RESPON PERILAKU CACING TANAH (Eisenia foetida dan Lumbricus rubellus) TERHADAP DELTAMETHRIN DAN POTENSINYA SEBAGAI BIOMARKER
BIAN ADIANTORO
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRAK BIAN ADIANTORO. Respon Perilaku Cacing Tanah (Eisenia foetida dan Lumbricus rubellus) Terhadap Deltamethrin dan Potensinya Sebagai Biomarker. Dibimbing oleh DJOKO WALUYO dan TRI HERU WIDARTO. Penelitian ini dilakukan untuk meneliti efek subletal deltamethrin terhadap aktivitas menggali dua spesies cacing tanah, yaitu Eisenia foetida dan Lumbricus rubellus. Selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat kemungkinan penggunaan perilaku menggali cacing tanah sebagai biomarker toksisitas deltamethrin pada konsentrasi subletalnya. Dari uji mortalitas 7 hari diperoleh LD50 E. foetida adalah 5.47 ppm dan L. rubellus adalah 5.13 ppm. Konsentrasi yang digunakan pada penelitian ini adalah 0, 1.3, 2.6, 3.9, dan 5.2 mg/kg berat kering tanah (ppm) dengan tiga ulangan. Percobaan dilakukan di terarium kaca berukuran 40 x 30 x 0.5 cm untuk mengamati aktivitas menggali dan pola galian yang dihasilkan cacing tanah. Setelah tujuh hari pengamatan, efek paparan deltamethrin terhadap perilaku menggali terlihat jelas terutama pada konsentrasi subletal tertingginya. Deltamethrin berpengaruh pada penurunan panjang galian baru, penggunaan kembali lorong galian, total jarak tempuh, kecepatan menggali, dan pola galian cacing tanah. L. rubellus lebih sensitif terhadap toksisitas deltamethrin dibandingkan E. foetida. Melihat konsistensi hasil penelitian ini dan penelitian-penelitian sebelumnya, perilaku menggali cacing tanah sangat potensial untuk dijadikan sebagai biomarker toksisitas deltamethrin. Kata kunci: biomarker, cacing tanah, deltamethrin, Eisenia foetida, Lumbricus rubellus, perilaku, subletal ABSTRACT BIAN ADIANTORO. Behavioural Responses of Earthworms (Eisenia foetida and Lumbricus rubellus) Toward Deltamethrin and Its Potency as Biomarker. Supervised by DJOKO WALUYO and TRI HERU WIDARTO. This research was conducted to study the sub-lethal effect of deltamethrin on the burrowing activities of two earthworm species, Eisenia foetida and Lumbricus rubellus. This reserach also studied the possibility of earthworm burrowing behaviour as a biomarker of deltamethrin toxicity in its sub-lethal concentrations. The LD50 value for E. foetida and L. rubellus were 5.47 ppm and 5.13 ppm respectively. The applied concentrations were 0, 1.3, 2.6, 3.9, dan 5.2 mg/kg dry weight soil (ppm) with three replicates. We used a glass terraria of size 40 x 30 x 0.5 cm to observe earthworms burrowing activities and its patterns. After seven day of observations, deltamethrin effect on earthworms burrowing ativities was clearly visible, especially at the highest sub-lethal concentration. Deltamethrin affected on decreasing of new burrow length, re-use of burrows, total burrow length, burrowing speed, and burrow patterns. L. rubellus was more sensitive toward deltamethrin toxicity than E. foetida. Observing the consistency of this research and other previous researches, the use of earthworm burrowing behaviour as biomarker of deltamethrin toxicity is very potential. Keywords: biomarker, earthworm, deltamethrin, Eisenia foetida, Lumbricus rubellus, behaviour, sub-lethal
RESPON PERILAKU CACING TANAH (Eisenia foetida dan Lumbricus rubellus) TERHADAP DELTAMETHRIN DAN POTENSINYA SEBAGAI BIOMARKER
BIAN ADIANTORO
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul : RESPON PERILAKU CACING TANAH (Eisenia foetida dan Lumbricus rubellus) TERHADAP DELTAMETHRIN DAN POTENSINYA SEBAGAI BIOMARKER Nama : Bian Adiantoro NRP : G34102032
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
drh. Djoko Waluyo M.S. NIP 130350056
Ir. Tri Heru Widarto M.Sc. NIP 131663018
Mengetahui,
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Dr. drh. Hasim, DEA NIP 131578806
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur kepada Allah SWT yang atas karunia-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan sejak bulan Juli 2007 dan mengambil judul Respon Perilaku Cacing Tanah (Eisenia foetida dan Lumbricus rubellus) Terhadap Deltamethrin dan Potensinya Sebagai Biomarker. Terimakasih kepada Bapak Djoko Waluyo dan Bapak Tri Heru Widarto selaku pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan saran kepada penulis selama penelitian sampai penulisan karya ilmiah ini. Terimakasih kepada Ibu Nunik Sri Ariyanti yang telah berkenan menguji dan memberikan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh dosen dan staf laboratorium zoologi atas bantuan dan kebersamaannya. Terima kasih juga untuk “Cacingers 39” (Baldonk, Apri, Gema), “Zoologiers 39” (Disti, Idzul, Andros, Singa, Anconx, Isma, Item, Nifa, Cumi, Rifah, Sanah, Wida, Solay), semua “Zoologist”, dan tentunya semua teman-teman Biologi 39 yang penulis cintai dan banggakan, terimakasih atas kebersamaan, dukungan, gosip, celaan, dan persahabatannya selama ini. Terimakasih yang tak terhingga kepada Bapa, Mama, Ginut, Katon, Cintakoe Windy, serta seluruh keluarga atas segala dukungan dan doanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2008
Bian Adiantoro
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Februari 1985 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Ngatno dan Ibu Rahayu Suharti. Tahun 2002, penulis lulus dari SMUN 3 Bogor dan pada tahun yang sama berhasil lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB pada Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Pada semester enam, penulis melaksanakan praktik lapang di P.T. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. mengambil tema Reklamasi Lahan. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif sebagai Kepala Departemen Sosial Bem FMIPA IPB, Ketua Divisi Tanaman Obat Bioworld, serta berbagai kegiatan organisasi dan olahraga. Penulis juga pernah dipercaya sebagai MC dan pembicara pada beberapa kegiatan yang dilaksanakan departemen biologi. Pengalaman sebagai asisten dosen pernah dijalani penulis untuk praktikum mata kuliah Mata kuliah Kewirausahaan 2004-2006, dan Biologi Dasar pada tahun ajaran 2005-2007.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. viii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................................. viii PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................................................... 1 Tujuan ................................................................................................................................... 1 Waktu dan Tempat ............................................................................................................... 2 BAHAN DAN METODE Penyiapan hewan percobaan dan media............................................................................... 2 Lethal Dose 50 (LD50) dan konsentrasi percobaan .............................................................. 2 Parameter yang diamati dan analisis data ............................................................................ 2 HASIL Panjang lorong galian ........................................................................................................... Aktivitas menggali vs waktu ................................................................................................ Luas daerah jelajah ............................................................................................................... Pola galian ............................................................................................................................
3 3 4 4
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 4 SIMPULAN ................................................................................................................................ 6 SARAN....................................................................................................................................... 6 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 6 LAMPIRAN ............................................................................................................................... 9
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Terarium kaca ....................................................................................................................... 2 Rata-rata panjang lorong galian baru (a), rata-rata penggunaan kembali lorong (b), dan rata-rata jarak tempuh kedua spesies cacing tanah (c). (Standar deviasi) .................... 3 Rata-rata jarak tempuh E. foetida (a) dan L. rubellus (b) selama tujuh hari pengamatan. (Standar deviasi) ............................................................................................. 4 Rata-rata luas daerah jelajah E. foetida (a) dan L. rubellus (b) selama tujuh hari Pengamatan ...........................................................................................................................
2 3 3 4
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Pola galian Eisenia foetida pada berbagai konsentrasi perlakuan ....................................... 9 2 Pola galian Lumbricus rubellus pada berbagai konsentrasi perlakuan
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Hampir seluruh bahan kimia yang mencemari lingkungan adalah hasil dari aktivitas manusia. Salah satu polutan yang cukup signifikan dalam menyumbangkan dampak negatif bagi lingkungan adalah residu pestisida. Pestisida merupakan racun yang dibuat oleh manusia untuk membunuh organisme pengganggu tanaman, termasuk serangga (Soemirat 2003). Deltamethrin termasuk dalam insektisida pyrethroid yang sangat luas digunakan karena terbukti letal bagi serangga, baik melalui pencernaan maupun hanya sekedar kontak tubuh. Insektisida ini digunakan untuk mengontrol berbagai jenis serangga penggerek, ngengat, ulat, dan kutu pada tanaman perkebunan maupun pertanian (Willoughby 1994). Deltamethrin pertama kali disintesis tahun 1974 dan mulai dipasarkan pada 1977. Bahan kimia ini tidak stabil (mudah terurai) pada tanah basa namun stabil (sulit terurai) pada tanah asam atau terhadap paparan cahaya, panas, dan udara. Deltamethrin dikenal sangat toksik bagi hewan akuatik dan pemakaiannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena bahan ini juga cukup toksik bagi hewan terestrial, termasuk manusia. Paparan akut bagi manusia dapat menyebabkan ataksia, kelumpuhan otot, dermatitis, diare, pusing, kejang-kejang, muntah-muntah, alergi, sampai kematian akibat gangguan sistem pernafasan (Hallenbeck dan Cunningham 1985). Nama dagang dari produk yang mengandung deltramethrin meliputi Butoflin, Butoss, Butox, Cislin, Crackdown, Cresus, Decis, Decis-Prime, K-Othrin, and K-Otek. Penggunaan bahan kimia polutan secara terus-menerus dapat menyebabkan polutan ini terakumulasi di dalam tanah. Sebabnya tak lain karena sebagian besar polutan bahan kimia berada dalam keadaan stabil di dalam tanah sehingga butuh waktu yang sangat lama untuk terdegradasi secara alami. Pada lingkungan terestrial, polutan bahan kimia berupa pestisida dapat mengganggu bahkan beberapa jenis pestisida dapat menyebabkan kematian berbagai organisme jika terpapar dalam dosis tertentu. Oleh karena itu diperlukan suatu metode untuk mendeteksi dan memonitor efek polutan bahan kimia terhadap lingkungan (Capowiez 2003). Pengukuran toksisitas dengan uji mortalitas yang banyak digunakan hanya dapat memberikan pengukuran toksisitas akut
dalam jangka pendek dan tidak selalu berguna dalam memprediksi perubahan pada lingkungan akibat paparan bahan kimia tertentu. Penggunaan biomarker untuk pengawasan polutan pada lingkungan merupakan metode rutin untuk pendugaan toksisitas bahan kimia. Biomarker dapat memberikan informasi mengenai potensi merugikan dari polutan pada konsentrasi subletal dan bertindak sebagai peringatan awal untuk mengurangi kerusakan lingkungan (Lynn dan Kathryn 2001). Cacing tanah adalah ecosystem engineers sehingga perubahan aktivitas utama (menggali dan mengendapkan bahan organik) akibat polutan dapat berdampak besar pada fungsi tanah dan secara tak langsung pada komponen lain dari ekosistem tanah (Capowiez dan Bérard 2002). Karena peran penting cacing tanah sangat bergantung pada aktivitas utama mereka di dalam tanah, sangatlah penting untuk mempelajari efek subletal polutan yang dapat menurunkan aktivitas mereka. Namun mempelajari perilaku cacing merupakan tugas yang cukup rumit karena hewan ini hidup di dalam tanah (Little 1990; Doving 1991; Scherrer 1992). Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, respon biologis cacing tanah diyakini dapat dijadikan sebagai biomarker pencemaran. Respon tersebut mencakup respon langsung dan tidak langsung. Respon langsung dapat diamati tak lama setelah pemaparan misalnya kematian dan perilaku kawin. Respon tidak langsung umumnya terdeteksi lebih lama setelah pemaparan, misalnya pertumbuhan dan perubahan pada kemampuan reproduksi (Little 1990; Doving 1991). Pada perkembangannya, respon langsung berupa perilaku menggali cacing (pan-jang galian baru, penggunaan kembali lorong galian, dan pola galian) mulai banyak dilakukan. Efek suatu polutan terhadap perilaku organisme adalah aspek yang menarik untuk dikaji. Hal ini dikarenakan perubahan perilaku merupakan hasil dari proses biokimia dan fisiologi tubuh suatu organisme (Walker et al. 2001). Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh deltamethrin terhadap aktivitas menggali (panjang galian baru, penggunaan kembali lorong galian, total jarak tempuh, dan kecepatan menggali) Eisenia foetida dan Lumbricus rubellus. Selain itu penelitian juga bertujuan untuk melihat potensi penggunaan parameter perilaku sebagai biomarker pencemaran.
2
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan November 2007 di Laboratorium Zoologi, Departemen Biologi FMIPA IPB. Analisis tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Bogor.
BAHAN DAN METODE Penyiapan hewan percobaan dan media Dua spesies cacing tanah yang digunakan adalah Eisenia foetida dan Lumbricus rubellus dengan bobot tubuh masing-masing berkisar antara 0.305 – 0.421 mg dan 0.295 – 0.314 mg. Kedua jenis cacing yang digunakan adalah cacing dewasa ditandai dengan adanya klitelum yaitu penebalan berbentuk cincin pada bagian anterior cacing tanah. Cacing E. foetida didapat dari peternak cacing di daerah Ciangsana, Bogor sedangkan L. rubellus didapat dari Stasiun Lapang Dosen IPB Cikaret, Bogor. Media yang digunakan terdiri atas campuran 400 gr tanah dan 10 gr kotoran sapi. Kedua media yang akan dicampurkan tersebut dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 80 oC selama 2 jam, dihaluskan, dan disaring (≤ 1.7 mm) (Sulastri 2005). Campuran media kemudian ditambahkan 120 ml air (30% dari bobot kering tanah). Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan di Balai Penelitian Tanah, karakteristik tanah yang digunakan adalah sebagai berikut: 6% pasir, 60% debu, 34% liat, 21 ppm P tersedia (Olsen), 47 ppm K tersedia (Morgan), 0.95% C organik dan 0.09% N (Kjeldahl) (C/N = 11), KTK 14.55 cmol/kg, pH 7.6 (H2O), dan PH 7.0 (KCL). Media perlakuan (campuran tanah, kotoran sapi, air, dan larutan deltrametrin dengan konsentrasi berbeda) dimasukkan ke dalam terarium kaca berukuran 40 x 30 x 0.5 cm (Gambar 1) secara merata sampai setinggi 25 cm agar seragam. Satu ekor cacing dewasa diletakkan tepat di tengah media dalam terarium yang berdiri tegak. Bagian atas terarium ditutupi kain basah untuk menjaga kelembaban media. Terarium diletakkan pada tempat yang gelap atau diberi penutup untuk mengurangi gangguan yang diakibatkan oleh paparan cahaya. Lethal Dose 50 (LD50) dan konsentrasi percobaan LD50 kedua jenis cacing ditentukan dengan melakukan uji mortalitas selama tujuh hari pada konsentrasi 0, 1, 4, 8, 16, dan 32 ppm. LD50 diperoleh melalui analisis probit. Dari uji ini diperoleh LD50 E. foetida adalah 5.47
ppm dan L. rubellus adalah 5.13 ppm. Berdasarkan LD50 7 hari ini kemudian ditentukan empat konsentrasi percobaan (1.3, 2.6, 3.9, dan 5.2 ppm) dan satu kontrol (0 ppm). Untuk memudahkan analisa, penulisan konsentrasi ini diurutkan sesuai nilainya dengan notasi konsentrasi 1 (kontrol) hingga konsentrasi 5 (5.2 ppm). Konsentrasi subletal bagi E. foetida adalah P1, P2, P3, P4, dan P5 sedangkan L. rubellus adalah konsentrasi P1, P2, P3, dan P4. Masing-masing perlakuan konsentrasi menggunakan tiga kali ulangan.
Gambar 1 Terarium kaca Parameter yang diamati dan analisis data Parameter yang diamati meliputi panjang lorong galian dan pola galian cacing tanah. Pada parameter pertama diukur panjang lorong galian baru dan panjang lorong galian yang digunakan kembali, serta total jarak tempuh yang merupakan hasil penjumlahan panjang lorong galian baru dan panjang lorong galian yang digunakan kembali oleh cacing tanah. Parameter pola galian diamati secara visual, kemudian dibuat sketsa pola galian. Hasil sketsa pola galian tersebut dipindai dan digunakan untuk mengukur luas daerah cacing. dengan cara membuat garis penghubung antara titik-titik terluar pada pola galian serta diukur luas bidang yang terbentuk menggunakan program ImageJ 1.38x Pengamatan dilakukan empat kali dalam sehari, yaitu pukul 06.00; pukul 12.00; pukul 18.00; dan pukul 24.00. Tetapi data yang ditampilkan merupakan data per hari. Pengukuran seluruh parameter dilakukan mulai dari hari pertama sampai hari ketujuh. Data yang diperoleh diolah dengan metode statistik oneway dan two-ways ANOVA menggunakan program Minitab 14.
3
HASIL Panjang lorong galian Panjang lorong galian baru, laju penggunaan kembali lorong galian, dan total jarak tempuh dari kedua spesies cacing tanah cenderung mengalami penurunan seiring peningkatan konsentrasi deltamethrin (Gambar 2). Gambar 2a menunjukkan rata-rata panjang galian baru cacing tanah cenderung lebih rendah dibanding kontrol. Tingkat penurunan panjang galian baru antara kedua spesies cacing tanah seiring peningkatan konsentrasi deltamethrin hampir sama. Secara statistik penurunan panjang galian baru keduanya tidak signifikan (p>0.05) terhadap kontrol. a.
Rata-rata penggunaan kembali lorong galian kedua spesies memiliki pola yang sama yaitu memiliki kecenderungan untuk menurun pada konsentrasi yang lebih tinggi (Gambar 2b). E. foetida dan L. rubellus mengurangi penggunaan kembali lorong galian seiring meningkatnya konsentrasi deltamethrin. Meskipun begitu, secara statistik perbedaannya terhadap kontrol tidak signifikan (p>0.05). Jarak tempuh keduanya cenderung menurun dibandingkan kontrol. Penurunannya terlihat paling besar pada konsentrasi subletal tertinggi jika dibandingkan kontrol (Gambar 2c) namun secara statistik perbedaan itu tidak signifikan (p>0.05). Pada P4 terjadi kenaikan rata-rata panjang galian baru, penggunaan kembali lorong, dan jarak tempuh E. foetida. Hal yang sama terjadi pada L. rubellus pada P3. Aktivitas menggali vs waktu Panjang total lorong yang digali oleh E. foetida terus meningkat dari waktu ke waktu (Gambar 3a). Jarak tempuh E. foetida pada kontrol lebih tinggi dari hari pertama sampai hari ketujuh pengamatan. Hal yang menarik adalah hasil pengamatan panjang total lorong E. foetida pada P4 lebih tinggi dari panjang total lorong pada P2 dan P3.
b.
a.
c. b.
Gambar 2 Rata-rata panjang lorong galian baru (a), rata-rata penggunaan kembali lorong (b), dan rata-rata jarak tempuh kedua spesies cacing tanah (c). (Standar deviasi)
Gambar 3 Rata-rata jarak tempuh E. foetida (a) dan L. rubellus (b) selama tujuh hari pengamatan. (Standar deviasi)
4
Sama halnya dengan E. foetida, panjang total lorong yang digali oleh L. rubellus terus meningkat dari waktu ke waktu (Gambar 3b). Jarak tempuh L. rubellus pada kontrol juga selalu lebih tinggi sampai akhir pengamatan. Sampai hari kedua panjang total lorong galian hampir sama pada tiap perlakuan dan mulai menampakkan perbedaan pada hari ketiga. Hal yang menarik juga terjadi pada hasil pengamatan panjang total lorong L. rubellus yaitu P3 yang lebih tinggi dari P2. Selain itu panjang total lorong cacing pada P5 hampir sama dengan P2. Jarak tempuh cacing pada kontrol untuk kedua spesies cacing cenderung meningkat sampai akhir percobaan. Pengaruh konsentrasi deltamethrin pada cacing terlihat pada menurunnya kecepatan menggali namun secara statistik perbedaan itu tidak signifikan (p>0.05). Luas daerah jelajah Rata-rata luas daerah jelajah cacing (E. foetida pada P4 (Gambar 4a) dan L. rubellus pada P3 (Gambar 4b)) ternyata lebih tinggi daripada kontrol. a.
terlihat berbeda setelah hari ketiga. Pada hari keempat, luas daerah jelajah E. foetida pada semua perlakuan mulai berbeda nyata (p=0) dengan perlakuan kontrol. Sedangkan luas daerah jelajah L. rubellus baru terlihat berbeda pada hari kelima. Pada hari keenam, luas daerah jelajah L. rubellus P3 mulai berbeda nyata (p=0.014) dengan P2, P4, dan P5 namun tidak berbeda nyata terhadap kontrol. Pola galian Pengamatan pola galian cacing tanah dilakukan secara visual tanpa bantuan alat apapun. Pada umumnya kedua spesies cacing ini memberikan respon yang relatif sama terhadap kehadiran deltamethrin untuk masing-masing konsentrasinya. Dari tujuh hari pengamatan diketahui bahwa pola galian cacing pada kontrol cenderung menyebar memenuhi terarium. Hal ini terlihat lebih jelas pada cacing E. foetida daripada L. rubellus. Semakin tinggi konsentrasi deltamethrin dalam media, pergerakan cacing semakin terbatas sehingga menunjukkan pola yang lebih sederhana dan cenderung menyempit (Lampiran). Pada hari ketiga, terlihat perbedaan pola galian cacing tanah pada kontrol dengan konsentrasi tertinggi. Pola galian setelah hari kelima tampak tidak banyak berbeda pada tiap konsentrasi perlakuan.
PEMBAHASAN
b.
Gambar 4 Rata-rata luas daerah jelajah E. foetida (a) dan L. rubellus (b) selama tujuh hari pengamatan Luas daerah jelajah yang dibuat oleh E. foetida pada kontrol dan perlakuan mulai
Hasil penelitian ini menunjukkan deltamethrin memiliki efek toksik terhadap cacing tanah. Deltamethrin adalah insektisida pyrethroids yang mematikan bagi serangga terutama bila masuk ke dalam saluran pencernaan dan bekerja dengan cara melumpuhkan system saraf serangga (ETN 1995). Pyrethroids memiliki bahan aktif yang dapat menyebabkan iritasi dan alergi. Bahan ini agak sulit masuk ke dalam tubuh melalui kulit namun mudah diserap melalui usus. Percobaan toksisitas pyrethroids menggunakan hewan percobaan menunjukan toksisitas tinggi pada saraf bila dimasukan dengan disuntik atau masuk ke dalam saluran pencernaan. Namun toksisitas sistemik yang masuk melalui pernafasan dan kontak tubuh termasuk rendah. Serangga, hewan yang tidak mempunyai organ hati, lebih beresiko terhadap bahan kimia ini (Reigart et al. 1999). Deltamethrin merupakan racun saraf yang menyerang akson pada saraf pusat dan juga saraf tepi dengan menghambat pompa natrium di mamalia atau serangga (WHO 1999).
5
Berdasarkan LD50, nampak adanya variasi respon yang ditunjukkan oleh kedua spesies cacing tanah terhadap deltamethrin. Keduanya menunjukkan sensitifitas yang berbeda. Nilai LD50 L. rubellus yang lebih kecil menunjukkan bahwa cacing ini lebih sensitif terhadap deltamethrin dibandingkan E. foetida. Dengan kata lain, deltamethrin lebih toksik terhadap L. rubellus daripada E. foetida. Walaupun demikian, deltamethrin tetap memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas galian E. foetida dan pada konsentrasi 5.47 mg/kg berpengaruh letal. Hal ini berbeda dengan laporan Chambon dan Lepailleur (1984) yang menyatakan bahwa paparan deltamethrin dengan konsentrasi 10 mg/kg pada tanah buatan tidak letal bagi E. foetida. Ketika deltamethrin dengan konsentrasi 12.5 g a.i./ha (dosis tinggi pada pertanian) diberikan pada tanah sampai kedalaman 1 cm, tidak ditemukan adanya efek toksik pada cacing Lumbricus terrestris selama 28 hari percobaan (Bouche & Fayolle, 1979). Namun efek toksik yang signifikan ditemukan pada konsentrasi 60 - 125 g a.i. /ha, dosisi ini 5 sampai 10 kali lebih tinggi dari dosis normal yang digunakan dalam pertanian. Pada konsentrasi subletal, cacing memberikan respon negatif terhadap kehadiran deltamethrin. Respon pertama yang ditunjukkan cacing terhadap kehadiran deltamethrin adalah pengeluaran cairan bening yang kental seperti mukus dari seluruh tubuhnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa paparan deltamethrin berpengaruh pada penurunan panjang galian, penggunaan kembali lorong galian, total jarak tempuh, kecepatan menggali, dan penyempitan pola galian terutama pada konsentrasi subletal tertinggi. Menurut Gibbs et al. (1996), organisme yang terpapar senyawa toksik harus mengalokasikan sebagian energinya untuk menetralisir senyawa toksik yang masuk ke tubuhnya. Akibatnya energi yang seharusnya digunakan untuk metabolisme basal, pemeliharaan, pertumbuhan, dan aktivitas (termasuk aktivitas menggali) menjadi berkurang. Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran akan berdampak pada fungsi ekosistemnya. Pada konsentrasi 3.9 ppm (E. foetida) dan 2.6 ppm (L. rubellus) terjadi kenaikan aktivitas menggali cacing tanah, data ini berlawanan dengan kecenderungan penurunan aktivitas menggali cacing tanah yang terjadi seiring peningkatan konsentrasi deltamethrin. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh konsentrasi polutan yang telah melebihi batas toleransi cacing (pengeluaran cairan dari
tubuh cacing tidak mampu lagi menetralisir racun yang masuk) sehingga cacing berusaha mencari daerah dengan konsentrasi paparan deltamethrin terendah dengan sisa energinya. Usaha ini adalah mekanisme pertahanan yang dilakukan cacing dengan menggunakan sisa energi yang dimilikinya, tampak pada pola galian yang cenderung tidak berubah lagi pada hari-hari terakhir percobaan. Berdasarkan hasil pengamatan lorong galian cacing tanah, didapatkan kecenderungan pola galian yang khas. Pada kontrol, lorong-lorong yang dibuat cacing cenderung menyebar dan melebar sementara pada perlakuan cenderung menyempit. Perbedaan tersebut dapat terlihat sejak awal percobaan. Selain itu, pola galian L. rubellus cenderung lebih sempit dibandingkan pola galian E. foetida. Penelitian peluang penggunaan perilaku cacing tanah sebagai biomarker telah banyak digunakan pada berbagai jenis kontaminan. Capowiez (2003) meneliti tentang pengaruh imidakloprid pada cacing Aporectodea nocturna dan Allolobophora icterica. Kedua spesies cacing ini memperlihatkan penurunan yang signifikan pada panjang lorong galian dan jarak yang mereka tempuh setelah terpapar imidakloprid pada konsentrasi subletalnya. Pada penelitian lanjutan, Capowiez et al (2006) menyatakan bahwa terjadi perubahan kontinuitas galian pada dua spesies cacing tanah akibat penambahan imidakloprid dalam media. Efek toksik dari pestisida (imidakloprid) terhadap perilaku cacing tanah juga dicatat oleh Lal et al. (2001) yang melakukan penelitian di lapangan. Mereka mengamati adanya penurunan aktivitas pembentukkan kasting pada populasi cacing di tanah dengan konsentrasi imidakloprid yang normal untuk penggunaan di lapangan. Feriza (2006) juga menyatakan bahwa terjadi penurunan aktivitas menggali cacing tanah akibat penambahan imidakloprid pada konsentrasi subletalnya. Berbagai penelitian tersebut, walaupun menggunakan bahan kimia berbeda, menunjukkan adanya perubahan perilaku dan fitness cacing tanah akibat pestisida. Parameter perilaku menggali cacing tanah sangat potensial untuk dijadikan biomarker. Diantara parameter yang diamati, panjang lorong galian adalah salah satu biomarker yang paling mudah diamati dan mampu memberikan hasil yang lebih akurat karena dapat dilakukan secara manual atau dengan bantuan program. Perbedaan panjang lorong galian pada E. foetida dan L. rubellus mulai
6
terlihat masing-masing sejak hari keempat dan ketiga. Luas daerah jelajah sebenarnya lebih potensial untuk dijadikan sebagai biomarker dibandingkan panjang lorong galian karena perbedaan luas daerah jelajah E. foetida teramati dengan jelas sejak hari ketiga hanya saja butuh waktu lima hari untuk melihat perbedaan luas daerah pada L. rubellus dan dalam menentukan batasan luas daerah jelajah masih perlu upaya pembakuan. Parameter pola galian juga sangat potensial untuk digunakan sebagai biomarker. Parameter ini mempermudah dalam membedakan antara efek perlakuan dan kontrol. Pada hari ketiga, perbedaan pola galian cacing tanah pada kontrol dengan konsentrasi tertinggi sudah terlihat jelas Cukup dengan pengamatan visual, pola galian pada kontrol dapat dengan mudah dibedakan dari pola galian pada perlakuan. Hal ini sesuai dengan Capowiez (2003) yang menyebutkan bahwa perilaku menggali cacing tanah (panjang galian, laju penggunaan kembali, dan jarak tempuh) dapat digunakan sebagai biomarker pencemaran. Sejalan dengan itu, Feriza (2006) menyatakan bahwa panjang lorong galian, luas daerah jelajah, dan pola atau topologi lorong sangat potensial untuk digunakan sebagai biomarker hanya saja perlu penelitian lanjutan untuk membakukan metode ini.
SIMPULAN Aktivitas menggali E. foetida dan L. rubellus dipengaruhi oleh deltamethrin pada konsentrasi subletalnya. Keduanya menunjukkan penurunan aktivitas menggali dengan meningkatnya konsentrasi deltamethrin. L. rubellus lebih sensitif terhadap deltamethrin dibandingkan E. foetida. Berdasarkan hasil penelitian ini dan penelitian-penelitian sebelumnya, metode ini diharapkan dapat digunakan untuk mendeteksi efek deltamethrin terhadap perilaku cacing tanah secara umum.
SARAN Diperlukan penelitian lanjutan agar biomarker ini dapat digunakan sebagai bagian dari sistem monitoring pencemaran lingkungan. Pada penelitian lanjutan perlu dikaji respon jenis cacing tanah lain terhadap deltamethrin. Penelitian lanjutan juga perlu diarahkan pada pendugaan batas toleransi berbagai jenis cacing tanah pada beberapa jenis bahan kimia yang sering mencemari
lingkungan. Upaya pembakuan berbagai metode ini juga perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat subjektivitas dalam penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Bouche MB dan Fayolle L. 1979. Test Carried Out with Procida Compound Decis EC 2.5 on Earthworms Lethal Effect in Relation with Time (Unpublished proprietary report No. INRA – VT - 79.05.22 / 78.10.10 / A, submitted to WHO by Roussel Uclaf) Capowiez Y dan Bérard A. 2002. Assessment of the effects of imidacloprid on the behavior of two earthworm species (Aporrectodea nocturna and Allolobophora icterica) using 2D terraria. Ecotoxicology and Environmental Safety 64 (2): 198-206 Capowiez Y, Rault M, Mazzia C, Belzunees L. 2003. Earthworm Behaviour as Biomarker: a case study using imidacloprid. Pedobiologia 47 (5-6): 542-547 Capowiez Y, Bastardie F, Costagliola G. 2006. Sublethal effects of imidacloprid on the burrowing behaviour of two earthworm species: Modifications of the 3D burrow systems in artificial cores and consequences on gas diffusion in soil. Soil Biology and Biochemistry 38 (2): 285-293 Chambon A dan Lepailleur H. 1984. Etude de l'effet toxique de la deltamethrine (produit technique > 98%) et de la formulation CE 25 g/l Decis vis-à-vis de l'espece de vers (Eisenia fetida andrei) (Unpublished proprietary report IRCHA-84.30.07/F, submitted to WHO by Roussel Uclaf) Doving KB. 1991. Assessment of Animal Behaviour as a Method to Indicate Environmental Toxicity. Comparative Biochemistry and Physiology 100C: 247252 Extension Toxicology Network. 1995. Deltamethrin: Pesticide Information Profiles. Feriza D. 2006. Respon Perilaku Menggali Cacing Tanah Sebagai Biomarker Imidakloprid di Tanah [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan IPA. IPB Gibbs MH, Wickler LF, dan Stewart AJ. 1996. A Method for Assessing Sublethal Effect of Contaminants in Soil to Earthworms Eisenia foetida. Environment Toxicology Chemistry. 15: 360-368 Hallenbeck WH dan Cunningham-Burns KM. 1985. Pesticides and Human Health. Springer-Verlag
7
Lal OP, Palta RK, Srivastava YNS. 2001. Impact of Imidacloprid and Carbofuran on Earthworm Casting in Okra Field. Annual Plant Protection Science 9: 137-138 Little EE. 1990. Behavioural Toxicology: Stimulating challenges for growing discipline. Environmental Toxicology and Chemistry 9: 1-2 Lynn HB dan Kathryn O. 2001. A Comparison of Biomarker Responses in the Earthworm Aporrectodea caliginosa to the Organophosphorus Insecticides Diazinon and Chlorpyrifos. Environmental Toxicology and Chemistry 20. No 11: 2494-2502 Reigart JMD. et al. 1999. Recognition and Management of Pesticide Poisonings. EPA Scherrer E. 1992. Behavioural Responses as Indicator of Environmental Alterations: approaches, results, developments. J. Appl. Icht. 8: 122-131 Soemirat J. 2003. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: UGM Press Sulastri. 2005. Uji Lengos Cacing Tanah untuk Mendeteksi Imidakloprid pada Ekosistem Terestrial [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan IPA. IPB Walker CH et al. 2001. Principles of Ecotoxicology Second Edition. London: Taylor & Francis. Hal xiii-xvi. Willoughby OH. 1994. Farm Chemicals Handbook. Meister Publishing Co. World Health Organization (WHO). 1999. Environmental Health Criteria. Geneva
8
LAMPIRAN
9
Lampiran 1 Pola galian Eisenia foetida pada berbagai konsentrasi perlakuan
E1 0 ppm
E1 1.3 ppm
E1 2.6 ppm
E1 3.9 ppm
E1 5.2 ppm
E2 0 ppm
E2 1.3 ppm
E2 2.6 ppm
E2 3.9 ppm
E2 5.2 ppm
E3 0 ppm
E3 1.3 ppm
E3 2.6 ppm
E3 3.9 ppm
E3 5.2 ppm
10
Lampiran 2 Pola galian Lumbricus rubellus pada berbagai konsentrasi perlakuan
L1 0 ppm
L1 1.3 ppm
L1 2.6 ppm
L1 3.9 ppm
L1 5.2 ppm
L2 0 ppm
L2 1.3 ppm
L2 2.6 ppm
L2 3.9 ppm
L2 5.2 ppm
L3 0 ppm
L3 1.3 ppm
L3 2.6 ppm
L3 3.9 ppm
L3 5.2 ppm