2014
Ringkasan Penelitian
Eksekutif
Hasil
Puslitbang SDPPI
Lantai 4 Gedung B, Medan Merdeka Barat No.9, Jakarta, 10110 Tlp./fax. 021-34833640
[email protected]
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Daftar Kajian Daftar Kajian ...........................................................................................................................................................1 Kajian Tim dan Joint Research ............................................................................................................................3 Studi Pemetaan Industri Perangkat Telekomunikasi Seluler Indonesia .....................................................5 Analisis Kebutuhan Spektrum Frekuensi PPDR Pita Lebar di Indonesia ...................................................7 Analisis Tekno-Ekonomi Implementasi Teknologi LTE 1.8GHz bagi Operator Seluler di Indonesia ....9 Kajian Mandiri ......................................................................................................................................................11 Studi Potensi Smart Appliance ........................................................................................................................13 Uji Laboratorium Untuk Mendukung Penentuan Persyaratan Teknis Terminal Wideband Code Division Multiple Access (WCDMA) Frekuensi 900 Mhz ...........................................................................15 Evaluasi Sistem Monitoring dan Penertiban Frekuensi dan Perangkat Telekomunikasi .......................17 Analisis Kesuksesan Sistem Informasi Manajemen SDPPI (SIMS) ............................................................19 Analisis Interferensi T-DAB dan TV Analog pada Pita Very High Frequency (VHF)...............................21 Studi Efektivitas Penanganan Gangguan Frekuensi Radio di Balai Monitoring Spektrum Frekuensi Radio....................................................................................................................................................................23 Survey Layanan Publik Monitoring Frekuensi Radio untuk Amatir Radio dan Radio Antar Penduduk Indonesia.............................................................................................................................................................25 Penelitian Perizinan Penggunaan Frekuensi Radio untuk Radio Komunitas ..........................................27 Studi Pemanfataan Frekuensi Radio Komunitas ..........................................................................................29 Studi Standardisasi Sertifikat Elektronik dan Keandalan Dalam Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik ...........................................................................................................................................................31
Daftar Kajian
1
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Daftar Kajian
2
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Kajian Tim dan Joint Research
Kajian Tim dan Joint Research
3
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Kajian Tim dan Joint Research
4
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Studi Pemetaan Industri Perangkat Telekomunikasi Seluler Indonesia Tim Peneliti 1 Puslitbang SDPPI Email:
[email protected] Abstrak Perkembangan telekomunikasi di Indonesia berkontribusi positif dan langsung terhadap penerimaan negara baik dari sisi APBN maupun PNBP. Namun jika dilihat dari sisi lain, perkembangan telekomunikasi menimbulkan defisit neraca perdagangan yang disebabkan oleh impor perangkat telekomunikasi yang relatif besar dibandingkan dengan penerimaan negara di sektor ini. Studi ini bertujuan memetakan Industri perangkat handset telekomunikasi seluler dilihat dari value-chain industri ini dan melihat potensi industri lokal dalam rangka mengurangi defisit tersebut. Dengan menggunakan analisis SWOT dan membangun model value chain untuk industri perangkat handset seluler, studi ini menemukan bahwa peta value chain Industri di Indonesia sudah tergolong lengkap namun masih bertipe relational dimana ketergantungan kuat antara merk dan manufaktur. Studi ini juga memberikan rekomendasi yang dapat diambil pemerintah untuk membangun industri perangkat handset telekomunikasi di Indonesia seperti skema insentif, regulasi Tingkat Kandungan dalam Negeri dan struktur value-chain yang perlu perubahan, sehingga dapat mengurangi defisit nilai perdagangan. Kata Kunci— rantai nilai, modularitas produk, jaringan nillai, industri perangkat handset telekomunikasi seluler
Latar Belakang Perkembangan telekomunikasi di Indonesia berkontribusi positif dan langsung terhadap penerimaan negara baik dari sisi APBN maupun PNBP dengan rata-rata 10 Triliun rupiah setiap tahun. Namun perkembangan telekomunikasi ini menimbulkan defisit neraca perdagangan yang disebabkan oleh impor perangkat telekomunikasi yang relatif besar dibandingkan dengan penerimaan negara di sektor ini yaitu sekitar 24 Triliun rupiah pertahunnya. Studi ini bertujuan memetakan Industri perangkat handset telekomunikasi seluler dilihat dari value-chain industri ini dan melihat potensi industri lokal dalam rangka mengurangi defisit tersebut.
Hasil Penelitian Dari hasil studi ini, Industri perangkat telekomunikasi Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi 3 entitas besar yaitu Industri Perangkat Customer Premises Equipment (CPE) Telekomunikasi, Industri Jaringan Telekomunikasi dan Industri Konten atau Over the Top. Secara elemen value-chain, Industri CPE telekomunikasi Indonesia sudah tergolong lengkap namun masih bertipe relational dimana ketergantungan kuat antara merk dan manufaktur. Untuk mengurangi biaya produksi, pemerintah perlu mendorongnya ke tipe value chain modular dengan mengintensifkan masing-masing value-chain.
Kajian Tim dan Joint Research
5
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Industri perangkat jaringan telekomunikasi Indonesia dapat dikategorikan masih bersifat hierarcy karena dimanufaktur dari hulu ke hilir (vertically integrated) serta dalam hal ini pasar sebagian besar dikuasai oleh penanam modal asing. Dalam rangka mengurangi “Degree of Asimetry” untuk pasar ini pemerintah dapat mendorong dari tipe Hierarcy ke Captive dengan cara menarik industri berbasis R&D ke Indonesia. Indonesia sendiri juga memiliki potensi untuk pembuatan perangkat jaringan telekomunikasi ini dilihat dari portofolio yang ada.
Simpulan dan Rekomendasi bagi Kebijakan dan Regulasi Beberapa rekomendasi dari studi ini agar industri perangkat telekomunikasi dapat berkembang yaitu dengan mendorong industri dari manufaktur ke industri berbasis inovasi salah satunya dengan mengubah kebijakan TKDN yang berbasis komponen menjadi TKDN berbasis inovasi. Selain itu, untuk mencegah tingginya degree of asimetry dalam value-chain industri ini pemerintah harus menggeser tipe value-chain di industri ini dengan mendorong tumbuhnya value-network seperti mendorong industri kreatif. Pemerintah juga perlu memberikan insentif melalui PNBP di sektor yang sama dengan skema Carrot Incentive. Selain itu, pemerintah perlu mensiasati barrier-to-entry dengan rekomendasi membuat konsorsium industri dan memasukkannya ke dalam industri pertahanan di bidang telekomunikasi.
Kajian Tim dan Joint Research
6
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Analisis Kebutuhan Spektrum Frekuensi PPDR Pita Lebar di Indonesia Tim Peneliti 2 Puslitbang SDPPI Email:
[email protected] Abstrak Letak geografis dan kemajemukan masyarakat Indonesia menyebabkan Indonesia rawan terhadap bencana dan permasalahan sosial. Penanganan terhadap permasalahan bencana dan sosial oleh lembaga dan organisasi berwenang membutuhkan komunikasi yang intensif. Selama beberapa tahun terakhir, permintaan akan pengembangan aplikasi Public Protection and Disaster Relief (PPDR) terus meningkat seiring dengan kebutuhan untuk tanggap bencana yang lebih efisien dan efektif sehingga mendorong perkembangan teknologi broadband untuk mengakomodir perkembangan kebutuhan tersebut. Di sisi lain, aplikasi PPDR yang ada saat ini kebanyakan berada pada pita sempit yang mendukung aplikasi suara dan kecepatan data rendah, terutama di bandwidth kanal 25 kHz atau dibawahnya. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mengetahui kebutuhan frekuensi lembaga atau organisasi pemerintah terkait PPDR dengan menggunakan analisis berbasis kejadian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan spektrum frekuensi untuk menangani kejadian PP1 dan PP2 di Indonesia sebesar 2x10 MHz dan 2x20 MHz dengan menggunakan LTE FDD. Sedangkan untuk LTE TDD, kebutuhan spektrum frekuensi untuk menangani kejadian PP1 sebesar 20 MHz pada pita 400 MHz dan 15 MHz pada pita 800 MHz. Sedangkan, kebutuhan spektrum frekuensi untuk kejadian PP2 sebesar 30 MHz. Kata Kunci— PPDR, kebutuhan spektrum frekuensi, PP1, PP2
Latar Belakang Indonesia rawan terhadap bencana alam dikarenakan secara geografis lokasi Indonesia yang berada di titik pertemuan antara tiga lempeng aktif dan bencana iklim tropis serta rawan permasalahan sosial seperti tindak pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, perampokan, dan terorisme. Penanganan terhadap permasalahan bencana dan sosial oleh lembaga dan organisasi berwenang membutuhkan komunikasi
yang
intensif.
Pemerintah
melalui
mengalokasikan pita frekuensi untuk PPDR pada
Kementerian
Komunikasi
dan
Informatika
pita 409 – 417 MHz dan 422,5– 426,25 MHz
(Departemen Komunikasi dan Informatika, 2009). Meskipun telah terdapat alokasi frekuensi untuk PPDR, lembaga atau organisasi pemerintah terkait seperti kepolisian dan BNPB memiliki alokasi frekuensi khusus yang berada di luar alokasi PPDR. Seiring dengan meningkatnya permintaan akan pengembangan aplikasi Public Protection and Disaster Relief (PPDR) pita lebar terus dengan meingkatnya kebutuhan dan fitur untuk tanggap bencana yang lebih efisien dan efektif, ITU di dalam WRC-2015 mengagendakan untuk meninjau dan merevisi Resolusi 646 WRC-2003 untuk PPDR berdasarkan Resolusi 648 WRC-2012 tentang kajian untuk mendukung broadband PPDR (ITU, 2012). Dengan melihat beberapa permasalahan dan perkembangan terkait
Kajian Tim dan Joint Research
7
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
potensi pemanfaatan broadband PPDR di Indonesia, diperlukan identifikasi dan perhitungan kebutuhan frekuensi lembaga atau organisasi pemerintah terkait PPDR.
Hasil Penelitian Dari hasil perhitungan, untuk kejadian tipe PP1 PPDR yang terdiri dari kejadian kriminalitas, kecelakaan lalu lintas dan kejadian kebakaran, jumlah spektrum frekuensi yang dibutuhkan sebesar 6.2-8.5 MHz dan 5.3-6.5 Mhz untuk uplink pada pita 400 MHz dan pita 800 Mhz. Sedangkan, kebutuhan spektrum untuk downlink sebesar 6.2-7.5 MHz dan 5.5-6 MHz pada pita 400 MHz dan pita 800 MHz. Dengan demikian, kebutuhan spektrum untuk kejadian PP1 pada pita 400 MHz ataupun pada pita 800 Mhz diperkirakan sebesar 2x10 MHz untuk LTE FDD. Jika menggunakan LTE TDD diperkirakan sebesar 20 Mhz pada pita 400 MHz dan 15 Mhz pada pita 800 MHz. Jumlah site yang dibutuhkan pada pita 400 dan 800 MHz hingga tahun 2018 mencapai 6275 dan 11519 buah. Sedangkan, hasil perhitungan untuk kejadian PP2 menunjukkan lebar pita dengan efisiensi spektral ratarata sebesar 15.28 MHz untuk downlink dan 8.08 MHz untuk uplink. Dengan demikian, kebutuhan spektrum untuk PP2 diperkirakan sebesar 2x20 MHz jika menggunakan LTE FDD atau sebesar 30 MHz jika menggunakan LTE TDD (dengan guard band). Secara keseluruhan, kebutuhan spektrum untuk mengakomodir kejadian PP1 dan PP2 diasumsikan sama dengan kebutuhan spektrum untuk PP2.
Simpulan dan Rekomendasi bagi Kebijakan dan Regulasi Rekomendasi pita frekuensi untuk alokasi pita lebar PPDR berada di bawah 1 GHz dikarenakan karakteristik cakupan yang luas dan penetrasi bangunan yang baik. Potensi kanal yang ada yaitu 409417 MHz dan 422.5-426.25 Mhz atau sebesar 8+4 Mhz namun terkendala kepada izin yang telah diberikan untuk telekomunikasi khusus serta alokasi frekuensi untuk lembaga pemerintah lainnya juga tersebar pada pita-pita frekuensi tertentu. Sehingga direkomendasikan untuk membentuk Government Radio Network (GRN) pada pita 380-400 MHz. GRN diharapkan dapat menjadi suatu sistem komunikasi terpadu, termasuk didalamnya untuk penanganan kejadian PPDR antar lembaga terkait.
Kajian Tim dan Joint Research
8
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Analisis Tekno-Ekonomi Implementasi Teknologi LTE 1.8GHz bagi Operator Seluler di Indonesia Sri Ariyanti, Doan Perdana (Universitas Telkom) Email:
[email protected],
[email protected] Abstrak Peningkatan kebutuhan layanan data mendorong operator telekomunikasi berusaha mengimplementasikan jaringan akses broadband yang lebih handal. Teknologi LTE merupakan salah satu teknologi dengan kecepatan mencapai tiga kali dibanding teknologi HSDPA, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pelanggan data mobile. Refarming frekuensi 1.8 GHz untuk penerapan teknologi LTE memberikan efisiensi karena tidak perlu membayar BHP lagi untuk menyewa frekuensi baru. Teknologi 2G GSM selama ini juga semakin ditinggalkan, masyarakat di daerah perkotaan cenderung lebih banyak menggunakan data. Sebelum diterapkannya teknologi LTE pada frekuensi 1.8 GHz perlu adanya kajian untuk mengetahui kelayakan teknologi LTE pada frekuensi 1.8 GHz. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan cost-benefit analysis implementasi LTE pada frekuensi 1.8 GHz. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitataif yang didukung dengan data kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minimal bandiwdth yang digunakan agar implementasi LTE layak digunakan yaitu 15 MHz. Meskipun tanpa Global Frequency Returning, penggunaan bandwidth 10 MHz tidak layak digunakan untuk implementasi LTE. Kata Kunci— tekno-ekonomi, LTE, frekuensi 1.8 GHz
Latar Belakang Peningkatan
kebutuhan
layanan
data
mendorong
operator
telekomunikasi
berusaha
mengimplementasikan jaringan akses broadband yang lebih handal. Teknologi LTE merupakan salah satu teknologi dengan kecepatan mencapai tiga kali dibanding teknologi HSDPA, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pelanggan data mobile. Refarming frekuensi 1.8 GHz untuk penerapan teknologi LTE memberikan efisiensi karena tidak perlu membayar BHP lagi untuk menyewa frekuensi baru. Teknologi 2G GSM selama ini juga semakin ditinggalkan, masyarakat di daerah perkotaan cenderung lebih banyak menggunakan data. Penerapan LTE pada frekuensi 1.8 GHz diminati oleh operator seluler, namun perlu adanya kajian mengenai kelayakan teknologi LTE pada frekuensi tersebut. berdasarkan latar belakan diatas maka permasalahan penelitian ini adalah bagaimana kelayakan penggunaan frekuensi 1.8 GHz. Sehingga tujuan penelitian ini adalah melakuan kajian Cost Benefit Analysis terhadap implementasi skema refarming frekuensi bagi operator telekomunikasi di Indonesia.Sasaran penelitian ini adalah mendapatkan rekomendasi bagi penyusunan kebijakan terkait penggunaan alokasi frekuensi 1.8 GHz untuk skema refarming frekuensi bagi operator telekomunikasi di Indonesia.
Kajian Tim dan Joint Research
9
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa proyek implementasi LTE 1.8 GHz skenario I (menggunakan bandwidth 10 MHz, dengan Global Frequency Returning) tidak layak dilakukan karena NPV dan IRR negatif. Proyek skenario II (menggunakan bandwidth 15 MHz, dengan Global Frequency Returning layak dilakukan, dengan NPV sebesar Rp2,695,645,400,060.41 dan IRR sebesar 13.73%. Proyek skenario III (menggunakan bandwidth 10 MHz, tanpa Global Frequency Returning) tidak layak karena NPV dan IRR negatif. Proyek skenario IV(menggunakan bandwidth 15 MHz, tanpa Global Frequency Returning) layak dilakukan dengan NPV positif yaitu sebesar Rp3,067,285,958,199.94 dan IRR sebesar 15.06%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini: SKENARIO
NPV
IRR
Skenario I (bandwidth 10 MHz dengan GFR)
-Rp3,553,181,822,498.71
-0.87%
Skenario II (bandwidth 15 MHz dengan GFR)
Rp2,695,645,400,060.41
13.73%
Skenario III (bandwidth 10 MHz tanpa GFR)
-Rp3,181,541,264,359.18
-0.34%
Skenario IV (bandwidth 15 MHz tanpa GFR)
Rp3,067,285,958,199.94
15.06%
Simpulan dan Rekomendasi bagi Kebijakan dan Regulasi Penerapan Teknologi LTE frekuensi 1800 MHz dengan menggunakan bandwidth 15 MHz lebih layak dibandingkan penggunaan bandwidth 10 MHz. Meskipun tanpa Global Frequency Returning, Penerapan teknologi LTE 1800 MHz pada bandwidth 10 MHz masih mengalami kerugian dalam 15 tahun operasi. Minimal bandwidth yang digunakan pada teknologi LTE 1800 MHz agar memperoleh keuntungan yaitu 15 MHz. Terkait dengan implementasi LTE di Indonesia, direkomendasikan perlunya subsidi dari pemerintah untuk biaya Global Frequency Returning atau pengurangan BHP untuk meringankan beban operasional penerapan LTE. Implementasi LTE frekuensi 1.8 GHz layak bagi operator yang benar-benar siap.
Kajian Tim dan Joint Research
10
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Kajian Mandiri
Kajian Mandiri
11
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Kajian Mandiri
12
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Studi Potensi Smart Appliance Diah Yuniarti Email:
[email protected] Abstrak Harga sumber energi yang semakin naik dari tahun ke tahun dan kemajuan teknologi telah mendorong perkembangan smart grid. Smart grid merupakan jaringan listrik yang telah ditingkatkan sehingga memungkinkan informasi dua arah dan pertukaran daya listrik antara pemasok listrik dan pelanggan. Smart appliance merupakan salah satu komponen penting dalam smart grid. Smart appliance memiliki kemampuan untuk mengatur pemakaian listrik secara dinamis untuk menghemat energi pelanggan. Studi ini mencoba menganalisis potensi pemanfaatan smart appliance yang meliputi faktor yang mempengaruhi minat masyarakat dengan menggunakan Structural Equation Modelling (SEM). Selain itu, penelitian ini juga berupaya menganalisis kondisi regulasi terkait smart appliance. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel compatibility dan enjoyment berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat. Sedangkan, variabel ease of use dan relative advantage berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap minat. Secara umum, pemerintah telah menyusun regulasi mengenai EMC, baik untuk modul home appliance maupun untuk modul komunikasi yang terdapat pada smart appliance serta persyaratan teknis pada beberapa teknologi komunikasi yang digunakan, misal bluetooth, SRD dan Wifi. Namun, regulasi mengenai demand response interface belum disusun karena perkembangan smart grid yang masih belum signifikan Kata Kunci— smart grid, smart appliance, structural equation modelling (SEM), regulasi
Latar Belakang Smart grid merupakan jaringan listrik yang telah ditingkatkan sehingga memungkinkan informasi dua arah dan pertukaran daya listrik antara pemasok listrik dan pelanggan (Giordano et al., 2011). Smart appliance merupakan salah satu komponen penting dalam smart
grid. Penerapan smart appliance
bertujuan untuk mengurangi konsumsi energi, mengurangi emisi karbon dan penyediaan energi dari energi terbarukan (EA Technology, 2011). Penggunaan media bergerak seperti smartphone, tablet, PC dan lainnya yang didukung dengan konektivitas internet memudahkan konsumen dalam memonitor konsumsi energi dan manajemen energi dari smart appliance yang berada di rumah. Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dengan populasi 249 juta penduduk pada tahun 2013 (Population Reference Bureau, 2013) memiliki tren konsumsi dan harga energi yang cenderung naik dari tahun ke tahun, sehingga smart appliance memberikan potensi dalam meningkatkan efisiensi energi, khususnya di sektor rumah tangga. Selain itu, penetrasi telepon bergerak turut memudahkan manajemen energi dan otomatisasi smart appliance. Studi ini mencoba menganalisis potensi pemanfaatan smart appliance yang meliputi faktor yang mempengaruhi minat masyarakat, yang merupakan aktor aktif dalam konsumsi dan manajemen energi di rumah tangga. Selain itu, penelitian ini juga mencoba menganalisis kondisi regulasi dari regulator, dalam hal ini Kementerian Perdagangan Kajian Mandiri
13
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Diharapkan, hasil studi ini akan menjadi bahan
rekomendasi kebijakan pemerintah dalam menyusun peraturan terkait dengan efisiensi energi maupun standard perangkat untuk smart appliance yang menjadi ranah Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Hasil Penelitian Dari hasil simulasi, variabel compatibility dan enjoyment berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat. Sedangkan, variabel ease of use dan relative advantage berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap minat. Secara umum, pemerintah telah menyusun mengenai EMC, baik untuk modul home appliance maupun untuk modul komunikasi yang terdapat pada smart appliance serta persyaratan teknis pada beberapa teknologi komunikasi yang digunakan, misal bluetooth, SRD dan Wifi. Namun, regulasi mengenai demand response interface belum disusun karena perkembangan smart grid yang masih belum signifikan.
Simpulan dan Rekomendasi bagi Kebijakan dan Regulasi Perkembangan smart appliance akan dipengaruhi perkembangan smart grid. Perkembangan smart grid di Indonesia masih belum signifikan padahal smart grid dapat menjadi alternatif solusi dalam menghadapi krisis listrik di Indonesia. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan
Kementerian
BUMN,
Kementerian
Komunikasi
dan
Informatika,
dan
Kemenkoperekonomian perlu melakukan koordinasi dan upaya dalam mendorong pembangunan infrastruktur smart grid dan memberikan insentif untuk pengembangan smart appliance antara lain:
Kementerian ESDM: menyusun ketentuan dynamic pricing, menyusun ketentuan insentif bagi konsumen yang berpartisipasi dalam dynamic pricing
Kementerian BUMN: mengkoordinasikan perusahaan BUMN komunikasi yaitu Telkom untuk memperluas pembangunan serat optik dan PLN untuk membangun infastruktur smart grid
Kementerian Perindustrian : menyusun tingkat capaian efisiensi energi bagi smart appliance dan memberikan insentif bagi smart appliance yang mencapai tingkat efisiensi yang ditentukan baik, misal pajak
Kementerian Komunikasi dan Informatika: menyusun standar demand respond interface, menyusun standar kemanan informasi untuk jaringan komunikasi smart grid/smart appliance
Kemenkoperekonomian:
mengkoordinasikan
kementerian-kementerian
terkait
dalam
penyusunan regulasi dan peta jalan smart grid (termasuk smart appliance)
Kajian Mandiri
14
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Uji Laboratorium Untuk Mendukung Penentuan Persyaratan Teknis Terminal Wideband Code Division Multiple Access (WCDMA) Frekuensi 900 Mhz Sri Ariyanti Email:
[email protected] Abstrak Sesuai dengan Kepmen No.504/KEP/M.KOMINFO/08/2012 tentang Izin Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler Indosat, pemerintah telah memberikan ijin kepada Indosat untuk menggelar teknologi WCDMA pada pita frekuensi 900MHz. Penggelaran teknologi WCDMA pada pita frekuensi 900 MHz memberikan keuntungan dalam sisi coverage. Jangkaun teknologi WCDMA pada frekuensi 900 MHz lebih besar dibandingkan dengan menggunakan frekuensi 2100 MHz. Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai Besar Pengujian Perangkat Telekomunikasi, jumlah terminal WCDMA 900 MHz yang diajukan dari bulan Januari – Maret 2014 sebanyak 197 merk/type. Namun sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan peraturan persyaratan teknis terminal WCDMA 900 MHz. Oleh karena itu perlu adanya kajian untuk memntukan persyaratan teknis terminal WCDMA 900 MHz. Sehingga dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah persyaratan teknis hasil pengukuran terminal WCDMA 900 MHz sudah sesuai dengan yang ditetapkan oleh 3GPP TS 34.121-1, menguji dan membandingkan apakah persyaratan teknis terminal WCDMA 900 MHz sama dengan WCDMA 2100 MHz dan menentukan persyaratan teknis terminal WCDMA 900 MHz di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan data kuantitatif melalui uji laboratorium frekuensi radio di Balai Besar Pengujian Perangkat Telekomunikasi, Bekasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persyaratan teknis hasil pengukuran terminal WCDMA 900 MHz sudah memenuhi yang ditetapkan oleh 3GPP TS 34.121-1, Persyaratan teknis terminal WCDMA 2100 MHz dan 900 MHz sama, kecuali sensitivitas penerima, tidak perlu adanya penyesuaian persyaratan teknis terminal WCDMA yang dirakit di Indonesia, Persyaratan teknis terminal WCDMA 900 MHz sebaiknya mengacu pada 3GPP TS 34.121-1 karena terminal WCDMA yang dirakit di Indonesia mempunyai spesifikasi relatif sama dengan yang dibuat dan dirakit di Cina. Kata Kunci— persyaratan teknik, WCDMA 900 MHz, pengujian
Latar Belakang Sesuai dengan Kepmen No.504/KEP/M.KOMINFO/08/2012 tentang Izin Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler Indosat, pemerintah telah memberikan ijin kepada Indosat untuk menggelar teknologi WCDMA pada pita frekuensi 900MHz. Penggelaran teknologi WCDMA pada pita frekuensi 900 MHz memberikan keuntungan dalam sisi coverage. Jangkaun teknologi WCDMA pada frekuensi 900 MHz lebih besar dibandingkan dengan menggunakan frekuensi 2100 MHz. Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai Besar Pengujian Perangkat Telekomunikasi, jumlah terminal WCDMA 900 MHz yang diajukan dari bulan Januari – Maret 2014 sebanyak 197 merk/type. Namun sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan peraturan persyaratan teknis terminal WCDMA 900 MHz. Oleh karena itu perlu adanya kajian untuk memntukan persyaratan teknis terminal WCDMA 900 MHz. Berdasarkan latar belakang Kajian Mandiri
15
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
diatasa maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: Apakah persyaratan teknis hasil pengukuran terminal WCDMA 900 MHz sudah sesuai dengan yang ditetapkan oleh 3GPP TS 34.121-1 v8.9.0 (2009 – 12); Apakah persyaratan teknis terminal WCDMA 900 MHz sama dengan WCDMA 2100 MHz; dan bagaimana persyaratan teknis terminal WCDMA 900 MHz di Indonesia
Hasil Penelitian 1. Perbandingan Hasil Pengujian Terminal WCDMA 900 MHz Terhadap 3GPP TS 34.121-1 Hasil pengujian terminal WCDMA 900 MHz menunjukkan bahwa persyaratan teknis sudah sesuai dengan ketetapan dari 3GPP TS 34.121-1 v8.9.0 (2009 – 12). Besarnya maximum channel power sudah berada pada range persyaratan yang ditentukan. Demikian pula frekuensi error, spectrum emission mask, Adjacent Channel Leakage Power Ratio (ACLR), Error Vector Magnitude, Peak Code Domain Error (PCDE), sensitivitas penerima, Blok Error Rate maupun average bit rate sudah sesuai dengan persyaratan teknis yang ditatapkan oleh 3GPP TS 34.121-1. Modulasi yang digunakan terminal WCDMA dalam pengujian ini menggunakan 16-QAM. 2. Perbandingan Hasil Pengujian Terminal WCDMA 2100 MHz Dan WCDMA 900 MHz Berdasarkan hasil pengujian, rata-rata nilai spesifikasi teknik terminal WCDMA 2100 MHz dan 900 MHz mempunyai nilai yang relatif sama kecuali sensitivitas penerima. Sensitivitas penerima terminal WCDMA 2100 MHz lebih kecil dibanding dengan sensitivitas penerima terminal WCDMA 900 MHz. Hal ini disebabkan frekuensi yang digunakan oleh terminal WCDMA 2100 MHz lebih besar dibanding dengan terminal WCDMA 900MHz. Dengan daya pancar yang sama, semakin besar frekuensi yang digunakan, semakin kecil sensitivitas penerima. Hal ini dipengaruhi oleh redaman pada Path Loss. 3. Perbandingan Hasil Pengujian Terminal WCDMA Buatan Indonesia dan Luar Negeri. Terminal WCDMA yang diuji dalam penelitian ini semuanya buatan dari Cina. Meskipun demikian ada pula yang dirakit di Indonesia, yaitu merk Polytron. Dengan demikian dalam penelitian ini membandingakan hasil pengujian spesifikasi teknis terminal WCDMA yang dibuat dan dirakit di Cina dengan terminal WCDMA yang dibuat di Cina namun dirakit di Indonesia. Sample yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu sebanyak 95% buatan Cina dan 5% dibuat di Cina namun dirakit di Indonesia.
Berdasarkan hasil pengujian diperoleh bahwa nilai rata-rata hasil spesifikasi teknik terminal WCDMA yang dibuat dan dirakit Cina dibanding dengan yang dirakit di Indonesia mempunyai nilai yang relatif sama. Dengan demikian tidak perlu adanya penyesuaian persyaratan teknis terminal WCDMA yang dirakit di Indonesia.
Simpulan dan Rekomendasi bagi Kebijakan dan Regulasi Dikarenakan spesifikasi yang relatif sama dengan yang dibuat dan dirakit di Cina, disarankan tidak perlu penyesuaian persyaratan teknis terminal WCDMA yang dirakit di Indonesia, sehingga disarankan standar mengacu pada 3GPP TS 34.121-1 karena terminal WCDMA yang dirakit di Indonesia. Selain itu, persyaratan teknis average bit rate yang ada Perdirjen Nomor: 173/DIRJEN/2009 sebaiknya dinaikkan menjadi lebih dari 700 kbps. Kajian Mandiri
16
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Evaluasi Sistem Monitoring dan Penertiban Frekuensi dan Perangkat Telekomunikasi Amry Daulat Gultom Email:
[email protected] Abstrak Spektrum Frekuensi Radio merupakan Sumber Daya Alam yang terbatas, yang dalam hal pengelolaannya memberikan dampak strategis dan ekonomis bagi kesejahteraan masyarakat. Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika merupakan Lembaga Pengelola Spektrum Frekuensi Radio yang diakui International Telecommunication Union sebagai Administrasi Telekomunikasi, mewakili Indonesia dalam konferensi internasional dan regional di bidang pengelolaan spektrum frekuensi radio. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kondisi penyelenggaraan monitoring dan penertiban frekuensi dan perangkat telekomunikasi, serta menghasilkan konsep strategi guna peningkatan penyelenggaraan monitoring dan penertiban frekuensi dan perangkat telekomunikasi. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kuantitatif SWOT dan menghasilkan 5 (lima) strategi utama yaitu pemanfaatan cakupan wilayah, optimalisasi SDM dan penyetaraan organisasi, optimalisasi gedung dan perangkat, peningkatan sistem administrasi dan pelaporan, perbaikan sistem penanganan kasus. Kata Kunci— monitoring, evaluasi, frekuensi peneritban frekuensi, penertiban perangkat
Latar Belakang Pada tahun 2013 dari frekuensi yang termonitor, sebanyak 75.878 frekuensi teridentifikasi adanya penggunaan frekuensi atau sekitar 95% dari yang termonitor. Proporsi ini jauh lebih banyak dibanding frekuensi teridentifikasi selama tahun 2012. Sebesar 74,5% merupakan kegiatan yang legal. Proporsi kegiatan yang legal ini jauh lebih rendah dibanding tahun 2012 dimana kegiatan penggunaan frekuensi yang legal mencapai 81,8%. Sementara 16,9% merupakan kegiatan penggunaan frekuensi yang illegal. Diantara penggunaan yang melanggar, sebanyak 7,5% merupakan jenis pelanggaran yang teridentifikasi sebagai penggunaan frekuensi yang tidak sesuai dengan peraturan (Ditjen SDPPI, 2014a). Berdasarkan latar belakang dan fakta tersebut di atas penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan bagaimana kondisi penyelenggaraan monitoring dan penertiban frekuensi dan perangkat telekomunikasi saat ini; dan strategi yang diperlukan untuk meningkatkan penyelenggaraan monitoring dan penertiban frekuensi dan perangkat telekomunikasi.
Kajian Mandiri
17
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Hasil Penelitian Berdasarkan analisis SWOT dengan identifikasi faktor internal dan eksternal, didapatkan 5 (lima) strategi utama yang perlu diambil dalam pencapaian tujuan tertib dan teraturnya frekuensi radio secara nasional, yakni sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5.
Pemanfaatan cakupan wilayah; Optimalisasi SDM dan penyetaraan organisasi; Optimalisasi gedung dan perangkat; Peningkatan sistem administrasi dan pelaporan; Perbaikan sistem penanganan kasus.
Simpulan dan Rekomendasi bagi Kebijakan dan Regulasi Dalam hal penertiban dan pengaturan spektrum frekuensi perlu dilakukan secara sistemik dan didukung dengan sistem informasi yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan. Dalam rangka mewujudkan manajemen yang baik dan mempermudah penetapan tugas-tugas monitoring perlu dibuat suatu standar prosedur operasi (Standard Operating Procedure/SOP) monitoring yang dibakukan secara nasional beserta buku teknik panduan monitoring (handbook) berbahasa Indonesia dengan mengadopsi semua dokumen-dokumen monitoring yang relevan dan sudah diamanatkan oleh ITU-R. Terkait dengan penegakan hukum, dalam hal pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi perlu dilakukan secara konsisten dan efektif. Hal ini perlu didukung dengan perangkat regulasi yang bersifat antisipatif dan memberikan kepastian serta jaminan terhadap pengguna eksisting yang sudah berijin. Strategi-strategi yang dirumuskan memiliki keterkaitan yang kuat satu sama lain mengingat masing-masing merupakan elemen sistem monitoring yang menjamin pemanfaatan spektrum frekuensi radio nasional untuk dapat berjalan sebaik-baiknya.
Kajian Mandiri
18
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Analisis Kesuksesan Sistem Informasi Manajemen SDPPI (SIMS) Awangga Febian Surya A Email:
[email protected] Abstrak Dalam perkembangan suatu sistem informasi yang digunakan oleh sebuah institusi, perlu dilihat bagaimana kesuksesan dan dampak positif yang diberikan sistem informasi tersebut terhadap manfaat bersih yang diterima oleh instansi terkait dengan penggunaan dan kepuasan pengguna sistem informasi tersebut. Sistem informasi yang digunakan oleh Ditjen SDPPI saat ini telah berkembang menjadi sistem informasi manajemen sumber daya dan perangkat pos dan informatika (SIMS) dan perlu dilihat bagaimana kesuksesan sistem informasi tersebut dalam memenuhi kebutuhan manajemen Ditjen SDPPI. Dalam penelitian ini digunakan persamaan struktural berbasis partial least square (PLS) dengan mengacu kepada model kesuksesan sistem informasi oleh DeLone & McLean. Hasil perhitungan model tersebut menunjukkan bahwa model kesuksesan DeLone & Mclean tidak membuktikan keseluruhan hipotesis dari penelitian dimana penggunaan tidak berpengaruh signifikan terhadap manfaat bersih yang didapatkan oleh institusi. Kata Kunci— SIMS, Delone & Mclean, Partial Least Square
Latar Belakang Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah sistem informasi manajemen sumber daya dan perangkat pos dan informatika (SIMS) yang digunakan di lingkungan Dirjen SDPPI dapat dikatakan berhasil atau sukses dan mempunyai dampak positif terhadap kinerja individu maupun kementerian. Model kesuksesan yang digunakan adalah DeLone & McLean yang telah disesuaikan dengan penelitian mengenai kesuksesan SIMS. Variabel independen yang digunakan dalam model penelitian terdiri dari Kualitas Informasi (KI), Kualitas Sistem (KS), dan Kualitas Layanan (KL). Sedangkan variabel dependen adalah Penggunaan (P), Kepuasan Pengguna (KP), dan Manfaat Bersih (MB), dengan hipotesis awal yang akan diuji, sebagai berikut:
H1 : H2 : H3 : H4 : H5 : H6 : H7a : H7b : H8 : H9 :
Kualitas Sistem memiliki hubungan positif dengan Penggunaan. Kualitas Sistem memiliki hubungan positif dengan Kepuasan Pemakai. Kualitas Informasi memiliki hubungan positif dengan Penggunaan. Kualitas Informasi memiliki hubungan positif dengan Kepuasan Pemakai. Kualitas Layanan memiliki hubungan positif dengan Penggunaan. Kualitas Layanan memiliki hubungan positif dengan Kepuasan Pemakai. Penggunaan memiliki hubungan positif dengan Kepuasan Pemakai. Kepuasan Pemakai memiliki hubungan positif dengan Penggunaan. Penggunaan memiliki hubungan positif dengan Manfaat Bersih. Kepuasan Pemakai memiliki hubungan positif dengan Manfaat Bersih.
Kajian Mandiri
19
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Hasil Penelitian Pengujian loading factor untuk melihat korelasi antar indikator dengan konstruknya menggunakan PLS. Tahap pengujian selanjutnya adalah uji realibitas dari variabel terhadap kontraknya, hal in dapat dilihat dari besaran nilai output composite reliability atau cronbach’s alpha. Setelah didapatkan konstrak yang reliabel kemudian dilakukan uji hipotesis. Nilai kesuksesan dapat dilihat dari besar nilai dari masingmasing variabel yang telah dipengaruhi oleh nilai dari indikator-indikatornya. Variabel tersebut akan diukur dengan skala 0 sampai dengan 4, dimana nilai variabel tersebut merupakan nilai dari sigma nilai indikator dari variabel terkait dikalikan dengan path coefficient. Berikut merupakan nilai dari masingmasing variabel. 1. 2. 3. 4. 5.
Kualitas Informasi (KI) = 43,5% Kualitas Sistem (KS) = 60,95% Kualitas Layanan (KL) = 70,9% Penggunaan (P) = 35,53% Kepuasan Pengguna (KP) = 25%
Dimana nilai manfaat bersih yang diberikan setelah adanya sistem informasi tersebut adalah 46,75%. Dari hasil hipotesis model ditemui: 1. Terdapat 3 hipotesis yang ditolak. 2. Kualitas Sistem dan Kualitas Informasi baik secara mandiri maupun bersama-sama mempengaruhi baik Penggunaan maupun Kepuasan Pemakai. Sedangkan Kualitas Layanan hanya mempengaruhi Penggunaan. 3. Tidak ada hubungan mutual antara Penggunaan dan Kepuasan Penggunaan. Hanya terdapat hubungan satu arah dimana tingkat Penggunaan dipengaruhi oleh besarnya Kepuasan Pengguna. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas Penggunaan sistem informasi tersebut justru akan lebih tinggi apabila user telah mengetahui terlebih dahulu Kualitas Sistem, Kualitas Layanan, dan Kualitas Informasi sehingga tercipta persepsi atau harapan terhadap tingkat kepuasan yang akan didapatkan apabila menggunakan Sistem Informasi tersebut. 4. Manfaat Bersih hanya dipengaruhi oleh Kepuasan Pengguna, dimana intensitas Penggunaan tidak memberi pengaruh positif kepada Manfaat Bersih. 5. Sesuai dengan model, telah terbukti bahwa terdapat jalur hubungan positif yang dimulai dari variabel independen Kualitas Informasi, Kualitas Layanan dan Kualitas Sistem yang berpengaruh terhadap Kepuasan Penggunaan; dan Kepuasan Penggunaan yang berpengaruh terhadap Penggunaan serta Manfaat Bersih.
Simpulan dan Rekomendasi bagi Kebijakan dan Regulasi Perlunya tindak lanjut untuk menigkatkan kesuksesan SIMS sesuai dengan indikator di atas yang memiliki kekurangan.
Kajian Mandiri
20
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Analisis Interferensi T-DAB dan TV Analog pada Pita Very High Frequency (VHF) Kasmad Ariansyah Email:
[email protected] Abstrak Kehadiran teknologi digital telah membawa perubahan di dalam berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali di dunia penyiaran. Digitalisasi dibidang penyiaran diyakini dapat memberikan manfaat dalam hal efisiensi spektrum frekuensi radio. Berkaitan dengan penyiaran radio, Menteri Komunikasi dan Informatika telah menetapkan DAB family sebagai standard penyiaran radio digital di Indonesia. Kajian dilakukan untuk mendapatkan jarak minimum yang diperlukan antara sistem T-DAB dan TV analog sebagai solusi terhadap kemungkinan interferensi. Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa kanal A T-DAB merupakan kanal yang paling rentan terhadap interferensi; Untuk mencapai probabilitas interferensi maksimum 5%, separasi geograpis minimum antara cakupan terluar TV analog kanal n dan transmitter terluar pada jaringan SFN T-DAB untuk kanal (n1)D, nA, nB, nC berturut-turut adalah 220 Km, 290 Km, 145 Km dan 40 Km. Sedangkan untuk kanal nD dan (n+1)A dapat dioperasikan tanpa separasi geograpis dengan TV analog. Kata Kunci— persyaratan teknik, WCDMA 900 MHz, pengujian
Latar Belakang Digitalisasi dibidang penyiaran memberikan manfaat dalam hal efisiensi spektrum frekuensi radio. Berkaitan dengan penyiaran radio, Menteri Komunikasi dan Informatika melalui Permen No.21/PER/M.KOMINFO/4/2009 telah menetapkan DAB family sebagai standard penyiaran radio digital pada pita VHF. Digitalisasi radio siaran dipandang perlu sebagai salah satu langkah dalam mengatasi permasalahan penggunaan frekuensi pada Band II VHF untuk penyiaran radio FM yang tidak sesuai dengan rencana induk, serta tidak terpenuhinya permohonan penggunaan kanal frekuensi dari masyarakat yang terus meningkat. Akan tetapi, frekuensi kerja T-DAB (salah satu varian DAB family) saat ini masih diduduki oleh TV Analog, sehingga apabila kedua layanan beroperasi secara simultan besar kemungkinan kedua sistem akan saling menginterferensi. Kajian ini bertujuan untuk menghitung besarnya rasio Carrier to Interference (C/I) dan probabilitas interferensi antara TV analog dan teknologi TDAB pada pita VHF, dengan tujuan untuk mendapatkan separasi geografis minimum yang diperlukan antara sistem T-DAB dan TV analog. Hasil kajian dapat digunakan sebagai acuan dalam memetakan kanal frekuensi T-DAB. Kanal-kanal yang digunakan dalam simulasi untuk TV analog adalah kanal 7 sedangkan T-DAB menggunakan kanal 6D, 7A, 7B, 7C, 7D dan 8A. Analisis dilakukan dengan dua skenario dan dilakukan pada kondisi terburuk (worst case) dimana victim receiver berada pada batas terluar pada area cakupan dari wanted transmitter, sehingga sinyal yang diterima merupakan sinyal terlemah.
Kajian Mandiri
21
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Hasil Penelitian 1. Skenario 1 : Pemancar TV analog menginterferensi pesawat penerima T-DAB Pemancar TV analog bertindak sebagai interfering transmitter (It), pesawat penerima TV analog sebagai wanted receiver (Wr), pemancar T-DAB sebagai wanted transmitter (Wt) dan pesawat penerima T-DAB sebagai victim receiver (Vr). Karena TV analog merupakan jaringan eksisting dan merupakan jaringan Multi frequency network (MFN). Berdasarkan analisis, protection ratio kanal 6D, 7B, 7C, 7D dan 8A dapat dicapai bahkan saat It dan Vr berjarak 0 Km. Sedangkan kanal 7A, protection ratio dapat dicapai pada saat It dan Vr terpisah sejauh kurang lebih 35 Km. Walaupun pr otection ratio sudah tercapai, probabilitas interferensi maksimum 5% lebih disarankan. Untuk kanal 6D, 7D dan 8A dapat mencapai level tersebut pada kondisi It dan Vr berada pada titik yang sama. Sedangkan untuk kanal 7A, 7B dan 7C, probabilitas interferensi maksimum 5% dapat dicapai apabila jarak It dan Vr berturut-turut sebesar 60 Km, 30 Km dan 25 Km. Dapat dilihat bahwa pemancar cakupan terluar T-DAB yang menggunakan kanal 7A harus diusahakan berjarak minimal 60 km dari stasiun pemancar TV analog yang menggunakan frekuensi pada kanal 7 VHF. 2. Skenario 2 : T-DAB menginterferensi pesawat penerima TV analog Pemancar T-DAB bertindak sebagai It, pesawat penerima T-DAB sebagai Wr, pemancar TV analog sebagai Wt dan pesawat penerima TV analog sebagai Vr. T-DAB menggunakan jaringan Single Frequency Network (SFN). Berdasarkan hasil analisis, saat T-DAB dengan kanal 6D disimulasikan sebagai penginterferensi, protection ratio dapat dicapai pada saat It dan Vr terpisah sejauh ± 100 Km, dan Probabilitas interferensi maksimum 5% dapat dicapai bilai jarak It dan Vr sebesar ± 220 Km. Untuk kanal 7A, 7B dan 7C, protection ratio dapat dicapai jika jarak It dan Vr berturut-turut sebesar 140 Km, 60 Km dan 40 Km. Sedangkan probabilitas interferensi sebesar 5% dapat dicapai pada jarak It dan Vr berturut-turut sebesar 290 Km, 140 Km dan 40 Km. Lain halnya pada saat T-DAB dengan kanal 7D atau 8A bertindak sebagai penginterferensi. Protection ratio dan probabilitas interferensi maksimum 5% dapat dicapai bahkan bila It dan Vr berada pada lokasi yang sama. Hal ini terjadi karena frekuensi tengah dari kanal 7D dan 8A berbeda cukup jauh dengan frekuensi pembawa gambar dari kanal 7 TV analog.
Simpulan dan Rekomendasi bagi Kebijakan dan Regulasi Separasi geografis minimal perlu ditentukan dikarenakan membutuhkan separasi geografis yang lebih besar agar interferensi pada kedua arah dapat dihindari. Kanal A T-DAB merupakan kanal yang dengan probabilitas interferensi tertinggi dikarenakan kanal A memiliki frekuensi tengah yang paling dekat dengan frekuensi vision carrier TV analog. Untuk mencapai probabilitas interferensi maksimum 5% pada kedua arah, antara cakupan terluar TV analog kanal n dan transmitter terluar pada jaringan SFN T-DAB untuk kanal (n-1)D, nA, nB, nC berturut-turut adalah 220 Km, 290 Km, 145 Km dan 40 Km. Sedangkan untuk kanal nD dan (n+1)A dapat digunakan tanpa separasi geograpis dengan TV analog.
Kajian Mandiri
22
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Studi Efektivitas Penanganan Gangguan Frekuensi Radio di Balai Monitoring Spektrum Frekuensi Radio Azwar Aziz Email:
[email protected] Abstrak Gangguan frekuensi radio dapat merusak system telekomunikasi. Sehingga tidak bias melakukan kegiatan yang terkait dengan system tersebut, baik untuk percakapan maupun dalam mengolahan data. Penggunaan frekuensi radio telah diatur dalam Undang Undang Nomro 36 tahu 1999 tenang Telekomunikasi. Pelaksanaan penanganan gangguan frekeunsi radio dilakukan berdasarkan skala prioritas dan sifat dari gangguan. Proses respon terhadap penanganan gangguan disampaikan kepada pelapor paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya pengaduan penanganan gangguan berat dan 7 (tujuh) hari kerja bagi gangguan ringan. Pengaduan gangguan frekuensi radio dilaporkan kepada Unit Pelaksanaan Teknis Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio. Kajian ini menggunakan metodologi penelitian kuantitatif, dengan purposive sampling dan jumlah sampel sebanyak 85 responden. Teknik analisis Structure Equation Modeling (SEM) dengan Partial Least Square (PLS). Hasil penelitian ini, menunjukkan proses SEM-PLS terdapat nilai R Square dari kepuasan pengguna adalah sebesar 0.22, artinya kontruk kepuasan dijelaskan oleh kontruk kualitas informasi, kualitas pelayanan dan kualitas system sebesar 22%, sedangkan sisanya 78% dijelaskan oleh kontruk lain diluar penelitian ini. Implikasi yang timbul dari penelitian ini meliputi aspek informasi, system , pelayanan dan aspek penelitian lanjutan. Kata Kunci— gangguan, frekuensi radio, kualitas
Latar Belakang Penanganan gangguan spektrum frekuensi radio diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Nomor: 087/DIRJEN/2007 tentang Prosedur Penanganan Gangguan Spektrum Frekuensi Radio, yang menyatakan pengaduan gangguan spektrum frekuensi radio dilaporkan kepada Unit Pelaksanaan Teknis Balai/Loka Monitor Spektrum Frekuensi Radio. Peraturan tersebut mengatur pengelompokan gangguan spektrum frekuensi radio, prosedur penanganan gangguan spektrum frekuensi radio, penyelesaian dan pelaporan penanganan gangguan. Pelaksanaan penanganan gangguan spektrum frekuensi radio dilakukan berdasarkan skala prioritas dan atau sifat dari gangguan. Proses respon terhadap penanganan gangguan disampaikan kepada pelapor paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya pengaduan penanganan gangguan berat dan 7 (tujuh) hari kerja bagi gangguan ringan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas proses penanganan gangguan frekuensi radio yang dilakukan oleh Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio. Dalam penelitian ini akan dijawab permasalahan (1) faktor-faktor apakah yang mempengaruhi efektivitas penanganan gangguan frekuensi radio di Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio? (2) bagaimana pengaruh tingkat signifikasi hubungan kausal antar faktor-faktor dalam model efektivitas penanganan gangguan frekuensi radio? dan (3) apakah kepuasan pengguna secara signifikan dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut ? Kajian Mandiri
23
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Hasil Penelitian 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penanganan gangguan frekuensi radio di Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio adalah a.faktor kualitas informasi memiliki unsur akurasi, ketepatan waktu, keringkasan, mudah dipahami dan aktual (update) informasi; b. faktor kualitas sistem memiliki unsur ketersediaan, kecepatan respon, flesibilitas, kemudahan, kelengkapan berintegrasi, kehandalan dan konsistensi respon dan c. faktor kualitas pelayanan memiliki unsur kehandalan, daya tanggap, jaminan, empati dan ketersediaan. 2. Pengaruh tingkat signifikasi hubungan kausal antar faktor-faktor dalam model efektivitas penanganan gangguan frekuensi radio adalah kualitas informasi secara empiris berpengaruh positif terhadap kepuasan pengguna, akan tetapi pengaruhnya tidak signifikan, kualitas sistem memiliki signifikan terhadap kepuasan dan kualitas pelayanan tidak berpengaruh terhadap kepuasan pengguna. 3. Kepuasan pengguna secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas informasi, kualitas pelayanan dan kualitas sistem sebesar 22 %, sedangkan sisanya yaitu 78% dijelaskan oleh konstruk lain diluar penelitian ini.
Simpulan dan Rekomendasi bagi Kebijakan dan Regulasi Simpulan 1. Kualitas Informasi dan kualitas pelayanan dari penanganan gangguan frekuensi radio tidak berpengaruh terhadap kepuasan pengguna 2. Penerapan sistem penanganan ganguan frekuensi radio sangat memuaskan bagi pengguna 3. Model yang diajukan dalam penelitian ini yaitu model kesuksesan sistem informasi Delone dan Mclane tidak sepenuhnya terbukti secara empiris dalam penelitian efektivitas Penanganan Gangguan Frekuensi Radio di Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio.
Rekomendasi 1. Mengingat kualitas informasi dan kualitas pelayanan tidak berpengaruh terhadap kepuasan pengguna, maka tingkat akurasi dan up to date informasi serta pelayanan dari penanganan gangguan frekuensi radio perlu diperhatikan sehingga tercapainya informasi dan pelayanan yang berkualitas. 2. Penanganan gangguan frekuensi radio dari aspek Kualitas Sistem harus tetap konsisten diawasi walaupun Kualitas Sistem berpengaruh terhadap kepuasan pengguna 3. Penelitian ini dapat dikembangkan dengan menambahkan sampel dan modifikasi variabel indikator serta menggunakan model atau pendekatan selain model kesuksesan sistem informasi Delone dan Mclane.
Kajian Mandiri
24
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Survey Layanan Publik Monitoring Frekuensi Radio untuk Amatir Radio dan Radio Antar Penduduk Indonesia Yourdan Email:
[email protected] Abstrak Fenomena penggunaan amatir radio dan komunikasi radio antar penduduk yang berkaitan dengan faktor layanan publik dari monitor frekuensi radio, dimana peneliti memfokuskan pada permasalahan kondisi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah tentang penggunaan radio non komersial yang digunakan oleh perorangan. Penelitian ini memperlihatkan penggiat amatir radio dan komunikasi radio antar penduduk bervariasi, mulai dari yang tidak mempunyai izin sampai pada yang memiliki izin. Begitu juga peran tokoh yang selalu mempelopori tentang berkembangnya potensi amatir radio dan radio antar penduduk ini untuk mengatasi kemashalatan yang ada di Masyarakat. Dengan metode Kualitatif, peneliti melakukan wawancara mendalam untuk mendapatkan kondisi yang sebenarnya dari layanan publik yang telah dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pihak organisasi yang membangkitkan potensi untuk menjadi suatu daya yang besar dalam memberikan dukungan komunikasi berkaitan dengan tanggap darurat terkait dengan bencana dan keadaan sosial lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa layanan publik diberikan oleh pemerintah di bidang penertiban sangat kurang sehingga frekuensi radio yang digunakan oleh radio perorangan ini tidak kondusif untuk digunakan, hal ini akan mempunyai dampak kemampuan organisasi untuk mengembangkan diri, pengabdian masyarakat dalam mendukung komunikasi tanggap darurat yang setiap saat bisa terjadi. Kata Kunci— layanan publik, amatir radio, Radio antar Penduduk
Latar Belakang Aktifitas dilapangan menunjukkan tumbuhnya pengguna frekuensi amatir radio dan radio antar penduduk Indonesia namun bekerja diluar frekuensi yang sesuai dengan peruntukannya. Kajian ini bertujuan untuk memahami dan memetakan situasi sosial di bidang pemanfaatan spektrum frekuensi radio secara lebih mendalam. Dengan permasalahan penelitian (1) bagaimana penggunaan frekuensi radio untuk Amatir Radio dan Radio Antar Penduduk Indonesia? (2) bagaimana ketaatan dan tingkat kepatuhan para anggota Amatir Radio dan Radio Antar Penduduk Indonesia terhadap Peraturan Perundangan dan Disiplin Organisasi? (3) bagaimana pembinaan penggunaan frekuensi radio untuk Amatir Radio dan Radio Antar Penduduk Indonesia? (4) bagaimana pemanfaatan perkembangan teknologi terhadap Amatir Radio dan Radio Antar Penduduk Indonesia?
Kajian Mandiri
25
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Hasil Penelitian 1. Penggunaan frekuensi radio untuk perorangan khususnya amatir radio dan Radio Antar Penduduk Indonesia di lokasi penelitian belum kondusif, dalam arti masih banyak penggiat amatir yang liar memenuhi frekuensi radio atau yang tidak memiliki izin. Dalam kategori Superioritas penggunaan frekuensi radio diwarnai oleh adu power, adu tinggi antenne, jauh jangkauan, dan latih diri melalui internet. dalam superioritas ini ada sisi positif dan sisi negatifnya. 2. Tingkat kepatuhan hanya berada pada anggota murni, sedangkan yang tidak patuh adalah pengguna yang ilegal. Dalam kategori Kepatuhan, diwarnai oleh tertib teknis oleh yang punya izin, tertib administrasi masih terkendala oleh organisasi, sedangkan untuk melakukan penertiban khusus untuk ORARI dan RAPI jarang dilakukan. Kategori Pengawasan penggunaan spektrum frekuensi radio untuk ORARI dan RAPI diwarnai oleh komunikasi radio yang crowded, banyak yang tidak punya izin, Pita 14200-14360 dipenuhi oleh yang tidak punya izin, anggota banyak tetapi yang berkualitas sedikit. 3. Pembinan kualitas amatir radio, peningkatan pengetahuan melalui diskusi dan seminar, peningkatan kemampuan teknik radio dan mengadakan kerjasama dengan perguruan tinggi mengenai pengetahuan, riset dan teknologi. 4. Perkembangan teknologi telekomunikasi sangat mempengaruhi aktivitas amatir radio dan radio antar penduduk yang pada mulanya komunikasi suara menjadi komunikasi data dan gambar. Kemampuan sistem ini sangat luas dalam pendeteksian kesalahan dan pembentukan jaringan komputer dengan menggunakan radio sebagai media komunikasi
Simpulan dan Rekomendasi bagi Kebijakan dan Regulasi Dari penelitian ini penggunaan frekuensi radio amatir radio dan Radio Antar Penduduk Indonesia diketahui banyak yang tidak memiliki izin dan kebanyakan tidak patuh baik secara teknis maupun penggunaan sumber daya, sehingga disarankan agar melakukan penertiban khusus untuk rentang frekuensi ini dan mendorong mereka menjadi anggota amatir radio dan radio antar penduduk untuk segera mengurus perizinan. Pembinan kualitas amatir radio, melalui diskusi dan seminar serta kerjasama dengan perguruan tinggi juga perlu dilakukan untuk mensosialisasikan frekuensi radio amatir ini. Selain itu diusulkan untuk memperlebar alokasi Frekuensi untuk RAPI semula 14200-1430 menjadi 14200-14000.
Kajian Mandiri
26
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Penelitian Perizinan Penggunaan Frekuensi Radio untuk Radio Komunitas Sri Wahyuningsih Email:
[email protected] Abstrak Izin penggunaan spektrum frekuensi radio diatur dalam Undang-undang No.36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Saat ini masih ditemukan Radio Komunitas yang belum memiliki Izin Stasiun Radio (ISR). Penelitian ini bertujuan untuk menemu kenali kendala-kendala yang dihadapi Radio Komunitas pada proses pengajuan ijin. Teknik pengumpulan data melalui wawancara dengan penanggungjawab Radio Komunitas dan pejabat di lingkungan Balai Monitor Frekuensi Radio (Balmon) di Jakarta, Semarang dan Yogyakarta. .Analisis data mengacu pada model Matthew B Miles dan A Michael Huberman,(2007). Hasil penelitian menyatakan kendala yang dihadapi terutama pada sertifikasi perangkat Radio Komunitas. Kata Kunci— persyaratan teknik, WCDMA 900 MHz, pengujian
Latar Belakang
Penggunaan spektrum frekuensi radio diatur dalam Undang-undang No.36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, pasal 33 yang menyatakan bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah. Lebih lanjut diatur bahwa kanal frekuensi bagi low power transmitter, yaitu pada rentang frekuensi 107,7; 107,8 dan 107,9 MHz yang dapat direuse di berbagai tempat. Hasil pra survey didapatkan bahwa data radio komunitas yang tidak memiliki ijin namun tetap mengudara, dimana untuk mendapatkan ijin penggunaan frekuensi, radio komunitas harus melalui proses ijin penyelenggaraan penyiaran (IPP Prinsip). Prosedur dan ketentuan perizinan untuk Radio Komunitas sudah jelas, namun masih terdata Radio Komunitas yang belum memiliki ISR tetap mengudara, oleh karena itu, berdasarkan data dan asumsi teoritik, penelitian ini bertujuan untuk melihat kendala apa yang dihadapi Radio Komunitas untuk memenuhi perijinan penggunaan frekuensi.
Hasil Penelitian Penelitian pada 23 radio komunitas didapatkan 17 radio komunitas belum memiliki ijin namun tetap mengudara, 3 radio komunitas baru sampai IPP Prinsip dan 3 radio komunitas yang sudah memiliki ISR. Ketujuh belas radio tersebut sedang dalam proses pengurusan perijinan, namun dengan rata-rata proses izin yang lebih dari dua tahun.
Kajian Mandiri
27
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Simpulan dan Rekomendasi bagi Kebijakan dan Regulasi Berdasarkan hasil penelitian dapat ditemukan, kendala yang dihadapi radio komunitas untuk melaksanakan proses perijinan yaitu: 1. Kesulitan memenuhi ketentuan administrasi dalam proses mendapatkan ijin 2. Kewajiban sertifikasi perangkat radio yang digunakan.
Penelitian ini menemukan bahwa belum menyeluruhnya pemahaman pengguna Radio Komunitas terhadap regulasi yang terkait dengan Perizinan Spektrum Frekuensi Radio Siaran, yaitu Undangundang No.36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang berkaitan dengan izin penggunaan frekuensi radio dan Undang-undang No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang berkaitan dengan izin Lembaga Penyiaran. Kedua undang-undang ini saling melengkapi dalam proses perijinan, karena perijinan akan didahului proses mendapatkan IPP Prinsip yang diterbitkan berdasarkan UU 32 tahun 2002 kemudian untuk mendapatkan ISR yang diterbitkan berdasarkan pada Undang-undang no 36 tahun 1999. Demikian juga, ketentuan yang mengharuskan sertfikasi perangkat radio. ISR dapat diterbitkan Ditjen SDPPI setelah mendapatkan IPP yang diterbitkan Ditjen PPI. Rekomendasi: 1. Berkaitan dengan upaya menekan pembiayaan dan waktu, sertifikasi perangkat dapat dilaksanakan di Balmonfrekrad setempat untuk menekan biaya yang dikeluarkan Radio Komunitas. 2. Pemberdayaan Balmonfrekrad setempat untuk pembinaan Radio Komunitas, terutama yang serius mengajukan izin.
Kajian Mandiri
28
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Studi Pemanfataan Frekuensi Radio Komunitas Tatiek Mariyati Email:
[email protected] Abstrak Spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan strategis serta mempunyai nilai ekonomis tinggi sehingga harus dikelola secara efektif dan efisien guna memperoleh manfaat yang optimal dengan memperhatikan kaidah hukum nasional maupun international. Radio komunitas yang dalam penyiarannya menggunakan alokasi frekuensi pada tiga kanal yaitu pada 107.7 MHz, 107.8 MHz, dan 107.9 Mhz disadari adanya keterbatasan alokasi frekuensi ini perlu didukung kebijakan yang dapat mengembangkan dan mensukseskan penyiaran radio komunitas dalam menjangkau anggota komunitasnya. Kebijakan dimaksud adalah yang berkaitan dengan perkembangan dan kelangsungan penyiaran radio komunitas seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis deskriptif dengan pendekatan induktif di dalam mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada saat penelitian. Seiring dengan kemajuan konvergensi (penyatuan) pada ranah penyiaran, telekomunikasi dan informatika, maka kebijakan radio komunitas dalam pemilihan yang digunakan untuk operasional penyiaran dapat melalui alternatif konvensional, siaran dengan memanfaatkan streaming radio atau hanya streaming radio saja. Melalui studi ini diharapkan adanya kebijakan yang dapat mendukung berkembangnya radio komunitas seiring perkembangan teknologi informasi sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat. Kata Kunci— spektrum frekuensi radio, radio komunitas, pemanfaatan
Latar Belakang Radio Komunitas di Indonesia diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan No 15 tahun 2002 dan No 15A tahun 2003 yang diperbarui menjadi Permen Nomor 13 Tahun 2010, penetapan alokasi kanal frekuensi diberikan kepada masyarakat radio komunitas alokasinya tetap pada tiga kanal frekuensi radio 202, 203, dan 204 untuk radio penyiaran komunitas yaitu pada 107.7 MHz, 107.8 MHz, dan 107.9 Mhz. Diversifikasi Media Radio Komunitas : Radio komunitas mempererat hubungan antar radio komunitas untuk melakukan saling tukar informasi, yang oleh Combine Resource Institution-(CRI) memperkenalkan sistem informasi antar komunitas yaitu melalui Saluran Informasi Akar Rumput (SIAR). Sistem ini menghubungkan radio-radio komunitas melalui teknologi internet sehingga selain melakukan siaran juga meng-upload materi siaran melalui web suara komunitas. Pesatnya perkembangan teknologi telematika ini telah mengarah kepada konvergensi (penyatuan) pada ranah penyiaran, telekomunikasi dan informatika. Streaming radio di internet merupakan anugerah bagi radio komunitas karena keberadaan teknologi streaming ini telah menjadi peluang baru siaran radio Kajian Mandiri
29
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
komunitas yang terjangkau terutama oleh seluruh anggota komunitasnya, sangat diuntungkan dengan kemajuan teknologi telematika sebagai buah dari konvergensi. Penelitian ini bertujuan untuk menemukenali/inventarisasi
permasalahan
frekuensi
radio
pada
radio
komunitas
dan
Merekomendasikan kebijakan operasional Radio Komunitas.
Hasil Penelitian Radio komunitas bisa memilih bersiaran secara konvensional dan online tetapi dengan membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) telematika dan Biaya Hak Penggunaan (BHP) spektrum frekuensi radio. Bila tidak ada pengecualian, maka radio komunitas yang hendak memanfaatkan kemajuan teknologi telematika, menghadapi perkembangan dan peraturan yang memberatkan radio komunitas untuk berkembang luas. RUU Konvergensi Telematika kurang tepat bagi kepentingan publik. Para pengelola radio komunitas khawatir kalau radio komunitas menayangkan siarannya secara online kemudian dikategorikan sebagai penyelenggara telematika non-komersial, ada hal yang akan memberatkan aktivitasnya, bila atas perkembangan teknologi ini radio komunitas harus tetap membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) telematika dan harus mendapatkan ijin dari Menteri. Yang menjadi masalah bila radio komunitas yang “non profit”, akan dikenakan biaya BHP pada radio komunitas yang sebagai kegiatan non profit akan menjadi tekanan bila mendapat beban untuk harus membayar BHP
Simpulan dan Rekomendasi bagi Kebijakan dan Regulasi Simpulan : 1. Radio komunitas yang memanfaatkan streaming di internet, kewajibannya mendapatkan dua ijin dari Menteri. Ijin pertama : penggunaan spektrum frekuansi radio dan ijin ke dua : sebagai penyelenggara telematika. 2. Data di lapangan menunjukkan bahwa radio komunitas banyak yang tidak melakukan penyiaran kembali karena kendala utama pada masalah keterbatasan keuangan dan tidak terjangkaunya biaya operasional dan biaya atas kerusakan perangkat teknis operasi.
Rekomendasi : 1. Masih diperlukan kebijakan sosialisasi- sosialisasi berkaitan dengan manajemen radio komunitas, termasuk manajemen financial, serta sosialisasi tentang peraturan perijinan dan prosedurnya serta peraturan perundangan berkaitan dengan pemanfaatan frekuensi radio. 2. Pengaturan BHP bagi Radio Komunitas dengan memperhatikan penggunaan spektrum frekuensi dan perkembangan streaming yang dilakukan rakom saat ini
Kajian Mandiri
30
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Studi Standardisasi Sertifikat Elektronik dan Keandalan Dalam Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik Ahmad Budi Setiawan (Puslitbang APTIKA & IKP) Email:
[email protected] Abstrak Pemerintah Indonesia telah memberikan jaminan hukum kepada masyarakat dalam bertransaksi elektronik. Secara umum, telah ada Standard yang dikeluarkan oleh berbagai Organisasi Internasional dan Nasional. Dengan demikian, dibutuhkan strategi implementasi standardisasi sertifikat elektronik dan keandalan untuk mendorong tumbuh kembangnya Ekosistem Penyelenggara Sistem Transasksi Elektronik yang terpercaya dan handal serta memudahkan Pemerintah dalam meregulasi standard tersebut. Kajian ini bertujuan untuk memberikan saran kepada pemerintah berupa strategi implementasi standardisasi sertifikat elektronik dan sertifikat keandalan. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode Soft System dengan teknik SAST. Hasil kajian ini memberikan saran kepada Pemerintah terkait ketersediaan infrastruktur dan kelembagaan sertifikat elektronik dan sertifikat keandalan dalam ekosistem sistem transaksi elektronik serta fokus terhadap penegakkan hukum yang telah ada. Kata Kunci— sertifikat elektronik, sistem transaksi elektronik, soft system, SAST
Latar Belakang Bisnis dan transaksi elektronik (e-Business, e-Government, e-Commerce, e-procurement) adalah suatu trend yang menjanjikan. Hal ini disebabkan oleh mudahnya pemanfaatan transaksi eketronik karena dapat dapat dilakukan kapanpun, dimanapun dan oleh siapapun secara real time. Salah satu standard yang diperlukan untuk memfasilitasi system transaksi elektronik adalah adanya standar sertifikasi keandalan (trust mark). Sertifikat Keandalan akan dimiliki pelaku usaha jika memenuhi beberapa persyaratan. Seperti lolos standar perangkat keras, perangkat lunak, standar tenaga ahli, keamanan data, dan pengelola data. Terkait dengan kegiatan transaksi elektronik yang lebih luas, saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki standar yang dapat digunakan sebagai arahan yang spesifik untuk kegiatan transaksi elektronik. Dengan dikeluarkannya UU ITE dan PP PSTE sebagai kebijakan yang mengatur kegiatan transaksi elektronik, maka dapat dijadikan acuan untuk pembuatan standar keamanan informasi untuk transaksi elektronik. Oleh karena itu, studi/kajian ini ditujukan untuk menggali dan mempelajari standar yang dibutuhkan oleh PP PSTE untuk memberikan arahan dalam kegiatan transaksi elektronik yang andal dan terpercaya.
Kajian Mandiri
31
Ringkasan Eksekutif Hasil Penelitian
Puslitbang SDPPI
Hasil Penelitian Berdasarkan seluruh tahapan penelitian yang tertuang dalam kerangka penelitian, maka dibentuklah Model manajemen terintegrasi yang melibatkan beberapa sector pemerintah yang terkait. Model manajemen mengintegrasikan setiap pihak pemangku kepentingan (stakeholder), yang terdiri dari unsur pemerintah, Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), komunitas yang menaungi PSE, Lembaga Audit dan Akreditasi serta Lembaga Sertifikasi PSE, serta masyarakat. Hasil analisis dengan Teknik SAST menunjukkan bahwa terdapat 4 (empat) hierarki/tingkatan tata kelola yang dikaitkan dengan isu strategis pada masing-masing tingkatan. Tingkatan direktif fokus terhadap regulasi yang bersifat makro dan berada pada level paling tinggi. Sementara itu pada tingkatan Strategik, memiliki isu strategis dalam hal yang bersifat teknis penjabaran regulasi yang bersifat makro dalam mengimplementasikan regulasi standardisasi sertifikat elektronik dan sertifikat keandalan. Adapun pada tingkatan Taktikal mengatur hal-hal teknis yang bersifat koordisi antar lembaga yang terkait dalam ekosistem Penyelenggara Sistem Transaksi Elektronik dan pada tingkatan Operasional lebih fokus mengatur pada hal-hal yang bersifat teknis operasional implementasi standarisasi sertifikat elektronik dan sertifikat keandalan. Pada level ini menitikberatkan pada aspek ketersediaan infrastruktur dan dukungan teknis operasional.
Simpulan dan Rekomendasi bagi Kebijakan dan Regulasi Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, disampaikan beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut;
Perlunya perhatian pemerintah terhadap ketersediaan infrastruktur: Lembaga certificate of authority (CA), infrastruktur teknis pendukung dan mengimplementasikan standar yang dapat digunakan oleh para pelaku tansaksi elektronik. Adanya Dukungan terhadap kemandirian dalam infrastruktur teknologi keamanan informasi; komitmen terhadap Law enforcement (penindakan hukum),
Strategi lainnya adalah inisiatif pemerintah untuk menjadi perintis (pioneer) sebuah Lembaga Penyelenggara Sertifikat Elektronik pertama yang terpercaya dengan membangun infrastruktur Sertifikat Elektronik sendiri dan mendorong seluruh masyarakat pelaku transaksi elektronik menggunakan Sertifikat Elektronik tersebut.
Kajian Mandiri
32
Puslitbang SDPPI Kementerian Komunikasi dan Informatika Gedung B Lantai 4, Medan Merdeka Barat 9 Jakarta, 10110 Tel +62 21 348 33640 Fax +62 21 348 33640 http://balitbang.kominfo.go.id