Policy Brief: PENANGANAN KONFLIK SOSIAL
Diklatpim I Angkatan XXVIII 2013 LAN RI
RINGKASAN Konflik sosial masih sering terjadi yang penanganannya kerap dilakukan secara represif
Keanekaragaman suku, agama, ras, dan golongan di Indonesia merupakan modal dan faktor yang memberikan kontribusi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun sekaligus juga bisa menjadi potensi terjadinya segresi sosial yang bisa memicu munculnya konflik vertikal maupun horizontal. Kemungkinan pecahnya konflik akan semakin besar apabila terjadi ketimpangan pembangunan, ketidakadilan serta kesenjangan sosial dan ekonomi, kemiskinan serta dinamika kehidupan politik yang tidak terkendali. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa di Indonesia sampai saat ini masih sering terjadi konflik sosial dalam berbagai bentuk di berbagai wilayah dengan berbagai sebab. Konflik tersebut mengakibatkan hilangnya rasa aman, menciptakan rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis dendam, kebencian dan perasaan permusuhan, sehingga menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Terhadap berbagai konflik yang terjadi tersebut, berbagai kebijakan penanganan konflik telah dilakukan oleh Pemerintah baik yang bersifat pencegahan, penghentian maupun pemulihan pascakonflik. Kebijakan penanganan konflik sosial pada umumnya dilakukan sepihak oleh pemerintah dengan lebih mengedepankan pendekatan keamanan karena didasarkan pada anggapan bahwa konflik umumnya bersifat vertikal yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam hal ini tindakan penanganan konflik didominasi oleh peran POLRI dan TNI.
Penanganan konflik sosial lebih melibatkan peran komunitas melalui pendekatan kesejahteraan
Pada era demokrasi saat ini di mana hak asasi manusia sangat dijunjung tinggi, penanganan konflik secara represif sebaiknya tidak dilakukan lagi. Dalam situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang saat ini sedang belajar berdemokrasi, pendekatan keamanan justru akan menimbulkan konflik baru antara masyarakat dengan alat negara. Sebagai gantinya, konflik dapat ditangani dengan lebih melibatkan partisipasi komunitas melalui pendekatan kesejahteraan yang dilakukan secara sinergis, sistemik, terarah, dan terkoordinasi sehingga minimalisasi terhadap penyebab pecahnya konflik dan dampaknya dapat dilakukan secara lebih baik.
Rekomendasi kebijakan
Penanganan konflik dengan mengedepankan pendekatan kesejahteraan telah memiliki payung hukum yakni Undang-Undang Nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Sebagai kebijakan nasional yang masih bersifat umum, Undang-Undang tersebut masih perlu pejabaran lebih detail agar dapat dilaksanakan. Untuk itu perlu disusun kebijakan operasional yang mengatur tentang tindakan yang perlu dilakukan pada saat pencegahan, penghentian dan pemulihan pascakonflik yang meliputi pokok-pokok substansi sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang dengan memberikan penekanan pada: koordinator penanganan konflik sosial di tingkat nasional secara definitif; penempatan desa/kelurahan sebagai pelaku utama dalam perwujudan masyarakat inklusif secara terencana, terarah, terkoordinasi dan berkelanjutan; melindungi dan memperjuangkan hak dasar korban konflik dan keluarganya; serta penguatan kepranataan tingkat dasar untuk kesiapsiagaan, operasi sosial, pemulihan sosial, dan harmonisasi.
0 Jakarta, Desember 2013
Policy Brief: PENANGANAN KONFLIK SOSIAL
Konflik sosial masih sering terjadi yang penanganannya kerap dilakukan secara represif
Diklatpim I Angkatan XXVIII 2013 LAN RI
Indonesia adalah negara dengan pluralisme struktur sosial yang demikian besar. Terdapat lebih dari 17.000 pulau, berbagai agama dan aliran kepercayaan, ribuan ras/keturunan dan golongan, ribuan budaya serta didukung dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 250 juta jiwa. Kondisi ini menjadi modal sosial dan faktor kekuatan bangsa yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun disisi lain dapat menjadi potensi terjadinya segregasi sosial yang berdampak buruk bagi stabilitas nasional jika tidak dikelola dengan kebijakan nasional redistributif yang mampu mencegah terjadinya ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial, ekonomi, kemiskinan, ketidakstabilan kehidupan politik yang tidak terkendali, anomi sosial, dan sebagainya. Pada spektrum lebih luas, Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh situasi regional dan internasional. Indonesia saat ini terkepung dalam situasi ketidakstabilan regional, terutama Asia Tenggara. Dinamika yang terjadi di poros Malaysia, Singapura, Australia, Brunei dan Papua Nugini sebagai pengikat negara “commonwealth” yang berafiliasi dengan Inggris, Timor Leste yang berafiliasi dengan Portugal, serta situasi sejumlah negara Asia Tenggara lainnya akan berpengaruh terhadap Indonesia. Transisi demokrasi dalam tatanan regional dan global semakin membuka peluang percepatan dinamika sosial, termasuk faktor pengaruh asing. Posisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara rawan konflik sosial, baik konflik horisontal maupun vertikal. Intensifikasi konflik sosial terjadi sejak awal reformasi pada tahun 1998 dan berlangsung massal sebagai bentuk dinamika kehidupan sosial masyarakat pascakekuasaan pemerintahan Orde Baru. Situasi tersebut telah terbukti membawa pengaruh secara signifikan terhadap tatanan sosial masyarakat terutama dalam merajut integrasi sosial yang berlandaskan livehood, brotherhood togetherness. Selain modal sosial (social capital) mengalami kehancuran, konflik sosial yang terjadi telah berakibat terhadap hilangnya rasa aman, menciptakan rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis dendam, kebencian dan perasaan permusuhan sehingga menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Dalam spektrum lebih luas, konflik sosial yang terjadi telah mengakibatkan segregasi sosial yang kian tajam, eksklusi sosial dan ketidakstabilan sosial yang dapat berujung pada goyahnya ketahanan nasional. Konflik sosial yang terjadi tidak terlepas dari perbedaan ideologis yang kian tajam antara pendatang dengan masyarakat setempat, ketertinggalan budaya (cultural lag) masyarakat setempat dengan pendatang, kesenjangan budaya, ketidakadilan dalam penguasaan 1
Jakarta, Desember 2013
Policy Brief: PENANGANAN KONFLIK SOSIAL
Diklatpim I Angkatan XXVIII 2013 LAN RI
sumber daya, perbedaan kepentingan dan faktor struktural berupa sejumlah kebijakan nasional yang dapat memicu konflik sosial yang kesemuanya bermuara pada kristalisasi eksklusi sosial berupa ikatan primordialistik berbasis suku, agama, ras, dan golongan. Pada masa lalu berbagai kebijakan nasional penanganan konflik telah dilakukan oleh Pemerintah namun pada umumnya lebih mengedepankan pendekatan keamanan dan tidak terlalu banyak melibatkan peran komunitas. Dalam hal demikian tindakan represif lebih kuat dengan dominasi sektoral pada peran TNI/POLRI. Pendekatan tersebut bukan hanya digunakan pada konflik yang bersifat vertikal saja, tetapi juga diterapkan jika terjadi konflik horisontal. Berlarut-larutnya penanganan konflik yang tidak berkesudahan telah memperparah kondisi kesejahteraan masyarakat karena jumlah angka kemiskinan di daerahdaerah pascakonflik semakin bertambah. Oleh karena itu, upaya dan strategi yang sistematis, terencana dan terpadu pada pencegahan konflik sangatlah penting untuk dilakukan. Pada konteks yang demikian, terdapat sejumlah kebijakan nasional yang justru berpotensi memicu konflik yang terkonfigurasi dalam sejumlah ketentuan negara yang dianggap kurang berpihak kepada kepentingan masyarakat, baik di sektor industri, pemanfaatan sumber daya alam, pembentukan provinsi atau kabupaten/kota baru, serta sektor-sektor lainnya. Tanggap terhadap permasalahan tersebut, berbagai kebijakan penanganan konflik terus diupayakan penyusunan dan penetapannya. Kebijakan nasioal terbaru dalam rangka penanganan konflik adalah Undangundang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri. Kedua peraturan penanganan konflik tersebut sayangnya belum dapat dilaksanakan secara komprehensif dan integratif karena belum bersifat operasional, mengakar di masyarakat, integratif dan sistemik baik pada pencegahan, penghentian, dan pemulihan pascakonflik. Oleh karena itu perlu disusun kebijakan yang implementatif sekaligus dapat dijadikan payung hukum bagi pelaksana di lapangan agar tidak ragu dalam melaksanakan penanganan konflik sosial. Dalam perumusan kebijakan operasional penanganan konflik perlu didasarkan pada analisis terhadap terjadinya berbagai konflik yang telah terjadi selama ini. Berdasarkan fakta di lapangan, sejumlah konflik sosial tejadi antara pendatang dan pribumi di banyak wilayah, terutama di daerah-daerah di mana terjadi konsentrasi pemukiman kelompok pendatang. Eforia keterbukaan sejak tahun 1998 membawa transisi perilaku sosial masyarakat yang kian tidak terkendali karena kurang kuatnya penegakkan hukum. Pelanggaran HAM hampir terjadi pada setiap hari di 2 Jakarta, Desember 2013
Policy Brief: PENANGANAN KONFLIK SOSIAL
Diklatpim I Angkatan XXVIII 2013 LAN RI
lingkungan masyarakat. Pola konflik sosial yang terjadi mengerucut pada konflik budaya (Dayak dengan Madura), konflik ideologi (ajaran Ahmadiyah, sempalan Jaringan Islamiah, kelompok liberal, pengungsi eks Timor Leste, neo Marxis dengan kedok kerakyatan), konflik penguasaan sumber-sumber ekonomi (konflik Masuji, Lampung), konflik kepentingan yang meluas menjadi konflik antar-agama (Maluku, Maluku Utara, Poso), serta konflik karena faktor ketidakadilan (konflik sosial di Lampung Selatan, Kalimantan Barat, Papua, Aceh dan sebagainya). Isu Jawanisasi sebagai bagian dari stereotipe masyarakat pribumi terhadap pendatang juga telah menjadi potensi konflik di sejumlah daerah (Sumatera Utara, Papua, dan Aceh). Pola konflik di berbagai wilayah tersebut tidak berdiri sendiri namun saling berkaitan dengan isu lain. Beberapa kejadian konflik tidak dapat dipisahkan dari konflik yang terjadi sebelumnya dan umumnya kembali terulang. Konflik tersebut sesungguhnya memiliki akar persoalan yang lebih dalam dari sekadar perseteruan dua kelompok. Dari data yang tersedia, konflik sosial antara pendatang dengan pribumi telah menghasilkan pengungsian besar-besaran pada periode tahun 1999-2006 yang mencapai lebih dari 1,5 juta jiwa, ribuan jiwa terbunuh, hilangnya hak dasar korban, harta benda dan rusaknya infrastruktur. Demikian juga modal sosial berupa norma, nilai, kepercayaan, keberfungsian institusi lokal dan jaringan sosial ketetanggaan yang berlandaskan hidup berdampingan secara damai, persaudaraan sejati, komitmen bersama menjadi runtuh. Bahkan sampai saat ini, jumlah mereka yang belum kembali ke rumah masih cukup besar tersebar di sejumlah wilayah. Konflik di Indonesia tidaklah tunggal dan bisa mengalami transformasi kausatif atau berpindah dari penyebab yang satu ke penyebab yang lain. Secara umum potensi konflik dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Kebijakan pembangunan yang kadang cenderung berpihak pada salah satu kelompok tertentu. 2) Legitimasi dan institusi sosial politik kurang berjalan dengan baik yang menimbulkan reaksi masyarakat dalam bentuk kekecewaan dan ketidakpercayaan. Hal ini mendorong potensi konflik yang laten menjadi muncul ke permukaan. Seiring dengan kenyataan tersebut, maka pada realitas di masyarakat pilihan untuk menggunakan kekerasan dari berbagai pihak muncul sebagai pendekatan penyelesaian permasalahan. 3) Penggunaan kekerasan dalam mewujudkan tertib sosial. Kekerasan atau tindakan represif yang dilakukan oleh masyarakat maupun elit kadang sengaja dilakukan untuk mewujudkan tertib sosial secara cepat. Kesadaran atas tindakan yang manusiawi dianggap lambat dalam mewujudkan sistem sosial yang tertib, aman, dan sejahtera. 3 Jakarta, Desember 2013
Policy Brief: PENANGANAN KONFLIK SOSIAL
Diklatpim I Angkatan XXVIII 2013 LAN RI
4) Pelanggaran hak asasi manusia. 5) Isu agama yang muncul karena ajaran agama mendapatkan konteks penafsiran yang luas dan beraneka ragam serta tergantung pada ideologi kelompok sosial keagamaan tertentu. Pemeluk agama yang memakai isuisu agama yang tidak toleran berpotensi menimbulkan konflik-konflik sosial dengan pemeluk agama lain, pemeluk agama yang sama dan pemeluk kepercayaan yang dianggap tidak beragama. 6) Tindak kekerasan militer dan pertentangan elit dalam menyelesaikan konflik. Konflik sosial yang ada cenderung diselesaikan dengan jalan kekerasan yang diharapkan dapat segera tuntas namun ternyata menyimpan potensi konflik yang baru. 7) Melemahnya mekanisme tradisional dan memudarnya identitas budaya asli. Perhitungan sosial-ekonomi yang rasional telah menggantikan modal sosial dalam mekanisme tradisional menjadi modal keuangan. Dalam pengertian sempit berupa pertimbangan untung-rugi. Akibatnya, mekanisme tradisional yang berlandaskan nilainilai lingkungan setempat pudar bersamaan dengan pudarnya identitas budaya asli sehingga menimbulkan krisis identitas. Krisis identitas, dalam arti tidak relevannya nilai-nilai lama dan belum kokohnya nilai-nilai baru, mendorong elit dan masyarakat tidak percaya sepenuhnya untuk mentransformasikan mekanisme tradisional dan identitas budayanya dalam konteks identifikasi/deteksi dini konflik-konflik sosial (early warning system). Bila tidak diolah dengan tepat di ruang publik maka keduanya justru menjadi kendala dalam menyelesaikan konflik dan sekaligus sebagai potensi konflik sosial yang sulit untuk ditangani secara singkat. 8) Intervensi Asing. Adanya keterbatasan dalam mengeksplorasi sumber-sumber vital perekonomian dan menuntut adanya peran serta asing. Hal ini dapat bernilai positif namun ada juga sisi negatifnya karena bisa saja pihak asing tersebut melakukan intervensi di lokasi rawan. Hal inilah bisa menjadi potensi konflik antar-masyarakat, karena terdapat masyarakat yang telah mendapatkan keuntungan dengan kehadiran pihak asing dan ada juga yang tidak tersentuh dan tidak mengalami peningkatan kesejahteraan. Selanjutnya bisa menimbulkan kecemburuan dan membawa pada tindakan kekerasan untuk menyelesaikannya. Pada semua faktor penyebab konflik di atas perlu dilakukan analisis dari berbagai dimensi untuk sampai pada kesimpulan kebijakan apa yang harus dibuat.
4 Jakarta, Desember 2013
Policy Brief: PENANGANAN KONFLIK SOSIAL
Penanganan konflik sosial lebih melibatkan peran komunitas melalui pendekatan kesejahteraan
Diklatpim I Angkatan XXVIII 2013 LAN RI
Dari dimensi sosial bisa dinyatakan bahwa masingmasing warga memiliki intuisi yang sama untuk saling memperkuat harmonisasi dalam proses interaksi secara dialogis sebagai bagian dari “homo homini socious”. Watak dan karakter berbeda tidak menghambat kedua kelompok berintegrasi satu dengan lainnya, dengan pola segregasi, amalgamasi atau asimilasi. Nilai dasar yang demikian menjadi kekuatan dan sekaligus peluang untuk dilkembangkan dalam kehidupan masyarakat yang beragam. Tatanan sosial yang memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban, egalitarian dalam kesempatan, meruntuhkan ketidakadilan dan sikap toleransi menjadi faktor konsensus untuk membangun masyarakat multikultur yang berbasiskan Bhineka Tunggal Ika. Komitmen nasional yang tinggi menjadi faktor kekuatan dalam menciptakan harmonisasi, namun sayangnya hanya sedikit ketentuan yang mengaturnya. Dalam implementasinya, masih ditemukan sejumlah kebijakan yang masih diskriminatif dalam penerapannya, penegakan hukum yang masih lemah, otonomi daerah yang tidak memperhatikan penguatan modal sosial masyarakat sehingga disharmonisasi sosial tetap bermunculan pada saat ini. Dalam konteks kebudayaan, keragaman budaya yang ada dapat menjadi faktor kekuatan dan peluang untuk mencegah konflik sosial jika dilakukan proses penetrasi budaya dalam bentuk pembauran dan persemaian budaya antara lain inkulturasi, akulturasi atau lintas budaya antar-kedua kedua kelompok, atau segregasi budaya dengan didukung toleransi antara satu dengan lainnya. Perbedaan kebudayaan antar kedua belah pihak tidak akan bermasalah jika masing-masing pihak saling menghargai dan menghormati, tidak saling menganggu dan meresahkan. Dalam konteks kebudayaan, konflik sosial terjadi karena masih terdapat sebagian warga yang melakukan kecongkakan budaya, etnosentrisme, primordialistik kedaerahan, mempertahankan budaya lokal namun tidak dalam konteks keindonesiaan dan ego lainnya sehingga mempolakan sistem perilaku ke arah prasangka, sterotipe, penguasaan atas budaya lainnya dan sikap intoleran. Akibatnya tabrakan budaya dan benturan budaya tidak terelakkan. Ini semua adalah faktor kelemahan yang perlu dikikis dalam rangka memperkuat keberagaman masyarakat kearah multikultur. Manusia adalah “homo homini economicous” di mana setiap warga negara memiliki hak dan peluang yang sama untuk memperoleh hak-hak ekonomi sesuai kemampuannya. Kesamaan kesempatan dalam berusaha menjadikan kemampuan kompetitif merupakan faktor penting bagi kelompok yang memiliki kemampuan daya saing tinggi yang akhirnya cenderung akan menguasai sumber-sumber ekonomi. Kelompok masyarakat yang lebih ulet berusaha untuk mempertahankan hidupnya melalui kerja keras, menabung dan hemat agar mampu memperoleh sumber5
Jakarta, Desember 2013
Policy Brief: PENANGANAN KONFLIK SOSIAL
Diklatpim I Angkatan XXVIII 2013 LAN RI
sumber ekonomi sesuai dengan kemampuannya. Hal ini menjadi kekuatan kunci untuk bersaing sehingga yang unggul adalah kelompok yang tekun dan tidak mudah putus asa dan berjuang terus untuk meraih kesuksesan. Di sisi lain terdapat kelompok yang kontradiktif dengan kelompok tadi sehinga menyebabkanmunculnya kesenjangan ekonomi dan kemiskinan bagi kelompok yang tidak siap dengan kemampuan berkompetisi. Sejumlah kebijakan nasional memang telah diarahkan melalui berbagai program nasional seperti Raskin, BLSM, KUBE-FM, LKM, penguatan ekonomi kerakyatan, namun belum menyentuh faktor redistribusi atas sumber ekonomi. Faktor ini adalah kelemahan dan sekaligus bisa menjadi pemicu munculnya konflik sosial. Berdasarkan pengamatan secara empirik maka terdapat korelasi antara dinamika sistem politik dengan dinamika konflik. Dalam hal ini sistem politik represif dapat menekan frekuensi terjadinya konflik karena semua orang takut melawan aparat yang bisa saja menggunakan senjata untuk menghentikan konflik. Berbeda halnya dengan sistem politik yang memberi ruang kebebasan di mana hal tersebut justru bisa meningkatkan frekuesi konflik. Kemudian sistem politik desentralisasi yang luas menumbuhkan primordialisme kedaerahan yang sempit karena suatu daerah menguatkan rasa kedaerahannya masing-masing sehingga muncul egoprimodial. Hal ini terdapat korelasinya dengan sistem politik yang dibangun saat ini yang kurang berhasil dalam pembangunan wawasan kebangsaan dan terjebak dalam pragmatisme politik. Dari segi hukum dapat disimak bahwa pada masa lalu institusi dan mekanisme hukum komunitas kurang mendapat tempat dalam penanganan konflik sosial karena pendekatan yang digunakan adalah represif sepihak oleh penguasa. Pada era Orde Baru misalnya tidak banyak upaya membuat produk hukum untuk mengelola konflik sosial. Pada saat itu penanganan konflik menggunakan cara-cara represif sehingga semua orang takut apabila berbuat konflik. Hal ini telihat tenang di permukaan namun sebenarnya memendam masalah yang sewaktu-waktu dapat memicu konflik yang lebih besar dan sulit penanganannya.
Rekomendasi kebijakan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial perlu segera dibuatkan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk peraturan pemerintah yang memuat tentang tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban konflik, penggunaan kekuatan TNI dalam penghentian konflik, peran serta masyarakat dalam penanganan konflik, serta perencanaan, penganggaran, penyaluran, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban pengelolaan pendanaan penanganan konflik sesuai dengan yang diamanatkan oleh UndangUndang. 6
Jakarta, Desember 2013
Policy Brief: PENANGANAN KONFLIK SOSIAL
Diklatpim I Angkatan XXVIII 2013 LAN RI
Selain itu peraturan pemerintah yang akan disusun juga perlu memasukkan hal-hal sebagai berikut: 1) Perlu adanya koordinator penanganan konflik sosial di tingkat nasional yang ditetapkan secara definitif. 2) Penempatan desa/kelurahan sebagai media utama dalam perwujudan masyarakat inklusif secara terencana, terarah, terkoordinasi, dan berkelanjutan. 3) Pelindungan dan upaya memperjuangkan korban konflik dan keluarganya.
hak
dasar
4) Penguatan kepranataan tingkat dasar untuk kesiapsiagaan, operasi sosial, pemulihan sosial, dan harmonisasi.
ooooo000ooooo
7 Jakarta, Desember 2013