Responsivitas Masyarakat Petani terhadap Pendidikan di Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto Oleh: Pramesti Retno Suryaningtyas Pembimbing : Nur Wahyu Rachmadi dan Ketut Diara Astawa Abstrak : Pendidikan adalah salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan. Masyarakat miskin (petani) akan mampu meningkatkan kesejahteraan dengan cara meningkatkan pendidikannya. Pendidikan, dalam hal ini tidak hanya formal, tetapi juga non formal dan informal yang berkaitan dengan penguasaan kemampuan dan keterampilan. Masyarakat Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto dikategorikan sebagai masyarakat prasejahtera dengan tingkat pendidikan rata-rata SD dan mayoritas mata pencarian masyarakat sebagai petani. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian tentang daya tanggap (responsivitas) masyarakat petani terhadap pendidikan. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menjelaskan pemahaman masyarakat petani terhadap pendidikan, (2) menjelaskan upaya yang dilakukan masyarakat petani dalam memperoleh pendidikan, (3) menjelaskan apakah yang dilakukan oleh masyarakat petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Lokasi penelitian di Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto. Sumber data dalam penelitian ini adalah manusia, peristiwa, dan dokumen profil desa. Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Prosedur analisis data terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan/verifikasi data. Temuan penelitian menunjukkan bahwa (1) masyarakat petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto, memahami pendidikan sebagai suatu program untuk membuat kehidupan lebih baik dalam arti hidup lebih enak, hidup bahagia, tidak menjadi beban orang tua dan tidak sengsara. Selain itu, pendidikan dimaknai sebagai suatu program untuk merencanakan masa depan yang lebih baik dan juga dimaknai sebagai program untuk bisa membaca dan menulis, (2) upaya masyarakat petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto untuk memperoleh atau membiayai pendidikan dilakukan melalui ngenger, kerja yang lebih giat dengan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan biaya pendidikan, melakukan perencanaan biaya dengan cara mengalokasikan dana untuk biaya pendidikan, berhutang, dan menjual harta benda, (3) upaya masyarakat petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto
1
2
untuk meningkatkan kesejahteran adalah dengan mencari penghasilan sampingan, seperti membuka toko (berdagang dan beternak), mengatur pengeluaran, berhutang untuk mensukseskan usaha, menyekolahkan anak hingga pendidikan tinggi agar tidak menjadi beban orang tua di kemudian hari. Sedangkan upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan meminta do’a dan bantuan kyai serta meminta bantuan dukun. Berdasarkan temuan penelitian di atas, saran yang diajukan saran-saran: (1) kepada Pemerintah agar memberikan kemudahan bagi masyarakat miskin (petani) untuk memperoleh pendidikan, (2) kepada masyarakat petani, terutama petani golongan ekonomi pra sejahtera, disarankan agar berusaha mendapatkan pendidikan agar bisa meningkatkan taraf hidupnya pada masa yang akan datang, dan (3) kepada peneliti selanjutnya yang tertarik dengan tema penelitian sejenis, disarankan agar melakukan penelitian sejenis dengan menggunakan pendekatan lainnya. Kata kunci : responsivitas, petani, pendidikan A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life, mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit (Scott dalam Sahdan 2005:1). Fenomena kriminal seperti penjualan bayi juga erat kaitanya dengan kemiskinan. Tempo interaktif.com (2007) memberitakan seorang laki-laki bernama Suban mengaku terpaksa menjual anak tirinya, Nurhayati yang baru berusia dua minggu karena tidak mampu membeli susu. Demikian juga tempo interaktif (2010) memberitakan seorang ibu muda berusia
24 tahun, warga
Kampung Beting, Koja, Jakarta Utara, akan menjual anak di kandungannya. Ibu kelahiran Bogor ini nekat melakukan perbuatan melawan hati nurani tersebut demi melunasi utang sebesar Rp 550 ribu. Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, (2) hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum, (3) hak rakyat untuk memperoleh
rasa aman, (4) hak rakyat untuk
3
memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau, (5) hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan, (6) hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan, (7) hak rakyat untuk memperoleh keadilan, (8) hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan, (9) hak rakyat untuk berinovasi, (10) hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan, dan (11) hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik (Sahdan, 2005:1). Hasil pendataan BPS menunjukkan bahwa penduduk miskin sebagian besar berada di pedesaan. BPS menjelaskan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 adalah sebesar 37,17 juta atau 16,58%. Dari angka itu, 23,61 juta (63,52%) adalah penduduk miskin di daerah pedesaan. Sedangkan data pada Bulan Maret 2009, sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Data BPS tahun 2010 (Harian Kompas, 15 Juli 2010) menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2010 mencapai 31,02 juta orang atau 13,33%. Berkurang 1,51% jika dibandingkan dengan bulan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang atau 32,53%. Sedangkan jumlah penduduk miskin di daerah pedesaaan mengalami kenaikan dari bulan Maret 2009 hingga tahun Maret 2010. Pada Maret 2009, jumlah penduduk miskin di daerah pedesaaan berjumlah 63,38% dan pada Maret 2010 jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan meningkat menjadi 64,23%. Kemiskinan mempengaruhi tingkat pendidikan masyarakat pedesaan. Berdasarkan data BPS (2009), angka partisipasi sekolah penduduk berusia 15 tahun keatas dari tahun 2005-2008 tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2005, angka partisipasi sekolah penduduk berusia 15 tahun keatas sebesar 53,86%, kemudian pada tahun 2006 hanya mengalami peningkatan sebesar 0,06% menjadi 53,92%. Pada tahun 2007 meningkat sebesar 0,59% menjadi 54,61% dan pada tahun 2008 hanya mengalami peningkatran sebesar 0,39% menjadi 54,70%. Sedangkan untuk data Proporsi Angka “Melek Huruf” Penduduk berumur 10 tahun ke atas pada tahun 2005-2008 juga tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2006, Proporsi Angka Melek Huruf Penduduk Berumur 10 tahun ke atas meningkat sebesar 0,18% dari
4
tahun sebelumnya. Pada tahun 2005, Proporsi Angka Melek Huruf Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas adalah sebesar 91,91% meningkat menjadi 92,39 pada tahun 2006. sedangkan pada tahun 2007, hanya mengalami peningkatan sebesar 0,35% menjadi 92,74%. Dan pada tahun 2008 meningkat sebesar 0,31% menjadi 93.05. Pendidikan adalah salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan. John C. Bock (dalam Mustasya, 2004:46), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : (1) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, (2) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan (3) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi. Mustasya (2004:46) mesjelaskan bahwa ada mitos yang meyakini pendidikan sebagai alat ampuh mengurangi kemiskinan dan tingkat keparahan kemiskinan. Dengan meningkatnya tingkat pendidikan kaum miskin, pendapatan mereka akan meningkat. Dikatakan mitos karena peranan pendidikan dalam pengentasan kemiskinan, sebenarnya amat tergantung kepada jenis pelayanan pendidikan dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja. Suryahadi dan Sumarto (dalam Mustasya, 2004:46) menjelaskan kaitan kemiskinan dan pendidikan, orang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi akan memiliki peluang lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah lebih tinggi. Berdasarkan hal itu, tingkat pendidikan berkorelasi negatif dengan kemiskinan, menjadikan pendidikan bermanfaat bagi kaum miskin. Masyarakat miskin akan mampu meningkatkan kesejahteraan atau mengikis kemiskinan dengan cara meningkatkan pendidikannya. Dalam hal ini, tidak hanya pendidikan dalam arti pendidikan formal di sekolah, melainkan juga penddikan non-formal maupun informal yang berkaitan dengan penguasaan keterampilan tertentu. Arah kebijakan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan melalui pendidikan adalah prioritas urutan ke-2 dari 11 prioritas pembangunan jangka menengah. Sebelas prioritas nasional tersebut dipandang mampu menjawab sejumlah tantangan yang dihadapi oleh bangsa dan negara ini dalam lima tahun mendatang. Sebagian besar sumber daya yang ada, baik itu sumber daya alam, manusia, pembiayaan, dan termasuk kebijakan akan diprioritaskan untuk
5
menjamin pelaksanaan 11 prioritas nasional tersebut yaitu meliputi : (1) reformasi birokrasi dan tata kelola, (2) pendidikan, (3) kesehatan, (4) penanggulangan kemiskinan, (5) ketahanan pangan, (6) infrastruktur, (7) iklim investasi dan usaha, (8) energi, (9) lingkungan hidup dan pengelolaan bencana, (10) daerah tertinggal, terdepan,
terluar,
dan
paskakonflik,
serta
(11)
kebudayaan,
kretivitas, dan inovasi teknologi (Perpres RI No.5 Thn 2010). Khusus untuk prioritas ke dua, program aksi bidang pendidikan ini berisi peningkatan akses pendidikan yang berkualitas, terjangkau, relevan dan efisien menuju terangkatnya kesejahteraan hidup rakyat, kemandirian, keluhuran budi pekerti dan karakter bangsa yang kuat (lampiran PerPres RI No.5 Tahun 2010 tentang RPJMN 20102014). Pembangunan di bidang pendidikan diarahkan demi tercapainya pertubuhan ekonomi yang didukung keselarasan antara ketersediaan tenaga terdidik dengan kemampuan: (1) menciptakan lapangan kerja atau kewirausahaan, dan (2) menjawab tantangan kebutuhan tenaga kerja. Langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan dan memberikan kemudahan akses pendidikan bagi petani miskin dan keluarganya. Komunikasi
(2010:8-9)
menjelaskan
bahwa
satuan
pendidikan
wajib
mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik WNI yang kurang mampu secara ekonomi dan atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi, paling sedikit 20% dari jumlah seluruh peserta didik. Bentuk beasiswa tersebut bermacam-macam, salah satunya adalah program baru pada tahun 2010/2011 berupa pemberian Beasiswa Bidik Misi (BBM). BBM merupakan salah satu program peningkatan pemerataan pendidikan yang ditujukan bagi siswa SMA/SMK/MA/MAK atau yang sederajat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Beasiswa ini diberikan untuk menyikapi adanya calon mahasiswa yang berpotensi, tetapi berasal dari keluarga yang kurang mampu. Misi dari pengadaan BBM ini adalah menghidupkan harapan bagi masyarakat kurang mampu untuk terus menempuh pendidikan sampai jenjang pendidikan tinggi dan menghasilkan sumberdaya insani yang mampu berperan dalam memutus rantai kemiskinan. Langkah pemerintah dalam memberikan kemudahan akses pendidikan akan sulit dilaksanakan sesuai rencana apabila pemerintah tidak mengetahui
6
bagaimanakah
respon
masyarakat
petani
miskin
terhadap
pendidikan.
Permasalahan yang mungkin muncul dari adanya arah kebijakan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan melalui pendidikan adalah adanya partisipasi masyarakat. Meskipun pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memudahkan, kebijakan tersebut tidak akan mampu mengatasi permasalahan yang ada jika tidak mendapatkan respon positif dari masyarakat. Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto adalah sebuah desa yang terletak di salah satu propinsi yang termasuk daerah rawan pangan, yaitu Jawa Timur. Di desa ini terdapat 1135 orang lelaki, 1197 perempuan dan
terdapat 723 kepala keluarga. Sebagian besar penduduknya
memiliki mata pencarian sebagai petani (98%). Penduduk Desa Bangeran memiliki tingkat pendidikan yang rendah, yaitu sekolah dasar. Tingkat pendidikan penduduk mayoritas adalah tingkat sekolah dasar (SD) yaitu sejumlah 856 orang. Urutan kedua terbesar tingkat pendidikan masyarakat Desa Bangeran adalah sekolah menengah pertama atau SMP, yaitu sebanyak 342 orang. Selanjutnya adalah tingkat penddidikan SMA, yaitu sebanyak 167 orang. Jumlah penduduk yang lulus pendidikan tinggi (D1, D2, D3, S1 dan S2) adalah sebanyak 19 orang. Meskipun demikian masih ada penduduk yang tidak lulus sekolah dasar, yaitu sebanyak 4 orang. Sedangkan tingkat pendidikan aparat desa sebagian besar adalah sekolah dasar (SD). Dari 9 orang aparat desa, 4 orang hanya lulusan sekolah dasar (SD), 3 orang lulusan SMP, 1 orang lulusan SMA, dan 1 orang lulusan sarjana. Bangeran mempunyai prasarana pendidikan formal sebanyak 4 buah, yaitu 1 gedung Taman Kanak-kanak (TK), 1 gedung Sekolah Dasar Negeri 1 Bangeran, dan 1 gedung untuk Madrasah Ibtida’iyah Sunan Bonang dan 1 gedung Madrasah Tsanawiah Sunan Bonang. Namun, gedung MI dan MTs Sunan Bonang hanya ada 1 dan digunkaan secara bergantian, dimana pada waktu pagi hingga siang digunakan untuk MI, sedangkan pada waktu siang hingga sore digunakan untuk MTs. Di desa Bangeran tidak ada prasarana pendidikan keterampilan. Namun, terdapat prasarana pendidikan non-formal berupa pondok pesantren yang berjumlah 1, yaitu pondok pesantren Hidyatul Mubtadi’in.
7
Kualitas angkatan kerja Desa Bangeran masih tergolong rendah yaitu hanya lulusan SMP. Dari 403 angkatan kerja, sebagian besar memiliki kualitas setingkat SMP, yaitu sebanyak 217. Jumlah angkatan kerja yang tamat SMA ada 111 orang. Jumlah angakatan kerja yang tamat Diploma dan perguruan tinggi ada 13. Sedangkan kualitas angkatan kerja yang paling rendah adalah tidak tamat SD, yaitu sejumlah 4 orang. Persentase penduduk prasejahtera pada desa tersebut lebih tinggi dari angka persentase kemiskinan nasional pada tahun 2007 yaitu sebesar 30,31%. Jumlah pengangguran untuk usia produktif (usai 15-55 tahun) sebanyak 418 (28,47%). Sebagian besar penduduk masih tergolong keluarga pra sejahtera karena jumlah penduduk prasejahtera hampir dua kali lipat jumlah penduduk yang sejahtera. jumlah kepala keluarga prasejahtera lebih banyak dari pada jumlah kepala keluarga sejahtera. Sebanyak 224 kepala keluarga masih berstatus keluarga pra sejahtera. Sebanyak 198 kepala keluarga berstatus keluarga sejahtera III, 146 kepala keluarga berstatus keluarga sejahtera III Plus, 96 kepala keluarga berstatus keluarga sejahtera I dan sebanyak 79 kepala keluarga berstatus keluarga sejahtera II. Keadaan prasejahtera atau kemiskinan di Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto dapat pula dilihat dari keadaan jenis bahan baku rumah. sebagian besar rumah penduduk desa tersebut terbuat dari kayu dan bambu yang berlantai tanah liat, hanya sebagian kecil rumah terbuat dari tembok yang berlantai ubin ataupun keramik. Hal ini disimpulkan dari 723 rumah, sejumlah 492 (68,05%) rumah terbuat dari bahan kayu dan bambu. Hanya 231 (31,95%) terbuat dari bahan tembok. Sedangkan untuklantai rumah, sebanyak 10% terbuat dari bahan keramik, sebanyak 50% terbuat dari bahan plester dan sebanyak 40% lantai rumahnya adalah tanah. Untuk akses jalan, di Desa Bangeran tidak tersedia akses jalan propinsi, akses jalan kabupaten adalah aspal dalam kondisi rusak. Sedangkan untuk akses jalan desa kondisinya masih berupa jalan terbuat dari batu-batu yang ditata (makadam) dan untuk akses jalan kampung masih berupa jalan tanah yang akan menjadi jalan berlumpur jika terkena hujan. Dari uraian di atas, maka sangat penting sekali untuk meningkatkan pendidikan masyarakat lapisan bawah khususnya masyarakat Desa Bangeran
8
Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto yang sebagaian besar adalah petani miskin. Penelitian ini berusaha mengungkap responsivitas masyarakat petani terhadap pendidikan. Respon masyarakat petani terhadap pendidikan ini terkait dengan pemahaman petani terhadap pendidikan, apa saja yang dilakukan oleh petani dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya dan upaya yang dilakukan masyarakat petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto dalam memperoleh pendidikan. 2. Kajian Pustaka a. Pengertian Pendidikan Pengertian pendidikan menurut UU 20 Tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain. b. Hubungan Pendidikan dan Kemiskinan Pendidikan menjadi kunci penting dalam pengentasan kemiskinan. Surjadi (1989:101) mengatakan bahwa bila kesempatan akan lapangan berkembang diluar masyarakatnya, maka sekolah dianggap oleh orang-orang sebagai pintu gerbang bagi anak-anaknya untuk memperoleh pekerjaan yang baik di luar masyarakatnya. Sekolah dan guru dihargai sebagai alat kemajuan individual dan keluar dari kemiskinan pnghidupan masyarakatnya.Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.
9
Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini. Prabancono (2009:2) menjelaskan bahwa manfaat pendidikan bagi masyarakat pedesaan sebagai instrumen pembebas, yakni membebaskan masyarakat pedesaan dari belenggu kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dan penindasan. Selain itu, pendidikan yang baik seharusnya berfungsi pula sebagai sarana pemberdayaan individu dan masyarakat desa khususnya guna menghadapi masa depan. Pendidikan difokuskan melalui sekolah, pesantren, kursus-kursus yang didirikan di pedesaan yang masyarakatnya masih ‘buta’ akan ilmu. Masyarakat pedesaan yang terberdayakan sebagai hasil pendidikan yang baik dapat memiliki nilai tambah dalam kehidupan yang tidak dimiliki oleh masyarakat yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Sehingga jelas, peranan pendidikan sebagai kebutuhan pokok yang mendasar dan haruslah terpenuhi bagi masyarakat pedesaan dalam manfaat lainnya untuk meningkatkan taraf hidup dan kesajahteraan hidup yang berkelanjutan. Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam pengentasan kemiskinan terutama pada masyarakat pedesaan, dimana akses mereka terhadap pendidikan sangat terbatas. Di samping itu, kesadaran akan pentingnya dalam mengenyam pendidikan masaih sangat rendah dalam masyarakat di pedesaan yang terisolasi. Masyarakat yang miskin ini harus mendapatkan motivasi yang tinggi untuk belajar dan bekerja keras agar menghasilkan masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan sehingga menambah masyarakat berpengetahuan yang akan meningkatkan kesejahteraan dan berdampak pada pengentasan kemiskinan. Sehingga, untuk mewujudkannya diperlukan kerjasama para pihak terkait dalam pemerataan mengakses pendidikan bagi seluruh masyarakat terutama masyarakat pedesaan dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan meningkatkaan kesejahteraan yang berkelanjutan.
10
c. Responsivitas Masyarakat Petani terhadap Pendidikan Responsivitas adalah kualitas yang responsif, bereaksi dengan cepat, sebagai kualitas orang, melibatkan emosi untuk menanggapi dengan orang dan peristiwa. Sedangkan Iriani (2007:41) mengatakan bahwa responsiveness adalah persepsi dan harapan terhadap pendidikan di Indonesia. Menurut Lenvine, dkk (dalam Ali, 2003:18-19), bahwa yang dimaksud dengan responsivitas (responsiveness) adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda prioritas pelayanan dan mengembangkan programprogram publiknya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Istilah responsivitas ini banyak digunakan dalam pelayanan publik, tetapi dalam penelitian ini, responsivitas dipergunakan sebagai istilah untuk mengetahui persepsi dan harapan masyarakat terhadap pendidikan atau daya tanggap masyarakat petani terhadap pendidikan anak. Responsivitas masyarakat petani terhadap pendidikan dapat dijelaskan menggunakan theory of reasoned action. Respon adalah istilah yang digunakan oleh psikologi untuk menamakan reaksi terhadap rangsang yang diterima oleh panca indera. Respon biasanya diwujudkan dalam bentuk perilaku yang dimunculkan setelah dilakukan perangsangan. Teori Behaviorisme menggunakan istilah respon yang dipasangkan dengan rangsang dalam menjelaskan proses terbentuknya perilaku. Respon adalah perilaku yang muncul dikarenakan adanya rangsang dari lingkungan. Jika rangsang dan respon dipasangkan atau dikondisikan maka akan membentuk tingkah laku baru terhadap rangsang yang dikondisikan (http://wikipedia.org/wiki/Respon, 2010:1). Respon memiliki beberapa jenis atau beberapa tipe, ada respon verbal dan ada respon yang non-verbal. Sedangkan kategori respon ada 3 kategori, yaitu respon kognitif, respon afektif dan respon konatif (psikomotor). Model theory of reasoned action yang dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein (dalam Azwar, 1998:19) menjelaskan respon perilaku (psikomotor) ditentukan tidak saja oleh sikap individu, tetapi juga oleh norma subyektif yang ada dalam diri individu yang bersangkutan dan dijelaskan oleh model teori Kurt Lewin (dalam Azwar, 1998:19) bahwa respon perilaku merupakan fungsi dari faktor kepribadian individual dan faktor lingkungan.
11
Rosenberg dan Hovlan (dalam Azwar, 1998: 19-21) melakukan analisis terhadap berbagai respons yang dapat dijadikan penyimpulan perilaku sebagaimana disajikan pada tabel 2.1 berikut ini. Tabel 2.1 Respon Yang Digunakan untuk Penyimpulan Perilaku Tipe Respons Verbal
Non-Verbal
Kognitif Pernyataan keyakinan mengenai obyek sikap Reaksipersepstual terhadap obyek sikap
Kategori Respons Afektif Konatif Pernyataan Pernyataan intensi perasaan terhadap perilaku obyek sikap Reaksi fisiologis terhadap obyek sikap
Perilaku tampak sehubungan dengan obyek sikap
Respon reaksi kognitif verbal merupakan pernyataan mengenai apa yang dipercayai atau diyakini mengenai obyek sikap. Seseorang dapat diketahui sikap positif terhadap pendidikan karena seseorang tersebut menyatakan bahwa ia percaya akan peranan, fungsi dan manfaat pendidikan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Respon kognitif yang non-verbal lebih sulit untuk diungkap, disamping informasi tentang sikap yang diberikannya pun bersifat tidak langsung. Untuk mengungkap bagaimana sikap petani terhadap pendidikan, mungkin perlu untuk memperhatikan reaksinya terhadap artikel-artikel mengenai kebijakan, manfaat, fungsi serta peranan pendidikan bagi masa depan. Apakah para petani menaruh perhatian terhadap berita-berita mengenai kebijakan, manfaat, fungsi serta peranan pendidikan bagi masa depan. Respon afektif verbal dapat dilihat pada pernyataan verbal perasaan seseorrang mengenai sesuatu. Jika seseorang memberikan komentar positif terhadap pendidikan (misalnya gembira dengan adanya pendidikan dasar yang gratis), maka dapat diartikan bahwa sangat mungkin sikapnya terhadap pendidikan gratis adalah positif. Respon afektif non-verbal berupa reaksi fisik seperti ekspresi muka yang mencibir, tersenyum, gerakan tangan dan lain sebagainya, yang dapat menjadi indikasi perasaan seseorang apabila dihadapkan pada obyek sikap.
12
Respon konatif (psikomotor) pada dasarnya merupakan kecenderungan untuk berbuat. Dalam bentuk verbal, intensi ini terungkap lewat pernyataan keinginan melakukan atau kecenderungan untuk melakukan. Dalam contoh kasus responsivitas masyarakat petani terhadap pendidikan, bentuk respon konatif verbal dapat berupa keinginan untuk mengikuti program pendidikan seperti kecenderungan untuk menyekolahkan anak-anaknya, berusaha untuk mencarikan dan membiayai pendidikan anak dan lain sebagainya. Sedangkan respon konatif non-verbal dapat berupa ajakan kepada orang lain untuk ikut dalam program pendidikan. Sikap seharusnya dipandang sebagai suatu predisposisi untuk berperilaku (memunculkan respon konatif) yang akan tampak aktual hanya bila kesempatan untuk menyatakannya terbuka luas. Walaupun tanpa dinyatakan dalam bentuk perilaku maka sikap akan kehilangan maknanya, tapi bukan berarti bahwa sikap tidaklain sekedar merupakan suatu konsistensi respon individual sebagai probabilitas terulangnya perilaku yang sama dalam situasi yang serupa. Mann (dalam Azwar, 1998:21) menjelaskan bahwa sekalipun diasumsikan bahwa sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata, akan tetapi juga ditentukan oleh kondisi eksternal lainnya. Disamping itu, ternyata untuk satu macam tindakan saja terdapat banyak pola sikap yang relevan. Karena itu ketidakharmonisan sikap lebih merupakan masalah orientasi individu terhadap situasi yang ada. Pada dasarnya, sikap lebih bersifat pribadi sedangkan tindakan atau respon konatif (psikomotor) lebih bersifat umum atau sosial, karena itulah perilaku lebih peka terhadap tekanan-tekanan sosial. d. Konsisteni dan Inkonsistensi Respon Masyarakat Petani terhadap Pendidikan Sebagaimana uraian di atas, kategori respon ada tiga, yaitu respon kognitif, respon afektif dan respon konatif atau psikomotor. Konsistensi respon maksudnya adalah kesesuaian semua kategori respon. Respon konatif atau psikomotor sesuai dengan respon afektif dan sesuai dengan respon kognitif. Sedangkan inkonsistensi
13
respon adalah ketidaksesuaian kategori respon. Respon konatif (psikomotor) tidak sesuai dengan respon afektif ataupun respon kognitif. Petani yang memiliki respon kognitif positif terhadap pendidikan akan memunculkan respon afektif dan respon psikomotor yang positif pula terhadap pendidikan. Misalnya, seorang petani memiliki pengetahuan atau anggapan bahwa pendidikan itu penting untuk kesejahteraannya dan penting untuk kesejahteraan anaknya pada masa yang akan datang, maka akan memunculkan respon yang positif terhadap pendidikan. Petani tersebut akan memunculkan perilaku yang mendukung program pendidikan, seperti ikut berpartispasi dalam pendidikan, berusaha untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai pendidikan tinggi. Konsistensi respon kognitif, afektif dan psikomotor petani terhadap pendidikan dapat dijelaskan berdasarkan kajian teori keseimbangan (balance theory) yang dikemukakan oleh Heider (dalam Azwar, 1998:40). Teori keseimbangan menjelaskan bahwa dasar teori ini menekankan pada adanya hubungan keseimbangan atau ketidakseimbangan antara unsur-unsur individu (I), orang lain (O), dan objek sikap (Ob). Keadaan seimbang terjadi jika hubungan antara (I), (O), dan (Ob) berjalan harmonis, sedangkan jika hubungan ketiganya tidak harmonis menyebabkan timbulnya keadaan tidak seimbang. Teori ini menegaskan bahwa persepsi orang terhadap bentuk hubungan antara unsur (I), (O), dan (Ob) memegang peranan penting dalam menentukan keseimbangan yang terjadi (Azwar, 1998:40). Dengan demikian menurut teori ini perubahan sikap dapat dilakukan dengan menciptakan kesamaan persepsi antara (I), dan (O) terhadap (Ob) sikap. Berdasarkan teori dua faktor Rosenberg, komponen afeksi senantiasa berhubungan dengan komponen kognisi dan hubungan tersebut dalam keadaan konsisten. Orang berusaha membuat kognisinya konsisten dengan afeksinya. Dengan kata lain, keyakinan seseorang, pendirian seseorang, dan pengatahuan seseorang tentang suatu fakta sebagian ditentukan oleh pilihan afeksinya. Konsekuensinya jika terjadi perubahan dalam komponen afeksi akan menimbulkan perubahan pada komponen kognisi. Untuk itu dalam mengubah sikap, maka komponen afeksi diubah lebih dahulu kemudian akan mengubah komponen kognisi serta diakhiri dengan perubahan sikap. Rosenberg (dalam
14
Azwar, 1998: 51) memandang pengertian komponen kognitif sikap tidak saja sebagai apa yang diketahui mengenai obyek sikap, akan tetapi mencakup pula apa yangdipercayai mengenai hubungan antara obyek sikap itu dengan nilai-nilai penting lainnya dalam diri individu. Dengan pandangan ini, Rosenberg telah mengemukakan secara lebih spesifik bagaimana organisasi antara komponen afektif dan komponen kognitif sikap. Komponen afektif sendiri didefinisikannya dengan cara yang tdak berbeda sebagaimana telah dirumuskan oleh Thurstone, yaitu perasaan negative atau perasaan positif yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu obyek. Manusia mempunyai kebutuhan untuk mencapai dan memelihara konsistensi afektifkognitif. Namun seringkali respon kognitif yang positif terhadap pendidikan memunculkan respon psikomotor yang tidak positif. Seorang petani memiliki pengetahuan atau anggapan bahwa pendidikan itu penting untuk kesejahteraannya dan penting untuk kesejahteraan anaknya pada masa yang akan datang belum tentu menyekolahkan anak-anaknya hingga pendidikan tinggi. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori disonansi kognitif (cognitive dissonance) yang dikemukakan oleh Leon Festinger (dalam Azwar, 1998:83). Dalam teori disonansi kognitif, perubahan sikap akan mudah terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan (disonansi) kognitif diantara komponen sikap dalam diri individu. Oleh karenanya, strategi persuasi menurut teori ini menekankan pada proses manipulasi atau usaha menimbulkan disonansi dalam diri individu sehingga persuasi akan mudah menimbulkan perubahan sikap ke arah yang dikehendaki. Asumsi dasar dari teori ini adalah sikap berubah demi mempertahankan konsistensinya dengan perilaku nyata. Seringkali manusia dihadapkan pada adanya konflik antara berbagai kognisi, sikap, bahkan antara sikap dengan perilaku. Keadaan ini disebut disonansi. Fenomena kemiskinan adalah salah satu contoh yang dapat menyebabkan inkonsistensi respon kognitif, afektif dan konatif. Sebenarnya masyarakat petani yakin bahwa pendidikan itu adalah penting untuk masa depan diri dan anaknya. Adanya himpitan kemiskinan, ditambah semakin mahalnya biaya hidup seperti adanya kenaikan tarif dasar listrik, membuat petani memunculkan respon konatif
15
yang tidak sesuai dengan respon kognitif dan afektinya. Petani tidak memunculkan respon proaktif terhadap program pendidikan karena penghasilannya semakin tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup selain makan. Petani akan lebih memilih membelanjakan penghasilannya yang pas-pasan untuk kebutuhan makan dari pada untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Pemenuhan kebutuhan makan sehari-hari memberikan pengaruh yang langsung dan nyata terhadap kelangsungan hidup manusia. Sedangkan kebutuhan akan pendidikan memberikan efek yang kurang langsung bisa dirasakan oleh manusia. Hal inilah yang menjadi penyebab adanya inkonsistensi respon dari masyarakat petani.
B. METODE Rancangan penelitian adalah deskriptif kualitatif karena peneliti mendeskripsikan atau menggambarkan dengan kata-kata secara sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antara fenomena yang diteliti. Adapun yang dideskripsikan dalam penelitian ini adalah responsivitas masyarakat petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto yang dirinci dalam rumusan masalah penelitian yaitu tentang : (1) bagaimanakah pemahaman masyarakat petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto terhadap pendidikan, (2) bagaimanakah upaya yang dilakukan masyarakat petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto dalam memperoleh pendidikan, (3) apakah yang dilakukan oleh masyarakat petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. Penelitian dilaksanakan di Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto. Pemilihan tempat penelitian ini didasarkan pada beberapa alasan: 1) asyarakat desa Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto mayoritasnya adalah masyarakat petani, 2) sebagian besar masyarakat Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto hidup pada tingkat pra-sejahtera. Selain itu, di desa tersebut terdapat balita bergizi buruk dan balita bergizi kurang, 3) desa tersebut memiliki keterbatasan failitas pendidikan, yaitu hanya memiliki fasilitas pendidikan formal maupun pendidikan non-formal
16
yang minim, hanya ada 1 sekolah dasar, 1 madrasah ibtida’iyah dan hanya ada 1 madrasah tsanawiyah tanpa ada SMA ataupun SMK, 4) di desa Bangeran tidak terdapat fasilitas pendidikan keterampilan, yang ada hanya lembaga pendidikan non-formal berupa pondok pesantren. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat Desa Bangeran adalah rendah, yaitu hanya lulusan SMP, 5) desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto termasuk desa dengan angka kriminalitas 0%. Di desa tersebut tidak pernah terjadi perialku kriminal seperti perkelahian, pencurian, perampokan, penjarahan, perjudian, pemakaian miras atau narkoba, prostitusi, pembunuhan ataupun kejahatan seksual. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Observasi atau pengamatan merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan peneliti dengan cara terjun langsung ke dalam lokasi penelitian dan melakukan pengamatan secara langsung dan mendalam terhadap obyek penelitian. Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan khusus dan pencatatan secara sistematis atas data-data yang telah diperoleh untuk selanjutnya digunakan dalam memecahkan persoalan dalam penelitian ini. Metode observasi dimaksudkan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan fenomena yang terjadi, khususnya fenomena yang berkaitan dengan fokus penelitian ini. Pelaksanaan observasi atau pengamatan ini dilakukan setiap kali peneliti mendatangi lokasi penelitian yaitu masyarakat petani di Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto untuk mengetahui pemahaman masyarakat petani terhadap pendidikan, upaya yang dilakukan untuk memperoleh pendidikan dan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan. Peneliti selalu berupaya untuk tidak mengganggu proses kegiatan masyarakat sehingga memperoleh data yang tepat dan akurat. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti ada yang melalui perjanjian terlebih dahulu dan ada yang tidak. Beberapa wawancara direkam dengan menggunakan hand phone dan beberapa yang lainnya dicatat menggunakan buku catatan lapangan. Wawancara dilakukan kepada masyarakat petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto dan keluarga petani, perangkat desa dan tokoh masyarakat.
17
Data dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen tentang profil desa yang meliputi : keadaan umum wilayah Desa Bangeran, sumber daya alam, sumber daya manusia, fasilitas umum, program pemberdayaan masyarakat, serta keamanan dan ketertiban masyarakat. Data keadaan umum wilayah Desa Bangeran berupa: informasi mengenai letak secara geografis, batas-batas wilayah, jarak dengan ibu kota kabupaten, dan luas wilayah. Data sumber daya alam berupa informasi mengenai produk pertanian yang dihasilkan oleh petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto. Data sumberdaya manusia berupa informasi jumlah penduduk, informasi mengenai tingkat pertambahan penduduk, informasi mengenai status kesejahteraan penduduk, informasi mengenai struktur mata pencaharian, tingkat pendidikan, partisipasi sekolah dasar, dan informasi tentang kualitas angkatan kerja desa Bangeran. Data fasilitas umum berupa informasi mengenai fasilitas transportasi, fasilitas komunikasi, dan fasilitas pendidikan. Data mengenai program pemberdayaan masyarakat berupa informasi mengenai program pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga (PKK) dan karang taruna di Desa Bangeran. Sedangkan data keamanan dan ketertiban masyarakat berupa informasi mengenai konflik etnis konflik agama, perkelahian, pencurian, penjarahan narkoba, pembunuhan kejahatan seksual maupun prostitusi dan informasi mengenai sistem keamanan Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto. Sedangkan data dokumentasi lainnya berupa foto-foto yang terdiri dari foto keadaan rumah penduduk miskin, foto profil petani dan sawah garapan, foto keadaan lingkungan desa. C. TEMUAN PENELITIAN Berdasarkan hasil kesimpulan pengumpulan data, maka didapatkan temuan penelitian sebagai berikut: 1. Menurut masyarakat petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto, pendidikan dipahami sebagai suatu program untuk membuat kehidupan lebih baik dalam arti hidup lebih enak, hidup bahagia, tidak menjadi beban orang tua dan tidak sengsara. Selain itu, pendidikan
18
dimaknai sebagai suatu program untuk merencanakan masa depan yang lebih baik dan juga dimaknai sebagai program untuk bisa membaca dan menulis. 2. Upaya masyarakat petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto untuk memperoleh atau membiayai pendidikan dilakukan melalui ngenger, kerja yang lebih giat dengan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan biaya pendidikan, melakukan perencanaan biaya dengan cara mengalokasikan dana untuk biaya pendidikan, berhutang, dan menjual harta benda. 3. Upaya masyarakat petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto untuk meningkatkan kesejahteran adalah dengan mencari penghasilan sampingan, seperti membuka toko (berdagang dan beternak), mengatur pengeluaran, berhutang untuk mensukseskan usaha, menyekolahkan anak hingga pendidikan tinggi agar tidak menjadi beban orang tua di kemudian hari. Sedangkan upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan meminta do’a dan bantuan kyai serta meminta bantuan dukun. D. PEMBAHASAN 1. Pemahaman Masyarakat Petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto terhadap Pendidikan Pemahaman masyarakat petani terhadap pendidikan ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang termaktub dalam pasal 3 UU no 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sedangkan prinsip pendidikan dalam Undang-undang di atas, yaitu pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
19
Pemahaman masyarakat petani bahwa pendidikan adalah program untuk membuat kehidupan lebih baik dalam arti hidup lebih enak, hidup bahagia, tidak menjadi beban orang tua dan tidak sengsara serta pendidikan dimaknai sebagai suatu program untuk merencanakan masa depan yang lebih baik merupakan suatu respon kognitif yang positif karena sesuai dengan pasal 3 UU no 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Namun jika pemahaman masyarakat petani terhadap pendidikan hanya sebagai program untuk bisa membaca dan menulis saja, maka respon kognitif ini adalah respon kognitif yang kurang positif karena pemahaman ini masih terlalu sempit. Sesuai dengan apa yang tertulis dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, tujuan pendidikan tidak hanya untuk bisa membaca dan menulis saja, tapi lebih dari itu.
2. Upaya Masyarakat Petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto Untuk Mendapatkan Pendidikan Masyarakat petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto untuk mendapatkan pendidikan melakukan beberapa upaya. Upayaupaya untuk memperoleh atau membiayai pendidikan dilakukan melalui ngenger, kerja yang lebih giat dengan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan biaya pendidikan dan melakukan perencanaan biaya dengan cara mengalokasikan dana alokasi dana untuk biaya pendidikan, berhutang, dan menjual harta benda. Upaya petani ini merupakan suatu bentuk respon konatif terhadap suatu obyek sikap, yaitu pendidikan. Ada petani yang memunculkan respon konatif yang maksimal untuk mendapatkan pendidikan. Namun, tidak semua petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto melakukan upaya yang maksimal dalam memperoleh pendidikan. Petani melakukan upaya yang maksimal untuk mendapatkan pendidikan dengan cara ngenger kepada orang yang lebih pandai, melalui kerja yang lebih giat untuk mendapatkan biaya pendidikan dan melakukan perencanaan biaya dengan cara mengalokasikan dana untuk biaya pendidikan, berhutang, menjual harta benda untuk membiayai pendidikan. Respon petani yang demikian ini dapat dijelaskan berdasarkan kajian teori keseimbangan (balance theory) yang dikemukakan oleh Heider (dalam Azwar, 1998:40). Teori
20
keseimbangan menjelaskan bahwa dasar teori ini menekankan pada adanya hubungan keseimbangan atau ketidakseimbangan antara unsur-unsur individu (I), orang lain (O), dan objek sikap (Ob). Keadaan seimbang terjadi jika hubungan antara (I), (O), dan (Ob) berjalan harmonis, sedangkan jika hubungan ketiganya tidak harmonis menyebabkan timbulnya keadaan tidak seimbang. Teori ini menegaskan bahwa persepsi orang terhadap bentuk hubungan antara unsur (I), (O), dan (Ob) memegang peranan penting dalam menentukan keseimbangan yang terjadi (Azwar, 1998:40). Petani memberikan respon konatif yang maksimal dikarenakan mereka telah mampu mencukupi kebutuhan makan sehari-hari dan masih memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan akan pendidikannya. Namun, bagi petani yang miskin akan lebih memilih untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari dari pada mencukupi kebutuhan untuk mendapatkan pendidikan. Kompas (Kamis 15 Juli 2010) memberitakan bahwa kebutuhan petani sekarang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan. Bahkan, masih ada sebagian petani yang dari hasil Upaya taninya saja tak cukup untuk membeli makanan. Mereka terpaksa menjadi buruh di tempat lain. Dengan adanya kenaikan Tarif Dasar listrik (TDL), hidup petani semakin berat. Respon petani yang tidak maksimal terhadap pendidikan dapat dijelaskan melalui teori disonansi kognitif (cognitive dissonance) yang dikemukakan oleh Leon Festinger (dalam Azwar, 1998:83). Dalam teori disonansi kognitif, perubahan sikap akan mudah terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan (disonansi) kognitif diantara komponen sikap dalam diri individu. Oleh karenanya, strategi persuasi menurut teori ini menekankan pada proses manipulasi atau usaha menimbulkan disonansi dalam diri individu sehingga persuasi akan mudah menimbulkan perubahan sikap ke arah yang dikehendaki. Asumsi dasar dari teori ini adalah sikap berubah demi mempertahankan konsistensinya dengan perilaku nyata. Seringkali manusia dihadapkan pada adanya konflik antara berbagai kognisi, sikap, bahkan antara sikap dengan perilaku. Keadaan ini disebut disonansi. Cooper dan Fazio (dalam Azwar, 1998:83-84) menjelaskan empat langkah sebelum timbul dan menghilangnya disonansi. Pertama, ketidaksesuaian sikap dan perilaku seseorang haruslah menimbulkan konsekuensi negatif yang
21
tidak diingikan. Apabila ketidaksesuaian itu diperkirakan tidak akan menimbulkan akibat negative, maka disonansi tidak akan terjadi. Selain itu, keterbatasan masyarakat miskin untuk mengakses layanan pendidikan dasar terutama disebabkan tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung. Meskipun SPP untuk jenjang SD/MI telah secara resmi dihapuskan oleh Pemerintah tetapi pada kenyataannya masyarakat tetap harus membayar iuran sekolah. Pengeluaran lain diluar iuran sekolah seperti pembelian buku, alat tulis, seragam, uang transport, dan uang saku menjadi faktor penghambat pula bagi masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya. Di samping itu sampai dengan tahun 2008 ketersediaan fasilitas pendidikan untuk jenjang SMP/MTs ke atas di daerah perdesaan, daerah terpencil dan kepulauan masih terbatas. Hal tersebut menambah keengganan masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya karena bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan. 3. Upaya Masyarakat Petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Penelitian ini menyimpulkan bahwa upaya masyarakat petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong-Kabupaten Mojokerto untuk meningkatkan kesejahteran adalah dengan mencari penghasilan sampingan, seperti membuka toko (berdagang dan beternak), mengatur pengeluaran, berhutang untuk mensukseskan Upaya, menyekolahkan anak hingga pendidikan tinggi agar tidak menjadi beban orang tua di kemudian hari. Sedangkan Upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan meminta do’a dan bantuan kyai serta meminta bantuan dukun. Respon konatif lanjutan terhadap pendidikan dari petani Desa Bangeran Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto adalah bermacam-macam. Alangkah baiknya jika masyarakat petani melakukan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dengan cara meningkatkan pendidikan karena pendidikan adalah suatu cara untuk mengatasi kemiskinan. Pendidikan menjadi kunci penting dalam pengentasan kemiskinan. Surjadi (1989:101) mengatakan bahwa bila kesempatan akan lapangan berkembang diluar masyarakatnya, maka sekolah dianggap oleh orang-orang sebagai pintu gerbang bagi anak-anaknya untuk memperoleh pekerjaan yang baik di luar masyarakatnya. Sekolah dan guru dihargai sebagai
22
alat kemajuan individual dan keluar dari kemiskinan pnghidupan masyarakatnya. Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.
E. Saran Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan di atas, maka disarankan kepada beberapa pihak, antara lain sebagai berikut: 1. Kepada Pemerintah, ketika akan menerapkan kebijakan baru, disarankan agar mempehatikan kesulitan masyrakat miskin, terutama petani miskin. Sebagai contoh, memberikan kemudahan bagi masyarakat miskin (petani) untuk memperoleh pendidikan dan tidak menerapkan kebijakan baru mengenai kenaikan tarif dasar listrik yang membuat hidup masyarakat miskin semakin sulit. Kebjakan baru ini memberikan efek kenaikan harga bahan pokok lainnya yang menyebabkan daya beli masyarakat semakin rendah, yang akhirnya masyarakat miskin akan memunculkan respon yang biasa saja terhadap pentingnya pendidikan. 2. Kepada masyarakat petani, terutama petani golongan ekonomi pra sejahtera, disarankan agar berusaha memberikan respon yang maksimal terhadap pendidikan agar bisa meningkatkan taraf hidupnya pada masa yang akan datang. Perlu diketahui bahwa pendidikan tidak hanya didapatkan melalui pendidikan formal di sekolah, melainkan juga bisa didapatkan melalui pendidikan informal di masyarakat. 3. Kepada peneliti selanjutnya yang tertarik dengan tema penelitian sejenis, disarankan agar melakukan penelitian sejenis dengan menggunakan pendekatan lainnya, seperti penelitian dengan pendekatan kuantitaif dan menambahkan variabel-variabel lain yang berkaitan dengan responsivitas masyarakat terhadap pendidikan agar didapatkan hasil penelitian yang lebih baik lagi.
23
F. DAFTAR RUJUKAN Ali, Muhammad. 2003. Responsivitas Pemerintah Daerah terhadap Krisis Ekonomi “Studi Kasus Program Perluasan Lapangan Kerja dan Pendayagunaan Tenaga Penganggur Oleh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sleman, Propinsi D. I. Yogyakarta)”. Buletin Pendidikan Volume 7 nomor 1 Bulan Mei 2003. Yogyakarta : Pemerintah Daerah Yogyakarta Alisjahbana, Armida S. 2010. Pemerintah Targetkan Entaskan 183 Daerah Tertinggal. (Online); (httpbisniskeuangan.kompas.comread.Pemerintah.Targetkan. Entaskan.183.Daerah.Tertinggal.htm, diakses 09 April 2010) Anggono, Wigonggo Among. 2009. Perlukah Kekerasan dalam Mendidik? (Online), (http://www.klubguru.com/index.php, diakses 13 Pebruari 2009) Azwar, Saifuddin. 1998. Sikap Manusia “Teori dan Pengukurannya” Edisi Kedua. Yogyakarta : Pustaka Pelajar BPS. 2009. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Cahyadi, Wisnu. 2009. Gizi Buruk dan Kemiskinan. Harian Pikiran Rakyat edisi 05 Mei 2009. Destiani, Adinda. 2008. Penerimaan Diri Pada Mantan PSK. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta : TidakDiterbitkan Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Rahasia Sukses Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta Hamonangan, Agus. 2009. Razia Tidak Menyelesaikan Masalah. (Online) (http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/09/metro/3080677.htm, Diakses 08 April 2010) Iriani, Erni. 2007. Kajian Kebijakan Good Local Governence dalam Optimalisasi Organisasi Publik Tahun 2000. Bandung: Pusat Kajian dan Pelatihan Aparatur 1 LAN (PKP2A1-LAN) Kompas, 15 Juli 2010. Kemiskinan Kian Merisaukan “Kenaikan Tarif Dasar Listrik Menambah Beban Buruh, Petani dan Nelayan. Kasnodihardjo., Prasojo Rachmalina S., dan Manalu, Helper SP. 2006. Dinamika Pelacuran di Wilayah Jakarta dan Surabaya dan Faktor Sosio Demografi yang Melatarbelakanginya. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia
24
Komunikasi. 2010. Kesiapan Universitas Negeri Malang Menuju Badan Hukum Pendidikan Pemerintah, Laporan Utama “Majalah Komunikasi Tahun 32 no.266 bulan Januari-Maret 2010”. Liputan6.com. 2010. Akibat Kemiskinan, Penyakit Terus Mendera Anak Indonesia. (Online); (http://berita.liputan6.com/sosbud/201003/268767/Akibat.Kemiskinan. Penyakit Terus Mendera Anak Indonesia; Diakses 22 Maret 2010) Moleong, L.J. 1991. Metode Penelitian kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya Mustasya, Tata. 2004. Mitos Pendidikan dalam Kemiskinan. Majalah Kompas Edisi 18 Oktober 2004. Halaman 46. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJMN) tahun 2010-2014. Prabancono, Haryo. 2009. Pendidikan Dalam Mengentaskan Kemiskinan Masyarakat Pedesaan. (Online), (http.macheda.blog.uns.ac.id20090624pendidikan-dalam-mengentaskankemiskinan-masyarakat-pedesaan.htm, diakses 09 April 2010) Prianti, Martina. 2009. Daerah Tertinggal Di Indonesia “Lima Bulan Terakhir, Jumlah Daerah Tertinggal Bertambah “. (Online), (httpwww.kontan.co.idindex. phpnasionalnews14430Lima_Bulan_Terakhir_Jumlah_Daerah_Tertinggal_B ertambah.htm; Diakses 09 April 2010) Rajasa, M. Hatta. 2007. Mengatasi Kemiskinan di Indonesia, Makalah disampaikan dalam acara "Forum Dialog Terbatas Centre for Information and Development Studies (CIDES)," di Jakarta, pada 26 Juni 2007 Sahdan, Gregorius. 2005. Menanggulangi Kemiskinan Desa, Artikel - Ekonomi Rakyat dan Kemiskinan. (Onine); (httpwww.ekonomirakyat.orgedisi_22artikel_ 6.htm; diakses 22 Maret 2010) Sjafii, Achmad dan Hidayati, Nur Aini. 2009. Genjot Belanja Pendidikan Redam Kemiskinan. Jurnal Gemari 101/ Tahun X/Juni 2009 Soekirman. 2005. Gizi Buruk, Kemiskinan, dan KKN. (Online). (http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/09/opini/1799285.htm; diakses 08 April 2010) Sukmadinata, N S. 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Surjadi, A. 1989. Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung : Mandar Maju
25
Suryabrata, Sumadi.1998. Pengembangan Alat Ukur Psikologi. Yogyakarta: Andi Offset Tempointeraktif.com. 2007. Penjual dan Pembeli Bayi Dibekuk, (Online). (http://www.tempointeraktif.com.kemiskinan dan penjualan bayi/brk,20070921-108126,id.html, diakses 08 April 2010) Tempointeraktif.com. 2010. Ibu yang Berniat Jual Bayinya Kebanjiran Bantuan, (Online). (http://www.tempointeraktif.com.kemiskinan dan penjualan bayi/ brk,20100215-225859,id.html, diakses 08 April 2010) Waluyo, Dwi Eko. 2000. Karakteristik Sosial Ekonomi Dan Demografi Anak Jalanan Di Kotamadya Malang. (Online). (www.ITB.JIPTUMM.20Pendidikan /KEmiskinan%20dan%20anjal/gdl.php?mod=browse&node=0, diakses 8 April 2010) Yunita, Ken. 2006. Desa di Indonesia Masuk Kategori Desa Tertinggal. (Online)., (http://detik.com. jmlh desa tertinggal.htm, Diakses 9 April 2010)