SERI DOKUMEN KUNCI 4
KUMPULAN RINGKASAN EKSEKUTIF
LAPORAN INVESTIGASI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI TIMOR TIMUR, MALUKU TANJUNG PRIOK, dan PAPUA 1999 – 2001
LAMPIRAN MEMAHAMI KINERJA KPP HAM DARI PERSPEKTIF JENDER
SERI DOKUMEN KUNCI 4
KUMPULAN RINGKASAN EKSEKUTIF
LAPORAN INVESTIGASI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI TIMOR TIMUR, MALUKU, TANJUNG PRIOK, DAN PAPUA 1999 – 2001
LAMPIRAN MEMAHAMI KINERJA KPP HAM DARI PERSPEKTIF JENDER 2003
BEKERJA SAMA DENGAN NEW ZEALAND OFFICIAL DEVELOPMENT ASSISTANCE
PUBLIKASI KOMNAS PEREMPUAN DICETAK DI INDONESIA PADA BULAN JUNI 2003
ISBN 979-95872-6-3
TIM PENULIS
:
Liza Hadiz Saparinah Sadli Kamala Chandrakirana Andy Yentriyani Diana Lusi C. TATA HALAMAN : AleX
DAFTAR ISI Kata Pengantar ………………………………………………………………
1
Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur …………………………….…
3
Ringkasan Eksekutif Laporan Kerja Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Mediasi di Maluku (KPMM) ……………………………………………… Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok (KP3T) ………………………………………………………………………
31
31
Ringkasan Eksekutif Laporan Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok ……………………………... Ringkasan Eksekutif Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Papua/Irian Jaya ………………………………………………….. LAMPIRAN: Memahami Kinerja Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) …………………………………..
KATA PENGANTAR
Buku ini berisi lima laporan eksekutif yang dibuat oleh Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (disingkat KPP HAM) dalam kurun waktu 1999-2001. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membuat KPP HAM sebagai bentuk tanggung jawab terhadap dugaan terjadinya berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena berlangsungnya konflik politik atau sosial di Indonesia. Mengingat bahwa setiap konflik biasanya juga menyebabkan kekerasan terhadap perempuan, termasuk pelanggaran HAM berbasis jender, maka KPP HAM sebagai mekanisme penyelidik pelanggaran HAM seharusnya juga menyelidiki dan melaporkan kekerasan yang dialami perempuan pada waktu terjadi konflik sosial atau politik. Hanya dengan demikian dapat diharapkan bahwa perempuan korban kekerasan dan pelanggaran HAM dapat dipenuhi haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan berdasarkan hukum. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerbitkan laporan KPP HAM sebagai dokumen kunci sesuai dengan misinya untuk menyebarluaskan berbagai kegiatan penting yang berkaitan dengan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan untuk meningkatkan kepekaan terhadap perlunya diwujudkan kesetaraan dan keadilan jender (gender equality and equity). Penerbitan dokumen kunci ini mempunyai tujuan ganda. Pertama, agar masyarakat luas dapat memantau kinerja KPP HAM sebagai cara menyelidiki pelanggaran HAM karena terjadinya konflik. Suatu perkembangan baru di Indonesia yang perlu disosialisasikan karena merupakan upaya menegakkan hak asasi manusia berdasarkan hukum yang berlaku. Kedua, untuk memberi gambaran sejauh mana kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran HAM menjadi bagian integral dari kinerja KPP HAM secara umum. Salah satu hal yang mengemuka dalam mempelajari kinerja KPP HAM adalah bahwa investigasi HAM berperspektif jender belum merupakan bagian integral dari strategi kerja kelima KPP HAM. Suatu gambaran umum yang mencerminkan bagaimana dalam rangka menegakkan hak asasi manusia, kekerasan terhadap perempuan belum selalu difahami sebagai pelanggaran hak asasi manusia, termasuk oleh para pekerja HAM sendiri. Sesuatu yang disayangkan karena tidak sesuai dengan hasil Konperensi Hak Asasi Manusia ke II di Wina (1994) dan ditetapkannya Deklarasi Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Kedua keputusan penting yang telah ditandantangi oleh Indonesia. Kinerja KPP HAM yang tidak selalu menjadikan pelanggaran HAM berbasis jender sebagai bagian dari investigasinya telah merugikan perempuan karena pelanggaran HAM yang dialaminya tidak dapat terungkap secara utuh. Bila mengingat bahwa dalam situasi konflik politik atau sosial perempuan dan anak selalu menjadi
korban berbagai bentuk kekerasan, maka pelanggaran berbasis jender jelas perlu dijadikan bagian dari agenda penyelidikan KPP HAM, sejak tahap perencanaan sampai dengan penulisan laporan. Untuk itu, Komnas HAM dapat membangun kerjasama yang bersifat melembaga dengan Komnas Perempuan yang juga memiliki mandat di bidang penegakan HAM perempuan. Hal ini perlu mendapat perhatian serius agar penegakan hak asasi manusia di Indonesia dilaksanakan ‘tanpa membedakan ras, suku, agama dan jenis kelamin’ (seperti tertera dalam Deklarasi Umum HAM). Kami berharap dokumen kunci dapat dibaca dengan memahami kompleksitas upaya penegakan hak asasi manusia. Beberapa rekomendasi yang disampaikan dibuat dalam rangka diperlukannya upaya bersama agar setiap warga, laki-laki-perempuan-anak-anak, dapat menikmati hidup bebas dari kekerasan dan rasa takut.
Prof. Dr. Saparinah Sadli Ketua Komnas Perempuan
RINGKASAN EKSEKUTIF LAPORAN PENYELIDIKAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI TIMOR TIMUR Jakarta, 31 Januari 2000
BAB I PENDAHULUAN
1. Setelah Pemerintah RI mengeluarkan dua opsi pada tanggal 27 Januari 1999 menyangkut masa depan Timor Timur yaitu menerima atau menolak otonomi khusus, maka pada tanggal 5 Mei 1999 di New York ditandatangani perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Portugal di bawah payung PBB, tentang penyelenggaraan jajak pendapat di Timor Timur termasuk pengaturan tentang pemeliharaan perdamaian dan keamanan di Timor Timur. 2. Sejak opsi diberikan, terlebih setelah diumumkannya hasil jajak pendapat, berkembang berbagai bentuk tindak kekerasan yang diduga merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. 3. Menyikapi kenyataan tersebut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM) pada tanggal 8 September 1999 mengeluarkan pernyataan yang dalam butir pertama berbunyi "bahwa perkembangan kehidupan masyarakat di Timor Timur pada waktu itu telah mencapai kondisi anarki dan tindakan-tindakan terorisme telah dilakukan secara luas baik oleh perorangan maupun kelompok dengan kesaksian langsung dan pembiaran oleh unsur-unsur aparat keamanan". 4. Masyarakat nasional maupun internasional sangat prihatin dengan situasi yang terjadi di Timor Timur, bahkan Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Geneva pada tanggal 23 – 27 September 1999 menyelenggarakan special session mengenai situasi di Timor Timur. Special session tersebut adalah yang keempat diadakan sejak komisi ini dibentuk 50 tahun yang lalu. Ini menunjukkan betapa seriusnya penilaian dunia internasional terhadap masalah pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. Special Session tersebut mengeluarkan Resolusi 1999/S-4/1 yang menuntut kepada Pemerintah Indonesia agar antara lain: dalam kerjasama dengan Komnas HAM menjamin bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan dan pelanggaran sistematis terhadap hak asasi manusia akan diadili.
Resolusi tersebut juga meminta kepada Sekjen PBB untuk membentuk komisi penyelidik internasional dengan komposisi anggota yang terdiri dari ahli-ahli dari Asia, dan bekerjasama dengan Komnas HAM Indonesia, serta mengirimkan pelapor khusus tematik ke Timor Timur. 5. Sementara itu Komnas HAM telah membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur (KPP-HAM) pada tanggal 22 September 1999 dengan Surat Keputusan No.770/TUA/IX/99, kemudian disempurnakan dengan Surat Keputusan No.797/TUA/X/99 tanggal 22 Oktober 1999, dengan mengingat Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan PERPU No.1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, serta mempertimbangkan bahwa situasi hak asasi manusia di Timor Timur pasca jajak pendapat semakin memburuk. 6. Mandat KPP-HAM adalah mengumpulkan fakta, data dan informasi tentang pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur yang terjadi sejak Januari 1999 sampai dikeluarkannya Penetapan MPR pada bulan Oktober 1999 yang mensahkan hasil jajak pendapat. Penyelidikan dikhususkan pada kemungkinan terjadinya genosida, pembunuhan massal, penganiayaan, pemindahan paksa, kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak serta politik bumi hangus. KPP HAM juga bertugas menyelidiki keterlibatan aparatur negara dan atau badanbadan lain. Masa kerja KPP HAM terhitung sejak 23 September 1999 sampai akhir Desember 1999, yang kemudian diperpanjang hingga 31 Januari 2000 dengan SK Ketua Komnas HAM No.857/TUA/XII/99 tanggal 29 Desember 1999. 7. Wewenang KPP-HAM berdasarkan Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 89 (3) dan Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 10 dan 11 adalah: melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, meminta keterangan pihak-pihak korban, memanggil dan memeriksa saksi-saksi, mengumpulkan bukti dan memeriksa berbagai tempat termasuk bangunan yang perlu bagi penyelidikan dengan persetujuan Ketua Pengadilan. Di samping itu, KPP-HAM berwenang memeriksa dan meminta dokumen-dokumen instansi yang diperlukan bagi penyelidikan dengan persetujuan Ketua Pengadilan, memberikan perlindungan bagi saksi dan korban serta mengolah dan menganalisa fakta yang ditemukan untuk kepentingan penuntutan dan publikasi. 8. Laporan hasil penyelidikan oleh KPP HAM diserahkan kepada Komnas HAM dan selanjutnya Komnas HAM menyerahkan kepada Kejaksaan Agung guna penyidikan dan penuntutan ke Pengadilan Hak Asasi Manusia. 9. KPP HAM terdiri dari 9 orang anggota, 5 orang anggota Komnas HAM dan 4 orang aktivis hak asasi manusia. Dalam menjalankan tugasnya, KPP-HAM dibantu oleh tim asistensi terdiri dari: 13 orang asisten penyelidik, 14 orang anggota sekretariat dan 3 orang nara sumber. Dalam perkembangannya seorang anggota dari Komnas HAM mengundurkan diri karena menjadi Jaksa Agung.
10. Untuk melaksanakan tugasnya, KPP-HAM menyusun prosedur dan mekanisme kerja yang disesuaikan dengan Hukum Acara Pidana serta memenuhi standar-standar internasional, khususnya yang tercantum dalam Manual on the Effective Prevention and Investigation of ExtraLegal, Arbritary and Summary Executions dan Guidelines for the Conduct of United Nations Inquiries into Allegation of Massacres. Prinsip penyelidikan KPP HAM bersifat imparsial, sehingga tidak membatasi penyelidikannya pada tanggung jawab kelompok tertentu yang terlibat tindak pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. 11. Proses pelaksanaan kegiatan diawali dengan mengumpulkan informasi sekunder dan tersier mengenai pelanggaran hak asasi manusia baik dari media massa cetak maupun elektronik dan laporan lembaga/organisasi serta pengaduan individu. Informasi itu didata dan diolah dengan program HURIDOC. Proses ini dilanjutkan dengan analisa dan verifikasi ulang lewat pemeriksaan bukti-bukti, dokumen, kesaksian, dan kunjungan lapangan, serta wawancara dan pemeriksaan terhadap pihak yang memiliki kaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia. 12. KPP HAM melakukan penyelidikan, lapangan sebanyak 6 kunjungan ke Kupang NTT, 3 kunjungan ke Timor Timur dan 1 kegiatan penggalian kuburan massal di NTT. Proses penggalian kuburan dilakukan dengan mengikutkan tim ahli forensik. Selain memeriksa bukti dan tempattempat kejadian, KPP HAM juga mengumpulkan informasi baru, wawancara dengan 55 orang saksi korban, wawancara saksi sebanyak 23 orang dan pemeriksaan terhadap 45 orang yang memiliki kaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia. 13. KPP HAM mengadakan 3 kali pertemuan dengan Komisi Penyelidik Internasional untuk Timor Timur yang dibentuk PBB dalam rangka mengupayakan pertukaran informasi. Namun karena tidak tercapai kesepakatan tentang protokol kerjasama maka tidak terjadi pertukaran alat bukti. 14. Untuk memudahkan kerja lapangan, telah dibuka sekretariat KPP HAM di Kupang dengan tiga orang asisten dengan tugas memperlancar kegiatan-kegiatan kesekretariatan, dokumentasi dan persiapan komunikasi, menyiapkan pemeriksaan saksi, membantu evakuasi saksi dengan keluarganya.
BAB II TIMOR TIMUR PASCA OPSI: KETERKAITAN APARAT PEMERINTAH SIPIL DAN MILITER DENGAN MILISI
15. Kekerasan di Timor Timur menguat setelah militer Indonesia memasuki wilayah tersebut sejak tahun 1975 dengan pembentukan dan penggalangan sipil bersenjata yang di kemudian hari disebut WANRA. Sebagian dari tenaga-tenaga tersebut diorganisir ke dalam TNI melalui program militerisasi atau milsas dan digaji sebagai tentara reguler. Milsas oleh para pejabat tinggi militer di Jakarta disebut sebagai anggota TNI putra daerah dan mereka hanya bertugas di Timtim dalam membantu operasi TNI di Timor Timur, dan elit dari kelompok Prointegrasi dijadikan pejabat birokrasi. Contohnya adalah Joao Tavares Bupati Bobonaro sekaligus pemimpin satuan Halilintar. 16. Situasi Timor Timur setelah adanya dua opsi dari pemerintah Indonesia mengalami perubahan-perubahan yang spesifik. Perjanjian New York 5 Mei 1999, memberi peluang bagi pengamat Internasional untuk mengamati pelanggaran hak asasi manusia serta pemenuhan kewajiban pemerintah Indonesia untuk menjaga keamanan dan perdamaian. Dalam waktu yang bersamaan muncul berbagai kebijakan politik dan keamanan, yang memperkuat kelompok-kelompok sipil bersenjata yang dikenal sebagai milisi dan meningkatnya bentuk-bentuk kekerasaan, serta munculnya reaksi dari kelompok masyarakat Pro-kemerdekaan. Rangkaian kekerasan ini berlangsung seiring dengan kebutuhan penggalangan pemenangan otonomi khusus. 17. Setelah tawaran opsi, dikembangkan pula satuan-satuan milisi yang digalang dari kalangan muda. Menurut laporan Pangdam Udayana Mayjen Adam R. Damiri kepada Menko Polkam dinyatakan bahwa kelompok Pro-integrasi dimotori oleh para pemuda yang mendirikan organisasi cinta merah putih. Laporan-laporan lainnya menyebutkan para pemuda yang membentuk organisasi cinta merah putih tersebut sebelumnya adalah anggota Gada Paksi atau Garda Muda Penegak Integrasi yang dihimpun, dilatih dan dibiayai oleh Kopassus tahun 19941995. Eurico Guterres pemimpin milisi Aitarak di Dili adalah tokoh dalam Gada Paksi ini. Kelompok-kelompok milisi itu kemudian bergabung ke dalam Pasukan Pejuang Integrasi dengan panglimanya Joao Tavares dan wakilnya Eurico Guterres serta Kastafnya Herminio da Costa da Silva. Kelompok-kelompok pro integrasi ini menurut keterangan para Bupati dan Gubernur Timor Timur disebut Pam Swakarsa. Keberadaan milisi Pro-integrasi diakui oleh Jenderal TNI Wiranto dan dituangkan dalam Rencana Menghadapi Kontinjensi.
18. Sebagai tindak lanjut pengakuan terhadap milisi Pro-integrasi terjadi penggalangan massa besar-besaran yang melibatkan aparat militer di berbagai tingkat. Tujuannya adalah untuk mematahkan dominasi kelompok Pro-kemerdekaan dan sekaligus menggalang dominasi kelompok Pro-integrasi dalam masyarakat. 19. Dari sejumlah fakta diketahui bahwa jelas ada keterkaitan antara milisi Pro-integrasi dan militer, dan sebagian besar pimpinan dan personil inti milisi adalah para anggota Kamra, Wanra, Milsas, Gada Paksi, Hansip dan anggota TNI-AD. Mereka dilatih dan dipersenjatai dengan jenis SKS, M 16, Mauser, G-3, granat dan pistol di samping diberi senjata peninggalan Portugis. Dari kesaksian yang diperoleh KPP-HAM, dropping senjata pernah dilakukan dari tangan Komandan Satgas Tribuana dan Kodim Suai kepada kelompok milisi. Hubungan lain juga terungkap dalam operasi- operasi atau patroli-patroli yang mereka lakukan bersama. 20. Dukungan aparat TNI AD, terhadap operasi-operasi yang dilakukan, telah berakibat tidak berfungsinya institusi kepolisian untuk melakukan tindakan hukum dalam kasus-kasus kekerasan, seperti dalam kasus penyerangan Gereja Liquisa. 21. Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa: pertama, terdapat hubungan dan keterkaitan yang kuat antara aparat TNI, Polri serta birokrasi sipil dengan milisi; kedua, kekerasan yang terjadi di Timor Timur mulai pasca pengumuman pemberian Opsi hingga pasca pengumuman jajak pendapat bukan diakibatkan oleh suatu perang saudara melainkan hasil dari suatu tindakan kekerasan yang sistematis.
BAB III POLA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA: KEJAHATAN TERHADAP KENIANUSIAAN 22. Berdasarkan fakta, dokumen, keterangan dan kesaksian dari berbagai pihak, KPP HAM tak hanya menemukan tindakan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia atau 'gross violation of human rights' yang menjadi tanggung jawab negara (state responsibilities), namun dapat dipastikan, seluruh pelanggaran berat hak asasi manusia itu dapat digolongkan ke dalam universal jurisdiction. Yaitu mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran dan pemindahan paksa serta lain-lain tindakan tidak manusiawi terhadap penduduk sipil, ini adalah pelanggaran berat atas hak hidup (01: the right to life), hak atas integritas jasmani (02: the right to personal integrity), hak akan kebebasan (03: the right to liberty), hak akan kebebasan bergerak dan bermukim (05: the right of movement and to residance), serta hak milik (13: the right to property) sebagaimana tampak dalam Tabel berikut. Pembunuhan massal dan sistematis 23. Terdapat cukup banyak keterangan dan bukti-bukti, telah terjadi berbagai tindak kekerasan dan upaya pembunuhan terhadap sejumlah orang atas dasar alasan-alasan politik maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya, berlangsung kejam dan brutal serta extra-judicial. Kasus pembunuhan itu terjadi di pemukiman penduduk sipil, di gereja, termasuk di penampungan pengungsi di markas militer dan polisi. Penyiksaan dan Penganiayaan 24. Hampir dalam setiap kasus tindak kekerasan yang dilakukan anggota TNI, Polri dan milisi, terdapat bukti-bukti tentang penyiksaan dan penganiayaan terhadap penduduk sipil yang memiliki keyakinan politik berbeda. Sebelum proses jajak pendapat, penganiayaan dilakukan oleh milisi terhadap warga sipil yang menolak untuk bergabung atau menjadi anggota milisi. Sesudah pengumuman jajak pendapat, penganiayaan merupakan bagian dari tindakan teror dan ancaman pembunuhan yang terjadi dalam setiap penyerangan, penyerbuan dan pemusnahan prasarana fisik, termasuk berbagai kasus penyergapan terhadap iringiringan pengungsi. Penghilangan Paksa 25. Penghilangan paksa (enforced disappearances) terjadi sejak diumumkannya dua opsi. Warga penduduk sipil yang berseberangan keyakinan politiknya telah diintimidasi, diancam dan dihilangkan. Penghilangan paksa ini dilakukan oleh kelompok-kelompok milisi yang diduga memperoleh bantuan dari aparat keamanan dengan cara menculik atau menangkap untuk kemudian beberapa di antaranya dieksekusi seketika (summary execution).
Kekerasan berbasis Gender 26. Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun oleh KPPHAM menyangkut penyiksaan, pemaksaan perempuan di bawah umur melayani kebutuhan seks para milisi, perbudakan seks dan perkosaan. Perkosaan terhadap perempuan Timor Timur memiliki bentuk: (a) seorang pelaku terhadap satu perempuan, (b) lebih dari satu pelaku terhadap satu perempuan, (c) lebih dari satu pelaku terhadap sejumlah perempuan secara bersamaan di satu lokasi, dan (d) penggunaan satu lokasi tertentu di mana tindak perkosaan dilakukan secara berulang kali. Pemindahan penduduk secara paksa 27. Keterangan dan bukti-bukti yang diperoleh oleh KPP HAM menunjukkan terdapat dua pola pemindahan penduduk sipil secara paksa. Yaitu pengungsian yang terjadi sebelum jajak pendapat karena intensitas kekerasan yang meningkat sebagai akibat dari pembentukan kelompokkelompok milisi. Sesudah pengumuman hasil jajak pendapat, milisi dan anggota TNI, Polri, melakukan tindakan kekerasan dan memaksa penduduk meninggalkan pemukimannya. Pembumihangusan 28. KPP HAM di Timor Timur telah menemukan bukti bahwa telah terjadi suatu pengrusakan, penghancuran dan pembakaran secara massal, terencana dan sistematis di berbagai kota seperti Dili, Suai, Liquisa, dll. Pembumihangusan ini dilakukan terhadap rumah-rumah penduduk, kebun dan ternak, toko, warung, penginapan dan gedung-gedung perkantoran, rumah ibadah, sarana pendidikan, rumah sakit, dan prasarana umum lainnya, serta instalasi militer maupun polisi. Diperkirakan tingkat kehancuran mencapai 70-80%. Pola umum tindak kekerasan Unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan di atas menunjukkan suatu proses kerja sistematik yang lahir dari suatu Perencanaan. Hal ini dapat dilihat dari pola berikut: 29. Tahap setelah pengumuman opsi •
Pembentukan dan pengaktifan kembali kelompok sipil bersenjata yang dimobilisasi atas nama kelompok Pro-integrasi dan keamanan. Kelompok-kelompok tersebut berada di bawah koordinasi langsung pihak TNI.
•
Memobilisasi kekuatan milisi untuk mendukung kekuatan Pro-integrasi dilakukan dengan menerapkan politik teror. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh aparat militer, Polri, birokrasi sipil dan milisi, berupa pembunuhan, penghilangan dan pengungsian paksa.
•
Tindakan memobilisasi kekuatan milisi tersebut seiring dengan adanya berbagai kebijakan pimpinan TNI dan Menko Polkam, yang sangat berkepentingan terhadap penciptaan kondisi, bagi kepentingan pemenangan pro otonomi khusus, seperti Satgas Tribuana dan Satgas P4OKTT.
30. Tahap setelah perjanjian New York Kekerasan yang melibatkan aparat TNI dan Polri menurun secara drastis pada bulan Mei 1999, seiring dengan tercapainya perjanjian New York 5 Mei 1999. Upaya membangun kesan netral pemerintah Indonesia dalam mensukseskan jajak pendapat dilakukan dengan kantonisasi dan pembentukan satuan tugas P3TT. Akan tetapi, kebijakan Jakarta justru mempersiapkan kerangka kerja kekalahan opsi 1, berupa rencana penarikan mundur dan pengungsian yang beralasan amarah rakyat atas kecurangan Unamet, serta kekerasan oleh Pro-kemerdekaan. 31. Tahap pasca jajak pendapat •
Berbagai kekerasan meningkat secara drastis hampir di seluruh wilayah Timor Timur. Kekerasan itu berupa pembunuhan, penculikan, perkosaan, pengrusakan, penjarahan harta benda dan tempat tinggal, pembakaran dan penghancuran instalasi militer, perkantoran, dan perumahan penduduk, serta berujung pada upaya pengungsian secara paksa. Aparat TNI, Polri dan Milisi menjadi kekuatan inti dari operasi kekerasan yang meliputi penciptaan kondisi, pemilihan tindakan, penentuan waktu, dan sasaran proyek pengungsian. Hal ini bertujuan untuk meyakinkan masyarakat internasional, bahwa hasil jajak pendapat patut diragukan dan masyarakat Timor Timur lebih memilih rasa aman di wilayah NTT.
•
Berkembang tindak kekerasan dan intimidasi yang ditujukan terhadap para wartawan dan petugas badan-badan internasional.
•
Tahap akhir dari operasi kekerasan adalah tetap bekerjanya milisi dan aparat TNI dalam menjaga konsentrasi jumlah pengungsi di wilayah NTT. Konfigurasi penyebaran pengungsi itu menunjukkan efektifnya kontrol Milisi dan unsur TNI atas masyarakat pengungsi sampai akhir bulan Oktober 1999.
BAB IV KASUS-KASUS UTAMA 32. KPP HAM memusatkan perhatian pada kasus-kasus utama sejak bulan Januari sampai dengan bulan Oktober 1999. Kasus-kasus itu meliputi: pembunuhan di kompleks Gereja Liquica, 6 April; penculikan enam orang warga Kailako, Bobonaro 12 April; pembunuhan penduduk sipil di Bobonaro; penyerangan rumah Manuel Carrascalao, 17 April; penyerangan Diosis Dili, 5 September; penyerangan rumah Uskup Belo, 6 September; pembakaran rumah penduduk di Maliana, 4 September; penyerangan kompleks Gereja Suai, 6 September; pembunuhan di Polres Maliana, 8 September; pembunuhan wartawan Belanda Sander Thoenes, 21 September; pembunuhan rombongan rohaniwan dan wartawan di Lospalos 25 September; dan kekerasan terhadap perempuan. Kasus Pembantaian di kompleks Gereja Liquica. 33. Pada tanggal 6 April terjadi penyerangan oleh milisi BMP, bersenjata tajam dan senjata api, yang didukung aparat Kodim terhadap pengungsi yang berlindung di kompleks Gereja Liquica. Pengungsi berasal dari masyarakat yang ketakutan akibat teror yang dilakukan olch milisi. Pada peristiwa ini kurang lebih 30 orang tewas. Pihak pelaku dari kalangan sipil telah ditangkap pihak kepolisian, akan tetapi dibebaskan kembali. Sedangkan dari pihak TNI tidak ada tindakan apapun terhadap anggotanya yang terlibat. Lima jenasah yang telah divisum atas upaya kepolisian, kemudian dikuburkan atas perintah Kodim. Sedangkan jenasah korban lain dibuang ke danau Masin atas perintah Pasukan Rajawali (TNI AD). Kasus pembunuhan warga Kailako. 34. Pada tanggal 12 April 1999 terjadi penculikan atau penangkapan sewenang-wenang terhadap 6 orang warga yang dilakukan oleh Koramil Kailako dan Milisi Halilintar. Keenam orang itu diculik dan dibawa ke Koramil Kailako. Di sana mereka ditahan, diinterogasi dan disiksa. Kemudian dibawa ke rumah Manuel Soares Gama dan dibunuh. 35. Pada tanggal 12 April 1999 terjadi pembalasan oleh kelompok yang diduga Falintil dengan melakukan pencegatan rombongan Manuel Soares Gama dalam perjalanan dari Maliana ke Kailako. Dalam penghadangan itu 3 orang meninggal termasuk Manuel Soares Gama, 2 orang korban tewas lainnya adalah anggota TNI. Sementara itu 4 orang lainnya luka-luka. 36. Pada tanggal 13 April terjadi tindakan pembalasan oleh pihak aparat TNI dan milisi Halilintar, dengan melakukan penangkapan terhadap 6 orang penduduk. Keenam orang tersebut, setelah diintrogasi dan disiksa di Koramil, kemudian dieksekusi mati di depan massa pelayat dan
jenasah Manuel Soares Gama. Tindakan eksekusi itu dipimpin oleh Letkol. TNI Burhanudin Siagian Dandim Bobonaro, dan Joao da Silva Tavares panglima PPI. Jenasah keenam korban dibuang di sungai Marobo. Penyerangan rumah Manuel Carrascalao. 37. Pada tanggal 17 April 1999 dilakukan apel akbar yang dihadiri sekitar 5000 massa Pro integrasi dari 13 kabupaten di Timor Timur di depan Kantor Gubernur Timor Timur. Apel itu dalam rangka pengukuhan milisi Aitarak pimpinan Eurico Guterres. Sebahagian dari arak-arakan milisi menghancurkan bangunan serta fasilitas kantor Suara Timor Timur. Menjelang sore harinya, terjadi penyerangan terhadap rumah Manuel Carrascalao oleh milisi yang terdiri dari Besi Merah Putih dan Aitarak. Korban penyerangan tersebut adalah para pengungsi dari Liquica, Alas dan Turiscai yang pada saat itu mencari perlindungan di rumah Manuel Carrascalao serta Manuelito Carrascalao, putra Manuel Carrascalao. Korban dalam penyerangan ini tewas sebanyak 15 orang. Sesudah penyerangan sekitar 50 orang pengungsi yang selamat diangkut oleh polisi ke Polda Timor Timur termasuk keluarga Manuel Carrascalao dan keluarga tokoh CNRT Leandro Isaac. Penyerangan Diosis Dili. 38. Pada tanggal 5 September 1999 situasi kota Dili semakin memburuk ditandai dengan rentetan tembakan, pembakaran dan penjarahan. Selama kekacauan terjadi, selain warga yang berada di jalan untuk mengungsi, dijumpai pula aparat keamanan yang terdiri dari anggota polisi dan anggota TNI yang berjaga-jaga. Disamping itu, warga menyaksikan sekelompok milisi dengan pakaian hitam dengan tulisan Aitarak dan atribut merah putih. Warga yang berlindung dan mengungsi di Camra Eclesestica (Diosis Dili) diserang, dan kantor Diosis dibakar. Pada peristiwa ini telah jatuh korban sebanyak 25 orang. Penyerangan Rumah Uskup Belo. 39. Pada tanggal 6 September, seorang perwira TNI berpangkat Letnan Kolonel masuk ke kediaman Uskup Belo dan memintanya keluar kemudian dievakuasi ke Mapolda. Setelah Uskup Belo keluar dari kediamannya, kelompok milisi diantaranya berseragam Aitarak mulai melakukan penyerangan terhadap sekitar 5000 pengungsi yang berlindung di kompleks rumah tersebut. Para pengungsi dipaksa untuk mengikuti perintah para milisi agar keluar dari halaman kompleks rumah Uskup Belo disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan, dan pembakaran. Serangan itu setidaknya berakibat jatuhnya korban 2 orang tewas. Penghancuran massal dan pembunuhan di Maliana. 40. Pada tanggal 4 September terjadi penghancuran dan pembakaran rumah penduduk dan bangunan-bangunan di Maliana. Penghancuran itu berakibat 80% bangunan hancur. Kota Maliana sejak tanggal 30 Agustus dibawah pengawasan pihak TINI, Polri dan Milisi DMP dan Halilintar, yang melakukan pembatasan gerak keluar masuknva penduduk, terutama mereka yang dianggap Pro kemerdekaan dan staf
Unamet. Dalam proses penghancuran kota, pihak pelaku juga melakukan penculikan, pembunuhan terhadap dua orang staf lokal UNAMET dan aktivis Pro kemerdekaan. Terjadi penyerangan baik dengan senjata api maupun senjata tajam terhadap penduduk yang berupaya mengungsi. Sejak itu di wilayah Bobonaro, khususnya Memo dan Batugade didirikan pos-pos pemeriksaan oleh milisi untuk memeriksa para pengungsi yang akan menuju wilayah NTT. Keterangan beberapa saksi mengindikasikan tejadinya kasus hilang paksa atas pengungsi yang sebelumnya terlihat diperiksa di pos-pos tersebut. 41. Pada tanggal 8 September saat itu juga terjadi tindakan pembunuhan terhadap penduduk yang mengungsi di Polres Meliana, yang dilakukan oleh Milisi Dadarus merah putih dengan dukungan langsung aparat TNI dan Polri, yang berakibat setidaknya 3 orang tewas. Pembunuhan massal di kompleks Gereja Suai. 42. Pada tanggal 4 September terjadi penyerangan oleh Milisi Laksaur dan aparat TNI di Kampung Debos, yang mengakibatkan seorang pelajar SMA tewas. Sementara masyarakat menyelamatkan diri ke kompleks Gereja Nossa Senhora de Fatima atau Gereja Ave Maria Suai, dimana telah terdapat banyak pengungsi yang berlindung sebelumnya. Pada tanggal 5 September malam, rumah-rumah penduduk dan gedunggedung pemerintah di kota Suai dibakar oleh milisi Laksaur dan anggota TNI. Mulai tanggal 6 September, penduduk dipaksa meninggalkan rumah. Danramil Suai Lettu Sugito turut melakukan penjarahan dan pembakaran. 43. Pada tanggal 6 September sekitar pukul 14.30 terjadi penyerangan terhadap warga yang mengungsi di kompleks Gereja Suai oleh milisi Laksuar Merah Putih, Mahidi, aparat TNI dan Polisi. Penyerangan tersebut dipimpin langsung oleh Bupati Covalima Herman Sediono dan Danramil Suai Lettu Sugito. Setelah sebelumnya mereka mengancam akan membunuh semua Pastor, dan para pengungsi laki-laki, maupun perempuan. Pada saat itu lebih kurang 100 orang pengungsi yang berada di dalam gereja sedangkan di luar tidak terhitung jumlahnya. Pastor Hilario ditembak di bagian dada sebanyak satu kali dan jenasahnya diinjak oleh Igidio Manek salah seorang anggota milisi Laksaur. Sedangkan Pastor Francisco mati ditikam dan dipotong oleh Americo yang juga anggota milisi Laksaur. Saksi lainnya, Domingas dos Santos, menyaksikan Pastor Dewanto dibunuh di gereja lama. Pada saat penyerangan, Polisi, Brimob Kontingen Loro Sae dan aparat TNI berada di luar pagar menembaki pengungsi yang berupaya melarikan diri keluar dari kompleks gereja. Diperkirakan paling sedikit 50 orang terbunuh dalam peristiwa tersebut. 44. Dua puluh enam jenasah di antara korban tersebut diangkut truk dan dua buah mobil, serta dikuburkan di desa Alas Kec. Wemasa Kab. Belu. Kegiatan penguburan jenasah tersebut dipimpin oleh Lettu TNI Sugito, bersama 3 orang anggota TNI dan satu kompi milisi Laksaur. Jenasahjenasah tersebut dibawa oleh Lettu Sugito dan kawan-kawan dari Suai sekitar pukul 08.30 melewati pos Polisi Metamauk di wilayah hukum Polsek Wemasa, NTT. Dari hasil penggalian kuburan massal korban
pembantaian di Gereja Suai tersebut teridentifikasi 16 laki-laki, 8 perempuan, 2 jenasah tidak dapat diidentifikasi jenis kelaminnya, berusia 5 tahun sampai dengan dewasa berumur 40-an tahun. Pembunuhan Wartawan Belanda. 45. Seorang wartawan dari Belanda bernama Sander Thoenes tewas pada tanggal 21 September. Jenasahnya ditemukan oleh penduduk setempat di Desa Becora, Dili Timur pada tanggal 22 September. Diperkirakan Sander Thoenes meninggalkan Hotel Tourismo, Dili antara pukul 16.30 dan pukul 17.45 dengan sepeda motor yang dikendarai oleh Florinda da Conceicao Araujo menuju Desa Becora, Dili. Kedua orang tersebut baru berjalan sejauh 300 meter ketika mereka dihadang oleh orang-orang tidak dikenal yang mengendarai tiga sepeda motor, truk dan sebuah mobil. Penghadang tidak dikenal menggunakan seragam TNI dan bersenjata otomatis. Orang-orang yang tak dikenal tersebut melepaskan tembakan terhadap Sander Thoenes dan Florinda da Conceicao Araujo, tetapi Araujo dapat menyelarnatkan diri. Pada saat itu Batalyon 745 sedang melintas di kawasan tersebut. Pembunuhan rombongan rohaniwan di Lospalos. 46. Pada tanggal 25 September terjadi penyerangan terhadap rombongan rohaniawan yang sedang dalam perjalanan menuju Baucau. Penyerangan ini dilakukan oleh kelompok milisi Tim Alfa di bawah pimpinan Joni Marques dan menewaskan 9 orang, termasuk wartawan Agus Mulyawan, seperti diakuinya sendiri. Tindakan ini diduga dilakukan atas perintah anggota satuan Kopassus yang tergabung dalam satuan tugas Tribuana. Jenasah para korban dibuang ke sungai Raumoko dan mobil yang mengangkut dibakar. Kekerasan terhadap perempuan. Perbudakan seksual. 47. Pada akhir September di tempat pengungsian Raehanek Kec. Belu, NTT, sejumlah ibu dan anak-anak diturunkan dari satu mobil yang berhenti di lapangan dekat kompleks kantor desa. Mereka dipisahkan dari pengungsi lainnya karena dianggap sebagai simpatisan Prokemerdekaan, dan ditempatkan di tenda-tenda khusus di mana setiap malam dipaksa melayani kebutuhan seksual kelompok anggota milisi Laksaur. Salah seorang di antaranya adalah seorang ibu yang masih menyusui anaknya. Jika menolak, para perempuan tersebut diancam dibunuh, dan seorang pengungsi perempuan sudah menjadi korban akibat tembakan senjata rakitan di punggungnya. Sampai kini ia masih trauma dengan kejadian yang dialaminya. 48. Pada tanggal 16 September, 2 orang perempuan remaja dari Ainaro dibawa paksa milisi Mahidi dan diperlakukan sebagai budak seksual oleh komandan kompi milisi Mahidi. Dalam tempat penguasaan milisi Mahidi, kedua korban harus menghadapi tindak perkosaan oleh para anggota milisi, hal ini berlangsung berminggu-minggu.
49. Pada tanggal 6 Juni, terjadi penahanan sewenang-wenang terhadap 23 perempuan oleh milisi BMP di pos dekat Gugleur, Kecamatan Maubara, Kabupaten Liquica. Mereka disandera dan dipaksa untuk memasak, mencuci dan mengalami pelecehan seksual. 50. Pada tanggal 5 September, seorang gadis bernama Alola –seorang pelajar SMP kelas III Suai– bersama beberapa perempuan lain dibawa paksa oleh Danki Laksaur, Manek E. Gidu ke markas Laksaur di Raihenek NTT, kecamatan Kobalima, Belu. Mereka dijadikan budak seks milisi Laksaur. Saksi dan ibu korban telah dua kali berupaya meminta kembali anaknya namun tidak diperbolehkan oleh milisi. Perkosaan. 51. Dalam peristiwa penyerangan kompleks Gereja Suai pada tanggal 6 September, beberapa orang perempuan ditahan di Kodim Kovalima. Mereka mengalami percobaan perkosaan oleh milisi Laksaur. Salah seorang di antaranya gadis muda bernama Martinha, pada tanggal 7 September, dibawa paksa oleh milisi Laksaur bernama Olipio Mau dan kemudian diperkosa. Begitu anaknya dibawa paksa, keluarganya langsung melaporkan kejadian itu kepada Dandim, namun Dandim tidak berada di tempat, lalu keesokan harinya ia melaporkan ke juru bayar namun tidak mendapat tanggapan. Siang harinya barulah anaknya dikembalikan kepada ibunya.
BAB V GAMBARAN KORBAN DAN PELAKU Korban 52. KPP HAM menemukan korban, baik jiwa maupun harta benda akibat rangkaian tindak kekerasan di Timor Timur dari Januari-Oktober 1999. Korban jiwa meliputi kelompok yang secara politik terpilih, seperti para pelajar, mahasiswa serta aktivis CNRT. 53. Kelompok yang tidak memiliki afiliasi politik manapun, perempuan dan anak-anak serta rohaniwan menjadi korban atas tindak kekerasan seperti yang terjadi pada peristiwa pembunuhan massal di gereja Suai pada tanggal 6 September 1999. 54. Korban juga terdapat dari kalangan masyarakat Pro-otonomi khusus. 55. Selain itu juga ditemukan sejumlah perempuan korban tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh milisi maupun aparat baik di Timtim maupun di tempat-tempat pengungsian di NTT. Korban harta benda meliputi milik pribadi maupun infrastruktur publik dan sarana sosialbudaya lainnya. Pelaku 56. Ada tiga jenis pelaku terpenting yang diidentifikasi oleh KPP HAM sebagai penanggung jawab rangkaian tindak kekerasan di Timtim. Pertama, pelaku yang melakukan tindak kekerasan di lapangan secara langsung, yaitu para milisi, aparat TNI dan POLRI. Kedua, para pelaku yang melakukan tindak pengendalian operasi lapangan termasuk di dalamnya aparat birokrasi terutarna Bupati-bupati, Gubernur dan para pimpinan militer serta kepolisian lokal. Ketiga, pemegang tanggung jawab kebijakan keamanan termasuk di dalamnya para pejabat tinggi militer yang terlibat dan yang mengetahui terjadinya rangkaian tindak kekerasan tetapi tidak mengambil tindakan untuk mencegahnya. 57. Tindak kekerasan juga dilakukan oleh kelompok yang menolak opsi otonomi khusus seperti Falintil, di antaranya bersumber dari laporan Komisi Perdamaian dan Stabilitas (KPS) dan laporan-laporan pejabat sipil dan militer kepada KPP HAM.
BAB VI KESIMPULAN dan REKOMENDASI
58. KPP HAM dalam memformulasikan laporan ini berikut kesimpulannya yang akan diserahkan kepada Komnas HAM telah mempertimbangkan dengan seksama semua penemuan di lapangan, keterangan para saksi, korban dan pelaku serta pihak-pihak lain, laporan-laporan dan dokumen-dokumen resmi maupun tidak resmi dan berbagai informasi lainnya. KPP HAM mempertimbangkan semua laporan dan bahan-bahan termasuk dari UNTAET dan INTERFET berdasarkan penyelidikan mereka sendiri. 59. Sebagai akibat berbagai keterbatasan waktu, sarana dan prasarana serta upaya pihak- pihak tertentu untuk menghilangkan barang bukti, maka temuan-temuan KPP HAM baru menggambarkan sebagian dari pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. 60. KPP HAM telah berhasil mengumpulkan fakta dan bukti yang menunjukkan indikasi kuat bahwa telah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan secara terencana, sistematis serta dalam skala besar dan luas berupa pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan dan anak (termasuk di dalamnya perkosaan dan perbudakan seksual), pengungsian paksa, pembumihangusan dan perusakan harta benda yang kesemuanya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. 61. KPP HAM juga menemukan bukti kuat tentang terjadinya penghilangan dan perusakan barang bukti yang merupakan satu tindak pidana. 62. Dari seluruh fakta dan bukti-bukti tersebut KPP HAM tidak menemukan adanya kejahatan genosida. 63. Fakta dan bukti-bukti itu juga menunjukkan bahwa aparat sipil dan militer termasuk kepolisian bekerja sama dengan milisi telah menciptakan situasi dan kondisi yang mendukung terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dilakukan oleh aparat sipil, militer, kepolisian dan kelompok milisi. 64. Kekuatan kelompok milisi dengan nama yang berbeda-beda dalam setiap lokasi secara langsung atau tidak langsung dibangun atas landasan pembentukan kelompok perlawanan rakyat (WANRA), keamanan rakyat (KAMRA) dan Pasukan Pengamanan Swakarsa (PAMSWAKARSA) yang secara langsung dan tidak langsung dipersenjatai, dilatih, didukung dan didanai oleh aparat sipil, militer dan kepolisian.
Bentuk perbuatan (types of acts) dan pola (pattern) kejahatan terhadap kemanusiaan adalah sebagai berikut: Pembunuhan massal 65. Pembunuhan massal yang menimbulkan banyak korban penduduk sipil dilakukan dengan sistematik dan kejam yang terjadi di berbagai tempat. Pembunuhan massal tersebut pada umumnya terjadi di tempat-tempat perlindungan seperti misalnya di gereja, kantor polisi dan markas militer. Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan senjata tajam dan senjata api oleh kelompok milisi bersama dan atau dengan dukungan aparat militer atau dibiarkan terjadinya oleh aparat militer dan kepolisian. Penyiksaan dan penganiayaan 66. Penyiksaan dan penganiayaan dilakukan dalam skala besar, luas dan sistimatik terhadap penduduk sipil yang Pro-kemerdekaan. Penyiksaan dan penganiayaan terjadi dalam berbagai momen yakni sebelum pembunuhan dilakukan dan setelah penangkapan-penangkapan sewenang-wenang untuk tujuan-tujuan memeras informasi dari korban. Dalam beberapa kasus, penyiksaan dan penganiayaan juga terjadi secara spontan di saat penyerangan di rumah-rumah korban. Pada masa pengungsian, penyiksaan dan penganiyaan kerap dilakukan terhadap korban yang diidentifikasi sebagai mahasiswa, pelajar dan anggota CNRT. Penghilangan paksa 67. Penghilangan paksa terjadi seiring dengan pola-pola sebagai berikut. Pertama dalam rangka rekruitmen anggota milisi. Hilangnya sejumlah warga sipil merupakan akibat penolakan mereka untuk dijadikan anggota milisi. Kedua, penghilangan paksa juga terjadi sebagai usaha penundukan terhadap warga pendukung kemerdekaan. Ketiga, penghilangan paksa terhadap sejumlah korban dari kalangan mahasiswa dan warga pendukung kemerdekaan juga dilaporkan terjadi sebagai kelanjutan dari aktivitas milisi di tempat-tempat pengungsian. Perbudakan seksual dan perkosaan 68. Perbudakan seksual dan perkosaan terjadi di rumah, markas militer dan tempat-tempat pengungsian baik sebelum dan sesudah jajak pendapat. Pembumihangusan 69. Aksi pembumihangusan dilakukan sebelum dan setelah hasil jajak pendapat diumumkan terhadap rumah-rumah penduduk dan berbagai kantor pemerintah dan bangunan lainnya. Sebelum jajak pendapat, pembumihangusan dilakukan terutama terhadap rumah-rumah penduduk yang diduga Pro-kemerdekaan. Aksi ini meningkat dalam intensitas dan skala penyebarannya setelah hasil jajak pendapat diumumkan sehingga mencakup perusakan bangunan dan harta benda lainnya di hampir seluruh wilayah Timor Timur.
Pemindahan dan pengungsian paksa 70. Teror dan intimidasi sebelum jajak pendapat telah mengakibatkan terjadinya pengungsian penduduk ke tempat-tempat yang dianggap aman seperti misalnya gereja dan daerah perbukitan. Setelah hasil jajak pendapat diumumkan terjadi pemindahan dan pengungsian paksa secara besar-besaran dengan mendapat dukungan logistik dan transportasi dari aparat sipil, militer dan kepolisian mengikuti pola yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pemindahan paksa ini merupakan sasaran lebih jauh dari berbagai bentuk kekerasan dan pembumihangusan di berbagai tempat. Pemindahan dan pengungsian paksa serta penghalangan pengungsi untuk kembali ke tempat kediaman mereka dilakukan melalui terror dan intimidasi. Sampai saat ini sebahagian diantara para pengungsi tersebut masih belum dapat kembali ke tempat asalnya. Pengrusakan dan penghilangan barang bukti 71. Penghilangan bukti-bukti oleh pihak-pihak yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut dilakukan dengan sengaja dan terencana antara lain melalui pemusnahan dokumen, penguburan massal, dan pemindahan jenasah ke lokasi tersembunyi. Lokasi penguburan massal hingga saat ini masih terus ditemukan. 72. Seluruh rangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan tanggung jawab tiga kelompok pelaku, yakni:
tersebut
•
Para pelaku yang secara langsung berada di lapangan yakni para milisi, aparat militer dan kepolisian;
•
Mereka yang melaksanakan pengendalian operasi termasuk, tetapi tidak terbatas pada, aparat birokrasi sipil terutama para Bupati, Gubernur dan pimpinan militer serta kepolisian lokal;
•
Pemegang tanggung jawab kebijakan keamanan nasional, termasuk tetapi tidak terbatas pada, para pejabat tinggi militer baik secara aktif maupun pasif telah terlibat dalam kejahatan tersebut.
73. Keterlibatan aparat sipil dan militer termasuk kepolisian bekerja sama dengan kelompok milisi Pro-integrasi dalam kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut merupakan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang sehingga mengakibatkan keterlibatan baik institusi militer maupun instansi sipil. Secara lebih rinci, bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa para pejabat pada institusi-institusi sipil dan militer serta kepolisian yang diduga terlibat –namun tidak terbatas pada– nama-nama berikut ini adalah:
Gubernur KDH Tingkat I Timor Timur Bupati Kepala Daerah Tingkat II Dili Bupati Kepala Daerah Tingkat II Covalima Bupati Kepala Daerah Tingkat II Liquica Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bobonaro Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lospalos Komandan-Korem 164 Wira Dharma Dili Komandan Korern 164 Wira Dharma Dili Kepala Kepolisian Daerah Timor Timur Danramil Suai (Covalima) Kasi Intel Kodim Bobonaro (Maliana) Dandim Bobonaro Dandim Los Palos Komandan Batalyon 744-Dil Komandan Batalyon 745-Los Palos Anggota Batalyon 744-Dili Komandan Kompi B-Batalyon 744 Perwira Kopassus/SGI BKO Korem Dili Staf Kodim Liquisa Pangdam IX Udayana Penasehat Keamanan Satgas P3TT Komandan Milisi Aitarak Komandan Milisi Laksaur Komandan Kompi Laksaur Anggota Milisi Laksaur Komandan Milisi Tim Alfa Anggota Milisi Tim Alfa Komandan Milisi Besi Merah Putih Komandan Milisi Halilintar
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Abilio Soares Dominggos Soares Kolonel Herman Sediono Leoneto Martins Guilherme dos Santos Edmundo Conceicao E.Silva Brigjen FX. Tono Suratman Kolonel M. Nur Muis Brigjen Pol. Timbul Silaen Lettu Sugito Lettu Sutrisno Letkol Burhanuddin Siagian Letkol Sudrajat Mayor Inf. Yakraman Yagus Mayor Inf. Jacob Sarosa Pratu Luis Kapten Tatang Letkol Yayat Sudrajat Lettu Yacob dan Serda Mayjen TNI Adam Damiri Mayjen Zacky Makarim Eurico Gutterres Olivio Moruk Martinus Manek Joni Marquez Joao da Costa, Manuel da Costa, Amilio da Costa Manuel Sousa Joao Tavares
Nama-nama lain yang terlibat langsung maupun tak langsung terdapat dalam laporan lengkap.
74. Keseluruhan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur, langsung atau tidak langsung, terjadi karena kegagalan Panglima TNI dalam menjamin keamanan dari pelaksanaan pengumuman dua opsi oleh pemerintah. Struktur kepolisian yang pada waktu itu masih dibawah komando Menteri Pertahanan telah turut memperlemah kemampuan aparat kepolisian dalam melaksanakan tugas pengamanan berdasarkan perjanjian New York. Untuk itu, Jendral TNI Wiranto selaku Panglima TNI adalah pihak yang harus diminta pertanggungjawabannya. 75. Sebagai catatan khusus KPP HAM merasa bahwa tanpa mengurangi hak para pihak yang diperiksa untuk memperoleh bantuan hukum yang sebaik-baiknya, fakta bahwa semua terperiksa kecuali milisi memperoleh bantuan hukum dari Tim Advokasi HAM Perwira TNI telah mengabaikan kemungkinan benturan kepentingan antara pihak satu dengan lainnya. Kemungkinan terdapatnya benturan kepentingan tersebut sangat besar diantara perwira TNI, perwira Kepolisian, mantan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dan mantan Menteri Luar Negeri. Fakta ini, secara langsung ataupun tidak langsung dapat menghambat kerja penyelidikan dalam mengumpulkan fakta-fakta untuk menemukan kebenaran materiil sehingga merupakan perintangan terhadap penegakan hukum dan keadilan. REKOMENDASI Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut:
KPP
HAM
menyampaikan
76. Meminta Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan terhadap pelaku yang diduga terlibat dalam pelanggaran berat hak asasi manusia terutama tapi tidak terbatas pada nama-nama yang tersebut dalam kesimpulan di atas. 77. Meminta Pemerintah agar menyusun protokol guna mendapatkan akses pada semua fakta dan bukti baru tentang pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur selama ini yang masih terus ditemukan UNTAET dan badan internasional lain. 78. Meminta DPR dan pemerintah agar membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia yang mempunyai kewenangan mengadili perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengacu kepada hukum nasional dan internasional (Human Rights and Humanitarian Law). Pengadilan Hak Asasi Manusia dimaksud harus memiliki kewenangan untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelumnya, termasuk yang terjadi di Timor Timur selama ini. 79. Meminta Pemerintah untuk segera meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia yang penting bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia termasuk, tetapi tidak terbatas pada, Covenant on Civil and Political Rights dan First Optional Protocol. 80. Meminta Pemerintah untuk memberikan jaminan keamanan bagi semua saksi dan korban.
81. Meminta Pemerintah agar mengupayakan rehabilitasi dan kompensasi yang adil bagi para korban dan keluarganya. 82. Meminta Pemerintah untuk menyatakan secara tegas bahwa setiap kasus kekerasan berbasis gender adalah pelanggaran hak asasi manusia. Disamping itu pemerintah wajib menyediakan berbagai bentuk pelayanan (psikiatris, psikologis) dan konpensasi lainnya kepada korban. 83. Menyerukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia --demi kebenaran dan keadilan serta kepentingan sejarah-- agar melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap semua pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur sejak tahun 1975. Hasil penyelidikan ini harus dijadikan sebagai dokumen resmi hak asasi manusia. 84. Mendesak Pemerintah untuk melakukan reposisi, redefinisi dan reaktualisasi TNI agar menjadi lembaga pertahanan dalam suatu negara demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Untuk itu fungsi-fungsi tambahan dari TNI harus dihapus terutama fungsi teritorial yang selama ini menjadi hambatan dan gangguan bagi terselenggaranya fungsi kepolisian dan pemerintahan sipil yang baik. 85. Menuntut Pemerintah untuk menjamin fungsi penegakan hukum serta keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam rang 86. ka ini harus dilakukan pemisahan sepenuhnya lembaga Kepolisian RI dari TNI. Disamping itu perlu dilakukan penguatan dan pemberdayaan institusi kepolisian melalui upaya profesionalisasi dan demiliterisasi kepolisian. 87. Mendesak DPR dan Pemerintah untuk mengatur lembaga dan kegiatan intelijen negara melalui undang-undang guna menjamin agar fungsi intelijen negara diselenggarakan sepenuhnya untuk kepentingan keamanan masyarakat dan negara semata sehingga tidak dapat dijadikan alat untuk melanggar hak asasi manusia. 88. Menuntut Pemerintah dan Mahkamah Agung agar dalam proses hukum atas kejahatan terhadap kemanusiaan –siapapun pelakunya, termasuk anggota TNI– dilakukan secara bebas dan mandiri tanpa campur tangan pihak manapun.. 89. Meminta Pemerintah agar memfasilitasi dan menghilangkan semua hambatan maupun tekanan yang menghalangi para pengungsi yang ingin kembali ke tempat asalnya. Dalam kaitan ini kepada UNTAET diminta untuk memberikan jaminan hukum dan keamanan sekembalinya mereka ke wilayah Timor Timur.
Jakarta, 31 Januari 2000 KOMISI PENYELIDIK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI TIMOR TIMUR Ketua Dr. Albert Hasibuan, SH Wakil Ketua Dr. Todung Mulya Lubis, SH, LLM Sekretaris Asmara Nababan, SH Anggota Dr. Ir. H.S. Dillon Drs. Koesparmono Irsan, SH, MM, MBA Nursyahbani Katjasungkana, SH Dra. Zoemrotin KS Munir, SH
EXECUTIVE SUMMARY LAPORAN KERJA KPMM 1.
LATAR BELAKANG KONFLIK DI MALUKU Pertikaian antar kelompok masyarakat di Kepulauan Maluku telah berlangsung hampir 2 (dua) tahun. Awal konflik terjadi tanggal 19 Januari 1999 yaitu pertikaian antara seorang warga Kampung Mardika bernama Jacob Leuhery alias Yoppy dengan seorang warga kampung Batu Merah bernama Usman/Mursalim bin Kader. Pertikaian tersebut telah meluas ke hampir semua wilayah Kepulauan Maluku. Pembakaran-pembakaran rumah, tempat beribadah, penganiayaan, pembunuhan, pemaksaan agama dan tindak kekerasan lainnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari konflik tersebut. Banyak warga yang kehilangan tempat tinggal, kehilangan sanak keluarga, kehilangan mata pencaharian bahkan kehilangan anggota tubuhnya. Konflik di Maluku Utara berawal dengan terjadinya perkelahian antara warga desa Tahane dan Matsa (suku Makian) melawan warga Desa Sosol dan Wangeotak (suku Kao) pada tanggal 19 Agustus 1999. Konflik di Maluku / Ambon dan sekitarnya yang telah berlangsung hampir 2 tahun telah menelan korban sedikitnya 1.011 orang meninggal dunia (jumlah tersebut terhitung sejak Januari 1999 sampai dengan Oktober 2000), sementara di Maluku Utara sedikitnya 2.069 orang meninggal dunia (data tersebut di atas terhitung sejak tanggal 19 Agustus 2000 sampai dengan tanggal 12 Maret 2000 dan tidak termasuk korban kecelakaan kapal pengungsi yang menuju Manado sejumlah 425 orang serta kecelakaan kapal di Loloda sejumlah 24 orang). Pada saat ini yang dibutuhkan masyarakat Maluku dan Maluku Utara adalah ketenangan dan berhentinya konflik serta rehabilitasi terhadap korban. Oleh karena itu upaya mendamaikan pihak-pihak yang bertikai adalah sangat penting disamping pengungkapan pelanggaran hak asasi manusia itu sendiri.
2.
PEMBENTUKAN KPMM Untuk mengantisipasi masalah-masalah pelanggaran hak asasi manusia akibat konflik di Maluku dan Maluku Utara, dalam Sidang Paripurna Komnas HAM tanggal 14 Januari 2000 diputuskan untuk membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Mediasi di Maluku (KPMM) yang kemudian dituangkan dengan Surat Keputusan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia No. 001/KOMNAS HAM/2000 tanggal 18 Januari 2000.
3.
FAKTA TEMUAN DAN ANALISA 1.
Kerugian-kerugian akibat konflik
Konflik di Maluku juga telah menimbulkan kerugian yang tidak dapat dinilai dengan angka, antara lain : a. Terhentinya sebagian besar kegiatan perekonomian sehingga menimbulkan semakin meningkatnya angka kemiskinan, banyaknya pengangguran, dll. b. Munculnya fanatisme permusuhan antar kelompok serta hilangnya semangat persatuan dan kesatuan yang berimplikasi kepada disintegrasi bangsa. c. Kegiatan pendidikan juga mengalami kemunduran, di mana banyak sekolah-sekolah, bahkan perguruan tinggi yang hancur. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kwalitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. d. Tidak berfungsinya sarana pelayanan publik seperti layanan kesehatan kepada masyarakat di mana banyak sarana kesehatan yang hancur dan kurangnya suplai obat-obatan dengan terganggunya transportasi. e. Hancurnya tatanan sosial budaya masyarakat Maluku seperti : - Putusnya interaksi sosial antara kelompok masyarakat - Hilangnya ikatan nilai-nilai budaya persaudaraan seperti Pela Gandong. f. Hilangnya semangat dan kepercayaan untuk menatap masa depan.
2. 1.
Akar Permasalahan dan Faktor Pemicu
Akar permasalahan dan faktor pemicu terjadinya konflik di Propinsi Maluku (Ambon dan sekitarnya), antara lain : a. Faktor kecemburuan sosial masyarakat. b. Dugaan adanya upaya provokasi dari luar. c. Peristiwa Ketapang. d. Kenetralan pihak aparat keamanan maupun pemerintah daerah. e. Sentimen Agama. f. Rasa dendam. g. Pertentangan elite politik. h. Peristiwa-peristiwa yang bersifat individual. 2. Akar permasalahan dan faktor pemicu terjadinya konflik di Propinsi Maluku Utara, antara lain : a. Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 1999 tentang Pembentukan dan Penataan beberapa kecamatan dalam wilayah di Maluku Utara. b. Imbas konflik Maluku (Ambon). c. Adanya selebaran “Sosol Berdarah”.
d. Adanya isue tentang rencana penyerangan Morotai oleh
e.
4.
20.000 orang RMS. Isue tersebut telah mengakibatkan terjadinya pembakaran-pembakaran beberapa kampung di Morotai pada akhir Februari 2000. Ketidaknetralan oknum aparat keamanan dan aparat pemerintah daerah.
UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN KPMM Mediasi Mediasi menjadi ciri sendiri bagi KPMM dibandingkan dengan komisikomisi ad hoc lainnya. Upaya mediasi yang berhasil dilakukan KPMM di beberapa tempat di Propinsi Maluku Utara, yakni: mediasi antara dua pasukan sipil di Tanjung Barnabas (Halmahera Utara), mediasi di Kecamatan Tobelo, Kecamatan Galela, Pulau Morotai, Mamuya, Jailolo, dan Desa Susukan Kecamatan Sahu; penyekatan di Kalijodo, pengembalian pengungsi di Malifut dan Kao di Maluku Utara. Hasilnya, baik di Tobelo, Galela maupun Morotai, KPMM ikut menciptakan suasana damai dengan antara lain melakukan pendekatan-pendekatan kepada pimpinan umat dan tokoh masyarakat setempat. Sementara di Maluku, KPMM melakukan pendekatan mediasi kepada tokoh-tokoh agama baik dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku maupun Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), tokoh-tokoh masyarakat, kaum perempuan, mahasiswa dan masyakat dari kedua kelompok yang bertikai pada umumnya, baik yang dilakukan di Benteng Victory / Markas Batalyon 733 Masariku, Kantor Gubernur, Kantor Perwakilan KPMM maupun tempat-tempat lain seperti di Jazirah Leihitu dan Desa Wayame, di dalam berbagai kesempatan seperti saat berbuka puasa di Benteng Victory. Selain melakukan mediasi di tingkat bawah (“grass root”), KPMM juga melaksanakan rekonsiliasi di tingkat atas, yaitu antara Penguasa Darurat Sipil Daerah Maluku dengan jajaran di bawahnya. KPMM telah mengadakan setidaknya 3 kali pertemuan dalam upaya menjalankan fungsi mediasi yaitu : 1. Pertemuan dengan masyarakat Maluku Tenggara dan tokohtokohnya yang dilakukan di Benteng Victory / Markas Batalyon 733 Masariku. 2. Pertemuan dengan ibu-ibu di Benteng Victory / Markas Batalyon 733 Masariku. 3. Buka bersama dengan ibu-ibu dari kalangan Muslim di Benteng Victory / Markas Batalyon 733 Masariku. Dalam acara buka puasa bersama tersebut dilayani oleh ibu-ibu dari kalangan agama Kristen.
5.
KESIMPULAN 1. Meskipun situasi dan kondisi di Maluku terkendali tetapi potensi konflik sangat besar, apalagi masyarakat masih sangat trauma dan memiliki rasa dendam yang kuat dan mendalam serta rentan terhadap isu dan mudah terprovokasi. Namun demikian, masih terdapat satu buah desa, yakni Desa Wayame, di mana kehidupan masyarakatnya masih terjaga dari konflik. Sejak meletusnya konflik, warga Wayame masih hidup rukun berdampingan. Hal ini dimungkinkan berkat peran aktif perangkat desa, tokoh masyarakat/agama dan warga Wayame sendiri yang tidak menghendaki terjadinya konflik di daerahnya. 2. Konflik yang terjadi di Maluku (Ambon dan sekitarnya) dan di Maluku Utara diduga telah mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia secara horisontal oleh kedua belah pihak yang bertikai, antara lain : a. Pelanggaran terhadap hak hidup. b. Pelanggaran atas hak mendapatkan rasa aman. c. Pelanggaran atas hak milik pribadi. d. Pelanggaran untuk bertempat tinggal di suatu daerah. e. Pelanggaran terhadap kebebasan beragama. 3. Konflik yang terjadi di Maluku (Ambon dan sekitarnya) dan di Maluku Utara diduga telah mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia secara vertikal oleh oknum aparat negara terhadap warganya, antara lain : a. Ketidakmampuan / kegagalan negara (state failure) dalam menjamin hak-hak warganya dan ketidakberdayaan terhadap konflik yang berlarut-larut. b. Adanya indikasi keterlibatan oknum aparat keamanan dalam konflik. Keterlibatan tersebut bukan dilakukan secara intitusional tetapi hanya merupakan dampak dari bias komando dan “insubordinasi”. 4. Konflik yang terjadi di Maluku (Ambon dan sekitarnya) dan di Maluku Utara, telah mengakibatkan jatuh korban baik jiwa maupun harta benda. Jumlah korban jiwa yang tercatat oleh KPMM sebagai berikut : -. Maluku (Ambon, Maluku Tenggara dan sekitarnya) : Meninggal dunia 1.011 orang Luka 2.478 orang Pengungsi 148.45jiwa (belum termasuk pengungsi yang keluar Maluku) Data tersebut di atas terhitung sejak Januari 1999 sampai dengan Oktober 2000. -. Maluku Utara : Meninggal dunia 2.069 orang Luka 1.726 orang Pengungsi 132.915 jiwa
Data tersebut di atas terhitung sejak tanggal 19 Agustus 1999 sampai dengan tanggal 12 Maret 2000 dan tidak termasuk korban kecelakaan kapal pengungsi yang menuju Manado sejumlah 425 orang serta kecelakaan kapal di Loloda sejumlah 24 orang. Jumlah korban kemungkinan besar lebih banyak lagi, untuk itu perlu diteliti lebih lanjut.
6.
REKOMENDASI Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah, sebagai berikut : 1. Pemerintah Indonesia memprioritaskan penanganan kasus konflik di Maluku dalam agenda kerjanya. 2. Aparat keamanan (TNI dan Polri) organik Maluku dapat dipindah/alih tugaskan untuk diganti oleh aparat baru yang telah terlatih dalam mengatasi konflik. 3. Aparat keamanan bertindak tegas dan mencegah masalah perorangan berkembang menjadi konflik antar kelompok. 4. Suatu keharusan agar penegakan hukum di Maluku segera dilaksanakan. 5. Pemerintah Darurat Sipil harus bertindak tegas kepada siapapun, dengan mengeluarkan para pendatang yang melakukan provokasi dalam bentuk apapun sehingga mengakibatkan perpecahan masyarakat serta perlu mengeluarkan peraturan tentang pemberlakuan Maluku sebagai daerah tertutup. 6. Pemerintah perlu menindaklanjuti laporan-laporan yang masuk dan hasil pemantauan Komnas HAM dengan penyelidikan secara seksama terhadap kasus-kasus : i. Kasus kerusuhan 19 Januari 1999 ii. Tuduhan RMS terhadap orang Kristen di Maluku iii. Pembentukan kecamatan baru Malifut di Maluku Utara iv. Pasukan adat Kesultanan Ternate di Maluku Utara v. Kedatangan Laskar Jihad di Maluku vi. Kasus penyerangan Asrama Polisi Tantui dan Kampus Universitas Pattimura vii. Kasus hilangnya kapal motor yang membawa 16 warga Siri Sori Islam viii. Kasus pemaksaan pindah agama di Pulau Kesui dan daerah lainnya. KPMM meminta Pemerintah untuk menindaklanjuti kasus tersebut. 7. Harus ada koordinasi yang jelas dan efektif antara Pemerintah Darurat Sipil Daerah dengan pembantu-pembantunya dan Pemerintah Darurat Sipil Daerah dengan Pemerintah Pusat. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah membentuk crisis center upaya penanggulangan krisis (UPK) yang terdiri dari seluruh unsur gabungan Pemerintah Darurat Sipil yang langsung mempunyai akses ke UPK Pusat.
8. Upaya mediasi perlu dilakukan secara terus-menerus khususnya ditingkat desa, “grass root” sampai tingkat elit. Untuk ini perlu pelatihan bagi tokoh-tokoh ”grass root” menjadi mediator dan disebarluaskan ke seluruh pelosok Maluku. Mediasi harus dilakukan secara total untuk cepat menuju rekonsiliasi (islah). 9. Segera melakukan rehabilitasi baik psikis maupun fisik seperti rehabilitasi mental, tempat tinggal, sekolah, kehidupan ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain. 10.Segera menangani permasalahan-permasalahan pengungsi secara menyeluruh, dengan mendayagunakan potensi organisasiorganisasi kemanusiaan secara terkoordinasi. 11.Segera mengupayakan kesempatan kerja terhadap para pengangguran yang ada. 12.Memelihara kesetaraan, rasa keadilan, kesamaan kesempatan kerja terhadap setiap warga negara tanpa diskriminasi. 13.Untuk mencegah adanya intervensi internasional yang dapat menggunakan The Charter of The United Nations Chapter VI maka pemerintah perlu merubah kebijakan penugasan dan penempatan pasukan yang belum efektif. 14.Komnas HAM mengusulkan agar pemerintah membentuk satu gugus tugas (task force) berupa misi perdamaian nasional (National Peace Keeping Mission) yang bertugas melaksanakan masalah keamanan, mencegah dan menghentikan konflik, melaksanakan penegakan hukum, mediasi, dan menegakkan kewibawaan pemerintah. Task force ini terdiri dari Polri dan TNI yang diberi pelatihan/pengetahuan tentang pencegahan konflik, mediasi dan ketegasan dalam bertindak. Satuan tugas tersebut mempunyai seragam (uniform) yang sama dan tidak boleh memasang lambang (badge) pasukan asalnya. Dengan demikian penyelesaian di Maluku dilakukan secara komprehensif terpadu dengan evaluasi yang terus menerus. 7.
USULAN Sesuai dengan SK ketua Komnas HAM No. 013/KOMNASHAM/VIII/2000 tanggal 21 Agustus 2000 bahwa masa kerja KPMM akan berakhir tanggal 18 Desember 2000. Namun demikian, KPMM mengusulkan kepada Komnas HAM untuk dapat melanjutkan agenda kegiatan Workshop/lokakarya yang akan diadakan tanggal 18-24 Januari 2001 dan tetap membuka Kantor Perwakilan KPMM di Ambon, apabila memungkinkan Kantor Perwakilan KPMM tersebut dipersiapkan menjadi Kantor Perwakilan Komnas HAM sesuai usulan dari masyarakat Maluku melalui penghubung (terlampir).
Jakarta, 18 Desember 2000 KOMISI PENYELIDIK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DAN MEDIASI DI MALUKU (KPMM) Nama Drs. Bambang W. Soeharto B.N. Marbun, SH Soelistyowati Soegondo, SH Mayjen TNI (Purn) Soegiri, SH Mayjen Pol (Purn) Drs. Koesparmono Irsan, SH, MM, MBA Mayjen TNI (Purn) Samsudin Prof. Dr. Charles Himawan, SH
Jabatan Ketua KPMM Sekretaris KPMM Anggota KPMM Anggota KPMM Anggota KPMM Anggota KPMM Anggota KPMM
RINGKASAN EKSEKUTIF DARI LAPORAN HASIL PENYELIDIKAN DAN PEMERIKSAAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI TANJUNG PRIOK TANGGAL 12 SEPTEMBER 1984
BAB I. PENDAHULUAN I.1. UMUM 1. Pada tanggal 12 September 1984 telah terjadi peristiwa berdarah di Tanjung Priok Jakarta Utara yang membawa banyak korban manusia dan harta. Secara politis peristiwa tersebut telah dianggap selesai oleh Pemerintah pada waktu itu, yaitu dengan diterimanya pertanggungjawaban Panglima ABRI oleh DPR-RI tanggal 2 Oktober 1984 pada masa persidangan kedua tahun sidang 1984/1985. Sedangkan secara hukum menurut Pemerintah telah diselesaikan pula melalui putusan-putusan pengadilan. 2. Namun demikian rasa keadilan belum dirasakan menyentuh masyarakat, karena mereka belum berpeluang mengajukan keluh kesahnya secara terbuka yang disebabkan oleh sistem Pemerintahan Orde Baru dan kondisi sosial politik pada waktu itu. 3. Setelah Pemerintahan Orde Baru diganti dengan Pemerintahan “Reformasi”, masyarakat menyampaikan kembali rasa kepedihan mereka atas ketidakadilan tersebut kepada Komnas HAM. 4. Pada tahun 1998 Komnas HAM segera menangani kasus tersebut sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Atas hasil pemantauan/penyelidikan, Komnas HAM telah memberikan rekomendasi kepada Presiden B.J. Habibie tanggal 10 Maret 1999. 5. Namun demikian, rekomendasi Konas HAM tersebut sama sekali tidak ditanggapi oleh Pemerintah, sehingga menimbulkan kemarahan masyarakat yang menuntut kepada Komnas HAM untuk membentuk Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok (KP3T). I.2. DASAR 6. Pembentukan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok (KP3T) didasarkan atas: • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
• •
•
Keputusan Sidang Paripurna Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tanggal 7 Maret 2000. Keputusan Ketua Komnas HAM No.002/Komnas HAM/III/2000 tanggal 8 Maret 2000 tentang Pembentukan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok (KP3T). Keputusan Ketua Komnas HAM No.003/Komnas HAM/III/2000 tanggal 14 Maret 2000 tentang penyempurnaan Keputusan Ketua Komnas HAM No.002/Komnas HAM/III/2000. I.3. TUGAS
7. Tugas KP3T ialah: • Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Tanjung Priok bulan Agustus – September 1984 yang lalu sesuai dengan Pasal 89 (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. • Mengadakan koordinasi dengan instansi terkait, tokoh-tokoh masyarakat, agama, dan lain-lain. • Menganalisa dan menentukan kesimpulan dari hasil penyelidikannya tersebut. • Melaporkan hasil kegiatannya sesegera mungkin kepada sidang paripurna. • Publikasi atas hasil kegiatan KP3T hanya dilakukan oleh Komnas HAM. • Melakukan mediasi dan atau konsiliasi sesuai Pasal 89 (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Sebagai akhir pelaksanaan tugas tersebut, maka laporan ini disusun untuk memberikan as KP3T sebagai bahan penentuan tindak lanjut oleh pemerintah. gambaran tentang hasil pelaksanaan tug I.4. REFERENSI 8. Kode Etik untuk Para Pejabat Penegak Hukum, disahkan oleh Resolusi Majelis Umum 34/169 tanggal 17 Desember 1979. 9. Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan, disahkan oleh Resolusi Majelis Umum 40/34 tertanggal 29 November 1985. 10.Prinsip-prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekuasaan dan Senjata Api oleh Para Pejabat Penegak Hukum, disahkan oleh Kongres kedelapan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Tertuduh, Havana, Kuba, 27 Agustus – 7 September 1990.
11.Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, disahkan oleh Resolusi Majelis Umum 39/46 tertanggal 10 Desember 1984. I.5. WAKTU 12.KP3T melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan mulai tanggal 8 Maret 2000 sampai dengan tanggal 7 Juni 2000. I.6. TEMPAT 13.Dilaksanakan di Jakarta. I.7. CARA KERJA 14.Dalam pelaksanaan tugasnya KP3 T menggunakan cara: • Mengundang dan melakukan wawancara/pemeriksaan para saksi, baik korban, para pejabat TNI, Polri, Ulama/Mubaligh dan tim medis, serta pihak-pihak lain yang dipandang perlu, kemudian menuangkan hasil pemeriksaan dalam berita acara. • Melakukan approach kepada Panglima TNI dan Kapolri untuk memenuhi prosedur pemeriksaan para pejabat/anggota TNI dan Polri yang bersangkutan. • Mempelajari dokumen-dokumen yang terkait dengan kasus Tanjung Priok, baik berupa kaset rekaman, berita-berita dalam media massa, dokumen dari TNI, Polri dan pengadilan serta lembaga terkait. • Melakukan observasi di tempat kejadian, bekas panggung tabligh di Jalan Sindang dan sekitarnya termasuk rumah sakit – rumah sakit dimana para korban diberi pertolongan pertama dan dirawat, serta tempat pemakaman para korban. • Melakukan pengecekan tentang cara kerja senjata SKS (otomatis, semi otomatis, atau tidak otomatis). • Rekonstruksi muatan kendaraan truk reo. • Mengumumkan kepada masyarakat bahwa Komnas HAM memberi kesempatan kepada korban/keluarga korban dan pihak-pihak lain yang ingin menyampaikan tambahan keterangan. • Menganalisis fakta yang diperoleh untuk selanjutnya mengambil kesimpulan dan membuat rekomendasi, berdasarkan KUHP, KUHAP, secara impartial dan menggunakan standar hak asasi manusia internasional. I.8. SISTEMATIKA LAPORAN 15.Sistematika laporan KP3T terdiri dari enam bab ditambah lampiranlampiran yaitu: Bab I PENDAHULUAN Bab II DUDUK PERSOALAN Bab III FAKTA YANG DITEMUKAN Bab IV ANALISIS TEMUAN KP3T
Bab V KESIMPULAN Bab VI SARAN/REKOMENDASI LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II. DUDUK PERSOALAN Pro memori
BAB III. FAKTA YANG DITEMUKAN Pro memori
BAB IV. ANALISIS TEMUAN KP3T IV.I. SEBELUM PERISTIWA TANGGAL 12 SEPTEMBER 1984 16.Kebijaksanaan politik nasional sejak tahun 1978 dengan keluarnya Tap MPR No.IV Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sudah mendapat tanggapan dari sebagian umat Islam tertentu sebagai gejala akan mengecilkan umat Islam dan mengagamakan Pancasila. Reaksi semakin keras dengan rencana dan pengundangan Undang-Undang tentang Ormas Orpol yang isinya termasuk penetapan Pancasila sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kebijaksanaankebijaksanaan lain yang dirasakan bersinggungan dengan aqidah Islam antara lain tentang perubahan masa libur sekolah, di mana pada bulan Puasa tidak lagi libur, langan pemakaian jilbab bagi murid-murid sekolah negeri pada saat menggunakan pakaian seragam dan Program Keluarga Berencana yang mereka anggap haram. Reaksi tersebut muncul dalam pidato-pidato yang keras dan transparan dalam setiap tabligh yang sering diselenggarakan di Tanjung Priok dan sekitarnya. Dari sisi lain, menyikapi pidato-pidato keras dari para mubaligh tersebut, aparat keamanan khususnya Laksusda Jaya setiap kali melakukan pemanggilan dan memberikan peringatan kepada mubaligh yang bersangkutan. Bahkan ada mubaligh (A.M. Fatwa) yang merasa selalu dikejar dan akan dicelakakan. Tidak atau belum adanya titik temu dan dialog yang efektif antara sebagian umat Islam tertentu yang terkesan keras dengan aparat yang merasa menegakkan ideologi negara dan kebijaksanaan nasional yang dapat terkesan arogan, berakibat semakin meruncingnya situasi kebatinan masing-masing pihak, maka tidak mustahil Peristiwa Tanggal 12 September 1984 meledak sebagai puncak yang dipicu oleh kasus yang dianggap sebagai penghinaan terhadap rumah ibadah oleh Babinsa Sertu Hermanu dan penahanan empat orang warga sebagai rangkaian kasus pembakaran sepeda motor milik Babinsa Sertu Hermanu. 17.Di dalam menyampaikan protesnya terhadap azas tunggal Pancasila dan lain-lain, massa tidak menggunakan jalur hukum sebagaimana
seharusnya karena mereka memperkirakan penggunaan jalur tidak akan ada gunanya sebab hukum telah digunakan sebagai alat kekuasaan. 18.Kondisi massa yang mudah dihasut karena situasi sosial ekonomi, kepadatan, solidaritas keagamaan termasuk tabligh-tabligh bernada keras yang sering digelar di Tanjung Priok dan sekitarnya telah mempermudah terjadinya tindak kekerasan oleh massa. 19.Pemahaman dan penghormatan terhadap hak asas manusia yang relatif masih rendah telah memungkinkan pelanggaran HAM oleh semua pihak. 20.Menghadapi situasi demikian yang telah berkembang sekurangkurangnya empat bulan sebelum Peristiwa Tanggal 12 September 1984, aparat belum mengambil tindakan-tindakan pendekatan yang bijaksana kepada tokoh-tokoh masyarakat, khususnya pemrakarsa tabligh guna menyelesaikan permasalahan mendasar yang dihadapi.
IV.2. PERISTIWA TANGGAL 12-13 SEPTEMBER 1984 21.Mengenai jumlah korban, terdapat keterangan yang berbeda-beda antara lain: • Banyak saksi korban mengatakan bahwa korban meninggal dan luka-luka mencapai ratusan orang. • Surat dari seseorang bernama Bejo Sumawinata yang mengaku telah menerbangkan/mengangkut korban meninggal sebanyak 329 orang ditambah 16 orang sehingga berjumlah 345 orang dengan pesawat heli jenis BO dalam empat kali penerbangan pulang-pergi. • Keterangan para saksi dari RSPAD Gatot Subroto dan para pejabat TNI menyatakan bahwa korban meninggal berjumlah 23 orang, luka dirawat 36 orang dan luka tidak dirawat (ringan) 19 orang, sehingga jumlah seluruh korban adalah 78 orang. 22.Para saksi yang menyatakan jumlah korban sampai ratusan orang, ternyata mereka tidak pernah menghitung langsung. Keterangan tersebut berdasarkan kesan dan perkiraan belaka. 23.Informasi tentang jumlah korban meninggal yang dikatakan sampai 345 orang yang pada malam itu juga diangkut dengan heli, tidak dapat dikonfirmasikan karena penulis surat yang bernama Bejo Sumawinata tidak pernah hadir walaupun sudah pernah dipanggil. Selain itu tidak ada kesaksian untuk memperkuat informasi tersebut. Demikian pula dalam keterangan para saksi tidak ada yang menyebutkan, melihat atau mendengar adanya pesawat heli pada malam itu; apalagi pengangkutan jenazah dilakukan sampai 4 kali pulang-pergi. Lagipula kapasitas angkut pesawat Heli jenis BO yang
hanya dapat mengangkut 6 orang penumpang, maka tidak mungkin dapat mengangkut jenazah yang berjumlah 345 orang dalam 4 kali penerbangan. 24.Keterangan yang terungkap menyebutkan bahwa jumlah korban yang meninggal 23 orang, luka dirawat 36 orang dan luka tidak dirawat sebanyak 19 orang. 25.Massa sekitar 50.000 orang yang memenuhi Jalan Sindang dimana panggung tabligh berada dan lorong-lorong sekitarnya memang dikerahkan melalui ajakan dan pengumuman pada acara-acara tabligh sebelumnya. 26.Kondisi massa yang kebanyakan berasal dari kelas bawah terdiri dari berbagai suku, tinggal di daerah padat, dan memiliki latar belakang agama yang dipengaruhi tabligh-tabligh keras; terlebih pada tabligh tanggal 12 September 1984 yang isinya umat Islam diperlakukan tidak adil dalam perijinan mendirikan tempat ibadah, adanya kebijaksanaan Pemerintah tentang Keluarga Berencana yang diharamkan oleh mereka, rakyat dikorbankan untuk kepentingan Cina, dipaksakannya azas tunggal Pancasila dan adanya tindakan seorang Babinsa yang memasuki Mushola tanpa buka sepatu dan menggosok pamflet dengan air dari selokan/kotor serta ditahannya 4 teman-teman mereka di Kodim Jakarta Utara. Selanjutnya massa diajak untuk mendatangi markas Kodim Jakarta Utara guna membebaskan 4 tahanan; untuk itu mereka siap menumpahkan darah guna membela Islam sampai meninggal. 27.Guna penanganan masalah-masalah oleh Kodim Jakarta Utara yang memerlukan bantuan pasukan telah dikeluarkan Protap oleh Pangdam V Jaya. Pasukan bantuan bagi Kodim Jakarta Utara adalah Arhanud Tanjung Priok, sehingga kesiapan pasukan tersebut tergantung pada pengaturan oleh Dandim Jakarta Utara. 28.Petugas yang mencegah massa untuk maju terus menuju Kodim Jakarta Utara bukan pasukan yang siap di Kodim Jakarta Utara, melainkan regu dari peleton yang dibentuk secara mendadak dan comotan dari Arhanud Tanjung Priok. Dengan demikian terkesan tidak ada kesiapan pihak Kodim Jakarta Utara untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dalam kaitan dengan penyelenggaraan tabligh. Padahal sudah ada gejala-gejala ke arah itu, di mana Amir Biki telah menghadap ke Kodim Jakarta Utara dan Kodam V Jaya/Laksusda Jaya untuk membebaskan 4 orang yang ditahan disertai dengan ancaman-ancaman keras baik secara langsung maupun lewat telepon. 29.Dandim Jakarta Utara tidak turun langsung ke lapangan sehingga tanpa melihat situasi lapangan, sulit untuk menggerakkan/memberi arahan kepada anak buah dalam mengahadapi massa beserta pimpinannya secara tepat. Kemungkinan sikap (pimpinan) massa
akan berbeda bila menghadapi Dandim Jakarta Utara, dibanding menghadapi Kapten Sriyanto yang memimpin pasukan di lapangan. 30.Pangdam V Jaya Mayjen Try Sutrisno dilapori setelah terjadi penembakan dan jatuh korban, selanjutnya Pangdam V Jaya melapor kepada Pangab Jenderal Beni Moerdani. 31.Saat massa berbondong menuju ke Kodim Jakarta Utara, mereka dicegah oleh satu regu pasukan di bawah Danru Serda Sutrisno Mascung dan dipimpin oleh Kasi II Kodim Jakarta Utara Kapten Sriyanto. Karena semangatnya, massa tidak menghiraukan ajakan Kapten Sriyanto agar pimpinan massa sabar dan bersedia berunding, bahkan senjata Prada Muhson direbut massa dan terjadilah pergumulan. Kapten Sriyanto terdesak ke belakang akibat massa yang brutal. Melihat hal demikian, tanpa adanya perintah Prada Prayogi menembak ke atas sebagai tanda peringatan, namun massa tetap maju, untuk kedua kalinya Prada Prayogi menembak ke arah bawah. Tembakan Prada Prayogi, tanpa komando diikuti oleh tembakan anggota regu yang lain ke arah massa sehingga menimbulkan korban. 32.Aparat Kodim Jakarta Utara melakukan penangkapan dan pemeriksaan para tersangka yang melawan petugas tanpa menyerahkan atau melibatkan aparat polisi, dengan demikian aparat Kodim Jakarta Utara telah melakukan tindakan di luar kewenangannya. 33.Aparat telah bertindak di luar KUHAP dalam melakukan penangkapan, penahanan, pemeriksaan termasuk penyiksaan oleh aparat Kodim Jakarta Utara, Pomdam Jaya, Laksusda Jaya dan RTM Cimanggis. Tempat penahanan orang-orang sipil di Pomdam Jaya di Jalan Guntur, di RTM Cimanggis juga kurang sesuai dengan KUHAP. 34.Aparat tidak melakukan upaya mencari keluarga korban meninggal maupun luka, sehingga keluarga korban mendapat informasi keberadaan dan kondisi korban. Yang dilakukan hanya mengumumkan agar keluarga yang merasa kehilangan anggota keluarganya supaya datang ke Kodim Jakarta Utara. Hal tersebut dirasakan semakin menambah penderitaan korban maupun keluarga yang merasa anggota keluarganya (korban) tidak kunjung pulang. 35.Pemakaman korban yang tidak dikenal identitasnya dilakukan pada malam hari tanpa menggunakan alat penerangan yang memadai, dan tanpa diberi tanda-tanda yang memadai, serta tidak didaftarkan atau dikoordinasikan dengan pengurus makam sehingga mempersulit penemuan kembali lokasi makam secara tepat. Hal tersebut dapat diperkirakan sebagai kesengajaan untuk menyembunyikan (makam) korban yang dapat dijadikan bukti terjadinya peristiwa yang mengakibatkan banyak korban.
IV.3. PASCA PERISTIWA TANGGAL 12-13 SEPTEMBER 1984 36.Pada saat penandatangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), para tersangka menerima begitu saja isi BAP mereka masing-masing karena sudah bersikap masa bodoh dan merasa bahwa sanggahan atau penolakan terhadap isinya dianggap sia-sia.
BAB V. KESIMPULAN V.1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia 37.Dari analisis fakta yang telah dilakukan pada Bab IV di atas, KP3T berkesimpulan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat dan pelanggaran hak asasi manusia. Kedua macam pelanggaran hak asasi manusia itu dilakukan baik oleh kelompok massa maupun oleh petugas keamanan. 38.Pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan oleh kelompok massa adalah sebagai berikut: • Penghilangan nyawa terhadap 9 (sembilan) orang yaitu keluarga Tan Kio Liem, termasuk seorang pembantunya. • Hasutan-hasutan. 39.Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh kelompok massa adalah sebagai berikut: • Pengeroyokan terhadap petugas. • Menimbulkan rasa takut. • Pengrusakan dan pembakaran terhadap hak milik anggota masyarakat lain atas rumah ibadah, rumah, toko, apotik dan kendaraan bermotor. 40.Untuk menentukan pelanggaran hak asasi manusia oleh petugas keamanan, perlu terlebih dahulu dibedakan antara petugas keamanan yang berada di lapangan (termasuk tetapi tidak terbatas pada kesatuan Arhanud, yang selanjutnya akan disebut petugas keamanan lapangan) dan petugas keamanan yang tidak berada di lapangan (termasuk tetapi tidak terbatas pada Dandim dan Pangdam, yang selanjutnya akan disebut komandan petugas keamanan). 41.Pelanggaran hak asasi manusia berat oleh petugas keamanan lapangan dan komando adalah sebagai berikut: • Penghilangan nyawa di luar putusan pengadilan sebanyak 24 (dua puluh empat) orang, yaitu 23 (dua puluh tiga) meninggal dan semua ini pemakamannya dilakukan oleh petugas keamanan dan 1 (satu) orang ditemukan, dirawat dan dimakamkan oleh keluarganya. • Menyebabkan luka berat sebanyak 36 (tiga puluh enam) orang. • Penyiksaan selama dalam pemeriksaan dan penahanan.
42.Pelanggaran hak asasi manusia oleh petugas keamanan lapangan dan komando adalah sebagai berikut: • Menimbulkan rasa takut. • Penghilangan kebebasan beribadah sholat Jumat. • Proses pemeriksaan yang tidak sesuai KUHAP. • Penghilangan hak untuk memperoleh informasi. 43.Pelanggaran hak asasi manusia di atas diantaranya adalah karena kelalaian (negligence) petugas keamanan yang mengakibatkan tindakan petugas yang melebihi sepatutnya. V.2. Tanggung Jawab Pelanggaran Hak Asasi Manusia 44.Pertanggungjawaban pelanggaran hak asasi manusia oleh kelompok massa telah diberikan dalam bentuk keputusan pengadilan pidana untuk beberapa puluh anggota kelompok massa yang langsung melakukan tindakan-tindakan pidana. 45.Pertanggungjawaban pelanggaran hak asasi manusia oleh petugas keamanan lapangan, baik dalam bentuk pidana maupun dalam bentuk lain belum pernah diberikan. Pihak Kodam tidak pernah mengambil tindakan hukum terhadap mereka. 46.Pertanggungjawaban komandan petugas keamanan dalam kesimpulan ini pada dasarnya didasarkan atas ajaran tentang tanggung jawab komando militer (military command responsibility) yang kini telah diterima sebagai hukum kebiasaan 1 . 47.Berdasarkan atas ajaran tentang command responsibility ini maka tanggung jawab komandan petugas keamanan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1
•
Aparat seharusnya patut menduga akan terjadi suatu keadaan yang akan menimbulkan kerusuhan besar, hal ini didukung oleh fakta hasutan-hasutan yang disampaikan sebelum terjadinya Peristiwa 12 September 1984, setidak-tidaknya hasutan-hasutan ini telah dilakukan sejak tanggal 8 September 1984. Hasutan-hasutan itu bernada ancaman untuk melakukan pembunuhan, bersifat sangat rasialis (anti Cina) dan berniat melakukan tindakan main hakim sendiri.
•
Dalam menghadapi fakta-fakta ini dan untuk mengantisipasi kerusuhan, seharusnya (must-have-known-doctrine) Dandim Jakarta Utara sudah mengambil tindakan-tindakan pendekatan yang bijaksana kepada tokoh-tokoh masyarakat dan
(Bandingkan, misalnya Bulletin International Criminal Tribunal, yang menjelaskan bahwa “it is now widely considered that command responsibility for failure to act has the status of customary law”).
pemrakarsa tabligh, sehingga ada penyelesaian dialogis antara massa dengan petugas keamanan mengenai masalah yang dihadapi 2 .
2
•
Komandan petugas keamanan telah gagal bertindak untuk mencegah terjadinya Peristiwa 12 September 1984, misalnya Kodam gagal untuk memeriksa kesiapan Protap dan karenanya gagal pula untuk melengkapi satuan dengan peralatan yang memadai. Pihak Komandan petugas keamanan telah tidak bertindak (failure or ommission to act) untuk melakukan halhal tersebut.
•
Walau terjadinya peristiwa status negara berada dalam keadaan tertib sipil sehingga penahanan dan proses pemeriksaan seharusnya tetap berada di tangan Kepolisian. Namun, kenyataannya penahanan dan pemeriksaan dilakukan oleh aparat militer, sehingga KUHAP tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya; walaupun selanjutnya prosedur pemeriksaan dan penahanan dilakukan sesuai dengan prosedur KUHAP.
(Bandingkan, misalnya pasal 86 ayat 2 Protocol I of 1977 Additional to The Geneva Convention: the fact that a breach of the Convention or to this Protocol was committed by a subordinate does not absolve his superiors… from responsibility … if they knew, or had information which should have enabled them to conclude in the circumstances at the time, that he was committing or about to commit such a breach…)
BAB VI. REKOMENDASI 48.Kepada Pemerintah: • Menyelesaikan secara tuntas seluruh aspek dari peristiwa 12 Sepetember 1984 yang merupakan salah satu beban sejarah bangsa ini, termasuk meminta maaf, merehabilitasi nama baik dan memberikan kompensasi berupa bantuan yang layak kepada para korban dan keluarga korban meninggal. • Belajar dari rangkaian pengalaman dalam Peristiwa 12-13 September 1984 di Kecamatan Koja, Tanjung Priok, ini untuk tidak melakukan campur tangan langsung dalam masalahmasalah mendasar yang amat peka mengenai nilai-nilai dalam kehidupan beragama. • Lebih memusatkan perhatian kepada pelaksanaan empat tugas pokok Pemerintahan negara menurut Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk memungkinkan terlaksananya empat tugas di atas perlu diberikan perhatian secara khusus kepada masalah demokrasi, penegakan hukum dan hak asasi manusia. • Lebih peka terhadap kompleksitas masalah yang dapat timbul di daerah yang penduduknya masih hidup dalam kondisi sosial ekonomi yang belum sejahtera. • Memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada semua saksi. 49.Kepada Panglima TNI: • Demi kejernihan hukum dan sejarah, memeriksa seluruh personil yang terlibat dalam peristiwa ini sesuai dengan hukum yang berlaku, khususnya para komandan yang memikul tanggung jawab komando, dan para perwira staf yang melakukan atau bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia termasuk proses sesudahnya. • Secara berlanjut meningkatkan kualitas kepemimpinan serta kepekaan sosial dan kemampuan pengantisipasian khususnya dari para anggota yang tugasnya terkait langsung dengan masyarakat Indonesia yang amat majemuk. • Melanjutkan dan meningkatkan pendidikan serta sosialisasi seluruh instrumen internasional mengenai pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia kepada seluruh personil militer. • Menginstruksikan para komandan untuk lebih intensif melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan instruksi dan prosedur tetap yang telah dikeluarkan sebagai petunjuk pelaksanaan tugas, sehingga tidak terjadi lagi pengalaman
pahit tanggal 12-13 September 1984 ini. Terdapat indikasi kuat bahwa regu yang ditugaskan ke lapangan tidak mendapatkan petunjuk yang jelas serta latihan yang memadai mengenai tugas yang harus dilaksanakannya. 50.Kepada para tokoh pimpinan masyarakat: • Dengan kepala dingin dan rendah hati, melakukan mawas diri untuk mengambil hikmah dari seluruh kejadian yang berkaitan dengan peristiwa 12 September 1984 ini, baik dalam babak pra peristiwa, babak peristiwa 12-13 September 1984, maupun dalam babak pasca peristiwa itu sendiri. • Lebih menjaga dalam memberikan arahan kepada warga masyarakat jangan sampai mengakibatkan mudah melakukan pelanggaran hukum. • Menghindarkan diri sejauh mungkin dari pengerahan massa untuk melakukan aksi langsung, yang dapat memberikan peluang untuk terjadinya keberingasan serta terlanggarnya hak asasi manusia dari warga masyarakat lainnya. Adalah merupakan kenyataan bahwa amatlah sulit untuk melakukan pengendalian terhadap massa yang ada di lapangan. • Mengusahakan penyelesaian berbagai konflik kemasyarakatan melalui jalur hukum serta melalui lembaga-lembaga perwakilan yang berwenang. • Menata kembali wacana kehidupan keagamaan sedemikian rupa, sehingga ajaran agama benar-benar merupakan rahmat bagi seluruh alam, dan memungkinkan seluruh umat beragama melaksanakan ibadahnya dalam suasana yang lebih sejuk. 51.Kepada jajaran pers dan media massa: • Membantu terwujudnya pendapat umum yang positif, yang diperlukan untuk pulihnya kembali suasana damai dan saling percaya-mempercayai dalam masyarakat, dari suasana saling tidak percaya yang timbul sebelum, selama, dan setelah Peristiwa Tanggal 12 September 1984 ini. • Meminta jajaran pers dan media massa agar tetap memperhitungkan dampak sosial dari pemberitaannya mengingat demikian banyaknya masalah peka dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini.
Jakarta, 12 Juni 2000 Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok Ketua
H.R. Djoko Soegianto, SH.
RINGKASAN EKSEKUTIF LAPORAN TINDAK LANJUT HASIL PENYELIDIKAN DAM PEMERIKSAAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI TANJUNG PRIOK I. PENGANTAR Laporan ini disusun merupakan kelanjutan laporan KP3T dan disusun untuk memenuhi
permintaan
Kejaksaan
Agung
Republik
Indonesia
kepada
Komnas HAM melalui surat Nomor : R-29/E/7/2000 tanggal 11 Juli 2000 dan untuk melengkapi hasil penyelidikan KP3T mengenai hal-hal sebagai berikut: a. Pemastian jumlah korban (24 orang) dengan melakukan kegiatan penggalian kuburan dan pemeriksaan dokumen di RSPAD Gatot Subroto. b. Kelengkapan kesaksian dan bukti tentang jatuhnya korban sebanyak 9 orang (keluarga Tan Keu Lim) oleh massa. c. Nama-nama yang diduga pelaku dan nama penanggung jawab garis komando ketika peristiwa itu terjadi. d. Perumusan ulang rekomendasi. Untuk itu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam rapat paripurna tanggal 12 Juli 2000 telah memutuskan untuk membentuk Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T yang dilaksanakan dengan Surat Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor : 012/KOMNAS HAM/VII/2000 tanggal 12 Juli 2000 dengan masa tugas selama 3 (tiga) bulan dari tanggal 12 Juli 2000 sampai dengan 12 Oktober 2000.
II. LATAR BELAKANG dan PERISTIWA Kejadian berawal dari ditahannya empat orang, masing-masing bernama Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe dan M. Nur, yang diduga terlibat pembakaran sepeda motor Babinsa. Mereka ditangkap oleh Polres Jakarta Utara, dan kemudian di bon dan ditahan di Kodim Jakarta Utara. Pada tanggal 12 September 1984, diadakan tabligh akbar di jalan Sindang oleh Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat setempat, di dalam ceramahnya menuntut pada aparat keamanan untuk membebaskan empat orang jemaah Mushola As Sa’adah yang ditahan. Setelah mengetahui keempat orang tersebut belum dibebaskan pada pukul 23.00, 12 September 1984, Amir Biki mengerahkan massa ke kantor Kodim Jakarta Utara dan Polsek Koja. Massa yang bergerak ke arah Kodim, di depan Polres Metro Jakarta Utara, dihadang oleh satu regu Arhanud yang dipimpin Sersan Dua Sutrisno Mascung di bawah komando Kapten Sriyanto, Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara. Situasi berkembang sampai terjadi penembakan yang menimbulkan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang. 1. KORBAN KE RUMAH SAKIT Dari tempat kejadian, korban diangkut ke RSPAD Gatot Subroto dengan
menggunakan truk yang sebelumnya digunakan untuk
membawa pasukan. Beberapa korban yang sementara dirawat di Rumah Sakit Koja dan Rumah Sakit Suka Mulia kemudian dievakuasi ke RSPAD Gatot Subroto, sesuai dengan perintah dari Mayjen Try Soetrisno, Pangdam V Jaya yang datang ke tempat kejadian bersama Jenderal LB. Moerdani, Pangab/Pangkopkamtib.
Dari BAP petugas RSPAD Gatot Subroto didapatkan keterangan sebagai berikut: •
Jumlah korban luka yang dirawat adalah 36 orang semuanya dapat
disembuhkan.
Jumlah
korban
luka
yang
diberi
pengobatan tetapi tidak dirawat adalah 19 orang. •
Jumlah korban meninggal adalah 23 orang terdiri dari 9 orang dapat dikenali identitasnya dan 14 orang tidak diketahui identitasnya yang dapat dikategorikan sebagai orang hilang.
Identitas dari 9 jenasah tersebut adalah Amir Biki, Zainal Amran, Kasmoro bin Ji’an, M. Romli, Andi Samsu, Tukimin, Kastori, M. Sidik, Kembar Abdul Kohar. Pada tanggal 13 September 1984 dini hari Jenderal LB. Moerdani, Pangab/Pangkopkamtib dan Mayjen Try Soetrisno, Pangdam V Jaya mengunjungi RSPAD Gatot Subroto untuk melihat keadaan korban. Try Soetrisno memerintahkan untuk menguburkan para korban. 2. DARI
RSPAD
GATOT
SOEBROTO
KE
PEMAKAMAN
DAN
PENAHANAN Seluruh korban luka yang dirawat di RSPAD Gatot Subroto setelah sembuh langsung ditahan di Kodim Jakarta Pusat, Laksusda V Jaya, Pomdam V Jaya dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis. Selama dalam penahanan, para korban mengalami penyiksaan. Salah satu korban tewas yakni Amir Biki diambil oleh keluarga pada dini hari tanggal 13 September 1984 yang selanjutnya dimakamkan di halaman Masjid Al A’Araaf, Sukapura, Jakarta Utara. Sementara itu, ke-22 korban lainnya dimakamkan pada malam hari, tanggal 13 September 1984 di Mengkok, Pondok Ranggon dan Condet. Satu korban lainnya bernama Mardani diketemukan oleh massa kemudian
diserahkan kepada keluarganya dan dikuburkan di pemakaman Dobo, Jakarta Utara.
III.
BUKTI
BARU
BERKAITAN
DENGAN
KORBAN
MENINGGAL DALAM PERISTIWA TANJUNG PRIOK 1. PROSES DAN HASIL PENGGALIAN Penggalian pada TPU Mengkok Sukapura langsung dilakukan pada makam-makam yang sudah teridentifikasi melalui nama yang tertera di batu nisan dan keterangan keluarga korban. Makam Kembar Abdul Kohar akhirnya ditemukan, namun makam Kastori dan M. Sidik tidak ditemukan. Di Pemakaman Wakaf Kramat Ganceng, Pondik Ranggon, Jakarta Timur, terdapat 8 makam yang masing-masing berisi satu kerangka, berbeda dengan keterangan awal dari Rohisdam dan Try Soetrisno bahwa yang dikuburkan adalah tujuh orang korban. Penggalian di TPU Gedong, Condet, Jakarta Timur tidak dapat dilaksanakan, karena tidak ada bukti dan saksi pendukung yang dapat menunjukkan titik letak kuburan dengan pasti. 2. TEMUAN
FORENSIK
MENGENAI
TANDA
KEKERASAN
DAN
SEBAB KEMATIAN Penilaian keadaan tulang belulang, termasuk penilaian garis-patah lama dan baru, serta pengujian laboratorium atas bercak pewarnaan kehitaman
pada
tulang-tulang
tersebut
telah
dapat
mengidentifikasikan cedera tulang yang diakibatkan oleh kekerasan yang terjadi perimortal. Pada jenis patah tulang yang spesifik dan didukung oleh hasil pemeriksaan kandungan elemen-elemen yang berasal dari senjata api pada garis patah tulang atau kerokan tulang
pada daerah cedera tersebut, telah dapat mengindikasikan adanya cedera tulang yang diakibatkan oleh senjata api. Setidaknya 6 korban (4 dari Mengkok dan 2 dari Kramat Ganceng) dapat
dipastikan
telah
memperoleh
kekerasan
dalam
bentuk
tembakan senjata api, dengan ciri yang sesuai dengan tembakan senjata api berkecepatan tinggi. Selain itu, terdapat 3 kasus yang mengalami
kekerasan,
namun
jenis
kekerasannya
tidak
dapat
dipastikan apakah akibat kekerasan tumpul yang hebat ataukah tembakan senjata api dengan kecepatan tinggi. Terdapat pula 5 kerangka yang memiliki jejas bukan patah tulang yang diduga akibat kekerasan, sehingga tidak ada satu kerangka pun yang tidak menunjukan kemungkinan adanya kekerasan. Pemeriksaan dan analisis yang teliti dapat disimpulkan bahwa empat kerangka dipastikan mati akibat tembakan senjata api, tiga kerangka mati akibat kekerasan tumpul atau tembakan senjata api, satu kerangka mati akibat kekerasan tumpul, dan enam lainnya tidak dapat dipastikan penyebab kematiannya. 3. KESAKSIAN KELUARGA KORBAN TAN KEU LIM Delapan
orang
keluarga
Tan
Keu
Lim
beserta
satu
orang
pembantunya tewas terbakar di rumah. Mengenai hal tersebut telah diperoleh kesaksian dan bukti-bukti baru berupa satu buah Kartu Keluarga milik keluarga Tan Keu Lim (terlampir) serta kesaksian ketua RT 001/007 Kelurahan Koja Selatan Jakarta Utara dan kesaksian dari keluarga Tan Keu Lim yang masih hidup. 4. PEMERIKSAAN DOKUMEN RSPAD GATOT SUBROTO Rekaman medik korban Tanjung Priok dinyatakan telah dimusnahkan oleh pihak RSPAD Gatot Subroto karena telah memenuhi batas waktu
lima tahun. Namun berita acara pemusnahan dokumen dimaksud tidak dapat diberikan oleh pihak RSPAD Gatot Subroto dengan alasan tidak dapat ditemukan lagi.
IV. PELAKU DAN PENANGGUNG JAWAB Regu yang melakukan penembakan dipimpin oleh Serda Sutrisno Mascung. Regu ini adalah bagian dari peleton yang dipimpin oleh Kapten Sriyanto dan berada di bawah perintah Dandim Jakarta Utara. Sedangkan Dandim tersebut berada di bawah perintah Pangdam Jaya V, yang selanjutnya berada di bawah perintah Panglima ABRI. Mengacu kepada prinsip-prinsip command responbility, maka ada dua aspek tindakan yang diabaikan aparat militer sebagai pelaku dan penanggung jawab peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok, yakni aspek secara langsung melakukan tindakan yang tidak mematuhi prosedur baku sebagaimana peristiwa yang terjadi di lapangan dan tidak diambilnya tindakan-tindakan yang dapat mencegah terjadinya peristiwa tersebut, sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya berdasarkan jabatan yang diembannya sebagai komandan sesuai dengan jenjang komando, terutama kaitannya
dengan
kejahatan
terhadap
kemanusiaan
(crime
against
humanity). Aspek yang pertama itu menyangkut antara lain sikap dan tindakan dengan menghilangkan barang bukti, melakukan penyiksaan-penyiksaan, serta sejumlah
tindakan
teror
serta
intimidasi
terhadap
para
korbannya.
Sedangkan aspek yang kedua antara lain menyangkut kelalaian aparat yang tidak dapat mengendalikan pasukannya.
V. KATEGORI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG TERJADI 1. Pembunuhan kilat (summary killing) Tindakan pembunuhan secara kilat (summary killing) terjadi di depan Mapolres Metro Jakarta Utara tanggal 12 September 1984 pkl 23.00 akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan dari yang sepatutnya terhadap kelompok massa oleh satu regu pasukan dari Kodim Jakarta Utara di bawah pimpinan Serda Sutrisno Mascung dengan senjata semi otomatis. Para anggota pasukan masing-masing membawa peluru yang diambil dari gudang masing-masing sekitar 5-10 peluru tajam. Atas tindakan ini jatuh korban 24 orang tewas, 54 luka berat dan ringan. Atas perintah Mayjen Try Soetrisno Pangdam V Jaya korban kemudian dibawa dengan tiga truk ke RSPAD Gatot Subroto. 2. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention) Setelah
peristiwa,
penangkapan
aparat
terhadap
TNI
melakukan
oarang-orang
yang
penggeledahan dicurigai
dan
mempunya
hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Korban diambil di rumah atau ditangkap di sekitar lokasi penembakan. Semua korban sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan surat perintah penangkapan dari yang berwenang. Keluarga korban juga tidak diberitahu atau diberi tembusan surat perintah penahanan. Para korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur dan RTM Cimanggis. 3. Penyiksaan (torture) Semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Kodim, Guntur, dan RTM Cimanggis mengelami penyiksaan, intimidasi dan teror dari
aparat. Bentuk penyiksaan antara lain dipukul dengan popor senjata, ditendang, dipukul dan lain-lain. 4. Penghilangan orang secara paksa (enforced or involuntary disapperance) Penghilangan
orang
ini
terjadi
dalam
tiga
tahap,
pertama;
menyembunyikan identitas dan jumlah korban yang tewas dari publik dan
keluarganya.
Hal
itu
terlihat
dari
cara
penguburan yang
dilakukan secara diam-diam di tempat terpencil, terpisah-pisah dan dilakukan di malam hari. Lokasi penguburan juga tidak dibuat tandatanda, sehingga sulit untuk diketahui. Kedua; menyembunyikan korban dengan cara melarang keluarga korban untuk melihat kondisi dan keberadan korban selama dalam perawatan dan penahanan aparat. Ketiga adalah merusak dan memusnahkan barang bukti dan keterangan serta identitas korban. Akibat tindakan penggelapan identitas
dan
barang
bukti
tersebut
sulit
untuk
mengetahui
keberadaan dan jumlah korban yang sebenarnya secara pasti.
VI. KESIMPULAN Dari uraian tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan: 1. Tentang jumlah korban a. Pemastian jumlah korban pembunuhan secara kilat sebanyak 24 orang
dilakukan
dengan
penggalian
kuburan,
pemeriksaan
dokumen RSPAD Gatot Subroto dan usaha mencari saksi-saksi tambahan. Dari hasil penggalian di TPU Mengkok, Sukapura dan Pemakaman Kramat Ganceng, Pondok Ranggon dapat ditarik kesimpulan bahwa keterangan jumlah korban yang telah dikuburkan di halaman Masjid Al A’raaf, bekas makam Dobo, TPU Mengkok, Kramat Ganceng, Pondok Ranggon dan TPU
Gedong, Condet sebanyak 24 orang kemungkinan besar benar adanya, walaupun ada selisih jumlah korban yang dimakamkan di Pondok Ranggon. Jumlah yang pasti dari korban tidak dapat diberikan kualifikasi final, karena RSPAD Gatot Subroto akhirnya mengakui bahwa dokumen Berita Acara Pemusnahan Dokumen korban peristiwa Tanjung Priok tidak ditemukan. Sedangkan informasi lain tentang adanya korban jiwa selain 24 orang tidak dapat diklarifikasi karena tidak ditemukan bukti dan saksi tambahan. b. Korban terbakar Keluarga Tan Keu Lim (9 orang) meninggal terbakar di rumah tempat tinggal korban. Kebakaran ini diduga keras sengaja dilakukan oleh rombongan massa yang bergerak ke arah Polsek Koja. 2. Tentang nama para pelaku dan penanggung jawab yang diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pelaku atas seluruh pelanggaran tersebut di atas bisa dilihat dalam tiga kategori. Pertama adalah pelaku di lapangan yang menggunakan kekerasan yang berlebihan sehingga jatuh korban meninggal dan luka-luka. Mereka yang melakukan penyiksaan kepada korban yang masih hidup. Kedua
adalah
penanggung
jawab
komando
operasional
yaitu
komandan yang membawahi teritorial di tingkat Kodim dan Polres tidak mampu mengantisipasi keadaan dan mengendalikan pasukan sehingga terjadi tindakan summary killing, tindakan penyiksaan dan terlibat aktif dalam penghilangan barang bukti dan identitas korban serta membiarkan terjadinya penyiksaan-penyiksaan dalam tahanan, dan memerintahkan penguburan tanpa prosedur resmi. Ketiga adalah para pemegang komando yang tidak mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia dan atau memerintahkan secara langsung satu tindakan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.
Dengan ketiga kategori pelaku dan atau penanggung jawab di atas maka dalam pelanggaran hak asasi manusia di Tanjung Priok ini diduga terlibat terutama tapi tidak terbatas pada nama-nama di bawah ini: Dari Satuan Arhanud Tanjung Priok: 1. Serda Sutrisno Mascung
8. Prada Abdul Halim
2. Pratu Yajit
9. Prada Sofyan Hadi
3. Prada Siswoyo
10. Prada Parnu
4. Prada Asrori
11. Prada Winarko
5. Prada Kartijo
12. Prada Idrus
6. Prada Zulfata
13. Prada Sumitro
7. Prada Muhson
14. Prada Prayogi
Dari Jajaran Kodim Jakarta Utara: 15. Letkol. RA. Butar-Butar, Dandim Jakarta Utara 16. Kapten Sriyanto, Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara
Dari Jajaran Kodam V Jaya: 17. Mayjen TNI Try Soetrisno, Pangdam V Jaya 18. Kol. CPM Pranowo, Kapomdam V Jaya 19. Kapten Auha Kusin, BA, Rohisdam V Jaya 20. Kapten Mattaoni, BA, Rohisdam V Jaya Dari Jajaran Mabes TNI AD: 21. Brigjen TNI Dr. Soemardi, Kepala RSPAD Gatot Soebroto 22. Mayor TNI Darminto, Bagpam RSPAD GATOT SOEBROTO
Dari Mabes ABRI: 23. Jenderal TNI L. Benny Moerdani, Panglima ABRI/Pangkopkamtib 3. Telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia atas keluarga Tan Keu Lim walaupun belum didapatkan bukti pendukung untuk menyebut siapa nama mereka. 4. Tentang rekomendasi a. Para
pelaku
melakukan
dan
penanggung
pelanggaran
hak
jawab asasi
yang
diduga
telah
berat
harus
manusia
dimintakan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku. b. Untuk
mewujudkan
tanggung
jawab
negara
khususnya
pemerintah terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia, maka: a. Pemerintah meminta maaf terhadap korban/keluarga korban dan masyarakat luas atas terjadinya Peristiwa Tanjung Priok. b. Merehabilitasi nama baik para korban. c. Memberikan
kompensasi
yang
layak
kepada
korban/keluarga korban. d. Korban yang sampai sekarang belum berhasil ditemukan harus tetap dinyatakan sebagai orang hilang. Oleh karena
itu
menjadi
tanggung jawab negara untuk
menemukan korban dan mengembalikannya kepada keluarga yang bersangkutan. c. Untuk mencegah keterulangan (non-recurence) pelanggaran hak asasi manusia seperti dalam Peristiwa Tanjung Priok di masa depan maka berbagai kebijakan dan tindakan harus diambil untuk:
a. Meningkatkan profesionalisme anggota TNI dari jajaran pimpinan sampai anggota dengan pangkat terendah, melalui pendidikan dan latihan termasuk bidang hak asasi manusia. b. Meningkatkan
pengawasan
yang
intensif
terhadap
pelaksanaan instruksi dan prosedur tetap pelaksanaan tugas TNI yang menjunjung tinggi penghormatan hak asasi manusia. c. Dengan sungguh-sungguh melakukan penertiban atas kewajiban-kewajiban pejabat publik atas dokumen dan arsip yang menyangkut kepentingan publik. d. Mengajak
masyarakat
meninggalkan
praktek-praktek
penggunaan kekerasan dalam memperjuangkan aspirasi politik. e. Menata kembali wacana kehidupan beragama, sehingga ajaran
agama
benar-benar
membawa
rahmat
bagi
seluruh alam, dan terjaminnya rasa aman dan bebas bagi seluruh umat beragama melaksanakan ibadahnya.
Jakarta, 13 Oktober 2000 KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA KETUA,
SEKRETARIS JENDERAL,
H.R. DJOKO SOEGIANTO, SH
ASMARA NABABAN, SH
RINGKASAN EKSEKUTIF LAPORAN HASIL PENYELIDIKAN KPP HAM PAPUA/IRIAN JAYA I.
Pengantar
Laporan ini disusun untuk memenuhi mandat yang dikeluarkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tanggal 5 Februari 2001 Nomor: 020/KOMNAS HAM/II/2001 berdasarkan pertimbangan bahwa dalam peristiwa Abepura 7 Desember 2000 diduga telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat. Guna mendukung dan melengkapi perspektif gender dalam metodologi kerja, KPP HAM Papua/Irian Jaya melakukan kerjasama dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari sejak awal persiapan dilakukannya penyelidikan. KPP HAM Papua/Irian Jaya bekerja sejak tanggal 5 Februari sampai dengan 5 Mei 2001 telah memeriksa/meminta keterangan dari saksi korban sebanyak 51 (lima puluh satu) orang yang terdiri dari : Korban laki-laki 43 orang dan korban perempuan 8 orang; anggota Kepolisian sebanyak 39 (tiga puluh sembilan) orang yang terdiri dari : Anggota Polisi 29 (dua puluh sembilan) orang dan 10 (sepuluh) anggota Brimobda Irja, saksi sebanyak 19 (sembilan belas) orang dan saksi ahli sebanyak 8 (delapan) orang. KPP HAM Papua/Irian Jaya juga melakukan pemeriksaan ulang kepada delapan orang saksi yang terdiri dari : 7 (tujuh) anggota Kepolisian dan 1 (satu) orang Saksi Ahli. Total saksi yang diperiksa sebanyak 117 orang. KPP HAM Papua/Irian Jaya telah melakukan kunjungan lapangan sebanyak 9 (sembilan) kali.
II. Latar Belakang : Sistematis dan Meluas 1. Pengertian tindak kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) Pasal 9 UU No. 26/2000 menyatakan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah : “salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.” Bertolak dari pasal 9 UU No.26/2000 maka tindak kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki dua unsur yaitu tindakan itu terjadi sebagai bagian dari kebijakan negara dan berlanjut oleh aparat negara dan adanya sekelompok penduduk yang menjadi sasaran.
3. Pertanggungjawaban komando dalam kejahatan terhadap kemanusiaan (command responsibility) Pertanggungjawaban pidana bagi kejahatan terhadap kemanusiaan bukan hanya individual (individual responsibility) tetapi juga pertanggungjawaban komando (command responsibility). Prinsip pertanggungjawaban komando yang tercantum dalam Statuta Roma pasal 28 diadopsi secara substansial dalam pasal 42 ayat 1 dan 2 UU No. 26 tahun 2000. Ayat dua memperluas dengan menyatakan : “Seorang atasan, baik Polisi maupun sipil, bertanggungjawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada dibawah kekuasaan dan pengendalian terhadap bawahannya, yakni: a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.” Ketentuan di atas menegaskan bahwa seorang komandan tetap bisa dimintai pertanggungjawaban atas tindakan anak buahnya jika melakukan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Prinsip ini dikenal dengan Yamashita Principle yaitu dalam situasi yang sangat luar bisa sekalipun, dimana komandan sama sekali tidak bisa berhubungan dengan anak buahnya untuk memberikan perintah, tanggung jawab atas tindakan anak buah tetap berada pada komando tertinggi sesuai dengan jalur komando yang ada. 4. Peristiwa Abepura dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Kebijakan negara terhadap Papua itu tertuang dalam Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah Dan Pengembangan Jaringan Komunikasi Dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) Untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kepolisian Daerah Irian Jaya menterjemahkan Rencana Operasi itu dengan membuat Telaahan Staf Tentang Upaya Polda Irian Jaya Menanggulangi Separatis Papua Merdeka Dalam Rangka Supremasi Hukum pada bulan November 2000. Telaah staf ini kemudian ditindaklanjuti dengan menyusun operasi yang disebut “Operasi Tuntas Matoa 2000” yang berlangsung selama 90 hari. Operasi ini ditujukan kepada gerakan separatis OPM dan simpatisannya. Operasi Tuntas Matoa ini menunjukkan aparat Polda Irian Jaya telah memiliki dan mempersiapkan suatu rencana operasi yang sistematis dalam bertindak terhadap apa yang
mereka sebut sebagai gerakan separatis. Kebijakan Kepolisian itu adalah bagian dari kebijakan negara secara keseluruhan. Dua dokumen ini menunjukkan adanya unsur sistematis yakni memperlihatkan tindakan yang terorganisir dan mengikuti pola yang berulang, berdasarkan kebijakan yang melibatkan secara substansial sumber daya baik milik umum ataupun perorangan. Unsur lainnya adalah tindakan yang luar biasa yang ditujukan pada sekelompok penduduk sipil. Dalam kasus Irian Jaya, Abepura pada khususnya sekelompok penduduk sipil yang dijadikan sasaran adalah orangorang yang dikategorikan sebagai separatis dan simpatisannya. 4. Fakta Peristiwa : Tindakan Aparat Kepolisian di Papua Polda Irian Jaya menjelang Desember 2000 menyatakan Propinsi Papua berada dalam situasi siaga I. Kebijakan itu diambil berdasarkan dinamika politik yang terjadi yaitu banyaknya aksi demonstrasi dan aksi pengibaran bendera Bintang Kejora, terutama rencana aksi pengibaran bendera untuk memperingati 1 Desember 2000 sebagai hari kemerdekaan Papua Barat ke39. Kepolisian dalam menetapkan situasi Siaga I dan berbagai kebijakan keamanan atau operasi itu bertolak dari asumsi yang apriori terhadap dinamika politik rakyat Papua. Yaitu mengkategorikan seluruh gerakan rakyat Papua sebagai gerakan separatis. Dengan asumsi yang apriori itu aparat Kepolisian mengidentifikasi kelompok-kelompok rakyat Papua sebagaimana mereka yakini. Fakta peristiwa-peristiwa penting yang menunjukkan pola dari sikap dan tindakan satuan Kepolisian itu bisa dilihat dari cara-cara atau pola penanganan aksi-aksi masyarakat Papua jauh sebelum peristiwa 7 Desember 2000 terjadi khususnya menyangkut aksi pengibaran bendera Bintang Kejora yaitu : Biak 6 Juli 1998; Sorong, 5 Juli 1999; Timika, 2 Desember 1999; Merauke, 16 Februari 2000; Nabire, 28 Februari sampai 4 Maret 2000; Sorong, 27 Juli 2000; Sorong, 22 Agustus 2000; Wamena, 6 Oktober 2000. Dari beberapa fakta peristiwa yang terjadi antara tahun 1998-2000 di atas terlihat bahwa aparat Kepolisian di Irian Jaya begitu mudah melakukan penembakan, penangkapan dan penahanan, serta penyiksaan terhadap orang-orang yang melakukan aksi protes atau orang yang dikategorikan separatis. 5. Masalah Hak Asasi Manusia dan Dinamika Politik Papua Pasca Orde Baru Semenjak Mei 1998 di Papua terjadi berbagai macam demonstrasi yang digerakkan oleh kalangan muda terutama mahasiswa yang menuntut keadilan. Tuntutan keadilan itu disuarakan secara keras; namun ternyata tidak ada perhatian yang semestinya dari pemerintah pusat. Ungkapan dari ketidakpuasan itu akhirnya terwujud dalam pengibaran bendera Bintang
Kejora di beberapa kota di Papua Juli 1998 yang dihadapi dengan tindakan kekerasan oleh aparat keamanan. Peristiwa kekerasan itu mengubah tuntutan keadilan kepada tuntutan merdeka. Melihat banyaknya peristiwa kekerasan yang terjadi akibat aksi-aksi pengibaran bendera itu. Komnas HAM setelah bertemu dengan berbagai lapisan masyarakat Papua mencatat bahwa masalah di Papua adalah ketidakpuasan masyarakat Papua terhadap penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat keamanan serta semakin menonjolnya masalah ketidakadilan dan terjadinya diskriminasi di bidang politik, ekonomi dan sosial yang dialami rakyat Papua. Komnas HAM menyatakan pelanggaran hak asasi manusia di Papua terjadi karena aksiaksi damai sepanjang tahun 1998-1999 dihadapi dengan kekerasan oleh aparat keamanan. Dinamika politik Papua terjadi seiring dengan perubahan-perubahan sikap dan perlakuan aparat keamanan terhadap hak asasi manusia di Papua. Dinamika sosio-politik itu jugalah yang menjadi kondisi terjadinya peristiwa penyerangan Polsek Abepura 7 Desember 2000 oleh massa dan diikuti dengan penyerangan dan penangkapan ke asrama-asrama mahasiswa dan perkampungan penduduk di sekitar Abepura oleh satuan Kepolisian. 6. Ingatan Penderitaan Rakyat Papua: Memoria Passionis Sikap dan tindakan aparat keamanan di Papua sebagaimana yang tertera di atas tidak terjadi dalam waktu tiga tahun terakhir, melainkan merentang dari sejak awal integrasi sebagai bagian dari penerapan kebijakan politik keamanan di Papua yang bersifat militeristik yang bisa dilihat dalam : faktafakta tahun 1960-an dan pendirian pemerintah Indonesia di Papua. Peristiwa sejarah tahun 1960-an yang terdiri dari tiga bagian: [1] prospek kemerdekaan dibuka oleh pemerintah Belanda pada tanggal 1 Desember 1961 dengan mengangkat 50% anggota Nieuw Guinea Raad (DPR) dari kalangan masyarakat Papua, mengibarkan bendera Bintang Kejora di samping Bendera Belanda, mensosialisasikan lagu kebangsaan “Hai, Tanahku Papua”; [2] penetapan New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962 dilaksanakan tanpa mengikutsertakan Bangsa Papua dalam perundingan, [3] pelaksanaan PEPERA dilakukan secara tidak adil karena disertai intimidasi, paksaan, penganiayaan; dan cacat hukum karena menafsirkan secara sepihak isi perjanjian New York khususnya pasal XVIII yang mengatur pelaksanaan Act of Free Choice. Dalam masa peralihan sesuai dengan Perjanjian New York 15 Agustus 1962, wilayah Papua akan diserahkan oleh UNTEA kepada Indonesia. Untuk itu pemerintah Indonesia menyiapkan satu struktur pemerintahan yang secara jelas dan terperinci ditetapkan dengan Keputusan Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia/ Panglima Besar-Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No. 79/PLM. BS Tahun 1962 khususnya bagian ‘menetapkan’ butir 1 dan 2:
•
Perwakilan Republik Indonesia dengan semua unsurnya selama periode Pemerintahan Peralihan UNTEA adalah salah satu unsur pelaksanaan dari Komando Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia/Pembebasan Irian Barat, dengan tugas sebagaimana disebutkan pada keputusan Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat Nomer 62/PLN. BS. TAHUN 1962.
•
Bentuk dan struktur organisasi Perwakilan Republik Indonesia diwujutkan indentik dengan Komando Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia/Pembebasan Irian Barat (vide Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia/ Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat Nomer 16/PLM. BS TAHUN 1962) untuk mempermudah tatakerja dengan Komando Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia/ Pembebasan Irian Barat.
Struktur politik dan keamanan militeristik tidak memungkinkan terjadinya dialog dan perundingan untuk menangani ungkapan-ungkapan ketidakpuasan karena martabat bangsa Papua tidak dihargai. Akibatnya, ungkapan ketidakpuasan itu berubah menjadi gerakan perlawanan rakyat di berbagai tempat di Tanah Papua yang biasa disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM). Selanjutnya, dalam masa DOM hingga berakhirnya rezim Orde Baru patut dicatat sejumlah fakta penting yang menunjukkan secara sangat jelas pola kebijakan politik dan keamanan yang diterapkan di Papua. Fakta-fakta ini didasarkan pada laporan-laporan hak asasi manusia yang disusun baik oleh kalangan Gereja-gereja maupun kalangan LSM di Papua seperti [1] peristiwa pengungsian Suku Muyu 1984-1985, [2] peristiwa perkosaan di Jila, Timika 1987-1988, [3] peristiwa pembunuhan di Timika 1994-1995, [4] peristiwa penyiksaan warga Desa Iksan dan Upkim, Merauke 1995, [5] peristiwa operasi pembebasan sandera di Mapnduma 1996, [6] peristiwa kekerasan di Paniai 1981-2000. Dilihat dari beberapa peristiwa di atas maka kebijakan politik keamanan di Papua telah berakibat sangat serius, terutama dalam masalah perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Papua adalah konsekuensi logis dari kebijakan politik dan keamanan pemerintah yang didasari pandangan stereotipe yang diskriminatif tentang penduduk Papua.
III. Fakta-fakta Peristiwa Abepura Pada tanggal 7 Desember 2000, pukul 01.30 WIT dini hari telah terjadi tiga peristiwa yang berbeda yaitu Penyerangan Mapolsek Abepura, Pembakaran Ruko di Lingkaran Abepura dan Pembunuhan anggota Satpam di Kantor Dinas Otonom Tk. I Propinsi Irian Jaya, di Kotaraja. Rincian dari Peristiwa-peristiwa tersebut adalah : 1. Penyerangan Mapolsek Abepura. Sekitar pukul 01.30 WIT sekelompok massa yang berjumlah kira-kira 15 orang memasuki halaman Mapolsek Abepura dan melakukan penyerangan terhadap petugas Polsek Abepura. Akibat penyerangan dengan senjata tajam berupa kapak dan parang itu Brigpol Petrus Epaa tewas, sedangkan Briptu Darmo, Bripka Mesak Kareni dan Bripka Yoyok Sugiarto menderita luka-luka. 2. Pembakaran Ruko Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan masuknya massa ke halaman Mapolsek Abepura terjadi pembakaran ruko di Jl. Gerilyawan yang berjarak sekitar 100 m dari Mapolsek yang dilakukan oleh kelompok massa lain yang tidak dikenal. Ruko yang dibakar terdiri dari satu rumah makan Padang dan satu lagi toko pakaian dan arloji “Restu Ibu”. 3. Pembunuhan satpam di Kantor Dinas Otonom Tk I, Irian Jaya, Kotaraja Sekitar pukul 05.00 atau menjelang pagi ditemukan mayat Markus Padama di kantor Dinas Otonom yang berjarak sekitar 2 km dari Mapolsek Abepura. Markus Padama sehari-harinya bekerja sebagai Satpam di kantor tersebut. Korban diperkirakan tewas akibat luka bacok pada leher, luka tombak pada bagian perut. Tindakan Kepolisian Pasca Penyerangan Polsek Abepura Beberapa saat setelah terjadinya penyerangan, kemudian anggota Polsek Abepura yang piket malam itu melaporkan kejadian penyerangan di Mapolsek dan pembakaran ruko kepada Kapolsek AKP Alex Korwa melalui telpon. Seorang dari anggota Polsek yaitu Bripka Mesak Kareni juga melaporkan langsung peristiwa itu ke Mako Brimobda Irian Jaya di Kotaraja untuk meminta bantuan tenaga pengamanan. Setelah mendapat laporan sekitar pukul 02.00 WIT, Kapolres Jayapura AKBP Drs. Daud Sihombing, SH langsung mendatangi Mapolsek Abepura untuk melihat situasi. Setelah menelepon Wakapolda, Kapolres mengeluarkan perintah pengejaran dan penyekatan. Untuk operasi pengejaran dan penyekatan itu kendali operasi langsung berada dibawah Kapolres dengan dibantu oleh Dansat Brimobda Irian Jaya Kombes Pol. Drs.
Johny Wainal Usman. Atas dasar perintah tersebut, satuan Brimob melakukan pengejaran ke beberapa tempat yaitu : 1. Pengejaran ke Asrama Ninmin Satuan Brimob mendatangi asrama Ninmin di Jalan Biak yang berjarak kurang lebih 300 m dari Mapolsek Abepura sekitar pukul 02.00 WIT dini hari. Satuan Brimob yang datang dibawah komandan regu Bripka Hans Fairnap langsung melepaskan tembakan ke arah dinding bangunan asrama dan memecahkan kaca nako dan lampu; kemudian memasuki ruang tengah barak asrama pria. Sebagian dari mereka kemudian dipaksa keluar oleh anggota Brimob dengan bentakan, juga sambil dipukul dengan popor senjata, kayu dan ditendang. Setelah keluar mereka digiring sambil ditodong dengan senjata dan dipukul, kemudian dikumpulkan di depan pintu gerbang SMUN I Jalan Biak Abepura yang berjarak 50 m dari asrama Ninmin. Kemudian anggota Brimob melakukan pemukulan dan menendang semua penghuni yang sudah dikumpulkan. Pemukulan ditujukan ke bagian kepala, kaki, tangan, dan punggung dengan menggunakan tongkat dan popor senjata. Di saat bersamaan aparat juga memberikan ancaman dan makian Setelah itu sebanyak 23 orang penghuni asrama tersebut yang terdiri dari 14 laki-laki dan 9 perempuan (satu diantaranya berusia 7 tahun) dibawa dengan truk Brimob ke Mapolres Jayapura. Kemudian pagi hari, pukul 07.00, tanggal 7 Desember 2000, datang lagi 4 orang anggota Brimob ke asrama Ninmin dan menangkap seorang pemuda penghuni asrama tersebut, bernama Pesut Lokbere. Dia juga dipukul dan ditendang kemudian dibawa ke Mapolsek Abepura. 2. Pengejaran ke Pemukiman Warga asal Kobakma Mamberamo, dan Wamena Barat Kabupaten Jayawijaya di Kampung Wamena Abe Pantai Satu regu Brimob dibawah pimpinan Bripka Zawal Halim datang ke pemukiman warga asal Kobakma, Mamberamo dan warga Wamena Barat di Abe Pantai, sekitar pukul 05.30 WIT, tanggal 7 Desember 2000. Pemukiman penduduk ini terletak di atas bukit, sekitar 3 km dari Mapolsek Abepura. Anggota Brimob langsung mengepung rumah-rumah penduduk sambil melepaskan tembakan ke udara. Anggota Brimob memerintahkan semua warga yang berjumlah sekitar 75 KK untuk berkumpul di halaman gereja GIDI. Di halaman gereja, anggota Brimob memukul sebagian warga dengan popor senjata. Setelah itu anggota Brimob memisahkan kelompok perempuan dan anak-anak dari laki-laki. Kelompok laki-laki terus dipukul dengan popor senjata dan ditendang dengan sepatu lars sambil melepaskan tembakan untuk menakuti masyarakat. Setelah itu anggota Brimob memilih empat orang laki-laki dewasa yakni Mathias Heluka, Yepam Yokosam, Yonir Wanimbo dan Arnol Mundu Soklayo dan dipaksa naik ke truk yang sudah disiapkan dan dibawa ke Polsek Abepura.
3. Pengejaran ke asrama Yapen Waropen (Yawa) Satuan Brimob terdiri dari 15 orang dibawah pimpinan Iptu Suryo Sudarmadi sekitar pukul 05.30 WIT mendatangi asrama mahasiswa Yapen Waropen di Kampung Tiba-tiba yang terletak sekitar 1 Km dari Mapolsek Abepura. Bersamaan dengan itu aparat langsung melepaskan tembakan ke arah bangunan asrama. Mendengar tembakan itu, semua penghuni asrama keluar dan melarikan diri melewati belakang asrama dan melompati pagar tembok Rumah Sakit Jiwa Abepura menuju ke kompleks perumahan BTN Puskopad Kampkey, Abepura. Namun satu di antara mereka bernama Timothius Sirami, mengalami luka di bagian kepala akibat terserempet peluru. Kemudian empat orang dari mereka yang lain berhasil ditangkap aparat di perumahan BTN Puskopad. Tiga orang dari mereka yaitu Yason Awaki, Yedit Koromat dan John Ayer dipukul dengan popor senjata dan ditendang, kemudian diseret, diangkat dan dilemparkan ke dalam truk yang sudah diparkir di daerah itu. Mereka bertiga kemudian dibawa dengan truk menuju ke Mapolsek Abepura. Sedangkan seorang lagi bernama Djean Mambrasar beberapa waktu kemudian ditangkap dan dibawa dengan menggunakan mobil Polisi ke Mapolsek Abepura. 4. Pengejaran ke kediaman masyarakat suku Lani asal Mamberamo dan Wamena Barat, di Jalan Baru, Kotaraja Satu regu anggota Brimob di bawah pimpinan Iptu Suryo Sudarmadi datang ke kediaman masyarakat suku Lani asal Mamberamo, Wamena Barat di Jl. Baru Kotaraja, sekitar pukul 08.00 WIT, tanggal 7 Desember 2000. Pemukiman ini berjarak sekitar 900 m dari Mapolsek Abepura. Anggota Brimob bergerak masuk ke dalam pemukiman penduduk sambil melepaskan tembakan ke udara. Kemudian memaksa orang-orang yang sudah berada di halaman rumah untuk tiarap. Bersamaan dengan itu beberapa orang anggota Brimob mulai memukul dengan popor senjata dan menendang serta menginjak bagian dada dan kaki warga yang sudah bertiarap. Selain itu aparat Brimob mengambil parang, sabit, panah, dan pisau-pisau dapur di dalam rumah penduduk. Setelah semua warga dikumpulkan di halaman mereka dipisah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok laki-laki dan perempuan. Dari halaman rumah, kelompok laki-laki disuruh berjalan jongkok menuju jalan raya (lebih kurang 30 meter). Selama berjalan jongkok menuju jalan raya itu aparat terus memukul warga dengan rotan, kayu, balok dan popor senjata serta menendang pada kepala, badan, kaki dan tangan. Sedangkan kelompok perempuan dan dua anak (berusia 1 tahun 6 bulan dan 2 tahun dua bulan), salah seorang perempuan dalam keadaan hamil, disuruh merayap dari halaman rumah ke jalan raya. Setibanya di jalan raya, semuanya diperintahkan tidur terlentang di aspal sambil menatap matahari. Sebelum dinaikkan ke truk pemukulan, tendangan dan injakan tetap berlangsung terhadap kelompok laki-laki. Kemudian 48 orang laki-laki dipaksa naik ke tiga truk yang telah disediakan dan selanjutnya dibawa langsung ke Mapolres Jayapura.
5. Pengejaran ke pemukiman masyarakat asal suku Yali, Anggruk, di daerah Skyline Kecamatan Jayapura Selatan Satu regu Brimob dibawah pimpinan Brigadir Polisi John Kamodi datang ke Skyline sekitar pukul 09.30 WIT, tanggal 7 Desember 2000. Di sana, anggota Brimob mendatangi pemukiman penduduk asal suku Yali, Anggruk, Jayawijaya yang terletak sekitar 6 Km dari Mapolsek Abepura. Anggota Brimob mengepung rumah tempat kediaman Elkius Suhuniap dan langsung melepas tembakan ke udara. Mendengar bunyi tembakan Elkius Suhuniap melompat lewat jendela dan berusaha melarikan diri. Tetapi ia ditembak anggota Brimob pada jarak lebih kurang 3 m. Elkius tewas di tempat karena luka tembak di punggung tembus ke bagian dada sebelah kanan. Lilimus Suhuniap (adik sepupu Elkius Suhuniap) yang juga lompat keluar lewat jendela, langsung ditangkap Brimob yang telah mengepung rumahnya. Lilimus ditendang aparat dengan sepatu lars pada pelipis kiri dan kanan hingga terjatuh. Sedangkan Agus Kabak ditembak anggota Brimob di dekat sungai di Skyline yang mengakibatkan menderita luka tembak di bagian tubuh sisi kanan tembus perut bagian atas. 6. Pengejaran ke Asrama IMI ( Ikatan Mahasiswa Ilaga ) di Komplek Perumahan BTN Puskopad, Kampkey, Abepura Satu regu Brimob dibawah pimpinan Iptu Suryo Sudarmadi datang ke asrama IMI di kompleks BTN Puskopad Abepura yang berjarak lebih kurang 1,5 Km dari Mapolsek Abepura, sekitar pukul 23.00 WIT tanggal 7 Desember 2000. Anggota Brimob langsung mengepung asrama sambil melepaskan tembakan ke udara. Sebagian penghuni asrama yang sedang duduk di halaman asrama langsung diperintahkan diam di tempat dan angkat tangan. Sebagian lagi dari anggota Brimob memasuki asrama. Sesampai di dalam asrama anggota Brimob membangunkan secara paksa Tofilus Murib, Erenis Tabuni, Kelinus Tabuni dan Naman Tabuni yang sedang tidur di dalam kamar dengan memukul dan menodongkan senjata dan selanjutnya diseret ke halaman asrama. Anggota Brimob juga mengobrak-abrik isi kamar dan mengambil dompet. Selanjutnya anggota Brimob mengumpulkan sebanyak 14 laki-laki di lapangan volley dekat asrama. Di lapangan volley ini, ke-14 orang tersebut diperintahkan tiarap lalu ditendang, dipukul dengan popor senjata dan tongkat kayu. Kemudian anggota Brimob memaksa mereka berjalan jongkok menuju truk yang diparkir pada jarak sekitar 50 meter dari lapangan Volley. Setelah semuanya dinaikkan di atas truk, ke-14 orang ini dibawa ke Mapolres Jayapura. Kejadian di Markas Brimobda Irian Jaya Sekitar pukul 02.30 WIT hari Kamis tanggal 7 Desember 2000 para penghuni asrama Ninmin diangkut ke Markas Brimobda Irian Jaya sebelum dibawa ke Mapolres Jayapura. Semua korban dalam kondisi luka-luka di bagian muka dan badan akibat pemukulan baik dalam proses penangkapan maupun dalam perjalanan. Berdasarkan kesaksian, selama perjalanan di
atas truk mereka dipukul, ditendang dan dimaki dengan ucapan yang menghina agama. Di Markas Brimobda Irian Jaya, beberapa orang diantara korban yang berasal dari asrama Ninmin diperintahkan untuk turun dari truk. Sebagian korban laki-laki dipaksa melepaskan pakaian, perhiasan dan dompet. Daniel Elopere melihat beberapa rekannya ditendang oleh aparat Brimob bahkan wajah Iplena Kogoya dipukul dengan popor senjata. Menurut kesaksian Raga Kogoya, anggota Brimob juga memukul wajah Marpina Gwijangge, anak kecil yang berusia 7 tahun, sehingga hidung dan pipinya berdarah. Selanjutnya para korban tersebut dibawa ke Mapolres Jayapura. Sekitar pukul 01.00 WIT dini hari tanggal 8 Desember 2000, 14 orang penghuni asrama IMI, dibawa anggota Brimob ke Markas Brimobda Irian Jaya. Setiba di Markas Brimobda Irian Jaya mereka diperintahkan untuk melepaskan pakaian termasuk dompet, jam tangan dan pernik-pernik lainnya sambil dipukul dan ditendang oleh anggota Brimob yang berdinas. Selanjutnya mereka diinterogasi dan tubuh mereka yang terluka disiram dengan air. Selanjutnya mereka dibawa ke Mapolres Jayapura. Selama dalam perjalanan di atas truk para korban yang dibawa ke Mapolres Jayapura terus dipukul dengan popor senjata dan ditendang oleh anggota Brimob yang melakukan pengawalan. Begitu juga para korban yang dibawa ke Mapolsek Abepura diperintahkan tidur tiarap dan dipukul dengan popor senjata. Kejadian di Mapolres Jayapura Setiba di Mapolres Jayapura kira-kira pukul 02.30, para korban yang berasal dari asrama Ninmin sebanyak 23 orang (terdiri dari 14 laki-laki, 8 perempuan beserta 1 orang anak perempuan berusia 7 tahun) diperintahkan turun dari truk langsung dipukul satu persatu di bagian kepala dan punggung oleh aparat Kepolisian dengan tongkat plastik, popor senjata, sekop, rotan dan balok. Mereka diperintahkan berkumpul di halaman Polres lalu dipisah menjadi dua kelompok, kelompok perempuan dan laki-laki. Kelompok laki-laki diperintahkan untuk membuka baju dan dipukuli di lapangan Polres Jayapura kemudian didata oleh Pamapta Ipda Bahar Tushiba. Kelompok korban perempuan didata oleh tiga orang anggota Polisi Wanita. Mereka dipukul pada bagian kaki hingga seluruh badan dan disundut dengan api rokok di bagian tangan dan dimaki dengan kata-kata yang merendahkan martabat perempuan. Sekitar jam 05.30 para korban laki-laki dimasukan ke dalam ruang besuk tahanan Polres sambil dipukul dan ditendang. Mereka juga dipisah antara pelajar dan mahasiswa. Di sana mereka terus mendapat pukulan dan siksaan sehingga lantai dan dinding ruangan penuh darah akibat luka-luka yang diderita. Beberapa orang dari mereka diperintahkan untuk membersihkan darah tersebut dengan air dan dipaksa meminumnya. Salah seorang yang bernama Eki Gwijangge rambutnya dipotong dan dipaksa memakan potongan rambut tersebut sambil ditodong dengan pisau di leher. Dia dipaksa menjilat darah di lantai. Bahkan luka-luka yang mereka derita disiram dengan air. Setelah itu satu per satu diinterogasi di ruang Serse Polres Jayapura dibawah pimpinan Kasat Serse AKP Drs. Prasetyo Widiyono. Setelah diinterogasi mereka
dibawa kembali ke ruang besuk Tahanan Polres dan sebagian lagi ke dalam sel. Di sana mereka bertemu dengan seorang tahanan Warga Negara Asing asal Swiss, bernama Iten Oswald Joseph. Mereka menyaksikan Orry Doronggi tewas di tahanan Polres Jayapura akibat penyiksaan yang dilakukan aparat Polres Jayapura. Sementara itu korban perempuan tetap berbaris di lapangan Polres. Mereka juga diperiksa dan diinterogasi satu persatu di ruang Serse. Setelah menandatangani hasil interogasi yang dibuat Polisi, barang-barang yang telah diambil sebelumnya dikembalikan. Selanjutnya mereka dibariskan kembali di lapangan Polres dalam posisi berdiri dengan satu kaki sambil dipukul dan dihina agamanya serta dihina dengan kata-kata yang merendahkan martabat perempuan. Sekitar jam 08.00 WIT mereka dimasukkan ke dalam ruang besuk tahanan Polres bersama para korban laki-laki. Sekitar jam 12.00 WIT, korban perempuan dibawa keluar lalu dijemur di lapangan Polres. Setelah tiga jam dijemur mereka akhirnya diberi makan, namun makanan yang diberikan tidak dapat dimakan karena luka-luka yang diderita dibagian muka dan mulut. Lebih kurang jam 17.00 WIT mereka diperbolehkan pulang dengan menumpang angkutan umum ke Abepura. Kira-kira pukul 09.00 WIT 48 orang korban berasal dari Jalan Baru dalam kondisi babak belur diangkut dengan satu truk Brimob tiba di Mapolres Jayapura. Mereka diturunkan satu persatu sambil dipukul dengan kayu dan rotan oleh anggota Polres yang telah menunggu kedatangan mereka di lapangan Polres Jayapura. Mereka kemudian digiring ke ruang besuk tahanan Polres Jayapura sambil merangkak dan dipukul. Di ruangan tersebut telah menunggu beberapa orang Polisi yang menyuruh mereka membuka baju dan celana sambil didata satu persatu. Dari ruang Serse, mereka dimasukkan ke dalam tahanan (sel) dimana telah ada tahanan lain yang berasal dari asrama Ninmin. Di dalam ruang tahanan tersebut mereka terus mendapat pukulan dari anggota Polisi yang bertugas sebagai piket jaga. Mereka hanya diberi makan dua kali dan minum air dari kran di wc, selama mereka ditahan sekitar 38 jam. Tahanan yang berasal dari Jalan Baru dibebaskan pada tanggal 8 Desember 2000 sekitar jam 16.00 WIT. Mereka dipulangkan menggunakan truk Polisi dan diturunkan di tempat dimana mereka ditangkap. Sekitar pukul 03.00 WIT dini hari tanggal 8 Desember 2000, 14 orang penghuni asrama IMI juga diangkut ke Mapolres Jayapura. Di Polres Jayapura mereka juga dipukul dengan tongkat rotan dan kayu oleh anggota Polres yang membentuk dua barisan yang siap menyambut kedatangan para penghuni asrama. Mereka diturunkan satu persatu dari truk dan langsung dipukul dan ditendang bertubi-tubi oleh anggota Polisi di halaman Polres Jayapura. Mereka juga diinterogasi sambil ditampar dan dipukul. Selanjutnya aparat menggiring mereka ke ruang besuk tahanan Polres. Disana sekali lagi mereka dipukul dan diinterogasi oleh anggota Reserse Polres. Lebih kurang jam 05.00 WIT dini hari mereka dimasukkan ke dalam sel ruang tahanan Polres. Empat belas orang korban yang berasal dari
asrama IMI dipulangkan pada tanggal 8 Desember 2000 sekitar jam 16.00 WIT menggunakan truk Polisi. Kejadian di Mapolsek Abepura Para korban yang ditangkap di Asrama Yawa dan Abe Pantai tiba di Mapolsek Abepura sekitar pukul 08.00 WIT. Dari keterangan yang diberikan oleh para korban yang berasal dari Asrama Yawa antara lain oleh Yason Awaki dan Djean Mambrasar, disebutkan bahwa setelah ditangkap di sekitar di Komplek Perumahan BTN Puskopad Kampkey Abepura, mereka yang dalam kondisi babak belur dibawa ke Mapolsek Abepura dengan posisi berbaring dan mata tertutup. Setiba di Polsek Abepura mereka bertiga (Yason Awaki, Djean Mambrasar dan John Ayer ) dipukul dan ditendang di bagian muka dan perut oleh anggota Polsek yang berdinas pada hari itu. Pukulan dan tendangan tersebut berlangsung sampai siang hari. Sementara itu keterangan saksi korban Arnol Mundu Soklayo dan Mathias Heluka menyebutkan mereka (Mathias Heluka, Yepam Yokosam, Yonir Wanimbo dan Arnol Mundo Suklayo) yang ditangkap di sekitar Abe Pantai dibawa ke Polsek Abepura sambil diperintahkan tiarap di bawah bangku truk dan dipukul dengan popor senjata sepanjang perjalanan. Setiba di Polsek Abepura, mereka langsung dipukul dan disiksa oleh sejumlah anggota Polsek Abepura. Mereka diperintahkan berbaris dan melepaskan pakaian sambil terus dipukul dengan menggunakan kabel listrik dan kayu. Akibat dari perlakuan itu, Arnol Mundu Soklayo mengalami kelumpuhan permanen. Seluruh tahanan baru dipulangkan pada tanggal 8 Desember 2000 sekitar jam 17.00 WIT, setelah terlebih dahulu dipaksa membuat dan menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama dan wajib lapor.
IV. Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Telah berhasil dikumpulkan fakta dan bukti yang menunjukkan indikasi kuat bahwa dalam peristiwa Abepura 7 Desember 2000 telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan secara sistematik serta meluas berupa penyiksaan, pembunuhan kilat, penganiayaan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang yang ditujukan kepada kelompok sipil yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kategori pelanggaran hak asasi manusia terutama tetapi tidak terbatas pada perusakan dan perampasan barang milik pribadi. 2. Dari seluruh fakta dan bukti-bukti tersebut, tidak menemukan adanya kejahatan genosida. 3. Bentuk perbuatan (type of acts) dan pola (pattern) kejahatan terhadap kemanusiaan adalah sebagai berikut: I. PENYIKSAAN Penyiksaan ini dilakukan dalam skala besar, luas dan sistematik terhadap mahasiswa dan penduduk sipil, baik laki-laki maupun perempuan dan anak-anak yang bermukim di Kecamatan Abepura dan Kecamatan Jayapura Selatan dengan latar belakang suku yang sebagian besar dari Pegunungan Tengah (Wamena Barat) sebagai bagian dari tindakan pengejaran Polisi dalam rangka mencari pelaku penyerangan Mapolsek Abepura. Penyiksaan ini terjadi secara berulang-ulang dalam berbagai momen yakni dilakukan di kediaman masing-masing korban, selama dalam perjalanan menuju Mapolsek Abepura atau Mapolres Jayapura dan selama mereka ditahan di Mapolsek Abepura dan Mapolres Jayapura. Akibat penyiksaan tersebut dua orang meninggal dunia di Mapolres Jayapura dan seorang cacad seumur hidup, disamping seorang lainnya yang cacad seumur hidup akibat penembakan sewenang-wenang. II. PEMBUNUHAN KILAT Telah terjadi pembunuhan kilat terhadap Elkius Suhuniap di daerah Skyline yang dilakukan oleh anggota Brimob. III. PENGANIAYAAN BERDASARKAN JENIS KELAMIN, RAS DAN AGAMA Semua korban mengalami tindakan diskriminasi atas dasar ras dan agama, namun korban perempuan mengalami tindakan diskriminasi berganda. Perempuan mengalami penganiayaan yang sama seperti yang dialami oleh korban lainnya. Selain itu perempuan juga mengalami bentuk-bentuk tindakan lain seperti makian yang ditujukan pada perempuan karena ia adalah perempuan dan karena
adanya sikap perempuan.
serta
cara
pandang
yang
IV. PERAMPASAN KEMERDEKAAN ATAU LAIN SECARA SEWENANG-WENANG
diskriminatif KEBEBASAN
terhadap FISIK
a. Aksi penggeledahan dan penangkapan tanpa prosedur dan surat perintah penangkapan dari yang berwenang dilakukan terhadap orang-orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa penyerangan Mapolsek Abepura. b. Pengungsian secara tidak sukarela terjadi karena adanya pengejaran dan penangkapan terhadap mahasiswa dan penduduk sipil. Pengungsian ini terjadi tiga hari sejak tanggal 7 Desember 2000 dan sampai sekarang masih ada yang belum kembali. c. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang dilakukan telah menimbulkan trauma dan rasa tidak aman pada para mahasiswa di beberapa asrama di Abepura dan penduduk sipil di Jl. Baru Kotaraja, Abe Pantai dan Skyline. Akibatnya, mereka tidak berani untuk meneruskan sekolah/kuliah dan bahkan ada yang pulang ke kampung asalnya dan sebagian penduduk tidak berani menempati kembali rumahnya. Selain pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang termasuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan ditemukan juga pelanggaran hak asasi manusia lainnya, yakni : PELANGGARAN ATAS HAK MILIK Pada peristiwa pengejaran dan penangkapan telah pula terjadi pengrusakan pada tempat tinggal para penduduk sipil dan asrama para mahasiswa. Telah terjadi pula pengambilan barang milik penduduk sipil dan mahasiswa seperti uang, dompet, buku tabanas, dan alat pencari nafkah pada saat penangkapan dan penahanan para mahasiswa serta penduduk sipil. 4. Pelaku dan Penanggung jawab Seluruh rangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut merupakan tanggung jawab terutama tetapi tidak terbatas pada lembaga Kepolisian Daerah Irian Jaya tingkat Polda, Satuan Brimob Polda Irian Jaya, Polres Jayapura, dan Polsek Abepura dalam tiga jenjang: 1. Pelaku langsung yang berada di lapangan. 2. Pengendali operasi 7 Desember 2000. 3. Penanggung jawab kebijakan keamanan dan ketertiban di Irian Jaya. 5. Berdasarkan rangkaian kejahatan yang terjadi serta gambaran korban yang berhasil diidentifikasi dan rangkaian persilangan bukti-bukti dan saksi-saksi yang ada, maka nama-nama yang diduga terlibat –namun tidak terbatas pada– sebagai berikut: a. individu-individu yang diduga melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya secara langsung yakni anggota Polri dalam jajaran Polda Irian Jaya
dan Satuan Brimob Resimen III Yon B Kor Brimob Polri yang di BKOkan di Polres Jayapura, terdiri dari 21 (dua puluh satu) prajurit dan perwira pada jajaran Kepolisian Daerah Irian Jaya. b. Individu-individu yang diduga melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan karena posisi dan tindakan-tindakannya pada tingkat pengendali dan penanggung jawab operasi lapangan terdiri dari 4 (empat) orang perwira pada jajaran Kepolisian Daerah Irian Jaya.
B.Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, KPP HAM Papua/Irian Jaya menyampaikan rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut : 1. Meminta kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan sampai pada tingkat penuntutan di Pengadilan Hak Asasi Manusia terhadap para pelaku yang diduga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat –terutama tapi tidak terbatas– pada namanama yang tersebut dalam kesimpulan di atas. 2. Dalam melakukan penyidikan oleh pihak Kejaksaan Agung, KPP HAM Papua menuntut agar Kejaksaan Agung membentuk Tim Penyidik Ad hoc untuk kasus Abepura 7 Desember 2000. Tim penyidik ad hoc harus mempunyai sub tim yang menangani aspek gender dari kasus Abepura. 3. Mendesak pemerintah agar segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah mengenai perlindungan saksi dan korban sebagaimana tercantum dalam pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sementara itu pihak Kejaksaan Agung harus memberikan jaminan perlindungan bagi saksi-saksi dan korban dari kasus Abepura. 4. Mendesak pemerintah agar segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana yang tercantum dalam pasal 35 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sementara menunggu keputusan pasti dari Pengadilan Hak Asasi Manusia tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi korban, menimbang keadaan korban saat ini maka pemerintah hendaknya memberikan ganti rugi kepada korban maupun keluarga korban dalam kasus Abepura. 5. Mengingat bahwa dalam melakukan kegiatannya di Jayapura, KPP HAM banyak menerima laporan dan tuntutan dari masyarakat untuk penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia lain sebelum dan sesudah berlakunya UU No. 26 Tahun 2000, maka sehubungan dengan itu KPP HAM Papua/Irian Jaya meminta kepada Komnas HAM
agar melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus yang terjadi sesudah berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 dan menyampaikan rekomendasi kepada DPR dan Pemerintah untuk pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc terhadap kasus-kasus yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. 6. Meminta kepada Pemerintah bahwa dalam rangka menyikapi aspirasi politik masyarakat Papua/Irian Jaya, pemerintah harus meninggalkan pendekatan represif dan menggantikannya dengan pendekatan demokratis yang mendahulukan dialog. 7. Mendesak pemerintah agar terhadap pelaku penyerangan Polsek Abepura yang mengakibatkan satu orang tewas dan tiga orang lukaluka, dilakukan penuntutan hukum. 8. Guna mencegah keterulangan (non-recurrence) pelanggaran hak asasi manusia seperti dalam peristiwa Abepura dimasa depan, maka berbagai kebijakan dan tindakan harus diambil oleh pemerintah antara lain : a. meningkatkan profesionalisme anggota Polri dari jajaran pimpinan sampai dengan anggota dengan pangkat terendah, melalui pendidikan dan latihan. b. mensosialisasikan nilai-nilai penghormatan terhadap hak asasi manusia di kalangan Kepolisian melalui instruksi, prosedur tetap, pendidikan dan latihan dan lain sebagainya yang sarat akan muatan perlindungan korban maupun larangan dan batas kewajaran dalam setiap menjalankan perintah. c.
meningkatkan pengawasan yang efektif terhadap pelaksanaan instruksi dan prosedur tetap pelaksanaan tugas Polri yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Jakarta, 8 Mei 2001 KOMISI PENYELIDIKAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA PAPUA/IRIAN JAYA
Dr. Albert Hasibuan, S.H. Ketua
Sriyana, S.H. Sekretaris
MEMAHAMI KINERJA KOMISI PENYELIDIKAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (KPP HAM) DARI PERSPEKTIF JENDER PENGANTAR Setiap negara memiliki tanggung jawab untuk menciptakan mekanisme agar setiap perbuatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dapat diproses melalui prosedur hukum nasional yang berlaku dan berdasarkan prinsipprinsip hak asasi manusia yang berlaku umum secara internasional. Hal ini dilakukan untuk menjamin pertanggungjawaban atas segala bentuk pelanggaran HAM dan memastikan agar tidak ada kekebalan hukum (atau, impunitas) bagi para pelaku pelanggaran HAM. Di Indonesia, salah satu mekanisme yang dibangun untuk menjamin penegakan HAM adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komisi ini didirikan oleh Presiden Soeharto berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1993. Enam tahun kemudian, landasan hukum Komnas HAM diganti oleh Undangundang Nomor 39 Tahun 1999. Definisi pelanggaran hak asasi manusia telah dibakukan pada tahun 1999 dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (pasal 1 mengenai ketentuan umum, butir 6), yang berbunyi: Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dalam perkembangannya, sistem hukum Indonesia juga mengakui adanya kategori khusus pelanggaran HAM, yaitu pelanggaran berat HAM. Definisinya terdapat pada pasal 7 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menyebutkan bahwa pelanggaran berat HAM meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 1 Yang dimaksud dengan genosida dalam undang-undang ini adalah “…setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian 1 Para aktivis pembela HAM masih melihat berbagai kelemahan dari definisi pelanggaran HAM berat sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 26 Tahun 2000, namun tulisan ini tidak bermaksud untuk mengulas mengenai hal ini.
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.” 2 Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan dimaksudkan sebagai: “…salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap berupa pembunuhan; pemusnahan; penduduk sipil, perbudakan; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; pernyiksaan; perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan apartheid.” 3 Sementara itu, pada tahun 1994, komunitas internasional telah menyepakati bahwa hak perempuan adalah hak asasi manusia dan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM. Dalam Konperensi HAM di Wina pada tahun ini, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan ditandatangani oleh beberapa negara, termasuk Indonesia. Definisi kekerasan terhadap perempuan menurut Deklarasi ini adalah: setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi. (Pasal 1)
2 3
Lihat pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000. Lihat pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000.
Tindak pelanggaran berat HAM yang berbasis jender dapat diajukan sebagai kasus dalam persidangan bila termasuk bagian dari genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana secara spesifik diatur dalam pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000. Kekerasan terhadap perempuan dipandang sebagai pelanggaran berat HAM berbasis jender ketika: pertama, negara secara langsung, melalui institusinya atau aparatnya, melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan; kedua, negara tidak melakukan upaya-upaya untuk mencegah seseorang atau kelompok orang melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Langkah pertama yang diambil untuk mendorong pertanggungjawaban hukum oleh para pelaku pelanggaran berat HAM adalah untuk melakukan penyelidikan atau investigasi agar dapat menunjukkan adanya dugaan kuat bahwa telah terjadi tindak pelanggaran berat HAM tersebut. Pada pasal 1 dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 disebutkan bahwa: Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) adalah institusi yang diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan ini. Untuk kebutuhan itu, Komnas HAM dapat membentuk sebuah tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat. 4 Hasil penyelidikan diserahkan kepada Kejaksaan Agung yang kemudian akan melakukan penyidikan dan penuntutan atas pelanggaran HAM tersebut. Komnas HAM telah beberapa kali membentuk tim ad hoc untuk melakukan penyelidikan terhadap peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran berat HAM. Tim ad hoc ini biasanya disebut sebagai Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM, atau disingkat ‘KPP HAM’. Seri Dokumen Kunci Komnas Perempuan yang keempat ini dilengkapi dengan sebuah gambaran komparatif tentang beberapa KPP HAM. Selain itu, Seri Dokumen Kunci ini juga secara khusus menyoroti bagaimana kekerasan berbasis jender 5 mendapat tempat dalam proses investigasi oleh beberapa KPP HAM yang telah dibentuk ini. Lewat tulisan ini, pembaca diharapkan dapat menarik benang merah dari berbagai kegiatan KPP HAM dan manfaatnya bagi proses upaya penegakan HAM di Indonesia, termasuk HAM perempuan. Pemahaman ini penting untuk menilai sejauhmana ada peluang bagi perempuan korban pelanggaran HAM berbasis jender untuk memenuhi haknya atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Lihat pasal 18, ayat 1 dan 2, UU No. 26 Tahun 2000. Istilah kekerasan berbasis jender dan kekerasan terhadap perempuan akan digunakan secara bergantian dalam tulisan ini dengan maksud yang sama. 4 5
Ada lima KPP HAM 6 yang menjadi fokus Seri Dokumen Kunci ini, yaitu: 1. Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur (KPP HAM Timor Timur), dengan ketua Albert Hasibuan 2. Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Mediasi di Maluku (KPMM), dengan ketua Bambang W. Soeharto 3. Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok (KP3T), dengan ketua H.R. Djoko Soegianto 4. Tim Tindak Lanjut Hasil Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok (Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T), dengan ketua H.R. Djoko Soegianto 5. Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Papua/Irian Jaya, dengan ketua Albert Hasibuan Bahan utama sumber penulisan ini adalah ringkasan eksekutif (executive summary) yang diterbitkan oleh masing-masing KPP HAM. Bukan laporan lengkap yang dipaparkan di sini karena ringkasan eksekutif adalah dokumen yang disebarluaskan ke publik dan sekaligus merupakan pertanggungjawaban KPP HAM kepada masyarakat luas. Sumber kedua adalah sejumlah wawancara langsung dengan beberapa narasumber, yakni Asmara Nababan, mantan Sekretaris Jenderal Komnas HAM; Sriyana, Sekretatris KPP HAM Timor Timur, Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T, dan KPP HAM Papua; Sita Aripurnami, Wakil Ketua KPP HAM Papua; serta Amiruddin anggota Tim Asistensi di KPP HAM Timor Timur, Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T, dan KPP HAM Papua. GAMBARAN MENGENAI KPP HAM Lima KPP HAM yang dipaparkan dalam Seri Dokumen Kunci ini akan diperbandingkan satu sama lainnya berdasarkan sejumlah faktor, yaitu: a. Pembentukan: apa dasar pertimbangan serta landasan hukum bagi pembentukan masing-masing KPP HAM b. Ruang Lingkup Kerja: apa jabaran tugas dan wewenang masing-masing KPP HAM c. Masa Kerja: keterangan tentang masa kerja masing-masing KPP HAM, perpanjangan yang dialami serta alasan perpanjangan waktu kerja tersebut d. Keanggotaan tim investigasi serta sumber pendanaan e. Mekanisme Kerja: acuan hukum nasional maupun internasional yang digunakan serta metode pengumpulan data yang dijalankan f. Kegiatan Lapangan: kasus-kasus pelanggaran HAM yang dijadikan fokus investigasi serta deskripsi kegiatan di lapangan yang dijalankan
6 Walau tidak semuanya menggunakan nama KPP HAM namun untuk memudahkan penulis akan menggunakan singkatan KPP bila berbicara tentang kelima komisi penyelidik ini secara umum.
g. Perlindungan Saksi dan Korban: sejauhmana perlindungan saksi dan korban dijalankan dalam proses investigasi ataupun persoalan ini diangkat sebagai salah satu rekomendasi akhir h. Temuan tentang Korban dan Pelaku i. Temuan Pelanggaran HAM: pelanggaran HAM umum maupun yang berbasis jender Pemaparan kesepuluh faktor di atas dianggap dapat memberi gambaran yang komprehensif tentang kinerja KPP HAM sebagai suatu mekanisme penyelidikan HAM nasional. Untuk mengukur kepekaan KPP HAM terhadap pelanggaran HAM yang dialami perempuan, maka akan ada penekanan khusus pada hal-hal sebagai berikut: a. Komposisi anggota tim investigasi: berapa jumlah anggota perempuan dibandingkan dengan anggota laki-laki b. Mekanisme kerja: ada atau tidaknya pedoman-pedoman khusus untuk mengungkap pengalaman perempuan korban pelanggaran HAM c. Kegiatan lapangan: ada atau tidaknya wawancara dan pencarian fakta khusus dengan saksi dan korban perempuan d. Temuan tentang korban: ada atau tidaknya korban perempuan e. Temuan tentang pelanggaran HAM: ada atau tidaknya kesimpulan tentang pelanggaran HAM berbasis jender.
A. PEMBENTUKAN NAMA KPP HAM Timor Timur
DASAR PERTIMBANGAN Situasi pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur pasca jajak pendapat yang semakin memburuk.
LANDASAN HUKUM Putusan Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 23 September 1999. Surat Keputusan Ketua Komnas HAM No: 770/TUA/IX/99 tanggal 23 September 1999. SK Ketua Komnas HAM No: 797/TUA/X/99 tanggal 22 Oktober 1999 tentang penyempurnaan SK No: 770/TUA/IX/99. Penyempurnaan SK ini meliputi penambahan ruang lingkup tugas, pencantuman wewenang, pencantuman Tim Pendukung dan Narasumber, pencantuman kerjasama menurut protokol yang disepakati dengan International Commission of Inquiry yang dibentuk Sekjen PBB, serta dicantumkannya penentuan prosedur dan mekanisme kerja sesuai dengan KUHAP dan memenuhi standar internasional.
KPMM
KP3T
Konflik di Maluku yang tak kunjung selesai.
Keputusan Sidang Paripurna Komnas HAM tanggal 14 Januari 2000.
Hasil pemantauan Komnas HAM tahun 1999 menyatakan tidak lagi diperlukan pencarian fakta, tetapi sudah saatnya Komnas HAM meningkatkan peran untuk melaksanakan wewenangnya dalam bidang mediasi sesuai pasal 89 (4) UU Nomor 39 Tahun 1999.
Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 001/KOMNAS HAM/2000 tanggal 18 Januari 2000.
Pemerintah belum menanggapi rekomendasi Komnas HAM yang dibuat berdasarkan temuantemuan investigasi.
Keputusan Sidang Paripurna Komnas HAM tanggal 29 Februari 2000 dan 7 Maret 2000.
Keluarga korban dan masyarakat mendesak agar Komnas HAM mengambil langkah nyata untuk mengungkap tuntas peristiwa Tanjung Priok.
Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 002/KOMNAS HAM/III/2000 tanggal 8 Maret 2000 tentang pembentukan KP3T. Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 003/KOMNAS HAM/III/2000 tanggal 14 Maret 2000 tentang penyempurnaan Keputusan Nomor 002/KOMNAS HAM/III/2000. Penyempurnaan SK ini meliputi pencabutan Perpu No.1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM sebagai landasan hukum KP3T dan penambahan satu butir tugas KP3T, yaitu melakukan mediasi dan atau konsiliasi sesuai Pasal 89 (4) UU No.39 Tahun 1999. Dicabutnya Perpu No.1 Tahun 1999 sebagai landasan hukum KP3T didasarkan pada pertimbangan bahwa peraturan tersebut telah ditolak oleh DPR dalam Sidang Paripurna DPR RI tanggal 13 Maret 2000 yang berakibat tidak berlakunya Perpu ini.
Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T
Adanya permintaan Kejaksaan Agung RI kepada Komnas HAM melalui surat Nomor : R29/E/7/2000 tanggal 11 Juli 2000 untuk melengkapi hasil penyelidikan KP3T.
Keputusan Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 12 Juli 2000.
KPP HAM Papua/ Irian Jaya
Diduga telah terjadi pelanggaran berat HAM, sesuai UU No. 26/2000, dalam peristiwa Abepura 7 Desember 2000.
Keputusan Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 9 Januari 2001.
Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor: 012/KOMNAS HAM/VII/2000 tanggal 12 Juli 2000.
Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor: 020/KOMNAS HAM/II/2001 tanggal 5 Februari
2001.
B. RUANG LINGKUP KERJA NAMA KPP HAM Timor Timur
TUGAS Mengumpulkan fakta, data dan informasi tentang pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur yang terjadi sejak Januari 1999 sampai dikeluarkannya TAP MPR yang mensahkan hasil jajak pendapat (Oktober 1999). Penyelidikan dikhususkan pada kemungkinan terjadinya genosida, pembunuhan massal, penganiayaan, pemindahan paksa, kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak serta politik bumi hangus.
WEWENANG Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur.
Menyelidiki tingkat keterlibatan aparatur negara dan atau badan atau kelompok lain (nasional dan internasional) dalam pelanggaran HAM di Timor Timur sejak Januari 1999.
Mengumpulkan bukti-bukti tentang dugaan pelanggaran HAM.
Merumuskan hasil penyelidikan sebagai dasar proses pemajuan tuntutan ke Pengadilan HAM.
Meminta keterangan pihak-pihak korban. Memanggil dan memeriksa saksisaksi dan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM.
Memeriksa berbagai tempat termasuk bangunan yang perlu bagi penyelidikan dengan persetujuan Ketua Pengadilan HAM. Memeriksa dan meminta dokumendokumen baik yang dimiliki instansi resmi maupun instansi lainnya yang diperlukan bagi penyelidikan dengan persetujuan Ketua Pengadilan HAM. Memberikan perlindungan bagi saksi dan korban pelanggaran HAM. Mengolah dan menganalisa fakta yang ditemukan untuk kepentingan penuntutan dan publikasi.
KPMM
Melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Maluku. Menganalisa hasil penyelidikannya tersebut. Kalau perlu melakukan upaya perdamaian melalui mediasi atau rekonsiliasi.
Tidak tercantum dalam Ringkasan Eksekutif maupun SK Pembentukan.
Mengadakan koordinasi dengan instansiinstansi terkait seperti pihak aparat keamanan, tokoh-tokoh masyarakat baik tokoh adat maupun agama dan lain-lain. Melaporkan hasil kegiatannya sesegera mungkin kepada Sidang Paripurna.
KP3T
Publikasi atas hasil kegiatan KPMM dilakukan hanya oleh Komnas HAM. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Tanjung Priok bulan Agustus-September 1984 yang lalu sesuai dengan Pasal 89 (3) UU No.39 Tahun 1999.
Tidak tercantum dalam Ringkasan Eksekutif maupun SK Pembentukan.
Mengadakan koordinasi dengan instansi terkait, tokoh-tokoh masyarakat, agama dan lain-lain. Menganalisa dan menentukan kesimpulan dari hasil penyelidikannya tersebut. Melaporkan hasil kegiatannya sesegera mungkin kepada sidang paripurna. Publikasi atas hasil kegiatan KP3T hanya dilakukan oleh Komnas HAM. Melakukan mediasi dan atau konsiliasi sesuai Pasal 89 (4) UU No.39 Tahun 1999. Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T
Melakukan penggalian kuburan untuk antara lain memastikan jumlah korban. Pemeriksaan dokumen di RSPAD Gatot Subroto dan meminta Berita Acara Pemusnahan dokumen. Melengkapi kesaksian dan bukti tentang jatuhnya korban sebanyak 9 (sembilan) orang keluarga Tan Kiee Lim, penghuni Apotik Koja. Melengkapi nama-nama yang diduga pelaku dan nama penanggung jawab garis komando ketika peristiwa itu terjadi. Merumuskan ulang rekomendasi mengacu ke UU No.39 Tahun 1999 dan instrumen
Tidak tercantum dalam Ringkasan Eksekutif maupun SK Pembentukan.
internasional. Kegiatan lanjutan lain yang dianggap perlu. KPP HAM Papua/ Irian Jaya
Mengumpulkan dan mencari berbagai data, informasi dan fakta tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi setelah diundangkannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dengan memberikan perhatian khusus kepada pelanggaran berat HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Menyelidiki tingkat keterlibatan aparatur negara atau badan atau kelompok lain dalam pelanggaran HAM yang terjadi sejak diundangkannya UU Pengadilan HAM tersebut. Merumuskan hasil penyelidikan sebagai dasar penyidikan oleh Kejaksaan Agung bagi penuntutan di Pengadilan HAM.
Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang terjadi di Propinsi Papua/Irian Jaya setelah diundangkannya UU Pengadilan HAM, khususnya peristiwa kerusuhan di Abepura dan kasus-kasus yang berkaitan. Meminta keterangan pihak-pihak korban. Memanggil dan memeriksa saksisaksi dan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM. Mengumpulkan bukti-bukti tentang dugaan pelanggaran HAM. Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu. Kegiatan lain yang dianggap perlu.
C. MASA KERJA NAMA KPP HAM Timor Timur
MASA KERJA 23 September 1999 - akhir Desember 1999
PERPANJANGAN Hingga 31 Januari 2000, berdasarkan SK Ketua Komnas HAM No: 857/TUA/XII/99 tanggal 29 Desember 1999.
ALASAN Masih banyaknya pemeriksaan terhadap anggota TNI maupun sipil oleh KPP HAM yang perlu diselesaikan guna mendapatkan hasil yang lebih lengkap.
KPMM
19 Januari 18 Februari
Diperpanjang sebanyak 3 kali: 18 Maret hingga 18 Juli 2000 dengan Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 008/KOMNAS HAM/2000 tanggal 18 Maret 2000.
Berdasarkan kajian hasil pemantauan Tim KPMM mengenai permasalahan di Provinsi Maluku dan Maluku Utara masih terdapat permasalahan pelanggaran HAM yang sangat kompleks
18 Juli hingga 18 Agustus dengan Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 009/KOMNAS HAM/VII/2000 tanggal 18 Juli 2000. Berakhir 18 Desember 2000 dengan SK Ketua Komnas HAM No. 013/KOMNAS HAM/VIII/2000 tanggal 21 Agustus 2000. KP3T Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T KPP HAM Papua/ Irian Jaya
dan tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat; juga didorong rasa keprihatinan dan tanggung jawab untuk membantu penyelesaian masalah kemanusiaan tersebut.
8 Maret 2000 – 7 Juni 2000 12 Juli 2000 – 12 Oktober 2000. 5 Februari 5 April 2001
Perpanjangan masa kerja selama 30 hari, hingga 5 Mei 2001, berdasarkan Keputusan Komnas HAM Nomor 022/Komnas HAM/IV/2001 tanggal 6 April 2001.
Adanya beberapa saksi yang harus dimintai keterangan.
D. KEANGGOTAAN DAN PENDANAAN NAMA KPP HAM Timor Timur
KOMPOSISI KEANGGOTAAN Terdiri dari 9 anggota : 5 dari Komnas HAM (dalam perkembangan 1 anggota mengundurkan diri karena menjadi Jaksa Agung), 4 dari luar Komnas HAM; 7 laki-laki, 2 perempuan.
PENDANAAN Anggaran Sekretariat Negara
Didukung oleh Tim Asistensi Penyelidik (13 orang), Sekretariat (14 orang), dan Narasumber (3 orang). KPMM
Terdiri dari 7 anggota : semua dari Komnas HAM; 6 laki-laki, 1 perempuan.
Anggaran Sekretariat Negara
KP3T
Terdiri dari 9 anggota: 8 dari Komnas HAM, 1 dari luar Komnas HAM 7 laki-laki, 2 perempuan
Anggaran Sekretariat Negara
Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T
Terdiri dari 4 anggota: - semua dari Komnas HAM - tidak ada anggota perempuan
KPP HAM Papua/ Irian Jaya
Terdiri dari 6 anggota : - 2 dari Komnas HAM, 4 dari luar Komnas HAM; - 5 laki-laki, 1 perempuan (posisi Wakil Ketua).
Anggaran Sekretariat Negara
Didukung oleh Tim Forensik (32 orang), Tim Investigasi (7 orang), Tim Research dan Indok (3 orang) dan Tim Sekretariat (2 orang) Anggaran Sekretariat Negara
Didukung oleh Tim Asistensi (7 orang), Tim Informasi & Dokumentasi (1 orang), Sekretariat (4 orang), Narasumber (3 orang).
E. MEKANISME KERJA NAMA KPP HAM Timor Timur
ACUAN PRINSIP INTERNASIONAL Manual on the Effective Prevention and Investigation of Extra-Legal, Arbritary and Summary Executions (Manual tentang Pencegahan dan Penyelidikan Efektif tentang Pembunuhan Ekstra Legal, Sewenang-wenang dan … cari terjemahan baku Guidelines for the Conduct of United Nations Inquiries into Allegation of Massacres (Pedoman Pelaksanaan Penyelidikan PBB tentang Tuduhan Pembantaian)
7
KERJA NASIONAL Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia PERPU Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM
METODE PENGUMPULAN DATA Kegiatan diawali dengan mengumpulkan informasi sekunder dan tersier 7 mengenai pelanggaran hak asasi manusia baik dari media massa cetak maupun elektronik dan laporan lembaga/organisasi serta pengaduan individu. Informasi itu didata dan diolah dengan program HURIDOC. Dilanjutkan dengan analisa dan verifikasi ulang lewat pemeriksaan bukti-bukti, dokumen, kesaksian, dan kunjungan lapangan, serta wawancara dan pemeriksaan terhadap pihak
Informasi sekunder: informasi yang dirangkum dari informasi promer, misalnya berita di koran atau laporan yang diterbitkan. Informasi tersier: informasi yang dirangkum dari informasi sekunder, misalnya bibliografi, direktori, dll. (Manuel Guzman. Mendaratkan Fakta-Fakta, Mendokumentasikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Canadian Human Rights Foundation, 2002)
yang memiliki kaitan dengan pelaksanaan tindak pelanggaran hak asasi manusia. KPMM
Dalam Ringkasan Eksekutif tidak disebutkan mengenai acuan internasional dalam penentuan prinsip kerja.
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Dalam Ringkasan Eksekutif tidak disebutkan mengenai metode pengumpulan data.
KP3T
Kode Etik untuk Para Pejabat Penegak Hukum, disahkan oleh Resolusi Majelis Umum 34/169 tanggal 17 Desember 1979.
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Wawancara Pemeriksaan dokumen Observasi Rekonstruksi
KUHP Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban KUHAP Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan, disahkan oleh Resolusi Majelis Umum 40/34 tertanggal 29 November 1985. Prinsip-prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekuasaan dan Senjata Api oleh Para Pejabat Penegak Hukum, disahkan oleh Kongres kedelapan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Tertuduh, Havana, Kuba, 27 Agustus – 7 September 1990. Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia), disahkan oleh Resolusi Majelis Umum 39/46 tertanggal 10 Desember 1984.
Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T
Konvensi Jenewa 1949 Protokol II Konvensi Jenewa 1997
UU Nomor 39 Penggalian kuburan Tahun 1999 Pemeriksaan forensik tentang Hak Asasi Wawancara (pemanggilan dan pemeriksaan saksi) Manusia Pemeriksaan dokumen
Statuta Roma 1998 Dokumen Human Rights and Law Enforcement (HAM dan Penegakan Hukum) KPP HAM Papua/ Irian Jaya
Statuta Roma
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Wawancara (pemanggilan dan pemeriksaan saksi) Ada catatan khusus tentang prinsip-prinsip investigasi HAM berperspektif jender dari Komnas Perempuan.
Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
F. KEGIATAN LAPANGAN NAMA KPP HAM Timor Timur
KASUS Kasus-kasus besar yang terjadi antara Januari sampai dengan Oktober 1999. Kasuskasus ini meliputi: - pembunuhan di kompleks Gereja Liquica, 6 April; - penculikan enam orang warga Kailako, Bobonaro 12 April; - pembunuhan penduduk sipil di Bobonaro; - penyerangan rumah Manuel Carrascalao, 17 April; - penyerangan Diosis Dili, 5 September,
KEGIATAN Penyelidikan lapangan melalui 6 kunjungan ke Kupang NTT, 3 kunjungan ke Timor Timur dan 1 kegiatan penggalian kuburan massal di NTT. Penggalian kuburan dilakukan dengan mengikutkan tim ahli forensik. Selain memeriksa bukti dan tempat-tempat kejadian, KPP HAM juga mengumpulkan informasi baru, melalui wawancara dengan 55 orang saksi korban dan 23 saksi, serta pemeriksaan terhadap 45 orang yang memiliki kaitan dengan pelaksanaan tindak pelanggaran hak asasi manusia. KPP HAM mengadakan 3 kali pertemuan dengan Komisi Penyelidik Internasional untuk Timor Timur yang dibentuk PBB untuk pertukaran informasi. Namun karena tidak tercapai
penyerangan rumah Uskop Belo, 6 September; - pembakaran rumah penduduk di Maliana, 4 September; - penyerangan kompleks Gereja Suai, 6 September; - pembunuhan di Polres Maliana, 8 September; - pembunuhan wartawan Belanda Sander Thoenes, 21 September; - pembunuhan rombongan rohaniwan dan wartawan Lospalos 25 September; - kekerasan terhadap perempuan. Konflik di Maluku (Ambon dan sekitarnya) dan Maluku Utara -
KPMM
kesepakatan tentang protokol kerjasama maka rencana pertukaran alat bukti dibatalkan. Membuka sekretariat KPP HAM di Kupang yang terdiri dari 3 orang asisten dengan tugas memperlancar kegiatan-kegiatan kesekretariatan, dokumentasi dan persiapan komunikasi, menyiapkan pemeriksaan saksi, serta membantu evakuasi saksi dengan keluarganya.
Maluku Utara: upaya mediasi antara dua pasukan sipil bersenjata di Tanjung Barnabas (Halmahera Utara), mediasi di Kecamatan Tobelo, Kecamatan Galela, Pulau Morotai, Mamuya, Jailolo, dan Desa Susukan Kecamatan Sahu; penyekatan di Kalijodo, pengembalian pengungsi di Malifut dan Kao di Maluku Utara. KPMM juga melakukan pendekatan kepada pimpinan umat dan tokoh masyarakat setempat. Maluku: pendekatan mediasi kepada tokoh-tokoh agama baik dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku maupun Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), tokoh-tokoh masyarakat, kaum perempuan, mahasiswa dan masyakat dari kedua kelompok yang bertikai pada umumnya. KPMM mengadakan setidaknya 3 kali pertemuan dalam upaya menjalankan fungsi mediasi: pertemuan dengan masyarakat Maluku Tenggara dan tokoh-tokohnya, pertemuan dengan ibu-ibu, dan pertemuan dengan ibu-ibu dari kalangan muslim yang ketiganya dilakukan di Benteng Victory / Markas Batalyon 733 Masariku. KPMM melaksanakan rekonsiliasi antara Penguasa Darurat Sipil Daerah Maluku dengan jajaran di bawahnya.
KP3T
Peristiwa penembakan di depan Polres Metro Jakarta Utara
Mengundang dan melakukan wawancara/pemeriksaan para saksi, baik korban, para pejabat TNI, Polri, Ulama/Mubaligh dan tim medis, serta pihak-pihak lain yang dipandang
Pembakaran rumah keluarga Tan Keu Lim
perlu, kemudian menuangkan hasil pemeriksaan dalam berita acara. Melakukan pendekatan kepada Panglima TNI dan Kapolri untuk memenuhi prosedur pemeriksaan para pejabat/anggota TNI dan Polri yang bersangkutan. Mempelajari dokumen-dokumen yang terkait dengan kasus Tanjung Priok, baik berupa kaset rekaman, berita-berita dalam media massa, dokumen dari TNI, Polri dan pengadilan serta lembaga terkait. Melakukan observasi di tempat kejadian, bekas panggung tabligh di Jalan Sindang dan sekitarnya termasuk rumah sakit – rumah sakit dimana para korban diberi pertolongan pertama dan dirawat, serta tempat pemakaman para korban. Melakukan pengecekan tentang cara kerja senjata SKS (otomatis, semi otomatis, atau tidak otomatis). Rekonstruksi muatan kendaraan truk reo. Mengumumkan kepada masyarakat bahwa Komnas HAM memberi kesempatan kepada korban/keluarga korban dan pihak-pihak lain yang ingin menyampaikan tambahan keterangan. Menganalisis fakta yang diperoleh untuk selanjutnya mengambil kesimpulan dan membuat rekomendasi, berdasarkan KUHP, KUHAP, secara imparsial dan menggunakan standar hak asasi manusia internasional.
Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T
Peristiwa penembakan di depan Polres Metro Jakarta Utara
Pemanggilan dan pemeriksaan ulang terhadap saksi-saksi yang mengetahui tentang korban dan lokasi kuburan korban peristiwa Tanjung Priok.
Pembakaran rumah keluarga Tan Keu Lim
Penggalian kuburan korban (di TPU Mengkok, Sukapura, Jakarta Utara dan Pemakaman Wakaf Kramat Ganceng, Pondok Ranggon, Jakarta Timur), pemeriksaan laboratorium forensik dan penyerahan kembali kerangka korban kepada ahli waris untuk dimakamkan kembali. Mempelajari dokumen-dokumen dan BAP saksisaksi hasil penyelidikan KP3T sebelumnya.
Berusaha mendapatkan dokumen-dokumen baru sesuai permintaan Jaksa Agung. Menguji temuan tim dengan norma-norma instrumen HAM internasional antara lain: Konvensi Jenewa 1949, Protokol II Konvensi Jenewa 1997, Statuta Roma 1998, dan dokumen Human Rights and Law Enforcement. KPP HAM Papua/ Irian Jaya
Tindakan kepolisian pasca Penyerangan Polsek Abepura pada 7 Desember 2000, yang berupa operasi pengejaran dan penyekatan. a. Tindakan Pengejaran : Pengejaran ke Asrama Ninmin Pengejaran ke pemukiman warga asal Kobakma Mamberamo dan Wamena Barat Kabupaten Jayawijaya di Kampung Wamena Abe Pantai Pengejaran ke Asrama Yapen Waropen (Yawa) Pengejaran ke kediaman masyarakat Suku Lani asal Mamberamo dan Wamena Barat di Jalan Baru, Kotaraja Pengejaran ke pemukiman masyarakat asal Suku Yali, Anggruk di daerah Skyline Kecamatan Jayapura Selatan Pengejaran ke Asrama IMI (Ikatan Mahasiswa Ilaga) di Komplek Perumahan BTN Puskopad, Kampkey, Abepura b. Tindakan aparat di Markas Brimobda Irian Jaya c. Tindakan penahanan di : Mapolres Jayapura Mapolsek Abepura
Memeriksa/meminta keterangan dari 117 orang yang terdiri dari: - saksi korban 51 orang: korban laki-laki 43 orang dan korban perempuan 8 orang; - anggota Kepolisian 39 orang: anggota Polisi 29 orang dan 10 anggota Brimobda Irja; - saksi 19 orang; - saksi ahli 8 orang; - pemeriksaan ulang kepada 8 orang saksi: 7 anggota Kepolisian dan 1 orang Saksi Ahli. Melakukan kunjungan lapangan sebanyak 9 kali. Membuka sekretariat KPP HAM di Kotaraja, Abepura, Irian Jaya dengan 3 anggota, 4 asisten, dan 2 staf. Kegiatan sekretariat ini meliputi: - memperlancar komunikasi antara Jakarta – Abepura (Irian Jaya); - menyiapkan fasilitas pendukung dalan kerja testimoni dan pemeriksaan bukti maupun saksi; - melaksanakan kegiatan kesekretariatan, dokumentasi dan persiapan komunikasi dengan berbagai pihak untuk kelancaran pemanggilan dan pemeriksaan saksi maupun korban; - membuat laporan singkat perkembangan penyelidikan maupun rekomendasi untuk kelanjutan penyelidikan; - membangun kontak lokal dengan masyarakat, Pemda, Gereja, Polda, Kodam, Rumah Sakit dan LSM untuk memperlancar kerja investigasi; - membantu data sekunder dalam kerangka penyelidikan berupa kliping, hasil testimoni, dan laporan penyelidikan.
G. PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NAMA KPP HAM Timor Timur
REALISASI PERLINDUNGAN Sekretariat di Kupang bertugas membantu evakuasi saksi korban dan keluarganya. Ada pedoman khusus untuk mewawancarai saksi korban perempuan yang telah mengalami kekerasan seksual (digunakan oleh Komnas Perempuan). Pada rekomendasi dinyatakan: meminta Pemerintah untuk memberikan jaminan keamanan bagi semua saksi dan korban.
KPMM
Dalam Ringkasan Eksekutif tidak disinggung mengenai jaminan perlindungan saksi dan korban.
KP3T
Pada rekomendasi kepada Pemerintah dinyatakan: memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada semua saksi.
Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T KPP HAM Papua/ Irian Jaya
Dalam Ringkasan Eksekutif tidak disinggung mengenai jaminan perlindungan saksi dan korban. Pada rekomendasi dinyatakan: mendesak pemerintah agar segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah mengenai perlindungan saksi dan korban sebagaimana tercantum dalam pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sementara itu pihak Kejaksaan Agung harus memberikan jaminan perlindungan bagi saksi-saksi dan korban dari kasus Abepura.
H. TEMUAN TENTANG KORBAN DAN PELAKU NAMA KPP HAM Timor Timur
TENTANG KORBAN Kelompok yang secara politik terpilih (seperti pelajar, mahasiswa, aktivis CNRT). Kelompok yang tidak memiliki afiliasi politik manapun, yaitu: perempuan, termasuk sejumlah perempuan korban tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh milisi maupun aparat baik di
TENTANG PELAKU Pelaku di lapangan secara langsung, yaitu para milisi, aparat TNI dan POLRI. Pengendali operasi lapangan, termasuk aparat birokrasi terutama para bupati, gubernur dan pimpinan militer serta kepolisian lokal. Pemegang tanggung jawab kebijakan keamanan, termasuk para pejabat tinggi militer yang terlibat dan yang mengetahui terjadinya rangkaian tindak kekerasan tetapi
Timtim maupun di tempattempat pengungsian di NTT anak-anak, dan rohaniwan. Kalangan masyarakat pro otonomi khusus. KPMM
Anggota masyarakat dari kedua belah pihak yang bertikai.
tidak mengambil tindakan untuk mencegahnya. Kelompok yang menolak opsi otonomi khusus seperti Falintil (bersumber dari laporan Komisi Perdamaian dan Stabilitas (KPS) dan laporan-laporan pejabat sipil dan militer kepada KPP HAM). Pelanggaran HAM horisontal oleh kedua belah pihak yang bertikai. Pelanggaran HAM vertikal oleh oknum aparat negara. Keterlibatan oknum aparat ini bukan dilakukan secara intitusional tetapi hanya merupakan dampak dari bias komando dan “insubordinasi”.
KP3T
Kelompok massa yang bergerak ke arah Kodim Jakarta Utara. Keluarga Tan Keu Lim.
Kelompok massa. Petugas keamanan yang berada di lapangan (petugas keamanan lapangan). Petugas keamanan yang tidak berada di lapangan (komandan petugas keamanan).
Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T
Kelompok massa yang bergerak ke arah Kodim Jakarta Utara.
KPP HAM Papua/I rian Jaya
Penduduk sipil, termasuk mahasiswa, perempuan, dan anak-anak (satuan kepolisian dalam pengejaran dan penangkapan telah menangkap 105 orang. 9 diantaranya perempuan)..
Pelaku dan penanggung jawab yang diduga melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia :
Keluarga Tan Keu Lim. 1) Pelaku di lapangan yang menggunakan kekerasan. 2) Penanggung jawab komando operasional yaitu komandan yang membawahi teritorial di tingkat Kodim dan Polres. 3) Pemegang komando yang tidak mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran berat HAM dan atau memerintahkan secara langsung satu tindakan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Seluruh rangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut merupakan tanggung jawab terutama tetapi tidak terbatas pada lembaga Kepolisian Daerah Irian Jaya tingkat Polda, Satuan Brimob Polda Irian Jaya, Polres Jayapura, dan Polsek Abepura dalam tiga jenjang:
1) Pelaku langsung yang berada di lapangan; 2) Pengendali operasi 7 Desember 2000; dan 3) Penanggung jawab kebijakan keamanan dan ketertiban di Irian Jaya.
I. TEMUAN PELANGGARAN HAM NAMA KPP HAM Timor Timur
TINDAK PELANGGARAN UMUM Indikasi kuat terjadi pelanggaran berat HAM yang dilakukan secara terencana, sistematis serta dalam skala besar dan luas yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan; berupa pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan dan anak (termasuk di dalamnya perkosaan dan perbudakan seksual), pemindahan dan pengungsian paksa, pembumihangusan dan perusakan harta benda. Bukti kuat tentang terjadinya penghilangan dan perusakan barang bukti. Tidak ditemukan adanya kejahatan genosida. Aparat sipil, militer, dan kepolisian yang bekerja sama dengan milisi telah menciptakan situasi dan kondisi yang mendukung terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Kekuatan kelompok milisi dengan nama yang berbeda-beda dalam setiap lokasi secara langsung atau tidak langsung dibangun atas landasan pembentukan kelompok perlawanan rakyat (WANRA), keamanan rakyat (KAMRA) dan Pasukan Pengamanan Swakarsa (PAMSWAKARSA) yang secara langsung dan tidak langsung dipersenjatai, dilatih, didukung dan didanai oleh aparat sipil, militer dan kepolisian.
KPMM
Konflik diduga telah mengakibatkan pelanggaran HAM secara horisontal oleh kedua belah pihak yang bertikai, antara lain: pelanggaran terhadap
HAM BERBASIS JENDER Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan menyangkut penyiksaan, pemaksaan perempuan di bawah umur melayani kebutuhan seks para milisi, perbudakan seks dan perkosaan. Bentuk-bentuk perkosaan terhadap perempuan Timor Timur mencakup: seorang pelaku terhadap satu perempuan; lebih dari satu pelaku terhadap satu perempuan; lebih dari satu pelaku terhadap sejumlah perempuan secara bersamaan di satu lokasi; dan penggunaan satu lokasi tertentu di mana tindak perkosaan dilakukan secara berulang kali.
Tidak disebutkan adanya pelanggaran HAM berbasis jender.
hak hidup, pelanggaran atas hak mendapatkan rasa aman, pelanggaran atas hak milik pribadi, pelanggaran untuk bertempat tinggal di suatu daerah, dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Konflik diduga telah mengakibatkan pelanggaran HAM secara vertikal oleh oknum aparat negara terhadap warganya, antara lain: ketidakmampuan/kegagalan negara (state failure) dalam menjamin hak-hak warganya dan ketidakberdayaan terhadap konflik yang berlarut-larut; serta adanya indikasi keterlibatan oknum aparat keamanan dalam konflik. KP3T
Pelanggaran berat HAM: Oleh massa: penghilangan nyawa 9 orang, yaitu keluarga Tan Keu Lim dan pembantunya; serta hasutan-hasutan. Oleh aparat keamanan: penghilangan nyawa di luar putusan pengadilan sebanyak 24 orang, Menyebabkan luka berat sebanyak 36 orang, Penyiksaan selama dalam pemeriksaan dan penahanan.
Tidak disebutkan adanya pelanggaran HAM berbasis jender.
Pelanggaran HAM: Oleh massa: Pengeroyokan terhadap petugas; Menimbulkan rasa takut; Pengrusakan dan pembakaran terhadap hak milik anggota masyarakat lain atas rumah ibadah, rumah, toko, apotik dan kendaraan bermotor. Oleh aparat kemanan: Menimbulkan rasa takut, Penghilangan kebebasan beribadah sholat Jumat, Proses pemeriksaan yang tidak sesuai KUHAP, Penghilangan hak untuk memperoleh informasi. Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T
Pelanggaran HAM dengan kategori: 1. Pembunuhan kilat (summary killing) 2. Penangkapan & penahanan sewenangwenang (unlawful arrest and detention) 3. Penyiksaan (torture) 4. Penghilangan orang secara paksa (enforced or involuntary disappearance) Terjadi pelanggaran HAM atas keluarga Tan Keu Lim, walaupun belum didapat bukti pendukung untuk menyebut nama mereka.
Tidak disebutkan adanya pelanggaran HAM berbasis jender.
KPP HAM Papua/ Irian Jaya
Indikasi kuat terjadi pelanggaran berat HAM yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penyiksaan (torture); pembunuhan kilat (summary killing); penganiayaan berdasarkan jenis kelamin, ras, dan agama; dan perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang. Terjadi pelanggaran HAM yang berupa pelanggaran atas hal milik. Tidak ditemukan adanya kejahatan genosida.
Penganiayaan berdasarkan jenis kelamin.
III. PENGUNGKAPAN PELANGGARAN HAM BERBASIS JENDER Berangkat dari pandangan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM berbasis jender, maka perlu dipantau sejauhmana mekanisme penyelidikan HAM yang tersedia di Indonesia – yakni, KPP HAM yang dibentuk oleh Komnas HAM – telah berhasil menggali bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang dialami perempuan. Dari kelima KPP HAM yang menjadi fokus tulisan ini, hanya KPP HAM Timor Timur dan KPP HAM Papua/Irian Jaya yang mampu mengungkap adanya pelanggaran HAM berbasis jender. Memang, kedua KPP inilah yang melakukan upaya-upaya khusus untuk menjamin kepekaan terhadap pengalaman khas perempuan dalam menyelidiki kasus-kasus yang diduga sebagai pelanggaran HAM berat. Baik KPP HAM Timor Timur maupun Papua menggunakan kerangka acuan yang secara eksplisit memandang kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran HAM. Misalnya, KPP HAM Papua mengacu pada Statuta Roma yang menyatakan bahwa salah satu bentuk ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ adalah perkosaan, perbudakan seksual, dan berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya. Sedangkan KPP Timor Timur menggunakan sistem database HAM yang disebut HURIDOCS. Dalam sistem database internasional ini telah dikembangkan kategori-kategori khusus untuk menangkap berbagai bentuk pelanggaran HAM perempuan. Tiga KPP HAM yang tidak berhasil menemukan pelanggaran-pelanggaran HAM berbasis jender memang tidak menggunakan acuan apapun yang secara eksplisit memberi tempat bagi pengungkapan pelanggaran HAM yang khas dialami perempuan. Kapasitas KPP HAM Timor Timur dan Papua untuk mengungkap pelanggaran HAM berbasis jender juga berhubungan dengan adanya anggota tim yang mempunyai perspektif jender serta kerjasama dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Pada tahap akhir dari investigasi KPP HAM Timor Timur, Komnas Perempuan melibatkan diri untuk mencari fakta tentang kekerasan yang dialami perempuan Timor Timur, khususnya di kamp-kamp pengungsian di Timor Barat. Dengan KPP HAM Papua, keterlibatan Komnas Perempuan terjadi sejak tahap awal melalui pemberian masukan tentang metodologi investigasi HAM yang berperspektif jender serta melalui kerjasama intensif dengan Wakil Ketua KPP, yang pada saat itu sedang menjalankan salah satu program Komnas Perempuan. Baik untuk KPP HAM Timor Timur maupun Papua, Komnas Perempuan terlibat dalam proses penulisan laporan akhir guna memberi masukan tentang analisis pelanggaran HAM berbasis jender. Temuan kedua KPP HAM ini mengungkapkan dinamika terjadinya pelanggaran HAM yang khas dialami perempuan. KPP HAM Timor Timur menunjukkan bahwa:
kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dan perbudakan seksual, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian pelanggaran berat HAM yang secara kuat terindikasi dilakukan dengan terencana dan sistematis serta dalam skala besar dan luas; korban perempuan termasuk mereka yang tidak mempunyai afiliasi politik dengan pihak manapun yang sedang bertikai. Sedangkan temuan KPP HAM Papua menunjukkan bahwa: perempuan mengalami diskriminasi berganda: selain mengalami penganiayaan akibat diskriminasi atas dasar ras dan agama sebagaimana para korban lainnya, perempuan juga menjadi korban diskriminasi karena jati dirinya sebagai perempuan dan karena adanya sikap serta cara pandang yang diskriminatif terhadap perempuan; penganiayaan yang dialami perempuan tidak saja dalam bentuk fisik, tetapi juga verbal, yaitu kata-kata (makian) yang merendahkan martabat kemanusiaannya. Secara garis besar, kendati telah ada lima investigasi HAM antara tahun 1999 dan 2001 untuk kasus-kasus pelanggaran HAM yang berbeda, tidak berarti bahwa pelanggaran-pelanggaran HAM yang dialami perempuan telah terungkap secara lengkap dan komprehensif. Dalam rangka meningkatkan kepekaan investigasi HAM pada pengalaman khas perempuan, maka perlu dipahami apa yang dimaksudkan sebagai investigasi HAM berperspektif jender. Panduan yang disampaikan oleh Komnas Perempuan kepada KPP HAM Papua memberikan rambu-rambu umum sebagai berikut. Investigasi HAM berperspektif gender tidak terbatas pada investigasi terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan saja, tetapi berlaku terhadap keseluruhan kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Hal ini didasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Wina. Investigasi HAM yang berperspektif jender adalah proses investigasi yang menempatkan perempuan sebagai subyek yang aktif dalam seluruh proses pengungkapan kebenaran, baik sebagai korban pelanggaran HAM, saksi peristiwa maupun sebagai pelaku investigasi itu sendiri. Investigasi HAM dengan perspektif jender mempunyai empat unsur yang menyangkut (i) komposis tim, (ii) pendekatan investigasi, (iii) fokus investigasi, serta (iv) kepentingan dan keselamatan korban. Keempat unsur ini dijabarkan sebagai berikut: 1.
Komposisi tim investigasi mempunyai keseimbangan jender (gender balance).
Keseimbangan gender dalam komposisi tim berlaku pada semua lapisan, dari tingkatan para penentu kebijakan/pengambil keputusan hingga ke
tingkatan petugas wawancara dan penerjemah (antara Bahasa Indonesia dan bahasa lokal). Semua pihak yang terlibat dalam tim investigasi diberi pemahaman tentang (a) jender, (b) kekerasan berbasis jender serta dampaknya pada kondisi fisik dan emosional korban, serta tentang (c) perangkat hukum nasional maupun internasional (seperti pasal International Criminal Court tentang perkosaan sistematis sebagai kejahatan atas kemanusiaan). 2.
Pendekatan investigasi menangkap perspektif perempuan korban atau saksi terhadap semua kasus pelanggaran HAM yang diselidiki.
Untuk kasus-kasus yang tidak secara spesifik ditargetkan pada korban perempuan, seperti kasus tanah, pelanggaran hak petani, kasus penculikan, strategi investigasi beserta perangkatnya (kerangka investigasi dan pedoman wawancara) tetap perlu mengidentifikasikan perempuan sebagai narasumber (saksi) yang akan ditanyai tentang kasus pelanggaran HAM yang sedang diselidiki. Pedoman wawancara juga perlu secara spesifik menanyakan ada atau tidaknya bentuk-bentuk dan dampak-dampak khusus yang dialami kaum perempuan untuk semua kasus pelanggaran HAM yang sedang ditangani. 3.
Fokus investigasi mengupayakan pengungkapan tindak pelanggaran HAM yang secara khas berbasis jender.
Pelanggaran HAM berbasis jender adalah tindak pelanggaran HAM yang ditargetkan pada perempuan karena jati dirinya sebagai perempuan, atas dasar sikap dan cara pandang yang diskriminatif terhadap perempuan, misalnya perlakuan terhadap perempuan sebagai obyek seks. Semua pihak yang terlibat dalam investigasi diberi pemahaman mendasar tentang definisi dan sebab-sebab terjadinya kekerasan berbasis jender. Semua pihak yang terlibat dalam investigasi diberi pemahaman tentang perlunya strategi pembuktian yang tidak kaku dalam kasus-kasus pelanggaran berbasis jender, termasuk kasus perkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya, karena hukum positif nasional yang ada tidak memadai (menuntut pembuktian yang hampir selalu tidak mungkin dipenuhi oleh korban). Strategi pembuktian ini perlu ditentukan sebelum investigasi/ wawancara di lapangan dijalankan agar terakomodasi dalam pedoman wawancara dan sistem dokumentasi yang dibuat. Untuk kasus-kasus kekerasan seksual, petugas wawancara berjenis kelamin perempuan dan menguasai teknik-teknik wawancara yang menjamin rasa aman korban dan tidak memojokkan korban. Sistem pendataan (database) yang dikembangkan disesuaikan sedemikian rupa agar bisa mengungkap secara sistematis berbagai bentuk kekerasan berbasis jender.
4.
Pelaksanaan investigasi keselamatan korban.
mengutamakan
kepentingan
dan
Proses investigasi menempatkan kepentingan korban sebagai prioritas yang sama pentingnya dengan pengungkapan kebenaran. Untuk itu diperlukan sebuah sistem perlindungan bagi saksi dan korban yang komprehensif dan peka terhadap kerentanan-kerentanan perempuan korban kekerasan. Ada mekanisme kerjasama yang baik antara tim investigasi dan pihak pendamping atau konselor korban untuk membantu saksi/korban yang berada dalam kondisi trauma dan/atau ketakutan. Selain itu, juga perlu ada mekanisme transparansi dan akuntabilitas pada publik/masyarakat umum.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Melihat hasil kerja lima KPP HAM yang berkiprah antara tahun 1999 dan 2001, tampak jelas bahwa mekanisme investigasi HAM yang ada di Indonesia ini masih berada pada tahap mencari bentuk. Antara satu KPP dengan KPP yang lain masih menggunakan acuan hukum dan definisi pelanggaran HAM yang berbeda-beda. Perangkat perundangan yang membakukan definisi pelanggaran berat HAM (UU tentang Pengadilan HAM), misalnya, baru berlaku pada akhir tahun 2000. KPP HAM Papua adalah investigasi HAM pertama yang mempunyai rujukan hukum ini. Metodologi investigasi HAM yang diterapkan oleh masing-masing KPP HAM juga beragam. Hal ini tergantung pada kapasitas individu-individu yang terlibat dalam tim KPP HAM, baik dalam hal pemahaman tentang HAM maupun pengalaman melakukan investigasi. Sehubungan dengan pelanggaran HAM berbasis jender, kelima KPP HAM juga mempunyai prestasi yang berbeda-beda. Sebelum berbicara tentang kapasitas melakukan investigasi berperspektif jender, yang lebih menentukan di sini adalah minat dan keseriusan dari pimpinan KPP untuk secara khusus berupaya menggali pengalaman perempuan korban pelanggaran HAM. Berdasarkan pembelajaran dari lima KPP HAM yang telah berlangsung, maka ada sejumlah rekomendasi yang bisa dipertimbangkan oleh Komnas HAM guna meningkatkan kapasitas pengungkapan pelanggaran HAM, termasuk yang dialami perempuan. 1.
Dalam menjalankan mandatnya untuk menyelenggarakan investigasi HAM, Komnas HAM melakukan standardisasi metode investigasi yang mencakup: a. pemahaman tentang definisi pelanggaran HAM yang baku; b. penetapan standar dan mekanisme kerja tim yang menjamin kualitas investigasi; c. pengembangan metodologi dan perangkat investigasi HAM yang memenuhi standar internasional dan peka jender; d. perumusan pedoman dalam melakukan pelaporan akhir sebuah investigasi HAM; e. pelaksanaan rekrutmen anggota tim investigasi dan tim asistensi yang memenuhi syarat kapasitas yang dibutuhkan; dan f. penyelenggaraan pelatihan serta materi pendukung khusus untuk menjamin terpenuhinya poin-poin di atas.
2.
Komnas HAM meningkatkan kapasitasnya menerapkan perspektif jender dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga penegakan HAM nasional, termasuk tetapi tidak terbatas pada pelaksanaan investigasi HAM. Untuk ini, Komnas HAM bisa membangun kerjasama
yang bersifat melembaga dengan Komnas Perempuan yang juga menyandang mandat di bidang penegakan HAM perempuan. 3.
Komnas HAM mengembangkan sistem perlindungan bagi saksi dan korban, yang dilengkapi dengan standar dan prosedur operasional, dan yang peka jender untuk dijadikan panduan kerja di semua investigasi HAM yang dilakukan.
KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (KOMNAS PEREMPUAN)
Didirikan pada tanggal 15 Oktober 1998 melalui Keputusan Presiden No. 181/1998 sebagai reaksi atas gelombang protes masyarakat, khususnya perempuan Indonesia yang terhimpun dalam Mayarakat Anti Kekerasan. Kelompok ini menuntut pemerintah untuk menyatakan permintaan maaf serta upaya konkrit berupa investigasi dan pengadilan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam penyerangan seksual dan perkosaan pada Kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota di Indonesia. KOMNAS PEREMPUAN adalah lembaga independen dan berwewenang penuh atas segala kegiatan yang dilakukan untuk mempromosikan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. KOMNAS PEREMPUAN berwewenang
menerbitkan
dan
menyebarluaskan
laporan-laporannya
kepada masyarakat dan mempunyai otoritas melakukan penggalangan dana secara mandiri untuk melaksanakan program-programnya. KOMNAS PEREMPUAN berprinsip bahwa hak perempuan adalah hak asasi manusia
dan
bahwa
pendekatan
yang
peka
jender
dalam
kerja
perlindungan hak asasi manusia adalah sebuah kebutuhan yang mendesak. Untuk itu, KOMNAS PEREMPUAN mengadakan kerja sama dengan berbagai organisasi dan tidak terbatas pada organisasi-organisasi pembela hak perempuan, dalam maupun luar negeri. Untuk melaksanakan misinya, KOMNAS PEREMPUAN melakukan upayaupaya (1) meningkatkan pemahaman masyarakat tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan lewat publikasi dan dialog-dialog strategis; (2) pengembangan kondisi yang mendukung penghapusan segala bentuk kekerasan
terhadap
perempuan
melalui
langkah-langkah
advokasi
perubahan hukum dan kebijakan; (3) penguatan kapasitas pencegahan
kekerasan terhadap perempuan dan penanganan dampak kekerasan melalui jaringan nasional, regional, dan internasional. Upaya tersebut dilakukan melalui berbagai program kerja yang antara lain (1) pemetaan kekerasan terhadap perempuan yang hasilnya akan rutin diterbitkan; (2) pelayanan bagi survivors dengan memfasilitasi proses belajar kolektif peningkatan pelayanan bagi perempuan korban tindak kekerasan;
(3)
pengembangan
kerangka
sistem
perlindungan
dan
dukungan yang komprehensif dan efektif bagi saksi dan korban dalam sistem peradilan Indonesia; (4) revisi peraturan perundang-undangan yang langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan; serta (5) penyebaran wacana lewat diskusi dan penerbitan berbagai dokumen dan informasi.