Seminar
Hasil Penelitian Rumah Ibadah Bersejarah di Propinsi Kalimantan Timur
(Selasa s.d Kamis, 25 s.d 27 Juni 2013, di Hotel Harris, Jl.Peta 241, Pasar Koja, Bandung, diselenggarakan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI)
Prof DR Budi Sulistiono, M.Hum (Narasumber) Peradaban Islam yang dibangun selama 1400 tahun lebih setidaknya telah melahirkan arsitektur yang khas, dan menjadi ciri dari arsitektur Islam itu sendiri. Banyak warisan arsitektur peradaban Islam yang menyejarah, yang diwariskan dari arsitek-arsitek Muslim terdahulu yang hingga kini berdiri dengan megahnya. Di samping istana, dermaga, tataruang kota, terdapat juga bangunan-bangunan lainnya, seperti masjid yang merupakan tempat ibadah umat Islam, hingga kini masih bisa disaksikan, dan mempunyai nilai sejarah yang panjang. Masjid adalah bangunan suci agama Islam. Dimana semua umat yang beragama Islam beribadah disana. Rasulullah bersabda “tempat-tempat yang paling dicintai ALLAH ialah Masjid”, karena sebagaimana termaktub dalam alQur’an “ di dalamnya terdapat orang-orang yang mensucikan diri dan ALLAH menyukai orang-orang yang bersih” (Q.S.Attaubah: 108). Secara etimologi istilah masjid berasal dari lafadz ‘sajada - yasjudu’ yang berarti bersujud / menyembah Allah. Rosullullah SAW bersabda “seluruh permukaan bumi adalah masjid”. Masjid pertama yang didirikan di Indonesia dan masih segar nan tegar hingga sekarang adalah masjid Demak. Seni arsitekturnya menggambarkan seni arsitektur masjid Melayu-Nusantara yang awal dan menjadi bentuk seni arsitektur masjid yang unggul. Bentuk masjid makin sedemikian tersebar ke seluruh Nusantara terutama ke daerah yang penduduknya tetap mayoritas masyarakat Islam. Pengaruh seni arsitektur Arab, Turki, Persia, Moghul, dan barat kemudian menyerap masuk sehingga menghasilkan pelbagai rupa bentuk masjid besar dan kecil ke seluruh pelosok Nusantara. Pada awalnya bentuk masjid bukanlah bangunan yang megah perkasa seperti masjidmasjid yang tampil di masa kejayaan yang penuh keindahan dengan ciri-ciri keagungan arsitektural pada penampilan fisiknya. Dari bangunan Masjid Nabawi yang sederhana, gambaran umum arsitektur sebuah masjid terdiri dari tiga hal, yaitu beranda atau pelataran, atap, dan mimbar. Perkembangan arsitektur Islam sangat erat hubungannya dengan perkembangan Arsitektur masjid, karena masjid itu sendiri merupakan titik tumpuan dari ungkapan kebudayaan Islam. Beberapa kajian awal yang pernah dilakukan terhadap rumah ibadah kuno di Indonesia khususnya di Jawa, antara lain adalah kajian tentang masjid pada Menara Masjid Kudus, yang dilakukan oleh N.J. Krom pada tahun 1920. Ia memperkirakan bahwa Menara Masjid Kudus berasal dari abad ke 16 Masehi, dan dianggap merupakan gaya bangunan peralihan dari gaya bangunan rumah ibadah agama Hindu Majapahit yang berbentuk Candi. Pada tahun 1922 penelitian dilanjutkan oleh J.E.Jasper, yang mengkhususkan pada seni ukir dan seni bangunan. Ia berpendapat bahwa seni ukir dan seni bangunan di Kudus merupakan seni bangunan Jawa Hindu Majapahit. Kemudian pada Tahun 1934, Steinman melakukan
kajian terhadap ornament yang terdapat pada masjid Mantingan dan makam Ratu Kainyamat, serta melakukan kajian perbandingan dengan ornamen yang terdapat di candi-candi. Penelitian tentang menara dan masjid kuno di Indonesia selanjutnya dilakukan oleh G.F. Pijper pada tahun 1947 yang menyimpulkan bahwa masjid kuno di Indonesia pada umumnya tidak mempunyai menara, seperti menara di Masjid Kudus bukan menara aslinya, melainkan bangunan dari zaman Hindu sebelum Islam.1 Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 1998, tahun 1999, hingga kini telah melakukan penelitian yang berjudul Sejarah Masjid-Masjid Kuno di Indonesia, fokus penelitian tentang masjid kuno2 di berbagai Provinsi di Indonesia. Informasi yang diangkat dalam penelitian masjid kuno tersebut antara lain: a) Struktur organisasi masjid dan semua perangkat di dalam; b) Sejarah berdirinya masjid, terkait dengan asal-usul nama masjid, tahun berdiri dan ulama pendiri sera dikaitkan dengan kondisi pemerintahan saat itu; 2) Tinjauan Arsitektur masjid, meliputi tata letak dan tata ruang, bahan dan bentuk bangunan, lantai dan hiasan dinding; 3) Kegiatan sosial dan keagamaan masjid, antara lain penyelenggaraan shalat jama’ah, pengajian, dan penyelenggaraan pendidikan; 4) Prasasti terkait dengan tulisan-tulisan pada dinding masjid dan perangkat masjid; 5) Makam yang ada di sekitar masjid. Segala upaya melalui penelitian ini layak untuk ditindaklanjuti. Bentangan wilayah Indonesia sangat luas. Tapi, masih sedikit pengetahuan kita tentang sejarah dan peran-peran masjid dalam bentangan sejarah Indonesia. Pada kesempatan yang penuh bahagia ini, di ruangan yang penuh ramah ini, adalah saat yang tepat untuk sharing sebagai wujud partisipasi dalam rangka “Seminar hasil penelitian Rumah Ibadah Bersejarah tentang Masjid Jami’ Aji Amir Hasanuddin (MJAAH) di Propinsi Kalimantan Timur”. Melalui teks yang dikirim masih dijumpai beberapa istilah beserta pengertiannya yang dianggap penting dan relevan untuk didiskusikan. Mengingat cakupan penelitian Studi Sejarah Rumah Ibadah Kuno luas cakupannya, agar studi yang dilakukan dapat lebih fokus dan efektif maka perlu uraian lebih lanjut, tidak terkecuali istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini, antara lain : Nama & Letak Lokasi Selama ini kita dikecohkan dengan nama Kerajaan Kutai, kemudian berubah namanya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara. Nama “Kutai” berasal dari bahasa Cina “Kho Thay” yang berarti “negara yang besar”, sedangkan Kartanegara berarti “mempunyai peraturan”. Jadi, arti nama Kutai Kartanegara adalah “negara besar yang mempunyai peraturan”. Sebagai Pusat Pemerintahan, apakah memang masih tetap di tempat yang sama. Atau memang berbeda ? Andai saja berbeda dimana letak Ibukota Kerajaan Kutai, dan dimana letak Ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara ? Kerajaan Kutai berlokasi di tepi sungai Mahakam, tepatnya di Muara Kaman, sedangkan Kerajaan Kutai Kartanegara berada lebih ke muara atau kini dikenal dengan nama Kutai Lama. Kutai Lama merupakan sebuah daerah yang dekat dengan kota Samarinda sekarang. 1
Irmawati, M. Djohan, Peran Arkeologi dalam Kajian Nusantara, dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Puslitbang Lektur Keagamaan, Badang Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, Vol. 7, Nomor 1, Tahun 2009, halaman 138-139. 2 Kuno atau Klasik, adalah benda-benda peninggalan sejarah yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang. Direktorat Keb. Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan: Studi Penyelamatan Kekayaan Budaya, Jakart: Bappenas, 2006, halaman 5
Masjid, adalah kata benda yang menunjukan tempat (isim makan), bersujud. Sedang kata sujud sendiri kata masdar, yang berasal dari kata kerja sa-ja-da, yang berarti meletakkan jidat di atas tanah dengan penuh pengabdian. Dengan demikian masjid dapat diartikan sebagai tempat atau bangunan yang khusus diperuntukan bersujud .3 Arsitektur masjid di Indonesia beragam, tidak ada suatu rancangan atau pola tertentu yang mengikat. Menurut G.F. Pijper (1992) Indonesia memiliki arsitektur masjid kuno yang khas dan berbeda dengan masjid di negara lain. Tipe masjid Indonesia berasal dari pulau Jawa, sehingga disebut masjid tipe Jawa dengan ciri berupa : 1. Pondasi bangunan berbentuk persegi dan pejal (massive) yang agak tinggi 2. Masjid tidak berdiri diatas tiang seperti rumah di Indonesia model kuno dan langgar tetapi diatas dasar yang padat 3. Mempunyai atap yang meruncing ke atas, terdiri dari 2 sampai 5 tingkat, semakin keatas atap semakin kecil 4. Mempunyai tambahan ruangan disebelah barat atau barat laut yang dipakai untuk mihrab 5. Mempunyai serambi di depan atau di kedua sisinya 6. Halaman di sekelilingnya dibatasi oleh tembok dengan satu pintu masuk di depan yang disebut gapura 7. Denahnya berbentuk segi empat 8. Dibangun di sebelah barat alun-alun 9. Arah mihrab tidak tepat ke kiblat 10. Dibangun dari bahan yang mudah rusak 11. Terdapat parit di sekelilingnya atau di depan masjid 12. Dahulu dibangun tanpa serambi (intinya saja) Tipe yang dipaparkan di atas adalah yang berlaku di Pulau Jawa. Bagaimana dengan temuan penelitian di Masjid Jami’ Aji Amir Hasanuddin (MJAAH) di Propinsi Kalimantan Timur. Adakah masjid ini memiliki pembagian ruang sebagai bangunan inti masjid atau liwan ? Kalau ada, berapa luasnya ? Bagaimana tataruang di dalamnya ? Andai ada tataruang inti dan bukan inti, bagaimana kondisi skat : permanen atau tidak permanen ? Melalui pertanyaan ini setidaknya untuk meyakinkan keberadaan SOKO GURU (tiang utama) dan kualitasnya. Soko guru merupakan penopang utama yang terletak di tengah dari suatu bangunan, secara estetika juga menunjukan bahwa tempat tersebut sebagai titik center. Dalam tradisi bangunan masjid di Jawa, bangunan tiang utama dibuatkan semacam landasan, seringkali disebut dengan “umpak”. Kalau memang ada, berapa jumlahnya, adakah ragam hiasnya4 ?
3
Pada awalnya kata masjid juga diartikan sebagai tempat yang khusus dipergunakan sebagai tempat ibadah dari agama-agama lain, selain agama Islam. Seperti untuk penyebutan Gereja Abyssinia, pagoda Yahudi. Bahkan Ibnu Khaldun masih menggunakan kata masjid untuk menyebut semua jenis tempat ibadah. Lihat H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam., E.J. Brill, Leiden, 1974, halaman 330. 4 Ragam hias adalah bentuk dasar hiasan yang biasanya akan menjadi pola yang diulang-ulang dalam suatu karya kerajinan atau seni.
Mengacu pada dinding masjid Demak, banyak tertempel keramik. Menurut banyak cerita, Kerajaan Kutai sangat makmur dan rakyatnya sejahtera. Ribuan artefak atau peninggalan terdapat di sejumlah lokasi di Muara Kaman. Atap
Bangunan utama masjid di tutup dengan atap limas bersusun. Atap limas bersusun atau berundak, susunan atap seperti ini selain merupakan ciri khas bangunan di Tanah Jawa yang menggunakan atap joglo tapi juga merupakan bentuk atap yang banyak dipakai pada bangunan klenteng yang biasa menggunakan atap bersusun. Atap berbentuk kerucut yang cukup tinggi, yang dirancang untuk meminimalisir hawa panas yang masuk ke dalam ruang. Melalui celah yang dibuat diantara bagian bawah atap dan tembok penyangga, angin mampu menerobos ke dalam masjid. Hembusan angin ini yang membuat suasana Masjid terasa adem. Cahaya matahari dimanfaatkan sebagai penerang di siang hari melalui bagian atas jendela yang didesain berlubang-lubang. Selain itu, atap bersusun menurut tradisi masyarakat, memiliki makna. Konon semua itu mempunyai makna tertentu sebagai berikut:Tingkat pertama mengandung makna Syariat. Tingkat kedua mengandung makna Thariqat.Tingkat ketiga mengandung makna Hakikat.
Masjid Ba’angkat di Banjarmasin, Kalsel
Ruang Utama sebagai tempat sholat, terdapat di dalamnya mihrab dan mimbar.
Ruang Utama Masjid Demak
Mihrab, ruang tempat berdiri imam ( pemimpin sholat berjamaah ) yang berbentuk ceruk atau relung di dinding sisi Kiblat. Mihrab adalah bagian masjid yang menjadi penunjuk arah shalat menjadi bagian utama dalam seni arsitektur masjid. Mihrab dipandang sebagai standar umum untuk menentukan kualitas seni lukis Islam yang terus mengalami perkembangan. Mihrab pada masjid Umayyah untuk pertama kalinya berbentuk setengah lingkaran dan bentuk pintu seperti tapal kuda. Bagaimana mihrab di Masjid Jami’ Aji Amir Hasanuddin (MJAAH) ? Mimbar, kursi atau singgasana atau tahta tempat para pemimpin memberikan atau menyampaikan masalah-masalah kepada umat atau rakyat. Menurut kisah, batang kurma diletakkan di atas tanah yang kemudian digunakan oleh Nabi Muhammad saw, sebagai mimbar. Pada awalnya, mimbar merupakan tempat duduk yang ditinggikan atau singgasana yang digunakan oleh penguasa dan tidak terkait dengan peribadatan. Namun, dalam perkembangan arsitektur Islam, khususnya masjid, mimbar dijadikan sebagai tempat untuk menyampaikan khutbah dan hal tersebut dimulai dari Masjid Nabawi.Keberadaan minbar tidak harus diberdebatkan apalagi divonis “bid’ah”. Masjid alAzhar, masjid alAqsha juga menggunakan minbar.
Minbar dan Mihrab Masjid alAqsha Maksurah, bilik berbentuk kotak, berdindingkan pagar atau terali sehingga tembus pandang yang diperuntukan khusus untuk pemimpin pada waktu sholat.
Maksuroh Masjid Demak
Kasus temuan maksurah di Indonesia, antara lain dapat disaksikan di Masjid Demak, Jawa Tengah; Masjid Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat. Maksuroh di Masjid Agung Darul Muttaqien, Purworejo merupakan bangunan berbentuk bilik yang digunakan sebagai tempat shalat Jumat Bupati KRA. Cokronagoro. Bangunan ini sederhana tanpa ada ukiran, melambangkan kesederhanaan. Setiap Bupati Purworejo yang memerintah sebelum kemerdekaan selalu mempergunakan maksuroh ini, namun setelah Proklamasi Kemerdekaan maksuroh ini tidak digunakan lagi. Sekarang dipakai untuk adzan setiap akan masuk waktu shalat. Halaman Terbuka, bagian dari masjid yang berupa lapangan terbuka biasanya dibangun taman dan sebuah kolam atau pancuran air sebagai tempat bersuci. Sebuah parit yang mengelilingi masjid akan dijumpai sebelum memasuki bangunan inti masjid Kotagede. Parit itu di masa lalu digunakan sebagai saluran drainase setelah air digunakan wudlu di sebelah utara masjid. Kini, warga setempat memperbaiki parit dengan memasang porselen di bagian dasar parit dan menggunakannya sebagai tempat memelihara ikan. Untuk memudahkan warga yang ingin beribadah, dibuat sebuah jembatan kecil yang terbuat dari kayu-kayu yang disusun berderet.
Halaman Terbuka Masjid Kauman Surakarta
Serambi, selasar atau koridor yang mengelilingi ruang utama, biasanya tidak berdinding penuh atau hanya dibatasi tiang saja.
Serambi masjid Demak, Jawa Tengah
Menara (minaret), bangunan tinggi tempat muazin mengumandangkan azan. Tempat bersuci, tempat mengambil wudhu sebelum masuk ke dalam Masjid berupa kolam, pancuran dan kamar mandi.
tempat wudhu di Masjid Cipaganti, Bandung
Di bagian belakang dan samping masjid kuno di Indonesia biasanya terdapat pula makam raja-raja atau sultan-sultan, anggota keluarga raja dan orang-orang yang dianggap keramat, H.A.R Gibb dan Kramer menjelaskan mengutip dari Masjid makam ini digolongkan sebagai masyhad, contohnya masjid Demak, masjid Kadilangu, masjid Ampel, masjid Kotagede, Masjid Banten dan sebagainya. Ada hal yang sulit dilupakan bahwa makam atau kuburan para raja/ sultan Islam, tokoh penyebar Islam memperoleh perlakuan tertentu dari sebagian masyarakat. Sehingga sebagian makam atau kompleks makam seperti berada dalam konteks sistem perilaku, yakni sebagai obyek peziarahan (pilgrimage). Dampaknya antara lain adanya sejumlah makam yang dikramatkan dan secara keliru sebagai media/ tempat meminta sesuatu. Saran 1. BATASAN DAN RUANG LINGKUP PENELITIAN Penelitian ini disarankan untuk dibatasi hanya pembahasan mengenai estetika bentuk yang terdapat pada Masjid Jami’ Aji Amir Hasanuddin (MJAAH) 2. METODE PENELITIAN
Berdasarkan tinjauan yang akan dicapai, maka disarankan dipilih pendekatan dengan memadukan metode historis dan metode deskriptif. Metode historis digunakan untuk mencari jawaban atas masalah dengan menelusuri sejarahnya. Pendekatan ini dilakukan dengan mengadakan: a. Survey kepustakaan. b. Wawancara dengan informan. Metode historis ini penting, karena informasi terkait keberadaan Kalimantan Timur kurang semarak dikenali masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi terkait dengan daerah ini mempunyai beberapa aliran sungai dan delta yang tersebar di hampir semua kabupaten dan kota dengan sungai terpanjang Sungai Mahakam. Kondisi semacam ini akan mudah untuk ditelusuri peran-peran aktif keberadaan alur sungai dan suasana interaktif masyarakat di hulu sungai hingga daerah hilirnya. Untuk di Kalimantan, hampir pasti kondisi seperti ini masih aktif
semaraknya. Hasil konkrit yang bisa kita cermati adalah aktifitas masyarakat Kalimantan Timur yang tak kenal lelah dalam bentangan perjalanan sejarahnya. Karenanya, taklah sulit menyatakan bahwa Kalimantan Timur mempunyai sejarah yang berbeda dengan propinsi lainnya di Negara Republik Indonesia. Balai Arkeologi Banjarmasin sudah merintis penelitian tentang peninggalan lukisan gua – Masa Prasejarah5, di Kalimantan. Salah satu gua yang menjadi kajian adalah Gua Babi, dimana di dalamnya ditemukan sisa-sisa aktivitas hunian manusia. Penelitian terhadap gua-gua yang ada lukisannya baru dilakukan pada tahun 1996. Gua tersebut berada di kawasan Tanjung Mangkalihat, Kecamatan Sangkulirang, kabupaten Kutai Timur (Kalimantan Timur). Dari beberapa gua yang ada di kawasan tersebut, delapan gua ternyata memiliki lukisan yang bervariasi, yaitu Gua Mardua, payau, Liang Sara, Masri, Ilas Keceng, Tewet, Tamrin, dan Ham.
Lukisan cap tangan pada dinding Gua Tewe, Kutai Timur, Kalimantan Timur
Apa yang digambarkan dalam lukisan gua pada masa prasejarah merupakan sebuah bentuk refleksi dari kehidupan yang dijalani pada masanya. Kehidupan mereka selalu tergantung pada alam dan alam merupakan tempat bagi mereka untuk menggantungkan hidupnya. Gua sebagai tempat mereka berteduh dan beristirahat atau sebagai tempat tinggal dijadikan sebagai salah satu tempat untuk mengekpresikan perjalanan hidup. Lukisan ini merupakan sebuah perwakilan kata-kata manusia pada masa prasejarah yang ingin disampaikan kepada segenap masyarakatnya dan akhirnya menjadi bukti bagi manusia sekarang untuk mempelajarinya sekaligus. 5
Masa atau zaman Prasejarah adalah zaman dimana bermula terbentuknya alam semesta, namun umumnya digunakan untuk mengacu kepada masa dimana terdapat kehidupan di muka Bumi dimana manusia mulai hidup. Batas antara zaman prasejarah dengan zaman sejarah adalah mulai adanya tulisan. Hal ini menimbulkan suatu pengertian bahwa prasejarah adalah zaman sebelum ditemukannya tulisan, sedangkan sejarah adalah zaman setelah adanya tulisan. Berakhirnya zaman prasejarah atau dimulainya zaman sejarah untuk setiap bangsa di dunia tidak sama tergantung dari peradaban bangsa tersebut.
Zaman prasejarah di Indonesia diperkirakan berakhir pada masa berdirinya Kerajaan Kutai, sekitar abad ke-5; dibuktikan dengan adanya prasasti ditulis diatas yupa (tugu batu), berjumlah 7 buah, ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Pallawa.
Prasasti Yupa
Prasasti yang ditemukan di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur merupakan sumber data tekstual tertua yang pernah ditemukan. Keberadaan Kerajaan Kutai yang terletak di Kecamatan Muara Kaman6 dengan rajanya Mulawarman Nala Dewa, adalah Kerajaan yang tertua. Turunan Raja Mulawarman dapat berlanjut sampai dengan Raja ke – 25 yang bernama Maharaja Derma Setia pada abad ke - XII dengan nama Kerajaan Kutai Ing Martadipura. Pada awal abad ke-13, berdirilah sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama yang bernama Kerajaan Kutai Kartanegara dengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Dan Pada abad ke-17 agama Islam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya banyak nama-nama Islami yang akhirnya digunakan pada nama-nama raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan raja pun diganti dengan sebutan Sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778). Melalui sejumlah temuan bukti-bukti bekas aktivitas manusia sejak masa prasejarah, setidaknya Kalimantan Timur merupakan pelopor peradaban di 6
Kampung Muara Kaman terletak di pertemuan Sungai Mahakam, dengan salah satu anak sungainya, yakni Sungai Kedang Rantau.
Indonesia. Kondisi ini didukung oleh posisi/letak geografisnya. Wilayah Kalimantan Timur dengan luas mencapai 20.865.774 Ha atau satu setengah kali pulau Jawa dan Madura, sebagian besar merupakan daratan yakni 19.844.117 Ha. (95,1%), sedangkan lautan (4-12 Mil) hanya 1.021.657 Ha. (4,9%). Batas wilayah provinsi yang menjadi pintu gerbang utama pembangunan Indonesia di bagian timur ini adalah : a. Utara berbatasan dengan Negara Bagian Sabah (Malaysia Timur). b. Timur berbatasan dengan Selat Makasar, Laut Sulawesi dan Selat Sulawesi. c. Selatan berbatasan dengan Kalimantan Selatan. d. Barat berbatasan dengan Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Negara Bagian Serawak (Malaysia Timur). Metode deskriptif eksistensi bangunan Masjid dilakukan untuk mencari jawaban dengan cara menguraikan dan menjelaskan perihal serta fenomena yang ditemukan di lapangan pengamatan. Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengadakan survey lapangan dengan cara: a. Mengadakan pengamatan langsung b. Mengadakan pengamatan dengan sketsa dan foto Setidaknya melalui metode ini akan terungkap, minimal informasi keletakan masjid, misalnya : Bangunan masjid Masjid Jami’ Aji Amir Hasanuddin (MJAAH) terletak di tepi jalan, tepatnya di sudut perempatan jalan. Tidak jauh dari masjid ini berdiri Istana Sultan. Denah masjid tua Masjid Jami’ Aji Amir Hasanuddin (MJAAH) berbentuk bujur sangkar. Ukurannya yaitu 15 × 15 m, sedang ketebalan dinding mencapai 90,2 cm dan tinggi dinding 3 m dari permukaan tanah. Ukuran ketinggian seluruhnya dari permukaan tanah sampai ke puncak atap mencapai 10,80 m. Masjid menghadap ke timur, pintu masuk diapit oleh enam buah jendela dengan ukuran lebar 85 cm dan tinggi 117 cm. Setiap pintu pada bagian atasnya agak melengkung (setengah lingkaran) dan pada puncaknya di sebelah kanan dan kiri terdapat tonjolan dengan motif daun, sehingga bentuknya seperti pintu bersayap serta dihiasi dengan huruf Arab; dan selanjutnya. Aktivitas Sosial Sebaggaimana diungkapkan di atas Masjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan masjid berukuran kecil juga disebut musholla, langgar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas Muslim. Kegiatan - kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.
Kepustakaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1998). Khasanah Budaya Nusantara IX. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Melalatoa, J. (1995). Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A-K. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kosasih, S.A. (1983). Lukisan Gua di Indonesia sebagai Data Sumber Penelitian arkeologi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi III. Jakarta, hal 158-175, Linda, (2005). Tata Letak Lukisan Dinding Gua di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya UGM Poesponegro, Marwati Djoened. (2008). Sejarah Nasional Indonesia I “Zaman Prasejarah di Indonesia“. Jakarta: Balai Pustaka Restiyadi, Andri. (2007). “Diskursus Cap Tangan Negatif Interpretasi Terhadap Makna dan Latar Belakang Penggambarannya di Kabupaten Maros dan Pangkep Sulawesi Selatan” dalam Artefak Edisi XXVIII. Yogyakarta : Hima UGM Rochym, Abdul, 1983. Sejarah Arsitektur Islam. Bandung : Penerbit Angkasa Rochym, Abdul, 1983. Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung : Penerbit Angkasa Samidi, (1985). Laporan Hasil Survey Konservasi Lukisan Gua Sumpang Bita dan Pelaksanaan Konservasi Lukisan Gua Pettae Kerre. Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan Samidi, (1986). Laporan Konservasi Lukisan Perahu/ Sampan si Gua Sumpang Bita (Tahap Awal) dan Konservasi Lukisan Babi Rusa di Gua Pettae Kerre (Penyelesaian). Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan.