Executive Summary
Analisis Kebijakan Peningkatan Kesempatan Melanjutkan Pendidikan dari SD/Setara ke SMP/Setara A. Pendahuluan Angka partisipasi pada tingkat SMP/MTs masih rendah, dan ini disebabkan oleh angka melanjutkan dari SD/MI ke SMP/MTs yang rendah. Rumusan masalah analisis kebijakan ini adalah: 1) bagaimana ketersediaan SMP/Setara ditinjau dari lokasi pemukiman?; 2) bagaimana keterjangkauan SMP/Setara dari segi biaya?; 3) bagaimana aspirasi dan motivasi siswa untuk melanjutkan serta aspirasi dan motivasi orangtua untuk menyekolahkan anaknya ke SMP/Setara?; 4) bagaimana faktor budaya mempengaruhi tingkat melanjutkan ke SMP/setara?; 5) Upaya apa yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, dan desa agar semua lulusan SD/setara dapat masuk ke SMP/Setara? Analisis kebijakan secara umum bertujuan untuk menyusun bahan kebijakan peningkatan angka melanjutkan dari SD/setara ke SMP/setara untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif kualitatif menggunakan studi kasus. Lokasi studi kasus adalah 16 kabupaten yang memiliki angka melanjutkan dari SD/setara ke SMP/setara yang rendah (di bawah rata-rata nasional). Informan adalah pejabat yang relevan di dinas pendidikan kabupaten, kepala UPTD kecamatan, kepala desa, kepala sekolah SD/setara dan kepala SMP/setara, orangtua yang anaknya tidak melanjutkan ke SMP/setara, dan anak yang tidak melanjutkan ke SMP/setara. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam. B. Temuan dan Rekomendasi Bagian ini menjelaskan empat hal yaitu tingkat ketersediaan SMP/setara dari pemukiman lulusan SD/setara yang banyak tidak melanjutkan, tingkat keterjangkauan SMP/setara dari segi biaya, tingkat aspirasi dan motivasi orangtua dan anak terhadap pendidikan, serta pengaruh factor budaya setempat terhadap pendidikan. 1. Tingkat Ketersediaan SMP/Setara di daerah dengan Angka Melanjutkan dari SD/Setara yang Rendah Lokasi SMP/setara pada sebagian besar wilayah di luar jangkauan jarak jalan kaki ulak-alik dari pemukiman lulusan SD/setara. Selain jauhnya jarak, kesulitan menjangkau lokasi SMP/setara diperparah dengan kondisi geografis yang hampir semua sulit (pegunungan/pebukitan, sugai/rawa/gambut, pantai, dan wilyah terpencil). Jalan dari pemukiman menuju sekolah umumnya belum diaspal dengan kondisi jalan yang kurang baik, bahkan ada yang terjal/sempit atau harus memutar jauh ketika sungai sedang banjir sementara tidak ada jembatan, berlumpur di musim hujan.
Dengan demikian untuk melanjutkan para lulusan memerlukan sarana transportasi. Pada hampir semua daerah angkutan umum tidak tersedia secara memadai, kalaupun tersedia orangtua cenderung tidak mampu menyediakan biaya angkutan, sementara orangtua tidak mampu menyediakan sendiri alat transportasi untuk anaknya seperti sepeda. Selain itu ada juga daerah yang kurang aman. Lihat Tabel 1. Tabel 1. Deskripsi jarak, waktu tempuh, sarana transportasi dan kondisi geografis Wilayah/Kab.
Jarak ke SMP/Setara
Waktu tempuh
Transportasi ke sekolah
Kondisi jalan/ geografis di lokasi
6-15 km
1-2,5 jam
Jalan kaki
- Nias
10- 15 km
2 - 4 jam jalan kaki
Jalan kaki, ojek, tidak ada angkutan umum, menyeberangi sungai
- Kep. Anambas
0,25-6 km
0,5-2jam
- Sumba Tengah
7-17 km
2,5 jam
- Banggai Kepulauan
5-10 km
1-1,5 jam
berjalan kaki, motor pompong, ojek .Tidak ada kendaraan dan jalan umum yang memadai. Jalan kaki, Angkutan umum (2 kali /mg). Angkutan truk penambang pasir Jalan kaki, mobil omprengan (1x sehari pp), ojek dan sampan.
Sebagian besar sirtu, sebagian kecil beraspal Jalan datar dan perbukitan, melewati sungai, jalan setapak dengan kondisi keamanan rawan Berbukit, curam terdiri dari pulau-pulau kecil dan masyarakat tingal di pingirpingir pantai Jalan berbukit, sebgn besar tidak diaspal
Kepulauan - Buru Selatan
Jalan cukup memadai (aspal curah/sirtu), berbukit-bukit, dan masih hutan/ semak belukar
Pedalaman 0,5-1 jam
- Konawe Utara
Jalan kaki, tidak tersedia angkutan umum Jalan kaki, sepeda dan sepeda motor, angkutan umum 1 kali sehari ke kota kec./kab.
berbukit dan berbatu
Jalan kaki, ojek, angkutan umum minim, dan truk pengangkut barang Hanya 1 jenis bus lintas daerah yang melewati sekolah dengan tarif Rp 50.000 – Rp 100.000
Jalan berbukit, berbatu, aspal kasar
Jalan aspal rusak, berbatu, berbukit terjal. Jalan pematang sawah yang becek. Jalan beraspal, rawan
2 s.d 5 km
0,5-1,5 jam
10-20 km
2-3 jam
7-15 km
> 2 jam
- Cianjur
1-2 km
30-40 menit
Jalan kaki, Ojek, dan Tidak ada angkutan umum
- Ogam
6-7 km
0,5- 1 jam
Angkutan desa, dan ojek
- Kapuas
berlumpur (banjir) pada musim hujan, kering musim kemarau, dataran rendah dan gambut, jalan sirtu &tanah
Perbatasan Negara - Belu - Kapuas Hulu
Jalan rusak parah, melewati hutan, berbukit dan angkutan jarang, dan banjir bila hujan
Pinggiran Kota
Wilayah/Kab.
Jarak ke SMP/Setara
Waktu tempuh
Transportasi ke sekolah
4-8 km
0,5-1,5 jam
Jalan kaki melewati semaksemak (±4km) sebelum naik angkutan umum.
- Kab. Lebak
2-15 km
Waktu tempuh 1 s.d 2 jam
- Muaro Jambi
1-25 KM
Berbukit, jalan berkelok tajam, sempit, melewati sungai. Jalan berlumpur pada musim penghujan. jalan darat, Datar
- Indramayu
1-4 km
30 s.d. 60 menit 30 menit
Tidak ada angkutan umum. Jalan kaki, atau naik sepeda motor hanya oleh yang mampu. Angkutan kota, ojek atau naik pompong Angkutan umum dan ojek
- Sumba Tengah
7-17 km
2,5 jam
Jalan berbukit, sebgaian besar belum diaspal
- Bangkalan
2,5-25 km
2-3 jam
Jalan kaki, Angkutan umum (2x/mg). Truk penambang pasir Jalan kaki dan speda motor
Komering Ulu - Wonosobo
Kondisi jalan/ geografis di lokasi kecelakaan dan kejahatan malam hari kondisi jalan rusak & berbukit
Bud. Khusus
Jalan memadai
Berbukit-bukit dan berbatu, melewati sungai tanpa jembatan. Jalan memutar ±10 s.d. 25 km
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan sebagian kecil pemda terkait dengan peningkatan ketersediaan SMP/setara antara lain adalah mendirikan USB SMP negeri berasrama dengan biaya Pemda kabupaten (di satu kabupaten), SMP Terbuka dengan biaya pemerintah Pusat (di satu kabupaten), dan SD-SMP satu atap (Satap) dengan biaya Pemda Kabupaten (di salah satu kabupaten) di wilayah yang belum ada SMP/setara. Selain itu ada beberpa kasus partisipasi masyarakat untuk menyediakan sarana transportasi gratis untuk bersekolah ke SMP. Misalnya ada seorang warga masyarakat secara sukarela menyediakan angkutan gratis pergi-pulang bagi tetangganya untuk bersekolah ke SMP, MTs swasta menyediakan fasilitas antarjemput gratis. Upaya-upaya Pemda dan masyarakat semacam itu perlu dilakukan di daerah-daerah yang kesulitan angkutan. 2. Tingkat Keterjangkauan SMP/Setara dari Segi Biaya Jenis pekerjaan yang dilakukan orangtua lulusan SD yang tidak melanjutkan pada umumnya berkisar pada pekerjaan yang mengandalkan fisik, seperti buruh tani yang mengerjakan sawah/lahan orang lain, buruh perkebunan kelapa sawit, buruh sadap karet, buruh angkut, buruh ternak, buruh nelayan, dan nelayan kecil atau pekerja serabutan lainnya. Hanya sebagian kecil yang bertani mengerjakan lahannya sendiri yang sempit, bahkan ada yang hanya seluas kurang lebih 100 m2. Jenis-jenis pekerjaan tersebut menghasilkan pendapatan yang rendah dan sifatnya tidak tetap. Penghasilan yang rendah tersebut hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan pangan keluarga sehari-hari, bahkan sebagian tidak mencukupi. Selain itu penghasilan yang diperoleh sebagai petani sangat tergantung kepada musim dan hama penyakit, sedangkan bagi nelayan sangat tergantung pada cuaca, dan pekerjaan buruh lainnya bergantung pada keberadaan pekerjaan. Untuk menyekolahkan anak ke SMP/Setara diperlukan biaya operasional langsung, biaya pribadi siswa, dan biaya tidak langsung. Biaya operasional langsung adalah biaya yang dipungut oleh sekolah untuk melaksanakan proses pembelajaran, antara lain meliputi: kesejahteraan guru, bahan dan alat habis pakai (alat tulis, LKS, buku pelajaran, bahan praktek, peralatan olahraga, peralatan kebersihan, dll), biaya daya dan jasa (listrik, air, telepon), dll. Pada sebagian sekolah, biaya tersebut dibebankan pada siswa dalam bentuk uang pangkal bagi siswa baru, iuran komite sekolah, iuran OSIS, uang LKS, uang ujian, uang ulangan, uang les, dll., walaupun pemerintah telah memberikan dana BOS. Biaya pribadi siswa adalah biaya pendidikan untuk keperluan pribadi siswa agar dapat mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Biaya-biaya ini meliputi seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis, buku teks pelajaran, biaya transpor, uang saku, dll. Biaya pribadi ini harus dikeluarkan oleh orangtua siswa. Biaya tidak langsung adalah penghasilan yang tidak jadi diterima karena anak melanjutkan sekolah sehingga tidak bisa membantu orangtua bekerja untuk turut membiayai kebutuhan hidup keluarga. Dalam kondisi ketidakmampuan ekonomi orangtua tersebut, wajar apabila para orangtua tidak mampu menyediakan biaya-biaya tersebut untuk membiayai anaknya melanjutkan ke SMP/setara. Biaya operasional langsung yang umumnya tidak terjangkau adalah iuran komite dan biaya LKS pada sebagian sekolah yang memungutnya. Biaya pribadi yang paling memberatkan bagi hampir semua orangtua adalah seragam dan perlengkapan sekolah, transpor, dan uang saku. Orangtua yang tidak mampu menanggung biaya tidak langsung merupakan kelompok orangtua lebih miskin dibanding orangtua yang hanya tidak mampu menyediakan biaya operasional langsung dan biaya pribadi. Dalam kondisi tersebut, upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat, masyarakat sekitar, dan sekolah. Upaya yang dilakukan Pemda untuk meringankan biaya langsung antara lain adalah memberikan bantuan tambahan dana BOS (BOSDA) ke sekolah sesuai kemampuan Pemda, bantuan Gubernur untuk menyediakan perlengkapan sekolah, dan bantuan beasiswa bagi siswa miskin menambah kuota dari Pusat. Sayangnya, informasi beasiswa ini diberikan kepada siswa yang telah masuk SMP sehingga tidak sampai pada orangtua lulusan SD yang tidak melanjutkan. Selain itu, beberapa sekolah di sejumlah kecil kabupaten mencarikan bantuan beasiswa dari beberapa yayasan/lembaga keagamaan maupun perusahaan yang ada di sekitar sekolah. Upaya tersebut masih dilakukan sporadis pada sejumlah kecil kabupaten yang jumlah penerimanya pun masih jauh dari mencukupi.
Sedangkan upaya untuk mengatasi biaya tidak langsung, Pemerintah telah merintis pemberian bantuan conditional cash transfer (CCT) untuk mengupayakan agar anak tidak harus bekerja untuk membantu memnuhi kebutuhan keluarga. Diharapkan CCT ini diperluas khusus untuk orangtua yang anaknya harus bekerja sehingga tidak bisa melanjutkan ke SMP/setara. 3. Aspirasi dan Motivasi Siswa untuk Melanjutkan serta Aspirasi dan Motivasi Orang Tua Menyekolahkan Anaknya ke SMP/MTs Aspirasi dan motivasi lulusan SD/MI untuk melanjutkan serta aspirasi dan motivasi orangtua lulusan untuk menyekolahkan anaknya ke SMP beragam. Sebagian lulusan memiliki aspirasi pendidikan dan motivasi untuk melanjutkan yang tinggi, demikian pula orang tuanya, namun sebagian lainnya memiliki kondisi sebaliknya. Bagi lulusan dan orangtuanya yang aspirasi dan motivasi pendidikannya tinggi, faktor-faktor yang berhubungan dengan tidak melanjutkannya lulusan ke SMP/MTs./setara pada umumnya adalah ketidakmampuan ekonomi dan selain itu sebagian ada yang ditambah dengan jauhnya jarak dari rumah ke sekolah. Kelompok masyarakat ini sedemikian miskinnya, sehingga sebagian besar penghasilan dibelanjakan untuk makan sehari-hari. Ketidakmampuan ekonomi ini terdiri dari dua jenis, yaitu ketidakmampuan membiayai biaya langsung dan biaya tidak langsung. Orang tua yang tidak mampu menyediakan biaya tidak langsung merupakan kelompok masyarakat yang lebih miskin dibanding para orang tua yang tidak mampu menyediakan biaya langsung saja. Dengan demikian, orang tua yang tidak mampu menyediakan biaya tidak langsung, kecenderungannya tidak mampu pula menyediakan biaya langsung. Selanjutnya, sebagian lulusan dan orang tua yang memang aspirasi dan motivasi pendidikannya rendah. Rendahnya aspirasi dan motivasi pendidikan ini dipengaruhi oleh kurang luasnya wawasan dan pengetahuan orang tua tentang kemungkinan-kemungkinan yang ada di luar desanya terkait dengan pendidikan anak yang lebih tinggi. Walaupun pada umumnya orang tua yang aspirasi dan motivasi pendidikannya rendah tersebut juga memiliki pendidikan yang rendah (lulus SD atau tidak lulus atau tidak sekolah sama sekali), namun kurang luasnya wawasan orang tua dan lulusan tersebut lebih terkait dengan rendahnya akses terhadap informasi dari dunia luar, yaitu dunia di luar desanya. Bagi lulusan dan orangtuanya yang memiliki aspirasi dan motivasi pendidikan yang rendah, upaya yang perlu dilaksanakan adalah memperluas wawasan mereka dengan menyediakan akses ke dunia luar. Sarana akses ke dunia luar yang dapat dijangkau adalah media elektronika, yaitu televisi atau pada kelompok yang lebih miskin adalah radio, bukan media cetak. (Program koran masuk desa kiranya tidak tepat untuk kelompok maysarakat ini). Dengan demikian, peningkatan aspirasi dan motivasi pendidikan perlu dilakukan melalui
siaran-siaran televisi dan radio yang berisi pesan-pesan pendidikan yang sesuai dengan kondisi masing-masing lokasi yang disampaikan dengan bahasa lokal. Namun demikian perlu dicatat bahwa sekedar memberikan sosialisasi nampaknya tidak lagi mempan karena kelompok masyarakat bawah ini memerlukan bukti nyata. Misalnya, ketika mereka diminta menyekolahkan anaknya ke SMP/setara, maka seharusnya SMP/setara tersebut ada dalam jangkauan jalan kaki ulang-alik anak umur 13-an tahun dan juga tidak memungut biaya dan juga tidak memberatkan orang tua dalam penyediaan pakaian seragam dan perlengkapan sekolah. Selanjutnya bagi lulusan dan orang tuanya yang aspirasi dan motivasi pendidikannya sudah tinggi, upaya yang perlu dilakukan perlu dipisah antara orang tua yang kesulitan menyediakan biaya langsung dan yang kesulitan menutup biaya tidak langsung. Bagi orang tua yang hanya kesulitan membiayai biaya langsung yang berupa seragam sekolah, maka terdapat dua alternatif. Alternatif pertama, penyediaan pakaian seragam, sepatu, dan tas layak pakai bagi siswa tidak mampu. Namun ini hanya berlaku untuk kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan untuk itu. Alternatif ke dua, meninjau kebijakan pakaian seragam. Pakaian seragam semula dirancang untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antar-siswa. Namun demikian, kalau kesenjangannya adalah antara yang mampu menyediakan pakaian seragam dan yang tidak mampu, maka alasan tadi tidak berlaku lagi, dan selayaknya kebijakan pakaian seragam tersebut dihapus. Bagi orang tua yang tidak mampu menyediakan biaya tidak langsung, artinya yang mengharapkan bantuan anaknya untuk mencari nafkah, maka pengurangan biaya langsung tadi tidak ada dampaknya. Agar lulusan SD/Mi tidak perlu membantu orang tuanya yang memang memerlukan bantuan, dalam banyak kasus dapat diupayakan dengan menyediakan bantuan dana bagi orang tua yang memerlukan tenaga anaknya untuk mencari nafkah. Program conditional cash transfer yang telah mulai dilaksanakan diharapkan terfokus pada orang tua yang betul-betul mengharapkan tenaga anaknya untuk mencari nafkah, tidak pada orang tua yang ketidakmampuannya hanya adalam menyediakan biaya langsung. 4. Pengaruh Faktor Budaya terhadap Tingkat melanjutkan ke SMP/MTs Permasalahan budaya yang muncul pada sebagian besar wilayah yaitu adanya anggapan bahwa anak perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi dengan berbagai alasan, sehingga orangtua lebih mengutamakan anak laki-laki untuk melanjutkan sekolah. Sebagian lagi adanya budaya berpindah-pindah (nomaden) bagi suku tertentu yang tinggal di hutan. Bagi anak dari keluarga ini kepindahan orangtuanya
menjadikan anak sulit untuk melanjutkan ke SMP/setara, karena di tempat yang baru tidak tersedia SMP/setara. Hal ini dipersulit oleh lokasi tempat tinggal yang berada di hutan. Upaya terbatas yang telah dilakukan oleh anggota masyarakat tertentu adalah dengan menyediakan semacam sekolah kecil di hutan yang disebut “sekolah rimba”. Pemberian pendidikan layanan khusus (PLK) ini perlu diperluas oleh Pemda yang memiliki suku-suku terasing. Ada lagi sebagian penduduk yang memiliki tradisi merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Pada kasus ini para perantau lulusan SD/setara tadi tidak berusaha untuk melanjutkan ke SMP/setara setibanya di tempat perantauan. Diharapkan baik Pemda yang kedatangan perantau semacam ini dan Pemda pengirim perantau berkoordinasi untuk memotivasi orangtua dan meminta majikan memasukkan lulusan SD/setara tersebut ke SMP Terbuka atau Paket B terdekat. Budaya lainnya adalah gaya hidup hedonisme (mencari kepuasan sesaat) pada sekelompok masyarakat nelayan (sumber daya alam melimpah) dan buruh serabutan yang disebabkan oleh kemudahan mencari penghasilan yang dibelanjakan secara konsumtif termasuk minuman keras yang menjadikan lulusan SD/setara malas untuk melanjutkan. Upaya yang diperlukan adalah memperluas wawasan orangtua dan anaknya tentang adanya kemungkinan kehidupan yang lebih baik di luar desa mereka dengan pendidikan yang lebih tinggi. Adanya budaya kasta pada kelompok masyarakat tertentu yang merugikan kasta terendah, karena setiap perbuatan mereka termasuk menyekolahkan anak ke SMP/setara harus seijin tuannya dan belum tentu semua tuan memberikan ijin. Di sisi lain lulusan SD/setara dari kasta tertinggi yang tidak melanjutkan ke SMP/setara karena harus menggantikan pekerjaan ayahnya (mengelola kekayaan), dan rendahnya kesadaran untuk melanjutkan pendidikan karena menikmati status sebagai bangsawan, serta anak bangsawan yang mengalami kebangkrutan karena salah mengelola asset keluarga. Upaya yang diperlukan adalah memberikan pemahaman kepada kasta bangsawan bahwa pendidikan yang lebih tinggi akan meningkatkan produktivitas kerja pekerjanya. Selain itu perlu dilakukan sosialisasi baik kepada bangsawan maupun hambanya tentang pendidikan sebagai bagian dari hak azasi manusia. Upaya-upaya tersebut perlu dilengkapi dengan penyediaan layanan pendidikan SMP/setara yang bebas biaya di lokasi tempat tinggal mereka. Adanya kebiasaan untuk lebih mementingkan pendidikan agama dibandingkan dengan pendidikan umum, seperti menyuruh anak mengaji di mesjid atau surau, atau memasukan anaknya ke pondok pesantren. Upaya yang perlu dilakukan adalah melengkapi pesantren dengan program Wustho setara MTs dan mendirikan
TKB SMP Terbuka di lokasi pengajian seperti mesjid dan surau, serta mengkoordinasikan pengelolaannya. Selain itu, di salah satu lokasi terdapat budaya pernikahan dini yang menyebabkan banyak lulusan SD/setara perempuan tidak melanjutkan ke SMP/setara. Upaya yang perlu dilakukan adalah memberikan kesempatan pendidikan SMP/setara bagi perempuan lulusan SD/setara yang sudah menikah pada usia sekolah sebagai salah satu bentuk pemenuhan hak azasi manusia, antara lain mengembangkan pendidikan layanan khusus pada tingkat SMP/setara bagi mereka.