RINGKASAN Muhamad Arif Setiawan. D14104083. 2009. Karakteristik Karkas, Sifat Fisik dan Kimia Daging Kelinci Rex dan Kelinci Lokal (Oryctolagus cuniculus). Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr.Ir. Mohamad Yamin, MAgr.Sc. Pembimbing Anggota : Dr.Ir. Bram Brahmantiyo, M.Si. Konsumsi protein khususnya protein hewani, merupakan salah satu faktor pembangun kecerdasan bangsa. Namun, masih banyak negara yang mempunyai konsumsi protein hewani yang rendah karena masih tingginya harga produk peternakan. Oleh karena itu, alternatif sumber protein baru sangat diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut, salah satunya adalah daging kelinci. Kelinci memiliki reproduksi tinggi, interval kelahiran pendek, tidak membutuhkan lahan luas dalam pemeliharaannya dan keragaman jenis tinggi serta harga daging yang relatif murah. Selain itu, kelinci juga memiliki kadar protein daging yang tinggi dan kadar lemak daging rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa (produktivitas) karkas, sifat fisik dan kimia daging kelinci Rex dan kelinci lokal sebagai dasar pengembangan potensi kelinci sebagai alternatif sumber protein hewani. Penelitian ini menggunakan rancangan faktorial dengan faktor pertama adalah jenis bangsa dan faktor kedua ialah jenis kelamin. Materi yang digunakan masing- masing 6 ekor kelinci Rex dan kelinci lokal (3 jantan dan 3 betina). Peubah yang diamati adalah karakteristik karkas, sifat fisik dan kimia daging. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik. Hasil penelitian ini menunjukkkan bahwa kelinci Rex jantan memiliki nilai yang lebih baik terhadap semua jenis kelinci pada peubah bobot jantung, saluran pencernaan, persentase karkas (P<0.01), persentase offal dan daya mengikat air (DMA) (P<0.05). Kelinci Rex betina unggul pada peubah bobot foreleg (P<0.05), kepala, kadar air dan kadar lemak kasar (P<0.01). Kelinci lokal jantan unggul pada peubah pH daging (P<0.05) dan gross energi (P<0.01), sedangkan kelinci lokal betina hanya unggul pada peubah keempukkan daging (P<0.05). Variasi perbedaan tersebut dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan terutama pengaruh kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan, perlakuan sebelum dan sesudah pemotongan serta aktivitas ternak (perilaku). Secara umum, kelinci Rex lebih baik daripada kelinci lokal, tetapi kelinci lokal, baik jantan maupun betina, berpotensi besar pula sebagai alternatif sumber protein hewani baru. Kata kunci : kelinci Rex, karakteristik karkas, persentase karkas, sifat fisik dan kimia
ABSTRACT Characteristic of Carcass, Physical and Chemical Traits of Rex and Local Rabbit (Oryctolagus cuniculus) Setiawan, M. A., M. Yamin, and B. Brahmantiyo Rabbits have potency as alternative source of animal protein. Rabbit meat contain higher protein with less fat content compared with other livestock meat. Nowadays, data about performance of Rex and local rabbit's carcass is still lack on its research. The aims of this research were to determine performance of carcass, physical and chemical traits of Rex and local rabbit meat. Statistical analysis which was used in this research was factorial design 2x2 with three times replication. First factor was represent the breed and the second was sex. Six Rex and local rabbit were used in this research (3 males and 3 females). Carcass, physical and chemical traits were observed. The result show that the male Rex rabbit had highest value in heart weight, full gastro-intestinal tract weight, carcass and offal percentage (P<0.01) and water holding capacity (P<0.05). The female Rex rabbit show highest foreleg weight (P<0.05), head weight, moisture and fat content (P<0.01). Local male rabbit had highest value in pH (P<0.05) and gross energy (P<0.01). The female local breed highest just for meat tenderness (P<0.05). The differences between treatment were influenced by maintenance management (feed quality and quantity), treatment before antemortem and postmortem, also their activities (behavior). In generally, the Rex rabbit had better result than local breed. But the local rabbit also have big potency as new alternative source of animal protein. Keywords : Rabbit, Rex, Local, carcass, physical and chemical quality
KARAKTERISTIK KARKAS, SIFAT FISIK DAN KIMIA DAGING KELINCI REX DAN LOKAL (Oryctolagus cuniculus)
MUHAMAD ARIF SETIAWAN D14104083
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
KARAKTERISTIK KARKAS, SIFAT FISIK DAN KIMIA DAGING KELINCI REX DAN LOKAL (Oryctolagus cuniculus)
Oleh: MUHAMAD ARIF SETIAWAN D14104083
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 24 Juli 2009
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Mohamad Yamin, M.Agr.Sc. NIP. 19630928 198803 1 002
Dr. Bram Brahmantiyo, M.Si. NIP. 19650506 199003 1 002
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Agr.Sc. NIP. 19670107 199103 1 003
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 07 Oktober 1986 di Kota Jakarta. Penulis adalah anak keenam dari enam bersaudara, pasangan Usin Maman Setiana dan Damirah. Riwayat Pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri Dukuh 03 Pagi Jakarta Timur (1992-1998), Sekolah Menengah Pertama Negeri 24 Jakarta (1998-2001) dan dilanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri 93 Jakarta (20012004). Penulis kemudian masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2004 dan terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Bulutangkis 2004-2009 serta kepanitiaan kegiatan kampus lainnya. Penulis juga pernah menjadi anggota dari organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMPRO). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian selama tiga bulan dengan judul “ Karakteristik Karkas, Sifat Fisik Dan Kimia Daging Kelinci Rex Dan Lokal (Oryctolagus cuniculus) “ di bawah bimbingan Dr.Ir. Moh. Yamin, M.Agr.Sc. dan Dr.Ir. Bram B., M.Si.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Alloh SWT yang telah memberikan nikmat, rahmat serta karuniaNya. Perjuangan yang sangat besar, serta tekad yang kuat atas karenaNya dan Atas ridho dari Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan baik. Penulis juga tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu baik secara moril maupun materil sehingga skripsi dengan judul “ Karakteristik Karkas, Sifat Fisik Dan Kimia Daging Kelinci Rex Dan Lokal (Oryctolagus cuniculus) dapat diselesaikan. Semoga Alloh SWT akan membalas dukungan dan bantuan dengan imbalan pahala yang lebih. Konsumsi protein hewani
merupakan salah satu faktor pembangun
kecerdasan bangsa. Indonesia memiliki konsumsi protein hewani yang rendah dibandingkan negara lain. Hal tersebut disebabkan daya beli dan pemenuhan kebutuhan daging yang belum terpenuhi. Oleh karena itu, alternatif sumber protein hewani mudah diperoleh dan bernutrisi tinggi sangat dibutuhkan. Kelinci diharapkan menjadi alternatif pilihan tersebut. Kelinci mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi dengan interval kelahiran yang pendek, tidak membutuhkan lahan luas dalam pemeliharaannya dan keragaman jenis yang tinggi. Selain itu, kelinci juga memiliki kadar protein daging yang tinggi dan kadar lemak daging yang rendah jika dibandingkan dengan daging yang berasal dari ternak lain. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai bahan tafakur atas ciptaan Allah SWT.
Bogor, September 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..................................................................................................
i
ABSTRACT.....................................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP .........................................................................................
iii
KATA PENGANTAR .....................................................................................
iv
DAFTAR ISI....................................................................................................
v
DAFTAR TABEL............................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
viii
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
Latar Belakang ..................................................................................... Perumusan Masalah ............................................................................. Tujuan ..................................................................................................
1 1 2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
3
Potensi Kelinci Sebagai Penghasil Daging .......................................... Kelinci Rex .......................................................................................... Kelinci Lokal ....................................................................................... Pertambahan Bobot Hidup ................................................................... Karkas dan Komponen Karkas Kelinci ............................................... Otot .......................................................................................... Tulang ..................................................................................... Lemak ...................................................................................... Sifat Fisik Daging ................................................................................ Daya Mengikat Air (DMA) ..................................................... Keempukan Daging ................................................................. Susut Masak Daging ................................................................ Nilai pH Daging ....................................................................... Komposisi Kimia Daging .................................................................... Analisis Proksimat ................................................................... Air ............................................................................................ Lemak ...................................................................................... Protein ...................................................................................... Abu (Mineral) ..........................................................................
3 3 4 4 5 7 7 8 8 8 9 10 11 11 12 13 13 14 14
METODE .........................................................................................................
16
Lokasi dan Waktu ................................................................................ Materi Penelitian .................................................................................. Ternak ...................................................................................... Peralatan................................................................................... Rancangan ............................................................................................ Analisis Data ............................................................................
16 16 16 16 16 17
Peubah ..................................................................................... Prosedur ............................................................................................... Pemeliharaan ............................................................................ Pemeliharaan Di Balai Penelitian Ternak .................... Pemeliharaan Di Masyarakat ....................................... Pemotongan ............................................................................. Uji Fisik ................................................................................... Nilai pH........................................................................ Susut Masak ................................................................. Keempukan Daging ..................................................... Daya Mengikat Air (DMA) ......................................... Uji Kimia (Proksimat) ............................................................. Kadar Air ..................................................................... Kadar Protein Kasar ..................................................... Kadar Lemak................................................................ Kadar Abu .................................................................... Kadar Gross Energi ...................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... Karakteristik Karkas Kelinci ............................................................... Bobot Potong dan Bobot Karkas ............................................. Bobot Potongan Komersial ...................................................... Bobot Nonkarkas (Kulit, Kepala, Kaki dan Offal) .................. Bobot Komponen Karkas......................................................... Rasio Daging : Tulang ............................................................. Proporsi Karkas dan Potongan Komersial Kelinci .............................. Persentase Karkas dan Offal .................................................... Proporsi Potongan Komersial .................................................. Uji Fisik ............................................................................................... Nilai pH.................................................................................... Keempukan .............................................................................. Susut Masak ............................................................................. Daya Mengikat Air .................................................................. Uji Kimia ............................................................................................. Kadar Air ................................................................................. Kadar Abu ................................................................................ Kadar Protein ........................................................................... Kadar Lemak............................................................................ Gross Energi ............................................................................
17 18 18 18 18 19 19 19 19 20 20 21 21 21 22 22 23 24 24 24 25 27 29 31 32 32 34 35 35 36 38 39 39 40 41 41 42 43
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
45
Kesimpulan .......................................................................................... Saran.... ................................................................................................
45 45
UCAPAN TERIMA KASIH ...........................................................................
46
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
47
LAMPIRAN.....................................................................................................
51
vi
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Kandungan Kimia Daging Dari Berbagai Jenis Ternak .....................
13
2. Rataan Nilai Bobot Potong Dan Bobot Karkas Kelinci ......................
24
3. Rataan Nilai Bobot Potongan Komersial Karkas Kelinci ...................
26
4. Rataan Nilai Bobot Potongan Komersial Foreleg Kelinci .................
26
5. Rataan Nilai Bobot Nonkarkas (Kulit, Kepala, Kaki dan Offal) Kelinci .................................................................................................
28
6. Rataan Nilai Bobot Nonkarkas (Jantung) Kelinci...............................
28
7. Rataan Nilai Bobot Nonkarkas (Saluran Pencernaan) Kelinci ...........
29
8. Rataan Nilai Bobot Komponen Karkas Kelinci ..................................
30
9. Rataan Nilai Rasio Daging : Tulang Karkas Kelinci ..........................
31
10. Rataan Nilai Persentase Karkas Kelinci .............................................
32
11. Rataan Nilai Persentase Offal Kelinci.................................................
33
12. Rataan Nilai Persentase Potongan Komersial Karkas Kelinci............
34
13. Rataan Nilai Uji pH Daging Kelinci ...................................................
35
14. Rataan Nilai Nilai Keempukkan Daging Kelinci ...............................
36
15. Rataan Nilai Uji Susut Masak Daging Kelinci ...................................
38
16. Rataan Nilai Uji DMA Daging Kelinci ..............................................
39
17. Rataan Nilai Uji Kadar Air Daging Kelinci Segar .............................
40
18. Rataan Nilai Uji Kadar Abu Daging Kelinci Segar ............................
41
19. Rataan Nilai Uji Kadar Protein Kasar Daging Kelinci Segar .............
42
20. Rataan Nilai Uji Kadar Lemak Kasar Daging Kelinci Segar .............
42
21. Rataan Nilai Kadar Energi Kotor (GE) Daging Kelinci Segar ...........
43
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Hasil Sidik Ragam Bobot Potong Kelinci ..........................................
52
2. Hasil Sidik Ragam Bobot Karkas Kelinci ..........................................
52
3. Hasil Sidik Ragam Bobot Potongan Komersial Foreleg Kelinci .......
52
4. Hasil Uji Lanjut Duncan Bobot Potongan Komersial Foreleg Kelinci
52
5. Hasil Sidik Ragam Bobot Jantung Kelinci .........................................
53
6. Hasil Uji Lanjut Duncan Bobot Jantung Kelinci ................................
53
7. Hasil Sidik Ragam Proporsi Karkas Kelinci.......................................
53
8. Hasil Uji Lanjut Duncan Proporsi Karkas Kelinci .............................
53
9. Hasil Sidik Ragam Proporsi Offal Kelinci ..........................................
54
10. Hasil Uji Lanjut Duncan Proporsi Offal Kelinci ................................
54
11. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Daging Kelinci ......................................
54
12. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai pH Daging Kelinci.............................
54
13. Hasil Sidik Ragam Nilai Keempukan Daging Kelinci........................
55
14. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai Keempukan Kelinci ...........................
55
15. Hasil Sidik Ragam Nilai DMA Daging Kelinci .................................
55
16. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai DMA Daging Kelinci ........................
55
17. Hasil Sidik Ragam Nilai Kadar Air Daging Kelinci...........................
56
18. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai Kadar Air Daging Kelinci .................
56
19. Hasil Sidik Ragam Nilai Lemak Kasar Daging Kelinci .....................
56
20. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai Lemak Kasar Daging Kelinci ............
56
21. Hasil Sidik Ragam Nilai Lemak Kasar Daging Kelinci .....................
57
22. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai Kadar Air Daging Kelinci .................
57
PENDAHULUAN Latar Belakang Kelinci dikenal sebagai ternak yang mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi dengan interval kelahiran yang pendek, tidak membutuhkan lahan luas dalam pemeliharaannya dan keragaman jenis yang tinggi. Selain itu, kelinci juga memiliki kadar protein daging yang tinggi dan kadar lemak daging yang rendah jika dibandingkan dengan daging yang berasal dari ternak lain (Farrel dan Raharjo, 1984 ; Lebas et al., 1986). Kelinci jenis Rex merupakan salah satu jenis kelinci yang dikenal sebagai penghasil fur. Kelinci jenis Rex juga memiliki proporsi tubuh yang baik sehingga dapat dijadikan sebagai penghasil daging (dwiguna). Beberapa penelitian potensi kelinci Rex telah dilakukan pada produksi kulit bulu (Widjaja, 1999 dan Purnomo, 1999), pertumbuhan (Mardiah, 1999 dan Rofiah, 2001) dan sifat kualitatif (warna bulu) dan kuantitatif (sifat reproduksi) (Fafarita, 2006).
Namun, data tentang
performa karkas dari jenis kelinci Rex masih sedikit sekali (Brahmantiyo, 2008). Kelinci yang umum dipelihara peternak sebagai penghasil daging adalah kelinci lokal. Kelinci dipelihara dengan manajemen yang sesuai kondisi lingkungan setempat. Pemotongan kelinci untuk menghasilkan daging sebagian besar berasal dari kelinci yang diafkir karena tua, betina tidak produktif atau kelinci sakit. Karakter produksi karkas, daging dan sifat fisik dan kimia kelinci lokal masih sangat terbatas. Penelitian menggali informasi produktivitas kelinci lokal dan Rex dilakukan sebagai dasar pengembangan potensi kelinci sebagai penghasil daging. Perumusan masalah Pemenuhan kebutuhan protein hewani khususnya daging yang belum tercukupi merupakan salah satu penyebab rendahnya konsumsi protein hewani di Indonesia. Alternatif sumber protein hewani yang baru dengan kualitas nutrisi yang baik, terjangkau dan mudah diperoleh sangat dibutuhkan untuk meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia. Kelinci Rex yang dikenal sebagai kelinci penghasil kulit bulu berpotensi pula sebagai penghasil daging, begitu pula dengan kelinci lokal yang tersebar dan banyak dipelihara masyarakat merupakan salah satu ternak alternatif sumber protein hewani. Potensi pengembangan sebagai
penghasil daging membutuhkan data menyeluruh mengenai karkas, sifat fisik dan kimia daging kelinci yang belum tersedia mendorong dilaksanakannya penelitian ini. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa (produktivitas) karkas, sifat fisik dan kimia daging kelinci Rex dan kelinci lokal yang dipotong pada umur 4 bulan sebagai dasar pengembangan potensi kelinci sebagai alternatif sumber protein hewani.
2
TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kelinci Sebagai Penghasil Daging Kelinci merupakan
hewan
yang mempunyai potensi sebagai penghasil
daging yang baik. Hewan ini merupakan herbivora non ruminansia yang mempunyai sistem lambung sederhana (tunggal) dengan perkembangan sekum seperti alat pencernaan ruminansia, sehingga hewan
ini dapat disebut ruminansia semu
(pseudoruminant). Klasifikasi kelinci secara ilmiah sebagai berikut (Damron, 2003) : Kingdom
: Animalia (hewan)
Phylum
: Chordata (mempunyai notochord)
Subphylum
: Vertebrata (bertulang belakang)
Class
: Mammalia (memiliki kelenjar air susu)
Ordo
: Lagomorpha (memiliki 2 pasang gigi seri di rahang atas)
Family
: Leporidae (rumus gigi 8 pasang di atas dan 6 pasang di bawah)
Genus
: Oryctolagus (morfologi yang sama)
Species
: Cuniculus forma domestica (nama spesies) Hewan in dapat mencerna serat kasar, terutama selulosa, dengan bantuan
bakteri yang hidup di dalam sekumnya (Farrel dan Raharjo, 1984). Kelinci banyak digunakan sebagai hewan peliharaan, penghasil kulit bulu (fur) dan penghasil daging (fryer). Kelinci mampu mengubah hijauan berprotein rendah, yang berasal dari bahan makanan yang tidak dimanfaatkan oleh manusia sebagai bahan makanan, menjadi protein hewani yang benilai tinggi. Hewan ini mampu mengembalikan 20% protein yang dikonsumsinya menjadi daging (Lebas et al, 1986). Selain itu, ternak ini mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi, cepat berkembangbiak, interval kelahiran yang pendek dan tidak membutuhkan lahan luas dalam pemeliharaannya (Templeton, 1968). Farrel dan Raharjo (1984) menyatakan bahwa secara teori seekor induk kelinci dengan bobot tiga hingga empat kilogram, dapat menghasilkan 80 kg karkas per tahun. Kelinci Rex Rex merupakan salah satu dari berbagai macam jenis kelinci. Jenis Rex pertama kali ditemukan oleh seorang petani bernama M. Caillon yang berasal dari
Perancis, kemudian diteruskan oleh Pat Abbe pada tahun 1919. Jenis Rex ini kemudian diketahui sebagai hasil dari mutasi gen. mutasi gen ini menyebabkan bulu sebelah dalam sama panjang dengan bulu luarnya, sehingga bulunya lebih padat dan panjangnya seragam (Sandford, 1980). Cheeke et al. (1987) menambahkan bahwa bulu kelinci Rex sifatnya halus, panjangnya seragam dan mempunyai variasi warna bulu yang menarik dan beragam sehingga sangat cocok untuk dijadikan fur (kulit bulu). Kelinci Rex juga baik dan proporsional untuk produksi daging. Jenis ini mempunyai panjang tubuh medium dan dalam, hips yang bulat dan loin yang berisi, sehingga cocok pula untuk dijadikan sebagai kelinci pedaging. Bobot badan ideal untuk kelinci Rex jantan adalah 3.6 kg, sedangkan untuk betina adalah 4.08 kg (ARBA, 1996). Kelinci Rex sangat bervariasi dengan produksi daging berkualitas sangat baik (exellent), tetapi produktivitas daging pada kelinci Rex lebih rendah dibandingkan dengan kelinci pedaging jenis New Zealand (Raharjo, 1994). Kelinci Lokal Bangsa kelinci lokal di Indonesia merupakan persilangan dari berbagai jenis kelinci yang tidak terdata, tetapi sebagian besar berasal dari persilangan jenis New Zealand White. Kelinci lokal yang berada di Indonesia mempunyai tubuh yang lebih kecil dari kelinci impor. Kelinci – kelinci lokal ini memiliki laju pertumbuhan yang lambat, sehingga sering dilakukan persilangan bangsa kelinci lokal ini dengan bangsa lain untuk mengembangkan kelinci yang tahan penyakit dan mempunyai toleransi terhadap panas serta berbadan besar (Farrel dan Raharjo,1984). Herman (1989) menyatakan bahwa kelinci lokal lebih toleran terhadap panas (suhu tinggi) dibandingkan kelinci impor. Hal ini disebabkan kelinci lokal telah beradaptasi di daerah tropis sehingga lebih tahan terhadap lingkungan panas dibandingkan kelinci impor yang berasal dari daerah iklim sedang. Kelinci lokal diternakkan dengan tujuan sebagai penghasil daging. Daging yang dihasilkan pun mempunyai kualitas yang cukup baik. Pertambahan Bobot Hidup Proses pertumbuhan terdiri atas dua aspek, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan merupakan pertambahan bobot tubuh per satuan waktu
4
hingga dewasa tubuh, sedangkan perkembangan merupakan perubahan dalam komposisi, bentuk serta tinggi tubuh (Lawrie, 2003). Pertumbuhan pada ternak umumnya mengikuti kurva berbentuk sigmoid yang merupakan hubungan antara bobot tubuh, umur dan pola pertumbuhan tersebut. Hal ini juga didapati pada pertumbuhan kelinci setelah lahir (Sanford, 1980). Kurva tersebut memperlihatkan fase petumbuhan yang dipercepat (accelerating) terjadi pada umur remaja, sedangkan fase pertumbuhan yang diperlambat (decelerating) dimulai dari umur remaja sampai dewasa (Hammond dan Browman, 1983). Rao et al. (1979) menyatakan bahwa kelinci muda memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dan puncak pertumbuhan accelerating dicapai pada umur delapan minggu. Pertumbuhan meliputi pertambahan bobot badan per waktu tertentu dan perubahan konformasi dari jaringan tubuh, sesuai umur dan fungsinya sehingga dinyatakan tumbuh-kembang (Hammond dan Browman, 1983). Templeton (1968) menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas ransum. Kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh bangsa, umur , jenis kelamin, bobot sapih dan suhu lingkungan. Periode pertumbuhan mulai dari penyapihan hingga pemotongan merupakan fase paling efisien dalam mengkonversikan pakan untuk mencapai bobot badan yang diinginkan. Oleh karena itu diperlukan pakan dengan kandungan karbohidrat (energi), protein, lemak vitamin dan mineral yang sesuai untuk pertumbuhannya. Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa kelinci membutuhkan enegi metabolisme 2400 Kkal, lemak 3%, protein kasar 15% dan serat kasar 14% untuk pertumbuhannya. Laju pertumbuhan pada anak kelinci akan meningkat cepat pada satu bulan pertama sejak lahir dan akan terus bertambah sampai disapih. Bobot kelinci yang dicapai pada umur delapan minggu adalah 1.38 – 2.1 kg, umur 12 minggu adalah 2.12 - 2.85 kg dan umur 16 minggu adalah 3.28 – 3.83 kg (Chen et al., 1987). Karkas dan Komponen Karkas Kelinci Karkas adalah bagian tubuh ternak tanpa kepala, kaki, ekor, darah dan organ dalam tubuh (jeroan) (Herman, 1986 ; Soeparno, 1992). Lebas et al. (1986) menyatakan bahwa di Inggris dan Kanada, pengertian karkas kelinci sama dengan pengertian karkas sapi. Karkas terdiri atas tiga jaringan utama yaitu tulang, daging,
5
dan lemak (Soeparno, 1992). Tulang tumbuh paling awal membentuk kerangka, kemudian di susul oleh pertumbuhan urat yang membentuk daging yang menyelimuti kerangka dan lemak tumbuh terakhir pada saat mendekati kemasakan tubuh (Mc Nitt dan Lukefahr, 1993). Karkas yang ideal harus mengandung sejumlah maksimal otot, kandungan lemak yang optimal serta tulang yang minimum (Lovett, 1986). Herman (1986) menyatakan bahwa kelinci yang dipelihara di daerah tropis mampu menghasilkan karkas sebesar 47.96% dari bobot hidup 1 – 2.1 kg. Bobot tulang karkas kelinci sekitar 15% dan 82 - 85% dari karkasnya dapat di konsumsi. Mutu produksi daging dipengaruhi oleh umur (Soeparno, 1992). Daging kelinci muda, berwarna putih, seratnya halus dan rasanya lebih enak dari daging ayam. Kelinci dewasa, dagingnya padat, kasar berwarna merah tua dan kurang empuk (Herman, 1989). Soeparno (1992) menyatakan kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor yang menentukan adalah bobot karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan. Pemotongan bagian karkas kelinci berdasarkan pada irisan komersial. Irisan komersial karkas kelinci terdiri atas empat potong irisan. Irisan tersebut adalah potongan irisan kaki depan (foreleg), potongan irisan dada (rack), potongan irisan pinggang (loin) dan potongan irisan kaki belakang (hindleg) (De Blass et al., 1977). Herman (1986) menyatakan bahwa hasil pengirisan menunjukkan proporsi yang konsisten dengan koefisien keragaman yang rendah. Proporsi irisan terhadap bobot tubuh secara terinci yaitu irisan kaki belakang ± 40 %, pinggang ± 22.10 %, dada ± 11.68 % dan kaki depan ± 29 %. Persentase karkas atau bagian tubuh lainnya terhadap bobot tubuh sangat ditentukan oleh bobot tubuh dan kondisinya, macam makanan dan pemuasaan sebelum pemotongan (Cheeke et al., 1987 ; Herman, 1989). Bobot potong yang meningkat akan meningkatkan persentase bobot tubuh kosong dan karkas (Herman,1986). Lukefahr et al. (1981) menyatakan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi sifat-sifat karkas. Muryanto dan Prawirodigdo (1993) menyatakan bahwa semakin tinggi bobot potong maka semakin tinggi persentase bobot karkasnya. Hal ini disebabkan proporsi bagian-bagian tubuh yang menghasilkan daging akan bertambah selaras dengan ukuran bobot tubuh.
6
Otot Otot merupakan komponen utama karkas sebagai penentu kualitas yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Otot mengandung 72-73% air, 18% protein, 12% BETN, 1-20% lemak, 1% abu dan 1% karbohidrat yang merupakan sistem koloida (Zobrisky, 1969). Basuki et al. (1981) menyatakan bahwa kelinci lokal mempunyai persentase otot sebesar 35.2% ± 5.25 untuk kelinci betina berbobot badan 0.55-3.3 kg dan untuk kelinci jantan dengan bobot badan 0.6-3.3 kg. Bobot badan kelinci yang diharapkan pada peternakan komersial adalah 1.8-2.7 kg dengan produksi daging karkas 0.9-1.4 kg yang persentase karkasnya sebesar 55% dan rasio otot dan tulang adalah 5 : 1. Persentase otot akan meningkat dengan meningkatnya bobot potong kaki belakang (hindleg) dan punggung (loin), sedangkan otot pada bagian kaki depan (foreleg) konstan (Eviaty, 1982). Djoenaedi (1972) menyatakan bahwa pada rataan bobot hidup sebesar 990 g diperoleh rataan otot sebesar 36.7%. Tulang Tulang merupakan jaringan yang pasif atau inert. Perbedaan tulang dengan jaringan yang lainnya adalah tulang merupakan jaringan padat yang keras dan mengandung 45% air, 25% abu, 20% protein, 10% lemak dan 99% kalsium serta 80% phosfor dalam tubuh yang umumnya terdapat di dalam tulang (Zobrisky, 1969). Tulang merupakan bentuk kerangka yang berfungsi sebagai pelindung jaringan lunak dan organ-organ vital serta sebagai pengungkit aktivitas otot. Tulang mempunyai arti penting dalam pertumbuhan ternak, karena perkembangan tulang akan menentukan ukuran dan bersama otot maupun lemak menentukan konformasi tubuh. Tulang dapat mencerminkan produksi daging suatu ternak dan diharapkan mempunyai proporsi yang sekecil mungkin (Berg dan Butterfield, 1976). Eviaty (1982) menyatakan bahwa jaringan tulang dari semua potongan karkas mengalami pertumbuhan relatif dini dan persentase bobot jaringan tulang akan berkurang dengan bertambahnya bobot masing-masing potongan karkas. Persentase bobot tulang karkas akan berkurang dengan meningkatnya bobot tubuh kosong maupun bobot karkas.
7
Lemak Perletakan dan distribusi lemak mempunyai arti ekonomi yang penting dalam produksi daging. Lemak menambah bobot daging karkas dan penyebarannya turut menentukan mutu daging. Depot lemak merupakan komponen karkas yang masak lambat. Persentase depot lemak akan meningkat seiring dengan bertambahnya bobot hidup. Depot lemak meupakan proses fisiologis ternak, dengan fungsinya yaitu sebagai cadangan untuk menjaga panas homeostatis tubuh (De Blass et al., 1977). Distribusi lemak sangat mempengaruhi proporsi jaringan otot karkas sebab proporsi daging dan tulang akan berkurang sedangkan komponen lemak bertambah dengan meningkatnya bobot karkas (Seebeck dan Tulloh, 1968). Pertumbuhan lemak pada kelinci berlangsung bila berumur lebih dari dua bulan yaitu pada bobot sekitar 1.5-2.0 kg, tetapi lemak yang dikandungnya tetap lebih kecil bila dibandingkan ternak lainnya. Perletakan lemak pada tubuh kelinci terjadi di sekitar rusuk, sepanjang tulang belakang, daerah paha, sekitar leher, ginjal dan jantung (Bogart, 1981). Sifat Fisik Daging Daya Mengikat Air (DMA) Daging Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water-holding capacity atau water binding capacity (WHC dan WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Soeparno, 1992). Kapasitas mengikat air sangat mempengaruhi penampilan daging sebelum dimasak. Sifat-sifatnya selama dimasak dan juiceness-nya pada saat dikunyah (Lawrie, 2003). Daya Mengikat Air (DMA) dipengaruhi oleh pH. Selain itu, daya mengikat air daging juga dipengaruhi oleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air di antara otot, misalnya spesies, umur dan fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler. Kelembaban daging dipengaruhi oleh daya mengikat air, kandungan air dan kondisi perlemakan pada daging. Ditambahkan bahwa daging yang tidak memiliki lean atau lemak akan
8
mengalami kelembaban yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan daging yang berlemak Soeparno (1992). Air yang terikat di dalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4-5% sebagai lapisan monomolekuler pertama; air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar 4% dan lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein,berjumlah kira-kira 10%. Jumlah air terikat (lapisan pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan lapisan ketiga akan menurun apabila protein daging mengalami denaturasi (Soeparno, 1992). Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH otot postmortem, menurunkan DMA daging dan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Pada titik isoelektrik (5,0-5,1) protein miofibril, filamen miosin dan filamen aktin akan saling mendekat sehingga ruang diantara filamen-filamen ini akan menjadi lebih kecil. Pemecahan dan habisnya ATP (adiposa Triphospat) serta pembentukan aktamiosin dan menjadi habisnya ATP pada saat rigor dan sepertiga lainnya disebabkan oleh penurunan pH (Soeparno,1992). Keempukan Daging Tekstur dan keempukan mempunyai tingkatan utama menurut konsumen dan rupanya dicari walaupun mengorbankan flavor dan warna (Lawrie, 2003). Keempukan daging banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan jaringan silangnya, daya ikat air oleh protein daging serta juiceness daging (Soeparno, 1992). Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek. Pertama, mudah tidaknya gigi berpenetrasi awal kedalam daging. Kedua, mudah tidaknya daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Ketiga, jumlah residu tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003). Penyebab utama kealotan daging adalah pemendekan otot postmortem (Lawrie, 2003). Jadi, pemendekan otot ini dapat dikurangi atau dicegah dengan cara
9
penggantungan karkas pre-rigor pada pelvik atau dengan cara pelayuan karkas, misalnya pada temperatur 10-20 0C (Bouton et al., 1978). Aberle et al., (1981) menyatakan bahwa pengaturan ransum sebelum ternak dipotong mempengaruhi secara langsung variasi sifat urat daging setelah pemotongan dan ternak – ternak yang digemukkan di dalam kandang akan menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan dengan ternak yang digembalakan. Bouton et al., (1978) menyatakan bahwa umur dalam kondisi tertentu tidak mempengaruhi keempukan daging yang dihasilkan. Ternak yang lebih tua namun mendapatkan ransum dengan nutrisi dan penanganan yang baik dapat menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan dengan daging yang dihasilkan dari ternak muda namun mendapatkan nutrisi ransum dan penanganan yang kurang baik. Otot dapat tumbuh dan berkembang dengan baik jika mendapatkan nutrisi dan penanganan yang baik. Otot yang baik mempunyai jumlah kolagen per satuan luas otot yang lebih kecil dibandingkan dengan otot dari ternak yang mendapat nutrisi dan penanganan yang kurang baik, dengan demikian daging yang dihasikan akan lebih empuk. Susut Masak Daging Susut Masak Daging ialah perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama dari pemasakan. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging. Susut masak dapat meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek. Pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak. Susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya umur ternak. Perbedaan bangsa ternak juga dapat menyebabkan perbedaan susut masak. Jenis kelamin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap susut masak pada umur ternak yang sama. Bobot potong mempengaruhi susut masak terutama bila terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskuler. Konsumsi pakan dapat juga mempengaruhi besarnya susut masak (Soeparno, 1992).
10
Nilai pH Daging Perubahan pH sesudah ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot, selanjutnya oleh kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan (Buckle et al., 1987). Otot yang mengalami penurunan pH sangat cepat akan menjadi pucat,daya ikat daging protein terhadap cairannya menjadi rendah dan permukaannya tampak sangat basah. Disisi lain, otot yang mempunyuai pH tinggi selama proses konversi otot menjadi daging dapat menjadi sangat gelap warnanya dan sangat kering di permukaan potongan yang tampak (Aberle et al., 2001). Penurunan pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat, normalnya adalah 5,4-5,8. Stres sebelum pemotongan, pemberian suntikan hormon atau obat-obatan tertentui, spesies, individu ternak, macam otot stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi gliokolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging. Penurunan pH karkas postmortem mempunyai hubungan yang erat dengan
temperatur
lingkungan
(penyimpanan).
Temperatur
tinggi
akan
meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH. Pengaruh termperatur terhadap perubahan pH postmotem ini adalah sebagai akibat pengaruh langsung dari temperatur terhadap laju glikolisis postmortem (Soeparno, 1992). Peningkatan pH akan menyebabkan meningkatnya daya ikat air daging dan lapisan permukaan daging akan semakin kering, sehingga kualitas daging akan semakin menurun. Ternak yang mengalami cukup masa istirahat sesaat sebelum dipotong memiliki cadangan glikogen dalam otot yang cukup tinggi (Lawrie, 2003). Dikemukakan juga bahwa glikogen yang tinggi didalam otot akan diubah melalui proses glikolisis menjadi asam laktat. Tingginya asam laktat yang terbentuk akan membuat pH daging menjadi rendah. Komposisi Kimia Daging Faktor kondisi ternak pada saat pemotongan dapat menyebabkan perbedaan komposisi kimia daging yang dihasilkan. Bobot karkas adalah salah satu refleksi kondisi ternak. Bobot karkas dipengaruhi oleh interaksi antar bangsa dan pakan yang menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan energi, protein dan mungkin mineral 11
pakan secara relatif berbeda di antara bangsa dan perlakuan pakan, tetapi tidak selalu direfleksikan terhadap perbedaan komposisi kimia daging (Soeparno, 1992). Komposisi kimia dalam daging yang berhubungan erat dengan nilai gizi adalah kadar air, mineral, protein, lemak dan vitamin. Berikut adalah komposisi kimia daging dari berbagai jenis ternak berdasarkan bahan segar. Tabel 1. Komposisi Kimia Daging Dari Berbagai Jenis Ternak Daging
Protein
Lemak
Kadar Air
Kandungan
(%)
(%)
(%)
Energi (MJ/kg)
Kelinci
20.80
10.20
67.90
7.30
Ayam
20.00
11.00
67.60
7.50
Anak Sapi
18.80
14.00
66.00
8.40
Kalkun
20.10
22.00
58.30
11.90
Sapi
16.30
28.00
55.00
13.30
Domba
15.70
27.70
55.80
13.10
Babi
11.90
45.00
42.00
18.90
Sumber : State 4-H Rabbit Programming Committee (1992) Analisa Proksimat Informasi umum mengenai makanan didapat dari hasil analisa berupa komposisi kimia makanan yang merupakan hasil penggunaan sistem analisa proksimat yang telah digunakan lebih dari 100 tahun lalu. Sistem analisa proksimat membagi makanan ke dalam enam fraksi zat makanan yaitu kadar air, abu, protein, ektrak lemak, serat kasar dan bahan ektrak tanpa nitrogen (McDonald et al., 2002). Kegunaan pakan secara efisien dapat diketahui melalui pengetahuan terhadap komposisi kimia yang dikandung, kecernaan nutrisi dan kemampuan dalam menyediakan energi serta tidak adanya penghambat dalam makanan tersebut. Cheeke et al. (1987) menyatakan bahwa terdapat beberapa tehnik yang biasa digunakan untuk mendapatkan informasi yang dbutuhkan tersebut diantaranya analisis pakan. Metode analisis kimia yang telah lama dan umum digunakan adalah analisis proksimat. Analisa tersebut meliputi penentuan bahan kering, protein kasar, ektrak eter, abu, serat kasar, dan bahan ektrak tanpa nitrogen. Wiseman dan Cole (1990) menyatakan bahwa kebanyakan data komposisi bahan kimia dengan metode analisis
12
yang biasa digunakan adalah analisa proksimat dikarenakan informasi yang ada cukup menggambarkan sebuah materi bahan dengan tujuan spesifik. Analisa proksimat merupakan analisis yang telah lama ada dan dapat digunakan untuk menduga nilai nutrisi termasuk nilai energi dari contoh bahan/campuran pakan/sampel yang berasal dari bagian komponennya (NRC, 1994). Air Air adalah zat yang terdiri dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen dengan rumus molekul H2O (Fardiaz, 1992). Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa kadar air tubuh erat hubungannya dengan usia. Kadar air tubuh berkurang dengan kegiatan metabolisme. Hewan yang muda akan lebih mampu menggunakan zat – zat makanan yang diperolehnya untuk membangun tubuhnya sedangkan hewan yang lebih tua, akan menimbun kelebihan energi yang diperolehnya untuk menjadi lemak tubuh. Lemak Lemak termasuk di dalam kelompok ester yang terbentuk dari reaksi alkohol dalam asam organik. Komponen pembentuk lemak pada umumnya terdiri dari satu molekul gliserol yang berikatan dengan tiga molekul asam lemak, dikenal sebagai trigliserida (Fardiaz, 1992). Lemak yang dimaksud sebagai lemak daging adalah lemak intramuskuler yang umumnya terdiri dari lemak sejati dan mengandung fosfolipid dari fraksi – fraksi yang tidak tersabun, seperti kolesterol (Lawrie, 2003). Soeparno (1992) menyatakan bahwa kadar lemak mempunyai hubungan yang negatif dengan kadar air. Jika kadar lemak tubuh meningkat yaitu bertambah bobot hidupnya maka kadar airnya akan berkurang, dengan demikian pertambahan usia akan meningkatkan kadar lemaknya. De Blass et al. (1977) melakukan penelitian dengan menggunakan kelinci betina Spanish Giant yang dipotong pada umur tiga, empat dan lima bulan, menunjukkan hasil bahwa kadar lemak akan meningkat seiring dengan meningkatnya umur potong, masing – masing sebesar 34.1%, 37.85% dan 43.97% dari bobot lemak awalnya.
13
Protein Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien yang mempunyai peranan lebih penting dalam pertumbuhan biomolekul daripada sebagai sumber energi. Struktur protein selain mengandung unsur N, C, H, O juga mengandung S, P, Fe, dan Cu yang membentuk senyawa kompleks Sudarmadji et al. (1989). Molekul protein sendiri merupakan rantai panjang yang tersusun oleh mata rantai asam – asam amino. Asam amino adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus karboksil (-CHHOH) dan satu atau lebih gugus amino (-NH2) yang salah satunya terletak pada atom C tepat di sebelah gugus karboksil (Fardiaz, 1992). Secara fisiologis, tubuh manusia rata – rata membutuhkan 55 g protein per hari yang terdiri atas 35 g protein nabati, 15 g protein hewani asal ikan dan 5 g protein hewani asal ternak. Protein sangat esensial bagi kehidupan karena sebagai penyusun komponen jaringan lunak seperti otot, tenunan pengikat, kolagen, kulit, rambut dan kuku (Ensminger et al., 1990). Protein bahan makanan dalam analisi proksimat ditentukan dengan menggunakan metode Kjeldahl. Metode ini menganut asumsi bahwa semua nitrogen bahan makanan berasal dari protein dan semua protein bahan makanan mengandung N sebesar 16%. Protein bahan makanan ditentukan dengan menganalisis kandungan nitrogennya. Hasil yang diperoleh dikalikan dengan 6.25 yaitu faktor kelipatan N yang diperoleh dari 100/16 (Ensminger et al., 1990). Komposisi protein dalam tubuh tidak banyak dipengaruhi oleh usia maupun kondisi tubuh, dalam hal ini bobot hidupnya. Abu (Mineral) Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu berhubungan dengan kadar mineral suatu bahan organik. Mineral tersebut dapat merupakan garam organik maupun anorganik. Penentuan abu total digunakan untuk berbagai tujuan, yaitu selain sebagai parameter nilai gizi dalam bahan makanan juga untuk mengetahui baik tidaknya suatu proses pengolahan serta untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan (Sudarmadji et al., 1989). Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa dalam analisa proksimat kadar abu (mineral) ditentukan dengan membakar contoh bahan makanan pada suhu 500 –
14
600 oC. Semua bahan organik tersebut akan terbakar dan teruapkan. Abu sisa pembakaran itu dianggap sebagai mineral bahan makanan.
15
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Ternak (BPT), Bagian Kelinci, Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan April 2008 sampai dengan bulan Juni 2008. Balai Penelitian Ternak (Balitnak) merupakan instansi Pemerintah yang turut berperan dalam penelitian pengembangan ternak kelinci di Indonesia. Balitnak terletak pada ketinggian 500 m dpl dengan rataan curah hujan tahunan mencapai 3500-4000 mm. Balitnak menempati lahan seluas 24 ha yang terletak di desa Banjar Waru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Jenis kelinci yang terdapat di Balitnak meliputi Rex, Satin, RS (persilangan Rex dengan Satin), Angora, English Giant, Loop, New Zealand White, Lion dan banyak hasil persilangan dari jenis lain. Materi Ternak Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah kelinci Rex dan kelinci lokal, masing-masing sebanyak 6 ekor, jadi total ternak yang digunakan adalah 12 ekor. Kelinci Rex diperoleh dari BPT. Kelinci lokal didapat dari peternakan kelinci di sekitar BPT. Peralatan Peralatan yang digunakan adalah kandang pemeliharaan, tempat pakan dan air minum, borang penelitian, timbangan berkapasitas 5 kg dengan merk Nagata, pisau, dan alat tulis. Rancangan Penelitian ini mengunakan rancangan RAL faktorial 2 x 2 dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah jenis (bangsa) kelinci dan faktor kedua adalah jenis kelamin. Model matematikanya menurut Steel and Torrie (1991) adalah Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Yijk
: nilai parameter pada ulangan ke-k dari faktor I (jenis kelinci) ke-i dan faktor ke II (jenis kelamin kelinci) ke-j
µ
: rataan umum
αi
: pengaruh bangsa (jenis) kelinci ke-i terhadap parameter
βj
: pengaruh jenis kelamin kelinci ke-j terhadap parameter
(αβ)ij : interaksi antara bangsa kelinci ke-i dan jenis kelamin kelinci ke-j terhadap parameter εijk
: pengaruh galat percobaan
Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis dengan mengunakan Analysis of variance (ANOVA). Jika hasil analisis menunjukkan nyata atau sangat nyata, maka dilakukan uji perbandingan nilai tengah dengan menggunakan uji Duncan. Peubah 1. Bobot potong Bobot potong kelinci ditimbang pada saat kelinci sebelum dipotong (g), 2. Bobot karkas Bobot karkas ditimbang setelah kelinci dipotong, dikuliti lalu dikurangi darah, kepala, hati, ekor, saluran pencernaan dan isi rongga dada kecuali ginjal (g) (Rao et al.,1979), 3. Bobot potongan komersial (g) Bobot potongan komersial didapat dengan cara memotong karkas kelinci menjadi potongan komersialnya yang meliputi foreleg, rack, loin dan hindleg (Blasco et al., 1992) lalu ditimbang dengan alat timbangan, 4. Bobot nonkarkas (kulit kepala, kaki dan offal) Bobot kulit segar didapat dengan cara menguliti kelinci yang telah dipotong lalu kulitnya tersebut segera ditimbang (g), 5. Bobot komponen karkas, meliputi bobot daging, lemak dan tulang (g) Bobot komponen karkas ditimbang dengan cara memisahkan masing-masing komponen karkas terlebih dahulu lalu bobotnya ditimbang dengan alat timbangan, 6. Rasio daging : tulang, yaitu perbandingan bobot daging dengan tulang (g). Rasio daging : tulang dihitung dengan cara membandingkan antara bobot tulang yang dihasilkan dengan daging yang dihasilkan.
17
7. Proporsi karkas, offal dan potongan komersial (%) Proporsi karkas dihitung dengan cara bobot karkas yang ditimbang sebelumnya dibagi dengan bobot potongnya lalu dikalikan dengan 100%. Proporsi potongan komersial dihitung dengan cara bobot masing-masing potongan komersial dibagi dengan bobot karkas lalu dikalikan dengan 100%, 8. Uji fisik bahan segar (pH, daya mengikat air, susut masak, keempukan) 9. Uji kimia/proksimat bahan segar (kadar air, protein kasar, lemak, abu, energi kotor) Prosedur Penelitian ini menggunakan data primer. Kelinci penelitian yang akan digunakan adalah kelinci yang berumur 3 – 4 bulan. Kelinci penelitian dipisahkan terlebih dahulu berdasarkan bangsa (breed) dan jenis kelamin (sex) sebelum penelitian dimulai. Kelinci penelitian yang sudah dipisahkan tersebut diberi pakan dengan kualitas yang sama selama periode pemeliharaan lalu setelah mencapai umur 3-4 bulan, kelinci-kelinci tersebut dipotong untuk dilhat performa produksi karkasnya. Data yang diambil mencakup produksi karkas dan potongan komersialnya. Pemeliharaan Pemeliharaan di Balai Penelitian Ternak Kelinci penelitian dipelihara sampai berada pada umur potong atau 4 bulan. Kelinci Rex dipelihara di BPT. Ransum diberikan secukupnya (100 – 150 g/hari) dan air minum diberikan secara ad libitum. Ransum yang diberikan berbentuk pelet dengan kandungan nutrisi protein 18% dan energi 2700 Kkal. Kandang yang digunakan ialah kandang individu yang terbuat dari kawat. Pemeliharaan di Masyarakat Kelinci penelitian dipelihara sampai berada pada umur potong atau 4 bulan. Kelinci yang dipelihara ialah kelinci lokal. Ransum diberikan secukupnya (100 – 150 g/hari) dan air minum diberikan secara ad libitum. Ransum yang digunakan adalah hijauan dan sedikit campuran dari dedak dan ampas tahu dengan perkiraan kandungan nutrisi protein 18% dan energi 2200 Kkal. Kandang yang digunakan ialah
18
kandang individu yang terbuat dari bambu dengan sisi bagian depan terbuat dari kawat. Pemotongan Pemotongan dilakukan saat kelinci mencapai kisaran bobot potong 1600 – 2400 g. Kelinci dipotong pada pagi hari tanpa dipuasakan terlebih dahulu. Kelinci disembelih dengan cara memotong leher, sehingga semua pembuluh darah terpotong dan diperoleh pendarahan yang sempurna. Setelah dipotong, kelinci digantung pada salah satu kaki belakang, dengasn membuat irisan pada kulit antara tulang dan tendo sendi kaki belakang. Kepala dipisahkan pada sendi occipito atlantis. Kemudian kaki depan bagian bawah dan kaki belakang bagian bawah dipotong pada sendi sikunya dan ditimbang, ekor juga dilepaskan dari pangkalnya. Lalu ditimbang. Setelah selesai dikuliti, semua isi rongga perut dan dada dikeluarkan dan ditimbang tiap bagianbagiannya. karkas kemudian ditimbang. Setelah itu, karkas dipotong menjadi 4 potongan komersial, yaitu foreleg, rack, loin dan hindleg dan ditimbang. Potonganpotongan komersial kecuali hindleg dibungkus dengan plastik lalu disimpan di dalam alat pendingin. Hindleg dibawa ke labolatorium untuk digunakan sebagai bahan untuk analisis proksimat dan uji fisik daging. Uji Fisik Nilai pH Nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter. pH meter dikalibrasi terlebih dahulu pada pH 4 dan 7. pH meter ditusukkan ke dalam daging hingga sensor pHnya tertutupi semua. Nilai pH didapat setelah angka tertera di pH meter konstan. Susut Masak Susut masak daging adalah perbedaan berat daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase (%). Sampel daging seberat 100 gram dengan panjang 7 cm ditusukkan dengan termometer bimetal sampai menembus bagian dalam daging, lalu direbus dengan air hingga mencapai suhu 80-82 0C. Setelah itu, sampel daging diangkat dan didinginkan kemudian ditimbang. Selisih
19
antara berat segar dan berat masak merupakan nilai susut masak yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut
% Susut Masak = Bobot sampel awal – Bobot sampel akhir x 100% `
Bobot sampel awal
Keempukan Daging Daging dipotong ukuran persegi kira-kira 100 g, kemudian ditusukkan dengan termometer bimetal sampai menembus bagian dalam daging lalu direbus dengan air hingga mencapai duhu 80-82 0C. Setelah itu, daging diangkat dan didinginkan. Sampel daging dibentuk silinser (tabung) dengan menggunakan curer berdiameter 1,27 mm sebanyak tiga buah. Daging dipotong secara melintang pada alat warner blatzler dan hsasil pengukuran keempukan / shear foce daging (kg/cm2) dapat dilhat pada skala alat warner blatzler tersebut. Daya Mengikat Air (DMA) Daya mengikat air (DMA) dihitung dengan cara menghitung jumlah mg H2O pada daging. Kandungan mg H2O yang tinggi pada daging akan menyebabkan DMA yang semakin rendah dan sebaliknya. Daging segar dipotong dengan berat 0,3 g, kemudian disimpan di antara dua kertas saring Whatman 41 yang berdiameter 9 mm. selanjutnya sampel daging tersebut dipres dengan menggunakan caver press dengan tekanan 35 kg/cm2 selam 5 menit. Luas area basah yang tertera pada kertas saring diukur dengan menggunakan planimeter. Besarnya daya mengikat air ditentukan dengan cara menggunakan rumus Hamm (1972) dalam Soeparno (1992) adalah mg H2O = { luas area basah (cm2) / 0,0948 } – 8,0 kemudian mg H2O dikonversi dalam persen dengan rumus sebagai berikut % H2O = { mg H2O / berat sampel (mg) } X 100%
20
Uji Kimia (Proksimat) Kadar Air (AOAC, 1999) Kadar air diukur dengan metode Gravimetri secara pemanasan langsung, yaitu menghitung banyaknya air yang hilang dengan pemanasan ±105oC menggunakan oven selama 4-6 jam. Terlebih dahulu botol timbang dikeringkan kirakira 1 jam dalam alat pengering pada suhu 105oC dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang (x) gram. Sejumlah daging ditimbang dengan teliti ± 5 gram dalam botol timbang sebagai (y) gram. Botol timbang dan sampel yang berada di dalamnya dimasukkan dalam alat pengering selama 4-6 jam pada suhu 105 oC. Kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Pekerjaan ini diulangi sampai tiga kali, sampai berat konstan (z) gram. Kadar air ditentukan dengan rumus berikut:
Kadar Air = (y – x - z) x 100% (y – x) Kadar Protein Kasar (AOAC, 1999) Kadar protein kasar dapat dihitung dengan metode Kjeldahl yang secara garis besar terbagi menjadi tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Jumlah protein didapat sebagai jumlah nitrogen dalam bahan yang tertitrasi dikalikan dengan faktor konversi protein (6,25). Ditimbang ± 1 gram sampel daging dan 1 gram campuran Selen dengan kertas saring lalu dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl kering yang telah berisi batu didih. Ditambahkan 25 ml H2SO4 pekat mutu teknis dan dilakukan destruksi dengan peningkatan suhu bertahap di dalam ruang asam hingga larutan jernih dan berwarna kuning kehijauan dan kemudian didinginkan. Larutan yang terbentuk dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan diimpitkan. Dipipet 10 ml larutan dan dimasukkan ke dalam alat destilasi, ditambahkan NaOH 0,3 N dan indikator fenol ftalein (PP) hingga warna larutan menjadi merah muda. Destilat ditampung dengan Erlenmeyer berisi 25 ml H2SO4 0,3 N. Proses penyulingan ini diteruskan hingga semua analat tertangkap oleh H2SO4 yang ada di dalam Erlenmeyer atau bila 2/3 dari cairan dalam labu penyuling telah menyerap.
21
Hasil sulingan diambil dan kelebihan H2SO4 dititar kembali dengan menggunakan larutan NaOH 0,3 N. Proses titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan warna dari ungu menjadi hijau yang menandakan titik akhir titrasi. Setelah itu volume NaOH dicatat sebagai (z) ml dan dibandingkan dengan titar blanko (y) ml. Penentuan kadar protein kasar dapat ditentukan dengan rumus berikut: % Protein Kasar = 100/10 x (y - z) x titar NaOH x 14 x 6,25 x 100% Berat sampel (x)
Kadar Lemak (AOAC, 1999) Kadar Lemak ditetapkan dengan metode Soxhlet dimana lemak diekstraksi dengan pelarut nonpolar yang cocok pada suhu sedikit di atas titik didih pengekstrak (60-80oC). Lemak daging yang terukur yaitu lemak yang terekstrak oleh pelarut lemak nonpolar dan telah dipisahkan dari pelarutnya melalui evaporasi. Ditimbang ± 1 gram daging (x), dimasukkan ke dalam selongsong yang terbuat dari kertas saring dan ditutup dengan kapas yang bebas lemak (hulls). Hulls dimasukkan ke dalam Soxhlet yang telah terhubung dengan labu lemak kering yang telah ditimbang berat kosongnya, (a) gram. Ditambahkan heksan sebagai pengekstrak dan dipanaskan dengan alat FATEX-S yang diatur suhunya pada 60oC, proses ekstraksi dilakukan sampai larutan di dalam Soxhlet sebening heksan murni atau selama ± 2 jam. Heksan (pengekstrak) dipisahkan dengan cara destilasi dan evaporasi. Labu lemak berisi hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang hingga diperoleh berat konstan (b) gram. Kadar lemak kasar dapat dihitung dengan rumus berikut : Kadar Lemak Kasar = (b-a) x 100% x
Kadar Abu (AOAC, 1999) Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan porselen yang sebelumnya telah diukur beratnya. Cawan berisi sampel tersebut dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan suhu 400 – 600o C. Sampel akan terbakar habis menjadi 22
abu. Sesudah abu menjadi putih seluruhnya, cawan diangkat dan didinginkan dengan cara memasukkan ke dalam desikator selama ± 1 jam. Lalu ditimbang. Kada rabu ditentukan dengan cara Kadar abu (%) = Berat sampel awal – berat sampel hilang X 100% Berat sampel awal
Kadar Gross energi (AOAC, 1999) Kadar gross energi atau energi kotor diperoleh dengan menggunakan bom kalorimeter. Sampel daging sebanyak 500 mg dibuat seperti pellet dengan cara dipress lalu ditimbang (X). Sampel tersebut dimasukkan kedalam cawan yang sudah dipasang elektroda sehingga menyentuh sampel daging. Cawan dimasukkan ke dalam bom yang berisikan 5.0 ml Methyl orange lalu bom ditutup rapat dan diisi dengan oksigen berkekuatan 35 atm. Bom tersebut dimasukkan ke dalam buket yang berisi air sebanyak 2000 ml. Bom dan buketnya dimsaukkan ke dalam jaket kemudian ditutup dan diputar selama 5 menit untuk mencari suhu awal yang konstan (a). Selanjutnya dibakar untuk mendapatkan suhu akhir yang konstan (b). Setelah itu, bom dikeluarkan dan dibilas dengan methyl orange. Air bilasan di tampung ke dalam tabung erlenmeyer lalu dititar dengan natrium karbonat sampai warna orange tercipta dan dicatat penggunaan natrium karbonat (ti). Ukur berapa panjang kawat yang terbakar. Rumus perhitungan gross energi adalah
Gross Energi (GE) = ( b – a ) x 1348 – k – ti X
23
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Karkas Kelinci Definisi karkas kelinci yaitu bagian dari tubuh ternak kelinci setelah dipotong, dikurangi darah, kepala, kulit, kaki, ekor, saluran pencernaan beserta isinya dan isi rongga dada. Karakteristik karkas yang diamati adalah bobot potong, bobot karkas, bobot kulit bulu, kepala, kaki, organ saluran pencernaan, hati, jantung, paruparu, ginjal dan potongan komersial (foreleg, rack, loin dan hindleg), bobot daging total, bobot tulang total dan bobot lemak total. Bobot Potong dan Bobot Karkas Bobot potong merupakan bobot hidup akhir seekor ternak sebelum dipotong/disembelih. Bobot potong yang tinggi akan menghasilkan bobot karkas yang tinggi pula. Muryanto dan Prawirodigdo (1993) menyatakan bahwa semakin tinggi bobot potong maka semakin tinggi persentase bobot karkasnya. Hal ini disebabkan proporsi bagian-bagian tubuh yang menghasilkan daging akan bertambah selaras dengan ukuran bobot tubuh. Tabel 2. Rataan Nilai Bobot Potong Dan Bobot Karkas Kelinci Karakteristik Karkas
Bangsa Kelinci Rex Jantan
Lokal Betina
Jantan
Betina
---------------------------------------g---------------------------------------
Bobot potong 1818.00 ± 157.23 Bobot karkas 939.00 ± 151.561
2068.67 ± 317.42
1894.33 ± 185.70
1885.33 ± 271.71
1061.33 ± 200.87
885.33 ± 127.71
824.33 ± 114.35
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.01
Tabel 3. menunjukkan bahwa bangsa dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap rataan nilai bobot potong. Rataan nilai bobot potong pada kelinci Rex adalah 1943.33 ± 98.69 dan kelinci lokal ialah 1889.83 ± 98.69. Hal ini disebabkan bobot potong yang digunakan pada penelitian ini menggunakan kisaran bobot yang sama. Kisaran bobot potong yang digunakan adalah 1600 – 2400 g untuk kedua jenis bangsa dan jenis kelamin. Hernandez et al. (2001) menunjukkan bahwa rex dengan umur 13 minggu memiliki kisaran bobot badan sebesar 1900-2100 g. Dewyarsih
(2004) menyajikan data kelinci lokal berumur 4-5 bulan memiliki bobot badan sekitar 1800-2400 g. Bobot karkas menjadi salah satu hal yang menarik dalam karakteristik karkas. Hal ini karena terkait nilai ekonomis yaitu jumlah karkas yang dihasilkan menentukan harga dari karkas tersebut. Bobot karkas merupakan salah satu peubah yang penting dalam evaluasi karkas (Priyanto et al., 1993). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bangsa (breed) dan jenis kelamin (sex) maupun interaksinya, tidak berpengaruh nyata terhadap bobot karkas. Rataan nilai bobot karkas pada kelinci Rex (1000.16 ± 62.15) tidak berbeda dengan kelinci lokal (854.83 ± 62.15). Pengaruh yang tidak nyata dari jenis bangsa dan kelamin pada penelitian ini dapat disebabkan rataan bobot potong untuk semua kelinci yang tidak berbeda nyata, sehingga bobot karkas yang dihasilkan juga tidak berbeda nyata. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan hasil yang didapat oleh Hernandez et al. (2001) yang menggunakan 4 jenis bangsa kelinci (California, Chinchilla, New Zealand umur 80 hari dan Rex umur 90 hari) pada rataan bobot potong yang sama (1900-2000 g) dan menghasilkan bobot karkas yang sama pula (1100-1180 g). Hal ini menunjukkan bahwa bobot potong yang tidak berbeda nyata menghasilkan bobot karkas yang tidak berbeda nyata pula. Bobot Potongan Komersial Blasco et al. (1992) menyatakan bahwa potongan komersial pada kelinci meliputi paha depan ( foreleg), dada (rack), pinggang (loin) dan paha belakang (hindleg). Brahmantiyo (1995) menyebutkan bahwa perdagingan pada potongan komersial ternak sapi tergantung pada intensitas kontraksi otot pada bagian komersial tersebut. Aktivitas yang semakin besar akan menyebabkan kontraksi otot yang semakin besar pula. Rataan nilai potongan komersial pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4 dan 5. Hasil bobot potongan komersial pada penelitian ini menunjukkan bahwa bangsa (breed) hanya berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap potongan komersial foreleg. Hasil rataan menunjukkan bahwa kelinci Rex memiliki bobot potongan komersial foreleg (287.66 ± 38.84) yang lebih tinggi dibandingkan nilai rataan kelinci lokal betina (236.495 ± 29.29). Hal ini terkait dengan tipe bangsa. Kelinci Rex merupakan kelinci tipe medium sedangkan kelinci lokal adalah tipe kecil. 25
Tabel 3. Rataan Nilai Bobot Potongan Komersial Karkas Kelinci Potongan Komersial
Bangsa Kelinci Rex Jantan
Lokal Betina
Jantan
Betina
---------------------------------------g---------------------------------------
Rack
96.33 ± 18.58
112.00 ± 32.23
94.33 ± 17.24
85.00 ± 19.75
Loin
198.00 ± 66.56
228.00 ± 65.38
156.00 ± 26.62
147.33 ± 21.59
Hindleg
371.33 ± 45.00
408.33 ± 56.58
347.00 ± 47.03
331.00 ± 35.51
Tabel 4. Rataan Nilai Bobot Potongan Komersial Foreleg Kelinci Jenis Kelamin
Bangsa Kelinci Rex
Lokal
Rataan
---------------------------------------g---------------------------------------
Jantan
266.66 ± 29.16
242.66 ± 27.59
254.66 ± 56.75
Betina
308.66 ± 48.52
230.33 ± 31.00
269.49 ± 39.76
Rataan
287.66 ± 38.84a
236.495 ± 29.29b
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.01
Kelinci tipe medium memiliki kisaran bobot badan dewasa 3.5-4.5 kg. Contoh beberapa kelinci tipe medium adalah Belgian hare, Rex, Anggora, dan Chinchilla. Kelinci tipe kecil (ringan) memiliki kisaran bobot badan 2.5-3 kg seperti Himalayan, Small Chinchilla, Dutch dan French Havana (Lebas et al., 1986). Kelinci tipe medium memiliki kemampuan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelinci tipe kecil, sehingga pertumbuhan kelinci Rex lebih baik dari kelinci lokal. Pertumbuhan yang lebih baik akan meningkatkan bobot potong yang lebih baik dan akhirnya menghasilkan bobot karkas yang lebih baik pula. Soeparno (1992) menyatakan bahwa bangsa ternak yang besar akan lahir lebih berat, tumbuh lebih cepat dan lebih berat saat mencapai kedewasaan daripada bangsa ternak yang kecil. Muryanto dan Prawirodigdo (1993) menyatakan bahwa semakin tinggi bobot potong maka semakin tinggi persentase bobot karkasnya. Potongan komersial merupakan potongan-potongan bagian karkas, sehingga semakin tinggi bobot karkas maka akan semakin tinggi pula potongan komersialnya. Selain itu, 26
kelinci Rex merupakan kelinci tipe medium sehingga memiliki tulang yang lebih besar dibandingkan dengan kelinci lokal. Foreleg merupakan potongan komersial yang paling banyak memiliki tulang sehingga bobotnya akan lebih besar jika tulangtulangnya juga lebih besar. Penelitian Metzger (2005) menyatakan bahwa perbedaan pada bagian foreleg disebabkan bagian tersebut paling banyak memiliki tulang. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan Brahmantiyo (2008) yang menggunakan kelinci Rex jantan dan betina dengan rataan bobot potong 2711.44 dan 3017.19 g. Penelitian tersebut menghasilkan rataan bobot potongan komersial yang lebih tinggi (foreleg 422.89 dan 466.38 g; rack 166.89 dan 181.12 g; loin 327.22 dan 352.38 g; hindleg 487.72 dan 530.69 g) dibandingkan penelitian ini. Hal ini disebabkan bobot dan umur potong yang digunakan Brahmantiyo (2008) lebih tinggi dibandingkan penelitian ini, sehingga menghasilkan potongan komersial yang lebih tinggi pula. Bobot Nonkarkas (Kulit, Kepala, Kaki dan Offal) Bobot nonkarkas merupakan bobot yang berasal dari bagian selain karkas seperti kulit, kepala, kaki, hati, jantung, paru-paru, ginjal, dan saluran pencernaan. Organ dalam dan saluran pencernaan disebut dengan offal. Bagian nonkarkas pada ternak yang lebih besar mempunyai nilai komersial yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ternak kecil. Hasil rataan nilai bobot nonkarkas dapat dilihat pada tabel 6, 7 dan 8. Penelitian ini menunjukkan bahwa bangsa (breed) berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap offal (hati, ginjal, paru-paru, jantung dan saluran pencernaan) yaitu pada bagian jantung dan saluran pencernaan. Rataan nilai bobot jantung pada kelinci Rex (6.16 ± 0.78) lebih besar daripada kelinci lokal (5.16 ± 0.28). Pengaruh bangsa (breed) terhadap jantung ini disebabkan kelinci Rex merupakan tipe kelinci medium, sehingga secara genetik mempunyai kemampuan untuk tumbuh lebih baik dibandingkan kelinci lokal. Hal ini menyebabkan jantung pada kelinci Rex lebih berat dibandingkan dengan kelinci lokal. Dewyarsih (2004) menyatakan bahwa perbedaan bangsa berhubungan dengan perbedaan genetik dalam mencapai ukuran dewasa, sehingga proporsi bagian-bagian tubuh beberapa bangsa tidak sama. Rataan bobot jantung kelinci Rex pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan Brahmantiyo (2008) yaitu 9.75 g pada Rex jantan dan 11.25 g pada Rex betina. Hal 27
Tabel 5. Rataan Nilai Bobot Nonkarkas (Kulit, Kepala, Kaki dan Offal) Kelinci Karakteristik Karkas
Bangsa Kelinci Rex Jantan
Lokal Betina
Jantan
Betina
---------------------------------------g---------------------------------------
Bobot kulit Kepala Kaki
186.33 ± 8.62 55.33 ± 2.88
Hati Ginjal Paru-paru
208.00 ± 26.28
195.00 ± 35.67
146.66 ± 17.03B
59.33 ± 5.50
52.66 ± 7.63
56.66 ± 1.15
52.00 ± 2.64
52.33 ± 12.01
54.33 ± 15.69
59.66 ± 17.78
14.00 ± 2.64
11.00 ± 2.64
12.00 ± 1.00
12.33 ± 2.51
10.66 ± 2.08
12.66 ± 0.57
11.33 ± 1.52
13.00 ± 2.64
184.66 ± 1.15
A
159.00 ± 35.59
167.33 ± 18.92
162.66 ± 4.93
AB
AB
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.01
Tabel 6. Rataan Nilai Bobot Nonkarkas (Jantung) Kelinci Jenis Kelamin
Bangsa Kelinci Rex
Lokal
Rataan
---------------------------------------g---------------------------------------
Jantan
6.33 ± 0.57
5.00 ± 0
5.66 ± 0.28
Betina
6.00 ± 1.00
5.33 ± 0.57
5.66 ± 0.50
Rataan
6.16 ± 0.78a
5.16 ± 0.28b
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.01
ini disebabkan bobot dan umur potong yang digunakan Brahmantiyo (2008) lebih besar (2711.44 g dan 3017.19 g) dibandingkan penelitian ini, sehingga ukuran/bobot daging, tulang dan organ-organ dalam akan lebih berat. Bangsa juga mempengaruhi rataan bobot saluran pencernaan dengan nilai rataan kelinci lokal (448.66 ± 77.57) yang lebih besar dibandingkan dengan kelinci Rex (340.83 ± 35.63). Hal ini terkait dengan pakan yang diberikan kepada kedua jenis kelinci ini. Kelinci Rex diberikan pakan dalam bentuk pellet, sedangkan kelinci lokal adalah hijauan. Pellet memiliki kandungan serat yang lebih rendah dibandingkan dengan hijauan, sehingga pellet membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk dicerna di dalam saluran pencernaan (waktu retensi). Jadi, kelinci Rex
28
Tabel 7. Rataan Nilai Bobot Nonkarkas (Saluran pencernaan) Kelinci Bangsa Kelinci
Jenis Kelamin
Rex
Lokal
Rataan
---------------------------------------g---------------------------------------
Jantan
304.66 ± 6.65
416.00 ± 53.39
360.33 ± 29.94
Betina
377.00 ± 64.62
481.33 ± 101.75
429.16 ± 83.18
Rataan
340.83 ± 35.63a
448.66 ± 77.57b
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.01
membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk mencerna makanannya (waktu retensi lebih cepat), sehingga saluran pencernaannya lebih ringan dibandingkan dengan kelinci lokal. Martinez (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa perbedaan bobot saluran pencernaan dapat disebabkan oleh waktu retensi. Hal lain yang dapat menyebabkan variasi ini adalah banyaknya pakan yang dimakan kelinci lokal sebelum dikumpulkan dari peternak sekitar sebelum dipotong. Interaksi bangsa dan jenis kelamin pada penelitian ini terdapat pada bobot kepala. Nilai rataan bobot kepala pada kelinci Rex betina (184.66 ± 1.15) lebih besar dibandingkan dengan kelinci lokal betina (146.66 ± 17.03). Hal ini sesuai dengan Soeparno (1992) yang menyatakan bahwa bangsa dan jenis kelamin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap pertumbuhan relatif nonkarkas, kecuali kepala dan usus kecil. Interaksi jenis bangsa dengan jenis kelamin terhadap bobot kepala pada penelitian ini mempunyai arti bahwa kelinci jenis bangsa Rex memiliki bobot kepala yang lebih tinggi dibandingkan jenis bangsa lokal hanya pada betina saja. Bobot kepala yang sama untuk kelinci jantan, baik bangsa Rex maupun lokal. Penelitian Hernandez et al. (2001) menunjukkan bahwa interaksi bangsa dan jenis kelamin terjadi pada kepala. Bobot Komponen Karkas Bobot komponen karkas meliputi bobot daging, bobot tulang dan bobot lemak. Bobot komponen karkas dapat menunjukkan bagian yang dapat di makan. Eviaty (1982) menyatakan bahwa jaringan tulang dari semua potongan karkas mengalami pertumbuhan relatif dini dan persentase bobot jaringan tulang akan berkurang dengan bertambahnya bobot masing-masing potongan karkas. Persentase
29
bobot tulang karkas akan berkurang dengan meningkatnya bobot tubuh kosong maupun bobot karkas. Rataan nilai bobot komponen karkas kelinci pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 9. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bangsa dan jenis kelamin serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap rataan bobot komponen karkas (rataan bobot daging, tulang dan lemak). Hal ini disebabkan rataan nilai bobot karkas yang sama untuk setiap bangsa dan jenis kelamin. Selain itu, kemungkinan umur ternak yang digunakan juga tidak berbeda jauh, sehingga komponen penyusun karkas juga tidak berbeda, walaupun nilai lemak tertinggi ada pada kelinci Rex betina. Standar deviasi yang terlalu tinggi pada bobot lemak disebabkan variasi bobot lemak yang diperoleh dalam setiap individu kelinci. Tabel 8. Rataan Nilai Bobot Komponen Karkas Kelinci Bobot Komponen Karkas
Bangsa Kelinci Rex Jantan
Lokal Betina
Jantan
Betina
---------------------------------------g---------------------------------------
Bobot Daging 692.53 ± 121.24 Bobot tulang 185.56 ± 14.85 Bobot Lemak 25.80 ± 13.83
766.93 ± 148.80
642.10 ± 115.07
598.76 ± 94.77
212.36 ± 34.37
175.90 ± 12.36
180.86 ± 10.20
45.10 ± 21.95
18.33 ± 25.53
7.80 ± 9.99
Keterangan : Huruf superskrip pada baris yang sama menunjukkan beda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.01
Standar deviasi yang terlalu tinggi pada bobot lemak disebabkan variasi bobot lemak yang diperoleh dalam setiap individu kelinci. Setiap individu kelinci dalam satu bangsa memiliki bobot lemak yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini, perbedaan tersebut tidak dipengaruhi oleh bobot potongnya, tetapi dapat disebabkan oleh variasi genetik tiap individu kelinci. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil yang didapat pada penelitian Brahmantiyo (2008) yang menyajikan data tentang kelinci Rex dengan rataan nilai bobot potong 2711.44 g pada jantan dan 3017.19 g pada betina dapat menghasilkan rataan bobot daging sebesar 1408.61 dan 1544.44 g, tulang 334.17 dan 353.13 g serta lemak 125.35 dan 178.69 g. Hasil penelitian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian ini. Hal ini disebabkan rataan bobot dan umur potong yang
30
digunakan Brahmantiyo (2008) lebih besar daripada rataan bobot potong penelitian ini. Bobot potong yang tinggi akan menghasilkan bobot karkas yang tinggi pula yang selanjutnya akan mempengaruhi bobot komponen karkasnya. Rasio Daging : Tulang Rasio atau perbandingan daging dan tulang dapat menunjukkan besarnya bagian dari seekor ternak yang dapat dikonsumsi. Nilai rasio yang semakin besar maka akan semakin besar pula bagian yang dapat dikonsumsi. Rataan nilai rasio daging : tulang dapat dilihat pada tabel 10. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis bangsa dan jenis kelamin serta interaksinya tidak mempengaruhi nilai dari rasio daging dengan tulang (P>0.05). Tabel 9. Rataan Nilai Rasio Daging : Tulang Karkas Kelinci Karakteristik Karkas
Rasio Daging : Tulang
Bangsa Kelinci Rex
Lokal
Jantan
Betina
Jantan
Betina
3.71 ± 0.36
3.59± 0.17
3.63± 0.46
3.30± 0.45
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.01
Hasil semua rataan pada penelitian ini berkisar 3.30 - 3.71 berbeda dengan hasil penelitian Rao et al. (1979) yang memiliki rataan rasio daging tulang 4.06. perbedaan tersebut disebabkan kelinci yang digunakan oleh Rao et al. (1979) ialah bangsa kelinci New Zealand (bobot potong 2000-2400 g) yang dikenal memilki produktivitas daging yang besar. Pengaruh jenis bangsa dan jenis kelamin yang tidak nyata terhadap rasio daging tulang disebabkan kelinci Rex dan kelinci lokal mendapatkan pakan dengan kualitas yang sesuai untuk kelinci, sehingga pertumbuhan komponen karkas pada masing – masing kelinci menjadi optimum. Rasio daging : tulang kelinci Rex penelitian ini tidak berbeda jauh dibandingkan dengan Brahmantiyo (2008) yang menggunakan kelinci Rex pada bobot potong 2711.44 g untuk jantan dan 3017.19 g untuk betina. Brahmantiyo (2008) menghasilkan rasio daging : tulang sebesar 3.37 dan 3.29.
31
Proporsi Karkas dan Potongan Komersial Kelinci Proporsi karakteristik karkas merupakan perbandingan yang dihasilkan sesuai dengan bagian-bagiannya. Proporsi karakteristik karkas yang diukur pada penelitian ini meliputi persentase karkas, offal, potongan komersial, dan rasio daging tulang yang disajikan dalam satuan persen. Hasil pengukuran proporsi karakteristik karkas tersebut dapat dilihat pada bagian berikutnya. Persentase Karkas dan Offal Persentase karkas merupakan indikator nilai karkas yang biasanya digunakan sebagai indikator komersil paling awal setelah penyembelihan. Persentase karkas diperoleh dari bobot karkas dibagi dengan bobot potong lalu dikalikan dengan 100 persen. Tabel 11 dan 12 menyajikan rataan nilai proporsi karkas dan offal pada penelitian ini. Tabel 10. Rataan Nilai Persentase Karkas Kelinci Jenis Kelamin
Bangsa Kelinci Rex
Lokal
Rataan
---------------------------------------%---------------------------------------
Jantan
51.42 ± 3.91
46.60 ± 2.39
49.01 ± 3.15
Betina
51.12 ± 1.87
43.74 ± 0.66
47.43 ± 1.26
Rataan
51.27 ± 2.89A
45.17± 1.52B
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.01
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bangsa berpengaruh (P<0.05) terhadap persentase karkas dan offal. Rataan nilai persentase karkas yang lebih besar pada kelinci Rex (51.27 ± 2.89 %) dibandingkan kelinci lokal (45.17± 1.52 %), sedangkan rataan nilai persentase offal pada kelinci lokal (28.27 ± 2.83 %) lebih besar daripada kelinci Rex (21.8 ± 1.43 %). Walaupun menghasilkan rataan bobot karkas yang sama, tetapi rataan persentase karkas yang diperoleh kelinci Rex lebih tinggi dibandingkan kelinci lokal. Pengaruh bangsa terhadap persentase karkas disebabkan kelinci Rex merupakan kelinci tipe medium, sedangkan kelinci lokal adalah kelinci tipe kecil, sehingga pertumbuhan yang lebih baik pada kelinci Rex dalam mencapai ukuran dewasa,
32
sehingga proporsi pada beberapa bagian tubuh tidak sama. Contohnya seperti pada bobot foreleg. Soeparno (1992) menyatakan bahwa bangsa ternak yang besar akan lahir lebih berat, tumbuh lebih cepat dan lebih berat saat mencapai kedewasaan daripada bangsa ternak yang kecil. Dewyarsih (2004) menyatakan bahwa produksi karkas juga dipengaruhi oleh
bangsa. Perbedaan bangsa berhubungan dengan
perbedaan genetik dalam mencapai ukuran dewasa, sehingga proporsi bagian-bagian tubuh beberapa bangsa tidak sama. Tabel 11. Rataan Nilai Persentase Offal Kelinci Bangsa Kelinci
Jenis Kelamin
Rex
Lokal
Rataan
---------------------------------------%---------------------------------------
Jantan
21.45 ± 2.32
26.39 ± 3.47
23.92 ± 2.89
Betina
22.15 ± 0.55
30.16 ± 2.19
26.15 ± 1.37
Rataan
21.8 ± 1.43A
28.27 ± 2.83B
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.01
Hasil penelitian ini sesuai dengan Brahmantiyo (2008) yang menggunakan kelinci Rex dan betina pada bobot potong 2711.44 dan 3017.19 g. Persentase karkas yang diperoleh pada penelitian tersebut untuk jantan dan betina ialah 51.95 dan 51.19. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dibandingkan dengan penelitian ini (51.42 dan 51.12). Hal ini mengindikasikan bahwa persentase karkas pada kelinci Rex berkisar pada nilai 51%. Hasil yang berbanding terbalik antara persentase karkas dengan persentase offal sesuai dengan Templeton (1968) yang menyatakan bahwa persentase karkas akan bertambah dengan meningkatnya bobot tubuh, berarti persentase bagian tubuh diluar karkas ditambah dengan saluran pencernaan berkurang dengan meningkatnya bobot tubuh. Jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap bobot karkas maupun offal. Hal ini sesuai dengan Lakabi et al. (2004) yang menyatakan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi persentase karkas pada bobot potong dan umur yang sama.
33
Proporsi Potongan Komersial Persentase potongan komersial merupakan proporsi antara bobot potongan komersial terhadap bobot karkas. Persentase potongan komersial menjadi hal yang menarik karena segera dapat mengetahui dari bobot karkas berapa banyak potongan komersial yang akan dihasilkan, yang selanjutnya akan menentukan keuntungan yang akan didapat. Tabel 12. Rataan Nilai Persentase Potongan Komersial Karkas Kelinci Potongan Komersial
Foreleg Rack Loin Hindleg
Bangsa Kelinci Rex Jantan 28.59± 2.24 10.23± 0.80 20.72± 3.71 39.72± 1.66
Lokal
Betina Jantan .-----------------%-----------------. 29.19± 1.10 27.54± 2.34 10.47± 1.46 10.61± 0.40 21.26± 2.17 17.57± 0.49 38.71 ± 2.24 39.22± 0.99
Betina 27.95± 0.65 10.21± 1.12 17.87 ± 0.68 40.29± 1.76
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.0
Hasil penelitian pada tabel 13. menunjukkan bahwa jenis bangsa dan jenis kelamin serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap semua rataan persentase potongan komersial. Hal ini berarti proporsi potongan komersial untuk setiap bagiannya pada semua kelinci adalah sama. Hasil ini disebabkan pertumbuhan yang sama pada setiap bagian potongan komersial untuk setiap individu jenis bangsa dan jenis kelamin kelinci. Pertumbuhan itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu genetik, lingkungan dan interaksi antarkeduanya. Hasil rataan persentase potongan komersial untuk setiap bagiannya (Foreleg 27-29%, Rack 10-11%, Loin 17-20%, Hindleg 38-40%) sesuai dengan Herman (1986) yang menyatakan bahwa hasil pengirisan pada potongan komersial menunjukkan proporsi yang konsisten dengan koefisien keragaman yang rendah. Proporsi irisan terhadap bobot tubuh secara terinci yaitu irisan kaki belakang ± 40 %, pinggang ± 22.10 %, dada ± 11.68 % dan kaki depan ± 29 %.
Uji Fisik 34
Uji fisik yang dilakukan pada penelitian ini adalah nilai pH, keempukan, susut masak dan daya mengikat air (DMA). pH Daging Lawrie (2003) menyatakan penurunan pH daging disebabkan akumulasi dari asam laktat setelah pemotongan. Hasil uji sifat fisik menunjukkan bahwa jenis kelamin (sex) berpengaruh terhadap nilai pH (P<0.05). Uji lanjut yang dilakukan menunjukkan bahwa pH kelinci betina (6.02 ± 0.21) lebih tinggi dibandingkan dengan pH kelinci jantan (5.76 ± 0.11). Tabel 13. Rataan Nilai Uji pH Daging Kelinci Jenis Kelamin
Bangsa Kelinci
Rataan
Rex
Lokal
Jantan
5.86 ± 0.16
5.67 ± 0.07
5.76 ± 0.11a
Betina
5.92 ± 0.24
6.13 ± 0.19
6.02 ± 0.21b
Rataan
5.89 ± 0.2
5.9 ± 0.13
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.0
Variasi nilai pH terhadap jenis kelamin pada kelinci jantan (5.76 ± 0.11) dan betina (6.02 ± 0.21) disebabkan oleh tingkah laku kelinci tersebut. Umumnya jantan mempunyai perangai yang lebih agresif dibandingkan dengan jantan, sehingga otot pada jantan lebih aktif. Kandungan asam laktat yang dihasilkan oleh kelinci jantan akan lebih banyak dibandingkan dengan kelinci betina, sehingga pH akhir dari jantan akan lebih asam. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa perubahan pH sesudah ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot, selanjutnya oleh kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan. Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Bianospino et al. (2004) pada bangsa kelinci Botucatu dan persilangan Botucatu x White German. Penelitian tersebut menghasilkan nilai pH daging sebesar 5.58 dan 5.61. Nilai pH yang tidak berbeda jauh ini dapat berarti bahwa nilai pH kelinci berada pada kisaran nilai pH daging pada umumnya. Nilai pH pada penelitian ini, baik kelinci lokal maupun Rex, jantan atau betina, mempunyai nilai pH yang tidak berbeda dengan pH ultimat daging secara 35
umum, yaitu 5.4-5.85 (Soeparno, 1992). pH ultimat daging kelinci hampir sama dengan kebanyakan daging dari ternak lain (Blasco dan Piles, 1990). Stres sebelum pemotongan, pemberian suntikan hormon atau obat-obatan tertentui, spesies, individu ternak, macam otot stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi gliokolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging (Soeparno, 1992). Keempukan Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek. Pertama, mudah tidaknya gigi berpenetrasi awal kesalam daging. Kedua, mudah tidaknya daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Ketiga, jumlah residu tertinggal setelah dikunyah. Daging sangat empuk memiliki daya Warner Blatzler (WB) < 4.15 Kg/cm2, daging empuk 4.15 - < 5.86 Kg/cm2, daging agak empuk 5.86 - < 7.56 Kg/cm2, daging agak alot 7.56 – 9.27 Kg/cm2, daging alot 9.27 - < 10.27 Kg/cm2, daging sangat alot ≥ 10.97 Kg/cm2 (Lawrie, 2003). Nilai WB yang semakin rendah mendeskripsikan keempukan daging yang semakin empuk. Tabel 14. Rataan Nilai Keempukkan Daging Kelinci Jenis Kelamin
Bangsa Kelinci Rex
Lokal
Rataan
-------------------------------------Kg/cm2-------------------------------------
Jantan
4.54 ± 0.13
4.12 ± 0.30
4.33 ± 0.21a
Betina
4.44 ± 0.42
1.98 ± 1.46
3.21 ± 0.94b
Rataan
4.49 ± 0.27a
3.05 ± 0.88b
Keterangan : Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.01
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bangsa (breed) maupun jenis kelamin (sex) sama-sama berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap nilai keempukan daging kelinci. Hal ini sesuai dengan Soeparno (1992) yang menyatakan bahwa faktor antemortem yang mempengaruhi keempukan daging ialah bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin dann stress.
36
Rataan nilai keempukan pada kelinci lokal (3.05 ± 0.88 Kg/cm2) lebih baik dibandingkan dengan kelinci lainnya (4.49 ± 0.27 Kg/cm2). Perbedaan keempukan pada jenis bangsa ini disebabkan tipe jenis kelinci. Kelinci Rex merupakan tipe kelinci medium sedangkan kelinci lokal adalah tipe kelinci kecil. Tipe kelinci medium memiliki serabut otot yang lebih besar dibandingkan kelinci tipe kecil. Hal ini menyebabkan perbedaan keempukan pada kedua jenis bangsa ini. Soeparno (1992) menyatakan bahwa perbedaan bangsa dapat menimbulkan perbedaan keempukkan. Hal ini terkait dengan tipe bangsa. Jenis kelamin juga mempengaruhi rataan nilai keempukan pada penelitian ini. Rataan nilai keempukan pada jantan (4.33 ± 0.21) lebih tinggi daripada kelinci betina (3.21 ± 0.94). Hal ini disebabkan perilaku kelinci jantan yang lebih banyak bergerak dibandingkan dengan kelinci betina sehingga kontraksi otot pada kelinci jantan lebih banyak dibandingkan kelinci jantan, sehingga keempukan daging pada kelinci jantan berkurang. Soeparno (1992) menyatakan bahwa aktivitas otot mempengaruhi keempukan dari daging. Hasil sebelumnya pada penelitian Hernandez et al. (2001) menunjukkan bahwa keempukan daging pada kelinci Rex sebesar 2.31 Kg/cm2.hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian ini. Perbedaan tersebut disebabkan oleh contoh daging yang diberikan untuk dilakukan uji keempukan. Hernandez et al. (2001) menggunakan daging pada bagian loin, sedangkan penelitian ini menggunakan daging bagian hindleg. Otot pada bagian loin jarang melakukan kontraksi, sehingga ikatan aktin miosin pada otot tersebut lemah dan mudah untuk dipisahkan saat uji kempukan. Hal ini berbanding terbalik dengan otot pada bagian hindleg yang merupakan organ utama pada kelinci untuk beraktivitas (bergerak). Hasil rataan nilai keempukan pada penelitian ini (3.05 - 4.49 Kg/cm2) termasuk kategori empuk. Hal ini karena pemeliharaan kelinci, baik lokal maupun Rex, menggunakan kandang individu. Kelinci yang dipelihara di dalam kandang individu relatif sedikit melakukan aktivitas gerak dibandingkan kelinci yang dipelihara pada kandang koloni. Aktivitas gerak yang sedikit pada kelinci tersebut akan mengurangi kontraksi otot, terutama pada otot – otot rangka tulang gerak, sehingga keempukan daging akan meningkat/bertambah. Susut Masak 37
Susut masak merupakan perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar. Kualitas daging ini berkaitan dengan banyaknya nutrisi yang hilang selama pemasakan. Secara umum daging dengan susut masak yang rendah memiliki nutrisi yang baik, karena sedikit mengalami pengurangan nutrisi saat pemasakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bangsa (breed) dan jenis kelamin (sex) maupun interaksi antarkeduanya, tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap susut masak. Nilai susut masak pada kelinci Rex (35.82 ± 1.52) lebih kecil daripada kelinci lokal (40.62 ± 1.52), tetapi perbedaan tersebut tidak sampai berbeda nyata saat uji statistik. Hal ini karena jumlah nutrien yang keluar saat pemasakan adalah sama untuk kelinci lokal maupun kelinci Rex. Tabel 15. Rataan Nilai Uji Susut Masak Daging Kelinci Bangsa Kelinci Sifat Fisik
Rex Jantan
Lokal Betina
Jantan
Betina
---------------------------------------(%)---------------------------------------
Susut Masak
36.01 ± 4.19
35.63 ± 3.84
40.77 ± 3.28
40.48 ± 3.50
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.0
Bangsa (breed) dapat juga berpengaruh terhadap susut masak. Bangsa yang mempunyai kandungan lemak daging yang tinggi akan mempunyai susut masak yang tinggi pula (Soeparno, 1992). Lemak tersebut akan ikut keluar saat pemasakan. Kelinci Rex dan kelinci lokal tidak mempunyai kandungan lemak yang jauh berbeda, sehingga nilai susut masaknya tidak berbeda nyata. Soeparno (1992) menyatakan bahwa jenis kelamin (sex) mempunyai pengaruh yang kecil terhadap susut masak.
Daya Mengikat Air Daya ikat air oleh protein daging atau water-holding capacity atau water binding capacity (WHC dan WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat
38
airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar. Daya mengikat air daging dipengaruhi oleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air di antara otot, misalnya spesies, umur dan fungsi otot serta pakan, transportasi,temperatur kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler (Soeparno, 1992). Tabel 16. Rataan Nilai Uji DMA Daging Kelinci Jenis Kelamin
Bangsa Kelinci Rex
Lokal
Rataan
-------------------------------------Kg/cm2-------------------------------------
Jantan
104.71 ± 13.02
108.57 ± 12.87
106.64 ± 12.94a
Betina
122.18 ± 9.06
133.29 ± 18.52
127.73 ± 13.79b
Rataan
113.44 ± 11.04
120.93 ± 15.69
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.0
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin (sex) berpengaruh nyata terhadap daya mengikat air pada daging kelinci. Kelinci betina mempunyai rataan nilai DMA (127.73 ± 13.79) yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelinci jantan (106.64 ± 12.94). Hal ini disebabkan kelinci lokal lebih pasif dalam aktivitasnya daripada kelinci jantan, sehingga pH daging pada kelinci betina lebih tinggi dibandingkan dengan kelinci jantan. pH rendah pada daging akan membuat air yang berasosiasi dengan protein otot akan keluar dari daging, sehingga DMA daging menurun. Soeparno (1992) menyatakan periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH otot postmortem, menurunkan DMA daging dan banyak air yang berasosiai dengan protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Uji Kimia Uji kimia daging merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia (nutrisi) yang terkandung pada daging dan umumnya ditentukan dengan menggunakan analisis proksimat. Uji kimia daging yang dilakukan pada penelitian ini meliputi kadar air (KA), abu, lemak kasar, protein kasar dan energi kotor (GE). Hasil uji kimia pada penelitian ini dijelaskan pada bagian selanjutnya.
39
Kadar Air Ketersediaan air sangat mempengaruhi ketahanan daging sebagai bahan pangan khususnya dalam konteks kerusakan mikrobiologis. Air yang terukur dengan metode pemanasan langsung merupakan air yang menguap karena titik didihnya terlampaui dan air yang hilang selama pemanasan dengan oven (±105oC) meliputi air permukaan maupun air pada bagian dalam daging. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis bangsa dan interaksi antara jenis bangsa dan jenis kelamin berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kadar air daging kelinci. Rataan kadar air kelinci betina Rex (70.57 ± 2.51) lebih kecil daripada rataan kadar air kelinci jantan dan betina lokal (73 – 75%). Total rataan nilai kadar air pada semua kelinci di penelitian ini (70 – 75%) sesuai dengan Judge et al., (1989) yang menyatakan bahwa kisaran air daging pada umumnya adalah 65 – 80 %. Variasi kadar air pada kelinci Rex dan kelinci lokal disebabkan kelinci Rex mempunyai tingkat dehidrasi yang lebih tinggi dibandingkan kelinci lokal, sehingga kadar air daging pada kelinci Rex sedikit lebih kecil dibandingkan dengan kelinci lokal. Lawrie (2003) menyatakan bahwa kadar air daging segar lebih dipengaruhi tingkat dehidrasi ternak sebelum pemotongan. Tabel 17. Rataan Nilai Uji Kadar Air Daging Kelinci Segar Bangsa Kelinci Sifat Kimia
Rex Jantan
Lokal Betina
Jantan
Betina
---------------------------------------(%)---------------------------------------
KA
72.73 ± 0.52
ab
70.57 ± 2.51
a
b
73.27 ± 0.76
b
75.03 ± 0.79
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.0
Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan Pascual et al. (2005). Kadar air daging kelinci pada penelitian Pascual et al. (2005) berkisar antara 74.22 – 74.52 %. Hal ini dapat berarti bahwa kandungan kadar air pada kelinci berkisar antara 70-75 %. Kadar Abu Kadar abu daging kelinci pada penelitian ini tidak dipengaruhi oleh jenis bangsa, jenis kelamin dan interaksi antarkeduanya. Rataan nilai kadar abu untuk 40
semua kelinci pada penelitian ini berkisar antara 1.06 – 1.19 % . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daging kelinci Rex dan kelinci lokal mempunyai kandungan abu (mineral) yang tidak berbeda. Hal ini disebabkan pakan yang diberikan pada kedua kelinci ini mempunyai kandungan mineral yang sama, sehingga kadar abu yang diperoleh tidak jauh berbeda. Tabel 18. Rataan Nilai Uji Kadar Abu Daging Kelinci Segar Bangsa Kelinci Sifat Kimia
Rex Jantan
Lokal Betina
Jantan
Betina
---------------------------------------(%)---------------------------------------
Abu
1.08 ± 0.12
1.10 ± 0.03
1.06 ± 0.05
1.19 ± 0.03
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.0
Hasil penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Hernandez et al. (2001) pada 4 bangsa kelinci New Zealand, Californian, Chinchilla dan Rex yang memiliki kadar abu berturut – turut sebesar 4.44, 4.52, 4.43 dan 4.49 %. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh kandungan mineral pakan. Pakan yang digunakan Hernandez et al. (2001) dapat memiliki kandungan mineral yang lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian ini, sehingga hasil kadar abu penelitian Hernandez et al. (2001) juga akan lebih tinggi. Kadar Protein Kadar protein kasar yang terukur secara proksimat sebenarnya bukan hanya fraksi protein tetapi juga semua senyawa yang mengandung nitrogen. Kadar protein merupakan salah satu indikator yang sangat penting dalam suatu bahan pangan. Bahan pangan yang berkualitas mempunyai kadar protein yang tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rataan kadar protein daging kelinci mempunyai nilai yang tidak berbeda, yaitu 18%. Hal ini berarti jenis bangsa dan jenis kelamin serta interaksi kedua faktor ini tidak berpengaruh (P>0.05) terhadap kadar protein daging. Ngadiono (1992) menyatakan bahwa kadar protein dan abu Tabel 19. Rataan Nilai Uji Kadar Protein Kasar Daging Kelinci Segar Sifat Kimia
Bangsa Kelinci
41
Rex
Lokal
Jantan
Betina
Jantan
Betina
---------------------------------------(%)---------------------------------------
Protein Kasar
18.78 ± 0.78
18.50 ± 1.20
18.36 ± 0.58
18.77 ± 0.93
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.0
dalam daging relatif konstan. Rataan nilai kadar protein daging pada penelitian ini (18.36-18.78 %) tidak jauh berbeda dari kadar protein yang dilaporkan oleh Hernandez et al. (2001) yaitu sebesar 18.86 %. Kadar Lemak Kadar lemak bervariasi dan dipengaruhi oleh bangsa, umur, spesies, lokasi otot dan pakan (Judge et al., 1989). Tabel 20. Rataan Nilai Uji Kadar Lemak Kasar Daging Kelinci Segar Bangsa Kelinci Sifat Kimia
Rex
Lokal
Jantan
Betina
Jantan
Betina
---------------------------------------(%)---------------------------------------
Lemak Kasar
2.20 ± 1.32A
5.01 ± 1.42B
1.34 ± 0.64A
0.89 ± 0.28A
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.0
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis bangsa (P<0.01) dan interaksi antara jenis bangsa dan jenis kelamin (P<0.05) berpengaruh nyata terhadap kadar lemak karkas daging kelinci. Kelinci Rex memiliki rataan kadar lemak yang lebih tinggi (2.20 - 5.01 %) dibandingkan dengan kelinci lokal (0.89 – 1.34 %). Hal ini disebabkan kelinci Rex merupakan kelinci jenis hias yang tingkah lakunya agak jinak dibandingkan dengan kelinci lokal, sehingga energi dari pakan yang dikonsumsi lebih banyak dideposit menjadi lemak dibanding untuk bergerak. Selain itu kelinci Rex
merupakan kelinci subtropis,
sehingga perlemakannya lebih banyak
dibandingkan dengan kelinci lokal yang hidup di lingkungan tropis. Kadar lemak kelinci Rex betina pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan Hernandez et al. (2001) yaitu sebesar 2.28 %. Hal ini dapat disebabkan rataan bobot potong kelinci rex betina (2068.67 g) lebih tinggi dibandingkan bobot
42
potong kelinci Rex penelitian Hernandez et al. (2001) (1939 g), sehingga kandungan lemak tubuhnya akan semakin meningkat dengan bertambahnya berat tubuh. Soeparno (1992) menyatakan bahwa kandungan lemak tubuh akan meningkat seiring dengan bertambahnya bobot tubuh. Hubungan antara kadar air dengan kadar lemak pada penelitian ini sesuai dengan Soeparno (1992) yang menyatakan bahwa kadar air otot daging mempunyai korelasi negatif yang signifikan dengan kadar air lemak daging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelinci Rex yang dengan kadar air yang lebih kecil dibandingkan kelinci lokal, mempunyai kandungan lemak kasar yang lebih besar daripada kelinci lokal. Gross Energi Pengujian gross energi ini menggunakan sampel daging pada pada bagian hindleg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin berpengaruh nyata (P<0.01) terhadap kandungan energi kotor pada daging kelinci. Tabel 21. Rataan Nilai Uji Kadar Energi Kotor (GE) Daging Kelinci Segar Jenis Kelamin
Bangsa Kelinci Rex
Lokal
Rataan
-------------------------------------Kg/cm2-------------------------------------
Jantan
1572.67 ± 165.17
1860.67 ± 120.35
1716.67 ± 142.76A
Betina
1411.67 ± 279.43
1310.00 ± 86.43
1360.83 ± 182.93B
Rataan
1492.17 ± 222.3
1585.33 ± 103.39
Keterangan : Huruf superskript menandakan berbeda nyata Huruf kecil P<0.05 dan huruf besar P<0.0
Rataan gross energi kelinci jantan (1716.67 ± 142.76 kal/gram) lebih besar dibandingkan kelinci betina (1360.83 ± 182.93 kal/gram). Hal ini disebabkan oleh tingkah laku jantan yang mempunyai perilaku makan yang lebih besar dibandingkan dengan betina, sehingga pakan yang dikonsumsi lebih banyak pada jantan yang selanjutnya akan mempengaruhi kandungan energi dagingnya. Kadar gross energi pada penelitian ini (1360 – 1716 kal/g) masih dibawah kadar gross energi yang dilaporkan oleh Lebas et al. (1986) 7.1 MJ/kg. Hasil konversi gross energi pada penelitian ini adalah 6.1 MJ/kg. Hal ini disebabkan kandungan energi pakan yang
43
digunakan berbeda. Ulil (2000) menyatakan bahwa perbedaan energi daging dapat disebabkan oleh perbedaan energi ransum.
44
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Karakteristik karkas, sifat fisik dan kimia daging kelinci Rex dengan kelinci lokal mempunyai perbedaaan yang signifikan terhadap bobot foreleg (potongan komersial), jantung, kepala, saluran pencernaan, persentase karkas dan offal, nilai pH, keempukan, daya mengikat air, kadar air, lemak dan gross energi. Kelinci Rex jantan memiliki nilai yang lebih baik terhadap semua jenis kelinci pada peubah bobot jantung, saluran pencernaan, persentase karkas, persentase offal dan daya mengikat air (DMA). Kelinci Rex betina unggul pada peubah bobot foreleg, kepala, kadar air dan kadar lemak kasar. Kelinci lokal jantan unggul pada peubah pH daging dan gross energi, sedangkan kelinci lokal betina hanya unggul pada peubah keempukan daging. Secara umum, kelinci Rex lebih baik daripada kelinci lokal dan dapat digunakan sebagai tipe kelinci multiguna (daging dan kulit). Namun, kelinci lokal, baik jantan maupun betina, berpotensi besar pula sebagai alternatif sumber protein hewani baru. Saran Penelitian selanjutnya perlu dilakukan dengan menggunakan pakan berkualitas dan manajemen pemeliharaan yang seragam.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-NYa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa juga penulis haturkan kepada junjungan besar dan nabi besar kita Muhammad SAW, beserta para keluarga dan sahabatnya. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda Usin Maman Setiana dan Ibunda tercinta Damiroh atas dukungan moral, material dan spiritual selama ini dengan secara langsung ataupun tidak langsung selalu memotivasi penulis selama kuliah hingga menyelesaikan tulisan ini. Terima kasih juga kepada kakak dan keponakan tersayang Dedi Setiawan, Royanah, Widhiasih, Yuningsih, Fitri, Raihan, Lutfi, Irham, Davin, Faris dan Ilham atas kasih sayang, nasihat dukungan serta motivasi yang sangat berarti bagi penulis. Terima kasih juga kepada seluruh anggota keluarga yang telah memberikan dukungan dan memotivasi kepada penulis. Terima kasih kepada pembimbing skripsi Dr. Ir. Moh. Yamin, MAgr.Sc. dan Dr. Bram Brahmantiyo yang dengan sabar telah membimbing, mengarahkan serta meluangkan waktu kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada penguji sidang Ir. Maman Duldjaman, MS dan Dr. Ir. Diaphari, MS yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi penguji sidang. Terima kasih kepada pembimbing akademik Ir. B.N. Polii, SU yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan. Terima kasih juga kepada pihak Balitnak, Dr. Ir. Yono C. Raharjo, M.Sc., Rossuartini, I Wayan Pasek, Ujang dan Heri atas penyediaan tempat dan bimbingan serta masukan selama penelitian. Ucapan terima kasih juga kepada teman seperjuangan Tito, Dudi, Umar, Suganda, Filan, Meri, Asti, Ratna Desyana dan Wisma Rizky yang telah berjuang, saling membantu dan bekerja sama selama penulisan. Terima kasih juga kepada Edit Lessa Aditya, S.Pt, Cucu Diana A. Md dan Eko Prasetyo A. Md yang telah membantu serta memberikan nasihat selama penelitian. Terima kasih kepada rekanrekan TPT 41 atas doa dan kerjasamanya. Terakhir, penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh civitas akademika Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Bogor, September 2009
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Aberle, E. D., J. C. Forrest, D. E. Gerrard, E. W. Mills, H. B. Hendrick, M. D. Judge dan R. A. Merkel. 2001. Principles of Meat Science. 4th Ed. Kendall/Hunt Publishing Company, Iowa. AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Association of Official Analytical Chemist. Washington, USA. American Rabbit Breeders Association (ARBA). 1996. Official Guide Book “To Raising Better Rabbit and Cavies”. The American Rabbit Breeders Assosiation, Inc. Blomington Illionis 61704. Basuki, P., N. Ngadiono dan G. Murdjito. 1981. Estimasi produksi daging dan organ dalam pada kelinci berdasrkan penentuan bobot hidup. Seminar. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Berg, R. T. dan R. M. Butterfield. 1976. New Concoepts of Cattle Growth. Sydney University Press, Sydney. Bianospino, E., F. S. Wechlsler, A.S.A.M.T. Moura dan S. Fernandes. 2004. Growth Traits and Dressing Percentage of Straightbred and Crossbred Rabbits. Faculdade de medicina Veterinaria e Zootecnia, UNSEP, Botucatu, Brazil. Blasco, A., J. Ouhayoun dan G. Masoero. 1992. Study of rabbit meat and carcass : Criteria and terminology. J. Appl. Rabbit Res. 15:775-786. Bogart, R. 1981. Reproductive ability and carcass merit of smart, intermediate and large breeds of rabbits. J. Appl. Rabbit. Res. 4 (2) : 45-46. Bouton, P. E., P. V. Harris., W. R. Shorthose dan R. I. Baxter. 1978. J. Food Sci. 38. 932 – 939. Brahmantiyo, B. 1995. Karakteristik produksi sapi brahman cross, angus dan murray grey : pertumbuhan dan karkas. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Brahmantiyo, B. 2008. Kajian potensi genetik ternak kelinci (Oryctolagus cuniculus) di Bogor dan di Magelang, Jawa Tengah. Disertasi. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan. Hasil Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Cheeke, P. R., N. M. Patton, S. D. Lukefahr dan J. I. Mc. Nitt. 1987. Rabbit Production. 6th Edit. The Interstate Printers and Publisher, inc., Danville, Illionis. Chen, C. P., D. R. Rao., G. R. Sunki dan W. M. Johnson. 1987. Effect of weaning and slaughtering ages upon rabbit meat reproduction, body weight, feed efficiency and mortality. Journal Animal Science 46: 573-577. Damron, M. 2003. Klasifikasi Makhluk Hidup : Mamalia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
De Blass, J. C., A. Tores, M. J. Fraga, E. Perez dan J. F. Calves. 1977. Influence of weight and age on the body composition of young doe rabbits. J. Anim Sci. 45(1): 48-53. Dewyarsih, N. T. 2004. Persentase karkas, saluran pencernaan dan organ dalam kelinci jantan lepas sapih dengan substitusi tepung ikan dan bungkil kedelai dalam ransum mengandung ampas teh (Camellia sinensi). Skirpsi. Intitut Pertanian Bogor, Bogor. Djoenaidi, J. 1972. Pengaruh pemberian ransum dengan lima level protein terhadap produksi karkas kelinci potong muda (Fryer). Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ensminger, M. E., J. E. Oldfield dan W. W. Heinemann. 1990. Feed and Nutrition. The Encsminger Publishing Company Clows. California. Eviaty. 1982. Pertumbuhan Perkembangan potongan karkas pada kelinci lokal. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fafarita, L. karakteristik sifat kualitatif dan kuantitatif kelinci Flemish Giant, English Spot dan Rex di Kabupaten Magelang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustakka Utama, Jakarta. Farrel, D. J. dan Y. C. Rahardjo. 1984. Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hammond, J. dan J. C. Browman. 1983. Farm Animal. 5th Ed. Butter and Tunner Ltd, London. Herman, R. 1986. Produksi Kelinci (tidak Dipublikasikan). Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Herman, R. 1989. Produksi Kelinci (tidak Dipublikasikan). Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hernandez, J. A., M. S. Rubio Lozano R. D. dan Carregai. 2001. Effect of Breed and Sex On Rabbit carcass Yield and Meat Quality. Meat Science Labolatory, Facultad de Medicina Veterinaria y ZootecniaUniversidad Nacional Autonoma de Mexico, Mexico. Judge, M.D., E.D. Aberle, J.C. Forrest, H.B. Hedrick dan R.S. Merkel. 1989. Principles of Meat Science. 2nd. Ed. Kendall/Hunt Publishing Co. Dubuque. Iowa. Lawrie, R. A. 2003. Meat Science. 5th Ed. Perganon Press, Oxford. Lakabi, D., N. Zerrouki, F. Lebas dan M. Berchiche. 2004. Growth performance and slaughter traits of local Kablian population of rabbit reared in Algeria : Meat % Quality%20 and % processing/short%20pappers/13961420=Lakdjab_mod.pdf (20 Pebruari 2007). Lebas, F., P. Coudet, R. Rouvier dan H. de Rochambeau. 1986. The rabbit, husbandry, health and production. FAO. Animal Production and Health Series No. 21. Rome, Italy.
48
Lovett, J. 1986. Animal Production 1. The University New England, Australian. Lukefahr, S., W. D. Hohenboken, P. R. Cheeke, N. M. Patton dan W. H. Kennick. 1981. Carcass and meat characteristics of Flemish Giant and New Zealand White purebreed and Terminal-Cross Rabbits. J. Anim. R. Res. 4 (3) : 66-70. Mardiah, L. 1999. Penapilan pertumbuhan kelinci Rex, Satin dan Resa dengan atau tanpa pemberian pakan yang difermentasi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Martinez, M. W. Motta, C. Cervera dan M. Pla. 2005. Feeding mulberry leaves to fattening rabbits: effect on growth, carcass caharacteristic and meat quality. J. Anim. Sci. 80: 275-281. McDonald, P., R. Edwards dan J. Greenhalgh. 2002. Animal Nutrition. Sixth Edition. New York. McNitt, J. I. dan S. D. lukefahr. 1993. Breed and environmental effect on postweaning growth of rabbits. J. Anim. Sci. 71 : 1996-2005. Metzger, S. Z., M. Odermatt dan Z. S. Szendro. 2005. Examination On The Carcass Traits of Different Rabbit Genotypes. 8th World Rabbit Congress, Puebla City, Mexico. Muryanto dan S. Prawirodigdo. 1993. Pengaruh jenis kelamin dan bobot potong terhadap persentase karkas dan non-karkas pada kelinci Rex. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Klepu 1: 33-38. National Research Council (NRC). 1994. Nutrient and Requirement of Rabbits. 6th rev. Ed. National Academy of Science. Washigton, D. C. Ngadiyono, N. 1995. Pertumbuhan serta sifat-sifat karkas dan daging sapi Sumba Ongole, Brahman Cross dan Australian Commercial Crosses yang dipelihara secara intensif pada berbagai bobot potong. Ringkasan Disertasi. Fakultas Pascasarjana – IPB. Bogor. Pascual, M., S. Aliaga dan M. Pla. 2005. Effect of Selection For Growth Rate On Carcass and Meat Compotision In Rabbits. Departamento de Ciencia Animal, Universidad Politecnica, Valencia, Spain. Priyanto, R., E. R. Johnson dan D. G. Taylor. 1993. Prediction of carcass composition in heavy-weight grass-fed and grain-fed beef cattle. J. Anim. Prod. 56: 65-72. Purnomo. 1999. Kualitas fisik fur tersamak Rex, Satin dan Resa dengan berbagai metode pengawetan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Raharjo, C. Y. 1994. Potential and prospect of an integrated Rex rabbit farming in supporting an export oriented agribusiness. Indonesian Agricultural Research and Development Journal. 16 : 69-79. Rahmat, Novara. 2008. Penampilan produksi dan kualitas daging kerbau dengan penambahan probiotik, kunyit dan temulawak pada pakan penggemukan. Skripsi. Institu Pertanian Bogor, Bogor. Rao, D. R., G. R. Sunki., W. M. Johnson dan C. P. Chen 1979. Postnatal growth of New Zealand White rabbit. J. Anim. Sci. 44 (6): 1021-1025. 49
Rofiah, N. A. T. 2001. Pertumbuhan Rex, Satin dan Resa yang dipelihara secara intensif dengan pemberian Lactosin pada dosis yang berbeda. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sanford, J. C. 1980. The Domestic Rabbit. 3rd Ed. Granada, London. Pp : 1-5 ; 27-33. Seebeck, R. M., dan N. M. Tulloh. 1968. The representation of yield of dressed carcass. Anim. Prod. 8: 281-288. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. State 4-H Rabbit Programming Committee. 1992. Nutrition Value of Rabbit Meat. Children, Youth, Families and Communities, Michigan State University Extention, Michigan. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan Bambang S. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sudarmadji, S. B. 1989. Analisa Komposisi Bahan Makanan. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sugito, J. 2001. Kamus Umum Pertanian. Penebar Swadaya, Jakarta. Templeton, G. S. 1968. Domestic Rabbit Production. Fourth Edition. The Interstate Printers and Publisher, Inc. Danville, Illionis. USA. Ulil, A. 2000. Kajian prokdutivitas sifat fisik-kimia daging sapi Brahman Cross pada ransum yang berbeda. Disertasi. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Widjaja, B. G. 1999. Kualitas fisik kulit samak bulu (fur) berbagai galur (warna) kelinci Rex, Satin dan Resa. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wiseman, J. dan D. J. A. Cole. 1990. Feed Stuff Evaluation. Great Britanian University Press. Cambridge, London. Zobrisky, S. E. 1969. Animal Growth and Nutrition. Lea and Febiger, Philadelphia
50
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Sidik Ragam Bobot Potong Kelinci SK db JK KT Bangsa 1 8586.7500 8586.7500 Kelamin 1 43802.0833 43802.0833 Bangsa*kelamin 2 50570.0833 50570.0833 Error 7 467588.0000 58448.5000 Total 11 570546.9166
F hitung 0.15 0.75 0.87
P 0.7115 0.4119 0.3795
F hitung 2.73 0.12 1.09
P 0.1368 0.7362 0.3275
Keterangan: menunjukkan tidak ada pengaruh (P>0.05)
Lampiran 2. Hasil Sidik Ragam Bobot Karkas Kelinci SK db JK KT 63365.3333 63365.3333 Bangsa 1 2821.3333 2821.3333 Kelamin 1 25208.3333 25208.3334 Bangsa*kelamin 2 23177.5000 185420.0000 Error 7 Total 11 276815.0000 Keterangan: menunjukkan tidak ada pengaruh (P>0.05)
Lampiran 3. Hasil Sidik Ragam Bobot Potongan Komersial Foreleg Kelinci SK db JK KT F hitung P 7854.0833 7854.0833 6.38 0.0355* Bangsa 1 660.0833 0.54 0.4850 660.0833 Kelamin 1 2214.0833 1.80 0.2168 2214.0833 Bangsa*kelamin 2 1231.8333 9854.6667 Error 7 Total 11 20582.9166 Keterangan: menunjukkan tidak ada pengaruh (P>0.05)
Lampiran 4. Hasil Uji Lanjut Duncan Bobot Potongan Komersial Foreleg Kelinci Perlakuan Rex Jantan Rex Betina
Rex Jantan -
Rex Betina
Lokal Jantan
Lokal Betina
tn
tn
tn
-
tn
*
-
tn
Lokal Jantan Lokal Betina
-
Keterangan: menunjukkan tidak ada pengaruh (P>0.05)
52
Lampiran 5. Hasil Sidik Ragam Bobot Jantung Kelinci SK db JK KT F hitung 3.0000 7.20 3.0000 Bangsa 1 0.0000 0.00 0.0000 Kelamin 1 0.3333 0.80 0.3333 Bangsa*kelamin 2 0.4166 3.3333 Error 7 Total
11
P 0.0278* 1.0000 0.3972
6.6666
Keterangan: menunjukkan tidak ada pengaruh (P>0.05)
Lampiran 6. Hasil Uji Lanjut Duncan Bobot Jantung Kelinci Perlakuan Rex Jantan
Rex Jantan -
Rex Betina
Rex Betina
Lokal Jantan
Lokal Betina
tn
*
tn
-
tn
tn
-
tn
Lokal Jantan Lokal Betina
-
Keterangan: menunjukkan tidak ada pengaruh (P>0.05)
Lampiran 7. Hasil Sidik Ragam Proporsi Karkas Kelinci SK db JK KT F hitung 111.6292 111.6292 17.85 Bangsa 1 7.4793 1.20 7.4793 Kelamin 1 4.9439 0.79 4.9439 Bangsa*kelamin 2 6.2535 50.0286 Error 7 Total 11 174.0812
P 0.0029** 0.3060 0.3999
Keterangan: menunjukkan tidak ada pengaruh (P>0.05)
Lampiran 8. Hasil Uji Lanjut Duncan Proporsi Karkas Kelinci Perlakuan Rex Jantan Rex Betina Lokal Jantan
Rex Jantan -
Rex Betina
Lokal Jantan
Lokal Betina
tn
**
*
-
** -
tn tn
Lokal Betina
-
Keterangan: **) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) *) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
53
Lampiran 9. Hasil Sidik Ragam Proporsi Offal Kelinci SK db JK KT F hitung 125.6185 22.26 125.6185 Bangsa 1 14.9475 2.65 14.9475 Kelamin 1 7.1019 1.26 7.1019 Bangsa*kelamin 2 5.6444 45.1553 Error 7 Total
11
P 0.0015** 0.1423 0.2945
192.8234
Keterangan: **) menunjukkan sangat berpengaruh (P<0.01)
Lampiran 10. Hasil Uji Lanjut Duncan Proporsi Offal Kelinci Perlakuan Rex Jantan
Rex Jantan -
Rex Betina
Rex Betina
Lokal Jantan
Lokal Betina
tn
**
*
-
**
tn
-
tn
Lokal Jantan Lokal Betina
-
Keterangan: **) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) *) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
Lampiran 11. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Daging Kelinci SK db JK KT F hitung 0.0005 0.02 0.0005 Bangsa 1 0.2002 0.2002 6.08 Kelamin 1 0.1200 3.65 0.1200 Bangsa*kelamin 2 0.0329 0.2633 Error 7 Total 11 0.5840
P 0.9018 0.0389* 0.0926
Keterangan: *) menunjukkan ada pengaruh (P<0.05)
Lampiran 12. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai pH Daging Kelinci Perlakuan Rex Jantan Rex Betina
Rex Jantan -
Rex Betina
Lokal Jantan
Lokal Betina
tn
tn
tn
-
tn
tn
-
*
Lokal Jantan Lokal Betina
-
Keterangan: *) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
54
Lampiran 13. Hasil Sidik Ragam Nilai Keempukan Daging Kelinci SK db JK KT F hitung P 6.2640 10.30 0.0124* 6.2640 Bangsa 1 3.7744 6.21 0.0374* 3.7744 Kelamin 1 3.1314 5.15 0.0529 3.1314 Bangsa*kelamin 2 0.6080 4.8644 Error 7 Total
11
18.0342
Keterangan: *) menunjukkan ada pengaruh (P<0.05)
Lampiran 14. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai Keempukan Kelinci Perlakuan
Rex Jantan
Rex Jantan
Rex Betina
-
Rex Betina
Lokal Jantan
Lokal Betina
tn
tn
**
-
tn
**
-
**
Lokal Jantan Lokal Betina
-
Keterangan: **) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 15. Hasil Sidik Ragam Nilai DMA Daging Kelinci SK db JK KT F hitung 168.0008 0.88 168.0008 Bangsa 1 1334.7861 1334.7861 7.02 Kelamin 1 39.5307 39.5307 0.21 Bangsa*kelamin 2 190.1541 1521.2329 Error 7 Total
11
P 0.3748 0.0293* 0.6606
3063.5506
Keterangan: *) menunjukkan ada pengaruh (P<0.05)
Lampiran 16. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai DMA Daging Kelinci Perlakuan Rex Jantan Rex Betina
Rex Jantan -
Rex Betina
Lokal Jantan
Lokal Betina
tn
tn
*
-
tn
tn
-
tn
Lokal Jantan Lokal Betina
-
Keterangan: **) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) *) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
55
Lampiran 17. Hasil Sidik Ragam Nilai Kadar Air Daging Kelinci SK db JK KT F hitung 18.7500 9.58 18.7500 Bangsa 1 0.1240 0.06 0.1240 Kelamin 1 11.4856 5.87 11.4856 Bangsa*kelamin 2 1.9571 15.6568 Error 7 Total 11 46.0164
P 0.0148* 0.8076 0.0417*
Keterangan: *) menunjukkan ada pengaruh (P<0.05)
Lampiran 18. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai Kadar Air Daging Kelinci Perlakuan
Rex Jantan
Rex Jantan
Rex Betina
-
Rex Betina
Lokal Jantan
Lokal Betina
tn
tn
tn
-
*
**
-
tn
Lokal Jantan Lokal Betina
-
Keterangan: **) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) *) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
Lampiran 19. Hasil Sidik Ragam Nilai Lemak Kasar Daging Kelinci SK db JK KT F hitung P 18.5754 18.5754 17.33 0.0032 Bangsa 1 4.1654 3.89 0.0842 4.1654 Kelamin 1 7.9870 7.45 0.0258 7.9870 Bangsa*kelamin 2 1.0717 8.5736 Error 7 Total
11
39.3014
Keterangan: *) menunjukkan ada pengaruh (P<0.05)
Lampiran 20. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai Lemak Kasar Daging Kelinci Perlakuan Rex Jantan Rex Betina
Rex Jantan -
Rex Betina
Lokal Jantan
Lokal Betina
*
tn
tn
-
**
**
-
tn
Lokal Jantan Lokal Betina
-
Keterangan: **) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01)
56
Lampiran 21. Hasil Sidik Ragam Nilai Lemak Kasar Daging Kelinci SK db JK KT F hitung P 26040.0833 0.82 0.3922 26040.0833 Bangsa 1 11.93 0.0086** Kelamin 1 379852.0833 379852.0833 113880.0833 3.58 0.0952 113880.0833 Bangsa*kelamin 2 31830.7500 Error 7 254646.0000 Total 11 774418.2500 Keterangan: **) menunjukkan sangat pengaruh (P<0.05)
Lampiran 22. Hasil Uji Lanjut Duncan Nilai Kadar Air Daging Kelinci Perlakuan Rex Jantan Rex Betina
Rex Jantan -
Rex Betina
Lokal Jantan
Lokal Betina
tn
tn
tn
-
*
tn
-
**
Lokal Jantan Lokal Betina
-
Keterangan: **) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) *) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
57