ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI BELANJA MODAL DALAM MENUNJANG APBD (Studi Empiris Pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2012 – 2014 ) Oleh: Riza Hasanah (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) Dr. Bambang Jatmiko, S.E., M.Si (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
ABSTRACT This study examined the influence of General Allocation Fund (DAU), Special Allocation Fund (DAK), Shared Fund (DBH), Local Revenue (PAD) to the Capital Expenditure, an empirical study on Regency / City in the province of Riau. The population in this study is district / municipality located in Riau Province in 2012-2014. This study uses secondary data such as Revenue Budget Realization Report and Expenditure District / City in Riau Province in 2012-2014. Testing the hypothesis in this study using multiple linear regression ttest, F and coefficient of determination. The result showed that Revenue Shared (DBH) Fund positive effect on Capital Expenditure. While the General Allocation Fund (DAU), Special Allocation Fund (DAK), Local Revenue (PAD) does not signifificantly influence Capital Expenditure. Keywords: General Allocation Fund (DAU), Special Allocation Fund (DAK), Revenue Shared (DBH), Local Revenue (PAD) and Capital Expenditure (BM).
PENDAHULUAN Pemberlakuan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan suatu reformasi hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Daerah diberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki. Diharapkan pelaksanaan otonomi daerah mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat,
1
daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah. Otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan
terhadap
pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah (Adi, 2008). Sebagai muslim yang baik, melaksanakan dan menindak lanjuti perintah Allah swt sebaiknya tidak sekedar dilakukan untuk menggugurkan kewajiban, tetapi benar-benar kita lakukan dengan sebaik mungkin, termasuk dalam mengelola kekayaan yang telah diamanahkan oleh Allah swt kepada kita semua. Surah As-shaff 61 ayat: 11 Artinya : (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Dari ayat diatas dapat diketahui bahwasanya, Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berjihat dijalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Dengan berinvestasi manusia akan memperoleh harta untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, berjihat dan menggunakankannya untuk kebaikan orang banyak serta menciptakan kemaslahatan. Alokasi belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana baik untuk kelancaran tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik (Halim dan Abdullah, 2006:19). Menurut Halim (2002:72), dengan melakukan belanja modal akan menimbulkan konsekuensi berupa penambahan 2
biaya yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan. Akan tetapi berdasarkan hasil audit BPK Pemda lebih banyak mengalokasikan belanjanya pada sektorsektor yang kurang diperlukan dan lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang kurang produktif dibandingkan untuk meningkatkan pelayanan publik, sebab dari 100% belanja daerah rata-rata hanya 21,69% yang digunakan untuk belanja modal dalam rangka pengadaan asset untuk investasi dalam rangka meningkatkan pelayan publik. Berdasarkan data di Statistik Keuangan Pemerintahan Kabupaten/Kota APBD dari tahun 2012 sampai dengan 2014 dapat ditunjukkan dalam diagram batang sebagai berikut :
REALISASI APBD KABUPATEN/KOTA PROVINSI RIAU 2012-2014
BM
DAU
DAK
DBH
PAD
2012 Rp5,926,203,740.00 Rp4,827,489,228.00
Rp341,462,560.00
Rp8,827,228,962.00 Rp1,144,644,703.00
2013 Rp6,559,865,740.00 Rp5,754,726,173.00
Rp227,053,903.00
Rp10,888,238,288.0 Rp1,649,122,238.00
2014 Rp9,599,624,659.00 Rp6,240,380,016.00
Rp241,073,750.00
Rp12,453,183,493.0 Rp1,892,452,389.00
Gambar 1.1 Adapun fenomena khusus yang terjadi di Pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Riau dapat dilihat dari gambar diatas bahwa realisasi APBD dari tahun 2012-2014 tidak sama jumlahnya. Hal ini disebabkan adanya kegiatan yang telah diprogramkan di APBD tidak dilaksanakan oleh SKPD atau adanya
3
kegiatan yang sampai dengan akhir bulan desember tidak selesai sehingga anggaran yang dibayarkan tidak mencapai seratus persen. Belanja modal, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil dan Pendapatan Asli Daerah dari tahun ke tahun mengalami peningkatan sedangkan Dana Alokasi Khusus mengalami kenaikan maupun penurunan disetiap tahunnya. Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut : a. Seberapa besar hubungan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal ? b. Seberapa besar hubungan Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Modal? c. Seberapa besar hubungan Dana Bagi Hasil terhadap Belanja Modal? d. Seberapa besar hubungan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk menguji dan membuktikan secara empiris tentang besar hubungan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal. b. Untuk menguji dan membuktikan secara empiris tentang besar hubungan Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Modal. c. Untuk menguji dan membuktikan secara empiris tentang besar hubungan Dana Bagi Hasil terhadap Belanja Modal. d. Untuk menguji dan membuktikan secara empiris tentang besar hubungan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal
4
TINJAUAN PUSTAKA Hasil Penelitian Terdahulu dan Penurunan Hipotesis 1. Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan
keuangan
antar-Daerah
untuk
mendanai
kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (UU No. 33 Tahun 2004). Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 26% dari Penerimaan Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari
Dalam
DAU akan
memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. Sesuai dengan
UU
Nomor
25 Tahun 1999 yang telah
diperbaharui dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan oleh kebutuhan Daerah (fiscal needs) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk
5
menutup celah yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari potensi penerimaan Daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relative besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoleh DAU yang negatif. Variabel-variabel kebutuhan Daerah dan
potensi
ekonomi Daerah. Kebutuhan Daerah paling sedikit
dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah,
keadaan
geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan PDRB. Distribusi alokasi DAU per daerah dipengaruhi oleh data kebutuhan fiskal daerah, yang secara umum mengindikasikan perkiraan besarnya
kebutuhan
anggaran
yang
diperlukan oleh daerah dalam
memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Indikator dalam perhitungan kebutuhan fiskal, secara garis besar terbagi menjadi dua kelompok
besar,
yaitu
indicator
kependudukan
dan
indikator
kewilayahan. Indikator kependudukan terbagi menjadi tiga indicator yaitu indeks penduduk (IP), indeks pembangunan manusia (IPM), dan indeks PDRB per Kapita.
Sementara
indeks
kewilayahan terbagi
6
menjadi dua komponen yaitu indeks luas wilayah (IW), dan indeks kemahalan konstruksi (IKK). Dalam pengalokasian DAU ke daerah setiap tahun, Pemerintah dan DPR sepakat untuk memberikan bobot dalam bentuk persentase untuk setiap indeks penduduk, IPM, PDRB per Kapita, IW, dan IKK. IKK merupakan data kewilayahan mengakomodasi
tingkat
kemahalan
yang telah
yang disebabkan oleh akses
transportasi pada daerah-daerah kepulauan dan terpencil. Data IKK ini merupakan hasil perhitungan oleh BPS, terkait dengan aspek kemahalan bahan bangunan dengan mempertimbangkan intensitas pemakaian bahan bangunan menurut jenisnya di seluruh daerah. IKK yang digunakan dalam formula DAU, adalah IKK setiap daerah yang telah dibagi dengan rata-rata nilai IKK seluruh daerah. DAU merupakan
dana
transfer yang bersifat
block grant.
Alokasi penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai prioritas daerah yang
idealnya dialokasikan untuk belanja yang
berimplikasi
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat. Prakosa
(2004)
memperoleh
temuan
empiris
yang
menunjukkan bahwa jumlah belanja modal dipengaruhi oleh DAU yang diterima dari pemerintah pusat. Hasil penelitan Adi dan Harianto (2007) semakin memperkuat kecenderungan ini. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi lebih baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat yaitu transfer DAU menjadi semakin tinggi. Penelitian
7
yang dilakukan oleh Maimunah (2008), penelitian Darwanto dan Yustikasari (2007), penelitian Christy dan Adi (2009), penelitian Andirfa (2009), menyimpulkan DAU
berpengaruh
positif
terhadap Belanja
Modal. Yudani (2008) menemukan bukti empiris yang berbeda bahwa DAU tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Jiwatami (2013) dan Wandira (2013) menyatakan DAU berpengaruh negative terhadap Belanja Modal
Pemerintah
disebabkan oleh
yang
DAU
Daerah
merupakan
di Indonesia, hal ini
blok
grant
alokasinya
cenderung bukan untuk pembangunan infrastruktur daerah. Penurunan hipotesis H1 dari logika dan hasil penelitian sebelumnya yaitu: H1 : DAU merupakan faktor penentu alokasi BM. 2. Dana Alokasi Khusus Sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah,
Besaran
DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN yang merupakan Daerah.
urusan
Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria
umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. (1) Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. (2)
Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan dan karakteristik Daerah.
(3)
Kriteria teknis
8
ditetapkan oleh kementerian Negara/ departemen teknis. Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana Pendamping dianggarkan dalam APBD. Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping. Hasil
penelitian
Jiwatami (2013) menemukan bukti empiris
bahwa DAK negatif terhadap alokasi belanja Modal. DAK bersifat special grant, dimana
peruntukannya
untuk
pembangunan
yang
sudah
ditentukan dari pusat, sehingga realisasinya merupakan realisasi belanja modal. Namun Miharabi (2013) menemukan bukti empiris bahwa DAK berpengaruh
signifikan
terhadap
alokasi
kabupaten/kota di Sumatera Utara, dan
belanja
modal
pada
Wandira (2013) menemukan
bukti empiris bahwa DAK berpengaruh positif terhadap BM pada seluruh provinsi di Indonesia dengan pengamatan hanya pada tahun 2012, dengan memperhitungkan DKI Jakarta sebagai objek penelitian. Penurunan hipotesis H2 dari logika dan hasil penelitian sebelumnya yaitu : H2 : DAK merupakan faktor penentu alokasi BM. 3. Dana Bagi Hasil Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk
mendanai
kebutuhan
Daerah
dalam
rangka
pelaksanaan
Desentralisasi (UU No. 33 Tahun 2004). Besarnya realisasi Dana Bagi Hasil (DBH), yang terdiri dari DBH pajak dan DBH Sumber Daya Alam
9
(SDA), selain dipengaruhi oleh kinerja penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan, juga tergantung kepada peraturan perundang-undangan mengenai besarnya persentase bagian daerah penghasil. Penelitian
yang dilakukan
oleh Wandira (2013) menemukan
bukti empiris bahwa DBH berpengaruh positif terhadap belanja modal pada seluruh provinsi di Indonesia untuk data pengamatan tahun 2012. Penelitian
lainnya
yang
dilakukan
oleh
Jiwatami
(2013)
juga
menyimpulkan hal yang sama yaitu DBH berpengaruh positif terhadap belanja Modal. Penurunan hipotesis H3 dari logika dan hasil penelitian sebelumnya yaitu: H3 : DBH merupakan faktor penentu pengalokasian BM. 4. Pendapatan Asli Daeah Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan
yang
diperoleh
Daerah
yang
dipungut berdasarkan
Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU No. 33 Tahun 2004). Sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disebutkan bahwa Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penerbitan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
bertujuan
untuk
menyempurnakan
sistem
10
desentralisasi
fiskal.
Penyerahan
wewenang pengelolaan jenis-jenis
pajak yang bisa dipungut pemerintah daerah sesuai dengan potensinya diharapkan dapat membantu meningkatkan PAD. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa PAD berpengaruh signifikan terhadap BM (Maimunah, 2008; Darwanto dan Yustikasari, 2007; Andirfa, 2009; Yudani, 2008). Halim (2007) menyatakan
bahwa
ketergantungan
kepada transfer dari pemerintah
pusat haruslah diupayakan seminimal mungkin sehingga PAD bisa menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kusnandar dan Siswantoro (2012) membuktikan bahwa PAD berpengaruh positif dan signifikan terhadap Belanja Modal. Prosentase PAD relative rendah terhadap total pendapatan daerah dalam kisaran 7% namun kontribusi prosentase tersebut sangat perpengaruh terhadap pengalokasian Belanja Modal.
Menurut
Waluyo
(2007),
idealnya
semua pengeluaran daerah dapat dipenuhi dengan PAD sehingga pemerintah daerah benar-benar bisa mandiri, tidak tergantung dari transferan pemerintah pusat lagi. Hasil penelitian dari Abdullah dan Halim (2006) menyimpulkan bahwa pendapatan sendiri tidak berasosiasi positif terhadap Belanja Modal. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa secara teoritis PAD merupakan salah satu sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai pelayanan publik. Khusus untuk pemerintahan
11
Indonesia, prosentasenya kecil yaitu 5-7% dari total penerimaan daerah digunakan untuk Belanja Modal. Ardhani dan Handayani (2011), Jiwatami (2013) dan Wandira (2013) menyatakan hal yang sama yaitu mendukung hasil penelitian bahwa kemandirian daerah tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Penurunan hipotesis H4 dari logika dan hasil penelitian sebelumnya yaitu : H4 : PAD merupakan faktor penentu pengalokasian BM.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, dimana data yang diperoleh diwujudkan dalam bentuk angka yang digunakan adalah data Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota, yaitu dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah APBD Kabupaten/Kota
Provinsi Riau, teknik sampel yang digunakan adalah
purposive sampling, dimana kriteria yang telah ditetapkan adalah data yang lengkap sesuai dengan variabel yang diteliti selama tahun pengamatan. Data time series yang diamati adalah tiga tahun yaitu tahun 2012-2014 sehingga total sampel adalah 26 data amatan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data realisasi Belanja Modal, DAU, DAK, DBH, dan PAD. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini dalah analisis regresi berganda yang diolah dengan menggunakan software versi 20.
12
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan model analisis regresi berganda bertujuan untuk memprediksi kekuatan pengaruh seberapa variabel independen terhadap variabel dependen (Nuarisa, 2013). Persamaan regresi dalam penelitian ini adalah: Y= α + β1DAU + β2DAK + β3DBH + β4PAD+ e Dimana : Y
= Belanja Modal
α
= Konstanta
β
= Slope atau koefisien regresi atau intersep
DAU
= Dana alokasi Umum (DAU)
DAK
= Dana Alokasi Khusus (DAK)
DBH
= Dana Bagi Hasil (DBH)
PAD
= Pendapatan Asli Daerah (PAD)
e
= error
HASIL DAN PEMBAHASAN Variabel- variabel bebas dalam penelitian ini adalah DAU, DAK, DBH, dan PAD, sedangkan variabel terikat adalah Belanja Modal. Hasil uji statistik deskriptif.
13
Tabel 4.1 Hasil Analisis Deskriptif Descriptive Statistics N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
BM
26
158,991,814
2,154,123,709
572,424,501.92
414,066,944.528
DAU
26
60,777,928
847,860,750
485,479,551.65
200,801,661.942
DAK
26
0
73,370,340
20,134,781.92
18,127,828.276
DBH
26
333,218,282
2,959,384,034
807,052,206.50
587,221,818.135
PAD
26
23,679,000
560,074,583
134,883,210.42
131,384,136.214
Valid N (listwise)
26
Sumber: Hasil olah data penulis, 2016. Tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa jumlah N sampel sebanyak 26, dimana rata-rata jumlah BM Kabupaten/Kota di Provinsi Riau sebesar 572,424,501.92 dengan jumlah BM terendah 158,991,814 dan tertinggi sebesar 2,154,123,709 dengan standar deviasi 414,066,944.528 dari ratarata.
DAU Kabupaten/Kota di Provinsi Riau sebesar 485,479,551.65
dengan jumlah DAU terendah 60,777,928 dan tertinggi sebesar 847,860,750 dengan standar deviasi 200,801,661.942 dari rata-rata. Ratarata DAK Kabupaten/Kota Provinsi Riau sebesar 20,134,781.92 dengan jumlah DAK terendah sebesar 0 dan tertinggi sebesar 73,370,340 dengan standar deviasi 18,127,828.276 dari rata-rata. DBH Kabupaten/Kota di Provinsi Riau memiliki rata-rata sebesar 807,052,206.50 dengan jumlah DBH terendah sebesar 333,218,282 dan tertinggi sebesar 2,959,384,034 dengan
standar
Kabupaten/Kota
deviasi di
587,221,818.135
Provinsi
Riau
dari
memiliki
rata-rata. rata-rata
PAD sebesar
14
134,883,210.42 dengan jumlah PAD terendah sebesar 23,679,000 dan tertinggi sebesar 560,074,583 dengan standar deviasi 131,384,136.214 dari rata-rata. Tabel 4.2 Hasil uji t-test Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
T
Sig.
-,623
,540
Coefficients B (Constant)
1
Std. Error
Beta
-83512923,736 133956070,671
DAU
,127
,221
,062
,575
,572
DAK
1,680
2,121
,074
,792
,437
DBH
,617
,077
,876
7,990
,000
PAD
,461
,273
,146
1,692
,105
a. Dependent Variable: BM
Sumber: Hasil olah data penulis, 2016. a. Variabel Dana Alokasi Umum mempunyai koefisien regresi negatif – 0,127 dan nilai sig 0,572 > 0,05, berarti Dana Alokasi Umum tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Dengan demikian hipotesis pertama ditolak. b. Variabel Dana Alokasi Khusus koefisien regresi negatif – 1,680 dan nilai sig 0,437 > 0,05, berarti Dana Alokasi Khusus tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Dengan demikian hipotesis kedua ditolak.
15
c. Variabel Dana Bagi Hasil mempunyai koefisien positif 0,617 dan nilai sig 0,000 < 0,05, berarti Dana Bagi Hasil berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. Dengan demikian hipotesis ketiga diterima. d. Variabel Pendapatan Asli Daerah mempunyai koefisien regresi negatif – 0,461 dan nilai sig 0,105 > 0,05, berarti Pendapatan Asli Daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Dengan demikian hipotesis keempat ditolak. Tabel 4.3 Hasil Uji F-test ANOVAa Model
Sum of Squares
Regression
1
Residual
Total
df
3748193418571
4
299300,000 5380924452066 71940,000 4286285863777 971200,000
21
Mean Square 9370483546428 24830,000
F
Sig.
36,570
,000b
2562344977174 6284,000
25
a. Dependent Variable: BM b. Predictors: (Constant), PAD, DAU, DAK, DBH
Sumber: Hasil olah data penulis, 2016. Berdasarkan tabel 4.3 nilai F hitung sebesar 36,570 dan signifikan pada 0,001 (p-value < 0,05), artinya keempat variabel bebas (DAU, DAK, DBH, dan PAD) secara bersama-sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal pada pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau.
16
Tabel 4.4 Koefisien Determinasi Model Summaryb Model
R
R Square
,935a
1
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
,874
Durbin-Watson
,851 160,073,263.763
1,986
a. Predictors: (Constant), PAD, DAU, DAK, DBH b. Dependent Variable: BM
Sumber: hasil olah data penulis, 2016. Pada tabel 4.4 menunjukan bahwa koefisien determinasi yang ditunjukan dari nilai adjusted R Square sebesar 0,851, hal ini berarti 85,1% variasi Belanja Modal dapat dijelaskan oleh variasi dari keempat variabel independen yaitu DAU, DAK, DBH, dan PAD. Sedangkan sisanya (100% - 85,1% = 14,9%) dijelaskan pada variabel-variabel lain diluar model penelitian.
PEMBAHASAN 1. Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal Pengujian hipotesis pertama menunjukan bahwa Dana Alokasi Umum tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Hal ini ditunjukan dengan tingkat signifikansi 0,572 > 0,05. DAU merupakan dana transfer yang bersifat
block grant.
Alokasi penggunaannya
diserahkan kepada daerah sesuai prioritas daerah yang idealnya dialokasikan untuk belanja yang berimplikasi meningkatkan efisiensi dan
efektivitas
pelayanan
kepada
masyarakat.
Yudani
(2008)
17
menemukan bukti empiris yang berbeda bahwa DAU tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Jiwatami (2013) dan Wandira (2013) menyatakan DAU berpengaruh negatif terhadap Belanja Modal Pemerintah Daerah di Indonesia, hal ini disebabkan oleh DAU yang merupakan blok grant alokasinya cenderung bukan untuk pembangunan infrastruktur daerah. Hal ini disebabkan karena penggunaan sampel dan periode waktu yang berbeda.
2. Pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Modal Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan prioritas nasional. Dari hasil penelitian ini yang dilakukan diperoleh hasil bahwa Dana Alokasi khusus tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Hal ini ditunjukan dengan tingkat signifikansi 0,437 > 0,05, yang mana ini menjelaskan bahwa setiap kenaikan pada Dana Alokasi Khusus tidak turut menaikan pengalokasian Belanja Modal. Menurut Kuncoro (2004), Dana Alokasi Khusus ditunjukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus. Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional khusus. Kebutuhan khusus dalam Dana Alokasi Khusus yang mana dalam hal ini bidang-bidang dibiayai dari DAK terdiri dari bidang pendidikan,
kesehatan,
infrastruktur
jalan,
infrastruktur
irigasi,
18
infrastruktur air minum dan sanitasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, pertanian, lingkungan hidup, keluarga berencana dan kehutanan. Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Kuncoro diatas yang mana Dana Alokasi Khusus tersebut hanya membiayai pada bidang kesehatan, infrastruktur jalan, infrastruktur irigasi, dan yang lainnya, yang mana ini tidak memerlukan dana yang cukup besar, berbeda dengan belanja modal yang memerlukan dana yang cukup besar. Jadi Dana Alokasi Khusus tidak mengalokasian anggaran untuk belanja modal, karena Dana Alokasi Khusus ini merupakan dana yang diberikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk membiayai atau untuk pembiayaan dari pengeluaran-pengeluaran daerah yang bersifat khusus seperti sarana dan prasarana fisik daerah. Hasil ini tidak sesuai dengan hasil yang didapat oleh Nuarisa (2013) yang mengatakan bahwa Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif signifikan terhadap Belanja Modal. Hal ini disebabkan karena penggunaan sampel dan periode waktu yang berbeda.
3. Pengaruh Dana Bagi Hasil terhadap Belanja Modal Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa variabel Dana Bagi Hasil secara parsial berpengaruh positif signifikan terhadap variabel belanja modal. Hal ini ditunjukan dengan tingkat signifikan 0,000 < 0,05. DBH yang diterima oleh pemerintah provinsi benar-benar dialokasikan pada APBD untuk belanja modal.
Hasil
19
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Jiwatami (2013) dan penelitian Wandira (2013) dimana mereka menemukan bahwa DBH berpengaruh positif yang signifikan terhadap alokasi belanja modal.
4.
Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal Pengujian hipotesis keempat menunjukan bahwa Pendapatan Asli Daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Hal ini ditunjukan dengan tingkat signifikansi 0,105 > 0,05. Hal ini menjelaskan bahwa provinsi dengan PAD yang besar cenderung tidak memiliki belanja modal yang besar. Hal ini disebabkan karena PAD lebih banyak digunakan untuk membiayai belanja lain, seperti belanja rutin/belanja operasional. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wandira (2013) yang menyatakan PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Karena PAD lebih banyak digunakan untuk membiayai belanja pegawai dan biaya langsung lainnya dari pada untuk membiayai belanja modal, selain itu peningkatan PAD suatu daerah belum tentu diikuti dengan peningkatan anggaran belanja modal, tergantung pada situasi dan kondisi tiap-tiap derah. Tetapi penelitian ini tidak sejalan dengan hasil yang dicapai oleh Nuarisa (2013) yang menyatakan bahwa secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif signifikan terhadap Belanja Modal. Hal ini disebabkan karena penggunaan sampel dan periode waktu yang berbeda.
20
SIMPULAN Berdasarkan analisis data hasil penelitian di atas, peneliti dapat menarik beberapa kesimpulan penelitian sebagai berikut: 1. Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh negatif terhadap Belanja Modal. 2. Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh negatif terhadap Belanja Modal. 3. Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. 4. Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh negatif terhadap Belanja Modal. IMPLIKASI Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, implikasi penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Provinsi di Indonesia supaya lebih memperhatikan alokasi anggaran dari dana PAD, diupayakan dialokasikan lebih banyak kepada Belanja Modal yang memberikan implikasi peningkatan kesejateraan masyarakat. 2. Pemerintah pusat diharapkan dapat meningkatkan porsi DAK kepada pemerintah provinsi sesuai dengan kriteria yang ditentukan.
21
Keterbatasan Dan Saran Penelitian Selanjutnya 1. Keterbatasan Penelitian a. Sampel dalam penelitian ini dibatasi pada Kabupaten/Kota tertentu yang memiliki ketersediaan data, yaitu 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Hal ini menyebabkan hasil penelitian hanya berlaku untuk Kabupaten/Kota yang menjadi sampel penelitian, sehingga belum dapat digeneralisasi untuk seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia. b. Penelitian ini tidak membahas kebijakan pemerintah dalam penyusunan anggaran Belanja Modal. 2. Saran Bagi Penelitian Selanjutnya Bagi peneliti berikutnya agar dapat memperluas atau menambah sampel penelitian, seperti sampel dari luar daerah Provinsi Riau atau seluruh Indonesia dengan menambah periode pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA Abdul, Halim. (2002). Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat Abdullah, Sukriy dan Abdul, Halim. 2006. Studi atas Belanja Modal pada Anggaran Pemerintah Daerah dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan dan Sumber Pendapatan. Jurnal Akuntansi Pemerintahan, 2 (2) : 17-32 Adi, Priyo Hari. 2006. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah (Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa Bali). Jurnal Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik, 8 (1) : 1450 -1465. Adi, Priyo Hari. 2008. Relevansi Transfer Pemerintah Pusat Dengan Upaya Pajak Daerah (Studi pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Se Jawa). The 2nd National Conference UKWMS. Surabaya, 6 September 2008.
22
Andirfa, Mulia. 2009. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Empiris pada Kabupaten/ Kota Pemerintah Aceh), Jurnal Akuntansi, Universitas Syiah KualaDarussalam Banda Aceh. Ardhini, dan Sri Handayani. 2011. Pengaruh Rasio Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal untuk Pelayanan Publik dalam Perspektif Teori Keagenan (Studi Pada Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah). Undergraduate Thesis, Universitas Diponegoro, Semarang. Bastian, Indra. 2002. Sistem Akuntansi Sektor Publik. Penerbit. Salemba 4: Jakarta. Bastian, Indra. 2006. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat. Christy, Fhino Andrea dan Adi, Priyo Hari. 2009.Hubungan antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal dan Kualitas Pembangunan Manusia (IPM), makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional UKWMS. Surabaya 10 0ktober 2009. Darwanto dan Yustikasari, Yulia. 2007. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Simposium Nasional Akuntansi X. Makasar, Unhas 26-28 Juli 2007. Editorial Media Indonesia. Menggenjot Belanja Modal. Edisi 25 Agustus 2008. [Online]. Tersedia: http://www.media-indonesia.com. Html [26 April 2009] Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS. Edisi4. Badan Penerbitan Universitas Diponegoro: Semarang. Halim, Abdul. 2001. Analisis Varian Atas Anggaran Pendapatan Asli Daerah Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Disertasi S3. Tidak Dipublikasikan. Msi – FE UGM. Halim, Abdul dan Syukriy Abdullah. 2006. Hubungan dan masalah keagenan di pemerintahan daerah: sebuah peluang penelitian anggaran dan akuntansi. Jurnal Akuntansi Pemerintah 2(1): 53-64. Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat. Halim, Abdul. 2009. Analisis Investasi, Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Empat. Halim, Abdulah. Dkk, 2012. Akuntansi Sektor Publik : Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Revisi. Jakarta : Salemba Empat. Harianto, David dan Adi, Priyo Hari. 2007. Hubungan antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per Kapita. Simposium Nasional Akuntansi X. Makasar, Unhas 26-28 Juli 2007. Harianto, David Priyo Hari Adi. 2007. Hubungan antara dana alokasi umum, belanja modal, pendapatan asli daerah dan pendapatan perkapita. Jiwatami, Sandhyakalaning. 2013. Pengaruh Kemandirian Daerah, Dana Perimbangan, danBelanja Pegawai terhadap Belanja Modal Pemerintah Daerah (Pada Kabupaten/Kota di Indonesia Periode 2008-2012). Simposium Nasional Akuntansi XVI, Manado, 25-28 September 2013
23
Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Jakarta: Erlangga. Kusnandar, dan Dodik Siswantoro. 2012. Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal. Simposium Nasional Akuntansi XV. Maimunah, Mutiara. 2008. Flypaper Effect Pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan PendapatanAsli Dareah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatra. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 11 (1) : 37-51. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi. Maulida, Novi Pratiwi. 2007. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan asli Daerah (PAD) Terhadap Prediksi Belanja Daerah (Studi Kasus Pada Kabupaten/ Kota di Indonesia). Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. Mayeztika. 2010. “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Ekonomi dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Belanja Modal”. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Miharabi, Liyoni Arista. 2013. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Alokasi Belanja Modal (Studi Pada Pemerintah Kota Gorontalo). Nuarisa, S.A. 2013. “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Pengalokasian Belanja Modal (Studi Kasus pada pemerintahan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah)”. Skripsi. Semarang: Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang. Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor 33/PB/2008 tentang Pedoman Penggunaan Akun Pendapatan, Belanja Pegawai, Belanja Barang, dan Belanja Modal. Peraturan Menteri Keuangan No.91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Prakosa, Kesit Bambang. 2004. Analisa Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Prediksi Belanja Daerah (Studi Empirik di Provinsi Jawa Tengah dan DIY. JAAI, 8 (2) : 101-118 Resmi, Siti. 2005. Perpajakan: Teori dan Kasus (Jilid 1), Edisi Kedua. Jakarta: Salemba Empat. Sidik, Mahfud, Raksasa Mahi, Robert Simanjuntak dan Bambang Brodjonegoro, 2002, Dana Alokasi Umum : Konsep, Hambatan dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Singgih, Santoso. 2000. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: ElexMedia Komputindo. Siwasiwan, Zulham. 2013. “Pengaruh Pajak Daerah Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Belanja Modal”.
24
Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. ALFABETA. Bandung. Sulistyowati. 2006. Analisis Ketimpangan Fiskal Vertikal Kabupaten Dan Kota Di Jawa Tengah Sebelum Dan Sesudah Otonomi. Tesis Universitas Diponegoro. Undang-undang No. 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau. Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Waluyo, Joko. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan antar Daerah di Indonesia. Parallel Session IA di Wisma Makara, Kampus UI-Depok, 12 Desember 2007 Wandira, Arbie Gugus. 2013. Pengaruh PAD, DAU, DAK dan DBH terhadap Pengalokasian Belanja Modal. Accounting Analysis Journal. 1 (3) : 45-51. Yudani, Ni Nengah. 2008. Desentralisasi Fiskal Dalam Hubungannya Dengan PAD dan Belanja Pembangunan dilingkup Provinsi Bali, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
25