SAMBUTAN DAN TRANSFORMASI SASTRA LISAN DALAM SASTRA INDONESIA: Studi Kasus pada Drama Arung Palakka dan Para Karaeng Inriati Lewa
Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin e-mail:
[email protected]
Abstrak: Di dalam estetika resepsi, yang menjadi objek studi sastra adalah penerimaan serta sambutan pembaca atau masyarakat pembaca terhadap teks sastra. Yang dimaksud dengan sambutan pembaca dalam tulisan ini adalah munculnya karya baru yang merupakan transformasi teks-teks yang ada sebelumnya. Sambutan pembaca dengan memunculkan karya baru berupa transformasi dari teks terdahulu dapat dilakukan dengan mengolah kembali, memutarbalikkan, dengan memberontaki, atau dengan menulis kembali teks terdahulu tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk melihat aspek sambutan dan tranformasi sastra lisan ke dalam sastra Indonesia yakni pada karya drama yang berjudul Arung Palakka dan Para Karaeng. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan teori resepsi dan intertekstual. Hasil analisis menunjukkan bahwa drama yang berjudul Arung Palakka dan drama Para Karaeng merupakan sambutan dan transformasi dari sastra lisan Makassar yang berjudul Sinrilik Kappalak Tallumbatua. Kata Kunci: sinrilik, resepsi, transformasi PENDAHULUAN Dalam tradisi sastra, penulis menyusun dan membangun karyanya berdasarkan karya-karya yang pernah diketahui, dibaca, dan didengarnya. Hal tersebut sangat penting untuk diketahui karena dapat berfungsi untuk membangkitkan memori. Penggarapan teks oleh seorang penulis yang disesuaikan dengan jenis-jenis sastra baru, normanorma baru, pencocokan bahasa baru membuktikan bahwa terjadi pergerakan horizon harapan (Teeuw, 1984:215). Teks itu pun kemudian dibaca, dipahami, dan ditafsirkan, kemudian diwujudkan menjadi teks baru, bisa sama bisa berlainan bahasa, jenis, dan fungsinya (Wiryamartana, 1990:10). Hal tersebut bukan berarti bahwa teks baru hanya mengambil teks-teks sebelumnya sebagai acuan, tetapi juga menyimpangi dan
mentransformasikannya ke dalam teksteks yang diciptakan kemudian (Teeuw, 1984:145-146)
Semua unsur yang ada di dalam sebuah karya sastra yang muncul terlebih dahulu seperti gagasan, peristiwaperistiwa, kalimat, ungkapan-ungkapan, dan sebagainya, kemudian dijadikan sebagai modal, acuan, atau latar teks yang terbit kemudian (Hutomo, 1993:13). Dengan demikian, pemahaman yang sempurna terhadap sebuah teks bisa dilakukan melalui ingatan serta pengenalan dari latar belakang teks-teks terdahulu. Seringkali sebuah karya berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain, baik karena menentang maupun meneruskan karya sastra yang menjadi latar itu (Pradopo, 2010:112). Hal ini merupakan aspek intertekstual yang disebut oleh Riffaterre (1978:94) sebagai hypogram. 61
Sambutan dan Transformasi Sastra Lisan... (Inriati Lewa) Sebuah karya sastra akan dapat diberi makna secara hakiki dalam kontrasnya dengan hipogramnya (Teeuw, 1991:66).
Setiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari sesuatu yang lain (Bakhtin dalam Kristeva, 1980:66). Dengan demikian, tidak ada satu pun teks yang bisa dibaca secara terisolasi. Semua pembacaan muncul dalam kerangka intertekstual, dan sebuah teks harus dihubungkan dengan teks latar (budaya) karena teks latar merupakan bagian teks, begitu juga kebalikannya, teks menghadirkan teks latar (Kristeva, 1980: 36). Kode-kode, formula, model ritmis, pragmen bahasa sosial, dan lainnya masuk ke dalam teks dan didistribusikan kembali ke dalamnya (Barthes, 1981: 39).
Hal tersebut merupakan prinsip intertekstual yang menganggap bahwa tidak ada satu pun teks yang sungguhsungguh mandiri dalam penciptaan dan pembacaannya tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, ataupun kerangkanya (Culler, 1977:139). Teks apa pun merupakan sebuah interteks; teks lain hadir di dalamnya. Meskipun demikian, teks tersebut masih dapat dikenali karena teks berasal dari budaya sekitar dan sebelumnya walaupun teks tersebut hadir dalam tingkat yang bervariasi. Teks apa pun merupakan sebuah jaringan baru kutipan masa lalu (Barthes, 1981:39; Gidden dan Turner, 2008:357- 379), setiap teks menjadikan dirinya dari teks-teks yang lain (Barthes, 1979:77; Jorgensen dan Philips, 2007:137- 138). Kristeva mengatakan bahwa setiap karya sastra merupakan mosaik sitiran, serapan, dan transformasi karya-karya yang lain (Culler, 1975:139). 62
Ditegaskan dalam teori intertekstual bahwa sebuah teks tidak terjadi tanpa adanya pengaruh dari luar. Intertekstual merupakan fenomena resepsi pengarang terhadap teks-teks yang pernah dibaca, dan dilibatkan dalam ciptaannya (Chamamah-Soeratno, 2011:83). Hal tersebut disebabkan oleh penulis teks merupakan pembaca teks yang sebelum menciptakan teksnya tidak dapat menghindari kutipan-kutipan dan pengaruh dari yang dibacanya. Penulis mengikutsertakan pengetahuan yang telah dibaca sebelumnya, argumentasi, perasaan, figur-figur yang kuat, politik, dan struktur sosialnya ke dalam karya yang dibuatnya (Worton dan Still, 1990:12). Hal demikian dapat dilihat dan ditemukan pada semua teks termasuk dalam sastra lisan dan tulis karena pencerita juga menghadirkan teks baru yang berasal dari teks-teks sebelumnya. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat-istiadat, kebudayaan, film, drama secara pengertian umum adalah teks (Pradopo, 2010:132).
Tulisan ini bermaksud untuk melihat dan menelusuri aspek-aspek sambutan dan transformasi sastra lisan dalam kesusastraan modern. Sastra lisan yang dimaksud adalah Sinrilik Kappalak Tallumbatua yang mendapat sambutan dan transformasi ke dalam sastra modern yang berbentuk drama dengan judul Arung Palakka dan drama Para Karaeng karya Fahmi Syariff.
METODE PENELITIAN
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 61-73
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Objek formalnya adalah bentuk transformasi dari Sinrilik Kappalak Tallumbuatu yang berupa Arung Palakka dan Para Kareang. Objem materialnya adalah naskah Arung Palakka dan Para Kareang. Nmaun, fokus penelitian ini adalah penerimaan pembaca yang terwujud dalam naskah tersebut. Metode estetika resepsi mendasarkan diri pada teori bahwa sastra itu sejak terbitnya selalu mendapat resepsi atau tanggapan para pembacanya (Pradopo, 2010: 209). Yang dimaksud sambutan pembaca di sini adalah munculnya karya baru yang merupakan transformasi teks sebelumnya. Dalam transformasi teks tersebut, secara langsung, termuat juga tanggapan pembaca, yakni pencipta karya sastra itu atas karya terdahulu (Wiryamartana, 1990:2). Sambutan pembaca dengan memunculkan karya baru berupa transformasi dari teks terdahulu dapat dilakukan dengan mengolah kembali, memutarbalikkan, dengan memberontaki, atau dengan menulis kembali teks terdahulu tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN
Di dalam estetika resepsi, yang menjadi objek studi sastra adalah penerimaan serta sambutan pembaca atau masyarakat pembaca terhadap teks sastra (Chamamah-Soeratno, 1992 dan 2001:82 – 84). Peranan pembaca sebagai pemberi makna tidak dapat diabaikan. Pembacalah yang telah memberikan reaksi terhadap sebuah teks. Dalam kehidupan sastra, baik sastra tertulis maupun lisan, tanggapan pembaca terhadap karya sastra telah berlangsung lama (Pradopo, 1991: 4). Pembaca sebagai pemberi makna
merupakan variabel menurut ruang, waktu, dan golongan sosial budaya. Hal inilah yang menyebabkan karya sastra tidak sama pembacaan, pemahaman, serta penilaiannya sepanjang masa dalam golongan masyarakat tertentu. Sebuah karya sastra, meskipun terlihat baru, tidaklah muncul sebagai sesuatu yang sama sekali baru dalam kekosongan informasi dan budaya. Pembaca tetap dapat mengetahui teks melalui tandatanda yang ada meskipun terbatas. Hal tersebut akan membangkitkan kenangan yang dikenal, mengerakkan emosi-emosi yang khusus dalam diri pembaca, dan mulai membangkitkan pengharapan pembaca yang tetap utuh, berubah, mengarahkan, atau tetap dipenuhi ironi yang disebabkan oleh pembacaan sesuai dengan aturan genre atau tipe teks (Jauss, 1974 : 16).
Sebuah karya sastra, yang tercipta pada kurun waktu yang lampau, dapat dikenali melalui perwujudan dari transformasinya, juga melalui perwujudan dari bentuk tanggapan terhadap teksnya. Jika wujud teks transformasi atau teks penyambutnya bermacam-macam, hal tersebut menandai adanya sambutan terhadap teksnya (Chamamah-Soeratno, 1983 : 37). Sehubungan dengan sambutan pembaca, yang memunculkan karya baru berupa transformasi dari teks sebelumnya, SKT telah mengalami sambutan tersebut. Beberapa teks dengan bentuk yang berbeda, kemudian muncul yang menandakan bahwa SKT telah mengalami sambutan dari pembaca. Sambutan pembaca tersebut dapat dilacak melalui berbagai teks lain dengan menggunakan metode intertekstual, yaitu metode yang melacak sambutan melalui teks lain yang menyambut teksnya (Sangidu, 2004: 23) 63
Sambutan dan Transformasi Sastra Lisan... (Inriati Lewa) Di antara sekian banyak cerita sinrilik yang ada, SKT merupakan sinrilik yang mendapat banyak sambutan dari penikmatnya. Sambutan dan transformasi dari SKT tersebut ada yang berupa rekaman, drama, dan novel. Teks-teks tersebut memperlihatkan cirinya masing-masing dengan cerita yang berbeda, tetapi masih dapat ditemukan teks yang mendasarinya. Hal ini menunjukkan bagaimana penulis selanjutnya menyambut karya SKT tersebut, kemudian mengembangkan berbagai aspeknya ke dalam bentukbentuk yang berbeda. Sambutan dan transformasi lainnya terhadap teks SKT terlihat dalam teks yang berjudul Arung Palakka dan Para Karaeng. Kedua teks tersebut merupakan karya drama yang ditulis pada tahun 1988 dan 1994 oleh Fahmi Syariff.
Drama Arung Palakka Drama yang berjudul Arung Palakka ini bercerita tentang kerja paksa yang dilakukan oleh Sombayya di tanah Gowa atas keputusan Bate Salapanga (hlm. 92) terhadap sepuluh ribu orang Bugis yang berasal dari Soppeng dan Bone. La Tenritatta ‘Toappatunru’ Daeng Serang Arung Palakka (hlm. 92), sebagai orang Bugis, termasuk orang yang dipekerjakan dalam kerja paksa tersebut untuk menggali tanah dan membuat parit. Bahkan, semua anakarung, baik Bone maupun Soppeng ikut turun ke penggalian, tidak terkecuali Datu Mariyo yang jelas-jelas dibesarkan bersama Karaeng Karunrung oleh Karaeng Pattingalloang pun tidak ketinggalan dalam kerja paksa tersebut seperti berikut. LAKI-LAKI 3: Ya, dulu mungkin ada jalan, karena Petta Pakkennyarannge masih ada di
64
tengah-tengah kita. Tetapi sekarang, kepergiannya justru mengakibatkan semua anakarung, baik Bone maupun Soppeng ikut turun ke penggalian. Bahkan Datu Mariyo yang jelas-jelas dibesarkan bersama Karaeng Karunrung oleh Karaeng Pattingalloang, tak ketinggalan. LAKI-LAKI 2: Nah, jelas, bukan? Hadirnya Datu Mariyo di penggalian ini membuka kemungkinan untuk bebas dalam waktu dekat. (hlm. 83)
Masalah pengembalian dan penegakan harga diri (sirik) yang dilakukan oleh Andi Patunru dalam SKT versi 1 ditransformasikan dalam teks drama yang berjudul Arung Palakka. Transformasi tersebut diwujudkan dalam diri Arung Palakka yang sangat marah dan geram kepada Sombayya karena pada saat ayahandanya meninggal langsung dimakamkan tanpa dipertemukan dengannya. Hal ini terjadi pada bulan September 1660, pada waktu Arung Palakka pulang dari pekerjaannya menggali parit. Pada saat itu, ia tidak menemukan ayahnya La Pottobune’ Arung Tana Tengnga di rumahnya. Ternyata pada hari itu, ayahnya telah dibunuh dengan kepala terpancung karena mengamuk di depan Sultan Hasanuddin karena menyaksikan para pekerja yang disiksa (Ali dan Amal, 1989: 23). Perjuangan Arung Palakka untuk menegakkan harga dirinya dan untuk merebut kembali harkat manusia sebagai manusia diperlihatkan bukan dengan cara menyerang, melainkan membebaskan semua pekerja yang dipekerjakan secara paksa di negeri Gowa oleh Sombayya seperti berikut ini.
(1) LAKI-LAKI 5:
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 61-73
(Membantu membereskan peralatan Arung Palakka). Tadi Datu bilang akan menyampaikan peristiwa berpulangnya Arung Tanah Tennga. ARUNG PALAKKA:
Ya, ya. Marilah. Akan kusampaikan seperti yang dituturkan oleh Adinda I Mangkawani Daeng Talele. (Beranjak) LAKI-LAKI 4:
(Menyusul). Benarkah bahwa Datu tidak sempat ... ARUNG PALAKKA:
Ya, aku tidak sempat dipertemukan dengan jenazah beliau. Ach, sebaiknya aku mulai dari awal ... (hlm. 101)
(2) LAKI-LAKI 3: Tadi dia bilang ada rencana mattana Ugi’. Katanya, Datu yang pernah sampaikan. ARUNG PALAKKA: Ya, karena itulah aku harap tidak ada lagi sahabat kita yang pergi sendiri. Berhasil tidaknya rencana kita ini tergantung pada kita. Keberhasilan seseorang paling banyak ditentukan oleh dirinya sendiri. (hlm. 94) (1) ARUNG PALAKKA: (Jedah sejenak). Jadi awal segalanya .... adalah masalah perbudakan. (hlm. 109)
Dalam kerja paksa tersebut, yang bermalas-malas akan mendapatkan cambuk, dan mereka yang mencoba melarikan diri akan ditembak mati (hlm. 79). Keikutsertaan Datu Mariyo, nama lain Arung Palakka, dalam kerja paksa tersebut
secara langsung melihat penderitaan yang dialami oleh sesamanya orang Bugis yang dilakukan oleh orang Makassar begitu mengiris hatinya seperti berikut. (1) ARUNG PALAKKA: Laki-laki apa kamu? Orang yang tak berdaya jangan dipukul lagi (hlm. 90) (2) LAKI-LAKI 3: Apa pun kalau lapar, tenggorokan takkan menolak, seperti ini ... jagung, garam tambah belimbing, biar tanpa sayur. Cuma ... (hlm. 98) (3) ARUNG PALAKKA: (Senyum melihat ada air yang menetes dari mata laki-laki 3). Kamu menangis sedih? (hlm. 99) Oleh karena itu, tokoh Arung Palakka sebagai wujud transformasi ide penegakan harga diri dan harkat kemanusiaan (sirik) seperti yang terdapat dalam SKT versi 1, kemudian merencanakan untuk membebaskan mereka dari penyiksaan kerja paksa tersebut.
Tibalah saatnya untuk membebaskan diri dari perbudakan dan juga saat yang paling tepat dan menentukan untuk penegakan sirik na pesse (hlm. 114) seperti berikut. LAKI-LAKI 3: Tapi, sebab utama hingga Datu bertekad meninggalkan Gowa ... .................... LAKI-LAKI 6: Inilah saat yang sudah lama kami tunggu-tunggu. Saat untuk membebaskan diri dari perbudakan (hlm. 113)
65
Sambutan dan Transformasi Sastra Lisan... (Inriati Lewa) Disusunlah rencana untuk melarikan diri (hlm. 94 – 95) yang akan dilakukan secara serempak. Waktu pelaksanaan untuk melarikan diri telah ditentukan, yaitu pada saat diadakan pesta panen karena pada saat itu semua orang berkumpul untuk menyaksikan berbagai ketangkasan seperti permainan silat dan permainan raga. Pada pelaksanaan pesta panen itu pun, Sombayya dan para tu barani dari Gowa akan hadir juga. Dengan demikian, daerah sekitar tempat kerja paksa dan penggalian akan kosong dari kekuatan penjagaan (hlm. 123). Strategi untuk pelarian pun diatur. Tepat pada pagi hari seperti yang telah ditentukan, mereka pun melarikan diri. Peristiwa pelarian diri inilah yang menyulut api peperangan antara Gowa dan Arung Palakka seperti berikut. ARUNG PALAKKA: Terima kasih, Saudaraku. (Kepada para laki-laki). Saudara-saudaraku. Kita tahu, kita terkurung dalam lingkaran perbudakan. Pagi ini kita tinggalkan semuanya. KARAENG KARUNRUNG: Api peperangan telah kau sulutkan! ARUNG PALAKKA: Suluhku yang redup, mengobarlah!
KARAENG KARUNRUNG: Genderang perang telah kau tabuh! (hlm. 129 – 130)
Arung Palakka merasa terpanggil untuk membebaskan bangsa Bugis dari penindasan orang Makassar atau negeri Gowa, dan rasa sirik na pesse sebagai orang Bugis, harus kembali ditegakkan. 66
ARUNG PALAKKA: Kita bertekad melepaskan diri dari perbudakan ini bukan lantaran kita yang jadi budak, melainkan karena kita memang tidak pernah setuju adanya perbudakan. Karena itu, akan bertanya pada siapa saja yang kebetulan ada di sini: “Tidak salahkah aku jika aku meminta bantuan bangsa lain untuk melepaskan bangsaku dari perbudakan yang dilakukan oleh bangsa yang kebetulan lebih kuat daripada bangsaku?” (hlm. 131)
Bagian ini terlihat bahwa penulis, yakni Fahmi Syariff menyambut dan mentransformasikan teks SKT ke dalam bentuk drama, dan menghubungkan perbuatan Arung Palakka yang bekerja sama dengan Belanda untuk menghadapi kekuatan Kerajaan Gowa. Perbuatan yang dilakukan oleh Arung Palakka tersebut adalah untuk membebaskan bangsanya, Bugis, dari perlakuan tidak manusiawi, dan juga untuk menegakkan kembali harga diri dan kehormatannya serta rasa solidaritasnya (sirik na pesse) karena perbuatan orang Gowa.
ARUNG PALAKKA: Satu bangsa tidak akan mati seperti manusia pada satu saat saja. Satu bangsa memiliki bahasa, tata cara, kepercayaan, agama; dan lebih dari itu semua, satu bangsa memiliki pandangan dan cita-cita yang mendorongnya berbuat sesuatu, misalnya, membebaskan diri dari cengkeraman bangsa lain. Kita bertekad melepaskan diri dari perbudakan ini bukan lantaran kita yang jadi budak, melainkan karena kita memang tidak
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 61-73
pernah setuju adanya perbudakan. Karena itu aku bertanya pada siapa saja yang kebetulan ada di sini: “Tidak salahkah aku jika aku meminta bantuan bangsa lain untuk melepaskan bangsaku dari perbudakan yang dilakukan oleh bangsa yang kebetulan lebih kuat daripada bangsaku?” (hlm. 130 – 131)
Masalah penegakan harga diri untuk merebut dan memperjuangkan harkat kemanusiaan ini telah ditransformasikan oleh teks drama Arung Palakka yang terwujud melalui tokoh Arung Palakka dalam drama tersebut. Dengan demikian, akan terlihat bahwa SKT semakin diutuhkan maknanya oleh kehadiran teks drama yang berjudul Arung Palakka ini. Drama Para Karaeng
Selanjutnya, sambutan dan transformasi terhadap teks SKT, khususnya teks SKT versi 2, terlihat juga dalam drama Para Karaeng. Masalah permusuhan, pertentangan, dan rasa curiga yang terjadi antara Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka dalam teks SKT versi 2 disambut dan ditransformasikan dalam teks drama Para Karaeng diwujudkan dalam bentuk yang berbeda dalam cerita, bahkan dipertentangkan, dari musuh menjadi teman. Dalam drama ini, diceritakan hal tentang I Malombassi atau Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa yang berteman dengan Arung Palakka dan Karaeng Karunrung. La Tenritatta Daeng Serang Arung Palakka bahkan digambarkan telah menjadi pengawal dari Sombanna Gowa seperti berikut.
KARAENG KARUNRUNG: (Mulai mengerti). O, o, jadi itulah sebabnya sehingga Sombaya ada di sini tanpa kawalan Daeng Serang? (Terdiam karena tatapan tajam I Malombassi). Maaf, Sombanna Gowa, seingat saya, semasih kita kanakkanak sampai dewasa, kecuali saat inilah, Daeng Serang tidak tampak di belakang Sombaya, termasuk dalam menentukan pilihan. (hlm. 142)
Pada saat terjadi penyerangan terhadap Benteng Somba Opu oleh Belanda, Karaeng Karunrung mencurigai bahwa Arung Palakkalah yang telah melakukannya. Perasaan curiga terhadap Arung Palakka seperti yang terdapat pada SKT versi 2 tidak begitu saja dapat dihilangkan dari diri orang-orang Makassar (Gowa) termasuk Karaeng Karunrung. Dalam teks drama Para Karaeng, kecurigaan terhadap Arung Palakka tetap terjadi karena setiap peristiwa di negeri Gowa selalu dikaitkan dengannya seperti berikut. I MALLOMBASSI: Jadi karena kobaran api itulah sehingga Daeng Serang ke sana? Bukankah Daeng Serang baru saja dari sana? ARUNG PALAKKA: Benar, Karaeng, tapi api itu berkobar sekembali saya dari sana. KARAENG KARUNRUNG: Atau, setelah mengobarkannya lalu ke sini? Jangan-jangan... I MALLOMBASSI: Karaeng Karunrung...
KARAENG KARUNRUNG: Tidak mustahil, Sombaya!
(hlm. 149)
67
Sambutan dan Transformasi Sastra Lisan... (Inriati Lewa) Rasa curiga terhadap Arung Palakka tetap hidup dan ada dalam diri orangorang Gowa. Untuk menghilangkan perasaan curiga tersebut, Arung Palakka dalam teks drama Para Karaeng berusaha memperlihatkan perbuatan-perbuatan baik yang dilakukannya dengan cara menyelamatkan benda kerajaan yang telah diambil oleh perampok. Meskipun demikian, Arung Palakka tetap saja dicurigai bahwa hal itu hanya akal bulusnya saja karena pelaku sesungguhnya adalah dia. Dengan demikian, terlihat bahwa bentuk transformasi teks tersebut merupakan alat untuk menyatukan dan menetralisir pandangan negatif terhadap tokoh Arung Palakka yang ada dalam pikiran masyarakat. ARUNG PALAKKA: Itulah sebabnya kami merampasnya kembali karena barang itu masih milik kerajaan. I MALLOMBASSI: Bukan milik kerajaan, tapi milik rakyat yang tersimpan di kerajaan (Terdiam sejenak). Tapi diambil dari siapa? ARUNG PALAKKA: Perampok .................. KARAENG KARUNRUNG: Tujuan saya hanya untuk mempercepat proses penyelesaiannya. Karena itu, maaf, Sombaya, jangan-jangan....... (Matanya mengarah pada Arung Palakka). ...................
68
RUNG PALAKKA: Maaf. Segalanya ini kulakukan karena aku Bugis – Makassar. Dan lebih dari itu, aku merasa wajib menyelamatkan milik bersama. (hlm. 152 – 153)
Akan tetapi, Sultan Hasanuddin memperingatkan Karaeng Karunrung untuk tidak mencurigai Arung Palakka. Masalah pertentangan antara Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka dalam teks SKT versi 2 berupa perkelahian dan peperangan di antara keduanya disambut dan ditransformasikan dalam teks drama Para Karaeng. Wujud dari transformasi cerita yang menentang dan membalikkan hal tersebut digambarkan melalui persahabatan yang dijalin oleh I Mallombassi (Sultan Hasanuddin) dengan Arung Palakka. Bahkan dalam beberapa peristiwa, terlihat bahwa I Mallombassi terkadang membela dan mempercayai Arung Palakka yang dianggap setia terhadapnya dan negeri Gowa. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini. (1) ARUNG PALAKKA: .... (Kepada I Mallombassi). Maaf, Karaeng. Saya dengan mereka ini akan ke Benteng Somba Opu sekarang juga. (Kepada Karaeng Karunrung). Karaeng Karunrung, akan kubuktikan tanpa perintah siapa pun. (Kepada I Mallombassi). Sombanna Gowa, kami ke sana. (2) I MALLOMBASSI: Tenang, para Tubaraniku yang perkasa. Peristiwa barusan ini, anggap saja sebagai penyegaran. Kuakui, yang salah tak lain dari aku, karena mempercayai seseorang seperti mempercayai diriku sendiri. (Diam). Aku meninggalkan pusat kerajaan tanpa setahu siapa pun, kecuali yang hadir di sini sekarang ini. Sengaja kulakukan karena memang suasana seperti ini sudah lama kurindukan. (hlm. 154)
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 61-73
(3) ARUNG PALAKKA: Karaeng, apa tidak sebaiknya kita ke Benteng Somba Opu? Saya khawatir api yang ...
I MALLOMBASSI: Tenang Daeng Serang. Sebelum ke sana, aku ingin mendengar tanggapan kalian tentang api yang berkobar di Benteng Somba Opu dan api yang berkobar di dalam dada Tu barani kita. (hlm. 153 – 154)
Persoalan perjanjian yang dibuat antara Karaeng Tu Nisombayya dan I Tuan Tu Malompoa setelah peperangan hebat antara keduanya sehingga Belanda bermukim di negeri Gowa dan Makassar terdapat dalam teks SKT versi 1. Masalah ini disambut dan ditransformasikan oleh penulis dalam teks drama Para Karaeng dengan mengatakan bahwa perjanjian yang dibuat tersebut lebih menguntungkan pihak kompeni seperti yang dikatakan oleh Karaeng Karunrung. Akan tetapi, perjanjian tersebut menurut I Mallombassi akan mengurangi korban manusia dan juga menghemat persediaan mesiu seperti berikut. KARAENG KARUNRUNG: (Senandika) Karena itu, kita membungkam meriam lalu menandatangani perjanjian-perjanjian yang pada akhirnya merugikan kita juga. (Menyadari diri). Maaf, Sombanna Gowa. Sudah tiga perjanjian yang kita tanda tangani, meskipun terpaksa, kesemuanya hanya menguntungkan kompeni. I MALLOMBASSI: Tapi setidak-tidaknya dari sisi korban manusia serta perbekalan mesiu, bisa dibatasi. Terutama jiwa manusia,
itulah yang menjadi pertimbangan. Usaha Karaeng Karunrung mendirikan dinding dari Binanga Beru sampai Ujung Tana, sangat berarti. (hlm. 157)
Jatuhnya Benteng Pa’nakkukang ke tangan kompeni melahirkan perjanjian yang dianggap sangat merugikan pihak Gowa dan lebih menguntungkan pihak kompeni, tetapi Sultan Hasanuddin melakukan hal itu untuk mencegah jatuhnya banyak korban manusia (hlm. 157). Oleh karena itu, Karaeng Karunrung berencana membuat dinding dan parit dari Binanga Beru sampai Ujung Tana. Untuk hal itu, Karaeng Karunrung telah meminta bantuan sepuluh ribu orang yang mewakili Sombayya di Bone (hlm. 167). Arung Palakka mempertanyakan mengapa hanya rakyat dari Bone dan Soppeng saja yang dikerahkan untuk menggali dan membangun dinding benteng kepada Karaeng Karunrung. Arung Palakka menganggap Karaeng Karunrung telah berbuat sekehendak hatinya dan tidak berperikemanusiaan. Hal itu dilakukan oleh Karaeng Karunrung karena menganggap bahwa negeri Gowa memiliki kekuatan dan kekuasaan yang besar seperti terlihat di bawah ini. ARUNG PALAKKA: Karaeng Karunrung, sadarilah, bahwa yang akan menggali itu adalah manusia! .......... KARAENG KARUNRUNG: Terserah penafsiranmu, Daeng Serang. Tapi satu hal Anda jangan lupa, seluruh manusia yang ada di bawah kekuasaan Gowa, bisa saja kuperintahkan untuk menggali.
69
Sambutan dan Transformasi Sastra Lisan... (Inriati Lewa) KARAENG KARUNRUNG: .... Kau lupa, Kerajaan Gowa adalah induk pemerintahan, bukan hanya di Selebes ini. (hlm. 198 – 199)
Penggalian parit dan pembangunan dinding benteng, menurut Karaeng Karunrung, telah disetujui oleh Sombayya, dan parit yang digali tersebut akan dijadikan tempat pemeliharaan buaya. Sebagai pengawas proyek pembangunan itu adalah Arung Palakka. ARUNG PALAKKA: Jangan lanjutkan selagi aku masih mampu menahan diri. Aku akan menghadap Sombayya. KARAENG KARUNRUNG: Silakan! Tapi segala sesuatunya telah disetujui oleh Sombayya. Dan Sombayya masih Mangkasara’, takkan mengubah keputusan yang telah disetujui. (hlm. 200)
Arung Palakka curiga terhadap Karaeng Karunrung, dan menuduhnya hanya akan mematahkan tali persaudaraannya dengan Sombayya (hlm. 198). Arung Palakka tidak setuju dengan rencana yang dilakukan oleh Karaeng Karunrung untuk menggali parit yang melibatkan penduduk Bone dan Soppeng karena dianggap tidak manusiawi. ARUNG PALAKKA: (dengan nada rendah). Engkau telah menghina manusia saudaramu sendiri. .... ARUNG PALAKKA: Engkau telah mempermainkan tubuh dan jiwa makhluk Tuhan yang paling mulia, Karaeng Karunrung. Tapi baiklah. Akan kulaksanakan tugasku! (hlm. 203)
70
Teks drama Para Karaeng dengan jelas memperlihatkan bahwa pengarang telah menjadikan teks SKT versi 1 dan versi 2 sebagai hipogramnya, tetapi dengan cara yang berbeda. Permusuhan antara Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin yang terdapat pada teks SKT versi 2 disambut dan ditransformasikan dalam teks drama Para Karaeng dalam wujud pembalikan atau pertentangan di dalam cerita. Dalam SKT versi 1 dan 2, tokoh-tokohnya ditampilkan sebagai orang yang terikat dalam hubungan kekeluargaan kemudian karena perbuatan boto selanjutnya saling berperang. Hal ini bertentangan dengan yang terdapat dalam drama tersebut. Teks drama ini telah menempatkan Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin sebagai orang yang berteman, dan Arung palakka adalah orang yang setia kepada Sultan Hasanuddin sebagai Sombanna Gowa, dan pada akhirnya, memilih jalannya masingmasing. ARUNG PALAKKA: Daengku Mallombassi Daeng Mattawang Sombanna Gowa, serta Daengku Karaeng Karunrung Raja Tallo. Namaku La Tenritatta ‘Toappatunru’ Daeng Serang putera Palakka. I MALLOMBASSI: Namamu, tubuhmu, mana yang terdekat ke dirimu? ARUNG PALAKKA: Namaku, tubuhku, jiwaku, itulah diriku. Dan diriku kuharapkan jadi suluh bagi Daengku berdua. Ketiganya jabat tangan beberapa saat .... I Mallombassi melangkah pergi dengan tombak Arung Palakka. Arung Palakka juga melangkah pergi menuju arah yang berlawanan. (hlm. 217 – 218)
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 61-73
Jika dalam SKT versi 2, Arung Palakka adalah paman Sultan Hasanuddin, dalam drama Para Karaeng, mereka diceritakan sebagai dua orang yang berteman, bahkan Arung Palakka menjadi pengawal Sultan Hasanuddin. Arung Palakka bahkan selalu memperlihatkan kelakuan yang sangat setia kepada negeri Gowa. Sultan Hasanuddin diceritakan sangat percaya terhadap Arung Palakka dan acap kali memberikan pembelaan terhadapnya.
Hal tersebut berbeda dengan yang terdapat dalam teks SKT versi 1. Andi Patunru nama lain dari Arung Palakka dikatakan sebagai anak Karaeng Tu Nisombayya Raja Gowa. Andi Patunru telah bekerja sama dengan Belanda untuk membantunya menyerang negeri Gowa dengan alasan untuk mengembalikan harga diri dan perasaan sakit hatinya karena telah diburu bahkan akan dibunuh oleh semua orang Gowa atas perintah ayahnya Karaeng Sombayya. Dalam teks drama Para Karaeng, Arung Palakka digambarkan bersahabat dengan Sultan Hasanuddin dan Karaeng Karunrung. Selain itu, Arung Palakka pun dilukiskan sebagai orang yang sangat setia kepada Sultan Hasanuddin sebagai Sombanna Gowa. SIMPULAN
Sambutan dan transformasi yang terdapat di dalam karya sastra baik tulis maupun lisan selalu terjadi. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam karya sastra modern yang berbentuk drama yaitu dalam drama Arung Palakka
dan drama Para Karaeng karya Fahmi Syariff. Kedua drama tersebut telah menjadikan sastra lisan Sinriik Kappalak Tallumbatua dalam kesusastraan Makassar sebagai hipogramnya. Sambutan dan tranformasi yang dilakukan terhadap SKT memperlihatkan bahwa teks tersebut telah digunakan dan dipakai sesuai dengan kebutuhannya masingmasing. Beragamnya betuk-bentuk transformasi yang menyambut teks SKT telah menandakan kedudukannya sebagai sastra lisan Makassar pada masyarakat pendukung tradisi tersebut.
Bentuk sambutan dan transformasi yang terdapat dalam teks-teks tersebut telah menempatkan dua tokoh, yakni Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka dalam eksistensinya masing-masing sebagai tokoh di dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Dengan demikian, sambutan dan transformasi terhadap SKT seperti yang terdapat dalam teks-teks tersebut memperlihatkan kekayaannya terhadap unsur-unsur tradisi yang sangat dominan sebagai karya sastra. Selain itu, melalui sambutan dan transformasi terhadap teks SKT semakin mengukuhkan makna dari teks tersebut. Sambutan dan transformasi yang dilakukan terhadap SKT tersebut ada yang berbentuk pemutarbalikkan cerita dan tokohnya seperti yang terlihat pada drama Para Karaeng dan penegasan terhadap mengapa perbuatan tersebut dilakukan seperti yang terlihat pada drama Arung Palakka.
71
Sambutan dan Transformasi Sastra Lisan... (Inriati Lewa) DAFTAR PUSTAKA Ali, H.A.Muhammad dan Amal, A.Amrullah. (1989). Arung Palakka Potret Seorang Pembebas. Watampone.
Jorgensen, Marianne W. dan Philips, Louise J. (2007). Analisis Wacana: Teori dan Metode. (Penerjemah: Imam Suyitno). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barthes, Roland. (1979). “From Work to Text”. Dalam Textual Strategies: Perspectives in Post-Structuralist Criticism. Josue V. Harari (ed.). Ithaca, New York: Cornell University Press.
Polanyi, Karl. (2003). Transformasi Besar: Asal-Usul Politik dan Ekonomi Zaman Sekarang. (Penerjemah: M. Taufiq Rahman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barthes, Roland. (1981). “Theory of the Text” dalam Unthying the Text: A Post-Structuralist Reader. Boston: Routledge & Kegan Paul Ltd.
Chamamah-Soeratno, Siti. (1988). “Hikayat Iskandar Zulkarnain: Suntingan Teks dan Analisis Resepsi”. Disertasi. Yogyakarta: UGM. Chamamah-Soratno, Siti. (2011). Sastra: Teori dan Metode. Yogyakarta: Elmatera.
Culler, Jonathan. (1977). Structuralist Poetics, Linguistics, and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul Ltd. Culler, Jonathan. (1981). The Pursuit of Signs: Semiotic, Literature, Deconstruktion. London and Henley: Routledge and Kegan Paul.
Giddens, Anthony dan Turner, Jonathan. (2008). Social Theory Today. (Penerjemah: Yudi Santoso). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hutomo, Suripan Sadi. (1993). Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Jauss, Hans Robert. (1974). “Literary History as a Challenge to Literary Theory” dalam New Direction in Literary History. Ralf Cohen (ed.). London: Roudledge & Kegan Paul. 72
Kristeva, Julia. (1980). Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art. Columbia: Columbia University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. (1991). “Dewa Telah Mati: Kajian StrukturalismeSemiotik”. Bandung: Temu Ilmiah Ilmu-Ilmu Sastra Pascasarjana seIndonesia. Pradopo, Rachmat Djoko. (2010). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya (cet. VII). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riffaterre, Michael. (1978). Semiotics of Poetry. London: Indiana University Press.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. (2004). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media. Ritzer, George. (2008). Teori Sosial Postmodern. (Penerjemah: Muhammad Taufik). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Sangidu. (2004). Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Teknik, dan Kiat. Yogyakarta: Seksi Penerbitan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Syariff, Fahmi. (2005). Trilogi Drama: Teropong dan Meriam. Makassar: Hasanuddin University Press.
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 61-73
Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Teeuw, A. (1991). Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wiryamartana, I. Kuntara. (1990). Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Worton, Michael dan Still, Judith. (1990). Intertextuality: Theories and Praktices. New York: Manchester Univercity Press.
73