SENTINEL TERNAK, MODEL UNTUK MEMPELAJARI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT ARBOVIRUS Indrawati Sendow Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata No. 30, Kotak Pos 151, Bogor 16114
ABSTRAK Sentinel ternak merupakan salah satu model untuk memperoleh gambaran epidemiologi suatu penyakit, terutama penyakit-penyakit yang tidak menimbulkan gejala klinis seperti infeksi arbovirus. Dalam sentinel ternak, kelompok ternak diamati secara berkala pada kurun waktu tertentu. Sampel sentinel dapat digunakan dan dianalisis untuk mempelajari berbagai aspek seperti status kekebalan, evaluasi program vaksinasi, dinamika penyakit secara konvensional, serta pendekatan biologi molekuler dan terapan dalam diagnosis penyakit. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pendirian sentinel ternak, antara lain pemilihan ternak sentinel serta komunikasi dengan pemilik ternak dan aparat terkait. Kata kunci: Sentinel ternak, epidemiologi, orbivirus
ABSTRACT Sentinel herd, a model to study epidemiology of arbovirus Sentinel herd is a model to study epidemiology of virus infection, mainly diseases that do not produce clinical signs such as arboviruses. Sentinel herds is a group of animals which is observed regularly for a certain interval period. Sentinel samples can be used and analyzed to study several aspects such as immune status, evaluation of vaccination program, dynamics of diseases, and conventional and molecular methods and application of diagnostic techniques. However, identify the sentinel herds, communication with the farmers and local livestock services staffs must be considered. Keywords: Sentinel herds, epidemiology, orbivirus
K
elompok sentinel ternak merupakan sekumpulan ternak yang digunakan sebagai model untuk mempelajari epidemiologi infeksi suatu penyakit pada suatu daerah. Pengamatan dilakukan pada interval waktu selama periode tertentu melalui kerja sama dan komunikasi dengan peternak (Food and Agriculture Organization 2006a). Ternak yang dapat digunakan sebagai kelompok sentinel antara lain adalah sapi, kerbau, domba, kambing, babi, ayam, itik, anjing, dan kucing. Pengamatan diarahkan pada surveillance penyakit untuk membangun informasi dasar mengenai cara penularan, gambaran musim penyakit, penentuan daerah berisiko, identifikasi awal terjadinya infeksi penyakit, dan aktivitas vektor. Data penunjang seperti curah hujan, suhu, dan kelembapan diperlukan untuk memperoleh data epidemiologi yang akurat.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
Penyakit arbovirus merupakan penyakit virus yang penularannya dilakukan oleh serangga. Yang termasuk penyakit arbovirus antara lain adalah bluetongue, japanese encephalitis, bovine ephemeral fever, epizootic haemmorhagic diseases of deer, palyam, dan akabane. Sebagian penyakit arbovirus tidak menimbulkan gejala klinis pada spesies atau breed tertentu, misalnya infeksi bluetongue hanya menimbulkan kasus klinis pada domba breed tertentu tetapi tidak pada sapi (Taylor 1986). Untuk memperoleh gambaran prevalensi suatu penyakit di daerah tertentu, survei serologis dapat dilakukan. Namun, hasil survei serologis tersebut belum dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai musim penyakit dan data epidemiologi lain, misalnya waktu infeksi, lamanya antibodi bawaan, dan waktu pemberian vaksin. Bahkan pengambilan
sampel darah secara acak untuk isolasi agen penyebab penyakit sering tidak membuahkan hasil, terutama untuk penyakit yang tidak menimbulkan gejala klinis yang khas, seperti bluetongue (Sendow et al. 1986). Oleh karena itu, model sentinel dapat diterapkan untuk memperoleh isolat agen penyebab penyakit dan gambaran musim penyakit serta data epidemiologi lain secara rinci, terutama untuk penyakit yang tidak menimbulkan gejala klinis tetapi bukan merupakan penyakit yang bersifat sporadis (Food and Agriculture Organization 2006a). Pemantauan hewan sentinel secara berkala merupakan tindakan aktif yang sesuai untuk penyakit tertentu dan memerlukan data prevalensi serta kejadian infeksi yang cukup tinggi. Model sentinel ternak terutama sapi sering digunakan untuk memonitor infeksi arbovirus (Food 1
and Agriculture Organization 2006b). Sapi muda (pedet) yang sehat paling ideal digunakan sebagai hewan sentinel untuk mengetahui epidemiologi infeksi arbovirus. Pengamatan juga dilakukan terhadap faktor-faktor yang menentukan perubahan status imunologis antara lain iklim, lingkungan, dan keberadaan vektor (Kirkland et al. 2002; Food and Agriculture Organization 2006b). Sentinel sapi merupakan sekelompok sapi yang umur, jenis kelamin, serta lokasinya dipilih dan ditentukan sesuai dengan dugaan awal bahwa di daerah tersebut terdapat infeksi suatu penyakit dengan prevalensi cukup tinggi. Kelompok sapi ini diidentifikasi secara individu dan diamati kesehatannya secara rutin pada interval waktu tertentu diikuti pengambilan sampel darah, feses, swab hidung atau serum. Lama pengamatan bergantung pada luaran yang diinginkan. Pengamatan terhadap gejala klinis hewan sentinel dan pengujian sampel secara serologis maupun isolasi agen penyebab penyakit dilakukan untuk memperoleh data epidemiologi penyakit tersebut. Pengambilan sampel dengan sistem sentinel cukup mudah dan memberikan hasil yang baik bila diterapkan di daerah peternakan yang sudah mapan, seperti Australia (St. George 1980), Amerika Serikat (McCluskey et al. 2002; 2003), Eropa (St. George 1980), dan beberapa negara maju lainnya. Bahkan di negaranegara tersebut, model ini telah diterapkan untuk penyakit lainnya. Di Indonesia, penerapan sistem sentinel masih perlu dikaji sebagai model untuk memperoleh data epidemiologi penyakit hewan karena pelaksanaannya cukup sulit. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam mendirikan sentinel ternak disajikan berikut ini.
LOKASI SENTINEL Lokasi sentinel perlu dipertimbangkan dengan cermat agar diperoleh data epidemiologi yang komprehensif. Lokasi sentinel perlu ditetapkan pada beberapa daerah. Untuk mempelajari epidemiologi suatu penyakit di suatu daerah maka lokasi sentinel tidak perlu luas dan banyak. Lokasi yang jauh dari laboratorium memerlukan penanganan khusus dan perlu dilengkapi fasilitas penyimpanan dan transportasi sampel yang memadai 2
agar sampel dengan cepat dapat sampai ke laboratorium untuk dianalisis. Sampel untuk isolasi virus dari daerah yang jauh dari laboratorium biasanya disimpan dalam nitrogen cair. Hal ini tentunya memerlukan dana yang lebih besar dibanding jika lokasi sentinel dekat dengan laboratorium. Data penunjang seperti curah hujan, ketinggian lokasi, dan kondisi lingkungan daerah sentinel seperti sanitasi kandang dan populasi vektor perlu pula diketahui (Food and Agriculture Organization 2006a).
MANAJEMEN KELOMPOK SENTINEL Pendirian sentinel ternak melibatkan beberapa instansi terkait, antara lain Dinas Peternakan Provinsi dan Kabupaten/Kota serta pemilik ternak. Di samping status ekonomi pemilik ternak, hubungan yang harmonis di antara pihak-pihak yang terlibat ikut menentukan keberhasilan dalam memperoleh sampel sentinel secara lengkap. Setelah lokasi dan peternak sebagai sentinel ditetapkan, perlu dilakukan sosialisasi manfaat dan pentingnya kegiatan pendirian sentinel ternak kepada peternak terkait. Melalui cara yang demikian diharapkan peternak dapat menjalin kerja sama yang harmonis sehingga target yang ditetapkan dapat tercapai. Pemberian pelayanan kesehatan ternak sentinel maupun bukan sentinel perlu dilakukan, misalnya pemberian vitamin, obat cacing, dan obat-obat lain yang diperlukan agar kesehatan ternak yang ada di wilayah sentinel dapat terjaga. Selain itu, bimbingan dan penyuluhan tentang cara beternak yang benar, baik dari segi kesehatan maupun sanitasi kandang serta manajemen juga perlu diberikan (Food and Agriculture Organization 2006a). Dengan cara demikian peternak merasa ikut dilibatkan, dan penelitian dapat berjalan dengan baik. Apabila sentinel ternak akan dilaksanakan untuk beberapa tahun maka penggantian ternak sentinel dilakukan setiap tahun atau bila ternak sudah tidak diperlukan lagi (bergantung pada target penelitian yang akan dicapai). Ternak yang digunakan sebagai pengganti ternak sentinel sebaiknya memiliki kondisi yang sama dengan yang digantikan.
Klasifikasi Sentinel Selama proses pengamatan, sapi yang diamati kemungkinan ada yang dijual karena peternak membutuhkan uang tunai untuk kehidupan sehari-hari, misalnya untuk biaya anak sekolah, pernikahan, pengobatan keluarga yang sakit atau untuk keperluan lainnya. Sapi merupakan tabungan, terutama bagi peternak kecil. Hal ini terjadi pada pendirian sentinel ternak di Depok Jawa Barat (Tabel 1). Pada awal pendirian sentinel sapi terdapat 20 ekor sapi, tetapi pada akhir pengamatan ternak tersebut hanya tinggal 15 ekor. Oleh karena itu, pemilihan ternak yang akan dijadikan kelompok sentinel perlu memperhatikan umur dan jenis kelamin ternak serta status peternak dan jumlah sampel.
Umur dan jenis kelamin ternak Sebelum ditetapkan sebagai ternak sentinel, perlu dilakukan uji serologis untuk mengetahui status imunologik ternak tersebut. Hanya ternak yang tidak mengandung antibodi terhadap penyakit yang akan diteliti, yang digunakan sebagai ternak sentinel (Sendow et al. 1992; Food and Agriculture Organizarion 2006a). Ternak yang digunakan sebaiknya dipilih yang masih muda dan berjenis kelamin betina. Selain dapat dipertahankan sebagai ternak sentinel, hasil serologis ternak muda dapat digunakan untuk menentukan kandungan antibodi yang diperoleh dari induknya. Di Indonesia, pedet sapi perah jantan jarang dipelihara hingga dewasa. Sapi jantan sering dipelihara sebagai sapi potong, sehingga pedet jantan berpeluang lebih besar untuk dijual daripada pedet betina. Ternak sentinel sapi perah lebih diminati karena sapi perah lebih jinak dibanding sapi bali atau sapi Peranakan Ongol (PO). Namun sapi perah dewasa tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai ternak sentinel karena pengambilan sampel darah dapat menyebabkan ternak stres, terutama pada masa laktasi. Akibatnya produksi susu menurun yang akhirnya akan merugikan peternak. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan hubungan peternak dan peneliti yang bersangkutan menjadi tidak harmonis, dan dapat dipastikan keberlanjutan Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
Tabel 1. Hasil uji serologis infeksi bluetongue dengan menggunakan uji C-ELISA pada sapi sentinel di Depok, Jawa Barat. Pengambilan sampel
Sapi
D01 D02 D03 D04 D05 D06 D07 D08 D09 D10 D11 D12 D13 D14 D15 D16 D17 D18 D19 D20
I*
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
+ − + + + − − + − − − + + − − − − NA NA NA
+ − + + + − − − + − − + + − − − − + − −
+ − + + + − + + + − − + + − − − − − − −
+ − + + + − + + + − − + + − − − − − − −
+ − + + + − + + + − − + + − − − − − − −
− − + + + − + + + − − + + − − − − − − −
− − + + + − + + + − − + + − − − − − − −
− − + + + − + + + − − + + − + − − − − −
− − + + + − + + + − − + + − + − − − − −
− − + + + dijual + + + − dijual dijual dijual − + + − dijual − −
− + + + +
− + + + +
+ + + +
+ + + +
− + − −
− + − ±
− −
− −
* = interval pengambilan 1 bulan, NA = tidak ada serum, + = positif antibodi terhadap virus bluetongue, − = negatif antibodi terhadap virus bluetongue. Sumber: Sendow et al. (1992).
ternak sentinel terganggu bahkan terhenti karena peternak merasa dirugikan.
rumit dibandingkan bila ternak tersebut milik peternak sendiri.
Status peternak dan jumlah sampel
Frekuensi Pengambilan Sampel
Status peternak ikut menentukan kelangsungan sentinel dan kelancaran pengambilan sampel. Peternak yang mempunyai sapi cukup banyak biasanya tidak menjual pedet yang dijadikan target penelitian. Namun, peternak dengan kepemilikan sapi kurang dari 5 ekor (termasuk pedet) agak sulit untuk digunakan secara penuh. Oleh karena itu, jumlah sapi sentinel yang digunakan harus lebih banyak dari target akhir. Misalnya pada awal penelitian terdapat 20 ekor sapi maka pada akhir penelitian diharapkan masih tersisa paling sedikit 10 ekor sehingga data yang diperoleh masih dapat mencapai 50% atau lebih. Apabila memungkinkan dapat dipilih sapi yang terikat kontrak dengan swasta atau instansi pemerintah. Hal itu didasarkan pada pemikiran bahwa peluang sapi tersebut untuk dijual sangat kecil karena harus melalui prosedur yang lebih Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
Frekuensi pengambilan sampel dan lama sentinel bergantung pada kebutuhan atau penyakit yang akan diteliti. Untuk mengamati epidemiologi infeksi bluetongue, pengambilan sampel dilakukan selama satu tahun dengan interval pengambilan sampel setiap minggu (Sendow et al. 1992). Untuk mengetahui seroepidemiologi, interval pengambilan serum setiap 2 minggu hingga 1 bulan untuk menghasilkan data yang akurat. Untuk memperoleh isolat virus, interval pengambilan darah berheparin dilakukan setiap minggu sekali mengingat waktu viraemia yang pendek. Pada tahun kedua, setelah gambaran musim penyakit diketahui, pengambilan sampel darah berheparin dapat dilakukan beberapa bulan saja, terutama sebelum hingga saat musim penyakit muncul untuk menghemat biaya (Sendow et al. 1993). McCluskey et al. (2002) melakukan pengambilan sampel tiap 4 bulan selama 3 tahun untuk mengamati
persistensi virus vesicular stomatitis di Colorado, Amerika Serikat. Idealnya, pengambilan sampel dan pengamatan terhadap kondisi lingkungan, iklim, dan gejala klinis dilakukan pada awal musim hujan dan berlangsung hingga musim tersebut berakhir, terutama untuk penyakit arbovirus, sehingga gambaran musim penyakit dapat diperoleh (Food and Agriculture Organization 2006a).
Jenis Sampel Sampel yang diambil bergantung pada luaran penelitian, misalnya untuk isolasi agen penyakit atau mempelajari seroepidemiologinya. Untuk penelitian bluetongue dan arbovirus, sampel yang diperlukan dapat berupa darah dengan antikoagulan, serum atau serangga vektor di sekitar kandang. Darah dengan antikoagulan seperti heparin, EDTA dan larutan Alsevier digunakan untuk pemeriksaan kimia darah, komposisi darah, serta isolasi agen mikroba virus. Untuk evaluasi program vaksinasi atau aplikasi suatu teknik diagnosis diperlukan sampel serum, swab (sampel usap) dan organ 3
(Constantini et al. 2004; McCluskey et al. 2002).
Koleksi Serangga Vektor Penyakit arbovirus selalu berhubungan dengan vektor. Oleh karena itu, untuk melengkapi data epidemiologi penyakit arbovirus, pengoleksian serangga vektor perlu dilakukan. Serangga yang dikoleksi diidentifikasi untuk mengetahui dinamika populasinya (Food and Agriculture Organization 2006a). Koleksi dapat pula digunakan untuk menentukan vektor yang diduga, dengan melakukan isolasi virus dari serangga vektor yang diperoleh. Untuk penyakit bluetongue dan arbovirus lainnya, diperlukan koleksi serangga Culicoides spp. (Sahara et al. 2000), sementara serangga Culex spp., Aedes spp., dan Anopheles spp. untuk mengetahui vektor penyakit japanese encephalitis (Sendow et al. 2003). Serangga dikumpulkan dengan menggunakan perangkap yang sesuai dengan jenis serangga yang akan ditangkap. Pengumpulan serangga dilakukan pada sore hingga malam atau pagi hari. Di samping pengambilan sampel dari sapi sentinel, pengamatan adanya interaksi dengan vektor perlu dilakukan. Studi longitudinal terhadap serangga di sekitar lokasi sentinel perlu dilakukan. Penggunaan alat perangkap serangga yang sesuai, penempatan perangkap dan waktu pengumpulan serangga yang tepat akan menentukan hasil yang diperoleh. Sukarsih et al. (1996) telah melakukan penelitian longitudinal Culicoides spp. di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa serangga Culicoides spp. terbagi atas berbagai spesies yang masingmasing memiliki sebaran geografis asli. Populasi serangga bervariasi, bergantung pada kelembapan, suhu udara, ketersediaan media perkembangbiakan, serta curah hujan. Data tersebut dapat digunakan dalam interpretasi epidemiologi penyakit bluetongue yang diteliti, termasuk isolat virus yang diperoleh dari serangga tersebut (Sendow 2002) serta prevalensinya (Sendow et al. 1992; Sendow dan Bahri 2005). Makin besar populasi vektor di daerah pengambilan sampel, makin besar pula peluang ternak terinfeksi suatu penyakit. Parameter iklim dan lingkungan seperti sanitasi kandang juga berperan dalam meningkatkan populasi vektor (Sendow 2002; Food and Agriculture Organization 2006a). 4
Penyimpanan Sampel
Serologis
Penyimpanan sampel yang kurang tepat akan mempengaruhi data serologis dan isolasi agen yang dihasilkan. Sampel darah berheparin yang berasal dari daerah yang jauh dari laboratorium, sebaiknya disimpan dalam nitrogen cair untuk selanjutnya dikirim ke laboratorium. Penyimpanan sampel untuk isolasi virus sebaiknya tidak terlalu lama. Sampel yang belum atau telah diproses disimpan pada suhu 4−70oC atau dalam nitrogen cair, sebelum hasilnya dinyatakan negatif. Serum yang diperoleh dapat disimpan pada suhu 4oC atau 20oC. Sampel serangga untuk isolasi virus harus segera diproses setelah diidentifikasi untuk menghindari kontaminasi dan pembusukan. Koleksi serangga yang akan digunakan untuk isolasi virus disimpan dalam media transpor Dubelco’s Minimum Eagle’s Media (DMEM) yang mengandung antibiotik (Sendow 2002). Koleksi serangga yang akan digunakan untuk mengetahui fluktuasi populasi, dapat disimpan dalam alkohol 70% (Sukarsih et al. 1993).
Pemeriksaan serologis bertujuan untuk mengetahui adanya antibodi terhadap infeksi virus suatu penyakit, baik yang disebabkan oleh infeksi virus maupun antibodi bawaan (maternal antibody). Sampel yang diperlukan berupa serum. Beberapa uji yang dapat digunakan adalah uji AGID, C-ELISA sebagai uji penyaringan, dan uji serum netralisasi atau uji hemaglutinasi inhibisi (HI) sebagai uji yang lebih spesifik atau untuk penentuan serotipe (Kirkland et al. 2002; Sendow et al. 1992; McCluskey et al. 2003). Hasil serologis serum sapi sentinel terhadap beberapa jenis virus penyebab penyakit arbovirus menunjukkan bahwa infeksi bluetongue, epizootic haemmorhagic disease of deer, bovine ephemeral fever dan japanese encephalitis telah terjadi di daerah Depok, Jawa Barat (Tabel 2). Sanitasi kandang sangat menentukan prevalensi infeksi penyakit. Kotoran sapi yang menumpuk terlalu lama di sekitar kandang merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan vektor Culicoides spp. Makin kotor dan makin banyak kotoran sapi di sekitar kandang, makin banyak pula jumlah serangga Culicoides spp. yang terperangkap, sehingga makin besar pula peluang terjadinya infeksi bluetongue akibat gigitan Culicoides spp. dan makin besar pula prevalensi reaktor bluetongue. Kondisi tersebut ikut menentukan hasil isolasi virus. Isolat virus hanya diperoleh dari sapi sentinel yang berada pada lokasi dengan curah hujan relatif rendah serta sanitasi kandang kurang bersih. Isolasi agen asal sampel sentinel untuk isolasi virus berpeluang lebih besar dibanding sampel acak (Tabel 3). Hasil penelitian
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Untuk memperoleh gambaran epidemiologi suatu penyakit maka pemeriksaan serologis dan isolasi agen mikroba perlu dilakukan. Hasil pemeriksaan serologis kemudian dikombinasikan dengan hasil pengamatan di lapang seperti gejala klinis, lalu lintas ternak, fluktuasi vektor, kondisi lingkungan, serta parameter pendukung untuk memperoleh gambaran epidemiologi yang lengkap dan menyeluruh.
Tabel 2. Hasil pemeriksaan antibodi terhadap beberapa jenis arbovirus yang terdeteksi pada sapi sentinel di daerah Depok, Jawa Barat. Kelompok virus Rhabdovirus Orbivirus
Bunyavirus Flavivirus
Virus Bovine ephemeral fever Bluetongue Epizootic haemmorhagic disease of deer (EHD) Akabane Japanese encephalitis
Sumber Soleha (1991) Sendow et al. (1991)
Sendow et al. (1997a) Sendow et al. (1993)
Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
Tabel 3. Hasil isolasi arbovirus yang telah teridentifikasi dari darah sapi sentinel di Indonesia. Kelompok virus Rhabdovirus Orbivirus
Identifikasi virus
Sumber
Bovine ephemeral fever Palyam, bluetongue, Epizootic haemmorrhagic disease of deer (EHD)
Sendow et al. (1992) menunjukkan bahwa beberapa jenis virus telah berhasil diisolasi dari sampel sentinel berupa darah dengan antikoagulan heparin.
Virologis Untuk lebih memastikan infeksi penyakit arbovirus maka isolasi virus dari sampel darah berheparin perlu dilakukan. Di samping itu, penentuan vektor terduga dilakukan dengan cara mengisolasi agen virus asal serangga (Sendow 2002). Isolasi virus membutuhkan waktu yang lebih lama daripada deteksi antigen menggunakan teknik molekuler seperti polymerase chain reaction (PCR). Teknik ini mulai dikembangkan terutama untuk penentuan antigen virus ternak yang berasal dari darah maupun serangga (Sendow et al. 1997b). Hasil analisis berbagai aspek di atas akan menghasilkan data epidemiologi yang komprehensif sehingga terjadinya wabah suatu penyakit dapat diantisipasi dengan lebih arif dan bijak.
APLIKASI SENTINEL Sentinel ternak dapat diterapkan untuk mengetahui beberapa jenis penyakit. Kirkland et al. (2002) telah mengaplikasikan perangkat diagnosis untuk mendeteksi antigen virus bluetongue di Provinsi Yunnan, Cina. Hasil penelitian tersebut menambah koleksi isolat virus bluetongue sebanyak 108 strain yang terdiri atas 11 serotipe. Hasil penelitian juga menunjukkan terjadinya infeksi bluetongue selama 5 bulan. Data penunjang seperti curah hujan dapat memperjelas epidemiologi infeksi bluetongue di provinsi tersebut. Graat et al. (2001) telah menerapkan model sentinel sapi untuk eradikasi agen penyakit infeksius seperti bovine herpesvirus 1 (BHV-1) di Belanda. Dengan meneJurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
Soleha (data tidak diterbitkan) Sendow. (2005) Sendow et al. (1993) Sendow (data tidak diterbitkan)
rapkan model tersebut, daerah yang paling berisiko terinfeksi BHV-1 dapat diketahui begitu pula cara pencegahannya. Bersamaan dengan itu, penerapan perangkat diagnosis yang sensitif, penentuan jumlah sapi sentinel, interval pengambilan sampel, status vaksinasi, dan kontak dengan hewan lain dapat dianalisis untuk memperoleh data epidemiologi yang lebih akurat. McCluskey et al. (2002; 2003) membandingkan epidemiologi infeksi vesicular stomatitis pada 12 lokasi sentinel sapi di Amerika selama 3 tahun. Dari data yang diperoleh dapat diketahui prevalensi terbesar dari 12 lokasi yang diamati, faktor-faktor penyebab, cara isolasi dan penyebaran virus, identifikasi vektor, penanganan, status kesehatan, serta pengaruh lingkungan dan pergerakan hewan tersebut. Sendow et al. (1992) melaporkan bahwa antibodi bawaan pada sapi pedet terhadap infeksi virus bluetongue pada sapi sentinel dapat terdeteksi hingga 6 bulan menggunakan uji ELISA, sedangkan dengan uji AGID hanya terdeteksi hingga 3 bulan. Data tersebut menunjukkan perbedaan sensitivitas teknik uji yang digunakan. Uji sensitivitas perangkat diagnosis telah dilakukan oleh beberapa peneliti pada model sentinel ini (Kirkland et al. 2002). Selain dapat digunakan untuk pengujian sensitivitas teknik diagnosis, sentinel ternak dapat memberikan gambaran musim penyakit serta risiko infeksi tertinggi yang akan terjadi. Sendow et al. (1992) melaporkan bahwa infeksi bluetongue terjadi pada awal dan akhir musim hujan. Data tersebut memberikan gambaran musim penyakit bluetongue sehingga antisipasinya dapat dilakukan lebih awal. Selain penerapan di lapang, pola transmisi infeksi parainfluenza tipe 3 (PI3) pada hewan percobaan marmot juga dapat diamati melalui model sentinel,
seperti yang dilakukan oleh Blomqvist et al. (2002). Pengamatan dilakukan terhadap derajat transmisi penyakit dan kinetik infeksi PI-3 berdasarkan umur ternak, lokasi, frekuensi perpindahan tempat, serta peranan antibodi bawaan. Selain itu, untuk mengetahui adanya evolusi dari virus yang diekskresikan melalui hidung dan feses dari sentinel babi yang diinfeksi dengan porcine respiratory corona virus (PRCV), Constantini et al. (2004) mempelajari waktu ekskresi PRCV melalui hidung dan feses menggunakan uji PCR, yang dilanjutkan dengan sekuensing genomnya Di Indonesia, model sentinel telah diterapkan oleh beberapa peneliti seperti Wiyono et al. (1995) untuk menentukan status infeksi virus malignant catarrhal fever (MCF), status imun respons terhadap vaksinasi canine parvovirus (CPV) (Sendow dan Syafriati 2004), dan untuk mempelajari epidemiologi infeksi bluetongue (Sendow et al. 1992). Selain untuk mempelajari epidemiologi infeksi arbovirus, model sentinel dapat pula diterapkan untuk penyakit lainnya, bahkan untuk mengetahui patogenesis serta penerapan biologi molekuler untuk mengetahui evolusi agen penyebab penyakit (Blomqvist et al. 2002; Constantini et al. 2004), serta evaluasi program vaksinasi (Sendow dan Syafriati 2004). Model sentinel sangat baik diterapkan pada penyakit yang tidak menimbulkan gejala klinis, tetapi bukan merupakan penyakit yang bersifat sporadis (Food and Agriculture Organization 2006b). Pendekatan biologi molekuler dapat diterapkan pada isolat virus asal sampel sentinel. Hal ini telah dilakukan oleh Obashi et al. (2004) untuk mempelajari dinamika virus palyam dari beberapa daerah di Jepang selama 6 tahun. Terjadinya mutan atau strain virus baru dapat terdeteksi melalui pendekatan molekuler. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya persamaan genetik akibat terjadinya reassortment dari segmen dua virus Chuzan dan D’Aguilar. Sentinel hewan sangat berguna dalam mempelajari banyak hal, termasuk epidemiologi suatu penyakit. Isolat agen penyebab seperti virus dapat terjaring dari sampel sentinel, dan dapat digunakan untuk keperluan penelitian lebih lanjut menggunakan biologi molekuler. Dengan diketahuinya saat yang paling berisiko bagi ternak terinfeksi suatu penyakit, maka jadwal vaksinasi dapat 5
ditentukan. Hal ini telah dilakukan oleh FAO dalam pencegahan penyakit rift valley fever di Afrika (Food and Agriculture Organization. 2006a). Lebih lanjut, penggunaan vaksin baru dapat diterapkan untuk mengetahui keefektifan vaksin tersebut.
KESIMPULAN Pendirian kelompok sentinel ternak sangat bermanfaat untuk mempelajari
epidemiologi suatu penyakit, serta untuk menjaring isolat. Pendirian sentinel ternak cukup mudah, namun memerlukan tenaga lapang yang terampil dalam pencatatan data serta dana yang memadai. Sosialisasi manfaat penelitian sentinel bagi peternak yang akan dijadikan sentinel perlu dilakukan. Status peternak, jenis kelamin ternak, serta hubungan yang harmonis antara peneliti dan peternak juga akan menentukan keberhasilan pendirian sentinel ternak. Selain untuk
mempelajari epidemiologi suatu penyakit, evaluasi hasil vaksinasi dan teknik diagnosis, evolusi agen penyebab dapat diketahui melalui pendekatan biologi molekuler dari sampel sentinel.
Evidence of an antigenic shift among palyam serogroup orbiviruses. J. Clin. Microbiol. 42 (10): 4.610−4.614.
Indonesia from sentinel cattle in West Java. Vet. Rec. 133: 166−168.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada staf perpustakaan Balai Penelitian Veteriner atas bantuannya dalam pencarian bahan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA Blomqvist, G.A., K. Martin, and B. Morein. 2002. Transmission pattern of parainfluenza 3 virus in Guinea pig breeding herds. Con-temp.Top Lab. Anim. Sci. 41(4): 53− 57. Constantini,V., P. Lewis, J. Alsop, C. Templeton, and L.J. Salt. 2004. Respiratory and fecal shedding of porcine respiratory coronavirus (PRCV) in sentinel weaned pigs and sequence of the partial S-gene of the PRCV isolates. Arch. Virol. 149 (5): 957− 974. Food and Agriculture Organization. 2006a. Prevention and control of rift valley fever. In FAO Corporate Document Repository. Http://www.fao.org//docrep/006/y4611e/ y4611e07.htm [20 Maret 2006]. Food and Agriculture Organization 2006b. Disease surveylance: Active survey techniques: sentinel herds. Http://www.fao.org/ /livestock/agah/empres/GEMP/empres/ emp1/1212-sent-herd.htm [20 Maret 2006]. Graat, E.A., M.C. de Jong, K. Frankena, and P. Franken. 2001. Modelling the effect of surveylance programmes on spread of bovine herpesvirus 1 between certified cattle herds. Vet. Microbiol. 79(3): 193− 208. Kirkland, P.D., N. Zhang, R.A. Hawkes, Z. Li, F. Zhang, R.J. Davis, D.A. Sanders, H. Li, K. Zhang, J. Ben, G.F. He, C.L. Homitzky, and N.T. Hunt. 2002. Studies on the epidemiology of bluetongue virus in China. Epidemiol. Infect. 128(2): 257−263. McCluskey, B.J., E.L. Mumford, M.D. Salman, and J.J. Traub-Dargatz. 2002. Use of sentinel herds to study the epidemiology of vesicular stomatitis in the state of Colorado. Ann. New York Academy Sci. 969: 205− 209. McCluskey, B.J., M.D. Salman, G.E. Martinez, A.O. Serrano, J.L. Shaw, and M.V. Herrerro. 2003. A 3-year pilot study of sentinel dairy herds for vesicular stomatitis in El Salvador. Prev. Vet. Med. 58(3−4): 199−210. Obashi, S., Y. Matsumori, T. Yanase, M. Yamakawa, T. Kato, and T. Tsuda. 2004.
6
Sahara, A., M. Malole, Koesharto, I. Sendow, dan Sukarsih. 2000. Distribusi dan identifikasi spesies-spesies Culicoides (Diptera: Ceratopogonidae) di Kabupaten Bogor. J. Sain Vet. 18(1−2): 31−36. Sendow, I. 2002. Isolasi virus bluetongue serotipe 1, 6, dan 21 dari serangga nyamuk di jawa Barat. JITV 7(4): 272−278. Sendow, I dan Bahri, S. 2005. Penyakit bluetongue pada ruminansia dan usaha pencegahannya di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 24(2): 56−62. Sendow, I., P. Young, and P. Ronohardjo. 1986. Serological studies of bluetongue virus in Indonesia. In T.D. St.George, B.H. Kay, and J. Blok (Eds.). Arbovirus Research in Australia. Proceedings of the 4 th Symposium. CSIRO QIMR, Brisbane. p. 271−273. Sendow, I., D.H. Cybinski, P.W. Daniels, P.L. Young, and P. Ronohardjo. 1991. Antibodies against certain bluetongue and epizootic haemmorhagic disease viral serotypes in Indonesian ruminants. Vet. Microbiol. 28: 111−118. Sendow, I., Sukarsih., S. Bahri, and P.W. Daniels 1997a. Antibody prevalence of Akabane virus in Indonesia. Hemerazoa 79(3): 114− 123. Sendow, I., L.I. Pritchard, and P.W. Daniels. 1997b. Detection of bluetongue virus in Indonesia using the reverse transcriptase polymerase chain reaction. Indon. J. Trop. Agric. 8(2): 29−33. Sendow, I., E. Daniels, E. Soleha, and Sukarsih. 1992. Epidemiologic studies of bluetongue viral infections in Indonesian livestock. In T.E. Walton and B.I. Osburn (Eds.). Proc. 2nd International Symposium of Bluetongue, African Horse Sickness and Related Orbiviruses. CRC Press, Boca Raton. p. 147− 154. Sendow, I., P.W. Daniels, E. Soleha, B. Erasmus, Sukarsih, and P. Ronohardjo. 1993. Isolation of bluetongue virus serotypes new to
Sendow, I., T. Syafriati, U.K. Hadi, M. Malole, S. Soviana, dan Darminto. 2003. Epidemiologi penyakit Japanese-B-encephalitis pada babi di Propinsi Riau dan Sumatera Utara. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 8(1): 64− 70. Sendow, I. dan T. Syafriati. 2004. Seroepidemiologi infeksi canine parvovirus pada anjing. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7(4): 272−278. Sendow, I. 2005. Isolasi virus palyam dari sapi sentinel di Timor Barat, Indonesia. Jurnal. Mikrobiologi Indonesia 10(1): 33−36. Soleha, E. 1991. A microserumneutralization test to the serological study of bovine ephemeral fever. Penyakit Hewan 23(41): 33−36. St. George, T.D. 1980. A sentinel herd system for the study of arbovirus infection in Australia and Papua New Guinea. Vet. Sci. Comm. 4: 39−51. Sukarsih, P.W. Daniels, I. Sendow, and E. Soleha. 1993. Longitudinal studies of Culicoides spp. associated with livestock in Indonesia. In Proceedings of the 6 th Symposium on Arbovirus Research in Australia, Brisbane, Australia. 12-18 December 1992. Quensland Institute Medical Research, Brisbane. p. 203−208. Sukarsih, I. Sendow, S. Bahri, M. Pearce, and P.W. Daniels. 1996. Culicoides surveys in Indonesia. In T.D. S.T. George and Peng Kegao. Bluetongue in South East Asia and the Pacific Region. Proc. No. 66. ACIAR, Canberra. p. 123−128. Taylor, W.P. 1986. The epidemiology of bluetongue. Rev. Sci. Tech. Int. Epiz. 5(2): 351− 356. Wiyono, A., A. Sarosa, M. Geong, and S. Utami. 1995. Prevalence of antibody against infectious bovine rhinotracheitis virus in sentinel cattle in West and East Nusa Tenggara. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1(2): 99−104. Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006