Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752
TINJAUAN RISET UNTUK MENDAPATKAN SISTEM SAMBUNGAN BALOK-KE-KOLOM PADA SRPM BETON BERTULANG PRACETAK YANG BERKARAKTERISTIK KINERJA DAN KEMUDAHAN KERJA D.I. WAHJUDI 1, P. SUPROBO 2, H. SUGIHARDJO 3 & TAVIO 4 Dep. Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan, ITS Surabaya. 1
[email protected], 2
[email protected],, 3
[email protected], 4
[email protected]
Abstrak — Di dalam merencanakan suatu sistem rangka pemikul momen (SRPM) beton pracetak, penetapan sistem sambungan antara balok-balok dengan kolom-kolom bangunan menempati kedudukan yang penting. Analisis dan bukti-bukti yang dikumpulkan dari banyak struktur yang mengalami keruntuhan atau menjelang runtuh menunjukkan terjadinya konsentrasi gaya-gaya yang tingggi pada tempat-tempat di sekitar sambungan. Di daerah yang memiliki aktifitas seismik tinggi, respons kuat pada struktur yang ditimbulkan oleh gempa dapat menyebabkan terjadinya kerusakan serius pada sambungan yang akan menyebabkan terjadinya mekanisme keruntuhan. Karenanya, untuk mendapatkan suatu bangunan yang aman terhadap gempa, pemasangan sambungan balokke-kolom (SBK) yang berkinerja baik pada pembebanan siklik kuat sangat diperlukan. Kinerja yang baik ini secara ringkas diwakili oleh nilai-nilai kekuatan dan daktilitas. Sayangnya, upaya untuk mendapatkan kinerja yang baik ini sering dilakukan dengan mengorbankan sisi kemudahan kerjanya. Di dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa jenis SBK, dari yang sederhana sampai ke yang canggih, yang umum dipakai di dalam praktek konstruksi. Karakterisitk SBK akan diuraikan, baik dari sisi kinerjanya pada perilaku pemikulan beban, dan juga dari sudut pandang kemudahan kerjanya. Dari pengkajian yang dilakukan, akan didapatkan butir-butir evaluasi untuk pertimbangan yang akan berguna bagi seorang insinyur bangunan dalam menentukan pilihan sistem sambungannya. Kata kunci — beton pracetak, SRPM, respons oleh gempa, SBK, kinerja, kemudahan kerja.
1. PENDAHULUAN Pengertian konstruksi pracetak meliputi bangunan yang sebagian besar komponen strukturnya distandarisasi dan diproduksi oleh pabrik di tempat yang jauh dari lokasi bangunan, dan kemudian ditransportasikan ke tapak untuk dirakit. Komponenkomponen ini dihasilkan oleh metoda industri yang berbasis produksi massal yang bertujuan untuk menghasilkan bangunan-bangunan dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat dan biaya yang rendah. Proses konstruksi yang seperti ini memiliki karakteristik: (1) pembagian dan pengkhususan tenaga kerja manusia, dan – (2) penggunaan perkakas, mesin dan peralatan lainnya, yang biasanya serba automatik, di dalam standar produksi dimana bagian-bagiannya bisa dengan mudah saling menggantikan. Sejak sekitar tahun 1950-an sampai dengan sekarang, penggunaan beton pracetak pada struktur bangunan telah tumbuh dengan pesat. Hal ini juga Manajemen dan Rekayasa Struktur
karena dukungan dari peningkatan banyaknya publikasi yang ditulis tentang hasil-hasil riset, desain, dan implementasi/konstruksi pada bangunan-bangunan beton pracetak. Dari pengalaman yang didapatkan, terbukti bahwa konstruksi beton pracetak menampilkan beberapa keunggulan, antara lain aman, awet, dan mudah & cepat pemasangannya. Disamping awet, komponen-komponen struktur yang diproduksi oleh proses modern di pabrik memiliki keseragaman dan standar kwalitas yang terkendali. Kelebihan lainnya adalah didapatkannya efisiensi pada penggunaan tapak, keuntungankeuntungan ekonomi dari penghematan bahan dan tenaga kerja, dan juga sangat ramah lingkungan. Dengan kemajuan teknologi yang didukung oleh penggunaan bahan dan peralatan mekanik yang mutakhir, dan peningkatan keterampilan dari tenaga kerja manusianya, jasa konstruksi bangunan gedung beton pracetak akan tumbuh menjadi industri yang modern dan padat teknologi. C-125
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752
Di Indonesia, beton pracetak telah dipergunakan secara meluas pada bangunan gedung sejak tahun 1980-an. Bangunan-bangunan gedung yang menggunakan beton pracetak beragam, mulai dari gedung perkantoran (Bank JATIM Surabaya, Bank BUKOPIN Jakarta, Bank BDN Jakarta), hotel (Hotel Sheraton Surabaya, Hotel Hyatt Surabaya, Hotel Mercure Surabaya), pusat perdagangan (ITC Mangga Dua dan Mangga Dua Square Jakarta), apartemen (Klender Jakarta, Tanah Abang Jakarta) sampai dengan bangunan perumahan murah untuk rakyat (Perumnas Palembang). Menurut UBC-1997 [10], bangunan-bangunan dikelompokkan menurut jenis sistem pemikul bebannya. Sehubungan dengan sistem pemikul beban lateralnya, peraturan bangunan tersebut mengaturnya di dalam Tabel 16-N. Peraturan SNI-2002 [3] mengutipnya dan memasukkannya ke dalam Tabel 3. Disebutkan, bahwa bangunan gedung beton diklasifikasikan ke dalam jenis dinding geser (shearwall), rangka berikat (braced frame), sistem rangka pemikul momen (SRPM), dan sistem ganda (dual system). Satu daripadanya, yaitu SRPM, akan menjadi batu pijakan di dalam studi ini, karena dia menjadi rumah bagi sambungan balok-ke-kolom (SBK) yang akan dibicarakan di dalam studi ini. Dengan tidak mengecilkan peran sambungan untuk komponen-komponen struktur yang lainnya, SBK memiliki fungsi yang sangat penting, karena mekanisme respons struktur terhadap beban-beban terutama terjadi pada distribusi gaya-gaya dari balokbalok ke kolom-kolom bangunan. Biasanya, sambungan ini dipasang pada ujung-ujung balok, sebagai yang diperlihatkan pada Gambar 1. Balok-balok pracetak
Kolom-kolom pracetak atau cor setempat Sambungan luar (Exterior connection)
Sambungan dalam (Interior connection)
Gambar 1: Letak SBK pada SRPM.
2. SYARAT KINERJA SAMBUNGAN Dapat dipahami, bahwa untuk memperoleh perilaku struktur yang memuaskan, SRPM sangat terManajemen dan Rekayasa Struktur
gantung pada kinerja (performance) SBK-nya. Dari pengalaman dengan beberapa gempa besar, disimpulkan terjadinya kerusakan-kerusakan yang meluas pada bangunan beton pracetak adalah disebabkan oleh kinerja yang buruk pada sambungan-sambungan antar komponennya. Hal ini terungkap melalui beberapa publikasi, misalnya sebagai yang dilaporkan dari kejadian gempa Spitak (Armenia) 1988 [4], gempa Northridge 1994 [13], gempa Tokachi-oki 1968 [9], dan gempa Turki 1997 dan 1999 [7]. Peraturan bangunan ACI, sampai dengan edisinya yang paling mutakhir, ACI 318-08, masih tetap mempertahankan syarat daktilitas, disamping kekuatan (strength) dan kelayanan (serviceability), untuk meyakinkan keamanannya [1]. Karena filosofi desainnya berbasis pada metoda LRFD (load & resistance factored design), maka daktilitas diperlukan untuk mencegah terjadinya keruntuhan total bangunan. Daktilitas sendiri didefinisikan sebagai kemampuan struktur untuk melakukan deformasi inelastik dalam jumlah besar sambil tetap mempertahankan sebagian besar kekuatannya semula. Perilaku daktail struktur diperoleh dengan penerapan pendetailan daktail, yaitu dengan cara penyediaan/pemasangan komponen-komponen dan sambungan yang memiliki faktor daktilitas tinggi. Peraturan ASCE 7-05, dalam Pasal C1.4 menyebutkan, bahwa sambungan antar komponen struktur harus bersifat daktail dan memiliki kesanggupan untuk melakukan deformasi dan menyerap energi dalam jumlah besar yang timbul pada keadaan-keadaan abnormal [2]. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa pendetailan daktail termasuk ke dalam sebelas cara untuk mendapatkan integritas struktur secara umum. Disebutkan, bahwa kriteria ini dapat mencegah keruntuhan lokal berkembang menjadi keruntuhan total bangunan melalui mekanisme yang lazim disebut dengan fenomena keruntuhan berantai (progressive collapse). Pada umumnya, daktilitas SBK dapat dicapai dengan beberapa parameter desain seperti: (1) mutu beton, (2) mutu dan banyaknya baja tulangan longitudinal, (3) mutu, banyaknya dan konfigurasi bajabaja tulangan transversal, dan – (4) pemakaian bajabaja pratekanan, yang dimasukkan dari satu ujung balok – menembus kolom – dan kemudian diakhiri pada ujung balok bentang berikutnya. Juga sudah diketahui, bahwa daktilitas dapat diperoleh dengan pemakaian mutu beton yang tinggi, tegangan leleh baja yang rendah, dan tulangan longitudianal yang sedikit. Tulangan-tulangan transversal, yang biasaC-126
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752
nya berwujud sengkang-sengkang tertutup berjarak rapat, dipasang pada balok, kolom dan sambungan dengan maksud: (1) memberikan efek pengekangan pada inti (core) beton, (2) mencegah tekuk (buckling) tulangan longitudinal, dan (3) mencegah terjadinya kegagalan struktur pada ragam geser.
(a)
(b)
Gambar 2: Konsentrasi besar gaya-gaya pada SRPM terbentuk di sekitar SBK oleh gempa. (a) Momen lentur (b) Gaya geser
4% 6%
3% 2% Drift
Mka , Vka , Nka Vjh
Moment
Mbl , Vbl
Vjv Mbl , Vbl
Mkb , Vkb , Nkb
Beam Rotation
(a)
(b)
(c)
Gambar 3: Gaya-gaya dan deformasi yang terbentuk pada SBK oleh gempa. (a) Gaya-gaya (b) Grafik beban vs. perpindahan (c) Pola retak
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4: Beberapa contoh kerusakan pada SBK. (a) Selimut beton mengelupas (b) Tekuk pada tulangan kolom (c) Balok kuat – kolom lemah (d) Kolom kuat – balok lemah.
Di dalam proses desain SRPM, penentuan sistem SBK merupakan tahapan pekerjaan yang penManajemen dan Rekayasa Struktur
ting. Analisis dan bukti-bukti yang didapatkan dari struktur yang berada pada keadaan runtuh atau hampir runtuh menunjukkan terjadinya konsentrasi gaya-gaya yang besar di sekitar SBK. Pada Gambar 2 ditunjukkan terjadinya konsentrasi gaya-gaya yang besar pada SRPM akibat gempa. Di daerahdaerah yang seismik-aktif, respons kuat dari struktur yang ditimbulkan oleh serentetan beban bolakbalik dari gempa akan menyebabkan kerusakan serius pada SBK, yang akan berakibat pada keruntuhan struktur secara keseluruhan. Pada Gambar 3 disampaikan ilustrasi gaya-gaya dan deformasi yang terbentuk pada SBK akibat beban lateral siklik, dan contoh kerusakan-kerusakan yang terjadi padanya disampaikan pada Gambar 4. Karenanya, untuk mendapatkan bangunan yang aman terhadap gempa, pemasangan SBK yang berkinerja bagus pada beban siklik kuat sangat mutlak diperlukan. Keunggulan yang sebenarnya dari bangunan beton pratekan adalah aspek kemudahan kerja (constructability)-nya, yaitu kemudahan dan kecepatannya untuk dibangun. Dengan menggunakan komponen-komponen yang dipersiapkan dari pabrik, pelaksanaan di tapak akan menjadi lebih sederhana dan cepat dikerjakan. Bagaimanapun, upayaupaya untuk mendapatkan kinerja yang tinggi sering dilakukan dengan mengorbankan kemudahan kerjanya. Misalnya, untuk mendapatkan penyaluran gaya-gaya yang menerus, ujung-ujung batang tulangan longitudinal harus disambungkan dengan alat penyambung mekanis, yang berupa selongsong (sleeves), perangkai (coupler), atau sambungan las (weld). Hal ini tentu saja akan mengurangi kemudahan dan kesederhanaan dalam pelaksanaan, disamping juga menambah biaya. Alangkah baiknya, bila produk desain dihasilkan dengan melakukan kompromi dengan menampung kepentingan-kepentingan dari kedua sisi pertimbangan tersebut. Karenanya, perencana harus mengetahui karakteristik dari masing-masing jenis SBK yang umum diterapkan di dalam praktek konstruksi sebelum memutuskan sistem sambungan yang akan dipakainya.
3. SUDUT PANDANG PERATURAN BANGUNAN Peraturan 1994 dari NEHRP (National Earthquake Hazard Reduction Program) menyebutkan tentang dua metoda yang dipakai di dalam perencanaan struktur beton pracetak yang terletak di zona kegempaan tinggi (Zone 3 – 4 menurut UBC, atau C-127
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752
Zona 5 – 6 menurut SNI), yaitu Emulation of Monolithic Reinforced Concrete Construction (EMRC), dan Jointed Precast relying on Unique Properties (JPUP) [8]. Metoda EMRC, yang dianut oleh sebagian besar peraturan bangunan di dunia, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sambungan monolith (dikerjakan secara basah), dan sambungan kuat (dikerjakan secara basah ataupun kering). Sedangkan kelompok JPUP terutama didominasi oleh sambungan kering. Illustrasi sambungan basah disampaikan pada Gambar 5, sedangkan berbagai cara penyambungan batang-batang tulangan disampaikan pada Gambar 6.
di daerah berintensitas kegempaan tinggi harus memakai SMF yang meliputi penerapan SBK daktail (Pasal 21.6.1) atau SBK kuat (Pasal 21.6.2).
Selongsong dengan grout matriks
Selongsong dengan grout metalik
Perangkai berulir
Perangkai dengan batang berulir
Las tumpul
Las dengan batang lewatan
Beton cor setempat K olom beton pracetak
Tipikal SBK yang dikerjakan secara basah Sambungan mekanis ( selongsong berisi grout )
Balok beton pracetak
Beton cor setempat Sambungan mekanis ( selongsong berisi grout )
Gambar 5: SBK yang dikerjakan secara basah (contoh untuk sambungan luar).
Untuk pemakaian sambungan monolith, harus dipenuhi semua kriteria untuk struktur beton bertulang yang monolith, yaitu kekuatan, kekakuan, daktilitas, dst.). Sementara bila sambungan kuat yang akan dipakai, harus diyakinkan akan berlangsungnya mekanisme kolom kuat – balok lemah, dan aksi nonlinier tidak boleh terjadi di dalam sambungan, melainkan paling tidak pada suatu tempat sejarak setengah tinggi balok di luar muka kolom. Persyaratan ini disetujui dan dimasukkan ke dalam UBC1997, dan diterapkan sampai sekarang. Pada umumnya, dapat dikatakan, bahwa konsep sambungan daktail lebih mudah dicapai dengan pendekatan sambungan monolith (baca: basah) ini. Peraturan ACI menetapkan prosedur desain bangunan beton pracetak tahan gempa dimulai sejak edisi 318-02-nya, yaitu di dalam persyaratan khusus mengenai Special Moment Frames (SMF), atau Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK) menurut SNI. Di dalam Pasal 21.6 peraturan ACI tersebut dikatakan, bahwa bangunan beton pracetak Manajemen dan Rekayasa Struktur
Selongsong dengan baut
Gambar 6: Berbagai cara penyambungan batang tulangan
Pada SBK daktail harus didesain terjadinya pelelehan lentur di dalam sambungan, sementara pada SBK kuat pelelehan harus terbentuk di luar sambungan, yaitu paling tidak pada jarak setengah tinggi balok di luar muka kolom. Selanjutnya, baik SBK daktail maupun SBK kuat harus memenuhi semua persya-ratan yang dibutuhkan oleh bangunan beton bertu-lang cor setempat (CIP = cast-in-place). Ketentuan ini tetap dipakai di dalam dua peraturan berikutnya, yaitu ACI 318-05 (Pasal 21.6) dan ACI 318-08 (Pa-sal 21.8).
4. SEJARAH RINGKAS PENGEMBANGAN SBK Beberapa riset tentang sambungan telah dilakukan, dan beberapa jenis SBK telah pula dipublikasikan. Kodifikasi tentang jenis-jenis sambungan juga telah diterbitkan, misalnya yang telah dilakukan C-128
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752
oleh Martin dkk. ini [12]. Khusus mengenai SBK, telah dikompilasikan sebanyak 25 jenis, dan hanya 4 darinya yang berupa sambungan basah, yaitu yang diberi nama BC16, BC17, BC18 dan BC19. Illustrasi dari keempatnya disampaikan pada Gambar 7. Satu darinya, yaitu BC16 akan diulas secara ringkas di sini. Pada era 1960-1980, SBK ini menjadi jenis favorit untuk dipakai. Pertama, balok pracetak diletakkan di atas ujung kolom yang berbentuk kepala palu. Kemudian, pelat baja di bawah balok diikatkan pada baja siku pada ujung konsol (bracket) dengan pengelasan. Lalu, batang-batang tulangan atas disisipkan pada balok, dan beton topping komposit dituangkan. Setelah menyelesaikan masa perawatan (curing) beton topping, barulah kolom-kolom lantai atasnya bisa di-ereksi. SBK jenis ini memiliki keunggulan dalam menyediakan momen tahanan penuh dan kemudahan dalam penyetelan di lapangan. Kekurangannya adalah kecepatan pelaksanaannya yang rendah, karena ereksi kolom-kolom lantai di atasnya baru bisa dilaksanakan setelah selesainya perawatan beton topping, disamping adanya kesulitan pada pelaksanaan pengelasan menghadap ke atas.
BC16
dengan batas drift yang tinggi, (2) waktu pelaksanaan yang lebih cepat dengan pemakaian konstruksi pracetak total, (3) tanpa atau minimal dalam pemakaian perancah sementara, (4) tanpa pengelasan, (5) semua penyambungan dilaksanakan dengan baut, dan – (6) tanpa grouting struktural. Di dalam publikasi yang diterbitkannya, disebutkan bahwa spesimen SBK ini telah diuji dengan beban siklik yang dilaksanakan di University of California at San Diego (UCSD). Di dalam pengujian yang diawasi oleh Profesor Priestley & Seible ini, spesimen menampilkan retak-retak yang lebih kecil dan sedikit, tetapi mampu melakukan drift yang lebih besar bila dibandingkan dengan spesimen cast-in-place [6]. Kerugiannya adalah: (1) memerlukan kecakapan teknik yang lebih tinggi pada pemasangannya, dan (2) biaya pelaksanaannya lebih tinggi dengan penggunaan baja-baja dengan kwalitas yang lebih tinggi yang dihasilkan oleh suatu proses manufaktur yang lebih teliti. Lebih lanjut, pelaksanaannya juga dibawa ke dalam suatu kontrak yang bersifat menyeluruh, yang meliputi penyediaan material dan pemasangannya. Pada Gambar 8 disampaikan ilustrasi sambungan DDC, dan hasil pengujiannya disajikan pada Gambar 9.
BC17 PRECAST COLUMN 6"
d (varies)
TIE ROD DUCTILE ROD POCK ET
PRECAST BEAM
1' - 3"
TEMPORARY CORBEL 1
PL 4"X 5"X 1' - 2 / 2" FOR EACH 2 ROD GROUP (2) - 13/ 8" DYWIDAG THREADERS W/ HEX NUTS
BC19
PRECAST COLUMN
PRECAST BEAM
CORBEL
1' - 4"
BC18
CORBEL
ELEVATION
13/ 4" DIA. DYWIDAG DUCTILE RODS
11/ 2" DIA. A490 BOLTS PRETENSIONED TO 148k EACH
5" DIA. SHIM PL'S
PLAN VI EW
Gambar 8: Sambungan DDC.
Gambar 7: SBK dengan pengerjaan basah yang dikompilasi ole Martin dkk. [12].
Berikutnya, Englekirk pada 1992 memperkenalkan jenis baru SBK. Jenis ini kemudian dikenal dengan nama DDC (Dywidag Ductile Connection), sebagai yang ditunjukkan pada Gambar 8. Keunggulan jenis ini disebutkan: (1) tahanan penuh, baik pada momen maupun geser, dengan karakteristik perilaku respons siklik yang sangat stabil dan Manajemen dan Rekayasa Struktur
(a)
Gambar 9:
(b)
Hasil pengujian SBK di UCSD (a) Spesimen cast-in-place (b) Spesimen DDC
C-129
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752
jenis baru dari SBK, yaitu: (1) Sambungan Prategang, (2) Sambungan Leleh Tarik-Tekan (TCY = Tension-Compression Yielding), (3) Sambungan TCY dengan gap, dan – (4) Sambungan Hibrida. Ilustrasinya disampaikan pada Gambar 11. 1'- 6"
1'- 6" COLUMN LONGITUDINAL REINFORCING BARS
REBAR SPLICE
UNBONDED POST-TENSIONING USING DYWIDAG THREADBARS ADDITIONAL 2 - #4 EACH FACE OF BEAM TERMINATING 1" CLEAR FROM COLUMN FACE
3" WRAP REBAR IN SLEEVES - TOP & BOTTOM
COLUMN LONGITUDINAL REINFORCING BARS 1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT ADDITIONAL REINFORCING PER BEAM SECTIONS
1'-11"
1'-11"
0.50" φ PRESTRESSING STRANDS ( DEBONDED IN BEAMS )
MAIN BEAM REINFORCING TOP & BOTTOM W/90o HOOKS AT COLUMN FACES MILD REINFORCING STEEL IN CORRUGATED SLEEVES - SOLID GROUTED 0.50" φ BONDED PRESTRESSING STRANDS
1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT PRIOR TO STRESSING
1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT
(b)
1'- 6" COLUMN LONGITUDINAL REINFORCING STEEL BARS
4" WRAP REBAR IN SLEEVES
MILD REINFORCING STEEL - TOP & BOTTOM IN METAL CORRUGATED SLEEVES - SOLID GROUTED
UNBONDED POST-TENSIONING USING DYWIDAG THREADBARS
(a) MILD REINFORCING STEEL AT TOP IN METAL CORRUGATED SLEEVES SOLID GROUTED IN BEAM & COLUMN
0.50" UNBONDED POST-TENSIONED STRANDS IN PVC SLEEVE W / NO GROUT
1'- 6" COLUMN LONGITUDINAL REINFORCING BARS 1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT PRIOR TO STRESSING ADDITIONAL REINFORCING NOT IN SLEEVES PER BEAM SECTIONS
WRAP REBAR (DEBONDED)
BACKER RODS AROUND PVC SLEEVES AT JOINT TO KEEP JOINT FREE OF GROUT
1'-11"
1'-11"
Berikutnya, pada tahun 1997 telah dipublikasikan suatu jenis sambungan baru lainnya oleh S.K. Ghosh dkk. Disebutkan, bahwa SBK jenis ini memenuhi semua syarat desain dan kinerja yang telah ditentukan oleh PCI Design Handbook, yaitu kekuatan, daktilitas, kemampuan untuk menampung perubahan volume, keawetan, ketahanan bakar, dan kemudahan kerja [8]. Ilustrasinya sebagai disampaikan pada Gambar 10. SBK jenis ini dikatakan sebagai bagian yang harus ada pada SRPM yang terutama dimaksudkan untuk memikul beban lateral dan yang diharuskan berperilaku daktail penuh (SRPMK). Lebih lanjut, sambungan ini di-klaim memiliki faktor R setinggi 8.50, walaupun tidak disebutkan data yang mendukungnya. Demikian juga, sepertinya butir-butir kemudahan kerjanya pantas untuk diperdebatkan lagi, karena adanya kerumitan pada pemasangan tulangan-tulangan pada bidang antarmuka dari pertemuan balok dan kolomnya.
ADDITIONAL REINFORCING PER BEAM SECTIONS
1" JOINT - FILL BOTTOM 4" OF JOINT W/FIBER GROUT PRIOR TO STRESSING
UNBONDED POSTTENSIONING USING DYWIDAG THREADBARS
(c)
MILD REINFORCING STEEL TOP & BOTTOM IN METAL CORRUGATED SLEEVES SOLID GROUTED
1/2" JOINT - FILL W/FIBER GROUT PRIOR TO STRESSING UNBONDED POSTTENSIONING USING DYWIDAG THREADBARS
0.50" φ BONDED PRESTRESSING STRANDS
(d)
L 8x8x1/ 2x1'-6" TOP & BOTTOM
1'-6"
(2) # 8 TOP & BOTTOM
1"
1'-8"
1'-6"
2'-9"
1"
3'-0"
(8) # 11
B-B
1/ 2" THICK T SECTION X 1'-8" TOP & BOTTOM
ADDED U-BARS PER ELEVATION
A-A
(2) # 7 TOP & BOTTOM
3/ 8
(3) # 7 WITH 90O HOOK TOP & BOTTOM 3 SIDES TOP & BOTTOM
1/ 2
TOP & BOTTOM
B
Gambar 11: Jenis SBK yang dihasilkan oleh PRESSS. (a) Sambungan Prategang (b) Sambungan TCY (c) Sambungan TCY dengan gap (d) Sambungan Hibrida
B A
# 4 CLOSED STIRUPS @ 4" O/ C
(2) # 8 U-SHAPED TOP & BOTTOM
ELEVATION (2) # 7 U-SHAPED TOP & BOTTOM
A TOP &
4" BOTTOM 1.5 d
TERMINATE (2) # 8 & (2) # 7 U-SHAPED BARS TOP & BOTTOM
45"
Gambar 10: SBK yang diusulkan oleh Ghosh dkk.
Program riset lainnya yang juga istimewa adalah apa yang disebut dengan nama PRESSS (PREcast Seismic Structural System). Serangkaian penelitian telah dilakukan di dalam kerangka program ini, yaitu pada 1991, 1996 dan 1999. Program ini disponsori bersama oleh NSF (National Science Foundation), PCI (Precast/Prestressed Concrete Institute), and PCMAC (Precast/Prestressed Concrete Manufacturers Association of California, Inc.) dan dipimpin oleh Prof. M.J.N. Priestley. Di dalamnya dilakukan koordinasi dari upaya-upaya riset yang diselenggarakan oleh lusinan team peneliti yang tersebar di seluruh negeri A.S., yang bertujuan untuk memperbaiki kinerja struktur bangunan beton bertulang pracetak. Darinya telah dihasilkan empat Manajemen dan Rekayasa Struktur
Dari program ini telah dihasilkan jenis-jenis SBK yang sama sekali baru. Sambungan-sambungan yang termasuk dalam kelompok JPUP ini berkinerja sangat efisien terhadap pengaruh pembebanan gempa. Kelebihan-kelebihannya didapatkan dari pemakaian batang-batang tulangan dan tendon pratekanan licin (unbonded = ungrouted), grouting sebagian pada baja-baja lunak, atau kombinasi daripadanya. Salah satu jenis sambungan yang dihasilkan, yaitu sambungan hibrida. SBK jenis ini memakai tendon licin bersama-sama dengan baja-baja lunak untuk tulangan longitudinal untuk meningkatkan kapasitas pemencaran energinya. Bila didesain dan dilaksanakan dengan benar, sistem akan berkinerja sebanding dengan struktur yang monolith. Tambahan lagi, sambungan ini memiliki kemampuan untuk memperkecil kerusakan dan melakukan pemulihan diri sendiri (self-restoring = self-centering) segera setelah gempa berlalu. Sambungan ini telah diuji dengan memakainya pada bangunan Paramount Building berlantai 38 di San Francisco, yang merupakan bangunan beton pracetak tertinggi di wilayah kegempaan tertinggi di A.S. Bagaimanapun, perkembangan pada tahuntahun terakhir ini sungguh sangat menarik untuk diC-130
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752
perhatikan. Sebagai yang terlihat dari beberapa publikasi terakhir tentang sambungan beton pracetak, para peneliti mengikuti kecenderungan para insinyur bangunan yang mencari jenis sambungan yang sederhana dan cepat pemasangannya, disamping tidak terlalu mahal biayanya. Terdapat satu pokok pikiran yang penting di dalam merencanakan sambungan, yaitu menjadikannya sesederhana mungkin sambil tetap mempertahankan persyaratan kinerjanya. Nilai ekonomi yang optimum akan diperoleh melalui desain yang sederhana sambil tetap mempertahankan kinerjanya pada level yang dapat diterima. Berdasarkan pertimbangan ini, dilakukanlah riset-riset pada sambungan-sambungan yang lebih sederhana, misalnya oleh para peneliti dari Turki ini [7]. Di dalam risetnya, mereka malah lebih suka memeriksa sambungan-sambungan yang sederhana, disamping banyak dipakai di dalam praktek, daripada mengembangkan lebih lanjut sambungan-sambungan yang lebih canggih dengan kinerja yang lebih tinggi, seperti sambungan PRESSS misalnya. Untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan pada kinerjanya, mereka melakukan beberapa modifikasi pada detail konstruksinya. Beberapa jenis SBK yang diteliti itu disampaikan pada Gambar 12. CAST-IN-PLACE 3 D20mm 3 D20mm 19.70 in
11.80 in
φ10mm - 4 in 5.25 ft 6.10 ft
6.10 ft 15.75 in 15.75 in
(a)
(b)
φ10mm - 4 in Steel Plate - Welded 3 D20mm 5.25 ft 6.10 ft
11.80 in
19.70 in φ10mm - 4 in 4 D20mm 5.25 ft
CAST-IN-PLACE 2 D20mm ( U-Shaped ) 2 D20mm ( U-Shaped ) 3 D20mm 7.50 19.70 in
8.20 ft 6.30 ft
8.20 ft 6.30 ft
CAST-IN-PLACE 4 D20mm 3 D20mm 3 D20mm
6.10 ft 15.75 in
11.80 in
15.75 in
15.75 in
15.75 in
(c)
15.75 in
15.75 in
11.80 in
19.70 in φ10mm - 4 in 5.25 ft
8.20 ft 6.30 ft
8.20 ft 6.30 ft
4 D20mm 3 D20mm
(d)
Gambar 12: Jenis-jenis SBK yang diteliti oleh Ertas dkk., 2006. (a) SBK monolith (b) SBK cor setempat pada kolom (c) SBK cor setempat pada balok (d) SBK komposit dengan konsol
Dari keempat jenis SBK yang diperlihatkan pada Gambar 12 di atas, akan dipilih satu yang paling sederhana dan paling memungkinkan untuk diimplementasikan di Indonesia. Yang terpilih adalah sambungan cor setempat pada balok, seperti pada Gambar 12-(c). Sambungan tersebut kemudian dimodifikasi untuk keperluan pengecoran secara komManajemen dan Rekayasa Struktur
posit, sehingga dihasilkan SBK seperti yang diperlihatkan pada Gambar 13-(a). Tambahkan dengan satu jenis lagi, yaitu yang paling sering dipakai di dalam praktek konstruksi di Indonesia, sebagai yang disajikan pada Gambar 13-(b), sehingga menjadikan keseluruhan kelompok berisi 12 (dua belas) jenis SBK.
(a)
(b)
Gambar 13: Dua jenis SBK ditambahkan ke dalam studi ini. (a) Komposit cor setempat pada balok (b) Jenis yang umum di Indonesia
5. STUDI PERBANDINGAN PADA KINERJA DAN KEMUDAHAN KERJA Berikut ini akan dilakukan evaluasi pada ke 12 pilihan jenis SBK sebagai yang telah diuraikan di depan, yaitu: (1) BC16, (2) BC17, (3) BC18, (4) BC19, (5) SBK Ghosh, (6) SBK DDC, (7) SBK Prategang, (8) SBK TCY, (9) SBK TCY dengan gap, (10) SBK Hibrida, (11) SBK Gambar 13-(a), dan – (12) SBK Gambar 13-(b). Hasil penilaian ditampilkan pada Tabel 1. Pada masing-masing jenis akan diuraikan karakteristiknya dari segi kinerja dan kemudahan kerjanya. Beberapa butir penilaian meliputi kemudahan fabrikasi, kemudahan ereksi/instalasi, penegangan & grouting, keawetan, kemudahan perbaikan sesudah terjadi kerusakan, ketahanan bakar, kemampuan self-centering, penyerapan energi, dan kapasitas drift. Metoda penilaian dengan skor akan dilakukan di dalam studi ini untuk mendapatkan jenis sambungan yang bernilai paling tinggi. Cara ini telah pernah dilakukan dalam studi yang serupa [5], dan akan diterapkan di sini dengan modifikasi. Untuk mendapatkan keseragaman di dalam skala skor, masing-masing butir penilaian dijabarkan menjadi 5 sub-item. Skor akan diberikan berdasarkan pemenuhan pada kriteria yang dimaksudkan. Ternyata evaluasi menghasilkan nilai-nilai tertinggi jatuh pada 2 jenis sambungan yang sederhana dan mudah dilaksanakan, yaitu Pilihan 11 dan Pilihan 12. Posisi ke-3 diduduki oleh Pilihan 6 berdasarkan pada nilai-nilai keunggulan kinerjanya. C-131
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752
Tabel 1: Evaluasi SBK pada kinerja dan kemudahan kerja.
*) Catatan : Pilihan 1 Pilihan 2 Pilihan 3 Pilihan 4
-
SBK BC16 SBK BC17 SBK BC18 SBK BC19
(Gbr. 7) (Gbr. 7) (Gbr. 7) (Gbr. 7)
Pilihan 5 Pilihan 6 Pilihan 7 Pilihan 8
Manajemen dan Rekayasa Struktur
-
SBK Ghosh SBK DDC SBK Prategang SBK TCY
(Gbr. 10) (Gbr. 8) (Gbr. 11-a) (Gbr. 11-b)
Pilihan 9 Pilihan 10 Pilihan 11 Pilihan 12
-
SBK TCY dgn. gap (Gbr. 11-c) SBK Hibrida (Gbr. 11-d) SBK Gbr. 13-a SBK Gbr. 13-b
C-132
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752
Kenyataan ini menarik untuk diperhatikan, karena aspek kemudahan kerja dianggap memiliki prioritas yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan aspek kinerja. Pada keadaan yang sebenarnya, kebutuhan pada masing-masing bangunan memang tidak bisa sama atau seragam. Berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, suatu bangunan mungkin lebih membutuhkan kinerja daripada kemudahan kerja, sedangkan bangunan lainnya menghendaki keadaan yang sebaliknya. Untuk situasi seperti inilah, dipandang perlu di masa mendatang untuk lebih mengembangkan penelitian yang mengarah pada penemuan jenis-jenis sambungan yang baru dengan mengedepankan aspek kemudahan kerjanya sambil tetap mempertahankan kinerjanya pada aras yang memadai (reasonable).
6. KESIMPULAN Pengetahuan tentang karakteristik SBK harus dimiliki oleh seorang insinyur bangunan. Keterangan mengenai keunggulan dan kelemahan dari berbagai jenis sambungan sangat penting untuk diketahui bila dia bermaksud membangun bangunan SRPM beton pracetak. Kriteria pertama untuk dipertimbangkan adalah kinerja sambungan. Kinerja ini yang akan memberikan penjelasan tentang bagaimana struktur berperilaku dalam merespons beban-beban, dan seberapa besar faktor keamanan yang bisa dikerahkan terhadap bahaya keruntuhan. Hal ini akan lebih dirasakan esensinya bila SRPM akan dibangun di daerah rawan bencana gempa. Untuk maksud ini, bukan saja kekuatan, melainkan juga daktilitas dan kemampuan penyerapan/pemencaran energi, diperlukan untuk meyakinkan keamanan para penghuni dari bencana yang ditimbulkan oleh runtuhnya bangunan akibat gempa. Kriteria kedua adalah kemudahan kerjanya, yaitu kemudahan dan kesederhanaan sambungan untuk dipasang. Kriteria ini tidak kalah pentingnya daripada yang pertama, karena dengan pertimbangan inilah nilai-nilai desain akan dituangkan ke dalam pelaksanaan. Tidak menjadi masalah, bagaimanapun bagusnya kinerja yang ditetapkan di dalam perencanaan, bila sulit dilaksanakan maka akan kurang berguna. Dengan kesulitan dan kerumitan di dalam pelaksanaan, beberapa detail konstruksi tidak bisa dipasang secara benar, sehingga mekanisme penyaluran gaya-gaya di dalam struktur akan terganggu. Lebih lanjut, mutu tenaga kerja setempat yang kurang bagus akan menyebabkan nilai-nilai
Manajemen dan Rekayasa Struktur
yang telah ditetapkan di dalam desain sepertinya tidak akan bisa dicapai. Karenanya, adalah penting untuk juga memberikan ruang bagi aspek kemudahan kerja untuk SBK ini. Dengan memberikan tempat bagi kedua kriteria tersebut, akan diperoleh hasil desain yang masih berkinerja cukup bagus yang masih dapat diimplementasikan dengan baik. Kuncinya adalah pada pengendalian proses desain sehingga menghasilkan sambungan-sambungan yang mudah dikerjakan dan dengan kinerja pada aras yang memadai.
KEPUSTAKAAN [1].
[2].
[3].
[4].
[5].
[6].
[7].
[8].
[9].
ACI Committee (2008) Building Code Requirements for Structural Concrete (ACI 31808). Farmington Hills, Michigan, U.S.A., 477 h. ASCE-SEI (2005) Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures (ASCE 705 Standard). Reston, Virginia, U.S.A., 418 h. Badan Standarisasi Nasional (BSN) (2002) Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung (SNI 03-17262002). Bandung, Indonesia, 69 h. Brzev, S. and Perez, T.G (2004) Precast Concrete Construction. Publikasi British Columbia Institute of Technology, Canada. (Tanpa identitas tempat dan waktu publikasi). Camarena, D. (2006) Finite Element Analysis of Precast Prestressed Beam-Column Concrete Connection in Seismic Construction. Master’s Thesis, Chalmers University of Technology, Gotheborg, Sweden, 106 h. Englekirk, R.E. (1995) The Development and Testing of A Ductile Connector for Assembling Precast Concrete Beams and Columns, PCI Journal, March-April, pp. 36-51. Ertas, O., Ozden, S. and Ozturan, T. (2006) Ductile Connections in Precast Concrete Moment Resisting Frames, PCI Journal, MayJune, h 2-12. Ghosh, S.K., Nakaki, S.D. and Krishnan, K. (1997) Precast Structures in Region of High Seismicity – 1997 UBC Design Provision, PCI Journal, November-December, h 76-94. Hirosawa, M., Akiyama, T., Kondo, T. and Zhou, J. (2000) Damages to Beam-to-Column Joint Panels of R/C Buildings Caused by The 1995 Hyogo-ken Nanbu Earthquake and The Analysis. Proceedings of 12th World ConferC-133
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752
[10].
[11].
[12].
[13].
[14].
[15].
ence on Earthquake Engineering, New Zealand, Paper No. 1321. International Conference on Building Official (ICBO) (1997) Uniform Building Code 1997 (UBC 1997) – Vol. 2. Whittier, California, U.S.A., 545 h. Joint ACI-ASCE Committee 352 (2002) Recommendations for Design of Beam-Column Connections in Monolithic Reinforced Concrete Structures (ACI 352R-02). Farmington Hills, Michigan, U.S.A., 37 h. Martin, L.D. and Korkosz, W.J. (1982) Connections for Pre-cast Concrete Buildings – Including Earthquake Resistance – A Research Investigation. Glenview, Illinois, U.S.A., 302 h. Mitchell, D., De Vall, R.H., Saatcioglu, M., Simpson, R., Tinawi, R. and Tremblay, R. (1995) Damage to Concrete Structures due to The 1994 Northridge Earthquake, Canadian Journal of Civil Engineering, Vol. 22, h 361377. Nakaki, S.D., Stanton, J.F. and Sritharan, S. (1999) An Over-view of The PRESSS FiveStory Precast Test Building, PCI Journal, March-April, p 26-39. Priestley, M.J.N., Sritharan, S. and Conley, J.R. (1999) Preliminary Results and Conclusions from The PRESSS Five-Story Precast Test Building, PCI Journal, NovemberDecember, h 42-67.
Manajemen dan Rekayasa Struktur
C-134