DISERTASI
RC143505
SAMBUNGAN BALOK-KE-KOLOM UNTUK SRPMK BETON BERTULANG PRACETAK BERTINGKAT MENENGAH DENGAN PENJANGKARAN TULANGAN BALOK BERBENTUK U DAN L DI LUAR PANEL DICKY IMAM WAHJUDI 3108301001 PEMBIMBING : Prof. Ir. Priyo Suprobo, M.S., Ph.D. Dr. Ir. Hidajat Sugihardjo M., M.S. PROGRAM DOKTOR BIDANG KEAHLIAN REKAYASA STRUKTUR JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2017
DISERTASI
RC143505
SAMBUNGAN BALOK-KE-KOLOM UNTUK SRPMK BETON BERTULANG PRACETAK BERTINGKAT MENENGAH DENGAN PENJANGKARAN TULANGAN BALOK BERBENTUK U DAN L DI LUAR PANEL DICKY IMAM WAHJUDI NIM. 3108301001 PEMBIMBING : Prof. Ir. Priyo Suprobo, M.S., Ph.D. Dr. Ir. Hidajat Sugihardjo M., M.S. PROGRAM DOKTOR BIDANG REKAYASA STRUKTUR JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2017
DISSERTATION
RC143505
BEAM-TO-COLUMN CONNECTIONS FOR MEDIUM-RISE PRECAST REINFORCED CONCRETE SMRF WITH U AND LSHAPED BEAM REINFORCEMENT ANCHORED OUTSIDE THE PANEL DICKY IMAM WAHJUDI NIM. 3108301001 SUPERVISORS : Prof. Ir. Priyo Suprobo, M.S., Ph.D. Dr. Ir. Hidajat Sugihardjo M., M.S. DOCTORAL PROGRAM FIELD OF STRUCTURAL ENGINEERING DEPARTMENT OF CIVIL ENGINEERING FACULTY OF CIVIL ENGINEERING AND PLANNING SEPULUH NOPEMBER INSTITUTE OF TECHNOLOGY SURABAYA 2017
Disertasi disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor (Dr.) di Institut Teknologi Sepulub Nopember oleh: Dicky Imam Wahjudi NIM. 3108301001 Tanggal Ujian: 10 Februari 2017 Perioda Wisuda : Maret 2017
Disetujui oleh : 1. Prof Ir. Priyo Suprobo, M.S., Ph. D. NIP. 19590911198403 1001.
2. Dr. Ir. Hidajat Sugihardjo M., M.S. NIP. 19550325 198003 1 004.
( Pembimbing - II )
3. Prof Dr. Ir. I Gusti Putu Raka NIP. 19500403 197603 1 003 .
4. Dr. Ir. Agus Sigit Pramono, DEA. NIP. 19650810 199102 1 001.
5. Prof Ir. Adang Surahman, M .Sc., Ph.D. NIP. 19540907 198602 1 001.
Av-·· ··· · ········ ··· · ··· ·· ·~· ·· · ·· ··· · ·· ·· ··
l~J ( Penguji )
. Tri Widjaja, M.Eng. 1021 198603 1 001.
SAMBUNGAN BALOK-KE-KOLOM UNTUK SRPMK BETON BERTULANG PRACETAK BERTINGKAT MENENGAH DENGAN PENJANGKARAN TULANGAN BALOK BERBENTUK –U DAN –L DI LUAR PANEL Nama Mahasiswa NIM Pembimbing Co-Pembimbing
: : : :
Dicky Imam Wahjudi 3108301001 Prof. Ir. Priyo Suprobo, MS., Ph.D. Dr. Ir. Hidajat Sugihardjo M., MS.
ABSTRAK Suatu cara baru penyambungan balok-balok pracetak secara basah pada kolom beton bertulang sistem rangka pemikul momen khusus (SRPMK) telah diusulkan. Dengan cara ini, balok-balok disambungkan ke kolom di luar panel dengan memakai penjangkaran yang berupa pembengkokan ujung-ujung tulangan yang berbentuk –U atau –L. Empat jenis sambungan balok-ke-kolom (SBK) telah dipersiapkan di laboratorium untuk dipelajari, yaitu Tipe 2 yang memakai tulangan penjangkaran –U, Tipe 3 dengan penjangkaran –L, Tipe 4 dengan jangkar –U ditambah batang-batang tulangan pengunci yang disisipkan di dalamnya, dan Tipe 5 dengan jangkar –L ditambah pengunci. Bersama-sama dengan Tipe 1, yaitu SBK dengan batang-batang tulangan yang menerus dan beton yang dituangkan secara monolitik dengan karakteristik desain yang sama, yang akan bertindak sebagai emulator atau bench-mark, keempat SBK tersebut akan dipelajari karakteristik kinerjanya. Dari pengujian dengan beban siklik, ternyata didapatkan karakteristik kinerja dari keempat jenis SBK pracetak yang lebih rendah daripada SBK monolitik. Dari butir-butir daktilitas monotonik dan kuat lebih, SBK dengan penjangkaran berbentuk –L menunjukkan nilai yang lebih baik daripada penjangkaran –U. Akan tetapi dari sisi kekuatan dan kapasitas disipasi energi, ternyata SBK dengan penjangkaran –U menampilkan nilai yang lebih tinggi daripada yang memakai jangkar –L. Sementara daktilitas kumulatif siklik untuk keempat SBK menunjukkan kecenderungan yang sama dengan daktilitas monotoniknya. Dari pengujian juga telah terlihat terjadinya perbaikan pada semua butir kinerja pada SBK dengan disisipkannya batang-batang tulangan pengunci di dalam sambungan. Adapun besarnya peningkatan nilai itu beragam pada masing-masing bentuk penjangkaran. Karakteristik histeretik kelima SBK juga telah diperiksa dengan ACI 374.1-05. Hasil pemeriksaan telah memperlihatkan tidak terpenuhinya syarat kekakuan awal dan kekakuan residual semua SBK, sementara syarat-syarat desain kolom kuat – balok lemah, deteriorasi kekuatan, dan kapasitas energi residual dapat dipenuhi. Tidak terpenuhinya syarat-syarat kekakuan itu disebabkan oleh kurangnya tulangan transversal kolom akibat kesulitan pada saat pemasanganya pada saat penyiapan spesimen SBK pracetak komposit. Untuk melengkapi gambaran tentang kinerjanya, pada kelima SBK juga telah dilakukan perbandingan dengan enam SBK yang lain. Keenam SBK itu telah dikaji oleh beberapa peneliti yang berbeda, dan termasuk SBK unggulan dunia. Dari perbandingan yang dilakukan atas beberapa butir penilaian, yaitu daktilitas monotonik, faktor kuat lebih, daktilitas kumulatif monotonik dan kapasitas drift, ternyata kelima SBK yang dihasilkan oleh riset ini telah menunjukkan hasil kinerja yang lebih baik. Kata kunci : SRPMK, SBK, penjangkaran, beban siklik, daktilitas, kuat lebih, kekuatan, kapasitas disipasi energi, kekakuan, pracetak komposit. – vii –
BEAM-TO-COLUMN CONNECTIONS FOR MEDIUM-RISE PRECAST REINFORCED CONCRETE SMRF WITH U– AND L–SHAPED BEAM REINFORCEMENT ANCHORED OUTSIDE THE PANEL Name of Student Registration Number Supervisor Co-Supervisor
: : : :
Dicky Imam Wahjudi 3108301001 Prof. Ir. Priyo Suprobo, MS., Ph.D. Dr. Ir. Hidajat Sugihardjo M., MS.
ABSTRACT A new treatment of wet method in connecting precast beams to reinforced concrete columns of a special moment resisting frame (SMRF) have been proposed. In this method, the beams are connected to the column outside the panel by using anchorage in the way of bending of their end reinforcements in U– or L–shapes. Four types of beam-to-column connection (BCC) were prepared in the laboratory to be examined, i.e. the Type 2 which used U–bent bar anchorage, the Type 3 with L–shaped anchorage, the Type 4 with U– shaped anchorage plus some locking rods inserted therein, and type 5 with L–shaped anchorage plus locking rods. Together with the Type 1, i.e. the BCC with continuous reinforcements and monolithically-poured concrete with the same design characteristics, which will act as an emulator, performance characteristics of the four BCCs will be studied. From the cyclic loading test, it appears that performance characteristics of the four precast BCCs are lower than those of monolithic one. By the points of view of monotonic ductility and overstrength factor, BCCs with L–shaped anchorage show a better performance than those with U–shaped anchorage. But in the points of strength and energy dissipation capacity, the BCCs with U–anchorage display a higher value than those with L–anchorage. While the cumulative cyclic ductility for the four BCCs comes into the same tendency with the monotonic ductility. From the testing it was also seen the improvement in all performance characteristics of BCCs with the insertion of locking rods in the connection. The magnitudes of the value increased are varied in each shape of anchorage. Hysteretic characteristics of the five BCCs were also been examined with the ACI 374.1-05 code. Test results show that there are no eligibility in both initial and residual stiffness of all BCCs, while all conditions of the strong column – weak beam design, strength deterioration, and residual energy capacity can be met. Non-fulfillment of the stiffness criteria was caused by lack of transverse reinforcement in the column due to difficulties in installing them at the time preparing the precast composite BCC specimens in the workshop. To obtain a better illustration in their performance, a comparison between the five BCCs has also been inspected toward six other BCCs. Those six BCCs, which have been reviewed by several different researchers, are belonging to the world's leading BCCs. From the comparison carried out, it is found out that several performance characteristics, namely the monotonic ductility, overstrength factor, monotonic cumulative ductility and drift capacity, of the resulted five BCCs have shown a better performance. Keywords : SMRF, BCC, anchorage, cyclic loading, ductility, overstrength, strength, energy dissipation capacity, stiffness, precast composite.
– ix –
KATA PENGANTAR Segala puji & syukur Penulis haturkan kepada Allah SWT., yang atas perkenan, rahmat dan pertolongan-Nya, telah menjadikannya berhasil menyelesaikan studi program doktor ini. Selama masa itu Penulis telah mendapatkan ilmu dan pengalaman baru yang sangat luas dan mendalam yang diajarkan-Nya melampaui batas-batas kompetensi keilmuan yang telah dimiliki sebelumnya. Semoga Dia berkenan pula memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengamalkan dan mengajarkan manfaat dan kebaikan ilmu yang telah diperolehnya itu sebagai perwujudan rasa syukur kepada-Nya dan pertanggungjawaban moralnya kepada masyarakat. Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia, yang melalui kuasanya waktu itu, yaitu Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan kesempatan Tugas Belajar dan tunjangan bea siswa pada tiga tahun pertamanya Penulis menempuh pendidikan program doktor. Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada Bapak Rektor ITS yang telah memberikan kemudahan berupa pembebasan dari tugas-tugas akademik selama yang bersangkutan menjalani tugas belajar, disamping pemberian bantuan sejumlah dana yang dapat dimanfaatkan bagi aktifitas risetnya di dalam masa studi. Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada ayahandanya, alm. Imam Hoedi, dan ayahanda mertuanya, alm. Joeswadi Joedopoespito, yang telah menanamkan arti kesungguhan, keteguhan, kejujuran dan integritas diri, disamping tidak menyepelekan sesuatu urusan betapapun kecilnya. Demikian juga kepada ibundanya, Respati Wahjoeni, dan ibunda mertuanya, alm. Soekati, yang selalu tidak bosan-bosannya mengingatkan nilai kesabaran dan istiqomah di dalam perjuangan. Penghargaan dan terima kasih yang tak berhingga Penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Priyo Suprobo, sebagai Pembimbing Utama, atas segala wawasan, bimbingan, dukungan moral dan empati yang telah diberikan. Dari Beliau, Penulis selalu dapat memperbarui sikap, semangat dan motivasi setiap kali menjumpai sesuatu kesulitan, dan menemukan sisi positif dari masalah yang dihadapinya. Ucapan terima kasih tidak lupa juga Penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Hidajat Sugihardjo, sebagai Pembimbing, atas segala bimbingan, informasi dan masukan-masukan yang diberikan pada saat penulisan disertasi. Dari Beliau, Penulis telah mendapatkan gambaran tentang penulisan ilmiah yang baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. I Gusti Putu Raka, sebagai Penguji, atas masukan-masukannya yang telah mengingatkan kembali pada dasar-dasar keilmuan Struktur Beton dan tentang tata laksana pekerjaan pengujian di laboratorium. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Agus Sigit Pramono dari Jurusan Teknik Mesin ITS, sebagai Penguji, yang juga telah menyampaikan saran-saran dan masukannya pada penyusunan laporan tentang pekerjaan pengujian di laboratorium. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Adang Surahman dari ITB, sebagai Penguji, atas masukan-masukannya yang kritis pada substansi masalah yang diteliti di dalam disertasi ini. Dari Beliau, Penulis telah memperoleh cakrawala yang lebih luas pada parameter–parameter struktur yang mendapatkan pengaruh pembebanan siklik. Ucapan terima kasih yang tak berhingga Penulis sampaikan kepada Bapak alm. Prof. Djauhar Manfaat, mantan Direktur Program Pascasarjana ITS, yang telah memberikan nasehat, dukungan moral dan bantuan-bantuannya dengan tulus dan ikhlas. Dari Beliau, Penulis telah mendapatkan penyelesaian atas beberapa masalah yang dijumpai pada masa-masa akhir – xi –
studinya. Penulis juga menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Tri Widjaja, yang bertindak melanjutkan posisi almarhum, yang juga masih mempertahankan segala kebijakan almarhum. Tidak lupa, Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Wilfred A. Singkali dan Bapak Gambiro Suprapto dari PT. WIKA BETON atas dukungan dana yang diberikan untuk keperluan riset. Melalui kedua Beliau, Penulis telah mendapatkan bantuan-bantuan material dan supervisi yang sangat besar artinya bagi keberhasilan riset disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan Penulis kepada Bapak Sutadji Yuwasdiki dan Bapak Lutfi Faizal dari Pusat Penelitian & Pengembangan Permukiman – Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang berkantor di Jalan Panyawungan, Kab. Bandung, Jawa Barat. Penulis telah mendapatkan banyak bantuan dari kedua Beliau itu untuk memanfaatkan berbagai fasilitas peralatan laboratorium yang diperlukan bagi terlaksananya riset ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ratna Rintaningrum dan Ibu Luh Mas Ariyati dari UPT Bahasa & Budaya ITS atas bantuan-bantuannya berupa proof-read pada beberapa naskah seminar dan jurnal dalam Bahasa Inggris. Ucapan terima kasih dengan setulusnya Penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Endah Wahyuni, Korprodi, dan Bapak Dr. Data Iranata, Sekprodi, atas segala bantuannya yang telah diberikan selama Penulis menimba ilmu pada Prodi Pascasarjana Teknik Sipil ITS. Terima kasih juga disampaikan kepada para staff, seperti Mas Robin, Mas Fauzi dan Mbak Lusi. Tanpa bantuan mereka akan sulitlah bagi Penulis untuk menyelesaikan studinya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Moh. Sigit Darmawan, mantan Korprodi Diploma Teknik Sipil ITS, atas segala bantuannya, baik moral maupun material yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ridho Bayuadji atas segala bantuannya dengan pengaturan-pengaturan yang memudahkan Penulis melaksanakan tugas-tugas akademiknya selama masa penyelesaian disertasi ini. Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Machsus, Korprodi, dan Bapak Dr. Moh. Khoiri, Sekprodi, atas dukungannya, baik moral maupun material yang telah diberikan. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada segenap staff pengajar dan tenaga pendidik lainnya dari Prodi Diploma Teknik Sipil ITS, baik yang masih aktif maupun yang sudah purna bakti, yang selalu memberikan dukungan moral dan bantuan-bantuan lainnya yang diperlukan demi terselesaikannya disertasi ini. Mereka itu adalah Bapak Prof. Indarto, Bapak Boedi Wibowo, Bapak Dr. Suharjoko, Ibu Pudiastuti, Ibu Ami Asparini, Ibu Endah Yuswarini, Dik Syarif Ali, Dik Effendi, Dik Suwandi, Dik Tamirin, dan mereka yang tidak sempat disebutkan namanya satu persatu di sini. Tidak lupa, Penulis menyampaikan terima kasih kepada istrinya, Nana, anak sulungnya, Fernandy, anak panengahnya, Ganeswara, dan anak bungsunya, Humaira. Perasaan kasih sayang dan penghargaan yang mendalam disampaikan kepada mereka atas segala kesabaran, ketulusan, pengertian dan pengorbanan yang telah mereka persembahkan bagi terselesaikannya disertasi ayahandanya ini. Akhirnya, semoga apa yang disampaikan di dalam buku disertasi ini, baik yang tersurat maupun yang tersirat, bisa bermanfaat bagi pengembangan ilmu rekayasa struktur beton pada khususnya, dan bagi masyarakat pada umumnya. Amin. Surabaya, Pebruari 2017 Penulis, Dicky Imam Wahjudi – xii –
DAFTAR ISI Abstrak
..........................................................
–
vii
Abstract
.........................................................
–
ix
–
xi
Kata Pengantar Daftar Isi
...................................................
........................................................
Daftar Notasi
....................................................
Daftar Singkatan Bab 1
2.4
– xix
Latar Belakang Masalah ........................ ....... Perumusan Masalah .................................. Tujuan Penelitian .................................... Ruang Lingkup Penelitian dan Batasan Masalah . . . . . . . . . . . . . . Hipotesis ........................................... Keutamaan Penelitian ................................. Sistematika Penulisan Laporan ..........................
– – – – – – –
1 7 8 9 11 12 13
State-of-the-Art Sambungan Balok-ke-Kolom Beton Pracetak . . . . . Beberapa Bentuk Awal SBK yang Telah Dikenal . . . . . . . . . . . . . . Perbandingan Aspek Kinerja dan Kemudahan Kerja pada Beberapa Jenis SBK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Persyaratan Desain ACI untuk SRPM Tahan Gempa – Balok-balok, Kolom-kolom dan Sambungan Balok-ke-Kolom . . . . . . . . . . . . . .
– –
15 20
–
26
–
27
– –
35 37
Studi Analitik 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5
Bab 4
xv
Studi Pustaka 2.1 2.2 2.3
Bab 3
–
Pendahuluan 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7
Bab 2
.................................................
– xiii
Umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Beberapa Parameter pada Perilaku Respons Histeretik SBK . . . . . . Studi Analitik Respons Inelastik SBK yang Telah Dilakukan oleh para Peneliti Terdahulu dan Model Konstitutif yang Didapatkan . . . Grafik Histeretik Respons SBK terhadap Beban Siklik dengan Lintasan-lintasan Multilinier . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Model Richard-Abbott untuk Menirukan Respons Histeretik SBK terhadap Beban Siklik dengan Lintasan-lintasan Garis Lengkung yang Terpepatkan (Pinched) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
– 43 –
51
–
56
– – – – – – – –
63 67 69 71 71 79 81 82
Pekerjaan Eksperimental 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8
Desain Spesimen SBK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Prediksi Analitik Perilaku Respons Histeretik SBK Tipe 1 . . . . . . . Uji Tarik Baja Tulangan ................................ Pemasangan Strain-gauge pada Baja-baja Tulangan . . . . . . . . . . . . . Pengecoran Beton dan Urutan Pelaksanaan Pembuatan Spesimen . . Penyetelan Spesimen SBK untuk Pengujian dengan Beban Siklik . . Sedikit Catatan pada Pemberian Beban Vertikal Konstan N . . . . . . . Pengujian SBK dengan Beban Siklik dan Hasil yang Diperoleh . . . .
– xiii –
Bab 5
Tinjauan Data Hasil Eksperimen pada Kinerja Sambungan Balok-ke-Kolom 5.1 5.2
Data Hasil Pengujian Spesimen SBK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Respons Histeretik Beban – Perpindahan SBK Eksperimental dan Perbandingannya dengan Hasil Analitik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5.3 Kekuatan SBK ........................................ 5.4 Daktilitas dan Kuat Lebih SBK ........................... 5.5 Kapasitas Pemencaran Energi SBK ........................ 5.6 Daktilitas Kumulatif SBK ............................... 5.7 Perbandingan Kinerja SBK .............................. 5.8 Kapasitas Drift ........................................ 5.9 Evaluasi Kinerja SBK menurut ACI 374.1-05 ................ 5.10 Perbandingan Kinerja SBK yang Dihasilkan Riset ini dengan Beberapa SBK yang Sudah Dikenal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Bab 6
–
89
– – – – – – – –
89 93 97 106 109 112 113 114
– 118
Kesimpulan & Catatan Akhir 6.1 6.2
Kesimpulan ........................................... Catatan Akhir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
– 123 – 126
Lampiran – A – Studi pada Aspek Kinerja dan Kemudahan Kerja Sambungan Balok-ke-Kolom . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
– 129
Lampiran – B – Desain Spesimen Uji – SBK Tipe 1, 2, 3, 4 & 5 . . . . . . . . . . . . .
– 147
Lampiran – C – Hasil Uji Eksperimental – SBK Tipe 1, 2, 3, 4 & 5
..........
– 157
Lampiran – D – Sifat Mekanik Bahan Baja Tulangan dan Beton serta Pemodelan Struktur SBK pada Perhitungan Analitik .................
– 207
Lampiran – E – Pemeriksaan Kinerja SBK menurut ACI 374.1-05
...........
– 223
....................................................
– 243
Daftar Pustaka
Riwayat Hidup Penulis
.............................................
– xiv –
– 251
DAFTAR NOTASI Berikut ini disampaikan daftar notasi yang dipakai di dalam penulisan buku disertasi, artinya, serta pada halaman berapa dijumpai untuk pertama kalinya. A Ag Aj Ach
= = = =
Aj As Ash bc
= = = =
bf bw C Ca
= = = =
Cd
=
c c1
= =
c2
=
d db d’ E
= = = = = = modulus elastisitas beton = 4730 f c ' = nilai deformasi maksimum yang dicapai pada riwayat pembebanan yang mendaki pada model Richard-Abbott = nilai deformasi maksimum yang dicapai pada riwayat pembebanan yang menurun pada model Richard-Abbott = modulus elastisitas baja tulangan = modulus sekan beton = modulus strain-hardening baja tulangan = energi yang terakumulasi pada keseluruhan riwayat pembebanan = energi yang terakumulasi sampai dengan tercapainya awal leleh = kuat tekan hancur silinder beton pada umur 28 hari = tegangan tekan pada beton secara umum = tegangan pada baja tulangan
Ec Emax-a Emax-d Es Esec Esh Etot Ey fc’ fs
luas bidang secara umum luas penampang gross beton luas efektif sambungan (joint) luas penampang inti beton komponen yang diukurkan dari sisi-sisi terluar batang tulangan transversal luas effektif sambungan luas penampang baja tulangan luas penampang tulangan transversal pada arah yang ditinjau ukuran melintang penampang inti beton diukurkan dari sisi-sisi terluar batang tulangan transversal lebar bagian sayap pada komponen penampang T lebar bagian badan komponen gaya tekan di dalam penampang komponen parameter empirik yang menentukan tingkat kepepatan pada lintasan yang mendaki pada model Richard-Abbott parameter empirik yang menentukan tingkat kepepatan pada lintasan yang menurun pada model Richard-Abbott jarak garis netral penampang ke tepi serat tertekan dimensi penampang kolom, kepala kolom, atau konsol persegi panjang yang diukur pada arah bentang dimana arah momen diperhitungkan dimensi penampang kolom, kepala kolom, atau konsol persegi panjang yang diukur pada arah bentang tegak lurus arah momen diperhitungkan tinggi manfaat penampang komponen diameter batang tulangan tebal selimut beton energi secara umum, modulus elastisitas bahan secara umum tahanan atau kekuatan secara umum
– xv –
– – – –
90 27 32 31
– – – –
32 27 30 31
– – – –
50 27 38 91
–
91
– –
150 27
–
27
– – – – – –
27 32 50 39 114 46
–
91
–
91
– – – – – – – –
46 211 229 109 109 10 44 43
fsh fsu fy fyh fyt G Ha Hd h hf hw hx Ix Iy iKa iKd iMa iMd Ka Kap Kd Kdp Kh Ko K0.035 Kpa Kpap Kpd Kpdp L, l ldc ldh
= = = = = =
tegangan baja pada awal strain-hardening tegangan baja puncak/ultimate tegangan leleh baja tulangan tegangan leleh baja tulangan sengkang tegangan leleh baja tulangan transversal
modulus geser beton 1880 f c ' = koefisien empirik yang menentukan tingkatan pengerasan isotropik pada lintasan yang mendaki pada model Richard-Abbott = koefisien empirik yang menentukan tingkatan pengerasan isotropik pada lintasan yang menurun pada model Richard-Abbott = tinggi total penampang; tinggi secara umum = tinggi bagian sayap penampang - T = tinggi bagian badan penampang = spasi horizontal maksimum pusat-ke-pusat dari kaki-kaki sengkang ikatan atau silang pada semua muka kolom = momen inersia penampang pada arah sumbu kuat = momen inersia penampang pada arah sumbu lemah = koefisien empirik yang menentukan laju degradasi kekakuan pada lintasan yang mendaki pada model Richard-Abbott = koefisien empirik yang menentukan laju degradasi kekakuan pada lintasan yang menurun pada model Richard-Abbott = koefisien empirik yang menentukan laju deteriorasi kekuatan pada lintasan yang mendaki pada model Richard-Abbott = koefisien empirik yang menentukan laju deteriorasi kekuatan pada lintasan yang menurun pada model Richard-Abbott = kekakuan awal dari lintasan yang mendaki dari kurva batas atas pada model Richard-Abbott = kekakuan awal dari lintasan yang mendaki dari kurva batas bawah pada model Richard-Abbott = kekakuan awal dari lintasan yang menurun dari kurva batas atas pada model Richard-Abbott = kekakuan awal dari lintasan yang menurun dari kurva batas bawah pada model Richard-Abbott = kekakuan struktur pada saat strain-hardening = kekakuan struktur dalam keadaan awal (elastik) = kekakuan struktur pada drift = 0.035 = kekakuan paska-elastik dari lintasan yang mendaki dari kurva batas atas pada model Richard-Abbott = kekakuan paska-elastik dari lintasan yang mendaki dari kurva batas bawah pada model Richard-Abbott = kekakuan paska-elastik dari lintasan yang menurun dari kurva batas atas pada model Richard-Abbott = kekakuan paska-elastik dari lintasan yang menurun dari kurva batas bawah pada model Richard-Abbott = panjang secara umum = panjang penyaluran dalam tekan = panjang penyaluran, panjang penjangkaran – xvi –
– – – – – –
69 69 10 10 31 90
–
91
–
91
– – – –
27 50 50 30
– – –
90 90 91
–
91
–
91
–
91
–
91
–
91
–
91
–
91
– – – –
52 52 212 91
–
91
–
91
–
91
– – –
80 33 32
Ma
= = = = = =
Map
=
Md
=
Mdp
=
Mnb Mnk Mu My N Na
= = = = = =
Nap
=
Nb Nd
= =
Ndp
=
Nu P Po Pu
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
lp ln lo M
Py R RDE Ro Rˆ r Sa Sd Sv s so T t1a
panjang daerah terplastifikasi pada komponen balok atau kolom bentang bersih balok atau tinggi bersih kolom perkiraan panjang plastifikasi pada ujung kolom magnitudo gempa dalam skala Richter momen secara umum kekuatan batas atas pada lintasan yang mendaki pada model RichardAbbott kekuatan batas bawah pada lintasan yang mendaki pada model Richard-Abbott kekuatan batas atas pada lintasan yang menurun pada model RichardAbbott kekuatan batas bawah pada lintasan yang menurun pada model Richard-Abbott kapasitas momen nominal ujung balok kapasitas momen nominal ujung kolom momen dalam keadaan kekuatan batas momen pada saat awal leleh gaya aksial pada komponen tekan parameter bentuk untuk batas atas pada lintasan yang mendaki pada model Richard-Abbott parameter bentuk untuk batas bawah pada lintasan yang mendaki pada model Richard-Abbott kapasitas beban aksial tekan kolom pada keadaan keruntuhan seimbang parameter bentuk untuk batas atas pada lintasan yang menurun pada model Richard-Abbott parameter bentuk untuk batas bawah pada lintasan yang menurun pada model Richard-Abbott beban aksial tekan terfaktor pada kolom gaya atau beban terpusat secara umum kapasitas nominal gaya aksial penampang kolom beban terpusat dalam keadaan kekuatan batas beban tekan terfaktor pada kolom beban terpusat pada saat awal leleh faktor reduksi beban gempa rencana tahanan dasar pada instrumen kelistrikan rasio dissipasi energi faktor kuat lebih (overstrength) faktor modifikasi beban gempa yang diterapkan pada Sv tahanan jenis penghantar listrik besaran respons spektrum percepatan besaran respons spektrum perpindahan besaran respons spektrum kecepatan spasi pemasangan tulangan transversal spasi pemasangan tulangan transversal pada daerah plastifikasi kolom gaya tarik di dalam penampang komponen perioda atau waktu getar struktur parameter empirik yang menentukan kepepatan pada lintasan yang – xvii –
– – – – – –
36 27 29 5 38 91
–
91
–
91
–
91
– – – – – –
20 20 38 38 82 91
–
91
– –
20 91
–
91
– – – – – – – – – – – – – – – – – – – –
20 36 150 98 27 98 39 80 211 98 105 81 106 106 106 31 30 38 41 91
t1d
=
t2a
=
t2d
=
V Vn Vu z
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
u y c’ s sh sf sp su y s t B’ c’ u y
mendaki pada model Richard-Abbott parameter empirik yang menentukan kepepatan pada lintasan yang menurun pada model Richard-Abbott parameter empirik yang menentukan kepepatan pada lintasan yang mendaki pada model Richard-Abbott parameter empirik yang menentukan kepepatan pada lintasan yang menurun pada model Richard-Abbott gaya geser secara umum kekuatan geser nominal gaya geser horizontal dalam keadaan batas jarak dari penampang kritis ke titik belok (point of contra-flexure) suatu koefisien pengali perpindahan secara umum pembacaan perpindahan dari LVDT atau regangan dari strain-gauge perpindahan pada keadaan batas perpindahan pada keadaan awal leleh regangan secara umum regangan tekan pada beton regangan pada baja tulangan regangan baja tulangan pada saat strain-hardening regangan baja tulangan pada saat putus (fracture) regangan beton pada saat pecah (spalls) regangan baja tulangan pada saat tercapai tegangan puncaknya regangan baja tulangan pada saat awal leleh faktor daktilitas kumulatif rotasi, jumlah perputaran sudut pada panjang tertentu faktor kuat lebih kolom terhadap balok SBK = Mnk / Mnb faktor daktilitas monotonik kelipatan per-jutaan ( 10–6 ) faktor redaman struktur bilangan 3.141592654…………. rasio tulangan, luas tulangan dibagi dengan luas beton penampang rasio volumetrik tulangan spiral atau sengkang lingkaran rasio tulangan total penampang kolom tegangan secara umum tegangan tekan beton puncak tegangan tekan beton perputaran sudut, rotasi per satuan panjang faktor reduksi kapasitas perputaran sudut pada saat keadaan batas perputaran sudut pada saat awal leleh faktor yang memperhitungkan pengaruh pelapisan pada baja tulangan
– xviii –
–
91
–
91
–
91
– – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – –
50 32 152 150 32 36 81 39 39 228 44 43 69 69 211 69 69 109 148 114 39 71 105 105 27 31 29 228 46 46 38 20 39 39 151
DAFTAR SINGKATAN Berikut ini disampaikan daftar singkatan yang dipakai di dalam penulisan buku disertasi, kepanjangannya, serta pada halaman berapa dijumpai untuk pertama kalinya. ACI ASCE ASTM BSN CIP DDC DSI EMRC IBC ICBO JPUP LRFD LVDT MRF NEHRP NSF PCI PCMAC PRESSS SBK SDC SMRF SNI SPC SRPM SRPMK TCY UBC
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
American Concrete Institute American Society of Civil Engineers American Society for Testing Materials Badan Standarisasi Nasional cast in place Dywidag Ductile Connection Dywidag System International emulation of monolithic reinforced concrete construction International Building Code International Conference on Building Officials jointed precast relying on unique properties load & resistance factored design linear variable displacement transducer moment resisting frame National Earthquake Hazard Reduction Program National Science Foundation Precast/Prestressed Concrete Institute Precast/Prestressed Concrete Manufaturer Association of California PREcast Seismic Structural System sambungan balok-ke-kolom seismic design category special moment resisting frames Standar Nasional Indonesia seismic performance category sistem rangka pemikul momen sistem rangka pemikul momen khusus tension-compression yielding Uniform Building Code
– xix –
– – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – –
3 4 69 15 6 21 21 17 18 15 17 4 79 15 17 21 21 22 21 20 19 3 15 19 1 3 22 15
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Sejak sekitar dasawarsa 1950-an sampai dengan sekarang, di seluruh penjuru dunia
pemakaian beton bertulang pracetak pada bangunan gedung telah menunjukkan peningkatan yang sangat pesat. Dari pengalaman yang diperoleh, terbukti bahwa konstruksi beton pracetak menampilkan perilaku dan kinerja yang bagus, yaitu aman, awet, dan mudah/cepat pelaksanaannya. Disamping durabilitasnya yang tinggi, komponen-komponen pracetak yang dihasilkan oleh proses produksi di pabrik memiliki standar keseragaman mutu yang sangat terkendali. Keuntungan lain yang didapatkan dengan penggunaan beton pracetak adalah hemat lahan, keuntungan ekonomis pada pemakaian bahan dan metoda kerja, serta ramah lingkungan karena kondisi proyek yang bersih. Dengan ditunjang oleh kemajuan teknologi mekanik, material, dan peningkatan keahlian tenaga kerjanya, maka industri konstruksi bangunan beton pracetak telah berkembang menjadi industri yang modern dan padat teknologi. Untuk bangunan gedung dengan sistem rangka pemikul momen (SRPM), terdapat sambungan-sambungan yang terpasang pada pertemuan-pertemuan antara komponen komponen balok dengan kolom, kolom dengan kolom, balok anak dengan balok induknya, pelat lantai dengan balok, tangga dengan balok, dinding dengan balok, dan seterusnya. Dari jenis-jenis sambungan tersebut, sambungan balok-ke-kolom memiliki fungsi yang sangat kritis, karena mekanisme respons struktur terhadap beban pada SRPM yang terutama terjadi pada penyaluran gaya-gaya dari balok-balok ke kolom-kolom bangunan. Sambungan ini biasanya dipakai untuk menghubungkan ujung-ujung balok pada kolom, sebagai yang diperlihatkan pada Gambar 1.1. Sebelumnya telah pernah dicoba meletakkan sambungansambungan balok pada tengah-tengah bentangnya, dan sambungan kolom pada tengahtengah ketinggiannya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.2. Bangunan-bangunan tersebut dilaporkan melakukan kinerja yang baik terhadap gempa, karena sambungan, sebagai titik-titik kritis penyaluran beban, berada di tengah-tengah bentang balok dan ketinggian kolom, yang merupakan tempat-tempat intensitas gaya minimum (Yee, 1991). Walaupun secara stuktural bagus, tetapi dari sisi kemudahan pelaksanaan (constructability) alternatif ini dipandang bernilai rendah, karena adanya kesulitan transportasi dan instalasi dari komponen-komponen pracetaknya yang berukuran besar. Beberapa kemungkinan lain dari metoda konstruksi yang meliputi penentuan letak-letak dan bentuk-bentuk sambungan antar-komponen telah pula ditunjukkan (Ghosh dkk., 1997) dan (Martin, 1990). Bab 1
– 1
Balok-balok pracetak
Kolom-kolom pracetak atau cor setempat
Sambungan luar (Exterior connection)
Sambungan dalam (Interior connection)
Gambar 1.1 : Sambungan balok-ke-kolom pada SRPM beton bertulang pracetak yang diletakkan pada ujung-ujung balok.
Sambungan untuk kolom Komponen pracetak untuk kolom-kolom tepi Sambungan untuk balok
Sambungan untuk kolom Sambungan untuk balok Komponen pracetak untuk kolom-kolom tengah
Gambar 1.2 : Sambungan balok pada SRPM pracetak yang diletakkan pada tengah bentang, dan sambungan kolom yang diletakkan pada tengah ketinggiannya.
Pada umumnya, sambungan pada struktur beton pracetak dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu yang disebut dengan ‘sambungan basah’ dan ‘sambungan kering’. Pada sambungan basah, campuran beton segar atau grout dituangkan untuk membungkus stekstek tulangan yang terpapar ke luar (exposed) pada daerah sambungan. Sedangkan pada sambungan kering, hanya digunakan alat-alat penyambung mekanis, yang bisa berupa baut-baut, atau las untuk mengikat pelat-pelat baja yang sudah disiapkan, yang dijangkarkan pada komponen-komponen pracetaknya. Pada sambungan basah, batang-batang tulangan di daerah sambungan bisa disambungkan dengan las atau penyambung mekanis. Bentuk tipikal dari sambungan balok-ke-kolom yang dilaksanakan secara basah dan jenisjenis alat penyambung tulangan diperlihatkan pada Gambar 1.3. Alat penyambung yang lazim digunakan adalah selongsong (sleeves) atau perangkai (coupler). Secara umum, 2
Bab 1
peraturan bangunan mengijinkan pemakaian las untuk sambungan pada bangunan yang berada di daerah dengan tingkat resiko kegempaan yang tinggi (SMRF = special moment resisting frames atau SRPMK = sistem rangka pemikul momen khusus), asalkan saja sambungan itu dapat mengerahkan kekuatan pada batang-batang tulangan yang disambung sampai sebesar 1.25 fy , dan sambungan tersebut tidak diletakkan pada daerah sampai sejauh 2 tinggi balok dari muka kolom (ACI Committee 318, 2011).
Beton cor setempat
Selongsong dengan grout
Selongsong dengan bahan metalik
Perangkai berulir
Perangkai dengan batang berulir
Las tumpul
Las dengan batang lewatan
Kolom beton pracetak Daerah sambungan balok-ke-kolom Alat penyambung mekanis ( selongsong yang berisi grout )
Balok beton pracetak Beton cor setempat Alat penyambung mekanis ( selongsong yang berisi grout )
Perangkai dengan baut
Gambar 1.3 : Bentuk tipikal sambungan pada SRPM pracetak yang dilaksanakan secara basah, dan beberapa alat penyambung mekanis untuk batang tulangan.
Bagaimanapun, dengan pengecualian di wilayah Amerika Serikat, penggunaan beton pracetak secara penuh di wilayah dengan intensitas kegempaan menengah sampai tinggi masih sangat terbatas. Penyebabnya adalah masih terbatasnya peraturan tata cara perencanaannya jika dibandingkan dengan peraturan desain untuk beton bertulang biasa. Terutama sekali perspektif peraturan yang menyangkut masalah daktilitas (ductility) sambungan antar komponen strukturnya, misalnya pada sistem sambungan antara balok dengan kolomnya. Dari pengalaman dengan beberapa kejadian gempa besar, telah diidentifikasi bahwa kerusakan-kerusakan yang terjadi secara meluas pada bangunan-bangunan beton pracetak adalah disebabkan oleh kinerja yang buruk pada sistem sambungan antar komponennya. Hal ini terungkap melalui beberapa publikasi, misalnya sebagai yang dilaporkan pada saat gempa Northridge 1994 (Mitchell, dkk., 1995), dan gempa di Turki pada 1997 dan 1999 (Ertas, dkk., 2006). Peraturan ACI, sampai dengan edisi 2011, yaitu ACI 318-11, masih tetap mempertahankan provisi daktilitas (ductility), disamping provisi-provisi kekuatan (strength) dan daya layan (serviceability), pada syarat keamanan struktur. Karena filosofi desain diletakBab 1
– 3
kan di atas landasan metoda kekuatan (LRFD = load & resistance factored design), maka daktilitas diperlukan untuk mencegah keruntuhan total bangunan. Daktilitas didefinisikan sebagai kemampuan struktur untuk mengalami deformasi paska-elastik yang besar sambil tetap mempertahankan sebagian besar kekuatannya semula. Perilaku daktail (ductile) suatu struktur didapatkan dengan pendetailan daktail (ductile detailing), yaitu dengan cara memberikan/memasang komponen-komponen berikut sambungan-sambungannya yang mampu mencegah terjadinya keruntuhan dini struktur. ASCE 7–10, di dalam Pasal C1.4, secara lebih tegas menetapkan, bahwa pada umumnya sambungan antar komponen struktural harus bersifat daktail dan memiliki kemampuan melakukan deformasi dan menyerap energi yang besar yang terjadi di bawah kondisi-kondisi abnormal (ASCE–SEI, 2010). Lebih lanjut dijelaskan, pendetailan daktail ini merupakan salah satu dari sebelas langkah-langkah strategis untuk mendapatkan keutuhan stuktural secara umum (general structural integrity). Kriteria ini yang disebutkan dapat mencegah keruntuhan lokal menjadi keruntuhan total bangunan melalui mekanisme yang lazim dikenal dengan keruntuhan berantai (progressive collapse). Pada umumnya, syarat daktilitas pada sambungan dapat dipenuhi dengan memperhatikan parameter-parameter desain seperti : (1) mutu beton, (2) mutu, kandungan, dan konfigurasi baja-baja tulangan longitudinal, (3) mutu, kandungan, spasi, dan konfigurasi baja-baja tulangan transversal, dan – (4) kemungkinan pemberian pratekanan melalui pemasangan baja-baja pratekanan seperti strands dan bars pada satu ujung balok – menembus kolom – sampai ke ujung balok bentang berikutnya. Pada masalah mutu beton, mutu baja tulangan dan kandungan baja tulangan longitudinal, telah diketahui bahwa daktilitas yang tinggi didapatkan dengan memberikan mutu beton yang tinggi, tegangan leleh baja yang rendah, dan rasio tulangan longitudinal yang rendah. Sedangkan masalah konfigurasi tulangan diatur sedemikian agar didapatkan penyaluran tegangan-tegangan yang lebih baik pada sambungan. Tulangan transversal, yang berwujud sengkang-sengkang tertutup, baik pada balok, kolom, maupun panel sambungan, perlu diatur pemasangannya agar fungsi yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal, yaitu : (1) memberikan efek pengekangan (confinement) pada daerah inti beton (core), (2) mencegah tekuk (buckling) pada tulangan longitudinal, dan – (3) mencegah keruntuhan struktur dalam ragam geser. Adapun pemasangan baja-baja pratekanan dilakukan terutama untuk memperbaiki kemampuan pikul tarik pada beton, yang akibat pembebanan bolak-balik akan mengalami tegangan-tegangan tarik dan tekan secara berganti-ganti. Beberapa orang telah melakukan penelitian pada penggunaan baja-baja pratekan pada sambungan balok-ke-kolom beton pracetak (Stone, dkk., 1995), (Priestley, dkk., 1999), (Pampanin, dkk., 2001), (Nakano,
4
Bab 1
dkk., 2001), (Ozdil, dkk., 2002), dan (Pampanin, 2003). Informasi yang terungkap dari penelitian-penelitian itu adalah pemberian pratekanan akan menghasilkan peningkatan daktilitas, berkurangnya kerusakan pada beton, perbaikan perilaku respons siklik yang lebih stabil, dan juga peningkatan kemampuan drift struktur. Proyek penelitian PRESSS yang dilakukan oleh Priestley dkk. bahkan berhasil menambahkan satu butir lagi keutamaan sambungan balok-ke-kolom dengan pratekanan ini. Dengan melakukan teknik khusus, yaitu menghilangkan gesekan antara baja dengan beton (debonding techniques) pada daerah kolom sambungan, telah didapatkan kemampuan struktur untuk melakukan pemulihan diri segera setelah pembebanan bolak-balik dihentikan, yaitu balok-balok dan kolom-kolom SRPM melakukan pelurusan diri kembali (self-centering). Bagaimanapun, hasil kinerja yang tinggi pada jenis-jenis sambungan canggih dengan pemberian pratekanan sebagai yang diuraikan pada paragraf di atas memerlukan ketelitian pelaksanaan dan kemampuan/keahlian teknik yang tinggi dari para pekerjanya, disamping juga bahan dan peralatan khusus yang berharga mahal. Sedangkan kecenderungan pengalaman praktis di lapangan, khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia, adalah agar struktur bisa dilaksanakan dengan mudah dan sederhana, sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan dapat diperkecil. Akibatnya lebih lanjut, adalah konstruksi bisa lebih cepat diselesaikan, selain juga akan dihasilkan struktur yang lebih kuat dan awet (durable). Seperti diketahui, Indonesia terletak di dalam kawasan dengan aktifitas seismik yang sangat tinggi di dunia. Tercatat di dalam sejarah, beberapa kejadian gempa besar dunia telah terjadi di dalam wilayah Indonesia, seperti : Sumatera bagian Utara (02/11/2002 – M = 7.4, 26/12/2004 – M = 9.1, 28/03/2005 – M = 8.6 & 12/09/2007 – M = 7.9), Sumatera bagian Selatan (04/06/2000 – M = 7.9, 25/07/2004 – M = 7.3 & 12/09/2007 – M = 8.4), Jawa (26/05/2006 – M = 6.5, 17/07/2006 – M = 7.7 & 08/08/2007 – M = 7.5), Bali & Nusa Tenggara (20/01/1917 – M = 7.5, 14/07/1976 – M = 7.2, 12/12/1992 – M = 7.8 & 25/11/2007 – M = 6.5), Sulawesi & Maluku (01/02/1938 – M = 8.5, 26/05/2003 – M = 7.0, 28/01/2004 – M = 6.7, 11/11/2004 – M = 7.5, 02/03/2005 – M = 7.1, 27/01/2006 – M = 7.6 & 21/01/2007 – M = 7.5), dan Irian Jaya (25/06/1976 – M = 7.1, 10/10/2002 – M = 7.6, 05/02/2004 – M = 7.3 & 26/11/2004 – M = 7.1). Gempa-gempa tersebut telah menimbulkan korban yang besar, baik berupa hilangnya jiwa manusia maupun rusak/hancurnya harta benda, terutama diakibatkan oleh keruntuhan atau kerusakan bangunan hunian. Keadaan yang lebih memberatkan harus dihadapi dengan kenyataan bahwa sebagian besar kota-kota utama yang berpenduduk banyak di Indonesia terletak di dalam jalur wilayah dengan aktifitas kegempaan yang tinggi. Rangkaian fakta di atas menunjukkan arti penting diterap-
Bab 1
– 5
kannya norma bangunan tahan gempa, yang sanggup melindungi para penghuninya dari gempa-gempa sedang tanpa mengalami kerusakan, dan dari gempa-gempa besar tanpa mengalami keruntuhan. Kecenderungan yang terjadi di kota-kota besar Indonesia pada saat ini, dimana bangunan-bangunan gedung besar yang berpenghuni banyak, seperti apartemen, flat, dormitory sampai rumah susun, didirikan dalam jumlah yang besar. Hal ini dilakukan untuk mengatasi laju pertumbuhan dan perpindahan penduduk yang sangat tinggi, yang berakibat pada meningkatnya kebutuhan pada bangunan perumahan. Apabila tidak mendapatkan solusi yang tepat, hal itu akan menjadi ”bom waktu” pada masalah kependudukan di masamasa yang akan datang. Pada bangunan-bangunan semacam ini harus diberikan perhatian yang lebih cermat tentang kekuatan & keamanannya, karena kegagalan pada sebuah bangunan pasti akan menimbulkan korban jiwa, disamping kerugian/kerusakan harta benda. Tetapi di samping itu, bangunan tersebut haruslah murah harganya dan dapat dilaksanakan dengan mudah sehingga konstruksinya bisa cepat diselesaikan. Dari uraian di atas terlihat, bahwa pada masa mendatang dipandang perlu mengembangkan jenis-jenis sambungan untuk struktur beton pracetak yang lebih mengedepankan sisi kemudahan & kesederhanaannya untuk dilaksanakan (constructability), disamping tentu saja tanpa mengorbankan sisi kinerja sebagai yang disyaratkan pada struktur bangunan gedung secara umum, yang meliputi aspek-aspek : (1) kekuatan (strength), (2) kekakuan (stiffness), (3) daya layan (serviceability), (4) daktilitas (ductility), (5) kesatuan (structural integrity), dan – (6) keawetan (durability). Hasil yang diperoleh diharapkan untuk bisa lebih menggairahkan penggunaan beton pracetak pada struktur SRPM di daerah yang beresiko gempa tinggi, karena beton pracetak ternyata bukan saja kuat, daktail dan awet, tetapi juga mudah dan cepat pelaksanaannya. Pada disertasi ini akan dilakukan kajian pada perilaku jenis baru dari sambungan beton bertulang cor setempat (CIP = cast in place) untuk menghubungkan komponenkomponen balok pracetak ke kolom cor setempat pada bangunan gedung SRPM bertingkat menengah, yaitu dengan 4 @ 6 tingkat (Lihat Gambar 1.1). Sambungan yang dimaksudkan tanpa menggunakan alat-alat penyambung mekanis, tetapi hanya dengan memberikan penjangkaran kait 90o pada ujung-ujung batang tulangan bawah balok yang diletakkan di daerah sambungan di muka kolom. Agar lebih mudah dilaksanakan (constructable), beberapa perbaikan pada pendetailan tulangan juga dilakukan, sehingga menjadikannya agak sedikit lebih ringan daripada persyaratan menurut code (peraturan bangunan) yang asli, ACI 318-11 misalnya. Karena bentuknya yang sederhana, maka sambungan ini dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dan cepat di lapangan, tanpa menggunakan bahan atau
6
Bab 1
peralatan khusus, kecuali hanya penyangga-penyangga sementara (temporary shores). Sambungan yang dihasilkan ini diharapkan berperilaku secara daktail dengan membiarkan terjadinya pembentukan daerah plastifikasi padanya, sehingga dapat dihindarkan terjadinya kerusakan-kerusakan pada komponen-komponen balok & kolom pracetaknya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui perilaku sambungan terhadap beban bolak-balik siklik, baik secara eksperimental maupun analitik. Tentu saja, yang secara khusus ingin diketahui dari penelitian ini adalah kekuatan, daktilitas, bentuk kurva histeretik responsnya, kapasitas energinya, pola retak dan sebaran kerusakan, serta kapasitas drift-nya. Hasil penelitian ini, yaitu berupa pengetahuan yang lebih komprehensif pada perilaku respons sambungan terhadap beban bolak-balik, diharapkan dapat memberikan sumbangan positif pada tata cara perencanaan struktur SRPM beton pracetak tahan gempa.
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di depan, beberapa pokok masalah
akan diselidiki di dalam penelitian disertasi ini. Pokok-pokok masalah itu akan dicoba untuk dicarikan jawabnya, yang akan muncul baik secara eksplisit maupun implisit di dalam penjabaran bab-bab di dalamnya, dan yang akan disarikan di dalam bab kesimpulan di belakang. 1.
Apakah benar sambungan balok-ke-kolom cor setempat dengan penjangkaran 90o dan dengan pendetailan tulangan yang lebih ringan daripada code dapat menampilkan perilaku respons yang daktail dengan bentuk kurva histeretik yang stabil ?
2.
Bagaimana bentuk perilaku respons non-liniernya : (a) daktilitas, (b) faktor kuat lebih, (c) degradasi kekakuan dan deteriorasi kekuatan, (d) kemampuan pemencaran energi, dan (e) deformasi ultimate yang ditunjukkan dengan kapasitas drift-nya ?
3.
Bagaimana model perilaku respons histeretik beban vs. perpindahan sambungan jenis ini, apa saja parameter-parameter yang menentukannya, dan bagaimana model konstitutifnya ?
4.
Bagaimana validasi antara model analitik dengan hasil eksperimental sambungan terhadap pembebanan siklik ?
5.
Bagaimana bentuk dan sebaran kerusakan yang ditimbulkan oleh pembebanan siklik dengan pola riwayat siklik yang kira-kira mewakili kondisi yang ditimbulkan oleh gempa kuat ?
Bab 1
– 7
6.
Bagaimana kinerja sambungan jenis ini bila dibandingkan dengan sambungan yang dilaksanakan secara monolith ?
7.
Bagaimana data kinerja sambungan yang dihasilkan ini akan dapat dimanfaatkan pada tata langkah perhitungan desain SRPM dengan pembebanan gempa ?
1.3
Tujuan Penelitian Secara garis besar, disertasi ini akan melakukan kajian mendalam, baik secara ana-
litik maupun eksperimental, pada perilaku sambungan balok-ke-kolom CIP komposit yang menggunakan penjangkaran penulangan pada ujung balok dengan kait standar 90 o dan dengan menggunakan pendetailan penulangan yang lebih ringan daripada yang ditetapkan oleh peraturan bangunan. Darinya diharapkan akan dihasilkan sebuah prototipe sambungan daktail balok-ke-kolom yang akan dipergunakan pada bangunan SRPM beton pracetak yang terletak di wilayah dengan intensitas kegempaan menengah sampai tinggi. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Melakukan kompilasi pada beberapa jenis sambungan balok-ke-kolom, serta komparasi pada keunggulan dan kekurangan dari masing-masing jenis, ditinjau dari sisi kinerja dan kemudahan kerjanya. Selanjutnya, melakukan inovasi dengan mengusulkan bentuk sambungan yang baru dengan tetap memperhatikan kebiasaan-kebiasaan di dalam praktek agar didapatkan spesimen yang tetap kuat, tetap daktail, tetap awet, dan tentu saja lebih mudah dikerjakan serta lebih murah biayanya. 2. Melakukan rancang bangun pada bentuk sambungan balok-ke-kolom untuk SRPM beton bertulang pracetak secara CIP dengan memperhatikan tata langkah desain menurut peraturan bangunan yang baku. Penekanan dilakukan pada aspek pelaksanaan, agar didapatkan kemudahan dan kecepatan dalam konstruksi (constructability), disamping murah harganya (economy). 3. Melakukan kajian dan analisis pada beberapa parameter rancang yang mempengaruhi kriteria keunggulan struktur, yaitu kekuatan (strength), kekakuan (stiffness), daktilitas (ductility), perpindahan ultimate (drift), dan keawetan (durability). Langkah-langkah ini meliputi :
Memilih komposisi ideal campuran beton agar didapatkan sifat-sifat kuat, daktail dan awet. Termasuk di dalam langkah ini adalah melakukan uji perbandingan pada kelayakan ditambahkannya material tambahan/additive ke dalam campuran beton untuk badan sambungan.
8
Bab 1
Mengatur peletakan, pemotongan & pembengkokan batang-batang tulangan agar didapatkan penyaluran tegangan-tegangan yang lebih baik.
Memilih bentuk dan banyaknya tulangan-tulangan transversal untuk memberikan perlindungan pada struktur dari keruntuhan dini sambungan akibat kegagalan geser (shear failure), kegagalan pada pengekangan (confinement failure), dan tekuk pada batang-batang tulangan akibat tekan (compressive bar buckling). 4. Merancang dan membuat spesimen sambungan dengan memperhatikan beberapa butir parameter desain yang ditetapkan. 5. Melakukan kajian secara analitik pada spesimen sambungan yang didapatkan dengan menggunakan metoda elemen hingga. Adapun pemodelan struktur dan eksekusi perhitungan dilakukan dengan memanfaatkan beberapa paket piranti lunak yang sudah tersedia di pasaran, misalnya SeismoStruct (SeismoSoft, 2011), dan sebagainya. 6. Melakukan uji eksperimental di laboratorium pada spesimen sambungan dengan pembebanan bolak-balik siklik. Kemudian, data perilaku respons yang didapatkan dianalisis karakteristiknya dan didokumentasikan untuk diverifikasikan dengan hasil perhitungan analitik yang sudah didapatkan gambaran karakteristik sebelumnya. 7. Melakukan uji validasi data analitik terhadap data eksperimental dan mengkaji parameter-parameternya, seperti kekuatan dan deteriorasinya, kekakuan dan degradasinya, kapasitas drift, dan akurasinya memprediksikan kekuatan struktur. 8. Mengkaji dan menyimpulkan hasil-hasil penelitian untuk dimanfaatkan sebagai acuan bagi pengembangan penelitian selanjutnya.
1.4
Ruang Lingkup Penelitian dan Batasan Masalah Pekerjaan penelitian ini bergerak di dalam ruang lingkup kajian-kajian secara
eksperimental dan numerik analitik dengan berpedoman pada studi kepustakaan pada publikasi hasil yang telah dicapai oleh para peneliti terdahulu. Pokok masalah yang hendak diteliti adalah perilaku daktail sambungan balok-ke-kolom beton cor setempat untuk dipakai pada SRPM beton pracetak tahan gempa. Adapun di dalam pelaksanaannya, penelitian ini akan dilakukan pada batasan masalah sebagai berikut : 1. Balok dan kolom dari beton bertulang pracetak dengan penampang masing-masing berbentuk kotak/persegi panjang.
Bab 1
– 9
2. Bahan beton untuk komponen pracetak dibuat dari campuran mutu tinggi dengan nilai tegangan karakteristik sekitar K-400 (fc’ 33.25 MPa). Untuk mendapatkan hal tersebut, sedapat mungkin dipakai agregat dan semen normal di dalam campuran. 3. Bahan beton untuk campuran sambungan cor setempat diusahakan berasal dari kekuatan karakteristik yang sama dengan yang dipakai pada komponen pracetaknya. Untuk mengatasi kesulitan pada pekerjaan penuangan melalui sela-sela tulangan sambungan yang rapat dan mengisi sudut-sudut yang tersembunyi, agregat berukuran kecil dari jenis batu pecah mesin akan dipakai dalam campuran. Zat tambahan/additive mungkin juga akan dipakai untuk keperluan tersebut. 4. Bahan baja untuk tulangan diusahakan dipakai jenis-jenis yang tersedia di pasar, dengan baja ulir mutu normal (fy 400 MPa) untuk semua tulangan longitudinal balok, kolom, dan sambungan, serta baja tulangan polos (fyh 280 MPa) untuk sengkangsengkang. 5. Spesimen uji dibuat dalam bentuk planar subassemblies sambungan dalam (interior joint) dari suatu struktur SRPM. Ukuran linier komponen-komponen dan dimensi penampang-penampangnya akan ditentukan dengan memperhatikan kemampuan peralatan pengujinya di laboratorium. 6. Sambungan dibuat dari beton CIP secara komposit yang diletakkan pada ujung-ujung balok, dengan tulangan-tulangan balok yang dijangkarkan dengan kait siku standar di dalam badan sambungan. Perhitungan desain dilakukan secara hati-hati agar sambungan mengalami plastifikasi yang mendahului komponen-komponen pracetaknya. Parameter-parameter yang akan ditinjau pengaruhnya adalah rasio tulangan longitudinal, spasi tulangan sengkang, dan panjang badan sambungan, yang dalam hal ini dianggap mewakili panjang sendi plastik. 7. Pada spesimen sambungan yang sudah ter-set up akan diberikan riwayat pembebanan bolak-balik secara siklik dalam arah horizontal, yang bisa diberikan secara force controlled ataupun displacement controlled. Pembebanan akan terus dilangsungkan secara sempurna sampai struktur mencapai kondisi menjelang keruntuhan. Skema pembebanan yang dipakai adalah sebagai yang disebutkan oleh ACI 374.1-05. Sedangkan skema pembebanan long term secara bertahap (staged loading), yaitu dengan cara memberikan jeda di sela-sela antar tahapan, tidak dilakukan. Hal ini ditempuh untuk menyederhanakan masalah, yaitu agar effek terakumulasikannya tegangan-tegangan sisa (residual stresses) yang akibatnya sulit diprediksikan, tidak sampai berpengaruh pada hasil penelitian. 10
Bab 1
8. Pembebanan dalam arah vertikal untuk menirukan effek beban aksial pada kolom tidak dilakukan atau dilakukan secara terbatas. 9. Pengujian pembebanan bisa segera dilakukan setelah beton cukup umurnya. Tidak dilakukan pengujian pada spesimen yang sudah berumur sangat lanjut. 10. Penelitian di sini dilakukan pada spesimen yang masih baru (fresh), dan tidak dimaksudkan untuk spesimen-spesimen yang telah mengalami perbaikan (retrofitted) sebagai akibat mengalami kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari pengujian/pembebanan sebelumnya.
1.5
Hipotesis Sambungan-sambungan CIP dengan batang-batang tulangan yang dijangkarkan
biasanya menunjukkan perilaku yang kurang daktail bila dibandingkan dengan sambungan-sambungan monolith dengan batang-batang tulangan yang menerus. Sebagai yang telah ditunjukkan oleh laporan hasil penelitian sebelumnya, sambungan dengan batang tulangan yang dijangkarkan menghasilkan grafik histeretik hubungan beban – perpindahan yang agak pipih (pinched), sedangkan sambungan monolith dengan batang yang menerus menghasilkan grafik yang lebih gemuk (Matsumoto, dkk., 2000). Akan tetapi, di sisi yang lain, pada sambungan-sambungan monolith, kerusakan (retak-retak) banyak terkonsentrasi pada bagian kolom. Hal ini tidak sejalan dengan aliran utama dari filosofi desain non-linier sambungan SRPM yang dipakai pada saat ini, yaitu yang menghendaki pembentukan sendi-sendi plastik pada ujung-ujung balok, dan bukan pada panel (kolom). Disamping hal-hal yang disebutkan di atas, sambungan CIP dengan batang-batang tulangan yang dijangkarkan juga mempunyai kekurangan dibandingkan dengan sambungan monolith, yaitu dalam hal penyaluran beban geser/gaya lintang. Dengan berkurangnya atau tidak hadirnya komponen transfer gaya geser antar bidang muka yang ditimbulkan oleh gaya aggregate interlock dan kerja dowel pada tulangan-tulangan longitudinal, maka penyaluran gaya geser hanya akan mengandalkan perlawanan geser pada bagian beton yang belum retak dan kemampuan pikul tulangan-tulangan geser. Masalah ini akan menjadi semakin kritis, ketika beton sudah banyak mengalami retak-retak pada tingkat pembebanan yang mendekati kondisi ultimate. Berdasarkan uraian di atas, maka di dalam penelitian ini akan dikaji kemungkinannya membuat sambungan balok-ke-kolom CIP komposit dengan tulangan-tulangan balok yang dijangkarkan dengan kait siku standar. Adapun hipotesis yang hendak diuji adalah :
Bab 1
– 11
1.
Bahwa sambungan CIP yang diusulkan akan berperilaku paling tidak sama daktailnya dibandingkan dengan sambungan monolith, yaitu dengan dihasilkannya grafik histeretik hubungan beban – perpindahan yang sama gemuk dan stabilnya,
2.
Bahwa sambungan CIP yang diusulkan menampilkan kapasitas drift yang paling tidak sama tingginya dengan sambungan monolith,
3.
Bahwa di dalam subassembly sambungan balok-ke-kolom yang diuji, akan dihasilkan pembentukan sendi plastik pada ujung balok, dan bukan pada kolom,
4.
Bahwa pada spesimen sambungan CIP yang diuji akan dihasilkan ragam kegagalan utama dalam lentur, dan bukan dalam geser, dan –
5.
Bahwa desain sambungan jenis ini akan bisa dilakukan dengan menggunakan tata cara desain menurut peraturan bangunan yang berlaku.
1.6
Keutamaan Penelitian Pada struktur SRPM beton pracetak, untuk mendapatkan kinerja yang tinggi pada
sambungan basah (cor setempat), biasanya diperlukan persyaratan detail desain yang tinggi. Persyaratan itu terutama meliputi penyambungan dan penjangkaran batang-batang tulangan longitudinal komponen-komponen pracetak, agar diperoleh penyaluran tegangantegangan yang lebih baik pada baja tulangan dan meminimalkan kerusakan pada beton. Selanjutnya, masalah penjangkaran muncul pada alternatif tentang bagaimana bentuk penjangkaran ujung batang tulangan, apakah dengan kait 90o, 135o, atau menggunakan jangkar mekanis. Dalam hal penyambungan di zona kritis sambungan, tersedia alternatif apakah batang-batang tulangan akan diteruskan/disambung dengan alat penyambung mekanis atau dengan las. Setiap alternatif yang dipilih akan berakibat, baik pada kerumitankerumitan pada pelaksanaan maupun pada kinerja struktur, yang pada akhirnya harus diterjemahkan pada peningkatan kebutuhan waktu dan biaya pelaksanaan. Pada jenis-jenis terbaru dari sambungan, upaya untuk meminimalkan kerusakan (retak-retak) pada beton dilakukan dengan memberikan pratekanan melalui tendon atau strands terutama pada balok-balok yang diteruskan sampai menembus kolom. Teknik ini memang terbukti memperbaiki kinerja sambungan, bukan hanya pada meningkatnya kekuatan, daktilitas, dan kapasitas drift struktur, akan tetapi juga berkorelasi pada peningkatan biaya konstruksi karena pelaksanaannya membutuhkan, bukan saja kemampuan teknik yang lebih tinggi dari para pelaksana dan pengawas bangunannya, tetapi juga material dan peralatan berteknologi tinggi yang berharga mahal. Penelitian ini bermaksud menawarkan bentuk baru dari sambungan cor setempat dengan kekuatan, daktilitas, dan kapasitas drift yang cukup memadai 12
Bab 1
(reasonable), tapi dengan mempertahankan sifat kemudahan dan kesederhanaan pada pelaksanaannya. Di dalam masa konstruksinya, tidak dibutuhkan penggunaan komponen teknik, ataupun peralatan khusus, sehingga waktu dan biaya bisa ditekan jauh lebih rendah. Juga, karena sambungan diletakkan di luar kolom, maka keruwetan (congestion) tulangan di dalam badan kolom bisa dihindarkan. Seperti dimaklumi, bahwa batang-batang tulangan yang terpasang sangat rapat akan menyebabkan tertahannya beton basah pada saat penuangan untuk mengisi celah-celah atau sudut-sudut yang sempit, sehingga akan dihasilkan beton yang tidak padat/kompak karena meninggalkan rongga-ronga kosong di dalamnya. Masalah ini biasanya disebutkan sebagai penyebab berkurangnya kepercayaan pada nilai kekuatan beton, dan hal ini akan diminimalisasikan di dalam jenis sambungan yang diusulkan ini.
1.7
Sistematika Penulisan Disertasi Buku disertasi ini disusun dengan sistematika sebagai diuraikan berikut ini. Mula-
mula, pada Bab 1 yang berupa pendahuluan dari keseluruhan tulisan, di dalamnya diuraikan latar belakang masalah yang menyebabkan timbulnya maksud untuk penelitian ini. Kemudian pada perumusan masalah dijelaskan pokok-pokok masalah yang akan menjadi arah tujuan penelitian ini. Berikutnya, pada tujuan penelitian disebutkan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka untuk mencapai tujuan penelitian yang dimaksudkan. Selanjutnya pada ruang lingkup penelitian dan batasan masalah disebutkan secara lebih langsung dengan cara apa penelitian ini akan dilaksanakan. Pada hipotesis disebutkan pokok-pokok pikiran yang menjadi dugaan awal yang akan diuji di dalam penelitian ini. Dan akhirnya, pada keutamaan penelitian diuraikan pertimbangan-pertimbangan tentang diperlukannya riset ini. Pada Bab 2 disampaikan studi kepustakaan yang dilakukan untuk menentukan arah penelitian. Pokok-pokok pikiran dibangun dengan melakukan tinjauan pada state-of-theart sambungan balok-ke-kolom dari pendekatan sudut pandang peraturan bangunan. Tulisan kemudian dikembangkan dengan tinjauan praktis pada pendalaman beberapa jenis sambungan yang telah dikenal dan melakukan identifikasi pada karakteristiknya masingmasing, yang kemudian mengerucut pada pengenalan perbedaan jenis-jenis sambungan tersebut pada aspek kinerja dan kemudahan kerjanya. Pembicaraan pada Bab 2 ditutup dengan penyegaran ingatan pada persyaratan desain sambungan balok-ke-kolom, berikut komponen-komponen struktur yang berupa balok dan kolom yang merangka padanya, berdasarkan peraturan bangunan ACI 318-11.
Bab 1
– 13
Pada Bab 3 disampaikan pokok-pokok uraian mengenai studi analitik pada sambungan balok-ke-kolom beton bertulang. Di dalamnya dijabarkan tentang jenis-jenis sambungan balok-ke-kolom, gaya-gaya dalam yang timbul padanya akibat beban yang bekerja, dan sedikit uraian tentang kerusakan yang mungkin terjadi diakibatkan oleh gempa. Beberapa parameter pada perilaku respons dan kinerja sambungan juga didefinisikan, yang kemudian dilanjutkan dengan ringkasan tentang studi analitik tentang perilaku respons histeretik sambungan yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Pembicaraan pada bab ini ditutup dengan contoh perhitungan analitik pada penentuan perilaku respons histeretik sambungan terhadap beban siklik dengan menggunakan model multilinier dan dengan lintasan-lintasan lengkung yang terpepatkan. Pada Bab 4 diuraikan keseluruhan rangkaian pekerjaan eksperimental yang dilakukan di dalam riset ini. Mula-mula dijabarkan masalah desain spesimen, yang meliputi penetapan dimensi subassembly, spesifikasi material yang dipakai, dan detail penulangannya. Kemudian, pada spesimen bayangan (imaginary) sambungan balok-ke-kolom tersebut dicoba untuk melakukan prediksi respons histeretik secara analitik. Hasil yang diperoleh bisa dipergunakan untuk memperkirakan besarnya beban yang harus diberikan dan drift yang mungkin akan dicapai pada uji eksperimental nantinya. Berikutnya juga disampaikan uraian pada pemasangan strain-gauge pada baja-baja tulangan yang sudah terakit. Perihal pekerjaan pengecoran beton dan masalah-masalah yang muncul di dalam penentuan uruturutan langkah pada pembuatan spesimen juga diuraikan. Tidak lupa, hasil-hasil pengujian tarik sample baja tulangan dan kuat tekan silinder beton juga disampaikan di dalamnya. Demikian juga akan disampaikan masalah penyetelan (set up) spesimen sambungan balokke-kolom ke dalam mesin penguji. Pengujian spesimen sambungan balok-ke-kolom dan hasil-hasil yang diperolehnya akan menutup pembicaraan pada Bab 4 ini. Perihal upaya untuk mengungkapkan perilaku dan kinerja sambungan balok-kekolom dengan melakukan pemeriksaan pada data eksperimental disampaikan pada Bab 5. Mula-mula diuraikan langkah-langkah yang lebih rinci untuk memperoleh validasi antara data eksperimental dengan analitik pada perilaku respons histeretik sambungan. Darinya kemudian dikembangkan cara-cara untuk meng-kwantifikasi-kan besaran-besaran kinerja sambungan, seperti kekuatan, daktilitas, kapasitas energi, dan yang lain-lainnya. Dan akhirnya, pemeriksaan acceptance criteria kinerja sambungan secara keseluruhan menurut ACI 374.1-05 juga disampaikan yang sekaligus akan menjadi penutup bab ini. Kesimpulan hasil penelitian disertasi ini akan disampaikan pada Bab 6. Padanya juga disampaikan beberapa catatan yang mungkin berguna untuk mengembangkan risetriset lanjutan di masa yang akan datang.
14
Bab 1
BAB 2 STUDI PUSTAKA 2.1
State-of-the-Art Sambungan Balok-ke-Kolom Beton Pracetak Menurut UBC-1997 (Uniform Building Code 1997), bangunan gedung dikelom-
pokkan ke dalam bentuk-bentuk sistem pemikul bebannya, yaitu sebagai yang dicantumkannya di dalam Table 16-N (ICBO, 1997). SNI (Standar Nasional Indonesia) mengutip dan mengadaptasikannya ke dalam kebutuhan di Indonesia, dan kemudian memasukkannya ke dalam Tabel 3 SNI 03-1726-2002 (BSN, 2002–1). Di dalamnya disebutkan, bahwa bangunan gedung beton bertulang digolongkan ke dalam : (a) sistem dinding geser, (b) sistem rangka ikatan (bracing), (c) sistem rangka pemikul momen (SRPM), dan (d) sistem ganda (dual system). Di dalam edisi terbarunya, yaitu SNI 03-1726-2012, pembagiannya muncul dalam bentuk yang lebih terinci, yaitu : (a) sistem dinding penumpu, (b) sistem rangka bangunan, (c) sistem rangka pemikul momen khusus, (d) sistem ganda dengan rangka pemikul momen khusus, (e) sistem ganda dengan rangka pemikul momen menengah, (f) sistem interaktif dengan rangka pemikul momen beton bertulang biasa dengan dinding geser bertulang biasa, (g) sistem kolom kantilever yang didetail untuk memenuhi persyaratan tertentu, dan – (h) sistem baja yang tak didetail secara khusus untuk ketahanan seismik (BSN, 2012). Satu di antaranya, yaitu SRPM (MRF menurut UBC-1997) adalah sebagai yang ditunjukkan pada Gambar 1.1 di depan. Agar struktur berperilaku memuaskan terhadap beban-beban, khususnya gempa, SRPM beton pracetak harus bergantung kepada kinerja yang bagus dari sambungan-sambungan (connection = koneksi) balok-ke-kolomnya. Diagram pada Gambar 2.1 mengillustrasikan hal itu. Menurut cara pengerjaannya, sambungan beton pracetak diklasifikasikan ke dalam sambungan basah (wet connection) dan sambungan kering (dry connection). Sambungan basah didapatkan dengan cara menuangkan beton cor setempat (cast in place = CIP) di antara panel-panel pracetak. Untuk mendapatkan kesinambungan struktural, stek-stek tulangan disambungkan dengan cara pengelasan (welding) atau dengan menggunakan alat penyambung mekanis (mechanical splice devices) sebelum beton dituangkan. Sedangkan sambungan kering dikerjakan secara agak lebih mudah, yaitu dengan cara membaut (bolting) atau mengelas (welding) pelat-pelat baja yang ditanamkan pada ujung-ujung atau tepi dari panel-panel pracetak, yang sudah dipersiapkan untuk maksud itu. Sambungan basah kurang-lebihnya sama dengan konstruksi cor setempat, dimana penyaluran gayagaya pada struktur disebarkan pada bagian yang agak luas. Sedangkan pada sambungan
Bab 2
– 15
16
Bab 2
Sistem Rangka Bresing
Sistem Dinding Geser Wilayah Kegempaan Rendah : 1 & 2
Struktur Cast-In-Place (CIP)
Struktur Cast-In-Place (CIP)
Sistem Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB) Sistem Ganda : Dinding Geser dengan SRPMB
Struktur dengan komponen2 Pracetak (Precast)
Struktur Cast-In-Place (CIP) Sistem Rangka Bresing Wilayah Kegempaan Sedang : 3 & 4
Perilaku Struktur
Perilaku Komponen Struktur
Perilaku Struktur
Perilaku Komponen Struktur
Perilaku Struktur
Perilaku Koneksi antar-komponen
Sistem Dinding dengan Rangka Baja Ringan dan Bresing Tarik
Struktur Gedung Beton Bertulang Tahan Gempa
Perilaku Komponen Struktur
Perilaku Komponen Struktur
Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah (SRPMM)
Struktur Cast-In-Place (CIP)
Perilaku Komponen Struktur
Sistem Ganda : Dinding Geser dengan SRPMM
Struktur dengan komponen2 Pracetak (Precast)
Perilaku Koneksi antar-komponen
Sistem Dinding Geser Berangkai Daktail
Struktur Cast-In-Place (CIP)
Perilaku Komponen Struktur
Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK)
Struktur dengan komponen2 Pracetak (Precast)
Perilaku Koneksi antar-komponen
Perilaku Struktur Struktur dengan Kinerja yang Memuaskan terhadap Gempa Perilaku Struktur
Sistem Dinding Geser Kantilever Daktail
Wilayah Kegempaan Tinggi : 5 & 6
Perilaku Struktur
Sistem Ganda : Dinding Geser dengan SRPMK
Gambar 2.1 : Kinerja yang memuaskan pada SRPM beton bertulang pracetak bergantung kepada sambungan (koneksi) antar antar komponen strukturnya menurut SNI 03-1726-2002.
kering, gaya-gaya tersebut disalurkan pada daerah yang terbatas (discrete) di sekitar titiktitik sambungan. Tata cara perencanaan untuk struktur beton pracetak masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan peraturan desain untuk beton bertulang biasa (cor setempat), khususnya pada kolom bangunan. Berikut ini akan diuraikan secara ringkas beberapa pedoman desain sambungan pracetak sebagai disebutkan oleh peraturan bangunan. Adalah Provisi 1994 dari NEHRP (National Earthquake Hazard Reduction Program) yang mulamula menyebutkan adanya dua pendekatan di dalam melakukan desain sistem struktur beton pracetak SRPM, khususnya untuk wilayah yang beresiko kegempaan tinggi, yaitu zona 3 & 4 UBC-1997 (atau zona 5 & 6 menurut SNI 03-1726-2002) (Ghosh, dkk., 1997). Yang pertama disebut Emulation of Monolithic Reinforced Concrete Construction (EMRC), dan yang kedua Jointed Precast relying on Unique Properties (JPUP). EMRC, yang dianut oleh kebanyakan peraturan yang ada pada saat ini, terbagi menjadi monolithic connection (yang berupa sambungan basah) dan strong connection (sambungan kuat, yang bisa berupa sambungan basah atau kering). Sedangkan JPUP sendiri didominasi oleh sambungan kering. Pada penggunaan monolithic connection harus dipenuhi semua kriteria beton bertulang yang monolith, sedangkan pada strong connection harus dijamin berlangsungnya mekanisme strong column – weak beam, serta disyaratkan daerah aksi nonlinier tidak boleh terjadi di dalam sambungan, melainkan pada tempat sejarak paling tidak setengah tinggi balok dari muka kolom. Persyaratan itu kemudian diterima dan diambil sebagai bagian dari peraturan UBC-1997. Secara garis besar dapat disebutkan, bahwa konsep sambungan daktail akan lebih mudah didapatkan dari kelompok sambungan monolith (baca : basah) ini. Perbandingan zona-zona kegempaan menurut berbagai peraturan disampaikan pada Tabel 2.1. ACI (American Concrete Institute) mencantumkan tata cara perencanaan bangunan beton pracetak tahan gempa mulai dari ACI 318-02, yaitu dengan provisinya mengenai Special Moment Frames (SMF), atau sistem rangka pemikul momen khusus (SRPMK) menurut SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726-2012. Di dalam ACI 318-2002, SMF beton pracetak dicantumkan di dalam Pasal 21.6, dan sistem dinding beton pracetak di dalam Pasal 21.8 dan 21.13. Di dalam Pasal 21.6 disebutkan bahwa bangunan beton pracetak di daerah intensitas kegempaan tinggi harus memakai SMF dengan penerapan baik sambungan daktail (Pasal 21.6.1) maupun sambungan kuat (Pasal 21.6.2). Pada sambungan daktail direncanakan untuk terjadinya pelelehan lentur di dalam sambungan, sedangkan sambungan kuat mengharuskan terjadinya pelelehan itu terjadi pada tempat yang berjarak paling tidak setengah tinggi balok di luar muka kolom sambungan. Lebih lanjut juga disebutkan, bahwa baik sambungan daktail maupun sambungan kuat harus memenuhi
Bab 2
– 17
semua persyaratan sebagai yang ditetapkan pada bangunan beton cor setempat. Prinsip ini tetap dipertahankan di dalam edisi-edisi berikutnya, yaitu ACI 318-05 (Pasal 21.6), ACI 318-08 (Pasal 21.8), ACI 318-11 (Pasal 21.8), dan ACI 318-14 (Pasal 18.8).
Precast Concrete Seismic System
Emulation of Monolithic Behavior
Frames
Jointed Precast relying on Unique Properties
Shear Walls
Monolithic Connection ( Basah ) Memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk konstruksi yang monolith
Strong Connection ( Basah atau Kering ) Persyaratan yang diperlukan akan dimasukkan pada peraturan yang akan datang
Gambar 2.2 : Ketentuan desain struktur beton bertulang pracetak menurut UBC-1997.
Precast Seismic System
Monolithic Emulation
Moment Frames
Special
Inter mediate Pasal 21.12
Ductile Connection
Strong Connection
Pasal 21.6.1
Pasal 21.6.2
Jointed Precast
Structural Walls
Ordinary No Requirements
Special Pasal 21.8
Inter mediate Pasal 21.13
Ordinary No Requirements
Moment Frames
Structural Walls
Special Pasal 21.11.4
Special Pasal 21.11.4
Gambar 2.3 : Ketentuan desain struktur beton bertulang pracetak menurut ACI 318-02.
Sebagai peraturan yang lebih tinggi tingkatan yurisdiksinya dan lebih umum bidang lingkupnya, IBC (International Building Code), baik di dalam edisinya IBC-2006 maupun IBC-2009, tidak secara khusus menyoroti masalah sambungan beton pracetak ini. Di dalam peraturan yang menggantikan kedudukan UBC-1997 ini disebutkan, bahwa 18 –
Bab 2
berkaitan dengan struktur beton, peraturan tersebut disusun untuk berjalan sejajar dengan dan menyertai ACI 318. Di dalamnya dikatakan, bahwa beton struktural harus di-desain dan dilaksanakan sesuai dengan ACI 318 dan standar-standar lain yang disebutkan. Pada Gambar 2.2 disampaikan bagan ketentuan desain struktur beton pracetak tahan gempa menurut UBC-1997, dan pada Gambar 2.3 disampaikan bagan menurut ACI 318-02. Tabel 2.1 : Perbandingan istilah-istilah sehubungan dengan masalah desain seismik yang dipakai di dalam model peraturan
Peraturan atau Standar ACI 318-08; ACI 318-11, ACI 318-14, IBC 2000, 2003, 2006; NFPA 5000, 2003, 2006; ASCE 7-98, 7-02, 7-05, 7-10; NEHRP 1997, 2000, 2003; SNI 1726-2012
Tingkat resiko atau kinerja seismik atau kategori desain sebagai yang ditentukan di dalam peraturan SDC)1 A, B
SDC C
SDC D, E, F
ACI 318-05 dan edisi-edisi sebelumnya
Resiko kegempaan rendah
Resiko kegempaan sedang/ menengah
Resiko kegempaan tinggi
BOCA National Building Code 1993, 1996, 1999; Standard Building Code 1994, 1997, 1999; ASCE 793, 7-95; NEHRP 1991, 1994
SPC)2 A, B
SPC C
SPC D, E
UBC 1991, 1994, 1997
Zona kegempaan 0, 1
Zona kegempaan 2
Zona kegempaan 3, 4
Zona kegempaan 1, 2
Zona kegempaan 3, 4
Zona kegempaan 5, 6
Elastik Penuh
Daktilitas Parsial
Daktilitas Penuh
SNI 1726-2002
)1
SDC = Seismic design category yang ditentukan di dalam peraturan
)2
SPC = Seismic performance category yang ditentukan di dalam peraturan
IBC 2006, 2009; ASCE 7-02, 7-05 tidak menggunakan istilah ‘zona kegempaan’ untuk mengekspresikan tingkat resiko kegempaan yang dihadapi, melainkan dengan istilah ‘kategori penghunian’ atau ‘occupancy category’. Istilah ini kemudian dicabut dan sebagai gantinya diperkenalkan istilah ‘kategori resiko’ atau ‘risk category’ pada ASCE 7-10. Dan hal ini yang kemudian diikuti oleh SNI 1726-2012.
ACI sendiri baru menyadari pentingnya untuk memperhitungkan masalah desain ketahanan gempa pada bangunan gedung pada awal 1970-an, yaitu dengan dimasukkannya ketentuan-ketentuan khusus desain tahan gempa pada ACI 318-71. Walaupun pengaturan-pengaturan itu masih belum masuk sebagai tingkatan pasal di dalamnya, melainkan hanya diberi nama sebagai ‘Appendix A – Special Provisions for Seismic Design’, tapi hal itu sudah merupakan langkah maju yang tumbuh dari kesadaran atas fakta-fakta yang dipelajari dari beberapa peristiwa gempa yang merusak yang terjadi di beberapa tempat di dunia, antara lain : Skopje, Macedonia, 26-07-1963, M = 6.9; Anchorage, Alaska, 27-031964, M = 9.2 (gempa Valdivia); dan Caracas, Venezuela, 29-07-1967, M = 6.5. Bab 2
– 19
Persyaratan-persyaratan struktur yang disebutkan di dalamnya didasarkan pada informasi dan rekomendasi yang diambil dari tulisan Blume dkk. (Blume dkk., 1961), dan Hanson & Conner (Hanson dkk., 1967). Di dalamnya disebutkan syarat-syarat struktur beton bertulang yang tahan gempa, antara lain mutu bahan beton dan baja tulangan yang dipergunakan, detail penulangan pada balok dan kolom bangunan, sambungan balok-kekolom (SBK), dan dinding geser (shear-wall). Di dalam hal SBK ini, memang belum banyak ketentuan yang diatur di dalam Appendix A – ACI 318-71 ini. Tetapi untuk pertama kalinya disebutkan bahwa tulangan transversal pada SBK harus diproporsikan agar SBK (dan juga kolom) tidak rusak ketika beban aksial terfaktor pada kolom pada saat gempa mencapai nilai lebih besar daripada 40% kapasitas balanced-nya : Nu > 0.4 Nb. Kemudian, mulai ACI 318-83 dimasukkan aturan bahwa jumlah kekuatan lentur kolom-kolom yang merangka pada suatu SBK haruslah lebih besar daripada jumlah kekuatan lentur balokbaloknya :
M
nk
6 M nb . Masalah SBK ini secara konsisten selalu dipertahankan dan 5
diperbarui berturut-turut pada edisi-edisi 1989, 1992, 1995, 1999, 2002, 2005, 2008, 2011 dan 2014 dari ACI Building Code. Pada tahun 2002 Joint ACI – ASCE Committee 352 telah menerbitkan rekomendasi desain untuk SBK struktur beton bertulang monolitik (Joint ACI – ASCE Committee 352, 2002). Rekomendasi ini, melengkapi pasal-pasal ACI 318, ternyata telah dipakai secara meluas sebagai dasar per-timbangan untuk mendesain SBK tahan gempa di seluruh dunia.
2.2
Beberapa Bentuk Awal SBK yang Telah Dikenal Penelitian-penelitian tentang strong connections telah banyak dilakukan, dan be-
berapa jenis sambungan ini telah pula dipublikasikan. Kodifikasi tentang jenis-jenis sambungan telah pula dilakukan (Martin & Korkosz, 1982). Khusus mengenai SBK, di dalamnya telah dikumpulkan sebanyak 25 (dua puluh lima) jenis sambungan, hanya 4 (empat) di antaranya merupakan sambungan basah, yaitu yang diberi nama BC16, BC17, BC18 dan BC19. Salah satunya, yaitu sambungan BC16, akan diperlihatkan pada Gambar 2.4. Pada era 1960-1980, SBK jenis ini menjadi yang paling disukai untuk dipergunakan pada SRPM daktail. Mula-mula, balok-balok pracetak diletakkan di atas dudukan kolom berbentuk kepala palu (hammerhead). Pelat landas pada bagian dasar balok kemudian disambungkan dengan besi siku pada bagian konsol kolom dengan pengelasan. Berikutnya, batang-batang tulangan tarik disisipkan, dan beton overtopping komposit dituangkan. Setelah masa perawatan (curing) pada beton overtopping ini, barulah kolom di atasnya diereksi. SBK jenis ini memiliki keunggulan dalam menyediakan ketahanan momen secara 20 –
Bab 2
penuh dan kemudahan dalam melakukan penyetelan di lapangan. Kekurangannya adalah kecepatan ereksi yang rendah, karena kolom di atasnya baru bisa dipasang setelah bagian komposit overtopping selesai menjalani perawatan, disamping sulitnya melakukan pekerjaan pengelasan menghadap ke atas (overhead welding). Dari Gambar 2.2 dan 2.3 dapat dilihat, bahwa sambungan daktail bisa dihasilkan dari sambungan monolithic emulation yang disyaratkan harus memiliki kinerja yang sebanding dengan konstruksi beton cor setempat. Untuk itu, sering kali tujuan mendapatkan sambungan daktail diselesaikan dengan melakukan sambungan secara basah. Pada tahun 1992 dimulai riset pengembangan sambungan daktail yang dilakukan secara kering, yaitu yang termasuk dalam kategori JPUP. Hasil yang didapatkan dipasarkan secara komersial oleh Dywidag System International (DSI) dan diberi nama Dywidag Ductile Connection (DDC) (Englekirk, 1996). Walaupun sistem ini diakui memberikan kemudahan & kecepatan dalam pengerjaan, disamping kinerjanya yang di-klaim lebih baik daripada sambungan beton cor setempat, namun harga pengadaan dan pemasangan sistem penyambungnya yang mahal, yaitu dengan dipakainya bahan baja A706 Low-alloy yang mahal sebagai ductile rod. Ditambah lagi dengan keterlibatan pemakaian alat-alat berat di dalam proses konstruksi telah menjadikannya sulit untuk diterapkan di Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang agak jauh dari kota besar. Illustrasi SBK ini diperlihatkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.4 : SBK beton pracetak BC16 tahan momen (Martin & Korkosz, 1982).
Program riset lainnya yang menonjol adalah apa yang disebut PRESSS (PREcast Seismic Structural System). Serangkaian pekerjaan penelitian telah dilakukan dalam kerangka program ini, yaitu pada 1991, 1996 dan 1999. Program ini disponsori bersama-sama oleh National Science Foundation (NSF), Precast/Prestressed Concrete Institute (PCI) dan Bab 2
– 21
Precast/Prestressed Concrete Manufacturers Association of California, Inc. (PCMAC). Di dalam program yang dipimpin oleh Profesor M.J.N. Priestley ini, telah dilakukan koordinasi upaya-upaya dari sekitar selusin team riset dari seluruh wilayah Amerika Serikat untuk memperbaiki kinerja bangunan-bangunan beton pracetak/prategang. Dari riset yang dilakukan, telah dihasilkan 4 (empat) jenis sambungan baru, yaitu yang diberi nama : (1) SBK pretensioned, (2) SBK Tension-Compression Yielding (TCY), (3) SBK TCY dengan gap, − dan (4) SBK hibrida (Nakaki dkk., 1999) dan (Priestley dkk., 1999). Keempat jenis sambungan itu diperlihatkan pada Gambar 2.6 di bawah ini.
PRECAST COLUMN 6"
d (varies)
TIE ROD DUCTILE ROD POCKET
PRECAST BEAM
1' - 3"
TEMPORARY CORBEL PL 4"X5"X1' - 21/2" FOR EACH 2 ROD GROUP (2) - 13/8" DYWIDAG THREADERS W/HEX NUTS
CORBEL
ELEVATION PRECAST COLUMN CORBEL
1' - 4"
PRECAST BEAM
11/2" DIA. A490 BOLTS PRETENSIONED TO 148k EACH
13/4" DIA. DYWIDAG DUCTILE RODS 5" DIA. SHIM PL'S
PLAN VIEW
Gambar 2.5 : SBK pracetak secara kering dengan sistem DDC (Englekirk, 1996).
Dari pengembangan program tersebut telah dihasilkan jenis-jenis SBK innovative yang sama sekali baru, yang termasuk ke dalam kelompok JPUP, yang berperilaku secara sangat effisien terhadap pengaruh beban seismik. Keunggulan dari jenis-jenis SBK tersebut didapatkan dengan menerapkan konsep unbonded pada batang-batang maupun tendon pratekanan, pemberian partial grouting pada batang-batang baja lunak tulangan, atau kombinasi pada keduanya. Salah satu dari inovasi sambungan yang dihasilkan adalah apa yang disebut dengan SBK hibrida, yang memakai tendon unbonded bersama-sama dengan batang-batang baja lunak sebagai tulangan longitudinal untuk meningkatkan kemampuan pemencaran energi (energy dissipating capacity). Bila direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, sistem ini akan menampilkan kinerja yang dapat disetarakan dengan struktur beton monolitik. Tambahannya lagi, sambungan ini juga memiliki kelebihan memperkecil kerusakan dan “memulihkan diri sendiri” (self-centering) segera sesudah gempa berlalu.
22 –
Bab 2
Sambungan ini telah dicoba pada Gedung Paramount berlantai 38 yang terletak di San Francisco, yang merupakan bangunan beton pracetak tertinggi di wilayah kegempaan tertinggi di Amerika Serikat pada waktu itu. 1'- 6"
1'- 6" COLUMN LONGITUDINAL REINFORCING BARS
REBAR SPLICE
UNBONDED POST-TENSIONING USING DYWIDAG THREADBARS ADDITIONAL 2 - #4 EACH FACE OF BEAM TERMINATING 1" CLEAR FROM COLUMN FACE
3" WRAP REBAR IN SLEEVES - TOP & BOTTOM
1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT ADDITIONAL REINFORCING PER BEAM SECTIONS
1'-11"
1'-11"
0.50" PRESTRESSING STRANDS ( DEBONDED IN BEAMS )
COLUMN LONGITUDINAL REINFORCING BARS
MAIN BEAM REINFORCING TOP & BOTTOM W/90o HOOKS AT COLUMN FACES MILD REINFORCING STEEL IN CORRUGATED SLEEVES - SOLID GROUTED 0.50" BONDED PRESTRESSING STRANDS
1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT PRIOR TO STRESSING
1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT
(a) MILD REINFORCING STEEL AT TOP IN METAL CORRUGATED SLEEVES SOLID GROUTED IN BEAM & COLUMN
(b)
1'- 6" COLUMN LONGITUDINAL REINFORCING STEEL BARS
4" WRAP REBAR IN SLEEVES
MILD REINFORCING STEEL - TOP & BOTTOM IN METAL CORRUGATED SLEEVES - SOLID GROUTED
UNBONDED POST-TENSIONING USING DYWIDAG THREADBARS
0.50" UNBONDED POST-TENSIONED STRANDS IN PVC SLEEVE W / NO GROUT
1'- 6" COLUMN LONGITUDINAL REINFORCING BARS 1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT PRIOR TO STRESSING ADDITIONAL REINFORCING NOT IN SLEEVES PER BEAM SECTIONS
WRAP REBAR (DEBONDED)
1'-11"
1'-11"
BACKER RODS AROUND PVC SLEEVES AT JOINT TO KEEP JOINT FREE OF GROUT
ADDITIONAL REINFORCING PER BEAM SECTIONS
1" JOINT - FILL BOTTOM 4" OF JOINT W/FIBER GROUT PRIOR TO STRESSING
UNBONDED POSTTENSIONING USING DYWIDAG THREADBARS
(c)
MILD REINFORCING STEEL TOP & BOTTOM IN METAL CORRUGATED SLEEVES SOLID GROUTED
1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT PRIOR TO STRESSING UNBONDED POSTTENSIONING USING DYWIDAG THREADBARS
0.50" BONDED PRESTRESSING STRANDS
(d)
Gambar 2.6 : Jenis-jenis sambungan yang dihasilkan dari program PRESSS (a) SBK Pretensioned (b) SBK TCY (c) SBK TCY dengan gap (d) SBK hibrida
Perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini sungguh menarik untuk diperhatikan. Sebagai terlihat pada beberapa publikasi riset untuk SBK beton pracetak yang banyak dilakukan, para peneliti mengikuti kecenderungan masyarakat konstruksi yang menginginkan kemudahan dalam pengerjaan beton pracetak, disamping murah harganya. Satu prinsip yang dianggap paling penting dalam mendesain sambungan adalah menjadikan-nya sesederhana mungkin. Nilai ekonomi yang maksimum akan didapatkan dengan desain sambungan yang sederhana, dengan tetap mempertahankan kinerja pada tingkat yang memadai, yang dikompromikan dengan kemudahan dalam pelaksanaannya. Berdasarkan pertimbangan itu, para peneliti mengarahkan riset-risetnya ke upaya-upaya pengembangan konstruksi-konstruksi SBK yang lebih sederhana, sebagai yang telah dilakukan oleh para peneliti dari Turki ini misalnya (Ertas dkk., 2006). Di dalam risetnya, mereka malah lebih cenderung meneliti bentuk-bentuk SBK yang sederhana, yaitu yang mudah dikerjakan Bab 2
– 23
(constructable), disamping murah (economy), dan yang banyak dipakai di masyarakat, daripada menyelidiki lebih lanjut sambungan-sambungan yang canggih berkinerja tinggi seperti produk PRESSS misalnya. Untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dari sisi kinerjanya (performance), yaitu kekuatan dan daktilitas, mereka melakukan perbaikan seperlunya pada detail konstruksi sambungannya. Beberapa jenis SBK yang telah mereka teliti diperlihatkan pada Gambar 2.7 di bawah ini.
CAST-IN-PLACE 3 D20mm 3 D20mm
10mm - 4 in
11.80 in
5.25 ft 6.10 ft
6.10 ft 15.75 in
15.75 in
10mm - 4 in Steel Plate - Welded 3 D20mm 5.25 ft 6.10 ft
11.80 in
19.70 in
CAST-IN-PLACE 2 D20mm ( U-Shaped ) 2 D20mm ( U-Shaped ) 3 D20mm 7.50 19.70 in
8.20 ft 6.30 ft
8.20 ft 6.30 ft
CAST-IN-PLACE 4 D20mm 3 D20mm 3 D20mm
10mm - 4 in 4 D20mm 5.25 ft 6.10 ft
(c)
15.75 in
15.75 in
15.75 in
15.75 in
(b)
15.75 in
15.75 in
(a)
11.80 in
10mm - 4 in 5.25 ft
19.70 in 11.80 in
19.70 in
8.20 ft 6.30 ft
8.20 ft 6.30 ft
4 D20mm 3 D20mm
(d)
Gambar 2.7 : Jenis-jenis sambungan yang diteliti oleh Ertas dkk., 2006. (a) SBK monolith (b) SBK cor setempat pada kolom (c) SBK cor setempat pada balok (d) SBK komposit dengan konsol
Masih ada beberapa lagi jenis SBK yang cukup istimewa untuk disebutkan di sini. Suatu jenis SBK yang dikenal dengan nama Brooklyn system telah diperkenalkan oleh Amaris dkk. (Amaris dkk., 2006). Sistem ini merupakan pengembangan lebih lanjut daripada SBK hibrida dari program PRESSS. Memang, pemasangan tendon terbungkus unbonded dan ‘pengunci geser’ (shear keys) telah menghasilkan peningkatan kemampuan self-centering-nya. Tapi, pemasangan tendon, yang kadang-kadang tidak lurus pada sepanjang bentang balok, adalah tidak mudah (dan juga tidak murah) untuk dilaksanakan di dalam pekerjaan yang sebenarnya. Contoh lain dari pemakaian strand-strand tendon pratekan yang unbonded dan batang-batang baja lunak yang di-grout pada sambungan balok-ke-kolom juga telah diperkenalkan sebelumnya oleh Cheok dkk. (Cheok dkk., 1994). Dengan dipakainya sambungan jenis ini, dilaporkan struktur telah menampilkan kinerjanya dalam hal peningkatan kekakuan dan kemampuannya untuk meminimalisasi deformasi 24 –
Bab 2
residual atau permanen setelah gempa. Tetapi sayangnya, keuntungan itu diperoleh dengan menambahkan penebalan pada ujung-ujung balok, sehingga tidak menguntungkan pada sisi estetika dan fungsionalnya. Akhirnya, disampaikan juga di sini jenis SBK hibrida yang diperkenalkan oleh Rahman dkk. (Rahman dkk., 2006). Nampaknya, sambungan ini telah dikembangkan dengan mempertimbangkan butir-butir kelebihan dari jenis-jenis SBK BC1, BC2, BC3 dan BC5 dari buku yang disusun oleh Martin & Korkosz, 1982. Meskipun pelaksanaannya mudah dan sederhana serta cepat pemasangannya, SBK ini memiliki kekurangan dalam mobilisasi momen tahanan sepenuhnya, disamping daktilitasnya yang rendah, terutama ketika dihadapkan dengan beban bolak-balik. Illustrasi jenis-jenis SBK yang diperkenalkan oleh Amaris dkk., Cheok dkk., dan Rahman dkk. disampaikan pada Gambar 2.8 berikut ini. V
( kept constant )
200 kN Load Cell Axial Load Jack
Column Section
H
( cyclically )
250 Actuator
PLATE 150X80X10 mm
Beam Section Reaction Wall
Hidden Shear Bracket
STIFFENED ANGLE CLEAT 150X90X10 - 150 mm WIDE 4R8@40 mm U-LOOP
DOUBLE BOLTED
250 Transducer
Sheathed unbonded Tendon
2000
Transducer
Post-tensioning Jack
50 kN Load Cell
2T20 R6-100 2T20 2T16 3T10@40 mm
330
50 kN Load Cell Pinned Steel Arm
250
4T2D R6-200
1500
(a)
(b) (All dimensions are in mm)
Dogbone
(All dimensions are in mm) Dogbone
Fully grouted mild steel (2 - #3, Grade 60)
51
Fully grouted mild steel (2 - #3, Grade 60) Unbonded PT bars
68
406
406
677
Fully bonded PT strands
305
677
305
Fiber reinforced grout joint
Fiber reinforced grout joint
305
305
(c)
(d)
Gambar 2.8 : Beberapa jenis SBK yang diperkenalkan kemudian. (a) ‘Brooklyn system’ oleh Amaris dkk. (b) SBK oleh Rahman dkk. (c) SBK oleh Cheok dkk. (d) SBK oleh Cheok dkk.
Bab 2
– 25
2.3
Perbandingan Aspek Kinerja dan Kemudahan Kerja pada Beberapa Jenis SBK Untuk mendapatkan gambaran tentang karakteristiknya masing-masing, maka
perlu dibuat perbandingan pada beberapa jenis SBK. Suatu studi perbandingan seperti itu telah dilakukan terutama untuk meneliti aspek kinerja (performance) dan kemudahan kerja (constructability) dari SBK (Wahjudi dkk., 2012–1) dan (Wahjudi dkk., 2012–3). Metoda pemberian nilai (scoring) dilakukan dengan mendasarkan pada studi pustaka pada masingmasing kelebihan dan kekurangan dari jenis-jenis sambungan yang dipilih. Adapun butirbutir untuk penilaian meliputi kemudahan fabrikasi, kemudahan ereksi/instalasi, grouting & tensioning, keawetan, kemudahan perbaikan setelah kerusakan, ketahanan bakar, kemudahan pemasangan tendon & pemberian pratekanan, kemampuan self-centering, kemampuan penyerapan energi, dan drift ratio. Metoda ini telah pernah dilakukan orang (Camarena, 2006), dan dipakai di sini dengan melakukan beberapa perubahan seperlunya. Sebanyak 12 (dua belas) SBK telah dipilih untuk memperbandingkan kelebihan dan kekurangan masing-masing yang dipilih dari jenis-jenis yang menonjol yang sudah dikenal sejak tahun 1980-an sampai dengan 2006. Uraian ringkas dari studi yang dilakukan disampaikan pada Lampiran – A buku disertasi ini. Dari studi yang dilakukan dapat ditarik penilaian yang hasilnya disampaikan pada Tabel 2.2 di bawah ini. Adalah menarik untuk diperhatikan, bahwa 3 (tiga) score tertinggi dipegang oleh jenis-jenis SBK yang constructable, yaitu Pilihan 11, kemudian Pilihan 12, dan Pilihan 6. Darinya kemudian disusun pertimbangan untuk mengusulkan jenis SBK yang baru, yang mengedepankan aspek kemudahan kerjanya.
Pilihan 1
Pilihan 2
Pilihan 3
Pilihan 4
Pilihan 5
Pilihan 6
Pilihan 7
Pilihan 8
Pilihan 9
Pilihan 10
Pilihan 11
Pilihan 12
Tabel 2.2 : Hasil evaluasi perbandingan berbagai jenis SBK.
Fabrikasi
4
5
4
5
3
4
4
3
3
3
5
5
Kemudahan Ereksi/Instalasi
4
3
4
4
2
4
5
4
3
3
4
4
Kemudahan pada Grouting & Tensioning
5
5
5
5
5
5
4
3
2
2
5
5
Kemudahan pemasangan tendon & pemberian pratekanan
5
5
5
5
5
5
4
3
2
2
5
5
Keawetan
3
4
3
5
3
4
4
4
4
5
5
5
Ketahanan bakar
3
4
3
4
2
4
5
4
4
3
5
5
Kemudahan perbaikan pada kerusakan
3
2
3
3
4
2
3
2
1
1
5
2
Kemampuan pemulihan diri
1
1
1
1
1
1
3
4
3
5
1
1
Kemampuan penyerapan energi
3
3
3
3
3
5
3
4
3
5
4
4
Kapasitas Drift
2
3
2
3
4
5
2
4
3
5
4
4
33
35
33
38
32
39
37
35
28
34
43
40
Skor Total
26 –
Bab 2
2.4
Persyaratan Desain ACI untuk SRPM Tahan Gempa – Balok-balok, Kolom-kolom dan Sambungan Balok-ke-Kolom Untuk masalah bangunan tahan gempa, ACI memasukkan ketentuan-ketentuan
desainnya pada Bab 21 (ACI 318-11). Selanjutnya, masalah balok dicantumkan di dalam Pasal 21.5, kolom bangunan di dalam Pasal 21.6, dan masalah SBK telah dimasukkan ke dalam Pasal 21.7. Butir-butir persyaratan untuk balok-balok bangunan secara garis besar dapat disebutkan sebagai berikut : (B1) Balok-balok didesain terutama untuk memikul beban lentur dengan gaya aksial tekan terfaktor yang bekerja padanya Pu tidak melebihi (fc’Ag/10) (B2) Bentang bersih ln tidak boleh kurang dari 4 (empat) kali tinggi effektif balok d (B3) Lebar balok bw tidak boleh kurang dari nilai terkecil antara 0.3h dan 250 mm. (B4) Lebar penampang bw tidak boleh lebih besar daripada lebar komponen pendukung c2 ditambah jarak yang terkecil dari : (a) c2, atau – (b) 0.75 kali ukuran penampang komponen pendukung pada setiap sisi (B5) Pada sebarang penampang komponen balok, jumlah luas tulangan longitudinal minimum atas maupun bawah dihitung menurut :
As ,min
fc ' 4 fy
bw d
1.4 bw d . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . fy
(2-1)
dimana : fc’ = kuat tekan silinder beton 28 hari, fy = tegangan leleh baja tulangan, bw = lebar badan balok, dan d = tinggi manfaat penampang balok. Ratio tulangan terpasang tidak boleh lebih besar daripada 0.025. Paling tidak harus tersedia 2 (dua) batang tulangan masing-masing pada sisi atas dan bawah penampang. (B6) Semua batang tulangan non-pratekanan harus dikurung di dalam sengkang tertutup dan diikat oleh ikatan-ikatan silang (cross-tie), Diameter sengkang dan ikatan silang minimum adalah 10 mm untuk batang tulangan 32 mm atau yang lebih kecil, dan 13 mm untuk diamater batang tulangan yang lebih besar. (B7) Kuat momen positif penampang balok pada muka SBK tidak boleh kurang dari 1/2 kuat momen negatifnya. Pada sebarang penampang di sepanjang bentang balok, baik kuat momen positif maupun negatifnya tidak boleh kurang dari 1/4 kuat momen maksimumnya pada muka SBK dari kedua ujung-ujungnya. (B8) Sambungan lewatan tulangan longitudinal diperbolehkan hanya bila sambungan tersebut dikurung di dalam tulangan transversal yang berupa sengkang tertutup atau spiral pada sepanjang sambungan lewatannya. Spasi pemasangan tulangan Bab 2
– 27
transversal tidak boleh melampaui d/4 atau 100 mm. Sambungan lewatan tidak boleh dilakukan di dalam : (a) panel SBK, (b) tempat sejarak sampai dengan 2 (dua) kali tinggi penampang komponen dari muka SBK, atau – (c) tempat dimana analisis mengindikasikan terjadinya pelelehan lentur yang diakibatkan oleh perpindahan inelastik pada SRPM. (B9) Penggunaan alat penyambung mekanis dan las pada batang-batang tulangan diperkenankan dengan memperhatikan persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan kategori desain seismiknya masing-masing, yaitu Pasal 21.1.6 untuk penyambung mekanis dan Pasal 21.1.7 untuk sambungan las. (B10) Sengkang-sengkang tertutup harus dipasang pada daerah : (a) sepanjang 2 (dua) kali tinggi penampang komponen yang diukurkan mulai dari bidang muka SBK mengarah ke tengah bentang, pada kedua ujung-ujungnya, dan – (b) sepanjang 2 (dua) kali tinggi penampang komponen yang diukurkan mulai dari tempat yang diperkirakan akan terjadi plastifikasi lentur sehubungan dengan terjadinya perpindahan inelastik pada SRPM, dan mengarah ke tengah bentang. (B11) Sengkang tertutup pertama harus dipasang pada jarak tidak lebih dari 50 mm yang diukur dari muka komponen pendukung. Spasi tulangan sengkang tidak boleh melebihi nilai terkecil dari : (a) d/4, (b) 6 (enam) kali diameter terkecil dari batang tulangan lentur utama, dan – (c) 150 mm. (B12) Di daerah yang memerlukan sengkang tertutup, batang-batang tulangan longitudinal pada sekeliling penampang harus memiliki penahan lateral. Jarak dari batangbatang tulangan longitudinal tidak boleh melebihi 350 mm. (B13) Di daerah yang secara teoretik tidak memerlukan sengkang tertutup, sengkangsengkang tetap harus dipasang dengan spasi yang tidak lebih besar daripada d/2, yang harus dipasang pada seluruh panjang bentang daerah tersebut. (B14) Sengkang-sengkang yang dibutuhkan untuk memikul geser harus dipasang pada seluruh bagian panjang bentang komponen. (B15) Unit-unit sengkang diperkenankan terdiri dari dua jenis penulangan, yaitu sengkang tertutup yang memiliki kait seismik pada kedua ujungnya, dan ikatan-ikatan silang (cross-tie). 2 (dua) ikatan silang yang berturutan pada sepanjang batang tulangan akan diakhiri oleh kait 90o dan 135o secara berselang-seling. Berbeda dengan balok, keruntuhan pada kolom akan lebih berbahaya, karena akan mengundang keruntuhan total bangunan. Karenanya, pada kolom diterapkan standar perlindungan yang lebih tinggi daripada balok. Butir-butir persyaratan untuk kolom-kolom 28 –
Bab 2
bangunan dicantumkan pada Pasal 21.6 ACI yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut : (K1) Kolom-kolom sebagai bagian dari sistem pemikul beban gempa didesain memikul beban gaya aksial tekan terfaktor yang akibat berbagai kombinasi pembebanan struktur Pu lebih besar dari (fc’Ag/10) (K2) Dimensi penampang terpendek, diukur pada satu garis lurus yang ditarik melalui titik pusat berat penampang, tidak boleh kurang dari 300 mm (K3) Rasio dimensi penampang terpendek dengan dimensi yang tegak lurus padanya tidak boleh kurang dari 0.4 (K4) Kekuatan lentur kolom harus lebih besar daripada kekuatan lentur balok, yaitu :
M
nk
(6 / 5) M nb
....................................
(2-2)
dimana : Mnk = jumlah kekuatan lentur nominal kolom yang merangka ke dalam SBK, yang dihitung pada bidang muka sambungan. Kekuatan lentur kolom harus diperhitungkan pada gaya aksial terfaktor yang terjadi, konsisten dengan arah gaya lateral yang dipertimbangkan, sehingga menghasilkan kekuatan lentur yang paling rendah.
Mnb = jumlah kekuatan lentur nominal balok yang merangka ke dalam
SBK, yang dihitung pada bidang muka sambungan. Bila dipergunakan balok – T, di mana bagian sayap (flange) berada dalam keadaan tarik, maka sumbangan tulangan-tulangan pada pelat (slab) pada daerah sepanjang lebar effektif sayap harus diperhitungkan pada Mnb. (K5) Rasio tulangan longitudinal total t tidak boleh kurang dari 0,01 dan tidak boleh lebih dari 0.06. Pada penampang berbentuk lingkaran harus terdapat sekurangkurangnya 6 (enam) batang tulangan. (K6) Penggunaan alat penyambung mekanis dan las pada batang-batang tulangan diperkenankan dengan memperhatikan persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan kategori desain seismiknya masing-masing, yaitu Pasal 21.1.6 untuk penyambung mekanis dan Pasal 21.1.7 untuk sambungan las. Sambungan lewatan diijinkan hanya bila sambungan tersebut dimaksudkan sebagai sambungan tarik, dan sambungan tersebut harus dimasukkan ke dalam kurungan tulangan transversal. (K7) Tulangan transversal harus dipasang pada daerah sepanjang l0 yang diukurkan dari muka SBK pada kedua sisinya dari suatu penampang yang mungkin terjadi pelelehan lentur yang diakibatkan oleh terbentuknya perpindahan lateral inelastik pada rangka. Panjang l0 harus ditentukan sebagai nilai terbesar dari : (a) tinggi Bab 2
– 29
penampang komponen yang mungkin mengalami pelelehan, (b) 1/6 bentang bersih komponen, dan – (c) 450 mm. (K8) Tulangan transversal bisa berupa spiral lingkaran, sengkang lingkaran, ataupun sengkang-sengkang siku dengan atau tanpa ikatan silang dengan diameter batang yang sama. Setiap ikatan silang harus mengikat batang tulangan longitudinal yang berada di sekeliling penampang. 2 (dua) ikatan silang yang berturutan pada sepanjang batang tulangan akan diakhiri oleh kait 90o dan 135o secara berselangseling. Jarak antar ikatan silang atau antara ikatan silang dengan kaki sengkang hx tidak boleh lebih besar daripada 350 mm pusat ke pusat. (K9) Spasi tulangan transversal pada daerah sepanjang l0 tidak boleh melampaui nilai terkecil dari : (a) 1/4 dari ukuran penampang yang paling kecil, (b) 6 (enam) kali diameter batang tulangan longitudinal yang paling kecil, dan – (c) s0 sebagai didefinisikan menurut persamaan berikut ini : 350 hx ..................... 150mm 3 dan hx sebagai didefinisikan menurut Gambar 2.9 di bawah. 100mm s0 100
diperpanjang 6 bdb 7575mm mm diperpanjang 6d
(2-3)
Kedua ujung ikatan silang yang berdekatan dibengkokkan dengan kait 90o dan 135o secara berselang-seling
Ash2
xi
bc2
xi
Ash1 xi
xi
xi
bc1 Jarak xi dari pusat ke pusat kaki-kaki ikatan silang tidak boleh melampaui 350 mm. Suku hx sebagai yang dimaksudkan di dalam butir (9) persyaratan kolom adalah diambil nilai terbesar dari xi ini.
Gambar 2.9 : Contoh pemasangan tulangan transversal pada kolom.
(K10) Kebutuhan tulangan transversal pada daerah sepanjang l0 kolom harus ditentukan menurut butir (a) atau (b), kecuali bila kebutuhan yang lebih besar akibat geser menentukan lain :
30 –
Bab 2
(a)
rasio volumetrik spiral atau sengkang lingkaran s :
s 0.12
Ag f ' fc ' 0.45 1 c f yt Ach fy
........................
(2-4)
(b) luas penampang melintang total dari sengkang empat persegi panjang tidak boleh kurang dari persamaan (2-6) :
Ash 0.30
s bc f c ' Ag s bc f c ' 1 0.09 f yt Ach f yt
.............
(2-5)
Dari (a) dan (b) di atas, s = spasi sengkang, bc = ukuran melintang penampang inti (core), yang diukurkan dari sisi-sisi terluar batang tulangan transversal, dari kolom yang di dalamnya terkandung tulangan Ash , fc’ = kekuatan silinder beton 28 hari, fyt = tegangan leleh baja yang dipakai sebagai tulangan transversal, Ag = luasan gross penampang beton komponen, dan Ach = luas penampang inti komponen, yang diukurkan dari sisi-sisi terluar batang tulangan transversal. (K11) Pada daerah di luar panjang l0, kolom harus dipasangi spiral atau sengkang tertutup untuk memikul beban geser dengan spasi s yang tidak boleh melampaui nilai terkecil dari : (a) 16 kali diameter terkecil batang tulangan longitudinal kolom, dan – (b) 150 mm. Pasal 21.7 ACI 318-11 mengatur syarat-syarat desain bagi SBK dari SRPMK yang merupakan bagian dari sistem pemikul beban seismik. Mengingat fungsi penting dari SBK khususnya pada SRPMK, suatu kerja gabungan antara ACI dan ASCE pada tahun 2002 telah menghasilkan suatu rekomendasi pada desain SBK. Semula, rekomendasi itu dimaksudkan untuk melengkapi pasal-pasal ACI 318-99 yang memang belum lengkap mengatur mengenai SBK (Joint ACI–ASCE Committee 352, 2002). Tapi dengan berjalannya waktu, pelan-pelan butir-butir dari rekomendasi itu akhirnya larut masuk ke dalam pasal-pasal ACI 318 itu sendiri. Dari butir-butir persyaratan desain untuk SBK di bawah ini, 4 (empat) yang pertama adalah berasal dari rekomendasi tersebut, sedangkan sisanya berasal dari pasal-pasal ACI 318-11. Perumusan untuk menghitung kuat geser nominal sambungan Vn sebagai disampaikan pada butir (3) telah disederhanakan, bila dibandingkan dengan bentuknya semula di dalam rekomendasi. (S1) Perbandingan antara kapasitas momen kolom dengan balok masing-masing bidang antar muka SBK adalah :
M
nk
(6 / 5) M nb
sebagai yang telah dituliskan
pada persamaan (2-2) dari butir – 4 persyaratan kolom di depan. Persyaratan ini
Bab 2
– 31
ditetapkan sehubungan dengan prinsip strong column – weak beam, dimaksudkan agar balok mencapai pelelehan terlebih dahulu daripada kolom. (S2) Ujung-ujung batang tulangan balok dalam tarik dijangkarkan dengan kait standar 90o yang masuk ke dalam kolom sambungan dengan panjang yang diukurkan dari penampang kritis tidak kurang dari :
ldh
f y db 5.40 f c '
8db 150mm
............................
(2-6)
dimana : ldh = panjang penyaluran batang dengan kait 90o, fy = tegangan leleh baja tulangan, db = diameter batang tulangan yang dipakai, dan fc’ = kekuatan silinder beton umur 28 hari. (S3) Untuk mencegah kegagalan geser sebelum pembentukan sendi plastik pada balok, kekuatan geser Vn yang dihitung pada bidang horizontal di dalam sambungan harus memenuhi : Vn
f c ' Aj
........................................
(2-7)
dimana : = 1.70, bila sambungan dikekang pada keempat sisinya, 1.20 bila dikekang pada ketiga sisinya atau dua sisi yang berlawanan, atau 1.00 untuk kasus yang selainnya. Sedangkan : Aj = luas effektif sambungan, yang dihitung dari perkalian tinggi sambungan h dengan lebar effektif sambungan b. Tinggi effektif sambungan adalah tinggi total penampang kolom. Lebar effektif sambungan adalah lebar total kolom, terkecuali pada keadaan suatu balok yang merangka pada kolom yang lebih lebar, lebar effektif tidak lebih besar daripada : (a) lebar balok ditambah tinggi sambungan, b + h, atau – (b) 2 (dua) kali jarak tegak lurus terkecil yang diukurkan dari garis tepi balok ke garis tepi kolom, b + 2x. Uraiannya sebagai yang dijelaskan menurut Gambar 2.10. (S4) Untuk mengendalikan kerusakan yang terus meningkat (deterioration) pada SBK selama berlangsungnya beban gempa, tulangan transversal perlu dipasang di dalam sambungan, yang berupa sengkang-sengkang tertutup dan ikatan-ikatan silang dengan spasi menurut butir (K9), dan kebutuhan luas penampang tulangan menurut butir (K10) dari persyaratan desain kolom di atas. (S5) Gaya-gaya pada batang-batang tulangan longitudinal balok pada bidang muka SBK harus dihitung dengan menganggap tegangan tarik lentur yang terjadi padanya sebesar 1.25fy.
32 –
Bab 2
Effective joint area, Aj Joint depth = h in plane of reinforcement generating shear
Effective joint width = b + h 2x bb ++ 2x
x x Reinforcement generating shear
b
h
Direction of forces generating shear
Note :
Effective area of joint for forces in each direction of framing is to be considered separately. Joint illustrated does not meet conditions of 21.7.3.2 and 21.7.4.1 necessary to be considered confined because the beams do not cover at least 3/4 of the width of each of the faces of the joint.
Gambar 2.10 : Anatomi sambungan balok-ke-kolom secara umum.
(S6) Sebagai pelengkap dari butir (S2) di atas, dalam hal tulangan menyalurkan gaya tekan, maka panjang penyaluran diambil menurut persamaan (2-8) :
ldc 0.24
fy
fc '
db 0.043 f y db 200mm
...............
(2-8)
dimana : ldc = panjang penyaluran dalam tekan, = faktor bernilai 0.75, dan db = diameter batang tulangan. (S7) Bila batang-batang tulangan longitudinal balok diperpanjang masuk menembus SBK, ukuran penampang kolom yang sejajar dengan batang tulangan tidak boleh kurang dari 20 (dua puluh) kali diameter terbesar dari tulangan untuk beton normal, dan tidak boleh kurang dari 26 (dua puluh enam) kalinya bila diperuntukkan beton ringan. (S8) Di dalam hal balok-balok merangka pada keempat sisi SBK, dimana setiap baloknya memiliki lebar penampang sedikitnya 3/4 lebar kolom, maka banyaknya penulangan transversal menurut persyaratan butir (S4) di atas boleh dikurangi dengan separohnya, dan spasi boleh diperbesar sampai menjadi 150 mm pada daerah sepanjang tinggi penampang h dari balok yang paling kecil. (S9) Batang-batang tulangan longitudinal balok yang berada di luar inti kolom harus dikekang oleh tulangan transversal dengan spasi menurut butir (B11), dan kebutuhan tulangan menurut butir-butir (B12), (B13), (B14) dan (B15) dari persyaratan balok di depan. Bab 2
– 33
lu
panjang tak tersangga kolom, diukur dari muka ke muka balok
lu
llnn B
) (2)
)2 lulu–#22 ll00 *
bentang bersih balok, diukur dari muka ke muka kolom
B
l0l0
A hh ¼¼lnln
22l0l0 ++ hh
tinggi penampang balok
) (1)
*) 1
A
l0l0 2h
) (2)
llnn –4h4h
2h
lluu#– 22 ll00 *) 2
-
Pada daerah bagian bentang ini sengkang-sengkang tertutup dipasang untuk memikul geser dengan spasi : s d 2 Pada daerah bagian bentang ini sengkang-sengkang tertutup harus dipasang untuk memikul geser : a). Spasi sengkang : s d 4 6d b 150mm
( db = dia. tul. long. balok )
b). Sengkang tertutup pertama dipasang pada jarak maksimum 50 mm dari muka kolom
A–A
B–B As bw d
As ,t t bk hk Lebar penampang :
bk 0.4hk 300mm
Lebar penampang :
h
d
bw 0.3h 250mm bw 2bk bk 0.75hk
bk
Persentase tulangan :
0.01 t 0.06
Diameter sengkang minimum 10 mm
bw
Catatan :
As ' ' bw d Persentase tulangan :
Kapasitas nominal momen kolom :
hk
M
nk
(6 / 5) M nb
1.4 0.025 fy
*) 1 - Untuk penentuan panjang l0 dan spasi tulangan transversal s lihat catatan (K7) dan (K9), sedangkan untuk kebutuhan tulangan lihat catatan (K10) *) 2 - Untuk daerah di luar l0 dari ujung-ujung kolom sengkang-sengkang tertutup dipasang untuk memikul geser dengan memperhatikan catatan (K11)
Gambar 2.11 : Persyaratan desain untuk SBK beserta balok-balok dan kolom-kolom yang merangka padanya menurut ACI 318-11.
Hasil uraian dari persyaratan desain untuk SBK berikut balok-balok dan kolomkolom yang merangka padanya disampaikan pada Gambar 2.11. Bila butir-butir pesyaratan di atas dilaksanakan dengan benar, maka urut-urutan terjadinya pelelehan pada struktur SRPMK yang mendapatkan pembebanan sampai ke keadaan batasnya adalah : lentur balok – geser balok – lentur kolom – geser kolom – SBK. Dengan demikian kemungkinan untuk terjadinya kerusakan yang lebih meluas pada bangunan akan dapat dicegah, karena kegagalan diarahkan untuk dimulai dari bagian bangunan yang paling kecil resikonya untuk membawa akibat pada keruntuhan totalnya. 34 –
Bab 2
BAB 3 STUDI ANALITIK 3.1
Umum Pada bangunan SRPM, SBK merupakan titik-titik kritis di dalam hal mekanisme
penyebaran gaya-gaya. Karenanya, pemilihan jenis SBK dan pengetahuan pada kinerjanya terhadap beban-beban merupakan tahapan yang penting di dalam desain bangunan. Sebagai ditunjukkan di dalam analisis mekanika struktur, pada daerah di sekitar SBK memang terjadi konsentrasi yang besar dari gaya-gaya dalam, baik akibat beban vertikal (gravitasi) maupun beban horizontal (angin & gempa). Juga, bukti-bukti pada bangunanbangunan yang mengalami kegagalan akibat gempa telah menunjukkan terjadinya kerusakan-kerusakan yang besar pada SBK. Gambar 3.1 menunjukkan hasil analisis struktur pada SRPM dan beberapa gambar contoh bangunan yang rusak akibat gempa.
(a)
(c)
(b)
(d)
(e)
Gambar 3.1 : Pembentukan gaya-gaya dalam dan kerusakan yang besar di sekitar SBK (a) Diagram M akibat beban gravitasi (b) Diagram M akibat beban gempa (c) Kerusakan SBK sudut akibat gempa Izmit, Turki, 1999 (d) Kerusakan pada SBK akibat gempa Christchurch, NZ, 2011 (e) Kerusakan SBK pada SRPM akibat gempa Haiti, 2010 Bab 3
– 35
Menurut letaknya di dalam SRPM, SBK terdiri dari SBK luar (exterior) dan SBK dalam (interior). Untuk keperluan analisis, SBK bisa dimodelkan secara terpisah sebagai suatu subassembly yang independen. Lihat Gambar 3.2. Kinerja SBK diukur dengan melakukan pemeriksaan karakteristik responsnya terhadap beban, yang menggambarkan terjadinya perubahan-perubahan keadaan yang dialaminya, yaitu : elastik – leleh – strainhardening – ultimate (batas). Untuk menirukan pembebanan bolak-balik acak seperti yang terjadi pada saat gempa, maka dipergunakanlah simulasi pembebanan siklik dalam bentuk yang teratur, misalnya sebagai yang telah ditentukan oleh ACI 374.1–05 (ACI Committee 374, 2005). Dengan skema pembebanan ini, beban siklik kwasi-statik*)1 akan diberikan pada spesimen SBK secara inkremental sehingga perubahan keadaan yang terjadi padanya dapat diamati secara seksama.
Sambungan Luar (Exterior Joint)
Sambungan Dalam (Interior Joint)
Gambar 3.2 : Subassembly SBK di dalam struktur SRPM
P
P
Plastifications are formed at the beam-ends
Plastic hinge as Link-beam with zero length
h lp
(a)
(b)
Gambar 3.3 : Subassembly SBK dengan beban lateral P. (a) Terjadi plastifikasi pada ujung-ujung balok (b) Daerah plastifikasi di-idealisasi-kan sebagai sendi plastik
*)1 – Di dalam ilmu mekanika padatan (solid mechanics), istilah beban kwasi-statik (quasi-static) merujuk pada pembebanan dimana pengaruh inersialnya diabaikan. Dengan kata lain, pengaruh waktu di dalam penerapan pembebanan dan massa kelembamannya tidak diperhatikan.
36
Bab 3
Pada Gambar 3.3 diperlihatkan suatu subassembly SBK yang mendapatkan beban lateral P pada ujung bebas kolom untuk membangkitkan gaya-gaya dalam momen dan geser pada sambungan. Untuk menirukan pembebanan gempa yang bolak-balik, maka beban P itu diterapkan sebagai beban siklik, dan kemudian perpindahan yang ditimbulkannya dicatat. Ketika pembebanan mencapai kekuatan lelehnya, maka pada SBK akan terjadi plastifikasi yang muncul ke dalam bentuk kerusakan-kerusakan yang berupa retakretak pada beton dan perpanjangan yang tak dapat pulih pada baja-baja tulangan. Kerusakan ini biasanya akan terkonsentrasi pada daerah-daerah kritik SBK, misalnya di sekitar kedua ujung balok, yang kemudian di-idealisasi-kan sebagai sendi-sendi plastik. Pasangan data antara P dan akan membentuk suatu grafik respons histeretik.
3.2
Beberapa Parameter pada Perilaku Respons Histeretik SBK Pada SBK akan terjadi keseimbangan gaya-gaya dalam yang terbentuk pada bidang
muka (interface) dari balok-balok dan kolom-kolom yang merangka padanya, sebagai yang diperlihatkan pada Gambar 3.4-(a). Dari kompatibilitas regangan dan gaya-gaya yang terbentuk pada keempat bidang mukanya, maka kekuatan SBK akan dapat dihitung. Ketika kemudian pada SBK diberikan beban yang terus-menerus ditingkatkan, maka pada suatu saat akan tercapailah kekuatan batasnya. Bila SBK didesain dengan prinsip strong column – weak beam, maka tercapainya kekuatan batas itu akan ditandai dengan terjadinya plastifikasi pada ujung-ujung balok, dan grafik histeretik momen – rotasi pada sendi plastik balok-baloknya yang terbentuk akan sebagai yang terlihat pada Gambar 3.4-(d). Grafik histeretik ini berupa lintasan gerak bolak-balik yang membentuk ‘loop’ tertutup, yang ditimbulkan akibat tercapainya kondisi paska-leleh pada beton dan baja tulangan secara berulang. Biasanya kurva yang dihasilkannya berbentuk ‘gemuk’, untuk merefleksikan hubungan tegangan-regangan materialnya. Tetapi, bila pembebanan beralih dari ragam lentur ke geser dan banyak retak terbentuk pada beton sehingga terjadi slip antara baja tulangan dengan beton di sekelilingnya, maka kurva yang dihasilkan agak ‘kurus’/’pepat’ (pinched) di bagian tengahnya, sebagai terlihat pada Gambar 3.4-(d) tersebut. Pada grafik histeretik tersebut bisa dihamparkan (overlaid) grafik respons monotonik yang bisa dilacak dari perubahan-perubahan keadaan yang terjadi, yaitu : elastik – leleh – strain-hardening – ultimate. Grafik monotonik tersebut adalah sebagai yang terlihat pada lintasan berwarna merah pada Gambar 3.4-(d), disamping sebagai disajikan pada Gambar 3.4-(e). Bila diperlukan, pada grafik monotonik ini juga bisa dibubuhkan catatan tentang drift yang terjadi. Drift adalah simpangan lateral yang dialami dibagi dengan tinggi tingkat h, dan biasanya dinyatakan dalam bilangan %. Bab 3
– 37
2% Drift
Mka , Vka , Nka
Mbl , Vbl
Moment
Vjh Vjv Mbl , Vbl
Mkb , Vkb , Nkb
BeamRotation
(a)
(d)
-
+
+
Load, P or M
+
Onset of Strain-hardening
Mu
Design EQLoad Level
yy
Deformation, or
P or M M
T D
Energy'transmitted' by structure
Energy'dissipated' or 'absorbed' by structure in one cycle of loading
or
T
(c)
uu
(e)
T
T
Failure
First Yield
(b)
C
Ultimate
Yield Completely
My
-
+
C
4% 6%
3%
C
C (f)
Gambar 3.4 : Gaya-gaya dan perpindahan yang terjadi di dalam SBK (a) Gaya-gaya pada bidang muka SBK (b) Distribusi regangan-regangan (c) Distribusi tegangan dan gaya-gaya (d) Grafik histeretik respons siklik (e) Grafik respons monotonik (f) Energi dari 1 siklus respons
Dari grafik yang didapatkan, dapat dievaluasi beberapa sifat karakteristik perilaku respons suatu SBK terhadap beban siklik. Sifat-sifat ini akan bersifat spesifik pada sistem SBK itu, dan akan berbeda-beda dari suatu sistem ke sistem yang lainnya. Dengan memperhatikan bentuk grafik histeretiknya, beberapa parameter utama bisa dievaluasi dari suatu SBK, yaitu : (1) daktilitas, (2) kapasitas pemencaran energi, (3) degradasi kekakuan, (4) deteriorasi kekuatan, dan – (5) kapasitas drift. Daktilitas adalah kemampuan struktur untuk melakukan deformasi paska-elastik yang besar sambil tetap mempertahankan kekuatannya semula. Nilai daktilitas ditentukan sebagai perbandingan antara deformasi ultimate dengan deformasi pada saat awal leleh. Dengan mengacu pada Gambar 3.4 (e), daktilitas dituliskan sebagai :
38
Bab 3
u y
..................................................
(3-1)
Selanjutnya, energi dinyatakan sebagai nilai integrasi beban ke deformasi, yaitu : E Md
.................................................
(3-2)
Dengan Gambar 3.4-(f) ditunjukkan, bahwa pada saat pembebanan (loading) siklus akan terkumpul energi sebagai yang ditunjukkan dengan luasan daerah yang dibatasi oleh lintasan kurva dengan sumbu horizontal. Ketika lepas beban (unloading), terjadi pelepasan/ transmisi energi sebesar luasan daerah yang diarsir warna kuning. Sisanya, luasan daerah yang diarsir warna merah muda, akan dipencarkan (dissipated) atau diserap (absorbed) atau diredam (damped) oleh sistem struktur dan diubah menjadi bentuk energi gesekan atau panas yang tak bisa kembali ke dalam bentuknya semula (irrecoverable). Kemampuan pemencaran energi ini menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan suatu sistem struktur daktail, termasuk di dalamnya : SBK. Disamping berhubungan dengan keamanan dan kenyamanan bangunan terhadap gempa, nilai ini juga berkaitan dengan penentuan reduksi beban gempa rencana R. Melalui Gambar 3.4-(f) akan terlihat, bahwa sistem yang memiliki kapasitas pemencaran energi besar akan ditunjukkan dengan kurva yang ‘gemuk’ (fat loop), sedangkan kapasitas yang kecil ditunjukkan oleh kurva yang ‘kurus’ (pinched loop). Biasanya struktur dengan kapasitas pemencaran energi yang besar (kurva gemuk) lebih disukai daripada yang kapasitasnya kecil (kurva kurus). Degradasi kekakuan adalah fenomena berkurangnya nilai kekakuan struktur oleh bertambahnya bilangan siklus di dalam pembebanan bolak-balik. Pada struktur beton, gejala ini akan nampak dengan jelas. Ketika beban-beban sudah mencapai paska-leleh, saat ulang beban (reloading) pada suatu siklus akan terjadi pembukaan retak. Dengan peretakan ini terjadilah ketidak-sepadanan (incompatibility) antara regangan-regangan baja tulangan dengan beton, yang mengakibatkan terjadinya slip tulangan. Selanjutnya, pada saat lepas beban (unloading), retak-retak itu akan berusaha menutup kembali, tapi tidak bisa sepenuhnya. Maka, ketika ulang beban siklus berikutnya, retak-retak itu akan membuka lebih lebar lagi, dengan membawa akibat berkurangnya kekakuan strukturnya. Dengan mengamati kurva histeretik yang terekam dari suatu uji pembebanan, gejala itu bisa dievaluasi dari berkurangnya nilai beban untuk mencapai deformasi atau perpindahan yang sama dengan yang diberikan pada siklus sebelumnya. Illustrasinya diperlihatkan pada Gambar 3.5. Deteriorasi kekuatan terjadi pada pembebanan paska-leleh secara siklik, yaitu peristiwa berkurangnya nilai beban pada angka bilangan siklus pembebanan yang semakin besar. Hal ini nampak jelas dengan menurunnya lintasan grafik selongsong (envelope curve) dari kurva respons histeretik yang terekam. Gambar 3.6 menampilkan hasil pengBab 3
– 39
ujian atas 3 (tiga) spesimen yang berbeda. Dengan mengamati bentuk-bentuk grafik selongsong yang berbeda pada ketiganya, maka terlihatlah bahwa deteriorasi kekuatan paling besar sampai ke yang paling kecil terjadi secara berturut-turut pada spesimenspesimen W0, W0-M1, dan W0-M2. Pada umumnya, deteriorasi kekuatan ini menjadi indikator pada tingkat kerusakan struktur, khususnya pada hilangnya lekatan pada tulangan dan kegagalan pada penjangkaran tulangan balok. ki ki+1
Beban, P (ton)
7.93 6.79
Perpindahan ujung, (mm)
Siklus ke-i+3
Siklus ke-i+1 Siklus ke-i+2
= 67.09 mm
Siklus ke-i
Gambar 3.5 : Illustrasi degradasi kekakuan. Drift (%)
Displacement (mm)
Displacement (mm)
P/Pn
Drift (%)
P/Pn
Actuator Load, P (kN)
Drift (%)
Displacement (mm)
Gambar 3.6 : Illustrasi deteriorasi kekuatan
Seperti telah disebutkan di depan, drift adalah perpindahan lateral struktur pada suatu tingkat relatif terhadap tingkat di atas atau di bawahnya. Pada struktur dengan pembebanan siklik, kapasitas drift ini memberikan indikasi langsung pada daktilitasnya. Untuk mengetahui besarnya drift, pada struktur diberikan riwayat pembebanan siklik dengan pola yang sudah ditentukan, dimana pembebanan siklik akan diberikan secara bertahap, dengan masing-masing tahap diulangi 2@3 kali untuk melihat pengaruh degradasi kekakuan dan 40
Bab 3
deteriorasi kekuatannya (ACI Committee 374, 2005). Yang ditetapkan sebagai kapasitas drift adalah perpindahan lateral terbesar yang dilakukan oleh struktur pada siklus terakhir sebelum mengalami keruntuhan. Sebagai contoh, ketiga SBK dengan grafik respons histeretik sebagai yang ditunjukkan pada Gambar 3.6, menampilkan drift ratio = 6.83 in = 8%+, sementara SBK dengan grafik respons seperti terlihat pada Gambar 3.4-(d) menampilkan drift yang lebih besar daripada 6% (pada keadaan tersebut struktur belum runtuh).
Story Drift (%)
Story Drift (%)
(c)
(b)
rupture of reinforcement
Load (kip)
Load (kip)
Story Drift (%)
Story Drift (%)
(a)
Story Drift (%)
Load (kip)
Story Drift (%)
Load (kip)
Load (kip)
Story Drift (%)
Load (kip)
Story Drift (%)
(d)
Gambar 3.7 : Kurva histeretik respons sambungan yang diteliti oleh Ertas dkk., 2006. (a) Sambungan monolith (b) Sambungan CIP pada kolom (c) Sambungan CIP pada balok (d) Sambungan komposit dengan konsol.
Di dalam Bab 8 SNI 03-1726-2002 telah ditetapkan bahwa drift, yang ditimbulkan oleh beban gempa nominal yang telah dibagi oleh suatu faktor skala, tidak boleh melampaui nilai : 3% R untuk kinerja batas layan, dimana R adalah faktor reduksi beban gempa yang merefleksikan tingkat daktilitas strukturnya. Sedangkan untuk kinerja batas ultimate, drift akibat beban gempa rencana tidak boleh lebih besar daripada 2% (BSN, 2002). Penetapan ini hampir sama persis dengan yang disebutkan oleh UBC-1997. Oleh UBC-1997, nilai tersebut ditetapkan dengan lebih rinci, yaitu drift maksimum oleh respons inelastik = 2.50% untuk struktur dengan perioda : T 0.70 detik, dan drift maksimum = Bab 3
– 41
2% untuk perioda : T 0.70 detik (ICBO, 1997). Di dalam ASCE 7-10, penetapan design drift disebutkan di dalam Table 12.12-1, yaitu di dalam kategori “All other structures” : 2%, 1.50% dan 1%, masing-masing untuk kategori resiko I/II (rendah), III (sedang) dan IV (tinggi) (ASCESEI, 2010). Dengan mengabaikan sumbangan deformasi oleh balok dan kolom pada perpindahan global struktur, maka kebutuhan drift dari peraturan bangunan tersebut biasanya akan selalu dapat dipenuhi oleh jenis-jenis SBK yang sudah dikenal. Banyak riset yang telah dilakukan menunjuk pada hasil kemampuan drift yang lebih besar daripada syarat yang ditetapkan oleh peraturan. Salah satunya dapat diajukan di sini sebagai contoh. Dalam publikasinya, peneliti dari Turki ini melaporkan hasil risetnya yang telah dilakukan atas 5 (lima) jenis SBK, dimana 4 (empat) buah di antaranya akan ditampilkan di sini. Keempat SBK itu adalah : (1) SBK monolith, (2) SBK CIP (cast in place = cor setempat) pada kolom, (3) SBK CIP pada balok, dan – (4) SBK komposit dengan konsol. Kurva respons histeretik dari keempatnya disajikan pada Gambar 3.7 di atas. SBK monolith pada umumnya menampilkan respons siklik yang bagus, khususnya dari sisi daktilitas dan disipasi energinya. Padanya hampir tak terlihat terjadinya pinching effect. Juga tidak terjadi deteriorasi kekuatan sampai drift ratio tercapai 4%. Retak-retak terbentuk merata pada ujung balok, dan sedikit pada bagian kolom sambungan. SBK jenis ke-dua, yaitu sambungan CIP pada kolom, menunjukkan grafik respons yang hampir sama dengan SBK monolith sampai dengan drift ratio kira-kira 2.75%. Selanjutnya, deteriorasi telah terjadi dan dapat terlihat dengan jelas, yaitu sehubungan dengan hancurnya selimut beton oleh tekan pada ujung balok, dan menekuknya (buckling) tulangan longitudinal. Tidak terjadi kehilangan lekatan (bond) pada baja tulangan dengan beton, karena bagian cor setempat pada sambungan di kolom memakai beton berserat baja (steel fiber concrete). Pada SBK jenis ke-tiga, kerusakan pada umumnya terjadi pada pertemuan antara beton CIP dengan beton pracetak, baik pada sisi balok maupun kolom. Pada saat drift ratio mencapai 2.75%, retak pada antarmuka di sisi balok membuka lebih lebar. Pada drift yang lebih tinggi, pembukaan retak ini meningkat lebih cepat, yang nampaknya hal ini menyebabkan keruntuhan spesimen. Sama seperti SBK monolith, pada SBK ini hampir tak terlihat terjadinya pemepatan (pinching effect). Pada SBK jenis ke-empat, yaitu SBK komposit, telah dihasilkan respons dengan kekakuan yang lebih besar dibandingkan dengan spesimenspesimen lainnya. Hal ini nampaknya disebabkan oleh meningkatnya momen tahanan dalam pada balok dengan disalurkannya gaya tarik pada batang tulangan longitudinal bagian bawah balok pada tulangan-tulangan konsol, dan pemasangan tulangan longitudinal tambahan pada bagian topping balok. Pada SBK ini dihasilkan kurva respons dengan daktilitas dan drift yang lebih kecil bila dibandingkan dengan ketiga spesimen lainnya. 42
Bab 3
Kinerja yang lebih buruk ini disebabkan oleh putusnya secara mendadak batang tulangan bawah pada balok, yang mungkin terjadi akibat perubahan sifat mekanis baja yang menjadi getas karena proses pengelasan pada saat mempersiapkan penjangkaran balok pada baja pelat landas konsol (Ertas, dkk., 2006).
3.3
Studi Analitik Respons Inelastik SBK yang telah Dilakukan oleh para Peneliti Terdahulu dan Model Konstitutif *)1 yang Didapatkan Perilaku respons SBK beton bertulang sangat tergantung pada sifat-sifat mekanik
bahan-bahan pembentuknya. Untuk baja tulangan, perilaku hubungan tegangan – regangan yang paling populer dipakai adalah model Menegotto–Pinto. Di dalam model ini, sifat-sifat penting dari baja pada saat leleh dan strain-hardening-nya dapat ditampilkan dengan tepat. Fenomena pelunakan regang yang dikenal dengan efek Bauschinger dapat pula diperlihatkan dengan jelas (Menegotto & Pinto, 1973). Sedangkan perilaku tegangan – regangan beton yang banyak dipakai adalah model Mander. Di dalam model yang dapat berlaku untuk beton yang tak terkekang (unconfined – selimut beton) dan yang terkekang (confined – beton inti) ini, telah dapat dengan jelas didefinisikan batas-batas kekuatan dan deformasi bagi kedua keadaan tersebut (Mander dkk., 1988). Illustrasi kedua model tersebut diperlihatkan pada Gambar 3.8 dan 3.9 berikut ini.
Gambar 3.8 : Hubungan tegangan–regangan baja tulangan menurut Menegotto–Pinto, 1973.
*)1 – Model konstitutif biasanya berupa pemodelan ilmiah (scientific modeling) yang disusun secara konseptual yang terdiri dari serangkaian ekspresi matematika untuk menjelaskan suatu fenomena alam yang sulit untuk diamati secara langsung. Model ini digunakan untuk menjelaskan dan memprediksikan perilaku dari suatu masalah dan telah dipakai secara meluas pada beberapa disiplin keilmuan. Walaupun demikian, pemodelan adalah merupakan pendekatan dari masalah yang diwakilinya – bukan merupakan tiruan yang secara persis mewakilinya. Karenanya, para ilmuwan secara tetap dan berkelanjutan terus berusaha untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.
Bab 3
– 43
Gambar 3.9 : Hubungan tegangan–regangan beton menurut Mander, 1988.
Publikasi pertama tentang studi analitik pada perilaku histeretik SBK terhadap beban siklik adalah seperti yang telah dikerjakan oleh Harajli (Harajli, 1988). Menyadari kurangnya literatur teknis tentang model analitik yang menjelaskan perilaku respons histeretik SBK beton, dilakukanlah studi pada model-model sambungan dari beton pratekan, beton pratekan parsial, dan beton bertulang. Di dalam studinya ditemukan 2 (dua) mekanisme utama yang berperan pada deformasi SBK beton di bawah pembebanan siklik inelastik yang di-desain dengan tulangan transversal yang cukup, yaitu : (1) rotasi inelastik balok relatif terhadap kolom yang terjadi di daerah sendi plastik sepanjang tinggi penampang balok di luar bidang antarmuka balok-ke-kolom, dan – (2) slip batang-batang tulangan dari beton di sekelilingnya. Slip ini, yang terjadi khususnya di zona retak di sekitar bidang antarmuka balok ke kolom, akibat mengalami beban siklik tekan di satu ujung – dan siklik tarik pada ujung lainnya, telah membangkitkan apa yang disebut dengan rotasi ujung jepit. Berdasarkan pada azas-azas yang diuraikan di dalam paper tersebut, Penulis pada tahun 1992 telah melakukan risetnya secara analitik. Kajian dilakukan terutama berpusat pada upaya penyusunan model matematika yang menyatakan hubungan antara beban dengan deformasi suatu SBK beton bertulang yang mendapatkan pembebanan siklik. Model kemudian diuji dengan data eksperimental yang ada, dan terbukti menunjukkan hasil yang memuaskan (Wahjudi, 1992). Gambaran tentang data spesimen uji dan hasil pengujiannya disampaikan pada Gambar 3.10. Melompat ke tahun 1996, ketika Kashiwazaki & Noguchi menulis di dalam publikasinya, yang menyebutkan bahwa di dalam SBK, bagian beton yang terkekang di dalam panel SBK menerima tegangan triaksial. Keadaan yang lebih lengkap terjadi pada interior joint, dimana bagian beton SBK mendapatkan tekanan-tekanan pengekang yang 44
Bab 3
berasal dari tulangan transversal sambungan, balok-balok dan pelat beton melintang, dan gaya aksial dari kolom. Desain SBK seharusnya memperhitungkan kondisi-kondisi tegangan tersebut (Kashiwazaki, dkk., 1996). Di dalam risetnya, dilakukan kajian pada 2 (dua) model SBK, yaitu satu model sambungan interior 2D, dan satunya lagi sambungan eksterior 3D. Pembebanan monotonik diberikan sebagai gaya lintang pada ujung-ujung balok sehingga menghasilkan sudut drift sebesar 1/200, 1/100, 1/50, 1/33, dan 1/25 radian. Gaya tekan aksial diberikan pada ujung atas kolom sebesar 0.10 fc’. Di dalam penelitian tersebut akan dicocokkan antara hasil analitik dengan pengamatan secara eksperimental. Perilaku Momen - Rotasi Plastik Momen Penampang [ 106 N.mm ]
Balok Kantilever T - 3
(b) Rotasi Plastik [ rad ]
Perilaku Momen - Rotasi Ujung Jepit Momen Penampang [ 106 N.mm ]
(a)
Balok Kantilever T - 3
(c) Rotasi Ujung Jepit [ rad ]
Perilaku P - Delta
Beban Terpusat, P [ 103 N ]
Balok Kantilever T - 3
(d)
Simpangan Ujung, Delta [ mm ]
Gambar 3.10 : SBK yang telah diteliti oleh Wahjudi, 1992. (a) SBK eksterior (b) Respons momen – rotasi plastik (c) Respons momen – rotasi ujung jepit (d) Respons beban – perpindahan. Bab 3
– 45
Kajian secara analitik dilakukan dengan metoda elemen hingga (MEH) dengan paket program ABAQUS. Model matematika SBK dimasukkan dengan memperhitungkan butir-butir assumsi sebagai berikut : (1) Beton dimodelkan sebagai elemen solid 8 node, dan diassumsikan sebagai bahan ortotropik hipo-elastik dengan tegangan uniaksial yang ekwivalen. Kondisi runtuh ditentukan dengan menggunakan penilaian atas 5 (lima) parameter menurut WilliamWarnke-Kupfer. Hubungan tegangan-regangan beton ditentukan fungsinya sebagai disampaikan pada Gambar 3.11. Rasio Poisson dimodelkan sebagai fungsi dari kekuatan tekan beton. Retak pada beton diassumsikan sebagai retak smear. Sesudah retak terjadi, tegangan tarik dianggap bernilai 0 (= nol), demikian juga kekakuan pada arah tegak lurus retak, sedangkan tegangan tekan mengalami reduksi sebesar suatu nilai persentase tertentu.
Stress, c'
B '
Fafitis-Shah Model : A ' where : A E0 ie ie ' B ' 1 1 ; ' B ie Kent-Park Model Plain Concrete
0.20B'
ie'
Strain, c'
e'
Gambar 3.11 : Hubungan tegangan-regangan beton yang dipakai di dalam riset Kashiwazaki dkk., 1996.
(2) Semua baja tulangan balok dan kolom, baik longitudinal maupun transversal, dimasukkan sebagai elemen linier. Hubungan tegangan-regangan baja longitudinal diassumsikan bilinier, sedangkan untuk baja transversal dimodelkan trilinier. (3) Antara baja tulangan dengan beton dianggap terjadi lekatan yang sempurna, yaitu baja tulangan tidak mengalami slip pada beton di sekelilingnya. Pemodelan struktur dan hasil analisis yang dilakukan disampaikan pada Gambar 3.12. Adalah menarik untuk menyampaikan hasil kajian analitik dengan eksperimentalnya. Nilai kekakuan awal yang didapatkan secara analitik lebih besar daripada nilai eksperimentalnya, karena gaya geser yang dihitung ternyata lebih besar daripada yang sebenarnya diberikan. Prediksi analitik bahwa keruntuhan geser terjadi mendahului leleh lentur ternyata terbukti dengan hasil-hasil pengamatan eksperimental. Deformasi pada ujung-ujung balok juga nampak dengan jelas, sebagai yang terlihat pada Gambar 3.12-(c). 46
Bab 3
Demikian juga, mekanisme kerja busur pada balok, kolom, dan diagonal compressive strut pada SBK dapat terlihat dengan jelas melalui contour tegangan sebagai yang tersajikan pada Gambar 3.12-(d).
Column 300 x 300
Beam 200 x 300
Main Bars : D13 Hoops : 6
Main Bars : D13 Stirrups : 6
130
585 mm
300
585 mm
1200 mm
300
1200 mm
(a)
130
130
130
(b)
(c)
(d)
Envelope
(e) Gambar 3.12 : Data analitik yang didapatkan dari penelitian Kashiwazaki & Noguchi., 1996. (a) Subassembly SBK (b) Pemodelan struktur dengan MEH (c) Deformasi pada SBK (d) Contour tegangan yang terbentuk. (e) Grafik hasil perbandingan respons SBK
Bab 3
– 47
Dalam hal perilaku respons SBK, studi analitik yang dilakukan oleh Kashiwazaki & Noguchi di atas hanya bisa menghasilkan hubungan antara beban vs. deformasi secara monotonik, yaitu pembebanan statik yang besarnya ditingkatkan secara inkremental. Hubungan ini disampaikan sebagai grafik fungsi selongsong (envelope) pada Gambar 3.12(e). Keterbatasan hasil dari studi analitik ini juga dijumpai di dalam laporan 7 (tujuh) riset yang dilakukan oleh para peneliti berikutnya (Owada, 2000), (Noguchi, dkk., 2000), (Joh, dkk., 2000), (Kamimura, dkk., 2000), (Kashiwazaki, dkk., 2000), (Goto, dkk., 2004), dan (Tajima, dkk., 2004). Dengan belajar dari pengalaman riset pada 1996 di atas, Noguchi & Kashiwazaki, pada tahun 2004 telah mengembangkan model analitiknya, yang semula untuk beban monotonik, menjadi berkemampuan untuk menganalisis beban secara bolak-balik siklik. Suatu tata langkah analisis berbasis metoda elemen hingga telah disusun dengan tujuan untuk men-simulasi-kan perilaku histeretik dari suatu komponen struktur dengan benar. Dengan tujuan untuk memberikan dasar yang kuat pada perhitungan desain, disusunlah cara untuk melakukan prediksi analitik pada besarnya energi yang diserap oleh komponen struktur akibat pembebanan yang diberikan. Melalui pengujian, ternyata program berhasil menampilkan estimasi yang menyerupai bentuk-bentuk histeresis lepas beban (unloading) dan ulang beban (reloading) dari grafik beban vs. perpindahan, setelah dibandingkan dengan data eksperimentalnya (Noguchi, dkk., 2004). Di dalam studinya tersebut telah dirumuskan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Pokok-pokok masalah yang menjadi pusat perhatian adalah : (1) penetapan model perilaku siklik beton pada regangan-regangan tekan maupun tarik, (2) penetapan model perilaku siklik baja tulangan, (3) penetapan model kerusakan komponen struktur beton bertulang, (4) penentuan model pembentukan retak beton, dan – (5) perhitungan energi regang pada komponen struktur. Hasil pengujian analisis respons histeretik pada beberapa spesimen SBK disampaikan pada Gambar 3.13. Darinya terlihat bahwa model yang dikembangkan itu telah berhasil memberikan gambaran pada perilaku histeretik respons SBK terhadap beban siklik secara lebih realistik. Walaupun demikian, model tersebut nampaknya masih memiliki keterbatasan, yaitu hanya cocok dipakai untuk jenis-jenis SBK atau komponen struktur yang monolitik dengan batang-batang tulangan yang menerus. Untuk jenis-jenis SBK dengan detail yang lain sepertinya masih dibutuhkan kajian-kajian yang lebih lanjut. Juga, masih terdapat selisih antara grafik histeretik yang dihasilkan secara analitik dengan hasil eksperimentalnya. Namun, tetap harus diakui bahwa hasil-hasil yang dicapai telah memberikan sumbangan yang besar pada riset perilaku SBK yang mendapatkan beban bolak-balik.
48
Bab 3
Gambar 3.13 : Hasil perbandingan data analitik dari Noguchi & Kashiwazaki., 2004, dengan data eksperimental.
Tidak bisa dipungkiri, bagian paling penting dan sekaligus paling sulit ditangani dari kajian analitik perilaku respons beton bertulang terhadap pembebanan adalah ketidaksepadanan (incompatibility) antara regangan-regangan baja tulangan dengan beton di sekitarnya, yang ditimbulkan oleh rusaknya tegangan lekatan (bond stress) antara kedua bahan tersebut ketika pembebanan telah melewati keadaan lelehnya. Pada bagian Bab 3
– 49
penampang yang mengalami tarik, retak-retak beton akan terbentuk setelah tegangan tarik melampaui : f r 4730 f c ' . Bersamaan dengan pembukaan retak ini, batang-batang baja tergelincir (slipped) dari beton, yang menyebabkan regangan baja tidak sama besarnya LAYER-LAYER BETON
B-B
M V
V M
V M LAYER BAJA
B-B
bf
LENTUR DENGAN GESER
LAYER-LAYER BETON LAYER BAJA TULANGAN ATAS
DISTRIBUSI REGANGAN BETON TULANGAN ATAS
hf
TS = AS fS DISTRIBUSI REGANGAN BAJA
hw
d d'
d
TULANGAN BAWAH
yi
bw
ep
yi
CC CS = AS' fS'
LAYER BAJA TULANGAN BAWAH
Gambar 3.14 : Ketidaksepadanan antara regangan-regangan baja dengan beton yang diakibatkan oleh peretakan pada beton.
Gambar 3.15 : Fungsi hubungan antara tegangan - slip pada baja tulangan yang dipakai oleh Harajli 1988 dan Wahjudi 1992 dalam studinya.
dengan regangan yang terjadi pada beton pada elevasi serat yang sama. Pada saat beban berbalik, daerah yang sebelumnya mengalami tekan akan berubah menjadi tarik, sehingga mengalami proses peretakan yang sama. Sedangkan retak-retak yang terbentuk pada paruh50
Bab 3
siklus sebelumnya akan berusaha menutup, tetapi masih menyisakan sebagian yang tidak bisa menutup kembali secara sempurna. Semakin lama, retak-retak ini akan semakin melebar, disebabkan oleh sisa lebar retak dari paruh siklus pembebanan sebelumnya yang tidak bisa menutup kembali, yang kemudian diperbesar oleh siklus pembebanan berikutnya. Oleh Harajli, masalah ini diatasi dengan meng-introdusir suatu parameter baru, yaitu fungsi hubungan tegangan – slip baja. Selanjutnya, slip ini akan mengoreksi regangan beton dari regangan bajanya (Harajli, 1988). Langkah ini juga dilakukan oleh Wahjudi di dalam risetnya (Wahjudi, 1992). Pada Gambar 3.14 diperlihatkan uraian analisis pada penampang yang dipakai di dalam studi, sedangkan illustrasi fungsi tegangan – slip baja disampaikan pada Gambar 3.15.
3.4
Grafik Histeretik Respons SBK terhadap Beban Siklik dengan Lintasan-lintasan Multilinier Studi analitik SBK biasanya bertujuan pada upaya untuk memperoleh pola peri-
laku hubungan antara beban dengan perpindahannya. Untuk keperluan bangunan tahan gempa, beban itu bisa diwakili oleh pembebanan siklik. Pembebanan yang kuat akan membawa struktur mengalami plastifikasi, yang ditandai dengan terjadinya kerusakankerusakan pada beberapa tempat yang terkonsentrasi. Pada struktur beton bertulang, kerusakan-kerusakan itu akan berwujud pada : (1) pembentukan retak-retak pada beton, (2) perpanjangan yang tak dapat pulih pada batang-batang tulangan longitudinal, (3) tekuk (buckling) pada batang tulangan, (4) leleh sampai putusnya tulangan-tulangan transversal, (5) terkelupasnya (spalling) selimut beton, dan – (6) hancurnya (crush) beton terkekang pada inti (core) penampang. Bila SBK didesain dengan mendapatkan tulangan transversal yang cukup, maka kerusakan itu hanya akan terbatas sampai pada butir ke-2 saja. Pola perilaku hubungan beban – perpindahan yang diperoleh akan berwujud looploop tertutup yang terdiri dari lintasan gerak bolak-balik. Lintasan-lintasan itu berupa garisgaris lengkung untuk merefleksikan sifat-sifat (properties) bahannya, yaitu grafik tegangan – regangan beton dan baja yang dipakai. Di dalam perhitungan, lintasan-lintasan garis lengkung itu bisa disederhanakan dengan bentuk-bentuk multilinier. Illustrasi dari bentuk grafik histeretik yang berupa lintasan-lintasan garis lengkung dan multilinier diperlihatkan pada Gambar 3.16. Ada banyak model multilinier yang sudah dipublikasikan, akan tetapi di dalam pembahasan di sini hanya akan disampaikan 5 (lima) model saja. Mereka itu adalah : (1) bilinier umum atau asimetrik (BA), (2) bilinier dengan deteriorasi kekuatan (BD), (3)
Bab 3
– 51
Takeda yang disederhanakan (TS), (4) vertex oriented (VO), dan – (5) trilinier dengan deteriorasi kekuatan (TD). Illustrasinya disampaikan pada Gambar 3.17. P (kips)
P (kips)
(inch)
(inch)
(b)
(a) P
P
(c)
(d)
Gambar 3.16 : Grafik respons inelastik SBK terhadap beban siklik (a) Lintasan lengkung, gemuk (b) Lintasan lengkung, pinched (c) Model multilinier (d) Model multilinier
Pada model bilinier asimetrik (BA), respons loading (lintasan 0-1-2), unloading (lintasan 2-3-4), dan reloading (lintasan 4-5-6), hanya diwakili oleh dua garis lurus dengan kekakuan yang berbeda, yaitu Ko (kekakuan elastik), dan Kh (kekakuan paska leleh = strainhardening). Selama batas-batas lelehnya belum dilampaui, respons akan mengikuti lintasan elastik dengan kekakuan Ko. Selanjutnya, setelah terjadi plastifikasi, hubungan antara P dan mengikuti lintasan leleh dengan kekakuan Kh. Dalam hal penampang tak simetri, maka untuk menampung karakteristik beban dan perpindahan yang berbeda pada arah momen yang sebaliknya, pada model ini juga dimungkinkan untuk memasang batas-batas leleh yang berbeda, yaitu : Py+ Py- dan : y+ y-. Model ini sangat populer karena kesederhanaannya. Uraian yang lebih rinci mengenai model ini dapat dijumpai pada beberapa textbook standar tentang dinamika struktur atau rekayasa gempa.
52
Bab 3
Model kedua, bilinier dengan deteriorasi (BD), seperti yang terlihat pada Gambar 3.17-(b), merupakan pengembangan dari model BA. Karakteristik responsnya secara umum sama dengan model BA, hanya saja pada model BD ini terjadi deteriorasi (penurunan) pada kekuatannya, sehingga batas beban yang sanggup dipikulnya pada suatu siklus akan lebih kecil daripada siklus sebelumnya : Py(n)+ < Py(n-1)+ dan : Py(n)- < Py(n-1)-. Untuk itu, suatu faktor yang disebut strength decay parameter di-introdusir ke dalam model ini. P
Kh = arc tan
P
6
2
1
2
1
5
6
5
Kh = arc tan
Py+
Py0+
Ko = arc tan
Py1+
Ko = arc tan 0
0
Py
y
-
Py0-
Kh = arc tan
8
3
4
y
Py1-
7 3
4
(a)
Kh = arc tan
(b)
P
P
2
1
2
1
7
7
8
11
x0 6
Dm '
14 12 10
8
0
3
0
x1
3 9
6
Dm
13 9 5
4
11 5 10
(c)
4
(d) P 2
1 7 13
18
3 9 12 6
23
0
22 16 17
11
19
5
8
14 20
15 21
10
4
(e) Gambar 3.17 : 5 (lima) model analitik multilinier respons SBK terhadap beban siklik (a) Bilinier asimetrik (BA) (b) Bilinier dengan deteriorasi (BD) (c) Takeda disederhanakan (TS) (d) Vertex oriented (VO) (e) Trilinier dengan deteriorasi (TD)
Model yang ketiga, yaitu Takeda yang disederhanakan (TS), sebagai diperlihatkan pada Gambar 3.17-(c), pertama kalinya dipublikasikan oleh Takeda dkk. pada tahun 1970. Model yang semula bercirikan trilinier ini kemudian disederhanakan oleh Otani dkk. Bab 3
– 53
pada tahun 1981 menjadi bilinier saja. Pada model ini, respons menempuh lintasan-lintasan unloading dan reloading dengan kekakuan yang selalu berubah, yang besarnya tergantung pada respons yang dicapai pada siklus sebelumnya. Walaupun cukup populer, tetapi model ini memiliki keterbatasan pemakaian, yaitu hanya dapat diterapkan untuk memodelkan respons penampang-penampang yang simetri saja. Hal ini bisa dimaklumi, karena pada awalnya dia dikembangkan untuk struktur kolom yang mendapatkan pembebanan lateral. Untuk uraian dan diskusi yang lebih mendalam, Pembaca dapat merujuknya pada pustaka yang bersangkutan (Takeda, dkk., 1970), dan (Otani, 1981). Pada model yang keempat, yaitu Vertex oriented (VO), sebagai yang terlihat pada Gambar 3.17-(d), lintasan-lintasan unloading dan reloading ditempuh dengan berorientasi pada puncak-puncak (vertex) respons siklus sebelumnya dengan mendapatkan koreksi dari degradasi kekakuan dan deteriorasi kekuatannya. Hal yang hampir sama juga terjadi pada model yang kelima, yaitu trilinier dengan deteriorasi (TD), sebagai terlihat pada Gambar 3.17-(e). Hanya saja terdapat perbedaan antara keduanya, yaitu model VO bercirikan bilinier, sedangkan model TD adalah trilinier. Sepertinya model TD ini lebih cocok untuk mensimulasikan perilaku respons penampang yang menampilkan kemampuan disipasi energi yang lebih besar daripada model VO. Kelima model tersebut di atas telah dipakai untuk menirukan riset eksperimental yang dilakukan oleh Ma dkk. (Ma dkk., 1976), dan hasil yang diperoleh juga telah dipublikasikan (Wahjudi dkk., 2012–2). Data spesimen SBK eksterior yang diuji adalah sebagai yang disampaikan pada Gambar 3.18, sedangkan grafik respons yang dihasilkannya diperlihatkan pada Gambar 3.19. 32 in
75.5 in
Beam R-1, R-3, R-6, T-3
62.5 in 36 in 2 1/4 in 4#6
13 3/8 in cc.
4#6
4#6
4#6 16 in
3#5
3#5
4#6
4#6
9 in
9 in
9 in
9 in
R-1
R-3
R-6
T-3
Gambar 3.18 : Spesimen SBK yang diteliti oleh Ma pada 1976.
54
Bab 3
P
P
(a)
(b)
P
P
(c)
(d)
P
P
(e)
(f)
P
P
(g)
(h)
Gambar 3.19 : Perbandingan respons eksperimental oleh Ma 1976 dengan model multilinier (a) R-1 dengan bilinier asimetrik (BA) (b) R-1 dengan bilinier deteriorasi (BD) (c) R-1 dengan Takeda sederhana (TS) (d) R-1 dengan vertex oriented (VO) (e) R-1 dengan trilinier deteriorasi (TD) (f) R-3 dengan vertex oriented (VO) (g) R-6 dengan Takeda sederhana (TS) (h) T-3 dengan trilinier deteriorasi (TD) Bab 3
– 55
Dari kelima model tersebut di atas, hanya model-model TS, VO dan TD yang bisa mewakili secara lebih realistik perilaku respons histeretik keempat spesimen yang dipilih. Keempat spesimen ini merupakan gambaran umum SBK beton bertulang yang di-desain dengan azas kolom kuat – balok lemah yang umum dipakai. Dengan ragam keruntuhan yang didominasi oleh lentur, respons akan menampilkan bentuk grafik yang pada umumnya gemuk. Ditambah dengan sedikit pengaruh gaya geser, telah menjadikan grafik agak sedikit terpipihkan (pinched) pada bagian tengahnya. Untuk kondisi yang seperti ini, pemakaian model-model multilinier untuk menirukan perilaku responsnya terhadap beban siklik masih menunjukkan kesesuaian hasil yang baik. Pemilihan model yang sederhana biasanya didahulukan sebelum memutuskan memakai model-model yang lebih canggih untuk pertimbangan waktu dan biaya desain. Dari pemakaian ketiga model di atas, telah terlihat karakteristik SBK beton bertulang, yaitu terjadinya degradasi kekakuan dan deteriorasi kekuatan. Dikombinasikan dengan pengaruh strain-hardening, kedua fenomena di atas akan muncul di dalam grafik respons sebagai jenjang-jenjang permukaan pada puncak-puncak kekuatan. Walaupun tidak dengan laju kecepatan yang sama seperti yang ditunjukkan oleh hasil eksperimentalnya, model analitik yang disebutkan telah dapat merekam dan menampilkan kembali kedua fenomena tersebut dengan baik.
3.5
Model Richard–Abbott untuk Menirukan Respons Histeretik SBK terhadap Beban Siklik dengan Lintasan-lintasan Garis Lengkung yang Terpepatkan (Pinched) Memprediksikan perilaku SBK beton bertulang merupakan suatu pekerjaan yang
sangat rumit (complicated), karena dia menggabungkan beberapa fenomena seperti sifat non-linier material (plastisitas, strain-hardening, peretakan pada beton), sifat non-linier dari bidang kontak dan lucutan (slip), sifat non-linier geometrik (instabiltas lokal), tegangan sisa, dan konfigurasi geometrik yang tidak sederhana. Ditambah lagi dengan penerapan pembebanan siklik, perilaku tersebut bertambah lagi kerumitannya dengan dialaminya pergantian kondisi loading – unloading – reloading yang bersinambung. Model Richard-Abbott semula dikembangkan pada 1975, yang pada awalnya dipakai untuk men-simulasi-kan respons SBK terhadap beban monotonik statik (Richard & Abbott, 1975). Dengan perbaikan yang terus-menerus dilakukan melalui beberapa kajian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain, maka menjadilah dia suatu model yang baik dan bisa diterapkan untuk berbagai model pembebanan siklik (Simoes dkk., 2001). Di dalam model ini, sesuatu titik umum sebarang (M, ) pada suatu lintasan pembebanan, baik 56
Bab 3
dengan atau tanpa pemepatan, akan memenuhi persamaan (3-3). Untuk menunjukkan pengaruh pemepatannya, diperkenalkanlah dua kurva pembatas, yaitu yang diberi nama batas atas (upper bound) dan batas bawah (lower bound).
K ot K ht
M
K ot K ht 1 M ot
nt
1 nt
K ht
.............................
(3-3)
dimana parameter-parameter pengendalinya ditunjukkan pada Gambar 3.18 dan dituliskan sebagai berikut : Kot = Kop + (Ko – Kop) t
..........................................
(3-3-a)
Mot = Mop + (Mo – Mop) t
..........................................
(3-3-b)
...........................................
(3-3-c)
................................................
(3-3-d)
Kht = Khp + (Kh – Khp) t nt = np + (n – np) t
M
M
Upper-bound Curve
Lower-bound Curve
h arctan K h
K 0t K ht
M
K K 0t ht 1 M 0t
M0
nt
1
nt
K ht
K 0t K ht
M
0 arctan K 0
(a)
K K ht 0t 1 M 0t
nt
1
nt
K ht
(b)
Gambar 3.20 : Penjelasan lintasan beban M–pada model Richard-Abbott (a) Tanpa pemepatan
(b) Dengan pemepatan
Parameter t, yang nilainya berkisar pada harga antara 0 – 1, menentukan transisi dari batas bawah ke batas atas. Nilainya ditentukan dengan persamaan berikut ini, sedemikian sehingga akan menghasilkan keadaan yang paling mendekati bentuk kurva eksperimentalnya : lim t1 t t lim 1 1
t1
.............................................
(3-4)
dimana t1, t2 dan lim adalah tiga parameter yang harus dikalibrasikan terhadap data eksperimental. Sedangkan parameter lim harus disesuaikan dengan deformasi maksimum yang dialami pada arah pembebanan yang dipertimbangkan, dan nilainya ditentukan menurut persamaan berikut ini : Bab 3
– 57
lim C o max
............................................
(3-5)
dimana |o| adalah harga absolut deformasi pada titik awal lintasan yang bersangkutan, max adalah harga absolut dari deformasi maksimum yang dicapai pada riwayat pembebanan sebelumnya pada arah yang dipertimbangkan, dan C adalah parameter kalibrasi. Lintasan unloading diassumsikan linier dengan sudut kemiringan yang sama dengan kekakuan awalnya Ko sampai mencapai titik perpotongannya dengan garis lurus yang ditarik sejajar dengan garis strain-hardening dari titik awalnya. Hal ini telah menjadikan efek Bauschinger dapat menampilkan pengaruhnya.
M
M
Kh
C<1 C=1
My+
K0
My+
K0
C>1
y
My-
max
(a)
(b)
Gambar 3.21 : Penentuan lintasan-lintasan dengan model Richard-Abbott (a) Parameter C (b) Lintasan unloading
Pembebanan siklik di daerah inelastik menghasilkan akumulasi deformasi plastik, sampai daktilitas sistem terlampaui secara lokal dan tercapailah keruntuhan. Pada banyak kasus, pengulangan pembebanan akan menyebabkan pelemahan pada respons yang diakibatkan oleh degradasi kekakuan dan deteriorasi kekuatan. Kedua hal tersebut bisa diperhitungkan pengaruhnya di dalam respons dengan diperkenalkannya persamaan berikut ini : Eh M o ,Re d M o 1 iM M y u ,o
...............................
(3-6-a)
Eh K o ,Re d K o 1 iK K o u ,o
................................
(3-6-b)
dimana u , o adalah nilai deformasi ultimate dari satu lintasan tunggal dari titik awal (beban monotonik), Eh adalah energi histeretik yang terakumulasi dari semua lintasan yang sudah ditempuh sebelumnya, My adalah nilai tahanan leleh, Ko adalah kekakuan awal, dan 58
Bab 3
koefisien iM dan iK adalah tetapan-tetapan empirik yang mewakili laju kerusakan pada kekuatan dan kekakuan struktur. Pengerasan yang diakibatkan oleh deformasi plastik siklik dianggap bersifat isotropik. Pada keadaan plastik ini, hasil-hasil pengujian eksperimental telah menunjukkan bahwa pemberian amplitudo deformasi yang konstan tidak menyebabkan terjadinya deteriorasi kekuatan. Dengan ini dapat disimpulkan, bahwa pengerasan siklik hanya berkembang pada beberapa siklus awal dan kemudian menjadi stabil.
M o ,inc M o max y M o ,inc M o 1 H h y
bila : max y
...................
(3-7-a)
bila : max > y
...................
(3-7-b)
dimana Mo and Mo,inc adalah nilai awal dan nilai yang sudah ditingkatkan dari kekuatan,
max adalah deformasi maksimum yang dicapai pada lintasan pembebanan sebelumnya, y adalah deformasi leleh, Hh adalah koefisien empirik yang menentukan level pengerasan isotropik. Untuk informasi lebih lanjut mengenai masalah yang dibicarakan, Pembaca dipersilakan untuk merujuk pada referensi yang disebutkan. Untuk selanjutnya, di dalam implementasinya, perhitungan secara analitik pada respons histeretik SBK, sebagai diuraikan dengan rumus-rumus dan tata langkah di atas, bisa dilakukan dengan menggunakan suatu program komputer. Program komputer itu, yang bernama SeismoStruct, pada saat sekarang ini sudah tersedia di pasar (SeismoSoft Inc., 2011). Untuk memakainya, mula-mula dilakukan pemodelan struktur yang akan dibahas. Data yang perlu di-input ke dalamnya meliputi keterangan mengenai sifat-sifat bahan, geometri struktur, dimensi-dimensi penampang anggota rangka, dan skema pembebanan. Bila plastifikasi dikehendaki terjadi, maka sendi-sendi plastik yang dimaksudkan juga harus didefinisikan dengan jelas sebelumnya. Suatu kajian telah dilakukan untuk menirukan perilaku respons SBK secara analitik dengan menggunakan model Richard-Abbott pada sejumlah spesimen. Adapun SBK yang diteliti meliputi spesimen Ma dkk. 1976, ditambah dengan spesimen BJ-3 yang telah diteliti oleh Penulis (Wahjudi, 1999). Hasil dari pekerjaan analitik itu juga telah di-publikasikan (Wahjudi dkk., 2012–3). Rincian spesimen SBK selengkapnya disampaikan pada Gambar 3.22 dan hasil analisisnya disampaikan pada Gambar 3.23. Pada Gambar 3.23-(a) s/d. (g) diperlihatkan hasil analitik yang hampir sama dengan data eksperimental. Disamping puncak-puncak kekuatannya yang hampir identik pada keduanya, fenomena degradasi kekakuan dan deteriorasi kekuatan juga nampak jelas kejadiannya pada data analitik yang menyerupai eksperimentalnya. Parameter yang tidak Bab 3
– 59
32 in
75.5 in
Beam R-1, R-3, R-6, T-1, T-3
62.5 in 36 in 2 1/4 in 4#6
4#6
4#6
13 3/8 in cc.
4#6
16 in 3#5
3#5
4#6
3#5
9 in
9 in
9 in
9 in
R-1
R-3
R-6
T-1
38.5 in
75.5 in
Beam R-5 36 in 2 1/4 in
13 3/8 in cc.
4#6
57 in
4#6 16 in
4#6
4#6
9 in
9 in
R-5
T-3
(a) 1600 mm
300
1600 mm
12 D19
1285 mm
50
II
100
100
Sengkang : 8 - 50 mm
50
I
50 50 50 50 50 50
300 mm
POT. I - I
2920 mm
300 mm 350 mm
POT. II - II 3 D19
1285 mm
350 mm
50 50 2 8
75 75
3 D19
50
80
50
50 50
Sengkang : 8 - 75
180 mm
3500 mm
(b) Gambar 3.22 : Spesimen uji analitik SBK dengan model Richard-Abbott (Wahjudi dkk., 2012-3) (a) Spesimen Ma dkk., 1976 (b) Spesimen Wahjudi, 1999 60
Bab 3
P
P
(b)
(a)
P
P
(d)
(c)
P
P
(e)
(f) P
(g) Gambar 3.23 : Hasil uji analitik SBK dengan model Richard-Abbott (Wahjudi dkk., 2012-3) (a) R-1 oleh Ma dkk., 1976 (b) R-3 oleh Ma dkk., 1976 (c) R-5 oleh Ma dkk., 1976 (d) R-6 oleh Ma dkk., 1976 (e) T-1 oleh Ma dkk., 1976 (f) T-3 oleh Ma dkk., 1976 (g) BJ-3 oleh Wahjudi, 1999
Bab 3
– 61
bisa diharapkan kesamaannya antara hasil analitik dengan hasil eksperimental adalah energi. Melalui pengamatan pada grafik yang dihasilkan, jelaslah antara data analitik dengan data eksperimental terdapat perbedaan nilai energi sebagai yang dibentuk oleh lintasan-lintasan siklus responsnya, yaitu hasil analitik memberikan nilai energi yang lebih besar daripada eksperimentalnya. Akan tetapi, dibandingkan dengan model multilinier, pemakaian model Richard–Abbott telah memperkecil perbedaan itu. Dengan demikian telah ditunjukkan kesesuaian antara model analitik yang dipakai dengan data eksperimentalnya.
62
Bab 3
BAB 4 PEKERJAAN EKSPERIMENTAL 4.1
Desain Spesimen SBK Di dalam riset ini akan diteliti kinerja SBK pracetak komposit yang mudah di-
kerjakan. Pertimbangan aspek kemudahan kerja (constructability) terutama ditekankan pada penentuan bentuk-bentuk penjangkaran sambungan dari batang-batang tulangan balok ke kolom, dan pemasangan tulangan transversal di dalam SBK. Bahan beton untuk komponen-komponen pracetak dan sambungan dari mutu K-400 (f’c 33.25 MPa pada 28 hari), sedangkan untuk batang-batang tulangan direncanakan memakai mutu baja : fy ≤ 400 MPa untuk tulangan longitudinal, dan : fyh 280 MPa untuk tulangan transversal. Spesimen uji berupa subassembly SBK interior 2 dimensi (planar interior beamto-column connection). Ada 5 (lima) buah spesimen SBK yang dipersiapkan dengan rincian sebagai berikut : (1) tipe 1, yang berupa SBK monolith sebagai bench-mark, (2) tipe 2 dengan penjangkaran tulangan berbentuk U, (3) tipe 3 dengan penjangkaran tulangan berbentuk L, (4) tipe 4 dengan penjangkaran tulangan berbentuk U ditambah batang tulangan pengunci, dan – (5) tipe 5 dengan penjangkaran tulangan berbentuk L ditambah batang tulangan pengunci. Rancangan SBK secara garis besar disampaikan pada Gambar 4.1.
Kolom cor setempat Overtopping sambungan Beton overtopping
Penjangkaran tulangan balok pada sambungan
(a)
Balok pracetak Sambungan balok
(b)
(c)
Gambar 4.1 : Rancangan kasar SBK yang akan diteliti di dalam riset ini (a) SBK Tipe 1 monolith sebagai bench-mark (b) SBK Tipe 2 dan 4 (c) SBK Tipe 3 dan 5
Spesimen SBK didesain dengan memperhatikan peraturan ACI 318-11, khususnya Pasal 21.7 yang telah dicuplik secara ringkas pada Pasal 2.4 buku disertasi ini. Penentuan ukuran benda uji haruslah memperhatikan Gambar 3.2, dimana setiap spesimen bisa dianggap sebagai satu subassembly yang independen dengan ujung-ujung balok dan kolomnya menggambarkan titik-titik belok (point of contraflexure) pada SRPM. Agar Bab 4
– 63
didapatkan tempat yang cukup untuk aplikasi pembebanan dan gaya restraining, maka diberikanlah perpanjangan seperlunya pada masing-masing ujung balok dan kolomnya. Kolom dengan penampang persegi 450/450 (mm) dan balok berukuran penampang 300/450. Batang-batang tulangan dipakai D16 untuk tulangan longitudinal dan 10 untuk sengkang-sengkangnya. Sedapat mungkin, pengerjaan pembuatan spesimen dibuat menirukan urut-urutan pelaksanaan di lapangan. Khususnya bagi sambungan yang akan diteliti ini, yang termasuk ke dalam jenis sambungan komposit, pelaksanaan pengecoran beton dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu pengecoran balok pracetak dan pengecoran sambungan & overtopping. Untuk tulangan longitudinal balok, luasannya dipilih sedemikian sehingga dihasilkan tulangan lemah (under-reinforced). Sedangkan untuk kolom, diameter batang dan luasan tulangan longitudinal dipilih dengan memperhatikan ketentuan agar luasan yang tersedia tidak melampaui batas-batas maksimum yang ditetapkan di dalam peraturan ACI 318-11, yaitu persentase tulangan : tot = 1% 6%, serta momen kolom ≥ 120% momen balok. Tulangan transversal di dalam panel sambungan didesain untuk mencegah terjadinya keruntuhan geser sebelum leleh lentur tercapai. Sedangkan tulangan transversal pada balok-balok dan kolom-kolom, yang dimaksudkan untuk memikul gaya geser yang terjadi, biasanya selalu dapat dipenuhi dengan persyaratan minimum yang ditentukan di dalam peraturan. Untuk seluruh bentang balok dan kolom, tulangan transversal berwujud sengkang-sengkang tertutup dengan spasi 100 mm. Dengan maksud untuk memberikan penekanan pada sisi kemudahan dalam pelaksanaan di laboratorium, khususnya bagi SBK Tipe 2, 3, 4 & 5, maka tulangan transversal tambahan berupa ikatan-ikatan silang (crossties) di dalam penampang kolom sambungan terpaksa tidak bisa diberikan. Butir-butir pertimbangan di atas dan langkah-langkah perhitungan yang dilakukan telah menghasilkan spesimen SBK Tipe 1, yang berupa sambungan monolith. SBK Tipe 2, 3, 4 & 5 didesain menyerupai SBK Tipe 1 (sama bahan, dimensi struktur dan isi tulangannya), hanya saja diberikan penambahan dengan detail sambungan pada ujung-ujung balok pada pertemuan dengan kolomnya. Panjang sambungan ditetapkan sama dengan nilai yang lebih besar dari panjang daerah plastifikasi (sendi plastik) atau syarat panjang penjangkaran tulangan balok. Estimasi panjang sendi plastik pada ujung-ujung balok ditentukan sebagai nilai terbesar dari beberapa model yang dikenal. Penentuan desain spesimen SBK, yang meliputi dimensi-dimensi dan kebutuhan penulangannya, berikut perhitungan-perhitungan kontrolnya telah dilakukan pada Lampiran – B buku laporan disertasi ini, dan hasilnya disampaikan pada Gambar 4.2 s/d. 4.6 berikut ini.
64
Bab 4
POT. I - I
II
14 D16
1285 mm
Sengkang : 10 -100 mm
175
175
50
I
50 70 70 70 70 70 50
450 mm
1600 mm
50
450
Sengkang : 10 - 100 mm
1600 mm
450 mm 450 mm
POT. II - II 4 D16
1285 mm
450 mm
2 D13
350
Sengkang : 10 -100 mm
50
4 D16
50 81 38 81 50
Sengkang : 10 - 100 mm
Sengkang : 10 - 100 mm
50 Sengkang : 10 - 100 mm
300 mm
Gambar 4.2 : Desain spesimen SBK Tipe 1 monolith
50 70 70 70 70 70 50
14 D16 1600 mm
450
1600 mm
450 mm
POT. I - I
1285 mm
4 D16
400
Sengkang : 10 - 100 mm
4 D16 + 3 D16
300
3 D16
( Batang2 - U penyambung )
4 D16
( Batang2 tul. balok pracetak )
50 65 70 65 50
400
( Batang2 tul. negatip )
50
Sengkang : 10 - 100 mm
Sengkang : 10 - 100 mm
400
POT. II - II 50 50
450 mm 400
175
450 mm
450 mm
II
175
50
Sengkang : 10 - 100 mm
I
III
50
Sengkang : 10 -100 mm
1285 mm
300 mm
POT. III - III 4 D16
( Batang2 tul. negatip )
450 mm
50 50
2 D13
300
Sengkang : 10 -100 mm
50
4 D16
50 65 70 65 50
( Batang2 tul. balok pracetak )
300 mm
Gambar 4.3 : Desain spesimen SBK Tipe 2 komposit pracetak
Bab 4
– 65
POT. I - I
14 D16 1600 mm
I
II
50
175
Sengkang : 10 -100 mm
450 mm
1285 mm
POT. II - II 4 D16 50 50 450 mm
3 D16
( Batang2 kait )
50
Sengkang : 10- 100 mm
4 D16 ( Batang2 tul. balok pracetak )
50 65 70 65 50
Sengkang : 10 - 100 mm
( Batang2 tul. negatip )
300
400 Sengkang : 10 - 100 mm
400
450 mm
III
175
50
450
Sengkang : 10 - 100 mm
1600 mm
450 mm
50 70 70 70 70 70 50
1285 mm 300 mm
POT. III - III 4 D16
450 mm
50 50
( Batang2 tul. negatip )
2 D12
300
( Batang2 tul. balok pracetak )
50
4 D16
50 65 70 65 50
( Batang2 tul. balok pracetak )
300 mm
Gambar 4.4 : Desain spesimen SBK Tipe 3 komposit pracetak
50 70 70 70 70 70 50
14 D16 1600 mm
450
1600 mm
450 mm
POT. I - I
3 D16
III
450 mm 1285 mm
POT. II - II 4 D16
400
3 D16
( Batang2 - U penyambung )
4 D16
( Batang2 tul. balok pracetak )
50 65 70 65 50
Sengkang : 10 - 100 mm
4 D16 + 3 D16
300 50
Sengkang : 10 - 100 mm
Sengkang : 10 - 100 mm
400
450 mm
450 mm 400
( Batang2 tul. negatip )
50 50
3 D16
400
175
50
Sengkang : 10 - 100 mm
I
II
50
Sengkang : 10 -100 mm
175
1285 mm
300 mm
POT. III - III 4 D16
( Batang2 tul. negatip )
450 mm
50 50
2 D13
300
Sengkang : 10 -100 mm
50
4 D16
50 65 70 65 50
( Batang2 tul. balok pracetak )
300 mm
Gambar 4.5 : Desain spesimen SBK Tipe 4 komposit pracetak 66
Bab 4
50 70 70 70 70 70 50
14 D16
I II
3 D16
III
175
POT. II - II 4 D16
450 mm
50 50 450 mm
( Batang2 tul. negatip )
300 3 D16
400
( Batang2 kait )
50
4 D16 ( Batang2 tul. balok pracetak )
50 65 70 65 50
Sengkang : 10- 100 mm
Sengkang : 10 - 100 mm
Sengkang : 10 - 100 mm
Sengkang : 10 -100 mm
450 mm
1285 mm
3 D16
400
175
50
1600 mm
50
450
Sengkang : 10 - 100 mm
1600 mm
450 mm
POT. I - I
1285 mm 300 mm
POT. III - III 4 D16
450 mm
50 50
( Batang2 tul. negatip )
2 D12
300
( Batang2 tul. balok pracetak )
50
4 D16
50 65 70 65 50
( Batang2 tul. balok pracetak )
300 mm
Gambar 4.6 : Desain spesimen SBK Tipe 5 komposit pracetak
4.2
Prediksi Analitik Respons Histeretik SBK Tipe 1 Untuk mengetahui perilaku respons SBK terhadap pembebanan siklik yang akan
diberikan, maka dilakukanlah perhitungan prakiraan secara analitik, terutama bagi SBK Tipe 1. Perhitungan dilakukan dengan memakai model Richard-Abbott sebagai telah dijabarkan pada Pasal 3.5 buku disertasi ini. Pembebanan diberikan berupa displacement history sebagai disajikan pada Gambar 4.7, dan hasilnya disampaikan pada Gambar 4.8. Riwayat Perpindahan sebagai Pembebanan pada SBK Tipe 1
20
Perpindahan,
(cm)
15
13.14 14.19
10.57
10
15.10
6.64
5
0.60
0
-0.60
-5
4.22
1.10
2.26
-1.10
-2.26
-4.22
-6.64
-10
-10.57
-15
-13.14 -14.19
-15.10
-20 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
Nomor Siklus Pembebanan
Gambar 4.7 : Riwayat perpindahan sebagai pembebanan pada SBK Tipe 1 Bab 4
– 67
Perkiraan Grafik P -
Spesimen SBK Tipe 1
Coba 2
160
Beban Lateral, P (kN)
Pmaks (+) = 135 kN 13.77 ton Runtuh karena fracture baja longitudinal balok pada siklus ke-56 Perpindahan : = 13.36 cm Drift = 5.75 %
120 80 40 0 -40 -80 -120
Pmaks (–) = 135 kN 13.77 ton
-160 -0.16
-0.12
-0.08
-0.04
0
0.04
Perpindahan,
Perkiraan Grafik P -
0.08
0.12
0.16
(m)
Spesimen SBK Tipe 1
Coba 9
160
Beban Lateral, P (kN)
Pmaks (+) = 132 kN 13.46 ton Runtuh karena fracture baja longitudinal balok pada siklus ke-56 Perpindahan : = 13.36 cm Drift = 5.75 %
120 80 40 0 -40 -80 -120
Pmaks (–) = 133 kN 13.56 ton
-160 -0.16
-0.12
-0.08
-0.04
0
0.04
Perpindahan,
Perkiraan Grafik P -
0.08
0.12
0.16
(m)
Spesimen SBK Tipe 1
Coba 21
160
Beban Lateral, P (kN)
Pmaks (+) = 132 kN 13.46 ton Runtuh karena fracture baja longitudinal balok pada siklus ke-56 Perpindahan : = 13.36 cm Drift = 5.75 %
120 80 40 0 -40 -80 -120
Pmaks (–) = 127 kN 12.95 ton
-160 -0.16
-0.12
-0.08
-0.04
0
Perpindahan,
0.04
0.08
0.12
0.16
(m)
Gambar 4.8 : 3 hasil perkiraan analitik respons histeretik SBK dengan kepepatan yang berbeda. 68
Bab 4
Pada Gambar 4.8 disampaikan hasil dari 3 (tiga) perhitungan analitik untuk memperkirakan karakteristik respons histeretik dari SBK Tipe 1 dengan menggunakan derajat kepepatan (degree of pinchedness) yang berbeda, dari yang paling gemuk di bagian atas halaman sampai ke yang paling pepat di bagian paling bawah. Dari ketiganya telah diperoleh gambaran, bahwa beban maksimal yang akan diterapkan nantinya di dalam uji eksperimental adalah sekitar 14 ton. Gambaran tentang daktilitas spesimen juga telah didapatkan, yaitu SBK akan mengalami keruntuhan paling tidak pada drift = 5.75%.
4.3
Uji Tarik Baja Tulangan Untuk mengetahui kekuatan baja tulangan maka dilakukan uji tarik sesuai dengan
ASTM E8/E8M-09. Untuk setiap diameter batang diambil 3 (tiga) spesimen dengan panjang 35 cm. Pada masing-masing spesimen dilakukan pengujian tarik sampai putus. Data tegangan vs. regangan akan secara otomatik diolah untuk ditampilkan di layar komputer sebagai grafik, dan hasil akhirnya bisa dicetak di atas selembar kertas. Pada Gambar 4.9 disampaikan grafik tegangan vs. regangan dari baja tulangan, D16, 12 dan 10 yang dipakai di dalam riset eksperimental. Dari masing-masing nilai diameter baja ditampilkan grafik individualnya dan yang mewakilinya. Ternyata bahwa kuat leleh baja yang semula diharapkan fy ≤ 400 MPa untuk tulangan longitudinal, dan : fyh 280 MPa untuk tulangan transversal telah terlampaui dengan 488.32 MPa dan 417.80 MPa berturut-turut. Ditambah dengan kemungkinan tercapainya kekuatan silinder beton yang lebih tinggi daripada yang direncanakan semula, maka tentu akan dihasilkan kekuatan SBK yang lebih tinggi daripada yang telah diprediksikan menurut Pasal 4.2 di depan. Data selengkapnya dari titik-titik penting pada grafik tegangan – regangan baja tulangan disampaikan pada Tabel 4.1. Data itu akan dipergunakan nantinya pada saat melakukan kajian analitik pada perilaku histeretik SBK yang sebenarnya. Tabel 4.1 : Titik-titik penting pada kurva tegangan – regangan baja-baja tulangan. Nilai-nilai tegangan dalam kg/cm2, nilai di dalam kurung dalam satuan MPa.
Jenis baja tulangan
Leleh (Y)
Strain-hardening (SH) fsh sh
y
fy
Baja D16
0.002371
4979.47 (488.32)
0.017784
Baja 12
0.002025
4252.80 (417.06)
Baja 10
0.002029
4260.43 (417.80)
Bab 4
Ultimate (U)
Putus (F)
su
fsu
sf
4979.47 (488.32)
0.173711
6583.97 (645.67)
0.194300
0.021547
4252.80 (417.06)
0.206879
5975.27 (585.97)
0.233433
0.032408
4260.43 (417.80)
0.245969
5483.90 (537.79)
0.278400
– 69
(a)
(b)
(c) Gambar 4.9 : Grafik hubungan tegangan – regangan baja-baja tulangan (a) Baja D16 70
(b) Baja 12
(c) Baja 10 Bab 4
4.4
Pemasangan Strain-gauge pada Baja-baja Tulangan Strain-gauge telah digunakan secara meluas untuk keperluan pengukuran gaya-
gaya secara fisika, terutama di dalam cabang ilmu rekayasa mekanika dan sipil. Ada beberapa cara untuk mengukur regangan secara mekanik dan elektrik, tetapi sebagian besarnya adalah dengan menggunakan strain-gauge disebabkan oleh beberapa keunggulan yang dimilikinya. Prinsipnya adalah bila suatu gaya luar dikerjakan pada sesuatu material yang mengandung logam besi, maka dia akan menghasilkan deformasi dan perubahan tahanan listrik di dalam material tersebut. Bila material tersebut ditempelkan pada suatu spesimen uji melalui insulasi listrik, maka material itu akan menghasilkan perubahan tahanan listrik yang sebanding dengan deformasi yang terjadi. Strain-gauge yang mengandung bahan dengan tahanan listrik dapat dipakai untuk mengukur kwantitas regangan yang besarnya sesuai dengan perubahan dalam tahanan listrik yang terjadi. Di dalam pekerjaan eksperimental ini, strain-gauge dari tipe FLA-6-11 dari merk TML telah dipakai. Setiap strain-gauge ditempelkan pada batang-batang baja tulangan yang akan diukur regangannya, sedangkan ekornya disambungkan dengan kabel listrik yang akan terhubung ke terminal logger. Masing-masing dari strain-gauge mampu mengukur regangan sampai sebesar 5% = 50,000 10-6 (atau disebut dengan baca : microstrain). Baja tulangan yang dipakai di dalam riset ini berasal dari kelas Bj.TD-16 dengan regangan leleh : y = 0.002371, dan regangan strain-hardening : sh = 0.017784. Untuk tujuan pengukuran jenis baja tersebut, strain-gauge tipe yang ditentukan itu cukup memadai. Dari rekaman yang didapatkan selama pengujian, pembebanan yang diberikan telah menghasilkan regangan yang tidak lebih besar daripada 6,000 (= 0.6%). Berdasarkan beberapa parameter regangan yang ingin diketahui, maka sebanyak 43 strain-gauge telah dipasang pada SBK Tipe 1. Selanjutnya, masing-masing sebanyak 56, 51, 56 dan 51 untuk Tipe 2, 3, 4 dan 5. Penentuan tempat-tempat pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK disampaikan pada Gambar 4.10 sampai dengan 4.14.
4.5
Pengecoran Beton dan Urutan Pelaksanaan Pembuatan Spesimen Setelah rakitan tulangan terselesaikan, maka tibalah waktunya untuk mengecor
beton. Ada 2 (dua) bagian SBK yang harus dilaksanakan pengecorannya secara terpisah, yaitu kolom dan balok-balok pracetak. Setelah kedua bagian itu cukup umurnya, maka dirangkaikanlah keduanya, untuk kemudian dilakukan pengecoran pada bagian sambungannya. Pada setiap langkah pengecoran itu, contoh adukan beton diambil untuk dicetak ke dalam bentuk silinder-silinder beton untuk kelak akan diperiksa nilai kekuatannya, fc’.
Bab 4
– 71
SG-15 SG-8 SG-3
SG-12
SG-16 ; SG-17 SG-13 ; SG-14
SG-25 SG-26
SG-19 SG-18 SG-22
SG-27
SG-21
SG-28
SG-20
SG-29
SG-31
SG-23 SG-24
SG-30 SG-6 ; SG-7
SG-9 ; SG-10
SG-1 ; SG-2
SG-4 ; SG-5
SG-11
Banyaknya Strain-Gauge dipasang : Tulangan utama Balok Tulangan utama Kolom Tulangan sengkang Balok Tulangan sengkang Kolom
: : : :
BM CM BH CH
= 10 = 15 = 6 = 12
Total
SG-42 ; SG-43 SG-40 ; SG-41 SG-38 ; SG-39 SG-36 ; SG-37 SG-34 ; SG-35 SG-32 ; SG-33
= 43
Gambar 4.10 : Pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1
SG-11 SG-31 SG-12
SG-15 SG-8 SG-3
SG-13 ; SG-14 SG-6 ; SG-7 SG-1 ; SG-2
SG-16 ; SG-17 SG-9 ; SG-10 SG-4 ; SG-5
SG-21 ; SG-22 ; SG-23 SG-37 ; SG-38 ; SG-39 SG-18 ; SG-19 ; SG-20
SG-32 ; SG-33 ; SG-34 SG-35 ; SG-36
SG-29 ; SG-30
SG-44
SG-24 SG-25
SG-43 SG-42
SG-26 SG-27 ; SG-28
SG-40 ; SG-41
Banyaknya Strain-Gauge dipasang : Tulangan utama Balok Tulangan utama Kait Balok Tulangan utama Kolom Tulangan sengkang Balok Tulangan sengkang Kolom
Total
: : : : :
BM HM CM BH CH
= 15 = 8 = 15 = 6 = 12
SG-55 ; SG-56 SG-53 ; SG-54 SG-51 ; SG-52 SG-49 ; SG-50 SG-47 ; SG-48 SG-45 ; SG-46
= 56
Gambar 4.11 : Pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2
72
Bab 4
SG-12
SG-15 SG-8 SG-3
SG-13 ; SG-14 SG-6 ; SG-7 SG-1 ; SG-2
SG-16 ; SG-17 SG-9 ; SG-10 SG-4 ; SG-5
SG-21 ; SG-22 ; SG-23 SG-32 ; SG-33 ; SG-34 SG-18 ; SG-19 ; SG-20
SG-29 ; SG-30 ; SG-31
SG-24 ; SG-25 ; SG-26 SG-37 ; SG-38 ; SG-39 SG-27 ; SG-28
SG-35 ; SG-36
SG-11
Banyaknya Strain-Gauge dipasang : Tulangan utama Balok Tulangan utama Kait Balok Tulangan utama Kolom Tulangan sengkang Balok Tulangan sengkang Kolom
: : : : :
BM HM CM BH CH
Total
= 13 = 5 = 15 = 6 = 12
SG-50 ; SG-51 SG-48 ; SG-49 SG-46 ; SG-47 SG-44 ; SG-45 SG-42 ; SG-43 SG-40 ; SG-41
= 51
Gambar 4.12 : Pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3
SG-15 SG-8 SG-3
SG-11 SG-31 SG-12 SG-13 ; SG-14 SG-6 ; SG-7 SG-1 ; SG-2
SG-16 ; SG-17 SG-9 ; SG-10 SG-4 ; SG-5
SG-21 ; SG-22 ; SG-23 SG-37 ; SG-38 ; SG-39 SG-18 ; SG-19 ; SG-20
SG-32 ; SG-33 ; SG-34 SG-35 ; SG-36
SG-29 ; SG-30
SG-24 SG-25
SG-44 SG-43
SG-26
SG-42
SG-27 ; SG-28
SG-40 ; SG-41
Banyaknya Strain-Gauge dipasang : Tulangan utama Balok Tulangan utama Kait Balok Tulangan utama Kolom Tulangan sengkang Balok Tulangan sengkang Kolom
Total
: : : : :
BM HM CM BH CH
= 15 = 8 = 15 = 6 = 12
SG-55 ; SG-56 SG-53 ; SG-54 SG-51 ; SG-52 SG-49 ; SG-50 SG-47 ; SG-48 SG-45 ; SG-46
= 56
Gambar 4.13 : Pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4
Bab 4
– 73
SG-12
SG-15 SG-8 SG-3
SG-13 ; SG-14 SG-6 ; SG-7 SG-1 ; SG-2
SG-16 ; SG-17 SG-9 ; SG-10 SG-4 ; SG-5
SG-21 ; SG-22 ; SG-23 SG-32 ; SG-33 ; SG-34 SG-18 ; SG-19 ; SG-20
SG-29 ; SG-30 ; SG-31
SG-24 ; SG-25 ; SG-26 SG-37 ; SG-38 ; SG-39 SG-27 ; SG-28
SG-35 ; SG-36
SG-11
Banyaknya Strain-Gauge dipasang : Tulangan utama Balok Tulangan utama Kait Balok Tulangan utama Kolom Tulangan sengkang Balok Tulangan sengkang Kolom
Total
: : : : :
BM HM CM BH CH
= 13 = 5 = 15 = 6 = 12
SG-50 ; SG-51 SG-48 ; SG-49 SG-46 ; SG-47 SG-44 ; SG-45 SG-42 ; SG-43 SG-40 ; SG-41
= 51
Gambar 4.14 : Pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5
Campuran untuk beton direncanakan portland cement : batu pecah : pasir beton : air = 50 kg : 84.95 kg : 78.35 kg : 16.50 liter. Semua bahan diaduk menjadi satu di dalam mesin pengaduk (mixer), dan dihasilkan suatu campuran beton dengan nilai slump = 8.50 cm. Sedangkan untuk sambungan dipergunakan campuran beton grout. Untuk setiap batch pengadukan dimasukkan komposisi semen grout 3 zaak (@ 25 kg) + batu pecah ½ sebanyak 35 kg + air 16 liter. Campuran beton grout dipakai untuk dapat menutup celahcelah yang sempit dan mengisi sudut-sudut yang tajam, sehingga dihasilkan beton yang padat (compact) dan tidak berongga atau keropos. Pelaksanaan pembuatan spesimen SBK diusahakan dapat menirukan urut-urutan pelaksanaan yang sebenarnya di lapangan, disamping memperhatikan keterbatasan ruangan di dalam balai laboratorium. Total waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan ke lima spesimen SBK, dihitung mulai dari pembelian bahan-bahan (baja, kayu dan lain-lainnya) sampai dengan pengecoran terakhir sambungan dan beton overtopping, adalah selama 6 (enam) bulan. Urut-urutan pelaksanaan penyiapan spesimen SBK diperlihatkan pada Gambar 4.15 dan Gambar 4.16. Pada Gambar 4.17 diperlihatkan beberapa foto yang diambil pada saat pelaksanaan untuk mempersiapkan spesimen-spesimen SBK. Sedangkan hasil pengujian kuat tekan beton disampaikan pada Gambar 4.18 untuk beton kolom dan balok-balok pracetak, dan pada Gambar 4.19 untuk beton grout sambungan.
74
Bab 4
Rakit besi-besi penulangan untuk kolom & balok pracetak
1
2
Tegakkan besi tulangan kolom, Pasang cetakan balok pracetak & kolom bagian bawah.
Tampak proyeksi miring skema penulangan spesimen sambungan. Ukuran panjang & jarak tidak diskala-kan. Garis putusputus menunjukkan tepi beton.
Spesimen sambungan yang sudah jadi dan siap untuk diuji. (Baja-baja tulangan dinampakkan dalam Gambar).
11
Lepas cetakan.
12
Pindahkan ke tempat penyimpanan.
10
Cor beton kolom bagian atas.
9
Pasang & setel cetakan kolom bagian atas.
Cor beton untuk balok pracetak & kolom bagian bawah.
3
4
400
Setel balok pracetak pada posisinya & setel tu400 langan jangkar.
5
Pasang & setel penyangga sementara.
6
Pasang sengkang & sisipkan tulangan overtopping.
7
8
Oleskan bonding agent pada muka beton lama.
Cor beton sambungan balok & overtopping.
Gambar 4.15 : Urut-urutan pembuatan spesimen SBK yang direncanakan semula.
Bab 4
– 75
Rakit besi-besi penulangan.
1
2
Pasang cetakan untuk balok pracetak & kolom, setel tulangan jangkar
Tampak proyeksi miring skema penulangan spesimen sambungan. Ukuran panjang & jarak tidak diskala-kan. Garis putusputus menunjukkan tepi beton.
Spesimen sambungan yang sudah jadi dan siap untuk diuji. (Baja-baja tulangan dinampakkan dalam Gambar).
11
Lepas cetakan & singkirkan perancah.
12
Pindahkan ke tempat penyimpanan.
10
Cor beton overtopping sambungan
9
Cor beton overtopping.
Cor beton untuk balok pracetak & kolom.
3
4 400
Tegakkan kolom,setel balok pracetak pada posisi sambungan. 400
5
Pasang & setel penyangga sementara.
6
Pasang sengkang & sisipkan tulangan overtopping.
7
8
Oleskan bonding agent pada muka beton lama.
Cor beton sambungan balok.
Gambar 4.16 : Urut-urutan pelaksanaan pembuatan spesimen SBK yang diterapkan.
76
Bab 4
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Gambar 4.17 : Beberapa gambar yang diambil pada saat pelaksanaan pembuatan spesimen SBK. (a) Perakitan baja-baja tulangan (b) Pekerjaan pembuatan cetakan beton (c) Strain-gauges dalam kemasan (d) Memasang strain-gauges (e) Menuang & memadatkan beton (f) SBK Tipe 1 sudah jadi (g) Menyambung balok ke kolom (h) Sambungan & topping sudah tertuang
Bab 4
– 77
Rerata : fcm’ = 360.18 kg/cm2 Standar deviasi : n-1 = 18.38 kg/cm2 Koefisien statistik : = 1.16
Gambar 4.18 : Hasil pengujian silinder beton normal pada pembuatan spesimen SBK.
Rerata : fcm’ = 500.52 kg/cm2 Standar deviasi : n-1 = 85.78 kg/cm2 Koefisien statistik : = 1.16
Gambar 4.19 : Hasil pengujian silinder beton grout pada pembuatan spesimen SBK.
78
Bab 4
4.6
Penyetelan Spesimen SBK untuk Pengujian dengan Beban Siklik Pengujian SBK dengan beban siklik dilaksanakan di Balai Struktur Bangunan –
Pusat Penelitian & Pengembangan Permukiman – Kementrian Permukiman & Prasarana Wilayah (BSB Puslitbangkim Kimpraswil) yang bertempat di desa Cileunyi – Kabupaten Bandung – Provinsi Jawa Barat. Karena banyak pihak yang juga berkepentingan dengan pemanfaatan segala fasilitas yang dimilikinya, maka waktu pengujian SBK juga ditentukan dengan menunggu jadwal yang tersedia. Pengujian SBK baru bisa dimulai kira-kira 3 (tiga) bulan semenjak pekerjaan penyiapan/pembuatan spesimennya berakhir. Adapun penyelesaian pengujian bagi kelima SBK membutuhkan waktu kira-kira 2 (dua) bulan lagi. Sebelum pengujian dimulai, dilakukan penyetelan (set up) terlebih dahulu pada spesimen SBK-nya. Penyetelan meliputi : (1) memasang SBK pada posisinya di dalam mesin penguji, (2) pemasangan cantelan (attachment) untuk menentukan tempat penerapan beban-beban dan gaya-gaya restraint, (3) pemasangan transducer (LVDT = linear variable displacement transducer) dan menghubungkan channel-channel-nya ke terminal Data Logger, (4) menghubungkan kabel-kabel strain-gauge melalui channel-channel-nya ke Data Logger, dan – (5) menguji coba semua peralatan dan instrumen kelistrikan yang dipasang agar dapat berfungsi dengan baik. Proses set up ini membutuhkan waktu 1 (satu) hari kerja, sedangkan pelaksanaan pengujiannya membutuhkan waktu 1 (satu) hari juga. Sesudahnya, untuk melepaskan spesimen uji SBK berikut instrumennya dari mesin penguji juga dibutuhkan waktu 1 (satu) hari. Jadi total waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pengujian sebuah SBK adalah 3 (tiga) hari. Penyetelan SBK disajikan pada Gambar 4.20, sedangkan skema pemasangan transducer-nya disampaikan pada Gambar 4.21. 3000
1500 1500
1500
360
2200 1100
725
1800 1125
2900
350
360
400
2500 2500
340
500
STRONG FLOOR
1000
STRONG FLOOR
100
STRONG WALL
600
2090
700
40
60
1100
5000
6600
1600
100
600
STRONG WALL
1000
3000
1400
1200 2200 3200
1400
Gambar 4.20 : Penyetelan spesimen SBK di dalam mesin penguji dengan beban siklik. Bab 4
– 79
N
Long range : SDP-300D Kapasitas = 300 mm
General use : SDP-100C Kapasitas = 100 mm
Wire gauge : DP-1000E Kapasitas = 1000 mm
P
Tr-1
Tr-3
High sensitivity : CDP-50D Kapasitas = 50 mm
+
Long range : SDP-300D Kapasitas = 300 mm
350
High sensitivity : CDP-50D Kapasitas = 50 mm
High sensitivity : CDP-25D Kapasitas = 25 mm
Tr-11
Long range : SDP-200D Kapasitas = 200 mm
Tr-4
Tr-13
High sensitivity : CDP-25D Kapasitas = 25 mm
1285 mm High sensitivity : CDP-25D Kapasitas = 25 mm
Tr-17 Tr-15
Tr-7
Tr-19
Tr-16
Tr-9
Tr-20 Tr-18
Tr-8
Tr-12
LC-L General use : SDP-100C Kapasitas = 100 mm
Load Cell : TCLM-NB Kapasitas = 200 kN
240
450 mm
Tr-10 General use : SDP-100C Kapasitas = 100 mm
Tr-14
LC-R
350
Tr-5 Tr-6
1285 mm
Load Cell : TCLM-NB Kapasitas = 200 kN
High sensitivity : CDP-25D Kapasitas = 25 mm
High sensitivity : CDP-25D Kapasitas = 25 mm
High sensitivity : CDP-50D Kapasitas = 50 mm
Long range : SDP-200D Kapasitas = 200 mm
240
High sensitivity : CDP-50D Kapasitas = 50 mm
Keterangan : High sensitivity : CDP-25D Kapasitas = 25 mm
General use : SDP-100C Kapasitas = 100 mm
General use : SDP-100C Kapasitas = 100 mm
LVDT Load Cell
1600 mm
450
1600 mm
Gambar 4.21 : Skema pemasangan transducer pada SBK
Pada Gambar 4.21 diperlihatkan letak titik-titik pemasangan transducer dan loadcell pada spesimen SBK. Transducer untuk mengukur perpindahan, sedangkan load-cell untuk mengetahui besarnya gaya pada restraint. Tipe transducer yang dipasang disesuaikan dengan kebutuhan dan besarnya perpindahan yang akan terjadi, seperti general use, long range, high sensitivity, wire gauge dan lain-lain. Baik strain-gauge maupun transducer adalah merupakan peralatan instrumentasi kelistrikan yang bekerja pada nilai-nilai tahanan (resistivity) yang tertentu. Karenanya, penggunaan kabel-kabel penghubung dari unit-unit instrumen tersebut ke data logger yang terlalu panjang akan mempengaruhi ketelitian pembacaannya. Besarnya ketelitian itu tergantung pada jenis strain-gauge dan transducer yang dipakai, jenis bahan kabel, ukuran penampang dan panjangnya. Adapun semua strain-gauge dan transducer yang dipakai di dalam pekerjaan eksperimental ini memiliki nilai tahanan dasar : R = 350 . Dari suatu strain-gauge atau transducer yang memakai kabel dengan tahanan jenis r dan panjang L, maka strain atau perpindahan yang terbaca darinya read harus diinterpretasikan sebagai suatu nilai terkoreksi corr sebagai berikut :
80
Bab 4
corr
R read RrL
.........................................
(4-1)
Untuk jenis kabel tembaga, nilai r dapat dipakai sebagai yang disampaikan pada Tabel 4.2 berikut ini. Tabel 4.2 : Nilai-nilai tahanan jenis beberapa ukuran kabel tembaga. Luas penampang kabel, A (mm2)
Tahanan jenis, r (/m)
0.005 0.050 0.080 0.090 0.140 0.300 0.350 0.500 0.750
7.200 0.630 0.440 0.400 0.250 0.120 0.110 0.070 0.048
Bila dipakai kabel dengan penampang 0.30 mm2 sepanjang L = 15.00 m, maka besarnya koreksi :
corr
350 read 0.9949 read 350 0.12 15
Bila kabel yang dipakai penampang 0.14 mm2 , maka koreksinya adalah sebesar :
corr
350 read 0.9894 read 350 0.25 15
Karena nilai koreksi mendekati 1 (satu), maka kesalahan yang ditimbulkannya dapat diabaikan, dan nilai yang sebenarnya corr dianggap sama dengan nilai yang terbaca read dari strain-gauge atau transducer.
4.7
Sedikit Catatan pada Pemberian Beban Vertikal Konstan N Pemberian beban vertikal konstan di dalam pengujian dimaksudkan untuk men-
simulasikan suasana yang mendekati keadaan yang sebenarnya pada saat pembebanan gempa. Hal ini sebetulnya dianggap tidak penting sekali, karena gaya aksial yang terbentuk pada kolom selama gempa biasanya selalu lebih kecil daripada beban balanced-nya, Nub. Dengan mengabaikan gaya aksial kolom berarti telah membawa desain SBK pada sisi yang konservatif, karena pada keadaan tersebut terkandung faktor overstrength kolom yang lebih rendah. Sebagai ditunjukkan, bahwa ketiadaan gaya aksial kolom merujuk pada kondisi yang paling buruk dari suatu SBK (Brooke, dkk., 2006). Sementara itu, para peneliti yang lain telah pula mengajukan kesimpulan yang berbeda. Sebagai contoh, dari serangkaian riset yang dilakukan, telah disimpulkan beberapa keuntungan yang diperoleh dengan diberikannya gaya aksial kolom pada saat pengujian SBK. Beberapa hal dapat disebutkan, misalnya terjadinya peningkatan kekuatan SBK, baik interior maupun eksterior, sekitar 15% – 25%. Hal-hal lainnya adalah berkurangnya gejala deteriorasi kekuatan pada SBK eksterior, tertundanya pembentukan retak-retak geser, dan tersedianya pengekangan yang lebih baik pada batang-batang tulangan yang tertanam di dalamnya (Pessiki, dkk., 1990), (Beres, dkk., 1992) dan (Beres, dkk., 1996). Kesimpulan yang lain juga telah dihasilkan oleh peneliti lainnya. Dari riset yang dilakukan, telah diBab 4
– 81
simpulkan bahwa pemberian gaya aksial sampai pada taraf tertentu pada kolom dapat meningkatkan ketahanan geser dari SBK (Li, dkk., 2003) dan (Li, dkk., 2009). Pada sisi yang lain, suatu studi eksperimental yang dilakukan pada SBK eksterior satu arah dengan pendetailan tulangan yang kurang telah mengungkapkan fakta-fakta yang menarik lainnya sebagai akibat diberikannya gaya aksial pada kolom. Darinya disimpulkan terjadinya pengurangan kapasitas disipasi energi, terbentuknya retak-retak yang lebih lebar, dan tingkat resiko yang lebih tinggi pada kolom untuk mengalami keruntuhan secara brittle (Clyde, dkk., 2002). Karenanya, diputuskanlah di dalam riset ini untuk memberikan gaya aksial pada ujung atas kolom pada tingkatan yang tidak terlalu tinggi. Pada spesimenspesimen SBK di dalam riset disertasi ini diberikan gaya aksial konstan pada kolom hanya sebesar : N = 14 ton (= 137.3 kN 0.025 fc’ Ag).
4.8
Pengujian SBK dengan Beban Siklik dan Hasil yang Diperoleh Setelah persiapan dianggap cukup dan pemeriksaan pada semua peralatan dan
instrumen yang dipergunakan berhasil dengan baik, maka dilakukanlah pengujian SBK dengan beban siklik. Pengujian bertujuan memeriksa perilaku respons histeretik SBK terhadap pembebanan bolak-balik siklik yang ditingkatkan secara bertahap. Pembebanan yang diberikan adalah beban horizontal P secara siklik dan beban vertikal N yang tetap besarnya (lihat Gambar 4.21 di atas). Beban P diberikan secara displacement controlled dengan menggunakan riwayat menurut ACI 374.1-05 sebagai diperlihatkan pada Gambar 4.22 (ACI Committee 374, 2005). Beban ini serupa dengan beban pada Gambar 4.7 di depan, hanya saja perpindahan dinyatakan dengan % drift tingkat. Riwayat Pembebanan Siklik yang Dipergunakan Displacement-Controlled menurut ACI 374.1-05
2.75
2.20
1.40
1.00
0.75
0.50
0.35
1
0.25
0.20
2
4.00
-3.50
-4
-2.75
-2.20
-3
-1.75
-1.40
-1.00
-0.75
-2
-0.50
-0.25
-1
-0.35
0 -0.20
Drift Tingkat ( % )
3
1.75
4
3.50
5
-4.00
-5 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Nomor Siklus Pembebanan
Gambar 4.22 : Riwayat pembebanan pada SBK secara displacement-controlled. 82
Bab 4
Pengujian menghasilkan beberapa jenis data yang akan memberikan gambaran tentang perilaku respons SBK. Data itu adalah : (1) respons siklik dari transducer yang terpasang, (2) respons regangan-regangan baja tulangan sebagai yang dicatat oleh straingauge, (3) foto-foto pelaksanaan pengujian, dan – (4) pola kerusakan (retak) yang terbentuk. Hasil pembacaan seluruh transducer dan strain-gauge untuk kelima tipe SBK disampaikan selengkapnya pada Lampiran – C di belakang. Respons Histeretik P -
SBK Tipe 1
25
Beban Lateral, P ( ton )
20 15 10 5 0 -5 -10 -15 -6
-5
-4
-3
-2
-20 -1 0
Perpindahan,
1
2
3
4
5
6
( % Drit )
(a) Respons Histeretik P -
SBK Tipe 2
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Respons Histeretik P -
10 5 0 -5 -10 -15 -6
-5
-4
-3
-2
-20 -1 0
Perpindahan,
1
2
3
4
5
6
10 5 0 -5 -10 -15 -6
-5
-4
( % Drit )
-3
-2
-20 -1 0
Perpindahan,
Respons Histeretik P -
SBK Tipe 4
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Respons Histeretik P -
10 5 0 -5 -10 -15 -6
-5
-4
-3
-2
Perpindahan,
1
2
( % Drit )
(d)
1
2
3
4
5
6
5
6
( % Drit )
(c)
(b)
-20 -1 0
SBK Tipe 3
3
4
5
6
SBK Tipe 5
10 5 0 -5 -10 -15 -6
-5
-4
-3
-2
-20 -1 0
Perpindahan,
1
2
3
4
( % Drit )
(e)
Gambar 4.23 : Respons histeretik SBK sebagai terbaca dari pembacaan transducer Tr-1 (a) SBK Tipe 1 (b) SBK Tipe 2 (c) SBK Tipe 3 (d) SBK Tipe 4 (e) SBK Tipe 5 Bab 4
– 83
Tidak semua data transducer dan strain-gauge itu dapat didiskusikan di dalam buku ini, karena hal itu akan membutuhkan waktu yang sangat panjang, disamping akan dapat mengaburkan tujuan semula dari buku laporan ini. Karenanya, di sini akan disampaikan satu saja dari sekian banyaknya data pembacaan yang dapat memberikan gambaran secara global pada perilaku respons SBK terhadap pembebanan siklik. Data itu adalah transducer Tr-1, yang menunjukkan hubungan antara beban lateral P dengan perpindahan
pada ujung kolom. Pada Gambar 4.23 di atas disampaikan hasil pembacaan Tr-1 untuk kelima SBK. Data pembacaan strain-gauge yang menggambarkan pelelehan yang terjadi pada beberapa tempat kritik pada baja tulangan juga telah dicuplik dari Lampiran – C dan yang akan diperlihatkan pada Gambar 4.24. Pola peretakan yang terbentuk pada SBK ditampilkan pada Gambar 4.25. Sedangkan beberapa foto yang menunjukkan aktifitas pada saat pelaksanaan pengujian akan diperlihatkan pada Gambar 4.26. Dari uji tarik baja tulangan telah diketahui tegangan leleh baja D16 : fy = 4979.47 kg/cm2, sehingga regangan leleh : y = 4979.47/(2.1106) = 0.002371 = 2371 . Dengan demikian letak titik awal leleh pada grafik riwayat regangan baja-baja tulangan dapat ditunjukkan. Pada Gambar 4.24 diperlihatkan letak titik-titik awal leleh baja tulangan itu sebagai bulatan kecil. Misalnya untuk grafik strain-gauge SG-11 pada SBK Tipe 1, telah diberikan keterangan di dalam text-box : 23, 543, 2594, yang berarti baja tersebut mengalami awal leleh pada siklus ke-23, titik pembebanan ke-543, dan regangan tarik yang terjadi sebesar 2594 (= 259410-6 = 0.002594). Informasi tentang titik awal leleh batang-batang tulangan akan sangat berguna di dalam pemeriksaan bagian-bagian mana yang terlebih dahulu mengalami pelelehan, apakah pada balok atau pada kolom. Pada Gambar 4.25 diperlihatkan pola peretakan yang terjadi di daerah sekitar pertemuan balok dangan kolom dari SBK. Warna tinta yang berbeda, yaitu merah dan hitam, dipakai untuk membedakan arah pembebanan yang menyebabkannya. Pada Gambar 4.25 (a) disampaikan pola peretakan pada SBK Tipe 1 monolith yang dipakai sebagai benchmark untuk menilai kinerja SBK-SBK yang lainnya. Pada Gambar 4.25 (b) s/d. (e) dapat dilihat kerusakan yang intensif terjadi di daerah panel sambungan, dan sedikit di daerah balok. Kenyataan ini terjadi, walaupun SBK sudah didesain dengan prinsip strong column – weak beam. Juga, pemeriksaan pada regangan-regangan yang tercatat pada baja-baja tulangan telah menunjukkan pelelehan terjadi pada balok terlebih dahulu daripada kolom (lihat pembicaraan pada Pasal 5.4 – Daktilitas dan Kuat Lebih SBK dari buku laporan disertasi ini). Hal ini kemungkinan terjadi disebabkan oleh dipakainya tulangan transversal yang kurang di daerah panel sambungan, disamping dipergunakannya campuran beton grout dengan kekuatan yang lebih tinggi pada daerah sambungan. 84
Bab 4
Riwayat Regangan Baja Tulangan dengan Pembebanan Siklik Tulangan Longitudinal Balok : SG-11 pada SBK Tipe 1
4000
Awal Leleh : 23, 543, 2594
Regangan,
3000 2000 1000 0 -1000 0
100
200
300
400
500
600
700
800
Nomor Titik Pembebanan
900
1000
1100
1200
1300
1400
1200
1300
1200
1300
1200
1300
1200
1300
Riwayat Regangan Baja Tulangan dengan Pembebanan Siklik Tulangan Longitudinal Balok : SG-11 pada SBK Tipe 2
6000
5000 4000
Regangan,
3000
Awal Leleh : 19, 448, 2383
2000 1000 0 -1000 0
100
200
300
400
500
600
700
800
Nomor Titik Pembebanan
900
1000
1100
Riwayat Regangan Baja Tulangan dengan Pembebanan Siklik Tulangan Longitudinal Balok : SG-28 pada SBK Tipe 3
4000
Awal Leleh : 23, 541, 2540
2000
Regangan,
3000
1000 0 -1000 0
100
200
300
400
500
600
700
800
Nomor Titik Pembebanan
900
1000
1100
Riwayat Regangan Baja Tulangan dengan Pembebanan Siklik Tulangan Longitudinal Balok : SG-11 pada SBK Tipe 4
4000
Awal Leleh : 19, 448, 2425
3000
Regangan,
2000 1000 0 -1000 0
100
200
300
400
500
600
700
800
Nomor Titik Pembebanan
900
1000
1100
Riwayat Regangan Baja Tulangan dengan Pembebanan Siklik Tulangan Longitudinal Balok : SG-12 pada SBK Tipe 5
6000 5000
3000
Regangan,
4000
2000
Awal Leleh : 19, 447, 2395
1000 0 -1000 0
100
200
300
400
500
600
700
800
Nomor Titik Pembebanan
900
1000
1100
Gambar 4.24 : Riwayat regangan baja-baja tulangan yang terekam dari pembacaan strain-gauge Bab 4
– 85
(a)
SBK Tipe 1
(b)
SBK Tipe 2
(c)
SBK Tipe 3
(d)
SBK Tipe 4
(e)
SBK Tipe 5 Gambar 4.25 : Pola pembentukan retak yang terjadi pada SBK dengan pembebanan siklik (a) SBK Tipe 1 (b) SBK Tipe 2 (c) SBK Tipe 3 (d) SBK Tipe 4 (e) SBK Tipe 5 86
Bab 4
(a)
(c)
(b)
(e)
(d)
(g)
(i)
(f)
(h)
(j)
(k)
Gambar 4.26 : Beberapa foto yang diambil pada saat pengujian siklik SBK (a) & (b) Pemeriksaan instrumen pengukur pada saat set-up pengujian (c) Persiapan pengujian kekuatan silinder beton (d) Silinder beton sesudah diuji kuat tekannya (e) Set-up SBK pada mesin uji dengan beban siklik (f) SBK selesai di set-up dan siap menjalani pengujian beban siklik (g) Meja pengendali pengujian (h) Layar monitor komputer untuk memantau perilaku SBK (i) Pola retak yang terbentuk pada SBK Tipe 1 pada akhir pengujian (j) Pola retak yang terbentuk pada SBK Tipe 2 pada akhir pengujian (k) Pola retak yang terbentuk pada SBK Tipe 3 pada akhir pengujian Bab 4
– 87
Pada Gambar 4.25 (a) dan 4.26 (i) diperlihatkan pola kerusakan pada SBK Tipe 1. Padanya terlihat retak-retak yang tersebar pada kedua ujung balok dan juga pada panel sambungan. Bahkan pada Gambar 4.26 (i) dapat terlihat dengan jelas kerusakan pada kedua pangkal balok. Hal ini menunjukkan ciri keruntuhan struktur yang didesain secara kolom kuat – balok lemah. Tersebarnya retak-retak yang agak intensif di daerah panel disebabkan oleh pemasangan tulangan transversal yang kurang padanya. Atas pertimbangan kemudahan di dalam pengerjaan pembuatan spesimen, tulangan transversal pada panel sambungan terpaksa tidak bisa dipasangkan sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan kinerjanya. Pada SBK Tipe 2, 3, 4 dan 5, kerusakan pada daerah panel ini menjadi lebih jelas kelihatan, seperti ternampak pada Gambar 4.25 (b) s/d. (e) dan Gambar 4.26 (j) & (k). Pada 3 (tiga) siklus terakhir pembebanan siklik dengan drift 5% telah terbuka retak-retak yang lebar pada panel sambungan keempat SBK tersebut. Bahkan sebagian dari selimut betonnya sudah terlepas keluar, walaupun bagian beton intinya tidak rusak. Dengan merujuk pada grafik respons histeretik sebagai yang diperlihatkan pada Gambar 4.23, dapat ditunjukkan bahwa pada siklus-siklus terakhir dari pembebanan telah terjadi peningkatan beban yang menampilkan ciri-ciri peristiwa strain-hardening pada kurva tegangan – regangan baja. Dengan demikian, mestinya pembebanan masih bisa dilanjutkan lagi dengan drift 6%, 7% dan mungkin 8%, sampai SBK benar-benar runtuh yang ditunjukkan dengan penurunan beban pada grafik histeretiknya. Dalam riset ini, pembebanan telah dihentikan pada drift 5% karena keterbatasan kapasitas mesin penguji. Akan halnya kerusakan yang terjadi lebih besar pada panel SBK dan bukan pada ujung-ujung baloknya, hal ini dapat dijelaskan dengan dipakainya campuran beton grout pada sambungan dengan hasil uji kuat tekan silinder yang mencapai : fcm’ 500 kg/cm2, yang lebih tinggi daripada kuat tekan silinder beton untuk balok & kolom yang hanya : fcm’ = 360 kg/cm2. Pemakaian beton grout pada sambungan terpaksa dilakukan mengingat terjadinya perubahan skenario pada pelaksanaan pembuatan spesimen SBK, sebagai yang ditunjukkan pada Gambar 4.15 dan 4.16 di depan. Bahan beton grout telah digunakan agar campuran beton basah cukup plastis/encer untuk mengisi celah-celah yang sempit dan sudut-sudut yang tajam dari sambungan yang terletak di antara kolom dan balok-balok SBK.
88
Bab 4
BAB 5 TINJAUAN DATA HASIL EKSPERIMEN PADA KINERJA SAMBUNGAN BALOK-KE-KOLOM 5.1
Data Hasil Pengujian Spesimen SBK Dari pengujian eksperimental SBK yang telah dilakukan diperoleh serangkaian
data angka-angka di dalam susunan matriks yang bermakna riwayat beban-beban dan deformasi yang dialami. Deformasi bisa berupa pembacaan LVDT ataupun strain-gauge. Uraian selengkapnya data pembacaan LVDT maupun strain-gauge untuk kelima SBK telah disampaikan ke dalam bentuk grafik pada Lampiran – C di belakang. Terutama dari data pembacaan LVDT, khususnya Tr-1, beberapa parameter dari kinerja SBK akan bisa di-evaluasi. Butir-butir yang utama dari kinerja adalah kekuatan, daktilitas dan kapasitas pemencaran energi. Karenanya, ketiga hal tersebut akan dibahas untuk didapatkan nilai-nilainya bagi kelima SBK. Sedangkan nilai kinerja yang penting lainnya, yaitu drift, akan bisa dilihat dari grafik P – secara langsung. Pada kelima SBK, pengujian beban siklik telah dilakukan hingga tercapai drift = 5%. Walaupun padanya telah terjadi beberapa kerusakan, tetapi dari grafik histeretik P – yang terekam terlihat bahwa SBK masih sanggup untuk menerima siklus-siklus pembebanan lebih lanjut. Hanya oleh sebab keterbatasan kapasitas mesin penguji sajalah, maka pembebanan telah dihentikan pada drift maksimum yang dapat dicapai ± 12 cm (kira-kira = 5% dari tinggi tingkat spesimen). Berikut ini disampaikan uraian pada beberapa parameter kinerja SBK.
5.2
Respons Histeretik Beban – Perpindahan SBK Eksperimental dan Perbandingannya dengan Hasil Analitik Untuk menguji akurasi model analitik dalam memprediksikan perilaku histeretik
SBK, maka hal yang diperlukan adalah membandingkan antara grafik P – yang diperoleh secara analitik dengan yang didapatkan melalui uji eksperimental. Respons histeretik secara analitik dihitung dengan menggunakan model Richard–Abbott sebagai yang telah ditunjukkan pada Bab 3 di depan. Dengan aplikasi program SeismoStruct, maka dibutuhkanlah beberapa data sebagai input pada model matematika dari masalah yang dihadapi. Data itu antara lain informasi pada sistem sumbu koordinat struktur yang dipakai dan susunan matriks kekakuan elemen yang didapatkannya. Sistem sumbu yang dipakai dan susunan matriks kekakuan disampaikan pada Gambar 5.1 dan 5.2. Sedangkan data sendi plastik, yang diassumsikan terbentuk pada ujung-ujung balok yang bertemu dengan kolom,
Bab 5
– 89
disampaikan pada Tabel 5.1. Rincian data input material, model struktur dan parameter sendi plastik disampaikan pada Lampiran – D. Hasil analisis yang diperolehnya akan disampaikan terhampar (overlaid) di atas grafik hasil eksperimental sebagai diperlihatkan pada Gambar 5.3 sampai dengan 5.7, masing-masing untuk SBK Tipe 1 sampai dengan 5.
(a)
(b)
(c)
Gambar 5.1 : Sistem sumbu yang dipakai di dalam studi analitik dengan SeismoStruct (a) SBK tampak 2 dimensi (b) SBK tampak ruang (c) Gaya-gaya yang bekerja pada sumbu koordinat struktur
Gambar 5.2 : Matriks kekakuan elemen pada struktur rangka 90
Bab 5
Tabel 5.1 : Parameter sendi plastik yang terbentuk pada kedua ujung balok SBK SBK Tipe 1
SBK Tipe 2
Cabang Mendaki (Ascending Branch)
Ka (kN.m/rad) Ma (kN.m) Kpa (kN.m/rad) Na Kap (kN.m/rad) Map (kN.m) Kpap (kN.m/rad) Nap t1a t2a Ca iKa iMa Ha Emax-a (rad)
53755. 173.4 524.7 0.6 53755. 78. 524.7 0.6 38. 0.5 1. 0.000006 0.028 1.0E-07 0.1
Cabang Menurun (Descending Branch)
Parameter Sendi Plastik
Kd (kN.m/rad) Md (kN.m) Kpd (kN.m/rad) Nd Kdp (kN.m/rad) Mdp (kN.m) Kpdp (kN.m/rad) Ndp t1d t2d Cd iKd iMd Hd Emax-d (rad)
53755. 173.4 524.7 0.6 53755. 78. 524.7 0.6 38. 0.5 1. 0.000006 0.028 1.0E-07 0.1
P
Nama Spesimen SBK Tipe 3
SBK Tipe 4
SBK Tipe 5
71094. 299.9 260.44 0.6 71094. 134.96 260.44 0.6 42. 0.5 1. 0.000004 0.03 1.0E-07 0.1
77517. 203.7 307.58 0.6 77517. 70.25 307.58 0.6 40. 0.51 1. 0.000005 0.028 1.0E-07 0.1
71094. 299.9 260.44 0.6 71094. 134.96 260.44 0.6 38.5 0.5 1. 0.000006 0.03 1.0E-07 0.1
77517. 206.6 307.58 0.6 77517. 80.64 307.58 0.6 39.5 0.5 1. 0.000006 0.031 1.0E-07 0.1
64286. 152.1 305.87 0.6 64286. 68.45 305.87 0.6 42. 0.5 1. 0.000004 0.03 1.0E-07 0.1
46105. 162.4 199.38 0.6 46105. 52.47 199.38 0.6 40. 0.51 1. 0.000005 0.028 1.0E-07 0.1
64286. 152.1 305.87 0.6 64286. 68.45 305.87 0.6 38.5 0.5 1. 0.000006 0.03 1.0E-07 0.1
46105. 164.7 199.38 0.6 46105. 64.2 199.38 0.6 39.5 0.5 1. 0.000006 0.031 1.0E-07 0.1
V
Gambar 5.3 : Perbandingan eksperimental – analitik grafik respons histeretik SBK Tipe 1 Bab 5
– 91
P
V
Gambar 5.4 : Perbandingan eksperimental – analitik grafik respons histeretik SBK Tipe 2
P
V
Gambar 5.5 : Perbandingan eksperimental – analitik grafik respons histeretik SBK Tipe 3
P
V
Gambar 5.6 : Perbandingan eksperimental – analitik grafik respons histeretik SBK Tipe 4 92
Bab 5
P
V
Gambar 5.7 : Perbandingan eksperimental – analitik grafik respons histeretik SBK Tipe 5
5.3
Kekuatan SBK Kekuatan adalah kemampuan struktur untuk bertahan terhadap gangguan dari luar,
baik yang berupa beban gaya maupun perpindahan. Untuk kelima SBK yang dikaji di dalam riset ini, kekuatan tampil ke dalam bentuk gaya sebagai perlawanan terhadap gangguan yang diberikan berupa perpindahan. Dari Gambar 5.3 sampai dengan 5.7 telah diketahui gambaran nilai-nilai kekuatan SBK antara analitik dengan eksperimentalnya yang berbeda-beda. Gambaran yang lebih jelas tentang kekuatan ini dapat diberikan dengan menarik suatu kurva yang dikenal dengan nama kurva backbone. Kurva ini merupakan selongsong (envelope) dari grafik histeretik respons yang diperoleh dengan menghubungkan titik-titik puncak respons pada setiap siklusnya. Dengan memperhatikan grafik backbone, seseorang akan dapat dengan cepat mengevaluasi kekuatan SBK. Hampir sama dengan grafik backbone adalah grafik pushover. Bedanya, kalau pada grafik backbone lintasan kurvanya didapatkan langsung secara grafis, yaitu dengan menghubungkan titik-titik koordinat puncak respons setiap siklusnya, tetapi pada grafik pushover lintasannya didapatkan dengan perhitungan analitik. Terdapat beberapa cara yang sudah dikenal untuk analisis pushover ini, antara lain cara-cara Ramberg–Osgood, bilinier kinematik, dan Richard–Abbott. Pada Gambar 5.8 disampaikan grafik backbone dan pushover SBK Tipe 1 yang di-overlay-kan di atas grafik histeretiknya. Dengan maksud untuk mendapatkan tampilan yang bersih dan jelas, maka pada Gambar 5.9 disajikan gambar yang sama dengan Gambar 5.8 tetapi dengan menghilangkan grafik histeretiknya. Selanjutnya pada Gambar 5.10 sampai dengan 5.17 akan disampaikan untuk SBK Tipe 2 sampai dengan 5, masing-masing grafik backbone bersama-sama dengan pushover yang di-overlay-kan di atas kurva histeretiknya, dan grafik backbone bersama pushover-nya saja. Bab 5
– 93
Gambar 5.8 : Overlay grafik backbone dan pushover pada grafik histeretik SBK Tipe 1
Gambar 5.9 : Grafik backbone dan pushover SBK Tipe 1
Gambar 5.10 : Overlay grafik backbone dan pushover pada grafik histeretik SBK Tipe 2 94
Bab 5
Gambar 5.11 : Grafik backbone dan pushover SBK Tipe 2
Gambar 5.12 : Overlay grafik backbone dan pushover pada grafik histeretik SBK Tipe 3
Gambar 5.13 : Grafik backbone dan pushover SBK Tipe 3 Bab 5
– 95
Gambar 5.14 : Overlay grafik backbone dan pushover pada grafik histeretik SBK Tipe 4
Gambar 5.15 : Grafik backbone dan pushover SBK Tipe 4
Gambar 5.16 : Overlay grafik backbone dan pushover pada grafik histeretik SBK Tipe 5 96
Bab 5
Gambar 5.17 : Grafik backbone dan pushover SBK Tipe 5
P
V
Gambar 5.18 : Perbandingan kekuatan kelima SBK dinyatakan sebagai grafik backbone.
Perbandingan kekuatan kelima SBK dinyatakan dengan grafik backbone eksperimental ditampilkan pada Gambar 5.18. Terlihat urut-urutan kekuatan SBK dari yang tertinggi sampai ke yang terendah adalah SBK Tipe 1, 4, 2, 5 dan 3. Bila kekuatan dinyatakan sebagai nilai beban pada drift (+) 5%, maka nilainya adalah 18.83 ton (Tipe 1), 17.44 ton (Tipe 4), 16.31 ton (Tipe 2), 14.79 ton (Tipe 5), dan 14.53 ton (Tipe 3).
5.4
Daktilitas dan Kuat Lebih SBK Menurut ilmu mekanika struktur, daktilitas didefinisikan sebagai kesanggupan
struktur untuk melakukan sejumlah besar deformasi paska leleh sambil tetap mempertahankan sebagian besar kekuatannya semula. Untuk bisa melakukan evaluasi dengan benar pada daktilitas ini dibutuhkan grafik hubungan beban – deformasi bilinier yang terkandung di dalamnya informasi tentang saat struktur tersebut pertama kalinya mengalami leleh (Y) dan Bab 5
– 97
saat tercapai keadaan batasnya (U). Bagi kelima SBK yang sedang dikaji ini, kebutuhan itu dapat dipenuhi dengan grafik beban – deformasi monotonik sebagai yang ditampilkan pada Gambar 5.9, 5.11, 5.13, 5.15 dan 5.17, baik yang berupa backbone maupun pushover. Walaupun tidak secara langsung terhubung dengan data eksperimentalnya, grafik pushover dapat memberikan gambaran yang lebih jelas daripada grafik backbone tentang letak titik-titik Y dan U tersebut. Sebagai dapat diamati pada Gambar 5.8, 5.10, 5.12, 5.14 dan 5.16, grafik pushover, khususnya dengan metoda bilinier kinematik, telah memberikan hasil yang paling mendekati grafik respons histeretik kelima SBK. Agar tetap dapat merefleksikan kondisinya yang aktual, posisi titik-titik tersebut (khususnya titik Y) juga akan diperiksa kesesuaiannya dengan data riwayat regangan baja tulangan dari strain-gauge. Pada Gambar 5.19 ditunjukkan cara menentukan grafik bilinier dengan pendekatan pushover. Cara ini sudah pernah dilakukan sebelumnya (Englekirk, 2003). Ambil contoh untuk SBK Tipe 1. Mula-mula overlay-kan grafik pushover bilinier kinematik di atas grafik histeretik. Titik-titik Y+ dan Y– ditentukan letaknya pada lintasan grafik pushover dengan mengacu pada data titik awal pelelehan dari pengujian siklik eksperimental. Sebagai disarikan pada Tabel 5.2, awal leleh terjadi pada drift = 0.5556%. Maka titik-titik Y+ dan Y– tersebut ditentukan pada grafik pushover sebagai titik dengan nilai drift yang terdekat darinya. Selanjutnya letak titik U+ dan U– ditentukan sebagai ujung/akhir pembebanan.
Daktilitas :
+ = 8.89 – = 8.00 rerata = 8.44 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.74 Ro– = 1.39 Ro-rerata = 1.56
Gambar 5.19 : Idealisasi grafik bilinier dari pushover SBK Tipe 1 dan daktilitasnya
Daktilitas adalah :
u y
.....................................................
(5-1)
dan faktor kuat lebih (overstrength) dinyatakan :
Ro 98
Pu Py
.....................................................
(5-2)
Bab 5
Tabel 5.2 : Urut-urutan terjadinya pelelehan pada beberapa strain-gauge SBK Tipe 1 Tempat
Strain-gauge
(×10-6 )
No. Titik Pembebanan
SG–19 2376 557 SG–24 2529 544 BTU Balok SG–25 2375 446 SG–30 2444 557 SG–31 2384 872 SG–6 2380 982 BTU Kolom SG–8 2393 640 SG–9 2413 963 Panel SG–16 2391 1083 SG–11 2594 543 BTU Balok SG–12 2410 557 Panel SG-37 2036 1037 BTL Kolom SG-40 2157 883 Panel SG-41 2052 1101 Catatan : Baja BTU – D16 → fy = 4979.47 kg/cm2 y = 0.002371 = 2371 × 10-6 Baja BTL – D10 → fy = 4260.43 kg/cm2 y = 0.002029 = 2029 × 10-6
Awal leleh terjadi pada Balok → SG-25 Pada titik pembebanan ke446 : → Drift Tr-1 = 12.89 mm = 0.5556%
Pada Tabel 5.2 ditunjukkan bahwa awal leleh memang terjadi pada tulangan balok, yaitu SG-25 yang mencatat leleh pertama kalinya pada titik pembebanan ke-446. Pada titik pembebanan tersebut telah terekam drift yang terjadi : = 12.89 mm = 0.5556%. Dari Gambar 5.19 terlihat, bahwa bila nilai tersebut di-plot-kan pada grafik pushover, maka dihasilkanlah titik Y+ : = 0.5702% dan : P = 10.8060 ton. Sedangkan titik U+ terbentuk pada saat : = 5.0681% dan : P = 18.8122 ton. Sedangkan titik Y– : = – 0.6335% dan : P = – 11.6695 ton, sedangkan titik U– terbentuk pada : = – 5.07% dan : P = – 16.1921 ton. Sehingga akan dapat dihitung daktilitas, dan faktor kuat lebih , Ro sebagai berikut :
18.8122 5.0681 1.74 bila dilihat dari sisi beban (+) 8.89 dan : Ro 10.8060 0.5702
serta : 16.1921 5.0681 1.39 bila dilihat dari sisi beban (–) 8.00 dan : Ro 11.6695 0.6335 Nilai rata-rata dari kedua sisi pembebanan tersebut adalah : = 8.45 dan Ro = 1.56 Demikian selanjutnya titik-titik Y dan U pada SBK Tipe 2, 3, 4 dan 5 juga akan dilakukan dengan cara menjadikan grafik bilinier sebagai idealisasi grafik pushover-nya. Uraian berikut daktiltas dan faktor kuat lebih yang didapatkannya disampaikan pada Gambar 5.20, 5.21, 5.22 dan 5.23, sedangkan kontrol urut-urutan pelelehan pada batang-batang tulangan SBK disampaikan pada Tabel 5.3, 5.4, 5.5 dan 5.6.
Bab 5
– 99
Daktilitas :
+ = 6.67 – = 7.27 rerata = 6.97 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.18 Ro– = 1.24 Ro-rerata = 1.21
Gambar 5.20 : Idealisasi grafik bilinier dari pushover SBK Tipe 2 dan daktilitasnya
Daktilitas :
+ = 6.90 – = 6.80 rerata = 6.85 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.31 Ro– = 1.29 Ro-rerata = 1.30
Gambar 5.21 : Idealisasi grafik bilinier dari pushover SBK Tipe 3 dan daktilitasnya
Daktilitas :
+ = 6.67 – = 6.67 rerata = 6.67 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.26 Ro– = 1.23 Ro-rerata = 1.24
Gambar 5.22 : Idealisasi grafik bilinier dari pushover SBK Tipe 4 dan daktilitasnya 100
Bab 5
Daktilitas :
+ = 7.00 – = 6.71 rerata = 6.85 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.30 Ro– = 1.28 Ro-rerata = 1.29
Gambar 5.23 : Idealisasi grafik bilinier dari pushover SBK Tipe 5 dan daktilitasnya Tabel 5.3 : Urut-urutan terjadinya pelelehan pada beberapa strain-gauge SBK Tipe 2 Tempat
Strain-gauge
(×10-6 )
No. Titik Pembebanan
SG–18 2799 SG–19 2552 SG–20 2459 BTU Balok SG–32 2491 SG–33 2381 SG–34 2473 SG–2 2447 SG–6 2431 SG–7 3055 BTU Kolom SG–9 2418 Panel SG–10 2436 SG–13 2466 SG–14 2406 SG–11 2383 BTU Balok SG–12 2378 Panel SG–31 2402 SG–46 2060 SG–47 2070 SG–48 2112 BTL Kolom SG–50 2119 Panel SG–51 2271 SG–54 2109 SG–55 2071 Catatan : Baja BTU – D16 → fy = 4979.47 kg/cm2 y = 0.002371 = 2371 × 10-6 Baja BTL – D10 → fy = 4260.43 kg/cm2 y = 0.002029 = 2029 × 10-6
Bab 5
1216 1102 764 748 1085 1204 965 639 748 981 1103 764 872 448 641 1203 854 638 749 1082 748 1202 781
Awal leleh terjadi pada Balok Panel → SG-11 Pada titik pembebanan ke448 : → Drift Tr-1 = 16.79 mm = 0.7237%
– 101
Tabel 5.4 : Urut-urutan terjadinya pelelehan pada beberapa strain-gauge SBK Tipe 3 Tempat
Strain-gauge
×
No. Titik Pembebanan
SG–19 2403 SG–20 2451 SG–27 2394 SG–28 2540 BTU Balok SG–29 2403 SG–30 2486 SG–35 2398 SG–36 2377 SG–8 2454 BTU Kolom SG–10 2461 Panel SG–11 2435 BTU Balok SG–12 2388 Panel SG–43 2163 SG–44 2093 BTL Kolom SG–46 2096 Panel SG–47 2074 Catatan : Baja BTU – D16 → fy = 4979.47 kg/cm2 y = 0.002371 = 2371 × 10-6 Baja BTL – D10 → fy = 4260.43 kg/cm2 y = 0.002029 = 2029 × 10-6
657 657 543 541 504 641 460 460 1215 1176 873 448 984 1057 963 1003
Awal leleh terjadi pada Balok Panel → SG-12 Pada titik pembebanan ke448 : → Drift Tr-1 = 17.19 mm = 0.7253%
Tabel 5.5 : Urut-urutan terjadinya pelelehan pada beberapa strain-gauge SBK Tipe 4 Tempat
BTU Balok
BTU Kolom Panel BTU Balok Panel
Strain-gauge
×
SG–19 SG–20 SG–27 SG–28 SG–32 SG–33 SG–40 SG–41 SG–6 SG–7 SG–9 SG–10 SG–14
2406 2387 2428 2415 2440 2384 2443 2438 2425 3152 2446 2373 2424
SG–11
2425
No. Titik Pembebanan
SG–46 2058 SG–48 2159 BTL Kolom SG–50 2151 SG–51 2062 Panel SG–52 2205 SG–56 2118 Catatan : Baja BTU – D16 → fy = 4979.47 kg/cm2 y = 0.002371 = 2371 × 10-6 Baja BTL – D10 → fy = 4260.43 kg/cm2 y = 0.002029 = 2029 × 10-6
102
873 764 544 641 857 857 764 873 965 1215 1084 763 1024 448 982 980 981 673 1085 1202
Awal leleh terjadi pada Balok Panel → SG-11 Pada titik pembebanan ke448 : → Drift Tr-1 = 17.49 mm = 0.7380%
Bab 5
Tabel 5.6 : Urut-urutan terjadinya pelelehan pada beberapa strain-gauge SBK Tipe 5 No. Titik Pembebanan
Tempat
Strain-gauge
×
BTU Balok
SG–19 SG–20 SG–28 SG–29 SG–30 SG–31 SG–35 SG–36
2490 2377 2397 2511 2390 2379 2406 2373
BTU Kolom Panel
SG–7
2373
1001
BTU Balok Panel
SG–11 SG–12
2390 2395
656 447
BTL Kolom Panel
SG–42 SG–43 SG–44 SG–47
2202 2073 2112 2127
905 1038 1231 1084
Catatan : Baja BTU – D16 → fy = 4979.47 kg/cm2 y = 0.002371 = 2371 × 10-6 Baja BTL – D10 → fy = 4260.43 kg/cm2 y = 0.002029 = 2029 × 10-6
1213 872 857 640 1085 1201 1213 765
Awal leleh terjadi pada Balok Panel → SG-12 Pada titik pembebanan ke447 : → Drift Tr-1 = 14.89 mm = 0.7253%
Grafik bilinier juga bisa diperoleh dengan memakai secara langsung data drift dan beban sebagai yang didapatkan dari data eksperimental pengujian siklik sebagai koordinat titik Y dan U. Illustrasi dan nilai-nilai daktilitas serta faktor kuat lebih yang didapatkannya disampaikan pada Gambar 5.24, 5.25, 5.26, 5.27 dan 5.28. Ringkasan hasil perhitungan daktilitas dan faktor kuat lebih untuk kelima SBK akan disampaikan pada Tabel 5.7, bersama-sama dengan besaran-besaran kinerja yang lainnya yang akan diuraikan pada pasal-pasal berikut ini.
Daktilitas :
+ = 9.12 – = 7.91 rerata = 8.52 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.70 Ro– = 1.50 Ro-rerata = 1.60
Gambar 5.24 : Idealisasi grafik bilinier secara langsung SBK Tipe 1 dan daktilitasnya Bab 5
– 103
Daktilitas :
+ = 7.02 – = 6.72 rerata = 6.87 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.35 Ro– = 1.42 Ro-rerata = 1.39
Gambar 5.25 : Idealisasi grafik bilinier secara langsung SBK Tipe 2 dan daktilitasnya
Daktilitas :
+ = 6.99 – = 6.80 rerata = 6.90 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.49 Ro– = 1.42 Ro-rerata = 1.46
Gambar 5.26 : Idealisasi grafik bilinier secara langsung SBK Tipe 3 dan daktilitasnya
Daktilitas :
+ = 6.88 – = 6.96 rerata = 6.92 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.48 Ro– = 1.57 Ro-rerata = 1.52
Gambar 5.27 : Idealisasi grafik bilinier secara langsung SBK Tipe 4 dan daktilitasnya 104
Bab 5
Daktilitas :
+ = 7.00 – = 7.04 rerata = 7.02 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.55 Ro– = 1.55 Ro-rerata = 1.55
Gambar 5.28 : Idealisasi grafik bilinier secara langsung SBK Tipe 5 dan daktilitasnya
Di dalam hal desain seismik struktur dikenal faktor-faktor lain yang terkait dengan daktilitas. Yang pertama adalah yang disebut dengan redaman histeretik. Redaman histeretik adalah redaman struktur ekwivalen yang berasal dari energi yang dipencarkan selama siklus-siklus respons inelastik, yang dirumuskan sebagai :
hist
2 1
..............................................
(5-3)
..............................................
(5-4)
..............................................
(5-5)
atau :
hist
1
dan :
tot hist
dimana : hist = redaman histeretik
= komponen non-struktural dari redaman sistem tot = redaman viscous total Persamaan (5-3) diusulkan oleh Chopra & Goel, disebutkan lebih cocok digunakan pada struktur baja (Chopra, dkk., 2001). Sedangkan untuk struktur beton lebih sesuai dipakai persamaan (5-4) sebagai yang diperkenalkan oleh Priestley (Priestley, dkk., 2000). Suatu faktor dimasukkan untuk memperhitungkan reduksi respons struktur rencana Sv terhadap gempa, yaitu yang disebut dengan Rˆ faktor modifikasi respons seismik : 3.38 0.67 ln tot Rˆ 2.30 Bab 5
.......................................
(5-6)
– 105
Dengan tot dinyatakan dalam %, faktor ini dipakai untuk mereduksi respons gempa di dalam desain sehingga struktur tidak perlu memikul beban gempa secara penuh, melainkan hanya sebagiannya saja. Illustrasinya diperlihatkan pada Gambar 5.29 di bawah ini.
Pseudo-Velocity, Sv ( cm/s )
100.00
10.00
Sv Rˆ Sv
1.00
0.10 0.01
0.10
Elastic response spectrum Reduced response spectrum
1.00
10.00
Period, T ( seconds )
Gambar 5.29 : Reduksi beban gempa Sv pada proses desain struktur
5.5
Kapasitas Pemencaran Energi SBK Pada struktur yang mengalami gerakan tanah, hukum kekekalan energi akan meng-
ubah energi input menjadi energi elastik dan energi lain yang hilang terpencarkan (dissipated). Pada awalnya, semua energi diubah menjadi energi elastik, baik dalam bentuk energi kinetik atau deformasi elastik lainnya yang bersifat non-permanen. Tetapi ketika terjadi peningkatan energi input, bagian utama dari energi didissipasikan oleh energi histeresis dan sisanya akan didissipasikan oleh redaman intrinsik dari struktur. Pada struktur rangka, energi histeresis muncul ketika tegangan-tegangan yang ditimbulkan oleh gempa bumi pada elemen-elemen struktur melampaui batas-batas perilaku elastik dari bahannya, dan karena itu struktur bergeser ke wilayah perilaku inelastik-nya. Hal ini bisa berlangsung asalkan struktur memiliki daktilitas yang cukup. Sejak saat itu, energi yang disebabkan oleh gempa hanya akan menghasilkan deformasi inelastik dan ke-
106
Bab 5
rusakan. Hal ini terwujud ke dalam fenomena seperti retak pada beton, pelelehan pada baja, dan pembentukan sendi plastik pada elemen struktur. Dengan grafik histeretik beban – perpindahan, energi pada siklus ke-i akan dapat di-evaluasi dengan menghitung luasan daerah yang dibatasi oleh lintasan-lintasan respons siklusnya. Sebagai yang diperlihatkan pada Gambar 5.30, energi pada pembebanan siklus ke-i dinyatakan dengan luasan daerah yang diarsir berwarna gelap. Kapasitas energi pada SBK Tipe 1, 2, 3, 4 dan 5 disajikan pada Gambar 5.31 sampai dengan 5.35. Sedangkan perbandingan energi antara kelima SBK diperlihatkan pada Gambar 5.36. Gambar ini disajikan dengan sumbu horizontal maupun vertikal yang terpotong (tidak dimulai dari nol) untuk bisa diperlihatkan lebih jelas perbedaan antara kelima grafiknya. Besarnya kapasitas energi SBK sampai pada akhir pembebanan diurutkan dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah Tipe 1 (177.33 kJ), Tipe 4 (164.27 kJ), Tipe 2 (163.82 kJ), Tipe 5 (161.71 kJ) dan Tipe 3 (155.11 kJ). Dari sini dapat disimpulkan bahwa penjangkaran sambungan berbentuk U menampilkan kapasitas energi yang lebih besar daripada bentuk L, dan pemberian batang tulangan pengunci telah ikut meningkatkan kapasitas energi itu. Beban, P Siklus ke - i
Pi+ Energi
i + i
Perpindahan,
Pi-
Gambar 5.30 : Grafik respons histeretik beban vs. perpindahan struktur
Gambar 5.31 : Grafik kumulatif SBK Tipe 1 pada akhir setiap siklus
Bab 5
– 107
Gambar 5.32 : Grafik kumulatif SBK Tipe 2 pada akhir setiap siklus
Gambar 5.33 : Grafik kumulatif SBK Tipe 3 pada akhir setiap siklus
Gambar 5.34 : Grafik kumulatif SBK Tipe 4 pada akhir setiap siklus
108
Bab 5
Gambar 5.35 : Grafik kumulatif SBK Tipe 5 pada akhir setiap siklus
Gambar 5.36 : Perbandingan energi kumulatif SBK Tipe 1 s/d. 5 dengan sumbu dipotong
5.6
Daktilitas Kumulatif SBK Nilai daktilitas kumulatif diperoleh dengan melihat keseluruhan riwayat respons
struktur terhadap beban siklik. Daktilitas kumulatif siklik ini s dihitung dari perbandingan antara energi histeretik total, Et , dengan energi pada saat awal leleh, Ey :
s
Etot Ey
.................................................
(5-7)
Nilai daktilitas kumulatif ini muncul sejak siklus pembebanan terjadinya awal pelelehan struktur. Grafik daktilitas kumulatif untuk kelima SBK disampaikan pada Gambar 5.37 sampai dengan 5.41. Perbandingannya disajikan pada Gambar 5.42.
Bab 5
– 109
Gambar 5.37 : Grafik daktilitas kumulatif SBK Tipe 1 pada akhir setiap siklus
Gambar 5.38 : Grafik daktilitas kumulatif SBK Tipe 2 pada akhir setiap siklus
Gambar 5.39 : Grafik daktilitas kumulatif SBK Tipe 3 pada akhir setiap siklus 110
Bab 5
Gambar 5.40 : Grafik daktilitas kumulatif SBK Tipe 4 pada akhir setiap siklus
Gambar 5.41 : Grafik daktilitas kumulatif SBK Tipe 5 pada akhir setiap siklus
Gambar 5.42 : Perbandingan daktilitas kumulatif SBK Tipe 1 s/d. 5 dengan sumbu dipotong
Bab 5
– 111
5.7
Perbandingan Kinerja SBK Pada Tabel 5.7 berikut ini disampaikan ringkasan hasil perhitungan daktilitas dan
faktor kuat lebih Ro untuk kelima SBK, bersama-sama dengan besaran-besaran kinerja yang lainnya. Untuk daktilitas dan faktor kuat lebih, hanya nilai-nilai yang dihitung berdasarkan grafik bilinier yang memakai informasi awal leleh dan beban ultimate langsung dari data eksperimental yang dipakai. Sedangkan nilai-nilai yang didapatkan dari perhitungan berdasarkan grafik bilinier dengan pendekatan pushover tidak ditampilkan di sini karena memberikan gambaran yang berbeda pada pembentukan titik awal leleh Y, sehingga dari hasil perhitungan dan Ro yang diperolehnya dapat mengarah pada pembentukan kesimpulan terjadinya kecenderungan yang tak konsisten. Tabel 5.7 : Perbandingan kinerja SBK Tipe 1 sampai dengan 5 SBK Tipe 1
SBK Tipe 2
SBK Tipe 3
SBK Tipe 4
SBK Tipe 5
Daktilitas monotonik,
8.52
6.87
6.90
6.92
7.02
Faktor kuat lebih, Ro
1.60
1.39
1.46
1.52
1.55
Redaman histeretik ekwivalen, hyst
0.2093
0.1969
0.1971
0.1964
0.1967
Faktor mod. respons seismik, Rˆ *)1
0.5213
0.5355
0.5353
0.5361
0.5358
Parameter Kinerja
Kekuatan pada drift = 5% ( ton ) *
18.83
16.31
14.53
17.44
14.79
Kapasitas dissipasi energi ( kJ )
177.3278
163.8221
155.1076
164.2725
161.7092
Daktilitas kumulatif siklik, s
17.5159
16.7502
17.4906
17.1718
18.1508
)2
*)1 – Berdasarkan redaman struktur = 5% *)2 – Dihitung berdasarkan pembebanan (+)
Dari Tabel 5.7 di atas dapat dilihat bahwa daktilitas monotonik lebih tinggi diperoleh pada sambungan dengan tulangan penjangkaran berbentuk L dibandingkan dengan penjangkaran berbentuk U. Dengan pemberian tulangan pengunci, daktilitas SBK telah mengalami peningkatan sedikit. Urut-urutannya dari yang tertinggi sampai terendah adalah Tipe 1 (8.52), Tipe 5 (7.02), Tipe 4 (6.92), Tipe 3 (6.90) dan Tipe 2 (6.87). Sama halnya dengan pada daktilitas, nilai faktor overstrength yang lebih tinggi ternyata didapatkan pada sambungan dengan tulangan penjangkaran berbentuk L daripada yang berbentuk U. Sekali lagi, pemberian tulangan pengunci ternyata telah meningkatkan nilai faktor kuat lebih ini. Urut-urutannya dari yang tertinggi sampai terendah adalah Tipe 1 (1.60), Tipe 5 (1.55), Tipe 4 (1.52), Tipe 3 (1.46), dan Tipe 2 (1.39). Berbeda dengan faktor kuat lebih di atas, nilai kekuatan ternyata didapatkan lebih tinggi pada sambungan dengan tulangan jangkar berbentuk U daripada yang berbentuk L. Urut-urutan kekuatan SBK dari yang tertinggi sampai ke yang terendah adalah SBK Tipe 1, 4, 2, 5 dan 3. Bila kekuatan dinyatakan sebagai beban pada drift (+) 5%, maka urut-
112
Bab 5
urutannya sebagai terlihat pada Tabel 5.7 di atas adalah Tipe 1 (18.83 ton), Tipe 4 (17.44 ton), Tipe 2 (16.31 ton), Tipe 5 (14.79 ton), dan Tipe 3 (14.53 ton). Sama halnya dengan kekuatan, kapasitas energi ternyata juga diperoleh lebih tinggi pada sambungan dengan tulangan jangkar berbentuk U daripada yang berbentuk L. Uruturutan SBK dengan nilai energi dari yang tertinggi sampai ke yang terendah adalah SBK Tipe 1 (177.3278 kJ), Tipe 4 (164.2725 kJ), Tipe 2 (163.8221 kJ), Tipe 5 (161.7092 kJ), dan Tipe 3 (155.1076 kJ). Grafik daktilitas kumulatif untuk kelima SBK disampaikan pada Gambar 5.42. Sama seperti pada Gambar 5.36, Gambar 5.42 juga ditampilkan dengan sumbu-sumbu horizontal dan vertikal yang tidak dimulai dari nol. Karena grafik daktilitas kumulatif untuk kelima SBK hampir berhimpit pada bagian awalnya, maka akan sulit dibedakan satu terhadap yang lainnya. Karena itu maka grafik diperlihatkan hanya pada bagian akhir pembebanannya, sehingga akan dapat dilihat lebih jelas perbedaannya. Nilai daktilitas kumulatif, diperiksa pada akhir pembebanan, diurutkan mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah SBK Tipe 5 (18.15), Tipe 1 (17.52), Tipe 3 (17.49), Tipe 4 (17.17), dan Tipe 2 (16.75). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sambungan balok dengan tulangan penjangkaran berbentuk L lebih daktail daripada yang berbentuk U, sedangkan pemberian batang tulangan pengunci telah ikut meningkatkan nilai daktilitas SBK. Untuk parameter-parameter daktilitas monotonik, faktor kuat lebih, kekuatan dan kapasitas dissipasi energi, kinerja dari semua SBK pracetak tidak lebih tinggi daripada SBK monolitik (Tipe 1), yang di dalam hal ini bertindak sebagai emulator (pembanding)-nya. Terkecuali untuk parameter kinerja daktilitas kumulatif, dimana SBK Tipe 5 mencapai nilai yang lebih tinggi daripada SBK Tipe 1.
5.8
Kapasitas Drift Kapasitas drift adalah drift (perpindahan lateral atau pergoyangan) tertinggi yang
dapat dicapai sebelum terjadinya keruntuhan struktur. Besaran ini didapatkan nilainya dari grafik beban – perpindahan yang berasal dari uji pembebanan monotonik atau kwasi-statik. Menurut pengertian para ahli mekanika struktur, definisi yang tepat dari kapasitas drift sulit untuk dijelaskan, tetapi biasanya ditetapkan sebagai nilai perpindahan pada saat terjadinya kehilangan kekuatan sebesar 20% atau lebih sesudah beban lateral puncaknya tercapai. Walaupun hal ini agak bersifat subyektif, bagaimanapun juga kriteria ini telah diterima dan dipakai oleh sebagian besar peneliti di dalam bidang ini (Salmanpour, dkk., 2013). Dari grafik backbone sebagai disajikan pada Gambar 5.18, terlihat bahwa tidak ada satupun dari kelima SBK yang mengalami kehilangan kekuatan sampai sebesar 20%. Bab 5
– 113
Dengan pengamatan yang agak teliti, kondisi yang paling buruk terdapat pada SBK Tipe 2. SBK ini telah mengalami kehilangan kekuatan dari 17.60 ton (pada drift = 1.67%) menjadi 15.12 ton (pada drift = 3.40%), sehingga terjadi pengurangan kekuatan sekitar 14%. Dengan demikian disimpulkan, bahwa batas perpindahan maksimal yang diperoleh dari pengujian sebesar 5% dapat dianggap sebagai kapasitas drift untuk kelima SBK. Baik juga dikatakan di sini, bahwa data pengujian yang telah dilakukan pada kelima SBK dibatasi pada perpindahan lateral = 5% itu semata-mata disebabkan oleh keterbatasan kemampuan mesin pengujinya. Dengan memperhatikan grafik backbone tersebut yang masih cenderung terus meniti lintasannya yang mendaki, mestinya masih mungkin untuk melanjutkan pengujian kelima SBK dengan drift yang lebih besar lagi, 5%, 6%, 7% atau lebih tinggi lagi.
5.9
Evaluasi Kinerja SBK menurut ACI 374.1-05 Di dalam pembukaannya, ACI 374.1-05 menyebutkan, bahwa regulasi tersebut
disusun dalam rangka menjabarkan ketentuan Pasal 21.2.1.5 ACI 318-99, yaitu yang berbunyi “suatu sistem struktur yang tidak memenuhi persyaratan dari bab ini (Bab 21) akan bisa diijinkan untuk dipakai bila dapat dibuktikan secara eksperimental dan analisis bahwa sistem yang diusulkan tersebut memiliki kekuatan dan ketangguhan yang sama atau melampaui nilai-nilai yang dapat disediakan oleh struktur beton bertulang yang sebanding dengannya dan yang memenuhi persyaratan-persyaratan yang disebutkan di dalam bab ini”. Standar ini menentukan persyaratan minimum tentang bukti-bukti eksperimental yang harus tersedia, bila struktur dimaksudkan untuk dipakai di daerah beresiko kegempaan yang tinggi atau struktur yang memenuhi syarat kategori desain kinerja ketahanan gempa yang tinggi, dari suatu SRPM yang di-desain berdasarkan pada azas kolom kuat – balok lemah yang tidak memenuhi persyaratan Bab 21 ACI 318-99 tersebut. Kriteria kinerja berikut ini harus dimiliki oleh masing-masing modul (spesimen) dari program uji, dan bukan merupakan hasil rata-rata dari keseluruhan program. Butirbutir kinerja itu disebutkan di dalam Pasal 9.1 ACI 374.1-05. Suatu modul uji dikatakan berkinerja memuaskan bila dapat memenuhi ketiga syarat (acceptance criteria) berikut ini secara keseluruhannya. Syarat-syarat itu adalah : 1). Suatu modul uji haruslah dapat mencapai ketahanan terhadap beban lateral yang sama atau lebih besar daripada En sebelum terlampauinya batas drift yang diijinkan, sebagai yang ditetapkan oleh peraturan bangunan (building code). 2). Nilai maksimum dari ketahanan lateral Emaks yang terekam dari hasil pengujian tidak boleh melampaui En, dimana adalah nilai faktor kuat lebih (overstrength) kolom dari modul uji. 114
Bab 5
3). Untuk siklus-siklus pada nilai batas drift yang ditetapkan, tetapi tidak kurang dari 3.50%, karakteristik dari siklus lengkap yang ke-3 harus memenuhi persyaratan sebagai ditentukan berikut ini : a). Gaya puncak pada arah pembebanan yang diberikan tidak boleh kurang dari 0.75Emaks , b). Kemampuan dissipasi energi relatif tidak boleh kurang dari 1/8 dari energi idealnya, dan – c). Kekakuan sekan (secant stiffness) pada drift –0.35% dan 0.35% tidak boleh kurang dari 0.05 kekakuan awal K0 . Dari kriteria kinerja di atas, butir ke-1 merujuk pada syarat kekakuan awal struktur. Butir ke-2 merefleksikan syarat kekuatan awal, dimana pada struktur SBK terjadi mekanisme kolom kuat – balok lemah. Fenomena deteriorasi kekuatan ditampung dan diatur pada butir ke-3(a), sedangkan butir ke- 3(b) mengatur masalah dissipasi energi. Akhirnya, butir ke-3(c) memberikan batasan-batasan pada gejala degradasi kekakuan agar pada akhir suatu kejadian gempa, struktur masih memiliki sisa kekakuan yang cukup untuk memikul beban-beban gravitasi, sehingga terhindar dari bahaya keruntuhan secara total. Illustrasi butir-butir 1, 2 dan 3(a) di atas disampaikan pada Gambar 5.43 terlihat di bawah ini.
En
Lateral force or Moment
Emax En 0.75 Emax
B
A
Drift ratio
0.035
Drift for limiting stiffness of building code
Gambar 5.43 : Illustrasi grafik histeretik ACI 374.1-05 untuk butir-butir 1, 2 dan 3(a) dari Pasal 9.1
Pemeriksaan acceptance criteria menurut ACI 374.1-05 tersebut pada kelima SBK dengan menggunakan data grafik respons histeretik eksperimental diuraikan pada Lampiran D, dan ringkasan hasilnya disampaikan pada Tabel 5.8 di halaman berikut ini.
Bab 5
– 115
Bab 5
– 116
Tabel 5.8 : Ringkasan hasil pemeriksaan kinerja SBK Tipe 1 sampai dengan 5 menurut ACI 374.1-05.
Parameter yang diperiksa Kekuatan spesimen, En (ton) Beban lateral pada drift 0.30% (ton) Butir 1 : Kekuatan En harus tercapai lebih dulu sebelum tercapainya batas drift ijin Beban lateral maksimum, Emaks (ton) En (ton) Butir 2 : Beban lateral maks. yang terekam tidak boleh melampaui En Beban puncak pada siklus ke-3 dari drift 3.50% (ton) 0.75 Emaks (ton) Butir 3(a) : Beban puncak pada arah beban yang diberikan tidak boleh kurang dari Emaks Kapasitas energi dissipasi siklus ke-3 dari drift 3.50% ( kJ ) Kapasitas energi ideal dari siklus ke-3 drift 3.50% ( kJ ) Perbandingan energi ter-dissipasi siklus ke-3 dari drift 3.50% terhadap energi ideal Butir 3(b) : Kapasitas dissipasi energi pada siklus terakhir dari drift 3.50% tidak boleh kurang dari 0.125 dari kapasitas energi ideal-nya Kekakuan awal, K0 dan K0’ (ton/m) Kekakuan sekan dari siklus ke-3 drift 3.50%, K0.035 dan K0.035’ (ton/m) Perbandingan : K0.035 /K0 dan K0.035’/K0’ Butir 3(c) : Kekakuan sekan pada drift –0.35% dan 0.35% tidak boleh kurang dari 0.05 kekakuan awal K0
SBK Tipe 1 +16.00 +8.20
-16.00 -7.00
Tidak O.K.
SBK Tipe 2 +11.88 +7.22
-11.88 -6.51
Tidak O.K.
SBK Tipe 3 +11.78 +6.23
-11.78 -6.57
Tidak O.K.
SBK Tipe 4 +11.88 +6.74
-11.88 -5.72
Tidak O.K.
SBK Tipe 5 +11.78 +7.26
-11.78 -6.82
Tidak O.K.
+17.50
-16.51
+17.60
-16.45
+13.17
-12.67
+15.85
-15.42
+13.07
-12.84
+21.42
-21.42
+18.59
-18.59
+24.55
-24.55
+18.59
-18.59
+24.55
-24.55
O.K.
O.K.
O.K.
O.K.
O.K.
+15.02
-13.63
+13.64
-12.74
+10.92
-11.18
+13.00
-12.97
+10.88
-11.41
+13.12
-12.38
+13.20
-12.34
+9.88
-9.50
+11.89
-11.57
+9.80
-9.63
O.K.
O.K.
O.K.
O.K.
O.K.
9.128989
7.683927
8.091619
8.803615
7.933996
54.164324
48.124389
42.039696
50.873889
42.153581
0.1685
0.1596
0.1925
0.1730
0.1882
O.K.
O.K.
O.K.
O.K.
O.K.
1663.31
1175.73
1205.47
1037.65
1170.30
1231.44
1283.84
1152.83
2798.31
1205.47
31.85
23.73
20.36
16.56
13.10
16.88
18.83
10.37
13.01
12.35
0.0191
0.0202
0.0169
0.0160
0.0112
0.0137
0.0147
0.0090
0.0047
0.0102
Tidak O.K.
Tidak O.K.
Tidak O.K.
Tidak O.K.
Tidak O.K.
Dari kelima butir persyaratan yang ditetapkan oleh Pasal 9.1 ACI 374.1-05, dua di antaranya tidak dapat dipenuhi oleh kelima SBK uji. Butir nomor 1, yaitu syarat kekakuan awal struktur, tidak dapat dipenuhi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya tulangan transversal yang dipasang di sekitar sendi plastik, khususnya di daerah panel sambungan. Pada daerah ini seharusnya dipasang tulangan transversal sesuai dengan kebutuhan yang disebutkan pada Bab 21 ACI 318-11, sebagai yang telah disarikan ke dalam Gambar 2.11 buku ini. Tetapi pada saat simulasi penyiapan/pembuatan spesimen uji di dalam rangkaian riset ini, yaitu pada saat pemasangan tulangan-tulangan jangkar di panel sambungan SBK komposit, telah dijumpai kesulitan dalam menyisipkan tulangan-tulangan ikatan silang (cross-tie) padanya. Hal inilah yang menyebabkan tulangan transversal tidak bisa dipenuhi sesuai dengan kebutuhan menurut peraturan. Karenanya, maka tulangan transversal pada panel sambungan hanya bisa terpasang sebesar 47% dari kebutuhannya (lihat Lampiran – B). Butir nomor 2 bersangkut-paut dengan syarat desain strong column – weak beam, yang ternyata dapat dipenuhi oleh kelima SBK. Sedangkan butir nomor 3(a) berkaitan dengan batasan deteriorasi kekuatan, yang hal inipun dapat dipenuhi oleh kelima SBK. Dan butir nomor 3(b) yang menetapkan batasan pada kapasitas energi pada drift = 3.50%, yang dianggap mewakili kondisi residual paska gempa, dimana hal ini juga telah dapat dipenuhi. Butir nomor 3(c), yang lagi-lagi berhubungan dengan masalah kekakuan (stiffness), juga tidak dapat dipenuhi. Penyebabnya adalah sama dengan yang telah disebutkan pada paragraf pertama di atas, yaitu kurangnya tulangan transversal di daerah sekitar sendi plastik. Kekurangan tulangan transversal ini telah mengakibatkan grafik respons histeretik menjadi sangat pipih, sehingga menghasilkan kekakuan yang rendah dan kapasitas energi yang kecil. Beberapa publikasi hasil riset menunjukkan, bahwa pada SBK dengan tulangan transversal yang kurang di daerah sekitar sendi plastik telah terjadi retak-retak yang banyak /parah di daerah panel sambungan. Disamping itu, darinya juga akan dihasilkan grafik respons histeretik yang sangat pipih (Beres, dkk., 1991), (Beres, dkk., 1992), (Lehman, dkk., 2004), (Hwang, dkk., 2005), (Li, dkk., 2009), dan (Fernandes, dkk., 2013). Dipakainya material beton grout pada daerah sambungan mungkin juga telah ikut memperburuk keadaan, karena dapat dilihat bahwa grafik respons histeretik SBK Tipe 2, 3, 4 dan 5 lebih pipih daripada SBK Tipe 1. Sedangkan langkah pemakaian campuran beton grout pada sambungan terpaksa harus diambil akibat pelaksanaan pembuatan spesimen di laboratorium yang semula direncanakan dengan cara pengecoran beton dalam keadaan kolom berdiri tidak bisa dilakukan. Akibatnya beton sambungan pada kedua ujung balok yang semula direncanakan menyatu dengan daerah panel (kolom) tidak dapat terwujudkan
Bab 5
– 117
(lihat Gambar 4.15 dan 4.16 di depan). Dengan maksud agar diperoleh beton sambungan yang padat dan tidak berongga, maka dipilihlah campuran grout untuk diisikan pada badan sambungan.
5.10
Perbandingan Kinerja SBK yang Dihasilkan Riset ini dengan Beberapa SBK yang Sudah Dikenal Untuk melengkapi gambaran tentang karakteristik dari SBK yang telah dihasilkan
ini, memang perlu untuk dilakukan perbandingan antara kinerja non-dimensional yang diperolehnya dengan yang dimiliki oleh beberapa SBK unggulan yang telah dikenal. Dari studi pustaka yang telah dilakukan pada Bab 2 buku disertasi ini disebutkan 12 (dua belas) jenis SBK pracetak komposit yang telah dihasilkan dari beberapa riset yang telah dilakukan oleh para peneliti di dunia. Pada dua belas SBK itu telah dilakukan kajian-kajian pada sisi constructability-nya, dan hasilnya disampaikan di Lampiran – A buku ini.
(a)
(d)
(b)
(c)
(e)
(f)
Gambar 5.44 : Grafik histeretik 6 jenis SBK yang didapatkan dari penelusuran internet. (a) SBK DDC oleh Englekirk (b) SBK Pretensioned dari PRESSS (c) SBK TCY dari PRESSS (d) SBK TCY dengan Gap dari PRESSS (e) SBK Hibrida dari PRESSS (f) SBK CIP-B dari Ertas dkk.
Untuk bisa melakukan kajian karakteristik kinerja yang sepadan dengan riset ini, diperlukanlah data numerik riwayat pengujian siklik yang asli. Sayangnya, dari penelusuran data secara internet yang dilakukan, Penulis hanya berhasil mendapatkan informasi yang 118
Bab 5
berupa gambar grafik histeretik dari 6 (enam) jenis SBK saja. Pada Gambar 5.44 di atas disampaikan grafik histeretik dari keenam SBK tersebut. Dari gambar-gambar dengan resolusi rendah tersebut kemudian dilakukan digitisasi. Di atas grafik digitisasi itu kemudian di-overlay-kan kurva selongsong monotoniknya (backbone). Kemudian pada kurva backbone itu ditentukan letak titik-titik Y dan U, sehingga kemudian bisa dilakukan evaluasi daktilitas dan faktor overstrength-nya. Di dalam menentukan titik-titik Y dan U tersebut dipakai pedoman yang secara ringkas disampaikan menurut Gambar 5.45 di bawah ini (Park, 1989). Nilai daktilitas kumulatif monotonik m dihitung dari nilai energi monotonik dibagi dengan Py dan y. Digitisasi grafik histeretik dari keenam SBK berikut kurva backbone dan perhitungan daktilitas, faktor kuat lebih, serta daktilitas kumulatifnya disampaikan pada Gambar 5.46 sampai dengan 5.51. Hasil perhitungan daktilitas, faktor overstrength dan daktilitas kumulatif dari keenam SBK disarikan ke dalam Tabel 5.9.
(a)
(b)
Gambar 5.45 : Cara menentukan titik-titik Y dan U dari suatu grafik beban - perpindahan (a) Menentukan titik awal leleh Y (b) Menentukan titik pembebanan batas U
Daktilitas :
+ = 3.82 – = 4.51 rerata = 4.17 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.33 Ro– = 1.33 Ro-rerata = 1.33 Dakt. kum. monotonik :
m+ = 4.09 m– = 4.98 m-rerata = 4.54
Gambar 5.46 : Grafik histeretik SBK DDC dan perhitungan daktilitasnya Bab 5
– 119
Daktilitas :
+ = 3.80 – = 4.11 rerata = 3.95 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.33 Ro– = 1.33 Ro-rerata = 1.33 Dakt. kum. monotonik :
m+ = 4.24 m– = 4.53 m-rerata = 4.39
Gambar 5.47 : Grafik histeretik SBK Pretensioned dan perhitungan daktilitasnya
Daktilitas :
+ = 5.86 – = 5.79 rerata = 5.82 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.33 Ro– = 1.33 Ro-rerata = 1.33 Dakt. kum. monotonik :
m+ = 6.66 m– = 6.54 m-rerata = 6.60
Gambar 5.48 : Grafik histeretik SBK TCY dan perhitungan daktilitasnya
Daktilitas :
+ = 2.30 – = 2.26 rerata = 2.28 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.33 Ro– = 1.33 Ro-rerata = 1.33 Dakt. kum. monotonik :
m+ = 2.18 m– = 2.12 m-rerata = 2.15
Gambar 5.49 : Grafik histeretik SBK TCY dengan Gap dan perhitungan daktilitasnya
120
Bab 5
Daktilitas :
+ = 5.46 – = 4.14 rerata = 4.80 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.33 Ro– = 1.33 Ro-rerata = 1.33 Dakt. kum. monotonik :
m+ = 6.24 m– = 4.65 m-rerata = 5.45
Gambar 5.50 : Grafik histeretik SBK Hibrida dan perhitungan daktilitasnya
Daktilitas :
+ = 4.54 – = 6.00 rerata = 5.27 Faktor kuat lebih : Ro+ = 1.33 Ro– = 1.33 Ro-rerata = 1.33 Dakt. kum. monotonik :
m+ = 4.97 m– = 6.92 m-rerata = 5.95
Gambar 5.51 : Grafik histeretik SBK CIP-B dan perhitungan daktilitasnya
Tabel 5.9 : Perbandingan kinerja 6 SBK unggulan dunia yang sudah dikenal SBK DDC
SBK Pretensioned
SBK TCY
SBK TCY dgn. Gap
SBK Hibrida
SBK CIP-B Ertas
Daktilitas monotonik,
4.17
3.95
5.82
2.28
4.80
5.26
Faktor kuat lebih, Ro
1.33
1.33
1.33
1.33
1.33
1.33
Daktilitas kumulatif monotonik, m
4.54
4.39
6.60
2.15
5.45
5.95
Parameter Kinerja
Tabel 5.10 : Perbandingan kinerja SBK Tipe 1 sampai dengan 5 dari riset ini SBK Tipe 1
SBK Tipe 2
SBK Tipe 3
SBK Tipe 4
SBK Tipe 5
Daktilitas monotonik,
8.52
6.87
6.90
6.92
7.02
Faktor kuat lebih, Ro
1.60
1.39
1.46
1.52
1.55
Daktilitas kumulatif monotonik, m
11.83
8.38
8.15
8.49
8.96
Parameter Kinerja
Bab 5
– 121
Pada Tabel 5.10 disampaikan ringkasan nilai-nilai daktilitas monotonik, faktor kuat lebih, dan daktilitas kumulatif monotonik dari SBK Tipe 1 sampai dengan 5. Nilai-nilai dari baris pertama dan ke-dua dari tabel tersebut adalah sama dengan baris pertama dan kedua dari Tabel 5.7. Sedangkan untuk baris ke-tiga, nilainya dihitung dari energi monotonik masing-masing SBK, yang diambilkan dari grafik backbone, dan kemudian dibagi dengan Py dan y. Untuk grafik backbone bisa diambilkan data dari Gambar 5.18, sedangkan data Py dan y dapat diambilkan dari Gambar 5.24 sampai dengan 5.28. Dapat dilihat perbandingan nilai-nilai parameter kinerja dari SBK-SBK yang dihasilkan dari riset ini yang lebih baik daripada beberapa SBK unggulan yang sudah dikenal dunia. Sebagai contoh, nilai terendah dari daktilitas monotonik riset ini, yaitu SBK Tipe 2 ( = 6.87), masih lebih tinggi daripada SBK TCY ( = 5.82). Demikian juga, faktor overstrength terendah dari riset ini, yaitu SBK Tipe 2 (Ro = 1.39), masih lebih baik daripada SBK unggulan dunia yang rata-rata sebesar Ro = 1.33. Dan akhirnya, nilai daktilitas kumulatif monotonik terendah dari riset ini, yaitu SBK Tipe 3 (m = 8.15), masih lebih tinggi daripada nilai tertinggi dari SBK unggulan dunia, yaitu SBK TCY ( m = 6.60). Dengan demikian disimpulkan kelebihan-kelebihan kinerja SBK yang dihasilkan dari riset ini terhadap beberapa SBK unggulan yang sudah dikenal dunia.
122
Bab 5
BAB 6 KESIMPULAN & CATATAN AKHIR 6.1
Kesimpulan Dengan maksud untuk mendapatkan aspek kemudahan kerja di dalam konstruksi
(constructability), maka telah diusulkan jenis baru sambungan balok-ke-kolom (SBK) cor setempat beton bertulang. SBK tersebut digunakan untuk menyambungkan ujung-ujung balok beton bertulang pracetak ke kolom beton bertulang yang dilaksanakan secara basah (wet method). Batang-batang bawah tulangan longitudinal pada kedua ujung balok dibengkokkan dengan sudut 90o untuk membentuk penjangkaran yang berupa kait – L atau – U yang akan dipertemukan dengan tulangan penjangkaran yang serupa yang ditanamkan di dalam kolom. Kedua tulangan jangkar itu akan dipertemukan secara berselang-seling di dalam badan sambungan yang diletakkan di luar kolom. Badan sambungan, yang bisa dibuat dari campuran beton normal atau grout, ditentukan panjangnya sama dengan tinggi manfaat balok. Di dalam badan sambungan bisa juga disisipkan batang-batang tulangan pengunci, tetapi tidak diharuskan. Batang-batang atas tulangan longitudinal balok disisipkan sesaat sebelum dilakukan pengecoran sambungan dan beton overtopping. Untuk melengkapi aspek kemudahan kerja tersebut, ditetapkan pula pemasangan tulangan transversal kolom di sekitar sendi plastik yang lebih ringan daripada kebutuhan berdasarkan peraturan bangunan. Keringanan di sini bukan berarti pembebasan sama sekali darinya, melainkan tulangan transversal berupa sengkang-sengkang tertutup dengan kait-kait seismik tetap harus dipasang dengan spasi yang sudah ditentukan peraturan (= 10 cm). Adapun tulangantulangan ikat (cross-tie) bisa dikurangi atau tidak dipasang bila dianggap menyulitkan. 4 (empat) spesimen SBK pracetak komposit telah dibuat dengan memakai tulangan penjangkaran yang dibengkokkan 90o membentuk – L dan – U seperti diuraikan di atas, bersama-sama dengan spesimen serupa yang dikerjakan secara monolitik, yang akan dipergunakan sebagai emulator (pembanding). Dari pengujian dengan beban siklik telah didapatkan beberapa informasi yang bisa disimpulkan sebagai kinerja SBK sebagai berikut : 1.
Dibandingkan dengan SBK monolitik, SBK pracetak komposit menampilkan nilai daktilitas, baik monotonik – kumulatif monotonik – maupun kumulatif siklik, yang lebih rendah. Untuk daktilitas monotonik, kinerja yang lebih baik dihasilkan oleh SBK dengan tulangan jangkar berbentuk – L dengan nilai yang 19% lebih rendah daripada SBK monolitik, kemudian SBK dengan tulangan jangkar berbentuk – U yang 20% lebih rendah. Penambahan tulangan pengunci hanya meningkatkan nilai daktilitas
Bab 6
– 123
yang kecil, kurang dari 2%. Untuk daktilitas kumulatif siklik, kinerja yang lebih baik juga ditunjukkan oleh SBK dengan tulangan jangkar berbentuk – L dengan nilai yang kurang dari 1% lebih rendah daripada SBK monolitik, kemudian SBK dengan tulangan jangkar berbentuk – U yang 4% lebih rendah daripadanya. Penambahan tulangan pengunci juga telah meningkatkan nilai daktilitas yang kecil, kurang dari 4%. Untuk daktilitas kumulatif monotonik, selisih itu agak besar, yaitu 31% dan 29% lebih rendah daripada SBK monolitik, masing-masing untuk SBK dengan tulangan jangkar berbentuk – L dan – U. Dan dengan penambahan tulangan pengunci, masing-masing telah mengalami peningkatan daktilitas sebesar 10% dan 2%. 2.
Dibandingkan dengan SBK monolitik, SBK pracetak komposit menunjukkan nilai faktor overstrength yang lebih rendah. Kinerja yang lebih baik dihasilkan oleh SBK dengan tulangan jangkar berbentuk – L dengan nilai yang 9% lebih rendah daripada SBK monolitik, kemudian SBK dengan tulangan jangkar berbentuk – U yang 13% lebih rendah. Penambahan tulangan pengunci telah meningkatkan nilai overstrength yang agak berarti, yaitu 6% untuk SBK dengan tulangan jangkar – L dan 9% untuk tulangan jangkar – U.
3.
SBK pracetak komposit juga menampilkan nilai kekuatan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan SBK monolitik. Kekuatan yang lebih tinggi ditunjukkan oleh SBK dengan tulangan jangkar berbentuk – U dengan nilai yang 13% lebih rendah daripada SBK monolitik, kemudian SBK dengan tulangan jangkar berbentuk – L yang 23% lebih rendah. Penambahan tulangan pengunci telah meningkatkan nilai kekuatan yang agak jauh bedanya, yaitu 7% untuk SBK dengan tulangan jangkar – U dan 2% untuk tulangan jangkar – L.
4.
Sama dengan kekuatan, kapasitas energi juga menunjukkan kinerja yang lebih baik terjadi pada SBK dengan tulangan jangkar berbentuk – U daripada yang berbentuk – L. Dibandingkan dengan SBK monolitik, SBK dengan jangkar – U menampilkan kapasitas energi yang 7% lebih rendah, sedangkan SBK dengan jangkar – L menunjukkan energi yang 12% lebih rendah. Dengan penambahan tulangan pengunci, kapasitas energi telah meningkat dengan 1% dan 4% masing-masing untuk SBK dengan tulangan jangkar – U dan – L.
5.
Dengan keterbatasan akses yang dimiliki, data grafik histeretik dari 6 (enam) SBK unggulan dunia telah berhasil didapatkan dengan pengunduhan dari internet. Dengan data tersebut akan dilakukan perbandingan antara kelima SBK yang dihasilkan dari riset ini dengan keenam SBK tersebut. Ternyata perbandingan yang dilakukan telah
124
Bab 6
menunjukkan butir-butir kinerja non-dimensional dari kelima SBK dari riset ini yang lebih baik/tinggi daripada keenam SBK unggulan tersebut. Sebagai contoh, nilai terendah dari daktilitas monotonik dari SBK riset ini, yaitu yang dihasilkan oleh SBK Tipe 2 dengan = 6.87, masih lebih tinggi dari nilai tertinggi dari keenam SBK unggulan, yaitu SBK TCY dengan = 5.82. Demikian pula, dari butir faktor overstrength, nilai terendah dari SBK riset ini, yaitu SBK Tipe 2 dengan Ro = 1.39, masih lebih baik daripada SBK unggulan yang rata-rata nilainya Ro = 1.33. Dan demikian pula halnya dengan daktilitas kumulatif monotonik, dimana nilai terendah dari SBK riset ini, yaitu SBK Tipe 3 dengan m = 8.15, masih lebih baik daripada nilai tertinggi dari SBK unggulan, yaitu SBK TCY dengan m = 6.60. 6.
SBK dengan penjangkaran berbentuk – L dan – U menunjukkan gejala degradasi kekakuan yang sama dengan SBK monolith. Dalam hal kekuatan, keempat SBK menampilkan kekuatan yang terus meningkat sampai dengan drift maksimum = 5%, kecuali sedikit penurunan kekuatan pada daerah drift = 1.75% – 2.75%, yang sesudahnya kemudian meningkat lagi. Kecenderungan ini mengikuti perilaku yang serupa dengan yang ditunjukkan oleh SBK monolith pembandingnya. Akan halnya drift maksimum yang 5% itu bukanlah yang sebenarnya dicapai di dalam pengujian, melainkan hanya merupakan angka yang berkaitan dengan keterbatasan kemampuan mesin penguji. Tetapi nilai itupun sudah melampaui batasan yang ditentukan oleh peraturan bangunan yang hanya = 2% – 2.50%.
7.
Data eksperimental hasil pengujian SBK dengan beban siklik kemudian di-validasi dengan model analitik. Suatu program komputer yang merupakan manifestasi dari model analitik tersebut telah dipakai untuk memprediksikan perilaku respons SBK terhadap beban siklik. Dengan memperhatikan hasil perbandingan antara data analitik dengan eksperimental, maka semua variabel yang ikut menentukan perilaku SBK akan dapat diidentifikasi. Secara bersama-sama, parameter-parameter itu telah membangun model konstitutif perilaku SBK sebagai yang telah didemonstrasikan pada Pasal 3.5 dan diringkaskan di dalam Tabel 5.1 buku laporan disertasi ini.
8.
Semua data dan tata cara yang diterapkan di dalam desain spesimen SBK di dalam riset ini bisa dipakai untuk merencanakan SBK untuk kebutuhan nyata di dalam praktek. Demikian juga, semua variabel dan tata cara analisis yang dipakai di sini akan bisa pula diterapkan untuk mengevaluasi dan memprediksi perilaku SRPM yang menggunakan jenis SBK sebagai yang diusulkan di dalam riset ini.
Bab 6
– 125
9.
Untuk menirukan kondisi yang ditimbulkan oleh gempa kuat, ACI 374.1-05 telah menetapkan pola riwayat pembebanan siklik sebagai yang telah diterapkan di dalam riset ini. Dengan pengujian yang dilakukan secara eksperimental, telah diperoleh data respons SBK, baik yang berupa pembacaan transducer, strain-gauge, maupun pengamatan pada kerusakan yang terjadi padanya. Dari kelima SBK yang dibuat, ternyata dihasilkan sebaran kerusakan yang masih banyak terkumpul di daerah kolom sambungan, agak banyak di sambungan, dan sedikit di balok pracetaknya. Pada SBK Tipe 2 telah terbentuk celah (gap) antara sambungan dengan kolom, dan antara bagian kolom yang memakai grout dengan yang menggunakan beton normal. Pada SBK Tipe 4 juga telah terbentuk retak diagonal yang cukup lebar melintang daerah panel/kolom sambungan. Pada tahap-tahap akhir pembebanan, retak ini telah menyebabkan terkelupasnya selimut beton pada kolom sambungan. Walaupun demikian, retak-retak itu tidak sampai masuk menembus ke bagian dalam inti (core) betonnya.
10. Evaluasi kinerja SBK dengan ACI 374.1-05 telah menunjukkan tidak terpenuhinya syarat-syarat yang berkaitan dengan kekakuan struktur, yaitu butir-butir (1) dan (3-c). Sedangkan syarat-syarat untuk kekuatan dan kapasitas energi, yaitu butir-butir (2), (3a) dan (3-b) dapat dipenuhi.
6.2
Catatan Akhir Dengan dijalankannya riset yang sudah dirancang sebelumnya, maka ternyatalah
telah dijumpai hambatan dan kesulitan yang menyebabkan beberapa hal tidak bisa dilaksanakan sebagai yang direncanakan semula. Sebagian darinya merupakan masalah kecil yang tidak seberapa mengganggu, tetapi beberapa lainnya ternyata telah menimbulkan pengaruh pada terjadinya perubahan pada arah hasil dan kesimpulan akhir dari riset yang diharapkan. Karenanya, untuk kelanjutan dan pengembangan dari riset ini di masa yang akan datang, Penulis memiliki catatan-catatan yang dimaksudkan untuk memperbaiki hasil-hasil riset untuk mendapatkan prototipe SBK yang bukan saja constructable tetapi juga memiliki performance yang lebih baik lagi. Catatan-catatan itu adalah : 1.
Tata urutan langkah-langkah pelaksanaan di dalam mempersiapkan kelima spesimen, khususnya SBK pracetak, ternyata tidak bisa mengikuti yang direncanakan semula. Rencana semula yang bermaksud melakukan pengecoran beton SBK dalam keadaan kolom berdiri, sebagai yang biasa dilaksanakan di dalam praktek, ternyata tidak bisa dilaksanakan mengingat keterbatasan ruangan di dalam balai/laboratorium. Karenanya, beton kolom terpaksa harus dicetak dalam keadaan tidur. Untuk itu, rakitan
126
Bab 6
tulangan kolom dengan bagian tulangan jangkar yang tertanam di dalam daerah panel sambungan harus disetel ke dalam cetakannya sebelum beton dituangkan. Pada saat itulah ditemukan kesulitan di dalam menyisipkan tulangan-tulangan transversal, khususnya yang berupa cross-tie, ke dalam panel sambungan. Akibatnya, tulangan transversal panel hanya dipasang berupa sengkang-sengkang tertutup tanpa cross-tie. Dengan hal tersebut, tulangan transversal hanya terpasang 47% dari kebutuhannya. Hal inilah yang diketahui menjadi penyebab terbentuknya kerusakan (retak-retak) yang lebih banyak terjadi di daerah panel daripada di ujung-ujung balok, sehingga salah satu hipotesis dari riset ini tidak dapat dibuktikan. 2.
Akibat dari butir (1) di atas, maka diperlukan riset lanjutan yang akan meneliti perilaku dan kinerja sambungan yang sejenis dengan SBK yang telah diteliti ini tetapi dengan cara pembuatan spesimen yang lebih sesuai dengan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang sebenarnya di dalam praktek, yaitu pengecoran beton kolom dilaksanakan berdiri. Dengan pelaksanaan yang seperti ini akan diperoleh kondisi yang lebih mudah untuk memasang tulangan-tulangan transversal sambungan, menyisipkan tulangan overtopping, dan menuangkan beton pada sambungan. Apabila hal tersebut bisa dipenuhi, maka diharapkan SBK akan bisa menampilkan perilaku respons yang lebih baik lagi dengan menghasilkan terutama kekakuan, daktilitas dan kapasitas energi yang lebih tinggi.
3.
Juga, akibat butir (1) di atas, pekerjaan pendetailan, terutama pemasangan tulangantulangan transversal akan bisa dikerjakan dengan lebih mudah. Dari sini, maka akan terbukalah kemungkinan untuk memasang tulangan-tulangan transversal dengan beberapa variasi yang lebih beragam agar dapat memenuhi kebutuhan sebagai yang ditentukan oleh peraturan bangunan, sehingga masing-masing varian akan dapat dievaluasi perbedaan pengaruhnya pada kinerja SBK.
4.
Selanjutnya, karena telah tersedia ruangan bekerja yang cukup untuk para pekerja di lapangan melaksanakan pendetailan konstruksi, maka pada bagian sambungan di ujung balok bisa dituangkan campuran beton yang menyatu dengan kolom. Karena tempat penuangan cukup longgar, maka bisa digunakan campuran beton normal untuk mengisinya. Dalam hal ini penggunaan campuran beton grout tidak lagi menjadi keharusan, sehingga ongkos konstruksinya akan bisa ditekan lebih rendah.
5.
Pada kesempatan yang akan datang, Penulis berharap untuk bisa menerapkan SBK yang dihasilkan ini ke dalam contoh struktur yang lebih nyata, misalnya pada rangka portal sederhana. Apabila pada spesimen rangka tersebut diberikan beban siklik, maka
Bab 6
– 127
akan dilihat apakah variabel-variabel SBK sebagai yang telah didapatkan dari riset ini dapat dipakai untuk melakukan analisis prediksi perilaku rangkanya. Dengan melakukan perbandingan dengan hasil eksperimental, maka akan dapat diperiksa akurasi hasil analitik berikut asumsi-asumsi yang dipakai di dalam pemodelannya.
128
Bab 6
LAMPIRAN – A STUDI PADA ASPEK KINERJA DAN KEMUDAHAN KERJA SAMBUNGAN BALOK-KE-KOLOM A.1
Karakteristik Sambungan Balok-ke-Kolom Beton Pracetak Untuk memperoleh gambaran pada aspek kinerja (performance) dan kemudahan
kerja (constructability), maka akan dibuat uraian mengenai karakteristik pada beberapa jenis SBK. Metoda pemberian nilai (scoring) akan dilakukan secara studi kepustakaan pada kelebihan dan kekurangan dari jenis-jenis SBK yang dipilih. Adapun butir-butir untuk penilaian meliputi kemudahan fabrikasi, kemudahan ereksi/instalasi, grouting & tensioning, keawetan, kemudahan untuk memperbaiki setelah kerusakan, ketahanan bakar, kemudahan pemasangan tendon & pemberian pratekanan, kemampuan self-centering, kemampuan dissipasi energi (energy dissipation), dan drift ratio. Metoda ini telah pernah dilakukan orang sebelumnya (Camarena, 2006), dan dipakai di dalam studi ini dengan melakukan beberapa perubahan seperlunya. Sebanyak 12 (dua belas) SBK telah dipilih untuk memperbandingkan kelebihan dan kekurangan masing-masing yang dipilih dari jenis-jenis yang menonjol yang sudah dikenal sejak tahun 1980-an sampai dengan 2006. Uraian dari jenis-jenis itu akan disampaikan berikut ini :
A.1.1 Pilihan 1 SBK ini adalah sambungan BC16 menurut standar sambungan PCI (Martin & Korkosz, 1982), seperti yang disampaikan pada Gambar A.1 di bawah. Ini merupakan jenis sambungan komposit, di mana bagian beton overtopping untuk pelat lantai dituangkan kemudian secara setempat. Pada tahun 1980-an, jenis sambungan ini paling disukai untuk dipakai pada SRPM daktail. Pada jenis ini, ujung balok diletakkan di atas konsol (bracket) yang menyatu dengan ujung kolom. Selanjutnya, pelat landas pada ujung balok akan disatukan dengan pelat baja siku di ujung konsol dengan cara pengelasan. SBK jenis ini memiliki kelebihan : (1) tahanan momen penuh pada sambungan, dan – (2) penyetelan pemasangan yang mudah di lapangan. Adapun kekurangannya adalah : (1) ereksi yang lambat karena bagian beton komposit harus dirawat lebih dulu sebelum kolom berikutnya dilaksanakan, (2) pengelasan menghadap ke atas (overhead welding) sangat sulit dilaksanakan, (3) baja-baja
Lampiran – A
129
yang exposed mungkin memerlukan perlindungan korosi dan kebakaran, dan – (4) memerlukan pemasangan baja tulangan negatif pada ujung-ujung balok.
Gambar A.1 : SBK pilihan 1 yang sama dengan BC16 PCI (Martin & Korkosz, 1982).
A.1.2 Pilihan 2 Ini adalah sambungan BC17 menurut standar sambungan PCI (Martin & Korkosz, 1982), dan di sini disajikan pada Gambar A.2 di bawah. Juga, SBK ini termasuk jenis sambungan komposit, di mana bagian beton overtopping untuk pelat lantai dituangkan kemudian secara setempat. SBK ini hampir sama dengan BC16, tetapi tanpa konsol. Karenanya, dibutuhkan konstruksi perancah sementara untuk mendukung balok-balok.
Gambar A.2 : SBK pilihan 2 yang sama dengan BC17 PCI (Martin & Korkosz, 1982).
Kelebihan SBK ini adalah : (1) hasil sambungan yang bersih tanpa tonjolan-tonjolan konsol, (2) tidak ada baja-baja yang terpapar keluar (exposed), 130
Lampiran – A
(3) tahanan momen penuh, dan – (4) penyetelan pemasangan yang mudah di lapangan. Adapun kekurangannya : (1) membutuhkan perancah sementara selama pelaksanaan, dan – (2) memerlukan pemasangan baja tulangan negatif pada ujungujung balok.
A.1.3 Pilihan 3 SBK ini adalah sambungan BC18 menurut standar sambungan PCI sebagai yang disampaikan pada Gambar A.3 di bawah ini. Sambungan jenis ini hampir sama dengan BC16, hanya saja di sini kolom bisa dipersiapkan terlebih dahulu sampai beberapa tingkat, sebelum balok-balok pracetak diletakkan pada konsolkonsol. Setelah tulangan-tulangan negatif disambungkan dengan stek-stek yang ditanamkan melintang & menembus kolom melalui peralatan penyambung mekanis, barulah beton overtopping dapat dituangkan. Keunggulan SBK ini adalah : (1) tahanan momen penuh pada sambungan, dan – (2) pelaksanaan lebih cepat dengan penyiapan kolom-kolom untuk beberapa tingkat sekaligus. Kelemahannya adalah : (1) bagian baja sambungan di bawah ujung balok membutuhkan proteksi terhadap korosi dan bahaya kebakaran, (2) pengelasan menghadap ke atas sulit dilakukan, (3) kemungkinan timbulnya masalah toleransi pada saat menyambungkan ujung-ujung tulangan negatif dengan stek-stek tulangan pada kolom melalui penyambung-penyambung mekanis, (4) membutuhkan perancah sementara untuk balok-balok.
Gambar A.3 : SBK pilihan 3 yang sama dengan BC18 PCI (Martin & Korkosz, 1982).
Lampiran – A
131
2.3.4 Pilihan 4 SBK ini merupakan sambungan BC19 menurut standar sambungan PCI sebagai yang disampaikan pada Gambar A.4 di bawah. Hampir sama dengan BC16, BC17 dan BC18, sambungan ini berjenis tahan momen. Kolom-kolom dipersiapkan dulu secara cor setempat sampai mencapai elevasi muka bagian bawah balok. Setelah kolom mengering dan memiliki kekuatan, ujung-ujung balok pracetak diletakkan pada perancah-perancah sementara. Ujung-ujung balok pracetak bisa dibuat miring atau diberi takikan (notch) untuk digunakan sebagai penahan geser (shear keys). Stek-stek tulangan pada ujung-ujung balok disambungkan dengan tulangan-tulangan horizontal sambungan, baik dengan lewatan, las ataupun dengan penyambung mekanis. Sesudahnya, beton sambungan dituangkan sampai mencapai elevasi muka atas pelat lantai. Keunggulan SBK ini adalah : (1) tahanan momen penuh pada sambungan, (2) penyetelan yang mudah dengan toleransi longgar untuk pemasangan tulangantulangan sambungan, (3) pemakaian balok-balok pracetak dengan persyaratan teknis yang tidak terlalu ketat, (4) menghindari pemakaian kolom-kolom pracetak yang mahal dengan pelaksanaan cor setempat, (5) sambungan tersembunyi, (6) pemasangan tulangan-tulangan sambungan lebih mudah jika dibandingkan dengan BC16 atau BC18 yang memakai pengelasan mengahadap ke atas. Adapun kelemahannya adalah : (1) pelaksanaan lebih lama karena ereksi balok-balok pracetak harus menunggu keringnya kolom-kolom cor setempat, dan – (2) dibutuhkan konstruksi perancah sementara.
Gambar A.4 : SBK pilihan 4 yang sama dengan BC19 PCI (Martin & Korkosz, 1982).
132
Lampiran – A
A.1.5 Pilihan 5 SBK ini diusulkan pertama kalinya oleh S.K. Ghosh dkk. pada 1997, dan di-klaim dapat memenuhi semua kriteria desain dan kinerja yang telah ditetapkan oleh PCI Design Handbook. Kriteria-kriteria itu adalah kekuatan, daktilitas, kemampuan mengakomodasi perubahan volume, keawetan (durability), ketahanan bakar, dan constructability (Ghosh dkk., 1997). Illustrasinya diperlihatkan pada Gambar A.5 di bawah. L 8x8x1/2x1'-6" TOP & BOTTOM
1'-6"
(2) #8 TOP & BOTTOM
1"
1'-8"
1'-6"
2'-9"
1"
3'-0"
(8) #11
B-B
1/2" THICK T SECTION X 1'-8" TOP & BOTTOM
ADDED U-BARS PER ELEVATION
A-A
(2) #7 TOP & BOTTOM
3/8
(3) #7 WITH 90O HOOK TOP & BOTTOM 3 SIDES TOP & BOTTOM
1/2
TOP & BOTTOM
B
B A
#4 CLOSED STIRUPS @ 4" O/C
(2) #8 U-SHAPED TOP & BOTTOM
ELEVATION (2) #7 U-SHAPED TOP & BOTTOM
A 4" 1.5 d
TOP & BOTTOM
TERMINATE (2) #8 & (2) #7 U-SHAPED BARS TOP & BOTTOM
45"
Gambar A.5 : SBK pilihan 5 yang diusulkan oleh Ghosh dkk., 1997.
SBK ini dikatakan sebagai bagian yang harus ada pada struktur rangka tahan momen yang terutama diperuntukkan memikul beban-beban lateral yang berperilaku daktail penuh (SRPMK) dengan faktor R di-klaim mencapai 8.50, walaupun tidak ada data hasil pengujian yang mendukungnya yang disertakan dalam publikasinya. Demikian juga, butir constructability-nya mungkin masih bisa didiskusikan lagi, mengingat rumitnya pemasangan pembesian di sekitar bidang antarmuka pertemuan antara ujung balok ke muka kolomnya.
A.1.6 Pilihan 6 SBK ini adalah sambungan DDC (Dywidag Ductile Connection) produk inovatif oleh Englekirk pada 1996, sebagai yang sudah disampaikan pada Gambar 2.5 di depan, dan akan diperlihatkan lagi di sini pada Gambar A.6 di bawah. Lampiran – A
133
PRECAST COLUMN 6"
d (varies)
TIE ROD DUCTILE ROD POCKET
PRECAST BEAM
1' - 3"
TEMPORARY CORBEL PL 4"X5"X1' - 21/2" FOR EACH 2 ROD GROUP (2) - 13/8" DYWIDAG THREADERS W/HEX NUTS
CORBEL
ELEVATION PRECAST COLUMN CORBEL
1' - 4"
PRECAST BEAM
11/2" DIA. A490 BOLTS PRETENSIONED TO 148k EACH
13/4" DIA. DYWIDAG DUCTILE RODS 5" DIA. SHIM PL'S
PLAN VIEW
Gambar A.6 : SBK pilihan 6 tipe DDC yang diusulkan oleh Englekirk, 1996.
SBK ini memiliki keunggulan : (1) tahanan momen dan geser penuh pada sambungan dengan karakteristik perilaku siklik yang sangat stabil dengan batas drift yang tinggi, (2) waktu pelaksanaan yang lebih cepat dengan dimungkinkannya pemakaian konstruksi pracetak total, (3) tanpa pemakaian ikatan-ikatan sementara, (4) tanpa pengelasan, (5) semua sambungan dilaksanakan dengan pembautan (bolting), dan – (6) tanpa grouting struktural. Dalam publikasinya yang disertakan, ditunjukkan perilaku respons yang bahkan lebih baik daripada spesimen sambungan monolith. Dengan uji beban siklik yang dilakukan di University of California at San Diego (UCSD), dan diawasi oleh Profesor-profesor Priestley & Seible, sambungan ini menampilkan pembentukan retak-retak yang lebih sedikit, tetapi dengan kemampuan drift yang lebih besar. Adapun kelemahannya adalah : (1) diperlukan kemampuan teknik yang lebih tinggi pada ereksi, dan (2) biaya pelaksanaan yang lebih mahal dengan dipakainya material mutu tinggi yang dihasilkan dari proses manufaktur yang sangat teliti, disamping kontrak yang all-in meliputi pengadaan material dan pelaksanaannya.
A.1.7 Pilihan 7 Ini adalah SBK Pretensioned dari program PRESSS sebagai yang telah disampaikan dalam Gambar 2.6 (a) di depan, dan akan disampaikan lagi di sini sebagai Gambar A.7. Pada sistem ini dipakai balok-balok multi-bentang yang 134
Lampiran – A
diletakkan di atas sederetan kolom-kolom satu tingkat, dengan ujung-ujung batang tulangan kolom terproyeksi menembus balok-balok pada lubang-lubang di tempat yang telah ditentukan. Lubang-lubang tersebut kemudian di grout, dan pada ujungujungnya dipasangkan penyambung mekanis untuk menyambungkannya dengan tulangan-tulangan kolom di atasnya. Sistem ini akan sangat cocok dipakai pada pelaksanaan model “up-and-out”, dimana untuk keseluruhan gedung pekerjaan struktural diselesaikan setingkat demi setingkat. Setelah sempurna satu tingkat, maka pekerjaan dilanjutkan untuk tingkat berikutnya dengan ereksi seluruh kolomkolomnya, yang kemudian diikuti dengan peletakan balok-baloknya, demikian dan seterusnya. 1'- 6" REBAR SPLICE
UNBONDED POST-TENSIONING USING DYWIDAG THREADBARS ADDITIONAL 2 - #4 EACH FACE OF BEAM TERMINATING 1" CLEAR FROM COLUMN FACE
1'-11"
0.50" PRESTRESSING STRANDS ( DEBONDED IN BEAMS )
COLUMN LONGITUDINAL REINFORCING BARS
1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT PRIOR TO STRESSING
MAIN BEAM REINFORCING TOP & BOTTOM W/90o HOOKS AT COLUMN FACES MILD REINFORCING STEEL IN CORRUGATED SLEEVES - SOLID GROUTED 0.50" BONDED PRESTRESSING STRANDS
Gambar A.7 : SBK pilihan 7 yang merupakan SBK prategang produk dari program PRESSS, 1999.
Keunggulan sambungan ini adalah : (1) tidak membutuhkan perancahperancah sementara, (2) waktu pelaksanaan yang sangat dipersingkat, (3) lahan pekerjaan yang bersih dengan hanya menyimpan komponen-komponen pracetak yang siap dipasang/diereksi, dan (4) proses penyiapan komponen-komponen pracetak bisa lebih optimal dilakukan di pabrik/industri. Kelemahannya adalah : (1) pelaksanaan di lapangan membutuhkan banyak peralatan berat dan tingkat keahlian yang tinggi dari para pekerjanya, dan (2) masalah toleransi ukuran menjadi sangat menentukan, khususnya bila dihadapkan pada masalah perubahan volume oleh susut beton dan kesalahan pada pelaksanaan.
2.3.8
Pilihan 8 Ini adalah SBK TCY (Tension-Compression Yielding) dari program
PRESSS sebagai telah disampaikan dalam Gambar 2.6 (b) di depan, dan akan diperlihatkan lagi pada Gambar A-8 di bawah ini. Pada sistem ini, kolom-kolom Lampiran – A
135
dipersiapkan untuk beberapa tingkat, dan kemudian balok-balok pracetak bentang tunggal disisipkan secara melintang di sela-selanya untuk membentuk sistem perangkaan yang direncanakan. Dengan sistem sambungan ini, dicoba menirukan perilaku pelelehan tradisional pada batang-batang tarik dan tekan pada konstruksi sambungan cor setempat. Daripada menyebarkannya pada panjang tertentu dari sendi plastik, pelelehan hanya dipusatkan di dalam sambungan. Mengingat perannya yang penting dalam menyediakan kekuatan pikul momen dan kemampuan men-dissipasi energi, maka batang-batang tulangan balok perlu diyakinkan agar tidak putus secara prematur pada wilayah yang terkonsentrasi ini. Untuk itu, mereka di-debonded, yaitu dilepaskan dari gesekan dengan beton di sekelilingnya dengan cara memasukkan mereka ke dalam selongsong-selongsong (sleeves) sampai ke bidang muka-bidang muka (interfaces) sambungannya. 1'- 6"
1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT ADDITIONAL REINFORCING PER BEAM SECTIONS
1'-11"
3" WRAP REBAR IN SLEEVES - TOP & BOTTOM
COLUMN LONGITUDINAL REINFORCING BARS
1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT UNBONDED POST-TENSIONING USING DYWIDAG THREADBARS
MILD REINFORCING STEEL - TOP & BOTTOM IN METAL CORRUGATED SLEEVES - SOLID GROUTED
Gambar A.8 : SBK pilihan 8 yang merupakan SBK TCY produk dari program PRESSS, 1999.
Di dalam pengujian, SBK ini memperlihatkan pola perilaku histeretik dengan bentuk grafik yang agak pipih/kurus (pinched) sehubungan dengan slip vertikal yang terjadi pada bidang muka pertemuan antara balok dengan kolom-nya. Bila slip tersebut besar, maka konsol baja perlu disisipkan agar tidak mempengaruhi kinerja menyeluruh (overall performance) dari sambungan. Keunggulan SBK ini adalah : (1) tahanan momen penuh, (2) kerusakan yang minimal pada komponen pracetak, (3) memiliki kemampuan untuk memulihkan diri (re-centering) segera sesudah beban lateral berlalu, (2) waktu pelaksanaan yang singkat, (3) lahan pekerjaan yang bersih dengan hanya menyimpan komponen-komponen pracetak yang siap dipasang/diereksi saja, dan (4) proses penyiapan komponen-komponen pracetak bisa lebih optimal dilakukan di dalam pabrik. Adapun kelemahannya adalah : (1) pelaksanaan di lapangan
136
Lampiran – A
membutuhkan banyak peralatan berat dan tingkat keahlian yang tinggi dari para pekerjanya, dan (2) masalah toleransi ukuran menjadi kritis, khususnya bila dihadapkan pada masalah susut dan kesalahan pada pelaksanaan, dan – (3) membutuhkan perancah sementara.
A.1.9 Pilihan 9 Ini adalah SBK TCY dengan gap dari program PRESSS sebagai yang ditampilkan dalam Gambar 2.6 (c) di depan, dan akan diperlihatkan lagi di sini pada Gambar A.9. Sambungan ini hampir sama dengan jenis TCY pada Pilihan 8 di atas, hanya saja antara balok dengan kolom terdapat celah (gap) kecil. Gap ini hanya di grout pada bagian bawahnya saja, sedangkan bagian atasnya dibiarkan tetap terbuka. Berpusat pada daerah grout bawah ini, batang-batang post-tensioning dipasangkan untuk mengikat rangka bangunan bersama-sama. Pada bagian atas balok, batang baja lunak dimasukkan ke dalam selongsong, di grout, dan membentang sepanjang balok sampai menembus kolom. Baja tulangan ini secara hati-hati di-debonded pada panjang tertentu di daerah gap sehingga dia dapat melakukan pelelehan tarik dan tekan secara berganti-ganti tanpa mengalami fracture. Karena gap membuka di satu sisi, dan menutup di sisi lainnya dengan besaran yang sama, maka balok-balok rangka tetap panjangnya, bahkan ketika sambungan mengalami leleh. Keunggulan dan kelemahan sistem SBK ini kurang lebihnya sama dengan sambungan TCY pada Pilihan 8 di atas. MILD REINFORCING STEEL AT TOP IN METAL CORRUGATED SLEEVES SOLID GROUTED IN BEAM & COLUMN
COLUMN LONGITUDINAL REINFORCING STEEL BARS BACKER RODS AROUND PVC SLEEVES AT JOINT TO KEEP JOINT FREE OF GROUT
1'-11"
4" WRAP REBAR IN SLEEVES
1'- 6"
ADDITIONAL REINFORCING PER BEAM SECTIONS UNBONDED POSTTENSIONING USING DYWIDAG THREADBARS
1" JOINT - FILL BOTTOM 4" OF JOINT W/FIBER GROUT PRIOR TO STRESSING
Gambar A.9 : SBK pilihan 9 yang merupakan SBK TCY dengan gap produk dari program PRESSS, 1999.
Lampiran – A
137
A.1.10 Pilihan 10 Ini adalah sambungan Hibrida, yang merupakan produk primadona dari program PRESSS, sebagai telah diperlihatkan dalam Gambar 2.6 (d) di depan, dan di sini akan diperlihatkan lagi sebagai Gambar A-10. Pada sistem ini, balok-balok dipasang di antara kolom-kolom. Batang-batang tulangan dari baja lunak dimasukkan ke dalam selongsong di bagian bawah dan atas balok, menembus melalui kolom, dan kemudian di grout. Batang-batang ini mengalami leleh tarik dan tekan berganti-ganti, sehingga dapat menyediakan kemampuan dissipasi energi dalam jumlah besar. Pada saat rangka bangunan bergoyang-goyang ke samping, baja-baja lunak dari balok ini mengalami perpanjangan dan perpendek-an secara berganti-ganti, menjadikan gap membuka dan menutup. Jumlah tulangan baja lunak dan baja post-tensioning dibuat seimbang, sehingga rangka struktur dapat melakukan self-centering segera sesudah gempa berlalu. 0.50" UNBONDED POST-TENSIONED STRANDS IN PVC SLEEVE W / NO GROUT
COLUMN LONGITUDINAL REINFORCING BARS 1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT PRIOR TO STRESSING ADDITIONAL REINFORCING NOT IN SLEEVES PER BEAM SECTIONS
1'-11"
WRAP REBAR (DEBONDED)
1'- 6"
1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT PRIOR TO STRESSING UNBONDED POSTTENSIONING USING DYWIDAG THREADBARS
MILD REINFORCING STEEL TOP & BOTTOM IN METAL CORRUGATED SLEEVES SOLID GROUTED 0.50" BONDED PRESTRESSING STRANDS
Gambar A.10 : SBK pilihan 10 yang merupakan SBK hibrida produk dari program PRESSS, 1999.
Kelebihan dan kekurangan sistem ini hampir sama dengan dua sistem sambungan sebelumnya dengan penekanan pada kemampuan self-centering-nya yang lebih menonjol pada sistem ini.
A.1.11 Pilihan 11 Pilihan 11 adalah jenis sambungan yang dikaji oleh para peneliti dari Turki (Ertas dkk., 2006), yaitu sebagai yang diperlihatkan dalam Gambar 2.7 (c). Pada Gambar A.11 disampaikan SBK jenis ini dengan penampilan yang agak berbeda. Bila dibandingkan dengan Gambar 2.7 (c), Gambar A.11 agak sedikit mengalami modifikasi untuk menunjukkan, bahwa : (1) SBK pada Gambar A.11 untuk joint interior, dan bukan eksterior sebagai yang dimaksud pada Gambar 2.7 (c), dan 138
Lampiran – A
(2) SBK untuk dipakai pada balok komposit. Pengujian pada spesimen sambungan sebagai yang dimaksudkan pada Gambar 2.7 (c) menunjukkan hasil perilaku yang daktail dengan bentuk loop kurva histeretik beban vs. perpindahan yang stabil. Dengan dipakainya sambungan jenis ini, prinsip strong column – weak beam diharapkan akan dapat dicapai dengan kerusakan lebih banyak terjadi pada sambungan, dan bukan pada kolom maupun balok pracetaknya.
Gambar A.11 : SBK pilihan 11.
A.1.12 Pilihan 12 Pilihan 12 adalah jenis sambungan sederhana yang paling sering dipakai di dalam praktek konstruksi. Sambungan memakai kait 90o yang ditanamkan di dalam panel atau badan kolom. Sistem ini sebetulnya merupakan modifikasi dari sambungan pada kolom dari para peneliti Turki (Ertas dkk., 2006), sebagai yang ditunjukkan pada Gambar 2.7 (b). Modifikasi dilakukan dengan : (1) mengganti balok penuh dengan komposit, dan – (2) mengganti penjangkaran batang-batang U dengan kait 90o yang diletakkan di dalam panel/kolom. Kinerja sambungan terutama akan banyak tergantung pada effektifitas penjangkaran kait dan kepadatan beton pada daerah sambungan. Untuk perangkaan balok-balok yang berarah pada kedua sumbu horizontal (sumbu-x dan sumbuy), akan terjadi penumpukan tulangan yang sangat rapat (congested) di daerah sambungan, sehingga menyulitkan pemasangan ujung-ujung kait tersebut dengan seksama, apa lagi kalau balok-balok dari sumbu-x memiliki dimensi penampang yang sama tingginya dengan balok-balok dari sumbu-y. Karena penumpukan Lampiran – A
139
tulangan tersebut terjadi di daerah kolom, masalah juga akan terjadi pada sulitnya melakukan penuangan beton, menyebabkan beton menjadi kurang rapat/padat atau keropos. Hal ini akan menjadikan kolom-kolom sambungan sebagai titik terlemah pada mekanisme respons struktur, yang mana hal ini tidak boleh terjadi pada SRPM tahan gempa. Illustrasinya disampaikan pada Gambar A.12 di bawah.
Gambar A.12 : SBK pilihan 12.
A.2
Butir-butir Evaluasi Riwayat perkembangan struktur beton pracetak tidak terlepas dari kisah rangkai-
an ungkapan visi dan ide berani dari beberapa orang pelopornya. Orang-orang ini menangkap ide-ide baru dan kemudian memaksimalkan potensinya dengan melalui modifikasi dan peningkatan metoda-metoda yang sudah dikenal, sehingga menghasilkan metoda baru, dan menciptakan perangkat peralatan baru, yang kesemuanya itu mengarah pada pelaksanaan produksi secara massal. Dengan maksud itulah produksi bangunan-bangunan beton pracetak diselenggarakan, yaitu untuk mendapatkan kemudahan dan kecepatan pelaksanaan (constructability), mulai dari pemisahan proses fabrikasi komponenkomponennya di pabrik sampai pada ereksi/instalasinya di site. Dalam rangka untuk memperbaiki kinerja (performance), maka diperkenalkanlah pemberian pratekanan melalui penyisipan tendon-tendon ke dalam saluran selongsong (ducting) yang ditanamkan ke dalam beton dan yang kemudian di-grout. Pemberian grout ini semula ditujukan untuk memberikan lekatan antara batang-batang tendon dengan beton. Ketika kemudian ditemukan kemungkinan untuk memanfaatkan gaya-gaya elastik dari tendon yang di-debonding menjadi gaya pemulih diri (self-restoring force) dari struktur 140
Lampiran – A
setelah pembebanan berlalu, maka diperkenalkan pulalah cara grouting hanya pada sebagian segmen panjang tendon, sebagai yang telah dilakukan pada sambungansambungan produk PRESSS. Dengan berpedoman pada falsafah desain tahan gempa yang berlaku pada saat sekarang ini, yaitu kerusakan yang terjadi di-lokalisasi hanya pada beberapa tempat pada bangunan, dan itu dipusatkan pada sambungan-sambungan balokke-kolom, maka telah pula ditemukan jenis-jenis SBK yang berperilaku daktail. Sambungan-sambungan tersebut sanggup melakukan deformasi yang menghasilkan rotasi sendi plastik yang sangat besar sambil mempertahankan kekuatannya semula. Rotasi itu kemudian secara kumulatif akan menghasilkan perpindahan bangunan ke arah horizontal (drift), yang biasanya diukur dengan rasio persentase terhadap tinggi bangunannya. Kurva histeretik beban – perpindahan yang dihasilkan telah mencerminkan kapasitas dissipasi energi yang besar dari SBK. Beberapa penelitian kemudian juga dilanjutkan dengan upayaupaya untuk menemukan jenis-jenis SBK yang mudah diperbaiki/diganti setelah mengalami kerusakan, sebagai yang telah dilakukan oleh Cheok (Cheok dkk., 1994), Vasconez (Vasconez dkk., 1994), dan Ertas (Ertas dkk., 2006).
A.2.1 Fabrikasi Salah satu keunggulan struktur pracetak adalah proses industrialisasi produk komponen-komponen pracetak. Karenanya, kebutuhan pada proses produksi yang effektif mungkin akan membatasi kesempurnaan pada sesuatu jenis pilihan. Sebagai contoh, tendon lurus dapat dipasang dengan lebih mudah dan lebih cepat daripada tendon parabolik. Juga, penampang balok yang memiliki bentuk dan ukuran tidak beraturan akan lebih sukar dicetak, sehingga membutuhkan kemampuan/keahlian teknik yang lebih tinggi dari para pekerjanya, dan hal ini akan berakibat pada peningkatan kebutuhan waktu dan biaya produksi.
A.2.2 Kemudahan Ereksi/Instalasi Keunggulan lainnya dari struktur pracetak adalah kecepatannya untuk diereksi/instalasi. Untuk sambungan balok-ke-kolom, penggunaan konsol untuk perletakan ujung-ujung balok tentu akan meningkatkan effisiensi pekerjaan konstruksi, disamping dapat lebih menjamin keselamatan di tempat kerja. Sambungan yang tidak melibatkan konsol-konsol selama ereksi/instalasi akan membutuhkan perancah untuk dukungan sementara selama konstruksi belum mampu mengerahkan kekuatannya. Tetapi, pada saat yang bersamaan, untuk
Lampiran – A
141
mendapatkan momen tahanan sepenuhnya, sambungan dengan konsol ini membutuhkan pengelasan menghadap ke atas untuk mengikat balok pracetak ke konsol, yang mana pekerjaan ini tidak mudah dilaksanakan.
A.2.3 Kemudahan pada Grouting & Tensioning Pekerjaan grouting dan penegangan pada sistem sambungan pracetak yang menggunakan pratekan sangat sulit dilaksanakan dan memerlukan ketelitian yang tinggi. Sebelum pekerjaan ini dimulai, harus ditentukan terlebih dahulu bagianbagian mana yang di-grout, dan mana yang tidak. Karena pada bagian yang tidak di-grout mungkin memerlukan perlakuan khusus pada item-item tertentu, menjadikan pekerjaan ini lebih rumit dan membutuhkan biaya banyak. Sebagai contoh, pada penggunaan sambungan pada gedung Paramount di San Francisco. Pada sistem ini, penerapan post-tensioning ternyata memerlukan teknik-teknik khusus yang rumit dan mahal. Butir ini menjadikan sambungan-sambungan dengan pratekanan bernilai rendah bila dipandang dari sisi constructability, walaupun menampilkan kinerja yang bernilai sangat tinggi.
A.2.4 Keawetan (Durability) Komponen-komponen struktur pracetak yang diproduksi di pabrik menggunakan beton bermutu tinggi dengan kendali mutu yang ketat, menjadikannya memiliki tingkat keawetan yang lebih tinggi pula. Demikian pula, komponen yang diberikan pratekanan di pabrik akan menghasilkan retak-retak yang lebih sedikit. Dengan pembebanan gempa yang kuat, cela pada pertemuan antar komponen akan membuka. Cela ini akan berusaha menutup kembali bila digunakan tendon posttension. Keawetan biasanya dikaitkan dengan proses korosi pada baja-baja. Uap air dan zat-zat korosif akan menerobos masuk ke baja melalui cela-cela yang membuka, baik pada pertemuan antar komponen, maupun yang terbentuk oleh peretakan. Jadi, semakin banyak retak yang terbentuk pada beton, semakin besar ancaman pada keawetan strukturnya.
A.2.5 Ketahanan Bakar Salah satu butir yang disyaratkan pada struktur beton pracetak yang ditentukan oleh PCI Design Handbook, adalah ketahanan terhadap bahaya bakar. Pada umumnya, bahan beton lebih tahan api dibandingkan dengan baja. Ketika 142
Lampiran – A
terjadi kebakaran pada bangunan beton pracetak, struktur akan kehilangan kekuatannya ketika baja-baja tulangan dan pratekanan mulai meleleh. Masalah ini akan menjadi serius, bila bagian-bagian konstruksi yang terbuat dari baja tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Perlindungan yang dimaksud adalah dengan cara menyembunyikan/membenamkan/membungkus baja ke dalam beton dengan ketebalan selimut yang cukup. Ketebalan selimut tergantung pada : (1) rasio tegangan – kekuatan baja pada saat kebakaran, dan – (2) intensitas dan lamanya kebakaran. Tingkat perlindungan standar biasanya telah ditentukan di dalam peraturan bangunan, misalnya pada Pasal 9.3.8 PCI Design Handbook ditetapkan ketahanan bakar selama 4 jam pada temperatur 1000oF dan pada rasio tegangan – kekuatan baja f s f y sekitar 65%. Apabila selimut beton yang dipasang kurang dari ketebalan yang ditentukan, artinya pada struktur tersebut akan terdapat peningkatan resiko kegagalan akibat kebakaran.
A.2.6 Kemudahan Perbaikan setelah Kerusakan Perhatian utama yang membebani pikiran yang berat pada para pemilik bangunan, adalah pertanyaan apakah bangunan mereka masih bisa digunakan atau tidak setelah gempa. Segala informasi pada perhitungan biaya perbaikan akan mendapatkan perhatian yang seksama dari mereka. Pada struktur dengan sambungansambungan yang sederhana, perbaikan itu akan bisa dilaksanakan dengan mudah bila kerusakan terjadi secara terbatas di daerah sambungan saja. Akan tetapi, pada struktur dengan sistem sambungan yang lebih rumit, perbaikan itu terpaksa dilakukan dengan lebih susah-payah, karena harus juga membongkar dan mengganti bagian-bagian lain yang lebih banyak.
A.2.7 Kemudahan Pemasangan Tendon & Pratekanan Untuk meningkatkan kemampuan pikul pada beban tapi dengan tetap mempertahankan estetika bangunan, antara lain dengan dipakainya dimensi balokbalok yang kecil namun dengan bentang yang lebih panjang, maka digunakanlah tendon-tendon pratekanan. Tata pemasangan tendon dan besarnya gaya pratekanan ditetapkan pada saat desain. Dengan maksud untuk memberikan dukungan terhadap tata letak yang tertentu dari pembebanan pada struktur, maka telah ditemukan bentuk-bentuk lintasan tendon yang tidak selalu lurus pada sepanjang bentang baloknya. Tendon parabolik membutuhkan bahan yang lebih
Lampiran – A
143
panjang/banyak, dan juga lebih sulit dipasang dibandingkan dengan tendon lurus. Demikian juga, pratekanan vertikal pada kolom-kolom lebih sulit dilaksanakan dibandingkan dengan pratekanan horizontal pada balok-balok. Hal ini menjadikan beberapa alternatif pemasangan tendon lebih tidak ekonomis dibandingkan dengan yang lainnya.
A.2.8 Kemampuan Pemulihan Diri setelah Beban Berakhir Penerapan pratekanan dengan tendon unbonded post-tensioned telah memberikan manfaat yang tinggi pada kinerja struktur, yaitu kemampuan struktur untuk melakukan pemulihan diri (self-centering = self-restoring) segera setelah beban gempa berlalu. Pada saat memasuki fase lepas beban (unloading) dari rotasi nonlinier yang besar, balok akan kembali ke posisinya semula dengan menyisakan rotasi residual permanen kecil. Kemampuan ini telah menjadikan rotasi nonlinier hanya menimbulkan kerusakan yang kecil pada struktur, karena gaya pratekanan cukup untuk menutup cela yang terbentuk pada bidang antar-muka (interface) sambungan pada saat lepas beban. Tendon jenis ini juga dapat menunda pelelehan baja-baja.
A.2.9 Kemampuan Dissipasi Energi Struktur beton dengan pratekanan biasanya dianggap mendissipasi energi gempa yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan struktur beton bertulang atau baja. Demikian juga, sambungan cor setempat dengan penjangkaran tulangan yang agak longgar mendissipasi energi lebih kecil dibandingkan dengan sambungan monolith dengan batang-batang tulangan yang menerus (Matsumoto & Nishihara, 2000). Pada sambungan DDC sebagai Pilihan 6 (Gambar A.6) di depan, kemampuan dissipasi energi yang tinggi didapatkan dengan menyisipkan batangbatang khusus yang memiliki daktilitas tinggi sebagai ductile rods. Pada struktur, kemampuan ini ditunjukkan dengan gemuk atau kurusnya kurva histeretik respons yang dihasilkannya terhadap pembebanan siklik – semakin gemuk kurva akan semakin besar energi yang di-dissipasi dan semakin kurus/pipih akan semakin kecil dissipasi-nya. Keadaan ini mungkin akan bisa diperbaiki dengan menciptakan jenis-jenis sambungan yang baru dengan kombinasi pada struktur beton bertulang yang mendapatkan pratekanan secara parsial.
144
Lampiran – A
Tabel A.1 : Hasil evaluasi sambungan balok-ke-kolom pada aspek kinerja dan kemudahan kerja (Wahjudi dkk., 2012-1 dan Wahjudi dkk., 2012-3).
*) Catatan : Pilihan 1 Pilihan 2 Pilihan 3 Pilihan 4
-
SBK BC16 SBK BC17 SBK BC18 SBK BC19
Lampiran – A
(Gbr. A.1) (Gbr. A.2) (Gbr. A.3) (Gbr. A.4)
Pilihan 5 Pilihan 6 Pilihan 7 Pilihan 8
-
SBK Ghosh SBK DDC SBK Prategang SBK TCY
(Gbr. A.5) (Gbr. A.6) (Gbr. A.7) (Gbr. A.8)
Pilihan 9 Pilihan 10 Pilihan 11 Pilihan 12
-
SBK TCY Gap (Gbr. A.9) SBK Hibrida (Gbr. A.10) SBK Gbr. A.11 SBK Gbr. A.12
145
A.2.10 Kapasitas Drift Drift adalah perpindahan lateral struktur pada suatu tingkat relatif terhadap tingkat di atas atau di bawahnya. Drift ini biasanya dinyatakan dalam rasio atau persentase. Untuk satu tingkat bangunan, drift dihitung dari perbandingan antara perpindahan pada bagian atas dengan tinggi tingkat. Pada struktur dengan pembebanan siklik, kapasitas drift ini merupakan indikator langsung pada daktilitasnya. Di dalam uji di laboratorium, pada spesimen SBK diberikan riwayat pembebanan siklik dengan skema yang sudah ditentukan. Biasanya, pembebanan siklik akan diberikan secara bertahap, dimana pada masing-masing tahap akan diulangi 2@3 kali untuk menilai pengaruh degradasi kekakuan dan deteriorasi kekuatannya (ACI Committee 374, 2005). Yang ditetapkan sebagai kapasitas drift adalah perpindahan lateral terbesar yang dilakukan struktur pada siklus terakhir sebelum mengalami keruntuhan. Bagaimanapun, perkembangan paling mutakhir lebih menggarisbawahi arti penting drift ini. Penelitian telah menyimpulkan, bahwa pada tingkatan drift yang tinggi, kegunaan lebih lanjut dari dissipasi/penyerapan energi menjadi tidak jelas, karena kinerja sistem struktur lebih banyak tergantung pada input gerakan tanah daripada kapasitas penyerapan energinya. Sementara dissipasi energi diperlukan untuk kendali perpindahan, kapasitas drift dianggap dapat memberikan gambaran lebih baik pada kinerja struktur (Priestley, 1993).
A.3
Hasil Evaluasi Evaluasi telah menghasilkan nilai (score) yang dikumpulkan oleh masing-masing
pilihan jenis SBK. Nilai-nilai dikumpulkan dari terpenuhi atau tidaknya butir-butir persyaratan yang telah ditentukan. Untuk masing-masing kriteria telah ditetapkan sebanyak 5 (lima) butir persyaratan (ganjil), agar kemungkinan terkumpulnya nilai pertengahan (= 2) dapat dihindari. Hasilnya adalah sebagai yang diperlihatkan pada Tabel A.1 di atas.
146
Lampiran – A
LAMPIRAN – B DESAIN SPESIMEN UJI – SBK TIPE 1, 2, 3, 4 & 5 B.1
Dimensi Spesimen dan Tulangan Longitudinal Balok serta Kolom Bahan beton untuk komponen-komponen pracetak dan sambungan direncanakan
dari mutu K-400 (f’c 33.25 MPa pada 28 hari), sedangkan untuk batang-batang tulangan direncanakan memakai mutu baja : fy ≤ 400 MPa untuk tulangan longitudinal, dan : fyh 280 MPa untuk tulangan transversal. Spesimen yang akan diuji berupa SBK interior 2 dimensi, yang dalam bentuk fisiknya berwujud salib dengan kolom-kolom dan balok-balok yang berpotongan di tempat sambungannya. Untuk menyesuaikan dengan mesin pengujinya, maka ditentukanlah tinggi total kolom 3020 mm dan panjang total balok 3650 mm. Kolom memakai penampang persegi 450/450 (mm) dan balok berukuran penampang 300/450. Batang-batang tulangan dipakai D16 untuk tulangan longitudinal dan 10 untuk sengkang-sengkangnya. Jarak sengkang ditetapkan 100 mm baik untuk kolom maupun balok. Hasil desain disampaikan pada Gambar B.2. Syarat pertama yang harus dipenuhi adalah bahwa momen kolom paling tidak sebesar 120% momen balok, yaitu :
M M
nk
.........................................
1.20
(B-1)
nb
dimana Mnk dan Mnb adalah berturut-turut jumlah kapasitas nominal momen kolom dan balok, yang masing-masing dihitung pada bidang muka sambungan, yang berujung pada SBK tersebut, seperti ditunjukkan pada Gambar B.1 di bawah ini. Dengan memperhatikan Gambar B.1, persamaan
Mnk,a a
SBK
Mnb,kn kn
Mnb,kr kr
(B-1) menjadi : M nk , a M nk ,b M nb , kr M nb , kn
1.20
............
(B-2)
Mnk, b
Gambar B.1 : Momen-momen pada panel SBK.
Untuk mendapatkan nilai-nilai momen tersebut, dilakukanlah analisis interaksi momen – gaya aksial pada kolom dan momen – rotasi pada balok. Dengan menggunakan data kekuatan rencana bahan, maka didapatkanlah grafik interaksi M – N kolom, sebagai
Lampiran – B
147
POT. I - I 1600 mm
II
1285 mm
450 mm
14 D16
Sengkang : 10 -100 mm
175
50
I
50 70 70 70 70 70 50
175
50
450
Sengkang : 10 - 100 mm
1600 mm
450 mm 450 mm
POT. II - II 4 D16
1285 mm
2 D13
350
Sengkang : 10 -100 mm
50
4 D16
50 81 38 81 50
Sengkang : 10 - 100 mm
450 mm
Sengkang : 10 - 100 mm
Sengkang : 10 - 100 mm
50
300 mm
Gambar B.2 : Desain spesimen SBK Tipe 1 yang akan diteliti di dalam riset ini
diperlihatkan pada Gambar B.3-(a) di bawah. Juga, diperoleh grafik hubungan M – balok, sebagai disampaikan pada Gambar B.3-(b). Masukkan angka-angka yang didapat ke dalam persamaan (B-2), didapatkan :
M M
nk nb
325 325 2.0622 1.20 157.6 157.6
Periksa syarat penulangan balok :
O.K. SBK Tipe 1
As 4 162 0.005957 0.025 bh 4 300 450
Periksa syarat penulangan kolom : tot
As ,tot bh
14 162 0.0139 0.06 4 450 450 Hubungan M 250
7000
200
6000 5000 ( 325, 673.7 )
4000 3000 2000 1000 0 -1000 0
0.10 fc’. Ag = 673.7 kN
O.K.
Balok SBK Tipe 1
8000
Momen, Mn ( kN.m )
Gaya Aksial, Nn ( kN )
Interaksi M - N Kolom SBK Tipe 1
O.K.
150 100 Y+ ( 0.002932, 157.60 ) 50
U+ ( 0.0607, 187.90 )
0 -0.08
-0.06 -0.04 -0.02 -50 0 U- ( -0.0607, -187.90 ) -100
0.02
0.04
0.06
0.08
-150 100
200
300
400
500
-2000
Y- ( -0.002932, -157.60 )
-200 -250
Momen, M n ( kN.m )
Rotasi,
( rad )
(b)
(a)
Gambar B.3 : Data kekuatan kolom dan balok SBK Tipe 1 (a) Interaksi M - N kolom (b) Hubungan M - balok 148
Lampiran – B
Selanjutnya, grafik M – untuk balok-balok SBK Tipe 2 (= SBK Tipe 4) dan SBK Tipe 3 (= SBK Tipe 5) ditampilkan pada Gambar B.4, sehingga rasio antara momen kolom dengan momen baloknya didapatkan : nk
325 325 1.8694 1.20 117.0 230.7
O.K. SBK Tipe 2 = SBK Tipe 4
325 325 2.4856 1.20 116.0 145.5
O.K. SBK Tipe 3 = SBK Tipe 5
nb nk nb
Momen, Mn ( kN.m )
Hubungan M -
Balok SBK-2 = SBK-4
Hubungan M -
200
150
Y+ ( 0.002516, 116.00 )150
100 Y+ ( 0.00182, 117.0050) -0.12
-0.08
Balok SBK-3 = SBK-5
200
U+ ( 0.1373, 158.50 )
0 -0.04 -500.00
0.04
0.08
0.12
0.16
-100 U- ( -0.0850, -252.00 ) Y- ( -0.003245, -230.70 )
-150
Momen, Mn ( kN.m )
M M M M
100 0 -0.16
-0.12
-0.08
-0.04
0.00 -50
-150
-250
-200
-300
-250
( rad )
0.08
0.12
0.16
Y- ( -0.001877, -145.50 )
Rotasi,
(a)
0.04
U- ( -0.1303, -185.00 ) -100
-200
Rotasi,
U+ ( 0.1259, 140.60 )
50
( rad )
(b)
Gambar B.4 : Data M - balok-balok SBK Tipe 2 & 3 (a) Hubungan M - balok SBK Tipe 2 = Tipe 4 (b) Hubungan M - balok SBK Tipe 3 = Tipe 5
B.2
Panjang Sambungan Balok Pracetak ke Kolom pada SBK Tipe 2, 3, 4 &5 SBK Tipe 2, 3, 4 dan 5 dibuat dengan karakteristik struktur yang sama dengan SBK
Tipe 1, hanya saja dengan ditambahi detail sambungan pada pertemuan ujung-ujung balok dengan kolomnya. Karena pada sambungan diharapkan terjadi plastifikasi, maka panjang sambungan akan membentang pada daerah sepanjang sendi plastik. Panjang sambungan disamakan dengan nilai yang lebih besar dari panjang daerah plastifikasi (sendi plastik) atau panjang penjangkaran tulangan balok di dalamnya. Estimasi panjang sendi plastik pada ujung balok ditentukan sebagai nilai terbesar dari model-model berikut ini :
z Baker & Amarakone (1964) : l p 0.8k1 k3 c ............... d Sawyer (1964) : l p 0.25d 0.075 z ........................... z Corley (1966) : l p 0.5d 0.2 d . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . d l 0.5 d 0.05 z Mattock (1967) : p ............................ Park, Priestley & Gill (1982) : l p 0.42h
Lampiran – B
........................
(B-3) (B-4) (B-5) (B-6) (B-7)
149
Priestley & Park (1987) : l p 0.08 z 6db
.......................
Paulay & Priestley (1992) : l p 0.08 z 0.022db f y
(B-8)
...............
(B-9)
Sheikh & Khoury (1993) : l p h
...........................
(B-10)
Bayrak & Sheikh (1998) : l p h
............................
(B-11)
Panagiotakos & Fardis (2001) : l p 0.18 z 0.021db f y
............
z 1 0.25 0.25 . . . h fy Berry, Lehman & Lowes (2008) : l p 0.05 z 0.10d b ......... fc ' Bae & Bayrak (2008) :
dimana : Ag As c d db Ec f c’ fy h k1 k3 lp P
= = = = = = = = = = = = =
P A 0.3 3 s h P0 Ag
lp
(B-12) (B-13) (B-14)
luasan gross penampang beton (mm2) luasan tulangan tarik (mm2) jarak garis netral dari tepi serat tertekan (mm) tinggi manfaat penampang (mm) diamater batang tulangan longitudinal (mm) modulus Young dari beton kuat tekan silinder beton (MPa = N/mm2) tegangan leleh baja (MPa = N/mm2) tinggi total penampang (mm) 0.7 untuk baja lunak 0.6 untuk : fc’ = 35.2 N/mm2 panjang sendi plastik (mm) gaya aksial yang diterapkan
P0 = kapasitas nominal gaya aksial = 0.85 f c ' Ag As f y As z
= jarak dari penampang kritis ke titik belok (point of contra-flexure)
Dari ke dua belas model di atas, model model Priestley & Park (1987), Sheikh & Khoury (1993), Bayrak & Sheikh (1998) serta Bae & Bayrak (2008) tidak bisa digunakan karena mereka hanya berlaku untuk kolom atau dinding. Sisanya disusun dengan melakukan analisis pada data eksperimental yang didapatkan dari spesimen balok. Panjang sendi plastik dihitung : 1390 0.35 450 183.90 mm 400 Sawyer (1964) : l p 0.25 400 0.075 1390 204.25 mm
Baker & Amarakone (1964) : l p 0.8 0.7 0.6
1390 213.90 mm 400 Mattock (1967) : l p 0.5 400 0.05 1390 269.50 mm
Corley (1966) : l p 0.5 400 0.2 400
Park, Priestley & Gill (1982) : l p 0.42 450 189 mm
150
Lampiran – B
Paulay & Priestley (1992) : l p 0.08 1390 0.022 16 400 252 mm Panagiotakos & Fardis (2001) : l p 0.18 1390 0.021 16 400 384.60 mm ( Menentukan ) 400 180.50 mm Berry, Lehman & Lowes (2008) : l p 0.05 1390 0.10 16 33.25 Menurut Pasal 21.7.5.1 ACI 318-11 panjang penjangkaran batang tulangan ulir dalam tarik dengan kait standar 90o bila ditanamkan ke dalam kolom adalah sebesar : ldh
f y db 5.40 f c '
8d b 150 mm
..............................
(B-15)
Sedangkan bila penjangkaran terletak di luar kolom, ldh tersebut haruslah lebih besar untuk memperhitungkan ketiadaan gaya aksial. Kehadiran gaya aksial tekan pada kolom diketahui berpengaruh positif pada kinerja jangkar, sehingga kebutuhan panjang penjangkaran menjadi lebih kecil bila dilakukan di dalam kolom. Panjang penyaluran batang tulangan ulir dalam bentuk kait standar 90o yang memikul beban tarik menurut Pasal 12.5 ACI 318-011 adalah : 0.24 e f y ldh db 8d b 150 mm . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . f c '
(B-16)
dimana : e = faktor pelapis penulangan ( = 1.00 untuk tulangan yang uncoated )
db
= faktor dipakainya agregat ringan ( = 1.00 untuk beton normal weight ) = diameter batang tulangan (mm)
Kebutuhan panjang penjangkaran didapatkan 205.54 mm bila dihitung dengan persamaan (B-15), dan diperoleh 266.38 mm bila digunakan persamaan (B-16). Sehingga panjang sambungan = 266.38 + 50 = 316.38 mm. Angka ini masih lebih kecil daripada estimasi panjang sendi plastik yang didapatkan dari perhitungan sebelumnya yang sebesar 384.60 mm. Karenanya panjang sambungan ditetapkan = 384.60 mm 400 mm.
B.3
Tulangan Transversal pada Daerah Panel SBK Tipe 1, 2, 3, 4 & 5
Untuk mencegah terjadinya kegagalan geser sebelum pembentukan sendi plastik pada balok, kekuatan geser horizontal harus dihitung menurut :
Vn 1.2 f c ' Aj Vu
..................................
(B-17)
Persamaan (B-17) berlaku untuk sambungan yang mendapatkan pengekangan oleh balokbalok pada ke tiga sisinya atau pada dua sisi yang saling berlawanan. dimana : = faktor reduksi kapasitas = 0.85 Lampiran – B
151
Vu = gaya geser horizontal ultimate pada joint Aj = luasan efektif joint = bj × hj, dihitung dengan memperhatikan Gambar B.5 di bawah. bb 2 x .................................... b j Min bb hk b k bb = lebar penampang balok bk = lebar penampang kolom hk = tinggi penampang kolom Effective joint area, Aj
Extended extendedby by6d 6db b 75 75mm mm
Joint depth = h in plane of reinforcement generating shear
b + 2x
xi
b
Direction of forces generating shear
h
bc2
xi
Ash1 x
Reinforcement generating shear
Consecutive crossties engaging the same longitudinal bar have their 90-degree hooks on opposite sides of column
Ash2
Effectivejoint joint Efective width = b + h b + 2x width = b + h
x
(B-18)
Note :
Effective area of joint for forces in each direction of framing is to be considered separately. Joint illustrated does not meet conditions of 21.7.3.2 and 21.7.4.1 necessary to be considered confined because the beams do not cover at least 3/4 of the width of each of the faces of the joint.
xi
xi
xi
bc1 The dimension xi from centerline to centerline of tie legs is not to eceed 350 mm. The term hx used in eqs. 21-2 is taken as the largest value of xi
Gambar B.5 : Penentuan dimensi SBK untuk perhitungan geser horizontal
Gaya geser horizontal Vu dihitung dengan uraian pada Gambar B.6 di bawah ini :
Gaya tarik pada tulangan balok kanan : Tkn AS ,kn 1.25 f y 804.25 1.25 400 402125 N Nu Mu
Vu
Tkr AS ,kr 1.25 f y Mpb, kr
M pb ,kr M pb ,kn htk Ckn Tkn Mpb, kn
Tkn AS ,kn 1.25 f y
Ckr Tkr M M pb ,kn Vu pb ,kr htk
htk = tinggi tingkat
Mu Nu
Gambar B.6 : Gaya geser horizontal pada SBK. 152
Lampiran – B
Gaya tekan pada beton balok kanan : Ckn Tkn 402125 N Pasangan gaya Tkn dan Mkn akan membentuk koppel momen Mpb, kn yang bekerja pada ujung balok kanan. Misalkan lengan momen : z = 35 cm, maka : Mpb, kn = 402.12 × 0.35 = 140.74 kN.m. Nilai momen ini juga bisa diambilkan dari nilai kapasitas ultimate nominal sebagai yang diperlihatkan pada Gambar B.3-(b) : Mu = 187.90 kN.m. Karena nilainya lebih besar, maka yang terakhir ini diambil sebagai nilai momen plastik balok kanan : Mpb, kn = 187.90 kN.m. Karena geometri struktur dan pembebanan yang simetri, maka momen balok kiri sama dengan balok kanan : Mpb, kr = Mpb, kn = 187.90 kN.m. Gaya geser horizontal pada sambungan : M pb ,kr M pb ,kn 187.90 187.90 Vu 161.98 kN htk 2.32
(SBK Tipe 1 )
dimana : htk = tinggi tingkat = 2 × 1.16 = 2.32 m Gaya geser horizontal pada sambungan : M pb , kr M pb , kn 158.50 252.00 Vu 176.94 kN htk 2.32 Gaya geser horizontal pada sambungan : M pb , kr M pb , kn 140.60 185.00 Vu 140.34 kN htk 2.32
(SBK Tipe 2 = 4 )
(SBK Tipe 3 = 5 )
Kekuatan geser horizontal sambungan dihitung dengan Persamaan (10) :
Vn 1.2 f c ' Aj 0.85 1.2 33.25 450 450 1191025.40 N = 1191.02 kN Ternyata :
. Vn ( = 1191.02 kN ) > Vu ( = 161.98 kN ) ( O.K. SBK Tipe 1 ) . Vn ( = 1191.02 kN ) > Vu ( = 176.94 kN ) ( O.K. SBK Tipe 2 = 4 ) . Vn ( = 1191.02 kN ) > Vu ( = 140.34 kN ) ( O.K. SBK Tipe 3 = 5 ) 1). Luas penampang sengkang ikat horizontal untuk pengekang sambungan harus dihitung menurut Pasal 21.6.4.4-(b) ACI 318-11 :
Ash 0.3sbck
f c ' Ag f ' 1 0.09sbck c f yt Ach f yt
.....................
(B-19)
dimana : Ash = luas penampang tulangan sengkang pengekang Ach = luasan teras penampang kolom, diukur dari muka terluar tulangan sengkang bck = lebar penampang teras kolom, diukur dari sisi-sisi terluar tulangan sengkang fyt = tegangan leleh tulangan sengkang s = spasi sengkang ikat, yang harus ditentukan dari : Lampiran – B
153
14 bk s Min 6db (B-20) 100 mm . . . . . . . . . . . . . . . . 350 hx s0 100 3 Dari persamaan (B-20), diambil spasi sengkang : s = 100 mm, kemudian masukkan ke dalam persamaan (B-19), diperoleh :
33.25 4502 33.25 1 0.09 100 386 2 420 386 420 2 2 = 329.20 mm 275.02 mm ( O.K. )
Ash 0.3 100 386
Pakai : 3 – D13 As ada = 398.20 mm2 > As perlu = 329.20 mm2
(O.K.)
atau : 4 – 10 As ada = 314.16 mm As perlu = 329.20 mm (O.K.) 2
2
atau : 3 – 12 As ada = 339.29 mm2 > As perlu = 329.20 mm2 (O.K.) Bila sengkang ikat dipasang 2 – 10 ( As ada = 157.08 mm2 ), maka luas penampang terpasang tulangan transversal pengekang hanya 47.70% dari yang dibutuhkan. Dengan kontrol yang dilakukan pada SBK Tipe 1, selanjutnya spesimen-spesimen SBK Tipe 2 s/d. 5 dibuat dengan memakai detail konstruksi yang sama, tetapi penjabaran penulangan pada daerah sambungannya yang berbeda. Selanjutnya, hasilnya disampaikan pada Gambar B.7 s/d. B.10.
50 70 70 70 70 70 50
14 D16 1600 mm
450
1600 mm
450 mm
POT. I - I
450 mm 1285 mm
4 D16
400
Sengkang : 10 - 100 mm
3 D16
( Batang2 - U penyambung )
4 D16
( Batang2 tul. balok pracetak )
50 65 70 65 50
400
4 D16 + 3 D16
300 50
Sengkang : 10 - 100 mm
Sengkang : 10 - 100 mm
400
( Batang2 tul. negatip )
50 50
450 mm
400
POT. II - II
450 mm
II
175
50
Sengkang : 10 - 100 mm
I
III
50
Sengkang : 10 -100 mm
175
1285 mm
300 mm
POT. III - III 4 D16
( Batang2 tul. negatip )
450 mm
50 50
2 D13
300
Sengkang : 10 -100 mm
50
4 D16
50 65 70 65 50
( Batang2 tul. balok pracetak )
300 mm
Gambar B.7 : Desain spesimen SBK Tipe 2 yang akan diteliti di dalam riset ini 154
Lampiran – B
POT. I - I
14 D16 1600 mm
I
II
50
175
Sengkang : 10 -100 mm
450 mm
1285 mm
POT. II - II 4 D16 50 50 450 mm
3 D16 ( Batang2 kait )
50
Sengkang : 10- 100 mm
4 D16 ( Batang2 tul. balok pracetak )
50 65 70 65 50
Sengkang : 10 - 100 mm
( Batang2 tul. negatip )
300
400 Sengkang : 10 - 100 mm
400
450 mm
III
175
50
450
Sengkang : 10 - 100 mm
1600 mm
450 mm
50 70 70 70 70 70 50
1285 mm 300 mm
POT. III - III 4 D16
450 mm
50 50
( Batang2 tul. negatip )
2 D12
300
( Batang2 tul. balok pracetak )
50
4 D16
50 65 70 65 50
( Batang2 tul. balok pracetak )
300 mm
Gambar B.8 : Desain spesimen SBK Tipe 3 yang akan diteliti di dalam riset ini
50 70 70 70 70 70 50
14 D16 1600 mm
450
1600 mm
450 mm
POT. I - I
3 D16
III
450 mm 1285 mm
POT. II - II 4 D16
400
3 D16
( Batang2 - U penyambung )
4 D16
( Batang2 tul. balok pracetak )
50 65 70 65 50
Sengkang : 10 - 100 mm
4 D16 + 3 D16
300 50
Sengkang : 10 - 100 mm
Sengkang : 10 - 100 mm
400
450 mm
450 mm
400
( Batang2 tul. negatip )
50 50
3 D16
400
175
50
Sengkang : 10 - 100 mm
I
II
50
Sengkang : 10 -100 mm
175
1285 mm
300 mm
POT. III - III 4 D16
( Batang2 tul. negatip )
450 mm
50 50
2 D13
300
Sengkang : 10 -100 mm
50
4 D16
50 65 70 65 50
( Batang2 tul. balok pracetak )
300 mm
Gambar B.9 : Desain spesimen SBK Tipe 4 yang akan diteliti di dalam riset ini
Lampiran – B
155
50 70 70 70 70 70 50
14 D16
I
III
4 D16 50 50 450 mm
400
300 3 D16 ( Batang2 kait )
4 D16 ( Batang2 tul. balok pracetak )
50 65 70 65 50
Sengkang : 10- 100 mm
( Batang2 tul. negatip )
50 Sengkang : 10 - 100 mm
Sengkang : 10 - 100 mm
Sengkang : 10 -100 mm
POT. II - II 3 D16
400
175
450 mm
1285 mm
450 mm
3 D16
II
175
50
1600 mm
50
450
Sengkang : 10 - 100 mm
1600 mm
450 mm
POT. I - I
1285 mm 300 mm
POT. III - III 4 D16
450 mm
50 50
( Batang2 tul. negatip )
2 D12
300
( Batang2 tul. balok pracetak )
50
4 D16
50 65 70 65 50
( Batang2 tul. balok pracetak )
300 mm
Gambar B.10 : Desain spesimen SBK Tipe 5 yang akan diteliti di dalam riset ini
156
Lampiran – B
LAMPIRAN – C HASIL UJI EKSPERIMENTAL – SBK TIPE 1, 2, 3, 4 & 5 C.1
SBK Tipe 1
C.1.1 Pemasangan Transducer N Tr-3
Tr-4
Tr-11
P
Tr-1
350
1285 mm
Tr-13
Tr-17 Tr-7
Tr-15 Tr-16
Tr-19 Tr-20 Tr-18
Tr-8 Tr-12
Tr-9
450 mm
Tr-10 Tr-14 1285 mm
Tr-5 240
350
240
Tr-6 1600 mm
450
1600 mm
Gambar C.1 : Skema pemasangan transducer pada spesimen SBK Tipe 1
C.1.2 Pembacaan Transducer Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 4
25
25
20
20
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 1
15 10 5 0 -5 -10 -15 -100
-50
10 5 0 -5 -10 -15 -20
-20 -150
15
0
Pembacaan,
50
100
0
150
20
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
25
20 10 5 0 -5 -10 -15 -1
Pembacaan,
8
10
15 10 5 0 -5 -10 -15
-20 -2
6
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 6
25 15
-3
4
Pembacaan,
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 5
-4
2
( mm )
-20 0
( mm )
1
2
-1
0
1
Pembacaan,
2
3
4
( mm )
Gambar C.2 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 1 Lampiran – C
157
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 8
25
25
20
20
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 7
15 10 5 0 -5 -10 -15
15 10 5 0 -5 -10 -15
-20 -60
-40
-20
-20 0
20
Pembacaan,
40
60
80
-3
-1
( mm )
20
Beban Lateral, P ( ton )
25
20 10 5 0 -5 -10 -15 -40
-20
20
40
60
0 -5 -10 -15 -3
-2
-1
1
20
20
15
5 0 -5 -10 -15 -2
Pembacaan,
2
4
6
0 -5 -10 -15 -10
-6
-4
-2
Pembacaan,
2
25
20
20
0 -5 -10 -15
Pembacaan,
2
( mm )
4
6
6
8
15 10 5 0 -5 -10 -15
-20 0
4
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 14
5
-2
0
25
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
-8
( mm )
10
-4
5
-20 0
15
-6
4
5
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 13
-8
3
10
-20 -4
2
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 12
25
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
0
Pembacaan,
10
-6
5
5
( mm )
15
-8
4
10
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 11
-10
3
-20 0
Pembacaan,
-12
2
( mm )
15
-20 -60
1
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 10
25 15
-80
0
Pembacaan,
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 9
Beban Lateral, P ( ton )
-2
8
-14
-12
-10
-8
-6
-4
Pembacaan,
-20 -2 0
2
4
6
8
( mm )
Gambar C.2 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 1 (Lanjutan)
158
Lampiran – C
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 16
25
25
20
20
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 15
15 10 5 0 -5 -10 -15 -6
-20 -2 0
-4
2
4
6
Pembacaan,
8
10
12
14
15 10 5 0 -5 -10 -15 -6
-4
20
20
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
25
5 0 -5 -10 -15
8
10
12
14
16
( mm )
15 10 5 0 -5 -10 -15
-20
-20 0
1
2
3
Pembacaan,
4
5
-1
0
2
3
4
5
Pembacaan,
6
7
8
9
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 20 25
20
20
Beban Lateral, P ( ton )
25 15 10 5 0 -5 -10 -15
15 10 5 0 -5 -10 -15
-20 -2
1
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 19
Beban Lateral, P ( ton )
6
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 18
25
10
-20 0
2
4
6
Pembacaan,
8
10
12
14
-2
2
4
25
20
20
10 5 0 -5 -10 -15
10
12
14
16
( mm )
15 10 5 0 -5 -10 -15
-20 -5
8
Gaya Restraint SBK Tipe 1 – RPR
25 15
-10
6
Pembacaan,
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
0
( mm )
Gaya Restraint SBK Tipe 1 – RPL
-15
4
Pembacaan,
15
-4
2
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 1 – Tr. 17
-1
-20 -2 0
-20 0
5
Pembacaan Gaya Restraint ( ton )
10
15
-15
-10
-5
0
5
10
15
Pembacaan Gaya Restraint ( ton )
Gambar C.2 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 1 (Lanjutan)
Lampiran – C
159
C.1.3 Pemasangan Strain-gauge SG-15 SG-8 SG-3
SG-12
SG-16 ; SG-17 SG-13 ; SG-14
SG-25 SG-26
SG-19 SG-18 SG-22
SG-27
SG-21
SG-28
SG-20
SG-29
SG-31
SG-23 SG-24
SG-30 SG-6 ; SG-7
SG-9 ; SG-10
SG-1 ; SG-2
SG-4 ; SG-5
SG-11
SG-42 ; SG-43 SG-40 ; SG-41 SG-38 ; SG-39 SG-36 ; SG-37 SG-34 ; SG-35 SG-32 ; SG-33
Banyaknya Strain-Gauge dipasang :
Tulangan utama Balok Tulangan utama Kolom Tulangan sengkang Balok Tulangan sengkang Kolom
: : : :
BM CM BH CH
Total
= 10 = 15 = 6 = 12
= 43
Gambar C.3 : Skema pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1
C.1.4 Pembacaan Strain-gauge Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 2 ) Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 1 2,000 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 0
200
400
600
800
1000
1200
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 -400 0
1400
200
)
8,000 6,000 4,000 2,000 0 -2,000 200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 4
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 3 10,000
0
400
Nomor Titik Pembebanan
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.4 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1 160
Lampiran – C
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 8
2,400
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 6 2,800
2,000 1,600 1,200 800 400 0 -400 0
200
400
600
800
1000
1200
3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
)
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 200
400
600
800
1000
1200
1400
1,000 500 0 -500 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
3,500
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 12 )
)
1200
1,500
1400
4,000 3,500
Pembacaan Strain-gauge (
3,000
Pembacaan Strain-gauge (
1000
2,000
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 11
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
1,000 500 0 -500 -1,000 200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 14 )
1,500
0
400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 13 )
800
2,500
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 10
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 9 3,000
0
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
2,000 1,500 1,000 500 0 -500 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.4 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1 (Lanjutan) Lampiran – C
161
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 16 3,000 2,500
1,200
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 15 1,400
1,000 800 600 400 200 0 0
200
400
600
800
1000
1200
2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000 -1,500
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 -400 200
400
600
800
1000
1200
1,000 500 0 -500 -1,000 0
200
)
1,000 0 -1,000 -2,000 1000
800
1000
1200
1400
1200
700 600 500 400 300 200 100 0
1400
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 21 120
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 22 )
)
600
800
Nomor Titik Pembebanan
800 700
Pembacaan Strain-gauge (
100
Pembacaan Strain-gauge (
400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 20
Pembacaan Strain-gauge (
) Pembacaan Strain-gauge (
2,000
800
1400
Nomor Titik Pembebanan
3,000
600
1200
1,500
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 19
400
1000
2,000
1400
4,000
200
800
2,500
Nomor Titik Pembebanan
0
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 18 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 17 1,600
0
400
Nomor Titik Pembebanan
80 60 40 20 0 -20 -40 -60 0
200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
600 500 400 300 200 100 0 -100 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.4 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1 (Lanjutan) 162
Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 24 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 23 2,800
3,000
Pembacaan Strain-gauge (
2,400
Pembacaan Strain-gauge (
3,500
2,000 1,600 1,200 800 400 0 -400 -800 0
200
400
600
800
1000
1200
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000 -1,500
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000 200
400
600
800
1000
1200
1200
1400
1,500 1,000 500 0 -500 -1,000
1400
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 28 )
600
900 800
500
Pembacaan Strain-gauge (
) Pembacaan Strain-gauge (
1000
2,000
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 27
400 300 200 100 0 -100 0
200
400
600
800
1000
1200
700 600 500 400 300 200 100 0 -100
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 29 450
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 30 )
)
800
2,500
Nomor Titik Pembebanan
400
3,500 3,000
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 26 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 25 4,000
0
400
Nomor Titik Pembebanan
350 300 250 200 150 100 50 0 -50 0
200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.4 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1 (Lanjutan) Lampiran – C
163
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 32 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 31 2,800
800
Pembacaan Strain-gauge (
2,400
Pembacaan Strain-gauge (
900
2,000 1,600 1,200 800 400 0 -400 -800 0
200
400
600
800
1000
1200
700 600 500 400 300 200 100 0 -100
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
1,800 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 0
1200
1400
200
400
600
800
1000
1200
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200
1400
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 35 1,600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 36 )
)
1000
1,600
Nomor Titik Pembebanan
1,600 1,400
Pembacaan Strain-gauge (
1,400
Pembacaan Strain-gauge (
800
1,400
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
1,600
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 0
200
400
600
800
1000
1200
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
2,000 1,500 1,000 500 0 -500 200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 38 )
2,500
0
400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 37 )
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 34 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 33
Pembacaan Strain-gauge (
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.4 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1 (Lanjutan) 164
Lampiran – C
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 40
800
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 39 1,000
600 400 200 0 -200 -400 0
200
400
600
800
1000
1200
3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 42 )
3,500
1,800 1,600
3,000
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 41
Pembacaan Strain-gauge (
400
Nomor Titik Pembebanan
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 1 - SG. 43 2,200 2,000 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.4 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 1 (Lanjutan).
Lampiran – C
165
C.2
SBK Tipe 2
C.2.1 Pemasangan Transducer N Tr-3
Tr-11
P
Tr-1
Tr-4
300
1285 mm
Tr-13
Tr-17 Tr-7
Tr-15 Tr-16
Tr-19 Tr-20 Tr-18
Tr-8 Tr-12
Tr-9
450 mm
Tr-10 Tr-14 1285 mm
Tr-5 210
350
210
Tr-6 1600 mm
450
1600 mm
Gambar C.5 : Skema pemasangan transducer pada spesimen SBK Tipe 2
C.2.2 Pembacaan Transducer Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 4
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 1
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15 -20
-20 -150
-100
-50
0
50
Pembacaan,
100
150
-2
20
15
15
5 0 -5 -10 -15 -20 -0.50
4
0.00
0.50
Pembacaan,
1.00
( mm )
6
1.50
8
10
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 6
10
-1.00
2
20
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 5
-1.50
0
Pembacaan,
( mm )
2.00
10 5 0 -5 -10 -15
-20 -0.40 -0.30 -0.20 -0.10 0.00
0.10
Pembacaan,
0.20
0.30
0.40
0.50
( mm )
Gambar C.6 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 2
166
Lampiran – C
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 8
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 7
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15
-20 -60
-40
-20
0
20
Pembacaan,
40
60
80
-4
-2
-20 -1 0
( mm )
15
Beban Lateral, P ( ton )
20
15
5 0 -5 -10 -15 -40
-20
0
Pembacaan,
20
40
60
-15 -4
20
15
15
-10 -15 2
3
4
5
6
5
6
7
0
-10 -15 -6
-4
-2
0
2
20
15
15
0 -5 -10 -15
Pembacaan,
2
( mm )
6
4
6
8
10
12
14
( mm )
10 5 0 -5 -10 -15
-20 0
4
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 14
20
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
4
-5
Pembacaan,
5
-2
3
( mm )
5
( mm )
10
-4
2
10
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 13
-6
1
-20 1
Pembacaan,
-8
-20 -1 0
-2
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
-3
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 12
-5
-2
7
-10
20
0
-3
6
0
Pembacaan,
5
-4
5
-5
( mm )
10
-5
4
5
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 11
-20 -1 0
3
( mm )
10
-20 -60
2
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 10
20
10
-80
1
Pembacaan,
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 9
Beban Lateral, P ( ton )
-3
8
-8
-6
-4
-20 -2 0
2
Pembacaan,
4
6
8
10
12
14
( mm )
Gambar C.6 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan)
Lampiran – C
167
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 16
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 15
10 5 0 -5 -10 -15 -5
-4
-3
-2
-20 -1 0
1
2
Pembacaan,
3
4
5
6
7
10 5 0 -5 -10 -15
-14 -12 -10 -8
( mm )
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
20
5 0 -5 -10 -15
4
6
8
10 12 14
( mm )
10 5 0 -5 -10 -15
-20
-20 0
3
6
9
Pembacaan,
12
15
-2
2
4
20
15
15
5 0 -5 -10 -15 -4
-2
0 -5 -10 -15
2
4
6
8
-8
-6
-4
-2
( mm )
0
2
Pembacaan,
4
6
8
10
( mm )
Gaya Restraint SBK Tipe 2 – RPR
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
14
5
Gaya Restraint SBK Tipe 2 – RPL
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15
-20 -5
12
-20 0
Pembacaan,
-10
10
10
-20 -6
8
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 20
20
10
-8
6
Pembacaan,
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
0
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 19
-15
2
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 18
20
10
-10
-20 -2 0
-4
Pembacaan,
Pembacaan Transducer SBK Tipe 2 – Tr. 17
-3
-6
-20 0
5
10
Pembacaan Gaya Restraint ( ton )
15
20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
Pembacaan Gaya Restraint ( ton )
Gambar C.6 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan)
168
Lampiran – C
C.2.3 Pemasangan Strain-gauge
Gambar C.7 : Skema pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2
C.2.4 Pembacaan Strain-gauge Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 2 )
3,000 2,500
1,500
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 1 2,000
1,000 500 0 -500 -1,000 -1,500 0
200
400
600
800
1000
1200
2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000 -1,500 -2,000 0
1400
200
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 4 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 3 1,800
0
400
Nomor Titik Pembebanan
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.8 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2 Lampiran – C
169
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 6 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 5 3,600
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
3,200 2,800 2,400 2,000 1,600 1,200 800 400 0 -400 0
200
400
600
800
1000
4,000 3,000 2,000 1,000 0 -1,000 -2,000 -3,000
1200
0
200
Nomor Titik Pembebanan
)
5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 200
400
600
800
1000
1200
1200
1400
1,500 1,000 500 0 -500
1400
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 10 )
6,000
4,000 3,500
5,000
Pembacaan Strain-gauge (
) Pembacaan Strain-gauge (
1000
2,000
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 9
4,000 3,000 2,000 1,000 0 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 -1,000 200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 12 )
6,000
0
400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 11 )
800
2,500
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 8
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 7 6,000
0
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.8 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan) 170
Lampiran – C
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 14
2,500
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 13 3,000
2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
)
2,000 1,500 1,000 500 0 -500 200
400
600
800
1000
1200
1,000 500 0 -500 -1,000 -1,500 0
200
)
500 0 -500 1000
1200
1,500 1,000 500 0 -500 200
1,000 500 0 -500
Nomor Titik Pembebanan
400
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 20 )
1,500
1000
1400
2,000
0
Pembacaan Strain-gauge (
) Pembacaan Strain-gauge (
2,000
800
1200
Nomor Titik Pembebanan
2,500
600
1000
2,500
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 19
400
800
3,000
1400
3,000
200
600
3,500
Nomor Titik Pembebanan
0
400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 18
Pembacaan Strain-gauge (
) Pembacaan Strain-gauge (
1,000
800
1400
Nomor Titik Pembebanan
1,500
600
1200
1,500
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 17
400
1000
2,000
1400
2,000
200
800
2,500
Nomor Titik Pembebanan
0
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 16
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 15 2,500
0
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 -1,000 -2,000 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.8 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan) Lampiran – C
171
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 24
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 23 200 150 100 50 0 -50 0
200
400
600
800
1000
1200
2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
)
1,000 800 600 400 200 0 -200 -400 200
400
600
800
1000
1200
200 0 -200 -400 200
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge (
600 400 200 0 -200 -400 -600 1200
1,000 800 600 400 200 0 -200 -400
1400
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 29
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 30 )
1,200
1,600 1,400
1,000
Pembacaan Strain-gauge (
)
800
1,200
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 28 )
) Pembacaan Strain-gauge (
800
1000
400
Nomor Titik Pembebanan
1,000
800
1400
400
0
1,200
600
1200
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 27
400
1000
800
1400
1,400
200
800
1,000
Nomor Titik Pembebanan
0
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 26
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 25 1,200
0
400
Nomor Titik Pembebanan
800 600 400 200 0 -200 0
200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.8 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan) 172
Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 32 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 31 3,600
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
3,200 2,800 2,400 2,000 1,600 1,200 800 400 0 -400 0
200
400
600
800
1000
1200
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
)
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 200
400
600
800
1000
1200
1400
1,500 1,000 500 0 -500 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
1,600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 36 )
)
1200
2,000
1400
1,600 1,400
Pembacaan Strain-gauge (
1,400
Pembacaan Strain-gauge (
1000
2,500
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 35
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 0
200
400
600
800
1000
1200
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
80 60 40 20 0 -20 -40 -60 200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 38 )
100
0
400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 37 )
800
3,000
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 34
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 33 3,000
0
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
300 250 200 150 100 50 0 -50 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.8 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan) Lampiran – C
173
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 40
400
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 39 500
300 200 100 0 -100 0
200
400
600
800
1000
1200
1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 -400
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
)
1,500 1,000 500 0 -500 200
400
600
800
1000
1200
600 400 200 0 -200 -400 0
200
)
600 400 200 0 -200 -400 1000
1200
1400
0
)
800 600 400 200 0 600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
1000
1200
1400
200
400
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 46
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 45
400
800
Nomor Titik Pembebanan
1,000
200
600
1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 -400 -600 -800
Nomor Titik Pembebanan
0
400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 44
Pembacaan Strain-gauge (
) Pembacaan Strain-gauge (
800
800
1400
Nomor Titik Pembebanan
1,000
600
1200
800
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 43
400
1000
1,000
1400
1,200
200
800
1,200
Nomor Titik Pembebanan
0
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 42
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 41 2,000
0
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.8 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan).
174
Lampiran – C
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 48
3,000
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 47 3,500
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 0
200
400
600
800
1000
1200
5,000 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
)
5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 -1,000 200
400
600
800
1000
1000
1200
1400
1200
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500
1400
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 54
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 55 )
2,200 2,000 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0
4,000 3,500
Pembacaan Strain-gauge (
)
800
3,500
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 51
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 50 6,000
0
400
Nomor Titik Pembebanan
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 2 - SG. 56 4,000
Pembacaan Strain-gauge (
3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.8 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 2 (Lanjutan).
Lampiran – C
175
C.3
SBK Tipe 3
C.3.1 Pemasangan Transducer N Tr-3
Tr-11
P
Tr-1
Tr-4
300
1285 mm
Tr-13
Tr-17 Tr-7
Tr-15 Tr-16
Tr-19 Tr-20 Tr-18
Tr-8 Tr-12
Tr-9
450 mm
Tr-10 Tr-14 1285 mm
Tr-5 210
210
350
Tr-6 1600 mm
450
1600 mm
Gambar C.9 : Skema pemasangan transducer pada spesimen SBK Tipe 3
C.3.2 Pembacaan Transducer Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 4
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 1
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15 -20
-20 -150
-100
-50
0
50
Pembacaan,
100
-1
150
15
Beban Lateral, P ( ton )
20
15
5 0 -5 -10 -15 -1.00
Pembacaan,
3
4
5
6
7
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 6
10
-2.00
2
20
10 5 0 -5 -10 -15
-20 -3.00
1
Pembacaan,
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 5
Beban Lateral, P ( ton )
0
( mm )
-20 0.00
( mm )
1.00
2.00
-0.20
-0.10
0.00
0.10
Pembacaan,
0.20
0.30
0.40
( mm )
Gambar C.10 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 3
176
Lampiran – C
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 8
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 7
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15
-20 -60
-40
-20
0
20
Pembacaan,
40
60
80
-4
-20 -1 0
-2
( mm )
15
Beban Lateral, P ( ton )
20
15
5 0 -5 -10 -15 -40
-20
20
40
60
0
-10 -15 -4
-1
0
1
20
15
15
-5 -10 -15
4
5
10 5 0 -5 -10 -15
2
3
4
5
6
7
8
-8
-6
-4
( mm )
-2
0
2
Pembacaan,
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 13
4
6
8
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 14 20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
20
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15
-20 -2
3
-20 1
Pembacaan,
-4
2
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 12
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
-2
20
0
Beban Lateral, P ( ton )
-3
Pembacaan,
5
-6
6
-5
( mm )
10
-8
5
5
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 11
-20 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0
4
-20 0
Pembacaan,
3
10
-20 -60
2
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 10
20
10
-80
1
Pembacaan,
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 9
Beban Lateral, P ( ton )
-3
-20 0
Pembacaan,
2
( mm )
4
6
8
-12
-10
-8
-6
-4
Pembacaan,
-2
0
2
4
6
( mm )
Gambar C.10 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan) Lampiran – C
177
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 16
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 15
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15
-20 -14
-12
-10
-8
-6
-4
Pembacaan,
-2
-20 0
2
4
-2
2
4
15
Beban Lateral, P ( ton )
20
15 10 5 0 -5 -10 -15 2
4
6
8
Pembacaan,
10
12
14
0 -5 -10 -15
-10
-6
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
20
15
-5 -10 -15 -4
Pembacaan,
-2
2
-2
0
4
6
15
-5 -10 -15
Pembacaan Gaya Restraint ( ton )
8
8
10
( mm )
Gaya Restraint SBK Tipe 3 – RPR
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
2
20
6
14
-15
15
4
12
-10
20
2
10
0
Pembacaan,
0
-4
8
-5
( mm )
5
-6
6
( mm )
-20 0
10
-8
4
5
Gaya Restraint SBK Tipe 3 – RPL
-20 -2 0
2
10
-20 -6
-20 -2 0
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 20
20
0
-10
-4
Pembacaan,
5
-8
-8
( mm )
10
-10
12
5
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 19
-12
10
10
-20 0
8
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 18
20
-2
6
Pembacaan,
Pembacaan Transducer SBK Tipe 3 – Tr. 17
Beban Lateral, P ( ton )
0
( mm )
10
12
-10
10 5 0 -5 -10 -15 -8
-6
-4
-20 -2 0
2
4
6
8
10
12
Pembacaan Gaya Restraint ( ton )
Gambar C.10 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan)
178
Lampiran – C
C.3.3 Pemasangan Strain-gauge SG-12
SG-15 SG-8 SG-3
SG-13 ; SG-14 SG-6 ; SG-7 SG-1 ; SG-2
SG-16 ; SG-17 SG-9 ; SG-10 SG-4 ; SG-5
SG-21 ; SG-22 ; SG-23 SG-32 ; SG-33 ; SG-34 SG-18 ; SG-19 ; SG-20
SG-29 ; SG-30 ; SG-31
SG-24 ; SG-25 ; SG-26 SG-37 ; SG-38 ; SG-39 SG-27 ; SG-28
SG-35 ; SG-36
SG-11 SG-50 ; SG-51 SG-48 ; SG-49 SG-46 ; SG-47 SG-44 ; SG-45 SG-42 ; SG-43 SG-40 ; SG-41
Banyaknya Strain-Gauge dipasang : Tulangan utama Balok Tulangan utama Kait Balok Tulangan utama Kolom Tulangan sengkang Balok Tulangan sengkang Kolom
: : : : :
BM HM CM BH CH
Total
= 13 = 5 = 15 = 6 = 12
= 51
Gambar C.11 : Skema pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3
C.3.4 Pembacaan Strain-gauge Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 2 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 1 1,800
1,000
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 0
200
400
600
800
1000
1200
750 500 250 0 -250 0
1400
200
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 4 )
1,400
1,600 1,400
1,200
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 3
Pembacaan Strain-gauge (
400
Nomor Titik Pembebanan
Nomor Titik Pembebanan
1,000 800 600 400 200 0 -200 0
200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.12 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3 Lampiran – C
179
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 6 2,100 1,800
1,500
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 5 1,750
1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
200
400
600
800
1000
1200
1,500 1,200 900 600 300 0 -300 -600
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
2,000
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
1200
1400
200
400
600
800
1000
1200
2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000 -1,500 -2,000
1400
0
200
Pembacaan Strain-gauge (
1,000 750 500 250 0 -250 -500 -750 -1,000 200
400
600
800
1000
1200
2,000 1,500 1,000 500 0 -500 0
200
)
1,500 1,000 500 0 -500 800
1000
400
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 12
Pembacaan Strain-gauge (
2,000
600
1400
Nomor Titik Pembebanan
2,500
400
1200
2,500
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 11
Nomor Titik Pembebanan
1000
3,000
1400
3,000
200
800
3,500
Nomor Titik Pembebanan
0
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 10 )
1,250
0
400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 9 )
1000
3,000
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
800
2,500
1,750
)
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 8 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 7
Pembacaan Strain-gauge (
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.12 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan) 180
Lampiran – C
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 14 1,200 1,000
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 13 1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 -400 -600 -800 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
800 600 400 200 0 -200 -400 -600 -800
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
)
600 500 400 300 200 100 0 -100 200
400
600
800
1000
1200
0 -500 -1,000 0
200
)
600 300 0 -300 1000
1200
0 -500 200
1,000 500 0 -500 -1,000 1000
400
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 20 )
1,500
800
1400
500
0
Pembacaan Strain-gauge (
) Pembacaan Strain-gauge (
2,000
600
1200
Nomor Titik Pembebanan
2,500
400
1000
1,000
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 19
Nomor Titik Pembebanan
800
1,500
1400
3,000
200
600
2,000
Nomor Titik Pembebanan
0
400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 18
Pembacaan Strain-gauge (
) Pembacaan Strain-gauge (
900
800
1400
Nomor Titik Pembebanan
1,200
600
1200
500
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 17
400
1000
1,000
1400
1,500
200
800
1,500
Nomor Titik Pembebanan
0
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 16
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 15 700
0
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.12 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan) Lampiran – C
181
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 22 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 21 160
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
140 120 100 80 60 40 20 0 -20 0
200
400
600
800
1000
1200
500 400 300 200 100 0 -100
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
1,600
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 0
1200
1400
200
400
600
800
1000
1200
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 -400
1400
0
200
Pembacaan Strain-gauge (
1,500 1,000 500 0 -500 200
400
600
800
1000
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 26 )
2,000
0
400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 25 )
1000
1,600
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
800
1,400
1,400
1200
1,000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 -100
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 27
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 28 )
3,000
4,000 3,500
2,500
Pembacaan Strain-gauge (
)
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 24 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 23
Pembacaan Strain-gauge (
400
Nomor Titik Pembebanan
2,000 1,500 1,000 500 0 -500 0
200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.12 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan) 182
Lampiran – C
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 30
6,000
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 29 7,000
5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
)
1,500 1,000 500 0 -500 200
400
600
800
1000
1200
100 50 0 -50 0
200
)
200 150 100 50 0 -50 1000
1200
200 0 -200 200
2,000 1,000 0 -1,000 -2,000
Nomor Titik Pembebanan
400
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 36 )
3,000
1000
1400
400
0
Pembacaan Strain-gauge (
) Pembacaan Strain-gauge (
4,000
800
1200
Nomor Titik Pembebanan
5,000
600
1000
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 35
400
800
800
1400
6,000
200
600
1,000
Nomor Titik Pembebanan
0
400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 34
Pembacaan Strain-gauge (
) Pembacaan Strain-gauge (
250
800
1400
Nomor Titik Pembebanan
300
600
1200
150
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 33
400
1000
200
1400
350
200
800
250
Nomor Titik Pembebanan
0
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 32
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 31 2,000
0
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.12 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan) Lampiran – C
183
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 38
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 37 1,000 750 500 250 0 -250 0
200
400
600
800
1000
1200
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
900
1200
1400
600 300 0 -300 -600 200
400
600
800
1000
1200
800 700 600 500 400 300 200 100 0
1400
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 41
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 42 )
1,600
900 800
1,400
Pembacaan Strain-gauge (
)
1000
1,000
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
800
900
1,200
0
1,200 1,000 800 600 400 200 0 0
200
400
600
800
1000
1200
700 600 500 400 300 200 100 0 -100
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
2,000 1,500 1,000 500 0 -500 200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 44 )
2,500
0
400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 43 )
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 40 )
1,500
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 39
Pembacaan Strain-gauge (
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.12 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan).
184
Lampiran – C
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 47
3,000
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 46 3,500
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 0
200
400
600
800
1000
1200
2,500 2,250 2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 200
400
600
800
1000
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 50 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 48 2,000
0
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 3 - SG. 51 4,000
Pembacaan Strain-gauge (
3,000 2,000 1,000 0 -1,000 -2,000 -3,000 -4,000 -5,000 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.12 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 3 (Lanjutan).
Lampiran – C
185
C.4
SBK Tipe 4
C.4.1 Pemasangan Transducer N Tr-3
Tr-11
P
Tr-1
Tr-4
310
1285 mm
Tr-13
Tr-17 Tr-7
Tr-15 Tr-16
Tr-19 Tr-20 Tr-18
Tr-8 Tr-12
Tr-9
450 mm
Tr-10 Tr-14 1285 mm
Tr-5 210
210
340
Tr-6 1600 mm
450
1600 mm
Gambar C.13 : Skema pemasangan transducer pada spesimen SBK Tipe 4
C.4.2 Pembacaan Transducer Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 4
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 1
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15 -20
-20 -150
-100
-50
0
Pembacaan,
50
100
150
-1
0
1
2
3
Pembacaan,
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 5
4
5 0 -5 -10 -15
-20 -2.50 -2.00 -1.50 -1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50
Pembacaan,
( mm )
7
18 15 12 9 6 3 0 -3 -6 -9 -12 -15 -18
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
10
6
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 6
20 15
5
( mm )
-1.25
-1.00
-0.75
-0.50
-0.25
Pembacaan,
( mm )
0.00
0.25
Gambar C.14 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 4
186
Lampiran – C
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 8
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 7
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15
-20 -60
-40
-20
0
20
Pembacaan,
40
60
80
-4
-2
-20 -1 0
( mm )
15
Beban Lateral, P ( ton )
20
15
5 0 -5 -10 -15 -40
-20
0
Pembacaan,
20
40
60
-10 -15 -6
-4
-3
20
15
15
-5 -10 -15
5
0 -5 -10 -15
2
4
6
8
10
-8
-6
-4
( mm )
-2
0
2
Pembacaan,
4
6
8
10
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 14
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
4
5
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 13
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15
-20 -2
3
-20 0
Pembacaan,
-4
2
10
-20
-6
1
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 12
0
-8
-20 -1 0
-2
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
-5
20
-2
6
0
Pembacaan,
5
-4
5
-5
( mm )
10
-6
4
5
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 11
-8
3
10
-20 -60
2
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 10
20
10
-80
1
Pembacaan,
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 9
Beban Lateral, P ( ton )
-3
-20 0
Pembacaan,
2
4
( mm )
6
8
10
-8
-6
-4
-2
0
Pembacaan,
2
4
6
8
10
( mm )
Gambar C.14 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan) Lampiran – C
187
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 16
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 15
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15
-20 -14
-12
-10
-8
-6
Pembacaan,
-4
-2
-20 0
2
-2
2
4
15
Beban Lateral, P ( ton )
20
15
5 0 -5 -10 -15 2
4
6
Pembacaan,
14
5 0 -5 -10 -15
8
10
12
14
-8
-6
-4
-2
( mm )
0
2
Pembacaan,
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 19
4
6
8
10
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 20 20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
20
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15
-20
-20 0
2
4
6
Pembacaan,
8
10
12
14
-10
-6
-2
0
2
4
6
8
10
( mm )
Gaya Restraint SBK Tipe 4 – RPR
20
20
15
15
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15
-20 -5
-4
Pembacaan,
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
-8
( mm )
Gaya Restraint SBK Tipe 4 – RPL
-10
12
-20 0
-2
10
10
-20 -2
8
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 18
20
10
Beban Lateral, P ( ton )
6
Pembacaan,
Pembacaan Transducer SBK Tipe 4 – Tr. 17
Beban Lateral, P ( ton )
0
( mm )
-20 0
5
10
Pembacaan Gaya Restraint ( ton )
15
20
-10
-5
0
5
10
15
20
Pembacaan Gaya Restraint ( ton )
Gambar C.14 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan)
188
Lampiran – C
C.4.3 Pemasangan Strain-gauge SG-11 SG-31 SG-12
SG-15 SG-8 SG-3
SG-13 ; SG-14 SG-6 ; SG-7 SG-1 ; SG-2
SG-16 ; SG-17 SG-9 ; SG-10 SG-4 ; SG-5
SG-21 ; SG-22 ; SG-23 SG-37 ; SG-38 ; SG-39 SG-18 ; SG-19 ; SG-20
SG-32 ; SG-33 ; SG-34 SG-35 ; SG-36
SG-29 ; SG-30
SG-44
SG-24 SG-25
SG-43 SG-42
SG-26 SG-27 ; SG-28
SG-40 ; SG-41
Banyaknya Strain-Gauge dipasang : Tulangan utama Balok Tulangan utama Kait Balok Tulangan utama Kolom Tulangan sengkang Balok Tulangan sengkang Kolom
: : : : :
BM HM CM BH CH
Total
SG-55 ; SG-56 SG-53 ; SG-54 SG-51 ; SG-52 SG-49 ; SG-50 SG-47 ; SG-48 SG-45 ; SG-46
= 15 = 8 = 15 = 6 = 12
= 56
Gambar C.15 : Skema pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4
C.3.4 Pembacaan Strain-gauge Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 2 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 1 2,250
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
200
400
600
800
1000
1200
1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
1400
200
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 4 )
1,600
1,600 1,400
1,400
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 3
Pembacaan Strain-gauge (
400
Nomor Titik Pembebanan
Nomor Titik Pembebanan
1,200 1,000 800 600 400 200 0 0
200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.16 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4 Lampiran – C
189
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 6 4,000 3,500
1,500
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 5 1,750
1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
200
400
600
800
1000
1200
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
) 200
400
600
800
1000
1200
1200
1400
1,000 750 500 250 0 -250 -500
1400
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 10 )
5,500 5,000 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500
8,000 7,000
Pembacaan Strain-gauge (
) Pembacaan Strain-gauge (
1000
1,250
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 9
0
200
400
600
800
1000
1200
6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 -1,000
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 11
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 12 )
5,000
2,250 2,000
4,000
Pembacaan Strain-gauge (
)
800
1,500
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 8
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 7 3,000 2,750 2,500 2,250 2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
400
Nomor Titik Pembebanan
3,000 2,000 1,000 0 -1,000 0
200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.16 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan) 190
Lampiran – C
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 14 4,000 3,500
2,000
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 13 2,500
1,500 1,000 500 0 -500 0
200
400
600
800
1000
1200
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 200
400
600
800
1000
1200
500 0 -500 -1,000 200
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge (
1,200 900 600 300 0 -300 1200
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500
1400
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 20
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 21 )
3,500
400 300
3,000
Pembacaan Strain-gauge (
)
800
3,500
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 19 )
) Pembacaan Strain-gauge (
1,500
1000
400
Nomor Titik Pembebanan
1,800
800
1400
1,000
0
2,100
600
1200
1,500
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 18
400
1000
2,000
1400
2,400
200
800
2,500
Nomor Titik Pembebanan
0
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 17 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 15 2,000
0
400
Nomor Titik Pembebanan
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 0
200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
200 100 0 -100 -200 -300 -400 -500 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.16 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan) Lampiran – C
191
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 23 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 22 900
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
800 700 600 500 400 300 200 100 0 -100 0
200
400
600
800
1000
1200
200 150 100 50 0 -50 -100
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
)
750 600 450 300 150 0 -150 -300 200
400
600
800
1000
1200
1400
450 300 150 0 -150 -300 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
1,200
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 27 )
)
1200
600
1400
1,050
3,500 3,000
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
1000
750
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 26
900 750 600 450 300 150 0 -150 -300 0
200
400
600
800
1000
1200
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 28 3,500
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 29 )
)
800
900
Nomor Titik Pembebanan
2,250 2,000
Pembacaan Strain-gauge (
3,000
Pembacaan Strain-gauge (
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 25
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 24 900
0
400
Nomor Titik Pembebanan
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000 0
200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.16 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan) 192
Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 31 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 30 2,250
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
200
400
600
800
1000
1200
1,250 1,000 750 500 250 0 -250
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
)
4,000 3,000 2,000 1,000 0 -1,000 200
400
600
800
1000
1200
1200
1400
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500
1400
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
2,250
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 35 )
)
1000
3,000
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 34 2,000
1,600 1,400
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
800
3,500
Nomor Titik Pembebanan
1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
200
400
600
800
1000
1200
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 36 2,250
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 37 )
)
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 33
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 32 5,000
0
400
Nomor Titik Pembebanan
200
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
150 100 50 0 -50 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.16 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan) Lampiran – C
193
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 39
600
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 38 700
500 400 300 200 100 0 -100 0
200
400
600
800
1000
1200
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 -20 -40
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
) 200
400
600
800
1000
1200
1,500 1,000 500 0 -500 0
200
)
750 500 250 0 -250 -500 1000
1200
200 0 -200 -400 200
400 200 0 -200 1000
400
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 45 )
600
800
1400
400
0
Pembacaan Strain-gauge (
) Pembacaan Strain-gauge (
800
600
1200
Nomor Titik Pembebanan
1,000
400
1000
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 44
Nomor Titik Pembebanan
800
800
1400
1,200
200
600
1,000
Nomor Titik Pembebanan
0
400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 43
Pembacaan Strain-gauge (
) Pembacaan Strain-gauge (
1,000
800
1400
Nomor Titik Pembebanan
1,250
600
1200
2,000
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 42
400
1000
2,500
1400
1,500
200
800
3,000
Nomor Titik Pembebanan
0
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 41
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 40 2,700 2,400 2,100 1,800 1,500 1,200 900 600 300 0 -300 -600 0
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
600 500 400 300 200 100 0 -100 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.16 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan).
194
Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 47 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 46 2,250
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
200
400
600
800
1000
1200
1,100 1,000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 -100
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
200
400
600
800
1000
1200
1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250
1400
0
200
Pembacaan Strain-gauge ( 200
400
600
800
1000
1200
1400
0
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 52 ) 600
800
1000
1200
1400
200
400
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 55
Pembacaan Strain-gauge ( 400
Nomor Titik Pembebanan
1000
Nomor Titik Pembebanan
2,750 2,500 2,250 2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 200
800
3,000 2,750 2,500 2,250 2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250
Nomor Titik Pembebanan
0
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 51 )
2,750 2,500 2,250 2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 50 )
1000
2,000
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
800
1,750
0
)
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 49 )
3,250 3,000 2,750 2,500 2,250 2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 4 - SG. 48
Pembacaan Strain-gauge (
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
1,200 1,100 1,000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 -100 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.16 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 4 (Lanjutan).
Lampiran – C
195
C.5
SBK Tipe 5
C.5.1 Pemasangan Transducer N Tr-3
Tr-4
Tr-11
P
Tr-1
300
1285 mm
Tr-13
Tr-17 Tr-7
Tr-15 Tr-16
Tr-19 Tr-20 Tr-18
Tr-8 Tr-12
Tr-9
450 mm
Tr-10 Tr-14 1285 mm
Tr-5 210
210
350
Tr-6 1600 mm
450
1600 mm
Gambar C.17 : Skema pemasangan transducer pada spesimen SBK Tipe 5
C.5.2 Pembacaan Transducer Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 4
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 1
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15 -20
-20 -150
-100
-50
0
Pembacaan,
50
100
-1
150
2
20
15
15
10 5 0 -5 -10 -15
-20 -3.00 -2.50 -2.00 -1.50 -1.00 -0.50 0.00
( mm )
3
4
5
6
7
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 6
20
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
1
Pembacaan,
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 5
Pembacaan,
0
( mm )
10 5 0 -5 -10 -15 -20
0.50
1.00
1.50
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
Pembacaan,
( mm )
0.60
0.80
Gambar C.18 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 5
196
Lampiran – C
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 8
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 7
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15
-20 -60
-40
-20
0
20
Pembacaan,
40
60
80
-4
-20 -1 0
-2
( mm )
15
Beban Lateral, P ( ton )
20
15
5 0 -5 -10 -15 -40
-20
20
40
60
0
-10 -15 -4
-2
-1
0
1
20
15
15
-5 -10 -15
5
6
5 0 -5 -10 -15 -20
0
2
Pembacaan,
4
6
8
-10
-8
-6
( mm )
-4
-2
Pembacaan,
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 13
0
20 15
10 5 0 -5 -10 -15
6
10 5 0 -5 -10 -15
-20
Pembacaan,
4
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 14
15
-3
2
( mm )
20
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
4
10
-20
-6
3
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 12
0
-9
2
( mm )
20
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
-3
Pembacaan,
5
-2
6
-5
( mm )
10
-4
5
5
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 11
-6
4
-20 0
Pembacaan,
-8
3
10
-20 -60
2
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 10
20
10
-80
1
Pembacaan,
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 9
Beban Lateral, P ( ton )
-3
-20 0
( mm )
3
6
-10
-8
-6
-4
-2
Pembacaan,
0
2
4
6
( mm )
Gambar C.18 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan)
Lampiran – C
197
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 16 20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 15 20
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15
-20 -2
-20 0
2
4
6
Pembacaan,
8
10
-2
0
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
20
15
0 -5 -10 -15 -20 -2
0
2
Pembacaan,
4
6
8
10
0
-10 -15
-20 -14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
20
0 -5 -10 -15
6
8 10 12 14 16
10 5 0 -5 -10 -15
5
10
15
-2
0
2
( mm )
4
6
Pembacaan,
Gaya Restraint SBK Tipe 5 – RPL
8
10
12
14
( mm )
Gaya Restraint SBK Tipe 5 – RPR
20
20
15
15
Beban Lateral, P ( ton )
Beban Lateral, P ( ton )
4
( mm )
-20 0
Pembacaan,
10 5 0 -5 -10 -15
10 5 0 -5 -10 -15
-20 -5
2
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 20
20
-20
-10
14
-5
Pembacaan,
5
-5
12
5
( mm )
10
-10
10
10
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 19
-15
8
( mm )
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 18
5
-4
6
20
10
-6
4
Pembacaan,
Pembacaan Transducer SBK Tipe 5 – Tr. 17
-8
2
( mm )
-20 0
5
10
Pembacaan, Gaya Restraint ( ton )
15
-10
-5
0
5
10
15
Pembacaan, Gaya Restraint ( ton )
Gambar C.18 : Pembacaan transducer pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan)
198
Lampiran – C
C.5.3 Pemasangan Strain-gauge
Gambar C.19 : Skema pemasangan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5
C.5.4 Pembacaan Strain-gauge Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 2 )
1,250
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 1 1,500
1,000 750 500 250 0 -250 0
200
400
600
800
1000
1200
800 600 400 200 0 -200 0
1400
200
)
1,000 800 600 400 200 0 200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 4
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 3 1,200
0
400
Nomor Titik Pembebanan
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.20 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5 Lampiran – C
199
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 6
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 5 800 600 400 200 0 -200 0
200
400
600
800
1000
1200
8,000 6,000 4,000 2,000 0 -2,000
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
)
4,500 3,000 1,500 0 -1,500 200
400
600
800
1000
1200
1400
750 500 250 0 -250 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
2,500
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 10 )
)
1200
1,000
1400
8,000 7,000
Pembacaan Strain-gauge (
2,000
Pembacaan Strain-gauge (
1000
1,250
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 9
1,500 1,000 500 0 -500 -1,000 -1,500 -2,000 0
200
400
600
800
1000
6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 -1,000
1200
0
200
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000 200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 12 )
3,500
0
400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 11 )
800
1,500
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 8
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 7 6,000
0
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.20 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan) 200
Lampiran – C
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 14
1,000
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 13 1,250
750 500 250 0 -250 -500 0
200
400
600
800
1000
1200
1,250 1,000 750 500 250 0 -250 -500
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
800 600 500 400 300 200 100 0 -100 -200 0
1200
1400
200
400
600
800
1000
1200
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 -400
1400
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 17
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 18 )
1,500
1,600 1,400
1,200
Pembacaan Strain-gauge (
)
1000
1,600
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
800
1,400
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
700
900 600 300 0 -300 -600 0
200
400
600
800
1000
1200
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 -400
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 20 )
3,000
0
400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 19 )
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 16 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 15
Pembacaan Strain-gauge (
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.20 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan) Lampiran – C
201
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 22 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 21 400
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
350 300 250 200 150 100 50 0 -50 0
200
400
600
800
1000
1200
600 500 400 300 200 100 0
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
)
600 500 400 300 200 100 0 -100 200
400
600
800
1000
800
1000
1200
1400
1200
600 500 400 300 200 100 0 -100
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 25 800
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 26 )
)
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 24
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 23 700
0
400
Nomor Titik Pembebanan
1,200
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
700 600 500 400 300 200 100 0 -100 0
200
400
600
800
1000
1200
900 600 300 0 -300
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
)
2,000 1,500 1,000 500 0 -500 200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 28
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 27 2,500
0
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.20 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan) 202
Lampiran – C
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 30
3,000
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 29 3,500
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 0
200
400
600
800
1000
1200
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
) 200
400
600
800
1000
1200
1400
0
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 600
800
1000
200
1200
1400
0
400
600
800
1000
1200
1400
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 35
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 36 )
2,750 2,500 2,250 2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250
4,000 3,500
Pembacaan Strain-gauge (
)
1400
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 -50
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
1200
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 34 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 33
400
1000
Nomor Titik Pembebanan
9,000
200
800
1,000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 -100
Nomor Titik Pembebanan
0
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 32
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 31 2,500 2,250 2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
400
Nomor Titik Pembebanan
0
200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 -500 -1,000 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.20 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan) Lampiran – C
203
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 38 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 37 1,400
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 -400 -600 0
200
400
600
800
1000
1200
1,000 800 600 400 200 0 -200
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
)
600 450 300 150 0 -150 -300 200
400
600
800
1000
1200
1200
1400
1,000 800 600 400 200 0
1400
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 42 )
1,100 1,000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
4,500 4,000
Pembacaan Strain-gauge (
) Pembacaan Strain-gauge (
1000
1,200
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 41
0
200
400
600
800
1000
1200
3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
2,000 1,500 1,000 500 0 200
400
600
800
1000
Nomor Titik Pembebanan
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 44 )
2,500
0
400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 43 )
800
1,400
Nomor Titik Pembebanan
Pembacaan Strain-gauge (
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 40
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 39 750
0
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.20 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan).
204
Lampiran – C
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 46 )
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 45 2,000
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
200
400
600
800
1000
1200
2,500 2,250 2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250
1400
0
200
Nomor Titik Pembebanan
) 200
400
600
800
1000
1200
500 250 0 -250 200
Pembacaan Strain-gauge (
500 400 300 200 100 0 -100 1000
600
800
1000
1200
1400
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 51 )
) Pembacaan Strain-gauge (
600
800
400
Nomor Titik Pembebanan
700
600
1400
750
0
800
400
1200
1,000
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 50
Nomor Titik Pembebanan
1000
1,250
1400
900
200
800
1,500
Nomor Titik Pembebanan
0
600
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 48
Pembacaan Strain-gauge (
Pembacaan Strain-gauge (
)
Pembacaan Strain-gauge SBK Tipe 5 - SG. 47 3,250 3,000 2,750 2,500 2,250 2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250 0 -250 0
400
Nomor Titik Pembebanan
1200
1400
1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Nomor Titik Pembebanan
Gambar C.20 : Pembacaan strain-gauge pada spesimen SBK Tipe 5 (Lanjutan).
Lampiran – C
205
206
Lampiran – C
LAMPIRAN – D SIFAT MEKANIK BAHAN BAJA TULANGAN DAN BETON SERTA PEMODELAN STRUKTUR SBK PADA PERHITUNGAN ANALITIK D.1
Umum Perhitungan analitik di dalam riset ini menggunakan paket program komputer
SeismoStruct dari SeismoSoft. Untuk keperluan itu perlu dipersiapkan terlebih dahulu beberapa data input. Data yang paling penting adalah sifat-sifat mekanik dari bahan baja tulangan dan beton sebagai yang dibutuhkan menurut format data dari paket programnya. Data input dimasukkan ke dalam program melalui modul Pre-Processor. Pada pasal D.2 dan D.3 berikut ini akan diuraikan data sifat-sifat mekanik kedua bahan tersebut. Data penting lainnya adalah pemodelan SBK sebagai struktur rangka juga akan disampaikan. Sesuai dengan desain semula dari riset, dimana pembebanan diberikan sampai struktur melewati kondisi lelehnya, maka sendi-sendi plastik padanya perlu juga ditentukan letaknya. Karenanya, parameter-parameter sendi plastik yang sesuai dengan model yang dipakai harus pula didefinisikan. Pada pasal D.4 akan disampaikan pemodelan SBK dan parameter-parameter sendi plastiknya.
D.2
Baja Tulangan Untuk menyatakan respons siklik dari baja tulangan dipakai model Menegotto –
Pinto (Menegotto & Pinto, 1973). Model ini banyak dipakai di dalam program analisis respons struktur karena kesederhanaannya. Model material uni-aksial ini dimaksudkan untuk pemakaian pada struktur beton bertulang yang mendapatkan pembebanan bolakbalik, dimana penampang melintang komponen dibagi menjadi serat-serat tipis dan padanya diterapkan tegangan-tegangan normal. Perumusan awal dari model ini telah dilakukan sebelumnya oleh Giuffre & Pinto pada 1970. Persamaan-persamaan analitik yang disusun dapat dirunut awal mulanya sampai ke riset yang dilakukan oleh Goldberg & Richard pada 1963, yang dapat melukiskan lintasan-lintasan loading dan unloading. Menegotto & Pinto kemudian mengembangkannya dengan memasukkan pengaruh kinematic hardening pada 1973. Kemudian pada 1983, Filippou memperbaikinya lebih lanjut dengan menambahkan pengaruh isotropic hardening pada model tersebut (Filippou dkk., 1983). Baik Menegotto & Pinto maupun Filippou menemukan beberapa cacat pada modelnya, yaitu respons yang lebih tinggi daripada lintasan beban (loading) sebelumnya bila struktur tiba-tiba mengalami
Lampiran – D
207
lepas beban yang tidak lengkap (partial unloading), dan kemudian dilanjutkan dengan ulang beban (reloading) pada deformasi yang lebih rendah daripada nilai maksimumnya. Illustrasinya dapat dilihat pada Gambar D.1. Pada 2 contoh yang ditampilkan, terlihat garis putus-putus sebagai lintasan yang seharusnya dilalui, dan garis penuh adalah lintasan yang sebenarnya dilewati.
Gambar D.1 : Kesalahan pada model Menegotto - Pinto (1973) bila mendapatkan reloading setelah tiba-tiba mengalami partial unloading.
Model semula dari Giuffre & Pinto (1970) adalah :
*
*
1 *R
..............................................
1 R
(D-1)
dimana * adalah regangan ternormalisasi, dan R adalah parameter yang nilainya berubahubah sebagai fungsi daripada banyaknya kunjungan leleh (plastic excursion) sebelumnya,
, yang menentukan bentuk lengkungan transisi untuk memperhitungkan pengaruh effek Bauschinger, sebagai dinyatakan menurut persamaan berikut ini : R R0
a1 a2
..............................................
(D-2)
dimana Ro nilai dari R selama pembebanan yang pertama kalinya, dan a1 dan a2 adalah parameter-parameter yang ditentukan secara eksperimental. Dengan perbaikan yang dilakukan, Menegotto & Pinto mengembangkan persamaan (D-1) menjadi :
* b *
1 b *
1 *R
1 R
.........................................
(D-3)
dimana : 208
Lampiran – D
b
Esh Es
...................................................
(D-4)
Untuk persamaan (D-3), tegangan dan regangan ternormalisasi ditentukan sebagai :
*
r 0 r
dan :
*
r 0 r
..............................
(D-5)
dimana o dan o adalah tegangan dan regangan pada titik pertemuan antara 2 garis singgung dari cabang-cabang pembebanan yang sedang diperhitungkan, sementara r dan
r adalah tegangan dan regangan pada saat pembebanan sebelumnya berbalik. Perbaikan yang dilakukan oleh Filippou pada 1983 adalah dengan cara menggeser garis singgung leleh awal, sebagai yang ditunjukkan di dalam persamaan ini : st a3 max a4 0 0
...........................................
(D-5)
dimana st adalah nilai tegangan yang dipakai untuk menggeser garis singgung leleh awal,
max adalah harga mutlak regangan pada saat beban berbalik, sedangkan a3 dan a4 adalah parameter-parameter yang ditentukan secara eksperimental. Mengenai pergeseran tegangan ini, Filippou memberikan penjelasannya yang menyangkut pengaturan masalah unloading dan reloading dalam satu kesatuan riwayat pembebanan yang seutuhnya. Pernyataannya, adalah apabila model analitik tersebut memiliki ‘memory’ yang merentang ke seluruh cabang pembebanan sebelumnya, maka suatu cabang pembebanan yang baru pasti akan mengikuti cabang sebelumnya segera sesudah tercapainya pembebanan maksimumnya. Pernyataan ini tentu sangat abstrak dan tidak dapat diterapkan untuk tujuan komputasional, karena model akan membutuhkan ‘memory’ yang cukup besar untuk menyimpan semua keterangan mengenai tegangan-regangan dari suatu riwayat reloading sebelumnya untuk dilacak kembali, ketika kemudian tiba-tiba dijumpai lintasan unloading yang tidak lengkap (parsial). Untuk kebutuhan perhitungan secara praktis, suatu model biasanya cukup menyimpan suatu jumlah kecil yang terbatas dari hukum-hukum/rumus-rumus untuk mengendalikan perilakunya secara umum. Untuk mengatasi kekurangan dari masalah di atas, Bosco pada 2014 mengusulkan suatu perbaikan. Model yang diusulkan itu dirumuskan dengan menjadikan lintasan kurva yang sedang diperhitungkan tersebut seolah-olah tanpa ada masalah unloading dan reloading sebelumnya yang muncul (Bosco dkk., 2014). Tata langkahnya sendiri sedikit agak panjang dan tidak akan disampaikan secara detail di sini. Dari kesimpulan yang didapatkannya, perbaikan itu dapat dilakukan dengan tetap memakai model semula dari Lampiran – D
209
Gambar D.2 : Contoh 4 grafik tegangan – regangan baja siklik dengan model Menegotto – Pinto yang diperbaiki.
Material Name : rein baja tulangan Material Type : stl_mp baja dengan mengikuti model Menegotto-Pinto Input properties baja tulangan
Unit satuan yang dipakai di dalam analisis
Gambar D.3 : Screen capture untuk input data baja tulangan dengan program SeismoStruct.
210
Lampiran – D
Menegotto – Pinto tetapi dengan menggunakan parameter-parameter : Ro = 20, a1 = 18.5, a2 = 0.15, a3 = 0, dan a4 = 1. Pada Gambar D.2 disampaikan grafik tegangan–regangan baja dengan model Menegotto–Pinto yang sudah diperbaiki. Dan pada Gambar D.3 diperlihatkan screen capture dari program untuk data input baja tulangan pada perhitungan analitik respons SBK yang memakai program SeismoStruct dengan menggunakan nilai-nilai parameter di atas. Data lainnya adalah : modulus elastisitas : Es = 2×105 MPa, tegangan leleh : fy = 488 MPa, strain-hardening parameter : Esh Es 0.004592 0.005, fracture strain : sf = 0.1943, dan specific weight = 78 kN/m3.
D.3
Beton Model yang paling populer untuk menyatakan hubungan tegangan – regangan
beton dengan beban siklik adalah dari Mander. Model yang dipublikasikan sejak 1988 itu mendasarkan pada model perilaku monotonik dari Popovics yang dapat mendeskripsikan hubungan tegangan – regangan dari 2 kondisi beton sekaligus, yaitu tak terkekang (unconfined) dan terkekang (confined) (Popovics, 1973). Di dalam model ini, hubungan tegangan – regangan beton dinyatakan sebagai diperlihatkan pada Gambar D.4 : Tegangan, fc’
fcc’ Terkekang
fco’
Tak Terkekang Ec
Esec co’
2
co’
sp cc’
cu’
Regangan,
c’
Gambar D.4 : Hubungan tegangan – regangan beton monotonik menurut Popovics.
fc '
x r f cp '
..............................................
(D-6)
...................................................
(D-6-a)
...............................................
(D-6-b)
r 1 xr
x
c ' cp '
r
Ec Ec Esec
Lampiran – D
211
dimana : fcp’ = tegangan puncak = fco’ = fc’ untuk beton tak terkekang = fcc’ untuk beton terkekang
cp’ = regangan pada tegangan puncak = co’ = 0.002 untuk beton tak terkekang = cc’ untuk beton terkekang
sp’ = regangan pada saat hancur/spall (fc’ = 0) cu’ = regangan ultimate terkekang c = modulus elastisitas awal 4730 fc ' (MPa) untuk beton normal sec = modulus sekan Melalui eksperimen yang dilakukannya, Richart dkk. (1928) mendapatkan bahwa dengan memberikan pengekangan pada sekelilingnya, beton akan mengalami peningkatan, baik pada tegangan maupun regangannya, sebagai berikut :
fcc ' fco ' k1 fl
..............................................
(D-7)
dan :
f cc ' co ' 1 k2 l fco '
..........................................
(D-8)
dimana : fl = tegangan pengekang pada sekeliling beton k1 = koefisien yang bernilai 4.10 k2 = 5 k1
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar D.5 : Berbagai contoh bentuk pemasangan tulangan pengekang. (a) Sengkang dan tulangan-tulangan ikat melintang (cross-tie) (b) Spiral melingkar pada penampang persegi (c) Spiral melingkar pada penampang bulat (d) Sengkang dan tulangan ikat melintang pada dinding 212
Lampiran – D
Besarnya tegangan pengekang fl tergantung pada jenis tulangan pengekang dan jarak pemasangannya, s. Pada Gambar D.5 di atas disampaikan contoh berbagai cara pemasangan tulangan pengekang. Besarnya tegangan pengekang pada penampang bulat dengan tulangan transversal spiral bulat dihitung dengan memperhatikan Gambar D.6.
ds s' 4
Aeff fl Asp fy
ds
Asp fy
Kesetimbangan gaya : 45
o
s’
s
2 Asp f y f l d s s fl
2 Asp f y ds s
Luas penampang teras : s' ds 4
At
ds2 4
Gambar D.6 : Tegangan pengekang pada penampang bulat dengan tulangan spiral.
Luasan efektif pengekangan : 2
2 s ' ds s' Aeff ds 1 4 2 4 2ds
2
..........................
(D-9)
..................................................
(D-10)
Koefisien effektifitas pengekangan :
ke
Aeff At
Besarnya tegangan pengekang effektif yang bekerja :
fl ,eff 2ke
Asp f y ds s
..........................................
(D-11)
Pada penampang persegi panjang terdapat ineffektifitas bukan saja pada arah sumbu Z, melainkan juga pada sumbu-sumbu X dan Y-nya. Dengan memperhatikan illustrasi pada Gambar D.7, luas efektif Aeff dapat dihitung :
Lampiran – D
213
bt w1
w2
w3
s' 4
X w4
ht
Y
Z
45o
s’
bt
s
s' 2
Gambar D.7 : Luas effektif penampang persegi panjang dengan tulangan sengkang.
Luas effektif penampang penampang persegi panjang dengan tulangan sengkang : 2 w s ' s' Aeff bt ht i 1 1 6 2bt 2ht
dimana : bt
..........................
(D-12)
= lebar teras, diukur dari muka bagian dalam tulangan pengekang
ht
= tinggi teras, diukur dari muka bagian dalam tulangan pengekang
wi
= jarak antara muka ke muka tulangan memanjang yang berturutan pada masing-masing sisi
s’
= jarak dari muka ke muka dua tulangan pengekang berturutan
Regangan batas beton terkekang cu’ pada Gambar D.4 didefinisikan sebagai regangan pada arah memanjang serat pada saat tulangan pengekang mengalami kegagalan. Untuk menentukan nilainya, digunakanlah Teori Kesetimbangan Energi. Teori ini diletakkan di atas pemikiran, bahwa terjadinya penambahan daktilitas pada penampang disebabkan oleh disimpannya sejumlah energi pada tulangan-tulangan transversal dan longitudinal yang mengekang di sekelilingnya. Dengan konsep ini, regangan batas beton terkekang akan dapat dihitung dengan menyetimbangkan antara energi regang tulangan pengekang trans214
Lampiran – D
versal sampai putus dengan selisih antara beton yang terkekang dengan yang tak terkekang setelah ditambahkan dengan energi dari tulangan-tulangan memanjangnya. Secara matematika dituliskan sebagai :
Esh Ecc Esc Eco
..........................................
(D-13)
.......................................
(D-13-a)
..........................................
(D-13-b)
.......................................
(D-13-c)
..........................................
(D-13-d)
dengan :
Esh sh At
shf
f sh d sh
0
Ecc At
cu '
fcc d cc
0
Esc cst At
cu '
f s d s
0
sp '
Eco At
fco d co
0
dimana : Esh = energi yang diperlukan untuk memutuskan tulangan pengekang transversal Ecc = kapasitas energi beton terkekang Eco = kapasitas energi beton tak terkekang Esc = energi yang diperlukan tulangan longitudinal untuk leleh dalam aksial tekan At
= luas penampang teras
cc & fcc = regangan dan tegangan beton terkekang co & fco = regangan dan tegangan beton tak terkekang cu’ = regangan batas beton terkekang s & fs sf
= regangan dan tegangan baja
= regangan putus (fracture) baja tulangan
sp’ = regangan pecah beton tak terkekang cst = perbandingan luas tulangan longitudinal dengan luasan teras sh = perbandingan volume tulangan pengekang transversal dengan teras beton Penerapan persamaan-persamaan di atas pada SBK sebagai ditunjukkan pada Gambar 4.2 dengan menggunakan informasi hasil pengujian silinder beton akan diperoleh data untuk penampang kolom: fco’ = 360 kg/cm2 = 35.30 MPa, fcc’ = 40.94 MPa, co’ = 0.002, sp’ = 0.006, cc’ = 0.002929 dan cu’ = 0.01523. Sedangkan untuk penampang balok Lampiran – D
215
didapatkan : fco’ = 360 kg/cm2 = 35.30 MPa, fcc’ = 41.90 MPa, co’ = 0.002, sp’ = 0.006,
cc’ = 0.003056 dan cu’ = 0.01688. Pada Gambar D.8, D.9 dan D.10 di bawah disampaikan screen capture input data untuk beton unconfined, confined untuk kolom dan confined untuk balok.
Material Name : unc beton unconfined Material Type : con_ma beton dengan mengikuti model Mander Input properties bahan beton
Unit satuan yang dipakai di dalam analisis
Gambar D.8 : Screen capture untuk input data beton unconfined.
Material Name : conf-col beton confined untuk kolom Material Type : con_ma beton dengan mengikuti model Mander Input properties bahan beton
Gambar D.9 : Screen capture untuk input data beton confined kolom.
216
Lampiran – D
Material Name : conf-beam beton confined untuk balok Material Type : con_ma beton dengan mengikuti model Mander Input properties bahan beton
Gambar D.10 : Screen capture untuk input data beton confined balok.
D.4
Pemodelan SBK sebagai Struktur Rangka dan Parameternya Untuk keperluan perhitungan analitik, SBK dimodelkan sebagai rangka. Seperti
diperlihatkan pada Gambar D.11, rangka SBK interior dibagi-bagi menjadi beberapa elemen rangka yang masing-masing kedua ujungnya dibatasi oleh titik-titik simpul (node).
n112-x6
col2112
bmx2124
bmx2123
bmx2126
n212-x6
n212-z1 col2122
n312
n212-x5
n212-x4
n212-x1
0.245 m
n212-z2
bmx2122
col2113
Link-L
col2123
bmx2121
n112-x3 bmx1124 n112-x4 ; n112-x5 bmx1125 bmx1126
n112-x2
bmx1123
bmx1122
n112-x1
bmx1121
n112
n213 col2124 n212-z3
bmx2125
H
n212-x2 ; n212-x3
V
0.225 0.225
0.445
n211-z3
n211-z1 col2111
Node Plastic hinge
0.245
0.245 m
Link-R n212
n211-z2
0.445
0.245 m n211
0.2500 m
0.4600
0.2500 m
0.2000
0.2000
0.2250 0.2250
0.2000
0.2000
0.2500
0.4600
0.2500 m
Plastification zone
Gambar D.11 : Spesimen SBK interior dimodelkan sebagai struktur rangka.
Lampiran – D
217
Dengan pembebanan sampai melewati keadaan awal lelehnya, maka struktur akan mengalami plastifikasi. Dalam hal ini, plastifikasi dianggap terpusat pada sendi-sendi plastik yang terbentuk pada ujung-ujung balok, yang di dalam model struktur diwakili oleh elemen link kiri (Link-L) dan kanan (Link-R). Dengan perilaku sendi plastik yang mengikuti model Richard–Abbott, maka data di-input melalui tab Element Classes Link Element Types kemudian dimasukkan jenis gaya-gayanya sebagai yang ditunjukkan uraiannya pada Gambar 5.2 di depan, dan yang akan disampaikan lagi pada Gambar D.12 di bawah ini. Sebagai contoh, gaya-gaya itu akan dijabarkan untuk SBK Tipe 1 sebagai berikut ini :
zm
11 8
7
10
xm
ym
M5
M3 M2
9
M6 F5
xm
F6 F4
F3
M4
F2 12
F1
M1
Gambar D.12 : Uraian gaya-gaya pada elemen struktur rangka di dalam SeismoStruct.
Beton : Ec 4730 f c ' 4730 35.30 28103 MPa
4 D16 50
= 28103 N/mm2
450 mm
225 2 D13
n.a. 225
50 4 D16 300 mm
Baja : Es = 2 × 105 N/mm2
Ac 300 450 135000 mm2 As
4
8 162 2 132 1873.96 mm2
1 300 4503 2278125000 mm4 12 1 I cy 3003 450 1012500000 mm4 12 I sx 8 201.06 1752 49259700 mm4 I cx
I sy 4 201.06 192 4 201.06 1002 2 132.73 1002 10987330.64 mm4 Gs = 0.81 × 105 N/mm2 E Gc 2 14190 N/mm2 ( ACI 318M-05 R 13.6.4.2 ) 2 J = I p = Ix + Iy
218
Lampiran – D
Kekakuan :
EA 28380 135000 2 105 1873.96 10515230 N/mm = 10 515 230 kN/m 400 L ( Tekan ) 5 2 10 1873.96 936980 N/mm = 936 980 kN/m ( Tarik ) 400 5 12 EI y 12 28380 1012500000 2 10 10987330.64 F2 5779790.52 L3 4003 N/mm = 5 779 790 kN/m F1
5 12 EI x 12 28380 2278125000 2 10 49259700 13969711.41 N/mm F3 L3 4003 = 13 969 711 kN/m
M1
5 G J 14190 2278125000 1012500000 0.81 10 49259700 10987330.64 L 400
= 1.289349 × 1011 N.mm/rad = 1.289349 × 105 kN.m/rad M2 :
Ka = 53 755. Ma = (1.1 1.3) × My = 173.40 Kpa = (0.02 0.05) × Ka = 524.70 Na = 0.6 Kap = Ka = 53 755. Map = (0.45 0.65) × Ma = 78. Kpap = Kpa = 524.70 Nap = 0.6 t1a = 38. t2a = 0.5 Ca = 1. iKa = 0.000006 iMa = 0.028 Ha = 1.0 × 10–7 Emax-a = 0.1
dimana : Ka Ma
Kd = 53 755. Md = (1.1 1.3) × My = 173.40 Kpd = (0.02 0.05) × Kd = 524.70 Nd = 0.6 Kdp = Kd = 53 755. Mdp = (0.45 0.65) × Md = 78. Kpdp = Kpd = 524.70 Ndp = 0.6 t1d = 38. t2d = 0.5 Cd = 1. iKd = 0.000006 iMd = 0.028 Hd = 1.0 × 10–7 Emax-d = 0.1
= kekakuan awal dari lintasan batas atas kurva naik = kekuatan lintasan batas atas kurva naik, biasanya berharga 1.10 s/d. 1.30 dari momen leleh penampang
Kpa
= kekakuan paska-leleh dari lintasan batas atas kurva naik, biasanya Bernilai antara 0.02Ka s/d. 0.05Ka
Lampiran – D
Na
= parameter bentuk dari lintasan batas atas kurva naik
Kap
= kekakuan awal dari lintasan batas bawah kurva naik, biasanya 219
dianggap sama nilainya dengan Ka Map = kekuatan lintasan batas bawah kurva naik, biasanya nilainya berkisar antara 0.45Ma s/d. 0.65 Ma Kpap = kekakuan paska-leleh dari lintasan batas bawah kurva naik, biasanya nilainya dianggap sama dengan Kpa Nap
= parameter bentuk dari lintasan batas bawah kurva naik
t1a
= parameter empirik sehubungan dengan pemepatan kurva naik
t2a
= parameter empirik sehubungan dengan pemepatan kurva naik
Ca
= parameter empirik sehubungan dengan pemepatan kurva naik, biasanya bernilai 1.00
iKa
= koefisien empirik untuk laju kerusakan kekakuan kurva naik
iMa
= koefisien empirik untuk laju kerusakan kekkuatan kurva naik
Ha
= koefisien empirik untuk menyatakan isotropic hardening kurva naik
Emax-a = nilai deformasi (rotasi) maksimum kurva naik Kd
= kekakuan awal dari lintasan batas atas kurva turun
Md
= kekuatan lintasan batas atas kurva turun, biasanya berharga 1.10 s/d. 1.30 dari momen leleh penampang
Kpd
= kekakuan paska-leleh dari lintasan batas atas kurva turun, biasanya bernilai antara 0.02Kd s/d. 0.05Kd
Nd
= parameter bentuk dari lintasan batas atas kurva turun
Kdp
= kekakuan awal dari lintasan batas bawah kurva turun, biasanya dianggap sama nilainya dengan Kd
Mdp = kekuatan lintasan batas bawah kurva turun, biasanya nilainya berkisar antara 0.45Md s/d. 0.65 Md Kpdp = kekakuan paska-leleh dari lintasan batas bawah kurva turun, biasanya nilainya dianggap sama dengan Kpa Ndp
= parameter bentuk dari lintasan batas bawah kurva turun
t1d
= parameter empirik sehubungan dengan pemepatan kurva turun
t2d
= parameter empirik sehubungan dengan pemepatan kurva turun
Cd
= parameter empirik sehubungan dengan pemepatan kurva turun, biasanya bernilai 1.00
iKd
= koefisien empirik untuk laju kerusakan kekakuan kurva turun
iMd
= koefisien empirik untuk laju kerusakan kekkuatan kurva turun
Hd
= koefisien empirik untuk menyatakan isotropic hardening kurva turun
Emax-d = nilai deformasi (rotasi) maksimum kurva turun
220
Lampiran – D
Plastifikasi hanya dianggap terjadi pada arah gaya M2 saja, sementara arah-arah gaya yang lain masih tetap elastik. Kurva histeretik beban – perpindahan membentuk loop yang terdiri dari lintasan-lintasan yang naik (ascending branch, subskrip – a) dan yang turun (descending branch, subskrip – d). Terutama untuk menghitung K dan M, digunakanlah grafik yang dihasilkan dari analisis momen – rotasi penampang balok, sebagai yang diperlihatkan pada gambar D.13 di bawah. M3
2 EI y L
2 28380 1012500000 2 105 10987330.64 400
= 1.546611 × 1011 N.mm/rad = 1.546611 × 105 kN.m/rad
Gambar D.13 : Diagram momen – rotasi sendi plastik pada balok SBK Tipe 1.
Dengan cara yang sama, maka akan dapat ditentukan pula parameter-parameter sendi plastik untuk SBK Tipe 2 sampai dengan Tipe 5, dan hasilnya disarikan ke dalam Tabel D.1 di bawah ini. Tabel D.1 inilah yang kemudian diambil ke depan sebagai Tabel 5.1.
Lampiran – D
221
Tabel D.1 : Ringkasan nilai parameter sendi plastik pada arah M2 pada SBK Tipe 1 s/d. 5 untuk dipakai di dalam perhitungan analitik dengan program SeismoStruct memakai model Richard–Abbott. SBK Tipe 1
SBK Tipe 2
Cabang Mendaki (Ascending Branch)
Ka (kN.m/rad) Ma (kN.m) Kpa (kN.m/rad) Na Kap (kN.m/rad) Map (kN.m) Kpap (kN.m/rad) Nap t1a t2a Ca iKa iMa Ha Emax-a (rad)
53755. 173.4 524.7 0.6 53755. 78. 524.7 0.6 38. 0.5 1. 0.000006 0.028 1.0E-07 0.1
Cabang Menurun (Descending Branch)
Parameter Sendi Plastik
Kd (kN.m/rad) Md (kN.m) Kpd (kN.m/rad) Nd Kdp (kN.m/rad) Mdp (kN.m) Kpdp (kN.m/rad) Ndp t1d t2d Cd iKd iMd Hd Emax-d (rad)
53755. 173.4 524.7 0.6 53755. 78. 524.7 0.6 38. 0.5 1. 0.000006 0.028 1.0E-07 0.1
222
Nama Spesimen SBK Tipe 3
SBK Tipe 4
SBK Tipe 5
71094. 299.9 260.44 0.6 71094. 134.96 260.44 0.6 42. 0.5 1. 0.000004 0.03 1.0E-07 0.1
77517. 203.7 307.58 0.6 77517. 70.25 307.58 0.6 40. 0.51 1. 0.000005 0.028 1.0E-07 0.1
71094. 299.9 260.44 0.6 71094. 134.96 260.44 0.6 38.5 0.5 1. 0.000006 0.03 1.0E-07 0.1
77517. 206.6 307.58 0.6 77517. 80.64 307.58 0.6 39.5 0.5 1. 0.000006 0.031 1.0E-07 0.1
64286. 152.1 305.87 0.6 64286. 68.45 305.87 0.6 42. 0.5 1. 0.000004 0.03 1.0E-07 0.1
46105. 162.4 199.38 0.6 46105. 52.47 199.38 0.6 40. 0.51 1. 0.000005 0.028 1.0E-07 0.1
64286. 152.1 305.87 0.6 64286. 68.45 305.87 0.6 38.5 0.5 1. 0.000006 0.03 1.0E-07 0.1
46105. 164.7 199.38 0.6 46105. 64.2 199.38 0.6 39.5 0.5 1. 0.000006 0.031 1.0E-07 0.1
Lampiran – D
LAMPIRAN – E PEMERIKSAAN KINERJA SBK TIPE 1, 2, 3, 4 & 5 MENURUT ACI 374.1-05 E.1
Data Umum Untuk kebutuhan perhitungan, beberapa data dasar mengenai struktur SBK perlu
dipersiapkan terlebih dahulu. Data itu adalah analisis struktur SBK dan analisis penampang balok & kolom SBK. Analisis struktur, yang dilakukan pada daerah elastik dari sifat bahan, dipergunakan untuk memberikan gambaran hubungan antara beban yang diberikan dengan gaya-gaya dalam yang terbentuk pada komponen-komponen balok & kolom. Sedangkan hasil dari analisis penampang dipakai untuk memeriksa besarnya nilai-nilai kapasitas balok & kolom dalam memikul beban. Pada Gambar E.1 di bawah ini disampaikan hasil analisis struktur dengan menggunakan program SAP2000. Hasil analisis penampang pada kolom & balok SBK disampaikan pada Gambar E.2 dan E.3. V = 14 ton
0.225 m
P = 20 ton
20.00 45/45
30/45
45/45
1.585
1.16 m
23.40
30/45
1.585
14.00
14.00 23.40
1.16 m
23.40 23.40 20.0782
M
ton.m
D ton
N ton
Gambar E.1 : Hasil analisis struktur pada spesimen SBK.
Gambar E.2 : Grafik interaksi M – N kolom spesimen SBK. Lampiran – E
223
(a)
(b)
(c) Gambar E.3 : Grafik hubungan momen – putaran sudut balok spesimen SBK. (a) SBK Tipe 1 (b) SBK Tipe 2 = 4 (c) SBK Tipe 3 = 5
E.2
SBK Tipe 1 Untuk memeriksa kekakuan dan kekuatan awal struktur, digunakanlah grafik histe-
retik beban – perpindahan sebagai diperlihatkan pada Gambar E.4 di bawah. Dari gambar tersebut, lintasan-lintasan garis tipis berwarna biru muda menunjukkan grafik histeretik untuk keseluruhan riwayat respons, sedangkan garis tebal berwarna biru tua menunjukkan serangkaian 3 siklus pembebanan dengan drift = 3.50%. Grafik backbone adalah kurva berwarna coklat tua (loading & reloading) dan hijau tua (unloading) yang dibuat dengan menghubungkan titik-titik respons maksimum siklus pertama dari setiap kelompok tiga siklus pembebanan. Perhitungan dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Dari Gambar E.3(a) diperoleh momen leleh nominal balok : 157.60 kN.m = 16.070728 t.m ( Catatan : 1 N = 0.101972 kgf ; 1kgf = 9.80665 N )
Momen tersebut bekerja pada bidang muka pertemuan balok dengan kolom (lihat Gambar E.1), sehingga beban lateral dapat dihitung :
224
Lampiran – E
P
16.070728 20 16.0081 ton 20.0782
Faktor overstrength kolom :
En (+) = En (– ) = 16.00 ton 210 210 1.3388 157.6 157.6
Sehingga : En 1.3388 16.00 21.4208 ton
Gambar E.4 : Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal SBK Tipe 1 menurut ACI 374.1-05.
Beban maksimum tercatat : Emaks (+) = 17.50 ton dan Emaks (– ) = –16.51 ton Sehingga : 0.75 Emaks (+) = 0.75×17.50 = 13.125 ton dan 0.75 Emaks (– ) = 0.75×(–16.51) = –12.38 ton
Untuk mendapatkan kekakuan awal yang cukup, butir 1 dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05 menetapkan bahwa kekuatan nominal En harus terbentuk lebih dahulu sebelum dilampauinya nilai drift awal yang konsisten dengan pembatasan drift yang diijinkan oleh peraturan bangunan. Misalnya, peraturan IBC 2000 menetapkan drift tingkat yang diijinkan a di dalam Tabel 1617.3, dan ASCE 7-05 mencantumkannya di dalam Tabel 12.12-1. Lebih lanjut, ASCE 7-05 menentukan nilai-nilai a sesuai dengan Occupancy Category-nya. Misalnya : a = 0.020h untuk Occupancy Category (OC) I – II, a = 0.015h untuk OC III, dan a = 0.010h untuk OC IV. (Catatan : OC I mewakili bangunan gedung dan struktur lainnya dengan dampak bencana yang rendah dalam hal terjadi keruntuhan, dan OC IV mewakili bangunan fasilitas yang utama).
Batas yang diijinkan untuk drift awal yang konsisten dengan a adalah a/.Cd h , dimana : adalah faktor reduksi kekuatan yang sesuai dengan jenis ragam keruntuhannya, lentur atau geser, Cd adalah faktor amplifikasi perpindahan, dan h adalah tinggi
Lampiran – E
225
tingkat. Cd diatur di dalam ASCE 7-05 Tabel 12.2-1, nilainya sebesar 5.50 untuk Special Moment Resisting Frame beton bertulang. Misalkan untuk OC III, a = 0.015h, maka drift awal yang diijinkan adalah = 0.015/(0.90×5.50) = 0.003 atau 0.30%.
Garis En = 16 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik A, dan garis En = – 16 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik C. Selanjutnya garis drift = 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik B, dan garis drift = – 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik D. Koordinat titik-titik itu : A(0.9723, 16.0); B(0.30, 7.6768); C(–1.2322, –16.0); dan – D(–0.30, –5.98) Catatan : X dalam % drift, dan Y dalam ton. Menurut butir 1 dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, titik A seharusnya terbentuk mendahului titik B, dan titik C terbentuk lebih dahulu daripada titik D. Ternyata : PA > PB atau A > B PC < PD atau C < D
9.1.1 ACI 374.1-05 tidak O.K.
Dari Gambar D.4 terlihat : En Emaks En untuk zona Loading/Reloading, dan ~ En Emaks En untuk zona Unloading
9.1.2 ACI 374.1-05 O.K. (Kolom kuat – Balok lemah)
Dari Gambar E.4 juga dapat dilihat : gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = 3.50% lebih besar daripada 0.75Emaks (Loading/Reloading), dan gaya puncak pada siklus ke3 dari drift = –3.50% lebih kecil daripada 0.75Emaks (Unloading) 9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K. Untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05 digunakan
Gambar E.5 di bawah sebagai illustrasi. Dari gambar tersebut, lintasan garis tipis berwarna biru muda menggambarkan respons histeretik lengkap. Siklus ke-1 dan ke-2 pembebanan dengan drift = 3.50% digambarkan dengan lintasan-lintasan tebal berwarna biru, sedangkan siklus ke-3 darinya disampaikan dengan lintasan tebal berwarna biru tua. Dengan persyaratan sebagai yang disebutkan pada butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, maka luasan bidang yang dikelilingi oleh lintasan garis tebal berwarna biru tua ini harus paling tidak mencapai 1/8 dari luasan bidang yang dibatasi oleh garis tebal putus-putus berwarna hitam (= bidang ABDC + bidang ABFE). Bila rasio dissipasi energi relatif dinotasikan dengan RDErel , maka : 226
Lampiran – E
RDErel
9.1289891 100 0.168542471 > 0.125 O.K. 7.00 17.50 16.51 2.32 9.80665
Gambar E.5 : Pemeriksaan dissipasi energi SBK Tipe 1 menurut ACI 374.1-05.
Gambar E.6 : Pemeriksaan kekakuan sisa SBK Tipe 1 menurut ACI 374.1-05.
Dan akhirnya, untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(c) dari Pasal 9.1 ACI 374.105 digunakan Gambar E.6. Perhitungan dilakukan sebagai berikut : 3.31 100 1663.3139 ton/m 0.085776 2.32
Kekakuan awal (+) : K 0
Kekakuan awal (– ) : K 0 '
Lampiran – E
2.81 100 1175.7322 ton/m 0.103017241 2.32 227
Dengan interpolasi linier pada data riwayat siklus ke-3 dari drift = 3.50% akan
diperoleh koordinat titik-titik : A(–0.35, 1.1539); B(0.35, 1.6711); C(–0.35, –1.3062); D(0.35,–0.9209) Kekakuan garis AB : K 0.035 Rasio kekakuan :
E.3
2 0.35 2.32
ton/m
K 0.035 31.8473 0.0191 < 0.05 Tidak O.K. K0 1663.3139
Kekakuan garis CD : K 0.035 ' Rasio kekakuan :
1.6711 1.1539 100 31.8473
1.3062 0.9209 100 23.7254 2 0.35 2.32
ton/m
K 0.035 ' 23.7254 0.0202 < 0.05 Tidak O.K. K0 ' 1175.7322
SBK Tipe 2 Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal struktur dilakukan dengan mengguna-
kan grafik histeretik beban – perpindahan sebagai diperlihatkan pada Gambar E.7. Dari gambar tersebut, lintasan-lintasan garis tipis berwarna hijau muda menunjukkan grafik histeretik untuk keseluruhan riwayat respons, sedangkan garis tebal berwarna hijau tua menunjukkan serangkaian 3 siklus pembebanan dengan drift = 3.50%. Kurva backbone dibuat dengan garis berwarna ungu tua (Loading/Reloading) dan biru tua (Unloading) yang menghubungkan titik-titik respons maksimum siklus pertama dari setiap kelompok tiga siklus pembebanan.
Gambar E.7 : Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal SBK Tipe 2 menurut ACI 374.1-05.
228
Lampiran – E
Perhitungan dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Dari Gambar E.3(b) diperoleh momen leleh nominal balok : Myn(+) = 117.0 kN.m = 11.93 t.m dan Myn(– ) = 230.7 kN.m = 23.52 t.m ( Catatan : 1 N = 0.101972 kgf ; 1kgf = 9.80665 N )
Momen tersebut bekerja pada bidang muka pertemuan balok dengan kolom (lihat Gambar E.1), sehingga beban lateral yang menyebabkannya dapat dihitung : P
11.93 20 11.88 ton 20.0782
Faktor overstrength kolom :
En (+) = En (– ) = 11.88 ton 272 272 1.5646 117.0 230.7
Sehingga : En 1.5646 11.88 18.5874 ton
Beban maksimum tercatat : Emaks (+) = 17.60 ton dan Emaks (– ) = –16.45 ton Sehingga : 0.75 Emaks (+) = 0.75×17.60 = 13.20 ton dan 0.75 Emaks (– ) = 0.75×(–16.45) = –12.34 ton
Untuk Occupancy Category (OC) III, a = 0.015h, maka drift awal yang diijinkan adalah = 0.015/(0.90×5.50) = 0.003 atau 0.30%.
Garis En = 11.88 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik A, dan garis En = – 11.88 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik C. Selanjutnya garis drift = 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik B, dan garis drift = – 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik D. Titik-titik tersebut : A(0.6849, 11.88); B(0.30, 7.2186); C(–0.8276, –11.88); D(–0.30, –6.5147) Catatan : X dalam % drift, dan Y dalam ton. Menurut butir 1 dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, titik A seharusnya terbentuk mendahului titik B, dan titik C terbentuk lebih dahulu daripada titik D. Ternyata : PA > PB atau A > B PC < PD atau C < D
9.1.1 ACI 374.1-05 tidak O.K.
Dari Gambar E.7 terlihat : En Emaks En untuk zona Loading/Reloading, dan ~ En Emaks En untuk zona Unloading
9.1.2 ACI 374.1-05 O.K. (Kolom kuat – Balok lemah)
Lampiran – E
229
Dari Gambar E.7 juga dapat dilihat : gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = 3.50% lebih kecil daripada 0.75Emaks (Loading/Reloading) 9.1.3(a) ACI 374.1-05 Tidak O.K. Tapi gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = –3.50% lebih kecil daripada 0.75Emaks (Unloading) 9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K. Untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05 digunakan
Gambar E.8 sebagai illustrasi. Dari tersebut, lintasan garis tipis berwarna hijau muda menggambarkan riwayat respons lengkap. Siklus ke-1 dan ke-2 pembebanan dengan drift = 3.50% digambarkan dengan lintasan-lintasan tebal berwarna hijau, sedangkan siklus ke3 darinya disampaikan dengan lintasan tebal berwarna hijau tua. Dengan persyaratan sebagai yang disebutkan pada butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, maka luasan bidang yang dikelilingi oleh lintasan garis tebal berwarna hijau tua ini harus paling tidak mencapai 1/8 dari luasan bidang yang dibatasi oleh garis tebal putus-putus berwarna hitam (= bidang ABDC + bidang ABFE). Bila rasio dissipasi energi relatif dinotasikan dengan RDErel , maka : RDErel
7.68392716 100 0.159668045 > 0.125 O.K. 7.00 14.92 14.66 2.37 9.80665
Gambar E.8 : Pemeriksaan dissipasi energi SBK Tipe 2 menurut ACI 374.1-05.
Dan akhirnya, untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(c) dari Pasal 9.1 ACI 374.105 digunakan Gambar E.9. Perhitungan dilakukan sebagai berikut :
Kekakuan awal (+) : K 0
230
2.64 100 1205.4794 ton/m 0.092405063 2.37 Lampiran – E
Kekakuan awal (– ) : K 0 '
2.48 100 1037.6569 ton/m 0.100843882 2.37
Gambar E.9 : Pemeriksaan kekakuan sisa SBK Tipe 2 menurut ACI 374.1-05.
E.4
SBK Tipe 3 Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal struktur dilakukan dengan mengguna-
kan grafik histeretik beban – perpindahan sebagai diperlihatkan pada Gambar E.10. Dari gambar tersebut, lintasan-lintasan garis tipis berwarna coklat muda menunjukkan grafik histeretik untuk keseluruhan riwayat pembebanan, sedangkan garis tebal berwarna coklat tua menunjukkan serangkaian 3 siklus pembebanan dengan drift = 3.50%. Kurva backbone berwarna hijau tua (Loading/Reloading) dan biru tua (Unloading) dibuat dengan menghubungkan titik-titik respons maksimum siklus pertama dari setiap kelompok tiga siklus pembebanan. Perhitungan dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Dari Gambar E.3(c) diperoleh momen leleh nominal balok : Myn(+) = 116.0 kN.m = 11.83 t.m dan Myn(– ) = 145.50 kN.m = 14.84 t.m ( Catatan : 1 N = 0.101972 kgf ; 1kgf = 9.80665 N )
Momen tersebut bekerja pada bidang muka pertemuan balok dengan kolom (lihat Gambar E.1), sehingga beban lateral yang menyebabkannya dapat dihitung :
P
Lampiran – E
11.83 20 11.7839 ton 20.0782
En (+) = En (– ) = 11.78 ton
231
Gambar E.10 : Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal SBK Tipe 3 menurut ACI 374.1-05.
272 272 2.0843 116.0 145.0 Sehingga : En 2.0843 11.78 24.5530 ton
Faktor overstrength kolom :
Beban maksimum tercatat : Emaks (+) = 13.17 ton dan Emaks (– ) = –12.67 ton Sehingga : 0.75 Emaks (+) = 0.75×13.17 = 9.88 ton dan 0.75 Emaks (– ) = 0.75×(–12.67) = –9.50 ton
Untuk Occupancy Category (OC) III, a = 0.015h, maka drift awal yang diijinkan adalah = 0.015/(0.90×5.50) = 0.003 atau 0.30%.
Garis En = 11.88 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik A, dan garis En = – 11.88 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik C. Selanjutnya garis drift = 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik B, dan garis drift = – 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik D. Titik-titik tersebut : A(1.1312, 11.78); B(0.30, 6.2296); C(–1.0954, –11.78); D(–0.30, –6.5683) Catatan : X dalam % drift, dan Y dalam ton. Menurut butir 1 dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, titik A seharusnya terbentuk mendahului titik B, dan titik C terbentuk lebih dahulu daripada titik D. Ternyata : PA > PB atau A > B PC < PD atau C < D
232
9.1.1 ACI 374.1-05 tidak O.K.
Lampiran – E
Dari Gambar E.10 terlihat : En Emaks En untuk zona Loading/Reloading, dan ~ En Emaks En untuk zona Unloading
9.1.2 ACI 374.1-05 O.K. (Kolom kuat – Balok lemah)
Dari Gambar E.10 juga dapat dilihat : gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = 3.50% lebih besar daripada 0.75Emaks (Loading/Reloading) 9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K. Juga gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = –3.50% lebih kecil daripada 0.75Emaks (Unloading) 9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K. Untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05 digunakan
Gambar E.11 sebagai illustrasi. Dari gambar tersebut, lintasan garis tipis berwarna coklat muda menggambarkan riwayat pembebanan lengkap. Siklus ke-1 dan ke-2 pembebanan dengan drift = 3.50% digambarkan dengan lintasan-lintasan tebal berwarna coklat, sedangkan siklus ke-3 darinya disampaikan dengan lintasan tebal berwarna coklat tua. Dengan persyaratan sebagai yang disebutkan pada butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.105, maka luasan bidang yang dikelilingi oleh lintasan garis tebal berwarna coklat tua ini harus paling tidak mencapai 1/8 dari luasan bidang yang dibatasi oleh garis tebal putusputus berwarna hitam (= bidang ABDC + bidang ABFE). Bila rasio dissipasi energi relatif diberikan notasi dengan RDErel , maka : RDErel
8.0916199 100 0.192475698 > 0.125 O.K. 7.00 13.17 12.67 2.37 9.80665
Gambar E.11 : Pemeriksaan dissipasi energi SBK Tipe 3 menurut ACI 374.1-05.
Lampiran – E
233
Dan akhirnya, untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(c) dari Pasal 9.1 ACI 374.105 digunakan Gambar E.12. Perhitungan dilakukan sebagai berikut : 2.68 100 1170.3057 ton/m 0.096624473 2.37
Kekakuan awal (+) : K 0
Kekakuan awal (– ) : K 0 '
2.82 100 1231.4410 ton/m 0.096624473 2.37
Gambar E.12 : Pemeriksaan kekakuan sisa SBK Tipe 3 menurut ACI 374.1-05.
Dengan interpolasi linier pada data riwayat siklus ke-3 dari drift = 3.50% akan diperoleh koordinat titik-titik : A(–0.35, 1.1014); B(0.35, 1.3187); C(–0.35, –1.1547); D(0.35,–0.8746) Kekakuan garis AB : K 0.035 Rasio kekakuan :
E.5
2 0.35 2.37
ton/m
K 0.035 13.0983 0.0112 < 0.05 Tidak O.K. K0 1170.3057
Kekakuan garis CD : K 0.035 ' Rasio kekakuan :
1.3187 1.1014 100 13.0983
1.1547 0.8746 100 16.8837 2 0.35 2.37
ton/m
K 0.035 ' 16.8837 0.0137 < 0.05 Tidak O.K. K0 ' 1231.4410
SBK Tipe 4 Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal struktur dilakukan dengan mengguna-
kan grafik histeretik beban – perpindahan sebagai diperlihatkan pada Gambar E.13. Dari gambar tersebut, lintasan-lintasan garis tipis berwarna merah muda menunjukkan grafik 234
Lampiran – E
histeretik untuk keseluruhan riwayat pembebanan, sedangkan garis tebal berwarna merah gelap menunjukkan serangkaian 3 siklus pembebanan dengan drift = 3.50%. Kurva backbone dibuat dengan menghubungkan titik-titik respons maksimum siklus pertama dari setiap kelompok tiga siklus pembebanan. Perhitungan dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Dari Gambar E.3(b) diperoleh momen leleh nominal balok : Myn(+) = 117.0 kN.m = 11.93 t.m dan Myn(– ) = 230.7 kN.m = 23.52 t.m ( Catatan : 1 N = 0.101972 kgf ; 1kgf = 9.80665 N )
Gambar E.13 : Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal SBK Tipe 4 menurut ACI 374.1-05.
Momen tersebut bekerja pada bidang muka pertemuan balok dengan kolom (lihat Gambar E.1), sehingga beban lateral yang menyebabkannya dapat dihitung : P
11.93 20 11.88 ton 20.0782
Faktor overstrength kolom :
En (+) = En (– ) = 11.88 ton 272 272 1.5646 117.0 230.7
Sehingga : En 1.5646 11.88 18.5874 ton
Beban maksimum tercatat : Emaks (+) = 15.85 ton dan Emaks (– ) = –15.42 ton Sehingga : 0.75 Emaks (+) = 0.75×15.85 = 11.89 ton dan 0.75 Emaks (– ) = 0.75×(–15.42) = –11.57 ton
Untuk Occupancy Category (OC) III, a = 0.015h, dan drift awal ijin = 0.003 atau 0.30%.
Lampiran – E
235
Garis En = 11.88 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik A, dan garis En = – 11.88 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik C. Selanjutnya garis drift = 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik B, dan garis drift = – 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik D. Titik-titik tersebut : A(0.7693, 11.88); B(0.30, 6.7365); C(–0.9038, –11.88); D(–0.30, –5.7200) Catatan : X dalam % drift, dan Y dalam ton. Menurut butir 1 dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, titik A seharusnya terbentuk mendahului titik B, dan titik C terbentuk lebih dahulu daripada titik D. Ternyata : PA > PB atau A > B PC < PD atau C < D
9.1.1 ACI 374.1-05 tidak O.K.
Dari Gambar E.13 terlihat : En Emaks En untuk zona Loading/Reloading, dan ~ En Emaks En untuk zona Unloading
9.1.2 ACI 374.1-05 O.K. (Kolom kuat – Balok lemah)
Dari Gambar E.13 juga dapat dilihat : gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = 3.50% lebih besar daripada 0.75Emaks (Loading/Reloading) 9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K. Juga gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = –3.50% lebih kecil daripada 0.75Emaks (Unloading) 9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K. Untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05 digunakan
Gambar E.14 sebagai illustrasi. Dari gambar tersebut, lintasan garis tipis berwarna merah muda menggambarkan riwayat respons lengkap. Siklus ke-1 dan ke-2 pembebanan dengan drift = 3.50% digambarkan dengan lintasan-lintasan tebal berwarna merah, sedangkan siklus ke-3 darinya disampaikan dengan lintasan tebal berwarna merah gelap. Dengan persyaratan sebagai yang disebutkan pada butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, maka luasan bidang yang dikelilingi oleh lintasan garis tebal berwarna merah gelap ini harus paling tidak mencapai 1/8 dari luasan bidang yang dibatasi oleh garis tebal putus-putus berwarna hitam (= bidang ABDC + bidang ABFE). Bila rasio dissipasi energi relatif dinotasikan dengan RDErel , maka : RDErel
236
8.80361546 100 0.17304782 > 0.125 O.K. 7.00 15.85 15.42 2.37 9.80665
Lampiran – E
Gambar E.14 : Pemeriksaan dissipasi energi SBK Tipe 4 menurut ACI 374.1-05.
Gambar E.15 : Pemeriksaan kekakuan sisa SBK Tipe 4 menurut ACI 374.1-05.
Dan akhirnya, untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(c) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05 digunakan Gambar E.15. Perhitungan dilakukan sebagai berikut : 2.94 100 1283.8428 ton/m 0.096624473 2.37
Kekakuan awal (+) : K 0
Kekakuan awal (– ) : K 0 '
Dengan interpolasi linier pada data riwayat siklus ke-3 dari drift = 3.50% akan
2.64 100 1152.8384 ton/m 0.096624473 2.37
diperoleh koordinat titik-titik : A(–0.35, 0.92); B(0.35, 1.2324); C(–0.35, –0.9308); D(0.35,–1.1029) Lampiran – E
237
Kekakuan garis AB : K 0.035 Rasio kekakuan :
E.6
2 0.35 2.37
ton/m
K 0.035 18.8306 0.0147 < 0.05 Tidak O.K. K0 1283.8428
Kekakuan garis CD : K 0.035 ' Rasio kekakuan :
1.2324 0.92 100 18.8306
1.1029 0.9308 100 10.3737 2 0.35 2.37
ton/m
K 0.035 ' 10.3737 0.0090 < 0.05 Tidak O.K. K0 ' 1152.8384
SBK Tipe 5 Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal struktur dilakukan dengan mengguna-
kan grafik histeretik beban – perpindahan sebagai diperlihatkan pada Gambar E.16. Dari gambar tersebut, lintasan-lintasan garis tipis berwarna ungu muda menunjukkan grafik histeretik untuk keseluruhan riwayat respons, sedangkan garis tebal berwarna ungu gelap menunjukkan serangkaian 3 siklus pembebanan dengan drift = 3.50%. Kurva backbone berwarna coklat tua (Loading/Reloading) dan biru tua (Unloading) dibuat dengan menghubungkan titik-titik respons maksimum siklus pertama dari setiap kelompok tiga siklus pembebanan. Perhitungan dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Dari Gambar E.3(c) diperoleh momen leleh nominal balok : Myn(+) = 116.0 kN.m = 11.83 t.m dan Myn(– ) = 145.50 kN.m = 14.84 t.m ( Catatan : 1 N = 0.101972 kgf ; 1kgf = 9.80665 N )
Momen tersebut bekerja pada bidang muka pertemuan balok dengan kolom (lihat Gambar E.1), sehingga beban lateral yang menyebabkannya dapat dihitung : P
11.83 20 11.7839 ton 20.0782
Faktor overstrength kolom :
En (+) = En (– ) = 11.78 ton 272 272 2.0843 116.0 145.0
Sehingga : En 2.0843 11.78 24.5530 ton
Beban maksimum tercatat : Emaks (+) = 13.07 ton dan Emaks (– ) = –12.84 ton Sehingga : 0.75 Emaks (+) = 0.75×13.07 = 9.8025 ton dan 0.75 Emaks (– ) = 0.75×(–12.84) = –9.63 ton
Untuk Occupancy Category (OC) III, a = 0.015h, maka drift awal yang diijinkan adalah = 0.015/(0.90×5.50) = 0.003 atau 0.30%.
238
Lampiran – E
Gambar D.16 : Pemeriksaan kekakuan dan kekuatan awal SBK Tipe 5 menurut ACI 374.1-05.
Garis En = 11.78 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik A, dan garis En = – 11.78 ton dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik C. Selanjutnya garis drift = 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik B, dan garis drift = – 0.30% dipotongkan dengan kurva backbone mendapatkan titik D. Titik-titik tersebut : A(0.9607, 11.78); B(0.30, 7.2557); C(–1.1657, –11.78); D(–0.30, –6.0210) Catatan : X dalam % drift, dan Y dalam ton. Menurut butir 1 dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05, titik A seharusnya terbentuk mendahului titik B, dan titik C terbentuk lebih dahulu daripada titik D. Ternyata : PA > PB atau A > B PC < PD atau C < D
Dari Gambar E.16 terlihat : En Emaks
9.1.1 ACI 374.1-05 tidak O.K. En untuk zona Loading/Reloading, dan ~
En Emaks En untuk zona Unloading
9.1.2 ACI 374.1-05 O.K. (Kolom kuat – Balok lemah)
Dari Gambar E.16 juga dapat dilihat : gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = 3.50% lebih besar daripada 0.75Emaks (Loading/Reloading) 9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K. Juga gaya puncak pada siklus ke-3 dari drift = –3.50% lebih kecil daripada 0.75Emaks (Unloading) 9.1.3(a) ACI 374.1-05 O.K.
Lampiran – E
239
Untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05 digunakan Gambar E.17 sebagai illustrasi. Dari gambar tersebut, lintasan garis tipis berwarna ungu muda menggambarkan riwayat pembebanan lengkap. Siklus ke-1 dan ke-2 pembebanan dengan drift = 3.50% digambarkan dengan lintasan-lintasan tebal berwarna ungu tua, sedangkan siklus ke-3 darinya disampaikan dengan lintasan tebal berwarna hijau gelap. Dengan persyaratan sebagai yang disebutkan pada butir ke-3(b) dari Pasal 9.1 ACI 374.105, maka luasan bidang yang dikelilingi oleh lintasan garis tebal berwarna hijau gelap ini harus paling tidak mencapai 1/8 dari luasan bidang yang dibatasi oleh garis tebal putusputus berwarna hitam (= bidang ABDC + bidang ABFE). Bila rasio dissipasi energi relatif diberikan notasi dengan RDErel , maka : RDErel
7.9339967 100 0.188216434 > 0.125 O.K. 7.00 13.07 12.84 2.37 9.80665
Gambar E.17 : Pemeriksaan dissipasi energi SBK Tipe 5 menurut ACI 374.1-05.
Dan akhirnya, untuk memeriksa persyaratan butir ke-3(c) dari Pasal 9.1 ACI 374.1-05 digunakan Gambar E.18. Perhitungan dilakukan sebagai berikut : 2.94 100 2798.3132 ton/m 0.105063291 2.37
Kekakuan awal (+) : K 0
Kekakuan awal (– ) : K 0 '
240
2.64 100 1205.4794 ton/m 0.092405063 2.37
Lampiran – E
Gambar E.18 : Pemeriksaan kekakuan sisa SBK Tipe 5 menurut ACI 374.1-05.
Dengan interpolasi linier pada data riwayat siklus ke-3 dari drift = 3.50% akan diperoleh koordinat titik-titik : A(–0.35, 1.0200); B(0.35, 1.2359); C(–0.35, –1.1732); D(0.35,–0.9683) Kekakuan garis AB : K 0.035 Rasio kekakuan :
Lampiran – E
2 0.35 2.37
ton/m
K 0.035 13.0139 0.0047 < 0.05 Tidak O.K. K0 2798.3132
Kekakuan garis CD : K 0.035 ' Rasio kekakuan :
1.2359 1.0200 100 13.0139
1.1732 0.9683 100 12.3508 2 0.35 2.37
ton/m
K 0.035 ' 12.3508 0.0102 < 0.05 Tidak O.K. K0 ' 1205.4794
241
242
Lampiran – E
DAFTAR PUSTAKA ACI Committee 318 (2011). Building Code Requirements for Structural Concrete (ACI 318M–2011). American Concrete Institute, Farmington Hills, Michigan, USA. ACI Committee 374 (2005). Acceptance Criteria for Moment Frames Based on Structural Testing and Commentary (ACI 374.1–05). American Concrete Institute, Farmington Hills, Michigan, USA. ACI-ASCE Committee 352 (2002). Recommendations for Design of Beam-Column Connections in Monolithic Reinforced Concrete Structures (ACI 352R–02). Farmington Hills, Michigan. Adebar, P., Ibrahim, A.M.M. & Bryson, M. (2007). Test of High-Rise Core Wall ― Effective Stiffness for Seismic Analysis. ACI Structural Journal, Vol. 104, No. 5, September-October. Amaris, A. & Pampanin, S. (2006). Uni & Bidirectional Quasi Static Tests on Alternative Hybrid Precast Beam–Column Joint Subassemblies. NZSEE Conference. ASCE–SEI (2010). Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures (ASCE 7– 10 Standard). American Society of Civil Engineers, Reston, Virginia, USA. Bae, S.J. & Bayrak, O. (2008–1). Seismic Performance of Full-Scale Reinforced Concrete Columns. ACI Structural Journal, Vol. 105, No. 2, March-April. Bae, S.J. & Bayrak, O. (2008–2). Plastic Hinge Length of Reinforced Concrete Columns. ACI Structural Journal, Vol. 105, No. 3, May–June. Baker, A.L.L. & Amarakone, A.M.N. (1964). Inelastic Hyperstatic Frame Analysis. Proc. International Symposium on the Flexural Mechanics of Reinforced Concrete, Miami, ACI SP-12, pp. 85-142. Bayrak, O. & Sheikh, S.A. (1998). Confinement Reinforcement Design Considerations for Ductile HSC Columns. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 124, No. 9, pp. 999-1010. Beres, A., Pessiki, S.P., White, R.N. & Gergely, P. (1991). Seismic Performance of Existing Reinforced Concrete Frames Designed Primarily for Gravity Loads. Sixth Canadian Conference on Earthquake Engineering, Toronto, Ontario, Canada, pp. 655662. Beres, A., White, R.N., Gergely, P., Pessiki, S.P. & El-Attar, A. (1992). Behavior of Existing Non.Seismically Detailed Reinforced Concrete Frames. Proc. of the Tenth World Conference on Earthquake Engineering, Balkema, Rotterdam, pp. 33593363. Berry, M.P., Lehman, D.E. & Lowes, L.N. (2008). Lumped Plasticity Models for Performance Simulation of Bridge Columns. ACI Structural Journal, Vol. 105, No. 3, May–June. Blume, J.A., Newmark, N.M. & Corning, L.H. (1961). Design of Multistory Reinforced Concrete Building for Earthquake Motions. Portland Cement Association, Skokie, USA. Bosco, M., Ferrara, E., Ghersi, A., Marino, E.M. & Rossi, P.P. (2014). Improvement of The Model Proposed by Menegotto and Pinto for Steel. Proc. of the Second European Conference on Earthquake Engineering and Seismology, Istanbul, Turkey, August 25-29. Daftar Pustaka
243
Brooke, N.J., Megget, L.M. & Ingham, J.M. (2006). Bond Performance of Interior BeamColumn Joints with High-Strength Reinforcement. ACI Structural Journal, Vol. 103, No. 4, July-August. BSN, Badan Standarisasi Nasional (2002–1). Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2002). BSN, Badan Standarisasi Nasional (2002–2). Tata Cara Perencanaan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung (SNI 03-2847-2002). BSN, Badan Standarisasi Nasional (2012). Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung dan Non Gedung (SNI 1726-2012). BSN, Badan Standarisasi Nasional (2013). Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan Gedung (SNI 2847-2013). Camarena, D. (2006). Finite Element Analysis of Precast Prestressed Beam–Column Concrete Connection in Seismic Construction. Master’s Thesis. Chalmers University of Technology, Gotheborg, Swedia. Chopra, A.K. & Goel, K. (2001). Direct Displacement Based Design: Use of Inelastic vs. Elastic Design Spectra. Earthquake Spectra, Vol. 17, No. 1, February. Chun, S.C., Lee, S.H., Kang, T.H.K., Oh, B. & Wallace, J.W. (2007). Mechanical Anchorage in Exterior Beam-Column Joints Subjected to Cyclic Loading. ACI Structural Journal, Vol. 104, No. 1, January-February. Chun, S.C., Oh, B., Lee, S.H., & Naito, C.J. (2009). Anchorage Strength and Behavior of Headed Bars in Exterior Beam-Column Joints. ACI Structural Journal, Vol. 106, No. 5, September-October. Ciampi, V., Eligehausen, R., Popov, E.P. & Bertero, V.V. (1982). Analytical Model for Concrete Anchorages of Reinforcing Bars Under Generalized Excitations. Report No. UCB/EERC 82/23, University of California at Berkeley, California, USA. Clyde, C. & Pantelides, C.P. (2002). Seismic Evaluation and Rehabilitation of R/C Exterior Building Joints. Proc. of Seventh U.S. National Conference on Earthquake Engineering, Boston, U.S.A., July. Computers and Structures Inc. (2008). SAP2000 – Static and Dynamic Finite Element Analysis of Structures. Berkeley, California, USA. Corley, W.G. (1966). Rotational Capacity of Reinforced Concrete Beams. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 92, No. ST5, October, pp. 121-146. Correal J.F., Saiidi, M.S., Sanders, D. & El-Azazy, S. (2007–1). Analytical Evaluation of Bridge Columns with Double Interlocking Spirals. ACI Structural Journal, Vol. 104, No. 3, May-June. Correal, J.F., Saiidi, M.S., Sanders, D. & El-Azazy, S. (2007–2). Shake Table Studies of Bridge Columns with Double Interlocking Spirals. ACI Structural Journal, Vol. 104, No. 4, July-August. Eligehausen, R., Popov, E.P. & Bertero, V.V. (1983). Local Bond Stress – Slip Relationships of Deformed Bars Under Generalized Excitations. Report No. UCB/EERC 83/23, University of California at Berkeley, California, USA. Englekirk, R.E. (1996). An Innovative Design Solution for Precast Prestressed Concrete Buildings in High Seismic Zones. PCI Journal. Englekirk, R.E. (2003). Seismic Design of Reinforced and Precast Concrete Buildings. John Wiley & Sons, ISBN 0-471-08122-1. 244 –
Daftar Pustaka
Ertas, O., Ozden, S. & Ozturan, T. (2006). Ductile Connections in Precast Concrete Moment Resisting Frames. PCI Journal, May–June. Fernandes, C., Melo, J., Varum, H. & Costa, A. (2013). Cyclic Behavior of Sub-standard Reinforced Concrete Beam-Column Joints with Plain Bars. ACI Structural Journal, Vol. 110, No. 1, January-February. Filippou, F.C., Popov, E.P. & Bertero, V.V. (1983). Effect of Bond Deterioration on Hysteretic Behavior of Reinforced Concrete Joints. Report No. UCB/EERC 83/19, University of California at Berkeley, California, USA. Ghosh, S.K. (1995). Observations on the Performance of Structures in the Kobe Earthquake of January 17, 1995. PCI Journal, March–April. Ghosh, S.K., Nakaki, S.D. & Krishnan, K. (1997). Precast Structures in Region of High Seismicity – 1997 UBC Design Provisions. PCI Journal, November–December. Ghosh, S.K. & Hawkins, N.M. (2001). Seismic Design Provisions for Precast Concrete Structures in ACI 318. PCI Journal, January–February. Goto, Y. & Joh, O. (2004). Shear Resistance of RC Interior Eccentric Beam-Column Joints. Proc. 13th World Conference on Earthquake Engineering, Vancouver, B.C., Canada, Paper No. 649. Hanson, N.W. & Conner, H.W. (1967). Seismic Resistance of Reinforced Concrete BeamColumn Joints. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 93, No. ST5, October, pp. 533-560. Harajli, M.H. & Mukaddam, M.A. (1988). Slip of Steel Bars in Concrete Joints under Cyclic Loading. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 114, No. 9, September. Harajli, M.H. (1988). Behavior of Partially Prestressed Concrete Joints under Cyclic Loading. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 114, No. 11, November. Hwang, S.J., Lee, H.J., Liao, T.F., Wang, K.C. & Tsai, H.H. (2005). Role of Hoops on Shear Strength of Reinforced Concrete Beam-Column Joints. ACI Structural Journal, Vol. 102, No. 3, May-June. Imbsen & Associates, Inc. (2002). XTRACT – Cross Section Analysis Program for Structural Engineers. Dapat di-download dan di-install dengan registrasi dari URL: http://www.imbsen.com. International Code Council (ICC) (2006). International Building Code 2006 (IBC–2006). Printed in the USA, ISBN-13: 978-1-58001-302-4. International Code Council (ICC) (2009). International Building Code 2009 (IBC–2009). Printed in the USA, ISBN: 978-1-58001-725-1. International Conference on Building Official (ICBO) (1997). Uniform Building Code 1997 (UBC–1997) – Vol. 2. Whittier, California, USA. Joh, O. & Goto, Y. (2000). Beam-Column Joint Behavior After Beam Yielding in R/C Ductile Frames. Proc. 12th World Conference on Earthquake Engineering, Auckland, New Zealand, Paper No. 2196. Joint ACI–ASCE Committee 352 (2002). Recommendations for Design of Beam-Column Connections in Monolithic Reinforced Concrete Structures (ACI 352 R02). American Concrete Institute, Farmington Hills, Michigan, USA. Joshi, M.K., Murty, C.V.R. & Jaisingh, M.P. (2005). Cyclic Behavior of Precast RC Connections. The Indian Concrete Journal, November. Daftar Pustaka
245
Kamimura, T., Takeda, S. & Tochio, M. (2000). Influence of Joint Reinforcement on Strength and Deformation of Interior Beam-Column Subassemblages. Proc. 12th World Conference on Earthquake Engineering, Auckland, New Zealand, Paper No. 2267. Kashiwazaki, T. & Noguchi, H. (1996). Three-Dimensional Nonlinear Finite Element Analysis on The Shear Strength of Reinforced Concrete Interior Beam-Column Joints with Ultra High-Strength Materials. Proc. 11th World Conference on Earthquake Engineering, Elsevier Science, Mexico City, Paper No. 476. Kashiwazaki, T. & Noguchi, H. (2000). Structural Performances of Prestressed Concrete Interior Beam-Colum Joints. Proc. 12th World Conference on Earthquake Engineering, Auckland, New Zealand, Paper No. 2342. Lee, H.J. & Yu, S.Y. (2009). Cyclic Response of Exterior Beam-Column Joints with Different Anchorage Methods. ACI Structural Journal, Vol. 106, No. 3, May-June. Lehman, D., Stanton, J., Anderson, M., Alire, D. & Walker, S. (2004). Seismic Performance of Older Beam-Column Joints. Proc. 13th World Conference on Earthquake Engineering, Vancouver, B.C., Canada, Paper No. 1464. Li, B., Wu, Y. & Pan, T.C. (2003). Seismic Behavior of Nonseismically Detailed Interior Beam-Wide Column Joints – Part II: Theoretical Comparisons and Analytical Studies. ACI Structural Journal, Vol. 100, No. 1, January-February. Li, B., Pan, T.C. & Tran, C.T.N. (2009). Seismic Behavior of Non-Seismically Detailed Interior Beam-Wide Column and Beam-Wall Connections. ACI Structural Journal, Vol. 106, No. 5, September-October. Lowes, L.N. (1999). Finite-Element Modeling of Reinforced Concrete Beam-Column Bridge Connections. A dissertation submitted in partial satisfaction of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy in Engineering, University of California at Berkeley, California, USA. Mander, J.B., Priestley, M.J.N. & Park, R. (1988). Theoretical Stress–Strain Model for Confined Concrete. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 114, No. 8, August. Martin, J.M.R. (1990). A Precast Prestressed Concrete Structural Systems for Buildings Located in High Seismic Zones. PCI Journal, Vol. 35, No. 2, March–April. Martin, L.D. & Korkosz, W.J. (1982). Connections for Precast Concrete Buildings – Including Earthquake Resistance – A Research Investigation, The Consulting Engineers Group Inc. Matsumoto, T. & Nishihara, H. (2000). Effects of Various Beam-Bar Anchorages on the Strength and Deformation of Precast Reinforced Concrete Beam-Column Joints. Proc. 12th World Conference on Earthquake Engineering, Auckland, New Zealand, Paper No. 1016. Mattock, A.H. (1967). Discussion of rotational capacity of reinforced concrete beams by W.G. Corley. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 93, No. ST2, April, pp. 519-522. Menegotto, M. & Pinto, P.E. (1973). Method of Analysis for Cyclically Loaded RC Plane Frames. IABSE Preliminary Report for Symposium on Resistance and Ultimate Deformability of Well-Defined Repeated Loads, Lisbon. Mitchell, D., De Vall, R.H., Saatcioglu, M., Simpson, R., Tinawi, R., & Tremblay, R. (1995). Damage to Concrete Structures due to the 1994 Northridge Earthquake. Canadian Journal of Civil Engineering, Vol. 22. 246 –
Daftar Pustaka
Mitra, N. & Lowes, L.N. (2004). Evaluation and Advancement of a Reinforced Concrete Beam-Column Joint Model. Proc. 13th World Conference on Earthquake Engineering, Vancouver, B.C., Canada, Paper No. 1001. Murahidy, A.G., Carr, A.J., Spieth, H.A., Mander, J.B. & Bull, D.K. (2004). Design, Construction and Dynamic Testing of a Post-Tensioned Precast Reinforced Concrete Frame Building with Rocking Beam – Column Connections and ADAS Elements, NZSEE Conference. Nakaki, S.D., Stanton, J.F. & Sritharan, S. (1999). An Overview of the PRESSS Five-Story Precast Test Building. PCI Journal, March–April. Nakano, K., Tanabe, K., Machida, S., & Wada, S. (2001). Damage Controlled Seismic Design by Precast-Prestressed Concrete Structure with MILD–PRESS–JOINT, Part 1 : Basic Concept of Design. AIJ Summaries of Technical Papers of Annual Meeting, Japan, September. Noguchi, H. & Uchida, K. (2000). F.E.M. Analysis of Hybrid Structural Frames with R/C Columns and Steel Beams. Proc. 12th World Conference on Earthquake Engineering, Auckland, New Zealand, Paper No. 1921. Noguchi, H. & Kashiwazaki, T. (2004). F.E.M. Analysis of Structural Performance Deterioration of RC Elements Subjected to Seismic Reversed Cyclic Shear. Proc. 13th World Conference on Earthquake Engineering, Vancouver, B.C., Canada, Paper No. 672. Nogueiro, P., Simoes da Silva, L., Bento, R. & Simoes, R. (2007). Numerical Implementation and Calibration of A Hysteretic Model with Pinching for The Cyclic Response of Steel Joints. International Journal of Advanced Steel Construction, Vol. 3, No. 1, pp. 128-153. Otani, S. (1981). Hysteresis Models of Reinforced Concrete for Earthquake Response Analysis. Journal of Faculty of Engineering, University of Tokyo, Vol. XXXVI, No. 2, pp. 407-441. Owada, Y. (2000). Three Dimensional Behaviors of Reinforced Concrete Beam-Column Joint under Seismic Load. Proc. 12th World Conference on Earthquake Engineering, Auckland, New Zealand, Paper No. 0707. Ozdil, E., Arioglu, E., Yorulmaz, M., Manzak, O., and Alper, T. (2002). Full-Scale Testing of Post-Tensioned Moment Resisting Connections of a Precast Concrete Structure. Yapi Merkezi Prefabrication Incorporated, Istanbul, Turkey. Pampanin, S., Priestley, M.J.N., and Sritharan, S. (2001). Analytical Modelling of the Seismic Behavior of Precast Concrete Frames Designed with Ductile Connections. Journal of Earthquake Engineering, Imperial College Press, Vol. 5, No. 3. Pampanin, S. (2003). Alternative Design Philosophies and Seismic Response of Precast Concrete Buildings. FIB Journal of Structural Concrete, Vol. 4, No. 4, December. Panagiotakos, T.B. & Fardis, M.N. (2001). Deformations of Reinforced Concrete Members at Yielding and Ultimate. ACI Structural Journal, Vol. 98, No. 2, March–April. Park, R. & Paulay, T. (1975). Reinforced Concrete Structures. John Wiley & Sons. Park, R., Priestley, M.J.N. & Gill, W.D. (1982). Ductility of Square Confined Concrete Columns. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 108, No. ST4, April, pp. 929950.
Daftar Pustaka
247
Park, R. (1989). Evaluation of Ductility of Structural Assemblages from Laboratory Testing. Bulletin of The New Zealand National Society for Earthquake Engineering, Vol. 12, No. 3, September. Parra-Montesinos, G.J., Peterfreund, S.W. & Chao, S.H. (2005). Highly Damaged-Tolerant Beam-Column Joints Through Use of HPFRC Composites. ACI Structural Journal, Vol. 102, No. 3, May-June. Paulay, T. & Priestley, M.J.N. (1992). Seismic Design of Reinforced Concrete and Masonry Buildings. John Wiley & Sons, ISBN 0-471-54915-0. PCI Industry Handbook Committee (2010). PCI Design Handbook – 7th Edition. Chicago, Illinois, USA, ISBN 978-0-937040-87-4. Pessiki, S.P., Conley, C., White, R.N., & Gergely, P. (1990). Seismic Behavior of the BeamColumn Connection Region in Lightly-Reinforced Concrete Frame Structures. Proc. of Fourth U.S. National Conference on Eartquake Engineering, Palm Springs, California, Vol. 2. Popovics, S. (1973). A Numerical Approach to the Complete Stress – Strain Curve of Concrete. Cement and Concrete Research, Vol. 3. Priestley, M.J.N. & Park, R. (1987). Strength and Ductility of Concrete Bridge Columns under Seismic Loading. ACI Structural Journal, Vol. 84, No. 1, January-February, pp. 61-76. Priestley, M.J.N. (1993). Myths and Fallacies in Earthquake Engineering – Conflicts between Design and Reality. Bulletin of the New Zealand National Society for Earthquake Engineering, Vol. 26, No. 3, pp. 329-341. Priestley, M.J.N., Sritharan, S. & Conley, J.R. (1999). Preliminary Results and Conclusions from the PRESSS Five-Story Precast Test Building. PCI Journal, November– December. Priestley, M.J.N. & Kowalsky, M.J. (2000). Direct Displacement Based Seismic Design of Concrete Buildings. Bulletin of the New Zealand Society for Earthquake Engineering, Vol. 33, No. 4, December. Rahman, A.B.A., Leong, D.C.P., Saim, A.A., & Osman, M.H. (2006). Hybrid Beam– Column Connections for Precast Concrete Frames. Proc. APSEC 2006, Kuala Lumpur, Malaysia. Richard, R. & Abbott, B.J. (1975). Versatile Elasto-Plastic Stress-Strain Formula. Journal of the Engineering Mechanics Division, ASCE, Vol. 101, No. EM4, pp. 511-515. Salmanpour, A.H., Mojsilovic, N. & Schwartz, J. (2013). Deformation capacity of unreinforced masonry walls subjected to in-plane loading: A state-of-the-art review. International Journal of Advanced Structural Engineering – A Springer Open Journal, doi: 10.1186/2008-6695-5-22. Sawyer, H.A. (1964). Design for Concrete Frames for Two Failure States. Proc. of the International Symposium on the Flexural Mechanics of Reinforced Concrete, ASCE-ACI, Miami, pp. 405-431. Scott, B.D., Park, R. & Priestley, M.J.N. (1982). Stress – Strain Behavior of Concrete Confined by Overlapping Hoops at Low and High Strain Rates. Journal of ACI, Vol. 79, No. 1, pp. 13-27. SeismoSoft, Inc. (2011). SeismoStruct – Computer Program for Static and Dynamic Nonlinear Analysis of Framed Structures. Dapat di-download dengan bebas dan diinstall dengan registrasi dari URL: http://www.seismosoft.com. 248 –
Daftar Pustaka
Sheikh, S.A. & Khoury, S.S. (1993). Confined Concrete Columns with Stubs. ACI Structural Journal, Vol. 90, No. 4, July-August, pp. 414-431. Shin, M. & Lafave, J.M. (2004). Testing and Modeling for Cyclic Joint Shear Deformations in RC Beam-Column Connections. Proc. 13th World Conference on Earthquake Engineering, Vancouver, B.C., Canada, Paper No. 0301. Simoes, R., Simoes da Silva, L & Cruz, P. (2001). Cyclic Behavior of End-plate Beam-toColumn Composite Joints. International Journal of Steel and Composite Structures, Vol. 1, No. 3, pp. 355-376. Stone, W., Cheok, G., and Stanton, J.F. (1995). Performance of Hybrid Moment-Resisting Precast Beam-Column Concrete Connections Subjected to Cyclic Loading. ACI Structural Journal, Vol. 91, No. 2, March-April. Tajima, K., Mishima, T. & Shirai, N. (2004). 3-D Finite Element Cyclic Analysis of RC Beam-Column Joint Using Special Bond Model. Proc. 13th World Conference on Earthquake Engineering, Vancouver, B.C., Canada, Paper No. 446. Takeda, T., Sozen, M.A. & Nielsen, N.N. (1970). Reinforced Concrete Response to Simulated Earthquakes. Journal of Structural Division, ASCE, Vol. 96, No. ST12, pp. 2557-2573. Vasconez, R. M., Naaman, A. E., & Wight, J. K. (1994). Review of Research on the Design of Ductile Beam–Column Connections for Precast Concrete Frames. Report No. UMCEE 94-33, Dept. of Civil & Environmental Engineering, University of Michigan, Ann Arbor, USA. Wahjudi, D.I. (1992). Model Matematika Perilaku Momen – Rotasi Joint Beton Bertulang Terhadap Pembebanan Siklik. Jurnal IPTEK, ISSN 0853-4098, Vol. 3, No. 2, Nopember. Wahjudi, D.I. (1994). Kajian Perilaku Momen – Putaran Sudut Elemen Lentur Pada Pemenuhan Kebutuhan Kapasitas dan Daktilitas Struktur Rangka Portal. Laporan Penelitian No. 1771/PT12.H4.FTSP/N/1992, Lembaga Penelitian ITS, Surabaya. Wahjudi, D.I. (1999). Pengembangan Model Analitik Perilaku Histeretik Komponen Lentur Beton Bertulang Terhadap Pembebanan Siklik. Laporan Penelitian dibiayai oleh PPSLPT (ADB Loan No. 1253-INO), FTSP & Lemlit ITS, Surabaya. Wahjudi, D.I. (2002). Studi Eksperimental Perilaku Histeretik Joint Beton Bertulang Terhadap Pembebanan Siklik. Proc. Seminar Nasional tentang Perkembangan Terkini Perencanaan Beton Bertulang, diselenggarakan dalam rangka memperingati 70 Tahun Prof. Ir. Rachmat Purwono, M.Sc., oleh Laboratorium Beton & Bahan Bangunan – Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS, Surabaya. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–1). Tinjauan Riset untuk Mendapatkan Sistem Sambungan Balok-ke-Kolom pada SRPMK Beton Pracetak yang Berkarakteristik Kinerja dan Kemudahan Kerja. Prosiding Seminar Nasional ATPW 2012, ISSN 2301-6752, Prodi Diploma Teknik Sipil, FTSP-ITS, Surabaya, July. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–2). Model Multilinier untuk Mensimulasikan Perilaku Respons Histeretik Sambungan Balok-ke-Kolom Beton Bertulang pada Pembebanan Siklik. Prosiding Seminar Nasional ATPW 2012, ISSN 2301-6752, Prodi Diploma Teknik Sipil, FTSP-ITS, Surabaya, July. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–3). Numerical Implementation in Modeling Hysteretic Cyclic Response Behavior with Pinching of A Reinforced Daftar Pustaka
249
Concrete Beam-to-Column Connection. Proc. 8th APSEC and 1st ICCER International Conference, ISBN 978-983-44826-1-9. Jointly published by ITS & UTM, October. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–4). Choice of Beam-to-Column Connection Systems in A Precast Concrete Moment Resisting Frame – Influence on Its Performance and Constructability. Proc. 8th APSEC and 1st ICCER International Conference, ISBN 978-983-44826-1-9. Jointly published by ITS & UTM, October. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2014–1). Behaviour of precast concrete beam-to-column connection with U- and L-bent bar anchorages placed outside the column panel – Analytical study. 2nd International Conference on Sustainable Civil Engineering Structures and Construction Materials 2014 (SCESCM 2014), Yogyakarta, Indonesia. Procedia Engineering 95(2014)112-121, doi: 10.1016/j.proeng.2014.12.170. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2014–2). Behaviour of precast concrete beam-to-column connection with U- and L-bent bar anchorages placed outside the column panel – Experimental study. 2nd International Conference on Sustainable Civil Engineering Structures and Construction Materials 2014 (SCESCM 2014), Yogyakarta, Indonesia. Procedia Engineering 95(2014)122-131, doi: 10.1016/j.proeng.2014.12.171. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2015). Performance of Precast Reinforced Concrete Beam-to-Column Subassemblages with Connection Constructed out of The Panel. Australian Journal of Basic and Applied Science, 9(23) July 2015, pp. 111-121. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2016). Desain SRPMK Beton Bertulang Bertingkat Sepuluh dan Analisis Respons Nonliniernya Terhadap Beban Gempa. Prosiding Seminar Nasional ATPW, Juni 2016, Surabaya, hal. C-1 s/d. C8. Yee, A.A. (1991). Design Considerations for Precast Prestressed Concrete Building Structures in Seismic Areas. PCI Journal, May–June.
250 –
Daftar Pustaka
RIWAYAT HIDUP PENULIS I.
IDENTITAS PRIBADI Nama : NIM : Tempat, tgl. lahir : Instansi : NIP : Alamat rumah : E-mail
II.
Dicky Imam Wahjudi 3108301001 Surabaya, 9 Pebruari 1959 Institut Teknologi Sepuluh Nopember 19590209 198603 1 002 Jln. Hidrodinamika IV/T-73, Perumdos ITS Keputih, Surabaya 60111. : dickyimamwt73@gmail
[email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN 1991 – Magister Sains, Teknik Sipil Struktur, Institut Teknologi Bandung. 1984 – Sarjana Teknik, Teknik Sipil Konstruksi, Institut Teknologi. Sepuluh Nopember, Surabaya. 1977 – SMA Negeri V, Surabaya. 1974 – SMP Negeri IX, Surabaya. 1971 – SD Negeri Rangkah I, Surabaya.
III.
RIWAYAT PEKERJAAN 1984 – 1985 1986 – Sekarang
IV. V.
VI.
– PT Adhi Karya, Cabang IV, Surabaya. – Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
KEANGGOTAAN PROFESIONAL 1. Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) MINAT RISET 1. Analisis Struktur 2. Rekayasa Gempa 3. Struktur Beton 4. Struktur Baja KURSUS/PELATIHAN PROFESIONAL 1993 – Kursus Aplikasi Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung, oleh Pusat Penelitian & Pengembangan Permukiman – Dep. Pekerjaan Umum, di Jakarta. 1995 – Kursus Internasional Lanjutan pada Pencegahan Bencana Gempa untuk Insinyur Bangunan, oleh Pusat Penelitian & Pengembangan Permukiman – Dep. Pekerjaan Umum bekerja sama dengan JICA, di Jakarta – Bandung – Yogyakarta – Bali. 2001 – Penataran Calon Penerjemah Buku Ajar Perguruan Tinggi oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi – Departemen Pendidikan Nasional, di Malang. 2003 – Pendidikan & Pelatihan Improvement of Staff Qualification and Skill to Match the Expected Applied Professional Engineering Instructor di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Program Diploma (P4D), di Bandung.
Riwayat Hidup Penulis
251
VII.
PENGALAMAN PROFESIONAL 1992 – Koordinator Pengawas pada Proyek. Pembangunan Kantor PLN Distribusi Jawa Timur, Cabang Situbondo. Bekerja pada : PT. Rosa Agung Mulia Consultant – Surabaya. 1995 – Anggota Team Perencana Struktur Bangunan Turbine Workshop PT. ABB-ESI di Ujung, Surabaya. Bekerja pada : PT Wiratman & Associates – Surabaya. 1996 – Ketua Team Perencana Struktur Bangunan Pabrik PT Patal Secang, di Magelang – Jawa Tengah. Bekerja pada : Waicitriya Group Consulting Engineers – Surabaya. 1997 – Anggota Team Perencana Struktur Pracetak Dermaga Peti Kemas Antar Pulau di Tanjung Perak, Surabaya. Bekerja pada : PT Cipta Surya Wahana – Surabaya. 1998 – Ketua Team Evaluasi Struktur Bangunan Welfare (Kantin) PT Cheil – Jedang, di Ploso – Jombang. Bekerja pada : Waicitriya Group Consulting Engineers – Surabaya. 1999 – Anggota Team Evaluasi Struktur Dermaga Sekolah Pelayaran di Barom bong, Sulawesi Selatan. Bekerja pada : PT Wiratman & Associates – Surabaya. 2000 – Anggota Team Perencana Struktur Dermaga PT Semen Tonasa di Biringkassi, Sulawesi Selatan. Bekerja pada : PT Wiratman & Associates – Surabaya. 2001 – Anggota Team Perencana Struktur Dermaga pada Terminal Log & Barang Curah PT. Gresik Jasatama di Gresik. Bekerja pada : PT. Wiratman & Associates – Surabaya. 2002 – Anggota Team Evaluasi Struktur Bangunan Fermentasi PT Cheil – Samsung, di Pasuruan. Bekerja pada : PT Wiratman & Associates – Surabaya. 2003 – Anggota Team III Penanggulangan Banjir Surabaya, Kerja sama DPP Banjir Pemkot Surabaya dengan FTSP-ITS. 2004 – Review Design pada bangunan Gerbang Citra Raya di kawasan CitraLand Surabaya. – Review Design pada bangunan Talang Sukorame di Trenggalek. 2005 – Review Design pada bangunan Jembatan Jalan Brigjen Sutran di Trenggalek. – Review Design Struktur Open Channel Woodland Citra Raya di Surabaya.
VIII.
PUBLIKASI SELAMA STUDI PROGRAM DOKTOR 1. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–1). Tinjauan Riset untuk Mendapatkan Sistem Sambungan Balok-ke-Kolom pada SRPMK Beton Pracetak yang Berkarakteristik Kinerja dan Kemudahan Kerja. Prosiding Seminar Nasional ATPW 2012, ISSN 2301-6752, Prodi Diploma Teknik Sipil, FTSP-ITS, Surabaya, July. 2. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–2). Model Multilinier untuk Mensimulasikan Perilaku Respons Histeretik Sambungan Balokke-Kolom Beton Bertulang pada Pembebanan Siklik. Prosiding Seminar Nasional ATPW 2012, ISSN 2301-6752, Prodi Diploma Teknik Sipil, FTSP-ITS, Surabaya, July. 3. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–3). Numerical Implementation in Modeling Hysteretic Cyclic Response Behavior with Pinch-
252 –
Riwayat Hidup Penulis
ing of A Reinforced Concrete Beam-to-Column Connection. Proc. 8th APSEC and 1st ICCER International Conference, ISBN 978-983-44826-1-9. Jointly published by ITS & UTM, October. 4. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2012–4). Choice of Beamto-Column Connection Systems in A Precast Concrete Moment Resisting Frame – Influence on Its Performance and Constructability. Proc. 8th APSEC and 1st ICCER International Conference, ISBN 978-983-44826-1-9. Jointly published by ITS & UTM, October. 5. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2014–1). Behaviour of precast concrete beam-to-column connection with U- and L-bent bar anchorages placed outside the column panel – Analytical study. 2nd International Conference on Sustainable Civil Engineering Structures and Construction Materials 2014 (SCESCM 2014), Yogyakarta, Indonesia. Procedia Engineering 95(2014)112-121, doi: 10.1016/j.proeng.2014.12.170. 6. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2014–2). Behaviour of precast concrete beam-to-column connection with U- and L-bent bar anchorages placed outside the column panel – Experimental study. 2nd International Conference on Sustainable Civil Engineering Structures and Construction Materials 2014 (SCESCM 2014), Yogyakarta, Indonesia. Procedia Engineering 95(2014)122-131, doi: 10.1016/j.proeng.2014.12.171. 7. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2015). Performance of Precast Reinforced Concrete Beam-to-Column Subassemblages with Connection Constructed out of The Panel. Australian Journal of Basic and Applied Science, 9(23) July 2015, pp. 111-121. 8. Wahjudi, D.I., Suprobo, P., Sugihardjo, H. & Tavio (2016). Desain SRPMK Beton Bertulang Bertingkat Sepuluh dan Analisis Respons Nonliniernya Terhadap Beban Gempa. Prosiding Seminar Nasional ATPW, Juni 2016, Surabaya, hal. C-1 s/d. C-8.
Riwayat Hidup Penulis
253