UNIVERSIITAS INDO ONESIA
INTERVE ENSI APOTEKER T TERHADA AP MASA ALAH TERKAIT OBA AT PADA PASIEN STROKE E DAN GA ANGGUAN N KARDIO OVASKUL LAR DI RUANG R PE ERAWAT TAN INTE ENSIF RUMKITA R AL DR. MIINTOHAR RDJO JAK KARTA
TESIS
Mayannnaria Simarm mata 08806422113
FAKUL LTAS MATE EMATIKA DAN ILMU U PENGETA AHUAN ALA AM PROGRAM P M PASCA SA ARJANA PROGR RAM STUD DI ILMU KE EFARMASIA AN DEPOK JU ULI 2010
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
UNIVERSIITAS INDO ONESIA
INTERVE ENSI APOTEKER T TERHADA AP MASA ALAH TERKAIT OBA AT PADA PASIEN S STROKE DAN GA ANGGUAN KARDIO OVASKUL LAR DI RUANG R PE ERAWAT TAN INTE ENSIF RUMKITA R AL DR. MIINTOHAR RDJO JAK KARTA
TESIS Diajukan sebagai salaah satu syaraat untuk mem mperoleh gellar Magister Sains
Mayannnaria Simarm mata 08806422113
FAKUL LTAS MATE EMATIKA DAN ILMU U PENGETA AHUAN ALA AM PROGRAM P M PASCA SA ARJANA PROGR RAM STUD DI ILMU KE EFARMASIA AN DEPOK JU ULI 2010
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang karena atas berkat dan Rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Pada kesempatan ini tak lupa penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ibu
Dra.
Retnosari
Andradjati,
MS,Phd,Apt.
dan
Ibu
Dra.
Sri
Suwardhani,Apt,Msi selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan tenaganya dalam memberikan bimbingan, saran dan dukungan selama penelitian sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. 2. Ibu Dra. Azizahwati, MS,Apt. dan Ibu Dra. Rizka Andalusia, M.Pharm, MARS selaku penguji yang telah memberikan saran-saran yang berarti untuk perbaikan penulisan tesis ini. 3. Ibu Prof. Dr. Effionora Anwar,MS selaku ketua Program Pasca sarjana Ilmu Kefarmasian FMIPA UI yang telah mempermudah penulis selama menyelesaikan pendidikan di program Magister Ilmu Kefarmasian. 4. Kepala Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.Mintohardjo Jakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian pada instansi yang beliau pimpin. 5. Seluruh staf Departemen Farmasi dan dokter serta perawat Ruang Perawatan Intensif Rumkital Dr.Mintohardjo Jakarta atas segala bantuan, dukungan dan kerjasama yang baik. 6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pasca sarjana Ilmu Kefarmasian FMIPA UI atas limpahan ilmu yang berguna selama penulis menempuh masa pendidikan. 7. Lies Wahyuni atas bantuannya dalam kelancaran administrasi pendidikan kepada penulis. 8. Ibu, Kakak dan Adik-adik atas doa, dukungan,dorongan semangat agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan Pascasarjana ini. 9. Suami dan putri yang tercinta, atas segala pengorbanan,dukungan dan doa yang senantiasa diberikan kepada penulis selama penulis menempuh pendidikan pasca sarjana. v Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
10. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam penelitian ini.
Pada kesempatan ini penulis tak lupa menyampaikan permohonan maaf atas segala kesalahan, kelemahan serta kekurangan selama menjalani
masa
pendidikan dan selama penelitian ini. Penelitian ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap agar hasil penulisan memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.
Penulis 2010
vi Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
ABSTRAK
Nama : Mayannaria Simarmata Program studi : Ilmu Kefarmasian Judul : Intervensi Apoteker Terhadap Masalah Terkait Obat pada Pasien Stroke dan Gangguan Kardiovaskular di Ruang Perawatan Intensif Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta Masalah terkait obat adalah kejadian yang melibatkan terapi obat yang secara nyata atau potensial terjadi akan mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan. Pasien yang mendapat perawatan intensif ditangani oleh team dokter sehingga mendapat polifarmasi yang menyebabkan kemungkinan besar terjadi interaksi obat sehingga menimbulkan masalah baru bagi pasien. Peranan apoteker pada pasien perawatan intensif masih terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh intervensi terhadap masalah terkait obat pada pasien stroke dan gangguan kardiovaskular di ruang perawatan intensif Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta dan mendeskripsikan kondisi klinis pasien sebelum dan setelah intervensi. Penelitian yang dilakukan adalah studi eksperimen sebelum dan sesudah intervensi terhadap masalah terkait obat yaitu Pre dan Post Design yang bersifat prospektif. Kondisi klinis pasien dinilai dengan menggunakan skor Apache II. Jumlah pasien pada penelitian ini adalah 31 orang dengan umur 31-83 tahun (rata-rata 60,42 tahun). Laki-laki 21 orang ( 67,74% %). Hasil penelitian menunjukkan 93,54% pasien mengalami masalah terkait obat dengan rata-rata 5,55 masalah terkait obat per pasien. Masalah terkait obat yang paling banyak ditemui adalah interaksi potensial (26,74%), perlu pemeriksaan laboratorium (21,51%) dan dosis obat terlalu tinggi/regimen dosis terlalu sering (14,53%). Pemberian intervensi berpengaruh nyata (p=0,000) terhadap jumlah kejadian masalah terkait obat. Kondisi klinis seluruh pasien sebelum intervensi pada skor Apache 2-31, sedangkan kondisi klinis pasien yang masih hidup setelah intervensi pada skor Apache 0-19. Pasien yang meninggal sebanyak 14 orang. Terdapat perbedaan yang bermakna antara kondisi klinis pasien yang masih hidup sebelum dan setelah intervensi (p=0,031). Intervensi apoteker secara bermakna menurunkan jumlah masalah terkait obat. Kata kunci
: Masalah terkait obat, perawatan intensif, kondisi klinis, polifarmasi, interaksi obat. xv+114 halaman: 12 tabel; 19 lampiran Daftar Pustaka : 44 (1984-2010)
viii Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
ABSTRACT
Name : Mayannaria Simarmata Study Program : Pharmacy Title : Pharmacist Intervention on Drug Related Problems of Stroke and Cardiovascular Disorders Patients at Intensive Care Unit Dr. Mintohardjo Navy Hospital Jakarta Drug related problem (DRP) is an event or circumstance involving drug therapy, that may actually or potentially interferes with desired health outcomes. Intensive care patients are often care by several teams with the result that polypharmacy that can lead to drugs interaction. The role of pharmacist at intensive care patient is limited. The objectives of this study were evaluating about the influence of pharmacist intervention on DRPs of cardiovascular disorders patients at intensive care unit and describing clinical condition of patients before and after intervention. The method which was used in this study was prospective with experimental study pre and post intervention for DRPs. Patient clinical condition was evaluated by Apache Score II. In this study the number of patient involved were 31 at the age 31-83 years (mean age 60,42 years). Mens were 21 (67,74%). The result showed that 93,54% of the patient had DRPs and an average of 5,5 DRPs were recorded per patient. The DRPs categorize most often were potential interaction (26,74%), need laboratory test (21,51%), and drug dose too high or dosage regime too frequent ((14,53%). The patient used average of 10,81 drugs during hospitalization.There was statistically significant difference between DRPs pre and post intervention with (p= 0,000). Clinical condition of all patients before intervention was at Apache score 2-31 while clinical condition of all life patients after intervention was at Apache score 0-19. Patients who died in this study were 14 patients. There was statistically significant difference between the clinical status of life patients post and pre intervention (p= 0,031). Pharmacist intervention significantly decreased DRPs. Key word
: DRPs, Intensive care, clinical status , polypharmacy, drugs Interaction. xv+114 pages: 12 tables; 19 supplement Bibliography : 44 (1984-2010)
ix Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.................................................................................. i HALAMAN JUDUL..................................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.......................................... iii HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iv KATA PENGANTAR................................................................................... v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...................... vii ABSTRAK..................................................................................................... viii DAFTAR ISI……………………..………………............………..………. x DAFTAR TABEL.......................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xiii DAFTAR SINGKATAN............................................................................... xiv 1.PENDAHULUAN…...…….……………………………...........……… 1 1.1 Latar Belakang ………..…………………………........………....... 1 1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 3 1.3 Tujuan Penelitian............................................................................... 3 1.4 Manfaat Penelitian............................................................................. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 5 2.1 Masalah terkait obat........................................................................... 5 2.1.1 Definisi masalah terkait obat...................................................... 5 2.1.2 Klasifikasi masalah terkait obat.................................................. 5 2.2 Tipe intervensi ................................................................................... 6 2.3 Ruang perawatan intensif................................................................... 6 2.3.1.Pengertian ruang perawatan intensif ......................................... 6 2.3.2 Ruang lingkup pelayanan perawatan intensif ........................... 6 2.4 Farmakokinetika pada pasien kritis..................................................... 7 2.4.1 Absorpsi...................................................................................... 7 2.4.2 Distribusi.................................................................................... 7 2.4.3 Ikatan protein.............................................................................. 8 2.4.4 Eliminasi..................................................................................... 8 2.5 Stroke.................................................................................................... 8 2.5.1 Pengertian stroke........................................................................ 8 2.5.2 Klasifikasi stroke........................................................................ 9 2.5.3 Faktor risiko pada stroke iskemik.............................................. 9 2.5.4 Evaluasi diagnostik..................................................................... 9 2.5.5 Terapi trombolitik....................................................................... 10 2.5.6 Terapi anti trombotik.................................................................. 10 2.5.7 Manajemen medik...................................................................... 10 2.6 Hipertensi............................................................................................. 12 2.6.1 Pengertian dan klasifikasi hipertensi.......................................... 12 2.6.2 Komplikasi..................................................................................13 2.6.3 Pengobatan Hipertensi.................................................................13 2.6.4 Hipertensi dengan diabetes melitus.............................................13 2.6.5 Hipertensi gawat (emergency) dan hipertensi urgen (urgency). 14 2.7 Diabetes melitus................................................................................. 14 2.7.1 Komplikasi akut diabetes melitus............................................. 15 x Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
2.7.2 Penyulit kronik dibetes melitus................................................ 16 2.8 Infark miokard.......................................................................................16 2.8.1 Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST(STEMI)........17 2.8.2 Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)..........18 3. METODE PENELITIAN...................................................................... 21 3.1 Rancangan penelitian......................................................................... 21 3.2 Tempat dan jadual penelitian............................................................... 21 3.3 Populasi dan Sampel........................................................................... 21 3.4 Landasan teori.....................................................................................22 3.5 Kerangka konsep dan hipotesis penelitian..........................................23 3.6 Variabel penelitian dan definisi operasional...................................... 23 3.7 Cara pengambilan data....................................................................... 27 3.8 Analisis data...................................................................................... 27 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................................28 4.1 Data demografi pasien......................................................................... 28 4.1.1 Usia dan jenis kelamin............................................................... 28 4.1.2 Lama perawatan......................................................................... 29 4.1.3 Penggunaan obat........................................................................ 29 4.1.4 Kondisi klinis pasien................................................................. 30 4.1.5 Diagnosa pasien dan gangguan/penyakit penyerta.................. 33 4.2 Masalah terkait obat............................................................................ 34 4.2.1 Reaksi obat yang tidak diinginkan............................................. 37 4.2.2 Permasalahan pemilihan obat.................................................... 38 4.2.2.1 Obat tidak tepat............................................................. 38 4.2.2.2 Obat kontra indikasi..................................................... 39 4.2.2.3 Tidak ada indikasi untuk obat.................................... .. 39 4.2.2.4 Tidak mendapat obat ada indikasi................................. 40 4.2.3 Permasalahan dosis.................................................................. 40 4.2.4 Permasalahan penggunaan obat ................................................ 41 4.2.5 Interaksi obat............................................................................. 41 4.2.5.1 Interaksi obat potensial................................................. 41 4.2.5.2 Interaksi obat bermakna................................................ 44 4.2.6 Kurang kesadaran/pengetahuan akan kesehatan dan penyakit 47 4.2.7 Keluhan tidak jelas. Perlu penjelasan lebih lanjut.................. 48 4.2.8 Perlu pemeriksaan laboratorium................................................ 48 4.2.9 Cara pemberian/penyiapan obat tidak tepat.............................. 50 4.2.10 Waktu pemberian obat tidak tepat........................................... 51 4.3 Analisis.............................................................................................. 53 4.3.1 Perbedaan kondisi klinis pasien sebelum dan sesudah intervensi................................................................................ 53 4.3.2 Perbedaan jumlah masalah terkait obat sebelum dan sesudah intervensi................................................................................. 53 4.4 Keterbatasan penelitian...................................................................... 54 5. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 55 5.1 KESIMPULAN.................................................................................. 55 5.2 SARAN.............................................................................................. 55 DAFTAR REFERENSI.............................................................................. 57
xi Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 3.1 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9
Obat anti hipertensi kombinasi.......................................................... 11 Klasifikasi tekanan darah pada dewasa (umur ≥ 18 tahun) berdasarkan JNC7.............................................................................. 12 Kategori masalah terkait obat yang diidentifikasi…………………. 26 Data demografi pasien…………………………………………...….28 Data penilaian kondisi klinis pasien sebelum dan sesudah intervensi yang dinilai berdasarkan skor Apache II………………………… 30 Distribusi frekuensi kondisi klinis awal seluruh pasien berdasarkan kategori skor Apache II…………………………………………… 32 Distribusi frekuensi kondisi klinis awal dan kondisi klinis akhir pasien yang masih hidup berdasarkan kategori skor Apache II…………… 32 Distribusi frekuensi kondisi klinis awal pasien yang meninggal berdasarkan kategori skor Apache II……………………….…… 32 Masalah terkait obat seluruh pasien sebelum dan sesudah intervensi…………………………………………………………. 34 Distribusi frekuensi jumlah jenis obat berdasarkan kategori masalah terkait obat………………………………………………………… 35 Masalah terkait obat seluruh pasien berdasarkan kategori masalah terkait obat………………………………………………………… 36 Jenis obat yang menyebabkan masalah terkait obat perlu pemeriksaan laboratorium……………………………………………………… 49
xii Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5.
Kriteria penilaian skor Apache … …………………………… 61 Distribusi frekuensi seluruh obat oral…………………………... 63 Distribusi frekuensi seluruh obat parenteral……………………….. 65 Data penyakit penyerta…………………… …………….……….. 66 Distribusi frekuensi jenis obat yang menyebabkan masalah terkait obat………………………………………………………………… 67 Lampiran 6. Distribusi frekuensi jenis obat yang menyebabkan masalah terkait obat melalui rute oral……..……………………………………….. 68 Lampiran 7. Distribusi frekuensi jenis obat yang menyebabkan masalah terkait obat melalui rute parenteral…………………………………… 69 Lampiran 8. Data jenis obat yang menyebabkan terjadinya masalah terkait obat berdasarkan kategori masalah terkait obat……..…………………. 70 Lampiran 9. Distribusi frekuensi interaksi potensial obat…..………………….. 72 Lampiran 10. Distribusi frekuensi interaksi obat yang bermakna…….………… 73 Lampiran 11. Analisa statistik metoda Wilcoxon data sebelum dan sesudah intervensi terhadap kondisi klinis pasien yang masih hidup.……… 74 Lampiran 12. Analisa statistik metoda Wilcoxon data sebelum dan sesudah Intervene terhadap masalah terkait obat.………………………… 75 Lampiran 13. Jumlah masalah terkait obat berdasarkan kategori masalah terkait obat sebelum intervensi……………………………………………. 76 Lampiran 14. Jumlah masalah terkait obat berdasarkan kategori masalah terkait Obat sesudah intervensi…………………………………….…. 77 Lampiran 15. Data interaksi obat potensial………………………………………. 78 Lampiran 16. Data interaksi obat bermakna……………….…………………. 80 Lampiran 17. Dosis obat yang digunakan sebagai standar ketepatan dosis……. 81 Lampiran 18 Profil obat yang digunakan……………………………………… 86 Lampiran 19. Data masalah terkait obat, intervensi dan hasil intervensi seluruh pasien……………………………………………………………. 97
xiii Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
DAFTAR SINGKATAN
a.c ACS AFRR ALO An. Aorta ARB BAB BAK BP CABG CAD CCB CCT CKB CVC D5W dbn DM DM Hiper DM Hipo DM Nefro EF EP Bil. FPS GCS GEA GFG GFH GGA GGK Hb HCT Hep. Akut HHD Hiper Kol. Ht HT ICH ICU IL. Obs IM
: ante coenam : Artery Coronary Syndrome :Atrial Fibrillation Rapid Respon : Acute Lung Oedema : Aneurisme Aorta : Angiotensin Receptor Blocker : Buang air besar : Buang air kecil : Bronkopneumonia : Coronary Artery Bypass Graft : Coronary Artery Desease : Calcium Channel Blocker : Clearance creatinin : Cedera Kepala Berat : Central Venous Chatether : Dekstrosa 5% : dalam batas normal : Diabetes Melitus : Diabetes Melitus Hiperglikemik : Diabetes Melitus Hipoglikemik : Diabetes Melitus Nefropati : Ejection Fraction : Efusi Pleura Bilateral : Fraktur Patella Sinistra : Glasgow Coma Scale : Gastro Entritis Acute : Gangguan Fungsi Ginjal : Gangguan Fungsi Hati : Gagal Ginjal Akut : Gagal Ginjal Kronik : Hemoglobin : Hidroklortiazid : Hepatitis Akut : Hipertensive Heart Desease : Hiper Kolesterolemia : Hematokrit : Hipertensi : Intra Cerebral Haemorrhagic : Intensive Care Unit : Ileus Obstruktif : Intra Muskular xiv
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
ISK IV IVH k/p Kej. TK Kej. tonik LBBB LO LSD LV MAP MCI Met. Ens.. NGT NS NSTEMI p.c p.o PCI PCNE PPI SAH SB SC SDH SH ST STEMI TD TIK ur/cr VT
: Infekasi Saluran Kemih : Intra Vena : Intra Ventricular Hemorrhage : kalau perlu : Kejang Tonik Klonik : Kejang Tonik : Left Bundle Branch Block : Lung Oedema : Lysergic Acid Diethylamide : Left Ventricel : Mean arterial Blood Pressure : Myocard Infark : Metabolik Ensefalopati : Nasogastric Tube : Normal salin : Non ST Elevasi Miocard Infark : post coenam : peroral : Percutanous Coronary Intervention : Pharmaceutical Care Network Europe : Proton Pump Inhibitor : Sub Arachnoid Haemorrhagic : Sinus Bradikardi : Sub Cutan : Sub Dural Haemorrhagic : Stroke Hemoragik : Sinus takikardi : ST elevasi Miocard Infark : Tekanan Darah : Tekanan Intra Kranial : ureum/kreatinin : Ventricular takikardi
xv Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah tanggung jawab langsung apoteker pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan mencapai hasil yang ditetapkan yang memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan terapi obat tapi juga keputusan tentang penggunaan obat pada pasien. Termasuk keputusan untuk tidak menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute dan metoda pemberian, pemantauan terapi obat dan pemberian informasi dan konseling pada pasien (American Society of Hospital Pharmacists, 1993). Masalah terkait obat (Drug-Related Problem/DRPs) oleh Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) didefinisikan sebagai setiap kejadian yang melibatkan terapi obat yang secara nyata atau potensial terjadi akan mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan. Suatu kejadian dapat disebut masalah terkait obat bila pasien mengalami kejadian tidak diinginkan baik berupa keluhan medis atau gejala dan ada hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat. PCNE mengidentifikasi permasalahan yang terkait dengan obat, yaitu: (1) Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki/ROTD ,(2) masalah pemilihan obat, (3) masalah pemberian dosis obat, (4) masalah pemberian/penggunaan obat, (5) interaksi obat, (6) masalah lainnya.(Pharmaceutical Care Network Europe,2006) Sebuah penelitian tahun 2003 yang dilakukan di Amerika Serikat menyatakan bahwa biaya yang diperlukan untuk mengatasi masalah terkait dengan obat diperkirakan mencapai 177,4 miliar dolar. Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya juga menyatakan bahwa masalah terkait dengan obat merupakan salah satu penyebab pasien di rawat di rumah sakit (Ernst FR, Grizzle AJ.,2001) Ruang perawatan intensif (ICU) adalah unit perawatan khusus yang dikelola untuk merawat pasien sakit berat dan kritis, cedera dengan penyulit yang mengancam nyawa dengan melibatkan tenaga kesehatan terlatih, serta didukung dengan perlengkapan peralatan khusus. Pelayanan keperawatan intensif
disediakan dan
diberikan kepada pasien dalam keadaan kegawatan dan kedaruratan yang perlu ditanggulangi dan diawasi secara ketat, terus menerus serta tindakan segera, ditujukan 1
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
2
untuk observasi, perawatan dan terapi (Depkes RI.,2006) Dalam satu studi baru terungkap bahwa kesalahan pemberian obat suntik merupakan masalah keamanan utama di ruang intensive care medicine. Kesalahan yang paling sering terjadi adalah dikaitkan dengan salah dalam waktu pemberian obat, dan miss medication, diikuti dengan dosis salah, obat salah dan rute yang salah (Valenti Andreas et al.,2009). Sekitar 97% dari pasien yang dimonitor di ruang perawatan intensif rumah sakit pendidikan Mesir dilaporkan dengan satu atau lebih masalah terkait obat. Rejimen dosis yang tidak benar menunjukkan persentase tertinggi (27,971%) diikuti dengan duplikasi dan penentuan pengobatan yang tidak perlu masing-masing menunjukkan persentasi sekitar 12%, interaksi obat (8,4%),
kurang monitoring
(7,27%), penyalahgunaan antibiotik (5,331%), penghentian pengobatan yang perlu (2,1%),kombinasi yang tidak perlu (2,1%), pengobatan yang tidak sesuai (1,131%) dan kontraindikasi (1,131%) (Sabry Nirmen A, Farid Samar F, Abdel Aziz Emad,2009). Penelitian tentang efek dari partisipasi apoteker pada ronde dokter dan kejadian efek yang merugikan dari obat dilakukan pada ruang perawatan intensif rumah sakit umum Massachusetts di Boston menunjukkan bahwa kehadiran apoteker pada saat ronde sebagai anggota tim di ruang perawatan intensif menurunkan angka kejadian efek yang merugikan dari obat karena kesalahan penentuan obat (Leape Lucian L et al., 1999). Intervensi apoteker dalam mencegah terjadinya masalah terkait dengan obat akan mempengaruhi biaya kesehatan, menyelamatkan kehidupan dan meningkatkan kualitas hidup ( Alderman CP,Farmer C.,2001). Jumlah pasien yang masuk ruang perawatan intensif Rumah Sakit TNI Angkatan Laut (Rumkital) Dr. Mintohardjo pada tahun 2009 adalah sebanyak 393 orang, dengan rata-rata hari perawatan 3,28 hari. Penyakit stroke, infark miokard serta hipertensi adalah merupakan diagnosa terbanyak pada pasien yang di rawat di ruang perawatan intensif ini. Penelitian tentang intervensi apoteker terhadap masalah terkait obat telah dilakukan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani rawat inap dan pada pasien anak rawat jalan di Rumkital Dr. Mintohardjo. Masalah terkait obat yang paling banyak ditemui pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani rawat inap adalah over dosis (65,40%), interaksi potensial obat-obat (38,5%) dan perlu pemeriksaan laboratorium (26,9%) (Aritonang,Robert E., 2008). Masalah terkait obat yang paling banyak ditemui pada pasien anak rawat jalan adalah dosis
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
3
terlalu rendah (28,81%), interval pemberian tidak sesuai (15,90%) dan interaksi potensial (8,99%) (Pramono, Yudi.,2008). Pasien di ruang perawatan intensif sering kali mendapat polifarmasi. Pemberian obat pasien perawatan intensif rata-rata 9 obat. Hal ini menyebabkan kemungkinan besar terjadi interaksi obat dan sebagian besar darinya relevan secara klinik. (Ray S, Bhattacharyya M, Pramanik J, Todi S.,2009).
1.2 Rumusan masalah Pasien yang di rawat diruang perawatan intensif rentan terhadap permasalahan yang terkait dengan terapi obat karena umumnya polifarmasi. Polifarmasi dapat meningkatkan resiko terjadinya interaksi obat sehingga menimbulkan masalah baru bagi pasien. Peranan apoteker pada pasien perawatan intensif masih terbatas. Oleh karena itu perlu diidentifikasi terlebih dahulu frekuensi dan jenis masalah terkait obat, serta intervensi apoteker untuk menurunkan jumlah masalah terkait dengan obat yang bermanfaat meminimalkan resiko yang timbul oleh terapi obat. Populasi pasien yang menjadi subyek penelitian adalah pasien dengan penyakit stroke, hipertensi, atau infark miokard yang di rawat di ruang perawatan intensif di Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta. Di rumah sakit ini belum ada apoteker yang berperan aktif di ruang perawatan intensif. Saat ini belum pernah dilakukan penelitian terhadap adanya masalah terkait obat pada pasien yang di rawat di ruang perawatan intensif Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta.
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan masalah terkait obat yang dialami pasien stroke dan gangguan kardiovaskular yang dirawat di ruang perawatan intensif Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta. 2. Mengetahui pengaruh intervensi apoteker terhadap masalah terkait obat pada pasien stroke dan gangguan kardiovaskular yang dirawat di ruang perawatan intensif Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta. 3. Mendeskripsikan kondisi klinis pasien sebelum dan setelah intervensi.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah:
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
4
1. Memberikan informasi mengenai masalah terkait obat yang dialami oleh pasien stroke dan gangguan kardiovaskular yang dirawat di ruang perawatan intensif. 2. Memberikan informasi yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menyusun pedoman terapi bagi pasien stroke dan gangguan kardiovaskular yang dirawat di ruang perawatan intensif Rumkital DR. Mintohardjo Jakarta.
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masalah terkait obat (Drug-Related Problem/DRPs) 2.1.1 Definisi masalah terkait obat Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan sosial pasien. Pharmaceutical Care Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat (DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006). 2.1.2.Klasifikasi masalah terkait obat Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01) mengelompokkan masalah terkait obat sebagai berikut (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006) : 1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR) Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping atau toksisitas. 2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem) Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akan memperoleh obat yang salah (atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit dan kondisinya. Masalah pemilihan obat antara lain: obat diresepkan tapi indikasi tidak jelas, bentuk sediaan tidak sesuai, kontraindikasi dengan obat yang digunakan, obat tidak diresepkan untuk indikasi yang jelas. 3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem) Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih besar atau lebih kecil daripada yang dibutuhkannya. 4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem) Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak memberikan/tidak menggunakan obat sama sekali atau memberikan/menggunakan yang tidak diresepkan. 5. Interaksi obat (Interaction) 5
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
6
Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang bermanifestasi atau potensial. 6. Masalah lainnya (Others) Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran yang kurang mengenai kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak jelas (memerlukan klarifikasi lebih lanjut), kegagalan terapi yang tidak diketahui penyebabnya, perlu pemeriksaan laboratorium. 2.2 Tipe Intervensi Intervensi klinik didefinisikan sebagai setiap aksi oleh farmasi klinik yang menghasilkan perubahan dalam manajemen atau terapi pasien (Prest MS, Kristanto FC, Tan CK.,2003). Tipe intervensi menurut PCNE V5.01 : 1. Tidak ada intervensi. 2. Intervensi melalui penulis resep. 3. Intervensi melalui pasien, keluarga atau yang membawa. 4. Intervensi merubah obat atau perubahan indikasi pada penggunaan obat. 5. Lain- lain, seperti efek samping dilaporkan ke instansi berwenang (Departemen Farmasi). 2.3 Ruang Perawatan Intensif (ICU) (Depkes RI., 2006) 2.3.1 Pengertian Ruang perawatan intensif Ruang perawatan intensif (ICU) adalah unit perawatan khusus yang dikelola untuk merawat pasien sakit berat dan kritis, cedera dengan penyulit yang mengancam nyawa dengan melibatkan tenaga kesehatan terlatih, serta didukung dengan perlengkapan peralatan khusus. 2.3.2 Ruang lingkup pelayanan perawatan intensif Ruang lingkup pelayanan perawatan intensif meliputi: 1. Diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut yang mengancam nyawa dan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit sampai beberapa hari. Universitas Indonesia Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
7
2. Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus melakukan pelaksanaan spesifik pemenuhan kebutuhan dasar. 3. Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap komplikasi yang ditimbulkan oleh: a. Penyakit b. Kondisi pasien menjadi buruk karena pengobatan/terapi (iatrogenik). 4. Memberikan bantuan psikologis pada pasien yang bergantung pada fungsi alat/mesin dan orang lain. 2.4 Farmakokinetik pada pasien kritis (Park,Gilbet., Shelly, Maire, 2001) Pasien dalam keadaan
sakit kritis dapat menerima hingga 20 obat secara
serentak. Sedikit diketahui tentang penggunaan obat pada sakit kritis. Penggunaan obat pada pasien dengan fungsi tubuh yang kacau menghasilkan efek yang tidak dapat diramalkan. Efek ini akan berubah seperti perubahan kondisi pasien. 2.4.1 Absorpsi Saluran pencernaan pada sakit kritis umumnya bisa terganggu. Hal ini dapat menjadi masalah jika obat diberikan peroral. Obat dapat terakumulasi dalam saluran cerna. Ketika motilitas pencernaan dimulai lagi, dapat terjadi efek toksik ketika obat diabsorpsi. Aliran darah bervariasi pada penyakit kritikal dan kombinasi dengan statik tadi membuat rute enteral obat tidak dapat dipercaya. Rute parenteral dapat menghindari masalah terkait rute enteral. Intra muskular dan sub kutan tidak menyelesaikan masalah ini secara lengkap karena perubahan aliran darah pada pasien kritis. Jika
aliran darah rendah (seperti pada syok), obat tidak akan
diabsorpsi. Karena pemberian obat berulang, efek toksis dapat terjadi ketika aliran darah pulih. Pemberian langsung intra vena
menyelesaikan semua masalah pada rute
pemberian lain. Karena itu rute ini sering digunakan pada penyakit kritis. 2.4.2 Distribusi Volume distribusi dapat berubah pada pasien sakit kritis karena beberapa alasan seperti perubahan ikatan protein, hemodilusi (pengenceran darah), perubahan distribusi cairan tubuh dan pengobatan. Pemberian cairan yang antusias, selama resusitasi dapat menyebabkan efek pengenceran yang besar. Universitas Indonesia Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
8
2.4.3 Ikatan Protein Albumin membawa obat bersifat asam seperti fenitoin dan lignokain. Alfa-1glikoprotein asam membawa obat bersifat basa seperti morfin. Protein lain seperti lipoprotein dan eritrosites juga membawa obat. Beberapa obat berikatan pada lebih dari 1 protein seperti prednisolon berikatan pada albumin dan α1-glikoprotein asam. Ikatan protein mempengaruhi aktivitas obat. Hanya obat bebas yang berdifusi dengan mudah mencapai tempat reseptor dan memberikan efek. Komponen bebas ini juga bagian yang mengalami metabolism dan eliminasi. Konsentrasi α1-glikoprotein asam meningkat pada trauma, pembedahan, inflamasi dan nyeri kronik serta karsinoma. 2.4.4 Eliminasi Pada sakit kritis, hipotensi dan obat yang menurunkan aliran darah renal akan menyebabkan akumulasi obat dan metabolit yang diekskresikan ginjal. Pada sakit kritis sering terjadi hipoksia pada sel. Pada hati ini dapat menyebabkan penurunan aliran darah hati. Oksigen adalah suatu substrat dan sumber energi penting pada metabolisme obat. Tidak semua enzim sama-sama dipengaruhi hipoksia, seperti reaksi oksidasi menjadi lebih sensitif pada hipoksia daripada sulfasi. Hipoksia menurunkan ekspresi sitokrom P450 3A4 pada hepatosit manusia dalam kultur primer. Obat yang meningkatkan konsumsi oksigen juga dapat memperburuk perubahan dalam metabolisme obat karena hipoksia dan menyebabkan hepatitis iskemia. 2.5 Stroke 2.5.1 Pengertian stroke Stroke adalah suatu gangguan otak akut dari pembuluh darah disertai disfungsi neurologik yang berlangsung lebih dari 24 jam (Marino. Paul L.,2007). Penyakit serebrovaskuler (CVD) atau stroke yang menyerang kelompok usia diatas 40 tahun adalah setiap kelainan otak akibat proses patologi pada sistem pembuluh darah otak. Proses ini dapat berupa penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah otak, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun kualitas darah sendiri. Perubahan dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan
Universitas Indonesia Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
9
kongenital maupun degeneratif, atau sekunder akibat proses lain seperti peradangan, arteriosklerosis, hipertensi dan diabetes melitus (Misbach Jusuf, 1999). 2.5.2 Klasifikasi Stroke (Marino. Paul L.,2007). Stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya seperti iskemik atau hemoragik: a.Stroke Iskemik (80-88% ) 1) Stroke trombotik (80% dari sroke iskemik) dan disebabkan oleh penyakit aterosklerosis. 2) Stroke embolik (20% dari stroke iskemik). Kebanyakan emboli berasal dari trombus pada atrium kiri (dari fibrilasi atrium) atau ventrikel kiri (dari MI akut), tapi beberapa berasal dari trombus vena pada kaki yang mencapai otak melalui patent foramen ovale. b. Stroke Hemoragik (12-20%) 1) Pendarahan intraserebral, hingga 75% dari stroke hemoragik dan disebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak dalam parenkim otak. 2) Perdarahan subarakhnoid, hingga 25% dari stroke hemoragik dan disebabkan pecahnya pembuluh darah sampai ruang subarakhnoid (cairan serebrospinal). Hematom epidural dan subdural tidak dipertimbangkan sebagai stroke. Transient Ischemic Attack (TIA), adalah suatu kehilangan fungsi otak fokal karena iskemia yang berakhir kurang dari 24 jam. Satu gambaran yang membedakan TIA dari stroke adalah reversibilitas dari gejala-gejala klinik. 2.5.3 Faktor risiko pada stroke iskemik (Dipiro, JT., et al., 2005) a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi: Umur, jenis kelamin, ras, suku, keturunan b. Faktor resiko berpotensi yang dapat dimodifikasi: Hipertensi, penyakit jantung (fibrilasi arteri, stenosis mitral, pembesaran atrium kiri, struktur abnormal seperti aneurism septal atrium, penyakit miokard), Trancient ischemic attacks, diabetes, hiperkolesterolemia, merokok, alkohol, narkoba ( kokain, heroin, amfetamin, LSD, dan lain-lain), gaya hidup (obesitas, fisik tidak aktif, diet, stress emosional), kontrasepsi oral,dan lain-lain. 2.5.4 Evaluasi diagnostik (Marino Paul L.,2007) Universitas Indonesia Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
10
Pasien yang diduga stroke, terapi trombolitik harus ditentukan, dan mereka harus ditentukan secara cepat karena manfaat terapi trombolitik pada stroke iskemik dibatasi pada tiga jam pertama setelah muncul gejala. Kebanyakan evaluasi melibatkan pencarian perdarahan dan kontraindikasi lain pada terapi trombolitik. Pencarian perdarahan intrakranial membutuhkan studi pencitraan saraf seperti Computed Tomography, Magnetic Resonance Imaging dan uji diagnostik lain seperti lumbar puncture, Ekokardiografi dan Elektroensefalografi. 2.5.5 Terapi trombolitik(Marino Paul L., 2007) Food and Drug Administration (FDA) menyetujui penggunaan tissue plasminogen activator (tPA) pada stroke iskemik akut pada 3 jam pertama setelah timbul gejala. Obat yang disetujui ini dibatasi pada stroke yang hanya melibatkan sirkulasi serebral anterior. 2.5.6 Terapi antitrombotik (Marino Paul L., 2007) a. Asetosal Asetosal mengurangi kambuhnya stroke iskemik dan mengurangi mortalitas dan cacat jangka panjang. Oleh karena itu asetosal direkomendasikan pada semua kasus stroke iskemik akut. Ketika diberikan terapi trombolitik, asetosal dimulai pada hari berikutnya. Dosis yang direkomendasikan mulai 160 mg – 300 mg (peroral atau melalui rektal) dan diikuti dengan 75 mg-150 mg/hari. b. Heparin Antikoagulan terapi dengan heparin secara tradisional telah dilakukan pada pasien sroke iskemik progresif. Peranan heparin pada stroke akut adalah untuk pencegahan deep vein trombosis (DVT). 2.5.7 Manajemen medik Sekitar setengah dari kematian setelah stroke dihubungkan dengan komplikasi medik. a. Hipertensi The American Stroke Association merekomendasikan pengobatan antihipertensi jika tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau jika tekanan darah diastolik>140 mmHg. Pada penanganan stroke iskemik akut, penurunan tekanan darah tidak boleh melebihi 10-15%. Pada terapi intravena, labetalol (10-20 mg) dan nikardipin (5 Universitas Indonesia Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
11
mg/hari) disukai karena mereka memelihara aliran darah serebral (Marino Paul L., 2007). Berdasarkan Guideline Stroke PERDOSSI 2007, obat parenteral yang digunakan untuk terapi emergensi hipertensi pada stroke akut adalah labetalol, nikardipin dan diltiazem. Penanganan hipertensi yang bersifat urgensi diberikan anti hipertensi kombinasi. Tabel 2.1 Obat anti hipertensi kombinasi Obat kombinasi
Dosis (mg)
ACE Inhibitor dan
benazepril/HCT (5/6,25;10/12,5;20/12,5;20/25)
diuretika
kaptopril/HCT (25/15;25/25;50/15;50/25) enalapril maleat/ HCT (5/12,5;10/25) lisinopril/ HCT (7,5/12,5;15/25) quinapril HCl/ HCT (10/12,5;20/12,5;20/25)
ARB dan diuretika
candesartan cilexetil/HCT (16/12,5;32/12,5) irbesartan/HCT (150/12,5;300/12,5) losartan potassium/HCT (50/12,5;100/25) telmisartan/HCT (40/12,5;80/12,5) valsartan/HCT (80/12,5;160/12,5)
Beta bloker dan diuretika
atenolol/klortalidon (50/25;100/25) bisoprolol fumarat/HCT (2,5/6,25;5/6,25;10/6,25) Propanolol LA/HCT (40/25;80/25) Metaprolol Tartrat/HCT (50/25;100/25) nadolol/bendrofluthiazid (40/5;80/5) timolol maleat/HCT (10/25)
Obat kerja sentral dan diuretika Metil dopa/hidroklorotiazid(250/15;250/25;500/50) reserpin/hidroklorotiazid (0,125/25;0,125/50) Keterangan: HCT= Hidrochlorotiazid ( Sumber:Misbach Jusuf H, dkk, 2007).
Universitas Indonesia Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
12
Nifedipin sublingual efeknya sulit diramalkan dan dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang drastis sehingga berbahaya bagi perfusi otak pada stroke akut oleh sebab itu harus dihindari pemakaiannya pada kondisi urgensi. Obat sublingual hanya boleh diberikan pada kondisi emergensi dimana obat-obat parenteral yang direkomendasikan di atas tidak tersedia (Misbach Jusuf H., dkk, 2007). b. Hiperglikemia Hiperglikemia biasa terjadi pada stroke berat dan dihubungkan dengan akibat neorulogik yang tidak baik. Panduan saat ini merekomendasikan kadar glukosa darah dipelihara dibawah 300 mg/dl. Hipoglikemia dapat memperburuk akibat neurologik dan harus dihindari (Marino Paul L., 2007). c. Demam Demam pada stroke iskemik dapat lebih memperluas defisit neurologik dan mortalitas yang lebih tinggi. Walau hubungan sebab musabab antara demam dan akibat
neurologik
tidak
dapat
dibuktikan,
American
Stroke
Association
merekomendasikan terapi antipiretik (asetaminofen) pada semua pasien demam poststroke. Demam yang mengikuti stroke akut dapat merupakan infeksi, sehingga diperlukan penyelusuran infeksi (Marino Paul L., 2007). 2.6 Hipertensi 2.6.1 Pengertian dan klasifikasi hipertensi (Dipiro, Joseph T et al.,2005) Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah arteri secara terus menerus. Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah pada dewasa (umur ≥ 18 tahun) berdasarkan JNC7 Klasifikasi
Tekanan Darah sistolik
Tekanan darah diastolik
(mm Hg)
(mm Hg)
Normal
< 120
< 80
Prehipertensi
120 – 139
80 – 89
Hipertensi tingkat 1
140 – 159
90 – 99
Hipertensi tingkat 2
≥ 160
≥ 100
(Sumber: Dipiro, Joseph T., et al.,2005)
Universitas Indonesia Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
13
2.6.2 Komplikasi (Herfindal E.T, Gourley D. R, Hart Linda L.,1992) Organ mayor yang dirusak oleh hipertensi arterial adalah otak, jantung dan ginjal. Resiko komplikasi dan kematian prematur dihubungkan dengan derajat peningkatan tekanan darah. Hipertensi aditif dengan faktor resiko lain dalam perkembangan coronary artery desease (CAD) dan stroke. Hipertropi ventrikel kiri dan disfungsi ventrikel kiri adalah komplikasi penting berhubungan dengan hipertensi. Komplikasi mayor dihubungkan dengan hipertensi adalah stroke dan CAD.. 2.6.3 Pengobatan hipertensi (Wells,BG., et al., 2003) Pemilihan obat harus berdasarkan bukti ilmiah pada efikasi dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas, keamanan, biaya, dan terdapatnya penyakit penyerta dan faktor resiko lain. Pasien dengan hipertensi tanpa penyulit harus menerima diuretik tiazid atau beta bloker. Hanya sekitar 40% pasien mencapai tujuan kontrol tekanan darah dengan agen tunggal. Obat kedua yang dipilih harus mempunyai efek antihipertensif aditif dan menguntungkan kondisi medis lain yang ada. Jika diuretik bukan pilihan pertama, ia harus menjadi obat kedua dalam rejimen jika tidak kontraindikasi. Jika kondisi medis lain yang ada menghalangi penggunaan diuretik tiazid atau beta bloker, obat alternatif yang lebih berguna adalah ACE inhibitors, Calcium channel blockers, angiotensin II receptor blockers dan kadang-kadang alfa bloker. Central alfa agonists, penghambat adrenergik dan vasodilator cadangan pada pasien dengan hipertensi yang sulit dikontrol. 2.6.4 Hipertensi dengan diabetes melitus (Wells,BG., et al., 2003), Tujuan pengobatan tekanan darah pada pasien diabetik dengan hipertensi adalah 135/85 mm Hg atau kurang berdasarkan pada JNC-VI atau < 130/80 mm Hg berdasarkan pada National Kidney Foundation guidelines. ACE inhibitors dapat meningkatkan sensitifitas insulin, memberikan efek protektif renal dan mengurangi kejadian kardiovaskular. Oleh karena itu dipertimbangkan sebagai agen pertama. Jika ACE inhibitors sendiri tidak dapat mengontrol tekanan darah, harus ditambahkan dosis rendah diuretik tiazid. Beta blocker dapat menjadi problematik bagi pasien dengan kontrol diabetes ketat karena sering menutupi gejala-gejala dari hipoglikemia (tremor, takikardi, dan palpitasi Universitas Indonesia Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
14
tapi tidak berkeringat), menunda penyembuhan dari hipoglikemia, dan dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah karena vasokontriksi disebabkan stimulasi alfa reseptror yang tidak ada rintangan selama fase penyembuhan hipoglikemik. Beta blocker tanpa intrinsic symphatomimetic activity (ISA) khususnya berguna pada pasien diabetik dengan ischemic heart desease atau setelah infark miokard. 2.6.5 Hipertensi gawat (emergency) dan hipertensi urgen (urgency) (Wells,BG., et al., 2003) Urgensi hipertensi dapat ditangani dengan pengobatan oral penurunan tekanan darah secara bertahap dengan tujuan mencapai level tingkat 1 setelah beberapa hari. Kedaruratan hipertensi harus diterapi secara agresif dan segera untuk membatasi kerusakan target organ. Tujuannya adalah tidak untuk menurunkan tekanan darah ke normal tapi menurun sampai 160/100 mmHg dalam 1 – 6 jam. Penurunan drastis tekanan darah pada tekanan darah normal atau lebih rendah dari normal dapat menyebabkan iskemik atau infark organ. Setelah tujuan penurunan tekanan darah tercapai, pengobatan dibuat untuk mempertahankan level tekanan darah pada beberapa hari supaya terjadi penyesuaian fisiologi pada fungsi autoregulatory. Kemudian tekanan darah dapat lebih lanjut diturunkan sampai tekanan darah normal. Nitroprusid adalah agen pilihan untuk kontrol menit-ke-menit pada banyak kasus. 2.7 Diabetes melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok gangguan metabolik dengan ciri hiperglikemia,
yang
dihubungkan
dengan
ketidaknormalan
pada
metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein. Diabetes melitus dihasilkan dari kerusakan pada sekresi insulin, sensitifitas insulin atau keduanya dan menghasilkan komplikasi kronik termasuk gangguan mikrovaskular, makrovaskular dan neuropatik. Pasien diabetes diklasifikasikan dalam 2 kategori yaitu diabetes tipe 1 karena defisiensi absolut insulin dan diabetes tipe 2 karena resistensi insulin disertai kompensasi peningkatan sekresi insulin yang tidak mencukupi (Dipiro, Joseph T et al.,2005). Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah DM tipe 2, yang umumnya mempunyai latar belakang kelainan berupa resistensi insulin. Kasus DM tipe 1 yang
Universitas Indonesia Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
15
mempunyai latar belakang kelainan berupa kurangnya insulin secara absolut akibat proses autoimun tidak begitu banyak ditemukan di Indonesia. 2.7.1 Komplikasi akut diabetes melitus (Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I., 2007). Komplikasi akut dari diabetes melitus adalah: a. Hipoglikemia Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma disertai kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah akibat obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea khususnya klorpropamida dan glibenklamida. Hipoglikemia pada pengobatan dengan insulin biasanya ringan. Pengobatan hipoglikemia harus segera dilaksanakan terutama gangguan terhadap otak yang paling sensitif terhadap penurunan glukosa darah. Pada hipoglikemia stadium lanjut (koma hipoglikemia), penanganan harus cepat dan tepat. Larutan glukosa 40% sebanyak 2 flakon diberikan secara intra vena setiap 10-20 menit hingga pasien sadar disertai pemberian cairan dextrose 10% per infus 6 jam per kolf, untuk mempertahankan glukosa darah dalam nilai normal atau diatas normal. Bila belum teratasi dapat diberikan antagonis insulin seperti adrenalin, kortison dosis tinggi atau glukagon 1 mg intra vena, tetapi sebaiknya penggunaan adrenalin dibatasi mengingat efek sampingnya. b. Hiperglikemia Secara anamnesis ditemukan adanya masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului oleh stres akut. Tanda khas adalah kesadaran menurun disertai dehidrasi berat. Pada ketoasidosis diabetes (KAD) terdapat hiperglikemik berat dengan ketosis atau asidosis. Pengobatan KAD akan memberikan hasil yang baik
bila dilakukan penatalaksanaan yang intensif. Prinsip dasar
penatalaksanaan adalah rehidrasi cepat-tepat misalnya dengan NaCl 0,9%, pemberian insulin, memperbaiki gangguan elektrolit (misalnya dengan natrium bikarbonat jika pH <7,1) serta mencegah infeksi atau meluasnya infeksi. c. Hiperglikemik non-ketotik (HNK) Hiperglikemik non-ketotik ditandai dengan hiperglikemia berat non ketotik atau ketotik dan asidosis ringan. Pada keadaan lanjut dapat mengalami koma. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik adalah suatu sindrom yang ditandai Universitas Indonesia Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
16
hiperglikemik berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis disertai menurunnya kesadaran. Pengobatan utama adalah rehidrasi kemudian pemberian insulin, pemantauan kadar kalium (fungsi ginjal membaik, kekurangan kalium segera diberikan) , serta menghindari infeksi sekunder dengan hati-hati dalam menggunakan suntikkan, pemasangan infus set, kateter, dan lain-lain. Penyakit diabetes melitus harus dikelola dengan baik untuk mendapatkan kadar glukosa darah yang terkendali baik sampai senormal mungkin (<150m mg/dL), dengan berbagai upaya pengobatan baik berupa perencanaan makan yang baik, kegiatan jasmani yang harus terus dipertahankan, serta pemakaian obat untuk menurunkan kadar glukosa darah. 2.7.2 Penyulit kronik diabetes melitus Penyulit kronik diabetes melitus pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah di seluruh tubuh (angiopati diabetik) yang dibagi atas: a. Makroangiopati (makrovaskular) yaitu pada pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner), pembuluh darah otak (stroke) dan pembuluh darah kaki (luka sukar sembuh). b. Mikroangiopati (mikrovaskular) yaitu pada pembuluh darah ginjal (penyakit ginjal kronik) dan pembuluh darah mata (terjadi kebutaan) (Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I., 2007). Gula dan tekanan darah yang terkontrol paling penting untuk mencegah nefropati dan tekanan darah terkontrol
paling penting dalam memperlambat perkembangan
nefropati. Angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI) direkomendasikan pada awal terapi. ARB juga mempunyai efek protektif. Diuretik sering diperlukan karena keadaan meluasnya volume. Intervensi terhadap berbagai faktor risiko (pengobatan dislipidemi, hipertensi, berhenti merokok, terapi anti platelet) mengurangi kejadian makrovaskular. Pada penanganan penyakit jantung koroner ACEI direkomendasikan sebagai terapi awal. Diuretik atau CCB berguna sebagai agen kedua dan ketiga.(Wells,BG., et al.,2003), 2.8 Infark Miokard Infark miokard terjadi karena penghentian mendadak aliran darah ke otot jantung karena penyumbatan pembuluh darah arteri. Penyumbatan yang berlangsung cukup lama Universitas Indonesia Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
17
membahayakan fungsi miokard dan menyebabkan nekrosis miokard (Wells,BG., et al., 2003). Sebagian besar infark miokard adalah menifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang terkoyak yang berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi dan terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white trombosis). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard) (Tedjasukmana, Pradana, dkk,2010). Kadang-kadang sumbatan akut ini dapat disebabkan oleh spasme arteri koroner, emboli atau vaskulitis (Kalim, Harmani., dkk, 2004) 2.8.1 Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) (Tedjasukmana, Pradana,. dkk ,2010; Bagus G , T., Sapardan ,S., Muchtar, A., 2009) Diagnosis: a. Riwayat nyeri dada/perasaan tidak nyaman substernal, lamanya > 20 menit, tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat, disertai penjalaran, mual, muntah dan keringat dingin. b. Elevasi segmen ST>1mm pada 2 sadapan prekordial atau ekstremitas yang berhubungan, LBBB yang dianggap baru c. Peningkatan enzim jantung (CK-MB, troponin). Hasil tidak perlu ditunggu untuk memulai terapi reperfusi. Tatalaksana diruang emergensi: a. Tirah baring b. Oksigen 4 liter/menit (saturasi O2 dipertahankan> 90%) c. Asetosal 160-325 mg dikunyah, tablet tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi bukal (pipi) yang lebih cepat. d. Nitrat diberikan 5 mg sublingual (dapat diulang 3 kali) lalu drip bila masih nyeri dada. Universitas Indonesia Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
18
e. Klopidogrel 300 mg (bila sebelumnya pernah diberi) f. Morfin IV bila nyeri dada tidak teratasi dengan nitrat. g. Tentukan pilihan revaskularisasi (pada STEMI akut harus dilakukan ≤12 jam onset) Tatalaksana diruang intensif (24 jam pertama saat datang): a. Monitor 24 jam b. Nitrogliserin sublingual 5 mg untuk nyeri dada dan IV. c. Asetosal75-162 mg d. Klopidogrel 75 mg/hari e. Beta bloker diberikan bila tidak ada kontra indikasi f. ACE inhibitor diberikan pada pasien dengan infark anterior, kongesti paru, atau EF<40% jika TD > 100 mmHg dan tidak ada kontraindikasi. g. ARB diberikan jika intoleransi terhadap ACE inhibitor. h. Heparinisasi diberikan pada infark anterior luas, risiko tinggi trombosis, fungsi LV buruk, curiga trombus intrakardiak, onset> 12 jam STEMI tanpa revaskularisasi i. Pengobatan nyeri: morfin 2-4 mg IV j. Anti ansietas k. Pencahar l. Laboratorium : biomarker kardiak, darah lengkap, elektrolit, serum, ureum kreatinin. 2.8.2
Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) (Tedjasukmana,
Pradana,. dkk ,2010; Bagus G , T., Sapardan ,S., Muchtar, A., 2009) Presentasi klinis klasik infark miokard tanpa elevasi segmen ST berupa : a. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. b. Angina yang dialami pertama kali dan timbul saat aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari-hari c. Peningkatan intensitas, frekuensi, dan durasi angina (angina kresendo) d. Angina pasca infark-mokard. Presentasi atipikal terutama pada usia muda ( 25 – 40 tahun) dan usia tua (> 75 tahun), pasien diabetes dan wanita. Gejala klinis yang sering berupa rasa tekanan atau Universitas Indonesia Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
19
berat di retrosternal yang menjalar ke lengan kiri, leher atau rahang, dapat disertai keringat dingin, mual, nyeri perut, sesak napas dan sinkop. Tatalaksana awal di unit emergensi: a. Oksigen 4 liter/menit saturasi O2 dipertahankan >90%) b. Asetosal 160 mg (dikunyah) c. Nitrat diberikan 5 mg sublingual (dapat diulang 3 kali) lalu drip bila nyeri dada. d. Morfin IV (2,5-5 mg) bila nyeri dada tidak teratasi dengan nitrat. Tatalaksana lanjutan risiko tinggi / sedang : a. Anti iskemik Beta bloker(BB) seperti atenolol, bisoprolol dan lain-lain, efek pada reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikular signifikan, asma bronchial dan disfungsi ventrikel kiri. Pada banyak kasus preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi. Beta bloker terutama direkomendasikan jika terdapat hipertensi atau takikardia dan tidak terdapat kontra indikasi dan diberikan dalam 24 jam pertama. Nitrat (nitrogliserin) mempunyai efek dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang menetap, gagal jantung atau hipertensi dalam 48 jam pertama STEMI. Nitrat tidak diberikan pada tekanan darah diastolik <90 mmHg atau >30 mmHg dibawah nilai awal, bradikardi berat (<50 kali/menit), takikardi tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan. Calcium channel blocker (CCB) mempunyai efek dilatasi koroner dan merupakan pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. b. Anti platelet oral : asetosal, clopidogrel o Asetosal diberi pada semua pasien sindoma koroner akut, selama tidak terdapat kontra indikasi. Dosis awal 160 – 325 mg, dan selanjutnya 75-100 mg per hari untuk jangka panjang.
Universitas Indonesia Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
20
o Pada semua pasien, klopidogrel diberi dengan dosis loading 300 mg peroral, selanjutnya 75 mg perhari. Dapat diberikan hingga 12 bulan kecuali terjadi komplikasi pendarahan berlebihan. o Pasien yang direncanakan menjalani PCI, klopidogrel diberikan dosis loading 600 mg untuk mencapai inhibisi fungsi platelet yang lebih cepat dan optimal c. Antiplatelet intravena : penghambat reseptor Glikoprotein IIb/IIIa (abciximab, eptifibatide, tirofiban) d. Antikoagulan / antitrombin :Heparin ( Unfractionated heparin = UFH / low molecular weight heparin = LMWH ) o Antikoagulan diberi pada semua pasien selain antiplatelet. Terapi antikoagulan ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin. o Sejumlah antikoagulan tersedia seperti UFH,LMHW ( enoxaparin / fondaparinux). o Pemilihan antikoagulan berdasarkan risiko iskemia dan pendarahan, serta strategi awal yang akan dilakukan (invasif urgensi , invasif dini, atau terapi konservatif) e. Revaskularisasi koroner o Angiografi koroner urgensi dini (<72 jam) diikuti revaskularisasi (PCI atau CABG ) direkomendasikan pada pasien risiko sedang dan tinggi. o Angiografi koroner urgensi direkomendasikan pada pasien dengan angina refrakter atau berulang yang disertai perubahan segmen ST,gagal jantung,aritmia yang mengancam hidup,atau hemodinamik yang tidak stabil f. Terapi tambahan : ACE Inhibitor / ARB, dan statin.
Universitas Indonesia Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan penelitian Penelitian yang dilaksanakan adalah studi eksperimen sebelum intervensi dan sesudah intervensi yaitu Pre dan Post design yang bersifat prospektif. Masalah terkait obat yang akan diintervensi diidentifikasi terlebih dahulu kemudian dilakukan intervensi sesuai dengan masalah terkait obat. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif dan analitik. 3.2 Tempat dan jadual penelitian Penelitian dilakukan di bangsal unit perawatan intensif
Rumkital Dr.
Mintohardjo Jakarta periode Maret – Mei 2010 3.3 Populasi dan sampel Populasi adalah seluruh pasien yang dirawat inap di unit perawatan intensif Rumkital DR. Mintohardjo Jakarta. Sampel adalah pasien dengan diagnosa yang sesuai kriteria inklusi (kasus stroke, infark miokard atau hipertensi) yang menjalani rawat inap di ruang perawatan intensif Rumkital Dr. Mintohardjo. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampel. Kriteria inklusi meliputi: a. Pasien menjalani rawat inap di unit perawatan intensif Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta b. Pasien/keluarga pasien bersedia ikut dalam penelitian c. Pasien dengan diagnosa stroke, infark miokard atau hipertensi yang tertulis pada rekam medis pasien. d. Pasien dewasa (usia≥ 18 tahun) Kriteria eksklusi meliputi: a. Pasien yang mendapat perawatan di ruang perawatan intensif kurang dari 4 jam. b. Pasien yang masuk ruang perawatan intensif diluar jam 07.00 s/d 15.00, lalu meninggal sebelum jam 11.00 hari berikutnya.
21
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
22
3.4 Landasan teori Perawatan kritikal ditujukan pada pasien dengan variasi penyakit yang luas yang melibatkan perawatan pasien dengan penyakit berat yang mengancam jiwa. Semakin banyak jumlah obat yang digunakan semakin besar potensi terjadinya interaksi obat. Pasien sakit kritis lebih sering mengalami toksisitas, efek samping obat dan komplikasi dari reaksi obat lebih berat, lama, dan dihubungkan dengan angka kematian yang lebih tinggi. (Bongard, Frederic S.,Sue, Darryl Y., 2003). Pelayanan keperawatan intensif
disediakan dan diberikan kepada pasien dalam
keadaan kegawatan dan kedaruratan yang perlu ditanggulangi dan diawasi secara ketat, terus menerus serta tindakan segera, ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi (Depkes RI.,2006). Jumlah obat yang banyak dapat menyebabkan terjadinya masalah terkait obat yang dapat mempengaruhi hasil terapi.
Permasalahan terkait
obat seperti interaksi obat sering terjadi di ruang perawatan intensif dengan adanya polifarmasi (Ray S, Bhattacharyya M, Pramanik J, Todi S.,2009). Masalah terkait obat dapat terjadi karena kondisi pasien dan karena obat itu sendiri. Kondisi pasien yang meningkatkan terjadinya masalah terkait obat antara lain penurunan berbagai fungsi tubuh, adanya berbagai faktor resiko, kepatuhan dan keterbatasan ekonomi (Walker R, Edwards C,2003). Intervensi apoteker dalam mencegah terjadinya masalah terkait dengan obat akan mempengaruhi biaya kesehatan, menyelamatkan kehidupan dan meningkatkan kualitas hidup ( Alderman CP,Farmer C.,2001). Kerangka landasan teori: Pasien ICU dengan penyakit stroke, infark miokard atau hipertensi
Terapi obat
Karakteristik pasien: 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Komorbiditas 4. Kondisi klinis 5. Nama, jumlah dan kelompok obat 6. Dosis, frekuensi, dan lama pemberian obat 7. Sejarah penyakit terkait 8. Hasil test laboratorium rutin
Masalah terkait obat Terapi setelah intervensi
Intervensi Hasil intervensi
Hasil/Outcome
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
23
3.5 Kerangka konsep dan hipotesis penelitian Kerangka konsep Sesudah
Sebelum Intervensi Apoteker
• •
Masalah terkait obat Kondisi klinis pasien
• Masalah terkait obat • Kondisi klinis pasien
Hipotesis Ada pengaruh intervensi apoteker terhadap masalah terkait obat dan kondisi klinis pasien. 3.6 Variabel penelitian dan definisi operasional variabel Variable Penelitian Variable terikat dalam penelitian ini adalah masalah terkait obat dan kondisi klinis pasien, sedangkan variabel bebasnya adalah intervensi apoteker terhadap masalah terkait obat. Defenisi operasional: a. Pasien penyakit stroke adalah pasien yang didiagnosa mengalami penyakit stroke dan/atau pasien yang dalam perjalanannya kemudian didiagnosa menderita stroke. b. Pasien penyakit infark miokard adalah pasien yang didiagnosa mengalami penyakit infark miokard dan/atau pasien yang dalam perjalanannya kemudian didiagnosa menderita infark miokard. c. Pasien penyakit hipertensi adalah pasien yang didiagnosa mengalami penyakit hipertensi dan/atau pasien yang dalam perjalanannya kemudian didiagnosa menderita hipertensi. d. Jenis obat adalah nama generik/umum obat yang diterima oleh pasien saat masuk dan menjalani rawat inap di ruang perawatan intensif di Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta.
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
24
e. Masalah terkait obat adalah kejadian atau kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil kesehatan yang diinginkan. Skala: nominal Kategori: 1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki 2. Masalah pemilihan obat 3. Masalah dosis 4. Masalah penggunaan obat 5. Interaksi 6. Lain-lain Literatur yang digunakan untuk indikasi medik, ketepatan terapi, pemilihan obat, dosis, reaksi obat yang tidak dikehendaki adalah
Drug
Information Handbook edisi 17(2008-2009), British National Formulary edisi 57 (2009), dan jurnal terkait.
Interaksi obat ditentukan dengan
menggunakan software The Medical Letter’s Adverse Drugs Interactions Program (2007) dan Stockley’s Drug Interactions edisi 8 ( 2008). f. Usia Adalah usia pasien dengan penyakit stroke atau infark miokard atau hipertensi saat dilakukan penelitian. Skala : Ordinal Kategori: 1. Kelompok usia < 50 tahun 2. Kelompok usia 50-59 tahun 3. Kelompok usia ≥ 60 tahun g. Jenis kelamin Adalah jenis kelamin pasien dengan penyakit stroke, infark miokard, atau hipertensi. Skala nominal Kategori: 1. Laki-laki 2. Perempuan h. Lama perawatan
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
25
Adalah lamanya pasien mendapat perawatan di ruang perawatan intensif. Skala ordinal Kategori : 1. Kurang dari 1 hari 2. 1-3 hari 3. Lebih dari 3 hari i. Intervensi adalah tindakan yang dilakukan apoteker secara langsung untuk merubah manajemen dan atau terapi obat pasien yang teridentifikasi. Skala: nominal Kategori: 1. Intervensi kepada dokter 2. Intervensi kepada pasien/keluarga pasien 3. Intervensi kepada Apotik/Departemen Farmasi 4. Intervensi kepada perawat j. Hasil intervensi adalah perubahan manajemen atau terapi obat setelah intervensi apoteker terhadap masalah terkait obat pasien. Skala : Nominal Kategori: 1 : tidak diterima 2 : diterima sebagian (diterima ≥1 masalah terkait obat) 3 : diterima seluruhnya k. Kondisi klinis adalah keadaan
klinis pasien yang dinilai dengan
menggunakan skor Apache II( Acute Physiology, Age, Cronic Health Evaluation)(lampiran 1) Skala : ordinal Kategori
skor
Kriteria penilaian
1.
0-4
~ 4% angka kematian
2.
5-9
~8% angka kematian
3.
10-14
~15% angka kematian
4.
15-19
~25% angka kematian
5.
20-24
~40% angka kematian
6.
25-29
~55% angka kematian
7.
30-34
~75% angka kematian
l. Kondisi klinis awal adalah kondisi klinis pasien sebelum dilakukan intervensi Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
26
yang dinilai berdasarkan skor Apache II. m. Kondisi klinis akhir adalah kondisi klinis pasien yang masih hidup saat pindah dari ruang perawatan intensif yang dinilai berdasarkan skor Apache II. n. Penilaian kondisi klinis pasien sesudah intervensi adalah penilaian perubahan kondisi klinis pasien yang masih hidup sebelum dan sesudah intervensi berdasarkan kategori skor Apache II. Skala : ordinal Kategori : 1. Perbaikan kondisi klinis (penurunan kategori skor) 2. Tidak ada perubahan kondisi klinis (kategori skor tidak berubah) 3. Perburukan kondisi klinis (peningkatan kategori skor) Tabel 3.1 Kategori masalah terkait obat yang diidentifikasi
Penilaian 1.Reaksi obat yang tidak diinginkan 2. permasalahan pemilihan obat
3.Permasalahan dosis
4.Permasalahan Penggunaan obat 5.Interaksi obat 6.Lain-lain
Kode P1.1 P1.2 P1.3 P2.1 P2.2 P2.3 P2.4 P2.5 P2.6 P3.1 P3.2 P3.3 P3.4 P4.1 P4.2 P5.1 P5.2 P6.1 P6.2 P.6.3 P6.4 P6.5 P6.6 P6.7
Kategori Efek samping non alergi Efek samping alergi Efek toksik Obat tidak tepat Bentuk sediaan tidak tepat Duplikasi obat Obat kontra indikasi Tidak ada indikasi untuk obat Tidak mendapat obat ada indikasi Dosis terlalu rendah/rejimen dosis tidak cukup sering Dosis obat terlalu tinggi/regimen dosis terlalu sering Durasi pengobatan terlalu pendek Durasi pengobatan terlalu panjang Obat tidak digunakan/ diberikan sama sekali Salah menggunakan/memberikan obat Interaksi yang potensial Interaksi yang bermakna Pasien tidak puas dengan terapi Kurang kesadaran/pengetahuan akan kesehatan dan penyakit Keluhan tidak jelas. Perlu klarifikasi lebih lanjut Gagal terapi (tidak diketahui penyebabnya) Perlu pemeriksaan laboratorium Cara pemberian/penyiapan obat tidak tepat Waktu pemberian obat tidak tepat
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
27
3.7 Cara pengambilan data Pengambilan data dilakukan dengan cara: a. Menentukan pasien dengan kriteria yang ingin diteliti. b. Data dari wawancara dengan dokter, pasien atau keluarga pasien yang masuk perawatan di unit perawatan intensif Rumkital Mintohardjo Jakarta periode Maret - April 2010. c. Memindahkan data yang diperlukan ke lembar pengumpul data yang telah disiapkan, meliputi: o Nomor rekam medik o Nama dan usia pasien o Jenis kelamin o Diagnosa penyakit o Riwayat penyakit dahulu o Riwayat penyakit sekarang o Riwayat penggunaan obat o Hasil laboratorium yang berhubungan dengan terapi obat o Daftar obat yang digunakan o Catatan kemajuan pasien selama pasien dirawat. d. Menetapkan masalah terkait obat yang terjadi pada pasien dengan melihat langsung yang terjadi pada pasien dan catatan medik. 3.8 Analisis data Data dianalisis secara statistik univariat dan bivariat: a. Analisis univariat bertujuan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi serta proporsi dari variabel yang diteliti seperti jenis kelamin, umur, kondisi klinis dan lain-lain. b. Analisa bivariat untuk menguji perbedaaan jumlah masalah terkait obat dan kondisi klinis pasien antara sebelum dan sesudah intervensi. Uji yang digunakan adalah uji Wilcoxon untuk sampel berpasangan (paired sample test) dengan CI = 95%.
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1.Data demografi pasien Jumlah pasien yang dipantau pada
penelitian yang dilakukan selama 8
minggu di ruang perawatan intensif Rumkital Dr.Mintohardjo Jakarta sebanyak 31 orang. 4.1.1 Usia dan jenis kelamin Dari 31 pasien yang dianalisis jumlah pasien laki-laki 21 orang ( 67,74% %) dan jumlah pasien perempuan 10 orang (32,26%). Tabel 4.1 Data demografi pasien Parameter Jenis kelamin
Kategori Laki-laki Perempuan
Jumlah 21 10
(%) (67.74) (32.26)
Usia
Kelompok usia <50 tahun Kelompok usia 50-59 tahun Kelompok usia ≥ 60 tahun
7 7 17
(22.58) (22.58) (54.84)
Lama perawatan
Kurang dari 1 hari 1-3 hari Lebih dari 3 hari
1 19 11
(3.23) (61.29) (35.48)
Jumlah jenis obat maksimal sehari
5-10 jenis obat 11-15 jenis obat > 15 jenis obat
15 13 3
(48.39) (41.94) (9.68)
Kondisi klinis akhir
Perbaikan kondisi klinis Tidak ada perubahan kondisi klinik Perburukan kondisi klinis Meninggal
7 9 1 14
(22.58) (29.03) (3.23) (45.16)
Diagnosa
Stroke non hemoragik Hipertensi Infark miokard Stroke dan hipertensi Hipertensi dan infark miokard Stroke, hipertensi dan infark Miokard
3 2 6 14 3 3
(9.68) (6.45) (19.35) (45.16) (9.68) (9.68)
Jumlah jenis obat berdasarkan rute
Oral Parenteral
48 46
(51,06) (48,94)
Frekuensi pemberian berdasarkan rute
Oral Parenteral
184 239
(43,50) (56,50)
28
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
29
Pasien yang termuda berusia 31 tahun dan yang paling tua 83 tahun dengan rata-rata usia pasien 60,42 tahun. Usia pasien kurang dari 50 tahun 7 orang (22,58%), usia 50-59 tahun 7 orang (22,58%) dan usia ≥ 60 tahun 17 orang (54,84%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang terbanyak adalah kelompok usia ≥ 60 tahun (54,84%). Hasil ini sesuai dengan literatur yang menyatakan salah satu faktor risiko penyakit stroke, hipertensi dan infark miokard adalah usia lanjut. 4.1.2 Lama perawatan Lama perawatan dikelompokkan dengan kelompok lama perawatan kurang dari 1 hari sebanyak 1 pasien (3,23%), 1-3 hari 19 pasien (61,29%) dan lebih dari 3 hari 11 pasien (35,48%). Rata-rata lama perawatan 3,62 hari. 4.1.3 Penggunaan obat Jumlah keseluruhan jenis obat yang diberikan pada 31 pasien adalah 88 jenis obat. Jenis obat yang dianalisa adalah obat yang digunakan peroral dan parenteral. Cairan infus, obat tetes ataupun obat oles tidak dimasukkan dalam analisa. Jumlah obat maksimal yang diberikan pada pasien dalam satu hari adalah 5 – 18 jenis obat. Dengan demikian pasien rata-rata mendapat 10,77 jenis obat. Hal ini lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan oleh Ray S, Bhattacharyya M, Pramanik J, dan Todi S (2009) yang menunjukkan obat pasien perawatan intensif rata-rata 9 obat. Obat yang digunakan tidak hanya untuk penyakit yang mendasari namun juga untuk gangguan/ penyakit penyerta yang cukup kompleks seperti infeksi, diabetes melitus dan hematemesis. Pasien ditangani oleh berbagai dokter spesialis sesuai dengan penyakit yang diderita pasien. Hal ini meningkatkan risiko polifarmasi , sehingga dibutuhkan kerja sama team yang baik agar risiko dapat dikurangi. Berdasarkan jumlah obat yang diberikan untuk pasien, jumlah obat yang diberikan terbanyak dalam sehari adalah 5-10 jenis obat yaitu 15 orang (48,39%). Bentuk sediaan parenteral lebih banyak digunakan (56,50%) dibandingkan sediaan oral (43,50 %)(tabel 4.1). Pasien yang dirawat di ruang intensif umumnya tidak sadar dan perlu penanganan yang cepat sehingga rute parenteral lebih banyak digunakan. Selain itu saluran pencernaan pada pasien yang mengalami sakit kritis biasanya terganggu (gagal). Hal ini dapat menjadi masalah jika diberikan obat oral. Obat dapat terakumulasi dalam saluran cerna dan ketika motilitas pencernaan pulih
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
30
kembali, dapat menjadi toksik karena diabsorpsinya obat yang terakumulasi tersebut. Rute parenteral menghindari masalah terkait rute enteral. Pemberian secara IM dan SK tidak menyelesaikan masalah ini secara lengkap karena perubahan aliran darah pada pasien kritikal. Jika aliran darah rendah (seperti pada syok), obat tidak akan diabsorpsi. Karena pemberian obat berulang, efek toksis dapat terjadi ketika aliran darah pulih. Pemberian langsung intra vena menyelesaikan semua masalah pada rute pemberian lain. Karena itu rute ini sering digunakan pada pasien penyakit kritis (Park,Gilbet., Shelly, Maire,2001). Frekuensi obat oral yang paling banyak digunakan adalah asetosal dan kaptopril masing-masing sebanyak 15 (8,15%), bisoprolol sebanyak 13 (7,07%) ,Isosorbid dinitrat sebanyak 12(6,52%), amlodipin dan klopidogrel masing-masing sebanyak 11 (5,98%)(lampiran 2.). Frekuensi obat parenteral yang paling banyak digunakan adalah seftriakson sebanyak 22 (9,21%), sitikolin sebanyak 17 (7,11%), ranitidine sebanyak 14 (5,86), metamizol natrium sebanyak 13(5,44%), atropine sulfat dan enoksaparin masing-masing sebanyak 12 (5,02%) (lampiran 3.). 4.1.4 Kondisi klinis pasien Kondisi klinis awal seluruh pasien adalah pada skor Apache 2 – 31 sedangkan kondisi klinis akhir seluruh pasien yang masih hidup adalah pada skor Apache 0 – 19 (tabel 4.2). Pasien yang meninggal pada penelitian ini sebanyak 14 0rang (45,16%). Tabel 4.2 Data penilaian kondisi klinis pasien sebelum dan sesudah intervensi yang dinilai berdasarkan Skor Apache II.
Pasien
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Skor Apache II awal
Kategori skor Apache II
Skor Apache II akhir
Kategori skor Apache II
Kategori perubahan klinis
13 20 2 13 5 7 9 9 22 20
3 5 1 3 2 2 2 2 5 5
+ + 0 9 7 7 8 5 + +
1 2 2 2 2 2
2 1 2 2 2 2
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
31
Tabel 4.2 (Lanjutan) 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
15 17 28 15 29 20 18 5 6 26 20 6 26 16 25 31 28 12 30 23 16
4 4 6 4 6 5 4 2 2 6 5 2 6 4 6 7 6 3 7 5 4
13 + + 9 + 14 16 10 4 + 4 6 + 19 + + + 10 + + 10
3
1
2
1
3 4 3 1
1 2 3 1
1 2
1 2
4
2
3
2
3
1
Keterangan: + pasien meninggal; Kategori skor Apache II 1: ~ 4% angka kematian, 2: ~8% angka kematian,3:~15% angka kematian,4: ~25% angka kematian, 5: ~40% angka kematian, 6: ~55% angka kematian, 7: ~75% angka kematian; Kategori perubahan klinis 1: Perbaikan kondisi klinis (penurunan kategori skor), 2:Tidak ada perubahan kondisi klinis (kategori skor tidak berubah), 3: Perburukan kondisi klinis (peningkatan kategori skor)
Pasien yang masih hidup yang mengalami perbaikan kondisi klinis yang dinilai berdasarkan perubahan nilai skor Apache II sebanyak 7 orang (22,58%), tidak ada perubahan kondisi klinis sebanyak 9 orang (29,03%) dan perburukan kondisi klinis sebanyak 1 orang (3,23%). Kondisi klinis seluruh pasien sebelum intervensi paling banyak dengan skor Apache 5-9 sebanyak 7 orang (22,58%), skor Apache 15-19 , skor Apache 20-24, skor Apache 25-29 masing-masing sebanyak 6 orang(19,35%) (tabel 4.3). Kondisi klinis awal dari 17 pasien yang masih hidup terbanyak pada skor Apache 5-9 sebanyak 7 (41,18%) dan skor Apache 15-19 sebanyak 5 (29,41%). Kondisi klinis akhir dari 17 pasien yang masih hidup terbanyak pada skor Apache 5-9 sebanyak 7 (41,18%), skor Apache 10-14 sebanyak 5 (29,41 %) dan skor Apache 1-4 sebanyak 3 (17,65%) (tabel 4.4).
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
32
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi kondisi klinis awal seluruh pasien berdasarkan kategori skor Apache II Awal No.
Kategori ∑
1 2 3 4 5 6 7
Skor Apache 0-4 Skor Apache 5-9 Skor Apache 10-14 Skor Apache 15-19 Skor Apache 20-24 Skor Apache 25-29 Skor Apache 30-34 ∑
% 1 3.23 7 22.58 3 9.68 6 19.35 6 19.35 6 19.35 2 6.45 31 100.00
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi kondisi klinis awal dan kondisi klinis akhir pasien yang masih hidup berdasarkan kategori skor Apache II. No. Kategori 1 2 3 4 5
Skor Apache 1-4 Skor Apache 5-9 Skor Apache 10-14 Skor Apache 15-19 Skor Apache 20-24 ∑
Awal ∑ % 1 5.88 7 41.18 2 11.76 5 29.41 2 11.76 17 100.0
Akhir ∑ % 3 17.65 7 41.18 5 29.41 2 11.76 0 0 17 100.00
Kondisi klinis awal pasien yang meninggal terbanyak pada skor Apache 25-29 sebanyak 6 (42,86%), skor Apache 20-24 sebanyak 4 (28,57%) dan skor Apache 3034 sebanyak 2 (14,29%) (tabel 4.5). Tabel 4.5 Distribusi frekuensi kondisi klinis awal pasien yang meninggal berdasarkan kategori skor Apache II. NO. Kategori
Awal % 1 7.14 1 7.14 4 28.57 6 42.86 2 14.29 14 100.00
∑ 1 2 3 4 5
Skor Apache 10-14 Skor Apache 15-19 Skor Apache 20-24 Skor Apache 25-29 Skor Apache 30-34 ∑
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
33
Satu pasien yang mengalami perburukan kondisi klinis yang dinilai berdasarkan skor Apache II adalah pasien infark miokard dengan penyakit penyerta HHD dan gangguan fungsi ginjal. Perburukan kondisi klinis karena terjadinya gangguan fungsi ginjal yang pada penilaian kondisi klinis awal tidak ada. Diagnosa yang menyebabkan pasien masuk ruang perawatan intensif adalah nyeri dada karena infark miokard. Keluhan nyeri dada sudah hilang dan tidak terdapat komplikasi seperti aritmia, syok kardiogenik, sinus bardikardi, dan lain sebagainya, maka pasien tidak membutuhkan perawatan intensif lagi. Selanjutnya gangguan fungsi ginjal yang terjadi dapat ditangani di ruang perawatan biasa. Sembilan pasien tidak mengalami perubahan kondisi klinis berdasarkan penilaian skor Apache II tapi dipindahkan diruang perawatan biasa. Hal ini terjadi karena keluhan utama (misalnya TD tinggi, kesadaran menurun, sesak, nyeri dada) yang menyebabkan dibutuhkannnya perawatan intensif sudah teratasi tapi timbul masalah baru (misalnya gangguan fungsi ginjal, hematokrit meningkat) yang tidak membutuhkan perawatan intensif tapi bisa dirawat di ruang perawatan biasa. Satu dari pasien yang tidak mengalami perubahan kondisi klinis pindah ke ruang perawatan biasa karena permintaan keluarga (masalah biaya). Kondisi klinis awal dari 14 pasien yang meninggal umumnya pada skor Apache 20-34 yang berarti resiko kematian tinggi (40-75%). Dua dari pasien yang meninggal dengan skor Apache awal 13 dengan diagnosa stroke hemoragik (operasi kraniotomi), bronkopneumonia, hipertensi, HHD dan CAD dan skor Apache awal 17 dengan diagnosa stroke hemoragik (menolak operasi), hipertensi (TD tetap tinggi), leukositosis, febris, hematemesis dan hiperkolesterolemia. 4.1.5 Diagnosa pasien dan gangguan/penyakit penyerta Diagnosa dari 31 pasien yang dianalisa dikelompokkan sesuai dengan diagnosa pada kriteria penelitian . Pasien terbanyak adalah pasien dengan stroke dan hipertensi 14 orang (45,16%) dan pasien dengan infark miokard 6 orang (19,35%) (tabel 4.1). Jenis gangguan atau penyakit penyerta yang di data pada pasien dengan stroke adalah 11 jenis gangguan/penyakit , pasien dengan hipertensi 11 jenis gangguan/penyakit, pada pasien dengan infark miokard 12 jenis gangguan/penyakit, pasien dengan stroke dan hipertensi 33 jenis gangguan/penyakit, pasien dengan
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
34
hipertensi dan infark miokard 9 jenis gangguan/penyakit serta pada pasien dengan stroke, hipertensi dan infark miokard 20 jenis gangguan/penyakit (lampiran 4.) 4.2 Masalah terkait obat Dua puluh sembilan (93,54%) dari 31 pasien mengalami 1- 14 masalah terkait obat. Jumlah masalah terkait obat yang terindentifikasi adalah sebesar 172 permasalahan , dengan rata-rata 5,55 permasalahan tiap pasien. Hal ini lebih tinggi dibanding dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya di ruang penyakit dalam pada pasien penyakit ginjal kronik Rumkital Dr. Mintohardjo dimana rata-rata adalah 3,19 permasalahan perpasien (Aritonang, Robert E, 2008). Hal ini disebabkan karena kondisi pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif lebih kompleks dan butuh penanganan yang cepat dibanding dengan di ruang perawatan biasa. Berdasarkan kategori hasil
intervensi, intervensi yang tidak diterima
seluruhnya 1 pasien (3,45%), diterima sebagian 11 pasien (37,93%) dan diterima seluruhnya 17 pasien (58,62%). Tabel 4.6 Masalah terkait obat seluruh pasien sebelum dan sesudah intervensi
0
DRP akhir (n) 0
Kategori Hasil intervensi 3
6
0
0
3
0
5
0
0
3
2
1
2
0
0
3
3
3
0
3
0
0
3
6
0
0
0
0
0
0
7
5
5
0
4
1
1
2
8
3
3
0
3
0
0
3
9
10
8
2
7
1
1
2
10
2
2
0
1
1
1
2
11
0
0
0
0
0
0
12
4
4
0
3
1
1
2
13
5
4
1
4
0
1
3
14
5
5
0
4
1
1
2
15
13
12
1
11
1
1
2
16
10
10
0
10
0
0
3
17
1
1
0
1
0
0
3
Diterima (n)
Ditolak (n)
9
Tidak intervensi (n) 1
9
6
6
0
3
5
5
4
3
5
Pasien 1
DRP Awal (n) 10
2
Intervensi (n)
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
35
Tabel 4.6 (Lanjutan) 18
5
5
0
5
0
0
3
19
2
2
0
2
0
0
3
20
3
3
0
1
2
2
2
21
3
3
0
3
0
0
3
22
4
3
1
3
0
0
3
23
14
14
0
14
0
0
3
24
7
7
0
5
2
2
2
25
9
9
0
8
1
1
2
26
4
4
0
1
3
3
2
27
10
10
0
9
1
1
2
28
8
8
0
8
0
0
3
29
4
2
2
0
2
4
1
30
7
7
0
7
0
0
3
31
7
7
0
7
0
0
3
∑
172
163
9
146
17
20
Keterangan: Kategori hasil intervensi 1: tidak diterima seluruhnya, 2: diterima sebagian, 3: diterima seluruhnya.
Jumlah jenis obat terbanyak berdasarkan kategori masalah terkait obat adalah interaksi yang potensial 22 (21,78%), perlu pemeriksaan laboratorium 19 (18,81%) serta cara pemberian/penyiapan obat tidak tepat dan dosis obat terlalu tinggi atau regimen dosis terlalu sering masing-masing 11 (11,34%). Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi jumlah jenis obat berdasarkan kategori masalah terkait obat Kategori Masalah Terkait Obat
Interaksi yang potensial Perlu pemeriksaan laboratorium Cara pemberian/penyiapan obat tidak tepat Dosis obat terlalu tinggi/regimen dosis terlalu sering Interaksi bermakna Efek samping non alergi Obat tidak digunakan/ diberikan sama sekali Waktu pemberian obat tidak tepat Tidak ada indikasi untuk obat Obat tidak tepat Obat kontra indikasi Tidak mendapat obat ada indikasi Jumlah
Jumlah Jenis obat 22 19 11
% 21.78 18.81 10.89
11 9 8 8 8 2 1 1 1 101
10.89 8.91 7.92 7.92 7.92 1.98 0.99 0.99 0.99 100.00
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
36
Masalah terkait obat yang paling banyak terindetifikasi adalah interaksi potensial sebanyak 46 (26,74%), perlu pemeriksaan laboratorium 37 (21,51%), dosis obat terlalu tinggi/regimen dosis terlalu sering 25 (14,53%) dan waktu pemberian obat tidak tepat 21 (12,21%). Penurunan masalah terkait obat berdasarkan kategori masalah terkait obat sebelum dan sesudah intervensi adalah 50% - 100%. Tabel 4.8 Masalah terkait obat seluruh pasien sebelum dan sesudah intervensi berdasarkan kategori masalah terkait obat. Penilaian
1.Reaksi obat yang tidak diinginkan 2. Permasalahan pemilihan obat
Kode
P1.1
Efek samping non alergi
P2.1
Obat tidak tepat
P2.4 P2.5 P2.6 3. Permasalahan dosis 4.Permasalahan penggunaan obat 5.Interaksi obat
Kategori
P3.2 P4.1 P5.1
Obat kontra indikasi Tidak ada indikasi untuk obat Tidak mendapat obat ada indikasi Dosis obat terlalu tinggi /regimen dosis terlalu sering Obat tidak digunakan/ diberikan sama sekali
Interaksi yang bermakna
P6.2
Kurang kesadaran/pengetahuan akan kesehatan dan penyakit Keluhan tidak jelas. Perlu penjelasan lebih lanjut Perlu pemeriksaan laboratorium Cara pemberian/penyiapan obat tidak tepat Waktu pemberian obat tidak tepat Jumlah
P.6.3 P6.5 P6.6 P.6.7
Sesudah
∑ 7
% 4.07
∑ 0
6 1 2
3.49 0.58 1.16
2 0 1
1
0.58
0
Penu runan % (%) 100 0
25
14.53
8
10.0 0 0 5.00
66.67 100 50 100
9
0 45.0 0
4.65
0
0
100
46
26.74
4
8
4.65
2
20.0 0 10.0 0
2
1.16
0
0
100
1
0.58
0
0
100
37
21.51
1
5.00
100
7
4.07
1
5.00
97.30
21 172
12.21 100.0
0 20
0 100
100
Interaksi yang potensial
P5.2
6.Lain-lain
Sebelum
64
91.3 75
Jenis obat yang menyebabkan masalah terkait obat adalah sebanyak 46 jenis obat. Jenis obat yang paling banyak menimbulkan permasalahan adalah kaptopril (9,93%), asetosal (8,22%), enoksaparin (8,22%), klopidogrel (7,53%) dan seftriakson (7,19%) (lampiran 5).
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
37
Berdasarkan rute pemberian, jenis obat yang menyebabkan permasalahan pada rute oral sebanyak 27 jenis obat dengan frekuensi 153 (52,40%) (lampiran 6) dan rute
parenteral sebanyak 23 jenis obat dengan frekuensi 139 (47,60%)
(lampiran 7). 4.2.1 Reaksi obat yang tidak diinginkan Reaksi obat yang tidak diinginkan yang diidentifikasi adalah efek samping non alergi sebanyak 7 kasus yang melibatkan 8 jenis obat (lampiran 8). Efek samping non alergi yang terjadi berupa hipotensi, bradikardi dan pusing. Empat pasien mengalami hipotensi karena penggunaan obat antihipertensi. Satu pasien dengan diagnosa stroke hemoragik, hipertensi, bronkopeneumonia, hipoalbumin dan gangguan fungsi ginjal sebelumnya diberikan kaptopril 3 x 12,5 mg dan amlodipin 1 x 5 mg. Kedua obat antihipertensi tersebut kemudian dihentikan karena tekanan darah turun sampai 102/67 mmHg. Dua hari kemudian tekanan darah meningkat sampai 194/88 dan obat-obat anti hipertensi tersebut diberikan kembali tapi tekanan darah masih tinggi. Dosis kaptopril dan amlodipin ditingkatkan menjadi 3 x 25 mg dan 1 x 10 mg serta ditambahkan valsartan 1 x 80 mg dan ditingkatan menjadi 1 x 160 mg. Keesokan harinya tekanan darah turun hingga 98/59 mmHg. Kombinasi dari ketiga jenis obat ini akan memberikan efek aditif (penurunan TD). Peneliti merekomendasikan penurunan dosis anti hipertensi. Dokter menyetujui dan kaptopril dihentikan dan tekanan darah menjadi 125/80
mmHg sampai 149/76
mmHg. Satu pasien dengan diagnosa stroke, HHD, CAD, udem paru akut, NSTEMI, mendapat valsartan 1 x 80 mg dan furosemid drip 5 mg/jam serta gliserin trinitrat 2 x 2,5 mg per oral. Pasien mengalami penurunan tekanan darah sampai 73/53 mmHg. Dokter menghentikan penggunaan furosemid dan valsartan sebelum ada intervensi dari peneliti. Satu pasien dengan diagnosa stroke hemoragik, hipertensi, bronkopneumonia, hipoalbumin dan gangguan fungsi ginjal mengalami pusing. Pasien mendapatkan terapi klopidogrel, aspirin, bisoprolol, diltiazem, alprazolam, simvastatin, isosorbid dinitrat, enoksaparin dan ranitidine. Dokter menghentikan penggunaan isosorbid dinitrat sebelum ada intervensi peneliti dan pasien diberikan asam mefenamat.
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
38
Pasien
dengan
diagnosa
stroke
hemoragik,
hidrosefalus,
hipertensi
leukositosis , mengalami tekanan darah turun hingga 104/61 mmHg karena diberikan propofol drip 60 mg/jam dan midazolam 5 mg IV bolus untuk mengatasi nyeri dada hebat akibat kelainan irama jantung (ventricular extra systole,VES). Pasien sebelumnya juga diberikan kaptopril 3 x 25 mg , dan fenitoin 3 x 100 mg per oral. Propofol dan midazolam dapat menyebabkan efek samping hipotensi. Midazolam dihentikan dan tekanan darah meningkat menjadi 136/76 mmHg. Peneliti tidak melakukan intervensi terhadap kasus ini. Pasien ini juga mengalami bradikardi karena menggunakan amiodaron 3 x 200 mg dan dokter menghentikan penggunaan amiodaron. Lima kasus reaksi yang tidak diinginkan tidak mendapat intervensi peneliti karena keterbatasan waktu penelitian sehingga dokter lebih dahulu mengetahui dan menyelesaikan masalah tersebut. 4.2.2 Permasalahan pemilihan obat Permasalahan pemilihan obat yang diidentifikasi adalah obat tidak tepat sebanyak 6 kasus yaitu penggunaan omeprazol, kasus obat kontra indikasi 1 kasus yaitu penggunaan gliseril trinitrat, tidak ada indikasi untuk obat sebanyak 2 kasus yaitu penggunaan asam mefenamat dan seftriakson serta tidak mendapat obat ada indikasi 1 kasus (propofol). 4.2.2.1 Obat tidak tepat Semua kasus yang digolongkan pemilihan obat yang tidak tepat adalah penggunaan omeprazol bersama dengan fenitoin atau diazepam. Omeprazol dapat berinteraksi dengan fenitoin atau diazepam yang dapat meyebabkan toksisitas dari diazepam dan fenitoin. Tanda-tanda toksisitas diazepam (sedasi, jalan tidak stabil) dan fenitoin (pandangan kabur, nistagmus, ataksi) tidak dapat diamati pada pasien karena pasien dalam keadaan tidak sadar. Penelitian double-blind pada 10 orang sehat yang diberikan omeprazol 40 mg/hari selama 9 hari dan dosis tunggal fenitoin 300 mg pada hari ke tujuh, menunjukkan omeprazol secara bermakna meningkatkan AUC fenitoin. Interaksi omeprazol-fenitoin dapat penting secara klinis karena indeks terapi fenitoin yang rendah (Prichard P.J., et al,1987). Fasilitas pemeriksaan kadar fenitoin tidak tersedia di tempat penelitian, sehingga untuk mencegah kemungkinan terjadinya toksisitas fenitoin yang mempunyai indeks terapi sempit disarankan penggunaan obat
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
39
golongan penghambat pompa proton lain yang tidak berinteraksi dengan diazepam dan fenitoin seperti pantoprazol. 4.2.2.2 Obat kontra indikasi Satu kasus obat kontra indikasi yang diidentifikasi yaitu penggunaan gliseril trinitrat pada pasien yang mengalami hipotensi.
Diagnosa pasien adalah stroke,
HHD, CAD, udem paru akut, NSTEMI. Pasien diberikan gliserin trinitrat 2 x 2,5 mg peroral untuk mengatasi nyeri dada karena NSTEMI. Sebelumnya tekanan darah pasien naik turun 80/50 mmHg – 142/94 mmHg. Pasien juga mendapatkan valsartan 1 x 80 mg dan furosemid drip 5 mg/jam. Tekanan darah turun sampai 73/53 mmHg, dan dokter setuju gliserin trinitrat dihentikan. Dokter juga menghentikan penggunaan furosemid dan valsartan. Pasien diberikan dobutamin dan dopamine untuk meningkatkan tekanan darah. Setelah tekanan darah normal gliserin trinitrat diberikan kembali dengan catatan akan ditunda jika tekanan darah sistol kurang dari 100 mgHg. 4.2.2.3 Tidak ada indikasi untuk obat Pasien dengan diagnosa infark miokard, DM tipe II dan gangguan ginjal tanpa keluhan nyeri atau sakit kepala, mendapat asam mefenamat 3 x 500 mg. Setelah ditelusuri ternyata asam mefenamat diresepkan pada pasien dari poli penyakit dalam sebelum masuk ruang perawatan intensif. Intervensi kepada dokter supaya menghentikan penggunaan asam mefenamat disetujui. Pasien dengan diagnosa stroke hemoragik yang menolak operasi dan menderita hipertensi, mendapat seftriakson 2 x 1 g sebagai profilaksis selama 3 hari sedangkan pasien afebris dan nilai hitung lekosit 8900-9900 /ul. Pasien diintubasi dan menggunakan ventilator pada hari kedua. Hari kelima seftriakson diberikan kembali karena pasien demam (jumlah lekosit tidak diketahui), hari keenam lekosit 6.000 /ul, lekosit meningkat pada hari ketujuh (10.000-11.500/ul), turun pada hari kedelapan pagi (9.000/ul), pasien masih demam (39⁰C) dan pasien meninggal jam 10.25. Pemberian antibiotika sistemik profilaksis selama 24 jam pada pasien cedera kepala tertutup yang dilakukan intubasi darurat, mampu mencegah Hospital-acquired Pneumonia (HAP) di ruang perawatan intensif. Namun penggunaan secara rutin tidak direkomendasikan (PERDICI,2009). Centre for Desease Control and Prevention (CDC) juga tidak merekomendasikan penggunaan rutin antibiotika sistemik profilaksis (Tablan, Ofelia C., et al,2003)
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
40
Pasien yang diduga HAP atau VAP diambil kultur dan pemeriksaan mikroskopik sekret saluran napas bawah dan dilakukan terapi empirik. Bila dalam 4872 jam tidak ada perbaikan klinis dilihat hasil kultur, jika negatif dicari infeksi dan penyulitnya di tempat lain. Jika positif sesuaikan jenis antibiotika dan cari kuman lain dan komplikasinya (PERDICI,2009). Penanganan pasien dalam kasus penelitian ini menjadi tidak maksimal karena kultur darah, urine atau sputum tidak segera dilakukan (dilakukan pada hari keempat), sehingga bakteri patogen dan sensitifitas bakteri tidak segera diketahui. 4.2.2.4 Tidak mendapat obat ada indikasi Pasien yang tidak mendapatkan obat ada indikasi dapat menyebabkan gangguan atau penyakit yang lebih berat. Kasus pasien tidak mendapat obat ada indikasi adalah pasien berat badan 70 kg dengan diagnosa stroke hemoragik (menolak operasi), hipertensi, demam. Pasien sangat gelisah, jarum infus terlepas sehingga membahayakan pasien. Menurut Guideline stroke PERDOSSI 2007, pada pasien stroke hemoragik yang sangat gelisah dapat diberikan midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam atau propofol 0,3-1 mg/kg/jam. Dokter belum memberikan obat karena sebelumnya pasien tidak begitu gelisah. Intervensi kepada dokter supaya diberikan obat sedatif untuk mengatasi kegelisahan pasien disetujui, pasien diberikan propofol 40-60 mg/jam. 4.2.3 Permasalahan dosis Kasus dosis obat terlalu tinggi/regimen dosis terlalu sering yang teridentifikasi adalah 25 kasus (tabel 4.7). Kasus dosis obat terlalu tinggi
terbanyak adalah
ranitidine 6 kasus, asam traneksamat 4 kasus dan digoksin 4 kasus. Kasus regimen dosis terlalu sering adalah klonidin dan seftriakson (lampiran 8). Klonidin dan seftriakson diberikan dengan frekuensi 3 kali sehari yaitu masing-masing 3 x 0,15 mg dan 3 x 1 g. Frekuensi pemberian klonidin (t1/2 6-20 jam) dan seftriakson (t1/2 5-9 jam) seharusnya 2 kali sehari (tiap 12 jam). Frekuensi 3 kali sehari akan menyebabkan terakumulasinya obat tersebut di dalam tubuh. Intervensi peneliti mengubah frekuensi pemberian klonidin dan seftriakson menjadi 2 kali sehari disetujui oleh dokter. Dua puluh satu kasus merupakan penyesuaian dosis karena pasien mengalami gangguan fungsi ginjal. Penyesuaian dosis dilakukan untuk mencegah terjadinya
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
41
toksisitas obat karena waktu paruh obat menjadi lebih panjang pada gangguan fungsi ginjal. Sembilan dari 25 kasus penyesuaian dosis ditolak oleh dokter dengan alasan tidak diperlukan penyesuaian dosis atau karena kondisi klinis pasien misalnya pasien masih hematemesis sehingga dosis ranitidine tidak diturunkan. 4.2.4 Permasalahan penggunaan obat Permasalahan penggunaan obat yang diidentifikasi adalah obat tidak digunakan/diberikan sama sekali yaitu sebanyak 8 kasus, 7 kasus karena keluarga pasien yang tidak menyediakan obat (nifedipin, omeprazol, sitikolin, bisoprolol, kaptopril, albumin dan amikasin) karena masalah dana, belum menerima resep karena keluarga tidak ada dan pemberian resep yang terlalu sering sehingga keluarga merasa lelah karena bolak-balik ke apotik. Peneliti melakukan intervensi kepada keluarga pasien dan menyarankan supaya obat disediakan karena penting untuk pengobatan pasien. Keluarga pasien juga dijelaskan bahwa pemberian resep yang sering sesuai dengan perubahan kondisi klinis pasien dan dokter yang menangani pasien merupakan team yang lebih dari satu dokter. Dokter yang menangani pasien tidak datang bersamaan sehingga resep tidak diberikan bersamaan. Seluruh keluarga pasien yang diintervensi setuju untuk segera membeli obat-obatan tersebut. Satu kasus karena kosong persediaan di apotik (nimodipin infus). Peneliti menghubungi apotik supaya segera mengadakan nimodipin infus karena penting untuk mengatasi spasme pada pasien yang menderita stoke hemoragik. Apotik menyetujui segera mengadakan dan obat diberikan pada pasien. 4.2.5 Interaksi obat Interaksi obat yang diidentifikasi sebanyak 54 kasus yaitu interaksi obat potensial 46 kasus dan interaksi obat bermakna 8 kasus. 4.2.5.1 Interaksi obat potensial Empat puluh enam kasus permasalahan interaksi obat
potensial yang
diidentifikasi pada penelitian ini melibatkan 22 jenis obat (lampiran 8). Interaksi obat-obat 44 kasus dan interaksi obat-penyakit 2 kasus yaitu interaksi antara sukralfat dengan gagal ginjal. Interaksi obat-obat yang terbanyak adalah interaksi antara enoksaparin, asetosal dan klopidogrel 10 kasus (21,74%), seftriakson dengan
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
42
gentamisin 6 kasus (13,04%), omeprazol dan fenitoin serta kaptopril dan furosemid masing-masing 4 kasus (8,70%)(lampiran 9). Penggunaan bersamaan enoksaparin, asetosal dan klopidogrel dapat meningkatkan risiko terjadinya perdarahan lambung dan peritoneal (Baxter, Karen,2008). Tanda-tanda perdarahan dipantau sampai di ruang perawatan biasa (melalui rekam medis pasien). Lima dari 10 kasus interaksi ini selama di rawat di ruang intensif tidak mengalami penurunan hemoglobin dan hematokrit serta tandatanda perdarahan. Dua pasien mengalami penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa tanda-tanda perdarahan , 2 pasien
mengalami penurunan hemoglobin
/hematokrit serta nyeri epigastrum , serta 1 pasien mengalami penurunan hemoglobin dan hematokrit serta urin merah. Nyeri epigastrum pada satu pasien hilang setelah enoksaparin, asetosal dan klopidogrel dihentikan serta diterapi dengan lansoprazol 2 x 30 mg per oral. Nyeri epigastrum pada pasien lain hilang setelah enoksaparin dihentikan dan diterapi dengan antasid sirup, ondansentron dan ranitidin. Enoksaparin dihentikan pada pasien yang mengalami urin merah. Terkait dengan interaksi potensial antara enoksaparin, asetosal dan klopidogrel yang meningkatkan resiko perdarahan lambung, dokter ada yang memberikan propilaksis dan ada yang tidak memberikan. Pasien yang diberikan propilaksis ulkus peptik sebanyak 6 pasien, 1 pasien dengan lansoprazol 2x30 mg per oral, 5 pasien dengan ranitidine 2 x 50 mg IV. Pasien yang diberikan profilaksi lansoprazol tidak mengalami tanda perdarahan,
penurunan hemoglobin dan
hematokrit tidak diketahui karena belum ada pemeriksaan lagi. Satu dari pasien yang diberi profilaksis ranitidine tidak ada tanda perdarahan dan tidak diketahui penurunan hemoglobin dan hematokrit karena tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium (pasien meninggal, lama perawatan 1 hari). Dua pasien yang diberi profilaksis ranitidine mengalami penurunan hemoglobin dan hematokrit dan tidak ada tanda perdarahan, satu pasien mengalami nyeri epigastrum dan penurunan hemoglobin dan hematokrit serta satu pasien tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium karena pasien meninggal. Empat pasien tidak diberikan
profilaksis. Satu pasien yang tidak mendapat
profilaksis mengalami nyeri epigastrum dan penurunan hemoglobin dan hematoktrit, satu pasien belum ada pemeriksaan lagi, satu pasien tidak mengalami penurunan hemoglobin dan hematokrit serta tanda perdarahan, serta satu pasien mengalami urine merah dan penurunan hemoglobin dan hematokrit.
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
43
Penelitian retrospektif yang dilakukan pada 666 pasien yang mendapatkan terapi kombinasi enoksaparin, asetosal dan klopidogrel menunjukkan perdarahan saluran cerna ditemukan pada 18 pasien (2,7%). Tidak ada penjelasan mengenai berapa lama penggunaan kombinasi hingga terjadi perdarahan. Titik akhir (end point) penelitian adalah terjadinya perdarahan saluran cerna pada saat penggunaan kombinasi atau dalam 7 hari setelah enoksaparin dihentikan. Faktor risiko bermakna pada perdarahan saluran cerna adalah riwayat tukak lambung atau syok kardiogenik dan tidak diberikannya PPI. Pemberian bersama PPI secara bermakna mengurangi risiko perdarahan ( Ng FH., et al,2008). Peneliti meminta dokter agar memantau ketat terjadinya tanda-tanda perdarahan karena penggunaan kombinasi obat ini. Dokter menyetujui dan menjelaskan ketiga kombinasi perlu digunakan karena terjadinya trombus sehingga digunakan kombinasi ketiga obat ini yang mekanismenya berbeda-beda. Dokter juga mengatakan kalau selama ini kejadian perdarahan jarang terjadi. Enam kasus interaksi potensial adalah interaksi antara seftriakson dan gentamisin. Seftriakson meningkatkan
risiko nefrotoksik dari gentamisin. Faktor
risiko pada interaksi ini adalah peningkatan kadar gentamisin, penurunan albumin, pria, usia lanjut, peningkatan lama pengobatan, penyakit hati atau asites. Penggunaan kombinasi dengan adanya faktor risiko sebaiknya dihindari. Bila harus digunakan sebaiknya diberikan pada pengobatan singkat, dosis minimum dan fungsi ginjal dipantau secara ketat (Baxter, Karen.,2008).
Intervensi peneliti agar kombinasi
dihindari jika ada faktor risiko, jika harus digunakan pada pengobatan singkat, dan fungsi ginjal dipantau ketat. Lima kasus disetujui di pantau ketat fungsi ginjal dan satu kasus disetujui dihentikan penggunaan gentamisin karena pasien gagal ginjal kronik (ureum 270 mg/dl, kreatinin 4,9 mg/dl, kreatinin kliren 13,77 ml/menit) . Penggunaan kombinasi obat berkisar antara 3-4 hari. Kombinasi dihentikan karena kadar ureum kreatinin meningkat atau kadar lekosit sudah turun. Penggunaan bersamaan fenitoin dan omeprazol dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar fenitoin. Studi pada 10 orang sehat selama 7 hari penggunaan fenitoin 300 mg/hari dan omeprazol 40 mg/hari meningkatkan AUC fenitoin sebanyak 25% ( Baxter, Karen,2008). Tanda-tanda terjadinya toksisitas dari fenitoin adalah
jalan goyah, kebingungan,mual, demam, hipotensi, hipotermia,depresi
pernapasan dan koma (Lacy CF.,Armstrong LL.,Goldman MP.,Lance LL.,2008).
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
44
Kasus yang diidentifikasi pada interaksi potensial fenitoin dan omeprazol sebanyak 4 kasus, 3 kasus menggunakan fenitoin 3 x 100 mg dan omeprazol 2 x 40 mg serta 1 kasus menggunakan fenitoin 2 x 100 mg dan omeprazol 2 x 40 mg. Kesadaran pasien yang menurun (1 orang koma), menyulitkan pemantauan tanda-tanda toksisitas fenitoin sedangkan fenitoin sendiri mempunyai indeks terapi yang rendah. Intervensi peneliti pada dokter adalah pemantauan kadar serum fenitoin atau bila tidak bisa dilakukan omeprazol diganti dengan golongan penghambat pompa proton lain yang tidak berinteraksi seperti pantoprazol. Tiga hasil rekomendasi
menyetujui
penggantian omeprazol dengan pantoprazol dan1 kasus tidak disetujui. Penggunaan
bersamaan
kaptopril dan furosemid dapat
menyebabkan
terjadinya hipokalemia dan gangguan ginjal ( Baxter, Karen,2008) . Satu kasus interaksi potensial ini pada pasien dengan diagnosa stroke non hemoragik, DM, bronkopneumonia, HHD, CAD, NSTEMI, udem paru, hiperkolesterolemia, diberi kaptopril 3x25 mg p.o dan furosemid
10 mg/jam IV. Ureum/kreatinin pasien
meningkat dari 30/1,1 mg/dl menjadi 102/3,4 mg/dl setelah penggunaan 2 hari. Intervensi peneliti untuk mengurangi dosis atau menghentikan furosemid dan/atau kaptopril tidak disetujui dokter karena
urin
pasien sedikit. Dosis furosemid
ditingkatkan menjadi 20 mg/jam IV. Interaksi obat-penyakit adalah interaksi sukralfat dengan penyakit gagal ginjal kronik. Sukralfat yang merupakan garam aluminium diabsorpsi minimal (<5%) tapi penyakit gagal ginjal kronik dapat menyebabkan tingginya kadar aluminium dalam serum karena mengalami gangguan ekskresi aluminium yang diabsorpsi sehingga dapat menimbulkan toksisitas aluminium dengan tanda-tanda timbulnya seizure, kelemahan otot, nyeri tulang dan ensefalopati aluminium berat (Lacy CF.,Armstrong LL.,Goldman MP.,Lance LL.,2008;Sweetman, Sean C, et al.2007) . Intervensi yang diberikan adalah memantau ketat adanya tanda-tanda toksisitas aluminium. Satu pasien tidak menunjukkan adanya tanda-tanda toksisitas setelah penggunaan selama 6 hari dan satu pasien mengalami kejang setelah penggunaan selama 11 hari (diagnosa DM tipe II, DM nefropati, hematemesis dan pasien riwayat stroke non hemoragik serta hipertensi). 4.2.5.2 Interaksi obat bermakna Permasalahan interaksi obat yang bermakna yang teridentifikasi sebanyak 8 kasus yang melibatkan 9 jenis obat (lampiran 10). Interaksi obat bermakna ditentukan
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
45
berdasarkan literatur. Dua kasus adalah penggunaan fenitoin dan amiodaron. Penggunaan bersamaan Fenitoin dan amiodaron menyebabkan terjadinya toksisitas fenitoin karena peningkatan kadar serum fenitoin. Mekanisme interaksi belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan amiodaron menghambat enzim hati yang memetabolisme fenitoin. Fenitoin adalah obat penginduksi enzim yang meningkatkan metabolism amiodaron. Pemberian bersamaan harus dilakukan bila efek dapat dipantau dengan baik. Dosis fenitoin harus dikurangi sesuai kebutuhan. Pengurangan dosis 25-30 % pada penggunaan fenitoin 2-4 mg/kg/hari, tapi harus diingat pengubahan sedikit dosis dapat menghasilkan perubahan besar kadar fenitoin. Waktu paruh amiodaron panjang (40-55 hari) sehingga interaksi bertahan berminggu-minggu setelah dihentikan (Baxter, Karen,2008). Intervensi peneliti berupa penurunan dosis fenitoin tidak diterima pada kedua kasus tersebut. Pasien dalam keadaan tidak sadar sehingga tanda-tanda toksisitas fenitoin tidak bisa dipantau. Amiodaron pada pasien pertama dihentikan karena terjadi efek samping bradikardi. Diagnosa pasien pertama adalah stoke hemoragik, hidrosefalus, hipertensi dan leukosistosis, sedangkan pada pasien kedua adalah stroke hemoragik, hematemesis, hipertensi, hipotensi, bronkopneumonia, HHD dan fibrilasi arteri. Penggunaan
bersamaan
fenitoin
dan furosemid dapat
menyebabkan
berkurangnya efek diuresis dari furosemid sebanyak 50% sehingga peningkatan dosis furosemid
mungkin
dibutuhkan
(Baxter,
Karen,2008).
Satu
kasus
pasien
menggunakan fenitoin 3 x 100 mg IV dan furosemid 2 x 40 mg. Peneliti mengintervensi pemantauan efek diuretik dan jika dibutuhkan
tingkatkan dosis
furosemid. Intervensi diterima dan furosemid diberikan selama dua hari dan tidak dibutuhkan peningkatan dosis. Kasus interaksi obat lain yang menurut literatur bermakna adalah penggunaan bersamaan kaptopril , valsartan dan spironolakton. Penggunaan bersamaan ketiga obat ini dapat menyebabkan hiperkalemia. Kaptopril dan valsartan mengurangi kadar aldosteron sehingga menyebabkan retensi kalium sehingga aditif dengan efek menahan kalium dari spironolakton. Faktor risiko adalah pada gangguan ginjal, diabetes mellitus dan usia lanjut. Kombinasi dihindari jika kliren kreatinin < 30 ml/menit. Dosis spironolakton yang digunakan tidak boleh lebih dari 25 mg/hari(Baxter, Karen,2008).
Pasien pada kasus ini berusia 69 tahun dengan
diagnosa stroke non hemoragik, DM, bronkopneumonia, NSTEMI, gagal ginjal akut
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
46
(kliren kreatinin 16 ml/menit) dan hiperlipidemia. Pasien diberikan kaptopril 3 x 25 mg, valsartan 1 x 80 mg, spironolakton 1 x 25 mg dan furosemid 10 mg/jam. Dokter menyetujui pemantauan ketat kadar serum kalium. Selama penggunaan satu hari kadar kalium dalam batas normal (4,42 mmol/l). Pasien meninggal pada hari kedua penggunaan kombinasi karena penyakitnya yang kompleks. Penggunaan
bersamaan spironolakton
dan valsartan dapat menyebabkan
terjadinya hiperkalemia. Penurunan fungsi ginjal merupakan faktor risiko (Baxter, Karen,2008). Kasus yang diidentifikasi adalah pasien 59 tahun dengan diagnosa fibrilasi atrial
respon cepat, HHD , CAD, gangguan fungsi ginjal (CCT 41,44
ml/menit) dan hiperurisemia, diberi spironolakton 25 mg per oral dan valsartan 1 x 160 mg per oral. Intervensi peneliti yaitu pemantauan kadar kalium dan fungsi ginjal disetujui oleh dokter. Kadar ureum/ kreatinin sebelumnya 55 mg/dl dan 1,9 mg/dl. Setelah penggunaan 3 hari kadar ureum 54 mg/dl dan kreatinin 1,8 mg/dl. Kadar Kalium sebelumnya 4,0 mmol/l dan setelah penggunaan 3 hari kadar kalium meningkat menjadi 4,9 mmol (dalam batas normal). Pasien pindah ruangan dan penggunaan kombinasi belum dihentikan. Penggunaan bersamaan amiodaron dan digoksin dapat meyebabkan toksisitas digoksin setelah beberapa hari dan berkembang 1-4 minggu sehingga dosis digoksin sebaiknya dikurangi 1/3 - 1/2 . Waktu paruh amiodaron panjang (40-55 hari) sehingga efek menetap beberapa minggu setelah dihentikan(Baxter, Karen,2008). Kasus yang diidentifikasi adalah penggunaan amiodaron 2 x 200 mg per oral dan digoksin 1x 0,25 mg IV. Pasien didiagnosa stroke hemoragik, hematemesis, hipertensi, hipotensi, bronkopneumonia, HHD, fibrilasi atrial. Intervensi peneliti adalah pemantauan efek digoksin dan penurunan dosis digoksin. Intervensi disetujui dan hari kedua tidak ada tanda-tanda tokisitas digoksin (muntah, hiperkalium, sinus bradikardi) dan fibrilasi atrial membaik sehingga digoksin dihentikan. Kasus interaksi obat bermakna lain adalah penggunaan digoksin 1 x 0,25 mg per oral dan rifampisin 1 x 450 mg. Rifampisin (enzyme inducer) akan meningkatkan metabolisme digoksin sehingga mengurangi efek digoksin (Baxter, Karen,2008). Diagnosa pasien adalah stroke non hemoragik berulang, metabolik ensefalopati, HHD, CAD, hematuria, bronkopneumonia, TB paru, anemia dan takikardi. Intervensi peneliti kepada dokter adalah pemantauan efek digoksin jika diperlukan dosis
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
47
digoksin dapat ditingkatkan. Dokter menyetujui,
satu hari setelah penggunaan
kombinasi, dosis digoksin tetap dan pasien sudah tidak takikardi. Interaksi obat bermakna lain adalah penggunaan bersamaan fenitoin, rifampisin dan isoniazid.
Rifampisin dapat mengurangi efek fenitoin sedangkan
isoniazid dapat menyebabkan toksisitas fenitoin terutama pada pasien asetilator lambat. Hasil tergantung status asetilator pasien. Asetilator cepat mungkin perlu peningkatan dosis fenitoin karena rifampisin mengurangi efek fenitoin sedangkan asetilator lambat mungkin perlu penurunan dosis fenitoin karena isoniazid dapat menyebabkan toksisitas fenitoin. Interaksi dapat terjadi dalam beberapa hari sampai beberapa minggu (Baxter, Karen,2008). Diagnosa pasien pada kasus ini adalah kejang setelah stroke non hemoragik berulang, metabolik ensefalopati, HHD, CAD, hematuria, bronkopneumonia, TB paru, anemia dan bradikardi. Intervensi pada dokter adalah pemantauan penggunaan karena hasil tidak dapat diduga kecuali status asetilator diketahui dan pemantauan kadar/efek fenitoin serta penyesuaian dosis. Dokter setuju melakukan pemantauan efek fenitoin. Dua hari setelah penggunaan, dosis tidak berubah, tanda toksisitas fenitoin tidak bisa diamati karena kesadaran pasien semakin menurun (GCS 11 menjadi 7-8) dan pasien meninggal karena penyakitnya yang kompleks. 4.2.6 Kurang kesadaran/pengetahuan akan kesehatan dan penyakit Masalah terkait obat pasien kurang kesadaran/pengetahuan akan kesehatan dan penyakit yang diidentifikasi adalah 2 kasus. Kasus pertama pasien riwayat stroke 3 tahun yang lalu, hipertensi dan diabetes mellitus dan tidak rutin melakukan pemeriksaan
ke dokter.
Pasien
menjalani
terapi
akupuntur,
totok
darah,
mengkonsumsi obat herbal bila timbul gejala penyakit. Pasien adalah perokok. Kadar ureum dan kreatinin pasien meningkat s/d 77 mg/dl dan 2,0 mg/dl. Diagnosa pasien stroke non hemoragik,
diabetes mellitus hipoglikemik dan hematuria. Peneliti
menyampaikan kepada keluarga pasien pentingnya pemeriksaan rutin tekanan darah dan kadar gula darah serta kadar serum ureum/kreatinin agar tekanan darah, gula darah tetap terkontrol untuk mencegah terjadinya komplikasi seperti stoke, penyakit jantung, dan lain-lain. Merokok merupakan faktor risiko sehingga sebaiknya kebiasaan merokok dihentikan. Hati-hati dalam menggunakan herbal dan sebaiknya
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
48
rutin memeriksaan fungsi ginjal (ureum/kreatinin).Keluarga pasien menyetujui dan akan disampaikan pada pasien bila keadaan sudah memungkinkan. Kasus kedua adalah pasien riwayat hipertensi dengan diagnosa infark miokard akut, HHD dan gangguan fungsi ginjal (kreatinin 2,0 mg/dl). Pasien pernah minum obat anti hipertensi (jenis obat tidak disebutkan) tapi pasien pusing sehingga penggunaan obat dihentikan dan pasien berolah raga saja. Pasien adalah perokok. Peneliti menyampaikan pada keluarga pasien pentingnya pemeriksaan rutin tekanan darah untuk mencegah terjadinya peningkatan tekananan darah yang berisiko terjadinya komplikasi seperti stroke, penyakit jantung, dan lain-lain. Keluhan karena efek samping penggunaan obat agar disampaikan ke dokter agar dapat diganti dengan obat anti hipertensi lain. Merokok merupakan faktor risiko sehingga sebaiknya berhenti merokok. Keluarga setuju dan akan menyampaikan pada pasien. 4.2.7 Keluhan tidak jelas. Perlu penjelasan lebih lanjut. Satu kasus keluhan pasien yang tidak jelas dan perlu penjelasan lebih lanjut yang diidentifikasi. Pasien mengeluh belum bisa buang air besar dan nyeri saat buang air kecil (pasien menggunakan kateter) serta pasien sudah ingin keluar dari ruang perawatan intensif. Diagnosa pasien adalah infark miokard akut. Peneliti memberi penjelasan bahwa pasien sudah diberi obat pencahar ( laxadine 1 x 15 ml) dan supaya pasien tidak mengedan karena berisiko terhadap penyakit jantung yang dialami (infark miokard). Peneliti menyampaikan keluhan pasien ke dokter dan dokter setuju untuk menindaklanjuti.
Pada saat dokter melakukan pemeriksaan,
keluhan nyeri saat buang air kecil sudah hilang. 4.2.8 Perlu pemeriksaan laboratorium Permasalahan perlu pemeriksaan laboratorium yang teridentifikasi adalah 37 kasus. Tigapuluh empat kasus perlu pemeriksaan laboratorium berkaitan dengan masalah interaksi obat-obat. Tiga kasus masing-masing karena penggunaan propofol, gentamisin serta kalsium karbonat. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan kadar serum ureum, kreatinin , hemoglobin, hematokrit, kalium, kalsium, trigliserida, fungsi hati dan lekosit (tabel 4.9). Enam kasus perlu pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal (ureum/kreatinin) karena kemungkinan terjadinya interaksi pada penggunaan seftriakson dan gentamisin
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
49
dan dua kasus karena penggunaan amikin dan seftriakson. Penggunaan bersamaan seftriakson dengan amikasin atau gentamisin akan meningkatkan risiko nefrotoksik dari amikasin atau gentamisin sehingga pada penggunaannya harus dilakukan pemantauan fungsi ginjal terutama pada pasien yang berisiko (peningkatan kadar gentamisin/amikasin, penurunan albumin, pria, usia lanjut, peningkatan lama pengobatan dan penyakit hati atau asites (Baxter, Karen,2008). Dosis amikasin yang diberikan 1 x 1g, gentamisin 1x 120 mg, 2 x 80 mg, dan dosis seftriakson 2 x 1 g. Rekomendasi yang diberikan adalah kombinasi sebaiknya dihindari pada lansia atau pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal. Jika terpaksa digunakan, maka harus diberikan dalam waktu yang singkat, dosis minimum dan pemantauan fungsi ginjal secara ketat.
Dokter setuju dan kombinasi obat dihentikan karena kadar ureum
kreatinin meningkat, atau kadar lekosit sudah turun. Tabel 4.9 Jenis obat yang menyebabkan masalah terkait obat perlu pemeriksaan laboratorium
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Jenis obat Amikin dan seftriakson Gentamisin dan seftriakson Parnaparin, asetosal dan klopidogrel Enoksaparin dan aspirin Enoksaparin,asetosal dan klopidogrel Propofol Furosemid dan kaptopril Kaptopril dan hidroklortiazid Kaptopril dan allopurinol Digoksin dan furosemid Spironolakton dan valsartan Spironolakton,valsartan dan kaptopril Isoniazid dan rifampisin Kaptopril dan KCl Gentamisin CaCO3 Jumlah
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan ureum, kreatinin ureum kreatinin hemoglobin, hematokrit hemoglobin, hematokrit hemoglobin, hematokrit trigliserida kalium kalium, ureum ,kreatinin lekosit kalium kalium kalium SGOT, SGPT kalium ureum, kreatinin kalsium
Frekuensi (n) 2 6 1 1 10 1 4 1 2 3 1 1 1 1 1 1 37
Pasien dengan diagnosa stroke hemoragik, hidrosefalus, hipertensi dan leukositosis diberi propofol 60 mg/jam untuk mengatasi nyeri dada yang timbul karena kelainan irama jantung (ventricular extra systole). Kadar trigliserida pasien
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
50
adalah 149 mg/dl. Propofol merupakan formula emulsi minyak dalam air, sehingga kadar trigliserida perlu dipantau sebelum diberikan propofol dan tiap 3-7 hari kemudian (Lacy CF.,Armstrong LL.,Goldman MP.,Lance LL.2008).
Dokter
menyetujui usulan untuk pemeriksaan laboratorium, hari keempat kadar trigliserida belum diperiksa (pasien meninggal). Pemeriksaan elektrolit darah secara rutin umumnya dilakukan pada pasien. Peneliti menyampaikan pada dokter kemungkinan akibat dari interaksi obat berupa peningkatan atau penurunan kadar elektrolit darah sehingga dapat diwaspadai bila hal ini terjadi. Seluruh intervensi pada kasus perlu pemeriksaan laboratorium disetujui oleh dokter. 4.2.9 Cara pemberian/penyiapan obat tidak tepat Permasalahan cara pemberian/penyiapan obat tidak tepat yang diidentifikasi adalah 7 kasus yang melibatkan 11 jenis obat. Masalah meliputi pemilihan larutan pengencer obat parenteral, stabilitas obat, wadah larutan injeksi dan cara penyuntikan serta kecepatan penyuntikan. Satu kasus cara pemberian/penyiapan obat tidak tepat adalah nifedipin tablet sustained release 30 mg yang digerus lebih dahulu sebelum diberikan pada pasien (pasien tidak sadar) sehingga merusak formula obat yang dapat menyebabkan peningkatan kadar nifedipin. Intervensi yang dilakukan adalah mengganti dengan obat anti hipertensi lain yang bukan tablet sustained release. Dokter menyetujui dan nifedipin diganti dengan amlodipin 1 x 10 mg. Dua kasus lain adalah masalah pemberian beberapa obat suntik melalui vena sentral secara langsung satu persatu tanpa pembilasan untuk mencegah terjadinya interaksi farmasetik dan tertinggalnya obat yang terakhir disuntikkan pada selang CVC. Masalah stabilitas obat didapati pada penggunaan meropenem injeksi yang dilarutkan dalam NaCl 0,9% dan diberikan secara infus drip selama 4 jam. Meropenem dalam NaCl 0,9% hanya stabil selama 2 jam pada suhu kamar (Lacy CF.,Armstrong LL.,Goldman MP.,Lance LL., 2008). Intervensi dilakukan dengan cara menyampaikan pada perawat bahwa sebaiknya larutan injeksi meropenem dalam NaCl 0,9% diberikan paling lama 2 jam setelah penyiapan. Perawat menyetujui untuk diberikan selama 2 jam.
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
51
Masalah lain adalah amiodaron 300 mg/12 jam yang seharusnya dilarutkan dalam dekstrosa 5%
ternyata dilarutkan dalam dalam NaCl 0,9% sedangkan
amiodaron injeksi tidak tercampur dalam NaCl 0,9% (British National Formulary 2009) dan penggunaannya masih dipertentangkan (Lawrence A, Trissel, 2003). Intervensi untuk menggunakan pelarut dekstrosa 5% pada pemberian amiodaron injeksi disetujui oleh dokter dan perawat. Petugas yang melarutkan obat injeksi sebelum digunakan di ruang perawatan intensif adalah perawat. Amiodaron konsentrasi 1-6 mg/ml stabil selama 24 jam dalam wadah poliolefin atau kaca dan 2 jam dalam wadah PVC (potensi berkurang 10%) pada suhu ruangan. Infus lebih dari dua jam harus diberikan dalam wadah kaca atau botol poliolefin (Lacy CF.,Armstrong LL.,Goldman MP.,Lance LL. 2008; Trissel, Lawrence A., 2003). Dokter dan perawat diberitahu bahwa untuk pemberian selama 12 jam (infus drip) digunakan wadah kaca atau poliolefin. Dokter dan perawat tidak menyetujui karena sulit mencari alatnya. Peneliti juga meminta apotik agar menyediakan wadah yang tidak mengandung PVC untuk penggunaan amiodaron injeksi. 4.2.10 Waktu pemberian obat tidak tepat Masalah waktu pemberian obat yang tidak tepat diidentifikasi sebanyak 21 kasus yang melibatkan 8 jenis obat.
Kasus terbanyak adalah waktu pemberian
kaptopril 9 kasus, simvastatin dan laxadine masing-masing 4 kasus, dan amikasin, digoksin, lansoprazol, roksitromisin serta sukralfat masing-masing 1 kasus. Sembilan kasus waktu pemberian obat tidak tepat adalah kaptopril yang diberikan seketika sesudah makan. Makanan menurunkan absorpsi kaptopril 30-40 % (Lacy CF.,Armstrong LL.,Goldman MP.,Lance LL. 2008). Peneliti menyampaikan pada dokter dan perawat sebaiknya kaptopril diberikan 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah makan untuk mendapatkan absorpsi yang maksimal. Perawat dan dokter menyetujui pemberian kaptopril 1 jam sebelum makan. Empat kasus lain adalah pemberian simvastatin yang digunakan sebagai pencegahan sekunder penyakit kardiovaskular
pada pasien hiperkolesterolemia.
Mekanisme kerja simvastatin adalah menghambat secara kompetitif
HMG-CoA
reduktase yaitu enzim yang mengkatalisa tahap biosintesa kolesterol Lacy CF.,Armstrong LL.,Goldman MP.,Lance LL.2008). Pada kasus ini, simvastatin yang seharusnya diberikan pada malam hari, diberikan pagi hari jam 06.00. Intervensi
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
52
supaya simvastatin diberikan pada malam hari karena produksi kolesterol tertinggi pada malam hari disetujui oleh dokter dan perawat, simvastatin diberikan malam hari (jam 20.00 atau jam 22.00). Laxadin sirup diberikan pada pagi hari jam 06.00. Laxadine sirup sebagai pelicin jalannya faeses dan perbaikan peristaltik, sebaiknya diberikan malam menjelang tidur. Perawat dan dokter menyetujui pemberian laxadine sirup pada malam hari. Lansoprazol kapsul 2 x 30 mg, yang sebaiknya diberikan 1/2 jam sebelum makan untuk mendapatkan absorpsi maksimal, diberikan seketika sesudah makan. Dokter dan perawat menyetujui intervensi peneliti agar pemberian lansoprazol 1/2 jam sebelum makan. Roksitromisin tablet 2 x 150 mg yang sebaiknya diberikan sebelum makan karena makanan menunda absorpsi (Sweetman,Sean C, et al.2007), diberikan seketika sesudah makan. Dokter dan perawat menyetujui pemberian roksitromisin 1/2 jam sebelum makan. Kasus lain adalah sukralfat yang seharusnya jarak pemberiannya 2 jam dengan digoksin karena dapat mengurangi absorpsi digoksin (Baxter, Karen,2008), diberikan 1/2 jam sebelum makan dan digoksin diberikan seketika sesudah makan. Dokter dan perawat menyetujui intervensi peneliti agar jarak pemberian 2 jam. Amikasin 1 x 1 g diberikan tidak around the clock karena keluarga pasien sering terlambat menyediakan obat tersebut. Intervensi dilakukan terhadap keluarga pasien dengan memberitahukan pentingnya pemberian antibiotik secara around the clock untuk mendapatkan terapi maksimal dengan menjaga kadar dalam keadaan steady state. Masalah waktu pemberian obat tidak tepat sering terjadi karena perawat lupa/tidak tahu. Dokter juga sering lupa menuliskan atau tidak mengetahui waktu pemberian obat yang tepat dan apotik juga tidak menuliskan waktu pemberian obat pada etiket. Peneliti melakukan intervensi kepada dokter, perawat dan petugas apotik/Departemen Farmasi tentang perlunya waktu pemberian obat yang tepat untuk mendapatkan absorpsi obat yang optimal. Departemen Farmasi disarankan untuk membuat daftar obat yang membutuhkan waktu pemberian khusus sebagai panduan para petugas apotik pada waktu menuliskan etiket.
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
53
Interval waktu pemberian seluruh obat oral di tempat penelitian adalah 6 jam untuk penggunaan 3 kali sehari. Seharusnya interval pemberian adalah 8 jam untuk menjaga kondisi steady state obat dalam serum dan mencegah akumulasi obat dalam saluran pencernaan mengingat kondisi pasien yang sedang kritis. Perubahan manajemen dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini. Masalah terkait obat yang belum sempat diintervensi sebanyak 9 (5,23%) dari 172 masalah terkait obat yang diidentifikasi dengan kategori efek samping non alergi, dosis dan interaksi yang potensial. Hal ini disebabkan karena waktu penelitian yang terbatas (jam 07.00 s/d 15.00) sehingga sebelum sempat diintervensi, identifikasi efek samping lebih dahulu diketahui oleh dokter atau pasien sudah meninggal. 4.3 Analisis 4.3.1 Perbedaan kondisi klinis pasien sebelum dan sesudah intervensi. Dari data tabel 4.2. ,untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kondisi klinis pasien sebelum dan sesudah pemberian intervensi oleh apoteker digunakan uji perbedaan uji Wilcoxon. Uji tersebut dipilih dengan alasan bahwa data yang digunakan adalah data berpasangan, yaitu data sebelum dan sesudah. Alasan lainnya adalah karena sebaran data yang ada tidak mengikuti pola sebaran normal, sehingga digunakan alat uji Wilcoxon yang termasuk dalam golongan metode stastitik non parametrik. Data yang dianalisis adalah perbedaan kondisi awal dan akhir dari pasien yang masih hidup. Hasil pengujian data pada tabel 4.2 menunjukkan nilai kebermaknaan pengujian yang sangat baik (lihat lampiran 11). Nilai kebermaknaan yang diperoleh adalah sebesar 0,031 yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai kebermaknaan alpha (0,05). Berdasarkan pada hasil pengujian ini, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna dalam hal kondisi klinis pasien yang masih hidup antara sebelum dan sesudah dilakukan intervensi oleh apoteker. 4.3.2 Perbedaan jumlah masalah terkait obat sebelum dan sesudah intervensi. Dari data tabel 4.6, untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan jumlah masalah terkait obat sebelum dan sesudah pemberian intervensi oleh apoteker digunakan uji perbedaan uji Wilcoxon. Uji tersebut dipilih dengan alasan bahwa data
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
54
yang digunakana adalah data berpasangan, yaitu data sebelum dan sesudah. Alasan lainnya adalah karena sebaran data yang ada tidak mengikuti pola sebaran normal, sehingga digunakan alat uji Wilcoxon yang termasuk dalam golongan metode stastitik non parametrik. Hasil pengujian data pada tabel 4.6 menunjukkan nilai kebermaknaan pengujian yang sangat baik (lampiran 12 ). Nilai kebermaknaan yang diperoleh adalah sebesar 0,000,
nilai ini
jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai
kebermaknaan alpha (0,05). Berdasarkan pada hasil pengujian ini, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna dalam hal jumlah masalah terkait obat antara sebelum dan sesudah dilakukan intervensi oleh apoteker. 4.4
Keterbatasan penelitian Literatur yang digunakan dalam penelitian adalah
Drug Information
Handbook edisi ke-14 dan British National Formulary 2009. Buku ini tidak selalu digunakan oleh dokter ditempat penelitian, sehingga terdapat perbedaan persepsi. Adanya kendala psikologi dari klinisi terhadap intervensi apoteker karena masalah terkait obat merupakan hal baru bagi sebagian besar klinisi. Keadaan ruang perawatan intensif yang sangat sibuk juga membuat pemberian intervensi menjadi terbatas. Penelitian ini hanya terbatas pada pasien dengan penyakit stroke, hipertensi atau infark miokard sehingga
tidak dapat menghitung kejadian masalah terkait
sebenarnya pada semua pasien yang dirawat di ruang intensif. Desain penelitian yang menggunakan pre-post design yaitu studi eksperimen sebelum dan sesudah intervensi kurang dapat menggambarkan keberhasilan intervensi terhadap kondisi klinis pasien. Pengaruh intervensi akan dapat diketahui dengan lebih baik bila ada pembanding yang tidak diberikan intervensi. Namun demikian penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya dan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan asuhan kefarmasian di Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta, dan mendorong untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut.
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1) Masalah terkait obat yang teridentifikasi sebanyak 172 (sebelum intervensi) dan 20 (setelah intervensi). 2) Jenis obat yang paling banyak menimbulkan permasalahan adalah kaptopril (10,95%), asetosal (8,48%), enoksaparin (8,48%), klopidogrel (7,77%), dan seftriakson (7,42%). 3) Masalah terkait obat yang paling banyak ditemui adalah interaksi potensial (26,74%),
perlu pemeriksaan laboratorium (21,51%), dosis obat terlalu
tinggi/regimen dosis terlalu sering (14,53%) dan waktu pemberian obat tidak tepat (12,21%). 4) Pemberian intervensi berpengaruh nyata (p=0,000) terhadap penurunan jumlah kejadian masalah terkait obat. 5) Kondisi klinis pasien sebelum intervensi paling banyak dengan skor Apache 5-9 sebanyak 7 orang (22,58%), skor Apache 15-19 , skor Apache 20-24 dan skor Apache 25-29 masing-masing sebanyak 6 orang(19,35%). Kondisi klinis akhir pasien yang masih hidup terbanyak pada skor Apache 5-9 sebanyak 7 orang, skor Apache 10-14 sebanyak 5 orang (16,13 %) dan skor Apache
15-19
sebanyak 2 orang (6,45%). 6) Ada perbedaan yang bermakna antara kondisi klinis pada pasien yang masih hidup sebelum dan setelah intervensi (p=0,031).
5.2 Saran 1) Perlu dibentuk kerja sama team yang lebih baik lagi dalam menangani pasien untuk mencegah terjadinya masalah terkait obat. 2) Perlu ditingkatkan peranan apoteker dalam penanganan terapi obat untuk pasien yang dirawat diruang intensif. 3) Perlu disusun panduan prosedur penyiapan obat-obatan rute parenteral yang biasa digunakan di ruang perawatan intensif. 4) Sebaiknya jadwal pemberian obat oral untuk frekuensi 3 kali sehari diberikan dalam interval 8 jam.
55
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
56
5) Sebaiknya dilakukan penelitian terhadap pengaruh intervensi apoteker terhadap masalah terkait obat dan kondisi klinis pasien pada pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif dengan menggunakan pembanding pasien yang tidak mendapatkan intervensi apoteker. .
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
DAFTAR REFERENSI
Alderman CP.,Farmer C.(2001). A brief analysis of clinical pharmacy intervention under taken in an Australian teaching hospital. J.Qual.Clin.Practice, 21:99-10. Alveolar-arterial Gradient, February, users.med.cornell.edu/~spon/picu/calc/aagrad.htm
2010,
http://www-
American Society of Hospital Pharmacists.(1993). ASHP statement on pharmaceutical care. Am J Hosp Pharm., 50:1720–3. Apache II Score for ICU Mortality. February, http://www.mdcalc.com/apache-ii-score-for-icu-mortality
2010.
Aritonang, Robert E. (2008). Intervensi Farmasis dalam Upaya Menurunkan Permasalahan Terkait dengan Terapi Obat pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Rawat Inap di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta.Tesis. Departemen Farmasi. FMIPA. Universitas Indonesia. Bagus G , T., Sapardan ,S., Muchtar, A., (2009), Standar Pelayanan Medis, Staf Medis Fungsional Jantung. Rumkital Dr. Mintohardjo, Jakarta. Baxter, Karen. (2008). Stockley’s Drugs Interactios. Eight edition. Pharmaceutical Press. Bennani,B.,et al. (2008). Nosocomial Pneumonia in Mechanically Ventilated Patients: Prospective Study in Intensive Care Unit of Fez University Hospital. Saudi Journal of Anasthesia. Vol 2. No.2. Bongard, Frederic S., Sue, Darryl Y.(2003). Current Critical Care Diagnosis & Treatment. Second Edition. McGraw-Hill. British National Formulary.(2009). Ed. 57. BMJ Group and RPS Publishing. Dahlan SM.(2004). Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan. PT. Arkans Jakarta. Depkes RI. (2006). Standar Pelayanan Keperawatan di ICU. Hal. 3-6 Dipiro, Joseph T et al.,(2005). Pharmacoterapy, A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition, Mc Graw Hill. Ernst FR, Grizzle AJ.(2001). Drug-related morbidity and mortality: updating the cost-of-illness model. J Am Pharm Assoc., 41(2); 192-199
57
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
58
Glasgow Coma Scale, 1 Februari,2010. http://nursingbegin.com/tag/glasgowcoma-scale/ Herfindal E.T, Gourley D. R, Hart Linda L.(1992). Clinical Pharmacy and Therapeutics. Fifth edition. Williams & Wilkins P. 585-586 Kalim, Harmani., dkk. (2004). Pedoman Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia:Tatalaksana Sindrome Koroner Akut dengan STElevasi, PERKI. Lacy CF.,Armstrong LL.,Goldman MP.,Lance LL. (2008). Drug Information Handbook. Ed-17. Lexy-Comp Inc. Leape,Lucian L., et al.(1999). Pharmacist Participation on Physician Rounds and Adverse Drug Events in the Intensive Care Unit. JAMA; 282(3):267-270 Marino. Paul L (2007)., The ICU Book. Walters Kluwer Health.Third edition. Lippincott Williams & Wilkins. P.943-956 Misbach Jusuf. (1999). Stroke, Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Misbach Jusuf H., dkk. (2007). Guideline Stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Ng FH, et al.(2008). Gastrointestinal bleeding in patients receiving a combination of aspirin, clopidogrel, and enoxaparin in acute coronary syndrome, Am J Gastroenterol. Nov;103(11):2948-9. Abstract, 20 Mei 2010.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18177451 . Nurse Bob’s MICU/CCU Survival guide Critical Care Concepts Apache II Score. 19 Februari 2010. http://micunursing.com/apachescore.htm . Oetgen, WilliamJ., Et al (1984).Amiodarone-Digoxin Interaction Clinical and Experimental Observations. Chest;86;75-79 March 20, 2010. http://www.chestjournal.chestpubs.org , Park,Gilbet., Shelly, Maire(2001). Fundamentals of Anaesthesia and Acute Medicine, Pharmacologi of the Critical Ill. BMJ Books Page: 16-22 Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia(PERDICI) (2009). Panduan Tata Kelola Hospital-acguired Pneumonia, Ventilatotor-associated Pneumonia, Healthcare-associated Pneumonia Pasien Dewasa. Centra Communications. Pharmaceutical Care Network Europe.(2006). DRP-classification (revised 01-05-06 vm) V5.01. Jan, 2010. http://www.PCNE.org
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
59
Prest MS., Kristanto FC., Tan CK. (2003). Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, dalam Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy), Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. PT Elex Media Komputindo. Jakarta Pramono, Yudi (2008). Pengaruh Intervensi Terhadap Kejadian Permasalahan yang Terkait dengan Terapi Obat Pasien Anak Rawat Jalan di RSAL DR. Mintoharjo Jakarta.Tesis. Departemen Farmasi. FMIPA. Universitas Indonesia. Prichard P.J., et al (1987). Oral phenytoin pharmacokinetics during omeprazole therapy. Br. J. clin. Pharmac. 24, 543-545 Prosedur Pelayanan Medis dan Standar Terapi ICU(2009). Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta. Ray S, Bhattacharyya M, Pramanik J, Todi S.(2009). Drug-Drug interaction in the ICU. Critical Care, 13 (Suppl 1): P495doi: 10.1186/cc7659. Jan,2010 http://ccforum.com/content/13/S1/P495 Sabry.Nirmeen A.,Farid.Samar F.,Abdel Aziz Emad (2009). Role of the Pharmacist in Identification of Medication Related Problems in the Preeliminary Screening Study in an Egyptian Teaching Hospital. Australian Journal of Basic and Applied Sciences. 3(2): 995-1003 Soegondo,S., Soewondo, P., Subekti,I. (2007). Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Sugiono Dr. (2003). Statistik untuk Penelitian.CV Alfabeta.Bandung. hal. 21,22,60,61 Sweetman, Sean C, et al.(2007).Martindal 37: The Complete Drug Reference (CD-ROM).The Pharmaceutical Press. The Medical Letter’s Adverse Drugs Interactions Program.2007 (software) Tablan, Ofelia C., et al,(2003). Guidelines for Preventing Health-Care-Associated Pneumonia. Recommendations of CDC and the Healthcare Infection Control Practices Advisory Committee. Mei,2010. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5303a1.htm Tedjasukmana, Pradana,. Dkk. (2010). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, PERKI, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Trissel, Lawrence A.(2003). Handbook on Injectable Drugs. 12th edition. ASHP. Page 97
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
60
Valenti,Andreas.,et al.(2009), Error in Administration of Parenteral Drugs in Intensive Care Units: Multinational prospective Study. BMJ , 338:b814 Walker,R & Edwards,C (2003). Clinical Pharmacy and Therapeutic. third edition. Churchill. Edinburgh. 35 Wells,BG,. Et al.(2003). Pharmacotherapy Handbook. Fifth edition. Mc Graw Hill.
Universitas Indonesia
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Lampiran 1. Kriteria penilaian skor Apache (Nurse Bob's MICU/CCU Survival Guide ; Apache II Score for ICU Mortality) Variabel fisiologik No.
8 1 2 3 4 5 6 7 8
Umur (tahun) Mean Arteri Pressure Denyut nadi Suhu Kec. Pernapasan pH arterial Natrium serum Kalium serum
9 kreatinin serum 10 Hematokrit 11 Lekosit
6
5 65-74
>74
4 > 159 > 179 > 40,9 > 49 > 7,69 > 179 > 6,9
>3,4 & ARF 2.0-3.4&ARF
> 3,4 CRF ; 1,5-1,9 ARF
> 59,9 > 39
3 55-64 130-159 140-179 39-40,9 35-49 7,60-7,69 160-179 6-6,9
2 45-54 110-129 110-139
155-159
Skor poin 1
38,5-38,9 25-34 7,5-7,59 150-154 5,5-5,9
2,0-3,4 chr 1,5-1,9 chr 50-59,9 46-49,9 20-39,9 15-19,9
0 < 44 70-109 70-109 36-38,4 12-24 7,33-7,49 130-149 3,5-5,4 0,6-1,4 30-45,9 3,0-14,9
1
2
50-69 55-69 34-35,9 32-33,9 10-11 6-9 7,25-7,32 120-129 3-3,4 2,5-2,9 <0,6 20-29,9 1,0-2,9
3
4 < 50 < 40 <30
40-54 30-31,9 <6 7,15-7,24 < 7,15 111-119 <111 < 2,5 < 20 <1,0
Keterangan: ARF= Acute Renal Failure, CRF= Chronic Renal Failure, chr = chronic
12 Oksigenasi FiO2<0,5 gunakan PaO2 sebaliknya gunakan A-a gradient
A-a gradient > 499 = 4 poin A-a gradient 350- 499 = 3 poin A-a gradient 200-349 = 2 poin A-a gradient < 200(jika FiO2 >49% atau PO2 > 70 ( jika FiO2 < 50%) = 0 poin pO2 61-70 = 1 poin pO2 55-60 = 3 poin pO2 < 55 = 4 poin
13 Riwayat insufiensi organ berat : dan immunocompromise
ya , dan tidak operasi atau post operasi emergensi = 5 poin ya, dan post operasi elektif = 2 poin tidak = 0 poin 14 Glasgow coma score poin = 15-GCS Total semua poin adalah skor Apache.
61
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
61
Lampiran 1.Penilaian skor Apache
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
62
Penilaian Glasgow Coma Scale Eye (respon membuka mata) :
Verbal (respon verbal) :
Motor (respon motorik) :
(4) : spontan (3) : dengan rangsang suara (2) : dengan rangsang nyeri
(5) : orientasi baik (4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat dan waktu. (3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat) (2) : suara tanpa arti (mengerang) (1) : tidak ada respon
(6) : mengikuti perintah (5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri) (4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri) (3) : fleksi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). (2) : ekstensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). (1) : tidak ada respon
(1) : tidak ada respon
Catatan: Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1. Definisi insufisiensi organ kronik dan immunocompromise: 1. Insufisiensi hati: biopsi membuktikan sirosis, hipertensi portal terdokumentasi, episode perdarahan GI atas berkaitan dengan hipertensi portal, episode sebelumnya gagal hepatik/ensefalopati/koma. 2. Kardiovaskular: Gagal jantung New Heart Association Class IV . 3. Pernapasan: a. Pembatasan kronik, gangguan atau penyakit vascular yang menghasilkan pembatasan kerja berat seperti tidak bisa naik tangga atau pekerjaan rumah tangga b. Hipoksia kronik, hiperkapnia, polisitemia sekunder, hipertensi pulmonal berat (>40 mmHg) atau ketergantungan alat pernapasan. 4. Ginjal : hemodialisa kronik. 5. Imunosupresan: menerima terapi yang menekan resistensi terhadap infeksi seperti immune-supression, kemoterapi,radiasi, steroid dosis tinggi/penggunaan lama, penyakit leukemia, limfoma, AIDS.
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
63
Lampiran 2. Distribusi frekuensi seluruh obat oral No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Jenis Obat Acarbose Allopurinol Alprazolam Ambroksol Aminoral Amiodaron Amlodipin Antacid sirup Asam mefenamat Asetosal Asetaminofen Bisoprolol Curcuma Diazepam Digoksin Diltiazem HCl Domperidon Fenitoin Furosemida Glimepirid Gliserin trinitrat Hepabalance HPPRO Isoniazid Isosorbid dinitrat Kalitake (Ca polistirene sulfonat) Kalsium karbonat Kaptopril KCl Klonidin Klopidogrel Klorpromazin Laktulosa Lansoprazol Laxadine sirup Lesichol
Frekuensi (n) 1 3 2 1 1 6 11 3 2 15 1 13 1 6 6 2 1 3 2 2 1 1 1 1 12 2
% 0.54 1.63 1.09 0.54 0.54 3.26 5.98 1.63 1.09 8.15 0.54 7.07 0.54 3.26 3.26 1.09 0.54 1.63 1.09 1.09 0.54 0.54 0.54 0.54 6.52 1.09
1 15 5 2 11 1 1 3 6 1
0.54 8.15 2.72 1.09 5.98 0.54 0.54 1.63 3.26 0.54
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
64
Lampiran 2. (Sambungan) 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
Lisinopril Methioson Natrium bikarbonat Nifedipin Qten Rifampisin Roksitromisin Seralin Simvastatin Spironolakton Sukralfat Valsartan Jumlah
1 1 1 3 1 1 1 1 8 2 10 8 184
0.54 0.54 0.54 1.63 0.54 0.54 0.54 0.54 4.35 1.09 5.43 4.35 100.00
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
65
Lampiran 3. Distribusi Frekuensi seluruh obat parenteral. No
Jenis Obat
Frekuensi (n)
Adrenalin Albumin Amikasin Amiodaron Asam traneksamat Atropin sulfat Bisolvon Cernevit Deksametason Diazepam Digoksin Dobutamin Dopamin Enoksaparin Fenitoin Fetidin Furosemid Gentamisin Insulin Isosorbi dinitrat Kalsium glukonat Karbazokrom Na Sulfonat (Adona AC) KCl Klonidin HCl Levofloksasin Manitol Meropenem Metoklopramid Metronidazol Midazolam Morfin Nimodipin Norefinefrin Nolvalgin (Metamizol Na) Omeprazol Ondansentron Pantoprazol Parnaparin Pirasetam Propofol Ranitidin Sefoperazon Na Seftriakson Sifrofloksasin Sitikolin Vitamin K Jumlah
10 3 2 1 11 12 1 1 5 2 4 10 5 12 4 1 8 6 10 5 1 1 1 1 1 8 3 1 2 2 4 1 2 13 5 1 5 1 5 4 14 1 22 3 17 7 239
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
% 4.18 1.26 0.84 0.42 4.60 5.02 0.42 0.42 2.09 0.84 1.67 4.18 2.09 5.02 1.67 0.42 3.35 2.51 4.18 2.09 0.42 0.42 0.42 0.42 0.42 3.35 1.26 0.42 0.84 0.84 1.67 0.42 0.84 5.44 2.09 0.42 2.09 0.42 2.09 1.67 5.86 0.42 9.21 1.26 7.11 2.93 100.00
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
66
Lampiran 4. Data penyakit penyerta No.
Diagnosa
Penyakit penyerta
1
Stroke non hemoragik
Kesadaran menurun,sesak,aritmia, CAD, gagal ginjal kronik, DM nefropati, demam, hematuria, hipoglikemik, kejang, leukositosis
2
Infark miokard
AF rapid respon, hiperurisemia, asidosis metabolic, batuk, DM tipe II, efusi pleura bilateral, demam, hipotensi, nyeri dada, chest discomfort,gangguan fungsi ginjal, sesak
3
Hipertensi
AF rapid respon, CAD, gagal ginjal kronik, gangguan fungsi hati, hematemesis, hepatitis akut, HHD, hiperurisemia, infeksi saluran kemih, koma uremikum, melena
4
Stroke dan hipertensi
AF, anemia, aneurisme aorta, takikardi, bronkopneumonia, CAD, CKB, gagal ginjal kronik,diabetes ketoasidosis, gangguan fungsi ginjal,DM hiperglikemik, DM hipoglikemik, DM nefropati, DM tipe II, demam, Hematemesis, hematuria,HHD, Hidrosefalus, hiperkolesterolemia, hipoalbuminemia, hipokalemia, hiponatremia, hipotensi, Infeksi saluran kemih, kejang tonik,metabolik ensefalopati,Ileus obstruktif, penurunan kesadaran, sesak, TB paru, Tekanan intracranial meningkat, trombositopenia.
5
Hipertensi dan infark miokard
Kesadaran menurun, DM, demam, leukositosis, gastroenteritis akut, CAD, udem paru (ALO), hipotensi, bronkopneumonia, asidosis metabolit, DM nefropati, fungsi lever meningkat, HHD, DM hiperglikemi, gagal ginjal akut, hiperkolesterolemia.
6
Stroke, hipertensi dan infark
Kesadaran menurun,DM, demam, leukositosis, GEA, CAD,ALO, HHD, hipotensi, Pneumonia, asidosis metabolic, leukositosis, DM nefropati, gangguan fungsi hati, demam, DM hiperglikemik, Lung oedema, gagal ginjal akut, hiperkolesterolemia
miokard
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
67
Lampiran 5. Distribusi frekuensi jenis obat yang menyebabkan masalah terkait obat. Jenis obat Albumin Allopurinol Amikasin Amiodaron Amlodipin Asam Mefenamat Asam Traneksamat Asetosal Bisoprolol CaCO3 Deksametason Diazepam Digoksin Enoksaparin Fenitoin Furosemid Gentamisin Gliseril trinitrat Hidroklortiazid Isoniasid Isosrbid dinitrat Kaptopril KCl Klonidin Klopidogrel Lansoprazol Laxadine Meropenem Midazolam Nefedipin Nimodipin Omeprazol Pantoprazol Parnaparin Pirasetam Profopol Ranitidin Rifampisin Roksitromisin Seftriakson Simvastatin Sitikolin Spironolakton Sukralfat Valsartan Vitamin K Jumlah
Frekuensi (n) 1 6 6 6 2 1 6 24 1 1 1 2 16 24 11 16 14 1 2 3 1 29 2 3 22 1 4 3 1 3 2 13 1 2 2 3 7 4 1 21 4 3 6 4 4 2 292
%
0.34 2.05 2.05 2.05 0.68 0.34 2.05 8.22 0.34 0.34 0.34 0.68 5.48 8.22 3.77 5.48 4.79 0.34 0.68 1.03 0.34 9.93 0.68 1.03 7.53 0.34 1.37 1.03 0.34 1.03 0.68 4.45 0.34 0.68 0.68 1.03 2.40 1.37 0.34 7.19 1.37 1.03 2.05 1.37 1.37 0.68 100.00
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
68
Lampiran 6. Distribusi frekuensi jenis obat yang menyebabkan masalah terkait obat melalui rute oral.
Jenis obat Allopurinol Amiodaron Amlodipin Asam mefenamat Asetosal Bisoprolol CaCO3 Digoksin Fenitoin Furosemid Gliseril trinitrat Hidroklortiazid Isoniazid Isosorbid dinitrat Kaptopril KCl Klonidin Klopidogrel Lansoprazol Laxadine Nifedipin Rifampisin Roksitromisin Simvastatin Spironolakton Sukralfat Valsartan Jumlah
Frekuensi (n) 6 4 2 1 24 1 1 10 8 2 1 2 3 1 29 2 3 22 1 4 3 4 1 4 6 4 4 153
% 3.92 2.61 1.31 0.65 15.69 0.65 0.65 6.54 5.23 1.31 0.65 1.31 1.96 0.65 18.95 1.31 1.96 14.38 0.65 2.61 1.96 2.61 0.65 2.61 3.92 2.61 2.61 100,00
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
69
Lampiran 7. Distribusi frekuensi jenis obat yang menyebabkan masalah terkait obat melalui rute parenteral. Jenis obat Albumin Amikasin Amiodaron Asam traneksamat Deksametason Diazepam Digoksin Enoksaparin Fenitoin Furosemid Gentamisin Meropenem Midazolam Nimodipin Omeprazol Pantoprazol Parnaparin Pirasetam Propofol Ranitidin Seftriakson Sitikolin Vitamin K ∑
Frekuensi (n) 1 6 2 6 1 2 6 24 3 14 14 3 1 2 13 1 2 2 3 7 21 3 2 139
% 0.72 4.32 1.44 4.32 0.72 1.44 4.32 17.27 2.16 10.07 10.07 2.16 0.72 1.44 9.35 0.72 1.44 1.44 2.16 5.04 15.11 2.16 1.44 100,00
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
70
Lampiran 8. Data jenis obat yang menyebabkan terjadinya masalah terkait obat berdasarkan kategori masalah terkait obat. Kategori Masalah Terkait Obat Efek samping non alergi
Obat tidak tepat Obat kontra indikasi Tidak ada indikasi untuk obat Tidak mendapat obat ada indikasi Dosis obat terlalu tinggi/regimen dosis terlalu sering
Obat tidak digunakan/ diberikan sama sekali
Interaksi yang potensial
Jenis obat amiodaron amlodipin furosemid isosorbididnitrat kaptopril klonidin midazolam propofol Omeprazol Gliseril trinitrat seftrikason Asam mefenamat
Frekuensi (n) 1 1 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1
Persen 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 2.05 0.34 0.34 0.34
Propofol
1
0.34
allopurinol amlodipin asam traneksamat digoksin enoksaparin gentamisin klonidin meropenem pirasetam ranitidin seftriakson
2 1 4 3 2 1 2 2 1 6 1
0.68 0.34 1.37 1.03 0.68 0.34 0.68 0.68 0.34 2.05 0.34
albumin amikasin bisoprolol kaptopril nifedipin nimodipin Omeprazol sitikolin allopurinol amikasin asetosal diazepam digoksin enoksaparin fenitoin furosemid gentaminsin hidroklortiazid isoniazid kaptopril KCl klopidogrel nifedipin nimodipin omeprazol parnaparin
1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 12 2 7 11 7 7 6 1 1 8 1 11 1 1 6 1
0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.68 0.68 4.11 0.68 2.40 3.77 2.40 2.40 2.05 0.34 0.34 2.74 0.34 3.77 0.34 0.34 2.05 0.34
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
71
Lampiran 8. (Lanjutan)
Interaksi yang bermakna
Perlu pemeriksaan laboratorium
Cara pemberian/penyiapan obat tidak tepat
Waktu pemberian obat tidak tepat
rifampisin seftriakson spironolakton sukralfat amiodaron digoksin fenitoin furosemid isoniazid kaptopril rifampisin spironolakton valsartan allopurinol amikasin asetosal CaCO3 digoksin enoksaparin furosemid gentamisin hidroklortiazid Isoniazid kaptopril KCl klopidogrel parnaparin propofol rifampisin seftriakson spironolakton valsartan
1 8 2 3 3 2 4 1 1 1 2 2 2 2 2 12 1 3 11 7 7 1 1 9 1 11 1 1 1 8 2 2
0.34 2.74 0.68 1.03 1.03 0.68 1.37 0.34 0.34 0.34 0.68 0.68 0.68 0.68 0.68 4.11 0.34 1.03 3.77 2.40 2.40 0.34 0.34 3.08 0.34 3.77 0.34 0.34 0.34 2.74 0.68 0.68
amiodaron asam traneksamat deksametason meropenem Nifedipin pantoprazol pirasetam ranitidin seftriakson sitikolin vitamin K
2 2 1 1 1 1 1 1 3 2 2
0.68 0.68 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 1.03 0.68 0.68
amikasin digoksin kaptopril lansoprazol laxadine roksitromisisn simvastatin sukralfat Jumlah
1 1 9 1 4 1 4 1 292
0.34 0.34 3.08 0.34 1.37 0.34 1.37 0.34 100.00
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
72
Lampiran 9. Distribusi frekuensi interaksi potensial obat Nama obat/penyakit Allopurinol, kaptopril Amikasin, seftriakson Digoksin ,sukralfat Digoksin, fenitoin Digoksin, furosemid Digoksin, spironolakton Enoksaparin, asetosal Enoksaparin, asetosal,klopidogrel Fenitoin, nimodipin Gentamisin, seftriakson Isoniazid, rifampisin Kaptopril, furosemid Kaptopril, KCl Kaptoril, HCT Nifedipin,fenitoin Omeprazol, diazepam Omeprazol, fenitoin Parnaparin, asetosal, klopidogrel Sukralfat, gagal ginjal kronik Jumlah
Frekuensi (n) 2 2 1 1 3 2 1 10 1 6 1 4 1 1 1 2 4 1 2 46
% 4.35 4.35 2.17 2.17 6.52 4.35 2.17 21.74 2.17 13.04 2.17 8.70 2.17 2.17 2.17 4.35 8.70 2.17 4.35 100.00
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
73
Lampiran 10. Distribusi frekuensi interaksi obat yang bermakna. No. 1 2 3 4 5 6 7
Jenis obat Fenitoin, Amiodaron Fenitoin, Furosemid Kaptopril, Spironolkaton, Valsartan Amiodaron, Digoksin Spironolakton, valsartan Digoksin, Rifampisin Fenitoin, Rifampisin, Isoniazid Jumlah
Frekuensi (n) 2 1 1 1 1 1 1 8
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Persen 25.00 12.50 12.50 12.50 12.50 12.50 12.50 100.00
74
Lampiran 11. Analisa statistik metoda Wilcoxon data sebelum dan sesudah intervensi terhadap kondisi klinis pasien yang masih hidup.
Ranks N
Mean Rank
Sum of Ranks
7
a
4.71
33.00
Positive Ranks
1b
3.00
3.00
Ties
9c
Total
17
Apache_akhir - Apache_awal Negative Ranks
a. Apache_akhir < Apache_awal b. Apache_akhir > Apache_awal c. Apache_akhir = Apache_awal
Test Statistics
b
Apache_akhir Apache_awal Z
-2.157
Asymp. Sig. (2-tailed)
a
.031
a. Based on positive ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
75
Lampiran 12. Analisa statistik metoda Wilcoxon data sebelum dan sesudah intervensi terhadap masalah terkait obat.
Ranks N DRP_Akhir - DRP_Awal
Mean Rank
Sum of Ranks
a
14.50
406.00
Positive Ranks
0b
.00
.00
Ties
3c
Total
31
Negative Ranks
28
a. DRP_Akhir < DRP_Awal b. DRP_Akhir > DRP_Awal c. DRP_Akhir = DRP_Awal
Test Statistics
b
DRP_Akhir DRP_Awal Z
-4.630
Asymp. Sig. (2-tailed)
a
.000
a. Based on positive ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
76
Lampiran 13. Jumlah masalah terkait obat berdasarkan kategori masalah terkait obat sebelum intervensi Masalah Terkait Obat 1 1.ROTD
P1.1
Efek samping non alergi
P1.2
Efek samping alergi
P1.3
Efek toksik
2. Permasalahan
P2.1
Obat tidak tepat
pemilihan obat.
P2.2
Bentuk sediaan tidak tepat
2
3
1
4
5
6
7
8
1
9
10
Duplikasi obat
P2.4
Obat kontra indikasi
P2.5
Tidak ada indikasi untuk obat
1
P2.6
Tidak mendapat obat ada indikasi
1
3. Permasalahan
P3.1
Dosis terlalu rendah/rejimen dosis tidak cukup sering
penggunaan obat
P3.2
Dosis obat terlalu tinggi/regimen dosis terlalu sering
P3.3
Durasi pengobatan terlalu pendek
P3.4
Durasi pengobatan terlalu panjang
5.Interaksi obat 6.Lain-lain
Obat tidak digunakan/ diberikan sama sekali
P4.2
Salah menggunakan/memberikan obat
P5.1
Interaksi yang potensial
P5.2
Interaksi yang nyata/jelas
P6.1
Pasien tidak puas dengan terapi
P6.2
Kurang sadar/mengetahui akan kesehatan dan penyakit
P.6.3
Keluhan tidak jelas. Perlu klarifikasi lebih lanjut
P6.4
Gagal terapi (tidak diketahui penyebabnya)
1
1
1
2
2
2
2 1
1
1
1
2
1
1
1
P6.5
Perlu pemeriksaan laboratorium
1
P6.6
Cara pemberian/penyiapan obat tidak tepat
3
P6.7
Waktu pemberian obat tidak tepat Jumlah
12
1
P2.3
P4.1
11
2
1
1
1
1
1
2
2
2
2
1
1
10
6
5
3
3
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
0
1
1
1
1
1
0
0
5
3
10
2
0 0
4
1
77
Lampiran 14. Jumlah masalah terkait obat berdasarkan kategori masalah terkait obat sesudah intervensi 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
PASIE 12
Kategori Masalah Terkait Obat P1.1 1.ROTD P1.2 P1.3 P2.1 2. Permasalahan P2.2 pemilihan obat. P2.3 P2.4 P2.5 P2.6 P3.1 3. Permasalahan P3.2 penggunaan obat P3.3 P3.4 P4.1 P4.2 P5.1 5.Interaksi obat P5.2 P6.1 6.Lain-lain P6.2 P.6.3 P6.4 P6.5 P6.6 P6.7
Efek samping non alergi Efek samping alergi Efek toksik Obat tidak tepat Bentuk sediaan tidak tepat Duplikasi obat Obat kontra indikasi Tidak ada indikasi untuk obat Tidak mendapat obat ada indikasi Dosis terlalu rendah/rejimen dosis tidak cukup sering Dosis obat terlalu tinggi/regimen dosis terlalu sering Durasi pengobatan terlalu pendek Durasi pengobatan terlalu panjang Obat tidak digunakan/ diberikan sama sekali Salah menggunakan/memberikan obat Interaksi yang potensial Interaksi yang nyata/jelas Pasien tidak puas dengan terapi Kurang sadar/mengetahui akan kesehatan dan penyakit Keluhan tidak jelas. Perlu klarifikasi lebih lanjut Gagal terapi (tidak diketahui penyebabnya) Perlu pemeriksaan laboratorium Cara pemberian/penyiapan obat tidak tepat Waktu pemberian obat tidak tepat
Jumlah
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
1
1
1
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
1
0
1
Lampiran 14. Jumlah masalah terkait obat berdasarkan kategori masalah terkait obat sesudah intervensi PASIEN Kategori Masalah Terkait Obat P1.1 Efek samping non alergi 1.ROTD P1.2
Efek samping alergi
P1.3
Efek toksik
2. Permasalahan
P2.1
Obat tidak tepat
pemilihan obat.
P2.2
Bentuk sediaan tidak tepat
P2.3
Duplikasi obat
P2.4
Obat kontra indikasi
1
Tidak ada indikasi untuk obat
P2.6
Tidak mendapat obat ada indikasi
3. Permasalahan
P3.1
Dosis terlalu rendah/rejimen dosis tidak cukup sering
penggunaan obat
P3.2
Dosis obat terlalu tinggi/regimen dosis terlalu sering
P3.3
Durasi pengobatan terlalu pendek
P3.4
Durasi pengobatan terlalu panjang
P4.1
Obat tidak digunakan/ diberikan sama sekali
P4.2
Salah menggunakan/memberikan obat
P5.1
Interaksi yang potensial
P5.2
Interaksi yang nyata/jelas
P6.1
Pasien tidak puas dengan terapi
P6.2
Kurang sadar/mengetahui akan kesehatan dan penyakit
P.6.3
Keluhan tidak jelas. Perlu klarifikasi lebih lanjut
P6.4
Gagal terapi (tidak diketahui penyebabnya)
P6.5
Perlu pemeriksaan laboratorium
P6.6
Cara pemberian/penyiapan obat tidak tepat
P6.7
Waktu pemberian obat tidak tepat
6.Lain-lain
Jumlah
3 4 5 6 7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 ∑
1
P2.5
5.Interaksi obat
2
1
2
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
1
2
9
1
4
1
2
1
1
1
0
0
0 0 0 0 1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
0
0
0
0
2
0
0
0
2
1
3
1
0
4
0
0
20
77
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
78
Lampiran 15. Daftar interaksi obat potensial Nama Obat Allopurinol kaptopril
Amikasin seftriakson
Asetosal enoksaparin
Kaptopril KCl Diazepam omeprazol
Digoksin furosemid
Digoksin fenitoin
Permasalahan/mekanisme dan Steven Johnson syndrome (monitor penggunaan 3-5 minggu) dan reaksi hipersensitifitas. Mekanisme tidak diketahui. Meningkatkan reaksi leukopenia dan infeksi serius
Intervensi Hindari penggunaan bersamaan terutama pasien gagal ginjal. Pantau ketat tanda-tanda hipersensitifitas (seperti reaksi kulit) atau lekosit rendah (tenggorokan luka (sore throat, demam) terutama pada pasien gangguan ginjal. Pantau lekosit sebelum penggunaan dan tiap 2 minggu selama penggunaan 3 bln pertama dan secara periodik. dan Meningkatkan resiko nefrotoksik. Hindari penggunaan pada lansia atau gangguan fungsi ginjal. Bila Mekanisme tidak diketahui. digunakan pada pengobatan Faktor risiko : - Peningkatan kadar amikasin, albumin singkat, dosis minimum dan fungsi berkurang, pria, lansia, peningkatan ginjal dipantau ketat. lama pengobatan, penyakit hati atau ascites,leukemia dan Meningkatkan risiko pendarahan dan Dipantau ketat laboratorium (Hb, meningkatkan risiko hematom HT) dan tanda perdarahan. epidural atau spinal dan Hiperkalemia
Pantau kadar K dan status klinis
dan Toksisitas diazepam (metabolisme Pantau efek diazepam. Jika efek dikurangi pada CYP2C19). diazepam meningkat ( sedasi, berjalan tdk stabil), dosis diazepam harus dikurangi. Lansoprazole, pantoprazol, rabeprazole tidak berinteraksi dengan diazepam. dan Toksisitas digoksin. Mekanisme tidak Penting kadar K dalam range diketahui pasti. normal selama pengobatan dengan digoksin. Kadar K harus dipantau rutin ketika diberikan diuretik dan periksa kembali kadar K jika terjadi tanda toksisitas digoksin. Pantau efek digoksin jika perlu dan Mengurangi kadar digoksin. Mekanisme: fenitoin (inducer-enzyme) dosis digoksin ditingkatkan. meningkatkan metabolism digoksin.
Digoksin per oral Mengurangi absorpsi digoksin => Jarak pemberian 2 jam dan Sukalfat per mengurangi efek digoksin mekanisme: mungkin digoksin dan sukralfat oral berikatan di gut sehingga mengurangi absorpsi Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
79
Lampiran 15. (Lanjutan) Enoxavarin/parna parin dengan klopidogrel dan aspirin Furosemid dan kaptopril
Gentamisin seftriakson (286)
dan
Fenitoin nifedipin Fenitoin nimodipin Fenitoin omeprazol
dan dan dan
Kaptopril dan Hidroklotriazid
Digoksin dan spironolakton Isoniazid dan rifampisin
Meningkatkan risiko pendarahan Faktor risiko: -riwayat peptic ulcer - syok kardiogenik 1.Hipokalemia Karena efek depleting K furosemid. 2.Gangguan ginjal Penurunan tekanan darah dapat mempengaruhi fungsi ginjal, sistem Renin- angiotensin berperan penting dalam memelihara kecepatan filtrasi glomerular ketika tekanan arteri renal berkurang. Meningkatkan resiko nefrotoksik gentamisin. Mekanisme belum jelas. Faktor risko: peningkatan kadar aminoglikosida, penurunan albumin,, pria, usia lanjut, peningkatan lama pengobatan, penyakit hati atau ascites. Penurunan kadar nifedipin (fenitoin merupakan inducer enzyme) Penurunan kadar nimodipin (fenitoin merupakan inducer enzyme) Toksisitas fenitoin Mekanisme tidak dimengerti. Mungkin dosis cukup tinggi omeprazol mengurangi metabolisme fenitoin melalui CYP2C19.
Digunakan hati-hati dan pantau laboratorium (Hb, hematokrit) dan tanda-tanda perdarahan. Pantau kadar K. Monitor fungsi ginjal jika terjadi peningkatan ureum/kreatinin (reversible), kurangi dosis dan/atau hentikan furosemid dan /atau kaptopril
Hindari penggunaan pada lansia atau gangguan fungsi ginjal. Bila digunakan, pada pengobatan singkat, dosis minimum dan fungsi ginjal dipantau secara ketat.
Pertimbangan peningkatan dosis nifedipin mungkin dibutuhkan. Pertimbangan peningkatan dosis nimodipin mungkin dibutuhkan. Hati-hati pada penggunaan bersamaan. Pantau kadar fenitoin dan tanda-tanda toksisitas fenitoin (depresi pernapasan, koma, kebingungan, mual, demam, hipotensi). Atau omeprazol diganti dengan pantoprazol yang tidak mempengaruhi fenitoin. Pantau kadar K. 1.Hipokalemia Karena efek depleting K Monitor fungsi ginjal jika terjadi peningkatan ureum/kreatinin hidroklortiazid (reversible), kurangi dosis 2.Gangguan ginjal Penurunan tekanan darah dapat dan/atau hentikan hidroklortiazid mempengaruhi fungsi ginjal, sistem dan/ atau kaptopril Renin- angiotensin berperan penting dalam memelihara kecepatan filtrasi glomerular ketika tekanan arteri renal berkurang. Meningkatkan kadar digoksin. Monitor efek digoksin Mekanisme belum dimengerti. Hepatoktoksis (mungkin karena Gunakan hati-hati pada lansia dan peningkatan metabolit toksik). malnutrisi. Monitor hepatotoksik (fungsi hati), Terutama pada asetilator lambat. jika terjadi demam, muntah atau jaundice atau jika kondisi pasien memburuk.
(Sumber: Software The Medical Letter’s Adverse Drugs Interactions Program, 2007 dan Baxter, Karen,2008).
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
80
Lampiran 16. Daftar interaksi obat bermakna Nama Obat Permasalahan/mekanisme Fenitoin dan Efek diuretik furosemid dapat berkurang sebanyak 50%. furosemid Mekanisme tidak dimengerti sepenuhnya.
Intervensi Peningkatan furosemide dibutuhkan.
Fenitoin dan 1.Peningkatan kdr phenytoin => toksisitas amiodaron phenytoin (ataksia, letargi, vertigo).Mekanisme tidak pasti. Mungkin amiodaron menghambat enzim hati yg memetabolisme fenitoin. 2.Mengurangi kadar serum amiodaron. Fenitoin adalah enzyme-inducer yang dapat meningkatkan metabolisme amiodaron
Dosis fenitoin harus dikurangi sesuai kebutuhan. Pengurangan 25-30% padapenggunaan fenitoin 24 mg/kg/hari, tapi harus diingat pengubahan sedikit dosis dapat menghasilkan perubahan besar kadar fenitoin (kinetic non linear).
Hiperkalemia berat Terutama pada faktor resiko (usia lanjut, dosis spironolakton >25 mg, penurunan fungsi ginjal dan DM tipe II). Mekanisme: kaptopril dan valsartan mengurangi kadar aldosteron => retensi Kalium=> aditif dengan efek menahan kalium spironolakton. Valsartan dan Hiperkalemia (aditif) spironolakton (kombinasi dengan furosemid tidak perlu dalam mencegah hiperkalemia) Terutama pada faktor resiko (usia lanjut, dosis spironolakton >25 mg, penurunan fungsi ginjal dan DM tipe II). Digoksin dan Toksisitas digoksin setelah beberapa hari dan amiodaron berkembang 1-4 minggu. Mekanisme tidak sepenuhnya diketahui. Mungkin menghambat sekresi tubular ginjal digoksin, perubahan fungsi tiroid, perpindahan ikatan protein atau peningkatan absorpsi.
Monitor kadar kalium dan fungsi ginjal. Kombinasi dihindari pada CCT <30 ml/menit
Kaptopril, spironolakton dan valsartan
dosis mungkin
Monitor kadar kalium dan fungsi ginjal. Kombinasi dihindari pada CCT <30 ml/menit
Kurangi dosis digoksin jika ditambahkan amiodaron (1/3 –1/2 ). T1/2 amiodaron panjang (40-55 hari) sehingga efek menetap beberapa minggu setelah dihentikan. Digoksin dan Mengurangi efek digoksin (meningkatkan Pantau efek digoksin, jika rifampisin metabolism digoksin) sehingga dapat terjadi perlu dosis ditingkatkan. under-digitalisation Peningkatan/penurunan kadar fenitoin Dipantau ketat karena hasil Fenitoin, rifampisin dan tergantung status asetilator pasien. Dapat tidak dapat diperkirakan terjadi dalam beberapa hari sampai beberapa kecuali status asetilator isoniazid diketahui. Pada asetilator minggu. lambat mungkin perlu Asetilator lambat=> toksisitas fenitoin Asetilator cepat=> penurunan kadar fenitoin penurunan dosis fenitoin. asetilator cepat karena rifampisin meningkatkan metabolism Pada mungkin perlu peningkatan dan klirens fenitoin. dosis fenitoin. (Sumber: Software The Medical Letter’s Adverse Drugs Interactions Program, 2007 dan dan Baxter, Karen,2008).
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
81
Lampiran 17. Dosis obat yang digunakan sebagai standar ketepatan dosis. Nama Obat
Dosis
Acarbose
Dosis individual. Awal 25 mg 3 x sehari,Dosis pemeliharaan: 50-100 mg 3 x sehari. Dosis maksimum: ≤ 60 kg: 50 mg 3 x sehari >60 kg: 100 mg 3 x sehari CCT < 25 ml/menit dihindari Bradikardi atau hipotensi: Infus IV 2-10 mcg/menit, titrasi hingga efek yang diinginkan. 25 g , diulangi 15-30 menit jika respon tidak cukup. Tidak boleh diberikan lebih dari dari 250 g dalam 48 jam.
Adrenalin Albumin
Allopurinol
Alprazolam
Ambroksol Amikasin
Gout ringan: 200-300 mg/hari. Gout berat 400-600 mg/hari Batu ginjal berulang : 200-300 mg/hari dalam dosis tunggal atau terbagi. Lansia: 100 mg/hari, tingkatkan hingga didapatkan kadar asam urat yang diinginkan. Gangguan ginjal : Maksimum 100 mg/hari, peningkatan dosis jika respon tidak cukup. Jika CCT <10 ml/menit kurangi dosis di bawah 100 mg atau interval ditingkatkan. Jika terdapat fasilitas, sesuaikan dosis pada kadar plasma oksipurinol dibawah 100 mikromol/liter. Ansietas: Immediate release tablet:0,5 – 4 mg/hari dalam dosis terbagi. Lansia: Immediate release tablet:Awal 0,25 mg 2-3 x/hari, Extended release tablet:Awal 0,5 mg 1x sehari. Gangguan hati: Kurangi dosis 50%-60% atau hindari pada sirosis 30-120 mg dalam 2-3 dosis terbagi IM. IV 5-7,5 mg/kg/dosis tiap 8 jam CCT ≥ 60 ml/menit diberikan tiap 8 jam,CCT 40-60 diberi tiap 12 jam CCT 20-40 diberi tiap 24 jam, CCT < 20 Loading dose, lalu monitor kadar Insufisiensi ginjal kronik 4-8 Kaplet 3 x sehari.
Aminoral Amiodaron Amlodipin
Asam mefenamat Asam traneksamat
Asetaminofen
Fibrilasi atrial berulang oral: awal 10mg/kg/hari selama 14 hari, diikuti 300 mg/hari 4 minggu, diikuti dosis pemeliharaan 100-200 mg/hari. Hipertensi :dosis awal: 5 mg satu kali sehari, max 10 mg 1 x/hari . umumnya titrasi dengan kenaikan 2,5 mg selama 7-14 hari. Dosis lazim 2,5 – 10 mg 1x/hari. Angina: 5-10 mg. Elderly: HT 2,5 mg 1x/hari; Angina 5 mg 1x/hari Penyesuaian dosis pd gangguan hati; Angina 5 mg/hari, Ht: 2,5 mg/hari Oral: mulai 500 mg, kemudian 250 mg tiap 4 jam sesuai kebutuhan Gangguan ginjal dan hati : tidak direkomendasikan digunakan IV: 10 mg/kg 3-4 kali sehari CCT 50-80 ml/menit diberikan 50% dari dosis normal atau 10 mg/kg 2 x sehari IV atau 15 mg/kg 2 x sehari peroral. CCT 10-50 ml/menit diberikan 25% dari dosis normal atau 10 mg/kg/hari IV, atau 15 mg/kg/hari peroral CCT < 10 ml/menit diberikan 10% dari dosis normal atau 10 mg/kg/48 jam IV atau 15 mg/kg/48 jam peroral. 325-650 mg tiap 4-6 jam atau 1000 mg 3-4 kali sehari; tidak lebih dari 4 g/hari CCT 10-50 ml/menit berikan tiap 6 jam, CCT< 10 ml/menit berikan tiap 8 jam. Gangguan hati: gunakan hati-hati,terbatas pada dosis rendah biasanya ditoleransi baik pada penyakit hati/sirosis. Hepatoksisitas pada penggunaan sehari < 4 g pernah dilaporkan. Hindari penggunaan kronik pada gangguan hati.
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
82 Asetosal
Atropin sulfat Bromheksin HCl Bisoprolol
Profilaksis infark miokard: 75-325 mg/hari, penggunaan dosis terendah direkomendasikan pada pasien yang menggunakan ACE Inhibitor. Infark miokard akut: 160-325 mg/hari Stroke akut : 160-325 mg/hari dimulai dalam 48 jam (pd pasien bukan calon mendapat terapi trombolitik dan tidak menerima antikoagulan sistemik). Pencegahan stroke/TIA: 30-325 mg/hari. Pada CCT < 10 ml/menit hindari penggunaan Bradikardi: IV, 0,5 – 1 mg tiap 5 menit, tidak lebih dari total 3 mg atau 0,04 mg/kg. 4-16 mg 3 x sehari
Cernevit(multivitamin)
2,5 – 5 mg 1 x sehari, dapat ditingkatkan sampai 10 mg kemudian 20 mg 1 x sehari. Hipertensi (JNC 7): 2,5 – 10 mg 1 x sehari CHF: 1,25 – 10 mg 1 x sehari, Lansia: 2,5 – 5 mg/hari maks 20 mg/hari ClCr < 40 ml/menit : initial 2,5 mg/hari; tingkatkan dgn hati-hati 1 vial/hari
Curcuma
1-2 tablet 3 x sehari
Deksametason
Udem serebral: 4 mg IV, IM tiap 6 jam kemudian ubah ke oral, tapper of; dosis dapat dikurangi setelah 24 hari dan dihentikan bertahap selama 5-7 hari. Status epileptikus: IV: 5-10 mg tiap 10-20 menit, hingga 30 mg pada periode 8 jam ; dapat diulang dalam 2-4 jam jika dibutuhkan. Kurangi dosis 50% pada sirosis dan hindari pada penyakit hati akut/berat. Digitalisasi: Oral: 0,75-1,5 mg/hari; IV,IM: 0,5-1 mg/hari Pemeliharaan:Oral: 0,125-0,5 mg/hari; IV,IM: 0,1-0,4 mg/hari ClCr 10-50 ml/menit berikan 25-75% dari dosis atau tiap 36 jam ClCr < 10 ml/menit berikan 10-25% dari dosis atau tiap 48 jam. Hipertensi : tablet extended releaseawal 180-240 mg 1 x sehari. Range dosis : 120-540 mg/hari. 2,5-20 mcg/kg/menit. Maksimum 40 mcg/kg/menit
Diazepam Digoksin
Diltiazem HCl Dobutamin Domperidon Dopamin Enoksaparin
Fenitoin Fetidin Furosemida
10-20 mg 3-4 kali sehari; maksimum 80 mg/hari Gangguan ginjal: dosis dikurangi. 1-5 mcg/kg/menit hingga 20 mg/kg/menit. Maksimum 50 mcg/kg/menit Angina tidak stabil atau NSTEMI: 1 mg/kg tiap 12 jam dengan aspirin peroral (100-325 mg 1 x sehari) lanjutkan hingga stabilisasi klinis (minimal 2 hari) STEMI: < 75 tahun: awal 30 mg IV bolus + 1 mg/kg (maksimum 100 mg pada dosis I dan II) SC Pemeliharaan setelah dosis I dan II 1mg/kg 2 x sehari SC ≥ 75 tahun 0,75 mg/kg SC tiap 12 jam, maksimum 75 mg pada dosis I dan II. Pemeliharaan setelah dosis I dan II 0,75 mg/kg tiap 12 jam. STEMI: terapi dilanjutkan dalam 8 hari atau sampai keluar perawatan. CCT ≥ 30 ml/menit : - , monitor ketat perdarahan, CCT< 30 ml/menit: Profilaksis DVT : 30 mg/hari, Pengobatan DVT: 1 mg/kg , 1 kali/hari, STEMI/NSTEMI : pemeliharaan 1 mg/kg 1 x sehari Loading dose 10-15 mg/kg; pemeliharaan 300 mg/hari atau 5-6 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis. IM,SC:50-75 mg tiap 3-4 jam sesuai kebutuhan Lansia:IM 25 mg tiap 4 jam. Hindari penggunaan pada gangguan ginjal. IM,IV: 20-40 mg/dosis, dapat diulang dalam 1-2 jam sesuai kebutuhan dan ditingkatkan 20 mg/dosis hingga tercapai efek yang diinginkan. Interval dosis lazim 6-12 jam. IV kontinu awal bolus 20-40 mg, diikuti infus kontinu 10-40 mg/jam
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
83
Gentamisin
Glimepirid
Gliseril trinitrat Insulin
Isoniazid
Isosorbid dinitrat
Kalitake (Ca polistirene sulfonat) Kalsium glukonat Kalsium karbonat Kaptopril
KCl
Lansia awal 20 mg/hari, tingkatkan perlahan sampai respon yng diinginkan. Hindari penggunaan pada oligourik. Konvensional: 1-2,5 mg/kg/dosis tiap 8-12 jam Satu kali sehari: 4-7 mg/kg/dosis 1 x sehari (ginjal normal) Pneumonia dikaitkan pada rumah sakit/ ventilator : 7 mg/kg/hari (dengan beta laktam atau karbapenem) Pada gangguan ginjal: Dosis konvensional CLCr ≥ 60 ml/menit berikan tiap 8 jam, ClCr 40-60 ml/menit berikan tiap 12 jam ClCr 20-40 ml/menit berikan tiap 24 jam, ClCr ,20 ml/menit loading dose, kmd monitor kadar.Terapi dosis tinggi:Interval dapat diperluas ( mis. 48 jam) pada pasien dengan gangguan ginjal sedang (ClCr 30-59 ml/menit) dan/atau disesuaikan berdasarkan pada penentuan kadar serum. Awal 1-2 mg sekali sehari. Pemeliharaan: 1-4 mg/hari maksimum 8 mg/hari. Lansia: awal 1 mg/hari CCT <22 ml/menit , awal 1 mg dan peningkatan dosis berdaskan kadar gula puasa. Oral: 2,5-9 mg 2-4 kali sehari (hingga 26 mg 4 kali sehari) Sublingual: 0,2-0,6 mg tiap 5 menit, maksimum 3 dosis dalam 15 menit Monoterapi 6-77 iu/hari Pada gagal ginjal:< 0,2 iu/kg/hari CCT 10-50 ml/menit : 75% dari dosis normal CCT<10 ml/menit : 25-50% dari dosis normal dan monitor ketat kadar glukosa. 5 mg/kg/hari (dosis lazim 300 mg/hari; 10 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis terbagi pada penyakit yang menyebar. CCT< 10 ml/menit: 50% dari dosis normal, Dosis dikurangi pada penyakit hati berat. Angina : 5-40 mg 4 kali perhari atau 40 mg tiap 8-12 jam dalam bentuk sustained-release; sublingual : 2,5-5 mg tiap 5-10 menit maksimum 3 dosis selama 15-30 menit. Congestive heart failure: dosis awal 20 mg 3-4x/hari Dosis target 120-160 mg/hari dalam dosis terbagi; penggunaanya dikombinasikan dengan hidralazin 15-30 g/hari dalam 2-3 dosis Hipokalsemia oral: 500 mg- 2 g 2-4 kali/hari IV: 2-15 g/24 jam sebagai infuse kontinu atau dosis terbagi. CCT <25 ml/menit mungkin butuh penyesuaian dosis tergantung kadar serum Hipokalsemia: 1-2 g atau lebih/hari dalam 3-4 dosis CCT <25 ml/menit mungkin butuh penyesuaian dosis tergantung kadar serum Hipertensi : 12,5 – 25 mg 2-3 kali sehari, dapat ditingkatkan dengan 12,5 – 25 mg/dosis pada interval 1-2 minggu hingga 50 mg 3 x sehari. Maksimal 150 mg 3 x sehari; tambahkan diuretic sebelum peningkatan lebih lanjut. Dosis lazim JNC 7) 25-100 mg/hari dalam dua dosis terbagi. LVD setelah MI: dosis awal 6,25 mg diikuti 12,5 mg 3xsehari; kemudian ditingkatkan 25 mg 3xsehari.,Diabetes nefropati: 25 mg 3x sehari. CCT10-50/menit berikan 75% dari dosis normal, CCT < 10 ml/menit berikan 50% dosis normal Cat: dosis lebih kecil diberikan tiap 8-12 jam diindikasikan pada pasien dengan disfungsi renal; fgs ginjal dan jumlah lekosit dimonitor hati2 selama terapi. Pencegahan selama terapi diuretik: oral 20-40 mEq/hari dalm 1-2 dosis terbagi. Hipokalemia: Kadar K > 2,5 mEq/L Oral: 60-80 mEq/hari jika perlu ditambahkan IV: 10 mEq selama 1 jam dengan dosis tambahan jika dibutuhkan.
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
84
Klonidin HCl
Klopidogrel
Klorpromazin Laktulosa
Kadar K < 25 mEq/L dosis awal hingga 40-60 mEq diikuti dosis sesuai hasil laboratorium. IV: hingga 40 mEq selama 1 jam dengan dosis tambahan jika dibutuhkan. Hipertensi: awal 0,1mg 2 x sehari (maksimum 2,4 mg/hari. Range dosis: 0,1 – 0,8 mg/hari dalam dua dosis. Lansia: awal 0,1 mg 1 x sehari waktu tidur, tingkatkan bertahap sesuai kebutuhan. ClCr < 10ml/menit berikan 50-75% dr dosis normal awalnya. NSTEMI: awal 300 mg dosis loading, kemudian 75 mg 1 kali sehari(dalam kombinasi dengan aspirin 75-325 mg 1 x sehari) STEMI: 75 mg 1 x sehari (kombinasi dengan aspirin 75-162 mg/hari)Lama terapi <28 hari (biasanya sampai keluar perawatan) Tersedak/cegukan membandel:oral/IM 25-50 mg 3-4 x sehari
Laxadine sirup
Konstipasi: oral: 15-30 ml/hari bila perlu ditingkatkan hingga 60 ml/hari dalam 1-2 dosis. Tukak usus dua belas: 1 x 15 mg selama 4 minggu. Pemeliharaan 1 x15 mg/hari Kondisi hipersekresi: awal 60 mg 1 x sehari. Pernah digunakan 90 mg 2 x sehari. Pemberian > 120 mg /hari dalam dosis terbagi., Tukak lambung: 1 x 30 mg selama 8 minggu. Dosis dikurangi pada gangguan hati berat. Tidak ada keterangan dosis
Lesichol
1-2 soft kapsul 3 x sehari
Levofloksasin
Metamizol Na
Pneumonia: Community-acquired : 500 mg tiap 24 jam selama 7-14 hari atau 750 mg/24 jam selama 5 hari., Nosokomial: 750 mg tiap 24 jam selama 7-14 hari. Penyesuaian dosis gangguan ginjal pada dosis normal 500 mg: CCT 20-49 ml/menit awal 500 mg, kemudian 250 mg tiap 24 jam. CCT 10-19 ml/menit : awal 500 mg , kemudian 250 mg tiap 48 jam Hipertensi: 10-40 mg/hari, Dengan diuretik : awal 5 mg/hari Lansia: awal 2,5-5 mg/hari, maksimum 40 mg/hari,Gangguan ginjal: Maksimum 40 mg/hari. CCT >30 ml/menit: awal 10 mg/hari, CCT 10-30 ml/menit: awal 5 mg/hari Udem serebral:0,25-1,5 g/kg/dosis IV selama >30 menit(memelihara osmolaritas serum 310- <320 mOsm/kg Kontaindikasi pada gangguan ginjal berat (anuria). Pneumonia : 1 g tiap 8 jam CCT 26-50 ml/menit : tiap 12 jam,CCT 10-25 ml/menit : setengah dari dosis tiap 12 jam CCT<10 ml/menit : setengah dosis tiap 24 jam. 0,5 – 4 g/hari
Methioson
2-3 tablet 3 x sehari
Metoklopramid
Oral: 10-15 mg/dosis hingga 4 kali sehari.
Metronidazol
IV 500 mg tiap 6-8 jam, tidak lebih dari 4 g/hari CCT < 10 ml/menit kurangi hingga 50% atau tiap 12 jam (pengurangan dosis tidak perlu pada pengobatan singkat). Sedasi: 0,5 – 2 mg IV lambat, titrasi perlahan dengan mengulang dosis tiap 23 menit jika perlu. Dosis lazim 2,5 – 5 mg Nyeri akut: 2,5-5 mg tiap 3-4 jam CCT 10-50 ml/menit : 75% dosis normal, CCT <10 ml/menit : 50% dosis normal Metabolic asidosis:berdasarkan pengukuran gas darah dan pH Hiperkalemia: IV 1 mEq/kg selama 5 menit Hipertensi: 10-30 mg 3 x sehari, atau 30-60 mg(sustained release) 1xsehari Maksimum 120-180 mg/hari, Sirosis: kurangi dosis 50-60% Subarachnoid hemorrhage(SAH): oral 60 mg tiap 4 jam selama 21 hari,
Lansoprazol
Lisinopril
Manitol Meropenem
Midazolam Morfin sulfat Natrium bikarbonat Nifedipin Nimodipin
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
85
Norefinefrin Omeprazol Ondansentron Pantoprazol Parnaparin Pirasetam
dimulai dalam 96 jam setelah SAH. Gagal hati: 30 mg tiap 4 jam Infus: 1 mg/jam( hingga 500 mcg/jam jika BB <70 kg atau jika TD tidak stabil), tingkatkan setelah 2 jam menjadi 2 mg/jam jika tidak ada penurunan beratTD ; dilanjutkan paling sedikit 5 hari(maks. 14 hari) IV kontinu: awal 0,5-1 mcg/menit titrasi hingga respon yang diinginkan. Range lazim: 8-30 mcg/menit Tukak lambung: 40 mg/hari 4-8 minggu Kondisi hipersekresi: awal 60 mg 1xsehari, hingga 120 mg 3xsehari. Dosis>80 mg dalam dosis terbagi. Oral: 8 mg tiap 12 jam. Penyakit hati berat: maksimum 8 mg/hari Erosif esofagitis terkait GERD: 1 x 40 mg selama 7-10 hari.Hipersekresi: 80 mg 2xsehari tidak ada keterangan dosis
Propofol
Awal 7,2 g/hari dalam 2-3 dosis terbagi, tingkatkan 4,8g/hari tiap 3-4 hari maks 20 g/hari. CCT 50-80 ml/menit: 2/3 dosis normal,CCT 30-50ml/menit ;1/3 dosis normal dibagi dua dosis,CCT 20-30 ml/menit : 1/6 dosis normal sebagai dosis tunggal,CCT< 20 ml: dihindari penggunaannya Sedasi pada pasien dengan ventilator di ICU: 0,3-4 mg/kg/jam
Q-ten
1/hari, dapat ditingkatkan hingga 3 kapsul/hari .
Ranitidin
Roksitromisin
IV: 50 mg tiap 6-8 jam CCT <50 ml/menit : IV 50 mg tiap 18-24 jam, jika dibutuhkan sesuaikan dosis hati-hati. 10 mg/kg/hari maksimum 600 mg/hari. Gangguan hati: pengurangan dosis mungkin perlu untuk mengurangi hepatotoksis. Pneumonia atipikal: 2 x 150 mg p.o
Salbutamol
Inhalasi: 2,5-5 mg ulangi hingga 4xsehari.
Sefoperazon Na
Dewasa 2-4 g perhari dalam dosis terbagi tiap 12 jam, dapat ditingkatkan pada infeksi berat. . Max: 6-12 g dalam 2,3 atau 4 dosis terbagi dari 1.5-4 g/dosis IV; IM: 1 - 2 g setiap 12 -24 jam. Gangguan ginjal berat: max 2 g/hari; juga dimonitor konsentrasi plasma jika gangguan ginjal berat disertai gangguan hati. Pneumonia nosokomial : 400 mg tiap 8 jam selama 10-14 hari CCT 30-50 ml/meni: oral 250-500 mg /12 jam CCT < 30 ml/menit : Acute uncomplicated pyelonephritis atau complicated UTI, oral: formulasi extended release 500 mg/24 jam CCT 5-29 ml/menit: oral 250-500 mg /18 jam, IV 200-400 mg/18-24 jam 20-40 mg 1 x sehari (5-80 mg/hari) Gangguan ginjal berat: CCT<10 ml/menit awal 5 mg/hari dimonitor ketat Hingga 1g IV
Rifampisin
Seftriakson Sifrofloksasin
Simvastatin Sitikolin Spironolakton
Valsartan
Udem, hipokalemia: 25-200 mg/hari dalam 1-2 dosis, Hipertensi: 25-50 mg/hari dalam 1-2 dosis. CCT10-50 ml/menit : tiap 12-24 jam, CCT<10 ml/menit : hindari penggunaan Profilaksis stress ulcer: 1 g 4 x sehari. Tukak usus duabelas: 1 g 4 x sehari atau 2 x 2 g Hipertensi: 80 mg atau 160 mg 1 x sehari maks. 320 mg/hari
Vitamin K
Pria; 120 mcg/hari; wanita 90 mcg/hari
Sukralfat
(Sumber: Lacy CF.,Armstrong LL.,Goldman MP.,Lance LL. (2008); British National Formulary edisi 57,2009; MIMS Indonesia 2009).
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Lampiran 18. Profil obat yang digunakan. Nama Obat/sediaan
Indikasi/mekanisme kerja
Farmakokinetik
ROTD/kontra indikasi
Amikasin Vial 250 mg/2 ml, 500 mg/2 ml
Pengobatan infeksi serius karena organismo resisten terhadap gentamisin dan tobramisin. Mekanisme: Menghambat sintesa protein bakteri dengan berikatan pada sub unit ribosomal 30S.
T1/2 1,6-2,5 jam, anuria/penyakit ginjal tingkat akhir 28-86 jam. .Ekskresi urin.
ROTD: Neurotoksisitas, ototoksisitas, nefrotoksisitas, reaksi alergi, dispnea, eosinofilia. Kontra indikasi: Hipersensitifitas
Amiodaron HCl Tablet 200 mg, Amp 150 mg/3ml
Antiaritmia kelas III, takikardia ventrikuler (ventriculer fibrilation (VF) dan hemodinamik tdk stabil ventricular tachicardia (VT) yg tdk mempan dengan antiaritmia lain. Mekanisme: Menghambat stimulasi adrenergik, memperpanjang potencial aksi dan periode refraktori pd jaringan miokard, menurunkan konduksi AV dan fungsi sinus node Bekerja sebagai inhibitor nonkompetitif reseptor alfa dan beta adrenergik. Ca chanel blocker - digunkan untuk manajemen hipertensi dan angina pektoris. Pengobatan gejala angina stabil kronis, angina vasospastik. Mekanisme: Menghambat ion Ca memasuki ‘kanal lambat’ atau area sensitif voltase yang dipilih pd otot polos dan miokard selama depolarisasi menghasilkan relaksasi otot
Onset action oral 2 hr – 3 mgg, IV: mungkin lebih cepat. Efek puncak 1 mgg-5 bln Durasi setelah penghentian : 750 hr Distribusi; VD 66 ltr/kg. ik protein 96%,metabolism hati via CYP2C8 dan 3A4, possible resirkulasi enterohepatik. Bioavailabilitas oral 50%, t1/2 40-55 hr. Ekskresi : feses, urin<1% Bioavailabilitas 64-90%. Ikatan protein plasma 93-98%. T 1/2 eliminasi 30-50 jam meningkat pd disfungsi hati dan steady state konst plasma setelah 7-8 hari pemberian. Dimetabolisme ekstensif di hati; diekskresi diurin Vd 21 L/kg. Tidak dapat
hipotensi (IV 16%), bradikardi,,ataksi, pusing,fatique, sakit kepala, malaise,gangguan memori, gerakan tanpa sengaja, insomnia, koordinasi buruk, neuropati perifer, gangguan tidur, tremor.fotosensitifitas (10-75%), hipotiroidism (1-22%),mual,muntah, anoreksia, konstipasi (10-33%), AST/ALT >2x normal(15-50%) Menyebabkan gangguan visual pada <10%.,
Amlodipine; tablet 2,5 mg, 5 mg, 10 mg
KI: hipersensitif pd amiodaron, iodine dan komponen formula. Disfungsi sinus node berat,heart block derajat 2 dan 3, bradikardi penyebab sinkope, kehamilan.
>10%: udem perifer (2-15% terkait dosis) 1-10%:flushing, sakit kepala, palpitasi, pusing, fatique, somnolence, rash, pruritus, mual, nyeri abdomen, dispepsia, hiperplasia gingival, krm otot, lemah, dispnea, udem paru, disfungsi sexual pria. Gejala overdosis: hipotensi dan bradikardi Interaksi: dpt meningkatkan efek antihipertensi obat antihipertensi lain spt beta bloker walaupun msh dpt ditoleransi. Juga penggunaan dengan
86
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
polos pembuluh koroner dan vasodilatasi koroner ; meningkatkan pengiriman oksigen pada vasospatik angina. Asam traneksamat Pengobatan dan profilaksis haemorrhage krn fibrinolisis yg berlebihan. setelah injeksi Ampul 50 mg/ml operasi. Pengganti alternative asam aminokaproat pada perdarahan sub (5ml) Ampul 100 mg/ml (5 araknoid. Mekanisme Antifibrinolitik ml) Menghambat secara kompetitif aktivitas plasminogen menjadi plasmin (fibrinolisin) suatu enzim yang mendegradasi bekuan fibrin, fibrinogen dan protein plasma lain (F. V dan F. VIII). Indikasi Asetosal Tablet 80 mg, 100 Profilaksis infark miokard, Stroke atau mg, 160mg TIA Mekanisme Menghambat aksi sintesis prostaglandin sehingga mencegah pembentukan tromboksan A2 (substansi aggregasi platelet).
Bisoprolol fumarat Tablet 2,5 mg, 5 mg
Indikasi Untuk hipertensi. Mekanisme Menghambat secara beta1 adrenergik
selektif
dibuang dengan dialisis.
antipsikotik yang menyebabkan hipotensi. Dimetabolisme ekstensif diliver oleh sitokrom P450 isoenzim CYP3A4.
didistribusikan luas keseluruh tubuh dan ik prot plasma yg sgt rendah. t1 /2 eliminasi sekitar 2 jam. diekskresi di urin.
Mual, muntah, diare (kurangi dosis),gangguan penglihatan warna (jarang), jika terjadi, obat harus dihentikan, kejadian tromboembolik, rekasi alergi kulit,pusing dan hipotensi pada injeksi IV cepat.
Durasi: 4-6jam. Absorbsi: cepat. Distribusi: Vd=10L Metabolisme: terhidrolisme menjadi salisilat aktif oleh enzim esterase pada mukosa GI, sel darah merah, cairan sinofial dan darah. Biovailabilitas: 50-75% mncapai sirkulasi sistemik. T1/2eliminasi: 15-20mnt. Waktu puncak serum:1-2jam. Eksresi: urin Onset: 1-2jam. Absorbsinya: cepat dan hampir sempurna. reseptor Distribusi: luas; konsentrasi tertinggi di dlm jantung, hati, paru dan saliva; menembus sawar darah otak dan masuk kedalam asi., Ikatan protein:
Kontra indikasi:penyakit tromboembolik
Hemoragik. Kardovaskular: hipotensi, takikardi, udem, disritmia. SSP: fatigue, insomnia, gugup, agitasi, udem serebral. Dermatologi: ras, angiodema, urtikaria. Kontra indikasi: Hipersensisifitas, asma, rinitis, nasal polyps, gangguan perdarahan (termasuk defisisensi faktor VII dan IX), umur < 16 tahun, infeksi virus (chickenpox atau gejala flu)dengan atau tanpa demam, karena berhubungan dengan Reye’s sindrom, kehamilan (terutama trimester 3). ADR Kardivaskular:Nyeri dada. SSSp: fatigu, insomnia GI:diare, mual, muntah. Kontra indikasi Hipersensitif terhadap bisoprolol, sinus bradikardi, gagal jantung tidak terkompensasi kardiogenik syok, udem paru, kehamilan (trimester 2
87
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Dexamethason ampul 5 mg/ml
Mengatasi inflamasi, alergi, hematologik, neoplastik dan peny otoimun, manajemen udem cerebral, septik shock Mekanisme; Mengurangi inflamasi dengan menekan perpindahan neutrofil, mengurangi produksi mediator inflamasi, pembalikan peningkatan permeabilitas kapiler, menekan respon immune normal. Manajemen hipertensi, CHF disfungsi Kaptoril Tablet 12,5 mg, 25 ventrikel kiri setelah MI, diabetic nefrofati. mg. 50 mg Dapat digunakan untuk pasien dg gangguan fungsi ginjal, albumniruria, nephropati, CHF Mekanisme: menghambat enzim angiotensin-converting (ACE), mencegah konversi Angiotensin I => angiontensin II Klopidogrel Indikasi: Tablet 75 mg Mengurangi kejadian aterosklerotik(infark miokard, stroke dan kematian pembuluh darah). Mekanisme Memblok reseptor ADP, yang menecegah ikatan fibrinogen pada tempatnya dan dengan demikian mengurangi kemungkinan adesi dan agregasi platelet. Diazepam Indikasi: manajemen gangguan Ampul 10 mg/2ml ansietas,relaksan otot skeletal, pengobatan gangguan konvulsif. Mekanisme: meningkatkan efek penghambat GABA pada eksitabilitas
30%. Metabolisme: secara luas dan tiga). di hati.T1/2:9-12jam; Tmax:24jam Ekresi: Urin; feses T½ eliminasi 1,8-3,5 jam. Udem, hipertensi, aritmia, kardiomiopati, sinkope, tromboembolism, Ekskresi urin dan feses tromboplebitis, insomnia, vertigo, seizure, psikosis, sakit kepala, delirium,jerawat, pruritius, DM, supresi adrenal, hiperlipidemia, supresi pertumbuhan, intoleransi glukosa, hipokalemia, alkalosis, hiperglikemia, peningkatan BB, peningkatan nafsu makan, ulkus peptic, mual, muntah, leukositosis sementara, dll.. Kontra indikasi: Hipersensitifitas, infeksi aktif yang tidak diobati,penggunaan optalmik pada virua, jamur atau penyakit tuberculosis pada mata. Diabsorpsi cepat 60-75% dlm Kardiovaskular: hipotensi, takikardia. GIT, makanan menurunkan Endokrin dan metabolit : hiperkalemia. absorpsi 30-40%, Metabolisme Hematologi : neutropenia. 50% T1/2 eliminasi kurang dari Renal : protein urea. 2 jam pada pasien dengan ginjal Respirasi : batuk normal, 20-40 jam pada pasien Kontra indikasi: anuria. diekskresi melalui urin Hipersensitifitas, angioudem karena penggunaan ACEI sebelumnya, angioudem idiopatik atau keturunan, stenosis arteri bilateral (95%) dalam 24 jam ginjal,kehamilan trimester 2 dan 3. Perdarahan, muntah, nyeri abdomen, dyspepsia, gastritis, konstipasi, Onset: 2 jam nyeri dada, udem, hipertensi, sakit kepala, pusing, Absorpsi: baik Ikatan protein: 98% (obat), 94% depresi,hiperkolesterolemia, rash, pruritus, test fungsi hati tidak normal, dispnea, rhinitis, batuk, dll. (metabolit) Metabolism: secara ekstensif hepatic melalui hidrolisis Kontra indikasi: T1/2 : 8 jam Hipersensitifitas, perdarahan patologik aktif, perdarahan intra cranial, Waktu puncak: 1 jam gangguan koagulasi. Ekskresi: urin dan feses Hipotensi, vasodilatasi, agitasi, amnesia, ansietas, depresi,somnolens, IV:Onset segera, durasi 20-30 vertigo, perubahan libido, perubahan salivasi, konstipasi, diare, mual, menit. inkontinen, retensi urin, jaundice, nyeri injeksi, tremor, diplopia, Ikatan protein 98%, metabolism apnea, asma, penurunan kecepatan pernapasan. di hati (CYP2C19), t1/2 20-50 jam metabolit aktif
88
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
neuronal sehingga meningkatkan permeabilitas membrane neuronal terhadap ion Cl yang menghasilkan hiperpolasisasi dan stabilisasi.
Digoksin (Lanoxin) tab 0,25 mg Ampul 0,5 mg/2 ml
Pengobatan gagal jantung kongestif dan memperlambat kecepatan ventricular pada takiaritmia seperti fibrilasi atrial, atrial flutter, takikardi supraventrikular, syok kardiogenik.
Dobutamin Vial 250mg/5ml.
Indikasi: Pengobatan singkat dekompensasi jantung. Mekanisme: menstimulasi reseptor beta1 adrenergik menyebabkan peningkatan kontraktilitas dan kecepatan jantung.
Dopamin Ampul 200 mg/5 ml
Untuk pengobatan syok, contohnya pada pengobatan kasus Infark Miokard, Pembedahan jantung, gagal jantung dan dekompensasi jantung. Mekanisme Menstimulasi reseptor adrenergik dan dopaminergik. Dosis rendah terutama menstimulasi reseptor dopaminergik dan menyebab- kan vasodilatasi renal dan mesentrik. Dosis yang lebih tinggi menstimulasi dopaminer gik dan Beta 1 adrenergik yang menstimulasi jantung
(desmetildiazepam) 50-100 jam.Sangat larut lemak, mudah melintasi sawar otak. Diazepam dan metabolitnya (desmethyldiazepam) terakumulasi pada penggunaan berulang dan jangka panjang. Onset oral 1-2 jam, IV 5-30 menit. Hiperkalemia, hiponatremia mengurangi distribusi ke jantung dan otot. Hipokalemia meningkatkan distribusi ke jantung dan otot. Ikatan protein 30%, metabolisme melalui hidrolisa gula di sal cerna. T1/2 eliminasi 38 jam, ekskresi urin. Onset IV 1-10 menit, efek puncak 10-20 menit. Metabolisme dalam jaringan dan hati menjadi metabolit inaktif. T1/2 eliminasi 2 menit, ekskresi: urin (metabolit). Onset: 5menit. Durasi <10menit. Metabolisme: Ginjal, hati, plasma; menjadi metabolit inaktif (75%) dan norefinefrin (25%), T1/2eliminasi 2menit. Eksresi:urin.
Kontra indikasi: Hipersensitifitas, glaukoma narrow-angle, anak <6 bulan (oral, rectal gel), anak < 30 hari (parenteral), kehamilan.
Blok jantung, takikardi ventricular, fibrilasi ventricular, gangguan penglihatan, sakit kepala, pusing, apatis, depresi, ansietas, urtikaria, pruritus,mual, muntah, diare, nyeri abdomen,dll. Kontra indikasi: Hipersensitifitas, riwayat toksisitas, takikardai atau fibrilasi ventrikel, stenosis subaortik hipertropik,amyloid desease, blok jantung derajat 2 dan 3. Meningkatkan TD, meningkatkan laju jantung, nyeri dada, palpitasi, demam, sakit kepala, mual,penurunan ringan kalium serum, trombositopenia,, Plebitis, kram lengan ringan, dispnea. Kontra indikasi: Hipersensitifias terhadap dobutamin , idiopathic hypertropic subaortic stenosis(IHSS) Paling sering: Kardiovaskular:Denyut ektopik, takikardi,yeri angina, palpitasi, hipotensi, vasoonstriksi. SSP: Sakit kepala. GI: Mual, muntah. Respirasi: dispnea. Kontra indikasi: Fibrilasi ventricular, feokromositoma.
89
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Enoksaparin Pre-filled syringe 20 mg/0,2 ml, 40 mg/0,4 ml, 60 mg/0,6 ml
Fenitoin Kapsul 100 mg Ampul 100 mg/2 ml
Furosemid Tablet 40 mg Ampul 20 mg/2 ml
Gentamisin Ampul 60 mg/1,5 ml 80 mg/2 ml,
serta vasodilatasi renal; Dosis yg lebih besar menstimulasi reseptor alpha adrenergik. Pengobatan dan profilaksis DVT, angina tidak stabil, infark miokard (mencegah komplikasi sistemik. Mekanisme: Meningkatkan laju penghambatan protease pembekuan oleh antitrombin II dan penghambatan faktor Xa. Penanganan seizure parsial kompleks, profilaktik kejang pada bedah saraf/ trauma kepala.. Mekanisme: Menstabilkan membrane saraf dan mengurangi aktivitas seizure dengan meningkatkan efflux atau mengurangi influx ion Na melintasi membrane sell kortek motor selama generasi impuls saraf; memperpanjang periode refraktori efektif; memperpendek aksi potensial di jantung. Penanganan udem karena CHF dan penyakit hati atau ginjal, terapi tunggal atau kombinasi pada hipertensi. Mekanisme: Menghambat reabsorpsi Na dan Cl pada ascending loop of henle dan tubuli distal renal, mengganggu chloride-binding cotransport system Sehingga menyebabkan peningkatan ekskresi air, Na, Cl, Mg dan Ca. Pengobatan infeksi bakteri gram negative seperti Pseudomonas, Proteus, Serratia, gram positif Staphylococcus, pengobatan infeksi tulang,, sal. pernapasan,
Efek puncak 3-5 jam, durasi dosis 40 mg 12 jam, dimetabolisme dihati, t1/2 4,5-7 jam, ekskresi urin.
ROTD: Perdarahan, trombositopenia, anemia hipokromik, demam, bingung, eritema, memar, mual, diare, peningkatan SGOT/SGPT, hematom di tempat injeksi, reaksi lokal. Kontra indikasi: Hipersensifitas, perdarahan aktif mayor.
Onset IV 0,5-1 jam, Absorpsi oral lambat, Ikatan protein 9095%, t1/2 oral 22 jam, Ekskresi urin,metabolisme:hati, ekskresi: urin.
ROTD: Hipotensi, bradikardi, aritmia kardiak, kolaps kardiovaskular (IV cepat), nyeri dan iritasi vena, tromboflebitis. Kontra indikasi: Hipersensitfitas, kehamilan
Onset: oral 30-60 menit, IM 30 menit, IV 5 menit, Durasi oral 68 jam, IV 2 jam, ikatan protein >98%, Metabolisme minimal hepatik, t1/2 0,5-1,1 jam. Penyakit ginjal tingkat akhir 9 jam.Ekskresi urin dalam 24 jam, feses.
ROTD: Hipotensi ortostatik, hipotensi akut, kematian mendadak dari cardiac arrest (IV atau IM), parestesia, vertigo, pusing, sakit kepala, demam, rash, urtikari, hiperglikemia, hiperurisemia, hipokalemia, hipokloremia, hipoCa, hipoMg, hipoNa, metabolic alkalosis, gout, mual, muntah, diare, konstipasi, sering berkemih, trombositopenia, anemia, leucopenia, gangguan pendengaran (IV/IM cepat), glikosuria, peningkatan BUN sementara.
Oral tidak diabsorpsi, Ikatan protein <30%, t1/2 1,5-3 jam, peny. Ginjal tingkat akhir 36-70 jam, ekskresi urin.
ROTD: Neurotoksisitas, gaya berjalan tidak stabil,ototksisitas, nefrotoksisitas , udem, kulit gatal. Kontra indikasi: hipersensitifitas
90
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Gliseril trinitrat Tablet Retard 2,5 mg Tablet retard forte 5 mg
Insulin Vial 100 iu / mL x 10 ml. Isosorbit Dinitrate. Tablet sub lingual5mg ,tablet 10 mg,20 mg Injeksi 10 mg/10 ml
endokarditis, septisemia,. Mekanisme: Mengganggu sintesis protein bakteri dengan berikatan pada subunit ribosom 30S dan 50S yang menyebabkan rusaknya membran sel bakteri. Pengobatan angina pectoris, IV untuk CHF (terutama dihubungkan dengan infark miokard akut), hipertensi pulmonal. Mekanisme: Relaksasi otot polos memberikan efek vasodilator pada vena dan arteri perifer (efek menonjol pada vena). Mengurangi kebutuhan oksigen jantung dengan cara menurunkan preload (tek diastolic akhir ventrikel kiri), dilatasi arteri koroner dan memperbaiki aliran kolateral pada tempat iskemik. Untuk mengontrol hyperglikemi pada DM tipe 1 dan DM tipe 2, diabetik ketoasidosis. Pencegahan dan pengobatan pada angina pectoris; gagal jantung kongestif, menghilangkan rasa nyeri; disfagia(sulit menelan); dan spasma pada esophageal dengan refluks GE. Mekanisme : Menstimulasi siklus-GMP dan menyebabkan relaksasi pembulu darah arteri dan vena.mengurangi tekanan ventrikel kanan (preload) dan dilatasi arteri menurunkan resistensi arterial (afterload) sehingga mengurangi kebutuhan oksigen jantung.
Onset tablet sustained release 2045 menit. Durasi tab sustained release 4-8 jam, ikatan protein 60%, Metabolisme first-pass effect, t1/2 1-4 menit, ekskresi urin (metabolit aktif).
ROTD: Hipotensi (jarang), angina crescendo (jarang), hipertensi rebound (jarang), takikardi, syok, udem perifer, sakit kepala (lebih sering), pusing, mual, muntah, inkontinensia urin, keringat dingin, dll Kontra indikasi: Hipersensitifitas, penggunaan bersamaan penghambat fosfodiesterase5, angle-closure glaucoma, trauma kepala atau perdarahan serebral, kondisi hipotensi dan hipovolemia, anemia berat.
Onset 0,5 jam, durasi 6-8 jam, waktu punack 2-4 jam, ekskresi : urin
ROTD:Palpitasi, takikardi, muka pucat, sakit kepala, hipotermia, kebingungan mental, urtikari, hipoglikemik, lapar. Mual, muntah, mati rasa di mulut, udem, gatal, nyeri ditempatn injeksi, tremor, presbiop sementara, dll. Kontra indikasi: hipersensitifitas ROTD: Hipotensi (jarang), muka pucat, syok takikardi, udem perifer, sakit kepala (paling sering), pusing, mual, muntah, inkontinensia urin, keringat dingin.
Onset: tablet sublingual 2-10 menit; tablet kunyah 3 menit; tablet oral 45-60 menit Durasi : tablet sublingual 1-2 jam; tablet kunyah 0,5-2 jam; tablet 4-6 jam T1/2 : 1-4 jam Ekskresi : urin dan feses
Kontra indikasi: Hipersensitifitas, penggunaan bersamaan penghambat fosfodiesterase5(sildenafil, tadalafil atau vardenafil), angle-closure glaucoma,
91
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Manitol Infus 25% 250 ml, 500 ml
Meropenem Vial 0,5 g, 1 g
Midazolam Ampul 5 mg/5 ml, 15 mg/3 ml
Nifedipin Tablet 10 mg, 20 mg (SR), 30 mg (SR)
Indikasi: Menurunkan peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan udem serebral; digunakan untuk diuresis pada penanganan preventif dan pengobatan oliguria atau anuria pada kasus gagal ginjal akut; mengurangi peningkatan tekanan intraokular. Mekanisme: Meningkatkan tekanan osmotik filtrasi glomerulus, menghambat reabsorpsi air dan elektrolit di tubular dan meningkatkan volume pengeluaran urin. infeksi intra-abdominal, meningitis, sal pernafasan, septicemia, sal urin. Mekanisme : Menghambat sintesa dinding bakteri yang berikatan pada PBP, menghambat tahap akhir transpeptidase dari sintesa peptidaglikan pada dinding sel bakteri, sehingga menghambat pembentukan dinding sel. sedasi pada intensif care Mekanisme: berikatan pada reseptor benzodiazepine pada postsinaptik neuron GABA di SSP, meningkatkan penghambatan GABA pada eksitabilitas saraf, meningkatkan permeabilitas membrane terhadap Cl => hiperpolarisasi dan stabilisasi. Indikasi : angina dan hipertensi, pulmonari hipertensi. Mekanisme : menghambat ion kalsium memasuki area sensitif voltase pada otot
Onset: diuresis: injeksi: 1-3 jam. Penurunan tekanan intrakranial: 15-30 menit. Durasi: penurunan tekanan intrakranial: 1,5-6 jam. Distribusi: tidak melewati sawar darah otak. Metabolisme: minimal di hati sebagai glikogen. T1/2: 1,1-1,6 jam. Ekskresi: urin.
ROTD: Nyeri dada, CHF, overload sirkulasi, hipertensi/hipotensi, takikardi. SSP: kedinginan,pusing, sakit kepala, konvulsi, rash, urtikari.Ketidak seim-bangan cairan dan elektrolit, dehidrasi dan hipovolemi pada diuresis cepat, hiperglikemi, hipernatremia, hiponatremia, hiperosmolar-induksi hiperkalemia, asidosis metabolik, mual, muntah, disuria (susah/nyeri berkemih), poliuria, Lokal: nyeri, nekrosis jaringan, trombophlebitis.Pandangan kabur.Gagal ginjal akut, acute tubular necrosis. Udem paru, rhinitis.Reaksi alergi.
Ikatan protein 2 %, metabolism dihati, t1/2 1-1,5 jam. CCT 3080ml/menit:: 1,9-3,3 jam, CCT 2-3 ml/mnt 3,82-5,7 jam. Ekskresi: urin
ROTD: Gangguan pembuluh perifer, sakit kepala, nyeri, rash, pruritus, diare, mual, muntah, konstipasi, anemia, radang di tempat injeksi, flebitis, reaksi di tempat injeksi. Kontra indikasi: Hipersensitifitas, riwayat anafilaksis dengan beta laktam.
Onset IV 1-5 menit, ikatan protein plasma 95%. Metabolisne: liver ekstensif (CYP3A4), T 1/2 eliminasi: 1-4 jam. Eliminasi: urin (metabolit glukoronid), feses.
ROTD: mengurangi volume tidal, menurunkan laju pernapasan, apnea, hipotensi, sedasi berlebihan, sakit kepala, mual, muntah, nyeri tempat injeksi, batuk.
Onset : ~20 menit Ikatan protein : 92-98% Metabolisme dihati, T ½ : dewasa : 2-5 jam,sirosis 7 jam, lansia 6,7 jam. Ekskresi urin
Kontra indikasi: Hipersensitifitas, tidak untuk injeksi epidural atau intratekal, narrowangle galucoma , penggunaan bersamaan penghambat potent CYP3A4 (amprenavir, atazanavir, ritonavir), kehamilan. ROTD : kardiovascular : udem perifer SSP :pusing, sakit kepala GI : mual, Muskular skeletal : lemah. Palpitasi, hippotensi sementara, CHF. Batuk,dll.
92
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Nimodipin. Tablet 30 mg, Infus 10 mg/50 ml (200 mcg/1ml),
Norefineprin Ampul 4 mg/ml
Omeprazole Kapsul 20 mg Ampul 40 mg
polos vaskular dan miokardium selama depolarisasi, menhasilkan relaksasi pada otot polos vaskular koroner dan vasodilatasi koroner, meningkatkan penghantaran oksigen miokard pada pasien angina vasospastik.. Pengobatan spasme setelah perdarahan subarachnoid dari pecahnya aneurisme intracranial. Mekanisme:meningkatkan lipofilisitas dan distribusi serebral, menghambat ion calsium memasuki area kanal lambat atau area sensitif voltase otot polos pembuluh dan miokard selama depolarisasi menyebabkan relaksasi otot polos vaskular. Bekerja lebih besar pada pembuluh darah serebral karena lipofiliknya yang tinggi Indikasi : pengobatan syok yang bertahan setelah penggantian volume adikuat cairan. Mekanisme : Menstimulasi β adrenergik dan reseptor α adrenergik menyebabkan peningkatan kontraksi jantung seperti vasokontriksi, kerena itu meningkatkan tekanan darah dan aliran darah coronary. Pengobatan gastrik dan duodenal ulkus aktif, gejala yang berhubungan dengan GERD, kondisi patologis hipersekresi. Inhibitor pompa proton, menekan sekresi asam lambung dengan menghambat pompa H+K+ATP sel parietal lambung.
(metabolit)
Kontra indikasi : Sediaan immediate release untuk pengobatan hipertensi urgen atau emergensi, infark miokard akut.
distribusi: barier darah otak, ikatan protein >95%. Metabolisme hepatik ekstensif. t 1/2 eliminasi 1-2 jam, ekskresi urin, feses dalam 4 hari
ROTD: Penurunan TD sistemik, sakit kepala, rash, diare, abdomen discomfort.
Onset, IV : sangat cepat Durasi 1-2 menitm metabolism melalui Cathecol-o-methyl tranferase (COMT) dan MAO. Ekskresi, urine 84-96% (metabolit inaktif)
ROTD: Kardiovaskular: bradikardi, aritmia, iskemik perifer. Sakit kepala, kerusakan kulit (lokal), dispnea, kesulitan bernafas. Kontra indikasi: Hipersensitifas, hipotensi dari hipovolemia, kecuali sebagai emergensi untuk memelihara perfusi seberal dan koroner hingga volume dapat diganti, thrombosis pembuluh perifer atau mesentrik, kecuali prosedur life saving; selama anestesi dengan siklopropan atau halotan (risiko aritmia ventrikel). ROTD: Sakit kepala, pusing, rash, diare, nyeri abdomen, mual, muntah, flatulens, konstipasi, batuk, infeksi pernapasan atas.
Onset antisekretori 1 jam, efek puncak 2 jam, durasi 72 jam, ikatan protein 95%, metabolisme ekstensif di hati, t1/2 delayed released capsul 0,5-1 jam. Ekskresi urin (77%), feses.
Kontra indikasi: hipersensitifitas
Kontra indikasi: Hipersensitifitas
93
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Pantoprazole Vial 40 mg/10 ml
Pengobatan singkat (7-10 hari) GERD dan riwayat esofagitis erosif. Ulkus ppetik, perdarahan aktif ulkus. Mekanisme: Inhibitor pompa proton, menekan sekresi asam lambung dengan menghambat pompa H+K+ATP sel parietal lambung. .
Piracetam Ampul 1 g/5 ml, 3g/15 ml, 12 g/60 ml
Neuroprotektan Mekanisme: Bekerja pada SSP sebagai nootropik; melindungi korteks serebral terhadap hipoksia. Juga menghambat agregasi platelet dan mengurangi viskositas darah pada dosis tinggi. Menginduksi dan mempertahankan anestesi umum; sedatif pada pasien dengan intubasi atau pada pasien ICU. Mekanisme: Suatu penghalang senyawa fenolik dengan anestesi umum intravena lain. Tukak duodenum, tukak lambung, hipersekresi lambung dan profilaksis terhadap stress-related mucosal lesions. Ranitidin secara kompetitif menghambat aksi histamin dari H2 pada sel parietal, yang menghambat sekresi asam lambung, mengurangi volume lambung, dan konsentrasi ion H. Tidak mempengaruhi sekresi pepsin, atau gastrin serum. infeksi bakteri sensitif termasuk gram positif, gram negatif aerobik dan beberapa organisme anaerobik
Propofol Ampul 10 mg/ml (20 ml)
Ranitidine Ampul 50 mg/2ml
Seftriakson Vial 1 gram.
Ikatan protein 98%, Dimetabolisme di liver, terutama oleh sitokrom P450 isoenxim CYP2C19 menjadi desmetilpantoprazole,CYP3A4 (minor).t1/2 1 jam, meningkat menjadi 5,5-10 jam jika defisiensi CYPC2C19. Eksresi urin (utama), feses. Waktu paruh 5-6 jam meningkat pada lansia, . Ekskresi urin (>98%).
Onset infuse bolus 9-51 detk, durasi 3-10 menit, ikatan protein 97-99%, Metabolisme dihati dalam bentuk terkonjugasi yang kemudian dieliminasi di urin, feses (<2%), t1/2 4-7 jam. didistribusi luas keseluruh tubuh, terikat protein plasma 15% metabolisme : hepatik, waktu paruh eliminasi oral 2,5 – 3jam iV: 2-2,5 jam.
ROTD: Nyeri dada, sakit kepala, insomnia, pusing, migraine, ansietas, rash, hiperglikemia, hiperlipidemia, diare, flatulens, mual, muntah, konstipasi,ISK, sering berkemih, fungsi hati abnormal, reaksi tempat injeksi, batuk, infeksi sal. napas atas, dll. Kontra indikasi: Hipersensitifitas Efek samping: Peningkatan berat badan, hiperkinesa, depresi, lemah, mual, muntah, diare, sakit kepala, imsomnia,, Kontra indikasi: Hipersensitifitas, gangguan hati, gangguan fungsi ginjal berat (CCT<20 ml/menit), kehamilan, menyusui, perhatian khusus pada stroke hemoragik dan gangguan imunitas. ROTD: Hipotensi, nyeri tempat injeksi, apnea, hiperlipidemia, hipertrigliseridemia, asidosis respiratorik selamapenghentian. Kontra indikasi: Hipersensitifitas, jika anestesi umum atau sedasi dikontra indikasikan. ROTD: Aritmia, pusing, halusinasi, sakit kepala, kebingungan mental, somnolen,vertigo, rash, pancreatitis,agranulositosis, anemia aplastis, leucopenia, trombositopenia, gagal hati, syok anafilaksis, reaksi hipersensitif. Kontra indikasi: Hipersensitifitas
Distribusi: seluruh tubuh, waktu paruh antara 5-9 jam; ikatan protein 85-95%. Ekskresi urin 33-65%, feses
Kulit kemerahan, diare, esosinofilia, trombositosis, leukopenia, peningkatan enzim liver, Lokal: sakit, indurasi tempat injeksi. Peningkatan BUN. Kontra indikasi; Hipersinsitifitas, neonates hiperbilirubinemia.
94
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Siprofloksasin Tablet 500 mg, infuse 200 mg/100 ml
Ranitidine Ampul 50 mg/2ml
Simvastain Tablet 10 mg , 20 mg
Sitikolin 250 mg/2 ml amp
Spironolakton Tab 25, 50, 100 mg
Indikasi: Infeksi sal. Kemih, cystitis akut, prostatitis bacteria kronis, infeksi sal. Pernapasan bawah, sinusitis akut, infeksi kulit, infeksi intraabdomina, pneumonia nosokomiall dll. Mekanisme: Mengahambat DNA-gyrase pada bakteri yang rentan, menghambat relaksasi DNA superkoil dan mempromosikan kerusakan double stranded-DNA. Tukak duodenum, tukak lambung, hipersekresi lambung dan profilaksis terhadap stress-related mucosal lesions. Ranitidin secara kompetitif menghambat aksi histamin dari H2 pada sel parietal, yang menghambat sekresi asam lambung, mengurangi volume lambung, dan konsentrasi ion H. Tidak mempengaruhi sekresi pepsin, atau gastrin serum. Pencegahan sekunder penyakit kardiovaskular pad a pasien hiperkolesterolemia. Mekanisme:menghambat secara kompetitif HMG-CoA reduktase, enzim yang mengkatalisa tahap biosintesa kolesterol kondisi tidak sadar setelah trauma serebral.memperbaiki aliran darah otak termasuk stroke sistemik. Meningkatkan aliran darah dan konsumsi O2 diotak. Juga terlibat dalam biosintesis lesitin. Penanganan udem karena kelebihan ekskresi aldosteron, Hipertensi, CHF, hiperaldosteronisms primer, hipokalemia,
Absorpsi: Oral: cepat (50-8%) Distribusi: Vd= 2.1-2.7 L/kg Ik. Protein: 20-40% Metabolsme: hepatic sebagian, membentuk 4 metabolit. T1/2 eliminasi: 3-5 jam Tmax: tablet lepas cepat: 0.5-2 jam Tablet lepas lambat: 1-2.5 jam Ekskresi: urin dan feses.
Insomnia, pusing, gugup, somnolence. Rash, : mual. diare, muntah, dispepsi. rhinitis Peningkatan AST/ALT, reaksi di tempat injeksi.
didistribusi luas keseluruh tubuh, terikat protein plasma 15% metabolisme : hepatik, waktu paruh eliminasi oral 2,5 – 3jam iV: 2-2,5 jam.
ROTD: Aritmia, pusing, halusinasi, sakit kepala, kebingungan mental, somnolen,vertigo, rash, pancreatitis,agranulositosis, anemia aplastis, leucopenia, trombositopenia, gagal hati, syok anafilaksis, reaksi hipersensitif.
Kontra indikasi: Hipersensitifitas terhadap siprofloksasin atau kinolon lain.
Kontra indikasi: Hipersensitifitas Absorpsi 85%, ikatan protein 95%, metabolisme dihati melalui CYP3A4; FPE yang luas, bioavailabilitas < 5%,ekskresi ; feses (60%), urin 13%
ROTD: Konstipasi, dyspepsia, flatulens, peningkatan CPK, infeksi sal napas atas. Kontra indikasi: hipersensitifitas, penyakit hati akut, peningkatan serum transaminase menetap, kehamilan, menyusui.
-
distres epigastrik, mual, kulit merah, sakit kepala, pusing, insomnia, , eksitasi dan konvulsi, rasa baal ekstrimitas, anoreksia, sensasi hangat pada kulit atau perubahan TD sementara atau tidak enak badan
Durasi aksi 2-3 hari Ikatan prot 91-98%, metabolisme di hati, t1/2 78-84
ROTD: udem ; lethargy, sakit kepala, kebingungan mental, demam obat, ataksia, fatique urtikaria, hirsutism, eosinopilia; E&M: ginekomastia,
95
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
pengobatan hirsutism, sirosis hati dengan ascites atau udem. Mekanisme : Berkompetisi dengan aldosteron pada tempat reseptor di tubuli distal ginjal, meningkatkan ekskresi NaCl dan air sementara hemat ion K dan H.
menit. Ekskresi urin dan feses..
Sukralfat Cairan 500 mg/ml x 100 ml.
Ulkus lambung & duodenum, gastritis kronis. Mekanisme : Sukralfat adalah obat sitoprotektif yg dlm kondisi asam (GIT) membentuk kompleks dgn protein yang akan melapisis mukosa lambung dan penghambat aksi pepsin serta mengabsorpsi garam empedu.
Valsartan Tablet 80 mg; 160 mg
Pengobatan Hipertensi esensial, Gagal jantung, mengurangi mortalitas pada disfungsi ventrikel kiri post infark miokard. Mekanisme: Antagonis langsung reseptor angiotensin II.
Onset pembentukan pasta dan pelapisan ulkus : 1-2 jam, durasi hingga 6 jam, absorpsi <5%, metabolism:- ekskresi urin. Dalam kondisi asam akan melepaskan ion Al yang akan diabsorpsi secara sistemik, pada pasien dengan gangguan ginjal akan menyebabkan tingginya kadar Al dalam serum sehingga timbul ROTD: seizures, lemah otot, nyeri tulang, ensefalopati. Onset antihipertensi efek 2 minggu (max 4 minggu) Ik.Prot: 95% Dimetabolisme menjadi metabolit inaktif T1/2 : 6 jam Tmax: 2-4 jam Ekskresi: feses(83%) urin (13%) Onset meningkatkan faktor koagulasi oral 6-10 jam, IV 1-2 jam. Dimetabolisme dengan ceapt di hati. Ekskresi urin dan feses.
Vit K (Fitonadion) Ampul 1 mg/0,5 ml; 10mg/1ml.
Pencegahan dan pengobatan hipoprotrombinemia akibat kekurangan vitamin K Mekanisme: Meningkatkan sintesa faktor pembekuan II, VII, IX, X oleh hati.
nyeri payudara, hiperkalemia serius, hiponatre- mia, dehidrasi, hiperchloremic metabolic acidosis (pada Sirosis hati dekompensasi), impoten, haid tidak teratur, amenorrhea, perdarahan postmenopause; Anoreksia, mual, diare, perdarah -an lambung, ulserasi, gastritis, muntah., agranulositosis,toksisi -tas hepatoselular/kolestatik, peningkatan kons BUN, Kontra indikasi: anuria, insufisiensi ginjal akut. Kerusakan siknifikan fungsi eks kresi ginjal,hiperkalemia, hamil. ROTD: Konstipasi, hipersensitifitas, rash. Kontra indikasi: Hipersensitifitas
ROTD: Pusing, hipotensi, fatique,peningkatan serum kalium, hiperkalemia, diare, nyeri abdomen, netropenia, meningkatkan kreatinin>50%,batuk, infeksi virus. Kontra indikasi: Hipersensitifitas, stenosis arteri ginjal bilateral, kehamilan. Sianosis, hipotensi, pusing, lesi seperti skleroderm, hiperbilirubinemia, cita rasa abnormal, reaksi tempat injeksi, dispnea. Kontra indikasi:Hipersensitifitas
(Sumber: Lacy CF.,Armstrong LL.,Goldman MP.,Lance LL. (2008) ; British National Formulary edisi 57 ,2009 dan Misbach Jusuf H., dkk. 2007).).
96
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Lampiran 19. Data masalah terkait obat, intervensi dan hasil intervensi seluruh pasien
No
BB (Kg)
1
60
Usia/ Jenis kelamin/ Diagnosa 61 tahun Laki-laki SH (ICH) BP HT HHD CAD
Nama Obat
Permasalahan
Intervensi
Kepada
Hasil Intervensi
Kaptopril 3x25 mg
Kaptopril diberikan seketika sesudah makan
Diberikan 1 jam sebelum makan atau dua jam sesudah makan
Perawat/ dokter
Setuju
Nifedipin tablet 30 mg
Pemberian obat perhari, obat dari apotik tanpa label nama obat sehingga perawat tidak tahu nama obat (nifedipin tablet) Interaksi: Amikasin dan seftriakson meningkatkan risiko nefrotoksisitas (mekanisme tidak diketahui dengan pasti). Faktor risiko: Pria,Usia lanjut,penurunan albumin (7/3 albumin 2,9 g/dl), peningkatan lama pengobatan. Interaksi: Meningkatkan kadar serum fenitoin Fenitoin(inducer enzyme) menurunkan kadar serum nifedipin
Setiap obat diberi nama obat dan kandungannya
Apotik Askes/ perawat
setuju
Hindari penggunaan yang bersamaan pada lansia. Bila digunakan pada pengobatan singkat, dosis minimum dan fungis ginjal dipantau ketat. Cat: diberikan selama 4 hr tgl 5/3 – 8/3
Dokter
Setuju tgl 9/3 Ceftriakson diganti meropenem 3x1g (lekosit meningkat 17.500 /ul) Ur/cr tgl 8/3 15/0,9 mg/dl. Ur/cr setelah itu tdk diperiksa lg Hasil kultur 12/3 Pseudomonas Sp (sensisitf: siprofloksasin dan seftazidime)
Pantau TD, tingkatkan dosis nifedipin jika TD tidak turun Pantau tanda:toksisitas, Fenitoin (mual,demam, Hiposensi,depresi pernapasan, koma ) Diinjeksikan dalam 2-4 menit
Dokter
Setuju. TD tidak bisa diturunkan secara drastis, dilihat ± 1 minggu. TD 220/120 baru intervensi. Fase akut sudah lewat dilihat 1-2 minggu baru dosis nifedipin ditingkatkan. tgl 9/3 TD ↑↓ 142/98 mmHg s/d 165/111 mmHg tgl 10/3 112/81 mmHg s/d 140/90 mmHg tgl 11/3 nifedifin distop diganti Amlodipin 1x10 Setuju ( pasien pakai CVP, langsung ke pembuluh darah besar arteri jantung => iritasi berkurang)
Amikasin 1x1g dan seftriakson 1x2 g
Nifedipin 1x30 mg p.o dan fenitoin 3x100 mg IV
Seftriakson 2 g IV Bolus
Kecepatan injeksi 1 menit, seharusnya 2-4 menit untuk mengurangi rasa sakit pada tempat injkesi
Perawat
97
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Adalat Oros 1x30 mg (Nifedipin30 mg)
Adalat oros tablet (sustained release) digerus. Tablet sustained release tidak boleh digerus karena akan merusak formula obat sehingga dapat menyebabkan toksisitas nifedipin
Diganti 3 x tab 10 mg atau diganti dengan golongan obat lain yang bisa digerus.
Dokter/ Perawat
Meropenem Injeksi 3x1g
Meropenem 1 g IV drip dalam NS diberikan selama 4 jam. Meropenem dalam NS stabil 2 jam pada suhu kamar. Cat:meropenem : d/ NS stabil 2 jam (suhu kamar) &18 jam didlm lemari pendingin d/ Aq.Pi stabil 2 jam (suhu kamar) & 12 jam di dlm lemari pendingin d/ D5 stabil 1 jam (suhu kamar) & 8 jam di dlm lemari pendingin Pemberian Amikasin tidak around the clock karena obat sering datang terlambat (dari keluarga pasien)
Sebaiknya diberikan paling lama 2 jam
Perawat
Sebaiknya obat diberikan tepat waktu untuk mendapatkan hasil terapi maksimal (kadar dalam darah dipertahankan) Tidak ada
Keluarga pasien
Setuju.
Diberikan 1 jam sebelum makan atau dua jam sesudah makan Segera dibelikan karena penting untuk mengatasi adanya tukak dalam lambung dengan menekan sekresi asam lambung. Jarak pemberian 2 jam
Perawat/do kter
Setuju
Keluarga pasien
Setuju Omeprazole diberikan sore harinya.
Perawat/ dokter
setuju
Amikasin 1x1 mg
Amlodipin 1x 10 mg 2
60
TD ↓ (95/67 mmHg). Pasien juga diberikan bisoprolol 1x 5 mg dan kaptoril 3 x 25 mg Kaptopril diberikan seketika sesudah makan
70 tahun Perempuan
Kaptopril 2 x 6,25 mg
SH (ICH) CKB DM Anemia HT Bradikardi
Omeprazole 1 x 40 mg IV
Omeprazol tidak ada persediaan (belum dibeli keluarga pasien). NGT pasien coklat.
Digoksin 1x 0,25 mg p.o dan sukralfat 3 x 1,5 g
Interaksi: Mengurangi absorpsi digoksin => mengurangi efek digoksin
Setuju. Diganti amlodipin 1x10 mg (Calcium channel blocker long acting) Setelah diberi amlodipin 11/3 TD ↓ 95/67 mmHg→distop 12/3 Pasien juga diberikan fenitoin 3x 100 mg IV Bisoprolol + kaptopril tetap diberi , dan diberikan dopamine 5 mg/jam. Setuju. Obat diberikan tepat waktu jm.12.00
98
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
3
65
36 tahun Laki-laki
Gentamisin 1x 120 mg dan seftriakson 2 x 1 g
Gentamisin dan seftriakson meningkatkan risiko nefrotoksik gentamisin. Usia lanjut merupakan faktor risiko.
Simvastatin 1x20 mg
Simvastatin diberikan jam 6 (setelah makan).
Laxadin 1 x 15 ml
Laxadin sirup diberikan pagi hari
MCI
Keluhan dari pasien belum bisa BAB, buang air kecil sakit, sudah ingin keluar dari ICU
4
60
61 tahun Perempuan SNH DMHipo HHD CAD ISK An. Aorta
Hindari penggunaan yang bersamaan pada lansia. Bila digunakan, pada pengobatan singkat, dosis minimum dan fungsi ginjal dipantau ketat. Sebaiknya diberikan malam hari, tanpa makanan, karena produksi kolesterol tertinggi pada malam hari. Diberikan malam hari
Dokter
Setuju Tgl 13/3 ur 27 ; cr 1,1 diberikan hanya 1 kali (pasien meninggal)
Perawat
Setuju. Diberikan jam 22.00
Perawat
Setuju. Diberikan jam 20.00
Kepada pasien/keluarga diberitahukan bahwa pasien sudah diberikan obat pencahar dan pasien tidak boleh mengedan karena berisiko terhadap penyakit jantung yang sedang dialami (MCI) dan keluhan akan disampaikan ke dokter. dipantau ketat tanda-tanda perdarahan serta pemeriksaan Hb dan Hematokrit
Keluarga pasien/ dokter
Setuju
Dokter
Setuju dipantau ketat Penggunaan kombinasi karena pasien sudah mengalami thrombus sehingga digunakan kombinasi ketiga obat yang bekerja pada reseptor yang berbeda. Cat: tidak ada tanda perdarahan, HB dan Ht dbn Setuju
Parnaparin 2x60 mg SC , asetosal 1x80 mg p.o dan klopidogrel 1x75 mg p.o
Kombinasi Fluxum (Parnaparin) , aspilet dan clopidogrel meningkatkan risiko perdarahan
Kaptopril 3 x 25 mg
Kaptopril diberikan seketika sesudah makan
Diberikan 1 jam sebelum makan atau dua jam sesudah makan
Perawat/ dokter
Klonidin 3 x 0,15 mg
Frekuensi pemberian klonidin adalah 2 x sehari (t1/2 6-20 jam)
Frekuensi pemberian 2 x sehari
dokter
Klonidin 3x0,15mg
TD ↓ (hipotensi) TD 94/61 mmHg pasien juga diberikan
Tidak ada intervensi
Dokter visite, keluhan nyeri BAK sudah hilang.
Setuju tgl 11/3 Klonidin distop krn TD pasien turun s/d 94/61 mmhg
99
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
5
65
6
65
7
65
65 tahun Laki-laki MCI akut DM tipe II HHD 59 tahun Laki-laki SNH CAD Aritmia 71 tahun Laki-laki NSTEMI AFRR FPS GFG
Lansoprazole 2 x 30 mg Enoksaparin 2x40 mg SC Klopidogrel 1x75 mg p.o, asetosal1x 80 mg p.o
nifedipin 3x20 mg dan kaptopril 3x25 mg. diberikan seketika sesudah makan pagi jam 6 Meningkatkan risiko perdarahan
Diberikan 1/2 jam sebelum makan pagi. Digunakan hati-hati dan Pantau tanda-tanda perdarahan (laboratorium dan klinik)
Perawat/ dokter dokter
Setuju
Amiodaron 300 mg injeksi diencerkan dengan NS. Pengenceran dengan NS masih belum dapat dipastikan. BNF 57 menyatakan amiodaron tidak tercampur dengan NS.
Gunakan D5W untuk mengencerkan larutan injeksi.
Dokter/ perawat
Setuju
Amiodaron konsentrasi tinggi dapat melumerkan plasticizer dari IV tube yang dapat mempengaruhi perkembangan system reproduksi pria. Infus lebih dari 2 jam harus diberikan dalam kaca atau botol polyolefin. Konsentrasi 1-6 mg/ml stabil 2 jam pada PVC. meningkatkan risiko perdarahan diberikan muali tgl 13/3
Untuk penggunaan selama 12 jam gunakan wadah kaca atau PVC inert.
Dokter/ perawat
Tidak setuju
dipantau Hb, hematokrit dan tanda perdarahan.
Dokter
Laxadine sirup diberikan pagi hari (jam 06.00)
Diberikan malam hari .Bila diberikan pagi hari pasien akan terganggu tidurnya karena proses defekasi dapat terjadi malam hari.
Perawat
Setuju. Hb tgl 15/3 9,4 g/dl (pagi ) ; 15/3 9,9 (malam); 16/3 10,3 transfusi (-) Tidak ada tanda pendarahan Setuju diberikan jam. 20.00
Setuju
Tidak ada masalah terkait obat
Amiodaron 600 mg/24 jam Amp 150 mg/3 ml
2 ampl /12 jam (50 ml )
Lovenox 3x60 mg SC, asetosal 1x80mg , klopi dogrel 1x75 Laxadine 1x 15 ml
100
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
50
8
60
9
43 tahun Perempuan IO HT HHD CAD BP
55 tahun Perempuan SH (SAH)
Gentamisin 2x80 mg sefriakson 2x1 g
Meningkatkan risiko nefrotoksik. Pd anak kanker , < 5 hr pd serum cr normal, tdk ada obat nefroloksik lain tidak perlu estimasi estimasi kadar serum gentamisin.
kaptopril 3x25 mg
Kaptopril diberikan seketika sesudah makan.
Fenitoin 3x100 mg p.o dan omeprazol 2x40 mg IV
Meningkatkan toksisitas fenitoin (±25%)
Fenitoin 3x100 mg p.o dan Amiodaron 3 x 200 mg p.o
Meningkatkan kadar serum fenitoin => toksisisitas fenitoin. Tanda toksisitas fenitoin (blurred vision, nystagmus, ataksia, drowsiness),tidak dapat diamati karena pasien tidak sadar. Menurunkan kadar nimodipine
Hidrosefalus
HT Leukositosis
Fenitoin 3x100mg dan Nimodipin 400mcg/jam Nimotop injeksi (Nimodipin)
Tidak ada persediaan di apotik.
Injeksi citicolin, piracetam, Pantoprazole, vit K, Transamin, Seftriakson
Pemberian obat injeksi melalui CVP tanpa dibilas
Digunakan pada pengobatan singkat, dosis minimum dan fungsi ginjal dipantau ketat pd penggunaan > 5 hari perlu pemeriksaan ureum, kreatinin pasien). Diberikan 1 jam sebelum makan atau dua jam sesudah makan Pantau konsentrasi fenitoin dan tanda-tanda toksisitas fenitoin atau diganti dengan golongan PPI lain yang lebih aman (Pantoprazole) dosis fenitoin diturunkan 25-30% pada penggunaan 2-4 mg/kgBB/hari
Dokter
Setuju. Ur/cr pasien tgl 14/3 40/0,6 mg/dl tgl 17/3 pasien pindah ruangan (belum ada pemeriksaan ur/cr)
Perawat/ dokter
setuju
Dokter
Setuju. Obat diganti pantoprazole 1x40 mg IV
Dokter
Tidak setuju
Pantau efek dan tekanan darah, bila perlu tingkatkan dosis nimodipin
Dokter
Segera diusahakan pengadaan karena berguna untuk pengobatan spasme pada SAH. Dibilas dulu sebelum diberikan obat lain untuk mencegah terjadinya interaksi farmasetik obat. Dan dibilas setelah pemberian obat terakhir supaya tidak tertinggal
Apotik/far masi
Setuju. Dosis tidak diubah. TD turun tgl 20/3 karena diberikan propofol dan midazolam. Nimodipin dan midazolam dihentikan. Keesokan harinya nimodipin diberikan kembali. Setuju. Jam 10.00 obat sudah diberikan
Perawat
Setuju
101
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
10
70
11
70
12
65
56 tahun Laki-laki SH (ICH) HT Trombosito -penia Demam Hematemesis 80 tahun Laki-laki SNH,DM HT,Hemate -mesis 43 tahun Laki-laki SH (ICH/IVH) DM Tipe II HT
pada selang triple lumen (Pantoprazole dengan seftriakson tidak tercampur,) Periksa kadar trigliserida pasien setelah penggunaan 3-5 hari Segera disediakan.
Propofol injeksi 6 cc (60 mg)/jam
Mengandung lipid, kadar trigliserida pasien tgl 18/3 149
Bisoprolol 1x 5 mg po
Tidak ada persediaan. TD pasien tinggi (191/101 mmHg)
Amiodaron 3x200 mg p.o Propofol 60 mg/jam dan midazolam 5 mg IV bolus Propofol
bradikardi
Tidak ada intervensi
Setuju Setelah 3 hari penggunaan kadar trigliserida belum diperiksa, pasien meninggal. Setuju (Nimotop diteruskan 2 cc/jam jam 6 pagi. Bisoprolol belum ada sampai pasien meninggal tgl 22/3) Amiodaron dihentikan
hipotensi
Tidak ada intervensi
Midazolam dihentikan
Pasien gelisah dan banyak bergerak sehingga jarum infus tercabut Leukosit pasien normal (9000 /ul) Diberi Bioxon 2 x 1 dr tgl 18/3 – 25/3.
Sebaiknya diberikan obat sedatif .
Dokter
Setuju. Diberikan Propofol pd tgl 21/3 40 - 60 mg/ja
Tidak ada indikasi
Dokter
Sebagai Profilaksis Hari ke-5 seftriakson dihentikan (lekosit 9.900), hari keenam seftriakson diberikan lagi karena pasien demam . Hari ke-7 lekosit 6.000/ul, hari ke-8 lekosit 10.000/ul pasien masih demam, hari ke-9 lekosit 9.000/ul (seftriakson belum diberikan, pasien meninggal)
Dosis disesuaikan
Dokter
Tidak setuju yg perlu diwaspadai obat-obat NSAID
Bioxon (Ceftriaxone)
Dokter Keluarga pasien
Tidak ada
Asam Traneksamat 3x500 mg IV
CCT pasien BB ±65 kg =54,73 Transamin pada CCT 50-80 ml/menit dosis disesuaikan menjadi 10mg/kg 2X sehari ( 2X 650 mg ) atau 50% dari dosis normal
102
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Hiper Kol.
Klonidin 3X0,075 mg Ceftriaxon 2x 1g dan gentamisin 2 x 80 mg
13
50
75 tahun Permpuan SNH HT DM ACS
Enoksaparin 2x40 mg SC asetosal 1x80 mg klopidogrel 1x75 mg Kaptopril Ranitidin 2 x50 mg IV Enoksaparin2X 40 mg SC
14
70
70 tahun Laki-laki MCI akut Inferior
DM tipe II GFG
Enoksaparin 2x60 mg SC, klopidogrel 1x75 mg, asetosal 1x80 mg , as. Mefe namat 3x500 mg Asam mefenamat 3 x 500 mg Ranitidin 2 x 50 mg IV
Clonidin 3X0,075 mg , t1/2 6-20 jam Frekuensi pemberian 2 x sehari Meningkatkan risiko nefrotoksik gentamisin.Pasien demam, 26/3 Cr pasien 3,7 CCT 54,73 (BB ± 65 kg ) Lekosit 17.100→ 8500 Meningkatkan risiko pendarahan
Kaptopril diberikan seketika sesudah makan CCT pasien (BB 50 kg) = 29,51 ml/menit pasien. Pada CCT ≤ 50 ml /menit dosis IV 50 mg / 18-24 jam CCTpasien 29,5 ml/min. Penyesuain dosis pd CCT<30 ml/menit STEMI/NSTEMI pemeliharaan 1mg/kg /hari = 50 mg/hari 1 x sehari me↑risiko pendarahan lambung. Pasien mengalami mual dan tidak ada keluhan nyeri.
Indikasi tidak jelas. Pasien tidak ada keluhan nyeri atau sakit. CCT pasien 37,8 ml/min Ranitidine perlu penyesuaian dosis pada CCT ≤ 50 ml/min →IV 50 mg / 18-29 jam
Frekuensi menjadi 2X sehari.
Dokter
Sebaiknya kombinasi dihindari, Bila digunakan dengan dosis minimal, waktu singkat dan dipantau ketat kadar Cr.darah. dipantau ketat tanda perdarahan laboratorium (Hb, Ht) dan klinis
Dokter
Setuju. Tgl 25/3 (2 hari kemudian) diganti menjadi 2x0,15 mg krn TD masih tinggi 236/136 mmHg Setuju Cr serum diperiksa tiap 3 hari (2X seminggu). Kadar ur/cr belum diperiksa, pasien meninggal (diberikan satu hari)
Dokter
Setuju. Tgl 22/3 Hb 13,7, Ht 43 →blm diperiksa lagi. Pasien meninggal tgl 23/3 (1 hari)
Sebaiknya diberikan 1 jam a.c atau 2 jam p.c Dosis diturunkan menjadi 1x 50 mg
Dokter/ perawat Dokter
Setuju Setuju
Dosis diturunkan menjadi 1 x 50 mg
Dokter
blm intervensi
Asam mefenamat dihentikan. Pantau ketat tanda-tanda pendarahan (Ht & Ht)
Dokter
Setuju. HB 23/3 11,9 g/dl, HT 37 ↓ 25/3 HB 11,2 HT 35 ↓ Tgl 24/3 asam mefenamat dihentikan tdk ada tanda2 pendarahan
Asam mefenamat dihentikan Sebaiknya dosis diturunkan menjadi 1 x 50 mg IV
Dokter
Setuju. Tgl 24/3 (hari itu juga) dihentikan
Dokter
Tdk setuju karena adanya risiko pendarahan dari penggunaan obat anti platelet dan enoksaparin
103
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Laxadin 1 x C 15
70
72 tahun Laki-laki GEA NSTEMI ALO Hipotensi DM Nef. Pneumonia GFH Sepsis Stroke (tidak CT scan ) Demam
Seftriakson 2x1 g, gentamisin 2x80 mg atau amikin 1x1 mg
Laxadin syrup 1 x c diberikan siang hari (12.00 wib) meningkatkan risiko nefrotoksik Cr.1,6 mg/dl CCT 41,3
Sebaiknya diberikan malam hari Sebaiknya dihindari kombinasi Cefriaxone dgn gentamicin →nefrotoksisitas dan berisiko pd lansia atau Pantau ketat Cr serum dan penggunaan singkat dan dosis minimal Gliseril trinitrat dihentikan
Dokter / perawat Dokter
Dokter
Setuju tgl 24/3 diberikan jm. 22.00 Setuju dipantau ketat cara 3 kombinasi terapi diberikan karena leukosit naik (22.500/ul) dan demam. Ur/cr hari ke-2 68/1,7 mg/dl Gentamisin tidak jadi diberikan. Diganti amikasin 1 x 1 g mulai tanggal 28/3 (hari ke-4) ur/cr 98/2,4 mg/dl. Tgl 31/3 (hari ke-4) ur/cr 90/1,0 mg/dl, pasien meninggal
Gliseril trinitrat 2x2,5 mg po
K I dgn hipotensi, TD pasien ↑↓ s/d 73/53mmHg
Digoksin 1x 0,25 mg p.o
Cr 1,6, CCT 41,3 ( BB ± 70 kg ) dosis Digoksin diberikan setiap 36 jam atau 25% - 75 % dari dosis normal
Dosis disesuaikan
Dokter
Digoksin 1x0,25 mg dan furosemid 5 mg/jam IV
meningkatkan toksisitas digoksin (2X)
Dokter
Furosemida 5 mg/jam IV + dan valasatran 1x80 mg Ranitidine 2x50 mg IV
hipotensi s/d 75/53 (dobu )
Pantau ketat kadar K dan gejala toksisitas digoksin (muntah, sinus bradikardi, fibrilasi) Tdk intervensi
27/3 Cr 1,9. CCT 34,79ml/menit . Pada CCT ≤ 50 ml/min dosis yg diberikan 50 mg tiap 18-24 jam Meningkatkan risiko pendarahan. mulai tgl 27/3 -30/4 (+)
50 mg tiap 18-24 jam
Dokter
Dilihat dulu risiko pendarahan baru diturunkan. s/d tgl 31/3 dosis belum diturunkan (tdk setuju)
Pantau tanda-tanda pendarahan lab dan klinis
Dokter
Setuju Hb 27/3 13,5 g/dl, Ht 41,3%, tgl 31/3 Hb 12,9 g/dl, Ht 39% tidak ada tanda-tanda perdarahan
meningkatkan risiko nefrotoksik. Tgl 27/3 Cr.1,9, CCT 34,79 ml/min, lekosit 17.600/ul
dihindari kombinasi karena berisiko pd lansia. Bial harus digunakan pantau ketat Cr dan penggunaan
Dokter
Setuju dipantau ketat Tgl 28/3 ur/cr 98/2,4 mg/dl tgl 30/3 lekosit ↓ 9100/ul, tgl 31/3 lekosit 10.000/ul, ur/cr 90/1,0 31/3 (hari ke-4) amikasin diganti meropenem 2x
Enoksaparin 2x60 mg, asetosal 1x80mg , klopidogrel 1x75mg Seftriakson 2x1 g dan amikasin 1x1 g
Setuju Dihentikan tgl 26/3 (hari ke-2), hari ke-4 diberikan kembali (TD sudah naik) Setuju Digoksin sebenarnya untuk AF hal ini pasien blm jelas,jadi hanya untuk pemeliharaan saja, dosis Digoksin untuk kondisi biasa s/d 1 minggu, akan diturunkan 1X ½ tab. 29/3 1X 1/2 tab selang sehari Setuju. Furosemide distop 26/3 (hari ke-3) krn TD rendah (75/53). Kadar K tgl 26/3 4,5 mmol/l (dbn) pasien diberi dobu tamin & dopamin Furosemid distop.
104
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
singkat.
16
60
59 tahun Perempuan SNH GGA DM Nef. HT HHD
Neulin injeksi (sitikolin)
Tidak ada persediaan, belum diberikan oleh keluarga
Gentamisin 2 x 80 mg IV
Tgl 27/3 ur/cr 270/4,9 mg/dl, CCT 13,77; dosis (loading) kemudian Pantau kadar; CCT 2040→ diberikan tiap 24 jam Kadar asam urat tgl 27/3 20,7 mg/dl , ur/cr 270/4,9 mg/dl, CCT 13,77. Dosis maksimum 100 mg/hari, , dosis ditingkatkan hanya jika respon tidak cukup. Kadar asam urat tgl 27/3 20,7 mg/dl , ur/cr 270/4,9 mg/dl, CCT 13,77 ml/min. Dosis maksimum 100 mg/hari, , dosis ditingkatkan hanya jika respon tidak cukup. Cefriaxone diberikan 1-2 X sehari ( 12-24 jam). t½ 5-9 jam ( pada ginjal dan hati normal ) Interaksi : Steven Johnson Sindrome ( 35minggu ) dan reaksi Hipersensitifitas dan me↑ risiko leucopenia
Allopurinol 2 x 100 mg po
Leukositosis
Allopurinol 2 x 100 mg po
Ceftriaxone 3 x 1 mg IV Allopurinol 2x100 mg dan Kaptopril 2x 25 mg
Ceftriaxone 2x1 g dan gentamisin 2x80 mg , seftriak- son jam 12 &24 Gentamisin jam 06 &18
me↑ risiko nefrotoksis gentamicin. CCT 13,77 ml/min SGOT/SGPT 438/490. Waktu pemberian sudah dipisah tp tdk pengaruh krn t1/2 pd CRF 36-70 jam
1 g (Hasil kultur belum ada)
Supaya diusahakan pengadaan karena sitikolin berguna sebagai neuroprotektor untuk stabilisasi membrane sel. gunakan hati-hati,, dalam waktu singkat. Dosis ditu runkan, pantau ketat kadar ur/cr dan kadar gentamisin Dosis diturunkan 1 X 100 mg
Keluarga pasien
Setuju. 30/3 sudah diberikan
Dokter
Setuju 28/3 obat dihentikan karena ur/cr meningkat (332/6,0 mg/dl)
Dokter
Setuju
Dosis diturunkan 1 X 100 mg
Dokter
Setuju Hari ke-3 1 x 100 mg (pasien meninggal)
Dosis menjadi 2X1 g
Dokter
Setuju
-hindari penggunaan bersamaan terutama pada pasien gagal ginjal. -Pantau tanda-tanda Hipersensitifitas , Lekosit rendah (tiap 2 mg) Hindari penggunaan .Jika digunakan dosis minimal dan waktu singkat. Fungsi ginjal dipantau ketat.
Dokter
Setuju Tgl 29/3 (hari ke-3) kaptopril dihentikan
Dokter
Setuju Gentamisin dihentikan. Tgl. 28/3 ur/cr ↑ 332/6,0
105
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Furosemida 2x40 mg p.o dan kaptopril mulai 29/3 2x1 tab (48 mg) 17
65
83 tahun Laki-laki DM Hipo SNH Hematuria
18
70
49 tahun Laki-laki MCI Inferior -akut HHD GFG
Laxadin 1 x 15 ml Enoksaparin, Clopidogrel, Asetosal cat:diberikan mulai tgl 31/3 – 3/4 →px pindah blm dihentikan Kaptopril 3 X 25 mg
Hipokalemia dan meningkatkan risiko gagal ginjal
Setelah kena stroke 3 thn yg lalu pasien tidak kontrol rutin ke Dr. pasien hanya menjalani terapi akupuntur,totok darah, mengkosumsi obat herbal dari Sinshe bila timbul gejala penyakit. Pasien adalah perokok,sejak 1 bln yg lalu pasien mengkosumsi ginko biloba. Ur/cr pasien meningkat s/d 7,7/2,0 mg/dl. Waktu pemberian Laxadin Sirup jm. 06.00 me↑ risiko pendarahan lambung
Diberikan seketika sesudah makan Pasien selama ini tidak kontrol rutin. Pernah minum obat anti hipertensi tapi pasien pusing sehingga penggunaan obat dihentikan sendiri. Pasien berolah raga saja. Ureum dan kreatinin pasien meningkat.
Pantau kadar K dan fungsi ginjal jika Ur/Cr naik →dosis dikurangi /dihentikan (kaptopril atau Furosemid) Supaya rutin dilakukan pemeriksaan GD,TD dan menghentikan merokok karena me↑ risiko terjadi stroke ulang. Hati2 dalam menggunakan obat herbal dan rutin memeriksakan fungsi ginjal Diberikan malam hari Pantau ketat tanda-tanda pendarahan (Hb dan Ht)
Diberi 1 jam a c atau 2 jam p.c.. Supaya control rutin pemeriksaan TD dan fungsi ginjal (ur/cr tgl ¾ 40/2,0 mg/dl).Bila ada keluhan terhadap penggunaan obat supaya disampaikan ke dokter agar di ganti dengan obat lain. Perbaikan pola hidup seperti ti dak merokok dan berolah raga teratur, menghindari
Dokter
Keluarga pasien
Dokter/ Perawat Dokter
Dokter/ Perawat Keluarga
Setuju. 29/3 K 4,6 j.8→4,8 j.12 Tgl 27/3 ur/cr 270/4,9 mg/dl dan tgl 28/3 ur/cr 332/6,0 mg/dl, tgl 29/3 ur/cr 331/5,2 mg/dl. 29/3 kaptopril dihentikan Setuju
Setuju diberikan jam.22.00 Wib Setuju Tgl ¼ Hb 16,4 g/dl Ht 49%; ¾ Hb 14,3 g/dl, Ht 43%. Tgl 2/4 – 22/4 pasien kembung (dyspepsia). Asetosal ditunda tgl 4/4, plavix stop dulu tgl 19/4 kemudian diteruskan tgl 23/4 setelah rasa kembung hilang. setuju setuju
106
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
makanan berlemak. 19
65
20
60
61 tahun Laki-laki MCI inferior akut 45 tahun Perempuan SH(ICH,IV H, SAH)
21
60
22
65
DMHiper Hematemesis, HT, Kej. tonik 42 tahun Perempuan SH(SDH) HT, HHD DM, Hematemes is, demam 60 tahun Laki-laki NSTEMI
→me↑ risiko pendarahan
Pantau tanda-tanda pendarahan (Hb & HT)
Dokter
Setuju. Hb tgl 5/4 15,7 g/dl,Ht 48%, 6/4 Ht 47 Hb 15,6 Tidak ada tanda perdarahan Setuju menjadi 1 x 10 mg
Dokter
Tidak setuju. Pencegahan terjadi kejang dengan fenitoin injeksi 3 x 100 mg IV
kaptopril 3 x 12,5 mg
Diberikan seketika sesudah makan
Dokter/ perawat
Setuju
Capptopril 3x12,5 mg dan HCT pagi 1x 25 mg p.o
meningkatkan risiko gangguan ginjal dan hipokalemia
Dokter
Setuju Pasien pindah ruang Tgl 16/4. Kadar K 3,9 mmol/l (dbn) . Ur/cr 42/1,0 mg/dl (dbn)
Simvastain 1 x 10 mg
diberikan pagi hari.
Perawat/ dokter
Setuju diberikan jam. 22.00
Enoksaparin 2x60 mg SC, Klopidogrel1x75 mg p.o, Asetosal 1x80 mg p.o
me ↑ risiko pendarahan lambung
Frekuensi diubah 1x sehari Jika terjadi dosis Diazepam dikurangi Diganti dengan lansoprazole atau pantoprazole yang tidak berinteraksi dengan diazepam. Diberikan 1 jam sesudah makan atau 2 jam sesudah makan. Pantau TD, kadar kalium dan fungsi ginjal, jika CrCl ↑ kurangi dosis HCT/Kaptopril atau hentikan HCT/Kaptopril Diberikan malam hari tanpa makanan, Karena produksi kolesterol meningkat pada malam hari Pantau ketat tanda-tanda pendarahan (Hb, Ht )
Dokter
Diazepam k/p 10 mg IV dan Omeprazole 2X 40 mg IV
Amlodipin adalah CCB Iong Acting (t1/2 30-50 jam) → 1 x sehari me ↑ efek diazepam. Peningkatan efek diazepam (sedasi, berjalan tidak stabil) tidak dapat dipantau karena pasien tidak sadar.
Dokter
Isosorbid dinitrat
pusing
Setuju. Tgl 16/4 Nyeri epigastrum, mual,muntah s/d 17/4. Terapi antasid sirup, ondansentro, ranitidine. Tgl 19/4 enoksaparin stop. Nyeri ulu hati, pusing, mual s/d tgl 21/4. Tgl 22/4 nyeri ulu hati hilang. Hb 15/4 14,3 g/dl ; Ht 44%; 16/4 Hb 13 g/dl, Ht 40% Obat dihentikan
Enoksaparin 2x60 mg, klopidogrel 1x75 mg, dan Asetosal 1x80 mg Amlodipin 3x5 mg
Tdk ada
107
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
70
23
31 tahun Laki-laki HT, HHD Hematemes is GGK Kej.TK Hep.Akut ISK GFH Koma – uremikum Melena
Hindari penggunaan bersamaan terutama pada pasien gagal ginjal. Pantau penggunaan ( 3 – 5 minggu ).Pantau ketat tanda hipersensitifitas atau lekosit rendah Pantau kadar kalium dan fungsi ginjal, jika me↑, kurangi dosis atau hentikan Furosemida atau kaptopril
Dokter
setuju dipantau s/d tgl 17/4 tidak ada tanda hipersensitifitas dan lekosit tgl 15/4 9.200/ul. Tgl 12/4 16.800/ul
Dokter
Mengurangi efek diuretik Furosemida 50%
Pantau efek diuretik, mung kin dibutuhkan peningkatan dosis Furosemid
Dokter
Setuju Ur/cr 12/4 410/22,5 mgl/dl, tgl 13/4 439/23,1 mg/dl (sebelum HD) Kadar kalium tgl 11/4 5,8 mmol/l tg/ 12/4 3,4. Tgl 13/4 5,0 , tgl 14/4 3,9 Furosemid distop tgl 14/4 Setuju Dosis tidak diubah dan Furosemid distop tgl 14/4
pasien gagal ginjal kronik dan HD, Aluminium dapat terakumulasi .
Pantau tanda-tanda toksi sitas aluminium seperti sei zures, kelemahan otot, nyeri tulang, ensefalopati. Dosis diturunkan Diberikan 50 mg / 18-20 jam Dosis diturunkan
Dokter
Setuju. Tidak kelihatan tanda-tanda toksisitas
Dokter
Setuju Tgl 14/4 Ranitidine dihentikan , diganti omeprazol 2 x 1 ampul (40 mg) Setuju Tgl 14/4 Transamine distop.
Dosis diturunkan 100 mg tiap 2 hari
Dokter
Setuju diturunkan Allopurinol 1x 100
Pantau kadar Ca.
Dokter
Hati-hati pada penggunaan , minitor kadar fenitoin
Dokter
Setuju CaCO3 distop tgl 14/4, diberikan kembali tgl 16/4 Kadar Ca tgl 15/4 4,9 (normal 8,6 – 10,3 mmol/l) Setuju Diganti Pantropazole 1X40 mg IV
Allopurinol 2x100 mg dan kaptopril 2x25 mg.
Pasien CRF . CCT 4,7 Dapat teerjadi Steven Johnson Syndrome, Reaksi hipersensitif, meningkatkan reaksi Leukopenia dan infeksi serius
Kaptopril 2x 25 mg po dan furosemid 2x40mg IV
Dapat terjadi hipokalemia dan me↑ risiko gagal ginjal
Fenitoin 3x100 mg IV + Furosemida 2x40 mg IV Sucralfate 4 X 1,5 g Ranitidine 2 x 50 mg IV
CCT Pasien 4,7 ml/ min CCT ≤ 50 ml/min → dosis IV 50 mg / 18 – 24 jam CCT ≤ 10 ml / menit → dosis 10 mg /kg/48 jam IV atau 10 % dari dosis normal Dosis pemeliharaan pd CCT 10 Kurangi dosis perhari di bawah 100 mg atau tingkatkan interval dosis. CCT ≤ 25 ml/min mungkin perlu penyesuaian dosis tergantung kadar Ca
Asam traneksamat Allopurinol 2 x 100 mg po CaCO3 3 x 500 mg
Omeprazol 2x40 mg IV dan
toksisitas fenitoin ( ± 7 hari ) kadar serum me ↑ ± 20%
Dokter
108
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
24
65
55 tahun Laki-laki 69 tahun Permpuan SH(ICH) HT HHD BP Hipoalbum inemia GFG
fenitoin 3x100 mg IV Omeprazol 2x40 mg IV dan Diazepam 10 mg IV k/p
Interaksi : Toksisilitas Diazepam (me (-) metabolism) Kliren diazepam berkurang ± 21%.
Kaptopril3 x 25 mg
TD pasien ↑ 174/92 mmHg kaptopril tidak ada persediaan
Sitikolin, seftriakson, ranitidine, asam traneksamat, vit K, deksametason kaptopril 3 x 25 mg, valsartan 1 x 160 mg, amlodipine 1 x 10 mg Meropenem 3 x 1 g IV
Pemberian obat parenterall (IV) (triple lumen), tidak dibilas dengan (D5 atau NS) ( obat masih tertinggal diselang).
Ur/Cr pasien 123/1,7; CCT pasien (BB ± 65 -70 kg) = 45 -48 ml/menit sehingga dibutuhkan penyesuaian dosis .
Ranitidine 2 x 50 mg IV
Ur/Cr pasien 123/1,7; CCT pasien (BB ± 65 -70 kg) = 45 -48 ml/menit sehingga dibutuhkan penyesuaian dosis. Kadar albumin 2,7 . Albumin tidak ada persediaan ( blm dibeli keluarga) Lekosit dari 6.400 tgl 21/4 20.500 923/4)→ curiga septis. Amikin tidak ada karena pasien tidak punya dana lagi untuk beli obat.
Albumin Amikasin 1x1 g
TD 98/59 mmHg.Obat anti hipertensi masih diberikan
atau ganti omeprazol dengan Pantropazol Pantau efek diazepam jika terjadi gejala toksisilitas,dosis harus dikurangi atau omeprazol diganti dengan Pantropazol Supaya segera diadakan karena penting untuk menurunkan TD pasien dibilas untuk menghindari terjadinya interaksi farmasetik obat dan tertinggalnya obat pada selang. Dosis obat anti hipertensi dikurangi / ditunda
Dokter
Setuju Diganti dengan Pantoprazole 1 x 40 mg IV
Keluarga
Setuju Diberikan siang harinya.
Perawat
setuju
Dokter
Setuju kaptopril distop 22/4 , TD 114/75 mmHg 149/76 mmHg
Meropenem 3X1 gmenjadi 2X1 g
Dokter
Tidak setuju
menjadi 50 mg/18-24 jam
Dokter
Tidak setuju
Supaya diadakan.
Keluarga pasien
Keluarga setuju menunggu adanya dana. Tgl 25/4 (2 hari kemudian) albumin diberikan
Menyampaikan pd Dokter kalau keluarga tidak mampu., apakah ada kemungkinan untuk diganti yg harganya lebih terjangkau
Dokter
Dilihat dulu aja untuk sementara cukup Meropenem 3x1 g saja
109
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
25
65
69 tahun Perempuan SNH DM BP HHD CAD NSTEMI LO GGA Hiper Kol.
Simvastatin 1 x 20 mg
Simvastatin 1x 20 mg dicatatan balance (kardeks) diberikan jam 06.00
Sebaiknya diberikan malam hari karena produksi Kolesterol tinggi pada malam hari
Perawat/ Dokter
Setuju diberi jam 20.00
Kaptopril 3 x 12,5 mg
Diberikan seketika sesudah makan
Diberikan 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah makan untuk mendapatkan absorpsi maksimum
Perawat
Setuju
Digoksin 2x0,25 mg po dan Furosemide 10 mg/jam IV Kaptopril 3x25 mg dan Furosemide 10 mg/jam IV.
Dapat menyebabkan toksisitas digoksin
Penggunaan pad a kadar K dalam range normal . Pantau rutin kadar K
Dokter
Setuju Kadar K tgl 20/4 4,9 mmol/l (normal) dan tgl 22/4 4,2 mmol/l (normal)
Interaksi: 1.Hipokalemia 2.gangguan ginjal
Dokter
Spironolakton 1x25 mg ,kaptopril 3x25 mg dan Valsartan 1x80 mg. mulai tgl 21/4 Digoksin 2x0,25 mg p.o mulai + Spironolacton 1x25 mg (tgl 21/4).
Interaksi: hiperkalemia .Faktor risiko: gangguan ginjal, DM, lansia
Pantau kadar K dan fungsi ginjal, jika terjadi peningkatan Ur/Cr kurangi dosis dan / atau hentikan furosemid dan /atau kaptopril Pantau kadar K
Tidak setuju Tgl 20/4 Kadar K 4,9 ; 22/4 4,2 K=5,78 Cat: Ur/Cr dicek tiap 2hari hasil Ur/Cr tgl 20/4 30/1,1 mg/dl; tgl 22/4 meningkat menjadi 102/3,4 mg/dl. Urin pasien sedikit → lasix di↑20mg/jam (tgl 22/4) Setuju Kadar K tgl 20/4 4,9 mmol/l (normal) dan tgl 22/4 4,2 mmol/l (normal)
Pantau kadar dan tanda over digitalisasi (mual,muntah,hiperkalemia , sinus bradikardi, ventricular fibrillation)
Dokter
→ toksisitas digoksin (mengurangi kiliren ginjal dan metabolisme digoksin). Pada pasien gangguan ginjal kadar digoksin me↑( s/d 20 %). Ur/cr tgl 20/4 30/1,1; tgl 22/4 102/3,4
Dokter
Setuju. Tidak terjadi tanda-tanda over digitalisasi Tgl20/4 s/d 22/4 ST, tgl 22/4 digoksin 1x0,25mg kadar K tgl 22/4 4,2 (dbn)
110
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
26
60
59 Tahun Perempuan DM tipe II DM Nef. Kejang Stroke Hematemes is GGK
Fenitoin 3 x 100 mg IV dan Omeprazole 2 x 40 mg IV
Asam Traneksamat 3 x 500 mg IV Sukralfat 4 X 1,5 g
27
65
71 tahun Laki-laki SH(ICH,IV H) Hematemes is HT Hipotensi BP HHD AF
Fenitoin 2 x 100 mg po dan omeprazol 2 x 40 mg IV Piracetam 4 x 3 g IV
Asam traneksamat 3 x 500 mg IV
Digoksin 2 x 0,25 mg IV Amiodaran (2x200 mg po ), Digoksin (1 x 0,25 mg)
Interaksi: toksisitas fenitoin (mengurangi metabolisme fenitoin, tergantung dosis)..Tanda toksisitas fenitoin mual,muntah, demam, hipotensi, depresi pernapasan,koma tidak bisa diamati (pasien tidak sadar) CCT pasien 8,08 ml/menit, NGT merah. Pada CCT <10 ml/menit dosis menjadi 10 mg/kg/48 jam IV atau 10% dari dosis normal. pada pasien gagal ginjal kronik dan HD, dapat terakumulasi Aluminium.
Pantau konsentrasi fenitoin Pantoprazol dan lansoprazol tidak mempengaruhi fenitoin .
Dokter
Tidak setuju. Setuju dipantau saja. Tidak ada fasilitas pengukuran kons. fenitoin
Dosis diturunkan
Dokter
Tidak setuju karena pasien hematemesis dan melena
Pantau tanda toksisitas aluminium (seizures, kelemahan otot, nyeri tulang, ensefalopati).
Dokter
Setuju
Interaksi : toksisitas fenitoin (me ↑ kadar ± 25 %)
Digunakan hati-hati dan pantau konsentrasi fenitoin Pantoprazol tidak mempengaruhi fenitoin. Penurunan dosis max. 3,3 g /hari (dosis tunggal)
Dokter
Setuju diganti Pantoprazol 2 x 40 mg IV →1x 40 mg IV (4 hari kemudian)
Dokter
Setuju Besoknya menjadi 2 x 3 g, hari berikutnya distop
Dosis diturunkan menjadi 10 mg/kg BB/hari
Dokter
Setuju Transamin dihentikan 1 hari kemudian
Dosis diturunkan Menjadi 1x 0,25 mg
Dokter
Setuju Digoksin dihentikan 2 hari kemudisn
Kurangi dosis Digoksin 1/3 – ½ jika diberikan Amiodaran
Dokter
Setuju digoksin dihentikan 2 hari kemiudian
CCT = 21,48 ml/min. Pada CCT 20-30 ml / min diberikan 1/6 dosis normal ( dosis tunggal) Transamin 2 x 500 mg IV CCT 10-50 ml/ min dosis menjadi 25% dari normal atau 10 mg/kg /hari CCT Pasien 21,47 ml/min Pd CCT 10-50 ml /min dosis disesuaikan menjadi 25% - 75 % atau tiap 36 jam. Interaksi : →toksisitas Digoksin
111
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
Amiodaran 2x200 mg po, fenitoin 2 x100 mg po
Interaksi: toksilisitas fenitoin dan pe↓ kadar Amiodaran
Kurangi dosis fenitoin 2530 % pada dosis 2-4 mg/kg/hr
Dokter
Tidak setuju
Roksitromisin 2 x 150 mg po
Rulid (Roksitromisin) diberikan seketika sesudah makan. Makanan menunda absorpsi. Diberikan seketika sesudah makan
Diberikan ¼-1/2 jam sebelum makan, karena.
Perawat / dokter
Setuju
Diberikan 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah makan Pada etiket dituliskan waktu pemberian obat Dosis diturunkan menjadi 2 x 500 mg
Perawat/ dokter
setuju
Apotik
Setuju
Dokter
Setuju Meropenem 2 x 500 mg
Kadar K dalam range normal selama pengobatan. Pantau tanda toksisitas digoksin(mual, muntah, hiper K, SB, VT, VF) dan K . Pantau tanda-tanda over digitalisasi ( mual, muntah, hiper K, SB, VT, VF)
Dokter
Setuju Kadar K awal 4,0 (dbn), 3 hari kemudian 4,9 mmol/l (dbn)
Dokter
Setuju. Tidak ada tanda toksisitas digoksin. Disgoksin masih diberikan sampai pasien pindah ruangan.
Interaksi: hiperkalemia ( aditif) terutama pad pasien dengan gangguan ginjal, CCT 41,44 ml/min
Pantau kadar K dan Fungsi ginjal
Dokter
Setuju Awal ur/cr 55/1,9 mg/dl, K 4,0 mmol/l dan tiga hari kemudian ur/cr 54/1,8, K 4,9 mmol/l(pasien juga diberi furosemid 1x40 mg
CCT 41,44 ml/min Pd CCT 10-50 ml/min →dosis 25 % – 75% atau tiap 36 jam (0,075 0,3 mg/hr ) → pemeliharaan.
Dosis diturunkan 1 x 0,25 mg
Dokter
Setuju dosis menjadi 1 x 0,25 mg
Kaptopril 3 x 25 mg po Kaptopril dan Roksitromisin Meropenem 2 x 1 g IV 28
65
59 tahun Laki-laki AFRR CAD HHD GFG Hiperurisemia
Digoksin 2x0,25 mg IV, furosemid 1x40 mg IV mulai tgl 23/4 Digoksin 2x0,25 mg IV, spironolak- ton 1 x 25 mg p.o Spironolakton 1 x 25 mg po an valsartan 1x160 mg po. Mulai tgl 23/4 Digoksin 2 x 0,25 mg IV
Diberikan seketika sesudah makan. CCT 14,83 ml/min. Pada CCT 10-25 ml/ menit diberikan ½ dosis lazim tiap 12 jam Interaksi : Toksisitas digoksin karena
Interaksi: toksisitas digoksin kons. plasma dapat meningkat.
112
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
29
60
30
60
65 tahun Laki-laki STEMI CAD HHD GFG EP Bil. DM
80 tahun Laki-laki SNH berulang Kejang Met.Ens. HHD CAD Hematuria BP TB paru Anemia Takikardi
Asetosal 1x 80 mg dan Enoksaparin 2x60 mg SC
Interaksi: →me ↑risiko pendarahan
Pantau tanda-tanda pendarahan (lab dan klinik)
Dokter
Ranitidine 2x 50 mg IV
CCT pasien 10,59 ml/mnt. Pada CCT < 50 ml/menit dosis IV menjadi50 mg/24 jam, sesuaikan dosis hati-hati jika diperlukan CCT 10,59 ml/min.Pada CCT < 30ml/min dosis 1 mg/kg/hari Meningkatkan risiko perdarahan
Dosis diturunkan menjadi 1 x 50 mg
Dokter
Dosis diturunkan menjadi 1 x 0,6 ml (60 mg)
Dokter
Tidak setuju, Karena kondisi pasien kardiogenik syok Belum intervensi
Interaksi: Meningkatkan risiko nefrotoksik Faktor risiko:: Lansia, pria, kadar albumin rendah, pengobatan lama
dihindari penggunaan, jika harus digunakan pada pengobatan singkat, dosis minimal dan fungsi ginjal dipantau ketat Pantau efek digoksin jika perlu dosis digoksin ditingkatkan. Pantau efek digoksin jika perlu dosis Digoksin ditingkatkan.
Dokter
Setuju. Diberikan selama 5 hari. Ureum kreatinin diperiksa setiap 2 hari. Ur/cr awal 24/1,2 ; hari ke-3=58/0,8, hari ke-4=37,10 Kadar albumin hari ke-5= 2,5g/dl (rendah)
Dokter
Setuju Dosis tidak ditingkatkan
Dokter
Setuju dosis tetap
Mengurangi efek fenitoin atau me ↑ efek fenitoin. Hasil tergantung status asetilator : cepat→mungkin pe ↑dosis , lambat →pe↓dosis)
Pantau efek fenitoin dan sesuaikan dosis
Dokter
Setuju fenitoin 2x100 mg sebagai profilaksis.
Hepatotoksis. Riwayat pengobatan TB bulan ke3. Pasien lansia dan riwayat intake kurang (BB 40 kg)
Pantau hepatotoksis (LFTs) jika terjadi demam, muntah atau jaundice atau jika pasien memburuk
Dokter
Setuju SGOT/SGPT 45/25 Febris (-), jaundice (-)
Enoksaparin 2x40 mg SC Enoksaparin2x40 mg sc, klopidogrel 1x75mg,asetosal Gentamisin dan seftriakson. Mulai tgl 29/4 s/d 3/5 Digoksin 1x0,25 po dan Rifampisin 1x450 mg Digoksin 1x0,25 mg p.o dan fenitoin 2x100 mg p.o Fenitoin2X100 mg p.o,Rifampisin 450 mg po, INH 300 mg po INH dan Rifampisin
Interaksi:Mengurangi efek digoksin (t1/2 38-48 jam) (rifampisin inducer enzyme) Interaksi: Mengurangi efek digoksin
Setuju. Awal:Hb 14 mg/dl, HT 46 %setelah itu belum diperiksa lagi.Setelah 3 hari pasien mengeluh nyeri ulu hati,perut kembung, enoksaparin dan aspilet dihentikan.Diganti warfarin 1 x 2 mg(pindah) Tidak setuju Karena pasien hematemesis (NGT berdarah))
113
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.
31
70
68 tahun Laki-laki ALO HHD DM Tipe II ACS(MCI)
Pantau TD dan fungsi ginjal. Jika ur/cr meningkat kurangi dosis dan/atau hentikan furosemide dan/atau kaptopril Pantau kadar K
Dokter
Setuju Furosemide dihentikan TD sudah turun Ur/cr 33/1,0 hari ke-3 ur/cr 41/0,8 mg/dl
Dokter
Setuju Kadar K pagi 3,6 mmol/l (dbn) , siang 3,8 mmol/l(dbn). KCl dihentikan hari ke-2. Setuju Awal Hb18,4, Ht 55% Hari ke-2 Hb 16,2; Ht 47%, urine merah, enoksaparin dihentikan hari ke-3
Kaptopril 3x6,25 mg dan Furosemide 10 mg/jam IV
Meningkatkan risiko gagal ginjal
Kaptopril 3x6,25 mg dan KCl 2x 600 mg po
Hiperkalemia →relevan secara klinik jika gangguam ginjal ada
Enoksaparin 2x60 mgSC, Klopidogrel 1x75 mg dan asetosal 1x 80 mg Simvastatin 1 x 10 mg po
Meningkatkan risiko perdarahan
Digunakan hati-hati dan Pantau tanda-tanda perdarahan lab (Hb. HT) dan klinis
Dokter
Diberikan jam 06.00
Diberikan malam hari karena produksi kolesterol tertinggi pada malam hari
Dokter/ perawat
Setuju
114
Intervensi apoteker..., Mayannaria Simarmata, FMIPA UI, 2010.