PENGUKURAN EFISIENSI PENGALIHAN PBB SEBAGAI PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN DAERAH DENGAN MENGUNAKAN METODE DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA)
Lilis Maryasih Evi Mutia Rahmawaty Universitas Syiah Kuala
ABSTRACT This research was conducted to determine the level of efficiency of PBB (Land and Building Tax) as the local tax to the total revenue of Aceh province and the revenue of local government. The data used were from LRA (Actual Budget Report) of Aceh Province and each local government in 2013. The analysis was performed to determine the relative efficiency of PBB transfer as state tax into PBB as local tax as well as its effect on the total revenue of Aceh province and revenue of each local government, the differences in efficiency levels, and the cause of inefficiency. The results showed that the sampled area of research that is Banda Aceh has implemented the transfer of PBB as local tax in 2013. The results showed that PBB transfer in Banda Aceh is efficient and increase the revenue of Banda Aceh. Meanwhile the others sampled areas, Pidie and Pidie Jaya began implementing PBB in 2014. Since PBB has not been transferred as local taxes in 2013, the analysis was conducted by comparing the revenue from PBB in 2013 and 2014 and showed that the factors of PBB transfer which are procedures, human resources, facilities and infrastructures, and policies, are adequate. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efisiensi pengalihan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) sebagai pajak Daerah terhadap pendapatan Provinsi Aceh secara keseluruhan maupun pandapatan kabupaten itu sendiri. Data yang digunakan berasal dari Laporan Realisasi Anggaran Provinsi Aceh dan Laporan Realisasi Anggaran masing-masing kabupaten tahun 2013. Alat analisis yang digunakan adalah Data Envelopment Analysis (DEA) untuk mengetahui efisiensi relatif dari pengalihan PBB sebagai pajak pusat menjadi pajak daerah dan efeknya terhadap pendapat provinsi serta pendapatan masing-masing kabupaten di Provinsi Aceh, perbedaan tingkat efisiensi antar kabupaten dan sumber penyebab inefisiensinya. Hasil analisis efisiensi dari 3 wilayah kabupaten/kota yang dijadikan sampel penelitian hanya Kota Banda Aceh yang efisien secara teknis dan skala, Kabupaten Pidie efisien menurut teknis tetapi tidak efisien menurut skala, sedangkan Kabupaten Pidie Jaya tidak efisien menurut teknis dan skala. Hal ini menunjukkan bahwa Kota Banda Aceh, dalam pengalihan PBB sebagai pajak daerah sudah efisien. Lilis Maryasih, Evi Mutia, Rahmawaty
2
Keyword: Efisiensi, PBB, Pendapatan, DEA
I. Pendahuluan Adanya reformasi menyebabkan tuntutan pemberian otonomi kepada daerah dan desentralisasi kekuasaan semakin besar. Hal ini membuat pemerintah menetapkan Undang-Undang (UU) No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah kabupaten/kota dituntut untuk meningkatkan kemampuan dalam merencanakan, menggali, mengelola, dan menggunakan sumber-sumber keuangan sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki keuangan daerahnya. Ini disebabkan karena pemerintah daerah harus mengelola keuangan daerahnya sendiri dengan meningkatkan penerimaan daerahnya untuk dapat membiayai pengeluaran atau belanja daerah secara efektif dan efesien. Tujuan otonomi daerah adalah untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antardaerah. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah tersebut pemerintah pusat telah memberikan bagian penerimaan yang berasal dari pajak pusat untuk kegiatan pembiayaan dan pembangunan bagi pemerintah daerah Halim (2004:2). Saat ini, sebagian penerimaan pajak pusat yang telah diberikan kepada pemerintah daerah antara lain adalah PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), PPh (Pajak Penghasilan) Orang Pribadi dalam Negeri dan Pajak Penghasilan. Pembagian penerimaan pajak antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan contoh penerapan desentralisasi keuangan di Indonesia. Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat di daerahnya. Untuk mewujudkan tugasnya tersebut maka pemerintah harus memiliki sumber keuangan yang cukup dan memadai karena untuk melaksanakan pembangunan daerah itu diperlukan biaya yang tidak sedikit. Salah satu sumber keuangan untuk penyelenggaraan pembangunan daerah tersebut yang salah satunya merupakan dana bagi hasil pajak yang bersumber dari PBB. Berdasarkan pasal 2 ayat 2) huruf J dan huruf F Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan, bahwa PBB dan BPHTB merupakan pajak daerah. Dalam UU itu ditegaskan paling lambat satu tahun sejak UU itu diberlakukan yaitu terhitung 1 Januari 2011, pengutipan dan pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing kabupaten/kota. Di Kota Banda Aceh, terhitung mulai Januari 2013 PBB telah menjadi salah satu pajak daerah, yaitu Pajak Kabupaten/Kota. Artinya pemungutan dan pengeloaan PBB dilakukan oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota) sesuai dengan Undang-Undang No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebelumnya, PBB dikelola Pemerintah Pusat dan disalurkan kembali ke daerah dalam bentuk dana bagi hasil. Oleh karena itu, Pemprov (pemerintah provinsi) dan pemerintah kabupaten/kota diminta melakukan persiapan sarana dan SDM (sumber daya manusia). Dirjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Yuswandi Temanggung mengungkapkan, dalam pengalihan PBB menjadi pajak daerah, banyak yang terlebih dahulu harus disiapkan oleh pemerintah kabupaten/kota (Departemen Dalam Negeri, 2012). Pemprov harus ikut memfasilitasi untuk mendukung program pemerintah pusat ini, karena dengan pengalihan ini, penerimaan dari PBB 100% akan masuk ke PAD (Pendapatan Asli Daerah) kabupaten/kota. Sebelumnya PBB masih dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar
3
64,8% dari total PBB. Kepala DJP (Direktorat Jenderal Pajak) Wilayah Aceh Mukhtar mengatakan penerimaan pajak Aceh mencapai Rp. 2,96 T dari target Rp. 3,13 T, realisasi pajak terbesar dari jasa kontruksi, perkebunan, perdagangan dan PBB. Menurut Mukhtar adanya peningkatan penerimaan pajak Aceh dipengaruhi oleh semakin membaiknya perekonomian masyarakat Aceh (Hasyim, 2012). Pemerintah Aceh juga terus mengembangkan program intensifikasi Penerimaan PBByang dilaksanakan setiap tahun untuk meningkatkan penerimaan daerah dari sumber PBB. Menurut Sekda (Sekretaris Daerah) Aceh, T. Setia Budi selaku Ketua Tim Intensifikasi Penerimaan PBB Tingkat Provinsi potensi penerimaan PBB cukup besar sehingga bisa mengatasi defisit keuangan daerah, apalagi menurut Hafidh (2013) kondisi keuangan Aceh kedepan sepertinya akan semakin kritis, jika pengelolaannya tidak tepat. Total APBA Aceh tahun 2013 sebesar Rp. 11,785 Trilyun, sementara Pendapatan Aceh sebesar Rp. 10,1 Trilyun, sehingga APBA 2013 defisit sebesar Rp. 1,6 Trilyun. Semakin bertambahnya dana otonomi khususyang dikucurkan Pemerintah Pusat belum juga memberikan dampak yang signifikan untuk pertumbuhan sektor ekonomi masyarakat yang dapat mendongkrak Pendapatan Asli Aceh atau biasa disebut dengan PAD. Hal ini, dapat dilihat dengan stagnan nya PAD di tahun 2013 dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2013. Pada tahun anggaran 2012 PAD Aceh sebesar Rp. 804.284.999.424,- dan di tahun 2013 hanya ditargetkan sebesar Rp. 804.284.999.424,-. Artinya target PAD Aceh tidak meningkat sama sekali (bahkan sama) dari tahun 2012. Dengan kata lain keuangan Aceh sangat bergantung dari Pemerintah Pusat. Melihat begitu potensialnya kontribusi PBB terhadap pendapatan daerah, perlu dipikirkan cara bagaimana mengukur efisiensi PBB setelah dialihkan sebagai pajak kabupaten/kota terhadap pendapatan daerah. Hal ini terbukti, dari 23 kabupaten/kota di Aceh, ada tiga daerah yang realisasai penerimaan PBB nya di atas 100 persen, yaitu Gayo Lues, Pidie danPidie Jaya (Iqbal, 2013). Untuk itu perlu dipikirkan cara pengukuran efisiensi pengalihan PBB sebagai pajak daerah, salah satu pengukurannya dilakukan dengan menggunakan metode DEA (Data Envelopment Analysis), yaitu suatu alat ukur kinerja efisiensi dengan mekanisme yang melibatkan sejumlah variabel input untuk menghasilkan sejumlah output sehingga dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dan peningkatan efisiensi. Penelitian ini akan dilakukan pada 3 (tiga) kabupaten yang realisasi penerimaan PBB nya sangat tinggi dan 1 (satu) kotamadya, yaitu Gayo Lues, Pidie, Pidie Jaya dan Banda Aceh yang realisasi penerimaan PBB nya Rp. 19.877.693.000 dari target sebesar Rp. 21.458.893.000 di tahun 2011. Berdasarkan latar belakang, maka kami tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengukuran Efisiensi Pengalihan PBB sebagai Pajak Daerah terhadap Pendapatan Daerah dengan mengunakan Metode Data Envelopment Analysis (DEA)”. Penelitian ini kami harapkan dapat memberi kontribusi kepada masyarakat, instansi terkait, dan untuk bidang keilmuan akuntansi terutama untuk mata kuliah Perpajakan dalam hal Pajak Daerah serta Akuntansi Keuangan Daerah. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian adalah: 1. Apakah pengalihan PBB sebagai pajak daerah telah efisien dalam pelaksanaannya 2. Bagaimana efek dari efisiensi pengalihan PBB sebagai pajak daerah terhadap pendapatan Kabupaten/Kota
II. Telaah Literatur 2.1 Efisiensi
4
Efisiensi dalam ilmu ekonomi digunakan untuk merujuk pada sejumlah konsep yang terkait pada kegunaan pemaksimalan serta pemanfaatan seluruh sumber daya dalam proses produksi barang dan jasa (Wikipedia, 2013). Sebuah sistem ekonomi dapat disebut efisien bila memenuhi kriteria berikut: 1. Tidak ada yang bisa dibuat menjadi lebih makmur tanpa adanya pengorbanan. 2. Tidak ada keluaran yang dapat diperoleh tanpa adanya peningkatkan jumlah masukan. 3. Tidak ada produksi bila tanpa adanya biaya yang rendah dalam satuan unit. Sebuah sistem ekonomi yang efisien dapat memberi lebih banyak barang dan jasa bagi masyarakat tanpa menggunakan lebih banyak sumber daya. Dalam ekonomi pasar secara umum diyakini akan lebih efisien dibandingkan dengan alternatif lainnya yang pertama mendasar dalil kesejahteraan berdasarkan penyediaan kepercayaan oleh karena itu bagi yang menyatakan bahwa setiap pasar berkeseimbangan sempurna berdasarkan kompetitif adalah efisien (tetapi hanya ada bila tidak teradi ketidaksempurnaan pasar). 2.2 Pendapatan Daerah Pendapatan menurut PP (Peraturan Pemerintah) No. 58 Tahun 2005 ayat (1) huruf a adalah semua penerimaan melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana lancar dan merupakan hak daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah daerah.Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13 Tahun 2006, mendefinisikan pendapatan sebagai hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Berdasarkan kedua definisi tersebut jelas terlihat bahwa pendapatan merupakan hak pemerintah yang menambah nilai ekuitas dana pemerintah.Pengakuan pendapatan menggunakan cash basis, yaitu pada saat pendapatan tersebut diterima dalam rekening kas umum daerah (Tanjung, 2009:320). Pendapatan daerah menurut pasal 20 PP No. 58 Tahun 2005 terdiri atas: 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) PAD (Pendapatan Asli Daerah) sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf (a) UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, merupakan penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri dipungut berdasarkan peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.PAD menurut pasal 22 PP No. 58 Tahu 2005 terdiri atas: a. pajak daerah; b. retribusi daerah; c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; d. lain-lain PAD yang sah. 2. Dana Perimbangan Pendapatan Dana Perimbangan meliputi : a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum; dan c. Dana Alokasi Khusus. 3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah Lain-lain pendapatan daerah yang sah menurut Pasal 22 dan 24 PP No. 58 Tahun 2005 merupakan seluruhpendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yangmeliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yangditetapkan pemerintah. Lain-Lain PAD yang sah mencakup: a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
5
b. c. d. e. f. g.
hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; jasa giro; pendapatan bunga; tuntutan ganti rugi; keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap matauang asing; komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
2.3 Pengertian Pajak Definisi pajak dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Sutedi (2011:2) pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut undang-undang dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Soemitro dan Sugiharti (1994) mengemukakan pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment (Resmi, 2009:1). Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur: 1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan dalam pelaksanaannya. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun daerah. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bermanfaat bagi masyarakat luas (Resmi, 2009:2). 2.4 Pajak Daerah Di Indonesia, pajak berdasarkan kewenangan pemungutan dan pengelolanya dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah (Waluyo, 2009:12). Pajak pusat merupakan pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah pusat berdasarkan UU (Undang-Undang), sedangkan pajak Daerah adalah pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk membiayai rumah tangga daerah (Kurniawan dan Purwanto, 2004:47). Pelaksanaan Pajak Daerah diatur oleh UU dan telah mengalami perubahan yang terjadi seiring dengan reformasi pajak. Reformasi Pajak Daerah pertama kali dilakukan pada tahun 1997 yang ditandai dengan keluarnya UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. UU ini kemudian mengalami perubahan karena dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat di masa mendatang. Di sisi lain, perlu penyederhanaan untuk memudahkan masyarakat memahami peraturan perundang-undangan sehingga pada akhirnya tumbuh kesadaran untuk memenuhi kewajiban perpajakan (Kurniawan dan Purwanto, 2004:4). Perubahan UU No. 18 Tahun 1997 ini dituang dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan Pasal 1 huruf f dan h UU No. 28 Tahun 2009, Pajak Daerah dan Wajib Pajak Daerah adalah:
6
“iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Wajib Pajak Daerah adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang termasuk pemungutan atau pemotong pajak tertentu”. Pengertian tersebut menyimpulkan bahwa Pajak Daerah adalah salah satu sumber penerimaan daerah dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang digunakan untuk membiayai kegiatan dan pembangunan daerah dan dikenakan pada orang pribadi dan badan sebagai Wajib Pajak Daerah. Dengan diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009 jenis pajak daerah jumlahnya menjadi bertambah. Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak Provinsi dan 3 jenis pajak kabupaten/kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok, sedangkan 3 jenis pajak kabupaten/kota yang baru adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Sarang Burung Walet. Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya merupakan pajak provinsi. Kewenangan pemungutan pajak atas objek pajak di daerah berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 28 Tahun 2009 adalah: “Pajak Daerah dibagi menjadi 2, yaitu Pajak Daerah yang dipungut provinsi dan Pajak Daerah yang dipungut oleh kabupaten/kota. Jenis Pajak provinsi yang terdiri atas: a. Pajak Kendaraan Bermotor b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor d. Pajak Air Permukaan, dan e. Pajak Rokok Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: a. Pajak Hotel b. Pajak Restoran c. Pajak Hiburan d. Pajak Reklame e. Pajak Penerangan Jalan f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Bantuan g. Pajak Parkir h. Pajak Air Tanah i. Pajak Sarang Burung Walet j. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, dan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. . Pajak-pajak baru yang sebelumnya menjadi kewenangan pusat dan diserahkan kepada daerah kabupaten untuk memungutnya adalah, PBB pedesaan dan perkotaan dan BPHTB. Selain itu juga dimungkinkan dipungutnya pajak atas sarang burung walet, yang sebelumnya belum pernah ada. Dengan bertambahnya jenis pajak tersebut tentunya akan menambah sumber PAD apabila potensi di daerah semakin besar, terutama PBB dan BPHTB. Keberhasilan dalam mengelola sumber-sumber penerimaan pajak daerah tergantung pada kemampuan pemerintah daerah itu sendiri dalam mengoptimalkan
7
faktor-faktor yang turut menentukan keberhasilan tersebut.Mardiasmo (2002:146-147) mengungkapkan bahwa: “Untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah perlu diberikan otonomi dan keleluasaan daerah. Langkah penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah adalah dengan menghitung potensi penerimaan pajak daerah yang rill yang dimiliki oleh daerah tersebut, sehingga bisa diketahui peningkatan kapasitas pajak (tax capacity) daerah. Peningkatan kapasitas pajak pada dasarnya adalah optimalisasi sumbersumber pendapatan daerah”. 2.5 Pajak Bumi dan Bangunan PBB adalah Pajak yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Pengertian PBB merupakan pajak yang terdiri atas bumi dan bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, meliputi tanah dan perairan, serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan (Mardiasmo, 2009:295). Menurut Suandy (2008:49) PBB merupakan pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek atau bumi, tanah dan atau bangunan, keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besar pajak, selanjutnya Suharno (2003:32) menjelaskan pengertian dari PBB adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah. Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas jelas bahwa setiap orang atau badan yang memiliki, menguasai, atau menarik manfaat suatu objek pajak tertentu dengan sendirinya harus menyadari akan kewajiban perlunasan PBB setiap tahun dengan ketentuan yang berlaku dalam undang-undang. 2.6 Subyek Pajak Bumi dan Bangunan Subyek PBB menurut Pasal 4 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1994 adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai bangunan, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan (Mardiasmo, 2009:316). Menurut ketentuan undang-undang, wajib pajak adalah subyek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak. Hal ini berarti yang wajib membayar PBB bukan saja pemilik tanah dan atau bangunan tetapi juga penyewa atau siapa saja yang memanfaatkan tanah dan atau bangunan misalnya penghuni rumah dinas suatu instansi (Siahaan, 2008:154). 2.7 Objek Pajak Bumi dan Bangunan Soemitro dan Zainal (2001:7) menjelaskan bahwa yang menjadi objek PBB yaitu: a. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pendalaman (termasuk rawa-rawa tambak perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. b. Bangunan adalah kontruksi teknik yang ditanami atau diletakkan secara tetap pada tanah dan atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha, dan tempat yang diusahakan.
8
Yang dimaksud dengan bangunan meliputi 1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan 2) Jalan tol 3) Kolam renang 4) Pagar mewah, taman mewah 5) Tempat olah raga 6) Galangan kapal atau dermaga 7) Tempat penampungan atau kilangan minyak, air dan gas, pipa minyak, dan fasilitas lain yang memberikan manfaat. Mardiasmo (2009:314) menjelaskan objek pajak yang tidak dikenakan PBB yaitu: 1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak mencari keuntungan, antara lain: a. Dibidang ibadah, b. Dibidang sosial, c. Dibidang kesehatan, d. Dibidang pendidikan, e. Dibidang kebudayaan nasional. 2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu. 3. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalan yang dikuasai oleh desa, tanah negara yang belum dibebani suatu hak. 4. Digunakan untuk perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik. 5. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan. 2.8 Dasar Penggenaan Pajak Bumi dan Bangunan Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah NJOP (Nilai Jual Objek Pajak. Menurut Prabowo (2001:165) NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli, nilai jual objek pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti. Soemitro dan Zainal (2001:11) mengemukakan besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh menteri keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. NJKP (Nilai jual kena pajak) merupakan dasar perhitungan pajak, yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-setingginya 100% dari nilai jual objek pajak. Besarnya persentase NJKP ditetapkan dengan peraturan pemerintah No. 46 tahun 2000, yaitu: a. Sebesar 40% dari NJOP 1) Objek perkebunan 2) Objek perhutanan 3) Objek pajak lainnya, apabila NJOP Rp.1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah) atau lebih lebih. b. Sebesar 20% dari NJOP 1) Objek pertambangan 2) Objek pajak lainnya, apabila NJOP kurang dari Rp.1.000.000000,00 (satu miliyar rupiah) (Mardiasmo, 2009:302). NJOPTKP (Nilai jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak) merupakan ketentuan yang sudah diatur oleh pemerintah berdasarkan undang-undang yang memuat tentang besarnya nilai yang menjadi pengurangan dari total NJOP. Menurut Setiawan dan Basri (2006:328)
9
bahwa besarnya NJOPTKP yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan nomor 201/KMK.04/2000 tentang penyesuaian besarnya NJOPTKP sebagai dasar perhitungan PBB telah mengatur: a. Dasar pengenaan pajak adalah NJOP. b. Setiap wajib pajak diberikan NJOPTKP. c. Besarnya nilai objek pajak tidak kena pajak untuk setiap daerah kabupaten/kota ditetapkan oleh kepala kantor wilayah direktorat jendral pajak atas nama Menteri keuangan dengan mempertimbangkan pendapat pemerintah daerah setempat. d. Sesuai keputusan menteri keuangan ini yang diberlakukan mulai tahun pajak 2001 bahwa besarnya NJOPTKP ditetapkan secara regional setinggi-tingginya Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak mempunyai beberapa objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar.
III. Metode Penelitian 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengunakan metode survey yaitu dengan mengambil beberapa daerah sebagai sampel penelitian ini. Daerah yang menjadi lokasi dari penelitian ini adalah Pidie, Pidie Jaya dan Banda Aceh. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada beberapa kriteriya, yaitu daerah yang memiliki tingkat realisasi penerimaan jumlah PBB nya yang sangat tinggi dan daerah yang menjadi pusat pembangunan dengan jumlah penduduk serta bangunan yang paling banyak. Dalam hal ini Pidie, Pidie Jaya merupakan 2 (dua) kabupaten yang realisasi penerimaan PBB nya di atas 100 persen sedangkan Banda Aceh adalah kotamadya yang tentunya menjadi pioner serta merupakan daerah/kabupaten yang pertama kali melaksanakan pemungutan PBB P2. 3.2 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa instrumen kuesioner dan data skunder berupa LRA (Laporan Realisasi Anggaran) masing-masing kabupaten dan kotamadya yang menjadi sampel penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakandalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Survei, dilakukan untuk pengamatan secara langsung ke masing-masing daerah yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. 2. Wawancara dipakai untuk menggali data secara langsung kepada pihak-pihak yang terkait langsung dengan proses pemungutan PBB. 3. Kuesioner (uestioners), teknik ini dipergunakan untuk mendapatkan gambaran ringkas dan komprehensif tentang efisiensi pelaksanaan pengalihan pemungutan PBB menjadi pajak daerah. 4. Analisis dokumen atau arsip (archival). Teknik pengumpulan data ini digunakan untuk mendapatkan data jumlah penerimaan PBB sebelum dilakukan pengalihan dan jumlah penerimaan PBB setelah dilakukan pengalihan. 3.3 Operasionalisasi Variabel Variabel-variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel input dan variabel output yang diukur dengan menggunakan skala rasio. Variabel variabel input yang digunakan terdiri dari: 1. Jumlah SDM (Sumber Daya Manusia) yang dilibatkan dalam operasional pengelolaan PBB P2,
10
2. Jumlah sarana dan prasarana yang digunakan yang terdiri dari komputer, server, Printer High Speed, Printer Dotmatrik, Jaringan Payment Online, 3. Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pengalihan PBB P2 Variabel output yang digunakan adalah jumlah realisasi penerimaan PBB setelah pengalihannya sebagai pajak daerah. 3.4 Uji Instrumen Penelitian Menurut Davis dan Cosenza (2008), kualitas instrumen penelitian (kuesioner) dapat dievaluasi melalui uji validitas (factor analysis) dan uji reliabilitas. Pertanyaan yang dianggap valid (sah) dan reliable (handal) dapat digunakan untuk proses analisis data selanjutnya. Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat (Sekaran, 2006). Pengujian validitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis faktor. Menurut Kaiser (1974) semua item pernyataan dinyatakan valid jika memiliki nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) di atas 0,50. Uji reliabilitas yang bertujuan untuk menunjukkan sejauh mana alat ukur tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih. Dengan demikian alat pengukuran yang reliabel dapat mengukur secara stabil pada waktu yang berbeda dan dalam kondisi yang berbeda pula (Sekaran, 2006). untuk menguji kehandalan kuesioner digunakan Cronbach Alpha. Nunnally (1978) menyatakan suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha di atas 0,60. 3.5 Metode Analisis data Analisis data dilakukan dengan mengunakan analisis deskriptif kualitataf dan metode DEA (Data Envelopment Analysis). Tolak ukur penilaian efisiensi dalam penelitian ini adalah dengan perhitungan skala efisiensi berdasarkan rasio antara output terhadap input (return to scale) dengan pendekatan kuantitatif non parametrik. Adapun langkah-langkah dalam melakukan analisis sebagai berikut: Langkah1. Mengumpulkan data mengenai jumlah penerimaan PBB yang diterima oleh masing-masing daerah yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. Sumber data utama yang digunakan adalah LRA (Laporan Realisasi Anggaran) dari masing-masing daerah. Langkah 2. Mengidentifikasi jumlah bagi hasil PBB dengan menggunakan rasio yang telah ditetapkan. Langkah 3. Mengidentifikasi indikator-indikator utama yang mempengaruhi tingkat efisiensi pelaksanaan proses pengalihan pemungutan PBB yang dilakukan oleh masing-masing daerah. Secara umum indikator yang digunakan adalah sarana dan prasarana, SDM (Sumber Daya Manusia), biaya operasional, appraisal, Proses pengidentifikasian ini menggunakan instrumen kuesioner. Langkah 4. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan terlebih dahulu menghitung skor efisiensi dan kemudian menguji faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi tersebut. Skor efisiensi dihitung dengan berbantuan DEAP Version 2.1 (Data Envelopment Analysis Program).
11
Efisiensi (produktivitas) =
Rumus Skala Efisiensi (SE) = = Tabel Rumus DEA Model CRS dan VRS Mode1 DEA berorientasi input CRS Eff = Min ∑ , s.t ∑
∑ ∑
Mode1 DEA berorientasi input CRS Eff= Max ∑ , s.t ∑
∑ ∑
Ur , Vi ≥ 0 ; r i Ur , Vi ≥ 0 ; r i Dimana: yrj = jumlah output r yang diproduksi/diterima oleh daerah j, xij = jumlah input i yang digunakan oleh daerah j, ur = bobot yang diberikan kepada output r, (r = 1 ,..., t dan t adalah jumlah output), vi = bobot yang diberikan kepada input i, (i = 1, ..., m dan m adalah jumlah input), n = jumlah daerah, j0 = daerah yang diberi penilaian
IV. Hasil Dan Pembahasan 4.1 Deskripsi Objek Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Kota Banda Aceh, Pidie dan Pidie Jaya. Sejak 1 Januari 2013 Pemerintah kota Banda Aceh telah berinisiatif melaksanakan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan Retribusi daerah. Dengan diberlakukannya UU tersebut maka kewenangan pemungutan dilimpahkan kepada daerah. Selain undang-undang tersebut Pemerintah Kota Banda Aceh juga telah menetapkan Qanun Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2). Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan pengelolaan dan pemungutan PBB P2, Pemerintah Kota Banda Aceh, kabupaten Pidie dan Pidie Jaya telah menyiapkan sarana dan prasarana, antara lain: alat Cetak Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB, Membentuk UPTD PBB dan Bea Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pemerintah Kota Banda Aceh juga melakukan kerja sama dengan PT BRI Cabang Banda Aceh tentang Pembukaan rekening penerimaan PBB P2 dan juga memberikan layanan Cash Management System sehingga Wajib Pajak dapat membayar PBB melalui ATM BRI seluruh Indonesia sedangkan untuk Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya belum melakukan kerja sama dengan perbankan dalam hal sistem pembayaran secara online. Pemko Banda Aceh dalam hal ini DPKAD kota Banda Aceh dan Pemerintah Kabupaten Pidie selama periode 2013 dan 2014 telah berhasil menerima pemasukan daerah PBB-P2, sedangkan pemerintah Kabupaten Pidie jaya mulai melaksanakan
12
pengalihan PBB sebagai pajak daerah sejak tahun 2014, namun realisasinya belum mencapai 100%. Data realisasi PBB masing-masing wilayah dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Target dan Realisasi Penerimaan PBB
Kab/Kota
Tahun 2013
Tahun 2014
Target
Realisasi
%
Target
Realisasi
%
Banda Aceh
8.060.225.837,00
3.329.834.985,00
41,3
8.320.188.266,00
2.427.767.555,00 29,18
Pidie
1.158.913.859,00
520.058.979,00
44,8
987.943.502,00
183.843.657,00 18,61
Pidie jaya 877.848.566,00 Sumber: data DPKAD (* Tahun 2014 per September)
231.715.919,00 26,40
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa realisasi PBB wilayah Kota Banda Aceh untuk tahun 2013 sebesar 41,3% dan tahun 2014 sebesar 29,18, untuk wilayah Kabupaten Pidie nilai realisasinya sebesar 44,8% pada tahun 2013 dan 18,61% pada tahun 2014, sedangkan Kabupaten Pidie Jaya sebesar 26,40% pada tahun 2014. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa tingkat realisasi PPB P2 sangat bervariasi dan belum ada yang mencapat target 100%. 4.2 Analisis Efisiensi Pengalihan PBB Sebagai Pajak Daerah Analisis efisiensi dilakukan untuk menjawab permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini. Pengukuran efisiensi dilakukan dengan menggunakan pengukuran DEA untuk 3 wilayah yang dijadikan sampel dalam penelitian ini yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Pidie dan Kabupaten Pidie Jaya. Analisis efisiensi menggunakan Software DEAP 2.1, dimana variabel output yang digunakan adalah jumlah realisasi penerimaan PBB setelah pengalihannya sebagai pajak daerah. Sedangkan variabel input adalah (1) jumlah SDM (Sumber Daya Manusia) yang dilibatkan dalam operasional pengelolaan PBB P2, (2) jumlah sarana dan prasarana yang digunakan, dan (3) Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pengalihan PBB P2. Data tersebut dapat dilihat pada Table 4.2
Kab/Kota Banda Aceh Pidie Pidie jaya
Tabel 4.2 Variabel Input dan Output Penelitian Output input (1) input (2) 2.427.767.555 19 11 183.843.657 4 15 231.715.919 17 11
input (3) 2.000.000.000 500.000.000 1.200.000.000
Tabel 4.2 menunjukkan jumlah output dan input yang digunakan dalam penelitian ini. Variabel output adalah jumlah jumlah realisasi penerimaan PBB, untuk wilayah Kota Banda Aceh sebesar Rp 2.427.767.555, Wilayah Kabupaten Pidie sebesar Rp 183.843.657 dan Wilayah Kabupaten Pidie Jaya sebesar Rp 231.715.919. Sedangkan variabel input yang pertama adalah jumlah tenaga kerja atau pegawai yang ditempatkan pada bagian PBB, untuk wilayah Kota Banda Aceh sebanyak 19 orang, Wilayah
13
Kabupaten Pidie sebanyak 4 orang dan Wilayah Kabupaten Pidie Jaya sebanyak 17 orang. Variabel input yang kedua adalah jumlah sarana dan prasarana yang digunakan berupa komputer, server, Printer High Speed, Printer Dotmatrik, Jaringan Payment Online, untuk wilayah Kota Banda Aceh sebanyak 11 unit, Wilayah Kabupaten Pidie sebanyak 15 unit dan Wilayah Kabupaten Pidie Jaya sebanyak 11 unit. Variabel input yang ketiga adalah jumlah biaya yang dikelurkan untuk pengalihan PBB dimana untuk wilayah Kota Banda Aceh sebesar Rp 2.000.000.000 , Wilayah Kabupaten Pidie sebesar Rp 500.000.000, dan Wilayah Kabupaten Pidie Jaya sebesar Rp 1.200.000.000 Analisis efisiensi dalam penelitian ini membahas analisis efisiensi teknik (technical efficiency) two-stage DEA method, dengan efisiensi teknis dan efisiensi skala. Nilai efisiensi teknikal berdasarkan perhitungan vrste, sedangkan efisiensi skala dihitung berdasarkan perbandingan: Skala efisiensi = crste/ vrste Argumentasi agar mencapai titik efisiensi (constant return to scale) maka: 1) dapat meminimumkan input dan cenderung menjaga output tetap, 2) dapat memaksimalkan output dan cenderung mempertahankan input tetap. Argumentasi ini dasar untuk memaksimumkan output atau meminimumkan input, yang selanjutnya memfokuskan pada angka output dan input slack serta angka input atau output target. Angka slack ini sebagai pertimbangan agar DMU mencapai titik batas efisiensi, dengan mengobservasi nilai input dan output target. Input slack adalah berapa besarnya input yang dapat dikurangi secara proporsional agar DMU mencapai titik efisien dimana DMU paling efisien berada. Output slack adalah seberapa besar output yang dapat ditingkatkan secara proporsional agar DMU tersebut berada pada titik DMU yang paling efisien (Wardana, 2013). Analisis efisiensi DEA menggunakan preferensi two-stage methode dengan pendekatan tradisional BCC dan CCR model, yang berorientasi input. DMU dengan nilai skor atau skala kurang dari satu dianggap tidak efisien dibandingkan dengan unit lain. Tabel 4.3 Efisiensi Input-Oriented Model DMU (Kab/Kota) crste vrste scale
Banda Aceh
1.000
1.000
1.000
Pidie
0.360
1.000
0.360
irs
Pidie jaya
0.107
0.254
0.420
irs
mean
0.489
0.751
0.593
Hasil analisis DEA pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata efisiensi adalah sebesar 0.489, apabila efisiensi skala tidak tercapai berarti skala ekonomi tidak dapat dicapai pada semua tingkatan skala produksi. Efisiensi teknis (vrste) menunjukkan rata-rata sebesar 0.751, yang mendekati angka efisiensi 1, efisiensi teknis ini menunjukkan efisiensi suatu DMU yaitu kabupaten/kota dalam mengubah input menjadi output. Tidak efisien dalam skala dapat diatasi dengan meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kabupaten/kota yang bernilai efisiensi 1 pada metode VRS disebut sebagai DMU yang efisien secara lokal, akan tetapi DMU ini belum tentu efisien jika diujikan dengan metode CRS. Maksudnya, efisiensi skala dalam sebuah DMU adalah rasio antara efisiensi dengan asumsi CRS terhadap efisiensi dengan asumsi VRS.
14
Berdasarkan Tabel 5.3, hanya Kota Banda Aceh yang efisien secara teknis dan skala, Kabupaten Pidie efisien menurut teknis tetapi tidak efisien menurut skala, sedangkan Kabupaten Pidie Jaya tidak efisien menurut teknis dan skala. Untuk Kota Banda Aceh kombinasi antara input dan output yang dihasilkan sudah tepat. Jumlah tenaga kerja yang ada, sarana dan prasarana yang digunakan serta jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut telah dapat meningkatkan jumlah realisasi penerimaan PBB setalah pengalihan menjadi pajak daerah. Efisiensi teknis berfokus pada memaksimalkan output dengan meminimalkan input. Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya yang belum efisien dalam skala mungkin disebabkan adanya slack. Menurut Ozkan Y.A (2008), slack pada analisis DEA ini menjelaskan kelebihan proporsi yang menyebabkan ketidakefisienan. Oleh karena itu pengurangan sejumlah input diikuti dengan sejumlah target output diperlukan agar mencapai target efisiensi (efficiency fronteir). Ketidakefisiennya pengalihan PBB sebagai pajak daerah pada Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya dapat dilihat dari beberapa indikator yang dijadikan input dalam penelitian ini yaitu yang pertama jumlah pegawai yang digunakan terlalu sedikit, padahal jumlah beban kerja yang harus ditanggung oleh pegawai sangat besar. Hal tersebut terjadi dikabupaten pidie dengan jumlah pegawai yang bekerja di bidang PBB hanya 4 orang walaupun sarana dan prasarana yang tersedia untuk digunakan banyak. Sehingga hal tersebut menungkinkan terjadinya ketidakefisienan. Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor yang sangat menentukan dalam tercapainya tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi. Begitu pula dalam menyukseskan peralihan dan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), SDM merupakan hal yang memiliki peran sangat dominan. Melihat peran besar yang dimiliki oleh SDM, maka banyak pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menganalisa dan menentukan jumlah SDM yang dibutuhkan dalam mengelolah PBB P2. Pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menganalisa dan menentukan jumlah SDM yang dibutuhkan dengan melihat kegiatan apa dan jenis-jenis kegiatan serta jumlah volume kegiatan yang dilakukan dalam mengelolah PBB P2 ini. SDM yang direkrut dalam pengelolaan PBB P2 ini dengan memanfaatkan sumber daya yang ada, yang berasal dari pegawai di lingkungan pemerintah sendiri. Hal yang kedua adalah biaya yang dikeluarkan terlalu tinggi tetapi tidak diikuti dengan peningkatan jumlah penerimaan PBB. Hal ini disebabkan banyaknya jumlah tunggakan PBB yang belum dibayarkan oleh wajib pajak sebelum dilakukannya pengalihan PBB sebagai pajak daerah.
V. Kesimpulan Dan Saran 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini, maka beberapa hal yang dapat disimpulkan yaitu: 1. Mengoptimalkan persiapan peralihan akan sangat membantu dalam pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) nantinya. Persiapan yang baik dan matang akan membuat pengelolaannya bisa berjalan dengan baik pula tanpa menghadapi kendala-kendala yang begitu berarti, yang pada akhirnya diharapkan bisa menggali potensi PBB P2 ini sehingga akan semakin meningkatkan perolehan pajak daerah. 2. Hasil analisis efisiensi dari 3 wilayah kabupaten/kota yang dijadikan sampel penelitian hanya Kota Banda Aceh yang efisien secara teknis dan skala, Kabupaten Pidie efisien menurut teknis tetapi tidak efisien menurut skala, sedangkan Kabupaten
15
Pidie Jaya tidak efisien menurut teknis dan skala. Hal ini menunjukkan bahwa Kota Banda Aceh, dalam pengalihan PBB sebagai pajak daerah sudah efisien. 5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka beberapa saran sehubungan dengan pengalihan PBB sebagai pajak daerah atau pajak kabupaten/kota yaitu: 1. Perlu diperhatikan kendala kendala yang dapat menghambat proses pengalihan, misalnya masalah yang berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu tentang penentuan jumlah pegawai yang nantinya menjadi pengelola Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2). 2. Sebaiknya dilakukan pendataan kembali mengenai data Wajib Pajak dan Objek pajak dari PBB sehingga diperoleh data yang akurat yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah penerimaan PBB
DAFTAR PUSTAKA Bank Indonesia. 2012. Perkembangan Keuangan Daerah. Melalui www.bi.go.id diakses tanggal [26/03/2013]. Departemen Dalam Negeri. 2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Definisi Pendapatan. .2012. Pengelolaan PBB Dialihkan ke Daerah. Melalui <www.kemendagri.go.id> diakses tanggal [10/03/2013]. Departemen Keuangan RI. (2007) UU no. 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan Tata Cara Perpajakan. Hasyim. 2012. Kabupaten Terima 64,8 Persen dari PBB. Melalui <www.aceh.tribunnews.com>diakses tanggal [10/03/2013]. Iqbal, Salman.2013. Realisasi Pajak Aceh Capai 96%. Melalui <www.portal.radioantero.com>diakses tanggal [15/03/2013]. Kurniawan, Panca dan Agus Purwanto. 2004. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia. Malang : Bayumedia Mardiasmo. 2009. Perpajakan. Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi. Pemerintah Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. . 2009. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Prabowo, Yusdianto. 2001. Akuntansi Perpajakan Terapan. Jakarta: Salemba Empat. Resmi, Siti. 2009. Perpajakan: teoridan Kasus. Jakarta: Salemba Empat. Setiawan, Agus dan Basri Musri. 2006. Perpajakan Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Siahaan, Marihot P. 2008. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soemitro, Rochmat & Zainal Muttaqin. 2001. Pajak Bumi dan Bangunan. Bandung: PT Refika Aditama. Soemitro, Rochmat & Sugiharti DK. 2004. Asas dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: Refika Aditama. Suandy, Early. 2008. Hukum Pajak. Yogyakarta:Salemba Empat. Suharno. 2003. Potret Perjalanan Pajak Bumi dan Bangunan. Jakarta:Perpustakaan Nasional.
16
Sutedi, Adrian. 2011. Hukum Pajak. Jakarta: Sinar Grafika Offset. Tanjung, Abdul Hafiz. 2009. Penatausahaan dan Akuntansi Keuangan Daerah untuk SKPKD dan Pemerintah Daerah. Buku 2. Jakarta : Salemba Empat. Waluyo. (2010). Perpajakan Indonesia. Buku 1 Edisi 9, Jakarta : Salemba Empat.