an akhirnya benar-benar muntah. Saat itu Lao Bo berkata dingin, “Paling tidak sekarang terbukti pemuda marga He itu bukan suruhan Wan Peng Wang.” Lu Xiang Chuan hanya bisa bertanya dengan matanya. “Dengan mengirim empat peti ini, Wan Peng Wang secara terang-terangan mengajakku perang,” jelas Lao Bo, “Ia tidak perlu bercapai lelah melempar batu sembunyi tangan guna membungkam mulut pemuda He itu!” Lu Xiang Chuan terkejut. Jika bukan Wan Peng Wang, lantas siapa tokoh di belakang pemuda itu? Apa ada musuh lain? Lao Bo menghela nafas. “Sebenarnya kita masih bisa menyelidiki siapa orang itu. Tapi, sayang…,” dingin Lao Bo memandang Sun Jian. Nadi di dahi Sun Jian seketika bermunculan. Lu Xiang Chuan cepat menukas, “Kita masih bisa menyelidikinya…” “Biar kita bicarakan hal itu nanti!” kata Lao Bo, “Sekarang sebaiknya memikirkan cara menyerang balik Wan Peng Wang.” “Biar aku ke sana!” teriak Sun Jian, berniat menyatroni kediaman Wan Peng Wang. “Untuk apa?” tukas Lao Bo, “Ia pasti sudah menunggumu mengantar nyawa!” Sun Jian mengatup geraham kuat-kuat. Orang di luar pintu pun bisa mendengar gemeretak giginya. “Wan Peng Wang pasti menanti kita. Tapi kita tidak perlu ke sana. Biarkan dia menunggu, kita harus lebih sabar daripadanya.” “Benar,” jawab Lu Xiang Chuan. Ia tahu, menunggu memang pekerjaan menjemukan, bahkan menguras energi. Lao Bo merapihkan lengan bajunya. “Besok hari pemakaman enam dari Tujuh Pemberani, Tie Cheng Gang sudah menguar undangan. Wan Peng Wang tahu kita pasti mengirim orang guna mengucap balasungkawa. Kita pancing ia melakukan serangan, kita buat ia salah perhitungan.” Belum habis perkataan Lao Bo, Sun Jian bergegas keluar ruangan dengan langkah lebar. Lao Bo tidak menggubrisnya. Lu Xiang Chuan pun sibuk berpikir.
Entah apa yang dipikirnya, mungkin cara menghadapi Wan Peng Wang? Malam semakin larut. Lao Bo bertanya, “Apa sudah menemukan cara menghadapi pemakaman besok?” “Banyak pelayat akan datang,” jawab Lu Xiang Chuan, “Di antara pelayat, mungkin menyusup orang-orang Wan Peng Wan.” Lao Bo mengangguk. “Orang yang menggotong peti, menggali lubang, dan para biksu yang membaca doa kita ganti dengan orang kita semua,” usul Lu Xiang Chuan, “Sehingga, kalau benar Wan Peng Wang menyusupkan orang di antara para tetamu melakukan serangan, kita bisa lakukan pengepungan. Yang kuhawatirkan, Wan Peng Wang malah tidak melakukan apa pun.” “Kehadiran Sun Jian pasti membuat Wan Peng Wang bergerak,” sahut Lao Bo. Lu Xiang Chuan paham maksud Lao Bo. Sebagai putra Sun Yu Bo, dengan sendirinya Sun Jian merupakan umpan yang sangat menarik bagi musuh, ibarat cahaya yang mengundang laron-laron berdatangan. Kematian Sun Jian pasti pukulan telak bagi Lao Bo dan organisasinya. “Tapi, apa kita tidak meresikokan nyawanya?” tanya Lu Xiang Chuan. “Kalau semua sudah orang kita, apalagi harus dikhawatirkan? Lagi pula, kutahu kemampuan Sun Jian. Tapi…” Lao Bo meremas kancing bajunya, “walau Sun Jian di sana, kuduga Wa Peng Wang tidak akan turun tangan sendiri. Karena itu, belum waktuku untuk muncul di depan umum.” “Aku ingin ke sana melihat-lihat,” usul Lu Xiang Chuan. Sikap Lao Bo tegas. “Kau tidak perlu pergi! Begitu mereka melihatmu, mereka pasti menduga kita merencanakan sesuatu. Biarkan Sun Jian yang hadir, semua tahu Tie Cheng Gang sahabatnya, sewajarnyalah dia di sana. Selain itu…” pandangan Lao Bo beralih pada Xiao He yang sekarat, “… kau masih punya tugas lain.” Lu Xiang Chuan hanya mengangguk. Lao Bo melanjutkan, “Biar aku yang menghadapi Wan Peng Wang. Tugasmu menelusuri siapa bos anak ini, dengan cara apa pun! Tapi, jangan libatkan
orang lain selain kita berdua.” Lu Xiang Chuan kembali mengangguk, memandang Xiao He. “Aku tidak akan membiarkan dia mati. Seandainya mati pun pasti akan kupikirkan cara lain.” * Pagi. Luka Tie Cheng Gang belum sembuh, tapi semangatnya sudah kembali. Di hadapan Tie Cheng Gang, berjajar peti mati teman-temannya, enam dari Tujuh Pemberani. Ia tidak meneteskan air mata, begitu tabah. Banyak pelayat datang berbalasungkawa, tapi Tie Cheng Gang tidak terlalu memperdulikan mereka. Ia terus termenung memandangi jejeran peti mati itu. Ketika pelayat sudah semakin banyak, tiba-tiba Tie Cheng Gang membalik tubuh, menghadapi tetamu yang datang. Perlahan ia berkata, “Teman-temanku dibunuh dan difitnah, tapi aku justeru melarikan diri seperti anjing..,” begitu ia memulai pidato, tanpa ucapan terima kasih pada tetamu atau ungkapan kata sedih. Tidak ada yang tahu maksud dan arah pembicaraannya. Karena itu, semua diam mendengarkan. Tie Cheng Gang terus berkata, “… Aku melarikan diri bukan karena takut mati, melainkan menunggu hari ini untuk membersihkan nama baik mereka. Sekarang, nama baik sudah pulih, aku tidak punya alasan untuk hidup lebih jauh lagi…” Begitu habis perkataan, ia langsung mengeluarkan pisau menggorok leher sendiri. Seperti air mancur, darah segar menyembur dari tenggorokannya yang terbelah. Perubahan itu begitu cepat. Sedemikian cepatnya sehingga tidak bisa dicegah siapa pun. Kepalanya jatuh menggelinding ke samping, tapi tubuhnya masih gagah berdiri. Setelah lama baru terkulai roboh ke atas salah satu peti mati. Seketika orang-orang tersadar dan berteriak-teriak. Panik. Terkejut. Ada yang mundur, ada yang maju. Hanya Sun Jian yang diam tegak berdiri. Di tengah kehebohan, empat lelaki bergerak berlarian. Kalau Sun Jian tidak
menghindar, mereka pasti menabraknya. Tiba-tiba empat lelaki itu menghunus pisau, dari empat arah berbarengan menusuk Sun Jian. Ujung pisau hampir mengenai Sun Jian, tahu-tahu kepalan tangannya bergerak, cepat dan kuat, membuat keempat penyerangnya seketika terkapar. Dari kerumunan tiba-tiba terdengar teriakan, “Awas, hati-hati dengan orang yang mengenakan tali putih di tangan kanan!” Sesuai kebiasaan, kebanyakan pelayat mengenakan tali putih di tangan kiri. Empat yang tewas di tangan Sun Jian semua mengenakan tali putih di lengan kanan. Dan sekarang masih ada 20 pelayat lagi yang mengenakan tali putih di tangan kanan. Seketika kerumunan bubar ke samping, tertinggal 20 orang itu di tengah-tengah. ‘Orang yang menggotong peti, menggali lubang, dan para biksu yang membaca doa sudah diganti dengan orang kita semua,’ begitu yang disampaikan Lu Xiang Chuan pada Lao Bo semalam. Maka penggotong peti, penggali lubang, dan para biksu langsung menghadapi 20 tetamu yang mengenakan kain putih di tangan kanan. Seketika terdengar teriakan menyayat. Dalam waktu singkat, dari 20 tetamu itu hanya tertinggal tiga saja yang berada di dekat Sun Jian. Mereka sengaja meninggalkan ketiga lelaki itu untuk Sun Jian. Sementara Sun Jian gusar memandangi mereka. Ketiga lelaki itu gemetar, baju pun basah berkeringat dingin. Salah satu di antaranya terbungkuk. Seketika tercium bau pesing menyengat. Ia sudah terkencing-kencing. “Aku bukan salah satu dari mereka…” lelaki itu terbata. Kata-katanya belum selesai, lelaki kedua sudah mengayun pisau memenggal kepalanya. Darah menyembur seperti bunga salju berceceran. Kepala lelaki pertama menggelinding ke samping, matanya masih terbuka meneteskan airmata. Kini Sun Jian menatap lelaki kedua. “Mati ya mati, tidak perlu disesali!” Seketika lelaki kedua mengayun pisau
menggorok leher sendiri. Tiba-tiba Sun Jian menjulurkan tangan, tahu-tahu ia sudah memegang lengan lelaki itu. Tulang tangan lelaki itu hancur seketika, pisaunya terjatuh. “Kenapa? Aku tidak boleh mati?” tanyanya penasaran. “Tidak boleh!” tegas Sun Jian sambil tetap memegang lengannya. Tidak terduga, lelaki ketiga menyambit pisau ke arah Sun Jian. Dengan gesit, Sun Jian menjatuhkan diri, melepas tangan yang menggenggam lelaki kedua. Jarak begitu dekat, terlambat sedikit pasti kena. Pisau meluncur beberapa senti di bawah ketiak Sun Jian, melayang terus ke sana, menancap tepat di dada lelaki kedua yang tangannya diremukkan Sun Jian. Cepat Sun Jian berdiri tegak menyusun kuda-kuda, tapi lelaki ketiga sudah mengepruk kepala sendiri. * Pagi. ‘Aku lebih dulu harus membunuhnya!’ begitu pernah Meng Xin Hun berkata pada Ye Xiang. Selama beberapa waktu lalu, Meng Xin Hun sudah mencari tahu tempat kediaman si Jubah Kelabu, dan pagi ini ia benar-benar membulatkan tekad. Daripada si Jubah Kelabu memburunya karena telah membunuh Lao Bo, maka lebih baik membunuh si Jubah Kelabu terlebih dahulu sebelum ia waspada, baru setelah itu membunuh Lao Bo! * Si Jubah Kelabu tidak mirip orang yang senang memelihara ikan. Namun pada kenyataannya, ia memang senang memelihara ikan. Ikan yang dipeliharanya cukup banyak. Ada yang di dalam akuarium, ada juga yang di dalam mangkuk arak. Ia banyak menghabiskan waktunya di sisi kolam, atau di depan akuarium memandangi ikan-ikan yang berenang hilir mudik. Di saat seperti itu, ia bisa melupakan segala masalah dan kesulitan hidup. Ia merasa seperti ikan yang berenang tenang.
Sebetulnya ia pernah memiliki keinginan memelihara burung. Burung dapat bebas kemana pun terbang dibanding ikan yang hanya berenang di air tenang. Sayangnya, ia tidak bisa memelihara burung di alam bebas. Bila burung di kurung di dalam sangkar, akan hilang kebebasannya. Maka, burung itu bukan lagi burung yang bebas. Karenanya, ia lebih suka memelihara ikan. Orang yang suka memelihara ikan biasanya orang yang kesepian. Ia pun demikian. Ia tidak punya teman, tidak punya pelayan, tidak punya keluarga. Ia tidak mau mendekati orang, juga tidak mau didekati orang. Karena, ia menganggap tidak ada yang bisa dipercaya. Kecuali, Lao Bo. Tidak ada yang setia pada Lao Bo melebihi dirinya. Bahkan bila mempunyai ayah, demi Lao Bo, ia rela membunuh ayah kandung sendiri. Ia senang memancing. Cara memancingnya sama seperti orang lain, hanya tujuannya berbeda. Ia senang melihat ikan menggelepar di ujung pancingnya, sama senangnya melihat orang menggelepar menjelang ajalnya. Sampai saat ini, ia belum menemukan orang yang mampu menghadapi ajal tanpa takut. Mungkin, hanya Lao Bo yang mampu menghadapi kematian tanpa gentar. Di hatinya, Lao Bo bagaikan dewa. Apa pun yang dilakukan Lao Bo, ia anggap benar. Apa pun perlakuan Lao Bo atas dirinya, ia terima. Terkadang, ia tidak tahu kenapa Lao Bo memperlakukannya begitu, tapi ia percaya Lao Bo pasti memiliki cukup alasan. Ada satu perbedaan mendasar antara dirinya dengan Lao Bo. Ia senang membunuh, tapi Lao Bo tidak senang membunuh. Karenanya, ia sering melampiaskan kesenangannya membunuh pada ikan. Terkadang ia menaruh seekor ikan di dalam sangkar, menjemurnya di bawah matahari. Ia sangat menikmati saat-saat ikan itu menggelepar menjelang ajal, saat ikan itu megap-megap kehabisan nafas, dan mati pelan-pelan. Begitu juga perasaannya pada manusia yang meregang ajal. Hanya ada satu orang seperti itu di dunia ini, tidak ada yang lain. Orang itu
adalah dirinya, si Jubah Kelabu. Dan si Jubah Kelabu adalah Han Tang. * Orang yang senang memelihara ikan adalah orang yang aneh. Mencari orang yang aneh tidaklah sulit bagi Meng Xin Hun. Siang. Sinar matahari menyinari kolam ikan. Kemilaunya menyilaukan mata. Di sisi kolam sana ia melihat Han Tang baru saja menarik keluar pancingnya. Di ujungnya, seekor ikan menggelepar. Dan Han Tang tampak sangat menikmati setiap gelepar itu. Meng Xin Hun berhari-hari sudah memikirkan cara menghadapi Han Tang. Tapi tidak satu pun cara memuaskan yang berhasil ia temukan. Akhirnya Meng Xin Hun memutuskan satu cara yang paling mudah dan langsung, yaitu mendatangi Han Tang. Kalau memiliki kesempatan, ia akan membunuh. Kalau tidak ada kesempatan, ia yang akan dibunuh. Apa pun hasilnya, Meng Xin Hun tidak terlalu perduli. Membunuh orang seperti Han Tang harus berani mempetaruhkan nyawa. Bila tidak, cara apa pun yang ditempuh pasti tidak berguna. Sekarang Meng Xin Hun sudah menemui Han Tang dan langsung menghampirinya. * Siang. Sinar matahari menyinari mayat-mayat bergelimpangan. Kemilaunya menyilaukan mata. Darah sudah meresap ke dalam tanah. Mayat-mayat berubah menjadi kaku. Tujuh Pemberani seluruhnya sudah mati. Walau mayat Tie Cheng Gang tertelungkup di atas salah satu peti mati, dalam perasaan Sun Jian seolah ia masih tegak berdiri. Tie Cheng Gang adalah teman sejatinya. Walau Tie Cheng gang sudah mati, namun kepahlawannnya akan tetap dikenang dunia persilatan. Para penggotong peti mati, penggali lubang, para biksu pembaca doa, serta
sebagian tetamu masih berjaga khidmat di sekitar Sun Jian. Sementara Sun Jian masih berdiri menjublak entah berapa lama, tiba-tiba ia merasa air matanya begitu penuh. Perlahan, ia berlutut. Seumur hidupnya, ia belum pernah berlutut. Entah orang itu hidup atau mati, ia belum pernah berlutut. Sekarang ia rela berlutut. Karena hanya dengan berlutut, ia bisa memberikan penghormatannya pada Tie Cheng Gang. Sun Jian menutup mata, berdoa. Baru saja memejam mata buat berdoa, tiba-tiba ia mengendus wewangian yang aneh sekali. Wewangian itu keluar dari dalam peti mati di mana tubuh Tie Cheng Gang tertelungkup. Asap pembius! Sun Jian murka. Ia mengayun tangan coba mengepruk tutup peti mati hingga hancur. Walau Sun Jian coba mengelak asap dengan menahan nafas, tapi terlambat. Ia sudah kadung menghirup asap pembius. Tubuhnya lemas tanpa tenaga. Dari dalam peti mati, sebilah pedang berkelebat menusuk dada Sun Jian, tembus hingga ke punggung. Darah segar muncrat. Mengalir di ujung pedang. Seperti kebanyakan orang, darah Sun Jian berwarna merah segar. Matanya melotot marah pada sosok di dalam peti mati. Lelaki di dalam peti meninggalkan pedang di dada Sun Jian, berusaha meloloskan diri. Dari sudut matanya, lelaki itu masih sempat melihat Sun Jian roboh, tapi tiba-tiba ia pun merasa lengannya lemas. Saat rasa lemasnya hilang, ia sudah melihat cahaya pisau berkelebat, memotongnya menjadi daging cincang. Semua berlangsung begitu cepat. Tidak ada yang mengeluarkan suara, tidak ada yang bergerak. Semua terperangah, nafas pun ikut terhenti, terbelalak memandang mayat Sun Jian.
Mereka merasa tangan dan jari menjadi dingin. Keringat juga menetesi punggung. Sun Jian benar-benar sudah mati. Ternyata orang sekuat Sun Jian pun bisa mati. Tidak ada yang percaya, tapi semua harus percaya, karena mereka melihat dengan kepala sendiri. Siapa lelaki di dalam peti mati? Mengapa ia bisa bersembunyi di sana? Itu tidak mungkin, karena mulai dari penggali lubang, penggotong peti, hingga pembaca doa sudah diganti dengan orang Lao Bo. Maka mereka mulai mengalihkan pandang kepada para penggotong peti mati. Tiba-tiba dua di antaranya berteriak ketakutan “Ini bukan ide kami…. Sungguh, ini semua bukan idea kami… Ini semua ide…” Belum habis ucapannya, di antara kerumunan orang-orang terdengar teriakan, “Bunuuuhhh!” * Lao Bo seperti patung. Di depannya, sebuah peti. Di dalamnya, jazad putra tunggalnya. Pedang masih menempel di dada Sun Jian. Lao Bo sangat paham anaknya. Sungguh, ia sama sekali tidak percaya di dunia ini ada yang bisa menusuk dada Sun Jian dengan pedang. Siapa yang menusuk Sun Jian? Siapa yang memiliki kepandaian begitu tinggi? Sebenarnya apa yang sudah terjadi di pemakaman para pemberani itu? Tidak ada yang tahu. Semua yang hadir di sana tidak satu pun yang hidup. Lao Bo masih mematung, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Tiba-tiba di sudut matanya menggenang setitik air. Lu Xiang Chuan pun menunduk. Organisasi Lao Bo sebenarnya sangat sempurna. Sedemikian sempurnanya, seperti sebuah telur. Tapi sekarang organisasi ini ada celahnya. Walau celahnya hanya setitik jarum, tapi putih dan kuning telur dapat menetes terus. Bila telah menetes habis, telur akan kosong. Walau tidak pecah, telur itu tidak berharga lagi. Lao Bo harus mencari celah itu.
Tapi, sekarang ia belum bisa menemukannya. Yang pasti, setiap orang di dalam organisasi ini mungkin membuat celah itu. Hanya satu yang bisa dipercaya. “Panggil Han Tang!” perintah Lao Bo singkat sambil membalik tubuh. 16. Han Tang v Meng Xin Hun Saat Meng Xin Hun mendekati Han Tang, hatinya sangat tegang sekaligus bergairah layaknya prajurit yang baru pertama bertempur di medan perang. Meng Xin Hun ingin mencabut nyawa Han Tang bukan semata menuntaskan order Gao Lao Da membunuh Lao Bo, tapi juga untuk diri sendiri. Umumnya setiap orang mencari makna hidupnya. Walau selalu mencari sesuatu dalam hidup, Meng Xin Hun tidak tahu apa yang dicarinya. Terus menerus mencari, tentu menjemukan. Ia sudah lelah mencari, berharap setelah membunuh Han Tang akan kembali seperti dulu. Agar hidup bisa bergairah, setiap orang pasti membutukan tantangan, menginginkan lawan yang kuat. Untuk itu, ia rela mengorbankan apa pun. Langkah Meng Xin Hun begitu ringan seperti kucing yang mengendap. Ia sudah biasa melatih langkah seperti itu, hingga menjadi kebiasaannya. Kebiasan yang terus menerus diulangi akhirnya menjadi karakternya. Maka, tanpa disadari pun ia sudah melangkah seperti itu. Han Tang diam di tempat, tetap memandangi pelampung pancingnya yang mengapung di permukaan kolam. “Kau datang buat membunuhku?” tiba-tiba Han Tang bertanya tanpa berpaling. Seketika Meng Xin Hun menghentikan langkah. Han Tang tidak menoleh. Langkah Meng Xin Hun seringan kucing yang mengendap. Ia pun belum menegur Han Tang. Apakah pendengaran Han Tang sedemikian tajam? Han Tang kembali bertanya, “Sudah berapa yang kau bunuh?” “Sangat banyak,” jawab meng Xin Hun. “Pasti sangat banyak, kalau tidak langkahmu tidak seringan itu.” Han Tang tidak suka bertele-tele, langsung memuji. Namun di balik pujiannya, justeru terkandung celaan.
Hanya orang yang berhati tenang bisa memiliki langkah yang ringan. Orang yang ingin membunuh, hatinya pasti tidak tenang. Meng Xin Hun datang untuk membunuh, dengan sendirinya jantungnya berdebar dan hati tidak tenang. Walau Han Tang tidak mengutarakan celaannya, Meng Xin Hun tahu maksudnya. Seketika telapak tanganya menjadi basah. Han Tang sungguh orang yang menakutkan. “Apa kau tahu siapa aku?” tanya Han Tang. “Aku tahu,” jawab meng Xin Hun. Tiba-tiba Han Tang mengutarakan sesuatu yang tak terduga. “Baiklah, kalau begitu mari kita memancing.” Undangan yang aneh, jarang seseorang mengundang orang yang ingin membunuhnya. Lantas, mana ada orang yang mau menerima? Nyatanya Meng Xin Hun justeru menerima, berjalan menghampiri Han Tang, duduk beberapa meter darinya. Han Tang mengambil sebuah galah pancing di sisinya, memegangnya beberapa saat, sebelum akhirnya melemparkannya. Meng Xin Hun sigap menangkap. “Terima kasih.” “Umpan apa yang biasa kau gunakan?” tanya Han Tang. “Aku memakai dua macam umpan,” jawab Meng Xin Hun. “Umpan macam apa?” “Yang satu umpan yang paling disukai ikan. Satunya lagi, umpan yang paling kusukai.” Han Tang mengangguk. “Keduanya sangat baik.” “Lebih baik lagi tidak menggunakan umpan, biarkan itu yang memancingku.” Han Tang terdiam. Hingga saat ini ia tidak melihat Meng Xin Hun dan sama sekali tidak ada niat buat melihat Meng Xin Hun. Sebaliknya Meng Xin Hun ingin melihat Han Tang. Wajah Han Tang sangat biasa. Hidung, mata, mulut pun biasa. Ia seperti orang biasa yang sehari-hari Meng Xin Hun temui.
Wajah yang biasa ini bila dipasang di tubuh orang lain tidak akan diperhatikan siapa pun. Tapi karena dipasang di tubuh Han Tang, maka hal yang biasa menjadi luar biasa. Melihat Han Tang, jantung Meng Xin Hun berdebar kencang, hampir membuatnya tidak bisa bernafas. Guna mengusir tegang, ia melempar pancing ke air. Pelampung mengapung di permukaan. “Kau lupa memasang umpan,” tiba-tiba Han Tang berkata. Meng Xin Hun terkejut. Setelah lama, baru menyahut, “Aku sudah bilang, bila memancing aku tidak memasang umpan.” “Kau salah! Jika tidak ada umpan, tidak akan ada ikan.” “Dapat atau tidak dapat ikan, tidaklah masalah. Setidaknya, aku bisa memancing.” “Betul juga,” sahut Han Tang mengangguk. Tiba-tiba ia membalik tubuh, menatap Meng Xin Hun. Pandangan Han Tang seperti paku menghujam Meng Xin Hun hingga ke daging dan tulangnya. Meng Xin Hun merasa wajahnya kaku. “Siapa yang menyuruhmu ke sini?” tanya Ha Tang. “Aku sendiri yang mau.” “Apa kau ingin membunuhku?” “Benar,” jawab Meng Xin Hun. “Kenapa?” Meng Xin Hun tidak menjawab karena memang tidak perlu menjawab. Han Tang sendiri pasti mengerti. Setelah lama Han Tang mengangguk. “Aku tahu kau siapa.” Meng Xin Hun terperanjat. “Oh?” “Dalam beberapa tahun belakangan ini muncul seorang pembunuh yang sangat menakutkan, dia membunuh orang yang paling sulit untuk dibunuh.” “Oh?” “Yang pasti, pembunuh itu adalah kau!” Meng Xin Hun hanya diam. Diam berarti mengakui. Han Tang berkata lagi, “Walau kau ingin membunuhku, tapi sekarang kau
belum bisa membunuhku.” “Kenapa?” “Pembunuh jarang ada yang pintar. Sementara kau sangat pintar. Cara berpikirmu sangat tingi dan cenderung aneh.” Meng Xin Hun terus mendengarkan. “Karena cara berpikirmu begitu aneh dan tinggi,” kata Han Tang, “maka kau tidak bisa menjadi pembunuh yang baik. Seorang pembunuh tidak boleh terlalu pintar, tahunya hanya membunuh dan tidak perlu memikirkan hal lain.” “Kenapa begitu?” “Karena orang yang terlalu pintar dan banyak berfikir pada saat membunuh akan merasa takut.” “Bila takut, aku tidak akan ke sini,” jawab Meng Xin Hun. “Datang ke sini adalah satu hal, takut adalah hal lainnya lagi,” kata Han Tang. “Kau menganggapku takut? Siapa bilang kutakut?” Pandangan Han Tang sangat tajam. “Kau memang takut! Karena itu, kau sudah melakukan dua kesalahan.” “Kesalahan apa?” Meng Xin Hun penasaran. “Pertama, kau lupa memasang umpan. Kedua, kau tidak melihat pancingmu sudah terpasang umpan.” Telapak tangan Meng Xin Hun seketika dingin. Ia merasa pancingnya bergoyang, artinya ada ikan yang terpancing. Ikan tidak mungkin terpancing jika tidak ada umpan. Kalau pancingnya memang sudah berumpan, dan Meng Xin Hun tidak memperhatikan, artinya ia benar-benar takut. Kalau ia tidak takut, ia pasti melihat pancingnya sudah terpasang umpan. “Seorang pembunuh tidak boleh melakukan kesalahan, apalagi kau sudah melakukan dua kesalahan,” kata Han Tang. Meng Xin Hun tertawa. “Melakukan satu kesalahan sudah fatal. Apalagi dua kesalahan, berarti mati!” “Kematian seharusnya jangan dibuat mainan,” jengek Han Tang. Meng Xin Hun hanya tertawa. “Kenapa tertawa?” tanya Han Tang.
“Aku tertawa karena kau pun sudah melakukan kesalahan!” “Oh?” sahut Han Tang. Meng Xin Hun melanjutkan, “Seharusnya kau tidak usah mengutarakan dua kesalahanku. Ketika kau menyatakannya, maka kau melakukan kesalahan.” “Di mana kesalahanku?” tanya Han Tang. “Ketika kau mengutarakan itu, seketika aku tahu, kau tidak yakin bisa membunuhku, yang kau lakukan hanya coba menggertakku! Karena, kalau tidak, kau pasti sudah turun tangan membunuhku!” Pancing Han Tang bergerak, namun ia tidak mengangkatnya. Entah pancing itu bergerak karena ikan atau karena tangannya yang gemetar. Meng Xin Hun berkata lagi, “Pengalamanmu lebih banyak, hatimu pun lebih kejam dariku. Pada saat menyerang, aku tidak secepatmu. Semua sudah kuperhitungkan.” “Kalau sudah kau pikirkan, kenapa masih datang ke sini?” “Karena aku masih punya kelebihan.” “Oh?” “Aku lebih muda darimu,” kata Meng Xin Hun. “Lebih muda bukan kelebihan, melainkan kekurangan,” sahut Han Tang. Meng Xin Hun membantah, “Anak muda memiliki stamina dan tenaga yang lebih kuat.” “Stamina?” tanya Han Tang. “Pembunuh profesional tidak akan melakukan hal yang tidak bisa ia lakukan. Kau belum bertindak membunuhku karena kau belum yakin bisa membunuhku!” Han Tang tertawa dingin. Wajah Han Tang tidak pernah menunjukkan emosi, yang ada hanya tawa dingin. Tapi tertawa dingin pun hakikatnya sebuah emosi. Bila Han Tang sudah mengungkap emosinya, artinya perkataan yang diucap Meng Xin Hun sungguh tepat, paling tidak sudah mengena titik lemahnya. Meng Xin Hun melanjutkan, “Sesungguhnya kau menantikanku lengah. Saat aku lengah, kau akan menyerang. Namun aku tidak akan lengah, tidak akan memberimu kesempatan itu. Karena itu, kita harus saling menunggu. Dalam
menunggu, kita adu stamina. Siapa yang lebih kuat, dia yang menang. Karena itu…” “Ya?” “Karena aku lebih muda darimu, aku pasti menang!” Han Tang terdiam lama, baru berkata, “Sekarang kau coba menggertakku? Tak kusangka, kau sungguh seorang yang menarik!” “Menarik?” “Aku belum pernah membunuh orang sepertimu.” “Pastinya belum pernah, karena orang sepertimu tidak akan sanggup membunuh orang sepertiku.” “Aku memang belum pernah membunuh orang sepertimu, tapi aku pernah mengenal orang sepertimu.” “Oh?” “Orang sepertimu memang tidak banyak, tapi benar aku pernah mengalahkan orang sepertimu, dan aku tidak sedang menggertakmu!” “Siapa?” “Ye Xiang!” jawab Han Tang. Ternyata benar Ye Xiang mengenal Han Tang. Ini sudah diduga Meng Xin Hun, tapi ia tetap tidak bisa menduga bagaimana mereka saling mengenal dan bagaimana bentuk hubungan di antara mereka. “Dia sangat tenang, cepat, dan pemberani,” kata Han Tang, “Siapa pun yang dibunuhnya, sekali pukul jiwa pasti melayang. Dalam hal membunuh, tidak ada yang lebih baik darinya.” Meng Xin Hun menyetujui. “Dia memang seperti itu.” “Apa kau mengenalnya?” tanya Han Tang. Meng Xin Hun mengangguk, tidak ingin berbohong, karena ia tahu Han Tang tidak suka dibohongi. Meteor, Kupu-kupu dan Pedang I [tamat] By admin • Nov 2nd, 2008 • Category: 2. Silat China, KL - Meteor, Kupu-kupu dan Pedang Sekarang Han Tang adalah musuhnya. Entah kenapa, Meng Xin Hun merasa harus menyatakan kebenaran. Orang yang bisa membuat Meng Xin Hun
menyatakan kebenaran sebenarnya tidak banyak. “Kalian pasti saling kenal, aku sudah menduganya. Dan kalian datang dari tempat yang sama,” kata Han Tang. “Bagaimana kau tahu kami dari mana? Kau tanya padanya?” tanya Meng Xin Hun. Han Tang menggeleng. “Aku belum pernah menanyakannya, karena kutahu dia tidak akan mengatakannya.” “Di mana kau mengenalnya?” tanya Meng Xin Hun. “Dia satu-satunya yang bisa lolos dari tanganku!” jawab Han Tang dingin. “Aku percaya itu,” tanggap Meng Xin Hun setelah beberapa saat. “Aku tidak membunuhnya bukan karena tidak sanggup, melainkan karena aku tidak ingin membunuhnya.” “Kenapa?” “Orang yang pekerjaannya membunuh bukan hanya kita saja. Di dunia ini, pembunuh profesional tidak banyak. Ye Xiang salah satunya.” “Kau membiarkan Ye Xiang hidup supaya ia membunuh dan membunuh lebih banyak lagi?” tanya Meng Xin Hun. “Ya.” “Kau salah!” “Apa yang salah?” “Sekarang ia sudah tidak berani membunuh lagi.” “Kenapa?” “Karena kau sudah menghancurkan rasa percaya dirinya,” jawab Meng Xin Hun. Sekarang ia sadar kenapa Ye Xiang berubah seperti itu. Han Tang seakan tidak percaya. “Benarkah ia sudah tidak sanggup membunuh lagi? Kalau begitu, seharusnya dulu kubunuh saja!” katanya menyesal. Setelah terdiam Han Tang memandang Meng Xin Hun dingin, “Hari ini aku takkan membuat kesalahan yang sama. Kau takkan kubiarkan hidup!” “Aku takkan menyalahkanmu,” sahut Meng Xin Hun, “Tapi aku pun tak kan membiarkanmu hidup.” Tiba-tiba Meng Xin Hun menutup mulut. Han Tang pun seperti membeku. Seketika mereka mencium gerakan yang membawa hawa darah.
METEOR, KUPU-KUPU, DAN PEDANG 17. Banjir Darah di Tepi Danau Senja tiba. Han Tang dan Meng Xin Hun melihat dua lelaki mendatangi dengan sekujur tubuh bernoda darah. Walau tubuh bersimbah darah, tapi mereka masih bisa dikenali; yang satu lelaki berbaju kelabu dan lainnya berwarna putih. Sepertinya mereka bisa sampai ke sini semata kemauan terus bertahan hidup. Bukankah terkadang kemauan manusia mampu membuatnya melakukan hal yang paling mustahil? Begitu tiba di depan Han Tang, mereka roboh ke tanah. Han Tang masih memegang pancingnya, tidak bereaksi, tidak mengangkat kepala, mengerling pun tidak. Seakan langit runtuh pun ia tidak perduli. Lelaki baju putih dengan sorot mata menghiba terbata berkata, “Tolong sembunyikan kami… ada yang mengejar…” Temannya ikut berkata, “Kami suruhan Lao Bo… karena suatu kecerobohan, anak lelaki Lao Bo mati terbunuh…” Mendengar ini Meng Xin Hun terkejut. Sun Jian sudah mati! Ia menduga Han Tang akan bertanya lebih jauh. Nyatanya Han Tang tetap tidak perduli, seolah orang bisu tuli yang tidak mendengar ucapan mereka. Lelaki baju kelabu kembali berkata, “… kami harus memberi kabar ini ke Lao Bo…” Temannya melanjutkan, “… asal Tuan mau membantu, Lao Bo pasti sangat berterima kasih… Tuan tahu, Lao Bo sangat suka berteman…” Han Tang tetap tidak bereaksi. Seketika Meng Xin Hun takjub pada ketenangan Han Tang. Ketika itu datang lagi tiga orang yang seketika membuat dua lelaki yang terluka panik ketakutan. * Senja semakin larut.
Di keremangan senja, orang pertama berteriak, “Sudah kubilang, kemana pun pergi, kalian tidak akan lolos!” Orang kedua menyahuti, “Kami sudah sampai ke sini, paling sedikit harus berkenalan dengan pemilik kolam.” Orang pertama kembali berkata, “Siapa pun tuan rumahnya, tidak jadi masalah. Asalkan dua pelarian itu diserahkan, kalian pasti selamat.” Orang kedua kembali berkata, “Mereka anak buah Lao Bo, sudah membunuh orang-orang kami, yang kami cari hanya mereka berdua!” Lelaki berbaju kelabu yang terbaring di tanah seketika memberontak bangkit buat melarikan diri. “Apa yang kalian inginkan?” bentak Han Tang tiba-tiba pada tiga lelaki pendatang baru. Sorot mata dua lelaki yang terluka itu sangat berterima kasih. Begitu membuka mulut, Meng Xin Hun tahu Han Tang segera bertindak. Sekali betindak, ketiga orang itu tidak akan hidup lebih lama lagi. “Ya, kami ingin membawa mereka,” jawab orang pertama. “Baiklah!” jawab Han Tang. Selesai perkataannya, ia sudah turun tangan. Pruk! Tidak ada yang melihat bagaimana Han Tang bergerak, tahu-tahu kepala dua lelaki yang terluka itu pecah seketika. “Cepat bawa mereka pergi!” bentak Han Tang. Ketiga orang itu tekejut. Wajah mereka seakan bertanya, kenapa Han Tang membunuh dua anak buah Lao Bo? Tapi Meng Xin Hun tahu alasannya. Kedua lelaki itu lukanya tidak separah sebagaimana terlihat dari luar. Meng Xin Hun bisa melihat, di balik lengan baju mereka menyimpan senjata rahasia. Itu sekedar tipuan yang ditujukan pada Han Tang. Jika Han Tang percaya mereka anak buah Lao Bo, maka Han Tang masuk dalam jebakan dan pasti mengalami kesulitan. Tapi ada satu hal yang Meng Xin Hun tidak paham. Ia tidak mengerti
bagaimana Han Tang bisa mengetahui karena sama sekali tidak mengangkat wajah memandang mereka. Ketiga orang itu serba salah. Akhirnya salah satu berkata, “Kami datang buat mengejar mereka, sekarang sudah mati. Sekarang kami permisi pulang.” Habis perkatan, berbarengan mereka bergerak mundur. * Bulan begitu terang. Saat itu berkelebat sebuah cahaya, begitu indah membelah malam. Itu bukan cahaya bulan, bukan pula meteor, melainkan cahaya golok. Ketiga lelaki berteriak menyayat hati. Tiga kepala melayang terbang ke udara. Golok yang sangat cepat. Golok itu begitu bersih, bahkan setelah memenggal kepala tidak terlihat noda sedikit pun. Golok itu berada dalam genggaman lelaki bertubuh tegap berjubah mewah. Tanpa golok di tangan, perbawa yang dimiliki lelaki itu bisa membuat orang gemetar. Hawa membunuh yang memancar dari dirinya begitu kuat. Apalagi golok yang begitu cepat ada di tangannya. Meng Xin Hun menyimpulkan, lelaki ini bukan teman Lao Bo. “Mereka semua anak buah Wan Peng Wang,” kata lelaki jubah mewah itu, “sengaja membuat sandiwara ini buat menipumu. Seharusnya kau jangan membiarkan mereka melarikan diri.” Hati Men Xin Hun seketika tenggelam. Lelaki ini teman Lao Bo. Jika ia bersatu dengan Han Tang, maka nasib dirinya sudah bisa disimpulkan sejak sekarang. * Bulan bertahta di cakrawala. Malam terang benderang. “Kau mengenal Lao Bo?” tanya Han Tang. “Lao Bo pernah membantuku. Aku selalu mencari kesempatan membalas budinya. Kutahu Lao Bo sedang berselisih dengan Wan Peng Wang, karena itu selalu mengawasi pergerakan anak buahnya.”
“Terima kasih,” sahut Han Tang. Saat Han Tang mengucapkan terima kasih, Meng Xin Hun merasa sesuatu yang janggal. Han Tang bukan orang yang bisa mengucapkan terima kasih. Perlahan Han Tang melempar pancingnya. Benang pancingannya melayang terbang, seketika melilit leher lelaki berjubah mewah. Sepertinya Han Tang akan membunuh semua orang malam ini. Tali pancing melilit leher lelaki itu begitu kuat dan erat. Nafas serasa berhenti. Hanya sekali pukul Han Tang pasti memukul mati lelaki itu. Begitu jugalah cara Meng Xin Hun membunuh. Efektif dan efisien. Tapi sepertinya sekali ini Han Tang salah hitung. Golok kilat masih berada di tangan si lelaki jubah mewah. Sekali ayun, tali yang melilit lehernya putus. Lelaki itu melompat ke belakang dan lenyap di kegelepan rimbun pepohonan. Pertama kali Meng Xin Hun melihat wajah Han Tang berubah. * Beberapa saat berlalu. Seperti bayangan setan, dari kegelapan datang lagi empat orang. Dua dari kanan, dua dari kiri. Saat mereka tiba, Han Tang sudah kembali tenang. Salah satu dari lelaki itu langsung bertanya, “Bagaimana kau tahu mereka semua bohong? Sekali ini kujamin tidak bohong, kami datang buat membunuhmu!” “Kalian semua sama saja, anak buah Wan Peng Wang!” kata Han Tang dingin. “Aku Tu Da Peng,” jawab orang itu. “Aku Jin Peng,” sahut lelaki kedua. “Aku Yin Peng,” lanjut lelaki ketiga. “Aku Nu Peng,” kata lelaki keempat. Meng Xin Hun teringat, Gao Lao Da pernah berkata Tu Da Peng sudah memanggil Jin Peng dan Nu Peng.
Gao Lao Da juga bilang Jin Er berhasil menahan Tu Da Peng satu hari lagi, dan karena itu dirinya menyimpulkan bahwa Tu Da Peng bukan anak buah Wan Peng Wang yang utama. Ternyata Gao Lao Da salah. Dirinya pun salah! Begitu simpul Meng Xin Hun dalam hati. Tu Da Peng bertahan satu hari lagi bukan karena Jin Er, tapi menanti Yin Peng. Dalam pekerjaan seperti dirinya, satu informasi yang keliru bisa berakibat fatal. Dan ia merasa keringat dingin menetes di punggungnya. * Sandiwara telah usai. Mereka tidak berbohong lagi. Apalagi sejak awal mereka gagal menipu Han Tang. Mata Han Tang menyipit. Ia mengenali nama besar keempat orang ini dan juga tahu kehebatan mereka. Perlahan mereka mulai bergerak menjepit Han Tang. Meng Xin Hun tiba-tiba merasa posisinya serba runyam. Ia datang buat membunuh Han Tang. Tapi sekarang Tu Da Peng berempat pasti menganggap ia adalah teman Han Tang. Bila bukan teman, bagaimana mungkin memancing bersama? Mereka berempat pasti tidak akan melepas dirinya begitu saja. Satu-satunya cara buat Meng Xin Hun bertahan hidup adalah membantu Han Tang membunuh keempat lelaki itu. Tapi Meng Xin Hun tidak bisa melakukan itu. Ia tidak bisa memperlihatkan kungfunya di depan orang lain, paling tidak untuk saat ini. Ia pun belum tentu sanggup membunuh keempat orang itu agar tutup mulut. Mereka semakin menjepit mempersempit ruang gerak Han Tang dan Meng Xin Hun. Bulan tertutup awan. Akankah tepi danau ini dibanjiri lebih banyak darah lagi? Darah siapakah yang akan mengalir? Mengapa begitu banyak darah harus tertumpah dalam perseteruan ini?
18. Matinya Seorang Pembunuh Tu Da Peng, si lelaki berjubah mewah bergolok kilat, mulai bicara. Ucapannya berturut-turut disahuti Nu Peng, Yin Peng, dan Jin Peng. “Kau tahu kenapa kami harus membunuhmu? Karena kau teman baik Sun Yu Bo. Saat ini Wan Peng Wang sedang bermusuhan dengan Sun Yu Bo.” “Kau pasti bertanya-tanya kenapa kami tahu hubunganmu dengan Sun Yu Bo? Jawabnya, karena ada yang memberi tahu kami! Sayangnya, seumur hidup kau tidak bisa menebak siapa orang ini.” “Sun Yu Bo selalu menganggap semua anak buahnya sangat setia. Namun sekarang orang yang paling dia percaya sudah menjualnya.” “Sun Yu Bo ibarat pohon yang akarnya sudah lapuk, tinggal menunggu tumbangnya saja!” “Tapi kujamin kau akan mati dengan tenang. Sun Yu Bo pun segera akan menyusulmu.” “Seandainya kau bisa mengalahkan kami berempat, di belakang kami masih ada satu rombongan yang siap membantaimu!” Ia tidak semata menggertak, di belakang sana samar-samar terlihat banyak bayangan orang, golok dan pedang berkilauan. Sepertinya Wan Peng Wang telah mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk membunuh Han Tang. Sejauh ini Han Tang semata hanya mendengar, terlihat sangat tenang. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun seakan seluruh otot wajahnya sudah membeku. Meng Xin Hun paham kenapa Tu Da Peng terus bicara, mereka berusaha memecah konsentrasi Han Tang atau sekurangnya berusaha membuatnya tegang. Bila Han Tang tegang, sebagaimana layaknya semua orang, otot akan menegang kaku, membuat gerakan menjadi lamban. Jika benar begitu, maka kematian Han Tang bisa diramalkan. Namun Han Tang bukan kebanyakan orang. Han Tang adalah Han Tang. Menyadari usahanya sia-sia, tiba-tiba Tu Da Peg menggapai memanggil Meng Xin Hun.
Meng Xin Hun terlihat gemetar, datang menghampiri. Walau Meng Xin Hun tidak pernah mendengar nasihat-nasihat Lao Bo, namun ia tahu bagaimana harus membuat musuh salah tafsir dan memandang enteng padanya. Mata Tu Da Peng seperti pecut menatapnya tajam. “Kau ke sini buat memancing?” Meng Xin Hun mengangguk. “Kau kenal Han Tang?” Meng Xin Hun menggeleng. “Kalau dia tidak mengenalmu, bagaimana kau bisa memancing di sini?” “Karena aku adalah… pemancing,” jawab Meng Xin Hun sekenanya, sadar bahwa kalimatnya sungguh tidak masuk akal, sama sekali bukan jawaban yang bagus! Tidak terduga, Tu Da Peng justeru mengangguk. “Benar juga, karena kau seorang pemancing, Han Tang menganggapmu bukan ancaman dan karenanya mengijinkanmu memancing di sini.” “Kurasa memang begitu,” Meng Xin Hun mengangguk. “Tapi sayang, kau tidak tuli,” Tu Da Peng menyesali. “Memangnya kenapa?” tanya Meng Xin Hun. “Kalau tuli, kami pasti melepaskanmu. Tapi kau sudah mendengar terlalu banyak, jadi kau harus mati,” kata Tu Da Peng sangat ramah. Suaranya begitu lembut, “Kau bisa kungfu?” Meng Xin Hun menggeleng. “Kalau bisa kungfu, kau punya peluang hidup. Di antara kami berempat, kau bisa memilih satu lawanmu. Kalau bisa menang melawannya walau satu jurus, akan kubiarkan kau pergi.” Tawaran yang menarik! Tu Da Peng menatap Meng Xin Hun, tidak terlihat hawa membunuh di matanya, Meng Xin Hun menunduk. Setelah lama, tiba-tiba ia berteriak, “Kupilih kau!” Meng Xin Hun menubruk Tu Da Peng, seakan tidak melihat ujung golok yang terhunus persis pada arah tubrukannya.
* Kenapa ia begitu bodoh? Apakah sedemikian takutnya, maka ia bertindak ceroboh? Yang pasti, ujung golok menusuk dada Meng Xin Hun begitu cepat dan licin seperti ikan yang selulup masuk ke dalam air. Meng Xin Hun berteriak keras dan panjang, jatuh tengkurap dan tidak bangun lagi. Begitu wajah terbenam ke tanah, teriakannya terhenti. Darah mengalir di ujung golok Tu Da Peng, perlahan menetes ke bawah. Tu Da Peng melihat Meng Xin Hun roboh seperti ikan yang mati. Perlahan ia menghela nafas, “Anak ini benar-benar tahunya hanya memancing!” Nu Peng pun menggeleng. “Aku tidak mengerti kenapa dia memilihmu.” Tu Da Peng menyimpulkan, “Karena ia memang ingin mati!” Saat berkata ‘mati’, tubuh Tu Da Peng sudah melompat seperti panah dilepas dari busurnya. Begitu juga dengan Jin Peng, Yin Peng, dan Nu Peng. Mereka mengunakan cara sama, dengan kecepatan sama, dan sasaran yang sama: Han Tang. Selanjutnya kejadian berlangsung sangat cepat. Cepat sekali. Tapi jika dilihat dalam adegan lambat kurang lebih begini: Begitu Tu Da Peng mendekati, Han Tang sudah menggunakan beberapa jurus. Tiap jurus yang digunakannya sangat mematikan. Han Tang ingin mereka menganggap dirinya siap mati bersama. Bahwa bila dirinya tidak dapat hidup, mereka harus mati bersamanya. Dengan begitu, Han Tang berharap bisa membuat mereka gentar atau sekurangnya gugup. Di antara mereka, jika dua saja sudah gentar atau gugup, maka gerakan akan melambat. Jika sudah begitu, menurut hitungan Han Tang, dirinya akan punya peluang buat melarikan diri atau memenangkan pertarungan ini. Tu Da Peng adalah orang pertama yang gerakannya melambat, agak gentar. Hal ini tidak mengheranan karena sebelumnya ia pernah berhadapan dengan Han Tang hingga lehernya terlilit pancing.
Orang kedua yang melambat adalah Yin Peng. Sebenarnya ia bertarung menggunakan golok, tapi sekali ini karena gugup goloknya telah terlepas jatuh ke tanah. Han Tang merasa puas. Dua dari empat musuhnya sudah pasti bisa ia kalahkan. Karenanya, ia ingin mengalahkan dua lainnya. Maka gerakan Han Tang berubah lagi. Kini ia berhadapan dengan Jin Peng dan Nu Peng. Di sini Han Tang salah perhitungan. Yang paling lambat gerakannya ternyata adalah yang paling cepat serangannya. Sayangnya, ia tidak punya waktu mengubah pukulan, sehingga terpaksa melanjutkan serangan ke Jin Peng. Kruk! Serangan Han Tang tepat menghajar ulu hati Jin Peng. Jin Peng kesakitan, tapi diluar dugaan ia melakukan gerakan yang tidak akan dilakukan ahli kungfu mana pun karena tidak bisa disebut kungfu. Ia memeluk dan menggigit pundak Han Tang hingga berdarah. Walau tangan dan pergerakan Han Tang menjadi sedikit lambat, ia berputar dan tetap dapat memukul rusuk Nu Peng. Diluar dugaan, Nu Peng tidak menghindar. Ia membiarkan tulang rusuknya patah, tapi menjepit Han Tang dengan tangan kanan sekuatnya membuat persendian Han Tang terkunci. Walau Nu Peng mendengar tulang sendiri retak, mati pun ia tidak akan melepas tangan itu. Di saat itu, golok Tu Da Peng dari arah depan sudah menembus dada Han Tang. Seluruh otot Han Tang sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Dengan melenguh panjang ia meregang nyawa. Angin berhembus dingin. Bulan muncul dari balik awan. Jin Peng masih membungkuk seperti udang. Karena kesakitan, wajahnya sangat pucat. Di mulutnya masih tersisa daging pundak Han Tang. Demikian pula dengan Nu Peng, ia jatuh berlutut ke tanah.
Sementara Tu Da Peng masih tercengang, berdiri dengan wajah pucat. Bukan karena sakit, melainkan takut melihat keadaan Han tang dan dua temannya. Han Tang tidak langsung roboh, ia masih tersandar pada golok Tu Da Peng yang menembus dadanya. Semua kejadian berlangsung sangat cepat. Tapi Meng Xin Hun melihat semua kejadian dengan jelas. Ia belum mati. * Kenapa Meng Xin Hun belum mati? Bagaimana kejadiannya hingga ia tidak mati? Untuk jelasnya, ada baiknya adegan diputar ulang saat Tu Da Peng berkata pada Meng Xin Hun: “Kalau bisa kungfu, kau punya peluang hidup. Di antara kami berempat, kau bisa memilih satu lawanmu. Kalau bisa menang melawannya walau satu jurus, akan kubiarkan kau pergi.” Tawaran yang menarik! Tu Da Peng ringan menatap Meng Xin Hun, tapi tidak terlihat hawa membunuh di matanya, Meng Xin Hun menunduk. Otaknya bekerja cepat. Sungguh sulit menolak tawaran ini. Tapi bila menerima tawaran ini, ia akan seperti ikan yang menelan umpan bulat-bulat menjemput ajal. Taruh kata ia bisa mengalahkan satu dari mereka berempat, tapi di sebelah sana samar-samar terlihat banyak bayangan orang, golok dan pedang berkilauan. Tu Da Peng tidak bohong, Wan Peng Wang telah mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk membunuh Han Tang. Sepertinya Han Tang yang senang memancing ikan kini sudah menjadi ikan yang berada di dalam jala. Haruskah dirinya ikut menjadi ikan dan mati terpancing dalam jala? Satu-satunya cara buat bertahan hidup adalah membantu Han Tang membunuh keempat lelaki itu berikut gerombolan kawanan di belakang sana. Tapi ia tidak bisa melakukannya.
Dengan membantu Han Tang menghadapi Tu Da Peng dan kawan-kawan, maka Han Tang akan melihat kungfunya. Orang seperti Han Tang pasti bisa mempelajari kungfu Meng Xin Hun sehingga peluangnya buat membunuh Han Tang menjadi nihil. Maka, tawaran Tu Da Peng sungguh menarik karena membuka satu jalan keluar di mana hanya Meng Xin Hun yang mampu memikirkannya. Han Tang menilai cara berfikir Meng Xin Hun sangat tinggi dan aneh. Ia memang tidak keliru menilai. Pun Meng Xin Hun buka orang bodoh yang mau menubrukkan diri ke golok lawan begitu saja. Meng Xin Hun sering membunuh orang. Ia tahu bagaimana cara membunuh dengan satu tusukan mematikan. Sebaliknya ia juga tahu cara menusuk yang tidak mematikan. Karena itu ia lebih suka bila menusukkan diri sendiri ke ujung golok Tu Da Peng. Meng Xin Hun membiarkan golok Tu Da Peng menusuk bagian tubuhnya yang tidak berbahaya walau bagian itu sangat dekat dengan jantungnya. Meng Xin Hun dengan cepat merebahkan dirinya, ia tidak ingin ujung golok terlalu dalam menusuk dada. Ia menjatuhkan diri dengan tengkurap, wajah menghadap tanah, karena ia tidak ingin terlalu banyak darah keluar. Tapi ia tetap ingin tahu cara mereka membunuh Han Tang. Ia juga ingin tahu apakah Han Tang bisa membunuh mereka. Dengan melukai diri seperti ini, maka ia mendapat keuntungan dan beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, Han Tang bisa membunuh mereka. Dengan begitu, ia bisa mencuri lihat kungfu Han Tang dan memikirkan cara buat kelak membunuhnya. Kedua, kalau Han Tang yang tewas, maka ia telah meminjam tangan Tu Da Peng. Selain itu, ia telah mencuri lihat kungfu Tu Da Peng berempat. Barangkali kelak ia harus menghadapi mereka. Ketiga, ia tidak perlu beresiko mengadu jiwa dengan rombongan lain di
belakang sana yang tidak jelas jumlah dan kekuatannya. Maka, tidak ada salahnya bagi Meng Xin Hun buat melukai diri sendiri. Ketika Meng Xin Hun roboh ke tanah, Nu Peng pun menggeleng kepala. “Aku tidak mengerti kenapa dia memilihmu.” Tu Da Peng menyimpulkan, “Karena ia memang ingin mati!” Saat berkata ‘mati’, tubuh Tu Da Peng sudah melompat seperti panah dilepas dari busurnya. Begitu juga dengan Jin Peng, Yin Peng, dan Nu Peng. Mereka mengunakan cara sama dengan kecepatan sama menubruk Han Tang. Tidak ada yang bisa lolos dari keempat mata panah itu. Begitu juga Han Tang. * Cahaya golok menghilang dengan cepat. Pertarungan yang seru usai begitu cepat. Meng Xin Hun mengikuti semua kejadian dengan cermat. Jika tidak dalam posisi tengkurap, mungkin ia sudah muntah. Tu Da Peng lama terdiam, perlahan dengan suara serak dan tegang berkata di sisi telinga Han Tang yang masih tegak tertancap di gagang goloknya, “Kutahu kau tidak rela mati seperti ini. Mati pun kau akan penasaran.Tapi sebaiknya kau jangan mencari kami, tapi carilah orang yang sudah menjualmu.” Tentu Han Tang sudah tidak dapat mendengar kata-katanya itu. Ataukah Tu Da Peng menujukan kata-katanya pada orang lain? “Cepat kita pergi,” kata Tu Da Peng mendorong mayat Han Tang dari goloknya. Mayat Han Tang seketika jatuh terlentang. Jin Peng yang tidak mampu berjalan akhirnya dipapah. Ia membuka mulut, memuntahkan daging punggung Han Tang ke danau yang langsung diperebutkan ikan-ikan. Demikian pula Nu Peng, harus dipapah. Jika Han Tang masih hidup apakah terpikir olehnya ikan kesukaannya akhirnya memakan daging dan darahnya? Han Tang suka memelihara ikan, tapi ia tidak makan ikan.
Nyatanya, sekarang ikanlah yang memakannya. Dulu ia membunuh orang. Sekarang orang membunuhnya. Beginikah akhir hidup setiap pembunuh? Bulan di atas danau Suasana begitu sepi. Tu Da peng dan gerombolannya sudah pergi. Tapi angin yang berhembus seakan masih membawa anyir darah. Meng Xin Hun masih menelungkup. Tubuhnya basah kuyup, entah oleh darah atau keringat dingin yang bercucuran? Yang pasti, hari ini ia tidak tewas. Semua sesuai perhitungannya yang tepat. Dan juga sedikit kemujuran. Tapi, benarkah ia mujur? Benarkah perhitungannya tepat? Meng Xin Hun berfikir keras, dan sadar bahwa ini bukan kemujuran. Bukan juga perhitungan yang tepat! Melihat cara Tu Da Peng membunuh Han Tang, terlihat bahwa setiap gerakan lelaki itu sudah sangat terlatih dan terencana serta akurat. Tapi mengapa golok Tu Da Peng bisa meleset dan dirinya tidak tewas? Ia merasa curiga, dan sekarang sudah mengerti. Ia baru mengerti saat Tu Da Peng berkata di sisi telinga Han Tang, “Kutahu kau tidak rela mati seperti ini. Mati pun kau akan penasaran.Tapi sebaiknya kau jangan mencari kami, tapi carilah orang yang sudah menjualmu.” Tentu Han Tang sudah tidak bisa mendengar kata-kata itu. Tu Da Peng tidak menunjukkan perkataannya pada Han Tang, tapi pada dirinya. Ia tidak tewas sebab Tu Da Peng belum menginginkannya tewas. Tu Da Peng mengira ia adalah teman Han Tang. Teman Han Tang berarti anak buah Sun Yu Bo. Tu Da Peng membiarkannya hidup agar ia melapor pada Sun Yu Bo bahwa yang menjual Han Tang adalah orang yang paling dipercaya. Dan orang yang paling dipercaya Sun Yu Bo adalah Sun Jian dan Lu Xiang Chuan. Karena Sun Jian sudah mati, maka orang itu tinggal Lu Xiang Chuan. Begitulah otak Meng Xin Hun coba menganalisis seluruh kejadian. Sambil
menahan sakit, antara sadar dan tidak, analisisnya terus berlanjut. Lu Xiang Chuan mungkin bukan penghianat! Wan Peng Wang ingin Sun Yu Bo sendiri yang membunuh Lu Xiang Chuan, sehingga dengan begitu kekuatan Lao Bo semakin lemah. Meng Xin Hun menarik nafas. Rencana ini sangat licik dan kejam, pikirnya dalam hati. Sekarang Meng Xin Hun menyadari kedudukan dan pentingnya Lu Xiang Chuan dalam organisasi Lao Bo dan karenanya menjadi target Wan Peng Wang. Sun Jian dan Han Tang sudah tewas. Dalam kekuatan Lao Bo, yang tersisa hanyalah Lu Xiang Chuan! Atau masih adakah yang lain? * Meng Xin Hun senang berpikir, tapi ia sudah tidak bisa berpikir lagi karena kelelahan. Dan juga kedinginan. Sepertinya jika ia memejam mata pasti akan tertidur. Tapi ia tahu, sekali tertidur ia akan mati. Karenanya, ia tidak berani memejam mata walau barang sebentar. 19. Akar Darah segar menetes dari lukanya seakan enggan berhenti. Ia hanya punya sedikit tenaga buat membalik tubuh. Dengan payah akhirnya susah Meng Xin Hun berhasil terlentang menantang langit. Begitu banyak bintang? Ataukah bintang sebanyak itu semata hanya karena mata yang berkunang? Ia tidak lagi kuat berpikir, juga tidak sanggup bertahan lebih lama lagi. Matanya begitu berat, kesadaran mulai meninggalkan raganya. Samar-samar antara sadar dan tidak ia mengenali seraut wajah. Ye Xiang! * Lembab.
Rumah itu jarang terkena sinar matahari. Di sudut ruangan teronggok kursi yang tinggi. Bila duduk di kursi itu siapa pun pasti merasa tidak nyaman. Ini memang bukan rumah yang nyaman. Langit-langit pun rusak, pintunya kotor sedekil pantat kuali. Tapi inilah rumah Han Tang. Dan itu kursinya. Di kursi itu Han Tang bisa duduk berlama-lama. Ia tidak suka kenyamanan, tidak suka kenikmatan, tidak suka kesenangan. Seakan dunianya hanya penderitaan. Tapi itulah dunia Han Tang, siapa pun sulit memahaminya. Dan sekarang Ye Xiang menduduki kursi itu. Meng Xin Hun bercerita, Ye Xiang semata hanya mendengar, tidak berkata sepatah pun. Setelah Meng Xin Hun mengakhiri seluruh kisahnya, Ye Xiang baru berkata, “Kau melakukan hal yang sangat bodoh!” Meng Xin Hun tertawa kecut, “Ya, seharusnya aku tidak menghantar diri ke ujung goloknya. Dari matanya seharusnya kutahu ia tidak berniat membunuhku.” ”Kau memang tidak seharusnya mengucur darah,” Ye Xiang gegetun. “Tidak seharusnya juga Tu Da Peng membiarkanku hidup!” Meng Xin Hun tertawa. “Sesudah Sun Yu Bo mengetahui Han Tang tewas, dengan sendirinya ia akan mencurigai Lu Xiang Chuan.” Dalam situasi seperti ini, siapa pun pasti dipenuhi rasa curiga, menganggap semua orang tidak bisa dipercaya. Ye Xiang menghela nafas, “Curiga adalah luka yang mematikan. Situsasi sesulit apa pun sebetulnya tidak mematikan! Yang mematikan justeru rasa curiga yang tumbuh di hati. Entah, apakah Sun Yu Bo juga begitu?” Meng Xin Hun meringis. “Bila ia benar-benar membunuh Lu Xiang Chuan, maka Sun Yu Bo akan tinggal sendiri.” “Kau salah,” Ye Xiang menggeleng. “Kenapa salah?”
“Jika sebatang pohon telah tumbuh besar, akarnya pasti sudah tersebar dan menancap dalam.” Meng Xin Hun menatap Ye Xiang, minta penjelasan. “Maksudku, akar pohon sebesar itu pasti telah merambat kemana-mana tanpa terlihat di permukaan,” kata Ye Xiang. Setelah lama Meng Xin Hun bertanya, “Apa Sun Yu Bo masih punya anak buah yang lain? Anak buah yang bergerak di bawah dan sejauh ini belum terlihat di permukaan?” Ye Xiang mengangguk. “Sekurangnya masih ada dua orang lagi!” “Dua orang tidak bisa mengalahkan dua belas orang,” sanggah Meng Xin Hun. “Tapi dua orang ini lebih menakutkan daripada dua belas ribu orang!” “Siapa mereka?” Meng Xin Hun ingin tahu. “Yang satu bernama Lu Chung.” “Apa Lu Chung yang kau maksud adalah Lu Man Tian?” “Benar.” “Apa hubungannya dengan Sun Yu Bo?” “Mereka sahabat sejak muda. Lu Man Tian juga paman Lu Xiang Chuan.” “Oh!” “Gerakan bawah tanah Sun Yu Bo terbagi dalam dua bagian, dia salah satunya.” “Satunya lagi?” “Yi Qian Long,” jawab Ye Xiang, “Kau pasti mengenalnya.” Kalangan persilatan memang banyak mengenal nama ini. Di sepanjang sungai Chang Jian berkeliaran banyak gerombolan penjahat. Mereka bergerak di air dan darat. Yi Qian Long adalah kepala dari segala begal air dan darat itu. “Apa Sun Yu Bo mampu memerintah mereka?” Meng Xin Hun tidak percaya. “Ia mampu dan bisa memerintah mereka!” jawab Ye Xiang, “Dalam beberapa tahun ini, Sun Yu Bo berusaha menjalankan organisasinya dengan lurus dan benar, tidak ingin terlihat bergaul dengan para penjahat kalangan hitam itu. Tapi jika Sun Yu Bo menghadapi bahaya dan meminta bantuan, mereka pasti meluruk datang menolongnya.”
Meng Xin Hun menghela nafas, menggeleng sulit percaya. “Sekarang kelihatannya Wan Peng Wang di atas angin, tapi pertarungan yang sesungguhnya belum usai. Sampai saat ini belum bisa disimpulkan siapa menang siapa kalah.” Ye Xiang menatap Meng Xin Hun dalam-dalam, “Kau sudah mengerti maksudku?” tanyanya. Meng Xin Hun mengangguk. “Apa benar-benar kau sudah mengerti?” tanya Ye Xiang lagi. Meng Xin Hun balik bertanya, “Apa kau ingin aku melepas tugas membunuh Sun Yu Bo?” Ye Xiang menghela nafas. “Aku tidak bisa memaksamu, hanya bisa menasehatimu untuk lebih berhat-hati mempertaruhkan nyawa.” “Aku mengerti,” jawab Meng Xin Hun. Ia benar-benar mengerti dan juga paham maksud lain Ye Xiang: seluruh hidupnya sudah hancur dan hanya bisa mengandalkan diri dan bertumpu pada Meng Xin Hun saja. Tapi ada satu hal yang ia tidak mengerti. “Sepertinya kau sangat mengenal Sun Yu Bo?” tanyanya. Ye Xiang tiba-tiba terdiam. “Bagaimana kau bisa mengenal Sun Yu Bo begitu jelas?” tanya Meng Xin Hun lagi. Ye Xiang diam. Karena Ye Xiang tetap diam, Meng Xin Hun tidak bertanya lagi. Jika Ye Xiang tidak menjawab pertanyaannya, pasti memiliki cukup alasan. Dan Meng Xin Hun bisa memahami itu. Setelah lama, Meng Xin Hun berkata perlahan, “Aku mengerti maksudmu, tapi aku tidak bisa melepas tugas ini. Aku tetap akan menjalankannya.” “Kenapa?” “Karena aku masih memiliki kesempatan.” “Benarkah kau masih memiliki kesempatan?” Meng Xin Hun mengangguk. “Jika dua pihak betarung, pihak ketigalah yang akan memetik keuntungan. Dan aku tidak akan melepas kesempatan itu begitu saja.”
“Apa keuntunganmu jika berhasil membunuh Sun Yu Bo?” “Aku sendiri tidak tahu,” mata Meng Xin Hun menerawang jauh ke sana, “Yang pasti kereta sudah melaju, dan aku berada di dalamnya, ke mana pun akan kuikuti kereta itu.” Ye Xiang terlihat sedih. Ia memahami Meng Xin Hun, betapa terkadang kita berada dalam situasi apa boleh buat dan terpaksa menjalani hidup yang mungkin kita sendiri pun tidak mau Lama Ye Xiang baru bertanya, “Karena itu kau akan menunggu terus di sini?” Meng Xin Hun tertawa kecut. “Menunggu adalah pekerjaan yang menjemukan. Tapi, betapa pun, akan kutunggu kesempatan itu.” “Menunggu apa? Menunggu kematian atau menunggu hingga kau mati?” jengek Ye Xiang. Meng Xin Hun menatap dalam-dalam. “Beritahu Gao Lao Da, jika dalam waktu yang ditentukan aku masih belum bisa membunuh Sun Yun Bo, aku tidak akan pulang!” Ye Xiang menunduk, baru mengangguk. “Aku mengerti maksudmu, seumur hidup kau abadikan dirimu buat Gao Lao Da. Aku mengerti, karena dulu pun aku begitu.” “Sekarang bagaimana?” “Sekarang? Apa sekarang aku masih bisa dikatakan hidup?” * Sebuah cangkir teh di atas meja, terlihat penuh terisi. Ye Xiang merasa mulutnya pahit. Ia meneguk isi cangkir itu, sudah lama tidak meminuh teh. Mungkin bagaimana rasa teh pun ia sudah lupa. Tapi ia keliru. Cangkir berisi arak, bahkan sangat keras, bukan berisi teh seperti yang dikiranya. Ye Xiang tertawa. “Tak kusangka Han Tang juga tahu bersenang-senang, ia ternyata meminum arak. Memang aku akan heran kalau Han Tang sama sekali tidak meminum arak.” Meng Xin Hun menukas, “Kau pun rupanya sangat mengenal Han Tang?” Ia
tidak berharap pertanyaannya akan dijawab. Tidak terduga, Ye Xiang justeru menjawab, “Memang, aku sangat mengenalnya, karena aku sangat mengenal diriku sendiri.” “Kau dan Han Tang tidak sama,” Meng Xin Hun tidak sepaham. Ye Xiang terlihat kecut. “Apa bedanya? Aku dan dia hidup demi orang lain. Karena itu aku tidak ingin kau seperti aku dan dia, hidup semata demi orang lain!” Di luar sana terdengar lolong srigala. Begitu kesepian. Tapi betapa pun kesepiannya seekor srigala, ia tetap makhluk yang bebas. Hidup untuk diri sendiri. Ye Xiang melanjutkan, “Seseorang harus hidup untuk dirinya sendiri, walau hanya untuk setahun, itu tidak mengapa. Aku merasa hidupku tidak pernah untuk diriku sendiri.” “Benar tidak ada barang sehari pun?” tanya Meng Xin Hun. Mata Ye Xiang tiba-tiba berbinar. Cahaya di matanya berkelebat seperti meteor. Hanya singkat, tapi sangat gemilang. Ia pernah mengalami satu hari itu. Itulah hari paling benderang dalam kehidupan Ye Xiang. Di hari itu jiwanya terbakar. Tiba-tiba Ye Xiang membalik tubuh, keluar rumah meninggalkan Meng Xin Hun begitu saja. * Meng Xin Hun tepekur memikirkan Ye Xiang. Walau telah lama saling mengenal, sekarang ia sadar begitu banyak misteri meliputi diri Ye Xiang. Bahwa ia sebetulnya tidak mengenal Ye Xiang. Antara Ye Xiang, Han Tang, dan Sun Yu Bo pasti ada hubungan yang istimewa. Ye Xiang muncul di sini. Apakah kehadiran Ye Xiang untuk dirinya ataukah karena Han Tang? Memikirkan semua ini, tiba-tiba ia merasa lelah dan ingin tidur. Saat terbangun nanti, pasti Sun Yu Bo sudah mendapat kabar kematian Han Tang dan pasti sudah menyusun recana berikutnya.
Setiap manusiai pernah membuat kesalahan. Sun Yu Bo adalah manusia. Maka ia pasti melakukan kesalahan Kesalahan yang dilakukan Sun Yu Bo sejauh ini sudah fatal. Entah mengapa, Meng Xin Hun berharap Sun Yu Bo tidak melakukan kesalahan lagi. * Jalan di depan Ye Xiang sangat gelap. Tapi ia tidak perduli. Sekali pun matanya ditutup, ia tetap akan mengenali jalan itu. Pernah ia menunggu berhari-hari sambil berjongkok di sini, menanti si dia yang pernah membakar hidupnya. Waktu itu ia rela mengorbankan segala demi bertemu dengannya. Asalkan bisa bertemu, mati pun ia rela. Tapi sekarang, mati pun ia tidak ingin berjumpa dengannya lagi. Ia merasa dirinya tidak pantas! Dan berharap si dia bisa hidup tenang dan bahagia. Langit mendung berawan. Alam begitu gulita. Di ujung jalan itulah taman bunga Sun Yu Bo. 20. Akar Pertama Ia sangat mengenali jalan ini karena sering mengintip ke arah taman bunga itu. Tapi ia tidak pernah bertemu dengan orang yang ingin ia temui dan hanya bisa meratapi nasib sendiri. Tiba-tiba terdengar derap kuda berlari memecah kesenyapan malam. Sigap, Ye Xiang bergerak cepat bersembunyi di balik semak di tepi jalan. Baru saja menyembunyikan diri, ia melihat empat ekor kuda berlari menarik sebuah kereta yang melaju menuju taman bunga Lao Bo. Sayup-sayup, sesekali di antara derap kuda terdengar lempengan besi beradu seperti lonceng berdentang. Kalangan persilatan tahu, manakala terdengar dentang seperti itu, Lu Man Tian pasti di sana. Dentang terdengar dari dalam kereta, maka bisa dipastikan penumpang kereta adalah Lu Man Tian.
Ye Xiang menghela nafas, sepertinya Sun Yu Bo telah menarik satu akarnya keluar ke permukaan. * Lu Man Tian biasanya selalu terang-terangan. Kemana pun pergi, ia selalu memberi tahu kedatangannya. Tapi malam ini sepertinya berbeda. Jalan yang dilaluinya sangat sepi, waktunya pun saat malam gelap tanpa cahaya gemintang. Maka ada dua kemungkinan mengenai hal ini. Pertama, ia memang datang sembunyi-sembunyi atau, kedua, Sun Yu Bo mengeluarkan panggilan mendesak sehingga ia harus datang selarut ini. Apa pun alasannya, sifatnya yang terang-terangan sulit ia tinggalkan. Lempengan besi dalam genggamannya tetap saja sesekali beradu berdentang, memberi tahu keberadaannya. Derap kaki-kaki kuda menghentaki kulit bumi semakin menjauh. * Ye Xiang keluar dari tempat sembunyinya. Semula ia datang buat melihat seberapa besar peluang Sun Yu Bo untuk menang. Sekarang ia tahu, pembalasan yang akan dilakukan Sun Yu Bo pasti lebih kejam dan dahsyat dari apa yang ia bayangankan. Lu Man Tian telah datang. Tapi, betapa pun, Wan Peng Wang bukan lawan ringan! Maka ia hanya bisa berharap semoga seluruh kekacauan ini segera berakhir dan jangan sampai melukai si dia. Untuk itu, ia sungguh berharap Lao Bo tidak membuat kesalahan lagi, termakan jebakan Wan Peng Wang untuk mencurigai Lu Xiang Chuan! Tanpa Lu Xiang Chuan, kekuatan Lao Bo pasti melemah dan peluang kalahnya menjadi sangat besar. * Arak di atas meja. Sun Yu Bo duduk di kursinya. Sebenarnya ia ingin berbincang dan minum dengan santai, tapi ia tidak bisa.
Hatinya sangat berat. Lu Man Tian perlahan bertanya, “Apa kau bisa membuktikan Han Tang dan Sun Jian tewas oleh Wan Peng Wang?” Cangkir di tangan Sun Yu Bo pecah tiba-tiba, ia menggenggam terlalu keras. “Ya,” jawabnya. “Kau sudah memanggil Yi Qian Long?” “Kelak akan kupanggil dia, tidak perlu tergesa, karena…” Lao Bo terlihat sangat lelah. Sambil memandang pecahan cangkir di tangannya, ia melanjutkan, “… karena aku harus bicara denganmu.” Setelah lama termangu, Lu Man Tian menyahut, “Aku mengerti, masalah Lu Xiang Chuan akulah yang bertanggung jawab.” Wajah Lao Bo semakin lelah. “Aku selalu menganggap dia sebagai anak kandungku. Terkadang aku lebih mempercayainya ketimbang anakku sendiri. Tapi sekarang aku mencurigainya,” katanya pedih. Mencurigai orang yang paling kita percaya memang suatu kenyataan yang sangat menyakitkan. Wajah Lu Man Tian tanpa ekspresi. “Akan kuyakinkan kau agar tidak lagi mencurigainya.” Perkataannya begitu tenang dan ringan, tidak seorang pun bisa menangkap maksudnya. Tapi Lao Bo mengerti, hanya orang mati yang tidak lagi dicurigai. Sudut mulut Lao Bo mengedut beberapa kali. “Ibunya adalah adik perempuanmu,” katanya. Lu Man Tian menenggak araknya. “Walau begitu, organisasi kita tidak bisa mentolerir setitik pun kecurigaan, ibarat dalam mata tidak boleh ada sebutir pasir pun.” Lao Bo berdiri, berjalan mundar mandir. Sebagai teman seperjuangan sejak dulu, Lu Man Tian tahu begitulah kebiasaan Lao Bo jika memikirkan masalah besar. Agak lama Lao Bo baru berhenti melangkah. Sekarang ia menatap Lu Man Tian. “Berapa persen kau mencurigai Lu Xiang Chuan?” tanyanya. Pertanyaan yang singkat. Jawabannya pun singkat. Tapi Lu Man Tian tahu, ia tidak boleh salah menjawab walau hanya satu kata karena jawabannya akan menentukan mati hidup Lu Xiang Chuan.
Hari menjelang pagi. Sayup-sayup terdengar kokok ayam di kejauhan. Lu Man Tian lama berpikir. Akhirnya perlahan ia bertanya, “Pada hari pemakaman enam dari Tujuh Pemberani itu, apa Lu Xiang Chuan yang merencanakannya?” Lao Bo mengangguk. “Dan semua anak buah dia yang mengaturnya?” Lao Bo kembali mengangguk. “Apa tindakan Lu Xiang Chuan pula yang membuat kau bermusuhan dengan Wan Peng Wang?” Lao Bo tidak mengangguk, juga tidak menggeleng. Lu Man Tian merasa bahwa pertanyaannya memang sulit dijawab. Maka ia mengubah pertanyaannya, “Benarkah bila bukan dia yang mengatur, Wan Peng Wang tidak akan begitu cepat menyerang kita?” Kali ini Lao Bo menjawab, “Benar, walau antara kita dan Wan Peng Wang terjadi pertarungan, tapi jika kita yang menyerang terlebih dulu mungkin kerugian kita tidak sebegini parah.” Lu Man Tian terdiam. Lao Bo memandangnya. “Aku masih menanti kesimpulanmu,” katanya. Mengambil kesimpulan ini sangat sulit dan menyakitkan, tapi Lu Man Tian tidak punya pilihan lain. Perlahan ia menghela nafas, “Paling sedikit aku mencurigainya lima puluh persen.” Lima puluh berbanding lima puluh, itu adalah vonis mati bagi Lu Xiang Chuan! Walau hanya 10% kecurigaan, Lu Xiang Chuan tetap harus mati. Lao Bo terdiam lama, ia mulai menggeleng-geleng kepala, “Tidak mungkin! Sama sekali tidak mungkin!” “Apa yang tidak mungkin?” tanya Lu Man Tian. Lama Lao Bo terdiam, baru berkata “Aku tidak ingin kau membunuhnya.” “Apa kau sendiri yang ingin membunuhnya?” “Aku tidak sanggup membunuhnya!” Lao Bo membuang pandang ke luar sana, perlahan melanjutkan, “Kalau bukan aku dan kau yang membunuhnya, hanya
Yi Qian Long yang bisa menghadapinya.” Kungfu Lu Xiang Chuan memang sangat tinggi. Lu Man Tian tertawa dingin, jengeknya, “Yi Qian Long hampir lima belas tahun tidak pernah menggerakkan badan, mungkin tangannya sudah sangat lemah seperti perempuan, paling-paling ia hanya bisa mengelus pantat perempuan.” Lao Bo tertawa, ia merasa lucu melihat hubungan Lu Man Tian dengan Yi Qian Long, tapi ia tidak berusaha menyatukan mereka. Seorang pemimpin bila ingin mengatur anak buah dengan baik, terkadang harus menggunakan cara ini: memakai ketidakcocokan mereka. “Apa Lu Xiang Chuan sudah tahu kita mencurigainya?” tanya Lu Man Tian. Lao Bo menggeleng. “Mungkin ia belum tahu.” “Kalau begitu, kita harus segera bertindak, jangan menunggu sampai ia waspada. Kalau sampai ia waspada, pasti akan menyulitkan kita.” “Sekarang belum waktunya bertindak.” “Kenapa?” “Kita harus memberinya satu ujian lagi buat menilai kesetiaannya.” “Bagaimana mengujinya?” Lao Bo tidak langsung menjawab, ia mencari gelas dan mengisinya dengan teh, bukan arak. Gerakannya menunjukkan bahwa ia sudah kembali tenang dan sedang menyusun rencana berikutnya. Perlahan ia meneguk minumannya dan berkata, “Orang kita yang sebelumnya kuutus mencari Han Tang ada di bawah koordinasi Feng Hao, kau kenal dia?” “Aku ingat Feng Hao, kalau tidak salah dulu akulah yang membawanya ke organisasi ini,” jawab Lu Man Tian. Lao Bo tertawa. “Kelihatannya kau sudah bisa menekan keinginanmu minum dan main perempuan, karena itu daya ingatmu masih baik dan tidak buyar.” Lu Man Tian mengangkat cawan araknya walau sesungguhnya tidak ingin minum, ia hanya ingin menyembunyikan wajah agar Lao Bo tidak melihat ronanya yang memerah. Dalam beberapa tahun ini hobinya minum arak dan main perempuan berkurang. Lu Man Tian merasa otot-ototnya mulai mengendur, nalurinya berkurang. Maka ia ingin tampil lebih waspada.
Namun mengenai Feng Hao ia memang tidak melupakannya, karena anak buak Lao Bo ini satu desa dengannya. Dan ia juga tahu, orang ini tidak begitu tangguh tapi kesetiannya tidak ada yang menandingi. ”Apa Feng Hao juga diatur oleh Lu Xiang Chuan?” tanya Lu Man Tian. Lao Bo menghela nafas. ”Aku sudah banyak memberi tugas padanya dan sejauh ini belum pernah mengecewakanku.” Sekarang ia tertawa, ”Feng Hao ini begitu mendengar kematian Han Tang langsung ke sini dan sekarang masih menunggu di depan.” ”Apa benar berita kematian Han Tang belum tersebar?” Lao Bo mengangguk. ”Ya, kecuali aku dan orang yang membunuh Han Tang.” ”Apa Lu Xiang Chuan tahu?” ”Bila dia tidak bersekongkol dengan Wan Peng Wang, dia tidak akan tahu. Oleh karena itu…” Lao Bo menyeruput tehnya baru melanjutkan, ”oleh karena itu, aku akan mencari dan memberi penugasan pada Lu Xiang Chuan.” Lu Man Tian tidak mengerti maksud Lao Bo. Lao Bo kembali bertanya, ”Apa kau mengenal Fang Gang?” ”Apa dia anak buang Wan Peng Wang yang juga bernama Tie Peng? Kudengar dia sudah keluar dari tempatnya dan tidak ada yang tahu dia kemana.” Wajah Lao Bo sangat puas, berharap semua anak buahnya seperti Lu Man Tian, selalu memantau setiap perkembangan. ”Sudah tiga hari Tie Peng alias Fang Gang ini keluar sarangnya, besok dia akan sampai di Hang Zhou dan akan tinggal di penginapan. Di sanalah Wan Peng Wang mengirim utusannya buat bertemu Fang Gang.” ”Apa berita ini bisa dipercaya?” Lao Bo tertawa. ”Tujuh tahun yang lalu sudah kutanam orang di organisasi Wan Peng Wang, dia bernama Rang Gong.” Lu Man Tian sangat kagum pada Lao Bo. Lao Bo bukan tipe orang yang bila mau makan buah pir baru menanamnya. Tapi lama sudah ia menanam bibit, dan bibit itu sekarang sudah menjadi pohon yang siap dipetik buahnya. ”Kau sudah mengerti maksudku?” tanya Lao Bo. ”Jadi, kau suruh Lu Xiang Chuan pergi mencari Han Tang?”
”Benar, jika Lu Xiang Chuan tidak bersekongkol dengan Wan Peng Wang, dia tidak akan tahu kabar kematian Han Tang dan juga kabar perjalanan Fang Gang. Maka, dia pasti pergi…” Lao Bo menatap Lu Man Tian dalam-dalam, ”… tapi dia pergi karena perintahku bukan untuk mencari Han Tang, tapi membunuh Han Tang! Tempatnya adalah penginapan Fang Gang, dan kita lihat apakah mereka akan beradu pedang?” * Lu Xiang Chuan sangat terkejut ketika mendengar perintah untuk membunuh Han Tang. Lao Bo dengan tegas berkata, ”Aku sudah menjelaskannya, apa kau masih belum mengerti?” Lu Xiang Chuan menunduk kepala, tidak berani bertanya lagi. Perintah dari Lao Bo belum pernah ia curigai. 21. Merpati Hari menjelang petang ketika Lu Xiang Chuan dipanggil menghadap Lao Bo. “Aku menyuruhmu membunuh Han Tang karena sudah lama ia tidak menyukaiku…,” kata Lao Bo Sebetulnya tanpa penjelasan apa pun, jika Lao Bo memerintahkannya membunuh orang, tanpa banyak tanya orang itu pasti akan ia bunuh. Lao Bo melanjutkan, ”… Han Tang menganggapku meremehkannya, sekarang dia berniat bekerja buat orang lain.” Lu Xiang Chuan marah, ”Apa dia mau bekerja untuk Wan Peng Wang?” Lao Bo menggangguk. ”Benar, Han Tang sudah berjanji bertemu dengan anak buah Wan Peng Wang bernama Tie Peng alias Fang Gang. Mereka akan bertemu di Penginapan Da Fang di Hang Zhou besok malam.” Lu Xiang Chuan mengangguk memahami. ”Apa boleh kubawa anak buahku?” tanyanya. ”Jangan,” Lao Bo menggeleng. ”Di dalam organisasi kita ada pengkhianat. Gerakanmu kali ini sangat rahasia, tidak boleh diketahui siapa pun.” Lu Xiang Chuan tidak bertanya lagi. ”Baiklah, aku segera berangkat.” Sedari tadi Lu Man Tian hanya mendengar, tapi sesungguhnya memperhatikan ekspresi Lao Bo saat bicara.