P P A T K AMLNEWS Clipping Service Anti Money Laundering 12 Agustus 2011
Indeks 1. Ini Pentingnya Identitas Tunggal Bagi PPATK 2. Ada 434 Kasus Penipuan Perbankan dengan Identitas Bru 3. Putusan Pengadilan Anggota sindikat narkotika Agusdi divonis 10 tahun 4. Korupsi Dana Tsunami Mantan Bupati Nias dipenjara 5 tahun 5. Jadi Tersangka Sejak 2008, Bupati Kampar Diperiksa
Vivanews.com
Jumat, 12 Agustus 2011
Ini Pentingnya Identitas Tunggal Bagi PPATK
Saat ini pemalsuan identitas yang mudah menyebabkan kejahatan pencucian uang meningkat. VIVAnews - Direktur Pengawasan dan Kepatutan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Subiantoro mengatakan penerapan Single Identity Number oleh Kementerian Dalam Negeri bisa membantu mencegah dan memberantas tindak
pidana pencucian uang. Karena, sistem itu memperkecil kemungkinan pemalsuan
identitas.
"Banyaknya pemalsuan identitas karena belum adanya SIN di Indonesia. Tentu dalam hal ini kami merujuk kepada Kementerian yang terkait yaitu Kementerian Dalam Negeri," kata Subiantoro di Jakarta, Kamis 11 Agustus 2011.
Subiantoro mengatakan PPATK mencatat setidaknya ada 434 kasus penipuan perbankan yang terjadi karena pemalsuan identitas. Menurut dia, pelaku
memalsukan data KTP untuk kemudian membuka rekening bank yang dipakai menyimpan uang hasil kejahatannya.
"Seperti dalam kasus Gayus dan Andhika Gumilang yang dengan leluasa memalsukan identitas untuk membuka account di bank," terangnya.
Oleh karena itu, lanjut Subiantoro, PPATK merekomendasikan Kemendagri untuk membangunan database yang baik, memberlakukan NIK dan pemutakhiran data penduduk serta pemutihan KTP dalam rangka penerapan KTP berbasis nasional.
Sedangkan bagi pihak penyedia jasa keuangan (bank) untuk menerapkan proses
kehati-hatian, menyortir dan menunda proses pembukaan rekening bank sebelum memastikan identitas asli nasabah.
"Jangan ragu-ragu karena yang demikian sudah diatur dalam Pasal 26 Undangundang No 8 tahun 2010," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjalin nota kesepahaman dengan Ombudsman RI untuk bertukar
informasi guna meminimalisir maraknya tindak maladministrasi dan tindak pidana pencucian uang dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
"Pasal 90 UU tentang kerjasama antar lembaga, kami bisa memberikan permintaan
Ombudsman terkait tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya," ujar Kepala PPATK Yunus Husein. (umi) Vivanews.com
Jumat, 12 Agustus 2011 Ada 434 Kasus Penipuan Perbankan dengan Identitas Palsu TEMPO Interaktif, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
mencatat sebanyak 434 kasus penipuan perbankan yang terjadi di Indonesia dengan cara memalsukan identitas. Caranya, kata Direktur Pengawasan dan Kepatuhan
PPATK, Subintoro, dengan memalsukan identitas berupa Kartu Tanda Penduduk
untuk membuka rekening bank yang kemudian dipakai untuk menyimpan uang hasil
yang diperoleh dengan cara tak wajar atau kriminal. "Sebagai contohnya dalam kasus Gayus dan Andhika Gumilang yang dengan leluasa memalsukan identitas untuk membuka rekening di bank," kata Subintoro Kamis 11 Agustus 2011.
Karena itu, ia sangat mendorong Single Identity Number (SIN) yang diterapkan oleh Kementerian Dalam Negeri untuk bisa membantu mencegah dan memberantas
tindak pidana pencucian uang. Sebab sistem ini mampu memperkecil kemungkinan pemalsuan identitas. "Banyaknya pemalsuan identitas karena belum adanya SIN di Indonesia," katanya.
PPATK memberi rekomendasi kepada Kementerian Dalam Negeri untuk membangun sebuah database untuk memberlakukan nomor induk kependudukan (NIK) serta
pemutakhiran data penduduk. Selain itu juga rekomendasi untuk memutihkan KTP dalam rangka penerapan KTP berbasis nasional.
Kemudian dia mengimbau pihak bank selaku badan layanan keuangan untuk
memproses segala sesuatunya dengan hati-hati. Dia juga meminta pihak bank untuk tidak segan-segan menyortir dan menunda proses pembukaan rekening bank
sebelum memastikan identitas asli nasabah. "Bank jangan ragu-ragu, karena yang demikian sudah diatur dalam Pasal 26 Undang-undang No 8 tahun 2010.” PPATK dan Ombudsman Republik Indonesia sudah menandatangani nota
kesepahaman tentang pertukaran informasi untuk menekan praktek pencucian uang dalam pelaksanaan pelayanan publik. Dengan begitu, kedua instansi bisa bertukar
informasi guna meminimalkan maraknya tindak mal-administrasi dan tindak pidana pencucian uang dalam penyelenggaraan pelayanan publik. INDRA WIJAYA Suarakarya-online.com
Jumat, 12 Agustus 2011 PUTUSAN PENGADILAN
Anggota Sindikat Narkotika Agusdi Divonis 10 Tahun JAKARTA (Suara Karya): Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara dan Jaksa Johan Nepa Bureni dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta dicurigai oleh aktivis antimadat telah bersekongkol untuk menuntut dan menghukum ringan anggota sindikat narkotika dari balik jeruji besi, Agusdi alias Adi.
"Terdakwa itu sepantasnya dituntut dan divonis pidana mati atau setidaknya penjara seumur hidup," demikian aktivis antimadat Sudiman S, usai mendengarkan putusan PN Jakarta Utara, kemarin.
Alasannya, di samping sudah berulangkali melakukan kejahatan mengedarkan narkotika jenis sabu-sabu, terdakwa dalam menjalankan aksi kejahatannya
melibatkan tersangka Edy Hartono alias Yohanes Edy Antoro alias Romeo yang ditahan di Rutan Narkoba Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya dan Heryanto Wijaya alias Hendri alias Asiong yang tengah menjalani hukuman di Lapas Cipinang.
"Pelaku kejahatan narkotika seperti mereka ini harus dikenakan hukuman seberat-
beratnya. Sebab, terbukti mereka tidak ada tobat atau jera-jeranya," kata Sudiman. Menanggapi tudingan antimadat yang juga praktisi hukum itu, baik Ketua Majelis Hakim P Sitorus dan Johan membantahnya. Menurut P Sitorus, vonis 10 tahun
penjara masih pantas mengingat tuntutan jaksa hanya 15 tahun penjara. "Kami hanya mengurangi lima tahun dari tuntutan jaksa tersebut," ujarnya.
Sedangkan Jaksa Johan berpendapat, tidak ada yang salah kalau dirinya menuntut ringan terdakwa Agusdi. "Tuntutan lima belas itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, lima belas tahun itu tidak dibawah
minimal. Jadi tidak salah, walaupun ancaman maksimal pasal yang didakwakan sebelumnya pidana mati," tuturnya.
Tuntutan menjadi tidak pidana mati, kata Johan, karena dalam persidangan pasal yang ancaman maksimalnya mati itu tidak terbukti.
Dalam amar putusan majelis hakim PN Jakarta Utara sendiri disebutkan bahwa terdakwa Agusdi terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar UU tentang Narkotika. Meski vonisnya hanya 10 tahun, hal-hal yang memberatkan terdakwa menurut
majelis hakim cukup banyak. Salah satunya karena serangkaian kejahatan narkotika tersebut dilakukan terdakwa Agusdi bekerja sama dengan narapidana Lapas
Cipinang dan tahanan Polda Metro Jaya. Terdakwa juga tak menghiraukan upaya pemerintah dan masyarakat yang tengah gencar-gencarnya memerangi penyalahgunaan narkotika.
Namun, anggota sindikat Agusdi lainnya akan disidangkan di pengadilan dimana mereka melakukan kejahatan narkotika itu. (Wilmar P) Suarakarya-onlien
Jumat, 12 Agustus 2011 KORUPSI DANA TSUNAMI
Mantan Bupati Nias Dipenjara 5 Tahun
MEDAN (Suara Karya): Mantan Bupati Nias, Binahati Benecditus Baeha, Rabu, divonis
lima tahun penjara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan. Dia terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dana bantuan tsunami Nias beberapa
tahun lalu. Tapi vonis yang dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Suhartanto itu menurut Binahati tidak tepat dan ia merasa dizalimi.
Terdakwa Binahati juga divonis untuk membayar denda Rp 100 juta, subsider dua bulan kurungan dan membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp 3,7
miliar. Apabila tidak mampu membayarnya, maka harta benda terdakwa disita untuk dilelang oleh negara. Jika tidak mencukupi, maka terdakwa dikenakan kurungan tambahan selama tiga tahun.
Sebelumnya tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
menuntut terdakwa agar dipenjara selama delapan tahun, denda senilai Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan, dan membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp 2,6 miliar.
Dalam perkara ini terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sehingga melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU RI No.31 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang
Perubahan UU RI No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Menurut Majelis hakim, sebagai pejabat negara terdakwa dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Adapun dana bantuan bencana alam dan tsunami Nias semula diajukan senilai Rp 12,280 miliar oleh terdakwa saat itu selaku Ketua Satuan Pelaksana (Satlak)
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (PBPP). Atas pengajuan
tersebut, Pelaksana Harian Bakornas PBPP menyetujui bantuan pemberdayaan masyarakat Nias senilai Rp 9,480 miliar.
Terdakwa diduga menggunakan sebahagian dana bantuan tersebut untuk
kepentingan dirinya, bahkan dibagikan kepada orang lain/pejabat sehingga
merugikan keuangan negara senilai Rp 3,764 miliar, sebagaimana perhitungan BPK. Sementara itu terdakwa kasus korupsi upah pungut Kabupaten Subang, Bupati
Subang (nonaktif) Eep Hidayat, berharap majelis hakim mempertimbangkan dirinya bisa bebas dari jeratan hukum atas kasus yang dituduhkan kepadanya.
Tim kuasa hukum sendiri optimistis kliennya bisa menghirup udara bebas.
Permintaan terdakwa Eep Hidayat tersebut disampaikan dalam pledoinya di
Pengadilan Tipikor Bandung, Kamis, di hadapan majelis hakim yang diketuai I Gusti Lanang.
"Baik dakwaan primer maupun subsider jaksa penuntut umum, tidak memenuhi unsur. Karena itu kami memohon agar bebas dari jeratan hukum," katanya.
Harapan Eep tersebut sejalan dengan kuasa hukum Eep Hidayat, Abdy Yuhana.
Penasehat hukum Eep Hidayat, Abdy Yuhana yakin kliennya bebas. Sebab menurut
dia, dari seluruh jalannya persidangan tidak ada fakta hukum yang menyatakan Eep
melanggar hukum. Bahkan, lanjut dia, tidak ada bukti adanya unsur kerugian negara yang diakibatkan oleh terdakwa Eep.
"Untuk kerugian negara itu kan yang menyatakan seharusnya BPK atau BPKP, tapi
jaksa tidak mafhum," papar Abby. Atas keyakinan itu, lanjut Abdy, pihaknya meminta majelis hakim membebaskan Eep. (M Tampubolon/Agus Dinar)
Detik.com
Jumat, 12 Agustus 2011
Jadi Tersangka Korupsi Sejak 2008, Bupati Kampar Diperiksa KPK Jakarta - Bupati Kampar Burhanudin Husin yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi sejak tahun 2008, memenuhi panggilan KPK hari ini. Burhanudin diperiksa terkait kasus dugaan korupsi penilaian dan pengesahan Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (RKT UPHHKHT) yang menjeratnya. "BH (Burhanudin Husin-red) hari ini dipanggil untuk diperiksa sebagai tersangka," tutur Kabag Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha saat dihubungi wartawan, Jumat (12/8/2011).
Pantauan detikcom, Burhanudin telah datang ke kantor KPK sejak sekitar pukul 10.00 WIB. Dia didampingi oleh salah seorang ajudannya.
Burhanudin diketahui menjadi tersangka sejak Juni 2008 bersama dengan mantan
Kepala Dinas Kehutanan Riau Syuhada Tasman dan Asrar Rahman, serta Bupati Siak Arwin AS. Mereka diduga telibat dalam korupsi pemberian izin kehutanan di
Kabupaten Pelalawan senilai Rp 1,3 triliun. Penetapan ketiga tersangka inu menyusul vonis 11 tahun bagi Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar.
Syuhada dan Arwin telah ditahan oleh KPK. Sedangkan Asrar Rahman telah divonis di pengadilan. Akankah Burhanudin menyusul ditahan hari ini? KPK belum memberi
informasi resmi. Namun yang menarik, Burhanudin dikabarkan tengah mencalonkan diri kembali sebagai Bupati Kampar pada Oktober 2011.
Sebelumnya, sikap lambat KPK dalam menangani kasus ini mendapat kritik dari para
pegiat antikorupsi, salah satunya Indonesia Corruption Watch (ICW). ICW
mempertanyakan mengapa KPK begitu lambat dalam menangani kasus tersebut. KPK menuai kritik pedas. Tak lain karena penanganan dugaan kasus korupsi
kehutanan di Riau tak kunjung tuntas. Bahkan, ada yang sudah ditetapkan menjadi tersangka sejak 2008 lalu, namun tak kunjung ditahan. Ada apa?
"Kami mempertanyakan, di mana masalahnya. Bupati Kampar Burhanudin Husin hingga kini belum juga ditahan," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun, Selasa (28/6) lalu.
Menanggapi kritik tersebut, Ketua KPK Busyro Muqoddas sendiri mengakui kinerja
pihaknya memang lambat karena sulitnya mengumpulkan alat bukti. "Itu harus saya akui. Betul itu. Saya tidak akan tutup-tutupi. Sekarang sedang disempurnakan
perhitungan kerugiannya oleh BPKP," tutur Ketua KPK Busyro Muqoddas di Jakarta, Kamis (30/6).
Busyro mengatakan, dalam penanganan kasus kehutanan Riau ini, mekanisme yang diterapkan KPK sama persis dengan kasus-kasus lainnya. Mantan Ketua Komisi
Yudisial (KY) ini mengakui, proses pengumpulan alat bukti dalam kasus ini cukup memakan waktu.
"Itu semuanya butuh mengumpulkan informasi data fakta barang bukti alat bukti. Barang bukti bisa menjadi alat bukti atau juga tidak. Proses-proses itu yang bikin lama," papar Busyro saat itu. (fjr/nvc)
Humas PPATK Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Centre (INTRAC) (P) +62-21-3850455/3853922 (F) +62-21-3856809/3856826 (E)
[email protected]
DISCLAIMER:
Informasi ini diambil dari media massa dan sumber informasi lainnya dan
digunakan
khusus
untuk
PPATK
dan
pihak-pihak
yang
memerlukannya. PPATK tidak bertanggungjawab terhadap isi dan
pernyataan yang disampaikan dalam informasi yang berasal dari media massa.