertanyaan sejenis akan dibahas tuntas dalam bab ini.
3
Bab-II mendiskusikan hakikat peribadatan. Ibadah adalah interaksi antara manusia dengan penciptanya, mencakup segala perbuatan yang berhubungan dengan masalah penyembahan, penghambaan, pujian, permohonan, do’a, pahala, dosa, akhirat dsb. Aturannya jelas dan baku, yang di dalam agama dikenal sebagai rukun Islam yang lima; syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Bahwa Islam dibangun berdasarkan lima rukun sudah sering kita dengar namun pola pemahamannya di masyarakat masih sangat beragam, bahkan cukup banyak yang menganggap sepele akan kesalahan-kesalahan yang umum terjadi, kemudian berkata bahwa ini hanyalah masalah kecil. Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah,” bangkitlah kesombongannya yang membawanya berbuat dosa.. (QS. AlBaqarah: 206) Sekecil apapun sebuah peringatan, seorang mu’min akan menganggapnya sebagai suatu yang patut untuk diperhatikan agar tidak mudah tergelincir. Merekalah yang mampu mengambil manfaat darinya yang dengannya mereka akan terhindar dari perbuatan dosa atas kesombongan diri yang mungkin terjadi. Kemudian setelah Allah swt. tunjukkan bagaimana sifat orang-orang yang ingkar, digambarkan-Nya pula kepada kita dalam ayat-ayat selanjutnya akan adanya beberapa orang yang justru rindu pada-Nya, kemu-
4
dian memerintahkan kita untuk memeluk Islam secara kaffah (menyeluruh). Dan (tetapi) di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah mahapenyantun kepada hambahamba-Nya. Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaaffah, dan janganlah kau ikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah: 207-208) Bab ini membantu mengerucutkan hakikat tiap-tiap rukun islam, untuk mendapatkan ertian yang lebih lengkap ketimbang sekedar ertian baku yang banyak dipersepsikan sebagai sesuatu yang dogmatis. SHALAT Ayat 45 surat al-Ankabut merupakan garansi yang Allah swt. berikan kepada kita yaitu kemampuan untuk mencegah perbuatan keji dan munkar apabila shalat yang kita kerjakan benar. Shalat yang benar adalah shalat yang mengikuti tuntunan Rasulullah saw., yang dapat diketahui melalui beberapa hadits shahih. Sudahkah shalat yang kita kerjakan mencegah perbuatan keji dan munkar, kalau belum maka sebaiknya kita teliti bagaimana kita melaksanakannya seharihari, karena bisa jadi shalat kita belum termasuk kedalam kategori benar, seperti tuntunannya. Bukan5
kah banyak dijumpai orang yang shalat tetapi masih melakukan kemunkaran. Di dalam al-Qur‘an dapat kita jumpai beberapa firman Allah swt. untuk beribadah dengan benar. Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kau ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al-Jaatsiyah: 18) ZAKAT Perintah zakat turun setelah dua perintah yang mendahuluinya yaitu shalat dan puasa. Perintah shalat turun pada waktu Isra’ Mi’raj, kewajiban puasa diturunkan di Madinah tahun 2H, sedang kewajiban zakat bagi kaum muslimin turunnya diperkirakan sebelum tahun 5H. Jadi sudah 1420 tahun berlalu, namun kemajuan pemahamannya di masyarakat masih jauh tertinggal dengan pemahaman mengenai shalat dan puasa. Dengan banyaknya persoalan-persoalan baru yang timbul pada masa kini yang belum dikenal oleh fuqaha di masa lalu, yang tidak mempunyai contoh kongkrit pada jaman Rasulullah saw., maka perhatian masyarakat pada masalah zakat agak terabaikan, bila dibandingkan dengan masalah shalat atau puasa. Zakat masih dianggap sebagai suatu rukun yang sifatnya sunnah padahal zakat merupakan suatu kewajib6
an yang diturunkan kepada seluruh umat manusia dari jaman dahulu sampai sekarang. Belum pernah terjadi bahwa suatu umat yang beriman kepada Allah swt. Dibebaskan dari kewajiban zakat. Akan kita lihat kemudian dalam bahasan khusus mengenai hal ini. Oleh karenanya maka penulis menganggap penting untuk mengulas masalah zakat, khususnya zakat profesi karena masih banyak di antara kita yang belum mengeluarkan zakatnya secara proporsional. PUASA Puasa merupakan rukun Islam yang hanya diwajibkan kepada orang-orang yang beriman. Perintah puasa ini turun di Madinah tahun 2H. Ada dua jenis puasa yang perlu dicermati; puasa wajib dan puasa sunnah: Puasa wajib ; yaitu puasa Ramadhan, puasa denda dan puasa nadzar. Puasa sunnah ; yaitu puasa Syawal (6 hari di bulan Syawal), puasa Senin-Kamis, puasa Arafah (tgl 9 Dzulhijjah), puasa Biidh (tgl 13, 14, 15 tiap bulan), puasa Asyura (tgl 10 Muharam), puasa Sya’ban (kapan saja di bulan Sya’ban, bukan puasa Nishfu Sya’ban yang tidak mempunyai dalil sah) dan puasa Nabi Dawud (sehari puasa dan sehari buka). Pembahasan pertama mengenai hakikat puasa, dengan membandingkannya dengan istilah shiyam kemudian penjabaran perjalanan seorang muslim menuju 7
derajat muttaqin, semoga dapat menghantarkan kita menuju fitrah. HAJI Pasal mengenai Haji akan memfokuskan pembahasan mengenai intisari dari hari ini saja yaitu haji, hakekat dan keutamaannya. Selanjutnya akan dibahas pula beberapa amalan yang disandarkan pada hadits dha‘if (lemah) yang masih banyak dikerjakan oleh sebagian jamaah haji hingga kini, dan diakhiri dengan penjabaran akan hakikat hubungan pencipta dan ciptaanNya. Allah swt. berfirman di dalam al-Qur‘an, yang juga merupakan wahyu terakhir yang disampaikan oleh Rasulullah saw. pada waktu haji wada’ di padang Arafah, yang membuat para sahabat menangis: Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku untukmu dan Aku ridha Islam sebagai agamamu. (QS. Al-Maidah: 3) Islam telah diridhai oleh-Nya sebagai agama yang sempurna. Sempurna artinya tidak memerlukan tambahan apa-apa lagi setelah disampaikan secara lengkap oleh Rasulullah saw. baik dari hal peraturanperaturannya, kewajiban dan pantangannya, maupun tata-tertib pelaksanaan serta hukum-hukumnya.
8
Rasulullah saw dalam khutbahnya pada waktu haji wada’ mengatakan lebih lanjut bahwa jika kita ingin selamat di dunia dan akhirat berpedomanlah pada dua hal yaitu kitabullah dan sunnahnya. Artinya bila kita berpedoman juga kepada yang selain itu, maka kita akan tersesat, dan jaminan di atas tidak berlaku. Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min, dan tidak (pula) bagi perempuan mu’min, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguhlah ia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. AlAhzab: 36) Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa masalah-masalah ibadah mempunyai hukum yang baku yang bersifat mutlak, yang atas izin Allah tidak akan lekang sepanjang zaman, karena ibadah adalah ciptaan-Nya. Ibadah hanya boleh dilakukan bila ada tuntunan dari Rasulullah saw. atau paling tidak perbuatan para sahabat yang didiamkan oleh Beliau, (tentunya yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an) Selain dari itu kita tidak mempunyai wewenang atau otoritas untuk menambah, mengurang, mengubah atau menghias dengan berbagai aksesori. Masalah-masalah ibadah (vertikal) berbanding terbalik dengan masalah-masalah muamalah, adat (horizontal). Adat merupakan ciptaan manusia dimana kita
9
justru dituntut untuk melakukan inovasi semaksimal mungkin bagi kemaslahatan masyarakat. Rasulullah saw. mengatakan, “Bilamana ada urusan agamamu (ibadah), maka serahkanlah ia kepadaku dan bilamana ada urusan duniamu (adat) maka kamu lebih tahu urusan duniamu.” (HR. Muslim) Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Dan barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (SR. Muslim) Kemudian para fuqaha merangkumnya dalam suatu kaidah fiqh yaitu bahwa pada dasarnya semua bentuk peribadatan itu haram hukumnya, kecuali setelah ada petunjuk dari Rasulullah saw., sedang semua urusan kemasyarakatan, adat istiadat, muamalah pada dasarnya halal, kecuali apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. Ini penting digarisbawahi karena masalah peribadatan bukanlah masalah selera atau logika melainkan kepatuhan terhadap perintah. Tuntunannya adalah “Aku dengar dan aku taat.” Peribadatan umumnya mempunyai tiga hal yang biasanya saling berkelindan menyertai, yaitu sunnah, khilaf dan bid’ah. Banyak orang mencampuraduk ketiganya sehingga tidak jelas mana sunnah, khilaf atau bid’ah. 10
Akhirnya, mari kita berusaha untuk melandasi semua amal ibadah sesuai petunjuk apa adanya tidak lebih tidak kurang, dengan selalu menghadirkan sikap tabayyun, mencari informasi mengenai suatu hal hingga jelas permasalahannya, mencermati segala permasalahan yang timbul, mencurahkan segenap pemikiran dan pertimbangan, kemudian menyikapinya dengan sami’na wa atha’na, agar selamat dan tidak salah langkah dalam beramal. Fatabayyanuu, innallaaha kaana bimaa ta’maluuna khabiira. Maka telitilah sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisaa’: 94)
11