Semakin meningkatnya desakan reformasi pendidikan, maka pengajaran dan guru yang berkualitas menjadi isu hangat yang harus disikapi dengan arif. Guru dan sekolah semakin dituntut untuk memenuhi standar-standar pendidikan, oleh karena itu performansi kerja guru menjadi salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Guru berperan penting dalam memajukan kesejahteraan masyarakat. Guru memainkan perannya pada masyarakat dengan dua cara, yaitu: di dalam sekolah dengan menyiapkan siswa menjadi warga negara yang berguna dan di luar sekolah sebagai pekerja sosial serta sebagai agen perubahan sosial (Saxena, Mishra & Mohenty, 2006). Sa’paat (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa guru yang memiliki pengalaman mengajar baik di bawah 10 tahun dan di atas 10 tahun memiliki masalah mengajar yang sama yaitu antara lain kesulitan dalam menangani siswa yang banyak, berkaitan dengan menjaga kedisiplinan dan ketertiban dalam kelas dan mengatasi siswa dengan budaya dan latar belakang yang berbeda. Ketua umum pengurus besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo mengemukakan bahwa para guru menjadi serba salah untuk menegakkan peraturan dan disiplin terhadap siswa dengan cara yang tegas dan mendidik, terdapat kebingungan dan ketakutan di kalangan guru bagaimana tindakan yang tepat untuk menghadapi siswa yang sulit (Kompas, 2012). Pada studi awal yang dilakukan yaitu wawancara dan berdiskusi dengan 36 guru di kota Samarinda dan Sragen ditemukan bahwa guru mengalami kebingungan dalam menangani siswa saat ini dalam hal menciptakan ketertiban kelas dan mendisiplinkan siswa. Terlebih setelah terbitnya UU No. 23 Tahun 2002 tentang
2
Perlindungan Anak. Khususnya pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: (a). diskriminasi; (b). eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; (c). penelantaran; (d). kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; (e). ketidakadilan; dan (f). perlakuan salah lainnya. Dengan menggunakan dasar UU Perlindungan Anak menurut para guru, siswa saat ini mulai berani membantah, mengancam, menantang guru dan melaporkan kepada orangtua jika guru berani menghukum mereka. Hal ini sejalan dengan penelitian Sa’paat (2012) dan menurut Sulistiyo (Kompas, 2012) bahwa guru mengalami kesulitan dan kebingungan dalam menangani siswa terkait mendisiplinkan dan menertibkan kelas. Guru juga mengalami ketakutan mengenai bagaimana tindakan yang tepat untuk menghadapi siswa yang sulit berkaitan dengan terbitnya UU perlindungan anak No 23 tahun 2002 pasal 13 ayat (1). Berdasarkan uraian di atas, meningkatkan keyakinan guru agar dapat mengatasi permasalahan di kelas, menjadi kebutuhan guru yang harus segera dipenuhi, dengan demikian kegiatan belajar mengajar di kelas menjadi efektif. Efikasi diri guru adalah satu fenomena khusus yang dapat dipandang sebagai salah satu kontributor terhadap proses belajar mengajar yang efektif. Brouwers dan Tomic (2000) menegaskan bahwa orang-orang yang meragukan kemampuan mereka dalam bidang tertentu akan dengan cepat menganggap kegiatan-kegiatan yang terkait bidang tersebut sebagai ancaman, sehingga mereka akan memilih menghindarinya. Meskipun begitu, guru yang tidak mempercayai kemampuan mereka untuk mengelola kelas tidak dapat menghindari tugas penting ini, karena setiap harinya
3
mereka dihadapkan dengan masalah tersebut. Di waktu yang bersamaan, guru memahami pentingnya menyelenggarakan dan membantu siswa mencapai tujuan pendidikan mereka (Brouwers and Tomic, 2000). Konflik internal ini dapat menyebabkan stress dan berdampak pada strategi instruksional dan perilaku yang digunakan guru untuk menetapkan dan menjaga keteraturan dalam kelas mereka. Dalam kehidupan sehari-hari efikasi diri mengarahkan seseorang untuk menghadapai tantangan, sehingga individu dapat memiliki efikasi diri tinggi atau rendah. Individu dengan efikasi diri tinggi akan lebih tekun, sedikit merasa cemas dan tidak mengalami depresi sedangkan individu dengan efikasi diri rendah memiliki ketrampilan sosial yang kurang, tanggapan terhadap lingkungan disertai kecemasan, adanya keinginan menghindari interaksi interpersonal serta cenderung lebih depresi (Bandura, 1997). Efikasi diri telah menjadi satu konsep penting di antara para peneliti pendidikan sejak Albert Bandura memperkenalkannya pada tahun 1970-an lewat social learning theory yang kemudian dimodifikasi menjadi social cognitive theory pada awal dekade 1980-an. Albert Bandura (1997) mengatakan bahwa prediksi tentang kemungkinan hasil peilaku sangat kritis bagi pembelajaran karena mempengaruhi motivasi. “apakah aku akan sukses atau gagal? apakah aku akan disukai atau ditertawakan?”. Prediksi-prediksi ini dipengaruhi oleh efikasi diri. Efikasi diri sendiri merupakan keyakinan seseorang akan kapabilitasnya untuk mengorganisasikan dan melaksanakan rangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan pencapaian tertentu (Bandura, 1997).
4
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Olayiwola (2011) menunjukkan bahwa performansi kerja yang rendah dipengaruhi oleh rendahnya efikasi diri dan kurangnya motivasi. Guru yang tidak memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu mengatasi masalah terutama berkaitan dengan tugas mengajar, menjadi tidak termotivasi dalam melakukan tugasnya dan akan berdampak negatif terhadap performansi kerja. Penelitian ini juga telah memperkuat penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pajares (2001) yang menyatakan bahwa efikasi diri mempengaruhi tingkat motivasi seseorang. Sejumlah penelitian telah mengungkap bahwa efikasi diri guru banyak berkaitan dengan variabel edukasi. Variabel edukasi yang dimaksud adalah kepuasan kerja dan prestasi belajar siswa (Caprara, Barbaranelli, Steca & Malone, 2006), ketekunan, antusiasme, komitmen dan perilaku instruksional guru serta motivasi dan efikasi diri siswa (Tschannen-Moran & Hoy, 2001), usaha siswa untuk berprestasi (McGee, 2002), kemampuan organisasi guru, antusiasme, dan melakukan lebih banyak inovasi di ruang kelas (Evans & Tribble, 1986), efikasi siswa dan ketertarikan belajar di sekolah (Woolfolk, Rossott, & Hoy, 2001), Penelitian Tschannen-Moran & Woolfolk Hoy (2007) mengindikasikan bahwa efikasi diri pada guru mempengaruhi besarnya usaha yang diberikan untuk menyiapkan materi mengajar, menentukan tujuan pengajaran, serta besarnya keinginan mereka untuk mengaplikasikan metode mengajar yang baru demi kemajuan siswa dan juga mempengaruhi ketahanan kerja dan melakukan resilensi ketika menghadapi tantangan. Huangfu (2012) juga mengungkapkan bahwa efikasi
5
diri pada guru secara signifikan mempengaruhi motivasi guru mengajar perilaku dan memilah strategi yang tepat bagi siswa. Teori efikasi diri memprediksi bahwa guru dengan efikasi diri tinggi bekerja lebih keras dan bertahan lebih lama bahkan ketika siswanya mengalami kesulitan belajar, hal ini dikarenakan karena guru percaya pada dirinya dan siswanya. Selain itu, guru dengan efikasi diri tinggi tidak begitu banyak mengalami keletihan fisik atau emosional (burn-out) (Fives, Hamman, & Olivarez dalam Woolfolk, 2009). Kebalikannya terjadi pada guru dengan efikasi diri rendah yang sering mengalami kelelahan emosional yang tinggi (Skaalvik & Skaalvik, 2007, 2010; Brouwers & Tomic, 2000). Menurut Betoret (2009) Guru dengan efikasi diri rendah mengalami kesulitan mengajar lebih besar, kepuasan kerja yang rendah, tingkat stress yang tinggi dibandingkan guru dengan efikasi diri tinggi. Efikasi diri akan mendorong individu untuk menentukan sikap yang akan diambil pada saat individu menghadapi kesulitan atau tekanan dalam pekerjaannya. Pada saat individu dihadapkan pada situasi yang menimbulkan stres, efikasi diri akan turut mempengaruhi reaksinya terhadap situasi tersebut (Bandura, 1997). Individu yang merasa tidak yakin pada kemampuan dirinya dalam menghadapi situasi, maka akan mudah menyerah pada kondisi stres dan stres akan menjadi parah serta dapat berkembang menjadi burnout. Penelitian yang dilakukan oleh Woolfolk (2009), menyatakan keyakinan guru (teacher’s sense of efficacy) bahwa dirinya mampu menjangkau siswa-siswa yang paling sulit untuk membantu mereka belajar, tampaknya merupakan salah satu karakteristik personal guru yang berkorelasi dengan prestasi siswa. Guru yang
6
memiliki sikap positif terhadap dirinya dan profesinya ternyata lebih efektif dalam meningkatkan kualtas belajar siswa, karena hal ini tidak terlepas dari interaksi antara siswa dan guru serta kontribusi keduanya (Rahman, Jumani, Akhter, Chisti & Ajmal, 2011) Terdapat empat sumber informasi yang memberikan kontribusi penting terhadap pembentukan efikasi diri: (1) pengalaman tentang keberhasilan pribadi (mastery experience), (2) pengalaman keberhasilan orang lain (Vicarious experiences), (3) pujian dan penghargaan sosial atau umpan balik atas kinerja (social persuasion), (4) reaksi fisik dan psikologis yang menyebabkan seseorang merasa siaga (psychological and affective states) (Bandura, 1997). Berdasarkan sumber efikasi diatas maka efikasi diri tidak terbentuk dengan sendirinya, tetapi terbentuk dalam hubungan sebab akibat antara karakteristik kognisi, pola perilaku dan faktor lingkungan (Bandura, 1997). Kelm & McIntosh (2011) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa dukungan sosial di sekolah dapat meningkatkan efikasi diri guru. Selain itu, pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan profesionalitas dan kualitas guru juga dapat meningkatkan efikasi diri guru (Woolfolk, 2009). Hashmi & Shaikh (2011) juga mengungkapkan dalm penelitiannya bahwa program edukasi yang diarahkan pada guru dapat meningkatkan motivasi, komitmen mengajar serta efikasi diri pada guru. Lay, Rebecca, Wan, Vivien, & Choon (2008) juga meneliti bahwa guru yang memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun memiliki efikasi diri yang tinggi dibandingkan guru yang memiliki pengalaman 0-3 tahun, guru yang berumur lebih
7
tua (>40 tahun) memiliki efikasi diri yang lebih tinggi dibandingkan guru yang berumur lebih muda (<35 tahun). Betoret (2009) mengungkapkan bahwa efikasi diri guru adalah keyakinan guru dalam menjalankan tugasnya sebagai instruktur di kelas dan mampu mengelola kelas. Efikasi diri guru juga dapat diartikan sebagai keyakinan guru
mengenai
kemampuan mereka untuk mengorganisasikan dan melaksanakan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk menghasilkan / mencapai hasil yang diinginkan (Tschannen-Moran, Woolfok-Hoy, & Hoy, 1998). Dengan demikian efikasi ini merupakan suatu keyakinan yang mendorong individu untuk melakukan dan mencapai sesuatu serta indikasi perasaan guru tentang keefektifan dan persiapan secara professional untuk menghadapi tantangan kelas, (Schwarzer& Hallum, 2008; Tschannen-Moran, Woolfok-Hoy, & Hoy, 1998; Caprara, Barbaranelli, Steca & Malone, 2006). Baron dan Byrne (2002) menyatakan bahwa efikasi diri adalah suatu penilaian individu terhadap kemampuan dan kompetensinya dalam melaksanakan suatu tugas dan dalam mencapai suatu tujuan, atau ketika mengatasi suatu masalah, selanjutnya efikasi diri pada seseorang akan mengarahkan seseorang merasa, berpikir, memotivasi dirinya sendiri dan perilaku yang akan dimunculkan. Hal ini sesuai dengan Bandura (1997) bahwa efikasi diri terbentuk karena pengalaman keberhasilan dirinya sendiri dan karena pengalaman melihat keberhasilan orang lain, sehingga seseorang akan termotivasi untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditetapkan karena sudah mengalami dan melihat keberhasilan sebelumnya.
8
Maddux (2005) mengungkapkan efikasi diri merupakan keyakinan seseorang mengenai kapasitasnya serta memberikan pengaruh pada perilaku dirinya sendiri. Efikasi diri merupakan faktor yang paling penting dalam pemilihan perilaku dan ketekunan dalam usaha seseorang menghadapi tantangan dan hambatan. (Maddux, 2005) Efikasi guru berkaitan dengan pengelolan kelas seperti menghadapi konflik, menetralkan keadaan, menjaga kedisiplinan, maupun menciptakan suasana saling menghormati di dalam kelas (Betoret, 2009; Skaalvik&Skaalvik, 2007). Efikasi diri pada guru terdiri atas 3 aspek yaitu rasa percaya diri terhadap pengelolaan kelas, jalinan hubungan dengan siswa, dan pengalaman instruksional (Tschannen-Moran, Woolfok-Hoy, 2001; Guo, 2011). Berdasarkan paparan di atas dan permasalahan yang ditemukan di lapangan, maka efikasi diri sangat penting untuk dikembangkan kepada para guru karena diperlukan dalam pengambilan keputusan, dalam perencanaan kurikulum, dalam proses didaktis, dalam memotivasi belajar siswa, serta dalam proses komunikasi efisien. Selain itu pentingnya efikasi guru dalam dunia pendidikan menggugah para professional untuk meneliti efikasi diri sebagai variabel tergantung, namun masih sangat sedikit penelitian yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi efikasi diri (Klassen, Tze, Betts, & Gordon, 2011; Tschannen-Moran&Hoy, 2007). Pengembangan efikasi diri bagi guru dapat dilakukan melalui simulasi yang terdapat di dalam seminar praktis atau kegiatan praktis pedagogi lainnya seperti kegiatan pengamatan dan pengalaman mengajar (Ignat & Clipa, 2010). Melalui penelitian yang dilakukan oleh Rahman, Jumani, Akhter, Chisti & Ajmal (2011),
9
menunjukkan bahwa pelatihan mempengaruhi efektivitas guru dalam mengajar serta dapat meningkatkan keinginan berprestasi pada siswa. Pelatihan yang dimaksud hendaknya memberikan manfaat bagi guru, seperti meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan yang memiliki relevansi dengan profesionalitas guru (Rahman, Jumani, Akhter, Chisti & Ajmal, 2011). Semua pengalaman atau pelatihan yang membantu guru berhasil dalam tugas mengajar sehari-hari akan memberi guru fondasi untuk mengembangkan efikasi diri dalam kariernya (Woolfolk, 2009). Teori kognitif sosial memandang bahwa
persepsi tentang efikasi diri
berperan sebagai sebuah mekanisme kognitif yang mengendalikan individu untuk menghadapai tekanan. Apabila individu merasa tidak dapat mengendalikan situasi dan lingkungan yang sedang dihadapinya serta merasa terancam, maka individu tersebut akan merasa gelisah dan cemas. Sebaliknya jika individu merasa mampu menghadapi tekanan yang berasal dari lingkungan, maka individu tersebut tidak akan merasa cemas. Individu tersebut akan melihat situasi dan lingkungan yang menekan sebagai sesuatu yang menantang dan kemudian akan melakukan tindakan yang sudah matang dan sudah diperhitungkan (Bandura, 1997). Bandura (1993), juga menjelaskan bahwa persepsi seseorang terhadap efikasi dirinya memiliki konsekuensi di 4 level yaitu level pertama Kognitif, seseorang mempercayai dirinya dapat menjadi sukses dan mampu menyusun tujuan yang dapat diraih. Level kedua Motivasional, mampu terus berupaya dan bertahan dalam meraih tujuan. Level ketiga Afektif, seseorang akan merasa lebih percaya diri jika memiliki efikasi diri tinggi namun akan merasa kuatir dan depresi jika memiliki efikasi diri rendah. Level keempat Proses Seleksi, seseorang mampu memperkirakan serta
10
memilih situasi yang dapat ia hadapi dan menghindari situasi yang memiliki potensi untuk gagal. TEACHER EFFECTIVENESS TRAINING Teacher Effectiveness Training (TET) adalah sebuah metode manajemen kelas yang dibuat pertama kali oleh Thomas Gordon pada tahun 1974, kemudian diadaptasi dan diterjemahkan ke berbagai negara (Gordon, 1997). Thomas Gordon merupakan seorang psikolog klinis yang mengembangkan praktik konseling berbasis humanistik. TET mengupas tentang bagaimana suatu pengajaran dapat diupayakan agar jauh lebih efektif daripada biasanya, yaitu bagaimana pengajaran dapat lebih mendewasakan siswa dan lebih meningkatkan pengetahuan siswa sebagai orang yang menerima pengajaran, dan secara bertahap mengurangi konflik yang timbul sehingga memberikan waktu lebih banyak kepada guru untuk mengajar. Dengan demikian TET mengajarkan kepada guru agar bersikap sebagai konselor seperti yang dirumuskan oleh Carl Rogers dalam teori person-centered. Salah satu asumsi dasar teori person centered adalah kecenderungan mengaktualisasi (actualizing tendency) yaitu kecenderungan setiap makhluk hidup untuk bergerak menuju ke arah aktualisasi diri dan kesempurnaan atau pemenuhan potensi dalam dirinya, dimana tiap individual mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya (Feist&Feist, 2008). Menurut Carl Rogers, kecenderungan mengaktualisasi manusia direalisasikan hanya di bawah kondisikondisi tertentu yaitu manusia harus terlibat dalam hubungan dengan seseorang yang kongruen atau outentik, dan yang menunjukkan rasa empati dan anggapan positif tanpa syarat (Feist&Feist, 2008).
11
Hal yang pertama, yaitu sikap yang kongruen atau outentik merupakan sikap dasar yang penting. Seorang guru menjadi dirinya sendiri dan tidak menyangkal diri sendiri, sehingga ia dapat masuk kedalam hubungan dengan siswa tanpa ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Kedua, mendengarkan secara empatik berarti guru merasakan perasaaan-perasaan siswa dan sanggup mengkomunikasikan persepsi-persepsi ini, sehingga siswa tahu bahwa guru telah memasuki dunia perasaan mereka tanpa prasangka, proyeksi, ataupun penghakiman. Ketiga, anggapan positif tanpa syarat berarti guru mengalami sikap hangat, positif, dan penuh penerimaan terhadap siswa, sebagaimana adanya siswa. sehingga penerimaan dan kepercayaan antara guru dan siswa terwujud (Hall&Lindzey, 2000; Feist&Feist, 2008). Menurut Gordon (1997), di sebagian besar sekolah, banyak sekali waktu belajar mengajar yang habis digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah anak didik karena guru tidak disiapkan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, atau karena guru menghadapi masalah akibat reaksi atau pemberontakan anak didiknya yang tidak dapat dikendalikan. Sebagian guru terlalu sensitif dalam menerima isyarat dan petunjuk yang dikirimkan siswa melalui pesan-pesannya sewaktu mereka mendapat masalah. Guru tidak dapat menolong siswa sebab mereka tidak tahu cara merespon dengan efektif. Pelatihan TET didasarkan pada suatu pemikiran bahwa kualitas hubungan guru dan murid merupakan hal yang sangat penting bila guru ingin menjadi efektif dan mengajarkan apa saja, hal ini dikarenakan telah tercipta suatu hubungan dimana kebutuhan-kebutuhan guru dihormati oleh murid dan demikian pula sebaliknya (Gordon 1997). Adediwura & Tayo (2007) menyampaikan hasil penelitiannya bahwa
12
pencapaian akademik siswa dipengaruhi oleh persepsi siswa terhadap guru mereka, maka penting bagi guru untuk menyampaikan pada siswa bahwa guru dapat mengerti, berbagi, dan menilai perasaan siswa sebagai seseorang yang berada dalam berbagai hal dan pengalaman, baik di sekolah, sosial ataupun personal (Acikgoz, 2005). Beberapa penelitian terdahulu telah dilakukan untuk menguji keefektifan Teacher Effectiveness Training (TET). Chanow&Doyle (1983) mengembangkan sikap sebagai konselor pada guru dengan menggunakan model TET, hasil penelitiannya adalah pola komunikasi guru menjadi lebih bersahabat dengan siswa, guru memiliki ketrampilan dalam membangun hubungan dengan siswa serta memiliki ketrampilan dalam menghadapi konflik. Beck&Roblee (1982) juga membuktikan dalam program yang melibatkan siswa dan guru bahwa melalui TET dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan interaksi positif antara siswa dan guru. Terdapat 6 ketrampilan yang diajarkan dalam TET antara lain: (1) Mengamati Perilaku dan Mengidentifikasi Kepemilikan Masalah (Observing behaviors & Identifying Problem Ownership) yaitu memahami permasalahan yang muncul serta memahami pemilik masalah tersebut; (2) Mendengarkan Aktif (Active Listening), dengan melakukan mendengar aktif guru memampukan siswa untuk mengatasi permasalahan mereka sendiri; (3) Membuka Diri (Self-Disclosure),
yaitu
mengekspresikan pendapat dan perasaan secara jelas, langsung tanpa perasaan bersalah; (4) Konfrontasi (Confrontation), yaitu berhadapan langsung dengan siswa dalam mengatasi konflik yang terjadi atara guru dan siswa; (5) Pemecahan Masalah
13
Menang-Menang (No-Lose Conflict Resolution) yaitu menyelesaikan konflik dengan siswa dan yang lain dengan solusi yang menguntungkan keduanya; (6) Mengatasi Benturan
Nilai
(Values
Collision
Skills),
menyelesaikan
nilai-nilai
yang
bertentangan. Pada akhirnya tujuan akhir dari Teacher Effectiveness Training (TET) adalah mencapai kualitas efektif pengajaran (Gordon, 1997). Gordontraining (2013) menyatakan bahwa TET dapat disampaikan selama 30-45 jam yang terbagi dalam 3 tahap, masing-masing 10-15 jam. Perbedaan waktu ini akan tergantung pada ukuran kelompok, jumlah peserta, karakteristik peserta dan pengalaman yang ingin dicapai. Tahap pertama akan mencapai pada tingkat pengenalan dan pengetahuan mengenai TET. Tahap kedua, peserta akan melakukan praktek di melalui role-play dan one-on-one coaching kemudian peserta akan menerima masukan pelatih. Tahap ketiga, peserta akan melakukan praktek pada siswa di sekolah mereka dengan dipantau oleh pelatih. Program pada penelitian ini mencapai tahap yang pertama yaitu pengenalan serta pengetahuan mengenai TET. Beberapa hal yang membedakan metode TET dari metode yang lain yaitu: (1) guru mengubah perilaku siswa tanpa menggunakan reward dan punishment, (2) seseorang yang memiliki masalah menggunakan “I-Messages” atau pesan saya untuk menjelaskan perasaannya, (3)
guru menggunakan
“active listening” atau
mendengarkan aktif untuk memahami siswa, (4) memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan penyelesaian masalah terhadap temannya, (5) peraturan tidak dibuat oleh guru, melainkan kesepakatan bersama dengan siswa. (gordontraining, 2012)
14
Evaluasi terhadap metode TET ini telah dilakukan, kelebihan dari metode ini adalah TET dapat meningkatkan otonomi dan regulasi diri siswa, meningkatkan hubungan guru dan siswa, memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar mengungkapkan masalah dan perasaannya, membantu guru untuk menyampaikan kebutuhannya sehingga siswa dapat memahami bahwa perilakunya mempengaruhi orang lain, membantu siswa mengerti bahwa guru juga memiliki kebutuhan dan perasaan seperti yang siswa miliki. Kelemahan dari metode ini adalah guru mungkin mengalami kesulitan untuk mengubah peran mereka yang semula mengontrol siswa menjadi aktif mendengarkan, agak sulit menyampaikan I-messages atau pesan saya bagi guru, kelemahan yang lain adalah dibutuhkannya pendekatan yang lebih komprehensif untuk membantu guru agar tidak terjebak dengan masalah yang hanya nampak di permukaan saja (Gordon, 1997). Pembiasaan untuk menyampaikan pesansaya dan mendengarkan aktif di kelas menjadi salah satu cara untuk mengatasi kelemahan di atas. Pengajaran efektif membutuhkan individu-individu yang mampu secara akademik, menguasai subjek yang akan diajarkan dan yang peduli pada kesejahteraan anak-anak atau siswa (Arends, 2008). Menurut Acikgoz (2005) karakterisitik yang harus dimiliki guru untuk dapat mengajar efektif adalah profesionalitas, penguasaan materi secara pedagogi dan kepribadian guru yang hangat. Proses pembelajaran oleh guru pada penelitian ini menggunakan prinsip teori sosial kognitif yang dikemukakan oleh Albert Bandura. Teori sosial kognitif melihat individu
sebagai
agen
yang
terlibat
dalam
proses
perkembangan
dan
15
pembelajarannya secara aktif (Burney, 2008). Pendekatan ini fokus pada cara individu belajar melalui satu sama lain, melalui observational learning (Ormrod, 2004). Inti pembelajaran dari observational learning adalah Pemodelan (modeling). Belajar melalui pemodelan mencakup penambahan dan pencarian perilaku yang diamati untuk kemudian melakukan generalisasi dari satu pengamatan ke pengamatan lain. Pemodelan melibatkan proses-proses kognitif jadi tidak hanya sekedar meniru, lebih dari sekedar menyesuaikan diri dengan orang lain karena sudah melibatkan perepresentasian informasi secara simbolis dan menyimpannya untuk digunakan di masa depan (Bandura, 1994). Bandura mengemukakan adanya empat proses yang terkandung dalam observational learning, yakni perhatian, representasi, produksi perilaku dan motivasi (Feist & Feist, 2008). Dalam pelatihan ini, guru akan memperhatikan fasilitator yang dianggapnya sebagai model, kemudian guru akan belajar mengingatnya dengan mengulang kembali materi yang diberikan, setelah itu guru diberikan kesempatan untuk mempraktikkan materi yang telah diterima, dari semua proses yang telah dilakukan guru akan memotivasi dirinya sendiri agar dapat melakukannya dan mempertahankannya di kehidupan nyata. Program “Teacher Effectiveness Training” (TET) memuat materi yang berkaitan dengan pemecahan masalah, hubungan komunikasi positif dengan siswa, memotivasi siswa, menjaga disiplin siswa, serta usaha dalam menjaga suasana saling menghormati kebutuhan antar guru dan siswa. Materi yang terkandung dalam Program TET memuat faktor-faktor yang berhubungan dengan efikasi guru
16
((Betoret, 2009; Skaalvik&Skaalvik, 2007; Tschannen-Moran, Woolfok-Hoy, 2001; Guo, 2011), dengan demikian diharapkan program TET dapat meningkatkan efikasi guru. Teori sosial kognitif dapat menjelaskan bagaimana pelatihan dapat meningkatkan efikasi diri guru dan kenikmatan dalam mengajar, seperti yang juga diteliti oleh Komarraju (2008). Penelitian tersebut memperkuat pendapat Bandura (1993) yang menyatakan bahwa teori sosial kognitif menyediakan kerangka yang berguna dalam memahami bagaimana guru dilatih agar dapat mengembangkan efikasi dirinya dengan menyoroti empat faktor penting yang mempengaruhi efikasi diri, yaitu (1) pengalaman tentang keberhasilan pribadi (mastery experience), (2) pengalaman keberhasilan orang lain (Vicarious experiences), (3) pujian dan penghargaan sosial atau umpan balik atas kinerja (social persuasion), (4) reaksi fisik dan psikologis yang menyebabkan seseorang merasa siaga (psychological and affective states) (Bandura, 1997). Empat
sumber
efikasi
diri
yang telah
dibahas
sebelumnya
akan
direpresentasikan didalam setting Pelatihan program “Teacher Effectiveness Training” ini, seperti yang diteliti oleh Komarraju (2008) dan Critchley & Gibbs, (2012) bahwa psikologi positif berfokus pada aspek positif pada pengalaman manusia, maka hal tersebut dapat memberikan efek positif pada efikasi diri guru (Critchley & Gibbs, 2012). Hal ini terkait dengan program TET yang berlandaskan pada teori humanistik dengan memandang manusia secara positif, sehingga diharapkan program ini dapat memberikan efek positif pada efikasi guru.
17
Pertama, Guru akan belajar melalui pengalamannya sendiri saat mengikuti pelatihan dan menunjukkan performanya di setiap kesempatan dalam sesi pelatihan sebagai Mastery Experience. Kedua, guru akan belajar mengamati pengalamanpengalaman yang disediakan dan dilakukan oleh orang lain yakni fasilitator sebagai Vicarious Experience. Ketiga, Fasilitator akan memberikan masukan dan kritik kepada peserta guru sebagai Social Persuasion. Sumber keempat terakhir adalah kondisi fisiologis dan emosi yang muncul sebagai akibat dari dinamika dalam pelatihan sebagai Physical and emotional states.
Pelatihan memuat 4 sumber efikasi diri yang akan dialami oleh guru
Program “Teacher Effectiveness Training”
Efikasi diri meningkat
Guru memiliki pengetahuan dan pengalaman baru mengenai : - Membangun hubungan positif dengan siswa. - Metode penyelesaian masalah Ketrampilan berkomunikasi
- Performansi kerja guru meningkat - Pencapaian prestasi siswa juga meningkat
Gambar 1. Alur Berpikir Penelitian
18