13
SEJARAH PENELITIAN GAMBUT DAN ASPEK LINGKUNGAN
Kusumo Nugroho Peniliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114
Abstrak. Makalah ini akan menguraikan secara singkat tentang keterkaitan antara sejarah perjalanan penelitian tanah gambut di Indonesia dengan penggunaan atau pemanfaatan gambut. Pada awalnya penelitian lahan gambut lebih terfokus pada penelitian yan g mengarah kepada penggunaan atau pemanfaatannya untuk pertanian. Keadaan ini berkembang sampai saat ini. Pada waktu dahulu, tidak disinggung aspek degradasi, yang berkaitan dengan emisi. Pada waktu dulu aspek pengelolaan gambut untuk penggunaan yang berkelanjutan lebih penting. Pada waktu sekarang aspek lingkungan yang dikaitkan dengan degradasi disebutkan, tetapi aspek karakteristik secara keseluruhan tidak diperhatikan. Degradasi hanya dikait kan dengan perubahan ketebalan, pada hal banyak aspek lingkungan yang berkaitan dengn perubahan karakteristik gambut.
PENDAHULUAN Latar Belakang Seperti diketahui didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, setiap warganegara Indonesia memunyaihak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, pembangunan ekonomi nasional harus diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelan jutan dan berwawasan lingkungan. Kemudian didalam mendukung pembangunan itu terjadi perubahan-perubahan aspek lingkungan. Perubahan tersebut dapat menjadi penurunan kualitas lingkungan, yang dapat mengancam kelangsungan peri kehidupan manusia dan mahluk hidup lain. Lahan gambut yang mempunyai karakteristik spesifik, tentunya tidak terlepas dari feno mena tersebut. Lahan gambut diman faatkan untuk kepentingan pembangunan ekonomi, yang akhirnya untu k kesejahteraan masyarakat. Hal yang penting dalam pembangunan ekonomi/ kesejahteraan masyarakat dan lahan (pertanian) dideskripsikan oleh hubungan tingkat produktivitas lahan – keberlan jutan aspek lingkungan dan karakteristik lahan. Secara eksplisit hubun gan antara ini ditandai dengan evaluasi lahan. Pada lahan yang sesuai dan berkelanjutan maka tingkat produktivitas/kesejahteraan akan tinggi dan produksi berlangsung secara berklanjutan (sustainable). Aspek lingkungan dapat dibedakan antara aspek lingkungan yang mempengaruhi pemanfaatan dan aspek lingkungan yang tidak langsung mempengaruhi produksi tetapi sebagai dampak karena pemanfaatan.
173
K. Nugroho
Untuk mengetahui kondisi atau aspek lingkungan, kita dapat menelusuri dari sejarah penelitian pemanfaatan lahan, dan kondisi-kondisi dapat diamati dari karakteristik lahan atau aspek lingkungannya secara khusus. Lahan gambut, mempunyai aspek lingkungan yang unik. Pengelolaan sumberdaya lahan gambut mempunyai kondisi yang menggembirakan pada waktu lampau sebagai sumberdaya lahan pertanian alternatif yang berhasil guna, tetapi sekarang berbagai aspek lingkungan lain disoroti sebagai kondisi negatif dari pengelolaan lahan gambut. Kondisi ini perlu dideskripsikan secara proporsional, untuk dapat mengarahkan pengelolaan lahan ga mbut kepada kondisi yang dapat memberikan dua hal, yaitu kesejahteraan masyarakat sekaligus pembangunan yang berkelan jutan, selain mengurangi dampak negatif yang dapat dilihat dari aspek lingkungannya. Tujuan Makalah ini menguraikan secara singkat tentang keterkaitan antara sejarah perjalanan penelitian tanah gambut di Indonesia dengan penggunaan atau pemanfaatan gambut. Hal ini terkait dengan isu tentang aspek lingkungan yang dikaitkan dengan perubahan karakteristik gambut.
SEJARAH PENELITIAN LAHAN GAMBUT DI INDONESIA Sejarah Penggunaan Lahan Gambut di Indonesia Perjalanan sejarah penggunaan atau pemanfaatan lahan gambut di Indonesia tidak terlepas dari fungsi gambut secara genetik. Gambut mempunyai berbagai fungsi yaitu : a)
b) c) d) e) f) g) h) i) j) k) 174
Fungsi produksi, kehutanan, tanaman industri dan tanaman hutan lain pertanian tanaman pangan perkebunan perikanan Fungsi retensi hara Fungsi habitat flora/ media pertu mbuhan tanaman dan fauna Fungsi hidrologi- stabilitas neraca air Fungsi suplai air/sumber air Fungsi angkutan air Fungsi pecegah erosi Fungsi sanitasi Fungsi sumber energi Fungsi budaya dan sumber in formasi ilmiah (termasuk obat -obatan) Fungsi proteksi plasma nutfah alami/ keanekaragaman hayati
Sejarah penelitian gambut dan aspek lingkungan
Diskusi dan pembahasan pemanfaatan gambut secara internasional telah dimu lai juga lama dengan pembukaan lahan yang bertanah gambut di Asia Tenggara. Fungsi lain yang berkembang sesudah itu, masih menjad i wacana. Sesudah adanya berbagai masalah yang menyangkut pengelolaan sebagai daerah pertanaman, maka fungsi hidrologi, fungsi sanitasi, fungsi budaya menjadi menonjol atau lebih diperhatikan. Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya pertanian yang dikelola dengan konsep dan teknologi yang tepat, serta kaidah-kaidah pengelolaan lestari berkelan jutan, menjadikan lahan gambut dapat bertahan. Pengelolaan lahan yang baik dengan menerapkan berbagai teknologi tepat dan berdaya guna dapat membuat lahan gambut menjadi lahan pertanian (pertanian tanaman pangan, hortikulutura, perkebunan dan kehutanan) yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan pada waktu yang lama. Pengembangan lahan untuk produksi pangan, mengarah ke lahan rawa pasang surut sebagai daerah yang dianggap berpotensi untuk pengembangan lahan sawah dilakukan dengan mereklamasi lahan rawa. Dalam menentukan penggunaan atau kesesuaian untuk suatu penggunaan dilakukan karakterisasi dan evaluasi. Pencirian atau karakterisasi lahan gambut di Indonesia telah dimulai sejak lama, yaitu menurut salah satu hasil penelitian yang dikemu kakan oleh Wichman (1910 dalam Soepraptohardjo dan Driessen, 1976) mengatakan bahwa tahun 1794, John Andersen dalam laporannnya mengemukakan tentang keberadaan tanah gambut, di sekitar Riau. Gambut dibicarakan sebagai fungsi produksi pertama kali sebagai tanah yang dapat digunakan secara ekonomis pada tahun 1863/1864. Ketika itu Bernelot Moens mengemukakan tentang penemuan dari seorang kapten angkatan darat Meyer yang melaporkan adanya gambut yang dapat digunakan sebagai bahan bakar di s ekitar Siak Indrapura, Riau. Fungsi sebagai habibat flora dan med ia pertumbuhan tanaman dilihat sesuadah hasil penelitian tentang sebaran. Adanya gambut pada daerah yang luas dikekemu kakan oleh Koorders yang mengiring ekspedisi Ijzerman melintasi Su matera tahun 1865. Ia melaporkan penyebaran gambut sangat luas, hampir mencapai 1/5 total luas pulau Sumatera, di hutan rawa sepanjang pantai timur pulau ini. Penelit ian mengenai gambut dikemu kakan oleh beberapa peneliti antara tahun 1905-1915 yaitu oleh Potonie, Mohr, Bylert, dan Van Baren (Driessen dan Soepraptohardjo, 1976). Mereka juga mengatakan bahwa pada tahun -tahun yang sama beberapa hasil penelitian gambut dikemukakan Schwaner, Molengraff, Teysman Hose dan Halton. Dalam periode yang sama, 1890-1910, penelit ian eksplorasi geologi di Kalimantan Tengah dan Timur serta di Kalimantan Selatan dan Timu r (Schwaner), melaporkan adanya penyebaran tanah gambut luas di sepanjang dataran pantai barat dan selatan pulau Kalimantan. Antara tahun 1905-1915, berbagai peneliti, antara lain, Mohr dan van Baren, menulis berbagai pemikiran mereka tentang tanah gambut di dataran rendah Sumatera dan di daerah tropika lainnya. Selama periode ini, terdapat sekitar 15 artikel/ makalah mengenai gambut di Indonesia. 175
K. Nugroho
Penelit ian tentang tanah gambut agak tersendat pada zaman pendudukan Jepang. Setelah merdeka, penelit i Belanda, masih ada yang bekerja di Indonesia, diantaranya Polak, dan Druif. Kemudian setelah tahun tahun 1965, yaitu awal Pelita I, pemerintah melalui Proyek Pembu kaan Pers awahan Pasang Surut (P4S) (1969-1984), baru mulai melaksanakan pembukaan secara besar-besaran lahan pasang surut di Sumatera (Lampung, Sumsel, Riau dan Jambi) dan Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan). Driessen yang bekerja di Lembaga Penelitian Tanah (Soil Research Institute, SRI) dari tahun 1971-1978, mengunjungi banyak daerah gambut antara lain, di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Riau, Jamb i, bahkan sampai Stasiun Riset Gambut di Sarawak Kalimantan, dan Selangor di semenanjung Malaysia. Beberapa penelitian tentang teknik pengelolaan sudah sejak lama dikemu kakan, tetapi, sesudah dasawarsa 1980-an, riset dan tulisan mengenai gambut di Indonesia mulai dilaksanakan dan hasilnya ditulis oleh penelit i-peneliti nasional sendiri. Karya tu lisan tersebut disampaikan pada berbagai kesempatan seminar dan kongres, dan ditulis secara individu atau bersama. Beberapa peneliti internasional ikut menuliskan pendapatnya tentang tanah gambut dan potensinya. Hasil-hasil tulisannya, diantaranya dapat disebut, adalah Diemont et al. (1989, 1991); Radjagukguk (1991a, 1991b, 1997); Sarwono (1996); Widjaja Adhi (1998); dan Rieley et al. (1997a; 1997b). Oleh karena tanah gambut merupakan bagian atau komponen tanah pada lahan rawa pasang surut, terdapat sejumlah makalah tentang tanah gambut pada Simposium Nasional III Pengembangan Lahan Pasang Surut di Palembang tahun 1979, dan pada Symposiu m on Lowland Develop ment di Jakarta tahun 1986. Seminar Internasional khusus untuk tanah gambut tropika telah dilaksanakan sebanyak empat kali d i Asia Tenggara, yaitu tiga kali di Indonesia: di Yogyakarta tahun 1987 (tanpa prosiding), di Palangka Raya tahun 1995 (Rieley dan Page, 1997a), dan di Bogor tahun 1999; serta satu kali d i Kuching Sarawak, Malaysia tahun 1991 (A minuddin, 1992). Penggunaan lahan gambut sebagai sawah telah dikenal dari sekitar tahun 1930 an, dibuka beberapa daerah persawahan oleh pemerintah belanda yang dikenal sebagai kolonisasi, yaitu di daerah Lampung, Kalimantan (Tamban, Kalimantan Selatan), di Merauke (Irian Jaya) yaitu sekitar Ku mbe. Penelitian yang dilakukan o leh lembaga penelitian seperti Bodem kundig Institute, dipublikasi dalam berbagai media, antara lain hasil penelit ian dari Polak (1949). Kelangkaan lahan gambut menjad ikan fungsi proteksi kemudian d iketengahkan untuk menjaga keberadaan lahan gambut di suatu daerah (Rieley and Page, 1997). Mengingat potensi dan fungsi lahan gambut di Indonesia khususnya kekayaan keanekaragaman hayati maupun mitigasi perubahan iklim global, maka akan lebih baik apabila pengelolaan lahan gambut dilaksanakan secara berkelanjutan (sustainable land management) dengan mengintegrasikan aspek teknologi, kebijakan dan keg iatan sosialekonomi.
176
Sejarah penelitian gambut dan aspek lingkungan
ASPEK LINGKUNGAN DALAM EVALUASI LAHAN GAMBUT Aspek lingkungan seperti dikemukakan diatas tidak terlepas dari penggunaan lahan, dan penggunaan lahan tidak terlepas dari kesesuaian lahan – produktivitas lahan untuk suatu penggunaan. Permasalahan lingkungan gambut d i Hindia Belanda (Indonesia), telah ditulis Polak (1941) yang mengungkapkan secara jelas hubungannya dengan penggunaan lahan dengan lingkungan pertanian secara umu m. Hasil analisis kimia beberapa contoh gambut dari Jawa, Su matera, dan Kalimantan daerah den gan berbagai lingkungan yang berbeda. Juga dituliskan tentang perbedaan pertanian pada lahan gambut di Amerika Serikat (Polak, 1948a), dan di Jawa, Su matera dan Kalimantan (Polak, 1948b). Penulis yang sama meneliti dan menulis tanah gambut eutrofik (dengan lingkungan yang kaya mineral) d i Rawa Lakbok, Jawa Barat (Polak, 1949), Rawa Pening, Jawa Tengah (Polak, 1951). Kondisi lingkungan dicoba dirobah dengan melakukan penelitian percobaan pemupukan gambut (Po lak dan Soepraptohardjo, 1951). Penggunaan lahan gambut untuk penggunaan khusus seperti untuk tembakau (pada daerah dengan lingkungan seperti di Besuki) juga dikemu kakan. Pada waktu itu kondisi atau aspek lingkungan di lahan gambut hanya terfokuskan pada pengelolaan lahan gambut untuk peningkatan produktiv itas. Ada suatu paradigma baru yang berbeda dalam membahas tentang hubungan aspek iklim dengan lahan gambut, yaitu muncul konsep mengenai penghitungan ”kerusakan lingkungan” dengan makin tingginya emisi karbon dari lahan gambut. Agus F dan IGM Subiksa (2008), menyatakan bahwa beberapa aspek lingkungan yang berhubungan dengan lahan gambut adalah (i) lahan gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon, (ii) lahan gambut sebagai sumber emisi gas rumah kaca, (iii) kebakaran lahan gambut, (iv) aspek hidrologi dan subsiden. Lahan gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon, dikatakan walau hanya meliputi 3% dari luas daratan di seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari seluruh karbon atmosfir, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa (massa total makhlu k h idup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia. Tentunya hal tersebut dengan menggunakan asumsi-asumsi tertentu. Lahan gambut menyimpan ka rbon pada biomassa tanaman, serasah di bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral d i bawah gambut (substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa tanaman menyimpan karbon dalam ju mlah tertinggi. Lahan gambut menyimpan karbon yang jauh lebih tinggi d ibandingkan dengan tanah mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral. Emis i gas rumah kaca (GRK) dan penambatan karbon pada lahan gambut berlangsung secara simultan, namun besaran masing -masingnya tergantung keadaan alam dan campur tangan manusia. Dalam keadaan hutan alam yang pada umumnya jenuh air (suasana anaerob), penambatan (sekuestrasi) karbon berlangsung lebih cepa t dibandingkan dengan dekomposisi. Pada tahun -tahun di mana terjadi kemarau panjang, 177
K. Nugroho
misalnya tahun El-Niño, kemungkinan besar gambut tumbuh negatif (men ipis) disebabkan lapisan permukaannya berada dalam keadaan tidak jenuh (aerob) dalam waktu yang cukup lama sehingga emisi karbon leb ih cepat dari penambatan. Perubahan penggunaan lahan, termasuk konversi hutan merubah laju emisi dan seskuestrasi). Dalam proses berikutnya, kalau tidak dijalankan secara baik pengelolaan lahan gambut untuk penggunaan tertentu merubah lahan gambut dari penambat karbon men jadi sumber emisi GRK. Emisi masih men jadi tanda tanya besar tanpa pengukuran yang sistematis. Interaksi dari berbagai ko mponen termasuk intervensi manusia mempengaruhi fungsi lingkungan lahan gambut. Adalah hal yang perlu diketahui adalah berapa laju neto pada suatu penggunaan. Salah satu pokok bahasan yang selalu dikemu kakan adalah emisi dari kebakaran biomassa tanaman. Kebakaran merubah bukan hanya karbon dalam jaringan sel tanaman men jadi gas tetapi juga merubah struktur jaringan. Adalah perlu mengetahui dalam proses ini (kebakaran) berapa yang teremisikan, terlarutkan, terendapkan, keluar dari sistem udara lewat asap/uap air. Bio massa tanaman pada hutan lahan basah umu mnya menyimpan cu kup banyak air dan s elain C. Karbon yang tersimpan tersebut akan hilang dengan cepat apabila hutan ditebang dan dibakar. Walaupun industri p erkayuan mengambil sekitar 50% karbon karena mengalihkannya dijadikan berbagai bahan perabotan dan perumahan, tetapi sering karbon dianggap lenyap teremisikan. Bila karbon tersebut dibuang, maka penyatuan sebagai sampah (tidak dibakar) akan tersimpan dalam waktu cukup lama sehingga bisa dianggap menjadi bagian dari karbon tersimpan. Pada daerah yang beriklim basah, sisa pohon yang tertingg al di atas permukaan tanah akan teremisi dalam waktu yang cukup lama, melalui proses dekomposisi. Hanya pembukaan lahan sering melakukan pembersihan lahan dengan pembakaran. Kondisi meningkatkan emisi dari pembakaran, seperti juga pembakaran kayu untuk kay u bakar, atau batub ara untuk bahan bakar (fuel). Salah satu sumber emisi yang sulit diatasi adalah kebakaran lapisan gambut. Banyak orang menandai in i sebagai gejala alamiah (natural disaster). Hal ini terjkadi karena kebakaran bio masa mengikut sertakan kebakaran tanah gambutnya. Pada tahun El Nino seperti tahun 1997, pengeringan tanah gambut, menjad i awal dari kebakaran tanah gambut. Tanpa air, bara api pada tanah gambut dapat bert ahan berminggu-minggu. Pada tahun dengan kondisi iklim normal, kebakaran a lamiah ditanah gambut, pada iklim yang cukup basah, umu mnya bisa dihindari. Proses emisi pada lahan gambut tidak berhenti sesudah pembukaan hutan. Selama masa budidaya tanaman pertanian, emisi dalam ju mlah tinggi tetap terjadi disebabkan dekomposisi gambut oleh mikroorganisme. Tingkat deko mposisi gambut sangat dipengaruhi oleh kedalaman drainase; semakin dalam drainase, semakin cepat terjadinya dekomposisi gambut. Hooijer et al. (2006) dari review seju mlah literatur mengemukakan 178
Sejarah penelitian gambut dan aspek lingkungan
bahwa, untuk kedalaman drainase antara 30 sampai 120 cm, emisi akan meningkat setinggi 0,91 t CO2 ha-1 tahun -1 untuk setiap penambahan kedalaman drainase sedalam 1 cm. Apabila untuk kelapa sawit drainase rata-ratanya diasumsikan sedalam 60 cm, dengan menggunakan hubungan tersebut maka emisi tahunan adalah sekitar 54,6 t CO2 ha1 . Akan tetapi nilai emisi sangat bervariasi antar berbagai penelitian. Misalnya, penelitian pada perkebunan kelapa sawit dengan kedalaman drainase 80 cm menemukan tingkat emisi setinggi 54 t CO2 ha-1 tahun -1 , namun dari pengukuran emisi di hutan gambut sekunder menemu kan emisi setinggi 127 t CO2 ha-1 tahun -1 . Selanjutnya didapatkan emisi dari sawah gambut di Kalimantan Tengah setinggi 4 t CO2 ha-1 tahun-1 , sedangkan emisi dari sawah gambut di Kalimantan Selatan setinggi 88 t CO2 ha-1 tahun -1 . Diusulkan angka perkiraan emisi dari deko mposisi gambut yang ditanami kelapa sawit setinggi 31.4 ± 14.1 t CO2 ha-1 tahun-1 . Dalam buku ini d igunakan angka perkiraan emisi berdasarkan persamaan Hooijer et al. (2006), yaitu sebesar 54.6 t CO2 ha-1 tahun -1 untuk perkebunan kelapa sawit yang kedalaman drainasenya sekitar 60 cm. Nilai in i setara dengan hasil pengukuran sebesar 55 t CO2 ha-1 tahun -1 dan angka hasil pengukuran Murayama dan Bakar (1996a dan 1996b) sebesar 54 t CO2 ha-1 tahun-1 . Untuk perkebunan karet diasumsi nilai emisi dari dekomposisi gambut sebesar 18 t CO2 ha-1 tahun -1 . Walaupun persamaan Hooijer et al. (2006) berlaku untuk kisaran kedalaman drainase antara 30-120 cm, namun tingkat emisi setinggi 18 t CO2 ha-1 tahun -1 berdasarkan persamaan ini sebanding dengan hasil pengukuran sebesar 19 t CO 2 ha-1 tahun -1 . Berbagai faktor seperti kadar air tanah, pemupukan, dan suhu tanah, sangat mempengaruhi ju mlah emisi selain kedalaman mu ka air tanah gambut. Informasi tent ang berbagai faktor ini diperlukan untuk menyertai data emisi. Selain itu, data pengukuran emisi GRK seperti yang dikutip terdahulu kebanyakan berasal dari pengukuran jangka pendek sehingga memberikan gambaran emisi sesaat yang bisa jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari nilai emisi tahunan yang sebenarnya. Pengukuran emisi GRK jangka panjang dan berulang, diperlukan untuk meningkat kan keyakinan tentang dugaan emisi tahunan yang berasal dari proses dekomposisi gambut in i. Selama masa pertumbuhan tanaman akan terjadi penambatan karbon yang ju mlahnya sangat ditentukan oleh jumlah bio massa tanaman. Tanaman jagung, misalnya, hanya mampu mengumpu lkan sekitar 2-4 t ha-1 karbon dalam bio massa keringnya pada puncak pertumbuhan vegetatif. Akan tetapi ju mlah karbon yang di simpan tanaman dihitung bukan berdasarkan jumlah maksimu m, melain kan berdasarkan rata -rata waktu (time average carbon). Artinya, ju mlah karbon tersimpan harus dirata -ratakan sejak tanah mengalami masa bera (t idak ada tanaman) sampai tanaman mencapai puncak pertumbuhan. Dengan demikian, ju mlah karbon rata-rata waktu yang disimpan dalam biomassa tanaman jagung hanya berkisar antara 1-3 t ha-1 . Kelapa sawit mampu 179
K. Nugroho
menyimpan lebih dari 80 ton C ha -1 . Akan tetapi ju mlah tersebut dicapai setelah 10-15 tahun pertumbuhan sehingga ju mlah karbon rata-rata waktu yang ditambat oleh tanaman kelapa sawit sekitar 60,4 t ha-1 atau rata-rata sekitar 2,44 t C ha -1 tahun -1 dan ekivalen dengan 8,95 t CO2 ha-1 tahun-1 . Penggunaan lahan awal sebelu m lahan gambut dijadikan lahan pertanian, jenis tanaman serta teknik pengelolaan lahan, menentukan jumlah emisi GRK netto yang berasal dari suatu sistem penggunaan lahan. Ringkasan asumsi yang digunakan dalam perhitungan emisi netto dan dari dihitung jumlah emisi netto untuk satu siklus produksi kelapa sawit dan karet selama 25 tahun. Bagian pengelolaan lahan gambut yang perlu dicari adalah gabungan antara “pengurangan emisi” dan “peningkatan produksi”. Kondisi yang seimbang dari pengeloaan dimaksudkan untuk mencapai pengurangan emisi yang sebanyak-banyaknya, tetapi produktivitas juga optimal. Sepert i dalam usaha perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. Ko mponen utama emisi pada perkebunan kelapa sawit adalah deko mposisi gambut yang besarannya antara lain ditentukan oleh kedalaman drainase. Pada perkebunan kelapa sawit kedalaman drainase diasumsikan rata-rata 60 cm untuk mencapai tingkat produktivitas optimal dalam jangka masa produksi yang secara ekonomis memungkinkan (25 tahun). Penghitungan dengan cara prediksi yang mumpuni diperlukan untuk itu. Alternatif pengalihan pemanfaatan lahan, adalah dengan menggunakan komoditas yang berbeda, walaupun hal itu bisa saja mengurangi kesejahteraan rakyat pemakai, dengan rendahnya harga komoditas. Emisi dari deko mposisi gambut perke bunan karet jauh lebih rendah karena tanaman karet, dan karet memerlukan drainase yang jauh lebih dangkal. Ada beberapa alternatif penggunaan lahan untuk komoditas lain yang tidak memerlukan atau memerlukan drainase dangkal (sagu atau padi sawah). Tetapi h al ini tidak berartri menurunkan emisi. Interaksi dalam sistem emisi in i perlu diketahui untum berbagai ko moditas. Peninjauan emisi harus dilakukan dari berbagai aspek. Pemilahan emisi, sekarang ini harus segera dimu lai. Emisi dari satu sektor tidak dapat dituding sebagai penyebab utama, apabila interaksi dalam prosesnya tidak dipertimbangkan. Beberapa feno mena yang sekarang masih perlu digali, adalah konversi penggunaan lahan yang dapat menurunya emisi. Sepert i Emisi dari belukar gambut –perkebunan. Relatif sedikitnya biomassa pada belukar gambut menyebabkan emisi CO 2 dari kebakaran bio massa dan kebakaran lapisan gambut menjadi sedikit pula. Perkebunan lebih efektif mencegah peningkatan emisi. Penurunan tanah, atau Subsiden, perlu dihayati sebagai fenomena perubahan fisik lahan gambut. Penurunan permukaan lahan gambut (subsiden) terjadi segera sesudah lahan gambut didrainase. Penurunan bidang permukaan tanah ini ini perlu d itinjau dari 180
Sejarah penelitian gambut dan aspek lingkungan
segi fisik tanah. Hal-hal yang menjad i penting dalam hubungan karakteris tik fisik lahan gambut atau tanah gambut ini antara lain, ruang pori, sifat spongeous, bulk density, daya hantar air horisontal maupun vertikal, ko mponen bahan (serabut, jenis jaringan, tingkat dekomposisi), luas daya jerap, daya dukung (bearing capacity) dan sebagainya. Hal ini kemudian dipertimbangkan dalam menganalisa kondisi penurunan. Pertama -tama kita tidak dapat mengatakan bahwa penurunan permu kaan tanah, adalah diemisikan. Salah satu aspek lingkungan yang penting adalah hidrologi lahan gambut. Aspe k ini penting untuk mengetahui kondisi gambut menurun kurun waktu (time scaling), mengingat bahwa karakteristik gambut menjadi dinamis dengan adanya perubahan dari waktu ke waktu. Kondisi pasang surut sangat mempengaruhi drainase, pematangan sekaligus emisi dari gambut. Pengaruh kondisi hidrologi tingkat makro, perubahan sistem drainase, hidrologi/pengelolaan air tingkat scheme/tersier sangat mempengaruhi pengeloaan lahan di lahan bertanah gambut. Bila tanah gambut sudah menjadi tanah sawah, maka kondisi hidro logi dan pengelolaan air tingkat petani men jadi penentu terjadi perubahan karakteristik lahan gambut. Salah satu penentu perubahan yang dominan dalam hubungan dengan kondisi hidrologi dan perubahan sifat gambut adalah iklim lahan gambut. Kondisi iklim in i bisa berubah dengan adanya fenomena perubahan iklim. Selain itu kita ketahui dari satu tempat ketempat lain curah hujan di daerah gambut bervariasi. Kondisi perubahan ini dapat dimunculkan dalam suatu bentuk peta seperti peta tipe hujan, Zone agroklimat dan pola curah hujan dan tipe iklim. Untuk memberikan nilai pada suatu penelitian, seperti dilihat dari sejarah penelitian, kita perlu membangun model-model ekologi di lahan gambut, yang mempertimbangkan berbagai aspek seperti struktur hutan gambut, keragaman hayati, kondisi pasang surut, serta hal hal yang berkaitan dengan kondisi lingkungan dekomposisi bahan organik, perubahan dekomposisi secara kimia, termasuk reaksi tanah (pH) dalam kaitannya dengan perubahan lingkungan atau emisi pada khususnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpul an 1.
Sejarah penelitian di lahan gambut dapat digunakan sebagai titik tolak perubahan orientasi tujuan penelitian, serta perbaikan informasi untuk menjawab faktor penentu emisi da produktiv itas lahan gambut
2.
Fenomena aspek lingkungan seperti emisi menggantikan atau mengalihkan fokus pengelolaan lahan gambut nuntuk peningkatan produktivitas y ang berkelanjutan
3.
Subsiden sebagai salah satu karakteristik yang menentukan aspek lingkungan 181
K. Nugroho
4.
Kondisi hidrologi mempengaruhi aspek lingkungan
5.
Perlu model-model ekologi
Saran 1.
Diperlukan penelitian yang sistematik, yang mencakup feno mena emisi pada lahan gambut sekaligus pengelolaan lahan gambut yang produktif dan berkelanjutan.
2.
Pembuatan database penelitian akan membantu pemilihan penelit ian yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA Agus, F. Dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan gambut: potensi untuk pertanian d an aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan Word groforestry Center (ICRAFT). Aminuddin, B. Y. 1992. Tropical peat. Proceedings International Symposium on Tropical Peatland, Kuching, Sarawak, Malaysia, 6-10 May 1991. Diemont, W.H. dan Supardi. 1989. Genesis of Indonesian Lowland peats and possibilities for development. In. ILRI. Sy mp. Lo wland Develop ment in Indonesia, Jakarta, 2431 August 1986, Wageningen, The Netherlands. p. 463-468. Diemont, W.H., H.D. Rijksen, dan M.J. Silv ius. 1991. Develo p ment and conservation of lowland peat areas in Indonesia: how and where?. In Aminuddin, B.Y. (ed.), Tropical Peat. Proc. Int. Sy mp. on Tropical Peatland, Kuching, Sarawak, Malaysia, 6-10 May 1991. p 169-176. Hooijer, A., Sibvius., Wosten, H. And Page S. 2006. Peat CO2 , assessment of CO2 emissions from drained peatlands in South East Asia. Delft Hydraulics report. 3943. Polak, B. 1941. Veenonderzoek in Nederlandsch Indie. 1. Stand en expose der vraagstukken (Peat investigation in the Netherlands Indies). Landbouw XVII :1033-1062. Polak, B. 1948a. Landbouw op veengronden. Landbouw XX :1-50. Polak, B. 1948b. Waarnemingen betreffende het gedrag van cultuurgewassen op veen. Landbouw, XX :249-264. Polak, B. 1949. The Rawa Lakbok (South Priangan, Java). Invest igation into the composition of an eutrophic topogenous bog. Cont. Gen. Agr. Res. Sta. No. 8, Bogor, Indonesia. Polak, B. 1950. Occurrence and fertility of tropical peatsoils in Indonesia. 4th Int. Congr. Soil Sci., Vo l. 2, 183-185, A msterdam, The Netherlands. Polak, B. 1951. Construction and origin of floating islands in the Rawa Pening (Central Java). Cont. Gen. Agr. Res. Sta. No. 121, Bogor, Indonesia.
182
Sejarah penelitian gambut dan aspek lingkungan
Polak, B., dan M. Soepraptohardjo. 1951. Pot and field experiments with maize on acid forest peat from Bo rneo. Cont. Gen. Agr. Res. Sta., no. 104, Bogor. Radjagukguk, B. 1991a. Utilizat ion and management of peatlands in Indonesia for agriculture and forestry. p. 21-27. In A minuddin, B.Y. (ed.), Tropical Peat. Proc. Int. Sy mp. on Tropical Peatland, Kuching, Sarawak, Malaysia, 6-10 Mei 1991. Radjagukguk, B. 1997. Peat Soils of Indonesia: location, classification and problems for sustainability. p. 45-53. In Rieley, J.O., and S.E. Page (ed.). Biodiversity and Sustainibility of Tropical Peatlands. Proceed. Int. Sy mp. on Biodiversity, Environmental Importance, and Sustainability of Trop ical Peat and Peatlands, Palangka Raya, 4-8 September 1995. Radjagukguk, B. dan Bambang Set iadi. 1991b. St rategi pemanfaatan gambut di Indonesia. h. 1- 13. In Muis Lubis, A. et al. (ed.), Pros. Sem. Tanah Gambut untuk perluasan pertanian. Fak. Pertanian, Universitas Islam Su matera Utara, Medan. Rieley, J.O., dan S.E. Page. 1997a. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Proceed. Int. Symp. on Biodiversity, Environ mental Importance, and Sustainability of Tropical Peat and Peat lands, Palangka Raya, 4-8 September 1995. Rieley, J.O., S.E. Page. S.H. Limin, dan S. Winarti. 1997b. The peatland resource of Indonesia, and the Kalimantan Peat Swamp Forest Research Project. p. 37-44. In Rieley, J.O., and S.E. Page (ed.), Biodiversity and Sustainibility of Tropical Peatlands. Proceed. Int. Symp. on Biodiversity, Environ mental Impo rtance, and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands, Palangka Raya, 4 -8 September 1995. Sarwono H. 1996. Pengembangan lahan gambut untuk pertanian, suatu peluang dan tantangan. Orasi Ilmiah Gu ru Besar tetap Ilmu Tanah, Faku ltas Pertanian, IPB. Soepraptohardjo M., and P.M. Driessen. 1976. The lowland peats of Indonesia, a challenge for the future. Peat and Podsolic Soils and their potential for agriculture in Indonesia. Proc. ATA 106 Midterm Seminar. Bulletin 3. Soil Research Institute Bogor. pp 11-19. Widjaja-Adhi I P.G. dan T. Alihamsyah 1998. Pengembangan lahan pasang surut:Potensi, Prospek dan Kendala serta Teknologi Pengelolaannya Untuk Pertanian. Makalah utama, Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia tahun 1998. HI TI Ko mda Jawa Timur.
183
K. Nugroho
184