Sepatah dua patah kata untuk Mengurai Mimpi Meretas Kegagalan
M
embaca otobiografi Siti Dzarfah Maesaroh yang kemudian lebih akrab disapa Damae Wardani membuat jidat saya berkerutan. Ini anak benar-benar cerdas, energik, hiperaktif, dan tak pernah berhenti melakukan aksi, pikir saya. Saya seperti tengah menyaksikan kiprah dara mungil ini dalam sebuah layar lebar di memori saya. Penggalan-penggalan kisah hidupnya yang “unik” sejak masuk madrasah ibtidaiyah yang punya “misi kuat” untuk menjadi pemecah rekor hingga akhirnya bisa diterima di SMP 1 Gandrungmangu (Cilacap, Jawa Tengah) dan dinamikanya yang sarat dengan “kemelut” di Malhik 2, bagaikan mozaik kehidupan seorang “ABG” yang bertipikal dinamis, progresif, dan “tampil beda”. Kiprah dan pemikirannya yang progresif dan kritis seringkali harus berhadapan dengan kenyataan pahit dan “menyakitkan”. Justru lantaran sikapnya itu, ia mampu melakukan pembebasan “mitos” dan stagnasi pemikiran yang berkembang selama ini, seperti “stigma” anak IPS yang dicitrakan sebagai anak buangan atau belitan dunia pesantren yang acapkali membuat para santri gagal bersentuhan dengan kemajuan dan dinamika peradaban di luar sana. Sebuah otobiografi yang sanggup menginspirasi banyak orang, meski deskripsi tentang “Kelahiran Serba Ganjil” terkesan agak berlebihan. Bisakah seseorang mampu mengilustrasikan proses kelahiran dirinya
sendiri sedemikian detilnya tanpa melalui penuturan orang-orang terdekatnya? Juga masih ditemukan adanya kesalahan-kesalahan ejaan, meski secara teknis tidak mengganggu substansinya, seperti penulisan kata depan “di” yang selalu ditulis serangkai (“diatas”, “disini”, “diantara”, “dihadapan”, dll) atau “boigrafi”, “menyabung”, dan sebagainya. Terlepas dari kekurangan yang ada, otobiografi ini sungguh membuat jidat saya makin kencang berkerutan. Salut! --Sawali Tuhusetya, pendidikan dan blogger
S
i tua renta ini tertinggal jauh dengan anak muda. Mungkin satusatunya yang tersisa dariku adalah menghabiskan waktu untuk tongkat penyanggahku dan membaca karya-karyamu. Dan sesekali terpaksa tersenyum melihat lucunya dirimu, karena dirimu berhasil menggiring aku menjadi kambing gembala. --Anistok, desainer dan filosof
A
llahu yaftah ‘alaik…. smg Allah slalu menambahkan ilmumu, menambah keberkahan dalam langkahmu, memberikan kesabaran dalam setiap lika-liku kehidapanmu… amin. Sulit mungkin bagi saya pribadi yang tidak punya pengalaman dalam dunia tulis menulis, untuk mengkritik karya yang luar biasa ini. dari autografi ini saya yaqin akan lahir karya2 lainnya yg pastinya akan sangat menarik sekali… Good Job. Mungkin saya sbg org awam ingin memberi pendapat sedikit ttg penyusunan autografi ini. penyusunan setiap bagian sungguh menarik dan rapi. tapi coba klo disetiap bagian diberikan ilustrasi, ya semisal
diberikan ilustrasi diatas judul setiap bagian. mungkin menambah ketertarikan dan rasa penasaran --Luqman, blogger Kendal Serut
G
OOD, Mungkin itu yg bs ukhti sampaikan ma u mai..” setelah mmbaca tulisanmu” hmmm jadi iri dikalahin adeknya hahahahaha….. pnyajian untuk stiap sinnya cukup bagus may alurnya pun sudah bisa dinikmati….terlebih kalau kata2y dbikin agak santai…..hmmm mngkin bs lbih dari itu, krna nntinya kita akan mndapati pembaca yg berbeda2 cyanx….. he..he..makasih my cute sista.. ukhuk2.. ni belum ada apa2nya sis, doakan saja bisa terus berkarya dan mencetak buku2 berikutnya. halah..sis mah dah berkembang lebar layarnya, malah dah dipentasin juga.. ya, nuju diantos lah nu karya2 terbaik teteh,, jangan lupa undang damae atuh kalo mo ada pementasan lagi,, he..he.. hatur nuhun komen n kunjungannya,, --Dloen, blogger dan artis teater
S
ungguh tak dinyana, dibalik kepolosannya itu, tersimpan sejuta ketegaran yang sama sekali tak tergurat dalam tatapan. Bila dibandingkan dengan kehidupanku yang belum seberapa. Nampaknya masih lebih berat perjalanan hidupnya. Bagaimana tidak, diawali dengan proses kelahiran dengan status (maaf) ‘premature’, nyatanya tak menyurutkan semangat untuk terus melaju. Ketika bayi mungil lainnya tertidur dalam dekapan orang terkasihnya, dirinya mesti menjalani cerita kehidupan yang jauh berbeda dari yang lain. Satu persatu cobaan datang silih mengisi. Kegagalan yang sempat menghujam emosi, lambat laun berubah ambisi. Prestasi, menjadi
jawaban atas segala macam hingar bingar keraguan. Sungguh luar biasa. Atas kasih dan karunia-Nya, dirinya berhasil melalui tahap demi tahap cobaan tersebut. Congratulation !! Mengurai Mimpi Meretas Kegagalan, menjadi sebuah pilihan judul yang cerdas. Karena begitulah kehidupan. Nyatanya tak selalu berjalan lempang. Sesekali kita akan menemukan kelokan tajam yang mau tak mau harus kita tikung. Sangat mustahil bila niat tak disematkan pada ketetapan Illahi, kita bisa melalui rintangan tersebut dengan selamat. Namun rasanya, selama nafas masih berdetak seirama, antara mimpi dan kegagalan akan selalu ada. Wahai Damai teruslah bermimpi, jangan menyerah dengan kegagalan, raih prestasi sebagai bukti eksistensi dihadapan Sang Empunya kehidupan. Karena ku yakin, kisahmu tak berhenti sampai disini. Akan lebih banyak lagi hadangan serta tantangan yang semakin mengguras emosi. Damai, kisahmu belumlah usai. --Pipin Nurullah, di Kamar Inpirasi
M
embaca buku ini berarti membaca kegagalan yang diubah menjadi keceriaan seorang Penulis Muda yang saya yakin akan menjadi Penulis Besar di masa yang akan datang
--Pradna Paramita, Cerpenis dan Blogger
F
antastik, kalimat deskripsi penulis mampu menghanyutkan pembaca pada setiap peristiwa yang tertuang dalam untaian kalimat sederhana.
--Burhan, Ketua Gerakan Remaja Sehat kec. Buah Batu 2011
B
uku "Mengurai Mimpi Meretas Kegagalan" ini tentang seorang pemimpi yang bekerja keras untuk mewujudkan mimpinya... Sangat bervitamin!
--Baban Sarbana, penulis
Mengurai Mimpi Meretas Kegagalan The True Life of
Damae Wardani
Oleh
Siti Dzarfah Maesaroh
The True Life of Damai Wardani, Mengurai Mimpi Meretas Kegagalan Karya: Siti Dzarfah Maesaroh
Cetakan I, Desember 2011 Untuk tugas mata kuliah Bahasa Indonesia dalam bab Academic Writing, semester 1 jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik.
Editor : Yusuf A. Ramadhani Desain Sampul : Tjuk Lanang Foto Sampul : Dokumentas Al Hikmah 2 (GOR) Layout & Illustrasi : Novy Setiyarso
Diterbitkan oleh :
M2Net Publishing Malhikdua School Kompl. PP Al Hikmah 2 Benda Sirampog http://www.m2net.asia
Hak Cipta © Siti Dzarfah Maesaroh Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved
Kutipan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pasal 2 (1) Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kegagalan terbesar adalah kegagalan untuk mencoba (William A ward)
Prestasi terbesar dalam hidup adalah dapat bangkit dari terpuruk akibat kegagalan (Reverend Zheng-Yan)
UCAPAN TERIMA KASIH
A
lhamdulillah hirabbil a’lamin. Segala puji bagi dzat pencipta segala pencipta, Allah azza wa jalla. Berkat rahmat dan rahman Allah yang Mahasegala Maha,
autobiografi ini bisa berada dalam genggaman pembaca yang budiman. Tiada tara wujud segala kasih sayang dan kenikmatan yang telah Dia curahkan untuk hamba-Nya. Bukan main banyaknya pemberian dalam segala hal yang saya _juga pembaca tentunya_ rasakan hingga seumur hidup pun tak kan mampu saya menghitung. Ialah nikmat kehidupan, nikmat kesehatan, nikmat pendengaran, nikmat penglihatan, nikmat kedua tangan dan kaki, nikmat air dan udara, nikmat makanan, dan masih banyak lagi nikmat-nikmat lainnya. Tentu Anda tidak akan mau bila mata Anda dihargai satu juta dolar, atau telinga Anda dijual seharga 500 ribu dolar. Begitu pula tangan, kaki, jantung, ginjal, bahkan otak Anda, masing-masing ditukar senilai dua ratus juta dolar. Betapa banyak harta yang akan Anda peroleh bila Anda menjualnya, bukan? Namun, maukah kita melepas semua itu demi sejumlah uang? Apa artinya uang tanpa kita bisa menikmatinya?Sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Tuhanmu, niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya”, demikian jelas tertulis dalam QS. Ibrahim ayat 34.
ii | S i t i D z a r f a h M a e s a r o h Lebih dari semua itu, semoga hadirnya buku ini pun termasuk bagian dari bersyukur. Bersyukur akan nikmat kehidupan yang terus bergulir. Kehidupan yang terus berputar. Kehidupan yang senantiasa berada dalam pengawasan. Kehidupan yang menjadi jembatan menuju alam abadi dan tujuan akhir sebuah perjalanan singkat di dunia nan fana ini. Barangkali dengan cara sederhana yang tertuang dalam lembar demi lembar kertas putih bertinta hitam
inilah saya belajar bersyukur.
Mensyukuri segala karunia dengan berbagi. Mengekspresikan apa yang saya bisa, sembari mengembangkan bakat sebagai wujud syukur atas pemberian bekal dari-Nya. Senada dengan ungkap syukur _yang kini kian terkikis makna sejatinya, pun kian banyak pula manusia yang lalai akan satu kata itu_ , sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah untuk baginda agung, idola terbaik diantara yang terbaik, masternya motivator yang tak lekang oleh zaman, pun pejuang tertangguh yang selalu dinanti syafaatnya dihari terakhir dalam sejarah kehidupan nanti. Beliaulah manusia pilihan, sebaik-baik teladan dalam segala hal. Utusan terakhir yang telah mendongkrak segala bentuk kejahilan dan kegelapan dalam suramnya era. Rasanya tak ada manusia lain yang pantas menyambangi hal itu kecuali Nabiyyuna wa habibina Muhammad saw. Allahumma shollu a’laih. Seperti mimpi rasanya, jemari ini menari lentik diatas keyboard lepi yang saya dapat dari sebuah kompetisi menulis, setahun lalu.
Siti Dzarfah Maesaroh
| iii
Terlebih, apa yang saya toreh disini adalah potret kehidupan yang saya tapaki sejak tangis pertama terdengar di RS. Hasan Sadikin Bandung. Tentu bukan hal yang mudah, bukan pula pada moment yang tepat sebenarnya. Bukan berdalih, bukan pula berargumen yang menampakan raut keberatan. Namun rasanya perjalanan yang akan terkupas masih sangat minim sekali dibanding buku-buku kupasan tokoh-tokoh ternama. Bahkan mungkin tidak ada apa-apanya dibanding sederet buku ringan sekalipun. Namun, tak peduli sesederhana apa buku ini, toh belajar tak pandang sederhana atau istimewa. Tugas utama saya hanyalah berusaha melakukan penggarapan ini dengan sebaik-baik usaha nyata yang saya bisa. Perkara hasil, sudah bukan lagi tanggung jawab saya. Biarkan menjadi hak prerogatif-Nya, sesuai dengan apa yang telah saya upayakan. Adanya buku ini dihadapan pembaca yang budiman, tentu tidak secepat kilat dan sulap yang kerap kali menggunakan trik-trik culas. Ada banyak pihak yang terlibat. Mulai pengetikan kalimat pertama sampai editing dan percetakan. Untuk itulah, saya ingin berterima kasih atas semua bantuan dari berbagai pihak terkait. Ayah dan Ibu saya, orang-orang pertama yang menjadi sumber segala sumber dari seluruh isi buku ini. Guru besar pertama yang hakikatnya melebihi semua guru besar yang saya temui di kampus
iv | S i t i D z a r f a h M a e s a r o h tempat saya belajar. Motivator terdahsyat yang selalu saya camkan katakatanya dalam sanubari. Lebih dalam lagi, tanpanya, maka saya mustahil adanya. Terimakasih, ayah. Terimakasih, ibu. Do’a kalian yang senantiasa kuharap, dekapan kalian yang selalu kurindu, kehangatan kalian ialah kasih terindah yang pernah kumiliki. Saya juga berterima kasih yang tak berbatas bilangannya untuk guru besar universitas kehidupan. Guru tak bertitle dan tak ber-SK. Guru yang tak bergaji dan benar-benar tanpa tanda jasa. Guru yang mengajarkan saya arti hidup dan kehidupan. Guru yang pantang mundur dalam segala perjuangan. Guru yang senantiasa mengerti, memahami, juga menerima apa pun keadaan saya. Beliaulah, Yusuf A Ramadhani. Semoga amal tulusmu dibalas berlipat-lipat pahala, semoga pula saya diberi kesempatan untuk mewujudkan mimpi terindahmu. Terimakasih guru. Terima kasih pula untuk segenap guru-guru saya sejak masih duduk di bangku TK, hingga kini berstatus mahasiswa. Tanpa mereka, mustahil adanya buku ini tercetak. Bagaimana mungkin saya membuat buku bila tak bisa membaca dan menulisnya. Bagaimana mungkin menoreh sejarah yang bisa terurai dalam buku ini bila tak pernah mengenyam bangku pendidikan. Guruku tersayang, guruku tercinta. Tanpamu apa jadinya aku. Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal. Guruku, terima kasihku. Nyatanya diriku kadang buatmu marah, namun
Siti Dzarfah Maesaroh
|v
segala maaf Kau berikan. (diambil dari syair lagu Terima Kasih, Guruku. By: AFI JUNIOR) Tak lupa, all of M2Net member, merekalah anak (dalam tanda kutip), kawan seperjuangan, sekaligus malaikat-malaikat kecil penebar warna-warni kehidupan. Bersama merekalah saya menoreh prestasi, mengukir mimpi, dan membuat jejak yang tak kan terhapus sepanjang sejarah kehidupan. Terimakasih, para pejuang tertangguh yang tak pernah lekang oleh cobaan. Terimakasih untuk semangat yang selalu berkibar di panji-panji sanubari. Mungkin tak kan cukup puluhan lembar lagi tuk mengurai rasa terimakasih yang belum tersampaikan. Meski tak tersebut satu persatu, dari lubuk hati yang terdalam, saya mengucapkan terimakasih atas segala bantuan, partisipasi, dan kerjasama semua pihak yang telah membantu proses penyusunan buku ini. Tak lupa saya memohon maaf yang seikhlas-ikhlasnya, bila terdapat banyak kekeliruan dalam pengambilan tulisan dari berbagai sumber. Saya sangat berharap kiranya mereka berkenan memberikan ijin pada saya untuk memuatnya dalam penyusunan buku ini. Akhirnya, selamat membaca dan semoga bermanfaat.
vi | S i t i D z a r f a h M a e s a r o h
SALAM PENULIS
S
empat membuat detak jantung tak beraturan. Sempat membuat nafsu makan berkurang. Sempat membuat pusing tujuh keliling hingga tidur pun susah berbaring apalagi miring.
Sempat menyita hampir 90% konsentrasi hanya untuk menggarap satu buku ini. Bahkan, tak satu dua pihak yang saya repotkan dalam proses penggarapannya. Ya. Tak lain dan tak bukan karena membuat sebuah buku biografi yang mengupas diri sendiri, ialah karya perdana bagi saya. Memang, terlalu berlebihan rasanya, bila cakupan perjalanan haru, seru, duka, bahagia, gembira, nestapa, kejutan, musibah, dan segala warna yang pernah terlintas dalam hidup saya tercover dalam sebuah buku biografi pribadi. Selain belum ada yang istimewa dari sepanjang sejarah itu, barangkali saya pun bukan siapa-siapa yang riwayatnya pantas dipublikasikan. Namun, ini bukan perkara berlebihan atau memamerkan. Sungguh, saya tegaskan sekali lagi, BUKAN. Semua ini saya lakukan semata demi memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia dalam bab Academic Writing, semester 1 jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik. Jadi, sekali lagi buku ini tercipta karena tuntutan, bukan disengaja. Meski demikian, saya tetap meniatkan Lillahita’ala, semoga.
Siti Dzarfah Maesaroh
| vii
Sudilah kiranya pembaca yang budiman membukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya, karena tak hanya satu dua goresan kesalahan yang saya buat dalam buku ini. Sembari melafalkan
basmalah, silahkan mulai membuka
lembaran berikutnya dengan hati damai. Sangat dinantikan komentarkomentar membangun demi perbaikan di masa mendatang.
viii | S i t i D z a r f a h M a e s a r o h
SISTEMATIKA BUKU
S
ecara persyaratan, buku yang mengupas riwayat hidup saya sepenuhnya sejak tangisan detik pertama kelahiran saya di dunia, hingga sesaat sebelum buku ini hadir di hadapan Anda,
lembaran yang harus tercetak di dalamnya minimal mencapai 125 halaman. Dalam bentuk dan ukuran apa pun. Diperkenankan berisi apa pun, yang jelas tidak melenceng dari tugas yang telah ditetapkan. Dengan satu catatan, karya ini akan diterima bila dikumpulkan sesuai pada waktunya. Memang, kebanyakan orang yang riwayat hidupnya diabadikan dalam buku boigrafi, ialah orang-orang yang sudah berada pada level kesuksesan. Minimalnya, mereka sudah menoreh satu prestasi yang cukup mengharukan dan mampu memberi inspirasi bagi orang lain. Maka dari itu, sangat berbeda bila dibandingkan dengan buku ini. Semua yang tertuang dalam lembar demi lembar buku yang kini Anda genggam, ialah catatan kegagalan demi kegagalan seorang anak manusia yang sama sekali belum bisa berguna. Belum bisa berprestasi ‘luar biasa’. Bahkan belum bisa memberikan sumbangsih apa-apa untuk lingkungan dan masyarakat sekitar, agama, bangsa, juga negara. Meski demikian, mau tidak mau, malu tidak malu, atau bisa tidak bisa, buku ini tetap akan dan harus mengupas riwayat hidup saya. Tak lain dan tak bukan ialah wujud pengembanan amanat dalam melaksanakan tugas bahasa Indonesia jurusan Ilmu Komunikasi
Siti Dzarfah Maesaroh
| ix
Jurnalistik di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, khusunya semester 1 yang materi Academic Writing-nya diampu oleh Bapak Agus Ahmad Safei. Secara umum, buku ini dibagi menjadi 7 bagian utama yang masing-masing bagian mengusung beberapa sub bab dengan jumlah berbeda. Bagian satu berisi prolog. Disambung ke bagian dua, mencakup 7 sub bab yang mengupas tentang masa kelahiran hingga menamatkan sekolah MI/Madrasah Ibtidaiyah (setara sekolah SD tapi berbasic islam). Bagian ketiga, memuat 8 sub bab yang mengisahkan masa-masa SMP. Bagian keempat, menceritakan alunan kehidupan yang seumur hidup baru saya rasakan. Ialah masa-masa menjadi santri dalam sebuah pesantren terbesar di Jawa Tengah, PP. Al Hikmah 2. Bagian kelima, tertuang 13 sub bab judul yang diambil dari liputan dunia maya tentang segala hal yang terjadi dan pernah saya alami disana _masih dalam bingkai pesantren_. Sedikit berbeda dengan bagianbagian sebelumnya, karena pada bagian ini tidak lagi diceritakan sesuai urutan waktu, melainkan diacak berdasarkan jenis peristiwanya. Tidak hanya diambil dari beberapa tulisan saya yang tercecer di blog, web sekolah, dan sarang-sarang lainnya. Namun juga mencantumkan beberapa kupasan kawan tentang hal yang berkaitan. Maka, tidaklah heran bila kemasannya sedikit berbeda dan dikumpulkan dalam satu bab yang sama. Sedang bagian terakhir, mengintip sedikit perkembangan goresan sejarah yang tertapaki setelah keluar dari pesantren hingga detik ini.
x|Siti Dzarfah Maesaroh Tercantum pula prolog, epilog, foto-foto, dan apendix yang terpisah dari daftar isi diatas. Tentunya sebagai pelengkap dan pemanis buku ini agar terkesan seperti buku biografi yang sesungguhnya _walau sebenarnya tercipta ala kadarnya_. Dari lubuk hati terdalam, senantiasa berharap agar buku ini bisa dilanjutkan. Selain sebagai bukti bahwa riwayat saya tak berhenti sampai disini, juga menjadi sebuah impian untuk mewujudkan buku yang diterbitkan betulan. Ya, meski entah kapan.. Semoga Allah SWT. Memberi kemudahan, kekuatan, dan kesempatan untuk melanjutkan perjalanan ini. Amin.
Siti Dzarfah Maesaroh
| xi
PENGANTAR EDITOR
S
aat masih 'nyantri' di Jogja saya mengagumi ketokohan seseorang. Meski bukan sampai mengkultuskan, tapi bagi saya dia seorang yang bukan biasa. Saya sampai takut dan diam
seribu bahasa setiap di dekatnya. Saya melihat sebuah tanda kewalian tersemat di dahi beliau. tentunya sebatas kedangkalan penglihatan dan perasaan bathin dan ilmu saya ini. Dialah seorang mursyid di sebuah desa kecil di Bantul. Selama karirnya sebagai seorang da'i tak pernah dia tunduk dan hormat pada pejabat. Yang unik, hampir di setiap pengajiannya selalu muncul orang gila, entah darimana datangnya. Si orang gila itu, bisa 1 atau 2 jumlahnya, bicara ngalor ngidul, merampas mick, hingga berjoget. Tak jarang pula ada yang sampai melantunkan syair-syair thoyibah. Pernah dalam suatu siang yang terik, bersama sang mursyid, rombongan kami berjumpa dengan seseorang yang dari tadi sibuk mengatur jalan. Gayanya khas orang gila - karena memang dia orang gila - . Melihat kami sontak dia berhenti, membungkuk hormat kepada sang mursyid. Heran dengan situasi ini, seseorang diantara kami nyeletuk "Heii.. emang kamu tahu siapa yang lewat?!" "Cak Nun!" Jawabnya mantap. Glekk! tak hanya saya dan teman-teman. Cak Nun juga tertegun. Ya, sang Mursyid yang saya maksud adalah cak Nun. Anda tentu bisa membaca maksud dalam sepenggal kisah saya ini.
xii | S i t i D z a r f a h M a e s a r o h *** Membaca buku ini saya kembali menemukan sosok yang sama. Sama-sama dikenal oleh orang gila. Dalam judul "D’ Broadcaster" dan “Orang Gila Aja Jatuh Cinta” .Teman-teman seperti yang dikisahkan dalam judul tersebut boleh menganggap itu joke atau bahan lelucon biasa. Tapi tidak bagi saya. Jika anda mengejar dunia, semua orang pasti mengenal anda. Kecuali orang gila! Ya, Bagaimana logika ilmu orang gila bisa mengenali seseorang. Dari 'langit'? Wallahu'alam. Meski dalam ketakjuban, tetap saya masih tidak berani meng-judge- bahwa seorang damae adalah 'utusan' sebagaimana perspektif saya memandang sang mursyid. Manusia punya kelemahan-kelemahan yang diantaranya terlalu gampang terlena dalam menafsirkan sesuatu. Apakah dia seorang wali atau bukan tentunya diluar jangkauan ilmu dan keimanan saya. Yang pasti saya bersryukur menjadi bagian dalam kisah perjalanannya. Meski cuma figuran dalam beberapa bagian episode-episode yang bakal panjang. Mengingat usianya yang masih terbilang muda. Di satu pagi yang cerah saya kembali bersyukur, dipercaya untuk menjadi editor dari sebuah buku biografinya. Sebuah kehormatan tentunya. Tapi apa yang harus saya lakukan dalam pekerjaan ini jika sedikitpun saya tidak menemukan kesalahan berarti dalam penulisan. Praktis saya hanya mengedit beberapa tanda baca yang anak kecilpun pasti mampu. Rupanya ketakutan terhadap sang mursid saya alami juga terhadap Damae. Saya ragu mengoprek tulisan dalam baris-baris paragraf
Siti Dzarfah Maesaroh
| xiii
sesungguhnya karena kuatir menghilangkan makna dari setiap nilai kehidupan yang telah dilalui. Damae yang kukenal tak jauh beda dengan apa yang ia torehkan di buku. Kegagalan dan kerberhasilan beriring silih berganti. Itu yang membuat dia tampak punya kelebihan dibanding rekan sejawat. Asam garam. Benar, pengalaman adalah guru terbaik sepanjang masa, dan Damae telah memiliki semua itu. Mungkin berlebihan, tapi secara pribada saya berani melabeli dia seperti label sang mursyid: Manusia Multidimensi. Mengambil
beberapa
teori
tentang
keutuhan
manusia
(Leadership and Managemen Spectrum), dia hampir memiliki semua. Dia cakap memimpin ketika dipercaya menjadi pemred (leadership- dalam judul Berani Gagal). Sampai-sampai seorang terpana menyaksikan ketaktisannya dalam mengatur anggota. (Sayangnya hal ini ia lewatkan dalam kisah, atau mungkin dia tak ingin pamer jika menyangkut fisik, satu tentang kerendahhatiannya). Selanjutnya, meski dia tak lagi memimpin, dia masih dipercaya membuat rumusan dan aturan terkait organisasi (hukum-dalam judul Meski hanya Dua Pejuang.. ). Dia memang tertib dan disiplin dalam melakukan tugas dan pekerjaan, sampai-sampai banyak pentolan organisasi menawarinya untuk bergabung (profesional-dalam judul Tenang Belajar tetap..). Demikain pula saat dia nyambi bekerja di Radio. Bukan karena dia melamar, tapi dipanggil (trust - dalam judul Sekali di udara.. )
xiv | S i t i D z a r f a h M a e s a r o h Dari aspek leardeshipnya yang disebutkan diatas tadi, dia termasuk
tipe
pemimpin
yang
dicintai
anggotanya,
karena
kemampuannya melindungi anggota dari kemungkinan resiko yang bakal dihadapi saat berorganisai. Sampai-sampai resiko melawan zona kenyamanan pun ia lakukan agar anggotanya terselematkan. Dia berani berkonfrontasi dengan siapapun jika dia merasa apa yang dilakukan benar dan bermanfaat (pengayom-dalam judul Perjuangan Gerilya..). Meski tampak strong dan kerap bikin ciut lawan seseungguhnya hatinya juga meneduhkan. Hatinya sering tak berdaya jika rasa rindu membelenggu. Kerinduan kepada ibu, bapak, dan adik semata wayang sering membuatnya tampak murung (keluarga/cinta-dalam judul Menuju Pintu Keluar). Kemurungannya sejalan dengan kebiasaannya menarikdiri dari lingkungan sehinga sering membuat teman-teman menilainya sombong. Padahal dalam kesendirian itu dia juga banyak melakukan perenungan-perenungan akan kehidupan (aspek religius- Al Ma'un) seakan membiarkan gunjingan teman-teman sebagai gadis angkuh, toh sebagai aktivis organisasi tentunya dia kerap melakukan kegiatankegiatan
sosial
(sosial-politik-dalam
judul
Buku-buku
yang
Mengharukan). Mengenalnya, kemudian membaca buku ini, ada satu yang juga terlewatkan. Saya belum menemukan kisah dia saat didaulat memenangkan BISA 2010. Bukan soal kemenangan itu yang membuat saya takjub, tapi kemampuannya menyihir ribuan penonton untuk menyanyi bersama ditengah-tengah sisi testimoni. Cukup lama dia
Siti Dzarfah Maesaroh
| xv
memandu penonton dengan kemerduan suaranya,(seni dan keindahan). Pribadinya benar-benar utuh, itulah mengapa saya menyebutnya manusia multidimensi, sama seperti yang disematkan publik terhadap sang mursyid. Saya curiga, apa yang dimiliki damae sudah dicetak dari sono nya. Bisa anda temukan di bagian pertama, awal-awal saat si bayi dilahirkan. Kita semua percaya golden age, usia-usia emas pertumbuhan manusia. 13 tahun. Yang menurut teori karakter manusia dibentuk di usia itu. Lewat dari masa itu hanya perlipatan-perlipatan. Dia yang kerap tidak nyaman melihat teman bersenda gurau dalam pekerjaan, dia yang kerap menarik diri dari pergaulan, dia yang selalu gelisah dengan kondisi sekitar sampai segudang tulisan dihasilkan, seakan dia ingin segala hal (sadar atau tidak) berjalan dengan sempurna. Sifat dan karakter seperti itu pasti terbentuk di fase golden-age. Saya tidak tahu apa yang Ibu lakukan sampai membuat dia seperti sekarang. Yang jelas jika golden-age saja memiliki andil besar dalam mencetak karakter, bagaimana dengan sebelumnya. Yakni saat proses kegagalan lahirnya yang harusnya sempurna 9 bulan ternyata harus keluar sebelum waktunya (lahir prematur). Kelahiran jenis ini pastinya membutuhkan keterlibatan banyak pihak, seperti yang ia ceritakan di buku. Sangat merepotkan orang sekitar, termasuk ibu nya (sifat yang mengulang ketika remaja, dimana dia juga sering membuat teman-teman kerepotan akan aksi gilanya). Apa-apa harus dipenuhi secara ketat agar dia tetap bertahan hidup. Dia, tidak bisa hidup setengah-tengah seperti
xvi | S i t i D z a r f a h M a e s a r o h bayi lain. Dia harus di rawat penuh, tidak dengan cara biasa, tapi harus total. Kalau tidak, dia pasti mati. Berawal dari peristiwa itulah dia menjadi seseorang yang tak pernah setengah-setengah dalam menjalani hidup. Menjadi pribadi berkarakter kuat yang dibentuk oleh kekuatan mendorong bayi keluar rahim. Disempurnakan oleh keharusan totalitas dalam perawatan di detik-detik dan hari-hari berikutnya. Kekuatan apakah itu? Dari siapakah? Karena pasti ibunya tak menginginkan dia keluar saat itu. Saya jadi takut, jangan-jangan dia memang 'utusan'.[]
Yusuf A. Ramadhani
Siti Dzarfah Maesaroh
| xvii
xviii | S i t i D z a r f a h M a e s a r o h
DAFTAR ISI UCAPAN TERIMA KASIH
i
SALAM PENULIS
vi
SISTEMATIKA BUKU
vii
PENGANTAR EDITOR
xi
BAGIAN I – PROLOG
1
G.A.G.A.L
2
BAGIAN II – KECIL-KECIL CABE RAWIT
7
Kelahiran Serba Ganjil
8
Desaku Cisumur, Desaku Makmur
16
Ulang Tahun Pertamaku
20
Lagi, Ma! Lagi, lagi!
22
Si Rambut Mie
25
Buku, Sahabat Sejatiku
28
Sang Pemecah Rekor
32
BAGIAN III - RIAK-RIAK KECIL DALAM GEJOLAK OMBAK
37
Demi Spensa, Aku Rela Melakukannya
38
Apa Salahku?
41
Aa Ba Ta Tsa Jim Kha
46
Orang Gila Aja Jatuh Cinta
49
Siti Dzarfah Maesaroh
Dari 150 menjadi 2
53
Orientasi Lomba, Bukanlah Uang Saku Apalagi Gelar Juara
55
Dilema Vokalis Karbitan
58
D’ Broadcaster
63
Selain Satu itu Bukan Juara
68
BAGIAN IV - MEWUJUDKAN TITIK-TITIK MIMPI
71
Welcome to Alhikmah Planet
72
Andai Aku di Kamar Itu
77
Go Blog! Terobosan Baru IT Santri
80
Kombinasi Warna yang Tak Indah
86
Siapa Bilang Anak IPS itu Buangan?
88
IPS [Bukan] Anak Buangan!
92
Hatiku Masih Hidup, Tau!
96
Berani Gagal
97
BAGIAN V – NYANYIAN PELANGI
99
M2Net, dari Kruhild, oleh Kruchil, untuk Krewcil
102
Ciluk…Ba!!!!! Ayo, M2Net, Bangkitlah!!!!
106
Meski Hanya Dua Pejuang, M2Net Tetap Bertahan
109
Pondok Grebeg Warnet, Gencet Nyawa M2Net
113
Generasi II Bubar, Sakit Hati Menyebar
117
Kapok Deh!!! Cukup Sekali Saja!
120
Fasilitas Kacau, Pejuang Balau
123
| xix
xx | S i t i D z a r f a h M a e s a r o h Perang Berita, M2Net Sandang Pencemar Nama
127
Lagi, M2Net Dikambinghitamkan
132
Diancam Tidak Naik Kelas, Pemred Undur Diri
136
Perjuangan Gerilya Dibawah Cahaya Temaram
139
Berjuanglah, Tripel Super Girls!
146
Dua Kemenangan Berturut
150
M2Net, Sungguh Beruntung
154
Sekali di Udara tetap di Udara
163
Tangis Bahagia di Hari Jadi
167
Tenang! Belajar Tetap No. 1 Bagiku
169
Mimpi yang Berbicara
171
Enam Buku Sebulan
173
MC Terbaik
175
Lilin pun Mulai Redup
176
Menuju Pintu Keluar Planet
179
Selamat Tinggal, Al Hikmah Tercinta
182
BAGIAN VI - MAU JADI APA AKU INI?
185
Pulang untuk Berperang
186
Pare, I’m Coming
190
Jadi Si Bolang dalam Sebulan
197
Hidup Memang Sebuah Pilihan
201
Jurnalistik, Nu Aing!
203
Siti Dzarfah Maesaroh
BAGIAN VII - EPILOG
207
Mereka Berani Melakukan…
208
Bukan Mimpi Biasa
211
Profile Penulis
215
Appendiks A. Terlalu Pahit tuk Dikenang, Terlalu Manis tuk Dilupakan 210 B. Kisah Tragis Organisasi Perdana
224
C. Maaf, Saya Tak Bermaksud Demikian, Tapi Memang …
229
D. Al Ma’un
236
E. Risiko Penjaga Sekret 2, Membadali Peserta yang …
243
F. Santri Al Hikmah 2 Juara Penulisan
248
G. BISA 2010 Dibuka, Dua Siswa Malhikdua Raih Award
250
H. Gadis Cerdas, Yo Pasti Siti donk…
252
I.
Kalah di Elearning, Malhikdua Harus Puas Juara 2
254
J.
Akhirnya Rebut Juara 1
257
K. Ulat dibalik Pizza Hot
259
L. Asal Bapak Senang
263
Foto-foto
| xxi
xxii | S i t i D z a r f a h M a e s a r o h
Siti Dzarfah Maesaroh
| xxiii
xxiv | S i t i D z a r f a h M a e s a r o h
Jangan takut hidupmu akan berakhir, tapi takutlah bahwa ia tidak akanbermula (Kardinal John Henry Newman)
Siti Dzarfah Maesaroh
Jangan percaya dengan keberuntungan Anda, percaya dengan usaha Anda. [Anonim]
| xxv
2|Mengurai Mimpi Meretas Kegagalan
G.A.G.A.L
AGAL. Satu kata yang sangat ganas, sadis, dan ampuh
G
untuk mengaduk-aduk emosi seseorang. Ketika gagal menghampiri, bisa fatal dampaknya bagi mereka yang tidak siap menerima. Sudah menjadi hal yang umum bila
kita mendengar orang yang hendak bunuh diri hanya karena frustasi. Orang kaya menjadi gila saat bangkrut melanda. Siswa cerdas hampir mengakhiri hidupnya saat dinyatakan gagal dalam ujian. Gadis cantik rela memutus urat nadi saat pertunangan dibatalkan. Bahkan sederet kasus lain yang cukup membuat miris dan patut menjadi renungan.
Siti Dzarfah Maesaroh
|3
Sejenak merefleksi satu kata nan tajam itu, masih banyak hal positif yang bisa kita manfaatkan sebenarnya. Ya, bila sisi positif yang kita ambil, GAGAL justru menjadi peluang yang amat strategis dalam proses mendekatkan diri dengan kebalikan kata itu. Sebut saja salah satu pengarang buku Best Seller yang berhasil menggulingkan ke-GAGALannya menjadi sebuah anugrah luar biasa. Dialah Billi PS. Lim. Seorang interpreneur yang penah terpuruk dan kembali menjadi milioner dengan jalan membeberkan kegagalannya, hingga menjadi sebuah pembelajaran berharga bagi mereka yang mengalami hal sama. “Keberanian terbesar di dunia, adalah berani gagal.” Begitu kata bijak yang saya temukan dalam buku Berani Gagal karangan Billi. Jelas tertutur dengan segenap jiwa, bagaiamana Billi mendongkrak gerbang keterpurukan dan menyulapnya menjadi sebuah kesuksesan sejati. Ia menjadikan kata yang acap kali dianggap menakutkan oleh kebanyakan orang, menjadi sebuah garis hidup yang indah nan istimewa. Menjadi ujung tombak kebahagiaan yang benar-benar terasa nikmat dan mengharukan. “Belajar dari kegagalan adalah cara meraih kesuksesan. Tidak pernah gagal berarti tidak pernah menang. Jika Anda tidak mengalami kegagalan, Anda tidak dapat manisnya kesuksesan”. Inilah pesan Yang Dipertuan Agung, Dr. K. Sri Dhammananda Nayake Maha Thera, J.S.M., Ph.Litt.
4|Mengurai Mimpi Meretas Kegagalan Tak hanya Billi, nampaknya tak kan habis dikupas satu buku bila menjabarkan satu per satu orang-orang sukses yang merangkak dari kegagalan mereka. Tokoh-tokoh masyhur yang sudah sangat dekat dengan kita pun sejatinya sama. Einsten, salah satunya. Atau Jacky Chan, bintang film ternama di Hong Kong yang berkali-kali gagal dalam prosesnya, kini bisa tersenyum melihat hasil karyanya. Michael Jackson, perilis album terlaris sepanjang sejarah musik yang juga berangkat dari segala kegagalannya. Termasuk manusia terbaik, insan teladan, pembawa risalah yang senantiasa dinantikan syafa’atnya oleh umat Islam diseluruh penjuru dunia, ialah Nabi Agung Muhammad SAW. juga menjadi besar berkat kegagalan. Sahabat, jika mereka mampu menyulap kegagalan menjadi sesuatu yang manis, indah, dan sangat nikmat dirasakan, kenapa harus memilih jalan yang hanya menambah keterpurukan dan semakin menjebloskan kita ke lubang kehancuran?
Siti Dzarfah Maesaroh
|5
Surat dari Sahabat Mulai hari ini… Perhatikan pikiran Anda sebelum berubah jadi konsentrasi Perhatikan konsentrasi Anda sebelum berubah menjadi perasaan Perhatikan perasaan Anda sebelum berubah menjadi perilaku Perhatikan perilaku Anda sebelum berubah menjadi hasil Perhatikan hasil yang anda dapat sebelum menentukan jalan hidup Anda
Anda bukan label yang disandang untuk diri anda sendiri Anda bukan label yang disandang untuk orang lain padaAnda Anda bukan kesedihan, kecemasan, kekhawatiran, frustasi/kegagalan Anda bukan usia, berat badan, bentuk tubuh Anda bukan masa lalu, saat ini, dan masa yang akan datang
Anda adalah makhluk yang paling baik yang diciptakan Allah Jika ada orang mampu mewujudkan sesuatu di dunia, Anda pasti bisa mewujudkannya, bahkan bisa lebih baik
Ingatkah bahwa malam adalah awal bagi siang Musim dingin adalah awal bagi musim panas Penderitaan adalah awal bagi ketenangan Kesulitan adalah awal bagi kebaikan Sikap optimis bagi kebaikan adalah awal kekuatan diri
6|Mengurai Mimpi Meretas Kegagalan
Karena itu, nikmati setiap waktu Anda Anggaplah sebagai babak akhir kehidupan Anda Hiduplah dengan cinta kepada Allah Hiduplah dengan meneladani akhlak Rosulullah SAW Hiduplah dengan cita-cita Hiduplah dengan perjuangan Hiduplah dengan kesabaran Hiduplah dengan cinta Hargailah kehidupan
Dikutip dari buku Terapi Berpikir Positif, buah karya Dr. Ibrahim Elfiky Sahabat nan baik hati, merangkak dari kegagalan pulalah, penulis bisa menuangkan sejarah kehidupan yang kini bisa dibaca dalam buku yang sahabat genggam. Uraian kisah gagal masuk sekolah favorit, gagal menjadi vokalis band, gagal berorganisasi, gagal menjadi santriwati seutuhnya, hingga gagal memasuki universitas favorit yang sejak kecil diimpikan. Juga sederet kegagalan lain yang bisa Anda nikmati crispy-nya dalam buku ini.
Siti Dzarfah Maesaroh
|7
8|Mengurai Mimpi Meretas Kegagalan
Kelahiran Serba Ganjil anjil. Bagi sebagian orang, kata ini seolah berbau mistis
G
yang acap kali disangkut-pautkan dengan mitos. Entah dari mana asal usul asumsi-asumsi itu, yang pasti bagi umat muslim, angka ganjil memang angka yang disukai
Allah SWT. Mulai hitungan 1, sebagaimana ditafsirkan bahwa Allah itu Maha Esa, Maha Tunggal. Dalam QS. Al Ikhlas ayat pertama disuratkan, qulhualloh huahad. Dilanjut angka 3, 5, 7, 9, 11, 13, hingga hitungan tak berbatas, yang konon masing-masing angka memiliki filosofi sendirisendiri. Barangkali seperti halnya angka 19 yang menjadi jumlah huruf dalam lafadz basmalah, pun memiliki makna yang begitu dalam bila diuraikan. Lantas, apa hubungannya angka-angka ganjil itu dengan kelahiran saya? Tentu saja Anda akan temukan jawabannya disini.
Siti Dzarfah Maesaroh
|9
Barulah genap 9 _angka ganjil pertama_ bulan kandungan itu, perut ibu seolah diserang tendangan yang tak pasti dari segala sisi. Sekuat tenaga menahan tanpa perlawanan, sejurus dengan laju mobil ke sebuah rumah sakit yang lumayan dikenal kala itu, RS. Hasan Sadikin Bandung. Disaksikan terik mentari yang cukup menghitamkan kulit bila Anda berjemur dengan jarak 150 juta KM dibawahnya. Diantara hiruk pikuk mudik lebaran yang mulai memadati sejumlah ruas jalan. Ditengah benteng pertahanan dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan, menahan serunya musik keroncong yang berirama tak beraturan pertanda lapar dan dahaga mulai menyerang. Ditangani 3 _angka ganjil kedua_ dokter spesialis kandungan dan 5 _angka ganjil ketiga_ suster yang turut menyertai. Ibu mengerang, menjerit, mencengkeram kuat-kuat tepi ranjang tidur, menarik dan menghembuskan napas sesuai tuntunan sang dokter. Itulah hari pertarungan nyawa bagi ibu. Menahan sakit yang teramat sangat. Berteriak sejadi-jadinya. Mengerahkan segala tenaga agar si jabang bayi bisa keluar dengan sempurna. Keringat panas dingin bercucuran. Hembusan napas keluar masuk diatur oleh dokter. Sesekali tersengal. Air mata pun mulai membasahi wajah bersihnya. Serasa akan dicabut nyawa. Sakitnya bukan kepalang. Meski beberapa keluarga hadir menyaksikan, ibu tetap merasa sendirian. Ya, ibu berjuang sendirian lantaran ayah masih di perantauan. Akhirnya, semua perjuangan itu tidaklah sia-sia. Hari dimana seorang calon generasi penerus bangsa yang _dido’akan_ handal dan
10 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n cakap lahir ke dunia. Hari yang menjadi saksi dimulainya napas pertama bocah mungil nan antik. Hari teramat sangat membahagiakan bagi seorang wanita yang baru akan disebut ibu. Terlebih bagi sebuah keluarga sederhana yang hidupnya merantau dari satu kota ke kota lain. Sekaligus hari yang cukup memilukan, mendapati buah hatinya terlahir berberat badan kurang sempurna. Tepat pukul 11.55 WIB _angka ganjil keempat_tangisan bayi pertama terdengar di sebuah ruang bersalin, Sabtu, 13 Maret 1993 _angka ganjil kelima_ itulah hari pertama saya bersuara. Detik pertama saya bernapas sempurna. Kerlipan bola mata ini menangkap tajam apa saja yang bisa saya lihat. Disela jeritan dan tangis, terlihat semacam kalung usus melingkari tubuh mungil yang jauh lebih kecil dari mungilnya bantal guling bayi. Bersimbah darah dari rahim ibu, saya langsung ditimbang oleh gadis-gadis cantik berseragam putih-putih. Suster, kata ibu.
Antara haru, sakit, dan bahagia, ibu berusaha tersenyum sembari mengucap syukur mendengar oe-oe dari kedua bibir merah saya. Tak peduli rasa sakit yang masih tertahan. Darah bercucuran karena belum dibersihkan. Satu hal yang spontan terucap adalah menanyakan bagaimana keadaan putri pertamanya. “Selamat ya, Bu. Putri ibu kalung usus”, sorak bahagia para suster yang sedari awal prosesi persalinan itu mendampingi ibu. Ibu langsung menggendong dan mencium saya. Diperiksanya kesepuluh jemari mungil ini. Sempurna. Hanya saja berat badan saya jauh
Siti Dzarfah Maesaroh
| 11
dari normal. Bahkan disandingkan dengan bantal guling bayi pun jauh dari sepantaran. Mungil sekali. Seperti botol Aqua katanya. Ya, bisa dibayangkan bagaimana kecilnya. Jarum dalam timbangan bayi menunjuk angka 19 ons, _angka ganjil keenam_. Meski begitu, ibu tetap tersenyum melihat saya. Ibu belai lembut rambut saya yang tumbuhnya bisa dihitung jari. Persis seperti profesor, botak, demikian kata ibu. Sama sekali tak terbesit kekhawatiran di paras cantiknya, karena sebelumnya memang sudah ada pertanda akan ketidaksempurnaan kelahiran ini. Selama sembilan bulan, tak pernah ada sesuap nasi pun yang masuk dengan sempurna ke dalam pencernaan ibu. Bahkan hanya mencium aroma makanan atau apa pun yang sedikit menyengat; deterjen, daun cakra-cikri, durian, dkk; pasti langsung memaksanya untuk mengeluarkan seisi perut. Muntah. Itulah yang disebut ngidam. Tak terbayang bagaimana perjuangan ibu mempertahankan saya dalam kandungan. Terlebih satu rahim ibu telah diangkat jauh sebelum melahirkan saya. Lantaran kanker rahim itulah, dokter mengatakan kemungkinan besar ibu hanya bisa punya anak maksimal dua. Jika memang benar, betapa bersyukurnya saya yang berhasil mengalahkan ribuan sel dalam sperma. Saya diberi kesempatan untuk lahir lebih dulu. Sebagai anak pertama, _angka ganjil ketujuh_, secara tidak langsung saya diamanati untuk menjadi seorang kakak bila ibu masih diberi kesempatan melahirkan lagi. Sehari setelah saya berhijrah dari alam kandungan ke dunia nan fana ini, ayah baru bisa memeluk dan mencium pipi merah merona yang
12 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n satu tahun lagi mungkin bisa memanggilnya, a-yah. Sepulang dari rantau, Jakarta, ayah langsung menjenguk di rumah sakit. Itulah dekapan pertama yang saya rasakan. Betapa bersyukurnya saya bisa mendengar detak jantung ayah. Diluar sana ribuan bahkan jutaan anak yatim berserakan dimana-mana. Bahkan mungkin sama sekali tak tersentuh kasih sayang orang tua. Meski ada sebagian yang justru sukses dibalik keprihatinan. Berdiri diatas kaki sendiri menerjang kerasnya hidup. Tak ubahnya dengan ayah yang ketika buku ini ditulis pun sudah tak memiliki orang tua kandung lagi. Ketidaksempurnaan kelahiran saya memaksa tubuh ringkih ini masuk ke dalam inkubator agar bisa bertahan dan sedikit menormalkan berat badan. Sudah bisa dipastikan daya tahan tubuh saya sangat lemah sehingga memerlukan perawatan intensif. Terlebih kunjungan keluarga ke rumah sakit kebayakan perokok berat. Jadilah saya korban asap dan secara tak sengaja menjadi perokok pasif sebelum keadaan saya normal. Hal ini berimbas pada kesehatan saya yang semakin menurun dan mudah terserang penyakit. Hanya asi dan beberapa asupan anjuran dokter yang masuk ke dalam tubuh ini. Pernah menjadi bayi percobaan Vitamin A yang merupakan luncuran produk pertama di rumah sakit. Lupa apa namanya. Pun tak ada keterangan jelas yang bisa saya dapat kenapa pihak rumah sakit melakukan itu. Suatu ketika hampir saja saya tertukar dengan bayi lain. Ibu berniat menggendong dan memberi saya asi. Datanglah ia mencari kotak
Siti Dzarfah Maesaroh
tempat tidur saya diantara deret kotak yang
| 13
juga sama berisi bayi
prematur dan bernasib seperti saya. Merasa gelang yang dipakai ibu itu sama dengan si jabang bayi, tanpa memastikan lebih lama, ibu langsung mengambil dan mencoba memberinya asi. Hampir tiga puluh menit ibu berusaha, tapi si jabang bayi tetap menolak. Untungnya, ada putranya budhe (sebutan untuk kakaknya ibu dalam bahasa Jawa) yang tak sengaja lewat di depan ruang rawat ibu. Spontan mengetuk kaca jendela sembari memberi kode kalau bayi yang sedang digendongnya bukanlah saya. Bagaimana mungkin itu wanita kalau memiliki alat kelamin laki-laki. Ibu pun ber-ooo panjang dan baru menyadari kenapa si bayi tidak mau diberi asi oleh ibu. Bila benar sampai tertukar, entah menjadi anak siapa saya ini. Sebelas hari di rawat inap, _angka ganjil kedelapan_kantong ayah sudah tidak sanggup lagi menanggung biaya sebesar Rp11.000 per hari, _angka ganjil kesembilan_. Mungkin kalau dirupiahkan sekarang sekitar diatas 300 ribu. Ditambah lagi lusa adalah hari raya umat Islam yang sangat kental tradisi mudiknya, Idul Fitri. Ya, sejatinya hari lahir saya bertepatan dengan tanggal 18 Ramadhan 1413 _angka ganjil kesepuluh_. Jadilah diputuskan untuk membawa saya pulang ke kampung halaman, Cilacap, Jawa tengah. Disanalah ayah dan ibu tinggal. Meski ayah asli Kebumen, sedang ibu asli Purbalingga, yang keduanya sama-sama Jateng. Namun keluarga besar banyak tinggal di desa Cisumur, kecamatan Gandrungmangu, kabupaten Cilacap.
14 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Sebelum berpamitan dengan pihak rumah sakit, suster kembali menilik berat badan saya. Sedikit perkembangan, berat badan menjadi 25 ons, _angka ganjil kesebelas_. Dengan berat hati para dokter yang merawat saya mengijinkan pulang, karena sejatinya saya masih harus diinkubator. Tak lupa dokter berpesan ini dan itu pada Ibu. Bahkan ada seorang dokter yang dengan tegas mengatakan agar ibu tidak mengikuti apa pun saran orang tua dalam merawat anak. Nampaknya dokter itu khawatir dengan pola merawat bayi ala ibu-ibu kampung yang masih sangat dikaitkan dengan mitos-mitos jaman baheula. “Merawat bayi prematur itu susah. Makannya ikuti saran saya, jangan ikuti saran mertua”. Demikian tegasnya. Hal ini pula yang membuat ibu begitu memperhatikan setiap suapan yang masuk ke mulut saya. Salah satunya jaminan steril untuk semua perkakas makan, pakaian, dan apa pun yang berhubungan dengan saya. Hal itu pula yang terkadang _sadar atau tidak_ telah memaksa ibu untuk over protective terhadap semua yang saya lakukan.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 15
Desaku Cisumur, Desaku Makmur
Cisumur. Sekilas mendengar nama desa itu, mungkin lebih mirip nama desa di daerah Jawa Barat yang identik dengan ‘Ci’. Cigereleng, Cicaheum, Cibiru, Cimahi, Cicadas, Cileunyi, dan Ci-Ci lainnya yang _barangkali_ bisa Anda tambahkan sendiri. Salah besar bila demikian. Memang, nama Ci- itu identik dengan daerah Sunda, Jawa Barat. Tapi tidak berarti daerah lain pun tidak ada yang memilikinya lagi. Sebut saja Cisumur. Sebuah desa kecil yang masuk kawasan Cilacap bagian barat, dekat dengan perbatasan Jawa bagian Barat. Bila Anda pernah mendengar pantai Pangandaran, Cisumur bisa ditempuh dalam waktu tidak kurang dari satu jam dari pantai yang pernah menjadi lokasi syuting film ‘Maklampir’ itu. Bila Anda menggunakan bus, dari arah mana saja bisa, turunlah di terminal Purwokerto. Itu yang paling mudah dikenali, bukan? Dari terminal ini disambung dengan bus ‘Asli’ jurusan Sidareja, turun di Wringin _tempat pemberhentian bus di bawah pohon beringin_. Belum selesai sampai disitu, lanjutkan dengan naik ojek sampai desa Cisumur, atau tepatnya katakan saja pada tukang ojek itu, ‘Pak, Purwadadi ya’. Dijamin diantar sampai depan pintu rumah saya. Namun, bila Anda lebih senang menggunakan jasa kereta api, bisa menggunakan kereta Serayu atau Pasundan. Keduanya sama-sama melewati stasiun Gandrungmangu, turunlah disana. Tinggal sejurus lagi,
16 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n lebih praktis pakai ojek dengan kode perintah yang sama, ‘Pak, Purwadadi, ya’. Hasilnya pun dijamin sama. Sedikit membahas arti kata ‘Cisumur’, barangkali bisa diuraikan demikian. Secara etimologis, Cisumur berasal dari dua suku kata, yakni Ci dan Sumur. Ci sendiri berarti Air, sedang Sumur berarti Sumur. Kalau disatukan menjadi Air Sumur. Melirik arti secara terminologis, desa ini disebut desa Cisumur karena penduduknya selalu menggunakan air sumur untuk memenuhi semua kebutuhan hidup yang berhubungan dengan air. Mulai dari memasak, minum, mencuci, mandi, sampai mengairi sawah sebelum irigasi masuk pun menggunakan air sumur. Bahkan seklipun sudah ada irigasi, menyiram tanaman palawijan di tegalan pun menggunakan air sumur. Kalau memang demikian adanya, bukan suatu kesalahan juga tak heran mendengarnya jika kemudian desa ini dikenal dengan nama desa Cisumur. Terbilang cukup untuk ukuran sebuah desa. Tak terlalu besar, juga tak terlalu kecil. Juga belum tergolong maju, tapi tidak terlalu primitif. Sedang. Begitu tepatnya. Demikian juga kehidupan yang masih berputar. Dari segi sosial, bisa dibilang juga sedang. Katro tidak, modern pun belum. Kerukunan antarwarga masih terjaga, namun sebagian penduduknya pun bukan lagi mutlak sebagai petani yang identik dengan mata pencaharian masyarakat desa, agraria. Melainkan juga pegawai dan wiraswasta. Dari segi pendidikan, baru ada TK, SD, dan SMP negri juga swasta saja yang terjamah. Untuk SMA dan jenjang yang lebih tinggi
Siti Dzarfah Maesaroh
| 17
diatasnya, tentu harus keluar desa untuk mendapatkannya. Tak jauh beda dengan segi-segi yang lain, belum ada yang ter-. Masih dalam standar middle-. Beruntung, sesedang-sedangnya semua aspek kehidupan yang ada di kampung halaman saya ini, sudah cukup membuat masyarakatnya hidup makmur. Setidaknya tidak ada lagi warga yang tidak memiliki tempat tinggal. Tidak ada lagi warga yang tak bisa membeli sesuap nasi. Tidak ada lagi warga yang tak bisa membeli sehelai kain meski hanya pada saat lebaran Idul Fitri. Meski begitu, beberapa ironi pun tak bisa dielakkan dari kenyataan. Sample yang riil dan benar-benar terlihat kasat mata, ialah jalan raya yang mengelilingi seluruh cakupan area desa Cisumur. Bagian dari ibu kota Cilacap yang konon dibanggakan lantaran penghasil aspal terbesar di Asia, memang. Tapi alokasi aspal untuk daerahnya sendiri justru menggunakan kualitas terakhir yang barangkali tak laku dipasaran. Terbukti, pembangunan jalan jarang yang bertahan hingga hitungan tahun. Baru kelipatan bulan saja sudah minta diperbaiki lagi. Soal pemandangan yang eksotis, bukan ukuran desa Cisumur, memang. Bukan Kekayaan desa Cisumur untuk berbincang soal keindahan alam. Kecuali Anda mau mengakui bahwa sejuknya area persawahan yang terlihat alami, hijau, dan subur ini ialah bagian dari kekayaan sumber daya alam Indonesia yang dikenal sebagai negara pemegang kendali SDA
18 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n di dunia. Negara yang sering mendapat julukan ‘kayu dilempar pun jadi tanaman’. Pernah juga berjaya sebagai macannya Asia, dan sederet masa cerah di era yang sejatinya sangat kelabu. Aha! Hampir lupa. Cisumur terkenal dengan jembatan terpanjang seCilacap yang menghubungkan desa ini dengan desa Kedungreja. Jembatan yang tidak hanya panjang tapi juga lebar ini sering digunakan untuk arena track-trackan motor, tempat nongkrongnya anak muda, dan perlombaan penerbangan burung dara. Ah.. semoga saja dampak positifnya pada upaya peningkatan ekonomi rakyat atau lainnya. Misal, dengan membuka kedai makanan yang enak di sekitarnya, atau usaha apa lah yang laku dijual. Asal jangan jadi tempat jualan minuman dan _maaf_ PSK saja. Naudzubillah.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 19
Ulang Tahun Pertamaku Terbukti sulit merawat dan membesarkan saya? Itu hanya suggesti. Bagi ibu, membelai, menyusui, memandikan, memberi makan, memakaikan baju, hingga menina-bobokan saya , justru menjadi tantangan tersendiri yang harus ditaklukan. Bukan beban, bukan pula penderitaan. Melainkan anugrah yang amat berharga untuk ibu, sekaligus tugas mulia yang tentu akan menuai hasil membahagiakan bila ditanam dan dirawat sepenuh hati. Tak sia-sia usaha ibu. Setahun berlalu, saya sudah bisa dikatakan bayi normal. Kepala botak layaknya profesor itu, kini tertutupi rambut tipis yang mulai menampakkan diri. Begitu pula tapak kaki kian melebar. Bola mata yang hitam pekat pun kian besar melingkar, bahkan menutupi hampir seluruh warna putih dimata. Beberapa orang yang bisa membaca orang sempat mengatakan, “Anak ini beda dari yang lain”. Entah apa maksudnya. Bila diurai mengenai pertumbuhan saya, sedikit miris, “wah”, atau malah biasa-biasa saja, terserah orang hendak berkata apa. Bisa dibayangkan, sejak usia kurang dari tiga bulan, saya sudah tidak lagi mengonsumsi ASI. Bahkan saya juga belum bisa makan nasi selayaknya bayi Indonesia. Satu-satunya asupan makan yang bisa diterima tubuh saya kala itu hanyalah susu SGM dan roti Marie yang dihancurkan dengan susu juga. Sesekali ibu membuatkan aneka jus buah, terutama tomat,
20 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n dan beberapa resep makanan yang belum pernah tercoba sebelumnya. Meski begitu, ukuran tubuh kecil saya justru mempermudah gerak dan kelincahan tubuh. Tak heran bila genap setahun saya sudah bisa berjalan, berlari, dan berbicara. Mensyukuri hal itu, ibu berinisiatif membuat syukuran untuk memperingati hari jadi saya yang pertama. Semacam acara ulang tahun, namun beda tradisi dengan orang kota yang biasanya membuat party besar-besaran. Atau sekedar tiup lilin diatas kue tart. Dari sisi mana tradisi ini berbeda? Tentu saja dari sisi cara dan makna. Tasyakuran seperti ini biasa disebut “among-among”. Tradisi disana, tamu undangan adalah anak-anak dibawah kategori remaja. Mereka duduk melingkari nampan bundar yang sudah siap dengan nasi tumpeng, sayur, dan makanan pelengkap tumpeng lainnya di sekeliling nasi tumpeng itu. Tak lupa sebelumnya dibacakan do’a khususon ila nama saya yang disebut waktu itu. Sedikit berbeda dengan kebiasaan tadi, ibu mengundang segenap keluarga besar untuk ikut makan bersama dirumah. Meski masakan sederhana, tempat seadanya, fasilitas pun amat sangat terbatas, tak lantas membuat kebersamaan itu tak berarti apa-apa. Justru disinilah kekeluargaan, yang menjadi ciri orang desa, dieratkan. Mulai dari kakeknenek, budhe-pakdhe, paman-bibi, sepupu, keponakan, hingga cucu-cicit, semuanya hadir digubuk ibu. Selain melepas rindu, semua pun turut
Siti Dzarfah Maesaroh
| 21
mendo’akan saya dengan aneka. Semoga panjang umur, semoga tambah berat badannya, tambah tinggi, rambutnya tumbuh lagi, tidak cengeng lagi, semoga jadi anak solehah, semoga jadi anak cerdas, akas, titis, dan berbaris do’a lainnya jika hendak dicantumkan semua. Sayang, saya yang kala itu belum mengerti apa itu ulang tahun, belum tahu apa maksud tasyakuran, kenapa ada banyak orang berkumpul dirumah, dan sederet pertanyaan lain yang tak terungkap dan tak terdeteksi kala itu, hanya bisa menangis sejadi-jadinya dengan “empeng” tetap dimulut terpasang. Untungnya ada dua baby sitter, yang tak lain adalah kakak sepupu sendiri, selalu sigap menggendong seraya berbicara dari hati ke hati hingga berhasil membuatku tersenyum kembali. Sedikit geli kalau sekarang teringat masa-masa itu. Masa dimana saya diperlakukan sangat istimewa. Masa yang masih diibaratkan selembar kertas putih bersih. Belum ternoda dosa dan goda dunia. Masa dimana setiap kenakalan menjadi kelucuan, setiap tangisan menjadi kesayangan, setiap kesakitan menjadi pusat perhatian, bahkan setiap malam ibu tak pernah lupa menyanyikan lagu “Tak Lelo-Lelo Ledung” hingga mata saya terpejam dan siap bermimpi. Tak lelo-lelo ledung… Cep menengo, aja pijer nangis ……
22 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Lagi, Ma! Lagi, lagi! Tak sabar ingin mencicipi bangku sekolah, saya masuk TK Diponegoro 01 Cisumur sebelum usia genap 4 tahun. Unyu-unyu sekali. Memakai seragam kemeja merah hati bergaris vertikal, dipadukan dengan celana panjang berwarna sama dengan kemeja, dan jilbab putih yang sedikit kebesaran untuk ukuran wajah saya. Ditambah sepatu biru berpalet putih, dipasangkan dengan kaos kaki bunga-bunga putih. Menggendong tas yang muat beberapa buku serta seperangkat alat tulis di dalamnya. Setelah semua rapi, siap diantar oleh ibu dengan berjalan kaki. Betapa asyiknya membayangkan kala itu. Serasa sekolah benarbenar murni adanya, murni tujuannya, murni pula niatnya. Meski baru bisa membaca huruf abjad dan angka 1, 2, 3, rasanya keinginan untuk belajar bukanlah sebagai mainan belaka seperti kebanyakan anak sesusia saya. Dicuplik dari dongeng ibu, dulu saya tidak pernah mau berhenti belajar dikala malam tiba. Sekalipun hanya disuruh menulis angka atau A, B, C sebanyak seribu kali, tetap saya minta ‘Lagi, Ma! Lagi, Lagi!’. Sedikit aneh? Mungkin. Saya saja kalau teringat hal itu sedikit tidak percaya. Apalagi semua catatan belajar sejak hari pertama masuk TK itu, sampai detik ini masih tersimpan rapi. Tertulis jelas deretan huruf abjad yang berjajar sesuai aturan tata letaknya. A, tentu berbeda dengan J, bila
Siti Dzarfah Maesaroh
| 23
ditulis pada buku bergaris. Terutama perbedaan terlihat pada huruf latin kecil, apalagi kalau bukan model kaki ‘j’ yang menggantung ke bawah. Berkat ketlatenan itulah, siapa bisa mengira bahwa hasilnya bukan kesia-siaan belaka. Ibu saja shock ketika mendengar namaku dinobatkan sebagai Siswi Lulusan Terbaik tahun itu. Apalagi saya yang belum mengerti apa arti sebuah prestasi. Bahkan sempat terbesit, ‘semakin besar rangking itu semakin bagus. Kalau begitu rangking ke-10 itu lebih baik dari pada rangking ke-1?’. Ah..betapa polosnya saya dulu. Belajar selama dua tahun disana, memberi saya begitu banyak pengalaman berharga. Dari sanalah saya tahu huruf, bisa baca tulis, mendapat banyak teman, bisa bernyanyi lagu anak-anak, bisa berhitung, bisa membuat kapal-kapalan dari kertas bekas, dan bisa-bisa lainnya yang tak tersebutkan. Tentu saja pengalaman-pengalaman lucu, sedih, bahagia, itu sudah ada warna-warninya. Meski tak paham benar bagaimana-bagaimananya,
yang
jelas
sebuah
pergaulan
pasti
menyimpan banyak kenangan. Pernah saya ngambek karena seorang teman yang amat sangat jail. Setiap hari selalu mengambil penghapus karet berukuran 3x2 cm di dalam kotak pensil yang selalu saya taruh diatas meja. Awalnya saya tidak begitu peduli, hanya ber-khusnudzon bahwa dia memang meminjam. Tapi rupanya tak satu buah pun ia kembalikan. Bahkan setiap
24 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n hari saya beli baru, setelah detik itu juga dia mengambilnya dan tak mau mengembalikan lagi. Siapa yang tidak geram? Rasa sedih, haru, dan bahagia juga pernah saya alami dalam waktu bersamaan. Itulah perpisahan. Bahkan sedikit lucu juga. Dimana kelucuannya? Waktu itu saya dipercaya membacakan Ikrar TK bersama seorang teman yang kebetulan rumahnya persis dibelakang rumah saya. Sebelumnya, latihan sudah dirasa maksimal. Persiapan penguasaan panggung juga matang. Namun, pada saat tiba hari H, giliran tampil ditengah panggung, disaksikan segenap dewan guru dan wali murid serta tamu undangan, justru terjadi kecacatan pada saat mikrofon mulai bergema. Masih terekam jelas di memori, “Eh, eu.. nomor tiga apa ya?” itulah keceplosan pertanyaan yang saya lontarkan ke audience, kala semua mata sedang khidmat mendengarkan Ikrar TK yang saya baca tanpa teks. Spontan. Seketika itu juga audience serempak tertawa. Sementara saya cuek saja ditertawakan. Tak berpikir panjang kali tinggi apa bunyi nomor 3, langsung tabrak nomor berikutnya. Ah.. Lucunya.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 25
Si Rambut Mie Berbekal dua tahun dari TK, saya merambah jenjang berikutnya. Belum genap usia 6 tahun, masa itu, saya didaftarkan ibu ke sebuah lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah 01 Cisumur. Selevel sekolah dasar, tapi berbasic Islam. Bila dibandingkan, barangkali fifthy:fifthy antara mata pelajaran umum dan agama. Jadi, bila sekolah dasar atau yang lebih dikenal dengan SD itu mempelajari 8 mata pelajaran umum, misal. Berarti di MI mempelajari 16 mata pelajaran, 8 untuk agama, 8 lagi untuk umum. Begitu pula dengan ujian sekolah dan ujian nasional. Menapaki gang tikus yang belum di paving, selalu becek dan berlumpur bila hujan mulai mengguyur. Jalan kaki beralaskan sepatu butut warna hitam yang membungkus kaos kaki hitam, saya, adik saya, dan teman-teman beriringan memenuhi gang. Berseragam merah putih dengan ukuran dan model baju yang sama seperti anak SD, bedanya hanya pada kerudung putih yang melekat di kepala dan peci untuk para siswa. Tak sebanyak murid SD, karena memang MI tak sefavorit SD waktu itu. Kurang lebihnya setiap kelas berkisar 30 murid yang kebanyakan tinggal di daerah sekitar. Meski ada juga yang datang dari lain dusun, tapi tetap satu desa. Kala itu, masih sedikit pula yang menaiki sepeda, sepeda motor, atau bahkan diantar jemput orang tua. Mereka lebih comfortable jalan kaki setiap hari. Tak peduli panas, tak peduli
26 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n hujan. Tak peduli jalanan licin atau berdebu. Tak peduli seberapa jauh perjalanan yang ditempuh. Hal ini tak lain karena memang demikian tingkat kemampuan masyarakat saat itu. Ada pula sebagian yang memang merasa lebih nyaman jika berjalan dengan kedua kaki sendiri. Tradisi jalan kaki ini tentu saja memberi peluang besar untuk saling bertukar pikiran, atau lebih umum dibilang ngobrol, antarkawan saat berjalan beriringan. Terlebih, perjalanan kerumah saya ditempuh sekitar 15-20 menit. Tak jauh beda dengan yang lain _paling jauh ditempuh selama 30-40 menit_. Bagi mereka yang memiliki sifat kurang menyenangkan, jail, iri, dan sederet dendam di hati karena suatu persoalan, saat pulang sekolah adalah saat paling tepat untuk balas dendam. Tentu saja hal ini terjadi sepanjang jalan. Tak luput untuk saya. Hampir setiap hari ada saja yang selalu melontari saya pujian “Si Rambut Mie”. Pujian? Apa saya salah tulis? Tidak. Memang demikian saya menyikapi sesuatu yang terdengar sedikit menyakitkan. Hanya dengan cara itu saya bisa menahan emosi, sakit hati, bahkan dendam saat mereka bertubi meneriaki saya “Si Rambut Mie”. Barangkali ada benarnya juga. Mereka mengatakan saya demikian pastilah ada sebabnya. Apa itu? Istilah rambut mie identik dengan sesuatu yang keriting, bukan? Nah, itulah jawabannya. Hingga suatu ketika saya bermunajat kepada Allah, jika saya besar nanti, impian pertama adalah ingin
Siti Dzarfah Maesaroh
| 27
membuat rambut ini menjadi lurus, hitam, panjang, dan sehat. Bahkan hampir tak pernah lupa setiap selesai solat, selalu saya panjatkan, hanya demi (bukan) rambut mie.
28 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Buku, Sahabat Sejatiku Masa anak-anak yang tentu saja berusia dibawah 12 tahun, ialah masa-masa paling bebas untuk bermain. Sekolah pun belum terbebani banyak tugas. Terlebih, banyaknya waktu luang sepulang sekolah terkadang hanya terbuang untuk hura-hura belaka. Namun, tidak bagi saya. Ada histori spesial yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk memiliki satu teman sejati. Dialah buku. Semenjak tragedi yang senantiasa terlintas di kepala, saya mengurangi jadwal bermain dengan teman sebaya, mengurangi jalan-jalan yang tak bermakna, pun sekedar mencari kesibukan luar yang _bagi saya_ hal itu hanya membuang waktu. Apa histori, tragedi, atau apalah sebutan lainnya, yang telah membuat keputusan itu muncul? Rasanya buku ini pun tak kan cukup tuk mengurai semua. Dengan kata lain, cukuplah diri saya sendiri yang mengetahui. Semenjak itulah, buku tak pernah lepas dari genggaman. Apa pun jenis bukunya, kemana pun saya pergi, jam berapa pun itu. Sekalipun hanya ditenteng ditangan kanan, bahkan terkadang hanya dibawa tapi tak sempat dibaca. Satu hal yang penting, buku itu selalu ada disamping saya. Selalu menemani setiap saat. Bahkan senantiasa dirindukan untuk dibaca, meski sudah berulang kali.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 29
Bukan hanya itu, ternyata, pembaca yang budiman. Sederet slogan, tagline, wise word, dan sejenisnya pun tak luput turut mempromosikan dan menyatakan dengan tegas kepada dunia bahwa “Buku, *memang+ sahabat sejatiku”. Tulisan itu tertampang jelas di salah satu sudut kamar, persis disebelah meja belajar. Juga disetiap buku yang saya miliki, tulisan itu selalu terbaca di lembar pertama setelah cover paling depan. Saking asyiknya bejibaku dengan buku, sering saya mencari tempat strategis, nyaman, aman, dan menjamin keefektifan membaca. Tidak tanggung-tanggung markas yang saya pilih. Menimbang dan mengingat beberapa faktor yang dimungkinkan menjadi hambatan dirumah _yang terletak di depan area persawahan, sudut desa Cisumur_. Akhirnya diputuskan beberapa titik area yang bisa saya manfaatkan untuk melancarkan aksi ‘membaca’. Incaran terdekat ialah sudut teras sayap kanan yang menyita 60x60 cm dari ukuran teras sebenarnya. Disudut itulah saya biasanya menghabiskan waktu pagi untuk membaca. Dengan posisi duduk bersila atau menggantungkan kaki ke bawah sambil diungkang-ungkang. Memasuki siang hari, cuaca panas yang mulai menyengat, mengalihkan posisi ke bawah pohon mangga persis di depan teras. Sejurus dengan pojok tadi, kerindangan dedaunan dan batang pohon yang pe-we untuk sandaran, membuat saya betah berlama-lama disana. Biasanya saya
30 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n menghabiskan waktu untuk duduk bersandar seraya membaca dibawahnya pasca sekolah usai sampai sebelum adzan asar tiba. Sedang sore hari, terik mentari sudah bergeser ke ufuk barat, tempat favorit membaca berpindah ke pohon jambu yang tak kalah rindangnya dengan pohon mangga. Selain karena memiliki banyak cabang yang berbentuk seperti bunga mawar mekar, juga karena pohon jambu ini selalu berbuah. Asyik sekali bukan belajar sambil memetik buah jambu yang merah dan manis? Tapi harus hati-hati memakannya karena jambu air pasti selalu menjadi incaran para hama yang tak jauh dari keluarga besar pe-ulat-an. Perlengkapan yang selalu saya bawa, tak lain dan tak bukan ialah bantal empuk untuk tiduran di sela cabang yang mekar. Tak peduli tinggi, juga tak takut akan jatuh. Ya, itulah saya yang dulu. Selain di pohon yang rindang, sesekali saya ikut ibu ke sawah yang letaknya tak terlalu jauh dari depan rumah. Terlebih kalau pohonpohon jeruk yang jumlahnya ratusan itu sedang berbuah masal. Bukan hanya rindang, teduh, dan ditemani si jeruk-jeruk manis khas desa Cisumur. Melainkan juga disegarkan dengan semeribit angin yang menampar wajah mungil saya dari segala sisi. Sepoi-sepoi. Sesekali suara katak, jangkrik, dan tikus yang sedang dikejar-kejar ular pun turut menemani. Damai. Hamparan padi yang mulai menguning bak karpet yang digelar tak berujung, menambah indahnya pemandangan. Sungguh, panorama yang luar biasa.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 31
Beranjak malam, tentu tak bisa lagi saya nikmati asyiknya belajar di luar rumah. Maka dari itu, tak ada pilihan lain selain duduk manis di depan meja belajaryang posisinya di sudut kamar sebelah kanan. Jika kaki mulai terasa pegal, saya beralih ke ranjang tidur yang persis di depannya. Pun bila jenuh mulai menyerang, saya nyalakan radio mini pemberian ayah. Channel favorit kala itu ialah Garuda FM dan Wijaya Cilacap. Tak jarang ketiduran dengan posisi buku dalam pelukan. Kalau sudah begitu, pasti ibulah yang merapikan sederet buku dari ranjang, membenarkan posisi tidur, menyelimuti, dan mematikan lampu. Satu hal pasti yang menjadi kesamaan dari semua tempat belajar tadi, saya selalu membawa camilan alias makanan ringan dalam setiap kesempatan membaca. Bahkan kadang kenakalan saya menyentil kebiasaan yang sudah menjadi tradisi ini. Tak ada membaca, jika tak ada camilan. Atas prinsip itulah, kadang ibu jadi sasaran korban untuk selalu menyediakan camilan. Ya, begitulah adanya.
32 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Sang Pemecah Rekor Hanya sekejap mata rasanya, enam tahun sudah melewati proses belajar di MI Darwata Cisumur 01. Tiba waktunya pertempuran terakhir itu dihadapi. Apalagi kalau bukan final examination yang acap kali bermomok seram dan menakutkan. Bukan hanya karena expose media yang _dalam kaca mata saya_ terlalu over dalam menggemborgemborkan isu-isu seputar ujian nasional, tapi juga karena ujian ini ialah kali pertama sepanjang sejarah hidup saya. Lantaran itulah, impian jangka pendek yang saya target waktu itu berbunyi
“Menjadi
lulusan
terbaik
dan
Tembus
SMP
N
1
Gandrungmangu”. Tidak terlalu muluk rasanya. Menjadi lulusan terbaik merupakan sambungan tali prestasi yang telah saya ukir sejak pendidikan formal pertama saya terima, TK. Sedang tembus SMP N 1 Gandrungmangu ialah bagian dari misi pemecah rekor yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ya, SMP N 1 Gandrungmangu, sebagai SMP Negeri tertua di Kecamatan saya, ialah SMP favorit yang terkenal berprestasi, disiplin, dan high class. Rasa penasaran untuk membuktikan sejauh apa kualitas lembaga pendidikan yang akrab disebut Spensa Gama (kependekan dari SMP N 1 Gandrungmangu) inilah yang memaksa nurani saya mengejar kesempatan itu. Standar NEM minimal waktu itu harus mencapai 39, 08.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 33
Angka cukup tinggi untuk rata-rata mata ujian nasinal yang berjumlah 5 pelajaran kala itu. Kenapa pemecah rekor? Karena sepanjang abad berdirinya MI Darwata Cisumur 01, belum pernah ada satu pun jebolannya yang berhasil menjadi bagian dari keluarga besar Spensa Gama. Tentu, faktor utamanya ialah rendahnya kualitas MI yang tidak berstatus negeri ini. Belum pernah ada satu pun lulusan yang berhasil mencapai NEM diatas 35,00. Bahkan sudah menjadi hal yang lumrah bila setiap tahun ada saja yang tidak lulus. Tak heran bila sampai detik itu belum satu pun yang bisa tembus. Keprihatinan ini mengantar kebulatan tekad saya untuk bisa memecahkan rekor. Untuk bisa membuktikan bahwa MI Darwata yang notabennya sekolahe dewek ini juga bisa bersanding dengan ratusan SD Negeri di daerah saya. Juga bisa membuktikan kredibilitas yang bukan lagi ecek-ecek. Tak pantas dipandang sebelah mata, tak patut juga dianak-tirikan layaknya sekolah yang tak punya harga diri. Saya ingin membuat gebrakan baru yang bisa merubah paradigma. Mengukir sejarah
yang
bermakna
untuk
sekolah
tercinta.
Sekaligus
mempersembahkan kado terindah untuk semua dewan guru, di ujung perjuangan saya disana. Tentu sebagai bentuk terima kasih untuk para pahlawan tanpa tanda jasa yang selama ini memang senantiasa setia dengan gaji yang mereka terima. Seadanya dan memang apa adanya.
34 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Mati-matian saya berjuang. Tak kenal siang dan malam berkutat dengan pelajaran, bejibaku dengan buku, menelan lembar demi lembar materi dari setiap mata ujian. Bahkan segala les diikuti, pelajaran tambahan di lahap, pun lembur malam sentiasa dilakukan. Tak peduli orang berkata apa. Si kutu buku lah, si gadis buku lah, si gila buku lah, dan si-si lainnya yang cukup membakar telinga. Satu prioritas yang selalu menjadi patokan, saya memiliki cita-cita mulia. Saya yakin tak ada satu keberhasilan pun yang bisa diraih dengan berpangku tangan. Tak ada satu kesuksesan pun yang di raih dengan bersantai ria. Itulah sebab mengapa saya berani total dalam berjuang. Menyadari saya bukanlah orang cerdas yang langsung ces pleng saat belajar. Bukan pula orang yang berdaya ingat kuat dalam segala hal. Semua butuh proses yang tak singkat dan tak mudah untuk dilakoni. Namun, saya pun yakin adanya, bahwa man jadda wajada itu memang ada. Saya pun menyadari bahwa tugas saya cukup sampai pada usaha dan do’a. Selebihnya, saya serahkan pada yang berwenang. Siapa lagi kalau bukan Allah Azza wajalla. Genap satu semester sudah saya berjuang. Semua les telah terlewati. Semua pelajaran tambahan telah dilalui. Semua bimbel sudah kelar. Semua try out sudah tercakar. Bahkan semua mata pelajaran yang diujikan pun sudah terjawab rapi dari hasil murni pikiran sendiri. Inilah saat harap-harap cemas yang hampir setiap hari mendebarkan dada.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 35
Hampir setiap hari memaksa saya berdo’a hingga meneteskan air mata. Hampir setiap hari pula menghitung-hitung datangnya pengumuman. Sejenak
melupakan
hal
itu,
saya
menyibukkan
diri
mempersiapkan perpisahan. Entah atasdasar apa, wali kelas menunjuk sayadisamping menjadi regu koor yang menyanyikan 3 buah lagu, Telah Tiba Saat Berpisah, Hymne Guru, dan Syukur, saya juga di daulat untuk membacakan 3 karya puisi salah seorang guru. Ditambah menjadi perwakilan kelas akhir dalam menyampaikan prakata perpisahan. Lengkaplah sudah tugasku. Jadilah setiap hari tak terasa terlewati begitu saja. Menikmati proses latihan yang sejenak menyenangkan, juga menyelami moment-moment terakhir bersama ke-32 kawan sekelas. Hingga tibalah saat yang ditunggu. Saat yang sudah lebih dari sebulan dinantikan. Saat yang paling mendebarkan sepanjang hidup saya masa itu. Itulah pengumuman hasil ujian nasional yang telah mati-matian saya perjuangkan. “Dan, peringkat pertama dengan jumlai nilai 40, 68 diraih oleh …. Tak asing lagi ditelinga kita, karena setiap semester pasti menyabet juara umum. Tubuhnya memang mungil, tapi otaknya tidaklah kerdil. Inilah calon generasi penerus sejati yang siap berbakti pada negeri. Siapa lagi kalau bukan Sang Bintang Sekolah kita, Sang Pemecah Rekor di sepanjang riwayat sekolah ini berdiri, dialah Siti Dzarfah Maesaroh”. Itulah kata-kata yang diucapkan oleh panitia pembaca hasil ujian.
36 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Bak mendapat durian runtuh. Lebih. Bak kejatuhan bulan purnama. Sungguh, rasanya tak karuan kala itu. Bukan karena juara umum lagi yang membahagaiakan saya, karena memang ini sudah kali ketujuh saya menyabetnya. Melainkan karena NEM saya bisa tembus Spensa Gama. NEM saya berhasil mendongkrak paradigma. NEM saya pula yang menoreh warisan berharga untuk sekolah. Memacu semangat adik kelas, karena setelah itu peluang adik kelas mengikuti jejak saya semakin terbuka. Inilah yang saya mau, inilah yang saya minta. Inilah bukti dari kalimat sederhana “man jadda wajada”.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 37
38 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Demi Spensa, Aku Rela melakukannya
S
ehari sebelum pendaftaran murid baru Spensa Gama dibuka, saya dan teman-teman sengaja melakukan survei tempat dimana sekolah itu berada. Jaraknya sekitar 5 KM dari rumah.
Mengayuh sepeda ramai-ramai menulusuri area persawahan dan kuburan. Menentang angin dan panasnya mentari yang cukup menyengat kulit. Mengandalkan bertanya, memberanikan diri mencari lokasi dimana bangunan megah yang bertuliskan “SMP N 1 Gandrungmangu” berada. Setelah melewati hampir satu jam perjalanan, sampai juga akhirnya di depan pintu gerbang utama. Disalah satu sudut kota Gandrungmangu, desa Bulusari tepatnya. Persis bersebelahan dengan
Siti Dzarfah Maesaroh
| 39
kuburan, jauh dari keramaian, dan sarat akan kesejukan serta pembelajaran yang kondusif. Saya dengan polosnya bergumam, betapa senangnya bersekolah disini. Areanya bahkan hampir 10x lebih luas dari MI dulu. Bangunannya megah, pasti tidak ada genteng bocor. Perpustakaannya besar, pasti banyak bukunya. Wow! Lihat! Lapangannya luas sekali. Tidak hanya lapangan basket, sepak bola, tapi juga tempat upacara. Pasti fasilitas olah raga juga lengkap, ya. Taman-tamannya juga indah dan menyejukkan, dulu di MI mana ada taman. Ruang kelasnya, luas dan bagus. Sempurna. Inilah sekolah yang saya inginkan. Tapi, bagaimana caranya saya bisa menjadi keluarga besar disini? Sejenak melamun, saya dan teman-teman tak sadar menjadi pusat perhatian penjaga kebun yang sedang memunguti sampah waktu itu. Tanpa basa-basi, saya beranikan diri bertanya seputar info pendaftaran yang pasalnya akan mulai dibuka besok pagi. Saya tak menyangka ternyata tukang kebunnya saja pandai berbicara, dengan lancarnya menjelaskan panjang lebar tentang info yang saya minta, bagaimana dengan dewan guru dan murid-muridnya. Hal ini semakin menguatkan tekad dan niat ini untuk bisa tembus sekolah yang memang berlabel favorit di Gandrungmangu. Merasa cukup dengan info yang di dapat, saya dan teman-teman langsung memutar kanankan roda sepeda depan, bersiap tuk pulang.
40 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Besok, saya siap kembali dengan membawa segenap persyaratan yang dibutuhkan. Siap bersaing dengan ratusan calon pendaftar dari berbagai daerah lain, yang sudah barang tentu, mereka jauh lebih baik dari saya.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 41
Apa Salahku? Setelah melewati sederet persyaratan pendaftaran, mulai dari antri mengambil formulir, mengembalikan formulir, menyerahkan persyaratan, menunggu pengumuman, hingga kembali lagi untuk membayar daftar ulang, akhirnya sahlah saya tercatat sebagai salah satu siswi Spensa Gama. Meski harus rela berada di urutan ke-150 dari 240 siswa yang diterima, 1:3 dari total pendaftar. Seabreg warna-warni kenangan yang terjadi di hari pertama masuk sekolah. Segudang tanda tanya dikepala, berikut sederet hal yang serba ‘pertama’ pun mengawali cakrawala sejarah hidup baru yang baru saja akan dimulai. Lucu, seru, terharu, tersipu. Kesal, sebal, bebal, juga gombal. Senang, sedih, susah, bahkan sedikit menusuk hati. Ya, semua warna itu bercampur jadi satu, di semester satu, tentunya juga dikelas satu. Salah satu peristiwa yang sampai detik ini pun masih lekat dalam ingatan, ialah dimulainya sejarah pergaulan baru, adaptasi baru, dan kisah penderitaan baru, yang tentu saja semua itu bermula di hari pertama. Sangat menyebalkan, saya bilang. Kurang dari 5 menit saya duduk dibangku paling depan untuk pertama kali, dikelas 1 C, sudah lebih dari 5 siswa yang menggoda dengan cara yang sangat tidak sopan.
42 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Semakin saya tidak merespon, semakin menjadi ulah mereka. Lantaran hal itulah, semua siswi dikelas saya enggan berteman bahkan menjauhi saya. Pasalnya saya dicap sebagai ‘cewe murahan’, ‘cewe gampangan’, padahal mereka melihat sendiri siapa yang menggoda. Hal ini semakin menurunkan kredibilitas saya sebagai gadis berjilbab, yang waktu itu masih satu-satunya dikelas. Saya yang kala itu belum memiliki cukup keberanian untuk melawan, pun tak seorang pun yang membela, hanya bisa pasrah dengan keadaan karena saya pun sejatinya belum mengenal siapa mereka. Sempat putus asa menghadapi kegalauan itu, tapi untungnya tak pernah terbesit kata ‘pindah atau keluar’ dari sana. Karena saya yakin, saya datang untuk belajar, bukan untuk mencari musuh apalagi pacar. Semakin hari, semakin bulan, semakin muak saja dengan ulah siswa-siswa yang _maaf_ kurang beradab itu. Semakin menjadi pula kebencian teman-teman sesama perempuan yang hampir semuanya sudah terprofokatori untuk menjauhi saya. Selidik punya selidik, bukan karena kesalahan saya, mereka tahu saya hanyalah korban. Tapi karena siswa-siswa yang bergantian menyatakan cinta (monyetnya) pada saya adalah anak-anak gedongan yang bisa dibilang kelas atas, alias tajir. Terkenal sebagai ‘Cowok cool” disekolah. Juga para jago basket yang kalau sudah beraksi di lapangan, bikin hati siswi-siswi yang melihat klepek-klepek tak kuasa menahan debar di dada. Padahal, sungguh, saat siswa-siswa itu menggoda, merayu, mengungkapkan cinta, saya benar-
Siti Dzarfah Maesaroh
| 43
benar tidak tahu begitu adanya. Dengan tegas saya hanya menjawab, ‘maaf, anda salah orang’. Lantaran rasa iri seorang siswi yang merasa tersaingi oleh saya untuk mendapatkan cinta (monyet) para siswa (baca: cowok) playboy itulah, dia mengaduk-aduk kepercayaan anak-anak terhadap saya. Membeberkan sesuatu yang tidak saya lakukan, menuturkan semua kejelekan yang dipertanyakan kebenarannya. Terlebih parah, para cowok itu tidak mau dan [memang] tidak bisa membaca situasi, sama sekali tidak peka terhadap apa yang terjadi akibat ulah mereka. Selama setengah semester saya membiarkan mereka berulah. Saya biarkan mereka tertawa diatas penderitaan. Saya biarkan mereka puas melancarkan segala aksi pemfitnahan. Saya biarkan mereka menjauhi dan tidak bertema dengan saya, tak seorang pun. Saya juga biarkan para cowok itu bermata liar, hingga letih sendiri menggoda, juga menyatakan cinta (monyet) yang sangat memuakkan. Namun saya percaya, bahwa kehidupan memang bagai roda yang berputar. Kehidupan tidak mungkin selamanya monoton. Tak mungkin pula selamanya manusia terhina. Tak mungkin selamanya yang kuat dan banyak pengikutnya itu selamanya berkuasa. Juga tak mungkin selamanya kebahagiaan itu melekat pada seorang saja. Pun tak mungkin penderitaan menjadi milik mereka yang tak berdaya. Sejatinya, segalanya telah diatur serba berpasangan. Begitu pun dengan kisah sedih yang saya
44 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n alami, suatu saatnya nanti, pasti kesabaran itu akan berbuah manis bahkan mungkin jauh diluar perkiraan saya. Benar saja. Seminggu pasca tes tengah semester, pengumuman hasilnya pun tertampang jelas di papan pengumuman. Berjajar memanjang menampilakan sederet angka-angka yang berbicara dari setiap mata pelajaran yang masuk dalam mid test. Siswa-siswa berebut ingin melihat. Diselubungi rasa penasaran yang amat, saya yang berbadan kecil senantiasa terdorong ke belakang saat kaki bisa mencapai depan. Ah.. hanya ingin melihat nilai saja susah sekali. Tanpa berpikir tuk berjuang lebih kuat, saya langsung mundur dan kembali ke kelas. Biarlah nanti pulang sekolah saja saya melihatnya, bathin saya. Dengan santainya saya berjalan kembali ke kelas seraya menggenggam buku bacaan yang sedari tadi sudah diniatkan untuk dirampungkan hari itu juga. Namun, tanpa komando dan aba-aba 1, 2, 3, tiba-tiba seorang teman menyambar buku dari belakang. Sembari menjabat tangan penuh erat, bahkan dengan mata berbinar. Sangat diluar perkiraan, dia langsung memeluk erat tubuh mungilku dan mengucapkan sesuatu juga tidak saya duga sebelumnya. Selamat, kamu mendapat nilai tertinggi paralel. DEG!!! Jantung saya serasa copot. Apa maksudnya?
Siti Dzarfah Maesaroh
| 45
Diikuti semua teman sekelassetelahnya, satu persatu mengucapkan selamat sembari mencium pipi kanan dan kiri. Dengan ucapan yang sama, selamat kamu mendapat nilai tertinggi paralel. Masih diliputi kebingungan, selepas jabat tangan, seorang teman mengajak duduk sembari menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Saat itulah, mereka semua meminta maaf atas segala perlakuan buruk mereka pada saya selama ini. Mereka baru menyadari bahwa saya tidaklah bersalah. Bahkan mereka sangat berterima kasih karena berkat nilai tertinggi saya diantara 240 siswa kelas satu yang ada di Spensa Gama, kelas 1 C terangkat derajat mertabatnya. Dari yang semula dinilai negatif dan dikenal sebagai kelas paling nakal, menjadi kelas berprestasi dan pantas mendapat penghargaan. Fiuuuhhh… Linangan air mata membanjiri pipi ciut saya.
46 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Aa Ba Ta Tsa Jim Kha Pernah saya bercita-cita menjadi seorang guru. Kala itu di dorong oleh rasa ingin mengamalkan segala yang saya bisa untuk orang lain. Sekalipun hanya satu huruf, hanya satu ayat, hanya satu kalimat. Terlebih, desa saya dulu terkenal sebagai desa yang terisolir. Masih banyak sekali orang tua yang buta huruf. Pun anak kecil yang belum bisa mengaji. Berangkat dari sanalah saya pernah bercita-cita pula bisa memiliki lembaga pendidikan yang nantinya bisa membangun peradaban masyarakat sekitar, syukur bisa turut andil dalam membangun peradaban bangsa. Namun, seiring berjalannya waktu, mimpi itu seolah tergilas sebuah kesadaran yang sulit saya uraikan. Beruntung saya pernah dikasih kesempatan untuk berbagi ilmu. Meski hanya dengan adik kelas, teman sebaya, juga kakak kelas. Entah bermula dari mana, entah atas dasar apa, banyak anak tetangga sekitar yang datang dengan sendirinya ke rumah untuk belajar mengaji. Semula memang ada ayah _yang notabennya lulusan pesantren biasa_ yang menjadi pengurus masjid juga seorang khotib dan imam disana. Namun, setelah ayah sering merantau ke Jakarta, ibu yang menggantikan agar mereka tetap bisa mengaji. Semakin hari semakin bertambah saja yang datang. Biasanya sebelum adzan maghrib tiba, mereka sudah bersarung, berpeci, berkerudung, dan bermukena. Tentu saja sarung dan peci untuk yang
Siti Dzarfah Maesaroh
| 47
laki-laki dan kerudung juga mukena untuk perempuan. Setelah solat maghrib berjama’ah selesai, proses mengaji pun dimulai. Beragam level yang mereka kaji. Khususon ila belajar Al Qur’an. Ada yang benar-benar mulai dari nol, menggunakan kitab Iqro’. Didalamnya membahas tentang pengenalan huruf hijaiyah dan sedikit huruf Arab bergandeng. Ada yang setingkat diatasnya, yakni menggunakan ‘Turutan’ begitu anak-anak biasa menyebutnya. Kitab ini mempelajari pengenalan huruf hijaiyah dan jus amma’ serta sedikit sentilan tajwidnya. Tingkatan paling atas langsung menggunakan mushaf. Dilevel ini mereka sudah bisa membaca Al-Qur’an dengan lancar dan sedikit banyak juga tahu tajwidnya. Sedikit membantu ibu agar tidak kemalaman selesainya, biasanya saya turut turun tangan mengajari yang kecil-kecil. Walaupun baru aa ba ta tsa jim kha. Setidaknya saya belajar mengamalkan apa yang saya bisa, seperti cita-cita yang saya sebutkan tadi. Selain belajar Al-Qur’an, ada juga yang merambah ke kitab-kitab kuning atau bahasa modernnya kitab-kitab klasik. Lain hal dengan anakanak disana biasa menyebut kitab-kitab gundul, karena memang kitabnya tidak berkharokat jadi nampak gundul. Metode pengajaran kitab kuning ala pesantren, biasanya dengan mengafsahi atau mengartikan per kata. Tentu saja bukan dengan bahasa Indonesia, tapi dengan bahasa Jawa dan ditulis pegon (tulisan berbahasa Jawa tapi wujudnya seperti tulisan Arab).
48 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Disetiap akhir pertemuan, biasanya ayah tidak ketinggalan sebuah dongeng yang ayah dapatkan dari pesantrennya dulu. Tidak muluk-muluk dongeng yang diceritakan, tapi pasti mengandung hikmah atau sekedar bikin guyon (ketawa, red), untuk melepas kepenatan anakanak yang telah letih beraktivitas sejak pagi. Pengajian pun berakhir ba’da isya, namun kadang sampai jam 9 untuk usia yang sudah memasuki diatas remaja. Meski pembelajaran berlangsung di sebuah ruang tamu yang tak terlalu besar ukurannya, asal bisa digunakan untuk sekedar belajar, tak mengapa bagi mereka. Barangkali benar kata orang bijak bahwa kesederhanaan terkadang melahirkan sebuah kesempurnaan.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 49
Orang Gila Aja Jatuh Cinta Sudah menjadi satu agenda khusus setiap musim liburan tiba, saya selalu menyempatkan diri mengikuti kursus komputer, bahasa Inggris, dan Matematika paket liburan. Selain harganya lebih murah, juga sebagai pelampiasan jiwa hyper aktif yang (kata kebanyakan orang) saya miliki. Tak peduli terkurangi waktu istirahat bersama keluarga, hang out bareng teman-teman, juga sekedar menyegarkan badan yang setiap hari kepanasan saat pulang pergi sekolah. Hal yang pasti, kala itu saya berpikir yang penting bisa bermanfaat dan dimanfaatkan. Sebagaimana sedikit diceritakan di depan, desa saya ialah desa yang tidak begitu terkenal. Jauh dari pusat kecamatan, terlebih jauh lagi dari pusat Kabupaten yang bisa ditempuh tidak kurang dari satu setengah jam menggunakan sepeda motor. Pantas saja kalau semua pusat pendidikan yang maju, pusat perbelanjaan yang sudah modern, juga pusat kesehatan yang (sedikit) memadai, itu semua ada di pusat kecamatan dan kabupaten. Tak ubahnya dengan sederet tempat kursus yang saya masuki. Tidak kurang dari 5 KM perjalanan yang saya tempuh. Tidak kurang dari 30 menit roda sepeda saya berputar menuju sana. Pun tidak kurang dari 15 ribu jika menggunakan jasa ojek. Atau setidaknya sekitar 3 ribu rupiah jika naik angkutan umum, namun sayangnya angkutan umum yang dulu
50 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n pernah disediakan pemerintah untuk desa saya, dicabut kembali lantaran tak laku. Bagaimana mungkin laku, kalau setiap rumah sudah memiliki paling tidak satu sepeda motor? Tidak hanya saya yang memiliki tradisi ini, beberapa kawan yang memang memiliki semangat belajar dan semangat juang yang tinggi juga berbondong-bondong mengikuti kursus paket liburan yang biasanya berdurasi 2 minggu ini. Suatu ketika, saya dan seorang kawan sedang asyik bersepeda menuju ke salah satu tempat kursus komputer. Tentu saja tak ada jalan yang dilewati kecuali jalan bertepi sawah dan ada pula beberapa titik pemakaman umum. Jadwal yang terbagi dimulai siang hari, memaksa saya mengayuh lebih cepat karena panas semakin ganas menyengat. Terlebih, pergeseran mentari yang menunjukan dimulainya waktu dzuhur, membuat para pejalan dan pengendara semakin lengang. Saya semakin waspada sesaat setelah menyadari ada seorang pria bersepeda ‘Jangky’ yang mondar-mandir mengikuti langkah saya yang berdampingan dengan seorang kawan, sudah lebih dari tiga kali. Semakin cepat dikayuh, semakin cepat pula ia memburu. Hingga puncak detak was-was jantung ini, pria tadi menyenggol sepeda saya dan denagn sigap meletakkan selembar kertas yang lebih pantas dibilang sepucuk surat.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 51
Tanpa basa-basi, pria tadi langsung melesat berkecepatan kilat. Anehnya, saat mondar-mandir 3 kali tadi dia sama sekali tidak terlihat membawa kertas, apalagi pulpen. Lalu, bagaimana mungkin dia bisa menulis sepucuk surat? Tak mau berkelut dengan pikiran yang tak realistis, kawan saya langsung mengambil surat tadi dan membukanya. Tanpa aba-aba pula, dia langsung tertawa terbahak-bahak bahkan sampai mengeluarkan dahak. Saya yang masih konsentrasi membenarkan posisi sepeda yang tadi tersenggol, hanya bertanya dengan nada datar, ‘apa isinya?’ “Hey. Maukah kau jadi pacarku? Sudah lama aku mengincarmu. Dan sekaranglah saat yang tepat untukku bilang I LOVE U”. Begitu bunyinya. Spontan saya dan kawan saya tertawa tapi tak mengerti apa maksudnya. Aneh sekali bukan? Kenal saja tidak, bagaimana mungkin bisa suka. Sembari melontarkan rasa penasaran pada tanaman yang digoyangkan rerumputan, saya berbalap sepeda dengan kawan karena 5 menit lagi kursus akan dimulai. Sekitar tiga hari berlalu, pria tadi kembali muncul dihadapan saya. Seperti biasa, dengan sepeda Jangky-nya, menyetrika jalan berulang-ulang. Bahkan sampai depan rumah. Selidik punya selidik, survey membuktikan bahwa dia ternyata bukan orang yang baik-baik
52 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n saja, alias gila. Semakin terbahaklah saya dan kawan yang sejak sebelum tahu juga sudah tertawa. Orang gila aja jatuh cinta, apalagi yang nggak gila!, ledeknya.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 53
Dari 150 menjadi 2 Sebelum dilanjutkan, barangkali perlu digaris bawahi bahwa semua yang tertuang disini hanyalah sekelumit riview sejarah hidup yang pernah tergores dari seorang dara kecil. Tak ditambahi, tapi lebih banyak dikurangi. Tentu tak kan mungkin bisa tercover semua bila memang dikisahkan seutuhnya. Kembali ke masa SMP. Mungkin inilah hadiah terindah, kesempatan teristimewa, juga anugrah paling berharga sepanjang hidup saya masa itu. Inilah kado langka yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Apa itu? Ialah dinobatkan menjadi Siswi Berprestasi peringkat 2, yang artinya berhasil mengalahkan 238 siswa seangkatan. Sebuah peningkatan yang drastis, dari detik pertama masuk berperingkat 150, kini menjadi 2. Tentu saja dengan jumlah murid yang sama, namun sudah oper kelas. Lebih tepatnya, peristiwa bersejarah ini terjadi pada saat saya menginjak semester 1, kelas 8 SMP. Tak seberapa memang hadiah yang di dapat, hanya cukup untuk membeli sebuah tas punggung berwarna orange muda yang lebih mirip pink. Memang bukan juara pertama, tapi bagi saya pencapaian ini sudah melebihi target yang semula hanya ingin menjadi bintang kelas. Mengingat persaingan yang begitu ketat, saya tak berani bermimpi yang
54 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n muluk-muluk. Makannya saat kepala sekolah menjabat tangan saya sembari mengucapkan selamat dan memberikan penghargaan dari sekolah, desir darah seolah berhenti mengalir. Bermula dari penobatan inilah, hati saya semakin mantap. Semakin yakin. Bahkan semakin percaya. Bahwa sejatinya kecerdasan, kepandaian, juga setinggi apa pun prestasi, real yang ada itu mengatakan bahwa semua itu bisa diupayakan. Bisa diusahakan. Bisa diraih dengan kerja keras. Bisa diwujudkan oleh kedua tangan manusia, sekalipun semula hanya berawal dari mimpi belaka. Siapa bisa mengira kalau gadis kecil dari desa terpencil, bisa besar dan harum namanya di sebuah sekolah favorit dan terkenal seperti Spensa Gama. Tidak sedang melebihkan, tapi hal ini benar-benar menjadi bukti juga pembakar semangat bagi kawan-kawan saya. Mereka yang banyak berasal dari keluarga berada, segala fasilitas disediakan orang tua, pun kebutuhan hidup sangat terpenuhi, hanya bisa gigit jari tak percaya. Sedang saya yang sama sekali tak ada tampang dari golongan atas, berhasil menancapkan panah tepat sasaran. Ini pula hikmah konsekuensi dari tujuan awal saya memasuki gerbang Spensa Gama. Bukan untuk mencari lawan atau pun pacar, melainkan untuk mencari ilmu. Ternyata, ‘man jadda wajada’ itu memang benar adanya, bukan?
Siti Dzarfah Maesaroh
| 55
Orientasi Lomba, Bukanlah Uang Saku Apalagi Gelar Juara Semata Dinobatkan menjadi siswi berprestasi, seolah
membuka
kesempatan untuk mengepakkan sayap lebih lebar. Bukan hanya dikandang (baca: disekolah) sendiri, tapi hingga kancah kabupaten. Terlihat lingkup yang belum luas memang. Namun bagi sekolah yang lokasinya sangat jauh dari pusat kota (kabupaten) Cilacap, tentu perlombaan semacam ini sudah dianggap event besar. Sebelum maju ke tingkat Kabupaten, terlebih dahulu saya menjajaki medan pertempuran di sekolah. Setiap adu class meeting, setiap itu pula saya beraksi. Meski hanya melawan teman seangkatan, adik juga kakak kelas, tentu butuh persiapan yang tak bisa disepelekan. Seperti biasa, saya selalu ditunjuk mewakili kelas untuk lomba Story Telling, Baca Puisi, Debat Siswa, dan Cerdas Cermat. Tak sendirian, memang. Debat Siswa dan Cerdas Cermat jelas bertanding per grup. Sedang yang dua lagi, tak mungkin rasanya jika dimainkan oleh lebih dari seorang. Layaknya pertandingan, pasti ada kalanya menang, juga ada kalanya kalah. Mustahil bila sepanjang waktu hanya ada siang tanpa malam yang mendahului, karena segala yang ada di dunia memang diciptakan berpasang-pasangan. Tak ubahnya dengan perlombaan yang
56 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n saya ikuti. Kemenangan sering berpihak, namun kekalahan pun tak dapat dielakkan. Terhitung sejak perlombaan disemester pertama kelas pertama, saya merebut juara 3 untuk Story telling yang melawan kurang lebih 40 delegasi dari semua kelas (1-3). Dilanjut semester berikutnya hingga akhir kelas 2, saya memegang kendali sebagai juara umum (baca: juara satu) untuk lomba yang sama. Lain hal dengan Debat Siswa, kadang beruntung menyabet juara, kadang juga gugur sebelum final. Begitu juga dengan Cerdas Cermat. Bukan karena kurang maksimal, tapi dalam perlombaan ini sudah dapat dipastikan bahwa kakak kelas lah yang akan menang. Betapa tidak, mereka jelas memiliki pengetahuan dan ilmu lebih dibanding adik kelas, karena jenjang yang ditapaki pun sudah selevel atau dua level diatasnya. Sedang untuk lomba Baca Puisi, tidak hanya puisi dalam bahasa Indonesia saja yang dilombakan. Melainkan juga puisi dalam bahasa Jawa, yang lebih akrab disebut Geguritan. Bukan hanya susah membuatnya karena geguritan berbahan dasar bahasa Sansekerta, juga susah membacanya karena penghayatan dalam membaca itu bergantung pada sejauh mana pemahaman atas penafsiran geguritan itu. Perkara juara,
disana
sudah
ada
masternya
baca
geguritan.
Susah
menggulingkannya. Paling banter dapat juara 2. Sedang untuk puisi, terkadang masih bisa diakali.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 57
Sedikit banyak pernah menguasai medan, akhirnya sekolah memberi saya kesempatan untuk maju ke Olimpiade Fisika, Cerdas Cermat IPS, dan Story Telling Contest yang semuanya dilaksanakan berturut di aula Wijaya Kusuma Kabupaten Cilacap, SMP N 8 Cilacap, dan SMP N 1 Cilacap. Selain pengalaman dan bertambah teman yang di dapat, juga mengalir uang saku dari sekolah sebagai bekal pemantapan menuju kesana. Diantar mobil milik seorang guru, dan dikawal beberapa guru pembimbing, saya dan sejumlah kawan yang waktu itu ikut menjadi perwakilan, meluncur ke alun-alun kota Cilacap guna opening ceremony sebelum pertandingan dimulai. Namun, sayang seribu sayang. Apalah mau dikata bila memang belum dikehendaki menang. Tak perlu pula rasanya menyesali sebuah kenangan, itu semua tak lebih dari sebuah permainan. Pertandingan yang digalakkan pemerintah (apa pun jenjangnya) biasanya pasti ada unsur ‘ketidakberesan’ atau kemenangan titipan lewat pintu belakang para panitia. Sudah bukan rahasia lagi, karena hal ini memang terbukti berkalikali. Tak mau berpolemik dengan hasil yang kurang memuaskan, saya cukup melambaikan tangan dan mengucapkan selamat pada para sang Juara. Sekalipun sedih dalam hati tetap tak bisa dibohongi, biarlah terbingkai indahnya warna-warni kehidupan.
58 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Dilema Vokalis Karbitan Kian hari, kian berwarna saja sejarah hidup manusia. Beraneka pula macam peristiwa yang terjadi disepanjang hitungan jam yang tak pernah letih tuk berputar. Sayang, seribu sayang saya katakan. Tak mampu rasanya jemari ini mengcover semuanya. Andai bisa, barangkali alunan kata yang terangkai bisa melebihi jutaan ribu kata. Entah sampai kapan pula saya akan selesai menggarapnya. Pun, entah akan setebal apa buku yang tercetak nanti. Berlanjut saja ke kisah pilihan berikutnya. Kali ini sedikit menyentil dunia seni. Dunia yang sebenarnya sangat kaku untuk saya jamahi. Dunia yang sebenarnya tak pernah terbesit dalam benak saya sedikit pun. Dunia yang asing, dunia yang belum pernah sukses membuat saya tak bergeming. Terlebih dunia tarik suara yang memang kurang disukai ayah, kecuali untuk Tilawatil Qur’an dan Shalawat. Saya sendiri merasa seperti mimpi. Hingga detik ini, saya masih tak percaya kalau saya pernah menjadi vokalis band. Memang bukan kesengajaan. Bukan pula suatu rencana yang masuk dalam daftar impian sebelumnya. Semua sejarah itu seolah mengalir saja tanpa diminta. Bahkan dipikir dengan logika pun kadang tak masuk. Hanya satu hal yang pasti, saya percaya bahwa semua itu sudah menjadi rencana-Nya, jauh sebelum saya ada di dunia.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 59
Ya, masa-masa kelas akhir di Spensa Gama, ialah masa paling mengesankan,
masa
paling
mengenaskan,
juga
masa
paling
membahagiakan kala itu. Ditengah kesibukan mempersiapkan Ujian Nasional, mengikuti bimbel, jam pelajaran tambahan, dan fokus belajar di rumah, saya direkrut sebuah band sekolah untuk menjadi vokalis guna persiapan mengikuti Festival Band dalam rangka ulang tahun sekolah yang ke-25. Entah atas dasar apa mereka memilih saya. Satu hal yang pasti, saya yang masih sangat awam dengan dunia musik, hanya merasa senang dan sama sekali tidak berpikir untuk menolaknya. Dibela mengikuti latihan ke beberapa studio musik, bahkan sampai mendatangi guru les musik yang jaraknya tidak kurang dari 20 KM, ditempuh dengan kayuhan sepeda pula. Bisa Anda bayangkan betapa pegel dan tiyel-nya kaki yang diputar
terus seharian diatas
ontelan. Tidak hanya keluar banyak energi, waktu, pikiran, juga biaya, tapi juga mental yang siap tempur pantang mundur. Namun, selama 2 minggu masa persiapan mati-matian, digempur oleh satu keputusan yang amat sangat tidak bijak. Keputusan yang sangat menyakitkan, bahkan sampai detik ini masih sangat terasa sakitnya. Meski saya sama sekali tidak menyimpan dendam, tapi kecewa itu tetap belum terhapus dari palung hati yang terdalam. Masih tercatat lekat dalam ingatan. Masih sangat jelas terekam dalam memori yang tak termakan usia.
60 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Betapa tidak. Disaat pengorbanan dan perjuangan sudah mencapai puncaknya, dengan seenaknya leader dari band itu mengeluarkan kebijakan bahwa saya dikeluarkan dari keanggotaan band “Virgin”, begitu nama band yang semua personilnya terdiri dari kaum hawa. Lebih parahnya lagi, keputusan itu keluar persis H-2 dari perayaan Festival Band yang sudah direncanakan. Bagaimana perasaan Anda dan apa yang akan Anda lakukan bila Anda berada di posisi saya? Sebagai anggota yang hanya direkrut, baru pula, saya seolah tak memiliki banyak suara untuk berargumen dan menuntut perlakuan mereka yang seolah sangat semena-mena. Mau-maunya saya dibodohi, hanya bisa bergumam demikian. Untungnya, Allah masih sangat sayang kala itu (hingga sekarang). Saya masih diberi pikiran yang terang untuk memaafkan mereka. Masih diberi kelapangan dada untuk membiarkan semua itu berlalu dan tak perlu diperpanjang lagi. Masih diberi keikhlasan hati yang bisa dengan mudahnya menerima perlakuan mereka tanpa perlawanan sedikit pun. Keyakinan saya, Allah Mahabaik, dan pasti akan memberikan yang terbaik. Sekalipun, saya menyadari sesadar-sadarnya, terkadang apa yang terbaik buat saya bukanlah yang terbaik dimata Allah. Terkadang yang menyakitkan bagi saya bukanlah sesuatu yang memang menyakitkan saya disisi-Nya. Terkadang apa yang saya impikan belum tentu juga memang saya butuhkan dalam pandangan-Nya. Bahkan belum tentu juga kebahagiaan yang saya dapatkan di dunia ialah kebahagiaan sejati dalam
Siti Dzarfah Maesaroh
| 61
anggapan Allah yang sesungguhnya. Karenanya, sangat bodoh rasanya bila saya hanya berkutat pada kata ‘menyesal’ dan tak mau menatap ke depan. Nikmatnya, Allah menguji kekuatan hati saya dalam hal ini dua kali. Tak lama setelah dikeluarkan dari Virgin, saya direkrut kembali oleh band lain di sekolah. Juga untuk menjadi vokalis yang akan menyanyikan 3 lagu untuk ditampilkan saat perpisahan sekolah tiba. Bing Me to Life, salah satunya. Cukup susah dan menantang. Apalagi adanya sekat yang sedikit membuat saya kurang nyaman, karena semua personil ialah pria kecuali saya sendiri, menjadi salah satu penghalang lancarnya proses latihan. Untuk band yang satu ini, mereka lebih terbuka dan lebih solid satu sama lain. Bukan hanya karena mereka memang sudah bersahabat lama, tapi juga karena pria umumnya lebih bisa menahan ego dengan teman sebaya dibanding wanita. Alasan mereka merekrut saya pun sangat sederhana. Hanya mengatakan bahwa mereka salut atas penampilan saya pada saat ujian praktik menyanyi, karena ternyata nama saya mendapat point terbaik diantara 240 siswa yang ada. Lantaran itulah, saya dipercaya mereka untuk menjadi vokalis yang berkarakter suara tinggi yang dirasa cocok menyanyikan lagu pilihan dalam perpisahan.
62 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Tak jauh beda persiapannya dengan band Virgin yang telah saya uraikan. Hampir setiap pembelajaran formal selesai, saya langsung meluncur ke studio musik untuk latihan. Tak pandang letih, pun kocek yang kian ringkih. Bahkan tak sekali dua kali saya membobol tabungan agar tak minta uang orang tua. Demi satu tujuan yang saya niatkan untuk menoreh sejarah terakhir disana. Demi sebuah agenda besar yang sudah diitikad-baikkan oleh panitia. Pun demi menukil sakil hati yang sudah kian mencokol, mengeras dan terbungkus rapi dalam sebuah relung, jauh di dasar jiwa. Namun, sekali lagi, inilah kenyataan pahit yang harus saya terima. Tak usah saya perpanjang kali lebar dan tinggi. Sehari sebelum penampilan di perpisahan sebagaimana semula digembor-gemborkan, saya dipecat tanpa alasan yang tepat dan dengan santainya digantikan oleh vokalis lain. Sungguh, dilema.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 63
D’Broadcaster Masih dirundung duka atas dilema tadi, saya dikejutkan oleh sebuah Pemberitahuan yang dikirim atas nama Radio Garuda FM. Tak tanggung-tanggung
membuat
jantung
saya
serasa
ingin
lepas,
pemberitahuan itu mengatakan bahwa saya masuk babak final dalam Lomba Siaran Bukan Penyiar. Lomba yang diselenggarakan oleh pihak radio
bekerjasama
dengan
beberapa
sponsor,
dalam
rangka
memperingati hari jadi kota Cilacap waktu itu. Seminggu setelah pemberitahuan itu dikirim, babak final akan dimulai. Tak percaya dan memang sulit dipercaya. Sebuah riwayat suram tiga tahun lalu, kini terbuka juga celah untuk membuktikan bahwa tak sepantasnya dulu mereka menolak lamaran saya mentah-mentah, tanpa diuji kebenarannya bahwa benar adanya saya tak bisa. Ya, semasa saya masih duduk dibangku kelas 1 SMP, pernah saya mengajukan lamaran untuk menjadi Announcer di satu-satunya radio yang berdomisili di Gandrungmangu. Tapi sebuah jawaban yang cukup membuat saya berjanji akan kembali, ialah saya ditolak tanpa tes lantaran usia belum mencukupi. Tak mau berpolemik lagi dengan masa lalu, saya fokuskan persiapan babak final yang tinggal hitungan hari. Tanpa sepengetahuan orang tua, saya asyik latihan sendiri sebagaimana persiapan yang telah saya lakukan pada awal babak penyisihan. Bercas-cis-cus ria di depan
64 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n kaca, seperti orang gila yang kehilangan logika. Hanya begitu latihan yang saya bisa. Menyesuaikan dengan acara yang akan diuji untuk dibawakan, Top Hits, pun jadwal yang ditentukan akan on air tepat jam 1 siang, saya mencontoh beberapa gaya penyiar yang sudah terbilang papan atas alias profesional. Sempat gundah dengan nama samaran yang akan mengudara, sempat pula saya berdebat kecil dengan bathin yang turut angkat bicara. Nama lengkap Siti Dzarfah Maesaroh tentu terlalu panjang dan bisa dibilang susah untuk dihafal di ruang dengar para pendengar. Lantaran itulah, terlahir sebuah nama Damae Wardani yang hingga kini justru lebih familiar, mengalahkan nama asli. Ya, nama itulah yang akhirnya menjadi nama udara, nama dunia maya, juga nama dunia nyata. Damae Wardani, terdiri dari dua suku kata yang jelas sangat berbeda. Filosofi sederhana yang saya ciptakan kala itu, begini bunyinya. Damae ialah singkatan dari Dzarfah Maesaroh yang diambil huruf D-a, dan Mae pada suku kata terakhir. Sedang Wardani ialah nama yang sejatinya sudah dipersiapkan ibu untuk saya, jauh sebelum saya lahir. Berasal dari kata Wardah dalam bahasa Arab yang artinya Bunga Mawar. Harapan ibu, bila saya besar nanti bisa seperti bunga mawar yang wangi baunya, indah warna dan bentuknya, menjadi lambang cinta dan kasih sayang, juga terlindungi dari para pemetik yang tak bertanggung jawab lantaran duri yang menyelubungi sekujur tubuhnya. Dengan maksud, saya tumbuh menjadi gadis anggun yang bisa membawa diri, menjunjung
Siti Dzarfah Maesaroh
| 65
tinggi harga diri, dan disenangi serta menyenangi siapa pun dan apa pun keadaanya. Nama itu tercetus beberapa menit sebelum saya mengudara di babak pertama. Tepatnya, ketika saya mengayuh sepeda sendirian menuju studio radio yang jaraknya 5 KM dari rumah, persis di tepi sawah, inspirasi itu datang dan langsung disahkan oleh bathin tanpa banyak introgasi lagi. Sejak saat itulah, nama Damae Wardani membumi. Sejak itu pula, sosok Damae Wardani lahir di dunia broadcast, hingga dunia maya. Bak mendapat durian runtuh. Bukan, bak kejatuhan bulan purnama. Ah, nampaknya arti keduanya sama saja. Sama-sama menggambarkan seseorang yang mendapat kebahagiaan tak terkira, tak terduga, pun tak terencana. Hasil babak final yang saya ikuti dalam waktu tidak lebih dari satu jam, membuahkan hasil yang sungguh diluar pemikiran saya sebelumnya. Saya yang sempat minder dan ragu untuk maju, karena usia saya memang paling muda, paling
sedikit
wawasannya, paling awam dalam dunia braodcast, juga paling kecil porsi tubuhnya, ternyata dinobatkan sebagai runner up alias juara 2. Menggulingkan keempat puluh peserta yang turut berpartisipasi waktu itu. Tak seberapa memang hadiah yang di dapat. Namun, tak pandang seberapa besarnya. Sejatinya pengalaman lah yang menjadi
66 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n guru terbaik. Pengalaman lah yang menjadi bekal selanjutnya dalam menapaki sela demi sela misteri Ilahi, yang tak bisa teraba, tak bisa terbaca, tak bisa pula dibocorkan sebelum masanya memang tiba. Anugrah itu pula yang telah membuka cakrawala dunia broadcast, dunia writing, juga dunia social networking yang sebelumnya tak pernah tersirat apalagi tersurat dalam goresan pena kehidupan. Satu hal lagi, hal ini juga menjadi bukti buah kesabaran yang terpendam pasca dilema dunia musik di lembar-lembar sebelumnya. Memang, siapa lah yang bisa mengira besok akan terjadi apa, namun apa yang akan terjadi besok bisa diprediksi lewat bermuhasabah dari hari-hari sebelumnya. Bukankah begitu? Masih soal cerita dunia broadcast. Suatu ketika saya ditemui seorang fans saat saya siaran sendirian. Kebutulan jadwal rapel waktu itu lantaran ada beberapa penyiar yang berhalangan hadir. Wajahnya paruh baya, menggunakan sepeda ontel warna biru, berkaos putih lengan pendek, dipadukan dengan celana jins selutut. Setelah lama duduk diruang tamu, saya keluar menemuinya. Dengan antusias dia mengatakan bahwa kedatangannya ingin bertemu Damae Wardani. Tak begitu terkejut, ditemui penggemar justru menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya. Sempat saya tinggalkan siaran dalam durasi 5 menit demi meladeni bapak satu ini _yang tak mau memperkenalkan diri_. Panjang kali lebar dan tinggi dia bertutur sopan. Bahkan di penghujung pembicaraannya dia mengatakan, “Saya benar-
Siti Dzarfah Maesaroh
| 67
benar nggak percaya kalau Mbak Damae ini masih SMP. Saya kira sudah 30 tahunan. Tapi, asli, bener, swear. Suaranya empuk dan enak di dengar. Kembangkan terus bakatmu. Yakinlah, suatu saat nanti jerih payahmu akan membuahkan hasil”. Sempat bingung apa maksud ucapannya, tapi dalam hati saya mengamini dan semoga benar terwujud adanya. Setelah bapak itu pergi, datang dua pemuda yang nampaknya mengenali siapa bapak tadi. Tanpa basa basi satu diantara pemuda tadi langsung memanggil saya dan mengatakan bahwa bapak tadi ialah orang gila yang rumahnya sekitar 500 meter dari belakang studio. GLEK!
68 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Selain Satu itu Bukan Juara Kembali berdebar. Kembali bertanya-tanya. Kembali bercemas ria dengan kegundahan yang tak menentu. Kembali berharap. Kembali berdo’a. Kembali merintih untuk hasil yang terbaik. Kembali mendesah penuh asa. Kembali memejamkan mata, merasakan dahsyatnya detak jantung yang makin tak menentu. Kembali menebak-nebak bagaimana hasil perjuangan seorang diri melahap 240 soal dari 5 mata pelajaran yang diujikan selama 5 hari. Ya, tuk kedua kalinya perasaan ini diaduk-aduk dengan berbagai bahan adonan yang tak jelas takarannya. Kedua kalinya pula saya menanti hasil pererjuangan di medan tempur yang bisa dibilang bukan sembarang tempur. Juga kedua kalinya saya berharap-harap cemas menanti hasil pertarungan terakhir. Apalagi kalau bukan ujian nasional yang ditempuh sekali sepanjang jenjang pendidikan di SMP itu. Hari itu, ialah hari terakhir memakai seragam putih-biru. Hari terakhir bisa menatap wajah para pahlawan tanpa tanda jasa, yang telah tiga tahun lamanya berbagi ilmu dengan segenap muridnya. Hari terakhir bisa bercanda tawa bersama teman seangkatan, juga adik kelas yang rasanya tak sanggup tuk ditinggalkan. Hari terakhir mengayuh sepeda mini berwarna biru yang hampir tiap minggu minta diperiksa oleh ahlinya. Hari terakhir melewati pemakaman umum dan tepian sawah dibawah terik mentari nan memerah. Hari terakhir mendapat jatah uang
Siti Dzarfah Maesaroh
| 69
saku dua ribu rupiah setiap pagi. Hari terakhir membeli batagor mang Ujang, pisang molen mang Gino, Cilok, dan sederet jajanan lain termasuk donat bu guru yang selalu tersedia di kantin sekolah. Hari terakhir pula sejarah kehidupan saya di Spensa Gama itu akan terukir sempurna. Namun, semua itu akan terjadi dengan satu syarat. Syarat yang bisa jadi menutup sejarah itu dengan bahagia, atau justru sebaliknya, sebuah tangis yang membanjiri dunia seisinya. Syarat yang bisa jadi membuat siswa lupa diri, atau justru semakin mengenali jati diri. Syarat yang menjadi penentu langkah hidup saya selanjutnya. Ialah dinyatakan ‘Lulus’ Ujian Nasional. Dan, detik-detik pengumuman hasil ujian itu menyebutkan, saya masuk sepuluh besar peraih NEM tertinggi di Spensa Gama. Sayang, saya gagal menjadi juara umum karena selisish nilai yang berbeda jumlah angka dibelakang koma. Nyaris sekali. Lebih sayang lagi, kekecewaan orang tua yang saya rasakan dari sorot mata mereka. Jelas tersirat bahwa, selain 1 itu bukan juara.
Huhhft… Duhai burung yang berkicau Duhai daun yang bergoyang Kalian tahu hatiku kacau Kalian lihat hatiku bimbang
70 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Masihkah ada kesempatan untuk meraih mimpi itu? Satu kata jawabnya Satu kata jawab mereka YA!
Siti Dzarfah Maesaroh
| 71
72 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Welcome to Alhikmah Planet
T
ak pernah terlintas akan menjadi bagian dari keluarga besar sebuah pesantren. Tak pernah terpikir akan menyandang gelar ‘santri’, dan tak pernah terbayang akan mesantren di sebuah
desa santri yang akrab disapa ‘Benda’. Desa yang sejatinya lebih mirip kota lantaran segala aspek kehidupan berpusat disana. Survey dari Pemda setempat sempat menyatakan bahwa milyaran uang berputar tiap tahunnya di desa itu hingga kota ‘Bumiayu’. Mulai dari kontribusi bidang ekonomi, pendidikan, budaya, hingga pemerintahan. Kenapa sederet awalan Tak- tadi justru terwujud adanya? Simple jawabnya. Barangkali itulah yang terbaik untuk saya. Memang, SBI yang
Siti Dzarfah Maesaroh
| 73
merupakan akronim dari Sekolah Berstandar Internasional ialah impian saya sejak SMP. Namun, bila Yang Maha Berkehendak berkata lain, apalah daya saya bisa menolak. Bukan sebuah penyesalan, melainkan sebuah pilihan. Ketika penyakit membuat saya terbaring lemas pasca ujian, hingga ketinggalan kesempatan tuk mengejar mimpi itu, Allah justru menuntun saya untuk mendekat pada-Nya dengan masuk ke dunia pesantren. Dunia planet Islam yang belum pernah tercium atmosfernya oleh kedua lubang hidung saya. Sebuah kerajaan kecil yang merajai seluruh kerajaan Islam (baca: pesantren) di wilayah Jawa Tengah. Ya, berposisi di kaki gunung Slamet yang terbilang gunung paling aman dibanding gunung-gunung berapi lainnya di Indonesia. Jauh dari keramaian, pusat kota, juga hiruk pikuk kehidupan yang acap kali mencekik leher hingga memutus urat nadi. Lekat dengan kesejukan, atmosfir dingin, dan ketenangan. Bahkan sangat dekat dengan keindahan panorama gunung yang berkabut, mentari kala terbit dan terbenam, juga semilir angin yang selalu menggoyangkan dedaunan ke kanan dan ke kiri seolah berirama. Berdiri diatas tanah yang sedikit naik turun di beberapa bagian, disanalah bangunan Al Hikmah 2 menjulang. Pesantren terbesar di Jawa Tengah,yang
ketika
buku
ini
ditulis,
pengasuhnya
baru
saja
menghembuskan napas terakhir di Madinah Al Munawarah. Ya, 20 November 2011, tepat pukul 00.30 WITA, atau pkl. 04.30 WIB. KH. Masruri Abdul Mughni wafat di RS. Al Anshor, Madinah selepas
74 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n menunaikan ibadah haji terakhir didampingi sang istri dan ketiga putraputri beliau. Syeikh, masayih, ulama besar, ilmuwan, juga abah untuk tujuh ribu santri yang menimba ilmu beliau disana, berpesan agar dimakamkan di Baqi, Madinah, pada salah satu putri beliau sesaat sebelum ajal menjemput. Al Hikmah kelabu pun benar adanya. Tak hanya ribuan santri beliau, namun juga ribuan jama’ah haji, ulama, bahkan pejabat pemerintah pun turut melaksanakan shalat ghaib untuk beliau di masjid An-Nur. Hingga 8 putaran solat, jama’ah masih tetap berdatangan. Subhanallah, barangkali mata ini akan basah kembali bila terlalu panjang menguraikan. Memasuki gerbang utama yang terletak di sebelah kanan jalan – bila Anda menghadap ke Timur-, bangunan pertama yang terlihat adalah SMA Al Hikmah 2. Diteruskan sederet bangunan lembaga pendidikan lainnya yang juga masih bernaung dibawah Al Hikmah. Terlihat pula asrama putra yang terdiri dari tiga lantai, berdiri tegak bertuliskan ‘Rubath Al Hasan’. Sabaris kemudian, workshop-workshop perikanan, pengelasan, juga tata busana yang menjadi center praktikum siswa MA berhadapan dengan gedung SMP dan lapangan sepak bola. Sedikit turun kebawah, masjid An-Nur berlantai dua seluas 30x33 m sudah nampak kubahnya. Menengok ke utara, rumah pengasuh pesantren yang bercat cream, berlantai tiga, berhias dua tiang setinggi dua lantai yang terbuat dari marmer, juga sebuah taman indah dengan rerumputan khas dan tanaman hias yang pas, persis menghadap ke masjid.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 75
Tak selesai sampai disitu, masih banyak asrama putri yang bejubel dibelakang. Komplek yang dinamai dengan nama Islami, seperti Komplek Ummu Sulaim, Ummu Aiman, Fatimah, Zaenab, Khodijah, Al Husen, dan kawan-kawannya ini menjadi seperti kampung hawa dalam sebuah kerajaan kecil. Keluar dari sana, kembali memfokuskan pandangan ke selatan. Persis setelah penurunan kedua, berdiri kokoh sebuah aula yang lebih besar dari ukuran masjid. Biasa disebut GOR, yakni gedung olah raga dan bathin lantaran bukan hanya kegiatan olah raga saja yang ada didalamnya, tapi juga gedung serbaguna. Begitu simplenya. Untuk mengaji, iya. Untuk berjamaah, iya. Untuk seminar, juga. Untuk acara-acara besar, apalagi. Tak heran kalau dijuluki ‘gedung serbaguna’. Di depan gedung itulah, tertampang spanduk besar yang berbunyi, Welcome to Al Hikmah.Sebuah kalimat penyambutan untuk santri baru yang baru akan menapaki sejarah baru dalam hidup mereka. Lebih dari 1500 santri yang baru saja mendaftar di berbagai instansi pendidikan TK hingga perguruan tinggi disana. Sedang nama saya sendiri tercantum sebagai siswi Malhikdua jurusan IPS dan ditempatkan di komplek paling ujung, Al Husen. Berjalan lagi ke belakang aula, berderet gedung MA, Kampus Ma’had Aly, Kampus AKPER, SMK, dan Studio Radio. Bergeser ke sampingnya lagi, sebuah Green House yang menjadi pusat LM3 dan Lab. Pertanian, berdiri di samping area persawahan. Masih banyak lagi jika
76 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n mau dikupas. Masih banyak sudut-sudut yang belum terjamah dalam kupasan ini. Untuk lebih jelasnya, barangkali suatu saat Anda bisa berkunjung kesana. Layaknya santri baru, sekaligus siswi baru, pasti ada masa transisi, masa adaptasi, juga masa orientasi yang harus dilalui. Inilah masa dimana semua hal baru akan dimulai. Semua hal yang serba pertama akan dilalui. Dan, semua goresan sejarah hidup baru akan dibuka. Tak ayal dengan saya. Seperti robot saja yang bisa dikendalikan dengan remote. Kesana-kemari melangkahkan kaki sembari melakukan itu ini yang diperintahkan oleh panitia MOS. Sesulit apa pun itu, tetap saja dilakukan meski dibelakang menggerutu. Satu hal yang masih sangat lekat dalam ingatan, nama saya langsung naik daun saat diminta mengisi selingan acara ‘Siapa Berani Maju’ dalam MOS itu. Kala itu, saya berlagak menjadi seorang announcer, sebuah pengalaman yang pernah saya dapat di Garuda Radio dulu. Ya, sejak itu pula lah nama Damae Wardani berkibar di Al Hikmah. Sebuah ‘jungle’ baru dengan petualangan yang baru pula, baru akan dimulai. Terkadang, apa yang kita impikan hanyalah sebatas angan Terkadang, apa yang kita gapai hanya sebatas kanyataan Tapi, satu hal yang jangan sampai kita lupa Allah jauh lebih tahu mana yang terbaik untuk kita Sekalipun itu terlihat pahit dan menyakitkan
Siti Dzarfah Maesaroh
| 77
Andai Aku di Kamar Itu Aneh. Tak seperti santri baru lainnya, sayatak sedikitpun mengeluarkan air mata saat orang tua mengantar pindahan dari rumah ke pesantren. Saya sama sekali tidak khawatir akan hidup sendiri. Sama sekali tak sedih akan berpisah dengan keluarga. Sama sekali tak menghiraukan isak tangis kawan yang tercecer di hampir disetiap kamar santri baru. Hal yang terbesit saat itu, saya hanya pergi untuk kembali. Saya hanya sementara disana. Hanya untuk menimba pengetahuan di syurga ilmu dunia akhirat. Jadi, untuk apa menangis. Untuk apa bersedih. Saya datang untuk berjuang, menuntut ilmu dijalan yang diridhoi-Nya. Bukan untuk menangis juga ditangisi. Bukan pula untuk sedih atau disedihkan. Sebuah kenyakinan yang melekat, Allah pasti bersama saya. Sudah disinggung sedikit, pertama kali mendarat di bumi Al hikmah, saya mendapat sebuah kunci lemari di kamar no. 9 komplek Al Husein. Komplek paling pojok, paling kumuh, paling jauh dari pusat pembelajaran, paling rawan akan pencurian, dan paling-paling lainnya yang agaknya berkonotasi negatif. Riil kondisi ini sangat berbeda dengan 2 tahun setelahnya yang disulap menjadi asrama khusus santri baru, berlantai tiga, ber-dua belas kamar, dan bergeser sedikit ke belakang dari lokasi semula. Lebih akrab disapa asrama, lebih elegan, lebih modern, lebih mewah kelihatannya. Namun, sayang. Saya sudah berpindah komplek saat asrama itu mulai ditempati.
78 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Tak ingin berlarut dalam polemik fasilitas yang ternyata masih banyak kekurangan, saya menyabarkan diri bertahan di Al Husein. Sembari menyibukkan diri di perpustrakaan Malhikdua (Madrasah Aliyah Al Hikmah 2) yang kala itu masih nylesep di depan asrama AKPER, sebelah barat gedung MTs. Disanalah saya menghabiskan waktu menikmati bukubuku yang tidak saya dapati di perpustakaan SMP dulu. Disana saya bermain, bercanda, dan sharing dengan penjaga perpus dan keluarga besarnya. Kadang sampai lupa waktu, saking asyiknya, saking sejuknya, juga saking tenangnya, hingga pernah sekali dua kali saya tak pulang ke kamar. Bukan soal tak mau, hanya saja dikamar itu sangat tidak kondusif untuk saya. Terlebih, saat itu jiwa saya belum bisa menyatu dengan kebisingan, karena memang belum terbiasa. Sempat memimpikan sebuah kamar yang nyaman untuk belajar, kondusif situasinya, juga sejuk dan tenang untuk beristirahat. Tapi serasa mustahil. Sebanyak apa pun ditambahasrama, jika volume santri tetap lebih diatas angka 6000, bagaimana bisa terbayang kenyamanan dan ketenangan itu di dapatkan. Tak usahlah jauh berkhayal ke sana. Bisa lepas dari jeratan ‘Ketinggi’, sebuah hewan kecil, bulat, hitam kemerahan, suka menghisap darah dan gigitannya meninggalkan virus gatal, itu sudah sangat bersyukur sekali. Bukannya apa-apa, maklum adanya jika kamar itu banyak ketinggi-nya. Tentu lantaran beberapa faktor yang mungkin tak pantas dikupas disini.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 79
Lalu, adakah kamar yang bebas dari ketinggi? Itulah kamar paling besar dan paling banyak penghuninya diantara kamar-kamar lain dikomplek-komplek lain. Sebut saja EDS Room. Sebuah kamar yang berlabel ‘Area Bahasa’ ini ditempati oleh semua siswi English Department Student dari angkatan kelas pertama hingga ketiga. Namun, kabar yang tersebar, penghuni kamar ini sangatlah individual. Selain disiplin dan harus menggunakan bahasa Inggris dalam berbicara 24 jam, juga harus lulus seleksi dan terdaftar sebagai siswi spesifikasi bahasa Inggris di Malhikdua. Sedikit tertantang untuk bisa mengejarnya. Meski hanya sekedar angan, andai saya bisa tinggal dikamar itu… Bilalah ilalang bergoyang Diterpa angin menari riang Bilalah burung berdendang Berkicau merdu di bawah pohon rindang Biarlah saya mendengar Biarlah saya melihat Sembari tersenyum manis Membuka hati dan sanubari Meresapi keindahan alam yang terbentang Ya, itu saja sudah cukup membuat saya senang
80 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Go Blog! Terobosan Baru IT Santri Tak pernah mengenal, tak pernah mendengar, tak pernah tau, bahkan tak pernah sama sekali melihat, seperti apa blog itu sebenarnya. Seperti apa bentuknya, apa saja isinya. Kotakkah, bulatkah, ovalkah, lonjongkah, atau justru tak berbentuk? Lalu, bagaimana dengan warnanya? Kuning, kelabu, putih, merah, jingga, biru, atau malah ungu? Entahlah. Namanya saja baru mendengar. Belum mengenal. Tentu saja belum belum bisa ditanya ini dan itu. Padahal, sedikit menilik ke dunia maya, kata ‘blog’ bukanlah sesuatu yang asing di telinga. Jangankan blog, berbagai jejaring sosial seperti facebook, twitter, plurk, friendster, koprol, netlog, dan kawankawannya juga bukan hal yang baru lagi. Lebih jauh, berbagai situs tentang apa saja yang menjamur dan bisa diakses diseluruh dunia, itu hal biasa dan memang untuk itulah salah satu peran internet. Namun, kenalkah santri dengan semua itu? Tahukah santri akan fungsi hal itu? Bagaimana cara memanfaatkannya? Bagaimana dampaknya dalam kehidupan? Dan harus bagaimana pula memfilter arus informasi yang tak dapat lagi dibendung? Disinilah, keprihatinan dunia santri yang diibaratkan tinggal dalam sebuah penjara suci, mulai terasa. Memang, semula dijelaskan betapa megahnya bangunan kerajaan kecil itu. Betapa terjaminnya
Siti Dzarfah Maesaroh
| 81
fasilitas yang disediakan, meski dibeberapa titik masih ada yang belum sempurna. Batapa banyak pula santri yang belajar disana. Betapa terlihat bagus sistemnya. Tapi, satu hal yang masih sangat disayangkan, sudahkan saluran informasi dunia luar terserap maksimal? Kini, eranya global sudah tiba. Bukan lagi jamannya Siti Nurbaya dalam mencari calon pasangan hidup. Bukan lagi jamannya kentongan menjadi gadget informasi. Bukan pula dakwah hanya dimasjid saja. Bukan pula masanya pendidikan hanya ada disekolah formal. Bukan pula waktunya aktifitas jual beli hanya terjadi di pasar tradisional. Terlebih, bukan lagi saatnya mengkaji agama hanya bisa face to face dengan kyai. Juga sederet bukan-bukan lainnya yang akan memperpanjang daftar jumlah kalimat dalam paragraf ini. Seyogyanya, santri pun tidak katro, ndeso, jumud, atau apa pun istilahnya terhadap perkembangan informasi yang kini sudah tak bisa dikotak-kotakkan lagi. Sangat tidak etis bila pesantren masih membatasi apalagi menghalangi masuknya informasi dunia luar dengan alasan mempertahankan nilai-nilai murni keislaman. Justru disinilah pesantren harus berperan. Andil dalam dakwah islam, namun disesuaikan dengan perkembangan zaman. Menjadi benteng dalam memfilter arus informasi, namun tetap memegang teguh jati diri umat islam. Bukan malah sebaliknya. Santrinya dibiarkan katro dan ketinggalan informasi. Justru seolah dipelihara dan diabadikan sebagai
82 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n bagian dari karakteristik santri. Segala hal yang berbau dunia luar pasti dilarang. Takayal, internet dan hand phone menjadi kambing hitam dalam setiap kesempatan. Padahal Islam tidak mengajarkan demikian. Islam menginginkan umatnya maju dan mengikuti perkembangan zaman. Tentu mereka semua dan kita pun tahu bahwa Islam adalah agama yang universal. Agama yang relevan sepanjang zaman. Kenapa harus takut dengan hilangnya jati diri Islam lantaran memasuki dunia global jika memang santri siap bersaing dan mengahdapinya? Nah, pertanyaan selanjutnya, bagaimana mungkin santri siap menghadapi kalau tidak pernah mengenal sama sekali? Bagaimana santri bisa mengenal kalau tidak pernah disentuhkan dengan gadgetgadgetnya? Bagaimana santri bisa mempraktikan itu kalau tidak memahami bagaimana caranya? Bagaimana pesantren bisa menjadi agen of filtering bila tidak mau nimbrung dan mensosialisasikan sejauh mana peran dunia global berkembang?Lebih mengkhawatirkan lagi, bagaimana nasib mereka setelah keluar dari pesantren bila benteng yang mereka miliki saja masih sangat rapuh? Berangkat dari sanalah, seorang pakar IT dari dunia luar pesantren tersentuh hatinya. Melihat pesatnya perkembangan pesantren yang tidak diimbangi dengan perkembangan luasnya wawasan santri, tentu akan terjadi kejomplangan disana-sini. Dikhawatirkan, bila santri keluar dari penjara suci ibarat burung lepas dari sangkar. Tak terkontrol, tak terkendali, dan tak lagi mengindahkan norma-norma Islam
Siti Dzarfah Maesaroh
| 83
sebagaimana ketika dipesantren dulu. Tak heran bila keluaran pesantren nantinya justru dicap nakal dan tak tahu etika, meski tak sedikit pula yang masih kuat imannya. Tak heran pula bila keluaran pesantren banyak yang lepas kerudung, terjerumus dalam pergaulan bebas, dan keluar dari kodratnya. Meski tak jarang pula yang justru menjadi muslimah sejati. Bila sudah demikian, siapa yang akan bertanggung jawab? Untung mengantisipasinya, seorang volunteer tadi melakukan suatu gubahan yang terus berkembang hingga sekarang. Panggil saja Paman Gembul. Alumni jurusan Arsitek di ITS yang aktif di dunia IT, dijuluki Masternya Web lantaran dunianya memang design grafis dan hosting. Langkah pertama yang diambilnya, sudah sejak 6 tahun lalu, mendirikan sebuah situs resmi Malhikdua yang akan menjadi wadah kreativitas santri dalam dunia kepenulisan dan dunia daring. Tentunya dunia social networking juga. Dari sanalah, terbentuk Tim Redaksi yang akan mengurus kelangsungan hidup situs tersebut sekaligus membumikannya pada dunia santri. Kembang kempis dan sangat memprihatinkan memang, karena awalnya dunia santri memang sama sekali ngeblank akan semua itu. Demi mempertahankannya, lebih dari puluhan kali Paman gembul mengubah strategi. Salah satunya dengan membangun komunitas blogger Malhikdua yang akan meneruskan perjuangan Tim Redaksi mengelola situs itu. Membuat situs blog resmi milik Malhikdua yang menampung ajang kreasi santri. Dengan strategi inilah, Paman
84 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n mengenalkan santri pada dunia luar. Mengenal blog, mengenal web, mengenal jejaring sosial, mengenal elektronik mail, dan kawan-kawannya lewat media Internet. Tentu tak lain dan tak bukan agar dunia santri bisa turut mewarnai internet yang acap kali dikambing-hitamkan. Setidaknya bisa menjadi bekal agar tidak gaptek, juga bekal menyongsong masa depan yang barangkali lebih dahsyat lagi dari masa sekarang. Dalam proses merintis blogger Malhikdua inilah, saya direkrut untuk bergabung. Persis baru saja sah menjadi santri baru Al Hikmah 2, persis baru saja merasakan seragam putih abu-abu yang ukurannya seperti jubah para kyai, persis baru saja duduk di bangku kelas IPS yang tak pernah dikehendaki sebelumnya, persis baru saja mendapat teman baru dari berbagai daerah yang berbeda satu dan lainnya, persis baru saja bejibaku dengan setumpuk kitab kuning yang belum pernah dipelajari sama sekali, persis baru saja belajar mengenakan jilbab panjang dan baju muslimah yang jarang saya kenakan, persis baru saja belajar hidup mandiri dan berpisah dari orang tua juga keuarga. Ya, persis sekali waktunya. Saya bergabung atas tawaran seorang kakak kelas yang entah dari mana sumbernya bisa mengetahui bahwa saya suka menulis. Bertepatan dengan bulan Ramadhan, September 2008 tepatnya. Bulan itulah pertama kalinya saya belajar ngeblog tiap malam. Terlebih kala itu terburu deadline lomba blogger nasional yang akan diselenggarakan tak lama setelah itu. Setiap selesai pengajian malam (sebut saja pengajian
Siti Dzarfah Maesaroh
| 85
sentral) yang bertempat di masjid An Nur dan di-asto langsung oleh Abah Masruri ini, saya dan sekomunitas blogger Malhikdua langsung meluncur ke Lab. Komputer untuk menjalankan misi perintisan ini. Sampai kisaran jam 1 malam, aktivitas para pengguna paket pocong jadi-jadian ini barulah selesai. Tak mau tanggung ditengah jalan, komunitas yang masih terbilang sangat kecil ini akhirnya memberanikan diri untuk men-sah-kan komunitas yang berada di bawah naungan Malhikdua. Sayang seribu sayang, memang tak ada jalan mulus dan tak berliku. Ada saja hambatannya. Dibawah ini salah satu tulisan yang pernah saya postkan di blog dalam rangka mengenang berdirinya Komunitas Blogger Malhikdua atau yang lebih dikenal dengan nama T-GER.net. (Apendix A)
86 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Kombinasi Warna yang Tak Indah Setelah melewati berbagai tes masuk EDS room, akhirnya pengumuman menyatakan bahwa dari 250 siswa yang mendaftar, hanya diterima 25 siswi dan 25 siswa. Termasuk nama saya didalamnya. Bagai mimpi disiang bolong. Dulu hanya terbesit guratan harapan dalam hati ‘Andai Aku di Kamar itu’, sekarang benar-benar menjadi kenyataan. Bahagia tentu. Impian memiliki kamar luas dan tak berketinggi akhirnya tercapai juga. Keinginan untuk bisa memasuki area bahasa akhirnya terkabul juga. Namun, tak lama untuk bisa menikmati keindahan dan kebahagiaan itu. Kenapa? Karena belum genap sebulan saya disana, sudah terjadi pergolakan batin yang amat sangat menyakitkan. Angkatan saya yang 25 itu bercampur dengan kakak kelas 3 dan 2 semasa itu, dalam satu kamar. Tidur beralaskan karpet atau pun kasur lantai dengan bantal sedanya. Berselimut sarung dan tapih yang tak lagi terpakai untuk solat. Tak memiliki ruang privasi sama sekali, kecuali sekubik area depan pintu lemari sendiri. Kebisingan kamar benar-benar tak terkendalikan kecuali pada putaran jam 1 hingga 2.30 malam. Pun masih sangat memprihatinkan perihal kebersihan. Terlebih, kebersamaan yang ditampakkan pada khalayak umum sebenarnya hayalah cover semata, karena individualisme disini sangat kental sekali. Semua yang terurai tadi, masih bisa tertahan oleh batin. Kecuali satu hal, kecemburuan sosial mereka pada saya yang nampak tak
Siti Dzarfah Maesaroh
beralasan.
Kecemburuan
yang
berdampak
remuknya
| 87
reputasi,
kepercayaan, martabat, juga harga diri sebagai anggota kamar EDS, benar-benar tercoreng. Padahal, saya sendiri tak memahami _atau memang sengaja dibuat tak memahami oleh mereka_ apa sebenarnya yang menjadi inti permasalahan. Inilah awal kelamnya nama Damae. Awal profokasi kebencian disana-sini mencuat satu persatu. Awal ketidakkondusifan pertemanan. Awal kelabunya situasi kamar. Ya, awal D’Rainbow (nama angkatan EDS tahunnya saya) tak lagi indah warna-warninya. Perpaduan warna pelangi yang semula menggambarkan indahnya kebersamaan, indahnya perbedaan dalam kesatuan, juga indahnya kekompakan dalam setiap derap langkah. Kini tak ada lagi. Terlebih, inilah awal dari suramnya keberadaan Damae di EDS Room.
88 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Siapa Bilang Anak IPS itu Buangan? Memasuki dunia Malhikdua, seperti mimpi bagi saya. Karena sejatinya menjadi siswi sekolah yang berbasic islami merupakan sebuah trauma yang tak perlu terulang. Kenapa? Cukup sekali saja saya kecewa dengan sekolah berlabel Islam akan sistem pembelajaran yang (maaf) kurang disiplin dan kurang mendidik, pernah saya alami. Meski tak seharusnya perasaan itu digeneralisir pada semua sekolah yang mengutamakan pendidikan agama dari pada umum. Karena tak kurang banyak sekolah Islam yang juga lebih bagus kualitasnya dari pada sekolah negri atau pun swasta. Bahkan nyungsep di Malhikdua tak pernah ada dalam daftar sekolah yang ingin saya masuki. Pernah mendengarnya pun tidak. Apalagi mengetahui seluk beluk sekolah ini. Satu hal yang saya tahu waktu itu, saya gagal meraih sekolah impian saya (baca: SBI _Sekolah Berstandar Internasional_) karena virus penyakit yang bersarang ditubuh saya berhasil membuat saya tergeletak tak berdaya dipembaringan. Jadilah saya ketinggalan informasi pendaftaran selepas Ujian Nasional. Dan saya baru sadar bahwa tak satu pun sekolah favorit yang masih membuka lowongan seketika saya bisa duduk di pembaringan. Beruntung adik saya (yang juga alumni Al Hikmah 2) memberikan selembar brosur sekolah yang namanya jelas tertampang: MALHIKDUA. Beruntung? Ya, karena jika dulu Allah tidak memberi tahu sekolah ini
Siti Dzarfah Maesaroh
| 89
(lewat tangan adik saya), sudah tentu kisah dunia santri dalam buku ini tak akan ada dalam genggaman Anda. Iya, kan? Nampaknya keberuntungan tidak berujung pada detik itu. Terbukti Malhikdua memang berhasil menepis semua kekecewaan saya selama ini. Malhikdua rupanya bukan sekolah asal berbasic Islami yang bernaung dibawah asuhan Al Hikmah 2, melainkan juga menerapkan KTSP dan life skill education yang berpadu kurikulum pesantren. Disinilah saya mengenal bekal hidup dunia akhirat. Lewat spesifikasi, pembelajaran formal, ekstrakurikuler, hingga organisasi terbanyak yang pernah saya temui. Malhikdua tidak hanya mendongkrak prestasi saya (yang belum tentu bisa saya dapatkan di SBI impian saya dulu), tapi juga mengajari saya untuk mendapat makna hidup yang sebenarnya. Membentuk pribadi yang sesuai dengan jati diri. Dan mewarisi segudang ilmu yang bisa saya raup dari mana saja, dari siapa saja, dan kapan saja. Menjadi anak IPS adalah bisikan hati yang terlintas saat pertama kali saya mendaftarkan diri sebagai calon siswi Malhikdua. Sempat ditawari untuk memilih IPA, Emmercy, juga MAK. Tapi entah kenapa saya tidak berminat, apalagi setelah mengetahui ketiganya harus melewati tes seleksi. Mungkin kadung keki dengan impian SBI yang tak terwujud, hati pun berontak dan tak ingin merepotkan diri tuk meraih yang terbaik lagi.
90 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Sungguh kaget setengah mati ketika pertama kali masuk dunia IPS, hawa yang saya rasakan benar-benar tidak kondusif. Kecurigaan saya terbukti setelah mendengar penghargaan tertinggi dari seorang kakak kelas yang baru saya kenal. “IPS itu anak buangan”. Deg! Kontan saya bertanya dalam hati, inikah derita saya selanjutnya? Bersyukur karena Allah tidak memutus semangat saya sampai disitu. Penghinaan yang teramat dalam itu saya anggap sebagai penghargaan tertinggi untuk ditaklukkan. Saya berusaha sekuat tenaga saya, tak peduli berdarah-darah atau pun banjir air mata, hanya untuk membuktikan bahwa IPS tak pantas diperlakukan demikian. Mulailah saya mengatur strategi. Jungkir balik kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, demi mengejar prestasi. Al hasil, sempat ditawari pindah ke Emmercy pasca semester satu kelas satu. Tapi tidak saya terima. Jiwa saya kadung kecantol dengan IPS. Setidaknya itu menjadi bukti pertama bahwa anak IPS mampu bersaing dengan IPA bahkan Emmercy. Goncangan berikutnya saya alami ketika saya keluar dari organisasi perdana yang saya ikuti. Inilah dongkrakan yang sangat luar biasa dalam kelanjutan riwayat saya di Malhikdua. Secara kasat mata, kegagalan ini memang amat menyakitkan. Namun berkat kata “Tak kenal putus asa”, semua itu berbuah manis dan membahagiakan. Bahkan perlahan IPS mulai diakui keberadaannya. Terbukti dengan usaha sekolah untuk menepis anggapan miring tentang IPS.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 91
Begitu juga dengan mereka-mereka yang pernah berbangga diri menjadi anak emas baik di IPA, Emmercy, atau pun MAK. Sempat tersenyum getir saat menerima surat permohonan maaf dari orang yang dulu pernah berkata bahwa IPS itu anak buangan. Dilembar berikutnya saya sertakan sekilas goresan sejarah tentang penghargaan tertinggi untuk anak buangan.
92 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
IPS [Bukan] Anak Buangan! “Jadi ini yang namanya Damae? Ini anak IPS yang jadi kesayangan guru?”, tiba-tiba seorang brother (panggilan akrab anak bahasa yang dianggap kakak kelas) menghampiri saya sambil marah-marah. Setahu saya dia salah satu pembesar IPA. “Iya, saya Damae. Tapi apa maksud perkataan Anda barusan?”, dengan wajah palang-peleng, saya beranikan diri menjawabnya. “Heh! Asal kamu tahu, IPS itu anak BUANGAN!!!!”, ia gentakkan itu penuh kebringasan. Sontak membuat kaget seluruh isi perpustakaan Malhikdua yang posisinya masih berada di depan asrama AKPER. Saya yang sedang asyik membaca buku di salah satu bangku, terpaksa berdiri untuk bisa menatap sejajar wajahnya. “BUANGAN?? Terima kasih atas penghargaan tertinggi yang pernah saya dengar”. “Apa? Penghargaan tertinggi? Kamu itu budeg atau tuli? Saya bilang
IPS
itu
Buangan,
kenapa
kamu
menganggap
sebagai
penghargaan?” “O… ndak paham to? Ngakunya anak IPA, terbaik di Malhikdua. Lagaknya hanya bisa menghina, ternyata majas paradok saja tidak tahu. Makannya jangan belagu!”
Siti Dzarfah Maesaroh
| 93
“Heh! Kamu…”, kemarahannya memuncak. Seraya mengangkat tangan hendak menampar, namun tertahan dan menatap mata saya dalam-dalam. “Apa? Mau menampar? Silahkan tampar! Dengan begitu semua orang akan tahu kalau ternyata anak IPA tidak punya etika. Maaf, Mas. Saya memang anak baru yang tidak tahu apa-apa disini. Saya juga masih palang-peleng dan tidak mengerti seperti apa sebenarnya IPA dan IPS di sekolah yang megah dan mewah itu. Jadi tidak seharusnya Mas bersikap seperti tadi sama saya. Saya salah apa? Apa saya salah kalau masuk jurusan IPS? Kenapa juga Mas bilang IPS itu anak buangan? Apakah IPA itu anak emas di Malhikdua? Iya? Satu hal yang harus Mas camkan. Ketika Mas pulang ke rumah seusai mondok dan sekolah, bukan rumus bola atu gravitasi bumi yang ditanyakan. Tapi hasil ngaji Mas selama di pondok dan peran Mas di masyarakat. Semua itu ada di IPS. Mas tahu itu? Saya tidak mengatakan ilmu IPA itu tidak berguna di masyarakat. Buktinya dokter itu jebolan IPA kan? Tapi tolong, Mas. Jangan sombong dan over proud of IPA. Sejatinya semua ilmu itu sama. Bahkan sukses atau tidaknya hidup seseorang bukan tergantung pada IPA atau IPS jurusannya. Melainkan terletak pada seberapa besar ikhtiarnya untuk mencapai kesuksesan itu. Tentu Mas tahu itu kan?
94 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Oya, satu hal lagi. Pantas saja IPA terlihat lebih maju dari pada IPS. Bukankah anak-anak IPA itu hasil seleksi? Tentu anak-anak pilihan itu lebih mudah diatur, dikendalikan, dan dibentuk, bukan? Beda dengan anak IPS yang campuran dan boleh dibilang sisa, karena yang tidak lulus seleksi IPA atau pun MAK pasti masuk IPS. Beragam corak dan beragam kemampuan siswa-siswinya pun menentukan hasil pembelajaran. Wajar kalau anak IPS terlihat kurang berhasil. Terakhir saya katakan sama Mas. Menjadi yang terbaik dari kalangan orang-orang baik itu biasa. Tapi melakukan dan menjadi yang terbaik dari nol, dari kalangan orang-orang yang tak berharga, dari level buangan, itu baru luar biasa. Bukankah wajar kalau anak dokter jadi bintang kelas? Tapi kalau anak pembantu jadi bintang kelas, itu baru tidak wajar. Mas, kalau Anda mengaku orang berilmu, saya yakin Anda mengerti apa yang saya jelaskan. Maaf, saya tidak bermaksud apa-apa. Itu hanya suara hati anak BUANGAN. Saya akan buktikan kalau IPS jauh lebih baik dari IPA. Ya, saya akan buktikan hal itu sebelum Mas keluar dari Al Hikmah”. Semua mata terpana dan mulut menganga tak percaya. Seisi perpus yang sedari tadi asyik dengan bacaannya masing-masing sontak mengalihkan pandangan ke arah saya dan dia. Perdebatan pun berhenti. Tangan orang yang hendak menampar saya juga perlahan diturunkan. Tanpa berucap sepatah kata pun, ia berlalu dengan penuh rasa malu.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 95
Duh, Gusti nu Agung… salah apa hamba ini? Kenapa selalu saja jadi sasaran orang-orang yang suka bersikap sewenang-wenang? Ya, Allah.. hamba mohon.. tunjukan keadilan-Mu.
96 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Hatiku Masih Hidup, Tau! Berbicara soal hati, seolah tak ada habisnya. Bukan karena hati itu terlalu besar hingga terlampau besar pula jangkauannya. Atau karena terlalu rumit hingga pembahasannya haruslah paket unlimited. Melainkan karena hatilah tempat menampung segala rasa. Sedih, susah, bahagia, gembira, duka, perih, haru, dan segudang rasa lainnya yang sangat beraneka warna. Dalam hati pula pengendali segala wujud nyata tindakan manusia. Bila baik ia, baiklah seluruhnya. Bila buruk ia, buruk pula seluruhnya. Satu pengalaman yang amat sangat memilukan, menyakitkan, juga menyedihkan, dan amat sangat memprihatinkan. Berkenaan dengan hati, tentunya. Ketika masuk organisasi perdana di Malhikdua, PANMOS namanya, sebuah tragedi melanda pemilik tubuh ringkih ini. Masih duduk dibangku kelas satu, semester dua tepatnya. Sebuah perhelatan yang begitu hebat, terjadi begitu saja tanpa aba-aba. Bagaimana kisahnya? Berikut adalah satu catatan kelabu yang saya temukan diantara lembaran-lembaran diari. (Apendix B)
Siti Dzarfah Maesaroh
| 97
Berani Gagal “Banyak orang membuat kesalahan yang sama… dengan menganggap kegagalan sebagai musuh kesuksesan… Anda seharusnya mengaggap kegagalan dapat mendatangkan hasil… Teruslah maju dan buatlah kesalahan. Berbuatlah sebanyak mungkin. Ingat, disitulah anda akan menemukan kesuksesan – di penghujung kegagalan.” (Thomas Watson dari IBM)
Memasuki dunia blogger, ternyata menghantarkan langkah kedua kaki mungil ini lebih jauh. Tak berhenti di komunitas yang tak jelas kembang kempisnya, tak cukup hanya sampai pada perjuangan yang di cap sebagai ‘pendusta’, pun tak hanya pada tahapan perjuangan sampai jam 1 tiap malam. Lebih jauh dari itu, saya diangkat menjadi Pemimpin Redaksi M2Net, nama redaksi web resmi sekolah yang dibangun Paman Gembul, tanpa persetujuan dan sepengetahuan saya sebelumnya. Panjang ceritanya. Semua bermula persis setelah pergolakan “Hati Mati” dalam kancah PANMOS itu berakhir. Tanpa SK, tanpa pemberitahuan, tanpa persetujuan, tanpa serah terima jabatan, tanpa embel-embel apa pun, saya diamanati menjadi pemimpin redaksi M2Net. Melanjutkan kepemimpinan pemred sebelumnya yang pergi tanpa pamit pada saya. Hanya kebingungan yang ada di benak saya kala itu. Bagaimana mungkin saya memimpin sebuah redaksi yanganggotanya saja sudah dibubarkan. Bagaimana caranya saya membangun kembali,
98 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n melakukan
perekrutan,
membuat
sistem
yang
baru,
hingga
mengemudikannya kembali agar tak berhenti dan terkatung-katung ditengah jalan. Tak mau berhenti di rasa kecewa pada Pemred sebelumnya yang langsung berpindah ke Semarang _mengejar beasiswanya itu_, saya bersama Syarif (pemimpin organisasi M2Net yang bernasib sama) mencoba bangkit dan menghidupkan kembali M2Net yang bisa dibilang sudah hampir di jemput ajal. Baru duduk dibangku kelas dua, kala itu. Saya yang masih sangat awam dalam dunia tulis menulis dan organisai, mendapat bimbingan yang benar-benar intensif dan eksklusif dari Paman Gembul. ***
Siti Dzarfah Maesaroh
| 99
100 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Bila bagian 1 hingga 3 yang baru saja Anda baca itu masih berurutan alurnya, maka dibagian ini sedikit diacak sesuai tema. Mengantisipasi sedikit kebingungan pembaca, maka sebelum penulis sajikan uraian kisah-kisah berikutnya, terlebih dahulu saya cantumkan prolognya. Rajutan kisah-kisah dalam bagian IV ini saya tulis sekitar 8 bulan lalu. Rencana semula diniatkan menjadi beberapa buku, namun karena suatu hal hingga akhirnya terpending sampai sekarang. Semua yang tercover disini ialah bagian dari sejarah masa-masa Aliyah di Pon.Pes Al Hikmah 2 Benda, Sirampog, Jawa Tengah. Tersaji dalam beragam bentuk tulisan. Mulai dari cerpen, artikel, hingga puisi yang terselip dibeberapa sudut cerita. Satu hal yang perlu saya perjelas, ialah saduran nama dalam cerpen-cerpen yang ada dalam kisah-kisah ini tak lain dan tak bukan dimaksudkan untuk meminimalisir kericuhan dan persinggungan yang bisa terjadi kemudian. Tak heran jika Anda temui nama-nama tokoh cerita yang sama dengan tokoh film anak-anak dan kawan-kawannya.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 101
Dominasi kisah yang tersaji ialah seputar dua dunia M2NET (Malhikdua Network). Yakni sebuah wadah lembaga informasi sekolah yang bergerak dibidang jurnalistik online. Selama 3 tahun saya disana, tentu tak sedikit kisahkisah unik, menarik, dan menggelitik yang menjadi unforgetable moment dalam lintasan kenangan hidup saya. Penasaran, seperti apa kisahnya? Yuk, langsung buka lembar berikutnya untuk mulai menikmati suguhan ini. Selamat Membaca.
102 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
M2Net, dari Kruhild, oleh Kruchil, untuk Krewcil TENTANG SEJARAH BERDIRINYA M2NET
G
imana, smua stuju?”, tanya paman gembul pada semua personil kancil, kawanan kecil yang bisa dibilang seperti punakawan (dalam cerita wayang) di desa Benda.
“SETUJU!!!!!!!!!!!”, jawab semua yang hadir dalam rapat di Lab. Komputer Senja (Sekolah Ngaji, OK aja), malam Jum’at Kliwon tepatnya. Sobat, itulah cikal bakal lahirnya M2Net (Senja Network), Lembaga Independent yang khusus mengelola web sekolah Senja. Meski terletak di kaki gunung Slamet, Jateng, tak urung membuat Senja sepi peminat. Justru Senja selalu kebanjiran murid tiap tahunnya lantaran dianggap paling favorit diantara lembaga pendidikan lain yang bernaung di bawah pondok modern terbesar di Jawa Tengah, Pon.Pes Al Hikmah 2. Tercatat lebih dari 1300 siswa yang belajar di Senja, tentu menuntut tenaga, pikiran, dan waktu ekstra untuk mengelolanya. Tak heran jika selain struktural sekolah dan dewan guru yang berperan, Punakawan Senja -yang semuanya berasal dari alumni Senja- juga turut serta didalamnya.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 103
Sayang, selepas Bibi Tutup Pintu (salah satu mantan pimpinan Punakawan) angkat kaki dari Senja, Punakawan seolah tak terbedayakan. Setiap hari bejibaku dengan tugas, tugas, tugas, dan tugas, tanpa SK yang jelas. Dibilang seperti buruh, iya. Seperti pembantu, masih lebih mulia Punakawan dikit lah. “Mungkin karena kami hanyalah Kancil, alias kawanan kecil. Ibaratnya, sudah bisa numpang makan, tidur, dan belajar disini saja sudah untung”. Komentar Upik saat bincang-bincang dengan Nirmala, Lobi-Lobi, Cimut, dan Asta, menanggapi keluhan si Cimut yang seharian sudah kena semprot Pak Husin lebih dari 5 kali. “Sampai kapan kita harus seperti ini? Sebenarnya kita punya kekuatan untuk melawan, tapi aku tak sampai hati melukai guru sendiri. Seburuk apa pun beliau, tetaplah orang yang berjasa besar untuk Senja. Aku hanya mencoba menyakini, bahwa suatu saat semua kemarahan dan nasihat Pak Husin itu bermanfaat untuk kita”, tiba-tiba si Crumut muncul menyaut pembicaraan yang sedang berlangsung, dari balik pintu (wah,, si Crumut suka nguping, ya?..). Atas keprihatinan itulah, Paman gembul, orang yang pernah diwasiati untuk membimbing kawanan kecil oleh Bibi Tutup Pintu, berinisiatif untuk membentuk M2Net (Senja Network). Lembaga yang bertujuan untuk mewadahi kreativitas Kancil, memberdayakan Kancil, dan mengangkat derajat Kancil agar tak lagi dipandang sebelah mata oleh sekolah.
104 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Karena sejatinya Kancil sangat berjasa untuk Senja. Tanpa Kancil, mungkin PKL (Praktik Kerja Lapangan) Senja takkan terlaksana. PSB berantakan. Tanaman dan kolam ikan terabaikan. Bahkan semua administrasi Senja, termasuk yang paling sepele seperti membuat Kartu Osis, Kartu Tes Semester, dan brosur, takkan tergarap rapi. Sayang… Senja kurang bisa menghargai itu semua. Semenjak M2Net berdiri, Kancil tampak semakin sumringah. Selain pelatihan-pelatihan seputar dunia web dan daring yang dishare oleh Paman Gembul (pria baik hati yang tak pernah letih mondar-mandir Jatim-Jateng tanpa balas jasa), juga jaringan yang dibangun M2Net semakin menumbuhkan persaudaraan Kancil. Puncak perjuangan M2Net yang dibentengi oleh Bobo dan Paman Kikuk, menoreh sejarah yang patut dibanggakan. Juara Harapan 2 dalam Lomba Web Sekolah Gunadarma 2008, cukup membuat Kancil tersenyum dan berhasil membuktikan karya mereka. Silih berganti musim di desa Benda, berganti pula kesibukan Kancil seiring perkembangan padatnya agenda Senja dan PP. Al Hikmah 2. Belumlah selesai perjalanan M2Net, meluapnya tuntutan Senja pada Kancil membuat mereka memilih membubarkan diri. Wah, sayang sekali.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 105
Ya, memang. Tapi bagaimana lagi? Satu persatu personil copot, bahkan benteng pun roboh. Konflik lahir batin buah M2Net selama ini tak kuasa untuk dipecahkan bersama. Terciumnya konflik ini membuat Paman Gembul gelisah dan memutar otak tuk mencari solusi. Singkat cerita, sampailah pada titik keputusan “Pembubaran”. Meski sebenarnya tak sampai hati beliau melakukan itu, tapi inilah awal sejarah M2Net menuju revolusi. “Sejatinya diriku lebih senang M2Net dikelola oleh Kancil, karena aku mencetuskan itu semua memang untuk memberdayakan Kancil. Sayang, mereka tidak sadar demikian. Jadi, ya sudahlah”. Curhat paman gembul sambil menghela napas kekecewaannya.
106 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Ciluk…Ba!!!!! Ayo, M2Net, Bangkitlah!!!! Yoha…! Sobat, masih disitukah? O’ooowww….kok sobat terlihat kurang bersemangat? kenapa? Ayolah, bangkit!! Jangan biarkan setan tertawa karena kita putus asa. Lihatlah! Jalan menuju Roma masih terbentang di depan mata. Orang bijak bilang, Keberhasilan bukan diukur dari posisi yang telah dicapai seseorang dalam kehidupan. Melainkan dari rintanganrintangan yang diatasinya saat berusaha untuk berhasil. Disinilah terletak nilai kehidupan yang bermakna. Masih ingat kisah yang pertama kan? Apa coba? Yupz! Sobat pinter… eh, belum dijawab, ya? Ah, dari pada kelamaan nunggu sobat mikir, ntar malah ketinggalan kereta. Langsung aja yuk, kita baca cerita selanjutnya. Meski M2Net telah dibubarkan, nampaknya semangat master Shifu belumlah luntur. Ia tetap berpikir mencari pengganti Kancil untuk menyelamatkan M2Net yang sedang sekarat. Beruntung, masih ada Tn. Ling yang setia. Hasil diskusi Master Shifu dan Tn. Ling menghasilkan satu rencana baru yang kan menyeret M2Net ke titik revolusi. Bukan hanya
Siti Dzarfah Maesaroh
| 107
personil M2Net yang diganti, tapi juga manajemen pengelolaan dan segala yang berkaitan dengannya. “Aku berpikir, kalau ini tidak mampu lagi dikelola Kancil, kenapa kita tidak mencoba mengalihkannya ke siswa. Tidak masalah kan kalau kita juga turut memberdayakan siswa? Tapi, aku tidak ingin M2Net dikelola oleh anak komputer. Bukankah selama ini ada paradigma bahwa yang bisa komputer ya Cuma anak spesifikasi komputer. Sedang anak spesifikasi lain seperti bahasa, tabus, perikanan, apalagi anak MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan), mereka merasa kuper karena tak bisa komputer. Karena itulah, aku ingin memberdayakan mereka. Tentu M2Net bukan bermaksud mengajarkan komputer, tapi lebih dari itu, yakni mengenalkan mereka dengan dunia daring yang lebih mereka butuhkan nantinya. Zaman semakin maju, apa jadinya mereka kalau keluar dari Senja dan Al Hikmah 2 tanpa benteng wawasan globalisasi? Dan kalau mereka terbiasa mengakses internet, dengan sendirinya mereka bisa komputer. Sambil menyelam minum susu kan?” ”Pemikiran yang sangat dalam, Shifu. Aku sependapat denganmu. Ok, apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?” “Rekrut anak-anak yang berbakat dalam bidang kepenulisan. Syaratnya yang penting bukan anak komputer.” Inilah awal mula sejarah M2Net dikelola oleh siswa. Shifu memulainya dengan mengenalkan dunia blog pada anak-anak Senja yang
108 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n terpilih. Dengan sabar Shifu mengajari mereka posting, mengelola blog, mengganti template, mengubah alamat, user dan password, sampai menggenjot semangat mereka dengan mengikutkan M2Net dalam lomba blog nasional. Betapa senangnya mereka belajar dunia lain yang belum pernah terjamah sebelumnya. Mereka bebas berekspresi lewat tulisan. Saling bertukar komentar lewat blog walking. Dan menjalin persaudaraan dengan keluarga M2Net yang baru saja dibangun. Tak heran jika mereka tak pernah berkeluh kesah meski harus posting hingga jam 1 malam (maklum, aktivitas ngeblog dimulai setelah pengajian sentral selesai, yakni sekitar jam sepuluh malam. Tentu hal ini dilakukan agar tidak menganggu agenda pondok dan sekolah). Lalu, siapakah personil M2Net yang berhak maju ke Lomba Blog Nasional? Sobat, bagaimana kelanjutannya? Mari kita lanjutkan bacanya! Tapi ingat, ya, sobat harus SEMANGAT!!!
Siti Dzarfah Maesaroh
| 109
Meski Hanya Dua Pejuang, M2Net Tetap Bertahan Tak terasa, setahun begitu cepat berlalu. Semua perjuangan yang M2Net lewati seolah berat sekali tuk diakhiri. Masih teringat betapa beratnya menahan kantuk hingga jam 1 malam demi postingan blog semasa mengejar target lomba. Betapa hancurnya Launching Sendal Selen hanya karena tidak jadi menonton Laskar Pelangi, masih menyisa pilu dilubuk hati. Teringat pula pengorbanan anggota M2Net yang terpaksa rogoh kocek 33 ribu per anak setiap kali datang terlambat dalam rapat. Bukan hanya itu, kekeluargaan yang dibangun kokoh pun serasa enggan tuk berpisah. Namun, apa daya, live must go on. Ya, beralihnya kesibukkan para pejuang M2Net menjelang kenaikan kelas 3 dan setelahnya, memaksa Generasi 2 dibubarkan. Untuk itulah, harus dibentuk kepengurusan baru agar aktivitas M2Net bisa tetap berjalan. “Bagaimana
pendapat
kalian?
Siapakah
yang
pantas
menggantikan posisi saya selepas saya pergi nanti?”, tanya Pak Guru pada semua anggota M2Net yang hadir dalam rapat sore itu. Hanya Shizuka yang absen dalam rapat itu, tentu bukan karena dia tidak solid lagi, melainkan jadwal sekolahnya yang bertabrakan dengan rapat.
110 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n “Memangnya Bapak beneran mau melanjutkan
S2 dan
meninggalkan kami disini?”, sergap Giant, si tubuh besar yang paling doyan makan. “Iya, Pak. Siapa lagi yang bisa menggantikan Pemred seperti Bapak?”, tambah Suneo. “Aduh, sudah-sudah. Kalian jangan memulai OOT (Out Of Topic) dong. Kita kan sedang membahas siapa pengganti Pak Guru, Pemred kita, bukan kepergian beliau”, agaknya Doraemon mulai kesal. “Iya anak-anak. Doraemon benar”, Pak guru menengahi. “Pak, bukankah pejuang M2Net yang tersisa tinggal Nobita dan Shizuka? Kenapa kita tidak mengangkat mereka saja? Shizuka sebagai Pemred, dan Nobita sebagai sebagai Ketua M2Net”, Dorami memberikan usul. “Aku setuju. Lagi pula kukira Shizuka sudah mempunyai cukup bekal. Begitu pula Nobita yang memang berkarakter pemimpin. Iya, kan?”, Sunetsugu meyakinkan yang lain. “Tapi bagaimana dengan anggotanya? Apakah mereka kita biarkan untuk mencari sendiri? tapi kalau ikut mencarikan, sama artinya kita masih terlibat perekrutan generasi berikutnya, bukan?”, Sunekhici yang sedari tadi diam pun angkat bicara.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 111
Begitulah serunya rapat M2Net. Satu sama lain selalu saja beradu pikiran. Tapi hal itu justru membuat rapat menjadi hidup. Adu argumen dalam rapat demi mencapai mufakat memang tidak dilarang. Malah diharuskan. Sayang, agaknya tradisi ini belum memasyarakat di Senja. Masih sering dijumpai banyak waktu yang terbuang sia-sia dalam rapat organisasi. Mereka sering bengong dan OOT bahkan sempat tidur ketika rapat. Jadilah yang berpikir benar dan benar-benar berpikir mungkin hanya seperempat dari jumlah yang hadir dalam rapat. Barangkali ini menjadi cerminan bangsa kita tercinta. Karena hal itu nampaknya tidak hanya terjadi di organisasi-organisasi kecil tingkat sekolah. Melainkan level DPR yang dipercaya sebagai wakil rakyat pun, sering dilaporkan demikian. Hhmm.. aneh bukan? “Begini saja. Untuk sementara, kita mengangkat mereka berdua untuk menyelamatkan nasib M2Net. Yang kita butuhkan sekarang adalah Pemimpin Redaksi dan Ketua Organisasi, bukan? Ada pun anggota lainnya, kita serahkan saja sama mereka. Terserah mereka bagaimana metodenya untuk bisa merekrut anggota. Tugas kita berhenti sampai disini. Toh nanti pasti ada pembimbing dari Kancil kan? Mungkin semacam pemimpin umum, begitu. Tidak mungkin anak-anak akan dilepas berjalan tanpa arah. So, untuk apa kita berpusing-pusing. Kalau kita paksakan diri untuk membantu perekrutan, sama saja kita tidak mengajari mereka mandiri. Lagi pula kita akan naik kelas 3 kan? Tapi kalau diantara kalian ada yang ikut membantu, itu tidak dilarang. Sah-sah
112 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n saja. Pasti mereka juga akan senang. Bukankah begitu?”, usul Jaiko panjang lebar. “Ide yang bagus. Baiklah, bagaimana, anak-anak? Apa kalian setuju?”, lanjut Pak guru. “SETUJU…”, jawab semuanya kompak. Kecuali Nobita yang diam menunduk. Tersirat diwajah Nobita, beban yang bertambah dipundaknya. Ya, selepas pembubaran M2Net, semua tanggung jawab kepengurusan organisasi berada dalam genggamannya. Terlebih ia hanya sendiri. Adapun Pemred tentu beda jalur dengan organisasi. Meskipun masih satu naungan, tapi keduanya berjalan sendiri-sendiri. Sedangkan anggota, butuh proses untuk bisa mendapatkannya. Mulai dari perekrutan, penyeleksian, sampai peresmian. Bukan hal yang mudah tentunya. Lalu bagaimana dengan Shizuka yang tidak ikut rapat? Ah…dia pasti shock mendengar hal ini. Apalagi partnernya Nobita, pria yang sejak awal sangat ingin ia kenal. Apa jadinya, ya? Tapi, apa pun yang terjadi, meski pejuang tinggal dua, M2Net must go on.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 113
Pondok Grebeg Warnet, Gencet Nyawa M2Net Hiks…hiks…hiks…. “Kamu kenapa nangis, Reng? Sakit?”, tanya Petruk pada Gareng yang sedang tersengguk-sengguk sambil jongkok telungkup di pojok kelas. Gareng hanya geleng-geleng kepala menjawabnya. “Patah hati?”, tanyanya lagi. “Nggak”, jawab Gareng lirih. “Habis dimarahin?” “Nggak” “Ulangan nilainya jelek?” “Nggak” “Berantem sama teman? Nggak punya uang? Kangen rumah? Kejatuhan duren? Kena semprot guru killer? Atau….. kangen ma aku ya…? He…he…he…” “BUKAAAAAAANNNNNN”, air liur dan air mata Gareng pun turut menyembur ke muka Petruk. “Lah, terus? KAMU KENAPA?”, bentak Petruk.
114 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Hiks…hiks..hiks…hiks…
haaaaaaaaaa….aaaaaa…..aaaaa….
tangisnya makin menjadi. “STOPPP!!! Apa-apaan kalian ini? Bebengokan kaya dihutan. Sudah sana keluar! Nangisnya di lapangan saja sana! Biar ditonton semua orang. Kalau mau atraksi sekalian ditunjukan, jangan nanggung cuma di pojok kelas! Sudah sana keluar! Ruangannya mau dikunci ni!”, usir Togog, tukang kebun dan juru kunci Senja, yang tiba-tiba nongol tanpa permisi. “Emangnya Senja punya lapangan? Sekolah aja kelasnya masih numpang dimana-mana. Ngomongin lapangan lagi. Kalau nggak tahu perkaranya mending diem deh. Nggak bisa apa ngusir dengan cara yang sopan? Kalau kita nggak bayar sekolah, Mang Togog juga nggak bakal digaji, tahu!”, Gareng yang sedari tadi memang menahan emosi, akhirnya terluap pada si Togog. “Sudah, Gareng. Tak ada gunanya kita meladeni dia. Ayo kita keluar”, Petruk dengan sabar membawa Gareng keluar. $$$ “Sebenarnya, apa yang terjadi, Gareng. Jujurlah. Bukankah kita satu keluarga di M2Net? Kenapa harus ada yang ditutup-tutupi?” “Ok, aku akan cerita, tapi tolong undang kawan-kawan kita.” “Baiklah. Huhhhhfffff…..”, Petruk menghela napas panjang.
Siti Dzarfah Maesaroh
Semar, Bagong, Limbuk, Bilung, Cangik…. sayape
njeplek. Maburana
mreneo. Detik
| 115
Plek-eplek-eplek
iki ora
nanti-nanti.
Fiuhhhhh……………………. Tekao!!! Itulah mantraandalan yang selalu mereka gunakan untuk memanggil satu sama lain ketika saling membutuhkan. Itu bukan sulap bukan sihir. Tapi eratnya persaudaraan merekalah yang telah menyatukan hati mereka dimana pun dan dalam apa pun keadaan mereka. Wajar kalau mantranya sangatlah mandhi. Hanya dalam sekejap mereka semua sudah berkumpul sesuai permintaan Gareng. “Saudara-saudaraku, sebangsa dan setanah air. Saudara yang amat sangat aku cintai dan aku banggakan. Saya kumpulkan kalian dilembah ini, untuk mendengar satu kabar yang semoga tidak membuat kalian shock. Sebelumnya, besarkanlah hati kalian untuk menerima kenyataan ini. Karena dibilang pahit memang pahit. Dibilang manis ya tetap pahit.” Semua mendengarkan Gareng dengan seksama. “Saya mendengar kabar bahwa…..” “APA?????”, Semua berteriak serempak. “Bahwa… Warnet telah digrebeg pengurus Al Hikmah 2. Dan untuk sementara tidak bisa akses internet. Jadi…”
116 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n “APA?????” “Ya, jadi untuk sementara kita tidak bisa mengelola web. Memang, kita baru saja mendapat teguran karena kita dianggap belum bekerja apa-apa untuk M2Net. Tapi, inilah kenyataan yang harus kita hadapi”. Sebelum Gareng mengakhiri apa yang ia sampaikan, semuanya sudah tergeletak tak bernyawa. Terbujur kaku tak tertata. Karena Matinya internet berarti tamatlah riwayat M2Net.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 117
Generasi II Bubar, Sakit Hati Menyebar “Ya…
dengan
berat
hati
saya
katakan
bahwa
M2Net
DIBUBARKAN”, dengan wajah memelas dan tertunduk ke bawah, Mr. Flankton menyatakan keputusannya. “DIBUBARKAN?”, sontak semua yang hadir dalam rapat terperangah dengan apa yang baru saja mereka dengar. “Tapi, kenapa Mr.? Apa yang salah dengan kami?”, sergap Patrik. “Tidak ada yang salah. Ini hanya bagian dari proses. Bukankah sebentar lagi kalian kelas akhir yang akan disibukkan dengan ujian? Aku tidak ingin membebani kalian. Jadi mulai sekarang, mumpung masih ada waktu, kita lakukan regenerasi. Meskipun mungkin hanya tersisa 2 orang adik kalian yang masih mampu bertahan, setidaknya keduanya bisa kita bantu menelorkan generasi berikutnya agar M2Net tidak mati lagi. Tentu saja aku tidak akan menghalangi kalian yang masih ingin bergabung disini. Karena adik-adik kalian pasti butuh bimbingan, bukan?”, jelasnya panjang lebar. “Tapi kenapa harus dibubarkan? Bahasa yang sangat kasar. Seolah kami ini hanya dibentuk saat kami dibutuhkan. Sekarang sudah seperti keluarga malah mau dibubarkan.”, tambah Squitword.
118 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n “Lagi pula, apa tidak ada cara yang lebih baik untuk menghentikan semua ini? Bahasa serah terima jabatan, misalnya.”, Patrik menimpali. “Menurutku, kata pembubaran tidak terlalu sadis. Kita juga sering melakukan itu, bukan. Pembubaran panitia, misalnya. Lagian kalau serah terima jabatan apa tidak terlalu muluk? Kita kan sebenarnya bukan lembaga resmi yang mendapat SK dari sekolah seperti OSIS dan KSPD. Kita independent, berdiri sendiri. Jadi apanya yang mau diserahkan? Lha wong kita belum pernah menerima, kok. Sekarang yang perlu kita bahas bukan kata PEMBUBARANNYA, tapi apa yang bisa kita lakukan setelah ini untuk menyelamatkan M2Net agar tetap bisa eksis?”, Sponge Bob angkat bicara. “Benar, anak-anak.” Tn. Crabs mulai bersuara. “Bubar disini bukan berarti kita menghancurkan kekeluargaan dan kesolidan yang telah kita bangun selama ini. Tapi bubar ini sebagai titik henti perjuangan generasi 2 secara de jure. Dengan begitu kalian bebas memilih, jika kalian kelas 3 nanti, kalian ingin tetap aktiv di M2Net atau memilih konsentrasi untuk ujian itu terserah kalian. Tapi kalau tidak dibubarkan, tentu kalian mau tidak mau tetap mendapat tuntutan untuk mengurusi M2Net. Dan tentu generasi berikutnya tidak akan nyaman bekerja kalau kalian masih ada diatasnya. Bukankah begitu, Mr.?”, lanjutnya.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 119
“Ya, benar apa yang dikatakan Pemred kalian. Sekarang begini saja. M2Net Generasi 2 resmi dibubarkan. Dan akan kita bentuk M2Net Generasi 3. Selanjutnya, untuk kalian yang masih ingin aktiv di M2Net, silahkan setorkan nama agar aku bisa mengkoordinirnya. Tenang saja, apa pun yang terjadi kalian tetap bagian dari keluarga besar Senja Network. Bagaimana? Deal?” Semua hanya tertunduk diam sambil menganggukan kepala, tanda setuju dengan terpaksa. Semoga kisah ini bisa menjadi pencerahan untuk semua anggota M2Net yang hingga detik ini masih menyimpan rasa sakit hati atas dibubarkannya M2Net Generasi 2. Inilah kronologisnya. Mohon maafkan bila ada kata yang kurang berkenan.
120 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Kapok Deh!!! Cukup Sekali Saja! Benar-benar kapok. Pembuatan majalah Senja untuk yang pertama, juga terakhir kali. Sampai detik ini masih terbayang bagaimana repotnya peyusunan naskah, pengeditan, sampai mengurus percetakan di Yogyakarta. Terlebih lagi, patungan dana yang digunakan berasal dari kocek anggota M2Net yang tergolong pas-pasan. “Apa? Dirubah lagi? Mau kamu apa sih, Ang? Bukankah ini sudah dirubah 3 kali?”, debat Avatar. “Iya, Ang. Lagian kamu tahu kan kalau tugas kami bukan hanya menangani majalah. Masih banyak yang lain, Ang. Kalau kita hanya berkutat soal majalah, urusan website bisa terbengkalai. Kamu juga sudah punya orang-orang yang sengaja disiapkan untuk membereskan majalah, kan? Kenapa kami terus yang kau ubek-ubek”, sambung Sokha. Proses pembuatan majalah memang tidak gampang. Meskipun sebagian besar bahan sudah tersedia di website Senja, tetap saja butuh pengeditan dan penyusunan ulang. Sebenarnya pembuatan majalah adalah cita-cita generasi 2 yang belum kesampaian. Tahu sendirilah, jaman generasi 2 masih berantakan. Karena rasa hutang itulah, generasi 3 mengupayakan membayar cita-cita seniornya untuk menerbitkan majalah. Kebetulan waktu itu pasca kemenangan Senja dalam Lomba Web Sekolah tingkat SLTA yang
Siti Dzarfah Maesaroh
| 121
dimotori oleh M2Net. Jadi, ada sedikit yang bisa dibanggakan dan jadi menu utama dalam majalah yang akan disusun. “Seribu eksemplar”, Jelas Aang ketika rapat distribusi majalah yang telah berhasil dicetak. “Apa? Ang, kamu itu makin hari makin nggak waras, ya? Bukankah kesepakatan awal hanya 500? Kenapa jadi seribu? Siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengedarkan sebanyak itu?”, Avatar cemas melihat hasil kerja Aang yang makin tak karuan. “Itulah masalahnya sekarang. Semula lobiku pada Pak Katara selaku waka sek ditanggapi positif. Ternyata setelah melihat hasilnya beliau hanya memuji tanpa memberikan kontribusi dana sepeser pun. Tapi tenanglah, aku akan mencoba menjualnya keluar,” “Keluar? Maksudnya?”. “Ya, keluar lingkungan sekolah kita. Tenang saja, aku punya banyak link diluar. Insya Allah, mereka bisa diajak kerjasama. Hal terpenting sekarang adalah bagaimana kita bisa mengembalikan modal majalah ini secepatnya? Karena ini semua uang anak-anak”, “Apa yang dikatakan Aang itu benar, Avatar. Kita percayakan saja padanya”, Ummi datang meyakinkan.
122 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Alhasil, distribusi majalah ternyata tidak berjalan mulus. Baru habis 300 eksemplar saja sudah megap-megap.Bagaimana seribu? Terpaksa, hampir sebagian besar hanya dibagikan secara gratis pada alumni yang datang saat reuni massal setiap tanggal 5 Syawal. Sebagian lagi disebar untuk dewan guru. Ada juga yang dijual keluar, tapi tidak seberapa. Sedang yang didalam, dikalangan Senja sendiri, hanya habis kurang dari 400 eksemplar. Huhhhffff…. Yang penting judulnya cita-cita generasi 2 sudah terwujud…
Siti Dzarfah Maesaroh
| 123
Fasilitas Kacau, Pejuang Balau “Permisi, Bu. Maaf, kita anggota M2Net yang akan mengup-date berita. Bolehkah Kami masuk?”, Toru Kazama meminta izin pada Misae, personil Kancil yang sedang bertugas di Lab. Komputer. “Aduh, maaf, Toru. Saat ini KBM Spesifikasi sedang berlangsung. Kamu lihat sendiri, kan? Semua PC terpakai. Kalau pun kamu masuk, mau posting pakai apa?”, respon Misae. “O..gitu, ya, Bu? Terus, kira-kira jam berapa selesainya, Bu? Soalnya berita ini sudah hampir tiga hari, Bu. Kalau hari ini belum bisa terbit juga, bisa jadi berita basi, Bu. Apa Ibu nggak kasihan?”. “Iya, Toru. Tapi mau bagaimana lagi? Masa saya harus membubarkan spesifikasi yang sedang berlangsung? Gini saja, nanti kamu kembali lagi sekitar jam 5 sore deh. Jam segitu kan dah nggak dipakai”. “Baiklah, Bu, saya akan kembali jam 5 tepat. Terima kasih banyak ya, Bu”, Toru pun pergi tanpa basa-basi lagi. Sedikit kecewa, Toru yang sengaja meluangkan waktunya untuk sekedar posting berita, terpaksa kembali ke asrama yang berjarak 500 m dari Lab. Komputer. Tak peduli cuaca cerah atau hujan, ia selalu berusaha membuat postingan selagi bisa. Memang terbukti apa kata orang, ia paling rajin dibanding yang lain.
124 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n “Hai, Toru! Dari mana, kau?”, sapa Masao Satobo dari arah yang berlawanan. “Hello, Masao. Aku dari Lab. Komputer”. “Pasti gagal posting lagi, ya?” “Lho, kok kamu tahu?” “Ha..ha… Masao gitu loch!! Aku juga senasib denganmu. Malah sudah sejak kemarin aku ditolak terus seperti yang kamu terima tadi” “Tapi, aku tidak ditolak. Hanya diundur saja sampai jam 5. Karena Lab. masih dipakai untuk spes.” “Halah! Toru..toru…!!! Kayak kamu tidak tahu Kancil saja. Kemarin aku juga dijanjikan begitu. Tapi setelah jam 5 aku kembali kesana, ternyata mereka malah dengan mudahnya bilang begini, ‘Besok lagi masih ada waktu kan? Sekarang sudah sore. Saatnya Lab tutup. Besok lagi aja, ya’. Bahkan aku mengalaminya sudah lebih dari 3 kali. Bayangkan! Apa kamu tidak sakit hati diperlakukan begitu?” “Masa? Ah… yang bener!!!!” “Masa aku bohong? Sepertinya atasan harus tahu hal ini. Kalau terus-terusan begini aku labih baik mundur. Ngapain kita capek-capek nyari berita, nyusun plus nulisnya. Tinggal posting malah dipersulit.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 125
Lagian kalau pun gagal posting, yang rugi sekolah kan? Kita sih paling kecewa doang, iya kan?” “Benar juga apa yang kamu bilang”. “Husss!!!! Jangan begitu! Kita tidak boleh menjadi pejuang yang gampang nyerah. Pasti ada solusinya kok. Aku yakin, mereka punya alasan kenapa mereka menolak kita untuk melakukan posting”, tiba-tiba Ai Soutome menimbrung pembicaraan mereka. “Apa maksudmu???”, tanya Toru dan Masao hampir bersamaan. Itulah sekelumit potret perjuangan para warcil _wartawan kecil_ yang bernaung dibawah M2Net. Hanya tinggal posting berita saja susah, apalagi perjuangan hunting beritanya. Lari kesana kemari dalam setiap acara yang berlangsung di kawasan Al Hikmah 2 dan Senja. Kadang kalau malas bertengkar untuk meminjam kamera, mereka terpaksa memakai kamera sendiri atau pinjam punya teman. Belum lagi mengejarngejar narasumber untuk diwawancarai. Selain harus sudah berbekal sederet pertanyaan juga harus punya keberanian dan nyali. Yang lebih parah lagi, mereka terpaksa memendam rasa malu pada teman-teman yang kadang suka memojokkan. Mengecap si M2Net saat mereka bertugas dilapangan. Kalau dipikir-pikir… itu benar-benar beban moril. Sayang, dulu Senja belum sedikit pun melirik mereka.
126 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Bersyukurlah generasi sekarang yang sudah difasilitasi ruangan sendiri. Setidaknya kalian tidak perlu mondar-mandir ijin posting seperti mereka. Bahkan fasilitas lengkap bisa dibilang hampir semua terpenuhi. Laptop ada. Komputer ada. Pinter ada. Camera ada. Meja dan seperangkat alat tulis ada. Buku-buku seputar jurnalis ada. Lemari ada. Mading ada. Papan pengumuman diruangan ada. Kalender ada. Hiasan dinding juga ada. Ada pun kekurangannya, sepertinya bisa disiasati. Kurang apa lagi, coba? Internet? Tinggal masuk ke Corner. Akankah semua fasilitas itu dimanfaatkan semaksimal mungkin? Atau malah hanya menjadi boomerang untuk kalian? Kalianlah, generasi selanjutnya, yang bisa menjawabnya.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 127
Perang Berita, M2Net Sandang Pencemar Nama “Mau kalian apa sih, Kus? Kalian ingin melihat M2Net hancur kan? Sudahlah! Mengaku saja kalau kalian lah biang keladi di balik semua ini, iya kan?”, salah satu anggota M2Net bertengkar dengan genk Tikus. “Lho… kok kamu menuduh begitu? Kita ini justru kasihan pada kalian. Tahu nggak kalian hampir digrebeg pengurus gara-gara berita yang kalian terbitkan itu asal-asalan. Tapi karena kami meminta pengurus untuk tenang menyikapinya, sampai sekarang kalian masih aman. Nah, maka dari itu kami ingatkan. Bahwa apa yang kalian lakukan itu salah. Mbok yo diperbaiki.. begitu lho… jangan asal sewot,,!”, pihak Tikus menimpali. “Tikus yang terhormat, bagian mana sih salahnya? Asal kalian tahu, semua berita itu sudah melewati tangan editor yang tahu pasti bagaimana kode etik jurnalis”, “Jelas…sudah diperbaiki! Orang kami sudah mengingatkan! Tapi berita sebelumnya yang masih berantakan itu tetap tidak terhapus oleh google sekalipun dalam redaksimu sudah dihapus”, “Tapi bagaimana kalau ternyata berita itu memang benar?” “Apa maksudmu?”
128 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n “Ya, bagaimana kalau semua berita yang kalian anggap keliru itu memang benar?” “Sekalipun benar, seharusnya kalian tidak bersikap demikian. Kalian tahu kan, Abah membangun Al Hikmah 2 berpuluh tahun yang lalu. Sekarang kalian malah menjatuhkan image pondok dengan berita yang ah…. Bodoh sekali!” “Ok, kami terima jika memang kami salah. Kami minta maaf. Tapi apa tidak ada cara yang lebih baik untuk menyelesaikan semua masalah ini? Tidak Singa, tidak Tikus, sama saja. Kalian mengatakan bahwa kami melanggar kode etik Jurnalistik. Tapi kalian juga tidak punya etika untuk mengkritik. Apa kalian tidak sadar bahwa kalian ini orang dewasa? Kenapa sih menyelesaikan masalah dengan cara kekanak-kanakkan? Kalau kalian orang bijak, bisakan melayangkan surat keberatan atas terbitnya suatu berita kepada pihak menejemen atau langsung ke pimpinan umum M2Net? Tidak harus memarahi setiap anggota M2Net yang datang kemari. Ini sama saja mempermalukan kami di depan umum. Lagi pula, saya yakin pengurus tidak akan tahu kalau kalian tidak memberi tahu. Dan kenapa kalian melaporkan ke pengurus tapi melarang mereka untuk menegur kami? Apa kalian takut kalau kami akan membela diri dan justru membuat pengurus percaya bahwa kami tidak bersalah? Seandainya pun kami salah, tidak bisakah kita berkumpul untuk bermusyawarah? Kita pikirkan bersama bagaimana solusinya? Bukan
Siti Dzarfah Maesaroh
| 129
hanya menembak dari belakang tapi tak berani berkutik jika di depan. Kalian pengecut! Oya, jika kalian orang yang bertanggung jawab, seharusnya tidak hanya berani mengkritik tapi juga berani memberi saran. Sekarang kalau berita itu salah dimata kalian, bagaimanakah berita yang benar? Coba tulis beritanya sesuai dengan kode etik jurnalis yang kalian maksud! Apa kalian berani? Ayo! Sekarang!”, tantang anggota M2Net. “Kenapa kalian diam? Kalian takut salah? Bagus! Sekarang saya tahu. Jangan-jangan yang mengompori Singa untuk marah-marah karena berita yang kami terbitkan juga kalian? Iya kan? Sampai heboh mengguncang Al Hikmah 2 karena Singa mengajak perang dengan Senja! Dan kalian tahu, M2Net dituduh sebagai pencemar nama baik Singa bahkan Al Hikmah 2! Huhhhfffffff…………. Apa sih mau kalian? Saya nggak habis pikir kenapa kalian melakukan semua ini? Apa M2Net pernah melakukan suatu kesalahan hingga kalian membalas kami seperti ini? Ayo jawab!!!!!!!!!”, bentaknya. “Ok, kami ngaku kami salah. Kami minta maaf karena hal ini. Tapi sungguh tidak ada maksud lain kecuali … kecuali kami ingin M2Net lebih baik dari..”
130 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n “Bohong!! Aku tidak percaya dengan alasan itu! Kalau kalian tidak mau mengatakan yang sebenarnya, aku berjanji tidak akan pernah mengenal kalian lagi!”, anggota M2Net itu memotong penjelasan Tikus dan berlalu meninggalkan mereka. “Jaa…Jangan!! Kami mohon jangan lakukan itu! Baiklah, kami jujur. Tapi… tapi kami mohon maafkan kami setelah kami mengaku. Sebenarnya… sebe..narnya…” “Sebenarnya apa?” “Sebenarnya kami belum bisa menerima pengunduran dirimu dari genk Tikus”. “APA???”, “Ya, setahun yang lalu, kami memintamu kalau kamu mundur dari genk tikus, berarti kamu juga harus mundur dari semua organisasi yang sedang kamu urus. Termasuk M2Net. Tapi kamu menolak. Karena itulah… kami selalu mengganggu kelangsungan hidup M2Net” “PUAS?????? MAKASIH!!!!!!!!!”, tanpa basa-basi lagi, anggota M2Net itu langsung pergi. “Hey…………!!!!!!!!!!!! Tunggu……. Kami mohon maafkan kami….”, Tikus pun berlarian mengejarnya.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 131
Sobat, itulah potret sekelumit masalah yang M2Net hadapi bertubi-tubi. Hmmm…. Selalu saja demikian…. Heran!!
132 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Lagi, M2Net Dikambinghitamkan “Lho! Apa yang sedang kalian lakukan? Ya, ampuuuunnnnn!!!!! Jadi ini aktivitas M2Net yang sebenarnya? Hah!”, tiba-tiba ibu Sarutobi muncul dan marah-marah seenaknya. Sontak saja Kakashi, Hyuga dan Neji yang berada diruangan kaget bukan kepalang. Bagaimana tidak, Ibu Sarutobi adalah guru yang paling disegani. Bukan hanya karena ketegasannya, melainkan juga karena wibawa keilmuannya. “E..eu..anu..anu..
Bu,
kami
sedang…”,
Kakashi
berusaha
menjelaskan. “A…eu..a..eu… apa? Kami sedang menonton film berdua-duan? Iya? Film apa yang sedang kalian tonton? Pokoknya saya tidak mau tahu, besok pagi kalian berdua menghadap saya. Dan bersiaplah untuk tidak naik kelas!!!! Satu hal lagi, M2Net akan saya BUBARKAN!!!!!!!”, ancam bu Saturobi pada Kakashi (mantan anggota menejemen putri yang sekarang lebih menggeluti fotografi) dan Neji (reporter putra) yang sedang asyik menonton film Cina di laptop. Sedang Hyuga, sepertinya terbebas dari jeratan karena ia duduk sendirian di depan komputer. Huhhhffff…..
Siti Dzarfah Maesaroh
| 133
Untuk kesekian kalinya, M2Net kembali tertimpa masalah. Anehnya,
setiap
masalah
yang
datang
pasti
diawali
dengan
kesalahpahaman. Kalau dihitung, lebih dari puluhan kali peristiwa semacam ini terjadi. Sejak awal M2Net berdiri, hingga detik ini, tetap saja masih banyak orang-orang yang tidak profesional dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Kali ini, korban berikutnya adalah Kakashi dan Neji. Mereka tertangkap basah sedang menonton film di ruang redaksi. Meski tidak berdua saja, namun karena jarak duduk keduanya berdekatan, menjadi masalah besar bagi mereka. Maklumlah… imej pesantren.. Kalau dipandang sekilas, memang benar mereka salah. Selain telah menyalahgunakan fasilitas, mereka juga melanggar adat istiadat pesantren. Tapi, bukankah tidak seharusnya beliau men-judge seperti itu? Ibu Saturobi tidak memberikan sedikit pun kesempatan pada Kakashi dan Neji untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka memang menonton film, tapi film yang mereka tonton bukanlah film mesum yang dilarang. Itu mereka lakukan juga karena mereka sekedar ingin refreshing seusai semesteran. Mereka juga tidak berduaan, karena ada Hyugi dipojok. Lagi pula, memberi hukuman dengan membuat mereka tinggal kelas serta mengancam akan membubarkan M2Net, apakah itu sebuah
134 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n kebijakan yang tepat? Tidakkah beliau sadar sanksi dari setiap kesalahan? Dan punya hak apa beliau dalam lembaga M2Net? Hingga dengan mudahnya mengatakan akan membubarkan. Sekedar flash back beberapa tahun yang lalu, sebuah tragedi yang mengguncang Al Hikmah 2, benar-benar tidak sebanding dengan peristiwa ini. Masih jelas sekali, sebuah kasus pacaran yang sudah sangat keterlaluan (terlalu rumit untuk diceritakan) dihakimi sebelah mata. Kebetulan, kedua pelakunya adalah anak buah ibu Saturobi. Tapi entah dengan pertimbangan apa (diduga karena pelaku masih ada hubungan darah dengan pengasuh Al Hikmah 2) hingga akhirnya kasus pacaran itu seolah dimaafkan dan ditutup dari publik. Padahal jelas aturannya, pelanggaran pasal pacaran hukumannya langsung dikeluarkan. Tapi tidak untuk pelaku yang satu ini. Malah berhasil mengikuti ujian nasional dengan mulus dan kini meneruskan studi di luar negri. Coba bandingkan! Kasus yang berat malah diringankan, sedang kasus yang sepele justru dibesar-besarkan. Apakah ini sebuah keadilan hukum? Oya, hampir lupa! Andai Ibu Saturobi tahu, bahwa anak buahnya yang juga menjadi anggota M2Net, lebih dari dua tiga kali menggunakan fasilitas M2Net untuk mengurusi organisasi yang bernaung dibawah bimbingan bu Saturobi. Kira-kira apa kata beliau tentang hal ini? Akankah
Siti Dzarfah Maesaroh
| 135
anak buahnya itu diberi sanksi yang sama dengan apa yang barusan beliau katakan? Hiks…hiks…hiks…. Kakashi, Neji, dan Hyuga hanya bisa menangis bersama.
136 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Diancam Tidak Naik Kelas, Pemred Undur Diri “Apa maksud semua suratmu ini, Naruto? Ibu tidak mengerti kenapa kau melakukan semua ini?”, tanya ibu Sasuke, pemimpin umum M2Net masa itu. “Apa yang perlu saya jelaskan, Bu? Bukankah dalam surat sudah tertulis jelas?”, jawab Naruto singkat. “Saya tidak menyangka sebegitu pendeknya pemikiranmu, Naruto. Ibu kira kamu anak yang berbeda dari yang lain. Selama ini kamu pun selalu berhasil menjunjung nama baikmu hingga dikagumi banyak orang. Ternyata ibu salah. Benar saja banyak cerita miring yang mengabarkan dirimu begini dan begitu. Nyatanya kau memang persis seperti yang mereka bilang. Kamu payah, Naruto. Ibu kecewa padamu”. “Bu, kenapa ibu bicara begitu? Kenapa ibu lebih memilih mendengarkan mereka dari pada saya, Bu?? Bu… ibu…. Tolong, bu.. percayalah itu semua tidak benar…”, sedu sedan Naruto pun tak dipedulikan. Ibu Sasuke tetap beranjak dan meninggalaknnya dalam isak tangis yang tak lagi tertahan. Ibu, terima kasih atas semua perlakuan ini. Saya tidak akan pernah melupakannya. Semoga suatu saat mata hati ibu terbuka akan kebenaran ini. Sungguh, bu, saya tidak bersalah… Semua ini hanyalah salah paham. Andai ibu mau mendengarkan penjelasan saya, bahwa
Siti Dzarfah Maesaroh
| 137
sejatinya… sejatinya saya mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi M2Net bukan karena..saya.. seperti yang mereka tuduhkan. Saya hanya mempertahankan diri karena saya telah diancam tidak akan naik kelas oleh pembimbing PPK (Program Pelatihan Kerja) saya. Semua ini bermula dari kesalahan saya, memang. Saya tidak mematuhi aturan beliau untuk tidak internetan saat PPK berlangsung di Jogja.Tapi sungguh, bu, saya melanggar itu karena saya merasa punya tanggung jawab disini. Saya tidak mungkin meninggalkan anak-anak M2Net tanpa kabar sama sekali. Tujuan saya menggunakan internet hanyalah untuk memantau perkembangan mereka, sekaligus posting berita tentang PPK disana. Sayang.. pembimbing saya tidak mau mengerti akan hal itu. Padahal, dikelompok PPK yang lain, siang malam ke warnet tidak dilarang. Meski pembimbing mereka tahu bahwa mereka hanyalah bermain-main lewat jejaring sosial _FB_. Apakah ini sebuah keadilan, bu? Saya mohon… sikapilah semua ini dengan bijak, bu. Rintihan nurani Naruto hanya terpendam jauh dilubuk hati. Malang sekali nasibnya. Ini bukanlah kali pertama ia menderita karena risiko tanggung jawab Pemred yang diembannya. Bahkan setelah ia keluar pun, image itu tetap melekat dalam dirinya. Hingga setiap kali orang menyebut M2Net, pasti mindset mereka langsung tertuju pada Naruto. Kalau Sakura bilang, Naruto memang sudah ditakdirkan menjadi tumbalnya M2Net. Wajar kalau segala masalah M2Net akhirnya juga menjadi masalah dalam hidupnya. Anehnya, keberadaannya menjadi
138 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n masalah, ketiadaannya pun menambah masalah. Wah.. kasihan sekali dia. Semoga, itu hanya paradigma orang-orang awam yang hanya memandang segala sesuatu dari dzohirnya.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 139
Perjuangan Gerilya Dibawah Cahaya Temaram Meski dua riwayat pembubaran dan sisa pejuang M2Net seperti memiliki ikatan batin yang kuat _karena peristiwanya hampir sama_, namun tetap ada perbedaan diantara selipan kisah dua generasi ini. Kalau seusai pengangkatan pemred dan ketor (ketua organisasi) baru pada masa generasi dua langsung ditelantarkan begitu saja, lain hal dengan cerita generasi 3. “Mbak Mawar, kami memang masih sanggup bertahan. Tapi… rasanya kami belum mampu berjalan sendiri. Mbak tahu kan, selama ini kita hanya menjadi ekor. Kita baru bergerak kalau mbak sudah memberikan perintah dan menjelaskan apa yang harus kami lakukan. Kami juga belum pernah menangani segala sesuatunya sendiri. Kami selalu bergantung pada Mbak. Dan sekarang, kami diserahi amanat yang sangat besar. Sungguh, Mbak, kami tidak akan mampu melakukan semua ini kalau Mbak tidak mendampingi kami”, kata Melati disuatu sore yang indah, persis ditepi kolam ikan belakang gedung Senja, perbincangan dari hati ke hati ini berlangsung. “Bukan hanya itu, Mbak. Saya sendiri mengakui, saya belum bisa apa-apa. Jangankan soal website, posting berita saja masih sering salah. Tulisan saya masih acak-acakan. Saya masih perlu banyak belajar, Mbak.
140 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Nanti kalau Mbak tidak disini lagi, siapa yang akan mengoreksi kesalahankesalahan saya? Siapa yang akan memberi semangat kala kami down. Siapa yang akan marah-marah kalau ruangan berantakan? Padahal kalau belum dimarahi kami belum sadar untuk membereskan. Siapa juga yang akan mengajari kami mengatur sagala acara, mulai dari perekrutan, pelatihan, pembagian tugas, sampai aktivitas keseharian M2Net? Siapa lagi selain Mbak Mawar yang bisa melakukannya? Hiks…hiks…”, mata Bougenvil mulai memerah. Pertanda ia serius dengan kata-katanya. “Bougenvil benar, Mbak. Apa yang harus kami kami lakukan? Hiks… “, Melati melanjutkan. Hening. Hanya timbul tenggelamnya beberapa ternak ikan dikolam yang jadi pemandangan. Melati dan Bougenvil harap-harap cemas menanti kata-kata yang akan Mawar ucapkan. Semilir angin yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka, seolah tak peduli dengan apa yang terjadi. Ia hanya berlalu lalang dan datang-pergi tanpa permisi. Puluhan siswa yang mondar-mandir ke belakang pun hanya melirik heran. Mawar yang menunduk sejak awal perbincangan, agaknya menghela napas panjang untuk mulai berbicara.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 141
“Melati, Bougenvil, apa kalian akan percaya pada kata-kataku?”, Mawar mengawali. “Ya,
kami
akan
percaya”,
Keduanya
menjawab
hampir
bersamaan. “Sekarang, apa yang sedang kalian lihat?”. “Kolam ikan yang airnya keruh”, Melati menjawab. “Ya, itu karena kalian menunduk. Coba lihat ke depan! Angkat muka kalian!”, Melati dan Bougenvil pun melakukan apa yang Mawar minta. “Sekarang, masihkah kalian melihat air yang keruh?” “Tidak. Di depan kami ada panorama yang sangat indah. Hamparan sawah dengan padi menguning luas terbentang. Nun jauh disana, terlihat gunung Slamet mengepul. Kalau tangan ini diluruskan, seolah kami bisa menyentuh puncaknya. Benar-benar indah…”, Bougenvil menguraikan. “Ya, kau benar. Apa kalian tahu, sesungguhnya kalian bisa menciptakan hal yang lebih indah dari apa yang kalian lihat sekarang?” “Maksud, Mbak?”
142 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n “Bougenvil, Melati, ketika kalian melihat kebawah, kalian menemukan air yang keruh. Namun ketika kalian mengangkat wajah dan melihat ke depan, kalian mendapati pemandangan yang begitu indah. Bila diumpamakan dengan apa yang sekarang kalian alami, bukankah itu sama? Ketika kalian hanya menunduk dan mengeluh, kalian hanya akan membuang waktu dan energi untuk menangis. Tapi andai kalian mengangkat wajah, menatap ke depan, dan menggunakan akal sehat kalian, kalian akan menemukan berjuta-juta solusi untuk menghadapi masalah kalian sekarang. Kenapa? Pasti hati kalian bertanya-tanya. Saya tidak akan memberitahukan sekarang. Biarlah kalian mencari sendiri jawabannya. Oya, nanti malam saya tunggu di lantai 3 atas asrama kita. Ada yang harus kalian dapatkan disana.” “APA?”, lagi-lagi keduanya menjawab kompak. Sesuai instruksi Mawar, keduanya mendatangi suatu kelas yang jauh dari kebisingan, jauh dari jangkauan pengurus Al Hikmah 2. Tepat jam 10 malam, seusai pengajian sentral. Rasa ngantuk dan letih yang mengganduli seolah tak berhasil membuat mereka gentar. “Bagus, kalian memang anak-anak yang baik. Aku salut dengan keberanian dan kemauan kalian. Sebagai gantinya, malam ini dan seterusnya, dengan waktu dan tempat yang sama, aku akan mengajarkan
Siti Dzarfah Maesaroh
| 143
segala yang aku bisa pada kalian. Terutama keredaksian dan organisasi M2Net. Meski mulai dari 0, semoga kalian sabar mempelajarinya.”, ucap Mawar yang baru datang dan langsung mengambil posisi diantara keduanya. “Benarkah? Jadi Mbak mau mengajari kami?”, sergap Melati tak percaya. “Mbak, Mawar, bolehkah saya ikut?”, tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu. Spontan semua mata menoleh pada sumber suara khas dan imut itu. Terlihat sosok gadis berkacamata pink dengan sebuah buku dan pena ditangannya. Tubuhnya yang besar semula dikira pengurus. Namun didengar dari suara khasnya, Mawar bisa menebak siapa dia. “Matahari? Sedang apa kamu disitu? Ayo, masuk! Tapi… bagaimana kamu bisa tahu kalau Mbak ada disini?”, taya Mawar. “Maaf, Mbak. Tanpa sengaja Matahari mendengar perbincangan Mbak di tepi kolam tadi siang. Makannya Matahari kesini. Mbak, boleh ya! Matahari Cuma pingin belajar bareng Mbak. Mumpung Mbak masih disini. Mbak tahu kan menjadi penulis adalah impianku sejak kecil. Ayolah, Mbak! Please…”, dengan wajah polos dan memelasnya, Matahari meminta.
144 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n “Baiklah… Aku tidak keberatan kalau kau ikut. Tapi dengan satu syarat”. “Apa?”, tanyanya dengan antusias. “Kau harus berani menanggung apa pun risiko yang terjadi. Karena kau masih anak baru disini. Kau belum tahu banyak tentang kami dan bagaimana lika-liku perjalanan kami disini. Jadi, aku harap kau mematuhi semua kata-kataku jika kau ingin aman. Kau percaya kan dengan strategiku?”, “Siap, bozzzz!!!”, dengan mengangkat tangan ke kepala, persis seperti penghormatan pada sang saka Merah-Putih saat upacara bendera, Matahari menyatakan kesanggupannya. “Ok. Melati, Bougenvil, perkenalkan, ini Matahari. Dia siswi Senja kelas satu, satu kamar denganku.”, Mawar mengenalkan. “Hello…”, sapa Melati dan Bougenvil. “Hai… senang bertemu Mbak”, balas Matahari. “Baiklah. Sekarang kita mulai saja belajarnya. Sebelum malam terlalu larut”, lanjut Mawar. Tiba-tiba… “Aaaaaaaaaaaggggghhhhhhhhhhh…………… MATI LAMPU”, teriak mereka serempak.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 145
“Tenang, aku bawa lilin”, kata Matahari sambil mengambil lilin dari kantongnya dan menyalakan perlahan. Jadilah mereka belajar dibawah cahaya temaram sang lilin. Meski sebenarnya mereka tahu, bahwa itu bukanlah mati lampu. Tapi setiap jam sebelas malam keatas, listrik di Al Hikmah 2 memang sengaja dimatikan. Hal ini dilakukan agar tidak ada lagi aktivitas yang berlangsung diatas jam sebelas. Karena biasanya banyak santri kesiangan kalau tidur larut malam. Lain soal bagi pemikiran seorang Mawar. Ia justru sengaja memilih tempat yang jauh dari jangkauan pengurus agar aktivitasnya tidak digrebeg dan dibubarkan. Tak peduli cahaya lilin atau listrik, yang penting anak-anaknya _Melati, Bougenvil, dan Matahari_ bisa mendapat bekal sebelum ia benar-benar pergi dari kehidupan M2Net. Ia terpaksa memilih cara ini, karena tidak ada jalan lain. Hanya diatas jam 10 malamlah, mereka memiliki waktu untuk berkumpul. Karena disiang hari, semua sibuk dengan rutinitas masing-masing. Beruntung, anak-anaknya mengerti dengan strategi Mawar. Sobat, masihkah Anda disana? Apa yang Anda pikirkan setelah membaca kisah diatas? Masihkah Anda seperti orang-orang awam yang hanya bisa ber-negative thinking pada M2Net?
146 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Berjuanglah, Tripel Super Girls! “Haduh!! Rupanya kalian ngumpet dibawah tangga? Padahal aku mencari kalian kemana-mana. Ayo, cepat berangkat. Sebelum malam terlalu larut. Ini sudah kubelikan aneka jajan, barangkali kalian lapar nanti malam”, si Super Smart yang sedari tadi mencari dua kawan juangnya, akhirnya menemukan mereka sedang meringkuk ngantuk dibawah tangga serambi masjid Al Hikmah 2. Dengan langkah mengendap-endap, Super Smart, Super Cute, dan Super Nice menuju Lab. Komputer yang berada di lantai 2 gedung Senja. Kenapa mengendap-endap? Karena jika pengurus Al Hikmah 2 tahu, tentu saja Tripel Super Girls ini akan tertangkap. Bagaimana tidak, wong mereka kesana diatas jam 10 malam! Berbekal sekantong cemilan ditangan kanan, mereka siap lembur merombak website Senja sesuai dengan rencana mereka. Setumpuk kertas kiriman berita dan tetek-bengeknya yang berhasil terkumpul dari anggota lainnya pun tergenggam di tangan kiri. Target yang harus mereka capai terlampau banyak. Minimal 90 berita aktual tentang sekolah dan pondok, 10 artikel, 10 wawancara, 5 editorial, 15 riview buku, 20 tahukah kamu, 10 ringkasan mapel untuk virtual class. Selain content, mereka juga meramaikan fasilitas baru dalam website seperti forum dan jejaring sosial Senja. Satu lagi, galeri
Siti Dzarfah Maesaroh
| 147
foto, yang proses pembuatannya melibatkan puluhan model dari siswasiswi Senja. Hmmm… Cukup mengasyikkan! Tanpa ragu sedikit pun, dengan mata lirik kiri kanan, berjaga-jaga bila ada mata-mata, mereka melangkahkan kaki dengan pasti. Tak peduli rasa kantuk yang mengganduli, juga letihnya jiwa raga setelah beraktivitas seharian. Mereka kobarkan api semangat membara yang tak kan padam oleh siraman letihnya keringat perjuangan. Ya, semua itu mereka lakukan demi satu tujuan. Melakukan yang terbaik untuk menjadi yang terbaik dalam Lomba Website Tingkat SLTA Se-Indonesia. Lomba ini diadakan setahun sekali oleh Amikom Yogyakarta. “Aaaghhh……….uuughhh….aaagghhhh…. ngantuk sekali. Aku istirahat dulu ya…”, pinta Super Nice yang mukanya benar-benar sudah lusuh seperti baju belum disetrika. “Aaaaghhh… aku juga. Blekkk.”, disusul Super Cute yang merebahkan tubuhnya ke meja komputer yang sedang ia pakai. “Waduh.. sudah hampir jam 1 malam, pantas saja mereka kelelahan”, ucap Super Smart pada diri sendiri. “Ya sudah lah, aku akan lanjutkan sampai jam 3 pagi. Aneh, ya. Mereka sudah terlelap tapi kenapa diriku belum ngantuk sama sekali? Hmm… Super Nice, Super Cute, tidurlah yang nyenyak ya, nanti kalau aku
148 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n sudah selesai, akan kubangunkan kalian untuk pindah. Atau mau pindah ke ruang sebelah sekarang?”, sambil mematikan PC yang dipakai mereka berdua, Super Smart bertanya sendiri, karena sebenarnya mereka memang sudah menutup mata. “Oalah…
benar-benar
sudah
tidur,
rupanya”,
gerutunya
sendirian. Wah… nggak kebayang deh! Betapa letihnya Tim Sukses Lomba Amikom ini. Mending kalau itu hanya berlangsung semalam. Lha mereka sampai seminggu. Benar-benar wanita super, ya? Eitzzz!! Itu semua belum seberapa lho.. dibanding perjuangan si Super Gembul But Handsomeyang mati-matian pindah server, memecah belah web, memindah semua data satu per satu, sampai mendesain hingga tampilan utama sebagus itu. Sayang,,, banyak orang yang salah mengartikan perjuangan mereka. Terlebih setelah mereka tahu bahwa Tripel Super Girls lembur dan tidur di Senja. Apa kata mereka, tahu nggak? Cie.. sekarang kalian punya markas baru, ya? Kapan ni kita juga diajak menginap disana? Hati siapa yang nggak sakit kalau disindir demikian, kawan? Setebal-tebalnya telinga juga tetap memerah ketika mendengarnya berulang kali, bukan?
Siti Dzarfah Maesaroh
| 149
Tapi beruntung Tripel Super Girls itu sudah kebal dan bebal dengan semua itu. Biarkan saja. Mereka berkata begitu karena mereka tidak tahu apa yang kita lakukan sebenarnya. Semoga saja mereka diampuni. Bagus! Kalian benar, Super Girls!. Ayo, terus berjuanglah! Yakinlah bahwa semua itu tidak akan sia-sia!
150 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Dua Kemenangan Berturut “Mei-Mei, kita dapet undangan dari Amikom ni”, seraya menunjukan surat undangan hasil print out kiriman fax, wajah Devi _PU M2Net_ berbinar mengabarkan hal itu pada Mei-Mei dikamar Kancil sore itu. “Undangan, apa?”, tanya Mei-Mei penasaran. “Sepertinya acara penyerahan hadiah untuk pemenang lomba website”, sambil membaca ulang undangan itu. “Benarkah? Apa itu artinya….”, Mei-Mei mencoba menerka. Ya, inilah satu titik terang akan hasil perjuangan tim sukses Tripel Super Girls. Memang benar, Allah Maha Adil. Tak ada satu pekerjaan pun yang akan sia-sia dimata-Nya. Termasuk seluruh kerja keras M2Net selama ini. Meski belum pasti juara berapa yang akan mereka dapat, setidaknya info panitia sudah menjamin. Karena undangan hanya disebar untuk para pemenang. Tanpa membuang waktu lagi, malam harinya Mei-Mei (Pemred yang baru saja mengundurkan diri) dan Devi mengurus perizinan untuk keberangkatan mereka ke gedung Amikom Yogyakarta besok siang. Sayangnya, pihak sekolah seolah belum mau peduli. Atau mungkin memang masih menutup hati pada M2Net. Turut gembira
Siti Dzarfah Maesaroh
| 151
memang iya, tapi Senja tidak menyatakan tanggung jawabnya akan keberangkatan Mei-Mei dan Devi yang sejatinya mereka adalah pejuang Senja. Tak ada rotan, akar pun jadi.Barangkali peribahasa itu tepat untuk mereka. Tak dapat diantar langsung oleh mobil sekolah, mereka pun nekat berangkat dengan angkutan umum. “Wis, ngalaho! Sopo ngerti sing ngalah malah justru menang tenanan. Wis ra popo sekolah ra peduli. Sing penting judule awakmu do tekan Jogja. Mengko nek wis kabukti, pesti iki bakal diganti. Percoyo’o karo aku”, begitu pesan bijak Bu Opah sesaat sebelum mereka pergi. Bus Patas jurusan Purwokerto-Yogyakarta pun melaju membawa dua pejuang M2Net sejak jam setengah dua siang. Sebelumnya mereka sudah oper bus 4 kali, 2 kali lipat dari biasanya, karena 2 bus yang ditumpangi sebelumnya mogok ditengah jalan. Berbekal sepasang pakaian yang akan mereka kenakan untuk menghadiri undangan besok pagi, mereka lanjutkan perjalanan meski perut kosong sejak tadi pagi. Boro-boro ingat makan, mandi saja mereka lupa. Saking semangatnya menjemput kemenangan… “Dan inilah pemenang lomba website sekolah tingkat SLTA seIndonesia. Juara kedua dimenangkan oleh Sekolah Ngaji OK Aja atau yang lebih dikenal dengan Senja dari desa Benda, kecamatan Wualet,
152 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Kabupaten Violet,,, silahkan perwakilannya maju ke depan…”, gemuruh tepuk tangan terus mengiringi pembacaan pengumuman ini oleh MC di ruang Citra Amikom Yogyakarta. Tepuk tangan semakin mengeras ketika Mei-Mei dan Devi mulai beranjak dari tempat duduknya dan maju ke depan untuk menerima hadiah. Semua mata mengarah pada mereka berdua. Sorotan kamera yang langsung terhubung pada dua layar lebar pun terpampang jelas di depan. Barang kali mereka merasa aneh dengan penampilan Mei-Mei dan Devi yang memakai seragam sekolah lengkap berjilbab rapat. Karena tamu yang hadir adalah pejabat struktural Amikom, para dosen dan mahasiswa, serta para peserta lomba, tentu mereka berpakaian ala kota, bukan ala pesantren seperti yang dikenakan perwakilan Senja. Acuh dengan tatapan ratusan bola mata, keduanya terus melangkah ke depan tanpa tolah-toleh kanan kiri. “Ok. Kami ucapkan selamat untuk Senja, dan hati-hati membawa pulang hadiahnya, ya. Karena perwakilannya ini dua bidadari cantik, takutnya dijambret ditengah jalan kalau tidak dikawal”, ledek si MC. Bukan hanya Laptop dan uang 500 ribu, sebuah plakat, satu tas buku bacaan tentang IT, dan seperangkat perlengkapan laptop juga berhasil mereka genggam..
Siti Dzarfah Maesaroh
| 153
“ALHAMDULILLAH….”, rupanya anak-anak Senja yang sedang PPK di Yogyakarta diam-diam turut menyaksikan kemenangan ini. Sejumlah alumni yang kini masih melanjutkan studinya di sana pun hadir meski hanya untuk mengucapkan selamat. Ternyata apa yang Bu Opah katakan memang benar. Terlepas dari kemenangan Amikom, persis sebulan jaraknya, Senja kembali menyabet juara tingkat nasional. Bahkan lebih dahsyat dari Amikom. Ya, sekali lahi M2Net berjasa dalam kemenangan yang diraih Senja sebagai Juara pertama lomba Open Source Gunadarma seIndonesia. Pengambilan hadiah diwakili oleh Jarjit Sigh di Jakarta. Inilah titik balik sejarah M2Net. Dari tak dikenal menjadi terkenal. Dari terhinakan menjadi termuliakan. Dari dicemooh menjadi dipuji. Dari numpang sana sini kini punya ruang sendiri. Dari tersingkir menjadi bahan rebutan. Dari memberitakan menjadi diberitakan. Dari hancur menjadi kokoh kembali. Dari tak diakui, kini menjadi resmi. Ya, karena dua kemenangan tadi adalah bukti bahwa selama ini anggapan miring mereka tentang M2Net, salah besar!!!!
154 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
M2Net, Sungguh Beruntung Siapa bisa mengira nasib seseorang. Tidak selamanya apa yang kita lihat dari kasat mata itu benar. Tidak selamanya orang besar lahir dari bangsawan, keturunan priyayi, atau pun darah biru seperti banyak disebut orang. Tidak selamanya keberhasilan berpihak pada mereka yang berkuasa.
Juga
tidak
selamanya
kegagalan,
keterpurukan,
dan
kehancuran, menjadi nasib wong cilik yang tidak berdaya. Tidak kurang ribuan bahkan jutaan potret orang sukses di dunia yang bermula dari kegagalan mereka. Sebut saja Billi P.S. Lim. Penulis buku Berani Gagal yang kini tercatat sebagai salah satu orang sukses justru karena ia membeberkan kegagalannya. Buku yang mengupas habis perjalanan hidup nan peluh, terjatuh, terpuruk, bangkit, jatuh lagi, terpuruk lagi, begitu seterusnya, hingga kini ia menjadi orang besar dan dikenal dunia sebagai trainer kelas Internasional. Tak lain dan tak bukan ialah karena kegagalannya yang menjadi pelajaran amat berharga. Bukan hanya bagi dirinya namun bagi jutaan orang di dunia. Ya, ia spontan naik daun setelah buku tentang kegagalannya itu terjual jutaan copy bahkan menjadi best seller Internasional. Tak perlu jauh-jauh, bila ingin bercermin. M2Net, barangkali tak asing lagi di pendengaran Anda. Lembaga Informasi Malhikdua ini pun
Siti Dzarfah Maesaroh
| 155
pernah sukses menaklukan kegagalannya. Lahir dalam keadaan serba kekurangan, merangkak dengan segala keterbatasan, dan tumbuh dalam keterpurukan. Bahkan sepanjang perjalanan hidupnya (yang kini sudah berusia 4 generasi), jantung M2Net tak pernah berdegup dengan tenang. Napasnya selalu tersengal-sengal dan dihantui problematika yang kian memburu kematiannya. Tiga tahun lalu, M2Net bangkit dari kegagalan eksisnya generasi pertama. Ramadhan, tepatnya. Berawal dari inisiatif Mas Novi, outsider Malhikdua yang tak pernah putus asa tuk menyambung napas M2Net hingga detik ini, untuk pertama kalinya generasi M2Net mengalami revolusi. Alih tangan dari para Crew Child _yang tercatat sebagai generasi pertama M2Net_ ke tangan para siswa, memang bukan hal yang mudah. Tidak hanya merombak menejemen, melakukan perekrutan ulang, dan mengadakan berbagai pelatihan untuk generasi baru, namun juga membutuhkan konsekuensi akan apapun yang terjadi. Masih terekam jelas dalam memori, bagaimana perjuagan Mas Nov dan Pak Ishack dalam membentuk generasi 2. Terpaksa curi-curi waktu sehabis pengajian sentral guna memberikan bekal seputar dunia blog dan web pada mereka yang terpilih untuk melanjutkan riwayat M2Net. Posting hingga jam 1 malam sehabis pasaran Ramadahan (karena
156 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n pasarannya kadang sampai jam 11), dan pernah kalah dalam lomba blog nasional untuk pertama kali. Juga masih hangat dalam ingatan, bagaimana pedihnya bloggerblogger Malhikdua dicap sebagai pendusta. Hanya karena kegagalan film Laskar Pelangi untuk diputar saat Launching T-GER.Net. Bukan kesalahan mereka, sejatinya. Mereka sudah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan yang terbaik, namun agaknya tertipunya panitia dengan CD Film yang dipesan hanya berisi lagu, tak termaafkan oleh para penonton. Hingga kini nyawa T-GER.Net tak mampu bertahan lagi. Itulah sekelumit tragedi 1 Januari 2009. Masih ada lagi. Perjuangan generasi 3 untuk mempertahankan kembang kempisnya jantung M2Net, hingga denyut nadi terakhir. Siapa yang tidak angkat topi pada mereka, bila mendengar ceritanya. Tidak diketahui banyak orang memang. Bagaimana 4 pejuang M2Net yang tersisa dari 50 anggota yang mundur, mati-matian belajar jurnalistik dan dunia organisasi dibawah temaram lilin. Mereka sengaja mengendapendap dan memilih ruang kelas kosong diatas asrama. Proses belajar pun berlangsung setelah pengajian sentral ditutup Hidzib Syakron dan Al Mulk. Semua dilakukan tanpa setitik nila pun dihati mereka. Satu lagi perjuangan yang benar-benar berarti. Kisah tim sukses lomba web tingkat nasional tahun lalu, dimotori oleh tiga pejuang putri yang benar-benar pemberani. Segala trik dan strategi yang tersusun rapi,
Siti Dzarfah Maesaroh
| 157
mereka jalankan dengan sepenuh hati. Tak peduli letih, takut dita’zir, aneka cibiran atau pun terganggunya agenda yang ada, mereka beroperasi selama seminggu setiap habis sentral. Ya, mereka berangkat ke markas yang posisinya di lantai 2 gedung Aliyah, diatas jam 10 malam dan selalu pulang sebelum jam 6 pagi. Target yang dikejar tak lain ialah Malhikdua, Juara. Kalau masih mau menguraikan, barangkali satu buku pun tak cukup untuk menceritakannya. Namun, semoga apa yang tertulis diatas cukup menjadi bukti bahwa M2Net tidak pernah main-main dalam segala hal. M2Net tidak pernah gentar mengahadapi cobaan. M2Net tidak pernah sampai pada kata “Putus Asa”, meski bertubi-tubi badai menerpa. Bukan mudah meniti langkah ke angkasa Bukan mudah mengubah mimpi jadi asa pasti Apa pun jua bisa terbukti Andai langkahmu tidak terhenti ……. (Theme song Akademi Fantasi Indosiar) Al hasil, dua kemenangan besar Malhikdua dalam kurun waktu sebulan. Juara 2 Lomba Website SLTA Tingkat Nasional dan Juara 1 Lomba IOSA Tingkat Nasional berhasil disabet M2Net untuk Malhikdua.
158 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Namun, itukah yang disebut kesuksesan sejati? Seandainya M2Net tidak berhasil menjuarai semua itu, apakah itu disebut kegagalan? Hmmm… pertanyaan bagus. Tentu saja apa yang sudah M2Net raih selama ini bukanlah kesuksesan sejati. Itu hanyalah sebentuk bonus sebagai wujud penghargaan pada M2Net yang telah bekerja keras. Kesuksesan yang sejati justru ada pada proses pencapaian bonus itu. Ketika M2Net bangkit dari kegagalan, ketika M2Net bertahan dari berbagai terpaan, ketika M2Net berani mati melawan deraan, dan ketika M2Net tegak berdiri dari cobaan yang silih berganti, itulah yang dinamakan kesuksesan sejati. Ombak laut dan angin ribut menyebabkan pelayar sukses melaut dan tidak mudah mabuk. Tak ubahnya dengan layang-layang yang terbang tinggi dengan menentang angin dan bukan mengikutinya. Tentu Anda tahu, pelangi hanya bisa dilihat setelah turun hujan. Begitupun kegelapan yang memang diperlukan untuk melahirkan bintang. Ingatlah, berlian menjadi berharga setelah melalui proses yang keras. Demikian juga emas yang semakin murni bila dilebur dalam bara api yang semakin panas. Satu perumpamaan lagi, bunga perlu diperah sebelum menjadi minyak wangi. “Kepuasan terletak pada usaha, bukan pada hasil. Usaha dengan keras adalah kemenangan yang hakiki”, wasiat MahatmaGandhi.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 159
Begitu juga dengan M2Net. Segala ujian yang datang memang seharusnya menjadi titik acuan agar M2Net melakukan dan menjadi yang terbaik untuk Malhikdua. Kini, bukan hanya kemenangan yang telah digenggam. Namun, hidup M2Net seolah lebih terjamin masa depannya, dengan terus bertambahnya jumlah pejuang yang akan melanjutkan riwayatnya. Satu hal yang lebih berharga, terbitnya buku-buku M2Net yang tak lain ialah karya putra-putri Malhikdua, menjadi bukti sejarah kegagalan demi kegagalan M2Net yang berbuah manis sekali. Tentu hal ini sebagai wujud kepercayaan M2Net bahwa, “Agar hidup tidak dilupakan bila telah mati dan busuk, tulislah sesuatu yang bermanfaat untuk dibaca atau buatlah sesuatu yang bermanfaat untuk ditulis”. Ujian seseorang ialah perjuangan yang ia perjuangkan Ketabahan yang ditunjukan setiap hari Bagaimana ia berdiri tegak dan tabah Menghadapi goncangan dan penderitaan yang sudah menjadi takdir Pengecut pun dapat tersenyum bila Ketika tidak ada rintangan Namun lelaki sejati harus sanggup menerima keadaan Manakala orang lain berlagak sebagai bintang
160 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Bukan kemenangan yang penting Tetapi perjuangan yang diperjuangkan seseorang Orang yang, bila terjepit dan terpaksa Masih mampu berdiri tegak dan tabah menghadapi Cobaan dan tak takdir dengan bangga Meski berdarah, pucat, dan benjol Dialah orang yang akan sukses diakhir hayatnya Karena dialah orang yang berani gagal Ya, apa yang dikatakan Billi diatas memang benar. Tidak selayaknya M2Net menjadi pecundang. Tidak seharusnya M2Net masih dipandang sebelah mata dan dilecehkan. Justru M2Net sungguh sangat beruntung, karena ia terpilih sebagai salah satu lembaga yang pernah gagal, hancur, bahkan mati, namun berhasil bangkit dan membuat semua orang tersenyum kembali. Ya, M2Net sungguh beruntung. Sobat, Bila ada keluarga terhebat, itulah M2Net Bila ada pejuang tertangguh, dialah pejuang M2Net Bila ada pelajaran paling berharga, itu di dapat dari M2Net Bila ada pengalaman terindah, itu dialami di M2Net Bila ada tragedi terdahsyat, itu terjadi di M2Net Bila ada kisah tak terlupakan, itulah KISAH DUA DUNIA M2NET
Siti Dzarfah Maesaroh
| 161
+++ Setelah berkelana jauh menyusuri dua dunia M2Net, kini kembali saya mengajak Anda berpetualang ke dunia broadcasting. Dunia yang sempat terputus saat berpindah ke planet Al Hikmah, kini terjamah kembali. Sungguh tak mengira, sebaris do’a yang dulu pernah terucap sebelum
162 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n saya beranjak selamanya dari Garuda, bila saya ditakdirkan untuk menjadi broadcaster lagi, Insyaallah saya bisa masuk dunia radio lagi, kini benar-benar terwujud.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 163
Sekali di Udara Tetap di Udara Sebuah
kesempatan
yang
terbilang
langka.
Sebuah
keberuntungan yang tak ternilai dengan harta. Sebuah tantangan baru yang akan mendobrak kembali nama Damae Wardani. Sebuah moment yang kan mencetak sejarah baru dalam putaran roda kehidupan. Terlebih, sebuah bukti “man jadda wajada” yang pernah saya singgung sebelumnya. Itulah, kembali mengudaranya nama ‘Damae Wardani. Dari Graha Media Pon. Pes Al Hikmah 2, 101.8 Tsania FM Satu Suara, Milik Bersama Assalamu’alaikum warohmatulloh wabarokatuh, Salam Damae, salam sejahtera Selamat sore sahabat Tsania Senang sekali, sore hari ini Damae bisa kembali mengudara diruang dengar Sahabat semua di edisi 11 November 2010, dalam acara yang sangat ditunggu-tunggu tentunya, apalagi kalau bukan acara channel ini, karena setelah tembang yang satu ini Damae akan kembali lagi. Yuk, kita dengarkan sejenak senandung Opick ft. Amanda dalam album Semesta Bertasbih, dengan salah satu lagu andalannya ‘Satu Rindu’. Damae, will be back.
164 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Demikian salah satu ocehan saya bila sudah masuk ruang siaran. Tak ada lagi rasa nervous atau pun takut salah. Tak ada darah penyiar memang yang mengalir dalam tubuh saya, tapi belajar secara otodidak dan berbekal sedikit pengalaman semasa di Garuda, cukup bagi saya untuk memantapkan langkah menjadi seorang penyiar. Kesempatan kali ini lumayan lama. Satu tahun kurang lebihnya saya disana. Selama itu pula saya berkesempatan memperoleh pelatihan broadcasting langsung di sebuah radio Islami yang berstudio di dalam menara Asmaul Husna, Masjid Agung Semarang. Berkesempatan memiliki banyak followers dan fans yang satu per satunya bahkan saya tak tahu persis siapa dan dari mana mereka berasal. Berkesempatan dikenal oleh orang-orang besar yang sama sekali tak pernah ada dalam lintas pikiran. Abah Masruri (Pengasuh pesantren), Abah Mukhlas (Pejabat Struktural Pesantren), juga keluarga besar Pemilik Pesantren yang tak semua santri bisa dengan mudah dikenali. Tak hanya itu, saya bahkan berkesempatan menjadi announcer dalam event-event spesial yang disajikan dalam format ‘Bincang-Bincang Eksklusif Tsania’. Bintang tamu yang dihadirkan pun tak tanggungtanggung, dari kalangan ulama, menteri dan sederet pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat lainnya yang benar-benar memegang peranan saat itu. Sebut saja Prof. Dr. H. M. Nuh, Mendiknas yang masih menjabat hingga detik ini. Atau Ketua GP Anshor Indonesia yang dua tahun lalu baru terpilih dalam sebuah kongres GP Anshor di Surabaya. Juga ketua
Siti Dzarfah Maesaroh
| 165
Badan Pengembangan dan penelitian pesantren se-Indonesia, Wakil Gubernur Semarang, Bupati Brebes, Ketua SMA se-Brebes, dan sederet pakar kesehatan setempat yang diundang dalam season bincang-bincang kesehatan. Berikut saya sertakan petikan postingan seorang teman yang meliput salah satu acara “Bincang-Bincang Eksklusif Tsania FM”. (Apendix H) Event besar terakhir sebelum saya keluar dari sana, ialah “Central Java Radio Network Soft Launching”. Gabungan 6 radio besar dari 6 kota yang berbeda, meniti langkah awal untuk membangun kerjasama dan membangun ukhuwah dalam dunia broadcasting. Digawangi oleh Tsania FM sebagai tuan rumah, launching ini diselenggarakan oleh Mata Air FM Semarang, OZ Radio Bandung, GAUL FM Semarang, Yogyakarta FM, Fast FM Magelang, dan GESMA FM Solo. Tercatat hadir saat itu, wakil Gubernur Semarang, Ibu Rustriningsing. Ya, moment 1 Mei 2011 itulah detik penghujung kiprah saya di Tsania. Bukan karena dikeluarkan, melainkan kepindahan saya setelah menyelesaikan study disanalah yang memaksa saya untuk berhenti menyandang label Penyiar Tsania FM. Aneka kenangan di radio yang tak kan pernah terlupa, salah satunya ialah surprise guyuran air comberan plus cat hijau, ditabur tepung diaduk dengan telur, kumplit dan persis seperti adonan roti yang siap dipanggang. Kapan lagi kalau bukan moment ulang tahun terakhir
166 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n saya disana. Ulang tahun yang jatuh pada tanggal 13 bulan 3 tahun 2011 lalu, hitungan ke-18, kado spesial dari segenap kru benar-benar saya abadikan di palung hati yang terdalam. Ini dia cuplikan bukti otentik yang bisa Anda temukan dalam blog saya.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 167
Tangis Bahagia di Hari Jadiku Malang sekali nasib gadis itu. Barang kali itulah yang terlintas di pikiran pembaca saat melihat gambar yang lebih mirip korban Tsunami Jepang baru-baru ini. Badan berlumur cat dan penuh kotoran. Wajah memelas diliputi tangis penderitaan. Dengan kaki telanjang bersimpuh ditepi jalan. Tak seorang pun peduli, justru semua yang melihatnya tertawa bahagia. Bisa Anda bayangkan bagaimana rasanya ditimpuk telur mentah, disiram air cat seember, ditambah air sabun dan sisa kotoran cucian perabotan, ditaburi tepung, dan terakhir disemprot air kran. Persis adonan roti tinggal tambah gula dan mentega. Terus masukan ke dalam microwave, taburi ceres. Hmmm….Delicious!!! Ya, inilah kejailan Crew Radio Tsania FM yang menimpa gadis berkaca mata (Damae-red). “Kado special yang hanya sekali seumur hidup”, katanya. Benar memang. Ultahku tahun ini benar-benar penuh kejutan. Mulai dari kue tartspecial buatan teman-teman yang luluh lantah ditimpuk ke mukaku. Kado special dari Paman gembul. Foto-foto nue geulis nue kasep ala M2Net dari anak-anakku. Bros-Bros cantik dari teman belajar yang asli murni karya mereka sendiri. Hingga Penganiayaan
168 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n yang kuterima dari rekan-rekanku di Radio. Seperti yang sudah Anda baca pada paragraf sebelumnya. Beda sekali dengan ultah tahun lalu. Kalau ditanya apa yang kurasakan sekarang? Tentu, aku kan menjawab dengan senyum yang termanis dari lubuk hati. Dan kan kutakan bahwa aku bersyukur sekali. Meski aku harus relablepotan seperti yang Anda lihat, tapi itu semua kuanggap sebagai wujud kasih sayang, kepedulian, dan perhatian mereka padaku. Dan ultahku yang ke-18 ini benar-benar tak terlupakan. Untuk itulah, kuucapkan rasa terima kasih pada semua yang telah membuat ultahku menjadi moment paling spesial.Terima kasih yang dalamnya melebihi dalamnya samudra, melebihi luasnya angkasa, melebihi besarnya jagat raya. Bahkan hingga tak mampu kuuntai dengan kata. Terima kasih paman, anak-anakku di M2net, teman-teman seperjuangan, all crew Tsania FM. Dan yang tak dapat kusebut satu persatu. Terima kasih atas segalanya. Jazakumullah ahsanal jaza.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 169
Tenang! Belajar Tetap No. 1 Bagiku Menjalani peranan rangkap yang tak hanya ganda, dengan jatah waktu yang sama yakni hanya 24 jam sehari semalam, membuat saya terkadang memilih jalan pintas. Rangkap sebagai santri, siswi, aktivis organisasi, juga seorang wartawan dan penyiar, tak jarang memusingkan kepala dan membuat tubuh ringkih ini semakin tak berdaya. Namun, hidup adalah sebuah pilihan. Disitulah saya dituntut memilih yang terbaik, memilih yang paling tepat, dan memilih mana yang harus diprioritaskan. Pengorbanan jelas selalu ada di depan mata. Pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, materi, dan kawan-kawannya yang semakin terasa semakin berat saja. Sempat kena tegur bertubi-tubi dari beberapa guru lantaran nilai anjlok masal. Sempat disidang pengurus pondok berkali-kali lantaran sering pulang malam dari studio radio. Sempat dimarahi dan digunjing oleh beberapa Crew-Child lantaran sering lembur di ruang redaksi. Sering dikambinghitamkan teman-teman jika ada permasalahan yang berbau radio, M2Net, El Waha (majalah pesantren), IPS, dan sejenisnya. Sering terkena hukuman bila terlambat masuk sekolah dan ikut pembelajaran pesantren lantaran urusan lain. Dipusingkan pula dengan sederet jadwal organisasi yang acap kali tabrakan.
170 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Betapa tidak, dalam rentang waktu yang sama, saya memegang jabatan di lima organisasi yang berbeda. English Department Student, Organisasi Aktif Siswa Intra Sosial, ORDA Himpunan Santri Banyumas, Malhikdua Network, dan Majalah Pesantren. Ditambah pula organisasi kelas dan kamar. Bisa Anda bayangkan, bagaimana saya memenej waktu dan agar semua bisa berjalan sempurna ditengah-tengah padatnya jadwal dan ketatnya peraturan pesantren. Satu hal yang tak pernah saya abaikan, sepadat apa pun jadwal, seletih apa pun dalam setiap derap langkah yang teralun, tak pernah saya lupakan prestasi akademik di sekolah. Ini dia salah satu luapan nurani yang tercover dalam blog saya, lebih dari satu tahun lalu. (Apendix C)
Siti Dzarfah Maesaroh
| 171
Mimpi yang Berbicara Bila hari ini semua mimpi itu hanya sebatas khayalan Akan saya buktikan bahwa mimpi itu jembatan menuju kenyataan Dulu, menjadi seorang penulis hayalah impian yang sering saya cantumkan dalam buku diary mini. Menjadi seorang wartawan juga hanyalah ocehan waktu kecil, saat menonton tv bersama keluarga, saya bersorak jika ada presenter membawakan sebuah berita. Ibu, aku ingin jadi presenter, bu. Begitu bisik saya pada ibu. Tak ayal ketika ayah memutar-mutar channel di radio bututnya, terdengar suara seorang penyiar yang merdu dan enak sekali di dengar. Saya pun langsung berubah pikiran. Ah, jadi penyiar radio sepertinya lebih enak dari pada wartawan. Hmm.. Dasar anak kecil, masih sangat memiliki banyak ruang untuk bermimpi, berimajinasi, dan bermain dengan dunia khayal yang diciptakan sendiri. Nampaknya imajinasi yang menyentil-nyentil dikepala, tak berhenti sampai disitu. Pernah saya berkhayal menjadi seorang guru besar, meski kala itu tak tahu apa maknanya guru besar itu. Hal yang saya tahu, guru ialah pahlawan tanpa tanda jasa yang menjadi ujung tombak kecerdasan generasi penerus bangsa. Guru mengabdi sepenuh hati, sepenuh jiwa, sepenuh raga, dan sepenuh segala yang ia punya. Teringat guru-guru yang mengajar saya waktu TK, betapa memprihatinkannya
172 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n kehidupan mereka. Terlebih, guru-guru madin yang benar-benar murni berbagi ilmunya tentang segala yang mereka bisa. Bukan soal bila sejak adzan subuh selesai bergema, hingga adzan dhuhur hendak tiba, mereka menghabiskan waktu disawah. Satu-satunya lahan sumber rejeki mereka. Barulah sore hari mereka memakai pakaian rapi, sarung, dan peci, menuju kelas-kelas panggung yang sengaja dibuat untuk ditempati santri dari desa sekitar. Meski demikian sederhananya, mereka tak pernah mengeluh dan tak kenal putus asa. Saking terobsesinya, sempat beberapa kali saya meniru gaya guru. Mulai dari model baju sampai model rambut dan sepatu. Gaya bicara juga cara guru bersikap, saya imitasikan satu per satu. Tak sadar hingga dewasa berefek juga. Sampai terkadang bingung karena sejumlah pakaian yang saya miliki ternyata berbau resmi semua. Geli sendiri melihat perlakuan aneh ini. Meski begitu, bekas yang masih menempel hingga detik ini tentu bukanlah kesiaan belaka. Terbukti, jiwa seorang guru pun seolah merekat dan mendarah daging dalam tubuh mungil ini. Tak heran bila kebanyakan teman sangat mendukung 100 persen agar saya mau masuk fakultas pendidikan di universitas yang akan dituju selepas dewasa nanti. Seiring putaran mentari yang kian enggan tersenyum dari nurani, dunia semakin membukakan celah untuk mewujudkan titik-titik mmpi itu.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 173
Enam Buku Sebulan Untuk yang satu ini, tidak ditemukan liputan lengkapnya, memang. Acara launching buku yang statusnya masih ilegal saat itu digabung dengan acara Pengenalan IT Malhikdua bersama M2Net. Ramadhan tahun lalu, 1432 H, tepatnya. Ya, ke-enam buku yang berjudul Santri Katro, Dakwah KO;Pelangi-Pelangi Malhikdua; Siapa Bilang Anak IPS itu Buangan; Al Ma’un, Hidayah Justru Datang dari Turis; Serial Cerita Mbak Cantik;dan Celoteh Damae dalam Gado-Gado Pesantren; ialah buah tarian pena saya sejak kedua kaki menginjak bumi Al Hikmah. Gubahan ketiga blog dalam sebulan, di-launching-kan di pesantren Al Hikmah 2 tercinta dihadapan semua santri baru khususnya lingkungan Malhikdua. Sekalipun sampai detik ini saya belum bisa
merangkul hati
penerbit untuk bersedia melegalkan buku-buku itu, bukan halangan bagi saya untuk terus berkarya. Masih terngiang pesan Pak Agus Ahmad Safei, salah satu dosen Bahasa Indonesia yang sekarang sedang asyik menggeluti beberapa buah karyanya, “Tak peduli buku itu legal atau tidak, berhasil menuliskannya saja sudah sangat luar biasa. Jadi, teruslah berkarya.”
174 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Dan, buku autobiografi yang sekarang Anda baca ini adalah buku ilegal ke-7. Akankah jumlah itu terus berlanjut? Mampukah saya membuatnya legal dan berhasil dipublikasikan seutuhnya? Semoga.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 175
MC Terbaik Pun kabar ini, tak terpublikasikan langsung dan memang tidak diekspos oleh media pesantren. Selama dua tahun berturut, saya bertarung melawan MC kiriman terbaik dari masing-masing instansi yang ada di Al Hikmah 2. Selama itu pula, gadis yang selalu diingatkan untuk menambah porsi makan oleh kawan-kawan (saya, red), menjadi juara bertahan yang biasa disebut juara umum dalam kompetisi itu. Baik MC Formal, maupun nonformal. Jika kesempatan ditahun terakhir saya dapatkan, barangkali ada peluang mencetak angka ke-3. Namun, pihak panitia dan beberapa peserta sangat tidak menghendaki. Dengan lapang hati saya terima, dan siap memberikan mahkota pemenang pada juara umum berikutnya.
176 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Lilin pun Mulai Redup Ada masa kejayaan, ada pula saatnya masa suram. Setelah sederet penghargaan bisa saya genggam, tiba waktunya tubuh ini kelelahan. Ya, menjelang H-7 menuju UN, Ujian Nasional, saya tak mampu lagi berdiri diatas kedua kaki. Mata sayup, badan semakin kurus, panas terus meningkat derajatnya, sakit pun tak dapat ditutupi, tak dapat dihindari, tak dapat dielakkan lagi. Barangkali itu wujud pemberontakan tubuh yang selama ini sering saya abaikan. Saya paksa bergerak siang malam dengan perbandingan waktu istirahat yang sangat tidak seimbang. Saya putar terus kerja otak tanpa asupan bergizi dan mencukupi kebutuhannya. Saya peras dan peras lagi hingga segala benteng pertahanan pun tumbang. Tiga hari sebelum pertempuran akhir dalam Ujian Nasional, sudah menghabiskan beraneka macam obat dan beraneka dokter pula yang menangani. Namun, tubuh serasa masih belum bisa diajak kompromi. Ia tetap lemas terkulai. Berbaring diatas kasur lantai tipis butut yang sudah ditiduri ratusan kepala tiga tahun lamanya. Bantal putih yang lapuk dan pudar warnanya, menjadi alas kepala yang tarasa amat berat dan senut-senut tusukan jarum terasa disemua sisi.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 177
Bahkan, hingga malam terakhir persiapan UN, saya kembali pingsan dan dilarikan ke rumah sakit lagi. Itulah, masa redupnya lilin yang dulu terang bersinar. Itulah, masa dimana ujian double benar-benar saya rasakan. Itulah, masa dimana kepedulian kawan benar-benar saya rasakan. Masa dimana segala riuh dan derap-derap virus yang bersarang di tubuh ringkih ini berdisco ria dan seolah tutup mata juga telinga dengan rintihan yang terurai air mata. Beruntung, Allah yang Maha segalanya, tak pernah pergi meninggalkan saya sendiri. Sekalipun Ujian yang saya tempuh tak hanya berganda, ujian sekolah, ujian pesantren, ujian mental, fisik, psikis, materi, juga kesempatan, Allah tetap memberi jalan terindah untuk melewatinya satu per satu. Al hasil, perjuangan yang terseok-seok dan menguras air mata itu berakhir membahagiakan. Bahkan nilai UN pun masih bisa mengalahkan kawa-kawan yang sehat wal afiat, padahal tak sekalipun saya membuka buku selama mengikuti UN itu. Tak berhenti sampai disitu, rupanya. Seminggu setelah UN berakhir pun tubuh ini masih belum bisa bergerak maksimal. Justru berontaknya semakin menjadi. Tak hanya badan yang semakin tak berdaya, pikiran dan hati pun seolah lelah bertahan. Bertubi kecaman dari organisasi, keredaksian, radio, juga sekolah dan pesantren itu sendiri memberi tamparan yang amat sempurna untuk dinikmati dan diresapi.
178 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Hingga detik-detik menjelang tutupnya sejarah saya disana, saya beranjak dengan menahan sesak dada dan air mata.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 179
Menuju Pintu Keluar Planet Benar apa kata seorang alumni. Ketika baru masuk Al Hikmah, sehari emang serasa setahun. Tapi nanti ketika kaki hendak pergi selamanya dari sini, baru akan terasa betapa cepat waktu berputar. Ibarat kilatan cahaya yang hanya lewat saja bila kau tak mampu memanfaatkan keberadaanmu disini. Masih sangat lekat dalam ingatan, saat pertama kali ayah dan ibu mengantar pindahan dari Cilacap ke pesantren. Masih ingat saat bulan pertama meneteskan air mata, rindu ayah ibu dan keluarga. Masih jelas terasa saat-saat susahnya beradaptasi dan menempatkan diri dimana saya berdiri. Masih ingat perjuangan para pendiri blogger mengendapendap masuk basecamp demi sebuah cita-cita mulia. Masih sangat terasa saat-saat dihukum oleh pengurus lantaran terlambat jama’ah. Masih sangat tersimpan baik dalam memori ini betapa susahnya belajar mengafsahi kitab kuning dengan huruf pegon dan bahasa Jawa kuno. Betapa terkejutnya mendapati kemarahan abah Mukhlas saat santrisantrinya melakukan kekhilafan. Masih terekam pula betapa bahagianya dianugrahi berbagai penghargaan dari hasil jerih payah kesepuluh jemari ini untuk sekolah dan pesantren tercinta. Serasa baru kemarin sore, bertemu teman baru dari berbagai daerah yang tak pernah saya kenal sebelumnya. Rasanya baru kemarin,
180 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n saya beberes lemari, mengepaki barang-barang bawaan yang hanya beberapa helai baju muslimah dan kerudung serta sarung. Baru kemarin mengikuti masa orientasi siswa dan santri baru di sebuah pesantren yang terkenal paling besar di Jawa Tengah. Baru kemarin, saya memakai seragam putih abu-abu yang besarnya hampir menyamai jubah Abah. Ah..benar-benar serasa baru kemarin semua hal yang serba baru itu saya rasakan. Sekarang, tinggal hitungan hari lagi, semua akan berakhir. Sejarah di planet Al Hikmah akan segera di tutup lantaran habisnya masa tenggang. Cepat sekali dunia ini berputar. Serasa singgah sementara di kedai es kelapa tepi jalan, sekedar melepas dahaga dalam perjalanan. Ya, hanya sesingkat itulah saya gambarkan goresan sejarah di Al Hikmah. Usai segala ujian yang harus dihadapi oleh kelas akhir, baik ujian nasional, ujian sekolah, ujian pesantren, ujian TOEFL, ujian praktikum, dan sederet ujian lainnya, mereka bersatu padu membentuk panitia perpisahan untuk sekolah dan pondok yang akan diselenggarakan sebulan lagi. Bulan Mei, tanggal 17 tepatnya. Baik MAK, MAU, maupun Emmercy yang sejatinya saling bertolak belakang dalam segala hal, kini bersatu padu dan menyisihkan perbedaan demi sebuah persembahan terakhir dalam moment terakhir yang akan menutup pelepasan siswa siswi kelas akhir nanti.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 181
Banyaknya santri, banyaknya organisasi, banyaknya kegiatan sosial yang ada disana, turut menjadi fator utama banyaknya acara perpisahan yang digelar. Mulai dari perpisahan OSIS, perpisahan OASIS (Organisasinya anak IPS), perpisahan EDS, perpisahan bersama kru radio, kru majalah dan website pondok, perpisahan M2Net (tim pengembangan website sekolah), perpisahan tim PKL (Praktik Kerja Lapangan) di Yogyakarta, perpisahan bersama anak-anak saya di asrama Al Husein, perpisahan sekolah, hingga perpisahan terbesar di pesantren yang lebih dikenal dengan istilah Haflatut Taudi. Bisa Anda bayangkan betapa besar bengkaknya mata setelah tak pernah tidur setiap malam ditambah tangisan yang pasti mengalir disetiap perpisahan. Berturut setiap hari, semakin menambah wajah duka dan murungnya. Tapi sekali kali ini bukanlah akhir dari segalanya. Sudah jadi hakikat kalau ada pertemuan pasti ada perpisahan. Namun, satu hal yang lebih pasti, pisah hanyalah untuk raga, karena jiwa tetap bersatu, jiwa tetap berpadu dalam naungan alumni Al Hikmah 2.
182 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Selamat Tinggal, Al Hikmah Tercinta Hingga, penutupan sejarah itu benar-benar terjadi. Hari itu, saya lupa persis tanggalnya, tapi seingat saya pertengahan bulan Juni. Setelah semua Pengajian kitab Abah khatam, pengumuman pulang pun sudah tak lagi diragukan. Sudah saya persiapkan jauh-jauh hari segala barang yang akan dibawa pulang dengan menyewa sebuah mobil APV untuk mengangkutnya. Serasa berat meninggalkan Al Hikmah. Mengangis batin yang tertahan hanya bisa sesekali saya hembuskan dari napas demi napas yang keluar di detk-detik terakhir disana. Teringat bagaimana nasib M2Net selanjutnya. Selama ini mereka selalu bersandar pada saya dalam segala hal. Mereka bukan hanya keluarga namun sudah seperti anak sendiri bagi saya. Teringat bagaimana nasib radio setelah saya pergi nanti. Kabar terakhir yang terdengar, radio semakin memprihatinkan. Teringat nasib EDS, OASIS, Malhikdua, juga Pesantren masa depan. Apa yang akan terjadi satu hari setelah saya pergi, sebulan, setahun, dua tahun, sepuluh tahun, atau lima puluh tahun lagi? Sungguh nalangsa rasanya. Sempat ditawari untuk bertahan disana, melanjutkan kuliah di universitas milik Al Hikmah sambil mengabdi sebagai tenaga pendidik, penyiar, pengelola website, juga majalah pondok, namun rasanya belum siap. Persimpangan jalan yang membingungkan. Satu sisi saya harus
Siti Dzarfah Maesaroh
| 183
pulang, malanjutkan rantau ke kota lain demi sebuah impian besar. Di sisi lain tawaran itu sebenarnya berat pula untuk diabaikan begitu saja. Hanya satu kenyakinan yang berbicara. Saya harus melanjutkan pencarian jati diri, pencarian ilmu, dan hakikat kehidupan. Tak cukup rasanya bila hanya menjelajahi Al Hikmah. Untuk itulah saya bertekad memilih pulang, seraya berbisik dalam hati bila memang ditakdirkan untuk kembali pasti ada saatnya jalan hidup ini berbelok arah lagi ke sana. Tanpa sadar, tetes demi tetes air mata membanjiri pipi. Tak sadar pula, APV sudah jauh melaju kencang meninggalkan gerbang Al Hikmah. Meninggalkan segala sejarah dan kenangan warna-warni kehidupan disana. Meninggalkan tawa, duka, bahagia, dan segala kisah yang pernah terjadi selama tiga tahun. Meninggalkan jejak-jejak prestasi yang pernah terukir. Meninggalkan segala peraturan.
Meninggalkan
perjuangan dalam mentaati semua
keluarga
besar
Al
Hikmah
tercinta.
Meninggalkan syurga ilmu yang tiada duanya. Meninggalkan mereka.. para santri yang sedang berjihad dalam memenuhi salah satu kewajiban manusia, ialah menuntut ilmu-Nya. Selamat tinggal, Al Hikmah Tercinta…
184 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Siti Dzarfah Maesaroh
| 185
186 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Pulang untuk Berperang
S
eperti dugaan sebelumnya, hanya ada ibu yang menyambut saat mobil berhenti di depan sebuah rumah. Berdinding keramik hijau daun menghadap ke selatan, persis berjarak satu
rumah dan satu pekarangan kosong dari mushola Al Ikhlas. Bukan karena keluarga tidak tahu kepulangan saya, melainkan karena hanya ibulah yang ada di rumah. Adik satu-satunya masih di Ciamis, tepatnya sebuah yayasan pesantren yang berdiri kokoh di desa Cijantung. Seutas senyum lembut nan tulus dari lubuk hati, terpancar dari raut wajah ibu yang mulai berkerut kulitnya. Betapa tidak. Perasaan haru, rindu, bahagia, juga sedih, bercampur jadi satu dalam pelukan hangat
Siti Dzarfah Maesaroh
| 187
yang lama tak saya rasakan. Diciumnya erat di kening juga kedua pipi ini, sembari menanyakan bagaimana kabar saya. Tanpa tanya panjang lebar, ibu langsung membantu mengangkat 3 tas dan 5 kardus bawaan saya dari bagasi mobil. Seraya riang menanyakan ini itu, menyiapkan minuman dan makanan kecil yang sengaja dibuat untuk saya. Benar-benar indah. Terakhir pulang ke rumah setahun lalu, membuat rasa rindu ini membuncah begitu saja. Nikmat sekali memakan masakan ibu lagi. Bila dipondok hanya bisa membeli nasi rames seharga 2 ribu perak, dirumah segala aneka makanan yang saya suka tinggal lep saja. Rindu terlentang diatas kasur berseprei putih, berhias bunga mawar yang tergambar lucu diatasnya. Rindu duduk di depan meja belajar yang dipenuhi tumpukan buku-buku SMP dan sederet buku bacaan tempo dulu. Rindu menonton TV yang tak pernah bisa saya dapatkan di pesantren. Rindu nyapu, ngepel, nyuci, dan bebersih seisi rumah tiap pagi dan sore. Rindu belanja di pasar Cisumur dan memasak bareng ibu. Ah..rindu.. Sayang, baru sehari melepas kerinduan, perjalanan menuju citacita itu semakin mendesak saya untuk langsung bergerak cepat. Jadilah sore berikutnya saya meluncur ke Bandung untuk berperang dalam perebutan kursi mahasiswa di salah satu universitas negeri Bandung. Ya, kereta meluncur cepat dari stasiun Gandrungmangu menuju Kiara Condong, tepat sesaat setelah adzan maghrib berkumandang. Kereta
188 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n ekonomi Serayu dengan tujuan akhir Jakarta ini benar-benar padat penumpang, lantaran musim liburan masih berselang. Tarif seharga 21.500 rupiah yang dikenakan untuk membeli tiket, serasa sangat mengecewakan karena hampir sepanjang perjalanan saya berdiri dan berdesakan dengan penumpang lain, pengamen, pedagang asongan, pencopet, juga _tidak dipungkiri_ penjambret yang wajahnya dipoles begitu natural. Disela desak-desakan itulah, saya mencoba memahami segala materi yang akan diujikan dalam SNMPTN dan SPMB beberapa hari lagi. Sekalipun disekolah dulu sudah digodog matang selama 5 bulan, rasanya pemantapan beberapa jam dikereta itu menjadi sangat penting dan sangat berharga. Itulah moment yang menyiratkan makna ketulusan dalam berjuang. Tak peduli kiri kanan memandang keheranan, karena dari sekian ratus penumpang yang bejubel di gerbong-gerbong kereta, barangkali hanya saya yang memegang, membuka, dan membaca buku. Lewat dari tengah malam, lupa tepat jamnya, ketika kereta berhenti di stasiun Kircon (sapaan akrab untuk Kiara Condong), angin Bandung membelai mesra dan siap tuk menjadi saksi perjuangan saya disini. Selama 3 hari, dengan selang waktu jeda 1 minggu, saya mengikuti tes SNMPTN yang bertempat di SMA Cikutra dan tes SPMB yang saya pilih tempatnya di UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 189
Medan pertempuran yang benar-benar mendebarkan. Ujian pertama berjalan mulus namun harap-harap cemas dengan hasilnya. Sedang ujian kedua sedikit rekol, berbekal segelas susu dan segenggam keyakinan, saya duduk menjawab 250 soal selama kurang dari 4 jam nonstop. Beraneka soal yang disajikan, dan sangat diluar dugaan saya bahwa apa yang dikemas dalam pertarungan itu kuncinya berada di pemenejan waktu dan kecerdasan menggelitik titik-titik soal. Berakhir keduanya, bukan berarti berakhir pula tersengalsengalnya napas pertempuran. Justru inilah masa-masa penantian berjargon ‘harap-harap cemas’ yang mampu menyedot benteng pertahanan iman dan spontan membuat saya lebih khusyu’ juga rajin memelas pada-Nya. Ya, bukan hal asing, memang. Barangkali hampir dialami semua insan, mendekat pada-Nya saat kita butuh. Semoga mampu mempertahankan, bukan hanya sesaat itu saja.
190 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Pare, I’m Coming Tak tahan diam menunggu hasil, saya berinisiatif melancong ke ‘Kampoeng Inggris’ yang terkenal dengan sebutan ‘Pare’. Memang sudah impian sejak 2 tahun lalu, bisa belajar bahasa Inggris langsung dari daerah yang _tanpa sengaja_ dikhususkan untuk mempelajarinya. Sepertinya seru. Bahkan keluaran Pare diakui dan tak diragukan lagi kelihaiannya dalam berbahasa. Sempat terjadi tarik ulur deal or no deal dalam pengambilan keputusan. Bukan hanya soal bekal materi, tapi juga bekal mental dan keberanian untuk merantau ke daerah yang belum pernah saya singgahi sebelumnya. Beruntung, ayah menyanggupi dan mengizinkan saya pergi. Dengan pertimbangan, kesempatan sebulan sebelum kuliah, sayang bila disiakan. Sekaligus menjadi penyempurnaan english learning di English Specification yang pernah saya terima di Malhikdua. Hitung-hitung mengenal dunia mahasiswa sebelum benar-benar mengalaminya. Meski banyak yang terheran-heran. Dikala teman-teman berlibur dan sebagian berpusing ria untuk melanjutkan studi mereka, saya justru menjadi bolang di negri petualang. Diputuskannya pergi kesana, mau tidak mau saya harus mencari link yang bisa menjadi guide saya disana. Bukan sekedar men-share soal kehidupan di Pare, tapi juga mencarikan tempat course yang akan saya
Siti Dzarfah Maesaroh
| 191
masuki nanti. Kebetulan ada satu dua kawan seangkatan yang sudah lebih dulu mendarat disana. Senang bukan main mereka mendengar kedatangan saya. Bahkan mulai A sampai Z tentang segala yang saya perlukan disana, benar-benar mereka uruskan semuanya. Saya tinggal beli tiket dan berangkat. Masih minggu pertama di bulan Juli, kisaran tanggal 7, saya meluncur ke Pare dengan kereta Mutiara Selatan jurusan BandungSurabaya, berangkat jam 5 sore. Meski tiket bebas tempat duduk yang didapat dengan harga sama, meski harus rela berdiri beberapa jam dijalan, duduk dan ketiduran di restorasi, diusir dari satu gerbong ke gerbong lain, bahkan sempat dimarahi lantaran lantang lantung tidak jelas, padahal jelas-jelas saya menggenggam tiket yang sama dengan penumpang lainnya. Persetan dengan manusia-manusia kereta itu, saya turun di stasiun Jombang, setelah 13 jam lamanya di dalam kereta bisnis yang memiliki jadwal unik dalam penjualan tiket. Sedikit bernapas lega menghirup udara Jawa Timur kali pertama. Sekitar satu jam dari stasiun menuju kecamatan yang seluruh areanya sudah dipenuhi tempat kursus bahasa Inggris dan _sebagian kecil_ bahasa asing lainnya, cukup menaiki mini bus dan disambung becak pada pertigaan arah ke Pare. Beruntung, saya tak sendirian. Kedua kawan setia yang sudah lebih dulu mengenyam bangku kursusan Pare, rela menjemput di stasiun bahkan mengantar sampai depan asrama yang
192 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n sudah mereka pesankan untuk saya. Satu hal yang harus diwaspadai, berlagaklah seolah-olah bukan orang baru di Pare, begitu pesan kawan saya. Minimal ketahui rute tujuan meski belum pernah sama sekali menginjakan kaki disana. Jika tidak, bersiaplah untuk dikecoh oleh para tukang becak yang kurang atau bahkan tidak bertanggung jawab. Bukan hanya diputar-putar keliling Pare tanpa sepengetahuan Anda, tapi juga dimintai tarif yang tak terkira tingginya. Persis di depan asrama, saya disambut pemilik ‘The Elicost’ _begitu nama asramanya_ yang nampaknya sudah separuh baya. Dengan senyum ramah dan tulus, beliau menunjukan kamar yang akan saya tempati. Disanalah saya akan tinggal selama sebulan ke depan. Ya, sudah diurus semua oleh kedua rekan saya tadi untuk segala administrasi asrama maupun course di dua lembaga yang berbeda, dua program yang berbeda pula, namun dalam durasi yang sama, sebulan. Hasil rundingan _tanpa meja_ via telepon dan SMS yang saya lakukan sehari sebelum menaiki kereta bisnis menyebalkan tadi, diputuskan bahwa dua program berbeda di dua course yang berbeda pula ini jatuh pada El Fast untuk program grammar level 2 (BP2) dan program Speeking Step 2 di D’ Daffodils. Course pertama bisa ditemui di Jl. Anggrek, belokan pertigaan jalan utama Pare, bertanda panah Stikes Bhakti Mulia , lurus ke Timur sekitar 100 m. Sedang Daffodils, dari asrama
Siti Dzarfah Maesaroh
| 193
menuju arah barat lalu belok ke utara. Bisa dibilang ujung utaranya course yang ada disana. Sedikit cerita tentang Pare, saya dapat dari hasil wawancara dengan berbagai sumber disana. Tak hanya ke satu atau dua orang. Melainkan jawaban beraneka ini saya terima dari sebagian besar kenalan yang sudah mengakar disana. Bahkan orang asli sana _native Pare_ pun berpendapat yang tak jauh berbeda dengan narasumber lainnya. Konon, awal mula lahirnya BEC (Basic English Course) yang menjadi titik sejarah dikenalnya Pare sebagai Kampoeng Inggris (padahal lebih tepat disebut Kampoeng Tempat Kursus Bahasa Inggris), dilatarbelakangi sesuatu yang tak pernah terduga sebelumnya. Bermula dari datangnya 2 mahasiswa salah satu universitas Surabaya yang berniat menemui seorang kyai, alumni pesantren modern Gontor, Jawa Timur. Tentu saja bukan untuk mengkaji ilmu-ilmu keislaman layaknya sang kyai pelajari, melainkan belajar bahasa Inggris atau mungkin lebih tepatnya memperdalam lagi materi English yang telah mereka terima dari kampus. Kyai Yazid, begitu beliau akrab disapa. Menurut riwayat, beliau memang menguasai 16 bahasa asing. Tak salah rasanya jika dua mahasiswa tadi memilih beliau sebagai dosen privat di luar perkuliahan formal. Tidak berapa lama setelah beliau mengasah bahasa mereka di Pare, domisili kyai Yazid beserta istri, terdengar kabar bahwa mereka mendapat nilai ‘Mumtaz’ untuk ujian mata kuliah Bahasa Inggris. Tahun
194 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n 1975, tepatnya. Spontan membuat kedua mahasiswa yang notabennya sangat kurang ahli dalam hal ini, bersorak gembira dan sangat berterima kasih pada dosen baru mereka. Pun tak ayal membuat kyai bersyukur, karena apa yang beliau ajarkan bisa bermanfaat. Ketagihan dicekoki senjata pamungkas dari rahasia sukses pembelajaran bersama sang kyai, mereka kembali lagi ke Pare dengan niatan sama. Sayangnya, saat itu kyai Yazid sedang berada di luar kota. Sang istri tercinta yang ditinggal dirumah, memberi saran untuk sementara belajar bersama Mr. Kalend yang juga salah satu murid kyai Yazid dan sama-sama alumni Gontor. Dari kesinambungan inilah, lahir sebuah kursusan bahasa Inggris yang diberi nama BEC. Hingga kini, lebih dari seratus tempat kursus yang masih eksis disana. Mengapa dari 1 menjadi 100? Anak pinak ini lahir lantaran jebolan-jebolan BEC yang sudah mumpuni ilmunya, mencoba membuat cabang kursusan dengan mengangkat satu diferensiasi yang bisa diunggulkan. Meski sistem pembelajaran tak jauh berbeda dengan induknya, namun kemasan yang berbeda tentu saja akan semakin memperkaya warna juga metode yang diterapkan dalam pembelajaran bahasa Iggris. Perlahan tapi pasti, perkembangan cabang kursusan ini semakin tajam peningkatan jumlahnya. Sebut saja El Fast yang unggul dan selalu diminati dalam program grammarnya. Daffodils, yang selalu laris manis dalam program
Siti Dzarfah Maesaroh
| 195
speakingnya. Atau Global, Oxford, Mahesa, yang kental dengan program vocabulary dan program unggulan lainnya. Dan masih banyak lagi, barangkali Anda bisa searching sendiri nanti. Banyaknya warga pendatang _terutama kalangan pelajar_ yang hendak menimba ilmu disana, tentu saja membuat inisatif warga sekitar untuk membangun tempat kost dan asrama yang bisa digunakan untuk tempat tinggal sementara. Selain mendaur uang milyaran rupiah tiap tahunnya, juga memakmurkan warga sekitar yang membuka bisnis makanan. Bisa dibilang berkah. Meski promosi lewat berbagai media itu jarang sekali dilakukan, namun jaringan komunikasi dari mulut ke mulut justru serasa lebih efektif dan lebih mengena dikalangan masyarakat awam. Saya sendiri menempati asrama Ellicost, persis berhadapan dengan Longmen Course. Bisa Anda temui di Jl. Dahlia, sekitar 200 m dari pertigaan. Lumayan disiplin dan tempatnya lega dibanding asrama lain. Tata tertib juga berjalan sesuai kebijakan yang ada. Saya yang selalu keceplosan berbahasa Indonesia, tak bisa berbuat banyak ketika dikenai denda 500 rupiah per salah kata. Ditambah hafalan 10 vocabs detik itu juga. Kalau dihitung, 500 kali 5 kesalahan dalam sehari kali 30 hari, berapa coba? Hmm.. ya, begitulah kiranya sekelumit experience yang bisa saya bagi. Tak ada habisnya sebenarnya jika membahas kampoeng yang satu
196 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n ini. Semoga nanti ada edisi khusus yang mengupas tuntas kisah ini. Sudah menjadi salah satu planning, memang. Kedatangan saya kesana bukan mutlak untuk belajar, melainkan juga mengumpulkan data sebanyakbanyaknya untuk membuat tulisan tentangnya. Semoga terlaksana.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 197
Jadi Si Bolang dalam Sebulan Bisa membuat sebuah buku ialah bagian dari impian semasa kecil. Dan sesaat sebelum saya memberanikan diri pergi ke Bandung, ada sebuah proyek yang harus saya garap dalam rangka mewujudkan mimpi itu. Kesempatan yang sangat langka, bahkan seumur hidup saya baru mengalaminya. Ialah menyusun 3 buah buku yang semuanya diambil dari kompilasi isi ketiga blog saya, dan 3 buah buku lagi diambil dari kumpulan kisah School Outing Programme (semacam praktik kerja lapangan tapi khusus anak-anak spesifikasi bahasa Inggris), kisah Bhakti Sosial Keagamaan (agenda tahunan Himpunan Santri Banyumas), dan kisah spesial dua dunia Malhikdua Network. Ke-6 buku tadi berhasil saya susun dalam kurun waktu kurang lebih sebulan. Seperti perencanaan semula, bahwa launching buku-buku ini akan diselenggarakan menjelang pertengahan ramadhan, tanggal 12 tepatnya. Meski dengan sangat berat hati buku-buku ini belum tercetak sempurna, setidaknya cukup menarik perhatian anak-anak baru yang notabennya masih polos, alias putih bersih bak kertas yang belum ternoda. Perhatian untuk berminat dan ingin bergabung ke M2Net. Dalam acara yang bertajuk Sosialisasi IT ini hadir pula beberapa dewan guru yang dulu pernah menoreh guratan tak indah untuk dikenang, semasa saya masih berstatus siswi sekaligus santri. Berkat
198 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n acara itu, mereka bisa tersenyum bahkan mengucapkan selamat dan menjadikan saya icon dalam jajaran generasi tinta Malhikdua. Hadir pula beberapa alumni senasib seperjuangan dulu di M2Net. Mengharukan. Lebih tak tahan lagi air mata ini keluar, saat anak-anak M2Net spontan berteriak memanggil nama saya dari kejauhan sembari menubruk dan memeluk. Satu per satu tetesan air mata itu keluar tanpa disengaja. Ya, sudah seperti anak sendiri. Kedekatan emosi yang saya rasakan selama berjuang bersama mereka barangkali telah menyatukan hati dan jiwa ini. Sesekali dada sesak bila mendengar satu dua cerita duka tentang mereka. Bahkan tak heran saya bela hingga titik darah penghabisan kala benteng pertahanan mereka hampir dirobohkan oleh pihak-pihak yang menyimpan setitik nila. Sedikit kecewa yang masih menyiksa, hingga kini ke-6 buku yang semuanya berkutat tak jauh dari dunia Malhikdua dan Al Hikmah 2 ini macet ditengah jalan lantaran beberapa hal yang belum ketemu solusinya. Bukan karena buku itu tak berhasil terbit legal, melainkan karena anak-anak saya dan adik kelas yang sudah lama tak sabar ingin membacanya, juga menyimpan semburat kecewa. Isinya tak terlalu berbobot, memang. Tapi buku-buku itulah yang menjadi saksi dan bukti sejarah kesinggahan saya di bumi Al Hikmah tercinta. Tentunya pengungkapan kebenaran M2Net yang selama ini dikambinghitamkan, juga masih ada beberapa suratan lain yang tak jauh dari latar perjuangan.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 199
Hanya asa yang masih berkeyakinan bahwa suatu saat nanti pasti ada jalan. Sejenak melupakan buku-buku tadi, petualangan dilanjutkan lagi. Terhitung sejak pertama keluar dari bumi Al Hikmah, Brebes tepatnya. Hanya semalam saya kembali ke Cilacap, langsung meluncur ke Bandung untuk menyelesaikan prosesi seleksi penerimaan mahasiswa baru. Belum clear sepenuhnya, saya tinggal ke Pare, sebagaimana kisah sebelumnya. Sempat dua kali bolak-balik Bandung-Pare saat melengkapi persyaratan masuk UIN. Dilanjut ke Brebes untuk acara launching tadi. Kembali ke Cilacap menjelang hari raya tiba. Beberapa hari istirahat, saya mendapat undangan ke Purbalingga untuk acara BSK HISBAN lagi. Persis H-1, saya baru bisa bernapas lega di Cilacap. Sayang, kurang dari seminggu menikmati indahnya kebersamaan, saya kembali ke Bandung guna memenuhi panggilan. Benar-benar serasa jadi Si Bolang. Petualangan seru dari Jawa Tengah, Jawa Barat, hingga Jawa Timur yang saya lakoni dalam waktu kurang dari sebulan ini setidaknya memberi saya bekal berani dan kuat secara fisik maupun mental. Tak sedikit pula pengalaman berharga yang saya petik dari setiap jengkal langkah kedua kaki mungil ini. Tentu saja, bersama mereka. Orang-orang jalanan yang hidupnya menjadi petugas KA, sopir dan kenek, pedagang asongan, pengamen, tukang sapu di kereta, pencopet bermuka dua, anak jalanan, juga peminta-minta. Miris
200 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n dan terlalu panjang rasanya bila saya kupas disini. Satu hal yang pasti, amat sangat berdosa rasanya bila para pemimpin dan wakil rakyat menutup mata hati dan telinga melihat kenyataan yng ada di negeri kita tercinta ini. Sudilah kiranya mereka berkaca dan sedikit membuka mata, dengarkan jerit tangis mereka. Sungguh, belum dikatakan sempurna iman seseorang, bila perutnya kenyang sedang tetangganya ada yang merintih kelaparan.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 201
Hidup Memang Sebuah Pilihan Hidup memang sebuah pilihan. Begitulah para wise man menafsirkan. Ya, pilihan seolah bukan lagi hal aneh atau pun nyleneh dalam setiap hembusan napas kita. Bahkan menjadi hal sakral yang harus diselesaikan ketika masalah yang kita hadapi membutuhkan alternatif penyelesaian. Tak jauh beda dengan saya. Sejak baru menghirup udara dunia yang sesungguhnya, saya sudah dihadapkan oleh pilihan kuat atau tidak untuk bertahan. Sebagaimana diceritakan di depan, saya terlahir berberat badan kurang sempurna. Tentu saja hal ini menghadapkan saya pada dua pilihan yang keduanya sama-sama berat tuk dilakoni. Antara bertahan hidup dengan segala keterbatasan yang ada, atau menyerah dan lari dari ujian kehidupan. Setelah memilih bertahan, sama artinya saya siap menghadapi segala konsekuensi. Apa pun itu. Termasuk ketika memilih untuk menutup diri dari lingkungan. Memilih untuk melanjutkan sekolah ke SMP N atau MTs. Memilih SMA Favorit atau mesantren. Memilih putus asa menjadi vokalis yang gagal atau menerima tawaran broadcaster. Memilih menjadi siswi berprestasi atau siswi ecek-ecek. Memilih menjadi pemred atau mundur selamanya. Memilih menjadi santri nekad atau santri taat. Memilih menentang segala aral atau keluar dari pesantren.
202 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Bahkan memilih melanjutkan pendidikan ke PTN atau tetap belajar, mengaji, dan mengabdi di pensantren. Sampai pada saatnya saya dihadapkan pada dua pilihan yang benar-benar menentukan masa depan. Antara masuk UIN Bandung dengan jurusan Jurnalistik, atau UIN Jakarta dengan jurusan Ilmu Ekonomi. Tidak sedikit perundingan meja bulat, meja kotak, bahkan sampai perundingan meja oval bersama keluarga dilakoni. Tidak sejenak pula istikharah, tahajud, dan do’a memohon petunjuk itu dilakukan. Bahkan tak sekali dua kali saya berpikir ulang dan menuliskan sederet sisi positif juga negatif diantara kedua pilihan yang sudah pasti diterima. Hingga, sebuah kata hati yang berbisik lembut dari sanubari. Berkata perlahan dengan nada yang sangat mendamaikan. Memberi satu petunjuk kepastian yang harus saya pilih. Menghilangkan segala kejanggalan dan keraguan yang sedari awal menjelma menjadi kekhawatiran. Sejenak meleyapkan pikiran tak karuan dan tak berujung. Disela sebaris do’a yang terpanjat di sepertiga malam, sebuah keyakinan datang dan dengan tegas mengatakan bahwa UIN Bandung-lah yang harus saya pilih. Kicauan potret kebulatan tekad ini pun saya abadikan dalam rumah corat-coret yang saat ini sedang kritis perkembangannya.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 203
Jurnalistik, Nu Aing!
Jurnalistiiiikkk!! NU AING!!! JURNALISTIIIKKKK!!! NU AING!!! Begitulah sekelumit potret semangat maba (baca: mahasiswa baru) jurusan jurnalistik yang bernanung dibawah fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Gudung Djati Bandung, dalam prosesi OPAK 2011. Sempat tersentak dan sedikit shock melihat antusias dan kekompakan alumnus juga para pembesar Junrnalistik yang terkenal mental supernya. Super ramai, super heboh, super kocak, super pede, super solid, super tangkas, super berani, super sabar, super jeli, dan super-super lain yang mengakar dari turunan pertama generasi mereka. “Ok. Perkenalkan ini alumnus dan mahasiswa jurnal dari angkatan 2006 sampai sekarang hadir menyambut kalian. Mari kita salami mereka dengan kode berikut. Kalau urang bilang “Jurnalistik!” sok barudak (kawan; bahasa Sunda) jawab “Nu Aing!” Ok?
204 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Yuk, kita coba ya! Jurnalistikkkk!” NU AING! Heboh panitia OPAK (Orientasi Pengenalan Akademik) saat Pengenalan Fakultas di kampus utama, Cibiru. Sejenak tertegun sembari mendekap kedua kaki dengan kedua tangan mungilku. Merapatkannya ke dada, seperti orang menggigil. Posisi duduk tanpa kursi. Beralaskan karpet hijau ciri khas warna bangunan UIN. Meski mata tak berpaling dari panggung utama, memperhatikan setiap gerik dan patah kata yang terucap dari para senior. Tapi pikiran menerawang jauh menembus pengapnya ruangan dan gaduhnya suasana. Berada ditengah-tengah mereka bagaikan mimpi disiang bolong. Kiri kanan saya orang asli Sunda yang bahasanya bak planet Mars, masih sangat sulit saya pahami. Adapun yang luar daerah mungkin bisa dihitung jari. Termasuk diri ini yang berkampung halaman nun jauh diseberang pantai Cilacap, Jawa Tengah.Tak heran jika banyak yang bertanya, “Cilacap itu Jawa apa?”. Terkadang juga timbul tenggelam perasaan minder, canggung, dan pede yang bersemayam.Kikuk sekali. Saya ini siapa?
Siti Dzarfah Maesaroh
| 205
Tak pernah terbayang akhirnya bisa kuliah. Meski tak berhasil masuk PTN favorit, meski banyak guru yang kecewa dengan jalan saya sekarang, meski keluarga tak begitu lega mendengar saya disini, bahkan meski kawan seperjuangan pun shock karena menyayangkan saya terperosok. Tapi bagi saya ini adalah anugrah. Ya, sepanjang riwayat keturunan keluarga, baru saya yang berhasil tembus PTN. Tanpa bermaksud sombong, karena memang tak ada yang bisa saya sombongkan. Hanya ingin melegakan hati. Mensyukuri apa yang saya genggam sekarang. Membesarkan jiwa dengan belajar menerima keputusan-Nya. Sembari terus berusaha untuk memberi yang terbaik bagi mereka. Sekarang bukan saatnya saya menyesali apa yang terjadi. Sudah saya ikrarkan, dimana pun kaki saya berpijak, disanalah saya akan berjuang hingga titik darah penghabisan. Tak peduli orang berkata AZ tentang konyolnya pilihan saya. Karena apa jadinya saya itu ada ditangan saya sendiri. Cukuplah mereka melihat dan berkomentar. Semoga saya bisa membalas dengan memberikan secercah senyum dan wujud mimpi yang sedang saya tempuh jalannya. Ya, harusnya saya bangga. Sejatinya, jurnalistik memang pilihan saya.
206 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n JURNALISTIK!!! NU AING!!!! *** Begitulah, kira-kira. Hingga buku ini tercetak, saya baru memasuki semester satu. Masih beradaptasi dengan segala hal yang serba baru dalam hidup saya. Termasuk merilis buku ini. Buku yang cukup menguras pikiran, tenaga, waktu, juga materi, demi menyempurnakan sebuah tugas yang berjargon ‘berbagi kebahagiaan’ dari dosen bahasa Indonesia dalam materi Academic Writing. Memang
belum
sempurna
secara
keseluruhan.
Semoga
ketidaksempurnaan ini senantiasa membangkitkan semangat saya untuk terus mencetak jejak-jejak baru dalam lintasan sejarah kehidupan. Mencetak kegagalan-kegagalan lain dalam bereksperimen, demi sebuah perbaikan dan keberhasilan di masa mendatang. Mencetak kepedihankepedihan lagi dalam merajut perjuangan yang hingga kini belum bisa dikategorikan ‘berarti’. Juga mendaur ulang kefatalan di masa-masa silam, menjadi sebuah kesempatan untuk introspeksi dan lahan pembenahan diri. Ya, semoga kesempatan itu masih berpihak pada saya.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 207
208 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Mereka Berani Melakukan Apa yang Tidak Berani Dilakukan Orang Lain,
Y
ang punya satu impian.. ialah Martin Luther King Junior, yang berprinsip “Kita tidak boleh dibedakan berdasarkan warna kulit atau panjang rambut. Kita hanya boleh dibedakan berdasarkan isi otak”.
Yang dibilang gila… ialah orang termashur di dunia, Christoper Colombus. Penemu benua Eropa yang kaya sumber daya alamnya, namun beru diketahui setelah dia meninggal.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 209
Yang disebut-sebut sebagai orang biadab… Marco Polo, namun bukunya tentang pengembaraan telah membuka pikiran orang Eropa terhadap peradaban Timur Jauh. Yang dilecehkan dengan perkataan “Hanya burung saja yang bisa terbang”… Si Kakak beradik Wright, pemakai onderdil sepeda untuk membuat kapal terbang pertama. Yang selalu disuruh menyerah… Sir Edmund Hillary, pendaki gunung everest yang pertama kali mencapai puncaknya di ketinggian 9579 meter. Yang selalu dihasut bahwa manusia tak bisa hidup tanpa jantung… Christian N. Barnand, menjadi orang pertama yang berhasil mencangkok jantung manusia. Yang selalu dibilang itu mustahil… Neil Alden Amstrong, menjadi orang pertama yang berjalan di bulan. Yang selalu ditertawakan… Billi PS. Lim, buku yang mengupas kegagalannya berjudul “Berani Gagal” kini terjual satu juta eksemplar dan diterjemahkan dalam tujuh bahasa. Malu rasanya bila perjuangan saya yang sama sekali baru dimulai terhenti sampai disini. Apa yang tergores dalam buku ini hanyalah sekelumit cerita yang belum ada endingnya. Ya, riwayat saya belum berakhir. Meski tak seorang pun bisa menebak sepanjang apa garis
210 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n kehidupan yang Allah SWT takdirkan untuk saya, tidak salah rasanya bila saya mengurai semburat mimpi yang akan
mengawali kemantapan
langkah dalam tekad bulat jauh di dasar sanubari. Sahabat, saya bercermin dari mereka…
Siti Dzarfah Maesaroh
| 211
Bukan Mimpi Biasa Bila ditanya apa yang saya impikan saat ini, dengan tegas akan saya jawab bahwa saya ingin menjadi penulis lintas zaman. Penulis yang karyanya tetap abadi meski mungkin nyawa saya tak lagi menyatu dengan raga. Penulis yang hasil pemikirannya bisa mencerahkan berbagai kesuraman sepanjang sejarah kehidupan. Penulis yang goresan tintanya mampu menjadi inspirasi pembaca, meski mungkin hanya satu kata yang berguna. Penulis yang seluruh hidupnya diabdikan untuk memberi manfaat bagi orang lain, walau hanya satu huruf yang mampu saya suguhkan. Kenapa? Wasiat salah seorang guru besar saya ketika masih memakai seragam putih abu-abu dulu, "Sebaik-baik manusia ialah manusia yang bermanfaat bagi orang lain". Itulah petikan hadist rosul yang selalu terngiang dalam benak saya. Pun tak lupa saya camkan bahwa “Agar hidup tidak dilupakan bila telah mati dan busuk, tulislah sesuatu yang bermanfaat untuk dibaca atau buatlah sesuatu yang bermanfaat untuk ditulis”. Cukupkah hal itu menjadi landasan mimpi saya untuk menjadi seorang penulis? Tentu saja tidak. Selain menjadi bukti bahwa saya pernah turut menoreh sejarah di dunia ini, saya juga meniatkan bahwa apa yang saya goreskan diatas lembaran-lembaran putih ini sebagai
212 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n bagian dari dakwah. Sebagaimana anjuran yang telah kita hafal di luar kepala.
"Sampaikanlah
olehmu
walau
hanya
satu
ayat".
Sisi
sederahananya, sekedar menjerat apa yang pernah saya lihat, saya baca, saya tau, saya dengar, saya rasa, saya bayangkan, dan saya inginkan selama ini, agar tidak lantas terbuang sia-sia. Namun untuk menggenggam semua itu tentu tak kan bisa hanya dengan berpangku tangan. Jika hari ini saya memulai langkah untuk meraih impian dengan menuliskannya, hari ini juga saya dipandu-Nya membuat peta untuk memudahkan jalan saya menuju kesana. Jika hari ini langit membalas tatapan tajam kedua bola mata saya yang diliputi semangat membara, hari ini juga saya menggumam dalam hati bahwa detik dimana saya memulai langkah ini, itulah detik pertama saya memulai perjalanan sesuai petunjuk peta yang sudah dibuat-Nya. Bahkan jika hari ini matahari dan bulan bergantian menatap saya keheranan, akan saya serukan bahwa merekalah yang akan menjadi saksi jejak-jejak yang akan saya buat mulai detik ini. Tulisan yang saya inginkan sebenarnya tidaklah muluk-muluk. Konsep sederahananya, saya ingin membuat cerita bernilai dari setiap jengkal kedua tapak kaki ini. Sekecil dan sesepele apa pun itu. Saya ingin menjadikannya ibrohbagi diri sendiri juga bagi mereka yang sudi membacanya. Dengan begitu saya tidak akan menggerutu ketika ujian sebesar apa pun datang mendera. Ketika kekalahan sepahit apa pun menyerang indra perasa. Bahkan ketika dihadapkan pada kondisi terburuk dalam hidup saya, masih mampu bangkit karena sebuah
Siti Dzarfah Maesaroh
| 213
keyakinan bahwa rencana-Nya jauh lebih indah dari apa yang selama ini saya inginkan. Untuk bisa membuatnya, tentu saya harus mencetak jejak-jejak perjalanan itu. Perjalanan menjadi seorang aktivis sejati, menjadi pelajar terbaik tingkat Internasional, melanjutkan study ke Australia, hingga mengukir sejarah sang surya dari Cisumur (nama desa terpencil di Cilacap) sebagaimana ibu dambakan. Semua petualangan itu yang akan mengantar kesepuluh jemari ini menari diatas keyboard. Mengukir alur demi alur menjadi sebuah novel best seller Internasional. Mengisahkan sisi cerita bernilai yang dipetik dari tula demi tula kehidupan. Pun menyuguhkan inspirasi baru dan motivasi hidup untuk terus melangkah menggapai mimpi dengan langkah yang telah terbukti. Lebih dari semua itu, dari lubuk hati yang terdalam, saya ingin membahagiakan orang tua dan keluarga. Terutama dan paling utama adalah ibu saya. Sudah saatnya saya hidup mandiri dan tidak membuka tangan dibawah, mengandalkan penghasilan orang tua yang jelas mutlak hanya sebagai petani desa. Untuk itulah, sekarang saya berorientasi mengejar beasiswa dan bisa memanfaatkan ilmu yang saya miliki demi menyambung hidup dan menuntaskan kuliah _meski
tak ada kata
berhenti dalam kamus menuntut ilmu_. Sejatinya, itulah saya inginkan saat ini. Dan kini, “Impikan apa yang berani Anda impikan, Lakukanlah apa yang berani Anda lakukan. Dan, jadilah apa yang berani Anda inginkan”.
214 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Bukan kemenangan yang penting Tetapi perjuangan yang diperjuangkan seseorang Orang yang, bila terjepit dan terpaksa Masih mampu berdiri tegak dan tabah menghadapi Cobaan dan tak takdir dengan bangga Meski berdarah, pucat, dan benjol Dialah orang yang akan sukses diakhir hayatnya Karena dialah orang yang berani gagal
Semoga masih ada kesempatan bagi saya dan Anda, untuk terus mencicipi gurihnya perjuangan merombak kegagalan.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 215
PROFIL PENULIS SITI DZARFAH MAESAROH, lahir di lembah Paris van Java Bandung, 18 tahun silam, aktif dalam dunia kepenulisan melalui kegiatan blogging dan jurnalistik di sekolah dan media online. Terbilang produktif, dalam kurun 2 tahun sudah menelorkan lebih dari 200 tulisan menarik dan inspiratif. Hampir semuanya dikemas dalam bingkai kehidupannya di pesantren Al Hikmah 2 Brebes. Pelangi-pelangi Malhikdua, Santri Katro Dakwah KO, Al Ma'un, Resiko? Siapa Takut, dan Siapa Bilang anak IPS itu Buangan adalah beberapa judul buku yang siap terbit. Karir menulisnya secara resmi dimulai saat menjadi redaktur sebuah majalah di pesantren. Kecakapan dalam menuangkan ide dan gagasan mampu mengantarnya menjadi juara menulis tingkat propinsi Jawa Tengah. Jiwa leadership tempaan berbagai organisasi level sekolah dan daerah membuatnya dipercaya menduduki posisi Pemred. Nama sekolah pun melambung kala memenangkan lomba website tingkat nasional dibawah kepemimpinannya. Selain getol berorganisasi dan menulis, dara cantik pemilik moto “Hidup itu hanya sekali, hiduplah yang berarti”
juga terjun di dunia
broadcasting. Mempopulerkan "Damae wardani" sebagai nama udara yang dipakai sejak SMP, ia sukses menjadi penyiar favorit di salah satu radio swasta di Cilacap dan Brebes . Jawara MC terbaik dan pencipta beberapa jinggle iklan saat ini sibuk mendalami keahlian jurnalistik di
216 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n salah
satu
PTN
di
Bandung.
Bisa
dihubungi
melalui
email
[email protected]. Goresan penanya yang lain bisa Anda baca di http://damai_wardani.malhikdua.com. RIWAYAT HIDUP
NAMA
: SITI DZARFAH MAESAROH
TTL
: BANDUNG, 13 MARET 1993
ALAMAT : CISUMUR, RT 04 RW IV GANDRUNGMANGU, CILACAP DOMISILI : MA’HAD AL JAMI’AH UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG KELUARGA: - AYAH :AHMAD SYAHIDIN - IBU
: RAHMAH
- ADIK
: MUHAMAD IQBAL
PENDIDIKAN YANG PERNAH DITEMPUH : - TK DIPONEGORO CISUMUR 01 (1999) di Cilacap - MI MA’ARIF CISUMUR 01 (2005) di Cilacap - SMP N 1 GANDRUNGMANGU atau SPENSAGAMA (2008) di Cilacap - MA AL HIKMAH 02 BENDA atau MALHIKDUA (2011) di Brebes - Sem. 1 UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG (sekarang), Fak.Dakwah dan Komunikasi, Jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik, di Bandung
PEKERJAAN YANG PERNAH DIPEGANG:
Siti Dzarfah Maesaroh
- Penyiar Radio Garuda FM Cilacap (2008) - Penyiar Radio Tsania FM Brebes (2010-2011)
PENGALAMAN ORGANISASI: - Pengurus Pramuka SPENSAGAMA (2007-2008) - Anggota Himpunan Santri Banyumas atau HISBAN (2008-sekarang) - Pemimpin Redaksi Malhikdua Network (2009-2010) - Koordinator Dept. Pendidikan Organisasi Aktif Siswa IntraSekolah Malhikdua (2009-2010) - Dept. Pendidikan HISBAN (2009-2010) - Dept. of Education English Department Student (2009-2010) - Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Al Jami’ah (2011-sekarang)
KARYA YANG PERNAH DIHASILKAN: - Blog http://damai_wardani.malhikdua.com (152 judul) - Blog http://damaibersamamu.rumahtulis.com (12 judul) - Blog http://damai.wardani.info (15 judul) - Reportasi dan essay di http://malhikdua.sch.id (81 judul) - Jinggle sekolah untuk radio Tsania - Editorial Poster Informasi Publik Sekolah
PENGALAMAN LAIN: - Anggota Band SPENSAGAMA (2008) - Anggota Komunitas Blogger Sandal Selen (2008-sekarang)
| 217
218 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n - Pengurus Kelompok Kegiatan SOP (School Outing Program) - MALHIKDUA di Yogyakarta (2010) - Pengurus Kegiatan BSK (Bhakti Sosial Keagamaan) PP. AlHikmah 2 di Cilacap dan Banyumas (2010) - Redaksi Majalah El Waaha (2010) - Redaksi Buletin MALHIKDUA (2010) - Anggota FLP Jatinangor (2011-sekarang) - Penelitian Antropologi daerah Kampung Naga, Tasikmalaya (2011)
Siti Dzarfah Maesaroh
| 219
220 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Apendix A
Terlalu Pahit tuk Dikenang, Terlalu Manis tuk Dilupakan Tepat dihari pertama saat memasuki tahun 2009, rekor tragedi mengenaskan kembali terjadi dalam hidup saya. Trauma sih tidak, tapi cukup membuat saya shock. Saya semakin mengerti seperti apa sebenarnya dunia santri ini. Semoga tidak berlebihan kalau saya mengatakan mereka benar-benar memilukan. Sayang, saya hanya bisa mengelus dada dan prihatin akan hal ini. Toh, diingatkan pun justru saya yang semakin disalahkan. Mungkin lebih baik diam. Curhat, Mae? Bukan. Bukan curhat. Lebih tepatnya ini adalah bentuk berontak dan kekecewaan saya terhadap mereka, santri-santri yang tidak tahu diri. Wuidih… sepertinya kamu menyimpan dendam, ya? Jangan gitulah, Mae. Tidak baik. Nanti Dosa, lho… Dendam? Kalau saya dendam, saya tidak mungkin menerima perlakuan mereka begitu saja. Bahkan hanya saya dan kawan-kawan sampai mendekam di Basecamp T-GER.Net karena tak berani pulang ke kamar pasca launching itu. Kamu juga tahu kan, kami semua menangis
Siti Dzarfah Maesaroh
| 221
semalaman dan tak bisa berbuat apa-apa meski sebenarnya kami punya kekuatan untuk melawan. Lalu, untuk apa kamu hanya bicara dibelakang? Apa gunanya? Ya, ini memang tidak berguna. Tapi kalau hal ini bisa membuat legowonya hati, kenapa tidak. Kamu kalau tidak mau mendengar keluhanku, ya sudah. Pergi saja sana. Aku memang sedang berbicara pada diriku sendiri kok. Ha..ha.. dasar gila! Pantas saja kamu dan kawan-kawanmu itu dicap sebagai pendusta. Ha..ha..ha… Cukup!!!!!!!! T-GER.Net bukan pendusta. Kami tidak salah. Kenapa kalian begitu jahat pada kami? Kenapa? Hiks..hiks..hiks… Andai kalian tahu kalau kami itu tertipu. Film Laskar Pelangi yang kami pesan ternyata hanya berisi lagu. Bukan maksud kami untuk membohongi para penonton… Hiks..hiks… Usaha kami juga tidak berhenti sampai disitu. Meski kami baru tahu kalau kami tertipu itu 3 jam sebelum acara dimulai, kami tetap berusaha mencari gantinya. Al hasil, film yang kalian tonton itu didapat
222 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n dari kerja keras panitia yang lari kesana kemari sampai ke tempat rental film di Bumiayu, malam itu. Hanya demi mencari gantinya. Kami sama sekali tidak ingin dihargai, tapi apakah tidak bisa kalian sedikit berbelas kasihan dan mengerti kondisi kami waktu itu? Lagi pula, meski mulut kalian teriak-teriak bahwa kami adalah pendusta, tetap saja kalian duduk manis disana dan menikmati sajian-sajian yang kami berikan, bukan? Kalian juga mau menonton film yang kami putar sebagai ganti Laskar Pelangi. Apa kalian tidak malu? Sudah bilang pendusta, tapi akhirnya nonton juga. Sampai selesai lagi. Itu namanya kalian menjatuhkan harga diri kalian sendiri. Bilang makannya tidak enak, minta diganti. Tapi yang dibilang tidak enak itu ditelan sampai habis juga. Huhhh….memalukan! Heran deh! Kalian itu santri. Setiap hari kerjanya menuntut ilmu. Tapi apa itu yang kalian dapatkan? Atau kalian memang tidak pernah mendapatkan
pelajaran
bagaimana
caranya
menghargai
dan
menghormati orang? Ah…sudahlah! Semakin dikenang rasanya semakin menyakitkan. Tapi sayang untuk dilupakan kan? Ka..ka..mu….? Untuk apa kamu disini? Huuhhhfff…mengagetkanku saja.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 223
Tulisan ini dibuat untuk mengenang hari lahir T-GER.Net yang pertama. Satu Januari 2009. Selamat Ulang tahun, T-GER.Net… Apapun yang terjadi, generasimu tak kan pernah punah.
224 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Apendix B
Kisah Tragis Organisasi Perdana Hmm.. Dimulai dari mana dulu, ya? Kisah Tragis Organisasi Perdana: PANMOS (baca: Panitia Masa Orientasi Siswa). Menguak masa lalu yang sangat suram, sebenarnya. Meski berat saya mengupasnya, tapi sudah kadung janji. So, mau tidak mau ya harus mau. Kalau tidak mau ya jangan di M-A-U (Canda Pak Mahbub begitu). Inilah kisah organisasi yang pertama kali saya ikuti dai Malhikdua. PANMOS. Bukan organisasi yang asing lagi bagi kalangan siswa. Tak perlu tegang begitu membacanya. Rileks, saja. Toh ini hanya sekedar sejarah. Bila pun diceritakan paling banter bikin bulu kuduk Anda berdiri. Tapi tak perlu takut, karena sampai detik ini belum ada berita yang melaporkan bahwa ada orang mati ditelan cerita. Iya, kan? Opz! Kok jadi nglantur. Ok. Berbicara tentang PANMOS, akan saya ceritakan detail dari segala sudut pandang. Diakui atau pun tidak, saya bersyukur karena pernah masuk ke organisasi itu. Sejatinya PANMOS memang sangat berjasa pada saya. Ya, walau pun kenyataan yang ada itu hanya menguras air mata. Tapi, berawal dari PANMOS-lah, riwayat organisasi saya dimulai. Saya mengenal PANMOS dari selembar pengumuman yang ditempel dibeberapa tembok sisi tangga Malhikdua. Dalam kertas itu tertulis bahwa OSIS membuka lowongan “Panitia Masa Orientasi Siswa Baru (PANMOS)” untuk semua siswa kelas 1 MAU yang berminat berkecimpung di dunia organisasi. Dijelaskan pula tata cara pendaftaran dan sederet persyaratan serta jadwal seleksi.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 225
Awalnya sedikit canggung, karena saya belum punya link yang bisa dipercaya setidaknya sekedar memberi pengarahan. Ditambah lagi, semasa SMP saya bukanlah siswi yang aktiv dalam kancah organisasi sekolah. Tapi dengan Bismillah, saya tegakkan langkah dan siap menghadapi apa pun yang terjadi. Ya, saya siap menjadi PANMOS. Persyaratan saya lengkapi. Tahapan demi tahapan seleksi pun saya ikuti. Sampai detik terakhir tes wawancara dimana saya dipermalukan bak tak punya harga diri. Saya disuruh acting marah padahal marah adalah hal yang paling susah untuk saya lakukan. Selama ini wujud kemarahan saya adalah diam. Diseasion inilah saya kalah. Saya gagal menjadi ketua hingga menjebloskan diri ini ke Dept. Acara. Bertabrakan dengan jadwal Pelantikan PANMOS, Ibu saya datang. Dengan berat hati saya tidak mengikuti acara pelantikan yang digabung dengan pembagian Job Description itu. Saya pun baru mengenal siapa saja partner juga seluruh anggota PANMOS pada saat rapat ke-2. Sekitar dua jam lamanya rapat itu berlangsung, namun tak menghasilkan apa-apa. Apalagi departemen saya yang hanya tunggutungguan ide untuk menyusun acara selama 2 hari lengkap dengan SC, Tutor, Jadwal, Tempat, dan Properti. Tak puas dengan hasil rapat kedua, saya berinisiatif untuk mencoba menyusun acara itu sendiri. Masih terekam jelas dalam memori, persis setelah pengajian sentral selesai, saya mengajak salah satu partner satu departemen untuk mendiskusikannya. Dengan tujuan agar hasil nihil tidak terulang kembali di rapat ketiga nanti. ‘Setidaknya kalau sudah ada bahan kan tinggal diolah’, begitu pikir saya. Tapi, tak disangka dia malah menjawab, “Ah, males ah. Aku capek. Dah damae aja yang nyusun. Kita percaya kok, Damae pasti bisa. Aku mau tidur dulu, ya. Ngantuk”.
226 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Apa yang Anda rasakan kalau mendapat respon seperti itu? Untung saja, Allah tidak lantas menyurutkan semangat saya. Saya tetap mencoba meski tidak yakin akan hasilnya. Setidaknya itu lebih baik dari pada tidak sama sekali, bukan? Sendirian, saya mengutak-atik otak hingga lembur semalaman. Al hasil, ide-ide saya menelurkan susunan acara lengkap dengan gono gini yang saya ceritakan tadi. Bisa kamu bayangkan betapa ngantuknya saya? Lalu, apa yang terjadi setelah itu? Apakah mereka (anggota PANMOS) bersuka cita karena tak perlu lagi repot-repot menyusun acara yang acap kali menjadi beban paling berat? Tidak. Tebakan Anda salah. Susunan Acara yang saya garap semalaman, ditolak mentah-mentah oleh semua anggota PANMOS yang hadir pada rapat ketiga. Mereka hanya menertawakan presentasi saya hingga memaksa hati nurani mangatakan AKU HARUS KELUAR DARI PANMOS. Bahkan, partner2 saya di Dept. Acara yang semula menyetujui semua susunan saya berubah 180 derajat dihadapan semuanya. Munafik sekali, bukan? Dan tahukah Anda, apa yang terjadi setelah itu? Saya langsung disidang oleh OSIS dan Ketua PANMOS. Mereka semua keberatan dengan Pengunduran diri saya yang dianggap tidak bisa dipertanggungjawabkan juga tanpa alasan yang jelas. Padahal sudah jelas sekali permasalahnnya, bukan? Kukuhnya keputusan untuk tetap keluar, membuat salah satu partner saya mengecap dengan kepalan tangan yang dipukulkan ke lantai, sesaat setelah sidang itu, seraya berteriak HATI KAMU EMANG UDAH MATI, MAE.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 227
Kecaman itulah yang sampai kapan pun akan tetap membekas dalam hati saya. Kata-kata itu pula yang telah membuat saya menangis semalam suntuk dipojok masjid tanpa seorang pun iba . Hal itu masih kuat saya tahan. Tapi hal yang paling menghancurkan adalah sikap semua orang berubah dan menjauhi saya satu per satu, karena keluarnya saya dari PANMOS langsung menjadi berita terhangat yang dengan cepat merambah ke seluruh penjuru Al Hikmah. Satu hal yang paling menusuk hati yakni diadopsinya (secara diam-diam) semua susunan acara buatan saya yang sebelumnya ditolak mentah-mentah bahkan berhasil membunuh saya dari kancah organisasi sekolah. Siapa yang tidak sakit hati diperlakukan seperti itu? Apa yang akan Anda lakukan jika Anda berada di posisi saya? Sekali lagi, saya tidak berhenti pada keluhan yang hanya akan membuang waktu. Saya bersyukur, Allah Maha Adil. Tamparan yang menyakitkan itu berbuah manis sekali. Bahkan lebih manis dari wajah Anda. He.. Ya, karena dari situlah saya bangkit. Jatuhnya harga diri, reputasi, juga image saya, mendongkrak semangat yang belum pernah saya miliki sebelumnya. Saya bertekad membalikkan apa yang telah mereka lakukan pada saya dengan cara jantan. Ternyata Allah mengabulkan do’a saya. Beberapa bulan pasca tragedi PANMOS berakhir, saya diangkat menjadi Pemimpin Redaksi SCH yang menjadi titik balik sejarah organisasi saya. Justru lepasnya diri ini dari PANMOS memberi saya kesempatan untuk mengepakkan sayap. Saya tak perlu bersusah payah mendaftarkan diri diorganisasi lain, justru surat pengangkatan datang satu per satu hingga lebih dari 5
228 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n organisasi yang saya jabat. Anehnya, SCH yang dipimpin oleh mantan anggota PANMOS yang gagal justru menjadi organisasi terbaik dengan 2 sandang juara di detik terakhir kepemimpinan saya. Sebaliknya, tahun itu juga, untuk pertama kalinya OSIS MALHIKDUA PECAH JADI TIGA. Apa maksud Allah mengalurkan kisah demikian? Wallohu’alam. Allah memang Maha Adil.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 229
Apendix C
Maaf, Saya Tak Bermaksud Demikian, Tapi Memang Demikian Adanya “Saya rindu Dzarfah yang dulu. Kemana Dzarfah yang selama ini saya kenal? Dzarfah yang selalau berada diposisi pertama, Dzarfah yang tak pernah dapat nilai kurang dari 7? Dzarfah yang bisa jadi legowonya hati saya kalau nilai ulangan anak-anak jeblog semua? Kemana? Kenapa Dzarfah yang sekarang beda dari yang dulu? Kenapa Dzarfah yang sekarang sering meninggalkan pelajaran dan nilainya down semua? Kenapa soal segampang ini tidak bisa dia kerjakan? Dimana? Dimana Dzarfah yang sebenarnya? Apa yang sedang terjadi padanya hingga membuat semangatnya luntur seperti ini? Dzarfah, kembali lah, kembali menjadi Dzarfah yang selalu no. 1. Asah lah kembali bekal yang telah melekat dalam jiwamu. Saya yakin, kamu bisa melakukan yang terbaik untuk menjadi yang terbaik. Berusahalah, Nak! Do’a Ibu selalu menyertaimu” Deg! Saya terharu mendengarnya. Sungguh… Lidah ini seolah terkunci tak bisa lagi berkata-katasaya terhenti saat hal itu terucap dari guru yang begitu perhatian pada saya. Sebenarnya tak hanya satu dua guru yang merasakan hal yang sama dengan apa yang beliau rasakan. Namun,
hanya
beberapa
yang
berani
mengungkapkan
dan
230 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n membangkitkan kembali semangat seorang Dzarfah _demikian guru-guru memanggilku_ untuk menjadi ‘The best student’ di Malhikdua tercinta ini. Meski kenyataannya itu bukan hal yang mudah bagi seorang Dzarfah. Ya, saya akui, saya memang terlampau jauh merantau di dunia organisasi hingga melupakan kewajiban utama saya di sekolah dan di pondok. Tapi andai mereka tahu, andai mereka bisa mendengar, andai mereka bisa merasakan apa yang saya rasa sebenarnya, mungkin anggapan itu bisa ditepis karena memang tidak demikian adanya. Dulu, ketika saya kelas satu, seluruh waktu, pikiran, dan tenaga saya habis hanya untuk belajar dan mengaji. Tak ada tempat lain yang saya kunjungi selain masjid, perpus, dan kamar. Tak ada hal lain yang saya lakukan kecuali duduk manis dengan buku dan kitab yang selalu jadi pegangan. Sampai orang-orang aneh memandang saya. Berbagai julukan pun terlontar dari mulut mereka. Santri aneh-lah, Si Kutu Buku-lah, Gadis masjid-lah, hingga telinga ini panas mendengarnya. Karena hal itu lah, ketika saya naik kelas dua, saya berencana mengubah segalanya. Saya ingin membuktikan bahwa saya juga bisa terjun di dunia organisasi seperti yang lainnya. Saya bisa bersosialisasi dan saya juga pantas berada ditengah-tengah mereka. Tekad bulat itu pun mengantarkan saya berkecimpung di dunian yang sebenarnya amat asing dan belum pernah saya jamahi. Ya, dunia organisasi (kisah lengkap
Siti Dzarfah Maesaroh
| 231
tentang dunia organisasi, Insya Allah akan terbit di edisi khusus yang akan saya garap mendatang). Namun, ternyata disini ada sini ada kodrat alam organisasi yang belum saya mengerti tapi tiba-tiba menghampiri. Kodrat alam organisasi yang saya maksud adalah “Barang siapa terjun ke satu dunia organisasi, maka dengan sendirinya organisasi lain akan mengikuti”. Maksudnya, ketika seseorang berhasil direkrut oleh satu organisasi, terutama bila orang tersebut memegang jabatan kepengurusan, otomatis dia akan dikenal oleh rekan organisasi yang lain. Bila ia dikenal aktif dan sukses menjalankan perannya, maka organisasi lain pasti akan memintanya untuk terjun pula mengurusi organisasi lain yang tertarik dengan hasil karyanya. Begitu. Ternyata hal ini menimpa gadis malang yang baru saja mencoba merangkak terjun di dunia organisasi. Dan tanpa disadari, karena kepolosan dan ketidaktahuan saya, dalam kurun waktu yang relatif singkat, lebih dari 5 kepengurusan organisasi yang dijabatnya. Hinga ditengah perjalanan saya sering kewalahan menghadapi padatnya jadwal kegiatan dari masing-masing organisasi. Belum lagi jadwal sekolah dan pondok yang juga sama-sama menguras energi. Imbasnya, salah satu sisi pun ada yang terbengkalai, bahkan tak jarang saya ambruk (jatuh sakit) karena saking padatnya kegiatan, dan saking banyaknya urusan yang saya pikirkan. Tapi saya tetap tidak mengkategorikan sebagai orang sibuk.
232 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Karena pada hakekatnya itu memang target saya sejak semula. Saya ingin menimba banyak pengalaman dari dunia yang belum pernah saya raba sebelumnya. Justru bagi saya, bisa berkarya di dunia organisasi itu lebih memuaskan dari pada sederet nilai 100 hasil ulangan. Kenapa? karena prestasi yang hakiki bukan timbul dari tekanan atau pun kewajiban yang harus di capai, melainkan buah karya atas apa yang telah kita upayakan. Dan itu lah yang membuat kepuasan hati kita. Sayangnya, mereka menganggap saya lalai dengan kewajiban utama sebagai santri sekaligus siswa yang tugasnya belajar dan mengaji. Hingga prestasi di sekolah down, bahkan sering mendapat teguran dari guru ini dan itu. Ya, seperti yang tertulis di paragraf awal postingan ini. Saya terlalu asyik dengn dunia baru yang saya geluti. Meski sebenarnya, semua organisasi yang saya ikuti itu kembalinya ya untuk sekolah dan pondok. Bukan untuk diri saya pribadi. Justru _menurut saya_ anak-anak yang ikut dalam oraganisasi itu telah sangat membantu sekolah dan pondok. Karena program-program sekolah dan pondok terlaksana lewat kepanjangan tangan, yakni organisasi. Coba saja bayangkan bila sekolah tak ada OSIS, misalnya, siapa yang akan menyelenggarakan class meeting, mengatur pasaran, dan program-program lainnya. Begitu pun dengan organisasi pondok. ORDA, misalnya. Tanpa ORDA, tak mungkin BSK bisa terlaksana. Itu baru sekelumit contoh saja.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 233
Namun, yang sering kali dipermasalahkan adalah efek negatif dari organisasi
yang
terkadang
dilebih-lebihkan
oleh
mereka
yang
memandang dari satu sisi, hanya jeleknya saja. Padahal seandainya mereka mau membuka mata lebih lebar, manfaat organisasi saya yakin lebih besar dari sekedar mudharatnya. So that, kuncinya, terjun di dunia organisasi memang perlu, tapi jangan sampai melalaikan kewajiban utama sebagai santri dan siswa. Perstasi Ok, Organisasi Yes. Nah, untuk menebus semua kesalahan saya atas kelalaian terhadap sekolah, terutama guru-guru yang sering saya tinggalkan pelajarannya demi kepentingan organisasi, saya berusaha melakukan yang terbaik untuk menjadi siswi terbaik tahun ini dalam menghadapi ulangan akhir semester sebagai jembatan kenaikan kelas akhir. Sampai saya menutup semua akun organisasi agar bisa persiapan matang sebelum melahap 600 soal semester kemarin. Dan hal ini pula lah yang menjadi salah satu penyebab off-nya Garuda. Lebih parahnya, saya sampai kembali masuk RS saat menghadapi soal ke 450-500 (hari ke-5). Semoga usaha saya tidak sia-sia. Saya ingin buktikan bahwa meski saya berkecimpung di dunia organisasi, bukan berarti saya rela melepas prestasi begitu saja. Dan Insya Allah, saya akan berusaha memenuhi permintaan Bapak Ibu guru untuk menjadi yang terbaik (wallohu a’lam). Saya juga mohon maaf, dari lubuk hati terdalam, atas
234 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n semua tingkah laku saya yang kurang berkenan di hati Bapak Ibu guru sekalian. Mohon ikhlasnya, mohon ridhonya. Dan saya akan berusaha memperbaikinya, Insya Allah… Kritik dan saran dari Bapak Ibu guru semua, tak henti-hentinya saya harapkan. Serta bimbingan dan do’a juga selalu saya harapkan. Semoga ilmu dari Bapak dan Ibu berkah dan bermanfaat bagi saya. Amin…
Siti Dzarfah Maesaroh
| 235
Salah satu unforgetable moment yang pernah saya alami, ialah berkelana ke negeri Antah Berantah yang belum pernah saya jamah sebelumnya. Moment School Outing Program atau biasa disingkat SOP, lebih terkenal dengan istilah PKL (Praktik Kerja Lapangan), yang terjadi sekali selama menempuh masa Aliyah di Malhikuda. Selama setengah bulan di akhir KBM kelas XI, segenap siswa English Departement Students, IPA Emmercy, dan MAK, mengikuti program ini di Yogyakarta. Belajar conversation bersama para foreigner manca negara di area Malioboro, Borobudur, dan Prambanan menjadi tugas utama para peserta. Sedikit berbagi kisah disana, saya sertakan cuplikan satu kisah tentang experience ini.
236 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Apendix D
Al Ma’un Hidayah itu (justru) dari turis OP telah lama berlalu, 1001 kisah telah saya tumpah ruahkan dalam blog ini. Diantara kisah-kisah itu ada satu peristiwa yang sungguh sayang dilewatkan, tentang seorang bule yang mampu membuka ruang penyadaran bagi hati, khususnya saya pribadi. Bahasa mistiknya wangsit, bahasa kerennya inspiring, dan bahasa spiritualnya HIDAYAH. Bagaimana kisahnya, simak coretan saya berikut. *** Sore yang cerah di jogja, saya berhasil menggaet sebuah cowok tinggi keren. Saya mendapatinya di selasar Malioboro. Menguntungkan. Sepertinya.. tapi lebih tepatnya menantang karena saya harus siap speakspeak bahasa Inggris lantaran dating ini dalam rangka tugas SOP. Muhammad Sajid Malik namanya, mengaku dariEngland. Setelah bincang-bincang cukup lama, diketahui Mr. Sajid ternyata seorang mualaf. Dia bertanya yang cukup bikin saya ingin nyungsepin pala karena tak tahu harus menjawab apa. "Disini negeri dengan mayoritas muslim terbesar. Napa saya lihat banyak orang kaya pakai mobil klakson sana klakson sini sementara saya
Siti Dzarfah Maesaroh
| 237
juga menyaksikan pemandangan banyak anak gembel/jalanan disetiap jalan yang dilalui mobil" Saya mantuk-mantuk tanda paham akan pertanyaannya. Dating yang harusnya menyenangkan ini berubah 180 haluan. Panik, kikuk, atau apalah saya kemudian. Karena jujur saja, saya masih cupu untuk memahami persoalan tersebut. Konteksnya tak sekedar si miskin dan si kaya, tapi sudah menyangkut kehidupan bernegara, analisa sekilas waktu itu. Beruntung waktu yang disediakan Mom Y untuk hunting bule menipis, tandanya saya harus segera berpisah. Sangat menyelamatkan muka he..he... Maklumlah, sebagai muslim saya tahu sendiri. Bisa saja saya kasih jawaban "Itu si kaya si kaya itu belum dapat hidayah" ehm.. Hidayah tu urusannya spirit, sedang si bule tu pasti butuh jawabanjawaban empiris lagi logic." atau secara tolol bisa dijawab "oo.. itu tergantung pribadinya masing-masing" . ha ha ha.. emang Mister sedang pelajaran diskusi di kelas. Yang menyusahkan karena dia mulaf. Bisa jadi masuknya dia sebagai muslim belum begitu bulat, masih cari-cari kebenaran. Kalau dengan orang muslim dia gagal menemukan jawaban tak mustahil dia nyari ke agama lain. Naudzubillah. **** Sampai di kosan, sel-sel di otak saya menari-nari mencari jawaban. Saya coba menghubungi sobat di surabaya. Jawabannya tidak memuaskan. Agaknya dia tidak terlalu pandai untuk urusan agama
238 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n macam gini. Beberapa nomer kawan yang saya hubungi hasilnya sama juga. Nihil. Mulai gusar hati saya. “Iya, napa terjadi pada negeri dengan jumlah muslim hampir 95% ini?” Pertanyaan bathin saya mulai menggeliat. Setiap saat saya juga menyaksikan fenomena ini, tapi koK ya tak seperti bule. Jangan-jangan Tuhan tak kasih hidayah buat saya sehingga apa yang disekitar adalah hal biasa. Tak perlu diresapi dan dipahami dengan ilmu. Semakin gusar. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya Al Quran sudah memperingatkan lewat Surah Al-Ma'un. Pokok isi surat ini menceritakan ancaman terhadap mereka yang tergolong mendustakan agama yakni mereka yang menghardik anak yatim, tidak menolong fakir miskin, riya'(ingin dipuji sesama manusia) dalam shalatnya, serta enggan menolong dengan barang-barang yang berguna. Tapi apalah artinya ancaman kalau mereka tidak membacanya. Alih-alih memahami. Jangan-jangan malah tidak tahu alif-ba-ta nya Kitab Suci. Mungkin para pemimpin sudah dibutatulikan oleh kehormatan dunia. Sangat berbeda dengan pribadi-pemimpin muslim jaman dulu. (Saya langsung menuduh pemimpin yang harus bertanggung jawab karena kondisi sosial dekat sekali urusannya dengan kemampuan mengelola negara. Apalagi dalam UUD sudah dijelaskan kalau anak-anak jalanan itu dipelihara oleh negara.)
Siti Dzarfah Maesaroh
| 239
Umar bin Abdul Aziz, misalnya. Beliau salah satu idola yang perlu diteladani setelah Rasulullah dan para sahabat. Setiap perbuatannya, terutama setelah menjadi khalifah sangat berarti bagi kaum muslimin saat itu. Bayangkan, tak lama setelah berkuasa beliau mengeluarkan seluruh hartanya dan mengembalikannya ke dalam harta kaum Muslimin. Perhatian Umar juga sangat besar kepada orang yang cacat. Umar langsung mengembalikan barang-barang atau harta yang diambil secara zalim pada pemerintahan sebelumnya. Umar pun menaruh perhiasan istrinya di baitul mal. Kemakmuran rakyat Umar, sampai-sampai pegawainya di Afrika tidak menemukan orang yang mengambil zakat. Mungkin kita berfikir bahwa kontribusi seperti itu hanya bisa dilakukan oleh seorang penguasa. Betul, inilah salah satu pelajaran yang bisa kita ambil. Kontribusi kita akan lebih besar kepada orang lain jika kedudukan kita lebih tinggi. Tapi yang bukan menjabat tidak bukan berarti tertutup peluang untuk menjadi teladan. Lagipula, kalau menunggu pemimpin bergerak sampai kapan keadilan sosial bisa terwujud?. Lagi-lagi saya bertanya dalam hati. Tak yakin dengan upaya bertanya ke teman saya coba blusukan ke internet. Mencari seorang masyarakat biasa tapi mampu menjadi teladan untuk perubahan negerinya. Eureka! Saya menemukan profil seorang warga Bangladesh yang baru saja mendapat Nobel di tahun 2006. Ia bernama Muhammad Yusuf. ia bukanlah seorang negarawan atau politikus. Ia seorang dosen
240 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n ekonomi yang kemudian mengabdikan hidupnya dengan mendirikan Bank Desa untuk mengentaskan kemiskinan di negaranya, Bangladesh. Melalui programnya, sekitar 47 ribu lebih pengemis di Bangladesh telah terbantu. Dan berkat program itu, kini ribuan pengemis di sana sudah mampu mandiri dengan menjadi pengusaha kecil, tanpa meminta-minta lagi. Puluhan ribu desa di Bangladesh kini juga sudah dirambahnya. Apa yang telah diraih dan dibuktikan oleh Muhammad Yunus sebenarnya bermula dari hal sederhana, yakni keinginan menolong seorang ibu untuk mengentaskannya dari kemiskinan. Saat itu, ia berpikir, untuk melakukan sesuatu yang dapat ia kerjakan sebagai sesama manusia guna mencegah kematian, walaupun hanya menyangkut satu orang saja. Ternyata, dari satu orang ibu, lama kelamaan semakin banyak ibu yang dibiayai oleh Yunus dari hasil meminjam uang di bank kampus tempat ia mengajar. Ia mampu meyakinkan pihak bank, bahwa orangorang desa bakal sanggup mengembalikan uang yang dipinjamnya. Dan ternyata benar, dari satu orang yang dibiayai Yunus, berkat kegigihan mendampingi dan membantu mereka, jumlah itu terus berkembang menjadi ratusan orang. Kemudian, dari satu desa berkembang menjadi ratusan desa. Sobat, apa yang bisa kita petik dari kisah Muhammad Yunus ini? Mulailah segala sesuatu dari yang sederhana, dari yang kecil, dari apa yang kita bisa. Asal dapat memberi manfaat bagi orang lain, dampaknya
Siti Dzarfah Maesaroh
| 241
akan terus menular dan berkembang menjadi kebaikan yang akan terus menjadi besar. *** Surah Al Maun, Kisah Umar dan Muhammad Yunus berikut mutiara hikmahnya bukanlah menjadi jawaban atas pertanyaan si Bule. Dalam kondisi yang darurat mencari solusi jauh lebih baik daripada berlarut-larut
mencari
penyebab.
Ujung-ujungnya
kita
malah
menyalahkan sesuatu. Cukup melihat cermin siapa diri ini sebenarnya, agar setelah melihat realitas di negeri 'muslim' ini tak berujung menyalahkan ajaran Islam dan menganggap belum sempurna . Sebab Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Mau taat atau tidak terserah. Pintu hati terbuka. Seakan hidayah baru saja turun. Saya pun tak lagi gusar meski belum menemukan jawaban atas pertanyaan si Bule. Tanpa sadar satu jemari mengklik tetikus yang merujuk kabar baru dari sebuah media online. Dalam-dalam saya membacanya hingga tak sadar air mata terurai.
“Terkadang saya terus berpikir, apa yang ditinggalkan dari kita setelah kita mati". Andai giliran si Bule mengetahui pertanyaan saya itu.
242 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Masih dalam kicauan Pelangi, kali ini bercerita sedikit tentang pengalaman saat
menjadi pengurus
HISBAN (Himpunan Santri
Banyumas). Cuplikan ini mengisahkan moment Bhakti Sosial Keagamaan di desa Karanggintung, kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Setahun lalu, tepatnya. Sebuah desa terpencil yang belum dikategorikan sebagai ‘desa maju’ ini cukup berisiko untuk disinggahi. Program tahunan organisasi daerah yang bernaung di bawah PP. Al Hikmah 2 ini menjadi tantangan tersendiri dan memberi kesan yang tak kan terlupakan dalam lintasan sejarah para peserta, panitia, juga warga setempat yang menjadi objek kegiatan ini. Berikut saya sisipkan sebuah kisah kepepet untuk menggantikan ngisi pengajian secara dadakan. Kisah ini saya tulis disela-sela mengikuti padatnya agenda kegiatan yang kala itu kebetulan dipinjami laptop milik redaksi M2Net.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 243
Apendix E
Risiko Penjaga Sekret 2, Membadali Peserta yang Belum Bisa “Mbak, dapat job baru”, seru Nana yang tergopoh-gopoh menghampiriku dikamar. “Job baru apaan? Mukanya serius amat. Amat aja nggak serius kok.”, canda saya. “Ah, Mbak bisa aja. Ini Mbak, dapat pesan dari pos sebelah.”, sambil mengambil posisi disamping saya, ia menyodorkan HP yang sudah SMS-nya siap dibaca. “Assalam.. Mbak, Kami dari pos 13, mushola Al Ikhlas. Mohon bantuan dari sekret 2 untuk mengisi pengajian ibu-ibu besok jam 1 siang. Karena dari kami tidak ada yang menyanggupi. Mohon dipertimbangkan. Terima kasih. Wassalam...”, begitu bunyi SMS-nya. “Terus, siapa yang mau kesana?”, saya langsung meminta kepastian dari Nana. “Nah, itu dia. Ka Umam dan Ka Khafidun tidak ada yang menyanggupi. Katanya mereka juga ada undangan dari mushola An-Nur.”, jelas Nana. “Ya udah. Nana aja, ya. Biar latihan ngomong di depan orang banyak. Key?”
244 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n “Waduuuhh...maaf deh, biar dibayar 1 juta aku tetap nggak bisa, Mbak. Mbak aja ya? Please....”, raut wajah yang amat memelas menggoyahkan pikiran saya. “Mbak kan yang dah biasa ngomong... biar nggak malu-maluin...”, rintihnya lagi. “Nana yang cantik.. dengerin Mbak! BSK itu bukan ajang nampang bagi yang sudah terbiasa. Tapi justru sarana latihan mental bagi mereka yang masih minder di depan umum, berlatih berani bicara bagi mereka yang pendiam, juga latihan bermasyarakat biar kita tidak canggung kalau sudah lulus dari pondok nanti. Jadi kalau disini hanya saling mengandalkan yang sudah terbiasa ya apa gunanya. Percuma, sia-sia kamu capek disini. Kalau disini kamu tidak aktif, siaplah menggendong tangan kosong sebagai oleh-olehnya. Paham?”, terpaksa saya keluarkan nada DO’ untuk menjelaskan hal itu padanya. “Iya, Mbak Damae. Tapi sekarang aku benar-benar tidak siap. Aku ingin lihat penampilan Mbak dulu deh. Biar ada contohnya.”, kilahnya. Huhhhffff.... memang susah ya ngasih tahu orang yang belum ingin bisa. Dari pada memperpanjang perdebatan, lebih baik saya mengalah. Toh dilanjutkan pun saya tidak akan menang. Jadilah saya berangkat ke pos 13 diseberang jalan raya. Kurang dari 10 menit perjalanan naik motor. Dengan diantar Mas Arief yang kebetulan
Siti Dzarfah Maesaroh
| 245
mau menjemput salah satu peserta di Bank. Hanya Bismillah yang saya genggam. Sejujurnya saya belum pantas untuk mengisi pengajian ibu-ibu. Selain ilmu saya masih sangat dangkal, sejatinya saya pun belum persiapan apa-apa. Tapi aku yakin, Allah bersama saya. “Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh...”, kalimat pertama. Kedua bola mata
saya lafalkan
ini berputar-putar, memandang
depan, samping kiri dan kanan. Saya coba menguasai keadaan, memuasatkan perhatian audience hanya untuk saya. Dengan begitu pikiran, penglihatan, dan pendengaran mereka fokus pada saya. Tidak penuh satu mushola memang, tapi sejumlah ibu-ibu yang hadir cukup membuat sayanervous karena baru pertama kali. “Sebelum saya lanjutkan, bolehkah saya mengomentari bacaan Yasin tadi, bu?”, pancing saya sedikit mengalihkan pembicaraan. Umpan yang empuk. Karena pengajian baru dimulai setelah pembacaan Yasin dan Tahlil selesai, makannya saya sedikit tahu gelagat ibu-ibu. Terbukti dari banyaknya kesalahan dalam membaca, saya bisa menebak kalau didaerah ini masih miskin pengetahuan agama. Entah karena tak ada yang mengajari atau gurunya sama-sama tidak tahu bagaimana benarnya? Kesempatan ini semakin memperlebar ruang gerak saya. Karena kalau bab tajwid saja belum tahu apalagi bab-bab lainnya.
246 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n “Terima kasih telah diperkenankan. Mungkin saya juga sama-sama belum bisa fasih dan 100 % benar dalam membaca Al-Qur’an. Tapi setahu saya, guru saya tidak mengajarkan seperti itu. Nah, sekarang saya kasih contoh membaca surat Yasin ala guru saya. Ibu silahkan menyimak dan menandai di mana sih bacaan ibu yang beda dengan bacaan saya? Atau kah sudah sesuai dan benar semuanya? Mari kita koreksi bersama. A’udzubillahiminassyithonirrojiim... Bismillahirrahmaanirrahiim... Yaasin.. Wal qur’aanilhakiim...” Akhirnya Yaasinan dua kali deh. Dari ayat pertama sampai “...wailaihi turja’uun” kuulang kembali. Meeka hanya mengangguk-angguk dan sedikit berbisik tentang bacaan yang beda dengan cara baca mereka. Alhamdulillah, mereka mau mengerti dan mau memperbaiki. “Selain kami memang tidak tahu bagaimana bacaan yang benar, kami juga tidak punya suara sebagus Mbak, jadi ya maklumlah... begini adanya.”, ibu berkaca mata yang sepertinya mengepalai majlis ini, angkat bicara. “Suara bukanlah nomor satu, bu. Yang penting tajwidnya benar. Karena kalau salah waqof saja bisa menyebabkan salah arti. Untuk pembelajaran lebih lanjutnya silahkan didalami bersama dua peserta BSK ini. Saya hanya memenuhi permintaan mereka untuk membadali.”,sambil melirik kedua peserta yang duduk disampingku, saya mencoba mengingat materi lain untuk menambahkan.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 247
“Oya, sebelum saya akhiri. Sedikit oleh-oleh untuk ibu-ibu majlis taklim mushola Al Ikhlas, saya akan menjabarkan point-point penting dalam Rukun Islam.”, he..he... sepertinya penjelasan itu sudah lebih dari cukup untuk ibu-ibu yang levelnya demikian. Ku jelaskan semua hal yang berkaitan dengan rukun islam. Anggukan mereka memberi isyarat bahwa mereka paham dengan apa yang saya sampaikan. Yang tadinya ngantuk langsung mengucek mata dan memperbaiki posisi duduknya. Yang sarungnya mlorot perlahan menarik keatas. Yang... apa lagi ya? Pokoknya seru deh! Tu kan, terbukti tidak sesulit yang Nana bayangkan... Sulit atau mudahnya sesuatu, tidak akan pernah diketahui sampai kamu mencobanya.
248 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Apendix F
Santri Al Hikmah 2 Juara Penulisan SEMARANG - Siti Dzarfah Maesaroh, santri putri Pondok Pesantren Al Hikmah 2, Benda, Sirampog, Kabupaten Brebes keluar sebagai juara pertama lomba penulisan antarsantri pondok pesantren seJateng. Siti menulis naskah berjudul ”Santri Katro, Dakwah KO” dengan alamat blogger MA Al Hikmah 2. Juara II Robith al Islamy dari Pondok Pesantren Kiai Parak Bambu Runcing, Parakan, Kabupaten Temanggung dengan karya berjudul ”Dakwah Multimedia Dakwah Era Modern”. Juara III Ghani Sana Absari, murid SMK Negeri 7 Semarang dengan tulisan berjudul ”Berdakwah melalui Teknologi Informasi”. Regional Marketing Manager PT Telkom Divre Jateng DIY Lementina menjelaskan, juara pertama mendapat hadiah laptop, sedangkan juara II dan III mendapat hadiah uang pembinaan. Penjurian dilakukan wartawan Suara Merdeka Agus Fathuddin Yusuf dan Agus Toto Widyatmoko. Hadiah akan diserahkan pada Sabtu (9/10) pukul 09.00 di aula Borobudur Gedung Telkom lantai 8 Jl Pahlawan No. 10, Semarang. Pada kesempatan itu juga digelar seminar nasional ”Internet pada Anak, Dampak, Strategi dan Perlindungannya”.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 249
Pembicara Sri Rahayu Tifatul Sembiring (pembina YKKI), Dr Endang Widyorini PSi (psikolog), Ridwan Sanjaya (praktisi IT), serta Arief Mustain (VP Product Management Telkom). Santri Menulis Ketua Panitia Sarasehan Jurnalistik Ramadan 2010 Agus Fathuddin Yusuf menjelaskan, lomba penulisan diikuti 36 peserta dari Ponpes Khozinatul ‘Ulum Kabupaten Blora; Ponpes Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara; Ponpes Kiai Parak Bambu Runcing, Parakan Temanggung; Ponpes Al Huda, Doglo, Candigatak, Cepogo, Boyolali; Ponpes Nurul Huda, Simbangkulon, Buaran, Kabupaten Pekalongan; Ponpes Al Hikmah 2, Benda, Sirampog, Brebes; Ponpes Al-Ikhya Ulumaddin, Kesugihan, Cilacap; Ponpes Al-Fattah, Demak, dan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) Kota Semarang. Tema tulisan yakni ”Dakwah melalui Teknologi Informasi” dan ”Aku Cinta Indonesia (ACI). ”Mereka sekaligus praktik pengiriman naskah melalui email,” katanya. Kebanyakan santri sudah menguasai teknik menulis dan pengirimannya. Namun tak sedikit yang hanya iseng mengirim puisi dan kata-kata. Penjurian juga dilakukan oleh tim dari Telkom dan Telkomsel. Para juara diharapkan hadir di Kantor Telkom untuk mengambil hadiah dengan membawa bukti diri. (B13-59)
250 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Apendix G
BISA 2010 Dibuka, Dua Siswa Malhikdua Raih Award Malhikdua tak hentinya mencetak generasi berbakat. Minggu kemarin, dua siswa Malhikdua, Ulfa (16) dan Siti Dzarfah Maesaroh (17) dianugerahi panitia sebagai penulis dan blogger terbaik pondok. Reward berupa baju spesial keluaran Alhikmahdua dot Net dan sandal jepit unik diberikan langsung oleh Gus Naser dalam acara Launching Program Menulis dan BISA2010 di di GOR Al Hikmah 2, Jum'at (23/04). Tak hanya dua hadiah tersebut, Sdr Arief yang hadir mewakili ICTWATCH juga menghadiahi buku terbaru seri Internet Sehat dan CD Norton Antivirus. Menurut Lukman Muttaqin, salah satu panitia program, diberikannya award untuk kedua siswa Malhikdua tersebut bukannya tanpa alasan. Ulfah yang saat itu mengenakan busana gamis orange dengan padanan jilbab merah telah menelorkan 26 judul novel bergenre percintaan dan 6 novel religi. Sementara Siti Dzarfah yang akrab dipanggil Damae adalah siswa yang cukup aktif dalam kegiatan blogging di Malhikdua. Sudah ratusan judul dihasilkan dalam kurun waktu 1 tahun. Selain ngeblog, siswa kelahiran Bandung 17 tahun silam itu juga menjadi penggiat pelatihan blog di sekolahnya.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 251
Sebagaimana kabar yang berkembang di pondok. Alhikmahdua Net menggelar BISA 2010 yang sedianya berlangsung per pekan selama 1 tahun atau sebatas kesanggupan panitia. Dan penganugerahan untuk keduanya menjadi pembuka
program. “Nantinya, setiap santri
berpeluang mendapat anugerah serupa, asal memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan seperti menulis kajian, resensi buku, reportase, dan lainlain.” Sambung lajang asli Tegal tersebut. (sm)
252 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Apendix H
Gadis Cerdas, Yo Pasti Siti donk… Santri siapa yang tak kenal dengan gadis berkacamata, berkerudung dan berbaju kurung layaknya Aisyah dalam AAC, layaknya Ana Athoufunnisa dalam KCB, dan Silfi di Dalam Mihrab Cinta. Siapa lagi kalo bukan Siti Dzarfah Maesaroh alias Damai Wardani, gadis kelahiran Bandung ini memang patut untuk diacungi jempol. Meski dia lebih dikenal dengan gadis pendiam disekitar kawan-kawannya, tapi sebenarnya dia gadis cerdas nan energik. Terbukti dengan prestasi terbaik yang ia peroleh dari tingkat pondok, Jawa Tengah, hingga ia bersama timnya bisa mengantongi prestasi tingkat 1 nasional. Kegiatan sekolah dan pondok yang padat tak jadi masalah bagi dia untuk terus mengembangkan bakat dan organisasinya. Selain sibuk dengan organisasi sekolah, dia juga dikenal sebagai broadcaster di TSANIA FM, radionya Alhikmah 2. Berbagai acara sudah pernah dia bawakan. Karena pengalamannya itu, dia dipercaya untuk mendampingi MENDIKNAS dalam acara Bincang-bincang Eksklusif seputar UAN kemarin tanggal 2 Januari 2011. Tak hanya membahas UAN, pak mentri yang akrab disapa M. Nuh ini sangat berkesan dan merasa bangga terhadap kemajuan Alhikmah 2. “Kesan saya untuk Alhikmah 2 dan tsania FM luar biasa, ini sesuatu yang
Siti Dzarfah Maesaroh
| 253
baru, dilihat dari fasilitas, tema-tema programnya luar biasa dan penyiarnyapun sangat cerdas,” kata M. Nuh dalam akhir acara. Pujian yang datang tak membuat gadis kecil ini berbangga diri, semoga dia bisa menularkan bakatnya ke santri yang lain dan bisa terus meningkatkan prestasi dimasa yang akan datang.
254 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Apendix I
Kalah di Elearning, Malhikdua Harus Puas Juara 2 Setelah melewati babak seleksi hingga berlanjut penjurian akhirnya pantia AMICTA menobatkan Malhkdua sebagai juara 2 Web SLTA Terbaik Nasional 2010. Juara 1 diraih oleh SMK Bhina Tunas Bhakti Juwana Pati. Moment yang sangat membahagiakan bagi dua sekolah tersebut berlangsung di Gedung Citra Amikom, Sabtu (12/6) pk 10 pagi tadi. Berdasar release di website AMIKOM, dari 67 sekolah ada 10 besar website sekolah terbaik yang dipilih, namun atas Keputusan Ketua Panitia AMICTA 2010 hanya diambil 2 Sekolah untuk menerima hadiah. Kegagalan Malhikdua menjadi juara 1 ini sebenarnya sudah diduga sebelumnya oleh pengelola web. Dimana 50% bobot lomba adalah pengimplementasian TIK dalam proses belajar mengajar atau Elearning. Sementara, jika menilik perkembangan di Malhikdua, elearning masih dalam taraf uji dan belum menyangkup keseluruhan aspek. Selain menobatkan website terbaik, AMIKOM Information and Communication Technology Award (AMICTA) 2010 juga memberikan hadiah kepada pemenang berbagai kompetisi TIK bagi civitas akademik
Siti Dzarfah Maesaroh
| 255
STMIK AMIKOM Yogyakarta. Pemenang dalam event tersebut menjadi wakil AMIKOM dalam INAICTA 2010. Lumayan untuk Modal Operasional Meski
juara
2,
kemenangan
Malhkdua
patut
disukuri.
Pengaruhnya cukup membantu roda organisasi terutama bagi para pengurus M2Net mengingat kondisi kas yang sudah sangat tipis untuk menjalankan situs berita. Menurut Damae Wardani, pemred Malhikdua, selama ini budget dari sekolah habis buat hosting, ISP, dan kebutuhan fisik lainnya. Sedang untuk kegiatan redaksi berasal dari iuran anggota dan sumbangan beberapa alumni. "Posisi di pondok membuat kami takut meminta anggaran." kata pemilik nama Siti Dzarfah tersebut. "Meski mampu mencitrakan sekolah, tapi kami tetap kuatir kegiatan kami malah dianggap mengganggu jadwal mengaji." Sambungnya. Benar saja, dilihat dari isinya, situs ini sangat berbeda dengan situs lain. Kegiatan offline berupa liputan di lapangan sangat mendominasi. Menurut Bu Ita yang saat itu hadir bersama Damae, butuh modal tambahan untuk melengkapi tools-tools wartawan seperti kamera, recorder, dan kegiatan-kegiatan organisasi semacam rapat, kaderisasi, hingga pelatihan-pelatihan updating dan jurnalistik. Itu belum termasuk pengembangan-pengembangan fitur yang harus selalu update teknologi.
256 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n "Ada rencana ngadain training dan motivasi untuk organisasi website ini agar anggota baru yang berjumlah 50-an siswa bisa solid. Tentu itu juga butuh biaya." Tambahnya. M2Net, lembaga Informasi yang dipimpinnya tersebut memiliki konsep unik dalam pengelolaan website. Tidak seperti umumnya website sekolah dikelola, M2Net memandang website sekolah sebagai media informasi, dan siswa-siswanya adalah aset yang berpotensi dalam memberikan informasi. Tak heran, berita yang disajikan sangat orisinil, jujur, dan aktual. Maju terus Malhikdua, semoga kemenangan ini menjadi jawaban atas permasalahan yang terjadi. (ncl)
Siti Dzarfah Maesaroh
| 257
Apendix J
Akhirnya Rebut Juara 1 Malhikdua berhasil menjadi juara 1 IOSA (Indonesia Open Source Award) Kategori SLTA yang diadakan oleh Universitas Gunadarma bekerjasama
dengan
Kementrian
Komunikasi
dan
Informasi
(Kemenkominfo), Kementrian Ristek dan Teknologi (Menristek), dan Kementrian Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan). Anugerah diberikan langsung kepada Faisol, selaku utusan sekolah, kemarin (28/7) di gedung Hotel Bidakara Ruang Birawa Tebet. Dari tingkat juara yang diterima, anugerah ini seperti sebuah urutan dari peningkatan prestasi tahun ke tahun, karena sebulan lalu, Malhikdua harus puas menduduki peringkat ke 2 dalam lomba website Nasional di Amikom. Dan 2 tahun sebelumnya Malhikdua memulai prestasi dengan menduduki rangking 4 di tempat yang sama dengan tahun ini. "Semoga prestasi ini bukan merupakan titik balik, lebih-lebih perjuagan kita masih panjang dalam membudayakan opensorce di sekolah." Kata alumni Malhikdua jurusan perikanan tersebut. Dalam lomba kali ini, Malhikdua menjadi pemenang karena faktor dukungan komunitas yang baik (M2net, red), walau memiliki anggaran terbatas, namun disiasati dengan perencanaan yang matang dan baik. "Memang sekolah belum menggunakan software open source
258 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n sepenuhnya, namun itu dimaklumi oleh panyelenggara karena untuk bermigrasi dari Software Preoperateri (bajakan) membutuhkan waktu, itu juga dialami oleh instansi-instansi pemerintah lain." Sambung lajang asal Banyumas saat chat dengan redaksi SCH. Seperti diberitakan sebelumnya, Indonesia Open Source Award (IOSA) 2010 merupakan suatu ajang pemberian penghargaan kepada instansi-instansi pemerintah, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, yang telah memulai pelaksanaan proses migrasi dan implementasi open source software di instansinya masing-masing. Penghargaan ini diberikan melalui serangkaian penilaian dan pengamatan di berbagai instansi pemerintah mengenai sejauh mana tingkat pemanfaatan dan pengimplementasian open source software dalam aktivitas organisasi mereka. Penyelenggaraan IOSA 2010 ini merupakan suatu kegiatan yang diprakarsai oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Asosiasi Open Source Indonesia (AOSI), serta Komunitas-komunitas Open Source.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 259
Apendix K
Ulat dibalik Pizza Hot “E….e..”, wajahnya bingung ketika menangkap kedua bola mata saya tiba-tiba. “Gimana, Pak, hasilnya?”, sergah saya tak sabar. “E.. Punya Kamu kok hiasannya sedikit sekali, ya?” “Maksud, Bapak?” “Ya, tulisan kamu memang… ya, saya akui bagus. Tapi kalau dilihat dari link-linknya, kemudian hiasan-hiasan seperti jam, kaligrafi, dan lain sebagainya itu kok sedikit sekali. Padahal itu kan yang lebih di utamakan. Sebagaimana yang sudah Kamu baca ketentuannya, disitu ada foto, animasi, desain grafis, dan kawan-kawannya, ya, kan? Jadi mohon maaf, dengan sangat terpaksa ya…”, sang juri menjelaskan. “Tapi, Pak, disitu kan tidak tertulis sistem penilian fasilitas yang lebih di utamakan. Dan…”, saya bukan tipe gadis ‘ngalahan’. “Iya, kan ini membuat blog dari nol. Jadi mau tidak mau unsur-unsur itu justru dipentingkan. Ya, jadi mohon maaf sekali. Ya, nggak apa-ap, ya? mungkin lain kali bisa diperbaiki lagi”, Bapak hampir 40 tahunan itu pun berlalu. Aahgg….SYITTT!!! Mendung diwajah kian basah. Impian itu telah hancur. Lebur bersama sakitnya hati ini. Kenapa? Kenapa saya tiba-tiba diam seribu bahasa tak berani membela. Kenapa saya tak mengucapkan sepatah kata pun tuk menepis kepalsuan itu? Ya, itu palsu. Munafik. Itu hanya trik. Trik kemenangan yang amat licik.
260 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n “Selamat, ya. Selamat berjuang ke Provinsi. Bawalah nama baik Brebes. Dan jadilah Pemenang Sejati” Huhhfff… Kenapa? Kenapa justru itu yang keluar dari mulut ini? Sebuah ucapan yang sangat menyakitkan. Ucapan yang menusuk hati. Karena kemenangan itu… Kemangan itu… Adalah milikku. Ya, Akulah Pemenangnya! Akulah Sang Juara. Akulah yang pantas mendapat ucapan itu. Karena kemenangan yang ia raih hanya sebuah rekayasa. Hanya kepalsuan belaka. Hanya titipan demi nama baik sebuah lembaga. Inikah kemengan yang hakiki? Hhhhh…..Hiks..hiks.. “Sudahlah, Mae! Anggap ini sebuah permainan. Karena mereka pun hanya bermain-main dalam ajang ini. Apa pun yang terjadi, Kita semua tahu kok capability-nya Kamu kayak apa. Enjoy aja. Syukuri karena Damae telah mendapat pengalaman yang amat berharga. Ok”, belai lembut bu guru bak setetes embun yang menyejukkan hati. “Tapi, bu, andai tadi saya berani menampik semua yang dikatakan juri, pasti mata mereka akan terbuka, bu, kalau…. hiks..hiksss”, saya tak kuasa menahan air mata. “Iya, ibu paham. Tapi…” “Bu, saya bisa membaca mata juri itu kalau juri itu bohong! Juri itu pasti sudah dibayar agar sekolah mereka yang menang. Harusnya bukan saya yang disalahkan, tapi mereka. Apa juri itu tidak melihat bahwa desain blog saya justru desain grafis murni, sementara punya mereka hanya memakai blogspot dan itu pun templatenya tidak dirubah. Juri itu bilang punya saya tidak ada link-linknya, padahal kan lebih dari sepuluh sudah terpasang disitu
Siti Dzarfah Maesaroh
| 261
termasuk wordpress yang juri itu bilang. Punya saya dikata tidak ada animasinya, padahal hiasan animasi yang mereka maksud hanya permainan widget yang copas dari blog lain, sementara punya saya bikin sendiri. Dan itu tidak dijelaskan dalam ketentuan. Bu, saya yakin mereka menyembunyikan informasi itu agar saya kalah, bu.” “Sssssssssttttt….tenang, Damai. Tenang. Bukan cuma Kamu yang mengalaminya, tapi kita semua. Ya, hampir saja tadi ibu terjerumus dalam politik kemenangan mereka. Tapi Ibu sudah tahu bahwa ini hanya permainan” “Apa, bu?” “Iya, informasi yang kita terima juga salah semua. Lihatlah, mereka juga kecewa sama seperti kamu” “Bulsyyyyitttt! Saya tidak butuh kemengan itu! Saya butuh keadilan, bu! Persaingan yang sehat! Bukan kepalsuan seperti ini. Mereka PECUNDANG, bu! Pe..cun..dang…!”, Hiks..hiks.. Rangkulan bu guru terlepas seketika, saya berlari menjauh dari wajah-wajah kecewa itu. Berlari…dan terus mengejar matahari. Silau sinarnya begitu terasa. Memaksa mata ini terpejam agar terhindar dari hantamannya. Tapi panasnya mentari tak lebih dari panasnya keganasan penipuan mereka. Ya, PENIPU!! Duhai…Sang Juara ***Censor*** ! Puaskah kalian dengan kemenangan itu? Makanlah itu! Makanlah! Sepuasnya! Saya tidak butuh kemenangan dalam kelicikan! Saya butuh keadilan!
262 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Saya tidak rela Kota Brebes di harumkan oleh tangan-tangan kotor seperti kalian Saya tidak sudi menjadi saksi sejarah generasi penerus bangsa yang bobrok mentalnya seperti kalian Saya pun tak kan membiarkan nama Islam tercoreng karena ulah kalian Karena kemenangan itu Kemanangan yang kalian banggakan Kemenangan yang kalian impikan Dan kemenangan yang amat kalian inginkan Hanyalah seonggok sampah busuk yang terbungkus kain sutra Kemenangan yang menipu bangsa Kemenangan yang menumbuhkan sakit hati Dibalik senyum getir lawan kalian yang berjiwa besar! Nikmatilah ulat yang berwujud pizza hot Habiskanlah Sampai perut kalian buncit Menimbun kenikmatan itu! Huhfff….Entah sampai mana kaki ini berlari…dan entah sampai kapan tangisan ini berhenti… Allah Maha Melihat Segalanya. Bukankah kehidupan ini memang sudah disketsa dengan prinsip keseimbangan? Ada hujan, ada panas. Ada mendung juga ada cerah. Dan tentu ada menang juga ada kalah. Tapi kata Rosul, Pemenang sejati bukan lah orang yang selalu memegang piala sang juara, melainkan orang yang mampu mengekang hawa nafsu.
Siti Dzarfah Maesaroh
| 263
Apendix L
Asal Bapak Senang Ini memang bukan pertama. Ya, untuk kesekian kalinya. Saya kembali mendapat undangan untuk menghadiri Pelatihan Jurnalistik. Suatu kehormatan memang. Karena tak semuaorang mendapat kesempatan ini. Bahkan ada salah satu diantara peserta yang bilang begini, "Benar apa kata Ust. Fauzan. Kalau impian tumbuh dari hati, maka Allah lah yang akan memberi jalan tuk meraih impian itu. Mungkinkah ini jalanku tuk bisa mewujudkan impian itu? Aku ingin menjadi seorang jurnalis". Itu yang ia bisikkan ketika saya menawarinya untuk ikut dalam pelatihan. (Jadi terharu). Tapi...Sepertinya hal ini kurang bersahabat dengan saya. Karena moment kurang pas dengan kondisi benang pikiranku yang ruwet. Persis kaya benang bundet. Jadilah setengah hati saya mengikutinya. Terlebih tiba-tiba bertemu beberapa tamu dari Crew Radio Dais Semarang yang terlantar di sudut belakang ruangan. Kasihan sekali melihat mereka. Tak satu pun panitia menemani.Sementara saya kenal baik dengan mereka, karena selain pernah berkunjung kesana, saya juga sempat menimba ilmu mereka di dunia broadcast. Jadilah saya nyambi. Jadi peserta sekaligus melayani mereka. Untung mereka mau istirahat distudio radio yang masih berantakan tanpa saya temani karena tentu saja saya harus kembali ke tempat acara.
264 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n Meskipun sedikit terlihat kecewa ketika saya mengalihkan guide jalan keliling Al Hikmah pada Gus Imad (Manager radioTsania). Sebenarnya bisa nego untuk memenuhi permintaan mereka, tapi saya juga tak bisa meninggalkan anak-anak yang saya ikutkan pelatihan. Karena tentu mereka akan mencari-cari keberadaan saya. Untuk itulah..saya harus kembali. Huhhhffffffffff................... Batapa tak terkira kalau agenda setelah upacara pembukaan ba'da dhuhur masih lanjut ajang promosi. Ya, setengah hari di season pertama tertulis Pelatihan Blog dan Sosialisasi Internet sehat, tapi the real-nya? Memang tak bisa di pungkiri kalau hal itu disampaikan, tapi tak lebih sebgaia sisipan. Ibarat makanan mungkin itu penyedap rasa. Karena bahan utamanya bukan itu. Tapi...promosi. Ya, sekali lagi, promosi. Tentu saja. Mana ada sih perusahaan yang mau rugi? Konteksnya memang "Gerakan Santri Menulis"dalam Saresehan Jurnalistik Ramadhan 2010, tapi itu hanya lebel saja. Isinya? Siapa bisa menduga kalau acara itu dikemas sedemikian rupa cantiknya tapi hasilnya? Nihil. Karena tak satu pun sponsor yangpure, murni memberikan materi. Hampir semuanya 90 % promo, 10 % ilmu. Kalau sudah begini, salah kah saya kalau menganalisa bahwa acara itu hanya sebagai jembatan membuat laporan. Laporan perusahaan agar tidak dianggap menyalah gunakan dana sosial yang harus disalurkan. Mungkin pula laporannya "Asal Bapak senang". Asal
Siti Dzarfah Maesaroh
| 265
Atasan tahu kegiatannya dan lulus akreditasi bila sewaktu-waktu ada peninjauan dari pemerintah (padahal saya sama sekali belum tahu dunia perusahaan lho, itu juga dikasih tahu orang yang pernah bergelut di perusahaan, semoga benar). Ya, terbukti inti acara justru diletakkan paling belakang dan itu pun tak lebih dari 2 jam.Tentu saja tidak efektif karena konsentrasi sudah buyar, energi juga habis,maghrib pun hampir menjelang. Akibatnya, sekenanya deh.
266 | M e n g u r a i M i m p i M e r e t a s K e g a g a l a n
Kegagalan dapat dibagi menjadi 2 sebab. Yakni, orang yang berpikir tapi tidak pernah bertindak dan orang yang bertindak tapi tidak pernah berpikir. [Anonim]
Perbedaan semangat dan tergesa-gesa amat tipis. Semangat memiliki rencana, tergesa-gesa tidak. [Anonim]