Ruang Pejalan Kaki yang Nyaman untuk Kawasan Perkotaan Sebuah Kajian tentang Persepsi Pejalan Kaki terhadap Fasilitas Pejalan Kaki Sony Sulaksono Wibowo Farainy Adinda Gitawardhani Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha 10 Bandung 40312 Tel : 022-2502350 Fax : 022-2512395 e-mail :
[email protected]
Abstrak— Dalam undang-undang lalu lintas terbaru (UU no 22 tahun 2009) dijelaskan bahwa pejalan kaki dan pengguna kendaraan tidak bermotor adalah termasuk bagian dari lalu lintas perkotaan. Dalam perencanaan wilayah perkotaan, fasilitas pejalan kaki disediakan dalam bentuk sidewalk di samping jalan yang dalam penggunaannya tidak jarang pejalan kaki harus bersaing dengan pohon peneduh jalan dan pedagang kaki lima, selain kualitas fasilitas yang tidak ramah untuk orangorang yang memiliki keterbatasan fisik. Aturan dimensi fasilitas pejalan kaki sudah diatur dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Dalam persepsi pejalan kaki, apakah standar dimensi yang ada tersebut sudah memberikan rasa nyaman untuk berjalan? Hasil penelitian yang disajikan dalam paper ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap jalur pejalan kaki, khususnya trotoar dan mengkaji apakah standar perencanaan trotoar yang ada sudah memenuhi rasa nyaman bagi pejalan kaki. Hasil penelitian menunjukan bahwa ruang pejalan kaki yang ada dipersepsi secara berbeda tergantung pada kepadatan pejalan kaki dan karakteristik pejalan kaki, seperti usia dan kepemilikan kendaraan. Dengan hasil ini didapat ilustrasi bagaimana membangun fasilitas pejalan kaki yang memenuhi rasa nyaman yang lebih baik sehingga orang akan menggunakan moda berjalan lebih sering dibandingkan moda kendaraan bermotor untuk jarak perjalanan yang pendek.
diperlukan suatu fasilitas pejalan kaki yang baik ditinjau dari segi keamanan, kenyamanan dan keindahan. Akan tetapi hingga saat ini komunitas pejalan kaki di Indonesia belum banyak mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah sebagai penyedia sarana dan prasarana sehingga banyaknya fasilitas pejalan kaki yang tidak terawat dan dibiarkan rusak. Di kota-kota di Indonesia sulit ditemukan fasilitas untuk pejalan kaki yang aman dan nyaman.
Kata kunci: ruang pejalan kaki, persepsi pejalan kaki, sidewalk
Fasilitas pejalan kaki yang nyaman adalah salah satu kriteria penting dalam mendorong orang untuk lebih banyak berjalan. Studi yang dilakukan oleh [1] menunjukan bahwa ada variasi persepsi terhadap dimensi jalan diaman orang merasa nyama untuk berjalan. Dengan dasar temuan itu, maka dibutuhkan studi yang lebih dalam tentang persepsi masyarakat terhadap jalur pejalan kaki.
I.
PENDAHULUAN
Pejalan kaki adalah orang yang melakukan kegiatan berpindah dengan berjalan kaki atau berlari di dalam lintasan pejalan kaki. Yang dimaksud dengan lintasan pejalan kaki disini adalah jalan, trotoar, lintasan khusus bagi pejalan kaki dan fasilitas penyeberangan. Berjalan kaki merupakan kegiatan paling mendasar dalam transportasi, karena untuk melakukan suatu perjalanan dengan moda transportasi apapun selalu diawali dan diakhiri dengan aktivitas berjalan kaki.
Berjalan adalah salah satu moda transportasi yang saat ini mulai kembali digalakan sejalan dengan meningkatnya isu pencemaran udara akibat aktivitas kendaraan. Moda berjalan diharapkan dapat mengganti peran kendaraan bermotor untuk perjalanan jarak pendek. Permasalahan yang terasa di Indonesia untuk mendorong orang lebih banyak berjalan adalah minimnya fasilitas pejalan kaki yang baik dan nyaman, khususnya di kawasan-kawasan yang sebenarnya moda berjalan dapat lebih dominan seperti kawasan perumahan, CBD, pusat perbelanjaan dan sebagainya. Untuk memberikan fasilitas berjalan yang lebih baik, di kota Bandung saat ini sudah banyak dibangun fasilitas pejalan kaki di pinggir jalan atau trotoar. Namun demikian fasilitas tersebut tidak sepenuhnya digunakan untuk aktivitas pejalan kaki. Sebagian besar fasilitas trotoar menjadi areal perdagangan kali lima (PKL) atau bahkan menjadi tempat penanaman pohon-pohon peneduh jalan. Selain itu pula, tidak trotoar semua yang dibangun memenuhi kriteria kenyamanan pejalan kaki.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh aspek karakteristik pejalan kaki seperti jenis kelamin, kepemilikan kendaraan bermotor, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan usia terhadap fasilitas jalur pejalan kaki. Selain itu, adalah untuk mengetahui ruang minimum yang dibutuhkan para pejalan kaki terhadap pemanfaatan jalur trotoar jalan.
Di kota-kota besar, aktivitas berjalan kaki sangatlah tinggi terutama di pusat kegiatan masyarakat seperti pusat perdagangan, perkantoran, dan pendidikan. Maka dari itu C-39 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2011
II.
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Pejalan Kaki Dalam Undang – undang no. 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan (sebagai pengganti dari Undang-undang No. 14 tahun 1992) disebutkan bahwa pejalan kaki adalah bagian dari lalu lintas sehingga pergerakan dan fasilitas untuk bergeraknya harus diatur sedemikian rupa sehingga pejalan kaki dapat berjalan di ruang lalu lintas dengan aman dan nyaman. Fasilitas pejalan kaki yang penting adalah jalur pejalan kaki di sisi jalan atau trotoar, tempat penyeberangan, dengan tanda dan atau sinyal, fasilitas penyeberangan seperti jembatan penyeberangan dan terowongan penyeberangan, dan fasilitas pendukung lainnya seperti penerangan, shelter (pelindung), perkerasan, dan lain-lain. Dalam undang-undang tersebut sudah jelas tertera, untuk melindungi pejalan kaki dalam berlalu lintas, pejalan kaki wajib berjalan pada bagian jalan yang sudah ditentukan dan menyeberang pada tempat penyeberangan yang telah disediakan bagi pejalan kaki. Hak-hak untuk pejalan kaki dan sangsi untuk pelanggarannya telah ditetapkan pada UU No.22 tahun 2009. Akan tetapi pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang tersebut serta pejalan kaki yang tidak mematuhi peraturan merupakan salah satu masalah sistemik dalam sistem transportasi Indonesia. Jumlah kecelakaan lalu lintas terhadap pejalan kaki di kota-kota besar masih cukup tinggi. Pejalan kaki masih banyak yang menyeberang jalan tanpa mengindahkan arus lalu lintas dan tanda pengatur lalu lintas. Selain itu banyak juga kecelakaan yang terjadi akibat konflik jalur, antara pejalan kaki dengan kendaraan bermotor. Hal ini sering kali terjadi akibat fasilitas trotoar yang ada, ternyata sudah beralih fungsi menjadi berbagai aktivitas lain seperti transaksi pedagang kaki lima, area parkir liar dan tempat-tempat bangunan permanen maupun non permanen seperti pos polisi, bis surat, telepon umum, boks jaringan telepon, tiang-tiang papan reklame, dan sejenisnya yang sangat mengganggu lalu lintas pejalan kaki, sehingga trotoar tidak bisa di manfaatkan secara optimal. Pejalan kaki terpaksa berjalan di bahu jalan jalur kendaraan bermotor. Akibatnya kecelakaan tidak dapat dihindari dan sering menyebabkan kemacetan. Kebutuhan pejalan kaki sangat luas dan beragam, dan pendekatan perancangan yang dilakukan harus fleksibel untuk menampung perbedaan kebutuhan. Beberapa tipikal kebutuhan pejalan kaki adalah sebagai berikut : a. Jalan dan kawasan berjalan yang aman b. Kesesuaian/convenience c. Lokasi yang dekat untuk berjalan d. Jelas terlihat (visibility) e. Nyaman dan terlindung (comfort and shalter) f. Menarik dan lingkungan bersih g. Akses untuk berjalan h. Objek-objek menarik sepanjang jalan i. Interaksi sosial Pejalan kaki memiliki kecenderungan untuk memilih ruang pribadi sendiri yang berhubungan dengan rasa nyaman dan gerak tubuhnya. Pejalan kaki cenderung untuk mengambil jarak pribadi yang menghindari kontak fisik dengan orang lain, kecuali dalam kondisi khusus C-40
seperti ruang lift yang penuh sesak. Perilaku pejalan kaki di trotoar dan jalan setapak lainnya dapat ditentukan berdasarkan konsep zona penyangga tubuh pribadi dengan memperhatikan tingkatan usia, status, jenis kelamin, dan kondisi cacat tubuh. Dalam [2] dijelaskan bahwa jarak (distance) interaksi seseorang dengan dengan orang lain dalam empat kategori umum yang didasarkan pada pergeseran panca indera pada jarak yang bervariasi, baik karena karakteristik penglihatan, penciuman, penerimaan, pendengaran, maupun kemampuan sentuhan pada jarak yang bervariasi. Keempat kategori umum tersebut antara lain: 1.
Jarak intim (Intimate Distance)
Dalam jarak intim, mulai dari fasa dekat (bersentuhan) sampai ke fasa jauh sekitar 15 sampai 45 cm. Masing-masing pihak dapat mendengar, mencium dan merasakan napas yang lain. Dalam fasa dekat otototot dan kulit berkomunikasi, sedangkan verbalisasi aktual hanya sedikit saja perannya. Dalam fasa dekat ini bahkan suara bisikan mempunyai efek memperbesar jarak psikologis antara kedua orang yang terlibat. Fasa jauh memungkinkan untuk saling menyentuh dengan mengulurkan tangan. 2.
Jarak Pribadi (Personal Distance)
Setiap manusia memiliki daerah yang disebut jarak pribadi. Daerah ini melindungi dari sentuhan orang lain. Dalam fasa jarak pribadi ini (antara 45 sampai 75 cm), dua orang masih dapat saling menyentuh atau memegang tetapi hanya dengan mengulurkan tangan. Dalam fasa jauh (dari 75 sampai 120 cm.), dua orang dapat saling menyentuh hanya jika mereka keduanya mengulurkan tangan. Fasa jauh ini menggambarkan sejauh mana secara fisik menjangkaukan tangan untuk meraih sesuatu. 3.
Jarak Sosial (Social Distance)
Dalam jarak sosial umumnya manusia kehilangan detil visual yang diperoleh dalam jarak pribadi. Fasa dekat (dari 120 sampai 210 cm) adalah jarak yang digunakan bila melakukan pertemuan bisnis dan interaksi pada pertemuan-pertemuan yang bersifat sosial. Fasa jauh (dari 210 sampai 360cm.) adalah jarak yang dipelihara. Pada jarak ini, transaksi bisnis mempunyai nada yang lebih resmi. Di kantor pejabat-pejabat tinggi meja-meja ditempatkan sedemikian hingga si pejabat memastikan jarak ini bila sedang berunding dengan klien. 4.
Jarak Publik (Publik Distance)
Pada fasa dekat dari jarak publik (dari 360 sampai 450 cm) seseorang terlindung oleh jarak. Pada jarak ini seseorang dapat mengambil tindakan defensif bila terancam. Dalam bis kota atau kereta contohnya, seseorang akan mengambil jarak ini dari orang yang sedang mabuk. Pada fasa jauh (lebih dari 750 cm), manusia melihat orang-orang tidak sebagai individu yang terpisah, melainkan sebagai bagian dari suatu kesatuan yang lengkap.
ISBN : 978-979-18342-3-0
III.
2.2. Fasilitas Pejalan Kaki Fasilitas pejalan kaki adalah semua bangunan yang disediakan untuk pejalan kaki guna memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan keamanan, kelancaran dan kenyamanan bagi penggunanya. Berdasarkan spesifikasi dari Bina Marga [3] dikatakan bahwa fasilitas pejalan kaki harus direncanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : • • •
•
• • • •
•
Pejalan kaki harus mencapai tujuan dengan jarak sedekat mungkin, aman dari lalu lintas yang lain dan lancar. Terjadinya kontinuitas fasilitas pejalan kaki, yang menghubungkan daerah yang satu dengan yang lain. Apabila jalur pejalan kaki memotong arus lalu lintas yang lain, maka harus dilakukan pengaturan lalu lintas, baik dengan lampu pengatur ataupun dengan marka penyeberangan, atau tempat penyeberangan yang tidak sebidang. Jalur pejalan kaki yang memotong jalur lalu lintas berupa penyeberangan (Zebra Cross), marka jalan dengan lampu pengatur lalu lintas (Pelican Cross), jembatan penyeberangan dan terowongan. Fasilitas pejalan kaki harus dibuat pada ruas-ruas jalan di perkotaan atau pada tempat-tempat dimana volume pejalan kaki memenuhi syarat atau ketentuan-ketentuan untuk pembuatan fasilitas tersebut. Jalur pejalan kaki sebaiknya ditempatkan sedemikian rupa dari jalur lalu lintas yang lainnya, sehingga keamanan pejalan kaki lebih terjamin. Dilengkapi dengan rambu atau pelengkap jalan lainnya, sehingga pejalan kaki leluasa untuk berjalan, terutama bagi pejalan kaki yang tuna daksa. Perencanaan jalur pejalan kaki dapat sejajar, tidak sejajar atau memotong jalur lalu lintas yang ada. Jalur pejalan kaki harus dibuat sedemikian rupa sehingga apabila hujan permukaannya tidak licin, tidak terjadi genangan air serta disarankan untuk dilengkapi dengan pohon-pohon peneduh. Untuk menjaga keamanan dan keleluasaan pejalan kaki, harus dipasang kerb jalan sehingga fasilitas pejalan kaki lebih tinggi dari permukan jalan.
METODE PENELITIAN DAN PENGUMPULAN DATA
Analisis data pada penelitian ini dikembangkan berdasarkan survey wawancana yang dilakukan kepada sejumlah responden di kota Bandung. Para responden diminta untuk memberikan pendapatnya tentang beberapa kondisi trotoar dimana mereka masih merasa nyaman untuk berjalan. Setiap kondisi terkait dengan dimensi trotoar dan jumlah penjalan kaki yang ada di tiap kondisi trotoar. Rasa nyaman berjalan yang dipersepsikan oleh responden mencerminkan kondisi ruang berjalan yang ada. Variasi kondisi trotoar dipilih sedemikian rupa sehingga persepsi nyaman dari responden adalah refleksi dari ruang pejalan kaki yang ada, bukan karena kondisi permukaan trotoar atau kondisi fisik trotoar. Terdapat lima kondisi trotoar yang diamati, yang ilustrasinya disajikan pada Gambar 1.
Kondisi 1: Trotoar dengan lebar 1,5 meter
Kondisi 2: Trotoar dengan lebar kurang dari 1,5 meter
Lebar trotoar harus dapat melayani volume pejalan kaki yang ada. Trotoar disarankan untuk direncanakan dengan tingkat pelayanan serendah-rendahnya C. Pada keadaan tertentu yang tidak memungkinkan trotoar dapat direncanakan sampai dengan tingkat pelayanan E. Tabel tingkat pelayanan berdasarkan ketentuan Bina Marga adalah seperti yang disajikan pada tabel berikut ini. Besaran ini mengacu pada USHCM 2000 [4] yang dikembangkan berdasarkan konsep dari [5].
Kondisi 3: Trotoar dengan lebar lebih dari 1,5 meter
Tabel 1 Tingkat Pelayanan Tingkat Pelayanan A B C D E F
Modul (m2/orang) ≥3,25 2,30 - 3,25 1,40 - 2,30 0,90 - 1,40 0,45 - 0,90 ≤ 0,45 Kondisi 4: Trotoar yang terdapat aktivitas di sekitarnya C-41
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2011
Kondisi 5: Trotoar dimana pejalan kaki terekspose dengan kendaraan Gambar 1 Kondisi Pejalan Kaki yang Diamati Pada formulir kuesioner, terdapat foto setiap kondisi dengan variasi jumlah pejalan kaki yang berbeda-beda, mulai dari satu sampai dengan lima atau enam orang. Saat survey wawancara dilakukan, setiap responden diminta untuk menunjukkan foto, yang memperlihatkan jumlah pejalan kaki tertentu, dimana dia merasa tidak nyaman untuk berjalan di sana. Misalnya, untuk Kondisi 1, yaitu Trotoar dengan lebar 1,5 meter, seorang responden akan mulai merasa tidak nyaman jika di kondisi tersebut terdapat dua pejalan kaki dan untuk kondisi trotoar dengan lebar kurang dari 1,5 meter, dia mungkin akan merasa mulai tidak nyaman jika terdapat tiga pejalan kaki, dan seterusnya untuk variasi kondisi dan jumlah pejalan kaki.
IV.
ANALISIS DATA
Dari hasil wawancara, didapat hasil dari 300 responden. Kondisi dimana responden merasa sudah tidak nyaman untuk berjalan diterjemahkan sebagai ruang pejalan kaki minimum seseorang dimama masih nyaman untuk berjalan. Jika dikaitkan dengan karakteristik dari responden, maka terlihat bahwa ada variasi ruang pejalan kaki minimum yang terkait. Berikut ini analisis persepsi ruang pejalan kaki minimum yang berhubungan dengan aspek demografi dan karakteristik individual. Hubungan antara jenis kelamin dan ruang pejalan kaki minimum dimana orang masih nyaman untuk berjalan diperlihatkan pada Gambar 2. Pada gambar tersebut, laki-laki dan perempuan cenderung melihat ruang berjalan minimum yang masih nyaman adalah 1,5 m2/orang. Jika, dilihat dari bentuk grafik dimana terjadi titik belok yg cukup signifikan, dapat dikatakan bahwa perempuan relatif membutuhkan ruang yang lebih luas dibandingkan dengan laki-laki. Untuk pendapatkan prosentase kumulatiif 95% (titik belok untuk responden laki-laki), kelompok perempuan membutuhkan ruang sekitar 3 m2/orang, hampir dua kalinya.
C-42
Gambar 2 Hubungan Jenis Kelamin dan Ruang Pejalan Kaki
Tipikal analisis dapat dilakukan untuk aspek-aspek individual karakteristik lainnya (disajikan pada Gambar 3 sampai Gambar 6), seperti usia (yang diklasifikasikan dalam tiga grup, yaitu usia di bawah 20 tahun, antara 20 sampai 30 tahun, dan di atas 30 tahun), status pekerjaan (memiliki atau tidak memiliki pekerjaan tetap), pendidikan terakhir (hanya sekolah dasar dan menengah atau sampai pendidikan tinggi dan pascasarjana), dan aspek kepemilihan kendaraan. Pada Gambar 3 sampai Gambar 6, diperlihatkan persepsi individual terhadap fasilitas pejalan kaki yang dinyatakan dengan ruang pejalan kaki minimum untuk orang masih merasa nyaman. Pada gambar-gambar tersebut adalah persepsi yang diberikan responden pada kondisi lebar trotoar sebesar 1,5 meter (lebar minimum sesuai dengan spesifikasi Bina Marga). Untuk lebar standar yang berlalu di Indonesia, ternyata terjadi perbedaan persepsi tentang ruang yang nyaman untuk berjalan dan tergantung pada karakteristik individual. Pada Gambar 7 dipelihatkan bagaimana jika lebar trotoarnya tidak sesuai dengan standar, yaitu lebih kecil dari 1,5 meter dan lebih besar dari 1,5 meter. Dari gambar tersebut, untuk kondisi trotoar dengan lebar kurang dari 1,5 meter, ruang pejalan kaki minimum dimana orang masih merasa nyaman berjalanan adalah sebesar 1 m2/orang. Sementara itu, untuk lebar trotoar sama atau lebih besar dari 1,5 meter, ruang pejalan kaki minimum adalah masing-masing sebesar 1,5 dan sekitar 2,75 m2/orang. Temuan ini memperlihatkan bahwa persepsi terhadap ruang pejalan kaki pun dipengaruhi oleh kondisi lebar trotoar. Pada trotoar yang lebar orang merasa lebih nyaman jika diberi ruang yang lebih luas. Hal lain juga adalah orang memliki toleransi terhadap nilai kenyamanan dalam terhadap fasilitas pejalan kaki.
ISBN : 978-979-18342-3-0
Gambar 6. Hubungan Kepemilihan Kendaraan dan Ruang Pejalan Kaki
Gambar 3. Hubungan Usia dan Ruang Pejalan Kaki
Gambar 4. Hubungan Status Pekerjaan dan Ruang Pejalan Kaki
Gambar 7. Hubungan Lebar Trotoar dengan Ruang Pejalan Kaki
Gambar 8. Hubungan Kondisi Trotoar dengan Ruang Pejalan Kaki
Gambar 5. Hubungan Pendidikan dan Ruang Pejalan Kaki
Terkait dengan masalah toleransi terhadap ruang pejalan kaki, Gambar 8 memperlihatkan contoh yang cukup menarik. Untuk kondisi-kondisi yang jauh dari ideal, seperti berjalan di bahu jalan dengan terekspos langsung dengan kendaraan serta berjalan pada trotoar yang terdapat aktivitas perdagangan (PKL), rasa kenyamanan ‘dapat diatur’, sesuai dengan kondisi yang ada.
C-43 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2011
V.
POLICY IMPLICATION
Dari hasil pengolahan data yang disajikan dalam gambar-gambar, dapat terlihat suatu kencenderungan yang menarik. Kelompok responden yang dapat dikategorikan mapan (dari sisi usia, pendidikan, dan pekerjaan) cenderung membutuhkan ruang pejalan kaki yang lebih besar dibandingan dengan kelompok lainnya. Dari faktor usia, misalnya, terlihat bahwa usia di atas 31 tahun (usia yang dapat dianggap mapan dalan hal berpikir dan pekerjaan) cenderung merasa nyaman dengan ruang yang lebih luas dibandingkan dengan kelompok usia di bawah. Hal yang sama terlihat pada kelompok orang yang bekerja (memiliki pekerjaan tetap) terhadap yang tidak bekerja; kelompok pendidikan tinggi terhadap yang pendidikan dasar dan menengah saja; dan kelompok yang memiliki kendaraan terhadap yang tidak memiliki kendaraan. Jika temuan ini dikaitkan dengan tingkat pelayanan pejalan kaki dari [3] dan [4] maka terlihat bahwa untuk kelompok yang relatif sudah mapan, mereka memiliki toleransi sampai tingkat pelayanan C, dimana untuk kelompok lainnya dapat bertoleransi sampai tingkat pelayanan D. Salah satu implikasi penting dari temuan ini adalah pada kebijakan untuk membangun fasilitas pejalan kaki. Acuan lebar minimum fasilitas pejalan kaki (yaitu 1,5 meter berdasarkan acuan dari Bina Marga) belum tentu dapat memberikan kenyamanan untuk berjalan bagi kelompok-kelompok tertentu, terkait dengan ruang untuk berjalan minimum dimana orang masih merasa nyaman. Pertimbangan rasa kenyamanan dalam perencanaan fasilitas pejalan kaki cukup penting karena kenyamanan adalah salah satu kunci daya tarik orang untuk mau berjalan dan meninggalkan kedaraan untuk perjalanan jarak dekat. Beberapa kebijakan yang dapat diterapkan sebagai implikasi hasil penelitian ini adalah antara lain pada: • Perencanaan fasilitas pejalan kaki di kawasan perumahan. Kriteria fasilitas pejalan kaki dimana orang merasa nyaman untuk berjalan di kawasan perumahan mewah dapat dibuat berbeda dengan untuk kawasan perumahan sederhana. • Perencanaan fasilitas pejalan kaki di ruang umum hijau dan taman kota, dan • Fasilitas pejalan kaki di daerah komersial.
C-44
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN PENGEMBANGAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah bahwa kriteria kenyamanan, terkait dengan ruang pejalan kaki minimum, sifatnya sangat relatif dan tergantung pada karakteristik pejalan kaki dan dimensi trotoar yang disedikan. Namun demikian, terkait dengan hubungan antara ruang pejalan kaki dengan karakteristik pejalan kaki, terlihat bahwa kelompok yang relatif lebih mapan dari sisi usia, pendidikan dan ekonomi (memiliki pekerjaan dan kendaraan) cenderung merasa nyaman dengan ruang yang lebih luas dibandingkan dengan kelompok lainnya. Sebagai saran pengembangan dari penelitian ini adalah dapat dilakukan kajian lebih lanjut terhadap ruang minimum untuk pejalan kaki yang nyaman dengan variasi kecepatan pejalan kaki dan tujuan dari pejalan kaki itu sendiri. Penggunaan walking trajectory dan dengan bantuan peta GIS dapat digunakan untuk mengembangkan penelitian ini.
UCAPAN TERIMA KASIH Sebagaian besar data dan pengolahannya dalam paper ini diambil dari tugas akhir penulis kedua [6].
DAFTAR PUSTAKA [1]
Wibowo and Rubhasy, 2010. Individual Preferences for Sidewalk Space Case Study of Sidewalk Condition in Bandung. The 3rd ASEAN Civil Engineering Conference, Manila, Philippines.
[2]
Hall, Edward T. 1969. The Hidden Dimension. United State of America : Doubleday & company, Inc.
[3]
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Pedoman Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki Pada Jalan Umum. Nomor 032/T/BM/1999, 1999.
[4]
Transportation Research Board (TRB), 2000, Highway Capacity Manual, Transportation Research Board, Washington, D.C.
[5]
Fruin, John J. 1971. Pedestrian Planning and Design. United State of America : Metropolitan Association of Urban Designers adn Enviromental Planners, Inc.
[6]
Gitawardhani, F. A. 2011. Kajian Persepsi Masyarakat Terhadap Dimensi Trotoar. Tugas Akhir. Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung
ISBN : 978-979-18342-3-0