1
SEJARAH KELAHIRAN MADRASAH DAN KONTRIBUSINYA PADA MASA DINASTI ABBASIYAH
Tanpa Nama
Abstrak: Terdapat beberapa keunggulan dan kemajuan yang dicapai pada masa kejayaan Dinasti Bani Abbasiyah antara lain dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi jauh dari pengaruh bangsa Arab.Hal ini berbeda dengan masa Dinasti Bani Umayyah yang lebih berorientasi pada Arab. Dalam penyelenggaraan pendidikan, Bani Abbas melibatkan berbagai elemen dan golongan, seperti kaum mawali yang pada kenyataannya memiliki kontribusi dan peran besar sehingga peradaban dan ilmu pengetahuan mampu mencapai masa keemasan, yaitu dengan lahirnya lembaga madrasah secara independen, sebuah lembaga pendidikan yang tercipta dari proses panjang. Madrasah yang pada mulanya berasal dari pendidikan non formal yang nebeng di surau-surau atau masjid-masjid, setelah mengalami pergeseran menjadi pendidikan formal yang mandiri mampu menciptakan atmosfer pendidikan yang akademis dan bertanggungjawab. Kata Kunci: Madrasah, Pendidikan Islam, Dinasti Abbasiyah.
Pendahuluan Pasca Rasulullah saw wafat, tampuk pemerintahan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin, yaitu empat khalifah yang terpilih. Mereka adalah khalifah Abu Bakar ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Masa Khulafaur Rasyidin ini relatif singkat yaitu 32 tahun, namun demikian banyak upaya yang dilakukan termasuk perluasan wilayah. Masa kekhalifahan ini diakhiri dengan wafatnya Ali bin Abi Thalib, sehingga bentuk pemerintahannyapun berubah dari sistem kekhalifahan menjadi kerajaan (dinasti). Meski terjadi perubahan bentuk pemerintahan, namun tidak membuat ajaran Islam berubah, justru peradaban mengalami kejayaan yang pesat. Dibawah pemerintahan Dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah inilah Islam mengalami perkembangan di berbagai sektor, inilah masa keemasan umat Islam. Kendati demikian, proses peralihan kekuasaan tidak pernah luput dari persoalan intrik politik dan kepentingan, semisal peralihan kekuasaan dari Dinasti Umayyah menuju Dinasti Abbasiyah yang terjadi dengan pergolakan politik dan perlawanan sengit.
2 Perebutan kekuasaan ini sebagai imbas dari sebuah keyakinan khilafah yang telah dipropagandakan. Ketika kekuasaan telah dicapai, semisal pada masa Abbasiyah, maka upaya membangun stabilitas politik dan ekonomi dikembangkan dengan giat, termasuk proses pendidikan generasi. Pada masa inipula, institusi pendidikan madrasah didirikan sebagai kesinambungan dari pendidikan keagamaan di masjid. Terkait kelahiran madrasah pada masa Abbasiyah ini, sebenarnya terdapat beberapa faktor dan analisis tentangnya dan tulisan ini akan mengulasnya. Sejarah Berdirinya Dinasti Bani Abbasiyah Nama Dinasti Abbasiyah yang didirikan oleh Abdullah as-Shaffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas pada tahun 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M. Diambil dari nama al-Abbas yang merupakan paman Nabi. Meskipun sama-sama termasuk di dalam keluarga Bani Hasyim, tetapi keturunan alAbbas mengklaim mereka lebih berhak menggantikan kedudukan Nabi sebagai pemimpin kaum muslimin dari para keturunan Ali bin Abi Thalib, sepupu dan sekaligus menantu Nabi, dengan alasan bahwa apabila Paman Nabi masih ada, maka pewaris itu harus jatuh kepada paman Nabi (al-Abbas), bukan kepada anak paman (Ali). Demikian juga keturunan anak perempuan, tidak berhak menerima warisan selama ‘ashabah (keturunan dari pihak ayah) masih ada.1 Sebenarnya pemikiran mengenai pemindahan khilafah dikalangan Abbasiyah tidak muncul ketika Nabi meninggal. Pemikiran tersebut baru mengemukakan pada saat-saat terakhir kehidupan Abu Hasyim Ibnu Muhammad Ibnu al-Hanafiyah, cucu Ali bin Abi Thalib dan sekaligus pemimpin al-Syiah al-Kaisaniyah, kelompok terbesar dari keturunan Ali yang melakukan perlawanan terhadap Umayyah. Pada masa khalifah Sulaiman Ibnu Abdul Malik tahun 716, Abu Hasyim diundang ke istananya. Namun ketika sedang dalam perjalanan pulang, Abu Hasyim diracuni sehingga setelah mengetahui ajalnya telah dekat, dia mengalihkan arah tujuannya ke Humaimah, dan berwasiat kepada Muhammad Ibnu Ali. Saat itu, Abu Hasyim membeberkan rahasia-rahasia pergerakan perlawanan al-Hasyimiah, menyerahkan hak khilafah, memberikan nama-nama para misionaris, baik yang ada di kufah maupun lainnya, dan menyerahkan surat-surat untuk dikirimkan kepada mereka.2 Dalam meneruskan misinya, Muhammad Ibnu Ali melakukan propagandanya dengan hati-hati. Ketika diketahui, dia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara sampai akhir hayatnya, dia selalu konsisten dengan gerakan dan pendiriannya. Selanjutnya, gerakan ini diteruskan oleh putranya, Ibrahim yang kelak dipanggil dengan al-Imam untuk meneruskan perjuangan. Di bawah kepemimpinan al-Imam, propaganda Abbasiyah lebih intensif dan mencapai kemajuan yang cukup signifikan.3 Gerakan yang digalang oleh keluarga Abbasiyah ini sebenarnya bersifat rahasia, kemudian berlanjut secara terang-terangan setelah merasa punya kekuatan dan 1 Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009), h. 133. 2Ibid., h. 134. 3Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 108.
3 dukungan rakyat dengan puncaknya melakukan kontak senjata di suatu tempat bernama Zab yang terletak antara kota Mousil dan Toriel. Dalam pertempuran sengit itu, pasukan Marwan dari Ummayyah mengalami kekalahan yang sangat berat, sehingga Khalifah Marwan melarikan diri ke Damaskus kemudian terus ke Mesir dan terbunuh di sana. Marwan adalah khalifat terakhir dari Dinasti Umayyah. Dengan terbunuhnya Khalifah Marwan, maka dinasti Umayah berakhir dan lahirlah dinasti baru yang perjuangannya menuju kekhalifahan sangat panjang.4 Untuk mewujudkan negara yang mapan, maka tatanan negara harus dibenahi. Perombakan demi perombakan dilakukan sebagai bagian dari proses revolusi yang sebelumnya telah dicapai. Dengan berdirinya Daulah Abbasiyah di bawah kekhalifahan Abu Abbas al-Saffah, maka tugas utama baginya adalah merumuskan dasar-dasar pemerintahan yang dilanjutkan oleh Abu Ja'far al-Mansur.5 Untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, maka ibu kota yang sebelumnya di Damaskus pada masa Bani Umawiyah dipindahkan ke Baghdad pada tahun 767 M. Pada masa itu, Baghdad adalah pusat hilir mudiknya orang-orang Arab dan non Arab, baik dari Persia maupun dari negeri-negeri yang jauh untuk keperluan dagang dan ekonomi. Dengan begitu, maka perpindahan dan interaksi ini menyebabkan Abbasiyah banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Persia.6 Khalifah menertibkan pemerintahannya dengan mengangkat aparat yang duduk dalam lembaga eksekutif dan yudikatif. Dalam lembaga eksekutif, dia mengangkat wazir. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, kepolisian negara dan juga memantapkan angkatan bersenjata,7 yang nota bene bukan orangorang Arab an sich. Bahkan tatanan dan dasar pemerintahan ini sebelumnya tidak banyak diterapkan oleh Daulah Umawiyah dalam pemerintahannya. Dus, dasar-dasar pemerintahan ini telah diadopsi oleh Daulah Abbasiyah dari tradisi Persia pra Islam dan dikembangkan dalam sebuah sistem daulah yang bernaung di bawah payung Islam. Maka pada paruh pertama pemerintahan Abbasiyah ini, telah dilakukan pergeseran paradigma khalifah yang sedarinya merupakan otoritas penuh sang khalifah, kini berubah dengan diberlakukannya rekruitmen seorang perdana menteri (wazir) yang membawahi kepala-kepala departemen. Beberapa departemen yang di bawahi oleh wazir tersebut adalah: 1) Departemen Keuangan (Diwan al-Kharaj). 2) Departemen Kehakiman (Diwan al-Diyah). 3) Departemen Ketentaraan (Diwan alJund). Dan 4) Departemen Perhubungan (Diwan al-Barid). Sedangkan Sekretaris Negara dipimpin oleh seorang Raisu al-Kuttab dengan bantuan beberapa bawahan: 1) Sekretaris Urusan Persuratan (Katibu al-Rasail). 2) Sekretaris Urusan Keuangan (Katibu al-Kharaj). 3) Sekretaris Urusan Tentara (Katibu al-Jund). 4) Sekretaris Urusan Polisi (Katibu al-Syurtah). 5) Sekretaris Urusan Kehakiman (Katibu al-Qadha). 8 Wazir yang 4Ibid.,
h. 110-111. Redaksi, EnsiklopediIslam (Jakarta; PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), h. 6. 6Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta; UI Press, 1985), h. 69. 7Dewan Redaksi, Ensiklopedi, h. 5. 8A. Hasyimi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta; Bulan Bintang), h. 231. 5Dewan
4 pertama kali dipilih adalah Khalid bin Barmak, seorang yang berasal dari Balkh (Bactral) Persia.9 Keluarga Barmak yang berasal dari Balkh, pusat ilmu pengetahuan dan falsafah Yunani dan Persia, telah mempunyai pengaruh dalam perkembangan falsafah Yunani dan Persia di Bagdad. Mereka di samping menjadi wazir, secara turun temurun juga menjadi pendidik dari anak-anak khalifah.10 Otomatis pendidikan ala Persia yang diberikan akhirnya terpatri dalam sanubari "calon-calon khalifah" mendatang. Konsep-konsep pemerintahan ala Persia juga menjadi kental pada beberapa khalifah Abbasiyah, karena mereka telah menerapkan sistem kawin silang. Hal ini dengan mengambil wanita-wanita Persia sebagai isteri khalifah. Dari perkawinannya ini, akhirnya melahirkan khalifah-khalifah baru yang berdarah Persia, al-Ma'mun misalnya, 11 sehingga "karena" memiliki darah Persia, pemerintahan al-Ma'mun akhirnya banyak memberikan perhatian pada peradaban dan kebudayaan Islam Persia serta sistem pemerintahannya pula. Sejarah Lahirnya Madrasah pada Masa Abbasiyah Setidaknya berbagai lembaga pendidikan telah muncul jauh sebelum dinasti Abbasiyah berkuasa. Pada masa Nabi, suffah adalah suatu tempat yang dipakai untuk aktifitas pendidikan, biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru atau mereka yang tergolong miskin. Pendidikan Islam baru pada taraf pembinaan di bawah bimbingan langsung Nabi Muhammad, kemudian terus tumbuh dan berkembang pada masa Khulafaur Rasyidien dan masa Umayyah. Pendidikan diberikan sesuai dengan kondisi masyarakat pada waktu itu dan tempatnyapun terbatas, yaitu di rumah sahabat, rumah Nabi dan di Masjid. Sementara dalam perkembangannya, beberapa lembaga yang muncul di masa Islam Klasik, antara lain; Dar al-Hikmah, al-Khanat, al-Bimaristan, al-Ribat, dan lain-lain. Lembaga-lembaga pendidikan ini meski tidak terstruktur dengan maksimal, namun mampu memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan intelektual Islam. Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya muncul lembaga pendidikan yang tertata rapi dan proses pendidikan serta pengajarannya berlangsung secara lebih sistematis. Inilah yang kemudian disebut madrasah, lembaga pendidikan yang dapat dikatakan sebagai puncak dari perkembangan lembaga pendidikan, tempat proses belajar-mengajar berlangsung dalam dunia Islam.12 Lembaga-lembaga pendidikan yang pernah muncul mendahului berdirinya madrasah dalam sejarah Islam klasik ialah Masjid, Kuttab, Rumah Ulama dan Halaqah al-Dars. Keempat bentuk lembaga pendidikan Islam yang mulai tumbuh dan berkembang di masa awal Islam, yaitu pada masa al-Khulafaur Rasyidien dan Bani Umayyah terus berkembang dan berlanjut pada masa-masa sesudahnya, bahkan masih dapat dilihat dan diamati pada sekarang ini. Namun pada masa dinasti 9Harun 10Ibid.,
Nasution, Islam …, h. 68. h. 69.
11Ibid. 12Badri
Yatim, dkk. Sejarah Perkembangan Madrasah (Jakarta: Depag RI, 2000), h. 27.
5 Abbasiyah (750-1258 M), lembaga-lembaga pendidikan Islam semakin berkembang dan muncul dalam bentuk yang semakin beragam. Hal itu sejalan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan Islam, menyusul keberhasilan gerakan penerjemahan yang sangat menentukan perkembangan ilmu-ilmu rasional dalam Islam. Sebelum berdirinya madrasah, puncak perkembangan lembaga pendidikan dalam Islam pada masa bani Abbasiyah telah tumbuh dan berkembang bentuk-bentuk baru lembaga pendidikan, diantaranya: Dar al-Kutub (perpustakaan), observatorium, dan rumah sakit menjadi tempat pendidikan dan pengajaran ilmuilmu rasional (istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada ilmu-ilmu umum), maka masjid khan dan ribat adalah tempat yang digunakan sebagai pusat pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan Islam.13 Pada masa permulaan dinasti Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran Islam berkembang dengan sangat hebatnya di seluruh negara-negara Islam, sehingga lahirlah sekolah-sekolah yang tersebar dari kota sampai desa-desa.14 Sekolah-sekolah yang dimaksud dalam perkembangannya merupakan hasil evolusi dari masjid sebagai lembaga pendidikan. Dalam hal ini, Nurcholis Madjid mengatakan bahwa Masjid Nabawi merupakan tonggak sejarah terpenting bagi ummat Islam. Di Masjid Nabawi itulah Nabi Muhammad saw melaksanakan seluruh misi beliau dari mulai mengajar, latihan militer, diplomasi, musyawarah, dan sebagainya. 15 Sebelum berpindahnya lembaga pendidikan Islam dari masjid ke madrasah, sebenarnya masjid sendiri secara fisik telah mengalami evolusi. Lamanya pendidikan di dalam masjid menuntut tersedianya tempat tinggal permanen bagi mahasiswa yang datang dari jauh. Kebutuhan ini dijawab dengan pengenalan khan (asrama) di samping masjid yang dipelopori oleh Badr Ibn Hasnawayh. Maka dalam hal ini, madrasah merupakan perkembangan dari masjid dan masjid yang berasrama (masjid khan).16 Seiring dengan perkembangan peradaban Islam, pendidikan yang telah menjadi perhatian utama sejak masa awal mengalami kemajuan yang pesat. Para bangsawan dan dermawan memberikan perhatian penuh terhadap wilayah ini, mensupport dan mendanai berbagai jaringan kegiatan-kegiatan ilmiah, demi menunjang semangat dakwah pendidikan sehingga pemikiran-pemikiran tentang diperlukannya tempat yang lebih memadai dari sebuah masjid menjadi fokus utama. Bagaimanapun, masjid adalah sarana tempat ibadah.Pendidikan, fasilitas, model pendidikan dan pengajaran, kurikulum menjadi sangat terbatas. Pendidikan di masjid tidak mampu menyerap guru-guru profesional, fasilitis yang terbatas menjadikan kurang kondusif. Lahirnya lembaga pendidikan formal dalam hal ini madrasah lebih sebagai pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang awalnya berlangsung di masjid. Sebuah faktor eksternal yang juga berperan dalam pengembangan konsep baru ini adalah kenyataan 13Hasan
al-Basya, Dirasah fi al-Hadarah al-Islamiyyah(Cairo:Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1975), h. 99, sebagaimana dikutip dalam Mujianto Solichin, “Dinasti Bani Abbasiyah Perkembangan Lembaga Pendidikan Madrasah Islam 750-1258 M,” dalam Jurnal Religi (Vol 4 No. 2 Januari 2011), h. 10. 14Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:PT. Hidakarya Agung,1990), h. 46. 15Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 34. 16Mujianto Solichin, “Dinasti Bani Abbasiyah, h. 11.
6 bahwa kemajuan dan penyebaran pengetahuan melahirkan kelompok orang yang kesulitan membangun kehidupan yang layak dengan pengetahuan abstrak mereka. Demi memajukan pendidikan dan menyediakan penghasilan kelompok ini adalah bagian dari alasan didirikannya madrasah-madrasah.17 Terdapat beberapa faktor yang mendukung didirikannya madrasah pada masa Abbasiyah, yaitu: 1. Adanya halaqah-halaqah atau lingkar belajar yang didalamnya mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, yaitu terjadi beberapa diskusi dan perdebatan, kegiatan proses belajar mengajar yang membutuhkan keaktifan dari dua belah pihak antara guru dan murid sulit terwujud karena menimbulkan kebisingan bagi yang sedang khidmat beribadah. Karena itu, upaya untuk memindahkan halaqah-halaqah tersebut keluar dari masjid, maka didirikanlah kelas-kelas yang dimungkinkan tidak mengganggu ritual ibadah. Namun lama kelamaan muncul keinginan untuk benar-benar memisahkan lembaga pendidikan dari masjid. Pendirian madrasah secara mandiri atau terpisah dari masjid menjadi mutlak. Dari sinilah muncul madrasah. 2. Akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan, baik agama maupun pengetahuan umum (saat itu dikenal dengan al-ulum al-aqliyyah/ ilmu-ilmu rasional), membludaknya minat murid pada ilmu ini, maka semakin banyak diperlukan ruangan-ruangan untuk menampung dan mengajar, sehingga masjid tidak mampu menampung dan mengakomodasi kebutuhan tersebut. Munculnya statemen bahwa pengetahuan umum sebaiknya tidak diajarkan di masjid, maka madrasah menjadi pilihan yang ideal demi kelangsungan pendidikan secara komprehensif. 3. Adanya perbedaan gagasan antara Syi’ah dan Sunni, dimana Syi’ah telah tumbuh menjadi paham dan gerakan keagamaan yang kuat, aktif pada gerakan politik juga menyebarkan ide-idenya secara sistematis melalui lembaga pendidikan. Hal ini bertentangan dengan kalangan Sunni. Maka bagi ahli fiqh, memisahkan diri mendirikan madrasah dengan tujuan untuk mengembangkan sekaligus mempertahankan paham ahlussunnah.18 4. Kepentingan politik menjadi salah satu munculnya didirikan madrasah, yaitu pada masa Turki Saljuq berpengaruh di dinasti Abbasiyah ingin mempertahankan kedudukan mereka dalam roda pemerintahan, mereka berusaha mencari simpati kaum muslimin dengan jalan memperhatikan pendidikan yaitu menfasilitasi ruang belajar, menggaji guru-guru.19 Tidak diketahui secara tepat kapan sesungguhnya awal munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan sebagaimana yang kita kenal hingga saat ini. Hasan Ibrahim berpendapat bahwa madrasah belum ada sebelum abad 4 (sebelum 10 M). Hal senada juga disampaikan oleh al-Maqrizi bahwa madrasah yang mula-mula berdiri 17Ibid. 18 Muhammad Rofa’at Said, Rasulullah SAW. Profil Seorang Pendidik: Metodologi Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta:Firdaus,1994), h. 93. 19Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1994), h. 100-101.
7 adalah al-Baihaqiyyah di Naisapur oleh Abu Hasan ‘Ali al-Baihaqi yang wafat pada 414H.20 Pendapat lain mengatakan bahwa madrasah muncul pertama kali di dunia Islam adalah madrasah Nizamiyyah, yang didirikan oleh Nizam al-Mulk seorang penguasa dari Bani Saljuq (465-485), mendirikan 2 madrasah yang terkenal dengan nama madrasah Nizamiyyah di Baghdad dan Naisapur, kemudian di berbagai wilayah yang dikuasainya. 21 Meski demikian, terdapat pendapat lain yang menyebutkan bahwa Nizam al-Mulk bukanlah orang pertama yang mendirikan madrasah di dunia, dia hanyalah pemberi beasiswa dan penggaji para guru di lembaga Nizamiyyah. Pendidikan Islam Berjaya: Kontribusi Madrasah Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang sempat membawa kejayaan umat Islam pada masanya. Zaman kejayaan Islam dicapai pada masa-masa dinasti ini berkuasa. Pada masa ini pula umat Islam banyak melakukan kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan. Kerajaan Islam di Timur yang berpusat di Baghdad telah menunjukkan kemajuan dalam segala cabang ilmu pengetahuan. Banyak tokoh berpengaruh yang dilahirkan dari dinasti Abbasiyyah ini, sehingga banyak madrasahmadrasah dijumpai dan telah melahirkan intelektual-intelektual sejati. Di kerajaan Islam sebelah Barat, terutama Spanyol (Andalusia), muncul ulamaulama dan filsuf Islam terkenal, seperti Ibnu Bajah, Ibn Hazm, Ibn Thufail, Ibnu Arabi, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Khaldun. Di zamannyalah berdatangan dari berbagai bangsa, seperti orang Itali belajar dan berguru di Spanyol, yang dengan kehadirannya maka nama Ibnu Rusyd terkenal hingga di seluruh banua Eropa, yaitu tentang usaha perpaduannya antara agama dan aql. Para ahli sejarah sepakat bahwa zaman kemajuan dinasti Abbasiyah telah mulai terlihat sejak menjelang kekuasaan Abu Mansur dan terus berkembang pada khalifah selanjutnya dan mengalami puncak pada masa khalifah kelima yaitu khalifah Harun al-Rasyid. Popularitas dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Masa kejayaan dan perkembangannya dimaksud terutama pada sisi perkembangan ilmu pengetahuan. Kekayaan yang dimanfaatkan Harun al_Rasyid untuk mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan, lembaga sosial, kedokteran, farmasi, pabrik-pabrik peluru pertama kali dikenal dalam sejarah dunia. 22 Kesejeahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan serta kesusateraan mencapai keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menjadi negara yang tak tertandingi (the golden age). Al-Ma’mun pengganti al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat mencintai ilmu. Dia secara maksimal menunjukkan kecintaan pada ilmu pengetahuan yaitu dengan gencar melakukan penterjemahan dan pengkajian buku-buku Yunani. Dia meneruskan dan membesarkan sekolah yang didirikan ayahnya yang sangat terkenal 20Sebagaimana
dikutip oleh Mujianto Solichin, “Dinasti Bani Abbasiyah, h. 13.
21Ibid. 22Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, edisi 3 (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1995), h. 13-14.
8 yaitu Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan menjadi perpustakaan umum. Di samping mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, di perguruan tinggi ini juga mengajarkan ilmuilmu hikmah, yaitu ilmu alam, kimia, falaq, dan sebagainya yang biasa disebut dengan the faculty of sciences.23 Juga didirikannya Darul Ilmi yang berisi buku-buku yang tidak dapat ditemukan di perpustakaan lainnya juga menjadi magnet tersendiri bagi dinasti Abbasiyah. Pada masa al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, ke kota inilah para pencari ilmu berduyun-duyun, sehingga kota ini menjadi kota yang bersinar, memancarkan sinar kebudayaan dan peradaban Islam ke penjuru dunia. Beberapa sarana pendidikan pada masa Abbasiyah ini, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Madrasah, madrasah yang terkenal yaitu madrasah Annidzamiyyah. Konon, bangunan madrasah tersebut tersebar luas di kota Baghdad, Balkan, Muro, Naisabur, dan lain-lain. 2. Kuttab, tempat belajar bagi para siswa sekolah dasar dan menengah. 3. Majlis Munadharah, tempat pertemuan para pujangga ilmuan, para ulama, cendekiawan, para filsuf dalam menyeminarkan dan mengkaji disiplin ilmu. 4. Darul Ilmi dan Baitul Hikmah, gedung perpustakaan pusat yang memiliki koleksi terlengkap.24 Masa kejayaan dinasti Abbasiyyah diwarnai dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan secara cepat. Berkembangnya ilmu pengetahuan tentu tidak terlepas dari proses pendidikan, karena melalui pendidikanlah ilmu pengetahuan dapat diwariskan dan ditransformasikan. Beberapa faktor yang mendukung maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan pendidikan masa dinasti Abbasiyah sebagaimana diulas oleh Syafi’ah Suhaimi25 adalah sebagai berikut: Pertama, terjadinya Percampuran Kebudayaan. Masuknya ilmu-ilmu Yunani ke dalam Islam menjadi embrio potensial untuk berkembangnya ilmu pengetahuan dalam Islam, khususnya pada masa dinasti Abbasiyah. Kota Baghdad menjadi sangat makmur dan diwarnai dengan pembangunan-pembangunan, efek dari penterjemahan-penterjemahan bahasa Yunani ke bahasa Arab juga memberikan nilai tersendiri. Orang-orang luar yang mencari ilmu ke Baghdad juga belajar bahasa Arab, mereka menikmati kemakmuran Baghdad, mereka berinteraksi sosial dengan hubungan yang harmonis dari keadilan penguasa Abbasiyyah. Keadaan ini menjadikan orang Persia berbondong-bondong hijrah ke Baghdad, meski mereka seorang negarawan, ahli hukum, ahli ilmu, bahkan orang jelata. Khalifah memberikan mereka kedudukan, sehingga pengetahuan mereka dapat berpindah dan dinikmati. Kedua, kehadiran Mawali dalam lingkungan Dinasti Abbasiyah. Satu hal yang menarik dari pesatnya ilmu pengetahuan di dinasti Abbasiyyah adalah mayoritas 23Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, h. 62. As’ad, Sejarah Kebudayaan Islam (Bandung: CV Amirco, 1994), h. 25-26. 25 Syafi’ah Suhaimi, “Pendidikan Islam pada Masa Kejayaan Abbasiyah,” Annida Jurnal Ilmiah Pemikiran Islam (Vol 28 No. 97 September-Oktober 2003), h. 43-45. 24Mahrus
9 orang-orang mawali yang fokus pada keilmuan, terutama orang-orang dari Persia. Bahasa adalah satu-satunya media komunikasi untuk berinteraksi dengan sesama kaum muslimin sampai kekhalifahan Abbasiyah dari Baghdad pada abad 7 H lenyap di tangan orang-orang Mongol. Para mawali memiliki jasa saat merebut kekuasaan dari tangan Bani Umayyah, karena itu mereka ingin bersama-sama dalam membangun negara di bawah pemerintahan Abbasiyyah. Mereka mencurahkan perhatian, kemampuan dan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Di antara mawali tersebut, banyak golongan dari orangtua yang telah berpengalaman sebagai politisi dan ilmuan. Keadaan ini diperkuat oleh sikap dinasti Abbasiyyah yang ofensif menghilangkan Arabisme yang melekat pada masa dinasti Umayyah, sehingga hal ini menjadi salah satu ciri khas yang membedakan antara dinasti Abbasiyyah dan dinasti Umayyah. Ketiga, adanya upaya penterjemahan setiap ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab. Dorongan yang muncul dari pihak penguasa untuk melakukan penterjemahan segenap ilmu pengetahuan dari beberapa ahli Irak, Persia, Syam dan Hindia ke dalam bahasa Arab. Khalifah sangat memotivasi proyek penterjemahan dengan memberikan imbalan (upah), status dan ukuran kemuliaan seseorang. Upaya ini mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat terutama orang Syiria, Persi yang ahli tentang penterjemahan ilmu-ilmu Yunani yaitu tentang filsafat. Keempat, pengembangan Ilmu Pengetahuan. Sebagian ilmu pengetahuan khususnya ilmu agama telah tumbuh pada masa khalifah Umayyah, seperti: fiqh, pembukuan hadis, dan sebagainya. Ini merupakan langkah awal yang memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu agama pada masa Abbasiyyah. Pada masa Rasulullah, hadis belum dibukukan, bahkan Rasulullah melarang untuk menuliskannya karena khawatir terjadi percampuran dengan al-Qur’an. Jumhur ulama mengatakan bahwa Umar bin Abdul Azis adalah orang yang pertama memperlihatkan penulisan dan pembukuan hadis pada awal abad II H. Dia berkata kepada Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazmin, lihatlah hadis-hadis Rasulullah kemudian tulislah, karena saya takut terputusnya ilmu dengan meninggalnya para ulama. Dengan demikian, apa yang sudah dirintis oleh dinasti Umayyah dapat diteruskan dan dikembangkan pada dinasti Abbasiyyah, sehingga ilmu pengetahuan tersebut semakin maju dan berkembang. Imam-imam madzhab hukum empat juga hidup pada masa dinasti Abbasiyyah. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kuffah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang kehidupannya telah mencapai tingkat kemajuan yang tinggi, sehingga madzhab ini cenderung bersifat rasional dari pada hadis. Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M) banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat madmah. Pendapat dua tokoh madzhab hukum ditengahi oleh Imam Syafi’i (767-820 M) dan Imam Ibn Hambal (780-855 M).
10 Penutup Madrasah sebagai lembaga pendidikan formal yang telah melewati berbagai proses panjang, menjadi lembaga pendidikan produk dinasti Abbasiyyah yang memiliki kontribusi besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dimensi perjalanan panjang madrasah yang berliku dan melelahkan dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan telah membuat decak kagum bagi semua orang pada masa itu yang intens dan konsent pada disiplin keilmuan. Kehadiran madrasah di dunia Islam merupakan salah satu nilai termahal yang dimiliki umat Islam, sehingga Islam pada masa ini mencapai golden age.
11
DAFTAR PUSTAKA
As’ad, Mahrus. Sejarah Kebudayaan Islam.Bandung: CV Amirco, 1994. Al-Basya, Hasan. Dirasah fi al-Hadarah al-Islamiyyah. Cairo:Dar al-Nahdah al‘Arabiyyah, 1975. Dewan Redaksi. Ensiklopedi Islam.Jakarta; PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999. Fu’adi, Imam. Sejarah Peradaban Islam.Yogyakarta: Teras, 2011. Hasyimi, A. Sejarah Kebudayaan Islam.Jakarta; Bulan Bintang. Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, edisi 3. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1995. Madjid, Nurcholis. Kaki Langit Peradaban Islam.Jakarta: Paramadina, 1997. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.Jakarta; UI Press, 1985. Rofiq, Choirul. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern.Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009. Said, Muhammad Rofa’at. Rasulullah SAW. Profil Seorang Pendidik: Metodologi Pendidikan dan Pengajaran. Jakarta:Firdaus,1994. Solichin, Mujianto. “Dinasti Bani Abbasiyah Perkembangan Lembaga Pendidikan Madrasah Islam 750-1258 M,” dalam Jurnal Religi.Vol 4 No. 2 Januari 2011. Suhaimi, Syafi’ah. “Pendidikan Islam pada Masa Kejayaan Abbasiyah,” Annida Jurnal Ilmiah Pemikiran Islam.Vol 28 No. 97 September-Oktober 2003. Yatim, Badri. dkk. Sejarah Perkembangan Madrasah.Jakarta: Depag RI, 2000. Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta:PT. Hidakarya Agung,1990. Zuhairini. dkk. Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta: Bina Aksara, 1994.