Eps01 – Pilot Mission ‘Malam yang begitu semarak.’ Pikir Samael santai. Malam itu kondisi langit cerah dan angin bertiup sepoi-sepoi. Waktu masih dua jam menuju tengah malam dan gemerlap kota besar di hadapannya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan meredup. Bukan pemandangan yang mengejutkan untuk kota ini memang, mengingat begitu banyak pilihan hiburan yang buka dari malam hingga dini hari pada masa ini. Semua hingar-bingar ini tidak akan begitu saja berlalu, setidaknya hingga fajar menyingsing. Hari itu, Rabu 31 Maret 2010, waktu manusia. Samael sedang duduk di tepian dinding sebuah gedung tinggi di tengah kota itu. Terlalu tinggi untuk dapat dilihat dari bawah oleh seorang manusia biasa bahwa ada sosok laki-laki sedang duduk dengan kaki terjulur di atas sebuah gedung tinggi, tetapi tidak terlalu tinggi bagi pandangan Samael yang tajam sehingga ia masih dapat mengamati kendaraan-kendaraan yang lalu lalang dibawahnya. Dengan sedikit konsentrasi, ia juga dapat memfokuskan pandangannya pada sebuah ruangan di gedung mana pun – dalam radius kurang lebih seratus lima puluh meter – dan melihat serta mendengar apa yang sedang terjadi di sana. ‘Kira-kira
apa
yang
membuat
manusia-manusia
itu
begitu
menikmati
waktu-waktu malam mereka?’ tanya Samael dalam hati. Bukan pertanyaan baru bagi seorang malaikat, sebetulnya. Dari sejak pertama kali frase ‘hiburan malam’ digunakan, Samael sudah sering memikirkannya. ‘Tak terpahami kecuali kau seorang manusia.’ Demikian jawaban yang sering ia terima dari kolega-koleganya – yang kemudian juga ia gunakan untuk menjawab malaikat lain yang bertanya hal serupa padanya. ‘Night clubs. Film-film Midnight.’ Samael mengingat-ingat hal-hal terkini yang pernah ia coba secara langsung dalam wujud manusianya dalam melewati malam. ‘Game Center. Nongkrong di Café-café. Midnight Shopping.’ Samael dapat menyebutkan lebih dari tiga ratus pilihan. Ia bahkan punya daftar tentang pilihan kegiatan yang dilakukan manusia dalam mengisi kegiatan malam harinya. Mulai dari hal-hal yang dapat langsung dicoba oleh Samael, hingga hal-hal ‘kurang beres’ yang sebaiknya tidak dilakukan oleh seorang malaikat, kecuali kalau memang ia ingin mencari masalah. Malam ini Samael mengambil wujud manusia seorang pemuda berusia sekitar 2125 tahunan. Tinggi sekitar 180 cm, berkulit putih – sedikit pucat –, dengan rambut hitam
setengah ikal yang panjangnya terurai hingga ke bahu. Untuk urusan wajah, semua malaikat selalu memiliki wajah yang rupawan dalam mengambil wujud manusia. Untuk pakaiannya, Samael mengenakan sebuah t-shirt berbahan cotton, berwarna abu-abu polos yang dipadukan dengan rompi kulit berwarna hitam. Tak lupa juga ia mengenakan sepasang celana panjang berbahan jins berwarna hitam ke-abu-abuan serta sepasang sepatu kets bertali berwarna dominan putih-merah. Beberapa malaikat mungkin tidak terlalu mempedulikan penampilan, tapi Samael tahu kalau semuanya itu penting agar dapat membuatnya tampak ‘membaur’ dengan manusia pada masa ini. Dan selain penampilan acak itu – yang mudah dan sering sekali Samael ubah setiap mengambil wujud manusia – ada beberapa ‘peralatan kerja’ yang juga harus selalu ia kenakan. Wujud benda-benda ini dapat berubah-ubah tetapi tetap harus tersamarkan dan dapat dibawa-bawa dengan mudah. Contohnya aksesoris kalung rantai tipis berwarna perak yang sedang ia kenakan ini sebenarnya adalah rantai pengikat roh. Rantai ini dapat digunakan untuk mengikat banyak hal – nyaris apapun sebenarnya – mulai dari begundal jalanan, roh manusia sampai iblis-iblis terkutuk. Selanjutnya, pena yang terselip di saku dalam rompi Samael sebenarnya adalah arit besar pencabut nyawa yang juga merupakan salah satu senjata paling ditakuti di alam roh. Dan, yah sesuai namanya, digunakan untuk mencabut nyawa manusia – atau terkadang menghajar iblis-iblis terkutuk yang mengganggu manusia. Masih ada pula buku catatan kecil di dalam saku jins Samael yang sebenarnya merupakan daftar nama-nama manusia yang sedang menjadi ‘proyek’nya saat ini. Dan semua proyek dalam sesi tugas kali ini sudah selesai – tugas-tugas itu mencakup tiga ribu lima ratus kasus yang tersebar di seluruh dunia. Semuanya, kecuali satu tugas. Oleh karena itu Samael sangat antusias dalam penyamarannya kali ini – walaupun penyamaran sama sekali bukan pekerjaan favoritnya – karena setelah yang satu ini, ia dapat berisitirahat sejenak sebelum fase tugas berikutnya. ‘Lebih cepat selesai lebih baik. Sudah waktunya untuk bekerja.’ Kata Samael pada dirinya sendiri sembari berdiri dan merenggangkan otot-otot manusianya. Ia berdiri di tepian gedung tinggi itu dan melihat jauh ke bawah. Tatapan matanya tertuju pada sebuah city car berwarna hitam yang baru saja melintas dengan kecepatan tinggi di depan gedung tempat ia beristirahat tadi.
Dengan satu lompatan kecil, Samael berpindah dari tepian gedung itu dan melayang di udara. Sepasang bayangan hitam yang berbentuk menyerupai sepasang sayap nampak seakan tumbuh di punggung Samael. Dan dalam satu kepakan sayap, Samael pun melesat mengikuti arah mobil tadi.
=== o0o ===
‘Target kali ini : Ryan Giovanni. Laki-laki, dua puluh dua tahun. Single – baru saja putus dari pacar perempuannya. Status sosial : cukup kaya. Tidak terlalu pintar, tapi juga tidak bodoh. Hobi lamanya, bermain gitar dan mengikuti kelas-kelas seni. Hobi baru, hangout di klub malam.’ Gumam Samael sambil terus mengikuti laju mobil hitam tadi – yang kemungkinan besar menuju ke salah satu klub malam terbesar di kota ini. ‘Pemuda yang malang, seandainya saja tadi ia memutuskan untuk tinggal di rumah saja.’ Dan di sepanjang sisa perjalanan menuju klub malam itu, Samael memutuskan untuk bergabung dengan Ryan di dalam mobil – tanpa dapat dilihat oleh Ryan tentunya – sembari duduk dengan tenang di kursi belakang dan mendengarkan lagu-lagu keras yang diputar di CD player. Terlepas dari betapa ramainya musik yang sedang diputar, dari raut wajah Ryan, Samael dapat melihat bahwa pemuda ini sedang memikirkan banyak hal. Dan dalam kasus ini, hal-hal yang kurang menyenangkan. Hari itu bukan akhir pekan, jadi Ryan berhasil mendapatkan parkir tidak terlalu jauh dari pintu masuk klub malam itu. Bagaikan kabut tipis, Samael menembus pintu penumpang dan keluar dari mobil untuk berjalan mengikuti Ryan yang sudah mempercepat langkahnya menuju pintu masuk. THE DOME. Demikian nama klub malam yang akan Samael masuki. Besar bangunan itu hampir sama dengan ukuran sebuah gelanggang olahraga. Dari kejauhan tadi sudah terlihat jelas – dan sangat mencolok – bahwa bangunan itu bukan hanya seperti sebuah kubah – seperti namanya – tetapi juga sangat berkilauan. Sisi luar dari gedung itu dibangun dengan arsitektur berbahan kaca yang membuat orang yang melihat gedung itu dari kejauhan berpikir bahwa ia sedang melihat sebuah berlian raksasa berbentuk setengah bola.
Di bagian depan gedung itu – lurus ke atas dengan pintu masuknya – terpampang rangkaian lampu batangan berwarna merah terang yang membentuk tulisan “THE DOME” raksasa. Ini pertama kalinya Samael melihat gedung ini dari dekat. Dan ia merasa sedih mengingat bagaimana manusia selalu membangun tempat untuk berfoya-foya begitu besar dan semarak. Seorang penjaga bertubuh besar dan berambut cepak berdiri di depan pintu masuk utama gedung itu. Ryan berjalan mendekati pintu itu sementara Samael tetap mengikuti beberapa langkah di belakang Ryan. Sampai detik tersebut, Ryan sama sekali tidak mengetahui keberadaan Samael. “Hai, Randy.” Sapa Ryan pada penjaga pintu itu. Randy pun tersenyum simpul dan mendorongkan pintu masuk di belakangnya bagi Ryan. Begitu pintu itu terbuka, hingar bingar dentuman house music pun langsung terdengar dan memekakkan telinga. “Aku bersama dia.” Kata Samael cepat sambil melewati laki-laki sangar tersebut. Sesaat, penjaga itu nampak kurang setuju dan hendak menyusul Samael, tetapi sekelompok wanita muda – dengan busana ‘minimalis’ – juga nampak hendak masuk ke dalam klub malam tersebut. Dan karena tugas penjaga itu adalah memastikan bahwa tidak semua orang dapat masuk ke dalam klub – hanya orang-orang dengan standar busana tertentu atau pelanggan lama yang dapat masuk – maka ia pun melepaskan Samael yang sudah melesat menyusul Ryan ke dalam. “Teman anda sudah menunggu. Anda ingin minumannya diantar ke tempat biasanya, Pak Ryan?” “Ok. Begitu saja.” Jawab Ryan pada counter lady yang bertugas menanyakan membership setiap pengunjung serta mencatat pesanan minuman alkohol yang ingin mereka dapatkan selama berada di dalam. Dan sejurus kemudian, Ryan berjalan melewati tirai hitam yang membatasi ruangan luar dengan ruangan utama klub malam itu. Beruntung Samael memiliki pendengaran yang tajam, sehingga ia masih dapat mendengarkan percakapan Ryan tadi di antar hingar bingar dentuman musik di balik tirai hitam tadi. Dan dengan jawaban ‘ajaib’ yang sama, ditambah nama Ryan : “Aku bersama Ryan.”, Samael juga berhasil melewati counter lady itu tanpa harus melewati pemeriksaan membership.
‘Dari dulu aku tidak pernah suka tempat ini.’ Gerutu Samael sambil terus menguntit Ryan menuju ke booth favoritnya. Booth itu terletak di dekat bar dan juga tak terlalu jauh dari panggung utama – tempat DJ dan penari-penari seksi beraksi. Bentuk booth itu setengah lingkaran, dengan bantalan sofa empuk berwarna merah darah mengelilingi tepiannya dan sebuah meja bundar di tengahnya. Banyak hal yang tidak disukai Samael dari tempat-tempat seperti ini, selain dari besarnya kemungkinan terjadinya perilaku manusia yang menyimpang, tempat itu juga gelap, dingin, berbau aneh – campuran parfum-parfum keras dan asap rokok – dan juga dipenuhi suara-suara yang memekakkan telinga. Alunan rancak house music yang dimainkan oleh DJ benar-benar sangat mengganggu bagi Samael. Sungguh ia tak mengerti bagaimana dentuman-dentuman mengerikan itu bisa disebut sebagai musik. “Maaf, saya belum ingin pesan sekarang.” Kata Samael pada bartender yang menghampirinya. Ia mengambil tempat duduk di tepi bar, sekitar lima langkah dari booth Ryan. Dari sini ia masih dapat mengamati gerak-gerik Ryan dan juga sekaligus mendengarkan percakapan yang terjadi di booth itu. Rupanya sudah ada seorang wanita muda nan cantik yang menunggu Ryan di tempat favoritnya itu. Wanita itu berparas sangat cantik, berusia sekitar 20 tahunan. Rambutnya yang lembut dan lurus berwarna kuning keemasan dibiarkan jatuh terurai malam itu. Kulitnya putih bening bagaikan mutiara dan gaun pestanya yang berwarna hitam terlihat sangat menonjolkan lekuk indah tubuhnya. Tak heran bila Samael memperhatikan setidaknya ada tujuh laki-laki – selain Ryan – yang sedang mencuri-curi pandang melihat sosok sempurna wanita ini. “Asha.” Sambut wanita itu sambil mengulurkan tangannya. “Kau pasti Ryan, bukan? Tony menyuruhku menunggumu di sini.” “err.. emm… “ Ryan kehilangan kata-kata dan hanya bisa menyambut uluran tangan Asha. Dengan tarikan lembut Asha menuntun Ryan agar duduk di sebelahnya. Dan walaupun Ryan masih kurang paham akan apa yang terjadi, yang ia tahu, saat ini ia duduk di sebelah wanita paling cantik yang pernah ia temui secara langsung. “Ka..kamu temannya Tony?” kata Ryan tergagap sambil memandang mata biru Asha yang berada hanya beberapa jengkal dari wajahnya. Ia berusaha untuk tetap terlihat cool sambil berharap agar detak jantungnya yang memburu tidak terdengar oleh Asha.
Wanita maha cantik itu tidak langsung menjawab. Tatapan matanya terus beradu dengan tatapan mata Ryan sambil tersenyum menggoda. Dengan satu gerakan mendekat yang lambat tapi pasti, ia menikmati raut wajah Ryan yang terlihat sangat gugup. “Apakah itu penting?” “Eh..? A.. apa?” “Aku rasa tidak penting apakah aku temannya Tony atau tidak.” Kata Asha manja. Jemarinya yang lembut mengusap segaris jalur keringat dingin yang mengalir di pelipis Ryan. “Yang penting sekarang, aku ada di sini untukmu, Ryan.” Bagaikan terhipnotis, tubuh Ryan tak dapat bergerak ketika wajah Asha kian mendekat. Apalagi ketika tiba-tiba bibir lembut Asha yang terbalut lipstik tipis berwarna pink itu mengulum lembut bibirnya. Ryan bahkan tidak mengenal wanita ini, dan ia jelas belum berada di bawah pengaruh alkohol – minuman pesanannya pun belum tiba – tetapi tatapan mata Asha jauh lebih memabukkan dari minuman manapun yang pernah Ryan temui. Dan saat itu, seakan satu-satunya pilihan masuk akal yang tersisa adalah membalas ciuman Asha dan membiarkan semuanya mengalir. Kira-kira lima detik ciuman itu berlangsung, dan Ryan merasa ia sudah siap berbuat lebih jauh dengan wanita asing itu saat itu juga, ketika tiba-tiba ia terkejut mendengar suara pecahan gelas yang terjatuh di lantai dan diiringi pekikan tertahan suara seorang wanita. Saat itu suara dentuman musik sedang berada dalam transisi ke lagu berikutnya sehingga kegaduhan itu sempat menarik perhatian separuh isi dari klub malam itu. “Maaf, nona.” Kata Samael pada wanita yang duduk tepat di dekat jatuhnya gelas yang terdorong oleh tangannya tadi. Ia memandang ke arah orang-orang yang memperhatikan kejadian itu sambil memberi isyarat bahwa ‘semuanya baik-baik saja’. “Saya sungguh menyesal atas minumanmu. Ijinkan saya menggantinya.” Kata Samael pada wanita tadi sambil mengeluarkan selembar uang dari sakunya dan menyerahkannya pada bartender. Seorang petugas kebersihan bar sudah datang dan mulai membersihkan lokasi kejadian tadi dan seiring dimulainya kembali dentuman house music, para pengunjung pun kembali pada kesibukan mereka masing-masing. Semua kecuali salah seorang pengunjung yang masih mencuri-curi pandang ke arah Samael.
Ryan, yang tersentak kaget barusan, mengatur posisi duduknya sedikit menjauh dari Asha. Untuk saat ini ia hanya ingin menarik nafas panjang dan menenangkan diri sejenak. Rasa kaget tadi menambah keras dan cepatnya detak jantung Ryan hingga ia yakin kalau ketegangan ini berlanjut, bisa-bisa jantungnya meledak saat itu juga. “Bagaimana kalau kita pindah ke tempat yang lain.” Asha berbisik lembut pada Ryan. Dan Ryan pun yakin bahwa ada sesuatu pada wanita ini yang mampu membuat jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat dan berdetak lebih keras setelahnya. “Aku tahu tempat di atas yang bisa memberi kita sedikit…privasi.” “Wow wow wow! Tahan di situ nona!” seru Ryan sambil menahan tubuh Asha yang bergerak mendekat lagi. Ini mungkin, di satu sisi, menyenangkan. Tapi sepertinya ini terlalu gila! “Kau yakin tentang ini?! Maksudku, kita bahkan tidak saling kenal.” “Bukankah ini yang kau cari? Sedikit kegilaan yang menyenangkan.” Kata Asha. Yang justru membuat Ryan makin terheran. “Dan jangan kuatir. Yang aku cari hanya kesenangan sesaat. Setelah malam ini, kita mungkin tak akan pernah bertemu lagi.” Mendengar itu, Ryan bahkan dapat membayangkan seandainya Tony ada di sini, ia pasti akan langsung berkata : “Tentu saja, mengapa tidak. Kau punya yang aku mau. Dan aku dapat memberimu yang kau cari.” Lucu sebenarnya kalau ia dapat menebak kurang lebih apa yang Tony akan katakan, mengingat Ryan baru mengenal Tony sekitar dua bulan yang lalu. Di klub malam ini, tepat di booth ini ketika semua temannya sudah pulang dan hanya Ryan yang tertinggal seorang diri, meratapi keputusan mantan pacarnya yang meninggalkannya demi seniornya di kampus. “….…” Ryan terdiam. Ia tak tahu bagaimana harus merespon ajakan itu. Kebimbangan dan bermacam-macam pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Namun, entah mengapa, ketika tangan lembut Asha menggenggam tangan kanannya dan menariknya perlahan untuk meninggalkan booth itu, tubuhnya tak bergeming. Ia memang ingin mengisi kekosongan yang ditinggalkan kekasihnya, tetapi – akhirnya – akal sehatnya berkata bahwa ‘bukan seperti ini caranya’. “Maaf,” kata Ryan. Ia membalas tatapan manja Asha dan tersenyum. “ini mungkin terdengar gila, tetapi rasanya malam ini aku hanya ingin minum seorang diri.”
Perlahan, Ryan melepaskan genggaman tangan Asha dan membiarkan gadis cantik itu berdiri di sisi booth, sementara ia sendiri masih terduduk di kursinya. Sebagian dari dirinya masih menyayangkan apa yang baru saja ia ucapkan, tetapi apa yang sudah diucapkan tak dapat ditarik kembali. ‘Aku rasa ini yang terbaik.’ pikir Ryan dalam hati. “Kau..” Kata Asha dengan nada bergetar. “Beraninya kau menolakku….” Hilang sudah raut wajah manja yang manis dan digantikan dengan amarah yang amat sangat. Senyuman yang manis berubah menjadi bibir yang terkatup geram dan tatapan mata yang sayu menjadi tatapan yang menusuk tajam – dan pasti akan membuat laki-laki manapun berpikir dua kali sebelum datang mendekat. “Kau baru saja melewatkan malam terindah dalam hidupmu!” kata Asha sambil mengacung-acungkan telunjuknya ke wajah Ryan, dan sejurus kemudian, berbalik dan pergi dengan cepat. Begitu marahnya, Ryan bahkan yakin dapat mendengar suara hentakan hak tinggi Asha yang berjalan menjauh di tengah hingar bingar nuansa klub malam itu. Memperhatikan hal itu, Samael menghembuskan nafas lega karena Ryan tidak mengikuti ajakan wanita penggoda itu. Dan juga, akan sangat merepotkan kalau ia harus membuntuti Ryan, seandainya Ryan berhasil dibujuk pergi ke ‘entah ke mana’ oleh wanita tadi. Sejauh ini, Samael hanya duduk membelakangi meja bar dan mengamati keadaan sekitar – sambil tetap memperhatikan setiap percakapan yang terjadi di booth Ryan. ‘Andai saja aku bisa langsung datang ke sana, mengikat roh anak itu dan menariknya keluar dari tubuhnya’, pikir Samael berandai-andai. ’Aku bisa langsung pulang dan menikmati waktu jeda sebelum tugas berikutnya memanggil.’ Tak lama kemudian, minuman pesanan Ryan pun tiba di mejanya. Satu botol besar bir lokal – yang biasanya ia habiskan bersama Tony – yang datang bersama sepasang gelas kaca dan satu wadah berisi kubik-kubik es batu lengkap dengan jepitan esnya. Segera diisinya salah satu gelas kaca itu dengan es batu dan kemudian disusul dengan cairan berwarna coklat bening dari dalam botol bir tadi. Tak dipedulikannya isi botol yang tertumpah di atas meja akibat tuangan yang terlalu deras ke atas gelas tadi.
Ryan hanya ingin segera menenggak cairan itu dan melupakan semua yang memenuhi pikirannya. Dan mungkin saja – setelah ia cukup mabuk – ia dapat pergi ke atas dan mencari Asha untuk ‘kesempatan kedua’. Dengan satu tegukan besar, Ryan dapat merasakan cairan dengan kadar alkohol 80% itu memenuhi rongga mulutnya, dan kemudian mengalir turun ke dalam tenggorokannya. Nahas, ketika ia hendak mendorong tegukan yang kedua, sepotong es batu kecil ikut tertelan. “Ugh.” Spontan, Ryan pun tersedak dan terbatuk-batuk. Minuman – yang sudah sempat turun ke lambungnya – turut tertumpah keluar di atas meja bersama dengan yang tadi masih berada di rongga mulutnya. Kejadian itu sempat menarik perhatian beberapa pengunjung yang lewat dan beberapa orang yang duduk di tepi bar – termasuk Samael dan perempuan yang duduk di sebelahnya. Sekilas, dari tempat duduk Samael, kesannya Ryan baru saja terbatuk dan menumpahkan hampir seluruh isi gelasnya di atas meja. Sementara masih terbatuk-batuk kecil, Ryan meletakkan gelasnya di atas meja – memisahkan botol dan gelas itu dari genangan bir – dan menyeka mulut dan dagu dengan telapak tangannya. Ryan berusaha membuat isyarat di udara untuk memanggil pelayan, sambil berusaha menutupi rasa malunya karena telah membuat keributan – yang tidak terlalu berarti sebenarnya. Beberapa orang yang memperhatikan kejadian itu pun segera berpaling dan kembali pada kesibukan mereka masing-masing. Dan jelas juga bahwa kegaduhan itu sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan musik rancak yang sedang diputar oleh sang DJ. Sementara seorang pelayan laki-laki sedang membersihkan booth-nya, Ryan pun berdiri di sisi booth serta memperhatikan sekelilingnya. Ia mengenali beberapa wajah yang memang sering menghabiskan waktu di klub malam itu, sekelompok om-om hidung belang – yang biasa duduk tak jauh dari booth Ryan – nampak memperhatikan kejadian yang baru saja terjadi. Ryan membalas senyuman salah satu om itu sambil mengangkat tangan tanda ‘aku tidak tahu apa yang baru saja terjadi.’ Pandangan Ryan bergerak menyapu sekelilingnya, hingga ia melihat seseorang sedang memperhatikannya dari arah bar. Seorang laki-laki berambut hitam sebahu nampak jelas sedang memandang lurus ke arah Ryan. Ketika tatapan Ryan beradu dengan tatapan laki-laki tersebut, segaris
senyum tipis timbul pada wajah laki-laki tadi. Dan seketika itu juga nafas Ryan terhenti untuk sejenak. Ryan yakin bahwa yang ia lihat bukanlah imajinasi ataupun karena efek alkohol – karena satu-satunya minuman yang akan ia teguk malam itu sudah tertumpah di atas meja. Tetapi ia berani bersumpah bahwa ia baru saja melihat sepasang bayangan sayap lebar berwarna hitam muncul di belakang laki-laki itu. Dan dalam satu kedipan mata, Ryan juga benar-benar yakin bahwa untuk sesaat – seperti sepersekian detik – laki-laki itu sudah berpindah tempat berada selangkah di hadapan Ryan dan kemudian kembali lagi di tempat duduknya. “Tuan. Sudah selesai. Silahkan.” Sebuah hentakan pelan menyentuh lengan Ryan. Rupanya pelayan tadi sudah selesai membersihkan meja dari tumpahan bir dan ia pun mempersilahkan Ryan untuk kembali duduk. Ia melihat kedua lengannya dan mendapati bulu-bulu tipis di atas lengannya berdiri semua. Ruangan klub malam itu memang sangat dingin, tetapi dingin yang Ryan baru saja rasakan ketika bayangan laki-laki itu berada tepat di depannya, bagaikan menembus tubuh Ryan dan merasuk jauh ke dalam jiwanya. Setelah pelayan tadi berlalu, Ryan memberanikan diri untuk melihat ke arah bar, mencari laki-laki tadi. Tanpa sadar Ryan menghela nafas lega ketika ia mendapati sosok yang ia cari tidak ada di sana. Walaupun, sebenarnya itu pun bukan fakta yang melegakan mengingat betapa yakinnya Ryan akan apa yang baru saja ia lihat. Selang beberapa menit, ketika Ryan sudah mulai tenang dan mendengarkan music pelan yang diputar oleh DJ, – sementara botol minuman dan gelas tadi dibiarkan tak tersentuh di sisi meja yang lain – kali ini ia merasa ada yang salah dengan pendengarannya. Entah bagaimana dengan pengunjung yang lain, tetapi Ryan – lagi-lagi – sangat yakin bahwa di antara alunan musik pelan yang sedang diputar, ada suara seseorang sedang berbisik. Dan ketika Ryan memfokuskan pendengarannya, ia menangkap suara itu seperti seorang wanita yang sedang berbicara meracau dalam bahasa yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. ‘Ok, cukup sudah!’ seru Ryan dalam hati sembari bangkit dari tempat duduknya. ‘Malam ini sudah terlalu aneh bagiku!’
Ryan sudah hampir sampai di tirai hitam yang menjadi pembatas antara ruang tunggu dengan ruang utama ketika tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara berdebum dari sisi kirinya. Spontan Ryan pun menoleh, dan ia melihat seorang wanita sudah tergeletak di atas lantai, sepertinya ia baru saja terjatuh keluar dari boothnya. Tubuh wanita itu terlihat sedang mengejang dan sementara itu, teman perempuan itu – yang terlihat sedang tertunduk di atas meja – sama sekali tidak merespon. Dan sedetik kemudian, ketika tiba-tiba suara musik terhenti sepenuhnya, kejadian serupa pun mulai terlihat di segala penjuru klub malam itu. Di tengah kesunyian, satu persatu orang-orang mulai mengerang kesakitan dan bertumbangan di atas lantai. Dan menggantikan hingar-bingar suara house music, terdengar suara-suara gaduh gelas dan botol kaca yang pecah terjatuh. “A.apa-apaan...” kata Ryan, terkejut. Ia menyaksikan semua orang itu mengerang kesakitan sambil memegangi leher mereka masing-masing. Beberapa orang terlihat berusaha menahan rasa sakit yang seakan-akan mencabik-cabik dada dan kerongkongan mereka, namun pada akhirnya tidak ada satu orang pun yang cukup kuat untuk bangkit berdiri – atau bahkan hanya untuk sekedar merangkak ke arah pintu keluar. “T..tolong..” kata wanita yang didapati Ryan terjatuh pertama kali. Suara wanita itu terdengar sangat parau dan ia segera terbatuk-batuk sambil mendekap erat tenggorokan dan dadanya. Rasa sakit yang menyerang wanita itu sampai membuatnya memukul-mukul dadanya sendiri sambil bergulung-gulung di atas lantai. Rasa iba sempat membuat Ryan melangkah mendekat, namun selangkah itu saja tidak lebih jauh dari itu. Karena sedetik kemudian, ketika Ryan hampir memutuskan untuk bergegas mendekat, wanita itu terbatuk sangat keras – mungkin batuk paling keras yang pernah Ryan dengar hingga saat itu – hingga menyemburkan cairan berwarna hitam pekat kemerahan. Tubuh wanita itu mengejang, dan sementara dari mulutnya, cairan tadi terus mengalir keluar selama kurang lebih enam sampai tujuh detik. Alih-alih melangkah maju, Ryan jatuh terduduk ke belakang. Kedua tungkai Ryan lemas melihat cairan yang tersembur keluar dari mulut wanita itu tercecer hingga hanya satu langkah di hadapannya. Ryan melihat jumlah cairan yang keluar – kurang lebih – bisa memenuhi satu botol besar air mineral 1.5 liter.
“Da..darah..??!!” pekik Ryan, setengah tertahan oleh kengerian yang ia baru saja saksikan. Ryan melihat wanita tadi dan mendapati tubuh wanita itu sudah tertelungkup tak bergerak dengan pipi terbenam dalam lautan darahnya sendiri. Namun kengerian tidak berhenti di situ. Wanita tadi adalah yang pertama. Berikutnya kejadian serupa mulai terjadi di semua sudut klub malam itu. Erangan-erangan kesakitan yang lebih hebat terdengar di mana-mana dan disusul dengan suara semburan yang serupa dengan yang Ryan dengar dari wanita tadi. “A..AAaaaaAAAaa..!!!” Ryan berteriak dalam kengerian. Rasa takut yang amat sangat membuatnya segera bangkit dan berlari menuju tirai hitam yang hanya beberapa meter di dekatnya. Tangan kanan Ryan terjulur ke depan, hendak menyibakkan tirai tipis itu dan menyeruak keluar secepat mungkin dari tempat itu. Namun, alih-alih meninggalkan ‘neraka’ itu, tangan kanan Ryan – dan berikutnya pipi kanannya – justru seakan membentur tembok baja yang tak terlihat. “U..UaAAaaaAAaa..!!” Rasa takut membuat Ryan melupakan rasa sakit yang menjalar di wajahnya. Ia bangkit dan menghampiri tempat ia terbentur tadi. Dan seaneh kedengarannya, Ryan dapat menyibakkan tirai tipis itu, tetapi ia tidak dapat melintas ke ruang di balik tirai tersebut. Dengan sekuat tenaga Ryan berusaha mendorong, menggeser dan bahkan menghantamkan tinjunya sekuat tenaga. Tetapi halangan itu – yang entah apa – tetap tak bergeming. Di tengah keputusasaan, Ryan mendapati bahwa suasana ruangan klub malam itu sudah mereda. Ia menoleh ke belakang dan mendapati tidak ada lagi erangan-erangan ataupun teriakan-teriakan yang memilukan hati di ruangan itu. Yang tersisa hanya suara bisikan meracau aneh, yang masih terus keluar dari sound sistem klub malam itu. Ryan bersandar pada tembok tak terlihat itu dan melihat ke sekeliling ruangan. Gemerlap lampu disko masih terus berputar dan sesekali memberikan kesan blitz pada ruangan. Tetapi tidak ada satu orangpun yang bergerak. Para pengunjung bergelimpangan – beberapa bahkan terlihat saling tumpang tindih –, bartender, DJ dan bahkan para sexy dancer pun terlihat bergelimpangan di sekitar stage. Ryan sangat berharap bahwa ini semua hanya mimpi, tapi rasa nyeri di tinju tangannya terasa sungguhan. Ryan ingin bergerak dan mencari jalan keluar lain dari
tempat itu, tetapi membayangkan bahwa ia harus melewati semua tumpukan mayat dan lautan darah yang ada di hadapannya – ditambah suara aneh yang makin terdengar menakutkan, – membuat Ryan mengurungkan niatnya. Ia berharap bila ini mimpi, maka ia akan duduk dan menunggu terbangun. Dan bila ini memang kenyataan, ia menunggu pengunjung lain – atau polisi atau siapapun – datang dan mendapati betapa kacaunya tempat ini serta menolongnya keluar. Ryan baru saja memutuskan untuk duduk di lantai – sementara ia bersandar ke belakang dan berharap ia dapat melewati tirai hitam itu, – ketika ia merasakan hawa ruangan mendadak berubah hangat. Dan – dalam tempo waktu yang singkat – dari hangat menjadi panas. ‘Masa AC-nya mati?’ tanya Ryan dalam hati. Ia melihat sekeliling dan tidak dapat memastikan hal itu, memang. Hembusan angin dingin yang memenuhi ruangan klub malam itu mendadak hilang begitu saja. Tapi, kalau pun setiap AC di gedung ini mati, suhu ruangan juga tetap tidak akan naik secepat yang Ryan rasakan. ‘Astaga!’ Seru Ryan dalam hati. ‘Apa lagi yang terjadi sekarang?!’ Ia merasakan pori-pori kulit di sekujur tubuhnya mulai mengeluarkan keringat. Beberapa saat yang lalu ruangan itu dingin menusuk tulang dan terasa mengerikan, tetapi sekarang ruangan itu berubah sangat panas, dan menjadi lebih mengerikan lagi. Ditambah lagi, di tengah hawa yang pengap itu, bau anyir darah menjadi lebih keras dan menusuk hidung. Ryan membekap erat mulutnya, berusaha menahan rasa mual yang mulai mengocok perutnya. Ia masih terduduk dan berharap bahwa ini hanya mimpi buruk dan akan segera berlalu. Tetapi kemudian, ia melihat banyak asap hitam bergerak keluar dari ruangan-ruangan di sekeliling panggung utama. Gulungan-gulungan asap hitam itu bergerak perlahan hingga semua asap hitam itu tergumpal bersama, melayang di atas panggung utama – yang berada lurus di hadapan Ryan. Kemudian, gumpalan asap hitam itu mulai mengembang – seakan volumenya bertambah banyak dari dalam – dan membentuk wujud raksasa di tengah-tengah panggung. Dan sementara proses itu terjadi, suara bisikan meracau – yang selama ini Ryan pikir berasal dari sound system klub malam – terdengar makin jelas berasal dari dalam gumpalan asap hitam tersebut.
Ryan berusaha mendorong-dorong tembok tak terlihat di belakangnya namun penghalang itu tetap tak bergeming. Ia kemudian melihat sekeliling, hendak berlari sejauh mungkin, namun ia sadar bahwa ia tidak dapat pergi kemana-mana. Ryan hanya dapat menyaksikan gumpalan asap itu makin berbentuk dari waktu ke waktu. Mulanya, asap hitam itu hanya menumpuk di atas panggung – dari lantai, hingga sekitar lima meter tingginya. Namun sejak gumpalan asap itu berhenti mengembang, perlahan wujudnya mulai memadat. Dari tumpukan asap hitam tanpa wujud, bagian bawahnya mulai membentuk tumpukan lingkaran besar menyerupai donat-donat yang ditumpuk ke atas. Kemudian ada bagian tengah yang menjulang tinggi ke atas, bagaikan tonggak yang menyangga gumpalan awan hitam besar yang terkumpul di bagian paling atas. Gumpalan awan hitam di bagian atas itu kemudian bergerak-gerak hingga akhirnya terpisah menjadi tiga bagian dengan volume serupa. Dan sebagaimana gumpalan awan hitam itu menyusut dan memadat, wujud tersembunyi di balik kegelapan itu pun mulai terlihat. “I..ini tidak mungkin!” seru Ryan dalam rasa takut yang sangat ketika ia melihat wujud mengerikan yang telah terbentuk sempurna di hadapannya. Ryan tidak dapat mempercayai kedua matanya yang sedang melihat seekor ular raksasa berkepala tiga setinggi kurang lebih lima meter. Dan makhluk tersebut berada tepat di hadapannya. Tubuh Ryan bergetar hebat dan kedua kakinya terus mendorong ke belakang, berharap – entah bagaimana – ia dapat menembus tembok tak terlihat di belakangnya. Ryan masih berharap bahwa ini semua hanya mimpi, tapi ular raksasa yang ada di depannya ini tampak sangat nyata. Ryan memperhatikan sisik-sisik ular itu yang berwarna hitam kemerahan di bagian luar dan berwarna sedikit lebih terang di sisi yang lebih dalam. Sisik-sisik itu terlihat berkilauan – seakan-akan sisik-sisik itu terbuat dari batu berharga – dan memantulkan cahaya di bawah terangnya sinar lampu sorot di tengah panggung klub malam itu. Ketiga kepala ular itu tidak nampak jauh berbeda satu dengan yang lain. Ketiganya memiliki karakteristik reptil melata itu pada umumnya. Struktur wajah yang panjang dengan taring-taring tajam yang tersembul keluar di bagian kanan-kiri depan
wajahnya. Ketika makhluk itu bergerak, dan cahaya lampu sorot menyinari wajahnya, Ryan melihat bahwa mata makhluk raksasa itu bagaikan batu permata hitam yang sangat indah. Satu-satunya perbedaan di antara ketiga kepala ular raksasa itu hanyalah ukuran tanduk yang tumbuh di masing-masing kepala. Sepasang tanduk itu berbentuk seperti bor ulir yang tumbuh mulai bagian dahi, mengikuti kedua sisi kepala ular, kemudian melengkung naik ke atas. Tanduk berwarna hitam-merah yang menyerupai sebuah mahkota tersebut terlihat lebih besar pada kepala ular yang berada di tengah-tengah dibanding kedua kepala yang lain. Suara-suara meracau yang tadi Ryan dengar memenuhi ruangan klub malam juga sudah lenyap. Kini yang terdengar hanyalah suara berderik yang timbul ketika tubuh ular raksasa itu bergerak-gerak dan sisik-sisik kerasnya bergesekan dengan lantai. Ryan segera tahu bahwa hal paling pintar yang bisa ia lakukan saat ini adalah lari dan sembunyi dari hadapan ular itu sejauh mungkin. Namun besarnya rasa takut yang menggetarkan setiap sendi-sendi pada tubuh Ryan membuatnya tak mampu menggerakan tubuhnya sama sekali. Ia hanya dapat menahan nafas ketika reptil raksasa itu bergerak mendekatinya sambil mengeluarkan suara mendesis – yang cukup ramai seakan bergantian keluar dari ketiga mulutnya. “Jiwamu milikku sshhh.., Ryan sshh… Giovanni!” kata makhluk itu tiba-tiba sambil mendesis-desis. Kejadian ini spontan membuat Ryan tersentak kaget. Ia sangat yakin bahwa yang baru saja berbicara adalah kepala ular yang berada di sebelah kirinya. “A..apa?!” Sahut Ryan terbata-bata. Ia sungguh tak tahu bagaimana harus merespon kejadian maha aneh ini. Beberapa waktu yang lalu ia hanya ingin bersenang-senang di klub malam itu, dan sekarang ia sedang terduduk sekitar sepuluh langkah dari seekor makhluk raksasa – yang mungkin bahkan tidak pernah terlintas dalam imaginasi Ryan – dan makhluk itu baru saja berbicara kepadanya! “Sshh..beraninya makhluk rendah ssshh sepertimu, menolak kami!!” Seru makhluk itu geram – kali ini ketiga mulut ular itu bergerak dengan gerakan serupa. Teriakan parau makhluk itu langsung mengerdilkan nyali Ryan – yang sudah ciut dari tadi – dan membuatnya makin bergetar ketakutan. Ryan bersumpah bila semua ini hanya mimpi, ia akan melakukan apapun agar dapat terbangun saat itu juga. Dari posisinya,
Ryan sudah dapat membayangkan bila ular itu bergerak maju sedikit lagi maka ular itu akan dapat mengayunkan lehernya ke depan dan melahap tubuh Ryan sepenuhnya. “Ssshh sekarang, ” kata ular itu lagi sambil kemudian membuka lebar-lebar mulutnya yang ada di tengah. “ssshhh serahkan nyawamu!!” Dalam satu gerakan cepat ular itu melesat ke depan dengan mulut tengah yang ternganga lebar. Dari gerakannya, sepertinya makhluk itu hendak melahap bulat-bulat Ryan ke dalam perutnya. “Aaargghh!!!” Ryan memejamkan kedua matanya dan berteriak sejadi-jadinya seraya mengangkat kedua tangannya untuk menghalangi ular raksasa itu. Seluruh tubuh Ryan bergerak meronta-ronta sementara otaknya terus membayangkan bagaimana rahang besar penuh gigi tajam ular itu mencengkeram tubuhnya dan kemudian menelannya bulat-bulat. “Uwaaaaah!! Aaaaaa!!!!” Ryan – yang sudah kehilangan kendali akan akal sehatnya – terus berteriak dan meronta-ronta sementara hal mengerikan yang ia ‘nantikan’ tidak kunjung juga terjadi. Tak ayal, Ryan memberanikan diri untuk membuka sedikit kedua matanya yang terpejam erat. ‘Apakah aku sudah mati?’ pikiran itu yang pertama kali terlintas dalam benak Ryan. Namun suhu panas dan bau anyir darah yang masih terasa begitu nyata menyadarkan Ryan. Ia mendapati dirinya masih berada di dalam ruangan klub malam yang mengerikan itu. Tetapi Ryan mendapati bahwa ia tidak seorang diri bersama dengan ular raksasa itu. Sesosok manusia – sepertinya seorang laki-laki, – tengah berdiri di antara Ryan dan ular raksasa itu. “Ssshh aarrghh! Berani sshh nya kau!!!” Ryan mendengar suara ketiga kepala ular raksasa itu mengerang kesakitan di kejauhan. Suara erangan kesakitan mereka terdengar seakan saling tumpuk satu dengan yang lain. Ryan terus berusaha menguasai dirinya. Rasa takut yang ia rasakan membuat pandangannya tidak fokus dan ia dapat merasakan jantungnya berdetak sangat keras – begitu kerasnya, hingga Ryan takut jantungnya akan meledak keluar. Kemudian, setelah satu tarikan nafas panjang, Ryan memperhatikan sosok penolong misterius yang tengah berdiri membelakanginya.
‘A..apa?!’ seru Ryan dalam hati. Lagi-lagi, ia tak dapat mempercayai keberadaan laki-laki penolongnya ini. Sekilas, Ryan merasa tidak ada yang salah dengan rambut ikal ataupun cara berpakaian penolong misteriusnya ini. Hanya saja – setelah diperhatikan lagi – di balik punggung laki-laki itu ada sesuatu yang janggal. Kira-kira pada jarak sejengkal lebih rendah dari pundak laki-laki itu, Ryan mendapati sesuatu melekat di sana. Sepasang sayap berwarna hitam. Ryan menggosok-gosok matanya. Ia masih tak dapat mempercayai apa yang ia lihat. Sepasang sayap yang berbentuk seperti sayap unggas itu memang tidak terlihat solid atau – bisa dikatakan – setengah transparan. Tapi Ryan yakin bahwa yang terbentang lebar – sekitar satu meter setengah ke kanan dan juga ke kiri – di antara dirinya dan laki-laki penolongnya ini adalah sepasang sayap. Tapi bukan hanya sepasang sayap hitam itu yang mencengangkan Ryan. Di hadapan laki-laki itu terbentang sebatang kayu sepanjang – kurang lebih – dua meter. Pada salah satu ujung batang kayu itu, terdapat sebilah arit raksasa – yang kelihatannya cukup besar untuk memotong seekor sapi dengan satu kali tebas. “Cukup sampai di situ, Asmodeus!” seru laki-laki itu pada makhluk raksasa di hadapannya dengan lantang. Hardikan itu keras dan tegas, seolah-olah sang penolong sama sekali tidak takut pada makhluk raksasa yang mengerikan itu. “ ssshhh Dasar
keparat sshhh!!” kata ketiga kepala ular itu dengan geram.
Rupanya serangan laki-laki ini tadi melukai makhluk itu. Dari sisi kiri mulut kepala ular yang ada di tengah nampak sebuah luka gores memanjang yang mengucurkan cairan pekat berwarna hitam. Namun luka itu tak bertahan lama. Perlahan, luka sayatan itu tertutup kembali. Mulai dari sisi paling luar, hingga bagian yang menempel dengan bibir ular itu, pulih seperti semula. Namun walaupun serangan tadi tidak meninggalkan luka, nampak jelas bahwa makhluk itu menjadi lebih geram dari sebelumnya. “Nyawa laki-laki itu milikku sshhh !!” kata makhluk itu sambil merangsek maju. Ryan – yang mengintip dari balik penolongnya – bergidik ketakutan dan spontan menekan tembok tak terlihat yang ada di belakangnya.
Namun lain halnya dengan laki-laki misterius itu. Ryan tak mendapati ia bergeming sedikit pun. Bahkan laki-laki itu memantapkan kuda-kudanya dan mengarahkan arit besarnya ke arah ular raksasa itu. “Tak akan kubiarkan!” seru laki-laki itu sambil melemparkan aritnya ke udara. Dan kemudian – mengikuti gerakan tangan laki-laki itu yang bergerak melintang horizontal – arit besar itu melesat di udara dan langsung melakukan serangan pada ular raksasa tadi. Ryan hanya dapat ternganga menyaksikan pertarungan mistis antara ular raksasa dengan laki-laki misterius bersayap hitam itu. Arit terbang milik laki-laki itu menebas ke kanan dan ke kiri, mengimbangi pergerakan cepat ketiga kepala ular raksasa itu. ‘Mungkinkah ia seorang malaikat?’ tanya Ryan dalam hati. Matanya terus memperhatikan sayap hitam transparan – yang bergerak-gerak – sementara pertarungan antar laki-laki itu dengan monster itu terus berlangsung. Selama ini Ryan hanya mendengar tentang malaikat pada pertemuan-pertemuan ibadah mingguan. Dan bila mau jujur, pertemuan-pertemuan ibadah itu bukan acara favorit Ryan. Ryan sendiri juga bukan pakar dalam Adeusism – pendalaman ilmu kepercayaan terhadap Adeus – jadi ia tak banyak mengerti tentang hal-hal yang bersifat supernatural. Yang ia tahu tentang malaikat hanyalah gambaran bahwa malaikat itu bersayap, bercahaya – setidaknya Ryan pikir seharusnya begitu –, dan melindungi manusia dari kejahatan. Laki-laki penolongnya ini memang bersayap dan melindungi dirinya, tetapi ia sama sekali tidak bercahaya. “sshhh kau cukup merepotkan, anjing Adeus sshhh.” Ujar ular raksasa itu kesal. Setelah usahanya untuk melalui rintangan arit raksasa laki-laki misterius gagal, ular itu berhenti menyerang untuk sesaat. Makhluk itu berdiri – dengan badan tergulung dan tiga kepala tegak teracung – kurang dari sepuluh langkah dari Ryan dan penolong misteriusnya. “Laki-laki ini dalam perlindungan Adeus, enyahlah iblis!!” seru sang penolong sambil menuding ke arah ular raksasa. Arit besar miliknya ikut melayang dan teracung ke arah yang sama di udara. Suasana sempat hening sejenak, sebelum tiba-tiba tawa ular raksasa itu meledak.
“Hahahaha!!!” Ryan sempat tersentak kaget mendengarnya, tapi melihat apa yang terjadi dengan wujud ular itu membuat Ryan lebih kaget lagi. Tiba-tiba saja ketiga kepala ular itu saling merapat dan kemudian terpilin satu dengan yang lain. Tubuhnya yang besar seakan terhisap ke tengah dan menciut drastis, dan gulungan badan ular itu perlahan membentuk wujud sosok manusia. “A..Asha?!” kata Ryan heran ketika ia melihat ular raksasa itu selesai berubah menjadi sosok yang ia kenali. Hilang sudah sosok ular setinggi lima meter tadi, berganti sosok Asha yang cantik dan menggoda. Gaun berwarna hitam yang ia gunakan sudah berubah menjadi pakaian yang jauh berbeda. Kini Asha hanya mengenakan semacam cawat panjang berwarna hitam serta – sangat – sedikit kain untuk menutupi bagian dadanya. Namun bukan hanya itu yang berubah, rambut keemasannya kini berwarna hitam kelam. Dan terlepas dari pakaian Asha yang lebih ‘menantang’, kini sepasang tanduk ulir berwarna hitam-merah – serupa dengan bentuk tanduk ular raksasa tadi – teracung di atas kepalanya. Dan pada punggung Asha kini terdapat sepasang sayap besar – berbentuk seperti sepasang sayap kelelawar – yang ukurannya kurang lebih sama dengan sayap laki-laki penolong Ryan. Tetapi tidak seperti sayap laki-laki itu yang transparan, sayap Asha terlihat solid. “Hai, Ryan.” kata Asha manja. “Kau merindukanku? Dan omong-omong, panggil aku Asmodeus.” “Berhenti di situ, Asmodeus!” hardik laki-laki misterius itu sambil – lagi-lagi – mengacungkan arit raksasanya ke arah Asmodeus. “Selangkah lagi, dan aku akan..” “Akan apa?!” potong Asmodeus tegas. “Harus kuakui kalau kau cukup hebat dapat mengelabuhi iblis penjaga yang kuletakkan di pintu masuk. Tapi, percayalah, kau tak akan dapat melukaiku dengan mainanmu itu.” Laki-laki itu terdiam mendengar balasan Asmodeus. Namun sebagaimana arit raksasa laki-laki itu masih lurus teracung, Asmodeus pun tidak bergerak lebih jauh dari posisi terakhirnya. Kini jarak di antara laki-laki itu dan Asmodeus hanya sekitar delapan langkah. Dan Ryan tidak tahu harus bertindak apa dalam situasi itu.
“Arit pencabut nyawa ya? Ini menarik.” Kata Asmodeus sambil memperhatikan senjata yang teracung ke arahnya itu. “Senjata klasik para malaikat pencabut nyawa. Jangan katakan kalau kau datang untuk menjemput nyawa laki-laki itu juga.” ‘Malaikat pencabut nyawa?!’ seru Ryan dalam hati. Sosok Asmodeus memang menakutkan. Tetapi Ryan khawatir, sekalipun ia lolos dari Asha, nyawanya akan berakhir di tangan penolongnya ini yang notabene seorang malaikat pencabut nyawa. “Tutup mulut berbisamu, iblis!” hardik laki-laki itu lagi. “Tugasku adalah memastikan laki-laki ini lolos dari rencana mautmu.” “Hahahaha..!” Tawa Asmodeus nampaknya mengejutkan lawan bicaranya. Laki-laki itu terlihat membatalkan niatnya untuk mengucapkan sesuatu. “Kau lucu juga, malaikat pencabut nyawa.” Kata Asmodeus sambil tersenyum tipis. “Katakan siapa namamu. Engkau tahu bahwa aku berhak tahu siapa nama lawanku.” Laki-laki itu terdiam sejenak. Ia nampak enggan menjawab. “Samael.” “Sudah berapa lama kau melakukan pekerjaan hina ini, Samael?” tanya Asmodeus dengan mimik wajah iba yang dibuat-buat. Namun kali ini tak ada jawaban terdengar. “Melihat dari kusamnya cahayamu,” Kata Asmodeus sambil bergerak ke kanan dan ke kiri. Matanya nampak mengamat-amati sayap kehitaman Samael. “kau sudah melakukan pekerjaanmu untuk waktu yang terlalu lama. Bahkan pada masaku dulu, belum pernah kulihat sayap sekusam milikmu.” “Pengkhianat sepertimu tidak berhak menilai ketaatanku.” Jawab Samael dingin. Ryan yang masih terduduk di belakang Samael, dapat melihat arit besar itu melayanglayang mengikuti pergerakan Asmodeus. “Kau, tuanmu dan semua saudara-saudara terkutukmu itu! Kalian… “ “Tutup mulutmu sshh!!” seru Asmodeus keras. Suara lembutnya berubah menjadi suara geram ular raksasa tadi. “Beraninya kau merendahkan tuan kami sshh!!” Mendengar kegeraman Asmodeus, tiba-tiba Ryan merasakan bulu kuduknya berdiri karena merinding. Sambil mengintip, Ryan menyaksikan bagaimana sepasang
mata Asmodeus tiba-tiba menyala merah terang. Dan – lagi-lagi – perubahan aneh pun mulai terjadi. Perlahan-lahan, Ryan melihat cahaya di dalam ruangan itu meredup. Semua lampu yang begitu gemerlap itu seakan padam satu per satu. Menjadikan ruangan tersebut redup dan temaram. Dan kemudian, Ryan memperhatikan bagaimana bayangan di bawah kaki Asmodeus mulai membesar. Kegelapan itu terus menyebar – seperti segelas kopi yang tumpah di atas meja – ke segala penjuru, termasuk melewati Samael dan juga tempat Ryan duduk. Tidak ada satu hal pun yang tidak digelapkan oleh bayangan itu. Setelah semua permukaan lantai tertutup olehnya, bayangan itu terus merambat hingga menutupi semua meja, tembok dan bahkan langit-langit klub malam itu. “Kau akan menyesal membiarkan cahayamu memudar, malaikat pencabut nyawa!” Seru Asmodeus lantang di dalam kegelapan. Kegelapan itu begitu pekat hingga Ryan tak dapat melihat apapun juga. Bahkan ia tak dapat melihat telapak tangannya sendiri – yang sedang ia lambai-lambaikan di depan matanya. Satu-satunya yang terlihat dalam ruangan itu hanyalah sepasang mata Asmodeus yang merah menyala. “Sesalilah nasibmu, dan bencilah tuanmu, Samael!” “Jangan takut, manusia.” Kata Samael pada Ryan. “Bantuan akan segera tiba. Dan sampai saat itu tiba, tak akan kubiarkan makhluk terkutuk ini menyakitimu. Percayalah padaku, Adeus tidak ingin kau mati malam ini!” Ryan hanya diam tercengang. Kegelapan pekat dan suasana yang sangat mencekam membuatnya tak tahu harus berbuat atau berkata apa. Tapi pernyataan Samael barusan – entah mengapa – memberi Ryan sedikit ‘jaminan’. Walaupun perasaan menenangkan ini bukannya tanpa tanda tanya. ‘Sungguhkah yang orang ini katakan?’ ‘Untuk apa Adeus – Sang Pencipta – mengutus malaikatnya untuk menolongku?’ Dan pertanyaan terbesar dalam benak Ryan saat ini : ‘Mengapa aku? Di antara semua orang ini, mengapa aku?’ Sementara itu, dari cahaya merah mata Asmodeus yang tak berpindah dan juga aura Samael – yang walaupun tak terlihat, Ryan dapat merasakan Samael masih ada di
sana –, seakan keduanya sedang saling menunggu siapa yang akan mengambil inisiatif menyerang terlebih dahulu. Dan sesaat kemudian, ketika cahaya merah dalam kegelapan itu tiba-tiba menghilang, Ryan tahu bahwa pertempuran ini dimulai. Berikutnya dalam kegelapan, yang dapat Ryan dengar hanyalah sabetan-sabetan cepat yang membelah udara. Terkadang Ryan juga mendengar suara seperti suara lecutan cemeti yang menghantam lantai ataupun dinding-dinding ruangan itu. Ryan menduga bahwa suara-suara lecutan itu pasti berasal dari aksi Asmodeus karena Ryan dapat mendengar dengan jelas bagaimana Samael menggerak-gerakkan arit besarnya – yang menimbulkan suara seperti suara tongkat besar yang diayunkan kian kemari. “Ugh..” tiba-tiba Ryan mendengar Samael mengaduh kesakitan. Dalam kegelapan, Ryan sempat mendengar sayap Samael bergetar, – kemungkinan besar – menutup sedikit dan kemudian dibentangkan kembali. “Menyerahlah, Samael.” Bujuk Asmodeus. Namun sementara ia membujuk, suara lecutan ke arah Samael terus berjalan. “Serahkan nyawa manusia itu dan akan kubiarkan kau pergi. Apalah arti nyawanya yang fana dibandingkan kekekalan yang kau miliki?” “Tidak akan!” seru Samael. “Nyawa orang ini milik Adeus. Tak akan kubiarkan jatuh ke tangan kalian!” “Dan juga,” lanjutnya lagi. “nyawaku pun milik Tuanku. Sekalipun rohku harus hancur lebur, tugas harus dilaksanakan.” “Cuih! Kebodohanmu membuatku jijik, Samael!” balas Asmodeus tajam dan lantang. “Tuanmu mengutusmu, yang sudah kehilangan cahaya, untuk datang melawanku. Itu sama saja dengan misi bunuh diri! Dalam kegelapan yang kukendalikan, kau tak mungkin menang!” Seusai Asmodeus berkata-kata, Ryan mendengar sebuah lecutan keras yang disusul dengan erangan kesakitan Samael. Sedetik kemudian, Ryan mendengar Samael terjatuh di hadapannya. Laki-laki penolongnya itu kini telah terluka. “Kau sudah kalah, Samael.” Kata Asmodeus arogan. Mata merahnya kembali menyala dalam kegelapan. “Tinggalkanlah manusia itu dan bergabunglah bersama kami, saudaraku. Bersama, kita akan menguasai bumi selama-lamanya.” Ryan merasakan suasana lebih mencekam dari sebelumnya. Apalagi Samael – yang masih jatuh terduduk – hanya diam seribu bahasa mendengar ajakan Asmodeus.
Ryan mulai khawatir kalau-kalau nasibnya akan berubah buruk dan malam ini ia akan berakhir dalam perut seekor ular jelmaan iblis. ‘Jangan takut, manusia.’ Tiba-tiba Ryan dapat mendengar suara Samael dalam kepalanya. ‘Bantuan akan segera datang. Percayalah.’ Fenomena aneh datang silih berganti hingga Ryan tak tahu bagaimana lagi harus bersikap. Tapi melihat situasi ini, Ryan berpikir bukankah semestinya Samael-lah yang lebih dekat pada kematian, bukan dirinya. ‘Bagaimana kau yakin kalau bantuan akan segera datang?!’ tanya Ryan dalam pikirannya. Sesungguhnya ia tak tahu apakah pesannya dapat sampai pada Samael tetapi Ryan pikir tak ada salahnya untuk mencoba. ‘Katakan untuk mempercepat bantuan itu! Kalau tidak kau bisa mati!’ “Bagaimana, Samael?” tanya Asmodeus lagi. “Kesempatan terakhir dan aku tak akan bertanya lagi.” ‘Mungkin ada baiknya kau menerima tawaran itu.’ Pikir Ryan lagi. Ia melihat lebih baik seorang malaikat lolos dan seorang Ryan Giovanni mati dari pada mereka berdua harus mati malam ini. ‘Kau masih harus banyak belajar, Ryan Giovanni.’ Balas Samael dalam pikiran Ryan. ‘Satu hal yang harus kau ingat, bila kau lolos dari maut malam ini. Ingatlah selalu akan hal ini : iblis selalu berbohong! Tidak ada kejujuran keluar dari mulut mereka. Hanya dusta. Jikalau mereka bersumpah bahwa mereka berkata jujur pun, itu juga dusta.’ “Hahahaha!” tawa Samael tiba-tiba meledak. Entah bagaimana dengan Asmodeus, tapi yang pasti Ryan baru saja tersentak kaget mendengar tawa Samael. “Simpan saja tipuanmu, Asmodeus. Kalau kau mau menghabisiku, sebaiknya cepat kau lakukan. Karena begitu bala bantuanku tiba, kau akan sangat, sangat menyesal.” “Bantuan?!” tanya Asmodeus mengejek. “Hahaha! Seluruh gedung ini sudah kuselimuti dalam kegelapan yang sangat pekat. Tidak ada satu malaikatpun yang dapat menemukanmu di dalam sini! Dan sekalipun mereka dapat, mereka masih harus menerobos lapisan demi lapisan kegelapan yang kubangun dari dalam sini. Percayalah Samael saat mereka tiba di sini, kau sudah tamat.”
“Kau sangat yakin, Asmodeus.” Kata Samael tenang. “Mungkin itu sebabnya kau jatu..Ugh!!” Samael mengaduh seketika, meninggalkan kalimatnya terputus begitu saja. Samar-samar, Ryan dapat mendengar suara benda tajam yang mematahkan sesuatu. “Jaga mulutmu, Samael!” bentak Asmodeus. “Setidaknya bersikaplah dengan baik. Karena saat ini nyawamu sedang berada di tanganku!” “Tidak tahukah kau, Asmodeus?” sahut Samael tanpa mempedulikan kata-kata Asmodeus. “Bahwa dalam kegelapan yang paling gelap, bahkan cahaya yang paling redup sekalipun dapat terlihat. Oleh karena itu, aku yakin dia pasti dapat menemukan cahayaku dalam kegelapan yang kau ciptakan ini, Asmodeus! Lihatlah ke atas sekarang kalau kau tidak percaya!” “A..Apa?!” Seru Asmodeus terkejut. Sebagaimana Ryan dapat melihatnya, pasti Asmodeus juga dapat melihat setitik putih di dalam kegelapan pekat yang ia ciptakan. Titik itu – yang bagaikan setitik cat putih pada langit-langit berwarna hitam pekat – secara perlahan membesar dan bertambah terang dari waktu ke waktu. “Ini tidak mungkin! Masakan seorang archangel.. ?!” “Archangel?!” tanya Samael heran. Seandainya saja seorang archangel – panglima perang malaikat – yang datang, tentunya Samael akan lebih merasa yakin dalam melakukan misi ini. "Ow iya. Kau pasti belum pernah bertemu Luminael.” “Luminel ?! Si..” Tanya Asmodeus keheranan. Tapi sebelum Asmodeus sempat melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba segaris tipis sinar cahaya yang sangat terang menembus kegelapan yang pekat itu dari langit-langit hingga menyentuh tanah tak jauh di antara Samael dan Asmodeus. Ryan – berkat cahaya tersebut – akhirnya dapat melihat apa yang sedang terjadi di ruangan itu. Samar-samar, Ryan dapat melihat Samael sedang berlutut di depannya. Ryan tak dapat melihat di mana arit raksasa Samael tetapi ia dapat melihat bagaimana senjata Asmodeus – yang berbentuk menyerupai sebuah cambuk panjang dengan ujung yang tajam – sedang bersarang di pundak kiri Samael. Dan dari posisi ujung cambuk tersebut, Ryan dapat melihat bahwa seandainya Samael tidak ada di sana dan menahan serangan Asmodeus bisa jadi cambuk Asmodeus bersarang di batok kepalanya saat ini.
“Ini tidak mungkin! Bagaimana mungkin satu malaikat saja dapat melakukan ini!” Dan dalam beberapa detik berikutnya kegelapan yang pekat itu terus terkikis oleh cahaya yang terpancar dari langit tadi. Garis cahaya yang tipis tadi terus membesar hingga memiliki diameter menyerupai garis cahaya lampu sorot berukuran besar. “Aarggh!” seru Asmodeus seraya mengangkat tangan untuk melindungi matanya dari cahaya yang makin menyilaukan ini. Dan kesempatan ini pun tak disia-siakan oleh Samael untuk mencabut keluar cambuk Asmodeus yang bersarang di pundaknya serta mencampakkannya jauh-jauh. Asmodeus sempat terkejut akan aksi Samael, namun ia mengurungkan niatnya untuk menyerang Samael lagi. Rupanya Asmodeus lebih khawatir akan ‘tamu tak diundang’ yang sebentar lagi tiba di ruangan itu. Cahaya itu kian bertambah terang, hingga akhirnya sumber dari cahaya itu jatuh dan mendarat di dalam ruangan itu. Ryan sangat penasaran, tetapi mata manusianya sudah tidak mampu melihat langsung ke arah sumber cahaya itu. Sementara Ryan tertunduk di balik tudungan lengannya, ia dapat melihat bagaimana Samael menatap tegap ke arah sosok yang menjadi sumber cahaya itu. Mata Samael tidak terpicing sedikitpun – seakan cahaya yang begitu terang itu sama sekali tidak menyilaukan bagi Samael. Berbeda dengan wajah Asmodeus yang terlihat cemas, seutas senyum tersurat di wajah Samael. “Kau tak apa, Sammy?” tanya sosok yang bercahaya itu. Samael tersenyum kecut. “Ugh, tutup mulutmu, Luminael.” “Sama-sama, teman.” Luminael tertawa kecil lalu berbalik ke arah Asmodeus. “Senang bisa membantumu.” “Sekarang,” gumam Luminael. Ryan dapat mendengar langkah Luminael menjauh. Ia sedang berjalan ke arah Asmodeus, “apa yang akan kau lakukan, Asmodeus? Saranku, sebaiknya kau segera pergi dari sini.” Luminael terus berjalan mendekat ke Asmodeus hingga jarak di antara mereka tersisa beberapa langkah saja. Dan pada posisi ini, perbedaan aura yang dipancarkan oleh Luminael dan Asmodeus terasa sangat kontras. Sisi di belakang Luminael begitu terang dan menyilaukan, sementara semua daerah di belakang Asmodeus masih terlihat gelap gulita. Seakan-akan ada tembok tak terlihat yang memisahkan Luminael dan Asmodeus
dalam ruangan itu sehingga cahaya dan kegelapan yang mereka pancarkan saling menahan pada satu titik. Asmodeus bergeming. Ia tak menyangka akan bertemu dengan malaikat cahaya dalam misinya kali ini. Kalau saja Asmodeus terlambat meningkatkan aura kegelapannya pada saat Luminael datang tadi – yang akan menyebabkan ia terperangkap dalam cahaya Luminael – pastilah ia sudah jatuh ke dalam genggaman Luminael sekarang. “Kekuatanmu tidak lebih besar dariku, malaikat cahaya!” seru Asmodeus sambil melecutkan cambuknya. Sebuah pantangan bagi Asmodeus untuk menyerah begitu saja. Walaupun misi Asmodeus malam ini – untuk menumpahkan darah di kota ini – sudah selesai, ia tidak dapat menerima bila harus diusir pulang hanya oleh dua orang malaikat kelas dua. “Hitung lagi, Asmodeus.” sahut Samael yang tiba-tiba bangkit berdiri. Ia mengambil posisi di sisi Luminael dan, dengan satu jentikan jari, arit raksasa Samael melayang kembali ke dalam genggaman tuannya. “Aku yakin kami berdua lebih dari cukup untuk menahanmu hingga saudara-saudara kami datang.” “Bicaramu terlalu sombong untuk malaikat yang sedang terluka, Samael.” Balas Asmodeus. “saat ini, racunku pasti sudah membuat lengan kirimu lumpuh. Dan tak lama lagi, kau tak akan dapat berbuat banyak, Samael.” “Ow,” Luminael menoleh. Ia melongok ke arah luka Samael. “Ternyata kau terluka, Sammy. Sini biar kulihat” Dengan sedikit enggan, Samael membiarkan Luminael mendekatkan tangan kanannya ke atas lukanya – yang bukan hanya melumpuhkan sisi kiri tubuh Samael tetapi juga menyiksanya dengan rasa sakit yang hebat. Dalam pertempuran, malaikat cahaya dikenal sebagai barisan pendukung yang solid. Dengan kehadiran mereka, kekuatan musuh – khususnya yang mengandalkan kegelapan – akan berkurang banyak. Selain itu, para malaikat cahaya juga dikenal sebagai penyembuh yang handal. Samael dapat merasakan energi cahaya Luminael menembus rongga luka pada pundaknya. Energi Luminael terasa hangat dan lembut. Dan dalam sekejap, rasa sakit yang Samael rasakan lenyap seketika.
“Nah,” Luminael tampak senang melihat pundak Samael. Ia tersenyum lalu berpaling pada Asmodeus dengan mimik bingung yang dibuat-buat. “kau tadi berkata sesuatu, Asmodeus?” “KURANG AJAR!!” Amarah Asmodeus meledak. Urat-urat nadi berwarna hitam tampak terlihat jelas pada wajah Asmodeus dan aura kegelapan meningkat dengan pesat di dalam ruangan itu. Samael dan Luminael spontan bersiaga penuh untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. “Akan kulumat kalian dalam kegelapan!!” seru Asmodeus menggelegar. Kegelapan di sekitar Asmodeus tiba-tiba menekan energi cahaya Luminael. Dan sementara tubuh Asmodeus perlahan tenggelam dalam kegelapannya sendiri, Ryan mendengar suara gemeretak di sana-sini. Dan disusul dentuman benda-benda berat yang berjatuhan dari langit. “Ia berencana melenyapkan kita semua bersama tempat ini!” Luminael mengerang seraya mengarahkan kedua telapak tangannya ke arah Asmodeus. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menekan balik kekuatan kegelapan Asmodeus dengan kekuatan cahaya miliknya. “Lindungi manusia itu, Samael!” Dalam satu kejapan mata, Ryan melihat sosok Samael telah berlutut di hadapannya dengan sepasang sayap yang terbentang lebar. Sayap Samael yang berwarna hitam juga menaungi mata Ryan dari silaunya cahaya Luminael – walaupun Ryan tetap tak dapat melihat apa-apa dengan jelas kecuali sosok Samael. Ryan masih dapat merasakan sekujur tubuhnya gemetaran. Dan ada banyak pertanyaan berkecamuk dalam benak Ryan tetapi bibirnya terasa kelu. Ia tak tahu pertanyaan mana yang hendak ia tanyakan dan bagaimana menanyakannya. “Tenanglah, hai manusia.” Samael berbisik sambil meletakkan telapak tangan kanannya di atas dahi Ryan. “Ketika kau terbangun nanti,” Ryan merasakan dirinya seakan terhisap masuk ke dalam tatapan mendalam Samael. ”semua ini akan terasa seperti mimpi bagimu.” Suara Ryan tertahan di dalam tenggorokannya. Ia ingin mengatakan sesuatu tetapi kesadarannya terus menipis. Rasa takut yang Ryan rasakan perlahan menghilang. Dan untuk pertama kalinya malam itu, ia merasakan ketenangan. Setidaknya untuk sejenak, sebelum ia tertidur sepenuhnya.
=== o0o === “Pekerjaan yang berat semalam.” Luminael menghela nafas panjang. Ia mengambil posisi duduk di sebelah kiri Samael. Dari kejauhan atap gedung perkantoran itu, mereka dapat melihat keramaian polisi dan petugas paramedis yang berkerumun di reruntuhan The Dome. Wujud manusia Luminael adalah sesosok pemuda atletis yang berusia sekitar 20 tahunan. Rambutnya yang berwarna kuning keemasan diikat ekor kuda di belakang kepalanya. Struktur wajahnya ramping serta memancarkan kesan ramah dan bersahabat. Warna kulitnya yang putih kecoklatan nampak kontras dengan mata birunya. “Yeah.” “Ayolah, teman.” Luminael menyikut pelan lengan Samael. “Setidaknya misi semalam berjalan lancar. Entah apa yang terjadi seandainya Asmodeus tidak mundur lebih cepat.” Samael tak menjawab. Namun ia tidak dapat menyangkal pernyataan Luminael barusan. Mereka berdua sangat beruntung karena tak lama setelah Ryan tertidur, Asmodeus menghilang dari hadapan mereka berdua. Dan itu sesaat setelah Asmodeus menghilang, Luminael terduduk lemas. Hampir seluruh energi cahayanya habis terkuras demi menahan tekanan dari Asmodeus. “Entahlah, Luminael.” Gumam Samael. Raut mukanya nampak muram. “Dari seratus tiga puluh tujuh orang yang ada di dalam klub malam itu, kita hanya meyelamatkan satu orang saja. Kau tahu? Ini sebabnya aku lebih suka pekerjaanku yang biasanya.” “Maksudmu menjemput ajal manusia?” “Uh-huh.” Samael mengernyitkan dahi. “Maksudku, ini bukan pertama kalinya aku menyaksikan kematian masal. Aku pernah melihat yang jauh lebih buruk malah.” “Perang dunia?” potong Luminael. Samael mengangguk mengiyakan, “tetapi pada pekerjaan itu semuanya sederhana. Yang aku perlu lakukan hanyalah mengikuti deretan nama-nama yang harus aku jemput.
Itu saja. Tidak ada detil lainnya. Tidak banyak pertanyaan yang muncul juga. Dan yang pasti tidak ada iblis seperti Asmodeus berkeliaran dan menjarah nyawa manusia!” Luminael memahami kegundahan Samael. Semuanya memang berubah sejak kejadian itu. Bahkan untuk pertama kalinya dalam ribuan tahun Luminael ditarik dari penugasannya di tengah manusia dan kembali dalam misi-misi penting. Pekerjaan semalam di The Dome adalah yang pertama dalam ribuan tahun bagi Luminael. “Bagaimana kau bisa bertahan di pekerjaanmu selama itu?” tanya Samael sambil memandang ke arah Luminael. “Tidakkah kau pernah mempertanyakan kebijakan dari tempat yang tinggi?” Luminael tertawa kecil. Ia merasa geli mendengar pernyataan rekannya barusan. Sebagaimana pepatah manusia mengatakan ‘rumput tetangga selalu lebih hijau’ rupanya hal serupa juga berlaku bagi malaikat. “Kurasa kau sudah tahu jawabannya, saudaraku.” Sahut Luminael sambil menepuk ringan pundak Samael. “Semua malaikat tahu itu. Sekarang sebaiknya kita berdiri. Akan ada yang segera datang. Dan kau mungkin ingin menghilangkan kerutan di dahimu.” Luminael melompat ke bagian dalam atap gedung itu sembari menengadah ke langit. Samael – yang segera tahu siapa yang dimaksud oleh Luminael – mengikuti yang dilakukan rekannya. Dan walaupun kegundahan itu masih ada, Samael berusaha untuk menyembunyikannya. Raphael – penganggung jawab misi mereka – akan segera muncul dan bukan pilihan yang bijak untuk memasang muka masam di hadapan Raphael. Samael kagum melihat bagaimana Luminael dapat tersenyum tanpa beban. Dalam senyumannya, Luminael menggumamkan sesuatu – yang kemudian diikuti oleh Samael. Beberapa baris kutipan dari sumpah para malaikat : “..bila merasa ragu, percayalah sedikit lebih banyak.. ..bila merasa putus asa, percayalah sedikit lebih lama.. ...terpujilah Adeus.”
=== o0o ===