.satu. yang selalu mengirim surat
B
unyi klakson motor berwarna oranye, dengan teriakan khas “Pos!” setiap hari selalu aku nantikan. Mata tak lepas dari balik pagar besi
lusuh bewarna coklat tua. Ketika pagi datang, saat Ibu pasangkan sepatu, mataku melirik penuh harap. Setiap ada motor yang lewat, kepala spontan memastikan, apakah itu tukang pos yang aku nantikan. Yah—saat itu bagi anak-anak seusiaku, sebuah pengharapan sangatlah berarti. Apalagi berharap tentang sesuatu yang begitu dicintai. Bukan mainan ataupun makanan, tapi sepucuk surat mingguan dari Bapak yang tengah berjuang di pulau seberang. Setiap pekan, pasti ada sepucuk surat yang datang. Ada beberapa bait tulisan yang saat itu hanya Ibu yang bisa membacakan. Di bawah tulisan itu pasti ada beberapa gambar, yaitu gambar diriku, gambar Bapak, dan gambar Ibu. Jika aku beruntung, maka di dalam surat akan kutemukan secarik kertas yang diselipkan Bapak berisi gambar pemandangan. Gambar yang sangat bagus sekali, tidak pernah kutemui di kelas mewarnai kanak-kanak. Penuh semangat aku pun selalu 2
mewarnainya dengan pewarna pemberian Bapak. Setelah aku warnai, maka gambar itu aku kirim kembali bersama surat balasan yang dituliskan ibu. Begitu setiap pekan, selama bapak melanjutkan studi di Padjajaran, Jawa Barat. Beberapa kali Bapak juga mengirimkan fotonya dan beberapa tulisan berisi pesan untukku. Meskipun secara fisik aku tak bisa bertemu dengannya, namun dengan adanya surat-surat ini setidaknya rasa rinduku cukup terobati. Karena saat itu, bagi anak se-usiaku arti sepasang orang tua sangatlah berarti. Saat didampingi di Taman Kanak-kanak, saat ditunggui menyelesaikan gambar dalam perlombaan, dan saat diapresiasi kala mendapat prestasi. Sebagai anak tunggal, aku cukup merasakan kasih sayang yang melimpah, perhatian, dan didikan yang baik. Tidak lantas tumbuh menjadi anak yang manja dan egois. Sesekali aku merengek minta adik pada ibuku. Aku ingin sekali memiliki adik laki-laki. Agar kelak ada yang bisa kuajak bermain, dan setelah dewasa ada yang melindungiku. 3
Beberapa waktu setelah permintaan itu, Allah pun memberikan seorang adik yang tengah dikandung Ibu. Kata Ibu, adikku laki-laki. Ah—rasanya bahagia sungguh tak terkira. Setiap hari konsentrasiku terpecah, antara menunggu Pak Pos lewat dan memandangi perut ibuku, berharap sang adik segera keluar. Hari itu Pak Pos datang. Mata kecilku berbinar senang. Dengan badan yang sedikit gempal aku berlari menuju pagar, menyambut tangan Pak Pos. Ya! Sepucuk surat dari Bapak akhirnya sampai. Tergopohgopoh aku menuju rumah, tak sabar ingin membuka dan mendengarkan Ibu membacakannya. Sesekali Ibu berujar, “Nah, Anin harus belajar lebih giat untuk bisa membaca. Agar kalau surat Bapak datang, Anin bisa membacanya sendiri.” Aku pun mengangguk penuh semangat. Sambil perlahan memaksakan diri membaca, namun memang masih kesulitan. Selain itu tulisan Bapak tidak sama dengan huruf-huruf yang dikenalkan di TK-ku. Kali ini Bapak mengirimkan gambar untuk aku warnai dan sebuah foto. Dalam gambar itu ada aku dan 4
calon adik bayi laki-laki. Kami sedang bermain di depan rumah. Dengan senyum yang khas aku merasakan kebahagiaan hari itu. Semoga apa yang ada dalam gambar itu akan segera terwujud. Lalu aku meraih fotonya, dan di sana tampak Bapak sedang duduk bersama kawan-kawannya. Rambut Bapak sudah tak panjang lagi, tak seperti saat pertama kali dia berangkat meninggalkan kami. Lalu Ibu menyela ke-asyikanku, “Nin, lihat ada tulisan di belakangnya!” Segera aku balik foto itu, dan dengan isyarat meminta Ibu membacakannya. “Buat Nindya, jangan nakal ya! Jadilah anak yang baik dan ingat nggak boleh melawan sama Ibu. Bapak selalu merindukan Nindya. Bapak senang sekali kalau Nindya ikut nimbrung dan nyeletuk-nyeletuk ketika Bapak nelpon Ibu. Rasanya kerinduan Bapak terobati. Nindya tersayang, bagaimana tentang adiknya? Apakah Nindya sering bercanda sama adiknya di dalam perut Ibu? Bilang sama adiknya, nanti kalau Bapak kita pulang, kita dengar cerita Bapak yang lucu-lucu yuk! Horeeee!” mataku berbinar sampai kalimat terakhir 5
yang dibacakan Ibu. Senyumku pun tergambar indah. Dalam hati seorang anak kecil aku berujar, “Nindya juga rindu Bapak.” Foto itu masih kusimpan sampai hari ini, foto kenangan yang tak terlupakan. Berikut foto yang dikirimkan Bapak di bulan ke-empat tahun 1995.
*** Lama aku termangu menatap masa lalu yang memiliki bagian sangat indah untuk dikenang. Saat dimana hanya ketulusan yang berbicara, tidak ada pamrih karena cinta mengalir begitu saja. Tidak ada cinta yang dipaksakan, tidak ada pula cinta yang terabaikan. Aku beruntung terlahir dalam keluarga ini. Tepatnya beruntung terlahir lebih awal. Beruntung merasakan limpahan cinta dan kasih sayang. Merasakan indahnya masa kanak-kanak dan perhatian orang tua yang maksimal. Aku beruntung, karena sempat diajarkan banyak hal oleh mereka, orang tua yang membesarkanku.
6
Rasanya malu jika aku terlalu banyak protes saat itu, karena aku bangga tumbuh menjadi anak yang mampu berpikir, mampu mandiri, dan mampu mengambil banyak pelajaran. Keadaan memaksaku untuk menjadi manusia yang harus bijaksana menatap sebuah kehidupan. Kebahagiaan di masa kecil masih erat aku simpan dalam memori. Erat dan lekat, tak ada satupun yang mampu menghapuskan, sekali pun hal paling menyakitkan sedang aku rasakan. Anak mana yang tidak beruntung? Ketika suhu tubuh mulai meningkat, ada sepasang manusia yang siap memberikanku sentuhan cinta. Bahkan aku memiliki seorang Bapak yang tak lelah menjaga, hingga rela memindahkan panas tubuhku ke tubuhnya. Baginya, biarlah dia yang menderita. Aku benar-benar beruntung. Dan memang tidak ada alasanku untuk protes tentang keadaan saat ini. Banyak hal luar biasa yang aku terima di masa kecilku. Kisah-kisah kecil yang mungkin bagi orang tidaklah penting. Tapi bagiku, ini akan menjadi harta karun di masa yang akan datang. Saat aku sangat 7
membutuhkan kenangan manis untuk mengobati rasa sakit. Saat Bapak mengajakku melihat indahnya alam, membiarkanku bebas bermain bersama air, tertawa bersama batu sungai yang besar-besar, dan bercanda dengan riak air yang dingin. Sesekali Bapak memanggil namaku, sebagai isyarat untuk berhati-hati. Hanya ada aku, seorang putri tunggal yang masih berumur kanakkanak dan seorang Bapak yang tak bosan mengisi tawa di masa kecil. Bapakku juga sering menceritakan hal-hal lucu padaku. Tentang dongengan yang tak masuk akal sebenarnya. Tentang si kancil yang cerdik dan si gajah yang dungu. Entah apakah cerita itu memang tertulis menjadi bagian dari sastra Indonesia, atau hanya Bapak yang mengarangnya. Sampai saat ini aku pun tak tahu, dan tak perlu mencari tahu. Bagiku cerita-cerita yang pernah didengarkan adalah cerita dari mulut bapakku, cerita yang bagiku orisinil. Sungguh, masa kecil bersama Bapak telah membawaku menjadi anak dengan kebahagiaan yang 8
penuh. Aku yakin tidak semua anak merasakan hal yang sama denganku. Tidak semua mendapatkan hal terbaik seperti apa yang aku dapatkan. Karena memang, bapakku adalah Bapak nomor satu.
***
9