UNIVERSITAS INDONESIA
Perkembangan Puisi Arab Pada Masa Dinasti Abbasiyah
MAKALAH NON-SEMINAR
Annisa Candra Kirana 1206254050
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Sastra Arab Depok, Mei 2016
Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
1 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
2 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
3 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
PERKEMBANGAN PUISI ARAB PADA MASA DINASTI ABBASIYAH Annisa Candra Kirana Program Studi Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Karya ilmiah ini membahas mengenai Perkembangan Puisi Arab pada Zaman Dinasti Abbasiyah. Metode yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah metode studi pustaka dan metode deskriptif. Menurut Ahmad Asy-Syayib, puisi Arab adalah ucapan atau tulisan yang memiliki wazan atau bahr (mengikuti prosodi atau ritme gaya lama) dan qafiyah (rima akhir atau kesesuaian akhir baris/satr) serta unsur ekspresi rasa dan imajinasi yang harus lebih dominan dibanding prosa. Puisi atau syair sangat penting kedudukannya di dunia Arab. Pada masa Dinasti Abbasiyah puisi berkembang dengan pesat. Hal ini disebabkan adanya dukungan dari para khalifah, semakin tinggi nilai sebuah puisi maka semakin tinggi pula kedudukan penyair tersebut. Penyair-penyair hebat banyak bermunculan pada masa ini, seperti: Abu Tamam, Al-Mutanabbi, dan Al-Buhturi. Karakteristik puisi pada zaman ini tidak berbeda jauh dibandingkan pada masamasa sebelumnya. Terjadinya percampuran kebudayaan antara kebudayaan Arab dengan kebudayaan non-Arab menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi puisi. Pada zaman Abbasiyah, para penyair terutama keturunan non-Arab memperkenalkan beberapa wazan baru yang sesuai dengan puisi Arab. Wazan baru ini terbagi menjadi dua, yaitu wazan yang diubah dari wazan lama dan wazan asing atau buhur lama. Di masa ini, terdapat tema-tema puisi baru, seperti tema pemujaan arak, ghazal lelaki, zuhud, syu’ubiyyah, dan tema zandaqah. Kata kunci; Dinasti Abbasiyah, Puisi Arab, Tema Puisi.
THE DEVELOPMENT OF ARABIC POETRY AT ABBASID PERIOD
Abstract This paper discusses about the development of Arabic Poetry in the Age of the Abbasid dynasty. The method used in writing this journal is book study method and descriptive method. According to Ahmad Ash-Syayib, Arabic poetry is spoken or written that has wazan or bahr (follow the prosody or rhythm of the old style) and qafiyah (rima end or suitability end of line / satr) as well as elements of the expression of flavor and imagination should be more dominant than prose. Poetry or syair has very important position in the Arab world. During the Abbasid dynasty poetry thrived. This is due to the support of the caliphs, the higher the value of a poem, the higher the position of the poet. Many great poets to emerge during this period, such as: Abu Tamam, AlMutanabbi and Al-Buhturi. Characteristics of poetry in this era is not much different than in 4 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
previous times. The cultural cauldron of Arab culture with non-Arab cultures became one of the factors that influence the poetry. In the Abbasid era poets mainly non-Arab descent introduces several new wazan that correspond to Arabic poetry. This new wazan divided into two, namely wazan converted from old wazan and foreign wazan or old buhur. At this time, there are themes of new poems, such as the theme of the cult wine, ghazal man, ascetic, syu'ubiyyah and zandaqah theme. Keyword: Abbasid dynasty, Arabic Poetry, Poetry Theme.
Pendahuluan Dinasti Abbasiyah mulai pada pemerintahan Abu al-Abbas as-Saffah (132 H) dan diakhiri dengan jatuhnya Kota Baghdad di tangan orang-orang Mongol pada 656 H.1 Dinasti Abbasiyah memiliki tingkat intelektual yang tinggi dan mereka mencapai sukses yang besar. Banyak penyair, ahli bahasa, penafsir, sejarawan, ahli ilmu bumi, dan dokter yang berasal dari kelompok ini. Mereka memakai Bahasa Arab sebagai alat untuk mengungkapkan kemampuan intelektual mereka, sehingga Bahasa Arab berkembang dengan pesat. Perkembangan Bahasa Arab ini berhubungan dengan kesusastraan pada zaman itu. Sastra Arab mengalami masa keemasannnya di bawah Dinasti Abbasiyah.2 Pada waktu itu, bahasa Arab sudah dikodifikasi dan diperkaya melalui media terjemahan. Puisi tidak pernah kehilangan kedudukan pentingnya dalam masyarakat muslimin, namun puisi tidak dikembangkan sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dalam seluruh cabangnya. Kesenjangan ini diisi oleh prosa dengan rapi dan tepat oleh sejumlah besar pakar yang banyak muncul dari berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang sastra tercatat nama Al-Jahiz, Ibn Qutaybah, Al-Tanukhi, dan Al-Tauhidi, yang mengangkat cabang sastra ke tempat yang tinggi yang belum pernah dicapai sebelumya. Di bidang kritik sastra terdapat nama Abu Hilal Al-Askari dan Ibn Rashiq.3 Adanya percampuran antara kebudayaan Arab dengan kebudayaan Persia, maka muncul cabang ilmu bahasa Arab seperti Ilmu Balaghah, Ilmu Arudh, Ilmu Ma’any dan Kesusastraan
1
Males Sutiasumarga, Kesusastraan Arab: Asal Mula dan Perkembangannya, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2001), hlm. 73. 2 Anwar G Chejne, The Arabic Language: Its Role In History, (Minnesota: University of Minnesota Press, 1969), hlm. 78-80. 3 Ibid., hlm. 80-81.
5 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
Arab. Keadaan syair Arab di masa pemerintahan Abbasiyah jauh lebih luas pemikirannya, ditambah lagi dengan pemikiran filsafat dan kemewahan hidup di kalangan istana. Semua unsur ini menambah luas bahasa dan daya khayal penyair Arab yang lahir di masa itu.4 Karya tulis ini juga bertujuan untuk mengungkapkan karakteristik puisi pada masa pemerintahan Abbasiyah, terutama dari segi tema. Penulis akan memaparkan penyair-penyair yang terkenal pada zaman itu. Penulis mencoba memberikan pemaparan mengenai perkembangan puisi Arab.
Tinjauan Teoretis Dalam Bahasa Arab, sastra disebut dengan adab. Secara leksikal kata adab selain bermakna sastra, juga bermakna etika, tata cara, filologi, kemanusiaan, kultur, dan ilmu humaniora.5 Dalam pengertian sastra, adab terbagi dalam dua bagian besar, yaitu al-adab alwasfi (sastra deskriptif/nonimajinatif) dan al-adab al-insya’I (sastra kreatif). Al-adab al-wasfi terdiri dari tiga bagian, yaitu sejarah sastra (tarikh adab), kritik sastra (naql al-adab), dan teori sastra (nazariyah al-adab). Sejarah sastra memperlihatkan perkembangan karya sastra, tokohtokoh,
dan
ciri
dari
masing-masing
tahap
perkembangan
tersebut.
Kritik
sastra
memperbincangkan pemahaman, penghayatan, penafsiran, dan penilaian terhadap karya sastra. Sedangkan, teori sastra membicarakan pengertian-pengertian dasar tentang sastra, unsur-unsur yang membangun karya sastra, jenis-jenis sastra, dan perkembangan serta kerangka pemikiran para pakar tentang apa yang mereka namakan sastra dan cara mengkajinya.6 Sementara itu, al-adab al-insyai adalah ekspresi bahasa yang indah dalam bentuk puisi, prosa, atau drama yang menggunakan gaya bahasa yang berbeda dari gaya bahasa biasa. Al-adab al-insyai mengandung aspek estetika bentuk dan makna, yang karenanya memengaruhi rasa dan pikiran penikmatnya, serta kekuatan isi sebagiannya mengajak pada hal-hal etis. Al-adab al-
4
Yunus Ali Al-Muhdar & H. Bey Arifin, Sejarah Kesusastraan Arab, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983), hlm. 136138. 5 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 3. 6 Ibid., hlm. 5.
6 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
insyai dibagi ke dalam tiga bagian besar, yaitu puisi (as-syi’r), prosa (nasr), dan drama (almasrahiyyah).7 Puisi menurut Waluyo adalah karya sastra yang imajinatif dengan menggunakan bahasa yang konatif karena puisi cenderung menggunakan makna kiasan dan majas. Kemungkinan makna yang lebih besar dikarenakan oleh pemadatan bahasa, struktur fisik, dan struktur batin pada puisi. Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan batin.8 Menurut Ahmad Asy-Syayib, puisi Arab adalah ucapan atau tulisan yang memiliki wazan atau bahr (mengikuti prosodi atau ritme gaya lama) dan qafiyah (rima akhir atau kesesuaian akhir baris/satr) serta unsur ekspresi rasa dan imajinasi yang harus lebih dominan dibanding prosa.9 Pembagian atau kategorisasi puisi biasanya didasarkan pada bentuk dan isi. Secara bentuk, puisi Arab dibagi menjadi lima bagian, yaitu puisi tradisional, puisi mursal, muwasysyadat, dan puisi bebas (hurr).10 Puisi tradisional dalam sastra Arab sering disebut dengan puisi klasik (qadim), atau sering disebut juga puisi lazim/mulazim (biasa/konvensional, atau terikat aturan lama). Puisi ini adalah puisi Arab yang terikat prosodi/mantra gaya lama atau arud dan qafiyah, yang secara tersusun dalam bentuk qasidah (dua baris sejajar).11 Secara isi, puisi Arab dibagi menjadi tiga. Pertama, puisi epik (qisasi) yang bersifat objektif (maudu’i), yaitu puisi yang berisi sebuah cerita panjang hingga beribu-ribu bait. Jenis puisi ini terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu epos/al-malhamah (cerita panjang seperti Illias dan Odisee dalam tradisi Yunani), fabel (cerita kehidupan binatang), dan balada/sya’bi (cerita rakyat yang mengharukan). Kedua, puisi lirik (ginai) yang bersifat subjektif (zati), yaitu puisi yang berisi perasaan, pikiran, dan sikap penyair. Ada banyak puisi Arab yang dikategorikan jenis puisi ini. Diantaranya adalah puisi elegi (risa) yang berisi tentang ratapan kematian, puisi madh (puisi pujian kepada Tuhan (hymne) terhadap pahlawan (ode/oda), dan kekasih yang dicinta (ghazal), epigram (ta’limi) berisi ajaran kehidupan, satir (ejekan pedas/kritik) yang dalam khazanah puisi Arab disebut hija. Ketiga, puisi dramatik (tamsili) puisi yang dibuat untuk sebuah drama yang
7
Ibid., hlm.6. Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1995), hlm. 15. 9 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 10. 10 Ibid., hlm. 12. 11 Ibid., hlm. 13. 8
7 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
panjangnya terbatas, tidak sepanjang puisi epik. Puisi-puisi Ahmad Syauqi seperti Kliyubatra (Kleopatra), Antarah, dan Majnun Laila, termasuk jenis puisi ini.12
Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode studi pustaka dan metode deskriptif. Melalui metode studi pustaka penulis mencari data-data mengenai Puisi Arab pada masa Bani Abbasiyah dari berbagai pustaka. Setelah membaca sumber yang berkaitan dan memahaminya, informasi yang ada diolah dan ditulis dalam jurnal sesuai dengan yang dibutuhkan dalam penulisan. Kemudian melalui metode deskriptif, Puisi Arab pada masa Bani Abbasiyah dapat dideskripsikan secara sistematis, karakteristik, faktual, aktual dan cermat. Metode deskriptif pada hakikatnya adalah mencari teori, bukan menguji teori.
Pembahasan 1. Perkembangan Puisi Pada Masa Dinasti Abbasiyah Pada masa ini, puisi mengalami perkembangan yang amat pesat. Hal ini disebabkan oleh masyarakat yang lebih terbuka, mereka mau bercampur dengan bangsa-bangsa lain, sehingga banyak orang Arab yang menjalin pernikahan dengan orang-orang Persia, bahkan sampai mengangkat orang Persia menjadi kepala daerah, menteri, atau panglima tentara yang tidak mungkin dilakukan pada era sebelumnya. Dengan adanya asimilasi ini, tidak ada lagi perbedaan yang tampak diantara mereka, baik dalam hal adat-istiadat maupun kegiatan sehari-hari. Asimilasi tidak hanya terjadi antara bangsa Arab dengan bangsa Persia, tetapi juga dengan bangsa Turki, India, dan Barbar. Oleh karenanya, memberikan pengaruh yang sangat penting dalam perkembangan sosial dan budaya bangsa Arab, terutama di bidang bahasa dan sastra.13
12
Ibid., hlm. 15-16. Betty Mauli Rosa Bustam, Sejarah Sastra Arab dari Beragam Perspektif, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), hlm. 5253.
13
8 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
Ada pula dorongan dari pada khalifah dan para pemimpin yang berkuasa pada saat itu. Sehingga dalam puisi-puisi mereka seringkali ditemukan tema-tema yang mengagung-agungkan kedudukan, kekuatan, dan kemuliaan para khalifah. Bercampurnya orang Arab dengan orang Persia sangat berpengaruh dalam puisi-puisi saat itu. Banyak memasukkan pemikiran-pemikiran filsafat dalam puisi, seperti dalam puisi Abu Tamam, Al-Mutanabbi, dan Abu A’la Al-Ma’ary.14 Puisi tidak mengalami perubahan yang radikal, keadaannya tetap seperti sediakala. Akan tetapi, sejak pertengahan abad ke-delapan, tema-temanya lebih disesuaikan dengan selera baru dan cara hidup masyarakat Diasti Abbasiyah. Akibatnya timbul suatu konflik antara aliran penyair-penyair baru (muhdithun) dengan pendukung puisi lama dengan segala nilai-nilai yang unik. Penyair-penyair baru yang memperlihatkan kecenderungannya terhadap senandung cinta, minum-minum, pemikiran filsafat, dan sufi, mengejek orang-orang yang hanya meniru puisi lama dengan alasan, puisi-puisi lama hanya membicarakan hal-hal yang kuno, tak bernilai, dan hal-hal yang merupakan ciri khas kehidupan padang pasir.15 Selain adanya perubahan yang telah disebutkan diatas, ada beberapa faktor yang menyababkan puisi pada zaman ini berkembang, yaitu: a. Puisi telah menjadi satu kemahiran yang dituntut, dipelajari, dan dikuasai, tidak lagi merupakan suatu bakat yang dianugerahkan kepada seseorang. Pada zaman ini para penyair bersaing satu sama lain untuk menduduki posisi yang tinggi pada bidang puisi, karena kedudukan yang tinggi akan menjamin kehidupan yang bermewah-mewahan. b. Minat dan perhatian utama telah ditunjukksn oleh para khalifah dan pembesar-pembesar kerajaan terhadap puisi. c. Munculnya penyair baru dari keturunan Persia dan Roomawi yang menguasai bahasa Arab dan mampu menghasilkan puisi yang setara dengan penyair Arab. d. Terdapat suasana baru dan keadaan alam sekitar yang indah serta kemajuan peradaban. e. Perkembangan nyanyian yang pesat pada zaman Dinasti Abbasiyah berpengaruh pada perkembangan puisi. 14
Males Sutiasumarga, Kesusastraan Arab: Asal Mula dan Perkembangannya, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2001), hlm. 75. 15 Anwar G Chejne, The Arabic Language: Its Role In History, (Minnesota: University of Minnesota Press, 1969), hlm. 82.
9 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
f. Perkembangan ilmu pengetahuan.16
2.
Puisi Pada Masa Dinasti Abbasiyah Puisi pada zaman ini telah mencapai puncak ketinggiannya atau masa keemasannnya
dibandingkan pada awal Islam dan Dinasti Umayyah. Sehingga pada zaman ini dianggap sebagai masa keemasan dalam perkembangan sastra Arab, baik itu berupa puisi maupun prosa.17 2.1. Tema Puisi Abbasiyah 2.1.1. Tema Lama a. Pujian (Al-Madah) Puisi ini berisi puji-pujian kepada seseorang, terutama mengenai kebaikannya, akhlaknya yang mulia atau tabiatnya yang terpuji. Tema ini menduduki presentase paling tinggi krena dapat digunakan untuk mencari nafkah.
هم المحسنون الكر فى حومة الوغى – و أحسن منه كرهم فى مكارم ولوال احتقار األسد شبهتها بهم – ولكنها معدودة فى البهائم Artinya: “Mereka adalah orang yang termulia di dalam medan peperangan, tetapi merekak terlebih mulia dalam perbuatan-perbuatan yang baik. Kalaulah tidak karena sang singa itu dibenci, tentu singa itu kubandingkan dengan mereka, tetapi singa tergolong dalam jenis hewan.”18 b. Kecaman Tema ini merupakan tema yang popular pada zaman ini. Tema ini muncul disebabkan oleh keadaan masyarakat yang banyak melakukan keburukan, seperti maksiat, korupsi, hilangnya sifat kejujuran dan sebagainya. Disebabkan juga oleh masyarakat yang memandang rendah beberapa adat lama, tidak senang terhadap orang yang berjenggot, jijik terhadap orang
16
Osman Haji Khalid, Kesusasteraan Arab Zaman Abbasiah, Andalus dan Zaman Moden, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997), hlm. 34-39. 17 Osman Haji Khalid, Kesusasteraan Arab Zaman Abbasiah, Andalus dan Zaman Moden, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997), hlm. 34. 18 Ibid., hlm. 42.
10 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
cacat, orang ynag berhidung besar. Begitu juga mereka juga tidak senang dengan suara biduan yang tidak enak didengar. Semua hal ini menyebabkan puisi kecaman menjadi begitu banyak pada zaman ini. Semenatara itu kecaman-kecaman ini tidak didorong oleh perasaan dendam atau fanatik kepada suku, melainkan untuk bersenang-senang dan kadang pula untuk memperkenalkan ide baru.19 c. Kebanggaan (Al-Fakhr) Puisi bertemakan kebanggaan pada zaman ini tidak sehebat yang terdapat pada masa Dinasti Umayyah, karena pada zaman Dinasti Abbasiyah rasa kesukuan mulai berkurang. Namun demikian, puisi-puisi banggaan masih dapat dilihat dalam puisi Dinasti Abbasiyah dan dipelopori oleh beberapa orang penyair, seperti Abu Nawas yang menonjolkan kebanggaannya terhadap golongan Qahtan. Sementara penyair Al-Kummit menonjolkan golongan Nizar serta merendahkan Qahtan. Suatu hal yang dapat diperhatikan dalam puisi banggaan pada zaman ini yaitu penyair lebih banyak menonjolkan sifat-sifat kemuliaan sebagai asas banggaan mereka.20 d. Ratapan (Al-Ritsa) Puisi ratapan merupakan puisi yang banyak disentuh oleh para penyair pada zaman ini. Ratapan-ratapan tersebut mengungkapkan rasa sedih dan pilu di atas kematian para khalifah, para pembesar negeri, dan juga para panglima besar yang gugur dalam medan peperangan. Begitu pula terdapat puisi-puisi yang ditujukan kepada sahabat, keluarga, dan anak istri penyair.21 e. Ghazal Puisi ghazal sangat popular pada zaman ini, akibat kehidupan bermewahan yang banyak dinikmati oleh golongan penyair, terutama pemberian yang diterima dari para khalifah dan pembesar negeri. Ditambah lagi dengan tersebarnya nyanyian di kalangan masyarakat Abbasiyah yang dinikmati oleh golongan hartawan dan bangsawan, serta penyair. Disamping itu, terdapat jariah (budak wanita) dari wanita-wanita asing yang berparas cantik dan menawan dan mereka disediakan untuk hiburan para pengunjung di kedai-kedai arak. Pada zaman ini,
19
Ibid., hlm. 44. Ibid., hlm. 46. 21 Ibid., hlm. 48. 20
11 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
meluas ghazal-ghazal yang berbentuk tidak sopan dan bersifat terbuka, serta mennonjolkan ciri-ciri seks dalam puisi–puisi ghazal.22 f. Gambaran (Al-Wasfu) Tema ini berkembang pesat pada zaman Dinasti Abbasiyah dan ruang lingkupnya lebih luas sesuai dengan kemajuan peradaban serta perubahan suasana. Pada zaman Abbasiyah ini berbeda dengan sebelumnya, yang kebanyakan menjelaskan mengenai objek-objek sekitar kehidupan padang pasir. Gambaran disini lebih kepada beraneka ragam. Kebanyakan menggambarkan kehidupan kota yang mewah, taman-taman, tempat-tempat hiburan, keindahan alam, dan sebagainya.23
2.1.2. Tema-tema Baru a. Pemujaan Arak Puisi yang menggambarkan arak bukanlah hal yang baru dalam hal ini. Puisi in sudah ada sejak zaman jahiliyah, seperti pusi yang diciptakan oleh Imru Al-Qays, Tarafah bin AlAbd, dan sebagainya. Namun pada zaman Dinasti Abbasiyah permujaan kepada arak ini merupakan tem atersendiri atau tema khusus, ditampilkan secara terbuka tanpa perasaan malu dan takut dihukum berdasarkan ajaran Islam. Hal ini terjadi karena adanya adat meminum arak dari kalangan orang Persia. Kegiatan meminum arak tersebar luas kepada masyarakat Abbasiyah disebabkan oleh dikeluarkannya fatwa oleh beberapa ulama yang mengharuskan meminum arak.24 b. Ghazal Lelaki Pada umumnya puisi bertema ghazal menggambarkan rasa cinta dan kerinduan yang terpendam kepada kekasihnya dengan melukiskan kecantikan wanita pujaannya. Pada zaman Dinasti Abbasiyah yang berbentuk demikian masih ada dan termasuk tema yang digemari para penyair. Namun pada zaman ini muncul tema ghazal yang memuja lelaki serta menggambarkan
22
Ibid., hlm. 50-51. Ibid., hlm. 53. 24 Ibid., hlm. 58. 23
12 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
ketampanan dan kemanisan wajah lelaki. Hal ini disebabkan bercampurnya kebudayaan Arab dan asing serta tersebarnya gejala-gejala maksiat dalam masyarakat Abbasiyah.25 c. Zuhud Keadaan masyarakat Abbasiyah yang kehidupannya dipenuhi oleh gejala-gejal maksiat menimbulkan reaksi para ulama yang menasehati masyarakat supaya menjauhi maksiat serta tidak tertipu kemewahan hidup yang sementara. Dengan kata lain mereka menyeru kedapa kehidupan zuhud serta menyiapkan bekalan untuk kehidupan akhirat. Seruan itu bukan hanya dari para ulama, melainkan juga dari pada penyair, salah satu penyair dalam tema ini adalah alAtahiyyah.26 Ada beberapa faktor yang menyebabkan tema zuhud ini meluas pada zaman Dinasti Abbasiyah. Faktor-faktor tersebut adalah faktor agama, sosial, ekonomi, dan politik. Motif agama merupakan faktor terpenting dengan tujuan untuk meningkatkan ketaqwaan serta memurnikan iman kepada Allah. Ini dapat dicapai dengan menjalani kehidupan secara sederhana dan tidak tenggelam dengan kehidupan dunia, serta senantiasa mengingat Allah.27 d. Syu’ubiyyah Syu’ubiyyah merupakan gerakan ekstrim suatu bangga yang bermegah-megahan dengan bangsa mereka, terutama orang Persia, serta merendahkan bangsa Arab. Gerakan ini muncul pada akhir masa pemerintahan Umayyah dan berkembang pesat pada zaman Abbasiyah. Ini merupakan salah satu cara bangsa asing untuk menjatuhkan kerajaan dan kekuasaan Arab dengan cara pemikiran dan aqidah.28 e. Zandaqah dan Ilhad Percampuran budaya anatara Arab dan kebudayaan asing bisa menyebabkan pengaruh positif maupun negatif. Salah satu pengaruh negatif dari percampuran budaya adalah munculnya ciri-ciri mengejek agama atau yang biasa disebut dengan zindiq. Kata zindiq berasal dari bahasa Persia. Pada zaman Abbasiyah, zindiq berarti seruan atau hasrat untuk
25
Ibid., hlm. 60-61. Ibid., hlm. 63. 27 Ibid., hlm. 64. 28 Julia Ashtianty, Abbasid Belles Letres, (New York: Cambridge University Press, 1990), hlm. 31. 26
13 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
menghidupkan serta menonjolkan ajaran agama-agama Majusi, Zaradusy, dan agama Persia kuno yang lain.29 Salah satu puisi zindiq karya Basysyar bin Burd:
ابليس أفضل من أبيكم آدم – فتنبهوا يا معشر الفجار النار عنصره و آدم طينة – واالطين ال يسمو سمو النار Artinya: “Iblis lebih mulia daripada bapak kamu Adam, ingat ini wahai pelaku maksiat. Iblis dijadikan dari unsur api dan Adam dari tanah, dan tanah tidak dapat menguasai kedudukan api.” 2.2. Keistimewaan Puisi pada Masa Dinasti Abbasiyah 2.2.1. Keistimewaan gaya bahasa Ada beberapa ciri khusus dalam aspek bahasa dan gaya bahasa yang digunakan oleh para penyair pada zaman ini yang tidak terdapat pada zaman sebelumnya, diantaranya, adanya perubahan dalam makna kata. Seperti contoh kata qasafa ()قصف. Kata tersebut memiliki arti “mematah ranting kayu”, tetapi pada zaman ini berubah maknanya menjadi “hiburan”. Terdapat penggunaan kata asing yang disesuaikan dengan pelafalan Arab. Pengambilan kata asing tanpa penyesuaian dengan Bahasa Arab. Banyak istilah dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, serta bidang perusahaan dan kemahiran dalam puisi zaman ini. Aspek prama-sastera bunga-bunga Bahasa banyak digunakan dalam puisi, dan mereka menggunakannya dengan berkesan. Jarang menggunakan kata-kata ganjil, ungkapan yang rumit serta ayat yang berbelit-belit dalam puisi.30 2.2.2. Keistimewaan ide Ide merupakan pemikiran, pandangan, serta pesan yang disisipkan oleh penyair dalam puisinya. Keistimewaan puisi masa Dinasti Abbasiyah, yaitu Ide tersusun rapi, tidak melompatlompat dan bertimbal-balik seperti puisi pada zaman sebelumnya, terutama puisi zaman Jahiliyah. Muncul ide-ide baru yang belum pernah ditelusuri sebelum ini, akibat dari peningkatan hidup, perubahan suasana, dan kemajuan peradaban. Penyampaian ide banyak menyertakan perbandingan, perumpamaan serta alasan yang menyakinkan untuk menjadikannya menarik. 29 30
Op.cit., hlm. 73-74. Ibid., hlm. 77-78.
14 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
Banyak menggunakan argument secara logika dan juga banyak menggnakan pemikiran filsafat. Keunggulan daya imajinasi dan keindahan gambaran.31 2.2.3. Keistimewaan wazan Salah satu yang membedakan antara puisi dengan prosa adalah puisi terikat dengan sistem wazan dan qafiyah, sedangkan prosa tidak terikat. Wazan dalam puisi Arab adalah irama atau rentak bunyi. Dalam puisi Arab juga terdapat bahr (gelombang suara), terdapat lima belas jenis bahr. Pada zaman Abbasiyah, para penyair terutama keturunan non-Arab memperkenalkan beberapa wazan baru yang sesuai dengan puisi Arab. Wazan baru ini terbagi menjadi dua: a. Wazan yang diubah dari wazan lama. Bahr Al-Tawil susunannya diubah dari yang berpola ( )فعولن مفاعيلنmenjadi ( )مفاعيلن فعولنdan diberi nama baru bahr Al-Mustatil. b. Wazan asing atau buhur lama. Diantaranya adalah bentuk Zajal dan bentuk Muwasysyah yang banyak menggunakan Bahasa dialek.32
3. Penyair-penyair Zaman Abbasiyah Daftar lengkap para penyair selalu meningkat jumlahnya dibandingkan dengan penulispenulis prosa. Diantara tokoh-tokoh penyair baru yang terkemuka adalah Bahshar bin Burd, Abu Nawas, dan Abu’l Atahiyah. Puisi-puisi mereka tidak meninggalkan bentuk puisi lama, namun puisi-puisi mereka memperlihatkan kesederhanaan dan kaya dengan ungkapan-ungkapan yang orisinal. Sebaliknya, penyair-penyair neo klasik mengikuti bentuk-bentuk puisi lama, tema-tema Jahiliyah, ungkapan-ungkapan Arab murni yang dipakai oleh penyair Arab Jahiliyah. Diantara penyair neo klasik Arab adalah Abu Tammam, Buhturi, Al-Mutanabbi, dan Al-Ma’arri.33 Berikut adalah beberapa penyair zaman Dinasti Abbasiyah: 3.1. Abu Al-Atahiyyah Abu Al-Atahiyyah atau yang bernama lengkap Ismail bin Al-Qasim bin Suwayd bin Kaysan lahir pada 130 H di sebuah desa bernama Aina Al-Tamr di daerah Al-Anbar yang terletak
31
Ibid., hlm. 78-84. Ibid., hlm. 85-87. 33 Anwar G Chejne, The Arabic Language: Its Role In History, (Minnesota: University of Minnesota Press, 1969), hlm. 82. 32
15 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
disebelah barat kota Kuffah. Abu Al-Atahiyyah memiliki nama panggilan Abu Ishaq, namun setelah berkecimpung dalam puisi ia lebih terkenal dengan nama Abu Al-Atahiyyah. Sebuah gelar yang bermakna “lancang lidahnya” dan “orang yang hilang pertimbangan”. Gelar ini diberikan oleh Khalifah Al-Mahdi.34 Puisi-puisi Abu Al-Atahiyyah dibagi menjadi dua jenis, yaitu puisi yang dibuat sebelum ia berzuhud dan sesudah berzuhud. Tema-tema yang dibahas sama seperti penyair-penyair dahuluu pada umumnya, seperti pujian, kecaman, cinta, ratapan, dan gambaran. Sedangkan setelah zuhud, keseluruhan atau sebagian besar puisinya bertema zuhud, sehingga ia dikenal sebagai penyair zuhud yang tak tertandingi.35 Berikut ini adalah beberapa contoh puisi karya Abu Al-Atahiyyah. Puisi bertema cinta (ghazal) Abu Al-Atahiyyah kepada Utbah. Ia menggambarkan kecantikan gadis impiannya supaya Utbah mau membalas cintanya.
عيني على عطبة منهلة – بدمعها المسكب السئل كأنها من حسنها درة – أخرجها اليم إلى الساحل كأن فى فيهاوفى حرفها – سواحرا أقبلن من بابل بسطت كفى نحوكم سائال – ماذا تردون على السائل ان لم تنيلوه فقولوا له – قوال جميال بدل النائل يا من رأى قبلى قتيال بكى – من شدة الوجد على القاتل “Kedua mataku mengalirkan air mata berlinangan derita kehausan kasih Utbah. Ia sungguh jelita bagaikan mutiara dikeluarkan ombak dari lautan, terdampar ke pantai. Mulut dan matanya sungguh menawan bagaikan sihir bisa dari Babil. Aku mnegulurkan tangan kepadamu memohon pemberian, apakan jawabanmu kepada orang yang memohon. Kalua kau enggan memberikan sesuatu padanya, berilah kata-kata manis pengganti pemberian. Wahai pernahkah berlaku sebelumku ini, orang yang dibunuh menangis kepiluan karena cintakan orang yang membunuhnya?”36
34
Osman Haji Khalid, Kesusasteraan Arab Zaman Abbasiah, Andalus dan Zaman Moden, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997), hlm. 103-104. 35 Ibid., hlm. 108. 36 Ibid., hlm. 115.
16 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
Contoh puisi bertema zuhud. Puisi ini mengingatkan manusia kepada hakikat kematian, supaya mereka tidak lupa dan hanyut dalam mengejar keduniaan dan kemewahan hidup. Bagi mereka dunia seolah-olah tidak akan berakhir dan kehidupan mereka akan berkepanjangan.
لدو اللموت وابنوا الخراب – فكلكم يصير الى تباب لمن نبني؟ و نحن الى تراب – نصير كما خلقنا من تراب اال يا موت لم أر منك بد – أتيت وما تحيف وما تحابى “Tegapkan hatimu menghadapi maut dan bersedia mengalami kehancuran, kamu semua akan menemui kebinasaan. Untuk siapa kita bina? Bukankan kita semua akan menjadi tanah seperti kita dijadikan daripada tanah. Duhai maut, aku sadar kau pasti tiba dank au tidak menyeleweng dan tidak pilih kasih.”37 2.2. Al-Buhturi Al-Buhturi atau Abu Ubadah lahir dari suku kabilah Ta’i. Sejak kecil ia dibesarkan dari keluarga yang gemar dengan syair. Ia belajar syair dengan Abu Tamam hingga ia kenal syair dan puisi dengan baik. Syairnya dikenal sangat halus karena menggunakan kata-kata kiasan yang terkenal pada zaman itu. Al-Buhturi adalah penyair yang mempunyai jiwa seni. Syairnya sangat mudah dimengerti oleh semua orang, karena itulah banyak bait syairnya yang dinyanyikan orang. 38 Berikut adalah contoh syairnya. Ia memuji salah seorang pembesar kerajaan dengan menggambarkan sebagai matahari yang jauh dari mata namun sangat dekat karena sinarnya yang menerangi bumi.
دنوت تواضعا و علوت مجدا – فشأناك انخداروارتفاع كذاك الشمس تبعد ان تسامى – و يدئوا الضوء ستها والشعاع “engkau dekat karena rasa tawadhu, engkau jauh karena mulia, dalam kedua hal ini engkau laksana matahari, jauh untuk dicapai namun sinarnya selalu dekat dengan kita”39
37
Ibid., hlm. 118. Gustave E. Von Grunebaum, A Tenth-Century Document Of Arabic Literary Theory And Criticism, (Chicago: The University of Chicago Press, 1950), hlm. 85. 39 Yunus Ali Al-Muhdar & H. Bey Arifin, Sejarah Kesusastraan Arab, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983), hlm. 156. 38
17 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
2.3. Al-Mutanabbi Al-Mutanabbi adalah nama dari salah satu penyair Arab yang sangat terkenal pada abad keempat. Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Al-Husain, dan ia merupakan keturunan Yaman dari sebuah suku yang disebut Jo-fa. Ia lahir di Kufah, sebuah kota tua belajar di iraq, pada tahun 303 H (915 M).40 Menurut beberapa sumber, Al-Mutanabbi muda terlibat dengan suatu konspirasi Syiah ketika otoritas Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad menurun. Ia mengklaim dirinya sebagai keturunan Ali, dan bahwa ia bergabung dengan gerakan Carmathian terkenal, sebuah kelompok revolusioner yang selama tahun-tahun telah meneror Irak selatan dan Saudi dan yang menyerang mekkah pada satu waktu. Ada juga cerita yang berkaitan dengan akuisisi nama panggilan, AlMutanabbi yang berarti orang yang menempatkan dirinya sebagai nabi. Pada masa mudanya AlMutanabbi berpura-pura menjadi seorang nabi dengan Al-Qur'an baru, dan ia memimpin pemberontakan di Al-Samawah, Irak. ia dipenjarakan pada tahun 322 H (933 M). ketika pemberontakan gagal, ia mulai berpikiran politik dan menghadiri pengadilan aturan provinsi di Irak, Persia, Mesir, dan Suriah. Istana pertama yang menyambut Al-Mutanabbi adalah istana pangeran Saif Al-Dawla di Aleppo di 337 H (948 M). Sayf Al-Dawla dikenal baik dengan kampanye menang melawan kekaisaran Bizantium. Al-Mutanabbi dilindungi di istananya dan ia ikut serta dalam kampanye Sayf Al-Dawla selama sembilan tahun.41 Puisi-puisi Al-Muntanabbi selalu bersumber pada pemikiran filsafat. Pada suatu hari alMutanabbi dicegat oleh Fatik bin Abi Jahal dan sahabatnya, ia merasa dirinya sangat lemah sekali, ketika hendak melarikan diri, budaknya mengingatkan kepadanya, “apakah kamu hendak lari padahal kamu telah berkata:
الخيل و الليل و البيداء تعرفنى – و السيف و الرمح و القرطاس و القلم
40
M.H. Bakalla, Arabic Culture: Through Its Language and Literature, (London: Kegan Paul International Ltd, 1984), hlm. 150. 41 Ibid., hlm. 151.
18 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
“Kuda, malam hari, lembah, pedang, tombak, kertas, dan pena, semuanya mengetahuiku”42 Maksudnya, Aku adalah seorang satria yang gagah berani dan aku adalah seorang yang pandai. ketika mendengar isi bait syairnya yang pernah dikatakannya, maka terpaksa ia kembali dan mengadakan perlawanan sampai ia gugur dalam medan itu.43
Kesimpulan Kesusastraan Arab pada zaman Abbasiyah berkembang pesat, terutama dalam bidang puisi. Walaupun tidak banyak mengalami perubahan dari puisi-puisi pada zaman sebelumnya. Perkembangan ini salah satunya disebabkan oleh percampuran kebudayaan antara bangsa Arab dengan bangsa asing seperti Persia, Romawi, dan lain-lain. Selain itu, berkembangnya bahasa Arab pada zaman itu juga memiliki pengaruh yang besar. Banyak penggunaan bahasa Asing yang digunakan dalam puisi, baik bahasa tersebut disesuaikan dengan pelafalan Arab maupun tidak disesuaikan. Terdapat juga tema-tema baru pada zaman ini. Jumlah para penyair selalu meningkat dibandingkan dengan penulis-penulis prosa. Diantara tokoh-tokoh penyair baru yang terkemuka adalah Bahshar bin Burd, Abu Nawas, dan Abu’l Atahiyah. Puisi-puisi mereka tidak meninggalkan bentuk puisi lama, namun puisi-puisi mereka memperlihatkan kesederhanaan dan kaya dengan ungkapan-ungkapan yang orisinal. Sebaliknya, penyair-penyair neo klasik mengikuti bentuk-bentuk puisi lama, tema-tema Jahiliyah, ungkapan-ungkapan Arab murni yang dipakai oleh penyair Arab Jahiliyah. Diantara penyair neo klasik Arab adalah Abu Tammam, Buhturi, al-Mutanabbi, dan al-Ma’arri.
Daftar Referensi Al-Muhdar, Yunus Ali & H. Bey Arifin. (1983). Sejarah Kesusastraan Arab. Surabaya: PT. Bina Ilmu. Ashtianty, Julia. (1990). Abbasid Belles Letres. New York: Cambridge University Press. 42 43
Yunus Ali Al-Muhdar & H. Bey Arifin, Sejarah Kesusastraan Arab, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983), hlm. 159. Ibid., hlm. 160.
19 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016
Bakalla, M.H. (1984). Arabic Culture: Through Its Language and Literature. London: Kegan Paul International Ltd. Bustam, Betty Mauli Rosa. (2015). Sejarah Sastra Arab dari Beragam Perspektif. Yogyakarta: Deepublish. Chejne, Anwar G. (1969). The Arabic Language: Its Role In History. Minnesota: University of Minnesota Press. Grunebaum, Gustave E. Von. (1950). A Tenth-Century Document Of Arabic Literary Theory And Criticism. Chicago: The University of Chicago Press. Kamil, Sukron. (2009). Teori Kritik Sastra Arab. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Khalid, Osman Haji. (1997). Kesusasteraan Arab Zaman Abbasiah, Andalus dan Zaman Moden. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Sutiasumarga, Males. (2001). Kesusastraan Arab: Asal Mula dan Perkembangannya. Jakarta: Zikrul Hakim. Waluyo, Herman J. (1995). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
20 Perkembangan puisi…, Annisa Candra Kirana, FIB UI, 2016