PEMBERONTAKAN LAPAKOKOE ARUNG TIMURUNG DAN LASUNI KARAENG MASSEPE TERHADAP ARUNG PALAKKA THE REBELLION OF LAPAKOKOE ARUNG TIMURUNG DAN LASUNI KARAENG MASSEPE AGAINST TO ARUNG PALAKKA 5RVGLDQD+D¿G Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748, 885119, Faksimile (0411) 865166 3RVHOURVGLDQDKD¿G#\DKRRFRLG Diterima: 21 Februari 2014; Direvisi: 7 April 2014; Disetujui: 12 Mei 2014 ABSTRACT This study aims to reveal the reasons of the rebellion of Arung Timurung and Karaeng Massepe against to Arung Palakka. The metode used is the historical research method through four stages, namely: the data collection or heuristic, the data criticism, the data analysis, and historiography. The study result shows that the rebellion of Arung Timurung and Karaeng Massepe was conducting at the same time, but different reasons. The rebellion of Arung Timurung was caused by political issue, that was the issue of succession in the kingdom of Bone. Arung Timurung is a crownman of the kingdom of Bone, but Arung Palakka rose to be a king on that time. Meanwhile, the rebellion of Karaeng Massepe was caused by slander, that was a member of the Seven Custom Council of the Kingdom of Bone were dishonest with one of Arung Palakka wives, named We Sarampa. Because of fearing the anger of Arung Palakka, so he escaped and joined with the forces of Karaeng Karunrung. Keywords: Arung Timurung, Karaeng Massepe, rebellion ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan menganalisis tentang alasan terjadinya pemberontakan Arung Timurung dan Karaeng Massepe melawan Arung Palakka. Metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah yang meliputi empat tahapan, yaitu pengumpulan data atau heuristik, kritik data, analisis data, dan KLVWRULRJUD¿+DVLONDMLDQLQLPHQXQMXNNDQEDKZDSHPEHURQWDNDQ$UXQJ7LPXUXQJGDQ.DUDHQJ0DVVHSH terjadi pada waktu yang bersamaan. Meski demikian, alasan pemberontakan keduanya berbeda. Pemberontakan Arung Timurung berlatar politik, yaitu masalah suksesi di Kerajaan Bone. Beliau adalah putra mahkota Kerajaan Bone, sedang yang naik menjadi raja saat itu adalah Arung Palakka. Berbeda halnya dengan Karaeng Massepe, DODVDQSHPEHURQWDNDQQ\DVHEDEGL¿WQDKROHKDQJJRWD'HZDQAdat Pitue Kerajaan Bone, yang mengisukan berselingkuh dengan salah seorang istri Arung Palakka yang bernama We Sarampa. Takut akan murka Arung Palakka, sehingga ia melarikan diri lalu bergabung dengan pasukan Karaeng Karunrung. Kata kunci: Arung Timurung, Karaeng Massepe, dan pemberontakan
PENDAHULUAN Kekalahan Kerajaan Bone di Passempe dari Kerajaan Gowa, dikenal dalam lontarak dengan istilah “Betae ri Passempe”, artinya kekalahan dalam perang di Passempe. Sebagai akibat dari kekalahan itu, maka dalam lontarak disebut sebagai “Naripoatana Bone Seppulo Pitu Taung Ittana” (Petta Nabba, 1990:113; Mattulada, 1998: 159-160; Rasyid, 1993:128).Artinya: maka
diperbudaklah Kerajaan Bone selama tujuh belas tahun lamanya oleh Kerajaan Gowa. Akibat kekalahan Kerajaan Bone itu, maka secara nyata Kerajaan Gowa menjadi pemegang kendali politik dan kekuasaan di Sulawesi Selatan. Rakyat Bone harus merasakan penderitaan dan kehancuran, baik mengenai sosial ekonomi maupun budaya. Bukan hanya itu, dua tahun kemudian, yaitu 1646 pihak Gowa melakukan penangkapan
183
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 183—196 terhadap keluarga besar La Pottobune dan beberapa orang bangsawan Bone dan Soppeng. Termasuk di dalamnya La Tenritata yang ketika itu masih berusia 11 tahun, ikut ditahan bersama ayahnya, ibu dan neneknya. Mereka kemudian ditempatkan di dalam sebuah rumah tawanan di dekat istana Raja Tallo, Karaeng Pattingalloang yang sekaligus sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa (Mappasanda, 1993:2). Ketika Arung Palakka melarikan diri bersama tawanan lainnya dari Somba Opu, maka rakyat Soppeng dan Bone-lah yang selalu membela dan menemaninya selama ia menjadi buronan di Sulawesi Selatan. Apalagi kedua raja mereka ikut bersamanya. Raja Soppeng memberikan bekal emas yang cukup besar kepada Arung Palakka bersama rombongannya yang berupa; logo ulaweng bersama tempatnya yang terbuat dari emas; Ceba ulaweng bersama tempatnya, juga terbuat dari emas; umpang ekati; ulaweng emas; perru tedong ulaweng; seratus kati emas dari Soppeng Riaja, ditambah lagi 20 kati emas dari Mario Riase. Inilah bekal yang dibawa mereka bersama pengiringnya meninggal Soppeng Tana Ugi (Jumadi, 2010:57). Sumber lain menyebutkan bahwa bekal yang dibawa oleh Arung Palakka bersama pengiringnya adalah 100 kati (sekitar 60 kilogram) emas dari La Tenribali dan dari Soppeng Barat, namun hanya dua kati dari kampungnya sendiri yaitu Mario Riwawo. Tidak ada emas dari Soppeng Timur sebab telah habis dijarah oleh pasukan Gowa atau Makassar (Andaya, 2013:73). Bermula dari Cempalagi, Tanjung Pallette, Bone, Arung Palakka meninggalkan Sulawesi Selatan menuju Buton. Setelah tiga tahun berada di Buton (1660-1663), beliau berangkat ke Batavia untuk mencari dukungan dan bantuan dari pihak Belanda. Setelah berhasil membantu Belanda dalam beberapa perang, maka Arung Palakka bersama Kompeni kembali ke Sulawesi Selatan untuk memerangi Kerajaan Gowa yang selama ini telah memporak-porandakan Kerajaan Bone dan Soppeng. Tanggal 24 November 1666, Arung Palakka bersama Kompeni berangkat ke Perairan Makassar untuk menghukum Kerajaan Gowa. Kekuatan pasukan itu terdiri atas 21 buah kapal perang, 600 orang Belanda dan 400 pasukan
184
Bugis dan Ambon di bawah pimpinan Kapten Yongker dari Manipa. Tanggal 19 Desember 1666, rombongan ini telah tiba di depan Pelabuhan Somba Opu ( Kasim, 1992:104-108; Ali, 1986:45). Kehadiran Arung Palakka itu, menyebabkan Sultan Hasanuddin membuat kebijakan politik terhadap Kerajaan Bone yang ketika itu masih di bawah kekuasaannya, yaitu membebaskan dari kekuasaan Kerajaan Gowa. Kemudian pada bulan Februari 1667, Raja Bone La Maddarammeng yang sejak tahun 1644, tinggal di Gowa sebagai tawanan perang atau politik, dikembalikan ke Bone untuk menduduki jabatannya sebagai raja Bonedan memulihkan kembali ke dalam segala kebesarannya.Ketika La Maddarammeng kembali ke Bone, ia lalu mengumumkan bahwa jabatannya hanya sementara waktu, hingga Arung Palakka kembali menggantikannya (Patunru, 1989:46-47).1 Kalau dicermati keputusan politik, tampaknya sia-sia belaka sebab sebelum membebaskan La Maddarammeng dari pengasingan, Kerajaan Bone sebenarnya secara politis sudah terlepas dari pengaruh kekuasaan Kerajaan Gowa sebelum ditaklukkan oleh Arung Palakka. Arung Palakka bersama sekutunya sendiri telah mempersiapkan segalanya untuk melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Gowa. Sebaliknya, Kerajaan Gowa yang sudah menduga bahwa upaya yang dilakukan selama ini tidak berpengaruh terhadap Arung Palakka akan niatnya menyerang Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin telah mengambil langkah-langkah antisipatif dengan jalan membangun kembali bentengbenteng pertahanan yang telah dihancurkan sebelumnya. Meskipun Gowa telah mengeluarkan kebijakan seperti itu, namun niat Arung Palakka untuk menyerang Kerajaan Gowa tidak surut. Hal itu terbukti dikemudian hari ketika keduanya terlibat perang yang maha dahsyat dan terkenal 1 Pengaruh Arung Palakka terhadap rakyat Bone dan Kerajaan Soppeng sangat kuat sehingga apapun yang dilakukan Kerajaan Gowa untuk kebaikan Kerajaan Bone, sudah tidak dipercaya lagi, kecuali itu adalah dari Arung Palakka sendiri. Pengangkatan kembali Lamaddaremmang itu, tidak disetujui oleh orang-orang Bone, juga termasuk Dewan Hadat Tujuh sebab pengangkatannya hanya dilakukan dan dilantik oleh Karaeng Lengkese sehingga dianggap bertentangan dengan aturan adat.
Pemberontakan Lapakokoe Arung... 5RVGLDQD+D¿G
dengan nama Perang Makassar.Pada tanggal 18 November 1667 perang ini diakhiri dengan suatu perjanjian damai antara Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka-Speelman. Perjanjian ini dikenal dengan nama Perjanjian Bungaya atau biasa juga dikenal Cappaya ri Bungaya yang terdiri atas 30 pasal (Patunru, 1969:51-55). Lima tahun setelah perjanjian Bungaya dicapai (1672), barulah Arung Palakka dinobatkan menjadi raja Bone ke-15 menggantikan La Maddarammeng raja Bone ke-14. Hal ini menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan bagi Arung Timurung yang bernama La Pakokoe To Wangkone, selanjutnya disebut Arung Timurung. Arung Timurung adalah anak dari raja Bone ke14 (La Maddarammeng), juga sekaligus ipar dari Arung Palakka. Arung Timurung kawin dengan saudara perempuan Arung Palakka yang bernama We Mappolo Bombang. Dari perkawinan itu lahirlah La Patau yang di kemudian hari menjadi raja Bone menggantikan Arung Palakka. Salah satu sumber menjelaskan bahwa untuk menghindari terjadinya perang, maka Arung Palakka menawarkan jalan damai dengan mengawinkan Arung Timurung dengan saudara perempuannya yang bernama We Mappolo Bombang. Arung Palakka menjanjikan bahwa anak lelaki yang lahir dari perkawinan itu akan dijadikan sebagai raja Bone. Mengapa Arung Palakka menjanjikan bahwa anak yang lahir kelak akan dijadikan sebagai raja, padahal ia sendiri ketika itu belum dilantik menjadi raja. Pemberontakan nyata dilakukan Arung Timurung ketika Arung Palakka mau dilantik menjadi raja Bone. Sebab merasa haknya diabaikan sehingga yang bersangkutan melakukan upaya untuk menggagalkan pengangkatan Arung Palakka sebagai raja Bone. Namun upaya yang dilakukan itu tidak berhasil sehingga yang bersangkutan akhirnya melarikan diri untuk melakukan perlawanan secara terbuka dengan Arung Palakka. Pemberontakan Arung Timurung tidak berdiri sendiri, sebab di dalamnya terlibat beberapa orang bangsawan, termasuk La Suni Karaeng Massepe. Secara garis besar bahwa pemberontakan La Suni Karaeng Massepe lebih dahulu terjadi, sedang Arung Timurung bergabung kemudian setelah upayanya untuk menggagalkan pengangkatan Arung Palakka menggantikan
ayahnya sebagai raja Bone, gagal. Sementara itu, alasan pemberontakan La Suni Karaeng Massepe, selanjutnya disebut Karaeng Massepe, sebenarnya tidak direncanakan. Dengan demikian kedua pelaku utama pemberontakan itu, mempunyai alasan yang berbeda. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan pokok yang ingin ditelusuri dalam kajian ini adalah mengapa kedua pemberontakan itu terjadi. Penelusuran penyebab kedua Pemberontakan itu, dimaksudkan agar dapat dipahami dengan baik peristiwa itu. Pelaku kedua pemberontakan itu adalah merupakan sahabat Arung Palakka sendiri, bahkan Arung Timurung adalah saudara iparnya sendiri. METODE Kajian ini menelusuri jalannya pemberontakan yang dilakukan oleh Arung Timurung dan Karaeng Massepe. Untuk memberikan arah dan kinerja yang tepat, maka metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah yang meliputi empat langkah. Heuristik (pencarian data dan keterangan) yang dilakukan pada berbagai perpustakaan pemerintah yang tersebar di Kota Makassar dan di lokasi penelitian, juga perpustakaan swasta maupun pribadi. Kritik, LQWHUSUHWDVLDQDOLVLVGDQKLVWRULRJUD¿GLODNXNDQ setelah data dan keterangan sudah terkumpul. Hasil pengumpulan data dan keterangan yang diperoleh terdiri atas dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Sumber primer yang berupa lontarak dan (foto copy), diperoleh dari Abd. Latif yaitu Lontarak Akkarungeng Sidenreng dan Lontarak Akkarungeng Sawitto. Satu lontarak lainnya, yaitu Lontarak Akkarungeng Bone diperoleh dari perpustakaan dan Arsip Kabupaten Bone. Sumber sekunder utama berupa buku adalah disertasi Abd. Latif. 2012. “Konfederasi Ajatappareng 1812-1906; Sejarah Sosiopolitik Orang Bugis Di Sulawesi Selatan”.Bangi: Universitas Kebangsaan Malaysia. Andaya, 2013. Warisan Arung Palakka:Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17.Makassar: Ininnawa. Selain kedua sumber utama itu, juga masih terdapat satu buku yang cukup baik adalah karya; Hamid, dkk. 2007. Sejarah Bone. Watampone: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Dan masih terdapat beberapa buku
185
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 183—196 sumber lainnya yang dijadikan sebagai rujukan dalam karya ini. Data dan keterangan yang berhasil dikumpulkan itu, selanjutnya dikritik atau diuji kadarnya, dapatkah dipercaya atau tidak keterangan itu dan menentukan validitasnya. Kritik yang dilakukan lebih tertujuh kepada isi sumber (kritik intern). Pengukurannya dilakukan dengan mempertimbangkan dapat tidaknya keterangan itu diterima akal, sesuaikah ide yang ditampilkan itu berhubungan dengan tema kajian. Selanjutnya data dan keterangan yang sudah teruji melalui kritik intern, kemudian disusun dalam bentuk laporan penelitian berdasarkan urutan kronologinya. Dengan demikian, kajian ini bercorak deskriptif analisis dengan harapan untuk dapat memberikan kejelasan bagi pemahaman sebaik mungkin tentang peristiwa itu. PEMBAHASAN Pemberontakan Arung Timurung Perlawanan Arung Timurung terhadap Arung Palakka yang juga adalah iparnya, adalah menyangkut suksesi di Kerajaan Bone yang dianggapnya menyalahi aturan adat kebiasaan. Ketika ayahnya meninggal dunia, sebenarnya berharap ia menggantikan ayahnya, namun kenyataannya tidak demikian. Anggota Dewan Adat PituE dan Kompeni lebih memilih Arung Palakka sebagai penggantinya. Kekecewaan pun muncul, sebab Arung Timurung adalah putra mahkota dari La Maddarammeng, sedangkan yang diangkat menjadi raja Bone bukanlah dia, tetapi Arung Palakka. Alasan itulah yang kemudian menyebabkan ia memilih memberontak melawan saudara iparnya, yaitu Arung Palakka. Dalam pemberontakannya, bukan hanya ia seorang diri, namun ada beberapa bangsawan yang kecewa terhadap Arung Palakka, ikut bersamanya, antara lain; Karaeng Massepe dan Karaeng Karunrung panglima perang dari Kerajaan Gowa. Sementara itu, Mandar salah satu sekutu Gowa yang tidak mau tunduk kepada Arung Palakka, meskipun ia sudah tidak mendapat dukungan dari Kerajaan Gowa. Itulah sebabnya sehingga penguasa Belanda di Makassar menghendaki agar Mandar diberi pelajaran dengan menghukumnya melalui perang. Ketidakmauan
186
Mandar tunduk kepada Arung Palakka sebab mereka tetap yakin dan percaya bahwa hutan di pegunungan tetap akan memberikan tempat perlindungan dari pelariannya jika diserang. Hal inilah yang menyebabkan sehingga jika Mandar diserang tidak pernah berhasil ditaklukkan karena selalu lari masuk hutan. Tetapi ketika penguasa Toraja telah menyatakan bersekutu dengan Arung Palakka, dan bermusuhan dengan Mandar, sehingga dengan demikian tempat pelarian pasukan Mandar jika diserang berada dalam bahaya sebab hutan pelarian itu berada dalam wilayah kekuasaan Toraja (Andaya, 2013:186). Rencana penyerangan terhadap Mandar kali ini lebih fokus dan terencana sebab sebelum penyerangan dilakukan, terlebih dahulu mereka berkumpul di Fort Rotterdam. Arung Palakka memimpin para pemimpin dan bangsawan Sulawesi Selatan pada tanggal 31 Agustus 1673 untuk mengadakan aru atau sumpah setia untuk masing-masing mereka dan Kompeni. Tanggal 3 November 1673, mereka naik sebuah kapal Belanda, tetapi karena cuaca hujan dan buruk sehingga penyerangan ini tertunda. Kurang lebih dua minggu kemudian barulah serangan dapat dilakukan, Mandar dapat ditaklukkan dan benteng pertahanannya dapat dihancurkan. Mengapa Mandar diserang oleh Arung Palakka bersama sekutunya, sebab ia tidak mau tunduk meskipun sekutu utamanya, yaitu Kerajaan Gowa telah dikalahkan dan tunduk sepenuhnya kepada Arung Palakka. Seandainya ketika Kerajaan Gowa dan beberapa kerajaan lainnya telah dikalahkan, Mandar mau menyerah dan mengaku tunduk kepada Arung Palakka, maka penyerangan atas wilayahnya tidak akan terjadi. Padahal Mandar sebenarnya mengetahui bahwa kekuatan yang dimilikinya tidak akan pernah mampu menandingi kekuatan Arung Palakka yang didukung oleh beberapa kerajaan lokal yang telah ditaklukkan, apalagi di belakngnya berdiri kekuatan Belanda. Itulah sebabnya dikemudian hari mengapa Arung Timurung ketika melarikan diri dari Arung Palakka, ia memilih Mandar sebagai tempat persembunyiannya, dan dari sini ia berpindah-pindah tempat. Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai Kerajaan Bone di
Pemberontakan Lapakokoe Arung... 5RVGLDQD+D¿G
bawah kendali Arung Palakka, bukanlah berarti tidak ada lagi masalah yang dihadapi dalam negerinya. Sebab sebelum pelantikannya sebagai raja Bone, anak dari La Maddarammeng, raja Bone ke-14 yang bernama Arung Timurung tidak setuju jika Arung Palakka yang menggantikan ayahnya. Ketidaksetujuan Arung Timurung sebab dia juga berhak atas tahta di Bone karena ayahandanya adalah raja Bone. Oleh sebab itu, beliau lalu menggalang kerjasama dengan beberapa bangsawan dari Bone dan Gowa untuk menggagalkan pengangkatan itu. Walaupun telah dinikahkan dengan saudara perempuan Arung Palakka, namun niat Arung Timurung tetap ingin melakukan perlawanan. Perkawinan itu dilaksanakan dengan kesepakatan bahwa anak yang lahir kelak akan diangkat menjadi raja Bone. Niatnya memberontak sebagai protes atas pengangkatan itu, rupanya ia tidak bekerja sendirian tetapi dibantu oleh bangsawan Bone dan Gowa yaitu Karaeng Karunrung. Perihal keterlibatan Karaeng Karunrung dalam kasus ini diawali ketika Arung Palakka kehilangan tiga orang dayangnya yang diduga penculikannya direkayasa dan didalangi oleh Kerajaan Gowa. Berdasarkan informasi bahwa ketiga dayang itu dilarikan ke Mandar atas perintah Karaeng Karunrung. Juga pada paruh pertama tahun 1672 terjadi peristiwa yang sama, dua selirnya telah dibawa lari Karaeng Massepe, karena disuruh oleh Karaeng Karunrung (Andaya, 2013: 180). Dari kedua peristiwa itu, Arung Palakka belum mengambil tindakan meskipun itu dianggap suatu siri sebab merupakan penghinaan yang lebih menyakitkan karena menyangkut penghinaan terhadap kejantanan beliau. Menerima penistaan seperti itu, berarti hidup tanpa siri, harga diri sama dengan mengalami pengasingan dan pencelaan dari masyarakatnya. Upaya Arung Timurung untuk menggantikan ayahnya sebagai raja Bone tidak berhasil. Oleh sebab itu, Arung Timurung akhirnya melarikan diri ke Mandar dan bergabung dengan pasukan Karaeng Karunrung dan Karaeng Massepe dengan 2.000 orang pasukannya. Kedua orang ini terlebih dahulu menghindari Arung Palakka dan memilih daerah Mandar untuk bertahan sementara waktu. Pemilihan daerah Mandar sebagai tempat
persembunyian sebab ketika itu Mandar belum tunduk sepenuhnya kepada Arung Palakka. Garis keturunan Arung Timurung memungkinkan untuk menduduki posisi sebagai raja Bone menggantikan ayahnya. Selain itu, juga dipicu oleh pernyataan Arung Palakka pada awal kemenangannya di Sulawesi Selatan. Ketika itu, tahun 1667 Arung Palakka ditawari jabatan raja oleh La Maddarammeng raja Bone, namun yang bersangkutan hanya menjawab:”….. Tuan adalah angin, aku adalah daun; aku adalah parang yang ditetakkan, bila itu semua dapat memberikan keselamatan bagi negeri dan rakyat Bone”. (Hamid, dkk.2007:151). Pernyataan itu ditafsirkan Arung Timurung bahwa yang bersangkutan tidak berambisi untuk menjadi raja di Bone. Oleh sebab sikap itulah mendorong Arung Timurung berkeyakinan bahwa ia kelak dapat menggantikan posisi ayahnya sebagai raja Bone. Pernyataan itu pula yang mendasari Arung Timurung sehingga bersedia mengawini saudara perempuan Arung Palakka yang bernama We Mappolo Bombang.Menurut salah sumber menyebutkan bahwa umur antara keduanya terpaut jauh, We Mappolo Bombang usianya ketika itu sudah mencapai 50 tahun dan Arung Timurung berusia 34 tahun (Kasim,1992:146). Usia perempuan seperti itu pada umumnya sulit untuk hamil, namun tidak ada yang mustahil jika Tuhan menghendaki. Ternyata setelah perkawinan itu dilaksanakan, We Mappolo Bombang dapat hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama La Patau. Kalau dicermati pernyataan sumber tersebut di atas yang menjelaskan bahwa usia We Mappolo Bombang ketika dikawinkan dengan Arung Timurung sudah berusia 50 tahun, sedang Arung Timurung 34 tahun sulit untuk diterima, sebab We Mappolo Bombang adalah adik dari Arung Palakka yang ketika itu beliau berusia 37 tahun. Kalau demikian berarti usia We Mappolo Bombang saat itu di bawah 37 tahun sebab Arung Palakka berusia seperti itu, sementara ia adalah adik. Jadi kajian di atas tidak akurat datanya sebab membuat angka perkiraan usia seseorang tanpa membandingkan dengan usia kakaknya (Arung Palakka). Kalau kita mulai menghitung dari tahun kelahiran Arung Palakka 1635, hingga beliau
187
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 183—196 mengawinkan adiknya dengan Arung Timurung pada tahun 1672, maka seharusnya usia We Mappolo Bombang ketika itu paling tinggi 36 tahun atau lebih muda dari Arung Palakka, atau seumur dengan Arung Timurung. Walau pernikahan itu terlaksana, kenyataan yang dihadapi oleh Arung Timurung di luar perhitungannya. Pembesar kerajaan, anggota dewan hadat, dan rakyat Bone menghendaki agar Arung Palakka yang dinobatkan menjadi raja Bonesebab dialah yang membebaskan Kerajaan Soppeng dan Kerajaan Bone dari perbudakan Kerajaan Gowa. Kenyataan ini membuat Arung Timurung terlibat dalam strategi politik yang dicanangkan oleh pembesar Makassar untuk melakukan penculikan terhadap istri dan dayang Arung Palakka. Hal ini dilakukan untuk menjatuhkan martabat Arung Palakka dengan harapan dapat membatalkan pengangkatannya sebagai raja Bone. Sehubungan dengan kenyataan itu, membuat Arung Palakka kecewa dan kembali ke Watampone. Kedatangannya di Watampone itu sekaitan dengan kelahiran kemanakannya, yaitu anak dari We Mappolo Bombang dan Arung Timurung. Arung Palakka sangat gembira atas kelahiran kemanakannya itu sebab ia sendiri tidak memiliki anak. Anak itu adalah anak yang diperjanjikan ketika pernikahan akan dilangsungkan, bahwa anak yang lahir nanti akan dijadikan sebagai raja Bone. Selain itu, kehadiran Arung Palakka ketika itu (1672) adalah untuk dinobatkan menjadi raja Bone (Hamid,dkk. 2007:152-153). Kondisi itu menyebabkan Arung Timurung berada dalam posisi terjepit sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan Watampone dan bergabung dengan pasukan Karaeng Masseppe. Pemberontakan Karaeng Massepe La Suni Karaeng Massepe, selanjutnya disebut Karaeng Massepe adalah merupakan addatuanmg Sidenreng ke-12, dan merupakan sahabat setia Arung Palakka. Beliau adalah salah seorang pemberani yang tampil matimatian membantu Arung Palakka ketika ia mulai melakukan penyerangan untuk menaklukkan berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan. Penyerangan itu bertujuan untuk membebaskan 188
Kerajaan Soppeng dan Kerajaan Bone dari perbudakan Kerajaan Gowa. Hubungan antara kedua orang penguasa ini sangatlah dekat sehingga sulit untuk memisahkannya. Begitu dekat hubungan itu sehingga orang menyebutnya sahabat sejati yang takkan pernah dipisahkan kecuali maut. Permusuhan Arung Palakka dengan Karaeng Massepe karena dituduh berselingkuh dengan We Sarampa, yaitu istri Arung Palakka. Ia lari meninggalkan kerajaannya lalu bergabung dengan Karaeng Karunrung. Permusuhan itu sebenarnya adalah ulah dari Dewan Adat PituE Bone dan Karaeng Karunrung yang tidak senang melihat persahabatan Karaeng Massepe. Menurut sumber lokal bahwa Karaeng Karunrung membuatkan ceritera tentang Karaeng Massepe yang dikatakan berselingkuh dengan salah seorang istri Arung Palakka, yaitu We Sarampa yang didukung oleh Dewan Adat Pitue. Celakanya, sebab Arung Palakka sendiri mempercayai berita itu tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Oleh sebab itu, Karaeng Massepe semakin terdesak sehingga yang bersangkutan melarikan diri setelah membaca gelagat Arung Palakka yang sudah termakan isu tersebut. Dalam Lontarak Bone digambarkan tentang bagaimana awal mulanya sehingga Karaeng Massepe dibenci oleh Arung Palakka, yaitu; “Taggerringkerri’ni ade’e ri Bone iyanaritu Arung Pitue mitai Puatta Petta Malampee Gemme’na mabbere pakkamase ri Karaeng Massepe anu seddiemmani tennakkaduwai/ padamani rita kedona ana’ mattolae ri Bone. Mammula toni sipojipoji We Sarampa, inang to rilawoinna Arum Pone, nakkuragana ade Pitue ri Bone/ aga laleng nariteppang tanru’na Karaeng Massepe/naripatemme lolang ri linoe/ jaji uraganna Karaeng Massepe, jaji toi pakkuragana ade pitue ri Bone/pada jaji manessa waliwali, napasielorengngi Karaeng Massepe We Sarampa/ palani epa’na datue Ade Pitue ri Bone/riassuro tennunganni lipa We Sarampa padapadae balona lipa’na Karaeng Massepe/narekko engkai tudang kasiwiyangnge ri Bone”(Lontarak Akkarungnge Bone:66-67).
Lebih lanjut dalam Lontarak Addituang Sidenreng, disebutkan bahwa:
Pemberontakan Lapakokoe Arung... 5RVGLDQD+D¿G
“Natakkau manenna ade ri Bone mitai Petta Torisompae makkamase ri Karaeng Massepe/nariwinrusenna uraga sarekkuammangngi nalabu essona Karaeng Massepe ri Bone/natepuna siyallawangeng We Sarampa maeloi Karaeng Massepe nrebbai passoro’na Bone/ palennyai alebbiranna Petta Torisompae( Lontarak Akkarungeng Bone: 86-87; Lontarak Akkarungeng Sidenreng:13; Latif, 2012:143). Kalau diteliti secara baik-baik tentang kandungan makna dari sumber lokal tersebut, nampak dengan jelas bahwa apa yang dituduhkan terhadap Karaeng Massepe tentang perselingkuhannya dengan We Sarampa adalah memang benar diceritakan seperti itu, namun sebenarnya berita itu sengaja ditiupkan oleh Karaeng Karunrung dan Dewan Adat Pitue Bone. Perlu dicermati bahwa apa yang dituduhkan itu, tidak mungkin dilakukan Karaeng Massepe. Sebab Arung Palakka adalah orang yang ditakuti dan sangat dihormati oleh beliau.Apalagi selama ini Arung Palakka telah memberikan segalanya kepada dirinya. Kecuali memang ada persekongkolan antara Dewan Adat Pitue Bone dengan Karaeng Karunrung untuk menjatuhkan Karaeng Massepe tersebut. Alasannya, pihak Dewan Adat Pitue Bone khawatir jika suatu saat Karaeng Massepe dapat menggantikan Arung Palakka menjadi raja Bone mengingat beliau tidak mempunyai keturunan langsung, meskipun beliau mempunyai istri lebih dari satu orang. Persoalan yang kemudian muncul adalah bertambahnya masalah yang harus dihadapi Arung Palakka dalam membangun kekuasaannya di Sulawesi Selatan. Belum tuntasnya persaoalan dari berbagai kerajaan, kini timbul persoalan lain yang munculnya dari dalam internal pribadinya. Akhirnya musuh lama bergabung menjadi satu untuk melawan kekuasaannya, meskipun sebenarnya mereka yang membangkang itu sadar bahwa apa yang dilakukannya sangat kecil kemungkinan dapat tercapai. Penyebabnya, Arung Palakka mempunyai kekuatan perang yang sangat besar, ditambah kekuatan Belanda yang selalu siap untuk membatunya, kapan dan dimanapun juga. Meski demikian, mereka itu
(pembangkang) mungkin berperinsip bahwa kita tidak akan pernah tahu sesuatu jika hal itu tidak dicoba untuk melakukannya, meski diketahui bahwa hal itu mustahil akan tercapai. Arung Palakka akhirnya bersikap menghadapi persoalan pembangkangan yang dilakukan oleh orang yang sangat disayanginya itu, yaitu Karaeng Massepe bersama saudara iparnya Arung Timurung, suami We Mappolo Bombang. Untuk menyelesaikan persoalan itu, Arung Palakka sekali lagi mempercayakan kepada salah seorang Panglima Perang To Angke yang terkenal itu, yaitu Todani Arung Bakke Datu Citta yang juga Arung Pattojo (Andaya, 2013:183). Sebenarnya Todani Arung Bakke merasa kurang enak hati melaksanakan perintah itu, sebab yang dilawan adalah saudara ipar Arung Palakka yaitu Arung Timurung dan orang kesayangannya yaitu Karaeng Massepe, yang di dalamnya terdapat Karaeng Karunrung, bekas Panglima Perang Kerajaan Gowa. Selain itu, juga di dalam kelompok ini tercatat nama Ponggawa Bone Daeng Pabila. Tetapi apa daya, yang memberikan perintah adalah atasan atau komandannya yang sekaligus adalah iparnya sendiri. Todani kemudian mempersiapkan diri dengan mengumpulkan sejumlah pasukannya yang terdiri dari orang-orang yang berasal dari pasukan Angke untuk mengakhiri perlawanan dari Arung Timurung dan sekutunya. Arung Timurung seperti yang telah diuraikan di atas melakukan perlawanan karena tidak setuju Arung Palakka menjadi raja Bone menggantikan ayahandanya, yaitu La Maddarammeng. Berbagai cara ditempu Arung Timurung untuk menggagalkan pengangkatan Arung Palakka, salah satunya menurut sumber lokal bahwa ia menculik dua istri Arung Palakka yang kemudian dilarikan ke Mandar. Cara ini dilakukan untuk menjatuhkan kewibawaan Arung Palakka dengan asumsi bahwa dengan menculik istri Arung Palakka menandankan bahwa Arung Palakka tidak dapat melindungi istrinya, apalagi untukmenjadi seorang raja pada sebuah kerajaan besar seperti Bone. Atas peristiwa itu, Arung Palakka merasa terhina dan merasa direndahkan martabat dan harga dirinya. Akhirnya Arung Palakka bersikap atas kejadian itu, Todani Arung Bakke bersama pasukan Angkenya telah dipersiapkan untuk 189
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 183—196 memberikan hukuman kepada Arung Timurung bersama sekutunya. Akan tetapi mengingat SHUVRDODQ LQL DGDODK NRQV¿UDVL SROLWLN GHQJDQ para pembesar Kerajaan Gowa dan Bone sehingga kemungkinan kekuatan Arung Timurung lebih besar sebab mendapat dukungan dari bangsawan Kerajaan Gowa dan Bone. Untuk mengantisifasi kemungkinan tersebut, Arung Palakka sendiri yang turun tangan untuk menyelesaikan persoalan itu, dan dibantu oleh To Dani Arung Bakke bersama pasukan Angkenya. Keterliban Arung Palakka secara langsung sebab gerakan itu bukan hanya sekedar rencana makar dari Arung Timurung dan Karaeng Massepe, tetapi juga berkaitan dengan penculikan istri dan dayangnya. Akhir Pemberontakan Sebelum Arung Palakka dinobatkan menjadi raja di Kerajaan Bone 1672, ia bersama pasukan sekutunya menyerang Mandar pada tanggal 6 Oktober 1671. Namun dua bulan sebelum serangan itu dilakukan, ia berangkat ke Bone untuk memenuhi janjinya untuk menghadang pasukan dari Makassar di Bacukiki. Selain itu, ia menjanjikan kepada Kompeni bahwa kehadirannya di Bone, Wajo dan Ajatappareng akan sangat membantu nanti penyerangan terhadap Mandar. Tetapi tanpa bantuan dari wilayah tersebut, ternyata Mandar dapat dikalahkan dengan sangat mudahnya. Sebagian besar pemukiman dan kebun di Balanipa, Majene, Buko, Campalagian dan Binuang dibakar sehingga hancur (Andaya, 2013:177). Namun penduduknya berhasil melarikan diri ke dalam hutan. Meskipun telah dikalahkan, namun bukan jaminan bagi Mandar untuk tunduk sepenuhnya kepada Arung Palakka. Setelah berhasil mengalahkan Mandar, pekerjaan selanjutnya adalah menyelesaikan perlawanan Arung Timurung bersama sekutunya. Tetapi sebelum perlawanan Arung Timurung dipadamkan, Arung Palakka terlebih dahulu dilantik menjadi raja Bone pada tahun 1672. Sehubungan dengan pemberontakan Arung Timurung itu, pasca pelantikan ia lalu mengirim bila-bila musu kepada rakyat Bone, Wajo, dan Pompanua untuk berkumpul pada tanggal 27 April 1673 guna menyusun pasukan untuk penyerangan ke tempat persembunyian Arung Timurung dan sekutunya. Sementara kepada penguasa Sawitto 190
dan Enrekang diminta menghimpun keterangan tentang keberadaan lawan dan merintis jalan untuk penyerangan kelak (Hamid, dkk, 2007:155). Kompeni tidak ketinggalan, ia juga mengirim 10 orang tentara yang dipimpin oleh seorang sersan. Disebutkan pula bahwa pada tanggal 3 Mei 1673, Arung Palakka bersama pasukannya berangkat untuk menghukum Arung Timurung dan sekutunya. Ia memilih berkumpul di Sawitto bersamasejumlah pasukan 20.000 orang pemberani (Hamid, dkk, 2007:155). Arung Palakka bersama sekutunya langsung menyerang tempat persembunyian Karaeng Massepe dan Arung Timurung di daerah Massepe. Merasa terdesak maka mereka mengundurkan diri ke Maiwa. Dalam kondisi terdesak, mereka berusaha keluar dari Maiwa dan meloloskan diri ke wilayah kekuasaan Kerajaan Makassar atas bantuan pasukan Mandar yang telah menyiapkan beberapa buah perahu. Usaha ini kurang berhasil sebab mendapat serangan dari pasukan Arung Palakka. Mereka secara bersama-sama bergerak menuju Enrekang dengan harapan di sana ia mendapat tempat perlindungan yang aman di pegunungan. Sementara berada dalam pelarian, Arung Timurung mengirim utusan ke berbagai daerah untuk meminta dan mengajak kerjasama melawan Arung Palakka. Daerah-daerah yang dimintai dukungan dan bantuannya adalah Bone, Tanete, Sawitto, Bacukiki dan sejumlah daerah lainnya. Juga dimintai bantuan dari pantai barat untuk mencari sekutu. Dalam salah satu suratnya yang berhasil ditemukan, yang ditujukan kepada bangsawan Bone, Arung Timurung menulis: “Salam hangat buat kalian semua yang punya ikatan dengan saya! Pada tanggal 22 (bulan) Haji (9 April) saya akan pergi bersama Karaeng Massepe ke Rappang dan di sana nanti bergabung dengan kawan-kawan kita dari Ajatappareng dan Toraja. Permintaan saya kepada anda adalah kita melakukan usaha ini bersama. Jika saya memulai dan anda tidak, Anda akan memotong leher saya .... Pekerjaan kami akan dimulai tanggal 22 bulan Haji…. Jika anda tidak ikut dengan kami, berarti anda musuh kami. Saya mengharapkan Anda betul-betul berusaha untuk terlibat sehingga akan memberi sumbangan kepada kemakmuran negeri Anda, dan dengan belas kasihan anda kepada kami, kami akan mampu bertahan hidup” (Andaya,
Pemberontakan Lapakokoe Arung... 5RVGLDQD+D¿G 2013:182).
Rupanya persoalan Arung Timurung yang telah melakukan perlawanan itu, yang kemudian bergabung dengan Karaeng Karunrung untuk melawan Arung Palakka, menjadi pemikiran La Maddarammeng. Betapa tidak, beliau adalah ayah dari Arung Timurung, sementara Arung Palakka juga telah dianggap sebagai anaknya sendiri. La Maddarammeng berada pada posisi terjepit, namun jika diperhatikan surat yang dikirim oleh beliau kepada anaknya, ia sebenarnya mendukung anaknya dalam kasus ini. Bahkan La Maddarammeng jelas-jelas mengampuni, jika tidak mendorong putranya Arung Timurung bersama, Ponggawa Bone Daeng Pabila dalam usaha yang berbahaya ini. Kepercayaan diri Arung Timurung dan Karaeng Massepe dalam pemberontakannya melawan Arung Palakka sebab mendapat dukungan penuh dari Kerajaan Gowa seperti yang disebutkan dalam sebuah sumber yang menyatakan bahwa” Karaeng Gowa Sultan Amir Hamzah dan Karaeng Karunrung memberikan dukungan kepada Arung Timurung untuk melawan Arung Palakka. Keduanya memberikan janji-janji kepadanya dan tidak hanya menghasut Karaeng Massepe Daeng Mannabe, tetapi juga menyogok Ponggawa Bone Daeng Pabila di Bone”. Seperti apa bentuk sogokan yang dimaksud itu, tidak dijelaskan dengan rinci. Tetapi bukti paling nyata atas dukungan itu adalah ditemukannya sepucuk surat yang ditujukan kepada Karaeng Massepe dan sekutunya yang ditulis oleh Karaeng Karunrung pada tanggal 11 Syawal 1083 H. atau 31 Januari 1673. Surat itu berbunyi; “Jika Tuhan memberimu kekuatan, sebaiknya kau mulai duluan sehingga kita semua akan mendapat pujian. Musuh-musuh ini akan menjadi lemah, dan kawan-kawan mereka (begitu saya dengar) akan sakit hati pada mereka” (Andaya, 2013:183).
Kenyataan itu membuat Arung Palakka dan Kompeni begitu gusar mendengar kabar tersebut. Sehubungan dengan itu, La Maddarammeng juga menulis sepucuk surat kepada putranya yang menyatakan bahwa;
“Jangan terburu-buru untuk menjungkalkannya (Arung Palakka) karena mereka yang di Bone tidak menginginkan penderitaan dan tidak akan senang jika penderitaan menimpa negeri. Selain itu, tidak ada orang di sini yang ingin memperhatikan mereka (yaitu pendukung Arung Timurung), maka mereka (pendukungmu) sedang menanti kedatanganmu. Akan lebih baik jika kau bersepakat dengan kawanmu di sana (Ajatappareng dan Toraja), dan kau dan kawanmu itu memperkuat diri dan bersatu dengan penguasa Gowa…. Kau juga dapat pergi ke Wajo dan Luwu, dan jika kau bersatu dengan mereka semua, barulah kau mulai bekerja bersama-sama. Saya dan semua yang bersama saya menyarankan dan berharap, jika kau meninggalkan tempat itu menuju ke Barru. Yakinkanlah dengan kekuatan balatentara sehingga ia mau bergabung dengan kita. Jika kau bertemu dengan datu Soppeng di sana, kau dapat memberitahu dia bahwa sebaiknya dia mempertimbangkan kenyataan bahwa apa yang dimiliki seseorang, orang lain tidak akan mengambilnya, tetapi setiap orang harus mempertahankan dan menjaga miliknya itu. Akan baik pula seandainya kau pergi meminjam emas dari Gowa, serta penguasa Lamuru dan Luwu sehingga dengan itu kau dapat memberi para bangsawan Bone barang-barang itu …. Saya hanya punya tiga putra: Datu Luwu, Arung Wajo, dan Tounru (yaitu; Arung Palakka). Yang terakhir ini telah melupakan perjanjian, dan itulah alasannya mengapa dia mengganggu kita. Dan itulah alasan, putraku; keinginan saya untuk mencintai dan dicintai Luwu karena dia (Datu Luwu) tidak lupa, dalam masa susah kita ini, untuk datang dan mengunjungi saya. Dia masih ingat pada sumpah yang kami ucapkan bersama ketika kami menanam batu itu (yaitu: memasuki sebuah aturan perjanjian)” (Andaya, 2013:183).
Kalau dicermati isi surat La Maddarammeng itu, ada dua makna yang terkandung di dalamnya, pertama; menunjukkan bahwa sebenarnya beliau mengetahui dengan pasti rencana pemberontakan putranya itu. Hal itu terlihat dengan jelas dalam suratnya yang menyarankan kepada putranya agar jangan tergesa-gesa, seraya mengajak putranya agar mau membatalkan niatnya untuk menyerang kedudukan Arung Palakka dan segera kembali bersama-sama dia untuk menegakkan 191
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 183—196 martabat kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Kedua; Pada bagian terakhir dari surat itu, La Maddarammeng menganggap bahwa Arung Palakka berambisi menguasai seluruh Sulawesi Selatan. Hal ini kalau dianalisis dengan baik, dapat dipahami bahwa sebenarnya tudingan itu keliru sebab Arung Palakka menaklukkan kerajaan-kerajaan di seluruh Sulawesi Selatan, bukanlah tujuannya untuk menguasai, tetapi untuk mempersatukannya agar terhindar dari adu domba Kompeni. Meskipun La Maddarammeng telah menduduki kembali tahta Kerajaan Bone, namun beliau menyadari bahwa kedudukan itu hanya bersifat sementara. Kondisi itu disadari sepenuhnya bahwa cepat atau lambat, Arung Palakka akan mengambil alih posisi itu. Sementara itu, anaknya yang bernama Arung Timurung, yang merupakan putra mahkota Kerajaan Bone, merasa risau atas kenyataan itu. Sebagai putra mahkota, tentu ia sangat mengharapkan posisi sebagai raja Bone menggantikan ayahnya, namun posisi itu akan terhalang oleh kehadiran Arung Palakka yang telah membebaskan Kerajaan Bone dan Kerajaan Soppeng dari perbudakan Kerajaan Gowa. Perilaku politik Arung Timurung yang mengharapkan jabatan sebagai raja Bone untuk menggantikan ayahnya, dapat dibaca oleh Arung Palakka. Oleh sebab itu, Arung Palakka mengambil kebijakan untuk meredam keinginan Arung Timurung itu dengan cara melakukan perkawinan antara Arung Timurung dengan saudara perempuan Arung Palakka yang bernama We Mappolo Bombang. Syarat perkawinan itu adalah disepakati bahwa anak yang lahir nanti akan dijadikan raja Bone menggantikan Arung Palakka (Latif, 2012:142). Meskipun perkawinan itu berhasil diwujudkan oleh Arung Palakka, namun niat Arung Timurung untuk menggantikan posisi ayahnya tidak pernah surut. Berbagai upaya yang dilakukan oleh Arung Timurung untuk menggagalkan pelantikan Arung Palakka, namun tidak ada yang berhasil. Kegagalan itu memicu rasa takut bagi Arung Timurung sehingga ia melarikan diri untuk menghindari hukuman dari Arung Palakka. Ia meninggalkan Kerajaan Bone
192
bersama Ponggawa Bone Daeng Pabila serta pengikutnya dan memilih bergabung dengan pembangkang lainnya, yaitu Karaeng Massepe dan Karaeng Karunrung. Untuk membebaskan kekuasaannya dari pemberontak itu, maka disusunlah sebuah rencana penghukuman melalui perang. Untuk melaksanakan misi itu, Arung Palakka bersama sekutunya langsung menyerang tempat persembunyian Karaeng Massepe dan Arung Timurung di daerah Massepe. Sebab terdesak maka mereka mengundurkan diri ke Maiwa, dan berusaha meloloskan diri ke wilayah kekuasaan Kerajaan Makassar atas bantuan dari pasukan Mandar yang telah menyiapkan beberapa buah perahu. Usaha ini kurang berhasil sebab mendapat serangan dari pasukan Arung Palakka. Dalam penyerangan itu, Arung Maiwa berhasil ditawan, sementara Arung Timurung dan Ponggawa Bone Daeng Pabila menyerahkan diri (Hamid,dkk, 2007:155). Setelah Arung Timurung tertangkap, kemudian ia diserahkan kepada iparnya (Arung Palakka) sebab menjadi tanggungjawabnya. Sedangkan Ponggawa Bone Daeng Pabila dihukum mati atas perintah Arung Palakka dan Datu Soppeng. Meskipun para bangsawan itu telah dijatuhi hukuman, namun masih terdapat beberapa orang yang secara tidak langsung juga terlibat di dalam rencana makar tersebut, belum dihukum. Mereka itu antaranya adalah Karaeng Karunrung, Karaeng Jaranika, dan Galarang Mangasa. Itulah sebabnya sehingga usai penangkapan tokoh-tokoh tersebut, Arung Palakka berangkat ke Kerajaan Gowa untuk menemui Raja Gowa Sultan Amir Hamzah dan meminta para pembesar itu dinonaktifkan dari semua jabatan yang diembannya. Tentang kematian Addatuang Sidenreng, Karaeng Massepe, dalam Lontarak Akkarungeng Sidenreng dijelaskan sebagai berikut: “La Suni Karaeng Massepe gelaran yang diberikan sebagai pengganti ayahnya. Dialah addatuang yang dekat hubungannya dengan Bone. Pada waktu diperanginya Karaeng dari Gowa, maka ditancapkanlah keris atau tappinya Sidenreng di Bone, diputuskan pula hubungannya dengan Gowa. Mereka selalu berhadapan atau berdampingan sama besar,
Pemberontakan Lapakokoe Arung... 5RVGLDQD+D¿G saling mempertahankan dan mempertaruhkan Karaeng Massepe Betasenrimana Belo. Ia mendapatkan gelar Manu’katinna Sidenreng, ia mendapat hadiah berupa keris atau tappi yang diberi nama lamba Sidenreng setelah usai peperangan. Barulah Dewan Adat PituE di Bone sadar melihat Petta Torisompae semakin dekat dengan Karaeng Massepe, maka diusahakanlah cara agar supaya nama Karaeng Massepe UXVDNGL%RQH'LVHEDUNDQODK¿WQDKEDKZD:H Sarampu, salah seorang istri Arung Palakka raja Bone telah berselingkuh dengan Karaeng Massepe, sehingga membuat malu Petta Torisompae. Ketika usai melakukan pelepasan hajatan Petta Torisompae di Cempalagi, beliau sendiri memasuki Sidenreng, diperintahkannya Janggo Pance memenggal kepala Karaeng Massepe kemudian dibawa naik ke Bontoala, Makassar, kemudian dikembalikan lagi ke Sidenreng sebab di sanalah tinggal sebelumnya. Maka dipenggallah kepala Karaeng Massepe lalu dibawa ke Bontoala untuk diperhadapkan kepada Arung Palakka Petta Torisompae. Setelah kepala Karaeng Massepe sampai dihadapan Arung Palakka, maka disuruh bukalah penutup kepala tersebut yang diletakkan di atas sebuah alas yang terbuat dari emas (talenan emas). Setelah penutup kepala Karaeng Massepe dibuka lalu diperhadapkan kepada Arung Palakka, tetapi kepala Karaeng Massepe tidak mau berhadapan muka dengan Arung Palakka atau berbalik. Kepala itu selalu berbalik jika diperhadapkan mukanya ke muka Arung Palakka, hal itu dilakukan sebanyak tiga kali oleh Janggo Pance, namun selalu membelakangi Petta Torisompae. Maka takutlah Janggo Pance sehingga mukanya menjadi pucat. Bertanyalah Petta Torisompae”apa gerangan yang terjadi Janggo Pance sehingga demikian, mungkin bukan salahnya hanya kamu yang membuatkan kesalahan yang begitu berat ataukah ada pesannya yang kamu tidak sampaikan kepada saya”. Mendengar ucapan Arung Palakka itu, maka takutlah semua anggota Dewan Adat PituE Bone. Lama baru Janggo Pance bisa menjawab pertanyaan Arung Palakka, suaranya pun terputus-putus lalu berkata” Memang ada pesannya Puang, tetapi takut hamba sampaikan, dan saya hanya menjawab bahwa apabila saya menukar kepalamu, maka kepalakulah yang akan menjadi penggantinya”. Bertanya lagi Arung Palakka “apa pesannya Janggo Pance”, maka dijawab bahwa Karaeng
Massepe, si jantan dari Sidenreng yang telah banyak merenggut nyawa, lalu ada orang sirik datang menyampaikan bahwa telah usaikah peperangan sehingga ayam jago akan dibinasakan. Apakah tidak diingat lagi sewaktu menghadapi kesusahan?, sungai kecil saja tak bisa dilangkahi, padang-padang tak bisa dilewati. Karaeng Massepe, pemberani tidak takut mati, tampil dalam peperangan mengamuk di tengah medan laga yang bergolak. Sehabis Janggo Pance menyampaikan pesan Karaeng Massepe, maka Arung Palakka berkata” Benarlah kiranya bahwa Karaeng Massepe tidak EHUVDODKGDQNDPXKDQ\DPHQ¿WQDKSDPDQNX Sekarang ini kepalamu Janggo Pance sebagai imbalannya, maka dipenggallah kepala Janggo 3DQFHVHEDEWHODKPHQ\HEDUNDQ¿WQDKEDKZD Karaeng Massepe berselingkuh dengan We Sarampa. Setelah itu, maka Arung Palakka mendatangi Sidenreng dan memerintahkan agar kepala Janggo Pance dipenggal juga sebab telah menyebarkan fitnah. Setelah kepalanya dipenggal, maka dibawa berkeliling kampung lalu diberikan kepada semut merah (ubbe). Setelah selesai dibacakan doa malam ketujuhnya Karaeng Massepe, maka pulanglah rombongan Petta Torisompae lalu singgah di Bone. Atas peristiwa itu, maka akan membawa kesialan yang menimpa keturunan Janggo Pance dikemudian hari (Lontarak Akkarungeng Sidenreng:13-15; Bandingkan dengan Lontarak Akkarungeng Bone).
Peristiwa tentang kematian Karaeng Massepe seperti yang tertulis dalam Lontarak Akkarungeng Sidenreng adalah suatu fakta yang sulit terbantahkan. Yang dapat dibantah adalah ketika kepala Karaeng Massepe dipenggal lalu diperhadapkan kepada Arung Palakka oleh Janggo Pance (dialah yang memenggal kepalanya Karaeng Massepe) di Bontoala. Lontarak itu menjelaskan bahwa kepala Karaeng Massepe tidak mau melihat muka Arung Palakka. Tiga kali hal itu diulang, tiga kali pula kepala itu berbalik. Pertanyaannya; apakah mungkin kepala (tanpa badan) masih dapat bergerak memalingkan mukanya sendiri dan tidak mau melihat ke arah muka Arung Palakka. Jawabannya tentu tidak mungkin, kecuali kehendak yang Tuhan. Bagi Arung Palakka, kejadian itu ditanggapi lain. Menurutnya bahwa kepala Karaeng Massepe tidak mau melihatnya sebab ada sesuatu yang 193
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 183—196 tidak benar tentang kematiannya. Setelah kejadian berulang tiga kali, dan tetap kepala La Suni tidak mau menghadap ke muka Arung Palakka, maka Arung Palakka bertanya kepada Janggo Pance; Apa gerangan yang telah terjadi Janggo Pance sehingga meskipun tinggal kepala Karaeng Massepe, namun dia juga tidak mau melihat muka saya, apa ada pesannya yang kau tidak sampaikan? Mendengar pertanyaan Arung Palakka, maka seketika Janggo Pance gemetar, begitu juga anggota Dewan Adat Pitue yang hadir pada saat itu. Dengan suara pelan dan gemetar Janggo Pance menjawab; Memang ada Tuan, tapi saya tidak mau mendengar dan mematuhinya dan saya tetap membunuhnya, kemudian memenggal kepalanya seperti yang ada di hadapan Tuanku. Bahkan Janggo Pance mengakui bahwa tuduhan terhadap Karaeng Massepe adalah suatu konspirasi politik antara Kerajaan Bone dan Gowa yang dimotori oleh Karaeng Karunrung dan Dewan Adat PituE semata. Itulah sebabnya sehingga apapun alasannya ketika ia ditangkap, tidak pernah dihiraukan sebab tujuannya hanya satu yaitu memutuskan rantai persahabatan antara Karaeng Massepe dengan Arung Palakka. Ketika usai Janggo Pance memberikan keterangannya kepada Arung Palakka, maka ia (Arung Palakka) beranggapan bahwa Karaeng Massepe sebenarnya tidak bersalah dan hanya GL¿WQDK6HKLQJJDPHQXUXW$UXQJ3DODNNDEDKZD Janggo Pance yang harus menanggung akibat dari kesalahan itu. Dan sebagai hukumannya adalah sama dengan hukuman yang telah dilakukan terhadap Karaeng Massepe, yaitu harus dipenggal kepalanya. Janggo Pance pun menemui ajalnya sebab ia telah melakukan pembunuhan terhadap orang yang tidak bersalah, meskipun ia hanya sebagai pelaksana atau algojo. Bukan hanya Janggo Pance yang harus menerima hukuman yang maha berat itu, tapi juga keluarganya sebanyak tujuh turunan (Sandi, 2014). Setelah kepala Janggo Pance dipenggal, maka kepala tersebut diarak keliling kampung. Tujuannya adalah untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan yang tidak benar, maka ia harus pula mendapat hukuman yang setara atau sama. Setelah kepala Janggo Pance dipenggal
194
dan diarak keliling kampung, maka kepala tersebut diberikan kepada semut merah (ubbe).2 Tidak hanya terhenti sampai di situ, tetapi juga semua keturunannya mendapat sanksi moral dari masyarakat. Penyebab kematian Karaeng Massepe tidak berdiri tunggal, tetapi melibatkan bangsawan Gowa, yaitu Karaeng Karunrung dan anggota Dewan Adat PituE Bone. Namun jadi pertanyaan hingga sekarang mengapa hanya Karaeng Masspe yang dihukum berat oleh Arung Palakka, sedang Karaeng Karunrung dan anggota Dewan Adat PituEBone tidak diapa-apakan, Arung Palakka hanya meminta kepada raja Gowa agar yang bersangkutan dinonaktifkan dari segala jabatannya. Di sinilah diuji kepemimpinan Arung Palakka, ternyata dia tidak lulus sebab keterlibatan semua unsur tidak diperlakukan sama atau tebang pilih. Pada kedua kasus ini, salah satu tokoh utamanya yaitu Arung Timurung, tidak dihukum seperti Karaeng Massepe. Boleh jadi hukuman ringan itu didasarkan adanya hubungan antara Arung Timurung dengan Arung Palakka yaitu adalah saudara ipar. Selain itu, hukuman berat juga dijatuhkan oleh Arung Palakka bersama Datu Soppeng terhadap Ponggawa Bone Daeng Pabila, yaitu hukuman mati. Menarik memang kasus ini untuk dicermati, sebab para pelaku utama dalam pemberontakan itu adalah orang-orang terpandang yang berstatus bangsawan. Itulah sebabnya sehingga ketika kasus ini terselesaikan, bisa dipastikan bahwa hukuman yang akan dijatuhkan akan bervariasi meskipun tingkat kesalahannya sama. Karaeng Massepe adalah addatuang Sidenreng ke-12 yang banyak membantu Arung Palakka dalam melawan musuh-musuhnya. 2 Dalam sumber tersebut tidak dijelaskan dengan rinci apakah kepala dan batang tubuh (mayat secarautuh) dari Janggo Pance dikuburkan secara baik-baik atau tidak. Dalam sumber lokal hanya disebutkan bahwa setelah kepalanya diarak keliling kampung, kemudian diberikan kepada semut merah (ubbe). Berbeda dengan kepala Todani Arung Bakke setelah dipenggal dan diperhadapkan Arung Palakka, lalu dikembalikan ke Pulau Salemo untuk dikuburkan selayaknya. Todani Arung Bakke adalah saudara ipar Arung Palakka yang dikemudian hari juga memberontak terhadap kekuasaan Arung Palakka.
Pemberontakan Lapakokoe Arung... 5RVGLDQD+D¿G
7HWDSLKDQ\DNDUHQDSHUVRDODQ¿WQDKEHODND\DQJ dihembuskan oleh Dewan Adat PituE, sehingga yang bersangkutan dibunuh oleh Janggo Pance dalam suatu perang. Kalau dicermati, bukan hanya Janggo Pance yang bersalah dalam hal ini, tetapi juga Arung Palakka sebab tanpa beliau menyelidiki terlebih dahulu tentang isu perselingkuhan itu, lalu mengambil tindakan. Akibat kecerobohannya sendiri, maka sahabat dekatnya telah menjadi korban. Itulah sebabnya dikemudian hari atau pasca kematian Karaeng Massepe, Arung Palakka sangat menyesali dirinya sebab tanpa menyelidiki terlebih dahulu kasus itu, kemudian mengambil tindakan yang bersifat kejam itu. Pasca pemberontakan Arung Timurung dan Karaeng Massepe dipadamkan, Arung Palakka nampaknya senang karena Kompeni tidak memperlihatkan sikap permusuhan atas kematian Karaeng Massepe. Ini tidak hanya menegaskan kembali statusnya sebagai kesayangan Kompeni tetapi juga mengangkat gengsi dan kekuasaannya di Sulawesi Selatan. Namun demikian, perihal kematian Karaeng Massepe, juga menyisahkan penyesalan bagi Arung Palakka sebab apa yang terjadi itu di luar kemampuannya sebagai manusia biasa, dan hal itu amat mengganggunya. PENUTUP Meskipun pemberontakan Arung Timurung dan Karaeng Massepe dikemas dalam satu paket, namun alasan bagi keduanya melakukan pemberontakan berbeda. Arung Timurung beralasan melakukan pemberontakan sebab haknya yang seharusnya dimanfaatkan, tidak dapat direalisasikan. Pasca kematian ayahnya selaku raja Bone, maka yang menggantikannya adalah Arung Palakka, padahal seharusnya posisi itu ada pada Arung Timurung. Karena kecewa dan sakit hati, sebelum melarikan diri ia melakukan upaya untuk menggagalkan pengangkatan Arung Palakka bersama orang lain namun gagal. Pada awalnya Arung Palakka, menanggapi hal itu dengan menawarkan perkawinan bagi Arung Timurung dengan saudara perempuannya. Perkawinan terlaksana, tetapi rencana makar yang dipersiapkan Arung Timurung tetap berjalan. Arung Timurung kemudian menculik dua orang
dayang Arung Palakka atas provokasi dari Karaeng Karunrung. Rencana pun berjalan sesuai rencana, tetapi penobatan Arung Palakka menjadi raja Bone tetap berjalan sebab disetujui dewan hadat kerajaan dan Kompeni. Di pihak lain, Karaeng Massepe yang dalam pemberontakan itu bergabung dengan Arung Timurung mempunyai alasan yang berbeda. Karaeng Massepe adalah addatuang Sidenreng yang sangat setia kepada Arung Palakka, bahkan seperti saudara yang sulit untuk dipisahkan. Persaudaraan antara keduanya membuat iri anggota dewan hadat kerajaan sebab khawatir jika kelak yang bersangkutan dapat menggantikan posisi Arung Palakka sebagai raja Bone. Hal ini memungkinkan karena yang bersangkutan tidak mempunyai keturunan. Sedang Karaeng Karunrung sakit hati sehubungan dengan dikalahkannya Kerajaan Gowa pada Perang Makassar 1667-1669. Arung Palakka lalu bersikap atas persoalan tersebut, dan mengambil kesimpulan untuk menghukum para pemberontak itu. Awalnya, ditunjuklah Todani Arung Bakke untuk memimpin pasukan penyerangan, tetapi karena khawatir pasukan Arung Timurung bersama sekutunya tidak dapat diimbangi, maka Arung Palakka sendiri yang turun tangan untuk menyelasaikan kasus tersebut. Pemberontakan dapat diatasi, Arung Timurung dapat ditangkap dan menjadi tawanan Arung Palakka. Sedangkan Karaeng Massepe ditangkap lalu dipenggal kepalanya oleh Janggo Pance. Begitu juga Ponggawa Bone Daeng Pabila dihukum mati atas perintah Arung Palakkadan Datu Soppeng. DAFTAR PUSTAKA Ali, Andi Muhammad, Amrullah Akmal.1989. Arung Palakka Seorang Pembebas. Watampone: Tanpa penerbit. Andaya, Leonard Y. (terjem.). 2013. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17.Makassar: Ininnawa. Hamid, Abu, dkk.2007. Sejarah Bone. Watampone: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Jumadi. 2010. Arung Palakka Sosok Pejuang Tanah Bugis. Makassar: Rayhan Intermedia. Kasim, Sultan. 1992.” Latar Belakang Perjanjian
195
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 183—196 Persahabatan Antara Aru Palakka dan Kompeni Belanda/VOC Pada Tahun 1665”. Skripsi. Ujung Pandang: Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP. Latif, Abdul. 2012. “Konfederasi Ajatappareng 1812-1906; Sejarah Sosiopolitik Orang Bugis di Sulawesi Selatan”. Bangi: Fakultas Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universitas Kebangsaan Malaysia. Lontarak Akkarungeng Sidenreng Lontarak Akkarungemng Bone Lontarak Akkarungeng sawitto. Mappasanda.1993. Biografi Arung Palakka. Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Mattulada. 1998. Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press. Patunru, Abdulrazak Daeng. 1969. Sejarah Gowa. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi
196
Selatan dan Tenggara. Patunru, Abdulrazak Daeng. 1989. Sejarah Bone. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Petta Nabba. 1990. Sejarah Kerajaan Tanah Bone. Watampone: Yayasan Al’Muallim. Rasyid, Darwas. 1995. Latenritatta Aru’palakka Dalam Konteks Sejarah Sulawesi Selatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang Sandi, Alfath. 2014. Fitnah Membawa Petaka Besar La So’ni Karaeng Massepe.(Online). http://www.facebook.com./sandialfath. comsfc?Diakses tanggal 25 Februari 2014.