v
SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS DIETARY DIVERSITY SCORE (DDS) DALAM MENGESTIMASI TINGKAT KECUKUPAN ZAT GIZI PADA BALITA USIA 24-59 BULAN DI INDONESIA (ANALISIS DATA STUDI DIET TOTAL 2014)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun oleh : ANDINI SEPTIANI NIM : 1112101000048
PEMINATAN GIZI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/ 2017 M
v
v
v
v
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN GIZI MASYARAKAT Skripsi, Maret 2017 ANDINI SEPTIANI, NIM : 1112101000048 Sensitivitas dan Spesifisitas Dietary Diversity Score (DDS) dalam Mengestimasi Kecukupan Zat Gizi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia (Analisis Data Studi Diet Total 2014) xviii + 90 halaman, 12 tabel, 5 bagan, 3 gambar, 4 lampiran ABSTRAK Usia balita merupakan kelompok yang sangat rentan mengalami kekurangan zat gizi, baik makro maupun mikro. Dengan mengonsumsi pangan yang beragam, maka kebutuhan akan zat gizi makro dan mikro akan tercukupi. FAO dan FANTA telah memperkenalkan metode Dietary Diversity Score (DDS) sebagai metode yang simpel dan efektif untuk mengukur kualitas konsumsi serta kecukupan zat gizi dengan melihat keragaman konsumsi. Namun, di Indonesia belum terdapat uji validasi terhadap metode DDS dalam menilai kecukupan zat gizi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas DDS dalam mengestimasi tingkat kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia. Penelitian menggunakan desain studi cross-sectional dan menggunakan data skunder Studi Diet Total tahun 2014 dengan sampel sebanyak 3085 balita yang telah diukur konsumsi dengan recall 1x24 jam, sudah tidak ASI, diukur berat badan, dan BB/U normal. Keragaman konsumsi dihitung dengan menggunakan metode DDS dengan menjumlahkan 9 kelompok pangan, dan kecukupan zat gizi dihitung dengan menggunakan nilai Nutrient Adequacy Ratio (NAR) dan Mean Adequacy Ratio (MAR) yang dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2014. Analisis dengan uji korelasi untuk mengetahui hubungan antara DDS dengan MAR serta menghitung sensitivitas dan spesifisitas untuk mengetahui cut-off terbaik dari DDS. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa rata-rata balita di Indonesia mengkonsumsi sebanyak 5 kelompok pangan (SD 1,31) dan rata-rata MAR 63,54%. Kelompok pangan yang tertinggi dikonsumsi pada balita yaitu kelompok pangan serealia dan umbi-umbian sebesar 99,9% kemudian diikuti kelompok pangan lemak dan minyak sebesar 93,8%. Konsumsi kelompok pangan terendah yaitu pada kelompok pangan buah lainnya sebesar 26,1%. Terdapat hubungan signifikan antara DDS dengan kecukupan tujuh zat gizi, serta terdapat hubungan yang sangat kuat antara DDS dengan MAR (r=0,771; P=0,000). Skor 6 untuk DDS dapat mencukupi 75% AKG sebesar 76,7% sensitivitas dan 73,5% spesifisitas. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan nilai DDS dan MAR tertinggi di Indonesia. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk pemerintah agar tercapainya keragaman konsumsi pangan pada balita. Selain itu, penilaian keragaman konsumsi pangan dapat mengguakan metode DDS dengan cut off ≥6 agar tercukupi kebutuhan gizi
vi
lebih dari 75% AKG. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan melihat faktor lainnya yang mempengaruhi kecukupan zat gizi pada balita atau karakteristik lainnya.
Kata Kunci : DDS, MAR, sensitivitas, spesifisitas, balita, cut off Daftar bacaan : 71 (2001-2016) FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA PROGRAME STUDY OF PUBLIC HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH NUTRITION CONCENTRATION Undergraduate Thesis, Maret 2017 ANDINI SEPTIANI, NIM : 1112101000048 Sensitivity and Specificity of Dietary Diversity Score (DDS) in Estimating Adequacy of Nutrients in Children 24-59 Months in Indonesia (Studi Diet Total 2014 Data Analysis) xviii + 90 pages, 12 tables, 5 charts, 3 images, 4 attachments
ABSTRACT Children under five years old have high risk of malnutrition, either macro and micro nutrients. By eating a variety of foods, then the macro and micro nutrient needs will be met. FAO and FANTA showed us a simple and effective method, called Dietary Diversity Score (DDS). This method is used to measure the quality and the adequacy of nutrient intake by the diversity of consumption. But unfortunately, in Indonesia there has been no test method validation of DDS in assessing the adequacy of nutrients. This research is designed to study about the sensitivitas and specificity of DDS in estimating the adequacy of nutrients in children aged 24-59 months in Indonesia. This research is using cross- sectional and secondary data of Studi Diet Total 2014 with a sample of 3467 children under five have been measured consumption by recall 1x24 hours, is not breastfeeding, and measured body weight. Diversity consumption was calculated using DDS method with summing 9 food groups and nutrition adequacy is calculated using the value of Nutrient Adequacy Ratio (NAR) and Mean Adequacy Ratio (MAR) that is compared with Recommended Dietary Allowence (RDA) 2014. Corelation analysis test between DDS and MAR, and also calculate the sensitivity and spesificity know the best cut of point of DDS. The result showed that the average of children under five in Indonesia consume as much as 5 food groups (SD 1.32) and average of MAR is 63,54%. Cerealia and tubers food group has the highest consumption which is 99,9%, and 93,8% on oil and fat group. The lowest consumption is on fruit others group which is only 26,1%. There is a significant correlation between DDS with seven nutrient adequacy, and there is a very strong correlation between the DDS and MAR (r = 0,771; P= 0,000). Score 6 for DDS can suffice about 76,7% sensitivity and 73,5% spesificity in assessing MAR 75% RDA. DKI Jakarta has the highest DDS and MAR score in Indonesia. The results of this study can be input to the government in order to achieve diversity of food consumption in children under five. In addition, the diversity of food consumption assessment can using DDS method with cut off ≥6 that adequate nutritional adequacy of more than 75% RDA. Further research is needed more with seeing other factors affecting the adequacy of nutrient on children under five or others.
vii
Keywords : DDS, MAR, sensitivity, specificity, children under five, cut off Bibliography : 71 (2001-2016) DAFTAR RIWAYAT HIDUP IDENTITAS PRIBADI Nama Lengkap
: Andini Septiani
Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 24 September 1994
Alamat
: Vila ANRI Blok T No. 3 RT 01/RW 015, Kelurahan Mampang, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok
Jenis Kelamin
: Perempuan
Kewarganegaraan
: Indonesia
Agama
: Islam
Email
:
[email protected]
Telepon
: 085718571881
PENDIDIKAN FORMAL 2012 – sekarang
: Gizi Masyarakat, Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2009 – 2012
: SMA Negeri 49 Jakarta
2006 – 2009
: SMP Negeri 56 Jakarta
2000 – 2006
: SDN 03 Pagi Ragunan
1999 – 2000
: TK Tunas Wisma Tani
PENGALAMAN ORGANISASI 2007 – 2008
: Ketua Ekstrakulikuler Karya Ilmiah Remaja SMP Negeri 56 Jakarta periode 2007-2008
2009 – 2010
: Ketua Koordinasi Bidang Keterampilan dan Kewirausahaan OSIS-MPK SMA Negeri 49 Jakarta Periode 2009-2010
2010-2011
: Sekretaris Umum OSIS SMA Negeri 49 Jakarta Periode 20102011
2013-2014
: Anggota Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Badan
viii
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Periode 2013-2014
PENGALAMAN BEKERJA Januari 2015-Maret 2015 : Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas Paku Alam Tangerang Selatan Januari 2016-Maret 2016 : Magang di Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) Provinsi Banten di Bidang Konsumsi dan Keamanan Pangan Maret 2017 - Juni 2017
: Internship di PT. Prudential Life Assurance bagian Life Administration
ix
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi yang berjudul “Sensitivitas Dan Spesifisitas Dietary Diversity Score (DDS) Dalam Mengestimasi Tingkat Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan Di Indonesia (Analisis Data Studi Diet Total 2014)” dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai Gelar S.KM pada Mahasiswi Kesehatan Masyarakat Peminatan Gizi. Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan senang hati menyampaikan terima kasih kepada: 1. Kedua Orang Tua tercinta Ibu dan Bapak, yang tak henti mendo’akan, mendukung, dan memberi kasih sayang kepada anak-anaknya agar tercapai semua cita-cita yang diinginkan. Tak henti do’a dipanjatkan agar semua
urusan
anak-anaknya
dimudahkan,
salah
satunya
sampai
terselesaikan skripsi ini dengan hasil yang tidak menghianati proses. Terimakasih Pak, Bu.. 2. Mas dan Wahyu yang tak henti memberikan dukungan semangat agar skripsi ini cepat selesai, yang setia antar jemput si “anak wedok” ini. 3. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS selaku Pembimbing 1 yang telah berbaik hati memberikan bimbingan, pengarahan, nasihat-nasihat, serta dukungan semangat dalam proses penyusunan skripsi ini. 4. Ibu Dela Aristi, MKM selaku Pembimbing 2 yang telah berbaik hati memberikan bimbingan, pengarahan, dan dukungan semangat dalam proses penyusunan skripsi ini. 5. Ibu Mukhlidah Hanun Siregar, M.KM selaku pembimbing pendamping yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dengan sabar serta dukungan semangat dalam proses penyusunan skripsi ini.
x
6. Ibu Fajar Ariyanti, S.KM, M.Kes, PhD selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Para penguji sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran agar menjadikan skripsi ini lebih baik lagi. 8. Sahabat-sahabat seperjuangan, Jijah, Tyas, Nuni, Gopit, Yolan, Vira, Ika, Widia, dan Cece yang telah memberi dukungan, ilmu, kritik, saran, pengalaman, dan sebagai stress relief semasa perkuliahan. 9. Teman-teman peminatan Gizi 2012 yang telah mendukung dan bekerja sama dengan baik semasa perkuliahan. 10. Seluruh pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dari awal perkuliahan maupun dalam proses penyusunan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu Semoga Allah SWT memberikan balasan berupa kebaikan yang berlipat ganda kepada semua yang telah berjasa dalam proses maupun penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk menyempurnakan skripsi ini. Penulis berharap, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membacanya.
Jakarta,
Maret 2017 Penulis
xi
DAFTAR ISTILAH
Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah kecukupan rata-rata zat gizi sehari yang dianjurkan berdasarkan karakteristik tertentu. Dietary Diversity Score (DDS) adalah indikator keragaman konsumsi pangan yang dinilai dengan 9 kelompok pangan. Estimated Average Requirement (EAR) adalah rata-rata kebutuhan zat gizi yang diperoleh dari rata-rata kebutuhan gizi berdasarkan hasil penelitian pada populasi sehat. Keragaman Konsumsi Pangan adalah jumlah pangan atau kelompok pangan berbeda yang dikonsumsi individu dalam jangka waktu tertentu. Mean Adequacy Ratio (MAR) adalah rata-rata nilai kecukupan zat gizi secara keseluruhan atau rata-rata dari nilai NAR. Nutrient Adequacy Ratio (NAR) adalah perbandingan antara zat gizi yang dikonsumsi individu dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan sesuai kategori usia dan jenis kelamin. Pangan adalah segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak. Sensitivitas adalah kemampuan suatu tes untuk memberikan gambaran positif pada orang yang benar-benar sakit Spesifisitas adalah kemampuan suatu tes untuk memberikan gambaran negatif bila subjek yang di tes adalah bebas dari penyakit
xii
DAFTAR ISI PERNYATAAN PERSETUJUAN.......................... Error! Bookmark not defined. PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI ................................................................. ii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii ABSTRAK ............................................................................................................. v DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vii KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix DAFTAR ISTILAH ............................................................................................. xi DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xvi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 7 C. Pertanyaan Penelitian .................................................................................. 8 D. Tujuan.......................................................................................................... 9 1. Tujuan Umum ....................................................................................... 9 2. Tujuan Khusus ...................................................................................... 9 E. Manfaat ...................................................................................................... 10 1. Bagi Pemerintah .................................................................................. 10 2. Bagi Peneliti dan Mahasiswa Lainnya ................................................ 11 F. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 12 A. Kebutuhan Gizi Balita ............................................................................... 12 1. Kebutuhan Energi................................................................................ 13 2. Kebutuhan Protein ............................................................................... 14 3. Kebutuhan Zat Gizi Mikro .................................................................. 15 B. Pangan ....................................................................................................... 19
xiii
1. Pengertian Pangan ............................................................................... 19 2. Pengelompokkan Pangan .................................................................... 20 C. Konsumsi Pangan Balita ........................................................................... 22 D. Penilaian Konsumsi Pangan ...................................................................... 24 E. Keanekaragaman Konsumsi Pangan ......................................................... 25 1. Penilaian Keberagaman Konsumsi Pangan ......................................... 26 F. Konsep Dietary Diversity Score (DDS) dan Kecukupan Zat Gizi ............ 29 G. Uji Sensitivitas dan Spesifisitas ................................................................ 33 H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecukupan Zat Gizi Balita ............... 35 1. Karakteristik Individu ......................................................................... 35 2. Kebiasaan Makan ................................................................................ 37 3. Faktor Ibu ............................................................................................ 40 4. Faktor Sosial Ekonomi ........................................................................ 43 I.
Kerangka Teori .......................................................................................... 44
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ............ 46 A. Kerangka Konsep ...................................................................................... 46 B. Definisi Operasional .................................................................................. 48 C. Hipotesis Penelitian ................................................................................... 50 BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................... 51 A. Desain Penelitian ....................................................................................... 51 B. Lokasi dan Waktu Penelitian..................................................................... 51 C. Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................ 52 D. Sumber Data Penelitian ............................................................................. 54 E. Instrumen Penelitian .................................................................................. 55 F. Pengumpulan Data .................................................................................... 55 G. Pengolahan Data ........................................................................................ 56 H. Analisis Data ............................................................................................. 59 BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................... 60
xiv
A. Gambaran Karakteristik Umum ................................................................ 60 B. Analisis Univariat ...................................................................................... 61 1. Distribusi Frekuensi Asupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ......................................................................... 61 2. Distribusi Frekuensi Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 .......................................................... 62 3. Distribusi Frekuensi dan Proporsi Dietary Diversity Score (DDS) pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ............................. 63 4. Distribusi Frekuensi Asupan Berdasarkan Kelompok Pangan Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ............................. 65 5. Distribusi Proporsi Kelompok Pangan Yang Dikonsumsi Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Berdasarkan Dietary Diversity Score (DDS) Pada Tahun 2014 ................................................................................. 66 6. Distribusi Frekuensi Keragaman Konsumsi Pangan dan Kecukupan Zat Gizi pada Balita di Tiap Provinsi Indonesia Tahun 2014 ............. 67 C. Analisis Bivariat ........................................................................................ 69 D. Sensitivitas dan Spesifisitas ...................................................................... 70 BAB VI PEMBAHASAN.................................................................................... 72 A. Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 72 B. Asupan Zat Gizi Balita .............................................................................. 72 C. Kecukupan Zat Gizi Balita ........................................................................ 75 D. Keragaman Konsumsi Pangan Balita ........................................................ 78 E. Hubungan antara Dietary Diversity Score (DDS) dengan Mean Adequacy Ratio (MAR) pada Balita .......................................................................... 82 F. Sensitivitas dan Spesifisitas Dietary Diversity Score (DDS) dalam Mengestimasi Kecukupan Zat Gizi pada Balita ........................................ 85 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 88 A. KESIMPULAN ......................................................................................... 88 B. SARAN ..................................................................................................... 90 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 91 LAMPIRAN ....................................................................................................... 101
xv
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Angka Kecukupan Zat Gizi................................................................... 13 Tabel 2.2 Tabel Dietary Diversity Score (DDS) ................................................... 28 Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 48 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Individu Balita 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 .......................................................................... 60 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berat Badan Pada Balita Usia 2-59 Bula di Indonesia Tahun 2014 .......................................................................... 61 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Asupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 .......................................................................... 62 Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ...................................................................... 63 Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Dietary Diversity Score (DDS) Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ................................................. 64 Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Asupan Berdasarkan Kelompok Pangan Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014............................... 65 Tabel 5.7 Persentase Konsumsi Kelompok Pangan Berdasarkan skor DDS ........ 66 Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Rerata Dietary Diversity Score (DDS) dan Rerata Kecukupan Zat Gizi dengan Mean Adequacy Ratio (MAR) Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2014 ........................................................ 68 Tabel 5.9 Analisis Korelasi antara Dietary Diversity Score (DDS) dengan kecukupan zat gizi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia ........... 69
xvi
DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Kerangka Teori .................................................................................... 45 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................. 46 Bagan 4.1 Alur Cleaning Sampel Penelitian......................................................... 54 Bagan 4.2 Alur Pengumpulan Data ....................................................................... 56 Bagan 4.3 Alur Pengolahan Data .......................................................................... 58
xvii
DAFTAR GAMBAR Gambar 5.1 Persentase Dietary Diversity Score (DDS) Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ......................................................... 64 Gambar 5.2 Grafik Hubungan antara DDS dengan MAR .................................... 70 Gambar 5.3 Sensitivitas dan Spesifisitas dari DDS untuk ketiga cut off point MAR .................................................................................................. 71
xviii
DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Output Analisis Data LAMPIRAN 2 Kuesioner Studi Diet Total 2014 LAMPIRAN 3 Surat Permohonan Permintaan Data LAMPIRAN 4 Surat Pernyataan Pengambilan Data
1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Kelompok usia balita merupakan kelompok yang sangat peka terhadap jumlah asupan dan jenis pangan yang dikonsumsi. Hal ini dikarenakan terjadi laju pertumbuhan yang sangat pesat pada masa balita tersebut. Biasanya anak yang paling kecil beresiko lebih tinggi terhadap kekurangan pangan, karena anak-anak yang paling kecil umumnya makan lebih lambat dan dalam jumlah yang kecil dibandingkan anggota rumah tangga yang lain. Hal ini dapat menyebabkan kebutuhan gizi anak cenderung tidak tercukupi dalam masa pertumbuhannya (Suhardjo, 2010). Pada usia 6-24 bulan, anak belum mampu mengekspresikan keinginan mereka memilih jenis-jenis makanan. Sedangkan pada usia 24-59 bulan anak mulai memilih-milih jenis makanan yang hanya disukainya. Sifat balita dalam memilih jenis makanan yang hanya disukai ini dapat berakibat kurang beragamnya jenis makanan yang dikonsumsi. Keragaman jenis-jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak sangat menentukan sumbangan atau kontribusi zat-zat gizi dalam pemenuhan kebutuhan gizi anak. Selain itu, pada usia 24-59 bulan ini biasanya anak sudah berhenti ASI sehingga pemenuhan akan zat gizi sepenuhnya dari konsumsi pangan (Hermina & Prihatini, 2011).
2
Dengan mengonsumsi pangan yang beragam, maka kebutuhan akan zat gizi makro maupun zat gizi mikro bagi balita akan tercukupi. Berdasarkan hasil penelitian lanjutan terhadap data konsumsi yang diperoleh dari Riskesdas 2010, didapatkan bahwa jumlah anak balita pendek usis 24-59 bulan yang mengalami defisit energi sebanyak 31,5%, sedangkan pada balita yang normal sebesar 24,9%. Demikian juga balita pendek yang megalami defisit protein sebesar 23.0% sedangkan pada balita normal sebesar 17,5% (Hermina & Prihatini, 2011). Hal tersebut menunjukkaan rendahnya asupan zat gizi dapat menyebabkan masalah gizi serta berbagai gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada balita. Masalah gizi lainnya yaitu prevalensi kekurangan zat gizi mikro pada balita seperti vitamin A dan zat besi sebesar 5,7% dan 12,8% (Valentina, Palupi, & Andarwulan, 2014). Zat gizi mikro yang berperan sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan pada balita yaitu vitamin A, vitamin C, zat besi (Fe), kalsium, dan zink (Zn) (Sharlin & Edelstein, 2011). Pemenuhan akan zat-zat gizi yang diperlukan tubuh tersebut dapat terpenuhi dengan mengonsumsi makanan yang beragam. Secara alami komposisi setiap jenis bahan pangan memiliki kelebihan dan kekurangan akan zat gizi tertentu, sehingga dengan mengonsumsi jenis pangan yang beragam, pangan satu dengan yang lainnya akan saling melengkapi (Rustanti, 2015). Keberagaman konsumsi pangan yang dimaksud adalah dengan mengonsumsi pangan yang seimbang yang dapat menyediakan zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur dalam jumlah yang cukup dan terdiri dari pangan yang beragam (Meitasari, 2008).
3
Keberagaman konsumsi diketahui sebagai elemen kunci dari kualitas konsumsi dan mempertinggi kecukupan asupan dari zat gizi yang esensial (FAO, 2010). Dampak jangka pendek jika keragaman pangan yang rendah akan mengakibatkan pola makan yang tidak seimbang. Selain itu dampak lainnya dapat munculnya masalah-masalah gizi seperti kekurangan zat gizi makro dan mikro, kelebihan gizi, dan ketidakseimbangan zat gizi karena disposisi zat gizi (Ariani, 2010). Kekurangan zat gizi spesifik seperti kekurangan vitamin dan mineral merupakan masalah yang sering terjadi jika konsumsi tidak beragam (Hanafie, 2010). Keragaman konsumsi pangan dapat dinilai dengan menggunakan dua metode, yaitu penilaian keragaman konsumsi pangan pada tingkat rumah tangga dan penilaian keragaman konsumsi pangan pada tingkat individu (FAO, 2010). Di Indonesia, penilaian keragaman konsumsi pangan masih menggunakan penilaian pada tingkat rumah tangga dengan menggunakan metode Pola Pangan Harapan (PPH). Metode PPH ini dengan melihat komposisi dan jumlah atau ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga. Hasil dari perhitungan PPH tersebut dapat menjadikan evaluasi terhadap ketahanan pangan suatu wilayah. Keterbatasan pada metode ini yaitu tidak dapat menggambarkan skor keragamanan konsumsi dari masing-masing individu dalam rumah tangga (Badan Ketahanan Pangan, 2014b). Metode lainnya yaitu penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu. Data terkait konsumsi pangan pada tingkat individu juga dibutuhkan sebagai gambaran konsumsi dan sebagai determinan dari
4
masalah gizi secara langsung. Selain itu, data terkait keragaman konsumsi pangan pada tingkat individu juga dibutuhkan sebagai evaluasi kualitas konsumsi pangan di masyarakat yang dapat digunakan untuk mengukur, menilai keberhasilan program intervensi, dan monitoring serta evaluasi dampak kebijakan dari program gizi. Namun, pengumpulan data konsumsi individu cenderung lebih mahal, serta diperlukan keahlian tingkat tinggi baik dalam pengumpulan data maupun analisis (FAO, 2010). Penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu dapat dinilai dengan Dietary Diversity Score (DDS) dan juga Food Variety Score (FVS). Penilaian keragaman konsumsi pangan dengan DDS yaitu melihat keragaman pangan dari 9 kelompok pangan, sedangkan FVS yaitu melihat keragaman pangan dari item perkelompok pangan. Food and Agriculture Organization (FAO) dan Food and Nutrition Technical Assistance (FANTA) telah memperkenalkan metode DDS sebagai metode yang simpel dan efektif untuk mengukur kualitas konsumsi serta kecukupan zat gizi dibandingkan dengan metode penilaian gizi lainnya. Studi terkait DDS telah dikembangkan
diberbagai
negara
berkembang.
Dibeberapa
negara
menunjukkan DDS sebagai alat yang mudah yang dapat menggambarkan keberagaman konsumsi pada populasi dan sebagai indikator terbaik dalam memprediksi kecukupan zat gizi (FANTA, 2006; FAO, 2010). Dengan menggunakan metode DDS juga dapat menilai kecukupan dari zat gizi yang dikonsumsi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kennedy (2009) menunjukkan bahwa DDS berhubungan signifikan
5
dengan asupan zat gizi pada anak tidak ASI usia 2-5 tahun di Filipina dan penelitian Steyn, dkk., (2009) pada anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan. Penelitian tersebut juga menilai cut-off point terbaik untuk indikator dari ketidakcukupan asupan zat gizi mikro. Di Filipina, cut-off point untuk indikator ketidakcukupan asupan zat gizi mikro yaitu 6 kelompok pangan dapat mengestimasi kecukupan zat gizi sebesar 75%, sedangkan di Afrika Selatan yaitu 4 kelompok pangan dapat mengestimasi kecukupan zat gizi kurang dari 50%. Di Indonesia, penelitian terkait DDS masih belum banyak. Penelitian yang dilakukan oleh Supriyanti & Nindya (2015) melihat hubungan antara DDS dengan status gizi pada balita usia 12-59 bulan di Sumenep. Hasil penelitian tersebut menunjukkan sebagian besar konsumsi balita tidak beragam dengan skor DDS <4 sebesar 82,7% dan skor DDS ≥4 sebesar 17,3%. Kelemahan dari penelitian ini yaitu tidak terdapat validasi terhadap metode DDS yang digunakan. Pengkategorian skor DDS menggunakan panduan dari FAO namun tidak terdapat validasi yang dilakukan di Indonesia. Penelitian DDS lainnya di Indonesia yaitu penelitian Marlina (2011) yang menilai sensitivitas dan spesifisitas indikator keragaman konsumsi pangan dengan DDS dan FVS dalam mengestimasi kecukupan zat gizi energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, kalsium, dan seng pada balita usia 24-59 bulan di Kota Bandung. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa DDS memiliki kemampuan memprediksi tingkat kecukupan zat gizi
6
lebih baik dari pada FVS. Ambang batas terbaik untuk memperkirakan Mean Adequancy Ratio (MAR) ≤70% adalah 6 untuk DDS dan 9 untuk FVS, yang artinya skor 6 untuk DDS menjadikan cut-off point dari kecukupan zat gizi sebesar 70% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) balita usia 24-59 bulan. Di Indonesia, belum terdapat uji validasi terhadap metode DDS secara nasional untuk mengetahui kecukupan zat gizi yang dibutuhkan tubuh terutama pada balita usia 24-59 bulan. Uji validitas terhadap metode DDS ini diperlukan sebagai penilaian apakah indeks atau alat ukur penganekaragaman konsumsi pangan dengan menggunakan metode DDS ini cukup mencerminkan parameter kecukupan zat gizi. Uji validitas ini dapat menggunakan uji diagnostik dengan menilai sensitivitas dan spesifisitas dari sebuah alat atau metode. Sensitivitas adalah nilai untuk memprediksi atau mengidentifikasi kelompok yang mengalami kekurangan zat gizi, sedangkan spesifisitas merupakan nilai untuk memprediksi kelompok yang kecukupan zat gizinya baik (Fahmida & Dillon, 2007). Pentingnya konsumsi beragam pangan pada balita agar terpenuhinya kecukupan zat gizi, maka diperlukan suatu metode yang secara mudah dan murah dalam mengestimasi kecukupan zat gizi tersebut. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk menilai sensitivitas dan spesifisitas metode DDS dalam mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia menggunakan data skunder dari Studi Diet Total tahun 2014. Penelitian ini dapat berguna sebagai informasi serta dapat digunakan sebagai masukan
7
dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan keragaman konsumsi khususnya pada balita. B. Rumusan Masalah Kelompok balita merupakan kelompok yang rentan terhadap masalah kekurangan asupan zat gizi, baik zat gizi makro maupun zat gizi mikro. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan pangan dan zat gizi yang meningkat, namun asupan yang cenderung rendah dikarenakan karakteristik balita yang memilih jenis makanan yang hanya disukai sehingga konsumsi pangan tidak beragam. Kebutuhan akan gizi bagi tubuh akan tercukupi apabila mengkonsumsi pangan yang beranekaragam. Dengan mengonsumsi pangan yang beragam akan mempertinggi kecukupan zat gizi yang esensial. Dampak jika konsumsi tidak beragam dapat menyebabkan kekurangan zat gizi spesifik. Keragaman konsumsi pangan dapat dinilai dengan dua metode, yaitu penilaian keragaman konsumsi pangan pada tingkat rumah tangga dan pada tingkat individu. Salah satu metode penilaian pada tingkat individu yaitu Dietary Diversity Score (DDS). DDS merupakan metode yang mudah serta dapat menilai kecukupan zat gizi. Di berbagai negara metode DDS telah dikembangkan serta telah diuji sebagai prediktor yang baik untuk mengestimasi kecukupan zat gizi terutama pada usia balita. Di Indonesia, penelitian terkait uji validitas metode DDS dalam mengestimasi kecukupan zat gizi telah dilakukan di Kota Bandung, namun belum terdapat penelitian secara nasional, untuk itu peneliti ingin meneliti terkait “Sensitivitas dan Spesifisitas
Dietary Dviversity Score
(DDS) dalam Mengestimasi
8
Kecukupan Zat Gizi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia” menggunakan data Studi Diet Total tahun 2014. C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, berikut yang menjadi pertanyaan dalam penelitian: 1. Bagaimana distribusi frekuensi asupan zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, Fe, dan Zn) pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014? 2. Bagaimana distribusi frekuensi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014? 3. Bagaimana distribusi frekuensi dan proporsi Dietary Diversity Score (DDS) pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014? 4. Bagaimana distribusi frekuensi asupan berdasarkan kelompok pangan pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014? 5. Bagaimana distribusi frekuensi kelompok pangan yang dikonsumsi balita usia 24-59 bulan di Indonesia berdasarkan Dietary Diversity Score (DDS) pada tahun 2014? 6. Bagaimana distibusi frekuensi keragaman konsumsi pangan dan kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di tiap provinsi Indonesia pada tahun 2014?
9
7. Bagaimana hubungan antara keragaman konsumsi pangan dengan kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014? 8. Bagaimana nilai sensitivitas dan spesifisitas dari DDS untuk mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014? D. Tujuan 1.
Tujuan Umum Diketahuinya nilai sensitivitas dan spesifisitas Dietary Diversity Score (DDS) dalam mengestimasi tingkat kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia dengan menganalisis data Studi Diet Total tahun 2014.
2.
Tujuan Khusus a. Diketahuinya distribusi frekuensi asupan zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, Fe, dan Zn) pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014 b. Diketahuinya distribusi frekuensi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014 c. Diketahuinya distribusi frekuensi dan proporsi Dietary Diversity Score (DDS) pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014 d. Diketahuinya distribusi frekuensi asupan berdasarkan kelompok pangan pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014
10
e. Diketahuinya
distribusi
proporsi
kelompok
pangan
yang
dikonsumsi balita usia 24-59 bulan di Indonesia berdasarkan Dietary Diversity Score (DDS) pada tahun 2014 f. Diketahuinya distibusi frekuensi keragaman konsumsi pangan dan kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di tiap provinsi Indonesia pada tahun 2014 g. Diketahuinya hubungan antara keragaman konsumsi pangan dengan kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014 h. Diketahuinya nilai sensitivitas dan spesifisitas dari DDS untuk mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014 E. Manfaat 1.
Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran informasi data terkait keragaman konsumsi pangan pada balita usia 2459 bulan di Indonesia. Hal ini dapat dijadikan informasi dalam pengambilan kebijakan atau dalam evaluasi program gizi khususnya terkait keberagaman konsumsi pangan. Serta dapat menambah referensi terkait penilaian keragaman konsumsi pangan pada balita dengan menggunakan metode Dietary Diversity Score (DDS).
11
2.
Bagi Peneliti dan Mahasiswa Lainnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam keberagaman konsumsi pangan dengan menggunakan metode Dietary Diersity Score dan dapat menambah referensi studi terkait Dietary Diversity Score dan kecukupan zat gizi pada balita.
F. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokkteran dan Ilmu Kesehatan UIN syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2016. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan November 2016 sampai Februari 2017. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas metode Dietary Diversity Score (DDS) dalam mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data skunder dari Studi Diet Total survei konsumsi makanan individu Indonesia 2014. Sampel populasi dari penelitian ini yaitu seluruh balita usia 24-59 bulan di Indonesia yang merupakan sampel dalam penelitian Riskesdas tahun 2013. Ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional dan menggunakan uji korelasi untuk mengetahui hubungan dan kekuatan hubungan antara skor keragaman konsumsi pangan dengan kecukupan asupan zat gizi serta analisis kurva ROC untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas antara DDS dengan kecukupan zat gizi (MAR) yang dinilai dengan menggunakan perbandingan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2014.
12
2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebutuhan Gizi Balita Balita harus mengkonsumsi, energi, protein, vitamin, dan mineral dengan
kualitas
yang
cukup
tinggi
untuk
bekal
dalam
masa
pertumbuhannya. Energi yang dihasilkan dari metabolisme zat gizi akan digunakan untuk mendukung pemeliharaan fungsi tubuh dan sebagai bahan bakar untuk pertumbuhan serta aktivitas fisik. Oleh karena itu pemenuhan akan zat gizi pada balita merupakan komponen yang penting bagi jaringan tubuh (Pipes, 2001). Kebutuhan zat gizi pada anak usia 2-5 tahun meningkat karena masih berada pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitasnya tinggi. Demikian juga anak sudah mempunyai pilihan terhadap makanan yang disukai termaksud makanan jajanan. Oleh karena itu jumlah dan variasi makanan harus mendapatkan perhatian secara khusus dari ibu atau pengasuh anak, terutama dalam mengatur kesukaan makanan anak agar anak mau dan memilih makanan yang bergizi seimbang. Disamping itu anak pada usia ini sering keluar rumah untuk bermain sehingga mudah terkena penyakit infeksi dan kecacingan yang dapat menyebabkan kebutuhan akan zat gizi yang lebih atau perlu perhatian khusus (Kemenkes, 2014b). Gizi yang baik dikombinasikan dengan kebiasaan makan yang sehat selama masa balita akan menjadi dasar bagi kesehatan yang bagus di
13
masa yang akan datang. Pengaturan makanan yang seimbang menjamin terpenuhinya kebutuhan gizi untuk energi dan pertumbuhan pada balita. Pengaturan makan yang baik yang dapat memenuhi kecukupan gizinya juga dapat melindungi balita dari penyakit dan infeksi serta membantu perkembangan mental dan kemampuan belajarnya (Thompson, 2006). Kebutuhan akan zat gizi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan keterkaitan antara zat gizi lainnya (Pipes, 2001). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kebutuhan zat gizi pada balita. Usia, berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, dan aktivitas fisik. Kebutuhan zat gizi pada penduduk Indonesia menggunakan standar Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2014 (Kemenkes, 2014a). Berikut tabel angka kecukupan zat gizi untuk balita usia 2-5 tahun. Tabel 2.1 Angka Kecukupan Zat Gizi Kelompok
Energi
Protein
Vit. A
Vit. C
Ca
Fe
Zn
umur
(kkal)
(gr)
(mcg)
(mg)
(mg)
(mg)
(mg)
1-3 tahun
1125
26
400
40
650
8
4
4-6 tahun
1600
35
450
45
1000
9
5
1.
Kebutuhan Energi Energi merupakan salah satu hasil metabolisme zat gizi. Energi diperlukan untuk proses pertumbuhan dan mempertahankan fungsi jaringan tubuh, proses mempertahankan suhu tubuh agar tetap stabil
14
dan gerakan otot untuk aktivitas (Thompson, 2006). Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat, dan protein. Contoh pangan sumber energi yaitu beras, jagung, oat, serealia, umbi-umbian, tepung, gula, buah, daging, telur, ikan, susu, kacang-kacangan, dan jenis pangan lainnya (Simanjuntak, 2014). Perhitungan kecukupan energi dalam Angka Kecukupan Gizi 2014 berdasarkan perhitungan energi model persamaan IOM tahun 2005. Perhitungan kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti berat dan tinggi badan, pertumbuhan dan perkembangan (usia), jenis kelamin, energi cadangan bagi anak dan remaja, serta thermic effect of food (TEF). TEF adalah peningkatan pengeluaran eneri karena asupan pangan yang nilainya 5-10% dari Total Energy Expenditure (TEE) (Mahan & Escoot-stump 2008 dalam Kemenkes 2014a). Angka kecukupan energi pada anak usia 1-3 tahun yang ditetapkan dalam AKG 2014 yaitu sebesar 1125 kkal, sedangkan untuk anak usia 4-6 tahun sebesar 1600 kkal (Kemenkes, 2014a). 2.
Kebutuhan Protein Protein terdiri dari asam-asam amino. Disamping menyediakan asam amino esensial, protein juga mensuplai energi dalam keadaan energi terbatas dari karbohidrat dan lemak. Protein diperlukan untuk memelihara struktur dan fungsi tubuh setiap saat. Protein ekstra mungkin diperlukan selama masa pertumbuhan anak-anak, dalam kehamilan, dan masa pemulihan setelah cidera (Barasi, 2007). Pangan
15
sumber protein hewani meliputi daging, telur, susu, ikan, dan hasil olahannya. Pangan sumber protein nabati meliputi kedelai, kacangkacangan, dan hasil olahannya seperti tempe, tahu dan lainnya (Marshall, 2009). Kecukupan protein seseorang dipengaruhi oleh berat badan, usia (tahap pertumbuhan dan perkembangan) dan mutu protein dalam pola konsumsi pangannya. Bayi dan anak-anak yang berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang pesat membutuhkan protein lebih banyak per kilogram berat badannya dibandingkan orang dewasa. Angka kecukupan protein berdasarkan AKG 2014 untuk anak usia 1-3 tahun sebesar 26 gr/hari sedangkan untuk anak usia 4-6 tahun sebesar 35 gr/hari (Kemenkes, 2014a) 3.
Kebutuhan Zat Gizi Mikro Zat gizi mikro adalah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah kecil atau sedikit tetapi ada dalam makanan. Zat gizi yang termasuk kelompok zat gizi mikro adalah mineral dan vitamin. Vitamin dan mineral merupakan katalisator yang sangat membantu dalam proses pencernaan dan metabolisme tubuh. Kebutuhan akan vitamin dan mineral pada balita terus meningkat sejalan dengan pertambahan berat badannya (Suhardjo, 2010).
16
a) Vitamin Vitamin adalah zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan tubuh manusia meski dalam jumlah sedikit. Kekurangan asupan zat gizi ini dapat menimbulkan akibat yang akan mempengaruhi status gizi dan kesehatan seseorang. Fungsi vitamin A yaitu memelihara kesehatan jaringan epitel, termaksud kulit dan selaput yang melapisi semua saluran dan kelenjar lainnya (Almatsier, 2010). Defisiensi vitamin A masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan di seluruh dunia, terutama dibelahan Afrika dan Asia Tenggara. Sekitar 250 juta anak-anak balita diperkirakan mengalami defisiensi vitamin A (DVA) secara subklinis dan berada dalam resiko morbiditas yang parah dan kematian prematur (WHO, 2009). Pangan sumber vitamin A yaitu pangan hewani, sayur dan buah yang berwarna oranye, sayuran berwarna hijau, umbi-umbian. Angka kecukupan vitamin A adalah jumlah
vitamin
A
yang
harus
dikonsumsi
per
hari
untuk
mempertahankan status vitamin A pada level cukup. Kebutuhan vitamin A bagi anak usia 1-3 tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar 400 mcg/hari dan untuk usia 4-6 tahun sebesar 450 mcg/hari (Kemenkes, 2014a). Vitamin C berfungsi sebagai donor atau penyumbang elektron (peran antioksidan). Vitamin C terlibat dalam sintesis dan modulasi beberapa komponen hormone sistem syaraf. Sebagai kofaktor dalam dalam pembentukan enzim tertentu (Prabantini, 2010). Pangan sumber
17
vitamin C dari buah. Sayur juga sebagai sumber vitamin C tetapi dalam pengolahan kandungan vitamin C dapat berkurang. Kebutuhan vitamin C bagi anak usia 1-3 tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar 40 mg/hari dan untuk usia 4-6 tahun sebesar 45 mg/hari (Kemenkes, 2014a). b) Mineral Mineral merupakan zat inorganik yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang sedikit namun diperlukan tubuh untuk memenuhi kebutuhan yang esensial. Fungsi dari mineral adalah sebagai kofaktor dalam berbagai reaksi metabolik; sebagai bagian dari senyawa yang mengandungzat organik seperti enzim, hormon, dan unsur tertentu dalam darah; sebagai ion yang memungkinkan pergerakan zat zat yang melintasi membrane sel dan pergerakan otot; serta sebagai unsur pembentuk tulang (Pandi & Wiakusumah, 2012). Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia. hampir seluruh kalsium berada dalam tubuh ada di tulang dan gizi. Pada tulang kalsium berperan sentral dalam struktur dan kekuatan tulang. Sedangkan pada gigi, kalsium berperan untuk memperkokoh struktur gigi dan bersifat menetap. Fungsi kalsium yaitu sebagai pengaturan dan penyusunan. Pangan sumber kalsium yang utama yaitu susu dan olahannya. Sumber lainnya yaitu sayuran hijau, kacang-kacangan, dan ikan. Kebutuhan kalsium bagi anak usia 1-3
18
tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar 650 mg/hari sedangkan untuk anak usia 4-6 tahun sebesar 1000 mg/hari (Kemenkes, 2014a). Zat besi (Fe) merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan tubuh yang berfungsi sebagai senyawa besi dalam hemoglobin, myoglobin, enzim yang diperlukan dalam fungsi metabolisme, serta mengangkut
dan
menyimpan
oksigen,
mengangkut
electron
mitokondria dan sintesis DNA. Akibat jika kekurangan zat besi dapat menyebabkan anemiazat besi yang ditandai dengan kulit pucat, lemah, letih akibat kekurangan oksigen, dpaat menurunkan daya kognitif dan daya tahan tubuh (Soenardi, 2008). Pangan sumber Fe yaitu daging, jeroan, ikan, unggas, dan sumber pangan non hem seperti sayuran daun hijau, kacang-kacangan, kedelai dan rumput laut. Kecukupan zat besi untuk anak usia 1-3 tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar 8 mg/hari dan 9 mg/hari untuk anak usia 4-6 tahun (Kemenkes, 2014a). Seng (Zn) adalah mineral mikro esensial baik pada manusia. Fungsi seng yaitu berpern sebagai komponen dalam banyak enzim. Juga dalam sintesa protein, metabolisme hidrat arang dan energi serta asam nukleat. Dengan demikian, seng esensial untuk pertumbuhan, pematangan seks, fungsi kognitif dan imun serta reproduksi. Ikan terutama kerang dan daging mengandung tinggi seng. Pangan lainnya seperti serealia juga sumber seng. Seng dari sumber nabati umumnya rendah disbanding sumber hewani (Kemenkes, 2014a).
19
B. Pangan 1.
Pengertian Pangan Pangan menurut Peraturan Pemerintah RI nomer 28 tahun 2004 diartikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah. Pangan diperuntukkan bagi konsumsi manusia sebagai makanan atau minuman, termaksud bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan
lain
yang
digunakan
dalam
proses
penyiapan,
pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Badan Ketahanan Pangan, 2014b). Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Komoditas pangan harus mengandung zat gizi yang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia (Pusat Penganekaragaman Pangan, 2013). Permasalahan pangan dan gizi mengalami perkembangan yang sangat cepat dan komplek. Perkembangan masalah lingkungan global dapat memepengaruhi komoditas terhadap pangan di Indonesia. Globalisasi juga mendorong perubahan pola konsumsi pangan masyarakat yang berdampak terhadap masalah kesehatan. Disamping itu, berbagai masalah kesehatan di masyarakat seperti kekurangan gizi
20
dalam bentuk gizi kurang atau gizi buruk, kelebihan gizi atau kegemukan, serta ketahanan pangan maupun keamanan pangan (Brown, 2011). 2.
Pengelompokkan Pangan Macam-macam jenis pangan atau bahan pangan yang diperuntukkan sebagai bahan makanan bagi manusia secara umum terbagi menajdi dua golongan. Penggolongan bahan pangan ini didasarkan pada sumbernya, yaitu bahan pangan yang berasal dari tumbuhan yang disebut bahan pangan nabati dan bahan makanan yang bersumber dari hewan yang disebut bahan pangan hewani (Rustanti, 2015). Bahan pangan nabati adalah bahan-bahan pangan yang berupa atau berasal dari tumbuhan, baik yang liar ataupun yang ditanam serta yang berasal dari produk-produk olahannya. Bahan panga nabati dapat berupa daun, bunga, akar, batang, umbi, buah, biji ataupun bagianbagian tanaman yang lain. Bahan-bahan pangan nabati memiliki sifat yang beranekaragam, baik sifat fisik maupun sifat kimia (Saparinto, Cahyo, & Hidayati, 2006). Bahan pangan hewani merupakan semua bahan makanan yang berupa daging atau berasal dari berbagai jenis hewan yang layak untuk dimakan baik dalam bentuk dasarnya ataupun dalam bentuk olahannya. Bahan pangan hewani meliputi segala jenis daging atau
21
organ lainnya yang bersumber dari hewan, baik yang hidup di darat maupun di air (Saparinto dkk, 2006). Selain pengelompokkan berdasarkan sumbernya, pangan dikelompokkan menjadi sembilan jenis pangan yakni (Badan Ketahanan Pangan, 2014a) 1. Padi-padian atau serealia, Terdiri dari beras, jagung, gandum, beserta olahannya seperti terigu. 2. Makanan berpati atau umbi-umbian, Terdiri dari kentang, ubi kayu, ubi jalar. Sagu, talas, dan umbiumbi lainnya. 3. Pangan hewani, Terdiri dari daging hewan yang hidup di darat maupun di air seperti ikan, organ lainnya dari hewan yang dapat dikonsumsi, telur, berserta olahan hewani seperti susu, keju, dan lainnya. 4. Minyak dan lemak, Yang terdiri dari minyak kelapa, minyak jagung, minyak kelapa sawit dan margarin atau olahan lainnya. 5. Buah dan biji berminyak, Terdiri dari kelapa, kemiri, kenari, mete, dan coklat. 6. Kacang-kacangan, Kacang tanah, kacang hijau, kedelai, kacang merah dan lainnya.
22
7. Gula, Terdiri dari gula pasir, gula merah dan gula lainnya. 8. Sayur dan buah, Adalah seluruh jenis sayur dan buah yang biasa dikonsumsi. 9. Lain-lainnya, Terdiri dari teh, kopi, bumbu makanan dan minuman beralkohol. C.
Konsumsi Pangan Balita Konsumsi pangan merupakan salah satu faktor yang langsung mempengaruhi status gizi seseorang. Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh, baik dalam kualitas maupun kuantitas akan menyebabkan masalah gizi (Brown, 2011). Balita merupakan kelompok yang rentan dalam permasalahan gizi di keluarga. Balita perlu mengkonsumsi makanan dan minuman dalam jumlah yang cukup serta teratur setiap harinya untuk dapat hidup sehat. Karakteristik usia balita terutama usia 2-5 tahun merupakan kelompok usia yang rawan gizi dan rawan penyakit, karena pada usia ini terjadi transisi dari makanan bayi menjadi makanan orang dewasa dan anak biasanya sudah berhenti mendapatkan ASI ekslusif pada usia tersebut. Selain itu, anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain dan beraktivitas di luar (Adriani & Wirjatmadi, 2012).
23
Kondisi balita sangat peka terhadap jumlah asupan dan jenis pangan yang dikonsumsi. Hal ini dikarenakan terjadi laju pertumbuhan yang sangat pesat pada masa balita tersebut. Selain itu, anak yang paling kecil biasanya yang paling beresiko terhadap kekurangan pangan, karena anak-anak yang paling kecil umumnya makan lebih lambat dan dalam jumlah yang kecil dibandingkan anggota rumah tangga yang lain, sehingga memperoleh bagian yang terkecil dan tidak mencukupi kebutuhan gizi anak yang sedang tumbuh (Thompson, 2006). Konsumsi pangan pada balita yang diatur berdasarkan pedoman gizi seimbang yaitu dengan pembagian porsi makan dalam sehari. Untuk anak usia 1-3 porsi pangan pokok sebesar 3 porsi, porsi sayur sebesar 1,5 porsi, porsi buah 3, porsi pangan nabati 1, porsi pangan hewani 2, porsi minyak 3 porsi, dan gula 2 porsi. Sedangkan untuk anak usia 4-6 tahun porsi pangan pokok 4, sayur 2 porsi, buah 3 porsi, pangan nabati 2 porsi, pangan hewani 3 porsi, minyak 4 porsi, dan gula 2 porsi (Kemenkes, 2014b). Pesan gizi seimbang untuk anak usia 2-5 tahun yaitu membiasakan makan 3 kali sehari (pagi, siang, dan malam) bersama keluarga; Perbanyak mengkonsumsi makanan kaya protein seperti ikan, telur, tempe, susu, dan tahu; Perbanyak mengkonsumsi sayur dan buah; Batasi konsumsi makanan selingan yang terlalu manis, asin, dan berlemak; minum air putih sesuai kebutuhan; dan Biasakan melakukan aktivitas fisik (Kemenkes, 2014b).
24
D.
Penilaian Konsumsi Pangan Penilaian konsumsi merupakan suatu metode penilaian gizi dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Penilaian konsumsi pangan serta pengumpulan data konsumsi pangan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Dengan melihat konsumsi pangan ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi (Gibson, 2005). Tujuan dari penilaian konsumsi pangan yaitu untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, dan perorangan serta faktorfaktor yang mempengaruhi terhadap konsumsi makanan tersebut. Penilaian
konsumsi
pangan
dapat
memberikan
informasi
terkait
kecukupan zat gizi serta pola konsumsi. Metode penilaian konsumsi yang dipilih tergantung pada informasi apa yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan dari studi yang dipelajari (Fahmida & Dillon, 2007). Metode
pengukuran
konsumsi
pangan
dapat
dibedakan
berdasarkan sasaran pengamatan. Metode pengukuran konsumsi pangan untuk tingkat rumah tangga dapat meggunakan metode Pencatatan (food account), Metode pendaftaran (food list), Metode inventaris (inventory method), Metode Pencatatan makanan rumah tangga (household food record). Metode pengukuran konsumsi pangan untuk tingkat individu atau peroranga dengan menggunakan metode Recall 24 jam, metode stimated food records, metode penimbangan makanan (food weighing), metode
25
dietary history, dan metode frekuensi makanan (food frequency) (Supariasa, 2010). Metode yang umum digunakan dalam survei besar untuk individu yaitu metode recall 24 jam. Metode ini berguna untuk memperkirakan asupan keragaman konsumsi dan pola kebiasaan konsumsi pada populasi. Dalam metode recall 24 jam responden akan ditanya tentang makanan yang dikonsumsi selama 24 jam sebeumnya. Pencatatan secara rinci baik makanan dan minuman utama maupun makanan selingan yang dikonsumsi dicatat oleh pewawancara. Metode ini relatif mudah dilakukan dan relatif murah serta cepat. Kelemahan dari metode ini karena memerlukan daya ingat seseorang (Supariasa, 2010). E.
Keanekaragaman Konsumsi Pangan Keragaman konsumsi pangan merupakan jumlah pangan atau kelompok pangan berbeda yang dikonsumsi individu dalam jangka waktu tertentu (Bilinsky & Swindale, 2006). Pentingnya keragaman konsumsi pangan dalam rumah tangga dibuktikan oleh penelitian Kennedy (2009). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa keragaman konsumsi pangan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kecukupan zat gizi (Kennedy, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa zat gizi yang diperlukan tubuh akan terpenuhi jika konsumsi pangan semakin beragam. Konsumsi pangan yang beragam memberikan manfaat bagi seseorang terutama pada anak-anak, di antaranya dapat meningkatkan berat badan anak, meningkatkan kecukupan energi dan zat gizi lain
26
sehingga mencapai tingkat kecukupan yang normal, memperbaiki status antropometri anak, serta meningkatkan konsentrasi hemoglobin yang dapat mempengaruhi kecerdasan dan produktivitas anggota rumah tangga. Penelitian di Bangladesh pada balita usia 6-59 bulan tahun 2003–2005 oleh Rah dkk (2010) membuktikan bahwa rendahnya keragaman konsumsi pangan menyebabkan kejadian stunting pada anak. Hal ini dapat menunjukkan keragaman konsumsi pangan dapat mempengaruhi terhadap status gizi anak (Rah dkk., 2010). Penelitian di Indonesia juga menunjukkan bahwa pada anak usia 24-59 bulan yang mengalami stunting mengkonsumsi makanan yang tidak beragam (Hermina & Prihatini, 2011). 1.
Penilaian Keberagaman Konsumsi Pangan Penilaian keberagaman konsumsi pangan dibedakan menjadi dua yaitu penilaian keberagaman konsumsi pangan pada rumah tangga dan penilaian keberagaman konsumsi pangan untuk individu. Penilaian keberagaman konsumsi pangan dalam skala rumah tangga di Indonesia kebanyakan masih menggunakan metode penilaian skor Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan merupakan metode yang digunakan dengan melihat komposisi dan jumlah atau ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga. Hasil dari perhitungan PPH tersebut dapat menjadikan evaluasi terhadap ketahanan pangan suatu wilayah. Metode PPH ini terbatas pada penilaian ketahanan pangan suatu wilayah namun tidak dapat menggambarkan skor keragamanan konsumsi dari masing-masing individu dalam rumah tangga.
27
FAO
dan
FANTA
telah
memperkenalkan
penilaian
keberagaman konsumsi pangan untuk individu yaitu Dietary Diversity Score (DDS). Dengan menggunakan metode ini, kita dapat menilai kualitas konsumsi seseoarang dengan lebih mudah dan simpel. Selain itu, konsumsi pangan yang dinilai dapat menentukan secara langsung kecukupan dari zat gizi yang dikonsumsi serta tidak diperlukan melihat apakah konsumsi makanan di rumah atau di luar rumah sehingga dapat menilai konsumsi pada individu dalam sehari (FAO, 2010). Metode DDS ini dapat digunakan dalam segala kondisi dengan memperhatikan jangka waktu tertentu. Berdasarkan pedoman FAO untuk mengukur keragaman konsumsi pada rumah tangga dan individu diperlukan jangka waktu selama 24 jam sebelumnya, menggunakan 24 jam recall memang tidak dapat menggambarkan kebiasaan makan, namun dapat memberikan penilaian konsumsi pada tingkat populasi dan dapat digunakan untuk memonitoring kemajuan suatu program dan intervensi (FAO, 2010). Penilaian skor dari DDS didasarkan dari 9 kelompok pangan yang direkomendasikan oleh FAO dalam Individual Dietary Diversity Score (IDDS) sebagai berikut:
28
Tabel 2.2 Tabel Dietary Diversity Score (DDS) No.
Kelompok
Contoh
YA = 1
Kuesio- pangan TIDAK
ner
=0 1
Sereal
dan a. Beras/nasi, jagung/tepung jagung, gandum,
Umbi-umbian
sorgum, millet atau biji-bijian lannya atau makanan yang dibuat dari jenis pangan ini (mis. Roti, mie, bubur, pasta, atau produk gandum/biji-bijan lainnya) + makanan lokal b. Kentang, ubi putih, singkong putih, atau makanan olahannya
2
Daging hewani Daging, ikan (ikan segar atau kering, kerang, (daging ternak, udang dan sejenisnya), daging unggas (ayam, unggas,
ikan, bebek, burung), hati dan organ hewan lainnya
dll) 3
yang dapat dikonsumsi
Susu
dan Susu, keju, yogurt, pudding, es krim, krim
olahannya
lainnya
4
Telur
Telur ayam, telur bebek, telur puyuh
5
Kacang-
Kacang, kacang polong (kacang hijau, kacang
kacangan
polong), kedelai dan olahan kedelai, kacangkacangan dan biji-bijian
6
Buah,
sayur a. Sayuran
dan
umbi-
kangkung, daun singkong, daun katuk, daun
kaya
pohpohan, sawi, bayam merah, daun kacang
umbian vitamin A
berdauan
hijau
gelap
(bayam,
panjang, daun ubi jalar, daun melinjo) b. Lainnya: labu, tomat, wortel, dan ubi oranye + sayuran lokal
29
c. Jus dan buah kaya vitamin A (manga, blewah, kesemek) 7
Buah lainnya
a. Buah dan jus kaya vit C (>18 mg vit C per 100 gr): arbei, jambu biji, jeruk, rambutan, papaya, belimbing, sawo, sirsak b. Buah dan jus lainnya (tidak kaya baik vit A atau C): apel, anggur, semangka, melon, salak, nangka, duku, pisang, alpukat
8
Sayuran lainnya
a. Sayuran dan jus kaya vit C (>18 mg vit C per 100 gr): kembang kol, kol, lobak, melinjo, pepaya muda (sayur), sawi putih, kacang panjang b. Sayuran lainnya (tidak kaya baik vit A atau C): labu siam, labu air, toge, terong, buncis, jagung muda, jamur, gambas
9
Lemak
dan Minyak, mayonnaise, margarin, butter (yang
minyak
ditambahkan untuk makanan atau digunakan untuk memasak), minyak sawit merah
Sumber: Guidelines for Measuring Household and Individual Dietary Diversity (FAO, 2010). F.
Konsep Dietary Diversity Score (DDS) dan Kecukupan Zat Gizi Keragaman konsumsi atau dietary diversity adalah sejumlah pangan atau kelompok pangan berbeda yang dikonsumsi individu dalam jangka waktu tertentu (Bilinsky & Swindale, 2006). Keragaman konsumsi pangan merupakan metode kualitatif untuk mengukur konsumsi makanan yang dapat menggambarkan keragaman dari jenis makanan atau pangan yang dikonsumsi serta dapat menjadi indikator dari kecukupan asupan zat
30
gizi untuk individu (FAO, 2010). Indikator keragaman konsumsi pangan biasanya hanya dinilai dari jumlah jenis pangan yang dikonsumsi. Di beberapa negara berkembang, penilaian skoring terkadang memperhatikan dari jumlah porsi kelompok makanan yang dikonsumsi sesuai dengan pedoman konsumsi yang berlaku. Namun, indikator biasanya dirancang untuk mencerminkan kualitas dari makanan yang dikonsumsi tidak dapat menilai keanekaragaman konsumsi (Ruel, 2002). Dietary Diversity Score (DDS) merupakan indikator keragaman konsumsi pangan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengukur keragaman konsumsi pangan di beberapa negara berkembang (Kennedy, 2009). Pada penelitian oleh Kennedy (2009) menunjukkan bahwa DDS berhubungan signifikan dengan asupan zat gizi mikro pada anak tidak ASI usia 2-5 tahun di Filipina dan anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan. Penelitian tersebut juga menilai cut-off point terbaik untuk dijadikan indikator dari ketidakcukupan asupan zat gizi mikro. Di Filipina, cut-off point untuk indikator ketidakcukupan asupan zat gizi mikro yaitu skor DDS 6, sedangkan di Afrika Selatan yaitu skor DDS 4. Penelitian lainnya yang melihat DDS dengan kecukupan zat gizi yaitu penelitian oleh Moursi dkk (2008) dengan hasil penelitian bahwa Dietary Diversity Score merupakan indikator yang baik untuk menilai kecukupan dari mikronutrisi pada anak usia 6-23 bulan di Madagascar. Penelitian Daniels (2006) juga melihat hubungan DDS dengan kecukupan zat gizi pada balita usia 0-24 bulan, dengan hasil penelitian bahwa DDS
31
dapat menilai kecukupan zat gizi dengan skor terbaik yaitu 4. Penelitian lainnya yaitu Steyn dkk (2009) yang menunjukkan bahwa DDS merupakan indikator yang baik untuk menilai kecukupan konsumsi zat gizi pada anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan dengan skor 4 untuk MAR <50%. Di Indonesia terdapat penelitian yang dilakukan oleh Marlina (2011) yang menilai indikator keragaman konsumsi pangan dengan menggunakan DDS dan Food Variety Score (FVS). Hasil penelitiannya yaitu DDS sebagai indikator keragaman konsumsi pangan yang lebih baik dar FVS. Selain itu skor 6 untuk DDS merupakan cut off baik untuk menilai kecukupan zat gizi sebesar 70% dari angka kecukupan zat gizi (AKG) balita usia 24-59 bulan di Kota Bandung. Kecukupan zat gizi dapat dilihat dengan membandingkan asupan seseorang dengan standar atau rekomendasi yang dibutuhkan oleh tubuh. Di Indonesia, rekomendasi yang digunakan adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013 (Kemenkes, 2014a). Penilaian kecukupan gizi dari beberapa zat gizi dapat menggunakan nilai Mean Adequacy Ratio (MAR). MAR menggambarkan evaluasi gambaran asupan zat gizi pada individu. MAR tidak menggambarkan ketidakcukupan satu jenis zat gizi, sehingga dengan menggunakan MAR kita dapat mengetahui kecukupan dari beberapa zat gizi. MAR dihitung dengan menjumlahkan tingkat konsumsi zat gizi dibagi dengan jumlah jenis zat gizi (Gibson, 2005). Secara keseluruhan, kualitas zat gizi yang disebut MAR dihitung berdasarkan nilai Nutrient
32
Adequacy Ratio (NAR) untuk asupan energi dan zat gizi lainnya. NAR merupakan perbandingan antara zat gizi yang dikonsumsi individu dengan AKG yang dianjurkan sesuai kategori usia dan jenis kelamin. MAR menggambarkan indikator bahwa rata-rata zat gizi yang dikonsumsi masih dibawah AKG atau telah melebihi AKG (Torheim et al., 2004). Perhitungan dari NAR dan MAR sebagai berikut.
Penilaian kecukupan zat gizi di Indonesia sebatas menggunakan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan sebagai terjemahan dari Recommended Dietary Allowance (RDA). Di Amerika Serikat, penilaian kecukupan zat gizi menggunakan Dietary Reference Intake (DRI) yang terdiri dari nilai Estimated Average Requirement (EAR), RDA, Adequate Intake (AI), dan Tolerable Upper Intake Lavel (UL) (Institude Of Medicine, 2005). EAR merupakan rata-rata kebutuhan zat gizi yang diperoleh dari rata-rata kebutuhan gizi berdasarkan hasil penelitian pada populasi sehat. Jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mencakup 50% populasi sehat. RDA atau AKG adalah angka kecukupan gizi yang bila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari akan memenuhi kebutuhan sekitar 97-98% populasi sehat (Institude Of Medicine, 2005).
33
Penilaian kecukupan energi dan protein menurut Depkes (1996) dalam Jayanti, Effendi, & Sukandar (2011) dikatagorikan menjadi lima yaitu defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit tingkat sedang (70-79% AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG), normal (90-119% AKG), serta berlebih (≥120% AKG). Adapun klasifikasi tingkat kecukupan pada vitamin dan mineral hanya dikategorikan menjadi dua kategori menurut Gibson (2005), yaitu defisit apabila <77% AKG serta cukup apabila ≥77% AKG. G.
Uji Sensitivitas dan Spesifisitas Sensitivitas adalah kemapuan suatu tes untuk memberikan gambaran positif pada orang yang benar-benar sakit. Penggunaan sensitivitas saja belum tentu dapat mengetahui secara benar keadaan suatu penyakit. Untuk itu perlu diketahui konsep spesifisitas. Spesifisitas ialah kemampuan suatu tes untuk memberikan gambaran negatif bila subjek yang di tes adalah bebas dari penyakit (Masriadi, 2012). Uji sensitivitas digunakan untuk memprediksi atau mengidentifikasi kelompok yang mengalami kekurangan zat gizi, sedangkan spesifisitas digunakan untuk memprediksi atau mengidentifikasi kelompok yang kecukupan zat gizinya baik (Fahmida & Dillon, 2007). Sensitivitas dan spesifisitas merupakan dua rasio yang digunakan untuk mengukur kemapuan suatu uji saring (screening) atau uji diagnostik untuk membedakan individu yang mengalami kekurangan zat gizi. Untuk mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitas, maka diperlukan analisis
34
dari uji diagnostik. Uji diagnostik mempunyai tiga cara analisis (Dahlan, 2009), yaitu: 1. Tabel 2 x 2 Analisis ini berfungsi untuk mendapatkan performa alat uji yang terlihat dari sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif dan rasio kemungkinan negatif. 2. Kurva ROC Kurva
ROC
atau
Receiver
Operating
Characteristic
mempunyai fungsi untuk melihat nilai AUC atau Area Under Curve untuk memperoleh cut off point yang direkomendasikan serta nilai sensitivitas dan spesifisitas. 3. Multivariat Berjenjang Merupakan analisis uji diagnostik yang lebih kompleks dengan melihat nilai diagnostik dari parameter anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan
penunjang
sederhana,
pemeriksaan
penunjang canggih. Dengan cara ini akan menghasilkan nilai AUC untuk memperoleh cut off point rekomendasi. Penelitian ini menggunakan analisis kurva ROC karena fungsinya yaitu untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas dari metode DDS dalam mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita serta untuk mengetahui cut off point dari DDS tersebut yang cocok untuk direkomendasikan.
35
H.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecukupan Zat Gizi Balita 1. Karakteristik Individu a) Usia Menurut Departemen Kesehatan (2009), umur merupakan masa hidup responden dalam tahun dengan pembulatan ke bawah atau umur pada waktu ulang tahun yang terakhir. Umur mempunyai peran penting dalam menentukan pemilihan makanan. Asupan energi meningkat sesuai dengan usia dan perbedaan jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki menjadi lebih luas saat mereka bertambah usianya. Secara signifikan pada anak usia perkembangan dan pertumbuhan lebih banyak membutuhkan energi (Crowle & Turner, 2010). Terdapat kemungkinan tren dalam kecukupan gizi di tahuntahun awal kehidupan seseorang. Selama tahun pertama kehidupan, kecukupan gizi pada bayi mungkin tercukupi dengan baik, terutama pada anak yang ASI ekslusif. Hal ini dikarenakan kandungan gizi dalam ASI yang mencukupi kebutuhan gizi pada bayi. Namun, kecukupan gizi pada anak bisa jatuh drastis setelah tahun pertama kehidupan atau saat sudah tidak lagi menyusu ASI dan kebutuhan makanan pelengkap tidak memadai. Terdapat hubungan antara usia balita yang sudah tidak ASI dengan kecukupan energi dan protein dengan pvalue sebesar 0,0001. Sehingga pada usia yang sudah tidak mendapatkan ASI lebih
36
beresiko untuk mengalami ketidakcukupan zat gizi (Chaudhury, 2006). b) Jenis Kelamin Menurut Departemen kesehatan (2009), jenis kelamin merupakan perbedaan seks yang didapat sejak lahir yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang. Dalam beberapa budaya di masyarakat, anak laki-laki dianggap lebih berharga dari pada anak perempuan karena berbagai alasan. Anak laki-laki dianggap membutuhkan energi atau makanan dalam porsi yang lebih besar dibandingkan anak perempuan, hal ini dikarenakan terdapat pengharapan lebih terhadap anak laki-laki, selain itu anggapan bahwa anak laki-laki membutuhkan energi yang lebih agar tubuhnya lebih kuat (Sultan, 2014). Berdasarkan hasil penelitian Sultan (2014), menyatakan terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kecukupan protein pada anak dengan pvalue sebesar 0,01. Kecukupan zat gizi pada anak laki-laki lebih tinggi dari pada kecukupan zat gizi anak perempuan. c) Tinggi dan Berat Badan Tinggi dan berat badan berpengaruh terhadap luas permukaan tubuh, semakin luas permukaan tubuh maka semakin besar pengeluaran panas, sehingga kebutuhan metabolisme basal tubuh juga semakin besar (Kemenkes, 2014a). Berdasarkan penelitian Wilson, Adolph, & Butte (2009) menyatakan bahwa
37
anak yang berat badannya tidak berlebihan memiliki kecukupan zat gizi yang baik dibandingkan dengan anak yang memiliki berat badan berlebih. Penelitian lainnya yaitu oleh Hermina & Prihatini (2011) yang menunjukkan bahwa anak balita di Indonesia yang mengalami defisit energi lebih banyak dibandingkan dnegan balita yang memiliki tinggi badan yang normal. d) Kesehatan Menurut Hardinsyah (2007) penyakit infeksi berpotensi sebagai pedukung terjadinya kekurangan gizi atau malnutrisi. Penyakit diare, campak, dan infeksi saluran pernafasan maupun saluran pencernaan kerap menghilangkan nafsu makan serta menimbulkan reaksi muntah. Hal tersebut menyebabkan gangguan penyerapan zat gizi sehingga dapat menimbulkan kehilangan zatzat gizi dalam jumlah besar. Adanya malnutrisi pada seseorang maka status gizi menjadi buruk, hal ini akan menyebabkan kecukupan zat gizi terganggu (Retnaningsih, 2007). 2. Kebiasaan Makan a) Keragaman Konsumsi Keragaman konsumsi pangan merupakan jumlah pangan atau kelompok pangan berbeda yang dikonsumsi individu dalam jangka waktu tertentu (Bilinsky & Swindale, 2006). Pentingnya keragaman konsumsi pangan dalam rumah tangga dibuktikan oleh penelitian Kennedy (2009). Hasil penelitiannya membuktikan
38
bahwa keragaman konsumsi pangan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kecukupan zat gizi (Kennedy, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa zat gizi yang diperlukan tubuh akan terpenuhi jika konsumsi pangan semakin beragam. Selain itu penelitian Daniels (2006) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara keberagaman konsumsi (dietary diversity) dengan kecukupan zat gizi pada balita di Filipina dengan pvalue <0,001. Penelitian lainnya yaitu Steyn dkk., (2009) yang menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara keragaman konsumsi (DDS dan FVS) dengan kecukupan zat gizi pada anak usia 1-8 tahun di Filipina dengan pvalue <0.0001. b) Kesukaan Makanan/ food preference Anak terutama pada usia balita atau pra-sekolah cenderung memiliki
kewaspadaan
dikarenakan
mereka
terhadap
memiliki
makanan selera
yang
baru. lebih
Hal
ini
sensitif
dibandingkan orang dewasa. Selain itu, mereka memiliki sifat yang cenderung memilih makanan yang hanya disukainya. Orang tua merupakan penentu yang dapat mempengaruhi preferensi makanan anak dengan cara memperkenalkan dan menyediakan serta mencontoh mengkonsumsi makanan-makanan yang anak-anak mungkin cenderung tidak suka. Orang tua terutama ibu yang menyediakan konsumsi makanan dalam unit rumah tangga harus memiliki komitmen untuk membimbing anak-anak menyukai berbagai makanan agar mereka dapat terbiasa dengan konsumsi
39
pangan yang beragam dan kebutuhan akan gizi anak tercukupi (Soenardi, 2008). c) Cara Pengolahan Pengolahan bahan pangan merupakan pengubahan bentuk asli kedalam bentuk yang mendekati bentuk untuk dapat segera dimakan. Salah satu proses pengolahan bahan pangan adalah menggunakan
pemanasan.
Pengolahan
pangan
dengan
menggunakan pemanasan dikenal dengan proses pemasakan yaitu proses pemanasan bahan pangan dengan suhu 100⁰ C atau lebih dengan tujuan utama adalah memperoleh rasa yang lebih enak, aroma yang lebih baik, tekstur yang lebih lunak, untuk membunuh mikrobia dan menginaktifkan semua enzim (Sundari, Almasyhuri, & Lamid, 2015). Dalam banyak hal, proses pemasakan diperlukan sebelum kita mengonsumsi suatu makanan. Pemasakan dapat dilakukan dengan perebusan dan pengukusan (boiling dan steaming pada suhu 100⁰ C), broiling (pemanggangan daging), baking (pemanggangan roti), roasting (pengsangraian) dan frying (penggorengan dengan minyak) dengan suhu antara 150⁰ - 300⁰ C. Penggunaan panas dalam proses pemasakan sangat berpengaruh pada nilai gizi bahan pangan tersebut (Belitz, Grosch, & Schieberle, 2009). Berdasarkan hasil penelitian Sundari, Almasyhuri, dan Lamid
(2015)
menyatakan
bahwa
proses
menggoreng
menyebabkan penurunan kandungan gizi yang sangat signifikan
40
karena penggorengan menggunakan suhu yang tinggi sehingga zat gizi seperti protein mengalami kerusakan. Sedangkan proses perebusan menyebabkan berkurangnya kandungan zat gizi karena banyak zat gizi terlarut dalam air rebusan. Selain itu review penelitian yang sama oleh Fabbri & Crosby (2016) terkait dampak dari persiapan dan proses pemasakan pada kualitas gizi dari sayuran dan kacang-kacangan. Hasil review tersebut menyatakan bahwa proses pengukusan menjadi proses yang terbaik dalam menjaga kandungan gizi. Cara pengolahan baik persiapan sebelum measak atau cara pemasakan dapat mempengaruhi secara langsung kualitas gizi yang akan dikonsumsi yang akan berpengaruh pada kecukupan zat gizi bagi tubuh (Fabbri & Crosby, 2016). 3.
Faktor Ibu a) Pengetahuan Gizi Ibu Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Seseorang yang memiliki pengetahuan gizi yang baik, memungkinkan dapat terhindar dari konsumsi pangan yang salah atau buruk. Individu yang berpengetahuan baik akan mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizinya di dalam pemilihan maupun pengolahan pangan sehingga konsumsi pangan yang mencukupi kebutuhan tubuhnya dapat terjamin (Hamid, Setiawan, & Suhartini, 2013).
41
Pengetahuan tentang gizi ibu memungkinkan dalam memilih dan mempertahankan pola makan untuk anaknya, namun dalam penerapannya dapat dipengaruhi berbagai faktor seperti biaya bahan makanan, sikap, kepercayaan, budaya, dan psikologis seseorang (Retnaningsih, 2007). Semakin banyak pengetahuan gizi seorang ibu semakin diperhitungkan jenis dan kwantum makanan yang dipilih untuk dikonsumsi oleh anaknya. Dengan tingginya pengetahuan maka pangan yang dikonsumsi semakin beragam (Surachman, Kusrini, & Suyatno, 2013). Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanani, Asmara, & Nugroho (2008) yang mengatakan tidak terdapat hubungan antara pengetahuan gizi dengan keragaman konsumsi pangan masyarakat pedesaan. Pengetahuan gizi ibu juga berhubungan dengan kecukupan gizi anak. Berdasarkan hasil penelitian Sultan (2014) menatakan bahwa pengetahuan ibu berhubungan dengan kecukupan energi dan protein anak dengan pvalue <0,05. Hal serupa juga dinyatakan oleh Chaudhury (2006) yang mengatakan bahwa pengetahuan ibu berhubungan dengan kecukupan energi dan protein pada balita dengan pvalue <0,01. b) Pendidikan Ibu Tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi. Menurut
42
Hardinsyah
(2007)
tingkat
pendidikan
orang
tua
sangat
berpengaruh terhadap pemilihan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi oleh anaknya. Semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua, pengetahuan tentang gizi semakin baik. Pengetahuan gizi yang baik akan berpengaruh terhadap kebiasaan makan keluarga karena pengetahuan gizi mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang. Menurut Brown (2011), orang tua menjadi target sekunder dalam pemberian informasi gizi, hal ini disebabkan orang tua adalah pemegang keputusan dalam penyediaan makan yang selanjutnya akan menjadi tradisi dalam perilaku makannya dirumah. Berdasarkan
hasil
penelitian
Hanani
dkk.,
(2008),
pendidkan ibu mempengaruhi keragaman konsumsi pangan keluarga. Hal serupa juga dikemukakan pada hasil penelitian Hamid dkk., (2013), pendidikan ibu mempengaruhi pola konsumsi pangan rumah tangga. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Bangun dkk (2012) yang mengatakan bahwa pendidikan orang tua tidak berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan keluarga. Selain berhubungan dengan kebiasaan makan, pendidikan ibu juga berhubungan dengan kecukupan zat gizi pada anaknya. Hal ini dapat terlihat dari penelitian Sultan (2014) dan Chaudhury (2006) yang mengatakan terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kecukupan energi dan protein pada anak dengan pvalue <0,05 dan <0,01.
43
4.
Faktor Sosial Ekonomi a) Faktor Ekonomi Keadaan ekonomi keluarga relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan, bila kebutuhan akan gizi tidak terpenuhi maka akan menimbulkan masalah-masalah gizi (Hardinsyah, 2007). Pada umumnya, jika tingkat pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung juga membaik. Akan tetapi mutu makanan tidak selalu membaik jika diterapkan tanaman perdagangan. Tanaman perdagangan menggantikan produksi pangan untuk rumah tangga dan pendapatan yang diperoleh dari tanaman perdagangan itu atau upaya peningkatan pendapatan yang lain mungkin tidak digunakan untuk membeli pangan atau bahanbahan pangan berkualitas gizi tinggi (Perdana, Hardinsyah, & Damayanthi, 2014). Pendapatan keluarga memiliki peranan yang sangat penting untuk mendukunh kelangsungan hidup keluarga. Dalam Riset Kesehatan Dasar 2007 dikemukakan bahwa semakin tinggi
tingkat
pendapatan
keluarga,
semakin
tinggi
pula
pengeluaran rumah tangga tersebut dalam membeli bahan pangan yang mengandung energi dan protein (Depkes, 2007). Dari hasil penelitian Hamid dkk (2013) mengatakan bahwa pendapatan perkapita keluarga berhubungan dengan pola konsumsi pangan rumah tangga. Hal serupa pada penelitian Analia (2009) dan Surachman dkk (2013) mengatakan bahwa pendapatan rumah tangga mempengaruhi keragaman konsumsi pangan. Namun, hasil
44
penelitian Retnaningsih (2007) tidak sejalan, hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara pendapatan rumah tangga dengan keberagaman konsumsi pangan yang dinilai dengan metode pola pangan harapan. b) Faktor Sosial Pengaruh lingkungan dan sebaya dapat mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Perilaku ibu dalam mengasuh anak juga dapat dipengaruhi dari pengalaman-pengalaman lingkungan mereka atau dari pengaruh orang tua atau sesepuhnya terdahulu. Pengaruh dari lingkungan dan orang-orang disekitar ini yang akan mempengaruhi dari perilaku makan anak. Selain dari orang tua, perilaku makan anak juga dipengaruhi dari teman sebaya mereka. Sebuah studi menunjukkan bahwa ketika anak melihat teman sebayanya tidak suka terhadap sayuran, maka anak tersebut akan mempengaruhi preferensi makanannya bahwa sayuran adalah makanan yang pahit dan mereka akan ikut tidak suka terhadap makanan tersebut. (Grosvenor & Smolin (2002) dalam Marlina (2011)). I.
Kerangka Teori Berikut ini merupakan kerangka teori yang didasarkan pada modifikasi dari Fabbri & Crosby (2016), Sultan (2014) Chaudhury (2006), Kennedy (2009), dan Steyn dkk., (2009), tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kecukupan zat gizi pada balita.
45
Kecukupan zat gizi balita
Faktor ibu: - pengetahuan ibu - pendidikan ibu
Kebiasaan makan: - Keragaman konsumsi anak (dietary diversity) - Makanan kesukaan anak / food preference - Cara Pengolahan
Karakteristik individu - Usia - Jenis kelamin - Berat badan - Kesehatan
Faktor sosial ekonomi
Keterangan = Variabel yang diteliti = Variabel tidak diteliti
Sumber: Modifikasi dari penelitian Fabbri & Crosby (2016), Sultan (2014), Kennedy (2009), Chaudhury (2006), dan Steyn dkk., (2009) Bagan 2.1 Kerangka Teori
46
3
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A.
Kerangka Konsep
Keragaman konsumsi pangan
pada
balita
menggunakan
dengan Dietary
Kecukupan zat gizi (energi,
Diversity Score (DDS)
protein, vitamin A, vitamin C, Kalsium, Fe, Zn) balita
Karakteristik individu: -
Usia
-
Jenis kelamin
-
Berat Badan
dengan menggunakan Mean Adequacy Ratio (MAR)
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Bagan diatas menunjukkan kerangka konsep yang ingin diteliti, lingkup penelitian yaitu melihat hubungan DDS dengan kecukupan zat gizi serta menilai sensitivitas dan spesifisitas metode Dietary Diversity Score (DDS) dalam mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 2459 bulan sehingga variabel yang diteliti yaitu keragaman konsumsi pangan pada balita dengan DDS dan kecukupan zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi (Fe), dan seng (Zn)) pada balita dengan MAR. Variabel
yang
tidak
diteliti
yaitu
faktor
ibu,
kesukaan
makanan/food preference, dan kesehatan dalam variabel karakteristik individu, hal ini dikarenakan penelitian menggunakan data skunder dari
47
Studi Diet Total 2014, dimana dalam penelitian SDT tidak terdapat variabel yang terkait dengan ketiga variabel tersebut. Sedangkan variabel cara pengolahan dalam penelitian SDT digunakan untuk analisis cemaran. Selian itu, penilaian kecukupan zat gizi tidak lagi memperhitungkan cara pengolahan karena data yang digunakan sudah dikonversi dari berat matang
menjadi
berat
mentah
dengan
memperhitungkan
pengolahannya dari makanan yang dikonsumsi (Balitbangkes, 2014).
cara
48
B. Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional No 1.
Variabel Kecukupan gizi
Definisi Operasional
Cara Ukur
Instrumen
zat Persentase asupan zat gizi dengan Menilai kecukupan dari zat
Hasil Ukur
Kuesioner SKMI-
Persentase
nilai Mean Adequacy Ratio (MAR) gizi energi, protein, vit A,
2014.IND blok
nilai MAR
yang didapat dari jumlah rata-rata vit C, Ca, Fe, dan Zn yang
X.Konsumsi Makanan
nilai Nutrient Adequacy Ratio (NAR) diperoleh dari hasil recall
Individu Recall 1x24
energi, protein, vit A, Vit C, Ca, Fe, individu
1x24
jam
dan
Skala Ukur Rasio
jam
dan Zn berdasarkan hasil recall dibandingkan dengan AKG individu 1x24 jam data Studi Diet sesuai usia 1-3 tahun dan 4Total 2014 2.
Kecukupan gizi
6 tahun.
zat Persentase asupan zat gizi dengan Menilai kecukupan dari zat
Kuesioner SKMI-
nilai Mean Adequacy Ratio (MAR) gizi energi, protein, vit A,
2014.IND blok
yang didapat dari jumlah rata-rata vit C, Ca, Fe, dan Zn yang
X.Konsumsi Makanan
nilai Nutrient Adequacy Ratio (NAR) diperoleh dari hasil recall
Individu Recall 1x24
energi, protein, vit A, vit C, Ca, Fe, individu
1x24
jam
dan
dan Zn berdasarkan hasil recall dibandingkan dengan AKG individu 1x24 jam data Studi Diet sesuai usia 1-3 tahun dan 4Total
2014
untuk
melihat
nilai 6 tahun.
jam
1. MAR 50% AKG 2. MAR 70% AKG 3. MAR 77% AKG
Ordinal
49
sensitivitas dan spesifisitas 3.
Dietary Diversity Keragaman konsumsi pangan dari Menjumlahkan Score (DDS)
sembilan
kelompok
pangan
konsumsi
yang perkelompok pangan balita
1. Kuesioner SKMI-
Rata-rata
2014.IND blok
skor
DDS
dikonsumsi balita selama 24 jam dari yang diperoleh dari hasil
X.Konsumsi
serta
nilai
data recall individu 1x24 jam Studi recall individu 1x24 jam
Maknaan Individu
Diet Total 2014 yang dilihat dengan Studi Diet Total 2014 skor DDS serta nilai sensitivitas dan spesifisitas.
Recall 1x24 jam 2. Tabel perhitungan
Rasio
sensitivitas dan spesifisitas
Dietary Diversity Score (DDS)
4.
Usia
Masa hidup balita dalam bulan yang Wawancara
Kuesioner
dihitung saat pengambilan data Studi Diet Total 2014 5.
Jenis Kelamin
Perbedaan seks pada balita responden Wawancara
Kuesioner
Studi diet Total 2014 yang dibedakan
Berat Badan
Ukuran tubuh balita responden Studi Penimbangan balita Diet Total 2014
2. 48-59 bulan 1. Lakilaki
Distribusi Frekuensi
Ditribusi Frekuensi
2. Perempuan
antara laki-laki dan perempuan 6.
1. 24-47 bulan
Timbangan dengan ketelitian 0,1 kg
Ditribusi Berat dalam kilogram
Frekuensi
50
C. Hipotesis Penelitian 1. Ada hubungan antara DDS dengan tingkat kecukupan zat gizi dengan nilai MAR pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia.
51
4
BAB IV
METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian lanjutan ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian cross sectional karena pengambilan variabel yang dilakukan dalam satu waktu. Variabel yang digunakan yaitu Dietary Diversity Score (DDS) dan variabel kecukupan zat gizi yang dinilai menggunakan data skunder konsumsi makanan individu dengan metode recall 24 jam yang dilakukan dalam Studi Diet Total (SDT) Survey Konsumsi Makanan Individu (SKMI). Penelitian ini menggunakan uji diagnostik untuk melihat nilai sensitivitas dan spesifisitas dari metode Dietary Diversity Score (DDS) sebagai indikator keragaman konsumsi pangan untuk mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian lanjutan dengan menggunakan data SKMI terkait recall individu dianalisis lebih lanjut pada bulan November 2016-Januari 2017 oleh mahasiswa Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah selaku peneliti.
52
C. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian lanjutan ini adalah seluruh sampel balita yang diwawancarai dalam SKMI sebanyak 6.093 balita usia 0-59 bulan. Sedangkan sampel dalam penelitian lanjutan ini yaitu seluruh balita usia 24-59 bulan yang menjadi sampel dalam SKMI yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Kriteria dan pengambilan sampel penelitian sebagai berikut: a. Kriteria inklusi yaitu balita usia 24-59 bulan yang diukur konsumsi makanan dengan menggunakan recall individu 1x24 jam. b. Kriteria esklusi yaitu terdapat ketidaklengkapan dalam data recall individu 1x24 jam pada balita usia 24-59 bulan, balita usia 24-59 bulan yang masih ASI, balita yang tidak diukur berat badannya, serta balita dengan status gizi buruk, gizi kurang, dan gizi lebih. Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan perhitungan besar sampel uji hipotesis beda rata-rata dengan rumus sebagai berikut (Dahlan, 2009).
53
Keterangan: n
: besar sampel
α
: level signifikan
1-β
: derajat kepercayaan
σ
: standar deviasi variabel dependen pada peneletian sebelumnya
μo – μa : selisih minimal rerata yang dianggap bermakna Dengan menggunakan rumus tersebut, nilai rata-rata dan standar deviasi dari variabel dependen yaitu kecukupan zat gizi (MAR). Ratarata dan standar deviasi yang digunakan yaitu berdasarkan hasil penelitian Marlina (2011) sebesar 71,61 dan 14,99. Dengan nilai tersebut serta menggunakan nilai α sebesar 1% dan 1-β sebesar 99% maka didapatkan hasil besar sampel sebesar 470. Dalam penelitian ini digunakan total sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sebesar 3085. Adapun alur cleaning data berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi sebagai berikut.
54
3990 balita usia 24-59 bulan Cleaning balita yang masih konsumsi ASI sebanyak 177 balita 3813 balita yang sudah tidak konsumsi ASI
3503 balita sudah tidak konsumsi ASI dan ditimbang berat badan
Cleaning balita yang tidak ditimbang berat badan sebanyak 310, 14 tidak ditimbang dan masih ASI
Cleaning ketidaklengkapan data dan recall sebanyak 36 3467 balita tidak konsumsi ASI, diukur berat badan, lengkap data recall
3085 balita tidak konsumsi ASI, diukur berat badan, lengkap data recall, dan status gizi baik (BB/U -2 SD sampai 2 SD)
Cleaning balita yang memiliki status gizi buruk, gizi kurang, dan gizi lebih sebanyak 382
Bagan 4.1 Alur Cleaning Sampel Penelitian
D. Sumber Data Penelitian Sumber data pada penelitian lanjutan ini adalah data Studi Diet Total: Survei Konsumsi Makanan Individu Indonesia tahun 2014. Data berasal dari kuesioner individu SKMI-2014.IND blok X.KONSUMSI MAKANAN Individu Recall 1x24 jam
55
E. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian lanjutan ini yaitu surat izin permohonan data SDT 2014, proposal penelitian untuk pengajuan permohonan data SDT 2014, Buku Pedoman Kode Bahan Makanan Survei Konsumsi Makanan Individu, serta tabel perhitungan DDS. F. Pengumpulan Data Pengumpulan data lanjutan mengikuti prosedur permohonan permintaan data yang disyaratkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI sebagai badan yang melaksanakan SDT. Adapun alur prosedur pengumpulan data tersebut yaitu;
56
Menyaipkan persyaratan yaitu proposal penelitian, surat permohonan permintaan data, dan formulir permintaan data
Mengirimkan persyaratan kepada Kepala Badan Litbangkes Persetujuan Ka.Badan Telaah proposal dan pembuatan subset data oleh laboratorium manajemen data
Pengeluaran subset data
Peneliti lanjutan tanda tangan surat pernyataan penggunaan data Bagan 4.2 Alur Pengumpulan Data
G. Pengolahan Data Data yang didapat dari Badan Litbangkes berupa data recall yang berisikan ID rumah tangga, ID anggota rumah tangga, pembobotan, kode provinsi, kode bahan makanan, berat matang (gram), berat mentah (gram), jenis kelamin, berat badan (kg), dan umur (bulan) dalam bentuk SPSS. Data yang didapat kemudian dilakukan cleaning data yang telah dijelaskan pada subbab sampel penelitian. Kemudian data recall tersebut diolah dalam Nutrisurvey versi 2007 dengan database makanan Indonesia tahun 2005 serta tambahan beberapa database USDA SR25 tahun 2012.
57
Data recall tersebut diolah dengan cara memasukkan bahan makanan yang diliat dari kode bahan makanan serta berat mentah untuk mengetahui asupan dari ketujuh zat gizi. Kode bahan makanan dilihat dari Buku Pedoman Kode Bahan Makanan Survei Konsumsi Makanan Individu. Kemudian dibuat file SPSS baru yang telah dientri ulang ID rumah tangga, ID anggota rumah tangga, pembobotan, umur (bulan), jenis kelamin, berat badan peresponden serta kolom untuk asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi, dan zink. Asupan yang sudah didapat dari Nutrisurvey kemudian dimasukkan kedalam ketujuh kolom zat gizi dalam SPSS tersebut. Setelah mengentri data asupan, langkah selanjutnya yaitu mengolah data recall yang telah dientri ke dalam Nutrisurvey menjadi skoring DDS dengan cara manual melihat apakah konsumsi kelompok pangan nomer 1 atau tidak. Jika konsumsi kelompok pangan nomer 1 (serealia dan umbiumbian) diberi skor 1, jika tidak diberi skor 0, hal ini dilakukan sampai konsumsi pangan nomer 9 (lemak dan minyak) hingga keseluruhan responden. Pengentrian nilai DDS 1 sampai 9 dengan melihat tabel perhitungan DDS serta pengelompokan pangan dari FAO dilakukan dengan cara yaitu membandingkan recall dalam Nutrisurvey dengan SPSS baru yang telah ditambahkan kolom kelompok pangan 1 sampai 9. Setelah selesai mengentri nilai DDS sampai responden terakhir, kemudian dilakukan transform data dengan menjumlahkan nilai DDS 1 sampai 9 untuk mengetahui skor DDS total dari tiap responden.
58
Pegolahan data selanjutnya yaitu recode umur dalam bulan menjadi kategori umur 24-47 dan 48-59 untuk memudahkan dalam perhitungan kecukupan zat gizi. Kemudian dilakukan perhitungan kecukupan zat gizi dalam NAR dengan cara compute menggunakan fungsi IF membandingkan nilai AKG dari ketujuh zat gizi dengan melihat kategori umur. Setelah NAR dari ketujuh zat gizi didapat, kemudian dilakukan perhitungan nilai MAR dengan compute rata-rata dari ketujuh NAR. Berikut alur pengolahan data penelitian.
Langkah
Sumber
Cleaning data
Data Litbangkes
Pengolahan asupan zat gizi dari 3085 balita
Data dari Litbangkes diolah di Nutrisurvey
Perhitungan skor DDS dengan cara membandingkan recall dengan tabel DDS dari FAO sebanyak 3085 responden kemudian dientri ke file SPSS baru
Nutrisurvey dan tabel DDS FAO
Recode kategori usia 24-47 dan 48-59 bulan
SPSS
Perhitungan NAR dan MAR
SPSS
Bagan 4.3 Alur Pengolahan Data
59
H.
Analisis Data Analisis data lanjutan menggunakan analisis univariat dan bivariat sebagai berikut. a.
Analisis univariat digunakan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi dari DDS, asupan zat gizi (energi, protein, vit A, vit C, Fe, Ca, dan Zn), serta kecukupan zat gizi yang dinilai dengan nilai NAR dan MAR.
b.
Analisis Bivariat digunakan untuk mengetahui ada atau tidak adanya hubungan serta kekuatan hubungan antara DDS dengan kecukupan zat gizi yang dilihat dengan MAR dan NAR dari ketujuh zat gizi dengan menggunakan uji korelasi. Selain itu analisis kurva ROC antara skor DDS pada balita dengan standar MAR sebesar 75% AKG yang didapat dari rata-rata nilai kecukupan energi dan protein sebesar 70% AKG, serta kecukupan vitamin A, vitamin C, Kalsium, Zat besi, dan Zink sebesar 77% AKG. Analisis ROC dilakukan untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas dari metode DDS, serta menentukan cut off terbaik dari DDS dengan melihat nilai sensitivitas dan spesifisitas yang paling optimal atau nilai dari keduanya sama-sama tinggi (Morton, Hebel, & McCarter, 2009).
60
5
BAB V
HASIL PENELITIAN A. Gambaran Karakteristik Umum Responden dalam penelitian ini merupakan seluruh balita dalam penelitian Studi Diet Total (SDT) Survey Konsumsi Makanan Individu (SKMI) Balitbangkes tahun 2014 yang terdiri dari 33 Provinsi di Indonesia. Total sampel dalam penelitian sebanyak 3085 balita yang terdiri dari balita usia 24-47 bulan sebanyak 2022 balita, serta yang berusia 48-59 bulan sebanyak 1154balita. Sampel penelitian telah diukur konsumsi makanan dengan menggunakan recall individu 1x24 jam dan diukur berat badannya serta sudah tidak mengkonsumsi ASI. Berikut tabel distribusi karakteristik individu dari balita. Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Individu Balita 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 Karakteristik Individu Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Usia 24-47 bulan 48-59 bulan Total
Frekuensi N
%
1606 1479
52,1 47,9
1974 1111 3085
64 36 100
Pada tabel 5.1 digambarkan karakteristik individu dari balita. Proporsi antara balita laki-laki dan perempuan sebesar 52.1% dan 47.9%. Dari 3085 balita, sebesar 64% berusia 24-47 bulan dan 36% berusia 48-59 bulan.
61
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berat Badan Pada Balita Usia 2-59 Bula di Indonesia Tahun 2014 Mean
SD
Min-Maks
95% CI
14,29
2,27
9.6-20,9
14,22-14,38
Berat Badan
Dari Tabel 5.2, diketahui dari 3085 balita rata-rata berat badannya sebesar 14,29 kg (14,22-14,38) dengan berat terendah 9,6 kg dan tertinggi 20,9 kg. B. Analisis Univariat Analisis univariat pada penelitian ini menggambarkan distribusi frekuensi asupan zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi, dan zink), distribusi frekuensi kecukupan zat gizi yang dihitung dengan nilai Nutrient Adequacy Ratio (NAR) dari ketujuh zat gizi dan nilai kecukupan zat gizi keseluruhan dengan menggunakan Mean Adequacy Ratio (MAR), distribusi frekuensi dan proporsi Dietary Diversity Score, distribusi frekuensi asupan berdasarkan kelompok pangan, distribusi frekuensi kelompok pangan berdasarkan skor DDS, serta distibusi frekuensi skor DDS dan nilai MAR. pada balita di tiap provinsi Indonesia. 1.
Distribusi Frekuensi Asupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 Asupan zat gizi pada balita didapat dari hasil recall 1x24 jam yang
telah dilakukan dalam penelitian Studi Diet Total (SDT) Survey Konsumsi Makanan Individu (SKMI) Balitbangkes pada tahun 2014. Gambaran dari asupan serta kecukupan zat gizi pada balita sebagai berikut:
62
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Asupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 Zat Gizi
Rata-rata
Usia
SD
Median
Rerata
24-47
48-59
24-47
48-59
Total
Total
Energi (kkal)
854.88
1208,28
188,15
250.65
975
982.15
Protein (gr)
23,20
34,69
8,15
11,54
26,3
27,34
Vitamin A (mcg)
267,92
337,74
138,26
162,26
306
293.07
Vitamin C (mg)
17,44
21,91
13,62
16.67
16,2
19,05
Kalsium (mg)
252,45
337,23
174,59
249,45
232,9
282,98
Fe (mg)
3,92
5,17
1,94
2,30
4,1
4,37
Zn (mg)
2,81
3,75
0,87
1,16
3,2
3,14
Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat rata-rata, standar deviasi, serta nilai median dari asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi dan zink. Dari tabel tersebut diketahui rata-rata asupan zat gizi pada usia 48-59 bulan lebih tinggi dibandingkan usia 24-47 bulan. 2.
Distribusi Frekuensi Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 2459 Bulan di Indonesia Tahun 2014 Kecukupan zat gizi dilihat dengan menggunakan nilai MAR yang di
dapat dari rata-rata nilai NAR energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi dan zink. Dibawah ini merupakan tabel distribusi frekuensi kecukupan zat gizi pada balita.
63
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 Kecukupan
Rata-rata
Zat Gizi
(%)
SD
Min-Maks
Median
NAR Energi
75,82
16,35
26,38-126,43
78,13
NAR Protein
92,79
32,30
11,54-219,23
96,15
NAR Vit A
69,89
35,32
0-173,13
73,75
NAR Vit C
45,44
35,23
0-160,89
39
NAR Kalsium
36,99
26,30
2,03-116,54
30
NAR Fe
52,03
25,05
5-155
48,89
NAR Zn
71,83
22,38
17,5-160
75
MAR
63,54
20,40
16,37-109.07
68,66
Kecukupan zat gizi yang dihitung dengan nilai Nutrient Adequacy Ratio (NAR), yang didapat dari persentase asupan yang dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG). Selain nilai NAR juga dilhat nilai Mean Adequacy Ratio (MAR) yang didapat dari rata-rata nilai NAR. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui nilai NAR tertinggi yaitu protein sebesar 92,79% dan nilai NAR terendah yaitu kalsium sebesar 36,99%. Rata-rata nilai MAR dari ketujuh zat gizi tersebut sebesar 63,54%. 3.
Distribusi Frekuensi dan Proporsi Dietary Diversity Score (DDS) pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 Keragaman konsumsi pangan dilihat dengan menggunakan nilai
DDS. Gambaran distribusi frekuensi dari DDS sebagai berikut:
64
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Dietary Diversity Score (DDS) Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 N
Rata-rata
SD
Median
Min-Maks
3085
5,29
1,31
5
1-9
DDS
Dari tabel 5.5 diketaui rata-rata DDS dari 3467 balita sebesar 5,26 dengan skor terendah 1 dan tertinggi 9.
Gambar 5.1 Persentase Dietary Diversity Score (DDS) Pada Balita Usia 2459 Bulan di Indonesia Tahun 2014 Dari grafik diatas diketahui skor DDS 5 merupakan skor yang paling tinggi dengan persentase sebesar 33,35% sedangkan skor DDS 1 merupakan skor yang paling rendah dengan persentase sebesar 0,227%.
65
4.
Distribusi Frekuensi Asupan Berdasarkan Kelompok Pangan Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 Asupan berdasarkan kelompok pangan didapat dari hasil recall
individu 1x24 jam. Kelompok pangan dibedakan menjadi 9 kelompok yang mengikuti pengelompokan berdasarkan Dietary Diversity Score (DDS) oleh Food and Agriculture Organization (FAO). Gambaran distribusi frekuensi dari konsumsi 9 kelompok pangan sebagai berikut: Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Asupan Berdasarkan Kelompok Pangan Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan Serealia dan umbi-umbian Daging hewani (daging ternak, unggas, ikan, organ, dll) Susu dan olahannya Telur Kacang-kacangan Buah, sayur, dan umbiumbian kaya vitamin A Buah lainnya Sayuran lainnya Lemak dan minyak
N 3082
% 99,9
2350
76.2
1704 1460 1342
55,2 47,3 43,5
1490
48,3
805 1204 2895
26,1 39,0 93,8
Berdasarkan tabel 5.6 diketahui dari 3085 balita, sebanyak 99,9% balita mengkonsumsi kelompok pangan serealia dan umbi-umbian. Selain itu, konsumsi terbanyak kedua sebesar 93,8% balita mengkonsumsi kelompok pangan lemak dan minyak. Konsumsi terendah sebesar 26,1% yaitu pada kelompok pangan buah lainnya yang terdiri dari buah kaya vitamin C (>18 mg vit C per 100 gr) dan buah yang tidak kaya baik vitamin A atau vitamin C.
66
5.
Distribusi Proporsi Kelompok Pangan Yang Dikonsumsi Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Berdasarkan Dietary Diversity Score (DDS) Pada Tahun 2014 Hasil penelitian ini menunjukkan persentase dari konsumsi sembilan kelompok pangan pada balita usia 24-59 bulan yang
dilihat berdasarkan skor DDS. Hasil tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.7 Persentase Konsumsi Kelompok Pangan Berdasarkan skor DDS Daging hewani Buah, sayur, DDS
N
Serealia dan
(daging ternak,
Susu dan
umbi-umbian
ungags, ikan,
olahannya
Telur
Kacang-
dan umbi-
Buah
Sayuran
kacangan
umbian
lainnya
lainnya
organ, dll)
kaya vit A
Lemak dan minyak
1
7
85,7
0
14,3
0
0
0
0
0
0
2
47
95,7
19,1
19,1
0
4,3
23,4
6,4
8,5
23,4
3
188
100
51,6
16
14,9
10,6
13,8
8
12,8
72,3
4
529
100
65,6
30,8
27,2
23,3
31,9
9,3
18,5
93,4
5
1029
100
76,3
50,6
41,3
37,6
42,8
21,4
33,7
96,3
6
750
100
84,9
70
58,9
55,1
56,1
31,6
45,3
98
7
387
100
86,8
82,9
75,7
70,3
74,2
46
65,4
98,7
8
135
100
93,3
89,6
85,2
83
91,1
66,7
92,6
98,5
9
13
100
100
100
100
100
100
100
100
100
67
Dari tabel 5.7 diatas diketahui persentase asupan dari 9 kelompok pangan yang dilihat berdasarkan skor DDS dari terendah 1 sampai tertinggi 9. Berdasarkan tabel diatas, diketahui dari 3085 balita sebanyak 1029 balita memiliki skor DDS sebesar 5 dengan konsumsi sebanyak 4 kelompok pangan yang lebih dari 50%. Dari tabel tersebut juga diketahui balita yang memiliki skor DDS 1 sebesar 85,7% mengkonsumsi kelompok pangan serealia dan umbi-umbian serta terdapat 14,3% mengkonsumsi susu dan olahannya. Sedangkan pada balita dengan skor DDS 9 mengkonsumsi 100% dari kesembilan kelompok pangan. 6.
Distribusi Frekuensi Keragaman Konsumsi Pangan dan Kecukupan Zat Gizi pada Balita di Tiap Provinsi Indonesia Tahun 2014 Gambaran distribusi frekuensi rerata Dietary Diversity Score (DDS)
dan rerata Mean Adequacy Ratio (MAR) dari 7 zat gizi pada balita di 33 provinsi Indonesia sebagai berikut:
68
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Rerata Dietary Diversity Score (DDS) dan Rerata Kecukupan Zat Gizi dengan Mean Adequacy Ratio (MAR) Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2014 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Total
N 99 82 87 83 70 95 94 105 97 95 113 116 107 112 79 123 110 92 82 95 110 79 108 84 79 108 96 113 92 102 94 52 32 3085
Rata-rata DDS 5,35 5,35 4,87 4,95 4,84 4,73 5,02 5,13 5,16 4,81 5,88 4,89 5,21 5,71 5,56 5,80 5,78 5,45 5,78 5,73 5,39 5,49 5,55 5,61 5,53 5,19 5,38 5,41 4,95 5,05 4,69 4,85 4,66 5,29
Rata-rata MAR 65,30 61,39 56,10 56,69 54,02 53,80 60,08 61,09 65,28 58,32 72,07 56,25 62,44 68,66 68,32 71,68 70,17 64,55 70,71 67,34 63,82 69,84 67,85 68,72 66,17 63,78 68,61 68,48 61,95 58,01 51,88 52,59 53,01 63,54
Dari tabel 5.8 diketahui rerata skor DDS dan nilai MAR tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 5,88 untuk DDS dan 72,07% untuk MAR. Sedangkan rerata skor DDS terendah terdapat di Provinsi
69
Papua sebesar 4,66, untuk nilai mAR terendah terdapat di Provinsi Maluku Utara sebesar 51,88%. C. Analisis Bivariat Analisis bivariat pada penelitian ini menghubungkan antara variabel dependen yaitu kecukupan zat gizi dalam MAR dengan variabel independen yaitu keragaman konsumsi pangan dalam DDS. Hubungan antara MAR dengan DDS sebagai berikut: Tabel 5.9 Analisis Korelasi antara Dietary Diversity Score (DDS) dengan kecukupan zat gizi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Kecukupan Zat Gizi MAR NAR Energi NAR Protein NAR Vitamin A NAR Vitamin C NAR Kalsium NAR Fe NAR Zn
DDS r Pvalue 0,771 0,000 0,598 0,000 0,624 0,000 0,672 0,000 0,487 0,000 0,565 0,000 0,673 0,000 0,656 0,000
Dari tabel 5.9 diketahui hasil uji korelasi Spearman terdapat hubungan yang signifikan antara DDS dengan kecukupan zat gizi secara keseluruhan (Pvalue<0,05). Selain itu, terdapat hubungan yang sangat kuat antara DDS dengan MAR, yang artinya semakin meningkat nilai DDS maka probabilitas nilai MAR semakin tinggi atau jika menggunakan karakteristik yang berbeda tetap menunjukkan terdapat hubungan antara DDS dengan MAR. Sedangkan hubungan antara DDS dengan kecukupan vitamin C memiliki kekuatan hubungan sedang, yang artinya jika nilai DDS meningkat, nilai kecukupan vitamin C dapat meningkat namun tidak
70
signifikan. Berikut grafik yang menunjukkan hubungan antara DDS dengan MAR. 100 90 80
MAR (%)
70 60 50 40
MAR
30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
DDS
Gambar 5.2 Grafik Hubungan antara DDS dengan MAR Gambar 5.2 menunjukkan hubungan antara MAR dengan DDS. Dari gambar tersebut memperlihatkan kecenderungan semakin tinggi nilai MAR, maka skor DDS semakin tinggi. Skor DDS tertinggi dapat mencapai 89,78% dari rata-rata MAR. D. Sensitivitas dan Spesifisitas Nilai sensitivitas dan spesifisitas didapat dari analisis kurva ROC yang membandingkan antara nilai DDS dengan standar nilai MAR sebesar 75% yang didapat dari rata-rata kecukupan energi 70%, kecukupan protein 70%, kecukupan vitamin A 77%, kecukupan vitamin C 77%, kecukupan kalsium 77%, kecukupan zat besi 77%, dan kecukupan zink 77%. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui cut off point terbaik untuk DDS dan dapat mengidentifikasi
balita
yang
mengalami
ketidakcukupan
zat
gizi
71
(sensitivitas tinggi), serta melihat balita dengan kecukupan zat gizi yang baik (sensitifitas).
120.0 100.0
%
80.0 60.0
se_75 sp_75
40.0 20.0 0.0 1
1.5
2.5
3.5
4.5
5.5
6.5
7.5
8.5
9
DDS
Gambar 5.3 Sensitivitas dan Spesifisitas dari DDS untuk standar MAR Gambar 5.3 menunjukkan koordinat sensitivitas dan spesifisitas dari analisis kurva ROC untuk standar MAR 75% dengan skor DDS pada balita. Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai sensitivitas dan spesifisitas terbaik untuk DDS yaitu pada skor DDS 5,5. Pada skor tersebut menunjukkan nilai sensitivitas sebesar 76,7% dan spesifisitas sebesar 73,5% ketika
menggunakan
MAR
75%
AKG.
Artinya,
apabila
balita
mengkonsumsi lebih dari 5 jenis pangan atau ≥6 jenis pangan dalam sehari, dapat mencukupi kecukupan zat gizi sebesar 75% dari AKG.
72
6
BAB VI
PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat beberapa kelemahan yang menjadi keterbatasan penelitian, diantaranya adalah 1. Dalam penelitian ini menggunakan data skunder Studi Diet Total Survey Konsumsi Makanan Individu tahun 2014, variabel dalam penelitian tersebut terkait konsumsi individu, konsumsi rumah tangga, serta cemaran kimia makanan. Sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi kecukupan zat gizi lainnya yang terdapat dalam kerangka teori tidak dapat diteliti. 2. Penggunaan database dalam aplikasi pengolahan asupan recall yang digunakan yaitu database Indonesia tahun 2005, sehingga memungkinkan kurang ter-update dari jumlah zat gizi atau bahan pangan dalam database tersebut. Hal ini mengharuskan peneliti untuk mengganti bahan pangan yang tidak terdapat dalam database tersebut dengan bahan pangan yang sejenis atau serupa kandungan gizinya, atau dengan menggunakan database lainnya yaitu database USDA SR25 (2012) terutama pada beberapa pangan buah dan sayur.
73
B. Asupan Zat Gizi Balita Hasil penelitian ini memperlihatkan rerata dari asupan zat gizi energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi, dan zink. Penilaian asupan zat gizi didapat dari data recall 1x24 jam Studi Diet Total Survey Konsumsi Makanan Individu tahun 2014. Dari data yang didapat, rerata dari ketujuh zat gizi tersebut masih kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2014. Rerata asupan energi pada balita usia 24-47 bulan sebesar 854,88 kkal dari 1125 kkal yag dianjurkan AKG, sedangkan rerata asupan energi untuk usia 48-59 bulan sebesar 1208,28 kkal dari 1600 kkal yang dianjurkan. Rerata asupan protein pada balita usia 24-47 bulan sebesar 23,20 gram dari 26 gram yang dianjurkan, sedangkan rerata asupan protein pada balita usia
48-59 bulan sebesar 34,69 gram dari 35 gram yang
dianjurkan. Rerata asupan vitamin A pada balita usia 24-47 bulan sebesar 267,92 mcg dari 400 mcg yang dianjurkan, pada balita usia 48-59 bulan sebesar 337,74 mcg dari 450 mcg yang dianjurkan. Rerata asupan vitamin C pada balita usia 24-47 bulan sebesar 17,44 mg dari 40 mg yang dianjurkan, pada balita usia 48-59 bulan sebesar 21,91 mg dari 45 mg yang dianjurkan. Begitu pula dengan rerata asupan kalsium, zat besi dan zink yang masih kurang dibandingkan dengan AKG 2014. Hasil penelitian ini menunjukkan asupan zat gizi yang diteliti masih kurang dari AKG yang dianjurkan di Indonesia.
74
Sedangkan jika dibandingkan dengan nilai median, pada hasil penelitian sebelumnya oleh Marlina (2011) diketahui nilai median asupan energi pada balita usia 24-59 bulan sebesar 1115,79 kkal sedangkan nilai median pada penelitian ini sebesar 975 kkal. Hanya median asupan zink dalam penelitian ini lebih tinggi sebesar 3,2 mg jika dibandingkan dengan penelitian Marlina (2011) sebesar 2,89 mg. Lain halnya dengan nilai median asupan vitamin A sebesar 306 mcg dan vitamin C sebesar 16,2 mg dalam penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan penelitian Kennedy (2009) pada anak usia 24-71 bulan di Filipina dengan median asupan vitamin A sebesar 142 mcg dan vitamin C sebesar 13 mg. Asupan zat gizi sangat dipengaruhi oleh asupan makanannya, terutama pada balita yang sudah tidak konsumsi ASI (Murphy, Yaktine, Suitor, & Moats, 2011). Transisi dari konsumsi ASI menjadi konsumsi makan keluarga menjadi salah satu masalah dalam balita. Karakteristik balita yang sulit makan, memilih-milih makanan yang hanya disukainya, serta makan sedikit dan lambat dapat menjadi salah satu penyebab kurangnya asupan zat gizi pada balita (Michael, Gootman, & Kraak, 2006). Dalam penelitian ini tidak diteliti terkait kebiasaan makan atau pola makan pada balita, namun dapat diduga masalah makan pada balita pada umumnya dapat mempengaruhi asupan zat gizinya. Selain itu jika dilihat dari konsumsi jenis pangan dan keragaman pangan, rata-rata balita mengkonsumsi sebanyak 5 jenis pangan dalam sehari, namun hanya konsumsi kelompok pangan serealia dan umbi umbian, lemak dan minyak, serta daging-dagingan yang mencapai lebih dari 50%.
75
Hal ini menunjukkan dari asupan kelompok pangan yang mengandung zat gizi mikro masih rendah seperti kelompok pangan sayur dan buah yang kaya vitamin dan mineral, kacang-kacangan yang banyak mengandung kalsium masih rendah (Selby, 2010). Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab asupan zat gizi pada balita rendah dikarenakan asupan berdasarkan kelompok pangan sumber zat gizi seperti zat gizi mikro rendah. C. Kecukupan Zat Gizi Balita Kecukupan zat gizi balita dinilai dengan menggunakan Nutrient Adequacy Ratio (NAR) dari ketujuh zat gizi dan nilai kecukupan zat gizi keseluruhan dengan menggunakan Mean Adequacy Ratio (MAR). Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui NAR dari 3085 balita untuk energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi, dan zink secara berurutan sebesar 75,82%; 92,79%; 69,89%; 45,44%; 36,99%; 52,03%; 71,83%. Sedangkan nilai MAR dari ketujuh zat gizi tersebut sebesar 63,54%. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui hanya kecukupan terhadap protein yang mendekati angka 100% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar balita masih kurang mengonsumsi zat gizi yang diperlukan tubuhnya dalam masa pertumbuhan. Kecukupan gizi dipengaruhi dari asupan zat gizi, dimana kecukupan zat gizi dihitung dari asupan yang dibandingkan dengan nilai AKG tiap kelompok usia. Asupan zat gizi yang hampir mendekati AKG dalam penelitian ini yaitu asupan protein, sehingga kecukupan akan protein hampir
76
mencapai 100% yaitu 92,79%. Hal ini berkaitan dengan asupan pangan sumber protein yaitu kelompok daging-dagingan sebesar 76,2% ditambah kelompok pangan lainnya seperti telur, susu dan olahannya, maupun sumber protein nabati seperti kacang-kacangan (Marshall, 2009). Kecukupan zat gizi yang paling rendah yaitu kecukupan kalsium, hal ini mungkin dikarenakan konsumsi terhadap pangan sumber kalsium seperti susu dan olahannya serta sayuran dan biji-bijian tidak mencapai 50%. Walaupun konsumsi kelompok pangan susu dan olahannya mencapai 55,2%, jumlah konsumsi dalam recall juga mempengaruhi asupan kalsium, sehingga mungkin jika jumlah porsi dalam konsumsi susu dan olahannya dalam jumlah yang sedikit sehingga asupan kalsium rendah. Selain asupan terhadap sumber kalsium yang masih rendah, dalam proses absorpsi kalsium, beberapa zat gizi tertentu seperti protein, natrium, serat, fitat dan oxalat yang tinggi juga dapat menyebabkan rendahnya asupan kalsium (Kemenkes, 2014). Sejalan dengan penelitian Kennedy (2009), probabilitas ketidakcukupan zat gizi dengan nilai Probability of Adequate (PA) yang paling tinggi pada anak usia 24-71 bulan yang tidak ASI yaitu kalsium. Hal tersebut dikarenakan konsumsi pada kelompok pangan susu dan olahannya hanya sebesar 38,3%. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Marlina (2011) nilai median pada kecukupan zat gizi terendah yaitu zink sebesar 32,95%, hal ini dikarenakan asupan sumber zink seperti ikan dan daging yang masih rendah. Dalam penelitian ini nilai median kecukupan terhadap zink sebesar
77
71,83% yang menunjukkan asupan terhadap pangan sumber zink seperti ikan, kerang, dan daging sudah tercukupi. Hal ini dapat dilihat dari kecukupan terhadap protein yang mencapai 92,79%. Sedangkan jika dibandingkan dengan nilai MAR, rata-rata MAR pada anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan sebesar 63,3% (Steyn dkk., 2009), angka yang tidak berbeda jauh dengan MAR Indonesia dalam penelitian ini. Sedangkan di Negara Filipina rata-rata kecukupan zat gizi pada balita usia 24-71 bulan non ASI sebesar 33% (Kennedy, 2009), lebih rendah jika dibandingkan dengan Indonesia. Kecukupan zat gizi tertinggi di Indonesia terdapat di Provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 72,07%. Jika dibandingkan dengan rata-rata nilai MAR di Kota Bandung dari penelitian Marlina (2011) sebesar 71,61%, lebih rendah dibandingkan dengan penelitian ini namun tidak berbeda jauh. Hal ini dimungkinkan karena DKI Jakarta merupakan provinsi atau ibukota Indonesia, yang merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian Indonesia. Sama halnya dengan Kota Bandung yang juga merupakan salah satu kota besar di Indonesia dengan perekonomian yang cukup tinggi. Tingkat perekonomian masyarakat dapat mempengaruhi pola konsumsi dan asupan (Gilarso, 2007). Sedangkan provinsi dengan kecukupan zat gizi yang paling rendah yaitu Provinsi Maluku Utara. Hal ini dapat berkaitan dengan akses pangan di daerah timur Indonesia yang masih sulit di jangkau serta informasi terhadap gizi juga masih minim (World Food Programme, 2015).
78
D. Keragaman Konsumsi Pangan Balita Keragaman konsumsi pangan dinilai dengan menggunakan Dietary Diversity Score (DDS) dengan melihat 9 kelompok pangan. Berdasarkan hasil penelitian ini rerata skor DDS dari 3085 balita sebesar 5,29 kelompok pangan. Hal ini menunjukkan rerata balita mengkonsumsi sekitar 5 kelompok pangan dalam sehari. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Marlina (2011) menyatakan rerata DDS pada balita usia 24-59 bulan di Kota Bandung sebesar 5,67 kelompok pangan. Sedangkan hasil penelitian Kennedy (2009) diketahui rerata DDS pada anak usia 24-71 bulan yang tidak ASI di Filipina sebesar 4,91 kelompok pangan. Sedangkan hasil penelitian Steyn., dkk (2009) menunjukkan rerata DDS pada anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan sebesar 3,58 kelompok pangan. Hal ini menunjukkan keragaman konsumsi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Negara Filipina dan Afrika Selatan. Faktor sosial ekonomi menjadi salah satu penyebab keberagaman konsumsi pangan (Surachman dkk., 2013). Indonesia merupakan negara dengan keberagaman sosial ekonomi, budaya, adat istiadat, suku, dan agama yang beragam. Hal ini dapat menunjukkan terdapat banyaknya lapisan kelompok masyarakat mulai dari masyarakat dengan ekonomi sangat rendah sampai sangat tinggi (Moeis, 2008). Hal tersebut dapat menjadi salah satu penyebab keragamanan konsumsi pangan pada balita di Indonesia lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lainnya.
79
Jika dilihat berdasarkan provinsi sama halnya dengan kecukupan zat gizi, Provinsi DKI Jakarta juga merupakan provinsi dengan skor DDS tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 5,88. Seperti yang dikemukakan oleh Hardinsyah (2007) bahwa keadaan ekonomi berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Pada umumnya jika pendapatan meningkat, maka jumlah dan jenis makanan cenderung membaik juga (Perdana dkk., 2014). Provinsi DKI Jakarta dianggap sebagai provinsi dengan tingkat pendapatan penduduknya yang cukup tinggi dan merupakan kota besar dengan tingkat konsumsi tinggi pula hal ini yang dapat menyebabkan DKI Jakarta merupakan provinsi dengan keragaman konsumsi pangan dan kecukupan zat gizi tertinggi di Indonesia. Sedangkan provinsi dengan keragaman rendah yaitu Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan provinsi yang terletah di wilayah timur Indonesia. Akses terhadap sumber pangan di Papua masih rendah sehingga masih banyak balita dengan masalah kekurangan gizi (World Food Programme, 2015). Berdasarkan kelompok pangan yang terbanyak dikonsumsi yaitu kelompok serealia dan umbi-umbian sebesar 99,9%, kelompok lemak dan minyak sebesar 93,8%, kelompok daging hewani sebesar 76,2%, susu dan olahannya sebesar 55,2%, sedangkan kelima kelompok pangan lainnya dikonsumsi kurang dari 50%. Kelompok pangan yang dikonsumsi terendah yaitu kelompok pangan buah lainnya sebesar 26,1%. Kelompok pangan buah lainnya yang terdiri dari buah yang kaya akan vitamin C, (>18 mg vitamin C per 100 gr) serta buah yang tidak kaya baik vitamin A atau vitamin C. Hal ini juga dapat dilihat dari kecukupan terhadap vitamin C
80
yang masih dibawah 50% yaitu sebesar 45,44%. Jika balita mengalami kekurangan akan vitamin C dapat menyebabkan peradangan pada mulut, pendarahan pada gusi, dan nafsu makan menurun (Suhardjo, 2010). Vitamin C juga berfungsi sebagai daya tahan tubuh, dan usia balita merupakan usia yang rentan terhadap penyakit sehingga dengan konsumsi makanan yang bermanfaat bagi daya tahan tubuhnya sangat dibutuhkan. Kelompok pangan serealia seperti beras masih merupakan pangan utama pada penduduk Indonesia. Hasil laporan Badan Ketahanan Pangan (2014b) juga menyebutkan bahwa konsumsi beras atau kelompok pangan seralia merupakan kelompok pangan yang dominan dikonsumsi penduduk Indonesia. Anggapan bahwa “belum makan kalau belum makan nasi” masih berkembang di Indonesia, hal ini memungkinkan salah satu penyebab kelompok pangan serealia masih tinggi (Hanafie, 2010). Walaupun di beberapa daerah di Indonesia seperti di Papua yang mengonsumsi pangan pokok sagu, namun jenis makanan pokok tersebut masih merupakan kelompok pangan serealia dan umbi-umbian. Dapat dikatakan bahwa konsumsi kelompok pangan serealia dan umbi-umbian merupakan kelompok pangan yang terdiri dari pangan pokok balita seperti beras, jagung, singkong, sagu, tepung dan lainnya, hal ini yang menyebabkan konsumsi pada kelompok pangan serealia dan umbi-umbian tinggi sebesar 99,9%. Lain halnya dengan konsumsi kelompok pangan sayur dan buah yang masih rendah dikonsumsi pada balita. Kedua kelompok pagan ini
81
merupakan kelompok pangan yang masih rendah dikonsumsi oleh berbagai kelompok usia, tidak hanya pada balita (Aswatini, Noveria, & Fitranita, 2008). Karakteristik balita yang susah makan dan hanya ingin makan makanan yang disukainya dapat menjadi salah satu penyebab konsumsi sayur dan buah rendah. Selain itu, anak yang tidak suka makan sayur dan buah dapat disebabkan karena pengenalan pada kedua kelompok pangan tersebut kurang saat awal pengenalan makan pada bayi. Hal ini juga dikemukanan dalam buku Soenardi (2008) yang mengatakan jika saat pengenalan aneka ragam bahan makanan terganggu, suatu saat anak tidak kenal bahan makanan tertentu, dengan sendirinya anak menolak dan akan susah makan. Untuk itu, seorang ibu atau pengasuh anak perlu memperhatikan saat proses pertama pengenalan makan pada balita serta diperlukan keahlian dalam mengolah makanan agar balita tertarik untuk makan makanan yang tidak disukainya. Menurut Sharlin & Edelstein (2011), balita membutuhkan minimal 5 jenis pangan yang berbeda setiap harinya seperti pangan pokok (nasi, roti, pasta, sereal atau lainnya), sayuran, buah, susu dan olahannya, serta pangan sumber protein. Sedangkan dalam prinsip gizi seimbang yang dicanangkan oleh Kementrian Kesehatan RI, pada balita difokuskan mengkonsumsi pangan sumber protein seperti jenis pangan hewani, tahu, tempe, susu, dan telur. Selain itu dianjurkan pula untuk memperbanyak konsumsi sayur dan buah-buahan (Kemenkes, 2014). Jika dibandingkan dengan menggunakan DDS, maka minimal sebanyak 6 kelompok pangan yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan RI untuk usia balita. Berdasarkan jumlah jenis
82
pangan yang dikonsumsi dalam hasil penelitian ini, pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia menunjukkan masih kurangnya konsumsi pangan dari yang dianjurkan Kemenkes. Konsumsi pangan yang beragam sangat dibutuhkan agar tercukupinya zat gizi bagi tubuh, sehingga pengenalan terhadap makanan yang beragam bagi usia balita sangat diperlukan agar terbentuk kebiasaan mengkonsumsi makanan yang beragam. Dari hasil penelitian ini, jika dilihat kelompok pangan yang dikonsumsi berdasarkan skor DDS, pada skor DDS 7 hampir semua konsumsi kesembilan kelompok pangan lebih dari 50%, hanya konsumsi buah lainnya yang tidak mencapai 50%. Sedangkan pada skor DDS 8 atau 9, kesembilan konsumsi kelompok pangan sudah lebih dari 50%. Serupa dengan hasil penelitian Kennedy (2009) pada balita usia 24-71 bulan tidak ASI di Filipina yang menunjukkan pada skor DDS 7 atau lebih, konsumsi dari kesembilan kelompok pangan sudah lebih dari 50%. Hal ini menujukkan bahwa konsumsi keragaman pangan di Indonesia berdarakan skor DDS tidak berbeda jauh dengan keragaman konsumsi di Negara Filipina. E. Hubungan antara Dietary Diversity Score (DDS) dengan Mean Adequacy Ratio (MAR) pada Balita Keragaman konsumsi dapat dinilai dengan menggunakan Dietary Diversity Score (DDS) (FAO, 2010). Sedangkan penilaian kecukupan gizi dari beberapa zat gizi dapat menggunakan nilai Nutrient Adequacy Ratio (NAR) dan Mean Adequacy Ratio (MAR), dengan nilai MAR ini kita dapat
83
mengetahui kecukupan zat gizi secara keseluruhan dari yang diteliti (Gibson, 2005). Penelitian ini melihat hubungan antara DDS dengan kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui keragaman konsumsi dengan DDS berhubungan signifikan dengan kecukupan zat gizi secara keseluruhan. Serupa dengan hasil penelitian Marlina (2011) dan Steyn, dkk (2009) yang menunjukkan bahwa skor DDS berhubungan signifikan dengan kecukupan zat gizi. Hal ini sejalan dengan penjelasan FAO (2010) bahwa keragaman konsumsi pangan merupakan elemen kunci dari kualitas konsumsi dan mempertinggi kecukupan asupan dari zat gizi yang esensial. Jika kita mengkonsumsi pangan yang beragam, maka otomatis kualitas konsumsi kita meningkat dan mempertinggi kecukupan zat gizi. Keragaman konsumsi pangan diperlukan karena secara alami komposisi setiap jenis bahan pangan memiliki kelebihan dan kekurangan akan zat gizi tertentu, sehingga dengan mengonsumsi jenis pangan yang beragam, pangan satu dengan yang lainnya akan saling melengkapi sehingga asupan gizi kita tercukupi dengan baik (Pusat Penganekaragaman Pangan, 2013). Penelitian ini juga melihat kekuatan hubungan antara DDS dengan kecukupan zat gizi, diketahui terdapat hubungan yang sangat kuat antara DDS dengan MAR pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia dengan nilai r sebesar 0,771 hal ini menunjukkan hubungan antara DDS dengan MAR sangat kuat, yang artinya semakin meningkatnya DDS maka probabilitas
84
nilai MAR semakin bertambah. Selain itu, jika dilakukan penelitian untuk melihat hubungan antara DDS dengan MAR pada karakteristik yang berbeda pasti menunjukkan hubungan antara keduanya (Amran, 2012). Hasil penelitian sebelumnya oleh Marlina (2011) menunjukkan adanya hubungan yang sedang antara DDS dengan MAR pada balita usia 24-59 bulan di Kota Bandung dengan nilai r sebesar 0,354. Penelitian lainnya yang sejalan yaitu penelitian Kennedy (2009) yang menyatakan terdapat hubungan yang bersifat sedang antara DDS dengan Mean Probability of Adequate (MPA) atau MAR pada anak 24-71 bulan tidak ASI di Filipina dengan nilai r sebesar 0,36. Sedangkan penelitian Steyn., dkk (2009) pada anak usia 1-3 tahun di Afrika Selatan terdapat hubungan yang kuat dengan nilai r sebesar 0,617 antara DDS dengan MAR. Begitu pula pada usia 4-6 tahun terdapat hubungan yang kuat dengan nilai r sebesar 0,661 antara DDS dengan MAR. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keragaman konsumsi pangan dapat berhubungan dengan kecukupan zat gizi. Semakin beragam konsumsi pangan atau skor DDS maka nilai kecukupan zat gizi atau MAR semakin tinggi juga. Hal ini sejalan dengan teori yang di kemukakan Rah (2010) yang menyatakan konsumsi pangan yang beragam memberikan manfaat bagi seseorang terutama pada anak-anak, di antaranya dapat meningkatkan berat badan anak, meningkatkan kecukupan energi dan zat gizi lain sehingga mencapai tingkat kecukupan yang normal, memperbaiki status antropometri anak, serta meningkatkan konsentrasi
85
hemoglobin yang dapat mempengaruhi kecerdasan dan produktivitas anggota rumah tangga. F. Sensitivitas dan Spesifisitas Dietary Diversity Score (DDS) dalam Mengestimasi Kecukupan Zat Gizi pada Balita Tujuan utama dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui cut off points
yang
optimal
untuk
DDS
yang
dapat
digunakan
untuk
mengklasifikasi balita yang beresiko besar mengalami ketidakcukupan zat gizi (sensitivitas) yang diidentifikasi dengan nilai MAR. Selain itu, analisis ini juga memperhatikan tanpa kehilangan terlalu banyak kemampuan untuk mengklasifikasi balita dengan kecukupan zat gizi baik (spesifisitas). Nilai sensitivitas dan spesifisitas yang terbaik pada penelitian ini yaitu skor 5,5 untuk DDS dengan sensitivitas sebesar 76,7% dan spesifisitas sebesar 73,5% dengan menggunakan MAR 75% AKG. Nilai standar untuk MAR 75% AKG didapat dari rata-rata kecukupan zat gizi energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalisum, zat besi, dan zink. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi lebih dari 5 atau minimal 6 kelompok pangan berdasarkan DDS dapat mengestimasi kecukupan zat gizi sebesar 75% dari AKG sebanyak 73,5% dari balita di Indonesia. Sama halnya dengan penelitian sebelumnya oleh Marlina (2011) yang menyatakan bahwa skor 6 untuk DDS dapat mengestimasi kecukupan zat gizi lebih dari 70% AKG. Sedangkan di Afrika Selatan, cut off terbaik untuk mengestimasi kecukupan zat gizi sebesar 50% (MAR >50%) yaitu
86
skor DDS ≥4 (Steyn dkk., 2009). Cut off terbaik untuk Filipina sebesar 6 untuk mengestimasi kecukupan zat gizi sebesar 75% (Kennedy, 2009). Nilai sensitivitas dan spesifisitas dalam konsep skrining dibutuhkan nilai sensitivitas yang tinggi, hal ini dikarenakan nilai sensitivitas dapat mengidentifikasi seberapa besar kelompok yang menderita penyakit atau mengalami kekurangan zat gizi. Sedangkan dalam konsep penilaian uji suatu metode atau alat, diperlukan untuk melihat kedua nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dan tidak berbeda jauh, hal ini diperlukan untuk melihat seberapa besar alat atau metode tersebut dapat menilai kelompok yang mengalami kekurangan zat gizi serta menilai kelompok yang tidak mengalami kekurangan zat gizi (Morton et al., 2009). Dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji metode DDS, sehingga nilai sensitivitas dan spesifisitas yang dilihat merupakan nilai yang tinggi dan tidak berbeda jauh keduanya serta melihat nilai sensitivitas yang lebih tinggi dari nilai spesifisitas. Jika dilihat dengan nilai sensitivitas untuk mengskrining balita, maka dapat dikatakan bahwa konsumsi kurang dari 6 kelompok pangan, dapat mengidentifikasi sebesar 76,7% balita yang mengalami ketidakcukupan zat gizi sebesar kurang dari 75% AKG. Sedangkan pada penelitian sebelumnya, skor 6 dapat mengidentifikasi sebesar 55,2% balita yang mengalami ketidakcukupan zat gizi kurang dari 70% AKG (Marlina, 2011). Hasil penelitian ini menunjukkan angka yang lebih besar dalam mengestimasi ketidakcukupan zat gizi pada balita. Begitu pula dengan kemampuan untuk
87
mengestimasi kecukupan zat gizi baik atau nilai spesifisitas pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Artinya, semakin tinggi keragaman konsumsi pangan pada balita, maka semakin baik pula kecukupan zat gizi pada balita tersebut. Balita yang memiliki skor DDS kurang dari 6 dicurigai beresiko mengalami kekurangan zat gizi sebesar ≤75% dari AKG secara keseluruhan, walaupun terdapat kemungkinan sebesar 23,3% balita yang mengkonsumsi kurang dari 6 kelompok pangan tidak beresiko mengalami kekurangan zat gizi. Sebanyak 58,3% balita di Indonesia memiliki skor DDS kurang dari 6, hal ini menunjukkan sebagian besar konsumsi pangan pada balita masih kurang beragam. Artinya, sebagian besar balita di Indonesia beresiko mengalami kekurangan zat gizi sebesar ≤75% dari AKG. Penilaian keragaman konsumsi dengan menggunakan metode DDS dianggap sebagai metode yang mudah dan efisien untuk memperkirakan kecukupan gizi. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dimisalkan seorang tenaga kesehatan dapat melakukan recall 1x24 jam kepada ibu atau pengasuh balita kemudian mengelompokkan berdasarkan DDS. Hal ini dapat memudahkan tenaga kesehatan untuk mengidentifikasi kelompok balita mana yang beresiko kekurangan zat gizi dan membutuhkan penanganan secara cepat dengan menggunakan cut off ≥6 untuk skor DDS.
88
7
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang Sensitivitas Dan Spesifisitas
Dietary
Diversity
Score
(DDS)
Dalam
Mengestimasi
Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan Di Indonesia (Analisis Studi Diet Total Tahun 2014), didapatkan kesimpulan sebagai berikut. 1. Asupan zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi, dan zink) pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia masih kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi penduduk Indonesia. 2. Rata-rata kecukupan zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi, dan zink) pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia masih kurang. Hanya kecukupan protein yang paling tinggi sedangkan yang terendah adalah kecukupan kalsium. Kecukupan zat gizi secara keseluruhan dari ketujuh zat gizi tersebut sebesar 63,54% dari AKG. 3. Sebanyak 33,35% dari 3085 balita usia 24-59 bulan di Indonesia memiliki skor DDS 5. 4. Kelompok pangan serealia dan umbi-umbian merupakan kelompok pangan yang dikonsumsi paling banyak oleh balita usia 24-59 bulan di Indonesia, kemudian kelompok pangan lemak dan minyak merupakan kelompok pangan terbanyak kedua yang dikonsumsi.
89
5. Berdasarkan Dietary Diversity Score (DDS) pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia, skor 5 merupakan skor terbanyak dengan konsumsi kelompok yang lebih dari 50% yaitu kelompok pangan serealia dan umbi-umbian, lemak dan minyak, daging hewani (daging ternak, ungags, ikan, organ, dll), serta kelompok pangan susu dan olahannya. 6. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan skor DDS dan nilai kecukupan zat gizi dengan nilai MAR tertinggi. Sedangkan Provinsi Papua merupakan provinsi dengan skor DDS terendah dan Provinsi Maluku Utara merupakan provinsi dengan nilai MAR terendah. 7. Terdapat hubungan yang sangat kuat antara keragaman konsumsi pangan dengan skor DDS dengan kecukupan zat gizi dengan nilai MAR pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia 8. Skor ≥6 untuk DDS dapat mencukupi sebesar 76,7% sensitivitas dan 73,5% spesifisitas dalam mengestimasi kecukupan zat gizi (MAR) sebesar 75% AKG. Balita yang memiliki skor DDS baik, baik pula tingkat kecukupan zat gizinya.
90
B. SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang dapat disampaikan sebagai berikut. 1. Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengembangan progam Gizi Seimbang, mengingat masih terdapat provinsi-provinsi dengan konsumsi keberagaman pangan yang rendah. Diperlukan upaya dari berbagai sektor seperti pertanian, peternakan, serta kelautan dan perikanan sebagai sektor produksi agar sumber pangan di Indonesia semakin beragam dan mudah untuk diakses masyarakat khususnya kalangan menengah kebawah. Selain itu penilaian keberagaman konsumsi pangan pada tingkat individu dapat dengan menggunakan metode Dietary Diversity Score (DDS) dengan cut off ≥6 agar tercukupinya kebutuhan zat gizi sebesar 70% dari AKG. 2. Bagi Peneliti Lain Dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan meneliti faktor lainnya yang mempengaruhi kecukupan zat gizi pada balita yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Selain itu dapat dilakukan penelitian dengan karakteristik usia yang berbeda untuk mengetahui cut off terbaik pada kelompok usia lainnya.
91
DAFTAR PUSTAKA Adriani, M., & Wirjatmadi, B. (2012). Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta: Kencana Predana Media Group. Almatsier, S. (2010). Perinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Amran, Y. (2012). Pengolahan dan Analisis Data Statistik di Bidang Kesehatan. Tangerang Selatan: FKIK UIN Jakarta. Analia, D. (2009). Analisis Diversifikasi Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Sumatera Barat Menuju Pola Pangan Harapan (PPH). Universitas Andalas. Ariani, M. (2010). Analisis Konsumsi Pangan Tingkat Masyarakat Mendukung Pendapaian Diversifikasi Pangan. Gizi Indonesia, 33(1), 20–28. Aswatini, Noveria, M., & Fitranita. (2008). Konsumsi Sayur dan Buah di Masyarakat
dalam
Konteks
Pemenuhan
Gizi
Seimbang.
Jurnal
Kependudukan Indonesia, Ill(2), 97–119. Badan
Ketahanan
Pangan.
(2014a).
Panduan
Teknis
Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Pertanian RI. Badan
Ketahanan
Pangan.
(2014b).
Pedoman
Gerakan
Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Pertanian RI.
92
Balitbangkes. (2014). Pedoman Konversi Berat Matang-Mentah, Berat Dapat Dimakan (BDD) dan Resep Makanan Siap Saji dan Jajanan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Barasi, M. E. (2007). At a Glance Ilmu Gizi. Jakarta: Erlangga. Belitz, H. D., Grosch, W., & Schieberle, P. (2009). Food Chemistry. Heidelberg: Springer. http://doi.org/10.1007/978-3-540-69934-7 Bilinsky, P., & Swindale, A. (2006). Household Dietary Diversity Score ( HDDS ) for Measurement of Household Food Access : Indicator Guide (v.2). Washington, D.C: FANTA. Brown, J. E. (2011). Nutrition through the Life Cycle. Wadsworth: CENGAGE Learning. http://doi.org/10.1039/9781847559463 Chaudhury, R. H. (2006). Determinants of dietary intake and dietary adequacy for pre-school children in Bangladesh. Food and Nutrition Bulletin, 6(4). Crowle, J., & Turner, E. (2010). Childhood Obesity: An Economic Perspective. Melbourne: Productivity Commossion Staff Working Paper. Dahlan, S. (2009). Penelitian Diagnostik: Teori Dan Praktik Dengan SPSS Dan Stata. Jakarta: Salemba Medika. Daniels, M. C. (2006). Dietary Diversity as a Measure of Nutritional Adequacy Throughout Childhood. University of North Carolina. Departemen Kesehatan. (2009). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Depkes
93
Republik Indonesia. Depkes. (2007). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Fabbri, A. D. T., & Crosby, G. A. (2016). A review of the impact of preparation and cooking on the nutritional quality of vegetables and legumes. International Journal of Gastronomy and Food Science, 3, 2–11. http://doi.org/10.1016/j.ijgfs.2015.11.001 Fahmida, U., & Dillon, D. H. (2007). Handbook Nutritional Assessment. Jakarta: SEAMEO-TROPMED RCCN Universitas Indonesia. FANTA. (2006). Developing and Validating Simple Indicators of Dietary Quality and Energy Intake of Infants and Young Children in Developing Countries : Summary of findings from analysis of 10 data sets. Washington, D.C: USAID. FAO. (2010). Guidelines for measuring household and individual dietary diversity. Gibson, R. S. (2005). Principles of Nutritional Assessment. New York: Oxford University Press. Gilarso, T. (2007). Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro. Yogyakarta: Kanisius. Hamid, Y., Setiawan, B., & Suhartini. (2013). ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Kecamatan Tarakan Barat Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur). Jurnal AGRISE, 13(3), 1–16.
94
Hanafie, R. (2010). Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Retrieved
from
https://books.google.co.id/books?id=RQ_mXpuCl9oC&pg=PA269&dq=p angan+adalah&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjE_pCL263NAhWKso8KHd I4BUIQ6AEIGTAA#v=onepage&q=pangan adalah&f=false Hanani, N., Asmara, R., & Nugroho, Y. (2008). Analisis Diversifikasi Konsumsi Pangan Dalam Memantapkan Ketahanan Pangan Masyarakat Pedesaan. Jurnal AGRISE, 8(1). Hardinsyah. (2007). Riview Faktor Determinan Keragaman Konsumsi Pangan. Jurnal Gizi Dan Pangan, 2(2), 55–74. Hermina, & Prihatini, S. (2011). Gambaran Keragaman Makanan dan Sumbangannya Terhadap Konsumsi Energi Protein pada Anak Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Gizi Dan Makanan, 39(2), 62–73. Institude Of Medicine. (2005). Dietary Reference Intakes. Washington, D.C: National Academy Press. http://doi.org/10.17226/10490 Jayanti, L. D., Effendi, Y. H., & Sukandar, D. (2011). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Serta Perilaku Gizi Seimbang Ibu Kaitannya dengan Status Gizi dan Kesehatan Balita di Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Jurnal Gizi Dan Pangan, 6(3), 192–199. Kemenkes. (2014a). Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
95
Kemenkes. (2014b). Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kennedy, G. L. (2009). Evaluation of dietary diversity scores for assessment of micronutrient intake and food security in developing countries. Wageningen
University.
Retrieved
from
http://www.cabdirect.org/abstracts/20103004634.html Marlina, L. (2011). Sensitivitas dan Spesifisitas Indikator Keanekaragaman Konsumsi Makanan dalam Mengestimasi Tingkat Kecukupan Asupan Zat Gizi pada Anak Usia 24-59 Bulan di Kota Bandung. Universitas Indonesia. Marshall, J. (2009). Makanan Sumber Tenaga. Jakarta: Erlangga. Masriadi. (2012). Epidemiologi. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Meitasari, D. (2008). Analisis Determinan Keragaman Konsumsi Pangan Pada Keluarga Nelayan. Institut Pertanian Bogor. Michael, J., Gootman, J. A., & Kraak, V. I. (2006). Food Marketing to Children and
Youth.
Washington,
DC:
The
National
Academies
Press.
http://doi.org/10.17226/11514 Moeis, S. (2008). Analisis keanekaragaman kelompok sosial dalam masyarakat multikultural. Universitas Pendidikan Indonesia. Morton, R. F., Hebel, J. R., & McCarter, R. J. (2009). Epidemiologi dan Biostatistika: Panduan Studi, Ed. 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
96
EGC. Moursi, M. M., Arimond, M., Dewey, K. G., Treche, S., Ruel, M. T., & Delpeuch, F. (2008). Dietary Diversity Is a Good Predictor of the Micronutrient Density of the Diet of 6-23 Month-Old Children in Madagascar. The Journal
of
Nutrition,
11(September),
0–5.
http://doi.org/10.3945/jn.108.093971.promise Murphy, S. P., Yaktine, A. L., Suitor, C. W., & Moats, S. (2011). Child and Adult Care Food Program: Aligning Dietary Guidance for All. Washington, D.C: The National Academies Press. Pandi, E., & Wiakusumah. (2012). Panduan Lengkap Makanan Balita. Depok: Penebar Plus. Perdana, S. M., Hardinsyah, & Damayanthi, E. (2014). ALTERNATIF INDEKS GIZI SEIMBANG UNTUK PENILAIAN MUTU GIZI KONSUMSI PANGAN WANITA DEWASA INDONESIA. Jurnal, 9(1), 43–50. Pipes, P. L. (2001). Nutrition in Infancy and Childhood. United States: Times Mirror/Mosby College. Prabantini, D. (2010). A to Z Makanan Pendamping ASI. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Pusat Penganekaragaman Pangan. (2013). Pedoman Analisis Konsumsi Pangan Mandiri di Wilayah P2KP. Jakarta. Rah, J. H., Akhter, N., Semba, R. D., Pee, S. De, Bloem, M. W., Campbell, A. A.,
97
… Kraemer, K. (2010). Low dietary diversity is a predictor of child stunting in rural Bangladesh. European Journal of Clinical Nutrition, 64(12), 1393–1398. http://doi.org/10.1038/ejcn.2010.171 Retnaningsih, R. D. (2007). Faktor-faktor yang berhubungan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) pada Keluarga Petani Sawah Tadah Hujan. Universitas Negeri Semarang. Ruel, M. T. (2002). IS DIETARY DIVERSITY AN INDICATOR OF FOOD SECURITY OR DIETARY QUALITY ? A REVIEW OF MEASUREMENT ISSUES AND RESEARCH NEEDS. Washington, D.C. Rustanti, N. (2015). Buku Ajar Ekonomi Pangan dan Gizi. Yogyakarta: Deepublish.
Retrieved
from
https://books.google.co.id/books?id=UxlADAAAQBAJ&pg=PA134&dq= keragaman+konsumsi+pangan&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiDhd38gPL OAhUHr48KHZljC2cQ6AEIHzAB#v=onepage&q=keragaman konsumsi pangan&f=false Saparinto, Cahyo, & Hidayati, D. (2006). Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius. Selby, A. (2010). Makanan Berkhasiat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sharlin, J., & Edelstein, S. (2011). Essentials of Life Cycle Nutrition. Nutrition. Canada: David Cella. Simanjuntak, T. P. T. (2014). Komponen Gizi dan Terapi Pangan Ala Papua.
98
Yogyakarta: Deepublish. Soenardi, T. (2008). Variasi Makanan Balita: Kiat Atasi Masalah Makan pada Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Steyn, N. P., Nel, J. H., Nantel, G., Kennedy, G., & Labadarios, D. (2009). Food variety and dietary diversity scores in children : are they good indicators of dietary
adequacy ?
Public
Health
Nutrition,
9(5),
644–650.
http://doi.org/10.1079/PHN2005912 Suhardjo. (2010). Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Kanisius. Sultan, S. (2014). DETERMINANTS OF DIETARY ADEQUACY OF NUTRIENTS CONSUMPTION AMONG RURAL SCHOOL AGE CHILDREN. Asian Pac. J. Health Sci, 1(3), 227–232. Sundari, D., Almasyhuri, & Lamid, A. (2015). Pengaruh Proses Pemasakan Terhadap Komposisi Zat Gizi Bahan Pangan Sumber Protein. Media Litbangkes, 25(4), 235–242. Supariasa, I. D. N. (2010). Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Supriyanti, N. T., & Nindya, T. S. (2015). Hubungan Kecukupan Zat Gizi dan Dietary Diversity Scores (DDS) Dengan Status Gizi Balita Usia 12-59 Bulan di Desa Baban, Kecamatan Gapura, Sumenep. Universitas Airlangga.
99
Surachman, Kusrini, N., & Suyatno, A. (2013). SOCIAL-ECONOMIC FACTORS
EFFECTING
THE
DIVERSITY
OF
DIETARY
CONSUMPTION IN THE SELF SUFFICIENT DIETARY VILLAGE OF KUBU RAYA DISTRICT. Journal Social Economic of Agriculture, 2(2), 1–20. Thompson, J. (2006). Toddlercare: Pedoman Merawat Balita. Jakarta: Erlangga. Retrieved from https://books.google.co.id/books?id=5wC7yXCwndgC&p Torheim, L. E., Ouattara, F., Diarra, M. M., Thiam, F. D., Barikmo, I., Hatl, A., & Oshaug, A. (2004). Nutrient adequacy and dietary diversity in rural Mali : association and determinants. European Journal of Clinical Nutrition, 58, 594–604. http://doi.org/10.1038/sj.ejcn.1601853 Valentina, V., Palupi, N. S., & Andarwulan, N. (2014). ASUPAN KALSIUM DAN VITAMIN D PADA ANAK INDONESIA USIA 2 – 12 TAHUN [Calcium and Vitamin D Intake of Indonesian Children 2-12 Years Old]. J.Teknol.
Dan
Industri
Pangan,
25(1),
83–89.
http://doi.org/10.6066/jtip.2014.25.1.83 WHO. (2009). Global prevalence of vitamin A deficiency in populations at risk 1995-2005. Geneva: WHO. Wilson, T. A., Adolph, A. L., & Butte, N. F. (2009). Nutrient Adequacy and Diet Quality in Non-Overweight and Overweight Hispanic Children of Low Socioeconomic Status: The Viva la Familia Study. Journal of the American
Dietetic
Association,
109(6),
1012–1021.
100
http://doi.org/10.1016/j.jada.2009.03.007 World Food Programme. (2015). Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Papua 2015. Papua.
101
LAMPIRAN
102
Output Analisis Data Deskriptif jenis kelamin, usia, dan berat badan Statistics JK Valid
Kat_Usia
3085
3085
0
0
N Missing
JK Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
1
1606
52.1
52.1
52.1
2
1479
47.9
47.9
100.0
Total
3085
100.0
100.0
Kat_Usia Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
1
1974
64.0
64.0
64.0
2
1111
36.0
36.0
100.0
Total
3085
100.0
100.0
Descriptive Statistics N
Minimum
BB
3085
Valid N (listwise)
3085
Maximum
9.6
20.9
Mean
Std. Deviation
14.298
2.2709
Uji normalitas asupan zat gizi Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
energi
.043
3085
.000
.988
3085
.000
protein
.050
3085
.000
.983
3085
.000
vit_A
.067
3085
.000
.975
3085
.000
vit_C
.101
3085
.000
.934
3085
.000
Ca
.107
3085
.000
.915
3085
.000
Fe
.091
3085
.000
.952
3085
.000
Zn
.087
3085
.000
.985
3085
.000
a. Lilliefors Significance Correction
103
Deskriptif Asupan Zat Gizi Descriptive Statistics N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
energi
3085
355.3
1759.7
982.151
272.1168
protein
3085
3.0
66.3
27.339
10.9952
vit_A
3085
.0
779.1
293.068
151.0945
vit_C
3085
.0
72.4
19.052
14.9421
Ca
3085
13.2
1164.5
282.980
208.6957
Fe
3085
.4
12.4
4.369
2.1609
Zn
3085
.7
7.8
3.143
1.0819
Valid N (listwise)
3085
Uji Normalitas NAR dan MAR Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
NAR_energi
.061
3085
.000
.966
3085
.000
NAR_protein
.092
3085
.000
.975
3085
.000
NAR_vitA
.080
3085
.000
.969
3085
.000
NAR_vitC
.099
3085
.000
.937
3085
.000
NAR_Ca
.117
3085
.000
.921
3085
.000
NAR_Fe
.088
3085
.000
.950
3085
.000
NAR_Zn
.105
3085
.000
.968
3085
.000
MAR
.110
3085
.000
.921
3085
.000
a. Lilliefors Significance Correction
Deskriptif NAR dan MAR Descriptive Statistics N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
NAR_energi
3085
26.38
126.43
75.8195
16.35006
NAR_protein
3085
11.54
219.23
92.7932
32.29618
NAR_vitA
3085
.00
173.13
69.8884
35.31764
NAR_vitC
3085
.00
160.89
45.4373
35.23311
NAR_Ca
3085
2.03
116.54
36.9960
26.29744
NAR_Fe
3085
5.00
155.00
52.0290
25.04670
NAR_Zn
3085
17.50
160.00
71.8280
22.37629
MAR
3085
16.37
109.07
63.5416
20.40130
Valid N (listwise)
3085
104
Compare mean asupan zat gizi dengan kategori usia Report Kat_Usia
energi
Mean 1
2
vit_A
vit_C
Ca
Fe
Zn
854.883
23.201
267.925
17.443
252.449
3.918
2.804
1974
1974
1974
1974
1974
1974
1974
Std. Deviation
188.1517
8.1546
138.2601
13.6164
174.5910
1.9408
.8701
Mean
1208.278
34.690
337.743
21.910
337.227
5.172
3.746
1111
1111
1111
1111
1111
1111
1111
250.6460
11.5391
162.2627
16.6727
249.4493
2.2957
1.1567
982.151
27.339
293.068
19.052
282.980
4.369
3.143
3085
3085
3085
3085
3085
3085
3085
272.1168
10.9952
151.0945
14.9421
208.6957
2.1609
1.0819
N
N Std. Deviation Mean
Total
protein
N Std. Deviation
Deskriptif dan Proporsi DDS Descriptive Statistics N
Minimum
Skor_DDS
3085
Valid N (listwise)
3085
1
Maximum
Mean
9
Std. Deviation
5.29
1.307
Statistics Skor_DDS Valid
3085
N Missing Median
0 5.00
Skor_DDS Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
7
.2
.2
.2
2
47
1.5
1.5
1.8
3
188
6.1
6.1
7.8
4
529
17.1
17.1
25.0
5
1029
33.4
33.4
58.3
6
750
24.3
24.3
82.7
7
387
12.5
12.5
95.2
8
135
4.4
4.4
99.6
9
13
.4
.4
100.0
3085
100.0
100.0
Valid
Total
105
Frekuensi asupan berdasarkan kelompok pangan Statistics
Valid
dds_1
dds_2
dds_3
dds_4
dds_5
dds_6
dds_7
dds_8
dds_9
3085
3085
3085
3085
3085
3085
3085
3085
3085
0
0
0
0
0
0
0
0
0
N Missing
dds_1 Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Tidak Valid
3
.1
.1
.1
Ya
3082
99.9
99.9
100.0
Total
3085
100.0
100.0
dds_2 Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
0
735
23.8
23.8
23.8
1
2350
76.2
76.2
100.0
Total
3085
100.0
100.0
dds_3 Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
0
1381
44.8
44.8
44.8
1
1704
55.2
55.2
100.0
Total
3085
100.0
100.0
dds_4 Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
0
1625
52.7
52.7
52.7
1
1460
47.3
47.3
100.0
Total
3085
100.0
100.0
dds_5 Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
0
1743
56.5
56.5
56.5
106
1
1342
43.5
43.5
Total
3085
100.0
100.0
100.0
dds_6 Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
0
1595
51.7
51.7
51.7
1
1490
48.3
48.3
100.0
Total
3085
100.0
100.0
dds_7 Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
0
2280
73.9
73.9
73.9
1
805
26.1
26.1
100.0
3085
100.0
100.0
Total
dds_8 Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
0
1881
61.0
61.0
61.0
1
1204
39.0
39.0
100.0
Total
3085
100.0
100.0
dds_9 Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
0
190
6.2
6.2
6.2
1
2895
93.8
93.8
100.0
Total
3085
100.0
100.0
107
Crosstab skor DDS dengan kelompok pangan Skor_DDS * dds_1 Crosstabulation dds_1 Tidak Count
Total Ya
1
6
7
14.3%
85.7%
100.0%
2
45
47
4.3%
95.7%
100.0%
0
188
188
0.0%
100.0%
100.0%
0
529
529
0.0%
100.0%
100.0%
0
1029
1029
0.0%
100.0%
100.0%
0
750
750
0.0%
100.0%
100.0%
0
387
387
0.0%
100.0%
100.0%
0
135
135
0.0%
100.0%
100.0%
0
13
13
0.0%
100.0%
100.0%
3
3082
3085
0.1%
99.9%
100.0%
1 % within Skor_DDS Count 2 % within Skor_DDS Count 3 % within Skor_DDS Count 4 % within Skor_DDS Count Skor_DDS
5 % within Skor_DDS Count 6 % within Skor_DDS Count 7 % within Skor_DDS Count 8 % within Skor_DDS Count 9 % within Skor_DDS Count
Total % within Skor_DDS
Skor_DDS * dds_2 Crosstabulation dds_2 0 Count
Total 1
7
0
7
100.0%
0.0%
100.0%
38
9
47
80.9%
19.1%
100.0%
91
97
188
48.4%
51.6%
100.0%
182
347
529
34.4%
65.6%
100.0%
244
785
1029
1 % within Skor_DDS Count 2 % within Skor_DDS Skor_DDS
Count 3 % within Skor_DDS Count 4 % within Skor_DDS 5
Count
108
% within Skor_DDS
23.7%
76.3%
100.0%
113
637
750
15.1%
84.9%
100.0%
51
336
387
13.2%
86.8%
100.0%
9
126
135
6.7%
93.3%
100.0%
0
13
13
0.0%
100.0%
100.0%
735
2350
3085
23.8%
76.2%
100.0%
Count 6 % within Skor_DDS Count 7 % within Skor_DDS Count 8 % within Skor_DDS Count 9 % within Skor_DDS Count Total % within Skor_DDS
Skor_DDS * dds_3 Crosstabulation dds_3 0 Count
Total 1
6
1
7
85.7%
14.3%
100.0%
38
9
47
80.9%
19.1%
100.0%
158
30
188
84.0%
16.0%
100.0%
366
163
529
69.2%
30.8%
100.0%
508
521
1029
49.4%
50.6%
100.0%
225
525
750
30.0%
70.0%
100.0%
66
321
387
17.1%
82.9%
100.0%
14
121
135
10.4%
89.6%
100.0%
0
13
13
% within Skor_DDS
0.0%
100.0%
100.0%
Count
1381
1704
3085
44.8%
55.2%
100.0%
1 % within Skor_DDS Count 2 % within Skor_DDS Count 3 % within Skor_DDS Count 4 % within Skor_DDS Count Skor_DDS
5 % within Skor_DDS Count 6 % within Skor_DDS Count 7 % within Skor_DDS Count 8 % within Skor_DDS Count 9
Total % within Skor_DDS
109
Skor_DDS * dds_4 Crosstabulation dds_4 0 Count
Total 1
7
0
7
100.0%
0.0%
100.0%
47
0
47
100.0%
0.0%
100.0%
160
28
188
85.1%
14.9%
100.0%
385
144
529
72.8%
27.2%
100.0%
604
425
1029
58.7%
41.3%
100.0%
308
442
750
41.1%
58.9%
100.0%
94
293
387
24.3%
75.7%
100.0%
20
115
135
14.8%
85.2%
100.0%
0
13
13
% within Skor_DDS
0.0%
100.0%
100.0%
Count
1625
1460
3085
52.7%
47.3%
100.0%
1 % within Skor_DDS Count 2 % within Skor_DDS Count 3 % within Skor_DDS Count 4 % within Skor_DDS Count Skor_DDS
5 % within Skor_DDS Count 6 % within Skor_DDS Count 7 % within Skor_DDS Count 8 % within Skor_DDS Count 9
Total % within Skor_DDS
Skor_DDS * dds_5 Crosstabulation dds_5 0 Count
Total 1
7
0
7
100.0%
0.0%
100.0%
45
2
47
95.7%
4.3%
100.0%
168
20
188
89.4%
10.6%
100.0%
406
123
529
76.7%
23.3%
100.0%
642
387
1029
62.4%
37.6%
100.0%
1 % within Skor_DDS Count 2 % within Skor_DDS Count Skor_DDS
3 % within Skor_DDS Count 4 % within Skor_DDS Count 5 % within Skor_DDS
110
Count
337
413
750
44.9%
55.1%
100.0%
115
272
387
29.7%
70.3%
100.0%
23
112
135
17.0%
83.0%
100.0%
0
13
13
% within Skor_DDS
0.0%
100.0%
100.0%
Count
1743
1342
3085
56.5%
43.5%
100.0%
6 % within Skor_DDS Count 7 % within Skor_DDS Count 8 % within Skor_DDS Count 9
Total % within Skor_DDS
Skor_DDS * dds_6 Crosstabulation dds_6 0 Count
Total 1
7
0
7
100.0%
0.0%
100.0%
36
11
47
76.6%
23.4%
100.0%
162
26
188
86.2%
13.8%
100.0%
360
169
529
68.1%
31.9%
100.0%
589
440
1029
57.2%
42.8%
100.0%
329
421
750
43.9%
56.1%
100.0%
100
287
387
25.8%
74.2%
100.0%
12
123
135
8.9%
91.1%
100.0%
0
13
13
% within Skor_DDS
0.0%
100.0%
100.0%
Count
1595
1490
3085
51.7%
48.3%
100.0%
1 % within Skor_DDS Count 2 % within Skor_DDS Count 3 % within Skor_DDS Count 4 % within Skor_DDS Count Skor_DDS
5 % within Skor_DDS Count 6 % within Skor_DDS Count 7 % within Skor_DDS Count 8 % within Skor_DDS Count 9
Total % within Skor_DDS
Skor_DDS * dds_7 Crosstabulation dds_7 0 Skor_DDS
1
Count
Total 1
7
0
7
111
% within Skor_DDS
100.0%
0.0%
100.0%
44
3
47
93.6%
6.4%
100.0%
173
15
188
92.0%
8.0%
100.0%
480
49
529
90.7%
9.3%
100.0%
809
220
1029
78.6%
21.4%
100.0%
513
237
750
68.4%
31.6%
100.0%
209
178
387
54.0%
46.0%
100.0%
45
90
135
33.3%
66.7%
100.0%
0
13
13
% within Skor_DDS
0.0%
100.0%
100.0%
Count
2280
805
3085
73.9%
26.1%
100.0%
Count 2 % within Skor_DDS Count 3 % within Skor_DDS Count 4 % within Skor_DDS Count 5 % within Skor_DDS Count 6 % within Skor_DDS Count 7 % within Skor_DDS Count 8 % within Skor_DDS Count 9
Total % within Skor_DDS
Skor_DDS * dds_8 Crosstabulation dds_8 0 Count
Total 1
7
0
7
100.0%
0.0%
100.0%
43
4
47
91.5%
8.5%
100.0%
164
24
188
87.2%
12.8%
100.0%
431
98
529
81.5%
18.5%
100.0%
682
347
1029
66.3%
33.7%
100.0%
410
340
750
54.7%
45.3%
100.0%
134
253
387
34.6%
65.4%
100.0%
10
125
135
1 % within Skor_DDS Count 2 % within Skor_DDS Count 3 % within Skor_DDS Count 4 Skor_DDS
% within Skor_DDS Count 5 % within Skor_DDS Count 6 % within Skor_DDS Count 7 % within Skor_DDS 8
Count
112
% within Skor_DDS
7.4%
92.6%
100.0%
0
13
13
% within Skor_DDS
0.0%
100.0%
100.0%
Count
1881
1204
3085
61.0%
39.0%
100.0%
Count 9
Total % within Skor_DDS
Skor_DDS * dds_9 Crosstabulation dds_9 0 Count
Total 1
7
0
7
100.0%
0.0%
100.0%
36
11
47
76.6%
23.4%
100.0%
52
136
188
27.7%
72.3%
100.0%
35
494
529
6.6%
93.4%
100.0%
38
991
1029
3.7%
96.3%
100.0%
15
735
750
2.0%
98.0%
100.0%
5
382
387
1.3%
98.7%
100.0%
2
133
135
1.5%
98.5%
100.0%
0
13
13
0.0%
100.0%
100.0%
190
2895
3085
6.2%
93.8%
100.0%
1 % within Skor_DDS Count 2 % within Skor_DDS Count 3 % within Skor_DDS Count 4 % within Skor_DDS Count Skor_DDS
5 % within Skor_DDS Count 6 % within Skor_DDS Count 7 % within Skor_DDS Count 8 % within Skor_DDS Count 9 % within Skor_DDS Count
Total % within Skor_DDS
Compare mean DDS dan MAR tiap provinsi Report B1R1
Skor_DDS Mean
11
N Std. Deviation Mean
12
N Std. Deviation
MAR
5.35
65.3016
99
99
1.155
16.78909
5.35
61.3954
82
82
1.364
18.26599
113
Mean 13
4.87
56.0990
87
87
1.149
20.90751
4.95
56.6870
83
83
1.378
19.93870
4.84
54.0247
70
70
1.175
18.41711
4.73
53.8053
95
95
1.153
16.89620
5.02
60.0803
94
94
1.376
21.59542
Mean
5.13
61.0884
N
105
105
1.225
21.35952
5.16
65.2840
97
97
1.067
18.38694
4.81
58.3227
95
95
1.386
21.22585
Mean
5.88
72.0738
N
113
113
1.226
16.71675
Mean
4.89
56.2463
N
116
116
1.297
21.30211
Mean
5.21
62.4367
N
107
107
1.244
21.16939
Mean
5.71
68.6656
N
112
112
1.211
16.22313
5.56
68.3162
79
79
1.152
16.93961
Mean
5.80
71.6814
N
123
123
N Std. Deviation Mean
14
N Std. Deviation Mean
15
N Std. Deviation Mean
16
N Std. Deviation Mean
17
N Std. Deviation
18
Std. Deviation Mean 19
N Std. Deviation Mean
21
N Std. Deviation
31
Std. Deviation
32
Std. Deviation
33
Std. Deviation
34
Std. Deviation Mean 35
N Std. Deviation
36
114
Std. Deviation
51
1.199
16.20782
Mean
5.78
70.1702
N
110
110
1.252
17.67726
5.45
64.5483
92
92
1.354
20.19523
5.78
70.7119
82
82
1.228
14.70119
5.73
67.3368
95
95
1.387
19.95976
Mean
5.39
63.8224
N
110
110
1.321
21.69835
5.49
69.8450
79
79
1.131
17.87324
Mean
5.55
67.8527
N
108
108
1.342
22.20442
5.61
68.7208
84
84
1.242
21.26590
5.53
66.1721
79
79
1.357
20.98004
Mean
5.19
63.7762
N
108
108
1.315
21.42625
5.38
68.6101
96
96
1.283
19.31618
Mean
5.41
68.4822
N
113
113
1.041
17.37543
4.95
61.9521
92
92
Std. Deviation
.869
19.23314
Mean
5.05
58.0049
Std. Deviation Mean 52
N Std. Deviation Mean
53
N Std. Deviation Mean
61
N Std. Deviation
62
Std. Deviation Mean 63
N Std. Deviation
64
Std. Deviation Mean 71
N Std. Deviation Mean
72
N Std. Deviation
73
Std. Deviation Mean 74
N Std. Deviation
75
Std. Deviation Mean 76
81
N
115
N
102
102
1.465
23.49679
4.69
51.8835
94
94
1.559
22.69347
4.85
52.5894
52
52
1.144
20.52995
4.66
53.0967
32
32
1.677
23.90139
Mean
5.29
63.5416
N
3085
3085
Std. Deviation
1.307
20.40130
Std. Deviation Mean 82
N Std. Deviation Mean
91
N Std. Deviation Mean
94
N Std. Deviation
Total
Analisis korelasi DDS dengan kecukupan zat gizi Correlations Skor_DDS Correlation Coefficient Skor_DDS
1.000
Sig. (2-tailed)
.598
**
.
.000
N
3085
3085
Correlation Coefficient
.598
**
1.000
Sig. (2-tailed)
.000
.
N
3085
3085
Skor_DDS
NAR_protein
Spearman's rho NAR_energi
NAR_energi
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Correlations
Correlation Coefficient Skor_DDS
1.000
Sig. (2-tailed)
**
.
.000
3085
3085
**
1.000
Sig. (2-tailed)
.000
.
N
3085
3085
N Spearman's rho Correlation Coefficient NAR_protein
.624
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
.624
116
Correlations Skor_DDS Correlation Coefficient Skor_DDS
1.000
Sig. (2-tailed)
.672
**
.
.000
N
3085
3085
Correlation Coefficient
.672
**
1.000
Sig. (2-tailed)
.000
.
N
3085
3085
Spearman's rho NAR_vitA
NAR_vitA
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Correlations Skor_DDS Correlation Coefficient Skor_DDS
1.000
Sig. (2-tailed)
.487
**
.
.000
3085
3085
**
1.000
Sig. (2-tailed)
.000
.
N
3085
3085
N Spearman's rho Correlation Coefficient NAR_vitC
NAR_vitC
.487
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Correlations Skor_DDS Correlation Coefficient Skor_DDS
1.000
Sig. (2-tailed)
.565
**
.
.000
3085
3085
**
1.000
Sig. (2-tailed)
.000
.
N
3085
3085
N Spearman's rho Correlation Coefficient NAR_Ca
NAR_Ca
.565
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Correlations Skor_DDS Correlation Coefficient Skor_DDS
1.000
Sig. (2-tailed)
.673
**
.
.000
N
3085
3085
Correlation Coefficient
.673
**
1.000
Sig. (2-tailed)
.000
.
N
3085
3085
Spearman's rho NAR_Fe
NAR_Fe
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
117
Correlations Skor_DDS Correlation Coefficient Skor_DDS
1.000
Sig. (2-tailed)
.656
**
.
.000
N
3085
3085
Correlation Coefficient
.656
**
1.000
Sig. (2-tailed)
.000
.
N
3085
3085
Spearman's rho NAR_Zn
NAR_Zn
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Correlations Skor_DDS Correlation Coefficient Skor_DDS
1.000
Sig. (2-tailed)
.771
**
.
.000
3085
3085
**
1.000
Sig. (2-tailed)
.000
.
N
3085
3085
N Spearman's rho Correlation Coefficient MAR
MAR
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Compare mean skor DDS dengan MAR Report MAR Skor_DDS
Mean
N
Std. Deviation
1
24.2813
7
3.62849
2
27.3462
47
4.32282
3
29.1010
188
4.81667
4
35.1488
529
6.03310
5
68.2467
1029
11.13572
6
76.0948
750
9.63084
7
79.5521
387
8.77324
8
83.3724
135
7.77783
9
89.7799
13
5.12666
Total
63.5416
3085
20.40130
.771
118
Analisis ROC Case Processing Summary MAR_75
Valid N (listwise)
a
1956
Negative
1129
Positive
Smaller values of the test result variable(s) indicate stronger evidence for a positive actual state. a. The positive actual state is 1.
Area Under the Curve Test Result Variable(s): Skor_DDS Area
Std. Error
a
Asymptotic Sig.
b
Asymptotic 95% Confidence Interval Lower Bound
.823
.007
.000
.808
Upper Bound .837
The test result variable(s): Skor_DDS has at least one tie between the positive actual state group and the negative actual state group. Statistics may be biased. a. Under the nonparametric assumption b. Null hypothesis: true area = 0.5
119
Coordinates of the Curve Test Result Variable(s): Skor_DDS Positive if Less
Sensitivity
1 - Specificity
Than or Equal To
a
.00
.000
.000
1.50
.004
.000
2.50
.028
.000
3.50
.124
.000
4.50
.394
.000
5.50
.767
.265
6.50
.934
.641
7.50
.990
.887
8.50
1.000
.988
10.00
1.000
1.000
The test result variable(s): Skor_DDS has at least one tie between the positive actual state group and the negative actual state group. a. The smallest cutoff value is the minimum observed test value minus 1, and the largest cutoff value is the maximum observed test value plus 1. All the other cutoff values are the averages of two consecutive ordered observed test values.
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132