313
POLITIK PENDIDIKAN PADA MASA DAULAH ABBASIYAH (KASUS MADRASAH NIZHAMIYAH DI BAGHDAD)
Ali Murtopo Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang Email:
[email protected]
Abstract The Political will determine advancement and deterioration for education. No matter what achieved or any form of education, both positive and negative is part of the process of interest and political intrigues. Scientific movements of changes and transformation of society is always driven by political patronise. In this context, politics appears to be the main support of the achievement of triumph the education system. Keywords: politic, education, madrasah nizhamiyah A. Pendahuluan Politik sangat menentukan kemajuan dan kemunduran bagi pendidikan. Apapun yang dicapai atau bentuk apapun dari pendidikan, baik positif maupun negatifnya merupakan bagian dari proses kepentingan dan intrik-intrik politik. Gerakan-gerakan keilmuan, perubahan dan transformasi masyarakat yang motor penggeraknya adalah pendidikan terletak pada besarnya patronise politik. Demikian pula stabilitas bangsa hingga pada tahap tercapainya kemajuan dan kejayaan karena terwujudnya kemajuan pendidikan. Dalam konteks ini, politik nampaknya menjadi tulang penyangga utama tercapainya kejayaan sistem pendidikan Trevor Coombe (tt.: 287) menulis bahwa education and politic are inextricably linked. Hubungan antara politik dan pendidikan menurut Harman adalah realitas empirik yang telah terjadi semenjak TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
314
awal perkembangan peradaban manusia. Namun kajiannya secara intens sebagai isu penting dan fundamental baru dimulai pada zaman Plato (Sirozi, tt.: 1). Plato mendudukkan pendidikan sebagai alat positif dimana pemimpin pemerintahan dapat membentuk jiwa manusia ke arah yang benar untuk mewujudkan sebuah negara yang harmonis (Sabine 1977: 61). Para filosof dan pemikir politik pada zaman itu mulai menyadari korelasi keduanya, sebagaimana negara seperti itulah sekolah (as is the state, so is the school). Menapaki sejarah pendidikan Islam, gerakan keilmuan dan dinamika pendidikan Islam sudah terbiasa dengan intrik-intrik politik. Dominasi kepentingan politik terkadang menjadi penentu terhadap bentuk pendidikan Islam dan corak ilmu pengetahuan yang diajarkan dan dikembangkan umat Islam. Penguasa-penguasa Islam khususnya masa khalifah Ummayah dan Abbasiyah, mereka pada umumnya adalah patron of knowledge yang berjasa dalam pelaksanaan pendidikan Islam dan pengembangan keilmuan. Para khalifahlah yang berperan aktif dan sangat memperhatikan ilmu pengetahuan karena mereka menyadari bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Dalam periode sejarah peradaban Islam dan juga dalam dunia pendidikan Islam, nampaknya yang paling cemerlang terjadi pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah di Baghdad (750 – 1258 M). dalam dunia pendidikan Islam, periode ini antara lain ditandai oleh munculnya untuk pertama kali lembaga pendidikan Islam yang masih terkenal hingga sekarang, yaitu madrasah. Tujuan lain yang hendak dicapai lewat madrasah-madrasah ini adalah ingin mencetak birokrat-birokrat yang akan menduduki jabatan kenegaraan atau paling tidak menjadikan warga negara yang mengerti akan nilai-nilai yang dianut oleh pemerintah. Madrasah Nizhamiyah dijadikan instrumen kebijakan politik. Dengan demikian kata Makdisi (1991: 51), Nizhamul Mulk dapat menanamkan dokrin kenegaraan yang memperkuat kedudukan kerajaan. Oleh karena Madrasah Nizhamiyah merupakan sebagai tempat penyadaran warga negara akan hukum, maka kontrol yang ketat dari pemerintah terhadap madrasah ini adalah logis. Patronase Nizhamul TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
315
Mulk tidak hanya menyangkut masalah keuangan dan pengadaan sarana saja, melainkan pemerintah terlibat langsung dalam menentukan tujuantujuannya, menggariskan kurikulum, menentukan guru dan sebagainya. Campur tangan pemerintah terhadap Madrasah Nizhamiyah agaknya memberi implikasi yang positif maupun negatif bagi kegiatan belajar dan kelangsungan madrasah tersebut. Selain ketergantungan Madrasah kepada uluran tangan para penguasa, Madrasah memainkan peranan yang cukup besar dalam kancah politik, paling tidak ikut mengokohkan dan melanggengkan kekuasaan politik para penguasa. Di sini terlihat jelas adanya hubungan simbiosis mutalisme antara penguasa dan madrasah, seperti yang dikatakan Harold Lasswell ”who gets what, when, how”. Kasus Madrasah Nizhamiyah menjadi ”enak” untuk disimak. B. Dinamika Perkembangan Bani Abbasiyah Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah ibn al-Abbas dari golongan Hasyim di Mekkah. Beliau berasal dari keluarga paman Nabi. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang, dari tahun 132 H / 750 M sampai dengan 656 H / 1258 M. Dinasti Abbasiyah merupakan kekhalifahan yang menggantikan Dinasti Ummayyah di Damaskus, setelah berhasil menggulingkan kekuasaan tersebut pada tahun 750 M. Kekuasaan Bani Abbasiyah meliputi tiga periode : Periode pertama (132-231 H) kekuasaan berada ditangan para khalifah. Periode kedua (232-590 H) kekuasaan politik berpindah dari tangan para khalifah kepada golongan Turki (232-334 H), lalu golongan Bani Buwaih (334-447 H), kemudian golongan Bani Saljuk (447-590 H). Periode ketiga (590-656 H) kekuasaan berada kembali di tangan para khalifah, tetapi wilayah kekuasaan berada di Baghdad dan sekitarnya, hingga hancur diserang Mongol (Syalabi 1997: 2-4). Selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang berkembang berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya (Yatim, 2002: 49). Bani Buwaih berkuasa pada abad kesepuluh dan kesebelas sebelum datangnya Bani Saljuk diwilayah Iran (Bosworth, 1993: 120). TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
316
Dinasti Buwaih berasal dari negeri Dailam yang pada saat terjadi persengketaan antara Tabarestan dengan golongan Tahiriyah yang memerintah di Khurasan. Negeri Dailam telah membantu jirannya negeri Tabarestan menentang golongan Tahiriyah. Semuanya bergabung di bawah pimpinan Tabarestan yaitu al-Hasan bin Zaid, pada saat itulah dimulainya penyebaran agama Islam di kalangan rakyat Dailam (Syalabi, 1997: 323). Secara kronologis, Buwaih memiliki tiga anak laki-laki, yaitu Ali, al-Hasan dan Ahmad. Mereka menjadi tentara Makam bin Kali, salah seorang panglima di Dailam. Salah seorang bawahan Makam yang bernama Asfar bin Syiruwaih telah berkhianat dan dibantu oleh panglima lain bernama Mardawij bin Ziar. Keduanya telah berhasil memperoleh kemenangan menentang Makam. Asfar terbunuh dan kekuasaan kemudian dipegang oleh Mardawij. Buwaih bersaudara kemudian memihak kepada Mardawij setelah Makam mengalami kekalahan, namun terlebih dahulu mereka telah meminta izin kepada Makam dan akan kembali mendukung apabila kekuatan telah pulih. Mardawij lalu menyerahkan pemerintahan di wilayah-wilayah yang telah ditundukkan oleh Mardawij kepada Buwaih bersaudara. Buwaih bersaudara kemudian berangkat menuju daerah pemerintahan yang telah dilimpahkan kepada mereka yaitu di Karkh. Nampaknya Mardawij merasa menyesal telah memberikan wilayahnya sebagai tempat pemerintahan kepada Buwaih bersaudara. Lalu ia mengutus surat kepada saudaranya Wamsyakir untuk menahan mereka di Raiyi. Tetapi surat tersebut sampai ketangan Abu Abdullah al-Amid yang memiliki hubungan baik dengan Ali. Kemudian ia memberitahukan Buwaih bersaudara untuk segera berangkat ke Karkh. Pada keesokan harinya barulah surat tersebut diserahkan Abdullah kepada Wamsyakir, akan tetapi Buwaih bersaudara sudah berada jauh menuju wilayah Karkh. Setibanya di Kark, Ali bin Buwaih berhasil mempengaruhi para pemimpin dan panglima di wilayah tersebut dengan kebaikan dan toleransi. Sementara itu Mardawij merasa gelisah, karena merasa kedudukannya terancam dengan berkuasana Ali bin Buwaih. Ali TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
317
memang sedang memperkukuh kedudukannya dan mempersiapkan diri untuk menghadapi tuannya sendiri. Ali kemudian meluaskan kekuasaannya dengan menaklukkan Asfahan. Dengan dibantu oleh kedua saudaranya menaklukkan Syiraz, dan menjadikannya sebagai pusat pemerintahan. Sebagai jaminan kesetiaannya kepada Mardawij, Ali menyerahkan saudaranya al-Hasan. Persaingan antara Mardawij dan Ali berakhir dengan dibunuhnya Mardawij oleh laskarnya sendiri yang keturunan Turki. Al-Hasan kemudian memanfaatkan kekacauan tersebut untuk melarikan diri dan kembali ke tempat saudaranya, Ali. Sejak saat itu semakin luaslah kekuasaan Bani Buwaih. AlHasan berhasil menaklukkan Raiyi, Hamadan dan Parsi. Ahmad menaklukkan Karman. Sedangkan Ali menyerang dan menaklukkan Ahwaz dan Wasit. Dengan demikian, maka Bani Buwaih telah meliputi satu kawasan besar milik pemerintahan Abbasiyah. Ali mengirimkan surat kepada khalifah untuk mengikhtiraf-nya, dan khalifah menanggapinya dengan baik. Bani Buwaih memegang kendali di pusat pemerintahan Abbasiyah. Kekuasaan Bani ini dimulai ketika khalifah al-Mustakfi menerima Ahmad bin Buwaih menjabat sebagai Perdana Menteri di Baghdad setelah berhasil menaklukkan kota ini dari tangan orang-orang Turki. Dalam beberapa waktu, para khalifah Abbasiyah secara tidak langsung tunduk kepada Bani Buwaih. Para khalifah tidak memiliki kekuasaan dan pengaruh serta keagungan sama sekali pada masa itu. Akhir dari pemerintahan Bani Buwaih adalah pada masa pemerintahan Raja Rahim, salah seorang panglimanya yang bernama Basasiri memberontak serta menentang khalifah Abbasiyah. Khalifah Abbasiyah meminta pertolongan dari Tughrul Bey pemimpin dari Bani Saljuk. Tughrul Bey berhasil menumpas pemberontakan, dan atas jasanya diberi gelar oleh khalifah sebagai Yamin Amirul Mu’minin. Tughrul Bey menangkap Raja Rahim dan mengirimnya ke penjara Raiyi. Dengan demikian berakhirlah zaman Bani Buwaih dan berawalnya kekuasaan bani Saljuk.
TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
318
Sebelumnya, Bani Saljuk pada masa pertikaian dan peperangan yang terjadi antara Samaniyah dan Ghaznah, memihak kaum Samaniyah. Kaum Samaniyah mengizinkan kaum Saljuk untuk menetap di tebing sungai Sihun. Setelah keruntuhan kaum Ghaznah, Bani Saljuk memerdekakan diri bersama dengan sisa kekuatan dari kerajaan. Samaniyah. Anak keturunan Saljuk bernama Israel memimpin Bani Saljuk dengan baik, sehingga Sultan Mahmud (pemimpin kaum Ghaznah) merasa curiga, namun berpura-pura cinta damai dan mengajak Israel berunding, akhirnya Israel ditangkap dan dipenjarakan. Bani Saljuk kemudian melantik saudara Israel yaitu Mikael untuk memimpin. Mikael menunjukkan sikap damai kepada bani Ghaznah. Namun Sultan Mahmud telah mempropagandakan kaum Saljuk, hingga Mikael meninggal dunia. Akhirnya pemerintahan Bani Saljuk diserahkan kepada kedua orang putranya yaitu Jughri Bey dan Tughrul Bey. Tak lama setelah wafatnya Sultan Mahmud, pemerintahan Ghaznah digantikan oleh putranya Mas’ud, namun ia tewas ditangan kaum Saljuk di medan pertempuran Sarkahs pada tahun 429 H. Sejak tahun itu Tughrul Bey mengumumkan pendirian kerajaan Saljuk dan diikhtiraf oleh khalifah Abbasiyah pada tahun 432 H, setelah kedudukan kerajaan Saljuk mantap (Syalabi, 1997: 335). Di saat kepemimpinan Tughrul bey inilah Dinasti Saljuk memasuki Baghdad menggantikan posisi Bani Buwaih, setelah ia mengalahkannya. Tughrul Bey berhasil merebut daerah-daerah Marw dan Nisapur dari kekuasaan Ghaznawiyah, Balkh, Jurjan, Tabaristan, Khawarzm, Ray dan Isfahan. Tughrul Bey memilih Naisapur dan kemudian Ray sebagai pusat kekuasaannya. Sepeninggal Tughrul Bey (445 H), dinasti Saljuk berturut-turut diperintah oleh Alp Arselan (455465 H), Malik Syah (465-485 H), Mahmud (485-487 H), Barkiyaruq (487-498 H), Malik Syah II (498 H), Abu Syuja’ Muhammad (498-511 H) dan Abu Haris Sanjar (511-522 H) (Yatim, 2000: 73-4). Pada masa Alp Arselan dan putranya Malik Syah inilah muncul nama Nizhamul Mulk, yang menjabat sebagai Perdana Menteri secara berturut-turut.
TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
319
Seiring dengan stabilnya kondisi sosial politik, aktivitas pendidikan dan ilmu pengetahuan berkembang dengan begitu mengagumkan. Beberapa prestasi umat Islam pada masa ini mampu menempatkan umat Islam pada puncak kejayaannya, sehingga peradaban Islam menapaki zaman keemasannya (the golden age). Periode pemerintahan Daulah Abbasiyah memberikan torehan sejarah yang istimewa. Diketahui bahwa sebagian besar para khalifah dan pejabat istana pada masa itu memiliki perhatian yang cukup besar terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dalam bidang ilmu pengetahuan misalnya, diadakan gerakan transliterasi karya-karya ilmiah dari bangsa Yunani, Persia dan India. Sedangkan dalam bidang pendidikan, didirikan berbagai institusi yang dikenal dengan nama madrasah. Dari sekian banyak madrasah tersebut, yang paling terkenal adalah Madrasah Nizhamiyah di Baghdad. C. Latar Belakang Berdirinya Madrasah Nizhamiyah Madrasah Nizhamiyah didirikan oleh Abu Ali al-Hasan ibn Ishaq ibn Abbas al-Thusi yang dikenal dalam sejarah dengan nama Nizham alMulk. Nizham al-Mulk adalah seorang politikus ulung pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Masa pemerintahan ini pula, beliau diangkat sebagai Perdana Menteri selama sepuluh tahun oleh Sultan Alp Arselan. Kemudian pada masa Sultan Malik Syah (putra Sultan Alp Arselan), kembali beliau dipercaya untuk menjabat Perdana Menteri untuk kedua kalinya selama duapuluh tahun (Ibn Khalikan, 1968: 128–130). Menurut Ahmad Syalabi (1973: 32) sesudah tahun 459 H barulah didirikan sekolah-sekolah, karena pada tahun tersebut dikota Baghdad telah dibuka sekolah yang pertama. Usaha baik ini untuk selanjutnya diikuti oleh para raja dan para pembesar hingga ke negerinegeri dan daerah-daerah kecil. Madrasah Nizhamiyah berdiri pada tahun 457 H dan operasionalnya baru dimulai pada tahun 459 H. Madrasah ini bukan merupakan lembaga pendidikan dasar ataupun menengah, akan tetapi merupakan lembaga pendidikan tinggi yang sederajat dengan college, karena pada abad pertengahan dalam sistem pendidikan Islam tidak ada TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
320
tingkat menengah, sehingga mereka yang mau mengikuti pendidikan tinggi harus terlebih dahulu mengambil pelajaran bersama guru lain yang mempunyai kelas informal di mesjid-mesjid. Madrasah Nizhamiyah di Baghdad sangat strategis letaknya yakni dipinggir sungai Tigris, bersamaan dengan itu bangunannya sangat indah di bawah rancangan arsitektur Abu Said al-Shafi (Dalimunthe 1986: 99). Peletakan batu pertama madrasah ini pada bulan Zulhijjah tahun 457 H/ 1065 M, dan diresmikan pada tahun 459 H/ 1067 M (Makdisi, 1991: 45). Goldziher menulis bahwa berdirinya madrasah ini erat hubungannya dengan kemenangan Bani Saljuk yang beraliran Sunni atas Bani Buwaih yang beraliran Syi’i, sehingga Madrasah Nizhamiyah adalah benteng teologi Sunni (Makdisi 1991: 3). Bahkan Madrasah tersebut berpungsi sebagai pusat propaganda agama dan politik (Lapidus, tt.: 166). Menurut Azyumardi Azra (2001: 62), madrasah didirikan untuk menciptakan atau memperoleh citra penguasa sebagai orang shaleh dan memperhatikan kepentingan umat ataupun untuk menunjang kepentingan-kepentingan politik penguasa yang lainnya. Bahkan kata Abdurrasyid (1994: 6), lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi salah satu konstalasi politik sebuah kekuasaan. Sejak tahun itu kegiatan pendidikan dan pengajaran diorganisir menjadi lembaga pendidikan yang dikelolah oleh pemerintah (Ali 1984: 295). Sekolah yang didirikan oleh Nizhamul Mulk dilengkapi dengan guru-guru, keuangan yang diperlukan serta buku-buku (perpustakaan), bahkan pemerintah terlibat langsung dalam menentukan tujuantujuannya serta menggariskan kurikulum. Campur tangan pemerintah terhadap Madrasah Nizhamiyah memberi implikasi yang positif maupun negatif bagi kegiatan belajar dan kelangsungan madrasah tersebut. Reuben Levy menandaskan, karena sedemikian mansyur dan sempurnanya tata laksana fisik dan manajemen, akhirnya dijadikan model pembangunan berbagai universitas keagamaan di Eropa (Sharif, 1979: 53). Di antara motivasi yang melatarbelakangi berdirinya Madrasah Nizhamiyah adalah masalah politik dan ketenagakerjaan yang tidak TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
321
dapat dipisahkan dengan kehendak memperlancar tugas dan mempertahankan negara, baik untuk keuntungan Nizhamul Mulk sendiri maupun demi kesultanan Saljuk. Berdirinya Madrasah Nizhamiyah erat hubungannya dengan kemenangan Bani Saljuk yang beraliran Sunni, sehingga Madrasah tersebut dijadikan sebagai pusat propaganda agama dan politik. Asumsiasumsi tersebut cukup beralasan, sebab Bani saljuk terkenal sangat fanatik terhadap mazhab Sunni, sehingga dalam pemerintahannya mengikis habis paham Syi’ah yang dikembangkan oleh Bani Buwaih dan dalam rangka menghadang paham Ismailiyah yang dipropagandakan oleh Dinasti Fathimiyah di Mesir. Berdirinya Madrasah Nizhamiyah erat kaitannya dengan kondisi politik pada waktu itu. Sebelum Bani Saljuk menguasai Baghdad, pusat pemerintahan Bani Abbasiyah dikendalikan oleh Bani Buwaih. Sekitar abad ke-4 dan 5 H, daerah-daerah Islam di Timur Tengah berada di bawah pemerintahan orang-orang Syi’ah. Iraq dan Persia dikuasai oleh Bani Buwaih yang beraliran Syi’ah Zaidiyah dari tahun 320 hingga tahun 454 H. Sementara Afrika Utara, Mesir dan Syiria dikuasai oleh Dinasti Fathimiyah dari tahun 297 hingga 567 H (Boswort 1993: 120. Lihat pula Shaban 1981: 162). Bahkan pada masa al-Basasiri, Dinasti Buwaih mengadakan semacam komplotan dengan Dinasti Fatimiyah di Mesir yang beraliran Syi’ah Sabi’iyah (Hitti 1974: 474. Lihat Watt 1990: 264). Dengan demikian dua pusat penting di dunia Islam (Baghdad dan Mesir) pada waktu itu berada di bawah dominasi orangorang Syi’ah. Dalam konteks ini orang-orang Syi’ah sudah barang tentu mendapatkan angin segar dalam mengembangkan ajaran mereka. Di Baghdad misalnya, dakwah Syi’ah berkembang secara terbuka dan sekolah-sekolah Syi’ah mencapai puncaknya pada abad ke-5 H. Pada tahun 477 H, orang-orang Saljuk di bawah pimpinan Tughril Bek merebut Baghdad dari tangan Bani Buwaih. Kedatangan mereka ke Baghdad dan kemenangan mereka atas Bani Buwaih mendapat simpati dari masyarakat Sunni dan khalifah al-Qayim sendiri yang memang tidak senang terhadap penguasa Bani Buwaih.
TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
322
Kemenangan yang diraih oleh Bani Saljuk atas Bani Buwaih merupakan langkah awal kemenangan bagi aliran Ahl al-Sunnah atas aliran Syi’ah. Dengan berakhirnya kekuasaan keluarga Buwaih yang telah 113 tahun lamanya mendampingi para khalifah Abbasiyah di Baghdad dari aliran Syi’ah, maka berkuasalah Bani Saljuk yang kemudian mendampingi para khalifah Abbasiyah dari aliran Sunni (Sou’yb 1978: 7). Dengan kemenangan itu, Bani Saljuk merasa berkewajiban untuk menentang dan mengikis habis paham-paham yang menurut mereka menyimpang dari ajaran yang sebenarnya. Langkah yang paling efektif ialah dengan menyiarkan ajaran Ahl al-Sunnah dan merealisasikannya ke dalam pendidikan baik di mesjid-mesjid maupun madrasah-madrasah yang didirikan. Konsekuensi logis dari keadaan itu maka terhentilah kegiatan Bani Buwaih dalam menyiarkan ajaran-ajaran Syi’ah kepada masyarakat. Atas prakarsa Perdana Menteri Nizhamul Mulk, berdirilah lembaga pendidikan berupa madrasah-madrasah diberbagai kota. Nizhamul Mulk banyak mendirikan Madrasah seperti di Baghdad, Baleh, Nisapur, Isfahan, Harat, Basrah, Merw, Amul dan Mosul. Madrasah-madrasah ini terkenal dengan Madrasah Nizhamiyah yang dinisbatkan kepada namanya. Institusi-institusi pendidikan pada waktu itu dijadikan media utama orang-orang Sunni dalam menghadang dan mengikis habis sekaligus mengkanter ulang paham Syi’ah yang telah berkembang sebelumnya. Hal inilah yang menyebabkan aliran Sunni berkembang dengan pesatnya. Madrasah Nizhamiyah memiliki spesifikasi khusus sebagai sebuah institusi pendidikan dengan spesifikasi pada teologi dan hukum Islam. Dan karena spesifikasi ini pulalah Madasah Nizhamiyah sering disebut sebagai Universitas Ilmu Pengetahuan Teologi Islam. Casey (1987: 458) menulis bahwa berdasarkan isi piagam wakaf dari Nizhamul Mulk, fiqh yang diajarkan pada Madrasah nizhamiyah adalah fiqh Syafi’i. Hal ini bisa saja terjadi karena Bani Saljuk adalah penganut Mazhab Syafi’i yang fanatik.
TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
323
Ada satu hal yang perlu dicatat mengapa Madrasah Nizhamiyah berkembang, bahwa selain campur tangan pemerintah dalam pengadaan keuangan, fasilitas, perpustaan, para guru besar dalam Madrasah ini, adalah strategi pemerintah dalam melanggengkan kekuasaannya. Maksum (1997: 62) melukiskan bahwa sebenarnya antara mazhab yang diajarkan pada Madrasah Nizhamiyah berbeda dengan mazhab yang diantut oleh khalifah (Raja Saljuk). Nizhamul Mulk memilih mengajarkan mazhab Syafi’i dengan kalam Asy’ariyah. Sedangkan para khalifah bermazhab Hanafi dengan aliran Maturidiyah. Posisi seperti itu rupanya bukan menjadi persoalan bagi para Raja Saljuk, yang penting bagi mereka adalah kelanggengan kekuasaannya. Dengan demikian, sikap membiarkan Nizhamul Mulk dan penganut mazhabnya untuk mengambil prakarsa demikian merupakan bagian dari strateginya pula. Yang terpenting adalah kekuasaan Nizhamul Muluk dan penganut mazhabnya dapat dimanfaatkan untuk melawan Syi’ah yang menjadi musuh utamanya. Di samping itu melalui Madrasah ini, Nizhamul Mulk ingin menanamkan ideologi negara dalam rangka memperkuat kedudukannya. Karena itu pula Nizhamul Mulk memilih Madrasah sebagai tempat penyaluran wakafnya. Sebab Madrasah merupakan lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pihak lain. Terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang pada masa Bani Saljuk, para pejabat negara tidak jarang memberikan dukungan baik secara moril maupun material. Hal ini dimaksudkan untuk kepentingan politiknya, maka kelangsungan hidup Madrasah tersebut tergantung kepada uluran tangan Nizhamul Mulk dan penguasa, sehingga kelangsungan Madrasah Nizhamiyah berjalan dalam nuansa politik. Madrasah Nizhamiyah merupakan lembaga pendidikan resmi pemerintah. Bahkan pemerintah terlibat langsung dalam menentukan tujuan-tujuannya, menggariskan kurikulum, menentukan guru dan memberikan dana yang teratur. Campur tangan pemerintah terhadap Madrasah Nizhamiyah memberi implikasi yang positif maupun negatif bagi kegiatan belajar dan kelangsungan madrasah tersebut. TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
324
1. Keuangan dan Fasilitas Madrasah Nizhamiyah Madrasah Nizhamiyah adalah Madrasah yang pertama kali menerapkan manajemen yang terorganisir dalam pengelolaan kurikulum dan administrasi pendidikan. Bagi para peserta didik dan pengajar diberikan tunjangan berkala, sehingga perhatian mereka tercurah sepenuhnya kepada ilmu pengetahuan. Untuk mengelolah kesemua itu, Madrasah Nizhamiyah memiliki pendanaan lebih dari cukup. Kata Mahmud Yunus (1966: 73) anggaran Madrasah Nizhamiyah setiap tahunnya mencapai 600.000 Dinar. 60.000 Dinar daripadanya untuk kepentingan Madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Akan tetapi menurut Ahmad Syalabi (1973: 376) anggaran untuk Madrasah Nizhamiyah di Baghdad hanya mencapai 15.000 Dinar setiap tahunnya. Perbedaan besarnya jumlah biaya di atas kemungkinan bertolak dari sumber ataupun asumsi yang berbeda. Namun yang pasti sumber dana Madrasah Nizhamiyah berasal dari wakaf-wakaf yang dikumpulkan dari orang-orang kaya, saudagar, pedagang dan pejabat negara. Kata Makdisi (1991: 30) Saudagar yang terkenal sebagai pemberi wakaf kepada lembaga Syafi’iyah adalah Abu Ali al-Mani’i. Nizhamul Mulk mewakafkan buku-buku, tanah pertanian, barang-barang berharga serta pasar yang letaknya di depan Madrasah Nizhamiyah. Anggaran sebesar itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan guru-guru dan para siswa, termasuk ongkos makan, pakaian, alat-alat tidur dan kendaraan serta keperluan-keperluan lainnya yang merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan mereka. Untuk menunjang kegiatan belajar siswa, Madrasah Nizhamiyah Baghdad mempunyai perpustakaan yang termasyur dan terkenal pada masa itu. Perpustakaan tersebut memiliki buku-buku yang penting, manuskrip-manuskrip yang sangat berharga dan kitab-kitab hadis. Dengan Demikian perpustakaan Madrasah Nizhamiyah Baghdad tetap mendapatkan perhatian dari para khalifah dan pembesar. Ahmad Syalabi (1973: 180-1) menceritakan bahwa Abdul al-Salam al-Qazwaini menghadiahkan kepada Nizhamul Mulk sepuluh jilid kitab Gharibul Hadits karangan Ibrahim al-Harbi yang ditulis tangan oleh Umar Ibnu Hajawaih. Tatkala Nizhamul Mulk mendirikan sekolahTA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
325
sekolah, maka setiap sekolah tersebut dilengkapinya dengan perpustakaan. Maka oleh Nizhamul Mulk kitab Gharibul Hadits dihadiahkan kepada perpustakaan agar dapat dipelajari oleh para siswa. Demikian pula khalifah Al-Nashir li Dinillah, beliau memindahkan ribuan buku-buku miliknya ke perpustakaan. Dana untuk pembelian buku sebesar seribu Dinar, juga diterima dari Muhib al-Din ibn Najjar, pengarang Zail Tarikh Baghdad. Madrasah Nizhamiyah disamping memiliki kelas-kelas belajar dan perpustakaan, juga dilengkapi dengan asrama siswa, dapur umum, kamar mandi, pasar serta tempat ibadah. Sedangkan para guru mendapat gaji, pakaian dan fasilitas rumah tangga. Secara sketsa kasar, bangunan Madrasah Nizhamiyah di Baghdad berentuk segi empat, terletak di tepi sungai Tigris. Bangunan itu ditopang oleh tiang dengan ruang berkubah setengah terbuka mengelilingi ”Shahn” (halaman di tengah bangunan). Pada bagian yang menghadap kiblat terdapat ruang untuk sholat, lengkap dengan mimbarnya. Di bagian-bagian tertentu dari gedung, terdapat perpustakaan yang mudah untuk dijangkau. Asrama siswa terdapat pada lantai atas, sedangkan di bagian bawahnya terdapat took, kamar mandi dan dapur. Kegiatan belajar diadakan didekat tiang-tiang ataupun beranda-beranda, diperkirakan banyak terdapat ruang-ruang belajar (Dodge, 1962: 20). 2. Para Guru Besar Madrasah Nizhamiyah Menyangkut langsung aspek pengajaran, Madrasah Nizhamiyah telah menerapkan sistem guru besar (professor) dan asistennya. Metode debat (munadharah) merupakan karakteristik dalam mengukur objektivitas dan kapabilitas penguasaan materi. Walaupun bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab popularitas Madrasah Nizhamiyah, namun banyak guru-guru besar yang telah mengangkat nama madrasah ini di atas madrasah-madrasah yang lainnya. Ahmad Syalabi (1973: 243) mencatat 44 orang guru besar yang pernah mengajar di Madrasah-Madrasah Nizhamiyah. Semuanya adalah orang-orang yang mansyur dalam belantika intelektual muslim. Di TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
326
antara mereka itu, 32 orang mengajar di Madrasah Nizhamiyah di Baghdad, empat orang mengajar di Nisapur, tiga orang mengajar di Isfahan, dua orang mengajar di Narat dan Merw, Khurasan dan Mousul, masing-masing satu orang. Guru besar Madrasah Nizhamiyah yang pertama adalah Abu Nashr ibn al-Sabagh. Setelah menjabat selama 20 hari beliau digantikan oleh Abu Ishaq al-Sirozy. Abu Ishaq al-Sirozy memangku jabatan guru besar selama 16 tahun, sampai ia meninggal dunia dan penggantinya adalah Abu Sa’ad al Mutawalli. Berikut ini nama-nama para guru besar (professor) yang pernah mengajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad : Abu Nashr AshShabbagh, Abu Ishaq Asy Syirozy, Abul Qosim al-‘Alawy ad-Dabbusi, Abu Abdullah Ath-Thabary, Abdurrahman Ibnu Ma’mun, Abu Muhammad Abdul Wahhab Asy-syirozy, Abu Zakaria Yahya al-Chatib al-Tabrizi, Al-Kaya al-Hirasi, Abu Hamid al-Ghazali, Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ali al-Fashihi, Abul Fathi Ibnu Burhan, Abu Sa’idalBazzar, Ahmad al-Ghazali, Mu’inuddin Sa’id Ibnu Bazzaz, Mauhub Ibnu Ahmad al-Djawaliqi al-Baghdadi, Syarafuddin Yusuf adDimasqi, Asy-Syach Abun Najib, Radhijuddin alQazwini, Abul Barakat alAnbari, Abul Chair Isma’il al-Qazwini, Abu Thalib al-Mubarak Ibnu Mubarak, Madjuddin Abu Ali Yahya Ibnu al-Rabi’, Yahya Ibnu alQasim, Bahauddin Ibnu Syaddad, Nadjmudddin al-Badzirai, Abu alManaqib al-Zindjani, Syamsuddin al-Kabsyi, Nashiruddin al-Faruqi, madjduddin Ibnu Ja’far dan sebagainya (Syalabi 1973: 240-2). Jabatan guru besar (professor) merupakan jabatan yang paling bergengsi di Madrasah Nizhamiyah. Kedudukannya adalah sebagai wakil patron dalam urusan administrasi madrasah. Untuk membantu kelancaran tugasnya dalam menangani madrasah, seorang professor dibantu oleh seorang asisten, beberapa staf pengajar, juru tulis, pustakawan, Imam shalat, panitera, penerjemah dan sebagainya. Pada saat dinas, para guru besar memakai jubah khusus yang berwarna hitam dan biru sebagai tanda kebesarannya. Selain bertugas sebagai memimpin madrasah, para guru besar sering diberi tugas diplomatik.
TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
327
D. Hubungan Simbiosis Mutualisme Dapat dipastikan bahwa perjalanan umat Islam selalu didampingi oleh persoalan politik, karena politik adalah bagian yang menyatu dengan segala bentuk kemajuan peradaban Islam maupun kemundurannya, tidak terkecuali di bidang pendidikan. Keduanya memiliki hubungan yang sangat kuat dalam perjalanan pemikiran dan keilmuan umat Islam. Pendidikan telah sukses menjadi konstalasi politik untuk melanggengkan kekuasaan, sebaliknya kekuasaan telah menjadi patronase gerakan keilmuan dan pendidikan Islam hingga kepuncak kejayaannya. Meminjam istilah Michel Foucault ada hubungan timbal balik antara power and knowledge. Ada kaitan erat antara persoalan dan wacana keilmuan dan kependidikan dengan persoalan ideologi, politik dan budaya, seperti yang ditulis Foucault (1980: 66): No body of knowledge can be formed without a system of communications, records, accumulation and displacement which is in itself a form of power and which is linked, in its exsistence and functioning, to the other forms of power. Conversely no power can be exercised without the extraction. Appropriation, distribution or retention of knowledge. On this level, there is not knowledge on the one side and society on the other, or science and the state, but only the fundamental forms of knowledge/ power. Dari uraian di atas terlihat bahwa kejayaan pendidikan Islam mendapatkan sokongan besar dari penguasa ketika itu. Para khalifah memainkan peran besar dalam penyebaran pengetahuan dan pendirian institusi pendidikan Islam. Namun terlalu naïf untuk mengatakan bahwa keuntungan hanya semata didapatkan oleh dunia pendidikan. Di sisi lain sudah barang tentu penetrasi pemerintah dalam pendidikan mempunyai vested interest tertentu yang menguntungkan pemerintah. Keterlibatan penguasa (khalifah) terhadap Madrasah Nizhamiyah sudah jelas terlihat. Berdirinya Madrasah ini merupakan perpaduan antara motif agama dan politik. Tidaklah mengherankan, mengingat pada saat itu ahl-Sunnah baru bangkit (menang) atas Dinasti
TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
328
Fathimiyah dan Buwaih yang Syi’i. Sarjeant (1976: 73) melihat bahwa Madrasah Nizhamiyah dijadikan media utama bagi orang-orang Sunni dalam menghadang paham Syi’ah yang berkembang sebelumnya. Tujuan yang hendak dicapai madrasah ini adalah untuk mencetak birokrat-birokrat yang akan menduduki jabatan kenegaraan, atau paling tidak melalui lembaga tersebut akan lahir warga negara yang mengerti akan nilai-nilai yang dianut oleh pemerintah. Madrasah Nizhamiyah dijadikan instrumen kebijakan politik. Nizhamul Mulk atau pemerintah dapat menanamkan dokrin kenegaraan yang memperkuat kedudukan kerajaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pendidikan merupakan salah satu konstalasi politik. Di lain pihak, ketergantungan kepada uluran tangan para penguasa secara ekonomis membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku. Karena Madrasah Nizhamiyah merupakan tempat penyadaran warga negara akan hukum, maka kontrol yang ketat, yang diterapkan oleh penguasa terhadap Madrasah ini adalah logis. Patronaze Nizhamul Mulk tidak hanya menyangkut masalah keuangan dan pengadaan sarana, akan tetapi juga kurikulum dan jabatan guru besar (professor). Dengan demikian tampak jelas bahwa aktivitas akademik Madrasah Nizhamiyah tergantung kepada politik penguasa. E. Penutup Dalam sejarah pendidikan Islam pada madrasah Nizhamiyah di Baghdad tampak hubungan yang simbiosis mutalisme antara dunia politik dan dunia pendidikan. Kemajuan politik yang dicapai oleh umat Islam, berimplikasi kepada perkembangan wacana maupun institusi pendidikan. Berdirinya Madrasah Nizhamiyah erat hubungannya dengan kemenangan Bani Saljuk yang beraliran Sunni, sehingga Madrasah tersebut dijadikan sebagai pusat propaganda agama dan politik. Bani Saljuk terkenal sangat fanatik terhadap Mazhab Sunni, sehingga dalam pemerintahannya mengikis habis paham Syi’ah yang dikembangkan oleh Bani Buwaih TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
329
Madrasah Nizhamiyah merupakan lembaga pendidikan resmi pemerintah. Bahkan pemerintah terlibat langsung dalam menentukan tujuan-tujuannya, menggariskan kurikulum, menentukan guru dan memberikan dana yang teratur, dan mengadakan fasilitas yang lengkap. Campur tangan pemerintah terhadap Madrasah Nizhamiyah memberi implikasi yang positif maupun negatif bagi kegiatan belajar dan kelangsungan madrasah tersebut. Selain ketergantungan Madrasah kepada uluran tangan para penguasa. Madrasah memainkan peranan yang cukup besar dalam kancah politik, paling tidak ikut mengokohkan dan melanggengkan kekuasaan politik para penguasa.
TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
330
Daftar Pustaka Ali, K. 1984. Sejarah Islam: Tarikh Pra-Modern. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Bayard, Dodge. 1962. Moslim Education in Medieval Times. Washington: The Middle East Institute. Cesey, Monica E. 1987. Nizham al-Mulk dalam Mircea Eliade (Ed.) The Encyclopaedia of Religion. Volume X. New York: Collier. Bosworth, C. E. 1993. Dinasti-dinasti Islam. (Terj.) Ilyas Hasan. Bandung: Mizan. Coombe, Trevor. tt. Education and Policy in Development Countries. USA: Harvard University, Dalimunthe, Fakhrur Rozy. 1986. Sejarah Pendidikan Islam: Latar Belakang, Analisa dan Pemikirannya. Medan: Rimbow. Foucaullt, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977. Hemel Hempstead Hears: Harvester Press. Haque, Atiqul. 1988. Wajah Peradaban: Menelusuri Jejak Pribadipribadi Besar Islam. Bandung: Zaman. Hitti, Philip K. 1974. History of the Arab. London: Macmillan Press. Langgulung, Hasan. 1992. Asas-asas Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Al-Husna. Makdisi, G. 1991. Religion, Law and Learning in Classical Islam, Varioum. Maksum. 1999. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos. Murodi. 1997. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: Toha Karya. Nasution, Harun. 1985. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Jakarta: UI-Press. Sabine, G.B. 1977. Teori-teori Politik: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Terj.) Soewarno Hadiatmodjo. Jakarta: Bina Cipta. Sarjeant. 1976. The Islamic City, New York: Unesco. Shaban, M.A. 1981. Islamic History: A New Interpretation. Volume, II. Cambridge: C.U. Press. TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
331
Sharif, M.M. 1979. Alam Pemikiran Islam: Peranan Umat Islam dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Terj.) Fachruddin. Bandung: Diponegoro. Sirozi, Muhammad. tt. Memahami Hubungan antara Pendidikan dan Politik (makalah). Sou’yb, Joesoep. 1978. Sejarah Daulah Abbasiyah. Jakarta: Bulan Bintang. Syalabi, Ahmad. 1973. Sejarah Pendidikan Islam. (Terj.) H. Muchtar Yahya dan M. Sanusi Latief. Jakarta: Bulan Bintang. Syalabi, Ahmad. 1997. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: AlHusna Zikra. Watt, Montgomery. 1990. Kejayaan Islam. (Terj.) Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Wacana. Yatim, Badri. 1996. Sejarah Kebudayaan Islam. Jilid II. Jakarta: UIPress. Yatim, Badri. 2002. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Yunus, Mahmud. 1966. Sejarah pendidikan Islam. Jakarta: Mutiara.
TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
332
TA’DIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014