RISIKO KESEHATAN AKIBAT PERUBAHAN CUACA HASBULLAH THABRANY
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS INDONESIA
PENDAHULUAN Berbagai pemantauan iklim di dunia telah menunjukkan bahwa rata‐rata suhu permukaan bumi dalam tiga dekade terakhir mengalami kenaikan yang siginifkan dibandingkan dengan rata‐ rata suhu permukaan bumi dua abad terakhir. Kirch dkk (2005) menyajikan data perbedaan rata‐ rata selisih suhu bumi yang sejak tahun 1980 terus naik dibandingkan rata‐rata suhu selama 30 tahun, yaitu 1961‐1990. Apa artinya, di seluruh dunia, manusia akan menghadapi perubahan lingkungan hidupnya, karena perubahan suhu mempengaruhi banyak hal. Jika tren kenaikan suhu tersebut terus dibiarkan, sebagaimana yang disajikan AlGore dalam film Climate Change, manusia akan punah di muka bumi. Mengapa kita takut punah? Bukankah semua agama samawi mengajarkan bahwa suatu ketika dunia akan sangat panas dan tidak ada lagi manusia yang bisa hidup atau meminta pertolongan dari manusia lain. Itulah Kiamat!. Doomsday!. Armagedon! Mengapa kita harus khawatir? Bukankah hal itu memang sudah merupakan takdir Tuhan. Alam ini tidak kekal. Bukan manusia yang mengatur. Tuhan sudah mengatur segalanya. Bukankah kenaikan suhu juga dapat disebabkan karena suhu permukaan matahari yang semakin tinggi? Apa yang bisa diperbuat manusia? Beribu pertanyaan dapat kita sebarkan. Tetapi, yang jelas, manusia telah diberi instink dan juga diajarkan oleh agama untuk mencegah kemunkaran. Mencegah terjadinya sesuatu yang merusak atau membahayakan manusia dan makhluk lainnya di muka bumi ini. Takdir hanya Hasbullah Thabrany
Page 1
terjadi, jika segala usaha maksimal manusia tidak membuahkan hasil. Itulah barangkali Takdir kiamat manusia. GAMBAR 1 RATA‐RATA PERUBAHAN SUHU BUMI, 10 TAHUN MOVING AVERAGE, 1860‐2000
Sumber: Kirch, 2005
Betul, bagaikan juga dinosaurus yang pernah merajai dunia, manusia yang kini menguasai dunia akan punah suatu masa. Dinosaurus punah karena, menurut teori, terjadi perubahan iklim akibat bumi tertimpa meteor besar yang mengubah iklim bumi. Kekuasaan manusia di bumi juga akan berakhir karena bumi sudah tidak lagi memenuhi iklim yang dapat ditolerir oleh spesies manusia. Hanya saja, berbeda dengan dinosaurus, kenaikan iklim di bumi kini disebabkan oleh manusia. Cilakanya, efeknya bukan saja musnahnya manusia, tetapi musnahnya juga jutaan spesies makhluk hidup lain. Bermasalah? Sebelum ada manusia, bumi juga kosong, karena iklim di bumi tidak tidak memungkinkan makhluk bisa hidup. Begitu juga di beberapa planet lain, perbedaan temperatur siang malam yang sangat besar menyebabkan makhluk yang kita kenal di bumi tidak bisa hidup. Gambar 2 menunjukan tiga kemungkinan perubahan suhu bumi akibat pemanasan global. Kemungkin pertama adalah terjadinya kenaikan rata‐rata suhu bumi bergeser menjadi lebih panas secara merata. Suhu terendah bergeser semakin panas, suhu tertinggi juga bergeser semakin panas. Skenario kedua, kenaikan varian suhu di bumi. Rata‐rata suhu bumi tetap, tidak banyak perubahan akan tetapi variasi suhu panas‐dingin semakin lebar. Kadang terjadi suhu ekstrim panas dan terjadi Hasbullah Thabrany
Page 2
suhu ekstrim kiri. Kita telah mengenal El Nino dan La Nina. Suhu panas menyebabkan semakin banyak uap air di udara yang menyebabkan tingginya curah hujan di salah satu bagian bumi. Turunnya hujan atau salju yang sering atau lebih banyak menimbulkan suhu lebih dingin di bagian bumi tersebut. Penduduk di sebagian belahan bumi, seperti di Mongolia sudah terbiasa dengan suhu ekstrim, minus 40 0C di musim dingin dan plus 45 0C di musim panas. Kita di Indonesia tidak pernah mengalami suhu ekstrim. Kini hidup di dunia yang amat menyenangkan, yang di negara‐negara utara atau selatan dikenal sebagai suhu musim panas yang selalu hangat. Suhu di Indonesia bervariasi hanya antara 18‐35 0c. Jangan heran, jika kita menjadi pemalas dan senang relaks terus. Memang, mereka yang biasa hidup di empat musim sangat menantikan musim panas yang hangat dan
GAMBAR 2
mereka menghabiskan libur panjang di musim panas.
TIGA SKENARIO PERUBAHAN IKLIM
Karena kita selalu berada di musim panas, maka kita selalu “libur”. Akibatnya produktifitas kita rendah. Skenario ketiga adalah kombinasi kenaikan rata‐rata yang seragam, shift to the right, dan kenaikan varians suhu di bumi. Kombinasi ini tentu saja mengharuskan manusia beradaptasi dengan lingkungan suhu yang baru. Bagaimana kita beradaptasi? Kita tidak perlu khawatir. Tuhan telah melengkapi diri kita dengan termo‐regulator dan termo‐adaptor (Kovats, 2000). Akan tetapi, seperti juga termostat di mobil kita, termostat di tubuh kita juga mempunyai batas kerja. Pada suhu tertentu, termostat akan rusak dan jika hal itu terjadi, seluruh tubuh kita tidak bisa menangkap sensor panas dan karenanya tidak beradaptasi. Mempelajari pengalaman selama ini, di beberapa belahan bumi, seperti di Timur Tengah, penduduk sudah biasa hidup pada suhu 50‐55 0C di musim panas. Mereka masih mampu beradaptasi. Begitu juga penduduk di Alaska dan di lingkaran kutub sudah biasa juga hidup pada suhu ‐40 0C di musim dingin. Jika saja suhu terpanas rata‐rata di Indonesia naik dari kini sekitar 35 0C menjadi 50 0C, kita masih bisa beradaptasi. Namun demikian, lingkungan hidup kita, pohon dan
binatang, juga beradaptasi. Mungkin banyak pohon yang menjadi sumber kehidupan kita akan mati Hasbullah Thabrany
Page 3
atau tidak produktif lagi. Kita akan kesulitan bahan makanan produksi dalam negeri, sebagaimana orang‐orang yang hidup di gurun harus mengimpor sayuran dan buah‐buahan segara dari negara lain. Mungkin kita akan memproduksi korma. Tetapi bagaimana dengan mereka yang kini hidup di suhu 50‐55 0C maksimum. Jika suhu rata‐rata naik sampai 10‐15 0C terjadi juga di sana, maka di musim panas mereka tidak bisa keluar. Diperlukan banyak mesin pendingin di musim panas. Bukti empirik menunjukan bahwa tubuh manusia masih bisa beradaptasi. Lebih dari itu, akal kita bekerja lebih canggih untuk mencari pakaian dan menciptakan mesin‐mesin yang bisa mengubah suhu rumah, kantor, bahkan mungkin pertanian. Tidak ada masalah. Tetapi, mungkin banyak kuman dan vektor penyakit yang bermutasi sehingga menimbulkan masalah baru. Kita belum tahu. Bisa jadi, kenaikan rata‐rata suhu bumi 5‐15 0C merata atau varians yang naik akan menimbulkan penyakit baru. Mungkin akan kita temui penyakit malaria di Inggris, Rusia, atau Kanada. Sebaliknya, kita mungkin akan banyak menemui penyakit yang kini banyak terjadi di Timur Tengah. Mungkin juga lingkungan hidup kita akan mirip dengan lingkungan hidup di gurun sahara. Jadi, efek langsung iklim terhadap kesehatan manusia mungkin tidak terlalu banyak, karena kemampuan manusia beradaptasi baik oleh dirinya sendiri karena adanya termostat yang baik. Mungkin juga manusia bisa beradaptasi dengan menggunakan akalnya, sehingga manusia bisa tetap hidup untuk suatu periode perubahan suhu rata‐rata sampai pada suhu maksimum yang kini terjadi di beberapa belahan bumi. Tetapi, efek iklim terhadap kesehatan manusia dipengaruhi banyak faktor lain, khususnya perubahan yang terjadi pada binatang dan tumbuhan pembawa atau penyebab penyakit. Termasuk perubahan terhadap virus, bakteri, dan parasit yang selama ini menjadi agen penyakit. Maka kita harus bekerja keras menemukan penyebab penyakit dan faktor‐ faktor yang mempengaruhinya.
EFEK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KESEHATAN MANUSIA Diatas telah dijelaskan sekilas tentang efek kesehatan yang disebabkan oleh perubahan iklim yang sangat bergantung dari termostat manusia, akal manusia dan lingkungannya. Sesungguhnya perubahan iklim dapat mempengaruhi kesehatan manusia secara langsung maupun tidak langsung. Terlepas dari kemampuan manusia beradaptasi dan kemampuan akal manusia, efek iklim terhadap manusia sama dengan efek iklim terhadap makhluk yang lain. Setiap makhluk memiliki rentang suhu dan kelembaban lingkungan sendiri‐sendiri yang memungkinkannya bertahan hidup, hidup subur, dan mematikan. Keunggulan manusia dari makhluk lain adalah Hasbullah Thabrany
Page 4
kemampuan akalnya untuk mengubah lingkungan hidupnya. Dalam jangka pendek, memang manusia masih bisa bertahan karena kemampuan otaknya tersebut. Akan tetapi, pada suhu ekstrim tinggi atau ekstrim rendah, manusia tetap tidak mampu hidup, meskipun dibantu oleh otaknya. Selanjutnya kita akan membahas efek langsung dan efek tidak langsung perubahan iklim terhadap kesehatan manusia.
EFEK LANGSUNG HEAT AND WINTER WAVE Efek langsung perubahan iklim terhadap kesehatan manusia tidaklah mudah dirumuskan. Definisi perubahan iklim dan efek langsung bervariasi. Iklim mencakup perubahan suhu permukaan bumi, yang dipengaruhi letak geografis, ketinggian, dan lingkungan biota suatu daerah. Kunci perubahan iklim adalah perubahan suhu di suatu tempat di muka bumi. Perubahan suhu tersebut mempengaruhi angin, hujan, salju, tumbuh‐tumbuhan, dan setelah itu hewan, termasuk organisme mikro. Jika kita analisis perubahan suhu permukaan salah satu bagian bumi, sebagai penyebab perubahan lainnya, maka efek yang paling langsung terhadap kesehatan masnusia adalah efek ekstrim dingin dan ekstrim panas, relatif terhadap rentang suhu yang toleransi manusia, tanpa manipulasi diri atau lingkungan. Dalam kondisi natural, sama seperti binatang, manusia bisa bertahan pada suhu 10‐35 0C, tanpa kesulitan berarti. Tetapi pada suhu diatas 40 0C, maka sebagian manusia, khususnya anak‐anak dan orang berusia lanjut, mulai mengalami kesulitan. Suhu tinggi yang disertai kelembaban rendah menyebabkan mudahnya terjadi kekurangan air dalam tubuh (dehidrasi). Dehidrasi dapat menimbulkan berbagai gangguan fungsi temporer sampai permanen, tergantung lamanya dehidrasi terjadi. Kematian karena suhu terlalu panas (heat stroke) di kalangan jemaah haji Indonesia, yang banyak terjadi ketika musim haji jatuh di musim panas, merupakan contoh efek langsung iklim. Ketika gelombang panas melanda Eropa, banyak kematian penduduk lanjut usia tidak terhindarkan. Seperti dikemukakan oleh Confalonieri (2007), gelombang panas yang menyerang Perancis di bulan Juli dan Agustus 2003 telah menewaskan lebih dari 14.800 orang. Kematian tersebut merupakan dampak langsung dari iklim ekstrim panas. Tidak semua orang terkena dampak langsung, meskipun ia berada di luar (tanpa mencari tempat teduh, ruang berpendingan, atau berendam di air yang lebih dingin). Status kesehatan seseorang juga menentukan dampak langsung suhu ekstrim, baik panas maupun dingin (gambar 3). Dalam gambar tersebut tampak bahwa suhu rata‐rata harian di musim panas selama tahun 2003 lebih tinggi dari suhu rata‐rata Hasbullah Thabrany
Page 5
harian tiga tahun sebelumnya. Jumlah mortalitas selama musim panas 2003 juga jauh lebih tinggi dari jumlah mortalitas rata‐rata pada bulan yang sama, selama periode tiga tahun sebelumnya. Suhu rata‐rata antara tanggal 9‐14 Agustus 2003 naik dari rata‐rata diantara 20‐25 0C menjadi diatas 30 0C. Tidak terlalu tinggi untuk ukuran orang Indonesia, apalagi orang di sahara, tetapi suhu tersebut lebih tinggi sekitar 10 0C dari suhu rata‐rata tiga tahun sebelumnya. Tetapi jumlah mortalitas naik dari rata‐rata 50 orang per hari menjadi sekitar 300 (enam kali lipat) pada suhu tertinggi bulan itu. Hal ini menunjukan bahwa adaptasi tubuh manusia tergantung dari kondisi sebelumnya. Gambaran deskriptif‐grafikal seperti itu, sangat memudahkan orang awam memahami hubungan suhu dengan mortalitas. Hal ini merupakan bukti keterbatasan adaptasi manusia dalam waktu singkat, diatus suhu ekstrim tertentu. Manusia bisa beradaptasi secara evolutif terhadap perubahan suhu permukaan bumi. Untuk penduduk yang hidup di gurun sahara, suhu setinggi itu tidak menimbulkan morbitas, apalagi mortalitas. GAMBAR 3 KENAIKAN SUHU RATA‐RATA DI PERANCIS DAN KENAIKAN KEMATIAN, 2003
Selain suhu ekstrim panas, suhu ekstrim dingin juga menyebakan morbiditas dan mortalitas tinggi. Di negara‐negara empat musim, penduduk yang tidak memiliki rumah Hasbullah Thabrany
Page 6
atau penduduk yang karena miskin tidak memiliki rumah dan pemanas yang memadai mengalami berbagai penyakit yang dapat mematikan. Efek langsung suhu dingin sering terjadi pada orang‐orang yang terjebak di salju untuk waktu beberapa lama. Jika di suhu panas terjadi heat stroke, di suhu dingin terjadi frozen bite. Manusia juga mati kedinginan karena sirkulasi darah ke otak, khususnya, terhambat. Hambatan sirkulasi darah ke anggota badan, karena otot‐otot membeku dan aliran darah terhambat menyebabkan nekrosis, jaringan di anggota badan mati. Apabila hal tersebut berlangsung lama, maka keadaan tidak bisa dipulihkan. Apabila jantung dan otak masih berfungsi, orang tersebut harus menjalani amputasi.
EFEK TIDAK LANGSUNG: PENYAKIT MENULAR Efek tidak langsung dari iklim jauh lebih banyak dan lebih sulit dihitung kerugian ekonominya. Banyak faktor penyulit atau penyerta yang juga turut menentukan efek iklim tidak langsung terhadap manusia. Badai Sidr yang terjadi di Bangladesh bulan November 2007 telah merenggut korban jiwa lebih dari 2.000 orang dan ratusan ribu orang lain menderita berbagai penyakit kulit, saluran pencernaan, dan kekurangan makanan. Jelas, topan dan badai terjadi akibat perbedaan suhu di permukaan bumi. Tetapi orang lebih mudah melihat dampak bencana alam ini terhadap kehidupan manusia secara keseluruhan. Yang paling banyak diungkap terutama adalah kehilangan tempat tinggal, kesulitan makan, dan baru terjadi gangguan kesehatan. Sulit sekali menentukan sebab langsung badai terhadap kesehatan. Tetapi yang pasti, setiap terjadi bencana alam, bukan hanya karena perubahan iklim, tetapi termasuk bencana akibat gempa atau kebakaran, dua bantuan utama dikirimkan yaitu makanan dan kesehatan. Meskipun demikian, asosiasi orang dalam menilai bencana banjir, topan, dan gelombang panas yang menimbulkan kebakaran hutan bukanlah efek iklim terhadap kesehatan. Dalam hubungan ini, efek iklim terhadap kesehatan manusia umumnya dinilai jauh. Musim panas yang berkepanjangan menyebabkan petani tidak bisa menanam bahan makanan. Hal ini berakit suplai makanan lokal berkurang sampai terjadi kelaparan. Aspek keamanan pangan, food security, juga terkait dengan perubahan iklim dan pada akahirnya menimbulkan masalah kesehatan. Masukan makanan yang kurang atau tidak seimbang mengganggu fungi‐fungsi tubuh, menurunkan kekebalan tubuh, dan pada anak‐anak dapat menimbulkan kretinisme bahkan perkembangan
Hasbullah Thabrany
Page 7
kecerdasan yang rendah yang permanen. Tetapi, lagi‐lagi, hal ini biasanya tidak dipandang sebagai hubungan iklim terhadap kesehatan. Akan tetapi, sesungguhnya efek iklim terhadap kesehatan secara tidak langsung sudah dikenal sejak lama. Kita mengenal siklus demam berdarah yang terkait dengan musim hujan. Begitu juga dengan serangan influenza, malaria, diare, tifus dan sebagainya. Penyakit‐penyakit tersebut berhubungan dengan perubahan iklim melalui perubahan kehidupan vektor atau bahan‐bahan transmisi penyebab penyakit. GAMBAR 4 PERUBAHAN SUHU DIIKUTI OLEH PERUBAHAN KEJADIAN SAKIT DI LIMA, PERU
Sumber: Checkley, 2005 Checkley seperti dikutip oleh McMichael (in press) menggambarkan naik‐turunnya suhu di Lima dengan kenaikan kasus diare yang mengikuti irama perubahan suhu. Hubungan tersebut merupakan hubungan klasik yang sudah lama difahami orang, hanya saja secara makro tidak dibuktikan dengan analisis perubahan suhu dan perubahan insidens penyakit. Sesungguhnya banyak penyakit yang berhubungan dengan cuaca, baik langsung maupun tidak langsung. Tabel di bawah ini memperlihatkan besarnya kerugian (diukur dengan DALY, disability adjusted life years) hilangnya waktu produktif manusia (setelah dikurangi masa disabilitas) di dunia. Dalam tabel di bawah ini juga disajikan mode transmisi penyakit dan hubungannya dengan variasi cuaca. Tampak bahwa influenza menghilangkan 94 juta tahun produktif manusia di muka bumi ini. Kasus influenza ditularkan melalui udara dan kejadiannya bervariasi dengan variasi cuaca. Sensitifitas penyakit ini terhadap cuaca bisa jadi berubah, menjadi tambah banyak atau tambah sedikit, dengan pemanasan global.
Hasbullah Thabrany
Page 8
TABEL 1 KERUGIAN BEBERAPA PEYAKIT YAN BERKAITAN DENGAN CUACA
Penyakit
DALY loss
Transmisi
Distribusi
Variasi cuaca
Epidemi pada temperatur (T)
Sensitif cuaca
(jt, dunia) Influenza
94
udara
dunia
*****
T rendah
**
Diare
62
Makanan‐air
dunia
***
T tinggi H rendah
**
Kolera
=diare
Makanan‐air
Afrika Asia
*****
T tinggi
*****
Malaria
46
nyamuk
tropis
*****
T tinggi H tinggi
*****
TBC
35
udara
dunia
**
‐
‐
Meningitis
6
udara
dunia
****
T tinggi L rendah
***
Filariasis
6
nyamuk
tropis
‐
T tinggi H rendah
**
DBD
0,6
nyamuk
Tropis‐ dunia
****
T tinggi H tinggi
***
L tinggi Ensefalitis Jepang
0,7
nyamuk
ASEAN
***
T tinggi H tinggi
***
RINGKASAN Secara ringkas, berbagai literatur dan studi yang telah dilakukan oleh para ahli, baik di tingkat universitas, pemerintah, maupun lembaga internasional seperti WHO telah membuktikan bahwa banyak penyakit yang berkaitan erat dengan iklim. Kejadian sakit dapat dipengaruhi iklim Hasbullah Thabrany
Page 9
secara langsung, seperti heat stroke, dapat juga dipengaruhi oleh perkembangan vektor pembawa penyakit atau kondisi sosial ekonomi yang berubah. Banjir dan kekeringan berkaitan dengan suplai air bersih dan bahan makanan, yang pada gilirannya mempengarhui juga kesehatan manusia. Dampak terberat dari pengaruh kesehatan adalah kematian. Tabel di bawah ini meringkas berbagai hubungan iklim dan kesehatan. TABEL 2 RINGKASAN HUBUNGAN IKLIM/CUACA DENGAN MORBIDITAS DAN MORTALITAS
Dampak Kesehatan Mortalitas karena gangguan Kardiovaskular, pernafasan, dan stroke
Efek yang Telah Diketahui Berhubungan dengan Cuaca/Iklim Kenakitan mortalitas ringan selama gelombang panas Hubungan berbentuk hurup V dan J antara kenaikan suhu dan kematian penduduk Kematian karena heat stroke meningkat selama terjadi gelombang panas Cuaca mempengaruhi konsentrasi polutan berbahaya
Rinitis Alergika, Alergi hidung
Cuaca mempengaruhi insiden alergik musiman dan produksi aeroalergen
Kematian dan rudapaksa (injuries)
Banjir, tanah longsor, dan badai menimbulkan rudapaksa dan kematian langsung
Penyakit menular dan gangguan mental
Banjir memutus suplai air bersih dan merusak sistem sanitasi dan mungkin merusak jaringan transportasi yang pada akhirnya membahayakan kesehatan Banjir memungkinkan tumbuhnya tempat‐tempat pembiakan vektor dan menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) Banjir meningkatkan gangguan stress
Kelaparan, gangguan gizi, diare, dan penyakit saluran pernafasan
Kekeringan mengurangi persediaan air dan higiene yang menimbulkan banyak masalah kesehatan
Penyakit menular melalui nyamuk, roden, dan tungau (malaria, Demam Berdarah, Elepantiasis, dll)
Suhu tinggi memperpendak perkembangan patogen di dalam tubuh vektor dan mempercepat transmisi ke manusia
Penyakit menular melalui air dan makanan
Suhu mempengaruhi pertumbuhan kuman di dalam makanan dan air serte memudahkan penularan ke manusia
Hasbullah Thabrany
Kekeringan juga meningkatkan risiko kebakaran hutan yang menimbulkan polusi dan kekurangan pangan
Setiap vektor memiliki suhu optimum untuk pertumbuhan vektor dan bahan patogen
Suhu juga mempengaruhi ketersediaan air dan makanan, yang apabila jumlahnya terbatas, risiko penularan semakin besar
Page 10
Iklim ekstrim juga dapat mencemari sumber air bersih
BAHAN BACAAN: McMichael AJ. Dkk. Global climate change. Dalam Comparative Quantification of Health Risks. Memeograf, 2007 Kuhn dkk. Using climate to predict infectious disease epidemics / Communicable Diseases Surveillance and Response, Protection of the Human Environment, Roll Back Malaria., WHO Geveva, 2005 Kovats. R.S dkk. Climate Change And Human Health: Impact And Adaptation. WHO. Geneva, 2000 Confalonieri, U., B. Menne, R. Akhtar, K.L. Ebi, M. Hauengue, R.S. Kovats, B. Revich and A. Woodward, 2007: Human health. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson, Eds.,Cambridge University Press, Cambridge, UK, 391‐431
Hasbullah Thabrany
Page 11