BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.
Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil – hasil kejahatan (proceeds of crime) yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Korupsi di Indonesia yang tergolong Extra – Ordinary Crime / kejahatan yang luar biasa, sehingga tindak pidana korupsi yang sudah akut dirasakan tidak cukup hanya dengan perluasan perbuatan yang dirumuskan sebagai korupsi sebagaimana yang semula diatur dalam KUHP yaitu pasal 209, 210, 387, 388, 415 416, 417, 418 dan 419, kemudian
pasal – pasal tersebut
dimasukkan dalam Undang – Undang No.20 / 2001 tentang Perubahan Undang – Undang No.31 / 1999 tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan 12, namun upaya ini masih dianggap cara – cara yang konvensional, sehingga diperlukan metode dan cara baru agar mampu membendung meluasnya korupsi. Ditengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian Negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencengahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjujung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan Keuangan Negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Salah satu caranya ialah dengan menetapkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, sehingga pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa. Karena itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang menangani pemberantasan tindak pidana korupsi. Kewenangan badan khusus tersebut harus bersifat independen serta bebas dari kekuasaan, maupun dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanaannya dilakukan secara maksimal, optimal, intensif, efektif, professional, dan berkesinambungan. Dalam rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sudah akut tersebut, maka dibentuklah badan khusus untuk menanggulanginya Kejahatan Korupsi tersebut seiring dengan disahkannya Undang – Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia sesungguhnya telah berlangsung sejak tahun 1958 dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor: Prt / Peperpu / 013 / 1958, dan telah berganti undang – undang sebanyak 5 (lima) kali, yang terakhir kali diubah dengan Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang – Undang 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK). Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang – Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara
lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah.
b.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara / Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan
ataupun usaha
masyarakat secara mandiri yang di dasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam Undang – undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan – perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara “melawan hukum” dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan
hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencangkup perbuatan – perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Dari penjelasan diatas nampak bahwa dampak hilangnya kekayaan negara akibat perilaku koruptip dari para koruptor, negara kehilangan modal dan kesempatan untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, oleh karena itu pemulihan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi merupakan hal yang paling utama dan harus dijadikan salah satu orientasi dari pemberantasan tindak pidana korupsi, disamping sebagai upaya menimbulkan efek jera bagi pihak yang belum melakukan dan pelajaran bagi pihak yang sudah melakukan. Disebutkan pula upaya pemulihan keuangan negara akibat tindak pidana korupsi ini sesungguhnya dimuat dalam pasal 32, pasal 33, dan pasal 34 Undang – Undang Nomor : 31 Tahun 1999 yang mengatur tentang dapatnya digunakan jalur gugatan perdata melalui gugatan ganti rugi akibat kerugian tindak pidana korupsi yang tidak dapat dikembalikan oleh pelaku. Bahwa untuk dirampasnya asset harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi sangatlah tidak mudah , oleh karenanya diperlukan asas
pembuktian terbalik, sehingga
Tersangka / Terdakwa harus membuktikan bahwa harta tersebut diperoleh dari mana ? disini tersangka / terdakwa harus membuktikan asal-usul harta tersebut, sehingga beban pembuktian ini tidak hanya dibebankan kepada Penuntut Umum, menurut pendapat Indriyanto Seno Adji, sangat sulit pemberantasannya karena memiliki kualitas pembuktian yang juga sangat sulit. Selain itu tindak pidana ini biasanya dilakukan oleh para professional yang memiliki pendidikan tinggi. Karenanya
diperlukan system pembalikkan beban pembuktian untuk menjerat para
koruptor. Dalam Undang – Undang Nomor : 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dapat dijadikan salah satu sarana yang efektif untuk mengoptimalkan Pemulihan kerugian Negara akibat Tindak Pidana Korupsi, hal ini dikarenakan dalam Pasal 77 dan Pasal 78 Undang – Undang Nomor : 8 Tahun 2010 juga diatur tentang Pembalikan Beban Pembuktian. Asas pembalikan beban pembuktian memiliki manfaat yang sangat komprehensif mengingat salah satu kendala pemberantasan tindak pidana korupsi ini adalah sulit dilakukannya pembuktian terhadap para pelaku, sehingga perlu perubahan system pembuktian yang semula dibebankan kepada penuntut umum beralih kepada terdakwa. Sistem pembalikan pembuktian ini tidak pernah ada yang bersifat total absolut. Artinya, hanya dapat diterapkan secara terbatas, yaitu terhadap delik yang berkenaan dengan gratifikasi dan juga berkaitan dengan suap. Pola pembuktian terbalik itu bukan berarti “memutar - balikkan” aturan hukum. Pembuktian terbalik adalah salah satu hukum yang menerapkan bahwa “beban pembuktian” juga dimiliki oleh orang yang dituduh korupsi. Jadi, jika tertuduh korupsi tidak bisa membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan dari hasil korupsi, maka harta kekayaan itu bisa disita sebagai Pengembalian Kerugian Keuangan Negara. Namun perlu diingat bahwa pemberlakuan asas pembuktian terbalik tidak boleh menimbulkan ekses yang berpotensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia.1 Jangan sampai niat baik memberlakukan asas pembuktian terbalik ini dimanfaatkan menjadi ajang memperalat aturan hukum sewenang – wenang. Aturan hukum tidak boleh dijadikan alat untuk memeras. Rambu – rambu hukum tetap harus disiapkan dengan matang. Harus secara dini dicegah adanya oknum penegak hukum yang menggunakan asas ini untuk membuka lahan baru korupsi dengan pola – pola pemerasan.
1
“Asas Pembuktian Terbalik”, Suara Pembaharuan Daily, 17 Maret 2008, Dr. Yusuf, M, Miskinkan Koruptor, Pustaka Juanda Tiga Lima, Jakarta, 2013, hal. 4 .
Salah satu unsur utama dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan Negara. Terhadap kerugian keuangan Negara ini, Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan Negara tersebut harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi.2 Pengembalian keuangan Negara dapat dilakukan melalui 2 (dua) instrument hukum, yaitu instrument pidana dan instrument perdata. Instrument Pidana dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut agar dirampas untuk Negara sebagai pengembalian kerugian keuangan Negara , yang kemudian diperkuat dalam putusan Hakim. Sedangkan Instrument Perdata dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau instansi yang dirugikan terhadap pelaku korupsi (tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya bila terpidana meninggal dunia).3 Dengan menyimak penjelasan umum UU TPK diketahui bahwa pembuat Undang – Undang berikrar akan memberantas korupsi dengan “cara luar biasa” dan dengan “cara yang khusus”, karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas serta telah melanggar hak – hak sosial dan ekonomi masyarakat luas. “Cara luar biasa” dan “cara yang khusus” yang dimaksud adalah pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, alat bukti elektronik, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai delik formil, korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi, ancaman pidana minimum, pidana penjara bagi terpidana yang tidak dapat membayar uang pengganti, perluasan pengertian pegawai negeri, gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan Negara dan sebagainya. Betapa tidak mudahnya untuk mengembalikan kerugian keuangan Negara dari pelaku korupsi, membuat para pemerhati korupsi angkat bicara dan cenderung memeberikan penilaian bahwa aparat penegak hukum kurang maksimal dalam penegakan hukum, hal ini bukanlah 2 3
Lihat : Pasal 18 Ayat (2) Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 ; Suhadibroto, “Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi”, 24 Agustus 2009, http://www.sikad.bpk.go.id/nw_detail .php?n_id=29(01-04-13)
adanya suatu kesengajaan melainkan tingkat kesulitannya dan perlu hati-hati agar tidak salah dalam melakukan penyidikan, menetapkan tersangka, bahkan melakukan penyitaan terhadap asset / harta kekayaan tersangka yang di peroleh dari hasil korupsi, oleh karena itu aparat penegak hukum sangat berhati – hati sehingga terkesan lama, karena begitu banyak hambatan dalam proses penyidikan dimaksud. Apabila dalam perkara korupsi ini penyidik menemukan adanya tindak pidana pencucian uang , maka sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) huruf a jo. pasal 75 Undang – Undang Tindak Pidana Pencucian Uang No.8 / 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, maka untuk kepentingan pemeriksaan
dalam perkara tindak pidana pencucian uang penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta secara tertulis tentang harta kekayaan tersangka / terdakwa kepada PPATK. Namun kalau diperhatikan uraian mengenai bagaimana dapat melakukan penyitaan dan merampas asset pelaku korupsi untuk pengembalian kerugian keuangan Negara, maka hambatan – hambatan yang diperkirakan dapat timbul dalam penggunaan instrument perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan Negara tidaklah mudah karena seringkali asset tersebut sudah beralih ke Pihak ketiga dan bahkan bukan atas nama tersangka / terdakwa, maka gugatan perdata terhadap tersangka, terdakwa atau terpidana yang dimaksud oleh UU TPK merupakan upaya standard bahkan konvensional dan sama sekali bukan “cara luar biasa” atau “cara yang khusus”. Mengingat proses perdata yang tidak mudah, panjang dan mahal, maka dapat diperkirakan bahwa upaya pengembalian kerugian keuangan Negara sulit mencapai keberhasilan. Apabila ketidak berhasilan ini sering terjadi, maka menimbulkan penilaian yang keliru, khususnya terhadap JPN (Jaksa Pengacara Negara) karena dianggap gagal melaksanakan printah Undang – Undang.
Untuk exra ordinary crime seperti korupsi, perlu instrument yang juga extra ordinary, agar pemulihan keuangan Negara bisa efektif, yaitu antara lain dengan memberlakukan konsep pembuktian terbalik secara penuh dalam proses pidana, khususnya dalam kaitannya dengan harta benda tersangka, terdakwa, atau terpidana. Artinya tersangka diberi beban untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak berasal dari korupsi. Disamping itu perlu penyederhanaan proses sita jaminan (conservatoir beslag). Dalam hubungan ini, ketentuan mengenai penyitaan diatur dalam BAB V Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bagian keempat Pasal 38 sampai dengan Pasal 46, dan juga diatur dalam BAB XIV bagian kedua Pasal 128 sampai dengan Pasal 130 KUHAP. Tujuan penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian terutama ditujukan sebagai “barang bukti” dimuka sidang pengadilan, penyitaan adalah tindakan hukum yang dilakukan pada tahap penyidikan. Pasal 38 mengatur, bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik. Sesudah lewat tahap penyidikan tidak dapat lagi dilakukan untuk dan atas nama penyidik. Adapun bentuk dan tata cara penyitaan sebagai berikut : 1. Penyitaan Biasa dan Tata caranya : a.
Harus ada “Surat izin” penyitaan dari KPN (Ketua Pengadilan Negeri) ;
b.
Memperlihatkan atau menunjukkan tanda pengenal (Pasal 128 KUHAP) ;
c.
Memperlihatkan benda yang akan disita (Pasal 129 KUHAP) ;
d.
Membuat berita acara penyitaan (Pasal 129 ayat (2) KUHAP) ;
e.
Menyampaikan turunan berita acara penyitaan ;
f.
Membungkus benda sitaan ;
2. Penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak (Pasal 38 ayat (2)). Adapun yang dimaksud keadaan yang sangat perlu dan mendesak adalah bila mana disuatu tempat diduga keras
terdapat benda atau barang bukti yang perlu segera dilakukan penyitaan, atas alasan patut dikhawatirkan bahwa benda itu akan segera dihilangkan atau dipindahkan ; a. Tanpa surat izin KPN ; b. Hanya terbatas pada benda bergerak saja ; c. Wajib segera melaporkan guna mendapat persetujuan KPN (Ketua Pengadilan Negeri) Untuk selanjutnya diikuti prosedur yang ditentukan dalam Pasal 128, 129 dan 130 KUHAP. 3. Penyitaan dalam keadaan Outdeking op heter daad (Pasal 40). Dalam keadaan Outdeking op heter daad, penyidik dapat langsung menyita sesuatu benda / alat : -
Yang digunakan untuk melakukan tindak pidana ;
-
Benda dan alat yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana ;
-
Benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti ; Pasal 41 KUHAP memperluas wewenang penyidik dalam melakukan penyitaan meliputi segala macam jenis dan bentuk surat atau paket :
-
Menyita paket dan surat ;
-
Atau benda yang pengangkutan atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan sepanjang surat atau paket atau benda tsb diperuntukan atau berasal dari Tersangka ;
-
Dalam penyitaan benda – benda pos dan telekomunikasi penyidik harus membuat surat tanda terima kepada tersangka atau kepada jawatan atau perusahaan telekomukasi maupun pengangkutan darimana benda atau surat itu disita ; Pada ketentuan Pasal 41, pengertian tertangkap tangan tidak terbatas pada tersangka yang nyata – nyata sedang melakukan tindak pidana, tetapi termasuk pengertian tertangkap
tangan atas paket atau surat dan benda – benda pos lainnya, sehingga terhadap benda – benda tersebut dapat dilakukan penyitan langsung oleh penyidik. 4. Penyitaan tidak langsung Penyidik memerintahkan kepada orang yang menguasai atau memegang barang yang akan disita agar menyerahkannya kepada penyidik dan penyidik memberikan surat tanda terima. Apabila diperhatikan bahwa untuk memudahkan pengembalian kerugian keuangan Negara, terlebih dahulu adanya penyitaan terhadap asset – asset tersangka pelaku korupsi, oleh karena itu diperlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektifitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi agar dirampas untuk Negara sebagai pengembalian Kerugian Keuangan Negara.
B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, dapat dirumuskan secara singkat permasalahan yang dihadapi adalah : 1. Bagaimana Efektifitas penerapan Undang – Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam melakukan Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara ?
2. Apa yang menjadi hambatan dalam Proses Pengembalian Kerugian Keuangan Negara melalui Undang – Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dari Putusan sampai Pelaksanaannya ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk menganalisa dan mengemukakan fakta keberhasilan pengembalian kerugian keuangan Negara dalam perkara korupsi melalui Undang – Undang No. 8 / Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 2. Untuk menganalisa dan memahami aturan hukum dalam langkah untuk mempercepat pengembalian kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi di Indonesia.
D. KEASLIAN PENELITIAN Penelitian mengenai Pengembalian Kerugian Keuangan Negara
Dalam
Perkara
Tindak Pidana Korupsi sejauh yang peneliti ketahui belum pernah diteliti oleh pihak lain. Dan diharapkan dapat memberikan gambaran dan pemikiran dalam upaya pemulihan kerugian keuangan Negara. Dalam penelitian tesis ini, peneliti akan menulis mengenai pembahasan hal – hal yang mengkerucut pada tingkat keberhasilan Penerapan Undang – undang No. 8 tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Pemulihan Kerugian Keuangan Negara, Untuk itu maka penelitian ini merupakan hasil pemikiran sendiri sedangkan adanya penelitian tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Korupsi, itu tidak sama dengan yang peneliti buat, karena dalam penelitian ini yang diungkap adalah keberhasilan Undang – Undang
No.8 / 2010 tentang TPPU, dalam pemulihan
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, ini adalah hal yang berbeda dengan tesis TPPU yang telah ada, oleh karena itu akan diteliti lebih lanjut oleh peneliti sendiri. Dengan demikian penelitian dari sisi efektivitas pengembalian kerugian keuangan Negara, akibat tindak pidana korupsi dengan menggunakan Undang – Undang No. 8 Tahun 2010 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang belum pernah dilakukan, terutama secara ilmiah atau secara akademik. Namun apabila ternyata ditemukan tesis dengan tema yang sama, maka tesis ini akan melengkapi tulisan yang telah ada.