Seni Pedhalangan
WAYANG PURWA
DR. PURWADI, M.HUM
JAKARTA 2007
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I DALANG SEBAGAI GURU MASYARAKAT A. Pengetahuan Tentang Kehidupan B. Dalang Terkenal Jaman Mataram C. Waton Pedalangan Kuna D. Babading Pandawa E. Wukir Gandamana F. Aji Darma Batara Surya G. Pustakaraja Purwa
BAB II PERLENGKAPAN DAN PIRANTI PERTUNJUKAN A. Menyimpan Kotak Wayang B. Tata Cara Simpingan C. Menjaga Kebersihan Wayang D. Susunan Lapisan Eblek E. Mustika Bambang Manungkara
BAB III WANDA WAYANG PURWA A. Sumpingan Sebelah Kanan B. Sumpingan Sebelah Kiri C. Wayang Dudahan D. Para Jawata E. Para Ratu Sabrang F. Wayang Ricikan
BAB IV NEGARA, KAHYANGAN DAN KASATRIYAN A. Para Narendra dan Negara B. Negara Sabrang C. Kediaman Para Satriya D. Pertapaan Para Pandita E. Kahyangan para Jawata
BAB V BENTUK WAYANG PURWA A. Gambaran Tentang Watak B. Macam-macam Wayang C. Wayang Kulit di Jaman Islam D. Candra Sangkala Memet E. Golongan-Golongan Bentuk Wayang F. Tentang Mata Wayang G. Bentuk Hidung Wayang
BAB VI JENIS-JENIS PEMENTASAN WAYANG A. Wayang Panggungan B. Wayang Dugangan dan Ricikan C. Wayang Buta Prepatan D. Wayang Sangkuk E. Ukuran Wayang F. Wayang Dolanan
BAB VII PENJELASAN SERAT SASTRAMIRUDA A. Wayang Ron Tal
B. Wayang Beber C. Serat Dasanamajarwa D. Nama Sebutan Pandita E. Wayang Srambahan F. Penggolongan Dudahan Wayang
BAB VIII MENATA WAYANG PURWA A. Digunakan dalam Hajatan B. Sumping Sekar Melati C. Menyumping Cara Pedesaan D. Menyumping Cara Pesisir E. Memajang Wayang
BAB IX PAKEM RADYA PUSTAKA A. Tata Letak Sebelah Kanan B. Tata Letak Sebelah Kiri C. Golongan para Kurawa D. Golongan Putran E. Golongan Para Tapa F. Golongan Patih dan Punggawa G. Golongan para Danawa
BAB X PENGETAHUAN TENTANG RICIKAN WAYANG A. Wayang Ricikan B. Macam-macam senjata C. Wayang Katongan D. Penyumping atau Paniti
E. Posisi Penyumping F. Sabetan Wayang
BAB XI DASAR-DASAR ETIKA PEDHALANGAN A. Keindahan Adiluhung B. Gapit Wayang C. Gending untuk Pewayangan D. Dalang Sejati, Purba Wasesa E. Pakem Blangkon BAB XII LAKON KANOMAN DAN KASEPUHAN A. Lakon Wetanan B. Lakon Jejer C. Bahasa Pedalangan D. Bahasa Kedaton E. Bahasa Kasar F. Kitab-Kitab Pewayangan G. Lakon-Lakon Pasemon BAB XIII PAKEM WAYANG SEBAGAI TUNTUNAN PEDHALANGAN A. Gelar Ratu Jaman Purwa B. Silsilah para Pandawa C. Wayang Jaman Kartasura D. Wayang Punakawan E. Wayang dan Kehidupan Manusia F. Sama, Beda, Dana, Denda G. Pulung, Wahyu dan Andaru H. Awal Mula Adanya Wayang Kulit
BAB XV PEMENTASAN BERBAGAI JENIS WAYANG A. Wayang Beber Majapahit B. Wayang Angkrok Sarapada C. Wayang Geculan Gentong Lodong D. Wayang Geculan Gonjing Miring E. Wayang Dagelan Cenguris F. Tembung dan Tembang Kawi G. Upacara Keprabon
BAB XVI PATI BASA DHALANG PURBA A. Basa Isbat B. Delapan Golongan Manusia C. Wayang Sebagai Tontonan D. Gambaran Wayang Semar E. Wayang Kyai Jimat F. Wayang Kyai Kadung G. Wayang Kyai Dewa Katong H. Makuta Topong DAFTAR PUSTAKA BIOGRAFI PENULIS
BAB I DALANG SEBAGAI GURU MASYARAKAT
A. Pengetahuan Tentang Kehidupan Dalang hanyalah menggambarkan keadaan lelakon saja meskipun kadang juga melagukannya, tapi intinya adalah harus bisa melestarikan. Dalang itu seperti guru, semakin banyak pengetahuannya tentang kehidupan, kesusilaan, dan keutamaan maka akan semakin baik. Kebanyakan dalang itu hanya keturunan. Yang diperhatikan hanya yang berhubungan dengan pekerjaan. Seperti dagangan, hanya menuruti keinginan pasar sehingga sering berubah-ubah. Kalau dalang itu memberi ilmu dan wejangan yang jadi tuntunan. Padahal sesungguhnya dalang itu adalah guru kesusilaan, tatakrama, keluhuran watak dan budi. Kewajiban dalang itu harus bisa menerangkan pentingnya pengetahuan pedalangan yang berhubungan dengan kehidupan serta bagaimana menjalaninya. Harus bisa mengetahui bermacam-macam pengetahuan pedalangan bab bahasa, gending, gendeng, kesusilaan, tatakrama, dan subasita. Para dalang harus mengetahui bermacam-macam cara menghargai pada sesama dalang karena sangat perlu untuk menumbuhkan rasa persaudaraan. Perbedaan cara memainkan wayang jangan sampai menjadi kendala, tidak perlu saling menjelekkan cara masing-masing. Yang lebih penting, pedalangan itu bisa hidup, bisa terasa dalam hati, jelas dalam memainkan lakon dan dalam menjalankannya agar bisa menjadi contoh yang baik.
B. Dalang Terkenal Jaman Mataram Nama-nama para Dalang yang terkenal di Mataram ketika jaman Kanjeng Susuhunan Sultan Agung Anyakrakusuma ada empat: Ki Widiguna, dalang dari Bantul, menantu Ki Lebdapura keturunan dalang daleman, dari desa Jodog Giripura, adalah dalang wayang purwa. Ki Cermanasa, orang asli dari desa Wanamarta sebelah selatan Majakerta, Jawa Timur, dalang wayang purwa. Ki Widileksana, orang asli dari desa Bahrawa, aslinya orang dari Pajang, anak dari Ki Redilata keturunan Ki Citralata, pada waktu itu kondang sebagai dalang bagong. Ki Tur Krucil, orang asli Kediri, sebenarnya orang dari Blambangan keturunan dalang Krucil yang bernama Ki Etur, dalang wayang klitik (wayang kayu).
C. Waton Pedalangan Kuna Setelah itu Ki Dalang Sandiguna mulai memainkan wayang dengan lakon Makukuhan, suluknya sesuai, ceritanya jelas, baik dalam memainkan wayang seirama dengan laras gending, iramanya runtut tidak ada yang salah. Tabuhan wayang yang tanpa gending, artinya hanya dengan gending playon, yaitu sampak, srepegan, ayak-ayakan, itu dinamakan beber bango mati. Cerita jaman para Kurawa itu mungkin cerita yang tersebut dalam serat Mahabarata yang masih asli, yang tidak terlalu menjelek-jelekkan para Kurawa. Cerita-cerita kuna tersebut nantinya terbalik 180 derajat, hanya untuk memujimuji pada Pandawa padahal sebenarnya Pandawalah yang jelek, Pandawa selalu dibuat unggul, Kurawa dibuat kalah. Tapi pembalikan tersebut tidak bisa
sempurna seratus persen, masih kelihatan aslinya. Makanya dalam serat Mahabarta, kalau sedang menceritakan kemenangan Kurawa jadi kelihatan aneh. Dalam pedalangan, keunggulan para Kurawa itu diceritakan dalam lakon Caluntang. Lakon Caluntang Gendrehkemasan rara Temon.
Negara Amarta
ditundukkan oleh Sang Hadipati Karna, Pandawa melarikan diri ke negara Wirata. Negara Dwarawati ditundukkan Prabu Baladewa, lalu sang Prabu Anom Wisnubrata (Samba) mengungsi ke negara Wirata.
D. Babading Pandawa Nama para ratu yang membantu Pandawa dalam perang Baratayuda. 1. Prabu Matswapati ratu negara Wirata 2. Prabu Drupada ratu negara Pancalareja 3. Prabu Kresna ratu negara Dwarawati 4. Prabu Kuntiboja ratu negara Mandura 5. Prabu Drestaketu ratu negara Cedi 6. Prabu Pandya ratu negara Mandura Kidul 7. Prabu Rukmi (Bismaka) ratu negara Kumbina 8. Prabu Hiranjawarma ratu negara Dasarna 9. Prabu Setyaki ratu negara Nglesanpura dan bangsa Satwata 10. Prabu Jarasanda ratu negara Manggada dan putranya Jayatsena 11. Ratu negara Kasi mertua Raden Werkudara
Nama para ratu yang membantu para Kurawa dalam perang Baratayuda 1. Prabu Karna ratu negara Wangga (Ngawonggo) 2. Prabu Salya ratu negara Madras (Mandaraka) 3. Prabu Sumarma ratu negara Trigarta 4. Prabu Citranggada ratu negara Kalingga 5. Prabu Bagadatta ratu negara Pradyatista (Sriwantipura) 6. Prabu Burisrawa ratu negara Bahlika, putranya prabu Samadatta 7. Prabu Sinduraja (Jayadrata) ratu negara Sindu
Sedangkan yang menjadi gegedug perang di negara Astina yaitu: 1. Resi Bisma di Tulkanda 2. Resi Durna di Sokalima 3. Haswatama di Sokalima 4. Harya Sangkuni di Plasajenar 5. Prabu Salya di negara Mandaraka 6. Prabu Karna di negara Wangga (Ngawonggo) 7. Prabu Sinduraja (Jayadrata) di negara Sindu tanah Keling.
Sedangkan yang bukan gegedug, artinya perangnya hanya keroyokan saja: 1. Prabu Gardapati ratu negara Kasapta 2. Prabu Wresaya ratu negara Lokapura Prabu Pratipeya, Prabu Pratipa, Prabu Santyswara dan prabu Hardawalika raja ular, mereka berperang keroyokan.
Nama tetabuhan yang digunakan sebagai tanda perang di jaman kuna: 1. Gurnang 2. Gubar 3. Puksur 4. Teteg 5. Kendang 6. Bende 7. Gong beri 8. Tong-tonggrit
Kurusetra atau Tegal Kuru Kurusetra atau Tegalkuru artinya adalah tanah di tengah desa, yaitu tempat yang dijadikan sebagai ajang perang para Kurawa melawan dan Pandawa.
Nama gelar perang ketika jaman purwa 1. Mangkabyuha yaitu yang dinamakan gelar Supit urang 2. Kagapati yaitu yang dinamakan gelar Garuda nglayang 3. Hardacandra yaitu yang dinamakan gelar Bulan tumanggal 4. Drihanjala yaitu yang dinamakan gelar Emprit aneba 5. Limbungan yaitu yang dinamakan gelar Lulumbungan 6. Diradhameta yaitu yang dinamakan gelar Liman angrok 7. Bajratikna yaitu yang dinamakan gelar Hanggada lungit
8. Padmanaba yaitu yang dinamakan gelar Tunjung Karoban 9. Dumuk angun-angun, yaitu yang dinamakan gelar Banteng ngamuk 10. Naga mangangkang yaitu yang dinamakan gelar naga ngakak 11. Cakraswandana yaitu yang dinamakan gelar Gilingan rata 12. Wukir jaladri yaitu yang dinamakan gelar seganten ardi 13. Samodra pasang yaitu yang dinamakan gelar saganten banjir 14. Durga marusit yaitu yang dinamakan gelar Jurang shidung Kalasangka (terompet di jaman kuna) dinamakan Dewadata, milik Raden Harjuna dan ditiup sebagai tanda perang Baratayuda. Ratagotaka, artinya kereta Gerobak yang ditarik oleh gajah, tunggangan pasukan raseksa (buta).
Nama busana yang dipakai para nata di jaman purwa 1. Makuta ganduwara 2. Bukasri marcukundo 3. Cacantang hendrakala 4. Jajamang hendrakala 5. Dawala talipraba 6. Karawista hendrabajra 7. Calumpring pujangkara 8. Sumping tambara 9. Sangsangan triujung 10. Tebahjaja sulardi 11. Praba kutibajra
12. Kawaca gardawari 13. Padaka gandawari 14. Sengkang bama 15. Binggel walmembuat 16. Gelang bauwarna 17. Karoncong karawali Itu semua menurut serat Pustakaraja Purwa.
Nama Rasa 1. Sarkara : manis 2. Madura : manis 3. Dura : asin 4. Lawana : asin 5. Lona : pedas 6. Katuka : pedas 7. Kayasa : sepet 8. Amla : kecut 9. Tikta : pahit
E. Wukir Gandamana Raden
Wibisana
setelah
menjadi
ratu
di
Ngalengkadiraja
atau
Ngalengkapura, lalu bergelar bergelar Prabu Wibisana. Negara Ngalengka lalu diganti namanya menjadi negara Singgelapura. Sang prabu Wibisana memiliki
dua putra, yang tua adalah seorang wanita bernama Dewi Trijata, yang muda lakilaki bernama raden Bisawarna. Setelah menggantikan menjadi ratu bergelar Prabu Bisawarna, juga di negara Singgelapura. Dewi Trijata sampai tua ikut dengan kapi Jembawan atau resi kapi Jembawan yang berpadepokan di wukir Gandamana. Sang Dewi selalu memohon pada sang Resi untuk mendapat keturunan. Permohonan sang Resi pada Jawata tulus dari dalam hati, siang dan malam selalu berdoa supaya segera diberi keturunan. Atas kekuasaan Dewa, permintaan sang dewi bisa dilaksanakan tetapi dengan syarat harus mengabdi ke negara Astina. Dewa memerintahkan agar meminta petunjuk pada raja di Astina. Setelah menghadap ke negara Astina, Sang prabu Pandudewayana melihat sang Retna Trijata, seketika kasmaran sampai ke dalam hati dan setelah itu terlaksanalah apa yang menjadi permintaan sang dewi. Setelah mengandung tiga bulan lalu dibawa kembali ke Gandamadana oleh resi Kapi Jembawan. Setelah tiba saatnya, sang dewi melahirkan seorang putri perempuan diberi nama dewi Jembawati atau Endang Jembawati. Dewi Jembawati masih bersaudara dengan para Pandwa, tapi lain ibu satu ayah. Dewi Jembawati menikah dengan Kresna yang masih bersaudara, dengan Wara Sumbadra adalah kakak ipar. Dewi Jembawati itu masih keponakan Pandudewanata yang merupakan kakak ipar Prabu Bisawarna di Singgelapura. Makanya dalam lakon Partakrama, permintaan Wara Sumbadra pada prabu Yudistira, arak-arakan pengantin laki-laki dari Amarta ke Dwarawati, pengantin laki-laki harus naik Rata Kancana, yaitu kereta keprabon serta panggih panganten dalam dari domas bale kancana. Sang Prabu Yudistira setelah mendengar
permintaan pengantin putri seperti itu, merasa tidak bisa melaksanakan karena dirasa kalau negaranya kecil, tidak akan sanggup mewujudkan permintaan tersebut. Seketika hatinya menjadi putus asa, lalu akan mengurungkan niatnya. Sang resi Habyasa setelah mengetahui kalau cucunya merasa putus asa tidak sanggup melaksanakan, ia lalu mencabut perkataan sang cucu tersebut, dalam hati ia berharap jangan sampai pernikahan itu dibatalkan, bagaimanapun harus dilaksanakan. Sang resi lalu mengambil alih keinginan cucunya, Prabu Yudistira. Seketika yang punya hajat mantu negara Amarta, adalah Sang Resi Habyasa, bekas ratu di Astina yang sudah turun tahta lalu meninggalkan kekuasaan menjadi pandita di Saptarga, dialah yang yang menyanggupi semua yang jadi bebana keinginan ratu Dwarawati. Karena Sang Resi sudah bisa melihat pada apa yang akan terjadi, sang resi teringat kalau memiliki cucu dewi Jembawati yang sudah diperistri ratu Dwarawati yaitu yang lahir dari pasangan Prabu Pandudeyana dan Dewi Trujata. Padahal Dewi Trijata itu adalah kakak Prabu Bisawarna di Ngalengka atau Singgelapura, negara kaya raya luas jajahannya. Karena terlalu kaya bisa diibaratkan mempunyai gunung emas, di puncaknya ada perhiasan yang bersinar seperti sinar Ywang Rawi, negara itu adalah peninggalan paman prabu Dasamuka dahulu. Makanya sang Eyang Resi Habyasa lalu mengutus cucunya, Harya Sena (Werkudara) untuk meminjam kereta keprabon bekas tunggangan Prabu Wibisana ketika menjadi ratu Ngalengka, serta meminjam domas bale kancana, yaitu bale (rumah besar) bekas untuk penobatan atau kepyakan ketika Raden Wibisana
menjadi ratu Nata oleh Prabu Ramawijaya setelah perang Ngalengka dan bergelar Prabu Wibisana. Setelah Prabu Bisawarna mendengar perkataan Harya Sena yang akan meminjam tunggangan Kaprabon dan Bale kancana dari domas, seketika sang Prabu menyambut gembira dan mempersilakan Sang Harya Sena segera kembali. Bale kancana dari domas dibongkar lalu dikirimkan bersama tukang-tukangnya yang bisa merakitnya kembali dan akan mendirikan bale tadi di Dwarawati. Perjalanannya dinaikkan perahu baita besar bersama dengan kereta Keprabon, berjajar-jajar sampai ada banyak perahu dari di Singgelapura ke Dwarawati. Domas bale kancana itu kalau sudah dirakit atau dipasang akan menjadi rumah gedung yang besar, rumah yang tiangnya berjumlah 800 buah, mulai dari blandar dan pangeret diukir dengan warna emas. Rumah yang tiangnya sampai 800 buah itu pasti kalau digambarkan seperti rumah gedung yang sangat besar. Makanya ratu Dwarawati menginginkannya supaya bisa cukup untuk menerima para tamu ratu negara manca yang akan menghadiri pernikahan tersebut. Prabu Pandudewanata masih ipar Prabu Bisawarna, makanya ketka putra kaponkannya jadi pengantin dan meminjam kereta keprabon, maka segera diberikan. Sedangkan yang ada di Dwarawati, Dewi Jembawati sebagai pengantin putri, juga masih keponakan Prabu Bisawarna sendiri, yaitu putra dewi Trijata dengan Prabu Pandudewanata di Astina.
F. Aji Darma Batara Surya
Dewi Kunti memiliki Aji Darma pemberian Batara Surya. Aji tersebut kalau dipakai bisa mendatangkan para Dewa yang ada. Dewi Prita putranya empat, yang tertua bernama raden Suryaputra, ketika akan mengandung, yang tercipta Batara Surya, maka putranya diberi nama Suryaputra, artinya putra Batara Surya. Setelah mengandung lagi yang kedua, yang tercipta Batara Darma, maka setelah lahir diberi nama Darmaputra, artinya putra Batara Darma. Setelah mengandung lagi yang ketiga, yang tercipta Batara Bayu, maka setelah lahir diberi nama Bayuputra, artinya putra Batara Bayu. Pada kehamilan yang ke empat, yang tercipta Batara Hendra, maka putranya yang bungsu diberi nama Hendratanaya, artinya putra Batara Hendra. Jadi keempat putra tersebut adalah putra dewa-dewa di Suralaya, jadi besar kekuasaannya. Hendratanaya atau raden Harjuna itu sebenarnya putra raja dari para dewa, yang bernama Batara Hendra di Suralaya. Maka ketika akan menikah, keinginan Nata di Dwarawati, yaitu bebana sebagai sarana upacara panganten yang berbentuk apa saja, yang berasal dari Suralaya, langsung disanggupi, seperti gamelan Lokononto yang ditabuh para dewa, bergema di langit, kayu kalpu dewadaru jayadaru, memainkan wayang diiringi para Bidadari serta seserahan Kerbau Danu berjumlah empat puluh, semua itu dapat dilaksanakan dengan mudah. Sang eyang adalah seorang pandita yang waskita sidik ing paningal, sudah bisa melihat asal mula kejadian dan apa yang akan terjadi. Makanya ia segera memerintahkan cucunya Raden Harjuna, untuk menghadap ke Kayangan Cakrakembang untuk meminjam upacara keprabon Kahendran, serta semua pakaian yang akan dipakai temanten. Sanghyang Hendra setelah mendengar
penuturan kakaknya, Batara Kumajaya, kalau sang putra Harjuna akan menikah dengan putri Dwarawati yaitu Rara Ireng (Bratajaya) dan meminjam upcara keprabon, maka segera diberikan karena yang meminta itu adalah sang putra sendiri. Akhirnya Sang Parta bisa terlaksana menikah dengan putri Dwarawati, dewi Wara Sumbadra yang merupakan sepupu tua karena dewi Wara Sumbadra itu putra Prabu Basudewa di Mandura. Harjuna putra dewi Kunti, dewi Kunti itu adik Prabu Basudewa. Bebana Bumi yang memberi adalah paman sendiri, yaitu prabu Bisawarna dan juga paman dewi Jembawati, istri tua Prabu Kresna di Dwarawati. Bebana yang dari Kahendran, yang memberikan adalah ayahnya sendiri, karena raden Hendratanaya atau sang Harjuna itu adalah putra Batara Hendra dengan Dewi Kunti. Apalagi Harjuna dan Sembadra itu masih sama-sama titisan dewa, Janaka itu titisan Batara Wisnu, Batara Wisnu itu prajurit dewa yang kesaktiannya tinggi tanpa tanding. Dewi Sumbadra titisan Batari Sri Widawati, bidadari di Suralaya. Makanya sudah pasti kalau Wara Sumbadra itu jadi jodoh sang Harjuna. Begitulah jika sudah bisa mencari dan mengurutkan, akhirnya bertemu dengan turunan sendiri, sudah jadi maklum dan tidak mengherankan.
G. Pustakaraja Purwa Raden Kakrasana ketika datang ke Hargasonya lalu kedatangan Hyang Brahma, diberi wisik aji balarama yang memiliki daya kekuatan tidak merasa lesu
lupa lapar serta tidak kelelahan selamanya, semua wisik sudah bisa diterima dalam hatinya. Ia lalu diberi senjata berupa angkus yang mempunyai daya kekuatan dan diberi senjata alagadara. Alagadara itu berupa bajak yang menandakan kemakmuran, makanya Prabu Baladewa jadi ratu para petani. Angkus memiliki daya kekuatan, kekuatannya menyamai gajah ada di telapak tangan kanan. Kalau sedang digunakan, tangannya lalu terasa berat, telapak tangannya panas seperti keluar apinya. Makanya Harya Kangsa setelah ditampar mukanya langsung pecah kepalanya, lalu mati seketika. Senjata nanggala, bentuknya seperti tombak, seperti gretel cis tapi kecil dan tangkainya lebih pendek, kalau sekarang seperti stok Komando. Raden Narayana ketika berguru pada Resi Padmanaba di Padepokan Nguntarayana, Pandita keturunan Batara Wisnu, adalah seorang pandita yang tinggi ilmunya. Raden Narayana atau raden Kresna masih putra Narendra, yaitu seorang pemuda yang hitam mulus perawakannya. Sanghyang Wisnu memberi nasehat kepada Raden Kresna supaya bisa triwikrama menjadi Kalamercu, buta besar yang menakutkan dan sangat besar. Pesannya agar menghindari hal-hal tersebut di bawah ini. Tidak boleh makan segala sesuatu yang tumbuh di bumi. Tidak boleh memakai busana dari sesuatu yang tumbuh di bumi. Tidak boleh tinggal atau mnegambil segala sesuatu yang tumbuh di bumi. Kalau bisa mencegah selamanya maka akan kuat untuk menerima aji balasrewu yang bisa membuat triwikrama. Lalu diberi sekar Wijayakusuma, kegunaannya adalah bisa menghidupkan orang mati yang belum sampai waktunya, namun kalau sudah kepastian dari Pangeran tetap tidak bisa hidup lagi. Diberi senjata Cakra, yaitu Cakra kang bisa
mengeluarkan bermacam-macam pangabaran. Diberi senjata Narayanagopa, bisa mendatangkan pasukan makhluk halus satu juta banyaknya. Setelah ketiga macam pusaka itu sudah diterima, lalu diletakkan pada tempatnya sendiri-sendiri. Sekar Wijayakusuma diletakkan di dalam kepala, keluar dari lesan (bicara/mulut). Senjata Cakra di dalam dada, keluar dari tangan. Sanata Narayanagopa, di dalam guwa garba keluar dari di kaki Setelah raden Kresna sudah bisa menerima semua wejangan sang Resi dan sudah menerima semua pusaka tadi, sang Resi lalu muksa, menjadi satu jiwa dengan Raden Kresna. Raden Narayana lalu memakai nama Sri Padmanaba. Menjelmanya Batara Wisnu terbelah jadi dua, misalnya bunga dan harumnya, bunganya adalah Sanghyang Wisnu, harumnya memiliki watak seperti Batara Wisnu. Begitulah cerita dongeng raden Kresna dan resi Padmanaba.
Mustika Air 1. Tirta Mertakamandanu, artinya tempat air kehidupan yang keluar dari mustika mendung, siapa yang minum tidak akan mati selamanya. 2. Tirta Kaskaya, artinya air hujan yang pertama, bisa digunakan untuk jamu kuat badan, diminum setiap tengah malam.
Mustika Manik Cupu Manik Astagina, artinya cupu perhiasan atau cupu berlian yang mempunyai kegunaan delapan macam, gunanya adalah barang yang dimasukkan dalam cupu tadi tidak akan habis selamanya. Makanya lalu diisi dengan air
kehidupan, tirta Mertakamandanu. Cupu Retna Linggamanik, adalah cupu yang digenggam di tangan Sanghyang Kanekaputra sebagai jimat, dinamakan mustika Linggamanik. Retna Dumilah berupa perhiasan, yaitu intan atau berlian yang besar bentuknya, memiliki cahaya seperti nyala lentera. Perhiasan tadi kalau digunakan bisa menunjukkan keadaan surga dan neraka. Sedangkan kesaktiannya adalah segala yang diinginkan akan datang serta tidak bisa lapar, yang punya adalah Sanghyang Nurcahya. Wit wana Umarewan, atau dinamakan wit Rewan, yaitu pohon ngarang yang tidak ada daunnya, akarnya jadi sumber kehidupan di bumi, semua isi bumi yang mati sabelum saatnya, kalau diberi akar pohon Rewan tadi lalu hidup lagi. Kalau dalam cerita pedalangan dinamakan Latamausadi, yang jadi pusaka para Dewa. Cupu manik Astagina, tirta Mertakamandanu, serta Latamausadi adalah sumber kehidupan orang di bumi. Pustaka Darya, yaitu serat yang berisi cerita sejarah kisah Sanghyang Nurcahya sampai Sanghyang Tunggal yang jadi pusaka Batara Guru (Manikmaya). Mustika jamus, berbentuk rontal yang ditulisi, berisi segala kejadian. Resi Abyasa menjadikan mustika Jamus sebagai pustaka (layang) yang dinamakan Kalimasada, sebagai tumbak kesengsaraan putra Prabu Pandudewayana nantinya, lalu diberikan pada cucunya dan diminta untuk mempelajari serta diberitahu kesaktian pustaka itu, kalau dipakai oleh orang sadu (suci) bisa jadi warastra atau warahastra, artinya senjata yang sangat sakti.
Sadu artinya sareh atau Pandita. Padahal Prabu Yudistira itu ratu berjiwa pandhita dan sabar hatinya, makanya Prabu Yudistira ketika perang melawan prabu Salya pada saat Baratyuda, pustaka Jamus digunakan dan seketika berubah menjadi senjata berbentuk panah sakti. Setelah Prabu Salya terkena senjata itu lalu sirna seketika. Candrabirawa, sebuah ajian yang kalau digunakan berbentuk panah yang memiliki kekuatan bisa mendatangkan bermacam-macam buta yang berwajah menakutkan. Candrabirawa itu salah satu dari delapan rupa, yaitu dari kata candra artinya keras atau panas. Bairawa adalah nama Sanghyang Siwah, yaitu ketika Sanghyang Siwah berganti rupa sampai yang ke delapan yang berbentuk sangat menakutkan.
BAB II PERLENGKAPAN DAN PIRANTI PERTUNJUKAN
A. Menyimpan Kotak Wayang Cara menyimpan wayang kulit agar tetap baik dan kuat sampai bertahuntahun adalah sebagai berikut: Mulai dari petinya, yaitu kotak tempat wayang. Penyimpanannya harus di tempat yang baik. Kotak wayang diberi ganjalan dari bangku kayu kecil (dingklik) 2 buah tingginya 50 cm, panjangnya sesuai dengan lebar kotak lalu diletakkan berdampingan untuk mengganjal kotak tadi. Jadi kotak tidak diletakkan di ubin atau tanah di dalam rumah, kotak tersebut bisa pas di atas dingklik. Dan lagi, kotak jangan sampai menempel pada tembok atau gebyog di dalam rumah agar jangan sampai terkena hawa dingin dan menjadi lembab atau kemasukan hewan-hewan kecil. Tembok atau gebyog itu kalau terkena air hujan bisa menjadi lembab sehingga hewan-hewan kecil pun menyukainya. Kelembaban juga menyebabkan jamur sedangkang hewan kecil bisa merusakkan eblek atau wayang. Maka kotak harus diberi jarak 30 cm, jangan sampai menempel tembok atau gebyog. Di atas kotak yang sudah tertutup rapat lalu diberi tutup dari kain perlak yang rapat mengelilingi kotak sesuai dengan besarnya kotak agar bila terkena air hujan dari atas tidak bisa masuk ke dalam kotak. Cara mengangin-anginkan wayang kulit adalah sebgai berikut. Sebelum kotak diambil dari tempat penyimpanan, terlebih dahulu disiapkan tempat untuk mengangin-anginkan wayang tersebut, jangan sampai tempatnya terlalu panas
atau dingin. Carilah tempat yang kering, sebisa-bisanya tempat tersebut dekat rumah yang agak tengah jangan sampai terkena sinar matahari langsung. Lalu rentangkan tali dadung kecil yang kuat, diikatkan pada dua buah saka. Kalau punya alat untuk menancapkan (tanceban) dari kayu jati, biasanya digunakan untuk alat nyumping wayang bersama dengan gawangan plangkan kelir. Tempat menancapkan sumpingan tadi adalah dari kayu jati yang diberi lubang. Lubangnya mulai dari besar sampai kecil, diurutkan menurut besar kecilnya gapit wayang yang akan disumping. Semua itu dipersiapkan di dalam jadi bisa mengurangi tali yang direntangkan dari satu dari dengan dari yang lain tadi. Kalau sudah selesai, lantai atau mester disapu yang bersih jangan sampai basah atau lembab lalu digelari tikar pasir yang bersih atau tikar pacar (mendong). Kotak lalu mulai dibawa ke tempat yang sudah diatur dengan baik tadi, diletakkan yang enak jangan sampai mengganggu dalam mengangin-anginkan wayang. Kain perlak penutup kotak diambil lebih dulu, lalu ditaruh di tempat yang sesuai jangan sampai terkena panas matahari, selain cepat rusak, juga membuatya menjadi lembab yang tidak baik untuk wayang. Kalau sudah selesai, gembok kotak lalu dibuka dilanjutkan dengan membuka tutup kotak diletakkan di tempat yang enak serta jangan sampai mengganggu. Lalu eblek tutup wayang yang paling atas dibuka, ditumpuk di atas tutup kotak tadi untuk alas wayang yang tidak memakai tanganan. Kelir diangin-anginkan lebih dulu, dijemur sebentar di terik matahari tapi jangan sampai terlalu lama. Kalau sudah hangat lalu diangkat serta dikibaskan lalu dilipat dan digantungkan di tempat yang sejuk dalam teras atau rumah.
B. Tata Cara Simpingan Sekarang mulai mengeluarkan wayang. Biasanya yang paling atas adalah kayon (gunungan), diambil lalu ditumpuk di emblek yang ada di atas tutup kotak tadi, atau di tempat tanceban kayu yang sudah disediakan tadi. Lalu wayang bagian sumpingan sebelah kanan mulai dari prabu Tuhuwasesa (Sena jadi ratu diambil lebih dulu. Tangan wayang yang depan dikaitkan di tali yang direntangkan tadi, begitu seterusnya sampai sumpingan bagian kanan habis sampai wayang putran anak kecil (bayen) serta dewa ruci. Kalau sudah sampai wayang estren diberi sela dari agar kelihatan batas bagian besar dan kecil. Kalau sudah penuh lalu ke tali di bawahnya, tapi pemasangannya dibuat saling membelakangi, jadi wayang yang paling kecil bisa berada di bawah Prabu Tuhuwasesa, wayang sumpingan yang paling besar bagian kanan. Setelah itu lalu sumpingan bagian kiri, mulai dari danawa Raton (Kumbakarna) atau prabu Niwatakawaca. Lalu raja danawa muda Buta Ngore (gendong) Prabu Rahwana (Dasaka) dan seterusnya sampai Pinten Tansen atau Nangkula dan Sadewa sampai sumpingan kiri habis, penataannya sama seperti sumpingan kanan yang sudah diangin-anginkan tadi, emblek dikumpulkan jadi satu lebih dulu. Selanjutnya wayang dudahan. Diberi nama wayang dudahan artinya wayang yang tidak pernah disumping, hanya di dalam kotak atau di atas tutup kotak. sedangkan kalau wayang pedalangan yang pasti ada di atas, di bawah wayang sumpingan, biasanya adalah wayang ricikan yaitu senjata-senjata wayang,
prampokan, kereta kencana, kuda, gajah, lalu para tapa serta dagelan, serta ada beberapa yang mencampur dengan sebangsa hewan buruan. Sedangkan wayang yang mempunyai tangan hidup, mengangin-anginkannya dengan cara dikaitkan seperti wayang sumpingan di atas tadi. Setelah itu lalu ambil wayang dugangan, yaitu para Kurawa, para putra Ngalengka, para punggawa serta patih, semua itu mengangin-anginkannya jadi satu juga digantung seperti tadi. Para danawa, tumeten, para jawata, para wanara, cara mengangin-anginkan juga sama. Tumeten sebangsa wayang hewan buruan yang jarang dipakai seperti babi, harimau, banteng, kerbaudanu, kijang, rusa, garuda, nagaraja, taksaka, burung, brajut jantan dan betina serta bajubarat (setanan) penataannya hanya untuk dasar, mengangin-anginkannya hanya cukup di eblek di atau kayu tanceban tadi. sedangkan wajang yang tangannya mati seperti Batara Guru, Kayon Gunungan, setanan, brajut, mengangin-anginkannya cukup ditancapkan di tempat tanceban kayu sampai semua wayang habis dikeluarkan. Sekarang membersihkan kotak. Semua alat wayang yang disimpan di dalam anakan kotak, seperti kepyak, cempala besar dan kecil, sapit blencong, plintur tali kelir, benang jarum, kain lap, sikat halus, alat untuk membersihkan kalau ada wayang yang terkena jamur. Kalau wayang di pedesaan biasanya mempunyai golek, (taledek kayu) untuk penutup cerita, tancep kayon, sebagai tambahan gambyongan. Semua dibersihkan dan dikeluarkan dari kotak terlebih dulu.
Kalau semua barang sudah dikeluarkan, kotak wayang baru dibersihkan sampai bersih, jangan sampai ada hewan merayap yang masuk di dalam kotak tadi, kotak jangan sampai terkena hawa panas atau dingin. Kalau kotak sudah bersih lalu diberi alas kardus atau kertas yang tebal agar bisa hangat. Kalau punya atau bisa mencari, lebih baik kalau diberi bulu laring merak (burung cohong), bulu tersebut bisa menghangatkan dan semua hewan merayap tidak mau mendatangi. Kalau tidak ada cukup diberi kapur barus (kamper). Kalau semua alas sudah diatur dengan baik lalu ditutupi eblek yang sudah dibersihkan, semua alat wayang yang disimpan di anakan kotak tadi, kalau sudah dibersihkan semua lalu dikembalikan ke tempatnya jangan sampai ada yang tertinggal. Begitulah cara menganginanginkan wayang kulit agar bisa tetap bagus. Kalau sedang membersihkan wayang jangan sambil merokok karena abunya bisa jatuh dan mengotori wayang sehingga wayang menjadi kurang bagus.
C. Menjaga Kebersihan Wayang Semua wayang yang sudah diangin-anginkan tadi sebelum dimasukkan dalam kotak sebaiknya diteliti satu persatu, wayang yang gapitnya longgar atau talinya kurang kuat, dikumpulkan lebih dulu jadi satu. Kalau sudah, tali yang kendor itu diberi tali lagi dengan benang piser merah yang kuat. Benang dirangkap dua kali agar kuat jangan sampai kendor. Semua wayang yang kendor talinya harus diperkuat karena kendornya tali itu sering membuat patahnya gapit, lagi pula kalau gapit tidak kuat, memegang wayang juga rasanya tidak enak, untuk sabetan tidak terasa enak serta gerakan benang yang tertarik serta longgarnya gapit itu
akan membuat putusnya tatahan. Apalagi kalau wayang yang ukirannya rumit seperti ukiran dodot limaran, parang, lapis, dan seterusnya itu mudah putus. Semua tatahan itu kalau sudah putus akan sulit miripbaikinya, bisanya hanya diikat benang yang kuat dan lembut atau dari serat sabut kelapa. Kalau kurang lembut harus dihaluskan, ditambal sambung dengan kulit baru lalu ditatah lagi menurut tatahan yang lama. Wayang yang ditambal namanya wayang kasopak. Kalau sudah selesai memberi tali lalu dikembalikan ke tempatnya lagi urut seperti semula. Selanjutnya ganti memilih wayang yang terkena jamur, dikumpulkan jadi satu seperti tadi. Wayang yang terkena jamur itu dibersihkan dengan sikat yang halus dengan pelan-pelan, jangan sampai merusak cat wayang yang sudah tua. Duluat sampai bersih dan hilang jamurnya. Biasanya yang terkena jamur itu adalah cat wayang yang berwarna hitam dan merah sehingga kelihatan bintik-bintik putih. Kalau dilihat dari kejauhan warna wayang kelihatan lusuh, apalagi kalau didekati kelihatan kotor. Biasanya yang terkena adalah bagian rambut masuk ke tatahan rambut. Kalau menyikat dan membersihkan rambut para satria harus lebih hati-hati, jangan sampai memutuskan seritan rambut atau molor keluar karena tatahan seritan itu untuk rambut para satria atau putran adalah alusan, bentuknya seperti pir jam yang panjang. Kalau sampai molor maka akan mudah putus, apalagi kalau yang gelung, lebih susah lagi. Makanya harus hati-hati. Rambut seritan kalau sampai putus lalu bolong akan jadi cacat dan kelihatan kurang bagus. Makanya cara perawatan dan membersihkan harus hati-hati tidak boleh sembarangan.
Kalau jamur itu sudah kelihatan tebal sampai kelihatan hampir putih semua, cara membersihkannya dengan kain lap yang empuk, dibasahi dengan air hangat lalu diperas. Setelah itu digunakan untuk mengusap wayang, ditutulkan ke atas cat yang terkena jamur, kalau sudah kering catnya akan kelihatan memudar, kalau catnya masih baru akan bersih lagi seperti semula sedangkan kalau catnya sudah lama tentu kelihatan tergores, lalu dimandikan lagi dengan ancur lempeng (ancur kripik). Ancur direbus dengan air landa jangkang, memandikannya cukup sekali saja, sedangkan praos atau pradanya jangan sampai terkena ancur nanti tergores. Kalau sudah kering wayang akan kelihatan baru dan kembali bersinar. Kalau ada wayang yang catnya mengelupas sampai banyak sebaiknya digebal, artinya dicuci dihilangkan catnya, dicuci dengan air dan duluat sampai bersih catnya lalu ditumpuk dengan barang yang rata, misalnya papan yang rata. Jika wayang kering jangan sampai kelihatan bergelombang, usahakan agar kerinng dan rata. Kalau sudah lalu dicat lagi sehingga kelihatan seperti baru. Jadi wayang gebalan itu artinya wayang lama yang dicat kembali sampai jadi wayang baru lagi. Selain itu, kalau ada wayang yang terkena minyak blencong, misalnya terkena tetesan seperti hampir terbakar, jangan sampai dicampur dengan wayang lainnya, harus disendirikan Karena wayang yang terkena minyak klentik itu selain kelihatannya kotor juga mudah menumbuhkan jamur dan bisa menjalar ke wayang lainnya. Cara untuk menghilangkan daerah yang terkena minyak tadi adalah dengan diusap apu (injet). Kalau sudah sekitar sehari semalam lalu diusap. Catnya tentu sudah mengelupas lalu dibersihkan, kalau sudah bersih ditambal cat lagi sesuai dengan yang sudah ada. Kalau yang terkena wajahnya jangan sampai diberi
warna cat wajah nanti kelihatan berbeda dan tidak kurang harmonis. Kalau cat untuk badan terserah menurut kesesuaian wayang yang rusak tadi. Makanya dalang serta panyumping itu harus hati-hati dalam merawat wayang karena wayang yang terkena minyak blencong itu bisanya pulih lagi harus ditambal catnya lagi. Ada lagi, sering dalang kalau akan mengeluarkan wayang dengan diambang, diusapkan di pipi atau di hidung, biasanya wayang yang wajahnya hitam makasudnya agar kelihatan hitam bersih. Bagi mereka yang belum mengerti mengatakan kalau dalang itu sedang memberikan kasihnya pada wayang yang sedang dipegang. Tetapi malah sebaliknya jadi keliru. Wajah orang itu tentu berminyak, jadi wayang itu seperti diminyaki. Kalau tidak diperhatikan, nanti kalau sewaktu-waktu ada hawa dingin wajah wayang itu tentu tumbuh jamurnya berwarna putih. Menurut ahli wayang dan sungging, wajah wayang yang diusapkan di pipi atau hidung itu tidak baik. Kalau ada wajah wayang yang kelihatan tergores padahal akan dikeluarkan di kelir, membersihkannya cukup diusap dengan sapu tangan yang kering sehingga bisa bersih. Mengangin-anginkan wayang itu kalau musim hujan banyak hawa dingin yang baik satengah bulan sekali, syukur bisa sepuluh malam sekali itu lebih baik, sedangkan kalau musim kemarau bisa dua bulan atau sebulan sekali. Semua wayang yang rusak terkena jamur atau putus tatahannya itu kalau sudah dirawat atau diperbaiki akan jadi pulih lagi, lalu dikembalikan ke tempat semula seperti ketika mengambil tadi. Habis sudah bab cara dalam merawat dan membersihkan wayang yang terkena jamur serta yang putus atau rusak tatahannya.
D. Susunan Lapisan Eblek Setelah kotak bersih lalu diberi alas kertas yang tebal atau karton, lalu diberi laring burung merak atau kapur barus sebagai pengusir hewan merayap. Kalau sudah baik lalu ditumpangi eblek, eblek adalah alas wayang untuk pembatas agar wayangnya bisa baik penataannya. Eblek itu dibuat dari deling tipis dan halus lalu dianyam yang lembut, lalu dibungkus kain atau mori putih. Itulah yang disebut eblek, alat pembatas untuk menata wayang. Pemasangan eblek dasar yang paling bawah diatur jangan sampai tidak seimbang, (bawah atas) agar kalau ditumpuk dengan wayang yang lain jangan sampai bergeser. Mulai memasukkan wayang dasar. Yang dimaksud wayang dasar itu seperti hewan buruan (hewan) setanan, brayut laki-laki perempuan beserta anaknya, wayang yang jarang dipakai, hanya dipakai kalau akan lakon saja baru mengambil mana yang dibutuhkan. Adapun wayang yang untuk dasar itu karena tatahannya gayaman dan catnya awak-awakan, kulitnya kebanyakan tebal. Selain agak mudah pembuatannya, juga termasuk murah harganya, jadi bila rusak tidak kebanyakan biaya. Cara penataannya beradu muka, jangan sampai wajah wayang terkena kotak, nanti bisa melengkung jadi cacat. Apalagi kalau sampai pada wayang yang hidungnya kecil, kalau sampai bengkok, patah atau mengelupas catnya, wajahnya kalau dipandang akan jadi jelek, namanya wayang cacat.
Kalau pegangan hewan buruan kelihatan mengganjal lebih baik diambil saja dari wayang hewan buruan tadi, tapi jangan sampai dicopot pisah dari wayangnya, hanya dilepas dari palemahan saja lalu diputar sampai bisa rata menumpuknya, jangan sampai cembung tengah atau miring, nanti wayangnya bergeser. Kalau sudah rata penataannya lalu ditumpangi dengan wayang para wanara, seperti kera kacangan, Subali dan Sugriwa beserta para punggawa. Kera yang kecil-kecil ada di bawah, yang besar untuk tutup ada di atas. Wayang yang kecil disusun melintang. Kalau sudah habis wayang buruan dan para wanara dan sudah diatur dengan baik lalu ditutup dengan eblek No. 2. Selanjutnya ambil wayang para jawata dan para danawa. Penataannya dicampur jadi satu eblek tetapi dipilih, para jawata yang kecil-kecil lebih dulu, lalu danawa yang kecil-kecil. Yang kecil penataannya juga melintang, yang besar sama besar penataannya lurus. Jadi semua wayang yang kecil penataannya harus ada di bawah, sedangkan yang besar ada di atas sekalian untuk tutup. Penataannya lurus beradu muka (aben ajeng), penataannya harus rata jangan sampai anggigir sapi (tinggi di tengah). Penataannya digeser jangan sampai gapitnya menumpang. Kalau sudah sampai akhir, eblek akan mengenai kotak lalu ditarik mundur sedikit lalu ditumpangi wayang lagi jadi beradu muka, begitu seterusnya sampai habis. Menata wayang tangan depan diletakakkan maju, siku depan ditekuk mundur, telapak tangan diletakkan di atas cetik, sejajar dengan kaki belakang. Tangan belakang ditekuk maju sejajar pundak, siku ditekuk agak ke bawah, telapak tangan diletakan di atas cetik kaki belakang. Pegangan tangan disejajarkan dengan gapit wayang. Begitu seterusnya untuk semua wayang yang memiliki tanganan.
Kalau sudah habis menata wayang para jawata dan para danawa dan sudah rata penataannya lalu ditumpuk dengan eblek No. 3, sebagai pembatas. Setelah itu ganti menata wayang para punggawa patih patihan, patih Jawa dan patih Sabrangan, putra Ngalengkan, serta para kurawa. Penataannya sama seperti yang disebutkan di atas tadi, yang kecil diatur melintang, yang besar lurus beradu muka, kalau sudah selesai lalu ditutup eblek lagi, eblek No.4. Selanjutnya wayang Dagelan, para Tapa serta Ricikan dijadikan satu. Wayang ricikan yang penataannya selalu ada di atas itu misalnya prampogan Jawa dan prampogan Danawa, kereta, Kuda tunggangan, gajah, kayon (gunungan) gapuran, serta senjata, karena itu adalah wayang yang biasanya dipakai dalam setiap lakon. sedangkan wayang Dagelan yang biasanya ada yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Belung, Jantrik, Jangik, Limbuk, Parekan, Emban, Inya. Para tapa seperti, Pandita Srambahan, Resi Abyasa, dan Pandita Sepuh. Kalau sudah selesai penataannya sama seperti tadi, yang paling atas yaitu prampogan, sekalian untuk tutup. Kalau wayang yang gapitnya prempak, sebaiknya dilepas dari wayang saja agar jangan sampai mengganjal nanti akan membuat cembung tidak bisa rata. Kalau sudah selesai lalu ditutup eblek lagi, eblek No. 5. Itu semua yang dimaksud wayang dudahan, artinya wayang yang tidak disumping atau ditata di panggung. Selanjutnya wayang panggungan atau sumpingan. Yang diatur lebih dulu adalah bagian sumpingan sebelah kiri. Penataannya dimulai dari wayang yang paling kecil lebih dulu, yaitu Pinten Tansen, Caranggana, Wisanggeni dan seterusnya. Bagian wayang kecil itu semua diatur melintang, diurutkan menurut
urutan sumpingannya, kalau sudah sampai wayang raden Setyaki berhenti dulu, lalu ditutupi eblek No. 6 sebagai pembatas. Kalau diteruskan kurang sesuai nanti terlalu banyak, biasanya mudah mematahkan gapit. Makanya wayang sumpingan itu sebaiknya penataannya dibagi dua agar wayang bisa rata tidak bergelombang, lalu ditutup eblek. Mulai wayang raden Setyaki naik diatur dengan lurus dua sap, dari atas lebih dulu empat buah diatur dengan beradu muka, lalu di bawahnya ditumpuk dengan empat buah lagi, sama penataannya juga beradu muka. Kalau wayang semakin besar, penataannya dikurangi menjadi tiga-tiga. Kalau sudah sampai prabu Dasamuka penataannya lalu mulai dua-dua, karena kalau tiga sudah tidak cukup tempatnya. Begitu sampai wayang Danawa Raton (Kumbakarna) ditumpuk paling atas. Itu hanya cukup dua beradu muka danawa Raton neneman ngore rambut gimbal (gendong). Kalau sudah rata penataannya lalu ditutup eblek. Sekarang ganti wayang panggungan yang sebelah kanan atau wayang sumpingan sebelah kanan. Dimulai dari wayang putran bayen atau anal kecil yang ada paling belakang, lalu dewa Ruci atau Bodanpaksadanu, lalu wayang putren, artinya wayang wanita; para putri, para bidadari, para prameswari istri ratu, Sarpakanaka sampai batari Durga. Setelah habis wayang putren lalu para putran, yaitu raden Nangkula dan Sadewa, Kuntadewa, Suryaputra, Pamadi, sampai prabu Kresna, Ramawijaya, Sanghyang Guru, lalu diberi batas eblek lebih dulu. semua wayang tadi penataannya melintang sedangkan yang agak kelebihan dimiringkan sedikit biar rata. Setelah itu mulai wayang raden Hanoman, penataannya lurus dari di atas berjajar empat atau tiga menurut besar kecilnya kotak. Penataannya semua beradu muka, lalu di bawahnya ditumpangi lagi, juga beradu muka dan seterusnya
sampai prabu Tuhuwasesa., Haryasena jadi ratu, lalu gunungan (kayon) diletakkan paling atas. Setelah selesai menata wayang, semua wayang sudah masuk kotak, kelir wayang yang sudah dilipat sesuai dengan bear-kecilnya eblek lalu ditutupkan sampai rata jangan sampai naik turun, sekalian untuk tutup agar empuk. Setelah itu baru ditutup eblek yang paling atas. Di dalam eblek diberi kapur barus untuk mengusir rengat atau rayap. Kalau sudah semua, baru kotak ditutup rapat dan disimpan. Sedangkan alat tanceban dan tali yang dipakai tadi disimpan dengan baik lagi, agar jika sewaktu-waktu akan mengangin-anginkan wayang lagi bisa digunakan lagi. Untuk wayang satu kotak, biasanya cukup 11 buah eblek, sedikitnya disediakan 9 buah saja sudah cukup. Menyimpan wayang itu kalau kurang ebleknya akan merusakkan wayang. Biasanya lalu banyak wayang yang melengkung tidak bisa rata, juga sering merusakkan gapit. Kotak itu lalu dibawa ke tempat penyimpanan, diletakkan di atas dingklik lagi. Maka selesailah sudah, kotak sudah kembali ke tempat penyimpanan lagi.
E. Mustika Bambang Manungkara 1. Mustika Manihara, kesaktiannya kalau digunakan untuk mengusap semua makhluk hidup maka akan menjadi berlian, kalau yang diusap adalah sebangsa tumbuhan akan menjadi kencana (emas), tetapi kalau diusapkan pada bangsa tumitah maka akan jadi arca batu.
2. Minyak musala, dimasukkan dalam cublak, kesaktiannya kalau diusapkan pada apa saja akan menjadi arca, atau akan mendapat kemalangan. 3. Batu Marcujiwa, kesaktiannya adalah sebagai kehidupan bangsa siluman (makhluk halus), kalau ada bangsa siluman yang pingsan lalu diusap dengan batu Marcujiwa maka akan sembuh. 4. Kantong Karumba, kesaktiannya siapa saja yang membawa kantong tersebut jadi tidak kelihatan, bisa menghilang. 5. Minyak Pranawa, kesaktiannya kalau diusapkan di mata bisa melihat segala sesuatu yang tidak tampak, kalau diteteskan di telinga jadi mendengar pembicaraan yang tidak kelihatan, tapi yang tidak diusap dengan minyak Pranawa tidak akan bisa melihat. 6. Pecut akar Bayura, yang tumbuh di dunia gelap, kesaktiannya kalau ayunayunkan atau disabetkan pada bangsa siluman, yang kena sabet pasti kembali jadi manusia. 7. Air akar Bayura, dimasukkan dalam impes seperti tembolok ayam, kesaktiannya kalau diusapkan di tangan, semua yang dipegang akan jadi usada (obat) menyembuhkan penyakit. 8. Candu Sakti, jadi kesaktian sebangsa makhluk halus, kesaktiannya bisa berpindah seketika.
Nama senjata (panah), yang dipakai para perwira unggul ketika jaman purwa 1. Hendrasara, panah yang dipakai raden Lesmanawidagda
2. Harda dadali, yang benar Roda dadali, roda artinya galak, dadali artinya burung, jadi panah itu berbentuk burung yang galak, makanya dalam pawayangan digambarkan berbentuk burung terbang, paruhnya setajam mata panah, dipakai raden Harjuna. 3. Harya Sangkali, yang benar Haryas Sangkali, haryas artinya perhiasan, Sangkali artinya rantai, jadi mustika panah rantai. Dalam Pustakaraja disebutkan bahwa panah itu dipakai Raden Harjuna. 4. Saratama atau Sara utama, sara artinya tajam, utama artinya unggul, maksudnya panah yang sangat tajam, yaitu panah yang dipakai Raden Harjuna. 5. Mercujiwa, panah yang dipakai raden Janaka 6. Pasopati, panah yang dipakai raden Dananjaya 7. Kunta Druwasa, panah yang dipakai Sang Hadipati Basusena atau sang Karna. Wijayacapa atau Wijayadanu, biasanya dinamakan panah, sebenarnya itu bukan panah tetapi nama gandewa yaitu gandewa Kunta Druwasa tersebut, Hal itu disebutkan dalam layang Pustakaraja. 8. Surawijaya, panah yang dipakai Raden Lesmanawidagda 9. Guwawijaya, panah yang dipakai raden Hindrajit 10. Wimanasara, panah yang dipakai raden Raden Hindrajit 11. Nagapasa, panah yang dipakai raden Hindrajit 12. Kuntabaskara, panah yang dipakai Prabu Danapati 13. Ekaboma, panah yang dipakai Harya Setyaki 14. Narayanagopa, panah yang dipakai Prabu Kresna
15. Cundamani, panah yang dipakai raden Haswatama 16. Bargawarstra, panah yang dipakai raden Werkudara 17. Senjata Barla panah yang dipakai Raden Dursasana 18. Panah Bargawa, panah yang dipakai Ramabargawa, Resi Parasu 19. Panah wulan tumanggil, nama Harjacandra 20. Panah Pangabaran, nama Naracabala, atau panah seribu tanpa gandewa 21. Panah api, bernama Bramastra 22. Panah Garuda, bernama Winanteyastra 23. Panah Bulat, bernama Cakrasaradha 24. Panah Banyu, bernama Sagarahru 25. Lohita artinya berlumur darah atau Lohitamuka artinya bermulut darah, yaitu Gada yang dipakai raden Hariya Werkudara. 26. Gada Rujakpolo, yang dipakai Harya Setyaki 27. Saratalpa artinya kasur panah, sara artinya panah, talpa artinya kasur, resi Bisma tidur di atas kasur panah ketika Baratayuda, terkena senjata pamungkas, tubuhnya sampai berlumur darah.
Arti senjata dibya menurut Serat ‘Babading Pandawa’. Yang disebut senjata Dibya pemberian Jawata, yang sering disebutkan dalam dalam serat orang Hindu itu kira-kira hanya berupa daya atau kekuatannya yang bisa mendatangkan apa yang diinginkan oleh pemiliknya seperti Kapusti saat marah atau saat redanya. Jadi tidak berupa seperti senjata misalnya panah, keris, pedang dan sebagainya. Senjata tadi juga bisa diberikan atau dipinjamkan pada orang lain, artinya yang
diberi atau dipinjami diajari cara memakainya atau diberi tahu mantrannya agar bisa digunakan seperti keinginannya. Senjata Brahma juga dinamakan Brahmastra itu yang paling sakti, digambarkan berbentuk panah-panah yang melihat keluar dari gandewanya, terkadang panah-panah tadi kalau sudah dilepaskan bisa kembali sendiri ke tempatnya. Senjata Dibya itu meskipun lebih besar kesaktiannya, sebenarnya tidak terlalu berguna bagi yang mempunyai karena sangat dilarang digunakan di dunia, yang kedua, keluarnya hanya untuk meramaikan perang saja, supaya tambah menakutkan. Jadi bukan senjata pamungkas, kadang-kadang senjata dibya digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan. Tapi yang lumrah senjata itu adalah untuk memusnahkan musuh. Selain dari itu, misalnya senjata Dibya benar-benar memiliki pangaribawa seperti yang diceritakan dalam serat-serat kuna, di dunia ini tidak ada peperangan sebab siapa yang lebih dulu melepaskan senjata Dibya bisa memberantas musuh berjuta-juta. Sanghyang Narada memerintahkan sang Harjuna, semua senjata pemberian Jawata tidak boleh digunakan untuk seharihari, untuk sehari-hari cukup senjata yang biasa saja.
BAB III WANDA WAYANG PURWA
A. Sumpingan Sebelah Kanan Nama wayang
Nama wanda
1.
Prabu Tuhuwasesa
2.
Raden Werkudara
Mimis
3.
Raden Werkudara
Lindupanon
4.
Raden Werkudara
Gurnat
5.
Raden Werkudara
Lintang
6.
Raden Bratasena
Mimis
7.
Raden Bratasena
Gurnat
8.
Jagabilawa
9.
Raden Gandamana
10. Raden Antareja 11. Raden Gatutkaca
Kilat
12. Raden Gatutkaca
Tatit
13. Raden Gatutkaca
Guntur
14. Raden Gatutkaca
Gelap
15. Raden Antasena 16. Raden Hanoman 17. Batara Guru
Arca
18. Batara Guru
Karna
19. Prabu Kresna
Rondon
20. Prabu Kresna
Gendreh
21. Prabu Kresna
Mawur
22. Prabu Ramawijaya 23. Prabu Parikesit 24. Prabu Yudistira
Putut
25. Prabu Yudistira
Panukma
26. Raden Harjuna
Kancut
27. Raden Harjuna
Malatsih
28. Raden Harjuna
Kunanti
29. Raden Harjuna
Jimat
30. Raden Harjuna
Renteng
31. Raden Harjuna
Mangu
32. Harjuna brongsong slendangan (srambahan) 33. Raden Pandu 34. Raden Suryaputra 35. Raden Puntadewa
Malatsih
36. Raden Puntadewa
Kunanti
37. Raden Premadi
Panmembuat
38. Raden Premadi
Pangasih
39. Raden Premadi
Kunanti
40. Premadi sampir slendangan (srambahan)
41. Dewi Jembawati makutan 42. Dewi Sarpakanaka 43. Dewi Arimbi 44. Dewi Banowati
Golek
45. Dewi Banowati
Berok
46. Dewi Kunti 47. Dewi Hanggendari 48. Dewi Drupadi 49. Dewi Herawati 50. Dewi Banowati nem slendangan 51. Dewi Banowati rimong kasmekan 52. Dewi Sembadra
Rangkung
53. Dewi Sembadra
Lentreng
54. Dewi Rukmini 55. Dewi Setyobomo 56. Dewi Srikandi
Goleng
57. Dewi Srikandi
Patrem
58. Dewi Surtikanthi 59. Dewi Jembawati. nem 60. Dewi Dursilawati 61. Dewi Pergiwa 62. Dewi Sitisendari 63. Dewi Untari
Gandes
64. Dewi Leskalauti 65. Dewi Rara Ireng
Lanceng
66. Dewi Hanjani 67. Dewi Ratih. lanyapan (endel) memakai baju 68. Estren lanyapan 2 buah. Slendangan 1 buah 69. Estren longok 2 buah. Slendangan 1 buah. 70. Estren luruh 2 buah, slendangan 1 buah 71. Bondanpaksadanu (Dewa Ruci) 72. Putran Baji (anak kecil)
B. Sumpingan Sebelah Kiri No. 1.
Buta raton. Makutan
Barong
2.
Buta raton. Harya Kumbakarna
Macan
3.
Buta neneman. Pogogan
Mendung
4.
Buta neneman. Ngore (gendong)
Kopek
5.
Prabu Dasamuka
Bugis
6.
Prabu Rahwana
Belis
7.
Harya Kongso
8.
Prabu Bomantara
9.
Prabu Bomanarakasura
10.
Prabu Baladewa
Geger
11.
Prabu Baladewa
Sembada
12.
Prabu Baladewa
Kaget
13.
Prabu Baladewa
Peripeksa
14.
Prabu Druyudana
Jangkup
15.
Prabu Druyudana
Jaka
16.
Raden Kurupati
17.
Raden Kakrasana
Kilat
18.
Raden Krakasana
Sembada
19.
Raden Kencaka
20.
Raden Penuhenca
21.
Raden Seta
22.
Raden Utara
23.
Raden Wratsangka
24.
Raden Hugrasena
25.
Prabu Kuntibojo
26.
Prabu Basudewa (di Mandura)
27.
Prabu Matswapati (di Wirata)
28.
Prabu Drestarastra (di Astina)
29.
Prabu Drupada (di Pancalareja)
30.
Prabu Setyajit (di Ngalesanpura)
31.
Prabu Salya (di Mandraka)
32.
Prabu Bismaka (di Kumbina)
33.
Prabu Radeya (di Petapralaya)
34.
Prabu Karna (di Ngowonggo)
Lontang
35.
Prabu Karna (di Ngowonggo)
Bedru
36.
Raden Setyaki
Mimis
37.
Raden Setyaki
Akik
38.
Raden Setyaki
Wisuna
39.
Raden Lesmana Mandrakusuma
40.
Raden Jadengandura
41.
Raden Narayana
Geblag
42.
Raden Narayana
Sembada
43.
Raden Narasoma
44.
Ratu Sabrang Wok
45.
Ratu Sabrang Bagus
46.
Patih Suwanda
47.
Harya Wibisana
48.
Harya Praburukma
49.
Raden Rukmarata
50.
Raden Rukmara
51.
Raden Drestajumna
52.
Raden Sombo
Banjet
53.
Raden Sombo
Sebada
54.
Raden Sombo
Buntit
55.
Raden Warsakusuma
56.
Raden Partadyumna
57.
Raden Pancawala
58.
Raden Ongkowijaya
Rangkung
59.
Raden Ongkowijaya
Buntit
60.
Raden Sumitra
61.
Raden Irawan
62.
Raden Wijanarka (bambangan
Miling
srambahan) 63.
Bambangan
64.
Bambangan sampir slendangan.
Pengasih
Srambahan 65.
Raden Setyaka
66.
Raden Nangkula
67.
Raden Sahadewa
68.
Raden Wisanggeni
69.
Raden Pinten
70.
Raden Tansen
71.
Raden Tiaranggana
C. Wayang Dudahan Setelah habis wayang sumpingan kiri serta kanan dilanjutkan dengan wayang dudahan yang hanya ada dalam kotak. Nama Wayang Putran : 1. Raden Trisirah 2. Raden Trikaya 3. Raden Jaksadewa
4. Raden Dewantaka 5. Raden Narantaka 6. Raden Wilmuka 7. Raden Wisata 8. Raden Rajamala 9. Radem Kartawiyoga 10. Raden Sanga sanga 11. Raden Jujudsuh 12. Raden Hindrajit wanda pantat Raden Hindrajit wanda cawet
Nama para Kurawa 1. Pandita Druna 2. Patih Harya Sengkuni 3. Raden Dursasana 4. Raden Durmuka 5. Raden Kartamarma 6. Raden Surtayu 7. Raden Surtayuda 8. Raden Citraksa 9. Raden Citraksi 10. Raden Jayadrata 11. Raden Krepa
12. Raden Haswatama 13. Raden Burisrawa wanda pantat 14. Raden Burisrawa wanda cawet 15. Raden Durmagati wanda pocol 16. Raden Durmagati wanda cantuk
Para Patih dan Punggawa 1. Patih Hudawa wanda tandhang 2. Patih Hudawa wanda jaran 3. Patih Pragota (dengan ketu merah) wanda pocol 4. Patih Prabowo (dengan ketu merah) wanda pocol 5. Patih Pragota (dengan rapekan merah) wanda bundel 6. Patih Prabowo (dengan rapekan merah) wanda gembel 7. Patih Tuhayata 8. Patih Hadimanggala 9. Patih Tambakganggeng 10. Patih Handakasumeler 11. Patih Saragupita 12. Patih Nirbita 13. Patih Sucitra 14. Patih Jalasengara 15. Patih Sabrangan memakai baju 16. Patih Sabrangan tanpa baju
17. Punggawa sabrangan gecul memakai baju 18. Punggawa sabrangan tatagan memakai baju 19. Punggawa sabrangan tatagan tanpa baju 20. Punggawa Jodipati Gagakblorok 21. Punggawa Jodipati Dandang minangsi 22. Punggawa Jodipati Podangbinorehan 23. Punggawa Jodipati Jangetinelon
Nama para Tapa dan Pandita 1. Resi Abyasa 2. Resi Santanu 3. Resi Kanwa 4. Resi Bisma 5. Resi Bagaspati 6. Resi Wiraswa 7. Resi Ramabargawa 8. Resi Manumayasa 9. Resi Sakutrem 10. Resi Palasara (8, 9, 10 itu wayangnya cukup dengan wayang srambahan Harjuna slendangan) 11. Resi Jebawan 12. Cekel Hendralaya 13. Ciptaning (Mintaraga)
14. Putut Jayasemedi 15. Pandita Sepuh (putut) 16. Demang Ontogopo 17. Jagalwakas
Nama para Danawa 1. Buta Panyareng (Cakil) wanda. Kikik (tlakup) 2. Buta Panyareng (Cakil) wanda batang 3. Buta Panyareng (Cakil) wanda naga 4. Buta Panyareng (Cakil) udalan mata kadondongan 5. Buta Pragalba rambut jebolan tiga. 6. Buta Pragalba rambut udalan dengan gruda 7. Buta Pragalba mondolan danawa kuna. 8. Buta Galiyuk (kobis). Semua itu danawa srambahan untuk persiapan perang kembang menurut lakon. 9. Danawa Terong (congklok) 10. Danawa endog 11. Danawa Rambutgeni 12. Danawa Kenyawandu 13. Danawa gundul, Taliawuk 14. Danawa kepala Babi, Mamangmurka 15. Danawa Alasan laki-laki (raseksa) 16. Danawa Alasan perempuan (raseksi)
Danawa Setragandamayu 1. Danawa Jarameya 2. Danawa Jurumaya (catnya awak awakan loreng seperti harimau) 3. Danawa Rendumaja 4. Danawa Palasiya 5. Taliawuk, juga buta Setragandamayu
Danawa Kiskenda 1. Prabu Maesasura, danawa raton kepala kerbau 2. Patih Lembusura, danawa kepala sapi 3. Jatasura, Badan kerbau kepala danawa. Dengan punggawa tiga bisa meminjam Danawa Srambahan tadi.
Danawa Pringgadani 1. Raden Prabakesa 2. Raden Brajadenta 3. Raden Brajamusti 4. Raden Brajamingkalpa 5. Raden Brajalamadan (seperti cakil mata kadondongan rambutnya udalan) 6. Kalabendana (seperti danawa endog gundul memakai baju)
Nama Danawa Ngalengka 1. Patih Prahasta 2. Raden Aswanikumba 3. Raden Kumba kumba 4. Wirupaksa 5. Jambumangli 6. Wilkampana 7. Marica 8. Mintragna 9. Sukasrana 10. Wikataksini 11. Tatakaksini 12. Karadusana 13. Wilohitaksa 14. Wiroda
D. Para Jawata 1. Batari Durga, wanda Gidrah (mata satu kadondongan) 2. Batari Durga, wanda Gedrug (mata dua bulat) 3. Batara Narada 4. Batara Brahma 5. Batara Hendra 6. Batara Sambu
7. Batara Bayu 8. Batara Surya 9. Batara Jamadipati 10. Batara Patuk 11. Batara Tamboro 12. Batara Kamajaya 13. Batara Pbaruikan 14. Batara Antaboga 15. Batara Basuki 16. Batara Baruna 17. Batara Gana 18. Batara Singawongsa 19. Batara Cingkarabala 20. Batara Balaupata
Para Wanara 1. Prabu Subali 2. Rabu Sugriwa 3. Raden Jayahanggada 4. Raden Jembawan 5. Kapi Hanila 6. Hapi Hanala 7. Kapi Hendranyanu
8. Kapi Wreksaba 9. Kapi Saraba 10. Kapi Satabali 11. Kapi Gawaksa 12. Kapi Darimuka
Sebangsa Dagelan 1. Semar, wanda ginuk 2. Semar, wanda Dukun 3. Semar, wanda Brebes 4. Semar, wanda Mega (temannya Bagong) 5. Nala Gareng wanda Kancil 6. Nala Gareng wanda Wregul 7. Petruk, wanda Jamblang 8. Petruk, wanda Mesem 9. Petruk, wanda Jlegong 10. Bagong wanda Gembor 11. Bagong wanda Gilut 12. Bagong wanda Ngengkel 13. Togog wanda Burung 14. Togog wanda Goprak 15. Semar – Gareng – Petruk (dengan pakaian seperti dewa, untuk lakon Lintang Prekacuk)
16. Petruk jadi ratu. Prabu Durginadur 17. Gareng jadi ratu. Prabu Pandubragola 18. Bagong jadi ratu. Prabu Patokol 19. Cantrik Janaloka (cantrik mrabot) 20. Cantrik lumrah 21. Belung (Sarawita) 22. Parekan (Nyai Tumenggung dua buah) 23. Inya wungkuk, gelung melintang 24. Embah, pawongan 25. Cangik 26. Limbuk 27. Paranyai (parekan danawa dua buah) 28. Dewi Clakutana 29. Dewi Retnajuwita 30. Sokasrana 31. Kera kacangan tiga buah 32. Setanan warna-warni 10 buah.
E. Para Ratu Sabrang 1. Prabu Jarasadda 2. Prabu Supala 3. Prabu Supali 4. Prabu Gandarpati
5. Prabu Sridenta 6. Prabu Bagadenta 7. Prabu Kalinggapati 8. Prabu Pratipa 9. Prabu Citradarma 10. Prabu Dasarata 11. Prabu Barata 12. Prabu Janaka 13. Prabu Kartadarma 14. Prabu Danapati 15. Prabu Suryaketu 16. Prabu Candraketu 17. Prabu Banaputra Para ratu Sabrang cukup 10 buah saja. Para ratu sabrang itu bisa diwujudkan misalnya seperti di bawah ini. 1. Seperti Gatutkaca dengan makuta. 2. Seperti Gatutkaca dengan makuta topong Karna. 3. Seperti Boma dengan makuta topong Karna. 4. Seperti Baladewa gusen dengan baju. 5. Seperti Boma rapekan pogogan. 6. Seperti Hadipatikarna rapekan mata kadelen. 7. Seperti Druyudana rapekan memakai baju. 8. Seperti Salya rapekan memakai baju.
9. Seperti Drupada rapekan. 10. Seperti Bismaka rapekan makutan. Semua itu sudah bisa luwes untuk srambahan.
F. Wayang Ricikan 1. Gunungan (kayon) 2. Prampogan prajurit Jawa 3. Prampogan prajurit buta 4. Kuda (tunggangan) – 3 buah 5. Kereta tunggangan ratu 6. Gajah (tunggangan) 7. Gajah alasan 8. Naga raja 9. Sawer tanpa jamang 10. Banteng 11. Maesa – dua buah 12. Harimau putih 13. Harimau kuning – gembong 14. Garuda, burung jamangan 15. Burung jawata 16. Babi 17. Wilmana (raksasa dengan sayap) 18. Rusa
19. Kijang 20. Sawung – 2 buah 21. Brajut laki-laki dan perempuan 22. Kenti hergelek – 2 buah 23. Gelas inuman – 4 buah 24. Serat Kalimasada 25. Rangka duwung 26. Cupu manik
Macam-macam Senjata 1. Keris lurus besar kecil – 4 buah 2. Keris luk besar kecil – 4 buah 3. Panah besar kecil – 4 buah 4. Sarutama, panah kepala burung 5. Nagapasa, panah kepala naga 6. Panah rantai 7. Nanggala 1 buah 8. Cakra 1 buah 9. Gada Rujakpolo 1 buah 10. Bindi 2 buah 11. Patrem, keris kecil 2 buah 12. Denda 1 buah 13. Gandi 1 buah
14. Musala 1 buah 15. Palu 1 buah 16. Paling 1 buah 17. Limpung 1 buah 18. Badama 1 buah 19. Alugara 1 buah 20. Candrasa 1 buah 21. Samoga 1 buah 22. Trisula 1 buah 23. Cis 1 buah 24. Cundrik 1 buah
Nama Senjata Yang dipakai para Linangkung 1. Pulanggeni, keris yang dipakai raden Harjuna 2. Kalanadah, keris yang dipakai raden Harjuna 3. Sarutama, panah yang dipakai raden Harjuna 4. Pasupati, panah yang dipakai raden Harjuna 5. Harjasangkali, panah yang dipakai raden Harjuna 6. Hardadatali, panah yang dipakai raden Harjuna 7. Cundamani, panah milik danghyang Druna diberikan pada putra Haswatama, selanjutnya dimiliki raden Harjuna setelah selesai perang baratayuda. 8. Senjata cakra yang dipakai prabu Kresna
9. Cakrabaskara yang dipakai patih Suwanda 10. Senjata Kunta yang dipakai Hadipati Karna 11. Wijayadanu yang dipakai Hadipati Karna (Wijayajapa) 12. Kyai Jalak sangupati, keris yang dipakai Hadipati Karna 13. Kuntabaskara panah yang dipakai Prabu Danapati 14. Bargawastra panah yang dipakai Resi Parasu (Bargawa) 15. Bargawastra panah yang dipakai Harya Sena 16. Gada Rujakpolo yang dipakai Harya Sena 17. Gada Lukitasari yang dipakai Harya Setyaki 18. Nanggala yang dipakai Rabu Baladewa 19. Alugara yang dipakai Prabu Baladewa 20. Nagapasa panah yang dipakai raden Hindrajit 21. Senjata Barla panah yang dipakai Rabu Ramawijaya 22. Hendrasara panah yang dipakai Raden Laksmana 23. Surawijaya panah yang dipakai raden Laksmana
BAB IV NEGARA, KAHYANGAN DAN KASATRIYAN
A. Para Narendra dan Negara 1. Prabu Danaraja negaranya di Lokapala 2. Prabu Wisrawa negaranya di Lokapala 3. Prabu Sumali negaranya di Ngalengka 4. Prabu Dasamuka negaranya di Ngalengka 5. Prabu Kartawirya negaranya di Maespati 6. Prabu Harjunasasra negaranya di Maespati 7. Prabu Citradarma negaranya di Manggada 8. Prabu Banaputra negaranya di Ngayodyapala 9. Prabu Dasarata negaranya di Ngayodyapala 10. Prabu Barata negaranya di Ngayodyapala 11. Prabu Ramawijaya negaranya di Ngayodyapala 12. Prabu Janaka negaranya di Mantilireja 13. Prabu Maesasura negaranya di Kiskenda 14. Prabu Subali negaranya di Kiskenda 15. Prabu Sugriwa negaranya di Kiskenda 16. Prabu Basumurti negaranya di Wirata 17. Prabu Basukiswara negaranya di Wirata 18. Prabu Matswapati negaranya di Wirata
19. Prabu Partawijaya negaranya di Tabelasuket 20. Prabu Palasara negaranya di Astina 21. Prabu Kresnadipayana negaranya di Astina 22. Prabu Pandudewanata negaranya di Astina 23. Prabu Drestarastra negaranya di Astina 24. Prabu Druyudana negaranya di Astina 25. Prabu Yudistira negaranya di Astina 26. Prabu Parikesit negaranya di Astina 27. Prabu Basukesti negaranya di Mandura 28. Prabu Kuntiboja negaranya di Mandura 29. Prabu Basudewa negaranya di Mandura 30. Prabu Baladewa negaranya di Mandura 31. Prabu Bismaka negaranya di Kumbina 32. Prabu Setyajit negaranya di Ngalesanpura 33. Prabu Kresna negaranya di Dwarawati 34. Prabu Mandratpati negaranya di Mandraka 35. Prabu Salya negaranya di Mandraka 36. Prabu Gandabayu negaranya di Pancalareja 37. Prabu Drupada negaranya di Pancalareja 38. Prabu Karna negaranya di Ngawangga 39. Prabu Yudistira negaranya di Amarta 40. Prabu Bomaranakasura negaranya di Trajustrisna 41. Prabu Arimbamuka negaranya di Pringgadani
42. Prabu Gatutkaca negaranya di Pringgadani 43. Prabu Tuhuwasesa negaranya di Gilingwesi 44. Prabu Niwatakawaca negaranya di Ngimaimantaka 45. Prabu Biswarna negaranya di Singgela 46. Prabu Rajeda negaranya di Petaprelaya 47. Prabu Dewasrani negaranya di Tunggulmalaya 48. Prabu Srimahapunggung negaranya di Mendangkmulan 49. Prabu Palgunadi negaranya di Paranggelung 50. Prabu Jungkugmardeya negaranya di Paranggubarja 51. Prabu Wibisana negaranya di Ngalengka Kekurangannya tinggal sedikit bisa mencari sendiri, yang disebutkan itu sudah cukup untuk ancer-ancer.
B. Negara Sabrang 1. negara Jongbarang 2. negara Jongbiraji 3. negara Paranggumiwang 4. negara Di atasangin 5. negara Giyantipura 6. negara Simbarmanyura 7. negara Manimantaka 8. negara Tirtakandasan 9. negara Girikadasar
10. negara Tasikmadu 11. negara Jurangparang 12. negara Garbaruci 13. negara Ngracangkancana 14. negara Cedipura 15. negara Parangkancana 16. negara Tawmenggantungan 17. negara Ngendrapura 18. negara Pulorajapeti 19. negara Pudaksategal 20. negara Selahuma 21. negara Timbultahunan 22. negara Bulukatiga 23. negara Selabentar 24. negara Widarba 25. negara Kandabumi 26. negara Sindula 27. negara Ngawu-awejanganit 28. negara Guwabarong 29. negara Ngmengamenin 30. negara Sriwedari 31. negara Tabelaretna Selanjutnya bisa mencari sendiri kekurangannya.
C. Kediaman Para Satriya Nama kediaman Para Kurawa 1. Raden Lesmana Mandrakumara di Suryabinangun. 2. Patih Harya Sengkuni di Plasajenar. 3. Pandita Durna di Sokalima. 4. Dursasana Banjarjungut. 5. Durmuka di Sekarcinde. 6. Durmagati di Sobrahlambangan. 7. Jayadrata di Banakeling. 8. Kartawarna di Banyutinalang.
Nama kediaman para Satria 1. Raden Harjuna di Madukara. 2. Raden Werkudara di Jadipati (Pamenang) 3. Raden Nangkula di Tanjunganom 4. Raden Sahadewa di Bumiratawu 5. Raden Setyaki di Suwalabumi (Nglesanpura) 6. Raden Setyaka di Tambakmas 7. Raden Samba di Paranggaruda 8. Raden Gandamdalam Sawojajar 9. Raden Gatutkaca di Pringgadani 10. Raden Angkawijaya di Plangkawati
11. Raden Antasena di Saptapratala 12. Raden Kencakarupa di itutulan 13. Raden Haryapraburukma di itutulan 14. Raden Kumbakarna di Pangleburgangsa 15. Raden Rukmarata di Cindekembang 16. Raden Burisrawa di Pambutulan Yang lainnya cukup disebut satria di kadipaten sesuai nama negaranya.
D. Pertapaan Para Pandita 1. Resi Kanumayasa di pertapaan Saptarga (Wukiratawu) 2. Resi Sakutrem di pertapaan Saptarga 3. Resi Palasara di pertapaan Saptarga 4. Resi Abyasa di pertapaan Saptarga 5. Resi Bagaspati di pertapaan Hargabelah 6. Resi Kanwa (Jayawilapa) di pertapaan Yasarata 7. Rsi Hanoman di pertapaan Kendalisada 8. Resi Jembawan di pertapaan Gandamadana 9. Resi Ciptaning di pertapaan Indrakila 10. Resi Sidikwacdalam pertapaan Candipura 11. Resi Santanu di pertapaan Tulkanda 12. Resi Bisma di pertapaan Tulkanda 13. Wasi Jaladara di pertapaan Hargasonya 14. Resi Subali di pertapaan Sonyabambuga
15. Resi Maruta di pertapaan Duksina Kekurangannya bisa mencari sendiri.
E. Kahyangan para Jawata 1. Sanghyang Guru di Jonggringsalaka 2. Sanghyang Brahma di Hargadhahana 3. Sanghyang Hendra di Kahendran 4. Sanghyang Yamadipati di Hargadumilah 5. Sanghyang Kumajaya di Cakrakembang 6. Sanghyang Wisnu di Nguntarasagara 7. Sanghyang Antaboga di Saptapratala 8. Batara Kala di Nusakambangan 9. Batari durga di Setragandamayit 10. Batara Narada di Sudukmangudal-udal 11. Batari Wilutama di Bulatan.
Nama taman yang ada namanya 1. Taman Sriwedari kepunyaan Prabu Harjunasasra 2. Taman Hargasoka kepunyaan Prabu Dasamuka 3. Taman Maduganda kepunyaan Raden Harjuna 4. Tamn Kadilengeng kepunyaan Prabu Druyudana 5. Taman Merakaca kepunyaan Dewi Srikandi 6. Taman Hargasonya kepunyaan Raden Kakrasana
7. Di Randugumbala pesanggrahan milik Prabu Baladewa 8. Di Glagahtinunu kesatrian milik Raden Brajadenta 9. Di Klampisireng padukuhan milik Kyai Semar 10. Di Petruk di Pecukpacukilan 11. Buta Bregeduwak di Karang Kabutan 12. Para bidadari di Karang Kawidadaren 13. Batara Guru di Balemarcukunda 14. Tempat menghadap para dewa di Balemarakata 15. Alun-alunnya bernama Repatkapanasan 16. Prajurit Dewa namanya Wadra Durandara 17. Kahyangan milik Prabu Kiriti di Tinjomaya Taman-taman para ratu yang tidak ada namanya cukup disebut di Tamansari (taman yang asri).
BAB V BENTUK WAYANG PURWA
A. Gambaran Tentang Watak Wayang kulit purwa itu menunjukkan gambaran tentang watak jiwa manusia. Karena kepiawaian para linangkung di jaman kuna dalam mengotakatiknya sehingga bisa menunjukkan bentuk yang melebihi pikiran kita, kalau dilihat akan sangat terasa dalam hati. Coba kalau akan membuktikan, lihatlah salah satu wayang purwa, misalnya Janaka atau Gatutkaca, maka tidak akan mirip dengan bentuk corak manusia. Mulai kepala sampai kaki semua serba panjang, ada yang pantatnya bulat atau lonjong. Kalau dicat wajah wayang ada yang hitam, merah, merah muda, putih, biru telur bebek, kuning brom atau prada. Kalau dirasa-rasakan seperti memakai topeng (kedok). Badan dan wajahnya yang sama dengan yang tidak sama hampir separuh. Tapi kok kelihatan bagus, bisa kelihatan hidup sampai dan mempunyai jatmika, seperti mempunyai jiwa. Dibuat oleh kagum adalah dalam membuat bentuk wayang lalu menjadi mudah dimengerti oleh setiap orang sampai semua merasa senang. Coba kalau melihat wayang Kresna, Janaka, Gatutkaca, Werkudara, serta dagelannya Semar, Gareng, Petruk, kalau wayang keluar dlam lakon apa saja, kalau sedang mendapat kesusahan para pamirsa juga akan ikut merasa susah, sedangkan kalau sedang mendapat kemuliaan atau mendapat kanugrahan, para pamirsa akan ikut senang,
rasanya para pamirsa semua ikut mendapat kemuliaan dan keberuntungan. Sampai begitu dalam masuk ke dalam hati sanubari manusia. Jadi sudah jelas kalau wayang itu tidak menggambarkan bentuk belaka, di sana hanya menunjukkan watak tinggi rindahnya budi, yang kasar serta yang halus. Awal mula wayang kulit bisa jadi bentuk yang indah itu ketika jaman para wali di Demak, ketika jaman itu sedang gencar-gencarnya agama Islam. Padahal semua orang yang telah masuk agama Islam itu kalau melihat bentuk berwujud orang apalagi dipasang untuk keindahan atau disimpan, itu menurut orang beragama tidak boleh, itu diharamkan. Tontonan wayang itu bagi bangsa Jawa sudah sangat tertanam sampai ambalung sungsum masuk ke dalam hati, lagipula tontonan itu bisa untuk alat pendidikan atau penerangan (propaganda) pada rakyat agar bisa menerima ajaran dan tuntunan yang baik sesuai yang dibutuhkan. Karena kepandaian para Wali dan para Linangkung di jaman kuna, di setiap tahun diganti-ganti bentuknya sampai baik sehingga bisa sempurna bentuk wayang purwa itu sampai bisa hilang sifat manusianya, jadi bisa berujud sampai sekarang ini. Pada jaman Majapait, wayang purwa bentuknya seperti wayang kulit di Bali, mengambil gambar bentuk relief di Candi Panataran yang ada di Blitar (Kediri).
Wayang
purwa
nantinya
setelah
sempurna
pangarang
serta
pembuatannya, sudah tidak bisa diubah bentuknya lagi karena namanya sudah sempurna, artinya sudah tetap pembuatannya. Kalau kurang percaya cobalah membuktikan sendiri, coba diubah bentuknya atau badannya, atau kedua-duanya sekalian, bisa memilih sesukanya mana yang disenangi. Misalnya yang diganti pakaiannya dengan cara orang
sekarang, misalnya Gatutkaca diberi kupluk atau topi pet, memakai celana (pantalon) dan memakai keris, nanti kalau sudah jadi bentuknya akan jadi kelihatan lucu. Hanya Dagelan yang bisa luwes digonta-ganti, sedangkan yang lainnya semua kelihatan kaku. Misalnya yang diganti adalah Harjuna, wajahnya diganti dengan topeng miring, jadi hidungnya kelihatan dekat seperti orang tapi leher, pundak dan tangannya masih kelihatan panjang, nanti akan kelihatan semakin lucu. Kalau tangan dan pundak belakang tidak dibuat serba panjang tidak enak untuk sabetan, kalau dibuat serba pendek seperti bentuk manusia miring, tidak bisa dipakai sabetan, kelihatan kaku tidak bisa lincah. Jadi sudah jelas barang yang sudah sempurna pembuatannya itu kalau diubah-ubah malah jadi bubrah, sudah seperti itu itu bentuk wayang purwa sampai turun-temurun anak cucu kita semua sampai akhir jaman nanti. Kalau ingin membuat wayang yang berbeda bentuknya jangan merubah bentuk wayang purwa yang sudah baik dan sudah sempurna pembuatannya tadi, nanti ditertawai orang banyak dan disebut orang royal, hanya menuruti keinginannya sendiri. Semua wayang karangan baru itu bisa eksis hanya sesaat saja, setelah seelsai tidak bisa diceritakan lagi. Begitulah bedanya dengan buatan para linangkung di jaman kuna. Kalau akan membuat wayang sesuai dengan keadaan jaman saja, menurut suasana yang sedang terjadi sebaiknya membuat bentuk sendiri, jangan mengubah barang kuna yang sudah jadi. Lebih baik dibuat gambaran manusia saja, digambar miring semua, jadi nanti seperti wujud orang. Kalau dilihat jelas berbeda, tidak akan kacau menamainya. Jadi tidak mengubah
barang yang sudah jadi, yang sudah sempurna tadi. Wayang itu lalu bisa dinamakan wayang perjuangan, untuk cerita babad perjuangan atau wayang Suluh untuk penerangan.
B. Macam-macam Wayang Macam-macam wayang di Surakarta seperti yang ada di bawah ini. Wayang purwa, menurut cerita serat yang dibuat sejak Prabu Jayabaya narendra di Kadiri, masih berbentuk ron tal (daun tal), yang dibuat dan digambar dengan kalam, dimasukkan dalam kandaga (bokor besar). Setiap hari digunakan sang prabu untuk menceritakan kisah para leluhur pada jaman perang Baratayuda, para Pandawa melawan Kurawa, perang sesama saudara. Wayang Gedog, mengambil dari kata kedok (topeng), dipakai untuk menamai wayang yang dibuat oleh kanjeng Sunan Giri. Itu digunakan untuk menceritakan para ratu Jenggala sampai di negara Pajajaran habis. Wayang Madiya, dibuat oleh adalah Kanjeng Gusti Mangkunagara yang ke IV di Surakarta, untuk menceritakan kisah para ratu setelah perang Baratayuda. Yaitu jaman Prabu Gendrayana sampai negara Jenggala habis. Wayang Klitik atau wayang Krucil, klitik artinya kalotakan (mengeluarkan bunyi kayu beradu). Wayang tersebut dibuat dari kayu krucil mempunyai arti kecil bentuknya, dibuat oleh Kanjeng Sunan Kudus, jumlahnya hanya 70 buah untuk cerita lakon babad Pajajaran sampai Majapahit terakhir. Sunan Kudus juga membuat wayang Golek, dibuat dari kayu diberi badan seperti manusia, jumlahnya juga hanya 70 buah. Kebanyakan di Cepu dan Bojonagoro dengan memakai cerita lakon menak babad
tanah Arab, misalnya orang Agung Menak dan Marmaya dan seterusnya. Di Jawa barat juga banyak wayang golek, tapi didandani seperti wayang orang (wayang orang), untuk cerita lakon jaman purwa. Dagelannya Petruk diganti namannya menjadi Cepot, kebanyakan terdapat di tanah Priyangan Bandung. Wayang Dupara, dibuat oleh Danuatmajan juga orang di Solo. Sekarang wayang diambil di Musium Radyapustaka juga di Solo. Itu wayang untuk cerita jaman para ratu di Demak sampai di Mataram habis. Wayang Jawa dibuat oleh Dutadiprajan juga orang Solo. Wayang itu juga untuk cerita babad Demak sampai Mataram habis, tapi juga dipakai untuk cerita lakon Menak babad negara Arab. Wayang Menak, dibuat oleh bapak Trunadipa, kyai dukun di kampung Baturana juga di Solo. Wayang itu hanya untuk cerita Menak anak sampai lakat habis. Wayangnya ada 350 buah. Wayang kancil, dibuat oleh orang Tionghoa bernama Bah Bo Liem, ketika tahun 1925. Wayang kancil digunakan untuk menceritakan kisah dongeng hewan. Itu baik bagi anak-anak untuk memberi pendidikan dengan cerita dongeng hewan. Kalau untuk orang tua dongengnya memakai cerita Kancil Krida Martana, isinya ilmu tentang hidup. Wayang kancil itu sangat bagus banyak leluconnya, itu kalau dalangnya bisa menjalankannya. Kalau dalangnya belum bisa, artinya belum pernah melihat dan mempelajari cara-caranya lalu dipaksa saja memainkan dengan caranya sendiri, biasanya lalu kelihatan tidak bagus karena wayangnya tanpa tangan, kalau belum bisa akan kelihatan kaku. Wayang perjuangan, dibuat oleh R.M. Sayid, pada tahun 1944. dinamakan wayang Sandiwara untuk cerita dongeng yang mengandung ajaran yang baik.
Misalnya cerita dongeng Isin Ngaku Bapa (Malu mengaku Bapak) dan seterusnya. Setelah tahun 1945 lalu diganti namanya menjadi wayang perjuangan untuk memperingati jaman perjuangan, jaman Proklamasi kemerdekaan negara kita Indonesia. Lalu dipakai untuk cerita babad Indonesia mulai jaman penjajahan Belanda 350 tahun, jaman Jepang 3½ tahun, sampai sekarang. Sebagian ada yang menyebutnya wayang Suluh karena bentuknya hampir sama, memang sangat mirip. Bedanya wayang Suluh itu yang memainkan hanya para pegawai jawatan penerangan saja karena hanya ditujukan untuk alat memberi penyuluhan kepada rakyat agar mengerti
kejadian di dalam negara. Wayang
kancil dan wayang perjuangan lalu dijadikan satu kotak, jumlahnya semua ada 200 buah. Wayang Purwa itu ketika masih jaman Prabu Jayabaya di Kediri, bentuknya mengambil pola gambaran relief candi Panataran di dekat Blitar. Digambar miring di daun tal, yang digunakan untuk itutkisnya adalah tulang daun aren yang diruncingkan, kalau daun itu sudah kering coretannya akan kelihatan jelas, begitu sampai sampai jaman Majapahit. Setelah jaman Majapahit lalu digambar lagi di kertas dialasi dengan kain, digambar satu adegan menurut lakonnya. Jika sudah satu lakon lalu digulung dan diberi warna. Juru sunggingnya adalah putranya sendiri bernama raden Sungging Prabangkara, lalu dinamakan wayang beber. Caya memainkannya yaitu digelar ditancapkan pada pohon pisang atau deling yang didiberi lubang. Gambar yang digulung itu di kiri kanannya diberi kayu untuk merentangkannya, panjangnya kira-kira satu depa. Kalau sudah digelar, Kyai dalang lalu bercerita menurut isi lakon gambar itu. Tapi wayang itu
tidak bisa dipegang karena menempel jadi satu berbentuk gambar, hanya dilihat saja sambil bercerita, begitu cara memainkan wayang beber pada jaman itu. Setelah sampai jaman Demak keislaman, bentuk wayang diganti corak miring serba panjang, sampai hilang bentuk manusianya, hanya tinggal berbentuk gambar seperti berbentuk manusia. Yang pertama membuat seperti itu adalah Jeng Sunan Giri. Lalu yang jadi pemimpin wayang adalah Batara Guru diberi sebutan Girinata, mempunyai maksud Sunan Giri yang nata. Begitu banyak orang yang mempunyai keinginan untuk mengotak-atik pengetahuan tentang wayang tadi. Makanya wayang itu bisa jadi barang yang indah, baik dan sangat sesuai untuk suguhan dalam pertemuan atau untuk pameran. Terlebih lagi kalau dalangnya memiliki wawasan yang luas, para pamirsa akan merasa mendapatkan ilmu yang diinginkan, rasanya seperti memasuki sebuah jaman baru. Wayang menurut tulisan tuan Dr. G. A. J. Hazeu, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh R. M. Mangkudimedja.
C. Wayang Kulit di Jaman Islam Pada mulanya wayang yang dibuat dari kulit kerbau adalah ketika bertahtanya Raden Patah menjadi Sultan Demak pada tahun Jawa 1437 – pada awalnya bentuk wayang purwa itu seperti wujud manusia, yang digunakan sebagai contoh adalah gambar relief candi Panataran. Karena dalam agama Islam dilarang (haram), padahal sang sultan suka sekali pada wayang, makanya para wali lalu membantu membuat bentuk wayang kulit purwa tadi. Pada waktu itu wayang kulit belum diukir bagian dalamnya, hanya dihaluskan di bagian luarnya saja. Tangan
wayang masih irisan (kalau sekarang disebut kapangan). Setelah itu lalu diberi cat dasar dengan tumbukan tulang dicampur dengan ancur agar kelihatan putih, lalu diberi cat hitam. Yang dipakai adalah warna hitam dari asap jadi lampu baru berbentuk putih digambari dengan warna hitam lalu diberi tangkai untuk menancapkan di gadebog atau pada kayu yang diberi lubang. Wayang yang dibuat miring mengambil bentuk bayangan manusia. Setelah berbentuk jadi, wayang kelihatan menjadi serba panjang sampai hilang sifat manusianya. Wayang purwa mulai dibuat dengan wajah, yaitu mulai dengan mata, telinga, mulut, ketika bertahtanya Raden Trenggana yang bergelar Kanjeng Sultan Sah Ngalam Akbar yang ke III di Demak ketika tahun Jawa 1477. Yang memberi perhiasan wayang seperti kelat bau, gelang, karoncong, anting-anting, badong, jamang, gelung atau ngore, dengan praba serta perhiasan wayang dengan diwarnai emas, serta pakem lakon wayang serta suluknya. Yang menambahi adalah Hyang sinuwun Ratu Tunggul di Giri ketika mewakili kraton Demak, pada tahun Jawa 1478. Mulainya wayang purwa atau wayang kulit purwa dipahat dengan gayaman ketika Raden Jakatingkir menjadi Sultan di Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya, wayang sudah berpakaian dan hiasan lengkap atau diatur dengan gayaman tapi tangannya masih irasan, pada tahun Jawa 1505. Yang menambahi alat memainkan wayang kulit dengan kelir, gedebog serta blencong itu adalah Kanjeng Sunan Kalijaga.Yang menambah dengan wayang kera (wanara) adalah Sunan Giri. Yang menambah dengan wayang ricikan, gajah, kuda, serta prajurit prampokan adalah Sunan Benang.
Kanjeng Sultan Demak (Raden Patah), wayang kayon (Gunungan) ditancapkan di tengah kelir serta sebagai alat untuk memenggal cerita dan untuk mengatur sumpingan wayang agar bisa baik enak untuk ditonton. Awal mula wayang purwa dipahat dengan gempuran, dipahat rambutnya serta dodot kainnya serta awalnya wayang diberi wanda tapi tangannya masih irasan, yang membuat adalah kanjeng Panembahan Senapati Ngalaga di Mataram, ketika tahun Jawa 1541. Awalnya wayang purwa lengannya di-sopak bau dengan cara dikancing dengan gegel tulang bahu lengan depan belakang, sedangkan para danawa tangan yang belakang masih irasan, juga wayang Batara Guru sampai sampai sekarang masih dibuat irasan untuk mengingat buatan Mataram yang pertama kali. Awalnya ada wayang danawa kedua tangannya di-sopak bau lengan depan belakang itu yang membuat adalah sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Hanyakrawati yang meninggal di Krapyak ketika tahun 1552, yang membuat danawa Panyareng (Cakil) untuk titimangsa candra sangkala memet Tangan jaksa tinata manusia, yaitu tahun Jawa 1552. Hubungan wayang kulit dengan candrasangkala memet adalah menjadi peringatan titimangsa tahun Jawa ketika membuat dan menambahi bentuk wayang purwa. Itu diambil dari tulisan peringatan ketika para Nata tanah Jawa ingin membuat bentuk wayang purwa agar luwes, baik serta lincah jika dimainkan.
D. Candra Sangkala Memet Ini adalah petikan dari serat asal usul wayang purwa.
1. Wayang Batara Guru dibuat oleh Senapati Mataram yang pertama, setelah selesai dalam membuat wayang lalu diberi candra sangkala. Dewa dadi ngecis bumi, ini menunjukkan candrasangkala tahun Jawa 1541 – jadi sekarang sudah ada 1888 – 1541 = 347 tahun. Atau Ywang Guru dadi ngecis bumi. 2. Wayang Buta Panyareng (Cakil) dibuat oleh Kanjeng Susuhunan Anyakrawati seda Krapyak. Setelah selesai dalam membuat wayang lalu diberi candra sangkala Tangan yaksa satataning janma, menunjukkan candrasengkala tahun 1552 – jadi sekarang sudah ada 1888 kapendet 1552 = 336 tahun. 3. Wayang Buta Rambutgeni bernama kala Dahdalambuat oleh Sinuhun Sultan Agung Hanyakrakusuma di Mataram. Setelah selesai dalam membuat wayang lalu diberi candra sangkala, urubing wayang gumuling tunggal, menunjukkan candrasangkala tahun 1563 – jadi sekarang sudah ada 1888 – 1563 = 325. 4. Wayang Batara Guru mengendarai sapi, memakai dodod dengan celana tanpa slendang, membawa cis, yang membuat Kanjeng Susuhunan Mangkurat. setelah selesai dalam membuat wayang lalu diberi candra sangkala Hestining pandita marganing dewa, menunjukkan tahun 1578, jadi sekarang sudah ada 1888 – 1578 = 310 tahun. 5. Wayang Buta Endog, buta Prepatan, dibuat oleh kanjeng Susuhunan Mangkurat di Kartasura. Setelah selesai dalam membuat wayang lalu
diberi candra sangkala, buta sirna wayanging janma, menunjukkan tahun Jawa 1605, jadi sekarang sudah ada 1888 – 1605 = 283 tahun. 6. Wayang Batari Durga bermata satu serta memegang bendera yang berkibar, dibuat oleh kanjeng Susuhunan Mangkurat pertama di Kartasura. Setelah selesai dalam membuat wayang lalu diberi candra sangkala warna ngasta benderaning dewa, yang menunjukkan candrasengkala tahun 1621 – jadi sekarang sudah ada 1888 – 1625 = 267 tahun. 7. Wayang danawa perempuan Kenyawandu, dibuat oleh Kangjeng Pangeran Hadipati Puger di Kartasura. Setelah selesai dalam membuat wayang lalu diberi candra sangkala, buta nembah rarasing nata, menunjukkan candrasangkala tahun 1625 – jadi sekarang sudah ada 1888 – 1625 sudah ada 263 tahun. 8. Wayang danawa Congklok, yang dimaksud adalah Buta Terong, dibuat oleh Kangjeng Susuhunan P.B. yang ke II di Kartasura. Setelah selesai dalam membuat wayang lalu diberi candra sangkala buta lima mangsa manusia, menunjukkan candrasangkala tahun 1655 – jadi sekarang sudah ada 1888 – 1655 sudah ada 233 tahun. Ada lagi candrasangkala Buta Rambut Geni yang dinamakan Jalu buta tinata ing ratu, tahun 1553 – karena buta Rambut Geni itu tangan dan kakinya diberi jalu (taji). Ada lagi candrasangkala buta Alasan memegang badana hanya memakai cawat saja (artinya tanpa badan) menunjukkan candrasangkala wayang buta ing wana tunggal, tahun 1556.
Ada lagi candrasangkala Batari Durga memakai baju dan sepatu memakai keris yang dirambati oleh tumbuh-tumbuhan di hutan, candrasangkala Wayang misik rasaning bidadari, tahun 1965 – dibuat oleh P.B. yang ke II. Ada lagi R.M. Sayid, juga membuat candrasangkala memet berbentuk gambar wajah wayang satu kotak dibuat jadi satu berwujud satu gambar. Ini berbeda candrasangkala tapi suryasangkala artinya tahun masehi, dinamakan obahing tatanan gambar kang urip, menunjukkan tahun suryasangkala 1956 – yaitu tahun masehi. Itu menggambarkan berbagai macam kebangsaan yang memiliki satu tekad, seperti ada yang memerintah lalu berkumpul jadi satu, mari bergotong royong, hidup rukun di dunia supaya tentram (Persatuan bangsa dapat mencapai perdamaian dunia). Itulah maksud dari gambar wajah wayang purwa tadi.
E. Golongan-Golongan Bentuk Wayang Wayang Bokongan Yang dimaksud wayang bokongan itu wayang yang bentuk pantat dibuat bulat atau lonjong seperti misalnya Harjuna, Kresna, pantatnya bulat. Kalau Yudistira dan Drupada pantatnya lonjong. Wayang Jangkahan Wayang jangkahan itu ada dua macam, yaitu jangkah wiyar dan jangkah ciyut. Jangkah wiyar misalnya Gatutkaca, Baladewa, kalau Ongkawijaya dan Bambangan termasuk jangkah ciyut.
Wayang Dugangan dan Bapangan Wayang dugangan dan bapangan itu kebanyakan adalah gecul serta gusen, seperti Pragota, Dursasana, patih Juwalgita, Durmagati, dan seterusnya sejenis wayang gecul. Wayang brongsong Wayang brongsong adalah semua wayang yang wajahnya diwarnai prada atau dibrom. Wayang Gendong Wayang yang rambutnya terurai sampai di punggung, itu yang dimaksud wayang gendong. Wayang sampir Wayang yang memakai slendangan disebut wayang sampir. Wayang Lanyapan Wayang lanyapan adalah semua wayang yang nglangak/andangak (menengadahkan kepala) seperti Samba, Narayana dan sebagainya. Wayang Longok Wayang longok seperti Nangkula, Sahadewa, Kresna, semua wayang yang tidak begitu mendo’ak, itulah yang dimaksud wayang longok. Wayang Luruh Wayang luruh adalah semua wayang yang menunduk (tumungkul) seperti Harjuna, Yudistira, Ongkawijaya dan semua wayang yang menunduk dinamakan wayang luruh.
Wayang Oyi Wayang estren (wanita) luruh disebut Oyi. Wayang Endel Estren lanyapan disebut Endel. Wayang Gusen Wayang gusen, yaitu wayang yang kelihatan gusi dan taringnya.
F. Tentang Mata Wayang Mata Wayang itu ada tujuh macam: 1. Mata nggabah Seperti Harjuna, Kresna, Karna, itu matanya gabahan, bentuk mata seperti gabah (butir padi) 2. Mata kadelen seperti Baladewa, Setyaki, patih Hudawa, bentuk mata seperti kedelai. 3. Mata kadondongan seperti Kartawarna, Sengkuni, emban Kenyawandu, bentuk matanya seperti buah kedondong. 4. Mata pananggalan seperti buta Cakil, Batara Narada, Pandita Durna, bentuk matanya seperti rembulan tanggal satu. 5. Mata kelipan, seperti buta Alasan, Semar, Buta Galiyuk, matanya kelihatan hanya bulat separuh. 6. Mata telengan, seperti Gatotkaca, Gandamana, Werkudara, Duryudana, bentuk mata bulat tidak kelihatan kelopaknya.
7. Mata plelengan, seperti Buta Raton, sejenis buta yang kelihatan bulat matanya, Burisrawa, Hindrajit, bentuk mata bulat kelihatan kelopaknya. Kalau Togog, Bagong, matanya bernama plolon (artinya mlolo, melotot) kelihatan bulat besar.
Bedahan Mata Ada Tiga macam: 1. Jaitan 2. Blarak Ngirit 3. Brebes
Bentuk Mata Bentuk mata itu bisa untuk mengetahui watak wayang. 1. Misalnya wayang yang matanya gabahan luruh seperti Janaka, Bambangan dan sebagainya, tingkah lakunya halus, tajam, tangguh trampil dalam berperang. 2. Wayang lanyapan mata gabahan seperti Narayana, Narasoma, Hadipati Karna dan sebagainya perilakunya tangguh, trengginas, tangkas dalam perang. 3. Yang matanya kadelen seperti Baladewa, Setyaki, Seta, dan sebagainya perilakunya tangguh, trengginas. 4. Yang bermata kadondongan seperti Citraksa, Citraksi, Kartawarma dan sebagainya tindakannya lincah tapi sering berbuat tidak baik.
5. Yang matanya telengan seperti Harya Sena, Antareja, Gatutkaca, Gandamana perilakunya tangguh, kalau marah menakutkan, kalau sedang marah sangat berbahaya. 6. Sedangkan wayang bapangan dugangan mempunyai watak sendiri seperti Dursasana, Pragota, Burisrawa, Darmagati, dan sejenisnya perilakunya suka memaksa, senangnya gegeculan dan sembrana. 7. Wayang sejenis buta, wataknya menakutkan seperti polah tingkah macan, mengaum-aum, menubruk kesana-kemari, berani tapi kurang perhitungan.
Wayang Budren Wayang budren itu wayang yang wajahnya diukir dengan corak modangan yang menunjukkan corak gambar bulu tubuh atau kumis kelihatan bagus. Wayang budren itu wajahnya pasti hitam, bentuk hidungnya bentulan, seperti: Gatutkaca, Bima muda dan tua, Druyudana, Jayadrata, Gandamana, Antasena, Antareja, dan sebagainya. Wayang budren yang ada hanya di Surakarta, selain wayang Surakarta hanya diberi kumis dengan cat merah saja.
Wayang Rapekan Wayang rapekan kebanyakan adalah sebangsa patih dan punggawa seperti Patih Hudawa, Patih Sangkuni, buta Cakil, buta Pragalba, ada lagi para ratu sabrangan yang rapekan. Kalau wayangnya lengkap maka ditambah dengan para Pandawa rapekan sebagai persiapan untuk lakon Cakranagara.
Wayang Bajujag Wayang bajujag adalah wayang yang tidak bisa diatur besar kecilnya. Pembuatannya tidak memakai pola, kebanyakan dikumpulkan satu dua, mencicil dari sedikit asal berwujud wayang, jadi wayangnya campuran sehingga kelihatan berbeda-beda, hanya mencari sedapatnya asal bisa lengkap. Jadi kalau diatur atau disumping kelihatan naik turun tidak bisa urut bahunya mulai dari sumpingan depan sampai belakang, atau palemahanya juga tidak bisa urut.
Wayang Ribig Kalau wayang ribig berkebalikan dengan wayang bajujag. Wayang ribig itu wayang yang baik urut, kalau disumping tidak kelihatan naik turun, bisa bagus urutannya, pundak dan palemahannya.
Wayang Murgan Ada lagi wayang murgan, aarti mengambil dari kata mirunggan, jadi aarti wayang tambahan, berbeda wayang yang baku, atau wayang susulan perlu untuk sambutan, dimaksud wayang murgan.
Wayang Kanteb Wayang kanteb, semua wayang yang kasutangen artinya kakinya kepanjangan kurang sesuai dengan badannya.
Wayang Jujudan Wayang jujudan, semua wayang yang ditambahi ukurannya, jadi lebih besar dari polanya.
G. Bentuk Hidung Wayang 1. Hidung bentuk Wali Miring, bentuk hidungnya seperti pangot kecil alat untuk mengukir warangka keris, misalnya wayang Bambangan Janaka, Kresna, Samba dan lainnya. 2. Hidung bentuk bentulan, bentuk hidungnya seperti pangot kecil, misalnya Gatutkaca, Gandamana, Werkudara, dan sebagainya 3. Hidung pangotan, bentuknya hidungnya seperti sedangkan pangot, misalnya Boma, Kangsa, Hindrajit semua yang gusen dan sebagainya. 4. Hidung palokan, bentuk hidungnya seperti isi mangga, misalnya Buta Raton, Pragalba yang pasti adalah jenis buta. 5. Hidung Bruton, bentuk hidungnya seperti brutu (pantat ayam), misalnya Bagong, Tumenggung Jolowok, Batara Patuk. 6. Hidung Sumpel, bentuk hidungnya kelihatan menyumpal misalnya Semar, Limbuk. 7. Hidung Terong Glatik, bentuk hidungnya seperti terong glatik bulat, misalnya Gareng. 8. Hidung Cempaluk, bentuk hidungnya seperti buah asam yang masih muda, misalnya Petruk.
9. Hidung Terong Kopek, bentuk hidungnya seperti buha terong, misalnya Buta Congklok, sampai dinamai Buta Terong karena terbawa bentuk hidungnya yang seperti buah terong kopek. 10. Hidung pisekan, bentuk hidung kelihatan pesek, misalnya, Togog, Belung, serta sebangsa Kera.
BAB VI JENIS-JENIS PEMENTASAN WAYANG
A. Wayang Panggungan Yang dimaksud wayang panggungan adalah wayang yang ditata ditancapkan di gadebog sebelah kiri dan kanan tempat duduk dalang kalau sedang memainkan wayang, atau di sebelah kanan biasanya ditancapkan di gadebog yang ada di atas tutup kotak wayang, juga diatur dengan bentuk barisan mulai dari yang besar sampai kecil, sebagai penyeimbang yang sebelah kanan. Sedangkan tempat kosong yang ada di tengah hanya untuk menancapkan satu buah kayon (gunungan), gunanya untuk menancapkan wayang yang akan keluar dalam lakon. Kalau wayangnya banyak kadang-kadang sampai di gadebog yang ada di bawah. Cara penataannya, wayang itu diurutkan menurut wayang yang sudah ditentukan penataannya, sedangkan urutan menata wayang panggungan tadi disebut nyumping, karena bentuk penataannya kalau dilihat dari kejauhan kelihatan seperti sumping, jadi semua wayang yang keluar ditancapkan di gadebog dekat dengan kelir tadi disebut wayang panggungan. Kebanyakan adalah wayang katongan, para ratu atau para satria dengan para putri dan putran, ditancapkan untuk memperindah kelir, ditempatkan di sebelah kiri dan kanan agar kelihatan edi peni dan indah jika dilihat.
B. Wayang Dugangan dan Ricikan Semua wayang punggawa kera dan buta yang tidak ikut disumping disebut wayang dugangan, kata dugangan diambil dari tingkah laku wayang kalau sedang dimainkan. Mereka tidak berperang dengan senjata, tapi pasti saling menendang, saling meninju, dan saling buang. Kalau sudah kalah, yang kalah baru sesumbar akan menggunakan senjatannya. Itu semua disebut wayang dugangan. Yang dimaksud wayang ricikan seperti Gunungan (kayon), prampogan, kereta, senjata (gaman) dan sebangsa buruan. Disebut ricikan karena mengambil dari kata angracik, sebagai pelengkap untuk memainkan suatu lakon. Wayang ricikan itu pasti dipakai. Misalnya wayang satu kotak wayang ricikannya kurang satu seperti Gunungan, Prampogan, Kuda, dan senjata (gaman), tentu tidak akan bisa untuk dimainkan. Tersebut manfaat wayang ricikan yang sudah pasti dipakai.
C. Wayang Buta Prepatan Yang dimaksud wayang buta Prepatan itu kebanyakan adalah wayang Murgan, yaitu wayang susulan, jadi berbeda dengan wayang baku. Kebanyakan wayang danawa Sangkalan atau wayang buta Cadra sangkala seperti Buta Cakil (Panyareng), buta Rambutgeni, danawa Emban Kenyawandu, buta Endog, buta Terong (Cungklok), kalau sekarang ditambahi buta Gombak (Galiyuk atau kobis). Wayang danawa Prepatan tadi untuk melengkapi lakon ketika ada adegan para ratu sabrangan. Buta Prepatan tadi dijadikan sebagai utusan, tiga danawa tadi sami diutus untuk pergi ke tanah Jawa. Wayang danawa yang diperlukan adalah Togog
dan Sarahita sebagai cucuk lampah. Atau diperlukan dalam perang gagal atau perang kembang, perang kembang artinya perang yang tidak ada yang mati. Dinamakan danawa Prepatan karena dalam perang, tiga danawa berperang empat kali, yang pertama buta Cakil perang lalu melarikan diri mencari bantuan. Yang kedua buta Rambutgeni atau Pragalba, terserah yang mana yang disenangi, membantu perang sampai mati. Perang yang ketiga buta Galiyuk atau buta Endog atau buta Terong, salah satu mana yang disenangi, melanjutkan perang sampai mati. Sedangkan perang yang keempat, buta Cakil kembali lagi maju perang terus sampai mati. Tersebut yang dimaksud wayang danawa Prepatan.
D. Wayang Sangkuk Yang dimaksud wayang sangkuk adalah semua wayang yang tidak lurus bentuknya, jadi mulai pinggang naik agak dibuat maju sedikit, jadi wayangnya kelihatan agak maju sedikit seperti orang agak bungkuk, jadi kata sangkuk di sini mempunyai maksud, mulai di pinggang atau naik dibuat agak maju seperti orang yang agak bungkuk, maksudnya adalah untuk menunjukkan rasa tatakrama, begitu maksud wayang dibuat sangkuk. Wayang
sangkuk
dibuat
ketika
jaman
Sinuhun
Sultan
Agung
Anyakrakusuma di Mataram, dengan maksud mempunyai rasa kesusilaan dan tatakrama hanoraga (hanoraga artinya merindahkan diri), ketika tahun candra 1553 – tahun Jawa. Wayang wungkuk kebanyakan adalah wayang kuna, awalnya wayang dibuang sangkuknya ketika jaman Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B. yang ke II di Surakarta, yang mengubah bentuknya Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati
Anom yang ke II, bentuk wayang dibuang sangkuknya, ditatah oleh Ki Cermopangrawit dengan Kyai Gondo. Ketika tahun 1697 wayang sangkuk adalah kebalikan dari wayang andeteng, wayang andeteng nantinya masih lazim dipakai. Tentunya tidak terlalu andeteng, hanya sedikit saja. Dibandingkan dengan lainnya, wayang yang agak andeteng itu kebanyakan logok mempunyai tindak tanduk yang kelihatan gaib, misalnya; Suryoputro, Hadipati Karna, Ratu Sabrang Bagus, Bambangan yang tanpa celana panjang. Andeteng maksudnya mempunyai rasa gaib.
E. Ukuran Wayang Wayang kaper Yang dimaksud wayang Kaper itu adalah wayang Purwa tapi dibuat ukuran kecil. Wayang kaper yang ukurannya besar sendiri, misalnya wayang Buta Raton atau Werkudara, besarnya hampir sama dengan Kresna atau Harjuna dalam wayang pedalangan yang umum. Jika diurutkan ke bawah, wayang bambangan kira-kira sebesar putren kecil, biasanya hanya untuk mainan anak kecil yang senang dan mempunyai dasar pengetahuan pedalangan. Yang suka membuat wayang kaper itu biasanya orang yang kaya serta suka pada tontonan wayang kulit sekalian untuk mendidik putranya. Jadi hanya karena senang pada wayang kulit sampai tidak terasa mengeluarkan banyak biaya, hanya untuk menyenangkan hati. Makanya wayang kaper itu kebanyakan komplit lengkap sampai wayangnya sisa, rangkap-rangkap sampai lebih dari 300an buah
karena tidak mengerti tentang peran masing-masing wayang, hanya menuruti keinginannya saja.
Wayang Kijangkencanan Wayang Kijangkencana itu juga termasuk wayang purwa. Yang dimaksud Kijangkecanan itu adalah nama ukuran wayang atau wayang kencanan, artinya ukuran sedang, tidak kecil tidak besar, jadi mengambil ukuran tengah. Biasanya yang besar sendiri dalam wayang kencanan tadi, msialnya wayang Buta Raton atau Tuhuwasesa yang
disumping paling depan, ukuran wayang mengambil
ukuran wayang Gatutkaca dalam pedalangan umum. Begitu seterusnya, disebut wayang ukuran kencana atau wayang tanggung. Yang suka pada wayang tanggung itu kebanyakan hanya orang yang kaya serta senang memiliki wayang purwa. Maksudnya agar bisa ringan jika dimainkan kyai dalang kalau sedang memainakn wayang, jangan sampai kelihatan ngoyo dalam memegang wayang kalau dilihat orang banyak. Begitu maksud dibuatnya wayang tanggung yang diberi nama Kijangkencanan tadi. Adapun wayang bernama Kijangkencanan ketika jaman Sinuhun Ratu Tunggul di Giri, ketika tahun candra 1478 tahun Jawa, diberi candra sangkala memet berupa wayang Dewa Batara Guru mengendarai sapi andini, salira dwija jadi raja. Itu adalah tahun 1478.
Wayang Pedalangan Wayang pedalangan artinya ukuran umum (normal biasa) ukuran lumrah bagi pawayangan pada umumnya yang umum dipakai para dalang kalau akan memainkan wayang. Jadi yang dimaksud wayang pedalangan adalah wayang dengan ukuran lumrah, dimana-mana bisa urut ukurannya.
Wayang besar (Gede) Wayang besar biasanya disebut Jujudan, ditambahi ukurannya menurut lebarnya palemahan, menurut wayang yang dijujud. Misalnya wayang buta Raton, yaitu menurut berapa lebarnya palemahan Buta Raton tadi, begitu seterusnya. Wayang besar itu kalau untuk umum tidak biasa, selain kebesaran juga kelihatan terlalu besar memenuhi tempat, tidak seimbang dengan keadaan tempat. Bagi yang memainkan, yaitu dalangnya, juga kelihatan susah keberatan wayang, makanya tidak lumrah menurut umum. Wayang besar biasanya hanya digunakan di Kraton, bisa kelihatan komplit selaras dengan keadaan tempat. Kalau sudah dipajang kelihatan indah. Yang masih ada sekarang hanya tinggal untuk tontonan di museum Radyapustaka di Surakarta. Jadi wayang besar itu biasanya hanya untuk di Kraton, agar jika untuk digelar tidak kelihatan kecil dan seimbang dengan keadaan tempat.
Wayang-wayangan Yang dimaksud wayang-wayangan itu adalah tiruan wayang, artinya wayang yang tidak mempunyai wanda. Jadi wayang yang hanya sekedar berwujud
wayang sebagai alat untuk mencari pekerjaan. Wayan-wayangan itu kebanyakan bajujag tidak bisa rata karena wayang satu kotak isinya bermacam-macam asalnya, dikumpulkan dari satu dua dan lagi membelinya dari tukang penatah yang berbeda-beda. Jadi garapannya tentu saja tidak bisa sama, kelihatannya jadi berwarna-warni. Kebanyakan tatahannya tidak luwes karena tercampur panatah yang sedang belajar, sedangkan kulitnya juga hanya sedapatnya, tidak mencari mana yang baik. Artinya, yang tebal kadang terlalu tebal, yang tipis kadang sampai seperti kertas. Pewarnaannya juga begitu, hanya sekedar kelihatan gemerlap, catnya hanya memakai ancur kulit bukan ancur lempeng (kripik). Makanya kalau terkena hawa dingin lalu lengket mudah luntur, tidak bisa dimandikan, makanya kelihatannya lusuh. Gapitnya ada yang hitam, ada yang lugasan, tapi kadang ada satu dua yang diberi gapit tanduk hitam. Adapun wayang yang biasa dipakai itu jumlahnya tidak banyak, kira-kira hanya 125 buah, juga ada yang kurang dari 110 buah. Sudah biasa bagi wayang di pedesaan, kadang ada yang menamakan wayang gunung, karena wayang itu biasanya digunakan untuk mengamen di pedesaan sampai sampai di pegunungan. Wayang-wayang itu kadang-kadang tercampur dengan wayang yang baik, artinya wayang yang memang baik yang dibuat oleh para luhur atau orang di kota yang suka wayang. Wayang di pedesaan itu malah lebih banyak tersebar, hampir sepanjang pesisir utara dan selatan yang suka wayang membeli wayang itu. Selain harganya murah, juga sudah bisa mencukupi untuk mencari penghasilan, sudah bisa untuk menyangga hidup. Para dalang di pedesaan atau para dalang di pesisir kalau
mengumpulkan wayang hanya dengan membeli dari satu dua mencicil dari sedikit. Pembayarannya dengan uang sisa jika ada tanggapan, berapa sisanya menurut kekuatannya sendiri. Tanggapan di pedesaan biasanya harganya murah. Wayang-wayangan tadi kadang ada yang menatah sendiri untuk segera melengkapi wayang yang untuk mencari uang. Ada pula yang memakai cara tukar-menukar wayang segala. Yang kalah bagus menambah uang, makanya wayangnya kebanyakan tidak bisa runtut, campuran, jadi garis besarnya hanya mencari lengkap saja.
F. Wayang Dolanan Wayang dolanan itu wujud dan coraknya hanya sekedar bersifat wayang, tanpa ukuran. Artinya di sini, besar kecilnya tidak bisa ditentukan sebab tidak ada polanya, dalam membuat gambar hanya sedapatnya saja asal bisa jadi wayang. Biasanya dibuat dari kertas karton atau kertas dilem rangkap tiga atau mencari kertas yang kuat. Pembuatannya ditatah tapi cara panatahnya dirangkap, kalau kertasnya tipis sering sampai rangkap 10 lembar, jadi setengah kodi. Penjualannya dengan cara kodian seperti kain. Wayangnya juga dicat tapi hanya empat macam yaitu merah, hitam, kuning, dan hijau. Pengecatannya ada yang hanya sebelah, ada yang bolak-balik (kiri kanan), kadang ada yang tangannya masih irasan, juga sudah ada yang sopakan. Yang tangannya masih irasan wayangnya bertolak pinggang atau malangkadak, sedangkan yang tangannya sopakan dijahit dengan benang agal, jadi bisa lebih hidup. Bagian alusan dicat dengan cat pudar, cat ancur lin (atau ancur lem kayu) ada yang dibrom, diberi gapit seperti tusuk sate,
pegangannya dari bambu yang dibelah terus dipakai menggapit diikat dengan tali benang, terus diruncingkan dan ditancapkan di gadebog, lurus tanpa lengkung. Biasanya dijual ke pasar kalau hari pasaran atau di Pasarmalam serta di Sekaten, begitu seterusnya. Biasanya yang membeli adalah anak dari pedesaan. Selain harganya murah juga sudah kelihatan bagus. Yang dimaksud wayang pasaran artinya penjualannya hanya di pasar. Kebanyakan tentu di pasar pedesaan karena yang senang bermain wayang seperti itu kebanyakan hanya anak di pedesaan saja. Wayang bocah angon (anak gembala) itu dibuat dari batang rumput dondoman yang kuat. Rumput itu dibuat seperti wayang dengan cara yang bermacam-macam. Kalau sudah jadi lalu dikumpulkan biasnya sebanyak 10 buah, kalau lebih dari 10 tentu sudah bosan, lalu diguankan sebagai sebagai selingan waktu menggembala kerbau atau sapi di padang rumput. Ada yang membuat sambil bercerita, yang sudah jadi lalu dimainkan seperti dalang memainkan wayang, diberi musik dari mulut saja, ramai terlihat senang bercanda bersama teman. Yang dimaksud di sini adalah wayang ketika jaman Kartasura sampai jaman Demak ketika Raden Patah menjadi ratu di Demak, tapi sudah tidak ada buktinya. Jadi wayang kuna itu jelas sudah hilang tidak ada wujudnya lagi, hanya tinggal dalam cerita dongeng saja yang sudah ditulis dalam serat-serat pengetahuan tentang wayang. Yang masih ada sekarang hanya tinggal wayang jaman Surakarta, yang bisa tersebar sampai ke seluruh dunia.
Dimana-mana, setiap Kasultanan biasanya mempunyai wayang sendiri. Bentuk berbeda-beda, disesuaikan dengan daerahnya sendiri. Misalnya wayang Cirebon, wayang Yogyakarta, wayang Surakarta, semua itu wayang kulit tapi bentuknya berbeda-beda, mempunyai bentuk sendiri. Makanya wayang di sepanjang pasisir itu sabagian besar bentuknya tidak beraturan karena tercampur wayang dari mana-mana, jadi tidak bisa itutlu mengambil bentuk yang sama. Wayang campuran yaitu wayang dari bermacam-macam tempat dikumpulkan lalu dicampur jadi satu.
BAB VII PENJELASAN SERAT SASTRAMIRUDA
A. Wayang Ron Tal Pohon tal itu bentuknya seperti pohon mangga, daunnya agak kuat serta panjang dan lebar. Daun itu biasanya digunakan untuk tempat menulis pada jaman kuna, juga bisa digambari. Daun tersebut kuat disimpan lama. Itulah guna daun tal ketika jaman kuna sebelum ada kertas. Wayang Ron Tal itu, wayang yang dibuat dari daun tal, digambar dengan alat berbentuk barang seperti paku besar diruncingkan atau kalam aren yang gagagnnya diruncingkan. Yang digunakan untuk pola gambar adalah gambar dari candi Panataran, disalin satu-satu disamakan dengan bentuk gambar-gambar yang dibutuhkan. Tapi setelah jadi gambarnya tidak ditatah keluar seperti wayang kulit sekarang. Jadi tidak dicat, hanya berwujud gambar saja lalu disimpan di kandaga (kotak berukir) sebagai tempat untuk penyimpanannya. Kalau diambil dan dikeluarkan satu-satu lalu diceritakan menurut lakonnya, tanpa kelir gadebog kepyak serta blencong, hanya dengan duduk menghadap kotak sambil melihat gambaran yang keluar dari kotak, hanya mengambil cerita dongengan babad saja tanpa suluk. Kalau sudah merasa capek lalu bubar. Adanya wayang Ron Tal ketika jaman Prabu Jayabaya di negara Mamenang ketika tahun surya 861. Wayang itu hanya sampai jaman Prabu Suryahamilihur di negara Jenggala. Setelah pindah kraton ke Pajajaran lalu ada wayang beber, ketika tahun surya
1166 – sedangkan wujud gambar wayang sama seperti manusia, hanya sampai jaman Majapahit terakhir. Setelah sampai jaman Demak, bentuk wayang diubah semua menjadi miring, hidung, badan, tangannya serba panjang. Wayang Ron Tal sekarang sudah tidak ada.
B. Wayang Beber Wayang beber berbeda dengan wayang yang dipakai mengamen, lalu beber beber di jalan-jalan itu. Kata beber di sini maksudnya mempunyai digelar, karena wayang tersebut kalau akan keluar diceritakan lalu digelar agar bisa dilihat orang banyak, menurut cerita lakon wayang tadi. Wayang Beber itu hanya berbentuk gambaran wayang purwa atau wayang Gedog yang digambar di atas kertas. Panjangnya hanya sadepa lebarnya 70 cm, di kiri kanan diberi alat kayu bulat sebagai untuk merentangkan, lalu ditancapkan di deling yang dilubangi sebagai gadebognya. Kalau sudah digelar di situ ada gambaran apa, Ki Dalang lalu menceritakan kisah wayang itu. Kalau Dalangnya bisa membanyol, meskipun wayangnya tidak bisa digerakkan, yang menonton akan tetap tertawa karena kelucuan sang dalang. Wayang beber biasanya hanya untuk ruwatan (Murwakala). Adanya wayang beber ketika jaman Pajajaran tahun 1166 – tahun surya, sampai Majapahit terakhir. Setelah jaman Raden Patah menjadi ratu Ratu di Demak tahun 1440 – tahun candra, wayang beber lalu diganti kulit sampai sekarang ini. Ketika jaman Demak sampai Mataram, wayang Beber masih dimainkan tapi hanya di kota pinggiran dan di pedesaan saja.
Wayang beber dibuat dari kertas Jawa (kertas Ponorogo) yang kuat, warnanya seperti kertas layang-layang. Setelah sudah banyak lawon (kain mori) lalu diganti semua agar kuat disimpan serta awet. Wayang beber sekarang sudah tidak dimainkan untuk di umum. Jadi sudah mati, tidak ada, dan lagi tidak setiap orang punya punya wayang beber tadi. Kebanyakan hanya menyimpan wayang kulit saja sampai dua atau tiga kotak, jadi terang wayang beber sudah mati tidak dimainkan lagi.
C. Serat Dasanamajarwa 1. Arti Nama Buta Buta
: artinya besar atau mamak, serta sering mengeroyok dan merebut.
Danawa
: artinya dekat dengan napsu, keturunan Batara Danu
Ditya
: artinya orang pilihan, serba bisa.
Raksasa
: artinya sebangsa bregasakan (beringas)
Raseksa
: artinya Buta laki-laki.
Raseksi
: artinya buta wanita atau Diyu.
Wil
: artinya angarad atau angeret.
2. Arti Nama Kera Kera
: artinya kaya suara
WRE
: artinya bisa anjelih
Kapi
: artinya kaya bulu
Wanara
: artinya hewan berwujud manusia
Palwaga
: artinya serba trampil
Palgasa
: artinya serba mengerti
Palwaga
: artinya serba cepat
Rewanda
: artinya pemimpin suara
Kutila
: artinya buruk bentuknya
Kencung
: artinya kera wanita
D. Nama Sebutan Pandita Pandita
: artinya pepunden, dijunjung tinggi dimana saja berada.
Dwija
: artinya angesti terus lahir batin
Dwijajawara : artinya melakukan dua perkara, yang pertama memuja dewa, yang kedua meminta keselamatan. Resi
: artinya suci.
Wasista
: artinya lebih awas, mengetahui sebelum terjadi
Sayuti
: artinya mesu cipta
Pandita
: artinya guru besar yang serba putus, wajib disebut panembahan.
Rerehan pandita 1.
Ajar
: artinya wajib mengajari, juru ajar
2.
Wasi
: artinya juru pangadilan, menyelesaikan perkara
3.
Janggan
: artinya yang menjadi juru tulis
4.
Manguyu
: artinya yang bertugas menabuh genta ketika dalam acara pemujaan
5.
Putut
: artinya tukang merawat sanggar palaggatan, atau bertugas memasang alat sesaji pemujaan.
6.
Cekel
: artinya tukang juru taneman, atau jagi rumeksa pategilan, awon baik ada tetanggelanipun cekel.
7.
Cantrik
: artinya yang bertugas melayani sebarang pekerjaan, atau suruhan.
8.
Uluguntung
: artinya
lurah
kampung,
yang
bertugas
mengatur
semuanya 9.
Geluntung
: artinya orang sudah memiliki rumah bertiang empat, pekerjaannya mencari rumut, mengambil kayu atau air.
10. Indung-indung : artinya orang yang sedang mondok, tugasnya mencari rumput di hutan di sekitar gunung.
Rerehan pandita perempuan 1. dungik
: artinya orang pingitan yang akan jadi istri kyai Ajar, tugasnya bercerita tentang lakon jaman kuna yang bisa menjadi teladan bagi para perempuan, yang biasanya cerita dongeng.
2. Mentrik
: artinya juru rawat sebarang pakaian, makanan dan sebagainya.
3. Sontrang
: artinya dukun, menghilangkan penyakit atau merawat putra dan cucu Ki Ajar.
4. Dayang
: artinya tukang menebar bunga di sanggar palanggaran.
5. Bidang
: artinya menjadi inya yang menyusui putra dan cucu Ki Ajar.
6. Endang
: artinya pesuruh.
7. Kaka-kaka
: artinya perempuan yang memasak (koki)
8. Abon-abon
: artinya tukang sapu atau tukang cuci, membersihkan segala sesuatu.
9. Abet-tabet
: artinya tukang mengambil air atau mencari sayuran
10. Obatan
: artinya perempuan yang menyiapkan sasajen atau membeli ke pasar.
11. Wiku
: artinya petunjuk ilmu pengetahuan.
E. Wayang Srambahan Jumlah wayang purwa yang umumnya digunakan dalam pedalangan di Surakarta. Wayang purwa pedalangan yang penting harus memilih wayang yang luwes untuk srambahan, artinya bisa sumrambah, wayang srambahan bisa mempunyai nama tiga atau empat. Misalnya wayang Harjuna slendangan bisa bernama Sakutrem, Kumajaya, Rama Regawa, bisa jadi Palasara. Itulah tujuan dalang dalam membuat wayang srambahan sampai bermacam-macam beberapa wayang agar bisa untuk mengurangi jumlah wayang. Sedikit sudah bisa mencukupi, begitu maksudnya para dalang. Jumlah pemilihan wayang oleh dalang seperti di bawah itu: Sumpingan kanan: 1. Kayon (Gunungan)
2. Prabu Tuhuwasesa 3. Raden Wrekudara (kuning) 4. Raden Wrekudara (hitam) 5. Raden Bratasena (kuning) 6. Raden Bratasena (hitam) 7. Raden Gandamana 8. Raden Antareja 9. Raden Gatutkaca (kuning) 10. Raden Gatutkaca (hitam) 11. Raden Antasena 12. Raden Hanoman 13. Batara Guru 14. Prabu Rama (srambahan) 15. Prabu Kresna (kuning) 16. Prabu Kresna (hitam) 17. Prabu Yudistira. Amarta 18. Raden Sakutrem (srambahan) 19. Raden Harjuna 20. Raden Harjuna 21. Raden Harjuna 22. Raden Suryaputra 23. Raden Kuntadewa Amarta 24. Raden Premadi
25. Raden Premadi 26. Kumajaya (Premadi slendangan srambahan) 27. Raden Nangkula 28. Raden Sahadewa 29. Batari Durga 30. Dewi Sarpakanaka (srambahan) 31. Dewi Banowati 32. Dewi Jembawati 33. Dewi Kunti 34. Dewi Dropadi 35. Dewi Sembadra 36. Dewi Srikandi 37. Dewi Setyawati (srambahan) 38. Dewi Ratih (srambahan) 39. Dewi Setyaboma (srambahan) 40. Dewi Pregiwa (srambahan) 41. Dewi Pregiwati (srambahan) 42. Dewi Leskalauti (srambahan) 43. Dewi Anjani 44. Dewi Rara Ireng – Bratajaya 45. Bondanpaksadanu (Dewa ruci) 46. Putran (Bayen)
Sumpingan kiri: 1. Buta Raton makutan (Kumbakarna) srambahan 2. Buta Raton pagogon (Niwatakawaca) srambahan 3. Buta Raton muda ngore (srambahan) 4. Prabu Dasamuka 5. Harya Kangsa (srambahan) 6. Prabu Bomanarakasura (srambahan) 7. Prabu Baladewa 8. Prabu Baladewa 9. Ratu Sewu negara (srambahan) 10. Boma muda pagogon (srambahan) 11. Prabu Druyudanan 12. Raden Kurupati 13. Harya Kencaka 14. Harya Rupakenya 15. Harya Kakrasana 16. Harya Seta 17. Harya Utara 18. Harya Wratsangka (srambahan) 19. Harya Setyaki 20. Prabu Basudewa di Mandura 21. Prabu Kuntiboja (srambahan) 22. Rpabu Matswapati di Wirata
23. Prabu Drupada di Pancalareja (srambahan) 24. Prabu Salya di Mandraka 25. Prabu Bismaka di Kumbina 26. Prabu Setyajit di Nglesanpura (srambahan) 27. Prabu Karna di Ngawangga 28. Ratu Sabrang wok rapekan (srambahan) 29. Prabu Palgunadi (srambahan) 30. Dewa Srani (sabrang bagus srambahan) 31. Raden Haryaprabu Rukma (srambahan) 32. Raden Nayarana 33. Raden Drestajumna (srambahan) 34. Raden Samba 35. Raden Rukmarata 36. Raden Lesmana Mandrakumara 37. Raden Pancawala (srambahan) 38. Raden Wijanarka (srambahan) Bambangan 39. Raden Irawan 40. Raden Ongkawijaya 41. Raden Ongkawijaya 42. Raden Setyaka 43. Raden Pinten 44. Raden Tansen 45. Raden Wisanggeni
46. Raden Caranggana (srambahan)
F. Penggolongan Dudahan Wayang Para Kurawa 1. Pandita Durna 2. Patih harya Sangkuni 3. Raden Dursasana 4. Raden Durmagati 5. Raden Jayadrata 6. Raden Citraksa 7. Raden Citraksi 8. Raden Kartawarma 9. Raden Burisrawa 10. Wasi Haswatama
Para Jawata dan para tapa 1. Batara Narada 2. Batara Brahma 3. Batara Hendra 4. Batara Yamadipati 5. Batara Patuk 6. Batara Tamboro 7. Batara Surya (srambahan)
8. Pandita Bagus (srambahan) 9. Pandita tua (srambahan) 10. Resi Bisma (srambahan) 11. Resi Abyasa 12. Resi Jembawan
Putran patih dan punggawa 1. Raden Hindrajit 2. Raden Trisirah (srambahan) 3. Raden Rajamala tidak rapekan (srambahan) 4. Patih Hudawa 5. Patih Tuhayata (srambahan) 6. patih Tambakganggeng (srambahan) 7. Patih Pragota rapekan (srambahan) 8. Patih Prabawa rapekan (srambahan) 9. Patih Sabrangan tanpa pakaian (srambahan) 10. Patih Sabrangan dengan pakaian (srambahan) 11. Punggawa Tatagan dengan pakaian (srambahan) 12. Punggawa Geculan Suramendem.
Para danawa 1. Danawa Pragalba 2. Danawa Cakil
3. Danawa Cakil mata kadondongan, ngore 4. Danawa Terong (Congklok) 5. Danawa Galiyuk (gombak) 6. Danawa Rambutgeni 7. Danawa Mondol buta kuna (srambahan) 8. Danawa Kenyawandu, emban 9. Danawa Wanan Laki-laki 10. Danawa Wanan perempuan 11. Danawa Wahmuka (srambahan) 12. Danawa Harimuka (srambahan)
Para wanara 1. Narpati Subali 2. Narpati Sugriwa 3. Raden Jaya Hanggada 4. Kapi Jembawan 5. Kapi Hanila 6. Kapi Hanala 7. Kapi Susena
Sebangsa dagelan 1. Semar 2. Gareng
3. Petruk 4. Bagong 5. Togog 6. Belung 7. Cantrik 8. Cangik 9. Limbuk 10. emban 11. Parekan (nyai tumenggung) 12. Parekan (nyai tumenggung) 13. Oemang Ontagopa
Wayang ricikan 1. Sokosrono (srambahan) 2. Lelepah 3. Ilu-ilu 4. Kepala besar mata lebar 5. Wedon
Wayang ricikan 1. Prampogan (jawa) 2. Prampogan (danawa) 3. Kereta
4. Kuda (Putih) 5. Kuda (hitam) 6. Gajah (Diponggo) 7. Macan 8. Naga (sawer) 9. Banteng 10. Kerbau 11. Burung Garuda 12. Babi 13. Burung Jawata
senjata 1. Gada rujakpolo 2. Bindi 3. Gada 4. Cakra 5. Nawala 6. Cupu 7. Cis 8. Trisula 9. Candrarasa 10. Alu gara 11. Badama
12. Bendo 13. Arit 14. Keris besar 15. Keris luk, Cakil 16. Keris luk 17. Keris lurus Satria 18. Keris lurus 19. Panah luk 20. Panah lurus 21. Panah lurus
Jumlah wayang semua ada 176 buah senjatanya ada 21 buah. Jadi itu jumlah wayang yang biasanya digunakan dalam pedalangan. Dene jumlah wayang yang sudah biasanya disebut di depan bisa lebih banyak jumlahnya, semua sampai berjumlah 370, ini ditambah senjata dan peralatannya 30 buah, semua ada 400 buah, itu belum ditambah yang lain-lain, kalau ditambah kadang-kadang sampai 500 buah. Artinya kalau ditambah misalnya gapura kraton, pohon-pohonan, bunga-bunugaan di taman, buruan yang kecil-kecil begitu seterusnya. Biasanya orang membuat wayang itu kalau sudah suka kadang sampai lupa, sampai barang yang tidak biasanya ada dalam pedalangan pun dibuat wayang. Makanya wayangnya sampai banyak sekali. Jika orang sedang suka membuat wayang. Membuat wayang purwa sampai lengkap serta wandanya semua, yang kuat membuat hanya orang yang kaya serta
sedang suka wayang dan ceritanya. Biasanya malah tidak bisa menjadi dalang, hanya orang yang sedang suka cerita lakon wayang dan bisa terwujud keinginannya bisa memainkan wayang. Sedangkan para dalang kebanyakan hanya secukupnya saja yang penting bisa dimainkan untuk mendalang. Itu bedanya wayang yang dibuat pedalangan dengan yang dibuat oleh para hartawan yang suka dengan cerita pedalangan.
BAB VIII MENATA WAYANG PURWA
A. Digunakan dalam Hajatan Carannya, yang lebih dulu dipasang yaitu gedebognya, tapakdara berjumlah empat buah diatur berjajar empat sesuai dengan panjang pendeknya kelir dilebihkan kurang lebih satu meter. Pada bagian yang dipasang gedebog yang panjang dulu sebagai tempat untuk para ratu (Katongan). Panjangnya gadebog kurang lebih ada 6 meteran, kalau kurang bisa disambung disatukan di tengah pucuk dengan pucuk. sedangkan pangkal gadebog ada di ujung kelir kiri dan kanan. Lalu ambil gadebog yang satu lagi yang berukuran pendek sekitar lima meteran, dipasang agak rindah sedikit untuk tempat para patih dan punggawa yang pada menghadap ratunya. Yang ini agak pendek beda antara 6 cm, lalu ditancapi tapakdara yang lancip agak pendek. Gadebog lalu dijajar dua, yang panjang di atas, yang pendek di bawah. Kedua gadebog tadi lalu diikat dengan tali kecil supaya bisa rapat, rata dan bisa kuat jangan sampai bergoyang. Lalu mulai menggelar kelir yang akan dipasang, lubang kelir yang akan dipasang kiri dan kanan lalu dimasuki sligi. Sligi itu terbuat dari kayu jati yang dibuat bulat panjangnya menurut lebar kelir yang sebelah dilebihkan 25 cm. Yang di bawah diruncingkan supaya gampang menancap di gadebog sedangkan yang di atas rata. Yang rata dimasukkan pada blandar kelir. Blandar itu dibuat dari bambu wulung dilubangi
kiri kanan. Panjangnya menurut panjang kelir dilebihkan 40 cm di satu sisi. Cara merentangkan kelir itu harus dua orang, memegangi sligi kiri kanan. Sligi yang rata dimasukkan ke lubang blandar kiri dan kanan, lalu diangkat bersama-sama dan ditumpangkan di gadebog atas, lalu direntangkan yang sama kencang. Sligi yang lancip di kiri dan kanan lalu ditancapkan ke gadebog secara bersama-sama. Kelir sudah kelihatan terbentang menancap di gadebog, lalu blandar kelir diikat dengan tali kecil pada tiang rumah kiri dan kanan, yang kuat jangan sampai rubuh kalau tersenggol-senggol orang atau bocah. Karena kalau nanggap wayang pasti banyak bocah yang menonton di sana. Makanya pemasangan kelir harus kuat. sekarang kelir bagian palemahan di bawah ditancapkan di gadebog paseban yang sebelah atas mulai dari kanan ke kiri. Cara menancapkannya adalah dengan diselipkan supaya kalau tertarik ke atas jangan sampai gampang copot. Lalu ganti platet kelir yang ada di atas ditarik dengan tali pluntur atau tali kecil yang kuat jangan sampai gampang putus. Tapi pluntur itu diikat di blandar kelir yang pas ditancapkan sligi, lalu ditarik ke bawah dimasukkan dalam platet mulai dari sebelah kanan dahulu. Pluntur lalu dikaitkan di blandar kelir lalu ditarik ke bawah dimasukkan di platet lagi, ditarik ke atas diikatkan pada blandar, ditarik ke bawah. Begitu berulang-ulang sampai di platet yang terakhir di sebelah kiri lalu diikat yang kencang. Merentangkan kelir harus kencang dan rata, jangan sampai kendor kelihatan bergelayut. Kelir jika kendor pemasangannya, untuk memainkan wayang tidak enak. Bagi yang menonton kurang bagus. Makanya pemasangan kelir itu sebisa mungkin kelihatan terentang bersih dan kelihatan rata, serta agat sedikit mayat. Sekarang pemasangan kelir sudah selesai. Kotak tempat wayang
segera diletakkan di sebelah kiri, dirapatkan dengan gadebog tempat wayang yang di bawah, kotak lalu dibuka tutupnya diletakkan di sebelah kanan, bersebelahan dengan kotak yang ada di sebelah kiri tadi. Sekarang ganti memasang tali atau rantai yang akan digunakan untuk menggantung blencong lampu wayang. Tali atau rantai itu diikat di blandar rumah. Blencong lalu digantungkan. Untuk mengukur jauh dekatnya dengan kelir kira-kira dua jengkal lebih 45 cm dengan nyala blencong sedangkan dari atas blencong digantungkan antara dua jengkal, diukur dari atas kepala dalang kalau sudah duduk dibawah kelir. Duduknya dalang itu tidak berada persis di bawah blencong tapi agak mundur sedikit agar wajah Ki dalang jangan sampai tersorot oleh nyala blencong itu karena kalau sampai tersorot nyala blencong maka akan silau penglihatannya pada wayang wayang.
B. Sumping Sekar Melati Meyumping wayang kulit dengan benar tidak gampang. Nyumping artinya dari kata sumping misalnya asesumping sekar melati, yaitu sepasang kembang melati diselipkan di telinga (daun telinga kiri dan kanan), harus memilih bunga yang besarnya sama dan sesuai dengan telinga. Tersebut arti kata sumping, membuat agar agar bisa kelihatan seimbang jiia dilihat dari tengah-tengah. Begitu juga menyumping wayang, yaitu menjajarkan wayang yang ditancapkan di gadebog urut dari yang besar sampai yang kecil, pemasangan wayang yang besar agak jauh dari kelir sedangkan wayang yang ukuran sedang menempel di kelir, ditancapkan di gadebog atas, kiri dan kanan. Cara
mengaturnya harus dibuat sama supaya kalau dilihat bisa kelihatan timbang, jangan sampai kelihatan berat sebelah. Jika wayangnya banyak yang tersisa, disumping pada gadebog yang sebelah bawah, juga diurutkan seperti yang sudah selesai disumping di sebelah atas tadi. Cara penataan kiri dan kanan dibuat sama, jangan sampai kelihatan tidak seimbang jika dilihat. Jadi intinya kembali pada kata sumping tersebut, harus imbang kiri dan kanan. Penataannya supaya kelihatan rapi, urut bahu wayang yang besar terus diurutkan sampai wayang yang kecil. Di sebelah kiri dan kanan wayang yang disumping tersebut di tengah diberi sela untuk tempat wayang jika dalang sudah mulai memainkan wayang. Sela tempat tadi lebarnya antara 180 cm, lebih lebar yang sebelah kiri. Sebelum wayang mulai main, kayon (gunungan) ditancapkan di tengah kelir dulu. Cara menancapkan wayang semua harus pas dengan palemahan kelir, kalau terlalu dalam menancapkannya disebut kungkum, kalau terlalu ke atas disebut terbang, makanya palemahan wayang harus bisa menumpang pas dengan palemahan kelir. Cara penataan wayang itu yang paling atas pasti gunungan (kayon), lalu wayang sumpingan sebelah kanan. Wayang yang paling besar yaitu Prabu Tuhuwasesa (Werkudara jadi ratu) ditata sebagai wayang sumpingan sebelah kanan. Kayon diambil dulu lalu ditancapkan di gadebog paseban atas di tengah kelir pas dengan palemahan kelir. Kalau belum untuk menancapkan rapat dengan kelir supaya kelihatan rajin. Lalu wayang bagian sumpingan kanan diambil sekaligus dengan ebleknya keluar dari kotak lalu ditumpuk di atas tutup kotak yang ada di sebelah kanan tempat duduk tempat duduk dalang, lalu diambil satusatu urut dari atas, Wayang yang paling besar pada sumpingan kanan yaitu Prabu
Tuhuwasesa (Werkudara jadi ratu) ditancapkan di dagebog atas. Terakhir, kelir sebelah kanan agak keluar sedikit, lalu Wrekudara yang badannya gemblengan (prada kuning), lalu Wrekudara yang badannya hitam. Begitu seterusnya sampai putran dan putren, sampai Dewa Ruci dan putran bocah kecil habis. Cara penataannya jangan sampai ditancapkan miring lurus, yang ada di depan sendiri agak miring sedikit. Kalau sudah ada lima wayang yang ditancapkan, baru dibuat agak miring lurus sampai habis. Semua wajah wayang diatur supaya kelihatan jelas satu-persatu, supaya gampang memilih wayang jika sewaktu-waktu dibutuhkan oleh dalang, serta bahu wayang dibuat urut mulai dari depan sampai habis. Palemahan wayang menumpang di palemahan kelir, diurutkan yang rapi jangan sampai kelihatan naik turun. Maksudnya agar wajah wayang terlihat jelas sehingga memudahkan memilih wayang. Menancapkan wayang harus dikira-kira agar bisa kuat jangan sampai terlalu dalam atau terlalu dangkal. Kalau terlalu dalam menancapkannya nanti sewaktu-waktu dibutuhkan susah diambil, kalau terlalu dangkal, kalau kelir itu tersenggol bergerak karena sabetan wayang atau tersenggol bocah, wayangnya bisa ambruk sehingga kurang baik atau bisa merusakkan wayang. Kalau menyumping wayang sebelah kanan sudah selesai, ganti yang sebelah kiri. Cara penataannya juga sama seperti sebelah kanan. Bedanya kalau yang sebelah kiri yang ada paling depan adalah buta Raton yang biasa dinamakan Kumbakarna terus disambung buta Raton muda, lalu Dasamuka seterusnya sampai wayang yang kecil yaitu Caranggana atau Pinten dan Tansen. Semua tangan wayang diatur ngapurancang agar jangan sampai kelihatan terlalu panjang
pegangan tangannya. Cara menancapkan wayang disusun agar kelihatan rapi asri dipandang. Kiri dan kanan kalau dipandang kelihatan timbang, itulah yang dinamakan nyumping wayang. Tinggi rindahnya pemasangan gadebog paseban yang bawah hampir sama dengan bibir kotak wayang, kalau sampai terlalu ke atas nanti nyangklak, tidak enak untuk sabetan wayang, kalau terlalu rindah wayang kelihatan amblas juga kurang bagus. Maka agar pas, yang dipakai untuk mengukur adalah bibir kotak wayang.
C. Menyumping Cara Pedesaan Tata cara menyumping wayang cara pedesaan sama saja, hanya bedanya yang pasti, kadang terselip wayang yang tidak pantas disumping ikut disumping sehingga mengotori yang ditonton. Biasanya wayang di pedesaan itu kalau wayangnya lengkap, kadang-kadang ada wayang buta Raton kepala Kerbau (Maesasura) dan buta kepala sapi (Lembusura) dan ada lagi dewa kepala Gajah (Batara Ganesa) dan buta Balasrewu (Triwikrama) serta Petruk jadi ratu (Prabu Gurdinadur). Itu semua digolongkan wayang katongan sedangkan wayang yang besar-besar itu ikut disumping sehingga membuat kacau dan kurang pantas. Sehabis melihat wayang yang bagus di sumpingan sebelah kanan, setelah ganti melihat sumpingan sebelah kiri lalu melihat bentuk kang menyolok mata yaitu bentuk kepala hewan kelihatan menyembul bercampur dengan wayang yang berwujud manusia di sumpingan. Apalagi melihat hidung Petruk menutupi mulut Dasamuka. Itu namanya tidak bisa timbang dengan yang ditonton. Memang benar menurut waton wayang, yang disumping itu golongan wayang katongan dan
putran. Tapi kalau wayang tersebut tidak pantas dan kurang sesuai maka tidak perlu diikutkan dalam sumpingan, nanti malah merusak pandangan. Dan lagi ada wayang kera Sugriwa dan Subali yang juga sering diikutkan dalam sumpingan, itu juga kurang bagus. Intinya harus dipilihi mana wayang yang sekira pantas dan sesuai jadi tontonan dalam sumpingan tersebut. Kalau hanya menuruti wayang wayang katongan dan putran yang harus disumping, nanti akan ada wayang Kurawa ikut dalam sumpingan. Kurawa yang ikut dalam sumpingan itu hanya Prabu Duryudana dan putranya Lesmana Mandrakumara. Sedangkan wayang kera yang pantas ikut disumping itu hanya satu Hanoman, diletakkan di sumpingan kanan. Resi Parasu wayangnya besar sama dengan Jagal Bilawa, juga kurang pantas jika diikutkan dalam sumpingan karena rambutnya mengembang dan kelihatan pahanya yang tanpa celana. Itulah yang membuat kurang pantas menjadi tontonan. Jadi semua wayang yang kelihatan aneh jangan sampai diikutkan dalam sumpingan, sebaiknya dicampur dengan wayang dudahan saja. Urutan tatanan menyumping wayang purwa bisa dilihat dalam serat Bau Warna Wayang jilid satu, di sana sudah ada keterangan jelas dengan wanda-wanda wayang purwa lengkap.
D. Menyumping Cara Pesisir Caranya sama dengan sumpingan cara pedesaan, bedanya, ada yang sangat menyimpang sehingga membuat kurang enak ditonton yaitu setelah menyumping wayang kiri dan kanan lalu di atas kepala wayang sumpingan yang sebelah kanan
disisipi wayang Batara Guru, sumpingan sebelah kiri disisipi Batari Durga. Semua seperti berada di atas kepala wayang yang disumping di sebelah kiri dan kanan tadi. Kalau menurut kesesuaian dan keindahan kurang baik karena menbuat kotor tontonan. Barang yang sudah diatur dengan rapi dan kelihatan bersih, malah ditambahi barang yang aneh di atas kepala wayang sumpingan, terlebih lagi Batara Guru yang mengendarai sapi, jadi kelihatan ada sapi di atas kepala. Yang seperti tersebut harus dipikirkan jangan hanya dipikir bahwa itu adalah wayang yang ada dalam satu kotak ternyata malah menghilangkan keindahan tontonan Begitulah jika orang tidak mengerti pada keindahan tontonan, terlebih jika wayangnya banyak dan lebih lengkap, kadang-kadang mempunyai wayang Sanghyang Wenang dan Sanghyang Tunggal, lalu kelihatan sumpingannya terlihat tidak rata. Wayang yang digunakan dalam pasamuan apa saja, itu sebenarnya hanya untuk meramaikan suasana, jadi tontonan yang kelihatan indah dan menarik hati. Maka di sini disampaikan bahwa tidak gampang menata wayang sumpingan, harus bisa membuat tontonan yang rapi dan bisa memperlihatkan keindahan wayang, bisa memilih mana wayang yang patut jadi tontonan dalam sumpingan agar kelihatan enak dipandang karena wayang ketika dipakai main oleh Ki Dalang atau sebelumnya akan jadi tontonan para priyayi yang hadir dan menyaksikan permainan Ki Dalang tersebut. Selain melihat kepiawaian Ki Dalang juga melihat keindahan tontonan wayang yang dijajar di kelir sebagai pemanis acara tadi. Kalau ada tamu yang senang pada bentuk wayang tadi malah kadangkadang sampai lama bertanya pada penyumping. Kadang bertanya ini wayang dari
mana, milik siapa kok kelihatan bagus, pastinya yang punya tahu dan suka pada keindahan
kagunan
Jawa
sehingga
bisa
menyesuaikan
bentuk
dengan
keindahannya. Sebaliknya jika penataannya kurang baik, kelihatan naik turun dan banyak wayang yang tidak patut diikutkan dalam sumpingan, lalu kelihatan aneh dilihat, wayangnya lalu kelihatan remeh. Dalam seni kebudayaan lalu tidak ada harganya karena kurang bisa menempatkan wayang jika akan digunakan untuk hajatan. Ada lagi menyumping wayang kayonnya ada tiga (gunungan) yaitu yang ditancapkan di tengah satu, sedangkan yang dua ditancapkan di sebelah kiri satu, di sebelah kanan satu, ini memperlihatkan jika yang punya wayang sedang senang pada bentuk ukiran wayang yang kelihatan rumit, lalu ingin membuat gunungan sampai tiga jumlahnya. Setelah wayang digunakan lalu diikutkan semua sekalian dipamerkan pada para tamu, supaya bisa dilihat oleh para tamu. Gunungan tiga dibuat tiga macam, ada yang bentuk kolaman dan ada yang bentuk gapuran, di sebaliknya dicat berbeda-beda, jadi tiga macam. Ada yang merah menggambarkan nyala api, ada yang dicat abu-abu menggambarkan awan dan ada yang dicat biru muda bergaris putih menggambarkan air atau angin. Begtersebut maksud yang punya wayang. Ada lagi wayang gunungan yang dicat bolak-balok sama, tanpa dicat nyala api. Itu adalah gunungan yang hanya untuk wayang kayu, yaitu wayang klitik atau wayang golek di tanah Pasundan, karena wayang kayu itu tanpa kelir jadi jika dilihat dari depan atau dari belakang bisa kelihatan sama. Kalau sumpingan wayang kayonnya ada dua, yang satu pasti ditancapkan di tengah sedangkan satunnya lagi ditancapkan di sebelah kiri. Itu akan membuat
tontonan kelihatan berat sebelah, setelah melihat tontonan besar sampai yang kecil, kiri dan kanan sudah kelihatan timbang, di tengah lalu ada bentuk cembung satu yaitu gunungan, itu sudah baik malah ditambah di sebelah kiri ada gunungan satu lagi sehingga menjadi kurang enak dilihat. Repotnya memasang sumpingan kayon tiga atau dua yaitu kalau akan gapuran. Srinata kembali ke istana dan berhenti di depan bangsal Srimanganti. Kayon yang ada di tengah tadi akan susah mau ditancapkan di mana. Kalau ditumpuk jadi satu akan kelihatan berjejal, tidak enak dilihat. Sedangkan jika ada dua gunungan, susahnya adalah ketika perang ampyak, perang prajurit prampogan yang akan meratakan jalan, yang digunakan untuk menggambarkan hutan dan semak-semak juga gunungan itu lagi. Kayon yang ada di tengah akan lalu ditancapkan di sumpingan yang sebelah kanan. sedangkan yang kiri pasti yang akan dijadikan hutan dan semak tadi. Kalau sudah ditancapkan semua, prampogan akan kelihatan ada di tengah-tengah seperti diapit gunungan, jadi seperti ada dalam jurang di tengah-tengah gunung. Kalau sudah dimainkan akan kelihatan goncang, menghilangkan keindahan tontonan dan memenuhi tempat, kelir jadi kurang luas karena penuh dengan wayang yang besar-besar menutupi tontonan yang lain. Sebaiknya kayon (gunungan) itu cukup satu saja sudah cukup, jadi tidak kelihatan memenuhi tempat.
E. Memajang Wayang Menurut pedalangan di Surakarta, menata wayang sumpingan itu sudah ditentukan karena wayangnya hanya mengambil wayang yang bisa digunakan
untuk lakon apa saja. Jadi tidak perlu terlalu banyak memajang wayang. Kalau kebanyakan lebih baik dijadikan dua kotak sedangkan yang sudah-sudah, biasanya wayang gunungan cukup hanya satu saja serta dicat seperti pada umumnya, yaitu di sebaliknya digambar nyala api. Karena itu biasanya dalam cerita pedalangan kalau sedang terjadi kebakaran atau menggambarkan kawah Candradimuka, yang digunakan adalah bentuk gambar nyala api tersebut. Adanya gunungan atau yang dinamakan Kayon itu ketika sabelum jaman Kartasura, kebanyakan adalah bentuk kolaman yang hanya menggambarkan bentuk seisi hutan, pepohonan yang mempunyai buah dan bunga, sampai dengan hewan buruan, yaitu buruan darat, ari dan burung. Yang seperti itu dinamakan kayon Kolaman. Setelah jaman Kartasura, Kanjeng Susuhunan P.B. II membuat wayang klitik yang terbuat dari kayu mirit, dibuat oleh Pangeran Ratu Pekik. Setelah jadi disebut wayang krucil, oleh orang banyak disebut wayang klitik, lalu diberi candra sangkala memet berupa wayang gunungan, di tengah digambar pintu gapura, di kiri kanannya dijaga raksasa yang membawa gada. Diberi candra sangkala Gapura Lima Retuning Bumi, yaitu tahun 1659. Jadi wayang gunungan yang memakai gambaran gapura itu adanya ketika jaman Kartasura dan digunakan dalam wayang Krucil. Bolak-balik gambarnya sama karena wayang kayu itu tanpa kelir dan banyak dimainkan pada waktu siang hari. Sampai sekarang banyak wayang purwa pada dengan Kayon (gunungan) berbentuk gapuran, sedangkan yang bentuk kolaman semakin berkurang.
BAB IX PAKEM RADYA PUSTAKA
A. Tata Letak Sebelah Kanan 1. Prabu Tuhuwasesa 2. Raden Wrekudara wanda mimis, hitam 3. Raden Wrekudara wanda lindupanon 4. Raden Wrekudara wanda gurnat 5. Raden Wrekudara wanda lintang, hitam 6. Raden Bratasena wanda mimis, hitam 7. Raden Bratasena wanda gurnat 8. Jagal Abilawa (Balawa) 9. Raden Gatutkaca wanda kilat 10. Raden Gatutkaca wanda guntur 11. Raden Gatutkaca wanda tatit, hitam 12. Raden Gatutkaca wanda gelap, hitam 13. Raden Antareja 14. Raden Antasena 15. Raden Hanoman 16. Prabu Kresna wanda rondon 17. Prabu Kresna wanda mawur 18. Prabu Kresna wanda wanda gendreh
19. Prabu Harjunasasrabau 20. Prabu Ramawijaya 21. Prabu Pandudewanata 22. Prabu Parikesit (Dipayana) 23. Bagawan Palasara 24. Prabu Yudistira, wanda putut 25. Prabu Yudistira wanda panuksma 26. Raden Harjuna wanda kanyut 27. Raden Harjuna wanda jimat 28. Raden Harjuna wanda kunanti 29. Raden Harjuna wanda malatasih 30. Raden Harjuna wanda renteng 31. Raden Harjuna brongsong, wajahnya prada srambahan 32. Raden Harjuna sampir (slendangan) srambahan 33. Raden Puntadewa wanda malatsih 34. Raden Puntadewa wanda kunanti 35. Raden Suryaputra 36. Raden Madubranta 37. Raden Pandu 38. Raden Ramabadra 39. Raden Ramalesmana 40. Raden Premadi, wanda panmembuat 41. Raden Premadi, wanda pengasih
42. Raden Premadi wanda kunanti 43. Raden Premadi, sampir (slendangan) srambahan 44. Raden Nangkula 45. Raden Sahadewa 46. Dewi Jembawati, makutan 47. Dewi Sarpakanaka 48. Dewi Arimbi 49. Dewi Banowati, wanda berok 50. Dewi Banowati wanda golek 51. Dewi Kunti 52. Dewi Anggendari 53. Dewi Drupadi 54. Dewi Herawati 55. Dewi Banowati, muda rimong kasemekan (kemben) 56. Dewi Banowati muda slendangan 57. Dewi Sembodro, wanda rangkung 58. Dewi Sembodro, lentreng 59. Dewi Rukmini 60. Dewi Setyaboma 61. Dewi Srikandi, wanda goleng 62. Dewi Srikandi, wanda patrem 63. Dewi Pregiwa 64. Dewi Surtikanthi
65. Dew Jembawati gelung ukel 66. Dewi Dursilawati 67. Dewi Sitisendari wanda gandes 68. Dewi Utari 69. Dewi Laksakalauti 70. Dewi Laraireng wanda lanceng 71. Estren endel lanyapan untuk silihan 72. Estren Endel slendangan untuk silihan 73. Estren longok untuk silihan 74. Estren Luruh (oyi) untuk silihan 75. Estren Luruh (oyi) Selendangan untuk silihan 76. Estren Longok slendangan untuk silihan 77. Dewi Rukmini nom 78. Dewi Setyaboma nom 79. Dewi Hanjani 80. Dewi Mustakaweni 81. Bondan Paksajandu (Dewa Ruci) 82. Putran bocah kecil.
B. Tata Letak Sebelah Kiri 1. Buta Raton srambahan (Kumbakarna) wanda barong 2. Buta Raton srambahan (Kumbakarna) wanda macan 3. Prabu Niwatakawaca wanda mendung
4. Buta raton jamang gruda pogogan wanda kopek 5. Prabu Dasamuka (Rahwana) wanda bugis 6. Prabu Dasamuka (Rahwana) wanda bengis 7. Prabu bomantara Boma kuna sepuh 8. Prabu Bomanarakasura 9. Prabu Baladewa, wanda paripeksa 10. Prabu Baladewa, wanda sembada 11. Prabu Baladewa, wanda kaget 12. Prabu Baladewa, wanda geger 13. Prabu Sridenta 14. Prabu Duryudana wanda jangkung 15. Prabu Duryudana wanda jaka 16. Raden Kurupati 17. Raden Kakrasana, wanda kilat 18. Raden Kakrasana, wanda sembada 19. Prabu Basuketi 20. Prabu Kuntiboja 21. Prabu Basudewa 22. Prabu Matswapati 23. Prabu Drestarata 24. Prabu Drupada 25. Prabu Salya 26. Prabu Bismaka
27. Prabu Setyajit 28. Prabu Radeya 29. Prabu Karna, wanda bedru 30. Prabu Karna, wanda lontang 31. Raden Yadengandura 32. Raden Hugrasena 33. Raden Durgandana 34. Raden Sodo, Basudewa ketika muda 35. Raden Sucira, Drupada ketika muda 36. Harya Setyaki wanda mimis 37. Harya Setyaki wanda wisuna 38. Harya Setyaki wanda kakik 39. Ratu Sabrang Wok Prabu Partasudarma 40. Ratu Sabrang bagus (Prabu Dewasrani) 41. Harya Wibisana 42. Harya Prabu Rukma 43. Patih Suwanda 44. Raden Rukmarata 45. Raden Rukmara 46. Raden Drestajumna 47. Raden Gunadewa 48. Raden Warsakusuma 49. Raden Narasoma
50. Raden Narayana, wanda geblag 51. Raden Narayana, wanda sembada 52. Raden Samba wanda buntit 53. Raden Samba wanda sembada 54. Raden Samba wanda geblag 55. Raden Partajumna 56. Raden Pancawala 57. Raden Lesmana Mandrakumara 58. Raden Ongkawijaya wanda bangkung 59. Raden Ongkawijaya wanda buntit 60. Raden Sumitra 61. Raden Irawan 62. Raden Dewabrata 63. Raden Kresnadipayana 64. Raden Wijanarka wanda pengasih 65. Raden Wijanarka wanda miling 66. Raden Bisdengancara 67. Raden Wisanggeni 68. Raden Setyaka 69. Raden Caranggana 70. Raden Pinten 71. Raden Tansen
Wayang yang namanya tidak disebutkan dalam sumpingan kiri dan kanan di atas, hanya digolongkan wayang dudahan meskipun wayang tadi katongan atau putran, hanya termasuk golongan wayang dudahan saja.
C. Golongan para Kurawa 1. Pandita Druna, ada dua, yang satu keton, satunnya rambut gondel 2. Patih Sengkuni, ada dua, yang satu ketu batik, satunya ketu Karna 3. Raden Dursasana 4. Raden Durjana 5. Raden Durmuka 6. Raden Jayawikata 7. Raden Jayadrata 8. Raden Durmagari, wanda pocol ketu udeng batik 9. Raden Durmagati, wanda cawet pogog udalan 10. Raden Citraksa 11. Raden Citraksi 12. Raden Carucitra 13. Raden Surtayu 14. Raden Surtayuda 15. Raden Kartamarma 16. Raden Haswatama 17. Raden Burisrawa wanda pantat rapekan 18. Raden Burisrawa wanda cantuk kampuh jangkahan
19. Resi Krepa
D. Golongan Putran 1. Raden Harya Kincaka 2. Raden Rupakinca 3. Raden Seta 4. Raden Wratsangka 5. Raden Utara 6. Raden Gandamana 7. Raden Rajamaka artinya juru (jago) berkelahi 8. Raden Kangsa 9. Raden Ulmuka 10. Raden Yuyutsuh 11. Raden Danurwenda 12. Raden Sangasanga 13. Raden Dwara 14. Raden Kartapiyoga 15. Raden Hindrajit, wanda cawet 16. Raden Hindrajit, wanda pantat 17. Raden Trisirah 18. Raden Trikaya 19. Raden Dewantaka 20. Raden Yaksadewa
21. Raden Narantaka
E. Golongan Para Tapa 1. Resi Kanwa 2. Resi Habiyasa 3. Resi Bisma 4. Resi Santanu 5. Resi Sapwani 6. Resi Ramabargawa 7. Resi Bagaspati 8. Resi Wiraswa 9. Resi Kanumayasa 10. Sri Bagawan Baladewa 11. Bagawan Sumali 12. Bagawan Dupara 13. Bagawan Ciptaning (Mintaraga) 14. Bagawan Kapi Jembawan 15. Cekel Hendralaya 16. Putut Jayasemedi 17. Pandita Sepuh (Tuwa) 18. Demang Ontogopa 19. Jagal Walakas Keterangan:
Mulai Raden Kaniyasa (Kanumayasa) sampai Harjuna (Janaka) semua adalah wayang bokongan. Makanya kalau wayangnya kurang bisa meminjam wayang Janaka dan Premadi. Lebih baik lagi kalau punya Janaka slendang dan Premadi sampir atau Harjuna brongsong wajah kuning prada, itu yang bisa digunakan untuk menggambarkan Resi Kanumayasa dan Sakutrem serta Sakri, jika cerita pedalangan
sampai
sampai
Janaka
yang
berwenang
memiliki
minyak
jayengkatong. Makanya kalau sedang bersedih hati lalu membuat gara-gara. Setelah selesai perang kembang dan mulai akan berjalan dengan patet sendon abimanyon. Kalau para putran raden Janaka semua, wayangnya jangkahan dan tidak mempunyai minyak jayengkatong, tidak bisa memakai gara-gara, lagi pula patetnya jingking. Setelah tiba cucunya raden Janaka yaitu raden Parikesit, wayangnya kembali bokongan lagi.
F. Golongan Patih dan Punggawa 1. Patih Hudawa wanda tandhang 2. Patih Hudawa wanda jaran 3. Patih Pragota wanda pacel ketu merah 4. Patih Pragota wanda bundel rapekan 5. Patih Prabawa wanda pancol ketu merah 6. Patih Prabawa wanda gembel rapekan 7. Patih Saragupita (Yadawangsa) 8. Patih Tuhayata 9. Patih Nirbita
10. Patih Drastaketu 11. Patih Hadimanggala 12. Patih Handakasumeler 13. Patih Jayayatna 14. Patih Tambakganggeng 15. Patih Sucitra patih Madukara 16. Patih Jalasengara 17. Patih Sabrangan dengan baju 18. Patih Sabrangan tanpa baju 19. Punggawa tatagan dengan baju 20. Punggawa tatagan tanpa baju 21. Punggawa geculan dengan baju 22. Punggawa geculan tanpa baju 23. Patih Baratkatiga bala Jadipati 24. Raden Gagakblorok karan bala biti 25. Raden Dandangminangsi, bala biti 26. Raden Podangbinorehan, bala biti 27. Raden Jangetkinencang bala biti 28. Harya Bimana, jaman Wirata tua 29. Harya Bisana jaman Wirata tua 30. Harya Bilawa Patih santana Astina pada jamannya 31. Harya Basgawa, Palasara sampai prabu Pandudewanata 32. Harya Banduwangka
G. Golongan Para Dewa 1. Batara Guru wanda karna 2. Batara Guru wanda arca 3. Batari Durga wanda gedrug 4. Batari Durga wanda gidrah 5. Batara Narada 6. Batara Sambu 7. Batara Brahma 8. Batara Hendra 9. Batara Bayu 10. Batara Wisnu 11. Batara Mahadewa 12. Batara Yamadipati 13. Batara Kumajaya 14. Batara Surya 15. Batara Antaboga 16. Batara Kuwera 17. Batara Patuk 18. Batara Tamboro 19. Batara Basuki 20. Batara Pbaruikan (Srita) 21. Batara Cingkaralaba (buta)
22. Batara Balaupata (buta) 23. Batara Citrasena 24. Batara Citrarata 25. Sanghyang Baruna badannya gajah 26. Sanghyang Ganesa kepala gajah 27. Sanghyang Bandawangganala badannya penyu
G. Golongan para Danawa 1. Buta Raton muda gendong (Suratimantra), wanda mendung 2. Buta Raton muda gendong (Suratimantra), wanda kopek 3. Buta Panyareng (Cakil), wanda manyore 4. Buta Panyareng (Cakil), wanda batang 5. Buta Panyareng (Cakil), wanda naga mata kadondongan 6. Buta Punggawa mondol rambut bundel 7. Buta Punggawa Pragalba rambut jebolan 8. Buta Punggawa Pragalba jamang gruda 9. Buta Punggawa Galiyuk (Kobis) gombak 10. Buta Punggawa Endog buta gundul hidungnya bulat 11. Buta Punggawa Congklok (buta Terong) 12. Buta Punggawa Yuyurumping 13. Buta Mamangmurka, kepala babi 14. Buta Punuk dengan kuku seperti Bima 15. Buta Alasan laki-laki, Kala Raseksa
16. Buta Alasan perempuan, Kala Raseksi 17. Buta Emban Kenyawandu 18. Buta Rambutgeni Kala Dahana
Golongan buta Pringgodani 1. Raden Prabakesa 2. Raden Brajadenta 3. Raden Brajamusti 4. Raden Brajalamadan 5. Raden Brajamingkalpa 6. Raden Kalabendana 7. Raden Trembaka 8. Raden Trembuku
Golongan buta Setragandamayit 1. Buta Taliawuk, buta pangon 2. Buta Jarameya semua buta gundul, badan loreng 3. Buta Rindumaya seperti macan 4. Buta Niramaya 5. Buta Pulasiya, badannya putih loreng seperti macan
Golongan buta Kiskenda 1. Prabu Maesasura, semua berwujud buta, kepalanya bertanduk
2. Harya Jatasura besar taringnya 3. Patih Lembusura 4. Buta Punggawa kepala macan 5. Buta punggawa kepala gajah
Golongan buta Ngalengka Yang harus ada jumlahnya 8, sedangkan yang lain cukup meminjam buta punggawa srambahan saja. 1. Patih Prahasta 2. Raden Aswanikumba 3. Raden Kumbakumba 4. Dewi Sarpakanaka 5. Buta Punggawa Wirupaksa 6. Buta punggawa Mintrakna 7. Buta punggawa Sukasrana 8. Buta punggawa Wikataksini Para ratu sabrangan cukup ada 10 macam saja yaitu yang dinamakan wayang murgan srambahan, wayang ini biasanya ikut disumping. Bentuk wayang yang digunakan untuk mewujudkan para ratu Sabrangan yaitu wayang murgan, misalnya seperti disebutkan di bawah ini. 1. Wajahnya seperti Gatutkaca dengan makuta, hitam, jengkar 2. Wajahnya seperti Gatutkaca dengan topong Karna 3. Wajahnya seperti Boma dengan topong gusen
4. Wajahnya seperti Baladewa gusen dengan baju 5. Wajahnya seperti Boma rapekan dengan topong Karna praban 6. Wajahnya seperti Hadipatikarna rapekan mata kadelen 7. Wajahnya seperti Druyudana rapekan memakai baju, yang dinamakan Prabu Sridenta 8. Wajahnya seperti Salya rapekan memakai baju 9. Wajahnya seperti Drupada rapekan praban 10. Wajahnya seperti Bismaka rapekan memakai baju
Nama-nama Ratu Sabrang 1. Prabu Jarasadda 2. Prabu Supala 3. Prabu Supali 4. Prabu Gardapati 5. Prabu Bagadenta 6. Prabu Sridenta 7. Prabu Kalinggapati 8. Prabu Pratipa 9. Prabu Citradarma 10. Prabu Dasarata 11. Prabu Barata 12. Prabu Janaka 13. Prabu Kartadarma
14. Prabu Danapati 15. Prabu Suryaketu 16. Prabu Candraketu 17. Prabu Banaputra 18. Prabu Bisawarna
Para Wanara cukup 15 buah 1. Prabu Subali 2. Prabu Sugriwa 3. Dewi Anjani 4. Raden Subali 5. Raden Sugriwa 6. Raden Jaya Hanggada 7. Raden Hanila 8. Kapi Jembawan 9. Kapi Hanala 10. Kapi Susena 11. Kapi Satabali 12. Kapi Saraba 13. Kapi Winata 14. Kapi Menda 15. Kapi Hedrajanu
Golongan dagelan 1. Semar wanda ginuk 2. Semar wanda dukun 3. Semar wanda brebes 4. Semar wanda mega temannya Bagong 5. Semar memakai cara wanita 6. Semar memakai cara dewa, lakon lintang prekacuk 7. Nala Gareng wanda wregul 8. Nala Gareng wanda kancil 9. Nala Gareng memakai cara wanita 10. Nala Gareng memakai cara dewa 11. Nala Gareng memakai cara ratu lakon Pandupragola 12. Petruk wanda mesem 13. Petruk wanda dlegong (jlegong) 14. Petruk wanda jamblang 15. Petruk memakai cara wanita 16. Petruk memakai cara dewa 17. Petruk memakai cara ratu, Prabu Gurdinadur 18. Bagong wanda gembor 19. Bagong wanda gilut 20. Bagong wanda ngengkel 21. Bagong memakai cara ratu, Prabu Patokol 22. Togog wanda goprak
23. Togog wanda burung 24. Saraita 25. Cantrik 26. Cantrik Janaloka 27. Cangik 28. Limbuk 29. Dewi Clekutana 30. Retna Juwita 31. Pawongan Emban gemuk 32. Pawongan inya gelung melintang 33. Parekan nyai tumenggung 34. Parekan nyai tumenggung, 2 buah 35. Pawongan, ceti 36. Pawongan, ceti, jumlah 2 buah 37. Parekan buta 38. Parekan buta, 2 buah 39. Emban Wungkuk 40. Kera kacangan kecil-kecil 8 buah 41. Macam-macam Setanan jumlahnya 9 buah. Wayang yang tidak bisa diwujudkan itu hanya mulai Sanghyang Tunggal ke atas sampai Sanghyang Nurcahya karena Sanghyang Tunggal sidah memberi perintah pada Manikmaya (Batara Guru) begini katanya, “He Manikmaya ketahuilah,
adanya aku ini adalah adamu.” Batara Guru sendiri tidak bisa melihat wujud bapaknya, maka cukup berbentuk suara Kyai Dalang saja.
BAB X PENGETAHUAN TENTANG RICIKAN WAYANG
A. Wayang Ricikan 1. Gunungan, kayon, menggambarkan nyala api 2. Kayon gurda pepohonan gede 3. Prampogan pasukan manusia 4. Prampogan pasukan buta (yaksa) 5. Kereta, jumlah 2 buah 6. Kuda hitam besar1, kuda putih ukuran sedang 1, kuda kecil 1, kuda geculan kepala sopakan 1, jumlahnya jadi 4 buah. 7. Gajah putih dan gajah klawu (abu-abu) jumlahnya 2 buah 8. Naga Raja makutan Ywang Antaboga 9. Naga Geni jamang pogogan gruda kecil (perempuan) 10. Sawer Ula besar 11. Macan Gembong dan macan putih 2 buah 12. Burung Garuda, Wilmuka buta dengan sayap Wilmana burung besar tunggangan Boma 3 buah. 13. Banteng 14. Kerbau 2 buah 15. Kijang 2 buah 16. Rusa 2 buah
17. Babi 18. Burung Dewata 19. Burung kecil jumlah 4 buah 20. Minarda ikan besar 21. Kepiting besar 2 buah 22. Tikus 2 buah 23. Kodok 2 buah 24. Kelelawar 2 buah 25. Kendela 2 buah 26. Kalajengking 2 buah 27. Ayam Jago 2 buah 28. Brayut laki-laki dan wanita ditemani anak kecil jadi jumlahnya 3 buah 29. Nyamuk 2 buah 30. Serat kalimasada 31. Surat iber-iber 32. Ergelek (kenti) 2 buah 33. Kendi pratala 2 buah 34. Gelas minuman 4 buah 35. Rangka keris 36. Sumbul
Buah-buahan yang dijadikan bentuk wayang untuk pedalangan 1. Nanas
2. Ketimun 3. Semangka 4. Jeruk gulung 5. Manggis 6. Jeruk kecil 7. Kelapa 8. Jambu seikat 9. Blimbing
B. Macam-macam senjata 1. Keris lurus kecil bagus bentuknya, ada 2 buah 2. Keris besar kecil, ada 4 buah 3. Keris luk kecil bagus bentuknya, ada 2 buah 4. Keris luk besar kecil bentuknya, ada 4 buah 5. Panah kecil untuk perempuan, ada 2 buah 6. Panah kecil untuk laki-laki, ada 2 buah 7. Panah kepala burung, Sarotama, ada 1 buah 8. Panah Nagapasa ada 1 buah 9. Panah rantai ada 1 buah 10. Nanggala, seperti cis kecil pendek 11. Alugara (alu besar) 12. Denda 13. Cakra dengan deder (cakra baswara)
14. Gada Lukitasari gada besar 15. Gada Rujak polo gada sedang 16. Bindi gada lumrah jumlah 2 buah 17. Limpung musala 18. Candrasa 19. Badama 20. Cakra 21. Cis 22. Cundrik 23. Tlempak 24. Kudi 25. Arit 26. Petel
C. Wayang Katongan Wayang Panggungan. Yaitu wayang Yang dijajar di kiri dan kanan paseban, ditancapkan di gadebog atas, di tengah ditancapkan wayang gunungan yang dinamakan
wayang
panggungan,
sedangkan
penataannya
dinamakan
menyumping. Wayang katongan. Yang disebut wayang katongan yaitu wayang para ratu yang di panggung sumpingan kiri dan kanan, sedangkan yang dinamakan wayang pranakan yaitu semua wayang putra ratu atau putra satria, yang ikut dijajar di sumpingan kiri dan kanan paseban tersebut.
Wayang Dugangan. Semua wayang punggawa kera dan buta yang tidak ikut disumping, termasuk wayang dugangan.
Wayang Ricikan. yang dinamakan
wayang ricikan yaitu wayang kayon (gunungan), prampogan, kereta, kuda gajah serta senjata. Wayang Dagelan. Yang dinamakan wayang dagelan yaitu wayang yang berwujud buta kecil tanpa badan, orang banyak menamakannya wayang setanan. kalau sedang memainkan lakon wayang dengan wadubarat anggoda. Pengambilan kata wayang dagelan tadi artinya buta tanggung. Tapi ada sejeis wayang pembantu dinamakan punakwan (wulucumbu) Semar, Gareng Petruk, dan ada lagi Cantrik, Cangik, Limbuk, Togog, Sarahita termasuk golongan wayang dagelan. Wayang gusen. Yang dinamakan wayang gusen yaitu wayang yang terbuka mulutnya seperti Dursasana, Hindrajit dan lain sebagainya. Sedangkan Sengkuni, Pandita Durna, Kartawarma dan sebagainya itu dinamakan gusen tanggung, artinya wayang gusen tadi wayang yang kelihatan gusinya, kelihatan meringis. Wayang Liyepan. Yang dinamakan wayang liyepan dan wayang lanyapan, wayang pantelengan, menurut pada bentuk mata. Satu mata liyepan, dua mata pantelengan. Wayang yang matanya liyepan untuk wayang nglangak dinamakan lanyapan. Wayang yang matanya pantelengan dibuat jadi mata kadondongan, menurut kebutuhannya sendiri. Kata liyep artinya ruruh, seperti Harjuna dan lainlain sesama wayang tumungkul. Kata lanyapan yaitu wayang kebanyakan, seperti: Samba, Rukmarata, Wisanggeni dan wayang yang nglangak. Wayang kantep. Semua wayang yang bertangan dan kaki kepanjangan kurang seimbang dengan badannya dinamakan kanteb, dari kata orang jatuh
terduduk disebut kanteb, pasti kakinya selonjor. Wayang kanteb itu kebanyakan tanpa pola. Wayang murgan. Wayang yang dibuat tanpa pola misalnya Harjuna tua, wandanya tidak menurut Jimat, Mangu, Kancut, maka dinamakan murgan. Diambil dari kata mirunggan artinya menyendiri keluar dari adat yang sudah kaprah. Misalnya orang membatik tanpa pola dinamakan ngrujag. Wayang Srambahan. Yaitu semua wayang yang luwes lincah untuk pinjaman dalam lakon apa saja, seperti wayang Gatutkaca dengan makuta bisa digunakan untuk ratu Sabrangan; wayang Harjuna ditambah dengan slendang, bisa dipinjam jadi Sakutrem, Palasara, Partadewa dan lain-lain, ada lagi Premadi sampir, wayang baku ditambah sandang jadi kelihatan berubah dari pola wayang yang pertama. Wayang srambahan itu banyak sasahnya. Sebangsa wayang dudahan punggawa dan patih-patihan itu hampir semua bisa dinamakan wayang srambahan. Tapi ada wayang buta prepatan, yaitu wayang candra sangkala memet yang juga dinamakan wayang srambahan yaitu wayang buta punggawa yang bisa luwes untuk pinjaman dalam cerita lakon apa saja, pasti jadi punggawa para ratu Sabrangan apa saja untuk dijadikan utusan. Wayang buta prepatan. Yaitu wayang buta candra sangkala tersebut, pertama buta Panyareng umumnya disebut Buta Cakil, kedua buta rambut geni, ketiga buta endog, keempat buta gombak (buta galiyuk) untuk melengkapi jika ada lakon ratu Buta atau ratu Sabrang, sebagai utusan (caraka). Teman Togog dan Sarahita. Atau digunakan untuk perang kembang, arti perang kembang adalah perang kebanyakan orang terbunuh, hanya sebagai cara kematian caraka.
Wayang jujudan. Yang dinamakan wayang jujudan yaitu semua wayang yang ditambah ukurannya jadi lebih besar dari polanya. Wayang pedalangan. Yang dinamakan wayang pedalangan itu adalah wayang-wayang yang pasti digunakan para dalang sedangkan ukuran wayang tidak besar atau tidak kecil, ukurannya sedang enak dipakai semalam suntuk tidak merasa lelah. Jadi sudah termasuk ukuran umum, diakai oleh para dalang. Wayang ribig. Yang dinamakan wayang ribig yaitu wayang yang bentuknya turut-runtut, kalau disumping tidak kelihatan naik turun, bahu dan palemahannya bisa rajin. Dari wayang yang besar sampai yang kecil kelihatan enak dipandang. Wayang bajujag. Yang dinamakan wayang bajujag yaitu wayang yang tidak ukurannya tidak tetap ukurannya. Wayang dibuat tanpa pola atau meninggalkan pola. Ketika bertahtanya Sinuwun Kanjeng Susuhunan P.B. IX di Surakarta, waktu itu Kanjeng Pangeran Hadipati Harya Mangkunagara yang ke
IV,
meminjam wayang purwa pada kraton lalu diberi wayang purwa Kyai Kadung yaitu wayang yang hanya untuk lakon Rama, akan digunakan untuk wayangan. Ketika itu banyak para dalang yang merasa terlalu berat karena wayangnya kebesaran lalu menumbuhkan keinginan kanjeng pangeran untuk membuat wayang, kebetulan di Mangkunagaran belum punya wayang purwa. Wandanya seperti Kyai Kadung, ukurannya diperkecil serta badannya disesuaikan. Dewadewanya hampir semua memakai makuta dan topong, bajunya dibuat pendek, jadi tidak memakai jubah, bawahannya memakai kain rapekan pingirnya sembulihan. Sedangkan Batara Kumajaya masiha tetap dengan gelung seperti Premadi, hanya Batara Surya dan Patuk Tamboro yang masih tetap tidak berubah bentuknya.
Wayang itu dibuat dua perangkat yaitu jadi dua kotak, lengkap wandanya. Dagelan yang satu golongan disebut Kyai Sebet pangkat I, cirinya ada di palemahan yang diberi warna bendera Belanda, merah putih biru M.N.I. sedangkan sisa wayang disebut jadi Kyai Sebet pangkat II, dasarnya cat M.N. II prada. Ketika itu tahun 1793 dengan candrasangkala Mantri Trusta Mumuji di Gusti, menunjukkan tahun 1793. Jadi menurut ukuran besar kecilnya wayang, Kyai Sebet itu masih lebih besar dibandingkan dengan wayang pedalangan pada umumnya.
D. Penyumping atau Paniti Panyumping itu pekerjaannya menata wayang kulit jika akan dimainkan Ki dalang dalam suatu hajatan, misalnya dalam pernikahan dan lain-lain. Tugasnya mengatur wayang dalam tarub (rumah atau gedung). Menatanya harus diatur agar serasi ditonton karena wayang kulit kalau digunakan untuk memperindah acara harus bisa kelihatan rapi asri jika dipandang membuat senang. Karena wayang kulit itu kalau sudah selesai ditata akan mewujudkan seni keindahan kebudayaan Jawa asli, cara menata gamelan juga harus di tempat yang tepat jangan sampai menutupi yang lain. Kewajiban panyumping wayang kulit itu jika sudah selesai penataannya harus bisa memasang blencong lampu wayang. Jika sudah dibersihkan lalu dipasangi sumbu tali (uceng-uceng). Pemasangan sumbu jangan sampai terlalu kuat karena jika sudah diisi minyak akan medok, kalau ditarik dengan sapit jadi susah sehingga nyala apinya tidak bagus, tidak bisa terang, lebih sering surut
nyalanya, yang terbakar hanya sumbunya saja, minyaknya tidak. Makanya jadi sering kelihatan hitam. Sebaliknya jika sampai terlalu longgar juga tidak baik, serignkali sampai kehabisan sumbu, jika ditarik sumbunya terlalu mudah lepas, mintaknya akan menetes ke bawah membuat susah dalang karena sering terkena tetesan minyak. Apa lagi jika minyak itu sampai menetesi wayang akan menjadi cacat dan meruak wayang. Wayang kulit kalau sampai terkena minyak akan rusak catnya, lau gampang terkena jamur, wayangnya lalu kelihatan lusuh catnya. Makanya harus bisa mengira-ira agar pemasangan sumbu blencong tadi baik. Mempersiapkan wayang yang akan dipakai oleh Ki dalang dalam lakon yang akan dimainkan. Sebelum wayang dipakai, panyumping harus meminta keterangan dulu pada Kyai dalang tentang lakon apa yang akan dimainkan dan apa wayang yang akan keluar nanti. Jika sudah mendapat keterangan tentang wayang yang dibutuhkan oleh dalang, panyumping lalu mulai menata wayang dan mulai dirakit, dipilih wayang yang akan digunakan diletakkan di tempat yang tepat supaya gampang dilihat oleh Ki dalang. Sedangkan wayang katongan (yaitu ratu) yang akan keluar pertama diletakkan dalam sumpingan kanan ditancapkan dalam gadebog paseban sebelah bawah misalnya Prabu Kresna atau Prabu Yudistira, disesuaikan dengan lakonnya. Katongan di sebelah kiri juga ditancapkan sekalian, misalnya Prabu Baladewa atau sang adipati Karna ditancapkan di sebelah kiri di paseban bawah. Kalau sudah lalu patih-patihan punggawa dan putran yang akan dipakai cukup diletakkan dalam eblek di atas tutup kotak, sedangkan yang ada dalam kotak yaitu
para punggawa patih dan buta prepat atau para putran yang tidak termasuk dalam sumpingan diatur dengan urut. Buta dengan buta, punggawa manusia dengan manusia, jangan dicampur agar tidak bingung kalau akan mengambil wayang yang dibutuhkan. Tersebut yang dinamakan ndapuk yaitu menyiapkan wayang yang dibutuhkan oleh Ki dalang menurut lakonnya. Wayang yang tidak dibutuhkan diletakkan dalam kotak bawah diberi pembatas eblek, karena wayang itu tidak akan keluar untuk lakon, tidak perlu diubah nanti malah rusak dan kelihatan berserakan.
E. Posisi Penyumping Jika dalang sudah mulai memainkan wayang, panyumping lalu duduk di sebelah kiri satu, di sebelah kanan satu. Panyumping itu sebaiknya dua orang, yang kiri duduk di kiri dalang dibatasi kotak untuk membantu Ki dalang kalau membutuhkan wayang yang ada di sumpingan sebelah kiri dan jauh dari si dalang, sedangkan yang ada sebelah kanan dalang duduk di kanan dalang dibatasi tutup kotak, tugasnya membantu mengambilkan wayang yang ada di sumpingan sebelah kanan yang kira-kira Ki dalang tidak sampai mengambilnya. Cara mengambil wayang dalam sumpingan itu harus hati-hati jangan sembarangan. Wayang mana yang dibutuhkan, misalnya wayang Premadi. Dimana tempat wayang putran Premadi tadi, cara mengambilnya yang benar yang harus dibuka dulu belakangnya baru mengambil gapit wayang Premadi dengan tangannya diringkas jangan sampai menyangkut wayang yang lain lalu ditarik pelan-pelan dengan memperhatikan bahunya, menyangkut atau tidak. Jika
sekiranya sudah tidak menyangkut maka mulai ditarik lagi. Begitu seterusnya cara mengambil wayang dalam sumpingan, jadi jangan dipaksa asal mengambil saja. Ada dalang yang tidak mengerti cara jadi panyumping wayang padahal dalang itu sudah kondang dan laris, lincah memegang dan menyabet wayang tapi tidak bisa mengambil wayang dalam sumpingan dengan benar, mengambilnya hanya sembarangan saja. Wayang diambil dengan berjongkok lalu dipegang kepalanya ditarik ke atas. Cara seperti itu salah, belum tahu apesnya wayang. Semua kepala wayang yang ada di sumpingan itu semua mudah rusak, ada wayang yang makutan (topongan), ada yang gelung. Ukirannya seritan melengkung bulat dan ada yang jungkungan (pogogan) gruda atas, ada yang gelung keling. Itu semua ukirannya serba rumit dan kulitnya pasti tipis rata, gapit yang paling atas yang jatuh di kepala wayang itu pasti tipis, sampai ada yang sama dengan lidi, tarkadang kalau kurang ada ada yang disambung. Tersebut kalau cara mengambil wayang ditarik dari atas kurang baik. Kadang bisa mematahkan gapit bagian kepala atau memutuskan tatahan wayang yang rumti rumit tadi. Terlebih lagi jika sampai pada wayang yang gelungnya ditatah seritan, itu yang paling rapuh. Misalnya wayang Janaka atau Gatutkaca rambutnya ditatah seritan, kalau wayang baru kultinya masih kuat, tapi kalau wayang lama atau wayang kuna pasti sudah rapuh karena sudah sangat kering, kulitnya jadi getas gampang putus, begitu juga gapitnya. Panyumping yang mengambil wayang dengan berdiri atau berkongkok itu dinamakan diksura (tidak tahu tatakrama). Itu kurang baik, tidak bisa menghargai pada wayangnya, hanyadianggap seperti barang remeh saja, padahal wayang yang
ada di sumpingan itu adalah bentuk para ratu dan para satria. Kalau cara mengambil sesuka hati maka seperti menghina. Makanya panyumping yang mengambil wayang dengan berdiri atau jongkok dinamakan diksura. Wayang jikia sudah digelar dalam keramaian pasti banyak para tamu yang hadir, duduk melihat wayang yang sudah dipasang rapi beserta gamelannya sekaligus. Setelah itu melihat Ki dalang memainkan wayang. Padahal tamu tersebut bermacam-macam pangkatnya ada yang tinggi ada yang rendah, sampai penonton yang ada di luar juga datang menonton. Jika melihat panyumping yang sembarangan akan membuat kurang baik dipandang dan mengganggu tontonan yang adi luhung tersebut. Sebaiknya mengambil wayang itu dengan duduk saja, apa wayang yang dibutuhkan oleh Ki dalang. Jika panyumping yang ada kanan dalang, meletakkan wayang di atas tutup kotak kanan dalang, gapitnya diaturkan pada Ki dalang. Jadi kalau dalang akan mengambil jangan sampai memegang kepala wayang. Panyumping yang ada sebelah kiri, meletakkan wayang dalam kotak jangan sampai terbalik, begitu seterusnya. Jadi dalam wayang itu jika sudah mulai main jangan sampai ada orang yang kelihatan bersliweran di depan pagelaran tersebut, jadi panyumping boleh berdiri di belakang dalang itu hanya jika akan menambah minyak lampu blencong saja (lampu wayang).
F. Sabetan Wayang Ada lagi jika dalang akan memainkan wayang, di atas kotak diletakkan eblek melintang di atas kotak, lalu diletakkan wayang sampai kelihatan menumpuk. Itu tidak baik, jika dilihat jadi kotor. Kebanyakan melakukannya adalah dalang di pedesaan yang meniru cara pesisir. Sedangkan di Yogyakarta caranya juga seperti itu. Wayang yang berada di atas eblek itu akan digunakan dalang dalam sabetan wayang yang akan perang dilempar-lemparkan, biasanya lalu menyangkut dengan yang ada di atas eblek tersebut. Malah ada yang kadang terkena siku sehingga mematahkan pegangan tangan wayang. Jadi panyumping dalam melayani dalang semalam harus bisa hafal wayang apa saja yang pasti ada dalam lakon dan harus bisa mengetahui apa wayang yang dibutuhkan oleh Ki Dalang menurut lakon juga harus ingat pada wayang yang sudah tidak akan keluar lagi dan segera disingkirkan jangan sampai mengganggu wayang yang masih digunakan dalam lakon, cerita wayang semalam tersebut diletakkan dicampur dengan wayang dudahan yang tidak termasuk dalam lakon tadi. Meletakkan senjata wayang yang jelas satu-persatu, jangan hanya asal diletakkan saja. Perlu dipilih senjata yang pasti digunakan, disiapkan di tempat yang
gampang
mengambil
sewaktu-waktu
dalang
membutuhkan.
Jadi
panyumping harus bisa mengatur wayang pada saat acara karena itu adalah untuk pameran, harus kelihatan rapi rajin dan bisa menimbulkan kaindahan yang adi luhung, jangan sampai mengecewakan. Begtersebut pekerjaan panyumping. Kalau di kraton Surakarta yang punya kewajiban adalah abdi dalem Lembisana, yaitu
abdi dalem yang pekerjaannya merawat bermacam-macam wayang kulit, ia tinggal dalam gedung Lembisana.
BAB XI DASAR-DASAR ETIKA PEDHALANGAN
A. Keindahan Adiluhung Cara dalang dalam memainkan wayang sabisa-bisanya ingat pada keindahan yang adi luhung, hati-hati memegang wayang dan bisa menghargai seni wayang, jangan terburu-buru nanti malah bisa dianggap meremehkan seni kebudayaan kita sudah dianggap adi luhung. Dalang harus bisa menghargai wayang karena sandang pangan dalang itu adalah karena bermain wayang dengan tetabuhan semalam suntuk. Jadi kalau memperlakukan wayang-wayang dengan seenaknya sendiri itu kurang baik, kadang-kadang ada dalang yang menmainkan wayang dengan dilempar-lemparkan ke udara, ada yang sampai dijungkirbalikkan supaya dianggap sabetan gaya baru, sehingga banyak anak kecil yang melihat bersorka-sorak dan merasa baik permainannya. Yang seperti itu masih termasuk dalang bocah, masih suka disoraki anak kecil, masih belum bisa menghargai budaya yang adi luhung. Kalau caranya seperti tersebut, dalam semalam memainkan wayang, pasti ada satu atau dua wayang yang gapitnya patah karena gapit dari tanduk itu rapuh, kalau wayang yang gapitnya dari bilah bambu itu kuat. Kebanyakan wayang dengan gapit seperti itu hanya wayang di pedesaan dan pesisir, yang biasanya dinamakan wayang barangan, hanya untuk sekedar untuk mencari nafkah. Jadi tidak memikirkan tentang seni keindahan, hanya untuk mencukupi kebutuhan.
Kalau yang dimainakan adalah wayang yang bagus dan rumit ukirannya dengan dipoles prada emas, dengan gapit dari tanduk putih dan pilihan, yang punya teliti pada garapan, wayang yang nantinya akan banyak dimiliki oleh priyayi yang kaya dan senang pada wayang maka siallah mereka jika dalang dalang yang memainkan hanya seenaknya saja, memakai cara memainkan wayang di pedesaan tersebut, tidak bisa membedakan baik buruk barang, semua dianggap sama. Begitulah model dalang gaya baru sekarang ini, banyak yang merusakkan wayang dan belum bisa menghargai seni karya juru tatah wayang dan juru panyungging. Makanya jadi dalang itu tidak gampang, harus cinta pada wayang siapa saja dan bisa menghargai, sopan santun dalam memainkan wayang, jangan meremehkan wayang. Jika terjebak memainkan wayang di tempat yang biasanya hanya seadanya, jangan merasa kecewa hatinya, harus bisa memainkan sama dengan wayangnya orang kaya yang serba baik. Jadi jika ada dalang memainkan wayang dengan dijungkirbalikkan atau dilempar-lemparkan supaya bisa kelihatan berpindah tempat atau kelihatan melompat, itu bukan cara dalang memainkan wayang. Dalang seperti itu jika tidak punya wayang sendiri, biasanya kalau mencari sewaan wayang jadi sulit, para priyayi yang punya wayang tidak akan menyewakannya karena pasti ada wayang yang rusak, yang pasti gapitnya akan putus pas di pinggang wayang. Makanya banyak yang tidak mau menyewakan wayang pada dalang yang seperti itu.
Tatacara dalang mengambil dan menancapkan wayang harus dengan tangan kanan, tangan kiri hanya diam saja. Jika tangan kiri ikut menancapkan dinamakan diksura dan lagi jika tiba wayang yang besar biasanya kurang dalam menancapkannya, wayangnya kadang masih bergoyang akan rubuh karena kurang dalam menancapkannya. Jika sampai terlalu dalam juga kurang baik, susah mencabutnya. Maka kalau tangan kanan harus bisa mengira-ira dangkal atau dalamnya dalam menancapkan wayang. Kalau mengeluarkan wayang dalam pakeliran harus bisa mengira-ira lebar sempitnya paseban, jangan sampai kelihatan memenuhi tempat dan jelas penataannya, muka wayang supaya bisa kelihatan satu-satu, jadi bisa menyebutkan nama wayang satu persatu. Menata wayang dalam paseban harus ingat pada besar kecilnya wayang. Misalnya menata wayang Kraton Ngalengka yang besar-besar, cukup 6 buah saja. Penataannya yang baik, kalau butuh agak banyak boleh sampai 8 buah, misalnya wayang yang besar dikurangi Kumbakarna. Jika sampai pada wayang yang ukurannya sedang misalnya sabrangan Boma beserta pasukan manusia, itu cukup 8 buah. Jika wayangnya kecil bisa dikira-kira sendiri bagaimana agar baik dilihat. Selama dalang memainkan wayang itu sabisa mungkin sambil menata dan mempersiapkan wayang yang akan keluar selanjutnya. Caranya sambil menceritakan suatu adegan wayang apa saja, bisa sambil mempersiapkan wayang yang akan dibutuhkan, jangan hanya mengandalkan pada panyumping (pembantu) saja. Dalang juga harus tahu tentang keapesan wayang. Kalau menumpuk wayang jangan melintang nanti bisa mematahkan gapit, meletakkan wayang diatur
agar rata kelihatan tergelar rapi. Kalau sampai wayang tadi asal meletakkannya akan bingung mengambilnya. Mengambil wayang jangan sampai diseret nanti tangannya tersangkut dan kadang-kadang membuat putusnya sambungan tangan atau lepas dari sambungan. Kadang kala ada yang sampai memutuskan pegangan tanganan, lepas talinya dari telapak tangan wayang. Cara mengambilnya harus dibuka satu-satu. Kalau sudah ketemu wayang yang dibutuhkan lalu dipegang gapitnya, ditarik ke bawah sambil maju dan diringkas tangannya dengan memperhatikan wajah wayang jangan sampai ada yang tertekuk hidungnya nanti bisa membuat cacat wayang.
B. Gapit Wayang Wayang yang wajahnya dicat hitam kalau terlipat tidak terlalu kelihatan cacatnya, tapi kalau yang wajahnya merah muda (puru) atau putih, brom (prada) dan wayang yang sejenisnya biasanya kelihatan jelas bergaris atau rusak catnya. Itulah sebabnya mengapa memainkan wayang jangan sampai gapitnya melengkung, begitu juga menancapkan jangan sampai gapit tadi terlipat. Pegangan dari tanduk itu mudah patah karena rapuh, berbeda dengan gapit bambu atau penjalinPatahnya gapit itu biasanya di bagian pinggang wayang karena disitu adalah tempat gubahan gapit. Jika menancapkan wayang jangan sampai terlalu dekat dengan kelir, nanti kalau dilihat dari belakang kelir akan kelihatan seperti patung (arca) diam tidak bergerak, hitam dan tidak hidup. Wayang ditancapkan agak miring sedikit, yang menempel di kelir hanya wajah wayang sampai telapak kaki yang depan. Jadi
kalau tersorot sinar lampu blencong, bayangannya bisa kelihatan bergerak, kalau dipandang dari belakang kelir kelihatan seperti punya nyawa. Kalau menancapkan wayang terlalu tinggi dinamakan wayangnya dinamakan mabur karena tidak menyentuh tanah. Kalau terlalu dalam menancapkannya dinamakan kungkum, kalau menancapkan wayang yang di depan jangan sampai terlalu menunduk, nanti dinamakan nlosor, bagaimana sebaiknya saja. Menancapkan wayang yang di depan, kepuh dodot yang pas pinggang diatur supaya jatuh di atas palemahan agak ke atas sedikit. Jadi seperti orang yang sedang duduk bersila duduk menghadap ratunya, atau pada wayang kang ada di depannya. Kalau menyabet wayang jangan sampai bersangkutan, seperlunya saja jangan sampai diulang-ulang malah jadi ruwet. Kalau sampai ruwet yang melihat dari belakang kelir akan merasa pusing kepala karena melihat kelebat sana kelebat sini tanpa arti. Memang tidak gampang memainkan wayang dalam pakeliran tadi. Makanya harus lincah memegang wayang, jangan sampai terlepas pegangannya. Begitulah cara merawat wayang yang dinamakan anggulawentah wayang, jadi harus senang dan cinta pada wayang apa saja. Memainkannya harus teliti hati-hati, dan bagi orang asing agar bisa menghargai pada kagunan yang adi luhung tadi. Dalam memainkan wayang, kalau menceritakan lakon wayang jangan sampai keluar dari kelir, harus apa adanya watak wayang yang ada dalam lakon sesuai lakon yang dimainkan yaitu cerita wayang purwa ketika jaman dahulu. Jangan sampai dibelokkan dengan lelakon jaman sekarang, nanti akan membuat kacau anggapan para tamu dan para penonton, sehingga dinamakan tanpa waton. Jangan suka membicarakan wayang sampai memakai nama para tamu dan
penonton. Ya kalau hatinya berkenan, kalau tidak nanti malah membuat salah paham tidak baik jadinya. Jangan suka membicarakan keadaan keadaan jaman sekarang. Benar atau salah itu bukan kewajiban dalang memainkan wayang. Jangan sampai mau menerima kalau ada priyayi yang titip rembug apa saja supaya dimasukkan dalam pembicaraan wayang yang dirasa bisa pas. Itu tidak baik, nanti dinamakan dalang corong (trompet) jadi tukang propaganda dan bisa jadi cacat membuat isi cerita pedalangan tidak cocok dengan cerita lakon ketika jaman purwa. Intinya adalah dalang memainkan wayang semalam itu yang dibicarakan hanya cerita lakon wayang ketika jaman purwa saja dan sesuai wayangnya. Kalau wayangnya madya, ya jamannya jaman madya, kalau wayang gedog ya jaman Jenggala dan seterusnya. Karena umumnya kebanyakan digunakan untuk memainkan wayang itu adalah wayang purwa, jadi jangan sampai melenceng dari bentuk barang yang sudah ada. lagi pula kalau bicara jangan sampai rusuh atau saru, kalau sampai terdengar para putra-putri yang melihat di belakang kelir kurang baik. Kalau memukul kotak jangan terlalu sering, kalau membuat jarak pemukulan yang jelas mengikuti ucapan wayang atau kalau wayang yang lain perlu menyahut untuk menjawab pertanyaan atau ucapannya tadi jadi ada sela tidak membuat bingung teman-teman niyaga yang menabuh gamelan. Pernah ada kejadian, niyaga ingin meminta singgetan patet. Sudah mengambil rebab dan digesek ternyata wayang masih berbicara dan diselingi suara ketukan kotak. Yang mendengarkan jadi bingung, tidak mengerti ucapan wayang malah bising dengan
suara kotak dipukul tanpa arti. Intinya harus bisa menerapkan, memukul kotak yang tepat jangan sampai mengganggu ucapan wayang dan keinginan niyaga. Kalau cerita harus yang jelas jadi bisa dirasakan, jangan hanya asal bicara seperti menghafal dan jangan sampai diulang-ulang, malah ada yang salah ucap. Begitulah, apa yan dirasa baik malah sebaliknya, tidak ada orang yang memperhatikan, hanya dianggap seperti burung mengoceh saja. Makanya harus hati-hati, kalau cerita yang jelas dan turut jadi enak didengarkan dan tidak perlu terburu-buru. Kalau tidak mengerti bahasa dan kata jangan berani memberi arti, nanit keliru maknanya. Kalau ada kata yang sudah jadi jangan berani mengubah atau ngotak atik, nanti malah berbeda maknanya. Lebih baik dibaca apa bunyinya saja dan jangan sampai berganti kalimat. Makanya dalang harus hawicitra, Mardi basa, Mardi kawi itulah modal untuk jadi dalang.
C. Gending untuk Pewayangan Dalam memainkan wayang jangan sampai menoleh kesana kemari kalau tidak ada perlu yang penting dan jangan sampai sok pintar. Lebih tumungkul (menunduk). Yang dimaksud tumungkul di sini bukan menundukkan muka melihat ke bawah, tapi menundukkan hati, menjadi satu dengan permainan wayang. Satu lagi, jangan sampai bersandar pada kotak, duduk yang tegak jangan membungkuk, kalau bersuara nanti tidak bisa kuat napasnya. Kalau sedang ngepyak (memukul kepyak) duduknya agak miring ke kiri sedikit. Ada dalang yang memukul kepyak dengan tungkai kaki, maksudnya supaya bisa terasa mantap keras suaranya sampai kotaknya bergeser dari tempatnya. Yang seperti itu
salah karena kelihatan kasar, cara seperti itu dinamakan kepyakan cara pedesaan, hanya asal suaranya keras saja sampai mengalahkan gamelan, itu kurang baik. Harus disesuaikan dengan laras gamelan, jadi bisa enak didengarkan. Intinya harus bisa menerapkan pada dirinya sendiri jangan sampai kelihatan kurang baik, nanti dinamakan diksura, tidak mengerti udanagara. Dalang dalam memainkan wayang pasti banyak tamu-tamu yang hadir untuk melihat dan memperhatikan cerita serta piwulang dalang dalam memainkan wayang semalam suntuk itu. Tamu kebanyakan itu ada bermacam-macam, ada orang asing yang punya pengetahuan luas melebihi si dalang, malah ada dalang yang datang untuk melihat cara memainkan wayang. Makanya tidak gampang jadi dalang. Kalau sudah laris dan kondang jangan sombong meremehkan temannya mencari makan, lalu kurang menghormati niyaga. Apa ada dalang memainkan wayang tanpa tabuhan, jadinya tidak bagus. Tersebut semua ajaran yang menjadi wewaler dalang. Kalau memainkan gending untuk pewayangan itu harus ingat pada bentuk wayang, wayang dugangan, alusan, bapangan, atau wayang dagelan, juga sedang memainkan adegan apa dan dimana tempatnya. Misalnya kalau di Dwarawati gendingnya karawitan, kalau di Astina Kabor. Itu sudah ada ketentuannya sendiri-sendiri. Jengkar dari di pasewaan atau cukup ayak-ayakan saja, kalau sudah sampai depan gapura terus dilagukan pangjangmas. Itu sudah menjadi ketentuan, jangan sampai gendingnya diganti gleyong karena gending Gleyong itu gending yang digunakan dalam bubaran resepsi, jadi bukan gending wayangan. Kalau kadatonan gendingnya Titipati atau Damarkeli itu sudah baik,
jangan Semaradana atau Pangkur kebar, itu gending untuk tari kiprahan yaitu tari Gambyong. Jadi tidak tepat kalau diterapkan dalam pakeliran wayang serta jangan memainkan gending Bedayan dalam pakeliran, itu tidak selaras dengan pewayangan, hanya untuk digunakan ketika Limbuk dan Cangik menari saja. Lagi pula kalau masih sore memainkan gending gobyog itu kurang baik. Itulah yang dinamakan tidak bisa menerapkan karawitan untuk wayang purwa. Gendinggending untuk pewayangan itu sudah ada sendiri, sudah diciptakan oleh empuempu yang ahli gending pewayangan. Jadi kita itu hanya cukup melestarikan saja jangan sampai diganti dengan gending baru yang sedang in sekarang ini. Itu tidak cocok dalam pewayangan karena ini wayangan, bukan klenengan mana suka. Jangan sampai dicampur aduk, nanti membuat kacau, sudha ada ketentuannya sendiri-sendiri. Kalau sampai berlarut-larut namanya merusak seni kebudayaan kita.
D. Dalang Sejati, Purba Wasesa Macam-macam dalang sudah ada namanya sendiri-sendiri, yaitu lima macam: 1. Dalang Sejati. Kalau memainkan wayang, semua lakon pewayangan berisi pendidikan yang baik untuk contoh para penonton. Yang diceritakan dalam lakon wayang berisi ilmu kebatinan, wejangan sangkan pnama dumadi sampai kesejatian. Jadi memberi terang pada para penonton yang masih hatinya masih merasa
gelap, memberi wejangan tentang hidup manusia agar bisa menuju kasempurnan. Jadi lahir dan batin itu bisa seia sekata, luar dan dalam menuju pada tindakan yang baik, jangan sampai manusia itu melenceng menuruti keinginan sendiri. Itulh yang dinamakan Dalang sejati. 2. Dalang Purba Dalang ini kalau memainkan wayang dengan cerita yang isinya bermacammacam, yaitu cerita lakon wayang yang bisa digunakan untuk bekal hidup manusia sehari-hari. Lahir dan batin mneuju kesempurnaan. Makanya cara memberi petunjuk hanya dengan kata yang halus-halus, sebagai wejangan pada para penonton sampai masuk ke dalam hati, meskipun sudah selesai wayangnya tapi merasa masih menerima wejangan Ki Dalang tersebut. Itulah yang dinamakan dalang purba, artinya dalang yang sudah bisa merasakan rasa kasar halusnya manusia. 3. Dalang Wasesa Dalang wasesa kalau memainkan wayang sudah mahir, cara menceritakan wayang sampai bisa seperti hidup karena pandainya membuat kata-kata, sampai bisa membuat para penonton ikut merasa prihatin kalau wayang sedang prihatin, seperti benar-benar ikut susah. Begitu seterusnya, karena kepandaian memainkan dan melagukan segala tingkah laku wayang, seperti itulah yang dinamakan dalang wasesa, artinya sudah bisa menguasai pakeliran. 4. Dalang Guna
Kepandaiannya menjalankan pakeliran hanya menurut pada cerita yang pasti disenangi oleh penonton saja. Ceritanya kosong, tidak ada wejangan hanya sekedar ramai saja dan kelihatan pandai memainkan wayang, jadi bisanya baru memainkan wayang sambil diiringi tetabuhan semalam suntuk, sekalian menunggu rumah. Caranya hanya seperti orang bermain wayang lugu, ceritanya tanpa isi, kalau memilih lakon pasti mencari lakon kebanyakan perangnya, sedikit gending dan ceritanya. Memilih lakon kebanyakan perangnya jadi gamelannya kebanyakan hanya gending sampak srepegan dan ayak-ayakan. Semalam hanya isi tiga gending, bisa dinamakan beber bango mati. Makanya memilih kebanyakan keluar wayang, dalam semalam jangan sampai kehabisan lakon. 5. Dalang Wikalpa Cara memainkan wayang hanya menurut isi pakem, semua pengetahuan bab pedalangan. Ceritanya hanya pas apa adanya saja, menurut ajaran ketika belajar jadi dalang ketika sekolah dalam sekolah pedalangan. Jadi hanya seperti meniru saja, itu yang dinamakan latihan mendalang, menirukan cara dalang memainkan wayang semalam. Itu yang dinamakan dalang wikalpa.
E. Pakem Blangkon Yang dinamakan pakem blangkon itu seperti ini. Pakem artinya ketentuan, yaitu wewaton; Blangkon artinya tetap, tidak berubah. Jadi pakem blangkon itu adalah ketentuan pedalangan yang sudah
ditetapkan serta diatur menurut adat tatacara di kerajaan jawa, sebagai pedoman para dalang jika memainkan wayang. Jadi cara menata pakeliran menurut pada adat tatacara kraton Jawa, dan disesuaikan dengan caranya sendiri-sendiri. Sebagai contoh, misalnya kalau menurut pedalangan cara Surakarta, setiap lakon pertama Kraton Jawa, dimana negaranya dan siapa ratunya, ucapan cerita janturan pasti dengan cara praja Surakarta yaitu keadaan negara dan kemakmuran negara disampaikan dalam cerita. negara panjang-punjung pasir wukir loh jinawi: begitu seterusnya, dan pasti disesuaikan dengan upakarti Surakarta, lalu gapuran, sang nata keluar dari istana dan berhenti di Srimanganti. Terus kadatonan, sang nata duduh bersama prameswari. Terus disambung di Paseban jaba, di Pagelaran, bubaran, membubarkan pasukan, begitu seterusnya. Kalau cara Yogyakarta hampir sama, hanya bedanya kalau sampai laras sanga pasti diselingi gara-gara sebagai banyolan, mengeluarkan dagelan. Jadi yang disebut di atas tadi yang dinamakan pakem blangkon, aturan dalang kalau memainkan wayang. Makanya kalau ada dalang memainkan wayang sampai keluar dari pakem, artinya meninggalkan pakem, meskipun laris dan banyak orang yang suka, tetap saja kurang baik karena tidak menurut pakem dan meninggalkan waton pedalangan. Pedalangan itu sudah dibagi, ada wewaton sendiri-sendiri. Kalau dalang wayang purwa yang dimainkan wayang purwa, wayangnya juga purwa, gamelannya slendro, gending suluk patet slendro, begitu seterusnya.
BAB XII LAKON KANOMAN DAN KASEPUHAN
A. Lakon Wetanan Yang dinamakan lakon wetanan itu adanya di Kanoman, yaitu di kadipaten sedangkan yang dinamakan kulonan itu adanya di dalam Kasepuhan, kraton. Bedanya lakon wetanan dan kulonan itu sebenarnya masih menjadi satu, sedangkan grebanya lebih banyak lakon wetanan karena banyak lakon carangan (anggitan). Adanya lakon seperti itu karena lakon wetanan itu ketika jaman Mataram ditundukkan, Nyai Panjangmas melarikan diri ke timur. Memainkan wayangnya menggunakan dagelan Semar ditemani Bagong, sedangkan lakonnya dibuat ramai, banyak keluarnya wayang dan banyak perangnya (sabetan) supaya kelihatan panjang ceritanya, cerita dan ucapan wayang dikurangi jangan sampai kehabisan cerita dalam memainkan wayang semalam itu karena yang memainkan adalah wanita, yang sudah terbiasa menunggui suaminya memainkan wayang kalau sedang mendalang, yaitu Kyai Panjangmas. Jadi memainkan wayang hanya karena terbiasa menunggui dan melihat kalau suaminya bekerja memainkan wayang. Sedangkan lakon kulonan untuk di kasepuhan dimainkan oleh Kyai Panjangmas setelah runtuhnya Negara Mataram. Di Kedu ke barat sampai batas Cirebon sampai tanah Pasundan. Cara Kyai Panjangmas memainkan wayang dengan menggunakan dagelan Semar, Gareng dan Petruk. Makanya sampai sekarang kalau Yogyakarta ke barat sampai Banyumas, dagelannya kebanyakan hanya Semar, Gareng dan Petruk. Setelah
sampai jaman baru ini lalu ditambah dengan Bagong, sedangkan kalau Pacitan ke timur sampai Pasuruhan, orang-orang di sana kebanyakan sudah terbiasa dengan Semar dan Bagong, sedangkan Bagong kalau di daerah wetanan dinamakan Mangundiwangsa.
B. Lakon Jejer Lakon jejer itu cerita yang dimainkan di rumah beberapa malam. Misalnya memainkan wayang tiga malam, lakon yang dimainkan masih kelanjutan dari lakon yang sudah dimainkan pada malam sebelumnya, misalnya lakon Partakrama, selanjutnya lakon Srikandi Maguru Manah, lalu Sembadra Larung, begitu seterusnya. Jadi seperti cerita seri. Itulah yang dinamakan lakon jejer. Lakon carang kadapur yaitu lakon jejer satu lakon, lalu disambung lakon carangan yaitu lakon jejer yang pendek. Lalu disambung carangan tapi masih satu cerita, bisa selesai dalam semalam. Artinya masih satu cerita, itu yang dinamakan lakon carang kadapur. Lakon carangan, terpisah dengan lakon jejer serta tidak ada lakon selanjutnya lagi jadi sudah habis. Dimainkan di rumah semalam sudah bisa tamat. Gamelan yang digunakan dalam pedalangan wayang kulit. Pada umumnya gamelan untuk pedalangan itu hanya mengambil seperlunya untuk tetabuhan wayang yaitu hanya mengambil sebagian klenengan lengkap sesuai wayangnya. Kalau wayang purwa gamelannya laras slendro, kalau wayang Madya atau gedog, gamelannya laras pelog dan barang, hanya mengambil sebagian klenengan lengkap jadi tidak memakai bonangan serta tanpa gong besar. Gongnya hanya
cukup dengan gong suwukan saja, saron dua buah sebagai ganti bonang. Hanya dibuat seperti itu sudah dipikirkan oleh para ahli karawitan yang sudah mumpuni dalam pedalangan serta gending-gendingnya sekalian sudah disesuaikan dengan bentuknya wayangnya. Jadi tidak hanya asal gending, asal gending baru kelihatan bagus lalu dimainkan dalam pakeliran karena dianggap baik. Tidak tahunya malah merusak pewayangan. Kalau gamelan tadi didengar dari kejauhan atau didengar suaranya dalam radio dinamakan tetabuhan tarian (tari-tarian) atau tabuhan wayang orang. Meskipun sama-sama tetabuhan wayang tapi ada bedanya, yaitu tetabuhan wayang yang berhubungan dengan tarian karena wayang orang dimainkan dengan tarian serta gendingnya tidak genap, hanya diambil yang cocok dengan tariannya, gamelannya slendro dan pelog genap (komplit) bonangan, kalau tari Langendriyan gamelannya hanya slendro, slendro lengkap bonangan (komplit). Jadi kalau wayang kulit diberi cara begitu tidak pantas, namanya tidak bisa menempatkan pada keluhuran kebudayaan kita.
C. Bahasa Pedalangan Bahasa dalam pedalangan itu sudah diatur dan diracik oleh para ahli bahasa yang sudah mumpuni dalam bahasa dan kasusastraan dan disesuaikan dengan isi cerita pedalangan. Meskipun bahasa pedalangan itu campuran tapi sudah diolah oleh para ahli bahasa supaya bahasa tadi bisa hidup dan enak pengucapan kata-katanya. Kalau diterapkan dalam pedalangan bisa gampang dimengerti oleh umum yang mendengarkan.
Para dalang yang belum mengerti pada bahasa dan kata-kata yang sudah disusun dalam pedalangan, yang dinamakan tembung dadi, itu jangan sekali-kali merubah, menambahi atau mengurangi, terlebih lagi sampai memberi arti kalau belum bisa melebihi pengetahuan para pujangga yang disebut di atas tadi. Lebih baik dibaca atau dihafalkan sampai hapal di luar kepala, diucapkan apa adanya saja. Kata-kata tadi kalau diotak-atik lalu diartikan dengan kata jarwa dosok tidak bisa cocok, malah membingungkan, artinya berbeda dengan yang diinginkan. Kebanyakan dalang sekarang senang mengubah dan mengganti, mengartikan kata-kata pedalangan yang sudah dinamakan tembung dadi atau hidup tersebut. Mengartikannya diputus-putus, maksudnya supaya benar mengartikannya, tapi pada akhirnya malah membuat bingung. Lagi pula semua nama negara, tempat dan pedesaan, pagunungan, pertapaan, kayangan, di jaman purwa itu tidak bisa dibuat dengan bahasa inggil, nanti malah ucapannya berbeda. Dalam pedalangan sudah ada artinya sendiri, yang sudah cocok dengan keinginan. Misalnya di negara Astina, di Gajahoyo; mengapa dinamakan Astina, maksudnya Dwipangga sirna ing Gajahoyo, yaitu kerajaan Dwipangga, begitu seterusnya. Lagi pula kalau sedang membahasakan wayang supaya dengan bahasa Jawa yang murni jangan sampai dicampuri bahasa Indonesia atau bahasa asing.
D. Bahasa Kedaton Bahasa kadaton
Krama
Ngoko
Bahasa Indonesia
hulun
sampeyan
Aku
Aku
Henggeh
Inggih
Hiya
Ya
Neda
Sumangga
Ayo, mara
Ayo
Rereh
Kendel
Leren
Istirahat
Roboyo
Mengko
Pantes, aku
Pantas, aku
Kadimana
Kados pundi
Kapriye
Bagaimana
Kapatedan
Diberi
Diwenehi
Diberi
Memiliki
Memiliki
Duwe
Punya
Wenten
Wonten
Ana
Ada
Warahen
Sampeyan
Tuturana
Dinasehati
sanjangi Wawi
Suwawi
Ayo
Ayo
Punapi
Punapa
Apa
Apa
Para
Sampeyan
Kowe
Kamu, engkau
Pakenira
Sampeyan
Kowe
Kamu, engkau
Manira
Kula
Aku dak
Aku
Meninga
Melihat
Weruh
Melihat
Meksih
Taksih
Isih
Masih
Beneh
Sanes
Bedha seje
Berbeda
Benten
Sanes
Beda
Berbeda
Boja
Boten
Ora
Tidak
Contohnya: Prabu Druyudana berkata pada patih Sangkuni:
“Paman harya, boja jadi guguping ati pakenira, manira timbali maring pasewakan, paman.” Sanghyang Guru ke Batara Narada: “Henggeh, marma handika ulun piji, robojo kang mawa gara-gara palibaya kalimput.” Begitu seterusnya.
Bahasa madya 1.
Prehpun
Priye
Bagaimana
2.
Wikana
Embuh (kilap)
Entah
3.
Makoten
mangkene
Seperti ini
4.
Melih
Maneh
Lagi
5.
Mengke
Mengko
Nanti
6.
Mawon
Bae
Saja
7.
Ngrika
Kana
Di sana
8.
Nika
Ika
Itu
9.
Ture
Jarene
Katanya
10. Gale
Nika
Itu
11. Samang
Kowe
Kamu, engkau
12. Siyen
Biyen
Dulu
13. Dawek
Ayo, enya
Ayo
14. Empun
Uwis
Sudah
15. Engga
Enya
Ini
16. Onten
Ana
Ada
17. Ndika
Kowe
Kamu, engkau
18. Kriyin
Disik
Dulu
Contohnya: Semar: “Ndika niku keprehpun ndara, wong butane galak ngoten kok diumbar mawon, mboknggih empun enggal di uwisi.” Kala Pragalba: “Neda adi sambung-sambung obor, pada budal.” Sinauran: “Enggeh, ndaweg-ndaweg.” Begitu seterusnya.
E. Bahasa Kasar Basa kasar 1.
Ambadog
Mangan
Makan
2.
Anyaplok
Mangan
Makan
3.
Anguntal
Mangan
Makan
4.
Endas
Sirah
Kepala
5.
Gundul
Sirah
Kepala
6.
Andublong
Ngising
Buang air besar
7.
Andodol
Susuker
8.
Kaplak
Tuwa
Tua
9.
Gerang
Tuwa
Tua
10. Daplok
Tuwa
Tua
11. Congor
Cangkem
Mulut
12. Cocot
cangkem
Mulut
13. Cokor
Tangan
Tangan
14. Nracak
Kurang ajar
Kurang ajar
15. Edan
Gingsir owah
Gila
16. Pecus
Bisa, saged
Bisa
17. Jengos
Bisa, saged
Bisa
18. Anjibus
Cumbana
19. Nyilit
Cumbana
20. Gedohan
Wateg
21. Anjejeli
Aweh pangan
22. Inding
Pipih, kempitan
23. Cendeng
Sanak
24. Gobog
Kuping
Telinga
25. Ngecipris
Calatu
Cerewet
26. Ngokop
Minum
Minum
27. Waduk
Perut
Perut
28. Cungkur
Irung
Hidung
29. Micek
Turu
Tidur
30. Ngringkel
Turu
Tidur
31. Anjintel
Turu
Tidur
32. Mleding
Turu
Tidur
33. Modar
Mati
Mati
34. Anjelag
Ngapusi
Bohong
35. Pelus
Planangan
Alat vital laki-laki
Memberi makan
36. Cemimik
pawadonan
Alat vital wanita
37. Andableg
Ora ngrewes
Kepala batu
38. Andableg
Ora dirasakake
Tidak dirasakan
Contohnya Orang marah: “E, bocah dituturi wong tuwa ora ngrewes, mung ndableg bae.” Orang bertengkar: “O, wong nracak kurang ajar nyandak gundul tanpa amit, wong edan ane.” Begitu seterusnya. Yang lainnya cukup dengan bahasa krama inggil dan bahasa lumrah tapi jangan sampai tercampur dengan bahasa Indonesia atau bahasa asing. Pujian untuk ratu atau negara banyak jenisnya. Dari yang lengkap sampai yang hanya untuk kesenangan, sering digunakan dalam cerita pedalangan. Contohnya seperti ini: Pujian untuk Negara. Swuh rep data tita ana: Anenggih wau kocapa, nagari pundi ingkang kaeka adi dasa purwa. Eka: sawiji, adi: linuwih, dasa: sapuluh, purwa: kawitan. Sanajan kathah titahing Dewa kang kasangga pratiwi, kaungkulan ing akasa, kapit ing samodra, kathah kang anggana raras, boten wonten kados nagari ing Mandraka. Mila kinarya bebuka, kocap ngari satus tan angsal kekalih, sewu tan antuk sadasa. Dasar nagari panjang apunjung, pasir wukir, loh jinawi, gemah ripah, karta raharja, panjang dwa pocapane, punjung luhur kawibawane, Pasir samodra,
awukir
gunung
dasar
nagari
angungkuraken
pagunungan,
angeringaken pasabinan, anengenaken bengawan, angajengaken bandaran ageng, loh: tulus kang sarwa tinandur, ajinawi: murah ingkang tinuku, gemah:
katandha ingkang laku dagang rinten dalu lumampah tan ana pedote, datan wonten sangsayanireng margi, aripah: katandha ingkang tepung cukit adu taritis sking gemah harjaning nagari. Karta: Katandha kawula ing padhusunan ingkang lampah tetanen, angingu kebo, sapi, bebek, ayam tana cinancangan yen rina sami aglar aneng pangonan, wancining dalu wngsul marang kandang asowangsowang, sangking kalising durjana juti. Raharja: dening tebih parang muka, tuwin abdi Mantri Bupati tan wonten lampah cecengilan atut rukun anggonira ngangkat ngangkat karyaning ratu, mila nagari ing Mandraka keringan ing ngatmaja praja, dasar negara Mandraka gede obore, padang jagade, duwur kukuse adoh kuncnama, boten ing tanah Jawi kemawon, sameskipun tanah sbrang kathah ingkang asuwita. Contoh pujian untuk ratu: Wenang dipun ucapaken jejuluking Narendra ing Mandraka. Prabu Narasoma: ratu sareh marang dasih Salya: ratu wiyar cecawanganing
panggalih,
Mandradipa:
Ratu
linuwih,
Mandrakeswara,
langkung luhur, Somadenta: tutut ing gading. Pranyata Sri Bupati ing Mandraka ambeg pinandita. Mila katah praja nungkul arais tanpa pinukul ing yuda, sangking kungkulan pambekaning ratu. Dene Sri Bupati ing Mandraka agung danane, paring sandang wong kawudan, suka teken wong kalunyon, asung kudung ing kapanasen, paring pangan ing janma kaluwen, karya sukaning prihatin. Tuhu tan kena winanti danane Sinuhun ing Mandraka, yen ta ginunggunga wiyaring jajahan luhuring keprabon tuwin pambekaning ratu, sadalu tan wonten pedote. Pinunggel ingkang murweng kawi Sinigeg. Yang
disebut di atas tadi dinamakan bahasa dan tembung jadi, yaitu sudah diatur dengan baik kata-katanya sehingga enak didengarkan.
F. Kitab-Kitab Pewayangan Serat Mahabarata itu berisi sejarah yang berisi 18 cerita lakon, yaitu yang dinamakan Parwa. Di tanah Hindu dan di tanah Jawa, untuk kasusastran Jawa kuna, sampai sekarang bisa menemukan sembilan parwa: 1. Adiparwa, 2. Soboparwa, 3. Wirataparwa, 4. Udyagaparwa, 5. Bhismoparwa. sedangkan yang empat atau empat parwa itu adalah Parwa-parwa kecil yang terakhir. Parwa-parwa Jawa kuna ditulis dengan cara disalin untuk naskah atau karangan pendek, sedangkan bahasa kawinya disalin dengan teliti, tapi parwaparwa tersebut bisa diringkas isinya, kebanyakan untuk mengisi dalam pedalangan, seperti cerita Mahabarata ada dalam cerita pedalangan dengan cerita lakon. Parwa-parwa Jawa kuna terkenal ketika abad yang ke 11. semua parwaparwa tadi diambil dari naskah Mahabarata asli, masih ditulis dengan bahasa Kawi yang ditulis sabelum tahun 1000 Masehi, sehingga tidak diketahui siapa pengarang parwa-parwa tersebut. Literatur yang berasal dari Hindia berisi cerita Mahabarata yang serupa, isinya empat parwa, yaitu: 1. Adiparwa 2. Soboparwa 3. Wirataparwa 4. Bhismoparwa
Selain keempat parwa besar tersebut, juga ada empat parwa kecil yang terakhir. Kakawin yang perlu diketahui ada dua, yaitu: Cerita Harjuna Wiwaha, karangan Empu Kanwa tahun 1030. Cerita Baratayuda, karangan dua bersaudara, yaitu Empu Sedah dengan Empu Panuluh, ketika tahun 1157, isi cerita buku itu dengan dilagukan tembang macapat sesuai cerita lakon. Isi cerita dengan tembang macapat tersebut memuji ratu-ratu yaitu Prabu Jayabaya dan Erlangga, yang ketika itu berkeraton di tanah Jawa Timur. Empu Sedah dan Empu Panuluh itu pujangga kasusastran Jawa kuna. Empu Panuluh itu yang menyelesaikan tulisan Baratayuda yang dimulai oleh Empu Sedah. Kakawin itu menggambarkan perang saudara antara dua negara, yaitu Kediri dan Jenggala. Juga menulis Gatutkaca Sraya dan Hariwangsa, pada jaman Prabu Jayabaya. Dalam serat kawi Smaradahana ditulis pada abad yang ke 12, serat itu menceritakan lakon Prabu Kameswara. Sutasoma adalah buku tulisan Budha yang sudah ditemukan dalam kasusastran Jawa, yaitu serat yang berisi cerita Gatutkaca Sraya, Kresnayana dan Hariwangsa. Serat cerita Ramayana itu karangan Empu Yogiswara, kemungkinan berasal dari Jawa Tengah ketika tahun 925, isi cerita Harjunawijaya dan Sumanasantaka. Cerita Ramayana karangan Jayadipuran tidak mengambil dari Ramayana Kawi karangan pujangga Walmiki, juga tidak mengambil dari HarjunaSasrabahu. Itulah tulisan baku serat kuna yang sering diambil untuk cerita lakon wayang purwa ada dalam cerita pedalangan, yang digunakan sebagai dasar cerita lakon wayang.
G. Lakon-Lakon Pasemon 1. Lakon Swargabandang. Dibuat oleh Panembahan Senapati Mataram, sebagai peringatan ketika Mangir runtuh (Babad Mangir) 2. Lakon Rajamala, dibuat oleh Panembahan Senapati Mataram, sebagai peringatan matinya Harja Panangsang, di Jipangpanolan. 3. Lakon Mustakaweni sampai Petruk Dadi Ratu, sebagai peringatan PBI sinuhun Pakubuwana yang ke satu. 4. Lakon Gilingwesi, Werkudara Dadi Ratu, dibuat P.B. yang ke III, sebagai peringatan runtuhnya Kraton Kartasura. 5. Lakon Wijanarka, dibuat P.B. yang ke III sebagai peringatan P.B. yang ke II kembali dari Panaraga setelah diambil menantu oleh Anom Besari. 6. Lakon Suryaputra Maling, dibuat oleh P.B. yang ke III sebagai peringatan pencuriannya pangeran Singasari. 7. Lakon Kresna Kembang, dibuat P.B. yang ke IV pasemon ratu Pambayun bersama dengan R.M.H Natawijaya. Cerita lakon-lakon wayang tersebut di atas, itulah yang dinamakan lakon pasemon, peringatan keadaan kehidupan, digambarkan dalam pawayangan untuk dimainkan dalam pakeliran. Jadi asal ceritanya memang dari kenyataan kehidupan manusia yang sebenarnya, jadi bukan dongeng yang digambarkan dalam pakeliran. Makanya lalu dinamakan cerita lakon pasemon. Cerita lakon wayang purwa, kebanyakan adalah karya para empu ahli kasusastran jaman kuna, yaitu ketika jaman Prabu Jayabaya di Kedhiri.
1. Lakon Wahanapurwa, yaitu pertemuan Dewi Gandawati atau Dewi Lara Amis, karangan Empu Tapawangkeng di Mamenang. 2. Lakon Suktinawyasa, bertahtanya Prabu Kresnadipayana sampai menjadi begawan di Saptarga dengan julukan sang Maharsi Begawan Abyasa. Cerita karangan Empu Wijayaka di Mamenang. 3. Lakon Gorowongso, cerita karangan Empu Barandang. 4. Lakon Kumbayana, cerita karangan Empu Braradya. 5. Lakon Bimabungkus, cerita karangan Empu Ragarunti 6. Lakon Muksane Prabu Pandu, cerita karangan Empu Mayangga 7. Lakon Drestanagara (Drestarasta) menjadi ratu sampai turun tahta, cerita karangan Empu Widyatmaka. 8. Lakon Kurumaka, alap-alapan Dursilawati, cerita karangan Empu Mujwa. 9. Lakon Bale Sagala-gala cerita karangan Empu Salukat Karmajaya. 10. Lakon Hambaralaya sampai Jaladara rabi Werdiningsih, cerita karangan Empu Purusaka. 11. Lakon Krida Kresna, cerita karangan Empu Jaruwaya. 12. Lakon Alap-alapan Surtikanthi, cerita karangan Empu Mudra. 13. Lakon Dewa Budha, Sanghyang Guru jadi ratu di Medangkamulan awal, sampai berpindah kota ke Wukir Mahendra (Gunung Lawu) dan membuat kraton Kaswargan, cerita karangan Empu Padma di Mamenang. Lakon-lakon tersebut kebanyakan karangan para Empu ahli kasusastran di Mamenang ketika jaman Prabu Jayabaya di Kediri. Ceritanya bagus sampai masuk ke dalam hati, tidak berbeda jauh dengan lakon Dewa Ruci dan Harjuna
Wiwaha. Serat Jitabsara isinya menceritakan awal mula terjadinya dunia dan seisinya, sampai kesempurnaan hidup lalu disambung dengan serat Paramayoga yang sudah disiapkan, diurutkan oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga ahli kasusastran di Surakarta. Serat Paramayoga, isinya kisah Sanghyang Nurcahya sampai kisah para dewa-dewa sejak di tanah Hindu sampai mengungsi ke pulau Jawa, lamanya sampai 25 tahun, lalu pada kembali lagi ke tanah Hindia. Ketika berada di pulau Jawa membuat kerajaan, makanya sampai sekarang orang-orang di pulau Jawa masih banyak menceritakan ceritanya, dan masih percaya pada dewa-dewa tersebut sampai bisa memindah cerita-cerita tadi sebagai isi dalam lakon wayang purwa sampai jaman sekarang, sekaligus sebagai pengingat pada para leluhur jaman dahulu. Serat Pustaka Raja purwa, sebagai kelanjutan dari Serat Paramayoga tersebut di atas. Isi Serat Pustaka Raja Purwa tersebut semua adalah para empuempu ahli kasusastran ketika jaman Prabu Jayabaya menjadi raja di negara Kediri ketika tahun surya 853, tahun candra 879. Serat Pustaka Raja bagian ke 4, bernama serat Gorowongso karangan empu Barandang, pada tahun surya 853, tahun candra 879. Serat Pustaka Raja bagian ke 6 bernama serat Wandalaksana, karangan empu Ragarunting di Mamenang atas perintah Sang Prabu Jayabaya pada tahun surya 853, tahun candra 879. Serat Pustaka Raja bab yang ke 6, bagian ke 4, bernama serat Hariwanda karangan empu Panuluh di Mamenang pada tahun surya 853, tahun candra 879. Serat Pustaka Raja bab yang ke 6 bagian ke 5 bernama serat Parapatra karangan empu Yogiswara di Mamenang pada tahun
surya 853, tahun candra 879. Serat Pustaka Raja bab yang ke 7 bernama serat Suktinawyasa karangan empu Wijayaka ketika tahun 853, tahun candra 879. Serat Pustaka Raja bab yang ke 7 adalah penjelasan serat Mahapatra, dibagi dalam 8 lakon, bagian ke satu dinamakan serat Wahanyapurwa, karangan empu Tapawangkeng di Mamenang, ketika tahun surya 853, tahun candra 879. Ada lagi serat Mahadarma, juga serat karangan para empu kasusastran Jawa ketika jaman Prabu Jayabaya di Kediri, isi serat-serat tersebut menceritakan kisah para dewa ketika ngejawantah menjadi ratu di bumi sampai bisa menurunkan manusia yang menjadi ratu sampai di jaman sekarang. Isi serat Pustaka Raja itu hanya seperti cerita dongeng ketika jaman dulu, yang berisi wejangan-wejangan yang bisa dijadikan contoh tentang baik dan buruk kehidupan manusia di dunia ini. Jadi kalau hanya dilihat isi dongengnya saja itu tidak bisa dijadikan cerita dalam pakeliran wayang purwa. Raja purwa sudah diurutkan oleh seorang Pujangga ahli kasusastran di negara Surakarta Hadiningrat, diurutkan mulai dari jilid 1 sampai jilid 15. sedangkan yang sudah pernah dicetak menjadi buku baru sampai jilid 10 sedangkan sisanya kebanyakan masih dalam bentuk tulisan tangan, bisa dinamakan carikan.
BAB XIII PAKEM WAYANG SEBAGAI TUNTUNAN PEDHALANGAN
A. Gelar Ratu Jaman Purwa Di Campalareja: 1. Prabu Gandabayu 2. Prabu Drupada (Sucitra)
Di Mandaraka: 1. Prabu Mandukumara 2. Prabu Madrakiswara 3. Prabu Naradatta 4. Prabu Salya, Narasoma, Somadanta, Mandradipa, Mandrakeswara 5. Prabu Nangkula dan Sahadewa menjadi ratu setelah mempunyai putra raden Keswara 6. Prabu Kesrawa sudah jaman Madya
Di Kumbina: 1. Prabu Bismana (Hiraniyaka) atau prabu Rukmana
Di Lesanpura: 1. Prabu Setyajit (Hekawama), atau prabu Hugrasena
2. Prabu Wresniwira (Setyaki), Bimakunting, Sarayuda, Sinisuta, Ekaboma, Yaduwresni. 3. Prabu Sangasanga
Di Mandura: 1. Prabu Kuntiboja 2. Prabu Basudewa (Balarama) 3. Prabu Baladewa, Kakrasana, Basukiyana Wasi Jaladara, Kusumawalikita 4. Prabu Hudara, jaman madya
Di Ngawangga (Wangga): 1. Prabu Dhasta 2. Prabu Turila 3. Prabu Hadirata 4. Prabu Karna, Basusena, Suryaputra, Radeya, Kuntibojanata
Di Dwarawati: 1. Prabu Kresna, Wisnumurti, Sribatara Harimurti, Narayana, Janardana, Danardana, Narayana, Basudewa putra.
Di Amarta: 1. Prabu
Yudistira,
Darmakusuma,
Darmawangsa,
Darmakusuma,
Darmawangsa, Darmaraja, Kuntadewa, Gunatalikrama, Dwijakangka
Di Trajutisna: 1. Prabu Bomantara 2. Prabu Bomanarakaswara 3. Rpabu Satija Mahija, Mahitalasuta 4. Prabu Hantariya
Di Wirata: 1. Prabu Basurata 2. Prabu Basupati 3. Prabu Basumurti 4. Prabu Basukesti 5. Prabu Basukeswara 6. Prabu Basuketi (Wasupati) 7. Prabu Matswapati, Durgandana, Wirateswara, Matswanata, Baswendra
Di Astina: 1. Prabu Hastimurti, Basusena, Hastima 2. Prabu Wasanta, Dewamurti 3. Prabu Pratipa 4. Prabu Dwipakiswara, Palasara 5. Prabu Santanumurti raja pandita bagawan 6. Prabu Citranggada
7. Prabu Citrawirya 8. Prabu
Kresna
Dwipayana,
Abyasa,
Dewayana,
Rancakaprawa,
Sutiknaprawa, Wijasa 9. Prabu Pandudewanata, Dewayana, Gandawastra, Darmaraja 10. Prabu Drestarata, Drestanagara, Drestarastra. 11. Prabu
Suyudana,
Druyudana,
Duryudana,
Kurupati,
Jayapitana,
Hanggendarisuta 12. Prabu
Yudistira,
Darmakusuma,
Gunatalikrama,
Darmawangsa,
Dwijakangka, Darmaputra. 13. Prabu Parikesit, Dipayana, Darmasarana, Mahabarata, jaman Purwa akhir 14. Prabu Yugiswara, Yudayana, Baswara, jaman Madya.
Di Lokapala: 1. Prabu Deradhana, Deroddana 2. Prabu Danurdana 3. Prabu Karda 4. Prabu Lokawana 5. Prabu Wisrawa 6. Prabu Wisrawana, Danaraja, Danapati
Di Maespati: 1. Prabu Heriya 2. Prabu Kartawirya
3. Prabu Harjunasasrabahu Prabu Harjunawijaya 4. Prabu Rurya 5. Prabu Partawirya
Di Manggada: 1. Prabu Jisis 2. Prabu Citradarma 3. Prabu Citranggada
Di Ngayodyapala: 1. Prabu Banapati 2. Prabu Banaputra 3. Prabu Dasarata 4. Prabu Ramawijaya, Ramabadra, Ramaregawa, Dasarati 5. Prabu Barata 6. Prabu Ramawijaya 7. Prabu Ramabatlawa
Di Mantih: 1. Prabu Danuja 2. Prabu Danupati 3. Prabu Janaka
Di Ngalengka, Raja Ditya: 1. Prabu Brahmanaraja 2. Prabu Banjarjali 3. Prabu Jatimurti 4. Prabu Brahmanakanda 5. Prabu Getahbankuda 6. Prabu Brahmanatama 7. Prabu Puksara 8. Prabu Malyawan 9. Prabu Sumali 10. Prabu Dasamuka, Rahwana 11. Prabu Wibisana, manusia
Di Ngima-Imantaka, Raja Yaksa 1. Prabu Niwatakawaca, Nirbita 2. Prabu Niladatikawaca 3. Prabu Niraddakawaca 4. Prabu Drawakawaca (Hardawalika) 5. Prabu Druwayana, jaman madya 6. Prabu Sarsihawa 7. Prabu Merusupadma 8. Prabu Martiki
Nama Arah dan Tempat 1. Purwa = timur 2. Narasunya = barat daya 3. Untara = utara 4. Nurwitri = timur laut 5. Pracima = barat 6. Byabya = tenggara 7. Raksira = selatan 8. Kaneya = barat laut 9. Gagana = atas 10. Patala = bawah
Cahaya Matahari 1. Arkasuta = sinar matahari 2. Harjamaya = cahaya matahari 3. Kastuba = merahnya matahari 4. Suryaja = terbitnya matahari
Nama Sitinggil 1. Siti luhur 2. Siti bentar 3. Sewayana
4. Mangunturtangkil 5. Manguntaraya 6. Balerungga 7. Lemah duwur 8. Bacira 9. Baciraja 10. Birasana
Nama Kahyangan 1. Jonggringsalaka kayangan Batara Guru 2. Parewarna kayangan Batara Guru 3. Giriloka kayangan Batara Guru 4. Suduk udal-udal kayangan Batara Naradda 5. Nusakambangan kayangan Batara Kala (Berawa) 6. Setragandamayu kayangan Batari Durga, hyang Pramoni 7. Semaralaya kayangan Batari Durga, hyang Pramuni 8. Semarapada kayangan Batari Durga, hyang Pramoni 9. Swargaloka kayangan Batari Durga, hyang Pramoni 10. Janaloka kayangan Batari Durga, hyang Pramoni
Nama kahyangan para Jawata 11. Hendraloka kayangan Batara Hendra 12. Hendrabawana kayangan Batara Hendra
13. Hariloka kayangan Batara Hendra 14. Harbawana kayangan Batara Hendra 15. Hariwanda kayangan Batara Hendra 16. Hamaraloka kayangan Batara Hendra 17. Nirayapada kayangan Batara Hendra 18. Suranadi kayangan Batara Hendra 19. Suralaya kayangan Batara Hendra 20. Surabawana kayangan Batara Kumajaya 21. Cakrakembang kayangan Batara Kumajaya 22. Cakrapura kayangan Batara Kumajaya 23. Kadewatan kayangan Batara Kumajaya 24. Kamuksapada kayangan Batara Kumajaya 25. Triloka kayangan Batara Kumajaya 26. Sunyapuri kayangan Batara Kumajaya 27. Gargadhahana kayangan Batara Brahma 28. Hargadumilah kayangan Batara Yamadipati 29. Nguntasagara kayangan Batara Wisnu 30. Saptapratala kayangan Batara Antaboga 31. Bulatan kayangan Batari Wilutama
B. Silsilah para Pandawa 1. Prabu Yudistira menikah dengan Raja putri di negara Pancalareja bernama Dewi Dropadi, memiliki putra satu laki-laki bernama raden Pancawala, itu
yang disebutkan dalam pedalangan. Dewi Dropadi itu sebenarnya seorang putri yan diperistri lima orang, yaitu Pandawa. Dari kelima orang tersebut, dewi Drupadi bisa memiliki anak lima jumlahnya dinamakan pancaputra, artinya jejaka lima, tapi dalam pedalangan yang sering disebut hanya satu bernama raden Pancawala, sedangkan putra yang empat tidak disebutkan dalam pedalangan. 2. Prabu Yudistira menikah dengan Raja putri di negara Sibi bernama dewi Dewika, berputra satu laki-laki dengan nama Raden Yodeya, itu juga jarang disebutkan dalam pedalangan. 3. Harya Sena menikah dengan putra Batara Antaboga di Sapta pratala yang bernama Dewi Nagagini, memiliki seorang putra laki-laki bernama Raden Antasena (Antareja). 4. Harya Sena menikah dengan saudara Raden Ditya Arimbamuka di negara Pringgadani bernama Detyaksi Arimbi atau dewi Arimbi, berputra satu laki-laki bernama Raden Tutuka atau raden Gatutkaca. 5. Harya Sena menikah dengan putra Raja di negara Kasi bernama Dewi Balandara, berputra satu laki-laki bernama Raden Serbaga, dalam pedalangan jaran diceritakan, hanya kalau memainkan lakon Irawan Maling, dia menjadi teman raden Irawan di taman Kadilengeng Astina, itu yang dinamakan lakon Irawan bakna. Bentuk wayang Harya Serbaga itu seperti Antasena rambutnya ngore udhal tiga.
Raden Harjuna memiliki tujuh orang putra: 1. Harya Sumitra, dari istri paminggir (selir) bernama Niken Rarasati 2. Harya Abimanyu dari istri padmi bernama Dewi Sumbadra 3. Harya Irawan dari istri padmi bernama Dewi Hulupi 4. Harya Wijanarka dari istri padmi bernama Dewi Gandawati 5. Dewi Pregiwa dari istri padmi bernama Dewi Manohara 6. Harya Wilogata dari istri padmi bernama Endang Manikara 7. Harya Caranggana dari istri padmi bernama Endang Maeswara Ketujuh putra tersebut sudah termasuk dalam sejarah, sedangkan kalau ada Bambangan dan putri atau endang lagi yang termasuk dalam cerita pedalangan, itu hanya pinjaman saja untuk menggenapkan cerita lakon tambahan yaitu yang dinamakan lakon carangan. Harya Nangkula menikah dengan putri dari negara Cedhi bernama dewi Karenuwati, berputra satu laki-laki bernama raden Niramitra, tidak diceritakan dalam pedalangan. Harya Sahadewa menikah dengan putri dari negara Madras putra Prabu Jutiman, bernama dewi Wijaya, berputra satu dengan nama raden Suharta, tidak diceritakan dalam Pedalangan.
C. Wayang Jaman Kartasura Sebelum jaman Kartasura, wayang Gatutkaca itu hanya cukup berbentuk wayang buta kecil. Hanya berbentuk seperti itu karena disesuaikan menurut sejarahnya. Ketika dewi Arimbi sudah menjadi istri Sang Harya Sena lalu
memiliki satu anak berbentuk buta kecil, Harya Sena lalu memerintahkan pada sang istri agar sang putra segera dibawa pulang ke Pringgadani. Putranya diberi nama jaka Tutuka. Kalau ada keperluan, para Pandawa baru akan dipanggil. Dewi Arimbi merestuinya. Sang bagus segera dibawa pulang ke kerajaannya. Raden tutuka ketika masih kecil senang berkumpul dengan buta-buta (raksasa) makanya dia bisa terbang karena buta Pringgadani itu besar maupun kecil semua bisa terbang. Lagi pula sang bagus itu lincah sekali kalau perang pada waktu malam, kekuatannya menakutkan melebihi semua Raksasa, juga memiliki taring. Kalau sudah mau menggigit musuhnya tidak tanggung-tanggung, pasti sampai mati. Siang dan malam selalu diajari oleh paman-pamannya, duajari bermacam-macam aji-jayakawijayan, dinamakan disiram dengan banyu gege. Setelah hampir perang Baratayuda sang bagus dipanggil. Waktu itu umutnya baru 15 tahun tapi badannya sudah kelihatan besar seperti bapaknya, jadi bisa mengimbangi musuh. Akhirnya, ketika sang bagus berhadapan dengan Sang Hadipati Karna, ia lalu tiwas terkena senjata dibya kyai Kuntadruwasa. Wayang buta kecil yang menggambarkan jaka Tutuka tersebut setelah jaman Kartasura, atas ijin dalem sinuhun Kanjeng Susuhunan, wayang Jaka Tutuka tersebut lalu diganti, disesuaikan dengan bentuk Sang Harya Sena, jadi supaya bisa mirip dengan si bapak, tapi agak kecil sedikit. Sebagai polanya mengambil wayang Antareja, lalu ditambahi pakaiannya yaitu ditambah dengan praba, wanda tatit, karena kalau perang gerakannya lincah dan diberi nama Gatutkaca, artinya tempat keteguhan, sejak lahir sudah tidak mempan tapak paluning pandhe sisaning gurenda atau kebal.
Wayang Gatutkaca lalu bisa berbentuk bagus dan bregas dilihat, serta lengkap badannya seperti ratu. Makanya dalam satu kotak kelihatan paling bregas, seperti wayang Baladewa, genap badan dan tatahannya. Wayang Gatutkaca itu diwarnai hitam bagus, apa lagi kalau digembleng, badannya diwarnai prada emas akan semakin bagus. Sedangkan wayang dewa-dewa diberi pakaian panjag memakai keris, kakinya memakai sepatu. Hanya Batara Guru dan Batari Durga yang tidak boleh diganti karena merupakan wayang candra sangkala memet, kalau sampai ditambahi atau dikurangi arti tahunnya akan berubah. Begitu lah yang menjadi keinginan dalem Ingkang sinuhun Kanjeng Susuhunan di Kartasura ketika tahun candra 1621)
D. Wayang Punakawan Ketika jaman Mataram yang menjadi ratu adalah Hingkang sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Hanyakrawati yang wafat di Krapyak. Beliau punya keinginan untuk membuat bentuk wayang purwa ditambah dengan wayang dagelan untuk melengkapi, agar para dalang kalau sedang memainkan wayang tidak kekurangan lalucon (banyolan). Yang pertama adalah adanya Semar, Bagong, dan cantrik pawongan (emban). Sedangkan yang dibuat baru sebagai tambahan, yaitu berwujud wayang: 1. Petruk 2. Gareng 3. Cenguris 4. Togog
5. Sarawita 6. Limbuk 7. Cangik 8. Dewi Clekutana 9. Retna Juwita 10. Parekan Buta 11. Cantrik Janaloka 12. Semar Gareng, Petruk berpakaian perempuan 13. Pawongan gelung melintang 14. Gareng, Petruk, Bagong, memakai cara ratu. 15. Kethek kacangan, ketika tahun candra 1552.
Wayang Bagong Bagong itu terjadi dari bayangan Batara Ismaya, yaitu Ywang Ismaya ketika diperintahkan oleh sang rama Sanghyang Tunggal untuk jadi pengurus keturunan Resi Kanumanasa sampai Sang Harjuna. Dia lalu diberi teman yang diciptakan dari bayangan Sang Ismaya. Bayangan tersebut lalu berbentuk wujud bulat gemuk matanya lebar, mulut juga lebar, bibirnya menggantung memakai gombak. Bisa menjadi wujud seperti itu memang sudah kehendak Ywang Kang Murbeng Pasthi, sebagai teman Batara Manik Maya (Batara Guru). Bagong itu artinya dengan gombak, ketika jaman dahulu, setiap bocah kecil banyak yang digombak supaya awet muda seperti bocah kecil. Begitu arti diadakannya wayang Bagong, asalnya dari kata bagong atau gombak.
Wayang Semar Semar
itu
dewa
yang
berbadan
manusia,
berbentuk
semamar
membingungkan, laki-laki bukan, wanita pun bukan, cebol badannya hitam gemuk bulat, tidak muda tidak tua, di kepalanya ada kuncung jadi kelihatan seperti bocah, makanya dia punya ciri seebntar-sebentar pasti menangis, senang menangis, susah juga menangis karena selamanya tidak tahu senang dan tidak tahu susah. Jadi sudah tidak ada bedanya. Warnanya hitam berarti tetap tidak berubah (langgeng), menjadi ratu di jagad Sunyaruri, yaitu di alam sunyi. Kalau memperlihatkan diri di bumi hanya jadi tuwagana, yaitu jadi pamong keturunan Sang Manik Maya. Munculnya Semar di bumi itu ketika jaman raden Kaniyasa atau Resi Kanumanasa, pandita yang ada di Saptarga. Pada waktu itu, di sana ada orang cebol yang sedang berlari karena dikejar dua ekor macan akan memangsanya, orang tersebut bernama Semarasanta, lalu ditolong oleh sang resi. Macan diruwat dengan senjata lalu berubah menjadi dua bidadari, yang tua bernama Dewi Kanastren jadi jodoh Semarasanta, sedangkan yang muda bernama Dewi Retnawati, jadi istri Sang Resi Kanumayasa. Semarasanta lalu nyantrik pada sang resi dan dipanggil Janggan Semarasanta. Sang Janggan Semarasanta itu lalu jadi pamong keturunan sang resi Kanumayasa, hanya sampai para Pandawa Raden Harjuna. Sedangkan kalau ada putra raden Janaka dan diikuti oleh Semar itu hanya silihan saja sebagai teman supaya bisa meramaikan pakeliran.
Kalau menurut sejarah, para satria yang boleh dirawat oleh Semar itu hanya satria yang kuat tapanya, sering didatangi para Dewa serta yang besar baktinya pada Dewa dan sering dimintai bantuan kalau para dewa mendapat keruwetan, didatangi musuh dari mercapada dan merusak Kayangan, yaitu hanya para satria yang kuat tapanya tersebut yang bisa menolong para Dewa. Makanya dalam pedalangan, wayang yang boleh memakai gara-gara itu hanya Resi Kanumayasa sampai Sang Harjuna, semua wayang berwujud bokongan. Kalau sudah selesai perang kembang suluknya sendon Abimanyon, sedangkan cakepan apalan dengan Elayana. Kalau para Bambangan putra siapa saja, itu tidak boleh dengan gara-gara karena sudah kurang kuat tapannya, kalau sudah selesai perang kembang suluknya patet jengking sedangkan cakepan apalan dengan Tunjung bang trate. Jadi kalau begitu, seharuasnya ada dagelan sendiri untuk teman Bambangan putra Sang Harjuna tadi. Kalau wayang gedog cerita Panji sudah ada sendiri-sendiri, kalau Panji tua, yaitu raden Hinokartapati, yang jadi temannya adalah dagelan Bancak dan Doyok. Sedangkan kalau Panji muda, yaitu raden Sinombredapa, yang jadi temannya dagelan Sebul dan Palet.
Gelar Semar di kayangan: 1. Batara Ismaya 2. Batara Tejamaya 3. Batara Jagadwungku 4. Sanghyang Jatiwasesa 5. Sanghyang Suryakanta
Dalam pertapaan: 1. Kaki Janggan Semarasanta 2. Kaki Badranaya 3. Kaki Nayantaka Dalam kraton atau di kasatrian: 1. Kyai Lurah Semar 2. Kyai Lurah Badranaya
Di Klampisireng: Disebut Kyai Dudha Manangmunung
Ywang Wisesa memberikan manik astagina pada Danghyang Semarasanta, kang memiliki delapan kesaktian: 1. Tidak merasa lapar 2. Tidak merasa ngantuk 3. Tidak merasa jatuh cinta 4. Tidak merasa sedih 5. Tidak merasa lelah 6. Tidak merasa sakit 7. Tidak merasa panas 8. Tidak merasa dingin Manik astagina disuruh mengikatkan di rambut yang ada di kuncung.
Wejangan Sanghyang Tunggal Nantinya akan ada 3 macam orang seperti dulu yaitu: 1. Wong biksu, artinya tanpa pusar dan tanpa ubun-ubun 2. Wong Bibima, artinya satu hati tanpa ketinggalan (Werkudara) 3. Wong Tibawarna, artinya orang yang tidak mempan senjata, yaitu selamat dari senjata tajam, gecul marucul kuwarisan, sluman slumun slamet. Ketahuilah itu semua sebenarnya adalah wujud diriku, itu hanya jika aku bertemu denganmu, engkau aku beri ilham sebagai pertanda paesan ini, perhatikanlah sela antara alisku. Dan lagi pesanku padamu, kalau ada orang yang ubun-ubunanya bercahaya seperti cahaya matahari dan bulan, itulah wujud kakakmu si Ismaya, meskipun orang tadi jelek, janganlah engkau ragu, semua keinginannya laksanakanlah, karena keinginan itu pasti sudah diketahui.
E. Wayang dan Kehidupan Manusia Wayang itu sangat disukai orang, peribahasanya sampai ambalung sungsum, apa lagi yang merasa memiliki seperti bangsa kita sendiri di Indonesia. Kalau wayang bangsa Tionghoa bernama wayang Potehi, kalau bangsa Eropa ada wayang Boneka dinamakan Popenkas. Jadi kalau begitu bangsa-bangsa itu memiliki wayang sendiri-sendiri. Wayang itu merupakan buatan manusia, sesuai dengan keadaan yang membuat sendiri-sendiri sebagai gambaran kehidupan manusia atau leluhurnya, gambar yang menjelaskan adanya tingkatan kehidupan yaitu nista, madya, utama,
agar bisa menjadi contoh yang baik. Jadi wayang itu digunakan untuk memberi gambaran dalam menerapkan bermacam-macam lakon tadi, karena lakon manusia itu memang bermacam-macam. Intinya untuk memperjelas adanya dasar waton nista
madya
utama
agar
bisa
terang,
supaya
jangan
sampai
keliru
menempatkannya, tempat kenistaan bisa digambarkan wujudnya, juga untuk menunjukkan dan memperjelas tentang kebaikan, karena kalau keburukan tidak ditunjukkan, hanya disimpan saja jadi tidak bisa seimbang adanya buruk dan baik, yaitu nistha madya utama. Semua itu sudah tergelar atas kehendak sang Maha kuasa sebagai penyeimbang budi, pikiran, supaya bisa mengerti keadaan yang sebenarnya. Mana yang harus dipilih dan yang bakal dilakoni itu diserahkan pada yang bakal menjalani. Untuk yang akan menjalani, pasti sebisanya memilih yang baik, yaitu utama, kalau tidak bisa samadya, pilihan kanistan sebisan mungkin dihindari. Manusia pada umumnya ingin pada kebaikan, maka kisah wayang itu banyak yang bisa masuk sampai ke hati yang terdalam. Pekerjaan praktek (teknik), serta pengetahuan pedalangan yang digunakan utnuk memperjelas gambaran lakon tersebut yang baku adalah: satu, janturan (cerita), dua, gendhing kakawin, tiga, banyol (lelucon), empat, sabetan. Meskipun hanya empat tapi cakupannya sangat luas. Seperti janturan dalam sebuah cerita itu sudah mencakup parama basa serta hawi crita, mengku basa, serta cerita para leluhur itu jadi kebudayaan bangsa yang juga sangat penting. Kalau bisa jelas dan tepat dalam menerapkannya, pasti bisa menghidupkan rasa kemuliaan. Makanya
dalam wayang, kata-kata dan isi itu lebih penting, kalau kata-katanya kosong tanpa isi rasa atau keliru dalam menerapkan maka akan kurang baik. 1. Menceritakan itu intinya juga dalam bahasa, meskipun bisa dengan menhafalkan kata-kata dan kalimat semua cerita, kalau mengerti unggahungguh dalam kata pasti akan lebih meresap dalam. 2. Gending kekawin itu intinya adalah lagu suara, tembang atau gendeng, sedangkan gendhing itu perpaduan suara gamelan, untuk menggambarkan keadaan lahir batin, serta keadaan kebudayaan. Yang lebih penting adalah untuk merekatkan tali persaudaraan, jadi wayang itu hanya jadi alat untuk menghidupkan pakeliran. Tapi sebenarnya gendhing, gendheng itu memang memiliki nilai kebudayaan sendiri dan perlu dilestarikan. 3. Banyolan itu intinya untuk menyenangkan hati agar gembira, jangan sampai tegagn atau susah. Jangan sampai hanya senang-senang, atau susah saja. Kalau keadaan tanpa banyolan, kesenangan, hanya tegang melulu tentu akan cepat putus asa, tidak kuat menjalani kehidupan. Jadi banyolan itu bukan hanya lelucon tanpa arti, intinya adalah guyonan untuk menyenangkan hati. Makanya wayang alusan, kasaran, atau dalam lakon apa saja bisa membuat tertawa, asal bisa menerapkan sopan santun. Wayang dagelan dibuat hanya untuk melengkapi aneka warna wujud wayang lalu diselaraskan dengan wayang yang lain, hanya untuk banyolan. 4. Sabetan itu kelincahan memainkan wayang, supaya kelihatan asri, edi, peni, bisa menghidupkan wayang seperti benar-benar hidup. Jadi wayang serta
kawruh pedalangan itu berisi beberapa kebudayaan. Yang lebih penting, perlu sekali dirawat dan dilestarikan.
Janggan Semarasanta Batara Ismaya berputra Batara Wungku atau Wungkuam (Bongkokan), Batara Wungkuam berputra bentuk manusia cebol gemuk pendek hitam kulitnya dinamakan Semarasanta, yang tinggal di Padepokan Pujangkara, Desa Padukuhan Ki Semarasanta tersebut, manusia cebol hitam gemuk pendek yang raganya sering dimasuki eyangnya, Batara Ismaya, batara Semar, yaitu Dewa yang merasuk dalam raga orang yang bernama Semarasanta tersebut untuk menjadi pamong trah resi Kanumanasa sampai raden Harjuna. Jadi sampai enam keturunan sampai udeg-udeg dari sang resi Kanumanasa. Orang bernama Semarasanta itu lalu diperintahkan ngenger (ikut) nyantrik di Saptarga lalu diberi sebutan Janggan dan bernama Janggan Semarasanta. Kalau sedang marah pada para dewa lalu dirasuki oleh eyangnya, Batara Semar (Ismaya). Makanya wayang yang menggambarkan Batara Ismaya atau Semar itu tidak ada, yang kelihatan di Bumi itu hanya badan wadag manusia bernama Janggan Semarasanta tersebut. Setelah lama lalu dinamai Semar, Semarasanta lalu hilang tidak pernah diceritakan. Manusia yang berbentuk cebol hitam gemuk pendek tersebut lalu katelah jadi disebut Kyai lurah Semar. Ismaya itu artinya cahaya hitam, makanya dalam pewayangan, wayang Semar itu kebanyakan badannya dicat hitam, itu sudah cocok dengan dongengan, kalau Ismaya itu artinya cahaya hitam. Kalau ada wayang Semar badannya tidak
hitam itu meskipun bagaimana tetap kurang sesuai dengan keadaan Ismaya tersebut. Ketika nyantrik di Saptarga, yang jadi teman Semarasanta adalah Putut Supawala, Putut Supawala itu berwujud kera putih seperti Raden Senggana (Hanoman), keduanya sangat dekat dengan Sang Resi dan diberi tugas menjaga keselamatan di Pertapaan.
Nama-nama Gajah 1. Brajamuka = gajah untuk perang 2. Gajaksa = gajah besar 3. Gajah Hendra = ratu gajah 4. Gajah pati = ratu gajah 5. Gajah Hendriya = gajah ngamuk 6. Rajamuka = gajah yang ditunggangi ratu 7. Hesti = gajah yang ditunggangi ratu 8. Hanjana = gajah yang ditunggangi ratu 9. Diponggo = gajah yang ditunggangi ratu 10. Dirada = gajah yang ditunggangi ratu 11. Dwipo = gajah yang ditunggangi ratu 12. Dwiratyana = gajah yang ditunggangi ratu 13. Helawana = gajah yang ditunggangi ratu 14. Samaja = gajah yang ditunggangi ratu 15. Liman = gajah yang ditunggangi ratu
16. Matengga = gajah yang ditunggangi ratu 17. Gatamuka = gajah yang ditunggangi ratu
Nama-nama Macan 1.
Kiswari atau Kesari = macan
2.
Durma atau Durga = macan
3.
Saradula atau Sardula = macan
4.
Salimba atau Harimau = macan
5.
Singa atau Singha = macan
6.
Bragalba atau Pragalba = macan
7.
Mregapati atau Mregadipa = macan
8.
Mong atau monga = macan
9.
Macan mengaum bernama Singanabda
10. Anak Macan bernama Wikridita 11. Ratu macan bernama Singapati atau Singantaka 12. Macan yang terjadi dari manusia bernama Narasinga 13. Harimba = macan 14. Harima atau harimong atau Rimong artinya macan
Nama-nama Ular 1. Antaboga = dewa ular 2. Nagabendana = pembesar ular 3. Nagaraja = ratu ular
4. Nagapati Ratu ular 5. Nagabasuki = ratu ula 6. Nagabanda = ular besar 7. Bujangga = ular besar 8. Hardiwalika = ular besar 9. Anta = ular besar 10. Naga = ular besar 11. Taksaka = ular 12. Sarpa = ular 13. Sawer = ular 14. Haliman = ular
Nama Kuda 1. Undakan 2. Haswa 3. Kuda 4. Kudaka 5. Kalengki 6. Kapal 7. Wajik 8. Turangga 9. Gedong 10. Swaninda
11. Prasita 12. Kuda
Nama Babi 1. Andapan 2. Durgangsa 3. Uweg 4. Wraha 5. Demalung 6. Jantaka 7. Sungkara 8. Jubris 9. Wijung 10. Wegang 11. Bagkwi
Nama Banteng 1. Handaka 2. Angun-angun 3. Sarawa 4. Jawida 5. Gurisa 6. Gawaksa
7. Gawindra 8. Grendaka
Nama Anjing 1. Segawon 2. Anjing 3. Wreka 4. Bugel 5. Srenggala 6. Cika 7. Kuwaka
Nama kuda 1. Undakan = tunggangan 2. Gedog = gegedug, sesama hewan yang paling unggul 3. Swa = kuda kinasih, yaitu tunggangan 4. Kapal = lanteh bisa mengerti pada ajaran 5. Kuda = bisa berputar 6. Jaran = unjaran, dalam gedog sendirian tanpa teman 7. Turangga, tuhurangga, tura artinya halus, angga badan, artinya lemah badanya. 8. Wajik artinya wijik.
Nama gajah 1. Gajah = banyak tingkah, tempatnya dalam hutan 2. Hasti (Hesti) = kalau ditunggangi 3. Dirada = kalau sedang marah atau gajah meta 4. Dwirada = memiliki taring dua, dwi dua, radda gigi yaitu memiliki dua gading. 5. Waniti = kalau diberi pakaian 6. Matengga = kalau sedang bercengkrama 7. Samaja = kalau dibawa perang 8. Gajamuka = gajah mengamuk, atau gajah kalau ditunggangi oleh buta, atau gajah pengarep 9. Brajamuka = gajah mengamuk dengan senjata, atau kalau bertarung 10. Gatamuka = kalau akan kawin karena gantha kelihatan besar. 11. Liman = Seperti memiliki lima kaki, karena belalainya bisa menyentuh tanah
Nama babi 1. Babi = warnanya hitam 2. Waraha = saronggot, babi itu senjatanya adalah saronggot, yaitu dua buah taring 3. Sungkara = senangnya merapat, sung artinya merapat, kara artinya membuat, kalau sudah berani hanya modal tekat.
4. Genjik = babi kecil, cara berjalannya tangkas karena badannya belum besar jadi masih serba trampil.
Nama macan 1. Singa = bisa mengaong 2. Singha = bisa mengaong 3. Mong = bisa mengaong 4. Jagur = macan yang sedang mendekam 5. Margapati = rinaket ratu 6. Macan, yang benar matyan = mancia, yaitu mengaum 7. Keswari = serba bulu 8. Harimong = meramong, warnanya merah dengan loreng 9. Saradula = semuanya tajam, seperti gigi dan siungnya, lidahnya seperti parut, cakar kukunya lancip.
Nama banteng 1. Banteng = benting 2. Gardaka = kaya napsu 3. Handaka = badannya seperti sapi 4. Angun-angun = banteng yang kuat 5. Sikandana = banteng jantan 6. Sikandini = banteng betina
7. Griksa = getapan, karena sangat berani tanpa rasa takut, kalau marah harus mengamuk. 8. Garaksa = menakutkan, setiap melihat segala sesuatu harus mengejar dan mengamuk, apa lagi kalau terluka akan keluar keberaniannya sampai mati.
Nama bedati (Gerobak) Untuk membawa barang atau tunggangan pasukan yang membawa alat perang dan makanan prajurit. 1. Bedati = gerobak yang ditarik sapi betina 2. Senang = gerobak yang ditarik sapi jantan 3. Manggra = gerobak yang ditarik Banteng 4. Salamuka = gerobak yang ditarik kerbau jantan dan betina 5. Hastapada = gerobak yang ditarik kerbau jantan 6. Sambira = gerobak yang ditarik banteng bersuara 7. Westi = gerobak yang ditarik banteng betina (jawa) 8. Camakantu = gerobak yang ditarik orang laki-laki dan wanita 9. Dudula = gerobak kalau ditarik Kuda betina 10. Sisikunwaninda = gerobak yang ditarik dua ekor kuda 11. Sisirat ancak anda = gerobak yang ditarik empat kuda 12. Gegendik = gerobak yang ditarik kambing besar 13. Sekutuk = gerobak yang ditarik anjing besar 14. Calita = gerobak yang ditarik kijang ujung 15. Salikna = gerobak yang ditarik kuda tutul
16. Gabrata = gerobak yang ditarik macan, jadi tunggangan buta 17. Gotaka = gerobak yang diberi gerbong, biasanya ditarik gajah karena lebih berat.
Nama sungai 1. Banawi (Banawe) = kumpulan air 2. Bangawan, yang benar banawan = jalan air, Ban = air, awan = jalan 3. Kali = dialiri, dialiri air 4. Lepen, yang benar lepwen, lep = aliran, wen = tempat air 5. Ci artinya tempat bersuci 6. Narmada, yang benar naharmodho = berisi air
Nama bunga 1. sekar = yang sedang mekar 2. kembang = kalau sedang dihisap madunya oleh kumbang 3. kusuma = kalau sedang harum baunya 4. padma = bunga yang sedang harum baunya masih berisi madu 5. puspa = dirangkai, diatur ditarik-tarik dan diselang-seling tempatnya. 6. sari = serba baik, yaitu ketika sedang mekar dan berbau harum 7. puspita = bunga yang sedang berwarna kuning, yaitu ketika akan mekar
Nama daun 1. Ron = untuk kerimbunan pohonnya
2. rodohon = daun yang subur 3. Godhong = sebagai peneduh, yaitu peneduh pada pohonnya 4. patra = sahantara, daun jadi tanda hidupnya pohon, pohonnya gemuk dan kurus dilihat dari daunnya 5. ujungan, itu kata krama desa, ingin membahasakan ujo (hijau) dari wujud daun yang hijau.
Nama tunjung bunga teratai 1. pakaja = kalau bunganya mekar dalam air 2. kumuda = kalau bunganya mekar dalam air 3. kamuda = kalau kehabisan air 4. terate = kalau mekar di balekambang 5. saroja = kalau berada di daratan 6. sadengan = kalau tumbuh di batu 7. tunjung = kalau sudah berwujud pohonnya 8. midemah = kalau bunganya mekar pada waktu malam 9. singli = kalau bunganya akan rontok 10. saroparuka = kalau rontok, gugur 11. sarasidiya = kalau bunganya medem
Nama Hewan yang dipakai sebagai Nama Para Petinggi di Jaman Kuna 1. Matswapati = ratu ikan 2. Basudewa = tokek unggul atau Bidho linuwih
3. Bisawarna = tokek 4. Narasinga = orang berbadan macan 5. Jayadimurti = kesaktian cicak 6. Handakawulung = banteng liar 7. Hayamwuruk = kokok ayam 8. Hundhakan Sastramiruda = kuda melompat menghindari panah 9. Kidangwalakas = kijang yang larinya cepat 10. Kebokanigara = kembang hewan aduan 11. Kebokenanga = kembang hewan aduan 12. Kebomenggah = kerbau kanggeg 13. Sawunggaling = jago emas, atau jago patohan 14. Siungwanara = taring kera 15. Singaprana = watak macan 16. Lembuhamiluhur = yang asalnya luhur 17. Lembuhamijaya = hewan yang kuat 18. Lembumangarang = hewan yang membuat tertarik 19. Lembugelap = pasemon untuk putra yang dilupakan 20. Kudapanolih = kuda yang patut ditonton 21. Maesatandreman = kerbau palen 22. Mundingsari = kembang kerbau 23. Mundingwangi = kembang kerbau 24. Gajahmada = gelar gajah 25. Gatayu = tempatnya kabaikan
26. Gagakbahni = berbadan geni 27. Gagakpranala = panas hati 28. Gagakpranawa = terang hati 29. Banyakwide = banyak (angsa) dikurung 30. Bondankejawan = berbadan kadal 31. Bankudasari = kerbau pelen 32. Kijangwiracapa = kijang dipanah gandewa bisa lolos 33. Kudalaleyan = kuda = kuda, laleyan = pagar bata
F. Sama, Beda, Dana, Denda 1. Sama, maksudnya: kalau memberi sesuatu dalam suatu acara jangan sampai menjadikan iri hati 2. Beda, maksudnya: kalau memerintah pasukannya, yang senang dengan cara keras jangan dengan cara halus, sedangkan yang senang cara halus jangan dengan cara kasar, nanti bisa mengecewakan. 3. Dana, maksudnya: kalau ada pasukan yang baik berilah penghargaan supaya mempengaruhi teman-temannya 4. Denda, maksudnya: kalau menjatuhkan hukuman harus adil, meskipun sentana, warga, kalau salah harus dihukum supaya orang lain jadi takut.
Ambeg patih: Guna, Kaya, Sura 1. Guna = kaya ilmu 2. Kaya = bisa mengeluarkan hasil, memperluas jajahan
3. Sura = berani
Tentang kaluwihan (kelebihan) 1. Kaluwihan, lebih dari rata-rata, berada di depan, bisa mancala putra mancala putri. 2. Kasekten, sakti mandraguna 3. Kasantika, olah kekuatan badan 4. Kasudiran, berani tiada tara 5. Kaprawiran, menjalankan tugas prajurit, menang dan utama 6. Kadigdayan, lebih unggul dari sesamanya, orang digdaya yang tidak mempan senjata tapak paluning pandhe sisaning gurenda. 7. Kanuragan, honorogro (hanaraga) seperti satria Dananjaya 8. Kasunyatan, kuat bertapa seperti tapa pandita 9. Kasempurnan, ilmu yang tinggi, melihat hidup mati.
G. Pulung, Wahyu dan Andaru Pulung, warnanya biru bersinar hijau, terbuat dari campuran cahaya manikmanik emas dan tembaga. Pulung itu akan membuat daya kehidupan, tapi yang dijatuhi adalah orang yang welas asih. Untuk menjadi welas asih harus dilakukan dengan tapabrata, yang seperti tiu disebut mempercepat jatuhnya pulung. Jika memilikinya akan disenangi orang banyak.
Wahyu, warnanya putih bersinar hijau, dari campuran manik-manik emas dan salaka. Wahyu itu akan membuat daya kehidupan, tapi yang dicari adalah orang yang Rila, Legawa, Temen, Narima. Karilan tariman, legawan, katemenan itu harus dilakukan dengan tapabrata, yang seperti tiu disebut mempercepat jatuhnya wahyu. Jika memilikinya akan disenangi orang banyak. Andaru, Warnanya kuning bersinar amarakata, terjadi dari campuran maning-manik emas, tembaga dan timah. Andaru akan membuat kehidupan, tapi yang dicari adalah bangsa yang amardi brana (kekayaan). Datangnya cipta marta, Mardi brana, akan terjad dengan tapabrata, yang seperti itu akan mempercepat jatuhnya Andaru. Jika memilikinya akan disenangi orang banyak. Teluhbraja, warnanya merah bersinar biru, terjadi dari campuran cahaya besi, timah, tembaga dan belerang. Teluhbraja akan membuat kehidupan, tetapi yang diikuti adalah bangsa yang dengki, jahil, iri. Untuk mendapatkannya dengan tapabrata. Hal tersebut akan mempercepat jatuhnya Teluhbraja. Jika memilikinya akan dimusuhi orang banyak. Guntur, warnanya ungu sirat dadu, terjadi dari campuran cahaya besi, tembaga, garam dan belerang. Guntur akan jadi daya kehidupan tapi yang diikuti adalah yang angkaramurka. Untuk mempercepat jatuhnya dengan cara tapabrata. Yang memiliki akan dibenci oleh sesamanya. Kelima bab tersebut di atas, kalau dalam bahasa arab dinamakan Darajat, sedangkan kalau dalam bahasa Belanda dinamakan Meteor. Wahyu memiliki
watak dan kadudukan sendiri-sendiri serta memiliki daya kekuatan sendiri-sendiri, semua wahyu tersebut, wujudnya hanya berupa warna cahaya bersinar, sedangkan nama wahyu sesuai dengan warna cahaya kang bersinar tersebut. Agar cepat menurunkan wahyu harus disertai dengan tapabrata. Tapi semua wahyu tersebut memiliki daya kekuatan dan watak sendiri-sendiri, jadi kalau daya watak tersebut tidak sesuai tidak bisa jatuh pada orang itu, jadi wahyu tersebut akan emncari dimana bisa manunggal dan selaras. Jadi kalau ada manusia yang memiliki dasar watak kelakuan baik serta budinya baik, tambah lagi ia adalah orang yang Rila, Legawa, Temen, Anarima, dan menjalankan tapabrata, pasti segera menerima wahyu karena sudah sesuai dengan watak wahyu tersebut, wahyunya lalu ikut karena merasa cocok. Begitu seterusnya, menurut dasar watak si wahyu tersebut. Jadi sebenarnya sama-sama saling mencari, mencari yang sama watak dan dasarnya. Mungkin cerita di bawah ini bisa dijadikan contoh, bisa untuk membedakan mana yang dinamakan derajat baik dan yang buruk, karena baik dan buruk itu memiliki wahyu sendiri-sendiri. Makanya keadaan dunia ini, kehidupan manusia tidak ada yang tentram, wahyu berjalan mengelilingi bumi, entah dimana jatuhnya mencari orang yang sama wataknya. Itulah sebabnya paperangan di dunia ini berganti-ganti tempat, berebut tempat dan pangan, menuruti angkara murka wahyu Guntur, yang menyusup pada manusia yang memiliki dasar watak yang cocok dan sesuai dengan si wahyu Guntur tersebut.
Salah satu wahyu tersebut kalau sudah menyatu pada manusia, terlihat hanya melalui kata-kata, siapa orangnya yang sudah dijatuhi wahyu semua katakatanya pasti dituruti orang lain. Pengetahuan tentang wahyu tersebut agar bisa digunakan sebagai contoh, agar bisa melihat perbedaan watak-watak si wahyu tersebut, bahwa mereka memiliki daya sendiri-sendiri serta bisa digunakan sebagai pedoman kalau akan membuat atau mengarang lakon yang berisi cerita tentang wahyu. Misalnya yang sudah ada saja, yaitu lakon Wahyu Cakraningrat, itu artinya wahyu mengelilingi jagad, Cakra artinya bulat, rat artinya jagad, jadi isi cerita tentang mengelilingi jagad, yaitu jaman purwa yang akan berganti dengan jaman madya. Sebenarnya cerita itu berisi tentang penitisan Batara Cakraningrat pada raden Ongkawijaya serta Batari Widayat pada batari Untari, lalu memiliki putra Raden Parikesit. Jadi sebenarnya adalah tentang penitisan batara dan batari tersebut, lalu dinamai lakon Wahyu Cakraningrat atau Wahyu Widayat. Ada lagi lakon yang dinamakan Wahyu Makutarama yaitu ajaran Prabu Rama pada Raden Wibisana tentang kewajiban-kewajiban menjadi ratu, harus memiliki watak delapan perkara yang dinamakan wulang Hastabrata, hasta artinya delapan, brata artinya laku, jadi harus bisa melakukan watak delapan perkara yang dinamakan laku Hastabrata tersebut. Dinamakan wahyu, sebenarnya karena ketika raden Harjuna berada dalam hutan Kutarunggu tapabrata, lalu menerima wangsit dari dewa, kalau ia akan menerima ajaran yang dipakai Sri Batara Rama, yang dinamakan Hastabrata atau ajaran yang menjadi makuta Sri Batara Rama
ketika menjadi ratu nata di negara Ngayodyapala, sedangkan yang kuat untuk menerima ajaran itu hanya Sang Parta. Makanya ketika sang Hanoman terkena siku Sang Maharasi dan membuat susah Sang Hadipati Karna, lalu diperintahkan oleh sang Maharsi supaya menemui sang tapa yang ada di tengah hutan Kutarunggu untuk datang ke pertapaan. Dialah satria yang bisa menghilangkan kegelapan hati Sang Prabu Karna. Sang Harjuna lalu digendong sang Hanoman, dibawa terbang ke atas menuju pertapaan Swelagiri. Setelah diberi wejangan oleh sang Maharsi lalu diberi senjata kuntadruwasa milik Sang Karna. Setelah menerima senjata, senjata itu akan dikembalikan pada Sang Karna. Jadi keinginan Sang Harjuna itu hanya ingin memberi pertolongan pada orang yang sedang kesusahan hatinya. Ada lagi lakon tentang wahyu yang agak mirip dengan keadaan tentang wahyu, yaitu lakon lahirnya Abimanyu. Ketika itu sang Harya Bima (Werkudara) sedang bertapa meminta pada Dewa supaya diberi wahyu keraton. Setelah sudah waktunya maka doa itu diterima Dewa, pada waktu malam ketika sudah sepi orang, ada sebuah warna cahya bersinar dari langit berbentuk bulat besarnya seperti buah waluh bokor, cahayanya terang lalu jatuh di depan Sang Harya Bima. Ketika ditubruk ternyata cahsya tersebut meloncat lalu berkari. Ketika dikejar cahaya yang bersinar tersebut lari menuju kasatrian Madukara. Ketika itu, sang dewi Wara Sumbadra sedang hamil tua, sudah saatnya melahirkan. Cahaya yang melompat itu jatuh di kamar Sang Dewi Wara Sembadra, seketika itu jabang bayi lalu lahir laki-laki. Ketika Sang Bima sampai di dekat rumah itu ia kaget mendengar suara bayi lahir, Sang Bima merasa kecewa. Singkat kata, Sang Bima
lalu menggugat sang Harjuna. Sri Kresna lalu memberi tahu bahwa wahyu kraton jatuh pada si jabang bayi, sedangkan yang bisa melihat hanya sang Harya Bima sendiri, yaitu sebagai saksinya. Jabang bayi lalu diambil putra oleh Sang Bima dan diberi nama Abimanyu, yaitu mengambil dari nama Sang Bima sedikit, karena yang bisa melihat wahyu danbisa segera turun, kang melakukan tapabrata adalah Sang Harya Bima. Jabang bayi lalu digendong Sang Bima, dipeluk langsung diam tidak menangis. Itu yang dinmakan lakon Bima kopek, lakon itu tadi banyak miripnya dengan bab wahyu tersebut. Abimanyu, Abi artinya tidak memiliki rasa takut, Manyu artinya galak, jadi maksudnya adalah orang yang galak tanpa takut. Jadi kalau ada dalang yang membuat lakon dengan nama cerita wahyu, lalu diwujudkan dengan bentuk barang atau hewan atau wujud manusia, itu salah karena yang dinamakan wahyu itu hanya berupa warna cahaya bersinar, jadi tidak bisa dipegang dengan tangan, lagi pula tidak bisa untuk rebutan. Orang yang menonton wayang ada yang menangis serta prihatin hatinya meskipun sudah tahu kalau yang ditonton itu hanya bentuk kulit yang diukir menjadi bentuk manusia, bisa bergerak dan berbicara. Yang menonton wayang hanya seperti manusia yang mengagungkan keduniawian yang serba nikmat, lalu tiba-tiba tersadar bahwa semua itu hanyalah bayangan yang datang seperti siluman dan pergi seperti bermain sulap saja. Tindakan manusia yang seperti itu bisa dimisalkan seperti orang yang menonton wayang. Sudah tahu kalau wayang itu kulit yang dipahat dan diukir seperti manusia dan dijalankan oleh dalang, ada yang berkata-kata ada yang
tertawa senang dan ada yang menangis, gerakannya menurut pada keinginan Ki dalang. Meskipun begitu tetap dianggap sebagai kanyatan. Begitulah manusia yang masih terlena oleh keinginan-keinginan dunia. Sebenarnya yang tampak di jagad ini bisa dinamakan siluman. Prabu Basumurti berputra Raden Basusena, lalu dijadikan ratu di Gajahoya diberi nama prabu Hastimurti atau prabu Jatimurti. ‘Desa Gajahoya itu asalnya dulu adalah bekas eyangnya kanjeng ibu ketika akan dinikahi oleh gajah putih, lalu meminta untuk dibuatkan rumah kencana sembilan buah. Gajah putih menyanggupinya, tapi sang eyang lari dan bertemu dengan sang eyang dan dijadikn istri, lalu memiliki putra dirimu. Jadi engkau ini yang mewarisinya.’ Prabu Hastimurti (Jatimurti) berputra raden Wasanta. Setelah menjadi ratu bergelar Prabu Pratipa atau Prabu Ewamurti, negara Gajahoya diganti namanya menjadi negara Astina atau Hastinapura, begitulah awal mulanya ada negara bernama Astina. Hasti, artinya gajah, julukan salah seorang ratu keturunan Barata yaitu Prabu Hasti yang membuat negara Hastinapura.
H. Awal Mula Adanya Wayang Kulit Tentang awal mula adanya wayang kulit sebenarnya ketika jaman Prabu Jayabaya menjadi ratu di Kediri, sudah ditatah berwujud wayang jadi bukan pada jaman Demak. Para wali membuat wayang berbentuk-rupa warnanya, sebenarnya ada yang ditiru sebagai polanya karena ada yang dijadikan dasar sebagai saksi. Itu
menurut serat Harjuna Wiwaha karangan Empu Kanwa di Mamenang Kediri, ada kalimat yang bunyinya seperti tertulis di bawah ini: Tiyang
aningali
ringgit
punika lajeng wonten
ingkang
nangis,
sumlengeren sarta prihatos ing manahipun, sanajan sampun sumerep eyn ingkang tinonton wau wantahipun namung wacucal ingukir tinatah kadapur tiyang saged solah bawa sarta wicanten, ingkang ningali ringgit wau upaminipun namung kados dene tiyang ingkang angangsa-angsa dhateng kadonyan ingkang sarwa kanikmatan, temahan ing sakala kataliweng ing manah, mboten sumerep manawi punika wayang ingkang wedalipun kados siluman, utawi lugunipun namung kadoas sulapan kemawon. Sejatosipun wayang punika mobah mosik wicanten, gumujeng, suka, wonten ingkang nangis lan prihatos, ebahipun manut pikajengipun Ki dhalang ingkang nglampahaken wayang punika wau. Artinya: ‘Orang melihat wayang lalu ada yang menangis serta ikut prihatin dalam hati meskipun sudah tahu kalau yang ditonton itu hanyalah berwujud kulit diukir dan ditatah dibentuk seperti orang, bisa bergerak dan berbicara. Yang menonton wayang hanya seperti manusia yang mengagungkan keduniawian yang serba nikmat, lalu tiba-tiba tersadar bahwa semua itu hanyalah bayangan yang datang seperti siluman dan pergi seperti bermain sulap saja. Sebenarnya wayang itu bergerak dan berbicara, tertawa, suka, ada yang menangis, bergerak menurut kehendak Ki dalang yang menjalankan wayang tadi.’ Jadi kalau begitu sudah jelas, adanya wayang kulit itu ketika jaman Sang Prabu Jayabaya di Kediri (Jawa Timur).
Wayang kayu berasal dari Jawa Timur, umumnya yang memiliki adalah rakyat di pedesaan dan di pagunungan, sedangkan jumlah wayangnya tidak banyak, hanya mengambil seperlunya saja, asal cukup untuk memainkan wayang, kurang lebih hanya ada 40 buah. Gunanya untuk mencari pangan ketika masa paceklik, ketika orang tani tidak menggarap sawahnya karena krisis air dan belum ada hujan. Jadi kebanyakan mencari pekerjaan lain, ada yang menjadi buruh ke kota, sedangkan yang punya gamelan, tetabuhan, jogedan, reyok, serta ada yang mengamen wayang, mereka pergi ke kota untuk mengamen mencari uang untuk menyambung umur. Makanya mencari wayang yang lincah mudah dibawa, yang cocok hanya wayang kayu tersebut karena wayang kayu itu tanpa kelir, membawanya ringan serta gamelannya hanya berupa: 1. kendang, 2. saron wilah sembilan, 3. kempul laras enam, 4. ketuk, 5. kenong laras enam, laras slendro. Cukup dilakukan oleh lima atau orang enam orang, dan lagi kotaknya kecil enteng dibawa karena wayang kayu itu wayangnya kecil-kecil tidak seperti wayang kulit purwa yang wayangnya besar. Makanya wayang kayu sampai dinamakan wayang krucil karena kelihatan kecil-kecil bentuknya. Dinamakan juga wayang klitik karena dibuat dari kayu, jadi kalau sedang disusun berbunyi kelotakan. Membuat wayang kayu harus memilih kayu yang kuat padat seratnya, dan yang empuk jika kena alat tukang, yang baik yaitu mentaos dan kayu kemiri, dan harus bisa memilih kayu yang tidak gampang dimkan rayap, jadi bisa kuat disimpan selama-lamanya tidak rusak dimakan rayap tersebut.
Wayang kayu itu banyak macam serta golong-golongannya, ada wayang kayu purwa dan juga wayang kayu gedog, jadi bukan hanya wayang kayu untuk cerita Damarwulan babad Majapahit saja. Wayang golek dibuat dari kayu, sedangkan pembuatannya direka wujud manusia, maka dinamakan wayang Boneka, jadi tidak dibuat gepeng seperti wayang Krucil. Wayang tersebut lalu diberi pakaian seperti manusia, wayangnya diberi pakaian, laki-laki wanita hampir sama, mulai dari pinggang ke bawah diberi kain batik yang dibuat seperti sarung sebesar ukuran tangan orang agar bisa masuk untuk memegang tangkai wayang tersebut. Ki dalam dalam memegang wayang tangannya tidak kelihatankarena tertutup oleh kain sarung wayang tersebut. Wayang tersebut kepala dan badannya dipisah, lalu disambung dengan tangkai wayang, ditancapkan di leher yang menjadi satu dengan kepala wayang, lalu dimasukkan ke badann wayang yang sampai pantat dilebihkan sepanjang satu genggaman tangan orang sebagai pegangan. Kalau sudah selesai lalu ditancapkan di gadebog sehingga kelihatan seperti banyak orang yang sedang duduk berjajar. Maka lalu dinamakan wayang Tengul, dari bentuknya yang kelihatan pating pantungul. Wayang golek itu kebanyakan dibuat lebih besar kepalanya, tidak seimbang dengan badannya dan tanpa kaki, kalau ditancapkan kelihatan seperti orang duduk kelihatan pendek tidak ada pantatnya, jadi seperti orang jatuh terduduk. Wayang Tengul itu kebanyakan dari daerah Kudus, Pati sampai Rembang dan Cepu. Yang dimainkan cerita orang Agung di Kuparman, bernama cerita Menak, sedangkan kalau wayang Golek kebanyakan di daerah Jawa Barat
(Priyangan), diberi busana seperti wayang orang dan ceritanya juga dengan lakon wayang purwa. Kalau dimainkan tanpa kelir, sebaiknya dimainkan pada waktu siang, kalau malam wayangnya kelihatan silau terkena cahaya lampu, karena kebanyakan wayang dicat minyak. Maka sebaiknya dimainkan hanya pada waktu siang saja. Yang dinamakan wayang candra sangkala itu adalah wayang yang digunakan sebagai tanda waktu ketika pembuatan wayang kulit. Wayang berupa Gunungan di sebaliknya bergambar nyala api, itu jadi candra sangkala yang berbunyi: Geni jadi Sucining Jagad. Jadi menunjukkan tahun candra 1443 ketika jaman Demak pertama, yang menambahi Sunan Kalijaga. Wayang berbentuk Batara Guru, naik lembu Handini, yang membuat Kangjeng Susuhunan Ratu Tunggul di Giri ketika menjadi wakil di Demak. Candrasangkala yang berbunyi: Salira Dwija jadi Raja, menunjukkan tahun candra 1478, digunakan dalam wayang purwa kijangkencanan. Wayang berbentuk Batara Guru, membawa cis tangkainya dililit naga, yang membuat juga Kangjeng susuhunan Ratu Tunggul di Giri, sebagai tanda ketika membuat wayang Gedog. Candrasangkala yang berbunyi: Gegamaning Naga Kanaryeng Dewa, menunjukkan tahun candra 1485, dalam wayang gedog batara Guru tidak naik sapi. Wayang berbentuk Batara Guru, menapak di tanah, dodotnya seperti memakai sarung membawa cis, yang membuat kangjeng Panembahan Senapati di
Ngalaga, di negara Mataram, jadi candra sangkala yang berbunyi: Dewa jadi ngecis bumi, menunjukkan tahun candra 1541, digunakan dalam wayang purwa. Wayang berbentuk Buta Panyareng (buta Cakil) artinya buta murgan (mirunggan), yang membuat Ingkang sinuhun Prabu Anyakrawati di Mataram, jadi candra sangkala yang berbunyi: Tangan yaksa satataning janma, menunjukkan tahun candra 1552. Wayang berbentuk Buta Prepatan, di kakinya ada taji, rambutnya gimbal diurai, kebanyakan orang menyebutknya buta Rambutgeni sebab dicat merah muda dengan warna merah sampai rambutnya. Yang membuat kangjeng Sinuhun Sultan Agung Anyakra Kusuma di Mataram, jadi candra sangkala yang berbunyi: Jalu buta tinata di ratu, menunjukkan tahun candra 1553. Wayang berbentuk buta alasan, hanya memakai cawat dan memegang badama, badannya dicat abu-abu, yang membuat Kangjeng Susuhunan Mangkurat di Mataram yang dimakamkan di Tegalarum, jadi candra sangkala yang berbunyi: Wayang buta ing wana tunggal, menunjukkan tahun candra 1556. Wayang berbentuk batari Durga naik batu gilang, ditumbuhi tumbuhan merambat, juga dibuat oeh Kangjeng Susuhunan Mangkurat yang dimakamkan di Tegalarum, sebagai tanda ketika membuat wayang gedog, jadi tidak bisa digunakan dalam wayang purwa, jadi candra sangkala yang berbunyi: Watu Tunggangane buta Bidadari, menunjukkan tahun candra 1571. Wayang berbentuk buta gundul, lehernya pendek hidungnya bulat seperti terong glatik, matanya hanya satu. Badan buta tanpa leher jadi gemuk kelihatan bulat, dalam pedalangan dinamakan Buta Endog. Yang membuat Kangjeng
Susuhunan Mangkurat putra sinuhun di Tegalarum, jadi candra sangkala yang berbunyi: Marga sirna wayanging raja, menunjukkan tahun candra: 1605. Wayang berbentuk buta wanita memakai pakaian buta wayang laki-laki, matanya satu tangannya dua, dinamakan buta Kenyawandu. Yang membuat Kangjeng Pangeran Puger di Kartasura, jadi candra sangkala yang berbunyi: Buta nembah rasa Tunggal yaitu menunjukkan tahun candra 1625. Wayang berbentuk buta mata satu hidungnya seperti terong kopek dan membawa keris. Dalam pedalangan dinamakan buta Congklok atau yang lumrah disebut Buta Terong. Yang membuat adalah Kanjeng Susuhunan P.B. II di Kartasura, jadi candra sangkala yang berbunyi, Buto lima ngoyag Durga, menunjukkan tahun candra 1655. Wayang berbentuk Batari Durga, memakai baju dan sepatu dan membawa keris, dirambati tumbuh-tumbuhan hutan, yang membuat Kanjeng susuhunan P.B.II ketika membuat wayang gedog dan diberi nama Kyai Banjet, jadi candra sangkala yang berbunyi: Wayang Misik Rasaning Bidadari, menunjukkan tahun candra 1656. Digunakan dalam wayang gedog, tidak boleh digunakan untuk wayang purwa. Wayang berbentuk Gunungan, di bagian tengah bawah bergambar pintu gapura, di kiri dan kanan ada gambar buta memanggul gada, yang membuat Kanjeng Susuhunan P.B.II di Kartasura ketika membuat wayang klitik (Krucil) yang dibuat dari kayu, milik Pangeran Ratu Pekik di Surabaya untuk lakon Damarwulan. Setelah jadi disebut wayang Krucil atau kyai Krucil, wayang itu sampai sekarang masih ada di kraton Surakarta tapi wayang tersebut sudah rusak
tidak bisa dimainkan lagi. Wayang gunungan yang tersebut di atas jadi candra sangkala yang berbunyi: Gapura lima retuning bumi, yaitu menunjukkan tahun candra 1659. Gunungan tersebut digambar gapura, yang ditiru adalah bentuk gapura Candi Bajang Ratu di Trowulan Majaagung, sebagai pengingat kalau wayang Krucil itu ceritanya adalah Damarwulan ketika jaman Majapahit, jadi cocok dengan sejarah. Gunungan tersebut hanya digunakan dalam wayang krucil, bukan untuk wayang purwa karena asal wayang krucil itu dari Jawa Timur. Pada waktu itu yang punya adalah Pangeran Ratu Pekik di Surabaya, jadi asalnya pola wayang tadi yang tiniru dari Jawa Timur. Jadi wayang-wayang yang digunakan dalam candra sangkala itu jangan sampai diubah nanti jadi berbeda maksudnya. Bentuk gambar yang sudah jadi tersebut jangan sampai ditambahi atau dikurangi karena merupakan penanda waktu ketika para linangkung yang membuatnya. Untuk menyempurnakan bentuk wayang-wayang kulit, sejak masih berbentuk sederhana sampai sekarang. Kesempurnaan manusia sama seperti cacat Sanghyang Guru. Sanghyang Guru memiliki empat cacat sebagai jadi perlambang hidup. Yang pertama adalah putih belang, yang kedua memiliki taring seperti raksasa, yang ketiga kakinya apus pepes, yang keempat tangannya siwah. Jadi ada empat arti agar orang dalam lengkap dalam menjalankan perintah. Diberi empat macam kegelapan hati, yaitu Apes, Rusak, Lali, Murka, itu tidak bisa dihindari, sudah jadi ketentuan orang hidup di dunia ini, akan hilang kalau sudah sampai waktunya. Orang yang berilmu akan bisa mengatasi keempat perkara yang merusak budi tersebut, dikembalikan pada asalnya supaya bisa sempurna seperti dulu.
BAB XV PEMENTASAN BERBAGAI JENIS WAYANG
A. Wayang Beber Majapahit Wayang beber itu bisa dinamakan gambar wayang yang terbuat dari kertas atau mori (kain putih), digambar wayang sesuai lakonnya. Bentuk cerita lakon wayang hanya satu cerita atau satu adegan. Sedangkan yang paling pertama dinamakan satu jejeran, jadi dalam satu lakon sampai ada sekitar enambelas adegan yang dibagi empat, empat adegan digulung jadi satu. Jadi satu lakon ada empat gulung dimasukkan peti panjang yang menjadi kotak Wayang beber tersebut. Contohnya adalah lakon Tumenggungan, Kyai Tumenggung Conacani kedatangan Dewi Sekartaji serta gambar keadaan pasar gede di Tumenggungan, ada orang mengamen terbang (kentrung) sampai membuat kagum orang satu pasar, yang mengamen yaitu Jaka Kembang Kuning lalu pingsan di atas sang Dewi. Ada gambar yang menjadi titimangsa tahun candra berupa gambar seorang wanita menyalakan api untuk memasak kue serabi, lalu didekati oleh seorang lakilaki, yaitu tukang juru menangkap ikan yang akan menjual ikannya di pasar itu. Karena masih pagi dan udaranya dingin, dia lalu mendekati sekalian ikut menghangatkan diri. Karena masih sepi belum banyak orang, yang ada hanya penjual serabi yang sedang memasak serabi tersebut, lalu bersenda gurau sampai kebablasan. Makanya lalu digunakan untuk candra sangkala tahun candra yang berbunyi: Gawe srabi jinamah ing wong, menunjukkan tahun candra 1614.
Asal mula wayang beber yang berisi lakon Jaka Kembang Kuning itu dari desa Karangtalun, Kaluhuran, Bangunsari, kacamatan Danareja, kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Sekarang, yang memiliki wayang beber tersebut bernama Pak Sarnen yang berdukuh di desa Karangtalun, yaitu yang jadi dalang wayang beber, yang bisa memainkan cerita wayang kang lakon Jaka Kembang Kuning tersebut. Menurut dongeng Pak Sarnen, sesuai cerita kakek neneknya yang menceritakannya sendiri, sejak ada orang bernama Ki Naladrema, yaitu orang dari desa Gedompol di bawah Pring Kuku, menerima anugerah dari ratu Majapahit, Prabu Brawijaya karena bisa menyembuhkan sakit putri Sang Prabu lalu diberi anugerah berupa gulungan kertas yang berisi gambar wayang satu lakon, turuntemurun bisa mencukupi dalam mencari sandang pangan. Ki Naladrema lalu didongengi isi kisah Jaka Kembang Kuning itu supaya diperhatikan, bisa untuk mengamen di pedesaan dengan membawa gambar wayang yang berisi cerita kisah Jaka Kembang Kuning tersebut. Lama-lama lalu bisa baik menceritakan, lalu sampai bisa jadi dalang wayang Beber yang kondang di pedesaan. Lalu terus bersambung sampai keturunanya bisa menjadi dalang wayang beber tersebut. Ketika sampai Pak Sarnen sekarang, sudah ada sembilan turunan dari Ki Naladrema tersebut. Dalam cerita gambar dongeng Jaka Kembang Kuning tersebut, ada punakawan pengikut Ki Jaka dua orang yang satu bernama Naladrema, satunya bernama Tawangalun, mengambil nama orang yang menerima anugerah tersebut, orang yang bernama Naladrema dari desa Karangtalun untuk nama kedua punakawan itu. Naladrema dan Tawangalun. Nama desa Karangtalun dijadikan nama manusia mnejadi Tawangalun, adalah
sebagai peringatan. Kalau menurut cerita Panji, kedua panakawan tersebut bernama Jarodeh dan Prasanta. Kalau menurut tahun candrasangkala memet seperti yang disebut di atas, tidak bisa cocok dengan tahun candra ketika jaman Majapahit. Cocoknya dengan wayang candrasangkala yang lain, yaitu ditemukan ketika jaman Kartasura saja, ketika Kangjeng Susuhunan Mangkurat pertama berada di Kartasura membuat wayang Buta Endog yang jadi candra sangkala berbunyi Buta sirna wayanging janma, tahun candra 1605. Jadi hanya termasuk semasa dengan wayang Buta Endog tersebut, malah masih lebih tua Buta Endog beda sembilan tahun. Wayang beber yang diceritakan oleh Pak Sarnen, kalau memang pemberian dari Prabu Brawijaya di Majapahit yang diberikan pada Ki Naladrema sebagai anugerah karena bisa menyembuhkan sakit putrinya, itu salah, karena tidak cocok dengan candra-sangkala yang ada dalam gambar wayang tersebut. Wayang beber lakon Jaka Kembang Kuning itu dibuat pada tahun jawa 1614, sudah masuk jaman Kartasura, yang menjadi ratu adalah Kangjeng Susuhunan Mangkurat. Pada waktu itu ia membuat wayang beber pada tahun 1614, jadi beda 9 tahun, lebih tua buta Endog. Jadi wayang beber Jaka Kembang Kuning itu yang benar dibuat di Kartasura, bukan berasal dari jaman Majapahit.
B. Wayang Angkrok Sarapada Dinamakan wayang angkro karena yang diniru sebagai pola adalah dari mainan anak yang terbuat dari kardus atau kertas tebal, digunting seperti gambar
manusia, kepala sampai leher dipisah dibuat sendiri, badannya dibuat sendiri, bahu dan tangannya dibuat sendiri, paha dan kakinya juga dipisah sendiri-sendiri. Kalau sudah selesai dicat dengan wenter atau tinta merah dan hitam atau hijau, terserah pada pembuatnya. Lalu disambung-sambung digandeng menjadi satu menjadi bentuk manusia, badannya diberi bilah bambu, leher, bahu dan paha disambung dengan benang. Kalau benangnya ditarik, kepala sampai tangan dan kaki bisa bergerak seperti manusia. Mainan bocah berupa angkrok itu kebanyakan dijual kalau sedang ada keramaian di pedesaan atau kalau ada wayang yang sedang ditanggap di pedesaan.
Lama-lama ada seorang dalang yang
memperhatikan dolanan angkrok tersebut lalu ditiru dibuat wayang. Cara pemisahannya sama, hanya bedanya adalah cara dalam memasang pegangan. Kalau wayang Sarapada kakinya depan dan belakang diberi pegangan sendirisendiri untuk ditancapkan di gadebog sendiri-sendiri, tangannya juga diberi pegangan sendiri. Tangan depan bertangkai satu sedangkan tangan belakang bertangkai dua agar bisa digunakan untuk menjepit tombak, karena Sarapada adalah seorang prajurit panumbak, kalau menombak sangat tepat, setiap keluar pasti memegang tumbak. Kepalanya diberi tangkai panjang sampai di bawah sama seperti tangkai tangan untuk menggerakkan supaya kalau sedang menombak bisa bergerak mengangguk-angguk. Wayang ini terbuat dari kulit yang ditatah serta dicat tidak berbeda dengan wayang lainnya. Wayang Sarapada itu keluar ketika perang ampyak, yaitu prajurit prampogan yang sedang meratakan jalan masuk sampai ke hutan di pinggir pedesaan, banyak tanah yang tinggi atau jurang yang tidak terlalu dalam diratakan
oleh prajurit prampogan dan dibuat jalan, makanya seringkali ada macan yang keluar lalu mengamuk atau babi yang berani menerobos barisan, yaitu babi warokan yang tebal kulitnya dan berani mati sehingga bisa membubarkan para prajurit. Dalam cerita pedalangan itu lalu ada seorang abdi dalem gamel bernama Mas lurah Sarapada, di desanya ber nama Ki Cekruktruna. Karena kepandaiannya memanah lalu dinaikkan pangkatnya dan bernama Kyai Demang Matangyuda, sudah tua dan agak aneh, memakai ikat kepala batik kawung, sumping kembang regulo merah, di ikat kelapanya diberi dicunduki bunga ceplok piring putih, alisnya pinidih anjait, kumis tipis, sudah ompong agak kempot, janggutnya ditumbuhi jenggot yang jarang-jarang, berkalung sapu tangan, bajunya bergaris gandariya, lengan pendek sampai bau kalinting, kainnya ceplok berikat pinggang lurik, membawa keris dengan rangka gayaman kayu timaha dengan sonder sutra merah. Lipatan kain diselempangkan di warangka sehingga kelihatan singset, celananya mekao berwarna hitam, dipotong berbentuk tapak belo. Seperti itulah wujud Ki lurah Sarapada kalau sedang ikut dalam lakon pajang pesisir, dengan pakaian keprajuritan. Sarapada kalau keluar dalam peperangan yang pasti musuhnya hanya babi, kalau musuh macan agak jarang, karena hutan yang dekat dengan desa itu kebanyakan hanya babi yang merusak tanaman petani. Kalau mulai perang gendingnya godril, jadi cocok dengan lagu geculan. Sarapada kalau perang yang pasti menombak babi memiliki arti hanya untuk selingan untuk menyenangkan anak-anak yang menonton wayang pada waktu sore sekitar jam sebelas malam. Wayangan itu kalau masih sore
kebanyakan dipenuhi anak-anak, mereka ramai sekali sampai tidak bisa mendengarkan cerita Ki dalang. Makanya ketika sudah agak malam dimainkan lakon perang wayang geculan untuk melayani bocah-bocah tersebut, kalau sudah selesai perang ampyak, Sarapada membunuh babi lalu berhenti ganti adegan di negara sabrang siapa ratunya dan di mana kerajaannya sesuai lakon. Bocah-bocah lalu bubar pulang karena sudah banyak yang mengantuk. Makanya dalang itu biasa melakukannya karena kalau kebanyakan bocah, sang dalang akan merasa sedih, ceritanya tidak bisa didengarkan. Saparada menombak babi itu maksudnya untuk membuang jengkel, untuk membuang sebel Ki dalang karena terganggu ramainya bocah-bocah tersebut. Setelah Sarapada keluar, bocah-bocah lalu bubaran, hanya tinggal orang-orang tua yang memperhatikan ceritanya Ki Dalang. Wayang Sarapada itu, kebanyakan dimainkan di pedesaan, kalau sekarang sudah merata di desa atau di kota sama saja.
C. Wayang Geculan Gentong Lodong Wayang geculan digunakna hanya untuk perang gagal, untuk di pedesaan untuk menyenangkan bocah-bocah dan para muda yang belum terlalu senang memperhatikan wayang. Hanya senang melihat lelucon dalang dalam memainkan wayang dan mengeluarkan wayang geculan untuk selingan dalam perang gagal, sebagai lelucon untuk menyenangkan bocah-bocah. Untuk menyenangkan bocah-bocah tersebut diambilkan wayang geculan berupa wayang Punggawa Sabrangan berpangkat Tumenggung dengan nama
Tumenggung
Surumedem
atau
Patratholo.
Ada
lagi
yang
bernama
Murtijetemirun, kalau kurang panjang namanya ditambahi Rumrumarum Retnahilawa, agar bocah-bocah banyak yang tertawa. Lalu barisan dari Jawa, umumnya yang jadi silihan adalah para punggawa pangkat Tumenggung, wayang kang pasti jadi silihan adalah patih Pragota, namun kalau wayangnya lengkap sudah ada wayangnya sendiri. Biasanya, menurut dalang cara pedesaan yang digunakan untuk perang gagal itu adalah pasukan manusia melawan pasukan manusia untuk mengeluarkan geculan tersebut. Sampai ada lakon Sabrangan Ratu Buta, juga dibuat dengan pasukan manusia. Pasukan buta hanya untuk persediaan perang kembang. Yang seperti itu sebenarnya keliru, tapi sudah jadi umum dan tidak bisa diubah. Dalang kalau kurang bisa membuat anak-anak senang lalu kurang laku di pedesaan. Wayang geculan berupa wayang bapangan pocol sebagai geculan lelucon bocah, mereka menamainya Gentonglodong. Wujud wayangnya gemuk matanya besar, wataknya sok tampan, percaya diri, senang dipuji, tidak merasa kalau wajahnya jelek. Tapi ada baiknya juga, kalau digoda wanita gampang kelaur uangnya, kalau berjalan tangannya memegang lipatan kain, tangan kanan membawa sapu tangan sutra, harumnya mneyebar jika sering dikibaskan, kalau bicara seperti mengguman, senang bercanda, berdiri bertolak pinggang, sering berkaca, tidak berpisah dengan cermin kecil di tangan kiri, sebentar-sebentar bercermin melihat kalau-kalau
wajahnya
ada
cacat.
Begitulah
watak
wayang
geculan
Gentonglodong. Sedangkan bentuk wayang yang digunakan sebagai pola
mengambil dari wayang Gedog wadyabala Bugis, yang agak banyak miripnya dengan Srengganisura. Dalam wayang purwa tidak ada wayang yang berbentuk seperti itu, kebanyakan hanya ditemukna hanya dalam wayang Gedog, jadi termasuk wayang tambahan saja untuk wayang geculan.
D. Wayang Geculan Gonjing Miring Wayang geculan bala rucah, bernama Ki Bekel Gonjingmiring, kalau bocah-bocah di pedesaan menamainya Pakcepok atau Bambng Pakcepok. Wujud wayangnya senang menghina, matanya sipit hidung pesek, ikat kepala jebehan gadung mlati warna hijau, mondolan besar, jadi abdi dalem gamel, juru tunggu kuda tunggangan patih Hudawa. Bentuk wayang yang seperti itu tidak ada dalam wayang purwa, ini hanya termasuk wayang tambahan lagi untuk geculan kalau sedang perang gagal saja. Hanya untuk perang musuh lawan Tumenggung Suramedem (Gentonglodong), sehingga bisa timbang sama-sama wayang geculan. Perangnya mulanya hanya saling mengejek, terus jadi berkelahi, dibanting jatuh terlentang lalu geculan Sabrang kalah dan mundur. Bentuk wayang Pakcepok itu yang digunakan sebagai pola adalah wayang wadyabala Bugis pasukan Prabu Klana, wayang Gedog, Daeng Markising. Ketika jaman Kangjeng Susuhunan P.B. yang ke-sepuluh di Surakarta, banyak abdi dalem dalang dan para dalang yang tinggal di kota. Datang muridmurid di sekolah pedalangan yang sudah pandai-pandai memainkan wayang. Kalau memainkan wayang di dalam kota Sala, tidak ada yang menjalankan perang gagalan dan mengeluarkan wayang geculan tersebut. Setiap ada yang menjalankan
pasti dalang dari di pedesaan yang ditanggap di kota, kebanyakan memainkan wayang di pecinan. Wayang geculan tersebut leluconya kebanyakan blangkon, berulang kali dimainkan tetap sama, gonta ganti dalang tetap sama cara memainkannya. Awalnya pasti saling mengejek, itu tidak berubah. Makanya sampai banyak bocah-bocah yang sering melihat sampai hafal dan bisa menirukan. Wayang Semar wanda mega itu ditemani Bagong wanda gembor, lalu ditambahi Cenguris. Jadi ada tiga macam. Cara seperti ini sudah ditetapkan menurut tatanan kawruh pedalangan di Surakarta. Semula wajib menjalankan lakon wetanan, tapi lama-lama lalu tanpa Cenguris, hanya tinggal Semar dan Bagong saja, makanya wayang Cenguris lalu jadi tenggelam, jarang dilihat oleh orang banyak. Bentuk Wayang Semar wanda mega itu kecil kelihatan bulat badannya, dahinya berlipat agak nonong, kelopak mata kelihatan tebal, mata menyipit karena sering menangis, hidung sumpel, mulut kecil, wajah bulat, kumis tipis, wajah bulatnya diberi bedak putih kelihatan menor, daun telunganya agak lebar cocoknya memakai giwang lombok, cebol gemuk badannya, hitam kulitnya, tangan menunjuk, wataknya kaya pitutur, tangan yang satu terbuka. Kainnya ceplok dikapai agak tersingkap sehingga kelihatan pantatnya sedikit agar kalau berjalan jangan sampai ribet, ikat pinggang tampar dililitkan bersama dengan sutra merah kembang kuncung agak menunduk, menandakan kalau wataknya masih seperti bocah kecil yang masih suka menangis. Kalau tidak seperti itu bukan
Semar wanda mega, mulut kecil mungil kalau berbicara dengan suara kecil agak panjang, senang memerintah dan senang memberi petuah. Wayang Semar wanda brebes itu ditemani oleh Bagong wanda gilut, lalu ditambah dengan Cenguris, jadi ada tiga. Yang wajib menjalankan adalah abdi dalem dalang Kanoman Kadipaten yang memainkan lakon wetanan yang sudah menjadi kawruh tatanan pedalangan di Surakarta. Bentuk Semar wanda brebes kepalanya dempak agak setengah kuncung naik ke atas, wataknya kagetan karena agak kurang pendengarannya, dahinya berlipat nonong pereng, mata rembes sering keluar air matanya, alisnya turun, hidung sumpel, mulut terbuka agak lebar dengan bibir tebal, wajah bulat lebar di bawah, dicat prada kuning (brom), badannya hitam gemuk pendek, jalannya maju mundur sambil mengusap air matanya, kalau sudah mau jalan dengan cepat lalu menabrak temannya karena matanya silau terhalang oleh air mata yang keluar, kalau berbicara keras agak mendo’ak kepalanya, suka marah, banyak barang yang tidak sesuai keinginannya. Kebiasaannya adalah sebentar-sebentar mengusap mata, suka marah, lebih pantas kalau tangannya memegang sapu tangan, tangan yang menunjuk, yang kiri terbuka dari kesukaannya marah dan banyak yang tidak sesuai hatinya. Karena Bagong wanda gilut itu suka membangkang dan selalu mengomel, kain ceplok kotak-kotak dipakai agak ketat, makanya jalannya megolmegol maju mundur, ikat pinggang tali sonder sutra jingga dengan kembang dilingkarkan di cetik. Kalau tidak seperti itu bukan Semar wanda brebes.
Wayang Bagong wanda gembor adalah teman Semar wanda mega, wayang Semar dan Bagong itu termasuk wayang yang paling tua diantara para wayang dagelan. Dalam layang Pustakaraja jilid enam, sudah disebutkan ketika Janggan Semarasanta diperintahkan jadi pamong keturunan Kanumayasa dan Wisnu pada akhir jaman purwa, yaitu hanya sampai Raden Harjuna. Oleh eyang buyut Sanghyang Tunggal diberi teman yang dicipta dari bayangan Janggan Semarasanta sendiri, lalu menjadi bocah gombak, yang dinamakan Bagong. Begitulah yang disebutkan dalam cerita layang kuna. Serat Pustakaraja itu tidak menceritakan adanya Gareng dan Petruk, jadi wayang Gareng dan Petruk tersebut diciptakan ketika jaman Mataram saja. Bagong wanda Gembor itu bentuknya paling besar dibanding dengan Bagong yang lainnya, kepalanya besar memakai gombak, dahinya lebar agak cunong, matanya bulat besar, hidung besar seperti pantat ayam, mulut lebar, bibir memble sampai menutupi setengah janggutnya, giginya kelihatan satu menyembul, mukanya lebar dicat warna prada emas, tubuhnya pendek, badan gemuk, suara dalam tenggorokan, kalau berkata keras. Dia punya kebiasaan hakhek, wataknya kurang ajar. Kain kawung tanpa lipatan dipakai seperti sarung dengan ikat pinggang sutra jingga, kaitnya dari kuningan, keris dengan rangka gayaman, kalau berjalan megal-megol, senang meloncat-loncat membuat kaget temannya, menandakan bahwa orang itu kurang ajar, kalau dimarahi tidak memperhatikan, kiri kanan tangannya tebakan, kukunya panjang senang menggaruk-garuk, makanya sudah pantas jadi teman Semar wanda mega. Yang
seperti itu sudah jadi watak Bagong wanda Gembor, senang berteriak-teriak dengan suara keras. Kalau tidak begitu bukan Bagong wanda Gembor. Wayang Bagong wanda gilut memiliki kepala dempak dengan gombak, meskipun sudah tua kelihatan seperti bocah, sebab yang disenangi hanya bergaul dengan bocah-bocah satu desa. Dahinya lebar mata bulat besar, kalau berjongkok seperti kerbau, alis sebaris kumis tipis, hidung kecil seperti pantat ayam, mulut lebar, bibir tebal menggantung sampai menutupi separuh janggut, kalau bersuara di tenggorokan, kalau bicara menggerundel seperti orang yang sedang makan ikan yang alot, giginya satu menyembul di depan kalau bicara ikut bergerak tidak bisa lepas, kalau dilihat seperti sedang memakan permen. Lehernya pendek, kebiasaannya howak-howek, daun telinga lebar, kalau dinasehati tidak pernah memperhatikan. Badannya gemuk pendek, memakai kain batik ngombak banyu, dipakai seperti sarung tanpa lipatan. Kalau berjalan megal-megol seperti orang tersandung, kalau mengikuti temannya lalu kainnya diangkat dan berjalan dengan cepat. Ikat pinggangnya sutra jingga membawa wedhung, tangan kiri kanan terbuka kelihatan kukunya yang panjang-panjang, kalau berkelahi mencakarcakar. Wayang Bagong wanda Gilut itu besarnya sama dengan Togog, pantasnya kalau badannya dicat sawo matang, wajahnya dicat prada emas (brom). Bagong wanda gilut paling baik dipasangkan dengan Semar wanda brebes, karena Semar wanda brebes itu selain agak kurang pendengaran, juga senang marah-marah, kalau bicara keras, sedangkan Bagong gilut tidak pernah memperhatikan perkataan orang, kalau bicara kebiasaannya sambil menepuk temannya. Kalau tidak begitu bukan Bagong wanda gilut.
Wayang Bagong wanda ngengkel itu bentuk wayangnya agak kecil karena biasanya digunakan untuk menambahi keluarnya dagelan Semar, Gareng dan Petruk. Jaman sekarang sudah jadi kebiasaan dalang senang memainkan dagelan sampai empat macam. Pada mulanya yang ditiru adalah dalang pesisir Tegal, Pekalongan ke timur sampai Semarang, lama-lama jadi semakin banyak. Kalau dalam kraton Surakarta sudah dibagi sendiri-sendiri, kalau abdi dalem dalang di kasepuhan kraton memainkan dagelan Semar, Gareng dan Petruk, sedangkan kalau dalang Kanoman Kadipaten memainkan Semar Bagong dan Cenguris. Hal tersebut sudah diatur oleh para ahli seni pada jaman Mataram sampai jaman Surakarta, karena menjadi titimangsa runtuhnya Mantarm, berpisahnya Nyai Panjangmas dengan Kyai Panjangmas, menjadi peringatan sejarah kraton Surakarta. Bagong wanda ngengkel kepalanya agak kecil, rambut sedikit digombak kelihatan naik ke atas, dahinya lebar, alis tipis mata lebar hidung seperti pantat ayam. Mulutnya lebar seperti tersenyum, bibir menggantung menutupi separuh janggut, mukanya lebar daun telinga agak kecil, lehernya pendek seperti bayi, janggut hampir menempel di dada, di punggungnya kelihatan ada punuk, badannya gemuk bulat, memakai kalung gobog. Wataknya keras kepala tidak mau kalah bicara, maunya dibilang pandai tapi kalau bicara sering keliru kalimatnya, makanya malah jadi salah bunyinya membuat bingung yang mendengarkan kecuali temannya yang sudah biasa. Kainnya batik bermotif ngombak banyu melengkung-lengkung, sesuai dengan watak dan gayanya. Kalau berjalan melenggak-lenggok. Kainnya yang tidak lebar dililitkan tanpa lipatan, kalau
berjongkok lalu kelihatan pantatnya. Memakai ikat pinggang sutra jingga, membawa keris dengan rangka gayaman kalawija sampai pundhak, tangan kiri kanan terbuka dengan kuku kelihatan panjang-panjang. Kalau tidak begitu bukan Bagong wanda ngengkel. Bagong itu kalau di Banyumas namanya Bawor, sedangkan kalau di tanah timur namanya Mangundiwangsa. Bagong yang yang seperti itu pada jaman sekarang jadi teman Semar, Gareng dan Petruk, tapi yang pasti kalah adalah Gareng karena tidak mendapat tempat, habis untuk bersahut-sahutan lelucon antara Bagong dengan Petruk. Menurut pedalangan cara Kraton Surakarta, keluarnya dagelan itu dibatasi hanya mulai keluarnya Bambangan prepatan sampai kerajaan yang dituju saja, setelah itu tidak diceritakan lagi, artinya sudah habis tidak keluar lagi, hanya tinggal meneruskan lakon yang sampai bubar. Kalau ada dagelan ikut keluar padahal tidak sesuai dengan lakon lalu ikut menyela dalam paperangan, itu dinamakan ngrusuhi. Dagelan itu tidak boleh berpisah dengan orang yang diikuti, kalau pisah tidak akan diceritakan lagijangan sampai meninggalkan cerita lakon yang sudah ditentukan.
E. Wayang Dagelan Cenguris Wayang dagelan Cenguris pada jaman sekarang sudah tidak ada, banyak dalang yang belum pernah melihat bentuknya. Padahal sebenarnya wayang ini adalah wayang yang menjadi teman Semar dan Bagong, yang punya kewajiban menjadi abdi dalem dalang Kanoman Kadipaten.
Yang diambil sebagai pola adalah dagelan dalam wayang Gedog untuk melengkapi sebagai teman Semar Bagong tersebut, sedangkan ukurannya sama dengan Belung (Saraita). Wajah wayang Cenguris itu kepalanya kecil rambut keriting dahi cunong hidung sumpel, mulutnya lebar, bibir atas tebal, alis tipis mata mendelik kumisnya sedikit, memelihara jenggot tapi jarang, jakunnya menonjol nyangga tenggok, daun telinga lebar memakai sumping kembang, lehernya panjang bahu brojol, badan kecil tapi perutnya besar seperti anak cacingan, pantatnya besar melintang, paha pendek kaki besar, tangan kanannya menunjuk, yang kiri menggenggam kelihatan kukunya seperti tangan Bima. Kain ceplok kawung kembangan dipakai tanpa lipatan, ikat pinggang sutra kembang dengan sonder sutra jingga diselempangkan di rangka ladrang, membawa wedung pertanda kalau abdi punakawan satria tanah Jawa, memakai kalung gobog diikat dengan merjan merah. Badannya kelihatan seperti angsa, kalau bicara gagap seperti Gareng, kebiasaannya wak-wek seperti bebek, kalau tertawa dengan menutup mulutnya. Tapi ada kelebihannya juga, kalau menyanyikan tembang suaranya bagus. Kalau berjalan megal-megol seperti angsa, wataknya mengalah tapi kata-katanya benar. Pasangannya adalah Bagong wanda gembor atau gilut dan Bagong wanda ngengkel, mana salah satu yang disenangi. Wayang dagelan Cenguris ada dua macam, mana yang disenangi bisa memilih sesukanya. Bentuk kepalanya kecil bulat dengan iket kembangan berwarna hijau dengan mondolan besar menggantung, memakai sumping kembang warna putih seperti bunganya pengantin baru, dahi kelihatan lebar, mata sipit seperti sebutir padi, alisnya kelihatan sebaris, hidung mancung panjang,
bibirnya tebal mulut menganga seperti tersenyum, kumis tipis janggut menggantung ditumbuhi jenggot, daun telinga sedang, jakun nyangga tenggok, leher panjang bahu brojol memakai kalung gobog diikat merjan merah, kopek menggantung di atas perut yang buncit seperti bocah cacingan, pantat besar melintang pahanya pendek dan kaki besar. Kalau berjalan seperti angsa, tangan kanan menunjuk yang kiri terbuka. Kain batik ceplok jambangan dipakai tanpa lipatan, dengan ikat pinggang sutra hijau, sonder merah motif bunga, membwa keris rangka ladrang serta pedang sabet rangka kayu trembalo, pantas kalau jadi abdi kalawija yang menjadi kelangenan satria di tanah Jawa sebagai wulucumbu teman dalam perjalanan, sebagai slamuran (penyamaran), teman bernyanyi sepanjang jalan karena memang suaranya bagus, lagunya berisi bermacam-macam ajaran yang bisa menjadi contoh. Wataknya suka membelok tapi pandai berbicara, kalau tertawa ahjis hih hih hih hih, kebiasaannya menutupi mulut, suaranya seperti Petruk. Yang dipakai sebagai pola adalah dagelan wayang Gedog yang dibuat untuk melengkapi adanya Semar Bagong tersebut, kalau ada wayang gedhog yang bernama Jangkung, artinya luk telu (tiga lekukan), wayang tersebut kalau ditelungkupkan ada tiga bagian yang cembung, yaitu pantat, pundak dan kepala, sedangkan keris yang berbentuk jangkung itu luknya hanya tiga. Begitulah wayang Cenguris yang berbentuk wanda jangkung sedangkan yang satunya bentuk wanda mentog.
F. Tembung dan Tembang Kawi Swuh rep data pitana, itu bukan tembang japa atau do’a, itu hanya tembang bituwah yaitu pipiridan dari isi Serat Mahabarata, pada bagian Adiparwa, purwaka itu lengkapnya adalah: Sawise sirep. Sidem mung awang uwung. Nuli ana jaman tumitah kahanan wiwitaning sarwa tumutuh yaiku ing donya iki, kalimat itu lalu oleh para dalang diringkas menjadi: Swuh rep data pitana tersebut, tapi sebenarnya berbunyi Swuh rep ndata atita ana. Swuh artinya sirna, sunyi sepi tidak ada apa-apa, rep artinya dingin. Ndata artinya Lah, Ta artinya begitu. Atita artinya setelah. Ana artinya ada, keadaan serba tumbuh. Kata ini sebagai awal pembuka cerita wayang purwa karena cerita ini mengambil dari Serat Adiparwa. Dan ada lagi, Swuh rep data pitana, anenggih wau kang kaeka adi dasa purwa. Swuh = sirna atau lebur, rep = sirep, Swuh rep = sirna sirep. Itu adalah mantra, yaitu mantra dalang yang memiliki arti Sirna semua tidak ada apa-apa, yang ada hanya aku, hidup dalang sejati, atau si dalang itu sendiri. Data pitana = sigegan, anenggih wau = tadi, atau yaitu. Kang kaeka adi dasa parwa, artinya ringkasan yang digunakan sebagai permulaan cerita. Eka =satu, adi = baik, dasa = sepuluh, purwa = awal. Yaitu sebagai permulaan cerita tersebut, misalnya jumlahnya sepuluh tapi hanya satu yang adi atau baik, yaitu yang paling baik untuk cerita, maka dipilih untuk membuka cerita wayang purwa. Sebetbyar, yang benar Seg Pet Byar = Rep Pet Byar, yaitu keadaan yang menggambarkan suasana sunyi sepi lalu muncul dunia. Kata-kata kawi yang dipakai dalam pedalangan
Antawacana
: adalah suara dalang yang bisa membedakan suara wayang satu-persatu, jangan sampai ada yang sama suaranya seperti misalnya suara Bima harus berbeda dengan Gatutkaca, Harjuna jangan seperti Bambangan, begitu seterusnya.
Hawicarita
: orang yang hafal pada cerita, sejarah, atau lakon wayang yang sudah disebutkan dalam pakem apa adanya bisa disebutkan.
Bandawala
: Perang sendirian, keinginan untuk perang satu lawan satu tanpa bantuan
Bandawalapati
: perang sendirian sampai mati
Bandayuda
: perang, berkelahi satu lawan satu
Barduwak
: nama senjata pada jaman kuna
Buta Barduwak
: buta yang memakai senjata Barduwak
Bregedaba
: nama neraka
Bukur pangarip-arip
: nama surga
Bala Kusawa
: pasukan darat, Wadyabala daratan
Bagna
: tidak ada, Irawan bagna, Irawan hilang tidak ada
Badawangganala
: dewa para penyu
Bajobarat
: buta, makhluk halus pasukan Batari Durga
Bayudanda
: pengiring senjata, pasukan yang menjaga senjata
Brajatiksna
: satu gelar, bahasa sanskerta Wadjra
Baledeg, tiksna
: Panas atau tajam, jadi maksudnya gelar tadi tajam seperti baledeg.
Baratayuda, yudabrata : perang para keturunan Barata Gandareya
: putra Dewi Gandari yaitu Duryudana
Gandari
: Gendari atau Hanggendari, istri prabu Destarata ibu para korawa, putri prabu Subala ratu di Gandara, prabu Subala atau prabu Tisnawa ratu di Plasajenar, dewi Gendari saudara tua Sangkuni, Adipati di Gendara yaitu Sangkuni.
Naracabala
: Buta bala yang kecil atau Bala Danawa Arahan, Bala Brakasakan, jumlahnya ribuan bisa dinamakan panah pangabaran.
Subadra
: Sembadra = nikmat linuwih, istri sang Harjuna
Wijayakusuma
: bunga sang pemenang, nama salah satu bunga yang memiliki kekuasaan lebih besar. Ada yang menyebut bahwa Wijayakusuma tadi berupa Serat atau Jimat yang tertulis milik prabu Sri Batara Kresna di Dwarawati.
Punjul ing apapak
: lebih dari orang kebanyakan
Kajugilan
: hatinya tidak baik
Bengis, wengis
: gampang berkata-kata buruk dan ringan tangan, bisa dinamakan mara mulut mara tangan.
Kata tersebut yang pasti untuk janturan ketika Gapuran, yaitu yang berbunyi irung jinara trusing kuping den ingoni Bremara lan Bremari, yaiku
kombang lanang lan kombang wadon. Kalau sampai keliru menjadi Bremana Bremani itu salah, makanya harus teliti dalam mengartikan kata-kata bahasa kawi.
G. Upacara Keprabon Ketika jaman kraton Jenggala, yang menjadi ratu adalah Prabu Lembu Amiluhur yang menambahi alat keprabon yang akan digunakan pada hari pasewakan, dipinjam oleh para ceti yaitu berbentuk barang yang berbentuk hewan yang terbuat dari kancana (emas). Hardawalika, bulubekti dari kerajaan di Makasar, yaitu Angsa emas, tubuh angsa kepala Sarag. Kijang Kancana, bulubekti dari kerajaan di Wandan. Sawunggaling, bulubekti dari kerajaan Aceh, bentuknya seperti ayam hutan yang terbuat dari emas. Rusa Mas, yang terbuat dari emas murni. Gajah mas, bulubekti dari kerajaan Palembang. Banyakdalang, bulubekti dari kerajaan Siyem. Kutuk Kancana, bulubekti dari kerajaan Banjarmas Borneo. Kacu mas, modangan, berupa bumbung emas dan tutup emas. Kebut lar badak, atau Laring Merak, sepasang. Kebut lar burung Dewata satu. Semua barang upacara yang berbentuk hewan yang terbuat dari emas itu gunanya hanya untuk tempat anggi-anggi, yaitu berupa mustika (mesail) seperti akik dan lain sebagainya. Makanya semua bulubekti terbuat dari emas untuk menghias keraton, sebagai tanda kalau sang prabu membawahi kraton-kraton di tanah sabrang. Itu ada sampai sekarang.
BAB XVI PATI BASA DHALANG PURBA
A. Basa Isbat Menurut serat Pati bahasa halaman 39 1. Rangka manjing curiga = rangka masuk ke dalam keris: raga menutupi hawa 2. Kodok ngemuli lenge = katak menutupi sarangnya: badan menutupi hawa 3. Kayu gurda rumambat ing wit sembukan = kayu gurda merambat pada pohon sembukan: hidupnya raga dari nyawa 4. Lumpuh ngideri jagad = lumpuh mengelilingi bumi: Baleatma, tempatnya di hati 5. Kuda ngrap ing pandengan = Baleatma, tempatnya di hati 6. Cebol anggayuh lintang = orang cebol menggapai bintang: Baleatma, tempatnya di hati 7. Senteg pisan anigasi = Baleatma, tempatnya di hati 8. Gigiring punglu = Baleatma, tempatnya di hati 9. Tanggal pisan kapurnaman = purnama tanggal satu: Baleatma, tempatnya di hati 10. Wuta tuduh marga = orang buta menunjukkan jalan: Baleatma, tempatnya di hati 11. Galihing kangkung = kosong atau hawa 12. Isine wuluh wong-wang = kosong atau hawa
13. Tapake kuntul ngalayang = jejak burung kuntul yang terbang: udara 14. Susuh angin dimana enggone = dimanakah sarang angin?: min kibaril warit 15. Kusuma Hanjrah di tawang = sumusuping atma 16. Pinda kombang mangajap tawang sepi = sumusuping atma 17. Bumi pinetak = isbat 18. Amek geni adedamar = isbat 19. Wong ngangsu pikulan warih = isbat 20. Banyu kinum = isbat 21. Srengenge pine = isbat 22. Dahana murup binakar = isbat 23. Pawana tiniyup = isbat 24. Miyarsa tanpa karna = mendengar tanpa telinga: Allah 25. Berkata tanpa lathi = berkata tanpa lidah: Allah 26. Tumingal tanpa netra = melihat tanpa mata: Allah 27. Angganda tanpa grana = mencium tanpa hidung: Allah 28. Eka kuda ngrap di pandengan = kuda berderap di depan mata: Bale atma 29. Dwi kombang angeleng di tawang = kumbang bersarang di langit: sumusuping atma 30. Tri sapi nusu mring pedete = sapi menyusu pada anaknya: raga hidup dari nyawa 31. Catur warjita sumengkeng arga = raga hidup dari nyawa 32. Panca baita amot samodra = kapal membawa samudra: raga hidup dari nyawa
33. Sat welut ngeleng aneng tawang = belut bersarang di langit: raga hidup dari nyawa 34. Sapta wong ngangsu pikulan warih = orang mencari air dengan pikulan warih: isbat 35. Hasta apek geni adedamar = isbat 36. Nawa jroning gelap ada padang = di dalam gelap ada terang: sekarat 37. Dasa usume wastra gumelar = mati 38. Kebo gerang anyabrang segara asat = kerbau besar menyeberang lautan kering 39. Kayu sidaguri growong ambane sapagagan = kayu sidaguri berlubang sebesar pegagan 40. Waluh pugag (pogog) = menyentuh langit 41. Wit bamban kang ana tambine 42. Tuntut sagoci gedene = bunga pisang sebesar goci Selanjutnya kumpulan isbat tersebut bisa digunakan untuk cangkriman. Cangkriman: Ada beduk yang bunyinya nguwung sampai setahun lamanya, bahan yang digunakan untuk beduk adalah kayu sidaguri yang berlubang sepegagan, kulitnya adalah kulit kerbau gerang yang menyeberang lautan kering, talinya adalah akar wuluh pogog yang sampai langit, pasaknya adalah tambi pohon bamban, pemukulnya dari tuntut yang besarnya satu goci. Jawi Kanda 1909 no. 129, katandhan: Bocah ladak.
B. Delapan Golongan Manusia 1. Candala = orang yang mempunyai penyakit parah (barah) atau miskin sekali, kalau dalam bahasa kawi Candala = bengis, kalau dalam bahasa Jawa candala = ala, buruk, seperti Hasta Sabda, Basa, Candala. 2. Reksasa atau raseksa, yaitu kuli, kalau dalam bahasa kawi reseksa = buta 3. Kriya = tukang 4. Sudra = masyarakat bawah atau petani 5. Daniswara = saudagar, dalam bahasa kawi daniswara = kaya 6. Danuja = prajurit, dalam bahasa kawi danuja = satria unggul 7. Satria = priyayi 8. Brahmana = pujangga atau dukun = pandita laki-laki
Ilmu, artinya petunjuk, wejangan dari ilmu yang bisa menerangi segalanya. Ilham, artinya petunjuk atau wejangan baik yang tidak melalui perantara guru, langsung dari Gusti Allah sendiri. Kalimpadan, artinya pandai karena budinya Kalantipan, artinya tajamnya hati untuk berbuat baik. Kagunan, dalam pekerjaan, seperti kagunan itu tidak hanya untuk mencukupi nafkah saja, juga bisa untuk mengangkat derajat. Putus, pandai karena ajaran dari guru Gupit mandragini atau mandragini, artinya Tlaga kolaman, yang benar mandakini, jadi anggupit mandakini, artinya rumah = gedung di bale kambang. Jadi kalau begitu artinya Rumah gedung yang berada di tengah kolam. Maka sebaiknya tidak usah diucapkan dengan kata: ing dalem Prabasuyasa kalurus pananggap ler wetan,
Sang Dayintaji lenggah ingadep para ceti sami ampil-ampil upacaranng keprabon.
C. Wayang Sebagai Tontonan Kalau begitu sudah jelas dalam lempengan-lempengan tembaga yang sering menyebutkan kata (H) Aringgit, tapi kata tadi tidak berhubungan dengan yang lain, belum jelas untuk disesuaikan dengan keadaan wayang tersebut. Meskipun kalau melihat dalam serat-serat kuna seperti yang sudah dijelaskan di atas, sudah jelas sekali kalau adanya wayang di tanah Jawa adalah ketika abad yang ke-9 pada tahun Belanda, meskipun pada waktu itu keadaan wayang masih sangat sederhana. Selain yang tersebut dalam lempengan tembaga yang belum begitu jelas tersebut, kalau yang disebutkan dalam serat-serat kuna yang sudah dijelaskan di atas dihimpun menjadi satu seperti tersebut di bawah ini. 1. Pertama, ketika jaman Prabu Erlangga, tahun isaka 950, sama dengan mulai abad yang ke-11 tahun Belanda, di Kraton Kedhiri pada waktu itu sedang makmur, sudah ada tontonan wayang. 2. Yang ke-2, wayang tersebut terbuat dari kulit yang ditatah (kulit diukir) serta dimainkan di balik layar, yang menceritakan lakon dan berkata-kata adalah orang yang memainkan wayang itu. 3. Yang yang ke-3, pada waktu itu adanya wayang memang sudah kuna, yang menulis serat Tantupanggelaran sampai bisa mengatakan kalau adanya wayang tadi adalah ketika para Dewa masih ngejawantah di bumi.
4. Yang yang ke-4, pada waktu itu wayang sudah biasa jadi tontonan serta kesenangan orang banyak, sampai para pangarang menyanjungnya dalam serat-serat yang mereka buat. 5. Yang yang ke-5, mungkin pada waktu itu, tapi yang pasti pada tahun Belanda kang yang ke-12, tontonan wayang tersebut sudah memakai tetabuhan yang bernama tudung saron kemanak dan lain sebagainya. 6. Yang yang ke-6, cerita wayang bisa menyentuh hati para penonton, makanya kemungkinan pada jaman dulu sudah ada bermacam-macam wayang. Kalau dilihat dari segi kelumrahan, tontonan wayang pada jaman itu, kalau memang benar merupakan kemajuan orang-orang Jawa pada waktu itu, juga misalnya wayang tadi belum terlalu lama, sudah pasti belum bisa seperti sekarang. Jadi sudah jelas kalau adanya wayang sudah sabelum tahun isaka 950. Selain orang Jawa, di seluruh tanah Nusantara (Indonesia) banyak orang yang senang pada wayang kulit, ada uga di beberapa tempat seperti: Bali, Sumatera, Borneo, tapi semua memiliki nama sendiri tapi masih merupakan pengaruh dari Jawa. Awalnya orang-orang Jawa yang membawa ke sana, apa lagi pasti tidak ada yang menentang kalau ada yang mengatakan bahwa yang membuat wayang kulit terlebih dahulu adalah orang Jawa. Mungkin orang-orang jawa melihat wayang itu dari bangsa Hindu. Pada jaman kuna, bangsa-bangsa itu sudah bergaul dengan bangsa Jawa yaitu Cina dan bangsa Siam, sedangkan kedua bangsa tersebut mempunyai tontonan wayang.
Perintah Sanghyang Wisesa pada Maya Heh, Maya, jangan khawatir dalam hatimu. Maya: itu artinya hitam. Wujudmu hitam itu sebenarnya adalah samaran, artinya: Yang ada itu sebenarnya tidak ada Yang sebenarnya ada ternyata bukan Yang bukan ternyata iya Yang berani hatinya hilang keberaninannya karena takut keliru Maya, kau kujuluki Batara Semar atau Batara Ismaya, turunlah ke bumi, berkraton di bumi ketujuh. Kau kuberi mustika manik asta-gina yang memiliki delapan kelebihan yaitu: 1. Tan kenaning luwe = tidak pernah merasa lapar selamanya 2. Tan kenaning arip = tidak pernah merasa ngantuk selamanya 3. Tan kenaning asmara = tidak pernah merasa jatuh cinta selamanya 4. Tan kenaning sungkawa = senang susah sama saja (tentram) 5. Tan kenaning sayah = tidak pernah merasa capai 6. Tan kenaning lara = sehat selamanya 7. Tan kenaning panas = tidak pernah merasa panas 8. Tan kenaning atis = tidak pernah merasa dingin Manik astagina letakkanlah dalam ikatan rambut yang ada di ubun-ubun (kuncung). Kata-kata Sanghyang Tunggal pada putranya, Ismaya: He, putraku, Ismaya, engkau adalah penyamaran atas kekuasaanku, jadi engkau tidak kuijinkan menjadi ratu manusia di dunia, engkau hanya aku perbolehkan menjadi ratu di
jagad sunyaruri saja, (alam kosong), kalau engkau memperlihatkan diri di dunia hanya aku ijinkan menjadi orang tua yang merawat keturunan adikmu si Manikmaya. Sebenarnya tidak ada bedanya di dunia dan di jagad sunyaruri, aku akan menuruti apa saja yang engkau minta. Engkau aku beri sebutan Batara Ismaya atau Batara Iswara atau Batara Samara atau Batara Semar atau Sanghyang Jagad Wungku atau Sanghyang Jatiwisesa, atau Sanghang Suryakanta. Sanghyang Tunggal lalu menciptakan jodoh Batara Ismaya, seketika itu diperbolehkan oleh Gusti Allah, tidak berapa lama ada perempuan ayu wajahnya datang bernama Dewi Sanggani, putra Sanghyang Hening (Wening). Sanghyang Hening itu adalah kakak Sanghyang Tunggal, Sanghyang Tunggal bergelar Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal berkata pada Dewi Sanggani kalau akan dijodohkan dengan saudara sepupunya sendiri yang bernama Batara Ismaya yang hitam dan jelek wajahnya, sang dewi hanya berkata terserah. Sanghyang Wenang berkata pada Batara Ismaya, He, putraku Ismaya, Sanggani itu aku jadikan jodohmu, jadi dia itu adalah kakakmu sepupu, dan engkau tetap menjadi ratu di jagad sunyaruri. Batara Ismaya lalu diberi wejangan kasantikan lalu diperintahkan berangkat dengan istrinya. Batara Ismaya berkata mengiyakan lalu melesat dengan sang istri tidak kelihatan lagi. (Serat Paramayoga halaman 47).
Batara Ismaya berputra sepuluh yang lahir dari dewi Sanggani Putra Batara Ismaya seperti yang disebut di bawah ini.
1. Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan 2. Batara Siwah 3. Batara Wrahaspati 4. Batara Yamadipati 5. Batara Surya 6. Batara Candra 7. Batara Kuwera 8. Batara Tamburu 9. Batara Kamajaya 10. Dewi Sarmanasiti Putra yang pertama yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, berputra berbentuk manusia cebol gemuk pendek bulat hitam kulitnya, manusia tersebut diturunkan ke dunia bernama Semarasanta, jadi merupakan cucunya sendiri. Semarasanta itu manusia yang menjadi wujud Batara Ismaya atau Batara Samara atau Batara Semar untuk menyamar ketika turun ke bumi. Semarasanta ikut dengan Resi Manumanasa di Saptarga, selain menjadi ipar sang Resi juga sekalian menjadi pamong keturunan sang Resi. Semarasnata memiliki jodoh bidadari bernama Dewi Kanastren. Karena Semarasanta sering didatangi sang eyang, Batara Semar, dan menjadi satu jiwa, lalu oleh orang banyak dinamai Kyai Lurah Semar atau kaki Badranaya. Semarasanta dalam pawayangan bentuknya seperti wayang Semar, padahal sebenarnya wujud tersebut adalah cucu Batara Semar atau Batara Ismaya yang bernama Semarasanta tersebut. Jadi kalau begitu di bumi itu sebenarnya
tidak bentuk Batara Ismaya, yang ada adalah manusia yang jadi tempat menitis Batara Ismaya kalau sedang turun ke bumi, lalu jadi dinamai Kyai Lurah Semar. Makanya Batara Ismaya wujud sebenarnya dalam pewayangan tidak ada, yang berwujud manusia bernama Semarasanta itu adalah bentuk jasmani Batara Ismaya atau Batara Semar. Karena Batara Ismaya itu manusia halus yang berbentuk cahaya hitam, maka tidak bisa diwujudkan dalam pawayangan. Hitam artinya gelap tidak kelihatan. Seperti disebutkan di depan, yang ada sebenarnya tidak ada, yang sebenarnya ada ternyata bukan, yang bukan ternyata iya, yang berani hatinya hilang keberaniannya takut kalau keliru. Putra Batara Ismaya yang ke-9 menjadi kakak anak bungsu bernama Batara Kamajaya. Menurut ceritanya, batara Kamajaya itu ketampanannya mnegalahkan semua Dewa di Kayangan, tidak ada yang menyamai. Dalam sejarah Kenabian, sebagai perbandingannya adalah Nabi Yusup, tidak ada yang menyamai. Batara Resi Soma putranya yang pertama seorang putri bernama Dewi Ratih. Menurut ceritanya, dewi Ratih itu adalah seorang putri yang paling cantik, sampai mengalahkan semua bidadari di Kayangan, tidak ada yang bisa menyamai kecantikannya. Batari Ratih tersebut menjadi istri Batara Kamajaya.
D. Gambaran Wayang Semar Kalau menurut cerita sejarah, Batara Ismaya atau Batara Semar itu hanya berbentuk manusia halus yang bercahaya hitam serta mempunyai daya manik astagina yang memiliki khasiat delapan perkara yang diikatkan dalam kuncung
yang merupakan pemberian sang ayah Sanghyang Wenang atau Sanghyang Tunggal. Tapi kalau menurut sejarahnya, seharusnya tidak bisa diwujudkan dalam gambar karena itu hanya berbentuk cahaya yang berwarna hitam, artinya tidak kelihatan. Kalau akan turun ke bumi lalu menitis pada cucunya yang bernama Semarasanta yaitu seorang manusia yang berbadan cebol gemuk pendek bulat hitam kulitnya. Jadi hanya manusia yang bernama Semarasanta inilah yang bisa kelihatan oleh para manusia di bumi ini. Jadi kalau membuat gambar wayang Semar dengan bentuk orang cebol gemuk pendek bulat hitam kulitnya, itu sudah bisa mirip dengan ceritanya. Tapi kalau ada wayang Semar dibuat dengan sakit mata, hidungnya pilek kelihatan ada ingusnya, itu sebenarnya salah karena Semar sudah terkena daya khasiat mustika manik astagina yang membuatnya terbebas dari segala jenis penyakit. Jadi harus digambarkan dengan wujud sehat, tidak kena penyakit meskipun yang berbentuk Semar itu adalah Semarasanta, tapi ia sudah kena daya khasiat manik astagina, jadi harus bebas dari penyakit. Begitulah seperti yang disebutkan dalam sejarah. Jadi memang benar para linuwih sarjana pada waktu itu, dalam menggambarkan wayang dengan diberi wanda, sebagai pasemon wayang. Semar wanda brebes, kata brebes di sini maksudnya bukan sakit brebes (selalu keluar air dari mata), jadi kalau diwujudkan dengan penyakit rembes itu salah, yang dimaksudkan brebes di sini artinya selalu mengeluarkan air mata karena kurang tidur, makanya matanya sampai mengeluarkan air mata mengalir sampai pipi.
Sedangkan hidung sumpel itu jangan sampai ditambahi ingus nanti jadi kelihatan kotor serta di pucuk kuncung dibuat agak cembung karena itu adalah tempat menyimpan manik astagina. Jadi kalau dibuat nantinya bisa cocok dengan sejarah, menurut cerita Batara Ismaya.
Dewa dan pandita dibuat memakai baju Wayang dewa dengan baju, sepatu serta slendangan. Wayang pandita dengan baju dan slendangan tanpa sepatu.
Ketika panjenenganipun kanjeng
Susuhunan Mangkurat di Kartasura membuat wayang purwa, polanya dibuat di Mataram atas keinginan dalem susuhunan, ia ingin membuat wayang para dewa yang memakai baju panjang dinamakan baju jubah, serta memakai sepatu dan slendangan. Mengapa wayang para dewa-dewa dibuat begitu? Sebab menurut cerita, wayang dewa itu menggambarkan wujud manusia halus, artinya antara bumi dan langit. Jadi Dewa itu tidak menapak di bumi ini, hanya melayang berwujud bayangan saja yang ada di antara bumi dan langit. Jadi kalau akan menemui para manusia di bumi tidak bisa bersentuhan karena dewa itu hanya kelihatan seperti bayangan saja. Maka atas pemikiran dalem kang Sinuhun Kangjeng Susuhunan, wayang para dewa tersebut lalu diwujudkan memakai sepatu, baju jubah, dan slendangan. Dengan sepatu itu artinya sudah tidak menapak tanah karena sudah terhalang sepatu tersebut, baju jubah slendangan maksudnya di sini untuk membedakan dewa dengan manusia jangan sampai kelihatan sama.
Hanya ada dua dewa yang tidak boleh diubah bentuknya yaitu wayang Dewa Batara Guru dan wayang bidadari Batari Durga karena wayang itu merupakan peringatan asal mulanya. Wayang dewa tersebut tidak memakai baju dan sepatu, tetap seperti aslinya berbentuk Batara Guru dan Batari Durga. Wayang pandita dengan baju jubah, slendangan tanpa sepatu, dibuat seperti itu karena wayang para pandita itu masih mewujudkan gambaran manusia yaitu manusia yang telah diterima tapanya, jadi masih berwujud manusia yang hidupnya menapak di bumi ini, bisa bersentuhan dengan sesama manusia. Makanya digambarkan tanpa sepatu, artinya masih pada menyentuh tanah seperti lumrahnya manusia. Wayang pandita jaman itu bajunya jubah dibuat lurus, jadi tidak dibuat terbuka dan terbalik seperti baju jubah para dewa, untuk membedakan dewa dan manusia karena wayang dewa dan pandita itu kelihatan hampir sama rupanya. Makanya para linuwih pada waktu itu memikirkan bagaimana supaya bisa kelihatan berbeda rupanya, kalau wayang pandita terbuat tanpa sepatu, baju jubahnya melambai seperti tertiup angin karena semua yang berwujud halus itu dianggap seperti angin. Begitulah keinginan para linuwih pada jaman itu, adanya wayang tersebut pada tahun candra 1605 jaman Kartasura.
Ketika kanjeng Pangeran Hadipati Puger di Kartasura membuat wayang purwa yang menjadi pola wayang di Mataram, membuat bentuk wayang sabrangan liyepan dan telengan yang memakai baju, wayang katongan yang liyepan memakai gelung supit urang dan kancing garuda sinangga praba, hanya
wajahnya ditambahi brewok memakai baju sikepan gedog. Baju sikepan gedog itu baju panjang sampai menutupi pantat, membawa keris rangka ladrang yang dikait dengan baju yang seharusnya menutup pantat tersebut sehingga kelihatan bajunya tersibak di bagian belakang disangkutkan pada rangka keris. Masih tetap kelihatan wayang bokongan dengan memakai keris rangka gayaman, celana cinde panjang dengan kroncong kaki, orang banyak menamai wayang tersebut Ratu Sabrang wok, karena bentuknya bagus tapi emmiliki brewok yang memenuhi janggut. Wayang tersebut termasuk wayang tambahan atau srambahan untuk melengkapi lakon. Wayang katongan telengan memakai makuta topong ketu serta jamang gruda sinangga praba, memakai baju sikepan, sisa baju dikaitkan di kepuh sehingga kelihatan terbalik, wujud wayang tersebut dugangan, celana panjng dikancing dengan kroncong. Wayang itu termasuk wayang tambahan untuk srambahan melengkapi cerita lakon. Begitu seterusnya, sampai patih dan anak buahnya. Kalau wayang patihan dibuat memakai jamang gruda, rambut terurai, memakai baju membawa keris rangka ladrang untuk mengaitkan sisa baju sikepan jadi kelihatan terbalik, rapekan, celana panjang. Patih dan punggawa hampir sama, bedanya kalau punggawa celananya pendek. Semuanya itu tidak memakai uncal badong. Kalau wayang buta prepatan bentuknya sama apa adanya, hanya ditambah memakai baju. Wayang ini adanya hanya di kraton. Wayang di luar kraton pada umumnya tidak mempunyai wayang Buta Prepatan yang memakai baju tersebut. Makanya wayang bagian Sabrangan mulai katongan sampai prajuritnya dibuat
dengan baju, atau memakai baju untuk membedakan para katongan di tanah Jawa bersama seluruh prajuritnya, wayangnya tidak memakai baju. Ada lagi wayang yang memakai baju tapi lengannya pendek hanya sampai di bahu, memakai kelat bau. Itu adalah wayang dari Pesisir, lalu ditiru untuk melengkapi. Pada awalnya, wayang seperti itu dibuat di Pugeran ketika jaman Kartasura dengan titimangsa tahun candra 1625.
E. Wayang Kyai Jimat Kang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana yang ke IV di Surakarta, yang disebut Ingkang Sinuhun Bagus atau P.B. IV di Surakarta, ingin membuat wayang purwa dengan pola menurut kyai mangu. Wayang Kyai Mangu yang dijadikan pola itu dibuat oleh Kangjeng Gusti Pangeran Hadipati Anom yang ke II di Surakarta. Ketika membuatnya, wayang purwa dijadikan dua lakon atau dua perangkat, yang selesai lebih dulu diberi nama Kyai Mangu, sedangkan yang selesai belakangan diberi nama Kyai Kanyut, ketika tahun candra 1697. Setelah sampai jaman ingkang Sinuwun P.B. yang ke IV di Surakarta membuat wayang purwa dengan pola mengambil wayang Kyai Mangu tersebut, busana para putri dibuat indah serta dijujud satu palemahan, wanda wayang rangkap-rangkap, wayang katongan diberi busana dengan makuta, yang menata Cemapangrawit dan Kyai Gondo bersama temannya. Setelah selesai jadi satu kotak, diberi nama Kyai Jimat. Candrasangkalanya berbunyi, Yaksa sikara angrik panggah, menunjukkan angka tahun candra 1725.
F. Wayang Kyai Kadung Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan P.B. yang ke
IV lalu punya
keinginan membuat wayang purwa lagi. Yang dijadikan pola (contoh) adalah wayang Kyai Kanyut. Kalau wayang Kyai Jimat, polanya mengambil dari Kyai Mangu, ketika membuat wayang Kyai Kadung polanya mengambil Kyai Kanyut. Wayang itu dibuat dijujud palemahannya, badanya seperti Kyai Jimat, wayang wanitanya ditambah sehingga besarnya pantas. Wayang putren katongan ada yang memakai makuta topong serta makuta topong ketu, dibuat kelihatan pantas dan selaras. Wanda wayang juga rangkap-rangkap, yang menatah Cremapangrawit bersama teman-temannya. Setelah selesai diberi nama Kyai Kadung. Wayang Kyai Kadung itu yang ditambah besar dan tingginya itu hanya wayang wanita, yaitu para putri dan semua wayang wanita, sedangkan wayang lainnya semua masih tetap tidak berubah seperti polanya. Wayang Kyai Kadung milik kanjeng susuhunan tersebut membuat kagum banyak orang, wayang yang sudah ditambah ukurannya itu masih kelihatan lincah seperti ketika belum ditambah. Dibuat candrasangkala Wayang loro sabdaning Nata, menunjukkan tahun candra 1726. Wayang tersebut sebagai pengingat, di sana ada wayang berbentuk Buta Raton tangannya disopak depan belakang jadi hidup semua, memakai makuta topong ketu, badannya merah muda, sedangkan besarnya wayang langkah ukur (luar biasa), jadi hanya untuk sumpingan kiri saja. Candra sangkala pada wayang Kyai Jimat yang berbunyi, Yaksa sikara angrik panggah, kalau disesuaikan
dengan bentuk Buta Raton, memang ada banyak miripnya, malah bisa jadi wayang buta candra sangkala. Tapi hanya ada untuk wayang Kyai Jimat, tidak ada wayang kyai Kadung karena beda tahunnya atau karena keliru meletakkan saja lalu keliru sampai sekarang. Di Kraton Surakarta ada wayang purwa milik dalem sinuhun jumlahnya ada tiga kotak yang diberi nama Kyai Jimat, Kyai Kadung serta Kyai Kanyut. Wayang tiga kotak tersebut besar kecilnya wayang semua sama, jadi kalau tidak mengerti dan teliti pada wanda dan pasemon wayang akan susah membedakannya. Misalnya sampai tercampur akan susah mnegembalikannya karena wayang tersebut mengambil polanya sama, yaitu dari pola Kyai Mangu dan Kyai Kanyut. Wayang kyai kanyut itu dari pecahan pola Kyai Mangu, jadi bentuk dan besar kecilnya wayang tidak ada bedanya. Setelah dipisah jadi dua kotak lalu diberi nama sendiri-sendiri, tidak berbeda dengan wayang yang tersebut di atas tadi. Setelah jadi tiga kotak, lalu diberi nama sendiri-sendiri yaitu Kyai Jimat, Kyai Kadung serta Kyai Kanyut. Hanya ada beda sedikit, kalau wayang Kyai Kadung, wayang wanitanya agak besar dan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan wayang wanita lainnya. Tapi kalau masih sulit membedakannya, maka untuk memudahkan lalu dibuat tanda dengan diberi wayang kang berbentuk manjila, yaitu berupa wayang Buta Raton dengan makuta topong ketu, disopak tangannya depan dan belakang, besarnya luar biasa. Itu digunakan sebagai tanda kalau wayang tersebut adalah Kyai Kadung, maka lalu diberi candra sangkala Wayang loro sabdaning nata, selesai dibuat pada tahun candra 1726.
Diberi candra sangkala Wayang loro sabdaning nata, itu cocok dengan pembuatan wayang purwa, karena ingkang Sinuwuh P.B. yang ke IV itu dalam membuat wayang purwa hanya bisa jadi dua kotak, yang selesai dulu diberi nama Kyai Jimat, lalu yang selesai setelahnya diberi nama Kyai Kadung.
G. Wayang Kyai Dewa Katong Ingkang sinuhun Kangjeng Susuhunan P.B. yang ke IV di Surakarta, lalu membuat lagi wayang kulit gedog untuk cerita Panji. Polanya dibuat dari Kartasura yang bernama Kyai Banjet, bentuk wayang dan busana wayang ketika itu dibuat bagus, penatahnya Cremapangrawit beserta teman-temannya serta ada panatah bernama Sodongso di Desa Pala, dipanggil dan diperintahkan untuk menatah Batara Guru wanda Krena (Karna). Atas kehendak dalem ingkang Sinuhun lalu membuat wayang ricikan dan wayang dagelan, setelah selesai jadi satu kotak. Wayang ricikan satu kotak tersebut untuk melengkapi wayang kyaikyai empat kotak sebelunya, jika sewaktu-waktu digunakan untuk wayangan tinggal memilih saja apa yang dibutuhkan, di sana sudah sisa lengkap campur jadi satu. Dalam membuat wayang gedog tadi, wandanya wayang purwa rangkaprangkap, setelah selesai jadi satu kotak diberi nama Kyai Dewakatong, candrasangkala Tanpa guna pandita di praja, menunjukkan tahun candra 1730 dibuat oleh P.B yang ke IV di Surakarta.
H. Makuta Topong Makuta itu artinya topong, sedangkan topong itu artinya makuta. Jadi sama, hanya beda katanya saja. Kalau makuta topong ketu, artinya makutanya seperti Ketu, contoh misalnya wayang yang memakai makuta Topong Ketu yaitu Sang Hadipati Karna sedangkan wayang yang memakai Makuta Topong yaitu Prabu Kresna. Kalau yang belum mengerti, lebih mudahnya sering dinamakan makuta papak atau pendek. Yang dinamakan karawista, adalah berbentuk makuta kanigara atau kuluk kanigara yang sudah biasa dipakai oleh pengantin laki-laki jaman sekarang. Yang dinamakan karawista, yaitu emas pipih lebarnya sekitar 8 mili yang dilingkarkan pada kuluk melingkar tepung gelang, yang jatuh di atas ditarik ke atas dikancing dengan nyamat kuluk, jadi bentuk kuluk kelihatan ada perhiasan emas melingkar, itu yang dinamakan karawista. Kalau ketu polos tanpa apa-apa. Adanya wayang-wayang Kyai yang diceritakan dalam serat Sastramiruda tersebut adalah seperti ini. Keadaan wayang-wayang itu, bentuk wayang-wayang Kyai tersebut semua sama Hanya saja wayang-wayang Kyai tersebut dianginanginannya dengan hitungan hari yang sudah ditentukan yaitu hari Anggara kasih (selasa kliwon) Wuku Dukut atau Mandasiya. Hari itulah saat untuk menganginanginkan wayang Kyai tersebut, mengambil salah satun wayang Kyai, yang mana yang tiba gilirsn untuk diangin-anginkan lalu dikeluarkan dari gedung Lembisana, dibawa ke sasana Indrawina, dan diangin-anginkan di sana. Sebelum di sasana Indrawina, wayang-wayang kyai tersebut dianginanginkan di teras Metelan. Itu hanya disesuaikan dari asal pembuatan wayang-
wayang tersebut. Ketika membuat pada waktu itu, karena panjenengan Ingkang sinuhun dalam membuat wayang-wayang tersebut di teras Metelan, menatah dan menyungging juga di teras Metelan, maka kalau setiap saat ingkang sinuhun dalem akan melihat atau punya keinginan untuk mengubahnya bisa mendekat dan seringkali panjenengan ingkang sinuhun menunggui pembuatannya. Begitulah menurut cerita para sepuh yang ada di gedung Lembisana. Wayang gunungan artinya tiruan gunung, bentuknya kelihatan lancip seperti tumpeng, makanya orang banyak menamainya gunungan karena bentuknya mirip gunung. Di dalam wayang gunungan kelihatan ada gambar pohon besar hanya satu, di bawahnya kelihatan ada akarnya yang menacap dalam ke tanah menandakan kekuatan gunung jangan sampai membuat tanah longsor. Dibawa akar pohon besar tadi ada gambar berbentuk kolam kelihatan ada airnya yang bening, di dalam air kelihatan ikan yang berenang tiga ekor, maksudnya adalah kehidupan itu adalah dari trimurti, yaitu terjadi dari sari-sarin kehidupan api, air dan angin. Di kanan kiri kolam kelihatan ada gambar seperti sayap burung yang sedang mengepak, menggambarkan wujud tumbuhan sebangsa pandan yang tumbuh kelihatan segar hidup disekitar kolam tersebut. Di bawah kolam kelihatan gambar naik turun, yang mewujudkan gambar gunung-gunung dan jurang kelihatan seperti berada di bawah gunung tersebut. Makanya dinamai kayon, di dalam wayang gunungan ditatah gambar pepohonan besar yang kelihatan subur daunnya, di cabangnya yang atas dihinggapi sebangsa burung seperti: yang pasti tergambar adalah burung merak dan ayam hutan, lalu hewan sebangsa monyet (lutung) lalu di bawahnya sebangsa
hewan kaki empat yang ada di daratan. Di sana ada gambaran yang wajahnya seperti kijang berhadap-hadapan, atau sering digambar macan berhadap-hadapan dengan banteng, serta pohonnya dililit ular. Di tengah-tengah pohon ada bentuk gambar banaspati, yaitu yang menggambarkan hutan besar kelihatan angker, tidak bisa dimasuki manusia. Maka wayang gunungan yang berisi gambar seperti itu lalu dinamakan Kayon Blumbangan, karena yang ada di gambar itu kelihatan ada bentuk pepohonan besar yang menaungi kolam, atau bisa juga dinamakan kayon alas-alasan. Wayang gunungan dicat dua warna, yang sebelah menggambarkan bentuk hutan sedangkan yang sebelah berupa gambar nyala api. Yang digambar berupa nyala api itu merupakan titimangsa pembuatan wayang gunungan tersebut, yang membuat adalah Sunan Kalijaga pada jaman Demak pertama, menunjukkan candra sangkala memet yang berbunyi, Geni dadi sucining jagad, menunjukkan tahun candra 1443. Wayang gunungan disebut kayon, sedangkan isi wayang gunungan ditatah gambar pohon besar yang subur daunnya. Karena berbentuk seperti itu maka lalu dinamakan kayon. Kayun artinya karep, kehendak, yaitu menggambarkan kalau kehendak manusia itu tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan. Wayang gunungan itu bentuknya ada satu, isinya diganti-ganti, namnya masih tetap wayang gunungan. Tapi kalau sudah dipegang oleh dalang maka akan menggambarkan macammacam menurut keinginan dalang dalam memainkan wayang. Kalau masih tertancap di tengah kelir sabelum dalang memulai memainkan wayang, misalnya
kalau orang akan membaca pasti melihat sampulnya dulu, itulah yang dinamakan purwa pada, artinya bagian awal. Kayon masih tertancap tegak dalam gadebog di tengah kelir. Setelah itu yang ditancapkan sekitar jam satu malam, sebagai tanda untuk meminta ganti laras sanga, itu yang dinamakan madya pada (bagian tengah), kayon ditancapkan pada gadebog bawah tidak terlalu tegak. Lalu kayon yang ditancapkan di tengah-tengah wayang berdiri tegak di sebelah kiri seperti ketika belum mulai, ditancapkan di gadebog atas, itu dinamakan wasana pada, artinya bagian terakhir jam enam pagi dinamakan tanceb kayon, untuk memberi tanda kalau sudah selesai memainkan wayang. Ada lagi yang digunakan untuk pemenggal cerita, dinamakan saksana pada, artinya memainkan cerita yang berbeda tapi masih satu lakon, yaitu ganti adegan beda nagara. Selain itu ada lagi wayang gunungan yang dimainkan oleh dalang, juga dengan maksud kalau digerak-gerakkan dari kanan ke kiri itu menunjukkan kalau ada angin, sedangkan kalau hanya ujung kayon saja yang ditempelkan di kelir lalu diangkat dan ditempelkan di tengah-tengah kelir agak ke kiri sedikit, jangan sampai tertutup blencong, itu memberi tanda pada para niyaga meminta berhenti menabuh gamelan. Dalang lalu suluk patet kedhu, kalau sudah tiba selesai patet tersebut, kayon baru ditancapkan. Cara menancapkannya agak serong ke kanan, itu yang dinamakan Saksana Pada, lalu ganti adegan tapi masih satu lakon. Kalau ditancapkan di sebelah kanan tegak dekat dengan wayang sumpingan kanan, wayang katongan ditancapkan di sebelah kiri menghadap ke kanan di belakang ada wayang parekan ngapurancang, itu menunjukkan gapura
kraton Srimanganti, artinya pintu untuk metunggu, dalam pedalangan disebut gapuran. Kalau ditancapkan di sebelah kiri dekat dengan wayang sumpingan sebelah kiri berhadap-hadapan dengan wayang prampogan, itu menunjukkan tempat yang jarang dijamah manusia, kelihatan rimbun naik turun, maka lalu diratakan, dalam pedalangan dinamakan perang ampyak. Yen digerakkan meliuk-liuk dari kanan ke kiri, kalau kencang menujukkan angin besar, kalau diputar berarti angin kencang dengan topan, kalau pelan jalannya menunjukkan angin, ketika memutar kayon tidak boleh menempel kelir. Kalau dirubuhkan menunjukkan aliran air, kalau hanya rubuh saja menunjukkan tanah longsor, kalau rubuh disertai berputar menunjukkan pepohonan besar ambruk. Yang pasti, gerkan-gerakan kayon yang dimainkan oleh dalang itu semua memiliki makna menurut kebutuhan dalang dalam memainkan wayang. Maka wayang gunungan lalu dinamakan kayun, artinya kehendak, untuk melengkapi kebutuhan dalang dalam menceritakan lakon wayang. Tapi menggerak-gerakan kayon tidak boleh sekehendak sendiri, harus menurut tatacara yang sudah ditetapkan dalam pedalangan. Begitulah Filsafat wayang gunungan yang dinamakan Kayun. Ada lagi wayang gunungan, di bawah pohon besar diberi gambar rumah sebagai gapura, di kiri dan kanannya digambar buta mambawa gada atau pedang dan tameng, itu menunjukkan reca gupala sebagai pemanis gapura, menunjukkan Batara Cingkarabala dan Balaupata yang sedang menjaga pintu Selamatangkep. Mulut buta menganga, ukir-ukiran tatahan gapura sebagai batas tontonan, kalau
wayang gunungan itu menunjukkan gambar dua rupa, yang sebelah atas menunjukkan gambar negara dan kratonnya. Begitulah maksud wayang gunungan kang menggunakan gambar rumah dan gapura, maka lalu dinamakan kayon Gapuran. Wayang gunungan dengan gambar gapura itu dibuat oleh kanjeng susuhunan P.B. yang ke II di Kartasura, ketika membuat wayang Krucil yang terbuat dari kayu, sedangkan wayang ricikan yaitu gunungan sebangsa buruan dan senjata yang dibuat masih kulit, setelah selesai wayang gunungan yang menggunakan gambar gapura itu sebagai tanda, jadi titimangsa pembuatan wayang krucil yaitu candra sangkala memet yang berbunyi, Gapura lima retuning bumi, menunjukkan tahun Jawa 1659. Jadi wayang gunungan ada dua macam, yang dulu berwujud kayon Blumbangan, juga bisa dinamakan kayon alas-alasan dibuat pada jaman Demak pertama serta memakai gambar nyala api sehingga menjadi candra sangkala tahun jawa 1443. Sedangkan yang terakhir berbentuk kayon Gapuran, dibuat pada jaman Kartasura, jadi candra sangkala tahun Jawa 1659. Setelah dilihat orang banyak, wayang gunungan dengan gambar gapura diapit dua buta membawa gada atau pedang tameng itu kelihatan bagus, lalu sampai sekarang banyak wayang purwa memakai kayon Gapuran, sedangkan yang berbentuk Blumbangan berkurang, sudah jarang ada. Wayang gunungan pada waktu itu mengambil pola meniru gambar pepohonan yang dinambar dalam wayang beber. Dalam wayang beber, di kiri dan kanan gambar tersebut pasti ada gambar pepohonan yang kelihatan seperti
bertumpuk-tumpuk, dedaunan pohon itu digambar melingkar seperti pembatas, sebagai batas jangan sampai kelihatan bertumpuk dengan pohon lainnya. Kalau dipandang supaya kelihatan pisah, bisa berbeda dengan gambar lainnya. Itulah yang menjadi pola wayang gunungan, gambar pepohonan besar di bawahnya disambung gambar air dengan pembatas seperti gambar kolam, di dalamnya digambar ikan berenang, jelas kalau itu isi air karena dihuni ikan. Di kiri dan kanan kelihatan gunug-gunung dengan pepohonan yang menunjukkan naik turunnya pagunungan, lalu dibatasi melingkar tepung gelang, jadi seperti bentuk gunung. Maka lalu dinamakan wayang gunungan blumbangan karena di tengahtengah ada gambar kolam yang ada di bawah pohon besar. Gunanya untuk menandai pergantian cerita yang akan dimainkan oleh Ki Dalang. Akhirnya selesai sudah penulisan buku ini, semoga bisa menjadi tambahan dalam seni kebudayaan kita Jawa Kanthi seneng trusing ati, titimangsa 30 Mei 1972.