22
EMISI CO2 DARI LAHAN GAMBUT BUDIDAYA KELAPA SAWIT (ELAEIS GUINEENSIS) DAN LAHAN SEMAK BELUKAR DI PELALAWAN, RIAU
PEAT CO2 EMISSIONS UNDER PALM OIL (ELAEIS GUINEENSIS) PLANTATION AND SHRUBLAND IN PELALAWAN, RIAU Sarmah1, Nurhayati2, Hery Widyanto2, Ai Dariah1 1
Balai Penelitian Tanah Bogor, Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114.
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau. Jl. Kaharudin Nasution No. 341, Padang Marpoyan, Pekanbaru 10210.
Abstrak Sistem pengelolaan lahan dan jenis tutupan sangat mempengaruhi tingkat emisi gas rumah kaca pada lahan gambut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat emisi CO2 dari gambut yang dibuka untuk lahan budidaya dibandingkan dengan gambut yang belum dibuka yang masih berupa semak belukar. Lokasi penelitian untuk lahan budidaya adalah pada perkebunan kelapa sawit sedangkan untuk lahan gambut yang belum dibudidayakan terletak sekitar 3 km dari lokasi gambut budidaya. Pengamatan yang dilakukan adalah emisi gas CO2, diikuti dengan pengukuran suhu tanah, suhu udara, dan kedalaman muka air tanah. Pengukuran emisi CO2 dilakukan dengan frekuensi setiap 15 hari mulai bulan Februari hingga Juli 2014. Pengukuran emisi CO 2 dilakukan dengan metoda closed chamber menggunakan IRGA (Infra Red Gas Analyzer) LiCOR 820. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat emisi CO 2 di lahan gambut pada perkebuan kelapa sawit rata-rata berkisar 66,87±47,53 ton CO2 ha-1 th-1 yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CO 2 pada semak belukar yang berkisar 43,73±27,16 ton CO2 ha-1 th-1 (p<0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa gambut yang dibuka untuk lahan budidaya kelapa sawit memiliki tingkat emisi CO2 yang lebih tinggi 52,92% dibandingkan dengan lahan gambut yang belum dibudidayakan. Kata kunci: Lahan gambut, emisi CO2, gambut budidaya, gambut non budidaya Abstract Land management system and the type of cover greatly affect the level of greenhouse gas emissions in peatlands. This research aims to study the level of CO2 emissions from peat lands opened for cultivation compared with unopened peat lands which still in the form of shrubs. Research sites for land cultivation is on the palm oil plantations while uncultivated peatland is located approximately 3 km from the location of peat cultivation. The observations made are CO2 emissions, followed by measurements of soil temperature, air temperature, and water table depth. Measurements performed with a frequency of CO2 emissions every 15 days from February to July 2014. Measurements of CO2 emissions are done by a closed chamber method using IRGA (Infra Red Gas Analyzer) Li-COR 820. The results showed that the level of CO2 emissions in peatlands under palm oil
295
Sarmah et al.
plantations averaging around 66.87 ± 47.53 ton CO2 ha-1 yr-1 were relatively high compared with CO2 emissions of shrubland ranged 43.73 ± 27.16 ton CO2 ha-1 yr-1 (p<0.01). These results indicate that the peat lands are open to oil palm cultivation has a CO2 emission level higher 52.92% than the uncultivated peatlands. Keywords: Peat, CO2 emissions, cultivation peatland, uncultivation peatland
PENDAHULUAN Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu jenis gas rumah kaca yang menyebabkan efek pemanasan global pada atmosfer bumi. Karbon dioksida yang dilepas dari dalam tanah merupakan hasil dari proses respirasi yaitu proses penguraian molekul organik menjadi energi, air dan CO2 di dalam sel. Karbon dioksida yang dihasilkan tersebut dapat bersumber dari hasil proses respirasi akar, respirasi mikrobia di rizosfer, respirasi dari dekomposisi serasah dan organisme, atau respirasi dari oksidasi bahan organik tanah (Luo Zhou, 2006). Emisi CO2 pada lahan gambut baik di daerah subtropis maupun daerah tropis telah banyak dilaporkan (Hooijier et al., 2012; Melling et al., 2013; Marwanto et al., 2013; Husnain et al., 2014; Dariah et al., 2013; Dariah et al., 2013a; Agus et al., 2012). Namun demikian, keragaman emisi CO2 pada berbagai penggunaan lahan belum banyak dilaporkan. Lahan gambut merupakan salah satu penyumbang emisi CO 2 ke udara. Emisi dan penambatan karbon pada lahan gambut berlangsung secara simultan, namun besaran masing-masingnya tergantung keadaan alam dan campur tangan manusia. Dalam keadaan hutan alam yang pada umumnya jenuh air (suasana anaerob), penambatan (sekuestrasi) karbon berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi (Parish et al., 2007). Pembukaan lahan gambut dan pembuatan drainase menyebabkan cadangan karbon pada lahan gambut menjadi mudah teroksidasi menjadi gas CO2. Penggunaan lahan gambut untuk sistem pertanian yang memerlukan drainase dalam (>30 cm) serta pembakaran atau kebakaran gambut menyebabkan emisi CO2 menjadi sangat tinggi (Agus dan Subiksa 2008). Pengelolaan gambut yang keliru, berdampak pada kehilangan karbon dari lahan gambut dengan meningkatnya pelepasan emisi karbon dioksida ke atmosfir. Tingkat emisi akibat pembukaan lahan gambut menurun apabila lahan yang dikonversi menjadi lahan perkebunan atau pertanian adalah belukar gambut. Hal ini disebabkan biomassa pada belukar gambut relatif lebih sedikit (diasumsikan 15 ton C ha1 ) sehingga menyebabkan emisi CO2 dari kebakaran biomassa dan kebakaran lapisan gambut menjadi sedikit pula. Dengan demikian, apabila lahan yang digunakan untuk
296
Emisi CO2 dari Lahan Gambut Budidaya Kelapa Sawit
perkebunan adalah lahan yang sudah berubah menjadi semak belukar, maka emisi yang terjadi sewaktu pembukaan hutan akan jauh berkurang (Agus dan Subiksa 2008). Potensi lahan gambut untuk dijadikan lahan pertanian harus memperhatikan aspek lingkungan seperti tingkat emisi CO2 akibat perubahan tersebut. Agus et al., (2012) menyatakan bahwa lahan semak gambut dengan rata-rata kedalaman muka air tanah atau drainase 40 cm melepaskan 25 ton CO2 ha-1 th-1. Namun jika lahan semak diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, emisinya meningkat menjadi 38 ton CO2 ha-1 th-1. Sementara Salampak et al., (2014) menyatakan bahwa urutan besaran nilai fluks CO2 pada beberapa tipe penggunaan lahan di Kalampangan, Kalimantan Tengah adalah gambut hutan alami > semak > jagung > tumpang sari. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat emisi CO2 dari lahan gambut yang dibuka untuk lahan budidaya kelapa sawit dan dibandingkan dengan lahan gambut non budidaya yang masih berupa semak belukar di Pelalawan, Riau.
BAHAN DAN METODE Deskripsi lokasi penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Juli 2014 di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei Kijang, Kabupaten Pelalawan, Riau. Pengukuran emisi CO 2 dilakukan di lahan semak belukar dan lahan budidaya kelapa sawit. Lahan semak belukar masih memiliki tutupan vegetasi yang cukup rapat berupa tanaman pakis, tanaman merambat serta beberapa tanaman kayu dengan ketinggian ±5 meter. Lahan budidaya kelapa sawit yang dijadikan lokasi pengamatan adalah lahan seluas 5 ha dengan umur tanaman kelapa sawit 6 tahun. Jarak tanam kelapa sawit pada lokasi tersebut adalah 8×9 meter. Di antara tanaman kelapa sawit ditanami juga tanaman nenas sebagai tanaman sela. Pemupukan di lahan budidaya kelapa sawit ada 4 perlakuan, yaitu: Kontrol, Pugam (pupuk gambut), Pukan (pupuk kandang), dan Tankos (tandan kosong kelapa sawit). Pemupukan pada tanaman sela (nenas) dilakukan dengan cara ditugal di sekitar pokok tanaman nenas. Pengukuran emisi CO2 dilakukan pada 16 titik untuk setiap tipe penggunaan lahan (Gambar 1). Titik pengukuran di lahan budidaya kelapa sawit terletak di antara tanaman sela (nenas).
Pengukuran emisi CO2 Emisi CO2 pada lahan gambut diukur menggunakan IRGA (Infra Red Gas Analyzer), Li-COR 820, dengan metode sungkup tertutup (clossed chamber). Sungkup yang digunakan adalah pipa paralon berdiameter 25 cm dengan tinggi 25 cm. Gas dari dalam sungkup akan dialirkan ke dalam IRGA dan pembacaan konsentrasi CO2 yang
297
Sarmah et al.
diemisikan berlangsung selama ±2,5 menit. Pengukuran emisi CO 2 dilakukan bersamaan dengan pengukuran suhu tanah, suhu udara, dan kedalaman muka air tanah. Pengukuran emisi CO2 di lahan semak belukar dan kelapa sawit dilakukan pada waktu bersamaan menggunakan dua IRGA dengan intensitas pengukuran setiap dua minggu sekali selama 6 bulan. Emisi CO2 dihitung dengan persamaan Madsen et al., (2009):
Keterangan: fc = Fluks CO2 (μmol m-2 det-1) P = Tekanan atmosfer berdasar rata2 pembacaan IRGA (Pa) H = Tinggi sungkup (m) R = Konstanta gas (8,314 Pa m-3 K-1 mol-1) T = Suhu sungkup (K) dC/dt = Perubahan konsentrasi CO2 terhadap waktu (ppm det-1)
~~~~~Saluran drainase~~~~~
♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣
∆ dst
∆ ∆ ∆ ∆
♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣ ♣♣♣
~~~~~Saluran drainase~~~~~
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
∆
~~~~~Saluran drainase~~~~~ - - - - - - -Jalan- - - - - - -
~~~~~Saluran drainase~~~~~ - - - - - - -Jalan- - - - - - -
a
b
Gambar 1. Layout titik pengamatan di lahan semak belukar (a) dan lahan budidaya kelapa sawit (b)
298
Emisi CO2 dari Lahan Gambut Budidaya Kelapa Sawit
Analisis Statistik Data yang diperoleh dari hasil pengukuran diolah dengan menggunakan program excel dan SPSS 18.
HASIL DAN PEMBAHASAN Emisi CO2 pada gambut Fluks CO2 pada lahan semak belukar dan lahan budidaya kelapa sawit di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei Kijang, Kabupaten Pelalawan, Riau pada pengamatan selama 6 bulan disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa fluks CO2 pada lahan gambut budidaya kelapa sawit (66,87±47,53 ton CO2 ha-1 th-1) lebih tinggi dari lahan gambut yang masih berupa semak belukar (43,73±27,16 ton CO2 ha-1 th-1) dan berbeda nyata berdasar uji t pada taraf 1%. Hasil ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil estimasi Hooijer et al., (2012), menggunakan metoda subsiden yaitu sekitar 73 ton CO2 ha-1 th-1. Menurut Agus dan Subiksa (2008) lahan gambut yang telah dibuka menjadi lahan budidaya tingkat emisi CO2-nya akan meningkat. Hal ini disebabkan dekomposisi gambut oleh mikroorganisme berjalan cepat karena menurunnya kedalaman permukaan air tanah akibat pembuatan drainase yang menyebabkan kondisi lingkungan menjadi aerob. Selain itu, pemberian pupuk turut berperan dalam meningkatkan emisi CO2 pada lahan budidaya kelapa sawit. Green et al., (1995) dalam Dariah et al., (2013a) menyatakan bahwa pemupukan dapat meningkatkan dekomposisi residu tanaman dan karbon tanah (microbial respiration) sehingga meningkatkan emisi CO2.
Gambar 2. Grafik fluks CO2 pada lahan semak belukar dan kelapa sawit
299
Sarmah et al.
Fluks CO2 pada lahan budidaya kelapa sawit dengan 4 perlakuan pupuk disajikan pada Gambar 3. Tingkat emisi CO2 di lahan budidaya kelapa sawit tidak berbeda nyata pada taraf 5% antar setiap perlakuan. Emisi CO2 pada lahan budidaya kelapa sawit dengan 4 perlakuan berbeda yaitu pada kontrol sebesar 63,85±37,18 ton CO2 ha-1 th-1, Pugam 64,00±36,08 ton CO2 ha-1 th-1, Pukan 75,34±64,34 ton CO2 ha-1 th-1, dan Tankos 64,27±46,98 ton CO2 ha-1 th-1. Pemberian Pukan pada budidaya kelapa sawit meningkatkan emisi CO2 lebih tinggi dibandingkan Pugam dan Tankos yaitu sebesar 18,00% dibandingkan dengan kontrol. Dariah et al., (2013a) menyatakan penggunaan pupuk yang mengandung bahan amelioran dengan bahan aktif kation polyvalen seperti pugam berpotensi menekan laju emisi gas rumah kaca dari lahan gambut yang dikelola secara intensif. Bahan aktif tersebut mampu melakukan proses kompleksasi asam-asam organik monomer menjadi senyawa komplek yang lebih tahan terhadap dekomposisi. Dengan demikian aplikasi pupuk dalam pengelolaan lahan gambut perlu diperhatikan jika ingin merubah lahan gambut menjadi lahan budidaya sehingga kenaikan tingkat emisi CO2 yang akibat pembukaan lahan gambut dapat diminimalisir.
Gambar 3. Grafik emisi CO2 di lahan budidaya kelapa sawit pada beberapa perlakuan pupuk Emisi CO2 pada lahan budidaya kelapa sawit lebih dipengaruhi oleh jarak titik pengamatan dari saluran drainase. Emisi CO2 pada titik pengamatan dengan jarak terjauh dari saluran drainase (108 meter) nyata lebih tinggi (99,03±61,46 ton CO2 ha-1 th-1) dibandingkan dengan titik yang lebih dekat dengan saluran drainase (Gambar 4). Kedalaman muka air tanah pada titik tersebut juga paling tinggi (84,44±20,70 cm) dibanding yang lain meskipun tidak berbeda nyata. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Marwanto et al., (2013), yang menyatakan bahwa fluks CO2 menurun dengan bertambahnya jarak dari saluran drainase. Hal ini disebabkan semakin jauh dari saluran
300
Emisi CO2 dari Lahan Gambut Budidaya Kelapa Sawit
drainase maka kondisi lingkungan menjadi lebih aerob karena kedalaman muka air tanah semakin turun sehingga proses dekomposisi dan pelepasan CO 2 semakin tinggi. Namun hubungan antara jarak drainase dengan emisi CO2 pada hasil penelitian ini tidak konsisten. Husnain et al., (2014) juga menyatakan di lokasi yang sama bahwa jarak drainase tidak berpengaruh signifikan terhadap fluks CO 2. Sedangkan pada lahan semak belukar emisi CO2 tertinggi ada pada titik yang berjarak 20 dan 130 meter dari saluran drainase dan berbeda nyata pada taraf 5% dibandingkan pada titik yang lain (Gambar 5).
Gambar 4. Grafik emisi CO2 di lahan budidaya kelapa sawit pada beberapa jarak drainase
Gambar 5. Grafik tingkat emisi CO2 di lahan semak belukar pada beberapa jarak drainase
301
Sarmah et al.
Hasil uji korelasi Pearson antara fluks CO2 dengan suhu tanah, suhu udara, dan kedalaman muka air tanah disajikan pada Tabel 1. Pada lahan semak belukar fluks CO 2 berkorelasi positif (P<0,01) suhu udara. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Marwanto dan Agus (2013) yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara fluks CO 2 dengan suhu udara, tetapi emisi CO2 tertinggi terjadi pada saat suhu udara dan tanah tinggi (siang hari) dan terendah saat suhu udara dan suhu tanah rendah (pagi hari). Sedangkan pada lahan budidaya kelapa sawit fluks CO2 berkorelasi negatif (P<0,01) dengan kedalaman muka air tanah. Artinya semakin dalam muka air tanah maka fluks CO 2 semakin rendah. Namun Dariah et al., (2013) menyatakan bahwa kedalaman muka air tanah berkorelasi positif terhadap fluks CO2 yang berarti bahwa semakin dalam muka air tanah maka semakin tinggi fluks CO2. Hasil penelitian Salampak et al., (2014) menunjukkan bahwa pada lahan semak belukar fluks CO2 dan kedalaman muka air tanah tidak menunjukkan adanya korelasi. Juhiainen et al., (2012) menyatakan bahwa pengaruh perbedaan kedalaman muka air tanah terhadap emisi rendah. Secara keseluruhan fluks CO 2 pada penelitian ini berkorelasi positif (p<0,01) dengan suhu udara. Tabel 1.
Korelasi Pearson antara fluks CO2 dengan suhu tanah, suhu udara, dan kedalaman muka air tanah pada pengukuran di lahan semak belukar dan kelapa sawit di Riau
Penggunaan Lahan Semak Belukar Kelapa Sawit Semak Belukar dan Kelapa Sawit
Kedalaman Muka Air Tanah -0,043
Suhu Tanah
Suhu Udara
Korelasi Pearson
0,104
0,240*
P-value
0,151
0,001
0,553
Korelasi Pearson
0,129
-0,225*
P-value
0,546
-0,044
0,074
0,002
Korelasi Pearson
0,090
0,246*
-0,064
P-value
0,079
0,000
0,209
*P-value < 0,01 berkorelasi signifikan pada taraf 1%
Hubungan jarak drainase terhadap kedalaman muka air tanah (Gambar 6a) pada lahan semak belukar memenuhi persamaan y = -0,0037x2 + 0,7046x + 43,796 dengan nilai R² = 0,696. Semakin jauh jarak drainase, kedalaman muka air tanah semakin meningkat sampai pada jarak 80 meter, selanjutnya kedalaman muka air tanah kembali menurun sampai pada titik pengamatan ke-16 (jarak 160 meter dari titik drainase acuan). Hal ini dikarenakan di ujung lahan semak belukar yang diamati terdapat drainase lahan budidaya sawit. Sehingga kedalaman muka air tanah pada titik 9 sampai 16 dipengaruhi oleh drainase tersebut. Kondisi ini turut mempengaruhi hubungan antara fluks CO 2 dengan jarak drainase. Hubungan jarak drainase dengan fluks CO 2 memenuhi persamaan y = 0,0018x2 - 0,3733x + 58,471 dengan nilai R² = 0,1753 (Gambar 6b). Pada jarak drainase 10 sampai 80 meter tingkat emisi CO2 cenderung menurun sedangkan pada jarak
302
Emisi CO2 dari Lahan Gambut Budidaya Kelapa Sawit
drainase 90 sampai 160 meter tingkat emisi CO2 cenderung meningkat. Marwanto et al., (2013) menyatakan bahwa fluks CO2 semakin menurun dengan bertambahnya jarak titik pengamatan dari saluran drainase.
a
b
Gambar 6. Hubungan antara jarak drainase dengan kedalaman muka air tanah (a) dan fluks CO2 (b) pada lahan semak belukar
303
Emisi CO2 dari Lahan Gambut Budidaya Kelapa Sawit
KESIMPULAN Emisi CO2 pada lahan gambut yang telah ditanami kelapa sawit (66,87±47,53 ton CO2 ha-1 th-1) lebih tinggi dibandingkan pada lahan semak belukar (43,73±27,16 ton CO2 ha-1 th-1). Emisi pada lahan budidaya kelapa sawit tertinggi dihasilkan pada lahan yang diberi perlakuan berupa pupuk kandang. Pemberian pupuk yang tepat perlu diperhatikan untuk mengurangi emisi CO2 pada lahan gambut yang telah diubah menjadi lahan budidaya. Untuk lokasi penelitian ini, emisi CO2 pada lahan semak belukar berkorelasi positif dengan suhu udara dan pada lahan kelapa sawit emisi CO 2 berkorelasi negatif dengan kedalaman muka air tanah. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terlaksana atas kerjasama penelitian antara Badan Litbang Pertanian dengan Badan Perencanaan Nasional melalui kegiatan ICCTF (Indonesian Climate Change Trust Fund). Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah turut membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Agus F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Agus F., Wahyunto, A. Dariah, E. Runtunuwu, E. Susanti, And W. Supriatna. 2012. Emission Reduction Options for Peatlands in The Kubu Raya and Pontianak Districts, West Kalimantan, Indonesia. Journal Of Oil Palm Research Vol. 24 p:1378-1387. Dariah A., F. Agus, E. Susanti, and Jubaedah. 2013. Relationship between Distance Sampling and Carbon Dioxide Emission under Oil Palm Plantation. J Trop Soils, Vol. 18, No. 2. http://journal.unila.ac.id/index.php/tropicalsoil DOI: 10.5400/jts.2013.18.2. Dariah A., Jubaedah, Wahyunto, dan J. Pitono. 2013a. Pengaruh Tinggi Muka Air Saluran Drainase, Pupuk, dan Amelioran Terhadap Emisi CO2 pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Lahan Gambut. Jurnal Littri 19(2), Juni 2013. Hlm. 66 – 71. Hooijer A, Page S, Jauhiainen J. 2012. Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands. Biogeosciences 9:1053–1071. doi:10.5194/bg-9-1053-2012 Husnain, I. G. P. Wigena, A. Dariah, S. Marwanto, P. Setyanto, and F. Agus. 2014. CO2 emissions from tropical drained peat in Sumatra, Indonesia. Mitig Adapt Strateg Glob Change (2014) 19:845–862. DOI 10.1007/s11027-014-9550-y
304
Indonesian peatland map : method, certainty and uses
Jauhiainen A., A. Hooijer, and S. E. Page. 2012. Carbon Dioxide Emissions From an Acacia Plantation on Peatland in Sumatra, Indonesia. Biogeosciences, 9, p: 617– 630. Luo Y and Zhou X. 2006. Soil Respiration and the Environment. Academic Press/ Elsevier, San Diego, CA, USA, pp328. Madsen R., Xu L, and Claassen B. 2009. Surface Monitoring Method for Carbon Capture and Storage Project. Energy Procedia. 1 :2161-2168. Marwanto S dan Agus F. 2013. Is CO2 flux from oil palm plantations on peatland controlled by soil moisture and/or soil and air temperatures?. Mitig Adapt Strateg Glob Change. DOI 10.1007/s11027-013-9518-3 Melling L., A. Chaddy, K.J. Goh and R. Hatano.2013. Soil CO 2 Fluxes from Different Ages of Oil Palm in Tropical Peatland of Sarawak, Malaysia as Influenced by Environmental and Soil Properties. Proc. IS on Responsible Peatland Mgt. & Growing Media Production, Ed.: J. Caron, Acta Hort. 982, ISHS 2013 Parish F., A. Sirin, D. Charman, H. Joosten, T. Minayeva, M. Silvius, and L. Stringer (Eds.). 2007. Assessment on Peatlands, Biodiversity and Climate Change: Main Report. Global Environment Centre, Kuala Lumpur and Wetlands International, Wageningen. Salampak, Sustiyah, dan Amelia V. 2014. Fluks Gas Karbondiaksida Pada Tanah Gambut Pedalaman Di Kalampangan, Kalimantan Tengah. Jurnal Agri Peat, Vol.15 No.1, Maret 2014: 24-33.
305