UNIVERSITAS INDONESIA
RISIKO BENCANA LETUSAN GUNUNG GEDE DI KECAMATAN CIPANAS
SKRIPSI
TRI YOGATAMA 0806328796
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN GEOGRAFI DEPOK 2012
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
RISIKO BENCANA LETUSAN GUNUNG GEDE DI KECAMATAN CIPANAS
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
TRI YOGATAMA 0806328796
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN GEOGRAFI DEPOK 2012
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
ii Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
iii Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, nikmat dan karunia yang dilimpahkan kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul “ Risiko Bencana Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas” ini telah berhasil diselesaikan. Penulisan tugas akhir dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains Ilmiah Departemen Geografi , Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak maka penulis sangat sulit untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Setiap bagian dari skripsi ini tidak terlepas dari inspirasi dan bantuan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal ini, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Dr.rer.nat. Eko Kusratmoko , M.S dan Drs. Supriatna , M.T selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini; 2. Dr. Djoko Hamantyo , M.S selaku ketua sidang serta Drs. Sobirin , M.Si dan Drs. F.TH.R. Sitanala , M.S selaku dewan penguji yang selalu memberikan koreksi dan masukan kepada penulis , sehingga penulis dapat memberikan tulisan yang lebih baik lagi serta mampu meneguhkan nilainilai yang tertuang dalam tulisan ini; 3. Sumber inspirasi hidup sepanjang masa yaitu kedua orang tua (Ibu dan Almarhum Bapak) yang telah memberikan doa, nasihat, dukungan moril maupun materiil serta motivasi dan arah hidup saat penulis berada dititik terendah hidupnya. Semoga dengan selesainya tulisan ini penulis mampu membuat bahagia dan bangga kedua orang tua; 4. Kedua kakak tercinta Mbak Niken dan Mas Daru yang telah mendoakan penulis untuk menjadi manusia yang sukses beserta dua keponakan Mas Altaf dan Dede Icha yang tiada hentinya mengisi keseharian penulis dengan kebahagian; 5. Seluruh civitas akademika Departemen Geografi FMIPA UI termasuk seluruh dosen yang telah membimbing penulis dalam memberikan ilmu dan pengajaran yang baik; 6. Seluruh teman-teman angkatan Geografi 2008 yang menjadi teman seperjuangan dalan menempuh perkuliahan. Seluruh rekan band Trevertine yang telah mengganti jadwal kuliah menjadi jadwal nge-band. Rekan rekan seperjuangan dari kaum sayap kiri yang menjadikan perkuliahan tidak membosankan dengan humor – humor dan kegiatan – kegiatan tidak pentingnya, penulis bangga bisa menjadi bagian dari kalian;
iv Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
7. Seluruh alumni dan senior serta teman – teman bergabung dalam tim BNPB selama kurang lebih enam bulan yang telah mengisi akhir – akhir perkuliahan yang memberikan manfaat besar bagi penulis; 8. Seluruh teman – teman Geografi angkatan 2006, 2007, 2009, 2010 dan para alumni yang telah mengisi masa perkuliahan penulis di kampus serta mendukung dan mendoakan penyusunan skripsi; Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan, semoga Allah SWT membalas jasa semuanya. Penulis menyadari bahwa skripsi masih terdapat banyak kekurangan dan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Terima kasih.
v Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
vi Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
ABSTRAK Nama : Tri Yogatama Program Studi : Geografi Judul : Risiko Bencana Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas Penelitian ini membahas tentang tingkat kerentanan letusan Gunung Gede pada daerah sekitar Gunung Gede dan juga tingkat risiko bencana letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas dengan menghitung pengaruh faktor bahaya, kerentanan dan kapasitas. Untuk menghasilkan kelompok desa rentan yang memiliki kemiripan data digunakan metode K-Means Cluster. Terdapat 44 desa/kelurahan di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi yang berada di wilayah bahaya letusan Gunung Gede. Desa yang memiliki tingkat kerentanan tinggi memiliki karateristik lokasi berbatasan langsung dengan lokasi puncak Gunung Gede sehingga faktor bahaya menjadi faktor utama tingginya tingkat kerentanan disuatu desa, karateristik ini dimiliki oleh desa – desa di Kabupaten CIanjur. Kerentanan tinggi juga ditemukan pada daerah – daerah yang tidak berbatasan langsung dengan lokasi Gunung Gede namun memiliki tingkat kerentanan tinggi dikarenakan faktor kerentanan sosial,ekonomi dan fisik yang lebih tinggi dibandingkan desa lain, karateristik ini dimiliki oleh desa – desa di Kabupaten Sukabumi yang berbatasan langsung dengan Kota Sukabumi. Nilai perkiraan kerugian akibat letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas diperkirakan sebesar Rp 251,29 MilIar. Risiko letusan gunung gede dengan kelas risiko tinggi memiliki karateristik kerugian yang tinggi akibat bahaya letusan dan memiliki tingkat kerentanan tinggi. Desa dengan risiko rendah memiliki karateristik sebagian besar variabelnya memiliki nilai dibawah rata – rata dan juga memiliki kapasitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan desa lain. Kata Kunci
: Risiko, Kerentanan, Bahaya, Gunung Gede, K-Means Cluster
vii Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
ABSTRACT Name Courses Title
: Tri Yogatama : Geography : Disaster of Risk Eruption of Mt.Gede in Cipanas District
This study discusses the vulnerability of the eruption of Mount Gede in the area around Mount Gede and also the level of risk of the eruption of Mount Gede in District Cipanas with calculate the influence of factors hazards, vulnerabilities and capacities. The generate of susceptible vilages that have similar data using KMeans Cluster. There are 44 villages in Cianjur and Sukabumi district who are in the danger zone eruption of Mount Gede. Villages that have a high of vulnerability has a characteristic location immediately adjacent to the location of the summit of Mount Gede, so the main danger factor to the high level of vulnerability factors sector in the village, this characteristic is owned by the village - the village in Cianjur. And also high vulnerability was found in the area areas not directly adjacent to the location of Mount Gede, but has a high degree of vulnerability due to the vulnerability factors of social, economic and physical higher than other villages, this characteristic is owned by the village - the village in Sukabumi district directly adjacent to the Sukabumi City. Estimated value losses due to the eruption of Mount Gede in Cipanas district is estimated at Rp 251.29 billion. The risk of big volcanic eruptions with a high risk class has a characteristic high losses due to the danger of the eruption and has a high of vulnerability. Villages with a low risk of having most of the characteristics variables have a value below the average and also has a higher capacity than the other villages. Keywords: Risk, Vulnerability, Hazard, Mt.Gede, K-Means Cluster
viii Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSYARATAN ORISINALITAS HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL
vi vii ix xi xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Batasan Penelitian
1 1 3 3 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letusan Gunung Api 2.2 Gunung Gede 2.3 Bencana 2.4 Bahaya, Kerentanan dan Kapasitas 2.4.1 Bahaya 2.4.2 Bahaya Letusan Gunung Api 2.4.3 Kerentanan 2.4.4 Kapasitas 2.5 Risiko Bencanan 2.6 Standarisasi Data 2.7 Clustering 2.8 K-Means 2.9 Penelitian Terdahulu
5 5 6 8 9 9 10 12 14 15 17 18 19 20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Daerah Kajian 3.2 Diagram Alur Pikir 3.3 Variabel Penelitian 3.4 Pengolahan Data 3.4.1 Pengolahan Data Bahaya 3.4.2 Pengolahan Data Kerentanan
21 21 21 22 24 24 24
ix Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
i ii iii iv
3.4.3 Pengolahan Data Risiko 3.5 Analisis Data
24 26
BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1 Kabupaten Cianjur 4.2 Kabupaten Sukabumi 4.3 Gunung Gede 4.4 Bahaya Letusan Gunung Gede 4.5 Kecamatan Cipanas 4.5.1 Kondisi Sosial Ekonomi Kecamatan Cipanas 4.5.2 Penggunaan Tanah Kecamatan Cipanas 4.5.3 Infrastruktur Kecamatan Cipanas
27 27 29 32 33 36 36 38 40
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kerentanan Letusan Gunung Gede di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi 5.2 Kerentanan Kecamatan Cipanas 5.2.1 Kerentanan Sosial 5.2.2 Kerentanan Fisik 5.2.3 Kerentanan Ekonomi 5.3 Pengolahan Kerentanan Cipanas 5.3.1 Pengolahan Kerentanan Sosial dan Kerentanan Fisik 5.3.2 Pengolahan Kerentaan Ekonomi 5.3.3 Tingkat Kerentanan Cipanas 5.4 Kapasitas 5.5 Risiko Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas 5.5.1 Kerugian di Sektor Permukiman 5.5.2 Kerugian di Sektor Infrastruktur 5.5.3 Kerugian di Sektor Pertanian
43 43 50 52 54 57 58 58 61 65 68 72 76 77 79
BAB VI KESIMPULAN
81
DAFTAR PUSTAKA
82
x Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Peta Bahaya Letusan Gunung Gede (PVMBG) Gambar 2.2 Kerangka Konsep Risiko Bencana Davidson Gambar 3.1 Diagram Alur Pikir Gambar 3.2 Alur Kerja Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi Gambar 4.2 Peta Lereng di Wilayah Sekitar Gunung Gede Gambar 4.3 Peta Bahaya Letusan Gunung Gede Gambar 4.4 Peta Administrasi Kecamatan Cipanas Gambar 4.5 Peta Penggunaan Tanah Kecamatan Cipanas Gambar 4.6 Peta Infrastruktur Kecamantan Cipanas Gamabr 5.1 Peta Kerentanan Letusan Gunung Gede Gambar 5.2 Peta Bahaya Letusan Gunung Gede Kecamatan Cipanas Gambar 5.3 Grafik Persentase Luas Bahaya Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas
12 16 22 25 31 34 35 37 39 42 49 50 51
Gambar 5.4 Peta Kerentanan Sosial dan Fisik Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas
60
Gambar 5.5 Peta Kerentanan Ekonomi Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas
64
Gambar 5.6 Peta Kerentanan Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas
67
Gambar 5.7 Peta Kapasitas Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas
71
Gambar 5.8 Peta Tingkat Risiko Letusan Guung Gede di Kecamatan Cipanas
75
Gambar 5.9 Persentase Kerugian di Sektor Permukiman
77
Gambar 5.10 Peta Infrastruktur di Wilayah Bahaya Awan Panas
78
Gambar 5.11 Grafik Potensi Kerugian di Sektor Pertanian
80
xi Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Variabel Penelitian
23
Tabel 4.1 Penduduk Kabupaten Cianjur
28
Tabel 4.2 Penduduk Kabupaten Sukabumi
30
Tabe 4.3 Penduduk Kecamatan Sekitar Gunung Gede
36
Tabel 4.4 Penggunaan Tanah Kecamatan Cipanas
38
Tabel 4.5 Jumlah Sekolah di Kecamatan Cipanas
40
Tabel 4.6 Jumlah Tempat Ibadah di Kecamatan Cipanas
41
Tabel 5.1 Desa – desa di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi Yang Berada di Wilayah Bahaya
42
Tabel 5.2 Kluster Akhir Kerentanan di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi 45 Tabel 5.3 Distribusi Jumlah Anggota Tiap Kluster
46
Tabel 5.4 Klusifikasi Tngkat Kerentanan di Kabupaten Ciannjur dan Kabupaten Sukabumi
47
Tabel 5.5 Tingkat Kerentanan Desa – Desa di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi.
48
Tabel 5.6 Luas Wilayah Tiap Desa di Kecamatan Cipanas
51
Tabel 5.7 Demografi Kecamatan Cipanas
52
Tabel 5.8 Penduduk Cacat di Kecamatan Cipanas
53
Tabel 5.9 Kepadatan Permukiman di Kecamatan Cipanas
54
Tabel 5.10 Jumlah Rumah di Kecamatan Cipanas di Wilayah Bahaya
55
Tabel 5.11 Fasilitas Umum di Kecamatan Cipanas
56
Tabel 5.12 Industri di Kecamatan Cipanas
56
Tabel 5.13 Pertanian di Kecamatan Cipanas
57
Tabel 5.14 Kluster Akhir Kerentanan Sosial dan Fisik
58
Tabel 5.15 Kluster Akhir Kerentanan Ekonomi di Kecamatan Cipanas
61
Tabel 5.16 Klasifikasi Kelas Kerentanan Ekonomi di Kecamatan Cipanas 62 Tabel 5.17 Kluster Akhir Kerentanan Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas
65
Tabel 5.18 Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Cipanas
68
Tabel 5.19 Tenaga Medis di Kecamatan Cipanas
69
xii Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
Tabel 5.20 Kluster Akhir Kapasitas Kecamatan Cipanas
69
Tabel 5.21 Kelas Kapasitas di Kecamatan Cipanas
70
Tabel 5.22 Nilai Kapasitas Kecamatan Cipanas
72
Tabel 5.23 Kluster Akhir Pengolahan Data Risiko Bencana Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas
73
Tabel 5.24 Kerugian di Sektor Permukiman
77
Tabel 5.25 Kerugian di Sektor Infrastruktur
78
Tabel 5.26 Kerugian di Sektor Pertanian
79
xiii Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sejarah kejadian bencana alam yang cukup banyak, diantaranya adalah tsunami, gempa bumi, kekeringan, banjir, letusan gunung api dan sebagainya. Salah satu penyebab banyaknya potensi kejadian bencana alam di Indonesia adalah letak Indonesia yang berada di pertemuan lempeng – lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Pertemuan lempeng dalam jangka panjang akan menghimpun energi yang suatu waktu akan lepas dan dapat menghasilkan bencana. Pertemuan antar lempeng juga menyebabkan Indonesia berada di jalur “The Ring of Fire” (Cincin Api) yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya jumlah gunung api di Indonesia yang berjumlah sekitar 129 gunung dengan beberapa diantaranya memiliki sejarah letusan yang hebat (BNPB, 2010). Letusan gunung api merupakan peristiwa keluarnya magma dari dalam perut bumi melalui puncak gunung api dengan kekuatan besar sehingga mengeluarkan lava pijar dan batuan/debu vulkanik. Dalam beberapa tahun belakangan ini bencana letusan gunung api menjadi topik yang sedang hangat, hal ini dikarenakan terjadinya bencana letusan Gunung Merapi (Magelang – Sleman) pada tahun 2006 dan 2010 yang diikuti oleh peningkatan aktifitas dibeberapa gunung di Pulau Jawa serta yang terakhir terjadi letusan gunung api di Gunung Gamalama (Maluku Utara) di tahun 2011. Meningkatnya aktifitas vulkanisme saat ini menyebabkan masih terdapat kemungkinan terjadi potensi bencana letusan gunung api di beberapa daerah di Indonesia. Untuk itu pemerintah daerah melakukan pengawasan pada beberapa gunung api diantaranya dengan cara melakukan kerja sama dengan PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) serta pembuatan posko – posko yang bertugas mencatat secara berkala aktifitas gunung- gunung api yang ada. Pengawasan juga dilakukan terhadap gunung - gunung api yang memiliki catatan letusan hebat namum saat ini sedang dalam keadaan stabil, gunung – gunung tersebut memiliki julukan sebagai raksasa tertidur. Salah satu raksasa tertidur yang terkenal di Jawa Barat dalah Gunung Gede yang juga menjadi salah Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
2
satu dari 7 gunung di Jawa Barat yang diawasi ketat oleh PVMBG karena telah melewati siklus normal letusan (Zakaria; 2008). Gunung Gede (2958 m) terletak di antara Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi yang secara geografis berdekatan dengan Gunung Pangrango. Dokumentasi pertama mengenai letusan Gunung Gede terjadi pada tahun 17471748 dan terakhir melakukan aktivitas letusan gunung api pada tanggal 13 Maret di tahun 1957, letusan disertai suara gemuruh dengan tinggi awan letusan kurang lebih 3 km diatas kawah (Hadikusumo, 1957 dikutip oleh Zufiadi Zakaria). Dari data historis kejadian letusan, Gunung Gede memiliki siklus letusan terpendek selama setahun, siklus normal 40 tahun dan siklus panjang 70 tahun (PVMBG). Untuk mengurangi dampak dari bencana yang belum dan berpotensi untuk terjadi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah berusaha melakukan usaha perventif (pencegahan). Usaha preventif terhadap bencana merupakan bagian awal dari siklus penaggulangan bencana serta sebagai sebuah bentuk pelaksanaan dan aplikasi terhadap Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 yang membahas tentang kebencanaan.
Diharapkan
dengan
melakuksan
usaha
preventif
mampu
memprediksi serta mengurangi kerugian yang disebabkan oleh suatu bencana. Pada dasarnya bencana merupakan perpaduan dua elemen yaitu bahaya dan kerentanan. Dengan kedua elemen tersebut dapat diketahui risiko yang dimiliki suatu daerah yang diakibatkan oleh suatu bencana. Analisis risiko tersebut merupakan analisis yang didasarkan pada analisis ancaman (hazard), kerentanan (vulnerability) dan kemampuan (capacity) dalam menangani bencana. Selanjutnya analisis ini akan memberikan gambaran atas kemungkinan terjadinya bencana pada beberapa tahun yang akan datang. Pembuatan peta bahaya, kerentanan dan risiko bencana merupakan salah satu langkah untuk melakukan kegiatan pencegahan bencana. Penelitian risiko ini dilakukan untuk melihat bagaimana tingkat kerugian atau kerusakan apabila bencana letusan gunung api terjadi pada Gunung Gede, khususnya untuk Kecamatan Cipanas. Kecamatan Cipanas menjadi fokus dalam pemelitian dikarenakan sebagian besar daerah termasuk kedalam wilayah rawan bencana (KRB) namun terjadi peningkatan aktivitas manusia yang cukup pesat dibandingkan dengan daerah lain di Kabupaten Cianjur, hal ini dibuktikan dengan Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
3
banyak dibangunnya vila - vila dikaki Gunung Gede. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif menggunakan metode cluster K-menas yang bertujuan agar tingkat kerentanan dan risiko dihasilkan berdasarkan sebaran data yang dimiliki desa-desa yang berada diwilayah kajian. Untuk itu perlu dilakukan penelitian “Risiko Bencana Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas” yang diharapkan nantinya hasil ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan wilayah di masa yang akan datang.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana sebaran tingkat kerentanan dan persebaran wilayah – wilayah yang berpotensi terkena bahaya letusan Gunung Gede di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi? 2. Bagaimana tingkat risiko bencana di Kecamatan Cipanas akibat letusan Gunung Gede?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Memetakan wilayah kerentanan akibat letusan Gunung Gede dengan melihat pengaruh faktor sosial ekonomi dan fisik dari tiap desa yang berada di wilayah bahaya. 2. Memetakan dan melakukan perhitungan pengaruh aspek bahaya, kerentanan dan kapasitas untuk menghasilkan tingkat risiko bencana dari letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas.
1.4 Batas Penelitian a. Bencana adalah peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
4
b. Gunung api merupakan tempat keluarnya magma yang mempunya kenampakann di permukaan bumi sebagai suatu tonjoloan berbentuk kerucut, deretaan krucut atau hanya berupa lubang letusan dan atau kawah. c. Letusan gunung api keluarnya magma kepermukaan baik berupa lelehan pijar (lava), bahan – bahan gas (exhalasi) maupun bahan padat atau setengah padat yang dilempar ke udara (piroklastik). d. Risiko bencana adalah adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan dalam kurun waktu tertentu, yang dapat juga berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. e. Bahaya adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan. f. Bahaya letusan gunung api adalah fenomena yang mengancam kehidupan manusia yang disebabkan meletusnya suatu gunung api. Bahaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahaya awan panas dan abu vulkanik. g. Bahaya yang digunakan bersumber dari peta KRB Gunung Gede yang dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) h. Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya . Dalam penelitian ini, kerentanan akan dilihat dari tiga aspek yaitu kerentanan fisik, kerentanan sosial dan kerentanan ekonomi. i.
Kapasitas adalah kemampuan masyarakat dalam mempersiapkan perkiraan kondisi bencana.
j.
Kapasitas sumber daya adalah kapasitas yang meliputi aspek pendanaan, peralatan atau fasilitas dari sumberdaya manusia terlatih dan terdidik.
k. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah desa (desa).
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letusan Gunung Api Gunung api adalah tempat keluarnya magma yang mempunyai kenampakan di permukaan bumi sebagai suatu bagian puncak gunung berbentuk kerucut, deretan kerucut atau hanya berupa lubang letusan dan atau kawah. Tubuh gunung api tersusun dari endapan hasil letusannya berupa batuan – batuan vulkanik yang terdiri dari lava, piroklastik, abu gunung api dan rempah – rempah lainnya yang terakumulasi ribuan tahun yang lampau. Aktivitas gunung api dapat menimbulkan bencana bagi manusia yaitu pada saat terjadinya Vulkanisme. Vulkanisme (letusan gunung api) adalah keluarnya magma kepermukaan baik berupa lelehan pijar (lava), bahan – bahan gas (exhalasi) maupun bahan padat atau setengah padat yang dilempar ke udara (piroklastik). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah membagi
suatu
klasifikasi
prioritas
terutama
untuk
pemantauan
dan
pengamatannya. Klasifikasi ini didasarkan kepada tingkat kegiatannya yang diketahui menjadi tiga tipe, yaitu:
Tipe A :Gunung api yang meletus atau menunjukan kegiatannya sejak tahun 1600 yang saat ini berjumlah sebanyak 79 buah. Untuk tipe A ini dipantau secara terus menerus kegiatannya dari pos Pengamatan Gunung api
Tipe B : Gunung api yang pernah meletus, tetapi sejak tahun 1600 tidak pernah menunjukan peningkatan kegiatannya dan saat ini berjumlah 29 buah.
Tipe C : Gunung api yang dianggap sudah padam atau istirahat lama. Pada daerah ini hanya terdapat jejak gunung api berupa solfatara, fumarola. Berjumlah sebanyak 21 buah.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
6
2.2 Gunung Gede Gunung Gede (2958 m) merupakan salah satu gunung api aktif tipe A di Jawa Barat, terletak di antara Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi yang secara geografis berdekatan dengan Gunung Pangrango. Dokumentasi pertama mengenai letusan Gunung Gede terjadi pada tahun 1747-1748 dan terakhir melakukan aktivitas letusan gunung api pada tanggal 13 Maret di tahun 1957, letusan disertai suara gemuruh dengan tinggi awan letusan kurang lebih 3 km diatas kawah (Hadikusumo, 1957). Dari data historis kejadian letusan, Gunung Gede memiliki siklus letusan terpendek selama setahun, siklus normal 40 tahun dan siklus panjang 70 tahun, berikut data historis kejadian letusan Gunung Gede (Peta KRB Gunung Gede); a. 1747 dan 1748 : Erupsi hebat yang menghancurkan tubuh gunung api b. 1761 : Menurut Junghun terjadi letusan yang hanya menghasilkan abu c. 29 Agustus 1832 : Setelah 71 tahun istirahat terjadi erupsi, kolom erupsi sangat tinggi terlihat dari Bogor. Pada jam 11 dan 12 terjadi hujan abu lebat. Tiupan angin ke arah barat. Di Jakarta abu diendapkan tipis. d. 1840 : Kegiatan Gunung Gede meningkat setelah 8 tahun istirahat (Haskarl dan Junghun 1854). 12 November jam 03.00 malam terjadi erupsi hebat dengan gempa bumi hebat dan suara gemuruh, terlihat semburan api setinggi 50 m di atas kawah, terjadi lontaran bom vulkanik dengan kolom erupsi tinggi, arah tiupan angin ke arah Bogor sehingga terjadi hujan abu di kota tersebut. Pada 14 Nopember hujan abu tertuip angin hingga 20 km. Pada 22 November terjadi gempa tremor dengan kolom erupsi membumbung disertai lontaran batu dan keesokan harinya daerah puncak nampak seperti terbakar. e.
1 Desember 1840 : Pada jam 06.00 terjadi erupsi paroksisma dengan suara gemuruh, kolom api setinggi 200m diatas tepi kawah dan kolom erupsi setinggi 2000m diatas puncak gunung. Pada 3 Desember jam 18.00 dan 11 Desember jam 14.00 terjadi erupsi yang sama diakhiri dengan hujan abu.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
7
f. 1843 : Setelah istirahat selama 3 tahun terjadi erupsi lagi menghasilkan hujan abu tipts pada 28 Juli 23.30. Junghun (1843) melaporkan adanya tiang asap atau abu yang membara, dan abu jatuh didaerah Cianjur dan Cicurug. g. 23 Januari 1845 : Pada jam 10.30 terjadi erupsi, kolom asap dan abu disertai suara gemuruh berlangsung hingga jam 15.00 h. 5 Maret 1845: Terjadi erupsi serupa jam 22.30 dengan gempa tremor terasa di Cianjur dan Bogor i.
17 dan 18 Oktober 1847: Terjadi erupsi, abu tipis jatuh di Bogor. 17 Oktober terjadi tremor dan 18 Oktober terlihat kolom asap tebal hitam di atas puncak Gunung Gede.
j.
6 Mei 1848: Erupsi abu dengan kolom erupsi tebal
k. 28 Mei 1852: Pagi hari terjadi erupsi abu dengan tiang asap dan melontarkan fregman lava diameter 5-30 cm. l.
14 Maret 1853: Jam 7-9 pagi terjadi letusan asap tinggi
m. 18 September 1866: Hujan abu n. 29-30 Agustus 1869: Erupsi dengan kolom erupsi sangat tebal dan tampak bara api o. 3 Oktober 1870: Jam 09.45 terdengar ledakan kuat kemudian tenang kembali p. Januari dan Februari 1885: Terjadi erupsi q. 1 -14 Mei 1900: Erupsi, sinar api r. 2 Mei 1909: Letusan abu, suara gemuruh, menurut Taverne (1926) hujan abu tipis selama 2 hari. Menurut N.van Padang (1952) merupakan erupsi normal. Menurut Petrochevsky (1948) dikawah terdapat perluasan lapangan fumarola yang menyebabkan tumbuhan di sekitarnya mati. s. 19 – 26 Desember 1946: Letusan asap di kawah ratu t. 2 September 1947: Hujan abu tipis, jam 09.00 – 09.30 terjadi awan letusan setinggi 600m, berlangsung sampai 20 November jam 01.00, dan 15 November jam 01.25 dan 12.15. 28 Nopember jam 11.25 dan 30 Nopember jam 21.27 terjadi letusan dengan interval 2-3 menit.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
8
u. 8 Januari 1938: Jam 00.02 terjadi letusan selama 3 menit, semburan pasir dan lapili. Selama Januari tejadi 5 kali letusan, yaitu 11 Januari jam 21.50 selama 20 detik, 17 Januari jam 15.45 terjadi letusan pendek,, 22 Januari jam 0.45 dan 01.00 letusan pendek, 25 Januar jam 07.30 dan 07.32 terjadi letusan 3 menit (Berlage 1948). Pada 28 Januari 1948 jam 04.23 terjadi letusan. Nopember terjadi 5 kali letusan: 15 Nopember 06.45 letusan abu; 20 Nopember 03.45 letusan; 23 Nopember 07.00 terjadi 3 kali letusa dengan ketinggian kolom letusan 2500m (Adnawidjaya,1948) v. 17 Januari 1949: Letusan kecil di Kawah pusat (N.M van Padang, 1951) w. 2 Agustus 1955: Menurut Djatikusumo (1955) jam 02.00 letusan asap teval 300-400m diatas kawah x. 29 April 1956: Jam 07.00 Kolom asap hitam tebal disertai sinar selama 30 menit (Hadikusumo,1957) y. 1957: Pada 13 Maret 19.16 terjadi letusan disertai suara gemuruh, dengan tinggi kolom erupsi 3000m diatas kawah.
2.3 Bencana Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. (UU No. 24 Tahun 2007) Bencana menurut Gustavo Wilches (1992) diartikan sebagai gangguan yang menyebabkan kerugian – kerugian yang besar terhadap lingkungan, material dan manusia, yang melebihi kemampuan dari masyarakat yang tertimpa bencana untuk menanggulangi dengan hanya menggunakan sumber – sumber daya masyarakt itu sendiri. Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
9
Menurut Awotana (1997) menyatakan bencana alam merupakan interaksi antara bahaya alam dan kondisi rentan (sosio-ekonomi, budaya dan politik) yang selalu diakibatkan oleh perbuatan manusia. Jadi perbedaan antara bencana alam dan bencana yang dibuat oleh manusia menjadi kabur. Beberapa akibat yang tragis dari bencana alam berasal dari penyalahgunaan manusia dalam memanfaatkan sumber – sumber alam karena tindakan yang tidak tepat dan kuran memperhatikan untuk masa yang akan datang.
2.4 Bahaya, Kerentanan dan Kapasitas 2.4.1 Bahaya Bahaya adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan. Menurut Awotana (1997) menyatakan bahaya alam adalah bagian dari lingkungan kita dimana dapat terjadi kapan saja. Gempa Bumi, banjir, letusan gunung api dan perubahan cuaca yang hebat, sebagaimana kejadian – kejadian alam yang hebat lainnya dapat menimbulkan bencana alam apabila berinterkasi dengan kondisi yang rentan. Bahaya alam (natural hazard) pada dasarnya adalah suatu gejala alami yang menuju ke arah keseimbangan yang belum tentu dapat menimbulkan bencana alam (natural disaster). Bahaya alam akan menjadi bencana alam apabila terjadi pada suatu daerah yang berada dalam kondisi rentan (vulnerable) terhadap bahaya alam. Kerentanan bukanlah bersifat alamiah akan tetapi lebih disebabkan oleh sistem kehidupan manusia. Verstappen (1983) membedakan menjadi tiga kategori penyebab bahaya alam, yaitu ; a. Bahaya alam yang diakibatkan oleh proses eksogen yang mencakup banjir, kekeringan dan gerakan masa batuan b. Bahaya alam yang diakibatkan oleh proses endogen, mencakup akibat aktivitas gunung api dan gempa bumi. c. Bahaya alam akibat proses antropogenik, misalnya subsidance akibat pengambilan air tanah yang berlebihan. Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
10
2.4.2 Bahaya Letusan Gunung api Noor dalam bukunya Geologi Lingkungan menjelaskan bahaya letusan gunung api adalah bahaya yang ditimbulkan oleh letusan/kegiatan gunung api, berupa benda padat, cair dan gas serta campuran diantaranya yang mengancam atau cenderung merusak dan menimbulkan korban jiwa serta kerugian harta benda. Jenis bahaya gunung api diantaranya adalah : a.
Awan panas : kecepatan sekitar 60-145 km/jam, suhu tinggi sekitar 200 – 800 drajat celcius, jarak dapat mencapai 10 km atau lebih dari pusat erupsi, sehingga dapat menghancurkan bangunan. Arah pergerakannya mengikuti lembah.
b.
Guguran longsoran lava: sumber berasal dari kubah lava, longsoran kubah lava dapat mecapai jutaan meter kubik sehingga dapat menimbulkan bahaya.
c.
Lontaran batuan pijar : pecahan batuan gunung api, berupa bom atau bongkahan batu gunung api yang dapat dilontarkan saat gunug api meletus. Dapat mengarah kesegala arah.
d.
Hujan abu: hujan material jatuhan yang terdiri dari material lepas berukuran lempung sampai pasir. Dapat menyebabkan kerusakan hutan dan lahan pertanian.
e.
Aliran lava : Suhu tinggi sekitar 700 – 1200 drajat celcius, volume lava yang besar, berat sehingga aliran lava mempunyai daya perusak yang besar, dapat menghancurkan dan membakar apa yang dilandanya.
f.
Lahar : kecepatan aliran lava sangat lamban antara 5-300 meter/hari, secepata tergantung dari viskositas dan kemiringan lereng. Manusia dapat menghindari untuk menyelamatkan diri. Lahar yang dibawa oleh hujan biasa dikenal sebagai lahar dingin atau lahar sekuder. Peta rawan bencana gunung api (Peta Daerah Bahaya Gunung api)
dinyatakan dalam urutan – urutan angka dari tingkat kerawanan rendah ke tingkat kerawanan tinggi, yaitu: Wilayah Rawan Bencana I, Wilayah Rawan Bencana II dan Wilayah Rawan Bencana III. (PVMBG dalam Peta KRB Gunung Gede)
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
11
Wilayah Rawan Bencana I adalah wilayah yang berpotensi terlanda lahar/banjir dan tidak menutup kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas dan aliran lava. Selama letusan membesar, wilayah ini berpotensi tertimpa material jatuhan berupa hujan abu lebat dan lontaran batu (pijar). Wilayah ini dibedakan menjadi dua, yaitu : •
Wilayah
rawan bencana terhadap aliran masa berupa lahar/banjir, dan
kemungkinan perluasan awan panas dan aliran lava. Wilayah ini terletak di sepanjang sungai/dekat lembah sungai atau di bagian hilir sungai yang berhulu di daerah puncak •
Wilayah
rawan bencana terhadap jatuhan berupa hujan abu tanpa
memperhatikan arah tiupan angin dan kemungkinan dapat terkena lontaran batu (pijar). Pada wilayah ini, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan jika terjadi erupsi/kegiatan gunung api dan turun hujan lebat. Wilayah Rawan Bencana II adalah wilayah yang berpotensi terlanda awan panas, aliran lava, lontaran atau guguran batu (pijar), hujan abu lebat, hujan lumpur (panas), aliran lahar dan gas beracun, umumnya menempati lereng dan kaki gunung api. Wilayah ini dibedakan menjadi dua, yaitu: •
Wilayah rawan bencana terhadap aliran masa berupa awan panas, aliran lava, guguran batu (pijar), aliran lahar dan gas beracun.
•
Wilayah
rawan bencana terhadap material lontaran dan jatuhan sepereti
lontaran batu (pijar), hujan abu lebat, dan hujan lumpur (panas). Pada wilayah ini, masyarakat diharuskan mengungsi jika terjadi peningkatan kegiatan gunung api, sampai daerah ini dinyatakan aman kembali. Wilayah Rawan Bencana III adalah wilayah yang sering terlanda awan panas, aliran lava, lontaran batu (pijar) dan gas beracun. Wilayah ini hanya diperuntukkan bagi gunung api yang sangat giat atau sering meletus. Pada wilayah ini tidak diperkenankan untuk hunian atau aktifitas apapun. Jenis bahaya yang dikaji dalam penelitian ini adalah awan panas dan radius abu vulkanik akibat letusan Gunung Gede. Penentuan diameter radius awan panas didasarkan ketetntuan yang telah dibuat oleh PVMBG dalam peta KRB. Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
12
Gambar 2.1 Peta Bahaya Letusan Gunung Gede (PVMBG)
2.4.3 Kerentanan Menurut International Strategi for Disaster Reduction/ISDR dalam Diposaptono (2007), kerentanan adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan atau proses-proses yang meningkatkan kerawanan suatu masyarakat terhadap dampak bencana. Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PB) tahun 2002 dalam Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia menyatakan tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena bencana baru akan terjadi bila ‘bahaya’ terjadi pada ‘kondisi yang rentan’, bahwa tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial kependudukan, dan ekonomi.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
13
Menurut Cutter (1996), kerentanan secara luas didefinisikan sebagai “potensi kerugian”. Cutter menemukan tiga tema yang berbeda dalam penelitian kerentanan (1996). a. Kerentanan karena resiko bahaya: penelitian ini berkonsentrasi pada distribusi dan beberapa kondisi bahaya pada manusia hunian seperti suatu daerah dan pada derajat kerugian yang terkait dengan peristiwa berbahaya. Kerentanan adalah kondisi yang sudah ada sebelumnya. b. Kerentanan sebagai respon sosial: penelitian ini berkonsentrasi pada respon dan mengatasi kapasitas, termasuk ketahanan masyarakat dan ketahanan terhadap bahaya serta pemulihan dari aktivitas berbahaya. Pendekatan ini menyoroti konstruksi sosial kerentanan. c. Kerentanan tempat : kerentanan tempat adalah kombinasi dari berbagai paparan bahaya dan kerentanan sosial dalam geografis daerah tertentu. Canon (2002) berpendapat bahwa kerentanan adalah sifat individual atau kelompok dari masyarakat yang mendiami suatu lingkungan alami, sosial dan ekonomi tertentu, yang dibedakan menurut keadaan yang berbeda dalam masyarakat. Kerentanan tersebut dibagi dalam 3 aspek,yaitu ; 1. Drajat kekenyalan (degree of resilience) sistem mata pencaharian tertentu dari individu atau kelompok dan kapasitas untuk bertahan dari dampak bahaya. 2. Komponen “kesehatan” adalah kemampuan untuk pemulihan dari cedera dan kemampuan menyelamatkan diri dari bahaya. 3. Drajat kesiapan/preparedness (warning system). Berdasarkan Seminar
Nasional “Pengembangan Wilayah Merapi’
dikatakan kerentanan merupakan kemampuan dan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. Kerentanan dibagi dalam 4 jenis, yaitu; 1. Kerentanan fisik Kerentanan fisik (infrastruktur) bila ada faktor berbahaya (hazard) tertentu. Berbagai indikator yang merupakan sumber kerentanan fisik adalah sebagai berikut : persentase wilayah terbangun, kepadatan Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
14
bangunan, persentase bangunan konstruksi darurat, jaringan listrik, rasio panjang jalan,jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM dan jalan kereta api. 2. Kerentanan ekonomi Kerentanan ekonomi menggambarkan
besarnya
kerugian
atau
rusaknya kegiatan ekonomi yang terjadi apabila terjadi ancaman bahaya. Indikator yang dapat menunjukan kerentanan ekonomia adalah persentase rumah tangga disektor informal dan persentase orang miskin. 3. Kerentanan sosial Kerentanan sosial menunjukan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa penduduk apabila ada bahaya. Dari beberapa indikator antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase usia tua-balita dan penduduk wanita. 4. Kerentanan lingkungan Kerentanan lingkungan menggambarkan kondisi kelestarian alam suatu wilayah yang rawan bencana.
2.4.4 Kapasitas Kapasitas adalah kemampuan masyarakat dalam mempersiapkan perkiraan kondisi bencana. Berupa kesiapan kebijakan penanggulangan bencana dan pendidikan dan pelatihan yang telah disampaikan kepada masyarakat. Untuk kapasitas ini terdapat 3 faktor penting :
Individu : Kapasitas individu secara diukur secara populasi dari jumlah individu yang telah mendapatkan pendidikan atau pelatihan dalam bidang pelatihan untuk program penanggulagan rawan bencana.
Masyarakat : Kapasitas masyarakat diukur dari adanya peran aktif masyarakat dalam penyusunan rencana, pelaksanaan dan pengendalian program penanggulangan rawan bencana. Masyarakat yang berperan aktif dapat melalui lembaga perantara pemerintah – masyarat.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
15
Kelembagaan : Kapasitas kelembagaan ditandai adanya kebijakan daerah yang memfasilitasi penyusunan rencana penanggulangan rawan bencana yang berkait pada rencana pembangunan daerah. Kemudian adanya lembaga yang secara kontinu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan terhadap individu maupun masyarakat.
Dalam studi Firmansyah (1998) berdasarkan modifikasi Davidson (1997) ketahanan dibagi menjadi dua sub faktor, yaitu : 1. Sumberdaya, meliputi aspek pendanaan, peralatan atau fasilitas dari sumberdaya manusia terlatih dan terdidik. Indikator dari sumberdaya adalah sebagai berikut;
Rasio jumlah fasilitas kesehatan terhadap jumlah penduduk
Rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk
2. Kemampuan mobilitas menunjukan kemampuan untuk melakukan evakuasi bila ada bencana alam untuk mencari tempat yang lebih aman dan meminta bantuan. Indikator mobilitas adalah:
Rasio panjang jalan terhadap jumlah penduduk
Rasio sarana angkutan terhadap jumlah penduduk.
Istilah ‘ketahanan’ dan ‘kerentanan’ adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama, tetapi keduanya adalah istilah yang relatif. Kita harus mengkaji individu-individu, masyarakat-masyarakat dan sistem-sistem mana yang rentan atau tahan terhadap bencana, dan sampai sejauh mana. Seperti kerentanan, ketahanan juga kompleks dan memiliki banyak aspek. Dibutuhkan berbagai segi atau lapisan ketahanan yang berbeda untuk menangani beragam tekanan yang berbeda dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda pula. 2.5 Risiko Bencana “Risk is the chance of something happening than will have an impact upon objectives. It is measured in terms of consequances and likelihood” (AS/NZS dalam Tim Peneliti, 2001). Risiko adalah kemungkinan suatu peristiwa yang akan memberi dampak pada tujuan. Tujuan disini adalah tujua proteksi dari bahaya yang meliputi; Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
16
-
Keselamatan jiwa
-
Perlindungan harta benda
-
Kelangsungan proses kerja
-
Keselamatan lingkungan
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan dalam kurun waktu tertentu, yang dapat juga berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Menurut Davidson dalam penelitian “An Urban Earthquake Disaster Risk Index” menyebutkan bahwa ada 5 faktor yang mempengaruhi tingkat risiko dalam suatu bencana hal terebut adalah ;
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Risiko Bencana Davidson (1997)
Alberico dkk (2001) menyatakan dampak terhadap lingkungan dari aktifitas gunung api biasa disebut sebagai risiko letusan gunung api. Risiko ini didapatan dari hasil :
R = Nilai (Value) x Kerentanan (Vulnerability) x Bahaya (Hazard) ( UNESCO , 1972; Fournier d’Albe, 1979).
Nilai (Value) diartikan sebagai angka dari kehidupan atau nilai harga barang-barang (properti) pada area risiko gunung api. Sedangkan kerentanan (Vulnerability) adalah persentase dari kehidupan atau properti yang memiliki kemungkinan hilang (rusak) sebagai akibat dari letusan gunung api. Bencana
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
17
(hazzard) adalah kemungkinan area yang terkena dampak dari fenomena gunung api. Evaluasi dari risiko letusan gunung api cukup kompleks dikarenakan kemungkinan erupsi gunung api harus di evaluasi berdasarkan sejarah kejadian. Bahkan saat catatan kejadian bencana letusan gunung api diketahui cukup detail, sangat sulit untuk memperkirakan model yang sesuai dengan keseluruhan aktivitas. (Wickman, 1966 ; Carta et al., 1981 dikutip dari Alberico 2001) Secara umum BNPB dan UNDP memperhitungan risiko menggunakan rumus; R = (Bahaya*Kerentanan)/Kapasitas
Untuk melihat nilai risiko dan perhitungan kerugian dan kerusakan, dalam buku RENAKSI Merapi (2011) dipisahkan menjadi 5 sektor:
Sektor Permukiman
Sektor Infrastruktur
Sektor Ekonomi
2.6 Standarisasi Data (Standar Deviasi) Standarisasi nilai indikator dengan nilai baku perlu dilakukan agar suatu variabel dapat digunakan untuk perhitungan matematis dengan indikator yang lain. Davidson (1997) telah menggunakan model standarisasi untuk menghasilkan nilai dari suatu indikator dengan rumus
X
= Nilai yang sudah di bakukan
Xij = Nilai yang belum dibakukan Xi = Nilai Rata – rata Si = Standar deviasi
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
18
2.7 Clustering Clustering adalah membagi data ke dalam grup‐grup yang mempunyai obyek yang karakteristiknya sama. Garcia‐Molina et al. menyatakan clustering adalah mengelompokkan item data ke dalam sejumlah kecil grup sedemikian sehingga masing masing grup mempunyai sesuatu persamaan yang esensial. Clustering memegang peranan penting dalam aplikasi data mining, misalnya eksplorasi data ilmu pengetahuan, pengaksesan informasi dan text mining, aplikasi basis data spasial, dan analisis web. Tan menjelaskan dalam “Data Mining Cluster Analysis:Basic Concepts and Algorithms” bahwa clustering dibedakan dalam dua kelompok, yaitu hierarchical and partitional clustering. Partitional Clustering disebutkan sebagai pembagian obyek‐obyek data ke dalam kelompok yang tidak saling overlap sehingga setiap data berada tepat di satu cluster. Hierarchical clustering adalah sekelopok cluster yang bersarang seperti sebuah pohon berjenjang (hirarki). William dmenjelaskan dalam “Data Minind Cluster” bahwa algoritma clustering dibagi dalam kelompok besar seperti berikut: 1. Partitioning algorithms: algoritma dalam kelompok ini membentuk bermacam partisi dan kemudian mengevaluasinya dengan berdasarkan beberapa kriteria. 2. Hierarchy algorithms: pembentukan dekomposisi hirarki dari sekumpulan data menggunakan beberapa kriteria. 3. Density‐based: pembentukan cluster berdasarkan pada koneksi dan fungsi densitas. 4. Grid‐based: pembentukan cluster berdasarkan pada struktur multiple‐level granularity 5. Model‐based:
sebuah
model
dianggap
sebagai
hipotesa
untuk
masingmasing cluster dan model yang baik dipilih diantara model hipotesa tersebut.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
19
2.8 K Means Algoritma K‐Means adalah algoritma clustering yang paling popular dan banyak digunakan dalam dunia. Algoritma ini disusun atas dasar ide yang sederhana. Ada awalnya ditentukan berapa cluster yang akan dibentuk. Sebarang obyek atau elemen pertama dalam cluster dapat dipilih untuk dijadikan sebagai titik tengah (centroid point) cluster. Algoritma
K‐Means
selanjutnya
akan
melakukan
pengulangan
langkah‐langkah berikut sampai terjadi kestabilan (tidak ada obyek yang dapat dipindahkan):
menentukan koordinat titik tengah setiap cluster,
menentukan jarak setiap obyek terhadap koordinat titik tengah,
mengelompokkan
obyek‐obyek
tersebut
berdasarkan
pada
jarak
minimumnya
Karateristik algoritme K-menas adalah sebagai berikut (Kantardzic 2003) : 1. Kompleksitas algoritme K-menas adalah O (nkl) dengan n adalah jumlah data, k adalah jumlah cluster dan l adalah banyaknya iterasi. Umumnya, k dan l adalah tetap sehingga algoritme ini memiliki kompleksita linear terhadap ukuran data. 2. Alogorime K-menas merupakan algoritme yang tidak terpengaruh terhadap urutan data (order – independent). 3. Algoritme K-menas sangat sensitif terhadap noise dan outlinear karena dapat sangat mempengaruhi nilai mean. 4. Karena kompleksitasnya linear, algoritme K-menas relatif lebih scalabke dan efisien untuk pemrosesan data dalam jumlah besar (higherdimensionality) Data clustering menggunakan metode K-menas ini secara umum dilakukan dengan algoritma dasar sebagai berikut: Beberapa distance space telah diimplementasikan dalam menghitung jarak (distance) antara data dan centroid termasuk di antaranya L1 (Manhattan/City Block) distan space[9], L2(Euclidean) distance space[3], dan Lp (Minkowski) distance space[9]. Jarak antara dua titik x1 Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
20
dan x2 pada Manhattan/City Block distance space dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut(Bezdek dalam Pravitasari, 2009):
Sedangkan untuk L2 (Euclidean) distance space, jarak antara dua titik dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
2.9 Penelitian Terdahulu Dalam penelitian Jarot Mulyo Semedi 2005 yang berjudul “Tingkat Risiko Banjir di DKI Jakarta” dilakukan dengan memperhatikan dua aspek yaitu membuat pemodelan bahaya dan kerentanan ( R=H*V ) dengan metode overlay antar variabel. Pemodelan bahaya dihasilkan dari variabel morfologi, geologi, ketinggian, luas genangan banjir, penggunaan tanah, sedangkan variabel kerentanan dilihat dari rasio jumlah penduduk dengan kepadatan permukiman. Chintia Dewi melakukan penelitian yang berjudul “Tingkat Risiko Banjir Rob di Jakarta Utara” pada tahun 2010. Risiko diperoleh dari hasil pengolahan data bahaya, kerentanan dan kapasitas dengan menggunakan pembobotan hasil dari AHP.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
21
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Daerah Kajian Gunung Gede (2958 m) terletak di antara Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi yang secara geografis berdekatan dengan Gunung Pangrango dengan ketinggian 1000 - 2987 m. Dpl. Suhu rata-rata di puncak Gunung Gede 18 °C dan di malam hari suhu berkisar 5 °C, dengan curah hujan rata-rata 3.600 mm/tahun. Pemilihan Kecamatan Cipanas sebagai daerah kajian dikarenakan memeliki jumlah permukinan yang cukup padat dibandingkan dengan kecamatan lain yang ada di Kabupaten Cianjur. Banyaknya permukiman tidak lepas dari potensi wisata yang dimiliki Gunung Gede, sehingga banyak masyarakat dari dalam dan dari luar Kecamatan Cipanas membangun vila- vila di kaki Gunung Gede.
3.2 Diagram Alur Pikir Analisis risiko merupakan analisis yang didasarkan pada analisis ancaman (hazard), kerentanan (vulnerability) dan kemampuan (capacity) dalam menangani bencana. Kerentanan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur dipeoleh dengan melihat wilayah bahaya letusan Gunung Gede dengan melihat kondisi sosial, fisik dan ekonomi ditiap desa yang berada diwilayah bahaya. Sedangkan untuk mendapatkan tingkat risiko diperoleh dengan melakukan spsifikasi wilayah kajian di Kecamatan Cipanas serta pendetailan penggunaan tanah, kemudian melihat kondisi sosial, fisik dan ekonomi
serta kapasitas yang dimiliki
Kecamatan Cipanas. Diagram alur pikir penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3.1.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
22
Gambar 3.1 Diagram Alur Pikir Untuk Menentukan Tingkat Risiko Bencana Awan panas Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas
3.3 Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi tiga kelompok besar yaitu variabel bahaya, variabel kerentanan dan variabel ketahanan/kapasitas. a. Variabel Bahaya
: Wilayah rawan bencana letusan Gunung Gede.
b. Variabel Kerentanan :
Sosial
= Gender,penduduk cacat dan kepadatan penduduk.
Fisik
= Kepadatan permukiman, jumlah rumah didaerah bahaya, jumlah industri,fasilitas umum dan fasilitas kritis.
Ekonomi
c. Variabel Kapasitas
= Keluarga tani dan lahan pertanian sawah. :
Proporsi jumlah rumah sakit.
Proporsi tenaga medis.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
23
Tabel 3.1 Variabel Penelitan
Variabel
Indikator Wilayah Rawan Bencana (Sumber : PVMBG Tahun 2006)
Bahaya
Sosial
Kerentanan
Fisik
Gender (Sumber : BPS Kecamatan/Kabupat en Tahun 2010) Penduduk Cacat (Sumber : Podes 2008) Kepadatan Penduduk (Sumber: BPS Kabupaten Tahu 2010) Kepadatan Permukiman (Sumber : BPS Kabupaten 2010, Peta RBI Bakosurtanl 1:25000 dan Pengolahan Citra Industri (Sumber : Podes 2008) Fasilitas Umum (Survey Lapang, dan peta Bakosurtanal skala 1:25000) Fasilitas Kritis (Survey Lapang)
Ekonomi
Kapasitas
Sawah (Sumber :Citra Landsat 2005) Keluarga Tani (Sumber : BPS Kabupate 2010) Proporsi Rumah Sakit (Sumber : Podes 2008) Tenaga Proporsi Medis (Sumber : Podes 2008)
Nilai
Asumsi
Klasifikasi wilayah rawan bencana disesuaikan dengan pengkelasan dari (PVMBG) Persentase perbandingan penduduk laki - laki dengan perempuan Jumlah penduduk cacat tiap desa
Daerah dengan tingkat pengkelasan wilayah rawan bencana yang tinggi, semakin besar tingakat bahaya Semakin besar nilai persetase penduduk laki - laki dan perempuan, maka kerentanan semakin tinggi Semakin besar jumlah penduduk cacat, maka kerentanan semakin tinggi
Perbandingan jumlah penduduk perluas wilayah
Semakin besar nilai kepadatan penduduk, maka kerentanan semakin tinggi
Perbandingan jumlah rumah dengan luas wilayah
Semakin besar nilai kepadatan permukiman, maka kerentanan semakin tinggi
Jumlah industri tiap desa
Semakin banyak jumlah industri, maka kerentanan semakin tinggi.
di
Jumlah fasilitas umum yang terdapat di daerah kajian
Semakin banyak jumlah fasilitas umum, maka kerentanan semakin tinggi
Jumlah fasilitas kritis yang terdapat di daerah kajian
Semakin banyak jumlah fasilitas kritis, maka kerentanan semakin tinggi
Luas lahan sawah di tiap desa
Semakin luas lahan sawah, kerentanan semakin tinggi
Persentase keluarga tani tiap desa Perbandingan jumlah rumah sakit dengan jumlah penduduk Perbandingan jumlah tenaga medis dengan jumlah penduduk
Semakin besar nilai penduduk miskin, maka kerentanan semakin tinggi Semakin besar nilai proporsi rumah sakit dan jumlah penduduk, maka kapasitas semakin tinggi Semakin besar nilai proporsi jumlah tenaga medis dan jumlah penduduk, maka kapasitas semakin tinggi Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
24
3.4 Pengolahan Data Pengolahan
data
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
cara
mengumpulkan data – data dari variabel yang akan diteliti kemudian melakukan overlay antara variabel-variabel dan daerah administrasi dengan bantuan software Arcgis untuk menghasilkan nilai tersediri ditiap daerah adminstasi. Langkah – langkah pengolahan data ; 3.4.1 Pengolahan Bahaya Pengolahan data bahaya dilakukan dengan mendijitasi wilayah bahaya dari PVMBG. Selanjutnya melakukan overlay antara wilayah bahaya dan daerah administrasi untuk memperoleh desa – desa yang berada di wilayah bahaya dan menjadi daerah kajian penelitian dilakukan dengan
3.4.2 Pengolahan Kerentanan Pengolahan kerentanan dilakukan dengan mengumpulkan variabel sosial, variabel ekonomi dan variabel fisik. Hasil pengumpulan semua variabel dikelompokkan dengan metode cluster K-menas dan membentuk tiga kelas kerentanan (tinggi, sedang dan rendah).
3.4.3 Pengolahan Risiko Pengolahan risiko dilakukan dengan melakukan pendetailan (untuk Kabupaten Cipanas) dari hasil pengolahan kerentanan. Pendetailan yang dilakukan adalah pendetailan land use yang diperoleh dengan menggunakan software Google Earth Pro, Google Satelite Downloader dan ArcGis. Sehingga didapatkan nilai kerentanan untuk Kabupaten Cipanas. Risiko diperoleh dari hasil pengelompkan data bahaya, kerentanan dan kapasitas digunakan untuk menghitung tingkat risiko dengan menggunakan metode K-menas. Perhitungan nilai kerugian memiliki nilai yang berbeda untuk setiap jenis bahaya karena karakter dari tiap- tiap bahaya juga berbeda yaitu; - Awan panas
: menjadi jenis bahaya yang paling berbahaya karena bersifat merusak segala yang dilandanya. Berdampak
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
25
pada kerusakan perumahan, infrastruktur, sosial, dan ekonomi. - Abu vulkanik
: tidak berdampak banyak pada sektor perumahan, infrastruktur dan sosial, namun dampak terparah pada sektor ekonomi karena bersifat merusak tanaman (sawah)
Kerugian materi didapatkan dari perhitungan tiap properti yang berada pada daerah bahaya dikalikan dengan nilai asumsi penggantian kerusakan tiap properti (konversi kerugian). (Sumber konversi: Survey lapang dan Data Rehabilitasi dan Rekontruksi bencana Tsunami Mentawai dan Bencana Letusan Gunung Merapi DI. Yogyakarta 2011ams)
Gambar 3.2 Alur Kerja Penelitian Risiko Bencana Awan Panas Letusan Gunung Gede (Kecamatan Cipanas)
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
26
Dari data yang telah dikumpulkan, dapat dihasilkan peta – peta tematik sebagai berikut ; a. Peta bahaya bencana awan panas letusan Gunung Gede b. Peta kerentanan bencana awan panas letusan Gunung Gede c. Peta kapasitas bencana awan panas letusan Gunung Gede d. Peta tingkat risiko bencana awan panas letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas
3.5 Analisa Data Dalam penelitan risiko bencana awan panas letusan Gunung Gede bertujuan menganalisis dan menjawab tentang dua pertanyaan masalah yaitu ; tentang tingkat kerentanan dan tingkat risiko bencana bencana awan panas letusan Gunung Gede di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik dan deskriptif. Untuk menjawab pertanyaan masalah pertama “Bagaimana tingkat kerentanan pada wilayah – wilayah yang berpotensi terkena bahaya bencana awan panas letusan Gunung Gede?” digunakan analisis keruangan dengan melakukan overlay daerah administrasi (desa/desa) dan variabel kerentanan (kerentanan sosial, fisik, dan ekonomi). Variabel kerentanan yang sudah dimiliki oleh tiap – tiap desa akan dibentuk pengelompokan dengan analisis cluster untuk mencari kedekatan antar data dengan metode K-menas. Hasil pengclusteran variabel akan membentuk beberapa kelompok yang dapat dikelaskan menjadi tiga kelas (tinggi,sedang dan rendah). Untuk menjawab pertanyaan masalah kedua “Bagaimana tingkat risiko bencana bencana letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas?” dilakukan analisis cluster dengan metode K-menas pada seluruh variabel bahaya, kerentanan dan kapasitas. Hasil perhitungan akan menghasilkan variasi cluster yang akan dikelompokan menjadi tiga kelas (tinggi, sedang dan rendah). Nilai dalam perhitungan risiko ditentukan berdasarkan nilai dari tiap sektor yang menjadi indikator kerugian (perumahan, infastruktur, sosial, dan ekonomi).
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
27
BAB IV GAMBARAN UMUM
4.1 Kabupaten Cianjur Kabupaten Cianjur terletak di tengah Provinsi Jawa Barat, berjarak sekitar 65 km dari ibukota Provinsi Jawa Barat (Bandung) dan 120 km dari ibukota Negara (Jakarta). Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak di antara 60 21” –70 25” Lintang Selatan dan 106 0 42” – 107025” Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Cianjur 350.148 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2007 sebanyak 2.138.465 jiwa. Secara administratif Kabupaten Cianjur terdiri atas 32 Kecamatan, 342 Desa dan 6 Desa.Pusat pemerintahan di Kecamatan Cianjur, dengan batas-batas administratif : 1. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta. 2. Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi. 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia. 4. Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Sebagian besar wilayah Cianjur adalah pegunungan, kecuali di sebagian pantai selatan berupa dataran rendah yang sempit. Dari luas wilayah Kabupaten Cianjur 350.148 hektar, pemanfaatannya meliputi 83.034 Ha (23,71 %) berupa hutan produktif dan konservasi, 58,101 Ha (16,59 %) berupa tanah pertanian lahan basah, 97.227 Ha (27,76 %) berupa lahan pertanian kering dan tegalan, 57.735 Ha (16,49 %) berupa tanah perkebunan, 3.500 Ha (0,10 %) berupa tanah dan penggembalaan / pekarangan, 1.239 Ha (0,035 %) berupa tambak / kolam, 25.261 Ha (7,20 %) berupa permukiman / pekarangan dan 22.483 Ha (6.42 %) berupa penggunaan lain-lain. Kabupaten Cianjur beriklim tropis dengan curah hujan per tahun rata-rata 1.000 sampai 4.000 mm dan jumlah hari hujan rata-rata 150 per-tahun. Sebagai daerah agraris yang pembangunananya bertumpu pada sektor pertanian, kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah swa-sembada padi. Produksi padi pertahun sekitar 625.000 ton dan dari jumlah sebesar itu telah dikurangi kebutuhan Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
28
konsumsi lokal dan benih, masih memperoleh surplus padi sekitar 40 %. Produksi pertanian padi terdapat hampir di seluruh wilayah Cianjur. Sebagaimana daerah beriklim tropis, maka di wilayah Cianjur utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan menantang investasi.
Tabel 4.1 Penduduk Kabupaten Cianjur Luas Wilayah (Ha)
Kecamatan Agrabinta Bojongpicung Campaka Campaka Mulya Cianjur Cibeber Cibinong Cidaun Cijati Cikadu Cikalongkulon Cilaku Cipanas Ciranjang Cugenang Gekbrong Kadupandak Karangtengah Leles Mande Naringgul Pacet Pagelaran Sindangbarang Sukaluyu Sukanagara Sukaresmi Takokak Tanggeung Warungkondang TOTAL
20763.88 9901.06 16052.04 3608.36 3292.96 12066.09 23991.51 25480.81 5621.68 18382.87 18158.86 4849.06 8286.55 3803.82 7910.32 3630.93 10463.90 5616.72 11229.81 9458.49 30084.43 4859.36 25718.35 17536.73 4962.93 17119.44 10238.83 15322.80 9158.73 6208.81 363780.13
Penduduk Laki - laki 14677 53182 32744 11898 79743 58457 29662 32574 16718 17711 46738 42709 50820 44160 49371 26074 22653 64444 15087 32785 24363 45349 43064 25540 34876 23468 38389 26089 30425 33403 1067173
Penduduk Perempuan 15085 52408 30412 11630 80439 58671 30302 33159 16963 16391 45965 44994 47996 43780 48500 24845 23926 62562 14411 32362 22594 44129 42281 24789 33137 22901 37892 25476 29645 32323 1049968
Total Penduduk 29762 105590 63156 23528 160182 117128 59964 65733 33681 34102 92703 87703 98816 87940 97871 50919 46579 127006 29498 65147 46957 89478 85345 50329 68013 46369 76281 51565 60070 65726 2117141
[Sumber : Hasil Pengolahan Data 2012]
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
29
4.2 Kabupaten Sukabumi Secara geografis wilayah Kabupaten Sukabumi terletak diantara 60 57' - 7o 25 Lintang Selatan dan 1060 49 - 107 0 00 Bujur Timur dan mempunyai luas daerah 4.128 km2. Kabupaten Sukabumi pada tahun 2007 2.391.736 jiwa yang teridiri dari 1.192.038 orang laki-laki dan 1.199.698 orang perempuan. dengan laju pertumbuhan penduduk 2,37 % dan kepadatan penduduk 579,39 orang per km persegi. Kepadatan penduduk menurut kecamatan cukup berpariasi. Kepadatana penduduk terendah terdapat di Kecamatan Ciemas (183 jiwa per km2) dan tertinggi di Kecamatan Sukabumi (2.447 jiwa per km). Permukiman padat penduduk umumnya terdapat di pusat-pusat kecamatan yang berkarakteristik perkotaan dan disepanjang jalan raya. Dilihat dari administrasi pemerintahan, Kabupaten Sukabumi terdiri atas 47 kecamatan, meliputi 364 desa dan 3 desa. Kabupaten Sukabumi mempunyai batas-batas: 1. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia 3. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Samudera Indonesia 4. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur Wilayah Kabupaten Sukabumi memiliki areal yang cukup luas yaitu ± 419.970 ha. Pada Tahun 1993 Tata Guna Tanah di wilayah ini, adalah sebagai berikut : Pekarangan/perkampungan 18.814 Ha (4,48 %), sawah 62.083 Ha (14,78 %), Tegalan 103.443 Ha (24,63 %), perkebunan 95.378 Ha (22, 71%) , Danau/Kolam 1. 486 Ha (0, 35 %) , Hutan 135. 004 Ha (32,15 %), dan penggunaan lainnya 3.762 Ha (0,90 %). Kondisi wilayah Kabupaten Sukabumi mempunyai potensi wilayah lahan kering yang luas, saat ini sebagaian besar merupakan wilayah perkebunan, tegalan dan hutan. Kabupaten Sukabumi mempunyai iklim tropik dengan tipe iklim B (Oldeman) dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.805 mm dan hari hujan 144 hari. Suhu udara berkisar antara 20 - 30 derjat C dengan kelembaban udara 85 - 89 persen. Curah hujan antara 3.000 - 4.000 mm/tahun terdapat di daerah utara, Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
30
sedangkan curah hujan antara 2.000 - 3.000 mm/tahun terdapat dibagian tengah sampai selatan Kabupaten Sukabumi.
Tabel 4.2 Penduduk Kabupaten Sukabumi Kecamatan Bantargadung Bojong Genteng Caringin Cibadak Cibitung Cicantayan Cicurug Cidadap Cidahu Cidolog Ciemas Cikakak Cikembar Cikidang Ciracap Cireunghas Cisaat Cisolok Curugkembar Geger Bitung Gunungguruh Jampang Kulon Jampang Tengah Kabandungan Kadudampit Kalapa Nunggal Kali Bunder Kebonpedes Lengkong Nagrak Nyalindung Pabuaran Parakan Salak Parung Kuda Pelabuhan Ratu Purabaya Sagaranten Simpenan Sukabumi Sukalarang Sukaraja Surade Tegal Buleud Waluran Warung Kiara TOTAL
Luas Wilayah (Ha) 7404.24 2023.95 3572.15 7394.98 10171.05 3072.56 6271.11 8750.16 3873.83 10787.63 33791.88 9279.88 10355.33 14004.42 14774.99 3667.96 1501.16 22673.13 4865.54 7157.47 1519.13 11047.67 15229.49 13790.51 4383.87 2439.93 11056.02 752.28 14079.63 10719.80 8402.36 8601.03 6364.11 2577.09 10379.70 8072.73 15404.63 12476.36 6701.19 5035.22 3500.62 14522.86 24101.30 12956.97 5746.26 415254.18
Penduduk Laki – laki 15245 15674 20476 51784 12950 22536 53112 9553 29163 8786 18951 18912 37509 30943 16206 15078 53515 29723 10886 19412 20712 21605 32122 15875 25059 21638 12672 14333 15204 53969 22749 18662 19687 31130 47627 19185 24390 24905 18103 20157 37266 33620 15434 8143 24041 1088702
Penduduk Perempuan 14317 15217 20088 50270 12217 23397 53025 9677 28292 9060 19382 18355 36462 29909 16081 14464 54198 29111 10733 18892 20662 21773 33916 15732 25863 21500 12637 14044 15051 52243 23390 17758 18852 30638 46362 18497 23912 24681 17810 18953 37476 33363 15831 7806 23254 1075151
Total Penduduk 29562 30891 40564 102054 25167 45933 106137 19230 57455 17846 38333 37267 73971 60852 32287 29542 107713 58834 21619 38304 41374 43378 66038 31607 50922 43138 25309 28377 30255 106212 46139 36420 38539 61768 93989 37682 48302 49586 35913 39110 74742 66983 31265 15949 47295 2163853
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
31
Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
32
4.3 Gunung Gede Bersama dengan Gunung Pangrango,Gunung Gede berada dalam wilayah Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP). Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) mempunyai peranan yang penting dalam sejarah konservasi di Indonesia. Ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1980. Dengan luas 22.851,03 hektar, wilayah Taman Nasional ini ditutupi oleh hutan hujan tropis pegunungan. Disamping keunikan tumbuhannya, wilayah TNGGP juga merupakan habitat dari berbagai jenis satwa liar, seperti kepik raksasa, sejenis kumbang, lebih dari 100 jenis mamalia seperti Kijang, Pelanduk, Anjing hutan, Macan tutul, Sigung, dll, serta 250 jenis burung. Wilayah ini juga merupakan habitat Owa Jawa, Surili dan Lutung dan Elang Jawa yang populasinya hampir mendekati punah. Sejarah letusan G. Gede telah dibahas oleh Junghun (1843) diterangkan bahwa letusan G. Gede pada umumnya kecil dan singkat, kecuali yang terjadi pada tahun 1747 – 1748 yang mengeluarkan aliran lava dari Kawahlarang. Pada tahun 1747 – 1748 diduga terjadi 2 buah aliran lava dari Kawahlanang. Pada tahun 1890 diduga terjadi awanpanas. Tidak ada laporan mengenai korban akibat letusan G. Gede. Periode letusan terpendek kurang dari satu tahun (pada tahun 1899 terjadi beberapa kali letusan) dan yang terpanjang 71 tahun. Berdasarkan hasil laporan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Pos Pengamatan Gunungapi Gede yang berada di Desa Ciloto Kecamatan Kabupaten Cianjur Jawa Barat sesuai Surat Nomor : 11/43.02/BGV.P.GDE/2011 Tanggal 1 Desember 2011 perihal Laporan Kegiatan Gunung Gede dijelaskan, bahwa dalam bulan Nopember kegiatan Gunung Gede dalam keadaan normal. Pada Pesawat radio telemetri seismograf PS-2 terlihat beroperasi normal dan merekam gempa sejumlah 106 kali terdiri dari : 25x gempa vulkanik A, 7x gempa tektonik lokal, 73x gempa tektonik jauh, 1x gempa terasa yakni pada: pada tanggal 24-10-2011 pukul 00.45.51,5 Skala MMI.II. Sehingga status kegiatan Gunung
Gede
dapat
disimpulkan
masih
dalam
keadaan
normal.
(http://www.gedepangrango.org)
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
33
4.4 Bahaya Letusan Gunung Gede Menurut data historis letusan Gunung Gede, daerah yang berada di bagian timur Gunung Gede merupakan daerah yang terkena dampak besar dari letusan Gunung Gede. Bagian barat Gunung Gede tidak terkena dampak yang besar dikarenakan keberadaan Gunung Pangrango yang menyebabkan aliran lava dan awan panas mengarah pada lembah – lembah yang berada di bagian timur Gunung Pangrango. Sejak erupsi terakhir pada tahun 1957, Gunung Gede dalam keadaan istirahat kecuali beberapa kali juga terjadi peningkatan kegempaan. Gunung Gede merupakan salah satu gunug aktif tipe A di Jawa Barat yang mempunyai penduduk cukup banyak di daerah lereng dan kakinya. Perkembangan permukiman dari tipe sederhana hingga real setate dan villa serta hotel-hotel berbintang berkembang cukup pesat hingga 6 km dari puncak Gunung Gede. Disamping itu aset-aset penting seperti Taman Nasional Cibodas yang merupakan tempat tujuan wisata, perkebunan dan Istana Presiden juga terdapat di wilayah lereng dan kaki Gunung Gede. Dari data geologi diketahui bahwa produk erupsi di Gunung Gede pada masa lalu menghasilkan awan panas yang sebarannya cukup jauh hingga ke daerah Cipanas wilayah Kabupaten Cianjur yang saat ini cukup padat dengan permukiman (Gamabr 4.2 Peta Bahaya Letusan Gunung Gede) Dalam peta KRB (Wilayah Rawan Bahaya) letusan Gunung Gede diinformasikan tentang daerah – daerah yang terkena dampak letusan untuk jenis bahaya awan panas, lontaran batu dan abu vulkanik. Pembentukan daerah bahaya dibuat olah PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) dengan beberapa syarat, yaitu; -
Sumber erupsi berasal dari sumber kawah pusat.
-
Letusan vertical.
-
Tidak terjadi pembentukan kaldera.
-
Tidak terjadi perubahan morfologi secara drastis. Bahaya aliran awan panas mengalir mengikuti arah lembah gunung,
sehingga daerah yang berada pada lembah gunung memiliki potensi terkena Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
34
bahaya awan panas lebih tinggi. Dalam peta KRB Gunung Gede, aliran awan panas berada pada radius 3 km dari puncak gunung namun juga mengalir pada lembah besar antara Gunung Gede dan Pangrango, lembah ini mengarah langsung pada beberapa desa di Kecamatan Cipanas.
Gambar 4.2 Peta Lereng di Wilayah Sekitar Gunung Gede Pembentukan daerah bahaya lontaran batu (batu pijar dan kerikil) serta abu vulkanik dilakukan dengan cara membentuk radius. Pembentukan radius bahaya letusan gunung yang dibuat oleh PVMBG tidak dipengaruhi oleh arah angin (Zakaria: 2008). Radius bahaya dibagi dua menjadi; 1. Radius 5 km : Berpotensi terkena lontaran batu pijar serta hujan abu vulkanik tebal 2. Radius 10 km : Berpotensi terkena lontaran batu dan abu vulkanik
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
35
Gambar 4.3 Peta Bahaya Letusan Gunung Gede Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
36
4.4 Kecamatan Cipanas 4.4.1 Kondisi Sosial Ekonomi Kecamatan Cipanas Dalam RTRW Kabupaten Cianjur 2005-2015, Kecamatan Cipanas merupakan daerah
yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi.apabila
dibandingkan dengan kecamatan – kecamatan lain yang berada di sekitar Gunung Gede. Tabe 4.3 Penduduk Kecamatan Sekitar Gunung Gede
Kecamatan
No
Luas (ha)
1
Cikalongkulon
2
Cipanas
3
Cugenang
4
Pacet
5
Sukaresmi TOTAL
12.602
Jumlah Desa
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (jiwa/ha)
18
93.100
7
4.181
7
120.900
29
6.537
16
99.400
15
7.012
7
113.700
16
11.331
11
83.900
7
416.731
59
511.000
15
[Sumber : RTRW Cianjur 2005-2015]
Daerah penelitian dalam penelitian ini adalah desa - desa di Kecamatan Cipanas yang memeliki lokasi terdekat dengan Gunung Gede dan juga termasuk kedalam daerah rawan bencana letusan Gunung Gede. Kecamatan Cipanas memiliki 7 desa, yaitu ; Kel.Sindanglaya, Kel.Sindangjaya, Kel. Cipanas, Kel. Cimacan, Kel.Ciloto, Kel. Palasari, dan Kel. Batulawang. Secara geografis wilayah Kecamatan Cipanas merupakan simpul perdagangan pangan untuk mendukung wilayah Ibukota Jakarta, sedangkan secara agroekosistem wilayah ini memiliki curah hujan yang tinggi dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi daerah agroindustri. Kondisi permukaan tanah Kecamatan Cipanas mempunyai ketinggian 700 — 1.200 m di atas permukaan laut. Suhu udara antara 18 °C — 22 °C dengan kondisi kelembaban udara tinggi. Kecamantan Cipanas merupakan daerah beriklim tropis, sehingga di wilayah ini tumbuh subur tanaman sayuran, padi, teh, dan tanaman hias. Sebagai daerah agraris dimana pembangunannya bertumpu pada sektor pertanian yang memiliki kondisi lahan agroklimat, Kecamatan Cipanas merupakan salah satu daerah swasembada padi dan berpotensi dalam pembudidayaan tanaman hias.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
37
Gambar 4.4 Peta Adminstrasi Kecamatan Cipanas Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
38
4.4.2 Pengunaan Tanah Kecamatan Cipanas Penggunaan tanah Kecamatan Cipanas masih didominasi oleh hutan, sawah dan permukiman. Hutan masih banyak terdapat di bagian barat membentang dari utara dan selatan yang berbatasan langsung dengan Gunung Gede. Sebagai komoditi pertanian utama di Kecamatan Cipanas, produksi padi dari hasil sawah tersebar di seluruh Kecamatan Cipanas dan terpusat pada Desa Ciloto. Sedangkan penggunaan tanah untuk permukiman didominasi diabagian pusat kota di Kelurahan Cipanas. Berdasarkan hasil pengolahan citra landsat 2008 ditambah pendetailan permukiman menggunakan Google Earth, diperoleh luasan per jenis penggunaan tanah sebagai berikut ;
Tabel 4.4 Penggunaan Tanah Kecamatan Cipanas Luas Penggunaan Tanah (Ha) Badan air 6.726 Hutan 2961.189 Kebun 825.968 1216.79 Lahan terbuka Permukiman 1194.156 2081.715 Sawah [Sumber : Pengolahan Data 2012] Jenis Penggunaan Tanah
Sebagai mata penceharian utama penduduk Kecamatan Cipanas, sawah merupakan penggunaan tanah terluas kedua di Kecamatan Cipanas dengan luas 2081 hektar. Dominasi penggunaan terluas dimiliki hutan dengan luas penggunaan tanah 2961 hektar yang sebagian besar berada dikawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Permukiman memiliki luas penggunaan tanah terluas ketiga dengan luasan 1194 hektar yang sebagian besar memusat di wilayah perkotaan yang terletak di sekitar wilayah perbatasan Desa Sindanglaya dan Kelurahan Cipanas. Pola persebaran permukiman tersebar mengikuti jaringan jalan dan sebagian besar permukiman berada pada jaringan jalan utama Kecamatan Cipanas yaitu di Jalan Raya Cipanas yang merupakan jalan lintas Kabupaten. Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
39
Gambar 4.5 Peta Penggunaan Tanah Kecamatan Cipanas Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
40
4.4.3 Infrastruktur Kecamatan Cipanas Infrastruktur jalan di Kecamatan Cipanas sudah tersebar hampir di seluruh desa dengan berbagai jenis fungsi jalan. Persebaran jalan mengikuti persebaran permukiman, sedangkan bagian barat dan utara Kecamatan Cipanas menjadi wilayah dengan infrastruktur yang sedikit dikarenakan sebagian besar wilayahnya masih berupa hutan dan sawah. Pintu gerbang utama dan jalan utama di Kecamatan Cipanas adalah jalan lintas kabupaten yang menghubungkan antara Kecamatan Cipanas dan Kabupaten Bogor (jalur Puncak) serta jalur yang menghubungkan Kecamatan Cipanas dengan Kecamatan Cipanas hingga pusat Kota Cianjur. Pada perbatasan Desa Sindangjaya dan Kelurahan Cipanas merupakan wilayah yang padat akan fasilitas publik (umum) yang berlokasi di Jalan Raya Cipanas. Terdapat pasar Cipanas yang menjadi pusat perdagangan di Kecamatan Cipanas dan juga Istana Cipanas sebagai simbol Kecamatan Cipanas. Selain itu kegiatan perbangkan di Kecamatan Cipanas juga terpusat pada
Jalan Raya
Cipanas dengan mengelompoknya lokasi bank dan ATM. Pertumbuhan infrastruktur lain seperti sekolah dan pasar sebagian besar berada di sepanjang jalur lintas kabupaten. Daerah yang memiliki infrastruktur terlengkap pada sektor pendidikan dimiliki oleh Kelurahan Cipanas dan Desa Sindangjaya. Sedangkan Desa Cimacan dan Desa Sindanglaya memiliki jumlah infrastruktur kesehatan lebih banyak dibandingkan dengan desa – desa lain.
Tabel 4.5 Jumlah Sekolah di Kecamatan Cipanas DESA
TK
SD
SMP
SMA
PT
SINDANGJAYA
6
5
1
0
0
CIPANAS
4
9
6
7
1
11
8
3
2
0
PALASARI
2
6
2
2
0
CIMACAN
8
7
1
0
0
CILOTO
6
4
1
0
0
BATULAWANG
4
6
1
0
0
SINDANGLAYA
[Sumber : Podes 2008] Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
41
Desa Batulawang memiliki jumlah tempat ibadah dengan jumlah paling banyak namun hanya satu jenis, sedangkan Desa Sindangjaya, Kelurahan Cipanas dan desa Palasari memiliki dua jenis tempat ibadah.
Tabel 4.6 Jumlah Tempat Ibadah di Kecamatan Cipanas
DESA
Masjid
Gereja
Gereja
Kristen
Katholik Pura
Klenteng
SINDANGJAYA
24
0
1
0
0
CIPANAS
20
1
0
0
0
SINDANGLAYA
19
0
0
0
0
PALASARI
25
0
1
0
0
CIMACAN
30
0
0
0
0
CILOTO
15
0
0
0
0
BATULAWANG
36
0
0
0
0
[Sumber : Podes 2008]
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
42
Gambar 4.6 Peta Infrastruktur Kecamatan Cipanas Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
43
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kerentanan Letusan Gunung Gede di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi
Untuk menghasilkan tingkat kerentanan letusan Gunung Gede, digunakan tiga indikator yaitu kerentanan sosial, kerentanan fisik dan kerentanan ekonomi. Kerentanan sosial meliputi kepadatan penduduk, gender dan penduduk cacat. Kerentanan fisik meliputi jumlah fasilitas umum, jumlah industri dan kepadatan permukiman. Sedangkan untuk kerentanan ekonomi meliputi luas sawah dan persentasa keluarga tani. Pembentukan kerentanan juga dipengaruhi oleh aspek bahaya untuk menentukan lokasi mana saja yang perlu dilakukan identifikasi sebelum dikelompokkan menjadi tingkat kerentanan, untuk itu dilakukan overlay data antara daerah bahaya letusan Gunung Gede dengan daerah administrasi. Overlay data menghasilkan persentase luas wilayah disuatu desa yang berada dalam daerah bahaya. Berdasarkan overlay daerah bahaya dan daerah adminstrasi diperoleh 44 desa dalam 11 kecamatan di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten dan Sukabumi, berikut adalah desa – desa yang terkena dampak dari bahaya letusan Gunung Gede:
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
44
Tabel 5.1 Desa – desa di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi Yang Berada di Wilayah Bahaya KABUPATEN KECAMATAN
DESA
KABUPATEN KECAMATAN DESA
Ciloto
Caringin
Cimacan
Cipanas
Cikahuripan
Palasari
Cipetir Gede Kadudampit
Hutan
Cibeureum
Sukamaju
Cirumput
Sukamanis
Mangunkerta Nyalindung
Nagrak SUKABUMI
Padaluyu
Sukamulya Talaga
Kalaparea
Sukabumi
Sudajaya Girang Cimangkok
Sukalarang
Sukalarang Sukamaju
Gekbrong
Titisan
Kebonpeuteuy
Cisarua
Ciherang Cipendawa Pacet
Girijaya
Karawang
Sarampad
Gekbrong
Pangrango
Sindanglaya
Galudra
CIANJUR
Sukamulya
Cipanas
Sindangjaya
Cugenang
Cikembang
Sukaraja
Ciputri
Langensari Margaluyu Sukamekar
Gadog Sukatani Bunikasih Warungkondang
Mekarwangi Tegallega
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
45
Dilakukan pengelompokan data menggunakan metode K-menas untuk menghasilkan cluster data dari hasil standarisasi data (Zscore) dengan variabel yang digunakan adalah variabel – variabel dalam aspek bahaya dan kerentanan. Jumlah keseluruhan variabel dalam aspek bahaya dan kerentanan berjumlah 11 variabel (3 variabel bahaya dan 8 variabel kerentanan). Cluster data yang dihasilkan dalam penelitian ini berjumlah 7 cluster dengan tujuan agar klusterisasi mampu memperlihatkan semakin banyak perbedaan antar cluster sehingga memudahkan saat pembentukan tingkatan kerentanan. Berikut merupakan hasil cluster data menggunakan metode K-menas;
Tabel 5.2 Cluster Akhir Kerentanan di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi Cluster 1
2
3
4
5
6
7
-.43148
2.19453
-.38480
.25024
-.43148
-.43148
-.43148
-.51846
2.24839
-.36864
.41482
-.51846
-.51846
-.51846
-.94563
1.28457
-.05103
1.28550
.21452
-.87747
-1.18989
5.56000
-.40799
-.39881
.19363
.01513
.69786
.09249
Gender
-.56633
-.38356
-.03320
-.35601
-.28423
-.51437
1.39672
Kel Tani
-1.78725
.44203
.28352
-.63183
-.04320
-.10158
-.56176
-1.00276
-.33239
-.25802
-.54712
-.33239
.24161
1.68919
4.47913
-.44265
-.39961
-.06367
-.02144
1.24464
.04413
.48166
.20069
-.33716
.21073
2.64914
-.07225
-.56194
2.14570
-.00503
-.42386
1.46652
-.64648
-.14087
.52322
-.90795
-.89408
.41964
-.97579
-.28698
-.45556
.82025
Awan Panas Lontaran Batu Pijar Lontaran Kerikil Kepadatan Penduduk
Pendudu Cacat Kepadatan Permukima n Industri Fasilitas Umum Sawah
[Sumber : Pengolahan Data 2012] Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
46
Banyaknya jumlah anggota tiap cluster ditentukan berdasarkan kedekatan (kemiripan) antar data, sehingga data terdistribusi secara acak yang menyebabkan tiap cluster memiliki jumlah anggota yang berbeda. Berikut distribusi anggota ditiap cluster ;
Tabel 5.3 Distribusi Jumlah Anggota Tiap Cluster Cluster
1
1.000
2
6.000
3
20.000
4
4.000
5
3.000
6
5.000
7
6.000
Valid
45.000
Missing
1.000
[Sumber : Pengolahan Dara 2012]
Dari tabel Final Cluster dihasilkan tujuh cluster data yang memiliki kedekatan antar data, cluster satu berisikan kelompok data yang memiliki tujuh variabel dengan nilai dibawah rata – rata serta empat variabel dengan nilai diatas rata – rata. Sedangkan pada cluster dua berisikan kelompok data yang memiliki enam variabel dengan nilai dibawah rata – rata dan lima variabel dengan nilai diatas rata – rata. Dalam klasifikasi tingkatan kelas, kedua cluster (kelompok data) termasuk dalam kelas sedang karena memiliki kemiripan data antar cluster. Cluster tiga berisikan kelompok data yang memiliki 9 variabel dengan nilai dibawah rata – rata serta dua variabel dengan nilai diatas rata – rata. Pada cluster lima berisikan kelompok data yang memiliki delapan variabel dengan nilai dibawah rata – rata serta tiga variabel dengan nilai diatas rata – rata. Dan pada cluster enam sama dengan cluster lima yang berisikan kelompok data yang memiliki tujuh variabel dengan nilai dibawah rata – rata serta empat variabel dengan nilai diatas rata – rata hanya terjadi perbedaan nilai pada jenis variabel yang memiliki nilai dibawah rata-rata. Cluster tiga, lima dan enam digolongkan dalam tingkatan rendah karena kedekatan data antar kelompok datanya. Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
47
Cluster yang memiliki tingkatan tinggi dimiliki oleh cluster empat dan cluster tujuh. Cluster empat berisikan kelompok data yang memiliki enam variabel dengan nilai dibawah rata – rata serta empat variabel dengan lima nilai diatas rata – rata. Sedangkan cluster tujuh berisikan kelompok data yang memiliki lima variabel dengan nilai dibawah rata – rata serta enam variabel dengan nilai diatas rata – rata. Berikut klasifikasi tingakatan kelas ;
Tabel 5.4 Klusifikasi TIngkat Kerentanan di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi Tingkat
Klasifikasi
Kerentanan
Cluster Cluster 3
Rendah
Cluster 5 Cluster 6
Sedang
Tinggi
Cluster 1 Cluster 2 Cluster 4 Cluster 7
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Dari hasil klasifikasi cluster dan membentuk tingkatan kelas, maka diketahui sebagian besar desa terdapat pada kelas rendah (27 desa), sedangkan hanya 7 desa yang terdapat pada kelas sedang dan terdapat 10 desa yang berada pada kelas tinggi. Tingkat kerentanan tinggi dimiliki desa dengan karateristik lokasi berbatasan langsung dengan lokasi puncak Gunung Gede sehingga faktor bahaya menjadi faktor utama tingginya tingkat kerentanan di suatu desa, sebagian besar karateristik ini dimiliki oleh desa – desa di Kabupaten Cianjur. Namun terdapat juga daerah – daerah yang tidak berbatasan langsung dengan lokasi Gunung Gede namun memiliki tingkat kerentanan tinggi dikarenakan faktor kerentanan sosial,ekonomi dan fisik yang lebih tinggi dibandingkan desa lain, karateristik ini dimiliki oleh desa – desa di Kabupaten Sukabumi yang berbatasan langsung dengan Kota Sukabumi. Berikut data klasifikasi desa per kelas ; Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
48
Tabel 5.5 Tingkat Kerentanan Desa – Desa di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi. KERENTANAN RENDAH
DESA Bunikasih
Kebonpeuteuy
Sukalarang
Nyalindung
Cikembang
Mangunkerta
Sukamulya
Cibeureum
Ciloto
Margaluyu
Talaga
Cisarua
Cipetir
Mekarwangi
Tegallega
Gadog
Cirumput
Padaluyu
Titisan
Sukamaju
Girijaya
Sarampad
Cimangkok
Kalaparea
Sudajaya
Gekbrong
Girang SEDANG
Sindanglaya Cipendawa Galudra Karawang Sindangjaya Sukamulya Sukatani
TINGGI
Ciherang
Ciputri
Cimacan
Langensari
Cipanas
Sukamaju
Gede
Sukamanis
Pangrango Cikahuripan Sukamekar [Sumber : Pengolahan Data 2012]
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
49
Gambar 5.1 Peta Kerentanan Letusan Gunung Gede Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
50
5.2. Kerentanan Kecamatan Cipanas Kecamatan Cipanas memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dibandingkan dengan kecamatan – kecamatan lain, hal ini diuktikan dengan peta kerentanan letusan Gunung Gede di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi dengan mendominasinya kerentanan kelas tinggi dan sedang di Kecamatan Cipanas. Tingginya tingkat kerentanan letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas disebabkan oleh kedekatannya dengan lokasi dengan Gunung Gede. Kecamatan Cipanas merupakan lembah besar dari Gunung Gede yang menyebabakan daerah ini berpotensi terkena dampak bahaya awan panas, lontaran batu serta abu vulkanik akibat letusan Gunung Gede. Overlay antara wilayah bahaya dengan daerah administrasi Kecamatan Cipanas dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2 Bahaya Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas
Terdapat tiga desa yang dilalui bahaya awan panas diantaranya Desa Sindangjaya, Desa Cimacan dan Desa Ciloto. Bahaya abu vulkanik tebal dan Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
51
lontaran batu pijar hanya melanda di dua desa yaitu Desa Sindangjaya dan Desa Cimacan. Sedangkan sebagian besar desa di Kecamatan Cipanas termasuk dalam daerah bahaya abu vulkanik dan hujan batu kerikil kecuali Desa Batulawang yang tidak berada dalam wilayah bahaya letusan Gunung Gede.
Tabel 5.6 Luas Wilayah Tiap Desa di Kecamatan Cipanas
Desa
Luasan Awan Panas (HA)
Persentase Awan Panas (%)
Luasan Abu vulkani 5 km
Persentase Abu Vulkanik 5 km (%)
Luasan Abu Vulkani 10 km
Persentase Abu Vulkanik 10 km (%)
Sindangjaya
454,22
30,18
787,11
52,30
1449,84
96,33
Cimacan
517,61
31,66
624,41
38,20
1634,64
100,00
Ciloto
177,74
5,85
-
-
1247,66
41,08
Cipanas
-
-
-
-
334,73
100,00
Sindanglaya
-
-
-
-
20,60
16,63
Palasari
-
-
-
-
106,32
23,84
Sumber: Pengolahan Data 2011
Gambar 5.3 Grafik Persentase Luas Bahaya Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
52
Lokasi Desa Cimacan dan Desa Sindangjaya yang berbatasan langsung dengan Gunung Gede menjadikan kedua desa memiliki tingkat bahaya tinggi dikarenakan terdapatnya semua jenis bahaya letusan Gunung Gede di kedua desa. Desa Batulawang menjadi desa yang paling aman di Kecamatan Cipanas karena tidak dilalui oleh wilayah bahaya. Berbeda dengan proses pembentukan kerentanan letusan Gunung Gede di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten dan Sukabumi, untuk membentuk kerentanan Kecamatan Cipanas diperlukan peta penggunaan tanah yang lebih detail, untuk itu digunakan peta hasil pengolahan citra. Untuk membentuk kerentanan Kecamatan Cipanas terlebih dahulu mengidentifikasi aspek kerentanan sosial, fisik dan ekonomi.
5.2.1 Kerentanan Sosial Kerentanan sosial menunjukan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa penduduk apabila ada bahaya. Variabel kerentanan sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepadatan penduduk, komposisi gender penduduk dan jumlah penduduk cacat sebagai indikator penduduk rentan.
Tabel 5.7 Demografi Kecamatan Cipanas DESA SINDANGJAYA
Pemduduk Penduduk Jumlah Kepadatan Rasio Laki - laki Perempuan Penduduk Penduduk Gender (jiwa) (jiwa) (jiwa) (jiwa/ha) 5465 11387 1.08 7 5922
CIPANAS
8579
7962
16541
1.07
49
SINDANGLAYA
8693
8203
16896
1.05
136
PALASARI
7246
6968
14214
1.03
31
CIMACAN
9277
8792
18069
1.05
11
CILOTO
4327
4160
8487
1.04
2
BATULAWANG
6776
6446
13222
1.05
10
Sumber : Pengolahan Data 2012
Desa Cimacan memiliki penduduk terbanyak di Kecamatan Cipanas dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 berjumlah 18.609 jiwa dan Desa Ciloto Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
53
menjadi desa dengan jumlah penduduk paling sedikit di Kecamatan Cipanas dengan jumlah penduduk 8.478 jiwa. Sebagai desa dengan jumlah penduduk terbanyak tetapi tidak menjadikan Desa Cimacan sebagai desa dengan kepadatan penduduk tertinggi, hal ini dikarenakan Desa Cimacan memiliki wilayah yang luas. Desa dengan kepadatan penduduk tertinggi dimiliki oleh Desa Sindanglaya dengan kepadatan penduduk 136 jiwa/hektar. Desa Cilioto dengan jumlah penduduk yang paling sedikit di Kecamtan Cipanas serta wilayah yang luas menjadikan Desa Ciloto memiliki kepadatan penduduk terendah yaitu dengan kepadatan 2 jiwa/hektar. Meskipun terjadi perbedaan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan, komposisi gender tiap desa di Kecamatan Cipanas tidak terlalu berpengaruh banyak karena sebagian besar memiliki nilai yang hampir seragam yaitu 1:1.
Tabel 5.8 Penduduk Cacat di Kecamatan Cipanas Tuna Netra
Tuli
Bisu
Tuli Bisu
Cacat Tubuh
Keterbelakangan Mental
SINDANGJAYA
0
0
0
0
7
0
Total Penduduk Cacat 7
CIPANAS
1
0
0
1
3
0
5
SINDANGLAYA
2
0
0
2
0
1
5
PALASARI
2
2
1
0
4
5
14
CIMACAN
2
5
0
0
4
0
11
CILOTO
1
0
0
0
0
1
2
BATULAWANG
2
0
0
2
1
0
5
DESA
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Variabel penduduk cacat yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa jenis cacat yang ada di desa-desa di Kecamatan Cipanas, diantaranya tuna netra, tuli, bisu, tuli bisu, cacat tubuh dan keterbelakangan mental. Kecamatan Palasari merupakan desa yang memiliki jumlah penduduk cacat terbanyak sejumlah 14 jiwa yang sebagian besar menderita keterbelakangan mental. Sedangkan desa yang memiliki jumlah penduduk cacat paling sedikit dimiliko Desa Ciloto dengan jumlah 2 jiwa.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
54
5.2.2 Kerentanan Fisik Kerentanan
fisik menggambarkan bagaimana
kerugian di sektor
infrastruktur yang kemungkinan terjadi apabila terjadi bahaya. Variabel kerentanan fisik yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah rumah terkena bahaya, kepadatan permukiman, fasilitas umum, fasilitas kritis dan industri. Jumlah rumah terbanyak dimiliki oleh Desa Palasari dengan jumlah rumah 4.362 unit sedangkan Desa Sindangjaya menjadi desa dengan jumlah rumah paling sedikit di Kecamatan Cipanas dengan 1.800 unit. Apabila jumlah rumah tiap desa dibagi dengan luas tiap desa masing - masing, maka akan diperoleh kepadatan permukiman di tiap desa. Desa dengan kepadatan tertinggi dimiliki oleh Desa Sindanglaya dengan kepadatan 24 rumah/hektar. Desa Ciloto yang sebagian besar wilayahnya hutan dan sawah memiliki jumlah rumah 2.367 unit yang menjadikan Desa Ciloto memiliki kepadatan permukiman terendah dengan angka 1 rumah/hektar
Tabel 5.9 Kepadatan Permukiman di Kecamatan Cipanas
SINDANGJAYA
1.800
Kepadatan Permukiman 1,19
CIPANAS
2.445
7,30
SINDANGLAYA
2.934
23,68
PALASARI
4.362
9,78
CIMACAN
3.377
2,06
CILOTO
2.367
0,77
BATULAWANG
2.721
2,25
DESA
Jumlah Rumah
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Untuk mengetahui jumlah rumah yang terkena bahaya, dilakukan pengolahan data dengan mengidentifikasi jumlah rumah yang berada di wilayah bahaya serta mempertimbangkan setiap karateristik bahaya. Desa - desa yang dilalui bahaya awan panas berpotensi terjadi kerusakan rumah, begitu pula dengan desa – desa yang dilalui oleh bahaya lontaran batu pijar dan abu vulkanik tebal. Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
55
Sedangkan untuk desa – desa yang berada di wilayah lontaran kerikil dan abu vulkanik tipis tidak berpotensi terjadi kerusakan rumah, namun dapat menggangu aktifitas dan kesehatan penduduk. Desa Cimacan menjadi desa dengan potensi kerusakan di infrastruktur rumah terbesar dengan 1.089 rumahnya berada di wilayah bahaya awan panas yang berpotensi mengancurkan rumah. Tidak hanya itu, sebanyak 3.372 rumah di Desa Cimacan berada pada wilayah lontaran batu kerikil dan abu vulkanik tipis. Desa Sindangjaya merupakan satu – satunya desa yang memiliki permukiman di dalam wilayah bahaya lontaran batu pijar dan abu vulkanik tebal, sehingga potensi kerusakan rumah akibat lontaran batu pijar dimiliki oleh 103 rumah, 14 rumah berpotensi terjadi kerusakan akibat awan panas, serta 1.737 rumah berada dalam radius lontaran kerikil dan abu vulkanik tipis. Terdapatnya 103 rumah yang berpotensi terkena lontaran batu pijar menunjukan bahwa masih terdapat permukiman dalam radius 5 kilometer dari puncak Gunung Gede.
Tabel 5.10 Jumlah Rumah di Kecamatan Cipanas Yang Berada di Wilayah Bahaya
14
Lontaran Baru Pijar dan Abu Vulkanik Tebal (Unit) 103
CIPANAS
-
-
2.445
SINDANGLAYA
-
-
408
PALASARI
-
-
922
CIMACAN
1.089
6
3.372
442
-
1.261
-
-
-
DESA SINDANGJAYA
CILOTO BATULAWANG
Awan Panas (Unit)
Lontaran Kerikil dan Abu Vulkanik Tipis (Unit) 1.737
[Pengolahan Data 2012]
Variabel fasilitas umum yang digunakan dalam penelitian ini adalah fasilitas pendidikan dan tempat ibadah. Jenis – jenis tempat ibadah diantaranya adalah masjid, gereja protestan, gereja katolik, pura, dan klenteng. Sedangkan jenis fasilitas pendidikan diantaranya adalah TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
56
Tinggi. Fasilitas kritis yang ada di Kecamatan Cipanas adalah pasar dan istana. Pasar terdapat di Kelurahan Cipanas dan Desa Sindangjaya dengan jumlah pasar masing – masing satu, sedangkan fasilitas kritis Istana Cipanas berada di Desa Sindangjaya.
Tabel 5.11 Fasilitas Umum di Kecamatan Cipanas DESA
Fasilitas Agama
Fasilitas Pendidikan
Total Fasilitas Umum
Fasilitas Kritis
SINDANGJAYA
25
12
37
2
CIPANAS
21
27
48
1
SINDANGLAYA
19
24
43
0
PALASARI
26
12
38
0
CIMACAN
30
16
46
0
CILOTO
15
11
26
0
BATULAWANG
36
11
47
0
[Sumber: Pengolahan Data 2012]
Jumlah industri yang ada di Kecamatan Cipanas berjumlah 117 industri dengan jenis industri berupa industri kulit, industri kayu, industri logam, industri anyaman, industri gerabah, industri kain, industri makanan, dan industri lainnya. Kelurahan Cipanas memiliki jumlah industri terbanyak dengan 35 industri. Desa Ciloto dan Desa Palasari memiliki jumlah industri paling sedikit dengan jumlah 6 indsutri. Tabel 5.12 Industri di Kecamatan Cipanas Industri kulit
Industri kayu
Industri logam
Industri anyaman
Industri gerabah
Industri kain
Industri makanan
Industri lainnya
Total industri
SINDANGJAYA
0
0
0
3
0
0
4
0
7
CIPANAS
0
12
0
8
4
0
9
2
35
SINDANGLAYA
0
5
0
12
2
0
4
0
23
PALASARI
0
0
0
5
0
0
1
0
6
CIMACAN
0
2
0
3
0
0
0
6
11
CILOTO
0
0
0
6
0
0
0
0
6
BATULAWANG
0
2
1
12
0
0
14
0
29
DESA
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
57
5.2.3 Kerentanan Ekonomi Variabel kerentanan ekonomi yang digunakan adalah persentase keluarga tani, dan jumlah sawah yang berpotensi mengalami kerusakan atau gagal panen. Komoditi utama Kecamatan Cipanas berada di sektor pertanian, sehingga penduduk dengan mata pencaharian petani tersebar hampir di seluruh desa. Desa Sindangjaya, Desa Cimacan, Desa Batulawang dan Desa Ciloto adalah desa dengan jumlah persentase keluarga tani terbesar di Kecamatan Cipanas dengan komposisi hampir sepertiga jumlah penduduk desa. Sedangkan desa – desa yang berada di selatan Kecamatan Cipanas seperti Kelurahan Cipanas, Sindanglaya dan Palasari sudah banyak penduduk yang bekerja di luar sektor pertanian. Semakin banyak penduduk yang berkerja di sektor pertanian dapat menyebabkan suatu desa memiliki kerentanan yang tinggi apabila terjadi letusan Gunung. Bahaya dari gunung api dapat menghilangkan mata penceharian utama petani karena bahaya awan panas menyebabkan hancurnya lahan pertanian dan bahaya abu vulkanik menyebabkan lahan pertanian mati (gagal panen).
Tabel 5.13 Pertanian di Kecamatan Cipanas
DESA SINDANGJAYA
Persen Jumlah Keluarga Keluarga Tani Keluarga Buruh Tani (%) 645 24.01 2.686
Potensi Kerusakan Sawah (ha) 55.614834
Potesi Sawah Gagal Panen (ha) 262.73
CIPANAS
4.614
548
11.87
0
73.45
SINDANGLAYA
4.138
22
0.53
0
9.39
PALASARI
3.538
134
3.78
0
36.80
CIMACAN
4.763
1.373
28.82
165.72801
198.92
CILOTO
2.245
449
20
63.765144
207.21
BATULAWANG
3.023
913
30.20
0
0
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
58
5.3 Pengolahan Kerentanan Cipanas 5.3.1 Pengolahan Kerentanan Sosial dan Kerentanan Fisik Dilakukan penggabungan pengolahan data
kerentanan sosial dan
kerentanan fisik dengan unit analisis wilayah terbangun agar diketahui desa mana saja yang memiliki kerentanan tinggi dengan menggunakan gabungan variabel kerentanan sosial dan fisik. Digunakana metode cluster K-menas untuk membentuk cluster – cluster yang memiliki kedekatan atau kemiripan data. Hasil cluster data kerentanan sosial dan kerentanan fisik adalah sebagai berikut ;
Tabel 5.14 Cluster Akhir Kerentanan Sosial dan Fisik Cluster 1
2
3
4
5
Zscore(gender)
1.24557
.90426
-.08451 -1.17524
-.55149
Zscore(kpdtn_pddk)
-.45188
.60984
2.81704
-.57293
-.23135
Zscore(pend_ccat)
-.11631
-.62808
-.62808 -1.39573
1.09913
Zscore(fasum)
-.27109
1.15507
.50682 -1.69724
.63647
Zscore(fastis)
1.47513
.39337
-.68840
-.68840
-.68840
Zscore(industri)
-.52708
2.53594
1.22322
-.63647
-.22625
-.51043
.36981
2.73088
-.57047
-.10712
Zscore(rumah_rusk)
-.32934
-.44467
-.44467
.20889
.36489
Zscore(rumah_abu)
-.39579
1.75684
-.59348
-.33676
.17438
Zscore(kepdtn_muki m)
[Sumber Pengolahan Data 2012]
1. Cluster 1 dimiliki oleh desa dengan karateristik memiliki kerugian kerusakan rumah dan rumah terkena abu vulkanik yang lebih sedikit dibandingkan dengan desa – desa lain di Kecamatan Cipanas (nilai standarisasi –0,3). Sebagian besar variabel dalan indikator kerentanan sosial dan fisik di cluster satu juga memiliki nilai minus (dibawah rata – rata) selain nilai fasilitas kritis dan komposisi gender. Dari hasil klasifikasi kelas kerentanan, cluster 1 digolongkan sebagai kelas kerentanan rendah.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
59
2. Cluster 2 dimiliki oleh desa dengan karateristik memiliki kerugian keruskan rumah dan jumlah penduduk cacat dibawah minus (dibawah rata – rata), namun variabel lainnya memiliki nilai diatas rata – rata. Banyaknya nilai diatas rata – rata menandakan bahwa cluster 2 memiliki tingkat kerentanan diatas rata – rata cluster lain, sehingga dalam klasifikasi kelas kerentanan cluster 2 digolongkan sebagai kelas kerentanan tinggi. 3. Cluster 3 dimiliki oleh desa dengan karateristik memiliki kerugian kerusakan rumah dan rumah terkena abu vulkanik yang lebih sedikit dibandingkan dengan desa – desa lain di Kecamatan Cipanas (nilai standarisasi > –0,44). Nilai kerentanan sosial dan fisik pada cluster 3 sebagian besar diatas rata – rata kecuali variabel fasilitas kritis dan jumlah penduduk cacat. Dari hasil klasifikasi kelas kerentanan, cluster 1 digolongkan sebagai kelas kerentanan sedang. 4. Cluster 4 dimiliki oleh desa dengan karateristik memiliki semua nilai kerentanan sosial dan fisik dibawah rata – rata. Hanya satu nilai variabel diatas rata-rata yaitu jumlah rumah rusak dengan nilai standarisasi 0.208. Nilai kerentanan sosial dan fisik menjadi faktor utama cluster 4 digolongkan sebagai kelas kerentanan rendah. 5. Cluster 5 dimiliki oleh desa dengan karateristik memiliki kerugian kerusakan rumah akibat awan panas serta abu vulkanik diatas rata – rata, namun memiliki beberapa variavel kerentanan sosial dan fisik dengan nilai dibawah rata – rata. Cluster 5 diklasifikasikan sebagai kelas kerentanan sedang.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
60
Gambar 5.4 Kerentanan Sosial dan Fisik Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
61
Kelurahan Cipanas merupakan anggota dari cluster 2 sehingga menjadi satu – satunya desa dengan kerentanan sosial dan fisik kelas tinggi. Walaupun tidak memiliki jumlah rumah dalam wilayah bahaya awan panas, Kelurahan Cipanas memiliki kelas kerentanan tinggi karena hampir seluruh daerahnya terkenda dampak bahaya letusan Gunung Gede dan juga memiliki variabel – variabel kerentanan sosial dan fisik lebih rentan dibandingkan dengan desa lain. Desa Sindanglaya memiliki kerentanan sosial dan fisik kelas sedang karena menjadi anggota cluster 3. Desa Sindanglaya merupakan desa dengan ancaman bahaya yang rendah namun memiliki penduduk yang rentan. Sedangkan Desa Cimacan dan Palasari menjadi desa dengan kerentanan sosial dan fisik kelas sedang karena menjadi anggota cluster 5. Kedua desa merpakan desa dengan ancaman bahaya tinggi namun memiliki variabel – variabel kerentanan sosial dan fisik tidak terlalu rentan. Desa Ciloto dan
dan Desa Sindangjaya menjadi desa dengan kelas
kerentanan rendah karena sebagian bersar nilai variabel bahaya, kerentanan sosial dan fisiknya rendah. Sedangkan Desa Batulawang tidak terkena dampak letusan Gunung Gede karena berada di luar wilayah bahaya.
5.3.2 Pegolahan Kerentanan Ekonomi Pengolahan kerentanan ekonomi di Kecamatan Cipanas hanya melibatkan tiga variabel yaitu potensi luas kerusakan sawah, potensi kegagalan panen dan persentase keluarga tani. Digunkanan metode cluster K-menas untuk membentuk cluster – cluster yang memiliki kedekata atau kemiripan data dengan unit analisis adalah sawah.
Tabel 5.15 Cluster Akhir Kerentanan Ekonomi di Kecamatan Cipanas
Kerusakan Sawah Gagal Panen Kel Tani
Cluster 1 2 3 4 -.64908 -.64908 -.64908 .32088 1.30853 -.31617 -.98575 -.63721 .47908 -.76915 -1.74709 .47237 [Sumber : Pengolahan Data 2012]
5 2.61099 .91094 .93662
Cluster satu memiliki karateristik cluster dengan nilai potensi sawah gagal panen dan jumlah keluarga tani diatas rata – rata namun nilai potensi sawah yang Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
62
rusak dibawah – rata (tidak banyak). Cluster 1 dikelaskan menjadi kerentanan ekonomi kelas sedang. Desa – desa yang berada pada cluster 1 diantaranya adalah Desa Ciloto, Desa Cimacan dan Desa Sindangjaya. Cluster dua dan cluster tiga merupakan cluster
yang hampir
mirip,
karena memiliki karateristik nilai potensi kerusakan sawah, kegagalan panen dan persentase keluarga tani dibawah rata – rata. Dengan banyaknya nilai dibawah rata – rata menjadikan cluster ini memiliki kelas kerentanan ekonomi rendah. Desa yang berada pada cluster dua diantaranya adalah Kelurahan Cipanas. Cluster empat memiliki kelas kerentanan ekonomi sedang karena hanya memiliki satu nilai dibawah rata – rata pada yaitu pada variabel potensi lahan sawah gagal panen dengan nilai standarisasi -0,63721. Desa – desa yang berada pada cluster empat diantarnya Desa Ciloto, Desa Cimacan dan Desa Sindangjaya. Sedangkan cluster lima memiliki karateristik nilai kerentanan ekonomi diatas rata-rata untuk semua variabel. Besarnya nilai untuk setiap variabel, menjadikan cluster lima dikelaskan sebagai kelas kerentanan tinggi. Desa yang berada pada cluster lima hanya satu desa yaitu Desa Cimacan.
Tabel 5.16 Klasifikasi Kelas Kerentanan Ekonomi di Kecamatan Cipanas DESA
Cluster
Kelas
Ciloto
1
Sedang
Ciloto
4
Sedang
Cimacan
1
Sedang
Cimacan
4
Sedang
Cimacan
5
Tinggi
Cipanas
2
Rendah
Palasari
3
Rendah
Sindangjaya
1
Sedang
Sindangjaya
4
Sedang
Sindangjaya
4
Sedang
Sindanglaya
3
Rendah
[Sumber : Pengolahan Data 2012] Dari hasil klasifikasi kelas kerentanan ekonomi menggunakan cluster Kmenas, diperoleh hasi yang beragam untuk tiap desa. Desa Ciloto sebagian besar daerahnya berada pada cluster 1 dan cluster 4, sehingga Desa Ciloto hanya Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
63
memiliki kelas kerentanan ekonomi sedang. Desa Cimacan merupakan desa yang paling rentan dibandingkan dengan desa lain di Kecamatan Cipanas karena daerahnya memiliki cluster 1 , cluster 4 dan cluster 5 yang menjadikan Desa Cimacan memiliki kelas kerentanan sedang dan menjadi satu – satunya desa yang memiliki kelas kerentanan tinggi. Desa Palasari dan Desa Sindanglaya hanya memiliki kelas kerentanan ekonomi rendah dikarenakan wilayah yang terkena bahaya tidak terlalu luas, sehingga kedua desa berada pada cluster yang sama yaitu cluster 3. Desa Sindangjaya berada pada cluster 1 dan cluster 4 yang menjadikan Desa Sindangjaya memiliki kelas kerentanan sedang.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
64
Gambar 5.5 Kerentanan Ekonomi Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
65
5.3.3 Tingkat Kerentanan Cipanas Dengan menggabungkan ketiga indikator kerentanan yaitu kerentanan sosial, kerentanan fisik dan kerentanan ekonomi diperoleh tingkat kerentanan Kecamatan Cipanas. Pengolahan data menggunakan metode K-menas agar dipeoleh cluster – cluster data yang memiliki kedekatan (kemiripan) data dari tiap variabelnya. Berikut merupakan hasil cluster variabel kerentanan menggunakan metode K-menas ;
Tabel 5.17 Cluster Akhir Kerentanan Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas
Zscore(Sawah Rusak) Zscore(Gagal Panen) Zscore(Rumah rusak berat) Zscore(Rumah rusak ringan) Zscore(Rasio Gender) Zscore(Kepadatan) Zscore(Penduduk Cacat) Zscore(Kepadatan Permukiman) Zscore(Fasilitsa umum) Zscore(Fasilitas kritis) Zscore(Total industri) Zscore(Persen kel tani)
1 .37296 .87617
2 -.35761 -.00530
Cluster 3 -.65843 -.96100
.49960
-.47913
-.57385
-.57385
2.08549
-.42425
.15290
-.86680
-.31334
1.14569
-1.05896 -.69583 -1.21268
.73937 -.27630 -.32338
.09133 2.12746 -.48507
-1.07347 -.08142 1.69775
-.17701 -.52132 .97014
-.72362
-.38203
2.06471
.37203
-.56704
-1.89062 -.54470 -.88399 .25003
.42218 .72627 .57361 .42121
.29369 -.54470 .51861 -1.39110
-.34876 -.54470 -.88399 -1.11664
.67916 -.54470 -.47146 .99407
4 -.65843 -.70120
5 2.01674 .80194
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Cluster 1 merupakan cluster dengan karateristik nilai kerentanan fisik dan kerentanan sosial dibawah rata – rata dengan delapan nilai dibawah rata – rata. Nilai diatas rata – rata dalam cluster ini diperoleh dari variabel yang terpengaruh aspek bahaya dan kerentanan ekonomi. Cluster 2 memiliki karateristik nilai dibawah rata – rata untuk variabel – variabel yang dipengaruhi aspek bahaya, kerentanan sosial dan dengan enam variabel dibawah rata – rata. Nilai diatas rata – rata dalam cluster ini diperoleh
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
66
dari nilai kerentanan fisik dan kerentanan ekonomi namun memiliki nilai kepadatan permukiman, gagal panen dan kerusakan sawah dibawah rata - rata. Cluster 3 memiliki karateristik nilai dibawah rata – rata untuk variabel – variabel yang dipengaruhi aspek bahaya, kerentanan ekonomi dan dengan tujuh variabel dibawah rata – rata. Nilai diatas rata – rata dalam cluster ini diperoleh dari nilai kerentanan sosial dan kerentanan fisik kecuali variabel penduduk cacat dan fasilitas kritis yang memiliki nilai dibawah rata – rata. Kulster 4 memiliki karateristik nilai dibawah rata – rata hampir diseluruh variabel kerentanan dengan dua belas variabel yang memiliki nilai dibawah rata – rata. Variabel yang memiliki nilai diatas rata – rata hanya pada variabel penduduk cacat dan kepadatan permukiman. Cluster 5 memiliki karateristik sebagian besar nilai diatas rata – rata untuk tiap variabelnya. Nilai tertinggi dimiliki pada variabel yang dipengaruhi aspek bahaya. Variabel pada cluster ini yang memiliki nilai dibawah rata – rata berjumlah lima variabel. Untuk memperoleh tingkatan kerentanan (tinggi, sedang dan rendah) maka perlu dilakukan klasifikasi cluster berdasarkan karateristik yang dimiliki tiap cluster, berikut hasil klasifikasi cluster ;
Kerentanan Rendah
: Desa dengan kerentanan rendah dimiliki desa –
desa dengan kerentanan sosial, ekonomi dan fisik yang rendah meskipun desa tersebut juga memiliki potensi kerusakan rumah dan sawah serta kegagalan panen.
Desa Palasri, Desa Ciloto dan Desa Sindanglaya
termasuk dalam tingkat kerentanan rendah
Kerentanan Sedang
: Desa dengan kerentanan rendah dimiliki desa –
desa dengan kerentanan sosial, ekonomi dan fisik yang tinggi namun desa tersebut memiliki potensi kerusakan rumah dan sawah serta kegagalan panen yang tinggi. Desa Sindanglaya, Kelurahan Cipanas dan Desa Batulawang termasuk dalam tingkat kerentanan sedang.
Kerentanan Tinggi
: Desa dengan kerentanan tinggi dimiliki oleh desa
dengan kerentanan sosial, ekonomi dan fisik yang tinggi serta memiliki potensi kerusakan rumah dan sawah serta kegagalan yang tinggi. Desa Cimacan termasuk dalam tingkat kerentanan tinggi. Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
67
Gambar 5.6 Peta Kerentanan Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
68
5.4 Kapasitas Kapasitas adalah kemampuan masyarakat dalam mempersiapkan perkiraan kondisi bencana. Semakin tinggi kapasitas disuatu desa menandakan kemampuan desa dalam menghadapi ancaman bahaya juga semakin baik. Dalam penelitian ini variabel yang digunakan untuk mendapatkan tingkat kapasitas ditiap desa adalah keberadaan dari fasilitas medis dan tenaga medis disetiap desa di Kecamatan Cipanas. Tabel 5.18 Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Cipanas
Penduduk
R S
RS Bersalin
Poliklinik
Puskesmas
Pustu
Total Fasilitas Kesehatan
SINDANGJAYA
11387
0
0
1
0
1
2
Persentase Tiap Penduduk Mendapat Fasilitas Kesehatan 0.017563
CIPANAS
16541
0
0
0
1
0
1
0.006045
SINDANGLAYA
16896
0
0
0
0
0
0
0
PALASARI
14214
0
0
0
0
1
1
0.007035
CIMACAN
18069
1
1
0
0
0
2
0.011068
8487
0
0
0
0
1
1
0.011782
13222
0
0
0
0
0
0
0
Desa
CILOTO BATULAWANG
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Desa Cimacan merupakan satu - satunya desa yang memiliki Rumah Sakit yang berada dibagian selatan desa. Bersama dengan Desa Sindangjaya, Kelurahan Cipanas menjadi desa – desa yang memiliki fasilitas kesehatan yang baik, sedangkan Desa Sindanglaya dan Desa Batulawang merupakan desa yang tidak memiliki fasilitas kesehatan. Untuk menjadikan jumlah fasilitas umum disetiap desa sebagai bagian dari varibel kapasitas, maka perlu dibandingkan dengan jumlah penduduk disetiap desa agar mengetahui pengaruh jumlah fasilitas kesehatan terhadap pelayanan yang diperoleh oleh penduduk. Desa Sindangjaya merupakan desa yang memiliki persentase
penduduk
mendapatkan
fasilitas
kesehatan
tertinggi
dengan
0.017563% tiap penduduk. Pendudu di Desa Sindanglaya dan Desa Batulawang tidak mendapatkan fasilitas kesehatan karena tidak adanya fasilitas kesehatan di desanya masing – masing. Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
69
Variabel kepasitas lain yang digunakan dalam menentukan kapasitas adalah tenaga medis.
Kelurahan Cipanas menjadi kelurahan dengan jumlah
tenaga medis terbanyak dengan 10 tenaga medis, sedangkan Desa Ciloto tidak memiliki tenaga medis.
Dengan membandingkan dengan jumlah penduduk,
didapatkan persentase tiap penduduk mendapatkan pelayanan medis yang akan digunakan sebagai variabel kapasitas. Kelurahan Cipanas menjadi kelurahan yang memiliki persentase terbaik dengan 0.060455 %, sedangkan penduduk Desa Ciloto tidak terlayani tenaga medis.
Tabel 5.19 Tenaga Medis di Kecamatan Cipanas
Penduduk DESA SINDANGJAYA 11387 CIPANAS 16541 SINDANGLAYA 16896 PALASARI 14214 CIMACAN 18069 CILOTO 8487 13222 BATULAWANG
Dokter Pria 0 1 2 4 0 0 0
Dokter Wanita 0 2 0 0 0 0 0
Bidan 1 7 0 3 1 0 1
Total Tenaga Medis 1 10 2 7 1 0 1
Persentase Penduduk Terlayani Tenaga Medis 0.008781944 0.060455837 0.011837121 0.049247221 0.005534341 0 0.007563152
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Dilakukan klasifikasi cluster menggunakan metode K-menas untuk menghasilkan pembagian cluster berjumlah tiga kulster agar diketahui tingkat kapasitas ditiap desa,berikut hasil cluster;
Tabel 5.20 Cluster Akhir Kapasitas Kecamatan Cipanas Cluster 1 Fasilias Kesehatan Tenaga Medis
2
3
.90847
-.17172
-1.19099
-.65572
1.43370
-.45011
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Cluster satu dimiliki oleh desa yang memiliki fasilitas kesehatan dengan nilai diatas rata - rata namun memiliki nilai tenaga medis dibawah rata – rata. Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
70
Cluster dua dimiliki oleh desa yang memiliki nilai fasilitas kesehatan dibawah rata – rata namun memiliki nilai diatas rata – rata dalam pelayanan tenaga medis. Sedangkan cluster tiga dimiliki oleh desa – desa dengan nilai fasilitas kesehatan dan tenaga medis dibawah rata – rata.
Tabel 5.21 Kelas Kapasitas di Kecamatan Cipanas
Desa
SINDANGJAYA CIPANAS SINDANGLAYA PALASARI CIMACAN CILOTO BATULAWANG
Persentase Persentase Penduduk Penduduk Mendapat Terlayani Cluster Fasilitas Tenaga Kesehatan Medis 0.017563889 0.008781944 1 0.006045584 0.060455837 2 0 0.011837121 3 2 0.007035317 0.049247221 1 0.011068681 0.005534341 0.011782727 0 1 0 0.007563152 3 [Sumber : Pengolahan Data 2012]
Jarak Ke Pusat Cluster
Kelas Kapasitas
0.6593 0.24621 0.08916 0.24621 0.37585 0.33004 0.08916
Sedang Tinggi Rendah Tinggi Sedang Sedang Rendah
Setelah menentukan kedekatan jarak antar cluster, dapat ditentukan bahwa hasil cluster dapat dibentuk tingkatan kelas tinggi, sedang dan rendah. Kelas tinggi dimiliki oleh cluster dua karena anggota cluster dua memiliki jarak yang lebih dekat menuju pusat cluster. Kelurahan Cipanas dan Desa Palasari merupakan desa yang memiliki tingkat kapasitas tinggi, tingkat kapasitas tinggi diartikan sebagai desa – desa yang memiliki kesiapsiagaan terbaik dalam menghadapai bahaya di Kecamatan Cipanas. Kelas kapasitas sedang dimiliki oleh tiga desa yang berada di cluster satu, yaitu Desa Sindangjaya, Desa Cimacan dan Desa Ciloto. Sedangkan kelas kapasitas rendah dimiliki desa yang berada di cluster tiga yaitu Desa Sindanglaya dan Desa Batulawang.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
71
Gambar 5.7 Peta Kapasitas Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
72
5.5 Risiko Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan dalam kurun waktu tertentu, yang dapat juga berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Risiko letusan gunung gede di Kecamatan Cipanas diperoleh dari pengolahan bahaya, kerentanan dan kapasitas yang dimiliki Kecamatan Cipanas dengan menggunakan rumus R = H*V/C. Sumber bahaya diperoleh dari peta yang dikeluarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Becanan Geologi, sedangkan kerentanan dan kapasitas diperoleh dari pengolahan data. Pengolahan data risiko dilakukan dengan menggabungkan seluruh variabel bahaya kerentanan dan kapasitas. Nilai variabel kapasita diberi nilai minus ( - ) karena dalam Rumus R=H*V/C nilai kapasitas berbanding terbalik terhadap nilai risiko. Sedangkan nilai bahaya dan kerentanan memiliki nilai berbanding lurus terhadap nilai risiko.
Tabel 5.22 Nilai Kapasitas Kecamatan Cipanas DESA
Persentase Penduduk Mendapat Fasilitas Kesehatan
Persentase Penduduk Terlayani Tenaga Medis
SINDANGJAYA
-0.017563889
-0.008781944
CIPANAS
-0.006045584
-0.060455837
0
-0.011837121
PALASARI
-0.007035317
-0.049247221
CIMACAN
-0.011068681
-0.005534341
CILOTO
-0.011782727
0
0
-0.007563152
SINDANGLAYA
BATULAWANG
[Sumber: Pengolahan Data 2012]
Hasil dari cluster bahaya, kerentanan dan kapasitas menggunakan Kmenas akan membentuk tiga cluster sehingga dapat langsung ditentukan tingkat kelas risikonya (tinggi, sedang dan rendah). Berikut merupakan hasil cluster akhir; Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
73
Tabel 5.23 Cluster Akhir Pengolahan Data Risiko Bencana Letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas Cluster 1 Kerusakan Sawah
.30850
2 -.65843
3
4
5
-.65843
-.65843
2.01674
-.36717 -1.04451
-.83110
.80194
Sawah Gagal Panen
1.13597
Rumah Rusak Berat
.10495
-.57385
-.57385
-.57385
2.08549
Rumah Rusak Ringan
.00700
1.32659 -1.30613
-.59007
1.14569
Rasio Gender
.21755
1.13412
-.41007
-.49107
-.17701
Kepadatan Penduduk
-.64542
.28922
-.52310
1.02302
-.52132
Penduduk Cacat
-.60634
-.48507
-.48507
.60634
.97014
-.69826
.07054
-.54372
1.21837
-.56704
-1.18393
.93613
.80765
-.02753
.67916
Fasilitas Kritis
.72627
.72627
-.54470
-.54470
-.54470
Jumlah Industri
-.84273
1.50867
1.01364
-.18269
-.47146
.41919
-.43472
1.11001 -1.25387
.99407
-1.09572
.24884
1.19099
.64279
-.53397
.67162 -1.66752
.53927
-.41946
.62392
Kepadatan Permukiman Fasilitas Umum
Persentase Kel_tani Faskes Tenaga Medis
[Sumber Pengolahan Data 2012]
Cluster 1 memiliki enam variabel yang memiliki nilai dibawah rata – rata, sebagian besar nilai dibawah rata-rata diperoleh dari sebagian kecil variabel – variabel kerentanan sosial dan fisik. Variabel – variabel dengan nilai diatas rata – rata sebagian besar diperoleh dari variabel – variabel yang dipengaruhi aspek bahaya. Cluster 2 memiliki enam variabel yang memiliki nilai dibawah rata – rata, nilai dibawah rata –rata sebagian besar diperoleh dari variabel yang dipengaruhi oleh aspek bahaya dan beberapa variabel kerentanan ekonomi. Sedangkan variabel – variabel dengan nilai diatas rata – rata diperoleh dari variabel kerentanan sosial dan fisik. Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
74
Cluster 3 memiliki sembilan variabel yang memiliki nilai dibawah rata – rata, sebagian besar nilai dibawah rata – rata diperoleh dari variabel – variabel yang dipengaruhi aspek bahaya, kerentanan sosial dan kerentanan fisik. Sedangkan variabel – variabel dengan nilai diatas rata – rata diperoleh dari variabel – variabel kapasitas. Cluster 4 memiliki sepuluh variabel yang memiliki nilai dibawah rata – rata, dalam cluster ini hampir seluruh variabel memiliki nilai dibawah rata – rata dan hanya beberapa variabel dari kerentanan sosial dan fisik yang memiliki nilai diatas rata – rata. Cluster 5 memiliki enam variabel yang memiliki nilai dibawah rata – rata, sebagian besar nilai dibawah rata-rata diperoleh dari sebagian kecil variabel – variabel kerentanan sosial dan fisik. Variabel – variabel dengan nilai diatas rata – rata sebagian besar diperoleh dari variabel – variabel yang dipengaruhi aspek bahaya. Hasil cluster yang telah diperoleh digunakan untuk memperoleh tingkatan risiko (tinggi, sedang dan rendah), untuk itu perlu dilakukan klasifikasi cluster berdasarkan kemiripan data antar cluster, sehingga tiap – tiap cluster memiliki tingkatan risiko masing – masing. Berikut hasil klasifikasi cluster;
Risiko Rendah : Desa dengan risiko rendah memiliki karateristik sebagian besar variabelnya memiliki nilai dibawah rata – rata dan juga memiliki nilai kapasitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan desa lain. Cluster 3 dan Cluster 4 digolongkan sebagai tingkat risiko rendah.
Risiko Sedang : Desa dengan risko sedang memiliki karateristik nilai kerentanan diatas rata – rata namun memiliki nilai dibawah rata – rata pada variabel yang dipengaruhi bahaya letusan. Cluster 2 digolongkan sebagai tingkat risiko sedang.
Risiko Tinggi : Desa dengan risiko tinggi memiliki karateristik nilai diatas rata – rata untuk variabel yang dipengaruhi bahaya letusan dan sebagian besar variabel kerentanan. Cluster 1 dan Cluster 5 digolongkan sebagai tingkat risiko tinggi.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
75
Gambar 5.8 Peta Tingkat Risiko Letusan Guung Gede di Kecamatan Cipanas Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
76
5.5.1 Kerugian di Sektor Permukiman Berdasarkan overlay peta bahaya dan daerah administrasi, terdapat enam desa yang berada dalam wilayah bahaya letusan Gunung Gede dengan total penduduk 85.594 jiwa dalam 21.984 keluarga serta menempati 17.285 rumah. Semakin mendeketnya arah pembangunan perumahan menuju arah puncak Gunung Gede menyebabkan banyaknya penduduk yang berpotensi terkena dampak letusan Gunung Gede. Berdasarkan proyeksi data tahun 2000-2010 Kelurahan Cipanas merupakan desa yang memiliki laju pertumbuhan penduduk pertahun terbesar di Kecamatan Cipanas dan berdasarkan overlay peta bahaya dengan daerah administrasi seluruh daerah Kelurahan Cipanas berada di wilayah bahaya lontaran batu kerikil dan abu vulkanik. Potensi banyaknya nilai kerusakan di sektor permukiman di Kecamatan Cipanas akibat letusan Gunung Gede diprediksi sekitar Rp 54.841.965.000 (Rp 54 Miliar) dengan jumlah rumah berada didalam wilayah bahaya sebanyak 10145 unit. Kerusakan dibedakan menjadi dua yaitu kerusakan akibat awan panas dan lontaran batu pijar yang menyebabkan hancurnya rumah serta kerusakan yang disebabkan lontaran kerikil dan abu vulkanik yang menyebabkan perlunya renovasi dan pembersihan rumah akibat abu vulkanik. Nilai kerugian yang diperoleh dari hancurnya rumah akibat letusan Gunung Gede yaitu sekitar Rp 49.620.000.000 dengan asumsi satu rumah memiliki kerugian sebesar Rp 30.000000 (Sumber : Renaksi Merapi 2011). Sedangkan kerugian yang disebabkan oleh lontaran kerikil dan abu vulkanik diperkirakan akan menghasilkan nilai kerugian sebesar Rp 5.221.965.000 dengan asumsi biaya renovasi dan pembersihan rumah sebesar Rp 615.000. (Sumber Konversi: Renaksi Merapi 2011) Risiko tertinggi di sektor permukiman dimiliki oleh Desa Cimacan dengan Rp 34.250.355.000 karena memiliki jumlah rumah paling banyak yang berpotensi mengalami kerusakan berat (hancur). Banyaknya rumah di Desa Cimacan yang berada di lembah letusan gunung gede menyebabkan banyaknya rumah yang berpotensi terkena awan panas akibat letusan Gunung Gede. Sedangkan Kelurahan Cipanas dengan jumlah terbanyak yang berada didaerah bahaya namun tidak memiliki kerugian yang besar hanya sekitar Rp 1.503.675.000 , hal ini Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
77
dikarenakan seluruh rumah di Kelurahan Cipanas hanya berada di wilayah bahaya abu vulkanik dan tidak menghalami kerusakan berat. Tabel 5.24 Kerugian di Sektor Permukiman DESA
Rumah Rusak Berat
Total Kerugian
117
Rumah Rusak Ringan 1620
SINDANGJAYA CIPANAS
0
2445
1503675000
SINDANGLAYA
0
408
250920000
PALASARI
0
922
567030000
CIMACAN
1095
2277
34250355000
CILOTO
442
819
13763685000
BATULAWANG
0
0
0
TOTAL
1654
8491
54841965000
4506300000
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Gambar 5.9 Persentase Kerugian di Sektor Permukiman
5.5.2 Kerugian di Sektor Infrastrukur Perkiraan potensi kerugian akibat letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas diperoleh dari hasil survey lapang serta titik penting yang diperoleh dari peta RBI keluaran Bakosurtanal Skala 1:25000. Untuk mengetahui kerusakan infrastruktur maka perlu diketahui infrastruktur apa saja yang berada di wilayah bahaya awan panas. Infrastruktur yang berada di wilayah awan panas diasumsikan akan rusak berat apabila letusan Gunung Gede terjadi. Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
78
Gambar 5.10 Peta Infrastruktur di Wilayah Bahaya Awan Panas
Tabel 5.25 Kerugian di Sektor Infrastruktur Desa/Desa
Sekolah
Kantor Desa
Masjid
Hotel
Ciloto
2
1
1
5
Cimacan
1
0
5
1
Sindangjaya
1
0
0
0
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Berdasarkan hasil ploting data, terdapat 17 titik penting yang berada di wilayah bahaya awan panas dengan rincian 4 bangunan sekolah, 1 kantor desa (desa), 6 masjid dan 6 hotel (penginapan).
Desa Cimacan menjadi desa
terbanyak terjadi kerusakan infrastruktur dengan 6 bangunannya berada di wilayah awan panas. Kerugian pada infrastruktur diasumsikan bahwa semua infrastruktur mengalami kerusakan, sehingga perlu pembangunan kembali. Sisa jumlah infrastruktur di lima desa lain juga berpotensi terkena dampak letusan
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
79
Gunung Gede, namun tidak mengalami kehancuran karena hanya terkena bahaya abu vulkanik dan hujan kerikil.
5.5.3 Kerugian di Sektor Pertanian Penilaian kerugiaan disektor pertanian akibat letusan Gunung Gede dilakukan pada pertanian utama di Kecamatan Cipanas yaitu sawah. Penghitungan nilai kerugian di sektor pertanian diprediksi dari potensi nilai kerusakan lahan pertanian yang menyebabkan hilangnya pekerjaan utama penduduk sekitar serta potensi kerugian akibat kegagalan sekali panen. Sawah yang berada pada wilayah bahaya awan panas diprediksi akan mengalami kehancuran sawah sedangkan sawah yang berada di wilayah lontaran batu dan abu vulkanik diprediksi akan mengalami gagal panen. Asumsi nilai kerugian disektor pertanian diperoleh dengan melakukan survey lapang dan wawancara terhadap beberapa pemilik tanah pertanian di Kecamatan mengenai harga tanah dan produksi sawah. Nilai kerugian kerusakan sawah dipeoleh dari harga jual sawah yang berdasarkan hasil survey memiliki harga Rp 40.000 – 50.000 per meter, sehingga asumsi kerugian yang digunakan adalah Rp 45.000 per meter. Sedangkan asumsi nilai kerugian kegagalan panen diperoleh dari hasil produksi padi di Kecamatan Cipanas. Berdasarkan hasil wawancara produksi sawah memiliki nilai Rp 7.500 – 10.000 per meter, sehingga asumsi harga yang digunakan adalah Rp 8750 per meter.
Tabel 5.26 Kerugian di Sektor Pertanian DESA
Kerusakan Lahan Pertanian (Hektar)
Sawah Gagal Panen (Hektar)
Total Kerugian (Miliar)
SINDANGJAYA
56
263
48.0155993
CIPANAS
0
73
6.4269261
SINDANGLAYA
0
9
0.82186379
PALASARI
0
37
3.22047058
CIMACAN
166
199
91.9836873
CILOTO
64
207
46.8255398
BATULAWANG
0
0
0
Total
285
789
197.294087
[Sumber : Pengolahan Data 2012]
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
80
Luas sawah di Kecamatan Cipanas yang berada dalam bahaya letusan Gunung Gede seluas 1073,627 hektar. Prediksi total kerugian di sektor pertanian akibat letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas sebesar Rp 197,29 Miliar dengan rincian 128,30 Miliar diperoleh dari hasil kerusakan tanah pertanian yang disebabkan oleh awan panas dan Rp 69 Miliat disebabkan oleh kerugian akibat kegagalan panen akibat tanah tertutup oleh abu vulkanik yang menyebabkan tanah memiliki sifat asam.
Gambar 5.11 Grafik Potensi Kerugian di Sektor Pertanian
Dari 7 desa yang berada di Kecamatan Cipanas, terdapat tiga desa yang memiliki potensi kerugian tinggi akibat letusan Gunung Gede, yaitu Desa Cimacan sebagai desa dengan risiko paling tinggi potensi kerugian sebesar Rp 91 Miliar, kemudian desa Sindangjaya dan Desa Ciloto yang memiliki total kerugian hampir sama yaitu Rp 48 Miliar untuk Desa Sindangjaya dan Rp 46 Miliar untuk Desa Ciloto. Desa Batulawang dan Desa Sindanglaya memiliki risiko paling rendah paling karena persawahan di kedua desa tidak berada dalam wilayah bahaya sehingga memiliki kerugian di sektor pertanian paling sedikit.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
81
BAB VI KESIMPULAN
Hasil cluster menggunakan metode K-menas, terdapat 44 desa yang memiliki tingkat kerentanan letusan Guung Gede di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi dengan didominasi tingkat kerentanan rendah. Dilihat secara keruangan, wilayah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi mengelompok pada wilayah yang berbatasan langsung dengan lokasi puncak Gunung Gede dan juga wilayah yang berbatasan dengan Kota Sukabumi. Nilai perkiraan kerugian sektor permukiman, infrastruktur dan pertanian akibat letusan Gunung Gede di Kecamatan Cipanas diperkirakan sebesar Rp 251,29 Miliar dan merusak 17 infrastruktur. Desa dengan risiko rendah memiliki karateristik sebagian besar variabelnya memiliki nilai dibawah rata – rata dan juga memiliki nilai kapasitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan desa lain. Desa dengan risko sedang memiliki karateristik nilai kerentanan tinggi namun memiliki nilai rendah pada variabel yang dipengaruhi bahaya letusan serta kelas kapasitas tinggi. Desa dengan risiko tinggi memiliki karateristik nilai kerentanan dan bahaya yang tinggi dengan kelas kapasitas sedang.
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
82
DAFTAR PUSTAKA
Alberico, I. (2001). A methodology for the evaluation of long-term volcanic risk from pyroclastic £ows in Campi Flegrei. Naples. Journal of Volcanology and Geothermal Research Andayani, S. (2007). Pembentukan Cluster dalam Knowledge Discovery in Database dengan Algoritma K-menas. Yogyakarta. SEMNAS Trend Penelitian Matematik dan Pendidikan Matematika di Era Global. BAKORNAS RBP. (2002). Arah Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia. Jakarta BNPB. (2010). Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2010-2012. Jakarta. BNPB. (2011). Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi : Wilayah Pascabencana Erupsi Gunung Merapi di Provinsi D.I Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2013. Cannon, T. (2002). Social Vulnerability, Sustainable Livelihoods and Disasters. Greenwich : Report to DFID Conflict and Humanitarian Assistance Departemen (CHAD). Cooper, P E. (2010). Volcano & Geothermal Tourism : Sustainable GeoResources for Leisure and Recreation. London. Earthscan Ltd. Cutter, S L. Social Vulnerability to Enviromental Hazards. South Carolina. Davidson, R. (1997). An Urban Earthquake Disaster Risk Index. Standford, California. Dewi, C. (2010). Tingkat Banjir Rob di Jakarta Utara. Skripsi S1 Departemen Geografi FMIPA UI Hadisantono, R.D, dkk. (2006). Peta Wilayah Rawan Bencana Gunung Api Gede, Jawa Barat. PVMBG Hogan, D J. (2007). Vulnerability to Natural Hazads in Population-Enviroment Studies. Background paper to the Population-Environment Research Network (PERN) Cyberseminar1 on Population & Natural Hazards Kelman, I. (2007). Understanding Vulnerability to Understand Disasters. Colorado. Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012
83
Langley, A. (2006). Bencana Alam. London. Erlangga Noor, D. (2006). Geologi Lingkungan. Yogyakarta. Graha Ilmu. Rapicetta, S., Vittorio Zanon. (2008) GIS-based method for the enviromental vulnerability assessment to volcanic ashfall at Etna Volcano. Springer Science. LLC Semedi, J M. (2005). Tingkat Risiko Banjir di DKI Jakarta. Skripsi S1 Departemen Geografi FMIPA UI Udono, T. (2002). Hazard Mapping and Vulnerability Assessment”. Regional Workshop on Total Disaster Risk Management Wilson, T., Kaye, G., Sterart, C. And Cole, J. 2007. Impacts of the 2006 eruption of Merapi volcano. Indonesia, on agricilture and infrastructur. GNS Science Report 2007/07 69p. Yodmani, S. (2001). Disaster Risk Management and Vulnerability Reduction: Protecting the Poor. Social Protection Workshop 6: Protecting Communities—Social Funds and Disaster Management. Zakaria, Z. (2008). Identifikasi Kebencanaan Geologi Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Bulletin of Scientific Contribution
Universitas Indonesia
Risiko bencana..., Tri Yogatama, FMIPA UI, 2012