Achsanuddin Hanafie
Strategi Penyapihan dari Mechanical Ventilation
Rinorea Cairan Serebrospinal Yuritna Haryono Departemen THT FK-USU
Abstrak: Rinorea cairan serebrospinal adalah suatu keadaan adanya hubungan yang tidak normal antara ruang subarachnoid dengan rongga hidung. Sebanyak 80 % dari kasus terjadi oleh karena trauma kepala yang berhubungan dengan fraktur dasar tengkorak. Gejala klinis penyakit ini yaitu sekret jernih pada hidung yang biasanya unilateral, terutama jika terjadi perubahan posisi tubuh. Pada anamnesa perlu ditanyakan riwayat trauma. Untuk diagnosa dapat dilakukan test saputangan, nasal endoskopi, analisa biokimia dan pemeriksaan radiologi. Penatalaksanaan rinorea cairan serebrospinal tergantung pada penyebab, lokasi dan beratnya trauma. Kata kunci: rinorea, cairan serebrospinal, meningen
Abstract: Cerebrospinal Fluid Rhinorrhea is a condition of abnormal relation ship between subarchnoid space and nasal cavity. About 80% of cases occurs due to head trauma which is related to basis cranii fracture. A clear secret runs down the nose, mainly unilateral, especially with body posture changes. It is necessary to take history of trauma. Diagnose can be made by handkerchief test, nasal endoscopy, biochemistry analysis and radiology evaluation. The treatment depends on causes, location and the severity of trauma. Keywords: rhinorrhea, cerebrospinal fluid, meningen
PENDAHULUAN Rinorea Cairan Serebrospinal (RCS) adalah suatu keadaan adanya hubungan yang tidak normal antara ruang subarachnoid dengan rongga hidung. Hal ini disebabkan oleh karena rusaknya semua pertahanan yang memisahkan antara ruang subarachnoid dengan rongga hidung, yang ditandai dengan adanya pembukaan pada arachnoid, dura dan tulang, yang merupakan jalan keluar cairan serebrospinal (CSS) ke rongga hidung.1,2 CSS dapat berasal dari fossa kranii anterior, media dan posterior. CSS yang berasal dari fossa kranii anterior mengalir melalui sinus frontal, sfenoid dan etmoid atau langsung melalui lamina kribriform. CSS dari fossa kranii media dapat masuk kehidung secara langsung melalui sinus sfenoid ataupun tidak langsung dari sel-sel udara mastoid (telinga tengah) melalui tuba eustakius. Keluarnya CSS dari fossa kranii posterior ke rongga hidung sering secara tidak langsung dari sel-sel udara mastoid (telinga tengah) melalui tuba eustakius.2 Penatalaksanaan RCS tergantung dari penyebab, lokasi dan beratnya trauma. RCS yang terjadi karena trauma sering berhenti dengan sendirinya, dimana 70% berhenti dalam 1 minggu, 20-30% berhenti dalam beberapa
bulan, dan banyak kasus yang berhenti dalam 6 bulan. Sebaliknya pada RCS non-trauma, hanya 1/3 dari kasus yang sembuh dengan sendirinya.3 Dengan adanya kerjasama yang baik antara ahli bedah hidung, ahli radiologi syaraf, dengan ahli bedah syaraf maka dapat ditentukan letak kebocoran yang tepat sehingga kasus-kasus RCS dapat ditangani dengan baik dan hasil yang memuaskan.4 MENINGEN Kulit kepala dan tulang tengkorak melindungi otak dari bahaya mekanik apapun dari luar. Didalam tengkorak terdapat lagi suatu system perlindungan, yang dibentuk oleh selaput-selaput khas, yang dalam keseluruhannya dikenal sebagai meningen. Meningen terdiri dari 3 selaput, yang dari luar kedalam secara berturut-turut dinamakan duramater, arachnoidmater dan piamater. Secara kolektif araknoidmater dan piamater disebut juga dengan leptomeningen duramater sebagai pakimeningen.5,6 CAIRAN SEREBROSPINALIS CSS adalah cairan jernih yang tak berwarna, mengandung sedikit protein dan sel, tetapi umumnya memiliki komposisi ionik yang
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
351
mirip dengan plasma. Cairan ini mengandung lebih banyak ion chlor dan magnesium. CSS yang terkandung dalam ruang subaraknoid berfungsi sebagai bantal penahan trauma mekanik. Disamping itu ia diduga pula mempunyai fungsi nutrisi bagi neuron-neuron dan bertindak sebagai pengangkut sampah metabolik dari jaringan susunan saraf pusat.5,6,7 KEKERAPAN Menurut Beckhardt dkk (1991), sebanyak 80% kasus RCS terjadi oleh karena trauma kepala yang berhubungan dengan fraktur dasar tengkorak. Disamping itu sebanyak 16% oleh karena operasi pada hidung dan rongga sekitar hidung serta dasar tengkorak. Disamping itu 34% diperkirakan oleh karena non-trauma.2 Menurut Stankiewiez (1991), RCS yang terjadi karena trauma sebanyak 90%, dimana 80% nya oleh karena trauma pada kepala dan wajah. Hanya 0,9% yang disebabkan trauma setelah operasi hidung dan paranasal. Disamping itu 8-16% terjadi oleh karena trauma setelah operasi intrakranial. Sedangkan RCS yang terjadi karena non trauma hanya 10%, dimana
5% terjadi oleh karena tekanan intrakranial yang meningkat dan 5 % oleh karena tekanan intrakranial yang normal.3 Menurut Shugar dkk (1981), kebocoran yang terjadi oleh karena tekanan intrakranial yang meningkat adalah 84% disebabkan oleh tumor, terutama tumor pada hipofise dan 16% berhubungan dengan hidrocephalus. Sedangkan kebocoran yang terjadi karena tekanan intrakranial yang normal adalah 90% congenital pathway dan 10% karena erosi langsung pada dasar tengkorak oleh tumor atau infeksi. 2 ETIOLOGI Stankiewecz (1991), membagi etiologi RCS menjadi trauma dan non trauma. Trauma dapat disebabkan oleh trauma pada kepala dan wajah serta latrogenik seperti setelah operasi hidung dan paranasal serta setelah operasi intrakranial. Nontrauma dapat disebabkan oleh tekanan intrakranial meningkat seperti tumor intrakranial dan hidrosefalus. Disamping itu dapat juga pada Tekanan intrakranial yang normal seperti pada fokal atropi tulang atau dehiscen, erosi tulang dan defek kongenital serta idiopatik.3
Gambar 1. Lokasi kebocoran CSS (dikutip dari kepustakaan 8)
352
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Yuritna Haryono
Rinorea Cairan Serebrospinal
Gambar 2. Jalan masuk kebocoran CSS ke rongga hidung (di kutip dari kepustakaan 2)
PATOGENESIS Mekanisme kebocoran CSS oleh karena trauma biasanya terjadi pada bagian dasar fossa kranii anterior, dimana terjadi kerusakan pada arachnoid, dura dan fraktur tulang yang kemudian menyebabkan fistel. Tulang tengkorak anterior tipis dan melekat erat pada dura, sehingga jika terjadi fraktur pada tulang tersebut maka akan terjadi kerusakan pada dura. Lokasi anterior yang paling sering terjadi fistel adalah daerah fovea etmoidalis (atap sinus etmoid), dinding posterior dari sinus frontal, lamina kribriform, dan sinus sfenoid.2,4 Fraktur pada fossa kranii media lebih jarang, dimana dapat menyebabkan kebocoran ke hidung melalui sinus sfenoid atau tuba eustakius. RCS juga terjadi oleh karena fraktur fossa kranii posterior yang masuk melalui sinus sfenoid dan fraktur bagian petrosus tulang temporal yang menyebabkan CSS masuk ke selsel udara mastoid dan kemudian ke tuba eustakius (pada membran timpani yang utuh).2 Kebocoran CSS karena tindakan bedah biasanya tergantung dari tipe operasi pada dasar tengkorak, misalnya terganggu atap sinus oleh karena eksisi tumor pada sinus, prosedur intradural yang meluas kedalam sinus seperti eksisi meningocele, prosedur didalam dan sekitar telinga termasuk diseksi ruang subarachnoid misal eksisi neuroma akustik dan trans-sphenoidal hipofisectomi. Juga pada bedah endoskopi sinus etmoid yang dapat menyebabkan kebocoran CSS.2 RCS non-trauma biasanya terjadi setelah adanya peristiwa bersin-bersin, batuk atau
infeksi saluran pernapasan atas yang ringan. Gejala awalnya tidak jelas sehingga sering salah diagnosa dengan rinitis. Fistel yang terjadi karena tekanan intra kranial yang tinggi biasanya pada area kribriform. Hal ini disebabkan oleh karena rapuh dan uniknya anatomi daerah ini serta adanya filament olfactory pada ruang subarachnoid. Sedangkan fistel karena tekanan intracranial yang normal dapat terjadi melalui defek kongenital pada tegmen atau melalui mastoid. Selain itu erosi langsung pada dasar tengkorak oleh tumor atau infeksi juga dapat menyebabkan kebocoran CSS.2 GEJALA KLINIS Gejala klinis RCS yaitu sekret jernih pada hidung yang biasanya unilateral, terutama jika terjadi perubahan posisi tubuh. Disamping itu penderita merasakan rasa asin pada mulut. Dapat terjadi sakit kepala karena kehilangan CSS dan gangguan penglihatan karena tekanan intrakranial yang meningkat. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang disebabkan oleh trauma pada traktus olfactory.4,8,9 DIAGNOSIS Pada anamnese perlu ditanyakan adanya riwayat trauma, apakah trauma kepala atau trauma pada pembedahan. Disamping itu apakah ada sekret hidung yang jernih, unilateral, menetap atau hilang timbul, rasa asin di mulut, sakit kepala seperti ditarik ke depan dan gangguan penglihatan karena meningkatnya tekanan intrakranial serta anosmia karena fraktur pada traktus olfactory.3,4,8
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
353
Tinjauan Pustaka
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai peningkatan aliran CSS terutama pada perubahan posisi atau tekanan vena jugular yang dapat membantu penegakan diagnosa. Disamping itu aliran CSS dapat mengalir dengan tiba-tiba setelah penderita telentang beberapa waktu, kemudian dibuat dalam posisi tegak dengan leher fleksi.2 Untuk penunjang diagnostik dapat dilakukan test saputangan yaitu dengan meletakkan CSS pada sapu tangan. Cairan ini tidak akan mengeras pada saputangan. Sedangkan sekret mucus pada rinitis, akan terjadi pengerasan pada saputangan. Jika sekret CSS adalah darah, maka akan terjadi tanda 'hallo', dimana ketika kering maka darah tersebut akan dikelilingi oleh lingkaran jernih.3,8,9 Penggunaan nasal endoskopi bermanfaat untuk mengetahui lokalisasi kebocoran CSF. 1,2,3 Analisa Biokimia atau Imunokimia dilakukan untuk menentukan adanya glukosa, protein dan elektrolit pada CSS, yang dapat membedakan antara CSS dengan sekret yang lain.2,8,9 Radiologi seperti foto polos, CT-Scan dan MRI sangat membantu untuk menentukan lokasi dan ukuran kebocoran serta menjadi petunjuk untuk rencana pendekatan pembedahan.4,8,9 Pemeriksaan dengan Radio-isotop lebih efektif untuk mengetahui adanya kebocoran, meskipun lokasi kebocoran sering kurang tepat. Keuntungan dengan pemeriksaan ini diperoleh gambar yang kualitas baik dan neurotoksisitas yang rendah.,3,4,9 Pewarnaan secara intratekal telah dijabarkan secara jelas oleh Stammberger (1992). Dilakukan injeksi sodium flourescein 5% sebanyak 1 ml secara interthecal melalui punksi lumbal. Kemudian pasien dipertahankan pada posisi telungkup dengan kepala sedikit lebih rendah dari posisi badan, sehingga zat warna terdistribusi keseluruh ruang dura. Keadaan ini terjadi karena zat warna tersebut mempunyai gravitasi yang lebih besar dari CSS. Jika terdapat fistel besar maka akan terlihat sekret berwarna terang hijau kekuningan yang mengalir ke hidung setelah beberapa menit dilakukan injeksi zat warna. Jika fistel kecil maka sulit untuk menilai kebocoran, sehingga kita memerlukan sumber cahaya biru yang lebih sensitif untuk menilai kebocoran. Pada pemeriksaan ini dijumpai lintasan berwarna hijau keputihan yang terang.1,2,8 PENATALAKSANAAN Pilihan penatalaksanaan RCS yang tepat tergantung pada beberapa faktor yaitu berat dan 354
luasnya trauma. Disamping itu juga etiologi serta letak anatomi dari kebocoran CSS (park, Strelzow dan Friedman, 1983).2 Penatalaksanaan RCS dapat dilakukan secara konservatif dan pendekatan pembedahan. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid. Dilakukan punksi lumbal secara serial dan pemasangan kateter sub-rachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi.1,2,3 Pendekatan pembedahan dapat secara intrakranial, ekstrakranial dan secara bedah sinus endoskopi. Pendekatan intrakranial yaitu dengan melakukan kraniotomi melalui daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema, hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa kranii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.1,2,3 Pendekatan Ekstrakranial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal etmoidektomi, trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal. Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.1,2,3 Pendekatan bedah Sinus endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka keberhasilan yang tinggi
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Yuritna Haryono
(83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada fistel yang kecil (<3mm) dapat diperbaiki dengan free graft mukoperikondrial yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang besar (>3mm) digunakan graft dari tulang rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap local atau free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapangan pandang yang jelas sehingga memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya.1,2 DAFTAR PUSTAKA 1. Quinn FB, Ryan MW. Cerebrospinal Fluid Rhinorrhea and Ortorrhea Grand Rounds Presentasion, UTMB, Dept. of Otolanyngology. 2002. 2. Milford CA. Cerebrospinal Fluid Rhinnorrhea. In: Scott – Brown’s otolaryngology. Sixth Edition, Butterworth–Heinemann, 1997: Vol. 4, p. 1-12. 3. Stankiewicz JA, Delsupehe KG. Cerebrospinal Fluid Rhinnorrhea. In: Rhinologic Diagnosis and Treatment. Thieme. New York–Stuttgart. 1997: p. 270 – 86.
Rinorea Cairan Serebrospinal
4. Pearson BW. Cerebrospinal Fluid Rhinnorrhea. In: Paparella MM, Shumrick DA (Ed). Otolaryngology – Head and Neck. Third Edition, Vol. III.. WB. Sounders Company. Philadelphia. 1991: p. 1989 – 99. 5. Sidharta P. Dewanto G. Meninges, Likuor Serebrospinalis dan Sawar darah-otak. Dalam: Anatomi Susunan Saraf Pusat Manusia. PT. Dian Rakyat. Jakarta. 1986. p. 387 – 97. 6. Hollinshead WH. The Cranium. In: The Head and Neck – Anatomy for Surgeons. International edition, Vol. I, A Hoeber – Herper. New York, 1966, p. 8 – 87. 7. Mardjono M, Sidharta P. Mekanisme gangguan metabolik susunan saraf. Dalam: Neurologi Klinis Dasar. PT. Dian Rakyat. Jakarta. 1981:p. 351 – 8. 8. Mathog RH, MD, Cerebrospinal Fluid Leaks. In: Atlas of Craniofacial Trauma. WB Sounders Company. Philadhelphia. 1992. p. 425. 9. Ramalingan KK. Cerebrospinal Fluid Rhinorrhea. In: A Short Practise of Otolanungology. All India Publishes and Distributor Madras. 1993: p. 166 – 67.
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
355