PEMBAHASAN UMUM Sorgum merupakan salah satu tanaman serealia yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap kekeringan sehingga berpotensi untuk dikembangkan di lahan kering masam di Indonesia. Tantangan budidaya di lahan masam adalah cekaman Al yang dapat menurunkan produktivitas tanaman. Cekaman Al dapat menyebabkan terhambatnya pembelahan sel akar yang menyebabkan akar menjadi pendek serta tereduksinya percabangan dan rambut akar (Silva et al. 2000; Vitorello et al. 2005). Terhambatnya pertumbuhan akar menyebabkan terganggunya serapan air dan hara yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman. Toksisitas Al juga berpengaruh pada berkurangnya pembukaan stomata, penurunan aktivitas fotosintetik, klorosis dan nekrosis sehingga pada akhirnya dapat menurunkan total biomassa (Vitorello et al. 2005). Menurut Agustina (2011), genotipe sorgum toleran dapat beradaptasi di lahan masam karena memiliki perakaran yang lebih baik dibandingkan genotipe peka yang ditunjukkan melalui keragaan bobot kering akar, panjang akar, panjang tajuk dan bobot kering tajuk. Selain itu, toleransi sorgum di lahan masam diindikasikan dengan kemampuan tanaman dalam mengakumulasi bobot biomasa. Dalam mengatasi lahan masam, penggunaan varietas toleran diperkirakan lebih efektif untuk meningkatkan produktivitas tanaman dibandingkan dengan pemupukan dan pengapuran lahan. Menurut Horst (2000), penggunaan genotipe toleran dapat mengatasi cekaman di lahan masam dengan mengurangi pemakaian pupuk melalui: 1) pertumbuhan akar yang lebih dalam sehingga lebih efisien mengambil unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam dan mengurangi pencucian hara, 2) produksi biomasa yang lebih banyak untuk mengurangi pencucian hara sehingga siklus hara lebih intensif dan lebih mempertahankan kandungan bahan organik tanah untuk mengurangi erosi dan meningkatkan proteksi tanaman. Pemuliaan tanaman untuk memperoleh genotipe toleran lahan masam dapat dimulai dengan persilangan. Penelitian ini menggunakan materi genetik berupa generasi F4 dan F5 hasil seleksi yang berasal dari persilangan yang tetua peka lahan masam (UPCA S1) dan toleran lahan masam (Numbu). Persilangan kedua tetua yang memiliki tingkat toleransi yang berbeda jauh untuk lahan masam
78
sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif). Pemilihan tetua untuk merakit tanaman toleran lahan masam dan berdaya hasil tinggi melalui persilangan sangat bergantung pada pemilihan tetua. Penampilan kedua tetua dan daya gabung keduanya akan menentukan arah pemuliaan tanaman yang sesuai (Bawazir 2009). Selain toleransinya di lahan masam, Numbu merupakan varietas yang tergolong sebagai sorgum manis sehingga berpotensi untuk menghasilkan bioetanol. Varietas Numbu juga berpotensi sebagai sorgum biji karena produksi bijinya yang tinggi. UPCA S1 merupakan tetua peka lahan masam, namun demikian UPCA S1 diketahui memiliki toleransi yang baik pada lahan kering. Selain itu, UPCA S1 merupakan sorgum biji karena produksinya yang baik di lahan optimal. Pendugaan aksi gen dapat dilakukan berdasarkan sebaran populasi dengan pendekatan nilai skewness dan kurtosis. Pendugaan aksi gen efektif dilakukan terhadap populasi F2 dimana terjadi segregasi maksimum dari suatu persilangan. Namun demikian, pada populasi F4 masih dapat dipelajari pendugaan aksi gen melalui sebaran populasi. Hasil penelitian terhadap populasi F4 di lahan masam menunjukkan bahwa selain aksi gen aditif serta masih terdapat pula aksi gen epistasis yang mengendalikan karakter agronomi sorgum di lahan masam. Epistasis merupakan hal yang sering dijumpai pada cekaman lahan masam (Ceballos et al. 1998). Hal ini disebabkan oleh saling berinteraksinya gen-gen dalam mengendalikan daya adaptasi tanaman di lahan masam. Namun demikian, dengan bertambahnya generasi maka akan mengurangi pengaruh epistasis dan meningkatkan aksi gen aditif. Keragaman genetik pada populasi F4 tergolong sempit sampai luas pada karakter agronomi yang diamati. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat peluang melakukan perbaikan karakter melalui seleksi pada karakter yang memiliki keragaman genetik yang luas. Seleksi terhadap populasi F4 yang dilanjutkan pada generasi F5 menunjukkan bahwa diperoleh peningkatan nilai tengah dan penurunan keragaman pada karakter agronomi yang diamati. Keragaman genetik pada karakter kualitas dari galur M9 dan varietas yang diuji menunjukkan bahwa kandungan amilosa, amilopektin dan protein memiliki
79
keragaman yang sempit. Hal ini menunjukkan bahwa untuk melakukan perbaikan karakter terhadap kandungan amilosa, amilopektin dan protein dibutuhkan perluasan keragaman yang dapat dilakukan melalui introduksi, mutasi maupun persilangan. Kandungan tanin memiliki keragaman genetik yang tinggi yang menunjukkan bahwa terdapat potensi untuk dilakukan perbaikan terhadap karakter kandungan tanin. Kandungan tanin yang rendah menguntungkan untuk kebutuhan sorgum sebagai pangan, namun tanin yang rendah umumnya rentan terhadap gangguan hama dan penyakit. Tanin yang tinggi pada sorgum dapat menguntungkan secara ekonomis karena kandungan tanin yang tinggi merupakan bentuk proteksi biji sorgum terhadap serangan hama dan penyakit. Kandungan tanin yang tinggi memerlukan pengolahan lebih lanjut untuk dapat diolah sebagai pangan. Kandungan tanin yang tinggi dapat berpotensi untuk diolah sebagai pangan fungsional karena kandungan tanin yang tinggi menunjukkan kandungan senyawa fenolik lain yang tinggi pula. Ekstraksi senyawa fenol dari biji sorgum dapat bermanfaat sebagai obat untuk mengatasi berbagai penyakit, seperti penyakit jantung, kanker dan HIV (Dicko et al. 2006). Korelasi antar karakter agronomi populasi F4 menunjukkan nilai yang positif antara bobot biji/tanaman dengan karakter agronomi yang diamati, kecuali untuk karakter kadar nira. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan karakter agronomi akan meningkatkan bobot biji/tanaman. Menurut Larik et al. (2011), karakter bobot biji/tanaman merupakan karakter yang bergantung pada proses biologi yang berlangsung selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Korelasi negatif antara bobot biji/tanaman dan kadar nira menunjukkan bahwa peningkatan bobot biji/tanaman akan menurunkan kadar nira batang sorgum. Hal ini dapat pula menunjukkan bahwa seleksi untuk perbaikan karakter bobot biji/tanaman tidak dapat diiringi dengan perbaikan karakter kadar nira. Namun demikian, diperoleh korelasi negatif yang tidak signifikan antara bobot biji/tanaman dan kadar nira pada galur mutan dan varietas yang diuji pada percobaan dua. Beberapa penelitian juga menghasilkan korelasi yang tidak signifikan antara bobot biji/tanaman dan kadar nira (Makanda et al. 2009; Kumar et al. 2010), yang menunjukkan bahwa produksi biji tidak berkaitan dengan kadar
80
nira. Menurut Rao et al. (2009), peluang untuk mendapatkan kadar nira yang tinggi pada sorgum yang berdaya hasil tinggi sangat mungkin dilakukan, terutama pada varietas hibrida. Varietas Numbu merupakan salah satu contoh yang menunjukkan bahwa terdapat varietas yang memiliki bobot biji dan kadar nira yang tinggi. Zuriat persilangan UPCA S1 dan Numbu generasi F5 juga menunjukkan terdapat 6 galur yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai sorgum yang berdaya hasil dan kadar nira tinggi. Keenam galur tersebut adalah UN-3-11-19, UN-539-19-13, UN416-4-7, UN-38-8-1, UN-505-9-15 dan UN-38-24-3. Korelasi antara karakter agronomi dan kualitas pada galur mutan M9 dan varietas yang diuji menunjukkan terdapat korelasi negatif antara karakter bobot biji/tanaman dengan kandungan protein biji. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan kandungan protein pada biji memiliki konsekuensi pada penurunan bobot biji/tanaman. Korelasi negatif antara bobot biji/tanaman dengan protein juga diperoleh pada beberapa komoditi lain, seperti pada padi (Matsue et al. 2004), durum wheat (Rharrabti et al. 1999), winter wheat (Marinciu dan Saulescu 2008) dan kacang hijau (Afzal et al. 2003). Menurut Forsyth et al. (2003), untuk memperbaiki kualitas nutrisi terutama asam amino pada protein biji sorgum melalui persilangan konvensional dibatasi oleh ketersediaan keragaman yang rendah pada plasma nutfah sebagai bahan persilangan. Keterbatasan tersebut dapat diatasi melalui rekayasa genetika dengan melakukan introduksi gen-gen yang berkaitan dengan metabolisme protein yang dapat berasal dari kerabat liar maupun gen dari organisme lain. Namun demikian, biji sorgum yang mengandung lisin (salah satu asam amino) yang tinggi berpenampilan lunak dan berkapur sehingga rentan terhadap hama dan penyakit serta mempersulit proses pengolahan sorgum lebih lanjut (Tesso et al. 2006). Selain itu, tingginya kandungan lisin pada biji sorgum menyebabkan penurunan performa karakter agronomi pada tanaman sorgum (Forsyth et al. 2003). Kandungan tanin tidak menunjukkan korelasi signifikan dengan karakter agronomi maupun karakter kualitas lain pada galur mutan M9. Namun keberadaan tanin dapat diduga dari penampilan biji pada saat panen. Biji yang mengandung tanin tinggi tidak diserang jamur, sedangkan biji yang mengandung tanin rendah
81
berpotensi untuk diserang jamur. Upaya untuk menduga tanin melalui karakter agronomi belum menunjukkan hasil yang kemungkinan disebabkan jumlah galur dan varietas yang digunakan untuk pendugaan belum memadai. Selain itu, kemungkinan juga disebabkan masih diperlukan pengamatan terhadap karakter agronomi sehingga memperbesar peluang diperolehnya karakter agronomi yang berkaitan dengan kandungan tanin. Seleksi dilakukan secara langsung berdasarkan karakter bobot biji/tanaman dan bobot biomasa. Pemilihan berdasarkan bobot biji/tanaman disebabkan karena karakter tersebut merupakan karakter daya hasil yang menjadi target pada pemuliaan tanaman. Pemilihan bobot biomasa sebagai karakter seleksi disebabkan karena karakter tersebut merupakan karakter daya adaptasi sorgum terhadap cekaman lahan masam. Kombinasi kedua karakter sebagai karakter seleksi diharapkan akan menghasilkan tanaman yang memiliki toleransi terhadap lahan masam dan berdaya hasil tinggi. Galur-galur yang terpilih pada generasi F5 merupakan galur yang memiliki bobot biomasa dan bobot biji/tanaman yang besar. Besarnya kedua karakter tersebut dapat memberikan gambaran ukuran tanaman yang diperoleh. Tanaman yang besar membutuhkan ruang pertanaman yang besar sehingga dapat menurunkan jumlah tanaman pada luasan areal pertanaman. Selain itu, tanaman yang besar umumnya memerlukan input pemeliharaan yang besar dalam budidaya. Namun demikian, hal ini dapat diimbangi dengan pemanfaatan galurgalur tersebut. Galur-galur yang dihasilkan berpotensi sebagai penghasil biji untuk pangan, batangnya dikonversi untuk bioetanol dan hijauannya dipergunakan sebagai pakan ternak. Ideotipe sorgum sebagai penghasil biji untuk pangan toleran lahan masam adalah tanaman sorgum yang memiliki karakter produktivitas tinggi, stabilitas produksi pada kondisi lingkungan yang bervariasi, berstruktur pendek, berumur genjah, toleran terhadap aluminium, tahan terhadap hama dan penyakit, serta kualitas biji yang baik (Acquaah 2007). Galur-galur terpilih pada generasi F5 dapat memenuhi kriteria tersebut, kecuali untuk tinggi tanaman. Karakter tinggi tanaman memiliki keragaman genetik yang sempit, yang kisarannya mencapai 154.20-247.60. Untuk sorgum penghasil biji, tanaman yang terlalu tinggi akan
82
mempersulit pemanenan. Perbaikan karakter tinggi tanaman untuk memilih tanaman yang lebih rendah dari 150 cm masih mungkin dilakukan dengan cara memperbesar jumlah tanaman yang akan diseleksi. Namun generasi penanaman juga perlu diperhatikan, mengingat generasi penanaman selanjutnya adalah generasi F6 sehingga semakin memperkecil peluang diperolehnya tanaman yang pendek. Seleksi berdasarkan karakter bobot biji/tanaman dan bobot biomasa menghasilkan 14 galur yang berdaya hasil tinggi. Efektivitas seleksi terhadap kedua karakter tersebut dapat dilihat dari respon seleksi positif (realized selection) generasi F5 dibandingkan dengan generasi F4. Selain itu efektivitas seleksi juga dapat dilihat dari realized heritability dengan melakukan perbandingan realized selection dengan diferensial seleksi. Realized heritability karakter bobot biji/tanaman menghasilkan nilai 94.42%.