SEKILAS PERKEMBANGAN TEORI PENOLOGI1 Oleh Dr Iqrak Sulhin2 Pendahuluan Setiap kejahatan memunculkan reaksi sosial, baik yang dilakukan secara formal melalui sistem peradilan pidana, maupun yang dilakukan secara non formal oleh masyarakat. Pertanyannya, apakah yang mendasari reaksi sosial ini dilakukan oleh negara atau masyarakat? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan beragam. Dalam perspektif legal, reaksi sosial dilakukan karena telah terjadi sebuah pelanggaran terhadap peraturan yang di dalamnya ditegaskan larangan serta konsekuensi atas pelanggaran terhadap larangan tersebut. Bagi penganut retaliasi, penghukuman adalah sebuah keharusan moral, sehingga adalah salah apabila penghukuman tidak dilakukan atas sebuah pelanggaran. Dalam perspektif psikologi sosial, reaksi sosial adalah sebuah ekspresi kemarahan atau keinginan untuk melakukan pembalasan terhadap kejahatan yang telah menyakitkan atau merugikan bagi korban. Penghukuman dapat dilihat sebagai sebuah ‘reflek sosial’ yang muncul secara otomatis. Sementara dalam perspektif utilitarian, penghukuman adalah sebuah upaya memberikan manfaat dalam bentuk pencegahan pengulangan kejahatan, baik yang dilakukan melalui pembentukan rasa takut karena sifat penghukuman yang sejatinya menyakiti, maupun yang dilakukan melalui reformasi perilaku pelanggar. Jawaban tersebut memperlihatkan beragamnya pendasaran dari penghukuman. Tujuan penghukuman beragam dan kadang bertentangan. Penghukuman bukan hanya berkaitan dengan apa yang menjadi komponennya, kepada siapa dikenakan, siapa yang melaksanakan, namun juga apa yang menjadi tujuan dan pembenarannya (Newburn, 2007:516-517). Edwin Sutherland, et.al dalam bukunya Principles of Criminology (1992:3) menjelaskan bahwa subjek kajian kriminologi sebagai bidang ilmu terbagi menjadi tiga yaitu; sosiologi hukum pidana; sosiologi kejahatan dan psikologi sosial perilaku kriminal; serta sosiologi penghukuman dan koreksi (pemasyarakatan). Kriminologi dengan demikian tidak hanya merupakan disiplin ilmu yang mempelajari kejahatan dan penyimpangan sebagai gejala sosial, namun juga mempelajari proses pendefinisian kejahatan secara sosiologis ke dalam hukum pidana, serta reaksi yang diberikan oleh negara dan masyarakat terhadap kejahatan dalam bentuk upaya pengendalian, 1
Disampaikan di dalam Simposium dan Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi ke-IV, Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia dan Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana, Kupang Nusa Tenggara Timur, 26 April 2017. 2 Penulis adalah Dosen Tetap Kriminologi, dengan subjek pengajaran Teori dan Filsafat Kriminologi serta Penologi, saat ini menjabat sebagai Ketua Departemen Kriminologi FISIP UI (2016-2020). Email:
[email protected]
1
upaya pencegahan maupun penghukuman. Secara ringkas, kriminologi menurut Sutherland adalah studi tentang pembuatan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi masyarakat terhadap pelanggaran (Newburn, 2007:5). Pada dasarnya, ketiga subjek kajian tersebut berkaitan satu dengan yang lain. Sosiologi hukum berkaitan dengan penghukuman karena hukum menegaskan secara legal reaksi yang dilakukan terhadap kejahatan. Sosiologi hukum pun berkaitan dengan sosiologi kejahatan dalam hal kriminalisasi dan dekriminalisasi. Sedangkan sosiologi kejahatan berkaitan dengan penghukuman dalam konteks proporsionalitas, tanggung jawab pidana, serta penentuan bentuk atau program reformasi kepada pelanggar hukum. Tulisan ini bermaksud menjelaskan perkembangan pemikiran dalam sosiologi penghukuman atau penologi, melalui penelusuran keterkaitan antara transformasi pemahaman ontologis tentang kejahatan di dalam kriminologi dengan ontologi penghukuman terhadap kejahatan tersebut. Dapat pula disebutkan di awal bahwa tulisan ini dihasilkan melalui studi kepustakaan dengan memperhatikan koherensi pernyataan-pernyataan dari berbagai referensi yang digunakan. Oleh karena tidak dihasilkan melalui penelitian yang dilakukan secara khusus, maka tulisan ini cukup dianggap hanya sebagai pengantar ringkas tentang perkembangan teoriteori di dalam penologi. Kriminologi dan Penologi Bagaimana hubungan antara kriminologi dengan penologi, selain bahwa penologi adalah salah satu subjek kajian dari kriminologi? Keduanya merupakan disiplin yang koheren. Dari sisi paradigma modern-positivisme, teori kriminologi yang menjelaskan realitas kejahatan adalah dasar bagi bentuk dan metode penghukuman atau pembinaan pelanggar hukum. Sedangkan dari sisi posmodernisme, pewacanaan tentang kejahatan sekaligus merupakan pewacanaan mengenai pengendalian kejahatan dan penghukuman. Hal inilah yang menjelaskan mengapa teori penologi, khususnya apa yang menjadi pembenaran atau tujuan penghukuman, selalu dimulai oleh penjelasan tentang apa hakekat (realitas objektif) kejahatan itu (dalam paradigma modern-positivisme) atau bagaimana konstruksi sosial tentang kejahatan itu (dalam paradigma posmodernisme). Untuk memahami lebih jauh hubungan antara keduanya, dapat ditelusuri dari perkembangan teori di dalam kriminologi dan penologi itu sendiri. Perkembangan teori di dalam penologi sebenarnya tidak se-kompleks perkembangan teori dalam kriminologi. Meskipun transformasinya mengikuti transformasi paradigmatik di dalam kriminologi dan sosiologi atau filsafat umumnya. Ada dua hal yang dapat dianggap sebagai 2
sebab mengapa perkembangan teori penologi3 dinilai cukup sederhana. Pertama, dari sisi objek kajiannya. Sosiologi kejahatan berbicara tentang perilaku atau tindakan manusia, sedangkan penghukuman berbicara tentang tindakan negara meskipun secara terbatas memberi ruang bagi keterlibatan masyarakat. Perilaku atau tindakan manusia jauh lebih beragam bila dibandingkan dengan tindakan negara karena terjadi dengan latar belakang yang juga sangat beragam, baik eksistensial, psikologis, sosiologis, kultural, hingga ekonomis dan politis. Sebaliknya, tindakan negara lebih berlatar formal. Meskipun dalam konteks aparatur negara sebagai agensi terdapat kemungkinan tindakan yang lebih beragam, namun tentu tidak se-fleksibel tindakan atau perilaku manusia umumnya. Kajian ontologis mengenai kejahatan sebagai perilaku atau tindakan manusia karenanya jauh lebih beragam. Berbagai teori kriminologi modern positivisme, seperti perkembangan studi kejahatan di perkotaan yang dimulai di Amerika Serikat sejak periode 1920-an telah menghasilkan berbagai pemahaman ontologis mengenai kejahatan. Hal mana dapat ditemukan dari berbagai konsep yang dihasilkan oleh kajian-kajian tersebut, seperti kejahatan sebagai disorganisasi sosial, kejahatan sebagai conflict of conduct norm, kejahatan sebagai anomie, kejahatan sebagai focal concern, dan banyak lainnya. Demikian pula dengan perkembangan kriminologi interaksionis, yang juga menyumbang berbagai pemahaman ontologis mengenai kejahatan sebagai stigma, label, self fullfilling prophecy, definisi situasi, dan lainnya. Termasuk sumbangan kriminologi kritis yang melihat kejahatan sebagai dominasi, represi, upaya bertahan hidup, atau sejatinya melihat kejahatan sebagai hasil konstruksi politis kelompok yang memiliki akses lebih besar dalam politik maupun ekonomi. Jauh sebelumnya, pada abad ke-18, perkembangan kriminologi klasik telah memberikan pemahaman ontologis awal mengenai kejahatan, sebagai pilihan bebas, sebagai hasil kalkulasi hedonistik utilitarian. Hal kedua yang menyebabkan relatif tidak berkembangnya teori penologi adalah karena terjebak pada ciri birokratis4 sebagai akibat dari pandangan bahwa penghukuman adalah domain negara. Berbagai definisi dari penologi sedari awal menegaskan bahwa penghukuman yang dimaksud di dalamnya adalah penghukuman yang dijatuhkan dan dilaksanakan oleh negara. Oleh
3
Perlu dibedakan di awal antara teori-teori penologi atau sosiologi penghukuman dengan teori-teori sosiologi hukum dengan objek kajian yang juga beragam. Dalam pandangan saya, penologi cenderung dilihat sebagai disiplin yang top-down sehingga kajian ontologis mengenai penghukuman menempel pada otoritas negara. Sementara sosiologi hukum melibatkan proses yang bottom-up sehingga teori yang menjelaskan proses pembentukan hukum akan lebih beragam. 4 Manuel Lopez-Rey, menyebutnya dengan Administrative Penology, yaitu penologi yang bertumpu pada kebijakan pemerintah dengan pembinaan di institusi sebagai perangkat utamanya.
3
karenanya, teori penologi yang digunakan oleh sebuah negara sangat ditentukan oleh ideologi negara, dan juga cara pandang sistem peradilan pidananya terhadap kejahatan. Teori-teori kriminologi, khususnya teori-teori yang berkembang dalam kriminologi modern positivis, yang menjelaskan ontologi kejahatan lebih dipergunakan sebagai dasar dalam merumuskan bentuk perlakuan atau pembinaan yang diberikan kepada narapidana. Indikator-indikator etiologis sebuah kejahatan dipergunakan untuk menentukan model pembinaan yang tepat. Dapat pula disimpulkan bahwa yang lebih banyak berkembang dari penologi adalah bentuk-bentuk penghukuman dan metode-metode pembinaan terhadap pelanggar hukum. Namun demikian, tulisan ini tidak sedang menganggap bahwa teori penologi mengalami stagnasi. Perkembangan paradigma posmodernisme sejak periode 1970-an merubah cara pandang kriminologi terhadap objek kajian utamanya, yaitu kejahatan. Hal ini kemudian berdampak pada perkembangan teori-teori alternatif dalam penghukuman. Pertanyaannya, apakah yang diberikan oleh posmodernisme sehingga menembus “kemandegan” teori penologi modern yang lebih menghabiskan perhatiannya pada bentuk penghukuman dan metode pembinaan pelanggar hukum? Jawaban atas pertanyaan ini akan dijelaskan lebih jauh pada bagian Penologi Posmodern. Namun secara singkat dapat dikatakan bahwa posmodernisme sebenarnya memberikan sebuah metode berpikir ketimbang kebenaran, sehingga membuat segala sesuatu tidak bersifat final. Penolakan posmodernisme terhadap universalitas, menekankan konteks (waktu dan tempat), melihat realitas tidak sebagai kebenaran namun sebuah konstruksi sosial mengenai kebenaran sehingga bersifat relatif, serta mengikutkan bahasa (teks dan perbincangan) sebagai unit analisis dalam produksi pengetahuan, telah membuka ruang yang lebih luas untuk proses teorisasi. Termasuk teorisasi dalam kriminologi dan penologi. Posmodernisme membuat kajian kriminologi dan penologi lebih bersifat genealogis (dalam kerangka berfikir Michel Foucault) yang melihat kejahatan tidak mutlak disebabkan oleh faktor-faktor tertentu atau penghukuman tidak mutlak didasarkan atas dasar berfikir tertentu yang rigid. Oleh karena posmodernisme melihat kejahatan sebagai sebuah peristiwa (crime as event) sehingga bersifat chaotic, maka sejarah penghukuman adalah sejarah yang menekankan pada kekiniannya (history of the present). Dari sisi agensi, wacana dan praktek penghukuman karenanya tidak harus selalu melekat pada otoritas negara.
4
Transformasi Teori Penologi (Klasik ke Modern) Penggunaan istilah transformasi dalam hal ini tidak serta-merta bermakna kemunculan teori tertentu adalah perkembangan dari teori sebelumnya. Banyak teori yang berkembang justru merupakan sebuah anti tesis, dekonstruksi, atau sebuah keterputusan (diskontinuitas). Namun demikian, perkembangan teori penologi menandai keduanya, yaitu sebuah diskontinuitas dan kontinuitas sekaligus. Mengacu pada penjelasan Sutherland, et.al (1992: 281), terdapat tiga mashab di dalam penologi, yaitu klasik, neoklasik, dan positif. Perubahan dari klasik ke neoklasik dapat dikatakan sebuah kontinuitas, sementara neoklasik ke positif adalah sebuah keterputusan. Demikian pula halnya dari positif ke posmodernisme, yang akan dijelaskan kemudian. Pondasi dari peradilan pidana dan sistem hukum kontemporer berasal dari abad ke-18, yaitu periode di mana prinsip dasar dan praktek teori klasik berkembang dan diinstitusionalisasikan untuk pertama kali di Eropa. Pandangan yang diajukan oleh teori klasik adalah diakuinya hak-hak individual, kapasitas manusia untuk menggunakan akal, dan kedaulatan hukum. Cesare Beccaria (1738-1794) adalah tokoh yang paling berpengaruh dalam formulasi prinsip-prinsip kriminologi klasik. Berkenaan dengan penghukuman, ia menjelaskan adanya apa yang disebut sebagai hak untuk menghukum (Roshier, 1989:5). Berikut adalah pemahaman dasar yang diajukan oleh kriminologi klasik mengenai kejahatan dan penghukuman (White dan Heines, 2001). Tabel 1 Pemahaman Dasar Kriminologi Klasik Aspek Definisi Kejahatan Fokus Analisis Sebab Kejahatan Respon Terhadap Kejahatan Pencegahan Kejahatan Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana
Pemahaman Dasar Legal (merupakan pelanggaran terhadap hukum, hak, dan kontrak sosial) Tindakan pidana (pelanggaran yang dilakukan terhadap hukum pidana) Rasionalitas (pilihan individual, sebuah keputusan yang irrasional) Penghukuman (proporsional terhadap kejahatan, secara jelas ditentukan) Penjeraan (prinsip pain-pleasure) Pendekatan filsafat legal
Mashab klasik didasarkan atas doktrin hedonisme psikologis, yaitu ide bahwa individual menghitung kenikmatan dan penderitaan sebelum tindakan dan mengatur perilaku mereka berdasarkan hasil dari kalkulasi tersebut. Oleh karenanya, dalam doktrin mashab klasik ini, reaksi terhadap semua kejahatan adalah sebuah administrasi penerapan penderitaan tertentu kepada 5
pelaku kejahatan oleh aparat negara. Sementara itu, mashab neoklasik muncul pada saat revolusi Perancis (1789-1799), yang menegaskan kembali kebenaran mashab klasik namun dengan modifikasi. Khususnya anak dan orang gila dinilai tidak dapat melakukan kalkulasi kenikmatan dan penderitaan, sehingga tidak dapat dianggap sebagai penjahat dan karenanya tidak dapat dihukum. Mashab neoklasik juga menegaskan perlunya mempertimbangkan kondisi individu dan lingkungan sosial dari terjadinya kejahatan. Sedangkan mashab positif adalah sebuah refleksi dari munculnya reaksi yang non punitif5 terhadap kejahatan dan kriminalitas dalam bentuk pembinaan sosiologis dan psikososial (Sutherland, et.al, 1992:281). Secara umum, pembenaran penghukuman terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu retributivis dan konsekuensionalis (Newburn, 2007:517). Klasik dan neoklasik lebih berciri retributif karena yang menjadi perhatian adalah tanggung jawab pidana, sementara positif lebih berciri konsekuensionalis karena lebih memperhatikan perubahan perilaku mereka yang dihukum. Stanley E Grupp, dalam Theories of Punishment (1971:3-10) menjelaskan lebih lanjut mengenai pengelompokan retributivis dan konsekuensionalis ini. Ia menjelaskan bahwa teori penghukuman adalah pedoman rasional dan cara pandang yang beragam mengenai tujuan penghukuman dan sistem koreksi (pembinaan). Menurutnya, teori-teori yang berkembang di dalam penologi terdiri dari; retributif (retribution), penjeraan (deterrence), rehabilitatif, dan integratif. Teori retributif melihat penghukuman sebagai penderitaan yang pantas diterima oleh pelanggar hukum. Teori penjeraan, yang dibangun oleh mashab klasik di abad ke-18 hingga awal abad ke-19, melihat penghukuman sebagai upaya mencapai kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbanyak masyarakat. Sementara teori rehabilitasi yang berkembang abad ke-20 menekankan individualisasi penghukuman, melalui pembinaan, sehingga individu dapat menyesuaikan diri kembali ke arah non-kriminal setelah bebas dari hukuman. Sedangkan integratif adalah cara pandang yang mengintegrasikan beberapa fungsi penghukuman, dengan menekankan bahwa tujuan penghukuman adalah menciptakan asimilasi pelanggar hukum dengan komunitasnya. Teori yang masuk ke dalam kelompok konsekuensionalis dalam penjelasan Grupp tersebut adalah penjeraan, rehabilitasi, dan integratif. Istilah lain bagi retributivis dan konsekuensionalis ini adalah backward-looking dan forward-looking theory of punishment (Barak, 2009 dan Honderich, 2006). Backward-looking 5
Mengenai sifat non punitif ini, penulis tidak sepenuhnya sependapat karena mashab positif yang melihat penghukuman sebagai pembinaan tetap mempertahankan ide bahwa pelaksanaannya dilakukan di dalam institusi koreksi (lembaga pemasyarakatan). Pelaksanaan pembinaan di dalam institusi (penjara) yang bersifat mandatoris pada dasarnya mencabut kebebasan bergerak, sehingga tetap bersifat punitif.
6
theory adalah teori penghukuman yang murni melihat kesalahan yang telah dilakukan sebagai dasar pembenaran. Dasar filosofis dari teori ini adalah pandangan Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman abad ke-18, yaitu; punishment can never be administered merely as a means for promoting another good, either with regard to the criminal himself or to civil society, but must in all cases be imposed only because the individual on whom it is inflicted has committed a crime (Honderich, 2006:17). Sedangkan forward-looking theory lebih memperhatikan manfaat dari sebuah penghukuman, yaitu pencegahan kejahatan, rehabilitatif, ataupun reformatif. Teori ini dipengaruhi oleh filsafat utilitarianisme dari Jeremy Bentham. Di dalam Bukunya An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1781), Bentham menjelaskan bahwa setiap manusia berada di bawah pengaruh dua hal pokok, yaitu pain (penderitaan) dan pleasure (kenikmatan/kebahagiaan). Penghukuman adalah bagian dari tugas pemerintah dalam bidang hukum untuk mempromosikan kebahagiaan masyarakat. Penghukuman dinilai dapat memperbesar kebahagiaan masyarakat dengan cara mencegah timbulnya suatu hal yang akan mengurangi kebahagiaan tersebut seperti mencegah kejahatan. Penghukuman utilitarian ini mendasari teori penjeraan, rehabilitasi, reintegrasi, hingga penghukuman sebagai inkapasitasi. Andenaes (dalam Grupp, 1971:142) menyatakan, bahwa penghukuman memiliki tiga efek pencegahan umum, yaitu efek penjeraan, memperkuat larangan moral, dan menstimuli kebiasaan berperilaku yang taat hukum. Sementara dalam pencegahan individual, penghukuman memiliki dampak dalam peningkatan moral atau akuisisi kebiasaan pro-sosial. Menurut Bentham, penghukuman dapat mencegah terjadinya kejahatan melalui tiga cara. Pertama, penghukuman membuat terhukum mustahil untuk melakukan kembali kejahatan (dalam konteks inkapasitasi). Kedua, menjerakan terhukum dan menggentarkan orang lain dari melakukan kejahatan. Ketiga, menciptakan kesempatan untuk melakukan reformasi bagi pelanggar hukum (Honderich, 2006:75). Dapat dilihat bahwa filsafat utilitarianisme klasik, fondasi dari forward-looking theory, mempengaruhi tidak hanya teori penjeraan dan inkapasitasi, namun juga teori rehabilitatif, integratif, hingga reformatif. Namun demikian, perkembangan tiga teori yang disebut terakhir ini tidak hanya dipengaruhi oleh filsafat utilitarianisme, namun juga oleh perkembangan ilmu pengetahuan tentang manusia di abad ke-20, khususnya kriminologi positivis. David Garland (dalam Blomberg dan Cohen, 2012:48) menjelaskan bahwa penghukuman modern adalah sebuah sistem pengelolaan, pengawasan, dan penghukuman pelanggar hukum yang dilakukan secara formal dan independen dari sistem normatif lainnya. Hal penting yang ingin ditekankan 7
olehnya adalah penghukuman dikendalikan oleh negara dan diadministrasikan oleh birokrasi yang profesional dengan keterlibatan kelompok ahli. Lebih jauh Garland menjelaskan, penjara (lembaga koreksi) merupakan temuan yang menjadi karakteristik abad ke-19, dan institusi ini menjadi standar dan cara yang diterima sebagai respon terhadap kejahatan. Perkembangan institusi ini berhubungan dengan peran kelompok fungsional kriminolog positivis yang menghasilkan pengetahuan yang diperlukan oleh sistem penghukuman. Perkembangan ini pula yang dikenal dengan nama model pembinaan atau koreksionalisme (Blomberg dan Cohen, 2012:49-50). Tabel berikut adalah ringkasan perkembangan teori penghukuman dari klasik ke modern (Sulhin, 2016:39). Tabel 2 Rasionalitas Penghukuman Modern Rasionalitas Pembalasan
∑
∑
Penjeraan
∑ ∑ ∑
Rehabilitasi/Reformasi
∑ ∑ ∑
∑ ∑ ∑
Perkembangan Tidak dapat dipastikan awal kemunculannya. Namun berkembang sejak berkembangnya masyarakat itu sendiri (Warren Stearns, 1939) Di awal perkembangan dipengaruhi oleh pandangan demonologis (di mana kejahatan dipengaruhi oleh kekuatan gaib yang jahat) Bentuk utama adalah hukuman mati Mulai abad ke-18 Dipengaruhi oleh pandangan hedonistik/utilitarian tentang manusia Bentuk penghukuman masih bersifat korporal Mulai abad ke-19 Dipengaruhi utilitarianisme dan humanisme (penghukuman yang berpusat kembali kepada perubahan manusia) Dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan positivis tentang manusia Mulai periode 1970-an semakin memperkuat correctional motifs Bentuk penghukuman adalah pemenjaraan
Tujuan Pembalasan dendam
Menciptakan efek jera pada pelaku dan gentar pada masyarakat Perubahan individu
Diskontinuitas Penologi Punitif Teori rehabilitatif, integratif, atau reformatif, hingga saat ini mendominasi praktek penghukuman di dunia, dengan penjara (correctional institution atau disebut lembaga pemasyarakatan di Indonesia) sebagai tempat pelaksanaan. Namun demikian, teori rehabilitatif atau reformatif ini bukan tanpa tantangan. Salah satu kritik yang sangat berpengaruh di antara tulisan-tulisan lainnya adalah penelitian Robert Martinson (1974). Berdasarkan evaluasi yang dilakukannya terhadap pembinaan di dalam penjara menyimpulkan bahwa tidak efek sama sekali (nothing works) dari program-program tersebut terhadap perubahan diri narapidana (Sulhin, 2016). Sebelumnya, kritik terhadap pemenjaraan sebagai bentuk penghukuman modern telah 8
banyak dilakukan, sehingga memunculkan keraguan akan kemampuan teori-teori rehabilitatif, integratif, atau reformatif di dalam mencapai tujuan utilitarian bagi masyarakat umumnya dan perubahan perilaku dari pelanggar hukum. Beberapa hal yang disebut sebagai diskontinuitas penologi punitif6 adalah munculnya masalah pemenjaraan sebagai sebuah organisasi, berkembangnya budaya penjara, terjadinya viktimisasi ganda subjek tertentu yang dipenjara khususnya anak dan perempuan, dan yang paling utama adalah kontradiksi penghukuman dengan reformasi dan inkonsistensi konsekuensi. Secara ringkas, diskontinuitas yang dimaksud adalah perubahan pemenjaraan sebagai institusi pembinaan menjadi institusi yang destruktif terhadap manusia. Tabel berikut adalah deskripsi secara ringkas mengenai kondisi diskontinu tersebut (Sulhin, 2016). Tabel 3 Masalah Pemenjaraan No 1
Masalah Penjara sebagai institusi total (Erving Goffman, 1962)
∑
∑ ∑ ∑ 2
3
4
Masyarakat dan budaya penjara (Simon, 2012; Bedi, 2004; Sykes, 1958, dan Clammer, 1940) Anak dan Perempuan dalam wacana pemenjaraan (Mustofa, 2009; Radosh, 2002)
Prison complex (Quinney, 1979; Goldberg dan Evans, 2009; Matthew Yeager, 1979; Gheith dan Julluck, 2011; dan Angela Davis, 2003)
∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑
Inti Kritik Manusia di dalam institusi total akan menciptakan mekanisme penyesuaian, sehingga muncul masyarakat dan budaya penjara Selama di dalam penjara, seseorang mengalami diskulturasi, dijauhkan dari dunianya Setelahnya terjadi mortification of self (mempermalukan diri) Pemenjaraan sebagai the art of humiliation (Stephen Cox, 2009) Di dalam penjara terbentuk relasi-relasi informal yang menjadi bagian dari budaya penjara Tercipta the pain of imprisonment Terjadi prisonisasi Perempuan di daam penjara adalah the invisible victims karena mengalami penderitaan yang lebih berat Kondisi perempuan di dalam penjara merefleksikan kondisi perempuan di dalam struktur masyarakat Stigma bagi anak Pengendalian kejahatan, berupa pemenjaraan, adalah bagian dari upaya mengantisipasi kontradiksi internal kapitalisme Pemenjaraan menjadi bagian dari upaya mempertahankan dominasi kekuasaan Pemenjaraan adalah sektor investasi negara untuk menjaga kepentingan kelas Pemenjaraan menjadi instrumen kekuasaan despotik
6
Maksud dari diskontinuitas penologi punitif dalam hal ini adalah sebuah kondisi irrasional atau paradoks. Utilitarianisme dan kriminologi positivis telah merancang tujuan dan model penghukuman bagi pelanggar hukum, yang terdiri dari rehabilitatif, integratif, atau reformatif, namun di dalam prakteknya justru menemukan sejumlah permasalahan bahkan bertolak belakang dengan tujuan-tujuan tersebut. Istilah diskontinuitas juga merupakan cara pandang Foucault terhadap sejarah, yaitu terputus, paradoks, dan terkadang tidak dapat dijelaskan.
9
Penologi Konstitutif (Pergeseran Modern ke Posmodern) Pembagian teori penologi ke dalam dua kelompok besar, yaitu backward-looking dan forward looking atau retributivis dan konsekuensionalis, dengan mempertimbangkan perkembangan pemikiran dalam kriminologi, sosiologi dan filsafat tidak lagi dapat diterima. Hal ini karena dua pengelompokan tersebut hanya menggambarkan perkembangan dari mashab klasik ke positivis. Pengaruh posmodernisme, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, memberi metode berfikir bukan kebenaran mutlak. Bahkan penggunaan istilah ‘teori’ dalam posmodernisme pada dasarnya kontradiktif, karena teori memiliki tendensi formulatif, menegaskan sebuah penjelasan yang dinilai benar karena telah diuji. Posmodernisme bukanlah teori, namun sebuah perspektif atau sudut pandang, dan penjelasan yang dihasilkan sangat bersifat relatif. Kecenderungan ilmu manusia positivis abad ke-19 mempersempit ruang analisis melalui model dan hubungan-hubungan kausalitas yang telah terverifikasi atau melalui logika deduktif (Sulhin, 2016:48). Beberapa hal yang menjadi ciri dari posmodernisme perlu disampaikan sebelumnya untuk kemudian dapat diperlihatkan koherensinya dengan teori penologi. Unit analisis posmodernisme bertumpu pada wacana, yang berhimpitan dengan tindakan. Best dan Kellner (2003:28) melihat bahwa sebagian besar teori posmodern mengikuti teori wacana di mana bahasa, tanda, gambar, kode dan sistem tanda adalah yang mengorganisir pikiran, masyarakat dan kehidupan sehari-hari. Namun tidak semuanya menurunkan segala sesuatu pada wacana atau tekstualitas, sebagaimana Michel Foucault melihat bahwa yang membentuk badan sosial adalah rakitan menyeluruh wacana, institusi, bentuk-bentuk arsitektural, keputusan regulatoris, hukum, ukuran-ukuran administratif, pernyataan ilmiah, filsafat, moral dan proposisi filantropis. Dalam perspektif Foucault pernyataan dan peristiwa adalah dua hal yang tidak terpisah, sehingga ia menyebutnya dengan archive (arsip), yaitu sistem yang menetapkan pernyataan sebagai peristiwa dan sebagai benda (Sulhin, 2016:54-55). Dalam perspektif Foucault, penghukuman adalah arsip, yaitu wacana dalam praktek, demikian pula sebaliknya. Relasi yang resiprokal ini merupakan sebuah proses konstitutif. Menurut Lanier dan Henry (2010: 253), berangkat dari perkembangan kriminologi kritis, posmodernisme menginspirasi kriminologi konstitutif yang ketidaksukaan (kriminologi) anarkis terhadap kekuasaan, yang melihat ekspresi kekuasaan adalah akar dari produksi bahaya, baik
10
oleh negara, korporasi, dan individual. Kriminologi kritis (posmodernisme)7 ini juga mendorong anarchist peacemaking criminology dan restorative justice criminology yang menantang kekuasaan pemerintah dengan implikasi sebaliknya bahwa masyarakat dapat menyelesaikan masalah mereka sendiri, di mana peran negara hanya akan menegaskan perbedaan kekuasaan dan memperburuk konflik. Anarki dalam hal ini adalah masyarakat tanpa aturan-aturan. Namun bukan berarti masyarakat tanpa keteraturan. Kriminologi anarkis melihat bahwa relasi kooperasi interaktif adalah bentuk natural dari manusia yang akan muncul dengan sendirinya (Lanier dan Henry, 2010: 371). Demikian pula dengan keteraturan, dapat terbentuk tanpa kekuasaan yang memaksa. Peacemaking Criminology menerima gagasan bahwa konflik berada di akar kejahatan, namun menolak memperbesar konflik tersebut dengan cara yang lebih mendukung rekonsiliasi dan mediasi. Peacemaking berbeda dengan warmaking, yang dipahami sebagai upaya penegakan hukum yang formalistik, model pengendalian kejahatan (crime control model) seperti war on drugs, dan mengedepankan penghukuman. “Perang” akan menimbulkan lebih banyak rasa saling tidak percaya, meningkatkan upaya untuk menjamin keamanan dan kekuataan untuk mengalahkan lawan. Sedangkan penciptaan perdamaian membangun rasa saling percaya dan perasaan bersama komunitas. Pendekatan ini menyatakan bahwa konflik dapat diselesaikan dengan membangun ikatan sosial antar pihak-pihak yang terlibat, lebih menekankan sisi humanistik, serta merefleksikan asumsi bahwa dua kesalahan tidak akan menghasilkan satu kebenaran atau bahwa perang terhadap kejahatan hanya akan cenderung menyebabkan masyarakat menjadi semakin keras (Lilly, et.al, 2015:232). Untuk mencapai tujuan penciptaan perdamaian, cara pandang kriminologi konstitutif menjadi upaya alternatif dalam reaksi terhadap kejahatan. Menurut Stuart Henry dan Dragan Milovanovic (2000), kriminologi konstitutif adalah perspektif teoritik yang dipengaruhi oleh posmodernisme yang membahas koproduksi wacana tentang kejahatan (dan penghukuman) oleh manusia sebagai agensi di dalam interrelasinya dengan produk-produk budaya, institusiinstitusi sosial, dan struktur sosial yang lebih luas. Dengan demikian, kejahatan dan penghukuman adalah hasil dari koproduksi wacana, atau sederhananya adalah hasil dari
7
Mengenai tumpang tindih antara kriminologi kritis dengan kriminologi posmodernisme sering terjadi. Hal yang membedakannya adalah kriminologi kritis lebih dilihat sebagai posmodernisme skeptis, yang lebih cenderung melakukan dekonstruksi. Sedangkan posmodernisme memberikan analisis tidak hanya pada proses konstruksi dan dekonstruksi realitas, namun juga rekonstruksi. Kriminologi konstitutif adalah perkembangan posmodernisme yang melampaui skeptisisme.
11
perbincangan, sehingga penghukuman sejatinya adalah praktek/wacana yang bersifat inklusif (Sulhin, 2016: 274). Mediasi dan rekonsiliasi sejatinya adalah sebuah proses perbincangan atau pewacanaan. Sebuah proses yang mengikutsertakan seluruh agensi yang terlibat dalam terjadinya sebuah peristiwa kejahatan. Penghukuman karenanya adalah sebuah proses yang diperbincangkan di tingkat komunitas karena komunitas adalah agensi yang paling mengetahui dan bersinggungan dengan pelanggaran dan struktur sosial yang menjadi latar belakang pelanggaran itu terjadi. Konsep keadilan restoratif berangkat dari ide ini. Keadilan restoratif muncul akibat ketidakpuasan terhadap penyelesaian kasus kejahatan yang dilakukan melalui sistem peradilan pidana karena lepas dari keterlibatan pihak lain di masyarakat di dalam penyelesaian masalah kejahatan. Menurut UNODC (2007), Restorative Justice didefinisikan sebagai alternatif penyelesaian perkara yang melibatkan korban, pelaku, jaringan sosial, aparat peradilan pidana, dan masyarakat. Program ini didasarkan pada prinsip bahwa kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, tidak hanya akan mencederai hukum yang berlaku tapi juga masyarakat yang ada sehingga memerlukan pemulihan yang tidak hanya memberikan sanksi/pidana kepada pelaku kejahatan. Oleh karena itu, Restorative Justice memfokuskan proses pemecahan masalah dengan tidak hanya menebus kerugian yang ditimbulkan pada korban, tapi juga meminta pertanggungjawaban pelaku atas tindakannya dengan melibatkan masyarakat. Partisipasi dari semua pihak merupakan hal yang penting dari proses perbaikan hubungan antara pelaku kejahatan, korban dan masyarakat, yang diharapkan pada akhirnya menghasilkan penemuan kepentingan berupa pengembangan kesepakatan antara pelaku, korban kejahatan dan masyarakat itu sendiri. Selain itu, UNODC (2007) juga menjelaskan bahwa beberapa tujuan dari Restorative Justice lainnya adalah mendorong adanya penyelesaian konflik yang tuntas dan damai, menumbuhkan sikap toleransi dan inklusif, membangun sikap menghargai terhadap perbedaan dan mendorong adanya rasa tanggung jawab individu terhadap masyarakat. Menurut Lilly, et.al (2015:233), di dalam keadilan restoratif, peran negara bukanlah untuk memberikan lebih banyak penderitaan dan balas dendam, tetapi menciptakan konteks di mana rekonsiliasi dapat terjadi. Pelaku pelanggaran harus menunjukkan akuntabilitas dan tanggung jawab personalnya, namun di saat yang sama mereka juga mendapat dukungan untuk reintegrasi dan pengampunan. Dragan Milovanovic dan Stuart Henry, dalam artikel berjudul Constitutive Penology (1991) menjelaskan bahwa penologi secara umum dibedakan ke dalam enam bentuk kebijakan, yaitu; 12
penghukuman/pembalasan,
inkapasitasi,
penjeraan,
rehabilitasi,
pencegahan,
dan
restitusi/reparasi. Menurut keduanya, realitas dari kebijakan ini sebenarnya lahir dari sebuah proklamasi, karena apa yang dapat dilakukan kepada seorang pelanggar jauh lebih luas dari sebatas keenam kebijakan tersebut. Hal ini dimungkinkan melalui analisis semiotika. Lebih jauh, Milovanovic dan Henry mengatakan, dari perspektif semiotika, model kebijakan penghukuman dari dikonseptualisasi dalam wacana tertentu, hal mana disebut sebagai proses konstitutif. Proses ini tidak hanya untuk merujuk atau menginovasi wacana namun juga mengkonstruksi kategori, membuat pembedaan, dan menggambarkan kontras. Dalam cara pandang seperti ini, penghukuman adalah sebuah praktek yang diteorikan secara kontekstual. Tergantung pada peristiwa kejahatannya dan agen-agen yang terlibat. Penutup Di Indonesia saat ini, ide penologi konstitutif telah difasilitasi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, khususnya berkenaan dengan kebijakan diversi dan keadilan restoratif bagi anak yang melanggar hukum. Namun permasalahannya, bila dilihat dari sisi politik hukum, maka perkembangan teori penologi di Indonesia sejatinya tengah mengalami kemandekan. Namun demikian, bila dilihat dari sisi koreksi (pelaksanaan pidana), Indonesia sebenarnya sudah mengarah para apa yang disebut sebagai restoratif-reintegrasi (Sulhin, 2015). Pandangan restoratif-reintegrasi ini dapat dikatakan merupakan perpaduan antara penologi modern reintegratif dan penologi konstitutif. Di dalam pelaksanaan apa yang disebut sebagai pembinaan di dalam sistem pemasyarakatan Indonesia, juga dilakukan apa yang disebut sebagai social restoration, yaitu pemulihan hubungan antara narapidana dengan masyarakatnya, melalui asimilasi maupun reintegrasi sosial. Selain itu, di berbagai daerah di Indonesia, terdapat mekanisme adat dalam menyelesaikan sejumlah permasalahan yang terjadi di tingkat komunitas, termasuk pelanggaran (penyimpangan atau kejahatan). Hal ini merupakan kondisi praksis/kultural yang dapat menjadi dasar pewacanaan tentang reaksi sosial konstitutif terhadap kejahatan di dalam sistem hukum di Indonesia. Meskipun permasalahannya adalah bagaimana mengelola identitas agar justru tidak menjadi “kekuasaan represif baru di tingkat lokal”. Pertanyaan mendasar yang dapat diajukan adalah, apakah yang sebenarnya menjadi teori penghukuman yang kita anut di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia?
13
Referensi Buku Arrigo, Bruce dan Dragan Milovanovic. 2009. Revolution in Penology: rethinking the society of captives. Lanham, Rowman and Littlefield Publishers, Inc. Barak, Gregg. 2009. Criminology: an integrated approach. Lanham, Rowman & Littlefield Publisher Inc. Bentham, Jeremy. 2000. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation 1781. Kitchener: Bathoce Book. Best, Steven dan Douglas Kellner. 2003. Teori Posmodern: interogasi kritis. Malang, Boyan Publishing. Blomberg, Thomas dan Stanley Cohen (ed). 2012. Punishment and Social Control, enlarged 2thed. New Brunswick, Aldine Transaction. Grupp, Stanley (ed). 1971. Theories of Punishment. Bloomington-London, Indiana University Press. Honderich, Ted. 2006. Punishment: the supposed justifications revisited. London, Pluto Press. Lanier, Mark dan Stuart Henry. 2010. Essential Criminology, 3thed. Boulder, Westview Press. Lilly, Robert, Francis Cullen dan Richard Ball. 2015. Teori Kriminologi: konteks dan konsekuensi. Jakarta, Kencana. Newburn, Tim. 2007. Criminology. Devon, Willan Publishing. Roshier, Bob. 1989. Controlling Crime: the classical perspective in Criminology. Milton Keynes, Open University Press. Sulhin, Iqrak. 2016. Diskontinuitas Penologi Punitif: sebuah analisis genealogis terhadap pemenjaraan. Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group. Sutherland, Edwin, Donald Cressey, dan David Luckenbill. 1992. Principles of Criminology, 11thed. New York, General Hall. White, Rob dan Fiona Haines. 2001. Crime and Criminology: an introduction 2thed. Oxford University Press. UNODC. 2007. Handbook of Basic Principles and Promising Practices on Alternatives to Imprisonment. New York: UN. UNODC. 2007. Handbook on Restorative Justice Programmes. New York: UN Artikel Ilmiah Harcourt, Bernard E, Post-Modern Meditation on Punishment: on the limits of reasons and the virtues of randomization (a polemic and manifesto for the twenty-first century), dalam Social Research, Vol.74, No.2, Punishment: The US Record (Summer, 2007), hal. 307-36. Henry, Stuart dan Dragan Milovanovic, Constitutive Criminology: origins, core concepts, and evaluation, dalam Social Justice, Vol.27, No.2 (2000). Lopez-Rey, Manuel, Administrative Penology (England and Wales), dalam The British Journal of Criminology, Vol.5, No.1 (January 1965), hal.4-21. Milovanovic, Dragan dan Stuart Henry, Constitutive Criminology, dalam Social Justice, Vol.18, no.3 (45), Attica: 1971-1991 A Commemorative Issue (Fall 1991), hal. 204-224. Sulhin, Iqrak, The Philosophy of Indonesian Pemasyarakatan and Its Paradoxes, Proceeding International Conference on Nusantara Philosophy, UGM, 2015. 14