FAKTOR YANG MEMENGARUHI BIDAN DALAM KEGIATAN INISIASI MENYUSU DINI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS ONAN HASANG KECAMATAN PAHAE JULU KABUPATEN TAPANULI UTARA TAHUN 2012 Rutmina Fretti1, Heru Santosa2, Asfriyati2 1
2
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT
Early initiation of breastfeeding is a natural process of breastfeeding is to provide opportunities for baby to explore and to suck milk itself, within the first hour at the beginning of a baby's life. Early initiation of breastfeeding success of the program is expected to support exclusive breastfeeding. The purpose of this study was to determine the effect of education, training, knowledge, attitudes, actions midwives in Early Initiation of Breastfeeding activities at the the work area Onan Hasang Health Center 2012. This research is a descriptive analytic cross sectional design. The population is all midwives in the work area Onan Hasang Health center 30 people and all were sampled. The data used are primary data obtained through questionnaires and secondary data, in the form of common data and demographic data. Data were analyzed using Chi-Square test. The results showed that the variables that influence the attitude factor (p = 0.034) and action (p = 0.029) with a p-value ˂ α = 0.05. While educational factors (p = 0.586), training factors (p = 0.781), and the knowledge factor (p = 0.272) with a p-value ˃ α = 0.05 in the Early Initiation of Breastfeeding activities. Expected to midwifery education in particular midwives and health workers to improve the quality and service quality in providing midwifery care and applying Early Initiation of Breastfeeding in every birth and provide counseling and education about the Early Initiation of Breastfeeding mothers. Keywords: education, training, knowledge, attitudes, actions, activities IMD PENDAHULUAN Melahirkan merupakan pengalaman menegangkan, akan tetapi sekaligus menggembirakan. Ada satu hal yang selama ini tidak disadari dan tidak dilakukan orang tua dan tenaga medis, tetapi begitu vital bagi kehidupan bayi selanjutnya. Ternyata, dalam satu jam pertama setelah melahirkan, ada perilaku menakjubkan antara bayi dan ibunya yaitu proses menyusui dimulai segera
setelah lahir dengan membiarkan bayi diletakkan di dada ibu sehingga terjadi kontak kulit bayi ke kulit ibu, bayi akan mulai merangkak untuk mencari puting ibu dan menghisapnya. Inisiasi Menyusu Dini (IMD) berperan dalam pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDGs) yaitu membantu mengurangi kemiskinan dan kelaparan dan membantu mengurangi angka
1
kematian anak dengan target menurunkan angka kematian sebanyak 2/3 dari tahun 1990 sampai tahun 2015 (Soetjiningsih, 1997). Menurut Protokol Evidence Based yang baru diperbarui oleh WHO dan UNICEF tentang asuhan bayi baru lahir untuk satu jam pertama menyatakan bahwa bayi harus mendapat kontak kulit ke kulit dengan ibunya segera setelah lahir paling sedikit satu jam, bayi harus dibiarkan untuk melakukan Inisiasi Menyusui dan ibu dapat mengenali bahwa bayinya siap untuk menyusui serta memberikan bantuan jika diperlukan, menunda semua prosedur lainnya yang harus dilakukan kepada Bayi sampai dengan Inisiasi Menyusui selesai dilakukan (Roesli, 2008). Berdasarkan penelitian WHO 2000, dienam negara berkembang yaitu Brasil, Ghana, India, Oman, Norwegia, dan Amerika Serikat resiko kematian bayi antara usia 9-12 bulan meningkat 40% jika bayi tersebut tidak disusui. Untuk bayi berusia kurang dari 2 bulan, angka kematian ini meningkat menjadi 48%, sekitar 40% kematian balita terjadi satu bulan pertama kehidupan bayi. Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dapat mengurangi 22% kematian bayi 28 hari, berarti Inisiasi Menyusu Dini (IMD) mengurangi kematian balita 8,8% (Roesli, 2008). Menurut penelitian-penelitian dari Inggris (2006) dibawah pimpinan Karen Edmond yang melakukan penelitian di Ghana terhadap hampir 11.000 bayi, jika bayi diberi kesempatan menyusu dalam waktu satu jam pertama dengan membiarkan kontak kulit ke kulit, maka 22% nyawa bayi kurang dari 28 hari dapat diselamatkan, jika mulai menyusui pertama saat bayi berusia lebih dari 2
jam dan dibawah 24 jam pertama, tinggal 16% nyawa bayi dibawah 28 hari dapat diselamatkan (Roesli, 2006). Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (2007), terdapat 95% anak di bawah umur 5 tahun yang pernah mendapat ASI. Akan tetapi, hanya 44% yang mendapat ASI satu jam pertama setelah lahir dan 62% yang mendapat ASI dalam hari pertama setelah lahir, yang diberikan ASI kurang dari 2 bulan sebanyak 73%, yang diberikan ASI 2 sampai 3 bulan sebanyak 53% yang diberikan ASI 4 sampai 5 bulan sebanyak 20% dan menyusui eksklusif sampai usia 6 bulan sebanyak 49%. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hubertin (2004), berdasarkan pengamatan terhadap 500 bayi baru lahir di Rumah Bersalin Tri Tunggal Jakarta menunjukkan bahwa bayi yang disusukan kurang dari satu jam setelah persalinan, 95% tidak rewel. ASI segera keluar satu sampai tiga jam kemudian, dan ibu tidak mengalami demam karena pembengkakan payudara pada hari ke-2 atau ke-3. Berat badan bayi pada waktu pulang hari ke-3 mengalami penurunan hanya 3-5%. Secara teori, penurunan berat badan bayi sampai dengan 10% dari berat badan bayi waktu lahir. Aktivitas bayi lebih aktif dibandingkan dengan yang diperlambat menyusu pada hari ke-2 atau ke-3 ketika ASI sudah cukup banyak (Hubertin, 2004). Selama ini, masih banyak ibuibu yang mengalami kesulitan untuk menyusui bayinya. Hal ini disebabkan kemampuan bayi untuk mengisap ASI kurang sempurna sehingga secara keseluruhan proses menyusu terganggu. Keadaan ini
2
ternyata disebabkan terganggunya proses alami dari bayi untuk menyusu sejak dilahirkan, selama ini penolong persalinan selalu memisahkan bayi dari ibunya segera setelah lahir, untuk dibersihkan, ditimbang, ditandai dan diberi pakaian. Ternyata, proses ini sangat menganggu proses alami bayi untuk menyusui. Pengetahuan tentang Inisiasi Menyusu Dini belum banyak diketahui masyarakat, bahkan juga petugas kesehatan. Hal ini wajar karena Inisiasi Menyusu Dini adalah ilmu pengetahuan yang baru bagi Indonesia (Roesli, 2008). Beberapa intervensi yang dapat mengganggu kemampuan alami bayi untuk mencari dan menemukan sendiri payudara ibunya diantaranya: obat kimiawi yang diberikan saat ibu melahirkan bisa sampai ke janin melalui ari-ari dan mungkin meyebabkan bayi sulit menyusu pada payudara ibu. Kelahiran dengan obatobatan atau tindakan, seperti operasi caesar, vakum, forcep, bahkan perasaan sakit didaerah kulit yang digunting saat episiotomi dapat pula mengganggu kemampuan alamiah ini. Penting untuk menyampaikan informasi tentang Inisiasi Menyusu Dini pada petugas kesehatan yang belum menerima informasi ini. Dianjurkan juga kepada petugas kesehatan untuk menyampaikan informasi Inisiasi Menyusu Dini pada orang tua dan keluarga sebelum melakukan Inisiasi Menyusu Dini. Juga dianjurkan untuk menciptakan suasana yang tenang, nyaman dan penuh kesabaran untuk memberi kesempatan bayi mencari payudara ibu atau the breast crawl (Roesli, 2008). Kurangnya pelayanan konseling laktasi dan dukungan dari petugas, disebabkan masih banyaknya sikap para petugas persalinan dari berbagai
tingkat yang tidak bergairah mengikuti perkembangan ilmu kesehatan seperti konsep baru tentang pemberian ASI dan hal-hal yang berhubungan dengan ibu hamil, ibu bersalin dan ibu menyusu dan bayi baru lahir. Bahkan ada juga sikap petugas kesehatan yang langsung memberikan susu botol pada bayi baru lahir ataupun tidak mau mengusahakan agar ibu mampu memberikan ASI kepada bayinya (Baskoro, 2008). Persiapan menyusui pada masa kehamilan dan nifas merupakan hal yang penting, sebab dengan persiapan yang lebih baik, maka ibu lebih siap untuk menyusui bayinya. Oleh karena itu di Rumah Sakit, Puskesmas atau di Rumah Bersalin terdapat kelas seperti kelas persiapan menjadi orang tua (parent education), yang salah satu materi yang disampaikannya adalah bimbingan persiapan menyusui. Bidan dan perawat sangat berperan dalam memberikan penyuluhan-penyuluhan persiapan menyusui bagi ibu agar mendapatkan air susu yang optimal (Maryunani, 2009). Berhasil atau tidaknya penyusuan dini di tempat pelayanan ibu bersalin, Rumah Sakit sangat tergantung pada petugas kesehatan yaitu perawat, bidan atau dokter. Merekalah yang pertama-tama akan membantu ibu bersalin melakukan penyusuan dini. Petugas kesehatan di kamar bersalin harus memahami tatalaksana laktasi yang baik dan benar, petugas kesehatan tersebut diharapkan selalu mempunyai sikap yang positif terhadap penyusuan dini. Mereka diharapkan dapat memahami, menghayati dan mau melaksanakannya. Betapapun sempitnya waktu yang dipunyai oleh petugas kesehatan tersebut,
3
diharapkan masih dapat meluangkan waktu untuk memotivasi dan membantu ibu habis bersalin untuk penyusuan dini. Pada seorang primipara, ASI sering keluar pada hari ke 3 dan jumlah ASI selama 3 hari pertama hanya 50 ml (kira-kira 3 sendok makan), bila hal ini tidak diketahui baik oleh ibu maupun oleh petugas kesehatan, maka akan banyak ibu yang merasa ASI nya kurang, hal ini akan mendorong ibu tersebut untuk memberikan susu formula yang mengakibatkan produk ASI berkurang. Pengisapan ASI 30 menit pertama setelah lahir dengan adanya refleks mengisap akan mempercepat keluarnya ASI, juga merupakan stimulan dini terhadap tumbuh kembang anak, tidak dianjurkan memberikan prelacteal feeding yaitu minum, makan sebelum ASI keluar karena akan menimbulkan masalah, lebih-lebih kalau prelacteal feeding tersebut diberikan dengan menggunakan botol dot, hal ini akan menyebabkan bayi bingung (nipple confuse) yang disebabkan perbedaan mekanisme menyusui pada payudara ibu (Umar, 2000). Peran Rumah Sakit Bersalin, Rumah Sakit Umum dan Puskesmas sangat menentukan pelaksanaan penyusuan dini. Peraturan Pemerintah telah banyak mendukung pelaksanaan penyusuan dini, peraturan-peraturan tersebut yaitu melarang para produsen susu buatan mencantumkan kalimat-kalimat promosi produknya yang memberikan kesan bahwa susu buatan tersebut semutu ASI atau lebih dari ASI. Melarang promosi susu buatan/formula di semua sarana pelayanan kesehatan termasuk posyandu. Menganjurkan menyusui secara eksklusif sampai umur 6 bulan dan menganjurkan pemberian ASI sampai 2 tahun. Melaksanakan rawat
gabung di tempat persalinan baik unit persalinan milik pemerintah maupun swasta. Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam hal ASI sehingga petugas tersebut terampil dalam melaksanakan penyuluhan tentang ASI kepada masyarakat (Umar, 2000). Menurut profil Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2008 menunjukkan bahwa, pemberian ASI pada bayi di Sumatera Utara mencapai 96,5% tetapi hanya 30% dari mereka yang menyusui sampai 2 tahun. Sedangkan cakupan ASI Eksklusif yang ditargetkan dalam Program Pembangunan Nasiolal (PROPENAS) adalah 80% (Dinkes, 2008). Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu Kabupaten yang belum mampu mencapai target pencapaian ASI Eksklusif sesuai dengan target PROPENAS yaitu 80%, dan salah satu Puskesmas yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Utara adalah Puskesmas Onan Hasang. Berdasarkan survei awal di Puskesmas Onan Hasang Kecamatan Pahae Julu di jumpai jumlah kelahiran bayi pada tahun 2012 sebanyak 155 bayi, 75 orang (48,3%) bayi di antaranya mendapat ASI Eksklusif dan yang dilakukan IMD saat 1 jam setelah kelahiran hanya sekitar 10 bayi, hal ini disebabkan kebanyakan ibu menolak untuk dilakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) karena masih merasakan sakit dan kelelahan pasca persalinan. Pada sisi lain, saat wawancara singkat peneliti dengan 10 orang petugas kesehatan di Puskesmas Onan Hasang, terdapat 4 orang petugas kesehatan yang kurang mengetahui tentang Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan petugas kesehatan masih menganggap Inisiasi Menyusu Dini
4
dilakukan apabila ada asisten dan dari 155 jumlah bayi yang dilahirkan, yang dilakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) hanya 10 bayi saja karena Ibu menolak untuk dilakukan IMD. Seperti telah dijelaskan di atas, keberhasilan ASI eksklusif sangat didukung oleh keberhasilan pemberian ASI segera setelah lahir melalui Inisiasi Menyusu Dini (IMD), dan keberhasilan IMD sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap dan tindakan bidan. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana pengaruh bidan dalam kegiatan Inisiasi Menyusu Dini di Wilayah Kerja Puskesmas Onan Hasang Kecamatan Pahae Julu Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui mengetahui faktor yang memengaruhi bidan dalam kegiatan inisiasi menyusu dini di Wilayah Kerja Puskesmas Onan Hasang Kecamatan Pahae Julu Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Peningkatan mutu pelayanan kesehatan Menambah masukan bagi tenaga kesehatan khususnya bidan untuk meningkatkan dukungan terhadap pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini. b. Bagi Penelitian Selanjutnya Menambah referensi yang menunjang ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan mahasiswa tentang Inisiasi Menyusu Dini. c. Bagi Instansi Puskesmas Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan pengetahuan bagi petugas kesehatan tentang peran petugas kesehatan dalam pelaksanaan
Inisiasi Menyusu Dini sehingga dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya dilakukan Inisiasi Menyusu Dini agar tercapainya program ASI eksklusif. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan desain cross sectional yaitu untuk mempelajari adanya hubungan pendidikan, pelatihan, pengetahuan, sikap, dan tindakan bidan dalam kegiatan inisiasi menyusu dini di Wilayah Kerja Puskesmas Onan Hasang Kecamatan Pahae Julu Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012. Lokasi Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Onan Hasang, Kecamatan Pahae Julu Kabupaten Tapanuli Utara. Populasi adalah seluruh bidan yang memiliki ijin praktek sebanyak 30 orang di Wilayah Kerja Puskesmas Onan Hasang Kecamatan Pahae Julu Kabupaten Tapanuli Utara dan seluruhnya dijadikan sampel. Metode Pengumpulan Data: a. Data Primer: Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan bidan dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun dan diobservasi langsung kepada ibu yang menyusui dini. b. Data Sekunder: Data sekunder diperoleh dari Puskesmas Kecamatan Pahae Julu yang berupa data umum dan data demografi. Analisis data dilakukan secara bertahap, yaitu dengan analisis univariat dan analisis bivariat.
5
HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: Tabel 1. Hubungan Pendidikan Dalam Kegiatan Inisiasi Menyusu Dini di Wilayah Kerja Puskesmas Onan Hasang Kecamatan Pahae Julu Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012 Kegiatan IMD Tidak Jumlah Pendidikan Dilakukan Dilakukan n % n % N% D III 12 44,4 15 55,6 27 100 D IV/ S1 2 66,7 1 33.3 3 100 (χ)²= 0,464 dan p = 0,586
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa dari 27 bidan yang berpendidikan D III yang tidak melakukan kegiatan Inisiasi Menyusu Dini sebanyak 15 (55,6%). Hasil uji Fisher’s Exact Test diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan kegiatan Inisiasi Menyusu Dini dengan nilai (p=0,586)˃(α=0,05) sehingga Ho diterima. Meskipun mayoritas responden mempunyai tingkat pendidikan sebagai D III Kebidanan dan meskipun mereka sudah mengetahui tentang Inisiasi Menyusu Dini, tetapi dalam pelaksanaannya hanya untuk ASI Eksklusif saja. Lulusan pendidikan bidan pada tingkat Diploma III menerapkan ilmu pengetahuan klinik kebidanan untuk memberikan pelayanan kebidanan yang terorganisir, maupun praktik mandiri (Mustika, 2006).
Tabel 2. Hubungan Pelatihan Dalam Kegiatan Inisiasi Menyusu Dini di Wilayah Kerja Puskesmas Onan Hasang Kecamatan Pahae Julu Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012 Kegiatan IMD Tidak Jumlah Pelatihan Dilakukan Dilakukan n % n % n % Pernah 8 42,1 11 57,9 19 100 Tidak 6 54,5 5 45,5 11 100 Pernah (χ)²= 0,510 dan p = 0,781
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa apat dilihat dari bidan yang pernah mengikuti pelatihan dengan tidak melakukan kegiatan Inisiasi Menyusu Dini atau tidak sesuai dengan tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini lebih banyak dijumpai sebanyak 11 (57,9%). Hasil uji pearson chi-square diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pelatihan dengan kegiatan Inisiasi Menyusu Dini dengan nilai (p=0,781)˃(α=0,05) sehingga Ho diterima. Bidan yang mendapat pelatihan tentang Inisiasi Menyusu Dini sudah termotivasi untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini dan sebagian bidan mengatakan bahwa pelatihan dapat meningkatkan kegiatan Inisiasi Menyusu Dini dimana lamanya mengikuti pelatihan rata-rata 1-4 hari yang dilaksanakan di tempat yang berbeda. Menurut Fitriani (2010), ada beberapa faktor yang mempengaruhi tindakan bidan dalam penerapan inisiasi menyusu dini salah satunya adalah pelatihan tentang insiasi menyusu dini walaupun sebagian bidan telah melakukan tindakan cukup, peneliti menyarankan perlunya perencanan yang matang dalam mempromosikan praktek inisiasi menyusu dini, termasuk didalamnya pelatihan bidan, selain itu
6
penelitian ini perlu ditindak lanjuti melalui penelitian dengan skala yang lebih luas serta dengan metode yang lebih bervariasi untuk memberikan keyakinan terhadap hasil yang diperoleh, sehingga hasilnya lebih bermanfaat dan dapat diterapkan. Tabel 3. Hubungan Pengetahuan Dalam Kegiatan Inisiasi Menyusu Dini di Wilayah Kerja Puskesmas Onan Hasang Kecamatan Pahae Julu Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012 Kegiatan IMD Tidak Jumlah PengetahuanDilakukan Dilakukan n % n % n % Baik 9 60,0 6 40,0 15 100 Buruk 5 33,3 10 66,7 15 100 (χ)²= 0,143 dan p = 0,272
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa tingkat pengetahuan yang buruk lebih banyak dijumpai pada kegiatan Inisiasi Menyusu Dini yang tidak dilakukan atau tidak sesuai dengan tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini sebanyak 10 (66,7%). Hasil uji pearson chi-square diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan kegiatan Inisiasi Menyusu Dini dengan nilai (p=0,272)>(α=0,05) sehingga Ho diterima. Diketahui bahwa bidan sudah memahami tentang Inisiasi Menyusu Dini, tatalaksana, tujuan dan manfaat Inisiasi Menyusu Dini akan tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak yang belum tepat atau untuk ASI Eksklusif saja. Pemahaman tentang IMD merupakan hal yang sangat penting. Apabila individu, keluarga, petugas kesehatan khususnya bidan dan masyarakat telah memahami tentang pengertian, manfaat, serta tujuan dari IMD, maka IMD dapat terlaksana dengan baik sehingga dapat diharapkan meningkatkan
cakupan ASI Eksklusif khususnya di Wilayah kerja Puskesmas Onan Hasang. Prohealth (2009), menyatakan peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. Selain itu ada faktor lain yang berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang, yaitu yang berasal dari pengalaman, hubungan sosial dan paparan media massa seperti majalah, TV, dan buku. Tabel 4. Hubungan Sikap Dalam Kegiatan Inisiasi Menyusu Dini di Wilayah kerja Puskesmas Onan Hasang Kecamatan Pahae Julu Kabupate Tapanuli Utara Tahun 2012 Kegiatan IMD Jumlah Tidak Sikap Dilakukan Dilakukan n % n % n % Baik 8 72,7 3 27,3 11 100 Sedang 6 40,0 9 60,0 15 100 Buruk 0 0,0 4 100,0 4 100 (χ)²= 2,088 dan p = 0,148
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa bidan yang memiliki sikap baik yang melakukan kegiatan inisiasi menyusu dini lebih banyak dijumpai dari pada sikap sedang dan buruk sebanyak 8 (72,7%). Hasil uji statistik Fisher’s Exact test didapatkan nilai (p=0,026)<(α=0,05) sehingga Ho ditolak dan memiliki hubungan yang bermakna. Artinya bahwa ada hubungan antara sikap dengan kegiatan Inisiasi Menyusu Dini. Diketahui bahwa bidan mendukung adanya program Inisiasi Menyusu Dini dimana banyak bidan yang sangat setuju bahwa Inisiasi Menyusu Dini dapat meningkatkan keberhasilan ASI Eksklusif dan dapat memberikan keuntungan bagi ibu dan bayi, tetapi sebagian bidan setuju
7
bahwa untuk mempercepat pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini bayi didorong untuk menemukan payudara ibu padahal seharusnya bayi dibiarkan sendiri mencari putting susu ibu. Azwar (2008), menyatakan bahwa pembentukan sikap terhadap berbagai objek dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, dan media massa. Sikap yang didasari pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas. Seseorang yang dianggap penting akan banyak memengaruhi sikap dan umumnya individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Selain itu media massa seperti majalah, surat kabar dan buku-buku mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang, sehingga memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap. Tabel 5. Hubungan Tindakan Dalam Kegiatan Inisiasi Menyusu Dini di Wilayah Kerja Puskesmas Onan Hasang Kecamatan Pahae Julu Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012 Kegiatan IMD Tidak Jumlah Tindakan Dilakukan Dilakukan n % n % n % Baik 8 72,7 3 27,3 11 100 Buruk 6 31,6 13 68,4 19 100 (χ)²= 0,029 dan p = 0,029
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa bidan yang memiliki tindakan buruk lebih banyak dijumpai dari pada bidan yang memiliki tindakan baik pada yang tidak melakukan kegiatan IMD sebanyan 13 (68,4%). Dari hasil uji statistik pearson chi-square didapatkan nilai (p=0,029)˂(α=0,05)
sehingga Ho ditolak dan adanya memiliki hubungan yang bermakna. Artinya bahwa ada hubungan antara tindakan dengan kegiatan Inisiasi Menyusu Dini. Banyak faktor yang memengaruhi Inisiasi Menyusu Dini sangat sulit untuk berkembang, salah satunya adalah karena Inisiasi Menyusu Dini merupakan ilmu yang baru dan penerapannya masih sulit untuk dilaksanakan, kurangnya pelayanan konseling laktasi dan dukungan dari bidan, masih rendahnya pengetahuan para ibu mengenai manfaat ASI dan cara menyusu yang benar, kondisi yang kurang memadai bagi para ibu yang bekerja dan pemasaran agresif oleh perusahaan-perusahaan susu formula yang tidak saja memengaruhi ibu namun juga bidan serta persepsi budaya yang menentang pemberian ASI yaitu masih kuatnya kepercayaan keluarga bahwa ibu memerlukan istirahat yang cukup setelah melahirkan dan menyusui sulit dilakukan dan kolostrum yang keluar pada hari pertama tidak baik untuk bayi serta sebab dari orang tuanya sendiri tidak ingin melaksanakan karena merasa khawatir dan kasihan melihat bayinya. Syafrina (2011), yang menyatakan bahwa keberhasilan dalam pelaksanaan IMD tidak serta merta oleh bidan, dimana sudah disinggung diatas bahwa bidan tidak bisa bertindak sendiri untuk kegiatan IMD, banyak faktor antara lain kesediaan ibu bersalin, suami, dan keluarga. Niat (intention) dipengaruhi langsung oleh sikap (attitude) dan norma subjektif (subjectif norm) yang berhubungan dengan perilaku.
8
KESIMPULAN DAN SARAN Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah: 1. Dari total keseluruhan 30 responden terdapat 14 (46,7%) bidan yang melakukan kegiatan Inisiasi Menyusu Dini dan yang tidak melakukan kegiatan Inisiasi Menyusu Dini atau tidak sesuai dengan tatalaksana kegiatan Inisiasi Menyusu Dini sebanyak 16 (53,3%) karena Inisiasi Menyusu Dini merupakan ilmu yang baru dan penerapannya masih sulit untuk dilaksanakan, kurangnya pelayanan konseling laktasi dan dukungan dari bidan, masih rendahnya pengetahuan para ibu mengenai manfaat ASI dan cara menyusu yang benar. 2. Bidan yang lebih banyak dijumpai berpendidikan terakhir tamatan D III. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan bidan dalam kegiatan Inisiasi Menyusu Dini. 3. Bidan yang pernah mengikuti pelatihan lebih banyak dijumpai pada Bidan yang tidak melakukan kegiatan Inisiasi Menyusu Dini atau tidak sesuai dengan tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pelatihan Bidan dalam kegatan Inisiasi Menyusu Dini. 4. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan Bidan dalam kegiatan Inisiasi Menyusu Dini. 5. Adanya hubungan yang bermakna anatar sikap bidan dalam kegiatan Inisiasi Menyusu Dini. 6. Adanya hubungan yang bermakna anatar tindakan dengan kegiatan Inisiasi Menyusu Dini.
Adapaun Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Pendidikan Kebidanan Dari hasil penelitian ini dapat menjadi suatu cerminan kondisi bidan di masyarakat sebagai lingkup utama dalam memberikan asuhan kebidanan, maka dalam pendidikan kebidanan hendaknya lebih menekankan pemberian asuhan kebidanan yang komprehensif untuk diimplementasikan pada pelayanan internatal care khususnya dalam penerapan inisiasi menyusu dini. 2. Bagi Pelayanan Kebidanan Hendaknya pelayanan kesehatan khususnya bidan meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan dalam memberikan asuhan kepada ibu bersalin dan menerapkan inisiasi menyusu dini dalam setiap persalinan dan meningkatkan pengetahuan sehingga bidan dapat menerapkan asuhan Inisiasi Menyusu Dini di tempat prakteknya serta diharapkan kepada Bidan agar lebih meningkatkan program inisiasi menyusu dini (IMD) dan memberikan informasi kepada ibuibu di Wilayah Kerja Puskesmas Onan Hasang. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tindakan bidan dalam menerapkan Inisiasi Menyusu Dini oleh karena itu peneliti menyarankan faktor lain untuk diteliti pada penelitian berikutnya.
9
DAFTAR PUSTAKA Anonim. Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta : BKKBN Azwar, Syaifuddin. 2008. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Baskoro, Anton. 2008. ASI Panduan Praktis Ibu Menyusui. Yogyakarta: Banyu Media. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2008. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008. Sumut. Fitriani. 2010. Tindakan Bidan Dalam Penerapan Inisiasi Menyusu Dini di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Bulan Medan Tahun 2010. KTI D-IV Bidan Pendidik Fakultas keperawatan USU. Hubertin, Sri Purwanti. (2004). Konsep Penerapan ASI Eksklusif. EGC : Jakarta. Maryunani, Anik. 2009. Asuhan Pada Ibu dalam masa Nifas. Jakarta: CV. Trans Info Media. Mustika, Sofyan. 2006. Bidan Menyongsong Masa Depan. Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia. Jakarta Prohealth. 2009. Pengetahuan dan Faktor-faktor yang Memengaruhi. http://forbetterhealth.wordpress. com/2009/04/19/pengetahuandan-faktor-faktor-yangmemengaruhi. [02 Februari 2013] Roesli. 2006. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya, Anggota IKAPI. Roesli. 2008. Inisiasi Menyusui Dini. Jakarta: Pustaka Bunda. Soetjiningsih. 1997. ASI Petunjuk untuk Tenaga Kesehatan, Seri Gizi Klinik, cetakan 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Syafrina. 2011. Pengetahuan, Sikap, Dan Tindakan Bidan Kelurahan Siaga Dalam Kegiatan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Di Kota Dumai. Skripsi FKM USU. Umar,Nuchsan. 2000. Manfaat Pemakaian ASI Eksklusif. Cermin Dunia Kedokteran Vol 126 Masalah anak [Online] http://www.kalbe.co.id . diakses 15 Agustus 2012.
10
PERUBAHAN PENGETAHUAN DAN SIKAP WANITA YANG MEMILIKI PASANGAN TERHADAP PEMERIKSAAN PAP SMEAR SEBELUM DAN SESUDAH DIBERIKAN PENYULUHAN TENTANG DETEKSI DINI KANKER SERVIKS DENGAN PEMERIKSAAN PAP SMEAR DI KELURAHAN GLUGUR DARAT I KECAMATAN MEDAN TIMUR KOTA MEDAN TAHUN 2012 Rosmala Dewi1, Asfriyati2, Abdul Jalil Amri Arma2 1
2
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT
Cervical cancer is a disease that causes malignant gynecologic problems in women’s health. Pap smear is a microscopic examination that can detect cancer cells. The earlier the cancer cells are detected, the lower the risk of women who have a spouse suffering from cervical cancer. In fact, women who have a partner are still not aware of the importance of pap smears, due to low level of knowledge, lack of access to information and lack of response to a pap smear. This research is a quasi experiments with the approach one group pretestposttest. The population in this study are all women who have a partner who has never done a pap smear and lived in Kelurahan Glugur Darat I then selected an accidental sampling and obtained a sample of 72 respondents. The statistical test used was the Wilcoxon test. Before the extension 50 respondents had a good knowledge and 22 have sufficient knowledge. After the extension 72 respondents had a good knowledge. Before the extension 24 respondents have a good attitude and 48 have enough attitude. After the extension 67 respondents have a good attitude and 5 have enough attitude. There are changes in knowledge and attitudes of women who have a partner for a pap smear before and after giving information to the value of p = 0.0001. Health workers are expected to do counseling about cervical cancer and pap smears to improve knowledge and attitudes so that women who have a partner willing to do a pap smear. Key word: pap smear, knowledge and attitude PENDAHULUAN Kanker merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan kematian terbesar pada abad ini. Secara umum kanker dapat menyerang hampir setiap bagian tubuh manusia, diantara kemungkinan yang paling besar terkena kanker adalah sistem reproduksi wanita, salah satunya adalah leher rahim. Kanker leher
rahim (kanker serviks) merupakan penyakit keganasan ginekologik yang menimbulkan masalah dalam kesehatan kaum wanita terutama di negara berkembang. Kanker ini mulai ditemukan di usia 25-34 tahun dan puncaknya pada usia 45-54 tahun. (Kusuma, 2004). Di dunia, seorang wanita meninggal setiap dua menit akibat kanker serviks ini dan diperkirakan 1
angka kematian mencapai 270.000 kematian setiap tahunnya. Ini merupakan angka kematian yang besar, yang memicu stress baik dari segi emosional maupun fisik terhadap wanita bahkan pada tahap prakanker (Sastrosudarmo, 2012). Berdasarkan data Globocan, International Agency for Research on Cancer (IARC) tahun 2008, terdapat 530.000 kasus baru kanker serviks. Negara-negara dengan kasus kanker serviks tertinggi adalah Afrika Barat (ASR lebih dari 30,0 per 100-000), Afrika Selatan (26,8 per 100.000), Asia Tengah (24,6 per 100.000), Amerika Selatan dan Afrika Tengah (masing-masing 23,9 dan 23,0 per 100.000). Negara dengan kasus kanker serviks terendah adalah Asia Barat, Amerika Utara dan Australia dengan ASR kurang dari 6 per 100.000. Secara keseluruhan angka kematian yang disebabkan oleh kanker serviks mencapai 275.000 (52%) dan 88% diantaranya terjadi di negara berkembang yaitu 53.000 di Afrika, 31.700 di Amerika Latin dan Karibia, dan 159.800 terjadi di Asia. World Health Organization (WHO) mencatat penyakit kanker serviks menempati peringkat teratas di antara berbagai jenis kanker penyebab kematian pada perempuan di dunia. Di Indonesia, setiap tahun terdeteksi lebih dari 15.000 kasus kanker serviks. Sekitar 8.000 kasus di antaranya berakhir dengan kematian. Menurut data WHO, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita kanker serviks tertinggi di dunia. Musababnya, kanker serviks muncul seperti musuh dalam selimut. Sulit sekali dideteksi hingga penyakit telah mencapai stadium lanjut (Saifullah, 2012).
Di negara maju kasus kanker serviks sudah menurun yaitu pada urutan kelima, hal ini kemungkinan karena dilakukan upaya pencegahan sekunder dan deteksi dini melalui program pemeriksaan “pap smear” yang dilakukan secara periodik dan teratur. Di Indonesia pada umumnya penderita kanker serviks baru berobat setelah stadium lanjut sehingga lebih sukar diatasi. Hal tersebut mungkin karena faktor ekonomi dan tidak mampu menjalani pemeriksaan pap smear, juga karena ketidaktahuan (Kusuma, 2004). Pemeriksaan pap smear dilakukan untuk mendeteksi perubahan-perubahan prakanker yang mungkin terjadi pada serviks. Uji ini bisa dilakukan pada semua wanita yang berusia antara 20 sampai 64 tahun. Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa sekitar separuh dari semua wanita yang didiagnosa mengidap kanker serviks adalah mereka yang tidak pernah melakukan pemeriksaan pap smear atau terakhir kali melakukan uji itu dalam waktu lebih dari lima tahun sebelumnya (Indrawati, 2009). WHO merekomendasikan semua wanita yang telah menikah atau telah berhubungan seksual untuk menjalani pemeriksaan pap smear minimal setahun sekali. Namun minimnya kesadaran masyarakat Indonesia terutama perempuan akan kanker maka peringkat kanker serviks menduduki peringkat pertama (Kusuma, 2004). Penyebab masalah lain dalam deteksi dini adalah rasa takut kalau pap smear akan menyatakan bahwa mereka menderita kanker sehingga mereka lebih memilih untuk menghindarinya. Perasaan malu, khawatir atau cemas untuk menjalani pemeriksaan pap smear karena
2
adanya pikiran tentang ada orang lain selain pasangan yang memasukkan sesuatu ke dalam dirinya, selain itu serangan dari pasangan yang beranggapan bahwa telah melakukan persetubuhan dengan siapa saja, sehingga mempengaruhi wanita tidak melakukan pemeriksaan pap smear (Evennet, 2004). Menurut Evennet (2004), dampak dari tidak melakukan pemeriksaan pap smear adalah tidak terdeteksinya gejala awal dari kanker serviks. Sebagaimana kanker umumnya maka kanker serviks akan menimbulkan masalah berupa kesakitan (morbiditas) penderitaan, kematian, finansial/ekonomi maupun lingkungan bahkan pemerintah (Farid, 2001). Mengingat beratnya akibat yang ditimbulkan oleh kanker serviks dipandang dari segi harapan hidup, lamanya penderitaan, serta tingginya biaya pengobatan, sudah sepatutnya apabila kita memberikan perhatian yang lebih besar terhadap penyakit yang sudah terlalu banyak meminta korban itu, dan segala aspek yang berkaitan dengan penyakit tersebut serta upaya-upaya preventif yang dapat dilakukan. (Bustan, 2007). Departemen Kesehatan menganjurkan bahwa semua wanita yang berusia 20-60 tahun harus melakukan pemeriksaan pap smear. Di Kota Medan, deteksi dini kanker serviks dengan pemeriksaan pap smear telah dijalankan di Puskesmas Glugur Darat. Dari hasil observasi dan data yang didapat dari Puskesmas diketahui bahwa di Kelurahan Glugur Darat I selama tahun 2011, jumlah wanita yang memiliki pasangan yang menjalani pemeriksaan pap smear masih rendah, yaitu 35 dari 2678 orang
(1,31%), sedangkan 2643 orang lagi belum pernah melakukan pemeriksaan pap smear padahal Puskesmas Glugur Darat yang merupakan tempat melakukan pemeriksaan pap smear berada di Kelurahan Glugur Darat I. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran wanita yang memiliki pasangan untuk melakukan pemeriksaan dini masih rendah yang dapat dikarenakan kurangnya pengetahuan dan kurangnya respon terhadap pemeriksaan pap smear. Berdasarkan hasil studi pendahuluan melalui wawancara terhadap 10 orang wanita yang memiliki pasangan pada bulan Juli 2012, hanya 1 orang yang pernah melakukan pemeriksaan pap smear, sedangkan yang lainnya belum pernah melakukan pemeriksaan pap smear dengan alasan tidak tahu dan belum pernah mendapat informasi tentang kanker serviks dan pap smear. Oleh karena itu perlu diberikan informasi tentang deteksi dini kanker serviks dengan pemeriksaan pap smear melalui penyuluhan kepada wanita yang memiliki pasangan di Kelurahan Glugur Darat I. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, perumusan masalah penelitian adalah masih rendahnya jumlah wanita yang memiliki pasangan yang melakukan pemeriksaan pap smear di Kelurahan Glugur Darat I sehingga ingin diteliti “Perubahan Pengetahuan Dan Sikap Wanita yang memiliki pasangan Terhadap Pemeriksaan Pap smear Sebelum Dan Sesudah Diberikan Penyuluhan Tentang Deteksi Dini Kanker Serviks Dengan Pemeriksaan Pap smear Di Kelurahan Glugur Darat I Kecamatan Medan Timur Kota Medan Tahun 2012”.
3
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan pengetahuan dan sikap wanita yang memiliki pasangan terhadap pemeriksaan pap smear sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan tentang deteksi dini kanker serviks dengan pemeriksaan pap smear di Kelurahan Glugur Darat I Kecamatan Medan Timur Kota Medan Tahun 2012. Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Sebagai informasi bagi Dinas Kesehatan Kota Medan agar meningkatkan motivasi dan kinerja tenaga kesehatan khususnya di Wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat Kelurahan Glugur Darat I. 2. Bagi wanita yang memiliki pasangan agar dapat menjadi tambahan pengetahuan tentang pentingnya melakukan pemeriksaan pap smear 3. Bisa dijadikan sumber referensi untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terutama yang berhubungan dengan pemeriksaan pap smear. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah quasi experiment dengan pendekatan one group pretest-posttest yaitu sebuah kelompok sampel dengan subjek yang sama namun mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda, tujuannya untuk mengetahui perubahan pengetahuan dan sikap wanita yang memiliki pasangan terhadap pemeriksaan pap smear sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita yang memiliki pasangan yang belum pernah melakukan pemeriksaan pap smear dan tinggal di Kelurahan Glugur
Darat I Kecamatan Medan Timur sebanyak 2643 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah wanita yang memiliki pasangan yang belum pernah melakukan pemeriksaan pap smear dan berada di Kelurahan Glugur Darat I yang terpilih menjadi sampel serta bersedia ikut serta dalam penelitian sebanyak 77 orang. Aspek pengukuran: 1. Tingkat pengetahuan Pada komponen pengetahuan terdapat 15 pertanyaan dengan tiga alternatif pilihan jawaban. Diberi skor 2 untuk jawaban benar, skor 1 untuk jawaban hamper benar, dan skor 0 untuk jawaban tidak tahu. Total skor pengetahuan tertinggi adalah 30 dan terendah adalah 0. Berdasarkan kriteria di atas maka dapat dikategorikan tingkat pengetahuan responden dengan kriteria sebagai berikut: a. Baik, jika responden mendapatkan skor 21-30 b. Cukup, jika responden mendapatkan skor 11-20 c. Kurang, jika responden mendapatkan skor 0-10. 2. Sikap Komponen sikap terdiri dari 10 pertanyaan dengan lima alternatif pilihan jawaban. Nilai diukur dengan skor 5 untuk jawaban sangat setuju, skor 4 untuk jawaban setuju, skor 3 untk jawaban ragu-ragu, skor 2 untuk jawaban tidak setuju dan skor 1 untuk jawaban sangat tidak setuju. Kecuali untuk pernyataan nomor 3, 5, 7 dan 9 pemberian skor merupakan kebalikan dari soal nomor 1, 2, 4, 6, 8 dan 10. Total skor tertinggi adalah 50 dan terendah adalah 10. Berdasarkan kriteria di atas maka dapat dikategorikan sikap responden dengan kriteria sebagai berikut:
4
a. Baik, jika responden mendapatkan skor 37-50 b. Cukup, jika responden mendapatkan skor 24-36 c. Kurang, jika responden mendapatkan skor 10-23. HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun hasil dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: Pengumpulan data tahap pertama (pretest) dilakukan pada hari Kamis 20 Desember 2012. Pretest dilakukan pada hari yang sama sebelum dilakukan penyuluhan tentang deteksi dini kanker serviks dengan pemeriksaan pap smear. Berdasarkan perhitungan besar sampel, besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah 77 orang sedangkan wanita yang memiliki pasangan yang hadir sebanyak 81 Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden No Karakteristik Responden 1.
2.
3.
Umur a. 22-27 tahun b. 28-33 tahun c. 34-39 tahun d. 40-45 tahun e. 46-51 tahun f. 52-57 tahun g. 58-63 tahun Jumlah Pendidikan a. Tidak tamat SD b. Tamat SD c. Tamat SLTP d. Tamat SLTA e. Akademi/Sarjana Jumlah Status Pekerjaan a. Bekerja b. Tidak bekerja Jumlah
orang dan seluruhnya mengisi kuesioner yang diberikan. Setelah selesai mengisi kuesioner dilanjutkan dengan penyampaian materi penyuluhan dengan metode ceramah dan disertai dengan pembagian leaflet dan dilanjutkan dengan diskusi. Pengumpulan data tahap kedua (posttest) dilakukan pada hari Kamis 27 Desember 2012. Pengumpulan data tahap kedua ini sama dengan pengumpulan data pada tahap pertama yaitu dengan membagikan kuesioner yang sama dengan kuesioner pada saat pretest kepada wanita yang memiliki pasangan. Pada posttest jumlah wanita yang memiliki pasangan yang hadir sebanyak 72 orang. Dengan pertimbangan diatas maka responden yang diambil untuk penelitian ini adalah 72 orang.
Jumlah (n = 72)
Persentase (%)
7 20 14 6 7 7 1 72
9,7 27,7 19,4 8,3 9,7 9,7 1,4 100,0
1 12 21 27 11 72
1,4 16,7 29,2 37,5 15,3 100,0
31 41 72
43,1 56,9 100,0
5
Responden yang mengikuti penyuluhan paling banyak terdapat pada kelompok umur 28-33 tahun (27,7%) diikuti oleh kelompok umur 34-39 tahun (19,4%) dan kelompok umur 22-27 tahun, 46-51 tahun dan 52-57 tahun masing-masing (9,7%). Pendidikan responden terbanyak
adalah tamat SLTA (37,5%), diikuti SLTP (29,2%), dan yang paling sedikit adalah tidak tamat SD (1,4%). Responden yang bekerja sebanyak (43,1%) dan yang tidak bekerja (56,9%).
Tabel 2. Gambaran Pengetahuan Responden Sebelum Diberikan Penyuluhan Jawaban No Item Pertanyaan tentang Pengetahuan Hampir Tidak Benar Benar Tahu 1. Pengertian kanker serviks atau kanker leher rahim 26 46 2. Penyebab kanker serviks 20 51 1 3. Salah satu gejala kanker serviks 21 28 23 4. Pengaruh kanker serviks 66 2 4 5. Tindakan yang diambil jika menderita kanker serviks 63 7 2 6. Cara mencegah kanker serviks 27 21 24 7. Pengertian pap smear 9 62 1 8. Cara pelaksanaan pap smear 56 3 13 9. Tujuan pap smear 25 47 10. Manfaat pap smear 49 12 11 11. Siapa saja yang harus melakukan pemeriksaan pap 67 5 smear 12. Interval pemeriksaan pap smear 35 16 21 13. Persiapan sebelum melakukan pemeriksaan pap 35 16 21 smear 14. Informasi tentang pap smear 70 2 15. Tempat melakukan pemeriksaan pap smear 48 24 -
Sebelum diberikan penyuluhan responden memiliki pengetahuan yang baik terhadap 4 pertanyaan yang diberikan. 66 responden menjawab pertanyaan keempat dengan jawaban benar, 63 responden menjawab pertanyaan kelima dengan benar, 56 responden menjawab pertanyaan kedelapan
Total 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72
dengan benar, 67 responden menjawab pertanyaan kesebelas dengan benar, 62 responden menjawab pertanyaan keduabelas dengan benar dan 70 responden menjawab pertanyaan keempatbelas dengan benar.
Tabel 3. Gambaran Sikap Responden Sebelum Diberikan Penyuluhan Jawaban No Item Pernyataan tentang Sikap SS S R TS 1. Pap smear sangat penting untuk wanita 16 56 2. Seorang wanita sebaiknya melakukan pemeriksaan 6 61 5 pap smear jika sudah pernah melakukan hubungan seksual 3. Wanita yang sering melahirkan tidak perlu 10 14 44 melakukan pap smear 4. Setiap wanita yang sudah menikah diharuskan untuk 7 64 1 melakukan pap smear
STS -
Total 72 72
4
72
-
72
6
Lanjutan (Tabel 3.) No
Item Pernyataan tentang Sikap
5. Wanita yang sedang memakai alat kontrasepsi tidak perlu melakukan pap smear 6. Pap smear dilakukan di rumah sakit dan puskesmas 7. Pemeriksaan pap smear tidak dapat mengetahui adanya gangguan pada daerah leher rahim 8. Pap smear tidak boleh dilakukan pada wanita yang sedang menggunakan obat-obatan yang dimasukkan kedalam alat kemaluan wanita 9. Wanita yang sudah berhenti haid/ menopause tidak perlu lagi melakukan pap smear 10 Setiap wanita wajib melakukan pap smear minimal . satu kali seumur hidup
Sebelum diberikan penyuluhan 10 responden menyatakan setuju dan 14 responden menyatakan ragu-ragu terhadap pernyataan ketiga, masing-masing 24 dan 25 responden menyatakan setuju dan ragu-ragu serta satu (1)
Jawaban R TS 25 23
STS -
S 24
6 -
66 8
23
40
1
72 72
-
30
29
13
-
72
1
29
31
10
1
72
4
63
2
2
1
72
72
responden menyatakan sangat setuju terhadap pernyataan kelima, 29 responden menyatakan setuju dan 31 responden menyatakan ragu-ragu terhadap pernyataan kesembilan.
Tabel 4. Gambaran Pengetahuan Responden Sesudah Diberikan Penyuluhan Jawaban Item Pertanyaan tentang Pengetahuan Hampir Tidak Benar Benar Tahu 1. Pengertian kanker serviks atau kanker leher rahim 70 2 2. Penyebab kanker serviks 68 4 3. Salah satu gejala kanker serviks 63 9 4. Pengaruh kanker serviks 71 1 5. Tindakan yang diambil jika menderita kanker serviks 71 1 6. Cara mencegah kanker serviks 40 32 7. Pengertian pap smear 30 42 8. Cara pelaksanaan pap smear 71 1 9. Tujuan pap smear 44 28 10. Manfaat pap smear 67 5 11. Siapa saja yang harus melakukan pemeriksaan pap 71 1 smear 12. Interval pemeriksaan pap smear 71 1 13. Persiapan sebelum melakukan pemeriksaan pap 60 9 3 smear 14. Informasi tentang pap smear 71 1 15. Tempat melakukan pemeriksaan pap smear 61 11 -
Sesudah diberikan penyuluhan hampir seluruh pertanyaan dapat diawab dengan benar. Ada 3 pertanyaan yang mendapat nilai terendah, yaitu 40 responden menjawab pertanyaan
Total
SS -
Total 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72
keenam dengan benar, 30 responden menjawab pertanyaan ketujuh dengan benar dan 44 responden menjawab pertanyaan kesembilan dengan benar.
7
Tabel 5. Gambaran Sikap Responden Sesudah Diberikan Penyuluhan Jawaban No Item Pernyataan tentang Sikap SS S R TS 1. Pap smear sangat penting untuk wanita 40 32 2. Seorang wanita sebaiknya melakukan 7 65 pemeriksaan pap smear jika sudah pernah melakukan hubungan seksual 3. Wanita yang sering melahirkan tidak perlu 3 1 65 melakukan pap smear 4. Setiap wanita yang sudah menikah diharuskan 7 65 untuk melakukan pap smear 5. Wanita yang sedang memakai alat kontrasepsi 7 6 59 tidak perlu melakukan pap smear 6. Pap smear dilakukan di rumah sakit dan 24 48 puskesmas 7. Pemeriksaan pap smear tidak dapat mengetahui 4 2 64 adanya gangguan pada daerah leher rahim Pap smear tidak boleh dilakukan pada wanita 1 61 5 5 8. yang sedang menggunakan obat-obatan yang dimasukkan kedalam alat kemaluan wanita 9. Wanita yang sudah berhenti haid/menopause 1 10 8 52 tidak perlu lagi melakukan pap smear 10. Setiap wanita wajib melakukan pap smear 5 61 2 4 minimal satu kali seumur hidup
Setelah diberikan penyuluhan ada 3 responden yang menyatakan setuju dan satu (1) responden menyatakan ragu-ragu pada pernyataan ketiga, 7 responden menyatakan setuju dan 6 responden menyatakan ragu-ragu pada
STS -
Total 72 72
3
72
-
72
-
72
-
72
2
72
-
72
1
72
-
72
pernyataan kelima dan 10 responden menyatakan setuju dan 8 responden menyatakan ragu-ragu pada pernyataan kesembilan. Dengan demikian sikap responden sesudah diberikan penyuluhan tergolong baik.
Tabel 6. Hasil Uji Wilcoxon pada Pengetahuan dan Sikap Responden Sebelum dan Sesudah Diberikan Penyuluhan Pretest (n=72) Posttest (n=72) n % n % Pengetahuan Baik 50 69,4 72 100,0 0,0001 Cukup 22 30,6 0 0,0 Kurang 0 0,0 0 0,0 Sikap Baik 24 33,3 67 93,1 0,0001 Cukup 48 66,7 5 6,9 Kurang 0 0,0 0 0,0
Hasil uji menunjukkan bahwa tidak ada responden yang memiliki tingkat pengetahuan ‘kurang’, responden yang memiliki tingkat pengetahuan ‘cukup’ sebelum diberikan penyuluhan sebanyak 22 orang dan sesudah diberikan penyuluhan tidak ada lagi responden
yang berpengetahuan ‘cukup’, dan tingkat pengetahuan ‘baik’ sebelum diberikan penyuluhan 50 orang dan sesudah diberikan penyuluhan menjadi 72 orang. Terjadi perubahan kategori rendah ke tinggi, seperti kategori pengetahuan ‘cukup’ menjadi ‘baik’ sebanyak 22 orang.
8
Juga terjadi kategori yang tidak berubah, seperti kategori pengetahuan ‘baik’ sebelum dan sesudahnya sama sebanyak 50 orang. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan p = 0,0001 < α (= 0,05). Artinya ada perubahan pengetahuan wanita yang memiliki pasangan sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan tentang deteksi dini kanker serviks dengan pemeriksaan pap smear. Demikian juga dengan perubahan tingkat sikap, hasil uji menunjukkan tidak ada responden yaang memiliki sikap ‘kurang’. Responden yang memiliki sikap ‘cukup’ sebelum konseling 48 orang dan sesudah diberikan penyuluhan menjadi 5 orang dan responden yang memiliki sikap ‘baik’ sebelum penyuluhan 24 orang dan sesudah penyuluhan menjadi 67 orang. Terjadi perubahan kategori rendah ke tinggi, seperti kategori sikap ‘cukup’ menjadi ‘baik’ sebanyak 43 orang. Juga terjadi kategori yang tidak berubah, seperti kategori sikap ‘cukup’ sebelum dan sesudahnya sama sebanyak 5 orang dan kategori sikap ‘baik’ sebelum dan sesudahnya sama sebanyak 24 orang. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan (p =0,0001) < α (=0,05). Artinya ada perubahan sikap wanita yang memiliki pasangan sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan tentang deteksi dini kanker serviks dengan pemeriksaan pap smear. KESIMPULAN DAN SARAN Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebelum diberikan penyuluhan, pengetahuan responden tergolong baik,sesudah diberikan penyuluhan pengetahuan responden mengalami perubahan
bahkan terjadi peningkatan. Sebelum diberikan penyuluhan masih banyak responden yang bersikap ragu-ragu terhadap pemeriksaan pap smear dan setelah diberikan penyuluhan sikap yang diberikan wanita yang memiliki pasangan berubah bahkan cenderung mengalami peningkatan. Penyuluhan deteksi dini kanker serviks dengan pemeriksaan pap smear sangat berpengaruh dalam merubah maupun meningkatkan pengetahuan dan sikap wanita yang memiliki pasangan terhadap pemeriksaan pap smear. 2. Terjadi perubahan pengetahuan dan sikap pada beberapa pertanyaan yang diberikan kepada wanita yang memiliki pasangan. Adapun saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Puskesmas Glugur Darat Diharapkan dapat melakukan penyuluhan tentang kanker serviks dan pemeriksaan pap smear secara terstruktur dan periodik agar dapat membantu program pemerintah dalam menurunkan angka kejadian kanker serviks. 2. Bagi wanita yang memiliki pasangan Diharapkan agar lebih aktif mencari informasi yang berkaitan dengan kanker serviks dan pemeriksaan pap smear agar pengetahuan yang diperoleh bisa berkembang sehingga wanita yang memiliki pasangan mau melakukan pemeriksaan pap smear sebagai deteksi dini kanker serviks. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian ini masih banyak kekurangan sehingga diharapkan
9
ada penelitian lebih lanjut dari hasil penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Bustan MN, 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Rineka Cipta, Jakarta. Evennet K, 2004. Apa Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pap Smear, Arcan, Jakarta. Farid AM, 2001. Buku Acuan Nasional Onkologi dan Ginekologi, YBP-SP, Jakarta. Globocan, 2008. Lembar Kanker, http://globocan.iarc.fr/factshe ets/cancers/cervix, diakses 14 Oktober 2012. Indrawati M, 2009. Bahaya Kanker bagi Wanita dan Pria, Buku Pendidikan untuk Kehidupan, Jakarta.
Kusuma HW, 2004. Atasi Kanker Dengan Tanaman Obat, PT. Niaga Swadaya, Jakarta. Saifullah M, 2012. Kanker Serviks Renggut Nyawa 8.000 Perempuan Indonesia, http://health.okezone.com/rea d/2012/05/13/482/628842/ka nker-serviks-renggut-nyawa8-000-perempuan-indonesia, diakses 26 Agustus 2012. Madiyono B, dkk, 2011. Perkiraan Besar Sampel. Dalam Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, CV. Sagung Seto, Jakarta. Sastrosudarmo, 2012. Kanker The Silent Killer, Garda Media, Jakarta. Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, CV. Alfabeta, Jakarta.
10
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERILAKU SEKSUAL NARAPIDANA REMAJA PRIA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B BALIGE KABUPATEN TOBA SAMOSIR TAHUN 2012 Nani A.K.Siregar1, Asfriyati2, Abdul Jalil Amri Arma2 1
2
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT
Adolescents are those who are experiencing changes from childhood into adulthood. These changes include changes in the physical and emotional changes. Juvenile inmates is a group of teenagers who have complex problems, in addition to have committed the crime, followed by poor sexual acts plus more are in prison who daily interact with other youth inmates that will influence each other.This study aims to determine the factors that influence sexual behavior in male adolescent inmates Penitentiary class IIB Balige Toba Samosir regency in 2012. This research is a descriptive-analytic. Sampling was done by sampling with a total sample size of 30 people. Data were analyzed by Chi Square test with α 0.05. The results using logistic regression showed that the significant variables, namely knowledge (p = 0.038) and attitude (p = 0.022). Predictors forecast the probability 1, that the adolescent male inmates who have less knowledge of both affected by unfavorable attitude has a probability of sexual behavior at 5.46%, while probability prediction with predictor 0 was 91,21%.Teens who are in prison have limited knowledge about sexual problems and many have done just that deviant sexual behavior. Therefore to the prison to conduct outreach efforts on adolescent reproductive health issues and sexually transmitted diseases to the inmates teenage boys. Keywords: Adolescent Sexual Behavior-Male Inmates PENDAHULUAN Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu masa kehidupan individu dimana terjadi eksplorasi psikologis untuk menemukan identitas diri. Remaja mempunyai sifat yang unik, salah satunya adalah sifat ingin meniru sesuatu hal yang dilihat, kepada keadaan, serta lingkungan disekitarnya. Di samping itu, remaja mempunyai kebutuhan akan kesehatan seksual,
dimana pemenuhan kebutuhan kesehatan seksual tersebut sangat bervariasi sesuai dengan tuntutan kemajuan zaman (Kusmiran, 2011). Remaja saat ini sedang mengalami perubahan sosial yang cepat dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yang juga mengubah norma-norma, nilainilai dan gaya hidup mereka. Remaja yang dahulu terjaga secara kuat oleh sistem keluarga, adat budaya, serta nilai-nilai trasdisional yang ada, telah mengalami
1
pengikisan yang disebabkan oleh urbanisasi dan industrialisasi yang cepat. Hal ini diikuti pula oleh adanya revolusi media yang terbuka bagi keragaman gaya hidup dan pilihan karir. Berbagai hal tersebut mengakibatkan peningkatan kerentanan remaja terhadap hamil diluar nikah, aborsi, perasaan bersalah dan berdosa, timbulnya berbagai macam penyakit terutama yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk ancaman yang meningkat terhadap penyakit infeksi menular seksual (IMS) ataupun HIV/AIDS (Sarwono, 2011). Jenis-jenis penyakit infeksi menular seksual akibat perilaku seksual beresiko yaitu kencing nanah (gonorrhea), sifilis (raja singa), herpes, klamidia (Chlamydia), infeksi ragi (candida), chancroid, granula inguinale, lymphogranuloma venereum, HIV (Humana Immunodeficiency Virus), AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome), scabies, pelvic inflammatory disease (PID), trichomonas infection, veneral warts (Dianawati, 2006). Menurut estimasi World Health Organization (WHO), terdapat 340 juta kasus baru sifilis, gonore, klamidia dan trikomoniasis setiap tahun pada laki-laki dan perempuan usia 15-49 . Dalam salah satu penelitian yang dilakukan di Australia, dari 2.376 orang pelajar tingkat 7 sampai tingkat 12 dari suku aborigin yang dijadikan sampel, sebanyak 33,7% dari total 1.140 orang anak laki-laki pernah melakukan hubungan seksual. Sebanyak 63,3% laki-laki memiliki lebih dari satu partner seks. Sebanyak 21,4% laki-laki tidak menggunakan kondom saat terakhir kali melakukan hubungan seks.
Sebuah survey yang dilakukan oleh Youth Risk Behavior Survei (YRBS) secara nasional di Amerika Serikat pada tahun 2010 mendapati bahwa 47,8% pelajar berusia yang duduk di tingkat 9-12 telah melakukan hubungan seksual, 35% pelajar SMA telah aktif secara seksual dan 38,5% dari pelajar SMA tersebut tidak menggunakan kondom pada saat hubungan seksual yang terakhir kali dilakukan (Daili, 2011). Hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 2010, 63,4 juta jiwa atau 26,7 % dari 237,6 juta jiwa penduduk Indonesia termasuk ke dalam kelompok umur remaja (10-24 tahun). Besarnya proporsi penduduk yang berusia remaja ini dapat menimbulkan beberapa masalah karena ada beberapa perilaku remaja yang mengarah ke hal-hal yang mengkhawatirkan. Dilihat dari sudut pandang kesehatan, masalah itu adalah masalah yang berkaitan dengan seks bebas, penyebaran penyakit kelamin, kehamilan di luar nikah atau kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan remaja. Semua masalah itu oleh WHO disebut sebagai masalah kesehatan reproduksi remaja, yang telah mendapat perhatian khusus dari berbagai organisasi internasional (BkkbN, 2011). Data Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) pada kelompok berisiko tinggi di Indonesia pada tahun 2011 dengan responden siswa SMA menemukan 3 temuan kunci perilaku kelompok beresiko. Temuan kunci pertama, masih rendahnya pengetahuan komprehensif di kalangan remaja, hanya 22,30% responden yang memiliki pengetahuan komprehensif. 7,23% responden pernah berhubungan seksual dan
2
51,18% diantaranya menggunakan kondom, 4% responden pernah menggunakan Napza dan 0,4% responden pernah menggunakan napza suntik. Temuan kedua bahwa sebanyak 7% remaja mengaku pernah melakukan hubungan seksual. Dari remaja tersebut, 51% menjawab menggunakan kondom pada hubungan seksual terakhir dan 100% menggunakan kondom secara konsisten dalam hubungan seksual setahun terakhir. Temuan ketiga, dari remaja yang pernah menggunakan napza, 11% diantaranya pernah menggunakan napza suntik (Kandun, 2011). Hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2011, remaja mengaku mempunyai teman yang pernah melakukan hubungan seksual pranikah usia 14-19 tahun (perempuan 34,7%, laki-laki 30,9%), usia 20-24 tahun (perempuan 48,6%, laki-laki 46,5%). Dengan responden remaja berusia antara 15-24 tahun menunjukkan bahwa sebanyak 1% remaja perempuan dan 6% remaja laki-laki menyatakan pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Data hasil penelitian Kementerian Kesehatan RI di 4 kota besar (Medan, Jakarta Pusat, Bandung dan Surabaya) pada tahun 2011 menunjukkan bahwa 35,9% remaja mempunyai teman yang sudah pernah melakukan hubungan seks pranikah dan 6,9% responden telah melakukan hubungan seks pranikah. Sementara itu, penelitian Australian National University (ANU) dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia di Jakarta, Tangerang dan Bekasi (JATABEK) tahun 2011 dengan jumlah sampel 3.006 responden
(usia 17 – 24 tahun) mengindikasikan sebanyak 20,9% remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah sedangkan 38,7% remaja mengalami kehamilan sebelum menikah dan kelahiran setelah menikah. Dari data Komnas Pendidikan Anak yang menyatakan sebanyak 62,7% remaja di Indonesia pernah melakukan hubungan layaknya suami istri. Sementara data dari BkkbN menyatakan sebanyak 51% remaja pernah melakukan seks bebas (BkkbN, 2011). Data profil kesehatan Kabupaten Toba Samosir tahun 2010 bahwa jumlah kasus IMS sebanyak 232 kasus dan seluruhnya telah ditangani, dan data HIV/AIDS sebanyak 4 kasus yang terjadi di Kecamatan Balige 3 kasus dan kecamatan Porsea 1 kasus (Dinkes Tobasa, 2011). Pada tahun 2011 jumlah IMS meningkat menjadi 313 dan seluruhnya telah ditangani dan data HIV/AIDS sebanyak 4 kasus. Dan pada tahun 2012 menyebutkan bahwa kasus infeksi menular seksual selama tahun 2012 tidak tercatat. Hal ini karena belum baiknya sistem pencatatan dan pelaporan. Sedangkan data yang diperoleh pada tahun 2012 yaitu penderita HIV positif sebanyak 5 orang dan penderita AIDS sebanyak 6 orang (Dinkes Tobasa, 2012) Penelitian oleh Fox dan Inaz (2002) yang dikutip dari penelitian Wahyuni (2004) didapatkan bahwa semakin sering terjadi percakapan tentang seks, maka hubungan seks dapat dicegah. Cara lain untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks adalah dengan memberikan kesempatan kepada remaja untuk mengembangkan diri secara optimal yaitu dengan
3
meningkatkan kemampuan remaja dalam bidang-bidang tertentu sesuai dengan kemampuan dan bakatnya. Rutter dkk (2003) menyatakan masalah kejahatan telah mengalami peningkatan secara signifikan selama 50 tahun terakhir ini. Fenomena peningkatan kejahatan remaja yang terjadi di Indonesia terlihat dari data yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS, 2010) selama tahun 2007 tercatat sekitar 3.100 orang pelaku tindak pidana adalah remaja yang berusia 18 tahun, jumlah tersebut pada tahun 2008 dan 2009 masing-masing meningkat menjadi sekitar 3.300 remaja dan sekitar 4.200 remaja. Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi dan Pemberdayaan Pekerja dan Anak (LAPA) Apong Herlina menyatakan setiap tahunnya sedikitnya terdapat 4000 kasus pelanggaran hukum di Indonesia yang dilakukan oleh remaja. Berdasarkan jumlah tersebut, sebanyak 90,9% remaja pelaku kejahatan pada akhirnya divonis hakim masuk penjara. Pernyataan tersebut mendukung hasil riset yang dilakukan oleh UNDP (United Nation Development Program) pada tahun 2010 bahwa 43,4 narapidana di Indonesia adalah remaja. Menurut data yang dikumpilkan oleh direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada tahun 2010, diluar dari jumlah remaja yang masih ditahan di Polsek dan Polres karena kasusnya masih ditangani, jumlah remaja yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) Anak adalah 4.722 orang. mereka tersebar di 14 LP Anak yang ada di seluruh Indonesia (Hanni, 2010).
Berdasarkan laporan yang masuk ke Direktorat III Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, tercatat 967 kasus anak yang berhadapan dengan hukum tahun 2011. Dari jumlah tersebut perkara yang paling banyak menyeret anak ke rimba hukum yaitu kasus penganiayaan 236 kasus, kasus pencabulan 128 kasus dan pemerkosaan 65 kasus. Data terbaru dari sistem database pemasyarakatan, jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan di Indonesia baik yang berstatus yang masih tahanan dan juga narapidana saat ini mencapai 153.224 dan 5.532 diantaranya adalah anak. Sedangkan anak yang berstatus narapidana saat ini sudah mencapai 3.335 anak, yaitu 3.282 anak diantaranya narapidana laki-laki dan 73 anak narapidana perempuan. Menurut Irwanto, Direktur Pusat Kajian Perlindungan Anak Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, kondisi Lembaga Pemasyarakatan Indonesia sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya Lapas yang belum memiliki sarana prasarana yang layak, sanitasi, layanan kesehatan, hingga kapasitas lapas yang melampaui batas. Selain itu berdasarkan data dari KPAI menunjukkan bahwa 80% anak yang masuk ke Lapas pernah mengalami kekerasan seksual (Irwanto, 2011). Menurut Donaldson bahwa narapidana mempunyai kecenderungan untuk melampiaskan kebutuhan seksual mereka dengan melakukan hubungan seks dengan teman berjenis kelamin sama melalui cara oral seks, anal seks, dan masturbasi sehingga perilaku seks yang terbatas pada pengucapan dan pembicaraan sekitar seks.
4
Wooden dan Porker mengatakan 50% dari narapidana heteroseksual terlibat dalam aktifitas seksual dengan sesama jenis kelamin (homoseksual) selama mendekam di penjara (Wahyuni, 2004). Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan Tahun 1999 yang dilakukan oleh Brahmana T.K, didapatkan informasi bahwa narapidana dalam memenuhi kebutuhan seksual mereka selama di LP, mereka melakukan praktek-praktek seksual dalam bentuk masturbasi (68%), anogenital dan orogenital (32%) (Brahmana, 1999). Berdasarkan penelitian narapidana remaja pria di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A anak Tanjung Gusta Medan tahun 2005 dilakukan oleh Bahari, penelitian yang memiliki populasi berjumlah 173 orang dan sampel sebanyak 75 orang, hasil penelitian yang diperoleh Pengetahuan Narapidana Remaja Pria Tentang Seksualitas Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Anak Tanjung Gusta Medan pada dasarnya memiliki pengetahuan sedang sebanyak 2% orang (37.3%), Sikap Narapidana Remaja Pria Tentang Seksualitas Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Anak Tanjung Gusta Medan pada umumnya responden yang memiliki sikap baik yaitu sebanyak 56 orang (74.7%), Tindakan Narapidana Remaja Pria Tentang Seks Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Anak Tanjung Gusta Medan bahwa sebagian besar responden yang memiliki tindakan sedang yaitu sebanyak 27 orang (36.0%) (Bahari, 2005). Dan hasil penelitian yang dilaksanakan di Lembaga
Pemasyarakatan kelas II B anak Pekan baru Tahun 2004 yang dilakukan oleh Srie Wahyuni, didapatkan informasi bahwa mereka melakukan praktek-praktek seksual dalam bentuk masturbasi (78%) (Wahyuni, 2004). Dari hasil survei awal yang dilakukan, diperoleh jumlah narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Balige Kabupaten Toba Samosir adalah 149 orang dengan jumlah narapidana remaja pria sebanyak 30 orang. Berdasarkan jawaban dari 3 orang narapidana yang ditanya saat melakukan survei awal cara mereka melampiaskan kebutuhan seksualnya yaitu dengan melakukan onani dengan cara berkhayal, melakukan sex phone, maupun bantuan dari video porno yang ada di handphone mereka, padahal aturan yang ada di LP melarang narapidana membawa handphone. Salah seorang dari tiga narapidana mengatakan bahwa ada juga remaja melampiaskan kebutuhan seksualnya dengan pasangannya di kantin dan di kamar mandi dan beberapa narapidana remaja melakukan onani di kamar mandi, di kamar serta di pohon besar yang ada di area sekitar LP. Permasalahan Terjadinya perilaku seksual yang menyimpang pada remaja, apalagi bagi narapidana remaja dimana narapidana remaja tersebut adalah orang yang pernah melakukan tindak kejahatan, yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang hanya dapat berinteraksi dengan orang yang berjenis kelamin sama dalam kurun waktu yang cukup lama.
5
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi perilaku seksual narapidana remaja pria di Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Balige Kabupaten Toba Samosir. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini secara fundamental diharapkan bermanfaat bagi perubahan perilaku remaja, khususnya narapidana remaja pria dari perilaku seksual yang tidak sehat menjadi berperilaku yang sehat. 2. Sebagai bahan masukan bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Balige untuk pembinaan dan pengarahan tentang kesehatan reproduksi dan perilaku seksual kepada narapidana remaja secara umum dan narapidana remaja pria khususnya. 3. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat terhadap permasalahan remaja. 4. Sebagai pengembangan wawasan penelitian dalam bidang penelitian kesehatan reproduksi remaja khususnya perilaku seksual. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Bersifat deskriptif-analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi perilaku seksual narapidana remaja pria di Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Balige Kabupaten Toba Samosir. Lokasi Penelitian Dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kabupaten Tobasa Samosir.
Populasi penelitian Seluruh narapidana remaja pria yang berada Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Balige Kabupaten Toba Samosir sebanyak 30 orang dan semuanya dijadikan sebagai sampel penelitian. Aspek pengukuran 1) Pengetahuan diukur melalui jawaban kuesioner, pertanyakan yang diajukan adalah 25 pertanyaan. Setiap jawaban yang benar akan diberi skor 1, jawaban yang salah akan diberi skor 0 dan jawaban tidak tahu diberi skor 0. Total skor maksimal adalah 25 dan total skor minimal adalah 0. Tingkat pengetahuan dapat dikategorikan menjadi 2 kategori: 0 = Baik, jika skor yang diperoleh ≥ 65% dari skor tertinggi (nilai 16-25) 1 = Kurang baik, jika skor yang diperoleh <65 % dari skor tertinggi (nilai 0-15) 2) Sikap diukur melalui 11 pernyataan dengan menggunakan skala Likert. Apabila responden menjawab sangat setuju maka diberi nilai 5, setuju diberi nilai 4, raguragu diberi nilai 3, tidak setuju diberi nilai 2, dan sangat tidak setuju diberi nilai 1. Berdasarkan jumlah nilai yang ada dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori yaitu: 0 = Baik, jika skor yang diperoleh <65 % dari skor tertinggi (nilai 0-33 1 = Kurang baik, jika skor yang diperoleh ≥ 65% dari skor tertinggi (nilai 34-55) 3) Ketersediaan sarana dan prasarana dapat diukur dengan: 0 = Ada, jika adanya sarana dan prasarana yang mendorong perilaku seksual.
6
1 = Tidak ada, jika tidak ada sarana dan prasaran yang mendorong perilaku seksual. 4)Pengawasan narapidana diukur dengan: 0 = Ketat, jika dilakukan razia rutin dan tidak rutin oleh petugas yang meliputi kegiatan yang dilakukan narapidana, bendabenda yang dapat mendorong perilaku seksual 1 = Tidak ketat, jika tidak dilakukan razia rutin dan tidak rutin oleh petugas yang meliputi kegiatan yang dilakukan narapidana, benda-benda yang dapat mendorong perilaku seksual. 5) Perilaku responden diukur dengan: 0 =Tidak melakukan, jika responden tidak melakukan perilaku-perilaku seksual. 1 =Melakukan , jika responden melakukan perilaku-perilaku seksual. Analisis data Dilakukan secara bertahap, yaitu dengan analisis univariat, analisis bivariat dan analisis multivariat. HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku seksual adalah hal yang secara alamiah dapat dilakukan oleh mereka yang telah mencapai kematangan seksualnya. Bila ditinjau dari segi fisik, remaja dikatakan belum cukup siap untuk melakukan tugas-tugas reproduksi. Demikian juga secara mental, remaja dianggap belum cukup siap. Faktor emosi, sosial dan finansial, dianggap tidak memungkinkan seorang remaja untuk menanggung dampak hubungan seksual yang dilakukannya. Secara umum ada dua dampak yang ditimbulkan dari perilaku seksual dikalangan remaja
secara umum kehamilan dan penyakit menular seksual (sifilis, HIV/AIDS, dan lain-lain. Tabel 1. Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Seksual Narapidana Remaja Pria Pengeta huan
Perilaku Seksual Tidak Melakukan melakukan n % n % 4 44,4 5 55,6
Baik Kurang 18 85,7 3 Baik (χ)²= 0,393 dan p = 0,019
14,3
Jumlah n 9 2 1
% 100 100
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa pada responden yang berpengetahuan baik mayoritas tidak melakukan perilaku seksual yaitu sebanyak 5 orang (55,6%) sedangkan responden yang berpengetahuan kurang baik mayoritas melakukan perilaku seksual sebanyak 18 orang (85,7%). Dari hasil uji statistik pearson chisquare didapatkan nilai p= 0,019 < α=0,05 sehingga Ho ditolak dan memiliki hubungan yang bermakna. Artinya bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku seksual. Tabel 2. Hubungan Sikap dengan Perilaku Seksual Narapidana Remaja Pria
Sikap
Perilaku Seksual Tidak Melakuka melakuka n n n % n % 3 37,5 5 62,5
Baik Kurang 19 86,4 3 Baik (χ)²= 0,439 dan p = 0,007
13,6
Jumlah n 8 2 2
% 100 100
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa pada responden yang bersikap baik mayoritas tidak melakukan perilaku seksual yaitu sebanyak 5 orang (62,5%) sedangkan responden yang bersikap kurang baik mayoritas melakukan perilaku seksual sebanyak 19 orang 7
(86,4%). Dari hasil uji statistik pearson chi-square didapatkan nilai p= 0,007 < α=0,05 sehingga Ho ditolak dan memiliki hubungan yang bermakna. Artinya bahwa ada hubungan antara sikap dengan perilaku seksual. Tabel 3. Hubungan Sarana Prasarana dengan Perilaku Seksual Narapidana Remaja Pria Sarana Prasara na
Perilaku Seksual Juml Tidak ah melakukan melakukan N % N % n % 22 78,6 6 21,4 28 100
Ada Tidak 0 0 2 Ada (χ)²= 0,405 dan p = 0,015
100
2
100
Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa pada responden yang mengatakan adanya sarana prasarana yang mendukung mayoritas melakukan perilaku seksual yaitu sebanyak 22 orang (78,6%) sedangkan responden yang mengatakan tidak ada sarana prasarana yang mendukung mayoritas tidak melakukan perilaku seksual sebanyak 2 orang (100%). Dari hasil uji statistik pearson chisquare didapatkan nilai p= 0,015 < α=0,05 sehingga Ho ditolak dan memiliki hubungan yang bermakna. Artinya bahwa ada hubungan antara sarana prasarana dengan perilaku seksual. Tabel 4. Hasil Uji Analisis Multivariat uji regresi logistik Variab B Sig Exp 95%CI el (B) (B) Penget -2.530 0,038 0,080 0,007aguan 0,873 Sikap -2.842 0,022 0,058 0,0050,659 Konst 2.340 anta
Nilai probabilitas narapidana remaja pria yang melakukan perilaku seksual adalah sebagai berikut:
P=
(
( .
.
.
(
(
Dengan model persamaan regresi diperoleh, kita dapat membuat ramalan tentang probabilitas narapidana remaja pria melakukan perilaku seksual sebagai berikut: Misalkan narapidana remaja pria memiliki nilai variabel prediktor seperti: Pengetahuan (P=1, yaitu narapidana remaja pria yang memiliki pengetahuan kurang baik), sikap (S=1, yaitu narapidana remaja pria yang memiliki sikap yang kurang baik), maka nilai probabilitasnya adalah: P=
( .
(
(
.
.
(
= 0,0546 5,46%, Artinya narapidana remaja pria yang memiliki pengetahuan yang kurang baik terpengaruh pada sikap yang kurang baik maka memiliki probabilitas berperilaku seksual sebesar 5,46%. Sedangkan jika narapidana remaja pria memiliki nilai variabel prediktor seperti: Pengetahuan (P=0, yaitu narapidana remaja pria yang memiliki pengetahuan baik), sikap (S=0, yaitu narapidana remaja pria yang memiliki sikap yang baik) P=
1 1+
−(2.340( −2.530(0 −2.842(0
= 0,9121
91,2%,Artinya narapidana remaja pria yang memiliki pengetahuan yang baik terpengaruh pada sikap yang baik maka probabilitas berperilaku seksual sebesar 91,21%. Hasil penelitian yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Balige pada narapidana remaja pria menunjukkan bahwa sebagian besar narapidana remaja pria melakukan aktivitas seksual sebanyak 22 orang
8
narapidana melakukan masturbasi, alasan-alasan mereka melakukan aktivitas itu adalah masturbasi merupakan hal yang wajar dilakukan oleh pria, kebiasaan yang tidak bisa dihilangkan dan juga untuk menghilangkan kejenuhan di penjara karena mereka sering mengisi waktu luang dengan menonton film porno yang menyebabkan mereka bermasturbasi. Ada 6 orang narapidana yang melakukan tindakan oral seks Alasan-alasan mereka melakukannya yaitu karena sudah terbiasa melakukannya sebelum mereka di LP dan karena ingin merasakan sensasi seks. Ada 3 orang narapidana remaja pria yang melakukan tindakan anal seks. Alasan mereka melakukan tindakan anal seks yaitu karena sudah merasa tindakan ini merupakan cara mereka memenuhi kebutuhan seksnya dan salah seorang narapidana yang melakukan anal seks awalnya dia dipaksa tetapi untuk sekarang dia melakukannya karena kemauan sendiri. Terdapat 3 orang narapidana yang melakukan hubungan seksual dengan wanita yang statusnya pacar mereka Dan terdapat 3 narapidana yang melakukan homoseksual dengan alasan untuk pemenuhan kebutuhan seksual dan mendapat perhatian dari pasangan mereka. Kesimpulan 1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Balige diperoleh hasil dari 30 sampel narapidana remaja pria terdapat sebagian besar narapidana remaja pria memiliki pengetahuan yang kurang baik, memiliki sikap yang kurang baik, adanya sarana prasarana yang mendorong narapidana remaja pria untuk berperilaku
seksual, pengawasan di Lembaga Pemasyarakatan yang ketat dan juga sebagian besar narapidana remaja pria melakukan perilaku seksual. 2. Dari 22 orang yang melakukan perilaku seksual terdapat 3 orang narapidana remaja yang melakukan tindakan Homoseksual. Saran 1. Kepada pihak Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Balige agar menjalin kerjasama yang baik dengan Dinas Kesehatan Balige untuk melakukan kegiatan penyuluhan tentang pengetahuan dan permasalahan kesehatan reproduksi remaja 2. Pengawasan di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB juga perlu diperketat walaupun dari hasil penelitian menunjukkan pengawasan di Lembaga Pemasyarakatan sudah ketat tetapi pada saat melakukan penelitian masih di jumpai adanya hand phone para narapidana yang dijadikan sarana yang dapat mendorong atau membantu mereka melakukan aktivitas seksual 3. Bagi pihak Lembaga Pemasyarakat juga perlu memperhatikan ruangan hunian para narapidana, bagi narapidana yang masih remaja seharusnya dipisahkan. 4. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dan mendalam untuk mengetahui faktor-faktor lain yang memengaruhi perilaku seksual narapidana remaja pria. DAFTAR PUSTAKA Atmowiloto, Arswendo, 1996. Hakhak Narapidana. ELSAM, Jakarta.
9
Bahari, 2005. Gambaran Perilaku Seksual Narapidana Remaja di Lembagaga Pemasyarakatan kelas IIA Anak Tanjung Gusta, FKM USU BkkbN. 2011. Genre Goes to School: yang Muda Harus Berencana. http://www.bkkbn.go.id/Vie wSiaranPers.aspx?SiaranPers ID=7. Diakses 28 September 2012. BPS. 2010. Profil Kriminalitas Remaja. http://www.bps.go.id/hasil_p ublikasi/flip_2011/4401003/f iles/search/searchtext.xml diakses 28 September. Brahmana, T.k., 1999. Perilaku Seksual Golongan Masyarakat yang Terisolir :Studi Kasus Narapida di LP Tanjung Gusta Medan, FKM USU. Budi, Fajriansyah. 2002. Karakteristik Distribusi Narapidana Laki-laki yang Berperilaku Seksual Resiko Tinggi Terhadap Penularan HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Propinsi Bengkulu. FKM Universitas Sumatera Utara, Medan. Chandra, Budiman. 2008. Metode Penelitian Kesehatan. EGC, Jakarta. Daili, S.F., 2009. Infeksi Menular Seksual.Edisi Keempat, Jakarta: Balai Penerbitan FKUI. Dianawati, A., 2006. Pendidikan Seks untuk Remaja, Kawan Pustaka, Jakarta.
Infeksi Menular Seksual. Balige: Dinas Kesehatan Tobasa, Hanni, Vincentia, 2003, Penjara Anak Niatnya Mendidik Anak, Salah-salah Jadinya Penjahat Profesional?, Kompas. Irwanto, 2011. Tren Kejahatan dan Peradilan Pidana. Jakarta: Cipta Manunggal, Jones, D.L., 2005. Setiap Wanita, Jakarta: Delapratasa Publishing, Kandun, I.N., 2011. Lembar Fakta Remaja, Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku pada Kelompok Beresiko Tinggi di Indonesia, Kerjasama Kementerian Kesehatan RI, Dinas Kesehatan Kabupaten, GFATM, SUM (FHI,USAID), World Bank, CHAI. Kusmiran, E., 2011. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita, Cetakan Pertama, Jakarta: Salemba Medika, Mahmud, Farhan. 2002.Penyimpangan Seksual. www.google.com /seksmenyimpang. Diakses tanggal: 09-11-2012 Sarwono, S.W., 2011. Psikologi Remaja, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Pers Wahyuni, Srie. 2004. Gambaran Perilaku Seksual Narapidana Remaja Pria Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Anak Pekanbaru. Skripsi FKM USU, Medan. Yasril. 2009. Analisis Multivariat. Mitra cendikia Jogjakarta.
Dinkes Tobasa, 2011. Pedoman Penatalaksanaan
10
PERILAKU KONSUMSI GIZI SEIMBANG DAN STATUS GIZI PADA REMAJA PUTRI DI SMAN 1 TARUTUNG TAHUN 2012 (Consumer Behavior and Balanced Nutrition Nutritional Status in Teenangers in the Year 2012 SMAN 1 Tarutung) Putri Natalia1, Ernawati Nasution2, Albiner Siagian2 1
2
Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT
The consumption of balance nutrition is a balance of nutrition that required by body, either qualitatively or quantitatively that consumed by a girl in each served food. In order to have a qualified human resource by increase the nutritional status of the people include the young girl that manifested by the daily food activities.This research is a descriptive study with cross sectional design in order to know the behavior of a teenanger in consuming the balance nutritional and nutrition status at SMAN 1 Tarutung in 2012. The behavior of balance nutrition consumption can be indicated based on knowledge, attitude and consumption pattern. The measurement is conducted by scoring method to the questionnaire with the weight that categorized in good, medium or poor, while the nutritional status can be indicated by IMT. The number of sample is 90 persons and the data is processed manually and put into a frequency distribution table and be analyzed by descriptive method.Based on the results of study, it is concluded that the knowledge and attitude of respondent to the balance nutrition is classified into 61.1% and 51.1%. While consumption pattern of respondent on the balance nutrition is classified into did not eat various food (62%) that prefer rice (100%), fish (78.9%), spinach (46.7%) and orange fruit (41.1%). And the nutritional status of respondent is classified normal (75.6%), thin (12.2%) and obese (10%) and very obese (2.2%).It is suggested to the principal and teacher at SMAN 1 Tarutung to optimize the health promotion by provide the socialization to the students when provide the lesson to maintain the nutrition sufficient to increase the learning achievement. Keywords : Behavior of teenanger, balance nutrition, nutritional status PENDAHULUAN Remaja adalah kelompok manusia yang berada diantara usia 10-19 tahun. Pada masa ini individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa. Selain itu, terjadi peralihan dari ketergantungan sosial dan ekonomi yang penuh kepada orang tua menuju keadaan yang relatif lebih mandiri. Pada masa remaja terjadi perubahan fisik dan psikis yang sangat signifikan. Perubahan fisik ditandai dengan pertumbuhan badan yang pesat dan matangnya organ reproduksi. Laju pertumbuhan badan berbeda antara remaja putra dan remaja putri. Remaja putri mengalami percepatan lebih dulu dibandingkan remaja putra (Proverawati, 2010).
Karena tubuh remaja putri dipersiapkan untuk reproduksi. Sementara remaja putra baru dapat menyusul dua tahun kemudian. Pertumbuhan cepat ini juga ditandai dengan pertambahan pesat berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Pada masa tersebut pertambahan BB remaja putri 16 gram dan remaja putra 19 gram setiap harinya. Sedangkan pertambahan TB remaja putri dan remaja putra masingmasing dapat mencapai 15 cm per tahun. Puncak pertambahan pesat TB terjadi di usia 11 tahun pada remaja putri dan usia 14 tahun pada remaja putra (Arisman, 2009). Remaja ialah anak yang berusia 10-19 tahun. WHO mendefenisikan remaja sebagai suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya (pubertas) sampai saat ia mencapai kematangan seksual (DepKes, 2010). Pada masa ini individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa. Selain itu, terjadi peralihan dari ketergantungan sosial dan ekonomi yang penuh kepada orang tua menuju keadaan yang relatif mandiri. Menurut Soetjiningsih (1995), ciri-ciri yang menonjol dari remaja adalah memiliki keadaan emosi yang labil, timbulnya sikap menentang orang lain (hal itu dilakukan sebagai wujud remaja ingin merenggangkan hubungan maupun ikatan dengan orang tuanya), memiliki sikap untuk mengeksplorasi atau keinginan untuk menjelajahi lingkungan alam sekitar, memiliki banyak fantasi/khayalan dan bualan, serta remaja cenderung untuk membentuk suatu kelompok. Pertumbuhan fisik menyebabkan remaja membutuhkan asupan nutrisi yang lebih besar daripada masa anak-anak. Ditambah lagi pada masa ini, remaja sangat aktif dengan berbagai kegiatan, baik itu kegiatan sekolah maupun olahraga. Khusus pada remaja putri, asupan nutrisi juga dibutuhkan untuk persiapan reproduksi (Proverawati, 2010). Pada masa remaja, panduan gizi sangat diperlukan. Dalam hal ini, di Indonesia dikenal dengan istilah gizi seimbang. Gizi seimbang merupakan aneka ragam bahan pangan yang mengandung unsurunsur zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, baik kualitas maupun kuantitas (Soekirman, 2010). Tiap makanan dapat saling melengkapi dalam zat-zat gizi yang dikandungnya. Pengelompokan bahan makanan disederhanakan, yaitu didasarkan pada tiga fungsi utama zat-zat gizi, yaitu sebagai sumber energi/tenaga, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur. Sumber energi diperlukan tubuh dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan kebutuhan zat pembangun dan zat pengatur, sedangkan kebutuhan zat pengatur diperlukan dalam jumlah yang lebih besar daripada kebutuhan zat pembangun.
Sumber energi yang berasal dari karbohidrat diperoleh dari beras, jagung, sereal/gandum, ubi kayu, kentang dan sebagainya. Zat pengatur diperoleh dari sayur dan buah-buahan, sedangkan zat pembangun diperoleh dari ikan, telur, ayam, daging, susu, kacang-kacangan dan sebagainya. Ketiga golongan bahan makanan dalam konsep dasar gizi seimbang tersebut digambarkan dalam bentuk kerucut dengan urutan-urutan menurut banyaknya bahan makanan tersebut yang dibutuhkan oleh tubuh. Dasar kerucut menggambarkan sumber energi/tenaga, yaitu golongan bahan pangan yang paling banyak dimakan, bagian tengah menggambarkan sumber zat pengatur, sedangkan bagian atas menggambarkan sumber zat pembangun yang secara relatif paling sedikit dimakan tiap harinya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Diane di Minneapolis (2003) dalam Jafar (2012), menunjukkan bahwa kebiasaan makan keluarga sangat mempengaruhi kebiasaan makan remaja. Asupan makanan yang biasa dihidangkan di rumah membentuk kesukaan remaja terhadap makanan sehat ataupun tidak sehat. Keluarga yang sering menyajikan makanan siap saji untuk anak remaja mereka, cenderung memiliki anak-anak remaja yang memiliki pola makan yang buruk. Dibandingkan dengan keluarga yang jarang atau tidak menyajikan makanan siap saji untuk anak remaja mereka. Hasil yang sama diperoleh juga pada penelitian Kerry (2011) dalam Jafar (2012), di tempat yang sama. Ketersediaan makanan siap saji di rumah berhubungan dengan peningkatan konsumsi makanan asin dan makanan siap saji pada remaja. Secara khusus, perhatian ekstra perlu diberikan untuk remaja putri yang akan menjadi calon ibu untuk mencapai status gizi kesehatan yang optimal. Dengan status gizi yang optimal pertumbuhan dan perkembangan remaja lebih sempurna. Status gizi remaja tidak hanya dipengeruhi oleh faktor ekonomi akan
tetapi dipengaruhi pula faktor budaya seperti kebiasaan makan. Kebiasaan yang buruk pada remaja memungkinkan terjadinya gizi kurang maupun obesitas. Perilaku konsumsi gizi seimbang merupakan keseimbangan zat-zat gizi yang dikonsumsi oleh remaja putri dalam setiap hidangan makanan yang meliputi karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas adalah dengan cara meningkatkan status gizi masyarakat termasuk remaja putri yang tercermin dalam perilaku makan sehari-hari. Penelitian yang dilakukan oleh Susilowati (2010) yang meneliti status gizi remaja putri di Jakarta menunjukkan 1,7% remaja putri yang sangat kurus, 5,0% remaja putri yang kurus, 9,7% remaja putri yang gizi lebih dan 2,7% remaja putri yang kegemukan. SMAN 1 Tarutung adalah salah satu sekolah yang berada di Kota Tarutung. Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan oleh penulis diperoleh bahwa dari 30 remaja putri yang diwawancarai terdapat 20 remaja putri yang mengonsumsi makanan secara tidak seimbang. Dimana mereka hanya mengonsumsi makanan tertentu saja dan memantangkan beberapa jenis makanan. Sehingga hal ini akan mempengaruhi status gizi mereka. Melihat kenyataan tersebut penulis tertarik untuk melihat bagaimana perilaku konsumsi gizi seimbang dan status gizi pada remaja putri di SMAN 1 Tarutung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku remaja putri dalam mengonsumsi gizi seimbang dan status gizi di SMAN 1 Tarutung tahun 2012. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pendidikan kesehatan bagi remaja tentang perilaku konsumsi gizi seimbang dan status gizi serta dapat dijadikan materi penyuluhan untuk meningkatkan prestasi belajarnya dan untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta dapat mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari bagi remaja
putri tentang konsumsi gizi seimbang dan status gizi. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan desain cross sectional study (sekat silang) untuk mengetahui gambaran perilaku konsumsi gizi seimbang dan status gizi pada remaja putri di SMAN 1 Tarutung tahun 2012. Penelitian dilakukan di SMAN 1 Tarutung yang terletak di Jalan Melanthon Siregar Tarutung. Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan oleh penulis diperoleh bahwa dari 30 remaja putri yang diwawancarai terdapat 20 remaja putri yang mengonsumsi makanan secara tidak seimbang. Dimana mereka hanya mengonsumsi makanan tertentu saja dan memantangkan beberapa jenis makanan. Sehingga hal ini akan mempengaruhi status gizi mereka. Penelitian dilakukan bulan Juli sampai dengan Desember 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah siswi kelas X, XI, dan XII di SMAN 1 Tarutung. Jumlah populasi siswi didapatkan melalui data sekunder dari bagian administrasi SMAN 1 Tarutung yaitu berjumlah 420 orang. Dimana sekolah tersebut memiliki 18 kelas yang terdiri atas kelas X : 6 kelas dengan jumlah siswi sebanyak 120 orang, kelas XI : 6 kelas dengan jumlah siswi sebanyak 150 orang dan kelas XII : 6 kelas dengan jumlah siswi sebanyak 150 orang. Sampel yang akan diambil untuk diteliti adalah siswi SMAN 1 Tarutung kelas X, XI dan XII. Pengambilan sampel dilakukan secara random, dimana setiap siswi mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi sampel (Notoatmodjo,2005). Metode Pengumpulan Data Data Primer Data primer diperoleh dari wawancara langsung dan menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada siswi kelas X, XI, dan XII di
SMAN 1 Tarutung yang meliputi identitas siswi, perilaku tentang gizi seimbang diukur dengan menggunakan kuesioner berdasarkan tingkat pengetahuan dan sikap, pola konsumsi diukur dengan food frequency, status gizi diukur dengan standar antropometri menurut WHO Anthroplus 2007, tinggi badan (TB) diukur dengan microtoise, dan berat badan (BB) diukur dengan menggunakan timbangan injak. Data Sekunder Data sekunder penelitian ini adalah jumlah siswi SMAN 1 Tarutung yang masih aktif yang diperoleh dari bagian administrasi SMAN 1 Tarutung. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Konsumsi berdasarkan Pengetahuan Gizi Seimbang Berikut ini adalah distribusi pola konsumsi responden berdasarkan pengetahuan di SMAN 1 Tarutung. Tabel 4.1. Distribusi Pola Konsumsi Responden Berdasarkan Pengetahuan di SMAN 1 Tarutung Tahun 2012 Pengetahuan Baik Sedang Kurang
Pola Konsumsi Tidak Beragam Beragam n % n % 18 75,0 6 25,0 38 69,1 17 30,9 6 54,5 5 45,5
Total n
%
24 55 11
100 100 100
Dari Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa responden berpengetahuan baik dan sedang dan kurang pada umumnya kebiasaan pola makan yang tidak beragam, dengan persentase masing-masing (75%), (69,1%) dan (54,5%). Frekuensi pola konsumsi berdasarkan food frequency diketahui bahwa pada umumnya remaja putri mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok 1-3 kali sehari (100%) dibandingkan dengan makanan lainnya seperti roti 1-3 kali seminggu (53,3%) dan mie 1-3 kali seminggu (44,4%) dikarenakan nasi sebagai sumber karbohidrat merupakan makanan pokok masyarakat di Indonesia.
Remaja putri lebih banyak mengonsumsi ikan yaitu 78,9% dengan frekuensi 1-3 sehari karena ikan merupakan menu lauk pauk utama keluarga di kota Tarutung yang didistribusikan dari kota Sibolga sebagai kota pelabuhan penghasilan ikan. Sedangkan jarang mengonsumsi daging 1-3 kali sebulan (35,6%), hal ini disebabkan harga daging cukup mahal untuk masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah. Untuk menambah menu makanan keluarga, alternatif yang lebih mudah dan murah untuk menambah zat protein adalah mengonsumsi roti 1-3 kali sehari (78,9%), dan telur 1-3 kali seminggu (52,2%) dan ditambahkan dengan tahu/tempe 1-3 kali seminggu (46,7%). Indikator pola konsumsi lainnya adalah mengonsumsi sayur-sayuran seperti makan sayur daun ubi 1-3 kali seminggu (52,2%), makan sayur kangkung lebih banyak 1-3 kali seminggu (52,2%), makan sayur bayam 1-3 kali seminggu (46,7%) dan makan sayur kacang panjang 1-3 kali seminggu (60%). Jika dilihat dari frekuensi mengonsumsi sayursayuran, remaja cenderung mengonsumsi 1-3 kali seminggu, disebabkan jenis bahan sayuran mudah diperoleh dan memiliki harga terjangkau. Selain itu, disebabkan remaja putri mengonsumsi sayuran dengan jenis yang berbeda-beda setiap harinya untuk menghindari kejenuhan/kebosanan. Pada umumnya remaja putri mengonsumsi jenis buah-buahan seperti apel, jeruk, pisang dan pepaya pada frekuensi 1-3 kali sebulan hal ini disebabkan selain harga cukup mahal sehingga menu keluarga di rumah kurang memperhatikan asupan gizi bersumber dari buah-buahan, Remaja berpengetahuan baik maupun kurang cenderung mengonsumsi pola makan yang tidak beragam. Hal ini berkaitkan dengan menu makanan keluarga yang disajikan pada umumnya sudah baik, tetapi remaja memilih pola konsumsi makan yang kurang baik. Hal ini disebabkan ada remaja melakukan diet untuk mengurangi kenaikan berat badan.
Remaja lebih menyukai makanan jajanan seperti mie/bakso atau makanan ringan seperti gorengan, keripik, kue daripada menu makanan di rumah. Remaja berpengetahuan baik maupun kurang cenderung mengonsumsi pola makan yang tidak beragam. Hal ini berkaitkan dengan menu makanan keluarga yang disajikan pada umumnya sudah baik, tetapi remaja memilih pola konsumsi makan yang kurang baik. Hal ini disebabkan ada remaja melakukan diet untuk mengurangi kenaikan berat badan. Remaja juga lebih menyukai makanan jajanan seperti mie/bakso atau makanan ringan seperti gorengan, keripik, kue daripada menu makanan di rumah. Remaja lebih memperhatikan penampilan citra tubuhnya dari pada laki-laki. Pola konsumsi remaja yang beragam pada umumnya berpengetahuan sedang. Sedangkan remaja berpengetahun kurang juga mengonsumsi beragam. Hal ini disebabkan remaja di rumah dianjurkan oleh kedua orang tuanya untuk mengonsumsi makanan yaitu nasi+lauk pauk+sayur+buah. Pola Konsumsi berdasarkan Sikap Gizi Seimbang Berikut ini adalah distribusi pola konsumsi responden berdasarkan sikap konsumsi di SMAN 1 Tarutung. Tabel 4.2. Distribusi Pola Konsumsi Responden Berdasarkan Sikap di SMAN 1 Tarutung Tahun 2012 Sikap Baik Sedang Kurang
Pola Konsumsi Tidak Beragam Beragam n % n % 24 82,8 5 17,2 30 65,2 16 34,8 8 53,3 7 46,7
Total n
%
29 46 15
100 100 100
Dari Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa responden berpengetahuan baik dan sedang dan kurang pada umumnya memiliki kebiasaan pola makan yang tidak beragam, dengan persentase masing-masing (82,8%), (65,2%) dan (53,3%).
Remaja bersikap baik maupun kurang cenderung mengonsumsi pola makan yang tidak beragam. Remaja merasa menu keluarga sudah terbiasa dikonsumi sehingga remaja cenderung lebih menyukai makanan jajanan seperti mie/bakso, gorengan dan makanan siap saji (fast food) yang kandungan gizinya belum tentu baik. Remaja kurang mempedulikan nilai gizi yang terkandung dalam makanan tersebut. Ada remaja bersikap kurang baik terhadap gizi seimbang tetapi memiliki kebiasaan makan beragam disebabkan adanya dukungan keluarga (orang tua) untuk mengonsumsi makanan baik yang disajikan di rumah, walaupun anaknya merasa kurang menyukai menu keluarga tetapi untuk menghormati orang tuanya, sehingga remaja terbiasa mengonsumsi menu makan tersebut. Penelitian Akman (2011), menemukan bahwa hanya 1,9% remaja di Turki yang memiliki pola konsumsi sesuai dengan Panduan Piramida Makanan (Food Guide Pyramid), 31% memiliki kebiasaan mengonsumsi fast food paling sedikit satu kali sehari dan 60,8% suka melewatkan waktu makan. Status Gizi berdasarkan Pola Konsumsi Gizi Seimbang Remaja putri lebih banyak berstatus gizi normal, namun ditemukan yang kurus. Kondisi ini disebabkan remaja putri dengan berat badan kurus melakukan diet dengan mengurangi frekuensi pola makan sehingga berat badannya menurun. Ada remaja putri lebih menyukai postur tubuh kurus untuk mempercantik penampilan. Proverawati (2010) menyatakan bahwa kondisi badan kurus bagi remaja putri sangat tren dan mulai mewabah. Remaja putri melakukan berbagai usaha salah satunya adalah diet. Remaja yang memiliki gizi lebih (gemuk) cenderung disebabkan tidak mengatur pola makan secara teratur seperti suka mengemil, minum softdrink dan mengonsumsi jajanan yang mengandung kalori dan lemak yang tinggi seperti mengonsumsi makanan
manis atau mengandung lemak seperti mie/bakso, gorengan dan makanan siap saji. Pada umumnya status gizi remaja putri berdasarkan usianya, pengetahuan dan sikap cenderung berstatus gizi normal. Hal ini disebabkan rentang usia remaja putri dalam penelitian ini berjarak 3 tahun, dimana pengetahuan dan sikap tentang perilaku makan gizi seimbang terhadap status gizi tidak berbeda jauh. Dari 90 orang remaja putri dapat disimpulkan pada umumnya remaja putri memiliki status gizi normal (75,6%). Adapun standar status gizi normal sebagaimana ditetapkan WHO Anthroplus 2007 dikategorikan berdasarkan indeks IMT/U adalah (-2 SD s/d ≤ 2 SD). Remaja putri yang sangat gemuk atau gemuk (12,2%) dan kurus (12,2%). Sesuai penelitian Lutfah (2004) yang dilakukan pada siswi SMA di Jakarta menunjukkan prevalensi gizi lebih sebesar 14,7% responden. Remaja berpola makan beragam dan tidak beragam pada umumnya memiliki status gizi normal. Remaja dengan pola makan beragam yaitu nasi, lauk pauk, sayuran dan buah dikonsumsi setiap hari disebabkan letak geografis Kota Tarutung yang dingin menyebabkan tubuh lebih banyak memerlukan lemak untuk menghangatkan tubuh sehingga dalam pengukuran status gizi cenderung normal. Remaja yang mengonsumsi makanan tidak beragam disebabkan remaja takut mengonsumsi makanan tertentu yang dapat meningkatkan berat badannya. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan : 1. Pengetahuan remaja putri SMAN 1 Tarutung tentang gizi seimbang adalah sedang tetapi memiliki pola konsumsi tidak beragam. 2. Sikap remaja putri SMAN 1 Tarutung tentang gizi seimbang adalah sedang
tetapi memiliki pola konsumsi tidak beragam. 3. Pola konsumsi remaja putri SMAN 1 Tarutung tentang gizi seimbang adalah tidak beragam. Dimana mereka lebih mengutamakan mengonsumsi nasi, ikan, sayuran bayam dan buah jeruk. 4. Status gizi remaja putri SMAN 1 Tarutung pada umumnya normal. SARAN 1. Diharapkan kepada kepala sekolah dan guru di SMAN 1 Tarutung agar mengoptimalkan promosi kesehatan dengan memberikan sosialisasi atau bimbingan kepada siswa-siswi pada saat memberikan pembelajaran supaya dapat menjaga kecukupan gizi untuk meningkatkan prestasi belajarnya. 2. Diharapkan kepada siswa-siswi SMAN 1 Tarutung mencari informasi kesehatan tentang konsumsi gizi seimbang dan status gizi untuk menambah wawasan, pengetahuan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari serta beraktifitas/olahraga. DAFTAR PUSTAKA Arisman. 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Depkes. 2010. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jafar, N. 2012. Perilaku Gizi Seimbang pada Remaja Tahun 2012. Skripsi. FKMUNHAS, Makassar. Lutfah. 2004. Hubungan Pola Diet dengan Status Gizi pada Remaja Putri di SMAN 17 Jakarta Tahun 2004. Skripsi. FKM-UI, Jakarta. Notoatmodjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta. Penerbit Rineka Cipta. Proverawati, A. 2010. Obesitas dan Gangguan Perilaku Makan pada Remaja. Yogyakarta. Penerbit Muha Medika. Soekirman. 2010. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Nasional.
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Susilowati, D. 2010. Hubungan Body Image dengan Status Gizi pada Remaja Putra dan Putri di SMA Swasta Karya Bakti Jakarta Tahun 2010. Skripsi. FKM-UI, Jakarta.
FAKTOR- FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMILIHAN PENOLONG PERSALINAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIPAHUTAR KECAMATAN SIPAHUTAR KABUPATEN TAPANULI UTARA TAHUN 2012 Harto P. Simanjuntak1, Heru Santosa2, Maya Fitria2 1
2
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Abstract
One of the Indonesia's health development goals is to increase significantly the number of pregnant women check-ups and deliveries are handled by health personnels so the higher delivery by health coverage the lower the risk of maternal and child mortality. Scope of delivery by health Sipahutar health center working area by 70% and this figure has not yet reached the target indicator Sipahutar In 2011 the health center by 82% and target indicators Ministry of Health (MOH) Strategic Plan 2005-2009 and Indicators of Healthy Indonesia 2010 by 90%. This indicates that there is still births attended by traditional birth attendances( TBA). This study aimed to determine the factors associated with the selection of birth attendant working in the health center Sipahutar of North Tapanuli 2012. This research is an analytical survey of the cross-sectional design. Population is all women who gave birth in the health center work Sipahutar in 2011, amounted 353 people.The technique of sampling was proportional random sampling and 135 of them were selected to be sample. Data were collected by using questionnaries. Data analysis included univariate and bivariate by using chisquare test. The results of the study showed that 12.6% of respondents chose a traditional birth attendances. It was found there relationship between family income (p=0.005), knowledge of mothers (p=0.005), the cost of labor (p=0.001), maternal attitude (p=0.001) and family support (p=0.001) with birth attendant. From the results of the research are expected to the good cooperation between the health centers and village midwifes in improving births attended by health personnel to do counseling. Keywords: Delivery Assisted, Health Personnel.
PENDAHULUAN Masalah kesehatan dan mortalitas sangat erat hubungannya dengan Angka Kematian Ibu (AKI) atau lebih dikenal dengan istilah maternal mortality (kematian maternal). Kematian maternal adalah kematian seorang wanita yang terjadi
selama masa kehamilan atau kematian sampai 42 hari setelah berakhirnya kehamilan tanpa memperhatikan lama atau tempat penanganan kehamilan sebagai komplikasi persalinan atau nifas, dengan penyebab terkait atau diperberat oleh kehamilan dan
1
manajemen kehamilan, tetapi bukan karena kecelakaan (Prawiroharjo, 2009). Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2010 sekitar 287.000 ibu meninggal karena komplikasi kehamilan dan kelahiran anak, termasuk perdarahan hebat setelah melahirkan, infeksi, gangguan hipertensi dan aborsi tidak aman. Dan sebagian besar kasus kematian ibu di dunia terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia (WHO, 2011). Pertolongan persalinan oleh bidan merupakan salah satu strategi dalam mengurangi masalah kesehatan ibu dan anak. Di Indonesia pemanfaatan pertolongan persalinan oleh bidan masih rendah dibandingkan dengan indikator yang telah ditetapkan. Fenomena dukun bayi merupakan salah satu bagian yang cukup besar pengaruhnya dalam menentukan status kesehatan ibu dan bayi. Karena sekitar 20,18% kelahiran bayi di Indonesia dibantu oleh dukun bayi. Menurut data berdasarkan Badan Pusat Statistik Tahun 2011 data diperoleh Sumatera Utara persalinan yang ditolong oleh dukun sekitar (10,97%) dan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan data yang di peroleh di Kabupaten Tapanuli Utara adalah sebesar 80,36%. Puskesmas sebagai suatu kesatuan organisasi fungsional yang langsung memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh kepada masyarakat dalam suatu wilayah kerja tertentu dalam bentuk usahausaha kesehatan pokok. Dengan demikian Puskesmas memiliki peranan penting terutama dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya
pemanfaatan penolong persalinan oleh bidan ataupun petugas kesehatan yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi adalah salah satu program Kesehatan Ibu dan Anak-Keluarga Berencana (KIAKB). Berdasarkan data laporan PWS-KIA (Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak) Puskesmas Sipahutar, cakupan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan tahun 2008 sebesar 70,2%, pada tahun 2009 sebesar 81,1%, pada tahun 2010 sebesar 69,5% dan pada tahun 2011 penolong persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 70%, yang berarti sebanyak 12% masih ditolong dukun bayi. Pencapaian cakupan penolong persalinan di wilayah Puskesmas Sipahutar masih rendah jika dibandingkan dengan target Renstra Depkes 2005-2009 dan Indikator Indonesia Sehat yaitu sebesar 90% (Puskesmas Sipahutar, 2012). Berdasarkan survey pendahuluan di lapangan, fenomena yang ditemukan menunjukkan bahwa banyak faktor yang mengakibatkan keluarga mendukung ibu bersalin di dukun bayi. Hal tersebut diduga karena biaya persalinan yang lebih murah, ibu memiliki umur muda, tingkat pendidikan ibu yang rendah, kurangnya pengetahuan tentang manfaat dari persalinan yang ditolong bidan, dan kelahiran yang pertama nyaman ditolong oleh dukun bayi maka kelahiran selanjutnya ditolong dukun. Biasanya orang yang paling berpengaruh dalam mendukung ditolong oleh dukun adalah mertua dan orang tua sendiri karena pendapatan rendah dan sikap kurang percaya terhadap kemampuan bidan dalam menolong persalinan.
2
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian, dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah masih adanya persalinan yang ditolong oleh dukun dan belum diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan pemilihan penolong persalinan di wilayah kerja Puskesmas Sipahutar Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012. Tujuan untuk mengetahui hubungan faktor sosial demografi (umur, tingkat pendidikan, pendapatan, paritas) pengetahuan, biaya persalinan, sikap ibu bersalin dan dukungan keluarga dengan pemilihan penolong persalinan di wilayah Puskesmas Sipahutar Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012. Manfaat Penelitian : 1. Sebagai bahan evaluasi bagi wilayah kerja Puskesmas Sipahutar Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara, serta masukan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi ibu pada saat persalinan melalui pendekatan-pendekatan yang efektif. 2. Sebagai sumber referensi bagi peneliti lanjutan, agar dapat mengkaji hal-hal yang lebih dalam lagi, terutama yang berhubungan dengan pemilihan penolong persalinan. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan menggunakan desain crosssectional untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen melalui uji hipotesis. Dimana pengukuran atau pengamatan terhadap subjek
penelitian dilakukan dengan sekali pengamatan (Sastroasmoro dkk, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang melahirkan di wilayah kerja Puskesmas Sipahutar Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara selama tahun 2011 sebanyak 353 orang. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan pengambilan metode proportional random sampling Caranya dengan menentukan besar sampel secara proportional berdasarkan jumlah ibu bersalin dengan memakai rumus: Berdasarkan rumus tersebut didapatkan sampel per desa. Besar sampel untuk masingmasingdesa = Berdasarkan rumus besar sampel per desa maka didapatkan sampel 135 ibu. Analisis data dilakukan secara bertahap, yaitu dengan analisis univariat dan analisis bivariat. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Umur Ibu dengan Pemilihan Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Sipahutar Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012. Umur < 20 20-35 >35
(
Penolong Persalinan Bidan Dukun Jumlah n % n % n % 2 1,7 0 0,0 2 100,0 110 86,6 17 13,4 127 100,0 6 100,0 0 0,0 6 100,0
=0,095 dan p=0,542
3
Menunjukkan hasil analisis hubungan antara umur ibu dengan pemilihan penolong persalinan diperoleh 110 (86,4%) ibu yang berumur 20-35 tahun memilih bidan sebagai penolong dalam proses persalinan, sedangkan ibu yang berumur kurang dari 20 tahun seluruhnya memilih bidan sebagai penolong dalam proses persalinan. Secara statistik terbukti tidak ada hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan pemilihan penolong persalinan yang menunjukkan chi square ( )= 0,095 dimana nilai p=0,542. Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Pemilihan Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Sipahutar Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012 Penolong Persalinan Bidan Dukun Jumlah n % n % n % 2 1,7 0 0,0 2 100,0 110 86,6 17 13,4 127 100,0
Pendidikan Tinggi Rendah
(
=0,181 dan p=0,027
Menunjukkan hasil analisis hubungan tingkat pendidikan ibu dengan pemilihan penolong persalinan ditemukan sebanyak 86 (95,2%) ibu yang berpendidikan tinggi yaitu tamatan SLTA dan perguruan tinggi memilih bidan sebagai penolong dalam proses persalinan, sedangkan ibu yang berpendidikan rendah sebanyak 38 (77,2%) memilih bidan sebagai penolong persalinan. Secara statistik terbukti tidak ada hubungan yang bermakna dari pendidikan ibu dengan pemilihan penolong yang menunjukkan =0,230 dimana nilai p=0,156.
Hubungan antara Paritas dengan Pemilihan Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Sipahutar Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012 Paritas Tinggi Rendah
(
Penolong Persalinan Bidan Dukun Jumlah n % n % n % 53 94,6 3 5,4 56 100,0 65 82,3 14 17,7 79 100,0
=0,455 dan p=0,001
Menunjukkan hasil analisis hubungan antara paritas dengan pemilihan penolong persalinan diperoleh sebanyak 65 (82,3 %) ibu yang paritas rendah memilih bidan sebagai penolong persalinan, sedangkan diantara ibu yang paritas tinggi ada sebanyak 53 (94,6%) yang memilih bidan sebagai penolong persalinannya. Secara statistik terbukti tidak ada hubungan yang bermakna dari paritas ibu dengan pemilihan penolong persalinan yang menunjukkan chi square( =0,455 dimana p=0,001. Hubungan antara Pendapatan Keluarga dengan Pemilihan Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012 Penolong Persalinan Pendapatan Bidan Dukun Jumlah n % n % n % ≥UMP 34 100,0 0 0,0 34 100,0
(
=0,181 dan p=0,027
Menunjukkan hasil analisis hubungan pendapatan keluarga dengan pemilihan penolong persalinan diperoleh 84 (83,2%)
4
mempunyai pendapatan kurang dari Upah Minimun Provinsi memilih bidan sebagai penolong persalinan, sedangkan di antara keluarga yang mempunyai pendapatan di atas Upah Minimun Provinsi sebanyak 34 (100%) memilih bidan sebagai penolong persalinan. Secara statistik terbukti ada hubungan yang bermakna dari pendapatan keluarga dengan pemilihan penolong persalinan yang menunjukkan chi square =0,215 dan dimana nilai p=0,005. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Pemilihan Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Sipahutar Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012 Penolong Persalinan Pengetahuan Bidan Dukun Jumlah n % n % n % Tinggi 50 94,3 3 5,7 53 100,0 Sedang 67 84,8 12 15,2 127 100,0 Rendah 1 33,3 2 66,7 6 100,0
(
=0,272 dan p=0,005
Menunkukkan hasil analisis hubungan antara pengetahuan dengan pemilihan penolong persalinan diperoleh ada sebanyak 50 (94,3%) ibu yang berpengetahuan tinggi memilih bidan sebagai penolong persalinan, sedangkan diantara ibu yang berpengetahuan rendah sebanyak 1 (33,3%). Secara statistik ada hubungan yang bermakna dari pengetahuan ibu dengan pemilihan penolong persalinan 0,272 dimana nilai p=0,005.
Hubungan antara Biaya Persalinan dengan Pemilihan Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Sipahutar Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012 Biaya Persalinan Terjangkau Tidak Terjangkau
(
Penolong Persalinan Bidan Dukun Jumlah n % n % n % 34 100,0 0 0,0 34 100,0 84
83,2 17 16,8 101 100,0
=0,181 dan p=0,027
Menunjukkan hasil analisis hubungan biaya persalinan dengan pemilihan penolong persalinan diperoleh ada sebanyak 72 (96,0%) ibu yang biaya persalinannya tidak terjangkau memilih bidan sebagai penolong persalinan. Sedangkan diantara ibu yang biaya persalinannya terjangkau 46 (76,6%). Secara statistik ada hubungan yang bermakna biaya persalinan dengan pemilihan penolong persalinan chi square( )=0,278 dimana nilai p= 0,001. Hubungan Sikap Ibu dengan Pemilihan Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Sipahutar Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012 Penolong Persalinan Bidan Dukun Jumlah n % n % n % Baik 58 98,3 1 1,7 59 100,0 Cukup 60 83,3 11 16,7 72 100,0 Kurang 0 0,0 4 100,0 4 100,0 Sikap
(
=0,455 dan p=0,001 Menunjukkan hasil analisis hubungan sikap dengan pemilihan penolong persalinan diperoleh ada sebanyak 60 (83,3%) ibu yang bersikap cukup baik memilih bidan sebagai penolong persalinan, sedangkan diantara ibu yang bersikap
5
baik ada sebanyak 58 (98,3%) memilih tenaga persalinan yang sama. Secara statistik terbukti ada hubungan yang bermakna dari sikap ibu dengan pemilihan penolong persalinan yang menunjukkan chi square( =0,455 dimana p=0,001. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pemilihan Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Sipahutar Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012
2.
3.
Penolong Persalinan Dukungan Bidan Dukun Jumlah Keluarga n % n % n % Mendukung 118 100,0 0 0,0 118 100,0 Tidak Mendukung 17 100,0 0 0,0 17 100,0
(
=0,707 dan p=0,001
Menunjukkan hasil analisis hubungan antara dukungan keluarga dengan pemilihan penolong persalinan diperoleh seluruh ibu hamil didukung keluarganya memilih bidan sebagai penolong persalinan, sedangkan 17 (100%) tidak mendukung dan memilih dukun sebagai penolong persalinan. Secara statistik terbukti ada hubungan yang bermakna dari dukungan keluarga dengan pemilihan penolong persalinan =0,707 dimana nilai p=0,001.
4.
5.
KESIMPULAN 1. Kesimpulan 1. Tidak ada hubungan antara umur dengan pemilihan penolong persalinan, dimana pada umur 20-35 tahun responden lebih banyak memilih bidan sebagai penolong persalinan
6.
dibanding dukun sebagai penolong persalinan dengan nilai p<0,05. Tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pemilihan penolong persalinan, dilihat dari jumlah persen tidak berjarak jauh antara pendidikan yang rendah dan tinggi dalam memilih bidan sebagai penolong persalinan dengan nilai p<0,05. Ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan pemilihan penolong persalinan, dimana keluarga yang berpendapatan kurang dari Upah Minimun Provinsi memilih bidan sebagai penolong persalinan dengan nilai p<0,05. Tidak ada hubungan antara paritas dengan pemilihan penolong persalinan, dimana ibu dengan paritas rendah lebih memilih bidan sebagai penolong persalinan dibanding dengan responden yang berpendidikan tinggi. Dengan harapan ibu yang berpendidikan tinggi lebih memilih bidan sebagai penolong persalinan dengan nilai p<0,05. Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan pemilihan penolong persalinan, dimana ibu yang berpengetahuan tinggi lebih memilih bidan sebagai penolong persalinan dibanding ibu yang berpengetahuan sedang dengan nilai p<0 Ada hubungan antara biaya persalinan dengan pemilihan penolong persalinan, dimana
6
ibu dengan biaya persalinan terjangkau lebih memilih bidan sebagai penolong persalinan dibanding biaya yang tidak terjangkau dengan nilai p<0,05. 7. Ada hubungan antara penolong persalinan, dimana ibu dengan sikap baik lebih memilih bidan sebagai penlong persalinan dibanding dengan ibu yang bersikap cukup dengan nilai p<0,05. 8. Ada hubungan dukungan keluarga dengan pemilihan penolong persalinan, dimana keluarga yang mendukung ibu dan tidak mendukung ibu sama banyaknya dalam memilih bidan atau dukun bayi sebagai penolong persalinan dimana p<0,05. 2. Saran 1. Diharapkan kepada Puskesmas Sipahutar melakukan kerjasama dengan bidan desa agar lebih proaktif dalam memberikan motivasi dan penyuluhan kepada ibu hamil tentang persalinan yang aman dan sehat yang ditolong oleh tenaga kesehatan. 2. Hendaknya keluarga memberikan dukungan kepada ibu hamil dalam bentuk biaya dan motivasi selama kehamilan dan persalinan, menemani ibu pada saat menjalani proses persalinan kepada ibu hamil supaya melahirkan di bidan. 3. Perlu adanya perhatian khusus dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara untuk memperhatikan kesejahteraan para penduduk
yang berpendapatan dibawah Upah Minimun Provinsi. Hal ini dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menjangkau pelayanan kesehatan khususnya dalam pemilihan penolong persalinan dengan memilih bidan sebagai penolong persalinannya. Dan dengan adanya dukungan dan pendapatan yang baik tersebut dapat membuat sikap ibu makin baik dalam memilih bidan dalam proses persalinan tentang penolong persalinan. 4. Perlu adanya penelitian lebih lanjut yang bersifat kualitatif untuk mengetahui lebih mendalam faktor-faktor lain yang berhubungan dengan pemilihan dukun bayi sebagai penolong persalinan di wilayah kerja Puskesmas Sipahutar Kecamatan Sipahutar. DAFTAR PUSTAKA Badan
Pusat Statistik. 2011. Indikator Kesehatan Indonesia Tahun 2010, Jakarta.
Prawirohardjo, S. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Puskesmas Sipahutar. 2012. Profil Puskesmas Sipahutar Tahun 2011, Sipahutar.
7
Sastroasmoro, S. dkk. 2011. DasarDasar Metodologi Penelitian Klinis, Penerbit Sagung Seto, Jakarta. WHO.
2011. Matertnal and Reproduktif Helath, http: //www.who.int/gho/materna l-health/en/index.html2011, diakses pada tanggal 16 Juli 2012
8
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELANGSUNGAN HIDUP BAYI YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN LABUHAN BATU UTARA TAHUN 2012 Anastasya Napitupulu1, Yusniwarti Yusad2, Abdul Jalil2 1
2
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT
The fourth purpose of the Millennium Development Goals (MDGs) is to reduce child mortality where the target is to reduce under 5 years old mortality, Indonesia continues to improve child health as indicated by the decline in under 5 years old mortality, infant and neonatal. This study aims to analyze the relationship between the survival of infants with maternal factors (age, parity, spacing births) and infant factors (age, breast feeding, illness, nutrition and immunization status). This was an observational study using secondary data (medical records) from January 1 to December 31, 2012 in babies admitted to RSUD Kabupaten Labuhan Batu Utara. Data were analyzed by Chi Square test with α = 0,05. The results showed that the number of infant deaths in RSUD Kabupaten Labuhan Batu Utara as 17 infants in which the factors associated with infant survival is a parity (p = 0, 015) and nutrition (p = 0,001). It is expected that the parties and the relevant agencies in order to improve the counseling to mothers whose babies were cared for and improving health care in particular maternal and child health services to prevent and reduce infant mortality. Keywords: Survival of infant thread, maternal factors, infant factors
PENDAHULUAN Menurut World Health Organization (WHO), kelahiran hidup adalah peristiwa keluarnya hasil konsepsi dari rahim seorang ibu secara lengkap tanpa memandang lamanya kehamilan dan setelah perpisahan tersebut terjadi dimana hasil konsepsi bernapas dan mempunyai tanda-tanda hidup lainnya seperti denyut jantung, denyut tali pusat atau gerakangerakan otot, tanpa memandang apakah tali pusat sudah dipotong atau belum (Lembaga Demografi FEUI, 2007).
Dalam Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 tingginya Angka Kematian Bayi di Indonesia yaitu sebesar 38 per 1000 kelahiran hidup disebabkan berbagai faktor yang terkait dengan resiko terjadinya komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan dan cara pencegahannya telah diketahui, namun demikian jumlah kematian ibu dan bayi masih tetap tinggi. Sesuai dengan tujuan Millenium Development Goals (MDG’s) tujuan keempat yaitu menurunkan angka kematian anak dimana targetnya adalah menurunkan
1
angka kematian balita, kesehatan anak Indonesia terus membaik yang ditunjukkan dengan menurunnya angka kematian balita, bayi maupun neonatal.Angka kematian balita menurun dari 97 pada tahun 1991 menjadi 44 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (Bappenas, 2010). Begitu pula dengan angka kematian bayi menurun dari 68 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada periode yang sama. Angka kematian neonatal juga menurun walaupun relatif lebih lambat, yaitu dari 32 menjadi 19 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Untuk mencapai sasaran Millenium Development Goals (MDGs) perlu upaya percepatan yang lebih besar dan kerja keras (BPS, 2010). Menurut hasil Riskesdas tahun 2010, penyebab kematian bayi baru lahir usia 0-6 hari adalah karena gangguan pernapasan (36,9%), prematuritas (32,4%), sepsis (12%), hipotermi (6,8%), kelainan darah/ikterus (6,6%) dan lain-lain. Sedangkan penyebab kematian bayi usia 7-28 hari adalah karena sepsis (20,5%), kelainan kongenital (18,1%), pneumonia (15,4%), prematuritas dan Berat Badan Lahir Rendah (12,8%) dan RDS (12,8%) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Di Sumatera Utara, walaupun jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) mengalami penurunan dimana AKI tahun 2008 sebesar 258 per 100.000 kelahiran hidup menjadi 249 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010 tetapi Angka Kematian Bayi (AKB) mengalami kenaikan dimana pada tahun 2008 sebesar 18 per 1000 kelahiran hidup menjadi 22 per 1000 kelahiran hidup (Sumatera Utara Dalam Angka, 2010).
Menurut Laporan Perkembangan Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia (Bappenas, 2010), menyatakan bahwa sebagian besar penyebab kematian balita, bayi dan neonatal dapat dicegah. Salah satu pencegahan yang efektif adalah pemberian imunisasi. Terdapat 18 provinsi dengan cakupan imunisasi campak lebih rendah dari rata-rata nasional. Provinsi dengan cakupan terendah adalah Sumatera Utara (36,6%), Aceh (40,9%), dan Papua (49,9%). Sedangkan provinsi dengan cakupan tertinggi adalah DI Yogyakarta dengan cakupan 94,8%. Cakupan nasional imunisasi campak terus meningkat menjadi sebesar 74,5% pada tahun 2010. Dari data yang diperoleh melalui Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Labuhan Batu Utara, jumlah kematian bayi berusia kurang dari satu tahun pada bulan Januari sampai dengan Desember 2012 masih cukup tinggi yaitu sebanyak 17 bayi. Hal ini disebabkan minimnya biaya pengobatan yang dimiliki oleh masyarakat akibat rendahnya penghasilan keluarga, umur ibu yang terlalu muda saat melahirkan, paritas ibu serta jarak kelahiran antar anak yang terlalu dekat sehingga rentan menyebakan kematian pada ibu serta bayi. Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan pada lima bayi di dapat bahwa ada 1 bayi (20%) yang meninggal akibat kelainan jantung bawaan pada bulan Oktober, 2 bayi (40%) sedang terkena diare dan dirawat di RSUD Kabupaten Labuhan Batu Utara dimana 1 bayi sedang dirawat dan 1 bayi lagi hanya dirawat di rumah saja karena keterbatasan biaya, 1 bayi (20%) yang mengidap penyakit Infeksi
2
Saluran Pernafasan Atas dan hanya 1 bayi (20%) bayi yang sehat. Selain itu, dari 5 ibu tersebut didapatkan sebanyak 3 orang ibu (80%) melahirkan anak pertama di bawah usia < 20 tahun dan hanya 1 ibu (20%) yang melahirkan di atas usia 25 tahun. Ditemukan juga ada 3 orang ibu (60%) yang pernah melahirkan lebih dari 5 (lima) anak dan hanya 2 orang ibu (40%) yang melahirkan < 5 anak. Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui faktor yang berhubungan dengan kelangsungan hidup bayi yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Labuhan Batu Utara tahun 2012. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah ataupun instansi terkait dalam merencanakan program-program pencegahan kematian bayi, khususnya bayi usia kurang dari satu tahun. b. Sebagai informasi pendukung untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut tentang faktor yang berhubungan dengan kelangsungan hidup bayi yang dirawat. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah observasional dengan metode pengukuran data yaitudengan desain cross sectional (pengamatan sesaat). Artinya terhadap subyek yang diteliti tidak dilakukan perlakuan (hanya diamati) dan pengukuran terhadap subyek dilakukan hanya satu kali saja. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2012.
Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah bayi yang pernah dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Labuhan Batu Utara tahun 2012 yang berjumlah sebanyak 104 bayi dan seluruhnya dijadikan sampel. Analisis data dilakukan secara bertahap, yaitu dengan analisis univariat dan analisis bivariat. HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: Hubungan Umur Ibu Dengan Kelangsungan Hidup Bayi Yang Dirawat Di RSUD Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2012 Umur Ibu (Thn) < 20 20-35 >35 Jumlah
Kelangsungan Hidup Bayi Hidup Mati n % n % 14 16.1 1 5.9 43 49.4 6 35.3 1 50 34.5 58.8 0 1 87 83.7 16.3 7
Jumlah n 15 49
% 14.4 47.1
40
38.5
104
100.0
(χ)² = 3,281 dan p = 0,148
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa dari 17 bayi yang meninggal mayoritas berasal dari ibu dengan usia > 35 tahun yaitu sebanyak 10 bayi (58,8%). Dari hasil uji statistik pearson chi-square didapatkan nilai p = 0,148 > α = 0,05 sehingga Ho diterima dan tidak memiliki hubungan yang bermakna. Artinya bahwa tidak ada hubungan antara umur ibu dengan kelangsungan hidup bayi yang dirawat. Umur ibu < 20 tahun merupakan rentang usia yang memiliki risiko bahaya melahirkan lebih besar baik untuk kesehatan ibu
3
maupun kesehatan anak dan kematian bayi tertinggi terdapat pada kelompok ibu yang berumur kurang dari 18 tahun serta pada kelompok ibu yang berumur > 35 tahun (Departemen Kesehatan seperti dikutip oleh Jalaluddin, 2001). Perbedaan ini disebabkan karena faktor umur ibu tidak berpengaruh secara langsung terhadap kematian bayi. Perbedaan hasil penelitian didapat, dapat disebabkan berbagai macam-macam faktor antara lain faktor sosial ekonomi orangtua bayi seperti faktor pendidikan, pengetahuan dan tingkat penghasilan orangtua yang berpengaruh terhadap keadaan dan kondisi bayi, baik pada kehamilan ibu ataupun setelah bayi lahir. Hubungan Paritas Ibu Dengan Kelangsungan Hidup Bayi Yang Dirawat Di RSUD Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2012 Paritas Ibu 1 anak 2-4 anak > 4anak Jumlah
Kelangsungan Hidup Bayi Hidup Mati n % n % 21 24.1 1 5.9
n 22
% 21.2
48
55.2
7
41.2
55
52.9
18
20.7
9
52.9
27
26.0
87
83.7
17
16.3
104
100.0
Jumlah
(χ)² = 8.465 dan p = 0,015
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa dari 17 bayi yang meninggal mayoritas berasal dari ibu dengan paritas > 4 anak yaitu sebesar 9 bayi (52,9%). Dari hasil uji statistik pearson chisquare didapatkan nilai p = 0,015 < α = 0,05 sehingga Ho ditolak dan memiliki hubungan yang bermakna. Artinya bahwa ada hubungan antara paritas ibu dengan kelangsungan hidup bayi yang dirawat. Hal ini disebabkan ibu yang melahirkan empat kali atau lebih merupakan faktor yang berisiko
dimana komplikasi kehamilan dan persalinan lebih sering terjadi bayi yang dilahirkan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk dilahirkan prematur atau meninggal. Kematian bayi berkaitan dengan urutan kelahiran anak dimana hal ini juga dihubungkan dengan kejadian berat badan lahir rendah dan kelaian bawaan pada bayi.Kematian bayi paling banyak ditemukan pada urutan kelahiran pertama dan setelah itu menurun pada urutan kelahiran kedua dan ketiga, selanjutnya meningkat dengan meningkatnya urutan kelahiran, apalagi apabila dilahirkan oleh ibu yang berumur lebih dari 30 tahun (Singarimbun, 1988). Hubungan Jarak Kelahiran Dengan Kelangsungan Hidup Bayi Yang Dirawat Di RSUD Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2012 Jarak Lahir (tahun) <2 >2 Jumlah
Kelangsungan Hidup Bayi Hidup Mati n % n % 19 28.4 5 33.3 48 71.6 10 66.7 87 83.7 17 16.3
Jumlah n 24 28 104
% 29.3 70.7 100.0
(χ)² = 0,073 dan p = 0,461
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa dari 17 bayi yang meninggal mayoritas berasal dari ibu dengan jarak kelahiran > dari 2 tahun dengan jumlah sebanyak 10 bayi (66,7%). Dari hasil uji statistik pearson chi-square didapatkan nilai p = 0,461 > α = 0,05 sehingga Ho diterima dan tidak memiliki hubungan yang bermakna. Artinya bahwa tidak ada hubungan antara jarak kelahiran antar anak dengan kelangsungan hidup bayi yang dirawat. Pasangan yang mengatur jarak kelahiran anak antara tiga sampai lima tahun akan
4
memperbesar kesempatan bagi ibunya untuk dapat meluangkan banyak waktu dan memperbesar kesempatan hidup bagi anak dan ibunya. Anak-anak yang lahir dengan jarak kelahiran tiga sampai lima tahun memiliki tingkat kelangsungan hidup 2,5 kali lebih tinggi daripada anak yang lahir dengan jarak kelahiran kurang dari dua tahun (Bachfiani, 2006). Hubungan antar jarak kelahiran dan risiko kematian anak bukan merupakan hubungan langsung tetapi dipengaruhi oleh keadan sosial ekonomi ibu. Pendidikan ibu yang rendah berhubungan dengan keputusan pemakaian kontrasepsi sehingga berakibat pendeknya jarak kelahiran antar anak. Pendidikan yang rendah dapat dikaitkan dengan kemiskinan dan kurang gizi yang menyebabkan rendahnya kemungkinan anak untuk tetap hidup. Hal inilah menjadi penyebab perbedaan hasil penelitian. Hubungan Umur Bayi Dengan Kelangsungan Hidup Bayi Yang Dirawat Di RSUD Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2012 Umur Bayi 0-28 hari 28 hari12 bulan Jumlah
Kelangsungan Hidup Bayi Hidup Mati n % n %
n
%
60
69.0
15
88.2
75
72.1
27
31.0
2
11.8
29
27.9
87
83.7
17
16.3
104
100.0
Jumlah
(χ)² = 2.626 dan p = 0,088
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa dari 17 bayi yang meninggal mayoritas berasal dari bayi yang berusia 0-28 hari yaitu sebanyak 15 bayi (88,2%). Dari hasil uji statistik pearson chi-square didapatkan nilai p = 0,088 > α =0,05 sehingga Ho diterima dan tidak memiliki hubungan yang bermakna.
Artinya bahwa tidak ada hubungan antara umur bayi dengan kelangsungan hidup bayi yang dirawat. Behrman (2000) menjelaskan bahwa mayoritas kematian bayi dibawah usia 1 tahun terjadi dalam 28 hari pertama kehidupan bayi dimana sebagian besar terjadi dalam 7 hari pertama sementara proporsi terbesar 7 hari pertama itu terjadi pada hari pertama. Namun demikian, peningkatan jumlah bayi sakit yang lahir dengan berat badan lahir rendah bertahan pada periode neonatal dan kemudian mati dalam masa pertumbuhan karena penyakit neonatus. Perbedaan ini dapat disebabkan faktor lain yang berhubungan dengan kondisi bayi pada saat dirawat. Kematian pada bayi juga dapat dipengaruhi oleh status gizi dan penyakit yang diderita bayi sehingga biasanya memperparah kondisi bayi saat dirawat. Hubungan Pemberian ASI Dengan Kelangsungan Hidup Bayi Yang Dirawat Di RSUD Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2012 Pemberian ASI Ya Tidak Jumlah
Kelangsungan Hidup Bayi Hidup Mati n % n % 47 54.0 13 76.5 40 46.0 4 23.5 87 83.7 17 16.3
Jumlah n 60 44 104
(χ)² = 2,088 dan p = 0,148
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa dari 17 bayi yang meninggal didapat mayoritas berasal dari yang diberikan ASI yaitu sebanyak 13 bayi (76,5%). Dari hasil uji statistik pearson chi-square didapatkan nilai p = 0,148 > α = 0,05 sehingga Ho diterima dan tidak memiliki hubungan yang bermakna. Artinya bahwa tidak ada hubungan antara pemberian ASI dengan
5
% 57.7 42.3 100.0
kelangsungan hidup bayi yang dirawat. Behrman (2000) yang mengatakan bahwa hanya ada perbedaan kecil dalam angka mortalitas pada bayi yang diberikan ASI dengan bayi yang diberikan susu formula. Hanya saja pada bayi pada bayi yang diberikan ASI dengan tingkat ekonomi keluarga rendah dan hidup pada keadaan yang tidak sehat lebih mungkin untuk bertahan hidup daripada bayi yang diberikan susu formula. Hal ini bisa disebabkan karena bayi yang baru lahir belum sempat mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) karena keadaan bayi yang tidak baik setelah lahir dan karena tidak adanya dukungan dari tenaga agar dilakukannya Inisiasi Menyusu Dini (IMD) segera setelah bayi lahir. Hubungan Status Gizi Dengan Kelangsungan Hidup Bayi Yang Dirawat Di RSUD Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2012 Status Gizi Normal Kurang Sangat kurang Lebih Jumlah
Kelangsungan Hidup Bayi Hidup Mati n % n % 55 63.2 2 11.8 23 26.4 9 52.9
n 57 32
% 54.8 30.8
3
3.4
6
35.3
9
8.7
6 87
6.9 83.7
0 17
0.0 16.3
6 104
5.8 100.0
Hal ini disebabkan karena kekurangan gizi (malnutrisi) dapat mempersulit penyakit bayi saat dirawat dimana bayi akan mengalami kerentanan terhadap penyakit menular serta menyebabkan infeksi akut dan kronik pada bayi. Menurut Hidayat (2008), status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak untuk mencapai kematangan yang optimal. Gizi yang cukup juga dapat memperbaiki ketahanan tubuh sehingga diharapkan tubuh akan terbebas dari penyakit. Status gizi ini dapat membantu untuk mendeteksi lebih dini risiko terjadinya masalah kesehatan. Pemantauan status gizi dapat digunakan sebagai bentuk antisipasi dalam merencanakan perbaikan status kesehatan anak. Hubungan Pemberian Imunisasi Dengan Kelangsungan Hidup Bayi Yang Dirawat Di RSUD Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2012
Jumlah
(χ)² = 27.955 dan p = 0,001
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa dari 17 bayi yang meninggal mayoritas berasal dari bayi dengan status gizi kurang yaituaitu sebanyak 9 bayi (52,9%). Dari hasil uji statistik pearson chisquare didapatkan nilai p = 0,001 < α = 0,05 sehingga Ho ditolak dan memiliki hubungan yang bermakna. Artinya bahwa ada hubungan antara status gizi bayi saat dirawat dengan kelangsungan hidup bayi yang dirawat.
Pemberian Imunisasi Ya Tidak Jumlah
Kelangsungan Hidup Bayi Hidup Mati n % n % 63 72.4 10 58.8 24 27.6 7 41.2 87 83.7 17 16.3
Jumlah n 73 31 104
(χ)² = 0,690 dan p = 0,406
Berdasarkan hasil analisis data ditemukanbahwa dari 17 bayi yang meninggal mayoritas berasal dari bayi yang tidak mendapat imunisasi sama sekali 10 bayi (58,8%). Dari hasil uji statistik pearson chi-square didapatkan nilai p = 0,406 > α = 0,05 sehingga Ho diterima dan tidak memiliki hubungan yang bermakna. Artinya bahwa tidak ada hubungan antara pemberian imunisasi dengan kelangsungan hidup bayi yang dirawat.
6
% 70.2 29.8 100.0
Imunisasi memiliki pengaruh yang negatif terhadap angka kematian bayi yang menunjukkan terdapat pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak. Setiap peningkatan imunisasi akan berdampak terhadap peningkat kelangsungan hidup anak. Dengan semakin terpenuhinya cakupan imunisasi maka kelangsungan hidup anak dapat ditingkatkan (Bappenas, 2009). Perbedaan ini dapat disebabkan karena bayi yang baru lahir belum sempat mendapatkan imunisasi saat bayi lahir, yang bisa disebabkan keadaan bayi yang tidak baik. Selain itu imunisasi hanya dapat mencegah bayi menderita penyakit-penyakit menular tertentu tetapi bukan penyakit akibat komplikasi kehamilan dan persalinan serta penyakit tidak menular seperti penyakit komplikasi pada bayi lahir prematur dan bayi yang lahir dengan berat badan rendah. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kematian bayi yang dirawat adalah sebanyak 17 orang (83,7%) dari 104 bayi yang dirawat di RSUD kabupaten Labuhan batu Utara tahun 2012. 2. Ada hubungan yang bermakna antara paritas ibu dengan kelangsungan hidup bayi yang dirawat. Hal ini disebabkan ibu yang melahirkan empat kali atau lebih merupakan faktor yang berisiko dimana komplikasi kehamilan dan persalinan lebih sering terjadi bayi yang dilahirkan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk dilahirkan prematur atau meninggal. 3. Ada hubungan yang bermakna antara status gizi bayi saat dirawat dengan kelangsungan
4.
5.
hidup bayi yang dirawat. Hal ini disebabkan kekurangan gizi (malnutrisi) dapat mempersulit penyakit bayi saat dirawat dimana bayi akan mengalami kerentanan terhadap penyakit menular serta menyebabkan infeksi akut dan kronik pada bayi. Diharapkan kepada pihak RSUD Kabupaten Labuhan Batu Utara agar melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pencegahan penyakit pada bayi dan melakukan kegiatan Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) terutama pada ibu-ibu yang bayinya dirawat. Diharapkan agar terjalin kerjasama antar instansi yang terkait yaitu Puskesmas, Posyandu, Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan instansi Gizi dalam rangka upaya penurunan angka kematian bayi di RSUD Kabupaten Labuhan Batu Utara.
DAFTAR PUSTAKA Bachfiani, Nofiana Krista. 2006. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Ibu Terhadap Status Gizi Balita Di Kabupaten Merangin. repository.unand.ac.id/454/1 /noviana_krista_bachfiani_0 4206014.rtf diakses pada tanggal 25 januari 2013. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium 2010. http://www.bappenas.go.id/ node/118/2813/laporanpencapaian-mdgs-indonesia2010/ diakses pada tanggal 22 Januari 2013.
7
Badan
Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2010. Sumatera Utara Dalam Angka Tahun 2010.
Behrman, dkk.2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 2. EGC. Jakarta Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. http://www.google.co.id/url ?sa=t&rct=j&q=hasil%20ris kesdas%202010&source=w eb&cd=1&cad=rja&sqi=2& ved=0CCcQFjAA&url=http %3A%2F%2Fwww.litbang. depkes.go.id%2Fsites%2Fd ownload%2Fbuku_laporan %2Flapnas_riskesdas2010% 2FLaporan_riskesdas_2010. pdf&ei=OuzJUPcSgrysB83 cgbAB&usg=AFQjCNH69 MeHIYJIrxCQ58QWpYjJ7t0HA&bvm=bv.1 355272958,d.dGY diakses pada tanggal 12 Oktober 2012 Hidayat,
Nasional. 2009. Kajian Evaluasi Pembangunan Sektoral: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Anak. Jakarta http://www.bappenas.go.id/ print/3049/kajian-faktorfaktor-yang-mempengaruhikelangsungan-hidupanak/diakses pada tanggal 10 Oktober 2012. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Unversitas Indonesia. 2007. DasarDasar Demografi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Singarimbun.Masri. Kelangsungan Anak: Berbagai Pendekatan Kebijakan. Gadjah University Yogyakarta.
1988. Hidup Teori, dan Mada Press.
Alimul Aziz. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.
Jalaluddin.2002. Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelangsungan Hidup Bayi Yang Dirawat Di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Tahun 2001. Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan
8
9
GAMBARAN PERILAKU KONSUMSI SUSU PADA SISWA SMP AR-RAHMAN MEDAN TAHUN 2012
(DESCRIPTION OF MILK CONSUMPTION OF THE STUDENTS OF JUNIOR HIGH SCHOOL AR-RAHMAN MEDAN IN 2012) Maya Sari Hasibuan1, Evawany Y Aritonang2, Ernawati Nasution2 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU 2 Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU 1
Abstract Milk has the most complete nutrient source and it is good for all ages including school children. School children age is in development and growth phase, hence it is necessary to increase milk drinking behaviour. The objective of this research was to know the behaviour of milk consumption of the students of Junior High School Ar-rahman Medan in 2012. The method used was survey with descriptive and cross sectional approach. The samples of research were 70 students of the total 230 students. Sample taking technique was done with proportional sampling that was by seeing the amount of the students from each class namely class VII for 21 students, class VIII for 22 students, and class IX for 27 students. The results of research showed that 85.7% of the knowledge of students were categorized good, 51.4% of the attitude of the students were categorized good, and 78.6% of the actions of the students were categorized less good. Good knowledge and attitude do not guarantee good action forever. Conversely, it may even that the action of the student was less good. It is suggested for the management of Junior High School Ar-Rahman Medan to give information and counseling regarding the consumption of milk in detail, better understanding about the type of milk and this contents.
Keyword: Behaviour, Students and Milk Consumptio
PENDAHULUAN Susu merupakan salah satu sumber zat gizi yang paling lengkap dan diperlukan oleh semua kelompok umur, terutama balita, anakanak dan remaja. Minuman ini mengandung banyak zat gizi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh yaitu protein, lemak, vitamin, dan mineral seperti kalsium. Pada susu juga terkandung zat-zat gizi yang berperan dalam pembentukan tulang seperti protein, fosfor, vitamin D, vitamin C dan besi. Selain zat-zat gizi tersebut, susu juga masih mengandung zat-zat gizi penting lainnya yang dapat meningkatkan status gizi. Oleh sebab itu, susu sangat diperlukan oleh semua anak bangsa ini tanpa terkecuali. Masa depan bangsa ini
ditentukan oleh genarasi muda yang sehat dan cerdas dan susu merupakan salah satu faktor yang penting untuk membentuk generasi yang diharapkan tersebut. Usia remaja merupakan masa yang penting dalam kelangsungan hidup manusia. Masa ini merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan yang cepat baik fisik maupun mental, aktivitas yang makin meningkat serta sering disertai dengan perubahan pola konsumsi pangan. Menurut WHO (1989) dalam Wall (1998), remaja adalah mereka yang berusia antara 10 hingga 24 tahun. Untuk mengimbangi pertumbuhan dan perkembangan yang cepat, tubuh memerlukan zat gizi yang lebih banyak dan
lebih berkualitas, sehingga apabila tidak diimbangi dengan pola konsumsi pangan yang sehat, masa remaja dapat menjadi masa yang rawan gizi. Masa remaja merupakan masa puncak aktivitas. Pada masa ini umumnya sangat sibuk dengan kegiatan baik yang bersifat kurikuler (kegiatan akademis) maupun kegiatan non-kurikuler (di luar kegiatan akademis). Kegiatan kurikuler yang dilakukan antara lain adalah kegiatan belajar, mengerjakan tugas-tugas dan lain-lainnya, sedangkan kegiatan non-kurikuler seperti bermain, olah-raga serta kegiatan fisik lainnya. Pada umumnya pada remaja pria porsinya lebih tinggi dibandingkan dengan remaja wanita. Kondisi seperti ini tentunya sangat memerlukan asupan gizi yang tinggi dan berkualitas. Susu merupakan sumber utama kalsium masyarakat di negara-negara Barat, sedangkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia, susu masih dianggap sebagai bahan pangan mahal, sehingga hanya mampu dijangkau oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas. Menurut Khomsan (2004), di negara-negara Barat, kebiasaan minum susu telah mendarah daging sejak anak masih kecil hingga dewasa, sedangkan di negara-negara berkembang upaya penggalakan minum susu masih menghadapi kendala status ekonomi penduduk yang umumnya rendah. Konsumsi susu di Indonesia masih sangat rendah. Pada tahun 2005, konsumsi susu di Indonesia hanya 6,8 liter perkapita. Jumlah tersebut meningkat menjadi 7,7 liter perkapita pada tahun 2006, dan pada tahu 2007 jumlahnya 9,0 liter perkapita. Angka tersebut sangat rendah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia yang mengkonsumsi 25,4 liter susu perkapita per tahun dan Vietnam 10,7 liter perkapita per tahun pada tahun 2007. Negara-negara di Asia jumlah konsumsi susunya masih jauh lebih sedikit dibandingkan negara lainnya didunia. Cina mengkonsumsi 13,2 liter per ton per tahun, Jerman mencapai 92,3 liter, Amerika 83,9 liter, diikuti belanda 122,9 liter, Swedia 145,5 liter dan Filandia 183,9 liter (Tempo, 26 September 2008). Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Bina Produksi, Departemen Perternakan pada tahun 2010, provinsi yang
menempati 4 tingkat atas adalah Provinsi Jawa Barat (715,350 liter), Jawa Timur (508,781 liter), Jawa Tengah (351,344 liter), dan Sumatera Utara (224,864 liter). Menurut Weaver (2000), perubahan pola konsumsi pangan yang menonjol pada remaja adalah perubahan konsumsi minuman. Remaja, terutama remaja putra, cenderung lebih suka mengonsumsi minuman yang sedang populer atau digemari di kalangan remaja dengan kurang bahkan tanpa memperhatikan pengaruhnya terhadap kesehatan. Selanjutkan dikatakan bahwa sumber utama kalsium adalah susu dan produk olahannya, akan tetapi terdapat kecenderungan pada remaja untuk menggantikan susu sebagai minuman utama dengan minuman ringan (soft drink). Volek et al. (2003), melaporkan bahwa perubahan konsumsi minuman di kalangan remaja ini berkontribusi pada asupan yang rendah gizi termasuk kalsium. Lebih dari separuh remaja (di Amerika) mengonsumsi susu kurang dari sekali sehari, sedangkan yang dianjurkan adalah sebanyak tiga kali sehari. Di Indonesia, menurut Khomsan (2004), konsumsi susu rata-rata hanya sekitar 0,5 gelas per minggu setiap orang. Rendahnya konsumsi susu di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, misalnya, susu dianggap mahal, sehingga daya beli masyarakat kecil. Tetapi, bisa juga akibat kurangnya pemahaman akan manfaat susu. Mengingat usia anak sekolah pada masa perkembangan dan pertumbuhan maka itu perlu upaya untuk meningkatkan perilaku minum susu pada anak sekolah. Karena kita ketahui perilaku minum susu merupakan perilaku kesehatan. Perilaku kesehatan sudah menjadi kebiasaan pada masa dini akan menjadi dampak yang baik dan berguna di masa yang akan datang. Berdasarkan penelitian Utami (2009) didapat proporsi riwayat konsumsi susu yang baik hanya sebesar 53,3% dan konsumsi susu selama masa sekolah mengalami penurunan seiring dengan peningkatan kelas. Berdasarkan survei awal didapat ada sebesar 40 siswa dari 68 siswa kelas VIII tidak minum susu. Karena rendahnya konsumsi susu pada anak sekolah, penulis ingin mengetahui sejauh mana gambaran perilaku konsumsi susu pada siswa SMP Ar-Rahman Medan tahun 2012.
Berdasarkan penjelasan di atas maka penelitian ini berujuan untuk mengetahui perilaku konsumsi susu pada siswa SMP ArRahman Medan tahun 2012. Manfaat penelitian ini sebagai bahan masukan pada pihak sekolah, terutama bagi siswa SMP Ar-Rahman Medan agar mengetahui tentang konsumsi susu, bahan masukan bagi instansi pendidikan dalam kegiatan proses belajar mengajar dan menjadi sumber data bagi penelitian berikutnya, dan memberikan pengetahuan bagi peneliti terhadap manfaat tentang susu.
Tabel 1. Kategori Pengetahuan Siswa SMP Ar-Rahman Medan Tahun 2012 Pengetahuan Jumlah Persentase Baik 60 85,7 Kurang baik 10 14,3 Total 70 100,0 Berdasarkan tabel 1. diatas dapat dilihat bahwa jumlah siswa terbanyak memiliki pengetahuan baik yaitu 60 orang atau 85,7% dan terkecil memiliki pengetahuan kurang baik yaitu 10 orang atau 14,3%. Tingkat sikap siswa dikategorikan baik dan kurang baik seperti tertera pada tabel 2. berikut ini.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan rancangan crosssectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Ar-Rahman Medan tahun 2012 yaitu sebanyak 230 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian siswa SMP Ar-Rahman Medan. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 70 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara proporsional sampling yaitu melihat jumlah siswa dari masing-masing kelas yakni kelas VII berjumlah 21 orang, kelas VIII berjumlah 22 orang, dan kelas IX berjumlah 27 orang. Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara langsung dengan siswa yang terpilih yaitu berupa data nama, jenis kelamin, kelas, umur, pekerjaan orang tua, pengetahuan, sikap, dan tindakan siswa tentang konsumsi susu dengan menggunakan kuesioner yang telah disediakan. Data sekunder diperoleh dari pihak sekolah yaitu berupa data jumlah siswa, baik perkelas maupun secara keseluruhan dan juga gambaran umum mengenai SMP Ar-Rahman.
Tabel 2. Kategori Sikap Siswa SMP ArRahman Medan Tahun 2012 Sikap Jumlah Persentase Baik 36 51,4 Kurang baik 34 48,6 Total 70 100,0 Berdasarkan tabel 2. diatas dapat dilihat bahwa jumlah siswa terbanyak memiliki sikap baik yaitu 36 orang atau 51,4% dan terkecil memiliki sikap kurang baik yaitu 34 orang atau 48,6%. Tingkat tindakan siswa dikategorikan baik dan kurang baik seperti tertera pada tabel 3. berikut ini. Tabel 3. Kategori Tindakan Siswa SMP ArRahman Medan Tahun 2012 Tindakan Jumlah Persentase Baik 15 21,4 Kurang baik 55 78,6 Total 70 100,0 Berdasarkan tabel 3. diatas dapat dilihat bahwa jumlah siswa terbanyak memiliki tindakan kurang baik yaitu 55 orang atau 78,6% dan terkecil memiliki tindakan baik yaitu 15 orang atau 21,4%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat pengetahuan siswa dikategorikan baik dan kurang baik seperti tertera pada tabel 1. berikut ini.
Pengetahuan Siswa Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pengetahuan siswa SMP AR-Rahman Medan termasuk dalam kategori baik yaitu sebanyak 60 orang (85,7%) tetapi siswa masih sebatas mengetahui, belum dapat menginterpretasikan atau menjelaskan secara lebih dalam tentang informasi yang pernah
siswa dapat sebelumnya. Dibandingkan dengan penelitian Rizki (2012) bahwa pengetahuan pada remaja diperoleh dalam kategori sedang yaitu sebanyak 41 orang (51,2%) dari total siswa yaitu 80 orang. Peneliti menyatakan penyebab pengetahuan siswa pada tingkat sedang, pertama, siswa memang mempunyai pengetahuan kurang tentang khasiat susu bagi kesehatan, kedua, karena siswa kurang mengerti maksud dari pertanyaan yang diajukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 47 orang (67,1%) mengetahui pengertian susu, sebanyak 50 orang (71,4%) mengetahui kegunaan susu setiap hari, sebanyak 48 orang (68,6%) mengetahui kegunaan zat kalsium dan fosfor yang terdapat dalam kandungan susu, sebanyak 62 orang (88,6%) mengetahui kandungan nilai gizi tertinggi yang terdapat dalam campuran susu, sebanyak 40 orang (57,1%) mengetahui kandungan mineral dalam susu, sebanyak 57 orang (81,4%) mengetahui peranan susu bagi anak sekolah, dan sebanyak 49 orang (70%) mengetahui produk susu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 8 orang (11,4%) mengetahui kandungan dalam susu, pada pertanyaan ini mayoritas siswa menjawab “protein, kalsium, vitamin A, dan omega 3” padahal jawaban yang seharusnya adalah “kalsium, thiamin, asam folat, dan lemak jenuh”. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 22 orang (31,4%) mengetahui vitamin yang terkandung dalam susu, pada pertanyaan ini mayoritas siswa menjawab “A, B, dan K” padahal jawaban yang seharusnya adalah “A, D, E, dan K”. Hal ini terjadi dikarenakan siswa belum bisa mengartikan yang mana termasuk kandungan dan vitamin yang ada dalam susu. Serta sebanyak 21 orang (30%) mengetahui jenis – jenis susu, pada pertanyaan ini mayoritas siswa menjawab “susu padat dan susu cair” padahal jawaban yang seharusnya adalah “susu cair, susu bubuk, dan susu kental manis”. Hal ini terjadi karena siswa belum bisa mengartikan yang mana termasuk jenis jenis susu. Sikap Siswa Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar sikap siswa SMP AR-Rahman Medan termasuk dalam
kategori baik yaitu sebanyak 36 orang (51,4%), hal ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan siswa baik. Dibandingkan dengan penelitian Utami (2009) bahwa sikap pada siswa SMP Negeri 102 dan siswa SMPI PB Sudirman diperoleh dalam kategori baik yaitu sebanyak 48 orang (52,2%) dari total 92 siswa. Peneliti menduga sikap siswa pada tingkat baik karena penilaian siswa terhadap susu baik sehingga siswa cenderung menyadari bahwa susu merupakan minuman yang penting bagi kesehatan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebanyak 43 orang (61,4%) tidak setuju bahwa susu mengandung berbagai macam zat seperti protein, lemak, vitamin, dan mineral, pada pernyataan ini seharusnya siswa menjawab setuju. Seperti yang telah dijelaskan pada variabel pengetahuan siswa, hal ini terjadi dikarenakan siswa kurang mengetahui wawasan tentang kandungan susu sehingga siswa beranggapan bahwa susu tidak mengandung zat tersebut. Tindakan Siswa Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar tindakan siswa SMP AR-Rahman Medan termasuk dalam kategori kurang baik yaitu sebanyak 55 orang (78,6%). Susu merupakan minuman yang bergizi tinggi karena mengandung protein yang bernilai biologi tinggi, sangat tepat untuk pertumbuhan dan daya tahan tubuh anak sekolah. Seperti yang dinyatakan Khomsan (2006) bahwa minum susu di pagi hari sangat baik karena susu selain sumber vitamin atau mineral juga kaya akan lemak. Apabila mengonsumsi lemak, maka kita akan relatif lebih tahan lapar karena di dalam tubuh lemak dicerna lebih lama dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Minum susu di malam hari tepatnya sebelum tidur sangat dianjurkan karena susu dapat mengoptimalisasi produk melatonin yaitu hormon yang dihasilkan kelenjar pineal pada malam hari. Melatonin ini yang membuat kita merasa mengantuk dan dapat tidur lebih nyenyak. Berdasarkan tabel 4.5. dapat dilihat bahwa sebagian besar siswa minum susu setiap hari yaitu 42 orang (60%), sebagian besar rasa susu yang paling disukai siswa adalah coklat / vanila yaitu 51 orang (72,9%), diketahui bahwa sebagian besar siswa minum susu pada pagi hari yaitu 61
orang (87,1%), sebagian besar siswa minum susu sebelum berangkat sekolah yaitu 50 orang (71,4%), diketahui sebagian besar yang biasanya menyediakan minuman susu siswa adalah ayah yaitu 37 orang (52,9%), sebagian besar siswa minum susu sebelum tidur yaitu 42 orang (60%), dan diketahui sebagian besar yang membuat siswa mau minum susu karena susu bermanfaat yaitu 38 orang (54,3%). Dari pembahasan tersebut peneliti berpendapat bahwa tindakan minum susu siswa setiap harinya dan minum susu pada pagi hari / sebelum tidur sudah baik. Siswa SMP AR-Rahman Medan telah menyadari bahwa minum susu itu penting. Minum susu minimal 2 kali sehari (2 gelas) dapat memenuhi sebagian kebutuhan zat gizi anak, terutama protein, lemak dan kalsium. Dari hasil penelitian, anak yang umumnya minum susu 2 gelas sehari cenderung akan memiliki tubuh normal. Hal ini diduga karena minum susu akan membuat perut merasa kenyang sehingga kebiasaan makan cemilan pada anak jadi berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswa minum susu sebanyak 1/2 gelas sehari yaitu 43 orang (61,4%), sebagian besar siswa tidak pernah minum susu yaitu 51 orang (72,9%), dan sebagian besar jenis susu yang disukai siswa adalah cair yaitu 59 orang (84,3%). Dari pembahasan tersebut peneliti berpendapat bahwa tindakan minum susu siswa sebanyak 1/2 gelas sehari kurang baik karena minum susu yang dianjurkan dan baik untuk kesehatan yaitu 2 kali (2 gelas) setiap hari. Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya tingkat kesadaran siswa bahwa susu sangat penting bagi kesehatan. Sejalan dengan uraian di atas, peneliti berasumsi bahwa dari tingkat pengetahuan yang baik dan tingkat sikap yang baik tidak selamanya akan menciptakan tindakan yang baik, malah sebaliknya tindakan dari siswa SMP AR-Rahman Medan pada tingkat kurang baik.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan melalui pembahasan tentang gambaran perilaku konsumsi susu pada siswa SMP Ar-Rahman Medan tahun 2012, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengetahuan siswa dalam kategori baik yaitu sebanyak 85,7% tetapi siswa masih sebatas mengetahui, belum dapat menginterpretasikan atau menjelaskan secara lebih dalam tentang informasi yang pernah siswa dapat sebelumnya. 2. Sikap siswa dalam kategori baik yaitu sebanyak 51,4%, hal ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan siswa yang baik. 3. Tingkat pengetahuan yang baik dan tingkat sikap yang baik tidak selamanya akan menciptakan tindakan yang baik, malah sebaliknya tindakan siswa pada tingkat kurang baik yaitu sebanyak 78,6%. SARAN 1.
2.
Kepada pihak sekolah disarankan agar memberikan dan meningkatkan informasi mengenai susu yang terperinci agar siswa menjadi lebih paham tentang jenis dan kandungan yang terdapat dalam susu. Bagi siswa SMP AR-Rahman Medan di sarankan supaya membiasakan untuk minum susu karena susu itu penting dan baik bagi kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA Khomsan, Ali. 2004. Pangan dan gizi untuk kualitas hidup, PT Gramedia Widiasarana, Jakarta Rizki,
Leni D. 2012. Gambaran Pengetahuan Remaja Tentang Khasiat Susu Bagi Kesehatan, Universitas Sumatera Utara, Medan
Utami,
Isni. 2009. Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Ibu Mengenai Susu Dan Faktor Lainnya Dengan Riwayat Konsumsi Susu Selama Masa Usia Sekolah Dasar Pada Siswa Kelas 1 SMP Negeri 102 Dan SMPI PB Sudirman Jakarta Timur Tahun 2009, Skripsi FKM UI, Jakarta
Volek, Et Al. 2003. Increasing Fluid Milk Favorably Affects Bone Mineral Density Responses To Resistance Training In Adolescent Boys, J am Diet Assoc 103 : 1353 - 1356 Wall,
C. 1998. Food And Nutrition Guidelines For Healthy Adolesecents. Ministry Of Health, Welington, New Zealand.
Weaver, C.M. 2000. The Growing Years And Preventation Of Osteoporosis In Later Life. Proceeding of the nutrition society.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMAKAIAN KONTRASEPSI TUBEKTOMI PADA WANITA PASANGAN USIA SUBUR DI RSUD Dr PIRNGADI MEDAN TAHUN 2012
Herlinawati¹, Maya Fitria², Heru Santosa² ¹Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ²Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU
ABSTRACT Tubectomy contraception is cutting action the fallopian/uterine tube. Tubectomy is medical treatment by blocking uterine tube with the certain purpose to not to have a child for a long time until for a lifetime. The number of female sterilization user in Indonesia in 2012 amounted 1.04% (Lusiana, 2012). Data from the National Population and family planning in 2012 the number of participants tubectomy is in North Sumatra as much as 8.38%. Existing participant data tubectomy
at Dr. Pirngadi Local General Hospital in the period January to October 2012 was 45%. This study aimed to examine the relationship between the factors related to tubectomy contraception use among women of fertile age couples. This research was descriptive analytic study using a cross sectional approach where the measurement or observation of the subject was done in a single observation. The sample size in this study was as much as 86 respondents with a total population of 255 respondents. Data were collected through questionnaire-based interviews. Data analysis used chi square test. The results of this study showed that 58.1% of respondents used tubectomy contraception. There were no relationship between age (p = 0.152), education (p = 0.498), occupation (p = 0.103), knowledge (p = 0.397), culture/belief (p = 0.714) and tubectomy contraception use among woman of fertile age couples. There were relationship between parity (p = 0,001), attitude (p = 0.016), family support (p = 0,001) and tubectomy contraception use among woman of fertile age couples. The health workers and Family Planning Field Workers are expected to play an active role in increasing the awareness of fertile age couples by providing a sustainable extension to the community in order to increase their participation in using tubectomy. Keywords: Family Planning Acceptor, Tubectomy Contraception
PENDAHULUAN Indonesia menghadapi masalah dengan jumlah dan kualitas sumber daya manusia dengan kelahiran 5.000.000 per tahun. Untuk
dapat mengangkat derajat kehidupan bangsa telah dilaksanakan secara bersamaan pembangunan ekonomi dan Keluarga Berencana yang merupakan sisi masing-masing mata uang. Bila gerakan Keluarga
1
Berencana tidak dilakukan bersamaan dengan pembangunan ekonomi, dikhawatirkan hasil pembangunan tidak akan berarti (Manuaba, 2006). Indonesia sebagai negara keempat terbesar setelah negara Cina, India dan Amerika Serikat. Tidak bisa dibayangkan berapa luas tempat yang akan dibutuhkan jika pada tempat yang sama dan waktu yang sama penduduk ini dikumpulkan menjadi satu (Muhammad, 2011). Pada awal tahun 2010, pemerintah telah melakukan sensus penduduk dan diperoleh jumlah penduduk Indonesia saat itu adalah 237.556.363 jiwa yang tersebar dari sabang sampai merauke dengan tingkat kepadatan 124/km2(BPS, 2010). Adapun jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara sebanyak 12.982.204 jiwa, mencakup mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 6.382.672 (49.16%), sedangkan yang bertempat tinggal di desa sebanyak 6.599.532 (50,84%) dengan kepadatan 2 penduduk 178 jiwa/km dan laju pertumbuhan penduduk 1,10 %/tahun (BPS, 2010). Dengan adanya pertumbuhan penduduk yang cepat dan tidak seimbang dengan angka pertumbuhan ekonomi maka akan membawa dampak dan beban berat bagi penduduk misalnya pangan, pendidikan dan pelayanan kesehatan. Dengan adanya dampak tersebut apabila laju pertumbuhan ekonomi belum mampu mengimbangi pertumbuhan penduduk yang berarti manusia dalam keluarga besar semakin tajam derajat kemiskinan (Wahyuni, 2002). Maka menurut pendapat Malthus yang mengemukakan bahwa
pertumbuhan penduduk dan kemampuan mengembangkan Sumber Daya Alam laksana deret hitung, sedangkan pertumbuhan dan perkembangan manusia laksana deret ukur, sehingga pada satu titik Sumber Daya Alam tidak mampu menampung pertumbuhan manusia, telah menjadi kenyataan (Manuaba, 2006). Tingkat pertumbuhan penduduk yang lebih cepat dibanding produksi pangan akan menyebabkan kelangkaan pangan. Kelangkaan ini akan memicu perang, kerusuhan, dan kematian (Ananta, 2011). Berdasarkan pendapat demikian diharapkan setiap keluarga memperhatikan dan merencanakan jumlah keluarga yang diinginkan, sehingga tidak terjadi krisis pagan dan mengalami kematian karena kekurangan pangan (Manuaba, 2006). Berdasarkan hal-hal tersebut, maka pada tahun 1971 dimulailah program Keluarga Berencana Nasional dan pada tahun 1973 program Keluarga Berencana Nasional tercantum didalam GBHN. Salah satu cara untuk menekan jumlah penduduk yaitu dengan cara meningkatkan pelayanan Keluarga Berencana. Program Keluarga Berencana adalah program pembahas dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi, spiritual, dan sosial budaya, pendidikan agar dapat tercipta keseimbangan yang baik dengan kemampuan produksi nasional (Manuaba, 2006). Ketersediaan dan akses terhadap informasi dan pelayanan KB, dapat mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Jika semua perempuan mempunyai akses terhadap kontrasepsi yang aman dan efektif, diperkirakan kematian ibu menurun hingga 50%, termasuk
2
menurunkan risiko kesehatan reproduksi yang terkait dengan kehamilan, persalinan dan aborsi tidak aman (Wahyudi, 2012). Kontrasepsi ialah usahausaha untuk mencegah terjadinya kehamilan (Sarwono, 2005). Negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki jumlah penduduk besar mendukung program kontrasepsi untuk mengendalikan pertumbuhan jumlah penduduk dan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dalam hal ini pemerintah Indonesia menyelenggarakan program Keluarga Berencana atau KB melalui pengaturan kelahiran. Menurut data Survei Kesehatan dan Demografi Indonesia tahun 2012 kesehatan masyarakat pada metode kontrasepsi mantap masih rendah jumlah peserta KB yang memakai kontrasepsi MOW atau tubektomi 3,2%. Padahal tubektomi merupakan alat kontrasepsi yang dianggap sangat efektif, murah dan aman dalam menghentikan kehamilan. Dengan harapan lebih banyak wanita PUS yang ikut memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi. Kontrasepsi mantap pada wanita disebut juga dengan istilah tubektomi yaitu merupakan tindakan medis berupa penutupan tuba uterina dengan maksud tertentu untuk tidak mendapatkan keturunan dalam jangka panjang sampai seumur hidup. Pada tubektomi dilakukan pengikatan atau pemotongan pada saluran tuba fallopii yang menyebabkan tidak terjadi pembuahan antara sel telur dan sperma (Meilani, 2010). Dahulu tindakan tubektomi ini disebut sterilisasi dan dilakukan atas indikasi medis, seperti kelainan jiwa, kemungkinan kehamilan yang
dapat membahayakan nyawa ibu atau penyakit keturunan. Kini tubektomi dilakukan untuk membatasi jumlah anak (Meilani, 2010). Pasangan Usia Subur (PUS) adalah pasangan suami istri yang pada saat ini hidup bersama, baik bertempat tinggal resmi dalam satu rumah ataupun tidak, dimana umur istrinya antara 15 tahun sampai 44 tahun (Wirosuhardjo, 2004). Adapun informasi yang diperoleh dari 3 ibu yang tidak memakai tubektomi mengatakan alasan untuk tidak memakai tubektomi, karena umur mereka masih muda, jumlah anak yang mereka miliki masih belum sesuai dengan keinginan pasangan suami istri, pengetahuan yang dimiliki oleh ibu yang kurang tentang tubektomi, sikap ibu yang kurang baik dalam menanggapi tentang tubektomi, kurangnya dukungan dari suami dalam melakukan tubektomi serta budaya (kepercayaan) yang mengatakan tidak baik menolak rejeki dari Yang Maha Kuasa. Dalam Kemenkes RI (2010), Indonesia pada tahun 2012 tercatat jumlah peserta KB aktif dari 64.133.347 juta jiwa, dengan jumlah PUS 161.750.743 juta jiwa dan WUS 51.472.069 juta jiwa. Dari 64.133.347 peserta KB aktif, pengguna KB suntik (54,35%), peserta pil (28,65%), peserta IUD (5,44%), peserta kondom (5,34%), peserta implant (4,99%), peserta MOW (1,04%), dan peserta MOP (0,2%) (Lusiana, 2012). Jumlah PUS tahun 2012 di Sumatera Utara adalah 2.317.450. Dimana yang menggunakan IUD 140.480 (10,74%), pil 425.630 (32,54%), kondom 83.450 (6,38%), suntik 422.310 (32,30%), implant 121.670 (9,30%), MOP 4.730
3
(0,36%), dan MOW 109.590 (8,38%) (Subagyo, 2012). Data akseptor KB yang diperoleh di RSUD Dr. Pirngadi Medan selama tahun 2010 yaitu IUD 79 akseptor (33,60%), Implant 18 akseptor (7,60%), Suntik 44 akseptor (18,80%), Pil 14 akseptor (5,90%), Kondom 2 akseptor (0,80%), dan Tubektomi 78 akseptor (33,30%). Jadi total WUS yang menjadi akseptor KB di RSUD Dr. Pirngadi Medan selama tahun 2010 yaitu 235 akseptor. Data akseptor KB terbaru yang diperoleh di RSUD Dr. Pirngadi Medan selama tahun 2011 yaitu IUD 30 akseptor (19,35%), Implant 5 akseptor (3,23%), Suntik 16 akseptor (10,32%), Pil 11 akseptor (7,10%), Kondom 22 akseptor (14,20%), Tubektomi 71 akseptor (45, 80%) dan pada periode Januari-Oktober 2012 yaitu IUD 18 akseptor (18%), Implant 5 akseptor (5%), Suntik 8 akseptor (8%), Pil 12 akseptor (12%), Kondom 12 akseptor (12%), dan Tubektomi 45 akseptor (45%). Jadi total wanita PUS yang menjadi akseptor KB di RSUD Dr. Pirngadi Medan selama tahun 2011 yaitu 155 akseptor dan periode Januari-Oktober 2012 yaitu 100 akseptor. Dilihat dari perbandingan wanita PUS yang menjadi akseptor KB di RSUD Dr. Pirngadi Medan selama tahun 2010 dengan tahun 2011 mengalami penurunan yang signifikan dari 234 akseptor menjadi 155 akseptor. Pada tubektomi juga mengalami penurunan dari 78 akseptor menjadi 71 akseptor. Dari data di atas, terlihat adanya perbedaan pemilihan alat kontrasepsi oleh wanita PUS di RSUD Dr. Pirngadi Medan, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “ Faktorfaktor yang Berhubungan dengan Pemakaian Kontrasepsi Tubektomi pada Wanita Pasangan Usia Subur di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah belum diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemakaian alat kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS dilihat dari usia, pendidikan, paritas, pekerjaan, pengetahuan, sikap, dukungan keluarga, dan budaya (kepercayaan). Adapun manfaat penelitian adalah: 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemakaian alat kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS dilihat dari usia, pendidikan, paritas, pekerjaan, pengetahuan, sikap, dukungan keluarga, dan budaya (kepercayaan). 2. Sebagai informasi bagi ibu untuk mengetahui bahwa metode kontrasepsi tubektomi merupakan metode yang paling efektif, murah dan aman bila pasangan suami istri sudah tidak mempunyai rencana memiliki anak, serta sebagai informasi untuk menambah pengetahuan tentang tubektomi dan mau ikut serta dalam pelayanan kontrasepsi tubektomi. 3. Sebagai bahan evaluasi bagi RSUD Dr. Pirngadi Medan, serta masukan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi ibu pada saat dilakukan pelayanan KB melalui
4
pendekatan-pendekatan yang efektif. 4. Sebagai sumber referensi bagi peneliti selanjutnya, agar dapat mengkaji hal-hal yang lebih dalam lagi, terutama yang berhubungan dengan pemilihan alat kontrasepsi. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-analitik dengan pendekatan cross sectional dimana pengukuran atau pengamatan terhadap subjek penelitian dilakukan dengan sekali pengamatan (Ghazali, dkk, 1995). Populasi adalah seluruh wanita Pasangan Usia Subur (PUS) yang pernah mendapatkan pelayanan kontrasepsi di RSUD Dr. Pirngadi Medan selama periode tahun 2011 sebanyak 155 akseptor dan periode Januari-Oktober 2012 sebanyak 100 akseptor, jadi total populasinya adalah sebanyak 255 akseptor. Aspek pengukuran: 1. Pengetahuan Pengetahuan diukur melalui 15 pertanyaan dengan tiga alternatif pilihan jawaban. Diberi skor 2 untuk jawaban benar, skor 1 untuk jawaban hampir benar, dan skor 0 untuk jawaban tidak tahu. Total skor pengetahuan tertinggi adalah 30 dan terendah adalah 0. Tingkat pengetahuan dapat dikategorikan menjadi 3 kategori: a. Baik, jika responden mendapatkan skor 21-30. b. Cukup, jika responden mendapatkan skor 11-20. c. Kurang, jika responden mendapatkan skor 0-10. 2. Sikap Sikap diukur dari 15 pernyataan dengan lima alternatif pilihan
jawaban. Nilai diukur dengan skor 5 untuk jawaban sangat setuju, skor 4 untuk jawaban setuju, skor 3 untuk jawaban ragu-ragu, skor 2 untuk jawaban tidak setuju dan skor 1 untuk jawaban sangat tidak setuju. Kecuali untuk pertanyaan untuk nomor 4,5,9,12, dan 15 pemberian skor merupakan kebalikan dari soal nomor 1,2,3,6,7,8,10,11,13, dan 14. Total skor tertinggi adalah 75 dan terendah adalah 15. Berdasarkan kriteria di atas maka dapat dikategorikan sikap responden dengan kriteria sebagai berikut: a. Baik, jika responden mendapatkan skor 56-75. b. Cukup, jika responden mendapatkan skor 30-55. c. Kurang, jika responden mendapatkan skor 15-29. 3. Dukungan keluarga Dukungan keluarga terdiri dari 5 pertanyaan dengan dua alternatif pilihan jawaban. Nilai diukur dengan skor 1 untuk jawaban ya, dan skor 0 untuk jawaban tidak. Skor tertinggi yang bisa diperoleh responden adalah 5 dan yang paling rendah adalah 0 sehingga dapat dikategorikan menjadi: a. Ya, jika responden mendapatkan skor 3-5. b. Tidak, jika responden mendapatkan skor 0-2. 4. Budaya (kepercayaan) Komponen budaya (kepercayaan) terdiri dari 5 pertanyaan dengan dua alternatif pilihan jawaban. Nilai diukur dengan skor 1 untuk jawaban ya, dan skor 0 untuk jawaban tidak. Skor tertinggi yang bisa diperoleh responden adalah 5 dan yang paling rendah adalah 0 sehingga dapat dikategorikan menjadi: a. Ya, jika responden mendapatkan skor 3-5.
5
b. Tidak, jika responden mendapatkan skor 0-2. HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun hasil pemeriksaan yang dilakukan adalah sebagai berikut: Tabel 1.
Umur
25-35 tahun >35 tahun
Hubungan Umur dengan Pemakaian Kontrasepsi Tubektomi pada Wanita PUS di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2012 Pemakaian Kontrasepsi Tubektomi Non Tubektomi Jumlah n % n % n % 34 16
64,2 19 35,8 48,5 17 51,5
53 100,0 33 100,0
= 2,051 dan p = 0,152 Menunjukkan hasil analisis hubungan antara umur ibu dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS ditemukan sebanyak 34 akseptor (64,2%) yang berumur 25-35 tahun memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi, sedangkan ibu yang berumur lebih dari 35 tahun sebanyak 16 akseptor (48,5%) memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi. Secara statistik terbukti tidak ada hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan pemakaian tubektomi (p=0,152).
berpendidikan rendah sebanyak 12 akseptor (52,2%) memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi. Secara statistik terbukti tidak ada hubungan yang bermakna dari pendidikan ibu dengan pemakaian tubektomi (p=0,498). Tabel 3. Hubungan Paritas dengan Pemakaian Kontrasepsi Tubektomi pada Wanita PUS di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2012 Pemakaian Kontrasepsi Paritas Tubektomi Non Tubektomi Jumlah n % n % n % Anak < 3 Anak ≥ 3
6 26,1 17 73,9 44 69,8 19 30,2
23 100,0 63 100,0
= 13,254 dan p = 0,001 Menunjukkan hasil analisis hubungan paritas dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS ditemukan sebanyak 6 akseptor (26,1%) yang berparitas rendah (anak < 3) yaitu memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi, sedangkan ibu yang berparitas tinggi sebanyak 44 akseptor (69,8%) memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi. Secara statistik terbukti ada hubungan yang bermakna dari paritas ibu dengan pemakaian tubektomi (p=0,001). Tabel 4.
Tabel 2.
Hubungan Pedidikan dengan Pemakaian Kontrasepsi Tubektomi pada Wanita PUS di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2012 Pemakaian Kontrasepsi Pendidikan Tubektomi Non Tubektomi Jumlah n % n % n %
Tinggi Rendah
38 12
60,3 52,2
25 39,7 11 47,8
63 100,0 23 100,0
= 0,459 dan p = 0,498 Menunjukkan hasil analisis hubungan tingkat pendidikan ibu dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS ditemukan sebanyak 38 akseptor (60,3%) yang berpendidikan tinggi yaitu tamatan SLTA dan perguruan tinggi memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi, sedangkan ibu yang
Hubungan Pekerjaan dengan Pemakaian Kontrasepsi Tubektomi pada Wanita PUS di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2012 Pemakaian Kontrasepsi Pekerjaan Tubektomi Non Tubektomi Jumlah n % n % n %
Bekerja 15 Tidak Bekerja 35
46,9 17 53,1 64,8 19 35,2
32 100,0 54 100,0
= 2,657 dan p = 0,103 Menunjukkan hasil analisis hubungan pekerjaan dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS ditemukan sebanyak 15 akseptor (46,9%) yang bekerja memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi, sedangkan ibu yang tidak bekerja sebanyak 35 akseptor (64,8%) memilih
6
tubektomi sebagai alat kontrasepsi. Secara statistik terbukti tidak ada hubungan yang bermakna dari pekerjaan ibu dengan pemakaian tubektomi (p=0,103). Tabel 5. Hubungan Pengetahuan dengan Pemakaian Kontrasepsi Tubektomi pada Wanita PUS di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2012 Pemakaian Kontrasepsi Pengetahuan Tubektomi Non Tubektomi Jumlah n % n % n % Baik 29 58,0 21 42,0 50 100,0 Cukup 19 63,3 11 36,7 30 100,0 Kurang 2 33,3 4 66,7 6 100,0
(
= 1,850 dan p = 0,397 Menunjukkan hasil analisis hubungan pengetahuan dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS ditemukan sebanyak 29 akseptor (58,0%) yang berpengetahuan baik yaitu memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi, sedangkan ibu yang berpengetahuan kurang sebanyak 2 akseptor (33,3%) memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi. Secara statistik terbukti tidak ada hubungan yang bermakna dari pengetahuan ibu dengan pemakaian tubektomi (p=0,397). Tabel 6.
Hubungan Sikap dengan Pemakaian Kontrasepsi Tubektomi pada Wanita PUS di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2012 Pemakaian Kontrasepsi Sikap Tubektomi Non Tubektomi Jumlah n % n % n % Baik 29 74,4 10 25,6 39 100,0 Cukup 16 42,1 22 57,9 38 100,0 Kurang 5 55,6 4 44,4 9 100,0
(
= 8,255 dan p = 0,016 Menunjukkan hasil analisis hubungan sikap dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS ditemukan sebanyak 29 akseptor (74,4%) yang memiliki sikap baik yaitu memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi, sedangkan ibu yang memiliki sikap kurang sebanyak 5 akseptor (55,6%) memilih tubektomi sebagai alat
kontrasepsi. Secara statistik terbukti ada hubungan yang bermakna dari sikap ibu dengan pemakaian tubektomi (p=0,016). Tabel 7. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pemakaian Kontrasepsi Tubektomi pada Wanita PUS di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2012 Pemakaian Kontrasepsi Dukungan Tubektomi Non Tubektomi Jumlah keluarga n % n % n % Mendukung 25 83,3 5 16,7 Tidak Mendukung 25 44,6 31 55,4
30 100,0 56 100,0
= 12,016 dan p = 0,001 Menunjukkan hasil analisis hubungan dukungan keluarga dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS ditemukan sebanyak 25 akseptor (83,3%) yang mendapat dukungan keluarga yaitu memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi, sedangkan ibu yang tidak mendapatkan dukungan keluarga sebanyak 25 akseptor (44,6%) memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi. Secara statistik terbukti ada hubungan yang bermakna dari dukungan keluarga dengan pemakaian tubektomi (p=0,001). Tabel 8. Hubungan Budaya (Kepercayaan) dengan Pemakaian Kontrasepsi Tubektomi pada Wanita PUS di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2012 Pemakaian Kontrasepsi Budaya Tubektomi Non Tubektomi Jumlah n % n % n % Ya Tidak
23 27
56,1 60,0
18 18
43,9 41 100,0 40,0 45 100,0
= 0,134 dan p = 0,714 Menunjukkan hasil analisis hubungan budaya (kepercayaan) dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS ditemukan sebanyak 23 akseptor (56,1%) yang memiliki budaya (kepercayaan) yaitu memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi, sedangkan ibu yang tidak memiliki
7
budaya (kepercayaan) sebanyak 27 akseptor (60,0%) memilih tubektomi sebagai alat kontrasepsi. Secara statistik terbukti tidak ada hubungan yang bermakna dari budaya (kepercayaan) ibu dengan pemakaian tubektomi (p=0,714). KESIMPULAN DAN SARAN Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tidak ada hubungan antara umur dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS, dimana pada umur 25-35 tahun lebih memilih tubektomi sebesar 53 responden (61,6%) dibanding dengan responden yang berumur > 35 tahun sebesar 33 responden (38,4%). 2. Tidak ada hubungan antara pendidikan dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS, dimana pada pendidikan rendah (SD-SMP) lebih memilih tubektomi sebesar 63 responden (73,3%) dibanding yang berpendidikan tinggi (SMA-Perguruan Tinggi) sebesar 23 responden (26,7%). 3. Ada hubungan antara paritas dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS, dimana responden dengan jumlah anak yang ≥ 3 orang lebih memilih tubektomi sebesar 63 responden (73,3%), dibanding dengan responden yang memiliki anak < 3 orang sebesar 23 responden (26,7%). 4. Tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS, dimana responden yang tidak bekerja lebih banyak memilih tubektomi sebesar 54 responden (62,8%), dibanding
yang bekerja sebesar 32 responden (37,2%). 5. Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS, dimana responden yang berpengetahuan baik lebih memilih tubektomi sebesar 50 responden (58,1%), dibanding dengan yang berpengetahuan kurang sebesar 6 responden (7,0%). 6. Ada hubungan antara sikap dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS, dimana responden yang memiliki sikap baik lebih memilih tubektomi sebesar 39 responden (45,3%), dibanding dengan yang sikap kurang baik sebesar 9 responden (10,5%). 7. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS, dimana akseptor yang mendapat dukungan keluarga lebih memilih tubektomi sebesar 56 responden (65,1%), dibanding dengan yang tidak mendapatkan dukungan keluarga sebesar 30 responden (34,9%). 8. Tidak ada hubungan antara budaya (kepercayaan) dengan pemakaian kontrasepsi tubektomi pada wanita PUS, dimana akseptor yang tidak memiliki budaya (kepercayaan) lebih memilih tubektomi sebesar 45 responden (52,3%), dibanding yang memiliki budaya (kepercayaan) sebesar 41 responden (47,7%). Adapun saran dari penelitian ini adalah: 1. Meningkatkan kerja sama dengan BkkbN agar lebih proaktif dalam memberikan penyuluhan dan
8
promosi kepada masyarakat terutama wanita PUS agar mereka lebih memahami manfaat program KB dan mengubah paradigma terhadap nilai (kepercayaan) yang ada di masyarakat. 2. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan kontrasepsi yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakatuntuk mengoptimalkan dan mengembangkan potensi yang telah ada di masyarakat untuk memberikan fasilitas dan dukungan pelaksanaan program KB sehingga diharapkan potensi masyarakat menjadi berkembang dan mandiri. 3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dan mendalam untuk mengetahui faktor-faktor lain yang memengaruhi wanita PUS menjadi akseptor KB. DAFTAR PUSTAKA Badan
Pusat Statistik. 2008. Akseptor Baru Menurut Alat Kontrasepsi yang Dipakai Tahun 2008 Sumatera Utara. http://sumut.bkkbn.go.id/ol d/ download/data. Diakses 16 Februari 2012.
Badan Pusat Statistik. 2010. 12 & wilayah = Sumatera Utara.http://Sp2010.bps.go .id/index.php/site? id=. Diakses 3 September 2012. Ghazali MV, dkk. 1995. Studi Cross Sectional. dalam DasarDasar Metodologi Penelitian Klinis, Editor Sastroasmoro & Ismael S.
Penerbit Jakarta. Hidayat
Sagung
Seto,
AAA. 2010. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Penerbit Salemba Medika, Jakarta.
Lusiana E. 2012. Langit Biru. http: //ernalusiana.blogspot.com/ 2012/01/ kata-kata mutiara_29. html . Diakses 28 Oktober 2012. Manuaba
I.B.G. 2006. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Penerbit EGC, Jakarta.
Meilani N, dkk. 2010. Pelayanan Keluarga Berencana. Penerbit Fitramaya, Yogyakarta. Muhammad M. 2011. 10 Negara dengan Jumlah Penduduk http://dasawarta.blog.spot.c om/2011/05/.html. Diakses 14 september 2012. Sarwono P. 2005. Ilmu Kandungan. Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Suyono
H. 2011. BkkbN dan Masalah Kependudukan. http://www.bkkbn.go.id/pro f. Diakses 2 September 2012. Wahyudi A. 2013. Jumlah Penduduk Indonesia 2013. http://www. ariwahyudi.web.id/2013/03/ jumlahpenduduk 9
indonesia-2013/. Diakses 13 September 2012. Wahyuni W. 2002. PeranSuami Pada Istri dalam Pemilihan Alat Kontrasepsidi Desa Kepatihantulangan Sidoarjo.http://www.digili b.itb.ac.id/gdl.php?mod=br owse&op=read&id=jiptum m-gdl-S1-2002-winarti441-2002. Diakses 13 september 2012. Wirosuhardjo K. 2004. Dasar-Dasar Demografi. Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
10
GAMBARAN POLA MAKAN, AKTIFITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA KARYAWAN UD ALFA STAR BUSANA DAN PLS ERVINA MEDAN TAHUN 2012 (The description of eating patterns, physical activities and nutritional status of the employees of Business Trade Alfa Star and PLS Ervina Medan in 2012) Aklima Zahra M1, Evawany Y Aritonang 2, Fitri Ardiani2 1
2
Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT
The increasing of income level of the productice age group such as employees, so that there is an increasing in labor force in urban areas causes a change in lifestyle. The change in lifestyle includes eating patterns, physical activities and nutritional status. The eating patterns in large cities have been changing from traditional diet to modern diet and the type of activity that does not expend energy has negative impact on health and nutrition issues.This is a descriptive study with crosssectional research design. The population is all employees at Business Trade Alfa Star Clothing and PLS Ervina with a total of 100 people, sampling conducted by a total sampling. Data collected through interviews using questionnaires, food frequency forms, food recall forms and physical activity forms.The result showed that the eating patterns of tailor employees at Business Trade Alfa Star Clothing and PLS Ervina in unfavorable category as much as 72% with the type and frequency of eating on average rarely (1-2x/week). The average of energy consumed sufficiently as much as 46% and protein is lower 62%. The most physical activity in medium category is 84%. Nutritional status based on BMI largely on the normal category as much as 50% and 39% for the fat one.The need for attention of the company and employees to be able to consume a complete diet (balanced), especially vegetables and fruits every day. Physical activity such as sports and activities that expend energy in order to be healthy and fit every day. Keywords: eating pattern, physical activity, nutritional status, employees tailor.
PENDAHULUAN Meningkatnya taraf hidup masyarakat terutama di negara maju dan kota besar membawa perubahan pada pola hidup individu. Perubahan pola hidup tersebut membawa pula pada perubahan pola penyakit yang ada, terutama pada penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup seseorang. Kondisi tersebut mengubah banyaknya kasus- kasus penyakit infeksi yang pada awalnya menempati urutan pertama, namun sekarang bergeser pada penyakit- penyakit degeneratif dan metabolik yang menempati urutan teratas (Ramadha, 2009). Usia remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa yang
membutuhkan asupan gizi yang adekuat. Usia dewasa merupakan rentang usia terpajang dalam kehidupan manusia. Usia ini dikenal sebagai usia produktif, yang ditandai dengan pencapaian tingkat pendidikan, sukses dalam karier, mapan dan lain-lain. Menurut Wirahkusumah (1994) yang dikutip oleh Amelia (2009), kelompok ini rentan terhadap pergeseran perilaku dan gaya hidup antara lain adanya perubahan pada pola makan yang lebih cenderung mengkonsumsi makanan siap saji (fast food) yang mudah didapat, harga terjangkau dan makanan ini banyak mengandung gula dan lemak. Pola makan merupakan cara yang ditempuh seseorang atau sekelompok untuk
memilih makanan dan mengkomsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, budaya dan sosial (Soehardjo, 1996). Pola makan berkaitan dengan rangkaian nilai dan tata cara yang kompleks meliputi aspek fisik, psikis, logis dan sosial. Kesalahan pola makan dari aspek tersebut, tidak memperhatikan kandungan gizi dalam makanan dan kesehatan. (Hidayah, 2011). Pola makan di kota-kota besar telah berubah dari pola tradisional yang banyak mengandung karbohidrat dan serat menjadi pola modern dengan kandungan protein, lemak, gula, dan garam yang tinggi tetapi miskin serat (Muchtadi, 2001). Perubahan selera makan ini cenderung menjauhi konsep makanan seimbang sehingga berdampak negatif terhadap kesehatan dan gizi. Pola makan tinggi lemak jenuh dan gula, rendah serat akan menyebabkan masalah kegemukan, gizi lebih, serta meningkatkan radikal bebas yang dapat memicu munculnya penyakit degeneratif (Khomsan, dkk, 2004). Upaya paling baik untuk mengurangi kasus penyakit degeneratif adalah melalui upaya pencegahan. Pencegahan yang paling baik adalah dengan merubah faktor risiko utama penyebab penyakit degeneratif, yaitu dengan memperbaiki pola makan dan meningkatkan aktifitas fisik. Faktor risiko ini meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup seperti kebiasaan makan masyarakat kearah konsumsi makanan tinggi lemak dan gula dan jenis pekerjaan yang tidak banyak mengeluarkan tenaga (sedentary) (Depkes, 2010). Menurut WHO (2010) yang dikutip oleh Sri (2011), Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik yang tidak ada (kurangnya aktivitas fisik) merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kronis, dan secara keseluruhan diperkirakan menyebabkan kematian secara global. Secara nasional hampir separuh penduduk (48,2%) kurang melakukan aktifitas fisik. Menurut kelompok umur, kurang aktifitas fisik paling tinggi terdapat pada kelompok 75 tahun keatas (76%) dan umur 10 – 40 tahun (66,9%), dan perempuan (54,5%) lebih tinggi dibanding laki-laki (41,4%). Berdasarkan tingkat pendidikan, semakin tinggi pendidikan
semakin tinggi prevalensi kurang aktifitas fisik. Prevalensi kurang aktifitas fisik penduduk perkotaan (57,6%) lebih tinggi dibanding pedesaan (42,4%) (Riskesda, 2007). Berbagai penelitian baik yang dilakukan di luar negeri maupun di Indonesia menunjukkan bahwa keadaan gizi kurang dapat menghambat aktifitas kerja yang akan menurunkan produktifitas kerja. Hal ini disebabkan karena kemampuan kerja seseorang sangat dipengaruhi oleh jumlah energi yang tersedia, dimana energi tersebut diperoleh dari makanan sehari-hari dan bila mana jumlah makanan sehari-hari tak memenuhi kebutuhan tubuh, maka energi didapat dari cadangan tubuh. (Septi, 2010). Menurut Manik (1999) dikutip oleh Rini (2007), gizi merupakan faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Status gizi yang baik adalah hasil keseimbangan antara asupan dan kebutuhan responden (Depkes, 2003). Status gizi di tentukan oleh apa yang dikomsumsi oleh seseorang dan bagaimana penyerapan dan penggunaan makanan yang di komsumsi orang tersebut yang dapat dilihat dari keadaan tubuh. Status gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan keserasian antara fisik dan perkembangan mental orang tersebut, serta merupakan salah satu tolak ukur untuk menentukan kualitas hidup manusia yang menentukan tingkat produktivitas kerja dan kemampuan berfikir (Rini, 2007). Gizi tidak bisa dilepaskan dari makanan, sebab masalah gizi timbul akibat kekurangan atau kelebihan kandungan zat gizi dalam makanan. Bukan hanya masalah kekurangan gizi, kebiasaan mengkomsumsi makanan yang melebihi kecukupan gizi juga dapat menimbulkan masalah gizi lebih. Peningkatan pendapatan pada kelompok usia produktif seperti karyawan pekerja, yang ditandai dengan peningkatan angkatan kerja di pekotaan menyebabkan adanya perubahan gaya hidup. Pekerjaan yang dilakukan sehari-hari dapat mempengaruhi gaya hidup seseorang, terutama dalam hal pola makan, aktifitas fisik serta status gizi (Khasanah, 2012). Sektor informal adalah segala jenis pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap, tanpa ada perlindungan negara dan atas usaha tersebut tidak dikenakan pajak. Ciriciri kegiatan informal adalah mudah masuk,
artinya setiap orang dapat kapan saja masuk kejenis usaha informal ini. Bersandar pada sumber daya lokal, biasanya usaha milik keluarga, padat karya, keterampilan diperoleh dari luar sistem formal sekolah dan tidak diatur dan pasar kompetitif (Saparini dkk, 2012). UD Alfa Star Busana dan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Ervina merupakan perusahaan yang bergerak di bidang sektor usaha informal yaitu usaha jahitan. Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan pada UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina karyawannya memiliki jam kerja yang berbeda-beda, ada yang kerja separuh hari dari jam 8 pagi sampai dengan 6 sore dan ada yang sampai lembur yang menginap di perusahaan. Karyawannya bekerja menjahit pakaian wanita. Aktifitas karyawan sehari-hari adalah membuat pola, menjahit, membordir, belanja bakal, memayet dan lain-lain. Dengan kegiatan tersebut perusahaan tidak menyediakan makan, maka karyawan membawa masing- masing makanan dari rumah atau membeli. Pola makan karyawan masih rendah dalam mengonsumsi makanan lengkap (menu seimbang) dan konsumsi air minum. Aktifitas karyawan yang sibuk membuat pola makan tidak teratur serta pemikiran yang praktis dan serba instan (cepat saji) dalam memilih makanan sehingga dapat menimbulkan berbagai penyakit serta mempengaruhi penampilan fisik seseorang dan produktifitas kerja. Keadaan status gizi di perusahaan ini ada yang gemuk. Produktifitas diperusahaan masih rendah dalam membuat pola karyawan perorang hanya menyiapkan 2-3 pola/hari targetnya 5 potong/hari. menjahit 1 pakaian siap 3 hari jika kebaya sedangkan baju biasa 1 pakaian/hari, membordir 1 pakaian/hari targetnya 2-3 pakaian/hari, memayet 3-6 hari 1 pakaian targetnya 2 hari 1 pakaian, karena produksi pakaian siap tergantung model dan kesulitan yang dialami. Target perusahaan dalam memproduksi pakaian lebih dari 7 potong/minggu untuk 1 orang sedangkan produksi di kedua perusahaan ini 2-5 potong/minggu 1 orang sehingga beban produksi menjadi tidak efisien. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran pola makan, aktifitas fisik dan status gizi pada karyawan UD Alfa Star dan PLS Ervina Medan Tahun 2012.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola makan, aktifitas fisik dan status gizi karyawan UD Alfa Star dan PLS Ervina Medan Tahun 2012. Adapun manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi kepada perusahaan dan karyawan penjahit tentang pola makan yang baik dan seimbang, aktifitas fisik yang teratur dan sehat serta status gizi di UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina sehingga dapat menambah wawasan, pengetahuan bagi pembaca. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross-sectional. Penelitian ini di lakukan di UD Alfa Star dan PLS Ervina Medan. Populasi penelitian ini adalah seluruh karyawan yang bekerja di UD Alfa Star dan PLS Ervina yaitu sebanyak 100 orang. Pengumpulan data Primer meliputi karakteristik responden dan aktifitas fisik menggunakan koesiuner dengan teknik wawancara, data status gizi dengan cara pengukuran berat badan dan tinggi badan dan data pola makan dikumpulkan dengan menggunakan koesiuner food recall dan food frequency. Data sekunder tentang gambaran umum UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina. Analisis data secara deskriptif, disajikan dalam bentuk tabel distribusi dengan melihat persentase dari data tersebut dengan bantuan software komputer. HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun karakteristik karyawan penjahit pada penelitian ini, dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Dari tabel 1 Penelitian ini dilaksanakan di UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina Medan yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah karyawan penjahit. Berdasarkan hasil penelitian jumlah karyawan terbanyak di UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina Medan menurut jenis kelamin adalah Perempuan yaitu sebanyak 92 orang (92,0%). Banyaknya karyawan berjenis kelamin perempuan yang berpropesi sebagai penjahit di perusahaan ini lebih banyak dibandingkan lakilaki. Hal ini karena perusahaan ini banyak menerima tempahan pakaian wanita.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karyawan Berdasarkan Karakteristik Di UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina Medan Tahun 2012 No 1 2
1 2 3 4
1 2
1 2
Jenis Kelamin Laki – laki Perempuan Jumlah Kelompok Umur 15 -25 Tahun 26 - 35 Tahun 36 - 45 Tahun > 45 Tahun Jumlah Agama Islam Kristen Protestan Jumlah Status Pernikahan Belum Menikah Menikah Jumlah
Frekuensi n % 8 8,0 92 92,0 100 100,0 62 26 10 2 100
62 26 10 2 100
79 21 100
79 21 100
61 39 100
61 39 100
Berdasarkan usia, karyawan di UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina Medan terbanyak pada kelompok umur 15-25 Tahun yaitu 62,0%. Berdasarkan agama, karyawan di UD Alfa Star dan PLS Ervina Medan terbanyak pada agama islam yaitu sebanyak 79,0%. Berdasarkan status pernikahan karyawan di UD Alfa Star dan PLS Ervina Medan terbanyak belum menikah yaitu sebanyak 61,0%. Sebagian besar karyawan yang belum menikah menginap diperusahaan. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pola Makan Karyawan Di UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina Medan Tahun 2012 No 1 2
Pola Makan Kurang baik Baik Jumlah
Frekuensi N % 72 72,0 28 28,0 100 100,0
Dari tabel 2 diketahui hasil penelitian menunjukkan bahwa 72% karyawan penjahit di UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina Medan mempunyai pola makan yang kurang baik. Adapun pola makan yang baik adalah makanan pokok + lauk pauk + sayuran + buah + makanan jajanan/selingan dalam frekuensi setiap hari (7-6x/minggu). Tingginya persentase karyawan yang memiliki pola makan yang kurang baik dipengaruhi oleh cara karyawan memperoleh atau mendapatkan bahan makanan tersebut. Hal ini disebabkan karena perusahaan tidak menyediakan makan, maka karyawan membawa masing-masing dari rumah atau membeli. Pola makan karyawan dalam susunan jenis makanan masih tidak lengkap (menu seimbang). Mereka tidak mengonsumsi sayuran dan buah-buahan setiap hari. Hal ini disebabkan jangkauan ke pasar lebih jauh, mahal, tidak suka makan sayur dan memilih mengkonsumsi makanan pokok, lauk pauk dan makanan jajanan atau selingan saja. Dari hasil food recall 24 jam energi dan protein yang dikonsumsi cukup dan berlebih merupakan pola makan yang kurang baik karena tidak sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) individu. Pola makan yang baik dapat menunjang tercapainya kecukupan gizi. Frekuensi makan perhari merupakan salah satu aspek kebiasaan makan, dimana frekuensi makan akan menjadi penduga tingkat kecukupan konsumsi gizi. Artinya semakin tinggi frekuensi makan seseorang maka peluangnya terpenuhinya kebutuhan gizi semakin besar (Khomsan, 2004). Dari tabel 3 hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan formulir food recall 24 jam, dapat diketahui bahwa jumlah konsumsi energi pada karyawan penjahit di UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina Medan terbanyak berada pada kategori cukup yaitu 46,0% dan Protein terbanyak berada pada kategori rendah yaitu sebanyak (62,0%). Hal ini disebabkan karena karyawan penjahit Pada umumnya mengkonsumsi roti, keripik, bakso, gorengan dan sebagainya pada saat menjahit dimana makanan tersebut mengandung kalori, karbohidrat dan kurang protein setiap hari. Disamping itu, kebiasaan karyawan mengonsumsi teh manis, kopi, minuman kemasan dan susu juga berpengaruh terhadap
tingkat konsumsi proteinnya karena minuman tersebut mengandung gula dan didalam gula tersebut hanya terdapat kalori sedangkan protein tidak ada. Tingkat konsumsi energi yang cukup dan protein yang rendah dimana karyawan selalu mengonsumsi makanan/ minuman yang mengandung tinggi kalori, energi, garam dan gula setiap hari. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Energi dan Protein Karyawan Di UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina Medan Tahun 2012 Frekuensi No Energi n % 1 Rendah 10 10,0 2 Cukup 46 46,0 3 Tinggi 44 44,0 Jumlah 100 100,0 No Protein n % 1 Rendah 62 62,0 2 Cukup 29 29,0 3 Tinggi 9 9,0 Jumlah 100 100,0 Karyawan lebih banyak mengkonsumsi makanan yang tinggi energi seperti makanan jajanan dari pada makanan yang tinggi protein dari lauk nabati. Hal ini karena karyawan lebih mudah mendapatkan makanan jajanan sedangkan protein harus memasaknya sebelum konsumsi, repot dan tidak suka. Konsumsi energi karyawan berada pada 1280 sampai 4023 kkal/hari dan protein 37 sampai 77 gr/hari. Konsumsi energi dan protein masih tidak sesuai dengan AKG karyawan. Energi dalam tubuh manusia dapat timbul dikarenakan adanya pembakaran karbohidrat, protein dan lemak. Dengan demikian agar manusia selalu tercukupi energinya diperlukan pemasukan zat-zat makanan yang cukup pula ke dalam tubuhnya. Kelebihan energi di dalam tubuh disimpan dalam bentuk jaringan lemak yang dapat mengakibatkan kegemukan (Kartasapoetra, 2008). Protein dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak (Winarno 1997). Protein merupakan pembentuk hemoglobin.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Aktifitas Fisik Karyawan Di UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina Medan Tahun 2012 No 1 2 3
Aktifitas Fisik Ringan Sedang Berat Jumlah
Frekuensi n % 6 6,0 84 84,0 10 10,0 100 100,0
Dari tabel 4 menunjukkan bahwa aktifitas fisik karyawan penjahit di UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina Medan berdasarkan frekuensi terbanyak mempunyai aktifitas fisik sedang yaitu sebanyak 84,0%. Pembagian aktifitas kerja yang dilakukan di UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina medan yaitu membuat pola, memotong, menjahit, membordir, memayet, penyelesaian, berbelanja dan sebagainya. Bekerja dari hari Senin hingga Sabtu, mulai pukul 08.30 sampai 17.00 WIB. Waktu yang di gunakan untuk menjahit 7 jam dan 1½ untuk istirahat. Waktu istirahat digunakan untuk makan siang dan beribadah. Beban kerja karyawan berbeda-beda dari 7 jam sampai 9 jam karena ada karyawan yang menginap diperusahaan dan memiliki tanggung jawab penyelesaian untuk pelanggan serta kegiatan menjahit dirumah sebagai tambahan penghasilan keluarga. Selain bekerja di perusahaan mereka juga melakukan aktifitas sehari-hari dirumah seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci piring/pakaian, menyetrika dan sebagainya. Sedangkan waktu istirahat dirumah seperti tidur, santai, komunikasi sesama rekan kerja, teleponan dan menonton televisi. Aktifitas fisik untuk menggerakkan badan seperti olahraga, berjalan, naik sepeda hanya dilakukan oleh beberapa karyawan saja untuk berangakat kerja selebihnya naik kendaraan untuk pergi keperusahaan. Karyawan yang bekerja lebih banyak bergerak dalam pekerjaan tertentu dari pada duduk dan istirahat dikatakan aktifitasnya berat dan sebaliknya. Selama bekerja, karyawan selalu mengonsumsi makanan jajanan sebelum beraktifitas atau pada saat beraktifitas. Makanan jajanan sering dibeli di pedagang
yang berjualan dengan kendaraan, pedagang kaki lima dan toko yang ada di daerah perusahaan. Dengan harga yang terjangkau dan cukup mengenyangkan karyawan pada saat menjahit. sebagian besar karyawan tidak makan dahulu sebelum pergi bekerja sehingga pagi hari mereka lebih cenderung mengonsumsi roti, mi dan ubi dengan teh manis sebagai sumber tenaga mereka. Setelah sampai di perusahaan mereka mengonsumsi makanan yang mengandung kabohidrat, seperti : mi goreng, nasi goreng, nasi gurih, indomi kuah dan sebagainya. Hal ini dapat menyebabkan kegemukan pada karyawan penjahit tersebut. Dalam penelitian Hadi (2003), menyatakan bahwa rendahnya dan menurunnya aktifitas fisik merupakan faktor yang paling penting bertanggung jawab terjadinya obesitas. Hasil penelitian Aziiza (2008), korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan positif antara aktivitas fisik dengan tingkat kecukupan energi (r=0,371*; p<0,05). Hasil tersebut dapat mengindikasikan bahwa dengan tingkat kecukupan energi yang baik, dapat melakukan aktivitas fisik yang semakin banyak. Khumaidi (1994) juga menyatakan hal yang sama, yaitu energi untuk memenuhi kegiatan jasmani berbeda menurut berat ringannya kegiatan. Makin berat kegiatan jasmani, makin besar energi yang diperlukan. Tabel 5. Distribusi Frekuensi Status Gizi Karyawan Di UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina Medan Tahun 2012 No 1 2 3 4
Status Gizi Kurus Normal Gemuk Obesitas Jumlah
Frekuensi n % 6 6,0 50 50,0 39 39,0 5 5,0 100 100,0
Dari tabel 5 diketahui hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi karyawan penjahit di UD Alfa Star Busana dan PLS Ervina Medan dengan Indeks Massa Tubuh terbanyak Normal (50,0%) dan gemuk (39,0%). Dari penelitian tersebut banyaknya
jumlah karyawan yang status gizi normal disebabkan karena asupan kalori yang diperoleh dari makanan jumlahnya mencukupi bahkan berlebihan. Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan didasarkan pada patokan berat badan untuk masing-masing kelompok umur, jenis kelamin, dan aktifitas fisik (Khasanah,2012). Seseorang yang normal dan gemuk mempunyai status gizi yang melebihi kebutuhan metabolisme karena kelebihan masukan energi dan penurunan penggunaan kalori (energi). Artinya masukan kalori tidak sesuai dengan penggunaanya yang pada akhirnya berangsur-angsur berakumulasi meningkatkan berat badan (Nurachmah, 2001). Status gizi mempunyai korelasi positif dengan kualitas fisik manusia. Makin baik status gizi seseorang semakin baik kualitas fisiknya. Tenaga kerja yang sehat akan bekerja lebih giat, produktif dan teliti sehingga dapat mencegah kecelakaan yang mungkin terjadi dalam bekerja. Bila banyaknya makanan yang dikonsumsi energi dan protein setiap hari tidak seimbang dengan tenaga yang dikeluarkan maka tubuh akan mengalami gangguan kesehatan. Jika makanan yang dimakan berlebih dibanding tenaga yang dikeluarkan maka tubuh akan menjadi gemuk dan sebaliknya. Masalah kesehatan ini akan mempengaruhi derajat kesehatan seseorang dan akhirnya akan berpengaruh pada efisiensi dan produktifitas kerja. Perusahaan UD Alfa Star dan PLS Ervina mempunyai target dalam menyiapkan pakaian yaitu 7 potong/minggu untuk 1 orang dari target tersebut masih banyak karyawan yang belum mencapai target hanya beberapa saja yang mencapai target hal tersebut karena masalah gizi dan kesehatan yang timbul seperti mudah capek, angka absensi. Dengan gizi seimbang maka kesehatan tenaga kerja dapat dipertahankan dan tenaga kerja akan dapat bekerja dengan baik, tidak mudah lelah/ capek, tidak mudah terserang penyakit, tidak menghambat pertumbuhan organ dan jaringan tubuh, aktifitas dan produktifitas meningkat. Berdasarkan hasil penelitian Aziiza (2008), Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan positif antara status gizi dengan produktivitas kerja (r=0,419*; p<0,05). Hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa semakin baik
status gizi seseorang, maka semakin baik produktivitas kerjanya. KESIMPULAN 1. Pola makan karyawan penjahit di kedua perusahaan yaitu kurang baik dalam konsumsi makanan tidak seimbang dan lengkap serta energi dan protein yang dikonsumsi karyawan lebih banyak mengkonsumsi makanan yang tinggi energi dari pada tinggi protein dari lauk nabati. Konsumsi karyawan tidak sesuai dengan Angka Kecukupan (AKG) individu. 2. Jenis dan frekuensi makan karyawan penjahit di kedua perusahaan rata-rata jarang (1-2x/minggu) dalam konsumsi sayur-sayuran, buah-buahan dan lauk nabati. Sedangkan konsumsi makanan pokok, lauk hewani dan makanan jajanan yaitu sering (3-5x/minggu) dikonsumsi dan sudah bervariasi. 3. Jumlah energi yang dikonsumsi karyawan penjahit di kedua perusahaan yaitu cukup/sesuai standar dan jumlah protein yang dikonsumsi karyawan penjahit yaitu rendah. Karyawan mengonsumsi makanan/minuman tinggi kalori, garam, gula sedangkan proteinnya tidak ada atau rendah. 4. Aktifitas fisik karyawan penjahit di kedua perusahaan yaitu aktifitas fisik sedang. Dalam aktifitas bergerak/ pekerjaan tertentu lebih atau sama dengan waktu duduk dan istirahat serta karyawan masih jarang melakukan aktifitas gerak yang membakar energi seperti olahraga. 5. Status gizi karyawan penjahit di kedua perusahaan yaitu normal dan gemuk. Karyawan penjahit tergolong masih kurang aktifitas gerak dengan konsumsi energi yang cukup dan berlebih sehingga beresiko terhadap kesehatan dan gizi.
SARAN Perlunya perhatian dari pihak perusahaan dan karyawan untuk dapat mengkonsumsi menu makanan lengkap (seimbang) terutama sayur-sayuran dan buahbuahan setiap hari. Melakukan aktifitas fisik seperti olahraga dan kegiatan yang mengeluarkan energi agar menjadi sehat dan bugar setiap hari. DAFTAR PUSTAKA Amelia, AH. 2009. Perilaku Makan Khas Remaja. Dikutip dari. Hhtp:// www. kompas.com. Aziiza, Farah. 2008. Analisis Aktifitas Fisik, Komsumsi Pangan, dan Status Gizi Dengan Produktifitas Kerja Pekerja Wanita Di Industri Konveksi. Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan DEPKES RI. 2007.Riset Kesehatan Dasar. Hadi, H. 2003. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional. Yogyakarta. Dikutip dari. Hhtp://www.gizi.net/download/beban% 20ganda%20masalah%20gizi.pdf. Diakses pada tanggal 3 September 2012. Hidayah, Ainun. 2011. Kesalahan-Kesalahan Pola Makan Pemicu Seabrek Penyakit Mematikan. Penerbit Buku Biru. Jogjakarta. Kartasapoetra, G, dan Marsetyo. 2008. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan, dan Produktivitas Kerja), Cetakan Keenam. PT.Rineka Cipta. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta. Khasanah, Nur. 2012. Waspadai Beragam Penyakit Degeneratif Akibat Pola Makan. Penerbit Laksana. Jogjakarta. Khomsan, A, dkk. 2004. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Khumaidi. 1994. Gizi Masyarakat. BPK Gunung Mulia. Jakarta. Nadimin. 2011. Gaya Hidup dan Status Gizi Pegawai Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan. Jurnal jurusan Gizi Politeknik
Kesehatan. Makassar. Volume X. Edisi 2. Hal 26-30. Ramadha W. 2009. Gaya Hidup Pada Mahasiswa Penderita Hipertensi. Dikutip dari. Hhtp:///etd. eprints. ums. ac.id. Diakses tanggal 12 Juli 2012. Rini, Mutia. 2007. Gambaran Status Gizi Dan Ketersediaan Komsumsi Makanan Pada Santri Putri Di Pondok Pesantren Islam ’Ibadur rahman Payamabar Stabat. Skripsi FKM USU. Medan. Septi, Latifa. 2010. Gizi Dan Produktifitas Kerja. Semarang. Dikutip dari. http://www.scribd.com/doc/33529683/ Gizi-Dan-Produktivitas-Kerja. Diakses tanggal 12 Maret 2013. Sri, Maulina. 2011. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Aktifitas Fisik Dengan Fungsi Kongnitif pada Lansia di Kelurahan Darat. Thesis FK-USU. Medan. Supariasa, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta. Soehardjo. 1996. Pangan, Gizi dan Pertanian. UI Press. Jakarta. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Winarno, F.G.1997. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI (0-6 BULAN) DI KELURAHAN BANTAN KECAMATAN MEDAN TEMBUNG TAHUN 2013 Yesica Siallagan1, Erna Mutiara2, Yusniwarti Yusad2 1
2
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU
Abstract Exclusive breasfeeding means that an infant receives only breastmilk with no additional foods or liquids, not even water for the infant of 0-6 months. Based on data of National Institute of Health Research & Development in 2010 only 15,3% infants in Indonesia got exclusive breastfeeding whereas the expected target was 80%. Data from Health Profile of Medan Municipality Health Office in August 2011 there were 174 (4,08%) infants got exclusive breastfeeding. This low coverage gave rise to remaind health problems in the babies that it can bring impact on the quality of human resources in the future. The purpose of this study was to know factors associated with exclusive breastfeeding to the baby of 0-6 months old the Bantan Village, Medan Tembung Sub District in 2013. The design of this study was cross-sectional. The population in this study were all mothers with babies of 7-12 months old the Bantan Village, Medan Tembung Sub District amounted 181 mothers. The technique of sampling was purposive sampling and 100 of them were selected to be sample. Data were collected by interview using questionnaires. Data analysis included univariate and bivariate by using chi-square test. The results of this study showed that 100 respondents, from data analisis stases of included univariate and bivariat only four respondent (4,0%) gave exclusive breastfeeding. It was found there was relationship between knowledge (p = 0,023), education level (p = 0,018) and the factor of tradition/habit (p = 0,002) with exclusive breastfeeding. Medan Municipality Health office is expected to increase knowledge of the mother through health workers at Mandala Health Center by giving extention or counseling about exclusive breasfeeding and the impact of the other foods and drinks given to infants before the age of 6 months. Key words : Exclusive breastfeeding knowledge, education and tradition/habit
PENDAHULUAN ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai
berumur 6 bulan, kecuali obat dan vitamin. Namun bukan berarti setelah pemberian ASI eksklusif pemberian ASI dihentikan, akan tetapi tetap
1
diberikan kepada bayi sampai bayi berusia 2 tahun (WHO, 2011). Menurut WHO dan UNICEF (2012) laporan anak dunia 2011 yaitu dari 136,7 juta bayi lahir diseluruh dunia dan hanya 32,6% dari mereka yang disusui secara eksklusif dalam 6 bulan pertama. Sedangkan di negara industri, bayi yang tidak diberi ASI eksklusif lebih besar meninggal dari pada bayi yang diberi ASI eksklusif. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dihubungkan dengan penurunan kasus diare (53,0%) dan ISPA (27,0%). Sementara di negara berkembang hanya 39% ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif (UNICEF, 2011). Cakupan ASI eksklusif di Indonesia juga belum mencapai angka yang diharapkan yaitu sebesar 80%. Data dari badan penelitian dan pengembangan kesehatan 2010 menunjukkan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif di Indonesia hanya 15,3%. Di Kota Medan, berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota Medan pada bulan Agustus 2011 dari 39 Puskesmas yang ada di Medan terdapat 174 (4,08%) bayi yang diberi ASI eksklusif dan terdapat 4089 (95,9%) bayi yang tidak diberi ASI eksklusif. Menurut Depkes RI (2009) Angka Kematian Bayi (AKB) yang masih cukup tinggi yaitu 35/1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 menjadi tolak ukur penilaian
kesejahteraan suatu daerah, wilayah atau negara. Diasumsikan anak-anak tersebut meninggal karena berbagai penyebab kematian. Penyebab kematian anak-anak masih bisa diperbaiki sehingga tidak menderita berkepanjangan dan berakhir dengan kematian. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif dapat mempercepat penurunan angka kematian bayi dan sekaligus meningkatkan status gizi balita yang pada akhirnya akan meningkatkan status gizi masyarakat menuju tercapainya kualitas sumber daya manusia yang memadai. Menyusui adalah suatu proses alamiah. Berjuta-juta ibu diseluruh dunia berhasil menyusui bayinya tanpa pernah membaca buku tentang ASI. Bahkan ibu yang buta huruf pun dapat menyusui anaknya dengan baik. Walaupun demikian, dalam lingkungan kebudayaan kita saat ini melakukan hal yang alamiah tidaklah selalu mudah. Menyusui akan menjamin bayi tetap sehat dan memulai kehidupannya dengan cara yang paling sehat (Utami, 2007). Dari hasil survei pendahuluan yang dilakukan, diperoleh data dari Puskesmas Mandala tahun 2011 hanya 48 bayi (1,7%) yang diberi ASI eksklusif dan pada bulan Januari sampai Agustus 2012 hanya 25 (1,6%) bayi yang diberi ASI eksklusif sementara target yang diharapkan adalah 80% tahun 2012
2
Tabel 1.1 Pencapaian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala Tahun 2012. Jumlah Bulan Kelurahan bayi ASI Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Eksklusif (%) Bandar 358 3 3 1 2 2 0 0 0 11(3,0%) Selamat Bantan 571 1 2 2 1 0 0 0 0 6 (1,0%) Timur Bantan 402 0 1 1 1 1 0 0 0 4 (0,9%) Tembung 212 0 2 0 1 1 0 0 0 4 (1,8%) Jumlah 1543 4 8 4 5 4 0 0 0 25(1,6%) Sumber : Profil Puskesmas Mandala, 2012. Dari tabel diatas pencapaian ASI eksklusif di Kelurahan Bantan pada bulan Januari sampai Agustus dari 402 bayi hanya 4 (0,9%) bayi yang ASI eksklusif. Dari data ini memperlihatkan ketidakberhasilan ibu dalam memberikan ASI eksklusif. Adapun informasi yang diperoleh dari 7 orang ibu yang tidak memberi ASI ekslusif mengatakan alasan tidak diberi ASI eksklusif karena ASI kurang (anak pertama ada yang ASI eksklusif namun setelah anak kedua ibu merasa ASI kurang sehingga ibu memberi makanan tambahan), ibu yang bekerja mengatakan tidak sempat memberi ASI pada bayi selain itu ibu merasa kurang istirahat jika harus menyusui bayinya lagi, kurang mengetahui tentang ASI eksklusif, mengikuti kebiasaan yang memberikan madu, air putih, pisang kepada bayinya, ibu yang sudah berumur 35 tahun merasa sudah tua dan ibu mengatakan ASI nya sudah kurang jadi perlu ditambah dengan susu formula dan tidak keluarnya ASI setelah 30 menit bayi lahir sehingga penolong persalinan langsung
memberikan susu formula kepada bayi. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian adalah masih rendahnya cakupan ASI eksklusif di Kelurahan Bantan sehingga ingin diteliti “Faktor apakah yang berhubungan dengan pemberian ASI Eksklusif pada bayi (06 bulan)” di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung Tahun 2013. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif pada bayi (0-6 bulan) di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung Tahun 2013. Manfaat Penelitian : 1. Sebagai informasi bagi Dinas Kesehatan Kota Medan agar meningkatkan motivasi dan kinerja tenaga kesehatan khususnya di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung. 2. Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan di Kelurahan Bantan dalam upaya peningkatan cakupan program dengan
3
3.
memberikan penyuluhan pada masyarakat tentang ASI eksklusif. Bisa dijadikan sumber referensi untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terutama yang berhubungan dengan ASI eksklusif.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif-analitik cross sectional dimana pengukuran atau pengamatan terhadap subjek penelitian dilakukan dengan sekali pengamatan (Ghazali, 1995). Populasi pada penelitian ini adalah semua ibu yang mempunyai bayi yang masih hidup umur 7-12 bulan yang berada di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung tahun 2013. data yang diperoleh dari bulan Januari - Desember 2012 bayi yang berumur 7-12 bulan sebanyak 181 bayi. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara Purposive Sampling. Berdasarkan perhitungan besar sampel, maka besar sampel minimal yang dibutuhkan untuk responden sebanyak 87 responden terdiri dari 4 responden memberikan ASI eksklusif dan 86 responden tidak memberikan ASI eksklusif. Agar data lebih akurat peneliti menambah 10% respons rate. Analisis data dilakukan secara bertahap, yaitu dengan analisis univariat dan analisis bivariat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Univariat Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan hasil penelitian distribusi responden berdasarkan pemberian ASI eksklusif adalah sebagai berikut : Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung Tahun 2013 Pemberian n % ASI Eksklusif ASI Eksklusif Ya 4 4,0 Tidak 96 96,0 responden yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 4 responden (4,4%), sedangkan yang tidak memberikan ASI eksklusif sebanyak 86 responden (96,0%). Faktor Internal Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan faktor internal adalah sebagai berikut :
4
Tabel
2.
Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Internal Ibu di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung Tahun 2013
Faktor Internal Tingkat Pengetahuan Baik Cukup Kurang Tingkat Pendidikan Tinggi Sedang Rendah Umur < 20 tahun 20-35 tahun >35 tahun Pekerjaan Ibu Bekerja Tidak Bekerja Paritas/Jumlah anak 1-2 anak 3-4 anak > 4 anak
n
17 76 7
terbanyak pada kelompok umur 20-35 tahun sebanyak 82 responden (82,0%), pekerjaan ibu yang tebanyak adalah ibu yang tidak bekerja sebanyak 83 responden (83,0%), dan berdasarkan jumlah anak/paritas ibu terbanyak yaitu ibu yang memiliki 1-2 orang anak sebanyak 64 responden (64,0%),
%
17,0 76,0 7,0
Faktor Eksternal Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan faktor eksternal sebagai berikut : Tabel
15 78 7
15,0 78,0 7,0
7 82 11
7,0 82,0 11,0
17 83
17,0 83,0
64 27 9
64,0 27,0 9,0
Berdasarkan hasil penelitian dari faktor eksternal ibu terdiri dari tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, umur, pekerjaan, penolong persalinan. Responden yang terbanyak yaitu responden yang memiliki tingkat pengetahuan cukup sebanyak 76 responden (76,0%) dan tingkat pendidikan terbanyak pada tingkat pendidikan sedang sebanyak 78 responden (78,0%), kelompok umur
3.
Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Eksternal Ibu di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung Tahun 2013
Faktor Eksternal Tradisi/Kebiasaan Ibu Ada Tidak ada Penolong Persalinan Ya Tidak
n
%
77 23
77,0 23,0
76 24
76,0 24,0
Berdasarkan hasil penelitian faktor internal yaitu terbanyak ibu yang memiliki tradisi/kebiasaan yaitu sebanyak 77 responden (77,0%) sedangkan penolong persalinan paling banyak menganjurkan memberikan ASI eksklusif yaitu sebanyak76 responden (76,0%).
5
Analisis Bivariat Faktor Internal Hasil penelitian hubungan faktor internal dengan pemberian ASI eksklusif di Kelurahan Bantan
Kecamatan Medan Tembung Tahun 2013 adalah sebagai :
Tabel 4. Hubungan Faktor Internal Dengan Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung Tahun 2013 Faktor Internal
Ya n
Tingkat Pengetahuan Baik Cukup Kurang Tingkat Pendidikan Tinggi Sedang Rendah Umur < 20 tahun 20-35 tahun > 35 tahun Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja Jumlah anak/paritas 1-2 anak 3-4 anak > 4 anak
Pemberian ASI Eksklusif Tidak Jumlah % n % n %
p
χ2
3 1 0
17,6 1,3 0,0
14 75 7
82,4 98,7 100,0
17 76 7
100,0 100,0 100,0
0,023
6,997
3 1 0
20,0 1,3 0,0
12 77 7
80,0 98,7 100,0
15 78 7
100,0 100,0 100,0
0,018
7,848
0 4 0
0,0 4,9 0,0
7 78 11
100,0 95,1 100,0
7 82 11
100,0 100,0 100,0
1,000
0,313
0 4
0,0 4,8
17 79
100,0 95,2
17 83
100,0 100,0
0,356
0,853
2 2 0
3,1 7,4 0,0
62 25 9
96,9 92,6 100,0
64 27 9
100,0 100,0 100,0
0,713
1,221
Hasil analisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh yang terbanyak memberikan ASI eksklusif adalah reponden yang memiliki pengetahuan baik ada sebanyak 3 responden (17,6%) dan terbanyak tidak meberi ASI eksklusif responden yang tingkat pengetahuan sedang sebanyak 75 responden (98,7%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,023 <0,05 artinya ada hubungan tingkat pengetahuan dengan pemberian ASI eksklusif.
Hasil analisis hubungan antara tingkat pendidikan dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh yang terbanyak memberikan ASI eksklusif adalah responden yang memiliki tingkat pendidikan tinggi sebanyak 3 responden (20,0%) dan responden terbanyak tidak memberikan ASI eksklusif adalah responden dengan pendidikan sedang sebanyak 77 responden (98,7%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,018<0,05 artinya ada hubungan tingkat pendidikan dengan pemberian ASI eksklusif.
6
Hasil analisis hubungan antara umur ibu dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh yang terbanyak memberikan ASI eksklusif yaitu ibu umur 20-35 tahun yaitu 4 responden (4,9%) dan kelompok umur yang sama dan terbanyak tidak memberikan ASI eksklusif yaitu 78 responden (95,1%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=1,000>0,05 artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan pemberian ASI eksklusif, Hasil analisis hubungan antara pekerjaan ibu dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh yang terbanyak memberikan ASI eksklusif pada ibu. yang tidak bekerja sebanyak 4 responden (4,8%) dan 79 responden Faktor Eksternal Hasil penelitian hubungan faktor eksternal dengan pemberian ASI eksklusif di Kelurahan Bantan
(95,2%) yang tidak memberikan ASI eksklusif. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,356>0,05 artinya tidak ada hubungan pekerjaan dengan pemberian ASI eksklusif. Hasil analisis hubungan antara jumlah anak/paritas dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh ibu yang memiliki anak 1-2 dan 2-3 anak ada 2 responden dan yang memiliki anak 1-2 ada 62 responden (96,9%) tidak memberikan ASI eksklusif. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=7,13>0,05 artinya tidak ada hubungan jumlah anak/paritas dengan pemberian ASI eksklusif.
Kecamatan Medan Tembung Tahun 2013 adalah sebagai berikut :
Tabel 5. Hubungan Faktor Eksternal Dengan Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung Tahun 2013
Faktor Eksternal
Ya n
Tradisi/kebiasaan Ada Tidak ada Penolong Persalinan Ya Tidak
Pemberian ASI Eksklusif Tidak Jumlah % n % n %
0 4
0,0 17,4
77 19
100,0 82,6
77 23
100,0 100,0
4 0
5,5 0,0
69 27
94,5 100,0
73 15
100,0 100,0
Hasil analisis hubungan antara tradisi/kebiasaan ibu dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh ibu yang terbanyak memberikan ASI eksklusif adalah ibu yang tidak memiliki tradisi/kebiasaan ada sebanyak 4 responden (17,4%) dan ibu
P
χ2
0,002
13,949
0,214
1,541
yang memiliki tradisi/kebiasaan ada 77 responden dan tidak satupun yang memberikan ASI eksklusif. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,002<0,05 artinya ada hubungan yang bermakna tradisi/kebiasaan dengan pemberian ASI eksklusif. 7
Hasil analisis hubungan antara penolongpersalinan menganjurkan atau tidak menganjurkan memberikan ASI eksklusif. Yang terbanyak memberikan ASI eksklusif adalah penolong persalinan yang menganjurkan memberikan ASI eksklusif ada 4 responden (5,5%) dan ada 69 responden (94,5%) yang tidak memberikan ASI eksklusif. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,214>0,05 artinya tidak ada hubungan penolong persalinan dengan pemberian ASI eksklusif.
kepada ibu hamil dan menyusui melalui petugas kesehatan dalam upaya meningkatkan pengetahuan tentang ASI eksklusif dan dampak pemberian makanan dan minuman lain kepada bayi. 3. Hendaknya kebiasaan-kebiasaan yang ada dimasyarakat dalam pemberian makanan/minuman selain ASI kepada bayi di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung dikontrol seketat mungkin agar tidak menyesatkan bagi masyarakat.
KESIMPULAN 1. Hanya ada 4 responden (4,0%) yang memberikan ASI eksklusif dan 86 responden (96,0%) yang tidak memberikan ASI eksklusif. 2. Faktor tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan dan tradisi/kebiasaan merupakan faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung Tahun 2013. 3. Faktor umur, pekerjaan, paritas dan penolong persalinan tidak ada hubungan yang bermakna dengan pemberian ASI eksklusif di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung Tahun 2013.
DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, KemenKes RI. 2011. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2010. http: //www.litbang .depkes.go .id/ sites /download/bukulaporan/ lapnas_riskesdas2010/Laporan _riskesdas_2010.pdf. diakses 10 September 2012. Departemen Kesehatan RI. 2009. Air Susu Ibu Membentuk Pertumbuhan,Perkembangan dan Kecerdasan Anak, Jakarta. Dinas Kesehatan. 2012. Buku Laporan Dinas Kesehatan Kota Medan 2011, Medan. Ghazali MV, dkk. 1995. Studi Cross Sectional. Dalam Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Editor Sastroasmoro & Ismael S. Penerbit Sagung Seto. Madiyono B, dkk. 2011. Perkiraan Besar Sampel. Dalam DasarDasar Metodologi Penelitian Klinis, Editor Sastroasmoro S & Ismael S. Penerbit Sagung Seto, Jakarta.
SARAN 1. Meningkatkan kerjasama Dinas Kesehatan Kota Medan dengan Rumah sakit, Puskesmas dan Klinik bersalin dalam melakukan dalam melakukan pengawasan untuk meningkatkan program ASI eksklusif. 2. Meningkatkan penyuluhan dan konseling kepada ibu-ibu terutama
8
Puskesmas Mandala. 2012. Profil Puskesmas Mandala Tahun 2011, Medan. Sadjaja. 2009. Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga. Penerbit Kompas, Jakarta. UNICEF. 2011. Breastfeeding. http: / / www.unicef. org / nutrition / index24824 . html. diakses 3 Agustus 2012. Utami R. 2007. Panduan Praktis Menyusui. Penerbit Niaga Swadaya, Jakarta. WHO. 2011. Exclusive Breasfeeding. http://www.int/nutrition/topice xclusive_ _breasfeeding/en. diakses 3 September 2012.
9