SAMPLE WRITING untuk Baleku 1. 2. 3. 4.
Berikut hanyalah referensi. Write anything you want. Tidak ada aturan bahasa dan format. Picture is a plus. Kumpulkan tulisan kapan saja. Kami siap 24/7.
Contoh: 1. Open Letter/ Surat Terbuka (source: Retariayu.wordpress.com) : Yth, Presiden Republik Indonesia di Jakarta “Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah? Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah”
Bapak presiden yang terhormat, penggalan bait puisi karya Adhie Massardi di atas mungkin terkesan klise bagi sebagian orang. Untaian kata demi kata dari bait puisi sederhana tersebut mungkin saja dipandang sebelah mata. Walau bagaimanapun, puisi tersebut sebenarnya merupakan jeritan hati terdalam dari seorang rakyat biasa yang hidup di era demokrasi seperti sekarang ini. Keluh kesah tersebut tidak lain bagaikan rintihan kawula alit yang berjuang keras memahami keadaan negerinya yang semakin kontras dengan nilai-nilai kestabilan dan kemakmuran yang ada. Kemiskinan seakan tidak pernah ada habisnya. Permasalahan yang disebabkan oleh garis kemiskinan di negeri ini seakan sudah menjadi hal yang lumrah. Masalah kaum proletar ini semakin memprihatinkan saat Badan Pusat Statistik atau BPS merilis data terbarunya yang menyebutkan sedikitnya terdapat 30 juta lebih penduduk Indonesia yang hidup di garis kemiskinan. Presiden yang terhormat, imbas dari permasalahan kemiskinan di Indonesia tentu saja mempengaruhi mutu sumber daya manusia yang ada. Setiap tahun jutaan anak Indonesia terpaksa putus sekolah karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Sebagian dari kita tentu saja khawatir melihat kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut. Namun sebagian dari kita mungkin saja bersikap acuh melihat fakta tersebut.
Seyogyanya, hal terpenting untuk menumpas kemiskinan di Indonesia adalah dengan meningkatkan mutu sumber daya manusia yang ada. Peningkatan mutu sumber daya manusia tersebut tentu saja ditingkatkan melalui mutu pendidikan yang tinggi pula. Permasalahan besar yang muncul saat ini adalah seberapa besar kebijakan yang diambil untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia yang terkesan carut-marut dengan berbagai permasalahan yang menghantuinya. Presiden yang terhormat, rendahnya mutu pendidikan di Indonesia sudah menjadi santapan berita sehari-hari. Anggaran untuk pendidikan yang rendah, jutaan anak Indonesia yang putus sekolah, penyelewengan dana untuk pendidikan oleh oknum tertentu, hingga tidak layaknya bangunan sekolah untuk dijadikan sebagai tempat belajar adalah sebagian kecil di antara problematika yang menghantui dunia pendidikan kita. Contoh sederhananya adalah ketidaklayakan sebagian bangunan sekolah di Indonesia untuk dijadikan sebagai tempat belajar. Bangunan sekolah yang rapuh hingga tidak layak digunakan sebagai tempat belajar sudah seharusnya dianggap sebagai suatu masalah yang serius dan perlu perhatian khusus dari pemerintah. Hal ini dirasa begitu kontras dengan megahnya bangunan gedung-gedung pemerintahan yang ada. Sebagian dari kita mungkin saja menutup mata melihat rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Namun, tak dapat dipungkiri hal inilah yang menjadi landasan untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang lebih baik untuk ke depannya. Permasalahan kaum proletar seperti kemiskinan dan lain sebagainya tentu saja berpangkal dari rendahnya mutu pendidikan kita. Permasalahan di dunia pendidikan inilah yang seharusnya lebih diutamakan untuk diselesaikan. Presiden yang terhormat, masalah serius di dunia pendidikan kita yang semakin memprihatinkan kerap kali dianggap sebagai angin lalu. Sudah saatnya kita mulai berbenah diri menyadari arti penting pendidikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sehingga dapat terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Pendidikan adalah kunci dari semua problematika yang ada di negeri ini. Dengan tingginya mutu pendidikan maka tinggi pula mutu sumber daya manusia yang ada. Sudah saatnya kita membuka mata, hati, dan pikiran kita mencermati secara serius mengenai permasalahan-permasalahan di dunia pendidikan itu sendiri Indonesia sebagai negara berkembang tentu saja harus menyadari arti penting pendidikan sebagai bekal untuk menyelesaikan berbagai masalah baik politik, sosial, ekonomi, dan lainnya yang mengendap di bumi Indonesia. Tidak pernah ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Indonesia tercinta ini harus mengerahkan sekuat tenaga untuk menyelesaikan berbagai permasalahan negeri ini dengan memperbaiki mutu pendidikan itu sendiri. Presiden yang terhormat, demikian surat terbuka ini, semoga berkenan membaca dan menindaklanjutinya dalam gerak langkah yang nyata untuk Indonesia yang lebih baik.
2. Personal Story: Tentang Menjadi Minoritas, dan Kembali Menjadi Mayoritas (by: Azarine Kyla Arinta) Menjadi minoritas Tujuh tahun lalu saya merasakan menjadi minoritas untuk pertama kalinya. Masih bau kencur dan penuh prasangka, saya berangkat ke Ogden, Utah dan hidup bersama keluarga beragama Kristen Mormon. Utah sendiri memang didominasi oleh agama Mormon, 90% dari penduduk Utah memeluk agama Mormon dan gereja utama dari agama ini berada di ibu kota Utah di Salt Lake City. Tapi, Mormon sendiri sebenarnya agama minoritas di antara aliran-aliran Kristen lainnya di Amerika Serikat, bahkan mereka sering kali diolok-olok dan dilabeli banyak hal! Coba dicari di internet mengenai Mormon dan banyak orang yang bertanya apakah Mormon masih mempraktikan poligami, bertanduk (?), membenci komunitas Afrika-Amerika dan LGBT, memiliki celana dalam khusus (?), tidak boleh minum hal yang mengandung kafein (soda, kopi, teh, apalagi alkohol), memiliki keluarga sangat besar yang beranak-pinak begitu banyak (sedikit benar), memiliki agenda Kristenisasi karena misionaris-misionaris yang dikirim ke berbagai belahan dunia dan masih banyak label-label lainnya. Jujur saja saya yang penuh prasangka pada saat itu sangat takut. Banyak hal tentang Amerika Serikat sebagai sebuah negara dan tentang agama Mormon sendiri yang hanya saya ketahui melalui internet dan omongan orang-orang, tidak langsung dari sumbernya sendiri. Saya takut saya tidak diperbolehkan menjalankan ritual keagamaan saya, dianggap teroris karena agama saya, dipaksa untuk ke gereja dan perlahan-lahan diKristenisasi dan banyak hal lain yang terbentuk di pikiran simply karena omongan orang-orang dan sumber yang beredar luas di internet, tidak ada hal valid yang saya ketahui. Semua yang saya tahu cuma prekonsepsi tentang betapa taatnya Mormon dan betapa mereka akan berusaha mengubah Anda untuk memeluk agama mereka. Tapi, apa yang kemudian terjadi ketika saya akhirnya pergi dan tinggal selama setahun penuh di Utah? Saya kembali tetap sebagai Islam tapi saya belajar banyak tentang Mormon dan walaupun banyak ajaran mereka yang saya anggap lucu tidak pernah sekalipun terlintas di pikiran saya bahwa mereka adalah kaum-kaum tersesat yang harus ‘diselamatkan’, bahwa mereka adalah orang-orang kafir yang membenci agama Islam dan memaksa saya untuk pindah agama menjadi Mormon (satu teman saya, dari Ukraina, memang akhirnya memeluk agama Mormon. Sebelumnya ia beragama Kristen Orthodox tapi dengan sukarela memeluk agama Mormon setelah menemukan jawaban-jawaban keagamaan dan keTuhanan yang ia pertanyakan). Sekembalinya saya dari sana, setiap orang bertanya kemana saya pergi untuk pertukaran pelajar dan saya berikan jawaban Utah, hampir semuanya bertanya bagaimana hidup di tengah-tengah Mormon – apakah saya dipaksa ke gereja? Apakah saya dilarang untuk sholat? Apakah saya didebat mengenai pemilihan agama saya? Apakah saya didakwa sebagai pengikut agama yang menghalalkan terorisme?. Tidak ada satupun hal tersebut yang terjadi, malah semua pre-konsepsi saya terhapus dengan pengalaman menghangatkan yang saya alami bersama mereka selama setahun. Bagi saya, mereka adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, ikatan keluarga sangat penting bagi mereka. Mereka juga orang yang penuh kasih dan sangat menghargai ajaran agama saya, selalu mengingatkan setiap ada makanan yang
seharusnya tidak saya makan (saya selalu dibuatkan satu sandwich khusus yang berisi daging kalkun setiap piknik), dan bersimpati dengan saya ketika saya sedang berpuasa. Ketika saya menyatakan ingin mencoba ikut ke gereja karena saya penasaran, mereka memastikan bahwa ibu saya akan membolehkan saya pergi ke gereja. Bahkan, Janet Allen, ibu angkat saya yang selalu rajin ke gereja dengan halus menolak misionaris yang datang mengetuk pintu rumah keluarga Allen untuk berbicara dengan saya tentang The Book of Mormon. Janet berkata kepada dua misionaris muda Mormon dengan baju seragam khas mereka, kemeja putih lengan pendek dasi hitam dan celana hitam, bahwa mereka hanya boleh berbincang dengan saya apabila Janet sudah mendapatkan izin dari ibu saya. Ketika akhirnya saya ke gereja pun tidak pernah saya mendengar pendeta-pendeta mereka sibuk membicarakan agama lain, membandingkan agama Mormon dengan agama lain ataupun mengadili ajaran agama lain sebagai sesuatu yang lesser than Mormonism. Kebanyakan pendeta-pendeta membahas ajaran-ajaran dalam agama Mormon yang mengandung nilai kemanusiaan yang universal, mulai dari mengasihi satu sama lain sebagai manusia, membangun keakraban dengan keluarga, dan lain-lain. Tidakpun mereka mengadili pemeluk-pemeluk Mormon yang jarang ke gereja, mereka berbahagia ketika sesama Mormon yang jarang datang kemudian datang ketika Natal atau Paskah. Tapi, tidak ada sindiran-sindiran atau kata nyinyir terlontar karena keabsenan mereka di gereja. Agama tidak dibuat sebagai kompetisi, siapa yang paling beriman dan paling mencintai Tuhan. Menjadi mayoritas Lantas saya pulang setelah setahun, menjadi manusia yang cukup berbeda. Saya berusaha keras untuk tidak lagi takut pada hal-hal yang tidak saya ketahui, untuk tidak lagi mengadili yang berbeda pandangannya dengan saya, untuk tidak lagi beropini sebelum mengenal benar-benar suatu ajaran, baik ajaran agama, pandangan politik, dan hal-hal lain, untuk tidak membenci sebelum mengenali. Saya berjanji untuk melihat manusia sebagai manusia, bukan afiliasi dibelakangnya, apakah dia seorang Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Konghucu, Yahudi, dll, dan apakah dia seorang komunis, liberal, demokrat, borjuis, dll. Saya punya mimpi, sama seperti Soe Hok Gie mimpi tentang dunia di mana “Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, agama apapun, ras apapun, dan bangsa apapun..dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik”. Saya sadar sesadarsadarnya bahwa saya terdengar sangat naif, tapi saya selalu berbangga hati menjadi manusia penuh pengharapan dan saya akan terus berharap bahwa suatu saat nanti dunia seperti itu dapat benar-benar terjadi dan saya akan menyuarakan ketidakadilan di mana saya melihatnya, melalui tulisan, hal paling sederhana yang bisa saya lakukan. Hari ini saya bersedih, sampai mual dan nasi kuning yang biasa saya lahap habis jadi terasa hambar karena berita tentang pembubaran acara Natal di Bandung oleh segelintir organisasi masyarakat yang mengatasnamakan masyarakat Muslim Jawa Barat. “Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.” – Soe Hok Gie. Saya teringat junior saya, dia non-muslim dan keturunan Cina, kemarin dia menulis sederetan tweet yang menyatakan ketakutannya akan mayoritas yang semakin menekan minoritas, akan intoleransi yang semakin merajalela. Ulu hati saya seperti diremas, saya tidak mau hidup di negara yang minoritasnya merasa disudutkan, merasa tidak aman, bukankah kita sudah lewat tahun 1998? Sudah lebih dari 10 tahun
berlalu sejak 1998 dan masihkah orang merasa takut? Lalu ada sahabat saya, yang sering saya temani ke gereja saat Natal, ia posting di Facebooknya sebuah kutipan dari Charles Bukowski dengan kata-kata ‘Indonesia 101: tyranny of the majority’. Apakah status sebagai mayoritas melegalkan kesewenang-wenangan? Apakah mayoritas lain yang diam dan tidak setuju akan aksi pembubaran acara tersebut akan tetap diam dan membiarkan, menganggap hal tersebut hal yang lumrah? Apakah status sebagai mayoritas mewajarkan golongan mayoritas untuk marah ketika masjid dibakar, Al Qurán dinistakan tapi diam seribu Bahasa melihata sesama mayoritasnya membabi buta menyerang minoritas agama lain? Kita marah melihat Muslim diperlakukan kasar di Amerika Serikat, kita hina Amerika Serikat sebagai negara kafir dan tiran. Kita marah melihat umat di Palestina diperangi oleh Israel, mengirim ribuan doa ke pengungsi-pengungsi Rohingya. Tapi di dalam negeri kita diam melihat gereja dibom, acara Natal dibubarkan, di dalam negeri kita bertindak seperti Amerika Serikat dan Israel. Pernahkah terlintas bahwa suatu saat mungkin kita yang akan hidup sebagai minoritas? Dan apabila saya diperlakukan sebagaimana minoritas diperlakukan di negara saya yang tercinta ketika saya di Utah, betapa sedih dan hancurnya keluarga saya. Saya mungkin akan pulang ke Indonesia dengan kebencian mendalam tentang Mormon, menghujat Mormon dan membicarakan yang buruk-buruk tentang agama itu kepada siapapun yang saya temui. Tapi, sebagai minoritas, saya dihargai, saya diterima sebagai seorang manusia bukan dengan embel-embel agama saya, sesederhana sebagai manusia yang diperlakukan dengan penuh kasih dan diterima dalam komunitas walaupun saya memeluk agama yang berbeda. Dan pada akhirnya, di atas semua perbedaan, semua agama menganjurkan saling mengasihi sesama manusia, tidak cukupkah apa yang Tuhan telah beritakan kepada semua hambanya? Apakah ritual-ritual keagamaan dan kompetisi tentang agama mana yang paling benar jauh lebih penting dari wahyu Tuhan untuk mengasihi sesama? “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok olok kaum yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” Al Hujurȃt ayat 11 “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” 1 Korintus 13:13 “Hendaknya hati kita Dalam kesederajatan dan persatuan” Rig Veda 10/191/4 “Sabbe satta bhavantu sukhitatta sabbe satta avera hontu semoga semua makhluk hidup berbahagia semoga semua makhluk terbebas dari permusuhan dan bahaya”
3. Kritik dan Ide:
Daripada Mal yang Isinya Itu-Itu Saja, Bukankah Lebih Baik Tempat-Tempat Ini yang Kita Buat Ada? By: Ernia Karina Mungkin kamu sudah tahu bahwa Jakarta termasuk ke dalam daftar kota dengan mal terbanyak di dunia. Sampai saat ini, terhitung lebih dari 130 mal berdiri di Jakarta. Angka yang cukup fantastis bukan? Kalau dipikir lagi, apa fungsinya sih mal sebanyak itu untuk penduduk satu kota saja? Itu hanya jumlah mal di Jakarta saja, belum termasuk kota-kota besar lainnya di Indonesia. Ironisnya, pembangunan mall yang masif tidak diimbangi dengan pembangunan fasilitas umum yang memadai. Padahal masyarakat Indonesia jauh lebih membutuhkan fasilitas umum ketimbang mal.
Nah, daripada terus-terusan membangun mal yang isinya sebenarnya begitu-begitu saja, bukankah jauh lebih baik dan bermanfaat kalau pemerintah kita membangun tempat-tempat ini?
1. Taman kota untuk menghabiskan sore dengan pasangan atau keluarga. Kamu pun jadi tak perlu keluar banyak dana demi quality timebersama.
Kamu pasti setuju banget kalau di setiap kota di Indonesia punya taman kota, yang bisa digunakan sebagai ruang publik bagi masyarakat. Taman adalah tempat yang sangat multi fungsi. Selain bisa
memperindah kota, taman juga bisa berfungsi sebagai lahan hijau dan juga tempat untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif bagi masyarakat. Di Indonesia sendiri ada beberapa kota yang terkenal dengan taman-taman kotanya yang bagus dan unik, yakni kota Bandung, Surabaya dan Jakarta. Di Bandung sendiri saat ini ada banyak taman yang memiliki konsep unik, yaitu taman musik, taman fotografi,dan taman pustaka bunga. Dengan adanya taman kota, masyarakat jadi bisa menghabiskan waktunya di taman tanpa harus menghabiskan banyak uang. Tidak seperti saat mereka nongkrong di kafe atau mall.
2. Perpustakaan umum dengan buku-buku dari seluruh dunia. Bangunannya tak hanya ramai dengan buku saja, namun juga lomba-lomba dan aktivitas para warga.
Perpustakaan umum seharusnya sudah jadi sebuah tempat wajib yang harus ada di setiap kota dan kabupaten. Dan bisa juga disediakan perpustakaan keliling yang selalu rajin menyambangi desa-desa yang letaknya cukup jauh dari kota. Keberadaan perpustakaan turut berkontribusi dalam mencerdaskan bangsa Indonesia.Dengan dibangun sebuah perpustakaan yang layak dan memiliki fasilitas yang memadai bisa memicu masyarakat untuk lebih rajin datang ke perpustakaan untuk membaca. Kita bisa mencontoh negara-negara maju seperti Inggris, Amerika dan Jepang yang memiliki banyak sekali perpustakaan yang layak dan bahkan megah. Nggak cuma gedungnya aja yang bagus, tapi koleksi bukunya juga lengkap, sistem penataan bukunya yang rapih, dan disertai fasilitas-fasilitas yang sangat mendukung seperti ruang baca, mesin foto kopi dan mesin cetak.
3. Fasilitas untuk mereka yang difabel, agar tak hanya kita yang bisa menikmati kemudahan hidup
Kita semua pasti bisa melihat kalau fasilitas untuk masyarakat penyandang cacat sangat memprihatinkan. Banyak fasilitas umum yang tersedia sama sekali tidak ramah terhadap kaum difabel. Contoh kecil yang sering kita lihat adalah kondisi trotoar yang justru menyulitkan penyandang cacat untuk mengggunakannya. Papan penunjuk di tempat pelayanan publik juga masih banyak yang tidak menggunakan huruf braile untuk memudahkan penyandang tuna netra. Dalam hal ini pemerintah kita wajib untuk mencontoh negara-negara maju yang bisa mengakomodasi dan memberikan fasilitas khusus bagi warganya yang difabel. Dengan begini para penyandang cacat tidak akan merasa terpinggirkan. Bukankah mereka juga punya hak yang sama seperti masyarakat yang lainnya?
4. Penyewaan sepeda umum supaya jantung kita tetap sehat!
Dalam rangka mengurangi kemacatan, pemerintah sempat mengkampanyekan penggunaan sepeda sebagai sarana transportasi sehari-hari. Seharusnya hal ini juga didukung dengan adanya fasilitas peyewaan sepeda bagi warga kota padat penduduk. Karena nggak semua orang punya sepeda, maka dengan adanya fasilitas ini bisa mendorong masyarakat untuk mau bersepeda. Sala satu contoh kota di Indonesia yang sudah menyediakan fasilitas ini adalah kota Bandung. Dan kita patut berbangga juga, karena Bandung adalah kota pertama di Asia Tenggara yang menyediakan fasilitas bike sharing. Terdapat beberapa tempat penyewaan sepeda umum yang terletak di titik-titik keramaian kota. Akan sangat baik jika ini bisa diterapkan juga di semua kota besar yang ada di Indonesia.
5. Jalur khusus sepeda di jalan raya. Nggak asyik ‘kan kalau kendaraan bermotor selalu jadi rajanya?
Sebenarnya di beberapa kota besar di Indonesia juga sudah menyediakan jalur khusus untuk pengendara sepeda, contohnya kota Bandung, Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Meskipun begitu, jumlah dan kondisinya belum memenuhi stadar. Malah beberapa di antaranya jalur khusus sepeda menggunakan trotoar. Padahal kita tahu kalau trotoar di Indonesia sangatlah sempit. Kalau jalur sepeda menggunakan trotoar, mau dikemanain para pejalan kaki? Oleh karena itu, pengadaan jalur sepeda yang aman dan sesuai standar ini sangat diperlukan di Indonesia. Pemerintah kita bisa mengadopsi konsep-konsep jalur khusus sepeda di beberapa kota di luar negeri seperti Amsterdam, Kopenhagen, Tokyo, Paris, dan masih banyak lagi. Dengan begini, masyarakat Indonesia juga jadi nggak males lagi untuk gowes kemana-mana. Ini juga bisa jadi salah satu solusi untuk mengurangi kemacetan di negara kita.