SEORANG LAKI-LAKI 66 TAHUN DENGAN BEKAS TB, NEGLECTED FROZEN SHOULDER DEXTRA, DAN DECONDITIONING SYNDROME
Oleh : Rizky Saraswati Indraputri G99141129
Pembimbing : dr. Trilastiti Widowati, Sp KFR
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2015
STATUS PENDERITA I. ANAMNESA A.
Identitas Pasien Nama
: Tn. S
Umur
: 66 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Tegalarum, Surakarta
Status
: Sudah Menikah
Masuk rumah Sakit : 21 Juni 2015
B.
Tanggal Periksa
: 23 Juni 2015
No CM
: 01-22-31-00
Keluhan Utama Batuk sejak 6 hari yang lalu
C.
Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan batuk sekitar 6 hari SMRS. Batuk dirasakan hilang timbul. Lebih sering kambuh ketika malam hari. Batuk tidak berkurang dengan pemberian obat. Batuk disertai dengan dahak warna putih kekuningan, batuk darah (-), sesak nafas (+) bersamaan dengan batuknya. Sesak nafas dirasakan terus menerus, membaik jika pasien posisi duduk. Tidak dipengaruhi suhu dan cuaca. Pasien juga merasa nyeri pada bahu sebelah kanan. Nyari dirasakan sejak 6 bulan SMRS. Nyeri tidak menjalar dan dirasakan terutama bila bahu digerakkan. Nyeri berkurang bila bahu tidak digunakan untuk beraktivitas. Nyeri dirasakan muncul mendadak dan tidak diketahui penyebabnya. Nyeri pada bahu dirasakan pasien mengganggu aktivitas.
Pasien juga mengeluhkan nyeri di bagian perut bagian tengah sejak 1 tahun yang lalu, namun nyeri berkurang dengan pemberian makanan. Pasien rutin mengkonsumsi obat sakit lambung sejak 1 tahun yang lalu. Mual (-), muntah (-), demam (-), BAK pasien sebanyak ¼- ½ gelas perhari, warna kuning jernih, nyeri saat pipis (-), kencing berdarah (-). BAB pasien 1x/hari tidak terasa nyeri dan panas. D.
Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Jatuh
: (+) + 20 tahun yang lalu, patah tulang bahu.
Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: (+) sejak 1 tahun yang lalu tapi tidak kontrol berobat
Riwayat Penyakit Jantung
: disangkal
Riwayat Alergi obat/makanan
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
Riwayat TB
: Tahun 2008, pasien mengkonsumsi OAT selama 6 bulan secara lengkap dan sembuh. Tahun 2013 pasien kembali masuk rumah sakit terdiagnosa TB, namun sudah mengkonsumsi OAT selama 6 bulan dan kembali sembuh. Hal ini menyebabkan pasien tirah baring lebih lama.
E.
Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat Penyakit Jantung
: disangkal
Riwayat Alergi
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
Riwayat TB
: disangkal
F.
Riwayat Kebiasaan dan Gizi Riwayat Merokok
: (+) sudah lebih dari 15 tahun
Riwayat minum alkohol
: (–)
Riwayat Olahraga
: (+)
G.
Riwayat Sosial Ekonomi Pasien adalah seorang laki-laki sudah menikah, tinggal bersama istri dan anaknya. Pasien merupakan petani. Makan 3 kali sehari dengan lauk pauk. Pasien memeriksakan diri dengan BPJS.
II. PEMERIKSAAN FISIK A. Status Generalis Keadaan umum sakit sedang, compos mentis E4V5M6, gizi
kesan
kurang B.
C.
Tanda Vital Tekanan darah
: 140/80 mmHg
Nadi
: 104 x/ menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur
Respirasi
: 22 x/menit, irama teratur, tipe thoracoabdominal
Suhu
: 37,5 0C per aksiler
VAS
: 4 regio bahu
Kulit Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venectasi (-), spider naevi (-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).
D.
Kepala Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam beruban, tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).
E.
Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan tak langsung (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-) F.
Hidung Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
G.
Telinga Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
H.
Mulut Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-),lidah simetris, lidah tremor (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-)
I.
Leher Simetris, trakea di tengah, step off (-), JVP (R+2) ,limfonodi tidak membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-), kaku (+)
J.
Thoraks a.
Retraksi (-)
b.
Jantung Inspeksi
: Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi
: Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler, bising (-). c.
Paru Inspeksi
: pengembangan dada kanan = kiri, gerakan paradoksal (-)
Palpasi
: fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
: sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar ( vesikuler / vesikuler ), Wheezing (-/-), RBK +/+ K.
Trunk
Inspeksi
: deformitas (-), skoliosis (-), kifosis
(-),
lordosis(-)
L.
Palpasi
: massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)
Perkusi
: nyeri ketok kostovertebra (-)
Abdomen Inspeksi
: dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) Perkusi
: tympani
Palpasi
: supel, nyeri tekan (+) epigastrium, hepar tidak teraba, bruit (-) dan lien tidak teraba
M.
Ekstremitas Oedem -
-
Akral dingin -
-
Disuse atropi (+/+) pada kedua tungkai atas dan bawah N.
Status Neurologis a. Kesadaran
: GCS E4V5M6
b. Fungsi luhur
: dalam batas normal
c. Fungsi otonom
: dalam batas normal
d. Fungsi sensorik
:
- Rasa Eksteroseptik
: suhu, nyeri, dan raba dalam batas normal
- Rasa Propioseptik
: getar, posisi, dan tekan dalam batas normal
e. Fungsi motorik
:
Kekuatan
Tonus
1/5/5 5/5/5
N
2/2/2 2/2/2
N
R. Fisiologis
N N
+2 +2
R. Patologis
+2
+2
-
-
-
f. Nn. craniales 1) 2) 3) 4)
N.II, III : pupil isokhor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+) N.III, IV, VI : gerak bola mata normal N.VII : dalam batas normal N.XII : dalam batas normal
Range of Motion (ROM) NECK Flexi Extensi Lateral bend Rotasi EKSTREMITAS SUPERIOR Shoulder
Elbow
Wrist
Finger
Fleksi Ekstensi Abduksi Adduksi External Rotasi Internal Rotasi Fleksi Ekstensi Pronasi Supinasi Fleksi Ekstensi Ulnar deviasi Radius deviasi MCP I fleksi MCP II-IV
ROM Aktif 0 – 700 0 – 400 0 – 600 0 – 900 ROM AKTIF Dextra Sinistra sde 0-45 sde 0-45 sde 0-90 sde 0-30 sde 0-30 sde 0-30 0-135 0-135 135-180 135-180 0-90 0-90 0-90 0-90 0-90 0-90 0-70 0-70 0-30 0-30 0-30 0-30 0-45 0-45 0-45 0-45
Pasif 0 – 700 0 – 400 0 – 600 0 – 900 ROM PASIF Dextra Sinistra sde 0-45 sde 0-45 sde 0-40 sde 0-30 sde 0-30 sde 0-45 0-135 0-135 135-180 135-180 0-90 0-90 0-90 0-90 0-90 0-90 0-70 0-70 0-30 0-30 0-30 0-30 0-90 0-90 0-90 0-90
fleksi DIP II-V fleksi PIP II-V fleksi MCP I ekstensi
0-45 0-45 0-10
0-45 0-45 0-10
0-90 0-100 0-30
EKSTREMITAS INFERIOR
ROM AKTIF Dextra Sinistra Fleksi Sde sde Ekstensi Sde sde Abduksi Sde sde Adduksi Sde sde Eksorotasi Sde sde Endorotasi Sde sde Fleksi 0-120 0-120 Ekstensi Sde sde Dorsofleksi Sde sde Plantarfleks Sde sde i
Hip
Knee Ankle
0-90 0-100 0-30
ROM PASIF Dextra Sinistra 0-60 0-60 0-30 0-30 0-45 0-45 0-30 0-30 0-30 0-30 0-30 0-30 0-110 0-110 sde Sde 0-30 0-30 0-30 0-30
Manual Muscle Testing (MMT) NECK Fleksor M. Strenocleidomastoideus
:
5
:
5
Ekstensor
Shoulder
Ekstremitas Superior Fleksor M Deltoideus anterior M Biseps Ekstensor M Deltoideus anterior M Teres mayor Abduktor M Deltoideus M Biceps Adduktor M Lattissimus dorsi M Pectoralis mayor Internal M Lattissimus dorsi M Pectoralis mayor Rotasi Eksternal M Teres mayor M Infra supinatus Rotasi
Dextra 1
Sinistra 5
1 1
5 5
1 1 1 1 1 1 1 1 1
5 5 5 5 5 5 5 5 5
Elbow
Fleksor
Wrist
Ekstensor Supinator Pronator Fleksor
M Biceps M Brachialis M Triceps M Supinator M Pronator teres M Fleksor carpi radialis M Ekstensor digitorum M Ekstensor carpi radialis M ekstensor carpi ulnaris M Fleksor digitorum M Ekstensor digitorum
Ekstensor Abduktor Adduktor Finger
Hip
Knee Ankl e
Fleksor Ekstensor
Ekstremitas inferior Fleksor M Psoas mayor Ekstensor M Gluteus maksimus Abduktor M Gluteus medius Adduktor M Adduktor longus Fleksor Harmstring muscle Ekstensor Quadriceps femoris Fleksor M Tibialis Ekstensor
M Soleus
Status Ambulasi Dependent
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Radiologi 21 juni 2015 Foto Rontgen Thoraks:
5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5
5
5
5
5
5
5
5 5
5 5
Dextra 2 2 2 2 2 2 2
Sinistra 2 2 2 2 2 2 2
2
2
Cor: besar dan bentuk normal, tampak kalsifikasi aortic knob Pulmo:
tampak
fibroinfiltrat
di
supra-parahiler
kanan,
tampak
fibroinfiltrat di paracardial kiri Sinus costophrenicus kanan tajam, kiri tertutup perselubungan Hemidiaphragma kanan normal, kiri tenting Trakhea di tengah Skema tulang baik Kesimpulan: TB paru lama aktif Aortosclerosis Pemeriksaan Laboratorium 21 Juni 2015 Pemeriksaan Hemoglobin Leukosit Hematokrit Trombosit Eritrosit Natrium darah Kalium darah Clorida darah SGOT SGPT Albumin Ureum Kreatinin GDS HBsAg PH BE PCO2 PO2 Hematokrit HCO3 Total CO2 Saturasi
Hasil Satuan DARAH RUTIN 13,8 g/dl 12.1 ribu/ul 43 % 244.000 /ul 4.85 106/ul ELEKTROLIT 133 Mmol/L 4.0 Mmol/L 96 Mmol/L KIMIA 29 u/l 15 u/l 3,9 g/dl 28 mg/dl 0,4 mg/dl 167 Mg/dl Nonreactive Analisis Gas Darah 7.362 0.7 Mmol/L 47.9 mmHg 149.1 mmHg 41 % 24.7 Mmol/L 24.2 Mmol/L 99.2 %
Rujukan 13,5-17,5 4.500 – 11.800 33-45 150.000-450.000 4,5-5,9 136 – 145 3.7 – 5.4 98 – 106 <35 <45 3.2 – 4.6 10-50 0,9-1,3 60-140 7.310-7.420 -2 - +3 27.0 – 41.0 80.0-100.0 37-50 21.0 – 28.0 19.0-24.0 94.0-98.0
IV. ASSESMENT 1. Bekas TB dd TB relaps 2. Neglected Frozen Shoulder Dextra 3. Deconditioning syndrome V. PENATALAKSANAAN Terapi Medikamentosa : O2, 2-3 L / menit Infus RL 20 tpm NAC 3x200 mg Ceftriaxone 2gr/24 jam Omeprazole 400 mg/12 jam Meloxicam tab 3 x 1 Non medikamentosa : Fisioterapi Infra Red, TENS VI.
DAFTAR MASALAH
Problem Medis
: Batuk dan sesak Frozen shoulder joint dextra Deconditioning Syndrome
Problem Rehabilitasi Medik 1. Fisioterapi :
Retensi sputum, Gangguan
gerak (keterbatasan gerak pada ekastremitas atas) 2. Terapi wicara
: Tidak ada
3. Okupasi Terapi
:
Gangguan
dalam
melakukan aktivitas fisik sehari-hari (Activity Daily Living (ADL)) 4. Sosiomedik :
Memerlukan
melakukan aktivitas sehari-hari
bantuan
untuk
5. Ortesa-protesa
:
memerlukan
alat
fiksasi bahu 6. Psikologi
:
Beban pikiran pasien dan
keluarga dalam menghadapi penyakit penderita
Rehabilitasi Medik: 1.
Fisioterapi
:
Batuk dan sesak chest physical therapy:
-
breathing control
-
deep breathing
-
latihan batuk
-
chest expansion exercise
-
postural drainage
Frozen Shoulder dextra a.Alih baring tiap 2 jam b.
Stretching exercise sendi yang kaku untuk mencegah kontraktur
c.ROM exercise aktif dan pasif 2.
Terapi wicara: tidak ada
3.
Okupasi terapi a.
:
Melatih keterampilan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari (ADL) b. Latihan meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS) bahu kanan c. 2.
Latihan hemat energi Sosiomedik
:
a.
Menilai situasi kehidupan pasien
b.
Mengembalikan pasien dalam keluarga dan lingkungan
peran
social
c.
Motivasi dan edukasi keluarga untuk membantu dan merawat penderita dengan selalu berusaha menjalankan program di RS dan Home program
3.
Ortesa-Protesa : fixator bahu 4. Psikologi
: Psikoterapi suportif untuk mengurangi
kecemasan pasien dan keluargadalam menghadapi penyakit pasien. VII. IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP Impairment
: Bekas TB, Dislokasi shoulder joint dextra
Disability
: Batuk, Sesak nafas, Penurunan fungsi anggota gerak atas
Handicap
: Keterbatasan
melakukan
aktivitas
sehari-hari,
menjalankan pekerjaan dan kegiatan sosial VIII. PLANNING Planning diagnostik
: Cek sputum BTA, Spirometri (bila stabil), foto rontgen shoulder
Planning terapi
: kontrol rutin untuk fisioterapi 2 kali dalam seminggu
hingga
total
6
kali
fisioterapi,
kemudian evaluasi. Planning Edukasi
:
- Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa terjadi - Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan - Edukasi untuk home exercise dan ketaatan untuk melakukan terapi Planning monitoring : evaluasi hasil medika mentosa dan rehabilitasi medik
IX. TUJUAN 1.
Perbaikan keadaan umum seingga dapat kembali melakukan ADL
2.
Mencegah terjadinya komplikasi yang dapat memperburuk keadaan
3.
Meminimalkan
impairment,
disability
dan
handicap 4.
Membantu penderita sehingga mampu mandiri dalam menjalankan aktivitas sehari-hari
5.
Edukasi perihal home exercise
X. PROGNOSIS Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanam
: dubia ad bonam
Ad fungsionam
: dubia ad bonam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.
TUBERKULOSIS Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. TB terutama menyerang paru-paru sebagai tempat infeksi primer. Selain itu, TB dapat juga menyerang kulit, kelenjar limfe, tulang, dan selaput otak. TB menular melalui droplet infeksius yang terinhalasi oleh orang sehat. Pada sedikit kasus, TB juga ditularkan melalui susu. Pada keadaan yang terakhir ini, bakteri yang berperan adalah Mycobacterium bovis. Etiologi Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan (Basil Tahan Asam). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorman selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA positif kepada orang yang berada disekitarnya, terutama yang kontak erat. Manifestasi Klinis Gejala Umum : · Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih Gejala lain yang sering dijumpai : · Dahak bercampur darah · Batuk darah · Sesak nafas dan rasa nyeri dada
· Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari satu bulan. Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfibris), badan kurus atau berat badan menurun. Tempat kelainan lesi TB yang perlu dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai infiltrat yang agak luas, maka akan didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi nafas bronkial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronkhi basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikular melemah. Pemeriksaan penunjang - Tuberculin skin testing Dilakukan dengan menginjeksikan secara intracutaneous 0.1ml Tweenstabilized liquid PPD pada bagian punggung atau dorsal dari lengan bawah. Dalam wkatu 48 – 72 jama, area yang menonjol (indurasi), bukan eritema, diukur. Ukuran tes Mantoux ini sebesar 5mm diinterpretasikan positif pada kasus-kasus : 1. Individu yang memiliki atau dicurigai terinfeksi HIV 2. Memiliki kontak yang erat dengan penderita TB yang infeksius 3. Individu dengan rontgen dada yang abnormal yang mengindikasikan gambaran proses penyembuhan TB yang lama, yang sebelumnya tidak mendpatkan terapo OAT yang adekuat 4. Individu yang menggunakan Narkoba dan status HIV-ny tidak diketahui Sedangkan ukuran 10mm uji tuberculin, dianggap positif biasanya pada kasus-kasus seperti : 1. Individu dengan kondisi kesehatan tertentu, kecuali penderita HIV 2. Individu yang menggunakan Narkoba (jika status HIV-ny negative) 3. Tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, populasi denganpendapatan yang rendah, termasuk kelompok ras dan etnik yang beresiko tinggi
4. Penderita yang lama mondokdirumah sakit 5. Anak kecil yang berusi kurang dari 4 tahun Uji ini sekarang sudah tidak dianjurkan dipakai,karena uji ini haya menunjukkan ada tidaknya antibodi anti TB pada seseorang, sedangkan menurut penelitian, 80% penduduk indosia sudah pernah terpapar intigen TB, walaupun tidak bermanifestasi, sehingga akan banyak memberikan false positif. - Pemeriksaan radiologis 1. Adanya infeksi primer digambarkan dengan nodul terkalsifikasi pada bagian perifer paru dengan kalsifikasi dari limfe nodus hilus 2. Sedangkan proses reaktifasi TB akan memberikan gambaran : a) Nekrosis b) Cavitasi (terutama tampak pada foto posisi apical lordotik) c) Fibrosis dan retraksi region hilus d) Bronchopneumonia e) Infiltrate interstitial f) Pola milier g) Gambaran diatas juga merupakan gambaran dari TB primer lanjut 3. TB pleurisy, memberikan gambaran efusi pleura yang biasanya terjadi secara massif 4. Aktivitas dari kuman TB tidak bisa hanya ditegakkan hanya dengan 1 kali pemeriksaan rontgen dada, tapi harus dilakukan serial rontgen dada. Tidak hanya melihat apakah penyakit tersebut dalam proses progesi atau regresi. - Pemeriksaan darah Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadangkadang meragukan, tidak sensitif, tidak juga spesifik. Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Jika penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal, dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Bisa juga didapatkan anemia ringan dengan
gambaran normokron dan normositer, gama globulin meningkat dan kadar natrium darah menurun. -
Pemeriksaan sputum Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannnya kuman BA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Kriteria BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. TIPE PENDERITA Tipe
penderita
ditentukan
berdasarkan
riwayat
pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita, yaitu : 1. Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian) 2. Kambuh (relaps) Adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapatkan terapi TB dan etlah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif 3. Pindahan (transfer in) Adalah penderita TB yang sedang mendapatkan pengobatan disuatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita tersebut harus membawa surat rujukan/pindahan (FORM TB 09) 4. Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/drop-out) Adalah penderita TB yang kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif setelah putus berobat 2 bulan atau lebih. 5. Gagal -
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
-
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih. Adalah penderita BTA negative, rontgen positif yang menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan. 6. Lain-lain
Semua penderita lain yang tidak memenuhi persyaratan tersebut diatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah kasus kronik (adalah penderita yang masih BTA positif setelah menyelesaikan pengobatan ulang dengan kategori 2) Pengobatan tuberkulosis a) Isoniasid ( H ) Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sanat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang,Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kk BB,sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB. b) Rifampisin ( R ) Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi –dormant ( persister ) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk mengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu. c) Pirasinamid ( Z ) Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB ,sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB. d) Streptomisin ( S ) Bersifat bakterisid . Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama penderita berumur sampai 60 tahun dasisnya 0,75 gr/hari sedangkan unuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari. e) Etambulol ( E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg/BB. Prinsip Pengobatan Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh.Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obot , pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT=Direcly Observed Treatment) oleh seorang pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan. a. Tahap Intensif Pada tahap intensif ( awal ) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OATterutama rifampisin . Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalamkurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif ( konversi ) pada akhir pengobatan intensif. b. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit , namum dalam jangka waktu yang lebih lama. Pengawasan ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister ( dormant ) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
2.
Frozen Shoulder Definisi Sindroma frozen shoulder adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya suatu reaksi peradangan kronik dan kekakuan bahu yang didahului dengan
bursitis,
tendonitis
dan
kapsulitis
pada
daerah
persendian
glenohumeral sehingga pergerakkannya terganggu dan timbul nyeri (sakit).3 Anatomi Bahu terdiri dari 7 sendi, yaitu glenohumeralis, suprahumeralis, acromioclavicularis, scapulocostalis, sternoclavicularis, costosternalis dan costovertebralis. Sendi glenohumeral mempunyai peranan yang penting dan merupakan sendi yang paling mobile dari ketujuh sendi tersebut.3 Gerakan-gerakan pada sendi bahu terdiri dari fleksi-ekstensi, abduksiadduksi dan endorotasi-eksorotasi. Lingkup gerak sendi bahu dalam keadaan normal yaitu fleksi 180°, ekstensi 60°, abduksi 180°, adduksi 75°, endorotasi 90° dan eksorotasi 90°.3 Epidemiologi Onset frozen shoulder terjadi sekitar usia 40-60 tahun. Dari 2-5 % populasi sekitar 60 % dari kasus frozen shoulder lebih banyak mengenai perempuan dibanding laki-laki. Frozen shoulder juga terjadi pada 10-20 % dari penderita diabetes mellitus yang merupakan salah satu faktor resiko frozen shoulder.2 Etiologi Penyebab frozen shoulder tidak diketahui, diduga penyakit ini merupakan respon auto immobilisasi terhadap hasil-hasil rusaknya jaringan lokal. Meskipun penyebab utamanya idiopatik, banyak yang menjadi predisposisi frozen shoulder, selain dugaan adanya respon auto immobilisasi seperti yang dijelaskan di atas ada juga faktor predisposisi lainnya yaitu usia,
trauma berulang (repetitive injury), diabetes mellitus, kelumpuhan, pasca operasi
payudara
sendi glenohumeral
atau
dada
(tendonitis
dan
infark
bicipitalis,
miokardia, infalamasi
dari rotator
dalam cuff,
fraktur) atau kelainan ekstra articular (cervical spondylisis, angina pectoris). De Palma (1973) melaporkan bahwa setiap hambatan yang menghalangi gerak scapulohumeral/scapulothoraxic menyebabkan inaktifitas dari otot sehingga merupakan predisposisi terjadinya frozen shoulder.4 Adapun beberapa teori yang dikemukakan AAOS (American Academy of Orthopedic Surgeon) tahun 2007 mengenai frozen shoulder, teori tersebut adalah:2,5 a.
Teori hormonal. Pada umumnya frozen shoulder terjadi 60% pada wanita bersamaan dengan datangnya menopause.
b.
Teori genetik. Beberapa studi mempunyai komponen genetik dari frozen shoulder, contohnya ada beberapa kasus dimana kembar identik pasti menderita pada saat yang sama.
c.
Teori auto immuno. Diduga penyakit ini merupakan respon auto immuno terhadap hasil-hasil rusaknya jaringan lokal.
d.
Teori postur. Banyak studi yang belum diyakini bahwa berdiri lama dan berpostur tegap menyebabkan pemendekan pada salah satu ligamen bahu. Patofisiologi Patofisiologi frozen shoulder masih belum jelas, tetapi beberapa penulis menyatakan bahwa dasar terjadinya kelainan adalah imobilisasi yang lama. Setiap nyeri yang timbul pada bahu dapat merupakan awal kekakuan sendi bahu. Hal ini sering timbul bila sendi tidak digunakan terutama pada pasien yang apatis dan pasif atau dengan nilai ambang nyeri yang rendah, di mana tidak tahan dengan nyeri yang ringan akan membidai lengannya pada posisi tergantung. Lengan yang imobil akan menyebabkan stasis vena dan kongesti
sekunder dan bersama-sama dengan vasospastik, anoksia akan menimbulkan reaksi timbunan protein, edema, eksudasi, dan akhirnya reaksi fibrosis. Fibrosis akan menyebabkan adhesi antara lapisan bursa subdeltoid, adhesi ekstraartikuler dan intraartikuler, kontraktur tendon subskapularis dan bisep, perlekatan kapsul sendi.3 Pendapat lain mengatakan inflamasi pada sendi menyebabkan thrombine dan fibrinogen membentuk protein yang disebut fibrin. Protein tersebut menyebabkan penjedalan dalam darah dan membentuk suatu substansi yang melekat pada sendi. Perlekatan pada sekitar sendi inilah yang menyebabkan perlekatan satu sama lain sehingga menghambat LGS penuh. Kapsulitis adhesiva pada bahu inilah yang disebut frozen shoulder.3 Gambaran Klini Penderita datang dengan keluhan nyeri dan ngilu pada sendi serta gerakan sendi bahu yang terbatas ke segala arah, terutama gerakan abduksi dan elevasi, sehingga mengganggu lingkup gerak sendi bahu. Rasa nyeri akan meningkat intensitasnya dari hari ke hari. Bersamaan dengan hal ini terjadi gangguan lingkup gerak sendi bahu. Penyembuhan terjadi kurang lebih selama 6-12 bulan, di mana lingkup gerak sendi akan meningkat dan akhir bulan ke 18 hanya sedikit terjadi keterbatasan gerak sendi bahu.3 Menurut Kisner (1996) frozen shoulder dibagi dalam 3 tahapan, yaitu:2,4 a. Pain (Freezing) : ditandai dengan adanya nyeri hebat bahkan saat istirahat, gerak sendi bahu menjadi terbatas selama 2-3 minggu dan masa akut ini berakhir ampai 10-36 minggu. b. Stiffness (Frozen) : ditandai dengan rasa nyeri saat bergerak, kekakuan atau perlengketan yang nyata dan keterbatasan gerak dari glenohumeral yang di ikuti oleh keterbatasan gerak scapula. Fase ini berakhir 4-12 bulan. c. Recovery (Thawing) : pada fase ini tidak ditemukan adanya rasa nyeri dan tidak ada synovitis tetapi terdapat keterbatasan gerak karena perlengketan yang nyata. Fase ini berakhir 6-24 bulan atau lebih. Diagnosis a. Anamnesis
Hal-hal yang harus ditanyakan kepada pasien adalah sebagai berikut:3 -
Lokasi yang sebenarnya dari nyeri bahu yang dirasakan. Sudah berapa lama nyeri tersebut dirasakan. Faktor apa saja yang menjadi pencetus timbulnya nyeri bahu tersebut dan
-
yang dapat menguranginya. Ada tidaknya aktivitas yang berlebihan, terkilir atau trauma pada bahu
-
sebelumnya. Ada tidaknya masalah atau penyakit pada bahu yang pernah diderita
-
sebelumnya. Jika mungkin ditanyakan juga diagnosis serta terapi yang pernah diberikan
-
saat itu. Perlu juga ditanyakan mengenai pekerjaan, kegemaran atau kegiatan
b.
waktu senggang yang sering dilakukan pasien. Pemeriksaan fisik Pada frozen shoulder merupakan gangguan pada kapsul sendi, maka gerakan aktif maupun pasif terbatas dan nyeri. Nyeri dapat menjalar ke leher, lengan atas dan punggung, perlu dilihat faktor pencetus timbulnya nyeri. Gerakan pasif dan aktif terbatas. Pertama-tama pada gerakan elevasi dan rotasi interna lengan, tetapi kemudian untuk semua gerakan sendi bahu.3 Appley scratch test merupakan tes tercepat untuk mengeveluasi lingkup gerak sendi aktif pasien diminta menggaruk daerah angulus medialis skapula dengan tangan sisi kontra lateral melewati belakang kepala. Pada frozen shoulder pasien tidak dapat melakukan gerakan ini. Bila sendi dapat bergerak penuh pada bidang geraknya secara pasif, tetapi terbatas pada gerak aktif, maka kemungkinan kelemahan otot bahu sebagai penyebab keterbatasan.3
Gambar 1: Appley scratch test
Nyeri akan bertambah pada penekanan dari tendon yang membentuk muskulotendineus rotator cuff. Bila gangguan berkelanjutan akan terlihat bahu yang terkena reliefnya mendatar, bahkan kempis, karena atrofi otot deltoid, supraspinatus dan otot rotator cuff lainnya.3 Selain appley scratch test, tes provokasi lain yang dapat dilakukan adalah:
Appley scarf test Pasien diminta melakukan fleksi bahu sampai 90° dan meletakkan tangan menyilang secara horizontal di depan dada kontralateral di depan bahu yang lain. Pemeriksa melihat apakah ada nyeri atau perubahan pada sendi acromioclavicular.6
Gambar 2: Appley scarf test
Lift off test Pasien berdiri dengan posisi bahu di internal rotasi dan siku difleksikan sementara dorsum tangan menyentuh tulang belakang. Kemudian pasien diinstruksikan untuk mengangkat tangan. Positif bila pasien tidak mampu mengangkat tangan dari belakan melawan gravitasi.6
Gambar 2: Lift off test
Empty can test Pasien diminta untuk mengekstensi sendi siku dengan lengan yang abduksi dan jari menunjuk ke bawah, kemudian penderita disuruh untuk melakukan elevasi lengan sambil pemeriksa melakukan tahanan melawan gerakan tersebut.6
Gambar 3: Empty can test
Yergason’s test Pasien diminta melakukan fleksi aktif sendi siku melawan tahanan sambil pemeriksa melakukan eksorotasi humerus, akan terjadi subluaksi tendon yang dirasakan sebagai lucutan dan kejutan. Positif bila terjadi nyeri di sulcus bisipitalis sewaktu akan melakukan supinasi tangan melawan tahanan.6
Gambar 4: Yergason’s test c. Pemeriksaan penunjang Selain pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosa perlu dilakukan pemeriksaan seperti :3,7
-
X-ray, yaitu pemeriksaan untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti fraktur dan osteoartritis. Arthrografi, yaitu pemeriksan x-ray dengan menggunakan kontras yang di
-
suntikkan ke sendi bahu sebagai tanda pengerutan atau penyusutan kapsul -
sendi bahu. MRI, yaitu untuk mengevaluasi jaringan di sekitar sendi.
Penatalaksaan a. Medikamentosa Untuk mengurangi rasa nyeri diberikan analgesik dan obat anti inflamasi nonsteroid. Pemakaian relaksan otot bertujuan untuk mengurangi kekakuan dan nyeri dengan menghilangkan spasme otot. Beberapa penulis menganjurkan pemberian suntikan menghilangkan nyeri secara cepat. Harus diperhatikan kemungkinan ruptur dari tendon pada penyuntikan tersebut, maka penyuntikan tidak boleh lebih dari 2 kali dalam 1 tahun.8 b. Program rehabilitasi medik
Ultrasound (US) Pada frozen shoulder, modalitas yang sering digunakan adalah Ultrasound. Ultrasound merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang secara klinis sering diaplikasikan untuk tujuan terapeutik pada kasus-kasus tertentu
termasuk
kasus
muskuloskeletal.
Terapi ultrasound
sendiri menggunakan energi gelombang suara dengan frekuensi lebih dari 20.000Hz yang tidak mampu ditangkap oleh telinga atau pendengaran. Dengan pemberian modalitas ultrasound dapat terjadi iritan jaringan yang
menyebabkan
reaksi
jaringan, hal ini disebabkan
oleh
fisiologis
seperti
kerusakan
efek mekanik dan thermal ultra
sonik. Pengaruh mekanik tersebut juga dengan terstimulasinya saraf polimedal dan akan dihantarkan ke ganglion dorsalis sehingga memicu produksi “P subtance” untuk selanjutnya terjadi inflamasi sekunder atau dikenal “neurogeic
inflammation”. Namun
dengan
terangsangnya “P
substance” tersebut mengakibatkan proses induksi proliferasi akan lebih
terpacu sehingga mempercepat terjadinya penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan.9
Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) TENS merupakan suatu cara penggunaan energi listrik guna merangsang sistem saraf melalui permukaan kulit dan terbukti efektif untuk merangsang berbagai tipe nyeri. Pemberian TENS dapat menurunkan nyeri, baik dengan cara peningkatan vaskularisasi pada jaringan yang rusak tersebut , maupun melalui normalisasi saraf pada level spinal maupun supra spinal, sehingga dengan berkurangnya nyeri pada bahu didapatkan gerakan yang lebih ringan. Efek TENS terhadap pengurangan nyeri juga dapat mengurangi spasme dan meningkatkan sirkulasi, sehingga memutuskan lingkaran “viscous circle of reflex” yang pada akhirnya dapat meningkatkan LGS.9 TENS efektif mengurangi nyeri melalui aktivasi saraf berdiameter besar dan kecil melalui kulit yang selanjutnya akan memberikan informasi sensoris ke saraf pusat. TENS menghilangkan nyeri dikaitkan melalui sistem reseptor nosiseptif dan mekanoreseptor. Sistem reseptor nosiseptif bukan akhiran saraf bebas, melainkan fleksus saraf halus tak bermyelin yang mengelilingi jaringan dan pembuluh darah.9 Pengurangan
nyeri
yang
ditimbulkan
oleh
TENS
dapat juga
meningkatkan kekuatan otot karena menormalkan aktivitas α motor neuron sehingga otot dapat berkontraksi secara maksimal, dan berkurangnya “refleks exitability” dari beberapa otot antagonis gelang bahu sehingga otot agonis dapat melakukan gerakan, dan karena stabilitas terbesar pada sendi bahu oleh otot, maka hal tersebut meningkatkan mobilitas sendi bahu.9
Latihan Latihan merupakan bagian yang terpenting dari terapi frozen shoulder. Pada awalnya latihan gerak dilakukan secara pasif terutama bila rasa nyeri begitu berat. Setelah nyeri berkurang latihan dapat dimulai dengan aktif dibantu. Rasa nyeri yang timbul pada waktu sendi digerakkan baik secara pasif maupun aktif menentukan saat dimulainya latihan gerak. Bila selama
latihan pasif timbul rasa nyeri sebelum akhir pergerakan sendi diduga masih fase akut sehingga latihan gerak aktif tidak diperbolehkan. Bila rasa nyeri terdapat pada akhir gerakan yang terbatas, berarti masa akut sudah berkurang dan latihan secara aktif boleh dilakukan. Pada latihan gerak yang menimbulkan/menambah rasa nyeri, maka latihan harus ditunda karena rasa nyeri yang ditimbulkan akan menurunkan LGS. Tetapi bila gerakan pada latihan tidak menambah rasa nyeri maka kemungkinan besar terapi latihan gerak akan berhasil dengan baik. Latihan gerak dengan meggunakan alat seperti shoulder wheel, over head pulleys, finger ladder dan tongkat merupakan terapi standar untuk penderita frozen shoulder.6 Manajemen -
Disesuaikan dengan stadiumnya
-
Managemen
komprehensif
untuk
meminimalkan ketidakmampuan dan meningkatkan kualitas hidup pasien a.
Fisioterapi Tujuan: 1. Mengurangi Spasme otot 2. Pencegahan kontraktur Cara : Positioning and Turning Exercise Pasif dan Aktif
b.
Psikologi Tujuan: Memelihara status mental pasien dan keluarga, berupa emosi, fungsi intelektual, dan fungsi persepsi
c.
Okupasi Terapi Tujuan: Melatih keterampilan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
d.
Orthetik Prostetik Tujuan: Memfasilitasi ambulasi
e.
Pekerja Sosial Medik Tujuan:
1. Menilai situasi kehidupan pasien
2. Perantara dalam hubungan pasien/keluarga dan tim dokter 1. Pencegahan
Monitor gerakan sendi bahu secara hati-hati agar dislokasi tidak tambah parah
Latihan streaching secara rutin dan hat-hati
Monitoring keadaan kulit secara teratur
Monitoring status mobilitas
Minimalkan terjadinya tekanan (Friction, Shear)
3.
Deconditioning Syndrome Sindrom deconditioning adalah sekumpulan gejala yang menimbulkan kapasitas
fungsional
menurun
pada
beberapa
sistem
tubuh
akibat
imobilisasi/gerakan tubuh berkurang dalam jangka waktu yang lama. Berkurangnya gerakan tubuh dapat sebagian atau seluruh tubuh, paling sering disebabkan oleh gangguan neuromuskuloskeletal seperti stroke, tumor medulla spinalis, myocardial infark, dan trauma. Adapun system yang pertama kali terkena adalah system musculoskeletal. Gambaran dari sindrom deconditoning berbeda-beda tergantung dari derajat dan lama imobilisasi. Beberapa system yang mengalami deconditioning adalah musculoskeletal, kardiovaskular, respirasi, kulit, gastrointestinal, genitourinaria, metabolism dan nutrisi, endokrin, serta neurologi, emosi intelektual. Sistem muskuloskletal Pasien yang mengalami tirah baring lama beresiko mengalami kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul rasa nyeri yang menyebabkan seseorang tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut. Kontraktur terjadi karena perubahan patologis oada bagian tulang sendi, otot atau pada jaringan penunjang disekitar sendi. Factor posisi dan mekanik juga dapat menyebabkan kontraktur pada pasien usia lanjut dengan
imobilisasi. Imobilisasi lama akan mengakibatkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan 1-2 % perhari. Massa otot sebagian besar menurun dari kaki bawah dan otototot tubuh. Posisi imobilisasi juga berperan terhadap beratnya pengurangan otot, imobilisasi dengan posisi meringkuk akan mengakibatkan pengurangan otot yang lebih banyak dibandingkan posisi imobilisasi terlentang. Osteoporosis dapat timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi ternyata meningkatkan resorpsi tulang, dan meningkatkan kadar kalsium serum akibatnya massa tulang menurun. Sistem kardiovaskular Penurunan efisiensi jantung, perubahan tanggapan kardiovaskkular postural dan penyakit tromboemboli dapat terjadi akibat imobilisasi yang lama. Hipotensi postural merupakan penurunan tekanan darah sebanyak 10 mmHg dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala yang sering timbul adalah sinkop. Tirah baring lama akan mengakibatkan respons kardiovaskular normal menjadi tidak normal yang akan menghasilkan penurunan volume sekuncup jantung dan curah jantung. Sistem respirasi Imobilisasi dikaitkan dengan terjadinya pneumonia akibat dari retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien geriatric. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar. Selain itu proses penuaan mengakibatkan perubahan pada tekanan penutup saluran kecil, kondisi tersebut akan mengurangi asupan O2 dan pernapasan cepat dangkal sebagai kompensasinya. Sistem gastrointestinal Masalah utama pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi lama adalah konstipasi, skibala dan obstruksi usus. Imobilisasi lama akan menyebabkan penurunan sekresi lambung, penurunan absorbsi, atrofi mucosa intestinal sehingga feces akan lebih lama tinggal di usus.
Kulit Pasien imobilisasi umumnya tidak bergerak pada malam hari karena tidak adanya gerakan pasif maupun aktif. Tidak adanya aktivitas ini mengakibatkan peningkatan tekanan pada daerah kulit yang sama secara terus menerus. Tekanan akan memberikan pengaruh pada daerah kulit sacral ketika dalam posisi berbaring. Aliran darah akan terhambat pada daerah kulit yang tertekan dan menghasilkan anoksia jaringan dan nekrosis. Tekanan tersebut juga dapat menyebabkan kompresi pembuluh darah yang bisa timbul edema. Sistem Genitourinaria Aliran urin juga akan terganggu akibat tirah baring yang lama kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih mudah terjadi. Inkotinensia urin juga sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi yang umumnya disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna. Retensi urin akan memudahkan terjadinya infeksisaluran kemih dan bila dibarengi dengan hiperkalsiuria akan mengakibatkan terjadinya pembentukan batu ginjal. Sistem metabolisme dan nutrisi Imobilisasi ternyata juga berperan pada terjadinya hipoalbuminemia, mempengaruhi system metabolic yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolism zat gizi. Penurunan nafsu makan dapat mengakibatkan penurunan berat badan. Keadaan tidak beraktivitas dan imobilisasi akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin, sehingga pasien akan mengalami hipoprotenimia dan edema. Sistem endokrin Pasien lanjut usia yang mengalami imobilisasi akan mengalami intoleransi glukosa karena sensor insulin menurun yang mengakibatkan penurunan sensitivitas otot untuk sirkulasi insulin. Selain itu terjadi gangguan circardian rhythm, gangguan temperatur dan respon keringat, gangguan regulasi gangguan hormon paratiroid, gangguan tiroid, gangguan adrenal, gangguan pituitary, growth, dan gangguan androgen. Sistem neurologis, emosi dan intelektual
Kemampuan sensoris pada pasien lansia yang imobilisasi lama akan mengalami penurunan seperti atensi menurun, bingung, disorientasi, gangguan eye-hand coordination. Kapasitas intelektual pun ikut menurun. Selain itu, terjadi gangguan emosi dan perilaku. Ambang pendengaran pun menigkat sehingga pasien lansia hanya dapat mendengar suara yang keras dan pasien ini biasanya berbicara dengan keras pula. Kemampuan visual pun ikut menurun.
Penatalaksanaan Non farmakologis Penatalaksanaan non farmakologis memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya sekumpulan sindrom ini akibat imobilisasi. Berbagai upaya yang dapat dilakukan `dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara teratur dan latihan ditempat tidue dapat dilakukan sebagai upaya mencegah terjadinya kelemahan dan kontraktur otot serta sendi. Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara bertahap, untuk mencegah terjadinya kontraktur otot dapat dilakukan gerakan pasif sebanyak satu-dua kali sehari selama 20 menit. Untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30 derajat, penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Program latihan jasmani yang dilakukan harus disesuaikan dengan kondisi pasien, berdasarkan ada tidaknya penyakit, status imobilisasi, tingkat aktivitas, dan latihannya. Control tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat-obatan. Monitor asupan cairan dan makanan mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi. Farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis dapat diberikan sebagai salah satu upaya pencegahan terhadap terjadinya thrombosis. Pemberian antikoagulan merupakan terapi farmakologik yang dapat diberikan untuk mencegah terjadinya thrombosis pada pasien geriatric dengan imobilisasi. Low dose heparin (LDH) dan low molecular weight heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien geriatric dengan imobilisasi dan resiko thrombosis non pembedahan terutama strok. Namun pemberian antikoagulan ini perlu dilakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Penurunan faal ginjal dan hepar serta adanya interaksi obat perlu diperhatikan juga.
DAFTAR PUSTAKA 1. Nurul S. Penatalaksanaan Fisioterapi padaKasus Capsulitis Adhesiva Dekstra dengan Menggunakan Short Wave Diathermy (SWD) dan Terapi Manipulasi di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta. 5 Desember 2012. Available from: http://etd.eprints.ums.ac.id/2792/ 2. Miharjanto K, Kuntono H, Setiawan D. Perbedaan Pengaruh Antara Latihan Konvensional Ditambah Latihan Plyometrics dan Latihan Konvensional Terhadap Pengurangan Nyeri dan Disabilitas Penderita Frozen Shoulder. 5 Desember 2012. Available from: http://penjaskesrek.fkip.uns.ac.id/wpcontent/uploads/2012/04/jurnal2011.pdf 3. Hanako S. Frozen Shoulder. 5 Desember 2012. Available from: http://minepoemss.blogspot.com/2010/07/frozen-shoulder.html 4. Anonymous. Frozen Shoulder (Capsulitis Adhesiva). 5 Desember 2012. Available from: http://poenya-moe.blogspot.com/2012/03/frozen-shouldercapsulitis-adhesiva.html
5. Hidayat S. Nyeri Bahu/ Frozen Shoulder. 5 Desember 2012. Available from: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/pathology/1991481-nyeri-bahufrozen-shoulder/ 6. Anonymous. Frozen Shoulder (Kapsulitis Adhesiva/Adhesive Capsulitis). 5 Desember 2012. Available from: http://fisioterapiyunitaprabandari.blogspot.com/2010/10/frozen-shoulder-capsulitis.html 7. Nasir Y. Kenali Gejala Frozen Shoulder. 5 Desember 2012. Avaible from : http://yuninasir.blogspot.com/2011/02/kenali-gejala-frozen-shoulder.html 8. Braunwald E, Fauci AS, et al. Degenerative Joint Disease. In : Harrison’s Manual of Medicine 15th Ed. Boston: McGraw-Hill, 2003. P748-49. 9. Irfan. Frozen Shoulder (Kaku Bahu). 5 Desember 2012. Avaible from : http://dhaenkpedro.wordpress.com/fisioterapi-pada-frozen-shoulder-kakubahu/ 10. Thomson, Ann M., Tidy’s physiotherapy, 12th ed, Butterworth-Heinemann, 1991. hal: 71 11. Cassidy JD, Carroll LJ, Cote P. The Saskatchewan health and back pain survey: the prevalence of low back pain and related disability in Saskatchewan adults. Spine. 1998;23:1860-1866; discussion 1867. 12. Manchikanti L. Epidemiology of low back pain. Pain Physician. 2000;3:167192. 13. Krismer M, van Tulder M. Strategies for prevention and management of musculoskeletal conditions: low back pain (nonspecific). Best Pract Res Clin Rheumatol. 2007;21:77-91. 14. Walsh K, Cruddas M, Coggon D. Low back pain in eight areas of Britain. J Epidem Comm Health. 1992;46:227-230. 15. Ekman M, Johnell O, Lidgren L. The economic cost of low back pain in Sweden in 2001. Acta Orthop.2005;76:275-284. 16. Ekman M, Jonhagen S, Hunsche E, Jonsson L. Burden of illness of chronic low back pain in Sweden: a cross-sectional, retrospective study in primary care s 17. Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD). 2005. Pocket guide to COPD diagnosis, management, and prevention. dari http//www.goldcopd.org.
18. Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC