Rini Aisyah, Ristiana Eryati dan Akhmad Rafi’i KONSENTRASI LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN TEMBAGA (Cu) PADA KERANG PENGO (Modiolus sp.) DI PERAIRAN KOTA BONTANG (Pb and Cu Consentration in Modiolus sp from the Waters of Bontang City) RINI AISYAH1), RISTIANA ERYATI2) dan AKHMAD RAFI’I2) 1) Mahasiswa Jurusan MSP-FPIK, Unmul 2) Staf Pengajar Jurusan MSP-FPIK, Unmul Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman Jl. Gunung Tabur No. 1 Kampus Gunung Kelua Samarinda E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Mussels have the ability to accumulate certain heavy metals in the body due to its habitat that associated with water bottom and the way of shellfish eating which is filter feeder that is very suitable as a bioindicator of pollution in the environment. One of shellfish that is easy to be found in Bontang is horse mussel (Modiolus sp.). Waters of Bontang assumed has been polluted by heavy metals. The research was to determine the concentrations of lead (Pb) and copper (Cu) in horse mussels (Modiolus sp.). Applied for analysis Atomic Absorption Spectrophotometric (AAS). The results of heavy metals concentration Lead (Pb) in the water ranged from 0,14 to 0,37 mg/l and the concentration of Copper (Cu) in the water ranged from 0,06 to 0,07 mg/l. As for the concentration of Lead (Pb) in horse mussels (Modiolus sp.) ranged from 1,66 to 6,8 mg/kg and concentration Copper (Cu) in horse mussels (Modiolus sp.) ranged between 2,08 to 8,47 mg/kg . The concentration of Lead (Pb) in sediment ranged between 51,63 – 65,26 mg/kg and the concentration of Copper (Cu) in the sediments ranged from 10,39 to 22,42 mg/kg. The results of analysis Bioconcentration Factor showed the relative low results. The Bioconcentration Factor (organism with sediment) ranged from 0,03 to 0,51 and the Bioconcentration Factor (organism with water) ranged from 7,22 to 121. Keywords: heavy Metals, Lead (Pb) , Copper (Cu), Mussels, Modiolus sp
PENDAHULUAN Bontang merupakan salah satu kota di Kalimantan Timur yang merupakan kawasan pesisir dan lautan. Luas Kota Bontang mencapai 497,57 km², dimana sebagian besar merupakan wilayah perairan, sementara luas wilayah daratan hanya sekitar 29%. Hal tersebut menjadikan Bontang sebagai salah satu kota dengan potensi perikanan yang cukup besar di Kalimantan Timur. Tidak hanya potensi perikanan, Bontang juga membangun wilayahnya dengan potensi pariwisata yang ditonjolkan pada keindahan alam lautnya serta juga dijadikan sebagai kawasan industri yang padat. Potensi-potensi tersebut menjadikan Bontang sebagai salah satu kota yang maju di Kalimantan Timur.
Jurnal Ilmu Perikanan Tropis. Vol. 22. No. 1, Oktober 2016: 064–073 Diterima 19 Agustus 2016. Semua hak pada materi terbitan ini dilindungi. Tanpa izin penerbit dilarang untuk mereproduksi atau memindahkan isi terbitan ini untuk diterbitkan kembali secara elektronik atau mekanik.
64
Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 22. No. 1, Oktober 2016 – ISSN 1412-2006
Rini Aisyah, Ristiana Eryati dan Akhmad Rafi’i Selain sebagai kota dengan hasil perikanan yang cukup besar di Kalimantan Timur, Bontang juga merupakan kawasan industri yang cukup sibuk. Pertumbuhan industri di Bontang cukup pesat. Sejak tahun 1975 telah berdiri beberapa industri, seiring dengan berjalannya waktu, industri-industri di Bontang semakin bertambah. DKP Bontang (2001) melaporkan bahwa hingga saat ini telah berdiri tidak kurang dari 110 unit perusahaan yang sebagian besar beroperasi di sepanjang perairan Kota Bontang. Keberadaan aktivitas industri tersebut diduga akan memberikan dampak terhadap suplai/masukkan logam berat di perairan. Pertumbuhan industri tersebut mengundang banyak orang dari luar Bontang bahkan luar pulau untuk mencari lapangan pekerjaan, menjadikan peningkatan jumlah penduduk di Bontang secara signifikan. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan pula jumlah transportasi dan kebutuhan (primer dan sekunder). Dengan peningkatan jumlah penduduk, transportasi dan kebutuhan (primer dan sekunder), kemungkinan akan menyebabkan bertambahnya limbah di Kota Bontang. Paradigma masyarakat saat ini beranggapan bahwa laut merupakan tempat pembuangan sampah yang mudah, murah dan praktis sehingga masyarakat kerap kali membuang sampah ke laut. Hal tersebut telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat dari berbagai usia dan kalangan. Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan di Kota Bontang menunjukkan bahwa perairan di Bontang telah memiliki kandungan logam berat, tidak hanya di perairan saja bahkan biotanya pun juga terdeteksi memiliki konsentrasi logam berat di dalam tubuhnya. Maka dari itu sangat penting untuk mengetahui konsentrasi logam berat pada biota laut karena berkaitan erat dengan tingkat keamanan konsumsi bagi manusia yang mengonsumsi komoditi tersebut. Kerang mempunyai kemampuan untuk mengakumulasi logam berat tertentu dalam tubuhnya karena habitat hidupnya yang berasosiasi dengan dasar perairan, pergerakannya yang relatif lambat (motil) dan cara makannya yaitu dengan cara menyaring (filter feeder). Sehingga kerang sangat cocok dijadikan bioindikator suatu pencemaran di lingkungan, termasuk untuk menilai pencemaran logam berat. Untuk itu pada penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana konsentrasi logam berat Pb dan Cu pada kerang yang berasal dari perairan Kota Bontang. Kerang yang menjadi objek penelitian ini adalah Kerang Pengo (Modiolus sp.)
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2016 hingga Mei 2016 dimulai dari pengambilan sampel, pengolahan data dan analisis data. Sampel diambil pada 4 lokasi penelitian. Proses destruksi dan analisis logam berat dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah UPT. Pusat Studi Reboisasi Hutan Tropika Humida (Pusrehut). Lokasi penelitian berada di Kelurahan Guntung, Kecamatan Bontang Utara Kota Bontang. Berikut uraian lokasi penelitian: Stasiun 1: Karang Kiampau 0° 11’ 32,396’’ LU dan 117° 31’ 41,157’’ BT Stasiun 2: Batu Tambun 0° 11’ 11,908’’ LU dan 117° 31’ 02,100’’ BT Stasiun 3: Senganakan 0° 11’ 43,693’’ LU dan 117° 31’ 02,100’’ BT Stasiun 4: Pulau Gusung 0° 11’ 32,193’’ LU dan 117° 30’ 57,226’’ BT
Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 22. No. 1, Oktober 2016 – ISSN 1412-2006
65
Rini Aisyah, Ristiana Eryati dan Akhmad Rafi’i
Gambar 1. Lokasi penelitian di perairan Kota Bontang Analisis Data 1. Analisis Logam Berat Analisis logam berat menggunakan dengan Atomic Absorption Spectrophotometric (AAS). 2. Biokonsentrasi Faktor (BCF) Faktor Bioakumulasi dihitung untuk mengetahui kemampuan kerang Pengo (Modiolus sp.) dalam mengakumulasi logam berat Pb dan Cu melalui tingkat biokonsentrasi faktor (BCF) dengan rumus: (Vassiliki dan Konstantina, 1984 dalam Amriani dkk, 2011). C org BCF (o-w) =----------C water Dimana:
C org BCF (o-s) = ---------C sed
BCF (o-s) = Faktor Biokonsentrasi (organisme dengan sedimen) BCF (o-w) = Faktor Biokonsentrasi (organisme dengan air) C org = Konsentrasi logam berat dalam organisme C water = Konsentrasi logam berat dalam air C sed = Konsentrasi logam berat dalam sedimen
Van Esch (1977) dalam Amriani dkk (2011) mengkategorikan nilai BCF sebagai berikut: BCF lebih dari 1000 = sifat akumulasi tinggi BCF antara 100 s/d 1000 = sifat akumulasi sedang BCF kurang dari 100 = sifat akumulasi rendah 3. Analisis Deskriptif Data parameter utama dan parameter pendukung menggambarkan kondisi di perairan yang selanjutnya data tersebut akan dibandingkan dengan baku mutu lingkungan menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 dan standar baku mutu yang ditetapkan oleh Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/89.
66
Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 22. No. 1, Oktober 2016 – ISSN 1412-2006
Rini Aisyah, Ristiana Eryati dan Akhmad Rafi’i HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terletak di wilayah perairan Kelurahan Guntung, Kecamatan Bontang Utara, Kota Bontang. Karakteristik 4 lokasi penelitian di Perairan Kota Bontang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik 4 (empat) lokasi penelitian di Perairan Kota Bontang No.
Nama
Lintang Utara
Bujur Timur
1
Karang Kiampau
0° 11’ 32,396’’
117° 31’ 41,157’’
2
Batu Tambun
0° 11’ 11,908’’
117° 31’ 02,100’’
3
Senganakan
0° 11’ 43,693’’
117° 31’ 02,100’’
4
Pulau Gusung
0° 11’ 32,193’’
117° 30’ 57,226’’
Karakteristik Lokasi Penelitian Hamparan padang lamun yang tersebar luas dan banyak, ditemukan alat tangkap belat serta jaraknya paling jauh dengan daratan Kawasan terdekat dengan aktivitas industri (± 2 km) Hamparan padang lamun yang luas dan banyak terdapat alat tangkap belat. Permukiman warga
Lokasi penelitian merupakan daerah yang sering digunakan untuk mencari kerang oleh nelayan Pulau Gusung. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah dangkal yang apabila kondisi air surut, maka daratannya akan muncul ke permukaan. Sebagian besar lokasi penelitian merupakan daerah padang lamun yang luas. Lamun yang ditemukan pada lokasi-lokasi tersebut adalah jenis Enhalus dan Halophila. Berdasarkan pengamatan secara visual, lokasi stasiun 2 dan stasiun 4 memiliki hamparan padang lamun yang relatif sedikit. Hal tersebut kemungkinan akan menyebabkan berkurangnya keanekaragaman biota akuatik yang berasosiasi dengan padang lamun. Hal ini didukung oleh pendapat Palin (2014), bahwa struktur komunitas lamun yang padat > 50%, memiliki jumlah jenis makrozoobentos yang relatif tinggi dan kepadatan makrozoobentos dipengaruhi oleh struktur komunitas lamun yang multispesies. Sementara itu pada stasiun 1 dan 3 lamun yang tumbuh cukup banyak dan tersebar luas. Demikian pula organisme yang hidup di lokasi ini cukup bervariasi. Hal ini didukung oleh ditemukannya beberapa jenis kerangkerangan yang terdiri dari bivalvia dan gastropoda, bintang laut (Protoreaster nodosus), sand dollar (Clypeaster sp.), bulu babi (Diadema setosum), sponge dan ikan Kualitas Air Hasil pengamatan dan pengukuran kualitas air selama penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis kualitas air pada 4 lokasi penelitian di Perairan Kota Bontang Stasiun Pengamatan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Baku Mutu Kepmen LH No.51 Thn. 2004 Lampiran III tentang baku mutu air laut untuk biota laut Kesimpulan
Suhu (oC) 29 29 30 30
Parameter Kualitas Air DO (mg/l) pH 8,8 8,14 6,4 7,81 9.6 7,79 6,8 8,04
Salinitas (ppt) 38 39 39 38
28 – 30
˃5
7 – 8,5
Alami
dalam kisaran baku mutu
Lebih tinggi dari baku mutu minimal
dalam kisaran baku mutu
Sesuai dengan baku mutu
Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 22. No. 1, Oktober 2016 – ISSN 1412-2006
67
Rini Aisyah, Ristiana Eryati dan Akhmad Rafi’i Rentang suhu yang ditemukan selama penelitian antara 29 °C – 30 °C. Suhu terendah ditemukan pada stasiun 1 (Karang Kiampau) dan stasiun 2 (Batu Tambun) yaitu 29 °C. Suhu diambil dengan menggunakan thermometer. Kondisi ketika pengambilan data suhu di lapangan yaitu kondisi cuaca cerah, cukup berangin dan kondisi air surut. Data suhu diambil pukul 11. 37 Wita (stasiun 1) dan pukul 13.00 Wita (stasiun 2). Sementara itu suhu tertinggi ditemukan pada stasiun 3 (Senganakan) dan stasiun 4 (Pulau Gusung) yaitu 30 °C. Data suhu pada stasiun 3 dan 4 diambil pada hari kedua di lapangan. Pada hari kedua ini terjadi fenomena alam yaitu terjadinya gerhana matahari yang kemungkinan dapat mempengaruhi suhu di lokasi penelitian. Kondisi ketika pengambilan data suhu di lapangan yaitu cuaca cerah, berangin dan kondisi air surut tetapi untuk stasiun 4 pengambilan data dilakukan ketika air mulai pasang. Data suhu ini diambil pada pukul 11.29 Wita (stasiun 3) dan 13.44 Wita (stasiun 4). Menurut Wardoyo (1978) dalam Pramudito (2003), suhu perairan yang baik untuk kehidupan organisme air berada pada kisaran 25° - 30° C. Menurut Reish (1979) dalam Pramudito (2003), konsentrasi oksigen terlarut dalam suatu perairan dapat menentukan distribusi dan kemampuan hidup organisme perairan. DO yang ditemukan pada lokasi penelitian berkisar antara 6,4 – 9,6 mg/l. DO terendah ditemukan pada stasiun 2 (Batu Tambun) yaitu 6,4 mg/l dan tertinggi pada stasiun 3 (Senganakan) yaitu 9,6 mg/l. Hal tersebut disebabkan karena stasiun 2 merupakan daerah yang memiliki hamparan padang lamun yang relatif sedikit sementara stasiun 3 memiliki hamparan padang lamun yang luas dan banyak sehingga produktifitas primernya pun lebih tinggi serta menghasilkan oksigen yang lebih tinggi pula. Hal tersebut didukung oleh pendapat Barnes and Hughes (1999) dalam Rimiatsih, dkk (2007) bahwa besarnya keanekaragaman dan kelimpahan organisme laut, terutama makrozoobenthos (bivalvia) di perairan padang lamun, tentu ada keterkaitannya dengan tingginya produktivitas primer di padang lamun. Salinitas yang ditemukan berkisar antara 38 – 39 ppt. Salinitas terendah ditemukan pada stasiun 1 (Karang Kiampau) dan stasiun 4 (Pulau Gusung) yaitu 38 ppt. Sementara salinitas tertinggi ditemukan pada stasiun 2 (Batu Tambun) dan stasiun 3 (Senganakan) yaitu 39 ppt. Menurut Gosling (2003) bahwa jenis mussels dapat tumbuh secara optimal pada salinitas 30 – 32 ppt. Walau kisaran salinitas lebih tinggi daripada salinitas optimal menurut Gosling, tetapi kerang tetap tumbuh di perairan Bontang. Nilai pH yang ditemukan berkisar antara 7,79 – 8,14. pH terendah ditemukan pada stasiun 3 (Senganakan) yaitu 7,79 dan tertinggi pada stasiun 1 (Karang Kiampau) yaitu 8,14. Kisaran pH yang berada antara 7–9 cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan lamun di perairan. pH di kawasan lamun ikut berpengaruh terhadap keberadaan makrozoobenthos. Nilai kisaran pH 7-9 menunjukkan adanya kepadatan individu dari organisme makrozoobentos khususnya dari kelas Gastropoda dan Bivalvia (Palin, 2014). Kualitas Tanah Hasil pengukuran pada substrat/sedimen disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis kualitas tanah (sedimen) pada 4 lokasi penelitian di Perairan Kota Bontang Parameter Yang Diukur Stasiun No Penyebaran Partikel C organik Pengamatan Tekstur pH (%) Liat (%) Debu (%) Pasir (%) 1 Stasiun 1 2,05 6,08 6,85 87,07 LS 8,15 2 Stasiun 2 1,86 8,42 5,75 85,83 LS 8,30 3 Stasiun 3 2,20 8,10 2,03 89,87 S 8,30 4 Stasiun 4 1,78 5,15 4,06 90,79 S 8,36 Keterangan : LS = Loam Sand (Berpasir Berlempung) S = Sand (Pasir)
68
Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 22. No. 1, Oktober 2016 – ISSN 1412-2006
Rini Aisyah, Ristiana Eryati dan Akhmad Rafi’i Konsentrasi bahan organik sedimen yang ditemukan berkisar antara 1,78 – 2,20 %. Bahan organik terendah ditemukan pada stasiun 4 (Pulau Gusung) yaitu 1,78 % dan tertinggi ditemukan pada stasiun 3 (Senganakan) yaitu 2,20 %. pH yang ditemukan berkisar antara 8,15 – 8,36. pH terendah ditemukan pada stasiun 1 (Karang Kiampau) yaitu 8,15 dan pH tertinggi ditemukan pada stasiun 4 (Pulau Gusung) yaitu 8,36. Kisaran pH sedimen tidak terlalu jauh dengan pH air. Sama halnya dengan pH air, pH sedimen sangat mempengaruhi organisme benthos. pH yang ditemukan masih dalam batas aman pH yang dapat ditoleransi oleh organism Penyebaran partikel sedimen pada seluruh lokasi penelitian memberikan hasil yang hampir seragam. Jenis partikel liat berkisar antara 5,15 % - 8,42 % dengan persentase terendah pada stasiun 4 (Pulau Gusung) yaitu 5,15 % dan tertinggi pada stasiun 2 (Batu Tambun) yaitu 8,42 %. Jenis partikel debu berkisar antara 2,03 % - 6,85 % dengan persentase terendah pada stasiun 3 (Senganakan) yaitu 2,03 % dan tertinggi pada stasiun 1 (Karang Kiampau) yaitu 6,85 %. Jenis partikel pasir hampir seragam pada 4 stasiun tersebut yakni berkisar antara 85,83 % - 90,79 % dengan persentase terendah pada stasiun 2 (Batu Tambun) yaitu 85,83 % dan tertinggi pada stasiun 4 (Pulau Gusung) yaitu 90,79 %. Tekstur pada 4 stasiun berbeda-beda menjadi 2 jenis yakni loamy sand (berpasir berlempung) dan sand (pasir). Untuk stasiun 1 dan stasiun 2 jenis teksturnya adalah loamy sand (berpasir berlempung) dan untuk stasiun 3 dan stasiun 4 jenis teksturnya adalah sand (pasir). Menurut Huang dan Lin (2003) dalam Maslukah (2013) bahwa keberadaan logam berat dalam sedimen sangat erat hubungan dengan ukuran butiran sedimen. Umumnya sedimen yang mempunyai ukuran sedimen yang lebih halus mengandung konsentrasi logam berat yang lebih besar daripada sedimen yang mempunyai tipe ukuran butiran sedimen berukuran besar. Hal ini menurut Sahara (2009) dalam Maslukah (2013), disebabkan karena partikel sedimen yang halus memiliki luas permukaan yang besar dengan kerapatan ion yang lebih stabil untuk mengikat logam daripada partikel sedimen yang lebih besar. Konsentrasi Logam Berat Dalam Air Konsentrasi logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) terdeteksi pada 4 lokasi penelitian. Hasil analisis konsentrasi logam berat Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) dalam air dengan menggunakan AAS, disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Konsentrasi logam berat dalam air pada 4 lokasi penelitian di Perairan Kota Bontang Logam Berat (mg/l) Stasiun Pengamatan Pb Cu Stasiun 1 0,14 0,06 Stasiun 2 0,21 0,07 Stasiun 3 0,23 0,06 Stasiun 4 0,37 0,07 Baku Mutu Kepmen LH No.51 Thn. 2004 Lampiran III tentang baku mutu air laut untuk ≥ 0,008 ≥ 0,008 biota laut Kesimpulan di atas baku mutu di atas baku mutu Hasil penelitian yang dilakukan pada 4 stasiun di perairan Bontang menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat timbal (Pb) dalam air lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi logam berat tembaga (Cu) dalam air. Konsentrasi Logam berat timbal (Pb) yang terendah pada stasiun 1 (Karang Kiampau) yaitu 0,14 mg/l dan yang tertinggi terdapat pada stasiun 4 (Pulau Gusung) sebesar 0,37 mg/l. Logam berat tembaga (Cu) memiliki nilai yang cenderung sama antar lokasi penelitian, yang terendah terdapat pada stasiun 1 dan 3 (Karang Kiampau dan Senganakan) dengan konsentrasi logam berat sebesar 0,6 mg/l dan yang tertinggi terdapat pada stasiun 2 dan 4 (Batu Tambun dan Pulau Gusung) dengan konsentrasi logam berat sebesar 0,7 mg/l. Konsentrasi logam berat Pb yang tertinggi berada pada
Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 22. No. 1, Oktober 2016 – ISSN 1412-2006
69
Rini Aisyah, Ristiana Eryati dan Akhmad Rafi’i stasiun 4 (Pulau Gusung), kemungkinan hal itu terjadi karena Pulau Gusung merupakan permukiman masyarakat. Aktifitas masyarakat di sana menghasilkan limbah rumah tangga yang kemungkinan menyebabkan konsentrasi logam berat di Pulau Gusung tinggi. Konsentrasi Logam Berat Pada Sedimen Konsentrasi logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada sedimen terdeteksi pada 4 lokasi penelitian. Hasil analisis logam berat Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) pada sedimen disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Konsentrasi logam berat dalam sedimen pada 4 lokasi penelitian di Perairan Kota Bontang Logam Berat (mg/kg) Stasiun Pengamatan Pb Cu Stasiun 1 58,85 16,68 Stasiun 2 51,63 22,42 Stasiun 3 55,64 18,75 Stasiun 4 65,26 10,39 Baku Mutu Sedimen Berdasarkan NOAA 30,24 18,7 (Buchman, 1999) Kesimpulan Melebihi baku mutu Dalam kisaran baku mutu Hasil Penelitian pada 4 stasiun di perairan Bontang menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat timbal (Pb) dalam sedimen lebih tinggi bila dibandingkan konsentrasi logam berat tembaga (Cu) dalam sedimen. Dilihat dari hasil tersebut apabila dibandingkan dengan logam berat yang ada di air, menunjukkan konsentrasi logam berat di sedimen lebih tinggi daripada di air. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Zulmadara (2009) bahwa semakin tinggi konsentrasi logam berat Pb dan Cu dalam air, semakin tinggi pula jumlah konsentrasi kedua logam berat sedimennya. Hal tersebut terjadi karena massa jenis logam berat lebih besar daripada massa jenis air sehingga menyebabkan logam berat tenggelam dan mengendap pada sedimen. Konsentrasi logam berat timbal (Pb) dalam sedimen yang terendah terdapat pada stasiun 2 (Batu Tambun) sebesar 51,63 mg/kg dan yang tertinggi terdapat pada stasiun 4 (Pulau Gusung) sebesar 65,26 mg/kg. Adapun konsentrasi logam berat tembaga (Cu) dalam sedimen terendah pada stasiun 4 (Pulau Gusung) sebesar 10,39 mg/kg dan yang tertinggi terdapat pada stasiun 2 (Batu Tambun) sebesar 22,42 mg/kg. Konsentrasi tertinggi ditemukan pada stasiun 4, hal tersebut terjadi kemungkinan karena stasiun 4 merupakan daerah permukiman yang masyarakatnya akan menghasilkan limbah. Limbah-limbah tersebut yang kemungkinan menyumbang logam berat pada stasiun 4. Sementara konsentrasi terendah ditemukan pada stasiun 2 yang merupakan lokasi terdekat dengan aktivitas industri (±2 km), hal ini mungkin saja terjadi karena stasiun 2 dengan aktivitas industri tersebut tidak dilalui oleh arus yang searah, sehingga distribusi dari limbah pada aktivitas industri tidak melewati stasiun 2. Konsentrasi Logam Berat Pada Kerang Pengo (Modiolus sp.) Konsentrasi logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) terdeteksi pada 4 lokasi penelitian. Hasil analisis logam berat Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) pada Kerang Pengo (Modiolus sp.) disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Konsentrasi logam berat dalam Kerang Pengo (Modiolus sp.) pada 4 lokasi penelitian di Perairan Kota Bontang Stasiun Pengamatan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
70
Logam Berat (mg/kg) Pb Cu 6,80 4,36 3,99 8,47 1,66 2,08
Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 22. No. 1, Oktober 2016 – ISSN 1412-2006
Rini Aisyah, Ristiana Eryati dan Akhmad Rafi’i Logam Berat (mg/kg) Pb Cu 5,43 5,25
Stasiun Pengamatan Stasiun 4 Baku Mutu SNI 7387 thn 2009 (Pb) dan SK Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/1989 (Cu) Kesimpulan
1,5
20
Melebihi baku mutu
Dalam kisaran baku mutu
Hasil penelitian yang dilakukan pada 4 lokasi penelitian di perairan Bontang menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada kerang pengo (Modiolus sp.) cukup tinggi. Konsentrasi logam berat timbal (Pb) dalam Kerang Pengo (Modiolus sp.) yang terendah terdapat pada stasiun 3 (Senganakan) sebesar 1,66 mg/kg dan tertinggi terdapat pada stasiun 1 (Karang Kiampau) sebesar 6,80 mg/kg. Konsentrasi terendah ditemukan pada stasiun 3, hal tersebut terjadi kemungkinan karena jarak stasiun 3 yang cukup jauh dari daratan, serta karakteristik perairan yang cukup subur dilihat dari padang lamun yang luas serta terpasangnya alat tangkap belat. Sementara konsentrasi tertinggi ditemukan pada stasiun 1, hal tersebut terjadi kemungkinan karena pada stasiun 1 daerahnya bersebrangan dengan daratan yang memiliki aktivitas industri. Dengan arah arus yang sama menyebabkan limbah yang terbawa arus yang masuk ke perairan melewati stasiun 1. Dari hasil tersebut didapatkan bahwa konsentrasi logam berat timbal (Pb) pada 4 lokasi penelitian telah melampaui batas baku mutu menurut batas cemaran logam berat (Biota) dalam pangan menurut SNI dan dapat dikatakan bahwa Kerang Pengo (Modiolus sp.) yang berasal dari 4 lokasi penelitian telah terkontaminasi logam berat timbal (Pb). Konsentrasi logam berat tembaga (Cu) dalam Kerang Pengo (Modiolus sp.) yang terendah terdapat pada stasiun 3 (Senganakan) sebesar 2.08 mg/kg dan tertinggi terdapat pada stasiun 2 (Batu Tambun) sebesar 8.47 mg/kg. Konsentrasi terendah ditemukan pada stasiun 3, hal tersebut terjadi kemungkinan karena jarak stasiun 3 yang cukup jauh dari daratan, serta karakteristik perairan yang cukup subur dilihat dari padang lamun yang luas serta terpasangnya alat tangkap belat. Sementara konsentrasi tertinggi ditemukan pada stasiun 2, hal tersebut terjadi kemungkinan karena letak stasiun 2 yang cukup dekat dengan industri. Walaupun arah arus dari industri tidak melewati stasiun 2 tetapi limbah dari industri tersebut kemungkinan tetap mempengaruhi konsentrasi logam berat dalam sedimen pada stasiun 2 karena jarak yang cukup dekat. Menurut Palar (1994), logam berat Cu digolongkan ke dalam logam berat dipentingkan atau logam berat esensial, artinya meskipun Cu merupakan logam berat beracun, unsur logam ini sangat dibutuhkan tubuh meski dalam jumlah yang sedikit. Kerang membutuhkan jumlah Cu yang tinggi untuk kehidupannya. Biota tersebut membutuhkan Cu untuk cairan tubuhnya. Di samping itu, kerang juga mempunyai toleransi yang sangat tinggi terhadap akumulasi Cu dalam tubuhnya. Dari 4 stasiun lokasi penelitian didapatkan hasil yang cukup tinggi untuk logam berat tembaga (Cu), tetapi hasil ini masih di bawah standar baku mutu menurut SK Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/1989. Biokonsentrasi Faktor (BCF) Nilai Biokonsentrasi Faktor (BCF) didapatkan dari hasil perbandingan antara konsentrasi pada organisme dengan air dan sedimen. Terdapat dua nilai BCF yaitu BCF (o-w) dan BCF (o-sed). BCF (o-w) merupakan perbandingan antara konsentrasi logam berat yang diserap oleh organisme (kerang) dengan konsentrasi logam berat dalam air. BCF (o-sed) merupakan perbandingan antara konsentrasi logam berat yang diserap oleh organisme (kerang) dengan konsentrasi logam di sedimen. Nilai biokonsentrasi faktor logam Pb dan Cu pada 4 lokasi penelitian di Perairan Kota Bontang disajikan pada Tabel 7.
Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 22. No. 1, Oktober 2016 – ISSN 1412-2006
71
Rini Aisyah, Ristiana Eryati dan Akhmad Rafi’i Tabel 7. Nilai biokonsentrasi faktor logam Pb dan Cu pada 4 lokasi penelitian di Perairan Kota Bontang Lokasi Nilai BCF (o-s) Nilai BCF (o-s) Nilai BCF (o-w) Nilai BCF (o-s) No Penelitian Logam Pb Logam Cu Logam Pb Logam Cu 1 Stasiun 1 0,12 0,26 48,57 72,67 2 Stasiun 2 0,08 0,38 19 121 3 Stasiun 3 0,03 0,11 7,22 34,67 4 Stasiun 4 0,08 0,51 14,68 75 Hasil BCF menunjukkan bahwa nilai BCF lebih tinggi ditunjukkan oleh BCF (organisme dengan air) dibandingkan dengan nilai BCF (organisme dengan sedimen) dan nilai BCF untuk logam berat Cu lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai BCF untuk logam berat Pb. Dari hasil di atas menunjukkan kategori sifat akumulasi rendah hingga sedang. KESIMPULAN Kesimpulan 1. Konsentrasi logam berat Pb pada air berkisar antara 0,14 – 0,37 mg/l dan konsentrasi logam berat Cu pada air berkisar antara 0,06 – 0,07 mg/l. Sedangkan konsentrasi logam berat Pb pada sedimen berkisar antara 51,63 – 65,26 mg/kg dan konsentrasi logam berat Cu pada sedimen berkisar antara 10,39 – 22,42 mg/kg. 2. Konsentrasi logam berat Pb pada Kerang Pengo (Modiolus sp.) berkisar antara 1,66 – 6,8 mg/kg dan konsentrasi logam berat Cu pada Kerang Pengo (Modiolus sp.) berkisar antara 2,08 – 8,47 mg/kg. 3. Konsentrasi logam berat Timbal (Pb) pada daging Kerang Pengo (Modiolus sp.) di perairan Kota Bontang telah melampaui baku mutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7387 tahun 2009, sedangkan untuk konsentrasi logam berat Tembaga (Cu) walaupun terdeteksi tetapi hasilnya masih berada di bawah standar baku mutu yang ditetapkan oleh SK Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/1989 tentang batas cemaran logam berat pada biota perairan. 4. Konsentrasi logam berat Timbal (Pb) pada air memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan logam berat Tembaga (Cu), sementara untuk konsentrasi logam berat Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) pada kerang dan sedimen hasilnya relatif tidak jauh berbeda dan terjadi fluktuasi. 5. Nilai faktor biokonsentrasi (BCF) lebih tinggi ditunjukkan oleh BCF (organisme dengan air) dibandingkan BCF (organisme dengan sedimen). Nilai BCF (organisme dengan air) berkisar antara 7,22 – 121 dan nilai BCF (organisme dengan sedimen) berkisar antara 0,03 – 0,51. Nilai BCF tesebut temasuk dalam kategori sifat akumulatif rendah hingga sedang. 6. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi logam berat Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) di perairan Kota Bontang diperkirakan disebabkan oleh adanya masukan zat-zat pencemar baik dari limbah perusahaan, asap kendaraan/transportasi dan limbah rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA Buchman, M. 1999 : Http://response.resroration.noaa.gov/cpr.sedimentquirt.pdf. Diakses pada 20 Juli 2016 Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bontang. 2001. Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Bontang. Proyek Pengelolaan Sumberdaya Laut Pesisir dan PulauPulau Kecil Provinsi Kalimantan Timur.Samarinda. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kalimantan Timur. 2012. Identifikasi dan Pemetaan Sumberdaya Pesisir Pulau Gusung Kota Bontang. Samarinda Gosling, E. 2003. Bivalve Molluscs: Biology, Ecology and Culture. Lackwell Science, UK. 443 p
72
Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 22. No. 1, Oktober 2016 – ISSN 1412-2006
Rini Aisyah, Ristiana Eryati dan Akhmad Rafi’i Maslukah, L. 2013. Hubungan Antara Konsenterasi Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn dengan Bahan Organik dan Ukuran Butir dalam Sedimen di Estuari Banjir Kanal Barat Semarang. Universitas Diponegoro. Semarang Menteri Negara Kependudikan dan Lingkungan Hidup, 1988. Surat Keputusan Nomor : Kep – 02/MENKLH/I/1988, Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Sekretariat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta. 51 hal. Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta: Jakarta. Palin, R. S. 2014. Pengaruh Struktur Komunitas Lamun Terhadap Distribusi Makrozoobentos di Pulau Balanglompo Kecamatan Mattiro Sompe Kabupaten Pangkep. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar. Pramudito. 2003. Struktur Populasi Bivalvia dan Sebaran Kerang Totok (Polymesoda erosa) Berdasar Kelas Ukuran Serta Kondisi Makrobentos di Hutan Mangrove Pulau Gombol Segara Anakan. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang Rimiatsih, Ita., dan Widianingsih. 2007. Kelimpahan dan Pola Sebaran Kerang-Kerangan (Bivalve) di Ekosistem Padang Lamun, Perairan Jepara. Ilmu Kelautan,Universitas Diponegoro. Semarang. Zulmadara, L. 2009. Kajian Konsenterasi Logam Berat Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) dalam Air, Sedimen dan Kerang Darah (Anadara granosa) di Perairan Pantai Semarang Jawa Tengah. Program Pasca Sarjana. Usniversitas Diponegoro. Semarang
Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 22. No. 1, Oktober 2016 – ISSN 1412-2006
73