TINJAUAN PUSTAKA Asam Fulvat Humat dibentuk dari pelapukan bahan tanaman dengan bantuan bakteri yang hidup di tanah. Komposisi humat terdiri dari humus, asam humat, asam fulvat, asam ulmik dan trace mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Proses pemisahan senyawa humat disajikan dalam Gambar 1. Bahan yang terkandung dalam senyawa humat sebagian besar terdiri dari komponen anorganik dan sebagian kecil akan terlarut dalam tanah terutama dalam kondisi basa. Senyawa humat dapat menggabungkan ion logam, oksida dan mineral liat serta dapat berinteraksi dengan senyawa organik seperti alkena dan asam lemak (Islam et al., 2005). Bahan Organik Tanah Ekstraksi dengan Alkali atau Larutan Na4P2O7
Bahan Humat (Larut)
Humin Bahan Bukan Humat (Tidak Larut)
Perlakuan dengan Asam
Asam Fulvat
Asam Humat (Tidak Larut)
Gambar 1. Diagram Pemisahan Senyawa Humat Sumber: Nainggolan (2010)
Di Eropa, humat digunakan sebagai agen growth promotor. Pengunaan humat sebagai feed additive sebagai pakan ternak merupakan ide baru. Penelitian sebelumnya, humat sudah digunakan sebagai terapi penggantian untuk gangguan sistem pencernaan seperti malnutrisi, diare, dan peningkatan efisiensi konversi pakan pada anak sapi, anjing dan kucing (Islam et al., 2005). Pemakaian humat dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada keseimbangan elektrolit dan perbaikan potensi imunitas di unggas pada respon suplementasi humat (Yörük et al., 2004). Berdasarkan penelitian Wang et al. (2008) menunjukkan bahwa penambahan
3
senyawa humat (39,4% asam humat dan 27,8% asam fulvat) sebesar 10% pada babi dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan konversi pakan secara signifikan sedangkan berdasarkan penelitian Karaoglu et al. (2004) suplementasi senyawa humat pada pakan broiler tidak memberikan efek pada performa ayam dan karakteristik karkas tetapi terdapat sedikit perbaikan pada konversi pakan yang mengandung 0,1% humat. Kocabağli et al. (2002) menggunakan 2,5 g/kg Farmagülatör DRYTM Humate (Farmavet International) yang sebagian besar terdiri dari asam humat pada ayam broiler memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan dan konversi pakan di periode grower (22-42 hari). Dalam penelitian lain, Eren et al. (2000) yang membandingkan penggunaan suplementasi Farmagülatör DRYTM 1,5 g/kg dan 2,5 g/kg pakan pada performa ayam broiler dari 0–42 hari tidak terdapat perbedaan performa pada hari ke 21 tetapi terdapat pengaruh yang signifikan pada penambahan 2,5 g/kg terhadap bobot hidup di hari ke 42. Penggunaan asam humat yang merupakan bagian dari senyawa humat pernah digunakan sebagai suplemen pakan untuk ruminansia. Dilaporkan bahwa penambahan asam humat tidak memberikan efek yang signifikan terhadap fermentasi rumen dan populasi total protozoa rumen domba jantan secara in vitro tetapi berefek nyata adanya peningkatan pada Na rumen dan protozoa Epidinium spp. (Galip et al., 2010). Selain itu, suplementasi asam humat (5, 10 dan 15 g/kg pakan) pada Holstein steers tidak memberikan pengaruh terhadap pH, konsentrasi NH3 (amonia) dan VFA (Volatile Fatty Acids), namun secara nyata terjadi peningkatkan isobutirat, isovalerat dan proporsi antara asetat dengan propionat secara nyata (McMurphy et al., 2011). Asam fulvat adalah fraksi dari senyawa humat dengan bobot molekul yang kecil, senyawa rantai pendek, berwarna kuning, larut dalam larutan asam dan basa. Asam fulvat mempunyai fungsi dapat meningkatkan ketersediaan nutrien dan membuatnya menjadi mudah diserap, mentransfer nutrien, mengkatalis enzim pereaksi dan vitamin dalam sel, merangsang metabolisme/sintesis sel, serta meningkatkan daya serap air dan gas sel membran (Supriyati, 2007). Asam fulvat yang terdapat secara alami pada air, tanah dan peat sebagai fraksi humat yang dapat larut di air dan larutan asam. Struktur kimia asam fulvat disajikan dalam Gambar 2.
4
Gambar 2. Struktur Kimia Asam Fulvat. Sumber: Mirza et al. (2011)
Berdasarkan penelitian Ji et al. (2006) bahwa suplementasi senyawa humat dengan proporsi asam humat dan asam fulvat yang berbeda-beda pada babi menunjukkan bahwa senyawa humat dengan proporsi asam humat lebih tinggi ataupun yang seimbang meningkatkan rata-rata konsumsi pakan harian dan konversi pakan yang lebih baik daripada senyawa humat dengan proporsi asam fulvat lebih tinggi. Suplementasi senyawa humat dengan proporsi asam fulvat lebih tinggi menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang lebih baik. Berdasarkan penelitian Cusack (2008) menunjukkan bahwa penambahan asam humat dan asam fulvat 0,055 g/kgBB/hari dapat meningkatkan laju pertumbuhan dan efisensi konversi pakan pada sapi potong. Pemberian kombinasi asam humat dan fulvat sebesar 1 g/kg pakan pada puyuh tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter pertambahan bobot badan, konsumsi pakan, konversi pakan dan karkas sehingga menunjukkan bahwa suplementasi asam humat/fulvat tidak mempunyai efek terhadap performa puyuh (Sahin et al., 2011). Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia Proses pencernaan merupakan proses perubahan bahan pakan yang masuk ke dalam saluran pencernaan menjadi zat yang lebih sederhana untuk dapat diabsorbsi dan digunakan oleh ternak. Proses pencernaan pada ternak ruminansia lebih kompleks dibandingkan dengan proses pencernaan pada ternak monogastrik meliputi interaksi antar pakan, populasi mikroba, dan ternak itu sendiri (Hartati, 1998). Proses pencernaan pada ternak ruminansia terjadi secara mekanis di mulut, fermentasi oleh mikroba rumen dan hidrolisis oleh enzim-enzim ternak induk semangnya. Produk hasil pencernaan fementatif adalah volatile fatty acid (VFA), amonia (NH3), protein mikroba, CH4, CO2 dan air (McDonald et al., 2002). Pencernaan fermentatif terjadi
5
di rumen, retikulum, dan omasum sedangkan di abomasum terjadi pencernaan enzimatis (Campbell et al., 2003). Proses pencernaan secara fermentatif yang terjadi sebelum usus halus pada ternak ruminansia memberikan keuntungan dan menyebabkan kerugian bagi ternak. Keuntungannya adalah ternak ruminansia dapat mencerna pakan serat kasar tinggi, dapat menampung pakan dalam jumlah besar, tidak terlalu tergantung pada kualitas protein pakan untuk memenuhi kebutuhan asam aminonya, dapat menggunakan bahan non protein nitrogen (NPN), dan produk fermentasi dalam rumen dapat disalurkan ke dalam usus halus dalam bentuk yang mudah dicerna (Sutardi, 1980). Kerugiannya adalah banyak energi yang terbuang dalam bentuk metana (CH4) dan panas fermentasi serta protein yang berkualitas tinggi dapat mengalami degradasi menjadi amonia (NH3) (Hartati, 1998). Mikroba Rumen Rumen merupakan suatu ekosistem kompleks yang dihuni oleh beraneka ragam mikroorganisme anaerob yang keberadaannya sangat tergantung pada pakan. Mikroba rumen terdiri dari bakteri, protozoa dan fungi yang memegang peranan penting dalam pencernaan pakan di rumen (McDonald et al., 2002). Bakteri mengubah nutrien pakan seperti selulosa, hemiselulosa, pati, protein, dan sangat sedikit minyak secara fermentatif menjadi VFA dan protein mikroba. Protozoa juga mencerna karbohidrat dan protein secara fementatif. Fungi juga memiliki peran dalam fermentasi dalam rumen sebagai pencerna pakan berserat (Kamra, 2005). Mikroba rumen harus berada pada kondisi rumen yang memiliki pH 5.7-7.3 dan suhu 38-41 °C agar dapat bekerja optimal (Hoover dan Miller, 1992). Pada ternak ruminansia mikroba yang paling dominan adalah protozoa dan bakteri. Populasi protozoa bervariasi kira-kira 104-106/ml dari 25 jenis, populasi bakteri kira-kira 1010-1011/ml dari 50 jenis, sedangkan fungi kira-kira 103-105/ml dari 12 jenis (Kamra, 2005). Ukuran tubuh protozoa lebih besar sekitar 20-200 µm, sehingga biomassa protozoa hampir sama dengan biomassa bakteri dan memiliki kontribusi 60% dari biomassa rumen (McDonald et al., 2002). Protozoa memangsa bakteri untuk memenuhi kebutuhannya karena kemampuan protozoa untuk mensintesis asam amino dan vitamin B kompleks sangat rendah (Jouany, 1991). Bakteri amilolitik yang hidupnya menempel pada granula 6
pati menyebabkan bakteri amilolitik ikut termakan karena sifat protozoa yang menelan partikel pati (Subrata et al., 2005). Pada ekosistem rumen, protozoa juga bersimbiosis dengan bakteri metanogen dalam proses transfer hidrogen. Bakteri mentanogen menggunakan hidrogen yang diproduksi protozoa dan mengubahnya menjadi metan (CH4) (Suharti et al., 2010). Sebanyak 70% dari total bakteri metanogen yang bersimbiosis dengan protozoa (Jouany, 1991). Kecernaan Bahan Kering dan Organik Kecernaan pakan didefinisikan sebagai bagian pakan yang tidak diekskresikan dalam feses sehingga diasumsikan bagian tersebut diserap oleh tubuh hewan. Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering. Kecernaan bahan kering juga dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, kekurangan sumber protein akan menurunkan konsentrasi NH3 yang menyebabkan pertumbuhan mikroba rumen melambat sehingga proses degradasi karbohidrat menjadi tidak optimal (McDonald et al., 2002). Kecernaan dapat diukur dengan teknik fermentasi in vitro (Tilley dan Terry, 1963). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecernaan in vitro yaitu pencampuran sampel pakan, cairan rumen, pH, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan larutan penyangga (Selly, 1994). Produksi NH3 dan VFA dapat mencerminkan nilai kecernaan bahan organik. Semakin tinggi produksi NH3 dan VFA yang dihasilkan dalam rumen maka kecernaan bahan organik semakin tinggi pula (Rahmawati, 2001). Kecernaan bahan kering menggambarkan senyawa protein, karbohidrat, lemak dan mineral yang dapat dicerna ternak. Kecernaan bahan organik menggambarkan daya cerna bahan organik dalam pakan selain mineral (abu) (Hidayah, 2012). Volatile Fatty Acid (VFA) Proses pencernaan fermentatif zat makanan akan dirombak oleh mikroba rumen menjadi volatile fatty acid (VFA) yang merupakan produk utama, amonia (NH3), sel mikroba, CO2, CH4, dan air. VFA akan diserap langsung melalui dinding retikulo-rumen lalu masuk ke darah. Sebanyak 75% dari total VFA yang diproduksi akan diserap retikulo-rumen, 20% diserap abomasum dan omasum sedangkan sisanya 5% diserap usus halus (McDonald et al., 2002).
7
VFA berfungsi sebagai sumber energi untuk ternak ruminansia dan sumber kerangka karbon untuk pembentukan protein mikroba. VFA memenuhi sekitar 40%70% kebutuhan energi ternak ruminansia (Damron, 2006). Perbandingan produksi fraksi VFA di dalam rumen berkisar pada 50%-70% asetat, 17%-21% propionat, 14%-20% butirat, valerat dan format hanya terbentuk dalam jumlah kecil (Schlegel, 1994). Kisaran produksi total VFA cairan rumen yang mendukung pertumbuhan mikroba yaitu 80-160 mM (Sutardi, 1980) atau 5-10 g/l yang setara 70-150 mM (McDonald et al., 2002). Karbohidrat yang masuk dalam rumen akan didegradasi dalam rumen dalam dua tahap yaitu karbohidrat yang kompleks dan monosakarida. Proses degradasinya dengan bantuan enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen (McDonald et al., 2002). Proses sintesis VFA dalam rumen disajikan pada Gambar 3. Selulosa
Pati
Selulase
Amilase
Selobiosa
Maltosa Glukosa 2 ATP 2 NAD+ 2 NADH 2 NADH
Piruvat
CO2 Asam Laktat
CH4
Asetil Co-A
4 NADH 4 NAD
2 NAD+
NADH NAD+
+
Propionat
Asetat
Butirat
Gambar 3. Proses Sintesis VFA dalam Rumen Sumber: Damron (2006)
Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut didegradasi oleh mikroba rumen. Komposisi VFA di
8
dalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan. Produksi VFA yang tinggi merupakan kecukupan energi bagi ternak (Sakinah, 2005). Amonia (NH3) Amonia merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sintesis protein mikroba (Sakinah, 2005). Menurut Astuti et al. (1993), sumbangan NH3 pada ternak ruminansia sangat penting mengingat bahwa prekusor protein mikroba adalah amonia dan senyawa sumber karbon, makin tinggi kadar NH3 di rumen maka diduga makin banyak protein mikroba yang terbentuk sebagai sumber protein tubuh. Konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM (McDonald et al., 2002) atau 4-12 mM (Sutardi, 1980). Metabolisme komponen nitrogen disajikan pada Gambar 4.
Pakan Protein
Protein Tidak Terdegradasi
Kelenjar Saliva
Non-Protein N
Protein Tidak Terdegradasi
Non-Protein N
Peptida
RUMEN Asam Amino
NH3
Hati NH3
Urea
Protein Mikroba
Ginjal
Dicerna di dalam Usus Halus
Diekskresi Melalui Urin
Gambar 4. Metabolisme Komponen Nitrogen dalam Rumen Sumber: McDonald et al. (2002)
9
Produksi amonia dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan tergantung juga pada sumber protein yang digunakan. Apabila pakan defisien akan protein atau protein sulit didegradasi, maka konsentrasi amonia akan rendah dan pertumbuhan mikroba akan lambat. Amonia hasil fermentasi tidak semuanya disintesis menjadi protein mikroba, sebagian akan diserap ke dalam darah. Amonia yang tidak terpakai dalam rumen akan dibawa ke hati diubah menjadi urea, sebagian dikeluarkan melalui urine dan yang lainnya dibawa ke kelenjar saliva (McDonald et al., 2002).
10