1
RETROSPECTIVE COHORT STUDY OF DIAGNOSIS–DELIVERY INTERVAL WITH UMBILICAL CORD PROLAPSE: THE EFFECT OF TEAM TRAINING
D Siassakos, Z Hasafa, T Sibanda, R Fox, F Donald, C Winter, T Draycott British Journal of Obstetrics and Gynaecology, Vol.116: 1089-1096, May 2009.
RINGKASAN JURNAL
Satu diantara dua belas persalinan berhubungan dengan kejadian yang berbahaya. Banyak faktor yang menyebabkan outcome yang kurang bagus, salah satunya adalah kesalahan kerjasama tim antara petugas kesehatan (teamworks error) dalam menghadapi kasus-kasus kegawatdaruratan. Kesalahan kerjasama tim diantaranya bingung tentang peran dan tanggung jawab, kegagalan berkoordinasi dalam melakukan tugas klinik, dan komunikasi yang kurang. Oleh karena itu, di rekomendasikan untuk memperluas fokus pelatihan tidak hanya kerja tim tetapi juga memasukkan pengembangan kereampilan klinik. Pelatihan kerja tim yang efektif sangat penting terutama pada kasus yang secara tiba-tiba, tidak terduga atau kondisi yang langka yang memerlukan respon yang cepat dari multiprofesional seperti prolapsus tali pusat, kejadiannya 1 diantara 200 persalinan tetapi memberikan dampak terhadap kesejahteraan janin.
Penelitian ini menggunakan design studi observasional kohort retrospektif untuk mengetahui apakah pengenalan pelatihan simulasi multiprofesional berhubungan dengan peningkatan manajemen prolapsus tali pusat khususnya Diagnosis Delivery Interval (DDI) sebagai indikator kerja tim yang efektif. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah pelatihan kerja tim tersebut berhubungan dengan peningkatan kepatuhan dalam rekomendasi-rekomendasi penting lainnya (penggunaan metode untuk mengurangi tekanan pada tali pusat, penggunaan anastesi regional yang sesuai) dan menilai outcome tehadap neonatus. Manajemen dan outcome neonatus dengan prolapsus tali pusat di rumah sakit diperoleh
2
sebelum dan setelah adanya pengenalan latihan tahunan, catatan kasus diambil pada 2 periode (pre dan post-training) masing-masing selama tujuh tahun. Data yang dikumpulkan diperoleh dari database maternitas yang berbasis di UK (STORK), kelahiran komplikasi dengan prolapsus tali pusat diidentifikasi dan diperoleh dari catatan rumah sakit. Tahun 2000, Kelompok profesional terdiri dari bidan, perawat, dokter obstetrik, dan anastesi mengembangkan pelatihan intervensi kegawatdaruratan obstetrik. Pelatihan ini terdiri dari kursus sehari yang diadakan setiap 2 bulan untuk mengakomodasi semua bidan dan staf medis di bagian obstetrik. Kehadiran tahunan adalah wajib dan dicatat dalam database. Pelatihan mencakup semua aspek manajemen klinis dan komunikasi selama kondisi emergensi, termasuk pengumuman yang bersifat urgensi, informed consent
dan
pendokumentasian
secara
detail.
Penilaian
outcome
data
dikumpulkan dari outcome penilaian primer dan sekunder yaitu DDI, apgar score 5 menit pertama kurang dari 7, neonatus yang di rawat di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) dengan berat badan lebih dari 2500 gram dan kelahiran mati. Data dikumpulkan dari variabel-variabel baik yang mempunyai efek bias maupun yang relevan seperti penggunaan manuver untuk mengurangi tekanan pada talipusat.
Penelitian ini menemukan temukan bahwa 56 orang wanita yang mengalami prolapsus tali pusat pada kelompok pertama (pre-training) dan 38 orang wanita pada kelompok kedua (post-training). Berdasarkan statistik pelatihan yang dilakukan berhubungan secara signifikan dengan DDI yaitu nilai median DDI dari 25 menit menjadi 14.5 menit (P<0.001, Mann-Whitney U test). Peningkatan yang significant terhadap rekomendasi penggunaan tindakan untuk mengurangi kompresi tali pusat pada post-training yaitu dari 8 kasus (34.78%) menjadi 14 kasus (82.35%) (P=0.003, Fisher exact). Penilaian outcome neonatus meningkat pada post-training, tetapi tidak ada perbedaan signifikan secara statistik. Pelatihan simulasi
tim
multiprofesional
untuk
kegawatdaruratan
obstetrik
meningkatkan pengetahuan klinik dan tim kerja menjadi lebih baik.
dapat
3
LATAR BELAKANG
Kelahiran anak merupakan proses yang normal dan sehat, kebanyakan wanita telah merancang dengan baik. Wanita biasanya terbebas dari masalah kehamilan, tetapi selama proses persalinan tiba-tiba terjadi perubahan dari situasi yang biasa menjadi situasi yang krisis. Sekitar 25 % kehamilan, menyimpang dari normal yang menimbulkan ancaman terhadap kesejahteraan ibu dan janin (Ricci, 2009). Kebanyakan komplikasi-komplikasi persalinan mempunyai sedikit atau tanpa adanya tanda-tanda, dimana ini merupakan tantangan bagi tenaga kesehatan khususnya perawat maternitas. Salah satu komplikasi persalinan adalah prolapsus tali pusat.
Prolapsus tali pusat adalah suatu keadaan emergensi dalam bidang obstetrik yang mengancam jiwa janin, dimana pembuluh darah umbilikalis terganggu oleh kompresi tali pusat (Khan, Naru, & Nizami, 2007). Prolapsus tali pusat terjadi sekitar 0.46 % kelahiran (Kalu & Umeora, 2011). Kejadian prolapsus tali pusat dilaporkan 1 dalam 160 – 714 kelahiran. Penanganan yang lambat akan menyebabkan kematian perinatal antara 36 sampai 162 per 1000 kelahiran yang diperburuk oleh kondisi prematur, asfiksia lahir, dan kelainan kongenital (Carlin & Alfirevi, 2006). Beberapa faktor resiko menyebabkan terjadinya prolapsus tali pusat seperti malpresentasi, kehamilan multiple, prematuritas, multiparitas, ketuban pecah dini, polihidramnions dan janin yang kecil (Kalu & Umeora, 2011). Penelitian yang dilakukan di Turki menemukan adanya hubungan yang signifikan antara prolapsus tali pusat dengan intervensi obstetrik seperti insersi kateter intauterine, rotasi manual pada kepala janin, dan induksi persalinan (Uygur, Kis, Tuncer, Ozcan, & Erkay, 2002). Diagnosis dan intervensi segera harus dilakukan pada prolapsus tali pusat untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian pada perinatal.
Waktu adalah sangat penting dalam menolong persalinan dengan prolapsus tali pusat untuk mengurangi durasi waktu kompresi pada tali pusat. Respon waktu antara diagnosis dengan intervesi ini di sebut Diagnosis–Delivery Interval (DDI)
4
(Amankwah, Caughey, & Walker, 2011). Salah satu penatalaksaanan segera adalah metode yang dapat mengurangi tekanan bagian terendah janin pada tali pusat dalam upaya mencegah dan meminimalkan kerusakan yang dapat terjadi pada sirkulasi janin seperti perubahan posisi (Carlin & Alfirevi, 2006). Akan tetapi, jika dilatasi serviks belum lengkap, maka persalinan dengan seksio sesaria merupakan cara yang paling tepat untuk ibu dan janinnya. (Pierre & Rudigoz, 2008) mengidentifikasi bahwa keterlambatan dalam mentransfer pasien ke kamar operasi adalah salah satu faktor utama dalam pengambilan keputusan yang lama dalam pembedahan kegawatdaruratan seksio sesaria. Kesalaham kerja tim diantaranya bingung peran dan tanggung jawab, gagal dalam melakukan koordinasi tugas klinik dan kurangnya komunikasi merupakan faktor yang menyebabkan keterlambatan dalam pengambilan keputusan tersebut. Oleh karena itu, salah satu artikel Retrospective cohort study of diagnosis–delivery interval with umbilical cord prolapse: the effect of team training (Siassakos et al., 2009). Adapun tujuan membahas artikel ini agar memahami tentang pentingnya pengenalan pelatihan simulasi multiprofesional berhubungan dengan peningkatan manajemen prolapsus tali pusat khususnya interval antara diagnosis dan intervensi. Makalah ini terdiri dari latar belakang, pembahasan, implikasi keperawatan, kesimpulan, dan saran.
PEMBAHASAN
Prolapsus tali pusat biasa terjadi setelah ketuban pecah dini, ketika bagian terendah janin (kepala, bokong atau bahu) belum masuk ke pintu atas panggul sehingga tidak dapat mencegah tali pusat terbawa ke luar pada saat cairan amnion memancar dengan tiba-tiba. Diagnosa prolapsus tali pusat di lakukan pada saat pemeriksaan vagina dan teraba tali pusat. Gawat janin, dideteksi dengan terjadinya perubahan denyut jantung janin, kadang kala merupakan indikasi pertama, terutama pada kasus prolapsus tali pusat yang tidak tampak (Reeder, Martin, & Konoak-Griffin, 1997/2011). Dengan adanya diagnosa yang tepat, petugas`kesehatan khususnya yang terlibat di bagian obstetrik dapat memberikan
5
intervensi yang sesuai. Pemberian intervensi yang segera dan sesuai di perlukan adanya kerjasama multiprofesional
Kerja tim yang efektif dapat membantu multiprofesional merespon dan berkoordinasi dengan cepat khususnya pada kondisi-kondisi yang terjadi secara tiba-tiba, yang tidak di harapkan, dan kondisi yang jarang (Siassakos et al., 2009). Institute of Medicine (IOM) melaporkan strategi untuk meningkatkan kualitas perawatan kesehatan di Amerika serikat, dimana pelatihan tim dan implementasi perilaku dari tim akan mengurangi kesalahan medis dan meningkatkan keselamatan pasien. Khususnya pada bagian obstetrik karena proses persalinan memerlukan lingkungan yang kondusif, bebas dari kesalahan kerja, dan memerlukan komunikasi yang efektif antara multiprofesional (Dokter obgyn, perawat, bidan, anastesi, dll) (Nielsen et al., 2007). Oleh karena itu, adanya kerjasama tim yang baik akan mengurangi kesalahan medis dan meningkatkan oucome klinik. Penelitian ini membuktikan bahwa pelatihan kegawatdaruratan obstetrik multiprofesional meningkatkan outcome klinik dan kinerja selama simulasi. Pelatihan lokal dapat memberikan kesempatan kepada tim untuk mengidentifikasi masalah-masalah keselamatan lokal yang dapat diatasi dengan target intervensi (Siassakos et al., 2009).
Interval waktu yang di gunakan antara diagnosa dan pengambilan keputusan dalam melakukan intervensi merupakan sesuatu hal yang penting dalam mengurangi angka kematian ibu dan janin. Pada penelitian ini ditemukan median DDI dari pre training ke post training yaitu dari 25 menit ke 14.5 menit. Menurut (American College of Obstericians and Gynecologists, 2007) bahwa waktu yang digunakan dalam kegawatdaruratan persalinan di seluruh rumah sakit adalah kurang dari 30 menit dari keputusan sektio sesaria sampai melakukan pembedahan. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh (Nielsen et al., 2007) bahwa kelompok yang mendapatkan pelatihan kerja tim melakukan seksio sesaria lebih cepat 12 menit daripada kelompok yang tidak mendapatkan pelatihan dan terjadi peningkatan yang signifikan terhadap keselamatan ibu dan janin. Panduan manajemen pada prolapsus tali pusat
6
merupakan target pencapaian. Meskipun, 30 menit DDI merupakan target yang sulit di capai di unit maternitas. Menurut (Regt, Marks, Joseph, & Malmgren, 2009) ada beberapa alasan DDI lebih dari 30 menit yaitu masalah pada ruangan operasi, dokter obstetrik, anastesi dan perawat.
Penelitian ini juga menemukan bahwa outcome pada neonatus meningkat setelah melakukan pelatihan meskipun tidak di temukan perbedaan yang signifikan secara statistik, dimana ibu dengan janin yang bradikardia mempunyai median DDI meningkat dari 25 menit menjadi 14 menit setelah melakukan pelatihan. Penelitian ini juga menemukan bahwa janin yang tidak mengalami bradikardia tetapi DDInya lebih dari 30 menit. Akan tetapi, tidak menemukan adanya fetal distress (Apgar score 5 menit pertama 9) dan bayi tersebut tidak memerlukan perawatan yang spesifik. Penelitian yang dilakukan oleh (Khan et al., 2007) yang mengatakan bahwa
bukan hanya DDI yang berkontribusi terhadap kejadian
aspiksia neonatal tetapi hipoksia, kelainan cotograf, pertumbuhan intauterine yang terhambat, dan prematur mungkin turut berkontribusi. Sebaliknya, penelitian ini menemukan bahwa terjadi peningkatan outcome terhadap neonatus, yang menunjukkan adanya perbaikan manajemen, termasuk komunikasi tim lebih baik, tanggung jawab dan pengurangan waktu DDI. Penelitian ini juga menemukan bahwa bradikardia pada janin dilakukan lebih cepat pada posttraining di bandingkan pada pre-training.
Manajemen prolapsus tali pusat dengan segera adalah metode yang dapat mengurangi kompresi pada tali pusat untuk mencegah kerusakan yang dapat terjadi pada sirkulasi janin. Ini dapat dilkukan dengan perubahan posisi seperti memiringkan tubuh sehingga kepala dan bahu ibu lebih rendah dari panggulnya, seperti pada posisi trendelenburg atau posisi kneechest. Selain itu, bagian terendah dapat didorong ke atas dengan tekanan dari tangan penolong yang menggunakan sarung tangan steril dalam vagina. Tekanan ini perlu dipertahankan sampai persiapan melahirkan janin selesai dilakukan (Reeder et al., 1997/2011). Penelitian ini menemukan terjadi peningkatan yang signifikan pada penggunaan rekomendasi tindakan untuk mengurangi kompresi tali pusat pada post-training.
7
Pada penelitian ini juga ditemukan penggunaan anastesi umum jarang dilakukan. Sebaliknya, penggunaan anastesi spinal yaitu 1 dari 12 sebelum pelatihan dan 1 dari 5 setelah pelatihan. Meskipun anastesi spinal pada emergensi seksio sesaria mengambil waktu yang lama di bandingkan anastesi umum tetapi anastesi regional lebih aman daripada anastesi umum untuk ibu dan bayi (Afolabi BB, Lesi FEA, & Merah NA, 2006).
Penggunaan manuver yang sesuai juga dapat
membantu anastesi regional sebagai pilihan yang dapat mengurangi kesempatan janin mengalami terjadi kelainan denyut jantung. Keuntungan lain dalam meningkatkan koordinasi tim adalah dapat mengurangi resiko trauma psikologis pada ibu.
Bila
di
lihat
dari aplikabilitasnya
di
Indonesia,
pelatihan
tim
kerja
(multiprofesional) juga dapat dilakukan dalam menangani kasus kegawatdaruratan obstetrik karena pelatihan dasar keterampilan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal sudah ada untuk mempersiapkan petugas kesehatan agar mampu melakukan pengeloaan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal esensial dasar di tingkat pelayanan primer (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005). Namun, pelatihan secara multiprofesional belum ada, dilihat dari peningkatan outcome klinik dalam manajemen proralpsus tali pusat, penelitian
ini dapat
menjadi refernsi yang bagus untuk diteliti dan diterapkan di masa yang akan datang.
IMPLIKASI KEPERAWATAN Perawat maternitas mempunyai peranan penting dalam melakukan asuhan keperawatan ibu yang melahirkan dengan mempunyai komplikasi persalinan khususnya prolapsus tali pusat. Prolapsus tali pusat adalah kasus emergensi yang jarang terjadi tetapi memerlukan intervensi yang sesegera mungkin. Oleh karena itu, sebagai perawat maternitas perlu mengenali tanda-tanda prolapsus tali pusat sehingga mampu melakukan kolaborasi dan memberikan tindakan secepat mungkin dengan tenaga kesehatan lainnya. Perawat maternitas memberikan pendidikan kesehatan pentingnya melakukan pemeriksaan antenatal lebih awal terutama bagi wanita yang beresiko mengalami prolapsus tali pusat. Perawat
8
maternitas juga sebaiknya mampu melakukan kerjasama tim dengan tenaga kesehatan lainnya dengan mengetahui peran dan tanggung jawab masing-masing, serta melakukan komunikasi efektif dalam melakukan manajemen pada persalinan dengan komplikasi.
KESIMPULAN Berdasarkan artikel yang telah di bahas dapat disimpulkan bahwa prolapsus tali pusat merupakan kasus kegawatdaruratan obsterik yang dapat mengancam kelangsungan hidup janin akibat kurangnya sirkulasi yang berakibat kematian pada neonatal. Fokus utama dari manajemen prolapsus tali pusat adalah untuk melahirkan janin sesegera mungkin, sehingga diperlukan limitasi waktu antara waktu diagnosa dan intervensi. Manajemen prolapsus tali pusat merupakan tanggung jawab bersama sehingga di perlukan adanya kerjasama tim (multiprofesional team work). Pelatihan kerja tim kegawatdaruratan obstetrik selain meningkatkan pengetahuan klinik juga meningkatkan kerja tim menjadi lebih baik
SARAN 1. Perlunya penelitian terkait dengan DDI dan outcome terhadap neonatal dan ibu, serta insidens kejadian prolapsus tali pusat di Indonesia. 2. Penelitian ini juga perlu dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia untuk mengetahui efek kerja tim terhadap outcome neonatal dan ibu pada kasus prolapsus tali pusat
9
DAFTAR PUSTAKA
Afolabi BB, Lesi FEA, & Merah NA. (2006). Regional versus general anaesthesia for caesarean section. Cochrane Database of Systematic Review(4). doi: 10.1002/14651858.CD004350.pub2. Amankwah, Y., Caughey, S., & Walker, M. (2011). A prospective study of the efficiency of the “Code 333” process at the Ottawa Hospital. Journal Obstet Gynaecol Can, 33(3), 244–251. American College of Obstericians and Gynecologists. (2007). Ethical decision making in obstetrics and gynecology. ACOG Committee Opinion, 110(6), 1479-1487. Carlin, A., & Alfirevi, Z. (2006). Intrapartum fetal emergencies. Seminars in Fetal and Neonatal Medicine, 11(3), 150-157. doi: 10.1016/j.siny.2006.01.003. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2005). Pelatihan pelayanan kegawatdaruratan obstetri neonatal esensial dasar Retrieved from http://whoindonesia.healthrepository.org/bitstream/123456789/650/1/Pelat ihan%20Pelayanan%20Kegawatdaruratan%20Obstetri%20Neonatal%20E sensial%20Dasar%20%20Buku%20Acuan%20(INO%20CAH%20002%20SE-04-226074).PDF Kalu, C., & Umeora, O. (2011). Risk factors and perinatal outcome of umbilical cord prolapse in Ebonyi State University Teaching Hospital, Abakaliki, Nigeria. Nigerian Journal of Clonocal Practice, 14(4), 413-417. Khan, R. S., Naru, T., & Nizami, F. (2007). Umbilical cord prolapse - A review of diagnosis to delivery interval on perinatal and maternal outcome. Journal of Pakistan Medical Association, 57, 487-491. Nielsen, P. E., Goldman, M. B., Mann, S., Shapiro, D. E., Marcus, R. G., Pratt, S. D., . . . Sachs, B. P. (2007). Effects of teamwork training on adverse outcomes and process of care in labor and delivery: A randomized controlled trial. Obstetrics and Gynecology, 109(1), 48-55. doi: 10.1097/01.AOG.0000250900.53126.c2. Pierre, F., & Rudigoz, R. C. (2008). [Emergency caesarean delivery: is there an ideal decision-to-delivery interval?]. J Gynecol Obstet Biol Reprod (Paris), 37(1), 41-47. doi: 10.1016/j.jgyn.2007.08.004. Reeder, S. J., Martin, L. L., & Konoak-Griffin, D. (1997/2011). Keperawatan maternitas kesehatan wanita, bayi & keluarga (Y. Afiyanti, I. N. Rachmawati, A. Lusyana, S. Kurnianingsih, N. B. Subekti & D. Yulianti, Trans. 18 ed. Vol. 2). Jakarta, Indonesia: EGC.
10
Regt, R. H. d., Marks, K., Joseph, D. L., & Malmgren, J. A. (2009). Time from decision to incision for cesarean deliveries at a community hospital. Obstetrics and Gynecology, 133, 625-629. Ricci, S. S. (2009). Essential of maternity, newborn, and women's health nursing (Second ed.). Philadelphia, PA: Wolters Kluwer Lippincott Williams and Wilkins. Siassakos, D., Hasafa, Z., Sibanda, T., Fox, R., Donald, F., Winter, C., & Draycott, T. (2009). Retrospective cohort study of diagnosis–delivery interval with umbilical cord prolapse: The effect of team training. British Journal of Obstetrics and Gynaecology, 116(8), 1089-1096. doi: 10.1111/j.1471-0528.2009.02179.x Uygur, D., Kis, S., Tuncer, S., Ozcan, F. S., & Erkay, S. (2002). Risk factors and infant outcomes associated with umbilical cord prolapse. International Journal of Gynaecology and Obstetrics, 78(2), 127. doi: S 0 0 2 0 - 7 2 9 2Ž0 2.0 0 1 4 0 - 6.