SESTODOSIS DAN SERANGGA YANG BERPOTENSI SEBAGAI INANG ANTARA PADA AYAM RAS PETELUR KOMERSIAL DI DAERAH BOGOR
ELOK BUDI RETNANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Sestodosis dan Serangga yang Berpotensi sebagai Inang Antara pada Ayam Ras Petelur Komersial di Daerah Bogor adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Maret 2010
Elok Budi Retnani NRP. B063040011
i
ABSTRACT ELOK BUDI RETNANI. Cestodes Infection on Commercial Caged Layer Chickens and Their Intermediate Host In Bogor Region. Under the guidance FADJAR SATRIJA, UPIK KESUMAWATI HADI, and SINGGIH HARSOYO SIGIT. A cross-sectional study was conducted to determine the prevalence of cestodes and cysticercoids infection and their risk factors of the infections in commercial caged-layer chickens in Bogor Region, West Java during two months from June to July 2006. A total of 202 chicken samples, 3085 Musca domestica, and 2651 Alphitobius diaperinus were randomly selected from ten commercial cagedlayer chicken farms situated in sub-district of Parung, Kemang, Gunung Sindur, Rumpin, Cigudeg, and Nanggung. The chicken were sacrificed to collect adult tapeworm in the intestine for identification of species and worm burdens. The beetles anf flies were dissected to collect metacestodes (cystisercoids). Prevalence of cestodosis/cysticercoidosis and risk factors of the infections associated with climatic regions, layer production managements were statistically analized by Chi- square, T-test, oneway variance analysis, and non-parametric Kruskal Wallis test. The risk factors assumption included host factors, farm environment and management characteristic were analized by logistic regression. The study indicated that 50 (24.75%) of the examined chickens were infected by three genera of cestodes. The genera recovered include Raillietina (58,70%) that were R. echinobothrida, R. tetragona, R. cesticillus, Choanotaenia infundibulum (39,13%), and Hymenolepis cantaniana (2,17%). There was a statistically significant difference (P<0.05) in the prevalence rate both of cestodosis and cysticercoidosis between the different areas. This suggests that production system and manure or anthelmintic treatment management have influence on the cestodes and cysticercoidosis infection. Logistic regression model showed that cestodes infection risk association (P<0,01) to host age and population groups, (P<0,05) to dry climate condition and open house farm management characteristic. It was also suggested that chicken >50 months have higher risk (OR=5.6) than <20 months host age, dry climate condition have higher risk (OR=3.75) than wet, and open house farm management have higher risk (OR=27.24) than close house on the cestodes infection, and >65 thousand hosts population have higher risk (OR=2,72) than ≤65 thousand hosts population. Management of manure disposal, anthelmintic treatment as the risk factors of cysticercoids infection in M. domestica. The result of experimental infection proved that M. domestica as intermediate host of chicken cestodes (Raillietina and Choanotaenia) in commercial caged-layer chickens but A.diaperinus have not been confirmed. There were different profile in cysticercoids whole worm extract between individual of M. domestica, therefore this was not usefull for cestodes identification in natural infection. Key words
: Cestodes, caged-layer chickens, Cysticercoids, intermediate hosts, infection risk factors, Odds-Ratio, protein profile, SDSPAGE, Bogor.
ii
RINGKASAN ELOK BUDI RETNANI. Sestodosis dan Serangga yang Berpotensi Sebagai Inang Antara pada Ayam Ras Petelur Komersial di Daerah Bogor. Dibawah bimbingan FADJAR SATRIJA, UPIK KESUMAWATI HADI, dan SINGGIH HARSOYO SIGIT. Sestoda adalah cacing pita stadium dewasa dalam usus inang definitif. Adapun metasestoda (di antaranya terdapat tipe sistiserkoid) adalah stadium larva sestoda dalam tubuh inang antara. Nama penyakit yang disebabkan oleh infeksi sestoda disebut sestodosis, sedangkan oleh metasestoda disebut metasestodosis atau sistiserkoidosis pada tipe larva sistiserkoid. Dalam dekade terakhir ini sestodosis menjadi masalah pada ayam ras petelur komersial yang menyebabkan penurunan produksi telur sangat nyata. Kompleksitas biologi sestoda dan inang antara yang berperanan adalah salah satu penyebab kesulitan dalam pengendaliannya. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jenis sestoda dan inang antaranya, mempelajari faktor-faktor risiko kejadian sestodosis/sistiserkoidosis, dan teknik identifikasi sistiserkoid dengan membandingkan profil protein whole worm extract cacing dewasa dengan sistisekoid yang ditemukan dari serangga. Penelitian dilakukan dengan metode Cross-sectional selama dua bulan yaitu pada bulan Juni dan Juli 2006, meliputi tahapan observasi lapangan, dan laboratorium. Beberapa dugaan faktor risiko terjadinya infeksi sestoda dikelompokkan berdasarkan faktor inang (berat badan, umur, ras, populasi, dan pemeliharaan kutuk), iklim, dan tata laksana peternakan (sistem dan struktur kandang, pemberian antelmintika, pembuangan manur). Observasi laboratori bertujuan untuk menjelaskan peranan kumbang Alphitobius diaperinus dan lalat Musca domestica sebagai inang antara sestoda melalui infeksi coba sistiserkoid asal lapangan pada ayam coba. Analisis profil protein whole worm extract sistiserkoid dan sestoda bertujuan untuk mempelajari identifikasi pada stadium sistiserkoid yang diharapkan dapat menduga bahwa sistiserkoid lapangan merupakan stadium larva sestoda yang ditemukan pada ayam. Sebanyak 202 ekor sampel ayam, 3085 ekor lalat M. domestica, dan 2651 ekor kumbang A. diaperinus dikumpulkan dari 10 peternakan ayam ras petelur komersial di Kecamatan Parung, Kemang, Gunung Sindur, Rumpin, Cigudeg, dan Nanggung di daerah Bogor. Ayam dikurbankan untuk mengumpulkan sestoda dari ususnya, lalat dan kumbang dibedah untuk mengumpulkan sistiserkoid dari rongga tubuhnya. Jumlah ayam, lalat, kumbang yang terinfeksi serta jumlah sestoda/sistiserkoid pada setiap individu yang terinfeksi dihitung untuk mengetahui tingkat kejadiannya. Sestoda diidentifikasi berdasarkan morfologi dan morfometri skoleks, proglotida dewasa dan gravid untuk mengetahui keragaman jenis sestoda yang ditemukan. Sistiserkoid dibagi menjadi dua kelompok untuk perlakuan infeksi coba dan identifikasi profil protein. Jenis-jenis sestoda yang ditemukan pada setiap dan antar peternakan dianalisis secara deskriptif. Pengaruh faktor-faktor asal inang (umur, kelompok populasi, adanya ayam kutuk, dan ras ayam), tipe iklim, dan tata laksana peternakan (sistem pemeliharaan terbuka dan tertutup, struktur bangunan kandang, pemberian antelmintika, dan pembuangan manur) terhadap kejadian sestodosis/sistiserkoidosis di uji dengan Chi-square. Perbedaan derajat infeksi serta distribusi infeksi setiap
iii
jenis sestoda antar peternakan dianalisis dengan uji T dan analisis ragam satu arah serta uji non parametrik Kruskal Wallis. Adapun untuk mengetahui besarnya pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap kejadian sestodosis/sistiserkoidosis dianalisis dengan Regresi Logistik. Hasil pengamatan dari total 202 ekor ayam, sebanyak 50 ekor (24,75%) terinfeksi oleh tiga genus sestoda yaitu Raillietina (58,70%) terdiri dari Raillietina echinobothrida, Raillietina tetragona, Raillietina cesticillus, dan Choanotaenia infundibulum (39,13%), dan Hymenolepis cantaniana (2,17%). Total prevalensi sestodosis pada ayam sebesar 24,75%, dengan kisaran rataan derajat infeksi sebesar 0,273±0,905 hingga 17,913±53,954 sestoda setiap ayam.Total prevalensi sistiserkoidosis pada lalat M.domestica sebesar 0,68%, dengan kisaran rataan derajat infeksi sebesar 0,010±0,196 hingga 0,319±3,208 sistiserkoid setiap lalat, dan total prevalensi sistiserkoidosis pada kumbang A.diaperinus sebesar 6,53%, dengan kisaran rataan derajat infeksi sebesar 0,039±0,409 hingga 4,060±19,470 sistiserkoid tiap kumbang. Umur dan populasi ayam, tipe iklim area peternakan, dan tata laksana bangunan kandang merupakan faktor risiko kejadian sestodosis pada ayam. Ayam yang berumur lebih dari 50 minggu berisiko lebih tinggi terinfeksi sestoda dibandingkan dengan ayam yang berumur kurang dari 20 minggu (OR=5,06). Peternakan dengan populasi ternak sebesar lebih dari 65 ribu ekor berisiko lebih tinggi terinfeksi sestoda dibandingkan dengan populasi kurang atau sama dengan 65 ribu ekor ayam (OR=2,72). Area peternakan dengan tipe iklim kering berisiko lebih tinggi terinfeksi sestoda dibandingkan dengan ayam di area peternakan beriklim basah (OR=3,75). Tata laksana kandang terbuka berisiko lebih tinggi terinfeksi sestoda dibandingkan dengan kandang tertutup (OR=27,24). Tipe iklim area peternakan, populasi ternak, dan tata laksana kandang bukan merupakan faktor risiko kejadian sistiserkoidosis pada lalat. Lalat M. domestica di peternakan dengan tata laksana pembuangan manur yang tidak teratur dan dibuang secara otomatis berisiko lebih rendah terinfeksi sistiserkoid dibandingkan dengan yang membuang manur dua bulan sekali (OR=0,03 dan OR=0,21). Lalat M.domestica di peternakan dengan tata laksana pemberian antelmintik secara periodik tiga bulan sekali dan sejak pulet-awal naik kandang baterei, menjelang puncak produksi, dan periodik setiap enam bulan sekali berisiko lebih rendah terinfeksi sistiserkoid dibandingkan dengan pemberian pada awal naik kandang baterei dan menjelang puncak produksi (OR=0,03 dan OR=0,21). Tipe iklim area peternakan, populasi ternak, dan tata laksana pembuangan manur dan pemberian antelmintika, serta struktur bangunan kandang merupakan faktor risiko kejadian sistiserkoidosis pada kumbang kecuali tata laksana kandang. Kumbang A.diaperinus di area peternakan bertipe iklim kering berpeluang lebih rendah (OR=0,24) terinfeksi sistiserkoid. Risiko sistiserkoidosis yang rendah terjadi pada populasi ternak >90 ribu ekor (OR=0,19) dan 70-90 ribu ekor (OR=0,36), sedangkan pada populasi 50-70 ribu ekor berisiko lebih tinggi (OR=2,63) dibandingkan dengan populasi 30-50 ribu ekor. Sistiserkoidosis di peternakan dengan tata laksana pembuangan manur yang tidak teratur dan dibuang secara otomatis berisiko lebih tinggi (OR=8,12 dan OR=5,42) dibandingkan dengan yang membuang manur dua bulan sekali. Kumbang A.diaperinus di peternakan dengan tata laksana pemberian antelmintik secara periodik tiga bulan sekali, sejak pulet-awal naik kandang baterei-menjelang puncak produksi-periodik setiap enam bulan sekali,
iv
dan jika ditemukan infeksi berisiko lebih tinggi terinfeksi sistiserkoid (berturut-turut OR=5,63; OR=1,04; OR=5,45) dibandingkan dengan pemberian pada awal naik kandang baterei-menjelang puncak produksi, sedangkan risiko tertinggi (OR=20,94) terjadi pada pemberian sejak pulet-awal naik kandang baterei-menjelang puncak produksi-periodik setiap tiga bulan sekali. Hasil infeksi sistiserkoid asal M.domestica pada ayam coba menunjukkan bahwa lalat M. domestica merupakan inang antara Raillietina dan Choanotaenia. Adapun hasil infeksi sistiserkoid asal A.diaperinus pada ayam coba menunjukkan bahwa kumbang A. diaperinus belum terbukti sebagai inang antara sestoda pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor. Sistisekoid yang ditemukan pada A.diaperinus merupakan stadium metasestoda dari sestoda tikus yaitu Hymenolepis. Gambaran pita protein whole worm extract sistiserkoid hasil analisis elektroforesis menunjukkan bahwa sistiserkoid dari individu inang antara yang berbeda memiliki profil pita yang berbeda, demikian pula antara sistiserkoid dan sestoda. Dengan demikian profil pita protein sistiserkoid hasil infeksi alami pada inang antara tidak dapat digunakan untuk menduga jenis sestoda ayam yang terinfeksi alami di lingkungan peternakan. Kata kunci
: Sestoda, ayam ras petelur komersial, sistiserkoid, inang antara, faktor-faktor risiko infeksi, Odds-Ratio, Bogor.
v
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vi
SESTODOSIS DAN SERANGGA YANG BERPOTENSI SEBAGAI INANG ANTARA PADA AYAM RAS PETELUR KOMERSIAL DI DAERAH BOGOR
ELOK BUDI RETNANI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
vii
Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup: 1 Dr. Drh. Susi Soviana, M.Si. (Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor) 2
Drh. Suhardono, MVSc., Ph.D. (Balai Besar Penelitian Veteriner, Departemen Pertanian, Republik Indonesia)
Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka: 1 Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, M.S. (Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor) 2
Prof. Dr. Drh. Nyoman Sadra Dharmawan, M.S. (Laboratorium Patologi Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana)
i
Judul Disertasi
: Sestodosis dan Serangga yang Berpotensi sebagai Inang Antara pada Ayam Ras Petelur Komersial di Daerah Bogor
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: Elok Budi Retnani : B063040011 : Sains Veteriner
Disetujui: Komisi Pembimbing
Drh. Fadjar Satrija, MSc., PhD. Ketua
Drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S., Ph.D. Anggota
Prof. Dr. Drh. Singgih Harsoyo Sigit, M.Sc. Anggota
Diketahui: Ketua Program Studi Sains Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Drh.Bambang.P.Priosoeryanto,M.S., Ph.D. Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,M.S.
Tanggal Ujian: 14 April 2010
Tanggal Lulus:
i
PRAKATA Allah Subhanallahu wata’ala, atas Keagungan, Kekuasaan, Limpahan Kasih Sayang, Rakhmat, Hidayah, dan semua Kebesarannya, hati menjadi lapang dan ikhlas, pikiran menjadi jernih, cahaya Illahi menjadi penerang dalam melangkah menuju Ridhonya. Rasa syukur senantiasa dipanjatkan Kehadirat Illahi Rabbi, atas IzinNYA penulis dapat menyelesaikan penelitian hingga penulisan disertasi yang berjudul “Sestodosis dan Serangga yang Berpotensi sebagai Inang Antara pada Ayam Ras Petelur Komersial di Daerah Bogor”. Bagi penulis, pembimbing-pembimbing dalam disertasi ini adalah Pembimbing Utama. Penulis tidak mampu membalas dengan apapun kecuali mengamalkan ilmu yang diberikan kepada penulis. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada yang terhormat Prof. Drh. Singgih Harsoyo Sigit, M.Sc., Ph.D., Drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S., Ph.D., dan Drh. Fadjar Satrija, M.Sc., Ph.D., atas dedikasi, curahan waktu, tenaga, buah pikiran, nasehat-nasehat,
serta arahan-arahannya, sejak perencanaan dan selama
berlangsungnya penelitian hingga menyelesaikan penulisan disertasi. Pada kesempatan ini juga disampaikan rasa terimakasih kepada yang terhormat Dr. Drh. Susi Soviana, M.S. dan Drh. Suhardono, MVSc., Ph.D. sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup, serta yang terhormat Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan. M.S. dan Prof. Dr. Drh. Nyoman Sadra Dharmawan, M.S. sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka Ujian Doktor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pertanyaan-pertanyaan, saran-saran, kritik serta koreksinya sangat berharga dalam menyempurnakan disertasi ini sehingga bobotnya bertambah. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dekan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Boogor, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, serta Ketua Program Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti studi program doktor. Penulis mengucapkan terimakasih atas biaya yang diberikan selama studi, terselenggaranya penelitian hingga penyelesaian disertasi ini kepada Program Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Direktorat Pendidikan Tinggi
x
Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2004-2007, Program Penelitian Hibah A3 Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Tahun 2006, Program Hibah Pascasarjana Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Tahun 20082009. Terimakasih atas jasa Drh. Trioso Poernawarman, M.S., Drh. Syaiful Akhyar, dan Drh. Hananto Bantoro, atas saran serta sumbangan pikirannya sebelum dan selama persiapan observasi lapangan. Kepada Pemerintahan Kabupaten Bogor, Dinas Peternakan dan Perikanan, Subdit Kesehatan Hewan, khususnya Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Wilayah Kecamatan Leuwisadeng, Nanggung, Cigudeg, Cibinong, Parung, Kemang, Gunung Sindur, dan Rumpin serta para peternak ayam petelur komersial di lingkungan kecamatan tersebut, atas ijin dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian lapangan. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Drh. I Wayan Batan, M.S. beserta jajaranya dalam menyetujui dua artikel yang merupakan bagian dari disertasi untuk dapat dimuat dalam Jurnal Veteriner edisi tahun 2007 dan 2009. Terimakasih kepada Dr. Kerry A. Padgett, Associate Public Health Biologist California Department of Health Services, Dr. Grace Y. Lee, Staff Research Associate VM: Pathology, Microbiology, and Immunology also Wildlife Health Center University of California, Dr. Allen W. Shostak, Department of Biological Sciences, University of Alberta, Canada, atas pengiriman beberapa artikelnya yang bermanfaat sebagai acuan pustaka. Saudara Ir. Roes Daryadi, terimakasih atas waktu dan tenaganya berkenaan dengan analisis statistik, demikian pula kepada saudara Dewi Asmita atas jasanya dalam analisis protein sistisekoid dan sestoda. Ucapan terimakasih serta penghargaan juga disampaikan kepada saudara Sulaiman, saudara Kosasih, dan ibu Irawati atas dedikasi dan kesetiaannya mendampingi penulis selama penelitian di laboratorium. Kepada ananda Erna Tetti Sinaga SKH, Drh. Efni Sartika, Drh. Cynthia Dewi, Drh. Dewi Angraeny, Drh. Ludi Nurmala, terimakasih atas kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian. Terimakasih yang tak terhingga atas sumbangan moril maupun materiil berupa ilmu pengetahuan yang bermanfaat, kasih sayang serta dorongan semangat, dari sahabat-sahabat yang sangat baik, Dr. Drh. Risa Tiuria, M.S., Dr. Drh. Yusuf
xi
Ridwan, M.Si., Drh. Tri Isyani Tungga Dewi, Dr. Drh. Hj. Lili Zalizar, M.S., Dr. Drh. Hj. Ita Juita, M.Phil., Dr. Drh. Hj. Sri Murtini, M.Si., Dr. Drh. Enny Tantini Setiatin, M.Sc., Dr. Drh., Savitri Novelina, M.Si. Rasa terima kasih juga disampaikan kepada sahabatsahabat yang tidak mungkin disebut satu persatu atas kebaikan dan ketulusan perhatiannya. Kepada ayahanda dan ibunda tercinta, H.R.M. Sumbogo Bintoro dan R.A. Sasanti (Almh.), penulis tidak akan dapat mengganti dengan apapun seluruh pengorbanan serta kasih sayangnya yang tulus dalam mendidik dan memberi tauladan untuk menjadi seseorang yang harus bertanggung jawab dalam hal apapun. Ayahanda dan ibunda tercinta, H. Suncoko Isman (Alm) dan Hj. Sumartini Suncoko, doa-doanya sungguh menjadi penguat bagi penulis. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan kebahagiaan yang hakiki sebagai pahala atas doadoa serta curahan kasih sayangnya. Kakak serta adik-adik tersayang beserta keluarganya, terimakasih atas doa dan kasih sayang serta dorongan semangatnya. Kepada ibu Uum, penulis sangat berterima kasih atas kesetiaan serta doanya dalam mendampingi penulis. Suami tercinta, Ir. Bambang Murdiono, dan buah hati semata wayang, Rizqi Putratama, SKH, terimakasih atas izin, kesabaran, doa serta kasih sayangnya, yang selalu membesarkan hati sebagai pemacu semangat dalam mendampingi penulis hingga menyelesaikan studi. Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, kekurangan-kekurangan dalam penelitian maupun penulisan disertasi ini adalah kekurangan penulis semata. Oleh karena itu kritik dan saran membangun mohon secara langsung disampaikan kepada penulis. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2010 Elok Budi Retnani
xii
RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak ke dua dan anak perempuan pertama dari empat bersaudara, ayah bernama H.R.M. Sumbogo Bintoro dan ibu R.A. Sasanti, dilahirkan di kota Malang pada tanggal 14 April 1959. Pada tahun 1985 penulis menikah dengan Ir. Bambang Murdiono Suncoko dan dikaruniai seorang anak laki-laki Rizqi Putratama. Pendidikan dasar sampai menengah atas diselesaikan di kota kelahiran. Pendidikan sarjana kedokteran hewan dan profesi dokter hewan ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor tahun 1980 hingga awal 1985. Sejak tanggal 1 April 1987 penulis ditetapkan sebagai staf pengajar di Laboratorium Helmintologi, Jurusan Parasitologi dan Patologi, yang sekarang menjadi Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1989 diterima sebagai mahasiswa Magister Sains di Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Sains Veteriner. Pendidikan strata-2 ini diselesaikan pada awal tahun 1993 dengan bantuan beasiswa Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 2004 kembali mendapat kesempatan mengikuti program pendidikan pascasarjana strata3 pada fakultas, program studi, dan sumber beasiswa yang sama. Dalam menekuni bidang parasitologi khususnya helmintologi, penulis terlibat dalam kegiatan-kegiatan penelitian diantaranya penelitian dosen muda IPB (1994-1995); P4M Direktorat Pendidikan Tinggi Depdikbud (1989-1990); DP3M Direktorat Pendidikan Tinggi Depdikbud (1990-1991); Program Penelitian Dasar Direktorat Pendidikan Tinggi Depdikbud (1996-1997); Indonesia Toray Science Foundation (1997-1998); Proyek Hibah Bersaing XI (2004-2006), Program Hibah Kompetisi A3 FKH-IPB (2006-2007); Hibah Kompetensi Angkatan I (20092011). Beberapa tulisan yang berkaitan dengan bidang helmintologi khususnya cacing pita (sestoda) telah dipublikasi pada majalah ilmiah kedokteran hewan (Hemera Zoa): Infektifitas berbagai derajat kematangan proglotida cacing pita Hymenolepis diminuta (Rudolphi) pada Tikus putih Rattus sp. dan Infektifitas
xiii
berbagai derajat kematangan proglotida cacing pita Hymenolepis diminuta (Rudolphi) pada kutu beras Tribolium castaneum (Herbst). Dua tulisan yang merupakan bagian dari disertasi ini telah diipublikasi pada Jurnal Veteriner (Penerbit Universitas Udayana, Bali) berjudul: Prevalensi dan derajat infeksi cacing pita pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor dan Analisis faktorfaktor risiko infeksi cacing pita pada ayam ras petelur komersial di Bogor. Penulis juga aktif mengajar pada program pascasarjana Program Studi Sains Veteriner serta Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH-IPB.
xiv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………............
xviii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xx
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………..........
xxii
1
2
3
PENDAHULUAN ……………………………………………….........
1
1.1 1.2 1.3 1.4
Latar Belakang ……………………………………………......... Tujuan Penelitian ………………………………………….......... Hipotesis ………………………………………………………… Manfaat Penelitian ……………………………………………….
1 3 4 4
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………….............
5
2.1
Sestoda (cacing pita).…………………………………………... 2.1.1 Morfologi………………………………………………... 2.1.2 Siklus hidup………………………………………………
5 5 7
2.2
Sestoda Parasitik pada Ayam Ternak...…………………………. 2.2.1 Jenis-jenis sestoda ... ………………………………….... 2.2.2 Patofisiologi infeksi dan gejala klinis …………………. 2.2.3 Prevalensi sestodosis pada ayam ternak... ……………..
10 10 12 13
2.3
Serangga Sebagai Inang Antara Sestoda …………………….......
17
2.4
Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Sestoda pada Peternakan Ayam Petelur dalam Kandang Baterai………… 2.4.1 Kondisi fisik lingkungan ………………………............... 2.4.2 Keberadaan inang antara………………………………… 2.4.3 Tata laksana peternakan…………………………………. 2.4.4 Perilaku inang……………………………………………. 2.4.5 Pengaruh musim………..………………………………...
19 20 21 22 23 25
BAHAN dan METODE ………………………………………………..
28
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................
28
3.2
Tahapan Penelitian ........................................................................
28
xv
Halaman 3.3
Lokasi Peternakan ......................................................................
28
3.4
Populasi Penelitian .....................................................................
29
3.5
Jumlah dan Pengambilan Contoh ...............................................
29
3.6
Pengamatan Parasitologi ............................................................. 3.6.1 Penghitungan telur cacing tiap gram tinja (ttgt) ………. 3.6.2 Pengumpulan, penghitungan, dan identifikasi sestoda… 3.6.3 Pengumpulan lalat M. domestica ……..……………….. 3.6.4 Pengumpulan kumbang A. diaperinus…………………. 3.6.5 Pengumpulan, penghitungan, dan identifikasi sistiserkoid……………………………………………... 3.6.6 Infeksi coba sistiserkoid lapangan pada ayam, tikus, dan mencit coba ……………………………………….
30 30 30 31 31
3.7
32
Identifikasi Sistiserkoid melalui Karakterisasi Profil Protein Whole Worm Extract (WWE) dengan Metode Sodium Dedocyl Sulfatpolyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE).…….. 3.7.1 Preparasi protein WWE sestoda dan sistiserkoid……… 3.7.2 Karakterisasi protein WWE sestoda dan sistiserkoid…..
33 33 34
Analisis Data …………...............................................................
34
HASIL dan PEMBAHASAN…………………………………………
37
3.8 4
31
4.1
Analisis Faktor-Faktor Risiko Infeksi Cacing Pita pada Ayam Ras Petelur Komersial di Daerah Bogor ……………………… 4.1.1 Kondisi umum fisik dan tata laksana peternakan …….. 4.1.2 Jenis-jenis sestoda yang ditemukan …………………… 4.1.3 Distribusi infeksi berdasarkan jenis sestoda pada setiap peternakan ……………………………………………... 4.1.4 Total prevalensi dan derajat infeksi sestodosis ………... 4.1.5 Pengaruh faktor-faktor ayam, lingkungan, dan tata laksana terhadap prevalensi dan derajat infeksi sestodosis ……………………………………………… 4.1.6 Faktor-faktor risiko yang diduga mempengaruhi tingkat kejadian sestodosis ……………………………………..
37 37 41 45 46
47 51
xvi
Halaman 4.2
4.3
4.4
Potensi Kumbang A. diaperinus sebagai inang antara cacing pita pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor…………………………………………………………... 4.3.1 Prevalensi infeksi sistiserkoid dan derajat infeksi sistiserkoid pada kumbang A. diaperinus …………….. 4.3.2 Pengaruh faktor-faktor ayam, lingkungan, dan tata laksana terhadap prevalensi sistiserkoidosis pada kumbang A. diaperinus………………………………… 4.3.3 Faktor-faktor risiko yang diduga mempengaruhi tingkat kejadian sistiserkoidosis pada kumbang A. diaperinus... 4.3.4 Potensi kumbang A. diaperinus sebagai inang antara cacing pita pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor …………………………………………………..
57 57 60 62 66
71 71 72 74 77
Hasil karakterisasi protein whole worm extract sistiserkoid pada lalat M. domestica dan kumbang A. diaperinus ………….
81
Prospek pengendalian sestodosis pada ayam petelur komersial di Indonesia……………..……………………………………....
87
KESIMPULAN dan SARAN ………………………………………...
91
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………..
93
4.5 5
Potensi lalat Musca domestica sebagai inang antara cacing pita pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor …………….. 4.2.1 Prevalensi dan derajat infeksi sistiserkoid pada M. domestica…………………………………………… 4.2.2 Pengaruh faktor-faktor ayam, lingkungan, dan tata laksana terhadap prevalensi sistiserkoidosis pada M. domestica …………………………………………... 4.2.3 Faktor-faktor risiko yang diduga mempengaruhi tingkat kejadian sistiserkoidosis pada M. domestica…………. 4.2.4 Potensi lalat M. domestica sebagai inang antara cacing pita pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor…………………………………………………...
xvii
DAFTAR TABEL Halaman 11
1
Spesies sestoda yang umum ditemukan pada ayam ternak ……
2
Distribusi infeksi oleh jenis-jenis (genus) sestoda pada setiap peternakan ………………………………………………………
46
Total prevalensi dan rataan derajat infeksi sestoda pada setiap peternakan ………………………………………………………
47
Prevalensi sestodosis menurut faktor inang (umur, populasi, ras), iklim, dan tata laksana peternakan (sistem dan struktur kandang, pemberian antelmintika, pembuangan manur, dan pemeliharaan ayam kutuk) ……………………………………...
48
Nilai crude Odds-Ratio (OR) faktor inang (umur, berat badan, populasi, dan ras), terhadap kejadian infeksi sestoda…………..
53
Nilai crude Odds-Ratio (OR) faktor iklim (basah dan kering) terhadap kejadian infeksi sestoda……………………………….
53
Nilai crude Odds-Ratio (OR) faktor tata laksana peternakan terhadap kejadian infeksi sestoda ………………………………
54
Nilai adjusted Odds-Ratio (OR) faktor risiko umur, berat badan, populasi ayam, iklim, dan sistem kandang terhadap tingkat kejadian sestodosis……………………………………...
55
Nilai adjusted Odds-Ratio (OR) faktor risiko umur dan berat badan ayam, iklim, serta tata laksana sistem kandang dan pemberian antelmintika terhadap tingkat kejadian sestodosis….
56
Total prevalensi dan rataan derajat infeksi sistiserkoidosis pada lalat M. domestica di setiap peternakan ……….………………
58
Prevalensi sistiserkoidosis pada lalat (M. domestica) menurut faktor populasi ayam, iklim, dan tata laksana peternakan (sistem kandang, pemberian antelmintika, dan pembuangan manur) …………………………………………………………..
63
Nilai crude Odds-Ratio (OR) faktor populasi ayam terhadap kejadian sistiserkoidosis pada lalat (M. domestica)…….……...
64
Nilai crude Odds-Ratio (OR) faktor tipe iklim area peternakan terhadap kejadian sistiserkoidosis pada lalat (M. domestica)…..
64
3 4
5 6 7 8
9
10 11
12 13
xviii
Halaman 14
15 16 17
18 19
20 21 22
23
Nilai crude Odds-Ratio (OR) faktor tata laksana kandang, pembuangan manur, dan pemberian antelmintika terhadap kejadian sistiserkoidosis pada lalat (M. domestica)…………….
65
Deskripsi sistiserkoid hasil bedah lalat M. domestica dengan morfometri skoleks dan batil hisap……………………………...
68
Deskripsi sistiserkoid hasil bedah lalat M. domestica (tanpa morfometri)……………………………………………............... . Deskripsi sistiserkoid hasil bedah lalat M. domestica dan hasil infeksi coba pada ayam ………………………………….……...
68
69
Total prevalensi dan rataan derajat infeksi sistiserkoid pada kumbang A. diaperinus setiap peternakan …………….………
72
Prevalensi sistiserkoidosis pada A. diaperinus menurut faktor populasi ayam, iklim, dan tata laksana sistem dan struktur kandang, pemberian antelmintika, dan pembuangan manur……………………………………………………………
73
Nilai crude Odds-Ratio (OR) faktor populasi ayam terhadap kejadian sistiserkoidosis asal A. diaperinus……...…….………
75
Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor tipe iklim area peternakan terhadap kejadian sistiserkoidosis asal A. diaperinus ………….
75
Nilai crude Odds-Ratio (OR) faktor struktur dan tata laksana kandang, pembuangan manur, pemberian antelmintika terhadap kejadian sistiserkoidosis (A. diaperinus) …………...…………..
76
Deskripsi sistiserkoid hasil bedah A. diaperinus dan hasil infeksi coba pada ayam, tikus, dan mencit ……………………..
80
xix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Siklus hidup sestoda ayam………………………………………
8
2
Bagan alur pengumpulan sampel ayam, manur, dan serangga tersangka inang antara ………………………………………….
35
3
Bagan alur perlakuan setiap ekor sampel ayam dan manur…….
35
4
Bagan alur infeksi sistiserkoid lapangan pada ayam dan tikus coba……………………………………………………………...
36
Bagan alur analisis profil protein WWE sistiserkoid dan sestoda asal peternakan…………………………………….…...
36
6
Peternakan ayam petelur sistem terbuka (open house) …………
39
7
Peternakan ayam petelur sistem kandang tertutup (close house)
39
8
Beberapa bentuk dan kedalaman pitfall ………………………...
40
9
Raillietina yang ditemukan ……………………………………..
43
10
Choanotaenia infundibulum yang ditemukan …………………..
44
11
Hymenolepis cantaniana yang ditemukan ……………………..
45
12
Prevalensi sestodosis menurut faktor inang (umur, populasi, dan ras ayam), dan iklim (basah dan kering)……………………
49
Prevalensi sestodosis menurut faktor tata laksana peternakan (sistem dan struktur kandang, pemberian antelmintika, waktu pembuangan manur, dan adanya pemeliharaan kutuk)………...
50
Hipotesis berbagai stadium perkembangan sistiserkoid hasil bedah lalat M. domestica ……………………………………….
67
Sestoda hasil infeksi sistiserkoid M. domestica pada ayam coba……………………………………………………………..
70
Sistiserkoid hasil bedah A. diaperinus…………………...……..
79
5
13
14
15
16
xx
Halaman 17
18 19
Sestoda hasil infeksi sistiserkoid A. diaperinus pada tikus coba…………………………………………………………….
80
Gambaran pita-pita protein sestoda dan sistiserkoid hasil elektroforesis……………………………………………………
83
Interpretasi hasil elektroforesis………………………………….
84
xxi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Penghitungan Odds-Ratio……………………………………..
107
2 3
Pembuatan dan prosedur pewarnaan sestoda………………… Pembuatan reagen SDS-PAGE………………………………..
109 111
4
Naskah publikasi 1…………………………………………….
114
5
Naskah publikasi 2…………………………………………….
115
6
Data curah hujan wilayah Kabupaten Bogor………………….
116
xxii
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perunggasan merupakan satu di antara sumber utama protein asal ternak di Indonesia sehingga mempunyai prospek pasar yang sangat baik. Hal ini didukung oleh sifat produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya, harga produk relatif murah serta mudah didapat. Tidak mengherankan apabila subsektor peternakan unggas juga memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia sebagai penyumbang kesempatan bekerja, sumber pendapatan masyarakat, perolehan devisa negara, dan sumber pangan asal hewan. Peluang yang menjanjikan ini didukung oleh data FAO (2000) bahwa populasi unggas terus meningkat selama 10 tahun terakhir hingga tahun 2000an yaitu mencapai 14 milyar ekor, sebanyak 75% berkembang pesat di negara-negara berkembang. Ayam ras petelur merupakan satu di antara empat jenis ternak unggas utama yang dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu telur konsumsi paling banyak dipasok oleh ayam ras petelur. Secara total pada tahun 2006 populasi ternak besar maupun kecil mengalami peningkatan, termasuk ternak ayam petelur sebagai sumber penghasil telur konsumsi selain daging. Pada tahun 2006, populasi ayam ras petelur secara kumulatif dalam setahun mencapai 95,5 juta. Selama periode 2004-2006 meningkat terus 3,8%, dan pada tahun 2006 12,6% merupakan peningkatan yang paling besar di antara ternak unggas lainnya setelah pedaging sebagai akibat meningkatnya permintaan masyarakat. Kebutuhan konsumsi telur dalam negeri sebagian besar dipenuhi dari telur ayam ras yang memberi kontribusi sekitar 66% dan meningkat menjadi 80% dari total produksi telur nasional pada tahun 2007. Jika mempelajari data populasi ayam ras petelur di Jawa Barat saja, dalam kurun waktu 2003-2007 mengalami kenaikan (Badan Pusat Statistik 2006). Namun hal ini tidak diikuti oleh kenaikan produksi telur pada tahun yang sama baik dari ayam ras petelur maupun ayam buras. Oleh karena itu dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak sangat
1
diperlukan informasi standar manajemen pemeliharaan, teknologi budidaya ternak, serta pengembangan teknologi pengendalian penyakit secara terpadu (Talib et al. 2007). Ayam ras petelur yang dipelihara dengan sistem kandang baterai memiliki beberapa keuntungan secara ekonomi maupun kesehatan ternak yaitu ruang gerak terbatas, hemat tempat per unit area, ruang dan biaya pakan yang rendah, praktis, mudah dipantau, berisiko kecil terhadap predator, pengaruh luar seperti dingin, panas, dan angin atau kelembaban. Adapun beberapa kerugiannya adalah tingginya risiko kebakaran, peralatan listrik dimakan tikus. Selain itu, risiko penyakit terhadap pekerja dan masyarakat di sekitarnya misalnya gangguan pernafasan karena debu limbah, bau, lalat, dan berbagai bahan kimiawi yang digunakan di peternakan tersebut misalnya desinfektan dan insektisida. Ayam dalam kandang baterai memiliki sedikit kemungkinan memakan serangga yang berpotensi sebagai inang antara sestoda sehingga kemungkinan terinfeksi sestoda kecil. Infeksi oleh cacing pita (sestodosis) pada ternak ayam banyak ditemukan pada ayam buras dengan prevalensi yang cukup tinggi (Sasmita 1980, Susilowati 1990, Inbandiah 1995, Retnani, et al. 2000; 2001). Pada umumnya pemeliharaannya dilakukan secara ekstensif atau diumbar di pekarangan sekitar permukiman sehingga berpeluang besar kontak dengan artropoda yang cocok sebagai inang antaranya. Besar kemungkinan hal ini juga berpotensi sebagai sumber infeksi bagi ayam ras yang perkembangannya semakin pesat. Sekitar sepuluh tahunan terakhir ini banyak keluhan terjadinya sestodosis pada ayam ras petelur komersial. Gejala yang dilaporkan adalah ayam mendadak lesu, diare meluas karena peradangan usus yang berat, sehingga produksi menurun di bawah rata-rata berupa penurunan pertumbuhan dan berat badan, serta produksi daging dan telur. Para praktisi kesehatan unggas juga mengakui kesulitan dalam pengobatannya. Zalizar et al. (2007) melaporkan bahwa infeksi sestoda ditemukan pada enam peternakan ayam ras petelur yang diamati di wilayah sentra peternakan ayam petelur di Kabupaten Bogor. Pada umumnya infeksi cacing saluran pencernaan mudah didiagnosis melalui pemeriksaan tinja. Kesulitan mendeteksi sestodosis disebabkan karena tidak semua cacing pita stadium dewasa mengeluarkan telur bersama tinja inang namun melepaskan proglotida gravid dengan interval waktu pengeluaran yang sangat tidak
2
teratur. Oleh karena itu hanya melalui nekropsi akurasi diagnosis sestodosis dapat tercapai. Kendala dalam teknik diagnosis ini menyebabkan sulitnya menentukan strategi pengobatan yang diantaranya mengakibatkan angka prevalensi sestodosis tetap tinggi. Mengingat jangka waktu produktifitas ayam petelur relatif lama maka kerugian akibat penurunan produksi telur diduga sangat nyata. Kerugian tersebut belum termasuk biaya pengobatan, kematian ternak yang rentan, dan menurunnya respon pertahanan tubuh secara umum terhadap serangan penyakit lain. Kompleksitas biologi sestoda dengan jenis inang antara yang berperan, serta kesulitan-kesulitan di atas, maka pengendalian secara terpadu termasuk sanitasi lingkungan kandang dan pengendalian inang antara perlu dipertimbangkan. Berbagai aspek yang terkait dalam kejadian sestodosis termasuk jenis-jenis sestoda yang melibatkan jenis serangga tertentu dalam transmisinya pada ayam petelur komersial di Indonesia belum pernah dilaporkan secara ilmiah. Telaah jenisjenis sestoda dan prevalensi sestodosis, jenis serangga inang antara, serta faktorfaktor yang meningkatkan peluang terjadinya sestodosis pada penelitian ini pertama dilakukan di Indonesia.
1.2 Tujuan Penelitian 1 Menemukan jenis sestoda serta mengukur derajat dan prevalensi infeksinya pada ayam ras petelur. 2 Menemukan jenis serangga inang antara dan mengukur derajat serta prevalensi infeksi sistiserkoidnya. 3 Membuktikan potensi serangga yang diduga sebagai inang antara dengan cara infeksi coba pada serangga maupun ayam. 4 Mempelajari faktor-faktor risiko infeksi sestoda pada ayam ras petelur. 5 Mempelajari teknik identifikasi sistiserkoid dengan membandingkan profil protein whole worm extract (WWE) cacing dewasa dengan sistiserkoid yang ditemukan dari serangga.
3
1.3 Hipotesis 1 Ditemukan lebih dari satu jenis sestoda pada ayam ras petelur komersial. 2 Lalat Musca domestica dan kumbang Alphitobius diaperinus berpotensi sebagai inang antara sestoda pada ayam petelur komersial. 3 Tingkat kejadian sestodosis pada ayam
ras petelur komersial
dipengaruhi oleh faktor inang (umur, ras, dan populasi), tipe iklim area peternakan (kering dan basah), serta manajemen (sistem kandang, struktur kandang, pembuangan manur, dan pemberian antelmintik). 4 Terdapat variasi profil protein sistiserkoid dari spesies sestoda yang berbeda pada inang antara yang berbeda.
1.4 Manfaat Penelitian Beberapa hal sangat berharga dapat dilakukan dari hasil penelitian ini: 1 Pengetahuan biologi sestoda khususnya cacing pita di Indonesia, secara lengkap pada peternakan ayam ras petelur, termasuk pengetahuan prevalensi, derajat infeksi, jenis-jenis sestoda, serta jenis-jenis inang antaranya. Pengetahuan ini merupakan informasi dasar di dalam menyusun strategi pengendalian cacing pita pada ayam petelur. 2 Pengetahuan jenis serangga tertentu dalam transmisi infeksi sestoda pada ayam petelur yang dipelihara dengan manajemen tertentu menjadi landasan pengendalian secara terpadu termasuk memperbaiki menejemen. 3 Mengembangkan ”Inang Antara Model” untuk infeksi eksperimental sehingga berbagai aspek pada masalah sestodosis unggas dapat diamati termasuk pengembangan metode diagnostik.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sestoda (cacing pita) Mula-mula sestoda dianggap sebagai suatu koloni organisme yang beranggota segmen-segmen atau ruas-ruas (proglotida) sebagai individu yang masing-masing dilengkapi dengan seperangkat organ reproduksi jantan maupun betina. Sejak diketahuinya bahwa sestoda memiliki siklus hidup kompleks dengan beberapa stadium perkembangan maka dikenal dua kelompok besar sestoda yaitu cacing pita sejati (bentuk sestoda, sebagian besar polyzoic) dan cacing pita tidak sejati (bentuk sestodarian, monozoic). Istilah maupun pengelompokan antara sestoda dan sestodarian mengalami beberapa perubahan klasifikasi seiring dengan berjalannya waktu (Yamaguti 1959; Wardle & McLeod 1952). Pada kurun waktu dua puluh tahun kemudian, beberapa taksonom sestoda membuat revisi klasifikasi terutama pada tingkat famili dan genus, dari 14 ordo (Khalil et al. 1994) diantaranya adalah ordo Pseudophyllidea dan Cyclophyllidea. Beberapa spesies dalam kedua ordo tersebut merupakan sestoda parasitik pada unggas dan mamalia. Oleh karena itu penjelasan morfologi dan siklus hidup pada tulisan ini lebih ditekankan pada kedua kelompok ini. 2.1.1 Morfologi Ciri umum Cyclophyllidea bertubuh pipih panjang, beruas-ruas, biasanya berwarna putih susu dalam keadaan hidup. Karakter sestoda yang paling menonjol adalah tidak adanya usus. Oleh karena itu penyerapan nutrisinya berlangsung melalui seluruh permukaan tubuhnya yang disebut tegumen. Di bawah lapisan tegumen terdapat beberapa lapisan otot yang menunjang aktivitas gerakannya. Seluruh organ terletak di dalam lapisan paling dalam berupa sel-sel parensim. Sistem syaraf pusat yang disebut cincin rostelar terletak di skoleks berupa pasangan ganglia yang menginervasi sepanjang strobila melalui syaraf longitudinal posterior dan anterior. Sistem ekskretori meliputi sel-sel api yang tersebar dalam parensim.
5
Panjang tubuh sestoda bervariasi, dari beberapa milimeter hingga beberapa meter. Bagian-bagian tubuh terdiri dari skoleks, leher, dan strobila. Skoleks adalah bagian tubuh yang menempel pada mukosa usus inang sebagai habitatnya, terletak di bagian anterior tubuh. Oleh karena itu dilengkapi dengan dua atau empat batil hisap dengan ciri khas masing-masing jenis cacingnya. Pada umumnya batil hisap yang berjumlah empat (acetabula) berbentuk mirip setengah bola, yaitu masing-masing dua terletak di bagian dorsal dan ventral tubuh, didukung oleh muskular yang kuat dan kadang-kadang juga terdapat deretan kait (hook) untuk menempel. Struktur organ apikal pada ordo Cyclophyllidea disebut rostelum. Rostelum ini dapat disembulkan atau ditarik dari dan ke dalam kantung rostelar (protrusible), menyerupai bentuk kubah di ujung apikal skoleks, kadangkadang dilengkapi dengan deretan kait. Kait-kait rostelum digunakan untuk memfiksir ketika melakukan penetrasi jauh ke dalam mukosa usus inang. Leher adalah bagian sangat sempit dan pendek di antara skoleks dan strobila yang mengandung sel kecambah, dan merupakan zona proliferatif yang membentuk rantai proglotida. Strobila adalah bagian tubuh sestoda paling besar berupa rantai proglotida yang tersusun secara linier. Pertumbuhan proglotida terjadi secara bertahap dan kontinyu selama kelangsungan hidupnya dalam tubuh inang definitif. Pada proglotida yang baru tumbuh belum terjadi diferensiasi sel, sehingga berukuran lebih pendek dan sempit dibandingkan dengan yang tumbuh lebih dahulu. Berlanjut dengan pertumbuhan proglotida berikutnya akan mendorong proglotida sebelumnya kearah posterior. Secara bersamaan juga terjadi pertumbuhan menjadi lebih besar ukurannya dan perkembangan organ reproduksi yang berangsur-angsur menjadi dewasa sampai gravid. Satu individu sestoda yang tumbuh normal memiliki tiga stadium perkembangan proglotida yaitu proglotida muda (immature), dewasa (mature), dan matang (gravid). Morfologi proglotida dewasa digunakan sebagai sebagian kriteria pengenalan jenis-jenis sestoda. Organ reproduksi jantan terdiri atas testes yang berjumlah satu atau lebih hingga ratusan menurut jenis sestoda. Setiap butir testes dihubungkan melalui saluran kecil (vas efferens) menuju saluran yang lebih besar (vas deferens) sebagai tempat transportasi sperma menuju organ kopulatoris (cirrus) yang biasanya
6
terbungkus oleh kantung sirus (cirrus pouch). Sistem organ reproduksi betina terdiri dari ovarium, vitelaria, ootipe, uterus, vagina, reseptakulum seminalis, dan saluran-saluran yang menghubungkan diantaranya. Bentuk, ukuran, dan letak ovarium bervariasi menurut jenis sestoda. Setelah mengalami proses pematangan, telur muda selanjutnya keluar dari ootipe menuju uterus hingga berkembang menjadi telur yang matang dan siap dibebaskan bersama-sama dengan proglotida gravid. Ketika dikeluarkan dari tubuh inang definitif biasanya telur telah berembrio yang disebut onkosfer. Onkosfer berbentuk bulat atau lonjong, simetris bilateral, dan dipersenjatai dengan tiga pasang kait (hooks). Stadium sejak onkosfer bebas dari proglotida gravid sampai menjadi larva infektif dalam tubuh inang antara disebut metasestoda (Noble et al. 1989). Telah dikenal beberapa tipe metasestoda yang berbeda dalam ukuran, adanya gelembung yang berisi cairan atau dalam bentuk padat yang mengandung protoskoleks dalam jumlah tertentu. Beberapa tipe metasestoda yang umum dikenal adalah proserkoid, pleroserkoid, sistiserkoid, sistiserkus, koenurus, dan hidatida. Sistiserkoid adalah tipe metasestoda yang ditemukan dalam rongga tubuh serangga inang antara yang memiliki ciri protoskoleks tunggal dengan posisi evaginasi, dan gelembung padat (kadang-kadang disertai dengan serkomer) (Soulsby 1982; Wardle & McLeod 1951).
2.1.2 Siklus hidup Siklus hidup sestoda meliputi tiga stadium perkembangan yaitu cacing dewasa (sestoda), telur (onkosfer), dan larva (metasestoda) (Gambar 1). Stadium sestoda adalah stadium parasitik dalam usus halus vertebrata sebagai inang definitif. Stadium telur merupakan stadium bebas dengan catatan sebelum onkosfer atau embrio dalam telur infektif teraktivasi untuk siklus berikutnya. Stadium metasestoda adalah stadium larva parasitik yang bersifat non-aktif dalam berbagai jaringan hewan vertebrata atau rongga tubuh invertebrata sebagai inang antara.
Jaringan yang tersusun dari sel-sel germinatif, dan asesori jaringan
lainnya, serta protoskoleks merupakan bagian-bagian metasestoda yang sangat menentukan perkembangan berikutnya. Dari segi morfologi metasestoda memiliki tipe-tipe yang unik tergantung dari jenis cacing dan inang antaranya. Sestoda
7
A
d b
c a
e B
C
Gambar 1
f
Siklus hidup sestoda ayam. A. Inang antara dimakan ayam. B. Proglotida gravid keluar melalui anus. C. Proglotida gravid dimakan inang antara. a Lumen usus inang antara. b Onkosfer. c Lumen usus inang definitif. d Sistiserkoid. e Sestoda dewasa. f Destrobilisasi proglotida gravid (Modifikasi: Calentine 1985, Dunford & Kaufman 2006; Schwartz 1994; Moorman 2004).
memerlukan sekurang-kurangnya dua inang dalam siklus hidupnya, yaitu inang antara sebagai habitat berkembang metasestoda yang infektif bagi inang definitif. Inang definitif adalah habitat sestoda dewasa yang menghasilkan telur. Rantai makanan merupakan faktor utama dalam transmisi sestoda. Oleh karena itu kelangsungan hidup jenis sestoda apapun pada suatu tempat tertentu ditunjang oleh adanya peran dan perilaku dua inang yang umumnya berhubungan erat secara ekologik. Sejumlah besar telur yang bebas maupun yang tetap berada dalam proglotida gravid adalah sumber infeksi yang sangat potensial di lingkungan luar inang. Proglotida gravid lepas (destrobilisasi) secara tunggal atau dalam bentuk rantai dari rangkaian strobila dan secara aktif atau pasif keluar bersama-sama tinja inang. Telah dibuktikan bahwa sepanjang 25% posterior strobila bersifat infektif terhadap inang antara maupun inang definitifnya (Retnani et al. 1993; 1995).
8
Ayam terinfeksi merupakan sumber infeksi bagi serangga inang antara di lingkungan
peternakan.
Beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
jumlah
telur/proglotida gravid adalah populasi ayam terinfeksi, derajat infeksi setiap ekor ayam, serta status kekebalan inang (Kano & Ito 1983; Wakelin 1984; Sukhideo & Mettrick 1987). Gray (1972a; 1973) dalam: Kennedy (1975) mengamati penglepasan proglotida
pada ayam yang diinfeksi 100 ekor sistiserkoid
Raillietina cesticillus. Pada hari ke 28 hingga hari ke 70 setelah infeksi terjadi destrobilisasi terus-menerus namun skoleks persisten. Pengamatan pada hari ke 20 sebanyak 120-200 proglotida keluar/ayam/hari, berikutnya pada hari ke 39 jumlah yang dikeluarkan menurun perlahan hingga skoleks mulai gugur pada hari ke 56. Penelitian tersebut juga mengamati manifestasi respon kebal ayam terhadap infeksi R. cesticillus yaitu terjadi penurunan
pemapanan (establishment) dan
pertumbuhan, destrobilisasi dan gugurnya skoleks berlangsung lebih cepat. Kinetik pembentukan, pematangan, dan periodisasi penglepasan proglotida gravid telah dipelajari pada jenis sestoda mamalia yaitu Taenia (Silverman 1954) dan Hymenolepis (Kumazawa & Suzuki 1982). Proglotidisasi, pematangan, dan penglepasan proglotida tidak konstan selama proses perkembangan sestoda (Silverman 1954; Kumazawa & Suzuki 1982) dan tidak semua telur di dalamnya fertil (Silverman 1954; Loos-Frank 1987). Proporsi proglotida dewasa:gravid pada individu sestoda berubah menurut penurunan laju proglotidisai dan bertambahnya umur cacing. Setelah perkembangan maksimum dicapai, laju proglotidisasi berangsur menurun namun kecepatan diferensiasi tetap sama (Kumazawa & Suzuki 1982). Pembebasan telur dari proglotida gravid dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Proglotida gravid segera berdegenerasi setelah lepas dari strobila (apolisis) kemudian telur di dalamnya bebas. Kemungkinan lain proglotida gravid aktif merayap sebelum membebaskan telurnya (euapolisis). Mekanisme keluarnya telur pada euapolisis tidak dijelaskan, namun mirip yang yang diuraikan oleh Soulsby (1982), terbentuk suatu lubang thysanus pada uterus setelah destrobilisasi dan telur akan keluar dengan bantuan aktivitas muskuler proglotida. Hiperapolisis terjadi pada proglotida gravid yang perkembangannya belum sempurna namun prosesnya tetap berlangsung hingga matang walaupun telah destrobilisasi
9
(Pintner 1913 dalam: Wardle & McLeod 1951). Pseudoapolisis terjadi pada kelompok sestoda yang memiliki porus uteri. Telur yang telah matang dikeluarkan melalui porus uteri ketika cacing masih berada dalam usus inang tanpa destrobilisasi terlebih dahulu kecuali setelah uterusnya relatif kosong. Siklus berikutnya adalah tertelannya telur sestoda oleh inang antara kemudian menetas di dalam usus membebaskan onkosfer. Aktivasi penetasan dipengaruhi oleh aktivitas muskular untuk menggerakkan kait-kait embrio secara mekanik merobek lapisan dinding telur. Mekanisme penetasan ini juga dipengaruhi secara kimiawi, umumnya reaksi ensimatik baik yang berasal dari inang antara maupun parasit itu sendiri (Silverman 1954; Smyth & McManus 1989; Read et al. 1951; Heyneman 1959). Onkosfer yang telah bebas akan melakukan penetrasi ke dalam mukosa usus inang antara kemudian bermigrasi melalui sistem sirkulasi disertai perkembangan yang progresif hingga menjadi larva infektif bagi inang definitif. Tempat terakhir larva infektif adalah jaringan organ atau bagian tubuh lainnya pada inang antara vertebrata atau rongga tubuh inang antara invertebrata. Kelangsungan hidup selanjutnya adalah transmisi pasif melalui inang definitif yang menelan jaringan/organ inang antara yang mengandung metasestoda. Seperti halnya proses penetasan telurnya, faktor-faktor fisikokimiawi yang khas pada setiap jenis inang definitif akan mempengaruhi keberhasilan evaginasi protoskoleks metasestoda (ekskistasi) hingga menempel pada mukosa usus, proglotidisasi, tumbuh dan berkembang menjadi sestoda dewasa.
2.2
Sestoda Parasitik pada Ayam Ternak
2.2.1 Jenis-jenis sestoda Sekurang-kurangnya 10 famili sestoda diketahui dapat menginfeksi berbagai jenis unggas (Wardle & McLeod 1952; Yamaguti 1959). Telah dikenal sekitar 1400 spesies sestoda menginfeksi unggas liar maupun domestik (Junker & Boomker 2007). Sestoda yang sering ditemukan pada ayam ternak tergolong dalam famili Davaineidae, Paruterinidae,
Dilepididae, dan Hymenolepididae
(Tabel 1). Spesies dari Famili Anoplocephalidae pernah ditemukan pada burung merpati (Dehlawi 2006). Telah dilaporkan 10 genus, diantaranya Raillietina dari
10
Tabel 1 Spesies sestoda yang umum ditemukan pada ayam ternak. No 1
2
3 4
Famili Hymenolepididae
Davaineidae
Dilepididae Paruterinidae
Spesies
Inang antara
Hymenolepis carioca
Lalat, kumbang
H. cantaniana
Kumbang
Fimbriaria fasciolaris
Kopepoda
Davainea proglottina
Siput
Raillietina echinobothrida
Semut
R. tetragona
Lalat, semut
R. cesticillus
Lalat, kumbang
R. magninumida
Semut
Cotugnia digonopora
Tidak diketahui
Choanotaenia infundibulum
Lalat, kumbang
Amoebotaenia cuneata
Cacing tanah
Metroalisthes lucida
Belalang
Sumber: Permin & Hansen (1998).
famili Davaineidae paling sering ditemukan dan merupakan sestoda yang dominan menginfeksi unggas liar maupun piaraan termasuk ayam ternak (Abdelqader et al. 2008; Adang et al. 2008; Ahmed & Sinha et al. 1993; Amr et al. 1988; Hassouni dan Belghyti 2006; Irungu et al. 2004; Ketaren 1992; Kuney 1997; Kurkure et al. 1998; Luka & Ndams 2007; Magwisha et al. 2002; Mcjunkin et al. 2003; Mpoame 1995; Muhaerwa et al. 2007; Mungube 2007; Mushi et al. 2000; Poulsen et al.2000; Samad et al. 1986; Schou et al. 2007; Siahaan 1993; Terregino et al. 1999; Wilson et al. 1994; Yadav & Tandon 1991). Seperti disajikan pada Tabel 1 bahwa kisaran jenis inang antara sestoda ayam cukup luas tergantung pada spesies sestoda. Serangga adalah jenis inang antara yang lebih dominan berperanan (Gabrion et al. 1976; Soulsby 1982; Gordon & Whitfield 1984; Merzaakhmedov 1985; Mohammed et al. 1988; Adams 1996; Kuney 1997; Permin & Hansen 1998; O’Callaghan et al. 2003). Proglotida gravid yang keluar bersama tinja ayam akan tertelan oleh inang antara stadium dewasa atau larva yang cocok, dan selanjutnya berkembang menjadi larva infektif (sistiserkoid). Ayam terinfeksi
11
setelah menelan inang antara yang mengandung sistiserkoid. Diawali dengan penempelan bagian skoleksnya (attachment) pada mukosa intestin ayam, selanjutnya tumbuh (proglotidisasi) dan berkembang menjadi cacing pita dewasa.
2.2.2 Patofisiologi infeksi dan gejala klinis Derajat infeksi ringan oleh nematoda gastrointestinal pada ayam dapat ditolerir tubuh tanpa mempengaruhi kesehatannya. Sebaliknya jika terinfeksi berat akan terjadi kompetisi dalam pemenuhan kebutuhan standar nutrisi untuk kelangsungan hidup inang-parasit (Smith et al. 2005). Dampak yang lain adalah kelemahan umum dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit lain (Small 1996). Sebagian besar tulisan menganggap bahwa infeksi oleh sestoda sangat sedikit mempengaruhi kesehatan hewan bahkan terabaikan. Sejumlah sestoda yang berukuran besar dapat menyebabkan penyumbatan lumen usus inang. Variasi spesies sestoda menunjukkan perbedaan patogenitasnya. Studi yang berkaitan dengan patofisiologi
sestodosis secara tepat
khususnya pada unggas masih belum banyak dilaporkan. Ketepatan studi tersebut mutlak harus didukung oleh infeksi eksperimental, sedangkan selama ini hanya berdasarkan kajian infeksi alami di lapangan yang merupakan infeksi campuran baik cacing jenis lain maupun kausa selain cacing. Kesulitannya adalah beragamnya jenis sestoda yang dapat menginfeksi ayam disertai dengan kespesifikan inang antaranya. Kerusakan patologis yang umum ditemukan pada infeksi cacing secara alami adalah enteritis yang bersifat akut sampai kronis tergantung derajat infeksinya (Fischer & Say 1989). Perlukaan awal oleh infeksi sestoda karena penempelan skoleks dengan kait-kaitnya baik pada bagian rostelum maupun batil hisapnya bahkan penetrasi jauh ke dalam kripta mukosa usus. Davaineidae adalah famili yang dominan menginfeksi ayam. Ciri umum yang mudah untuk mengenal famili ini adalah adanya kait-kait pada rostellum maupun batil hisapnya. Infeksi berat oleh kelompok ini menyebabkan peradangan hemoragis disertai nekrosa mukosa usus, kadang-kadang meninggalkan nodulnodul perkejuan yang tampak dari permukaan serosa apabila ayam dinekropsi. Nodul-nodul intestinal tersebut tampak enam bulan setelah ayam diinfeksi dengan 200 sistiserkoid R. echinobothrida.
Perubahan nyata gambaran histopatologi
12
akibat infeksi R. echinobothrida adalah enteritis hiperplastik kataral dengan pembentukan granuloma pada area penempelan skoleks (Nadakal et al. 1973) terutama pada kasus infeksi berat. Enteritis bisa meluas, diikuti dengan diare, kurus, gejala paling umum lesu dan nafsu makan menurun. Infeksi oleh tiga ekor R. tetragona pada ayam petelur berumur tiga minggu menunjukkan adanya lesi di intestin, fokal erosi pada epitel, enteritis, dan akumulasi limfosit terutama di sekitar skoleks yang masuk ke dalam lamina propria (Saeed 2007, Salam et al. 2009). Dari gambaran klinis dan patologinya, sekurang-kurangnya sestodosis menimbulkan gangguan fungsi penyerapan nutrisi
yang dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan, penurunan berat karkas maupun produktivitas termasuk produksi telur. Defisiensi nutrien
terutama protein menyebabkan gangguan
pertahanan tubuh sehingga inang lebih rentan terhadap infeksi. Pada ayam muda menyebabkan kekerdilan dan kematian tinggi (Dharmendra & Pande 1963 dalam: Wasito et al. 1994). Infeksi oleh spesies R. echinobothrida menyebabkan penurunan haemoglobin, hematokrit, jumlah butir sel darah merah, protein serum, serta peningkatan butir sel darah putih (Samad et al. 1986).
2.2.3 Prevalensi sestodosis pada ayam ternak Kejadian sestodosis pada unggas banyak dilaporkan dari beberapa wilayah di Indonesia pada ayam buras yang dipelihara secara tradisional. Selama kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa terakhir prevalensinya mencapai 100%. Pada tahun 1973 telah dilaporkan tingginya tingkat kejadian sestodosis di beberapa wilayah Jawa Barat sebesar 36-100%
dan Jawa Tengah (masing-masing delapan kabupaten)
(Kusumamiharja 1973). Pengamatan pada 216 ekor ayam
kampung di Surabaya terinfeksi sestoda sebanyak 89,35% (Sasmita 1980). Kejadian yang tinggi di luar Jawa telah dilaporkan oleh Ketaren dan Arif (1988) yaitu di kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan Bulukumba di Sulawesi Selatan. Sedangkan kejadian di wilayah Sumatera sebesar 81,72% di Medan (Siahaan 1993) dan 100% di kecamatan Kotabumi kabupaten Lampung Utara, Lampung (Inbandiah 1995). Khusus di wilayah Bogor, tingkat kejadian sestodosis konstan relatif tetap tinggi sejak dilaporkan pertama kali pada tahun 1973 sebesar
13
96 % (Kusumamiharja 1973) hingga penelitian-penelitian berikutnya. Susilowati (1990), He et al. (1991), dan Retnani et al. (2000; 2001) melaporkan dari wilayah yang sama dengan jumlah kejadian berturut-turut sebesar 91% dan 89,7% (dari 74 ekor ayam kampung) dan 67,49%
dari total 168 ekor ayam kampung yang
dikandangkan dan diumbar di pekarangan). Berbagai jenis sestoda yang menyerang ternak ayam yang dominan di daerah Surabaya, Sulawesi Selatan, Kota Padang, dan Bogor adalah dari genus Raillietina (Budiarti 1985; Samad et al. 1986; Ketaren & Arif 1988; Purwati 1989; Suwarti 1992). Kejadian sestodosis pada ayam ternak dengan sistem pemeliharaan secara tradisional juga banyak dilaporkan di negara lain. Di negara tetangga Malaysia sestodosis memiliki prevalensi tertinggi dari infeksi cacing saluran pencernaan pada 60 ekor ayam Gallus domesticus yang diumbar di beberapa desa di Penang, Malaysia. Secara kuantitatif R. echinobothrida paling banyak ditemukan namun prevalensinya sama besarnya dengan R. tetragona yaitu 93,3%, sedangkan jenis yang lain yaitu H. carioca 70%, dan R. cesticillus 48,33% (Rahman et al. 2009). Beralih ke negara lain yaitu di wilayah Jordania Utara, 208 ekor ayam betina dan jantan lokal, terinfeksi Genus Amoebotaenia, Davainea, Raillietina, dan Hymenolepis dengan kisaran prevalensi paling rendah 1,4% (Davainea) dan tertinggi 35% (Hymenolepis) (Abdelqader et al. 2008). Masalah endoparasitosis khususnya kecacingan juga banyak dilaporkan di berbagai negara Afrika. Total prevalensi sestodosis dari 351 ekor ayam ras lokal yang dikumpulkan dari pasar hewan Dschang, Kamerun Barat, H. carioca 48,43%, A. cuneata 15,10%, R. tetragona 14,53%, dan H. cantaniana 5,70% (Mpoame & Agbede 1995). Sebanyak 100 ekor ayam yang dipelihara dengan sistem umbar di daerah Ghana, Afrika Barat, tingkat prevalensi setiap jenis sestoda paling tinggi berturut-turut R. echinobothrida 81%, Hymenolepis spp. 66%, R. tetragona 59%, R. cesticillus 12% (Poulsen et al. 2000). Sestodosis di beberapa kota di Kenya, dari 456 ekor sampel ayam local, 47,53% terinfeksi cacing pita (Irungu et al. 2004). Demikian pula yang terjadi di Nigeria, 1080 ekor dibeli dari pasar tradisional di Maiduguri, 56% sestodosis hanya disebabkan oleh satu Genus Raillietina dengan rincian
R. echinobothrida 52,8 %, R. cesticillus
11,3%, R. tetragona 7,4% (Ahmed & Sinha 1993). Demikian pula di Zambia
14
Pusat, 125 ekor ayam yang diumbar hanya terinfeksi Raillietina spp. 81,6% (Phiri et al. 2007). Di wilayah lain hanya ditemukan satu jenis sestoda yaitu R. tetragona dengan prevalensi 92,5% pada 80 ekor Gallus gallus berumur lebih dari enam bulan sepanjang musim hujan di Nigeria Timur (Fakae & Nwalusi 2000). Di Samaru, Zaria Nigeria, 92 ekor sampel ayam lokal Gallus gallus domesticus yang dipelihara di area pedesaan memiliki prevalensi H. carioca 25%, R. tetragona 23,9%, R. echinobothrida 13,0%, C. infundibulum 10,9%, R. cesticillus 9,8% (Luka & Ndams 2007). Tingkat kejadian sestodosis pada 200 ekor sampel ayam potong lokal di Bauch, Nigeria berturut-turut 3,3% dan 8-42% disebabkan oleh genus Choanotaenia dan Raillietina (Yoriyo et al. 2008). Di Goromonzi, Zimbabwe, dari 50 ekor ayam muda dan 50 ekor dewasa terinfeksi setoda dengan masing-masing rasio sebesar 60:68 % (A. cuneata), 62:80% (Hymenolepis spp.), 66:34% (R. echinobothrida), 94:100% (R. tetragona), 50:76% (R. cesticillus) (Permin et al. 2002). Sampel sejumlah 267 ekor ayam yang dibeli dari pasar berdasarkan tiga wilayah agro-ekologik yang berbeda di Amhara, Ethiopia, terinfeksi R. echinobothrida sebesar 25,84%; R. tetragona 45,69%; R. cesticillus 5,62 %; A. sphenoides 40,45%; C. infundibulum 4,49%; D. Proglottina 1,12% (Eshetu et al. 2001). Prevalensi masing-masing jenis sestoda bervariasi menurut karakter agroekologik setiap wilayah. Faktor agro-ekologik yang sama juga dilakukan pada 190 ekor ayam lokal di pusat Ethiopia dengan total prevalensi sestodosis sebesar 86,32% (Ashenafi & Eshetu 2004). Pengamatan endoparasitosis pada ayam pulet dan dewasa di pedesaan di Morogoro, Tanzania, dilakukan sejak awal dan sepanjang musim hujan (Magwisha et al. 2002). Gambaran prevalensi C. infundibulum (15%, 6%); D. proglottida (9%, 2%); R. tetragona (36%, 21%) lebih tinggi pada ayam pulet. Derajat infeksi R. tetragona tinggi pada pulet. Berturut-turut dari prevalensi tertinggi yaitu R. echinobothrida (65,3%), H. cantaniana (53,7%), Amoebotaenia spp. 37,4%, R. tetragona 35,8%, R. cesticillus 19,0%, dan C. infundibulum 3,2%. Penelitian di lokasi lain yaitu di daerah Gharb, Maroko, 300 ekor ayam sampel dari 3 desa terinfeksi H. carioca (3,7%), R. echinobothrida (5%), H. cantaniana (7%), R. tetragona (9,3%), dan R. cesticillus (12%) (Hassouni & Belghyti 2006).
15
Pada umumnya pemeliharaan ayam ras komersial dilakukan dengan cara moderen. Terdapat anggapan bahwa kecacingan jarang menimbulkan kerugian pada hewan ternak yang dipelihara dengan sistem moderen (Abebe et al. 1997). Oleh karena itu sangat jarang laporan ilmiah tentang kecacingan pada ayam ternak di peternakan-peternakan moderen di Indonesia. Hasil pengamatan Zalizar et al. (2007) mengatakan bahwa kejadian sestodosis ditemukan pada enam buah peternakan ayam ras petelur di wilayah sentra peternakan ayam petelur komersial di Kabupaten Bogor, namun tidak menyebutkan angka prevalensinya. Beberapa kasus sestodosis pada peternakan ayam modern di luar Indonesia telah dilaporkan. Seperti yang dilakukan Abebe et al. (1997) bahwa di sekitar wilayah Addis Ababa, Ethiopia ditemukan kasus sestodosis pada ayam ternak ras lokal dan eksotik dengan prevalensi pada ternak yang dikandangkan 0% (98 ekor), sedangkan pada sistem semi intensif memiliki tingkat prevalensi R. cesticillus 7,69%, R. tetragona 1,92%, C. infundibulum 4,8% (104 ekor), dan R. cesticillus 37,87%, R. tetragona 26,32%, R. echinobothrida 29,47%, C. infundibulum 22,16 %, A. shenoides 12,63%, H. carioca 5,26% (95 ekor) pada ternak yang diumbar. Rabbi et al. (2006) menemukan R. tetragona pada ayam layer dan A. sphenoides pada ayam yang diumbar di Mymensingh, Bangladesh. Masih berdekatan dengan India yaitu kota Faisalabad, Pakistan, rasio prevalensi sestodosis pada layer (lokal:luar) R. tetragona 10,6%:3,0%,
adalah
R. cesticillus
6,8%:3,4%, A. cuneata 1,8%:0%,
R. echinobothrida 12,8%:3,6%,
13,2%:2,0%,
C. infundibulum
H. cantaniana 5,2%:0%, dan H. carioca
9%:4,0% (Shah et al. 1999). Kecacingan di peternakan ayam modern juga dilaporkan dari wilayah Eropa dan Amerika. Ayam petelur komersil yang dipelihara dengan sistem baterai terinfeksi sestoda sebanyak 3,3% di Denmark (Permin et al. 2002). Wilson et al. (1994) melaporkan bahwa 70% dari kejadian sestodosis di peternakan
ayam broiler di daerah Arkansas Amerika Serikat
disebabkan oleh R. cesticillus. Beberapa jenis sestoda infeksi alami pada unggas selain ayam ternak juga banyak ditulis. Sebanyak 50 ekor ayam hutan (A. graeca) di daerah pedesaan di Turki terinfeksi C. infundibulum 4%, R. echinobothrida 10%,
R. tetragona
6%; 50 ekor burung puyuh (Coturnix coturnix) terinfeksi C. infundibulum 39%,
16
Fimbriaria fasciolaris 1%, Liruterina gallinarum 1%, R. echinobothrida 1%, R. tetragona 2% (K ro lu dan Ta an 1996). C. infundibulum dan Lynuterina nigropunctata juga
ditemukan menginfeksi jenis ayam hutan yang lain
(A. barbara) di Tenerife, pulau Canary (Foronda et al. 2005). M. lucida, Raillietina sp., Choanotaenia sp., Imparmargo baileyi ditemukan pada kalkun liar (Meleagris gallopavo) di beberapa negara Kansas Timur (McJunkin et al. 2003). Di Abha, Saudi Arabia, lima jenis sestoda pertama kali ditemukan menginfeksi merpati liar (Columba livia) yaitu Killigrewia delafondi (Anoplocephalidae), Retinometra serrata (Hymenolepididae), R. perplexa, dan R. echinobothrida serta R. dattai (Davaineidae) pada ayam (Gallus gallus domesticus) (Dehlawi 2006). Hasil penelitian Muhairwa et al. (2007) terhadap 96 ekor itik anak (2-5 bulan) dan 96 ekor dewasa > 6 bulan yang diumbar di suatu wilayah di kota Morogoro, Tanzania, menunjukkan bahwa R. tetragona (10,4%) dan R. echinobothrida (0,5%) hanya ditemukan pada itik anak. Adang et al. (2008)
melaporkan
beberapa jenis dalam famili yang sama pada 116 ekor merpati domestik (Columba livia domestica) di Zaria, Nigeria Utara, dengan prevalensi R.tetragona (27,1%), R. cesticillus (0,45%), A. cuneata (0,83%), R. echinobothrida (10,6%), H. cantaniana (1,7%), H. carioca (1,3%). Sebanyak 250 ekor merpati dari wilayah dan jenis yang sama hanya terinfeksi tiga spesies yaitu R. tetragona (4,9%), R. cesticillus (3,0%), R. echinobothrida (7,6%) (Natala et al. 2009). Senlik et al. (2005) hanya menemukan 1% R. echinobothrida dari 100 ekor jenis merpati yang sama di Turki.
Dhoot et al. (2002) mengamati kecacingan
gastrointestinal pada berbagai jenis burung liar di kebun binatang Maharajbag, Nagpur. R. tetragona ditemukan pada burung beo (Cockatoa galierita) dengan prevalensi 22,22% dan burung merak betina (Pava cristatus) 16,66% selain Davainea sp. sebesar 12,5%.
2.3 Serangga sebagai Inang Antara Sestoda Beberapa jenis serangga seperti yang tertulis pada Tabel 1 merupakan inang antara
alami bagi sestoda ayam kecuali genus tertentu dari kumbang.
Sistiserkoid adalah stadium metasestoda yang dapat ditemukan dalam rongga tubuh serangga baik kepala, toraks, atau abdomen. Sejak 1936 telah dipelajari
17
bahwa Musca domestica berperan dalam transmisi C. infundibulum secara alami karena ayam memakan lalat yang mengandung sistiserkoid (Reid & Ackert 1937). Jauh sebelumnya sistiserkoid dalam tubuh lalat ini juga ditemukan oleh Grassi dan Rovelli di Itali pada tahun 1892, kemudian tahun 1916 Gutberlet mendeskripsikan
skoleks
sistiserkoid
tersebut
mirip
dengan
skoleks
C. infundibulum. Jenis serangga lain yang dilaporkan pertama kali di Khartoum, Sudan, sebagai inang antara C infundibulum adalah kumbang Alphitobius diaperinus (Elowni & Elbihari 1979). Sebanyak 78 ekor (14,39%) kumbang dewasa terinfeksi secara alami oleh sistiserkoid C. infundibulum, sedangkan stadium larvanya terinfeksi hanya 0,75%. Pada penelitian ini juga dilakukan infeksi coba proglotida gravid C. infundibulum namun perkembangan sistiserkoid pada kumbang tersebut gagal. Kegagalan ini juga dialami oleh Esmaeil (2004) yang menginfeksi A. diaperinus dan Tribolium confusum dengan proglotida R. tetragona, R. cesticillus, A. cuneata, R. echinobothrida, H. carioca, C. infundibulum, dan Cotugnia digonophora, namun ditemukan infeksi alami sistiserkoid C. digonophora sebanyak 0,3% dari 2314 ekor A. diaperinus. Menurut Adams (1996) dan Kuney (1997), A. diaperinus atau disebut juga kumbang kotoran ayam diduga sebagai inang antara sestoda terutama bagi ayam yang dipelihara dengan sistem liter. Kumbang Famili Carabidae sejak lama telah dilaporkan sebagai inang antara R. cesticillus melalui infeksi coba, yaitu Discoderus parallesus Hald, Pterostichus (Gastrostricta) ventralis (say), dan Agonoderus comma F. (Case & Ackert 1940). Jenis serangga yang lain yaitu dua spesies belalang Geotrupes sylvaticus dan Cratacanthus dubius juga dilaporkan sebagai inang antara sestoda pada ayam dan kalkun serta beberapa burung di Amerika pada tahun 1916 oleh Joyeux, namun siklus hidup secara lengkap tidak dijelaskan (Horsfall & Jones 1937). Jenis semut yang pertama kali dilaporkan sebagai inang antara R. echinobothrida adalah Triglyphothrix striatidens dan Xiphomyrmex sp. (Nadakal et al. 1973). Melalui pengamatan mikroskop cahaya dan elektron semut Letothorax nylanderi terbukti mengandung sistiserkoid Anomotaenia brevis yaitu sestoda yang menginfeksi beberapa spesies burung (Gabrion et al. 1976). Semut dewasa tersebut terinfeksi selama proses metamorfosis. Sebanyak 63,3% semut
18
Pachycondyla sennaarensis (Mayr) mengandung 1-40 sistiserkoid R. tetragona setiap ekor semut pada ayam di Sudan (Muhammed et al. 1988). Beberapa spesies semut dari Genus Monomorium ditemukan sebagai inang antara C. digonophora di India. M. scabriceps ditemukan di India Utara (Chand 1964 dalam: Ponnudurai & Chellappa 2001); M. gracilimum dan M. destructor di Kerala (Nadakal et al. 1970 dalam: Ponnudurai dan Chellappa 2001); M. floricola di Namakkal, Tamil Nad (Ponnudurai & Chellappa 2001). Sistiserkoid dari lima spesies Raillietina pada perusahaan peternakan di Australia juga ditemukan dalam bagian gaster tubuh semut Pheidole sp. (O’Callaghan et al. 2003). Jenis semut sebagai inang antara sestoda bervariasi menurut jenis sestodanya. Lasius niger dan T. sessile spesies semut yang ditemukan sebagai inang antara pertama sestoda mamalia Mesocestoides melalui uji DNA. Sebanyak 3,1% dari 223 sampel pul semut (1 pul=10 ekor) L. niger dan 2,4% dari 84 sampel kelompok semut T. sessile mengandung DNA stadium metasestoda (sistiserkoid) dari Mesocestoides (Padgett & Boyce 2005).
2.4 Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Sestoda pada Peternakan Ayam Petelur dalam Kandang Baterai Terjadinya infeksi parasit dapat digambarkan sebagai fungsi dari jumlah dan distribusi parasit dalam populasi inang berisiko pada ruang dan waktu tertentu (Lawson & Gemmell 1983). Transmisi berlangsung jika terjadi interaksi antara parasit stadium infektif dengan inang yang cocok, didukung lingkungan eksternal inang-parasit yang kondusif bagi kelangsungan hidupnya. Faktor-faktor transmisi sestoda bersifat lebih komplek karena melibatkan dua inang atau lebih, dan yang masing-masing memiliki biologi yang berbeda. Berkaitan dengan sestodosis pada peternakan ayam, maka dinamika populasi sestoda dewasa pada ayam dan metasestoda pada serangga yang berpotensi sebagai inang antaranya serta lingkungan yang mempengaruhi merupakan faktor penting. Lingkungan yang dimaksud merupakan refleksi dari manajemen peternakan yang sedang diberlakukan. Oleh karena itu sistem tata laksana tertentu yang diterapkan pada praktek peternakan dapat menentukan peluang terjadinya penyakit termasuk kecacingan.
19
2.4.1 Kondisi Fisik Lingkungan Mengingat bahwa sebagian besar sestoda ayam memiliki umur infeksi relatif singkat yaitu sekitar dua bulan, maka kontinyuitas keberadaan proglotida gravid (telur sestoda) tergantung dari lamanya ayam terinfeksi dan ketahanan hidup telur sestoda di lingkungan eksternal inang. Ketahanan telur sestoda ayam di lingkungan peternakan belum pernah dipelajari, walaupun terbukti bahwa sestodosis selalu ditemukan. Percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa sistiserkoid C. infundibulum hasil nekropsi M. domestica yang berasal dari peternakan tetap hidup sampai 72 jam disimpan dalam larutan garam fisiologis pada suhu 4 0C, namun hanya 24 jam pada suhu kamar (Ponnudurai et al. 2003). Jenis sestoda lain, yaitu telur Taenia saginata pada manur basah tetap hidup selama 71 hari, 16 hari di sampah kota, 33 hari di air sungai, dan 159 hari di lapangan penggembalaan (Jepsen & Roth (1949) dalam: Soulsby (1982). Di Australia, Seddon (1950) dalam Soulsby 1982 menemukan telur T. saginata tetap hidup di lapangan penggembalaan sekurang-kurangnya selama delapan minggu dan 14,5 minggu dibawah terik matahari. Ketika musim dingin (di negara dengan empat musim) telur T. saginata tahan beberapa bulan di sampah dan lingkungan berlumpur, serta di air payau dan air asin (Pawlawsky 1994 dalam: Gajadhar et al. 2006). Telur Echinococcus tetap hidup diantara suhu -50 0C dan 70 0C, namun rusak dalam waktu singkat jika terpapar pada suhu antara -70 0C dan 100 0C (Eckert et al. 2001 dalam: Gajadhar et al. 2006). Ketahanan hidup telur H. diminuta rata-rata 11 hari jika tetap berada dalam pelet tinja tikus pada suhu 10 0C. Namun jika disimpan dalam bentuk ekstrak tinja di kertas saring pada suhu 30 0C hanya bertahan sekitar 30 menit (Keymer 1982). Kualitas dan kuantitas hidup telur sestoda berperan penting dalam infektifitasnya pada inang antara. Telur H. nana dalam pelet tinja yang langsung diambil dari rektum mencit hingga empat jam kemudian memiliki infektifitas 60% pada Tribolium sebagai inang antara coba (Maki & Yanagisawa 1987) dan terbukti lebih tinggi infektifitasnya dibandingkan dengan telur yang diisolasi langsung dari cacingnya (El-Sayad & Lotfy 2005). Pada penelitian tersebut juga menyatakan bahwa telur H. nana tetap hidup dan infektif setelah disimpan dalam air deklorinasi pada suhu 4 0C dalam ruang gelap.
20
2.4.2 Keberadaan inang antara Keberhasilan transmisi sestodosis pada ayam ternak tergantung pada keberadaan jenis serangga tertentu sebagai inang antara potensial di lingkungan peternakan. Apabila terdapat populasi serangga jenis tertentu di area peternakan berarti di lingkungan tersebut tersedia media perindukan bagi serangga tersebut. Tipe produksi ternak ayam memiliki sistem manajemen yang berbedabeda dengan masing-masing permasalahan penyakit parasitik yang ditimbulkan. Misalnya ayam ternak broiler dan pembibitan yang dipelihara di lantai liter memiliki masalah kumbang (Axtell & Arends 1990), karena erat berhubungan dengan pakan ayam (komponen biji-bijian) dan kelembaban liter. Telah diketahui bahwa beberapa jenis kumbang yang ditemukan di peternakan ayam (Kuney 1997) merupakan vektor atau transmiter penyakit-penyakit (Dunford & Kaufman 2006) ayam. Selain sestoda, penyakit-penyakit ayam yang dapat ditularkan misalnya nematoda ayam Subulura brumpti (Karunamoorthy et al. 1994), protozoa (Apuya et al. 1994), bakterial (Skov et al. 2004; Bates et al. 2004), maupun fungal (CastrilloS et al. 1998). Selain liter sebagai media hidup, stadium pupasi kumbang lebih cenderung di dinding-dinding kandang yang terbuat dari kayu atau bagian pangkal kandang yang menyentuh tanah. Dengan demikian masalah gangguan kumbang tidak hanya berhubungan dengan liter, namun terdapat juga di peternakan ayam dengan bangunan kandang yang mengandung unsur kayu termasuk kandang baterai. Ayam ternak petelur komersial yang dipelihara dalam kandang baterai memiliki masalah dengan tata laksana pembuangan manur. Manur sebagai limbah utama industri peternakan ayam merupakan material organik yang potensial untuk perkembangbiakan berbagai jenis serangga , baik sebagai hama perusak struktur kandang maupun vektor penyakit ayam. Jika penanganan manur tidak dilakukan secara tepat dapat mengakibatkan masalah serius terutama masalah penyakit ayam selain sebagai pengganggu (Sánchez-Arroyo 2008; Axtell & Arends 1990; Hall & Jones 2005; Koehler & Oi 2005). Kelembaban yang tinggi (75%-80%) pada manur segar merupakan media sempurna bagi perkembangbiakan lalat. Sebanyak 0,5 kg manur dengan kelembaban 50%-85% dapat menghasilkan 1000 lalat rumah (Weaver & Novak 2006). M. domestica telah dikenal sejak lama berperan sebagai
21
transmiter dalam berbagai penyakit yang ditularkan melalui makanan/pakan baik pada manusia maupun hewan, termasuk penyakit bakterial saluran pencernaan pada peternakan ayam layer (Dhillon et al. 2004; Kinde et al. 2005; Olsen & Hammack 2000). Masalah lalat dan kumbang liter ini merupakan masalah utama hama peternakan ayam yang sulit pengendaliannya (Kuney 1997).
2.4.3 Tata laksana peternakan Tipe ayam pedaging dan petelur adalah jenis unggas ternak yang umum dipelihara secara intensif dalam usaha peternakan ayam komersial menggunakan teknik moderen. Alternatif metode pemeliharaan ayam ras petelur (Fanatico 2006) adalah menggunakan sistem khusus seperti cages, cage-free, dan free-range. Tipe kandang merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kualitas telur (Moorthy et al. 2000; Muthusamy & Viswathan 1999; Premavalli & Viswanathan 2004). Sistem cages dengan menggunakan kandang baterai adalah metode yang umum pada peternakan-peternakan ayam ras petelur di Indonesia. Pada sistem intensif
ayam tetap berada dalam ruangan bahkan kandang individu dengan
kepadatan tinggi, sehingga penanganan manur sebagai limbah utama perlu diperhatikan. Pitfal adalah tempat penampungan manur di bawah kandang baterai yang ukuran kedalamannya bervariasi. Kandang baterai merupakan deretan kandang individu dengan alas kawat di atas pitfal sehingga manur jatuh melalui sela-sela dasar kawat kandang. Beberapa metode penanganan manur yaitu manur dibiarkan menumpuk, segera dikeruk, atau berupa manur basah. Pitfal yang dalam menghasilkan manur padat jika disimpan cukup kering, sedangkan yang dangkal sebaiknya berkonstruksi beton dengan kedalaman 7,5-20 cm dan 3-6 m di bawah kandang baterai (Anonim 1994). Pada sistem ini manur dikeruk secara berkala. Manur kering dapat ditimbun dalam penampungan selama sekurang-kurangnya setahun atau lebih. Penanganan manur basah harus selalu mengosongkan penampungan setiap hari atau minimal seminggu sekali, untuk mengurangi bau dan masalah lalat.
22
2.4.4 Perilaku inang Sulit ditelaah bahwa prevalensi sestodosis yang terjadi di lapangan tinggi namun secara logis peluang transmisinya rendah. Menurut Mackiewics (1988), sestoda memiliki tiga strategi dasar dalam transmisinya untuk mempertahankan kelangsungan siklus hidupnya. Pertama, dalam siklus hidupnya parasit beradaptasi dengan biologi inang; kedua, menyajikan stadium infektif dengan meningkatkan peluang kontak antara inang dan parasit; ketiga, meningkatkan potensi reproduksi. Strategi ke dua adalah hal yang telah dipelajari oleh beberapa peneliti berkaitan dengan perilaku inang. Sejumlah parasit yang daur hidupnya kompleks mungkin memiliki umur singkat di dalam tubuh inang antaranya, terlebih transmisi ke inang definitif bersifat pasif melalui rantai makanan atau predasi. Sebuah hipotesis menyebutkan bahwa perubahan perilaku inang merupakan satu diantara strategi parasit untuk meningkatkan transmisi ke inang berikutnya. Beberapa penelitian untuk membuktikan perubahan perilaku tersebut telah dilakukan. Berhubungan dengan perilaku makan, burung Quelea quelea menyebabkan kerugian petani karena makan biji-bijian hasil panen di Borno, Nigeria. Prevalensi kecacingan saluran pencernaan pada burung-burung tersebut rendah, namun ketika bukan saat masa panen prevalensi sestodosis relatif tinggi bahkan terinfeksi oleh empat spesies sestoda. Diduga kuat bahwa pada masa tersebut burung-burung mencari pakan ke tempat yang lebih luas, sehingga jenis pakannya lebih variatif termasuk berbagai jenis serangga (Yusufu et al. 2004). Perubahan perilaku ikan Fundulus parvipinnis (inang antara) yang terinfeksi parasit meningkatkan kepekaannya untuk dipredasi oleh unggas air sebagai inang definitifnya. Peningkatan kebutuhan oksigen pada ikan yang mengandung larva sestoda menyebabkan seringnya muncul di permukaan air sebagai habitatnya (Smith & Kramer 1987 dalam: Lafferty & Morris 1996), demikian pula jika penyebabnya adalah ratusan metaserkaria dalam organ otak (Lafferty & Morris 1996). Dua jenis Acanthocephala yaitu Pomphorhynchus laevis (inang definitifnya ikan) dan Polymorphus minutus (inang definitifnya unggas air) memiliki satu jenis inang antara amphipoda Gammarus pulex. P. laevis bersifat fototropik yang menyebabkan perubahan perilaku Gammarus muncul dari tempat terlindung mudah dipredasi oleh ikan. Gammarus yang terinfeksi P. minutus
23
berperilaku menyebar secara vertikal sehingga lebih mudah dipredasi oleh unggas air. Pada penelitian ini tidak diamati pengaruh jumlah parasit yang menyebabkan respon perilaku inang antara tersebut (Cezilly et al. 1999). Ditemukan tujuh spesies sestoda unggas air dengan inang antara crustacean, Branchiopoda, Artemia parthenogenetica (Sánchez et al. 2007). Artemia adalah spesies pokok dalam habitat hipersalin yang merupakan sumber makanan terbesar bagi unggas air (Cooper et al. 1984; Verkuil et al. 2003; Sánchez et al. 2006b dalam: Sánchez et al. 2007). Perilaku inang antara yang terinfeksi larva sestoda dapat mempengaruhi dinamika dan distribusi populasi inang definitif (Wellnitz et al. 2003 dalam: Sánchez et al. 2007). Permukaan air yang kaya alga dibutuhkan oleh inang antara terinfeksi sebagai sumber pakan (Amat et al. 1991 dalam: Sánchez et al. 2007). Dengan aktivitas makan di bagian permukaan air menyebabkan peningkatan risiko termakan oleh unggas air. Masih berhubungan dengan air sebagai habitat inang, inang antara acanthocephala Pomphorhynchus laevis adalah crustase G. pulex. Parasit ini berwarna oranye kekuningan. Tampak warna yang menonjol melalui kutikula yang transparan pada Gammarus yang terinfeksi parasit tersebut. Perilaku inang antara yang terinfeksi menjadi suka cahaya sehingga muncul di permukaan yang mempermudah dipredasi oleh ikan sebagai inang definitifnya (Bakker et al. 1997). Perubahan warna inang yang terinfeksi juga terjadi pada rayap pekerja Caribbean Nasutitermae acajutlae menyebabkan peningkatan predasi oleh sejenis cicak Anolis sebagai inang definitifnya (Fuller et al. 2003). Beberapa perilaku jenis serangga lain yang terinfeksi oleh parasit juga banyak dipelajari dengan model hubungan inang-parasit kumbang Tenebrionidae dengan sistiserkoid
H. diminuta atau H. nana. Perilaku koprofagi Tenebrio
dipengaruhi oleh adanya proglotida H. diminuta dalam tinja (Pappas et al. 1995; Shea 2003). Menurut hipotesis Evans et al. (1992 dalam: Pappas et al. (1995), tinja yang berisi proglotida gravid
H. diminuta mengandung atraktan bagi
Tenebrio. Atraktan ini diduga sebagai ekskretori-sekretori sestoda atau substansi yang dihasilkan inang sebagai respon infeksi dengan menifestasi perubahan fisiologi pencernaan. akibat adanya cacing. Belum dipelajari lebih jauh sifat dan kandungan atraktan tersebut, namun terbukti bukan senyawa yang bersifat volatil
24
setelah diuji dengan kering-vakum dan rehidrasi. Akibat yang ditimbulkan oleh hubungan inang-parasit merupakan adaptasi parasit dalam lingkungan tubuh inang atau dampak patologis inang akibat infeksi tidak mudah dijelaskan. T. confusum yang terinfeksi H. diminuta berubah menjadi lamban dan cenderung menyembunyikan diri. Perilaku tersebut diduga sebagai adaptasi parasit (Robb & Reid 1996). Hipotesis ini diperkuat dengan bukti bahwa dampak patologis tidak membedakan perilaku inang terinfeksi dan inang kontrol. Hasil penelitian Robb & Reid 1996 berlawanan dengan Webster et al. (2000). Tenebrio yang terinfeksi H. diminuta cenderung tidak menyembunyikan diri, namun tidak terdapat perbedaan dalam kecepatan predasi dibandingkan dengan Tenebrio kontrol. Perpanjangan waktu hidup inang antara yang terinfeksi stadium larva mungkin dapat menambah kesempatan transmisi terutama yang bersifat pasif menunggu termakan oleh inang definitif. Pengamatan membuktikan bahwa T. molitor betina yang diinfeksi H. diminuta memiliki peningkatan waktu hidup sebesar 40% dan yang jantan sebesar 25% (Hurd et al. 2001). Perlu dipelajari lebih mendalam, dampak infeksi yang terjadi menguntungkan parasit atau inangnya, atau mungkin keduanya.
2.4.5 Pengaruh musim Musim adalah fenomena alam yang perubahannya bersifat siklik, dapat diprediksi, dan merupakan faktor penting dalam mempengaruhi pola kehidupan makhluk hidup di muka bumi (Blank 1992 dalam: Altizer et al. 2006). Banyak contoh pola kejadian penyakit yang menonjol pada musim-musim tertentu (seasonal). Misalnya, Altizer et al. (2006) menyatakan bahwa ledakan penyakit musiman yang erat berhubungan dengan faktor iklim umumnya penyakit-penyakit infeksi akut saluran pernafasan, diare, parasitik tular vektor, dan kecacingan. Fluktuasi kondisi iklim pada lingkungan geografis tertentu secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi dinamika populasi inang (definitif/antara) dan parasit (terutama stadium bebas atau di dalam tubuh inang invertebrata) termasuk cacing parasitik. Beberapa nematoda intestinal membebaskan stadium infektifnya ke lingkungan yang optimal pada suhu, curah hujan, dan kelembaban tertentu
25
sebelum mencapai inang berikutnya (Gordon et al. 1934 & Gillett 1974 dalam: Altizer et al. 2006). Pengaruh perubahan iklim tahunan terhadap intensitas nematoda intestinal domba/sapi berdasarkan variasi musim telah banyak diteliti sejak lama. Pengetahuan ini digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pengendalian nematodosis pada hewan ternak secara spesifik pada geografis tertentu. Adapun sestodosis pada unggas yang lebih berperan dalam transmisinya adalah pengetahuan biologi serangga inang antara. Sebagai contoh, populasi dan aktivitas kumbang Alphitobius dan lalat M. domestica yang merupakan inang antara sestoda cenderung meningkat pada temperatur yang relatif hangat (Goulson et al. 2005; Salin 1998; 2000; Tardelli et al. 2004). Studi tentang pengaruh faktor iklim dan geografi terhadap prevalensi kecacingan saluran pencernaan ayam ternak telah dilakukan di beberapa wilayah di luar negeri. Perbedaan infeksi cacing saluran pencernaan pada lima kelompok umur ayam lokal di daerah dataran tinggi di Dschang, Cameroon, diamati pada tiga musim yaitu musim hujan (curah hujan 187,2 mm-317,4 mm/bulan), pascamusim hujan (curah hujan 45-55 mm/bulan), dan kering (curah hujan <6,5 mm/bulan) (Mpoame & Agbede 1995). Prevalensi maupun derajat infeksi sestoda (H. cantaniana, H. carioca, dan R. tetragona) cenderung lebih tinggi pada ayam yang berumur >5 minggu kecuali Amoebotaenia cuneata. Secara umum baik prevalensi maupun derajat infeksinya paling tinggi di musim hujan, sedangkan di musin pasca-hujan dan kering tidak menunjukkan perbedaan. Prevalensi R. tetragona dan
A.cuneata tidak menunjukkan perbedaan antar
musim, sedangkan H. cantaniana dan H. carioca paling tinggi pada musim hujan. Secara umum menunjukkan bahwa prevalensi maupun derajat infeksi cacing saluran pencernaan paling tinggi di musim hujan (Mpoame & Agbede 1995). Mirip dengan pengamatan tersebut juga di lakukan pada ayam yang dipelihara secara tradisional di pedesaan Morogoro, Tanzania (Magwisha et al. 2002). Khususnya sestodosis, prevalensi C. infundibulum, D. proglottina, dan R. tetragona lebih tinggi pada ayam muda yang berumur 12-24 minggu dibandingkan dengan umur >32 minggu, sedangkan prevalensi A. cuneata, H. cantaniana, H. carioca, R. cesticillus, dan R. echinobothrida sama. Adapun perbedaan derajat infeksi yang nyata lebih tinggi pada ayam muda hanya
26
R. tetragona. Pengamatan berdasarkan musim hanya dilakukan terhadap derajat infeksi yaitu rataan derajat infeksi Raillietina relatif tinggi pada awal musim hujan dan paling rendah pada puncak musim hujan (Magwisha et al. 2002). Prevalensi sestodosis ayam juga diamati berdasarkan perbedaan dataran rendah, sedang, dan tinggi di pedesaan daerah Amhara, Ethiopia (Eshetu et al. 2001). Pada peneltian tersebut menghasilkan bahwa prevalensi sestodosis paling rendah di daerah berdataran tinggi (2500 m di atas permukaan laut) dan bersuhu rendah, demikian sebaliknya di daerah dataran yang lebih rendah (1500 m di atas permukaan laut) (Eshetu et al. 2001). Fluktuasi populasi sestodosis pada ayam ternak yang dikaitkan dengan faktor iklim di Indonesia telah ditelaah di wilayah kecamatan Kotabumi, Lampung Selatan (Inbandiyah 1996). Populasi sestoda tertinggi pada ayam buras yang dipelihara secara tradisional di wilayah tersebut terjadi pada bulan terkering dengan rataan curah hujan 9,2 mm pada bulan September 1994 dengan kisaran suhu dan kelembaban udara sebesar 17,7-36,6 0C dan 64%. Demikian pula pengamatan di wilayah kabupaten Bogor selama bulan Juli-Desember 1997 dengan rataan curah hujan sebesar 233,24 mm di wilayah tipe iklim basah dan 174,4 di wilayah kering, kisaran suhu sebesar 23,88-26,79 0C, serta kelembaban 68,26-93,7% (Retnani et al. 2001). Walaupun populasi sestoda lebih tinggi di daerah basah, fluktuasi populasi selama pengamatan memiliki pola yang sama. Pada dua bulan pertama pengamatan populasi sestoda meningkat, kemudian menurun bersama-sama hingga populasi terendah pada bulan-bulan dengan curah hujan tinggi sebesar 236-357 mm (Retnani et al. 2001).
27
3 BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengumpulan contoh ayam dan serangga dilakukan di sepuluh peternakan ayam ras petelur komersial di wilayah Kabupaten Bogor. Pengolahan serta analisis hasil penelitian dilaksanakan di Laboratorium Helmintologi dan Laboratorium Entomologi,
Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan,
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Laboratorium Terpadu FKH-IPB. Waktu yang diperlukan untuk survei awal dan pengumpulan sampel penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Mei 2006. Analisis laboratorium meliputi prosesing, penghitungan, identifikasi sestoda dan sistiserkoid, interpretasi hasil infeksi lapangan maupun infeksi laboratorium , serta analisis data memerlukan waktu selama 12 bulan.
3.2 Tahapan Penelitian Tahapan penelitian meliputi observasi lapangan (Gambar 2 dan 3) dan laboratorium (Gambar 4 dan 5). Observasi lapangan bertujuan untuk mengetahui kejadian sestodosis dan sistiserkoidosis hasil infeksi alami dengan mengumpulkan sampel ayam, serangga, dan manur dari peternakan. Adapun observasi laboratorium bertujuan untuk menjelaskan peranan kumbang Alphitobius diaperinus dan lalat Musca domestica sebagai inang antara sestoda pada ayam dari setiap peternakan. Tahapan observasi laboratorium meliputi infeksi coba sistiserkoid asal lapangan pada ayam coba. Perlakuan infeksi pada tikus coba dilakukan sebagai kontrol positif. Analisis profil protein whole worm extract (WWE) sistiserkoid maupun sestoda bertujuan untuk mempelajari diagnosis cepat melalui identifikasi stadium sistiserkoid yang diharapkan dapat menduga bahwa sistiserkoid lapangan merupakan stadium larva sestoda yang ditemukan pada ayam.
3.3 Lokasi Peternakan Di antara sepuluh peternakan contoh pada penelitian ini secara geografis terletak pada tipe iklim yang berbeda menurut banyaknya bulan basah dan kering
28
di wilayah Kabupaten Bogor. Kecamatan Cigudeg, Nanggung, dan Leuwisadeng terletak di wilayah basah. Sedangkan enam kecamatan yang lain yaitu Cibinong, Parung, Kemang, Ciseeng, Gunung Sindur, dan Rumpin terletak di wilayah kering dengan rataan curah hujan berturut-turut 300 mm dan 286 mm setiap bulan dalam setahun pada lima tahun terakhir. Suhu maksimum-minimum serta kelembaban setiap bulan di wilayah Kabupaten Bogor sebesar 22,5-31,5ºC, dan 84,5% pada tahun yang sama (Badan Meteorologi dan Geofisika 2006).
3.4 Populasi Penelitian Peternakan contoh pada penelitian ini adalah peternak berskala besar (usaha) dengan kisaran populasi sebanyak 30.000 sampai >100.000 ekor, terdiri dari beberapa kelompok dengan populasi sekitar 10.000 ekor/kelompok. Ayam dipelihara dengan sistem kandang baterai dari kawat dengan kepadatan antara enam ekor sampai 11 ekor setiap kandang dengan rata-rata jumlah kandang 250 buah setiap kelompok. Tempat pakan dan minum terbuat dari seng atau pipa PVC, beberapa telah dilengkapi dengan nipple. Sebagian peternak memelihara ayamnya sejak ayam kutuk (ayam berumur sehari atau DOC), dengan lokasi pemeliharaannya berdekatan atau satu lokasi dengan kandang baterai, ada pula yang berjarak sekitar 500 m hingga 1 km dari lingkungan kandang baterai. Secara keseluruhan terdapat tiga variasi ras ayam petelur yang dipelihara para peternak yaitu Isa Brown, Lochmann, dan Hisex, beberapa peternak memelihara campuran antara dua ras. Umur ayam berkisar antara pulet (14 minggu) sampai menjelang afkir (80 minggu). Sehubungan dengan pengendalian kecacingan, jenis dan waktu pemberian antelmintika berbeda-beda di antara peternak-peternak, sebagian hanya mengobati ketika diketahui ada infeksi saja. Setiap pengumpulan ayam contoh, pada tempat dan waktu yang sama juga mengumpulkan kumbang dan lalat contoh dari masing-masing peternakan.
3.5 Jumlah dan Pengambilan Contoh Penelitian observasional ini menggunakan metode Lintas Bagian (crosssectional). Pengumpulan ayam contoh dilakukan secara acak sederhana menurut rumus ukuran contoh Thrushfield (1995) yaitu n = z2PQ/L2, dengan keterangan
29
bahwa n = jumlah ayam contoh, z = tetapan bernilai 2, P = dugaan rataan prevalensi, Q = 1-P, dan L = 0,1 untuk derajat kepercayaan dugaan prevalensi sebesar 95%. Angka prevalensi sestodosis pada ayam petelur komersial yang dipelihara dalam kandang baterai belum diketahui. Untuk mencapai derajat kepercayaan sebesar 95% maka dugaan nilai prevalensi pada penelitian ini ditentukan sebesar 50%, dengan harapan jumlah contoh dapat mewakili. Dengan demikian jumlah ayam contoh adalah n = 2x[(2)2x0,5x0,5/0,102] = 192 ekor ayam contoh. Faktor pengali dua adalah pengamatan dua kelompok umur pulet dan produktif. Pengumpulan lalat dan kumbang dilakukan sebanyak-banyaknya di sekitar kandang baterai ayam contoh.
3.6 Pengamatan Parasitologi 3.6.1 Penghitungan telur cacing tiap gram tinja (ttgt) Penghitungan ttgt menggunakan metode McMaster (Permin & Hansen 1998) dengan pengenceran tinja 1:30 dilakukan sebelum ayam dikurbankan. Selain pemeriksaan tinja, dilakukan juga pemeriksaan manur untuk mengetahui adanya telur sestoda/proglotida gravid menggunakan metode modifikasi flotasi menurut Shaikenov et al. (2004).
3.6.2 Pengumpulan, penghitungan, dan identifikasi sestoda Seluruh ayam dikurbankan, saluran pencernaan yang meliputi esofagus sampai rektum dikeluarkan dari tubuh ayam, digunting longitudinal sehingga lumen terbuka. Sestoda yang ditemukan
diambil secara hati-hati tanpa
meninggalkan skoleks menggunakan jarum kolektor. Cacing yang terkumpul dibilas beberapa kali dengan NaCl 0,86%, sebagian spesimen disimpan dalam larutan alkohol 10% di dalam refrigerator selama 24 jam untuk relaksasi dilanjutkan dengan fiksasi dalam larutan alkohol 70% dingin. Jumlah cacing dihitung per individu ayam untuk mengetahui derajat infeksi. Sestoda yang terkumpul sebagian diwarnai dengan medium Berlese untuk skoleks dan semichon’s acetocarmin untuk proglotida dewasa menurut (Kruse & Pritchard 1982) dilanjutkan identifikasi untuk mengetahui keragaman jenisnya. Identifikasi
30
sestoda mengikuti ciri-ciri yang dideskripsikan oleh Yamaguti (1959), dan Wardle & McLeod (1952). Sebagian spesimen sestoda disimpan dalam larutan phosphat buffer saline (PBS) untuk keperluan analisis profil protein.
3.6.3 Pengumpulan lalat M. domestica Pengumpulan lalat dilakukan sebanyak-banyaknya dengan menggunakan tangguk serangga (sweep net) di bawah kandang, di atas manur, dan di sekitar tempat pakan ayam contoh (Beintema et al. 1990). Lalat yang terkumpul dimasukkan ke dalam kurungan kain kasa nilon halus berkerangka kayu berukuran 40x40 cm dilengkapi dengan larutan gula dalam botol plastik yang diberi sumbu kapas. Lalat tersebut dibawa dalam keadaan hidup ke laboratorium. Secara bertahap lalat M. domestica dipisahkan melalui identifikasi di bawah mikroskop stereo menggunakan kunci Tumrasvin & Shinonaga (1978).
3.6.4 Pengumpulan kumbang A. diaperinus Kumbang A. diaperinus dikumpulkan sebanyak-banyaknya dengan mengumpulkan manur sebagai media biologisnya. Manur dikumpulkan dari bawah kandang di sekitar tiang-tiang penyangga, serta tinja yang menempel dan mengering di kandang baterai ayam contoh.
Pengumpulan sampel manur
dilakukan secara manual menggunakan sekop kecil berukuran 300 cc sebanyak tiga sekop di bagian permukaan dan bagian agak dalam pada setiap lokasi (Geden & Stoffolano 1988 dalam: Watson et al. 2000). Kumbang yang terkumpul dimasukkan ke dalam toples plastik bertutup kain kasa nilon halus, dibawa ke laboratorium dalam keadaan hidup. Tahap selanjutnya adalah pemisahan jenis kumbang A. diaperinus di bawah mikroskop stereo menggunakan kunci Bousquet (1990).
3.6.5 Pengumpulan, penghitungan, dan identifikasi sistiserkoid Sistiserkoid dikumpulkan dari hasil pembedahan M. domestica dan A. diaperinus dengan prosedur sama. Sebelum pembedahan spesimen serangga dicuci dan dibilas tiga kali dalam larutan fisiologis NaCl 0,85% steril menggunakan pengocok elektrik selama 20 detik setiap bilasan. Selanjutnya
31
diletakkan di atas gelas obyek, bagian-bagian tungkai, dan sayap dipotong dan dibuang. Kemudian larutan fisiologis steril diteteskan pada gelas obyek sebanyak tiga tetes pada tempat terpisah. Tubuh spesimen serangga dipotong menjadi tiga bagian yaitu kepala, toraks dan abdomen, setiap bagian diletakkan pada tiap tetesan larutan fisiologis yang telah disiapkan. Dengan menggunakan jarum bedah serangga, bagian tubuh lalat tersebut dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil, sistiserkoid akan mudah dibebaskan dari rongga tubuh serangga ke dalam cairan fisiologis. Pengumpulan, identifikasi, dan penghitungan sistiserkoid dilakukan di bawah mikroskop stereo. Sistiserkoid yang terkumpul dari setiap lalat maupun kumbang dihitung dan disimpan dalam tabung-tabung eppendorf 1,5 ml berisi larutan PBS. Panjang dan lebar sistiserkoid, protoskoleks, serta batil hisap, panjang serkomer, dan posisi protoskoleks diukur. Spesimen sistiserkoid dibagi menjadi dua bagian masing-masing untuk keperluan infeksi coba dan analisis profil protein.
3.6.6 Infeksi coba sistisekoid lapangan pada ayam, tikus, dan mencit coba Sebanyak 20 ekor ayam petelur berumur delapan minggu yang telah dibebas cacingkan
dibagi menjadi lima kelompok perlakuan infeksi. Satu
kelompok diinfeksi dengan NaCl fisiologis sebagai kelompok kontrol. Empat kelompok yang lain masing-masing dua kelompok diinfeksi dengan sistiserkoid dari kumbang dan lalat coba berturut-turut dengan dosis lima dan 10 sistiserkoid dengan menggunakan sonde lambung. Sebelum diinfeksi ayam coba dipuasakan selama 12 jam. Ayam coba diberi pakan dan minum ad libitum di kandang baterai individu
berkelambu.
Setelah
tiga
minggu
ayam
dikurbankan
untuk
mengumpulkan sestoda hasil infeksi yang dilanjutkan dengan identifikasi kemudian dicocokkan dengan jenis sestoda yang ditemukan pada infeksi alami. Perlakuan infeksi sistiserkoid asal kumbang pada tikus dan mencit coba dilakukan dengan prosedur yang sama sebagai kontrol positif. Sebanyak masingmasing 27 ekor tikus dan mencit berumur enam minggu yang telah dibebas cacingkan dibagi menjadi sembilan kelompok perlakuan infeksi. Satu kelompok diinfeksi dengan NaCl fisiologis sebagai kelompok kontrol. Delapan kelompok yang lain diinfeksi dengan kelompok sistiserkoid gelembung besar dan
32
sistiserkoid gelembung kecil masing-masing lima ekor dan 10 ekor menggunakan sonde lambung. Sebelum diinfeksi tikus/mencit coba dipuasakan selama 24 jam. Tikus/mencit coba diberi pakan dan minum ad libitum di kandang individu berupa bak plastik berukuran 30x40 cm dengan tutup kawat di atasnya kemudian dibungkus kain kasa. Setelah tiga minggu tikus/mencit dikurbankan dengan kapas-kloroform secara inhalasi untuk mengumpulan sestoda hasil infeksi yang dilanjutkan dengan identifikasi.
3.7 Identifikasi sistiserkoid melalui karakterisasi profil protein whole worm extract (WWE) dengan metode sodium dedocyl sulfat-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) Sebanyak 12 sampel whole worm extract (WWE) terdiri dari sistiserkoid asal lalat M. domestica, sistiserkoid asal kumbang A. diaperinus, sestoda ayam, serta sestoda tikus dan mencit. Empat sampel WWE sistiserkoid asal lalat dan dua sampel WWE sistiserkoid asal kumbang berasal dari individu lalat dan kumbang yang berbeda. Demikian pula dua jenis sestoda ayam yaitu C. infundibulum dan Raillietina (Raillietina sp., R. tetragona, dan R. cesticillus) berasal dari individu ayam berbeda. Adapun WWE sestoda tikus (Hymenolepis diminuta) dan mencit (H. microstoma) diperoleh dari stok laboratorium Helmintologi . 3.7.1 Preparasi protein WWE sestoda dan sistiserkoid Sestoda dan sistiserkoid yang telah dicuci dan dibilas PBS digerus dan diresuspensi dengan PBS pH 7,4. Suspensi tersebut kemudian disonikasi, dilanjutkan dengan sentrifugasi dengan 12.000 G selama 30 menit pada suhu 40C. Supernatan yang diperoleh dikumpulkan masing-masing sebagai suspensi crude WWE sestoda dan crude WWE sistiserkoid (Kato et al. 2005). Tahapan perlakuan pengendapan (Scopes 1987) hanya dilakukan pada sampel yang jumlahnya mencukupi untuk karakterisasi berikutnya.
3.7.2 Karakterisasi protein WWE sestoda dan sistiserkoid Jumlah total sampel yang dianalisis sebanyak 18 sampel WWE terdiri dari 11 sampel sestoda ayam, satu sampel sestoda mencit, satu sampel sestoda tikus, empat sampel sistiserkoid asal M. domestica, dan dua sampel sistiserkoid asal
33
A. diaperinus. Karakterisasi protein WWE dilakukan dengan teknik elektroforesis menggunakan metode SDS-PAGE (Bio Rad) menurut Laemmli (1970) yang dimodifikasi. Pada penelitian ini menggunakan 12% gel pemisah dan 4% gel pengumpul dalam Tris-HCl. Proses running selama 120 menit dengan arus listrik bertegangan 40 volt/12mA pada suhu kamar. Polipeptida yang digunakan sebagai standar berat molekul (Sigma) terdiri dari beta-galactosidase (116,0 kDa), bovine serum albumin (66,2 kDa), ovalbumin (45,0 kDa), lactate dehydrogenase (35,0 kDa), REase Bsp981 (25 kDa), beta-lactoglobulin (18,4 kDa), dan lysozyme (14,4 kDa). Pewarnaan pita-pita protein menggunakan pewarnaan perak. Penghitungan estimasi berat molekul setiap fraksi protein sampel yang dapat diamati dengan membandingkan jarak migrasinya dengan jarak migrasi protein penanda.
3.8 Analisis Data Jenis-jenis sestoda yang ditemukan pada setiap dan antar peternakan dianalisis secara deskriptif. Pengaruh faktor-faktor asal inang (umur, kelompok populasi, adanya ayam kutuk, dan ras ayam), tipe iklim, dan tata laksana peternakan (sistem pemeliharaan terbuka dan tertutup, struktur bangunan kandang, pemberian antelmintika, dan pembuangan manur) terhadap kejadian sestodosis/sistiserkoidosis di uji dengan Chi-square. Perbedaan derajat infeksi serta distribusi infeksi setiap jenis sestoda antar peternakan dianalisis dengan uji T dan analisis ragam satu arah serta uji non parametrik Kruskal Wallis (Sokal & Rohlf 1981). Adapun untuk mengetahui besarnya pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap kejadian sestodosis/sistiserkoidosis dianalisis dengan regresi logistik (Hosmer & Lemeshow 2000, Danardono 2006) dengan persamaan: Logit (Pi) = β0 + β1X1 + β2X2 + …………………. + βkXk Pi X1 sampai Xk β1 sampai βk β0
= peluang kejadian sestodosis memiliki nilai Y=1 jika terinfeksi sestoda/metasestoda, Y=0 jika tidak terinfeksi sestoda/metasestoda = faktor penjelas terhadap Y, yaitu faktor-faktor (risiko) yang mempengaruhi sestodosis = besarnya pengaruh X1 sampai Xk terhadap nilai Y (faktor-faktor risiko terhadap sestodo- sis) = konstanta 34
2
1
10 sampel peternakan ayam petelur komersial
3
ayam petelur tiap peternakan: 10 x 22 ekor
Gambar 2
sampel manur
serangga tersangka inang antara: 81-491 ekor A. diaperinus dan 85-802 ekor M. domestica
Bagan alur pengumpulan sampel ayam, manur, dan serangga tersangka inang antara. 1 Observasi sestodosis pada ayam. 2 Observasi sistiserkoidosis pada inang antara. 3 Observasi telur/proglotida gravid sestoda dalam manur.
ayam disembelih 5 gram manur
1
sestoda
2
3
telur sestoda
4 Jenis Prevalensi Derajat infeksi
Gambar 3
5 ttgt
telur sestoda
6 telur/gram manur
Bagan alur perlakuan setiap ekor sampel ayam dan manur. 1 Pengumpulan sestoda. 2 Pemeriksaan telur dalam tinja ayam. 3 Pemeriksaan telur dalam manur. 4 Identifikasi, penghitungan prevalensi, dan derajat infeksi sestoda lapangan. 5 Menghitung ttgt infeksi lapangan. 6 Menghitung telur sestoda dalam manur.
35
sistiserkoid asal A. diaperinus
sistiserkoid asal M. domestica
1
1 M. domestica
A. diaperinus d i
3
2 4 tikus coba
ayam coba identifikasi
sestoda hasil infeksi sistiserkoid M. domestica
Gambar 4
5
sestoda hasil infeksi sistiserkoid A. diaperinus
Bagan alur infeksi sistiserkoid lapangan pada ayam dan tikus coba. 1 Pembedahan setiap jenis inang antara untuk mengumpulkan sistiserkoid. 2 Infeksi sistiserkoid asal A. diaperinus pada tikus coba. 3 Infeksi sistiserkoid asal A. diaperinus pada ayam coba. 4 Infeksi sistiserkoid asal M. domestica pada ayam coba. 5 Identifikasi sestoda hasil infeksi coba.
1
3
4 2 5
5
4 hasil analisis profil protein WWE dengan metode SDS-PAGE
Gambar 5
Bagan alur analisis profil protein WWE sistiserkoid dan sestoda asal peternakan. 1 dan 2 Pengumpulan sestoda dari ayam. 3 dan 4 Pengumpulan sistiserkoid dari serangga. 5 Analisis profil protein WWE sestoda dan sistiserkoid dengan Metode SDS-PAGE.
36
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Analisis Faktor-Faktor Risiko Infeksi Cacing Pita pada Ayam Ras Petelur Komersial di Daerah Bogor
4.1.1 Kondisi umum fisik dan tata laksana peternakan Di antara sepuluh peternakan yang diamati pada penelitian ini secara geografis terletak pada tipe iklim yang berbeda menurut banyaknya bulan basah dan kering di wilayah Kabupaten Bogor (Oldeman 1975). Kecamatan Cigudeg, Nanggung, dan Leuwisadeng terletak di wilayah basah dengan rataan curah hujan per bulan sebanyak 300 mm, sedangkan enam kecamatan yang lain
yaitu
Cibinong, Parung, Kemang, Ciseeng, Gunung Sindur, dan Rumpin terletak di wilayah kering dengan rataan curah hujan 286 mm per bulan dalam setahun pada lima tahun terakhir. Ketinggian tiga wilayah yang disebutkan pertama 349 m di atas permukaan laut (dpl), terletak lebih tinggi dibandingkan enam kecamatan yang lain yaitu 166 m dpl. Suhu maksimum-minimum serta kelembaban per bulan di wilayah Kabupaten Bogor sebesar 22,5-31,5 ºC, dan 84,5% pada tahun yang sama (BMG 2006). Data tipe iklim di wilayah Jawa Barat sampai sekarang belum mengalami revisi setelah puluhan tahun. namun masih dipakai sebagai pedoman dasar khususnya Kabupaten Bogor. Oleh karena itu jika mengamati data cuaca pada tahun-tahun terakhir ini tampak kurang sesuai lagi dengan status tipe iklim yang telah dipetakan. Menurut peta tipe iklim, pada enam wilayah peternakan (Kemang, Ciseeng, Parung, Cibinong, Gunung Sindur, dan Rumpin) cenderung bertipe iklim C disebutkan lebih sedikit jumlah bulan basahnya, ternyata terdapat delapan bulan basah pada lima tahun terakhir. Namun terdapat pula sekitar dua bulan memiliki rataan curah hujan <100 mm bahkan nol. Pada tiga wilayah kecamatan yang lain (Leuwisadeng, Cigudeg, dan Nanggung) cenderung bertipe iklim A dengan jumlah bulan basah lebih banyak yaitu 10 bulan. Tampaknya perbedaan jumlah bulan basah maupun rataan curah hujan dengan tipe C tidak signifikan, namun rataan curah hujan setiap bulan dalam setahun di wilayah tipe A relatif lebih tinggi yaitu >300 mm.
37
Seluruh sampel peternakan tergolong peternak skala usaha komersial dengan populasi paling sedikit 30.000 ekor dan terbanyak lebih dari 100.000 ekor, biasanya dibagi menjadi kelompok-kelompok (flock). Populasi setiap kelompok bervariasi setiap peternakan, minimal 2500 ekor/kelompok, dan setiap kandang baterai diisi 6-12 ekor ayam produktif. Jenis Isa Brown adalah ras terbanyak (40%) berturut-turut diikuti ras Lochmann 22%, Hisex 5%, dan beberapa peternak memelihara campuran ras Lochmann dan Hisex 33%. Dari ayam yang terkumpul, umur yang terbanyak (50%) adalah ayam yang berstatus afkir atau menjelang afkir yaitu berumur >50 minggu. Adapun yang sedang produktif yaitu antara 20-50 minggu sebanyak 22% dan yang masih pulet atau menjelang produktif yaitu <20 minggu sebanyak 28%. Beragamnya letak geografis, kondisi fisik peternakan, sanitasi secara umum, serta tata laksana menunjukkan pula gambaran prevalensi sestodosis yang beragam pula pada setiap peternakan. Secara umum stuktur bangunan kandang berkerangka kayu dan tembok (90%), beratap genting atau asbes/seng, dan lantai semen, tiga di antaranya berlantai tanah.
Peternakan rata-rata menggunakan
kandang baterai dari kawat. Tempat pakan dan minum terbuat dari seng atau pipa PVC, beberapa telah dilengkapi dengan nipple sehingga tumpahan pakan maupun air minum diminimalisir. Pemanenan telur juga menggunakan roda berjalan dari dalam kandang selanjutnya diseleksi diluar kandang. Kedalaman tempat penampungan tinja tidak terlalu tinggi namun pembuangannya disapu ke luar kandang dengan tenaga listrik yang diatur secara otomatis. Tata laksana yang demikian tidak memberi peluang untuk perkembangbiakan serangga sebagai inang antara yang potensial. Pada kondisi yang demikian seharusnya tidak terjadi sestodosis karena tidak ada peluang transmisi. Hal ini terjadi karena peternakan ini membeli ayam pulet dari perusahaan lain, sehingga kemungkinan terinfeksi ketika sebelum ternak dimasukkan ke dalam kandang baterai (antara periode kutuk hingga pulet). Menurut pengamatan Siahaan (1993) infeksi sestoda pada ayam buras yang diumbar dapat terjadi sejak sebelum pulet. Dua peternakan yang angka kejadiannya 0% satu di antaranya adalah peternakan tertutup dengan sistem kandang bongkar-pasang (knock-down) dan memelihara sendiri ayam petelur sejak kutuk. Satu-satunya peternakan terbuka yang angka sestodosisnya 0% juga
38
A
B
Gambar 6 Peternakan ayam petelur sistem terbuka (open house)
A
B
C
D
Gambar 7
Peternakan ayam petelur sistem kandang tertutup (close house). A. Sistem kandang bongkar-pasang, B. Kandang permanen, C. Distribusi pakan secara otomatis, D. Distribusi minum secara otomatis.
39
A
B
C
D
Gambar 8
Beberapa bentuk dan kedalaman pitfall. A. Pengangkatan tinja otomatis, B. Kedalaman 5m, C. Kedalaman <50 cm, D. Kedalaman <1m.
memelihara kutuk, sanitasi sekitar kandang relatif kering, jarak antar kelompok maupun antara kandang baterai dengan permukaan tanah relatif jauh. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal pemberian antelmintika secara periodik teratur dengan antelmintika berspektrum luas. Sebagian besar sampel peternakan (delapan peternakan) menerapkan sistem peternakan terbuka (open house), sedangkan dua peternakan yang lain memakai sistem peternakan tertutup (close house) dengan kualitas tata laksana yang beragam (Gambar 6 dan 7). Kondisi lingkungan di sekitar kandang sistem terbuka secara umum relatif bersih-sedang, menimbulkan bau menyengat jika terdapat tumpukan tinja yang basah, dan drainase yang kurang baik. Hampir semua peternakan telah membuat pitfall (Gambar 8) dengan kedalaman yang bervariasi, namun tata laksana pembuangan tinja tidak seragam kecuali pada sistem tertutup dibuang dengan cara dikeruk secara otomatis. Sebanyak 84% dari
40
10 peternakan mengangkat tinja secara tidak teratur, 11% dilakukan secara periodik setiap dua bulan sekali atau lebih. Dengan demikian kemungkinan besar tersedianya media perindukan serangga terutama lalat M. domestica. Kondisi ini juga tercermin dari variasi jumlah lalat yang tertangkap di setiap peternakan. Sebanyak 50% dari 10 sampel peternakan memelihara ayam petelur sejak kutuk (ayam berumur sehari atau DOC). Lokasi pemeliharaan kutuk ada yang berdekatan bahkan satu lokasi dengan kandang baterai, ada pula yang berjarak sekitar 500 m hingga satu kilometer. Sehubungan dengan pengendalian kecacingan, pemberian antelmintika tidak diimbangi dengan tata laksana lingkungan yang dapat menunjang keefektifan pengendalian. Jenis dan waktu dan metode pemberian antelmintika berbeda-beda diantara peternak-peternak. Sebagian besar peternak (62%) mengobati secara periodik setiap 3-6 bulan sekali, sisanya memberikan obat hanya ketika mengetahui dengan pasti bahwa ternaknya kecacingan dari hasil nekropsi.
4.1.2 Jenis-jenis sestoda yang ditemukan Temuan jenis sestoda pada penelitian ini berdasarkan pengamatan morfologi dari 330 proglotida dewasa dan 330 proglotida gravid, serta 29 skoleks. Berdasarkan ciri-ciri morfologi proglotida dewasa/gravid dan skoleks menurut Khalil et al. (1994), Morgan dan Hawkins (1960), Wardle dan McLeod (1952), Yamaguti (1959), Soulsby (1982), Wehr (1972), Reid (1984), dan Lapage (1956), ditemukan tiga genus sestoda yaitu Raillietina, Choanotaenia, dan Hymenolepis. Genus Raillietina dan Choanotaenia lebih sering ditemukan dari pada Hymenolepis. Raillietina merupakan sestoda yang paling sering ditemukan pada peternakan ayam terutama yang dipelihara dengan sistem kandang terbuka atau dengan kandang baterai (Eshetu et al. 2001; Ashenafi & Eshetu 2004; O’Callaghan 2003; Irungu 2004). Jenis sestoda yang terdapat pada tempat dan waktu tertentu berkaitan dengan keberadaan jenis inang antara yang spesifik di lingkungan ternak.
Pengaruh yang nyata dari sistem kandang dan periode
pengangkatan tinja berhubungan dengan keberadaan inang antara yang hidup di lingkungan manur, sedangkan waktu pemberian antelmintika akan mempengaruhi prevalensi maupun derajat infeksi sestoda pada ternak ayam. Tinja ayam penderita
41
sestodosis yang mengandung proglotida gravid atau telur sestoda akan jatuh ke lingkungan manur sebagai sumber infeksi bagi inang antara yang cocok. Perbedaan kejadian setiap jenis sestoda diduga disebabkan oleh populasi masingmasing jenis inang antara, didukung oleh kondisi fisik lingkungan dan tata laksana peternakan yang mendukung keberhasilan transmisi.
Raillietina Jenis-jenis
Raillietina
yang
ditemukan
adalah
R.
tetragona,
R.echinobothrida, dan R. cesticillus. Raillietina adalah genus yang paling banyak dari Famili Davaineidae. Ciri-ciri umum yang dapat diamati pada skoleksnya adalah adanya deretan kait pada rostelum maupun batil hisap. Rostelum yang retractable (mudah diamati jika cacing dalam keadaan aktif) dengan 2-3 baris kait berbentuk huruf “T” atau mirip seperti bentuk palu. Sepasang organ reproduksi dengan lubang genital tunggal, terletak unilateral atau selang-seling beraturan dan/atau tidak beraturan (Gambar 9E). Pada proglotida gravid tampak ciri perkembangan uterus berupa kapsul-kapsul parensimatus yang berisi satu atau lebih dari satu butir telur (Gambar 9D). Hasil pengamatan pada 11 buah sediaan skoleks ditemukan tiga tipe morfologi skoleks (Gambar 9) dengan variasi bentuk dan ukuran skoleks dan leher, rostelum (Gambar 9A, 9B, dan 9C), batil hisap (Gambar 9A, 9B, dan 9C), dan adanya kait (Gambar 9A, 9B, dan 9C). Tipe skoleks A memiliki bagian leher yang sangat jelas dan lebih langsing dibandingkan yang lainnya. Rataan ukuran diameter skoleks, rostelum, dan batil hisap
berturut-turut
sebesar
(391.9±90,1)
µm,
(65.25±27.22)
µm,
dan
(148,6±50,3) µm. Pada tipe A dan B terdapat kait pada batil hisap maupun rostelumnya yang berbentuk mirip palu, namun tipe C tanpa kait pada batil hisapnya. Diameter rostelum tipe C tampak mencolok lebih lebar dibandingkan A dan B sehingga batil hisapnya tampak jauh lebih kecil. Pengamatan pada sejumlah 260 proglotida dewasa dan gravid meliputi panjang serta lebarnya, posisi lubang genital, bentuk, ukuran, serta posisi kantung sirus terhadap saluran ekskretori, dan adanya perkembangan uterus gravid yang membentuk kapsul-kapsul telur. Rataan panjang dan lebar
proglotida dewasa (Gambar 9E dan 9F) sebesar
(346,4±386,8)x(170,3±246,9) µm. Posisi lubang genital bervariasi antara
42
c b
b
c
c a bcc
a
B
C
dd
D
Gambar 9
E
E
e
G
e
G
A
F
Raillietina yang ditemukan. A, B, dan C. Variasi morfologi skoleks. D dan G. Variasi morfologi proglotida gravid. E dan F. Variasi morfologi proglotida dewasa. a Kait rostelum dan batil hisap. b Batil hisap. c Rostelum. d Kantung sirus bermuara di lubang genital. E Ovarium dan kelenjar vitelin.
medioanterolateral
hingga
medioposterolateral
secara
selang-seling
tidak
beraturan. Kantung sirus yang diamati bervariasi berbentuk relatif bulat hingga lonjong bahkan cenderung memanjang, dengan rataan panjang dan lebar sebesar (33,70±33,45)x(22,56±24,47) µm (Gambar 9d). Kelenjar vitelin dan uterus tampak dominan menyerap warna berbentuk khas organ reproduksi betina Raillietina (Gambar 9e). Gambaran umum proglotida gravid (Gambar 9D dan 9G) dengan adanya kapsul-kapsul telur dengan variasi jumlah telur di dalamnya merupakan ciri khas Raillietina. Rataan panjang dan lebar proglotida gravid sebesar (560,6±614,9)x(398,5±478,7) µm. Berdasarkan ciri-ciri morfologi skoleks di atas maka ditemukan tiga spesies dari genus Raillietina yaitu R. tetragona (Gambar 9A), R. echinobothrida (Gambar 9B), dan R. cesticillus (Gambar 9C). Adapun ciri-ciri proglotida dewasa dan gravid pada ketiga spesies tersebut berbeda pada morfometrinya (Wardle & McLeod 1952; Khalil et al. 1994).
43
Choanotaenia infundibulum a
b
d c
A Gambar 10
B
C
Choanotaenia infundibulum yang ditemukan A. Skoleks. B. Proglotida dewasa. C. Proglotida gravid. a Rostelum. b Batil hisap. c Organ reproduksi betina. d Telur bebas di antara sel parensim.
Selain Raillietina, ditemukan famili Dilepididae yaitu C. infundibulum (Gambar 10). Skoleksnya berbentuk khas seperti corong (Gambar 10A) berdiameter (442,1±115,6) µm, dengan ciri-ciri umum adanya deretan kait pada rostelum namun tidak terdapat pada batil hisapnya. Diameter batil hisapnya relatif sedikit lebih besar dibandingkan dengan Raillietina sehingga tampak sangat mencolok dengan rataan ukuran sebesar (167,9±61,4) µm (Gambar 10A). Kantung rostelum sangat jelas (Gambar 10A), dengan rostelum berdiameter (70,35±23,72) µm, berstruktur muskulo-glandular yang dilengkapi sederet kait. Pengamatan pada sejumlah 69 buah proglotida dewasa dan gravid meliputi panjang serta lebarnya, posisi lubang genital, bentuk, ukuran, serta posisi kantung sirus terhadap saluran ekskretori, dan adanya perkembangan uterus gravid yang membentuk atau tidak membentuk kapsul-kapsul telur. Rataan panjang dan lebar proglotida dewasa (Gambar 10B) sebesar (270,1±332,4)x(149,5±254,4) µm, berbentuk seperti bangun trapesium. Posisi lubang genital di anterolateral proglotida secara selangseling tidak beraturan. Hanya sebagian organ betina yang dapat diamati yaitu ovarium dan kelenjar vitelaria (Gambar 10B). Kantung sirus berbentuk relatif bulat
hingga
lonjong,
dengan
rataan
panjang
dan
lebar
sebesar
(30,34±35,48)x(23,1 ±27,64) µm. Gambaran umum proglotida gravid (Gambar 10C) tidak tampak adanya kapsul-kapsul telur, telur bebas di antara sel parensim dengan dinding bagian luar sangat tipis. Rataan panjang dan lebar proglotida gravid sebesar (464,8±495,3)x (389,8±414,5) µm.
44
Hymenolepis cantaniana
a c b
A Gambar 11
B
Hymenolepis cantaniana yang ditemukan. A. Skoleks. B. Proglotida dewasa. a Batil hisap. b Rostelum c Testes
Hymenolepis adalah jenis sestoda yang paling sedikit ditemukan yaitu hanya seekor ayam yang terinfeksi oleh seekor cacing. Ciri khas untuk mengenal genus ini adalah berukuran sangat kecil dan jumlah testes yang khas tersusun secara transversal pada proglotida dewasa (Gambar 11A dan 11B) (Khalil et al. 1994; Morgan dan Hawkins 1960; Wardle & McLeod 1952; Yamaguti 1959). Panjang seluruh strobila 20 mm dan telah mengandung proglotida gravid. Diameter skoleks dan batil hisap berturut-turut sebesar 135 µm dan 60 µm (Gambar 11A dan 11a). Ciri-ciri umum yang dapat diamati pada skoleksnya adalah rostelum maupun batil hisap tanpa kait. Sepasang organ reproduksi dengan lubang genital tunggal, terletak unianterolateral. Berdasarkan ciri-ciri rostelum serta diameter skoleks maupun batil hisapnya cacing ini termasuk dalam kisaran ukuran skoleks maupun batil hisap H. cantaniana maupun H. carioca. Namun dari ukuran strobila cenderung lebih pendek maka diidentifikasi sebagai H. cantaniana. Ciri yang lain tidak dapat diamati karena seleksi hasil pewarnaan tidak dapat dilakukan sehubungan dengan terbatasnya jumlah spesimen.
4.1.3 Distribusi infeksi berdasarkan jenis sestoda pada setiap peternakan Dari total 202 ekor ayam yang diperiksa terinfeksi Raillietina sebanyak 58,70%, Choanotaenia 39,13%, dan Hymenolepis 2,17% (Tabel 2). Distribusi infeksi oleh jenis Raillietina dan Choanotaenia sangat berbeda (P<0,05) pada
45
Tabel 2 Distribusi infeksi oleh jenis-jenis (genus) sestoda pada setiap peternakan. No
Peternakan
Ayam terinfeksi (%) n (ayam)
Raillietina
Choanotaenia
Hymenolepis
1
Leuwisadeng
22
13,64
0,00
0,00
2
Nanggung
22
0,00
0,00
0,00
3
Cigudeg
22
19,05
9,52
0,00
4
Kemang
23
39,13
0,00
0,00
5
Parung
22
25,00
20,00
0,00
6
Cibinong
22
5,00
20,00
0,00
7
Ciseeng
14
42,86
0,00
7,14
8
Gunung Sindur
22
0,00
0,00
0,00
9
Rumpin A
11
0,00
9.09
0,00
10
Rumpin B
22
0,00
31,82
0,00
202
58,70
39,13
2,17
TOTAL
setiap peternakan dengan tingkat kejadian terendah berturut-turut sebesar 5% dan 9,09% dan tertinggi sebesar 42,86% dan 31,82%. Adapun infeksi Hymenolepis hanya ditemukan pada satu peternakan dengan tingkat kejadian 7,14%. Secara keseluruhan infeksi jenis Raillietina secara nyata dipengaruhi oleh sistem kandang, periode pengangkatan tinja, dan waktu pemberian antelmintika (P<0,05). Sedangkan jenis Choanotaenia dan Hymenolepis tidak dipengaruhi ketiga faktor tersebut kecuali pengaruh faktor pemberian antelmintika.
4.1.4 Total prevalensi dan derajat infeksi sestodosis Infeksi sestoda ditemukan pada delapan dari 10 peternakan contoh dengan tingkat kejadian yang sangat berbeda (P<0,05) antar peternakan. Dari kedelapan peternakan yang terinfeksi sestoda, infeksi paling rendah sebesar 9,09% terjadi di Rumpin A dan tertinggi sebesar 50% di Parung (Tabel 2). Secara umum prevalensi infeksi sestoda sangat dipengaruhi oleh tata laksana peternakan, periode pengangkatan tinja, dan waktu pemberian antelmintika (P<0,05). Walaupun tampak perbedaan yang nyata pada tingkat kejadiannya, namun rataan derajat infeksi antar peternakan tidak berbeda.
46
Tabel 3 Total prevalensi dan rataan derajat infeksi sestoda pada setiap peternakan PREVALENSI
DERAJAT INFEKSI
n (ayam)
Sestodosis (%)
(Sestoda per Ayam)
Leuwisadeng
22
13,64
0,77±2,62
2
Nanggungung
22
0,00
0
3
Cigudeg
22
31,82
1,55±3,84
4
Kemang
23
39,13
17,91 ± 53,95
5
Parung
22
50,00
5,27±8,13
6
Cibinong
22
27,27
5,86 ± 21,48
7
Ciseeng
14
42,86
4,07±6,70
8
Gunung Sindur
22
0,00
0
9
Rumpin A
11
9,09
0,27±0,91
10
Rumpin B
22
31,82
1,90±4,49
202
24,75
4,01±20,26
No
Peternakan
1
TOTAL
Derajat infeksi dari seluruh sampel ayam berkisar antara 3-256 cacing per ekor ayam. Ayam dari peternakan Kemang memiliki rataan derajat infeksi paling tinggi yaitu sebanyak (17,91±53,95) cacing. Rataan derajat infeksi terendah sebesar (0,27±0,91) cacing terdapat di peternakan Rumpin A (Tabel 3). 4.1.5 Pengaruh faktor-faktor ayam, lingkungan, dan tata laksana terhadap prevalensi dan derajat infeksi sestodosis Sampel ayam yang terkumpul dari 10 peternakan berasal dari berbagai variasi umur, populasi, dan ras ayam serta adanya pemeliharaan kutuk. Faktor lingkungan dan tata laksana bervariasi dalam hal tipe iklim, waktu pembuangan manur, serta tipe kandang dan pemberian antelmintika. Tidak semua faktor yang diamati berpengaruh secara nyata terhadap sestodosis maupun derajat infeksinya (Tabel 4, Gambar 12 dan 13). Pada penelitian ini umur ayam (P<0,01), tipe iklim lokasi peternakan (P<0,05), serta tata laksana kandang (P<0,01) mempengaruhi tingginya tingkat prevalensi sestodosis. Sestodosis lebih banyak (37,00%) terjadi pada ayam berumur >50 minggu dengan derajat infeksi paling tinggi sebesar (7,70±28,34) cacing. Adapun yang berumur <20 minggu dan 20 minggu hanya
47
Tabel 4
Prevalensi sestodosis menurut faktor inang (umur, populasi, ras), Iklim, dan tata laksana peternakan (sistem dan struktur kandang, pemberian antelmintika, pembuangan manur, dan pemeliharaan ayam kutuk).
No 1
Faktor Ayam
Umur (minggu)
n (ayam) total infeksi 58 6 44 7 100 37 77 11 125 39 67 20 11 1 80 20 44 9 66 10 136 40 33 1 169 49 191 49 11 1 22 6 55 19
<20 20-50 >50 Populasi (ribu ekor) ≤ 65 ribu ekor > 65 ribu ekor Hisex , loghman Ras Hisex Isa Brown Lochman 2 Lingkungan Tipe iklim Basah Kering 3 Tata laksana Sistem kandang Tertutup Terbuka Struktur kandang >50% kayu ≤50% kayu Pemberian Pulet dan puncak produksi antelmintika Jika ditemukan infeksi sestoda Setiap 3 dan 6 bulan sekali 125 25 Memelihara kutuk Tidak ada kutuk 92 26 Ada kutuk 110 24 Pembuangan manur Sekali dalam sebulan 22 6 Tidak teratur 169 43 Otomatis (elektrik) 11 1 Faktor risiko secara nyata (*) dan sangat nyata (**) mempengaruhi tingkat prevalensi sestodosis.
Prevalensi (%) 10,34 15,91 37,00** 14,29 31,20** 29,85 9,09 25,00 20,45 15,15 29,41* 3,03 28,99* 25,65 9,09 27,27 34,55 20,00 28,26 21,82 27,27 25,44 9,09
Derajat infeksi (ekor) 0,21 ± 0,79 0,64 ± 2,19 7,70 ± 28,34* 0,70 ± 2,54 6,05 ±25,50 7,88 ±32,40 0,27 ± 0,90 1,66 ± 4,30 3,32 ±15,34 0,77 ± 2,72 5,58 ±24,49 0,09 ± 0,52 4,78 ±22,07 4,23 ±20,81 0,27 ± 0,90 5,86 ±21,48 2,93 ± 6,15 4,16 5,77 2,54 5,86 4,01 0,27
±23,86 ±27,70 ±10,53 ±21,48 ±20,78 ± 0,90
48
Gambar 12
Prevalensi sestodosis menurut faktor inang (umur, populasi, dan ras ayam) dan iklim (basah dan kering).
49
Gambar 13
Prevalensi sestodosis menurut faktor tata laksana peternakan (sistem dan struktur kandang, pemberian antelmintika, waktu pembuangan manur, dan adanya pemeliharaan kutuk).
50
terinfeksi sebanyak 10,34% dan 15,91% dengan derajat infeksi lebih rendah yaitu berturut-turut sebanyak (0,21±0,79) dan (0,64±2,19) cacing. Angka prevalensi yang lebih tinggi (29,41%) juga terjadi pada peternakan yang terletak di daerah yang bertipe iklim kering dibandingkan yang beriklim basah (15,15%). Pengaruh yang nyata juga ditunjukkan oleh peternakan dengan sistem kandang terbuka. Tata laksana kandang dengan sistem ini ternyata menyebabkan kejadian infeksi yang sangat tinggi yaitu 28,99% dibandingkan dengan sistem tertutup hanya 3,03%. 4.1.6 Faktor-faktor risiko yang diduga mempengaruhi tingkat kejadian Sestodosis Faktor risiko infeksi parasit adalah semua faktor yang secara nyata meningkatkan peluang terjadinya transmisi (stadium infektif) parasit sehingga menyebabkan inang sakit. Satu faktor dengan faktor yang lainnya saling berkaitan satu sama lain dalam mendukung terjadinya penyakit. Pendugaan tingkat risiko kejadian infeksi sestoda melalui nilai Odds-Ratio (OR) yang disajikan pada Tabel 5 sampai dengan Tabel 9. Faktor asal inang yang berpengaruh nyata terhadap risiko terjadinya sestodosis pada penelitian ini adalah ayam yang berumur >50 minggu memiliki risiko terinfeksi sestoda sebesar 5,09 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ayam yang berumur <20 minggu (P<0,01) (Tabel 5). Ueta dan Avancini (1994) menyatakan bahwa ayam petelur komersial yang dipelihara pada kandang baterai dapat terinfeksi sestoda di sepanjang umur produktif. Dalam hal aplikasi antelmintika ternyata peternakan dengan prevalensi sestodosis paling tinggi pemberian antelmintika tidak teratur. Walaupun menggunakan jenis obat yang berbeda secara selang-seling ternyata satu diantaranya sama sekali tidak efektif untuk eliminasi sestoda. Walaupun hasil analisis faktor pemberian antelmintika dan pembuangan manur tidak menunjukkan pengaruh yang nyata, namun nilai korelasinya mendekati nyata. Dengan demikian kedua faktor tersebut perlu diperhatikan dalam mempengaruhi terjadinya sestodosis. Banyak faktor yang dapat meningkatkan infeksi cacing parasit saluran pencernaan antara lain tata laksana yang buruk (Ashenafi & Eshetu, 2004). Peternakan yang populasi ayamnya >65 ribu ekor memiliki risiko terinfeksi 2,72 kali lebih besar dibandingkan dengan peternakan yang populasinya ≤ 65 ribu ekor (P<0,01) (Tabel 5). Demikian pula dengan faktor iklim
51
dan tata laksana kandang. Pada area peternakan yang bertipe iklim kering berisiko infeksi 2,33 kali lipat dari iklim basah (P<0,05) (Tabel 6). Tata laksana kandang dengan sistem kandang terbuka 13,07 kali lebih besar risiko infeksinya dibandingkan yang tertutup (P<0,05) (Tabel 7). Pemilihan sistem kandang yang harus memperhatikan faktor risiko yang lain karena secara alami faktor-faktor risiko tersebut saling mempengaruhi. Faktor agro-ekologi di antaranya faktor perbedaan iklim juga mempengaruhi infeksi sestoda (Retnani et al., 2000; Mond et al., 2001). Di daerah dataran tinggi dengan suhu lebih rendah berpeluang infeksi lebih rendah (Eshetu et al., 2001), mungkin disebabkan terhambatnya perkembangan stadium awal larva infektif. Keberadaan dan jumlah stadium sistiserkoid dalam tubuh inang antara (Mond et al.; 2001) menggambarkan tingkat kejadian sestodosis pada ayam di tempat dan waktu tertentu. Kepadatan populasi inang serta sumber infeksi antar peternakan berbeda-beda. Oleh karena itu faktorfaktor biotik maupun abiotik yang meliputi inang, parasit, serta lingkungan yang mendukung terjadinya transmisi sangat berpengaruh terhadap prevalensi sestodosis. Nilai crude OR adalah menunjukkan pengaruh masing-masing faktor risiko sebagai faktor tunggal terhadap terjadinya sestodosis (Tabel 5, 6, dan 7). Adapun nilai adjusted OR adalah pengaruh faktor-faktor risiko sebagai multi faktor terhadap terjadinya sestodosis (Tabel 8). Hasil penghitungan menunjukkan bahwa ayam berumur >50 minggu memiliki risiko terinfeksi 5,58 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang berumur <20 minggu, sedangkan dengan umur 20-50 minggu walaupun lebih tinggi risikonya namun tidak nyata (Tabel 8). Tabel 9 adalah hasil analisis dengan menambahkan faktor antelmintika walaupun faktor tersebut tidak menunjukkan korelasi yang nyata terhadap kejadian infeksi. Nilai adjusted OR pada Tabel 9 menggambarkan pengaruh yang hampir sama dengan nilai crude OR. Perubahan nilai OR pada adjusted OR terjadi karena perubahan keterkaitan atau variasi faktor-faktor risiko (Tabel 8 dan 9).
52
Tabel 5
Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor inang (umur, berat badan, populasi, dan ras) terhadap kejadian infeksi sestoda
Faktor risiko Umur ayam : <20 minggu 20-50 minggu >50 minggu Berat badan : Populasi ayam : ≤ 65 ribu ekor > 65 ribu ekor Ras : Hisex dan Lochman Hisex Isa Brown Lochman
Infeksi N %
Tidak infeksi N %
Koefisien
P
Crude OR
6 7 37 50
10,34 15,91 37,00 24,75
52 37 63 152
89,66 84,09 63,00 75,25
0,494 1,627 0,001
0,407 0,001 0,004
1,00 1,64 5,09 1,00
11 39
14,29 31,20
66 86
85,71 68,80
1,001
0,008
1,00 2,72
20 1 20 9
29,85 9,09 25,00 20,45
47 10 60 35
70,15 90,91 75,00 79,55
0,180 0,511 0,273
1,00 0,24 0,78 0,60
−1,448 −0,244 −0,503
Tabel 6 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor iklim (basah dan kering) terhadap kejadian infeksi sestoda
Faktor risiko Iklim: Basah Kering
n 10 40
Infeksi % 15,15 29,41
Tidak infeksi n % 56 96
84,85 70,59
Koefisien
P
Crude OR
0,847
0,030
1,00 2,33 53
Tabel 7 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor tata laksana peternakan terhadap kejadian infeksi sestoda
Faktor risiko n Sistem kandang : Tertutup Terbuka Struktur kandang : >50% kayu ≤50 kayu Pembuangan manur : Sekali dalam 2 bulan Tidak teratur Otomatis Pemberian antelmintika : Pulet dan puncak produksi Jika ditemukan infeksi sestoda Sekali dalam 3 dan 6 bulan Memelihara kutuk : Tidak ada kutuk Ada kutuk
Infeksi %
Tidak infeksi n %
Koefisien
P
Crude OR
1 49
3,03 28,99
32 120
96,97 71,01
2,570
0,013
1,00 13,07
49 1
25,65 9,09
142 10
74,35 90,91
−1,238
0,243
1,00 0,29
6 43 1
27,27 25,44 9,09
16 126 10
72,73 74,56 90,91
0,853 0,252
1,00 0,91 0,27
6 19
27,27 34,55
16 36
72,73 65,45
0,341
0,539
1,00 1,41
25
20,00
100
80,00
−0,405
0,443
0,67
26 24
28,26 21,82
66 86
21,82 78,18
−0,344
0,292
1,00 0,71
−0,094 −1,321
54
Tabel 8
Nilai adjusted Odds-Ratio (OR) faktor risiko umur, berat badan, dan populasi ayam, iklim, dan sistem kandang terhadap tingkat kejadian sestodosis
Faktor risiko Umur ayam : <20 minggu 20-50 minggu >50 minggu Berat badan Populasi ayam : ≤ 65 ribu ekor > 65 ribu ekor Iklim : Basah Kering Sistem kandang : Tertutup Terbuka
Infeksi
Tidak infeksi n %
Koefisien
P
Adjusted OR
89,66 84,09 63,00 75,25
1,279 1,719 0,000
0,068 0,007 0,628
1,00 3,60 5,58 1,00
86 66
85,71 68,80
−19,625
0,997
1,00 0,00
15,15 29,41
56 96
84,85 70,59
20,944
0,997
1,00 1,24.109
3,03 28,99
120 32
96,97 71,01
0,997
1,00 2,09.109
n
%
6 7 37 50
10,34 15,91 37,00 24,75
52 37 63 152
11 39
14,29 31,20
10 40 1 49
21,463
55
Tabel 9
Nilai adjusted Odds-Ratio (OR) faktor risiko umur dan berat badan ayam, iklim, serta tata laksana sistem kandang dan pemberian antelmintika terhadap tingkat kejadian sestodosis.
Faktor risiko Umur ayam : <20 minggu 20-50 minggu >50 minggu Berat badan Iklim : Basah Kering Sistem kandang : Tertutup Terbuka Pemberian antelmintika : Pulet dan puncak produksi Jika ditemukan sestoda Sekali dalam 3 dan 6 bulan
Infeksi
Tidak infeksi n %
Koefisien
P
Adjusted OR
1,209 1,621 0,000
0,104 0,013 0,576
1,00 3,35 5,06 1,00
1,320
0,012
1,00 3,75
96,97 71,01
3,304
0,002
1,00 27,24
72,73 65,45 80,00
0,547 0,402
0,393 0,523
1,00 1,73 1,50
n
%
6 7 37 50
10,34 15,91 37,00 24,75
52 37 63 152
89,66 84,09 63,00 75,25
10 40
15,15 29,41
56 96
84,85 70,59
1 49
3,03 28,99
120 32
25 6 19
27,27 34,55 20,00
16 36 100
56
4.2
Potensi Lalat Musca domestica sebagai Inang Antara Cacing Pita pada Ayam Ras Petelur Komersial di Daerah Bogor
4.2.1 Prevalensi dan derajat infeksi sistiserkoid pada M. domestica Perbedaan lalat yang tertangkap di setiap peternakan mungkin disebabkan oleh kepadatan populasinya. Tingkat populasi lalat di lingkungan peternakan terutama berkaitan dengan ketersediaan media perindukannya. Dari dua peternakan dengan sistem kandang tertutup yang diamati memiliki pola tata laksana berbeda terutama dalam cara pembuangan tinja/manur dan lalu lintas petugas peternakan. Total jumlah lalat yang tertangkap sebanyak 3085 ekor yang jumlahnya bervariasi pada masing–masing peternakan. Paling banyak tertangkap di peternakan Rumpin B (802 ekor), berturut-turut hingga yang paling sedikit yaitu Gunung Sindur (526 ekor), Ciseeng (415 ekor), Parung (373 ekor), Cigudeg (285 ekor), Leuwisadeng (273 ekor), Kemang (186 ekor), Nanggung (140 ekor), dan Cibinong (85 ekor). Pada satu peternakan dengan sistem kandang tertutup, tidak ditemukan lalat di dalam kandang (Tabel 10) peternakan Rumpin A. Penyebab yang mudah dianalisis karena tinja dikeluarkan dengan mengeruk secara otomatis menggunakan tenaga listrik, kandang dilengkapi pendingin ruangan (air conditioner) dengan suhu sekitar 200C, dan pintu selalu tertutup, kecuali di luar kandang sekitar peternakan. Adapun di peternakan Gunung Sindur adalah kandang tertutup bersifat non permanen (knock-down). Walaupun dilengkapi dengan pendingin ruangan pintu sering dibuka, dan pembuangan tinja secara otomatis tidak selalu dioperasikan sehingga tinja agak menumpuk. Lalat yang paling banyak tertangkap adalah di peternakan Rumpin B. Tinggi kandang baterai peternakan tersebut kurang dari satu meter dari permukaan tanah, tinja yang jatuh menumpuk di atas permukaan tanah tanpa pitfall dan pembuangannya tidak teratur. Sistiserkoid hanya ditemukan pada lalat yang diperoleh dari enam peternakan yaitu peternakan Leuwisadeng, Nanggung, Cibinong, Parung, Ciseeng, dan Rumpin B. Dari total 3085 ekor lalat yang dibedah sebanyak 21 ekor (0,68%) mengandung
sistiserkoid.
Pembahasan
berikutnya
dihipotesiskan
bahwa
sistiserkoid lalat M. domestica adalah stadium metasestoda sestoda ayam. Kejadian infeksi paling tinggi terjadi di peternakan Parung (3,53%) yaitu pada
57
Tabel 10 Total prevalensi dan rataan derajat infeksi sistiserkoidosis pada lalat M. domestica di setiap peternakan. Prevalensi No
Peternakan
1
Leuwisadeng
2
Derajat infeksi (sistiserkoid per lalat)
Infeksi/ n (lalat) 1/273
Sistiserkoidosis (%) 0,37
Nanggung
1/140
0,71
0,01±0,09
3
Cigudeg
0/285
0,00
0,00±0,00
4
Kemang
0/186
0,00
0,00±0,00
5
Parung
3/85
3,53
0,04±0,19
6
Cibinong
10/373
2,68
0,32±3,21
7
Ciseeng
1/415
0,24
0,01±0,20
8
Gunung Sindur
0/526
0.00
0,00±0,00
9
Rumpin A
-
-
-
10
Rumpin B
5/802
0,62
0,01±0,20
3085
0,68
0,00±0,04
TOTAL
0,00±0,06
Keterangan: Tanda “-” tidak ditemukan lalat.
peternakan yang lalatnya paling sedikit tertangkap. Mirip dengan Rumpin B, tinggi kandang baterai kurang dari satu meter dari permukaan tanah dan tinja jatuh di atas permukaan tanah tanpa pitfall namun segera dikeruk dan dibuang sehingga permukaan tanah di bawah kandang tampak bersih dan kering. Sedikitnya lalat yang tertangkap namun dengan prevalensi sistiserkoidosis cukup tinggi, mungkin ada sebagian populasi yang berhasil berkembang menjadi dewasa ketika sebelum tinja dibuang dan mengandung telur sestoda. Kenyataan ini ditunjukkan bahwa prevalensi sestodosis di peternakan Parung paling tinggi dibandingkan dengan peternakan lain dengan sistiserkoidosis lebih rendah. Walaupun demikian sistiserkoidosis lalat tidak dapat dikorelasikan dengan sestodosis ayam. Prevalensi sistiserkoidosis cukup tinggi ditemukan di Cibinong dengan rataan derajat infeksi paling tinggi dibandingkan dengan delapan peternakan lainnya. Ketersediaan telur sestoda yang ditunjukkan dengan tingginya prevalensi sestodosis pada tempat yang sama merupakan faktor pendukung. Dengan ditemukannya sestoda dewasa pada ayam maka sumber infeksi telah tersedia sejak perkembangan awal inang
58
antara.
Prevalensi sistiserkoidosis cukup tinggi juga ditemukan di Cibinong
(2,68%), sedangkan yang lainnya relatif lebih rendah yaitu Ciseeng (0,24%), Leuwisadeng (0,37%), dan Nanggung (0,71%) (Tabel 10). Lalat yang berasal dari peternakan Parung memiliki rataan derajat infeksi paling tinggi yaitu sebanyak (0,319±3,208) ekor sistiserkoid. Rataan derajat infeksi terendah sebesar (0,004±0,061) sistiserkoid terdapat di peternakan Leuwisadeng (Tabel 10). Kecuali di Gunung Sindur dan Rumpin A, sestodosis ayam cukup tinggi di Cigudeg dan Kemang namun tidak ditemukan lalat yang mengandung sistiserkoid yaitu dengan derajat infeksi cukup tinggi di Kemang. Dugaan yang mungkin terjadi antara lain: tidak terjadi kontak antara lalat yang tertangkap dengan telur sestoda; kontak dengan proglotida fertil atau jumlah telur yang tertelan tidak menyebabkan sistiserkoidosis; onkosfer baru stadium perkembangan awal menembus dinding usus lalat atau gagal berkembang sebelum menjadi sistiserkoid; terjadi overdispersi yang mungkin menyebabkan kematian lalat yang terinfeksi berat. Dugaan ini dapat terjadi pada peternakan yang lain dengan kejadian sistiserkoidosis yang rendah yaitu Leuwisadeng, Nanggung, Ciseeng, dan Rumpin B. Banyak faktor dari parasit maupun yang menentukan derajat infeksi parasit pada inang antara, sedangkan lingkungan merupakan faktor transmisi (Kennedy 1975). Dari sisi parasit, derajat infeksi sistiserkoid dipengaruhi oleh jumlah telur sestoda yang tertelan dan infektifitasnya (Retnani et al. 1993), sedangkan keberhasilan mapan (establishment) dalam tubuh inang antara sampai stadium infektif dipengaruhi juga oleh faktor inang. Pada lingkungan peternakan ayam petelur komersial, telur yang tertelan lalat tergantung pada jumlah telur infektif dalam manur yang ditentukan oleh populasi ayam sestodosis dan derajat infeksinya.
Penglepasan proglotida gravid dikeluarkan bersama tinja terus
menerus sepanjang umur infeksi dengan jumlah yang cenderung menurun selama umur infeksinya. Fenomena tersebut diamati pada perjalanan infeksi sestoda ayam jenis R. cesticillus (Gray 1972a; 1973; dalam: Kennedy (1975). Mengingat bahwa sebagian besar sestoda ayam memiliki umur infeksi relatif singkat yaitu sekitar dua bulan, maka kontinyuitas keberadaan proglotida gravid dalam lingkungan manur tergantung dari lamanya ayam terinfeksi serta terjadinya reinfeksi dan
59
ketahanan hidup telur sestoda di dalam manur. Belum ada informasi ilmiah mengenai ketahanan hidup telur sestoda ayam di luar tubuh inang. Walaupun secara struktural berbeda dengan telur sestoda jenis lain, sebagai pengetahuan bahwa telur Taeniidae mampu hidup hingga berbulan-bulan di lingkungan dengan kondisi yang berbeda-beda sekalipun ekstrim pada suhu -50 0C sampai di bawah terik matahari (Jepsen & Roth 1949 dan Seddon 1950 dalam: Soulsby 1982; Pawlawsky 1994 dalam: Gajadhar et al. 2006). Telur H. diminuta bertahan hidup selama 11 hari dalam pelet tinja tikus pada suhu 10 0C, tetapi jika disimpan dalam bentuk ekstrak tinja di kertas saring pada suhu 30 0C hanya bertahan selama 30 menit (Keymer 1982).
4.2.2 Pengaruh faktor-faktor ayam, lingkungan, dan tata laksana terhadap prevalensi sistiserkoidosis pada M. domestica Seperti halnya pada pengamatan sestodosis, kejadian sistiserkoidosis pada lalat juga diamati berdasarkan faktor ayam (khususnya populasi ayam), tipe iklim area peternakan, dan tata laksana peternakan yang meliputi sistem kandang, pemberian antelmintika, dan pembuangan manur (Tabel 11).
Hasil uji Chi-
Square menunjukkan bahwa tingkat prevalensi sistiserkoidosis pada lalat dipengaruhi oleh sistem kandang (P<0.05), populasi ayam serta tata laksana pemberian antelmintika (P<0.01). Hasil ini masih perlu dipelajari kembali karena tidak memiliki korelasi secara nyata kecuali faktor sistem kandang (P<0.05) karena perbedaan jumlah lalat yang terinfeksi sistiserkoid sangat jauh lebih kecil dengan yang bebas terinfeksi. Tidak semua faktor yang diamati mempengaruhi terjadinya sistiserkoidosis. Prevalensi terendah (0,11%) terdapat pada peternakan dengan kelompok populasi > 90 ekor. Menyusul berturut-turut hingga prevalensi tertinggi pada peternakan dengan kelompok populasi 50-70 ribu ekor (0,46%), 30-50 ribu ekor (0,49%), dan 70-90 ribu ekor (2,02%). Iklim juga tidak mempengaruhi (P>0,05) prevalensi sistiserkoidosis lalat, yaitu sebesar 0,29% di area yang beriklim basah dan 0,80% di area beriklim kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi sistiserkoidosis lalat tidak dipengaruhi oleh iklim walaupun secara relatif lebih tinggi di area peternakan beriklim kering dibandingkan dengan iklim basah (Tabel 11). Kejadian infeksi sistiserkoid diduga
60
kuat ketika lalat pada stadium larva. Oleh karena itu yang lebih mempengaruhi adalah kondisi lingkungan mikro manur sebagai media perindukan yang kondusif bagi ketahanan hidup telur sestoda maupun perkembang biakan lalat. Sedangkan iklim makro lebih berpengaruh pada aktifitas lalat dewasa yang menjadi sumber infeksi sistiserkoid bagi ternak ayam.
Aktivitas M. domestica cenderung
meningkat pada temperatur yang relatif hangat (Goulson et al. 2005; Salin 1998; 2000; Tardelli et al. 2004) dan populasinya berlimpah pada suhu 25-350C (WHO 1986). Kejadian sistiserkoidosis lalat lebih tinggi di peternakan dengan sistem kandang terbuka yaitu sebesar 0,82 % (P<0,05). Populasi lalat M. domestica di peternakan dengan sistem kandang terbuka besar kemungkinannya lebih tinggi dibandingkan dengan kandang tertutup (Tabel 11). Disamping karena masuknya lalat dari area lain ke lingkungan ternak tanpa barier, juga tersedia tempat perindukan yang kondusif. Jika tempat ini merupakan sentra peternakan maka peningkatan populasi lalat terjadi dengan mudah dan cepat karena jarak pemencarannya dapat mencapai 2,3-11,8 km dalam 24 jam (Thomas & Skoda 1993 dalam: Roeder 2006). Dilaporkan bahwa sebanyak 56% hama pengganggu utama di peternakan ayam petelur komersial adalah lalat (Harrington et al 1999 dalam: Roeder 2006). Manur adalah material yang unggul untuk pertumbuhan larva lalat (Hall & Jones 2006). Peternakan terbuka yang diamati pada penelitian ini memiliki kepadatan ternak dengan populasi 70-90 ribu ekor yang diperkirakan akan menghasilkan manur lebih dari 90 ton per bulan (Anonim 1994). Sanitasi dan drainase sebagian besar peternakan tipe ini kurang baik, tinja tampak menumpuk karena tatalaksana pembuangannya tidak teratur, menimbulkan bau, sehingga dengan mudah mengundang lalat untuk berkembang biak. Keberadan populasi lalat dengan angka kejadian sestodosis ayam yang cukup tinggi pada tujuh
dari
delapan
peternakan
terbuka
menyebabkan
sistiserkoidosis
M. domestica lebih tinggi pada sistem tersebut Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tata laksana pemberian antelmintika sangat mempengaruhi (P≤0,01) tingkat kejadian sistiserkoidosis lalat. Pemberian antelmintika pada ternak ayam ketika masih pemeliharaan di liter, awal naik kandang baterai, sebelum puncak produksi telur, dan secara periodik sekali
61
dalam tiga bulan dapat menekan sistiserkoidosis lalat hingga 0,00%. Prevalensi infeksi terendah sebesar 0,09% terjadi pada peternak dengan pemberian yang sama kecuali pemberian terakhir secara periodik sekali dalam enam bulan. Urutan berikutnya hingga prevalensi tertinggi yaitu sebesar 0,49% dengan pemberian secara teratur setiap tiga bulan sekali, sedangkan pada pengobatan yang diberikan hanya ketika ada infeksi kejadiannya sebesar 1,28%, dan yang paling tinggi sebesar 3,53% terjadi pada peternak yang memberikan antelmintika pada awal naik kandang baterai dan sebelum puncak produksi telur (Tabel 11). Kaitan kejadian sistiserkoidosis lalat dengan tata laksana pemberian antelmintika adalah ketersediaan telur sestoda dalam manur sebagai fokal infeksi bagi lalat. Pemberian antelmintika pada ternak ketika masih pemeliharaan di liter, awal naik kandang baterai, sebelum puncak produksi telur, dan secara periodik sekali dalam tiga bulan dapat menurunkan jumlah telur yang akan mengkontaminasi manur. Oleh karena itu sistiserkoidosis lalat dapat dihindari. Mengingat masa produksi telur mencapai 80 minggu bahkan kadang-kadang sampai 90 minggu, padahal kejadian sestodosis lebih banyak pada ayam yang berumur >50 minggu maka perlu ditekankan bahwa pemberian antelmintika tidak hanya pada awal naik kandang baterai dan sebelum puncak produksi. Jika pemberian antelmintika dihentikan sampai menjelang puncak produksi saja, maka kemungkinan reinfeksi dapat terjadi sehingga ketersediaan proglotida gravid masih terpenuhi bagi inang antara. Pada penelitian ini periode pembuangan manur tidak mempengaruhi angka kejadian sistiserkoidosis lalat. Peternak yang membuang manur secara tidak teratur memiliki angka kejadian yang paling tinggi (0,9%), selanjutnya berturutturut hingga yang paling rendah yaitu 0,4% yang membuang manurnya setiap dua bulan sekali secara teratur dan 0% dengan pembuangan manur secara otomatis (Tabel 11).
4.2.3 Faktor-faktor risiko yang diduga mempengaruhi tingkat kejadian sistiserkoidosis pada M. Domestica Nilai Odds-Ratio (OR) faktor-faktor ternak, lingkungan, dan beberapa aspek
tata
laksana
peternakan
yang
diduga
mempengaruhi
terjadinya
sistiserkoidosis lalat M. domestica disajikan pada Tabel 12 sampai 14.
62
Tabel 11
Prevalensi sistiserkoidosis lalat (M. domestica) menurut faktor populasi ayam, iklim, dan tata laksana peternakan (sistem kandang, pemberian antelmintika, dan pembuangan manur).
No 1
Faktor Ayam
Populasi** (ribu ekor)
30-50 50-70 70-90 > 90 2 Lingkungan Tipe iklim Basah Kering 3 Tata laksana Sistem Tertutup kandang* Terbuka Pulet dan puncak produksi Pemberian Tiga bulan sekali antelmintika** Sebelum pulet, pulet, puncak produksi, tiga bulan sekali Sebelum pulet, pulet, puncak produksi, enam bulan sekali Jika ditemukan infeksi sestoda Pembuangan Dua bulan sekali manur Tidak teratur Otomatis ( elektrik) Faktor risiko secara nyata (*) dan sangat nyata (**) mempengaruhi tingkat prevalensi sestodosis
n (lalat) total Infeksi 412 2 1087 5 645 13 941 1 697 2 2388 19 526 0 2559 21 85 3 412 2 285 0 1127 1 1176 15 272 1 2287 20 526 0
Prevalensi (%) 0,49 0,46 2,02 0,11 0,29 0.80 0,00 0,82 3,53 0,49 0,00 0,09 1,28 0,4 0,9 0
63
Tabel 12 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor populasi ayam terhadap kejadian sistiserkoidosis pada lalat (M. domestica). Infeksi
Tidak infeksi
Faktor risiko Populasi ayam (ribu ekor): 30-50 50-70 70-90 >90
N
%
N
%
2 5 13 1
0,49 0,46 2,02 0,11
410 1082 632 940
99,51 99,54 97,98 99,89
Crude OR Koefisien
P
−0,054 1,439 −1,523
0,949 0,059 0,214
1,00 0,95 4,22 0,22
Tabel 13 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor tipe iklim area peternakan terhadap kejadian sistiserkoidosis pada lalat (M. domestica).
Faktor risiko n
Infeksi %
Tidak infeksi n %
Koefisien
P
Crude OR
1,025
0,169
1,00 2,79
Iklim : Basah Kering
2 19
0,29 0.80
695 2369
99,71 99,20
64
Tabel 14 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor tata laksana kandang, pembuangan manur, dan pemberian antelmintika terhadap kejadian sistiserkoidosis pada lalat (M. domestica).
Faktor risiko Sistem kandang : Tertutup Terbuka Pembuangan manur : Setiap dua bulan sekali Tidak teratur Otomatis Pemberian antelmintik : Pulet dan puncak produksi Setiap tiga bulan sekali Sebelum pulet, pulet, puncak produksi, tiga bulan sekali Sebelum pulet, pulet, puncak produksi, enam bulan sekali Jika ditemukan infeksi sestoda
Infeksi n %
Tidak infeksi n %
0 21
0,00 0,82
526 2538
100 99,18
1 20 0
0,4 0,9 0,0
271 2267 526
99,60 99,10 100
3 2 0 1 15
3,53 0,49 0,00 0,09 1,28
82 410 285 1126 1161
96,47 99,51 100 99,91 98,72
Koefisien
P
Crude OR
0,998
1,00 0,00
−3,373 −1,548
0,004 0,015
1,00 0,03 0,21
− 2,015 −21,185 −3,718 −1,041
0,029 0,998 0,001 0,105
1,00 0,13 0,00 0,02 0,35
−20,199
65
Pada penelitian ini, populasi ternak, kondisi iklim, dan sistem kandang bukan merupakan risiko yang nyata (P>0,05) terhadap kejadian sistiserkoidosis lalat. Namun demikian gambaran pada peternakan dengan kelompok populasi 70-90 ekor ayam memiliki peluang terinfeksi sistiserkoid paling tinggi (OR=4,22) (Tabel 12) diantara kelompok populasi yang lain jika dibandingkan dengan peternakan yang populasinya 30-50 ekor ayam. Lalat pada area peternakan dengan kondisi iklim kering berisiko terinfeksi sistiserkoid relatif lebih tinggi (OR=2,79) dibandingkan area basah. Pada penelitian ini hanya beberapa aspek tata laksana yang jelas mempengaruhi terjadinya sistiserkoidosis lalat yaitu tata laksana pembuangan manur dan pemberian antelmintika (Tabel 14). Jelas terlihat bahwa pembuangan manur secara otomatis mengurangi kemungkinan lalat terinfeksi sistiserkoid (OR=0,21) jika dibandingkan dengan dua bulan sekali secara periodik, tetapi yang tidak teratur pembuangannya justru berisiko lebih kecil (OR=0,03). Pemberian antelmintik sejak pemeliharaan ayam kutuk di lantai liter yang berturut-turut dilanjutkan ketika awal naik kandang baterai, menjelang puncak produksi telur, dan secara periodik setiap enam bulan sekali dapat meminimalisir peluang terinfeksi (OR=0,02) atau hanya dilakukan setiap tiga bulan sekali (OR=0,13) (Tabel 14).
4.2.4 Potensi lalat M. domestica sebagai inang antara cacing pita pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor Identifikasi sistiserkoid untuk menentukan jenis sestoda sulit dilakukan jika hanya berdasarkan morfologi maupun morfometrinya. Hampir semua sistiserkoid lalat yang ditemukan pada penelitian ini tidak memiliki ciri khas sehingga sulit dibedakan satu sama lain. Walaupun gambaran morfologi beberapa sistiserkoid sangat mirip namun morfometrinya berbeda. Ciri-ciri spesifik yang mudah diamati adalah protoskoleks dan membran protoskoleks, sedangkan gelembung, dan serkomer merupakan ciri sekunder (Chervy 2002). Biasanya protoskoleks dilengkapi rostelum dan batil hisap, disertai atau tidak disertai kait. Kait pada rostelum maupun batil hisap tidak selalu mudah diamati. Hasil bedah sampel lalat M. domestica menunjukkan beberapa bentuk, ukuran, dan stadium perkembangan
sistiserkoid
(Gambar
14,
Tabel
15
sampai
17).
66
kait Lakuna
B
A
D Gambar 14
E
C
F
G
Hipotesis berbagai stadium perkembangan sistiserkoid hasil bedah lalat M. domestica. A. Kait onkosfer mulai menepi. B. Pembentukan lakuna. C. Awal perkembangan sistiserkoid. D, E, dan F. Menjelang perkembangan akhir. G. Sistiserkoid infektif.
Gambaran berbagai stadium perkembangan sistisekoid berdasarkan ciri-ciri awal onkosfer setelah menetas, awal perkembangan sistiserkoid yang ditandai dengan adanya lakuna primer, pembelahan sampai menjadi sistiserkoid matang dengan ciri protoskoleks invaginasi (Chervy 2002) (Gambar 14). Karena berbagai stadium perkembangan tersebut diperoleh dari lalat yang berbeda-beda maka gambaran perkembangan tersebut dinyatakan sebagai hipotesis. Demikian pula setiap profil sistiserkoid diperoleh dari lalat yang berbeda, dengan ukuran skoleks, batil hisap, dan adanya kait rostelum yang beragam (Tabel 15 sampai 17). Tidak semua sistiserkoid yang ditemukan berhasil diukur (Tabel 16). Berdasarkan ukuran panjang dan lebarnya, secara umum protoskoleks sistiserkoid cenderung bulat (kecuali sistiserkoid 493,3/Md) dengan kisaran ukuran yang paling kecil (147,92±28,36)x(155,08±11,57) µm hingga yang paling besar (258,75±83,72)x (234,08±54,62) µm. Demikian pula batil hisapnya juga cenderung bulat, ukurannya relatif sama dengan kisaran (61x67,25) µm hingga (65x50,5) µm kecuali sistiserkoid 1128/Md yang tampak lonjong dengan ukuran (76±14,03)x 116,5±7 µm (Tabel 15).
67
Tabel 15
Deskripsi sistiserkoid hasil bedah lalat M. domestica dengan morfometri skoleks dan batil hisap. Sistiserkoid (M. domestica) Ukuran panjang x lebar (µm)
No
Spesimen
1
Kait rostelum
Skolekss
Batil hisap
147,92±28,36 x 155,08±11,57
tidak dapat diukur
ada
146,25±28,62 x 141,13±14,28
61 x 67,25
ada
153,08±27,23 x 116,5±7
76±14,03 X 116,5±7
ada
174,92±13.52 x 183,75±21,25
65 X 50,5
124.3/Md 2 495.6/Md
3 1128/Md. 4
tidak jelas
1133/Md 258,75±83,72 x 234,08±54,62
5
tidak dapat diukur tidak jelas
72.2/Md 278,50 x 263,25 x 102,5 x 110
6
62,5
tidak jelas
493.3/Md
Tabel 16
Deskripsi sistiserkoid hasil bedah lalat M. domestica (tanpa morfometri). Spesimen No./kode
PF.2. Md.
PF.1.Md.
PF.3..Md.
PF.4.MSp.
Ada kait rostelum
Ada kait rostelum
Kait rostelum tidak jelas
Kait rostelum tidak jelas
68
Tabel 17
Deskripsi sistiserkoid hasil bedah lalat M. domestica dan hasil infeksi coba pada ayam. Ukuran panjang x lebar (µm)
No 1
Hasil infeksi ayam coba
Spesimen
Skolekss
Batil hisap
Kait rostelum
543.10/Md
168,89±33,55 X 138,14±31,90
69 X 42,5
tidak jelas
Raillietina
140,64±19,61 X 132,39±20,10
77±11,79 X 68,81±7,53
tidak jelas
Raillietina dan Choanotaenia
164,61±28,55 X 134,39±12,34
76,85±8,86 X 61,05±14,20
tidak jelas
Choanotaenia
2
549.32/Md
3
881.8/Md
Sebanyak tiga kelompok (tiga peternakan) infeksi ayam coba, hanya satu kelompok
yang
infeksinya
berhasil
yaitu
sistiserkoid
543.10/Md.(R),
549.32/Md.(R/C), dan 881.8/Md.(C) (Tabel 17). Berdasarkan ciri morfologi serta morfometri skoleks, proglotida dewasa, dan proglotida gravid menunjukkan bahwa sestoda hasil infeksi sistiserkoid 543.10/Md. adalah Raillietina, sistiserkoid 549.32/Md. adalah campuran dua jenis yaitu Raillietina dan Choanotaenia, dan sistiserkoid 881.8/Md. adalah Choanotaenia. Dari tiga sediaan skoleks memiliki ciri-ciri umum skoleks Raillietina yaitu adanya deretan kait pada rostelum (kecuali satu sediaan skoleks) maupun batil hisapnya. Kait rostelum berbentuk huruf “T” atau mirip seperti bentuk palu (Gambar 15 A sampai C). Dua skoleks yang rostelum dilengkapi kait memiliki rataan diameter skoleks, rostelum, dan batil hisap berturut-turut (116±164) µm, (204±274) µm, dan (101,6±70,9) µm. Adapun satu skoleks dengan rostelum tanpa kait memiliki diameter skoleks, rostelum, dan batil hisap berturut-turut 107,75 µm, 20,00 µm, dan 55,5 µm. Ciriciri pada proglotida dewasa terdapat sepasang organ reproduksi dengan lubang genital tunggal, terletak unilateral atau selang-seling beraturan dan/atau tidak beraturan (Gambar 15D). Pada proglotida gravid tampak ciri perkembangan uterus berupa kapsul-kapsul parensimatus yang berisi satu atau lebih dari satu 69
A
B Gambar 15
F
C
D
E
Sestoda hasil infeksi sistiserkoid M. domestica pada ayam coba A., B., dan C. Skoleks: batil hisap dan rostelum dilengkapi dengan kait. D. dan E. Proglotida dewasa dan gravid sestoda A,B, dan C. F Skoleks: batil hisap tanpa kait dan rostelum berkait.
butir telur (Gambar 15E). Pengamatan pada sejumlah 21 buah proglotida dewasa dan gravid meliputi panjang serta lebarnya, posisi lubang genital, bentuk, ukuran, serta posisi kantung sirus terhadap saluran ekskretori, dan adanya perkembangan uterus gravid yang membentuk kapsul-kapsul telur. Secara umum rataan panjang dan lebar proglotida dewasa sebesar (184,1±105,7)x(626,4±379,4) µm. Posisi lubang genital bervariasi cenderung terletak medioposterolateral secara selangseling tidak beraturan. Kantung sirus yang diamati bervariasi berbentuk relatif lonjong bahkan cenderung memanjang, dengan rataan panjang dan lebar sebesar (48,63±26,36)x(30,21±16,16) µm. Kelenjar vitelaria dan uterus tampak dominan menyerap warna berbentuk khas organ reproduksi betina Raillietina (Gambar 15D). Gambaran umum proglotida gravid (Gambar 15E) tanpa atau dengan adanya kapsul-kapsul telur dengan variasi jumlah telur di dalamnya merupakan ciri khas Raillietina. Rataan panjang dan lebar proglotida gravid sebesar (297,9± 291,4)x(582±525) µm. Rataan panjang dan lebar kantung sirus menurut posisi kantung sirusnya (sepertiga, setengah, dua per tiga jarak antara kantung sirus dengan saluran ekskretori berturut-turut (48,65±31,08)x(30,77±19,29) µm, (22,77±3,00)x(14,20±0,46) µm, dan (61,54±7,03)x(37,08±3,88) µm. Sebanyak tiga buah sediaan skoleks hasil infeksi coba pada ayam menunjukkan ciri-ciri Choanotaenia (Gambar 15F). Skoleksnya berbentuk khas seperti corong dengan 70
rataan diameternya (398,8±160,6) µm, dengan ciri-ciri umum adanya deretan kait pada rostelum namun tidak terdapat kait pada batil hisapnya. Diameter batil hisap relatif besar dibandingkan dengan skoleksnya sehingga tampak sangat mencolok dengan rataan diameternya sebesar (171,7±84,6) µm. Pengamatan pada sembilan buah proglotida dewasa dan gravid juga menunjukkan ciri-ciri Choanotaenia. Rataan panjang dan lebar proglotida dewasa sebesar (351,0±265,5)x(323,3±265,5) µm, dengan ciri khas berbentuk seperti bangun trapesium. Posisi lubang genital di anterolateral proglotida secara selang-seling tidak beraturan. Tidak tampak adanya kapsul-kapsul telur pada gambaran umum proglotida gravid, telur bebas di dalam parensim dengan dinding bagian luar sangat tipis. Rataan panjang dan lebar proglotida gravid sebesar (947,6±112,6)x (753,1±280,0) µm. Hasil infeksi sistiserkoid pada ayam coba menunjukkan bahwa lalat M. domestica mengandung sistiserkoid genus Raillietina sp. atau C. infundibulum, serta Raillietina sp. dan C. infundibulum pada satu individu lalat. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa M. domestica berperanan sebagai inang antara sestoda ayam petelur komersial di daerah Bogor.
4.3
Potensi Kumbang A. diaperinus sebagai Inang Antara Cacing Pita pada Ayam Ras Petelur Komersial di Daerah Bogor
4.3.1 Prevalensi infeksi sistiserkoid dan derajat infeksi sistiserkoid pada kumbang A. diaperinus A. diaperinus yang tertangkap sebanyak 2651 ekor dengan jumlah yang bervariasi pada masing–masing peternakan. Paling banyak tertangkap di peternakan Ciseeng (731 ekor), berturut-turut hingga yang paling sedikit yaitu Cibinong (491 ekor). Rumpin B (366 ekor), Cigudeg (349 ekor), Nanggung (280 ekor), Parung (155 ekor), Leuwisadeng (114 ekor), Gunung Sindur (84 ekor), Kemang (81 ekor). Sedangkan pada salah satu peternakan dengan sistem kandang tertutup kumbang tidak ditemukan (Tabel 18). Dari total 2651 ekor kumbang Alphitobius yang dibedah sebanyak 41 ekor (6,53%) mengandung sistiserkoid. Kejadian infeksi paling tinggi terjadi di Cigudeg (21,49%). Prevalensi sistiserkoidosis cukup tinggi juga ditemukan di Leuwisadeng (15,79%) dan Rumpin B (11,20%), sedangkan di lokasi yang lain relatif lebih rendah yaitu
71
Tabel 18
Total prevalensi dan rataan derajat infeksi sistiserkoid pada kumbang A. diaperinus setiap peternakan. Prevalensi
No
Peternakan
1
Leuwisadeng
2
Derajat infeksi (sistiserkoid/kumbang)
Infeksi/ n(kumbang) 18/114
Sistiserkoidosis (%) 15,79
Nanggung
9/280
3,21
0,09±0,65
3
Cigudeg
75/349
21,49
4,06±19,47
4
Kemang
1/81
1,23
0,09±0,78
5
Parung
2/155
1,29
0,04±0,41
6
Cibinong
16/491
3,26
0,14±1,48
7
Ciseeng
10/731
1,37
0,13±0,61
8
Gunung Sindur
1/84
1,19
0,54±4,91
9
Rumpin A
-
-
-
10
Rumpin B
41/366
11,20
0,77±3,90
173/2651
6,53
0,78±7,58
TOTAL
1,14±4,33
Keterangan: tanda (-) menunjukkan tidak ditemukan kumbang
Cibinong (3,25%), Nanggung (3,21%),
Ciseeng (1,37%),
Parung (1,29%),
Kemang (1,23%), dan Gunung Sindur (1,19%) (Tabel 18). Derajat infeksi sistiserkoidosis paling tinggi juga terdapat di Gudeg (tempat prevalensi tertinggi) sebesar
(4,06±19,47) sistiserkoid. Sedangkan di lokasi yang lain derajat
infeksinya berkisar dari yang terendah sebanyak (0,04±0,41) sistiserkoid hingga (1,14±4,33) sistiserkoid (Tabel 18).
4.3.2
Pengaruh faktor-faktor ayam, lingkungan, dan tata laksana terhadap prevalensi sistiserkoidosis pada kumbang A. diaperinus Kejadian sistiserkoidosis pada kumbang diamati berdasarkan faktor
populasi ayam, tipe iklim area peternakan, dan tata laksana peternakan yang meliputi sistem serta struktur kandang, tata laksana pemberian antelmintika dan pembuangan manur. Faktor ayam, lingkungan, maupun tata laksana peternakan (P≤0,01) (Tabel 19). Prevalensi terendah (0,11%) terjadi pada peternakan dengan pada penelitian ini ketiga-tiganya mempengaruhi tingkat kejadian sistiserkoidosis
72
Tabel 19
No 1
Prevalensi sistiserkoidosis pada A. diaperinus menurut faktor populasi ayam, iklim, serta tata laksana sistem dan struktur kandang, pemberian antelmintika, dan pembuangan manur .
Faktor Ayam
Populasi** (ribu ekor)
2
Lingkungan
Tipe iklim**
3
Tata laksana
Sistem** kandang
30-50 ribu ekor 50-70 ribu ekor 70-90 ribu ekor >90 ribu ekor Basah Kering Tertutup Terbuka
Struktur ** >50% kayu ≤50% kayu kandang Pemberian Pulet dan puncak produksi antelmintika* Tiga bulan sekali Sebelum pulet, pulet, puncak produksi, tiga bulan sekali Sebelum pulet, pulet, puncak produksi, enam bulan sekali Jika ditemukan infeksi sestoda Pembuangan Dua bulan sekali Tidak teratur manur** Otomatis ( elektrik) Faktor risiko secara nyata (*) dan sangat nyata (**) mempengaruhi prevalensi sestodosis
n (kumbang) total infeksi 394 27 715 116 727 19 815 11 743 102 1908 71 84 1 2567 172 844 1807 155 394 349 896 857 114 2453 84
37 136 2 27 75 12 57 18 154 1
Prevalensi (%) 6,85 16,22 2,61 1,35 13,73 3,72 1,19 6,70 4,38 7,53 1,29 6,86 21,49 1,34 6,65 15,8 6,3 1,2
73
(P≤0,01) (Tabel 19). Prevalensi terendah (0,11%) terjadi pada peternakan dengan kelompok populasi >90 ribu ekor, selanjutnya berturut-turut hingga prevalensi tertinggi pada peternakan dengan kelompok populasi 70-90 ribu ekor (2,61%), 30-50 ribu ekor (6,85%),
dan 50-70 ribu ekor (16,22%). Kebalikan dengan
sistiserkoidosis lalat, kejadian sistiserkoidosis kumbang jauh lebih tinggi di area yang beriklim basah (P≤0,01) yaitu sebesar 13,73% dibandingkan iklim kering sebesar 3,72%. Pengamatan berdasarkan aspek struktur kandang menunjukkan bahwa tingkat kejadian sistiserkoidosis kumbang lebih tinggi dengan bangunan kandang berstruktur ≤50% kayu (7,53%) dibandingkan dengan >50% kayu (4,38%). Tata laksana pemberian antelmintika pada ternak ayam juga sangat mempengaruhi (P≤0,01) angka kejadian sistiserkoidosis kumbang. Hasil ini mirip dengan sistiserkoidosis lalat, kejadiannya paling banyak (21,49%) pada peternak yang memberikan antelmintika ketika masih pemeliharaan di liter, awal naik kandang baterai, sebelum puncak produksi telur, dan secara periodik sekali dalam tiga bulan. Sebaliknya, dengan periode pemberian yang sama kecuali pemberian secara periodik enam bulan sekali memiliki tingkat kejadian lebih rendah (P≤0,05) yaitu sebesar 1,34%. Adapun angka kejadian yang paling rendah (1,29%) terjadi pada peternak yang memberikan antelmintika sejak awal naik kandang baterai dan sebelum puncak produksi telur. Tingkat kejadian sistiserkoidosis hampir sama (6,86% dan 6,65%) pada pengobatan secara teratur setiap tiga bulan sekali dan ketika diketahui ada infeksi. Pada penelitian ini periode pembuangan manur juga sangat mempengaruhi angka kejadian sistiserkoidosis (P≤0,01). Pembuangan manur secara tidak teratur menyebabkan tingkat kejadian yang paling tinggi sebesar 9,60% dibandingkan dengan pembuangan secara otomatis (6,61%) maupun secara berkala dua bulan sekali (1,29%).
4.3.3
Faktor-faktor risiko yang diduga mempengaruhi tingkat kejadian sistiserkoidosis pada kumbang A. diaperinus Dugaan besarnya pengaruh faktor risiko terhadap kejadian sistiserkoidosis
(A. diaperinus) disajikan pada Tabel 20 sampai 22. Faktor populasi ternak, lingkungan, dan beberapa aspek tata laksana peternakan merupakan faktor yang
74
Tabel 20 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor populasi ayam terhadap kejadian sistiserkoidosis asal A. diaperinus.
Faktor risiko Populasi ayam (ribu ekor) : 30-50 50-70** 70-90** >90**
Tabel 21
Infeksi N
%
27 116 19 11
6,85 16,22 2,61 1,35
Tidak infeksi N % 367 599 708 804
93,15 83,78 93,39 98,65
Koefisien
P
Crude OR
0,968 −1,008 −1,682
0,000 0,001 0,000
1,00 2,63 0,36 0,19
Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor tipe iklim area peternakan terhadap kejadian sistiserkoidosis asal A. diaperinus.
Faktor risiko
Infeksi n
%
102 71
13,73 3,72
Tidak infeksi n %
Koefisien
P
Crude OR
−1,415
0,000
1,00 0,24
Iklim : Basah Kering**
641 1837
86,27 96,28
75
Tabel 22
Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor struktur dan tata laksana kandang, pembuangan manur, pemberian antelmintika terhadap kejadian sistiserkoidosis (A. diaperinus).
Faktor risiko Sistem kandang : Tertutup Terbuka Struktur kandang : >50% kayu ≤50% kayu Pembuangan manur : Setiap dua bulan sekali Tidak teratur Otomatis Pemberian antelmintik : Pulet dan puncak produksi Setiap tiga bulan sekali Sebelum pulet, pulet, puncak produksi, tiga bulan sekali Sebelum pulet, pulet, puncak produksi, enam bulan sekali Jika ditemukan infeksi sestoda
Infeksi n %
Tidak infeksi n %
Koefisien
P
Crude OR
1 172
1,19 6,70
83 2395
98,81 93,30
−1,785
0,077
1,00 0,17
37 136
4,38 7,53
807 1764
95,62 92,47
0,574
0,003
1,00 1,78
18 154 1
15,8 6,3 1,2
96 2299 83
84,2 93,70 98,80
2,094 1,690
0,005 0,018
1,00 8,12 5,42
1,29 6,86 21,49 1,34 6,65
153 367 274 884 800
98,71 93,14 78,51 98,66 93,35
1,728 3,042 0,038 1,696
0,019 0,000 0,961 0,019
1,00 5,63 20,94 1,04 5,45
2 27 75 12 57
76
mendukung
terjadinya
sistiserkoidosis
(A.
diaperinus).
Kumbang
yang
dikumpulkan dari peternakan dengan kelompok populasi ternak sebanyak 50-70 ekor ayam memiliki peluang terinfeksi sistiserkoid sebanyak 2,63 kali lebih besar (P<0,01) dibandingkan dengan kelompok populasi 30-50 ekor. Sedangkan pada kelompok populasi 70-90 ekor (OR=0,36) dan >90 ekor (OR=0,19) memiliki risiko terinfeksi lebih kecil (OR=0,24) (Tabel 20). A. diaperinus di daerah bertipe iklim kering memiliki risiko sistiserkoidosis lebih rendah dibandingkan dengan iklim basah (P<0,01). Kecuali faktor sistem kandang, semua aspek tata laksana peternakan yang diamati jelas mempengaruhi terjadinya sistiserkoidosis kumbang yaitu struktur bangunan kandang, pembuangan manur, dan pemberian antelmintika (Tabel 22). Bangunan kandang yang berstruktur kayu kurang dari 50% hampir dua kali (OR=1,78) lebih banyak terjadi sistiserkoidosis kumbang (P<0,01) dibandingkan yang komponen kayunya > 50%. Jelas terlihat bahwa pembuangan manur secara otomatis mengurangi kemungkinan kumbang terinfeksi sistiserkoid (OR=5,42) jika dibandingkan dengan dua bulan sekali secara periodik.
Bagi
A. diaperinus
peternak
yang
tidak
teratur
berisiko terinfeksi sistiserkoid
pembuangannya,
kumbang
lebih besar (OR=8,12)
dibandingkan dengan pembuangan dua bulan sekali secara periodik (Tabel 22). Pemberian antelmintika sejak pemeliharan ayam kutuk di lantai liter yang berturut-turut dilanjutkan ketika awal naik kandang baterai, menjelang puncak produksi telur, dan secara periodik setiap tiga bulan sekali meningkatkan peluang terinfeksi hingga 20 kali (OR=20,94) dibandingkan dengan pemberian sejak ayam kutuk dan menjelang puncak produksi (P<0,01). Kemungkinan terjadinya sistiserkoidosis (P<0,05) yang hampir sama pada pemberian antelmintik secara periodik sekali dalam tiga bulan (OR=5,63) dan ketika ada infeksi saja (OR=5,45) (Tabel 22).
4.3.4 Potensi kumbang A. diaperinus sebagai inang antara cacing pita pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor Hampir semua sistiserkoid yang ditemukan pada A. diaperinus di semua peternakan sangat mirip secara morfologis (Tipe A) kecuali Parung (Tipe B) agak berbeda pada gelembungnya maupun serkomernya (Gambar 16). Gelembung pada
77
tipe A kurang jelas sehingga tampak seperti tanpa gelembung dan serkomernya relatif lebih besar dibandingkan gelembungnya. Sedangkan tipe B sebaliknya, gelembung yang melindungi protoskoleks tampak jelas dan serkomernya lebih sempit dibandingkan dengan gelembungnya. Pada umumnya sistiserkoid yang diperoleh telah berkembang menjadi sistiserkoid infektif dengan ciri protoskoleks dalam posisi evaginasi dan diselubungi oleh membran gelembung. Adapun morfometri skolek hampir sama dan adanya kait pada rostelum bervariasi (Tabel 23). Sulit untuk menentukan jenis sestoda dewasanya jika hanya berdasarkan identifikasi morfologi atau morfometri sistiserkoid. Identifikasi sestoda dewasa dapat dilakukan dengan hasil infeksi coba pada iang definitif. Hasil infeksi ayam coba dengan sistiserkoid dari seluruh peternakan negatif dibandingkan dengan kontrol. Dari delapan kelompok ayam coba, serta tikus dan mencit coba masing-masing tiga kelompok, hanya tiga kelompok tikus coba yaitu tikus Cigudeg (10), tikus Rumpin B (10), dan tikus Gunung Sindur (10) yaitu yang mendapatkan infeksi buatan dengan sistiserkoid asal Gunung Sindur, Cigudeg, dan Rumpin B berhasil terinfeksi dibandingkan dengan kontrol. Sebaliknya pada mencit coba tidak berhasil terinfeksi oleh sistiserkoid yang berasal dari tempat yang sama. Pada tujuh peternakan yang lain tidak ada perlakuan infeksi sistiserkoid pada tikus maupun mencit coba. Penggunaan tikus dan mencit coba sebagai kontrol positif mengingat bahwa di lingkungan peternakan juga banyak hama tikus. Beberapa jenis kumbang termasuk Alphitobius juga dikenal sebagai inang antara sestoda tikus atau mencit. Hasil infeksi sistiserkoid kumbang pada ayam coba negatif, demikian pula pada mencit coba. Sedangkan pada tikus coba menunjukkan bahwa kumbang A. diaperinus mengandung sistiserkoid genus Hymenolepis dengan dua ciri yang berbeda pada rostelumnya. Berdasarkan ciri morfologi serta morfometri skoleks, proglotida dewasa, dan proglotida gravid menunjukkan bahwa sestoda hasil infeksi sistiserkoid pada kelompok tikus Cigudeg (10), tikus Rumpin B.(10), dan tikus Gunung Sindur (10) adalah Hymenolepis. Dari tiga sediaan skolek, proglotida dewasa dan gravid memiliki ciri-ciri umum Hymenolepis sp. Panjang seluruh strobila relatif lebih pendek dibandingkan dengan Hymenolepis pada ayam. Skoleknya kecil, dilengkapi dengan batil hisap tanpa kait dan rostelum berkait
78
4
1 2
3
Gambar 16
3
1
2
A B 3
Sistiserkoid hasil bedah A. diaperinus 1 Protoskoleks 2 Gelembung 3 Serkomer 4 Kait rostelum
(Gambar 17A) dan tanpa kait (Gambar 17B). Pada proglotida dewasa terdapat sepasang
organ
reproduksi
dengan
lubang
genital
tunggal,
terletak
unianterolateral, tiga buah testes yang khas berbetuk bulat tersusun secara transversal (Gambar 17C). Telur pada proglotida gravid bebas di antara sel-sel parensim, namun sulit mengamati adanya tiga membran tipis yang melindungi onkosfer. Hasil identifikasi menunjukkan sestoda tersebut adalah H. diminuta dengan rostelum tanpa kait dan H. microstoma rostelumnya berkait. Dengan demikian penelitian ini belum dapat membuktikan bahwa A. diaperinus berperanan sebagai inang antara sestoda pada ayam petelur komersial di Bogor. Berdasarkan perilaku makan kumbang dewasa sebenarnya sangat berpotensi sebagai inang antara sestoda jika di dalam habitatnya terdapat telur sestoda. Hasil studi morfologi sistem saluran pencernaannya menunjukkan esofagusnya kurang berkembang (McAllister 1995), kondisi yang menunjukkan perilaku makan terus menerus dan bersifat omnivora. Sifat tersebut meningkatkan peluang termakannya sejumlah agen infeksius termasuk telur cacing baik ketika kumbang stadium larva maupun dewasa. Seperti halnya pada pengumpulan lalat, perbedaan kumbang Alphitobius yang tertangkap di setiap peternakan mungkin disebabkan oleh kepadatan populasinya yang berkaitan dengan media perindukannya. Dilaporkan bahwa Alphitobius merupakan hama utama 41% pengusaha peternakan ayam di USA (Harrington et al 1999 dalam: Roeder 2006, Axtell 1999) baik pada stadium larva maupun dewasa. Larva matang merayap keatas melalui dinding kandang,
79
Tabel 23
No
Deskripsi sistiserkoid hasil bedah A. diaperinus dan hasil infeksi coba pada ayam, tikus, dan mencit.
Sistiserkoid (Alphitobius) Panjang x lebar Spesimen protokoleks (µm)
1
kait rostelum
Ayam
Infeksi coba Tikus
Mencit
180,88±10,26 X 134,06±1,27
tidak ada
hasil infeksi negatif
hasil infeksi positif
hasil infeksi negatif
270,53±6,83 X 163,19±39,76
tidak ada
hasil infeksi negatif
hasil infeksi positif
hasil infeksi negatif
tidak ada
hasil infeksi negatif
hasil infeksi positif
hasil infeksi negatif
ada
tidak diinfeksikan
tidak diinfeksikan
tidak diinfeksikan
161,2±11,04 X 155,73±15,14
ada
tidak diinfeksikan
tidak diinfeksikan
tidak diinfeksikan
233,25±12,41 X 218,33±9,71
ada
hasil infeksi negatif
hasil infeksi negatif
hasil infeksi negatif
Gunung Sindur 2 Rumpin B 218,34±69,11 X 143,70±3,26
3 Cigudeg
15,81±2,10 X 17,19±20,09
4 Parung 418
5 Parung 487 6 Parung 282
1
3
3
A Gambar 17
1
2
4
B
C
Sestoda hasil infeksi sistiserkoid A. diaperinus pada tikus coba. A. Skolek sestoda I. B. Skolek sestoda II. C. Proglotida dewasa sestoda I/II. 1 Rostelum. 2 Kait rostelum. 3 Batil hisap. 4 Testes. 80
mengebor kayu penyangga/sekat kandang sehingga menjadi rapuh (Vaughn et al. 1984; Despins et al. 1987). Kumbang dewasa menjadi pengganggu pada lingkungan lingkar peternakan bahkan permukiman terutama jika manur disebar di permukaan tanah sekitar peternakan. Kumbang yang menginvestasi manur menyebar secara masa migrasi menuju perumahan sekitar peternakan sebagai sumber penerangan. (Miller 1997). A. diaperinus diketahui sebagai reservoar berbagai penyakit ayam diantaranya sebagai inang antara cacing pita (Axtell & Arends 1990, Despins et al. 1987, McAllister et al. 1994, 1996). Dalam pembahasan ini tidak dapat mengasumsikan bahwa sistiserkoid yang terkandung dalam kumbang adalah stadium metasesoda sestoda ayam. Sebagai alasannya karena hasil infeksi pada ayam coba tidak dapat membuktikan bahwa A. diaperinus berperanan sebagai inang antara sestoda ayam petelur komersial di Bogor. Kegagalan infeksi coba tersebut tidak berarti dapat menjawab bahwa A. diaperinus bukan inang antara sestoda ayam petelur komersial, karena ada faktor lain yang menyebabkan kegagalan infeksi. Kemungkinan infektivitas sistiserkoid menurun akibat penyimpanan sebelum infeksi, stadiumnya kurang matang atau belum benar-benar infektif, dan dosis infeksi. Oleh karena itu sulit mengkaitkan tingkat kejadian sistiserkoidosis kumbang dengan sestodosis ayam di peternakan yang sama. Potensi A. diaperinus sebagai inang antara sestoda banyak dilaporkan pada ternak ayam yang dipelihara di lantai liter (Harrington et al 1999 dalam: Roeder 2006).
4.4 Hasil Karakterisasi Protein Whole Worm Extract Sistiserkoid pada Lalat M. domestica dan A. diaperinus Tahap koleksi metasestoda dari tubuh inang antara cukup menyita waktu. Menentukan jenis sestoda melalui identifikasi morfologi maupun morfometri metasestoda sulit dilakukan. Ciri-ciri primer (protoskoleks) dan sekunder (gelembung dan serkomer)
metasestoda hanya dapat
menentukan
tipe
metasestoda. Berdasarkan dua alasan tersebut di atas maka pada tahap akhir penelitian ini mencoba teknik alternatif identifikasi sistiserkoid dengan membandingkan gambaran pola proteinnya dengan pola protein sestoda dewasa menggunakan elektroforesis. Karakterisasi profil protein (whole-cell protein)
81
menggunakan sodium dedocyl sulfat-polyacrylamide gel electrophoresis (SDSPAGE) adalah teknik yang relatif murah, cepat dan sederhana untuk tahap awal identifikasi spesies (Liu et al. 2006), bahkan dapat menentukan jenis organisme pada tahap perkembangan awal atau sebelum dewasa (Thanh et al. 2006). Teknik ini juga memiliki potensi sebagai alat klasifikasi, karakterisasi epidemiologik, dan survei berbagai organisme mikro (De Villiers et al. 1997; Boynukara et al. 2004; Bylund & Djupsund. 1977) sampai yang makro seperti cacing parasitik termasuk sestoda (Park et al. 2005; Holland &Wilson 2009; Rad et al. 2001; Siles-Lucas & Cuesta-Bandera 1996; Janssen et al.. 1990; McManus & Barrett 1985; Mahmoud et al. 2008; Numan et al.2008; De Vera et al. 2009; Jolly et al. 2006; Ahmadi & Dalimi. 2002; Lee et al. 2007) walaupun masih banyak metode yang lain yang lebih spesifik (Durrani et al. 2008; Świderski 2007). Sebanyak 12 sampel protein WWE dilarikan secara bertahap pada tiga lembar gel elektroforesis dengan protein penanda (Marker) sama. Latar belakang warna (ungu, kuning, biru) yang sama pada satu atau beberapa sumur menunjukkan gel yang sama (Gambar 18), namun hanya satu protein standar yang disajikan (Kode M). Gambaran profil protein WWE sestoda maupun sistiserkoid hasil analisis SDS-PAGE disajikan pada Gambar 18 dan 19. Beragamnya pola protein diantara 12 sampel, baik dalam jumlah, intensitas warna, ketebalan, maupun berat molekul setiap fraksi yang terpisah disebabkan oleh protein kompleks dari WWE atau whole-cell protein. Dengan demikian fraksi-fraksi yang terpisah adalah protein total atau semua tipe ptotein, termasuk protein membran dan protein sitoskeleton (Rouxel et al. 2001). Telah diketahui dari pengamatan pada beberapa jenis sestoda sebagai pembanding bahwa hasil analisis dengan SDS-PAGE, berat molekul protein WWE telur, cairan kista, protoskoleks, dan sestoda dewasa berkisar antara 7-250 kDa (Moczoń & Świetlikowska 2005; Janssen & Barrett 1995; Yang & Chung 2004; Park et al. 2000; Gönenç 2002; Jeon & Eom 2009; Park et al. 2005; Mahmoud et al. 2008). Sama-sama WWE sestoda, berat molakul protein WWE sistiserkoid dan sestoda dewasa pada penelitian ini tidak berbeda jauh yaitu 13-183 kDa.
82
Gambaran secara umum menunjukkan intensitas warna maupun ketebalan pita yang terbaca pada setiap sampel berbeda-beda. Intensitas warna yang kuat walaupun pita yang terbentuk tipis lebih dominan pada sistiserkoid dibandingkan dengan sestoda dewasa. Gambaran tersebut jelas terlihat antara sistiserkoid (M. domestica) dengan Raillietina (sestoda ayam) maupun sistiserkoid (A. diaperinus) dengan Hymenolepis (sestoda tikus atau mencit). Dari total empat sistiserkoid (M. domestica) kecuali sistisekoid3 (M. domestica) terdapat tiga pasang pita yang sama pada sistisekoid1 (M. domestica), sistisekoid2 (M. domestica), dan sistiserkoid muda (M. domestica) dengan berat molekul 134, 115, dan 16 kDa, sedangkan 156 kDa hanya dimiliki sistisekoid1 (M. domestica) dan Sistiserkoid muda (M. domestica). Perbedaan pola pita yang menonjol adalah 109, 40, dan 34 kDa pada sistisekoid1 (M. domestica), 127, 48, dan 30 kDa pada sistiserkoid muda (M. domestica), 164 dan 98 kDa pada sistisekoid2
Sis.Md1 M
SisMd2
Sis.mMd
Ril.c.
Cho SisMd3
Ril.sp
Sis.Al.1. Hd Ril.Te SisAl2
Hm
116
66 45 35 25 18 14
Gambar 18
Gambaran pita-pita protein sestoda dan sistiserkoid hasil Elektroforesis. M=Marker; Sis.Md1= Sistisekoid1 (M. domestica); Sis.m.Md= Sistiserkoid muda (M. domestica); Sis.Md2 =Sistisekoid2 (M. domestica); Sis.Md3=Sistisekoid3 (M. domestica); Cho=Choanotaenia; Rill.sp.=Raillietina sp.; Rill.c.=R. cesticillus; Ril.Te.=R. tetragona; Sis.Al.1 = Sistiserkoid1 (A. diaperinus); Sis.Al.2=Sistiserkoid2 (A. diaperinus); Hd= H. diminuta; Hm=H. microstoma.
83
Sis.Md1 M
SisMd2
Sis.mMd
Ril.c.
Cho
SisMd3
Ril.sp
Sis.Al.1. Hd Ril.Te SisAl2
Hm
183 182 156 127
116
115 90 76 62 60
66
46
45 35 25
37
18
23 19
14
18 16
Gambar 19
Interpretasi hasil elektroforesis Gambar 18. M=Marker; Sis.Md1= Sistisekoid1 (M. domestica); Sis.m.Md= Sistiserkoid muda (M. domestica); Sis.Md2= Sistisekoid2 (M. domestica2); Sis.Md3= Sistisekoid3 (M. domestica); Cho=Choanotaenia; Rill.sp.=Raillietina sp.; Rill.c.=Raillietina cesticillus; Rill.Te= R. tetragona; Sis.Al.1=Sistiserkoid1 (A. diaperinus); Sis.Al.2= (A. diaperinus); Hd=H. diminuta; Hm=H. microstoma.
(M. domestica), 175, 60, 28, dan 23 kDa pada sistisekoid3 (M. domestica). Di antara dua sistiserkoid1
(A. diaperinus) dan sistiserkoid2
(A. diaperinus)
memiliki pola pita berbeda walaupun jumlah molekul protein yang terbaca samasama berjumlah sembilan. Molekul sebesar 182, 76, 62, 56, 46, 37, 32, dan 27 kDa dimiliki oleh sistiserkoid1 (A. diaperinus), sedangkan pada sistiserkoid2 (A. diaperinus) sebesar 168, 160, 153, 140, dan 90 kDa. Kemiripan pola protein sistiserkoid M. domestica antara sistiserkoid muda (M. domestica), sistisekoid1 (M. domestica), dan sistisekoid2 (M. domestica) mungkin merupakan kelompok yang berbeda dengan sistisekoid3 (M. domestica). Berdasarkan hasil infeksi pada ayam coba terbukti bahwa M. domestica mengandung sistiserkoid dari dua genus yaitu Choanotaenia dan Raillietina. Adanya pita yang sama pada sistiserkoid muda (M. domestica) dan sistisekoid1 (M. domestica) yang tidak dimiliki oleh sistiserkoid lain mungkin sistiserkoid muda (M. domestica) merupakan stadium perkembangan
sistisekoid1
(M.
domestica),
sedangkan
sistisekoid2
(M. domestica) mungkin beda spesies, dan sistisekoid3 (M. domestica) 84
kemungkinan
berbeda
genus.
Kesamaan
satu
pola
pita
sistisekoid3
(M. domestica) dengan sistiserkoid2 (A. diaperinus) yang tidak dimiliki oleh sistiserkoid lain kemungkinan jenis sistiserkoid yang sama namun memiliki inang antara alternatif (De Vera et al. 2009; Holland & Wilson. 2009; Mahmoud et al. 2008). Inang antara alami C. infundibulum adalah M. domestica (Reid & Ackert 1937)
dan
kumbang
A.
diaperinus
(Elowni
&
Elbihari
1979).
Jika
membandingkan antara pola pita sistiserkoid dan sestoda dewasa sulit menyimpulkan bahwa sistiserkoid lalat maupun kumbang adalah stadium metasestoda dari sestoda ayam. Dengan demikian pola pita protein stadium larva belum dapat digunakan untuk menduga jenis stadium dewasanya karena jenis protein yang disintesis berbeda (Jolly et al. 2006). Pola pita protein WWE sestoda dewasa yang dapat dibaca dengan jelas adalah protein WWE sestoda ayam yaitu Raillietina sp., R. cesticillus, R. tetragona, dan Choanotaenia dengan kode masing-masing Rill.sp, Rill.c., Rill.Te, dan Cho. Hanya satu molekul protein WWE H. diminuta dan mencit H. microstoma yang terbentuk yaitu sebesar 19 dan 18 kDa masing-masing pada gel yang berbeda. Dalam hal ini salah satu kemungkinan sedikitnya fraksi yang terpisah disebabkan oleh degradasi protein selama homogenisasi atau sewaktu ekstrasi (De Vera et al. 2009). Perbedaan fraksi protein dari sudut pandang taksonomik tergantung pada tipe protein yang diekstrak (Boynukara et al. 2004). Pada penelitian ini spesimen sestoda dewasa yang diekstraksi adalah satu individu cacing kecuali skoleks, sebagaian proglotida dewasa, dan sebagian proglotida gravid karena bagian tersebut dipisah untuk keperluan identifikasi morfologik. Hal ini sulit dihindari karena hasil identifikasi tersebut sebagai acuan bagi spesimen pada analisis protein. Sedangkan spesimen sistiserkoid mengandung unsur skoleks yaitu protoskoleks. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan analisis pola protein protoskoleks dapat menggambarkan adanya variasi intraspesies (Siles-Lucas & Cuesta-Bandera 1996; Janssen et al.. 1990; McManus & Barrett 1985; Mahmoud et al. 2008). Sestoda Choanotaenia membentuk dua molekul sebesar 175 dan 18 kDa.
Sestoda Raillietina sp.,
R. cesticillus, dan R. tetragona memiliki jumlah fraksi lebih banyak dengan pola pita yang yang sangat bervariasi dengan ukuran terkecil sebesar 13 kDa dan
85
terbesar 87 kDa. Terdapat dua pola yang sama diantara R. cesticillus dan R. tetragona yang tidak dimiliki oleh dua sestoda yang lain yaitu 20 kDa. Pola yang diduga spesifik bagi masing-masing sestoda adalah 87, 80, 67, 59, 45, 33, 27, 22, dan 13 kDa pada Raillietina sp., 46, 29, dan 24 kDa pada R. cesticillus., dan 85, 63, 15, dan 14 kDa pada R. tetragona. Perbedaan pola pita secara keseluruhan antara stadium sistiserkoid dengan sestoda dewasa menunjukkan perbedaan kualitas fungsi biologi yang berjakan pada stadium larva dan dewasa. Perbedaan serupa telah diamati pada H. nana pada mencit bahwa selama masa diferensiasi sejak onkosfer, sistiserkoid, skoleks, hingga pematangan strobila mengalami perubahan protein antigen permukaan (Ito & Onitake 1987). Profil protein yang berbeda antar stadium juga diamati pada trematoda (Jolly et al. 2006). Stadium sporosis adalah tahap diferensiasi dan perkembangan menjadi serkaria. Oleh karena itu selain untuk diferensiasi, sintesis protein akan digunakan serkaria dalam memprakarsai invasi kulit inang definitif selain protein otot untuk pergerakan. Pada penelitian ini juga tampak pada gambaran profil protein sistiserkoid muda (M. domestica) yang masih mengalami pembelahan dan diferensiasi memiliki jumlah fraksi lebih banyak dibandingkan dengan sistisekoid1 (M. domestica), sistisekoid2 (M. domestica), sistisekoid3 (M. domestica), sistiserkoid1 (A. diaperinus), dan sistiserkoid2 (A. diaperinus) yang lebih matang jika diamati secara morfologis. Pengamatan Jolly et al. (2006) pada stadium serkaria paling sedikit produksi proteinnya diantara stadium lainnya karena hidupnya singkat. Sintesis protein yang paling banyak adalah pada stadium cacing dewasa. Alasannya jelas bahwa cacing dewasa adalah fase kehidupan parasitik di dalam tubuh inang definitif. Cacing dewasa harus menghindari sistem imun inang, memelihara motilitas, kebutuhan dan metabolisme nutrisi, reproduksi, produksi telur, protein permukaan, dan transpor nutrisi. Setiap sampel sistiserkoid maupun sestoda dewasa yang dianalisis masingmasing hanya satu ulangan karena ketersediaan sampel yang terbatas. Inilah yang menyebabkan kesulitan dalam interpretasi hasil analisis karena tidak ada pembanding sebagai kontrol positif. Bagaimanapun deskripsi pola protein yang dihasilkan merupakan informasi awal yang berguna untuk penelitian berikutnya. Teknik ini berpotensi sebagai alat identifikasi spesies tahap awal karena telah
86
dibuktikan bahwa setelah dilakukan analisis lanjutan yang lebih spesifik (DNA) pada spesimen yang sebelumnya dianalisis dengan SDS-PAGE menujukkan hasil yang sama (Liu et al. 2006)’
4.3 Prospek pengendalian sestodosis pada ayam petelur komersial di Indonesia Pada umumnya sebagian waktu dalam siklus hidup
cacing parasitik
merupakan fase hidup bebas di lingkungan eksternal inang. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya re-infeksi pada populasi inang yang peka. Oleh karena itu tujuan
pengendalian
penyakit
kecacingan
pada
populasi
inang
adalah
mempertahankan jumlah parasit agar tetap berada di bawah ambang batas klinis dan kerugian ekonomis (Permin & Hansen 1998). Keberhasilan program pengendalian kecacingan pada industri unggas sangat bervariasi dan bersifat spesifik/individual pada peternakan tertentu (LeaMaster 2007, Permin & Hansen 1998, Tucker et al. 2007). Faktor-faktor fisik geografis dan tata laksana peternakan menentukan pola transmisibilitas parasit yang akan mempengaruhi prevalensinya (Permin & Hansen 1998). Sinergi dari kondisi yang bersifat multifaktorial dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi hubungan inangparasit. Keefektifan hubungan tersebut dapat meningkatkan transmisibilitas parasit yang ditunjang jumlah paparan parasit, status nutrisi dan kekebalan inang, serta tata laksana peternakan (Gay & Barrington 2005). Mempelajari faktor-faktor diatas merupakan pengetahuan dasar untuk menentukan pilihan program pengendalian yang akan diaplikasikan pada sistem produksi peternakan tertentu. Kompleksitas siklus hidup sestoda merupakan kendala sekaligus tantangan dalam pengendaliannya (Morgan 2004). Namun demikian baik pengendalian trematoda, sestoda, maupun nematoda pada prinsipnya sama. Pokok-pokok pengendalian yang seyogyanya dilakukan pada praktek peternakan ayam komersial menurut Permin dan Hansen (1998) adalah kepadatan populasi, struktur flok, bergiliran kandang atau campuran/kombinasi ternak (alternate use of pens), sanitasi kandang, pengobatan dengan antelmintika secara rutin (termasuk dose and move), nutrisi baik, dan menggunakan ras yang kebal parasit secara genetik. Populasi ternak yang terlalu padat menyebabkan meningkatnya frekuensi
87
kontak dengan produk biologik yang terkontaminasi dengan parasit stadium infektif, khususnya bagi siklus langsung. Masalah ini menjadi lebih buruk jika pakan kurang, terutama defisiensi vitamin A yang menyebabkan meningkatnya kepekaan inang. Oleh karena itu perbaikan tata laksana dan pakan adalah faktor penting dalam mengatasi masalah kecacingan pada suatu populasi ternak (Small 1996). Struktur kelompok dengan pemisahan kelompok umur bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi pada kelompok umur peka (ternak muda) dari sumber infeksi yang berasal dari ternak tua sebagai reservoar. Pemeliharaan dengan kombinasi jenis ternak yang berbeda secara genetik secara bergiliran pada kandang yang sama adalah salah satu cara untuk mengurangi jumlah kontaminan stadium parasit infektif di lingkungan. Metode ini perlu memperhatikan siklus serta kelangsungan hidup parasit-parasit tertentu terutama yang berkaitan dengan geografisnya. Sanitasi dan drainase kandang serta pengobatan dengan antelmintika adalah cara untuk mengurangi peluang transmisi yang diikuti oleh menurunnya jumlah parasit di lapangan. Cara lain untuk meminimalisir masalah parasitosis pada umumnya adalah membeli stok ternak dari peternakan pembibitan yang memenuhi persyaratan dalam menjalankan program pengendalian penyakit (LeaMaster 2007).
Hal ini perlu diperhatikan terutama jika membeli dalam
bentuk ayam pulet dengan masa pemeliharaan minimal 10 minggu di tempat pembibitan. Selama kurun waktu tersebut kemungkinan terinfeksi parasit dapat terjadi, selanjutnya merupakan sumber infeksi di tempat peternakan komersial berikutnya. Khususnya pengendalian sestodosis, perbaikan Tata laksana tradisional secara ekstensif menjadi sistem modern dalam kandang terbuka atau tertutup, dapat menurunkan tingkat kejadiannya jika tidak ada akses bagi inang antaranya (Permin & Hansen 1998). Tidak mudah untuk menghindari kontak antara ayam dengan serangga inang antara yang terbang aktif, padahal memutus siklus hidup sestoda merupakan salah satu pengendalian efektif. Rotasi kelompok dengan pengosongan kandang disertai dengan pembuangan manur secara periodik dapat menghindari terinfeksinya inang antara melalui fekal-oral selain mencegah kelangsungan
perkembangbiakan
serangga
inang
antara
pada
manur.
Pengendalian serangga menggunakan insektisida juga perlu dipertimbangkan.
88
Kesinambungan program pengendalian secara terpadu seharusnya telah terjadwal sejak fase pertumbuhan sampai fase produktif. Hal ini bertujuan agar dapat mencapai produksi maksimal. Seharusnya program tersebut merupakan program dasar dalam praktek peternakan termasuk tidak diabaikannya pencegahan dan pengendalian penyakit parasitik diantaranya kecacingan. Karena setiap jenis cacing memiliki pola biologi yang spesifik, maka perbedaan letak geografik serta tata laksana peternakan akan mencerminkan jenis-jenis parasit yang menginfeksi ternak sehingga strategi pengendaliannya juga berbeda. Perhatian ini khususnya bagi ayam ternak yang dipelihara dalam jangka waktu lama dengan tata laksana tertentu. Kurangnya perhatian pada penyakit kronis ini diduga karena jarangnya informasi atau bukti ilmiah tentang penghitungan kerugian ekonomis yang diakibatkannya. Sampai saat ini obat antiparasitik tetap penting meskipun resistensnya terus berkembang meluas sehingga penggunaannya dibatasi. Ancaman resistensi yang terjadi terus-menerus, residu pada produk konsumsi, dan kurangnya produksi obat baru merupakan alasan pengembangan vaksin antiparasitik (Vercruysse et al. 2007). Pengembangan vaksin antisestoda telah berlangsung relatif lama terutama bagi hewan ternak konsumsi yang dapat terinfeksi sestoda zoonotik (Flisser et al. 2004, Guo et al. 2007, Kong et al. 2000, Lagapa et al. 2002, Lightowlers 1994, Lighttowlers et al. 2003, Rickard 1991, Siles-lucas et al. 2000, Spolski et al. 2002, Thaummaturgo et al. 2001, Verastegui et al. 2003). Sejauh ini belum ada penelitian yang menyentuh pengembangan vaksin anti sestoda yang bukan zoonosis. Selayaknya pengembangan vaksin terus dikembangkan tanpa menunggu berjalannya waktu suatu saat pengendalian yang efektif menemukan jalan buntu. Strategi pengendalian dengan antiparasitik yang dikombinasi dengan vaksin hendaknya terus digali untuk mengurangi frekuensi penggunaan antiparasitik kimiawi (Vercruysse et al. 2007). Sistem
peternakan
modern
dengan
intensifikasi
telah
dirancang
sedemikian rupa sehingga dapat menekan frekuensi infeksi endoparasit. Dari sudut pandang Tata laksana sistem baterai, terjadinya sestodosis masih sulit dipahami. Perlu telaah lebih lanjut tentang waktu dan tempat terjadinya transmisi yang menyebabkan tingginya prevalensi pada peternakan ayam ras petelur dalam
89
kandang baterai. Perlu kajian mendalam untuk menjawab pertanyaan bagaimana dapat terjadi prevalensi yang tinggi padahal peluang terjadinya infeksi rendah. Oleh karena itu, kompleksitas masalah endoparasitosis di peternakan dengan tata laksana tertentu harus dipecahkan dengan strategi pengendalian terpadu. Tidak cukup hanya dengan eliminasi parasit secara periodik, perbaikan tata laksana yang dapat menekan terjadinya transmisi endoparasit perlu dilakukan termasuk menekan populasi serangga sebagai inang antaranya. Hasil analisis risiko infeksi pada penelitian ini besar kemungkinannya berlaku spesifik pada peternakan tertentu dengan berbagai ragam tata laksananya. Perlu memperbanyak jumlah dan waktu pengamatan untuk dapat memperoleh standar rekomendasi pengendalian yang mendekati baku, walaupun kenyataannya tidak sedikit kendala-kendala yang ditemukan di lapangan sehingga tidak sesuai dengan rancangan pengamatan yang telah disusun sebelumnya. Kiranya nilai-nilai Odds-Ratio hasil penelitian ini merupakan pengetahuan yang perlu diperhatikan dalam praktek peternakan pada ayam ras petelur komersial. Informasi standar tata laksana pemeliharaan ternak merupakan satu hal penting yang harus dilaksanakan, disertai dengan pengembangan teknologi pengendalian penyakit secara terpadu dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak (Talib et.al., 2007).
90
5 KESIMPULAN dan SARAN Kesimpulan 1 Jenis-jenis sestoda yang ditemukan pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor adalah Raillietina echinobothrida, R. tetragona, R. cesticillus, Choanotaenia infundibulum, dan Hymenolepis cantaniana. 2 Lalat
Musca
domestica
merupakan
inang
antara
Raillietina
dan
Choanotaenia. Adapun Alphitobius diaperinus belum terbukti berperan sebagai inang antara sestoda pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor, namun mengandung sistiserkoid dari sestoda tikus. 3 Faktor-faktor risiko yang nyata mempengaruhi kejadian sestodosis pada ayam ras petelur komersial adalah umur, populasi, dan tata laksana kandang yaitu: 3.1 Ayam yang berumur >50 minggu berisiko terinfeksi sestoda sebesar 5,06 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ayam yang berumur <20 minggu. 3.2 Ayam di peternakan dengan populasi ternak sebesar >65 ribu ekor berisiko terinfeksi sestoda sebesar 2,72 kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi ≤65 ribu ekor ayam. 3.3 Ayam di peternakan dengan tata laksana kandang terbuka berisiko terinfeksi sestoda sebesar 27,24 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kandang tertutup. 4 Populasi ayam, tata laksana kandang, pembuangan manur, dan pemberian antelmintika bukan merupakan faktor risiko yang nyata terhadap kejadian sistiserkoidosis pada lalat M. domestica. 5 Profil protein whole worm extract sistiserkoid tidak dapat digunakan untuk menentukan jenis sestoda dewasa pada ayam hasil infeksi alami.
91
Saran 1
Dalam upaya meminimalkan sestodosis di peternakan ayam ras petelur komersial perlu diperhatikan aspek tata laksana peternakan sebagai berikut: 1.1 Disarankan menggunakan sistem kandang tertutup pada peternakan dengan populasi besar. 1.2 Pemberian antelmintika pada awal sebelum naik kandang baterai dan sebelum puncak produksi harus dilakukan, dilanjutkan dengan pemberian secara berkala berdasarkan hasil pemeriksaan sebelumnya. 1.3 Pemeriksaan sestodosis secara berkala perlu dilakukan untuk menentukan waktu pengobatan secara strategik selama masa ayam bertelur. 1.4 Tata laksana pembuangan manur merupakan faktor penting untuk menekan populasi lalat M. domestica.
2
Menambah jumlah sampel peternakan sehingga ulangan variabel faktorfaktor risiko yang diamati lebih memadai untuk menghindari kerancuan hasil analisis.
3
Menghitung populasi lalat M. domestica dan kumbang A. diaperinus untuk menentukan status hama bermasalah atau tidak.
4
Membuat acuan sebagai standar pola pita protein WWE sistiserkoid dan sestoda melalui infeksi coba.
5
Menggunakan
metode
epidemiologik
selain
cross-sectional
untuk
mengetahui fluktuasi kejadian sestodosis pada ayam berkaitan dengan fluktuasi populasi serangga yang diduga berpotensi sebagai inang antara dalam kurun waktu tertentu.
92
DAFTAR PUSTAKA Abdelqader A, Gauly M, Wollny CBA, Aboshehada MN. 2008. Prevalence and burden of gastrointestinal helminths among local chickens, in northern Jordan. Preventive Vet.Med. 85(1-2): 17-22. Abebe W, Asfaw T, Genete B, Kassa B, Dorchies. 1997. Comparative studies of external parasite and gastro-intestinal helminths of chickens kept under different management system in and around Addis Ababa (Ethiopia). Rev.Med.Vet. 6: 497-500. Adams J. 1996. Vector Abatement Plan Darkling Beetles. Ohio State Poultry Management Bulletin 853. Adang KL, Oniye SJ, Ajanusi OJ, Ezealor AU, Abdu PA. 2008. Gastrointestinal helminths of the domestic pigeons (Columba livia domestica Gmelin, 1789 Aves-Columbidae) in Zaria, Northern Nigeria. Sci. World J. 3(1): 33-37. Ahmadi N, Dalimi A. 2002. Molecular characterization of Echinococcus granulosus isolated from sheep and camel in Iran. Arch.Razi Ins. (53). Ahmed MI, Sinha PK. 1993. Prevalence of poultry helminthiasis in an arid-zone in Nigeria. Indian Vet. J., 70: 703-704. Altizer S, Dobson A, Hosseini P, Hudson P, Pascual M, Rohani P. 2006. Seasonality and the dynamics of infectious diseases. Ecol. Letters 9: 467-484. Amr ZS, Hyland KE, Myers JE. 1988. Metroalisthes lucida in the eastern wild turkey from Rhode Island. J. Wildlife Dis. 24(3): 572-573. Anonim. 1994. Poultry Manure Management Planning (MMP). Cooperative Ex -tention Service. Purdue University.http://www.ces.purdue.edu/ extmedia /ID/ID-206.html. [24 Agustus 2007]. Apuya LC, Stringham SM, Arends JJ, Brooks WM. 1994. Prevalence of protozoan infections in darkling beetles from poultry houses in North Carolina. J. Inverteb. Pathol. 63: 255-259. Ashenafi H, Eshetu Y. 2004. Study on gastrointestinal helminths of local chickens in Central Ethiopia. Rev. Med. Vet. 155(10): 504-507. Axtell RC. 1999. Poultry integrated pest management: Status and future. Integrated Pest Management. Rev. 4: 53-73. Axtell RC, Arends JJ. 1990. Ecology and management of arthropods pests of poultry. Annu. Rev. Entomol. 35: 102-126. [abstrak].http://www.ncbi.nih. gov /pubmed/2405769?ordinalpos=1&itoll=EntrezSyste m2.PEntr...[17 Mei 2008]. [BPS] Badan Pusat Stastistik. 2006. Populasi Ayam Ras Petelur Tahun 2003 2007 (Per Provinsi). Badan Pusat Statistik (Susenas 2006). Bakker TCM, Mazzi D, Zala S. 1997. Parasite-induced changes in behavior and color make Gammarus pulex more prone to fish predation. Ecology 78(5): 1098-1104. Bates C, Hiett KL, Stern NJ. 2004. Relationship of Camphilobacter isolated from poultry and from darkling beetles in New Zealand. Avian Dis. 48: 138147.
93
Bylund G, Djupsund BM. 1977. Protein profiles as an aid taxonomy in the genus Diphyllobothrium. Z. Parasitenkunde. 51: 241-247. Bousquet Y. 1990. Beetles Associated With Stored products in Canada: An Identification Guide. F. Smith. (Ed). Canadian Government Publishing Centre. Canada. Boynukara B, Korkoca H, Senier NG, Gulhan T, Atalan E. 2004. The characterization of protein profiles of the isolated Aeromonas sobria strains from animal faeces by SDS-PAGE. Indian Vet, J, 81: 245-249. Budiarti I. 1985. Jenis-jenis parasit ayam kampung yang didapat dari beberapa daerah di Jawa dan Bali. Di dalam: Proceeding Seminar Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak. Puslitbangnak, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Beintema AJ, Thissen JB, Tensen D, Visser GH. 1990. Feeding ecology of charadriiform chicks in agricultural grassland. Ardea 7: 31-44. [BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2006. Data Curah Hujan dan Klimatologi Wilayah Kabubaten Bogor. Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah II Stasiun Klimatologi Klas I Darmaga Bogor. Calentine RL. 1985. Hatched egg of tapeworm (sp. Hymenolepis diminuta). University of Wisconsin River Falls, Wisconsin, USA. http://www. nikon smallworld.com/gallery.php?grouping=jear&year=1985&imagepos=19. [25 Mei 2009]. Case AA, Ackert JE. 1940. New intermediate host of fowl cestodes.Trans. Kansas Acad. Sci. 43: 393-396. Cezilly F, Gregoire A, Bertin A.1999. Conflict between co-occurring manipulative parasites? An experimental study of the joint influence of two acanthocephalan parasites on the behavior of Gammarus pulex. Parasitol. 120: 625-630. Chervy L. 2002. The terminology of larval cestodes or metacestode. Systematic Parasitol. 52(2): 1-33. Cooper SD, Winkler DW, Lenz PH. 1984. Ther effect of grebe predation on a brine shrimp population. J. Ecol. 53: 51-64. Dehlawi MS. 2006. New records of cestodes from birds in Saudi Arabia. Saudi J. Biologic. Sci. 13(1): 13-16. Danardono. 2006. Biostatistika dan Epidemiologi.[Bahan Ajar]. Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gajah Mada. Despins JL. Turner EGJ, Ruszler PL.1987. Construction profiles of high rise caged layer houses in association with insulation damage caused by the lesser mealworm Alphitobius diaperinus (Panzer) in Virginia. Poultry Sci. 66: 243-250. De Vera ME, Sato K, Oyong G, Claveria FG. 2009. Comparison of protein profile of co-existing Fasciola hepatica and Fasciola gigantica parasite in Bos taurus (cattle) and Bubalus bubalis (Philippine water buffalo). J. Protozool. Res. 19: 1-9. De Villiers OT. Bosman M, De Lange JH. 1997. Identification of Cyclopia species (‘Heuningbostee’) using polyacrylamide gel electrophoresis. S. Afr. Tydskr. Plant Grond 14(2): 54-58.
94
Dhillon AS, Roy P, Lauerman L, Schaberg D, Weber S, Bandli D, Wier F. 2004. High mortality in egg layers as a result of necrotic enteritis. Avian Dis. 46: 675-680. Dhoot VM, Upadhye SV, Kolte SW. 2002. Prevalence of parasitism in wild animals and birds of Maharajbag Zoo, Nagpur. Indian Vet. J. 79: 225-227. Dunford JC, Kaufman PE. 2006. Introduction – Synonymy – Distribution – LifeCycle and Biology - Damage – Medical Importance – Management – Selected References. http://www.creatures.ifas.ufl.edu/livestock/poultry /lesser_mealworm.htm Durrani R, Abubakar M, Arshed MJ, Saleha S, Ullah I, Ali Q. 2008. Biological characterization and protein profiles of two model bacteria by SDSPAGE and FT-IR. J. Agric & Biol. Sci. 3(5 & 6): 6-16. Elowni EE, Elbihari S. 1979. Natural and experimental infection of the beetle, Alphitobius diaperinus (Coleoptera: Tenebrionidae) with Choanotaenia infundibulum and other chicken tapeworms. Vet. Res. Com. 3(1): 171173. EL - Sayad MH, Lotfy WM. 2005. Effect of storage on the infectivity of Vampirolepis nana var. nana eggs to Swiss Albino mice. Iranian J. Publ. Health. 34(4): 29-34. Eshetu J. 2001. Study of gastro-intestinal helminths of scavenging chickens in four rural districts of Amhara region, Ethiopia. Rev. Sci. Tech. Off. Int. Epiz. 20(3): 791-796. Esmaeil GM.2004. Role flayed by some arthropods transmission of some parasitic diseases to birds in Assiut Governorate. [abstrak]. Di dalam: Biological Pollution Ass. Univ. Cent. Envir. Studies (4). Fakae BB, Nwalusi CU. 2000. Rainy season helminths infection in the domestic fowls (Gallus gallus) in eastern Nigeria. Di dalam: Book of Proceeding. 25TH Annual NSAP Converence. March 19-23, 2000. Umudike. Fanatico A. 2006. Alternative Poultry Production Systems and Outdoor Access. Di dalam: ATTRA-National Sustainable Agricultural Information Service. http://www.attra.ncat.org. Fischer MS, Say RR. 1989. Manual of Tropical Veterinary Parasitology. Published by CAB International. Flisser A. 2004. Induction of protection againt porcine cysticercosis by vaccination with recombinant oncosphere antigens. Infection and Immunity. 72(9):5292-5297. Foronda P, Casanova JC, Figueruelo E, Abreu N, Feliu C. 2005. The helminth fauna of the barbary partridge Alectoris barbara in Tenerife, Canary Islands. [abstrak]. J. Helminthol. 79: 133-138. Fuller CA, Rock P, Philip T. 2003. Behaviour, color change, and predation risk induced by acanthocephalan parasitism in the caribbean termite Nasutitermes acajutlae. Caribbean J. Sci. 39(1): 128-135. [FAO] Food and Agricultural Organization. 2000. Food and Agricultural Organization of the United Nations Databases. http://www.fao.org.html. [2 Juli 2008].
95
Gabrion C, Plateaux L, Quentin C. 1976. Anomotaenia brevis (Clere, 1902) Fuhrmann, 1908, Cestode Cyclophyllidea, parasite of Leptothorax nylanderi (Forster), Hymenopterous, Formicidae (author’s transl). [abstrak]. Ann. Parasitol. Hum. Comp. 51(4): 407-420. Gajadhar AA, Scandrett WB, Forbes LB. 2006. Overview of food and waterborne zoonotic parasites at the farm level. Rev. Sci. tech. Off. Int. Epiz. 25(2): 595-606. Gay JM, Barrington GM. 2005. Sanitation in the control of livestock infectious disease. http://www.vetmed.wsu.edu/courses-jmgay/FDIUSanitation.htm [24 Agustus 2007]. Gönenç B. 2002. Analysis of the crude antigen of Hymenolepis nana from mice by SDS-PAGE and the determination of specific antigens in protein structure by Western Blotting. Turk J. Vet. Anim. Sci. 26: 1067-1071. Gordon DM, Whietfield PJ. 1984. Interaction of the cysticercoid of Hymenolepis diminuta and Raillietina cesticillus in their intermediate host, Tribolium confusum. Parasitology 90 : 421 – 431. Goulson D, Derwent LC, Hanley ME, Dunn DW, Abolins SR. 2005. Predicting calyptrate fly population from the weather, and probable consequences of climate change. J. Appl. Ecol. 43: 795-804. Guo A, Jin Z, Zheng Y, Hai G, Yuan G, Li H, Cai X. 2007. Induction of protection against porcine cysticercosis in growing pigs by DNA vaccination. [abstrak]. Vaccine. 25(1): 170-175. Hall RD, Jones FG. 2005. Fly control in caged layer buildings. Di dalam: MU Extension. http://muextension.missouri.edu/explore/agguides/pests/g07030. htm [9 Desember 2006]. Hassouni T, Belghyti D. 2006. Distribution of gastrointestinal helminths in chicken farms in the Ghab region Morocco. [abstrak]. Parasitology research. 99 (2): 181 - 183. Di dalam: SpringerLink - Journal Article. http://www. springerlink.com/content/y82021243m748v41/. [11 Juli 2009]. He S, Susilowati VEHS, Tiuria R, dan Purwati E. 1990. Taksiran kerugian produksi daging akibat infeksi alamiah daging saluran pencernaan pada ayam buras di Bogor dan sekitarnya. [Kumpulan Abstrak]. Seminar Parasitologi Nasional VI dan Kongres P4I V. Heyneman D. 1959. Experimental autoreinfection of Hymenolepis nana in isolated mice restrained from coprophagy. J. Parasitol. 45: 25. Holland ND, Wilson NG. 2009. Molecular identification of larvae of a tetraphyllidean tapeworm (Platyhelminthes: Eucestoda) in a razor clam as an alternative intermediate host in the life cycle of Acanthobothrium brevissime. J. Parasitol. 95(5): 1215-1217. Horsfall. MW, Jones MF. 1937. The life history of Choanotaenia infundibulum, a cestode parasitic in chickens. [abstrak]. Di dalam: The Journal Parasitology 23 (5). http://www.jstor.org/action/showArticleImage?image= images%2Fpages% 2Fdtc.3.tif.gif&... Hosmer DW, Lemeshow S. 2000. Applied Logistic Regression. 2nd Ed. John Wiley & Sons. Hurd H, Warr E, Polwart A. 2001. A parasite that increases host lifespan. Proc. The Royal Soc. B: Biological Sciences. 268 (1477).
96
Inbandiah S. 1995. Kejadian infeksi cacing pita pada ayam buras di Kotabumi, Lampung Selatan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Irungu LW, Kimani RN, Kisia SM. 2004. Helminth parasites in the intestinal tract of indigenous poultry in parts of Kenya. [abstrak]. J S Afr Vet Assoc. 76(1):58-9. Ito A, Onitake K. 1987. Change in surface antigens of Hymenolepis nana during differentiation and maturation in mice. J. Helminthol. 61: 129-136. Janssen D, Barrett J. 1995. A novel lipid-binding protein from the cestode Moniezia expansa. Biochem J.311: 49-57. Jeon HK, Eom KS. 2009. Immunoblot pattern of Taenia asiatica Taeniasis. The Korean J. Parasitol. 47(1): 73-77. Jolly ER, Chin CS, 2006. Gen expression patterns during adaptation of helminths parasite to different environmental niches. Genome Biol. 8: R65. Janssen DM, De Wit, De Rycke PH. 1990. Hydatidosis in Belgium: analysis of larval Echinococcus granulosus by SDS-PAGE and western blotting. Ann. Soc. Belgium Trop. Med. 70: 121-129. Junker K, Boomker J. 2007. A check list of helminths of guineafowls (Numidae) and a host list of these parasites. Onderstepoort J. Vet. Res. 74: 315-337. Kano S, Ito A. 1983. Influence of the host immunoresponces on the modes of primary infection and autoinfection with Hymenolepis nana in mice. Japanese J. Parasitology 32 (3): 183-193. Karunamoorthy G, Chellapa DJ, Anandan R. 1994. The life history of Subulura brumpti in the beetle Alphitobius diaperinus. Indian Vet. J. 71: 12-15. Kato N, Nonaka N, Oku Y, Kamiya M. 2005. Immune responses to oral infection with Echinococcus multilocularis protoscoleces in gerbil: modified lymphocyte responses due to the parasite antigen. J. Vet. Res. 49: 287296. Kennedy CR. 1975. Ecological Animal Parasitology. Halsted Press, a division of John Wiley & Sons, New York. Ketaren K, Arif M. 1988. Studi epidemiologi parasit-parasit cacing ayam buras di Sulawesi Selatan. [Kumpulan Abstrak]. Seminar Parasitologi Nasional V dan Kongres P4I IV. Keymer AE. 1982. The dynamics of infection of Tribolium confusum by Hymenolepis diminuta: the influence of exposure time and host density. Parasitol. 84: 157-166. Khalil LF, Jones A, Bray RA. editor. 1994. Keys to The Cestode Parasites of Vertebrate. CAB International: 1994. Kinde H, Castellan DM, Kerr D, Campbell J, Breitmeyer R, Ardans A. 2005. Longitudinal monitoring of two commercial layer flocks and their environments for Salmonella enterica serovar enteritidis and other Salmonellae. Avian Dis. 49: 189-194. Koehler PG, Oi FM. 2005. Filth breeding flies. Di dalam: Environmentally Safe Insect Control System. http://www.ridmax.com/flies.htm [23 Februari 2006]. Kong HH, Kim TH, Chung DI. 2000. Purification and characterization of a secretory serine proteinase of Acanthamoeba healyi isolated from Gae. J.Parasito.86(1): 12 – 17.
97
K ro lu E, Ta an E. 1996. Distribution of helminths in qualis (Coturnix coturnix) and partridge (Alectoris graeca) in the vicinities of Elazig and Tuncell. Turk. J. Vet. Anim. Sci. 20: 241-249. Kumazawa H, Suzuki N. 1983. Kinetics of proglottide formation, maturation and shedding during development of Hymenolepis nana. Parasitol. 86: 275289. Kuney D.R. 1997. Tapeworms and their control in chickens. http://www.animalscience.ucdavis.edu/Avian/cpl1297.htm [12 Agustus 2006]. Kurkure NV, Kolte SW, Ganorkar AG, Bhandarkar AG. 1998. Raillietina cesticillus in pigeon (Columbia livia). Indian Vet. J. 75: 835-836. Kusumamihardja S. 1973. Distribusi parasit ayam di Jawa Barat dan Jawa Tengah. [Laporan Survai]. Bogor, Departemen IPHK, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Kruse GOW, Pritchard MH. 1982. The Collection and Preservation of Animal Parasites. University of Nebraska Press, Lincoln and London. Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural protein during the assembly of the head of bacteriophage T4. The nature. 227:680-685. Lafferty KD, Morris AK. 1996. Altered behavior of parasitized killifish increases susceptibility to pradation by bird final host. Ecology. 77(5): 1390-1397. Lagapa JTG, Oku Y, Nonaka N, Kamiya M. 2002. Taenia taeniaeformis larval product induces gastric mucosal hyperplasia in SCID mice. J.Vet. Res. 49(4): 273 – 285. Lawson JL, Gemmel MA. 1983. Transmission in hydatidosis and cysticercosis. Adv. Parasitol. 22 : 279. LeaMaster BR. 2007. Parasites important to poultry in Hawai’i and the control. Di dalam: Livestock Management. Lee SU, Chun HC, Huh S. 2007. Molecular phylogeny of parasitic Platyhelminthes based on sequences of partial 28S rDNA D1 and mitochondrial cytochrome c oxidase subunit I. Korean J. Parasitol. 45(3): 181-189. Lightowlers MW. 1994. Vaccination against animal parasites. Vet. Parasitol. 54(1-3): 177-204. Lightowlers MW, Gauci CG, Chow C, Drew DR, Gauci SM, Heath DD, Jackson DC, Dadley-Moore DL, Read AJ. 2003. Molecular and genetic characterisation of the host-protective oncosphere antigens of taeniids cestode parasites. Int. J. Parasitol. 33(11): 1207-1217. Liu B, Li H, Wu S, Zhang X, Xie L. 2006. A simple and rapid method for the differentiation and identification of thermophilic bacteria. Can. J. Microbiol 52: 753-758. Loos-Frank B. 1987. Shedding of gravid proglottids and destrobilation in experimental infection of foxes with Mesocestoides leptothylacus LoosFrank, 1980 (Cestoda). J. Helminthol. 61(3): 213-8. Castrillo LA & Brooks WM. 1998. Differentiation of Beauveria bassiana isolates from the darkling beetle, Alphitobius diaperinus, using isozyme and RAPD analyses. J. Inverteb. Pathol. 72: 190-16.
98
Luka SA, Ndams IS. 2007. Gastrointestinal parasites of domestic chicken Gallus gallus domesticus Linnaeus 1758 in Samaru, Zaria Nigeria. Sci.World J. 2(1): 27-29. Mackiewiez JS. 1988. Cestode transmission patterns. [abstrak]. J.Parasitol. 74(1): 60-71. Magwisha HB, Kassuku AA, Kyvsgaard NC, Permin A. 2002. A comparison of the prevalence and burdens of helminth infections in growers and adult free-range chickens.. Trop.Anim.Health.Prod. 34(3): 205-214. Mahmoud MS, Derbala AA, El-Massry AA, Maarouf OA. 2008. Sero-diagnostic potency of hydatid fluid and protoscoleces partially purified of both camel and equine origin. Global Veterinaria 2(3): 099-103. Maki J & Yanagisawa T. 1987. Infectivity of Hymenolepis nana eggs from sulphate flubendazole and mebendazole on mature and immature Hymenolepis nana in mice. J. Helmintol.61: 341-345. McAllister JC, Steelman CD, Skeeles JK, Newberry IA, Gbur EE. 1996. Resevoir competence of the Alphitobius diaperinus (Coleoptera: Tenebrionidae) for Escherichia coli (Eubacteriales: Entero bacteriaceae). J. Med. Entomol. 33: 983-9872. Mcjunkin JW, Applegate RD, Zelmer DA. 2003. Enteric helminths of juvenile and adult wild turkeys (Meleagris gallopavo) in Eastern Kansas. Avian Dis. 47: 1481-1485. McManus DP, Barrett NJ. 1985. Isolation, fractionation and partial characterization of tegumental surface from protoscolex of .hydatid organism, E. granulosus. Parasitol. 90: 111-129. Merzaakhmedov IA. 1985. Development biology of the principle cestodes of domestic chickens in Shouthern Kazakhstana. Helminthological abstr. (Seri A) 55 : 2. Moczoń T, Świetlikowska, A. 2005. Acetylcholinesterase from mature Hymenolepis diminuta (Cestoda). Acta Parasitologica 50(4): 344-351. Mohammed OB, Hussein HS, Elowni EE. 1988. The ant, Pachycondyla sennaarensis (Mayr) as an intermediate host for the poultry cestode, Raillietina tetragona (Molin). Vet. Res. Comm. 12(4-5):325-7. Mond AK, Malholtra SK, Capoor VN. 2001. Maturity status and seasonality of Raillietina (Raillietina) permista (Southwell and Lake) infesting poultry of an Indian sub-humid region. Exp. Pathology and Parasitology. 4(5): 13-20. Moorman T. 2004. Tapeworm (Taeniidae) in a section of intestinal tract. Science Illustration Gallery. http://www.scienceillustration.org/ gallery/detail. asp?iType=98&iPic=422. Moorthy M, Sundaresan K, Viswanathan K. 2000. Effect of feed and system of management on egg quality parameters of commercial White Leghorn layers. Indian Vet. J. 77: 233-236. Morgan E. 2004. Endoparasites: Cestode. Di dalam: Veterinary Parasitology & Ecology. http://www.bio.bris.ac.uk/research/insects/endo.html [11 Juni 2009].
99
Morgan BB, Hawkins PA. 1960. Veterinary Helminthology. Burgess Publishing Company Mpoame M, Agbede G. 1995. The gastro-intestinal helminth infections of domestic fowl in Dschang, Western Cameroon. Rev.Elev. Med. Vet. Pays trop. 48 (2): 147-151. Mpoame M & Agbede G. 1995. The gastro-intestinal helminth infections of domestic fowl in Deschang, Western Cameroon. Rev. Elev.Med. Vet. Pays trop. 48(2): 147-151. Muhaerwa AP, Msoffe PL, Ramadhani S, Mollel EL, Mtambo MMA, Kassuku AA. 2007. Prevalence of gastro-intestinal helminths in free-range ducks in Morogoro Municipality, Tanzania. Livestock Res. Rural Dev. 19(4). Mungube EO, Bauni SM, Tenhagen BA, Wamae LW, Nzioka SM, Muhammed L, Nginyi JM.. 2007. Prevalence of parasites of the local scavenging chickens in a selected semi-arid zone of Eastern Kenya. [abstrak]. Trop. Anim. Health Prod. 40(2): 101-109. Mushi EZ, Binta MG, Chabo RG, Ndebele R, Thibanyane T. 2000. Helminth parasites of indigenous chickens in Oodi, Kgatleng District, Botswana. [abstrak]. J.S. Afr. Vet. Assoc. 71(4): 247-248. Muthusamy P, Viswathan K. 1999. Influence of rearing system on the egg quality traits of commercial layers. Indian Vet. J. 76: 533-536. Nadakal AM, Mohandas A, John KO, Muraleedharan K. 1973. The biology of the fowl cestode Raillietina echinobothrida with a note on its pathogenicity. Trans. Am. Microsc. Soc. 92(2): 1-3. Natala AJ, Asemadahun MD, Okubanjo OO, Ulayi BM, Owolabi YH, Jato ID, Yusuf KH. 2009. A survey of parasites of domesticated pigeon (Columbia livia domestic) in Zaria, Nigeria. Int. J. Soft Computing. 4(4): 148-150. Nguen TK, Dubinina MN. 1978. Tapeworm fauna of gallinaceans (Galliformis) of Vietnam. [abstrak]. Parasitol. 12(6): 497-504. Nobel ER, Nobel GA, Schad GA, Maclnnes AJ. 1989. Parasitology. The biology of animal parasites. Lea & Febiger Philadelphia London. Numan M, Iqbal M, Aqil K, Habib M, Yousaf MS. 2008. Polypeptide mapping of different isolates of Pasteurella multocida bovine origin. J. Vet. Anim. Sci. 1: 37-39. O’Callaghan MG Davies M, Andrews RH. 2003. Cysticercoids of five species of Raillietina Fuhrmann, 1920 (Cestoda: Davaineidae) in ants, Pheidole sp., from emu farm in Australia. [abstrak]. Syst. Parasitol 55(1): 19-24. Oldeman LR. 1975. An Agro-Climatic Map of Java. Central Research Institute for Agriculture, Bogor, Indonesia. Olsen AR, Hammack TS. 2000. Isolation of Salmonella spp. from the housefly, Musca domestica L,and the dump fly,Hydrotaea aenescens (Wiedemann) (Diptera : Muscidae), at caged-layer houses. J. Food Protection 63(7): 958-960. Padgett KA, Boyce WM. 2005. Ants as first intermediate hosts of Mesocestoides on San Miguel Island, USA. J. Helminthol.79(1): 67-73. Pappas PW, Marschall EA, Morisson SE, Durka GM, Daniel CS. 1995. Increased coprophagic activity of the beetle, Tenebriomolitor, on feces cantaining eggs of the tapeworm, Hymenolepis diminuta. Int. J. Parasitol. 25(10): 1179-1184.
100
Park YK, Park JH, Guk SM, Shin EH, Chai JY. 2005. A new method for concentration of proteins in the calcareus corpuscles separated from the spargana of Spirometra erinacei. Korean J. Parasitol.43(3): 119-122. Park SK, Yun DH, Chung JY, Kong Y, Cho SY. 2000. The 10 kDa protein of Taenia solium metacestodes shows genus specific antigenicity. The Korean J. Parasitol. 38(3): 191-194. Permin A, Hansen JW. 1998. Epidemiology, Diagnosis and Control of Poultry Parasites. FAO Animal Health Manual No.4. Rome. Permin A, Esmann JB, Hoj CH, Hove T, Mukaratirwa S. 2002. Ecto -, endo - and haemoparasites in free-range chickens in the Goromonzi District in Zimbabwe. Preventive Vet. Med. 54(3): 213-224. Phiri IK, Phiri AM, Ziela M, Chota A, Masuku M, Monrad J. 2007. Prevalence and distribution of gastrointestinal helminths and their effects on weight gain in free-range chickens in Central Zambia. [abstrak]. Trop. An. Health Prod. 39(4): 309-315. Pinto RM, Menezes RC, Tortelly R, Noronha D. 2005. First report of a natural helminth infection in the Japanese quail Coturnix japonica Temminck and Schlegel (Aves, Phasianidae, Galliformes) in the neotropical region. Rev. Bras. Zool. 22(4). Ponnudurai G, Chellappa DJ. 2003. Incidence of cysticercoids of poultry tapeworm Choanotaenia infundibulum in Musca domestica in Namakkal, Tamil Nadu. Indian J. Poult. Sci. 38: 308-310. Ponnudurai G, Chellappa DJ. 2001. Monomorium floricola a newly identified intermediate host for poultry tapeworm Cotugnia digonophora. [abstrak]. Di dalam: Indian J. Poultry Sci. 36(1). Poulsen J, Permin A, Hindsbo O, Yelifari L, Nansen P, Boch P. 2000. Prevalensce and distribution of gastro-intestinal heminths and haemoparasites in young scavenging chikens in upper eastern region of Ghana, West Africa. Preventive Vet. Med. 45(3-4): 237-245. Premavalli K, Viswanathan K. 2004. Influence of system of management on the external egg quality characteristics of commercial White Leghorn layers. Indian Vet. J. 81: 1364-1367. Purwati E, Munidar, Afdal. 1989. Penyerangan cacing pada usus ayam buras yang dipotong di Pasar Raya Kodya Padang. Di dalam: Prosiding Seminar Parasitologi Nasional V. Jakarta, Perhimpunan Pemberantasan Penyakit Parasit Indonesia. Rabbi AKMA, Islam A, Majumder S, Anisuzzaman A, Rahman MH. 2006. Gastrointestinal helminths infection in different types of poultry. Bangl. J.Vet.Med. 4(1): 13-18. Rahman WA, Salim H, Ghause MS. 2009. Helminthic parasites of scavenging chickens (Gallus domesticus) from some villages in Penang Island, Malaysia. J.Biosains. 20(1): 13-18. Rad MM, Zaini F, Pezeshki M, Kordbacheh P, Akhouni EE, Emami M. 2001. The protein profil of Trichophyton rubrum by SDS-PAGE. Iranian J. Publ. Health. 30(1-2): 71-72. Read CP. 1951. The “crowding effect” in tape-worm infections. J. Parasitol. 37: 174-178.
101
Reid WM, Ackert JE.1937.The cysticercoid of Choanotaenia infundibulum Bloch and fly as its host. Trans.Am.Microsc.Soc. 56 (1): 99-104. Retnani EB, He S, Kusumamiharja S, Sigit SH. 1993. Infektifitas berbagai derajat kematangan proglotida cacing pita Hymenolepis diminuta (Rudolphi) pada: 1 Kutu beras Tribolium castaneum (Herbst). Hemerazoa 76 (1) : 36 – 43. Retnani EB, He S, Kusumamiharja S, Sigit SH. 1995. Infektifitas berbagai derajat kematangan proglotida cacing pita Hymenolepis diminuta (Rudolphi) pada: 2 Tikus putih Rattus sp. Hemerazoa 77 (2) : 31 – 38. Retnani EB, Ridwan Y, Tiuria R, Satrija F. 2001. Dinamika populasi cacing saluran pencernaan ayam kampung : 2 Pengaruh tipe iklim fluktuasi populasi cacing saluran pencernaan ayam kampung. Media Veteriner 8 : 10-13. Retnani EB, Ridwan Y, Tiuria R, Satrija F. 2000. Dinamika populasi cacing saluran pencernaan ayam kampung : 1 Pengaruh pemeliharaan di kandang dan diumbar terhadap fluktuasi populasi cacing. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasitik Indonesia. Denpasar, 21-24 Februari 2000. Rickard MD. 1991. Cestode vaccines. [abstrak]. Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 22: 287-290. Roeder R. 2006. S1006: Insect and Manure Management in Poultry Systems: Elements Relative to Food Safety and Nuisance Issues (S274). http://www.lgu.umd.edu/lgu_v2/homepages/outline.cfm?trackID=694 Robb T, Reid ML. 1996. Parasite-induced changes in the behaviour of cestodeinfected beetles: adaptation or simple pathology?. Can. J. Zool. 74: 12681274. Rouxel C, Daniel A, Jérome M, Etienne M, Fleurence J. 2001. Species identification by SDS-PAGE of red algae used as seafood or food ingredient. Food Chemistry 74: 349-353. Saeed AMA. 2007. Efficacy of albendazole against experimental Raillietina tetragona infection in chicken. Res. J. Pharmacol. 1(1): 5-8. Salam ST, Khan AR, Mir MS. 2009. Prevalence and pathology of Amoebotaenia sphenoides in the free ranging chicken of Kashmir valley. The Internet J. of Parasitic Diseases 4(1). Salin C,Vernon P,Vannier G. 1998. The supercooling and high temperature stupor points of the adult lesser mealworm Alphitobius diaperinus (Coleoptera: Tenebrionidae). J. Stored Prod. Res. 34(4): 385-394. Salin C, Delettre YR, Cannavacciulo M, Vernon P. 2000. Spatial distribution of Alphitobius disperinus (Panzer) (Coleoptera:Tenebrionidae) in the soil of poultry house along a breeding cycle. Eur. J. Soil Biol. 36: 107-115. Samad MA, Alam MM Bari SM. 1986. Effect of Raillietina echinobothrida infection of blood values and intestinal tissues of domestic fowls of Bangladesh. Vet.Parasitol. 21: 279-284. Sánchez-Arroyo, H. 2008. House fly, Musca domestica Linnaeus. Di dalam: IFAS Extension. http://edis.ifas.ufl.edu/in205. [21 Mei 2008]. Sánchez MI, Georgiev BB, Green AJ. 2007.Avian cestodes affect the behavior of thei intermediate host Artemia parthenogenetica: An experimental study. Behavioral Processes. 74: 293-299.
102
Sasmita R, 1980. Infestasi cacing nematoda dan cestoda dalam saluran pencernaan ayam potong di Surabaya. Di dalam: Risalah Seminar Penyakit Reproduksi dan Unggas. 257 – 268. Schou TW, Permin A, Juul-Madsen HR, Sorensen P, Labouriau R, Nguyen TL, Fink M, Pham SL. 2007. Gastrointestinal helminths in indigenous and exotic chickens in Vietnam: association of the intensity of infection with the Major Histocompatibility Complex. [abstrak]. Di dalam: Parasitol. 2006. http:/ / journals.cambridge.org/action/displayAbstract? fromPage= online&aid= 591784. [28 Agustus 2007]. Schwartz LD. 1994. Poultry Health Handbook 4th Ed. Pennsylvania State University. Scopes RK. 1987. Protein purification and practice. Ed.2nd. New York: Springer Verlag. Senlik B, Gulegen E, Akyo V. 2005. Effect of age, sex and season on the prevalence and intensity of helminth infections in domestic pigeons (Columba livia) from Bursa Province, Turkey. Abstract. Acta Vet. Ungarica 53(4): 449-456. Shaikenov BS, Rysmukhambetova AT, Massenov B, Deplazes P, Mathis A, Torgerson PR. 2004. Short report: The use of a polymerase chain reaction to detect Echinococcus granulosus (G1 Strain) eggs in soil samples. Am. J. Trop. Med. Hyg. 71(4): 441-443. Shah AH, Anwar AUH, Khan MN, Iqbal Z, Qudoos A. 1999. Comparative studies on the prevalence of cestode parasites in indigenous and exotic layers at Fasalabad. Int. J. Agri. Biol. 1(4): 277-279. Shea JF. 2003. Gender in Factors Influencing the Infection of the beetle,Tenebrio molitor with the Tapeworm, Hymenolepis diminuta. [disertasi]. Graduate School of The Ohio State University, The Ohio State University. Siles-Lucas M, Cuesta-Bandera C. 1996. E. granulosus in Spain: Strain differentiation by SDS-PAGE of somatic and excretory/secretory proteins. J. Helminthol. 70: 253-257. Siles-Lucas M, Nunes CP, Zaha A, Breijo M. 2000. The 14-3-3 protein is secreted by the adult worm of Echinococcus granulosus. Parasite Immunol.22(10): 521. Silverman PH. 1954. Studies on the biology of some tapeworms of the genus Taenia. II. The morphology and development of the taeniid hexacanth embryo and its enclosing membranes, with some notes on the state of development and propagation of gravid segments. Ann. Trop. Med. Para sitol. 48: 356-366. Siahaan PM. 1993. Identifikasi dan pengaruh cacing parasit pada saluran pencernaan ayam buras di Kotamadya Medan dan sekitarnya. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Skov MN, Spencer AG, Hald B, Petersen L, Nauerby B, Carstensen B, Madsen M. 2004. The role of litter beetles as potential reservoir for Salmonella enterica and thermophilic Camphilobacter spp. between broiler flocks. Avian Dis. 48: 9-18. Small L. 1996. Internal parasites (worms) of poultry. Di dalam: Agnote. http:// www.primaryindustry.nt.gov.au [15 Agustus 2008].
103
Smith VH, Jones TP, Smith MS. 2005. Host nutrition and infectious disease: an ecological view. J. Access Control. 3(5): 268-274. Smyth, J.D. and D.P. McManus. 1989. The Physiology and Biochemistry of Cestodes. Cambridge University Press. Sokal RF, Rohlf. 1981. Biometry 2nd. W.H. Freeman & Co. New York. Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. 7th Ed. Lea & Fabiger. Philadelphia. Spolski RJ, Thomas PG, See EJ, Mooney AK, Kuhn RE. 2002. Larval Taenia crasciceps secretes a protein with characterstic of murine interferon. Parasitol Res.88(5): 431-438. Steel RGD, Torrie. 1999. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi ke-2. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sukhideo NVK, Mettrick DF. 1987. Parasite behavior: Understanding platyhelminth responses. Adv.Parasitol.26 : 73 – 124. Susilowati VEHS. 1990. Kejadian Infeksi alamiah cacing cestoda pada ayam buras di Bogor dan sekitarnya. [skripsi]. Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Suwarti, Y. 1990. Identifikasi cacing cestoda pada saluran pencernaan ayam buras di Bogor dan sekitarnya. [skripsi]. Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Świderski Z. 2007. Postembryonic development of tapeworms – source of novel phylogenetic characters for analysis of cestode evolution: comparative TEM studies. Helminthologia. 44(3): 130-136. Thanh VC, Phuong PV, Uyen PHH, Hien PP. 2006. Application of protein electrophoresis SDS-PAGE to evaluate genetic purity and diversity of several varieties. Di dalam: Proc.Int.Workshop on Biotech.Agric. Nong Lam University Ho Chi Minh City, October 20-21, 2006. Thrusfield M. 1995. Veterinary Epidemiology. 2nd. Dept. Vet. Clinical Studies Royal (Dick) School Vet. Studies. University of Edinburgh. Tumrasvin W, Sinonaga S. 1978. Studies on medically important flies in THAiland. V. On 32 species belonging to the subfamilies Muscinae and Stomoxynae including the taxonomic keys (Diptera: Muscidae). The Bulletin of Tokyo Medical and Dental University 35(4): 201-227. Tardelli CA, Godoy WAC, Mancera PFA. 2004. Population dynamics of Musca domestica (Diptera: Muscidae): experimental and theoretical studies at different temperatures. Braz. Arch. Bioil. Technol. 47(5). Terrigino C, Catelli E, Poglayen G, Tonelli A, Gadale OI. 1999. Preliminary study of the helminths of the chicken digestive tract in Somalia. Revue d'Elevage et de medicine Vet des Pays Tropicaux. (2) 52: 107-112. Thaumaturgo N, Vilar MM, Diogo CM, Edelenyi R, Tendler M. 2001. Preliminary analysis of Sm14 in distinct fractions of Schistosoma mansoni adult worm extcract. Memorias do Instituto Oswaldo Cruz. 96(Suppl): 79-83. Tucker CA, Yazwinski TA, Reynolds L, Johnson Z, Keating M. 2007. Determination of the anthelmintic efficacy of albendazole in the treatment of chickens naturally infected with gastrointestinal helminths. J. Appl. Poult. Res. 16: 392-396.
104
Talib C, Inounu I, Bamualim A. 2007. Restrukturisasi peternakan di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian 5 (1): 1-14. Ueta MT, Avancini RM. 1994. Studies on the influence of age in the infection of caged chickens by Raillietina laticanalis and on the susceptibility to reinfection Vet.Parasitol.52(1-2):157-62. Vaughan JA, Turner EC, Ruszler PL. 1984. Infestation and damage of poultry house insulation by the lesser mealworm, Alphitobius diaperinus (Panzer). Poultry Sci. 63: 1094-1100. Verastegui M, Gilman RH, Garcia HH, Gonzalez AE, Arana Y, Jeri C, Tuero I, Gavidia CM, Levine M, Tsang VCW. Prevalence of antibodies to unique Taenia solium oncosphere antigens in taeniasis and human and porcine cysticercosis. Am. J. Trop. Med. Hyg. 69(4): 438-444. Vercruysse J, Schetters TPM, Knox DP, Willadsen P, Claerebout E. 2007. Control of parasitic deseases using vaccines: an answer to drug resistence? Rev. Sci. Tech. Off. Int. Epiz. 26(1): 105-115. Verkuil Y, Van der Have TM, Van der Winden J, Chernichko II. 2003. Habitat use and diet selection of northward migrating waders in the Sivash (Ukraine): the use of brine shrimp Artemia salina in a variably saline lagoon complex. Ardea 91: 71-83. Wasito A, Subhan, Tarmuji. 1994.Infestasi alamiah cacing pita pada ayam buras dan gambaran histologinya. Penyakit Hewan. 26(48):47-52. Wakelin D.1984. Immunity to Parasites. How animals control parasitic infe tions. Edward Arnold. A division of Hodder & Stughton. London. Wardle, R.A. and Mc. Leod. 1952. The Zoology of Tapeworms. The University of Minnesota Press. Minnepolis. Watson DW, Kaufman PE, Rutz DA, Glenister CS. 2000. Impact of the darkling beetle Alphitobius diaperinus (Panzer) on establishment of the predaceus beetle Carcinops pumilio (Erichson) for Musca domestica control in caged-layer poultry houses. Biological Control . http://www. idealibrary. com [4 April 2007]. Weaver MJ, Novak CL. 2006. Crop profile for turkey in Virginia. Virginia Polytechnic Institute and State University. Webster JP, Gowtage-Sequeira S, Berdoy M, Hurd H. 2000. Predation of beetles (Tenebrio molitor) infected with tapeworms (Hymenolepis diminuta): a note of caution for the Manipulation Hypothesis. Parasitol. 120:313-318. Wehr EE. 1972. Cestodes. Di dalam: Diseases of poultry. 6th . Hofstad MS, Callnek BW, Helmboldt CF, Reid WM, Yoder HW. The Iowa State University Press. AmesWardle RA & McLeod JA (Ed.). 1952. The zoology of tapeworms the university of minnesots press. Minneapolis. Willson KI, Yazwinski TA, Tucker CA, Johnson ZB. 1994. A survey into the prevalence of poultry helminths in Northwest Arkansas commercial broiler chickens. Avian Dis. 38: 158-160. [WHO] World Health Organization. 1986. The housefly. Doc.WHO/VBC/ 86.937. World Health Organization, Geneva. Yadav AK, Tandon V. 1991. Helminth parasitism of domestic fowl (Gallus domesticus L.) in subtropical high rainfall area of India. Beitrage zur Tropischen Landwirtschaft und Veterinarmedizin. 29: 96-104.
105
Yamaguti S. 1959. Systema Helminthum Vol. II. Interscience Publishers Ltd., London. Yang HJ, Chung YB. 2004. Immunolocalization of the 150 kDa protein in cyst fluid of Taenia solium metacestodes. The Korean J. Parasitol. 42(2): 8184. Yoriyo KP, Adang KL, Fabiyi JP, Adamu,SU. 2008. Helminths parasites of local chickens in Bauchi State, Nigeria. Sci.World J. 3(2): 35-37. Yusufu SD, Biu AA, Buba G. 2004. Quelea birds (Quelea quelea): A correlation study between their feeding habit and gastro-intestinal parasitism in Borno State, Nigeria. Int. J. Agr. Biol. 6(2): 268-269. Zalizar L., Satrija F, Tiuria R, Astuti DA. 2007. Respon ayam yang mempunyai pengalaman infeksi Ascaridia galli terhadap infeksi ulang dan implikasinya terhadap produktivitas dan ualitas telur. Animal prod. 9: 9298.
106
Lampiran 1 Penghitungan Odds-Ratio (OR) Pengertian Odds-Ratio (OR) Odds adalah perbandingan antara risiko terinfeksi suatu penyakit atau sakit (misalnya: sestodosis) yaitu P dengan risiko tidak terinfeksi atau tidak sakit atau sehat yaitu 1-P, maka:
Odds =
P( sakit ) P = P( sehat ) 1 − P
Odds-Ratio adalah membandingkan antara dua nilai Odds dari katagori dalam variabel tertentu. Misalnya risiko terinfeksi dan tidak terinfeksi sestoda di kandang tertutup dibandingkan dengan risiko terinfeksi dan tidak terinfeksi sestoda di kandang terbuka, maka:
Odds-Ratio =
OddsTerbuka P /(1 − Pterbuka ) = terbuka OddsTertutup Ptertutup /(1 − Ptertutup )
Karena Y merupakan outcome atau respon terinfeksi dan tidak terinfeksi atau biner, maka persamaannya adalah persamaan Regresi Logistik, yaitu: Logit (Pi) = β0 + β1X1 + β2X2 + …………………. + βkXk Pi
= peluang kejadian sestodosis memiliki nilai Y=1 jika terinfeksi sestoda/metasestoda, Y=0 jika tidak terinfeksi sestoda/metasestoda
X1 sampai Xk
= faktor penjelas terhadap Y, yaitu faktor-faktor (risiko) yang mempengaruhi sestodosis
β1 sampai βk
= besarnya pengaruh X1 sampai Xk terhadap nilai Y (faktor-faktor risiko terhadap sestodosis)
β0
= konstanta
107
Untuk menghitung risiko terinfeksi pada satu fakttor X tertentu, maka:
Log (Odds) = Log (
P( sakit ) P ) = Log ( ) = е β0 + β1X P( sehat) 1− P
Maka nilai P adalah:
P=
e β 0 + β1 X 1 + e β 0 + β1 X
Untuk nilai P pada kandang terbuka dan tertutup adalah:
Pterbuka Ptertutup
e β0 = 1 + e βterbuka e β0 = β 1 + e tertutup
Untuk menghitung Log (OR)sistem kandang adalah: Log (OR)sistem kandang = e βsistem kandang
Untuk penghitungan faktor-faktor yang lain dengan cara yang sama, nilai faktor yang akan dihitung dimasukkan ke dalam nilai X.
Sumber
: Danardono. 2006. Biostatistika dan Epidemiologi.[Bahan Ajar]. Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gajah Mada.
108
Lampiran 2 Pembuatan dan prosedur pewarnaan sestoda 2.1 Bahan, pembuatan, dan prosedur pewarnaan kait skoleks dengan medium Berlese Bahan:
Gum arab Akuadestilata Kristal khloral hidrat Asam asetat glasial
8 10 74 3
gram ml gram ml
Pembuatan:
Gum arab dilarutkan dalam akuades. Semua bahan dihomogenkan menjadi satu dan dibiarkan selama beberapa hari.
Pewarnaan kait skoleks: 1 Spesimen skoleks dikering-anginkan dari larutan preservatif. 2 Setelah kering ditempel langsung di atas gelas obyek yang telah ditetesi medium Berlese. 3 Dibiarkan kering kemudian diamati di bawah mikroskop. 2.2 Bahan, pembuatan, dan prosedur pewarnaan kait skoleks dengan semichon’s acetocarmine Bahan:
Asam asetat glasial Akuadestilata Bubuk carmine secukupnya
Pembuatan: 1
Larutan asam dan akuades dituangkan ke dalam botol. Sambil diaduk, pewarna carmin ditambah- kan sampai tidak larut. Dipanaskan dengan penangas selama 15 menit. Didinginkan semalam, kemudian disaring menggunakan kertas saring (selama beberapa hari), hasilnya sebagai stok. Untuk pewarnaan, larutan stok diencerkan dua kali dengan alkohol 70%.
2 3 4 5
100 ml 100 ml
109
Pewarnaan proglotida: 1 Spesimen direndam dalam larutan pewarna selama 0,52 jam sampai berwarna merah. 2 Spesimen dibilas dalam alkohol 70%, proses pewarnaan dihentikan dengan merendam dalam larutan asam-kolhol 70% sampai berwarna merah cerah. 3 Dilanjutkan dengan dehidratasi menggunakan alkohol bertingkat (konsentrasi 70%, 80%, 90%, dan absolut, masing-masing selama 15 menit). 4 Penjernihan (clearing) dalam larutan xylol absolut sampai spesimen transparan. 5 Penempelan (mounting) dengan entelan pada gelas obyek ditutup dengan gelas penutup kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 40 0C.
110
Lampiran 3 Pembuatan reagen SDS-PAGE 3.1 Buffer untuk sampel Bahan
: Mercaptoetanol Gliserol Tris buffer Bromfenol blue
2 4 0,3 2
ml ml gram ml
Pembuatan : Semua bahan dicampur, larutkan dalam akuadestilata kurang dari 20 ml, distabilkan dengan HCl pada pH 6,8, kemudian ditambahkan 0,92 gram SDS hingga volumenya 20 ml, kemudian saring. 3.2 Larutan pewarna Bahan
: Croomasic briliant blue R.250 Methnanol Asam asetat glasial Akuadestilata
0,32 125 25 100
gram gram ml ml
Pembuatan : Larutkan croomasic briliant blue dengan metanol terlebih dahulu, kemudian di tambahkan dengan asam asetat glasial dalam akuadestilata.
3.3 Larutan pencuci Bahan
: Metanol Asam asetat Akuadestilata
100 ml 100 ml 800 ml
Pembuatan : Semua bahan dicampur 3.4 Phosphat buffer saline (PBS) Bahan
: NaCl KCl Na2HPO4 KH2PO4 Akuadestilata
8 0,2 1,15 0,2 1000
gram gram gram gram ml
Pembuatan : Otoklaf pada tekanan 15 lbs selama 15 menit, pH akhir kisaran 7,2-7,4. 3.5 Buffer Reservoir
111
Bahan
: Glisilin 0,192 M Tris buffer 0,025 M 0,1 % w/v sos
28,8 gram 6 gram
Pembuatan : Semua bahan dicampur, ukur sampai pH 8,3, kemudian tambahkan 2gr SDS, sampai volumenya mencapai 2 liter, kemudian disaring. 3.6 Buffer gel pemisah Bahan
: SDS Tris buffer 1,4 M HCl sampai pH 8,8
1 gram 45,5 gram
Pembuatan : Larutkan semua bahan ditambah akuadestilata (dd) sampai volumenya menjadi 250 ml. 3.7 Buffer gel pengumpul Bahan
: Tris buffer 1,4 M SDS
15,1 gram 1 gram
Pembuatan : Larutkan semua bahan ditambah akuades sampai menjadi 250 ml, pH 6,8, kemudian disaring.
3.8 Pewarnaan perak Bahan
: 3.8.1 Larutan f iksasi
: Metanol (50%) 125 ml Asam asetat (12%) 130 ml Formalin 0,05% 0,125 ml Tambahkan akuadestilata (dd) sampai 250 ml, kemudian disim pan pada suhu ruang.
3.8.2 Larutan pencuci
: Etanol (20%) Akuades sampai
100 ml 500 ml
3.8.3 Larutan sensitisasi
: Na2S2O3 Akuadestilata (dd) sampai
0,05 gram 250 ml
112
3.8.4 Larutan pewarna perak (harus segar)
: AgNO3 Akuadestilata (dd) sampai Ditambah formalin
3.8.5 Larutan : Na2CO3 Formalin developing (unNa2S2O3 tuk memuncul kan pita protein)
0,1 gram 50 ml 38 ml 6 gram 50 ml 2 ml
: 0,02 gr Na2S2O3 dilarutkan dalam akuadestilata sampai 100 ml) Ditambah akuadestilata (dd) sampai 100 ml 3.8.6 Larutan stoping : Asam asetat 60 ml untuk menghen glasial tikan proses pe Ditambah 440 ml warnaan akuadestilata (dd) Stok
3.9 Prosedur pewarnaan: 1
Gel yang telah di running direndam dalam larutan fiksai sambil di agitasi perlahan-lahan selama dua jam hingga semalam
2
Dilanjutkan dengan pencucian dalam larutan pencuci tanpa diagitasi, diulang ttiga kali masing-masing selama 20 menit
3
Dibilas dengan akuades (dd) sekali selama 10 detik
4
Direndam dalam larutan sensitisasi selama satu menit
5
Dibilas lagi tiga kali dengan akuades (dd) masing-masing selama 20 detik
6
Diinkubasi di dalam refrigerator dengan 0,1% AgNO3 selama 20 menit
7
Dibilas lagi dua kali dengan akuades (dd) masing-masing selama 20 detik
8
Dicuci dengan akuades (dd) sekali selama 10 detik
9
Direndam sambil diagitasi dalam larutan developing sampai tampilan warna cukup
10 Direndam sambil diagitasi dalam larutan stopping selama lima menit 11 Dicuci dengan akuades (dd) sekali selama lima menit 12 Gel siap di evaluasi
113
Lampiran 4. Naskah publikasi I
: Prevalensi dan Derajat Infeksi Cacing Pita pada Ayam Ras Petelur Komersial dio Daerah Bogor
114
Lampiran 5. Naskah publikasi II
: Analisis Faktor-faktor Risiko Infeksi Cacing Pita pada Ayam Ras Petelur Komersial di Daerah Bogor
115
BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA KLIMATOLOGI BOGOR WILAYAH II STASIUN KLIMATOLOGI KLAS I DARMAGA BOGOR BULAN
DATA KLIMATOLOGI
STASIUN
BALAI TAHUN 2006
Elevasi : 190 m Lokasi : 06.5536 0LS : 106.7498 0BT
TEMPERATUR WAKTU PERAMATAN
07.00
:
LEMBAB NISBI
MAKSIMUM
MINIMUM
WAKTU PERAMATAN
13.00
18.00
RT2
RT2
ABS
RT2
ABS
07.00
13.00
18.00
JAN
23,3
28,5
25,5
25,2
29,8
32,7
22,9
22,0
96
76
89
PEB
23,1
29,8
25,9
25,5
30,9
32,9
22,8
20,9
97
76
89
MAR
23,2
29,9
27,0
25,8
30,9
33,7
22,9
21,2
94
68
81
APR
23,4
30,4
26,3
25,8
31,6
32,8
23,0
21,2
93
66
85
MEI
23,1
30,8
27,0
26,0
31,5
32,6
22,6
20,8
93
64
83
JUN
22,3
30,9
27,3
25,7
31,5
32,9
22,0
20,4
92
61
78
JUL
22,5
31,1
28,0
26,1
32,0
33,1
22,2
20,8
92
58
74
AGS
21,0
30,9
27,9
25,2
32,0
33,6
20,6
18,5
90
51
71
SEP
21,5
32,3
28,2
25,9
33,6
35,6
20,8
18,8
87
46
66
OKT
22,8
33,1
27,0
26,7
34,1
35,9
22,1
20,1
88
48
72
NOP
23,6
32,0
26,4
26,4
33,0
35,1
22,8
21,8
94
61
83
DES
-
-
-
0,0
-
0,0
-
0,0
-
-
-
JML
-
180,4
158,9
154,0
186,2
197,
136,3
126,5
565,6
410,9
504,9
RATA2
23,1
31,1
-
25,7
-
32,9
-
21,1
-
68,5
-
116
Lanjutan: BULAN
PENGUAPAN
LP
Intensitas
KA
HH
CH
TEMPERATUR TANAH BERUMPUT (C) 07.00
RT2
13.00
18.00
5 cm
10 cm
20 cm
5 cm
10 cm
20 cm
10 cm
20 cm
JAN
89
3,0
35
223
2,6
28
640
26,5
26,9
27,9
28,3
27,8
27,8
27,7
27,8 25,6
FEB
89
3,6
52
254
2,4
28
434
23,9
24,5
25,5
24,8
23,6
23,6
25,9
MAR
84
3,6
46
240
3,1
24
138
26,8
27,6
28,7
29,3
28,3
28,7
29,0
28,8
APR
84
3,7
60
257
2,9
26
164
25,9
26,8
27,8
28,8
27,6
27,9
28,0
28,0
MEI
84
3,3
68
254
1,9
16
324
26,7
27,6
28,8
29,6
28,5
28,7
29,1
28,9
JUN
81
3,4
85
253
2,0
12
173
26,8
27,6
28,7
29,3
28,2
28,6
28,9
28,8 29,0
JUL
79
3,7
84
272
2,2
9
31
26,6
27,5
28,8
29,7
28,4
28,7
29,3
AGS
76
4,4
94
317
2,5
9
191
25,5
26,7
28,3
29,5
28,0
28,2
28,9
28,5
SEPT
72
5,2
94
355
2,8
8
26
25,8
27,1
28,8
31,5
29,1
28,9
29,8
29,4
OKT
74
5,6
89
356
2,8
10
152
26,6
27,7
29,4
32,2
29,9
29,6
30,2
30,0
NOP
83
4,7
76
315
2,5
25
355
26,2
27,1
28,5
30,4
28,6
28,6
29,1
28,9
DES
0
-
-
-
0
0
20,7
346,7
15,0
134,0
1873,0
3,4
57,8
2,5
22
312,2
JML RATA2
85,3
Keterangan RT2 : Rata-rata HH : Hari Hujan ABS : Absolut LP : Lama Penyinaran
CH KA
: Curah Hujan : Kecepatan Angin
117
BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA KLIMATOLOGI BOGOR WILAYAH II STASIUN KLIMATOLOGI KLAS I DARMAGA BOGOR
DATA KLIMATOLOGI
STASIUN
BALAI Elevasi : 190 m Lokasi : 06.55358 0LS : 106.74983 0BT
TAHUN 2005
BULAN
TEMPERATUR WAKTU PERAMATAN 07.00
:
LEMBAB NISBI
MAKSIMUM
MINIMUM
WAKTU PERAMATAN
13.00
18.00
RT2
RT2
ABS
RT2
ABS
07.00
13.00
18.00
JAN
23.2
28.5
26.0
25.2
29.7
32.6
23.0
21.4
97
76
89
PEB
23.2
29.7
25.5
25.4
30.8
33.2
23.0
21.5
97
72
89
MAR
23.5
30.5
26.6
26.0
31.3
33.4
23.2
21.7
96
69
86
APR
23.4
31.1
26.7
26.2
31.9
33.8
23.2
21.9
96
66
85
MEI
23.6
31.1
27.4
26.4
31.9
33.2
23.5
21.0
95
66
83
JUN
23.1
30.5
26.7
25.9
31.4
32.9
23.0
21.4
96
69
86
JUL
22.4
30.8
26.9
25.6
31.4
32.5
21.7
19.7
94
62
82
AGS
22.5
30.8
27.0
25.7
31.6
32.8
21.4
18.9
93
60
80
SEPT
23.1
31.3
27.0
26.1
32.3
33.3
22.0
20.4
94
61
80
OKT
23.3
31.1
26.4
26.0
32.2
33.9
22.7
20.3
94
63
85
NOP
23.5
30.5
25.9
25.8
31.6
33.6
22.9
21.6
94
68
86
DES
23.3
29.4
26.0
25.5
30.4
32.7
22.9
21.0
94
72
86
JML
278.1
365.4
318.2
30,9
376.6
397.9
272.3
250.8
-
802,9
-
RATA2
23.1
30.4
26.5
25.8
31.4
33.2
22.7
20.9
95
67
85
118
Lanjutan: BULAN
PENGUAPAN
LP
KA
HH
CH
TEMPERATUR TANAH BERUMPUT (C) 07.00
RT2
5 cm
10 cm
13.00 20 cm
5 cm
10 cm
18.00 20 cm
5 cm
10 cm
20 cm
50 cm
JAN
90
3.0
35
2.3
27
537
26.2
26.8
27.7
29.2
27.6
27.7
28.6
27.9
27.8
28.0
PEB
89
3.8
48
2.1
25
580
26.0
26.8
27.7
29.6
27.7
27.7
28.6
28.1
27.8
27.9
MAR
87
4.2
59
2.4
25
568
26.4
27.4
28.3
30.9
28.6
28.4
29.8
29.1
28.6
28.3
APR
85
4.1
67
2.3
22
308
26.7
27.7
28.8
30.7
28.8
28.7
30.0
29.5
28.9
28.6
MEI
85
3.6
74
1.9
16
429
27.0
27.9
29.0
30.4
28.8
28.9
30.2
29.5
29.1
28.9
JUN
87
3.5
67
1.9
24
682
26.3
27.0
28.2
29.3
28.1
28.2
29.2
28.6
28.4
28.5
JUL
83
3.6
76
2.0
20
215
26.4
27.3
28.4
29.3
28.1
28.3
29.5
28.8
28.5
28.4
AGS
76
4.1
81
2.3
18
163
27.2
28.0
29.2
29.9
28.8
29.0
30.1
29.5
29.1
29.0
SEPT
82
4.4
75
2.3
17
320
27.3
28.2
29.3
30.5
29.1
29.4
30.2
29.8
29.5
29.4
OKT
84
4.7
66
2.4
20
351
27.6
28.3
29.6
30.8
29.5
29.6
29.3
28.9
28.7
28.6
NOP
85
4.4
63
2.2
25
423
27.5
28.1
29.3
30.2
29.1
29.3
29.3
29.2
29.5
29.5
DES
86
3.3
33
2.6
26
252
27.0
27.5
28.6
28.3
28.2
28.6
28.8
28.6
28.5
28.6
-
46.7
744,6
26.7
265
4827,3
158.7
163.5
169.7
180.0
169.5
169.7
176.4
172.7
170.4
170.1
85
3.9
62,0
2.2
26.5
27.2
28.3
30.0
28.2
28.3
29.4
28.8
28.4
28.3
Keterangan RT2 : Rata-rata ABS : Absolut LP : Lama Penyinaran KA : Kecepatan Angin
119
CH : Curah Hujan HH : Hari Hujan BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA KLIMATOLOGI BOGOR WILAYAH II STASIUN KLIMATOLOGI KLAS I DARMAGA BOGOR
DATA KLIMATOLOGI
STASIUN
BALAI Elevasi : 190 m Lokasi : 06.55358 0LS : 106.74983 0BT
TAHUN 2004
BULAN
TEMPERATUR WAKTU PERAMATAN 07.00
:
LEMBAB NISBI
MAKSIMUM
MINIMUM
WAKTU PERAMATAN
13.00
18.00
RT2
RT2
ABS
RT2
ABS
07.00
13.00
18.00 88
JAN
23.4
29.9
25.9
25.6
30.9
32.6
22.5
21.2
96
71
PEB
23.3
28.2
262
25.3
30.3
32.5
22.9
20.7
97
77
87
MAR
23.3
30.1
26.5
25.8
31.8
35.2
23.0
22.0
94
69
84
APR
23.7
31.4
26.5
26.3
32.6
25.0
23.2
22.0
96
65
88
MEI
23.4
31.0
26.4
26.1
32.4
33.9
23.1
20.5
96
66
85
JUN
21.9
30.7
27.2
25.4
31.9
33.9
21.7
18.0
94
60
78
JUL
22.3
30.4
27.0
25.5
31.7
33.1
22.2
20.5
95
63
81
AGS
21.7
31.3
28.3
25.7
32.5
33.8
21.4
20.5
92
52
70 81
SEPT
22.6
31.5
26.5
25.8
32.5
33.3
22.3
21.0
95
58
OKT
22.9
32.0
27.3
26.3
33.1
338
22.4
21.0
92
56
79
NOP
23.6
31.2
26.2
26.1
32.0
33.7
23.2
21.3
95
66
87
DES
23.5
30.0
26.2
25.8
30.7
34.1
23.1
20.8
95
69
86
JML
275.6
367.5
320.2
382.4
404.9
270.9
249.5
1137
773
995
RATA2
23.0
30.6
26.7
31.9
33.7
22.6
20.8
95
64
83
120
Lanjutan: BULAN
PENGUAPAN
LP
KA
HH
CH
TEMPERATUR TANAH BERUMPUT (C) 07.00
RT2
13.00
18.00
5 cm
10 cm
20 cm
5 cm
10 cm
20 cm
5 cm
10 cm
20 cm
50 cm
28.6
28.5
28.7
29.1
JAN
88
4.5
57
2.1
26 HH
404
27.1
27.7
28.6
28.6
28.1
28.6
PEB
89
2.9
30
1.8
28 HH
327
26.5
27.3
28.2
29.1
28.0
28.2
290
28.5
28.3
28.5
MAR
85
3.8
53
2.3
24 HH
432
26.5
27.4
28.4
29.8
28.3
28.3
29.3
28.7
28.5
28.5
APR
87
3.8
76
2.3
25 HH
640
26.7
27.7
37.3
40.0
37.7
37.4
38.8
38.3
37.6
37.7
MEI
86
3.4
70
1.7
23 HH
374
26.6
27.7
29.0
30.7
28.9
29.0
29.8
29.6
29.2
29.3
JUN
82
3.5
75
1.8
13 HH
169
25.6
26.9
28.2
29.5
27.8
28.2
29.2
28.6
28.4
28.8
JUL
83
3.7
79
17
15 HH
209
26.0
27.0
28.3
29.5
27.9
28.2
29.4
28.6
28.4
28.6
AGS
76
4.3
87
2.1
6 HH
166
25.8
27.1
28.4
30.5
28.1
28.4
30.0
29.0
28.6
28.7
SEPT
82
4.7
82
2.2
22 HH
392
26.0
27.3
28.8
30.8
28.1
27.8
30.0
29.7
29.0
29.1 29.6
0KT
80
4.7
88
2.3
21 HH
277
26.6
27.9
29.6
32.2
29.8
29.4
31.0
30.5
29.6
NOP
86
4.2
64
2.3
27 HH
401
27.2
28.1
29.4
32.1
29.6
29.4
30.4
30.0
29.5
29.6
DES
86
3.5
35
2.3
25 HH
432
26.8
27.5
28.6
30.4
28.6
28.5
29.7
28.8
28.7
28.9
JML
1010
46.9
794.7
24.8
0
4221.2
158.9
164.6
1798
187.6
178.8
179.8
184.7
182.2
180.7
181.9
RATA2
84
3.9
66.2
2.1
26.5
27.4
30.0
31.3
29.8
30.0
30.8
30.4
30.1
30.3
Keterangan
121
RT2 CH LP
: Rata-rata (derajat celcius) : Curah Hujan (mm) : Lama Penyinaran (jam)
KA ABS HH
: Kecepatan Angin (km/jam) : Absolut (yang “ter”) : Hari Hujan
BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA KLIMATOLOGI BOGOR WILAYAH II STASIUN KLIMATOLOGI KLAS I DARMAGA BOGOR
DATA KLIMATOLOGI
STASIUN
BALAI Elevasi : 190 m Lokasi : 06.55358 0LS : 106.74983 0BT
TAHUN 2003
BULAN
TEMPERATUR WAKTU PERAMATAN 07.00
:
LEMBAB NISBI
MAKSIMUM
MINIMUM
WAKTU PERAMATAN
13.00
18.00
RT2
RT2
ABS
RT2
ABS
07.00
13.00
18.00
JAN
23.0
30.7
27.4
26.0
31.8
34.6
22.3
20.8
93
62
72 88
PEB
23.5
28.6
25.6
25.3
29.9
32.3
22.8
21.4
96
76
MAR
23.6
30.0
25.8
25.7
31.1
32.6
23.1
21.7
95
70
88
APR
23.7
31.2
26.9
26.4
32.1
33.5
23.4
22.1
96
65
85 84
MEI
23.3
31.4
26.7
26.2
32.0
33.2
22.9
21.2
92
62
JUN
22.4
30.9
27.2
25.7
31.6
32.8
21.7
20.3
94
60
80
JUL
21.6
31.2
28.2
25.6
31.9
33.9
21.2
19.6
92
52
77
AGS
22.1
31.7
28.0
26.0
32.8
34.2
21.6
19.1
90
53
73
SEPT
22.5
31.2
27.1
25.8
32.1
34.2
21.7
19.8
93
58
79 86
OKT
23.5
31.0
25.8
25.8
31.9
34.4
22.4
21.0
94
63
NOP
23.7
30.9
25.9
26.1
31.6
33.4
22.7
20.6
95
66
88
DES
23.4
29.2
25.5
25.4
30.0
23.8
22.4
20.8
96
72
89
122
JML
275.9
368.0
320.0
309.9
379.0
392.9
268.3
248.8
1127
760
995
RATA2
23.0
30.7
26.7
25.8
31.6
32.7
22.4
20.7
94
63
83
Lanjutan: BULAN
PENGUAPAN
LP
KA
HH
CH
TEMPERATUR TANAH BERUMPUT (C) 07.00
RT2
13.00
18.00
5 cm
10 cm
20 cm
5 cm
10 cm
20 cm
5 cm
10 cm
20 cm
50 cm
JAN
82
4.5
59
2.6
17 HH
212
26.8
27
29.1
30.4
29.3
28.9
29.4
29.9
29.2
29.4
PEB
89
2.9
31
2.5
28 HH
556
26.1
26
28.0
2.29
28.1
28.0
28.4
28.4
28.1
28.8
MAR
87
3.8
55
2.0
26 HH
471
26.5
27
28.5
30.1
28.5
28.5
29.3
29.2
28.7
27.9
APR
85
3.8
63
1.9
23 HH
309
27.1
28
29.3
31.0
29.3
29.3
30.4
30.0
29.4
29.7 29.4
MEI
83
3.4
75
2.0
25 HH
501
26.8
28
29.0
31.0
29.1
28.9
30.5
29.9
29.2
JUN
82
3.5
84
1.8
9 HH
180
26.8
27
28.8
30.0
28.6
28.7
30.2
29.4
27.9
29.3
JUL
78
3.7
89
1.7
5 HH
25
26.0
27
28.5
30.0
28.3
28.3
31.2
29.3
28.6
29.1
AGS
77
4.6
85
2.5
11 HH
91
26.1
27
28.9
31.3
28.9
28.7
30.9
29.9
29.1
29.2
SEPT
80
4.3
78
2.2
18 HH
270
26.3
27
28.7
29.4
29.6
28.7
31.9
29.3
28.9
29.2
0KT
84
4.4
70
2.0
24 HH
552
27.0
27
29.0
30.4
29.0
29.1
29.2
29.3
29.1
29.5
NOP
86
4.2
61
1.4
25 HH
326
27.6
27
29.4
30.4
29.2
29.3
296
29.5
28.6
29.8
DES
88
3.4
39
1.8
30 HH
398
26.9
27
28.6
29.0
28.1
28.5
28.4
28.3
28.6
29.2
JML
1002
46.5
788.8
24.5
0
3890.0
160.1
166.4
172.7
181.7
172.9
172.3
178.29.
176.8
172.5
174.5
RATA2
84
3.9
65.7
2.0
2.0
26.7
27.7
28.8
30.3
28.8
28.7
29.7
29.5
28.8
29.1
123
Keterangan RT2 : Rata-rata (derajat celcius) LP : Lama Penyinaran (jam) CH : Curah Hujan (mm) KA : Kecepatan Angin (km/jam) ABS : Absolut (yang “ter”) HH : Hari Hujan BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA DATA KLIMATOLOGI STASIUN : KLIMATOLOGI BOGOR BALAI WILAYAH II TAHUN 2002 Elevasi : 190 m STASIUN KLIMATOLOGI KLAS I Lokasi : 06.55358 0LS DARMAGA BOGOR : 106.74983 0BT BULAN
TEMPERATUR WAKTU PERAMATAN 07.00
LEMBAB NISBI
MAKSIMUM
MINIMUM
WAKTU PERAMATAN
13.00
18.00
RT2
RT2
ABS
RT2
ABS
07.00
13.00
18.00
JAN
23.5
28.5
25.9
25.3
29.4
32.0
23.2
22.2
97
76
89 87
PEB
23.0
27.3
26.0
24.9
28.4
32.9
22.7
21.4
96
79
MAR
23.4
30.3
262
25.8
31.3
33.8
23.2
22.2
96
68
87
APR
23.6
30.5
26.2
26.0
31.4
33.2
23.2
21.1
96
67
88 84
MEI
23.4
31.0
27.4
26.3
31.7
33.3
23.2
20.2
95
65
JUN
22.7
30.8
27.0
25.8
30.8
31.8
22.7
19.5
95
64
82
JUL
22.6
30.4
27.1
25.7
31.3
32.5
22.5
21.0
94
63
82
AGS
21.7
31.0
276
25.5
32.0
33.1
21.5
19.0
91
53
74
SEPT
22.3
31.9
27.6
25.2
33.1
34.0
22.0
20.4
89
51
71 76
OKT
22.7
32.5
27.3
26.2
33.4
35.5
22.2
20.3
91
53
NOP
24.1
31.3
25.2
26.2
32.3
34.9
231.
22.0
93
63
88
DES
23.7
30.7
26.0
26.0
31.6
34.5
23.9
21.0
94
67
88
124
JML
27.6
366.3
319.4
308.9
376.7
401.5
272.3
250.3
1127
769
996
RATA2
23.1
30.5
26.6
25.7
31.4
33.5
22.7
20.9
93.4
64.1
83.0
Lanjutan: BULAN
PENGUAPAN
LP
KA
HH
CH
TEMPERATUR TANAH BERUMPUT (C) 07.00
RT2
13.00
5 cm
10 cm
20 cm
5 cm
10 cm
18.00 20 cm
5 cm
10 cm
20 cm
50 cm
JAN
90
2.8
33
2.4
29
629
26.1
26.9
27.8
30.0
27.8
279
28.8
28.2
28.1
28.7
PEB
90
2.2
25
3.3
25
475
25.3
25.9
26.5
28.2
26.6
26.6
28.2
27.2
26.8
26.1
MAR
87
4.1
65
1.8
26
414
26.9
27.0
28.7
31.0
29.0
28.7
29.7
29.6
29.0
28.8
APR
87
3.5
64
1.6
27
578
26.7
27.4
28.3
30.1
28.6
28.2
29.3
29.1
28.5
28.7
MEI
85
3.7
72
1.9
19
247
27.3
28.1
28.9
29.8
28.8
28.8
29.7
29.4
28.9
29.4
JUN
84
3.4
63
1.5
12
352
26.5
27.2
29.4
29.7
28.7
28.9
29.4
29.2
28.1
28.7
JUL
83
3.1
72
1.6
16
313
26.2
26.9
27.9
28.0
27.4
27.8
28.4
28.1
28.0
28.6
AGS
77
4.2
89
2.6
9
128
25.2
26.7
28.2
30.9
28.7
28.0
29.9
29.8
28.6
27.7
SEPT
75
5.1
78
2.8
10
118
25.7
27.1
28.8
32.4
29.8
28.8
30.3
30.4
29.3
29.2
0KT
78
49
78
1.8
12
298
26.2
27.3
28.9
31.7
29.5
27.8
30.3
31.2
29.2
293
NOP
84
4.0
57
1.4
25
416
26.9
27.7
29.0
31.5
29.88
29.0
29.2
29.9
29.3
29.4
DES
86
3.7
50
1.6
26
385
27.2
27.9
29.1
30.9
29.7
29.1
29.8
30.1
29.8
30.0
JML
1005
44.7
744.8
24.4
236
4352
316.2
326.1
341.5
364.2
344.4
339.6
353.0
352.2
343.6
334.6
RATA2
83.8
3.7
62.1
2.0
26.4
27.2
28.5
30.4
28.7
28.3
29.4
29.4
28.6
28.7
125
Keterangan RT2 : Rata-rata CH : Curah Hujan LP : Lama Penyinaran HH : Hari Hujan ABS : Absolut KA : Kecepatan Angin BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA DATA KLIMATOLOGI KLIMATOLOGI BOGOR WILAYAH II TAHUN 2001 STASIUN KLIMATOLOGI KLAS I DARMAGA BOGOR
BULAN
STASIUN
BALAI Elevasi
: 190 m Lokasi : 06.55358 0LS : 106.74983 0BT
TEMPERATUR WAKTU PERAMATAN 07.00
:
LEMBAB NISBI
MAKSIMUM
MINIMUM
WAKTU PERAMATAN
13.00
18.00
RT2
RT2
ABS
RT2
ABS
07.00
13.00
18.00
JAN
23.2
29.1
25.9
25.4
30.2
33.0
22.9
21.6
94
72
87 88
PEB
22.9
27.5
25.9
24.8
28.8
33.4
22.5
21.3
94
77
MAR
23.1
29.5
26.1
25.4
30.6
32.8
22.8
21.3
95
71
87
APR
23.3
30.6
25.6
25.7
31.6
33.3
23.0
21.3
96
66
87 86
MEI
23.5
30.7
27.2
26.2
31.7
33.0
23.2
22.0
96
66
JUN
22.3
30.2
26.2
25.3
31.0
32.6
22.1
19.8
95
65
85
JUL
21.8
30.3
26.4
25.1
31.1
32.0
22.1
18.4
95
62
83
AGS
22.1
31.1
27.4
25.7
31.9
33.2
21.9
19.6
93
56
80
SEPT
22.8
31.1
26.2
25.7
31.9
33.5
22.4
21.3
95
61
84 86
OKT
23.7
29.9
25.7
25.7
31.0
33.0
22.9
21.6
94
68
NOP
23.8
29.8
25.3
25.7
30.7
33.6
23.0
21.7
95
69
87
DES
22.8
30.0
27.7
25.8
31.2
34.4
22.2
19.6
92
63
81
JML
275.1
359.7
315.8
306.5
371.6
397.8
270.9
249.5
1135
796
1019
126
RATA2
22.9
30.0
26.3
25.5
31.0
33.2
22.6
20.8
95
66
85
Lanjutan: BULAN
PENGUAPAN
LP
KA
HH
CH
TEMPERATUR TANAH BERUMPUT (C) 07.00
RT2
13.00
18.00
5 cm
10 cm
20 cm
5 cm
10 cm
20 cm
5 cm
10 cm
20 cm
50 cm
JAN
87
3.8
37.5
3.4
27
382.8
26.3
27.3
28.2
29.9
29.9
28.2
28.3
28.6
28.7
28.7
PEB
88
2.9
25.0
4.7
26
352.1
25.2
26.2
26.9
28.1
26.8
26.9
28.1
27.2
27.2
27.6
MAR
87
3.8
48.7
3.3
29
276.3
26.3
27.1
28.0
29.9
28.2
28.2
29.1
28.7
28.5
28.6
APR
87
3.6
66.8
2.4
25
363.9
26.5
27.5
28.3
31.3
28.9
28.5
29.9
29.4
29.0
28.9
MEI
86
3.8
70.7
2.2
21
334.5
26.7
27.6
29.0
30.5
28.8
28.7
30.0
29.5
29.0
29.1
JUN
85
3.5
59.4
2.1
19
340.4
26.1
26.8
27.8
31.1
28.7
31.1
28.6
28.4
28.0
28.1
JUL
83
3.8
79.8
2.1
14
365.8
25.3
26.0
27.3
29.2
27.4
27.5
28.7
27.2
27.5
28.2 28.7
AGS
80
4.2
83.3
2.5
17
142.3
26.5
27.2
28.3
30.9
27.6
31.3
29.9
28.9
28.6
SEP
84
4.1
76.6
2.4
21`
444.7
25.3
27.3
28.3
31.3
28.6
27.4
29.6
28.3
28.8
28.9
0KT
86
3.5
49.7
2.5
25
307.2
26.8
27.6
28.4
31.1
28.8
28.6
28.6
28.2
28.7
29.1
NOP
87
3.4
47.1
2.5
26
304.1
26.5
27.4
28.5
32.4
28.9
28.5
29.2
28.4
28.8
27.9
DES
81
2.3
54.8
2.7
15
69.6
25.9
26.4
28.5
31.5
28.5
28.4
30.2
28.5
28.3
29.0
JML
1009
1019
44.7
696.4
32.7
3684
313.4
324.4
337.5
367.2
341.1
340.3
350.2
347.3
341.1
342.8
RATA2
84
85
3.7
26.1
27.0
28.1
30.6
28.4
28.4
29.2
28.9
28.8
28.6
Keterangan RT2 : Rata-rata ABS : Absolut
127
LP KA CH HH
: Lama Penyinaran : Kecepatan Angin : Curah Hujan : Hari Hujan
128