SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM Oleh Joni Zulhendra, SHI.MA Abstract The results of this study revealed that the crown witness in the contemporary Islamic law is a matter that requires an answer, because this is happening in practice court. In the classic book not found discussion of crown witnesses as evidence in criminal settlement, because it is the practice of using the crown witness was not known at the time. If it takes the crown witnesses as evidence in a criminal case reveals the absence of other evidence in its favor, the crown witness is allowed, because the actors are made witness to explain an actual criminal case. Surely this is an emergency such testimony, because there are no witnesses except the actors themselves who know the case and the judge's consideration of the testimony received in order to seek benefit and fair decisions. But if there is other evidence, the witness left the crown because the requirements of justice are not met by the Crown witnesses. Because the witness is a witness of the suspects who used another fellow suspects. So there are conditions that can not be met by a crown witness. Terms are witnesses or the fairness requirement in Islamic law termed the al-'Is. With these unfair conditions are not fulfilled by the judge led to his testimony is not accepted. A. PENDAHULUAN Hukum Islam sebagai aturan dalam masyarakat, menjelaskan bahwa setiap tindakan yang merugikan dan menimbulkan bahaya baik jiwa, harta, akal, keturunan maupun kehormatan orang lain dan diri sendiri dipandang sebagai kejahatan. Di mana setiap kejahatan tersebut ada sanksi hukumnya, sesuai dengan jenis dan sifatnya. Aturan tersebut dapat diketahui melalui nash (al-Qur’an dan Sunnah) serta ijtihad para mujtahid. Perbuatan kejahatan yang dilakukan dalam masyarakat, diberikan sanksi pidana dalam rangka mewujudkan keadilan. Dalam hal ini hakim sebagai penentu dalam memutus perkara pidana harus melihat alat bukti yang berkaitan dengan penyelesaian suatu tindak pidana. Karena dengan adanya alat bukti, kejelasan dan kepastian suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi. Paradigma alat bukti dalam kajian hukum Islam senantiasa mendapat perhatian serius, hal ini dimaksudkan untuk menjamin penerapan hukum Islam dalam rangka mewujudkan maqashid syari’at, walaupun terkadang masih terdapat perbedaan pendapat dalam kepastian hukum terhadap beberapa tindakan kejahatan.
1
Penggunaan saksi dalam suatu proses penyelesaian perkara kejahatan adalah dua orang laki-laki yang memang benar-benar mengetahui kejadian tersebut. Dengan adanya saksi akan terwujud kepastian hukum terhadap akibat dari perbuatan yang telah dilakukan. Sehingga akan terwujud kemaslahatan hidup manusia yang sesuai dengan tujuan dari hukum Islam. Keberadaan saksi dalam suatu tindakan yang terkait dengan suatu perbuatan pidana sangat penting dan utama. Kesaksian menurut mayoritas ulama disebut dengan Syahadat1. Syahadat sangat penting dalam menetapkan hak atas diri orang lain2, karena mengandung pemberitaan yang pasti, baik itu ucapan yang keluar dan diperoleh dengan penyaksian langsung atau dari pengetahuan yang diperoleh dari orang lain karena beritanya telah tersebar. Saksi dalam mengungkap suatu perkara pidana sangat menentukan sanksi yang akan dijatuhkan oleh hakim. Sehingga dengan adanya alat bukti saksi akan terwujud suatu keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu kesaksian merupakan suatu metode yang sangat penting terhadap pelanggaran yang dilakukan seseorang, agar ditetapkan sanksi hukum bagi pelaku tindakan kejahatan.3 Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pasal 1 ayat 26 dikatakan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. 4 Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa yang dapat menjadi saksi : 1. Orang yang melihat atau menyaksikan dengan mata kepala sendiri suatu peristiwa pidana. 2. Orang yang mendengar sendiri terjadinya suatu peristiwa pidana. 3. Orang yang mengalami sendiri atau orang yang menjadi korban dari suatu peristiwa pidana. 4. Orang yang secara tidak langsung mengetahui adanya perbuatan kejahatan itu.
1
Ahmad Fathi Bahnisyi, al-Diyatu fi al-Syari’at al-Islamiyat, (al-Maktabat al-Injil al-Mashriyat, tth), h. 165 2 Asadullah al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), h. 45 3 Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamy Muqaran bi al-Qanun al-Wadh’iy, (Beirut : Muassasat al-Risalat, jilid II, 1992), h. 314 4 Ibid, h: 186
2
Dalam penyelesaian perkara pidana saksi digunakan minimal dua orang saksi, jika tidak terpenuhi maka hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana. Dalam hal ini disebut dengan unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). Sesuai dalam KUHAP pasal 185 ayat 2 mengatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.5 Untuk menghindari kekurangan alat bukti saksi, maka ada bentuk saksi lain yang juga terjadi di dalam proses pengadilan di Indonesia , yaitu saksi mahkota. Istilah saksi mahkota berasal dari bahasa Belanda “Kroon Getuige”6, yang berarti kesaksian sesama terdakwa yang biasanya terjadi dalam suatu peristiwa dalam hukum pidana, apabila dalam suatu tindak pidana terlibat lebih dari seorang pelaku, sehingga harus dicari sejauh mana pertanggungjawaban dari masing-masing pelaku. Keberadaan saksi mahkota ini disebabkan karena para saksi adalah para terdakwa dalam beberapa perkara yang dipecah-pecah dengan dakwaan yang sama. Dalam praktek, antara seorang terdakwa dengan terdakwa lain yang bersama-sama melakukan tindak pidana, bisa dijadikan saksi antara yang satu dengan yang lain.7 Penggunaan saksi mahkota dalam pengadilan menjadi alternatif sebagai salah satu saksi dalam mengungkap dan memutuskan suatu perkara tindak pidana. Penggunaan saksi mahkota dalam menyelesaikan perkara pidana dapat diberlakukan, karena alat bukti saksi minimal yang digunakan adalah dua orang saksi. Oleh karena itu saksi mahkota, menjadi saksi terhadap tindak pidana yang telah dilakukan. Hal ini senada dengan pernyataan seorang hakim di Pengadilan Negeri Padang, bahwa “Munculnya saksi mahkota ini disebabkan karena para saksi adalah para terdakwa dalam beberapa perkara yang dipecah-pecah dengan dakwaan yang sama. Dalam kejahatan yang terorganisasi, sering terjadi kekurangan alat bukti berupa saksi di pengadilan. Maka penggunaan saksi mahkota menjadi alternatif dalam penyelesaian tindak pidana tersebut, seperti perjudian, narkotika, pencurian dan lainnya. Saksi mahkota juga dapat dikatakan sebagai terdakwa dijadikan saksi, dan sebaliknya saksi dijadikan terdakwa dalam beberapa berkas perkara yang 5
KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) & KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), op,cit, h. 249 6 Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), h. 272 7 Hari Sasangka, Lili Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, (Bandung : Mandar Maju, 2003), h. 51
3
dipisahkan satu sama lain, atau adanya para saksi yang juga adalah terdakwa dalam beberapa perkara yang dipecah-pecahkan dengan dakwaan yang sama.8 Dalam tindak pidana yang pelakunya lebih dari seorang atau dilakukan secara terorganisir, maka salah satu jalan untuk pembuktiannya adalah dengan menggunakan saksi mahkota, karena tidak terpenuhinya sekurang-kurangnya dua orang saksi. Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti pada penyelesaian kasus tindak pidana merupakan fenomena baru yang terjadi dalam hukum pidana Indonesia, dan tidak ada penjelasan status kedudukannya dalam hukum Islam, karena syarat saksi dalam hukum Islam adalah adil.
B. PEMBAHASAN 1. Alasan Penggunaan Saksi Mahkota Dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan pengadilan, keterangan saksi merupakan alat bukti yang sangat penting untuk membuktikan sesuatu dalam perkara itu. Dengan adanya saksi dalam pembuktian, hakim akan dapat mengambil pertimbangan yang sebaik-baiknya terhadap perkara yang bersangkutan dan kemudian memberikan keputusan yang seadil-adilnya dan yang benar menurut peraturan yang berlaku. Dalam pasal 183 KUHAP yang menyebutkan bahwa ” hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.9 Berdasarkan pasal 183 di atas sebagai alasan penggunaan saksi mahkota adalah sebagai berikut : 1. Dalam proses acara pidana berdasarkan pada minimum dua alat bukti. Untuk dapat melakukan penuntutan sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti. Agar hal itu tercapai maka penuntut umum melakukan pemisahan berkas perkara untuk menghadirkan saksi mahkota. 2. Asas unus testis nullus testis, satu orang saksi bukanlah saksi. Pasal 185 ayat 2 KUHAP bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.10 8
Zulkifli, Hakim Pengadilan Negeri Padang Wawancara, Padang tanggal 30 Januari 2010 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) & KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), op.cit, h.248 10 Ibid, h. 249 9
4
3. Tidak terdapat saksi lain selain dari saksi mahkota. Tidak ada seorangpun yang mendengar, melihat, mengalami sendiri bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana kecuali saksi mahkota. 4. Hakim menginginkan adanya saksi yang mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri tindak pidana. Dalam hal ini saksi mahkota yang memenuhi itu. Walaupun kesaksian itu akan membuktikan kesalahan yang ia lakukan sendiri. Kalau saksi hanya dari penyidik saja mungkin saja itu hanya rekayasa dari penyidik, sebab penyidik bertugas untuk mencari kesalahan dari terdakwa. Untuk menghindari hal itu digunakan saksi dari orang lain yang bukan penyidik yang mengetahui langsung peristiwa pidana tersebut. Dalam hal ini yaitu menggunakan saksi mahkota. Pada tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang (delneming) dan menggunakan saksi mahkota, sangat erat hubungannya dengan asas presumption of innocence (praduga tak bersaklah) dan asas non self incrimination (tidak menyalahkan diri sendiri). Dalam melakukan tindak pidana para pelaku tidak ada orang yang menyaksikan mereka melakukan perbuatan tersebut. Para pelaku saling memberikan kesaksian untuk membuktikan kesalahan mereka masing-masing. Maksudnya pelaku yang satu membuktikan kesalahan pelaku yang lain dan begitu juga sebaliknya. Kesaksian yang mereka berikan secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan dirinya. Di dalam proses peradilan pidana terdakwa mempunyai hak untuk mengajukan saksi yang menguntungkan atau yang meringankan terdakwa demi pembelaan diri atas tuduhan terhadap dirinya. Hak ini harus diterima oleh terdakwa sebagaimana pasal 160 ayat 1 huruf c KUHAP menyebutkan bahwa dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan / atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkan putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.11 Terdakwa juga diberi hak untuk menerima ataupun menolak keterangan saksi dipersidangan, serta mendapat hak untuk bertanya kepada saksi. Sebagaimana dalam
11
Ibid, h. 240-241
5
pasal 164 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) mengenai hak terdakwa untuk menolak ketrangan saksi menyatakan sebagai berikut : Ayat 1). Setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut. Ayat 2). Penuntut umum atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa.12 Penggunaan saksi mahkota dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Dalam pemeriksaan perkara yang telah dilakukan pemisahan perkara pidana (splitsing), keterangan yang diberikan oleh masing-masing pelaku, berupa keterangannya sebagai saksi bukan untuk mengakui perbuatannya. Keterangan yang diberikan berguna untuk pembuktian suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa dan keterangan tersebut tidak dapat diberlakukan terhadap dirinya pada saat menjadi terdakwa nantinya. Jadi secara umum sebagai alasan dalam penggunaan saksi mahkota disebabkan karena para saksi adalah para terdakwa dalam beberapa perkara yang dipecah dengan dakwaan yang sama, kemudian hal inilah yang menyebabkan timbulnya saksi mahkota. 2. Saksi Mahkota Dalam Hukum Islam Pembuktian dengan menggunakan saksi terhadap tindak pidana dalam hukum Islam, para fuqaha membedakan antara jarimah13 yang hukumannya badaniyah, seperti qishash, dera dan lain-lain dengan jarimah yang hukumannya maliah, seperti diat atau ganti rugi. Berikut penjelasan dari jarimah yang hukumannya badaniyah dan maliah : 1. Jarimah yang Hukumannya Badaniyah Jarimah yang hukumannya badaniah adakalanya qishash dan ada kalanya ta’zir. Untuk jarimah yang hukumannya qishash, menurut jumhur fuqaha, pembuktiannya
12
Ibid, h. 242 Jarimah yang dimaksud di sini adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau tazir. Dengan kata lain unsur materil dari jarimah adalah melakukan perbuatan atau perkataan yang dilarang dan telah ditetapkan hukumannya yang dilaksanakan oleh pengadilan. Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimat wa al-Uqubat fi al-Fiqh al-Islamy (Kairo : Maktabat al-Mishriyat,tt), h. 374. lihat juga Abu al-Hasan al-Mawardi, al-ahkam alSulthaniyat, (Mesir : Musthafa al-Baby al-Halaby, 1975), cet III, h. 219 13
6
harus dengan dua orang saksi laki-laki dan tidak boleh dengan seorang saksi laki-laki dan dua perempuan atau seorang saksi laki-laki ditambah sumpahnya korban. Ketentuan ini berlaku baik dalam qishahs jiwa maupun bukan jiwa, kecuali pendapat Imam Malik.14 Menurut Imam Malik pembuktian dengan dua orang saksi laki-laki hanya berlaku dalam qishahs atas jiwa saja. Adapun untuk qishash atas bukan jiwa, pembuktiannya bisa dengan seorang saksi laki-laki dan sumpanya korban. Untuk jarimah yang hukumannya ta’zir badaniyah bersama-sama dengan qishash maka pembuktiannya sama dengan jarimah yang mewajibkan hukuman qiashash. Adapun jarimah yang mewajibkan hukuman ta’zir badaniah tanpa qiashash maka menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, pembuktiannya sama dengan jarimah yang hukumannya qishash, yaitu harus dengan dua orang saksi laki-laki yang adil15. Hal ini karena hukuman badan itu merupakan hukuman yang cukup mengkhawatirkan, sehingga pembuktiannya harus hati-hati. Sedangkan menurut Imam Malik, untuk pembuktian jarimah qishash selain jiwa bisa dengan seorang saksi laki-laki dan sumpahnya korban dan hukuman yang dijatuhkan di samping qishash ditambah dengan hukuman ta’zir. Menurut Imam Abu Hanifah, untuk membuktikan jarimah yang hukumannya ta’zir bisa digunakan dua saksi laki-laki yang salah satunya adalah korban atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. 2.
Jarimah yang Hukumannya Maliah Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, pembuktian untuk jarimah yang
hukumannya maliah, seperti diat atau ganti rugi bisa dengan dua orang saksi lakilaki, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan atau seorang laki-laki dan sumpahnya korban. Sementara Malikiah membolehkan pembuktian untuk jarimah yang hukumannya maliah dengan saksi dua orang wanita ditambah dengan sumpah korban. Alasannya adalah bahwa dua orang wanita dapat menggantikan seorang lakilaki dalam kedudukannya sebagai saksi dalam masalah harta benda. Karena itu dalam hukuman maliah dua orang perempuan juga bisa digunakan sebagai saksi untuk pembuktian tindak pidananya16. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, untuk pembuktian tindak pidana yang hukumannya maliah dapat digunakan dua orang saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. 14
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jinaiy al-Islamy, (Beirut : Dar al-Kitab al-Araby,tt). Juz II, h. 315-316 15 Ibid, h. 317 16 Ibid, h. 318-319
7
Mereka tidak membolehkan digunakannya seorang saksi laki-laki ditambah dengan sumpah atau dua orang perempuan ditambah dengan sumpah, karena hal itu berarti menambah-nambah nas yang tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 282.
ِ ِ ْي فَرجل وامرأَت ض ْو َن َ َ ْ َ ٌ ُ َ ِ ْ َيديْ ِن ِم ْن ِر َجالِ ُك ْم فَِإ ْن ََلْ يَ ُكونَا َر ُجل َ استَ ْش ِه ُدوا َش ِه َ ان ِم َّْن تَ ْر ْ َو ِ ِمن الش ِ ُّه َداءُ إِ َذا َما ْ ُّه َداء أَ ْن تَض َّل إِ ْح َد ُاُهَا فَتُ َذ ِّكَر إِ ْح َد ُاُهَا ْاْل َ ب الش َ َ َ ُْخَرى َوََل يَأ …ُدعُوا
… dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara mu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-kaki dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil...(QS. al-Baqarah : 282)
Ibn al-Qayyim berpendapat bahwa tindak pidana yang hukumannya maliah dapat dibuktikan dengan seorang saksi tanpa diperkuat dengan sumpah, apabila hakim mempercayai dan meyakini keterangan yang disampaikan oleh saksi tersebut17. Apabila hakim tidak meyakini keterangan saksi karena keterangannya meragukan maka hakim dapat menolaknya. Kunci untuk diterimanya kesaksian adalah keyakinan hakim. Apabila keterangan para saksi tidak seragam atau bahkan bertentangan antara saksi yang satu dengan saksi yang lain maka kesaksian yang demikian tentu saja meragukan dan hakim sebagai pengambil keputusan tentu tidak yakin dan menolak kesaksian tersebut. Hakim dalam proses pengadilan di Indonesia saksi yang digunakan adalah minimal dua orang saksi, jika tidak terpenuhi maka hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana. Akan tetapi ada bentuk saksi lain yang digunakan oleh hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana oleh hakim di pengadilan, yaitu saksi mahkota. Istilah saksi mahkota sebagai alat bukti dalam proses penyelesaian perkara pidana merupakan persoalan yang sangat menarik untuk dicermati. Saksi mahkota dihadirkan dalam proses penyelesaian perkara pidana disebabkan karena para saksi adalah para terdakwa dalam beberapa perkara dengan dakwaan sama yang disertai dengan adanya suatu peristiwa penyertaan. Tanpa adanya peristiwa penyertaan dalam suatu tindak pidana, maka saksi mahkota sangat sukar ditemui untuk kepentingan 17
Ibnu Qayyim al-Jauziah, Ilam al-Muwaqqiin al-Rabbil Alamin, (Dar al-Fikr, 1877, Juz I), h.
96
8
pembuktian suatu tindak pidana. Sebagaimana dalam praktek sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam peristiwa pidana.18 Di samping pelaku ada seorang atau beberapa orang yang turut serta pada tindak pidana, seperti pembunuhan, tindak pidana itu tidak akan terlaksana atau selesai bila suatu perbuatan dilakukan adanya keturutsertaan dari masing-masing pelaku, hal inilah berhubungan dengan saksi mahkota. Dalam hukum Islam sesuatu perbuatan yang dilarang jarimah adakalanya diperbuat oleh seorang diri dan adakalanya oleh beberapa orang (peristiwa penyertaan yang menyebabkan munculnya saksi mahkota). Apabila diperbuat oleh beberapa orang, maka bentuk-bentuk kerja sama antara mereka adalah : 1. Pembuat melakukan jarimah bersama-sama orang lain (memberikan bagiannya dalam melaksanakan jarimah). Artinya secara kebetulan melakukan bersamasama. 2. Pembuat mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan jarimah. 3. Pembuat menghasut (menyuruh) orang lain untuk melakukan jarimah. 4. Memberi bantuan atau kesempatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagaibagai cara, tanpa turut berbuat.19 Untuk membedakan antara turut berbuat langsung dengan turut tidak berbuat langsung, maka dikalangan fuqaha terdapat dua penggolongan, Pertama, orang yang turut berbuat secara langsung dalam melaksanakan jarimah disebut syarik mubasyir, dan perbuatannya disebut isytirak mubasyir, Kedua, orang yang tidak turut berbuat secara langsung dalam melaksanakan jarimah disebut syarik mutasbbib dan perbuatannya disebut isytirak ghairul mubasyir atau isyitirak bittasabbubi.20 Perbedaan antara kedua orang tersebut ialah kalau orang pertama menjadi kawan nyata dalam pelaksanaan jarimah, sedangkan orang yang kedua menjadi sebab 18
Pertanggungjawaban atas tindakan para pelaku tindak pidana harus dibagi antara para peserta dengan kata lain tiap-tiap peserta juga turut serta mempertanggungjawabkan perbuatannya, dengan demikian di antara peserta diberi hukuman yang tidak sama sebab para pelaku itu tidaklah sama bagian dari perbuatan yang mereka lakukan. Sehingga dalam hal ini saksi mahkota sangat dibutuhkan terhadap penjelasan kasus yang terjadi antara seorang terdakwa dengan terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan tindak pidana kejahatan, pada saat itu dijadikan saksi dan pada saat yang lainnya dijadikan terdakwa. Lihat Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung : Mandar Maju, 2003), cet. I, h. 51 19 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1993), cet ke-5, h. 136 20 Ibid,
9
adanya jarimah, baik karena janji-janji atau menyuruh (menghasut) atau memberikan bantuan, tetapi tidak ikut serta secara nyata dalam melaksanakannya. Berikut penjelasan dari masing-masing pelaku dalam melakukan jarimah; 1. Turut berbuat langsung Pada dasarnya turut berbuat langsung baru terdapat apabila orang-orang yang memperbuat jarimah dengan nyata lebih dari seorang atau yang biasa disebut dengan berbilangnya pembuat asli. Ini dapat terjadi, manakala orang melakukan sesuatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah yang cukup disifati sebagai maksiat, yang dimaksudkan untuk melaksanakan jarimah itu. Dengan istilah sekarang ialah apabila ia telah melakukan percobaan, baik jarimah yang diperbuat itu selesai atau tidak, karena selesai atau tidaknya sesuatu jarimah tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai orang yang turut berbuat langsung. Pengaruhnya hanya sebatas pada besarnya hukuman, yaitu apabila jarimah yang diperbuatnya itu selesai, sedang jarimah itu berupa jarimah had, maka pelaku dijatuhi hukuman had, kalau tidak selesai maka hanya dijatuhi hukuman ta’zir. Sebagai contoh pelaku yang ditetapkan sebagai orang yang turut berbuat langsung adalah, pertama, orang yang memperbuat jarimah sendirian atau bersamasama orang lain. Jika masing-masing dari tiga orang mengarahkan tembakan kepada korban dan mati karena tembakan itu, maka ketiga orang tersebut dianggap melakukan pembunuhan. Demikian pula apabila mereka bersama-sama mengambil barang orang lain, masing-masing dianggap sebagai pencuri. Kedua dipandang sebagai turut berbuat langsung pelaku yang menjadi sebab (tidak langsung), apabila pembuat langsung hanya menjadi kaki tangannya semata-mata. Sebagai contoh jika seorang menyuruh anak di bawah umur atau orang yang mempunyai i’tikad baik untuk membunuh orang lain, kemudian suruhan itu dilaksanakannya, maka orang yang menyuruh itu yang dipandang sebagai pembuat langsung.21 Di samping itu termasuk juga kepada turut berbuat langsung adalah bentuk perbuatan yang sebenarnya turut serta tidak langsung, yaitu apabila pelaku langsung hanya menjadi kaki tangan atau alat semata-mata bagi pelaku tidak langsung. Misalnya apabila seseorang memerintahkan anak di bawah umur untuk membunuh orang lain, kemudian perintahnya itu dilaksanakannya maka orang yang memerintahkan itu juga dianggap sebagai pelaku langsung. Akan tetapi menurut 21
Ibid, h. 141
10
imam Abu Hanifah, orang yang memerintahkan tersebut tidak dianggap sebagai pelaku langsung kecuali apabila perintahnya itu merupakan paksaan bagi orang yang melaksanakannya. Dengan demikian, apabila perintah tersebut tidak sampai kepada tingkatan paksaan maka perbuatannya itu tetap dianggap sebagai turut serta tidak langsung.22 Turut serta secara langsung adakalanya dilakukan secara kebetulan saja dan adakalanya direncanakan lebih dahulu. Jika kerja sama itu secara kebetulan saja maka disebut tawafuq dan kerja sama yang direncanakan lebih dahulu disebut tamalu. Contoh tawafuq adalah A sedang berkelahi dengan B. C yang mempunyai dendam kepada B kebetulan lewat dan ia turut mengayunkan pisaunya ke perut B, sehingga akhirnya B meninggal dunia. Dalam contoh ini A dan C bersama-sama membunuh B, tetapi antara mereka tidak ada permufakatan sebelumnya. Sedangkan contoh tamalu’ adalah A dan B bersepakat untuk membunuh C, kemudian A mengikat korban C dan B memukulnya sampai akhirnya C meninggal dunia. Dalam contoh ini A dan B dianggap sebagai pelaku atau orang yang turut serta secara langsung atas dasar permufakatan. Mengenai pertanggungjawaban peserta langsung dalam tawafuq dan tamalu’ terdapat perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha. Menurut jumhur ulama ada perbedaan pertanggungjawaban peserta antara tawafuq dan tamalu’. Pada tawafuq masing-masing peserta hanya bertanggungjawab atas akibat perbuatannya sendiri dan tidak bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Sedangkan pada tamalu’ para peserta
harus
mempertanggungjawabkan
akibat
perbuatan
mereka
secara
keseluruhan.23 Kalau korban misalnya sampai meninggal dunia, maka masingmasing peserta dianggap sebagai pembunuh. Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah
dan
sebagian
fuqaha
Safi’iyah
tidak
ada
perbedaan
antara
pertanggungjawaban para peserta dalam tawafuq dan tamalu’, yaitu bahwa masingmasing pelaku hanya bertanggungjawab atas akibat perbuatan secara keseluruhan. Dalam hukum pidana Indonesia turut serta melakukan kejahatan ini diatur dalam Bab 5 Pasal 55 sampai dengan Pasal 62 KUHP. Pada pasal 55 disebutkan : (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :
22
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jinaiy al-Islamy, (Beirut : Dar al-Kitab al-Araby,tt). Juz I,
h. 362 23
Ibid, h. 361
11
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan 2. Mereka
yang
dengan
memberi
atau
menjanjikan
sesuatu,
dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Pasal 56 : Dipidana sebagai pembantu kejahatan : (1) Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan (2) Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan perbuatan 2. Turut berbuat tidak langsung Yang dianggap turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu yang dapat dihukum, atau menyuruh (menghasut) orang lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.24 Dari keterangan tersebut diketahui unsur-unsur turut berbuat tidak langsung, yaitu : 1. perbuatan yang dapat dihukum (jarimah), 2. niat atau maksud dari orang yang turut berbuat, agar perbuatan yang dimaksudkan dapat terjadi, 3. cara mewujudkan perbuatan tersebut yaitu mengadakan persepakatan/kerja sama, menyuruh atau membantu. Unsur turut berbuat tidak langsung yang pertama untuk terwujudnya turut serta tidak langsung, disyaratkan adanya perbuatan yang dapat dihukum. Dalam hal ini perbuatan tersebut tidak perlu harus selesai melainkan cukup walaupun baru percobaan saja. Kemudian juga disyaratkan adanya niat dari orang yang turut berbuat, agar dengan persepakatan, suruhan atau bantuannya itu perbuatan tersebut dapat terjadi. Cara dalam mewujudkan perbuatan turut berbuat tidak langsung adalah dengan persepakatan yang bisa terjadi karena adanya saling pengertian dan kesamaan
24
Ahmad Hanafi, op.cit, h. 144
12
kehendak untuk melakukan suatu jarimah, jika tidak ada persepakatan sebelumnya maka tidak terdapat turut berbuat25. Dengan demikian untuk terjadinya persepakan, jarimah yang terjadi harus merupakan akibat dari persepakatan itu. Dalam hal ini Imam Malik mempunyai pendapat sendiri, yaitu apabila terjadi persepakatan antara seseorang dengan orang lain di mana seorang menjadi pelaku langsung sedangkan yang lain hanya turut hadir dan menyaksikan pelaksanaan jarimah tersebut, maka orang yang menyaksikan itu dianggap sebagai kawan berbuat langsung. Pendapat ini berlaku dalam semua cara turut serta tidak langsung, baik dengan jalan persepakatan, suruhan ataupun bantuan. Perbuatan langsung dengan perbuatan tidak langsung, ketika terjadi suatu tindak pidana, maka dalam proses penyelesaian di pengadilan kesaksian antara pelaku diberlakukan baik pelaku secara langsung maupun pelaku tidak langsung. Kesaksian antara pelaku tindak pidana yang dimaksudkan di sini adalah yang disebut dengan saksi mahkota. Saksi mahkota dalam hukum Islam merupakan persoalan kontemporer yang membutuhkan jawaban, sebab hal ini terjadi dalam praktek pengadilan. Saksi mahkota dalam proses pengadilan merupakan sangat dibutuhkan terhadap penjelasan kasus yang terjadi antara seorang terdakwa dengan terdakwa lainnya yang bersamasama melakukan tindak pidana kejahatan, pada saat itu dijadikan saksi dan pada saat yang lainnya dijadikan terdakwa. Saksi mahkota menjadi alternatif bagi hakim untuk mengetahui suatu peristiwa pidana yang dilakukan secara terorganisir. Dalam kitab klasik tidak ditemukan pembahasan tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam penyelesaian perkara pidana, karena memang praktek penggunaan saksi mahkota belum dikenal ketika itu. Akan tetapi digunakan alat bukti lain, yang disebut dengan املعا ينة او النظر26 pemeriksaan yang diperlukan terhadap perkara-perkara yang membutuhkan kejelasan dari hakim dalam rangka mencari kebenaran isi gugatan penggugat. Ini dilakukan oleh hakim apabila masih ragu, kurang alat bukti atau alasan-alasan lainnya. Saat dilakukan pemeriksaan setempat, dibolehkan bagi hakim melakukan sidang ditempat tersebut, baik atas permintaan pihak-pihak yang berperkara maupun atas inisiatif hakim dengan mempertimbangkan kemaslahatan, kemudian pemeriksaan harus dicatat oleh petugas pencatat.
25
Ibid, 367 Asadulloh al-Faruq, Hukum Acara Perdailan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009),
26
h. 94
13
3. Keberadaan Saksi Mahkota sebagai Alat Bukti Pada pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa pemecahan perkara pidana akan menimbulkan saksi mahkota. Keberadaan saksi mahkota tidak diatur secara tegas dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), namun KUHAP tidak melarang penggunaan saksi mahkota, pasal 142 KUHAP menjadi alasan penggunaan saksi mahkota bagi hakim di pengadilan. Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti sama dengan saksi biasa sebagaimana yang diatur dalam pasal 160 sebagai berikut27 : (1)
a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum b. Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi c. Dalam hal ada saksi baik yang menguntung maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan/atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.
(2) Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan , tempat tinggal, agama dan pekerjaan, selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta apakah ie berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat berapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya. (3) Sebelum memberik keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. (4) Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan.
27
KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) & KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), (Bandung : Citra Umbara, 2006), h. 240-241
14
Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menyelesaikan perkara pidana, yang dapat didengar keterangannya sebagai saksi adalah orang yang dianggap sah oleh Undang-undang yang tidak mempunyai hubungan keluarga, selain itu juga semua saksi-saksi yang hendak didengar keterangannya di sidang pengadilan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya (Pasal 180 ayat 3 KUHAP). Hal inilah yang merupakan salah satu syarat yang telah ditetapkan KUHAP dan Undang-undang agar seseorang dapat didengar keterangnnya di persidangan, baik itu saksi biasa maupun saksi mahkota. Adapun yang dapat didengar keterangannya sebagai saksi mahkota adalah seseorang yang terkait langsung dengan perkara pidana tersebut yaitu dalam hal terdakwa dijadikan saksi dan sebaliknya saksi dijadikan tersangka oleh hakim yang telah ditunjuk untuk menyidangkan perkara pidana tersebut. Berkas pemeriksaan terhadap para terdakwa dipisah atau disebut pemisahan berkas perkara (splitsing)28. Ini dilakukan karena kurangnya saksi untuk menguatkan dakwaan penuntut umum, sehingga ditempuh cara mengajukan sesama tersangka sebagai saksi atas tersangka yang lain. Apabila keterangan saksi itu yang didengar dari orang lain bukan ia mengalami sendiri atau ia tidak terkait langsung dalam perkara pidana tersebut, maka keterangannya tidak dapat diterima sebagai saksi biasa ataupun saksi mahkota. Maksud dari saksi biasa merupakan saksi yang dihadapkan dipersidangan untuk diminta keterangnnya di persidangan apa yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri dan saksi alami sendiri (Pasal 160 ayat 1, 2, 3 dan 4 KUHAP). Sedangkan saksi mahkota kesaksian sesama terdakwa yang biasa terjadi dalam peristiwa penyertaan. Pada pemeriksaan perkara pidana yang menggunakan saksi mahkota kemungkinan terjadinya perbedaan keterangan pada waktu menjadi saksi dan pada saat menjadi terdakwa sangat besar. Pada waktu menjadi saksi ia bisa saja melibatkan dirinya ikut dalam perbuatan yang dilakukan terdakwa. Pada waktu menjadi terdakwa ia membantah terlibat dalam perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa. Hal ini terjadi karena persidangan yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Perbedaan keterangan itu berpengaruh terhadap terdakwa sendiri dan terhadap 28
Hari Sasangka dan Lily Rosita, op.cit, h. 51-52
15
penuntut umum. Bagi terdakwa dampaknya berupa dapat memperberat tuntutan penuntut umum terhadap perbuatan yang dilakukannya karena memberikan keterangan yang berbelit-belit. Sedangkan bagi penuntut umum berdampak menambah beban jaksa untuk mencari persesuian keterangan saksi dengan saksi lain. Dalam pemeriksaan tersangka tidak ada tekanan untuk memberikan keterangan / pengakuan. Walaupun tidak ada saksi lain yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri tindak pidana itu selain pelaku, namun hukum harus ditegakkan. Saksi yang sekaligus menjadi terdakwa akan memberikan keterangan secara bebas. Pada waktu menjadi saksi ia terlebih dulu disumpah sebelum memberi keterangan. Keterangan yang diberikan jika tidak sesuai dengan BAP, maka saksi akan menimbulkan tindak pidana baru yaitu memberikan keterangan dan sumpah palsu. Keterangan dan sumpah palsu diatur dalam KUHP pasal 242 ayat 1 : ”Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Dalam hal terjadinya keterangan palsu, di dalam KUHAP pasal 174 memberikan pengaturan, yaitu : (1) Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. (2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu. (3) Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini. (4) Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.29 Dalam praktek ternyata penggunaan saksi mahkota dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses pemeriksaan perkara pidana, karena lebih dari seorang 29
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan penjelasan resmi dan komentar (Bogor : Politeia, 1997), h. 153-154
16
terlibat dalam peristiwa tindak pidana yang dilakukan secara terorganisir. Di samping pelaku ada seorang atau beberapa orang lain yang turut serta dalam tindak pidana yang dilakukan. Tiap pelaku memberikan sumbangan atau andil dari suatu perbuatan, sehingga tindak pidana itu tidak akan terlaksana atau tidak akan selesai, bila suatu perbuatan dilakukan tanpa adanya keturutsertaan dari masing-masing pelaku.30 Maka untuk mengetahui perkara yang dilakukan secara teroganisir atau yang dilakukan oleh beberapa orang, digunakan konsep pemisahan perkara (splitsing) untuk mengungkap kebenaran materil dari suatu peristiwa pidana. Sehingga di sinilah muncul istilah saksi mahkota yang disebabkan karena para saksi adalah para terdakwa dalam beberapa perkara yang dipecah dengan dakwaan yang sama. C. Pandangan Hukum Islam terhadap Penggunaan Saksi Mahkota sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana Setiap perkara yang diajukan ke depan pengadilan, sipenggugat harus dapat membuktikan bukti-bukti terhadap kebenaran gugatannya tersebut. Hal ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad Saw dengan sabdanya :
البينة على املدعى واليمْي:عن ابن عباس رضى اهلل عنو أن النىب صلى اهلل عليو وسلم قال 31 ) (رواه البيهقى والرتمذى.على من أنكر Dari Ibnu ’Abbas r.a bahwasanya Rasulullah Saw bersabda : Pembuktian adalah kewajiban penggugat sedang sumpah adalah kewajiban orang yang mengingkari, (H.R. Baihaqi dan Turmudzi). Di antara bukti-bukti yang dapat diajukan penggugat adalah kesaksian saksi. Dengan demikian pengajuan saksi sebagai alat bukti yang memperkuat gugatan, dilakukan oleh penggugat itu sendiri. Hal ini disebabkan penggugat berada dipihak yang lemah yang menuntut sesuatu dari seseorang yang merasa tidak terlibat dengan sesuatu itu. Untuk dapat diterima suatu kesaksian, seorang saksi harus bersifat adil. Syarat keadilan ini mayoritas ulama mengungkapkan mematuhi segala perintah 30
Penggunaan saksi mahkota dalam penyelesaian perkara pidana diberlakukan untuk mengetahui kasus yang terjadi, karena alat bukti saksi tidak memadai dalam membuktikan suatu perkara pidana. Sehingga hakim di pengadilan menggunakan saksi mahkota untuk mengungkap kebenaran yang terjadi dalam suatu tindak pidana, seperti tindak pidana pembunuhan dalam kasus Antasari Azhar dan Wiliardi Wizar, saksi mahkota Syahril Sabirin dalam kasus Bank Bali serta Susno Duaji jadi saksi mahkota dalam kasus Sjahril dan Haposan. Lihat lampiran gambaran kasus penggunaan saksi mahkota sebagaimana terlampir. 31 Imam al-Shanaani, Subul al-Salam Sarah Bulughul Maram Min JamI Adillatu al-Ahkam, ( Beirut : Darul Jaili, Juz IV, tth), h.132
17
syara’ dan menjauhi segala larangannya, selalu menjauhkan diri dari dosa besar maupun dosa kecil. Syarat keadilan memberikan kelapangan yang luas kepada hakim untuk menolak saksi-saksi dengan alasan karena keburukan akhlak atau karena perkataan-perkataan yang tidak bisa dipercaya. Tentunya dalam sifat keadilan, saksi mahkota tidak termasuk ke dalam saksi yang adil. Dalam proses pengadilan indonesia saksi mahkota sangat dibutuhkan, yaitu kesaksian antara seorang terdakwa dengan terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan tindak pidana kejahatan, pada saat itu dijadikan saksi dan pada saat yang lainnya dijadikan terdakwa karena kekurangan alat bukti saksi. Namun karena saksi mahkota sebagai alat bukti yang dibutuhkan dengan tujuan kemaslahatan bagi manusia dalam menetapkan sanksi bagi tindak pidana kejahatan, hal ini dijelaskan pula dalam kaedah sebagai berikut :
ماحرم لذاتو ابيح للضرورة وما حرم لغريه ابيح للحاجة
32
Apa yang diharamkan karena zatnya, maka dibolehkan bila dalam kondisi darurat dan yang diharamkan bukan karena zatnya maka dibolehkan bila ada hajat. Persoalan ini dapat dikategorikan kepada kondisi hajjiyat yaitu sesuatu yang dibutuhkan bagi manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuriyyat33. Dari kaedah di atas kebutuhan terhadap saksi mahkota yang dijadikan sebagai alat bukti yang apabila tidak terdapat alat bukti lain yang memadai, maka dibolehkan karena ada kebutuhan untuk menetapkan suatu putusan terhadap perkara pidana. Kondisi hajjiyat kadangkala bisa menempati posisi dharuriyat, bila bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Olehkarenanya kadangkala ulama menempatkan hajjiyat itu ke dalam keadaan tertentu pada tingkat dharuriyat, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah kaidah :
32
H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis), (Jakarta : Kencana, 2006), h. 76 33 Dharuriyyat berasal dari kata adh-dharar yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahan atau dipahami dengan membutuhkan sesuatu. Sedangkan menurut istilah sebagai mana yang dijelaskan oleh Abu Bakar al-Jashshash bahwa darurat ialah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atas sebagian anggota tubuhnya, karena ia tidak makan. Lihat Abu Bakar al-Jashshash, Ahkam al-Quran, (Beirut: Dar Mushaf Maktabah, tt), Jilid I, h. 159
18
احلاجة تَ ْنزل َمْنزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة
34
Hajat (kebutuhan) itu menduduki kedudukan darurat, baik hajat umum (semua orang) ataupun hajat khusus (satu golongan atau perorangan). Kaedah ini memberikan penjelasan bahwa keringanan itu tidak dengan keadaan darurat saja, tapi juga dibolehkan karena ada hajat.
الضرر يزال Kemudharatan itu harus dilenyapkan. Selanjutnya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 173 menerangkan bahwa :
ِ ُ َ اض َُّر َي ر ب ٍغاا وََل ع ٍغاد فَ َ إِ ْ علَي ِو إِ َّن اللَّو .يم َ َ َ َ ْ ْ …فَ َم ِن َْ َ ٌ َ ٌ ور َرح …Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Baqarah : 173) Berdasarkan ayat di atas maka tidak semua keterpaksaaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukannya, dalam kondisi ini maka semua yang tidak dibolehkan dapat diperbolehkan menggunakannya. Jika memang dibutuhkan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam mengungkap suatu perkara pidana seperti pembunuhan atau pemebrontakan yang terjadi di laut yang sanksi hukumannya qishahs tanpa adanya alat bukti lain yang mendukung, maka saksi mahkota dibolehkan, karena untuk menjelaskan suatu perkara pidana atas pertimbangan hakim dalam rangka mencari kemaslahatan. Akan tetapi kalau ada alat bukti lain, seperti adanya saksi yang memadai, sumpah atau pengakuan maka saksi mahkota ditinggalkan, karena syarat keadilan tidak terpenuhi oleh saksi mahkota. Hal ini sesuai dengan misi Islam bahwa kemudharatan itu harus dicegah sedapat mungkin الضرر يدفع بقدر اإلمكان. Kaidah ini menjadi motivasi bagi manusia untuk melepaskan bahaya dan kemudharatan, maka dilakukan usaha untuk mendapatkan kemaslahatan. 34
Imam Jalaluddin al-Suyuty, al-Asybat wan Nadhair fi Qawaid furu al-Syafi’i, (Semarang : Thoha Putra, tt), h. 62
19
Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dapat dilihat kepada unsur maslahah yang terkandung dalam penyelesaian suatu perkara pidana, seperti pembunuhan yaitu terhadap sanksi yang akan diberlakukan terhadap pelaku. Karena mashlahah merupakan unsur utama dalam Maqashid al-Syari’ah dan menjaga jiwa merupakan maslahah pada tingkat dharuriyah.35 Dalam penggunaan saksi mahkota, penulis mengelompokkan perbedaan pendapat ulama kontemporer yang memberikan pandangan terhadap penggunaan saksi secara umum, yaitu : a) Boleh menggunakan saksi mahkota sebagai alat bukti Oleh karena dalam kitab klasik tidak ditemukan pembahasan tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam penyelesaian perkara pidana, maka ulama Abi Umar Yusuf bin Abdullah menjelaskan dalam kitab al-Kafi fi Fiqh Ahlul Madinah al-Maliki36 bahwa diterima kesaksian suatu kelompok ketika mereka bertemu dengan orang yang juga merampok, sedangkan perampok itu berada dalam kelompok mereka. Diterima dengan syarat bilamana mereka adil. Artinya diterima kesaksian dua orang yang adil di antara pelaku terhadap yang lainnya yang juga merampok bersama mereka. Kemudian juga ketika terjadi perampokan di laut (bajak laut) terhadap kelompok yang lainnya juga merampok dan untuk kesaksiannya diterima dari kelompok perampok itu, karena hanya kelompok itu lah yang mengetahui terhadap suatu peristiwa yang mereka lakukan. Karena sesunggunya kesaksian itu darurat. Adil yang dimaksudkan pada persoalan di atas adalah adanya sifat adil dalam diri seseorang yang bukanlah harus orang yang dapat menjalankan ajaran Islam dengan bersih tanpa dicampuri oleh kemaksiatan sedikit pun, sebab jika inilah yang dimaksud dengan adil dalam konteks ini, pasti sukar sekali mendapatkannya, pada hal banyak terjadi persoalan yang membutuhkan adanya kesaksian. Maka dari itu M. Shiddieqi menyatkan bahwa adil bersifat relatif, diukur dengan keadaan masyarakat
35
Al-Mashlahat al-dharuriyat secara berurutan adalah memelihara agama, memelihara jiwa, akal, keturunan dan harta 36 Abi Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Birry al-Qurtuby, al-Kafi fi Fiqh Ahlul Madinat al-Maliki, (Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyat,tt), h. 374.
20
dan adilnya saksi adalah orang yang tidak dikenal keadilannya dalam hal yang kecilkecil.37 Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa untuk membuktikan tindak pidana yang terjadi dalam perampokan di atas adalah dengan saksi mahkota, yaitu antara pelaku yang dijadikan saksi untuk menjelaskan suatu perkara pidana yang sebenarnya. Tentunya kesaksian seperti ini adalah darurat, karena tidak terdapat saksi lain selain kelompok pelaku itu sendiri yang mengetahui suatu perkara tersebut. b) Tidak boleh menggunakan saksi mahkota sebagai alat bukti Untuk diterimanya suatu kesaksian, seorang saksi harus bersifat adil. Oleh karena itu kesaksian orang-orang fasik tidak dapat diterima, berdasarkan firman Allah Swt dalam Surat al-Hujurat ayat 6 :
ِ َياأَيُّها الَّ ِذين ءامنُوا إِ ْن جاء ُكم ف …اس ٌق بِنَبٍَغأ فَتَبَ يَّنُوا َ َ ََ َ ْ ََ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik membawa berita , maka periksalah dengan teliti.(Q.S. Al-Hujurat : 6) Dalam firman Allah yang lain juga telah disebutkan bahwa saksi yang diterima adalah saksi yang adil. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 2 dan al-Baqarah ayat 282 yaitu :
ِ (وأَ ْش ِه ُدوا ذَوي ع ْد ٍغل ِمْن ُكم) و (ِِمَّن تَر: وقول اهلل تعاىل )ُّه َد ِاء َْ ْ َ َْ َ ض ْو َن م َن الش ْ َ Firman Allah Ta’ala, ”dan persaksikanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu” dan ”di antara saksi-saksi yang kamu ridhai” (Q.S. al-Thalaq : 2 dan al-Baqarah : 282) Keberadaan saksi memberikan pengaruh positif bagi hakim untuk dapat mendudukkan perkara dan memutuskannya dengan adil dan benar. Sebaliknya jika saksi dalam memberikan kesaksiannya berbelit-belit dan tidak jujur, dapat pula lebih menyulitkan hakim dalam mendudukkan perkara bahkan lebih jauh dapat menyebabkan keputusan yang diambil hakim menjadi salah. Memberikan kesaksian yang tidak benar atau kesaksian palsu diancam dengan hukuman Allah sebagai dosa besar. Dengan memberikan kesaksian palsu berarti telah turut berbuat kedzaliman, menghilangkan hak orang lain, menipu orang lain bahkan menipu terhadap hati nuraninya sendiri serta menyebabkan timbulnya 37
Tengku Muhammad Shiddieqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang PT. Pustaka Riski Putra, 1997), h. 147
21
permusuhan dan kebencian di antara sesama manusia. Allah Swt berirman dalam Surat al-Hajj ayat 30 :
ِ ِّ …فَاجتَنِبوا ِ الزوِر ُّ اجتَنِبُوا قَ ْوَل ْ اْلوَان َو ْ الر ْج َ م َن ُ ْ .... maka jauhilah kenajisan berhala-berhala dan jauhilah oleh mu perkataan-perkataan dusta. (Q.S. Al-Hajj : 30) Adapun hukuman yang diancamkan terhadap saksi palsu adalah sebagaimana pendapat para Imam madzhab yang dikutip oleh Sayyid Sabiq bahwa Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad bahwa saksi palsu dihukum ta’zir dan dinyatakan bahwa dia adalah seorang saksi palsu. Lalu Imam Malik menambahkan supaya orang tersebut dipertontonkan di masjid-masjid, dipasar-pasar dan ditempat umum yang banyak manusia berkumpul, sebagai hukuman baginya dan pencegahan bagi orang lain untuk melakukan perbuatan tersebut.38 Menyadari fungsi kesaksian dan adanya ancaman yang berat bagi saksi yang tidak jujur atau saksi palsu, akan menimbulkan rasa tanggung jawab yang kuat sekaligus merupakan dorongan bagi diri saksi untuk bersikap jujur dalam memberikan kesaksiannya. Dengan demikian tanggung jawab seorang dalam memberikan kesaksian jelas membawa pengaruh yang positif terhadap diri pribadinya untuk selalu adil dan besikap jujur di dalam hidupnya. Namun para ulama berselisih pendapat tentang ukuran dari sifat adil itu sendiri. Menurut Abu Hanifah : Keadilan itu cukup dari keislaman secara lahir dan tidak diketahui apa yang merusak kemuliaan dan kehormatannya, ia tidak berbuat tindakan pidana. Tetapi hal ini hanya berlaku dalam perkara harta benda, bukan perkara hudud.39 Menurut ulama Ibnu Rusyd, Syeikh Shihabuddin al-Qalyubi dan Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari syarat keadilan bagi saksi itu adalah suatu sifat tambahan terhadap syarat Islam yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban syara’ dan anjurananjuran, menjauhkan perbuatan yang haram dan makruh serta menjauhkan diri dari berbuat dosa besar dan tidak selalu berbuat dosa yang kecil. Tentunya saksi mahkota tidak termasuk ke dalam kategori saksi yang adil, karena saksi ini merupakan para tersangka yang dijadikan saksi sehingga adanya 38
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnat, (Beirut : Dar al-Fikr, 1983), cet. IV, juz III, h. 462 Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Qurthubi, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat alMuqtashid, (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby wa Auladuhu, 1960), cet III, Juz XI, h. 462 39
22
syarat yang tidak dapat terpenuhi oleh saksi mahkota. Syarat tersebut adalah syarat adilnya saksi atau dalam hukum Islam diistilahkan dengan al-‘Adalah. Dengan tidak terpenuhinya syarat syarat adil ini oleh saksi menyebabkan kesaksiannya tidak diterima. Adilnya saksi ini dilihat dari tingkah laku saksi di masyarakat. Apabila ia sering berbuat dosa, maka ia dianggap sebagai orang yang tidak adil. Akibatnya kesaksian tidak akan diterima. D. PENUTUP Berdasarkan uraian dan pembahasan yang di atas, dapat disimpulkan bahwa saksi mahkota yang merupakan kesaksian antara terdakwa dengan terdakwa yang lain, dalam arti bahwa saksi yang tertuduh melakukan kemaksiatan dapat dijadikan sebagai alat bukti saksi di pengadilan. Dalam hukum Islam salah satu syarat diterima saksi adalah adil. Oleh karena itu kedudukan saksi mahkota sebagai alat bukti tidak terpenuhi syarat adil sebagai saksi. Akan tetapi apabila saksi mahkota dibutuhkan sebagai alat bukti dalam mengungkap suatu perkara pidana, tanpa disertai alat bukti lain yang mendukung, maka saksi mahkota dibolehkan, karena antara pelaku yang dijadikan saksi untuk menjelaskan suatu perkara pidana yang sebenarnya terjadi. Kesaksian ini dihukum darurat, karena tidak terdapat alat bukti lain selain saksi mahkota yang mengetahui perkara tersebut dan atas pertimbangan hakim kesaksian diterima dalam rangka mencari kemaslahatan dan keputusan yang adil. Sebagai contoh dalam hal ini adalah perampokan di laut (bajak laut) terhadap kelompok yang lainnya juga merampok dan untuk kesaksiannya diterima dari kelompok perampok itu, karena hanya kelompok itulah yang mengetahui terhadap suatu peristiwa yang mereka lakukan. Apabila ada alat bukti lain, maka saksi mahkota ditinggalkan karena syarat keadilan tidak terpenuhi oleh saksi mahkota. Karena saksi ini merupakan para terdakwa yang dijadikan saksi sesama terdakwa yang lain, dalam artian orang yang tertuduh melakukan kemaksiatan sehingga terdapat syarat yang tidak dapat terpenuhi oleh saksi mahkota. Syarat tersebut adalah syarat adilnya saksi atau dalam hukum Islam diistilahkan dengan al-‘Adalah. Dengan tidak terpenuhinya syarat adil ini oleh hakim menyebabkan kesaksiannya tidak diterima
23
DAFTAR PUSTAKA
al-Faruq, Asadullah, Hukum Acara Peradilan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009) al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Juz VIII, (Damaskus; Dar alFikri, 1989) al-Bajuri, Ibrahim al-Bajuri, (Singapura : Pustaka Sulaiman Mara’iy, t.t) Juz II al-Kahlani, Muhammad ibn Ismail, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, 1968), juz IV Ahmad, Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1993), cet ke-5 Bacthtiar, Yurna, Wacana Keadilan dan HAM dalam Perspektif Islam, (Jakarta : Nuansa Madani, 1999), cet-1 Daud, Abu ibn Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sajastani al-Azadi, Sunan Abi Daud, Maktabat Dahlan,tt), juz II, Djazuli
H.A., Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis), (Jakarta : Kencana, 2006)
Efrinaldi, Rekonstruksi Pemikiran Politik Islam, (Jakarta : Citra Publika Press, 2007) Ibrahim bin Musa al-Syatibi, Abi Ishaq, al-Muwafaqat fi Ushu al-ahkam, (Beirut:Dar al-Fikr), juz II Jalaluddin, Imam al-Suyuthy, al-Asybah wan Nazhair fi Qawaid furu al-Syafi’i, (Semarang : Thoha Putra, tt) Khadduri, Majid, Teologi Islam, (Surabaya : Risalah Gunti, 1999), cet. I KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) & KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), (Bandung : Citra Umbara, 2006), Kallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo : Dar al-Qalam, 1999, cet 10) Majid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodrenan, (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), cet ke 5, Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1994), Cet. X R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan penjelasan resmi dan komentar (Bogor : Politeia, 1997)
24
Sasangka, Hari Lili Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, (Bandung : Mandar Maju, 2003) Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997) Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI-Press, 1986), cet ke 3 Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnat, (Beirut : Dar al-Fikr, 1983), cet. IV, juz III Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, Alih bahasa Ahmad Sujono, Falsafi al-Tasyri’ al-Islami, (Bandung: al-Ma’arif, 1982), Cet. II Umar, Abd. Rahman, Kedudukan Saksi dalam Peradilan menurut Hukum Islam, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1986) Usman, Muchlis, Kaidah-kaidah Ushuliyat dan Fiqhiyat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999) Pulungan, Suyuti, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah ditinjau dari Pandangan al-Qur’an, (Jakarta : PT. RajaGrafindo, 1996) Quraish, M. Shihab, Wawasan al-Qur’an : Suatu Pendekatan Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan, 1966), cet ke-2, h. 111
25