Kaeya parmuk memang penuh pesona. Masalah pergulatan batin baik dalam upaya mencari jati diri maupun menghadapi berbagai benturan budaya,hampir tak pernah lepas dari pengamatannya.”
KOMPAS … sebuah misteri pembunuhan yang menegangkan … sebuah perenungan mendalam tentang cinta dan kegigihan artistik …. Namaku Mtiah Kirmizi bermula di Istanbulsimbol tonggak kejayaan-Islam yang terakhirdi ujung abad keenam belas, saat Sultan secara diamdiam menugaskan pembuatan sebuah buku tak biasa untuk merayakan kejayaannya, yang dihiasi ilustrasi para seniman terkemuka saat itu. Ketika seorang seniman dibunuh secara misterius, seorang lelaki muram dengan masa silam sekelam namanya ditugasi untuk mengungkap misteri pembunuhan yang pada akhirnya menguak |e)ak benturan peradaban Timur dan Baratdua cara pandang dunia yang berbeda, berkaitan dengan kebudayaan, sejarah, dan identitas yang memicu konflik tak berkesudahan. Melalui karya cemerlang ini, yang diramu dengan intrik seni dan politik.dongengdongeng klasik, serta kisah cinta bercabang yang getir, Orhan Pamukpemenang Hadiah Nobel Sastramengukuhkan dirinya sebagai salah satu novelis terbaik dunia saat ini. m Novel ini paling tidak telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa dan memenangkan sejumlah hadlah sastra internasional terkemuka, antara lain Prix du Meilleur Livre Etranger 2002 (Prancis). Premio Grinzane Cavour 2002 (Italia), dan International IMPAC Dublin Literary Award 2003 (Irlandia). Pamukkelahiran Turki, 7 Juni 1952juga merupakan peraih Peace Prize ol the German Book Trade (Jerman, 2005) dan Prix Medicis Etranger (Prancis, 2005) untuk novel terakhirnya. Snow (Kor, 2002Salju). Kini ia menetap di Istanbul. Penulis novel Turki yang paling terkemuka dan salah seorang tokoh sastra yang paling menarik … ‘Seorang pendongeng kelas satu.’
TIMES LITERARY SUPPLEMENT JBN: 979-11 “Anda akan menemukan keasyikan bermain puzzle, tentunya yang tak terlalu rumit, apalagi puzzle berisi pembunuhan, intrik sosial, dan latar belakang sejarah dan peradaban Islam, yang diramu secara romantis dengan cinta, seks, dan drama. My Name is Red menjadi novel tebal yang asyik dibaca lebih dari sekali, hanya untuk menguji, seobjektif apa kita meningkahi argumentasi.” PIKIRAN RAKYAT “Reputasi internasional Pamuk makin mencorong ketika ia memublikasikan BenimAdim Kirmizi(My Name is Reef) pada 2000. Novel ini campuran misteri, roman, dan tekateki filosofis dengan setting Istanbul abad ke-16.” KORAN TEMPO “My Name is Red mendapat pujian dari para pengamat sastra dunia. Novel-novel
Pamuk banyak mengemukakan pertikaian antara kelompok muslim dan sekuler yang hidup di Turki, yang ditulis dengan cukup teliti, termasuk lokasi kejadian.” MEDIA INDONESIA “Fenomena Estetik Orhan Pamuk memang pantas mendapat Hadiah Nobel. My Name is Red memang hebat. Beda dengan Eco yang hanya punya satu kisah, yaitu kisah detektif, Pamuk menampilkan kisah cinta, ditambah lagi kisah penggalan sejatah Turki di abad silamnya serta diskusi tentang estetika seni hias buku.” IKRAHEGARA “Yang puitik, yang ‘aneh’, yang tak harus seratus persen dipahami, memang hadir dalam prosa Pamuk yang bisa halus, bisa kocak, bisa cemerlang, dan bisa mengejutkan itu. Dalam My Name is Red, pelbagai karakter bicara dalam sebuah cerita pembunuhan pada abad ke-16termasuk si korban (‘Aku sebuah mayat1), si pembunuh yang tak bernama, dan seekor anjing. Dan dari gaya yang mulamula realistis kita langsung masuk ke kisah si Hitam yang melakukan apa saja dalam waktu sepekan: menyeberangi Bosphorus, cerai lewat pengadilan, kawin secara meriah, memandikan mayat, dan potong rambut….” goen awan muh am ad menghdangkan tsaxklsah piilian. fiksi roaipui fwnfiksi, yang cerdas sekaligus mel*fwr
ORHAN PAMUK My Name is sebuah novel Š Orhan Pamuk, 2001 Diterjemahkan dari My Name is Red (terjemahan ErdaS M. Goknar dari Benim Adim Kirmizi, 1998), karangan Orhan Pamuk, terbitan Faber and Faber, London, 2002 Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit Penerjemah: Atta Verin Penyunting: Anton Kurnia Perwajah Isi: Fadly & Nana PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jin. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta 12730 www.serambi.co.id;
[email protected] Cetakan I: Desember 2006 ISBN: 979-1112-40-1 Orang yang buta dan orang yang melihat tidaklah sama. (Fatir: 19) Dan kepunyaan Aliahlah Timur dan Barat. (Al-Baqarah: 115)
TENTANG PENGARANG ORHAN PAMUK lahir pada 7 Juni 1952 di Istanbul, Turki. Ia adalah pengarang tujuh
novel. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa, lima di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. The White Castle (Beyaz Kale, 1985) memenangkan Independent Award for Foreign Fiction pada 199D, dan penerbitan The New Life (Yerti Hayat, 1995-) menyebabkan sebuah sensasi di tanah airnya, sekaligus menjadi buku yang paling cepat terjual habis dalam sejarah Turki. My Name is Red (Bertim Adim Kirmizi, 1998-Namaku Merah Kirmizi) telah terjual ratusan ribu eksemplar. Novel ini meraih berbagai penghargaan, antara lain Prix du Meilleur Livre Etranger (Prancis, 2DD2), Premio Grinzane Cavour (Italia, 2DD2), dan International IMPAC Dublin Literary Award (Irlandia, 2003). Pamuk juga merupakan peraih Peace Prize of the German Book Trade (Jerman, 2005) dan Prix Medicis Etranger (Prancis, 2005) untuk novel terakhirnya, Snow (Kar, 2002-Salju). Kini ia menetap di Istanbul. KISAH MEMUKAU TENTANG BENTURAN DUA PERADABAN Catatan Penyunting Benim Adim Kirmizi (1998)judul asli buku initak pelak merupakan sebuah novel yang mengukuhkan nama pengarangnya, Orhan Pamuk, sebagai salah satu novelis terbaik dunia saat ini. Novel ini secara cemerlang menggabungkan teka-teki misteri, kisah cinta, dan renungan filsafati yang berlatar masa kekuasaan Sultan Murat III di Kesultanan Utsmaniyah dalam sembilan hari musim salju 1591, sekaligus mengajak para pembacanya untuk mengalami ketegangan antara Timur dan Barat dari perspektif yang sangat memukau. Kisah indah dan memikat ini bermula di Istanbulsimbol tonggak kejayaan Islam yang terakhirdi ujung abad keenam belas, saat sang Sultan secara diamdiam menugaskan pembuatan sebuah buku tak biasa untuk merayakan kejayaannya, dihiasi ilustrasi para seniman terkemuka saat itu. Ketika seorang seniman yang mengerjakan buku itu dibunuh secara misterius, seorang lelaki muram dengan masa silam sekelam namanya ditugasi untuk mengungkap misteri pembunuhan yang pada akhirnya menguak jejak benturan peradaban Timur (Turki-Islam) dan Barat (EropaKristen)dua cara pandang dunia berbeda yang pada akhirnya memicu konflik tak berkesudahan, bahkan hingga saat ini. Dalam sebuah wawancara tentang novel yang ditulisnya selama enam tahun ini, Pamuk menegaskan pandangannya tentang betapa perbedaan hendaknya tidak dijadikan alasan untuk bertikai dan saling membunuh, “Dua cara yang berbeda dalam melihat dunia dan bercerita ini tentu saja berkaitan dengan kebudayaan kita, sejarah kita, dan apa yang kini secara luas disebut identitas. Seberapa dalam mereka terlibat dalam konflik? Dalam novel saya, mereka bahkan saling membunuh karena pertentangan antara Timur dan Barat ini. Namun, tentu saja, saya berharap para pembaca menyadari bahwa saya tidak percaya pada konflik ini. Karya seni yang baik muncul dari perpaduan beragam hal yang berasal dari aneka akar dan budaya, dan semoga novel ini mampu menggambarkannya.” Benim Adim Kirmizi (diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai My Name Is Red pada 2DD1, dan kini diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Atta Verin, seorang wartawati dan penulis, dengan judul Namaku Merah Kirmizi) paling tidak telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa dan memenangkan sejumlah hadiah sastra internasional terkemuka, antara lain Prix du Meilleur Livre Etranger 2DD2 (Prancis), Premio Grinzane Cavour 2DD2 (Italia), dan International IMPAC Dublin Literary Award 2DD3 (Irlandia). Ketika ditanya, apakah pengaruh kemenangan hadiah IMPAC (nilainya sekitar 1,2 miliar rupiah) itu atas kehidupan dan karyanya, dengan santai Pamuk yang telah berkali-kali dicalonkan sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra menjawab, “Tiada yang berubah dalam hidup saya karena saya bekerja sepanjang waktu. Saya telah menghabiskan 30 tahun untuk menulis karya sastra. Selama 10 tahun pertama, saya khawatir soal uang dan tak seorang pun bertanya berapa banyak uang yang saya hasilkan. Dalam 10 tahun kedua, saya menghabiskan banyak uang dan tak seorang pun bertanya tentang hal itu. Kini, saya telah
menghabiskan 10 tahun terakhir dan setiap orang ingin tahu bagaimana saya menggunakan uang itu ….” Siapakah sesungguhnya Orhan Pamuk? Ia dilahirkan sebagai Ferit Orhan Pamuk di Istanbul pada 7 Juni 1952 dari sebuah keluarga beradaayahnya adalah CEO pertama IBM Turki. Pamuk menghabiskan sebagian besar hidupnya di Istanbul, diselingi masa tiga tahun di New York saat ia menjadi dosen tamu di Universitas Columbia dari 1985 hingga 1988. Setelah sempat kuliah arsitektur selama tiga tahun di Universitas Teknik Istanbul karena tekanan keluarganya yang ingin agar ia menjadi insinyur, ia memutuskan keluar untuk menjadi penulis penuh waktu dan berkonsentrasi menulis novel pertamanyawalaupun kemudian ia menyelesaikan kuliahnya di jurusan jurnalistik Universitas Istanbul pada 1977. Pamuk pernah menikah dengan Aylin Turegen pada 1982, tetapi mereka bercerai sembilan belas tahun kemudian. Keduanya memiliki seorang anak perempuan, RCiya (untuknya novel Benim Adim Kirmizi dipersembahkan). Pamuk yang awalnya lebih tertarik pada seni rupa mulai menulis secara serius pada 1974. Novel pertamanya, Karaniik ve Isik (Gelap dan Terang) memenangi sayembara penulisan novel Milliyet Press 1979. Novel ini kemudian diterbitkan dengan judul Cevdet Bey ve Oguiiari (Tuan Cevdet dan Anakanaknya) pada 1982, dan memenangkan Hadiah Sastra Orhan Kemal pada 1983. Novel ini berkisah tentang tiga generasi sebuah keluarga Istanbul kaya yang hidup di Nisantasi, sebuah kawasan makmur di Istanbul tempat Pamuk dibesarkan. Pilihan tepat atas jalan hidupnya ditandai dengan sejumlah penghargaan yang diraih Pamuk untuk karya karya awalnya, termasuk Hadiah Madarali 1984 untuk novel keduanya Sessiz Ev (Rumah yang Sunyi) dan Prix de la Decouverte Europeenne 1991 untuk terjemahan bahasa Prancis novel ini. Novel historisnya, Beyaz Kale (Kastil Putih, 1985diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai White Castle pada 199D), memenangkan Independent Foreign Fiction Prize di Inggris pada 199D dan memperluas reputasinya di luar negeri. The New York Times Book Review yang berwibawa itu bahkan menulis tentang Pamuk dengan pujian setinggi langit, “Bintang baru telah terbit di Timur: Orhan Pamuk, seorang penulis Turki.” Novel Pamuk berikutnya, Kara Kitap (Buku Hitam, 1990), menjadi salah satu bacaan paling kontroversial dalam sastra Turki karena kompleksitas dan kekayaannya. Pada 1992, ia menulis naskah untuk film Gizli Yiiz (Wajah Rahasia) berdasarkan novel Kara Kitap yang disutradarai oleh sineas Turki terkemuka, Omer Kavur. Novel keempatnya, Yeni Hayat (Hidup Baru), menimbulkan sensasi di Turki saat terbit pada 1995 dan sempat menjadi buku terlaris dalam sejarah negeri itu. Reputasi Pamuk kian melambung seiring terbitnya novel Benim Adim Kirmizi ini pada 1998. Novel paling mutakhir Pamuk adalah Kar (Salju, 2002 diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai Snow, 2004), yang membahas konflik antara Islam dan Barat di Turki modern. The New York Times mencatat Snow sebagai salah satu dari Sepuluh Buku Terbaik 2004. Sementara itu, terjemahan bahasa Prancis novel ini, Neige, meraih Prix Medicis 2005. Pamuk juga menerbitkan karya nonfiksi, antara lain sebuah catatan perjalanan, IstanbulHatiralar ve Sehir (IstanbulKenangan dan Kota,2003). Karya-karya Pamuk umumnya bercirikan kegamangan atau hilangnya identitas yang sebagian ditimbulkan oleh benturan antara nilai-nilai Eropa dan Islam. Karya karyanya kerap mengganggu dan menggelisahkan, dengan alur yang rumit dan memikat, serta penokohan yang kuat. Di negerinya sendiri yang penduduknya mayoritas muslim, ia dianggap pemberontak karena menentang fatwa hukuman mati terhadap Salman Rushdie dan membela hak-hak etnis minoritas Kurdi. Ia juga bicara lantang tentang hak-hak asasi manusia,
hak-hak perempuan, reformasi demokratis, dan isuisu lingkungan hidup. Akibat keberaniannya dalam menyuarakan kebenaran walaupun getir, pada 2005 pemerintah Turki menjeratnya dengan tuduhan kriminal setelah ia membuat pernyataan keras dalam wawancara dengan Das Magazin, sebuah majalah terbitan Swiss pada Februari 2005. Dalam wawancara itu Pamuk menyatakan, “Tiga puluh ribu orang Kurdi dan sejuta orang Armenia dibunuh di negeri ini dan tak seorang pun yang berani berbicara tentang hal ini, kecuali saya.” Bila dinyatakan bersalah dalam sidang pengadilan, Pamuk bisa dipenjarakan hingga tiga tahun. Pada Oktober 2005, Orhan Pamuk memenangkan Hadiah Perdamaian dalam Pameran Buku Jerman untuk karya karya sastranya yang dianggap berhasil mengemukakan konflik nilai antara peradaban Eropa dan Turki-Islam. Ini adalah hadiah buku paling bergengsi di Jerman. Walaupun tengah menghadapi ancaman serius di negerinya sendiri, dalam pidato yang disampaikannya pada upacara pemberian hadiah itu, Pamuk menegaskan kembali kesaksiannya, “Saya ulangi, saya katakan dengan jelas bahwa sejuta orang Armenia dan tiga puluh ribu orang Kurdi telah dibunuh di Turki.” Tuduhan dan ancaman terhadap Pamuk mengundang reaksi internasional. Pada 1 Desember 2005, Amnesti Internasional menyerukan agar Pamuk dibebaskan. Dalam bulan itu juga, delapan pengarang terkemuka duniaJose Saramago (Portugal), Gabriel Garcia Marquez (Kolombia), Giinter Grass (Jerman), Umberto Eco (Italia), Carlos Fuentes (Meksiko), Juan Goytisolo (Spanyol), John Updike (Amerika Serikat), dan Mario Vargas Llosa (Perumengumumkan pernyataan bersama yang mengecam tuduhan-tuduhan terhadap Pamuk sebagai pelanggaran atas hak-hak asasi manusia. Namun, ironisnya, di saat yang sama sebagian rekan sebangsanya justru menyerang Pamuk karena ia dianggap terlalu memusatkan kritiknya terhadap “Turki dan orang Turki”, tetapi tidak bersuara keras terhadap pemerintah pemerintah lain yang juga berbuat kejahatan serupabaik di masa lalu maupun di masa kini. Selain itu, sebagian pengamat mencurigai pernyataan kerasnya itu hanyalah siasat agar ia memenangkan Hadiah Nobel Sastra 2005 yang kemudian dianugerahkan kepada sastrawan Inggris, Harold Pinter. Terlepas dari segala kontroversi yang melingkupi penulisnya, bagi khalayak pembaca di Indonesia, novel ini tentu merupakan sebuah bacaan bermutu yang layak disimak. Melalui karya cemerlang yang diramu dengan intrik politik, dongeng klasik, dan kisah cinta bercabang yang getir ini, Orhan Pamuk membuktikan diri sebagai salah satu sastrawan terkemuka dunia masa kini. Salam dan selamat membaca. Anton Kurnia Un tukRiiy a Bab 1
AKU ADALAH SESOSOK MAYAT KINI AKU hanyalah sesosok mayat, sesosok tubuh di dasar sebuah sumur. Walaupun sudah lama sekali aku mengembuskan napas terakhirku dan jantungku telah berhenti berdetak, tak seorang pun tahu apa yang terjadi padaku, selain pembunuh keji itu. Sementara bajingan itu, ia merasakan detak nadiku dan mendengarkan desah napasku untuk memastikan apakah aku sudah mati. Setelah itu, ia menendang bagian depan tubuhku, menyeretku ke mulut sumur, mengangkat tubuhku, dan menjatuhkannya
ke dalam sumur. Begitu jatuh, kepalaku, yang telah ia hantam dengan sebongkah batu, pecah terbelah. Wajahku, keningku, dan kedua pipiku hancur, tulangtulangku berantakan, dan mulutku penuh darah. Selama hampir empat hari aku menghilang: Istri dan anakanakku pasti mencaricariku; putriku menangis habis habisan, dan dia pasti akan memandangi gerbang halaman rumah dengan cemas. Ya, aku tahu mereka semua akan berada di jendela, mengharapkan kepulanganku. Tetapi, apakah mereka sungguhsungguh menantiku? Aku bahkan tidak terlalu yakin tentang hal itu. Mungkin saja mereka sudah mulai terbiasa dengan ketiadaankubetapa menyedihkan! Karena di sini, di sisi lain, seseorang merasakan kehidupan terdahulunya terus bertahan. Sebelum aku lahir, ada suatu masa yang tak terbatas, dan setelah aku mati, terbentang masa yang tiada terhingga. Tak pernah kupikirkan sebelumnya: Aku telah menjalani kehidupan yang gemilang di antara dua kegelapan yang abadi. Aku sangat bahagia. Aku sadar sekarang bahwa aku pernah bahagia. Aku membuat hiasan hiasan terbaik di dalam bengkel kerja Sultan kami. Tak seorang pun mampu menandingi keahlianku. Melalui pekerjaan yang kulakukan secara pribadi, aku menghasilkan sembilan ratus keping rak sebulan yang hanya membuat semua ini semakin berat untuk kutanggung. Aku bertanggung jawab melukisi dan menghiasi bukubuku.* Aku menghiasi pinggiran halamannya, mewarnai ujung-ujungnya dengan corak-corak dedaunan, kuntum-kuntum mawar, bebungaan, dan burungburung yang paling tampak hidup. Aku melukis awan bergaya Cina, sekelompok pepohonan cemara yang lebat, dan hutan berwarnawarni yang menyembunyikan kijang, perahu, para sultan, pepohonan, istana-istana, kuda, dan para pemburu. Waktu aku masih muda, aku menghiasi piring, atau bagian belakang cermin, atau sebuah meja, atau kerap kali langit-langit atau seluruh bagian rumah megah bangsawan Bosphorusť, atau bahkan hanya menggambari sebuah sendok kayu. Di tahuntahun *Pada sekitar abad keenam belas itu para penguasa kerap menugaskan para seniman terkemuka untuk menghiasi bukubuku pesanan istana dengan dekorasi berukuran kecil pada pinggiran buku dan memberi ilustrasi pada manuskrip manuskrip cerita. Para seniman yang masingmasing memiliki keahlian khusus ini disebut miniaturis, iluminator, dan ilustrator. #*Para bangsawan Turki yang tinggal di sekitar Selat Bosphorus, sebuah selat yang menghubungkan Laut Hitam dan Laut Marmara dan memisahkan daratan Eropa dengan benua Asia. Dekat ujung sebelah selatan selat sepanjang 31 km itu terdapat Golden Horn, pelabuhan Istanbul. berikutnya, aku hanya berkarya di atas lembaran-lembaran manuskrip, karena Sultan kami membayarnya dengan sangat dermawan. Tak bisa kukatakan bahwa hal itu tidak penting lagi sekarang. Kau bisa menakar nilai uang bahkan setelah kau mati. Setelah mendengar keajaiban suaraku, kau mungkin akan berpikir, “Siapa yang peduli pada yang kauperoleh saat kau masih hidup? Katakan padaku apa yang kaulihat. Benarkah ada kehidupan setelah mati? Di manakah sukmamu? Bagaimana dengan surga dan neraka? Bagaimana rasanya mati? Apakah kau merasa sakit?” Kau benar, mereka yang masih hidup sangat penasaran mengenai kehidupan sesudah mati. Mungkin kau pernah mendengar kisah tentang seorang lelaki yang dikuasai oleh keingintahuannya sehingga ia menjelajah di antara para serdadu di medan perang. Ia mencari orang yang sudah mati yang hidup kembali di antara orangorang terluka yang sedang mencoba bertahan hidup di kubangan darah, seorang serdadu yang bisa menceritakan padanya tentang rahasia-rahasia dunia lain. Namun, salah seorang tentara Timurlengť, yang menganggap si pencari itu sebagai musuh, membelah tubuhnya menjadi dua dengan satu ayunan lembut pedang scimitar” miliknya, membuat lakilaki itu menyimpulkan bahwa di kehidupan setelah mati manusia terbelah menjadi dua.
Omong kosong! Justru sebaliknya, aku bahkan bisa mengatakan bahwa jiwa-jiwa yang terbagi dalam *Timurleng (1336-1405), atau Tamerlane bagi lidah orang Barat, seorang penguasa dan penakluk bangsa Turki kelahiran Samarkandkota tertua di Asia Tengah yang terletak di sebuah lembah di jantung Uzbekistanyang juga masih keturunan bangsa Nongol. Ia merupakan salah seorang penglima militer terbesar sepanjang sejarah yang pernah menguasai India hingga Laut Tengah. ?Pedang khas Turki, dengan bentuk yang agak melengkung dan melebar di bagian ujungnya. kehidupan berpadu dalam alam kubur. Kebalikan dari pernyataan orangorang kafir pendosa yang telah terbuai rayuan Iblis, syukurlah, ternyata kehidupan setelah mati itu memang ada, dan buktinya aku kini sedang berbicara padamu dari sini. Aku sudah mati, tetapi seperti yang bisa kaukatakan, aku belum sirna. Harus kuakui, bahwa aku memang belum menyusuri sungaisungai yang mengalir di tepi istana-istana surga yang terbuat dari perak dan emas, pepohonan berdaun lebar yang menjuntaikan buah-buah prem, serta perawan-perawan jelita, sebagaimana yang disebutkan di dalam Alquranmeskipun aku ingat dengan baik, betapa sering dan bersemangatnya aku membuat lukisan bidadari-bidadari bermata lebar yang dikisahkan dalam surat “Al-Waqi’ah.”* Di sana juga tidak ada jejak tentang sungaisungai susu, anggur, air segar, dan madu, yang diceritakan dengan sangat indah, bukan di dalam Alquran, melainkan oleh para pengkhayal cerdas seperti Ibnu Arabi. Namun, aku sama sekali tidak berniat menggoda iman mereka yang hidup lurus dalam melewati harapanharapan dan pandangan hidupnya tentang kehidupan setelah mati. Maka, izinkan aku menyatakan bahwa semua yang kulihat hanya berkaitan dengan keadaan pribadiku sendiri. Orang yang beriman meskipun hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang kehidupan setelah mati, akan tahu bahwa ketidakpuasanku terletak pada tidak kulihatnya sungaisungai di surga. Secara singkat, aku yang dikenal sebagai Elok Effendi, telah mati. Tetapi, aku belum dikuburkan, oleh karenanya sukmaku belum sepenuhnya meninggalkan ragaku. Situasi *“Dan (di dalam surga mereka memperoleh) bidadari-bidadari yang bermata jeli (menyejukkan pandangan mata)” (Q.S. 56:22) yang luar biasa ini, meskipun bukan yang pertama, telah menimbulkan penderitaan yang amat mengerikan pada bagian diriku yang baka. Meskipun aku tidak mampu lagi merasakan hancurnya tulang belulangku, atau tubuhku yang membusuk terbungkus lukaluka, dengan tulangtulang yang remuk dan setengah terbenam di dalam air sedingin es, aku tetap merasakan siksaan di dalam jiwaku yang dengan putus asa berjuang untuk keluar dari inti raganya yang fana. Rasanya seperti jika seluruh dunia ini, bersama tubuhku, sedang mengerut menjadi sebongkah kepiluan. Aku hanya bisa membandingkan pengerutan ini dengan perasaan lega yang mengejutkan yang kurasakan pada saat kematianku. Ya, aku langsung paham bahwa bajingan itu ingin membunuhku, ketika tibatiba saja ia menghantamku dengan sebongkah batu yang meremukkan tengkorak kepalaku, tetapi aku tidak percaya ia melakukannya. Seketika aku tersadar bahwa aku adalah seseorang yang penuh harapan, sesuatu yang tidak kusadari saat aku masih menjalani kehidupanku dalam bayangbayang bengkel kerja dan rumahku. Aku berjuang mempertahankan hidupku, lewat kuku-kukuku, lewat jari jemariku dan gigi geligiku, yang kubenamkan ke dalam kulitnya. Aku tidak akan membuatmu bosan dengan rincian menyakitkan dari hantaman-hantaman yang kuterima sesudahnya. Ketika aku merasakan kepedihan ini, ketika aku tahu bahwa aku akan mati, sebentuk perasaan lega menyeruak dalam diriku. Aku merasakan kelegaan ini di saat-saat kematianku; kedatanganku ke sisi lain dunia ini begitu menyejukkan, bagaikan bermimpi melihat seseorang yang jatuh tertidur. Sepatu pembunuhku yang tertutup salju
dan lumpur adalah hal terakhir yang kulihat. Aku mengatupkan kedua mataku seakanakan aku sedang memejamkan mata menjelang tidur, dan perlahanlahan aku pun mati. Keluhanku saat ini bukan karena gigigigiku yang rom-pal seperti butiran kacang ke dalam rongga mulutku yang penuh darah, juga bukan wajahku yang hancur tak bisa dikenali lagi, ataupun mengenai diriku yang ditinggalkan di dasar sebuah sumurmelainkan karena semua orang mengira aku masih hidup. Sukmaku yang gundah kini merana memikirkan keluargaku dan orangorang terdekatku yang, tentu saja, kerap memikirkanku, membayangkan diriku terlibat urusan-urusan sepele di suatu tempat di Istanbul, atau bahkan dianggap sedang mengejar perempuan lain. Cukup! Temukan jenazahku, jangan ditunda lagi, doakan aku, dan kuburkanlah ragaku. Dan yang lebih penting lagi, temukanlah pembunuhku! Karena meski kau menguburku di makam yang paling agung sekalipun, selama bajingan itu tetap bebas berkeliaran, aku akan menggeliatgeliat resah di dalam kuburku, menanti dan merasuki kalian semua dengan ketidakpercayaan. Temukan pembunuh laknat itu, dan aku akan menceritakan padamu secara terperinci tentang apa yang kulihat di alam kubur. Tetapi ketahuilah, setelah ia berhasil ditangkap, ia harus disiksa perlahanlahan dengan membengkokkan delapan atau sepuluh ruas tulangnyaaku lebih suka tulang rusuknyadengan sebuah penjepit, sebelum melubangi kulit kepalanya dengan ganco yang dibuat khusus untuk menyiksanya, dan mencabuti rambut berminyaknya yang menjijikkan, helai demi helai, agar ia memekik kesakitan setiap kali dicabut. Siapakah si pembunuh ini? Mengapa ia membunuhku dengan cara yang begitu mengejutkan? Bertanya-tanyalah, dan pikirkan baikbaik masalah ini. Kau bilang bahwa dunia ini dipenuhi penjahat-penjahat tengik yang tak berguna? Mungkinkah yang satu ini berguna, mungkinkah orang ini lain dari mereka? Jika demikian, izinkan aku memperingatkanmu: Kematianku menyembunyikan sebuah persekongkolan dahsyat terhadap agama kita, tradisi kita, dan cara kita memandang dunia ini. Bukalah matamu, temukan alasannya, mengapa musuhmusuh kehidupan yang kauyakini, musuhmusuh kehidupan yang sedang kaujalani, dan musuhmusuh Islam, telah menghancurkanku. Pelajarilah bahwa suatu hari mereka mungkin akan melakukan hal yang sama kepadamu. Satu persatu, semua yang diperkirakan oleh ulama besar Nusret Hoja dari Erzurum, yang ajarannya kusimak sambil berlinangan air mata, akan terjadi. Biar kukatakan juga bahwa jika situasi yang sedang kita hadapi ini digambarkan di dalam sebuah buku, ilustrator yang paling ahli sekalipun tidak akan mampu menggambarkannya. Sementara di dalam Alquran ampuni aku ya Allah jika aku salah memahaminyakekuatan dahsyat sebuah buku muncul dari ketidakmungkinannya diungkapkan dalam bentuk gambar. Aku meragukan dirimu bias sepenuhnya memahami fakta ini. Dengarkan aku baikbaik. Ketika aku masih menjadi seorang anak didik, aku juga merasa ketakutan, dan karenanya aku mengabaikan kebenaran-kebenaran yang sesungguhnya, serta suarasuara dari alam sana. Aku akan menertawakan hal-hal semacam itu. Namun, kini aku malah berakhir di dasar sumur jahanam ini! Ini juga bisa terjadi pada dirimu, berhati-hatilah. Sekarang, tak ada lagi yang bisa kulakukan, selain berharap diriku akan membusuk sepenuhnya, agar mereka bisa menemukanku dengan menelusuri bau busukku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain berharapdan membayangkan siksaan yang akan dilakukan oleh seseorang yang baik hati terhadap pembunuh biadab itu setelah ia tertangkap.[] Bab 2
AKU DINAMAI HITAM Tf^r SETELAH MENGHILANG selama dua belas tahun, [R/kI aku memasuki Istanbul seperti seseorang yang JlH berjalan dalam tidur. “Bumi memanggilnya,” itu fcť
yang mereka katakana tentang orang yang sekarat, dan dalam kasusku, kematianlah yang menyeretku kembali ke kota tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Saat pertama kali aku kembali, kukira yang ada hanya kematian, tetapi kemudian aku juga menemukan cinta. Cinta, entah bagaimana, berada amat jauh dan menjadi sesuatu yang terlupakan, seperti kenanganku tentang hidup di kota besar. Kota itu adalah Istanbul, dua belas tahun yang lalu, tempat aku jatuh cinta setengah mati pada adik sepupuku. Empat tahun setelah aku meninggalkan Istanbul untuk pertama kali, ketika aku mengelanai stepa-stepa tak berujung, gununggunung berselimut salju, dan kotakota melankolis di Persia, sambil mengantar surat dan mengumpulkan pajak, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku perlahanlahan akan melupakan cinta masa kecilku yang kutinggalkan itu. Dengan panik, aku berusaha mengenangnya dengan putus asa, hanya agar aku sadar bahwa selain cinta, seraut wajah yang lama tak kujumpai pada akhirnya akan memudar. Selama enam tahun yang kuhabiskan di Timur, saat berkelana atau bekerja sebagai seorang sekretaris untuk seorang pejabat daerah, aku tahu bahwa wajah yang kubayangkan bukan lagi wajah orang yang kucintai. Kemudian, dalam waktu delapan tahun, aku melupakan apa yang telah kucamkan secara salah di benakku pada saat aku berumur enam tahun, dan sekali lagi aku membayangkan seraut wajah yang sepenuhnya berbeda. Dengan cara ini, di tahun kedua belas, ketika aku kembali ke kotaku pada usia tiga puluh enam tahun, aku menjadi terpukul saat menyadari bahwa wajah orang yang kucintai sudah lama meninggalkanku. Banyak teman dan kerabat yang meninggal dalam waktu dua belas tahun pelarianku. Aku mengunjungi kompleks pemakaman yang menghadap ke Golden Horn, dan berdoa untuk ibuku, juga untuk paman-pamanku yang sudah meninggal dunia selama aku pergi. Aroma tanah berlumpur berbaur dengan kenanganku. Seseorang telah memecahkan bejana tanah liat di samping makam ibuku. Entah karena apa, begitu aku menatap bejana yang terbelah itu, aku mulai menangis. Apakah aku menangis karena kematian ibuku, atau aku menangisi kenyataan bahwa diriku ternyata masih saja berada di awal kehidupanku setelah bertahun tahun berlalu? Atau apakah karena aku tiba di ujung perjalanan hidupku? Sebongkah salju jatuh. Aku terpukau melihat kepingan salju beterbangan di sana-sini. Aku menjadi sedemikian tersesat ke dalam perubahan tak terduga dari kehidupanku, sehingga aku tidak memerhatikan seekor anjing hitam menatapku dari sebuah sudut gelap pemakaman itu. Hujan air mataku mereda. Aku menyeka hidungku. Aku melihat anjing hitam itu menggoyang-goyangkan ekornya bersahabat saat aku melangkah pergi dari pemakaman itu. Berapa waktu kemudian aku sudah menetap di lingkungan kami, menyewa salah satu rumah yang pernah ditinggali salah satu kerabatku dari pihak ayah. Sepertinya aku telah mengingatkan nyonya pemilik rumah pada putranya yang dibunuh oleh serdaduserdadu Persia dari dinasti Safawiyah* sehingga dia bersedia membersihkan rumah itu dan memasak untukku. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan sepuas hati melewati jalanan, seakanakan aku bukan sedang berdiam di Istanbul, melainkan tinggal sementara di salah satu kota di Arab, di ujung lain dunia ini. Jalanan menjadi lebih sempit, atau begitulah yang kurasakan. Di beberapa wilayah tertentu, di mana jalanan terjepit di antara rumahrumah yang saling menyandar, aku terpaksa bergesekan dengan tembok dan pintu, untuk menghindari terjangan kudakuda pengangkut beban yang sarat muatan. Tidak ada lagi orangorang kaya, setidaknya begitulah yang kulihat. Aku menyaksikan sebuah kereta yang dipenuhi hiasan, sebuah kereta kencana yang ditarik oleh kudakuda yang sombong, seperti yang bisa ditemui di Arab atau Persia. Di dekat “Pilar Terbakar”, aku menyaksikan pengemis-pengemis menjengkelkan yang berpakaian compang-camping, berkerumun saat aroma jeroan melayang keluar dari pasar penjual ayam. Salah satu dari mereka yang tampaknya buta, tersenyum saat ia mengamati salju yang berjatuhan. Aku pernah mendengar cerita tentang betapa Istanbul pernah menjadi kota yang
lebih miskin, lebih kecil, dan lebih bahagia. Aku mungkin tidak memercayainya, tetapi itulah kata hati nuraniku. Meskipun rumah kekasihku selalu Sebuah dinasti yang berkuasa di Persia pada 1500-1733 dan berasal dari sebuah suku nomaden di Turki. Dinasti ini menyatakan mazhab Syiah sebagai agama negara. berada di antara pepohonan limau dan kastanye, tetapi kini ada orang lain yang mendiaminya. Aku mengetahuinya saat aku mengingat pintunya. Aku jadi tahu bahwa ibunda kekasihku, bibiku dari pihak ibu, telah meninggal dunia, sementara suaminya, Enishteku dan putrinya telah pindah dari tempat itu. Dari sinilah aku tahu bahwa ayah dan anak perempuannya itu menjadi korban sebuah kesialan. Ada orang asing yang membukakan pintu, yang dalam situasi seperti itu bias dipastikan terjadi, tanpa sedikit pun menyadari betapa mereka sudah dengan kejam membuatmu patah hati, atau betapa hal itu telah menghancurkan mimpi-mimpimu. Aku tidak akan menceritakan semua ini padamu sekarang, tetapi izinkanlah aku berkata bahwa saat aku mengingat harihari di musim panas yang cerah, hijau, dan hangat di kebun tua itu, aku juga memerhatikan untaian es yang menggantung sebesar jari kelingkingku di cabang-cabang pohon limau. Di sebuah tempat yang menyimpan penderitaan, salju dan pengabaian hanya bisa membangkitkan kematian. Aku sudah mengetahui apa yang terjadi pada kerabat-kerabatku dari surat yang dikirimkan Enishteku padaku di Tabriz. Dalam suratnya itu, ia mengundangku kembali ke Istanbul. Ia juga menjelaskan bahwa ia sedang menyiapkan sebuah kitab rahasia untuk Sultan kami, dan bahwa ia membutuhkan bantuanku. Ia mendengar, pada suatu masa saat aku berada di Tabriz, aku pernah membuat bukubuku untuk para bangsawan Utsmaniyahť, Kesultanan utsmaniyah (orangorang Barat menyebutnya Ottoman) yang sebagian besar wilayahnya kini menjadi bagian Republik Turki didirikan oleh seorang pejuang Turki Muslim bernama Utsman. Pada 1399 ia memimpin serangan terhadap pemukiman orangorang Kristen Byzantium di bagian barat Anatolia. Ia lalu mendirikan sebuah kerajaan kecil berbatasan dengan Kekaisaran Byzantium. Setelah kematiannya pada 1334, para keturunannya memperluas kerajaannya gubernur, dan orang orang terkemuka di Istanbul. Yang kulakukan kemudian adalah menggunakan uang panjar dari para klien yang telah menata susunan manuskrip di Istanbul untuk mencari para ilustrator dan penulis kaligrafi yang frustasi karena perang dan kehadiran para serdadu Utsmaniyah. Namun, aku tidak juga meninggalkan Kazin, ataupun kota Persia lainnya, dan para empu inilahyang mengeluhkan kemiskinan dan pengabaian yang kutugaskan untuk menuliskan, memberi ilustrasi, dan menjilid halamanhalaman manuskrip yang akan kukirimkan kembali ke Istanbul itu. Kalau bukan karena kecintaan terhadap ilustrasi dan bukubuku bermutu yang ditanamkan Enishteku padaku di masa mudaku, aku tidak akan pernah melibatkan diri dalam pencarian semacam ini. Di pasar di ujung jalan, tempat Enishteku pernah tinggal, aku menemukan seorang tukang cukur, seorang ahli, di kedai cukurnya, di antara jejeran cermin, pisaupisau silet yang lurus, bejana-bejana air, sabun, dan sikat. Aku bersirobok pandang dengannya, tetapi aku tidak yakin ia mengenaliku. Menyenangkan rasanya melihat baskom tempat keramas yang digantungkan dari langit-langit dengan sebuah rantai masih saja menunjukkan kemiringan yang sama, berayun ke depan dan ke belakang saat ia mengisinya dengan air panas. Lingkungan sekitar dan jalanan yang sama yang sering kulewati di masa kecilku telah menghilang ditelan debu dan asap, berganti dengan puingpuing reruntuhan, di mana anjing anjing liar berkeliaran dan para pendatang gila menakut-nakuti anakanak setempat. Di wilayah lainnya yang juga dihancurkan api, rumahrumah orang kaya yang megah dan luas telah didirikan, dan aku hingga menjelma menjadi salah satu imperium terkuat sepanjang sejarah sampai kejatuhannya pada 1933. terpana melihat kemegahannya, terpukau oleh jendelajendela yang dihiasi kaca patri Venesia yang paling mahal, dan rumahrumah dua lantai dengan jendela
jendela yang menonjol tergantung pada dindingdinding tinggi menjulang. Seperti juga di kotakota lainnya, uang tidak lagi bernilai di Istanbul. Di saat aku kembali dari Timur, para tukang roti yang dulu menjual sekeping roti yang amat besar senilai seratus drachma dengan harga satu keping koin perak, kini memanggang roti dengan ukuran setengahnya untuk dijual dengan harga yang sama, dan roti-roti itu tidak lagi selezat di masa kecilku. Pernah almarhumah ibuku ketika dia terpaksa membelanjakan tiga keping perak untuk selusin telur, lalu berkata, “Kita harus segera pergi sebelum ayam-ayam jadi sedemikian manja, sehingga mereka berak di atas tubuh kita, bukan di tanah.” Namun, aku tahu masalah berkurangnya nilai uang itu terjadi juga di mana-mana. Kabar burung beredar bahwa kapal-kapal dagang Flanders* dan Venesia sudah dipenuhi berpetipeti koin palsu. Di pabrik uang logam istana, di mana lima ratus keping uang dibuat sekaligus dari seratus drachma perak, kini, setelah dikeruk habis untuk perang tak berkesudahan dengan orang orang Persia, delapan ratus keping uang dibuat dari jumlah yang sama. Ketika para tentara Turki menemukan koinkoin yang mereka bayarkan sesungguhnya mengambang di Golden Horn bagaikan biji-bijian kering yang berjatuhan di dok kapal para pedagang sayuran, mereka rusuh, mengepung istana Sultan Kami seolaholah tempat itu Sebuah wilayah di bagian barat laut Eropa yang sepenuhnya merdeka sekitar abad kesebelas hingga abad keempat belas. Saat ini wilayah tersebut sama dengan gabungan propinsi-propinsi Flanders di Belgia, wilayah Nord di Prancis, dan sebagian provinsi Zeelanddi Belanda. adalah benteng musuh mereka. Seorang ulama bernama Nusret yang berdakwah di Masjid Bayazid dan mengaku memiliki hubungan keluarga dengan Nabi Muhammad, telah membuat namanya masyhur dalam masa kehancuran moral, inflasi, kejahatan, dan pencurian ini. Hoja ini, yang berasal dari sebuah kota kecil Erzurum, menganggap semua bencana yang menimpa Istanbul di sepuluh tahun terakhir initermasuk kebakaran di distrik Bahcekapi dan Kazanjilar, wabah penyakit yang memakan korban puluhan ribu jiwa, perang tak berkesudahan dengan Persia yang harus dibayar oleh nyawa yang tak terhitung jumlahnya, dan kehilangan atas sebuah benteng Utsmaniyah kecil di bagian barat karena dirampas orangorang Kristen dalam revolusi disebabkan kami sudah melangkah terlalu jauh dari jalan yang dicontohkan oleh Nabi kami, karena kami mengabaikan ajaran Alquran, karena kami bertoleransi pada orang Kristen, karena kami membiarkan perdagangan anggur, dan karena kami memainkan alat-alat musik di rumahrumah para pengikut ajaran sufi. Penjual acar yang dengan penuh semangat memberitahuku tentang ulama dari Erzurum itu berkata bahwa koinkoin palsuducat baru, koinkoin Inggris yang bergambar singa, dan koinkoin Utsmaniyah yang terbuat dari perak yang bisa luntur yang mengalir di pasar dan bazar-bazar, seperti koinkoin Sirkasia, Abkhazia, Mingaria, Bosnia, Georgia, dan Armenia, yang beredar di jalanan, telah menyeret kami pada kemunduran, karena akan sulit sekali melepaskan diri dari keadaan tersebut. Aku diberi tahu bahwa berandal-berandal dan para pemberontak itu berkumpul di kedaikedai kopi, dan melakukan pemurtadan sampai fajar menyingsing; orangorang melarat berwatak peragu, orangorang yang kecanduan opium, dan para pengikut tarekat sufi Kalenderi yang mengaku berada di jalan Allah dan menghabiskan malam mereka di rumah sufi, menari-nari diiringi musik, melubangi tubuh mereka dengan besi dan melakukan segala perbuatan bejat, sebelum akhirnya bersanggama dengan ganas dengan sesama mereka sendiri dan sembarang bocah lakilaki yang mereka temui. Aku tak tahu apakah suara merdu sitar yang meng-gerakkanku mengikuti melodinya, atau apakah dalam kekacauan kenangan-kenangan dan gairah-gairahku, aku jadi merasa tak tahan pada si penjual acar yang licik ini dan mengikuti suara musik sebagai jalan untuk terlepas dari percakapan tersebut. Meskipun demikian, aku mengetahui satu hal: Saat kau mencintai sebuah kota, dan sering menjelajahinya dengan berjalan kaki, tubuhmu, apa lagi jiwamu, akan mengenal segala sudut jalannya dengan baik setelah beberapa tahun merasakan semacam kesedihan yang
akan terbangkitkan hanya oleh segumpal kecil salju yang jatuh. Kau akan menemukan tungkai-tungkai kakimu menyeret tubuhmu dengan sendirinya ke salah satu sudut dunia kesukaanmu. Begitulah yang terjadi saat aku meninggalkan Pasar Farrier dan berakhir dengan mengamati salju yang jatuh ke Golden Horn dari satu sudut di samping Masjid Sulaiman: salju telah mulai menggunung di atas atap yang menghadap ke utara, dan di bagian kubah yang terkena embusan angin timur laut. Sebuah kapal mendekat, tiang-tiang layarnya sudah diturunkan, menyapaku dengan kibaran kanvasnya. Layarnya berwarna kelabu seperti kabut di permukaan Golden Horn. Pepohonan cemara, atap-atap rumah, kepiluan di senja hari, suarasuara yang terdengar dari lingkungan perumahan di bawah sana, pekikan burungburung elang dan jeritan anakanak yang bermain di halaman masjid, bercampur baur dalam kepalaku, seakanakan mengumumkan dengan penuh empati bahwa pada akhirnya, aku tidak bisa hidup di mana pun kecuali di kota mereka. Aku merasakan sensasi di mana wajah orang yang kucintai, yang telah menghilang dariku selama bertahuntahun, tibatiba saja bisa muncul di hadapanku. Aku mulai berjalan perlahan menuruni bukit dan berbaur dengan kerumunan orang. Selepas Azan isya, aku mengisi perut di kedai jeroan. Di kedai yang kosong itu, aku menyimak suara si pemilik yang dengan bersemangat mengamatiku makan sesuap demi sesuap, seakanakan ia baru saja memberi makan seekor kucing. Dengan mengikuti tanda yang diberikan olehnya ke suatu arah, aku lalu menemukan diriku berbelok menuruni gang-gang sempit di belakang pasar budaktentu saja setelah jalanan menjadi gelapdan menemukan sebuah kedai kopi. Di dalam kedai itu begitu ramai dan hangat. Si pendongeng, seperti yang kusaksikan di Tabriz dan kotakota di Persia, dan yang dikenal sebagai “penyeru tirai”, sedang bercerita di sebuah panggung kecil di samping tungku dengan kayukayu yang terbakar. Ia telah membentangkan dan menggantungkan sebuah lukisan di depan hadirin, lukisan seekor anjing yang dibuat dengan tergesa di atas selembar kertas, tetapi dengan keanggunan tertentu. Ia memberi suara pada anjing itu, dan menunjuk-nunjuk lukisan itu berkali-kali.[] Bab 3
AKU ADALAH SEEKOR ANJING SEBAGAIMANA YANG bisa kalian katakan tanpa ragu, kawan-kawanku tersayang, gigi gigiku panjang dan ujungnya runcing, dan nyaris tidak muat di mulutku. Aku tahu hal ini memberiku penampilan yang menyeramkan, tetapi menyenangkanku. Mengetahui ukuran gigiku, seorang tukang jagal pernah berkata dengan berani, “Ya, Tuhan, itu sama sekali bukan anjing. Itu adalah seekor celeng!” Aku menggigit kakinya dengan amat keras, hingga gigigigiku terhunjam sangat dalam menembus dagingnya yang gempal hingga ke tulangnya yang terasa keras. Bagi seekor anjing, kalian tahu, tidak ada yang bisa lebih memuaskan selain membenamkan gigi ke tubuh musuh yang malang untuk memuaskan sebuah kemarahan naluriah. Saat kesempatan seperti itu hadir, yakni ketika korbanku yang memang patut kugigit dengan bodoh dan tanpa sadar melewatiku, gigigigiku terasa sakit dan ngilu menantikannya, kepalaku berputar dengan kerinduan yang bahkan tanpa arti, lalu aku menggeram dan bulu-buluku meremang. Aku adalah seekor anjing, dan karena kalian para manusia adalah binatangbinatang yang kurang rasional daripada aku, kalian katakan saja pada diri kalian, “Anjinganjing tidak berbicara!” Namun, kalian sepertinya memercayai sebuah kisah di mana mayatmayat bias bicara dan tokoh-tokoh
menggunakan rangkaian katakata yang tidak mungkin bisa mereka mengerti. Anjinganjing bisa berbicara, tetapi hanya pada mereka yang tahu bagaimana mendengarkannya. Pada zaman dahulu kala, di sebuah negeri yang jauh, seorang ulama dari sebuah kota pedalaman tiba di salah satu masjid terbesar di ibukota. Baiklah, sebut saja itu Masjid Bayazid. Selayaknya kita menyembunyikan namanya, jadi mari kita anggap saja ulama ini sebagai “Husret Hoja.” Tetapi mengapa aku harus menutupnutupi hal lain lagi: Lakilaki ini adalah seorang ulama bodoh. Ia mengarangngarang kemajuan intelektualnya dengan kekuatan lidahnya. Setiap Jumat, ia begitu asyik dengan jamaahnya. Ia membuat mereka menangis, sehingga beberapa di antaranya akan meratapratap hingga pingsan atau kelelahan dan lemas. Jangan salah sangka, tidak seperti ulama-ulama lainnya yang dianugerahi kemampuan berdakwah, ia sendiri tidak menangis. Sebaliknya, saat para jamaahnya menangis, ia semakin bersemangat menyampaikan ceramahnya tanpa berkedip sedetik pun, seolaholah sedang menghukum mereka. Dalam semua kemungkinan, para tukang kebun, pelayan-pelayan kerajaan, para pembuat halva*, para gelandangan, dan ulama-ulama lainnya seperti dirinya, menjadi pengikutnya yang setia, karena mereka menikmati aksi silat lidahnya. Baiklah, lakilaki ini memang sama sekali bukan anjing, tidak, ia adalah seorang manusia yang harus bersikap buruk untuk menjadi manusiadan di hadapan khalayak yang terpesona, ia kehilangan dirinya sendiri. Ketika ia menyaksikan kerumunan orang yang Makanan khas Timur Tengah terbuat dari biji-biji wijen yang sudah ditumbuk, lalu dicampur dengan madu, dan dibubuhi kacang, cokelat, atau bahan lainnya. membeo padanya, itu sama menyenangkannya dengan membuat mereka menangis. Saat ia paham bahwa ada lebih banyak roti yang bisa dibuat dalam garapan baru ini, ia terus maju dan berani berkata sebagai berikut: “Satusatunya alasan kenaikan harga-harga, mewabahnya penyakit dan kekalahan militer, ada pada kealpaan kita terhadap Islam di masa Nabi Besar kita dan kita jadi terhanyut dalam kepalsuan. Apakah kisah kelahiran Nabi kita dibacakan untuk mengenang hari wafatnya pada zaman dahulu? Apakah perayaan hari keempat puluh dilaksanakan, di manakah makanan manis seperti halva dan adonan tepung goreng dipersembahkan bagi mereka yang sudah mati? Ketika Nabi Muhammad masih hidup, apakah Alquran yang mulia dibacakan dengan sedemikian merdunya seperti sebuah lagu? Apakah para jamaah dipanggil dengan suara kencang dan dengan riang gembira untuk menunjukkan betapa dekatnya seorang Arab dengan orang Arab lainnya? Apakah pernah ada azan dikumandangkan dengan malumalu, dengan kelembutan seorang lakilaki yang menyerupai perempuan? Hari ini, orang merata ratap di depan nisan kubur, memohon penebusan dosa. Mereka berdoa dengan keterlibatan mereka yang sudah mati atas nama diri mereka. Mereka menziarahi kuburan orangorang suci dan memuja makam bagaikan orang tak beragama di depan bongkahan batu. Mereka mengikatkan simbol kain di mana-mana, dan bersumpah akan balas berkorban sebagai penebusan dosa. Adakah anggota tarekat sufi yang menyebarkan keyakinan mereka di zaman Muhammad? Ibnu Arabi, guru dari tarekat-tarekat ini, telah berdosa dengan bersumpah bahwa Firaun yang kafir itu mati sebagai seorang mukmin. Orangorang sufi ini, kaum Maulawi, Halawi, dan Kalenderis, dan mereka yang menyanyikan Alquran dengan iringan musik, atau membolehkan tahan dengan anakanak dan remaja, dengan berkata bahwa ‘Kita toh sembahyang juga, bukan?1 semuanya adalah orangorang kafir. Pondok-pondok para sufi harus dihancurkan, fondasinya harus dibongkar, dan tanah yang terkumpul harus dibuang ke laut. Hanya setelah itulah salat wajib bisa dilakukan lagi di sana.” Aku mendengar selentingan bahwa Husret Hoja memperluas persoalan ini jauh lebih parah lagi, dengan membuat pernyataan berikut, disertai ludah yang beterbangan keluar dari mulutnya, “Oh, jamaahku yang taat! Minum kopi adalah sebuah dosa besar! Nabi Besar kita tidak minum kopi karena beliau tahu kopi akan menumpulkan kecerdasan, mengakibatkan bisul, hernia, dan kemandulan. Beliau paham bahwa kopi tak lain hanyalah perangkap Iblis. Kedaikedai kopi adalah tempat para pencari kenikmatan yang kaya raya, duduk beradu lutut, melibatkan diri dalam perilaku-
perilaku yang kasar. Pada kenyataannya, bahkan sebelum pondok-pondok sufi ditutup, kedai kopi seharusnya juga dilarang buka. Apakah para fakir miskin punya cukup uang untuk minum kopi? Para lelaki membiasakan diri mengunjungi tempattempat ini, terpikat oleh kopi dan kehilangan kendali mental mereka, hingga ke titik di mana mereka mendengarkan dan memercayai apa yang dikatakan oleh anjing dan anjing buduk. Mereka yang mengutukku dan agama kita adalah anjinganjing buduk yang sesungguhnya.” Dengan izin kalian, aku ingin menanggapi komentar terakhir yang dikeluarkan ulama agung ini. Tentu saja, sudah menjadi rahasia umum bahwa para haji, hoja, ulama, dan pendakwah memandang rendah terhadap anjing. Menurut pendapatku, seluruh persoalan ini berkaitan dengan Nabi Muhammad, semoga kedamaian dan rahmat Tuhan menyertai beliau, yang memilih merobek secarik kain jubahnya yang sedang ditiduri seekor kucing daripada membangunkan binatang itu. Dengan menunjukkan kasih sayang pada seekor kucing yang tanpa sengaja tidak dilakukan pada kami para anjing, dan berdasarkan pertikaian abadi kami dengan hewan ini, yang oleh manusia paling tolol sekalipun dilihat sebagai perbuatan tak tahu terima kasih, orangorang menyimpulkan bahwa Nabi sendiri tidak menyukai anjing. Mereka percaya kami akan mengotori mereka yang telah berwudu, dan akibat kekeliruan dan keyakinan yang semu ini kami dilarang masuk masjid selama berabadabad, dan kami didera pukulan-pukulan di halaman masjid oleh gagang sapu penjaga masjid. Izinkan aku mengingatkan kalian tentang “Al-Kahfi”, surah paling indah dalam Alquran. Aku mengingatkan kalian bukan karena aku curiga ada banyak orang yang tidak pernah membaca Alquran di antara kita di kedai minum yang bagus ini, melainkan karena aku sekadar ingin mengembalikan ingatan kalian: Surah ini menceritakan kisah tujuh pemuda yang lelah karena harus hidup di antara orangorang yang tak beragama, dan akhirnya mereka mengungsi ke dalam sebuah gua, di mana mereka tertidur nyenyak dalam waktu lama. Allah lalu mengunci telinga mereka, dan membuat mereka tertidur selama tiga ratus sembilan tahun. Ketika mereka terbangun, mereka baru menyadari betapa lama tahun telah berganti saat salah seorang dari mereka mendatangi kumpulan orang dan hendak membelanjakan uang logam yang sudah tidak berlaku. Mereka semua terpana menyaksikan apa yang sudah terjadi. Surah ini dengan gamblang menceritakan keterikatan manusia dengan Allah. Mujizat Allah yang membuat perubahan masa secara alami dan kenikmatan tidur yang sangat nyenyak. Dan meskipun itu bukan wewenangku, izinkan aku mengingatkan kalian ayat kedelapan belas surah ini yang menyebutkan tentang seekor anjing yang beristirahat di mulut gua tempat ketujuh pemuda itu tertidur.* Jelas sekali, siapa saja akan merasa sangat bangga disebutkan di dalam Alquran. Sebagai seekor anjing, aku bangga pada surah ini, dan karenanya aku berniat membuat para pengikut Erzurumi yang menganggap musuhmusuhnya sebagai anjing buduk, tersadar. Maka, apakah alasan sesungguhnya atas rasa jijik terhadap anjing? Mengapa kalian begitu kukuh berpendapat bahwa anjing itu najis, dan kalian akan membersihkan serta menyucikan rumah kalian dari atas hingga bawah jika seekor anjing tak sengaja memasukinya? Mengapa kalian meyakini bahwa mereka yang tersentuh oleh kami akan batal wudunya? Jika jubah kalian bergesekan dengan bulu kami, mengapa kalian tetap harus mencuci kain itu tujuh kali seperti seorang perempuan kalap? Para perajin timah seharusnya bertanggung jawab terhadap fitnah bahwa bejana miring yang telah dijilat oleh seekor anjing harus dilemparkan, dibuang, atau dilebur kembali. Atau mungkin itu adalah ulah para kucing …. Ketika orangorang meninggalkan desa mereka untuk menetap di kota, anjinganjing gembala tetap di *“Dankamu mengira mereka bangun, padahal mereka tidur, dan Kami menggerak gerakkan mereka ke kanan dan ke kiri, dan anjing mereka membentangkan kakinya di mulut gua….” (Q.S. 18:18) pedesaan, itulah saat ketika gunjingan tentang kenistaan anjinganjing sepertiku
mulai tersebar ke mana-mana. Sebelum Islam berkembang, dua dari dua belas bulan dalam setahun dinamai “bulan anjing.” Sekarang, seekor anjing dianggap pertanda buruk. Aku tidak ingin membebanimu dengan masalahku sendiri, teman-temanku tercinta yang datang untuk mendengar cerita dan merenungkan maknanyasejujurnya, kemarahanku bangkit karena serangan ulama agung itu terhadap kedaikedai kopi kita. Bagaimana menurutmu jika aku berkata bahwa Husret dari Erzurum ini terlahir tak bermoral? Tetapi mereka juga mengatakan hal yang sama terhadapku, “Anjing macam apa dirimu ini menurutmu? Kau menyerang seorang ulama yang lemah karena tuanmu adalah seorang pendongeng yang menggantungkan gambar, yang menceritakan kisahkisahnya di kedaikedai kopi, dan kauingin melindunginya. Enyah kau, najis!” Astaghfirullah, aku tidak sedang menjelek-jelekkan siapa pun, tetapi seorang penggemar setia kedaikedai kopi kita. Kalian tahu, aku tidak bermasalah dengan kenyataan bahwa gambarku dilukiskan di atas sehelai kertas murahan, atau bahwa aku adalah binatang berkaki empat, tetapi aku sungguh menyesal bahwa aku tidak bisa duduk seperti manusia, dan mereguk secangkir kopi bersama kalian. Kami akan mati untuk kopi dan kedaikedai kopiapakah ini sebenarnya? Lihatlah, tuanku sedang menuangkan kopi untukku dari sebuah poci kopi kecil. Sebuah gambar tidak bisa meminum kopi, katamu? Ayolah! Lihatlah sendiri, anjing ini melompat keluar dengan riangnya. Ah, ya, hal itu mengena dengan tepat, menyemangati-ku, menajamkan penglihatanku, dan mempercepat daya pikirku. Sekarang dengarkan apa yang akan kuceritakan padamu: Selain gulungan sutra Cina dan gerabah Cina yang dihiasi bebungaan biru, apa lagi yang dikirimkan Hakim Agung Venesia kepada Nurhayat Sultan, putri Sultan yang kita hormati? Seekor anjing betina yang berbulu lembut dan menggemaskan dengan jubah sutra dan bulu musang. Aku mendengar bahwa binatang betina ini begitu dimanjakan, dia juga memiliki pakaian sutra berwarna merah, Salah seorang teman kami telah bersanggama dengan anjing betina itu, itu sebabnya aku mengetahuinya, dan anjing betina itu bahkan tidak bisa beraksi tanpa pakaiannya. Di negeri asalnya di tanah orangorang Franku, semua anjing berpakaian seperti itu. Aku mendengar cerita bahwa di sana ada seorang perempuan yang dianggap anggun dan berasal dari keturunan ningrat Venesia melihat seekor anjing telanjangatau mungkin perempuan ini melihat kelamin si anjing. Aku tidak yakinkemudian dia menjerit, “Ya Tuhanku, anjing itu telanjang!” Dia jatuh pingsan dan kemudian mati. Di negerinegeri orangorang kafir Frank, yang mereka sebut bangsa Eropa, setiap anjing memiliki seorang majikan. Binatang-binatang malang ini diarak di jalanan dengan rantai membelit leher mereka, mereka dikekang bagaikan para budak yang paling merana, dan diseret ke mana-mana dalam kekangan itu. Orangorang Frank ini memaksa binatang binatang malang ini memasuki rumah mereka, bahkan ranjang mereka. Anjing tidak diizinkan berjalan dengan sesamanya, apalagi dibiarkan mendengus-dengus dan bermain bersama-sama. Dalam kondisi yang “pantas” tersebut, terkekang rantai, mereka 11 Sebutan terhadap orangorang Kristen dari Eropa. tidak bias melakukan apa pun selain saling memandang dengan frustasi satu sama lain dari kejauhan saat mereka berpapasan di jalan. Anjing yang menggelandang di jalanan Istanbul dengan bebas di petipeti dagangan dan berbaur dengan keramaian masyarakat, seperti kami, anjing anjing yang kalau perlu bisa mengancam manusia, yang bisa bergelung di sudut hangat atau menggeliatgeliat di tempat teduh, dan tidur dengan damai, serta anjinganjing yang bias berak di mana pun mereka mau dan menggigiti apa pun yang mereka inginkan, anjinganjing semacam itu berada di luar jangkauan pikiran orangorang kafir itu. Bukan berarti aku tidak pernah memikirkan bahwa mungkin inilah alasan para pengikut Erzurumi menentang doa untuk anjing dan memberi makan daging pada mereka di jalanan Istanbul, dan bahkan mengapa mereka menentang kemurahan hati yang melakukan jasa-jasa semacam itu. Jika mereka berniat memperlakukan anjing sebagai musuh dan menjadikan kami kaum kafir, maka biarlah aku ingatkan mereka bahwa menjadi musuh bagi anjing dan
menjadi kafir adalah sesuatu yang sama. Kuharap, orangorang memalukan ini akan segera mendapatkan hukuman. Aku berdoa agar teman-teman kami para algojo itu mengundang kami untuk ikut menggigit, sebagaimana yang terkadang mereka lakukan untuk memberi contoh. Sebelum kutuntaskan, izinkan aku mengatakan ini: Majikanku yang sebelumnya adalah seorang lakilaki yang adil. Ketika kami keluar rumah di malam hari untuk mencuri, kami bekerja sama. Aku akan menggonggong, dan pada saat yang sama ia akan menggorok leher korban kami yang jeritan kencangnya pasti akan teredam suara gonggonganku. Sebagai balasan atas bantuanku, ia akan memotong sedikit bagian tubuh lakilaki yang dihukumnya itu, merebusnya, dan memberikannya padaku untuk kumakan. Aku tidak suka daging mentah. Atas izin Tuhan, algojo yang akan menghukum mati ulama dari Erzurum itu akan mengingat hal ini, jadi aku tidak akan membuat mual perutku dengan menyantap daging mentah bajingan itu.[] Bab 4
AKU AKAN DISEBUT SEORANG PEMBUNUH –– TIDAK, AKU tak mau percaya aku bisa mencabut nyawa orang, bahkan andai aku diberi tahu tentang itu sesaat sebelum aku membunuh si bodoh itu sekalipun. Dan karenanya, kejahatanku itu menjauh dari diriku bagaikan sebuah kapal asing yang lenyap di cakrawala. Kini sekali lagi, aku bahkan merasa seolaholah tidak pernah melakukan kejahatan apa pun. Empat hari berlalu sejak aku harus melakukan itu pada Elok yang bukan saudaraku, dan baru saat inilah aku bisa menerima keadaanku. Aku lebih senang menuntaskan dilema yang tak terduga dan mengerikan ini tanpa harus menghilangkan nyawa siapa pun. Namun, aku sadar tidak ada pilihan lain. Aku menangani persoalan ini, menanggung beban tanggung jawab ini. Aku tidak bisa membiarkan tuduhan palsu seorang lakilaki bodoh membahayakan seluruh masyarakat ilustrator. Meski demikian, menjadi seorang pembunuh ternyata harus membiasakan diri. Aku tidak tahan berada di rumah, jadi aku mengeluyur keluar ke jalanan. Aku tidak tahan berada di satu ruas jalan, maka aku mengambil jalan lain, lalu jalan lainnya lagi. Ketika aku menatap wajah orangorang, aku sadar bahwa sebagian besar dari mereka merasa yakin bahwa mereka tidak bersalah, karena mereka belum pernah memiliki kesempatan menghilangkan nyawa orang. Sulit dipercaya bahwa sebagian besar orang memiliki moral lebih tinggi, atau lebih baik dariku, hanya karena satu tikungan nasib. Terlebih lagi, mereka menampakkan ekspresi wajah yang lebih bodoh, karena mereka belum pernah membunuh. Dan seperti orangorang tolol, mereka tampak memiliki niat baik. Setelah aku menangani lelaki menyedihkan itu, aku menelusuri jalanan Istanbul selama empat hari, dan itu sudah cukup untuk menegaskan bahwa siapa pun dengan sorot mata yang membiaskan kepandaian dan bayangbayang jiwa yang melintas di wajahnya adalah seorang pembunuh tersembunyi. Hanya orangorang idiot yang tak berdosa. Malam ini, contohnya, saat aku menghangatkan diri dengan secangkir kopi panas di sebuah kedai kopi di jalanan belakang pasar budak, aku menatap selintas gambar seekor anjing yang tergantung di dinding belakang, perlahanlahan aku bisa
melupakan kemalanganku dan ikut tertawa-tawa dengan mereka, menertawakan apa pun yang diceritakan si anjing. Kemudian, aku merasakan sensasi seakanakan salah seorang lakilaki yang berada di sampingku adalah seorang pembunuh biasa seperti diriku sendiri. Meskipun ia hanya menertawakan si pendongeng sepertiku, naluriku menyala, entah dari gaya tangannya yang diletakkan di dekat lenganku, atau dari cara jemarinya menggenggam cangkirnya dengan gelisah. Aku tidak yakin bagaimana aku bias mengetahuinya, tetapi tibatiba saja aku menoleh dan menatap langsung ke arah matanya. Ia tampak terpaku sejenak dan wajahnya berkerut. Begitu orang orang bercerai berai, salah seorang temannya meraih tangannya dan berkata, “Orangorang Nusret Hoja pasti akan menyerbu tempat ini.” Sambil mengangkat salah satu alis matanya, ia memberi tanda pada lakilaki itu untuk tenang. Ketakutan mereka memengaruhiku. Tak seorang pun memercayai siapa pun. Siapa pun bias dibunuh saat itu juga oleh lakilaki yang ada di sampingnya. Tempat itu jadi semakin dingin. Salju menggunung di sudutsudut jalan dan kakikaki dinding. Di malam buta aku bias menemukan jalan sepanjang gang-gang kecil hanya dengan merabaraba menggunakan kedua tanganku. Beberapa kali, pendar cahaya lampu minyak yang masih menyala di suatu tempat di dalam rumah kayu menyelinap keluar dari balik jendela jendela yang sudah gelap dan dari daun-daun jendela yang tertutup. Pendar cahaya itu membias di atas salju. Namun, seringnya aku tidak melihat apa-apa, maka aku menemukan jalanku dengan mendengarkan suarasuara para penjaga malam yang memukulmukulkan tongkat mereka di atas batu, aku juga mendengarkan lolongan anjinganjing gila, atau sekadar suarasuara samar dari dalam rumahrumah itu. Terkadang loronglorong yang begitu sempit dan mematikan di kota itu seakanakan diterangi cercahan cahaya ajaib yang dating dari salju. Dan di tengah kegelapan, di antara puingpuing dan pepohonan, aku mengira telah melihat salah satu hantu yang telah menjadikan Istanbul sebuah kota yang menyeramkan selama ribuan tahun. Dari dalam rumahrumah itu, sesekali aku mendengar suara orangorang malang yang terbatuk-batuk kencang, mendengkur, atau meratapratap seperti jika mereka mengigau. Atau sesekali aku mendengar teriakan para suami dan istri mereka ketika mereka mencoba saling mencekik, dan anakanak mereka menangis terisakisak di kaki mereka. Selama dua malam berturut-turut, aku mendatangi kedai kopi ini untuk merasakan kembali kebahagiaan yang pernah kurasakan sebelum menjadi seorang pembunuh. Aku ingin membangkitkan gairah dan semangatku, dan mendengarkan si pendongeng. Sebagian besar di antara teman-teman ilustratorku, kelompok persaudaraan tempatku membagi seluruh hidupku, datang ke tempat ini setiap malam. Semenjak aku membungkam si dungu, seseorang yang telah menjadi temanku menggambar sejak kecil, aku tidak ingin lagi bertemu dengan siapa pun dari mereka. Banyak hal yang memalukan bagiku tentang kehidupan kelompok persaudaraanku itu, yang tak bisa bekerja tanpa bergunjing, dan tentang suasana riang yang memalukan di tempat ini. Aku bahkan membuat sketsa beberapa gambar untuk si pendongeng agar mereka tidak menuduhku berkhianat, tetapi itu pun gagal mengakhiri kecemburuan mereka. Mereka punya alasan kuat untuk cemburu. Tak satu pun di antara mereka yang bias melebihi kemampuanku dalam mencampur warna, dalam mencipta dan menghiasi tepian gambar, dalam menyusun halamanhalaman buku, memilih bahan cerita, menggambar wajah, menyusun adegan peperangan dan perburuan yang seru, dan melukiskan binatang-binatang buas, para sultan, perahu-perahu, kuda, prajurit, dan kekasihkekasih. Tak seorang pun yang bisa mendekati tingkat keahlianku dalam mengejawantahkan puisi jiwa ke dalam lukisan, juga dalam hal menyepuh dengan emas sekalipun. Aku tidak sedang membual, tetapi menjabarkan semua ini padamu, agar kau sepenuhnya memahamiku. Dengan berlalunya waktu, kecemburuan itu menjadi unsur yang sedemikian penting, seperti lukisan dalam hidup seorang empu seni rupa.
Dalam masa jalan-jalanku, yang menjadi semakin lama saja karena terusmenerus kulakukan tanpa henti, aku terkadang berpapasan muka dengan salah seorang penduduk desa yang lugu dan taat beragama, dan sebuah gagasan aneh mendarat di benakku: jika aku memikirkan kenyataan bahwa diriku ini seorang pembunuh, orang di depanku ini mungkin akan mampu membacanya di wajahku. Oleh karena itu, aku mendorong diriku sendiri untuk memikirkan hal lain, seperti saat aku memaksakan diri, dengan mengesampingkan rasa malu, memupus pikiranpikiranku tentang perempuan saat aku melakukan salat sebagai seorang lelaki dewasa. Namun, tidak seperti di masa mudaku, ketika aku tidak mampu membuang bayangan tentang adegan persanggamaan dari benakku, kali ini aku benarbenar bias melupakan pembunuhan yang sudah kulakukan. Sadarkah kau, pada kenyataannya, bahwa aku menjelaskan semua ini karena setiap rincian kisah ini berhubungan dengan kesulitanku. Namun, jika aku harus mengungkapkan satu detail saja yang berhubungan dengan pembunuhan itu, kau akan mampu membayangkan semuanya dan ini akan melegakanku. Aku akan lega karena terbebas dari predikat seseorang yang tak bernama, menjadi pembunuh tak berwajah yang gentayangan di antara kalian seperti hantu, dan menjatuhkanku ke status seorang biasa, seorang penjahat yang mengakui kejahatannya dan kemudian menyerahkan diri untuk membayar kejahatannya dengan kepalanya. Izinkan aku untuk tidak berpanjang panjang pada setiap detail, biarkan aku menyimpan beberapa petunjuknya untukku sendiri: Cobalah temukan siapa diriku dari pilihan katakata dan warna-warnaku, layaknya orang orang cermat sepertimu meneliti jejak kaki untuk menangkap seorang pencuri. Sebaliknya, ini akan membawa kita ke masalah “gaya”, yang kini menjadi ketertarikan yang meluas: Apakah seorang ilustrator memiliki gaya sendiri? Penggunaan warna sendiri, suaranya sendiri? Mari kita pertimbangkan sebuah karya Bihzad, empu segala empu, orang suci yang diteladani oleh segenap ilustrator. Aku sempat melihat karya besar ini, yang juga amat sepadan dengan situasi yang kuhadapi sekarang, karena lukisan ini menggambarkan sebuah pembunuhan, di antara berhalaman-halaman buku berusia sembilan puluh tahun aliran Herat yang benarbenar sempurna. Buku ini berasal dari perpustakaan seorang pangeran Persia yang terbunuh dalam peperangan dahsyat untuk memperebutkan kekuasaan, dan isinya menceritakan kembali kisah Hiisrev dan Shirin. Kau, tentu saja, mengetahui nasib Hiisrev dan Shirin, aku mengacu pada versi Nizami, bukan Firdausi: Sepasang kekasih itu akhirnya menikah setelah diterpa sejumlah cobaan dan guncangan. Namun, Shiruye yang muda dan lalim, anak lakilaki Hiisrev dari istrinya yang terdahulu, tidak akan membiarkan mereka merasakan kedamaian. Pangeran ini tidak hanya mengincar tahta sang ayah, melainkan juga istri mudanya, Shirin. Shiruye, yang seperti ditulis oleh Nizami, “Napasnya menebarkan bau rongga mulut seekor singa,” lewat caracara licik, berhasil mengambil alih takhta, Suatu malam, ia memasuki kamar tidur ayahnya dan Shirin, ia merabaraba dalam gelap, dan begitu menemukan pasangan itu di atas ranjang mereka, ia menikam dada ayahnya dengan belatinya. Maka, darah sang ayah mengalir deras hingga fajar tiba, ia pun tewas di atas ranjang yang ditidurinya bersama si jelita Shirin yang tetap tertidur lelap di sampingnya. Adegan yang dilukis oleh Bihzad ini, seperti kisahnya sendiri, menampakkan ketakutan akan kematian yang kubawa-bawa dalam diriku selama bertahuntahun: Kengerian ketika terjaga dalam kelam malam, menyadari ada seorang asing yang menimbulkan suarasuara samar saat ia mengendap-endap di kegelapan kamar! Aku membayangkan si penyusup itu bersenjatakan sebilah belati di salah satu tangannya, sementara tangannya yang lain digunakan untuk mencekikku. Setiap detailnya, dinding yang dipoles rapi dan indah, jendela dan ornamen-ornamen bingkainya, desain melengkung dan lingkaran-lingkaran di karpet merahnya, jeritan sunyi yang datang dari tenggorokanmu yang tercekik, warna bungabunga kuning dan ungu yang dibordir dengan sangat terampil dan bersemangat di atas penutup ranjang yang indah, di mana kaki telanjang pembunuhmu yang menjijikkan
itu tanpa ampun menjejak di atasnya saat ia mengakhiri hidupmu. Semua detail ini memberi pengaruh yang sama: Sementara sebagian orang berdebat tentang keindahan lukisan itu, mereka akan mengingatkanmu tentang betapa indahnya kamar tempat kau akan segera mati di dalamnya, dan dunia yang akan segera kautinggalkan. Betapa tidak pentingnya keindahan lukisan itu dan dunia ini, dibandingkan kematianmu. Kenyataan yang diungkap lukisan itu adalah bahwa kau sepenuhnya sendirian saat mati, meskipun ada istrimu di tempat itu. Inilah makna tak terhindarkan, yang akan membuatmu terguncang. “Ini karya Bihzad,” ujar empu yang semakin uzur itu, dua puluh tahun lalu, saat kami meneliti buku yang kupegang dengan gemetar. Wajahnya bercahaya, bukan oleh nyala lilin di dekatnya, melainkan oleh rasa senang terhadap pengamatan itu. “Ini khas Bihzad, tidak diperlukan lagi tanda tangannya.” Bihzad sangat sadar pada kenyataan bahwa dirinya tidak menyembunyikan tanda tangannya di bagian mana pun lukisan itu. Dan menurut para empu zaman dulu, ada kesan malumalu dan sebentuk rasa jengah dalam keputusannya itu. Di mana terdapat karya seni sejati dan keahlian yang murni, sang seniman bisa melukiskan sebuah karya agung yang tak tertandingi tanpa harus meninggalkan jejak identitasnya. Merasa takut akan keselamatanku, aku membunuh korban malang itu dengan sikap yang biasa-biasa saja dan kejam. Saat aku kembali ke daerah yang dihancurkan kobaran api itu, malam demi malam, untuk memastikan bahwa aku tidak meninggalkan jejak apa pun yang bisa mengkhianatiku, pertanyaan tentang gaya membunuh itu terus muncul di benakku. Apa yang dianggap gaya, tak lebih dari sebuah kekurangan, atau cacat yang menyingkap tangan orang yang bersalah. Aku bisa saja menemukan tempat ini, bahkan tanpa kilaukilau butiran salju yang erjatuhan, karena tempat yang telah dihancurkan api ini adalah tempat aku mengakhiri hidup seseorang yang sudah menjadi kawanku selama dua puluh tahun, ini, salju menutupi dan menghapus semua jejak yang mungkin saja diartikan sebagai tanda tangan, untuk membuktikan bahwa Allah sepakat dengan Bihzad dan aku tentang soal gaya dan tanda tangan. Jika kami benar benar melakukan sebuah dosa tak berampun dengan menghiasi buku ituseperti yang tetap dilakukan oleh si ceroboh itu empat hari lalubahkan andaikan kami melakukannya tanpa kami sadari, Allah tidak akan menganugerahkan karunia semacam ini kepada kami para ilustrator. Malam itu, ketika Elok Effendi dan aku datang kemari, salju belum turun. Kami bias mendengar suara lolongan anjing liar bergema di kejauhan. “Untuk apa kita datang kemari?” si malang itu bertanya. “Apa yang ingin kautunjukkan padaku di sini pada malam selarut ini?” “Di depan ada sebuah sumur sedalam kurang lebih 18 meter, tempat aku menguburkan uang yang kukumpulkan selama bertahuntahun,” jawabku. “Jika kaumau merahasiakan semua yang akan kujelaskan padamu, Enishte Effendi dan aku akan memberimu hadiah yang akan membuatmu bahagia.” “Apakah aku harus mengerti bahwa kau mengaku sudah mengetahui apa yang kaulakukan sejak awal?” ujarnya bergetar. “Aku mengakuinya,” aku terpaksa berbohong. “Kau sadar, bukan, bahwa lukisan yang kaubuat kenyataannya adalah sebuah penistaan?” ujarnya dengan lugu. “Itu adalah pemurtadan, sebuah penistaan yang tak akan berani dilakukan oleh orang baikbaik. Kau akan dibakar dalam api neraka. Kau akan menderita dan rasa sakitnya tak akan pernah berakhirdan kau sudah menjadikanku seorang antek untuk itu.” Ketika mendengarkannya bicara, aku merasakan dengan ngeri betapa kata-katanya mengandung kekuatan
dan daya tarik yang, mau tak mau, akan diperhatikan orang, berharap mereka terbukti benar di antara makhlukmakhluk menyedihkan ini. Banyak desas-desus seperti ini tentang Enishte Effendi sudah mulai gentayangan, karena kerahasiaan buku yang diciptakannya, dan uang yang bersedia ia keluarkandan karena Tuan Osman, Iluminator Kepala, meremehkannya. Terpikir olehku bahwa mungkin saudaraku si tukang sepuh, Elok, telah memanfaatkan dengan cerdik fakta-fakta ini untuk mendukung tuduhan palsunya. Sampai tahap mana ia berlaku jujur? Aku memintanya mengulangi pernyataan yang membuat kami jadi saling bertentangan, dan ketika ia bicara, ia tidak memperhalus kata-katanya. Ia seolaholah sedang menghasutku untuk menutupi sebuah kesalahan, seperti pada masa magang kami dahulu, yang tujuannya adalah menghindar dari pukulan Tuan Osman. Waktu itu, aku menganggap ketulusannya begitu meyakinkan. Sebagai seorang anak didik, matanya akan melebar seperti sekarang ini, tetapi saat itu sepasang bola matanya belum menjadi muram didera kerja keras menghiasi buku. Akhirnya aku menguatkan hati; ia sudah siap untuk mengakui semuanya pada semua orang. “Dengarkanlah aku,” ujarku dengan kegundahan yang dipaksakan. “Kita telah membuat ilustrasiilustrasi buku, menciptak