RÛH DALAM AL-QUR’AN ANALISIS PENAFSIRAN PROF. DR. M. QURAISH SHIHAB ATAS SURAT AL-ISRA’ AYAT 85
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I)
Oleh Atti Nurliati NIM: 207034000059
Oleh Atti Nurliati
PROGRAM STUDI TAFSIR - HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSFAT UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
ABSTRAK Rûh dalam Al-Qur’an Dalam Al-Qur’an makna tentang rûh sangat beragam tergantung pada konteks apa kata al- rûh itu digunakan. Makna rûh bisa dikatakan alQur’an, malaikat Jibril, potensi membuat makhluk menjadi hidup, dll. Percaya terhadap keberadaan rûh merupakan salah satu keyakinan yang diajarkan al-Qur’an, dan mempercayai soal-soal yang ghaib merupakan salah satu sendi keyakinan beragama. Semua agama berdiri di atas keyakinan tersebut, dengan keyakinan itu manusia dapat merasakan ketentraman. Para ulama tafsir dan filosof dari dahulu hingga sekarang masih membicarakan mengenai apa makna dan hakikat rûh? Para filosof dan Pemikir Islam sejak dahulu berusaha memberikan aneka jawaban, namun tidak satu pun yang memuaskan nalar. Pembahasan mereka itu tidak dapat dinilai menyimpang dari tuntunan ayat ini karena jawaban yang diberikan Al-Qur’an di atas, tidak mutlak dipahami sebagai jawaban akhir terhadap pertanyaan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rûh masih merupakan misteri. Dari sinilah penelitian ini dilakukan untuk membahas serta mengungkap pengetahuan tentang rûh, oleh sebab itu dirasa sangat perlu adanya pemahaman tentang rûh dalam al-Qur’an. Untuk itu dipilihlah pokok permasalahan tentang rûh dalam al-Qur’an menurut analisis Prof. Dr. Quraish Shihab dalam surat al-Isra’ ayat 85.
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah menganugerahkan rahmat dan kasih sayang nya pula kepada seluruh makhluk. Dalam mengerjakan skripsi ini sempat mengalami kendala-kendala, seperti kesulitan dalam mencari bahan dan keputus-asaan hampir menyelimuti penulis. Namun berkat rahmat Allah swt penulis tetap mengerjakan skripsi ini hingga selesai walaupun masih banyak yang harus disempurnakan. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi akhir zaman yang telah memberikan teladan kepada umatnya serta membawanya ke jalan yang diridhai Allah SWT. Penulis menyadari dalam skripsi ini masih ada kekurangannya, skripsi ini hanyalah sebuah lilin dari sekian banyak kilauan cahaya. Semoga cahanya bermanfaat bagi yang ada di sekitarnya. Penulisan skripsi ini nampaknya tidak akan terwujud seperti ini tanpa adanya partisipasi dari berbagai macam pihak yang telah memberikan solusi saran dan kritik yang membangun dalam menghadapi segala kesulitan penulis dalam menulis skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada : 1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat; Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Dr. Zainun Kamaluddin,
M.A., Ketua Jurusan Tafsir Hadits, Dr. Bustamin, M.Si., Sekretaris Jurusan Tafsir Hadits, Ibu Dr. Lili Umi Kultsum, M.A. 2. Bapak Drs. A. Rifqi Muchtar, M.A., sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah meluangkan waktu dan tenaganya serta sabar memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Sehingga membuka cakrawala dan nuansa baru bagi penulis. 3. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ushuluddin Tafsir Hadits yang telah memberikan wawasan intelektual selama penulis “menimba” ilmu di jurusan tersebut. 4. Pimpinan Perpustakaan UIN dan Fakultas Ushuluddin, beserta jajarannya pengelolanya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian pustaka dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Seluruh keluarga di rumah khususnya orang tua tercinta, H. Ir.Taufiq Rahman dah HJ. Shaleha, dan kakak-adikku tercinta yang telah banyak membantu penulis dari segi materil,motivasi, dan doanya. Mencurahkan segala kasih sayangnya terhadap penulis dalam rangka menyelesaikan studi penulis. 6. Suamiku tercinta H. Abdul Basith, Lc, yang telah memberikan semangat,
doanya
menyelesaikan skripsi.
dan
motivasinya
kepada
penulis
dalam
7. Kepada segenap teman-teman seperjuangan Tafsir Hadits angkatan 2007. Kepada semuanya yang telah membantu penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah SWT. Membalas kebaikan dan bantuan yang telah mereka berikan selama penulisan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi pembaca serta menambah pengetahuan dan semoga bermanfaat untuk kita semua. Amin…
Jakarta, 1 Februari 2011 Penulis
( Atti Nurliati)
DAFTAR ISI ABSTRAK ........................................................................................i KATA PENGANTAR .....................................................................ii DAFTAR ISI ....................................................................................v PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................vii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar
Belakang
Masalah
.......................................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 7 D. Kajian Pustaka .................................................................... 8 E. Metodologi Penelitian ......................................................... 10 F. Sistematika Penulisan .......................................................... 11 BAB II M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISHBÂH A. Biografi, M. Quraish Shihab ............................................... 12 1. Riwayat Hidup dan Karir M. Quraish Shihab ................. 12 2. Karya-karya M. Quraish Shihab dan Pokokpokok Pemikiran ........................................................... 16 B. Karakteristik Tafsir al Mishbâh M. Quraish Shihab ............. 27 1.Pemilihan Nama al-Mishbâh ............................................ 27 2.Sumber Penafsiran al-Mishbâh ......................................... 29 3.Metode Penafsiran al-Mishbâh ......................................... 32 4. Corak Penafsiran al-Mishbâh .......................................... 37 5.Sistematika Penulisan al-Mishbâh .................................... 40 BAB III INTERPRETASI RÛH A. Pengertian Rûh secara Bahasa dan Istilah....................... 44 B. Pengertian Jiwa secara Bahasa dan Istilah ...................... 49 C. Perbedaan Pendapat Ulama dan Filosof ......................... 52
BAB IV ANALISIS M. QURAISH SHIHAB MENGENAI RÛH DALAM SURAT AL- ISRA’ AYAT 85 A. Klasifikasi Ayat- Ayat tentang Rûh ............................... 62 1. Kata rûh yang Menunjuk Arti Potensi Hidup ........... 62 2. Kata rûh yang Menunjuk Arti Jibril ........................ 64 3. Kata rûh yang Menunjuk Arti Wahyu atau Al-Qur’an ................................................................................ 6 5 .............................................................................. B. Lafazh Rûh Dalam Kaidah Bahasa Arab ....................... 66 C. Makna dan Hakikat rûh dalam Analisis M. Quraish Shihab ........................................................ 69 1.Rûh Sebagai Potensi Hidup ......................................... 73 2. Rûh Dalam Arti Jibril ............................................... 80 3. Rûh Dalam Arti Al-Qur’an ....................................... 82 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................... 90 B. Saran-Saran..................................................................... 92 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 93
PEDOMAN TRANSLITERASI1 A. Konsonan Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan tidak dilambangkan
1
B
Be
T
Te
Ts
te dan es
J
Je
H
h dengan garis bawah
Kh
ka dan ha
D
da
Dz
De dan zet
R
Er
Z
Zet
S
Es
Sy
es dan ye
S
es dengan garis bawah
D
de dengan garis bawah
T
te dengan garis bawah
Z
zet dengan garis bawah
‘
koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105
Gh
ge dan ha
F
Ef
Q
Ki
K
Ka
L
El
M
Em
N
En
W
We
H
Ha
‘
Apostrof
Y
Ye
B. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebai beeriku: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
___َ___
A
Fathah
___ِ___
I
Kasrah
___ُ___
U
Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
__َ__ي
Ai
a dan i
__َ__ و
Au
a dan u
C. Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ــَﺎ
Â
a dengan topi di atas
ــﻲ
Î
i dengan topi di atas
ـــﻮ
Û
u dengan topi di atas
D. Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
E. Syaddah (Tashdid) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya. F. Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh:
No
Kata Arab
Alih aksara
1
Tarîqah
2
al-jâmî ah al-islâmiyyah
3
wahdat al-wujûd
G. Huruf Kapital Meskipun dalam tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid AlGhazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang merupakan kumpulan firman Allah swt, yang tujuannya adalah untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Agar tujuan itu dapat direalisasikan oleh manusia, maka al-Qur’an datang dengan petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan, aturan-aturan, prinsip-prinsip dan konsep-konsep, baik bersifat global maupun yang terinci yang eksplisit maupun yang implisit dalam berbagai persoalan dan bidang kehidupan. Al-Qur’an sendiri menyatakan dirinya sebagai al-Kitâb yang mempunyai tujuan sebagai hudan (petunjuk) bagi manusia pada umumnya dan bagi orang-orang yang bertaqwa pada khususnya; Al-Furqân ( pembeda antara yang baik dan buruk, antara yang nyata dan khayal, antara yang mutlak dengan yang nisbi); Rahmat (rahmat); Syifâ (obat penawar); khususnya untuk hati yang resah dan gelisah; Mauidzat (nasehat, wejangan, petuah); penjelasan bagi sesuatu, peringatan bagi seluruh alam dan sebagainya. Jadi secara eksplisit Al-Qur’an adalah kitab suci yang berdimensi banyak dan berwawasan luas.2 Meskipun demikian dalam memahami al-Qur’an, umat Islam sering menemukan kesulitan. Hal ini terjadi karena ada ayat-ayat tertentu yang 2
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), h. 71.
sukar dimengerti maksud dan kandungannya atau samar artinya. Maka disinilah fungsi tafsir sebagai kunci untuk membuka gudang simpanan yang tertimbun dalam al-Qur’an sangat diperlukan. Dan karena fungsinya yang esensial, maka tafsir sudah sepantasnya ditempatkan sebagai ilmu yang paling tinggi derajadnya.3 Tafsĭr
yang
berarti
upaya
memahami,
menjelaskan,
dan
mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an, secara praktis telah dimulai pada masa Nabi. Beliau merupakan mufassir pertama (al-Mufassir
al-Awwâl)
yang
berfungsi
sebagai
mubayyin
yang
menjelaskan arti dan kandungan Al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya. Adapun ayat yang ditafsirkan Nabi Muhammad Saw. Itu menyangkut ayatayat yang tidak bisa mereka fahami atau samar artinya. Dan proses semacam ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasulullah Saw. Meskipun harus diakui, bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui sebagai akibat dari tidak sampainya riwayat-riwayat tentang hasil
interpretasi Rasulullah Saw. Terhadap al-Qur’an atau karena Rasulullah saw. Sendiri tidak menjelaskan semua kandungan al-Qur’an.4 Penjelasan-penjelasan Rasulullah Saw. Terhadap
Al-Qur’an,
selanjutnya menjadi pegangan utama bagi mufassir ketika mereka menggali isi kandungan Al-Qur’an. Perkembangan selanjutnya, penjelasan 3
Manna’ Khalil Al-Qaththan, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an (Bogor: Pustaka Litera, 2004), cet.-8, h. 327. 4 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), h. 71.
Nabi Saw tersebut melahirkan tafsir bi al-riwâyah (bi al-ma’tsǔr) yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, sunnah Nabi, dan riwayatriwayat yang bersumber dari sahabat dan tabi’in. selain Tafsir bi alRiwâyah, ada yang disebut dengan tafsir bi al-Dirâyah (bi al-maqul) yang sering kita kenal dengan sebutan bi al-Ra’yî yaitu penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan perangkat ijtihâd. Adanya penafsiran terhadap AlQur’an sebagaimana tersebut diatas, karena Al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan secara mendetail tentang suatu ayat atau tema yang dibahas. Dari sekian banyak tema yang dibahas oleh Al-Qur’an, ada beberapa ayat menjelaskan tentang rûh, firman Allah SWT surat Al-Isra’ : 85 :
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang rûh. Katakanlah: "Rûh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit" (Q.S. Al-Isra’: 85). Persoalan rûh sebenarnya dari dulu sampai sekarang , tetap menjadi teka-teki yang belum terjawab secara memuaskan. Banyak sudah pendapat tentang itu, namun kesepakatan tidak pernah didapat. Oleh karena itu pembicaraan mengenai rûh ini masih tetap aktual. Percaya terhadap keberadaan rûh merupakan salah satu keyakinan yang diajarkan al-Qur’an, dan mempercayai soal-soal yang ghaib merupakan salah satu sendi keyakinan beragama. Semua agama berdiri di
atas keyakinan tersebut, dengan keyakinan itu manusia dapat merasakan ketentraman. 5 Atas dasar itu, tidaklah salah bagi kalangan ilmuwan berupaya mengetahui hakikat rûh secara umum namun tidak terinci. Boleh jadi di masa depan akan terjadi lebih banyak perubahan yang menjadikan para ilmuwan memiliki kemampuan untuk mengungkap sebagian dari hakikat rûh. Karena itu kita tidak sependapat dengan mereka yang berkata bahwa kita harus berhenti pada penjelasan mengenai hakikat rûh. Selanjutnya apakah penggalan terakhir ayat “Kalian tidaklah di beri pengetahuan kecuali sedikit”. Termasuk jawaban yang diperintah untuk di sampaikan atau komentar tentang keterbatasan pengetahuan manusia?6
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rûh masih merupakan misteri. Dari sinilah muncul ide untuk membahas serta mengngungkap pengetahuan tentang ruh, dan atas dasar inilah Skripsi yang berjudul “Rûh Dalam al-Qur’an Analisis Penafsiran Prof. Dr. M. Quraish Shihab Dalam Surat al-Isra’ ayat 85”. Ini bisa menjadi jawaban atas mesteri rûh yang ramai diperbincangkan masyarakat. Skripsi ini tidak berpretensi untuk mengungkap misteri itu, tetapi hanya ingin mengatakan bahwa di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan
5
Yahya Saleh Basalamah, Manusia dan Alam Ghaib ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), cet. Ke-11, h. 138. 6 Sudirman Tebba, Ruh Misteri Maha Dahsyat ( Ciputat: Pustaka Irvan, 2008), h. 6-7.
peradaban manusia kelihatannya rûh masih tetap merupakan misteri. Ini sesuai dengan firman Tuhan bahwa tidaklah ilmu itu diberikan kepada manusia kecuali hanya sedikit. Oleh sebab itu, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi positif bagi kita semua dan dapat memberikan informasi yang akurat tentang mesteri rûh yang selama ini menjadi mesteri dalam kehidupan masyarakat.
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah Pembahasan sekitar Rûh sangat luas dikaji di kalangan ulama tafsir, filosof dan ahli tasawuf. Oleh sebab itu, Di dalam skripsi ini penulis akan membatasi permasalahan seputar rûh, melalui penafsiran Prof. Dr. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Mishbâh sebagaimana yang tercantum dalam surat al-isra’ ayat 85. Rumusan masalah yang dihadirkan didalam penelitian ini adalah : “Bagaimana
Penafsiran Rûh surat al-Isra’ ayat 85 menurut Prof. Dr.
Quraish Shihab Dalam Tafsîr al-Mishbâh ”?. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan sejauh mana pandangan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbâh tentang konsep rûh dalam al-Qur’an. Terutama konsep rûh dalam isyarat al-Isra’ ayat 85, Hal ini dilakukan karena di dalam penafsiran Quraish Shihab yang tertuang dalam Tafsir Al-Misbâh terdapat banyak syarat ilmiah yang bisa bermanfaat bagi para pambaca dan khususnya pada diri penulis sendiri, untuk mengetahui lebih dalam tentang konsep rûh dalam al-Qur’an.
Penulis melakukan penelitian ini karena memiliki tujuan untuk meningkatkan pengetahuan serta ingin menggali lebih dalam pengetahuan tentang rûh. Salah satu indikasinya adalah sebagaimana kita ketahui bahwa ruh ini telah banyak dibicarakan dikalangan masyarakat kita, bahkan seakan-akan menjadi misteri yang menakutkan bagi kita semuannya. Hasil yang diperoleh dari penelitian skripsi ini diharapkan memberikan manfaat praktis yang dapat membantu seluruh lapisan masyarakat terutama kalangan ilmuan, dari berbagai latar belakang, untuk memperluas wawasan serta pengetahuan mengenai penafsiran rûh secara mendalam, sehingga kita dapat mengetahui hakikat rûh secara sebenarnya, dan tidak menjadikannya
sebagai
misteri
menafsirkannya secara asal-asalan.
yang
menyeramkan
serta
tidak
D. Kajian Pustaka Setelah meneliti data-data yang berhubungan dengan topik yang dibahas, penulis menemukan buku-buku atau karya ilmiah yang membahas tentang rûh dalam sudut pandang al-Qur’an menurut ulama tafsir, filosof dan khususnya Tafsir Al-Mishbâh. Sepanjang peneliti melakukan penelitian menemukan berbagai sumber-sumber karya sebagai rujukan antara lain: 1. Karya Rûh , oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauzî , kitab ini terkandung berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan rûh orang-orang yang sudah mati maupun yang masih hidup, disertai dalil-dalil dari kitâb, Sunnah, dan atsâr, dan pendapat para ulama. 2. Manusia dan Alam Gaib karya Yahya Saleh Basalamah, buku ini mengetengahkan masalah gaib yang wajib diimaninya. Juga tentang hal yang dibutuhkan oleh keimanan dalam hubungan manusia dengan yang gaib, yang merupakan zat pencipta, Allah dan masalah kedudukan alam raya, dari dua sisi: alam gaib dan alam nyata. 3. Rûh Misteri Mahadahsyat. karya Sudirman Tebba, buku ini menerangkan pengertian tentang rûh, nafs , jiwa, dan qalb. Disertai persamaan dan perbedaannya yang dikuatkan dengan dalil-dalil dari sunnah dan pendapat ulama.
4. Rûh itu Misterius karya Imam Fakhruddin al-Răzĭ, kitab ini merupakan karangan al-Râzi yang membahas mengenai berbagai pertanyaan tentang rûh disertai dalil-dalil dari kitâb, sunnah, dan atsâr, dan pendapat para ulama pilihan. 5. Rûh dalam perspektif Imam Fakhruddin al-râzĭ penelitian ini ditulis oleh Abdu al- Rahmăn Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits tahun 2002. Perbedaan Karya Ilmiah penulis dengan Karya Ilmiah Rûh dalam perspektif Imam Fakhruddin al-râzi adalah dari perspektif penafsiran ulama. Karya Ilmiah penulis menganalisis pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab mengenai rûh terutama didalam Q.S al-Isra’ ayat 85 dan disertai pendapat para ulama tafsir mengenai pembahasan tentang rûh. Sedangkan Karya Ilmiah rûh dalam perspektif al-râzi tidak dengan ayat yang lebih spesifik hanya secara umum.
E. Metodolgi Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, ada tiga aspek metodolgi penelitian yang digunakan: a. Metode pengumpulan data. Untuk mendukung metode terdebut, penulis melakukan
penelitian
kepustakaan
(Library
Research).
Yaitu
menggunakan data primer yang berkaitan dengan konsep Rûh. Sebagai
sumber primer penulis merujuk pada Tafsir Al-Mishbâh. Sedangkan data sekunder penulis menggunakan buku-buku, artikel, makalah yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis bahas. b. Tekhnik pembahasan dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis yaitu mengungkapkan penafsiran M. Quraish Shihab kemudian menganalisis secara kritis. c. Adapun teknis penulisan yang digunakan dan dijadikan pedoman penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi), yang diterbitkan oleh CEQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”2007.
F. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab dan setiap bab dibagi kedalam sub-sub dengan perincian sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan, diantaranya mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, dan metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II: Kajian yang berisi tentang deskripsi riwayat hidup Prof. Dr. Quraish Shihab, serta karya-karya , dan pokok pemikiran Prof. Dr. Quraish Shihab , Sumber penulisan tafsir Al-Misbâh, Metode Penafsiran Al-Mishbâh, dan Corak Penafsirannya dan sistematika penafsirannya.
Bab III: Interpretasi tentang Rûh yang terdiri dari Pengertian rûh secara bahasa dan Istilah, pengertian jiwa secara bahasa dan istilah, Rûh dalam perspektif Ulama Tafsir dan Filosofis. Bab IV: Klasifikasi Ayat-Ayat Tentang Rûh Dalam Al-Qur’an, Lafazh Rûh Dalam Kaidah Bahasa Arab, dan Analisa penafsiran Rûh surat al-Isra’ ayat 85 dalam Tafsir al-Mishbâh. Bab V: Penutup, berisi kesimpulan dan Saran-saran.
BAB II M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISHBÂH A. Biografi M. Quraish Shihab 1. Riwayat Hidup dan Karier M. Quraish Shihab Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944, adalah seorang cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu alQur’an. Terlahir sebagai putra Prof. Dr. Abdurrahman Shihab, seorang penggagas sekaligus pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya seorang guru dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang ulama, pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujung Pandang yaitu UMI, dan IAIN Alauddin
Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai rektor kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959-1965 dan IAIN 1972-1977.7 Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anakanaknya duduk bersama setelah maghrib. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat alQur’an. Quraish Shihab kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur’an sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian alQur’an yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca al14 Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam alQur’an. Disinilah, benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an mulai tumbuh. Pendidikan formalnya di Makassar dimulai dari sekolah dasar sampai kelas 2 SMP. Pada tahun 1956, Ia dikirim ke kota Malang untuk “nyantri” di Pondok Pesantren Dârul Hadîs al-Faqihiyah. Karena ketekunannya belajar di pesantren, 2 tahun berikutnya ia sudah mahir berbahasa Arab. Melihat bakat bahasa Arab yang dimilikinya, dan ketekunannya untuk mendalami studi keislamannya. Quraish Shihab beserta adiknya Alwi Shihab dikirim ayahnya ke al-Azhar Cairo melalui beasiswa dari propinsi Sulawesi, Pada awal 1958 dalam usia 14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir. Dan diterima di kelas II Tsanâwiyah al-Azhar. Kemudian melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas 7
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an ( Bandung: Mizan, 1994), h. 6.
Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 Ia meraih gelar LC. Dua tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A. Pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I’jâz at-Tasyrĭ’ alQur’ăn al-Karîm (kemukjizatan al-Qur’an dari segi Hukum).8 Pada tahun 1973 Ia dipanggil pulang ke Makassar oleh ayahnya yang ketika itu menjabat sebagai rektor, untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Quraish Shihab menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Disamping menduduki jabatan resmi itu, ia juga sering mewakili ayahnya yang uzur karena usia, dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian Timur, pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan lainnya di luar kampus. Di celah-celah kesibukannya ia masih merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia (1975) dan masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).9 Untuk mewujudkan cita-citanya Ia mendalami studi tafsir, pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, alAzhar Cairo, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doctor dalam bidang disertasinya yang berjudul Nazm al-Durâr li al-Biqa’I Tahqiq wa Dirâsah 8
Drs. Mustafa P, M. Ag, M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), h. 65. 9 http.// id. Wikipedia. Org/wiki/ Muhammad_Quraish_Shihab
(Suatu kajian dan analisa terhadap keotentikan kitab Nazm al-Durâr karya al-Biqa’I ). Berhasil dipertahankannya
dengan predikat penghargaan
Mumtâz Ma’a Martabah asy-Syaraf al-Ulâ. Pada tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya untuk pindah tugas dari dari IAIN Makassar ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Qur’an di Program S1, S2, S3 sampai tahun 1998. Disamping melaksanakan tugas-tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negeri Republik Mesir merangkap Negara Republik Djibouti berkedudukan di Cairo. Kehadiran Quraish Shihab di ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Disamping mengajar ia juga dipercaya untuk menduduki semua jabatan. Diantaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984-1990), anggota lajnah Pentashhih alQur’an,Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organiasi professional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan
Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan sebagi Dewan Redaksi Studi Islamika: Indonesia Journal for Islamic Studies, Ulumul Qur’an, Mimbar Ulama, dan Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.10 Howard M Federspiel mengatakan beliau sebagai orang yang unik bagi Indonesia karena sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di negeri Barat. Kemudian
ia mengatakan: “Ketika meneliti biografinya,
saya menemukan bahwa ia berasal dari Sulawesi Selatan, terdidik di pesantren, dan menerima pendidikan tingginya di Mesir pada Universitas al-Azhar, di mana ia menerima gelar M.A dan Ph.Dnya. ini menjadikan ia terdidik lebih baik di bandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Popular Indonesian Literature of the Qur’an.11 2. Karya-Karya M. Quraish Shihab dan Pokok-Pokok Pemikiran Beliau a. Karya-Karya Beliau M. Quraish Shihab merupakan sosok Intelektual yang produktif. Di tengah-tengah kesibukannya yang luar biasa yaitu sebagai dosen, pejabat tinggi, dan organisasi. Beliau masih sempat menulis karya-karya ilmiah yang di presentasi dalam berbagai seminar, rubric atau kolom yang dimuat 10
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2007), h. 368. 11 Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an Di Indonesia Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1996), h. 295-297.
dalam beragam surat kabar, majalah, maupun buku-buku. Tulisannya bernuansa
sejuk,
sederhana,
mudah
di pahami,
sehingga
tidak
mengherankan bila diantara buku karyanya menjadi best seller dan mengalami cetak ulang berkali-kali. Adapun karya-karya yang telah di tulis oleh M. Quraish Shihab, khususnya yang di terbitkan berbentuk buku diantaranya yaitu: 1. Al-Asmaul Husnâ. Karya ini mencakup uraian-uraian tentang nama Tuhan yang berjumlah 99. Sebagian dari isinya juga di bawakan untuk materi ceramah yang disampaikan di salah satu stasiun televisi pada bulan Ramadhan. 2. Dia dimana-mana “ Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena”. Karya ini diterbitkan d Jakarta oleh Lentera Hati pada tahun 2005. 3. Fatwa-fatwa (Bandung: Mizan) Buku ini adalah kumpulan pertanyaan yang di jawab oleh M. Quraish Shihab yang terdiri dari 5 seri: Fatwa seputar Al-Qur’an dan Hadits, Seputar Tafsir AlQur’an, Seputar Ibadah dan Mu’amalah, Seputar wawasan Agama, Seputar Ibadah Mahdhah. 4. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987). 5. Haji bersama Quraish Shihab. Karya ini diterbitkan di Bandung: Mizan, 1999. 6. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-Ayat Tahlil. Karya ini diterbitkan di Jakarta: Lentera Hati, 1999.
7. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah : pandangan Ulama masa lalu dan Cendekiawan Kontemporer. Diterbitkan oleh Lentera Hati Jakarta tahun 2004. 8. Kumpulan Tanya Jawab Quraish Shihab, Mistik, Seks, dan Ibadah. Ini diterbitkan oleh Penerbit Republika pada tahun 2004. 9. Logika Agama, Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal. Diterbitkan oleh Lentera Hati pada tahun 2005. 10. Mu’Jizat al-Qur’an. Di tinjau dari Aspek Kebahasaan, Aspek Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib. Karya ini diterbitkan oleh Mizan pada tahun2007. 11. Membumikan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 1992). Buku ini Best Seller yang terjual lebih dari 75 ribu kopi. 12. Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah). Karya ini diterbitkan pada tahun 1988, oleh penerbit Untagma, Jakarta. Isinya merupakan dari kandungan surat Al-Fatihah. 13. Quraish Shihab menjawab 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui. Lentera Hati, Ciputat Cetakan V April 2009. 14. Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga yang dijanjikan al-Qur’an. Karya ini diterbitkan Lentera Hati cetakan III pada tahun Juli 2005.
15. Perempuan dari cinta sampai seks, dari Nikah Mut’ah sampai sunnah, dari Bias lama sampai Bias Baru. Karya ini diterbitkan di Jakarta oleh Lentera Hati cetakan IV April pada tahun 2007. 16. Pengantin Al-Qur’an. Karya ini diterbitkan di Jakarta: Lentera Hati, 1998. 17. Secercah Cahaya Ilahi : Hidup bersama Al-Qur’an (Republish, 2007). 18. Sahur bersama Quraish Shihab. Karya ini diterbitkan di Bandung: Mizan, 1999. 19. Sunnah-Syi’ah bergandengan
tangan
mungkinkah? Penerbit
Lentera Hati, Ciputat Tangerang, 2007. 20. Tafsir Al-Manâr, Keistimewaan dan Kelemahannya. Diterbitkan di Ujung Pandang pada tahun 1984. 21. Tafsir Al-Qur’anul Karim, Tafsir atas surat-surat pendek berdasarkan urutan turunnya wahyu. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999. 22. Tafsir Al-Mishbâh, karya ini dapat di katakan sebagai puncak produk M. Quraish Shihab. Karya ini diterbitkan oleh Lentera Hati, Jakarta 2002.
23. Tafsir Al-Amânah. Karya ini merupakan kumpulan Artikel dan rubric yang di asuhnya pada Majalah Amanah, diterbitkan oleh Pustaka Kartini pada tahun 1992. 24. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir al-Maudhu’I
atas berbagai
persoalan. Karya ini diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1996. Dan juga menjadi Best Seller. 25. Wawasan Al-Qur’an tentang zikir dan do’a. Lentera hati, ciputat Tangerang cetakan I Agustus 2006. 26. Untaian Permata buat Anakku. Karya ini diterbitkan oleh Mizan, di Bandung pada tahun 1998. 27. Yang Tersembunyi, Jin, Iblis, dan malaikat. Karya ini menguraikan tentang persoalan-persoalan yang ghaib yang ada di sekitar kita. Diterbitkan di Jakarta oleh Lentera Hati pada tahun 2000. b.
Pokok-pokok Pemikiran Quraish Shihab 1. Pemikiran Ilmu Kalâm M. Quraish Shihab Kalam M. Quraish Shihab ada sepuluh materi dimulai dengan menyoroti pandangannya tentang: Kemahakuasaan Tuhan (termasuk didaamnya, perbuatan Tuhan), SifatSifat Tuhan, Antropomorfisme, Melihat Tuhan, Kalam Tuhan, Konsep Iman, Takdir dan ikhtiar, Keadilan Tuhan, Sunnatullah, dan Fungsi akal dan wahyu. Pemikiran kalam M. Quraish shihab tentang sepuluh materi
tersebut dibawa dan dibandingkan dengan pemikiran kalam tradisional (aliran Asy’ariyah)dan rasional (aliran Mu’tazilah). Lima aspek pemikiran kalam M. Quraish Shihab yang nampak sejalan dengan pemikiran kalam tradisional adalah mengenai masalah sifat Tuhan, melihat Tuhan, kalam Tuhan, sunnat al-Allah, dan fungsi akal dan wahyu. Mengenai sifat Tuhan beliau cenderung tidak sepakat dengan pandangan yang menyatakan bahwa sifat dan zat Tuhan itu sebagai identik. Itu berarti beliau menegaskan bahwa sifat dan zat Tuhan itu merupakan dua entitas yang berbeda, suatu pandangan yang khas dalam pemikiran tradisional. sifat-sifat Tuhan dapat dibagi menjadi sifat salabî 12 (negative) dan sifat ijabî 13 (positif). Mengenai sifat salabî, Asy’ariyah dan Mu’tazilah memiliki persamaan dalam pandangan mereka, yaitu bahwa sifat-sifat itu tidak menambahkan sesuatu kepada zat Tuhan. Akan tetapi, dalam masalah sifat Ijabî mereka berbeda pendapat secara tajam. Kaum Asy’âriyah berpendapat bahwa sifat-sifat Ijabî berbeda dengan zat Tuhan dan di antara sifat-sifat itu sendiri berlainan satu sama lain. Sebaliknya, Mu’tazilah berpendapat bahwa sifat dan zat Tuhan bukan dua entitas yang terpisah, melainkan suatu ketunggalan. Mereka mengakui bahwa Tuhan Maha Mengetahui dalam arti mengetahui dengan perantaraan pengetahuan,
12 Sifat Salabi meliputi sifat-sifat Esa, qadim, baqa, dan berbeda dengan makhluk. Di katakan sifat-sifat salabi, karena Esa berarti tidak ada sekutu bagi-Nya, qadim berarti tidak ada permulaan, baqa berarti tidak ada pengakhiran, dan berbeda dengan makhluk berarti tidak ada yang menyamai-Nya. 13 Sifat Ijabi meliputi, mendengar, melihat, mengetahui (ilmu), kuasa dan sebagainya.
dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Dengan demikian sifat Tuhan sekaligus zatnya. Mengenai masalah Melihat Tuhan, beliau sepakat dengan pandangan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat, tetapi dengan menggaris bawahi : “paling tidak, dalam kehidupan dunia ini”. Itu berarti dia tidak menutup kemungkinan bahwa Tuhan bias dilihat di akhirat nanti, dengan cara dan kondisi yang tidak sama dengan persepsi yang dibayangkan dalam kehidupan dunia ini. Mengenai kalâm Tuhan atau al-Qur’an M. Quraish Shihab berpendapat bahwa al-Qur’an yang disisi Allah adalah Qadîm, sedangkan al-Qur’an terdiri dari huruf-huruf, kata-kata, ayat dan surat tertulis dan terbaca dalam bahasa Arab itu adalah hadîs (baru). Pandangannya tentang masalah melihat Tuhan dan kalam Tuhan sejalan dengan pandangan kaum tradisional. Dua aspek yang sejalan pula dengan kaum tradisional adalah mengenai masalah sunnat al-Allah serta fungsi akal dan wahyu. Bagi M.Quraish Shihab apa yang disebut sunnat al-Allah atau hukum alam yang berwujud kausalitas itu tidak lebih dari sekedar “urutan kejadian yang tidak bersambung” dari dua peristiwa atau lebih. Dengan demikian melihat dan menjelaskan fenomena dunia ini dengan menggunakan sudut pandangan “atomistic” terhadap alam seperti yang dilakukan kaum Asy’âriyah. Tidak ada sesuatu hukum sebab-akibat. Setiap wujud berdiri sendiri, dan Tuhanlah yang memadukan aneka ragam wujud itu sesuai dengan kehendak mutlak-Nya. Mengenai fungsi akal dan wahyu, beliau
berpendapat bahwa akal hanya dapat mengetahui wujud Tuhan, yakni bahwa Tuhan itu ada. Akal tidak akan dapat mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, dan mengetahui tentang kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Ketiga hal tersebut dapat diketahui melalui informasi wahyu. Pandangan ini tepat persis pandangan kalam Asy’âriyah. Sedangkan lima aspek pemikiran kalamnya yang sejalan dengan pemikiran kalam rasional adalah mengenai kemahakuasaan Tuhan dan perbuatan Tuhan, antropomorfisme, konsep Iman, takdir dan ikhtiar, serta keadilan Tuhan. Menurut M. Quraish Shihab kemahakuasaan Tuhan dibatasi oleh sunnat al-Allah dan hukum logika (artinya Tuhan tidak bisa berbuat sesuatu yang bertentangan dengan sifat kemahasempurnaan-Nya). Dalam kaitan ini dia menyatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan kebaikan; keburukan yang nampak dalam kehidupan ini hanyalah keterbatasan persepsi manusia yang tidak bisa menjangkaunya. Mengenai masalah antropomorfisme, dia menolak penafsiran yang memberikan gambaran Tuhan yang mempunyai sifat-sifat jasmani. Kemudian mengenai konsep iman, dia berpendapat iman adalah pembenaran dalam hati (tasdiq), pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan, terhadap apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Sedangkan mengenai masalah takdir dan ikhtiar, beliau cenderung berpendapat bahwa manusialah yang menentukan nasibnya, walaupun manusia tidak terlepas dari hukum takdir. Akhirnya, tentang keadilan
Tuhan, beliau berpendapat dengan keadilan-Nya pasti akan member ganjaran kepada orang-orang yang berbuat baik dan menjatuhkan hukuman terhadap orang-orang yang berbuat buruk, walaupun terhadap yang terakhir Tuhan mungkin mengampuni dosanya. M. Quraish Shihab dalam merumuskan pandangan kalamnya, hampir sepenuhnya menempuh pendekatan tradisional, dalam arti beliau mencapai kesimpulan-kesimpulan analisisnya lebih berdasarkan analisis semantic (kebahasaan) yang didukung pendekatan tafsir bi al-ma’tsûr. Beliau menghindari penggunaan takwil seperti yang banyak ditempuh kaum Mu’tazilah. Bahkan beliau mengkritik kecenderungan para mufassir yang terlalu banyak menggunakan takwil tanpa didukung oleh makna kebahasaan.14 Dengan demikian, secara keseluruhan, dari segi metodenya pemikiran kalam M. Quraish Shihab cenderung bercorak tradisional, maka refleksi pemikiran kalamnya akan cenderung bercorak normativitas. 15 2. Pemikiran M. Quraish Shihab tentang Batas Aurat Pakaian Wanita Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi, sedangkan hadits-hadits yang merupakan rujukan utama dan yang dikemukakan oleh berbagai pihak, tidak 14
Drs. Mustafa P., M. Ag, M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), cet. Ke-1, h. 200-202. 15 Pemikiran Kalam yang bercorak Normativitas adalah pemikiran kalam yang dalam usahanya untuk memfungsionalkan ajaran agama yang bertolak dari keprihatinan terhadap realitas teoritis (teks). Pemikiran kalam yang bertolak dari keprihatinan terhadap realitas teoretis pada dasarnya mengabdi kepada kepentingan doktrin, yakni bagaimana ajaran agama bias di pahami umat secara benar.
meyakinkan pihak lain, baik karena dinilai lemah oleh kelompok yang menolaknya atau diberi interpretasi yang berbeda. Perbedaan pendapat para ulama masa lampau tentang batas-batas yang ditoleransi untuk terlihat dari wanita membuktikan bahwa mereka tidak sepakat tentang nilai keshahih-an riwayat-riwayat yang berkaitan dengan batas-batas aurat wanita dan ini sekaligus menunjukkan bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhannî yakni dugaan. Seandainya ada hukum yang pasti yang bersumber dari Al-Qur’an atau sunnah Rasul SAW., tentu mereka tidak akan berbeda dan tidak pula akan menggunakan nalar mereka dalam menentukan luas dan sempitnya batasbatas itu. Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapatpendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbanganpertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas. Dari sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilâfiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Kesimpulan yang diambil dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah Maret 1988 adalah “Tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup menurut hukum Islam, dan menyerahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan.
Memang, harus diakui bahwa kebanyakan ulama masa lampau hingga kini, cenderung berpendapat bahwa aurat wanita mencakup seluruh tubuh mereka kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Akan tetapi, harus pula diakui bahwa ada pendapat lain yang lebih longgar di samping kenyataan menunjukkan bahwa banyak kalangan keluarga ulama yang terpandang wanita-wanitanya baik anak maupun istri tidak mengenakan jilbab. Di Indonesia, lihatlah misalnya sebagian dari Muslimat Nahdatul Ulama, atau Aisyiah. Tentu saja para ulama kedua organisasi Islam yang trbesar
di
Indonesia
itu
memiliki
alasan
dan
pertimbangan-
pertimbangannya, sehingga praktek yang mereka lakukan itu apalagi tanpa teguran dari para ulama boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran atas pendapat yang menyatakan bahwa yang terpenting dari pakaian wanita adalah yang menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak mengundang gangguan dari mereka yang usil. M. Quraish Shihab perlu mengingatkan bahwa, kendati ditemukan aneka pendapat tentang batas-batas aurat wanita, namun terdapat juga beberapa ketentuan yang disepakati oleh para ulama dan cendekiawan muslim, baik masa lalu maupun masa kini dalam hubungannya dengan aurat dan pakaian wanita.16 B. Tafsir Al-Mishbâh M. Quraish Shihab 1. Latar Belakang Pemilihan Nama al-Mishbâh
16
M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah ( Jakarta : Lentera Hati, 2006), cet. Ke-3, h. 179-180.
Karya besar tafsir M. Quraish Shihab yang satu ini di beri nama “Tafsir al-Mishbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian. Yang biasa disingkat dengan Tafsir al-Mishbâh saja, penamaan Tafsir al-Mishbâh pada kitab tafsirnya tentunya melalui pertimbangan yang masak. Yang mengetahui alasan-alasannya hanyalah penulisnya saja. Walaupun secara eksplisit Quraish tidak menyebutkan alasan penamaannya, namun hal tersebut dapat dilacak dan dianalisis berdasarkan uraian-uraian yang diungkapkan pada sambutannya atau sekapur sirih. Dalam analisis Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA. Pada kata pengantar Tafsir al-Mishbâh tersebut terdapat alasan pemilihan nama, alMishbah ini paling tidak mencakup 2 (dua) hal, Pertama, pemilihan nama itu berdasarkan
pada fungsinya, al-mishbâh berarti lampu gunanya
menerangi kegelapan. Dengan pemilihan nama ini dapat diduga bahwa Quraish mempunyai suatu harapan ingin memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami al-Qur’an secara langsung karena bahasa.17 Kedua, pemilihan nama ini didasarkan pada awal kegiatan Quraish Shihab dalam hal tulis-menulis di Jakarta. Pada tahun 1980-an, ia sebagai pengasuh rubric “Pelita Hati”, pada Harian Pelita. Rupanya uraian yang disajikannya menarik banyak pihak, karena memberikan nuansa yang sejuk, tidak bersifat menggurui dan menghakimi. Pada tahun 1994, 17
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan dan Keserasian al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2000), Vol. I, h. v-viii.
kumpulan tulisannya itu diterbitkan oleh Mizan judul Lentera Hati, dari sinilah nampaknya pengambilan nama al-Mishbâh itu berasal. Karena Lentera paduan dari kata pelita atau lampu disebut dengan nama alMishbâh; dan kata inilah yang kemudian dipakai oleh Quraish Shihab untuk menjadikan karyanya. 18 Pada akhir dari sekapur sirih yang terdapat pada Tafsir al-Mishbâh volume I, M. Quraish Shihab menerangkan awal penulisan tafsir AlMishbâh bertempat di Kairo Mesir, pada hari Jum’at 4 Rabi’ul Awal 1420 H, bertepatan pada tanggal 18 Juni 1999 M. Kemudian diterbitkan untuk pertama kalinya pada bulan Sya’ban bertepatan pada bulan November 2000 M. Oleh penerbit Lentera Hati, dicetak dengan hard cover terdiri dari 15 volume besar. 19 2. Sumber Penafsiran Al-Mishbâh Yang dimaksud sumber penafsiran di sini adalah hal-hal atau materi yang digunakan untuk menjelaskan makna dan kandungan ayat, atau menurut M. Yunan Yusuf, yaitu cara seorang mufassir memberikan tafsirannya, apakah menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan alQur’an, al-Qur’an dengan al-Hadits, al-Qur’an dengan riwayat sahabat, kisah Israiliyyăt, atau menafsirkan al-Qur’an dengan fikiran (ra’y).20 18
Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab dalam jurnal Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002, h. 176-177. 19 M. Qurash Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. xii. 20 M. Yunan, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia abad keduapuluh, Jurnal Ulmul Qur’an, Vol. III, No. 4, 1992, h. 51. Atau dalam Ishtilah Nashruddin Baidan, sumber ini adalah bentuk penafsiran. Lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), Cet. Ke-1, h. 9.
Dalam literature Ulum Qur’an, sumber penafsiran ini dapat dibagi pada dua macam, yaitu penafsiran bi al-ma’tsûr, adalah penafsiran Qur’an dengan al-Qur’an, al-Hadits, pendapat sahabat dan tabi’in.21 Sedangkan penafsiran bi al-Ra’yî adalah penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak. Tafsir bi al-Ra’yî ini disebut juga dengan tafsir bi al-Ijtihâd yaitu penafsiran yang menggunakan penalaran akal.22 Berbicara
tentang
sumber
penafsiran
Al-Mishbâh,
penulis
cenderung terhadap tafsir Al-Mishbâh dapat dikelompokkan pada penafsiran tafsir bi Ra’yî. Kesimpulan seperti ini diambil dari pernyataan penulis Tafsir Al-Mishbâh pada sekapur sirih pada Tafsir Al-Mishbâh volume I. redaksi yang tulisannya sebagai berikut: Akhirnya penulis merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandanganpandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim ibn Umar al-Biqa’I (w. 885 H-1480 M ) yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Al-Azhar Cairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian juga karya tafsir pemimpin Al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthâwi, juga Syekh Mutawallî asy-Sya’râwĭ, dan tidak ketinggalan
21
Muhammad Abd al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an ( Beirut : Isa al-Babi al-Halabi ), Jilid I, h. 21. Lihat juga Manna’ Khalil al-Qaththan, Studi-Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an ( Jakarta : Pustaka Lintera Antarnusa, 2004), Cet. VIII, h. 482. Adapun yang terakhir, yaitu pendapat Tabi’in para ulama ada yang memasukkannya ke dalam golongan tafsir bi al-Ma’tsur, ada pula yang memasukkannya ke dalam tafsir bi al-Ra’yi. Lihat Subhi Shalih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an ( Beirut : Dar al-Ilmu li al-Malayin, 1985), Cet. XVI, h. 291. 22 M. Quraish Shihab, et. Al, Sejarah Ulumul Qur’an ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999), Cet. I, h. 177. Tafsi bi al-ra’yi disebut juga tafsir bi al-diniyah atau tafsir bi al-maqul yaitu : penjelasan-penjelasan yang bersendi pada akal dan ijtihad, berpegang pada kaidah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya. Lihat TM. Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Penganyar Ilmu al-Qur’an ( Jakarta : Bulan Bintang, 1980), h. 227.
Sayyid Quthub, Muhammad Thâhir Ibnu Asyǔr, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’I serta beberapa pakar tafsir lainnya. 23 Dari pernyataan beliau di atas, yang harus di garis bawahi yang pertama bahwa sumber yang digunakan tafsir Al-Mishbâh adalah ijtihâd penulis. Salah satu alasannya adalah adanya kecenderungan M.Quraish Shihab menggunakan penalarannya. Yang kedua adalah dalam rangka menguatkan ijtihadnya. Beliau menggunakan rujukan sumber-sumber yang berasal dari riwăyah ( menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an, hadis Nabawi, pendapat sahabat, dan pendapat dan fatwa ulama). Sebagai contoh, adalah penafsiran terhadap Q.S. An-Nahl ayat 2 :
Artinya: “Dia menurunkan para malaikat dengan rûh atas perintahNya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hambaNya, yaitu : “Peringatkanlah bahwa tidak ada tuhan melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” Ayat ini secara tegas menggunakan kata rûh. Dan rûh ini yakni wahyu yang di bawakan oleh para malaikat. Kata malaikat ( )ﻣﻼﺋﻜﺔadalah bentuk jamak dari kata ( )ﻣﻠﻚmalak. Dari segi redaksional, ini berarti bahwa yang menyampaikan wahyu Ilahi bukan hanya satu malaikat tertentu. Para ulama memahami kata tersebut dalam arti seorang malaikat yaitu malaikat Jibril as. Yang bertugas pokok menyampaikan wahyu.
23
M. Qurash Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. xii.
Bahwa ayat ini menggunakan redaksi yang berbentuk jamak, adalah untuk mengisyaratkan betapa agung malaikat itu. Bisa juga bentuk jamak itu tetap dalam pengertian jamaknya, dan ini berarti bahwa wahyu Ilahi dapat saja disampaikan oleh beberapa malaikat selain malaikat Jibril as. Namun demikian, perlu dicatat bahwa para malaikat selain Jibril as. Tidaklah bertugas menyampaikan wahyu alQur’an tetapi wahyu selain al-Qur’an, karena secara tegas QS. AsySyu’ara [26]: 193 menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan oleh al-Rûh alAmĭn yakni malaikat Jibril as. Memang wahyu Allah bermacam-macam dan ditujukan kepada banyak manusia, bahkan ada wahyu-Nya yang berarti ilham antara lain yang diwahyukan kepada ibu Nabi Musa as. (QS. Al-Qashash [28]: 7) dan juga kepada lebah seperti terbaca pada ayat 68 surah ini. Dan kata ( )اﻟﺮوحal-rûh oleh ayat di atas dipahami oleh ulama adalah wahyu. Tuntunan-tuntunan Allah dinamai al-rûh karena dengannya jiwa manusia hidup, sebagaimana jasmaninya hidup dengan nyawa. Ini serupa dengan penamaan kebodohan dengan kematian, atau ilmu dengan cahaya. Tanpa melaksanakan bimbingan wahyu manusia tidak dapat hidup sebagai makhluk terhormat bahkan jiwanya mati, sehingga ia terkubur walau masih menarik dan menghembuskan nafas. 24 3. Metode Penafsiran Al-Mishbâh
24
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 182.
Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab menerjemahkannya dengan tariqăt dan manhaj. Dalam kamus bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti “cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.25 Dalam kaitan ini, maka metode tafsir berarti system yang dikembangkan untuk memudahkan dan memperlancar proses penafsiran al-Qur’an secara keseluruhan. Setiap mufassir memiliki metode yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga penulisan tafsir sampai tahun 1960, para ulama tafsir menafsirkan ayatayat al-Qur’an secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Penafsiran ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk al-Qur’an secara terpisah serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh.26 Al-Farmawi27 dan Hasan ‘Arid
28
membagi metode penafsiran ini
kepada empat macam, yaitu metode tahlîlî, ijmalî, muqarân, dan
25
Nashruddin Baidan, Metodologi penafsiran al-Qur’an ( Yogyakarta : Glagah UHIV/343), Cet. I,h. 1. 26 M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an ; Fungsi dan Peran Whyu dalam Kehidupan Masyarakat ( Bandung : Mizan, 1994), h. 73. 27 Al-Farmawi adalah seorang guru besar pada Fakultas Ushuluddin al-Azhar. Beliau pada tahun 1977 menerbitkan buku yang berjudul AL-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, dengan mengemukakan pembagian metode tafsir menurut perkembangannya. Lihat Abd Al-Hayy AlFarmawi, Metode Tafsir al-Maudhu’iy ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. II,h. 1113. 28 Ali Hasan ‘Aridl, Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin ( Beirut : Dar alI’tisam, tt), h. 47.
maudhu’ĭ. Metode penafsiran yang dimaksud dalam sub bab ini adalah metode penafsiran yang biasa digunakan dalam wacana Ulumul Qur’an dan umumnya dipakai oleh ulama tafsir seperti yang disebutkan di atas. Metode Tahlîlî ( Tafsir dengan Metode Tahlili ). Tahlîlî berasal dari bahasa Arab hallala-yuhallilu-tahlĭl yang berarti “mengurai, menganalisis”. Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna, aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam al-Qur’an Mushăf Utsmânĭ. Dalam melakukan penafsiran, mufassir memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang di tafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat. Mufassir menerangkan hubungan (munâsabah) baik antara satu ayat dengan ayat lain maupun antara satu surah dengan surah lain. Menjelaskan asbâb al- nuzûl ( sebab-sebab turunnya ayat). Menganalisis mufradat (kosakata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab. Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya, menjelaskan hukum yang yang dapat di tarik dari ayat yang di bahas. 29 Metode ijmâlî (global) adalah metode yang menyajikan penafsiran secara global, dan singkat tapi mencakup, dengan bahasa popular, mudah dimengerti, dan enak dibaca, sehingga terasa oleh pembacanya bagaikan tetap berada dalam gaya kalimat-kalimat al-Qur’an. Kemudian metode maudû’î (tematik) adalah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an 29
Prof. Dr. M. Quraish Shihab. dkk, Sejarah dan Ulumul Al-Qur’an ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 172-173.
sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbâb al-nuzûl, kosa kata, dan sebagainya. Kemudian metode muqaran (perbandingan) adalah metode yang berupaya membandingkan satu ayat dengan ayat lain atau dengan hadits Nabi Saw. Yang kelihatannya bertentangan, atau juga membandingkan pendapat beberapa ulama yang bertentangan menyangkut ayat-ayat tertentu.30 Kalau dilihat dari pemaparan metode yang digunakan oleh Quraish dalam Tafsir al-Mishbah adalah metode tahlĭlĭ. Karena dapat dilihat dari cara penafsiran yang terdapat dalam karya ini, yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam mushâf. Metode ini sengaja dipilih oleh penulisnya, karena ingin mengungkapkan semua isi al-Qur’an secara rinci agar petunjuk-petunjuk yang terkandung didalamnya dapat dijelaskan dan dipahami oleh pembacanya. Tapi walau demikian, sebenarnya Quraish Shihab juga tidak secara otomatis meninggalkan yang lain. Karena pada banyak tempat beliau pun memadukan metode tahlîlî ini dengan tiga metode lainnya, khususnya metode maudû’î . Bentuk ini dapat dilihat dalam uraian seluruh ayat sesuai dengan urutan mushaf tersebt, Quraish Shihab juga pertama-pertama menafsirkannya secara global, kemudian mengelompokkan ayat-ayat 30
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an Karim M. Quraish Shihab; Tafsir atau SurahSurah Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997), h. V.
sesuai topiknya, lalu pada saat-saat tertentu beliau menyuguhkan pendapat-pendapat ulama berkaitan dengan ayat yang sedang dibahas. Sebagai contoh, penafsiran beliau terhadap surah al-Baqarah ayat 102 tentang sihir. Pertama-tama beliau menjelaskan sihir dan sejenisnya itu sendiri (ini menggunakan metode ijmâlî dan tahlîlî). Penjelasan ini dilengkapi dengan menampilkan pendapat-pendapat ulama tentang sihir (menggunakan metode muqâran). Kemudian beliau menjelaskan sihir yang dibicarakan al-Qur’an, dalam konteks uraian Fir’aun dan Nabi Musa a.s., “Mereka menyihir/menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan)” (Q.S. Al-A’raf [7]: 116). Dalam ayat lain Allah menyatakan menyangkut tali-temali dan tongkat-tongkat yang digunakan oleh penyihir Fir’aun (Q.S Thaha[20]: 66), dan sihir itu sendiri mempengaruhi jiwa manusia, dan memberikan dampak yang buruk. Adapun ayat ini (Q.S. Thaha[20]: 69), isyarat yang kuat bahwa al-Qur’an telah mengancam sihir melalui kisah Nabi Musa dan para penyihir Fir’aun. Dan menjadi haram mempelajari sihir, karena sesuatu keburukan yang lebih banyak dari pada kebaikannya adalah sesuatu yang tercela, bahkan haram. (ini menggunakan metode maudu’î ). Tetapi walau bagaimana pun, kalau penulis ingin berpedoman pada empat macam metode penafsiran seperti yang telah disebutkan di atas, maka penulis harus secara tegas memilih salah satunya, dan metode yang paling pas dari tafsir Al-Mishbâh ini adalah metode tahlîlî.
4. Corak (Laun) Penafsiran Al-Mishbâh Dalam
menafsirkan
al-Qur’an
para
mufassir
mempunyai
kecenderungan yang berbeda dalam karyanya. Terdapat beberapa corak penafsiran, antara lain: Tafsir Falsâfî, Tafsir Ilmî, Tafsir Lughâwî, Tafsir Fiqih, Tafsir Adab Ijtimâ’ĭ dan sebagainya. Quraish Shihab menyebutkan enam corak tafsir yang sudah dikenal hingga saat ini. Pertama, corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyak orang non Arab yang memeluk Islam, serta akibat kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan keistimewaan dan kedalaman kandungan al-Qur’an. Kedua, corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat di satu pihak dan kepercayaan lama yang dibawa oleh pemeluk Islam baru. Ketiga, corak penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan serta usaha memahami ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu. Keempat, corak fiqhî, akibat berkembangnya ilmu fiqih dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih. Kelima, corak tasawuf akibat timbulnya gerakangerakan sufi. Keenam, corak sastra budaya kemasyarakatan yang dirintis oleh Muhammad Abduh. Yakni corak tafsir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta untuk menanggulangi masalah-masalah kemasyarakatan berdasarkan
petunjuk al-Qur’an, dan menyampaikan dalam bahasa yang indah dan mudah dipahami.31 Kitab tafsir yang berjumlah lima belas jilid ini mempunyai corak penafsiran Adab Ijtimâ’î. M. Quraish Shihab menyatakan, yang dimaksud dengan tafsir bercorak Adabi Ijtimâ’î ialah tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksi al-Qur’an, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan dari tujuan diturunkannya alQur’an, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan , lalu menggandengkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hokum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia32. Penulis akan mengemukakan contoh tafsir yang bercorak al-adâbî al-ijtimâ’î, contohnya yaitu tentang kapan bulan Ramadhan dimulai, dan dalam uraiannya dikatakan bahwa puasa bulan Ramadhan sudah harus dimulai apabila sudah ada yang melihat hilal baik secara mata kepala atau dengan melalui perhitungan, maupun melalui informasi dari sekelompok
31
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 72. Sedangkan Al-Farmawi membagi corak Tafsir ini kepada enam macam, yaitu : Tafsir bi al-Ma’tsur, tafsir bi al-Ra’yi, tafsir Sufi, tafsir Fiqhy, tafsir Falsafi, tafsir ‘Ilmy, dan tafsir Adab Ijtima’iy. Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-ra’y dikategorikan oleh beliau seperti halnya Adzahabi, pada corak tafsir, tidak seperti ulama yang lain mengkategorikannya pada sumber tafsir, seperti telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Lihat al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’I, h. 12-27. Adapun M. Ibrahim Syarif membagi corak tafsir ini kepada tiga macam yaitu: corak Hida’iy, corak Adabiy, dan corak Ilmiy. Corak Hida’iy adalah kecenderungan mufassir menjadikan kandungan hidayah al-Qur’an sebagai topic penafsirannya. Corak Adabiy adalah kecenderungan untuk mengungkapkan kemukjizatan alQur’an pada sisi bahasa dan sastranya. Sedangkan corak Ilmiy adalah kecenderungan seorang mufassir mengaitkan penafsiran nash-nash al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan. Lihat M. Ibrahim Syarif, Ittijahat al-Tajdid fi Tafsir al-Qur’an fi al-Mishr ( Mesir : Dar al-Turats, 1998), cet. 1, h. 309-627. 32 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh kajian masalah akidah dan ibadat. (Jakarta : Paramadina, 2002), cet. 1,h. 110.
orang yang dapat dipercaya. Sebagaimana Quraish Shihab menulis sebagai berikut: Dimanakah bulan itu dilihat oleh yang melihatnya? Di kawasan tempat ia berada. jawaban yang sangat membatasi jangkauan penglihatan. Kelompok Ulama di bawah koordinasi Organisasi Konferensi Islam menetapkan bahwa di mana saja bulan dilihat oleh orang terpercaya, maka sudah wajib puasa dan berlebaran atas seluruh umat Islam, selama ketika melihatnya, penduduk yang berada di ilayah yang di sampaikan kepadanya berita kehadiran bulan itu, masih dalam keadaan malam. Jika selisih waktu antara satu kawasan dan kawasan lain belum mencapai jarak yang menjadikan perbedaan terjadinya malam di satu kawasan dan siang di kawasan lain, dalam keadaan seperti itu puasa telah wajib bagi semua. Selisih waktu antara Jakarta dan Saudia Arabia atau Mesir, tidak lebih dari empat atau lima jam. Awal malam di Timur Tengah belum lagi tengah malam di Jakarta. Jika terlihat bulan di Timur Tengah, masyarakat muslim Indonesia sudah wajib berpuasa. Ini berbeda dengan beberapa wilayah di Amerika Serikat dengan Indonesia. Perbedaan waktu dapat begitu panjang antara kedua wilayah ini sehingga ketika matahari terbit di sini, bisa jadi ia telah terbenam di sana, sehingga orang Indonesia yang melihat bulan maka masyarakat muslim di Amerika belum wajib berpuasa. Demikian sebaliknya. Tetapi jika masyarakat muslim di Mekkah melihatnya, baik masyarakat muslim di Indonesia mauun di Amerika kesemuanya telah wajib berpuasa.33 Melihat contoh di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa dalam menafsirkan ayat, M. Quraish Shihab menggunakan corak Adâb Ijtimâ’I, yakni berusaha memberikan suatu sumbangan pemikiran terhadap permasalahan yang sering terjadi di tengah masyarakat.
5. Sistematika Penulisan al-Mishbâh Untuk memudahkan pembaca dalam penulisan suatu karya, biasanya seorang penulis menggunakan suatu system yang dapat memudahkan penulis menyusun karya tersebut. Setiap penulis menganut
33
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an ( Jakarta: Lentera Hati, 2009), vol. II, h. 488-489.
system yang berbeda-beda sesuai kecenderungan masing-masing. Tidak berbeda dengan tafsir al-Mishbâh juga menggunakan sistematika penulisan yang dapat dikatakan berbeda dengan karya tafsir sebelumnya. Jika
dikelompokkan
berdasarkan
sistematika
yang
sering
digunakan oleh penafsir al-Qur’an kita dapat membaginya menjadi dua bagian. Pertama, Sistematika penyajian penulisan tafsir berdasarkan urutan surah yang ada dalam mushâf standar. Kedua, sistematika penulisan yang mengacu pada urutan turunnya wahyu-wahyu.34 Dalam hal ini Tafsir alMishbâh termasuk dalam kelompok pertama. Berikut ini adalah sistematika penulisan Tafsir al-Mishbâh : a. Kitab tafsir ini dimulai dengan pengantar penulis yang diberi judul “sekapur sirih” yang berisikan penjelasan penulisan mengenai latar belakang penulisan tafsir ini. b. Pada setiap awal penulisn surah diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surah yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surah, nama lain surah dan
lain sebagainya.
Terutama surah al-Fatihah,
keterangannya tampak diuraikan secara panjang lebar. Hal ini dapat dimaklumi karena surah ini sebagai pembuka dan merupakan induk alQur’an. Dalam al-Fatihah terkandung intisari isi al-Qur’an secara keseluruhan.
34
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideologi ( Jakarta : Teraju, 2003), h. 222.
c. Quraish Shihab
sangat memberi penekanan pada munasabah
(keserasian) antara ayat-ayat dan surah dalam al-Qur’an. Maka dalam memulai bahasan sebuah surah,
Quraish
Shihab
tidak
lupa
menyertakan keserasian antar surah yang dibahas dengan surah sebelumnya. Pada munasabah ayat (keserasian ayat) ini, Quraish sangat terpengaruh oleh Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’ĭ (809-889H), dalam bukunya Nazm al-Durâr fi Tanâsub al-Ayat wa Suwâr, seorang tokoh ahli tafsir yang pernah dikajinya saat beliau menulis disertasi35. d. Penulisan ayat dalam tafsir ini, sebagaimana yang diakui oleh Quraish dalam
pengantarnya,
dikelompokkan
dalam
tema-tema
sesuai
urutannya, pengelompokkan ayat-ayat berdasarkan tema tanpa ada batasan yang tertentu jumlah ayat yang ditempatkan pada kelompok yang sama.
36
demikian dilakukan sebagai konsekwensi logis terhadap
kecenderungan terhadap metode maudu’ĭ
dan ketidakcocokannya
terhadap metode tahlîlî. Namun pengelompokkan dalam tafsir ini hanya dititikberatkan pada pengelompokkan nomor ayat. e. Dan diikuti terjemahannya37, ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan pemahamannya sendiri. Artinya beliau tidak berpedoman pada salah
35
Al-Biqa’I nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Umar bin Hasan al-Ribat bin Ali bin Abi Bakar al-Syafi’I, dilahirkan di desa Kharbah, sebuah desa yang terletak di lembah Biqa’ dekat Damaskus (Syiria) pada awal abad ke-9 H. Tepatnya pada tahun 809 H/ 406 M. Lihat Umar Khalah, Mu’jam al-Muallifin (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi), Vol. I, h. 71. 36 Misalnya surah Al-Baqarah dibagi menjadi dua puluh tiga kelompok, dan masingmasing kelompok jumlah ayatnya tidak seragam, seperti kelompok pertama (ayat 1-20), kelompok kedua (21-29), dan seterusnya. 37 Dan mukaddimah yang dituangkan pada setiap volume, Istilah “terjemahan al-Qur’an digunakan oleh Quraish hanya mendekatkan pemahaman pembaca. Oleh sebab itu, beliau sendiri
satu terjemahan al-Qur’an (seperti terjemahan fersi Depag). Oleh karena itu, tidak jarang ditemukan terjemahan al-Qur’an di dalam tafsirnya, berbeda dengan terjemahan
yang tersebar luas di
masyarakat.38 f. Kemudian langkah selanjutnya, Quraish menjelaskan kandungan ayat demi ayat secara berurutan. Kemudian beliau memisahkan terjemahan makna al-Qur’an dengan sisipan atau tafsir melalui penulisan terjemah-maknanya dengan italic letter (tulisan miring), dan sisipan atau tafsirnya dengan tulisan normal (tegak). Kadang-kadang juga beliau menghadirkan penggalan teks ayat, baik berupa kata(kalimat) atau frase (kelompok kata), kemudian menjelaskan makna kata terbut.39 g. Penulisan uraian kosa kata pada tafsir ini hanya yang dipandang perlu saja untuk menhindari bertele-telenya penjelasan kosa kata dan kaedah-kaedah yang disajikan.
tidak setuju dengan “alih bahasa” ke bahasa yang lain, yang disebut “terjemahan al-Qur’an” apalagi “al-Qur’an dan terjemahnya”. Menurut Quraish , hal itu lebih tepat disebut atau dipahami sebagai terjemahan makna-makna al-Qur’an. Lihat “sekapur sirih” Quraish Shihab, Tafsir alMishbah Vol I, h. x. 38 Kadang-kadang Quraish melakukan kritik atas satu bentuk terjemahan dan sekaligus mengutarakan bentuk terjemahan (terjemahan makna-makna al-Qur’an dalam istilah Quraish). Contohnya ketika beliau menerjemahkan kalimat “aqimu al-salah” yang biasa diterjemahkan dengan “dirikanlah shalat”, beliau katakan bahwa terjemahan ini keliru, karena kata aqim bukan terambil dari kata qama yang berarti “berdiri”, tetapi dari kata qawama yang berarti “melaksanakan sesuatu dengan sempurna dan berkesinambungan berdasarkan hak-haknya”. Lihat M. Quraish Shihab, al-Mishbah…., Vol. I, h. 90. 39 Kelihatan hal ini dilakukan ketika kata tersebut dapat menunjukkan beberapa arti. Lihat Quraish, al-Mishbah…, Vol II, h. 398.
h. Penulisan ayat al-Qur’an selain yang dibahas dan penukilan sunnah Nabi saw, hanya ditulis terjemahannya saja. Demikianlah sistematika penulisan Quraish Shihab dalam karyanya ini. Jika di lihat susunannya yang demikian, dapat dikatakan bahwa hal ini merupakan cara baru yang diperkenalkannya. Sebab dalam karya tafsir sebelumnya, seperti Tafsir an-Nur karya Hasbi ash-Shiddiqie, Tafsir alAzhar karya Hamka, Al-Qur’an dan Tafsirnya yang diterbitkan oleh UII, cenderung untuk menulis setiap ayat atau hadis yang dijadikan rujukan atau tambahan penjelasan pasti dengan tulisan Arab, karena hal ini juga dapat disebut sebagai suatu ciri khas Tafsir al-Mishbâh.
BAB III INTERPRETASI TENTANG RÛH A. Pengertian Rûh secara Bahasa dan Istilah Dalam Al-Qur’an ada istilah rûh, rûh al-Kudûs dan rûh al-amîn, rûh dalam arti jiwa. Ada yang bertanya kepada Nabi Saw tentang rûh. Beliau disuruh menjawabkan rûh itu urusan Tuhan dan kamu hanya diberi pengetahuan sedikit tentang rûh. Dalam kamus Al-Munawwir kata-kata rûh dan bentuk jamaknya arwăh mempunyai arti: Rûh, Jiwa, ataupun Sukma. Sedangkan kata rǔh dalam tunggal (mufrad/singular) memiliki beberapa arti, sesuai dengan penggunaannya. Rûh adakalanya bermakna wahyu (Al-Qur’an), malaikat ( ) اﻟﻤﻼكsecara umum bermakna Malaikat Jibril () روح اﻟﻘﺪوس, rûh juga dapat bermakna intisari atau hakekat. Di sini rûh yang dimaksud adalah rûh yang bersifat ruhani spiritual yang oleh Warsun Munawwir sebagai ( ) اﻟﺨﻼﺻﺔyang bersifat immateri memiliki keagungan ( اﻟﺪﯾﻨﻰ
) اﻟﺮوح
ataupun dari nilai agamis.40 Secara bahasa dalam kamus besar bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai sesuatu yang tidak berbadan jasmani, yang berakal dan berperasaan ( seperti: Malaikat, dari sini dapat dikatakan bahwa rûh adalah sesuatu yang hidup yang tidak berbadan jasmani yang bersifat immateri,
40
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia ( Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 545.
yang memiliki akal dan perasaan, serta memiliki nilai-nilai agamis, yang mampu membawa pemiliknya kearah kehidupan kerohanian. 41 Sedangkan Javad Nurbakhsy berpendapat bahwa rûh adalah lapisan hati yang menikmati titik pandangan cahaya Allah, yang pada bagian itu memperlihatkan wujudNya tanpa tabir penghalang. Hati merupakan kulit kerang dan rûh adalah mutiara. Bila jiwa mencapai perkembangan rûh, dia akan memperoleh kehidupan dari sifat yang maha hidup dan menjadi esensi dari semua hal melalui sifat Yang Maha Kekal. 42 Menurut Quraish Shihab, kata rûh merupakan salah satu kata turunan dari akar kata ra, waw, dan ha. Dari akar kata tersebut terbentuk kata kerja masa lampau, râha () راح. Kata kerja tersebut mempunyai bentuk kata kerja masa kini (fiil mudhâri) dan mashdâr. Perbedaan bentuk mudhâri dan mashdâr itu berakibat pada perbedaan makna. Perbedaan bentuk itu, pertama, râha-yarûhu-rawâhan ( – ﯾﺮوح-راح ) رواﺣﺎyang berarti pergi pada waktu petang, di gunakan di dalam QS. Saba’ (34): 12. Kedua, râha-yarûhu-rauhan ( روﺣﺎ- )راح – ﯾﺮوحdan râhayarâhu-rîhan ( رﯾﺤﺎ-ﯾﺮاح- )راحyang jika diikuti al-yaum ( =اﻟﯿﻮمhari) berarti bahwa’pada hari itu banyak berhembus angin’. Ketiga, râha- yarâhurâhatan ( راﺣﺔ-ﯾﺮاح- )راحyang berarti ‘berbau harum’, dan dari bentuk ini
845.
41
Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen P&K ( Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h.
42
Sudirman Tebba, Ruh Misteri Maha Dahsyat ( Ciputat : Pustaka Irvan, 2008), h. 38.
diperoleh kata raihân ( ) رﯾﺤﺎ نyang berarti ‘tumbuh-tumbuhan yang berbau harum’, seperti tersebut di dalam Q.S. Ar-Rahman [55]: 12. 43 Kata rûh berasal dari r-w-h, timbul pula kata jadian rûh. Pada pokoknya ada dua makna yang diberikan pada kata ini oleh Hanna E. Kassis. Pertama adalah rûh kudûs (Holy Spirit) dengan menggandengkan kata al-ruh dengan al-quds, dan kedua, “jiwa” atau “nyawa” yang dalam bahasa Inggrisnya adalah spirit. Dalam concordance of the Qur’an, Hanna E. Kassis memberikan pengertian arti kata sebagai berikut: 1. Râha departure ( keberangkatan ) going ( sedang pergi ) leaving (meninggalkan), evening course (perjalanan senja), repose (istilah tidur, ketenangan), comfort (kenyamanan, kesenangan), refresh (penyegaran). 2. Rĭh: wind (angin), power (kekuatan, daya), scent (bau, aroma). 3. Rahyâ-n: ease (kesenangan, ketentraman, kesantain); fragrant herb (ramuan yang wangi, sedap, harum, semerbak). 4. Rǔh: spirit (semangat, daya, hidup); Holy Spirit (Roh Kudus).44 Makna kata-kata di atas dapat diketahui lebih jelas jika melihat kepada ayat-ayat yang memuat setiap kata di atas. Seperti dalam al-Qur’an surat Saba’ 34: 12 memuat dua di antara kata-kata jadian di atas yang berbunyi: 43
M. Quraish Shihab, dkk., Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata ( Jakarta : Lentera Hati, 2007), Cet. 1, h. 839. 44 Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci ( Jakarta : Paramadina, 1996), cet. 1, h. 229.
“Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala”. Dalam ayat di atas dapat dipetik dua kata, yaitu “rĭh” yang berarti
angin, dan “rawâh” yang maksudnya adalah perjalanan sore. Kata ini juga disebut dalam al-Qur’an surat al-Anbiya 21:81 yang juga melukiskan kemampuan dan kekuatan Nabi Sulaiman. Dalam al-Qur’an surat Yusuf 12:87 muncul makna lain sehubungan dengan kata rauh. Ini menyangkut kisah Nabi Yusuf yang dicelakakan saudara-saudaranya di sebuah sumur. Ayahnya, Nabi Ya’qub menyuruh anak-anaknya itu tetap mencari Yusuf, yang sangat dikasihi itu. Sejak kehilangan anaknya itu, Ya’qub demikian sedihnya dan terus menangis sehingga matanya putih. Ketika anak-anaknya mencela sikap ayah mereka yang terlalu mengasihi Yusuf sehingga membutakan matanya (karena sedihnya) itu, Ya’qub menjawab:
“Ya'qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.".Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". Dalam ayat di atas kara raûh dapat diartikan dengan kemurahan.
Jadi dengan demikian, maka Ya’qub dalam ayat di atas menasihati anakanaknya agar tidak berputus asa dari kemurahan Allah.45 Di samping itu al-Ghazăli membagi rûh menjadi dua macam. Pertama , berarti rûh hewani, yakni jauhar yang halus yang terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan, perasaan, gerak dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh, seperti menghubungkan cahaya yang melimpah ke seluruh ruangan. Kedua, berarti nafs nathîqah, yakni sesuatu yang memungkinkan manusia mengetahui segala hakikat yang ada. Dalam hal ini al-Ghazâlî, sebagaimana juga Mahmûd Syaltût, menyamakan rûh dengan al-qalb. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah swt yang artinya: “Katakanlah, bahwa rûh itu urusan Tuhanku”. (QS. Al-Isra’ : 85).46 B. PENGERTIAN JIWA (NAFS) Nafs secara bahasa berasal dari kata nafasa ( ) ﻧﻔﺲyang berarti bernafas, artinya nafas keluar dari rongga. Kemudian arti kata itu berkembang sehingga ditemukan arti-arti yang beraneka ragam seperti
45 45
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci ( Jakarta : Paramadina, 1996), cet. 1, h. 229. 46
3, h. 175.
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam ( Jakarta : PT. Ichtiar Van Hoeve, 1994), cet. 3, jilid
‘menghilangkan’,
‘melahirkan’,
‘bernafas’,
‘jiwa’,
‘rûh’,
‘darah’,
‘manusia’, ‘diri’, dan ‘hakikat’. Nafs menurut Prof. Dawam Rahardjo dalam bahasa Indonesia yang berarti nafsu, menurutnya mempunyai kesan negative karena berkonotasi seksual. Padahal kata asalnya, al-nafs bersifat netral. Nafsu menurut Dawam juga tetap merupakan sebuah ciri dari manusia. Kalau seseorang kurang mengandung nafsu, orang itu dianggap mempunyai kekurangan atau bahkan tidak normal, kareana merupakan faktor penting dalam kehidupan seseorang yang mendorong perubahan dan kemajuan. Dalam alQur’an nafs yang berarti ‘nafsu’ yaitu daya yang menggerakkan manusia untuk memiliki keinginan atau kemauan, terdapat dalam Qs. Yusuf [12]: 53.
"Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang." Menurut Abû Hâmid al-Ghazâlî, kata nafs mengandung dua arti : 1. Jiwa yang menyatukan antara daya amarah dengan daya nafsu, jiwa yang selalu mendorong kepada kejahatan ( al-nafs al amârah bi alsû’). 2. Jiwa dan esensi manusia yang dirujuk sebagai ammârah bi al-sǔ’, lawwâmah ( yang selalu mencela diri sendiri, menolak perbuatan
buruk) atau muthma’innah, tergantung pada keadaannya dalam hubungan kepada Tuhan. Menurut Robert Frager, sufi dan psikolog, berpendapat bahwa kata nafs kadang diterjemahkan sebagai ego atau jiwa. Nafs merupakan proses yang dihasilkan oleh interaksi ruh dan jasad, ketika ruh memasuki jasad, ia terbuang dari asalnya yang bersifat immateri, kemudian nafs pun mulai terbentuk. Dengan demikian ruh pun menjadi terpenjara di dalam materi dan menyerap aspek-aspeknya.47 Al-Ghazălĭ membagi jiwa atas tiga macam, yaitu jiwa nabati (annafs an-nabâtiyah), jiwa hewani (an-nafs al-hayawâniyah) dan jiwa insani ( an-nafs al-insâniyah). Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi makan, tumbuh dan berkembang. Jiwa hewani adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan irâdat (kehendak). Sedangkan jiwa insani adalah kesempurnaan awal dari benda yang hidup dari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan fikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum. Jiwa insani inilah yang dinamakan dengan rûh.48 Dari beberapa keterangan yang telah dipaparkan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa rûh dan jiwa itu merupakan sesuatu yang 47 48
3, h. 174.
Sudirman Tebba, Ruh Misteri Mahadahsyat ( Jakarta: Pustaka Irvan, 2008), h. 10-11. Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam ( Jakarta : PT. Ichtiar Van Hoeve, 1994), cet. 3, jilid
eksistensinya diakui dan tidak diragukan lagi. Tapi keduanya mempunyai persamaan, yaitu abstrak dan berada dalam jasad yang satu sama lain saling berhubungan. Ada satu keistimewaan bagi rûh dan jiwa, yaitu tidak lenyap atau hancur dengan mati dan hancurnya jasad.
C. Rûh dalam Perspektif Ulama dan Filosofis. a. Apa Hakikat Rûh ? Kalangan Ulama berbeda pendapat mengenai hakikat rûh. Hakikat rûh merupakan fokus tubuh manusia dan dasar hidupnya. Sebab, itu adalah hal yang paling rumit yang tidak dapat diingkari oleh seorang pun. Rasarasanya otak menjadi keluh ketika berusaha menyingkapnya dan hampir saja ia tidak diketahui kecuali dengan wahyu. Ibnu Qayyim berpendapat bahwa rûh yang dipertanyakan itu adalah rûh yang telah Allah SWT beritahukan dalam kitab-Nya bahwa ia akan bangkit pada hari kiamat bersama para malaikat. Beliau mengatakan : karena mereka bertanya kepada Nabi saw tentang suatu masalah yang tidak akan diketahui kecuali dengan wahyu. Itulah rûh yang ada disisi Allah yang tidak diketahui oleh manusia. Abu syaikh dan selainnya meriwayatkan melalui jalur ‘Atha yang berkata bahwa rûh yang dipertanyakan adalah seorang malaikat yang mempunyai sepuluh ribu sayap. Dua sayap darinya besarnya antara timur dan barat. Dan ia mempunyai seribu wajah dimana pada setiap wajah
terdiri dari mulut, kedua mata, dan dua bibir yang bertashbih kepada Allah swt sampai hari kiamat.49
Imam Alusi berpendapat bahwa rǔh hakikat sederhana yang non materi, yang ada dengan perintah Allah SWT dan kehendak-Nya serta penciptaan-Nya dimana Dia menjadikannya hidup dalam jasad. Tidak ada keharusan untuk di singkap hakikat-hakikatnya yang khusus karena banyak dari benda hakikatnya misterius. Karena itu, perihal keadaannya yang misterius tidak harus kemudian ia mesti dinafikan. Ini tersirat dalam firma-Nya, “Dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit”.50 Sedangkan Al-Răzĭ mengatakan, ada seseorang bertanya, apakah rǔh itu? Apakah ia merupakan benda-benda yang berada di dalam tubuh manusia yang berasal dari percampuran dari berbagai unsur atau karakter, ataukah ia merupakah campuran itu sendiri? Ataukah ia merupakan suatu wujud yang mengubah tubuh atau mempengaruhinya? Allah SWT menjawab: Bahwa rǔh adalah suatu wujud yang dapat mengubah tubuh-tubuh ini. Yang demikian itu karena tubuh-tubuh ini terjadi dari berbagai percampuran dan unsur, adapun rǔh tidak demikian. Rûh adalah esensi yang sederhana yang independen, dimana ia tidak akan terwujud kecuali dengan adanya firman-Nya, “ Jadilah! Maka jadilah ia”. Rûh adalah sesuatu wujud yang terjadi dengan perintah Allah dan 49
Syihab ad-Din Mahmud al-Alusi al-Baghdadiy, Ruh al-Ma’aniy ( Beirut : Dar al-Fikr ), jilid. 15 h. 219. 50 Syihab ad-Din Mahmud al-Alusi al-Baghdadiy, Ruh al-Ma’aniy ( Beirut : Dar al-Fikr ), jilid. 15 h. 223.
penciptaan-Nya serta pengaruh-Nya dalam membuat kehidupan pada jasad ini. Dan tidak diharuskan ketidaktahuan tentang hakikatnya yang khusus mengakibatkan penafiannya karena banyak dari hakikat yang tidak diketahui oleh manusia. Inilah yang dimaksud dengan firman-Nya, “ Dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit.”51 Dalam surat al-Isra’ ayat 85, yang menjadi sentral perdebatan ulama dengan pendapatnya yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan jibril, yang lain nabi Isa a.s, al-Qur’an, malaikat, dan ada juga rûh yang ada dalam tubuh manusia. Tentang pendapat ini al-Qurthubi berkata: “Yang jelas adalah samarnya makna ruh dalam ayat tersebut, dan ini menunjukkan bahwa penciptaan ruh merupakan perkara yang amat besar. Oleh Allah ruh sengaja disamarkan dan tidak diperjelas agar manusia diyakinkan akan ketidak mampuannya mengetahui hakikat dirinya sendiri, padahal ia mengetahui jika ruh ada dalam dirinya…52 b. Apakah Rûh itu sifatnya Qadîm Ataukah Hadîts ? Imam Alusi memberikan jawaban : bahwa Rûh adalah sesuatu yang baru (hadĭts) yang terjadi dengan perbuatan Allah dan penciptaan-Nya. Dan firman-Nya, “Dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit.” Sebagai bukti atas kebaruannya. Yakni bahwa rûh dipermulaan penciptaan sunyi dari ilmu dan ma’rifah lalu ia memperolehnya. Kemudian ia mengalami
51
37-38.
52
Fakhr Ad-Din al-Răzĭ, Mafatih al-Gaib ( Mesir : Maktabah al-Qur’an,tt), jilid. 21, h.
Al-Qurthubĭ, Al- Jămi’ liahkăm al-Qur’an ( Kairo: Dar al- Kătib al- Arăbiah li alTibăh wa al-Nasyr, 1967), Jilid. 9, h. 324.
perubahan demi perubahan yang tentu ini merupakan tanda bahwa ia adalah sesuatu yang baru.53 Al-Râzi pun membrikan jawaban yang sama, bahwa rûh adalah sesuatu yang baru (hâdits) , namun ia terjadi dengan perbuatan Allah dan penciptaan-Nya. Kemudian Al-Qur’an mempertegas kebaruan rûh dengan firman-Nya, “Dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit.” Yakni bahwa rûh pada permulaan fitrah menjadi sesuatu yang kosong dari ilmu dan ma’rifah sehingga menetaplah di dalam ilmu dan ma’rifah. Jadi rûh berubah ke wujud yang lain, suatu keadaaan ke keadaaan yang lain. Dan ia berganti dari kekurangan menuju kesempurnaan.
Perubahan dan
pergantian adalah karakter dari sesuatu yang baru.54 Ibnu Qayyim dalam kitab-Nya al-Rûh mengatakan, masalah ini tak pernah dibicarakan seorang ulama pun, sehingga banyak golongan manusia yang tersesat. Namun Allah memberikan petunjuk kepada orangorang yang mengikuti Rasul-Nya sehingga mendapat kebenaran yang nyata. Semua Rasul sepakat bahwa ruh itu adalah baru dan berupa makhluk (sesuatu yang diciptakan), dibuat, diatur, dan dikuasai. Zaman sahabat, Tabi’in dan para pengikut mereka sudah berlalu, yang merupakan kurun waktu penuh keutamaan, tanpa ada perbedaan pendapat di antara mereka, bahwa rûh itu adalah baru (hădits) dan diciptakan, sampai kemudia muncul orang-orang yang pemahamannya tentang Al-Kitâb dan 53
Syihab ad-Din Mahmud al-Alusi al-Baghdadiy, Ruh al-Ma’aniy ( Beirut : Dar al-Fikr ), jilid. 15 h. 223. 54 Fakhr Ad-Din ar-Razi, Mafatih al-Gaib ( Mesir : Maktabah al-Qur’an,tt), jilid. 21, h. 39.
As-Sunnah sangat dangkal, sehingga mereka beranggapan bahwa rǔh itu lama dan tidak diciptakan. Mereka berhujjah bahwa rûh itu termasuk urusan Allah, sementara urusan-Nya bukan termasuk makhluk. Disamping itu menurut mereka, Allah menggabungkan rûh itu kepada Adam, sebagaimana Dia menggabungkan ilmu, kekuasaan, pendengaran, penglihatan dan tanganNya kepada Adam.55 c. Apa Perbedaan Rûh dan Jiwa? Para Ulama saling berbeda pendapat tentang masalah ini. Menurut Al-Ashfahani, rûh merupakan nama induk dari nafs (jiwa). Artinya, nafs merupakan bagian dari rûh, atau nafs merupakan species dan rûh adalah genus. Didalam pengertian umum, kata rûh berarti unsur yang dengannya dapat terjadi hidup, gerak, usaha mencari yang baik dan menghindari bahaya. Muhammad Isma’îl Ibrâhîm didalam Mu’jâm juga menempatkan kata rûh sebagai kata turunan dari răha ()راح. Menurutnya, rûh adalah unsur yang menjadikan nafs (jiwa) dapat hidup. Artinya, ia merupakan salah satu kelengkapan makhluk berjiwa. Selain itu kata tersebut dapat berarti ‘wahyu’ dan ‘malaikat’.56 Antara rûh dan jiwa terdapat keterkaitan yang erat. Kata jiwa dalam bahasa Arab terambil dari kata nafs ()ﻧﻔﺲ. Dan dari segi kebahasaan, Ibn al-Manzǔr menyebutkan bahwa kata “al-rûh” ( )اﻟﺮوحdan
55
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ar-Ruh li Ibnil Qayyim ( Beirut : Dar al-Qalam, 1403), cet.
2, h. 249. 56
M. Quraish Shihab dkk., Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 839-840.
“an-nafs” ( )اﻟﻨﻔﺲmemiliki arti yang sama. Hanya saja rûh adalah mudzakkar (maskulin), sedangkan nafs adalah mu’annats (feminine).57 Perbedaan antara jiwa dan rûh juga dijelaskan oleh Mustafa Mahmud, dalam bukunya “Al-Qur’an dan kehidupan”, beliau mengatakan bahwa yang merasakan mati itu adalah jiwa, bukan rûh. Dengan mengambil firman Allah dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 185 sebagai dalil yang berbunyi: ...
Artinya: Tiap-tiap yang mempunyai jiwa akan mengalami mati (QS. Ali Imran : 185) Kemudian dia menambah lagi bahwa jiwa itulah yang tertuduh dengan tuduhan-tuduhan kebakhilan, was-was, ragu, fujur, dan cenderung kepada perbuatan buruk. Namun ia mampu menjadi bersih. Maka ada sifat lawwâmah, muthmainnah, radhiyah, dan mardhiyyah. Dalam tasawuf Islam, para sufi mengatakan “al-nafs” sebagai sumber moral yang tercela, dan ruh adalah sumber kehidupan dan sumber moral yang baik. Di samping itu juga, rûh merupakan sesuatu yang halus, bersih dan bebas dari pengaruh hawa nafsu yang merupakan rahasia Allah yang hanya bisa diketahui oleh manusia tertentu setelah Allah memberikan kasyf (gambar yang terbayang) padanya. Begitu juga hampir sama dengan pendapat di atas, ahli sufi juga membedakan arti nafs dan ruh dari segala segi dan fungsinya. Al-nafs berkarakter insani, sedangkan rûh lebih 57
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab ( Beirut : Dar as-Shadar, 1994), jilid 2, cet. 3, h. 389.
berkarakter Ilahi. Keduanya saling berpacu untuk menguasai Qalb (hati) yang diartikan sebagai wadah untuk ma’rifat atau suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang bersifat ilahiah, karena kemenangan bisa diperoleh silih berganti pula tergantung kekuatan fungsi masing-masing.58 kaum sufi mengatakan bahwa nafs merupakan asal-muasal manusia. Namun ketika ia “diasah” dengan riyâdhah (olah rohani) dan berbagai zikir dan tafakur maka ia menjadi rûh, bahkan kemudian ia terkadang dapat naik ke tingkat yang tertinggi di mana ia dapat menjadi sirr (rahasia) dari rahasia-rahasia Allah SWT. Ibn Qayyim al-Jauziyah menjelaskan mengenai masalah ini. Ada beberapa pendapat yang disebutkan beliau tentang samakah ruh dengan jiwa, yaitu antara lain : 1. Menurut mazhab jumhur ulama, rûh dan jiwa itu sama dalam istilahnya. 2. Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa manusia itu mempunyai hidup, rûh dan jiwa. Jika manusia tidur, keluarlah jiwa sadarnya tetapi tidak meninggalkan jasadnya. Ia keluar seperti benang halus yang terbentang dan memiliki sinar. Di waktu manusia bermimpi, maka yang melihat sesuatu adalah jiwa sadar yang keluar itu. Kemudian ia kembali dan memberitahukan kepada rǔh. Demikianlah hingga pagi ia menyadari bahwa telah bermimpi begini dan begitu. Sedangkan
58
3, h. 174.
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam ( Jakarta : PT. Ichtiar Van Hoeve, 1994), cet. 3, jilid
kehidupan dan rǔh berada di dalam jasadnya, bernafas dan berbolakbalik. Jika dia begerak, maka jiwa itu secepat kilat kembali kepadanya, lebih cepat dari kerdipan mata. Jika Allah hendak mematikannya di dalam tidur, maka dia memegang jiwa yang keluar itu.” 3. Abu abdillah bin Mundah berkata, “mereka saling berbeda pendapat tentang ma’rifat rûh dan jiwa. Sebagian berpendapat, jiwa itu bersifat liat dan memiliki unsur api. Sementara rûh memiliki unsur api dan rohani. Yang lain berpendapat, bahwa rǔh itu bersifat ketuhanan dan jiwa itu bersifat kemanusiaan, yang dengan tabiat ini manusia diuji.” 4. Ahlu Atsar mengatakan bahwa rûh bukan jiwa dan jiwa bukan rûh. Jiwa adalah bentuk penghambaan dan tidak ada musuh utama bagi anak Adam kecuali jiwanya sendiri. Ia cinta kepada dunia, karena ia merupakan kumpulan hawa nafsu dan syahwat. Rûh bertindak memberi dorongan, pengaruh, motivasi dan meluruskan jiwa itu untuk senang dan cinta kepada akhirat. Tapi setan selalu memanjakan hawa nafsu dan mempengaruhi jiwa. Sedangkan rûh dipengaruhi oleh malaikat, maka kepada rûh lah hidayah dan taufik Allah ditujukan. 5. Sedangkan Ibnu Qayyim menyatakan bahwa rûh itu tidak mati dengan matinya badan, tetapi ia terpisah dan melepaskan diri dari badan. Dan rûh itu adalah sesuatu kekuatan mengenal Tuhan dan kembali kepadaNya, sedangkan jiwa adalah sesuatu zat yang bulat (totalitet) tercakup
di dalamnya rûh dengan jasadnya atau dinyatakan kepada jasad saja. Jadi rûh itu memberi hidup kepada jasad dan jiwanya sekaligus.59 Dalam kajian filsafat tidak membedakan antara rûh dan jiwa, hal ini dapat terlihat dari pembahasan mereka yang hanya memuat masalah jiwa atau kejiwaan dan tidak menyentuh masalah rûh. Pembahasanpun berkisar pada keimmaterian dan kehidupannya setelah lepas dari badan ini.60 Pembicaraan para filosofis Yunani tentang jiwa menjadikan pemahaman akan hakikat jiwa terbagi menjadi tiga golongan, yaitu : 1. Golongan Materialisme yang mengatakan bahwa jiwa adalah badan itu sendiri, tidak ada sifat-sifat khusus padanya. 2. Golongan Spiritualisme menganggap bahwa jiwa tidak berasal dari alam kebendaan, tetapi dari alam ketuhanan dan mempunyai kekuatankekuatan rohani yang turun kebawah dari alam yang tinggi. 3. Ada yang berpendapat tengah-tengah dan menganggap jiwa sebagai campuran antara badan dan rûh. Atau uap yang panas seperti yang dikatakan kaum stoa.61 Menurut Ibnu Sina jiwa itu abadi karena merupakan zat (substansi) rohani yang tidak tersusun, kedudukan jiwa sebagai form bagi badan tidak berarti bahwa jiwa musnah dengan musnahnya badan. Jelasnya bahwa 59
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ar-Ruh li Ibnil Qayyim ( Beirut : Dar al-Qalam, 1403), cet. 2, h. 352-354. 60 Syihab ad-Din Mahmud al-Alusi al-Baghdadiy, Ruh al-Ma’aniy ( Beirut : Dar al-Fikr ), jilid. 15 h. 224. 61 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam ( Jakarta : CV. Bulan Bintang, 1991), cet. Ke5, h. 122.
sesuatu bias musnah dengan musnahnya yang lain apabila ia tergantung padanya dalam beberapa hal tertentu. Sedangkan kita mengetahui bahwa jiwa ataupun badan dijadikan bersama-sama dan keduanya merupakan substansi yang berbeda satu sama lain. Selain itu, badan tidak menjadi salah satu sebab bagi wujud jiwa, karena pertalian jiwa dengan badan bukan pertalian kausalitas.62 Aliran Spiritualisme dalam Filsafat Islam mengenai kajian kejiwaan ialah Imam al-Haramain dari Asy’âriah, beliau berpegang pada kerohanian jiwa dan menyatakan akan keabadiannya. Jiwa menurutnya adalah substansi rohani yang mempunyai tabiat ketuhanan, yang tidak hancur dengan hancurnya badan. Sesudah mati jiwa orang saleh naik ke surge, demikian sebaliknya bagi jiwa yang kafir akan jatuh ke neraka. Pendapat ini merupakan dasar dan sumber bagi teori rûh yang dikembangkan kemudian oleh Al-Ghazâlî. 63 Al-Kindi dan Al-Farabi juga mempunyai pandangan yang sama bahwa rûh manusia itu kekal dan tidak hancur dengan hancurnya badan. Selanjutnya ia naik setingkat demi setingkat sehingga akhirnya - setelah bersih – ia sampai kea lam kekal, dalam lingkungan cahaya Tuhan. 64 BAB IV ANALISIS M. QURAISH SHIHAB MENGENAI RÛH
62
Dr. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005), cet. Ke-4, h. 74. 63 H. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali ( Jakarta : Bulan Bintang, 1975), h. 65. 64 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam ( Jakarta : Bulan Bintang, 1992), cet. Ke-2, h. 18.
DALAM SURAT AL-ISRA’ AYAT 85 A. Klasifikasi Ayat-Ayat Tentang Rûh Dalam Al-Qur’an M. Quraish Shihab dalam bukunya “Wawasan al-Qur’an” menyatakan bahwa kata rûh ( ) روحdalam al-Qur’an terulang sebanyak dua puluh empat kali dengan berbagai konteks dan makna, serta tidak semua berkaitan dengan manusia.65 Ayat-ayat yang memuat kata al-rûh tersebut tersebar dalam al-Qur’an di beberapa surat berikut, yaitu: 1. Kata rûh yang menunjukkan arti sebagai esensi yang menjadi sumber gerak dan hidup tubuh manusia
Q.S. An-Nisa : 17166
Q.S. Al-Anbiya : 91
…
…
Q.S. Shad : 72
Q.S At-Tahrim : 12
62 Tafsir Maudu’I atas Berbagai Persoalan Umat Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, ( Bandung : Mizan. 1996), cet. 1, h. 292. 66 روح ﻣﻨﮫ: Ruh yang ditiupkan oleh rabnya. Lihat Hasanain Muhammad Mahtuf, Kamus al-Qur’an, h. 53. 65
Q.S. Al-Hijr : 29
Q.S. As-Sajadah : 9
Q.S At- Takwir : 7
Q.S. An-Naba : 38
Q.S. Al-Qadr : 4
2. Kata rûh yang menunjukkan arti sebagai Jibril (malaikat)
Q.S. Asy-Syu’ara : 193
Q.S. Maryam : 17
Q.S. Al-Baqarah : 253
…
Q.S. Al-Baqarah : 87
...
… Q.S. An-Nahl : 102
Q.S. Al-Maidah : 110
3. Kata rûh yang menunjuk arti wahyu atau al-Qur’an
Q.S. An-Nahl : 2
Q.S. Asy-Syura : 52
Q.S. Al-Mu’min : 15
Q.S. Al-Isra’ : 85
Q.S. Al-Mujadalah : 22
…
Kata rûh pada Q.S Al-Mujadalah : 22 diartikan sebagai pertolongan, dalam al-Quran dan terjemahan. Adapun pertolongan yang dimaksud adalah kemauan dan kekuatan batin, kebersihan hati, kemenangan terhadap musuh dan lain-lain. Dari sekian banyak ayat yang memuat kata rûh, perbedaan pendapat yang kemudian menjadi titik sentral permasalahan dalam memahami rûh adalah terletak pada ayat 85 surat al-Isra’. Persoalan yang diperselisihkan mulai dari tertutup tidaknya pintu usaha untuk memahami ruh, karena ayat ini dipahami sebagai pernyataan Allah bahwa rûh adalah wewenang-Nya, kemudian berlanjut pada arti dan hakikat rûh yang dipertanyakan dan kemudian dijawab dalam surat al-Isra’ ayat 85.
B. Lafazh rûh Dalam Kaidah Bahasa Arab Pada satu kesempatan lafaz rûh digunakan dalam bentuk umum (nâkiroh) dengan dihubungkan dengan kata ganti (dhâmir) yang kembali pada Allah. Seperti pada beberapa ayat di bawah ini :
... “Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya...” (Q.S. An-Nisa: 171)
… “Dan Demikianlah kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami… “ (Q.S. Asy-Syuro : 52)
Ataupun kata al-rûh digunakan dalam bentuk ma’rifat dengan masuknya alif lam ( )الpada lafaz ruh seperti pada beberapa ayat :
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” (Q.S. Al-Ma’aarij: 4)
… “ Pada hari, ketika rûh dan para malaikat berdiri bershaf- shaf…”
Ada pula kata rûh digunakan dalam susunan idhofiyah, dimana kata tersebut disandarkan pada beberapa kata sesudahnya, yaitu
اﻟﻘﺪس,
ataupun na’at man’ut yaitu اﻷﻣﯿﻦseperti contoh:
…
“Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar,..” (Q.S. al-Nahl: 102) Kata rûh dalam Q.S al-Anbiya: 91termasuk dalam susunan idhofiyah yang terbentuk dari dhâmir muttashil bariz.
“Dan (ingatlah kisah) Maryam yang Telah memelihara kehormatannya, lalu kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari kami dan kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.”
“Maka apabila Telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya". (Q.S. Shaad:72) Kata rûh dalam (Q.S. al-Syu’ara: 193) ini termasuk susunan na’at man’ût.
“ Dia dibawa turun oleh Al-Rûh Al-Amîn (Jibril).” (Q.S. AlSyu’ara: 193) Hal-hal inilah yang termasuk mempengaruhi keragaman makna rûh yang dipahami oleh ulama tafsir di samping juga konteks turunnya ayat tersebut. Perbedaan penafsiran al-rûh dalam Al-Qur’an intinya dapat ditelusuri dari konteks apa Al-Qur’an membicarakan tentang rûh.
C. Makna dan Hakikat rûh dalam Analisis M. Quraish Shihab Polemik sentral dalam perdebatan para ulama seputar rûh dipicu oleh firman Allah SWT. Dalam surat Al-Isra’ ayat 85. Sebagaimana uraian M. Quraish Shihab dalam Tafsir-Nya, yang berbunyi :
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang rûh. Katakanlah: "Rûh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". Sabab al-Nuzûl ayat ini sebagai berikut: Asbâb al-nuzûl dalam ayat ini, Jalaluddin as-Suyǔthî dalam Asbâb al-Nuzûl mengutip pendapat Ibnu Katsîr, bahwa sebab turun ayat ini adalah seperti hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari yang bersumber dari Ibnu Mas’ud pertanyaan orang Yahudi tentang rûh dan hal tersebut dilakukan ketika Rasulullah berjalan di Madinah bersama Ibnu Mas’ud. Dan berpapasan dengan kaum Yahudi, lalu bertanya mengenai perihal rûh. Rasulullah berdiri beberapa saat lamanya, karena sedang menerima wahyu. Setelah selesai beliau berucap, menyebutkan surat al-Isra’ ayat 85. Jadi tidak ada hubungannya dengan orang Quraisy ataupun dengan pertanyaan lainnya yang berkaitan dengan bukti kenabian Muhammad.67
Dalam Tafsir al-Mishbâh dinyatakan bahwa ulama Al-Biqa’I dalam penafsiran atas surat al-Isra’ ayat 85. Beliau menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat ini menurut beliau bermunasabah dengan Al-Isra’ ayat 49 dan seterusnya. Yang menyatakan pertanyaan kaum Musyrikînn mengenai kebangkitan setelah manusia menjadi tulang
67
Jalaluddin As-Shuyuthi, Lubăb Nuqǔl fĭ Asbăbin Nuzǔl ( Jakarta: Gema Insani, 2008 ), cet. Ke I, h. 350.
belulang dan keping-kepingan kecil, bagaikan debu. Dan disana, di nyatakan bahwa manusia akan dihidupkan lagi, yakni rûh-Nya akan dikembalikan ke jasadnya.68 Dalam Firman Allah Q.S. al-Isra’ ayat 49:
“Dan mereka berkata: "Apakah bila kami Telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?" Pendapat Al-Biqo’I ini didukung oleh pendapat Thobatoba’I tentang malaikat maut pencabut nyawa dalam firman Allah :
“Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu, Kemudian Hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.” (Q.S. As-Sajadah: 11)
Ulama ini mengatakan bahwa malaikat maut mencabut rûh dari badan kamu, dan kamu terpelihara sampai kamu kembali kepada Tuhan dengan kembalinya rûh ke jasad masing-masing. Maka rûh cenderung sinonim dengan makna “nyawa” karena sesuatu yang dicabut oleh malaikat pencabut nyawa adalah nyawa,69 berarti rûh dapat juga berarti nyawa.
68
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h. 180, vol. 7. 69 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h. 188, vol. 11.
Malaikat maut dalam ayat di atas bukan hanya satu, tetapi banyak. Memang malaikat yang populer dalam benak manusia hanya satu, yaitu izrail, walaupun nama ini tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan AsSunnah yang shahih. Sebagaimana al-Quran surah al-An’am ayat 61 menginformasikan bahwa:
“Dan dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat kami, dan malaikat- malaikat kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” Dalam redaksi ayat ini menggunakan lafaz “Rasul-Rasul” yang menunjuk kepada malaikat-malaikat maut yang bertugas mencabut nyawa salah seorang diantara manusia. Ayat ini dapat mengandung makna, bahwa setiap kematian seseorang ditangani bukan hanya oleh satu malaikat. Setiap yang meninggal ada malaikat yang mencabut nyawanya. 70 Dalam Tafsir al-Misbâh penafsiran surat al-Isra’ ayat 85 bahwa hakikat rûh memiliki makna yang beragam. M. Quraish Shihab menguraikan hakikat rûh dengan beberapa makna, yaitu: a. Rûh Sebagai Potensi Pada Diri Makhluk Yang Menjadikannya Dapat Hidup.
70
M. Quraish Shihab, Yang Tersembunyi : Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam alQur’an - As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini ( Ciputat: Lentera Hati, 2000), cet. Ke . IV, h. 294.
Yang dimaksud potensi pada diri makhluk yang dapat hidup, bergerak, dan bernapas. Yang bila berpisah dengan jasmani hilanglah potensi gerak. Karena manusia bukan hanya jasad yang berbentuk materi saja, tetapi membutuhkan immateri (rûh) yang mengendalikan itu semua. Karena adanya jasad dan rûh sehingga menerima penghormatan dari para malaikat. Sebagaimana terdapat dalam surat al-Hijr ayat 28-29, mengenai tentang proses penciptaan manusia dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam. yang berarti sosok yang tampak dari manusia secara umum dan tidak berbeda antara seseorang dengan yang lain sehingga mempunyai potensi gerak, bernapas, dan berpikir, tetapi berbeda dengan asal kejadian jin yang berasal dari api yang panas. Yang lebih penting pada unsur kejadian manusia ada rûh ciptaan Allah swt. Unsur ini tidak ada pada jin atau iblis. Dan dapat juga mengarahkan manusia untuk mengenal Allah serta mendekatkan diri kepadanya. 71
Ayat berikut dalam firman Allah:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi 71
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2009), cet. Ke. 1, h. 454-455, vol. 6.
bentuk, Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” Arti kata ( ) ﺳﻮّىsawwâ, pada ayat 29 yakni menjadikan sesuatu sedemikian rupa sehingg setiap bagiannya dapat berfungsi sebagaimana yang direncanakan. Kata ( ) ﻧﻔﺨﺖaku meniupkan, terambil dari kata ( ) ﻧﻔﺦnafakha yang hakikatnya adalah mengeluarkan angin dari mulut. Yang dimaksud disini adalah member potensi ruhaniah kepada manusia sehingga dapat mengenal Allah swt. Dan dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Yang dimaksudkan dalam ayat ini bahwa tidak ada peniupan, tidak ada angin atau rûh dari zat Allah swt. yang menyentuh manusia. Rûh Allah swt. yang dimaksud adalah milik-Nya dan merupakan wewenangNya semata-mata. Secara gramatikal kedudukan I’rob kalimat ﻣﻦ روﺣﻲdalam ayat:
ﻓﺈذا ﺳﻮﯾﺘﮫ وﻧﻔﺨﺖ ﻓﯿﮫ ﻣﻦ روﺣﻲ ﻓﻘﻌﻮا ﻟﮫ ﺳﺠﺪﯾﻦyang berposisi sebagai majrur ﻣﺠﺮورsebab huruf mim menunjukkan adanya keterkaitan dalam keikutan, yaitu keterkaitan antara rŭh dengan lafaz
72
ﺑﺸﺮا. Basyar
pada ayat sebelumnya yang berbunyi :
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia 72
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002), h. 455- 457 vol. 6.
dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk,” Istilah basyar ( ً ) ﺑﺸﺮاoleh Dr. M. Quraish Shihab dalam ayat tersebut di tafsirkan sebagai “manusia secara fisik”. Kata basyar ( ً ) ﺑﺸﺮterambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan pada suatu yang baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan makhluk lainnya. Al-Qur’ân menggunakan kata ini sebanyak 36 kali yang tersebar dalam 26 surat. Dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. 73 Hubungan korelatif antara ﻣﻦ روﺣﻰdengan ً ﺑﺸﺮbertemu pada kalimat ﻓﻘﻌﻮا ﻟﮫ ﺳﺎﺟﺪﯾﻦyaitu perintah tunduknya para malaikat kepada ًﯾﺸﺮ (Adam) dengan bersujud, maka segera mereka sujud tanpa menunda atau berpikir. tetapi iblis enggan ikut bersujud bersama-sama dengan para malaikat yang sujud itu. Dalam hal ini sujud tersebut adalah sujud penghormatan bukan sujud ibadah. Karena pada diri ً ﺑﺸﺮada sesuatu yang lebih sekedar dari materi yaitu potensi rohaniah. Ayat-ayat yang berbicara tentang kisah kejadian manusia dapat ditemukan pada surah al-Hijr28-29, Shaad 72, al-Baqarah ayat 29 dan alA’raf ayat 10. Dalam surat al-Baqarah ayat 29 dan al-A’raf ayat 10 73
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), cet. 1, h. 292.
masing-masing memiliki penekanan yang berbeda, walau terdapat juga persamaan. Sayyid Quthub menulis bahwa uraian-uraian itu memiliki keserupaan dalam hal pengantarnya, yakni kesemuanya berbicara tentang kehadiran dan penguasaan Allah swt. Kepada manusia atas bumi. Tetapi konteks uraian masing-masing surah, arah dan tujuannya berbeda.74 M. Quraish Shihab berpendapat bahwa dalam surah shaad: 71-72 merupakan ayat-ayat pertama yang turun mengenai kisah kejadian manusia (Adam). Ayat ini memperkuat surat al-Hijr ayat 28-29, Yang intinya Allah menciptakan manusia dari tanah. Lalu Allah meniupkannya rûh kehidupan kepada manusia. Dan manusia akan kembali hancur menjadi unsur - unsur tanah itu ketika unsur Ilahi yang misterius tersebut meninggalkannya. Manusia tidak mengetahui hakikat tiupan ini, namun dapat dilihat dengan tanda-tanda dan pengaruhnya. Dan dapat menjadikan akalnya melihat pengalaman masa lalu, dan mendorongnya untuk merancang langkah-langkah masa depan.75 Adapun manusia adalah makhluk Allah yang terdiri dari dua unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Penggabungan kedua macam unsur ini menyebabkan manusia mempunyai potensi untuk mengambil manfaat dari bumi seluruhnya dengan pengetahuan yang dianugerahkan Allah kepadanya.
74
Potensi diri dan
ilmu
pengetahuan,
manusia
dapat
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2009), cet. Ke. 1, h. 456, vol. 6. 75 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ( Beirut: Dar el Syuruq, 1992), Jilid. 19, h. 80.
memanfaatkan air, udara, barang tambang, tumbuh-tumbuhan, binatang ternak, kekuatan listrik, kekuatan atom, dan sebagainya. 76 Rûh dalam ayat 29 menurut Sayyid Quthub, rûh dari Allah yang mentransformasikan anggota tubuh kita yang tak bermakna, meningkat menjadi mulia. Rûh itu pula yang menjadikan manusia mendapat amanah menjadi khalifah di muka bumi karena keistimewaannya sejak di ciptakan itu. Yang berbeda dengan setan yang diciptakan dari api panas. Rûh inilah yang menghubungkan dan membuat manusia berkomunikasi dengan Allah swt. dan mampu membuat manusia melakukan lompatan dari alam materi menuju alam immateri yang perangkat interaksinya akal dan hati. Potensi rûh yang sedemikian rupa harus berhadapan dengan karakter tanah yang tunduk pada kebutuhan-kebutuhan asasinya, seperti makan, minum, pakaian, dan syahwat. Tanah juga memiliki karakter lemah dan serba kurang sempurna yang berimplikasi kepada hasil dari aktivitas manusia yang juga lemah dan tidak sempurna. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan dari sifat manusia. Kedua unsur ini menjadikan manusia makhluk yang unik dalam proses penciptaannya.77 Mengenai malaikat yang sujud kepada Adam. dapat menimbulkan pertanyaan, Apakah semua malaikat itu sujud? Jawabannya, sebelum ini telah dikemukakan, bahwa malaikat itu sangat banyak, tidak terhitung jumlahnya, kecuali Allah swt. Kalau merujuk pada salah satu firman-Nya 76
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi Yang Disempurnakan ( Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), Cet. I, h. 239. 77 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ( Beirut: Dar el Syuruq, 1992), Jilid. VII, h. 137.
yang menjelaskan sikap melaikat ketika diperintah sujud kepada Adam as. Yakni (Q.S. Shaad:73):
“Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama”. Dalam ayat ini sangat jelas akan jawaban pertanyaan di atas, bahwa mereka semua sujud tanpa terkecuali. Karena kata kullu pada ayat di atas bermakna semua dan ini mengandung arti bahwa tidak satu pun dari malaikat yang tidak sujud. Dan dikuatkan lagi pada akhir ayat terdapat kata Ajma’ûn yang juga sering kali diartikan semuanya. Akan tetapi pendapat ini tidak di setujui oleh sebagian ulama. Menurut sebagian ulama tidak semua malaikat sujud. Mereka merujuk kepada Firman Allah yang ditujukan-Nya kepada Iblîs:
“Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang Telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?".(Q.S. Shad 38: 75 ) Dalam ayat ini dipahami, bahwa alasan iblis untuk tidak sujud karena ada dua hal, pertama menyombongkan diri, kedua termasuk kelompok Ǎlîn (( yang lebih tinggi). Kemudian jawaban Iblîs adalah:
“Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, Karena Engkau ciptakan Aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah".
M. Quraish Shihab cenderung mendukung pendapat ini. Memang ayat dari surat al-Hijr yang dikutip di atas, menyatakan kullu hum/ semua mereka. Tetapi mereka yang dimaksud adalah mereka yang diperintahkan sujud, bukan mereka yang tidak diperintah.78
b. Rûh dalam arti Jibril Tertera Dalam Firman Allah swt. surat al-Syu’ara ayat 193-194 yang berbunyi:
“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan”. Kata rûh al- Amîn bermakna Jibril, yang membawa kitab suci alQur’an yang berasal dari Tuhan semesta alam. Diturunkan kepada manusia pilihan yaitu Nabi Muhammad saw., secara berangsur-angsur dengan perantaraan Jibril. Yang bertugas membawa wahyu kepada para rasul. Dikatakan ruh dalam arti Jibril seperti sesuatu yang menghidupkan ruhani sebagaimana halnya dengan nyawa yang menghidupkan jasmani. Al-Qur’an ditanamkan ke dalam hati Muhammad, maksudnya al-Qur’an itu dibacakan oleh Jibril sedemikian rupa sehingga Nabi Muhammad betul
78
M. Quraish Shihab, Yang tersembunyi: Jin, Iblis, dan Malaikat dalam Al-Qur’an – AsSunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini ( Jakarta: Lentera Hati, 2000), cet. Ke IV,h. 274-275.
arti dan maksudnya. Tanpa perantara indra yang lain. Ini sangat murni, tidak disertai campur tangan atau interpretasi dari siapa pun.79 Proses turunnya wahyu al-Qur’an melalui beberapa cara, yang terdapat dalam Q.S. As-Syura: 51 tentang tatacara pewahyuan Al-Qur’ân,
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. salah satu poin utama informasi Al-Qur’ân adalah menggunakan metode pengutusan rasul yang dinyataan dengan kata-kata
ًﯾﺮﺳﻞ رﺳﻮﻻ
jika kita memahami kata rasul dalam arti malaikat. maka makna ini bisa bermacam-macam, bisa jibril, Isrofil, bisa malaikat maut dan lain-lain, namun demikian yang ditugaskan menyampaikan Al-Qur’an hanyalah malaikat jibril as.berdasarkan firman Q.S. Asy-Syu’âra : 193, dan al-Nahl: 102. Pemahaman ini dikuatkan oleh penafsiran Dr. Quraish Shihab pada Q.S. Al-Nahl : 2 yang berbunyi :
Kata malaikat (
) bentuk jamak dari kata malak (
), oleh
para ulama di pahami dalam arti seorang malaikat jibril as. Yang bertugas 79
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an ( Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. Ke-1, h. 134.
pokok menyampaikan wahyu. Bahwa ayat ini menggunakan redaksi yang berbentuk jamak adalah untuk mengisyaratkan betapa agung malaikat itu. Sedangkan kata al-rûh diterjemahkan dalam arti wahyu. Tuntunantuntunan Allah dinamai al-rûh karena dengannya jiwa manusia hidup, sebagaimana jasmaninya hidup dengan nyawa.80 c. Sedangkan makna rûh yang berarti al-Qur’an Pandangan ‘Izzat Darwazat, salah seorang ulama kontemporer yang mengatakan bahwa tafsiran al-rûh pada surat al-Isra’ : 85 mengarah pada makna al-Qur’an, bukan rûh yang berarti potensi hidup ataupun nyawa. Hal ini pun sesuai dengan munâsabah ayat sebelum dan sesudahnya. Munâsabah ayat sebelumnya, yaitu ayat 82-84 sebagai berikut :
“Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.(82). Dan apabila kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah Dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa.(83). Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya[867] masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (84)
80
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002), h. 528, vol. 6.
Ayat di atas (82-84), berbicara tentang keistimewaan al-Qur’an dan fungsinya sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad saw yaitu obat penawar penyakit jiwa. Dan kaum musyrikin menjauh dari al-Qur’an yang merupakan nikmat yang amat besar dari Allah swt. Penyakit jiwa kaum musyrikin dalam ayat di atas adalah rasa bangga dan putus asa. Maksudnya bila Allah menganugerahkan manusia kenikmatan, maka ia memperhatikan dan mengembalikan perolehannya kepada sebab-sebab lahiriah dan terpaku padanya, sehingga melupakan Allah dan tidak mensyukuri-Nya, sedang jika mendapat kesulitan, atau dicabut darinya kebaikan, ia sangat berputus asa karena hanya bergantung pada faktorfaktor yang kini dilihatnya sudah tidak ada lagi. Demikianlah orang-orang musyrik yang sakit jiwa padahal al-Qur’an merupakan penawar penyakit kejiwaan tersebut.81 Dan ayat sesudahnya berkaitan juga dengan al-Qur’an sebagai berikut:
81
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h. 531-534, vol. 7.
86.Dan Sesungguhnya jika kami menghendaki, niscaya kami lenyapkan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu, kamu tidak akan mendapatkan seorang pembelapun terhadap kami, 87.Kecuali Karena rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya karuniaNya atasmu adalah besar. 88. Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". 89. Dan Sesungguhnya kami Telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al Quran Ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (Nya). Ayat yang lalu Allah swt menerangkan bahwa rǔh itu merupakan urusan Allah, sedang apa yang diketahui manusia tentang rǔh hanya sebagian kecil saja. Pada ayat-ayat ini dijelaskan bahwa Allah mampu menghilangkan apa yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Di jelaskan juga Allah menantang manusia dan jin untuk membuat al-Qur’an. Mereka pasti tidak akan mampu melakukannya, apalagi menandinginya. Berdasarkan pendapat Izzat Darwazat bahwa ayat-ayat sebelum dan sesudah surah al-Isra’: 85 membicarakan tentang al-Qur’an. Lafaz ﻣﻦ
أﻣﺮ رﺑﻲmin amr Rabbî dipahami oleh beliau dalam arti ketetapan Allah secara langsung, tanpa melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya, tidak juga melalui pentahapan, waktu dan tempat.82
Hal tersebut
dikuatkan dengan kalimat روﺣﺎ ﻣﻦ أﻣﺮﻧﺎpada surat as-Syurâ ayat 52 :
82
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h. 182, vol. 7.
Yang terdapat pada ayat
ﻣﻦ أﻣﺮﻧﺎditafsirkan yang merupakan
wewenang khusus kami. Yang dimaksud dengan kewenangan disini adalah hak preogatif Tuhan dalam mewahyukan rûh (al-Qur’an) yang hendak diamanahkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sebelum Allah mewahyukan kepadamu (Rasulullah) sampai usia empat puluh tahun, engkau tidak mengetahui apalagi menjelaskan apakah al-Kitâb dan tidak pula mengetahui secara rinci apakah al-Ỉman itu, yakni akidah dan syariat Islam. Ini sesuai yang ayat selanjutnya yang berbunyi : Yang berarti bahwa Rasulullah sebelumnya sama sekali tidak memiliki pengetahuan
sedikitpun tentang iman maupun kitab, bukan
berarti Rasulullah tidak beriman kepada Allah swt., tetapi yang di nafikan ayat di atas adalah tentang iman dalam perinciannya. Demikianlah keadaanmu sebelum diwahyukan al-Quran. Kami memberimu hidayah melalui wahyu al-Quran ketika manusia seluruhnya dalam keadaan gelap gulita. Sehingga menjadi terang benderang dengan petunjuk-Nya yakni kami anugerahi taufik sehingga dapat melaksanakan tuntunan-tuntunan kami. Dan rasul sama sekali tidak memiliki perasaan ingin mendapatkan amanah risalah ( al-Qur’an ) pada detik-detik pengangkatan kerasulan beliau oleh Allah.83 Pendapat ini berlainan dengan pendapat Sayyid Quthub, yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw., sangat memahaminya, sebelum 83
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h. 528-529, vol. 12.
beliau menerima wahyu. Beliau telah mendengar tentang Al-Kitâb dan telah mendengar tentang keimanan. Di Jazirah Arab dimaklumi bahwa di sana ada Ahli Kitab dan bahwa mereka memiliki akidah. Namun bukan itu yang dimaksud oleh ayat, tetapi maksudnya ialah penguasaan kalbu atas hakikat keimanan dan Kităb, perasaan akan keberadaannya, dan terpengaruh oleh keberadaannya di dalam hati. Hal ini belum terjadi pada Rasulullah sebelum turunnya wahyu dengan perintah Allah, yang menyatu dengan kalbu Muhammad saw.84 Dengan al-Qur’an dan wahyu pengetahuan Ilahiyah menjadi sempurna dan cahaya rabbaniyah akan terbit, sehingga lepaslah dari gelapnya kebodohan dan berpindah dari sifat-sifat hewaniyah menuju kemanusiaan yang sempurna, sehingga sempurnalah keadaan jasad. Tujuan utama penurunan wahyu tidak lain untuk mengenalkan sifat-sifat Rabb yang Maha Bijaksana, yang merupakan sumber segala keutamaan dan kebaikan, agar mereka mengesakan, menyembah dan bersyukur kepada-Nya.85 Thabathaba’I berkesimpulan bahwa rûh yang ditanyakan Q.S.AlIsra’ ayat 85 ini adalah hakikat rûh yang dibicarakan oleh firman-firmanNya itu dan jawaban yang diberikan ayat ini adalah bahwa : “itu urusan Tuhan sedang ilmu yang kamu miliki yang dianugerahkan Allah kepada kamu-tentang ruh adalah sedikit dari yang banyak. 84
20.
85
Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ( Beirut: Dar el Syuruq, 1992), Jilid. 20, h.
Muhammad Ali Ash-Shabuny, Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Tematik Surat Huud- Al-Isra’ ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), cet. I, h. 381.
Thăhir ibn Asyur berpendapat bahwa ayat ini mengalihkan atas berbagai pertanyaan tentang rûh, bertujuan untuk kemaslahatan mereka sejalan dengan situasi waktu dan tempat mereka. Boleh jadi, dimasa akan datang akan terjadi lebih banyak perubahan yang menjadikan ilmuwan memiliki kemampuan untuk mengungkap sebagian dari hakikat rûh.86 Sayyid Quthub berpendapat, bahwa jawaban yang ada dalam alQur’an tersebut, bukan untuk membungkam manusia untuk berbuat. Tetapi pada jawaban tersebut terkandung suatu taujỉh ‘arahan’ bagi akal agar ia tetap bekerja pada batasan-batasannya pada bidang yang ia ketahui.87 Akan tetapi, di antara ulama ada yang telah mencoba mendalami hakikat rûh itu. Di antaranya ialah: 1. Rûh itu semacam cahaya ( jisim, nurani) yang turun ke dunia dari alam tinggi, sifatnya berbeda dengan materi yang dapat dilihat dan diraba. 2. Rûh itu mengalir dalam tubuh manusia, sebagaimana mengalirnya air ke dalam bunga, atau sebagaimana api dalam bara. Rûh itu memberi kehidupan ke dalam tubuh seseorang selama tubuh itu sanggup menerimanya, dan tidak ada yangmenghalangi alirannya. Bila tubuh tidak sanggup lagi menerima rûh, maka tubuh itu menjadi mati. Pendapat ini dikemukakanoleh al-Râzî dan Ibnu qayyim. Sedangkan Imam al-Gazalĭ dan Abu Qăsim al-Râgib al-Asfahânî berpendapat 86
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2002), cet. Ke. 1, h.540 , vol.7. 87 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ( Beirut: Dar el Syuruq, 1992), Jilid. 7, h. 287.
bahwa rûh itu bukanlah materi dan sesuatu yang berbentuk, tetapi ia hanyaah sesuatu yang bergantung pada tubuh untuk mengurus dan menyelesaikan kepentingan-kepentingan tubuh.88 Di atas, telah dikemukakan banyak ulama memahami kata rûh di sini dalam arti pertanyaan tentang substansi rûh yang merupakan nyawa dan yang keberadaannya dalam diri sesuatu ia menjadi hidup. Para filosof dan pemikir islam sejak dahulu berusaha memberikan aneka jawaban, namun tidak satu pun yang memuaskan nalar. Pembahasan mereka itu tidak dapat dinilai menyimpang dari tuntunan ayat ini karena jawaban yang diberikan Al-Qur’an di atas, tidak mutlak dipahami sebagai jawaban akhir terhadap pertanyaan tersebut. Karena hanya Allah yang mengetahui hakikat rûh, maka pada ayat ini Allah swt menegaskan kepada manusia bahwa ilmu Allah Maha Luas tidak dapat diperkirakan.
88
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi Yang Disempurnakan ( Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), Cet. I, h. 536-537.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian penulis tentang Rûh dalam Al-Qur’ăn. Analisis Penafsiran Prof. Dr. Quraish Shihab atas surah al-Isra’ ayat 85, penulis menarik kesimpulan bahwa rûh dalam Al-Qur’ân bermakna sebagai berikut : 1. Setelah di pelajari dan di renungi, ternyata kata Al- Rûh mempunyai makna yang banyak (tidak hanya satu arti). Dengan demikian, maka diharapkan nantinya kita tidak salah dalam memahami kata Al-Rûh. Bahwa rûh mempunyai arti wahyu atau Al-Qur’ân, malaikat Jibril ataupun nyawa. Rûh bermakna AlQur’ăn di dasarkan pada dalil ayat al-Qur’ăn surat al-Isra’: 85, Asy-Syură:
52.
Sedangkan
al-rûh
yang
bermakna
Jibril,
penjelasannya terdapat pada surat al-nahl: 102, As-Syuâra: 193. Penafsiran tersebut didukung oleh ayat-ayat lain seperti surat AsSyurâ: 51 yang memaparkan tentang proses turunnya al-Qur’ăn. Adapun al-rûh bermakna nyawa penafsiran tersebut bersumber pada surat al-Hijr :28-29, tentang proses penciptaan manusia. Menurut M.
Quraish
membicarakan
tentang
ayat
tersebut
al-Qur’ân
sama
ataupun
sekali
tidak
malaikat
Jibril
melainkan rûh sebagai potensi hidup ataupun nyawa.
2. M. Quraish Shihab dalam penafsirannya tidak ada satu pun memberikan sebuah pendapat atau pemikirannya secara eksplisit tentang makna rûh, beliau hanya memberikan pendapat bahwa syakilah (jalan atau kebiasaan atau kecenderungan) yang disebut dalam ayat sebelumnya (ayat 84 surat al-Isra’) yang melahirkan motivasi dan aktivitas manusia yang saling berbeda dan yang sifatnya abstrak bagaikan rûh. Dalam tafsir-Nya, Beliau hanya memaparkan pendapat atau pemikiran sebagian para ulama tafsir tentang rûh yang ada di dalam al-Qur’an. Sehingga penulis belum mampu menemukan jawaban yang lebih signifikan mengenai makna rûh yang sebenarnya.
maka dalam analisa M. Quraish
Shihab bahwa akal manusia sangat terbatas untuk mengetahui makna hakikat rûh. Dan menurut-Nya Kalaupun rûh diartikan sebagai sumber hidup atau wahyu, yang diketahuinya barulah sebagian dari gejala-gejala dan dampaknya. Dan kalau tentang alQur’an baru sekelumit dari penafsirannya, sedangkan kalau tentang alam raya, itu pun baru setetes dari samuderanya. B. Saran- Saran Setelah mencermati beberapa uraian di atas, akhirnya penulis menyarankan sejumlah hal kepada pihak terkait. Diantaranya adalah : 1. Yang perlu dipercayai bahwa rûh itu ada. Allah hanya memberikan gejala-gejalanya. Maka yang perlu diteliti dan dipelajari dengan
sungguh-sungguh ialah gejala-gejala rûh itu, yang dilakukan dalam psikologi 2. Memberikan saran kepada mahasiswa lainnya yang ingin mengembangkan tafsir Al-Qur’ân bahwa pemahaman tafsir AlQur’ân dengan pendekatan munâsabah bayyin al-âyah dapat menjelaskan tema-tema pokok Al-Qur’ân, juga dapat membuktikan keserasian kata demi kata dalam satu surat atau lintas surat dalam Al-Qur’ân, dan yang lebih penting dapat membantu meluruskan kekeliruan pemahaman serta menciptakan kesan yang benar tentang Al-Qur’ân. 3. Kepada para peminat kajian tafsir, hendaknya terus menggali persoalan ini dengan konsep yang lebih luas lagi, karena masih banyak belum penulis ungkap disini terkait masalah rûh. 4. Semoga pembahasan tentang rûh dalam Al-Qur’an dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan kaum Muslim umumnya. Terakhir, penulis berharap agar penelitian ini mampu menjadi setitik sumber pengetahuan yang bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri, dan umumnya kepada kaum muslimin.
DAFTAR PUSTAKA al-Alusi, Syihabuddin. Rǔh al-Ma’ăni fi Tafsir al-Qur’ăn al-Azhĭm wa as-Sabi alMatsăni. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994. Abdul Qadir al-Kaf, Muhammad. Roh itu Misterius Terj. Yasalunaka ‘an ar-Ruh. Jakarta : CV. Cendikia Sentra Muslim, 2001. Basalamah, Yahya Saleh. Manusia dan Alam Ghaib. Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993. Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Dewan Redaksi. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Van Hoeve, 1994. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya ( Edisi Yang Disempurnakan ). Jakarta: Departemen Agama RI, 2004. Al-Farmawi, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Federspiel, Howard M. Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus sampai Quraish Shihab. Bandung: Mizan, 1996. Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi. Jakarta: Teraju, 2003. Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2007. Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: CV. Bulan Bintang, 1991. Ibnu Manzur. Lisan al-Arab. Beirut: Dar al- Shadar, 1994.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Al-Rǔh li Ibnil Qayyim. Beirut: Dar al-Qalam, 1403. Muhammad, Abd Basith. Semesta Ruh, Jakarta : Serambi 2006. Mustafa. M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010. Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005. Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian masalah Akidah dan Ibadah. Jakarta: Paramadina, 2002. Al-Qurtubi. Al-Jami’ al-Ahkăm al-Qur’an. Kairo: Dar al-Kutub al-Arabiah li alTibăh wa al-Nasyr, 1967. Al-Qaththan, Manna’ al-Khalil. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006. Rahardjo, Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan KonsepKonsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996. Al-Razi, Fakhr al-Din. Mafătih al-Gaib. Beirut: Dar al-Fikr, 1993. As-Shabuni, Muhammad Ali. CAHAYA AL-QUR’AN: Tafsir Tematik Surat Huudal-Isra’.Beirut: Dar al-Qalam, 1406. Saleh, Qomarudin. Asbab al- Nuzul. Bandung: CV. Diponegoro, 1997. Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996. Shihab, M.Quraish. dkk. Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati, 2007. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atau Surah-Surah Pendek berdasarkan Turunnya Wahyu. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997.
Shihab, M. Quraish. dkk. Sejarah Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008. Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994. Shihab, M Quraish. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati, 2006. Shihab, M Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Qur’a. Jakarta : Lentera Hati, 2002. Shihab, M. Quraish. Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam alQur’an – As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini. Ciputat: Lentera Hati, 2000. As-Suyuthi, Jalaluddin. Asbăb al-Nuzǔl. Jakarta: Gema Insani, 2008. Tebba, Sudirman. Ruh Misteri Mahadasyat. Ciputat : Pustaka Irvan, 2008.