Edisi Nov - Des 2012 KPPOD Membangun Indonesia dari Daerah www.kppod.org
Krisis Perikanan di Negeri Maritim Bukan lautan, hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri diri mu….
S
epenggal syair lagu milik group musik legendaris – Koes Plus- tersebut menggambarkan betapa besarnya kekayaan laut negeri ini. Tiga perempat, atau kurang lebih 5,8 juta km wilayah Indonesia terdiri dari lautan, dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Namun demikian apakah sair lagu tersebut juga mampu menggambarkan kondisi nelayan di tanah air? Indikasi terjadinya krisis perikanan di Indonesia sudah mulai tampak dari masih banyaknya nelayan tradisional yang rata-rata berpenghasilan kurang dari Rp.10 juta per tahun. Padahal, nelayan tradisional merupakan pemasok 75% volume ikan domestik di Indonesia. Berdasarkan data Kiara tahun 2010, dalam setahun nelayan tradisional melaut rata-rata hanya 160-180 hari. Turunnya frekuensi melaut ini berdampak terhadap penurunan pendapatan nelayan hingga 50%-70%. Rata-rata sekali melaut nelayan hanya mampu memperoleh Rp.20.000,- s/d Rp.40.000,- atau berkisar 2-3 kilogram ikan. Kondisi ini diperparah dengan terdapat sekitar 80 persen kapal asing yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal dan bebas keluar masuk kawasan perairan kita. Belum lagi pengusaha perikanan di Indonesia, saat ini lebih suka melakukan ekspor ikan mentah, sehingga tidak ada nilai tambah yang dihasilkan.
Dalam 10 tahun terakhir jumlah nelayan berkurang 25 persen. Beberapa faktor penyebab adalah, pertama karena kebijakan yang tidak menguntungkan nelayan. Kedua, karena memang ada pengabaian baik oleh pemerintah maupun industri yang melakukan pencemaran di laut. Ketiga, adanya yang disebut dengan praktik pengusiran. Ini terlihat di kawasan industri pariwisata dimana nelayan-nelayan kita tidak boleh menangkap ikan dengan alasan wilayah pariwisata. Faktor lainnya, disamping karena faktor cuaca yang ekstrim, adalah meluasnya penyelewengan pemakaian BBM bersubsidi. Di tingkat daerah juga masih marak ditemui pungutan perikanan, dan rendahnya harga ikan karena kecurangan tengkulak, serta tak berfungsinya Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal-hal tersebut turut memperburuk pendapatan nelayan di daerah, dan mempercepat krisis ikan nasional. Dalam rangka pemberdayaan nelayan tampaknya juga terjadi ketidaksinkronan program antara pemerintah pusat dan daerah. Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berusaha menghapuskan berbagai retribusi yang selama ini menggerogoti pendapatan nelayan di daerah. Namun di beberapa Pemda yang terjadi justru sebaliknya masih tetap melakukan pungutan terhadap nelayan, bahkan atas obyek yang semestinya menjadi kewenangan pusat dalam skema PNBP, yang sebenarnya pada akhirnya dikembalikan ke daerah dalam bentuk Dana Bagi Hasil SDA Perikanan. Itupun masih menyisakan ketidakpuasan bagi daerah, karena formulasinya yang dibagi sama rata untuk seluruh daerah, bukan didasarkan by origin. Insentif dari pemerintah pusat (KKP) bagi daerah yang mau membebaskan pungutan perikanan di daerah, berupa pemberian DAK, juga tidak banyak disambut oleh daerah. TPI yang diharapkan mampu menstabilkan harga, dengan pembentukan harga yang optimal melaui mekanisme lelang pun tidak dikelola secara optimal. Tak lebih dari 15% TPI di seluruh daerah di Indonesia yang berfungsi sebagaimana mestinya. Lantas dimanakah keberpihakan pemerintah terhadap keberlangsungan hidup nelayan kita?
EDITORIAL Perda, Sinyal Awal Komitmen Pemda DAFTAR ISI Dampak Perda pada Sektor Perikanan .................... 3 Review Regulasi .................... 7 Dari Daerah .......................... 11 Upaya Revitalisasi Tempat Pelelangan ikan ................... 14 Laporan Diskusi Publik ...... 18 Agenda KPPOD ................... 20 Seputar Otonomi Daerah ... 21 Sekilas KPPOD ..................... 22 Wilayah Isu KPPOD ............ 23
Susunan Redaksi Pemimpin Redaksi: Robert Endi Jaweng Redaktur Pelaksana: Ig. Sigit Murwito Staff Redaksi: Sri Mulyati Boedi Rheza Elizabeth Karlinda Illinia Ayudhia Riyadi Distribusi: Regina Retno Budiastuti Kurniawaty Septiani Agus Salim Tata Letak: Rizqiah D Winantyo
Alamat Redaksi: Permata Kuningan Building 10th Fl. Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur Setiabudi Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53 Fax : +62 21 8378 0643 www.kppod.org http://perda.kppod.org http://pustaka.kppod.org
2
Pembaca yang budiman Menyambung topik utama ”KPPOD Brief” edisi sebelumnya prihal infrastruktur daerah, pada kesempatan ini kami menghadirkan satu lagi aspek krusial dalam tata kelola ekonomi daerah: Perda! Ya, beleid di aras lokal ini berperan penting dalam mewadahi pengaturan aktivitas ekonomi di era otonomi. Dari sisi pemda, perda adalah instrumen manifestasi kewenangan otonom suatu daerah. Kualitas perda mencerminkan wajah otentik otonomi dan mutu pengelolaan kewenangan yang dimiliki pemda. Sementara dari sisi pengusaha, perda dapat dibaca sebagai sinyal awal, kesan pertama, buat menakar komitmen “ramah” investasi pemda. Bahkan, Perda menjadi penanda penting dalam mengetes kesehatan (kondusifitas ) iklim usaha suatu daerah. Ia semacam tes kolesterol dalam menguji kesehatan lingkungan usaha secara menyeluruh sekaligus sebagai peringatan dini prihal datangnya berbagai penyakit ikutan lain. Sayangnya, sepanjang belasan tahun ini, contoh paling sering disebut saat menggambarkan mutu buruk governansi di era otonomi adalah keberadaan Perda bermasalah. Istilah ”perda bermasalah” sontak menjadi frasa sehari-hari, ramai menjadi berita media massa dan wacana publik, dalam makna yang amat konotatif. Hal ini muncul seiring dengan merebaknya Perda yang dinilai distortif bagi pembangunan ekonomi dan kelancaran aktivitas usaha di daerah. Desentralisasi membawa tantangan dan tekanan baru yang mendorong upaya penggalian potensi keuangan daerah tergelincir menjadi upaya PAD semata. Bagi dunia usaha, lingkungan bisnis di era desentralisasi ini justru dirasakan kurang kondusif. Persyaratan regulasi, registrasi, perijinan dan pungutan (pajak/retribusi) terasa menumpuk, kurang jelas dan berbelit--meski di sebagian daerah sudah ada innovasi birokrasi investasi melalui penerapan pelayanan terpadu (OSS). Pada gilirannya, iklim tak kondusif tersebut berdampak kepada biaya, resiko dan hambatan persaingan usaha. Daya saing mikro (level perusahaan) dan makro (daerah) melemah dan negeri ini pun belum sepenuhnya terdeteksi radar pencarian para penanam modal. Melihat urain di atas, ”KPPOD Brief” kali ini memperlihatkan sisi otonomi dalam wajahnya yang problematik. Namun, jika menelisik lebih jauh halaman-halaman selanjutnya, kami tidak hanya sedang telling the obvious—menceritakan masalah yang semua sudah jelas adanya, sudah menjadi pengetahuan umum. Lebih dari, kami menghadirkan solusi. Kami percaya, Perda menjadi titik masuk bagi perbaikan kerangka kebijakan dan tata kelola investasi lainnya, seperti pengaturan soal perijinan, tata infrastruktur, biaya transaski, dst. Salah satu pilihan tools yang coba dibahas dalam ulasan-ulasan tersebut adalah alat bantu regulatory impact assessement (RIA). Kami berharap sungguh, edisi ini menghadirkan catatan kebermasalahan sekaligus petunjuk arah bagi jalan perbaikan regulasi daerah ke depan. Selamat membaca
Artikel
Dampak Perda Pada Sektor Perikanan Oleh: Sri Mulyati Peneliti KPPOD
S
ebagai negara dengan garis pantai terpanjang ke-2 setelah Kanada, seharusnya sektor perikanan mendapat prioritas utama dalam pengembangan ekonomi. Konsumsi ikan perkapita penduduk Indonesia (32kg/kapita/tahun) paling rendah dibandingkan negara-negara ASEAN, Korea, dan Jepang. Industri pengolahan ikan di Indonesia kurang berkembang, dari yang ada hanya mampu berproduksi 50% dari kapasitas terpasangnya, dan anehnya disebabkan kekurangan bahan baku. Dari dimensi makro, penyebab rendahnya konsumsi ikan perkapita penduduk Indonesia adalah karena faktor jumlah hasil tangkap (produksi), ketersediaan ikan, dan permasalahan distribusi ikan itu sendiri. Hal yang sama adalah penyebab rendahnya tingkat utilisasi industri pengolahan ikan yang hanya 50%, sebagai akibat dari kekurangan bahan baku, yang pada akhirnya mengakibatkan meningkatnya impor ikan dari luar negeri.
Dokumentasi KPPOD
Pemerintah melalui program bagi nelayan, penjual dan pembeli. Kebijakan apa saja yang Dalam prakteknya, pembentukan Minapolitan mencoba meminimalisir permasalahan dalam pengembangan harga berlangsung tanpa melalui dibuat oleh Pemda sektor perikanan dengan membuat terkait sektor perikanan mekanisme lelang secara terbuka konsep pembangunan kelautan sehingga harga tidak kompetitif dan tangkap, dan bagaimana seringkali nelayan berada di posisi dan perikanan berbasis wilayah. dampaknya? Program ini dilakukan melalui yang tidak menguntungkan. pendekatan sistem dan manajemen Dengan beberapa permasalahan kawasan dengan prinsip: integrasi, efisiensi, tersebut, pertanyaannya kemudian adalah pertama, kualitas dan akselerasi. Selain itu, Pemerintah juga kebijakan apa saja yang dibuat oleh Pemda terkait memberikan insentif berupa DAK bagi daerah yang sektor perikanan tangkap, dan bagaimana dampaknya? telah menghapuskan pungutan retribusi perikanan di Bagaimana peran TPI sebagai sarana dalam Daerahnya. Sayangnya program pemerintah tersebut menstabilkan harga dan pertukaran informasi yang tidak langsung ditindaklanjuti oleh Pemda dengan simetris antar pihak terkait? Apakah TPI sudah dapat membuat kebijakan yang ramah terhadap kegiatan mendukung pengembangan usaha sektor perikanan usaha sektor perikanan, namun justru sebaliknya, atau justru keberadaannya menambah beban nelayan? Pemda masih menerapkan regulasi yang membebani Guna menjawab pertanyaan di atas, KPPOD masyarakat dengan berbagai macam pungutan yang melakukan studi mengenai dampak perda (kebijakan menyebabkan semakin tingginya biaya operasional yang daerah) bagi aktivitas usaha di sektor perikanan harus ditanggung oleh nelayan. Selain itu, keberadaan khususnya perikanan tangkap. Untuk melihat dampak tempat pelelangan ikan (TPI) belum dapat dioptimalkan perda tersebut, KPPOD melakukan studi kasus di dua fungsinya sebagai sarana pembentukan harga yang stabil daerah yakni Belitung Timur dan Tulungagung. Dengan
3
Artikel melakukan studi lapangan di dua daerah yang memiliki karakteristik berbeda diharapkan dapat memberikan gambaran secara lebih lengkap mengenai permasalahan yang dihadapi di sektor perikanan, termasuk untuk mendapatkan gambaran terkait komponen biaya/ pungutan retribusi apa saja dibebankan di Daerah sebagai dampak dari penetapan perda oleh Pemda. Ke depannya diharapkan studi ini dapat menjadi referensi bagi para pengambil kebijakan dalam membuat regulasi terkait pengembangan sektor perikanan.
Metodologi Studi ini menggunakan pendekatan kajian tekstual (desk analysis) dan metode Regulatory Impact Assessment (RIA). Desk analysis ditujukan untuk membuat profil regulasi sektor perikanan yang dilakukan melalui kajian tekstual atas perda-perda perikanan. Untuk kajian tekstual dilakukan berdasarkan 14 kriteria penilaian perda KPPOD yang terbagi dalam 3 aspek, yakni aspek yuridis, aspek substansi, dan aspek prinsip. Desk analysis tersebut dilakukan dengan menggunakan data sekunder yakni atas 78 perda perikanan dimiliki KPPOD, yang berasal dari 53 Daerah. Mengingat banyaknya jenis perda perikanan di daerah, maka dalam Studi ini dibatasi hanya pada jenis perda terkait pungutan dan perizinan khususnya perikanan tangkap yang ditetapkan dari tahun 2009 sampai 2012. Hal tersebut juga sekaligus untuk melihat implementasi UU PDRD terbaru yakni UU No. 28 Tahun 2009 di Daerah. Sedangkan metode RIA ditujukan untuk mengetahui dampak penerapan suatu kebijakan daerah melalui kalkulasi rasional menyangkut manfaat optimum dan biaya netto minimal (cost-benefit analysis). Pendekatan RIA ini diaplikasikan dalam studi kasus di dua daerah yakni Belitung Timur dan Tulungagung. Guna melihat dampak regulasi sektor perikanan di dua daerah tsb, dilakukan wawancara mendalam, observasi dan analisis data sekunder.
Hasil empiris Dari analisis tekstual terhadap 78 perda di sektor perikanan, diperoleh gambaran bahwa mayoritas (86%) perda yang dikaji adalah perda tentang retribusi. Dan kebanyakan perda-perda tersebut belum menyesuaikan dengan ketentuan UU terkait. Berikut beberapa permasalahan tersebut. Ditinjau dari aspek yuridis, banyak dijumpai perda yang tidak mencantumkan UU Sektoral sebagai konsiderannya, sehingga terkesan bahwa perda tersebut tidak memiliki basis legal yang kuat dalam pembentukannya sehingga dapat berpotensi timbulnya disharmonisasi dengan Peraturan perundang-undangan di atasnya. Sebagai contoh Perda Kota Makassar No. 13/2011 tentang Retribusi Jasa Usaha yang tidak mencantumkan UU No.31/2004 tentang Perikanan sebagai acuan.
4
2,6 Kelengkapan Yuridis
35 9,0
Up to Date Acuan Yuridis
72 34,6
n Perikanan n TKED 2011
Relevansi Acuan Yuridis
9 Sumber: KPPOD, 2012
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Gambaran lain ditunjukan dari hasil kajian KPPOD tersebut, adanya kesenjangan kualitas perda antar daerah terlihat antara daerah Jawa dan Luar Jawa. Akses informasi yang kurang merata antar pemda di Indonesia menjadi salah satu penyebab banyaknya perda di luar Jawa masih belum meng up date Peraturan perundang-undangan yang menjadi konsiderannya, sedangkan di Jawa mayoritas Perda telah merevisi dan menyesuaikan Perdanya dengan Peraturan perundangundangan terbaru
12,5 Relevansi Acuan Yuridis
87,5 0,0
Up to Date Acuan Yuridis
100 50
n Jawa n Luar Jawa
Kelengkapan Yuridis
50 Sumber: KPPOD, 2012
0
20
40
60
80
100
120
Secara substansi, kebanyakan Perda Perikanan (17,9%) tidak jelas dalam mengatur standar waktu, biaya, dan prosedur. Akibatnya banyak perda yang kemudian berdampak negatif terhadap aktivitas ekonomi. Dampak negatif yang mungkin ditimbulkan adalah ketidakpastian bagi masyarakat maupun pelaku usaha. Contoh Perda Lamongan No. 19/2010 tentang Retribusi Tempat Pelelangan Ikan yang di dalamnya terdapat ketidakjelasan dalam penetapan rumusan tarif retribusi. Tarif retribusi dalam perda ini hanya mencantumkan besaran 2.5% untuk retribusi kepada penjual maupun pembeli tanpa menyebutkan klausul apapun sebagai dasar perhitungan untuk tarif retribusi tersebut. Ketidakjelasan penetapan tarif tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan penyimpangan dalam implementasinya di lapangan misalnya pungutan illegal. Perda memperburuk kondisi Nelayan. Ditinjau dari aspek prinsip, seperti terlihat pada grafik 4 menunjukkan, 15% Perda Perikanan berdampak negatif
Artikel
terhadap aktivitas usaha perikanan dan membebani nelayan. Perda-perda tersebut kebanyakan melanggar prinsip free internal trade yang menghambat mobilitas barang dan jasa antar daerah, melanggar kewenangan, sehingga terjadi tumpang tindih dengan pungutan di tingkat pusat, dan adanya pungutan yang tidak wajar. Contoh Perda Kota Cirebon No. 5/2011 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi TPI. Untuk setiap transaksi (jual beli) ikan yang diselenggarakan di TPI dikenakan tarif sebesar 5% dari nilai transaksi. Tarif sebesar 5% tersebut 3% nya dibebankan kepada pembeli; dan kepada nelayan sebesar 2%. Dalam praktiknya, beban retribusi bagi pedagang, dialihkan kepada nelayan dan kepada pembeli.
Banyaknya kebijakan yang mengatur sektor perikanan (over regulated) menyebabkan beberapa jenis izin yang overlapping dan berpotensi adanya pungutan ganda. Tercatat paling tidak ada 8 (delapan) Izin Usaha Perikanan Tangkap di tingkat Daerah (Pemda Kabupaten/Kota) dan Pusat, seperti Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP); Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI); Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI); Izin Penggunaan Alat tangkap. Yang khusus diatur di tingkat pusat antara lain: Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM) untuk penanaman modal; Surat Ijin Kapal Perikanan; serta Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP). Jika ditinjau dari tujuan yang diatur dalam beberapa jenis izin tersebut, PPP secara prinsip sama dengan
pungutan untuk SIUP, SIPI, SIKPI. Demikian pula PHP yang hanya dikenakan pada hasil produksi perikanan yang diekspor dengan tarif 1%-2%, berpotensi terjadi pungutan ganda dengan retribusi daerah atas Surat Keterangan Pengangkutan Ikan (SKPI) atau pungutan hasil perikanan di TPI dengan tarif 2%–5%. Jika memang pada level pemerintahan tingkat atas sudah dipungut, seharusnya Pemda Kabupaten/Kota tidak lagi memungut karena nantinya Pemda akan mendapatkan dana sharing dari skema Dana Bagi Hasil (DBH). Mekanisme alokasi dana DBH telah melanggar prinsip keadilan, dimana daerah penghasil maupun bukan penghasil diberikan alokasi DBH yang sama. Idealnya pembagian DBH ini mengacu pada prinsip DBH SDA maka semestinya harus diterapkan berdasarkan prinsip by origin atau daerah penghasil sehingga daerah dapat mengoptimalkan dana tersebut guna pemberdayaan masyarakat sekitar dan upaya konservasi lingkungan yang terkena dampak langsung. Isu lain yang menjadi hambatan dalam pengembangan sektor perikanan adalah Keberadaan TPI belum dioptimalkan sebagai sarana stabilisasi dalam pembentukan harga. Dengan ketidaan TPI justru mengakibatkan nilai tawar nelayan menjadi lemah dan harga tidak kompetitif karena mekanisme pembentukan harga tidak dilakukan dengan lelang secara terbuka (terjadi asimetri informasi) sehingga harga tidak tercapai pada tingkat optimal. Pelelangan ikan dikuasai oleh kelompok pedagang tertentu, sebagai konsekwensi jerat hutang dari nelayan. Namun persoalan lain, adalah keengganan nelayan untuk transaksi di TPI, karena keberatan terhadap pungutan yang harus mereka tanggung. Hal ini mengakibatkan harga ikan sulit dikontrol, dan PAD (Retribusi TPI) tidak dapat diperoleh secara maksimal. Data hasil tangkapan ikan (produksi perikanan) di daerah juga tidak dapat tersedia secara ada akurat. Keberadaan TPI masih sangat dibutuhkan sebagai sarana stabilisasi harga dan upaya peningkatan daya tawar nelayan. Dengan melihat cost and benefit analysis (metode RIA) yang dilakukan di Belitung Timur dan Tulungagung, Pemda perlu melakukan revitalisasi keberadaan TPI secara optimal baik dari sisi kebijakan maupun fasilitas layanan yang diberikan. Kebijakan insentif yang diberikan oleh Kementerian Kelautan berupa insentif DAK untuk daerah yang telah menghapus biaya retribusi perikanan baiknya menjadi salah satu alternatif bagi daerah untuk meningkatkan sektor perikanan. Sebagai contoh, Belitung Timur dari sisi kebijakan telah menghapuskan biaya retribusi perikanan, dengan penghapusan retribusi tersebut justru menaikkan alokasi DAK menjadi dua kali lipat (dari 3M menjadi 6M), sedangkan dari segi fasilitas keberadaan TPI, meskipun secara fisik TPI tidak difungsikan namun sistem pencatatan administrasi atas hasil tangkap ikan masih dilakukan secara tertib. Lain halnya dengan Tulungagung, meskipun secara
5
Artikel fisik TPI tersebut ada, namun fungsinya justru tidak berjalan dengan semestinya, terlihat dari tidak adanya pencatatan yang tertib atas hasil tangkap ikan sehingga Pemda tidak memiliki data yang valid atas produksi perikanan daerahnya. TPI disamping sebagai sarana stabilisasi harga, Pemda juga sangat berkepentingan g u n a mendapatkan data yang valid atas produksi hasil perikanan serta potensi perikanan di daerahnya. M e l i h a t pentingnya keberadaan TPI tersebut, h e n d a k n ya Pemda dapat berkoordinasi dengan pihak lainnya atau bekerjasama dengan BUMD daerah dalam pengelolaan TPI tersebut salah satunya dengan memperbaiki fasilitas dan kualitas sarana dan prasarana pendukung. Nelayan maupun pedagang pada dasarnya tidak berkeberatan untuk membayar retribusi sepanjang biaya yang dikeluarkan masih seimbang dengan kualitas pelayan yang didapat dari tempat TPI tersebut.
Kesimpulan Pemda lebih berorientasi pada pembuatan perdaperda pungutan yang dapat meningkatkan PAD bagi daerahnya namun tidak diimbangi dengan kualitas perda yang baik. Selain belum update dengan peraturan Perundang-undangan terbaru, beberapa daerah masih belum mencantumkan peraturan sektoral terkait yang justru menjadi dasar hukum pembuatan perda sektoral, serta masih adanya perda yang menetapkan besaran tarif yang berpotensi meningkatkan beban biaya operasional bagi nelayan. Banyaknya jenis perda yang diatur dalam sektor perikanan yang diatur baik oleh Pemda Kabupaten/Kota dan Pemerintah (5 jenis Perda di Kabupaten/Kota, 3 jenis Perda Pemerintah) dalam prakteknya menimbulkan overlapping aturan pusat dan daerah yang menyebabkan
6
adanya pungutan berganda yang berdampak ekonomi negatif. Dana Bagi Hasil (DBH) berpotensi menimbulkan pungutan ganda dengan retribusi daerah dan melanggar prinsip keadilan. Hal ini dikarenakan sumber DBH yang berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) secara prinsip sama dengan SIUP, SIKPI, SIPI yang juga dipungut di daerah. Belum optimalnya TPI menyebabkan tidak stabilnya atau lemahnya harga ikan bagi nelayan, karena sistem lelang tidak berlaku sehingga terjadi informasi yang asimetris antara nelayan dengan pedagang.
Rekomendasi Dari sisi kebijakan, dalam pembuatan Perda, Daerah hendaknya menyesuaikan dengan Peraturan perundang-undangan tertinggi, sekaligus peraturan sektoral terkait. Sehingga tidak terjadi siharmoni dan pertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya. Dalam pengembangan sektor perikanan, gerakan Nasional untuk merevitalisasi keberadaan TPI perlu diupayakan oleh pemerintah, sehingga TPI dapat berfungsi secara optimal. Beberapa cara dapat dilakukan misalnya dengan membebaskan retribusi, penyediaan fasilitas dan jasa-jasa di TPI denga kualitas yang baik dan Pemda tetap memiliki kewenangan untuk mengatur (dikenakan biaya atas penggunaannya) sebagai upaya pengelolaan dan perawatan atas fasilitas yang telah disediakan. Disamping itu, hendaknya Daerah melaksanakan himbauan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk membebaskan retribusi perikanan sehingga nelayan tidak merasa terbebani dengan berbagai pungutan dan sekaligus memberikan dorongan bagi nelayan untuk memiliki izin. --o0o--
Review Regulasi
Perda IMB Kota Denpasar: rugi sekarang, untung seterusnya? Oleh: Boedi Rheza Peneliti KPPOD
I
zin Mendirikan Bangunan (IMB) dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengatur bangunan-bangunan yang ada di daerah. Aspek-aspek yang termasuk ke dalam pengaturan IMB adalah aspek keamanan bangunan dan keteraturan, sehingga terdapat berbagai kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah bangunan. Aspek kewilayahan pun juga menjadi salah satu yang diatur melalui IMB melalui pemenuhan tata ruang. Bangunan yang akan didirikan harus sesuai antara peruntukan dengan tata ruang yang telah ditetapkan di daerah tempat bangunan berdiri.
tengananpanglipuranbahagwk.blogspot.com
Dengan Perda IMB, Pemda berusaha menjaga keserasian bangunan dengan wilayah, jaminan keselamatan bangunan, juga keharmonisan bangunan di wilayahnya. Pemko Denpasar, melalui Perda No.6 Tahun 2001 tentang IMB, menerapkan aturan khusus penggunaan corak tradisional Bali. Tujuan dari penerapan perda ini adalah untuk menjaga keserasian bentuk dan arsitektur bangunan yang akan di bangun di Denpasar, dan mempertahankan kekahsan budaya termasuk di dalamnya arsitektur bangunan Bali di Kota Denpasar sebagai salah satu daerah tujuan wisata. Arsitektur bercorak Bali ini umumnya terdapat pada susunan bangunan di Bali , didasari oleh suatu prinsip yang dipegang oleh masyarakat Bali yaitu prinsip tri angga, yakni mulai dari bagian tangga, pintu, bagian bangunan hingga pada atap. Karena adanya aturan khusus tersebut, maka untuk membangun sebuah bangunan di Kota Denpasar, tentunya diperlukan pekerja yang memiliki ketrampilan khusus untuk mengerjakan bagunan dengan arsitektur
Bali. Selain diperlukan ketrampilan khusus bagi pekerja juga diperlukan tambahan waktu untuk pembuatan ukiran khas yang terdapat dalam arsitektur Bali. Bagi pihak yang akan membangun bangunan, penerapan aturan khusus ini sedikit banyak mempengaruhi preferensi pembangun untuk membangun sebuah bangunan dalam hal arsitektur. Sebab dengan penerapan aturan khusus IMB ini tentunya pilihan arsitektur bangunan menjadi terbatasi. Untuk mengetahui sejauh mana dampak yang ditimbulkan oleh penetapan aturan khusus di dalam Perda IMB di Kota Denpasar, maka dilakukan analisis Regulatory Impact Assessment (RIA) terhadap perda tersebut. Sebagai pembanding, dilakukan juga analisis terhadap penerapan perda IMB di Belitung Timur dan Tulungagung. Dari analisis penerapan perda di tiga daerah tersebut, terlihat perbedaan yang signifikan dengan adanya aturan khusus tentang penggunaan arsitektur khas Bali untuk bangunan pada Perda IMB di Kota Denpasar. Sedangkan di Belitung Timur dan
7
Review Regulasi di Tulung Agung tidak terdapat ketentuan untuk penggunaan unsure arsitektur lokal seperti di Denpasar. Di Belitung Timur belum memiliki Perda RTRW sebagai salah satu acuan untuk penetapan IMB, sehingga dalam menerbitkan IBM mengacu pada Permendagri No. 32 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian IMB. Sedangkan di Tulungagung diberlakukan Perda No. 17 Tahun 2010 tentang IMB. Perbedaan tersebut antara lain, untuk daerah yang tidak ada aturan mengenai keharusan membuat bangunan dengan corak lokal tidak diperlukannya keahlian khusus bagi pekerja bangunan yang memiliki keahlian untuk membuat corak lokal bangunan yang akan dikerjakannya. Juga tidak perlu ada penyesuaian bagi bangunan yang sedang dibangunnya dengan arsitektur bercorak lokal. Berikut ini adalah ringkasan perbedaan aturan penerbitan IMB di tiga daerah penelitian:
atau terkena dampak secara langsung maupun tidak langsung dari pemberlakuan aturan (perda) tersebutadalah: Pemda Kota Denpasar melalui Dinas Tata Kota, pekerja bangunan non Bali, kontraktor, masyarakat asli bali, masyarakat pendatang yang tinggal di Bali. Untuk menganalisis dampak pemberlakuan perda IMB kota Denpasar tersebut dibagi menjadi tiga kategori dampak yaitu kecil, sedang dan besar. Sedangkan koefisien untuk menentukan arah dari besaran dampak adalah (+) untuk manfaat dan (-) untuk biaya.
Alternatif Tindakan/Kebijakan: Beberapa alternatif tindakan/kebijakan yang mungkin diterapkan untuk memacahkan permasalahan yang ditimbulkan dari penerapan perda tersebut, antara lain:
Tabel 1. Hasil Temuan Studi Lapangan Kota Denpasar, Tulungagung dan Belitung Timur Temuan studi lapangan
Tulungagung
Kota Denpasar
Belitung Timur
Keberadaan perda IMB
Ada, Perda IMB juga mengatur retribusi IMB
Ada, dilengkapi dengan Perwali yang mengatur retribusi IMB
Tidak ada, yang ada hanya perda retribusi perizinan tertentu yang mengatur retribusi IMB
Perda Terkait
1 Perda (Perda No. 17 Tahun 2010 tentang IMB)
1 Perda (Perda No. 6 Tahun 2001 tentang IMB)
Keberadaan corak lokal
Tidak ada
Ada
1 Perda (Perda No. 4 Tahun 2012 tentang retribusi perizinan tertentu) Tidak ada
Struktur tarif
Luas BG x Indeks Terintegrasi x 1,00 x HS retribusi
Biaya IMB (Luas bangunan x nilai bangunan + Rp. 10.000) + Biaya jasa administrasi sempadan
L x It x 1,00 x HSbg
Pengawasan
Ada
Ada dan memerlukan tambahan pengawasan
Ada
Kejelasan standar waktu
Jelas
Jelas
Tidak disebutkan
Masa berlaku IMB
Selama bangunan berdiri/ tidak berubah
Selama bangunan berdiri/ Tidak disebutkan (tidak ada tidak berubah perda khusus terkait Izin mendirikan bangunan)
Analisis Regulatory Impact Assessment (RIA) Perda IMB Denpasar
Dari identifikasi awal terhadap potensi permasalahan yang mungkin timbul dari penerapan Perda IMB di Denpasar adalah sebagai berikut: 1. Perlunya pembangun melakukan penyesuaian dengan arsitektur Bali 2. Adanya tambahan waktu pengerjaan untuk arsitektur Bali 3. Adanya tambahan biaya yang dikeluarkan untuk membuat arsitektur Bali 4. Perlunya ketrampilan khusus bagi pekerja bangunan non Bali untuk membuat corak arsitektur Bali
Analisis Biaya dan Manfaat dari Penerapan Perda
Analisis Stakeholders:
Pemilihan kebijakan
Adapun stakeholder yang kemungkinan terlibat
8
1. Tetap memberlakukan aturan khusus yang berada dalam perda IMB Kota Denpasar 2. Merevisi atau menghapus pasal yang berada dalam perda IMB Kota Denpasar
Dari dua alternatif kebijakan diatas, dilakukan analisis manfaat dan biaya secara kualitatif melalui metode Regulatory Impact Assessment (RIA) untuk masing-masing alternatif. Berkut adalah table analisa biaya dan manfaat untuk masing-masing alternatif.
Dari hasil perhitungan biaya dan manfaat (secara
Review Regulasi kualitatif) untuk setiap alternatif yang telah ditetukan, alternatif kebijakan mana yang paling bisa diterima oleh seluruh pemangku kepentingan. Alternatif yang paling sedikit menimbulkan biaya yang harus ditanggung oleh setiap pemangku kepentingan, atau yang paling mendatangkan manfaat yang paling besar adalah tindakan atau kebijakan yang akan dipilih. Dari hasil penghitungan biaya dan manfaat dari masing-masing opsi, baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek, maka untuk opsi alternatif I yaitu ‘Tetap memberlakukan aturan khusus yang berada dalam perda IMB Kota Denpasar’ pada jangka pendek memang menimbulkan biaya bagi pembangun, pekerja dan masyarakat pendatang yang akan membangun di Kota Denpasar. Namun, dalam jangka panjang, dengan tetap memberlakukan aturan khusus, ada manfaat yang diperoleh oleh beberapa pihak, bahkan termasuk didalamnya pekerja bangunan bukan asli Bali. Bagi pekerja bangunan bukan asli Bali akan mendapatkan manfaat berupa pengetahuan dan ketrampilan untuk mengerjakan arsitektur Bali, meskipun di jangka pendek, akan memerlukan waktu, tenaga dan usaha khusus untuk mempelajarinya. Bagi masyarakat asli Bali, pemberlakuan aturan khusus penggunaan tentunya dapat menjaga budaya dan ke khasan Bali. Selama ini, kekhasan Bali di dalam arsitektur bangunan tersebut, juga menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Bali. Dengan adanya kunjungan wisatawan ke Bali, khususnya Kota
Denpasar, akan meningkatkan pemasukan juga bagi Pemda setempat. Sementara dari opsi ke II yaitu ‘Merevisi atau menghapus pasal yang berada dalam perda IMB Kota Denpasar’, terlihat pada jangka pendek, pembangun bangunan tidak akan mengeluarkan biaya dan usaha untuk menyesuaikan bangunan dengan arsitektur khas Bali. Demikian juga dengan Namun dengan tidak adanya aturan khusus tersebut, sangat mungkin unsur khas daerah yang ditunjukkan oleh arsitektur tradisional Bali perlahanlahan akan menghilang. Padahal kekhasan daerah ini, menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan untuk datang ke Bali, khususnya Kota Denpasar. Sehingga, di masa mendatang, dapat saja preferensi wisatawan untuk datang ke Kota Denpasar akan berubah, dan bukan tidak mungkin menyamakan Kota Denpasar dengan KotaKota lainnya. Hal ini dapat menyebabkan penurunan wisatawan ke Kota Denpasar. Bagi masyarakat asli Bali di Kota Denpasar, dengan penghapusan pasal tentang aturan khusus tersebut, akan berpotensi menghilangkan unsur tradisional yang selama ini dijaga. Di dua daerah lain, yaitu Tulungagung dan Belitung Timur, tidak terdapat aturan khusus mengenai corak lokal untuk bangunan, sehingga konstruktor atau pemilik bangunan hanya mengeluarkan biaya untuk perizinan saja dan tidak ada biaya tambahan untuk membuat corak lokal. Selain itu, bagi pekerja bangunan tidak memerlukan usaha khusus untuk mempelajari
Tabel 2. Analisis dampak perda IMB Kota Denpasar terhadap masing-masing stakeholder
No.
1
Pemangku Jabatan
Pemilik Bangunan
Alternatif 1 (Memberlakukan Aturan Khusus) Jangka Jangka Pendek Panjang
Alternatif 2 (Menghapus Aturan Khusus) Jangka Jangka Pendek Panjang
Kesesuaian dengan kepentingan bisnis
(+) Besar
(+) Besar
(+) Besar
(+) Besar
Preferensi pribadi pemilik bangunan
(-) Sedang
(.) Neutral
(+) Besar
(.) Netral
Biaya untuk membuat arsitektural bali tersebut
(-) Sedang
(-) Kecil
(.) Netral
(.) Netral
Kemungkinan pungli oleh aparat Pemda
(-) Sedang
(-) Sedang
(-) Sedang
(-) Sedang
(-) Sedang
(+) Kecil
(+) Besar, (+) Sedang
(+) Sedang
Administrasi implementasi perda
(-) Besar
(-) Besar
(-) Besar
(-) Besar
Mempertahankan keserasian kota
(+) Besar
(+) Besar
(-) Sedang
(-) Besar
Biaya untuk membuat perda
(-) Sedang
(-) Sedang
(-) Sedang
(-) Sedang
(-) Sedang
(-) Besar, (-) Sedang
2 (-) Besar
2 (-) Besar, (-) Sedang
Manfaat/Kerugian
Dampak bagi Pemilik Bangunan
2
Pemda
Dampak bagi Pemda
9
Review Regulasi
No.
3
Alternatif 1 (Memberlakukan Aturan Khusus) Jangka Jangka Pendek Panjang
Alternatif 2 (Menghapus Aturan Khusus) Jangka Jangka Pendek Panjang
Nilai budaya yang harus diterapkan
(+) Besar
(+) Besar
(-) Besar
(-) Besar
Penggunaan arsitektur Bali untuk Bangunan oleh masyarakat pendatang yang membangun di Bali
(-) Kecil
(-) Kecil
(-) Kecil
(-) Kecil
(+) Sedang, (+) Kecil
(+) Sedang, (+) Kecil
(-) Besar, (-) Kecil
(-) Besar, (-) Kecil
Usaha tertentu untuk mempelajari Arsitektur Bali
(-) Sedang
(-) Kecil
(.) Netral
(.) Netral
Waktu dan Biaya untuk mempelajari arsitektur Bali
(-) Sedang
(-) Kecil
(.) Netral
(.) Netral
Pengetahuan tentang Arsitektur Bali
(+) Besar
(+) Besar
(-) Besar
(-) Besar
(.) Neutral
(+) Sedang
(-) Besar
(-) Besar
(-) Besar
(.) Netral
(.) Netral
(.) Netral
(-) Besar
(.) Netral
(.) Netral
(.) Netral
(+) Sedang
(+) Besar
(-) Kecil
(-) Sedang
Dampak bagi Wisatawan
(+) Sedang
(+) Besar
(-) Kecil
(-) Sedang
Total Dampak
(-) Sedang, (-) Kecil
3(-) Besar
3(-) Besar, (-) Sedang, (-) Kecil
Pemangku Jabatan
Masyarakat Bali secara luas
Manfaat/Kerugian
Dampak bagi Masyarakat Bali secara luas
4
Pekerja Pendatang dari luar Bali
Dampak bagi pekerja pendatang dari luar Bali 5
Perencana Bangunan
Usaha lebih besar untuk menyingkronkan desain arsitektural bali dengan desain bangunannya
Dampak bagi Perencana Bangunan 6
Wisatawan
Preferensi wisatawan atas penggunaan arsitektur Bali
teknik untuk membuat arsitektur lokal untuk bangunan. Namun dengan tidak memberlakukan aturan khusus menggunakan arsitektur khas daerah, maka dapat terjadi hilangnya unsur ke khasan daerah yang ditunjukkan melalui bangunan. Dengan hilangnya ke khasan suatu daerah, secara tidak langsung, dapat menghilangkan manfaat lain yaitu daya tarik sebuah daerah bagi pariwisata. Karena dengan tidak adanya kekhasan bangunan di suatu daerah, wisatawan mungkin saja tidak begitu merasakan kekhasan daerah tersebut.
(+) Besar
jangka panjang, jika aturan tersebut tidak diberlakukan, sangat mungkin, arsitektur khas Bali perlahan-lahan akan menghilang. Ini dapat menimbulkan kerugian tersendiri bagi masyarakat asli Bali maupun wisatawan yang akan berkunjung ke Kota Denpasar. Dengan hilangnya kekhasan tersebut, preferensi wisatawan untuk datang ke Kota Denpasar akan berkurang, karena tidak mendapati lagi bangunan khas Bali. Dampak selanjutnya adalah penurunan penerimaan Pemda Kota Denpasar dari sektor pariwisata. --o0o--
Kesimpulan Dengan melihat dampak dari penerapan aturan khusus penggunaan arsitektur Bali, dalam jangka pendek memang menimbulkan biaya bagi pembangun maupun pekerja bangunan bukan asli Bali. Tapi di
10
Dari Daerah
Tulungagung Surga Perikanan yang Belum Dioptimalkan Oleh: Rizqiah Darmawiasih Peneliti KPPOD
W
ilayah Indonesia terbentang sepanjang 6.400,36 km mulai dari Sabang sampai Merauke dengan garis pantai sepanjang 95.181 km dan terletak di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Jika dibandingkan antara luas daratan dan lautannya, maka luas lautan di Indonesia memiliki dominasi lebih besar yaitu mencapai 62 persen dari total wilayah Indonesia sedangkan luas daratan hanya 38 persen dari total wilayah Indonesia, dengan kondisi tersebut Indonesia dikenal sebagai Negara Maritim atau Negara Bahari Potensi yang dimiliki oleh laut Indonesia itu luar biasa, Sebagai Negara maritim terbesar di dunia, kekayaan laut Indonesia yang bisa di eksplor sungguh luar biasa, salah satunya variasi jenis ikan dan biota laut yang beragam.
Dokumentasi KPPOD
Salah satu daerah yang memiliki potensi perikanan laut atau perikanan tangkap, di Indonesia adalah Kabupaten Tulungagung, yang terletak di pantai selatan Jawa Timur. Tulung agung berada pada posisi 111o 43’ sampai dengan 112o 07’ Bujur Timur dan 7o 51’ sampai dengan 8o 18’ Lintang selatan dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Kediri, Trenggalek, dan Blitar. Popoh, Brumbun, Sine adalah nama beberapa pantai di kawasan Tulungagung yang menjadi pusat kegiatan nelayan dan wisata bahari. Pantai yang berada di sekitar 176 meter dari permukaan laut (mdpl) ini, dikelola langsung oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tulungagung. Sedangkan beberapa area hutan yang terdapat di sekitar pantai, berada di bawah kelola pihak perhutani setempat.
Perikanan Tangkap masih menjadi sub sektor andalan untuk Perikanan Pemerintah daerah memiliki perhatian khusus
kepada sektor perikanan Tulungagung, hal ini ditunjukan dengan beberapa perda yang mengatur mengenai usaha perikanan dan kelautan seperti Peraturan daerah kabupaten Tulungagung nomor 12 Tahun 2010, yang mengatur mengenai berbagai ketentuan dalam perijinan seperti SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan),SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan), SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan) dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan agar kegiatan melaut ataupun jual beli di daerah tersebut bisa berjalan baik dan sesuai dengan prosedur, Pemerintah juga sedang membuat sebuah perda yang mengatur mengenai perikanan dan kelautan. Pada tahun 2011 jumlah PAD dari sektor perikanan adalah 121.127.300, PAD pada tahun 2011 ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 94.686.950. Hal ini membuktikan bahwa sektor perikanan memiliki potensi yang sangat baik, Pemda setempat memiliki rencana baik untuk sektor perikanan di Tulungagung, Pemda
11
Dari Daerah Tulungagung sedang membuat draft Peraturan daerah orang dan Rp.1,000,-/kendaraan (motor). Penerangan yang membahas khusus mengenai sektor perikanan. di sekitar jalan menuju pantai Popoh dianggap kurang Dalam Perda nomor 12 tahun 2010 dicantumkan layak oleh para nelayan, karena penerangan hanya ada berbagai perijinan dan kejelasannya, seperti apa saja dan ketika sudah tiba di kawasan Pantai Popoh namun bagaimana cara mengurus perijinan tersebut. Namun ketika diperjalanannya sangat minim penerangannya para nelayan atau pelaku usaha perikanan belum dan menyulitkan beberapa nelayan dari luar daerah. banyak yang memilikinya, Di tempat tersebut Produksi perikanan tangkap, hal ini diperkuat dari data pemerintah daerah telah yang dimiliki oleh Dinas membangun Tempat Potensi perikanan di Tulungagung Perikanan dan Kelautan Pelelangan Ikan (TPI), adalah 10.000 ton per tahun dan Tulung agung yang sebagai sarana untuk jumlah produksi perikanan di TPI menunjukan penurunan transaksi hasil tangkap ikan Tulungagung pada tahun 2011 adalah oleh nelayan dan pedagang. khususnya pada perijinin usaha perikanan, pada Tempat Pelelangan Ikan 843.545 kg pertahun tahun 2008 tercatat 270 menjadi wadah para nelayan nelayan yang memiliki izin usaha perikanan tangkap, dan penjual ikan dalam kegiatan jual beli. Fasilitas TPI namun pada tahun 2011 yang tercatat hanya 35 nelayan. Popoh sudah dikembangkan oleh Pemerintah daerah Pengurusan perijinan dapat dilakukan di Unit Koperasi dan memberikan beberapa fasilitas untuk memudahkan yang disediakan pemda tepat di TPI Popoh, Unit masyarakat, fasilitas yang diberikan berupa dermaga Koperasi adalah salah satu fasilitas dari pemerintah untuk sandar kapal, timbangan, gudang penyimpanan, untuk mempermudah proses perijinan di sektor KUD, Kios, penerangan dan berbagai jenis kebutuhan. perikanan. Berbagai penjelasan dan ketentuan dalam Peraturan daerah nomor 12 tahun 2012 menyebutkan Stabilitas harga belum berjalan baik hanya berbagai perijinan yang harus dimiliki oleh para berdasarkan musim, ketika tangkapan ikan berlimpah pelaku usaha perikanan namun hal ini tidak di ikuti maka harga jual akan jauh lebih murah daripada masaoleh berbagai penyuluhan, hal ini ditunjukan dengan masa “terang bulan”, karena hasil tangkapan jauh lebih banyaknya nelayan yang mengetahui hak tersebut dan sedikit dan harga menjadi jauh lebih mahal. Pihak menyatakan bahwa tidak ada penyuluhan dari Pemda KUD atau perwakilan dari Pemerintah daerah memiliki setempat. tugas tersendiri yaitu sebagai pengontrol dan penjaga Dari sisi produksi perikanan tangkap, Potensi keamanan TPI. di tentukan oleh Nelayan sesuai dengan perikanan di Tulungagung adalah 10.000 ton per tahun banyaknya hasil tangkapan. Proses transaksi jual beli dan jumlah produksi perikanan di TPI Tulungagung di TPI Popoh ini adalah ikan hasil tangkapan nelayan pada tahun 2011 adalah 843.545 kg pertahunnya. dibawa ke TPI kemudian ditimbang dan di catat oleh Tulungagung memiliki keragaman jenis ikan seperti pihak dari KUD dalam buku besar yang nantinya akan Sebelah, Lidah, Manyung, Semar, Tuna, Teropong, dan dilaporkan, kemudian harga disepakati antara nelayan lain sebagainya. Jenis yang disebutkan di atas adalah dan pembeli pembayaran kemudian dilakukan di ikan yang dominan tertangkap oleh para nelayan di tempat. Belum adanya sistem pelelangan ikan di TPI ini Tulungagung. menyebabkan harga ikan tidak stabil bahkan terkadang lebih rendah dari biaya melaut itu sendiri. TPI Popoh menjadi salah satu TPI terbesar dikota Optimalisasi Peran Tempat Pelelangan Ikan untuk Mendorong Pertumbuhan Sektor Tulungagung ini memiliki banyak fasilitas yang sudah Perikanan disediakan oleh Pemda, namun ada beberapa fasilitas Di Tulungagung terdapat beberapa Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebagai tempat berkumpul nelayan dan mengadakan transaksi jual beli seperti TPI Brunbun dan Popoh. Salah satu TPI di Tulungagung ada di Pantai Popoh yang terletak di jalur laut selatan atau Samudera Indonesia. Tepatnya berada di Desa Besulih, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung. TPI Popoh merupakan TPI terbesar di Kabupaten Tulungagung yang juga terletak di kawasan Wisata Pantai Popoh, hal ini dikuatkan oleh pernyataan dari pihak Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Tulungagung Bapak Rohyadi. Letaknya kurang lebih 30 km dari pusat kota yang tidak digunakan dan menjadi terbengkalai dan ke arah selatan. Memasuki kawasan Pantai Popoh para bahkan sudah rusak, seperti kios-kios yang disediakan pengunjung akan dikenakan retribusi sebesar Rp.3,000,-/
12
Dari Daerah untuk menjual hasil tangkap atau menjual souvenir, balai pertemuan pun kini yang dialih fungsikan menjadi gudang serbaguna oleh para nelayan setempat, namun itu bukanlah hal yang diharapkan oleh nelayan saat ini,para nelayan mengharapkan pembangunan dermaga yang optimal. TPI Popoh memiliki sebuah dermaga yang masih pada tahap penyelesaian, hal ini menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan nelayan karena seringkali terjadi kecelakaan pada saat perahu sandar di dermaga. Kios-kios yang dibangun Pemda kini terbengkalai dan menjadi bagian dari fasilitas yang tidak berfungsi sampai saat ini, balai pertemuan yang dibangun di TPI ini juga memiliki nasib yang sama yaitu tidak terpakai sehingga pada akhirnya digunakan sebagai gudang oleh para nelayan.
Dermaga menjadi salah satu fasilitas yang sangat diharapkan oleh nelayan pantai Popoh untuk dimaksimalkan pembangunannya, hal ini merujuk pada beberapa kecelakaan yang terjadi di dermaga ini ketika perahu pembawa ikan sandar sehingga seringkali menyebabkan berkurangnya penghasilan para nelayan tidak hanya itu ombak tinggi juga seringkali menyebabkan terbaliknya kapal para nelayan pemecah ombak yang disediakan oleh pemda belum berhasil membuat perahu para nelayan aman dari ombakombak tersebut. Keamanan para nelayan dipertaruhkan
di dermaga ini ketika berhadapan dengan ombak tinggi. Pedagang ikan dari pasar sekitar pantai Popoh selalu memenuhi TPI ini, para pembeli sebagian besar dari pasar Besole dan Pasar Bandung. Para pembeli dikenakan biaya Rp.5.000,- jika membeli satu keranjang ikan atau setara dengan 50 kilogram, dan tidak terbatas pada jenisnya. Kemudian Nelayan sendiri memiliki bagian ikan dari hasil penangkapan yang biasa disebut “Laukan”. Laukan tersebut menjadi hak para nelayan karena selebihnya ikan yang ditangkap dan di tempatkan dikeranjang adalah milik para juragan pemilik kapal sedangkan oleh nelayan laukan tersebut di tempatkan di plastik-plastik berukuran sedang. Nelayan memiliki kewajiban untuk membayar kepada bakul depan sebanyak 2,5 % dari hasil penangkapan. Pungutan yang dibayarkan ke bakul depan sebanyak 2,5 % dirasakan cukup memberatkan karena ketika sedang tidak banyak hasil tangkapan mereka tetap harus membayarkan 2,5% tersebut jika tidak bisa dibayarkan pada hari itu mereka akan menundanya dan menggantinya ketika mereka mendapatkan ikan pada lain waktu. Biaya melaut yang cukup besar membuat mereka merasa hal ini memberatkan karena tidak sesuai dengan fasilitas yang maksimal dari TPI ini dan sekali perjalanan melaut nelayan membutuhkan 100 liter solar, satu liter solar seharga 4500 rupiah dan ketika dikalikan 100 maka sekali melaut para nelayan harus mengeluarkan 450.000 rupiah dan dikalikan 2 karena setiap melaut nelayan harus membawa 2 buah kapal, satu untuk menyimpan hasil tangkapan dan satunya lagi untuk menjaring ikan. Tempat Pelelangan Ikan adalah sebuah media untuk para nelayan bertransaksi dan beraktifitas, hal ini akan menjadi seimbang dan baik jika diiringin dengan fasilitas yang tepat untuk para nelayan tidak hanya untuk wisatawan. Pembangunan dermaga dan fungsi dari Unit Koperasi yang di maksimalkan akan memberikan hal yang baik untuk para nelayan sehingga memberikan dampak yang maksimal untuk sektor perikanan Tulungagung. --o0o--
Saat ini KPPOD memiliki koleksi sekitar 20.000 Perda dalam versi elektronik menyangkut topik ekonomi/investasi di daerah (Pajak, Retribusi, Perijinan, dll). Untuk melihat daftar koleksi tersebut, silahkan akses http://perda.kppod.org. Bagi individu/korporasi/organisasi yang akan memesan koleksi kami, dapat menelusuri prosedur dan syarat pemesanan yang tertera pada menu layanan submenu pemesanan perda.
Terima kasih Bagian Keperpustakaan
13
Opini
Revitalisasi TPI Dalam Rangka Stabilisasi Harga Jual Ikan Oleh: Illinia Ayudhia Riyadi Peneliti KPPOD
I
ndonesia merupakan negara maritim yang besar dengan luas laut hampir 2/3 dari total luas wilayah. Pada tahun 2011, jumlah penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai nelayan adalah sebanyak 2,7 juta jiwa dimana 89,38% di antaranya merupakan nelayan tradisional. Populasi masyarakat nelayan yang begitu besar tersebut tidak diikuti dengan kualitas hidup yang baik. Dari 34,96 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia (versi BPS), 63,47% di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Artinya, hampir sebagian besar masyarakat nelayan di Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Dokumentasi KPPOD
Kemiskinan yang masih melanda masyarakat nelayan harus mendapat perhatian yang besar dari pemerintah. Oleh karena itu, perlu adanya upaya dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan di kawasan pesisir. Salah satu aspek penting yang menentukan tingkat kesejahteraan nelayan adalah harga jual ikan. Para nelayan selalu berharap agar harga jual ikan berada pada level yang tinggi sehingga dapat menutupi seluruh biaya operasional nelayan dan memberikan margin keuntungan bagi nelayan. Margin keuntungan yang diperoleh tersebut tentunya akan sangat menentukan tingkat kesejahteraan hidup masyarakat nelayan. Oleh karena itu, pembentukan harga jual ikan haruslah berdasarkan mekanisme pasar yang mencerminkan kekuatan penawaran dan permintaan. Sebenarnya, pemerintah telah berupaya membantu menciptakan pembentukan harga jual ikan yang adil bagi nelayan dengan menyediakan tempat pelelangan ikan (TPI). TPI ini merupakan pasar yang biasanya terletak di dalam pelabuhan atau pangkalan pendaratan
14
ikan. Tempat tersebut menjadi wadah pertemuan antara nelayan sebagai produsen dengan bakul ikan sebagai pembeli yang melakukan transaksi penjualan ikan atau hasil laut baik secara lelang. Idealnya, penjualan ikan dengan proses lelang dapat menciptakan fairness, baik bagi pihak nelayan maupun bakul ikan. Dengan adanya proses lelang dalam penjualan ikan, maka diharapkan dapat menghindari terjadinya asymmetric information karena melalui proses lelang, informasi bisa diperoleh secara sempurna. Proses lelang dapat menggambarkan willingness to pay dari pembeli secara tepat sehingga berperan dalam pembentukan harga yang sesuai dengan mekanisme pasar. Para pembeli dapat saling bersaing dalam memberikan penawaran harga sampai terbetuk harga pada level tertentu yang merupakan titik ekuilibrium dari kekuatan permintaan dan penawaran. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam proses pembentukan harga tersebut, baik dari sisi permintaan (pihak pembeli) maupun penawaran (pihak nelayan) samasama memiliki bargaining position untuk mempengaruhi
Opini harga sehingga terbentuk harga jual ikan yang lebih menguntungkan bagi nelayan. Lain halnya bila nelayan langsung menjual ke bakul ikan secara sendiri-sendiri, maka harga yang terbentuk akan jauh lebih rendah karena nelayan tidak memiliki bargaining position dalam penentuan harga. Dengan demikian, secara konseptual, proses lelang dalam transaksi penjualan ikan merupakan cara yang tepat untuk membentuk harga yang adil dan stabil bagi nelayan maupun pembeli.
Sejarah Keberadaan TPI di Indonesia Komoditi perikanan memerlukan suatu keseimbangan pasar yang mengarah pada penciptaan stabilitas harga. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil suatu kebijakan-kebijakan yang tepat sasaran. Kebijakan harga pada komoditi perikanan tujuan untuk melindungi nelayan dari permainan seperti pada penetapan harga produksi hasil perikanan harga yang dilakukan oleh tengkulak/pengijon, biasanya dilakukan dengan memperhitungkan tingkat membantu nelayan mendapatkan harga yang layak keuntungan yang ingin dicapai. Semakin besar margin dan juga membantu nelayan dalam mengembangkan keuntungan yang ingin didapat , maka menjadi tinggi usahanya (Sulistyani, 2005). Pada dasarnya, sistem pula harga yang ditetapkan untuk konsumen namun dari Pelelangan Ikan adalah suatu pasar dengan sistem diseimbangkan dengan tingkat kualitas barang. perantara (dalam hal ini adalah tukang tawar) melewati Kebijakan harga pada komoditi perikanan penawaran umum dan yang berhak mendapatkan dipandang perlu untuk diimplementasikan secara ikan yang dilelang adalah penawar tertinggi. Dengan riil. Hal ini disebabkan karena kondisi perekonomian demikian, nelayan sebagai pihak penjual merasa Indonesia masih sering mengalami gejolak sebagai diuntungkan karena memperoleh harga terbaik dampak dari beberap hal, di antaranya adalah sering dalam transaksi jual-beli ikan hasil tangkapannya. terjadinya pergantian kabinet, keadaan politik dan keamanan yang tidak stabil, serta kebijakan ekonomi Tantangan Pengembangan TPI yang sering berubah-ubah. Oleh karena itu, intervensi Mengingat pentingnya keberadaan TPI sebagai pemerintah dalam penetapan harga jual komoditi tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk perikanan menjadi salah satu hal yang penting dilakukan melakukan transaksi secara lelang, maka transaksi untuk melindungi kesejahteraan para nelayan. jual beli ikan hasil tangkapan nelayan perlu diarahkan Terdapat dua aspek yang berpengaruh langsung untuk diselenggarakan di TPI. Ironisnya, saat ini terhadap peningkatan kesejahteraan hidup para nelayan cenderung memilih nelayan, yaitu aspek kelembagaan Idealnya, penjualan ikan untuk menjual langsung ikan hasil atau pranata produksi dan tangkapan mereka di atas kapal distribusi hasil tangkapan. Pada dengan proses lelang dapat masih berada di tengah laut. saat ini, hubungan sosial yang menciptakan fairness, baik ketika Hal ini dikarenakan para nelayan melingkupi kedua aspek tersebut bagi pihak nelayan maupun tersebut sudah terlilit hutang masih kurang menguntungkan dengan para juragan tengkulak bakul ikan bagi para nelayan. Oleh karena itu, yang memberikan pinjaman modal TPI dihadirkan dengan harapan bagi mereka untuk melaut. Sebagai imbalannya, para dapat meningkatkan penghasilan serta memberikan nelayan tersebut harus menjual hasil ikan tangkapan pembinaan dan pemberdayaan bagi keluarga nelayan. mereka ke para juragan dengan harga rendah sesuai Selain itu, unit usaha TPI dibentuk dengan tujuan untuk yang ditetapkan oleh juragan tersebut. Kondisi ini menstabilkan harga ikan melalui mekanisme lelang mengindikasikan bahwa selama ini para nelayan dalam transaksi jual beli yang diselenggarakan di sana. masih mengalami kesulitan dalam akses permodalan. Transaksi menggunakan mekanisme lelang Merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) sebenarnya sudah berkembang sejak lama dalam No.139 tahun 1997, 902/Kpts/PI-420/9/97, 03 SKB/M/ kegiatan perekonomian di Indonesia. Sejarah IX/1997 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan, lelang di Indonesia dimulai oleh East India Company maka kepala daerah menunjuk pihak yang bertanggung yang menyelenggarakan lelang untuk teh (1750) jawab mengelola TPI. Dalam rangka menggiatkan dah masih bertahan sampai sekarang di London. kembali usaha koperasi di bidang perikanan, maka Sejarah Pelelangan Ikan telah dikenal sejak KUD Mina ditunjuk sebagai pihak yang bertanggung tahun 1922, didirikan dan diselenggarakan oleh jawab dalam mengelola TPI dan menyelenggarakan Koperasi Perikanan terutama di Pulau Jawa, dengan
15
Opini transaksi jual beli hasil ikan tangkapan nelayan. Namun, pada kenyataannya, hampir sebagian besar KUD Mina yang ditunjuk sebagai pengelola TPI gagal dalam memfungsikan TPI untuk menciptakan stabilisasi harga jual ikan di tingkat nelayan. KUD Mina sebagai pihak pengelola TPI tidak mampu menarik minat nelayan untuk menjual hasil tangkapannya ke TPI. Para nelayan kehilangan kepercayaan untuk memilih TPI sebagai wadah untuk memasarkan hasil tangkapan mereka. Hal ini disebabkan karena TPI yang awalnya didirikan untuk membantu para nelayan agar terlepas dari jeratan kemiskinan, kini justru berkembang menjadi sarana untuk memungut retribusi oleh Pemda
kekeluargaan sehingga menciptakan ikatan kerjasama yang kuat antara pengurus dengan anggota koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan anggota koperasi itu sendiri, yang notabene adalah para nelayan. Namun, pada kenyataannya KUD Mina gagal membantu para nelayan untuk memperoleh akses permodalan maupun menciptakan stabilisasi harga dalam penjualan ikan. Kegagalan tersebut tidak terlepas dari proses pembentukan KUD Mina yang bersifat top down, bukan hasil dari gerakan sosial-ekonomi masyarakat nelayan. Oleh karena itu, sebaiknya kewenangan dalam pengelolaan TPI diberikan langsung kepada dinas perikanan daerah setempat yang secara langsung bertanggung jawab pada bupati dalam memberikan laporan tentang pencapaian target yang ditetapkan. Penyerahan kewenangan pengelolaan TPI kepada dinas perikanan setempat merupakan langkah awal yang penting dalam serangkaian upaya revitalisasi TPI. Dengan adanya penyerahan pengelolaan TPI di bawah wewenang dinas perikanan setempat, diharapkan proses transaksi jual-beli komoditi perikanan melalui mekanisme lelang dapat terselenggara sesuai dengan prosedur yang berlaku. Pemda melalui dinas perikanan diharapkan dapat berperan aktif sebagai juru lelang yang memimpin langsung proses pelelangan dalam transaksi jual-beli komoditi perikanan. Selain itu, kehadiran Pemda sebagai pihak pengelola juga sangat diperlukan untuk membenahi sistem pencatatan Tingkat I, Tingkat II, dan sebagainya. Selain itu, KUD data komoditi perikanan yang terkumpul dan terjual Mina sebagai pihak pengelola TPI juga dianggap melalui proses pelelangan yang berlangsung di TPI. gagal dalam melaksanakan fungsinya. KUD Mina Data-data komoditi perikanan yang akurat dan valid tidak mampu menghimpun dan menyalurkan modal sangat penting sebagai bahan evaluasi kinerja sektor kepada para nelayan sebagai anggotanya. Akibatnya, perikanan di daerah tersebut serta indikator penting para nelayan justru terjebak dalam lilitan hutang dan untuk menilai efisiensi dan efektivitas keberadaan TPI kewajiban untuk menjual ikan hasil tangkapannya di daerah tersebut. kepada para juragan tengkulak. Selain itu, ternyata Peran pemda melalui dinas perikanan sebagai di beberapa TPI transaksi jual beli secara lelang tidak pengelola TPI diharapkan tidak hanya sebatas untuk terselenggara sebagaimana mestinya karena ketiadaan menjamin terselenggaranya proses pelelangan yang juru lelang dari pihak KUD Mina. sesuai prosedur dan membenahi Upaya merevitalisasi Kondisi ini mengindikasikan sistem pencatatan data saja, keberadaan TPI agar mampu bahwa pihak KUD Mina melainkan juga membantu sistem berfungsi sebagai stabilitator distribusi komoditi perikanan. telah gagal dalam mengelola TPI sebagai upaya untuk harga sebagaimana mestinya. Pengaturan sistem distribusi menciptakan stabilisasi harga. hasil perikanan sangatlah penting untuk menjaga agar harga jual di pasar tidak mengalami penurunan secara Pengembangan TPI ke Depan signifikan pada saat jumlah pasokan ikan melimpah. Berdasarkan uraian dan fakta-fakta yang telah Oleh karena produk hasil perikanan bersifat mudah dipaparkan sebelumnya, maka dapat dinyatakan bahwa rusak, maka dalam upaya membangun sistem distribusi keberadaan TPI sangatlah penting untuk stabilisasi dan yang baik, perlu adanya sistem penyimpanan dengan pembentukan harga jual ikan secara adil bagi nelayan. menggunakan cold storage yang higienis. Pengadaan cold Namun, perlu adanya perbaikan-perbaikan di beberapa storage membutuhkan modal yang cukup besar, sehingga aspek dalam upaya merevitalisasi keberadaan TPI agar perlu keaktifan Pemda melalui dinas perikanan sebagai mampu berfungsi sebagai stabilitator harga sebagaimana pihak pengelola untuk bermitra dengan investor dari mestinya. Salah satu perbaikan yang harus dilakukan sektor swasta. Dengan demikian, kunci keberhasilan adalah meninjau kembali pemberian kewenangan revitalisasi TPI tidak hanya bertumpu pada sector pengelolaan TPI kepada KUD Mina. Seyogyanya, pemerintah saja, melainkan juga membutuhkan sinergi suatu koperasi perikanan terbentuk berlandaskan azas
16
Opini dengan sector swasta sebagai mitra usaha. Upaya lain yang penting untuk dilakukan untuk revitalisasi TPI adalah dengan mengusahakan untuk menarik minat nelayan agar bersedia menjual ikan hasil tangkapannya ke TPI. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mempermudah akses permodalan kepada para nelayan sehingga mereka tidak perlu lagi berhutang
diharapkan keberadaan perbankan dapat membantu nelayan terlepas dari jeratan juragan tengkulak dan membantu para nelayan untuk belajar berinvestasi. Revitalisasi TPI penting dilakukan untuk mengubah pola hubungan pengusaha dengan nelayan, agar tidak terjadi riak dalam hubungan antara nelayan, pengusaha dan pemerintah. Hal ini bisa terjadi kalau revitalisasi TPI juga ternyata memberikan manfaat kepada pengusaha. Oleh karena itu, penting bagi pengusaha industri perikanan untuk memperoleh insentif dari pemerintah agar bersedia mendukung TPI sebagai wadah berlangsungnya transaksi jual-beli komoditi perikanan melalui mekanisme lelang. Insentif diberikan kepada para pelaku usaha industri perikanan yang membeli bahan baku di TPI melalui mekanisme pelelangan yang berlangsung. Insentif tersebut berupa kemudahan izin usaha, akses pasar dan pemasaran bagi pelaku usaha pengelola industri perikanan hasil olahan komoditi perikanan yang dibeli dari TPI. Dengan adanya insentif tersebut, diharapkan para pelaku usaha industry olahan berlomba-lomba untuk membeli bahan baku melalui mekanisme pelelangan komoditi perikanan di TPI.
dengan para penjual tengkulak. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menarik lembaga keuangan bank (terutama bank-bank yang memang ditunjuk oleh pemerintah sebagai penyalur kredit usaha rakyat atau KUR) atau lembaga non-bank agar mau mendirikan kantor-kantor cabang di berbagai lokasi TPI. Bank Rakyat Indonesia (BRI) merupakan salah satu contoh bank yang secara resmi ditunjuk pemerintah untuk menyalurkan KUR. Selain itu BRI juga memiliki instrumen perbankan simpedes (simpanan masyarakat pedesaan) dan kupedes (kredit umum masyarakat pedesaan) yang pengembangannya disesuaikan dengan masyarakat setempat. Melalui instrumen tersebut, diharapkan BRI mampu menghimpun dan menyalurkan dana ke masyarakat nelayan. Keberadaan kantor cabang BRI di lokasi TPI diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyaluran permodalan kepada pihak nelayan. Dengan demikian,
Catatan Penutup Keberadaan TPI sangatlah penting untuk menciptakan stabilisasi melalui pembentukan harga jual ikan berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Hal ini penting untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan dan mengembangkan potensi sektor perikanan secara luas. Revitalisasi TPI penting untuk dilakukan agar keberadaannya tidak hanya menghabiskan anggaran saja, tetapi juga memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat nelayan maupun pelaku usaha industri pengolahan perikanan secara luas. Dengan demikian, keberadaan TPI nantinya tidak hanya akan memberikan manfaat bagi nelayan, tetapi juga turut mendorong perkembangan industri perikanan bernilai tambah tinggi sehingga mampu meningkatkan PDRB daerah setempat di masa mendatang. -o0o-
Visi dan Misi KPPOD VISI KPPOD ikut mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh Nusantara. MISI KPPOD menganalisa, menilai dan memberikan masukan bagi kebijakan dan praktik Pemerintahan Pusat dan Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bagi pembangunan ekonomi Nasional.
17
Laporan Diskusi Publik
“Pengaruh Perda terhadap Aktivitas Usaha Perikanan Daerah” Oleh: Elizabeth Karlinda Peneliti KPPOD
T
emuan dari studi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukkan peraturan perundangan sektor perikanan di tingkat nasional maupun daerah yang tumpang tindih (overlapping) berpotensi menimbulkan pungutan ganda (double taxation) dan beberapa perda sektor perikanan yang dikaji telah melanggar aspek yuridis, substansi maupun prinsip. Hal ini menarik untuk didiskusikan dalam suatu forum publik. Berangkat dari temuan tersebut, KPPOD menyelenggarakan diskusi publik dengan tema Pengaruh Peraturan Daerah terhadap aktivitas usaha sektor perikanan tangkap di daerah. Acara yang dilaksanakan pada Senin, 26 November 2012 bertempat di ruang ATC Apindo ini dihadiri oleh 42 peserta yang berasal dari berbagai kalanga, baik Pemerintah Pusat (KKP, Kemenkeu ), pelaku usaha (GAPPINDO), lembaga donor (SEADI-USAID), NGO pemerhati perikanan dan lingkungan hidup, serta media massa. Sektor perikanan mengalami over-regulated dan terjadi pungutan berganda.
Dokumentasi KPPOD
Diskusi publik yang berlangsung dari pukul 10.15 hingga pukul 12.10 ini di awali dengan pemaparan hasil studi KPPOD mengenai pengaruh peraturan daerah (perda) terhadap aktivitas usaha sektor perikanan tangkap di daerah. Hasil studi KPPOD dipresentasikan oleh Ig. Sigit Murwito (Deputi Direktur KPPOD) yang menjelaskan bahwa dari 78 perda sektor perikanan yang dikaji memiliki pelanggaran dalam aspek yuridis, substansi dan prinsip. Dilihat dari aspek yuridis, sebesar 34.6 persen dari perda yang dikaji memiliki acuan yuridis yang tidak relevan. Misalnya Perda Kota Makassar No. 13/2011 tentang Retribusi Jasa Usaha yang tidak mencantumkan UU 31/2004 tentang Perikanan sebagai acuan. Sementara 17.9 persen perda
18
perikanan tersebut tidak memiliki kejelasan standar waktu, biaya dan prosedur atau struktur dan standar tarif. Contoh dari pelanggaran ini adalah Perda Lebak No. 3/2009 tentang Retribusi izin usaha perikanan yang tidak dijelaskan jenis pelanggaran yang berdampak pada denda. Dari aspek prinsip, 15.4 persen perda sektor perikanan yang dikaji memiliki dampak ekonomi negatif. Misalnya adalah Perda Kota Makassar 10/2009 dimana retribusi dikenakan atas transaksi di TPI berdasarkan nilai transaki (5%) dibebankan sepenuhnya pada bakul (penjual). Temuan lainnya adalah peraturan perundangan sektor perikanan di tingkat daerah maupun nasional yang over-regulated berpotensi menyebabkan double taxation atau pungutan ganda.
Laporan Diskusi Publik Pungutan berganda di Tingkat Pusat hingga Daerah memperlemah daya saing produk perikanan. Selanjutnya Bambang Suboko selaku Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (GAPPINDO), sebagai narasumber yang mewakili pelaku usaha sektor perikanan, menjelaskan bagaimana pengaruh kebijakan daerah (perda) terhadap kegiatan usaha perikanan. Menurutnya, salah satu faktor yang mengakibatkan rendahnya daya saing perikanan di pusat dan daerah adalah peraturan perundangan yang tidak meningkatkan daya saing. Perda, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota yang tumbuh menjamur dan kebanyakan baertujuan semata-mata untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga mendistorsi aktivitas usaha. Tumpang tindih antara regulasi di tingkat pusat dengan di daerah, juga turut mempersulit perkembangan usaha sektor perikanan. Sebagai contoh, hasil tangkap ikan yang telah dipungut oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, ditingkat daerah juga masih dipungut melalui Perda/ Keputusan Gubernur/ Keputusan Bupati/ Walikota. Hal ini mengakibatkan terjadi pungutan ganda atas obyek pungutan yang sama yaitu oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga mengurangi daya saing produk perikanan di Indonesia.
Perlu mendorong daerah untuk membuat Perda yang menjamin kelestarian keanekaragaman hayati laut. Selanjutnya, Prof. Dr. Martani Huseini yang merupakan guru besar Universitas Indonesia, yang juga mantan Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan tanggapan
mengenai studi yang dilakukan oleh KPPOD. Menurutnya, studi yang dilakukan oleh KPPOD perlu dikategorikan atau difokuskan pada subsektor perikanan tertentu mengingat sektor perikanan itu sangat luas cakupannya. Selain itu, saran yang diberikan terhadap studi KPPOD adalah perlunya kajian terhadap perda yang bersifat non pungutan, dan bersifat mengatur kelestarian keanekaragaman hayati laut. Menurut beliau, di beberapa daerah telah dikembangkan beberapa perda yang bertujuan untuk melindungi spesies ikan dan binatang laut agar tidak terjadi kepunahan. Tidak semua perda yang dibuat oleh pemda berdampak buruk bagi sektor perikanan. Beberapa perda ada yang bersifat pengaturan, yakni perda mengenai keberlangsungan (sustainability) ekosistem air laut, perda mengenai keselamatan dan keamanan (safety and security), maupun perda yang membantu kesejahteraan masyarakat nelayan. Cotohnya adalah perda di Kabupaten Simeulue yang mengatur penangkapan lobster dan perda Kabupaten Jembrana mengenai alat pendeteksi letak ikan sehingga nelayan diarahkan untuk menangkap ikan di wilayah yang sudah dideteksi terdapat banyak ikan. KPPOD dan stakeholder dalam diskusi tersebut sepakat agar terus mendorong pemerintah daerah, untuk membuat regulasi yang tidak semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan daerah, yang justru akan memperlemah perkembangan usaha sektor perikanan. Tetapi diharapkan juga agar daerah-daerah membuat kebijakan yang berorientasi jangka panjang, yakni yang dapat menjaga kelestarian keanekaragaman hayati laut, sehinga dapat mendatangkan keuntungan baik secara ekologis dan ekonomis yang bersifat jangka panjang. --o0o--
PROSES PEMESANAN PERDA DI KPPOD No.
KETERANGAN
1
Pemesan memilih Perda yang dibutuhkan dengan terlebih dulu melihat koleksi Daftar Perda KPPOD pada menu regulasi É peraturan daerah;
2
Permintaan jenis dan jumlah Perda dapat dikirim via email
[email protected];
3
Setelah menerima email pemesan Perda, KPPOD akan mengirimkan konfirmasi terkait tindak lanjutnya, terutama menyangkut besaran biaya pemesanan dan teknis pengiriman; A. Klasifikasi biaya berdasarkan jumlah pesanan; l Jumlah perda 1 - 50 file, @ Rp. 30.000,-; l Jumlah perda 51 - 100 file, @ Rp. 25.000,-; l Jumlah perda diatas 100 file, @ Rp. 20.000,-; Catatan: Pembayaran melalui transfer bank yang akan ditunjuk pihak KPPOD B. Teknis pengiriman perda; l Dikirim via email bila memungkinkan dari sisi ukuran file dan/atau jumlah perda. l Dikirim dalam bentuk CD/DVD (bila ukuran file dan/atau jumlah perda besar) yang akan dikenakan ongkos kirim..
19
Agenda KPPOD
Kegiatan KPPOD Terkini Dengan menggunakan pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi publik), KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata kelola ekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah. Saat ini, KPPOD bekerjasama dengan lembaga beberapa donor sedang melaksanakan beberapa kegiatan sebagai berikut. 1. Penguatan Kapasitas dan Ekspose Publik KPPOD dalam Meningkatkan Advokasi Perbaikan Tata Kelola Ekonomi di Indonesia Program ini merupkan kerjasama KPPOD dengan SEADI (Support for Economic Analysis Development in Indonesia)-USAID. Kegiatan berlangsung dari bulan Juni 2012 hingga Mei 2013 terdiri dari beberapa kegiatan utama, yakni - Penelitian Tematik dari untuk memperdalam temuan hasil penelitian TKED. Empat topik yang dipilih merupakan pendalaman dari studi Tata Kelola Ekonomi Daerah yang telah dilakukan KPPOD sebelumnya. Dari bulan Juni hingga saat ini, ada dua topik yang telah selesai dikerjakan oleh KPPOD. Topik pertama terkait dengan hubungan antara korupsi, belanja pemerintah daerah di sektor infrastruktur dan kualitas infrastruktur daerah. Sementara topik kedua merupakan topik yang dibahas pada KPPPOD Brief Edisi ini yakni terkait peraturan daerah khusunya di sektor perikanan tangkap. Selain itu, topik ketiga yang pada bulan Febuari 2013 akan dikerjakan pada awal bulan Febuari dengan tema yang terkait dengan isu buruh. - Lokalatih untuk Peningkatan Kapasitas Pemda dalam Pembuatan Peraturan Daerah. Kegiatan ini dilaksanakan pada 29-31 Desember 2013. Lokalatih tersebut mengangkat tema ‘Penguatan Kapasitas Pemda dan DPRD dalam Pembuatan Perda’. - Bisnis Forum: Merupakan kegiatan yang mempertemukan antara beberapa Pemda dengan Investor potensial. Pemerintah daerah diberi kesempatan untuk mempresentasikan potensi investasi daerahnya di hadapan forum bisnis. Kegiatan ini direncakanan dilaksanakan pada akhir bulan Juni 2013.
20
2. Penguatan Iklim Investasi bagi Peningkatan Rantai NIlai Usaha Kakao Pada program ini, KPPOD mencoba bergerak langsung di salah satu sektor utama perkebunan. Komoditas kakao dipilih mengingat komoditas tersebut merupakan komoditas utama ekspor Indonesia sekaligus komoditas yang menjadi program pemerintah pusat (Kementerian Pertanian) melalui Gernas Pro Kakao. Program yang dilakukan di dua daerah, Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat dimulai dari bulan Oktober 2012 dan berakhir di bulan September 2013. Pada bulan November 2012, telah dilakukan kick off meeting dan penelitian awal (need assessment) di dua daerah tersebut. Selanjutnya, di bulan Januari atau Februari 2013 akan diadakan Focus Group Discussion (FGD) dimana dalam forum tersebut dipaparkan hasil temuan awal studi. FGD yang dihadiri oleh stakeholder terkait tersebut, diharapkan dapat menghasilkan kesepakan rencana tindak lanjut program kakao ke depan di masingmasing daerah. 3. Survei Pembobotan Prosedur (Area, Bidang, dan Indikator) pembentuk Indeks Good Governence Provinsi di Indonesia 2013. Program ini merupakan kerjasama KPPOD dengan Kemitraan. Tujuan kegiatan ini adalah merumuskan pembobotan prosedur pembentuk Indeks Good Governence Provinsi di Indonesia. 4. Penyusunan Instrumen needs assesment guna mendorong penerapan prinsip integritas dalam penyelenggaraan proses barang/jasa. Kegiatan ini ditujukan untuk merumuskan prinsipprinsip integritas yang sesuai dengan kondisi di Indonesia dan mengembangkan model insentif apa yang dapat mendorong pelaku usaha untuk menginternalisasi prinsip-prinsi integritas tersebut dalam penyelenggaraan, pengadaan barang/jasa. Pelaksanaan needs assesment ini melalui kegiatan FGD yang dilakukan di 5 Propinsi yaitu DIY, jawa Barat, Jawa Timur,Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan
Seputar Otonomi
Ikhtisar Otonomi November-Desember 2012 Masih soal Pembahasan RUU Pemda Perkembangan pada level kebijakan desentralisasi 3 bulan terakhir masih ditandai berlangsungnya proses pembahasan RUU Pemda sebagai revisi atas UU No.32 Thn 2004 yang berlaku saat ini. Atas draft usulan Pemerintah, fraksi-fraksi di DPR mengajukan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang kalau dikompilasi berjumlah 1.493 isian masalah. Dalam perkembangan lebih lanjut, Pansus DPR sepakat untuk tidak membahas 792 diantaranya lantaran pendapat fraksifrasi tersebut hampir sama dengan usulan pemerintah. Artinya, yang masuk dalam pembahasan PAnsus dan diperdalam di Panja DPR sebanyak 711 DIM di mana terdapat perbedaan pandangan dan pendapat antara Pansus DPR dengan pemerintah. Akhir Desember ini, pembahasan dihentikan karena Dewan memasuki masa reses, dan akan kembali ke meja pembahasan pada putaran masa sidang berikutnya di bulan Januari 2013. Prihal proses pembahasannya, sebagaimana dikatakan Ketua Pansus Totok Daryanto, RUU Pemda menjadi prioritas karena menjadi acuan dan induk bagi pengaturan otonomi daerah. Seluruh aturan yang terkait dengan penyelenggaraan otonomu daerah, termasuk RUU Desa dan RUU Pilkada, harus sesuai dengan aturan dalam RUU Pemda. Targetnya, bulan Maret atau April 2013, RUU Pemda yang baru akan selesai dibahas dan dimajukan ke Rapat Paripurna untuk disetujui.
Pembentukan 12 Daerah Otonom Baru (DOB) di Akhir Tahun 2012 Komisi II DPR dan Pemerintah telah membahas 19 calon DOB dan akhirnya mengesahkan 12 DOB yang terdiri atas 1 Provinsi dan 11 Kabupaten pada bulan Desember ini, yakni: Provinsi Kalimantan Utara (Kalimantan Timur), Pesisir Barat (Lampung), Pangandaran (JaBar), Pegunungan Arfak (Papua Barat), Manokwari Selatan (Papua Barat), Mahakam Ullu (Kalimantan Timur), Penukal Abab Lematang Illir (Sumatera Selatan), Malaka (NTT), Pulau Taliabu (Maluku Utara), Mamuju Tengah (Sulawesi Barat), Banggai Laut (Sulawesi Tengah), dan Kolaka Timur (Sulawesi Tenggara). Pemerintah menegaskan, pemekaran daerah harus ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, pelayanan publik, dan tata kelola pemerintahan. Jika gagal menyejahterakan rakyat, DOB akan dihapus dan digabung kembali dengan daerah induk. Dengan demikian, jumlah Kabupaten/Kota di Indonesia hari ini adalah 504 Daerah, sementara Propinsi sebanyak 34 daerah. Pada masa sidang Januari 2013, DPR akan kembali mendesak Pemerintah untuk menyetujui pembentukan 7 DOB lainnya lagi. Mari kita tunggu.
Politik Kekeluargaan di Daerah Politik kekeluargaan--menguatnya pengaruh tokoh politik dan keluarganya--kini semakin menguat di daerah. Fenomena ini ditandai dengan kian banyak Kepala Daerah yang digantikan oleh istri, anak, krabat atau yan gsecara umum disebut dinasti keluarga. Sayangnya, mantan kepala daerah itu pun tetap membayangi keluarganya yang kini menjabat. Hal ini bisa dijumpai di Kab. Lampung Selatan (Lampung), Kota Cilegon (Banten), Kab. Indramayu, Kota Cimahi (JaBar), Kab. Kendal (Jawa Tengah), Kab. Bantul (DI Yogyakarta), Kab. Kediri (JaTim), Kab. Tabanan (Bali), dan Kab. Kutai Kartanegara (KalTim). Menguatnya politik kekeluargaan di daerah tidak terbatas digantikan oleh istri ataupun anaknya tetapi juga dari penguasaan jabatan publik oleh sejumlah keluarga. Bahkan, ada pula yang seperti menyebarkan anggota keluarganya untuk meraih jabatan. Masih terkait Pilkada, pada sisi lain Pemerintah saat ini mewacanakan untuk memberlakukan percepatan atau sebaliknya memundurkan jadwal penyelanggaraan 43 Kepala daerah yang jatuh tempo masa jabatan pada tahun 2014. Sebagaimana yang kita ketahui, pada tahun 2014 itu kita m emiliki dua perhelatan politik penting: Pileg dan Pilpres, di mana sesuai ketenuan bahwa enam bulan sebelum perhelatan nasional tersebut tidak dibolehkan adanya Pemilulkada. Wacana Pemerintah ini belum mendapatkan dasar hukum karena masih alotnya pembahasan mengenai hal ini di internal Pemerintah, antara Pemerintah dan Pemda maupun adanya keterlibatan pihak legislative dan KPU yang merasa berhak pula untuk terlibat dalam pembahasan isu tersebut. --o0o--
21
SEKILAS KPPOD Sebagai tindak lanjut hasil Seminar Nasional “Menyelamatkan Otonomi Daerah” yang diselenggarakan KPEN (Komite Pemulihan Ekonomi Nasional), CSIS (Center for Strategic and International Studies) dan LPEM-FEUI (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) pada tanggal 7 Desember 2000, para penyelenggara secara intensif membahas dan menyepakati pembentukan suatu lembaga independen pemantauan pelaksanaan otonomi daerah yang di kemudian hari bernama Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Dalam perkembangannya, sejumlah institusi lain ikut bergabung melalui kesertaan para figur pimpinannya sebagai unsur pendiri: Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya, The Jakarta Post, Bisnis Indonesia, dan Suara Pembaruan. Melihat latar belakang institusi pendiri tersebut, dapat dikatakan kelahiran KPPOD merupakan hasil eksperimentasi kerjasama dunia bisnis, akademik, dan media massa sebagai tiga pilar penting dalam formasi sosial di Indonesia dewasa ini. Sebagai dasar pemikiran yang menyemangati kerja-kerja profesionalnya, KPPOD memaknai desentralisasi dan otonomi daerah sebagai kebijakan yang bertujuan mengubah struktur tata kelola pemerintahan dari sentralisme menjadi terdesentralisasi, sekaligus menggeser pola pembangunan yang didominasi negara menuju kesempatan yang lebih terbuka bagi masyarakat dan dunia usaha. Maka pada setiap kebijakan pemerintah haruslah tercermin suatu komitmen nyata untuk mendorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan daerah. Mengalir pada pilihan wilayah isu, KPPOD menaruh fokus sentral pemantauannya pada segala hal terkait kebijakan dan pelayanan publik di bidang ekonomi dan kebijakan desentralisasi/otonomi daerah secara umum. Dengan menggunakan pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi publik), KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata kelola ekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah. --o0o--
WILAYAH ISU KPPOD PEMBANGUNAN EKONOMI
TATA KELOLA EKONOMI DAERAH
1.
TATA KELOLA KEUANGAN DAERAH
Reformasi Regulasi Usaha:
Mendorong deregulasi melalui upaya rasionalisasi jumlah dan atau jenis Perijinan usaha maupun pungutan (pajak/retribusi) di daerah.
2.
Reformasi Birokrasi Perijinan:
Mendorong debirokratisasi melalui upaya efisiensi business process (pengurusan) perijinan lewat kelembagaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah.
3.
Desentralisasi dan Manajemen Fiskal:
Studi dan advokasi kebijakan desentralisasi fiskal yang mendukung kemandirian daerah dan perbaikan kualitas tata kelola keuangan di daerah (APBD) yang pro-prtumbuhan ekonomi dan kesejahteraan publik.
4.
Isu-isu Strategis Otda lainnya:
Pemekaran daerah, kerja sama antar-daerah, rencana pembangunan daerah, pemilihan kepala daerah, dsb.
22
Tarif Pemasangan Iklan di KPPODBrief Terbit 1 kali tiap 2 bulan, dengan jumlah 2000 eksemplar dan didistribusikan ke Gebernur, Bupati, Walikota seluruh Indonesia, Pemerintah Pusat, Asosiasi Bisnis, Kedutaan Besar, NGO, Perguruan Tinggi dll
Biaya iklan l l l l l
Full color cover depan dalam satu halaman Rp. 7.500.000,Full color cover belakang luar satu halaman Rp. 5.500.000,Full color cover belakang dalam satu halaman Rp. 4.000.000,One color cover satu halaman isi Rp. 3.500.000,One color cover setengah halaman isi Rp. 2.000.000,-
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Regional Autonomy Watch Permata Kuningan Building 10th Fl. Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur Setiabudi Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53 Fax : +62 21 8378 0643 www.kppod.org http://perda.kppod.org http://pustaka.kppod.org