RESPON AYAM PEDAGING TERHADAP PEMBERIAN TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera) DALAM PAKAN The response of broilers fed dietary of Moringa leaf meal (Moringa oleifera)
TESIS
MUHAMMAD YUNUS
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
ii
RESPON AYAM PEDAGING TERHADAP PEMBERIAN TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera) DALAM PAKAN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar magister
Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan
Disusun dan diajukan oleh
MUHAMMAD YUNUS
kepada
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Nomor Pokok Program Studi
: Muhammad Yunus : P4000212019 : Ilmu dan Teknologi Peternakan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar,
Desember 2016
Yang menyatakan
Muhammad Yunus
v
KATA PENGANTAR
Bismillahrrohmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “RESPON AYAM PEDAGING TERHADAP
PEMBERIAN TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera) DALAM PAKAN “. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister pada program studi Ilmu dan Teknologi peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin Makassar. Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih banyak yang sebesar-besarnya kepada : -
Bapak Prof. Djoni Prawira Rahardja., M.Sc selaku Pembimbing Utama, Ibu Prof. Dr. Ir. Laily Agustina R., MS selaku Pembimbing Anggota
-
Ibu Prof. Dr. drh. Ratmawati Malaka, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Wempie Pakiding.,M.Sc, Ibu Dr. A. Mujinisa., S.Pt, selaku penguji/pembahas
-
Bapak Drs. Muh. Arby Hamire, M.Si., Ketua Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STPP Gowa) yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2
-
Pengelola Instalasi/Laboratorium Ternak Unggas Universitas Hasanuddin
-
Saudara M. Rahman Hakim, S.Pt., M.Si, serta seluruh rekan-rekan mahasiswa pasca sarjana Ilmu dan Teknologi Peternakan Unhas Angkatan III
-
Ayahanda Laenre (Alm) dan Ibunda Indoupe yang telah membesarkan dan
vi
mendidik penulis. Serta seluruh saudara-saudaraku yang sangat saya cintai -
Bapak Dr. Muh. Taufik, S.Pt., MP., Andy., S.Pt., M.Si terima kasih atas bimbingan dan motivasinya.
-
Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian penelitan ini.
Dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila dalam penulisan tesis ini terdapat kekurangan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. aamiin Makassar, Desember 2016 Penulis
Muhammad Yunus
vii
ABSTRAK
MUHAMMAD YUNUS. Respon Ayam Pedaging terhadap Pemberian Tepung Daun Kelor (Moringa Oliefera) dalam Pakan (dibimbing oleh Djoni Prawira Rahardja dan Laily Agustina) Tujuan penelitian ialah mengetahui respon ayam pedaging setelah diberi tepung daun kelor dalam pakan. Penelitian ini menggunakan 160 ekor ayam pedaging yang berumur 14 hari dan dibagi secara acak berdasarkan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Tiap-tiap perlakuan terdiri atas 8 ekor ayam. Perlakuan yang diberikan yaitu: P0 (pakan basal + 0% tepung daun kelor), P1 (pakan basal + 1% tepung daun kelor), P2 (pakan basal + 2% tepung teun kelor), dan P3 (pakan basal + 4% tepung daun kelor). Parameter yang diukur adalah performa (konsumsi pakan dan air minum, pertambahan berat badan, dan konversi pakan), kondisi usus halus, kimia darah, dan retensi nitrogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung daun kelor hingga 4% dalam pakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perbaikan performa, terutama pada pencapaian berat badan akhir. Terdapat kecendrungan penurunan tingkat efisiensi penggunaan pakan seiring dengan penambahan level penambahan tepung daun kelor dalam pakan. Observasi terhadap kondisi usus halus dan caecum (panjang dan berat) menunjukkan adanya peningkatan ukuran, tetapi tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap fungsi enzimatis hati dan retensi nitrogen. Kata kunci : Ayam pedaging, tepung daun kelor, performa, kimia darah, retensi nitrogen, usus halus
viii
ABSTRACT MUHAMMAD YUNUS. The Response of Broiler to the Fed Dietary of Moringa (Moringa Oliefera) Leaf Meal (supervised by Djoni Prawira Rahardja and Laily Agustina). This research aimed determine the response of broiler chickens fed with dietary of Moringa leaf meal. A total of 160, aged 14 days, were randomly divided randomly based on the Complete Random Design with 4 treatment and 5 replications, and each group consisted of 8 broilers. The treatmens given comprised P0 (basal diet +2% moringa leaf meal), P1 (basal diet + 1% of moringa leaf meal), P2 (basal diet + 2% of moringa leaf meal, and P3 (basal diet + 4% of moringa leaf meal). The parameters measured were the performance of the broilers (feed and water intakes, body weight gain, and feed conversion ratio, respectively), the intestinal conditions, blood biochemenical indexes, and nitrogen retention. The research result indicated that the addition of moringa leaf meal up to 4% level did not improve the performance particulary the weight gain of the broilers. There was a tendency that the efficiency level of the use of feed to decrease in line with the increase of the level of the addition of moringa leaf meal to the feed. The observation on the conditions of intestines and cascum (the length and weight) revealed the increase of measurement but did not show any significant effect on the enzymatic function of level and nitrogen retention. Keywords: broiler chickens, moringa oliefera leaf meal, performance, blood chemical, nitrogen retention, intestines.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN
iii
KATA PENGANTAR
iv
ABSTRAK
vi
ABSTRACT
vii
DAFTAR ISI
viii
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
I.
II.
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
1
B.
Rumusan Masalah
3
C.
Tujuan Penelitian
4
D.
Kegunaan Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan Umum Mengenai Daun Kelor sebagai Bahan Pakan
5
B.
Penggunaan Daun Kelor sebagai Pakan Unggas
11
C.
Aktivitas Biologis Tepung Daun Kelor
18
D.
Metabolisme Protein dan Retensi Nitrogen pada Ayam Pedaging
23
x
III.
IV.
E.
Metabolisme Lemak pada Ayam Pedaging
27
F.
Kerangka Konseptual Penelitian
31
G.
Hipotesis Penelitian
32
MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat
33
B. Materi Penelitian
33
C. Metode Penelitian
33
1. Rancangan Penelitian
33
2. Pemeliharaan
34
3. Parameter yang Diukur
37
4. Analisis Data
41
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Performa Umum
43
B. Kondisi Usus Halus
51
C. Parameter Kimia Darah
54
D. Retensi Nitrogen
58
V.
DISKUSI UMUM
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
64
B. Saran
64
DAFTAR PUSTAKA
65
LAMPIRAN
74
xi
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1.
Komposisi Kimia dan Nutrisi Daun Kelor
7
2.
Kandungan Senyawa Anti-Nutrisi Daun Kelor
9
3.
Komposisi Nutrisi Pakan Starter (Umur 1 - 14 hari)
36
4.
Komposisi Nutrisi Pakan Basal dan Tepung Daun Kelor
36
5.
Komposisi dan Kandungan Nutrisi Ransum Finisher (15-35 hari)
37
6.
Performa Ayam Pedaging yang Dipelihara dengan Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan
43
Kondisi Usus Halus dan Caeca Ayam Pedaging yang Dipelihara dengan Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan
52
Parameter Kimia Darah Ayam Pedaging yang Dipelihara dengan Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan
55
Retensi Nitrogen Pakan Ayam Pedaging yang Dipelihara dengan Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan
58
7. 8. 9.
xii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Kerangka Konseptual Penelitian
31
2.
Skema Pelaksanaan Pengambilan Sampel Ekskreta
41
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Halaman Sidik Ragam Konsumsi Pakan Ayam Pedaging Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan
dengan 74
Sidik Ragam Berat Badan Ayam Pedaging dengan Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan
75
Sidik Ragam Pertambahan Berat Badan (g/e/h) Ayam Pedaging dengan Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan
77
Sidik Ragam Konversi Pakan Ayam Pedaging Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan
78
dengan
Sidik Ragam Konsumsi Air Minum Ayam Pedaging dengan Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan
80
Sidik Ragam Parameter Kimia Darah Ayam Pedaging dengan Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan
81
Sidik Ragam Dimensi Usus Halus Ayam Pedaging dengan Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan
83
Sidik Ragam Retensi Nitrogen Ayam Pedaging Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan
89
dengan
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan genetik, dan industri pakan ternak dewasa ini telah membawa perkembangan yang siginifikan dalam industri perunggasan dengan meningkatkan pencapaian bobot akhir hingga 2 kg hanya dalam waktu kurang dari 30 hari. Namun demikian, pencapaian ini masih diikuti dengan peningkatan munculnya masalah terkait dengan kondisi fisiologis ayam seperti kematian mendadak (sudden death syndrome) dan penyakit pernafasan, serta masalah pada kaki terutama pada kondisi pemeliharaan di daerah tropis. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi dampak dari lingkungan terhadap produktivitas ayam pedaging diantaranya dengan penggunaan berbagai jenis tanaman herbal untuk meningkatkan daya tahan tubuh memberikan nilai tambah pada produk daging yang dihasilkan. Salah satu jenis herbal yang telah lama dikenal di Indonesia sebagai sayuran dan dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak pada ayam pedaging ialah tanaman kelor. Tanaman kelor dikenal sebagai sumber nutrisi penting seperti protein, kalsium, vitamin C, vitamin E, serta dapat memperbaiki kualitas daging dan produknya. Sebagai pakan ternak, daun kelor merupakan sumber bahan pakan yang murah dengan ketersediaan yang melimpah sepanjang tahun oleh karena kemampuan tumbuh yang baik di daerah
2
tropis. Pada manusia, beberapa bagian tanaman seperti daun, batang, bunga, buah, dan akar memiliki nilai manfaat yang tinggi dalam mencegah dan mengobati beberapa jenis penyakit seperti penyakit kulit, mengurangi pengaruh diabetes, mengurangi depresi, memperbaiki sistem imun, serta memperbaiki saluran cerna. Penggunaan tepung daun kelor sebagai sumber protein, dilaporkan hanya dapat mengganti bungkil kedelai dengan rasio 25:75 (Gadzirayi dkk., 2012) dalam formulasi pakan, tanpa mengganggu performa ayam pedaging. Pemberian tepung daun kelor hingga 5% dalam pakan dapat memperbaiki profil asam lemak dan menurunkan oksidasi lemak pada daging broiler selama penyimpanan (Nkukwana dkk., 2013). Selain itu, penambahan tepung daun kelor pada dosis rendah 0,1 – 2% dalam pakan sebagai pengganti pengunaan antibiotik pemacu pertumbuhan (growth promoter antibiotic) dan tidak menyisakan residu pada daging ayam pedaging (Teteh dkk., 2013; Ologhobo dkk., 2014). Pemberian tepung daun kelor juga dapat meningkatkan respon sistem imun pada ayam pedaging, diantaranya dengan menurunkan rasio albumin/globulin dalam serum darah (Du dkk., 2007), memperbaiki kondisi usus halus, meningkatkan jumlah Lactobacillus dan menurunkan jumlah E. coli dalam saluran pencernaan (Yang dkk., 2007). Kandungan nutrisi terutama protein yang tinggi pada daun kelor menyebabkan
penggunaan
tepung
daun
kelor
lebih
banyak
dipertimbangkan sebagai bahan pengganti sumber protein lain, dibanding
3
penggunaannya sebagai pakan tambahan (feed supplement) dalam level rendah. Namun demikian, kandungan protein berimbang daun kelor penting untuk dipertimbangkan dalam upaya meningkatkan retensi nitrogen pakan, sekaligus mengurangi ekskresi nitrogen yang tinggi dalam ekskreta. Informasi mengenai efisiensi penggunaan nitrogen pakan pada ayam pedaging melalui penambahan tepung daun kelor masih kurang, oleh karena itu perlu dilakukan suatu kajian untuk mengetahui sejauh mana pengaruh penambahan tepung daun kelor dalam pakan terhadap produktivitas ayam pedaging yang ditinjau dari aspek penggunaan nitrogen dalam tubuh.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang dapat diidentifikasi pada penelitian ini ialah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh penambahan tepung daun kelor dalam pakan terhadap performa ayam pedaging 2. Bagaimana pengaruh penambahan tepung daun kelor dalam pakan terhadap parameter kimia darah ayam pedaging 3. Bagaimana pengaruh penambahan tepung daun kelor dalam pakan terhadap retensi nitrogen pada ayam pedaging
4
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh penambahan tepung daun kelor dalam pakan terhadap performa ayam pedaging 2. Mengetahui pengaruh penambahan tepung daun kelor dalam pakan terhadap beberapa parameter kimia darah pada ayam padaging 3. Mengetahui pengaruh penambahan tepung daun kelor dalam pakan terhadap retensi nitrogen pada ayam padaging
D.
Kegunaan Penelitian
Sebagai bentuk level suplementasi yang aman dan dapat digunakan pada ayam pedaging tanpa mengganggu perfoma ayam dan sebagai bahan informasi mengenai pemanfaatan daun kelor sehubungan dengan penggunaannya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan nitrogen pada ayam pedaging.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Daun Kelor
Tanaman kelor (Moringa oleifera Lam.) merupakan tanaman perdu yang banyak dijumpai di Indonesia sebagai tanaman pagar dan mempunyai manfaat yang luas. Tanaman ini merupakan tanaman asli di wilayah pegunungan Himalaya terutama ke arah daerah India, Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan, namun sekarang telah tumbuh secara alam di berbagai wilayah tropis lainnya. Nama lain dari tanaman kelor diantaranya drumstick tree,
horseradish
tree,
benzolive
tree,
marango,
mlonge,
moonga,
malunggay, nebeday, saijhan, sajna, dan Ben oil tree (Fahey, 2005). Beberapa bagian tanaman kelor seperti daun, buah, batang muda, dan bunga telah lama dijadikan sebagai bahan makanan tradisional di berbagai negara tropis dan subtropis dan dikenal sebagai tanaman dengan berbagai jenis manfaat bagi kesehatan. Spesies tanaman kelor merupakan salah satu tanaman yang sangat bermanfaat, karena seluruh bagian tanaman ini mulai dari daun, bunga dan akar dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan diantaranya adalah sebagai bahan makanan dan obat-obatan. Klasifikasi tanaman kelor menurut Cwayita, (2014) adalah sebagai berikut:
6
Kingdom : Plantae Divisio
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Order
: Brassicales
Family
: Moringaceae
Genus
: Moringa
Species
: Moringa oleifera, Lam
Tanaman kelor memiliki kemampuan tumbuh yang cukup baik, dan cepat. Dapat mencapai tinggi tiga meter hanya kurang dari 10 bulan sejak ditanam. Tanaman ini cepat berbunga dan berbuah, toleran terhadap variasi jenis tanah dan kondisi curah hujan. Tanaman ini juga dikenal sebagai tanaman yang tidak pernah mati, oleh karena dapat tumbuh menjadi tanaman lengkap hanya dengan menggunakan potongan batang, cabang, atau biji, sehingga memudahkan penyebarannya (Astuti dkk., 2005). Tanaman kelor dikenal sebagai tanaman pakan yang tumbuh hingga mencapai 10-12 m, mempunyai dahan dan batang yang rapuh, daun kecilkecil berbulu berwarna hijau dengan jumlah yang banyak sepanjang 30-60 cm, dengan lebar 0,3-0,6 cm dan panjang 2 cm. berwarna
putih
dengan
menggantung, dan
ukuran
diameter
2,5
Bunga tanaman ini cm,
kelopak
bunga
serbuk sari berwarna putih. Buah kelor berbentuk
memanjang dengan jumlah biji sekitar 20 buah (Donovan, 2007).
7
Daun tanaman kelor selain biji merupakan bagian yang paling sering digunakan sebagai bahan pakan pada beberapa jenis ternak dalam bentuk tepung daun karena kandungan nutrisi yang cukup tinggi (Anwar dkk., 2007; Adeniji dan Lawal, 2012; Zanu dkk., 2012; Abbas, 2013). Komposisi kimia daun kelor dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia dan Nutrisi Daun Kelor Parameter
Nilai
Komposisi Kimia (% BK) Protein kasar1,3,4,6 NDF1,3 ADF1,3 Energy (Kkal/100 kg)5
25,1 – 30,29 11,40 – 21,9 8,49 – 11,4 1440,11
Kadar lemak1,5,6 Profil asam amino (% BK) Lysine2,3 Histidine2,3 Trheonine2,3 Arginine2,3 Methionine2,3 Mineral
2,11 - 5,9 1,1 – 1,64 0,6 – 0,72 0,8 – 1,36 1,2 – 1,78 0,30
Ca (%)5,7 Mg (%)5,7 K(%)5,7 Na (%)5 Fe (ppm)5 Zn (ppm)5 P (ppm)5 Mn (ppm)5 Cu (ppm)5 Sumber : 1. Foidl dkk., 2001 2. Richter dkk., 2003 3. Moyo dkk., 2011 4. Babiker, 2012
1,91 – 3,65 0,38 – 0,50 0,97 – 1,50 192,95 107,48 60,06 30,15 81,65 6,10 5. Ogbe dkk., 2012 6. Aderinola dkk., 2013 7. Cwayita, 2013
8
Diketahui bahwa tanaman secara umum selain mengandung nutrisi yang bermanfaat bagi tubuh manusia atau ternak, juga mengandung senyawa anti-nutrisi yang diperoleh dari pupuk dan pestisida atau terdapat dalam bagian tanaman secara alami (Makkar dan Becker, 1997). Beberapa senyawa kimia anti-nutrisi tersebut dikenal pula dengan senyawa “metabolit sekunder” yang menunjukkan aktivitas biologis tinggi. Zat anti- nutrisi yang umum dijumpai pada tanaman antara lain: saponin, tannin, flavonoid, alkaloid, tripsin (protease) inhibitor, oxalate, phytate, haemaglutinin (lectin), cyanogenik glikosida, cardiac glikosida, coumarin, dan gossypol (Soetan dan Oyewole. 2009). Beberapa senyawa ini menunjukkan dampak negatif terhadap kesehatan dan juga dampak positif apabla dikonsumsi dalam jumlah tertentu (Chivapat dkk., 2011; Chivapat dkk., 2012). Senyawa anti-nutirisi ialah senyawa-senyawa yang dihasilkan secara alami bahan makanan/pakan melalui metabolisme normal oleh suatu spesies (Chivapat dkk., 2011). Mekanisme kerja dari zat anti-nutrisi ini berbeda-beda tergantung pada jenis senyawa dan asal tanaman yang menghasilkan seyawa tersebut, misalnya inaktivasi beberapa jenis nutrisi, menghambat proses cerna, atau penggunaan nutrisi tertentu dalam metabolisme (Kumar, 1992). Dikemukakan pula bahwa suatu senyawa anti-nutrisi bukanlah merupakan
karakteristik
tergantung
pada
kondisi
intrinsik saluran
dari
senyawa
pencernaan
tersebut,
melainkan
ternak/manusia
yang
mengkonsumsi senyawa tersebut. Sebagai contoh, tripsin inhibitor, yang
9
diketahui sebagai senyawa anti-nutrisi pada ternak monogastrik, tidak menunjukkan dampak negatif pada ternak ruminansia karena senyawa ini akan terdegradasi dalam rumen (Kakengi dkk., 2005). Studi terhadap ekstrak daun, biji dan bagian tanaman kelor lainnya menunjukkan bahwa selain kandungan nutrisi yang bermanfaat bagi tubuh ternak, juga terdapat beberapa senyawa zat anti-nutrisi yang kemungkinan dapat memberikan dampak negatif pada ternak unggas apabila diberikan dalam konsentrasi tinggi sehingga penting untuk dipertimbangkan dalam menyusun formulasi ransum yang menggunakan bagian tanaman kelor sebagai bahan pakan. Beberapa zat anti nutrisi yang pernah dianalisis dicantumkan dalam Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Senyawa Anti-Nutrisi Daun Kelor Senyawa Anti-nutrisi Phytate* Oxalate* Saponin* Tannin* Tripsin Inhibitor* Hydrogen Cyanida (HCN)* Total fenolik**
Nilai (%) 2,59 0,45 1,60 21,19 3,00 0,10 2,02 – 2,74
Sumber: *Ogbe dkk., (2012), ** Richter dkk., (2003); Moyo dkk., (2011)
Soetan dan Oyewole (2009) mengemukakan bahwa beberapa metode seperti perendaman, fermentasi, pemanasan, pemanasan dalam autoclaf, manipulasi genetik dapat menurunkan atau menghilangkan kandungan antinutrisi dari daun kelor. Perendaman selama satu malam dilaporkan dapat
10
menurunkan aktivitas trypsin inhibitor sebesar 6,3% pada biji-bijian termasuk biji kelor (Soetan, 2008). Berbagai senyawa anti-nutrisi yang secara alami merupakan bagian dan diproduksi oleh tanaman selain memiliki dampak negatif bagi ternak yang mengkonsumsinya, juga dilaporkan memiliki berbagai dampak yang bermanfaat. Lebih lanjut dikemukakan bahwa tannin dan saponin memiliki manfaat sebagai anti-kanker dan berperan penting sebagai anti jamur dan pertahanan tanaman terhadap serangga. Beberapa formulasi obat-obatan yang digunakan untuk mengobati kanker mengandung saponin dalam jumlah tertentu, selain itu, saponin juga dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan tumor, dan pada manusia ditemukan bahwa konsumsi saponin secara teratur dapat menurunkan potensi seseorang terhadap resiko kanker (Fahey, 2005). Ekstrak dari berbagai jenis daun yang mengandung tannin, saponin, flavonoid, alkaloid, tidak disukai oleh serangga tertentu sehingga dapat menghindarkan tanaman tersebut diganggu oleh serangga. Selain itu sifat antimikrobial, menurunkan kolesterol, antioksidan, serta antihelmintik dan beberapa sifat menguntungkan lainnya telah dilaporkan baik pada hewan percobaan maupun pada ternak domestik termasuk bangsa unggas (Makkar dan Becker, 1997; Yang dkk., 2006; Soetan, 2008; Chattopadhyay dkk., 2011; Oinam dkk., 2012; Folorunso dkk., 2012). Suplementasi pakan domba dengan daun kelor hingga 450 g per hari dengan pakan hijauan basal dari rumput Rhodes (Chloris gayana)
11
menunjukkan bahwa daun kelor dapat dijadikan sebagai sumber protein tambahan pada sistem pemeliharaan domba dengan pakan basal berkualitas rendah dan pada musim kemarau (Gebregiorgis dkk., 2012). Demiikian pula pada sapi perah, dilaporkan menunjukkan adanya perbaikan produksi dan kualitas susu yang dihasilkan setelah pemberian hijauan yang disuplementasi dengan daun kelor dalam bentuk segar dan silase (Araica dkk., 2011). Protein tinggi yang terkandung pada daun dan biji kelor apabila dikonsumsi oleh ternak ruminansia akan dimanfaatkan dengan baik dirumen, sementara kandungan tannin daun kelor akan didegradasi selama proses fermentasi dalam rumen sehingga suplementasi daun kelor pada ruminansia dapat memberikan kontribusi terhadap performa ternak (Kakengi dkk., 2005).
B. Penggunaan Daun Kelor sebagai Bahan Pakan Unggas
Kandungan nutrisi terutama protein yang cukup tinggi telah menjadikan bagian tanaman kelor terutama daun dan biji menjadi sumber bahan pakan untuk menjadi sumber protein alternatif yang lebih murah terutama pada wilayah tropis. Melesse dkk. (2011) memberikan tepung daun kelor dalam pakan ayam jenis Rhode Island Red (RIR) fase grower hingga 6% sebagai pengganti protein pakan hingga sebesar 8,8% dan menyimpulkan bahwa tepung daun kelor dapat digunakan sebagai pengganti protein yang lebih murah tanpa memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ayam RIR
12
fase grower. Peneliti ini menjelaskan bahwa hal tersebut dapat terjadi karena adanya kandungan protein yang cukup tinggi dan baik bagi ternak monogastrik, serta asam amino methionin dan asam amino lainnya yang lebih tinggi dibanding asam amino pada bungkil kedelai pada pakan kontrol yang digunakan. Laporan lain terkait dengan ayam jenis RIR oleh Khaled dkk., (2012) menunjukkan bahwa pemberian daun kelor dalam bentuk segar pada ayam jenis RIR fase layer di wilayah Mexico, dilaporkan meningkatkan produksi dan kualitas telur. Penggunaan tepung daun kelor sebagai sumber protein juga dapat menggantikan penggunaan sumber protein asal nabati lain seperti SBM (soybean meal) dan biji bunga matahari (sunflower seed) hingga 25 % pada pakan ayam pedaging (Gadzirayi, dkk., 2012) dan 20% pada pakan petelur fase layer (Kakengi dkk., 2007). Percobaan pada ayam buras lokal yang dipelihara dengan sistem free range di Zimbabwe telah dilakukan oleh Gadzirayi dan Mupangwa (2014), menggunakan tepung daun kelor untuk pengganti bungkil kedelai sebagai sumber protein dengan level bertingkat dari 0, 5, 10 dan 15% dalam pakan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian tepung daun kelor hingga 5% adalah level terbaik yang direkomendasikan pada ayam buras terutama pada
fase starter. Hasil tersebut sesuai dengan rekomendasi
Kakengi dkk. (2007) yaitu 5% dalam pakan pada ayam petelur. Namun demikian pada penelitian lain, pemberian tepung daun kelor hingga 10%
13
pada ayam petelur yang diberi pakan basal yang terdiri dari campuran ubikayu (cassava-chip based diet) tidak mempengaruhi konsumsi pakan, konversi pakan serta produksi telur, bahkan berat telur nyata lebih berat pada ayam yang diberi tepung daun kelor dibanding ayam yang tidak diberi daun kelor (Olugbemi dkk., 2010b). Suatu percobaan yang membandingkan pemberian daun kelor dengan durasi dan level yang sama pada ayam pedaging breeder dan petelur umur muda telah dilaporkan di wilayah Nigeria oleh Oludoyi dan Toye (2012). Pada penelitian tersebut, ayam pedaging breeder (Hubbard) dan ayam petelur (Nera Black) masing-masing umur 0-4 minggu diberikan pakan yang mengandung daun kelor dengan level yang sama yaitu 0, 5, dan 10% sebagai pakan tambahan. Hasil peneltian tersebut menunjukkan bahwa daun kelor hingga 10% dapat menekan pertumbuhan broiler pada umur 4 minggu dan seterusnya, sementara ayam tipe petelur tidak dipengaruhi tingkat pertumbuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan adaptasi dari jenis ayam dengan dasar genetik yang berbeda terhadap pemberian daun kelor. Pemberian daun kelor sebagai pakan tambahan pada level rendah (02%) pada ayam pedaging fase starter dan finisher (ad libitum) menunjukkan adanya penurunan nilai pada beberapa parameter hematologis, menurunkan kadar trigliserida dan kolesterol serum, dan menurunkan kadar lemak pada daging (Aderinola dkk., 2013). Penelitian tersebut memberikan rekomendasi
14
bahwa apabila tujuan utama pemeliharaan ayam pedaging untuk perbaikan kondisi perlemakan, bukan pertumbuhan yang menjadi perhatian utama, maka daun kelor dapat diberikan sejak ayam berumur satu hari walaupun dengan level yang tidak terlalu tinggi (2%). Berbeda dengan Aderinola dkk. (2013), Banjo (2012) dan Teteh dkk. (2013) melaporkan bahwa pemberian tepung daun kelor hingga 2% dan 3% dalam pakan selama 4 minggu, tidak menunjukkan dampak negatif pada ayam pedaging. Pada kedua penelitian tersebut, direkomendasikan pemberian tepung daun kelor 2% dalam pakan untuk meningkatkan pertumbuhan ayam pedaging sebagai pengganti penggunaan antibiotik yang berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan. Pada penelitian lain (Tesfaye dkk., 2013), pemberian tepung daun kelor dengan level 5-20% pada ayam pedaging menunjukkan adanya penurunan persentase karkas dan bagian-bagian karkas, sehingga direkomendasikan pemberian tepung daun kelor 5% sebagai pengganti bungkil kedelai dalam pakan tanpa memberikan dampak terhadap performa ayam pedaging. Sejalan dengan hasil Tesfaye dkk., (2013), Olugbemi dkk., (2010a) melaporkan studi yang menggunakan ransum dengan campuran ubi kayu dan ditambahkan 5% daun kelor tidak menunjukkan pengaruh terhadap petambahan berat badan, konversi pakan, berat badan akhir dan biaya pakan (feed cost) per kg pertambahan berat badan apabila dibandingkan dengan pakan yang tidak mengandung campuran ubi kayu dan daun kelor. Namun demikian pemberian daun kelor diatas 5%
penurunan performa ayam
15
terutama pada pencapaian berat akhir dan efisiensi penggunaan pakan jelas dipengaruhi oleh penambahan daun kelor dalam pakan. Suplementasi kelor, selain meningkatkan performa, juga memperbaiki karakteristik kimia darah, dan meningkatkan respon imun tubuh terutama dengan
menurunkan
kandungan
asam
urat,
trigliserida,
dan
rasio
albumin/globulin pada serum ayam pedaging (Du dkk., 2007). Selain itu, pemberian kelor juga meningkatkan performa ayam melalui pengaruhnya terhadap kondisi usus halus, Yang dkk (2006) melaporkan bahwa pemberian daun
kelor
dalam
pakan
dapat
memperbaiki
kondisi
duodenum,
meningkatkan jumlah populasi Lactobacillus dalam ileum dan mengurangi koloni E.coli, sehingga dapat meningkatkan status imun tubuh pada ayam pedaging yang diamati. Adanya kandungan anti-nutrisi pada daun kelor menjadi pertimbangan utama penggunaan daun kelor yang banyak digunakan hanya sebagai pakan tambahan dalam pakan unggas dengan level rendah. Pengaruh negatif pada ayam misalnya dapat diamati pada laporan Aderinola dkk. (2013) yang memberikan ayam pedaging dengan daun kelor dengan level tertinggi 2%, dan diperoleh nilai beberapa parameter hematologis yang lebih rendah dibandingkan nilai normal pada ayam yang tidak diberi daun kelor. Pada penelitian tersebut, nilai hematokrit dan jumlah sel darah merah lebih rendah dibanding kontrol, yang mengindikasikan adanya faktor toksik yang mempengaruhi proses pembentukan sel-sel darah merah atau menyebabkan
16
penurunan persentase jumlah sel darah merah dibanding komponen plasma darah walaupun pada proses transpor nutrisi tidak terganggu yang tercermin pada performa ayam yang tidak berbeda. Selain nilai hematokrit dan jumlah sel darah merah, Aderinola dkk. (2013) juga melaporkan nilai kadar hemoglobin yang lebih rendah pada perlakuan pemberian daun kelor, dan kondisi ini mengindikasikan kapasitas pengangkutan oksigen (oxygen carrying capacity) oleh darah yang juga menurun. Hasil kajian Ogbe dan Affiku (2012) menggunakan tepung daun kelor dalam campuran poliherbal yang terdiri atas daun kelor, gum arabic dan ganoderma (1 : 1 v/v) dan hasil campuran ini sebanyak 5% (w/v) dalam air minum pada umur 2 minggu, 10% pada umur 4 minggu dan 20% pada umur 6 minggu. Pada penelitian tersebut diperoleh kandungan protein hasil analisis proksimat untuk tepung daun kelor masih cukup tinggi sebesar 17%, sejumlah karbohidrat, serat kasar, dan asam lemak. Kandungan abu juga menunjukkan adanya mineral penting seperti K, Na, Mg, Mn, Zn, P, dan Cu. Selain itu, kandungan anti-nutrisi seperti tannin, phytate, oxalate, saponin, trypsin inhibitor, dan asam sianida cukup rendah, kecuali tannin masih cukup tinggi sebagai akibat akumulasi dari ketiga jenis herbal yang digunakan. Beberapa parameter performa seperti konsumsi pakan dan berat badan dipengaruhi
oleh
pemberian
campuran
poliherbal.
Namun
demikian
parameter hematologis berada pada nilai kisaran normal, dan persentase karkas dan bagian-bagian karkas tidak berbeda diantara perlakuan.
17
Metode ekstraksi lainnya, misalnya dengan cara mencampurkan 1 g tepung daun kelor dalam 10 ml air mendidh selama 5 menit, dan hasil pencampuran disaring dengan kertas saring 2 µm ke dalam tabung steril dan hasil ekstraksi (100 mg/ml) dapat digunakan untuk perlakuan dan disimpan pada suhu 4o hingga 5 hari penggunaan (Berkovich dkk., 2013). Namun demikian
penggunaan
air
mendidih
(suhu
tinggi)
diyakini
dapat
mempengaruhi beberapa senyawa pada daun kelor (Soetan dan Oyewole. 2009). Portugaliza dan Fernandez, (2011) melakukan ekstraksi dengan melakukan perendaman tepung daun kelor dalam air destilasi (aquades) selama 24 jam dengan perbandingan 1:2 ((w/v) dan hasil ekstraksinya diberikan pada ayam pedaging dengan konsentrasi tertinggi 90 ml/1000 air minum diperoleh hasil berupa pencapaian berat akhir yang lebih baik dbanding kontrol (tanpa pemberian ekstrak daun kelor) dengan tingkat konsumsi yang lebih rendah. Hasil studi ini mengindikasikan bahwa bahan aktif dalam daun kelor yang berpotensi sebagai antioksidan, antibakteria, imunostimulan, dan beberapa vitamin terlarut dalam air misalnya vitamin C, dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan performa ayam pedaging. Namun demikian mekanisme kerja adanya perbaikan performa ayam pedaging pada penelitian tersebut belum sepenuhnya dapat dipahami. Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak kelor dalam waktu lama dengan dosis tinggi (Chivapat dkk., 2011).
18
Pada penelitian tersebut, sebanyak 80 ekor tikus percobaan diberikan 4 jenis perlakuan masing-masing kontrol (hanya diberi air aquades), dan kelompok yang diberi ekstrak daun kelor dalam air minum dengan dosis masing-masing 10, 100, dan 1000 mg/kg/hari selama 6 bulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun kelor melalui air minum tidak memberikan dampak negatif terhadap tikus percobaan walaupun dengan dosis tinggi (1000 mg/kg/hari). Beberapa parameter kimia darah yang diamati tidak berbeda dengan kelompok kontrol, demikian pula pada pengamatan histopatologis tidak ditemukan adanya lesi pada beberaa organ yang diamati. Hasil kajian ini membuktikan bahwa proses ektraksi dan pemberian tepung daun kelor melalui air minum tidak berdampak negatif terhadap tikus percobaan. C. Aktivitas Biologis Tepung Daun Kelor Tanaman kelor yang telah lama dikenal sebagai tanaman sayuran, dan tanaman pakan diberbagai negara, selain memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi juga mengandung berbagai bahan aktif dengan aktivitas biologis yang beragam. Pengetahuan mengenai karakteristik senyawa bahan aktif, dan mekanisme kerjanya dalam tubuh ternak unggas menjadi aspek penting yang perlu dikaji sehubungan dengan penggunaan daun kelor sebagai bahan pakan atau pakan tambahan pada ternak unggas.
19
Aktivitas biologis yang banyak dikaji pada tanaman kelor diantaranya : senyawa antioksidan (Yang dkk., 2006; Oinam dkk., 2012; Abbas, 2013; Wangcharoen dan Gomolmanee, 2013), anti diabetes (Aja dkk., 2013), hepato-protektif (melindungi dan memperbaiki kerja hati dan enzym pada hati) (Chattopadhyay dkk., 2011; Aja dkk., 2013), anti fungi (Zhao dkk., 2012), antimikrobia (Yang dkk., 2006; Singh dan Sharma, 2012; Abbas, 2013), dan hipokolesterolemia (Arora dkk., 2013). Tanaman kelor memiliki nilai tinggi dibidang farmasi oleh karena aktivitasnya sebagai agen fitoterapeutik (phytotherapeutic) yang dapat digunakan untuk menanggulangi infeksi (Patel, 2011). Sifat antimikrobia dan antioksidan dari tepung daun dan ektrak biji kelor telah banyak didiskusikan oleh beberapa peneliti. Sifat antimikrobia dari biji kelor diperoleh karena adanya kandungan lipofilik. Komponen ini dapat berikatan dengan membran sitoplasma mikroba. Selain itu, komponen lain yang dikenal berperan sebagai antimikrobia seperti asam karboksilat, 2,4-diacetyl phloroglucinol, dan enzym yang mendegradasi dinding sel bakteri seperti kitinase, juga ditemukan dalam ekstrak biji kelor. Sementara kandungan polifenol, tannin, antosianin, glikosida, dan thiokarbamat, dapat mengurangi radikal bebas, mengaktivasi enzym entioksidan, dan menghambat kerja oksidase (Abbas, 2013) Wangcharoen
dan
Gomolmanee
(2013)
mengemukakan
bahwa
kandungan senyawa fenolik dan flavonoid yang tinggi menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi, dengan menghambat peroksidasi lemak, mengikat
20
radikal bebas, dan menginduksi degradasi deoksiribosa, mengurangi daya ikat radikal anion superoksida dan nitrit oksida. Aktivitas antioksidan ekstrak daun kelor dilaporkan lebih tinggi dibandingkan dengan standar antioksidan seperti pada vitamin E, dan aktivitas ini tetap dipertahankan pada kisaran pH 4 – 9 dengan kondisi gelap, suhu 5 atau 25 oC dan penyimpanan selama 15 hari, namun demikian aktvitias ini menurun cepat apabila dipanaskan pada suhu 100 oC selama 15 menit. Sel-sel hati yang dikenal dengan istilah hepatosit (hepatocytes) memiliki aktivitas biokimia yang beragam seperti sekresi empedu, metabolisme karbohidrat,
metabolisme
protein,
sintesis
faktor
pembekuan
darah,
menyimpan zat besi dan vitamin, detoksifikasi dan metabolisme lemak (Sturkie, 1976). Oleh karena itu, penyakit atau kondisi fisiologis lain yang mempengaruhi kerja sel-sel hati, akan berdampak pada gangguan metabolik. Pada kondisi seperti ini, aktivitas enzym yang terikat pada mitokondria hati akan meningkat dalam serum darah karena kerusakan pad sel hati akan melepaskan enzim tersebut ke dalam serum. Untuk memastikan pengaruh suatu bahan pakan, atau obat terhadap fungsi hati, maka pemeriksaan terhadap enzim hati dapat memberikan gambaran umum mengenai kondisi sel-sel hati. Beberapa parameter seperti kadar plasma protein, kadar aspartate aminotranferase (AST), alkaline phosphatase (ALP), alanine aminotransferase (ALT), dan kadar bilirubin merupakan indikator yang umum digunakan untuk mengetahui fungsi hati.
21
Penggunaan ekstrak daun kelor pada hewan percobaan yang dilaporkan Aja dkk. (2013) menunjukkan bahwa pada pemeriksaan beberapa parameter fungsi hati, ekstrak daun kelor dapat mempertahankan fungsi hati dan mengurangi dampak dari diabetes sehingga direkomendasikan sebagai salah satu komponen obat yang dapat digunakan dalam proses pengobatan penyakit diabetes militus. Ologhobo dkk. (2014) melakukan percobaan pada ayam pedaging dengan membandingkan pemberian pakan yang mengandung antibiotik (oxytetracycline) dengan pakan yang mengandung tepung daun kelor hingga 200-600g/100 kg pakan, diperoleh hasil berupa perbaikan performa namun tidak memberikan dampak pada perubahan karakteristik karkas. Penelitian ini mengindikasikan bahwa tepung daun kelor dapat menjadi pengganti oxytetetracycline
sebagai
antibiotik
yang
bersofat
sebagai
pemacu
pertumbuhan (growth promoter) pada ayam pedaging. Hasil pengujian pada ayam yang diinokulasi dengan virus ND menunjukkan bahwa ekstrak daun kelor yang ditambahkan dalam pakan dapat meningkatkan daya tahan ayam yang tidak divaksin terhadap virus ND (Eze dkk., 2013). Tanaman kelor merupakan tanaman yang kaya akan kandungan gula sederhana, rhamnosa, dan kelompok gula unik yang disebut glukosinolat (glucosinolates) dan isothiosianat (isothiocyanates) (Fahey dkk., 2001; Bennet dkk., 2003). Bagian-bagian tanaman kelor yang telah digunakan
22
berpotensi
menurunkan
tekanan
darah
tinggi,
anti-kanker,
aktivitas
antibakterial diketahui adalah 4-(4-O-acetyl-α-L rhamnopyranosyloxy) benzyl isiothiocyanate, niazimicin, pterygospermin, benzyl isothiocyanate, dan 4-(4O-acetyl-α-L rhamnopyranosyloxy) benzyl glucosinolate (Fahey, 2005; Anwar dkk., 2005). Diketahui bahwa senyawa ini adalah senyawa unik yang terdapat pada keluarga tanaman kelor. Selain itu, tanaman ini juga diketahui kaya akan asam amino serta senyawa fitokimia lain seperti betakaroten atau provitamin A (Fahey 2005). Isitua dan Ibeh (2013) melaporkan bahwa pemberian ekstrak daun kelor pada kelinci menunjukkan sifat immunogenik apabila diberikan dalam air minum dengan dosis 2,5 ml. Kelinci merespon pemberian ekstrak daun kelor dengan cara meningkatkan jumlah sel-sel CD4 yang merupakan sel-sel THelper yang menstimulasi imunitas yang dimediasi sel dan membantu sel-sel B membentuk antibodi yang akan melawan antigen, jadi dengan hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak daun kelor ini dapat menjadi immunomodulator yang baik pada kelinci. Kandungan
glikosida,
Niaziminins
A
dan
B,
dan
kandungan
isothiocyanate yang diisolasi dari ekstrak daun kelor telah terbukti menunjukkan aktivitas dalam menurunkan tekanan darah. Senyawa peptida yang diperoleh dari ekstrak daun kelor melalui perendaman, menunjukkan aktivitas sebagai antimikrobia terutama terhadap bakteri patogen jenis E. coli, S. aureus, B. subtilis, K. aerogenes, dan A. niger. (Chivavat dkk., 2012).
23
Pada penelitian Ogbe dkk., (2013) yang menggunakan ekstrak biji kelor dalam air minum ayam pedaging dengan level 5% pada umur 2 minggu, 10% pada umur 4 minggu dan 20% pada umur 6 minggu, diungkapkan bahwa ekstrak biji kelor dapat digunakan sebagai antibiotik alternatif alami dan pemacu pertumbuhan, dan menjadi sumber pakan imbuhan pada ayam pedaging.
Kandungan antinutrisi pada ekstrak biji kelor diketahui cukup
rendah (kurang dari 5%) dan kadar ini akan menurun selama proses ektraksi.
D. Metabolisme Protein dan Retensi Nitrogen pada Ayam Pedaging Protein memegang peranan penting bagi tubuh seperti memperbaiki jaringan, pertumbuhan jaringan baru, deaminasi yang menghasilkan energi, metabolisme zat-zat dalam tubuh, merupakan enzim-enzim esensial bagi fungsi normal tubuh dan pembentuk hormon tertentu (Bell dan Weaver, 2002). Efisiensi penggunaan protein tinggi apabila jumlah protein yang dapat diretensi tubuh juga tinggi dan dipergunakan untuk kebutuhan pertumbuhan atau produksi. Perhitungan retensi nitrogen dilakukan untuk mengetahui nilai kecernaan suatu bahan pakan. Nilai retensi protein dapat diduga dari nilai retensi nitrogen suatu bahan pakan, dengan faktor perkalian 6,25 yang didasarkan pada asumsi bahwa nitrogen pada berbagai jenis protein adalah konstan (Wahyu, 1988).
24
Penentuan
neraca
nitrogen
(nitrogen
balance)
dapat
dihitung
berdasarkan nilai retensi nitrogen. Berdasarkan definisi Sibbald (1981), retensi nitrogen adalah selisih antara nilai konsumsi nitrogen dengan nilai nitrogen yang diekskresikan setelah dikoreksi dengan nilai ekskresi nitrogen endogen. Sedangkan nitrogen endogen adalah nitrogen dalam ekskreta yang berasal dari selain bahan pakan misalnya peluruhan sel mukosa usus, empedu, dan sepanjang saluran pencernaan. Menurut NRC (1994), nilai retensi nitrogen berbeda untuk setiap jenis ternak, umur, dan faktor genetik. Banyaknya nitrogen yang diretensi dalam tubuh ternak akan mengakibatkan ekskreta mengandung sedikit nitrogen dan energi dibandingkan dengan ternak yang tidak meretensi nitrogen. Selain dari pakan, protein yang digunakan tubuh juga dapat berasal dari hasil sekresi endogen. Sekitar 25% dari total sintesis protein setiap harinya, disekresikan ke dalam saluran pencernaan dalam berbagai bentuk, dan dari berbagai sumber seperti saliva, empedu, sekresi pankreas, sekresi lambung, dan sekresi oleh usus. Termasuk pula dalam hal ini adalah produksi mukoprotein oleh sel-sel epitel usus halus (Wahyu, 1988). Metabolit asam amino dalam bentuk peptida dan asam amino bebas pada usus besar berkontribusi dalam jumlah protein endogen yang keluar dari tubuh. Pengeluaran asam amino endogen dari dalam tubuh signifikan terjadi pada saat proses digesti dan penyerapan sepanjang usus halus. Memperhitungkan jumlah produksi dan pengeluaran asam amino endogen
25
penting untuk dipertimbangkan dalam menentukan tingkat kecernaan protein dalam tubuh. Pengeluaran asam amino endogen secara spesifik dapat diinduksi oleh kandungan tertentu dalam pakan misalnya kandungan serat kasar, dan kandungan faktor anti nutrisi (Kim, 2010) Bobrutzki dkk. (2013) mengemukakan bahwa total asam amino endogen yang mengalir dalam saluran pencernaan merupakan jumlah dari asam amino endogen basal dan asam amino yang diproduksi akibat adanya pakan yang melalui saluran pencernaan. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah asam amino endogen ialah dengan memberikan pakan tanpa kandungan nitrogen kepada ayam, kemudian mengukur kandungan asam amino digesta atau asam amino dalam ileum. Cara lain ialah dengan memberi perlakuan pemuasaan pada ayam dengan durasi tertentu kemudian mengukur asam amino dalam ekskreta. Namun demikian, metode ini dapat mempengaruhi proses metabolisme normal tubuh sehingga berada dalam kondisi imbangan nitrogen tubuh negatif. Salah satu cara mengatasi kekurangan dari kedua metode tersebut ialah dengan metode regresi. Metode ini mempertimbangkan jumlah asam amino dalam ekskreta setelah pemberian pakan dengan kandungan protein bertingkat, dan menggunakan persamaan regresi untuk memperkirakan output asam amino pada kondisi konsumsi sama dengan nol. N yang dihasilkan oleh unggas dalam bentuk asam urat (uric acid) dan dalam bentuk protein yang tidak tercerna dalam feses. Sekitar 50% dari
26
kandungan N yang terdapat dalam urin segar, berada dalam bentuk asam urat. N dalam asam urat dapat dikonversi dengan cepat menjadi gas amonia (NH3) melalui hidrolisis, mineralisasi, dan volatilisasi sementara N yang terdapat bersama material feses lebih sulit untuk dikonversi menjadi amonia (Ritz dkk., 2004). Namun demikian sulit untuk memisahkan antara kedua jenis N yang terdapat dalam feses tersebut, sehingga istilah manure dalam unggas merujuk pada urin dan material feses. Gas amonia (NH3) terbentuk dari penguraian protein tidak tercerna dan asam urat dalam feses ayam. Secara teoritis, NH3 dari litter akan menurun apabila konsentrasi NH3 yang diproduksi ayam diturunkan. Mengurangi konsumsi N per ekor ayam dapat menurunkan jumlah N dalam feses dan konsentrasi NH3 dalam litter. Oleh karena itu, manipulasi dalam pakan merupakan strategi penting dalam mengurangi emisi gas amonia dalam kandang. Pendekatan pertama dalam mengurangi emisi gas amonia ialah menurunkan kadar protein dalam pakan sebagaimana dilaporkan dalam beberapa laporan (Aletor dkk., 2000; Bregendahl dkk., 2002; Keshavars dan Austic, 2004) Namun demikian, dalam laporan lain (Roberts dkk., 2007), menurunkan kadar protein pakan tidak mempengaruhi jumlah emisi gas amonia, bahkan dapat mempengaruhi tingkat produksi ayam. Untuk menjelaskan hal ini, Roberts dkk. (2007) membuat hipotesis bahwa kadar protein yang lebih rendah tidak berarti asam amino yang dikandung tidak berlebih. Kadar asam
27
amino yang lebih rendah kemungkinan kekurangan satu atau lebih asam amino dan berlebih pada jenis asam amino yang lainnya. Pada kondisi yang berlebih, asam amino akan mengalami deaminasi dan diekskresikan sehingga ekskresi asam urat dan emisi amonia tetap akan tinggi. Oleh karena itu, penting artinya untuk mempertimbangkan imbangan asam amino dalam formulasi ransum walaupun kadar total protein lebih rendah. Penambahan subtansi yang dapat meningkatkan jumlah asam amino yang teretensi dalam tubuh ayam akan bermanfaat tidak hanya pada peningkatan produktivitas karena jumlah protein yang digunakan untuk pertumbuhan meningkat, namun juga akan bermanfaat bagi lingkungan melalui penurunan produksi amonia. Penggunaan
tepung
daun
kelor
dilaporkan
dapat
memperbaiki
parameter produksi baik pada ayam petelur maupun pada ayam pedaging (Olugbemi dkk., 2010a; Olugbemi dkk., 2010b; Teteh dkk., 2013). Namun demikian, sejauh mana pengaruhnya terhadap efisiensi penggunaan protein pakan masih perlu ditinjau lebih lanjut.
E. Metabolisme Lemak pada Ayam Pedaging Selain tingkat pertumbuhan, karkas pada ayam pedaging menjadi perhatian utama dalam menentukan aspek manajemen yang akan diterapkan. Meningkatkan proporsi otot dada dan mengurangi perlemakan menjadi target
28
yang realistis dicapai pada pemeliharaan ayam pedaging modern (Musa dkk., 2006). Lemak yang berlebihan pada ayam pedaging akan menurunkan kualitas karkas dan efisiensi penggunaan pakan (Oyedeji dan Atteh, 2005). Variasi komposisi asam lemak dalam daun kelor dapat berpengaruh terhadap komposisi lemak pada karkas ayam pedaging terutama pada lemak subkutan dan intermuskuler (lemak karkas) dan lemak intramuskuler (marbling) (Wood dkk., 2003). Demikian pula dengan keberadaan kandungan vitamin C, vitamin E, zat karotenoid, selenium, dan flavonoid pada daun kelor, menjadikan daun kelor berpotensi sebagai antioksidan kuat yang dapat mempertahankan sel-sel tubuh ayam dari proses oksidative stress pada ayam yang masih hidup dan memperpanjang masa simpan pada karkas ayam pedaging (Cwayita, 2014). Dilaporkan bahwa kandungan asam lemak tidak jenuh dan asam lemak jenuh pada karkas ayam pedaging cukup berimbang (Mujahid dkk., 2005). Namun demikian kandungan asam lemak tidak jenuh dapat meningkatkan potensi terjadinya stres oksidatif pada ayam yang dipelihara pada daerah dengan suhu harian yang lebih tinggi (Nkukwana, 2013). Stres oksidatif pada ayam pedaging merupakan masalah utama yang dihadapi pada pemeliharaan ayam pedaging modern dengan ciri tingkat pertumbuhan yang tinggi. Kondisi tersebut dapat menjadi pemicu munculnya gangguan metabolik seperti kegagalan fungsi hati dan jantung, kematian mendadak akibat kegagalan sistem sirkulasi. Gangguan metabolik seperti ini
29
akan berdampak pada efisiensi usaha secara keseluruhan. Secara alam tubuh ayam memiliki upaya menekan terjadinya stress oksidatif dengan memproduksi sejumlah enzim yang berfungsi sebagai antioksidan alami di dalam sel seperti katalase, superoksida dismutase, dan glutathion peroksidase yang secara alami dapat dikuantifikasi dalam darah maupun jaringan muskuler (Qwele dkk., 2013). Pengujian pada beberapa parameter kimia darah seperti kadar aspartate aminotranferase (AST), alkaline phosphatase (ALP), alanine aminotransferase (ALT), selain mencerminkan fungsi hati, juga dapat menjadi indikator aktivitas hepato-protektif terutama dari kerusakan hati akibat stres oksidatif (Tanju dan Madhuri, 2013). Pemberian ekstrak daun kelor pada hewan percobaan (kelinci) dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas enzim-enzim pada hati (Isitua dan Ibeh, 2013). Penggunaan daun kelor sebagai pakan tambahan pada ayam pedaging dilaporkan dapat menjadi antioksidan kuat yang dapat melindungi dan menjaga kondisi ayam terhadap stress oksidatif sehingga memberikan hasil berupa tingkat pertumbuhan dan kualitas karkas yang lebih baik (Cwayita, 2014). Kandungan vitamin E dan beta karoten yang tinggi dilaporkan bertanggung jawab terhadap aktivitas antioksidan yang tinggi tersebut (Moyo dkk., 2012). Pemberian tepung daun kelor pada hewan percobaan sebagaimana laporan Oinam dkk., (2012) memperkuat laporan Moyo dkk. (2012) yang menunjukkan bahwa keberadaan kandungan vitamin E yang tinggi pada daun kelor mampu mencegah terjadinya peroksidasi lemak sehingga dapat mencegah timbulnya gangguan akibat stres oksidatif selama pemeliharaan.
30
Kondisi yang sama juga dilaporkan oleh Chattopadhyay dkk. (2011) yang melakukan studi pada tikus percobaan yang menderita degenerasi sel-sel hati akibat induksi arsenik. Namun demikian, sejauh mana pengaruh pemberian tepung daun kelor pada ayam pedaging terutama terhadap metabolisme lemak sebagai bagian dari fungsi hati, masih perlu dikaji lebih lanjut.
31
F. Kerangka Konseptual Penelitian
Tepung daun kelor (0, 1, 2, 4%)
Ayam Pedaging
dikonsumsi
Konsumsi Pakan dan air minum
1
Mengandung zat aktif antimikroba Zat nutrisi seimbang Ketersediaan melimpah Lebih murah
2 Saluran Pencernaan
H
Panjang dan Berat usus halus dan caecum
Ekskreta Kimia Darah
3 H
(GOT,GPT)
H Retensi N Pertumbuhan, konversi ransum
Keterangan : 1. Mempertahankan keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan dengan menekan patogen (Chivapat dkk., 2012 ), tidak menimbulkan kelainan fungsi organ pencernaan (Chivapat dkk., 2011). 2. Adanya penurunan tingkat konsumsi pakan dan air minum Portugaliza dan Fernandez, (2011) 3. Parameter hematologis lebih rendah dibanding standar (Aderinola dkk., 2013), namun kimia darah pada hewan percobaan tidak dipengaruhi (Chivapat dkk., 2011). H : Hipotesis Penelitian
Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian
32
G. Hipotesis Penelitian
1. Diduga terdapat pengaruh penambahan tepung daun kelor dalam pakan terhadap performa ayam pedaging 2. Diduga terdapat pengaruh penambahan tepung daun kelor dalam pakan terhadap beberapa parameter kimia darah ayam pedaging 3. Diduga tingkat penggunaan tepung daun kelor dalam pakan dapat mempengaruhi retensi nitrogen pada ayam pedaging
33
BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Nopember 2015 sampai dengan Januari 2016, bertempat di Laboratorium Produksi Ternak Unggas, Laboratorium Fisiologi Ternak, dan Laboratorium Kimia dan Makanan Ternak Universitas Hasanuddin.
B. Materi Penelitian
Materi yang digunakan antara lain: ayam ras pedaging strain Lohmann MB 202, pakan starter komersil (butiran), pakan finisher, dan daun kelor (Moriga oleifera Lam). Alat yang digunakan antara lain: timbangan, tempat pakan dan air minum, wadah penyimpanan, tepung daun kelor, oven, peralatan nekropsi,
sentrifuge,
alat
pengambilan
sampel
darah,
dan
alat
pemeriksaan biokimia darah.
C. Metode Penelitian
1. Rancangan Penelitian Penelitian disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) (4 x 5) dengan menggunakan ayam ras pedaging strain Lohmann MB 202 dengan berat awal ±40 g, berumur satu hari (Day Old Chicks) berkelamin
34
jantan sebanyak 160 ekor, dibagi secara acak berdasarkan perlakuan sebagai berikut: 1. Pakan basal + 0 % tepung daun kelor (P0) 2. Pakan basal + 1 % tepung daun kelor (P1) 3. Pakan basal + 2 % tepung daun kelor (P2) 4. Pakan basal + 4 % tepung daun kelor (P3) Setiap perlakuan diulang 5 kali sehingga terdapat 20 unit percobaan masing-masing terdiri atas 8 ekor ayam. Perlakuan pemberian tepung daun kelor dilakukan melalui pakan dimulai setelah pertumbuhan usus halus
telah
maksimal
sebagaimana
rekomendasi
Gadzirayi
dan
Mupangwa (2014) yaitu pada umur 15 hari hingga akhir periode pemeliharaan (35 hari) dengan level penambahan sesuai perlakuan. Daun kelor yang digunakan berasal dari tanaman kelor lokal yang sehat.
Daun tanaman kelor segar dikumpulkan dan dipisahkan dari
tangkai tanaman. Pengeringan pada suhu ruang dilakukan selama tiga hari tanpa sinar matahari hingga kadar air mencapai 10%. Penggilingan hingga halus dilakukan, dan hasilnya berupa tepung ditimbang dan dicampurkan bersama dengan pakan basal sesuai dengan perlakuan.
2. Pemeliharaan Pemeliharaan dilakukan dalam sebuah kandang dengan dinding terbuka berukuran 6 x 6 m. Ayam ras pedaging ditempatkan dalam petak kandang berdinding bambu dan berlantai litter dari serutan kayu setebal 10 cm. Kandang berukuran panjang 120 cm, lebar 100 cm, dan tinggi 50
35
cm. Petak kandang ditempatkan secara berjejer dan pengacakan dilakukan pada setiap unit percobaan untuk mengisi masing-masing satu petak kandang. Setiap petak diisi 8 ekor ayam dan masing-masing dilengkapi dengan sebuah tempat makan dan tempat minum. Setiap kandang dilengkapi sebuah lampu pijar (60 watt) yang ditempatkan pada bagian atas kandang setinggi 40 cm yang berfungsi sebagai sumber panas, dan digunakan pada saat ayam berumur 1-14 hari. Pada umur 15 hari hingga akhir periode pemeliharaan, sumber cahaya berasal dari dua buah lampu neon (40 watt) yang ditempatkan pada bagian atas kandang setinggi 2 m. Lama pencahayaan selama penelitian masing-masing 24 jam. Pemeliharaan dilakukan selama 35 hari dengan menggunakan dua jenis pakan yaitu pakan starter berupa pakan komersil butiran (crumble) yang diberikan pada umur 1-14 hari, dan pakan finisher ( umur 15 - 35 hari) berbentuk tepung (mash) yang terdiri atas campuran konsentrat komersil dan jagung giling dengan perbandingan masing-masing 33 : 67%. Pakan finisher tersebut digunakan sebagai pakan basal untuk selanjutnya ditambahkan masing-masing tepung daun kelor sesuai dengan rasio pada setiap perlakuan yaitu: `100% pakan basal + 0% tepung daun kelor (P0), 99% pakan basal + 1% tepung daun kelor (P1), 98% pakan basal + 2% tepung daun kelor (P2) dan 96% pakan basal + 4% tepung daun kelor (P3). Kandungan nutrisi pakan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3, 4 dan 5. Pakan diberikan dua kali sehari
36
secara ad libitum. Pengukuran konsumsi pakan dan air minum serta penimbangan berat badan dilakukan setiap akhir minggu. Selama
penelitian,
pemberian
multi-vitamin
tambahan
hanya
dilakukan pada umur 1-7 hari, antibiotik komersil tidak diberikan, dan vaksinasi hanya dilakukan pada umur 4 hari untuk penyakit ND dengan menggunakan vaksin strain H-B1 melalui tetes mata. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Pakan Starter (Umur 1-14 Hari) Komposisi Nutrisi (%)
Kandungan*
Protein kasar Lemak kasar Serat kasar BETN Abu Ca P
22-23 6 3-4 50 5,5 1,5 0,5-0,7
*berdasarkan hasil analisis laboratorium produsen, 2015
Tabel 4. Komposisi Nutrisi Pakan Basal dan Tepung Daun Kelor Komposisi Nutrisi (%) Protein kasar Lemak kasar Serat kasar Abu Ca P
Konsentrat Jagung*** Finisher** 38 3,0 10 15 3 1,2
9,95 5,1 2,97 1,85 0,03 0,28
Pakan basal
Tepung Daun Kelor*
19,21 4,41 5,29 6,19 1.01 0,58
30.3 6.13 12.48 12.6 2.66 0.95
*berdasarkan hasil analisis laboratorium kimia pakan Fakultas Peternakan Unhas, 2015 **berdasarkan hasil analisis laboratorium produsen, 2015 ***berdasarkan Suarni dan Widowati, 2006.
Pada saat ayam berumur 28 hari, sebanyak 1 ekor ayam dengan berat badan yang sama dari setiap unit percobaan dan dipelihara secara terpisah masing-masing dalam unit kandang individu (cage) untuk pengukuran retensi nitrogen. Pada akhir penelitian, satu ekor ayam
37
diambil
secara
acak
dari
setiap
unit
percobaan
dan
dilakukan
pengambilan sampel darah (melalui vena brachialis) dan kondisi usus halus. Tabel 5. Komposisi Nutrisi Ransum Finisher (15-35 Hari) Komposisi Nutrisi (%)*
P0 (0%)
P1 (1%)
P2 (2%)
P3 (4%)
19,21 4,41 5,29 6,19 1.01 0,58
19.51 4.47 5.41 6.32 1.04 0.59
20.12 4.59 5.66 6.57 1.09 0.61
21.33 4.84 6.16 7.07 1.20 0.65
Protein Lemak Kasar Serat Kasar Abu Ca P
*berdasarkan hasil perhitungan Keterangan : P0 = 100% pakan basal + 0% tepung daun kelor P1 = 99% pakan basal + 1% tepung daun kelor P2 = 98% pakan basal + 2% tepung daun kelor P3 = 96% pakan basal + 4% tepung daun kelor
3. Parameter yang diukur 3.1.
Performa Produksi 3.1.1. Konsumsi pakan Konsumsi pakan (g) diukur setiap akhir minggu dengan melakukan penimbangan terhadap pakan yang tersisa pada tempat makan dan dihitung selisihnya dengan jumlah pemberian selama minggu tersebut (Gadzirayi dan Mupangwa, 2014)
3.1.2. Konsumsi air minum Konsumsi air minum (mL) diukur dengan mengurangi jumlah air yang diberikan pada tempat air minum dengan jumlah air yang
38
diberikan. Data air minum dihitung berdasarkan jumlah konsumsi dalam satu minggu (Gadzirayi dan Mupangwa, 2014).
3.1.3. Pertambahan berat badan Pertambahan berat badan (g) dihitung berdasarkan selisih berat badan dari dua waktu penimbangan. Penimbangan berat badan dilakukan setiap akhir minggu selama penelitian, sehingga terdapat pertambahan berat badan mingguan dan pertambahan berat badan selama penelitian (Gadzirayi dan Mupangwa, 2014).
3.1.4. Berat badan akhir Hasil penimbangan berat badan (g/ekor) pada akhir periode penelitian (hari ke-35) mencerminkan berat badan akhir (Gadzirayi dan Mupangwa, 2014).
3.1.5. Konversi pakan Konversi pakan (feed conversion ratio/FCR) merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan berat badan dalam satuan yang sama. Diperoleh dengan membagi jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan berat badan selama penelitian (Gadzirayi dan Mupangwa, 2014).
39
3.2.
Kondisi Usus Halus
Pada hari ke-35 penelitian, satu ekor ayam dari tiap satuan percobaan dipilih secara acak untuk dipotong dan dilakukan pemeriksaan dimensi dan berat usus halus. Pemisahan usus halus dilakukan segera setelah pemotongan dilakukan. Pemisahan bagian usus halus dilakukan setelah pengeluaran digesta secara hati-hati. Panjang duodenum diukur dari pangkal usus halus setelah gizzard hingga ujung saluran empedu, jejunum diukur sampai bagian meckel’s divertikulum, dan ileum diukur sampai pada percabangan usus dengan caeca (Maiorka dkk., 2012).. Panjang caeca diukur mulai dari pangkal percabangan hingga ujung caeca. Setiap bagian usus halus dan caeca ditimbang secara terpisah dan dinyatakan dalam satuan centi meter (cm) dan gram (g).
3.3.
Parameter Kimia Darah Pada akhir penelitian, satu ekor ayam dari masing-masing unit
percobaan diambil secara acak dan dilakukan pengambilan sampel darah melalui vena brachialis. Darah kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit, dan plasma darah dipisahkan dan disimpan dalam lemari beku hingga siap dianalisis. Biokimia darah diukur dengan metode kolorimetrik menggunakan analiser kimia darah Cobas® Integra 400 plus (Roche Diagnostics Ltd, Switzerland) (Annongu, 2013) dengan parameter sebagai berikut:
40
3.3.1. Kadar plasma glutamic oxaloacetic transaminase (GOT) atau Aspartate transaminase (AST) (U/L) 3.3.2. Kadar plasma glutamic pyruvic transaminase (GPT) atau alanine-amino transaminase (ALT) (U/L) 3.3.3. Kadar asam urat (uric acid) (mg/dl) Kadar GOT dan GPT dalam darah diukur untuk mengetahui fungsi hati (Chattopadhyay dkk., 2011), sementara kadar asam urat dapat dihubungkan dengan metabolisme protein dan retensi nitrogen setelah perlakan pemberian tepung daun kelor (Keshavarsz dan Austic, 2004).
3.4.
Retensi Nitrogen Sebanyak 1 ekor ayam pada umur 28 hari dipilih berdasarkan jenis
kelamin dan berat badan yang sama dari setiap unit percobaan dan dipelihara secara terpisah masing-masing dalam unit kandang individu (cage) terbuat dari kawat berukuran 25 x 30 x 35 cm. Setiap unit kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum serta penampungan ekskreta. Ayam dipelihara dalam kandang sangkar (cage) selama 7 hari yang terdiri atas 4 hari penyesuaian dan 3 hari penampungan ekskreta untuk pengukuran retensi nitrogen setelah pemberian tepung daun kelor dalam pakan. Sebelum dilakukan penampungan ekskreta, ayam terlebih dahulu dipuasakan selama 12 jam dan diikuti penampungan ekskreta selama 3 hari berturut-turut. Selama penampungan ekskreta, setiap ayam diberikan pakan sesuai dengan perlakuan, dan jumlah konsumsi pakan dihitung berdasarkan selisih antara jumlah pemberian dengan yang
41
tersisa. Penampungan ekskreta dilapisi plastik dan ditempatkan dibawah kandang. Selama proses penampungan, penambahan H2SO4 0,3 N dilakukan untuk mengikat nitrogen, Ekskreta yang terkumpul dibersihkan dari rontokan bulu dan sisa pakan, kemudian ditimbang. Selanjutnya ekskreta dikeringkan dalam oven dengan suhu 60 oC selam 24 jam, ditimbang dan dianalisis untuk mengetahui kandungan nitrogen.
Gambar 2. Skema pelaksanaan pengambilan sampel ekskreta
Prosedur pengukuran retensi nitrogen mengacu kepada metode Farrel (1978) dan ditentukan berdasarkan persamaan : RN = KP x NP – BE x NE Keterangan : RN KP NP BE NE
= = = = =
Retensi Nitrogen (g/ekor/hari) Konsumsi pakan (g) Nitrogen pakan (%) Bobot ekskreta (g) Nitrogen ekskreta (%)
4. Analisis Data Data yang dperoleh diolah dengan menggunakan sidik ragam sesuai Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Gasperz, 1991) dengan model matematika sebagai berikut:
42
Yij = μ + τi + єj
i j
= 1, 2, 3, 4, = 1, 2, 3, 4, 5
Keterangan: Yij =
Hasil pengamatan dari peubah pada penggunaan ekstrak daun kelor ke-i dengan ulangan ke-j
μ =
Rata-rata pengamatan
τi =
Pengaruh perlakuan ekstrak daun kelor ke-i
є =
Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Perbedaan diantara perlakuan diuji lanjut dengan uji jarak berganda duncan (Gasperz, 1991).
43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Performa Umum Efek penambahan tepung daun kelor sebanyak 1 hingga 4% dalam pakan basal yang dimulai pada hari ke-15 pemeliharaan pada performa ayam pedaging dapat dianalisis melalui parameter konsumsi pakan dan air minum, tingkat pertumbuhan, pencapaian berat badan akhir, serta efisiensi penggunaan pakan selama pemeliharaan. Pencapaian performa ayam pedaging setelah diberi tepung daun kelor dalam pakan dapat diamati pada Tabel 6.
Tabel 6. Performa Ayam Pedaging yang Dipelihara dengan Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan pada Umur 15-35 hari Parameter
Penambahan tepung daun kelor 1% 2%
0%
4%
Konsumsi Pakan (g/e/h)
121,6 ± 6,47
123,7 ± 6,27
127,1 ± 7,05
129,4 ± 10,0
Berat badan Awal (15 hari)
495,5 ± 1,85
497,4 ± 2,57
498,5 ± 1,69
498,9 ± 1,92
Konsumsi Air Minum (ml/e/h)
289,3 ± 20,55
273,5 ± 30,90
284,7 ± 22,22
307,6 ± 30,94
60,7 ± 4,27
59,8 ± 2,72
59,0 ± 7,16
56,5 ± 4,53
Berat Akhir (g/e)
1770,0 ± 89,54
1752,8 ± 54,75
1678,2 ± 74,07
1685,1 ± 97,01
Konversi Pakan
2,00 ± 0,09
PBB (g/e/h)
Keterangan :
ab
a
2,07 ± 0,12
a
2,17 ± 0,15
ab
2,29 ± 0,10
b
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
A.1. Konsumsi Pakan Pemberian tepung daun kelor dimulai pada hari ke-15 hingga ke-35 dengan jumlah penambahan 0, 1, 2 dan 4% dalam pakan basal yang
44
terdiri atas campuran jagung kuning dan konsentrat. Tingkat konsumsi pakan ayam pedaging (Tabel 6) yang diamati selama tiga minggu berturutturut sejak pemberian pada umur 15 hari hingga akhir periode penelitian (35 hari), tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara perlakuan, baik dengan kontrol (tidak diberi tepung daun kelor) maupun perlakuan dengan level pemberian yang berbeda. Walaupun statistik tidak nyata, terdapat kecenderungan peningkatan konsumsi pakan seiring dengan peningkatan jumlah tepung daun kelor yang ditambahkan dalam pakan. Penambahan tepung daun kelor hingga 4% dalam pakan pada penelitian
ini,
mengindikasikan
bahwa
adanya
kecenderungan
peningkatan konsumsi pakan pada tingkat perlakuan yang lebih tinggi, merupakan dampak dari peningkatan serat kasar dalam pakan (Tabel 5). Hasil pada penelitian ini sejalan dengan hasil berupa peningkatan konsumsi pakan juga dilaporkan dari hasil penelitian lain. Olugbemi dkk. (2010a), menunjukkan adanya peningkatan tingkat konsumsi pakan pada ayam pedaging setelah diberi tepung daun kelor sebagai pengganti bahan baku pakan asal ubi kayu. Hasil serupa oleh Kakengi dkk. (2007) yang melaporkan adanya peningkatan secara progresif dari tingkat konsumsi pakan pada ayam ras petelur yang diberi tepung daun kelor sebagai pengganti tepung biji matahari dalam pakan. Peningkatan konsumsi pakan ayam setelah pemberian tepung daun kelor terutama pada level diatas 5% dalam pakan menurut studi tersebut, karena peningkatan kadar serat
45
kasar dalam pakan yang menyebabkan kebutuhan jumlah pakan yang lebih tinggi untuk mencukupi konsumsi energi yang berkurang akibat kandungan serat kasar yang lebih tinggi. Selain laporan yang menunjukkan peningkatan konsumsi pakan, terdapat beberapa laporan yang menunjukkan hasil yang sebaliknya, berupa penurunan konsumsi pakan setelah pemberian tepung daun kelor. Penggunaan tepung daun kelor pada ayam lokal yang berada dalam fase pertumbuhan di Senegal oleh Ayssiwede dkk. (2011) dan di Zimbabwe oleh Gadzirayi dan Mupangwa (2014), menunjukkan adanya penurunan tingkat konsumsi pakan setelah diberi tepung daun kelor dalam pakan. Penurunan tersebut menurut Ayssiwede dkk. (2011) lebih banyak diarahkan pada kandungan energi yang tinggi dan palatabilitas bahan baku pakan yang bersumber dari daun kelor oleh ayam lokal yang lebih rendah dibanding bahan baku pakan lain. Palatabilitas yang rendah juga dapat dihubungkan dengan kandungan antinutrisi seperti tannin yang tinggi dari daun kelor yang memiliki kemampuan untuk mengikat protein pakan dan enzim-enzim yang dibutuhkan dalam pencernaan membentuk senyawa kompleks yang tidak dapat dicerna (Soten dan Oyewole, 2009). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menegaskan bahwa penggunaan tepung daun kelor dalam pakan ayam pedaging hingga 4% masih sejalan dengan rekomendasi penggunaan tepung daun kelor dalam pakan pada jenis unggas lain (Kakengi dkk., 2007; Olugbemi dkk., 2010a; Ayssiwede dkk., 2011; Gadzirayi dan Mupangwa, 2014).
46
A.2. Konsumsi Air Minum Penambahan tepung daun kelor dalam pakan hingga 4%, tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata pada konsumsi air minum ayam pedaging yang diamati sejak pemberian perlakuan pada umur 15 hari hingga 35 hari (Tabel 6). Konsumsi air pada awal pemberian tepung daun kelor (hari ke-15) hingga akhir periode pemeliharaan (hari ke-35), tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata baik diantara perlakuan pemberian tepung daun kelor dengan level yang berbeda, maupun dengan kontrol. Rata-rata konsumsi air minum selama pemeliharaan ialah 288,76 ± 27,46 ml/e/hari. Nilai tersebut masih berada pada kisaran normal untuk ayam pedaging sebagaimana nilai standar konsumsi air minum ayam pedaging yang dipelihara pada wilayah tropis (Anonim, 2009). Sebagaimana halnya dengan tingkat konsumsi pakan, konsumsi air minum
ayam
pedaging
selama
pemeliharaan
tidak
menunjukkan
perbedaan nyata diantara perlakuan penambahan tepung daun kelor dan kontrol. Jumlah air minum yang dapat dikonsumsi ayam pedaging selama penambahan tepung daun kelor dalam pakan juga masih berada dalam kisaran normal, dengan rasio antara pakan dan air minum 1 : 2,3 dan menunjukkan kecenderungan yang sama dengan konsumsi pakan yang meningkat pada tingkat pemberian tepung daun kelor yang lebih tinggi walaupun tidak nyata secara statistik. Kondisi ini mengindikasikan bahwa penambahan tepung daun kelor hingga hingga 4% dalam pakan, belum mengganggu kemampuan konsumsi air minum ayam.
47
A.3. Berat Badan dan Pertambahan Berat Badan Tingkat pertumbuhan ayam pedaging dapat dianalisis melalui perubahan berat badan selama pemeliharaan berlangsung. Salah satu tujuan pemeliharaan ayam pedaging yang baik ialah pencapaian berat badan yang sesuai dengan standar pemeliharaan berdasarkan tingkatan umur. Secara umum ayam pada saat awal perlakuan berada dalam kondisi yang baik, ditandai dengan berat badan yang ideal yakni 497,6 ± 1,92 g (Lampiran 2), dan memenuhi kriteria berdasarkan rekomendasi berat badan untuk ayam pedaging strain Lohmann yakni 491 g pada umur 14 hari (Anonim, 2007). Perlakuan penambahan tepung daun kelor hingga 4% dalam pakan tidak menyebabkan adanya perbedaan nyata pada pencapaian berat badan ayam pedaging. Kelompok ayam yang diberi tepung daun kelor pada level 1, 2 dan 4% dalam pakan secara statistik tidak berbeda dengan ayam pada kelompok kontrol, namun demikian, terdapat kecenderungan penurunan berat badan akhir pada level penambahan tepung daun kelor yang lebih tinggi. Berat badan akhir ayam pada semua kelompok perlakuan dengan nilai rata-rata 1723,8 ± 84,6 g (Lampiran 2) masih lebih rendah dibanding standar berat badan ayam pedaging strain Lohmann pada umur 35 hari dengan nilai 2124 g (Anonim, 2007). Demikian pula dengan pertambahan berat badan harian selama pemeliharaan (59,0±4,80 g/e/hari) lebih rendah
48
dibanding standar pemeliharaan yang direkomendasikan yakni 80,24 g/e/hari (Anonim, 2007). Tingkat pertumbuhan dan pencapaian berat badan akhir yang lebih rendah juga ditunjukkan oleh kelompok kontrol yang tidak mendapatkan penambahan tepung daun kelor, sehingga dapat dilaporkan bahwa kondisi tersebut tidak terkait dengan penambahan tepung daun kelor, melainkan terkait dengan kondisi pemeliharaan dengan penggunaan kandang tipe terbuka selama penelitian berlangsung. Kondisi ini didukung pernyataan Melesse dkk, (2011) bahwa pemeliharaan ayam ras baik pedaging maupun petelur yang berasal dari wilayah subtropis, akan mengalami penurunan tingkat produktivitas terutama dengan penggunaan kandang terbuka yang tergantung pada sirkulasi dan pencahayaan alami. Penggunaan tepung daun kelor hingga 4% pada penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan ayam pedaging, ditandai dengan tidak ditemukan adanya perbedaan nyata pada pemberian tepung daun kelor dengan level 1, 2 dan 4% (Tabel 6) dibandingkan dengan kontrol. Hasil ini masih sesuai dengan beberapa studi sebelumnya yang juga menerapkan pemberian tepung daun kelor pada level yang lebih rendah (Olugbemi dkk., 2010a; Banjo, 2012; Tesfaye dkk., 2013 Teteh dkk., 2013). Bahkan hasil studi Banjo, (2012) merekomendasikan pemberian tepung daun kelor 2% dalam pakan untuk meningkatkan
pertumbuhan
ayam
pedaging
sebagai
pengganti
penggunaan antibiotik yang berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan.
49
Penggunaan tepung daun kelor pada level yang lebih tinggi dilaporkan dapat menekan pertumbuhan ayam pedaging (Oludoyi dan Toye, 2012). Pada penelitian tersebut, ayam pedaging breeder (Hubbard) dan ayam petelur (Nera Black) masing-masing umur 0-4 minggu diberikan pakan yang mengandung daun kelor dengan level yang sama yaitu 0, 5, dan 10% sebagai pakan tambahan. Hasil peneltian tersebut menunjukkan bahwa daun kelor hingga 10% dapat menekan pertumbuhan ayam pedaging pada umur 4 minggu, sementara ayam tipe petelur tidak dipengaruhi tingkat pertumbuhannya. Sifat pertumbuhan yang cepat dari ayam pedaging menurut Oludoyi dan Toye, (2012) lebih mudah dipengaruhi oleh perubahan komposisi pakan dibanding ayam tipe petelur terutama pakan yang mengandung serat kasar yang lebih tinggi, walaupun rekomendasi level serat kasar dalam pakan berdasarkan standar dari NRC (1994), tidak jauh berbeda yaitu 4,5% untuk ayam pedaging dan dan 5,0% untuk ayam petelur.
A.4. Konversi Pakan Penambahan tepung daun kelor dalam pakan memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai konversi pakan ayam pedaging (Tabel 6). Ayam yang diberi tambahan tepung daun kelor dalam pakan dengan level 4% memiliki nilai konversi pakan yang nyata lebih tinggi dibanding ayam yang diberi tepung kelor dengan level 1% dan tidak diberi tambahan tepung daun kelor (kontrol), namun tidak berbeda dengan penambahan pada level 2%. Nlai konversi pakan pada penambahan tepung daun kelor
50
dengan level 2% tidak berbeda nyata baik dengan penambahan 1% dan 0%. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan pakan dengan penambahan tepung daun kelor dalam pakan menjadi lebih rendah pada level penambahan yang lebih tinggi. Adanya penurunan tingkat efisiensi penggunaan pakan tersebut dapat dihubungkan dengan kecenderungan peningkatan konsumsi pakan yang diikuti dengan kecenderungan penurunan pencapaian berat badan akhir. Kondisi ini menggambarkan bahwa kandungan serat kasar yang meningkat dalam pakan serta adanya kandungan anti nutrisi daun kelor, dapat mengurangi jumlah pakan yang dapat digunakan untuk pertumbuhan. Hasil yang diperoleh ini, sejalan dengan hasil Kakengi dkk (2007); Olugbemi dkk (2010); Gadzirayi dkk (2012) yang melaporkan adanya penurunan efisiensi penggunaan pakan dengan penggunaan tepung daun kelor terutama pada level yang tinggi. Rata-rata nilai konversi pakan ayam pedaging pada semua unit perlakuan yang diamati selama pemeliharaan ialah 2,13±0,15 (Lampiran 2). Nilai tersebut mengindikasikan efisiensi penggunaan pakan yang tidak lebih baik dibanding standar pemeliharaan ayam pedaging strain Lohmann dengan nilai konversi pakan 1,58 pada umur 35 hari (Anonim, 2007). Nilai konversi pakan yang diperoleh pada penelitian ini tidak terlepas dari tingkat konsumsi pakan dan pertumbuhan ayam pedaging selama
51
pemeliharaan. Nilai konsumsi pakan tidak dipengaruhi oleh perlakuan penambahan tepung daun kelor, namun dengan nilai yang masih berada pada kisaran konsumsi pakan standar yakni antara 120-140 g/e/hari (Anonim, 2007). Pada tingkat konsumsi pakan yang normal, ayam pedaging tidak bertumbuh seberat standar pemeliharaan. Kemampuan mengkonversi pakan untuk tujuan pertumbuhan pada penelitian ini tidak menjadi lebih baik dengan penambahan tepung daun kelor dalam pakan.
B. Kondisi Usus Halus Penambahan bahan pakan asal tanaman dengan karakteristik kandungan serat kasar yang tinggi pada umumnya akan menyebabkan adanya adaptasi berupa perubahan kondisi usus halus dan caeca sebagai bagian dari sistem pencernaan yang berfungsi dalam penyerapan bahan tersebut. Kondisi usus halus dan caeca setelah penambahan tepung daun kelor dalam pakan ayam pedaging dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan bahwa penambahan tepung daun kelor dalam pakan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kondisi usus halus dan caeca ayam pedaging. Panjang usus halus pada bagian duodenum, jejunum dan ileum tidak berbeda nyata antara ayam yang diberi tepung daun kelor dengan ayam tanpa penambahan tepung daun kelor. Demikian pula pada parameter berat masing-masing bagian usus tidak menunjukkan adanya perbedaan diantara perlakuan.
52
Tabel 7. Kondisi Usus Halus dan Caeca Ayam Pedaging yang Dipelihara dengan Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan pada pada Umur 15-35 hari Penambahan daun kelor Parameter 0% 1% 2% 4% Panjang usus halus (cm) - Duodenum
30,9 ± 3,04
30,4 ± 1,84
30,4 ± 3,45
35,2 ± 5,81
Jejunum
79,4 ± 4,50
77,8 ± 8,09
77,1 ± 12,76
81,7 ± 6,84
- Ileum Berat usus halus (g) - Duodenum
82,6 ± 6,86
82,2 ± 8,19
78,54 ± 8,16
89,5 ± 4,58
8,6 ± 1,81
9,8 ± 1,48
9,8 ± 2,77
11,2 ± 1,92
22,8 ± 7,39
20,2 ± 2,16
19,0 ± 4,58
22,2 ± 3,96
16,8 ± 1,64
16,8 ± 2,38
17,4 ± 3,71
18,8 ± 2,58
17,5 ± 1,11
18,0 ± 2,46
18,0 ± 1,81
20,7 ± 1,95
3,0 ± 0,35
2,4 ± 0,41
2,9 ± 0,89
3,5 ± 0,86
-
-
Jejunum
- Ileum Panjang caeca (cm) Berat caeca (g)
Walaupun tidak berbeda nyata, terdapat kecenderungan peningkatan panjang dan berat usus halus pada masing-masing bagian dengan penambahan tepung daun kelor dengan level 4%. Kondisi yang sama juga dapat diamati pada panjang dan berat caeca dengan penambahan tepung daun kelor dengan level yang tertinggi (4%). Kecenderungan peningkatan panjang dan berat usus terkait dengan penambahan tepung daun kelor pada level yang lebih tinggi erat kaitannya dengan adanya kandungan serat kasar yang cukup tinggi dari daun kelor yang digunakan. Berdasarkan Tabel 4 dan 5 dapat diketahui bahwa kandungan serat kasar tepung daun kelor pada penelitian ini ialah 12,48% dan setelah dicampurkan bersama dengan pakan basal kandungan serat kasar menjadi rata-rata 5,63% dan sedikit lebih tinggi pada level penambahan tepung daun kelor yang lebih tinggi pula.
53
Hasil percobaan Yamauchi dkk, (2010) membuktikan bahwa struktur usus halus erat kaitannya dengan fungsinya sebagai tempat penyerapan zat nutrisi. Dalam percobaan tersebut, usus halus yang memiliki dimensi yang lebih besar juga memiliki jumlah sel epitelial yang lebih banyak atau lebih besar pula, sehingga kemampuan penyerapannya juga menjadi lebih baik dibanding usus dengan jumlah sel epitel yang lebih sedikit atau lebih kecil. Pembesaran usus dapat diinisiasi dengan pemberian pakan yang mengandung serat kasar lebih tinggi pada fase pertumbuhan awal (starter) (Van Leuwen, 2004) atau dapat pula dengan pemberian pakan yang ditambahkan bahan herbal seperti jahe (Incharoen dan Yamauchi, 2009; Incharoen dkk., 2010). Pada peneltian ini, pemberian tepung daun kelor pada level 2 dan 4%, walaupun tidak berbeda nyata, usus halus cenderung lebih berat atau lebih panjang. Namun demikian, kondisi tersebut tidak diikuti dengan perbaikan tingkat efisiensi penggunaan pakan, bahkan dapat dikatakan bahwa pemberian tepung daun kelor menurunkan kemampuan ayam dalam mengkonversi pakan sebagaimana telah diuraikan pada Tabel 6. Kondisi tersebut dapat dijelaskan dengan pengamatan histopatologi pada usus. Pada penelitian yang sama dengan penelitian ini, Siagian (2016) melaporkan bahwa adanya zat antinutrisi terutama tannin dan saponin yang dikandung tepung daun kelor, menyebabkan terjadinya iritasi pada usus halus terutama pada bagian ileum.
Pada dosis
54
pemberian tepung daun kelor yang lebih tinggi (2 dan 4%), iritasi yang terjadi
mengakibatkan
peradangan
pada
usus
dan
menghambat
penyerapan nutrisi yang secara tidak langsung juga berdampak pada pencapaian berat akhir. Selain itu, Siagian (2016) juga melaporkan bahwa usus halus bagian ileum pada ayam yang diberi tepung daun kelor dengan level 2 dan 4% memperlihatkan ukuran vili yang lebih pendek dibandingkan dengan ayam yang tidak diberi tepung daun kelor (kontrol). Pada penelitian ini, terdapat kecenderungan penurunan tingkat pertumbuhan pada periode akhir pemeliharaan, namun demikian, tidak ditemukan adanya kondisi ayam dengan fenomena dwarf (kerdil) selama penelitian. Tona dkk. (2004) mengemukakan bahwa gangguan pada saluran pencernaan pada awal periode pertumbuhan ayam ras pedaging modern ditandai dengan keterlambatan pertumbuhan sehingga ayam menjadi kerdil dibanding ayam lain yang normal. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa dampak pemberian tepung daun kelor terhadap usus halus kemungkinan terjadi apabila dosis pemberian yang tinggi dilakukan dalam periode yang cukup lama.
C. Kimia Darah
Parameter kimia darah merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengetahui kondisi fisiologis seekor individu terutama perubahan metabolik yang terjadi setelah pemberian subtansi tertentu dalam pakan. Untuk memastikan pengaruh suatu bahan pakan, atau obat terhadap
55
fungsi hati, maka pemeriksaan terhadap enzim hati dapat memberikan gambaran umum mengenai kondisi sel-sel hati. Tabel 8 menunjukkan nilai beberapa parameter kimia darah setelah pemberian tepung daun kelor dalam pakan.
Tabel 8. Parameter Kimia Darah Ayam Pedaging yang Dipelihara dengan Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan pada Umur 15-35 hari Parameter
0%
Penambahan daun kelor 1% 2%
4%
Kadar asam urat (mg/dl) Kadar SGOT (U/L)
3,33 ± 0,41
3,38 ± 0,44
3,20 ± 1,21
3,57 ± 1,18
170,7 ± 10,17
176,2 ± 18,17
184,2 ± 39,66
159,6 ± 23,58
Kadar SGPT (U/L)
5,5 ± 1,72
4,0 ± 0,70
5,4 ± 2,60
5,4 ± 1,34
Kadar asam urat dalam serum darah yang diukur pada akhir periode penelitian atau setelah pemberian tepung daun kelor dalam pakan selama tiga minggu, tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara kelompok ayam yag diberi perlakuan tepung daun kelor dengan level yang berbeda dibanding dengan ayam pada kelompok kontrol.
Hasil metabolisme protein dalam darah sebagian besar akan ditransport dalam darah sebelum dikeluarkan dari ginjal dalam bentuk asam urat. Pengukuran kadar asam urat dalam darah dapat menjadi gambaran hasil metabolisme protein dalam tubuh (Elizabeth, 2010). Annongu dkk. (2013) dalam penelitiannya menggunakan biji kelor dalam bentuk tepung dan ditambahkan hingga 7,5% kedalam susunan ransum yang diberikan kepada ayam pedaging. Beberapa parameter kimia darah seperti kadar glukosa darah, asam urat, kreatinin, total protein
56
darah, albumin dan globulin mengalami perubahan yang dihubungkan dengan fitotoksin, alkaloid (moringin, glukosinolat), dan fenol (tannin, oksalat, fitat) dalam konsentrasi tinggi dalam darah pada pemberian tepung biji kelor dengan level tinggi. Lebih lanjut dikemukakan bahwa peningkatan kadar asam urat dan kreatinin pada penelitian tersebut, mengindikasikan bahwa dalam konsentrasi tinggi tepung asal biji kelor dalam pakan memberikan dampak pada metabolisme protein apabila diberikan kepada ayam pedaging. Studi yang lain oleh Karthivashan dkk. (2015) yang mengevaluasi pemberian bahan ekstrak asal daun kelor dan tepung daun kelor pada ayam pedaging dengan level tertinggi 1,5% dalam pakan, menemukan bahwa kandungan flavonoid pada daun kelor seperti apigenin, quercetin, dan kaempferol merupakan senyawa yang bertanggung jawab terhadap perbaikan performa ayam pedaging yang dihubungkan dengan perbaikan enzim-enzim yang bekerja pada hati dan sistem sirkulasi seperti katalase, glutathion, dan superoksida dismutase. Hasil pada penelitian ini tidak menemukan adanya perbedaan yang nyata pada kadar enzim-enzim hati seperti serum glutamic oxloacetic transaminase (SGOT) atau yang dikenal juga dengan
aspartate
aminotransferase (AST) dan serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT) atau alanine aminotransferase (ALT) pada ayam yang diberi tepung daun kelor dalam pakan dibandingkan dengan ayam yang tidak diberikan tepung daun kelor.
57
SGOT dan SGPT merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui dampak dari pemberian pakan terutama untuk mengetahui sejauh mana pengaruhnya terhadap fungsi hati (Ogbe et al., 2012). Apabila terdapat gangguan pada fungsi hati, maka hasil sekresinya dalam darah berupa peningkatan nilai enzim-ensim seperti SGOT dan SGPT dapat menjadi indikasi. Level SGOT dan SGPT normal pada ayam broiler yang diukur pada umur 35 hari masing-masing 187,32±3,71 dan 4,66±0,27 (Kamrruzzaman, 2005), sementara pada penelitian ini rata-rata nilai SGOT dan SGPT pada semua perlakuan rata-rata 172,78±25,54 dan 5,05±1,71 (Lampiran 6). Nilai tersebut mengindikasikan bahwa kondisi hati ayam pedaging yang telah diberi tepung daun kelor dalam pakan masih berada dalam kisaran normal dan mencerminkan bahwa hingga level 4% tepung daun kelor apabila diberikan pada ayam pedaging masih dapat dikatakan berada pada level aman bagi ayam. Kondisi ini menggambarkan bahwa hingga level 4%, tepung daun kelor yang ditambahkan ke dalam pakan ayam pedaging, belum menunjukkan adanya pengaruh terhadap terjadinya perubahan pada metabolisme ayam pedaging. Adanya kekhawatiran mengenai tingginya kadar anti-nutrisi daun kelor yang dapat mengganggu proses penyerapan protein sebagaimana dilaporkan beberapa studi (Soetan dan Oyewole, 2009; Annongu dkk., 2013; Aderinola dkk., 2013), atau sifat sitotoksik dari
58
daun kelor (Araujo dkk., 2013), tidak ditemukan pada penelitian ini dengan penambahan hingga 4% dalam pakan ayam pedaging.
D. Retensi Nitrogen Retensi
nitrogen
merupakan
parameter
penting
yang
dapat
digunakan untuk mengevaluasi kecernaan suatu bahan pakan, atau mengetahui sejauh mana pengaruh penambahan suatu bahan terhadap efisiensi penggunaan nitrogen dalam pakan. Nilai retensi nitrogen pada ayam pedaging setelah diberi perlakuan penambahan tepung daun kelor dalam pakan, disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Retensi Nitrogen Ayam Pedaging yang Dipelihara dengan Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pakan pada Umur 1535 hari Penambahan tepung daun kelor Parameter 0% 1% 2% 4% Konsumsi Nitrogen (g) Nitrogen Ekskreta (g) Retensi N (g) Keterangan:
34,7 ± 4,17 1,45 ± 10,17
33,7 ± 1,62 a
1,33 ± 0,38
a
35,4 ± 3,14 1,73 ± 0,31
ab
36,5 ± 4,17 2,25 ± 0,53
b
33,25 ± 4,23 32,35 ± 1,79 33,62 ± 3,14 34,25 ± 3,77 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata(P<0,05) ab
Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai nitrogen (N) yang teretensi tidak berbeda nyata antara perlakuan dengan penambahan tepung daun kelor dengan tanpa penambahan tepung daun kelor dalam pakan. Namun demikian, kandungan nitrogen dalam ekstreta yang terukur nyata lebih tinggi pada penambahan tepung daun kelor dengan level 4% dibanding 0
59
dan 1%, walaupun kadar nitrogen yang dikonsumsi tidak berbeda diantara perlakuan. Perbedaan
nilai
kandungan
nitrogen
pada
ekskreta
setelah
penambahan tepung daun kelor kemungkinan dapat berasal dari nitrogen endogen. Pada penelitian ini, pengukuran nitrogen ekskreta dilakukan dengan mengukur kadar nitrogen dari ekreta yang telah ditampung dari setiap unit percobaan, dengan tidak membedakan kontribusi nitrogen endogen. Menurut Elizabeth (2010) nitrogen yang ditemukan dalam ekskreta tidak hanya berasal dari nitrogen yang dikonsumsi, tetapi juga dapat berasal dari berbagai sumber dalam tubuh seperti saliva, sekresi empedu, sekresi pankreatik, sekresi lambung, sekresi usus, mikroba pencernaan, peluruhan sel-sel pencernaan atau dapat pula berasal dari hasil aktivitas fermentasi mikroba dalam seca. Ditambahkan bahwa jumlah nitrogen endogen dapat dipengaruhi oleh kandungan serat kasar dan antinutrisi dari pakan yang dikonsumsi. Kandungan serat kasar yang cukup tinggi dan adanya zat antinutrisi yang dikandung tepung daun kelor kemungkinan menjadi penyebab meningkatnya jumlah nitrogen yang terukur dalam ekskreta walaupun secara umum nitrogen yang teretensi tidak nyata diantara perlakuan. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa penambahan tepung daun kelor dalam pakan yang diketahui mengandung sejumlah anti-nutrisi seperti tannin, fitat, oksalat, saponin, dan tripsin inhibitor (Ogbe dkk.,
60
2012), tidak menyebabkan gangguan penyerapan nutrisi terutama protein pakan, apabila diberikan dalam pakan hingga 4%. Hasil ini menegaskan bahwa penambahan tepung daun kelor dalam pakan dapat memberikan manfaat kepada ayam pedaging tanpa mempengaruhi proses metabolisme dalam tubuh ayam. Dengan demikian, tujuan pemanfaatan daun kelor dapat dievaluasi lebih jauh selain sebagai sumber protein dengan penggunaannya pada level yang lebih rendah, untuk mengetahui jalur dan mekanisme kerja dari subtansi yang dikandung daun
kelor sebagaimana
dilaporkan
manfaatnya
pada
beberapa studi lain (Kakengi dkk., 2007; Ogbe dkk., 2013; Ologhobo dkk., 2014). Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa studi yang melaporkan bahwa penambahan tepung daun kelor dengan level yang lebih tinggi (diatas 5%) dilaporkan dapat menghambat penyerapan nitrogen dan nutrien lainnya (Kermanshahi dkk., 2011; Annongu dkk., 2013), sehingga perlu untuk mengevaluasi penggunaan bahan asal tanaman kelor dalam level yang lebih rendah dengan pemanfaatan yang lebih luas misalnya tujuan untuk menurunkan kolesterol, atau penurunan kadar lemak daging.
61
BAB V DISKUSI UMUM
Upaya pemanfaatan daun kelor sebagai sumber nutrisi terutama protein
dan
zat
mempertimbangkan
nutrisi adanya
lainnya
pada
kandungan
ayam anti
pedaging,
nutrisi
yang
perlu dapat
menganggu penyerapan dan metabolisme zat nutrisi dalam tubuh ayam. Penambahan dalam jumlah besar (konsentrasi tinggi) diharapkan tidak dilakukan untuk mengurangi dampak kandungan anti nutrisi yang apabila dikonsumsi dalam jumlah besar.
Namun demikian, potensi berbagai
senyawa kimia dalam hijauan termasuk daun kelor terutama untuk meningkatkan status kesehatan ayam dan produk daging yang dihasilkan perlu untuk dikaji lebih jauh terutama dengan pemanfaatan hijauan dalam konsentrasi rendah. Pada penelitian ini, tidak terdapat pengaruh nyata yang dapat ditemukan pada penambahan tepung daun kelor pada ayam pedaging sebagai sumber protein, baik berupa peningkatan performa atau dampaknya pada kondisi fisiologis ayam selama pemeliharaan yang dimulai pada umur 15 hari. Walaupun terdapat kecenderungan penurunan performa yang ditandai dengan kecenderungan penurunan nilai efisiensi penggunaan pakan pada penambahan tepung daun kelor 4%, namun kondisi ini masih berada pada batas normal untuk ayam pedaging yang diberi pakan tambahan berupa hijauan, termasuk tepung daun kelor.
62
Kecenderungan peningkatan konsumsi pakan pada penambahan tepung daun kelor yang lebih tinggi banyak dihubungkan dengan konsumsi serat kasar yang juga meningkat sebagaimana pada studi lain (El Tazi, 2012), namun kandungan protein dengan asam amino berimbang (Richter dkk., 2003; Moyo dkk 2011) dapat menjadi acuan adanya kecenderungan
peningkatan
nilai
protein
yang
teretensi
pada
penambahan tepung daun kelor yang lebih tinggi terutama pada penambahan tepung daun kelor dengan level 4% (Tabel 12). Nilai nitrogen teretensi yang lebih tinggi diharapkan dapat meningkatkan nilai nitrogen yang dapat digunakan untuk kebutuhan pertumbuhan dan mengurangi jumlah nitrogen yang dikeluarkan melalui digesta yang akan berpotensi menjadi sumber emisi yang dapat merugikan lingkungan. Terdapat kecenderungan peningkatan ukuran (panjang dan berat) usus halus dan ceca pada pemberian tepung daun kelor dengan level yang lebih tinggi (2 dan 4%), namun peningkatan ukuran tersebut tidak diikuti dengan perbaikan efisiensi penggunaan pakan. Kondisi ini terjadi kemungkinan karena terjadinya iritasi pada permukaan mukosa usus halus yang menyebabkan vili usus menjadi lebih pendek sebagaimana dilaporkan Siagian (2016) pada penelitian yang sama dengan penelitian ini. Namun demikian gangguan pada usus halus ini belum sampai pada taraf menekan pertumbuhan secara berlebihan sehingga pencapaian berat badan pada akhir periode pemeliharaan hanya berada sedikit dibawah standar namun masih dapat ditoleransi.
63
Laporan lain sehubungan dengan penelitian ini (Astuti, 2016), menunjukkan bahwa penambahan tepung daun kelor dalam pakan hingga 4% nyata meningkatkan kemampuan daya angkut oksigen (oxygen carrying capacity) dari sistem sirkulasi ayam. Kondisi tersebut dilaporkan dengan terjadinya peningkatan nilai hematokrit dan kadar hemoglobin selama pemeliharaan. Adanya peningkatan kemampuan sistem sirkulasi tersebut, diharapkan berdampak pada perbaikan sistem pengangkutan tidak hanya oksigen, tetapi juga zat nutrisi dari sistem pencernaan ke seluruh tubuh ayam. Adanya
kemungkinan
perbaikan
kualitas
daging
dengan
penambahan tepung daun kelor belum dapat diuraikan pada penelitian ini, namun demikian laporan El Tazi (2012) dapat menjadi gambaran bahwa penggunaan tepung daun kelor dapat meningkatkan persentase karkas terutama pada bagian dada dan paha serta mengurangi kadar lemak pada daging ayam pedaging yang dihasilkan. Kondisi fisiologi yang tidak berubah setelah penambahan tepung daun kelor mengindikasikan bahwa level 4 % dari tepung daun kelor yang ditambahkan masih berada pada level aman untuk digunakan pada ayam pedaging, walaupun masih perlu dievaluasi dampak penggunaannya untuk jangka waktu yang lebih lama.
64
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik pada penelitian ini ialah: 1.
Penambahan tepung daun kelor hingga 4% dalam pakan tidak menunjukkan pengaruh berupa perbaikan performa, terutama pada pencapaian berat badan akhir, namun dapat menurunkan efisiensi penggunaan pakan.
2.
Observasi terhadap kondisi fisiologis yang dicerminkan oleh ukuran usus halus dan caecum menunjukkan peningkatan tanpa pengaruh signifikan pada fungsi enzimatis hati.
3.
Tidak ditemukan adanya indikasi gangguan penyerapan nutrisi terutama
nitrogen
(N)
oleh
ayam
pedaging
setelah
diberi
penambahan tepung daun kelor dalam pakan
B. Saran Diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai kemungkinan penggunaan tepung daun kelor dengan level rendah (dibawah 4%), dengan
mengevaluasi
pengaruhnya
terhadap
karakteristik karkas, dan komposisi tubuh.
metabolisme
lemak,
65
DAFTAR PUSTAKA Adeniji, A. A. and M. Lawal. 2012. Effect of replacing groundnut cake with Moringa oleifera leaf meal in the diets of grower rabbits. Int. J. Molec. Vet. Res., 2: 8-13. Aderinola, O. A., T. A. Rafiu, A.O. Akinwumi, T. A. Alabi, and O. A. Adeagbo. 2013. Utilization of Moringa oleifera leaf as feed supplement in broiler diet. Int. J. Food Agric. Vet. Sci., 3(3): 94-102. Aja, P. M., E. J. Nwafor, A. U. Ibiam, O.U. Orji, N. Ezeani, and B. U. Nwali. 2013. Evaluation of anti-diabetic and liver enzymes activity of aquous extracts of Moringa oleifera and Bridella ferruginea leaves in alloxan induced diabetic albino rats. Int. J. Biochem. Res. Rev. 3(3): 248-258. Aletor V.A., I. I. Hamid, E. Nieb, and E. Pfeffer. 2000. Low-protein amino acid supplemented diets in broiler chickens:effect on performance, carcass characteristics, whole-body compositions and efficiencies of nutrient utilisation. J. Sci. Food Agric. 80: 547-554. Anonim. 2007. Lohmann Meat Broiler Stock Performance Objective. Available online at www. aviagen.com (diakses Oktober 2015) Anonim. 2009. Broiler manual management. Available online at www. aviagen.com (diakses Oktober 2015). Annongu, A.A., A.A. Toye, O.R. Karim, F.E. Sola-Ojo, S. Ashi, K.J. Olasehinde, O.A. Adeyina, and J.O. Aremu. 2013. Changes in metabolic nutrients utilization and alterations in biochemical and hematological indices in broiler fed graded levels of dietary Moringa oleifera. Bull. Env. Pharmacol. Life Sci., 2(10): 14-18. Anwar, F. M. Ashraf, M.I. Bhanger. 2005. Interprovenance variation in the composition of Moringa oleifera oil seeds from Pakistan. J. Am. Oil Chem. Society. 82: 45-51. Anwar, F., S. Latif, M. Ashraf, A. H. Gilani. 2007. Moringa oleifera: a food plant with multiple bio-chemical and medicinal uses. Phytother Res. 21: 17-25. Araica, B.M., E. Sporndly, N. R. Sanchez, R. Sporndly. 2011. Feeding Moringa oleifera fresh or ensiled to dairy cows-effect on milk yield and milk flavor. Trop. Anim. Health Prod., 43:1039-1047.
66
Araujo, L.C.C., J.S. Aguiar, T.H. Napoleao, F.V.B. Mota, A.L. S. Barros, M. C. Moura, M.C. Coriolano, L.C.B.B.Coelho, T.G. Silva and P.M.G. Paiva. 2013. Evaluation of cytotoxic and anti-inflammatory activities of extract and lectin from Moringa oleifera seeds. Plos One 8(12): 1-15. Arora, D. S., J. G. Onsare, and H. Kaur. 2013. Bioprospecting of Moringa (Moringaceae): Microbiological perspective. J. Pharmacognosy and Phytochemistry, 1(6): 193-215. Astuti, D. A., D. R. Ekastuti, dan Firdaus. 2005. Manfaat Daun Kelor (Moringa oleifera) sebagai Pakan Ayam Pedaging. Prosiding Seminar Nasional. Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Astuti, T. 2016. Status Hematologis Ayam Ras Pedaging yang diberi Tepung Daun Kelor dalam Pakan (Moringa oleifera). Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Ayssiwede, S. B., A. Dieng, H. Bello, C. A. A. M. Chrysostome, M.B. Hane,A. Mankor, M. Dahouda,M. R. Houinato,J. L. Hornick, A. Missohou. 2011. Effects of Moringa oleifera (Lam.) leaves meal incorporation in diets on growth performances, carcass characteristics and economics results of growing indigenous Senegal chickens. Pak. J. Nutr., 10 (12): 1132-1145 Banjo, O.S. 2012. Growth and performance as affected by inclusion of Moringa oleifera leaf meal in broiler chicken diet. J. Biol. Agric. Healthcare, 2: 35-38. Bell, D.D., and W.D. Weaver, Jr. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg Production. Fifth Edition. Kluwer Academic Publisher, New York. Bennet R.N., F. A. Mellon, N. Foidl, J. H. Pratt, and M.S. Dupont. 2003. Profiling glucosinolates and phenolics in vegetative and reproductive tissue of multipurpose trees Moringa oleifera L and Moringa stenopetala L. J. Agric. Food Chem., 51: 3546-3553. Berkovich, L., G. Earon, I. Ron, A. Rimmon, A. Vexler, and S. Lev-ari. 2013. Moringa oleifera aquoues extract down-regulates nuclear factor-kappa B and increases cytotoxic effect of chemotherapy in pancreatic cancer cells. BMC Complementary and Alternative Medicine, 13: 212. Bobrutzki, K. V., C. Ammon, W. Berg, and M. Fielder. 2013. Quantification of nitrogen balance components in a commercial broiler barn. Czech J. Anim. Sci., 58(12): 566-577.
67
Bregendahl, K., J. Sell, and D. Zimmerman. 2002. Effect of low-protein diets on growth performance and body composition of broiler chicks. Poult. Sci., 81: 1156-1167. Chattopadhyay, S., S. Maiti, G. Maji, B. Deb, B. Pan, and D. Ghosh. 2011. Protective role of Moringa oleifera seed on arsenic induced hepatocellular degeneration in female albno rats. Biol. Trace. Elem. Res., 142: 200-212. Chivapat, S., P. Sincharoenpokai, P. Suppajariyawat, A. Rungsipipat, S. Phattarapornchaiwat, and V. Chantarateptawan. 2012. Safety evaluation of ethanolic extract of Moringa oleifera Lam. Seed in experimental animals. Thai. J. Vet. Med. 42(3): 343-352. Chivapat, S., P. Sincharonpokai, N. Saktiyasuthorn, A. Shuaprom, P. Thongsrirak, A. Sakpetch, and A. Rungsipipat. 2011. Acute and chronic toxicity of Moringa oleifera Lam leaves extract. Thai. J. Vet. Med., 41(4): 417-424. Cwayita, W. 2014. Effects of feeding Moringa oleifera leaf meal as an additive on growth performance of chicken, physico- chemical shelf-life indicators, fatty acids profiles and lipid oxidation of broiler meat. Masters Thesis Faculty of Science and Agriculture, University of Fort Hare, Alice, South Africa. Donovan, P., 2007. Moringa oleifera: The miracle tree. www.naturalnews.com (Diakases 20 Juni 2014). Du, P.L., P.H. Li, R. Y. Yang, and J. C. Hsu. 2007. Effect of dietary supplementation of Moringa oleifera on growth performance, blood characteristics and immune response in broiler. J. Chinese Society Anim. Sci. 36(3): 135-146. El Tazi, S. M. A. 2012. Effect of feeding different levels of Moringa oleifera leaf meal on the performance and carcass quality of broiler chicks. Int. J. Sci. Res., 3(5): 147-151. Eliszabeth, J.K. 2010. Amino Acid Digestibility of Various Feedstuff using Different Methods. Dissertation of University of Illinois, Urbana. Eze, D. C., E. C. Okwor, J. O. A. Okoye, and D. N. Onah. 2013. Immunologic effect of Moringa oleifera methanolic leaf extract in chicken infected with New Castle Disease virus (kudu 113 strain). Afric. J. Pharm. And Pharmacology, 7(31): 2231-2237.
68
Fahey J. W. 2005. Moringa oleifera: a review of the medical evidence for its nutritional, therapeutic and propylactic properties. Part 1. Trees for Life Journal. 1:5-15. Fahey, J.W., A.T. Zalcmann, and P. Talalay. 2001. The chemical diversity and distribution of glucosinolates and isothiocyanates among plants. Phytochemistry. 56: 5-51. Farrel, D. J.1978. Rapid determination of metabolizable energy of food using cockerels. Br. Poult. Sci., 19: 303-308. Folorunso, A.E., K.F. Akinwunmi, and R.E. Okonji. 2012. Comparative studies of the biochemical parameters of the leaves and seeds of Moringa oleifera. J. Agric. Sci. Tech., 2: 671-677. Gadzirayi, C.T. and J. F. Mupangwa. 2014. Feed intake and growth performance of indigenous chicks fed diets with Moringa oleifera leaf meal as a protein supplement during early brooding stage. Int. J. Poult. Sci., 13 (3): 145-150 Gadzirayi, C.T., B. Masamha, J.F. Mupangwa, and S. Washaya. 2012. Performance of broiler chickens fed on mature Moringa oleifera leaf meal as a protein supplement to soyabean meal. Int. J. poult. Sci., 11(1):5-10. Gebregiorgis, F., T. Negesse, A. Nurfeta. 2012. Feed intake and utilization in sheep fed graded levels of dried moringa (Moringa stenopetala) leaf as a supplement to Rhodes grass hay. Trop. Anim. Health Prod., 44: 511517. Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Armico. Bandung Incharoen, T., and K. Yamauchi. 2009. Performance and histological changes of intestinal villi in chicken fed dietary natural zeolite including plant extract. Asian J. Poultry Sci., 45: 41-48. Incharoen, T., K. Yamauchi, N. Thongwittaya. 2010. Intestinal villus histological alteration in broilers fed dietary dried fermented ginger. J. Anim. Physiol. Anim. Nutr., 94: e130-e137. Isitua, C. C., and I. N. Ibeh. 2013. Toxicological assessment o aqueous extract of Moringa oleifera and Caulis bambusae leaves in rabbits. J. Clinic Toxicol. Special Issue :1-4
69
Kakengi, A.M.V., J.T. Kaijage, S.V. Sarwatt, S. K. Mutayoba, M. N. Shem, and T. Fujihara. 2007. Effect of Moringa oleifera leaf meal as a subtitute for sunflower seed meal on performance of laying hens in Tanzania. Int. J. Poult. Sci., 9: 363-367. Kakengi, A.M.V., M.N. Shem, S.V. Sarwatt and T. Fujihara. 2005. Can Moringa oleifera be used as protein supplementation for ruminants? Asian-Aust. J. Anim. Sci., 18(1): 42-47. Kamrruzzaman, S.M., S. M. L. Kabir, M. M. Rahman, M. W. Islam, and M. A. Reza. 2005. Effect of probiotics and antibiotic supplementation on body weight and haemato-biochemical parameters in broilers. Bangl. J. Vet. Med. 3(2): 100-104. Karthivashan, G. P. Arulselvan, A. R. Alimon, I. S. Ismail, and S. Fakurazi. 2015. Competing role of bioactive constituents in moringa oleifera extract and conventional nutrition feed on the performance of Cobb 500 broilers. BioMed Research International. 1:1-13. Kermanshahi, H., N. Ziaei, and M. Pilevar. 2011. Effect of dietary crude protein fluctuatuation on performance, blood parameters and nutrients retention in broiler chicken during starter period. Global Vet., 6(2): 162167. Keshavarsz, K., and R. Austic. 2004. The use of low-protein, low phosphorus, amino acid and phytase supplemented diets on laying hens performance and nitrogen and phosphorus excretion. Poult. Sci., 83: 7583. Khaled, A.E.F.M., L.S.Franco, R.S.Ricalde, J.F.S. Sanchez. 2012. The nutritional effect or Moringa oleifera fresh leaves as feed supplement on Rhode Island Red hen egg production and quality. Trop. Anim. Health Prod., 44:1035-1040. Kim, E. J. 2010. Amino acid digestibility of various feedstuffs using different methods. Dissertation. University of Illinois at Urbana-Champaign, Illinois. Kumar, R. 1992. Antinutritional factors, the potential risks of toxicity and methods to alleviate them. Proceedings of the FAO Expert Consultation held at the Malaysian Agricultural Research and Development Institute (MARDI) in Kuala Lumpur, Malaysia, 14-18 October, 1991. Andrew Speedy and Pierre-Luc Puglise (eds).
70
Makkar, H.P.S., and K. Becker. 1997. Nutrient and anti quality factors on different morphological parts of the Moringa tree. J. Agric. Sci., 128:31 Melesse, A., W. Tiruneh, T. Negesse, 2011. Effects of feeding Moringa stenopetala leaf meal on nutrient intake and growth performance of Rhode Island Red chicks under tropical climate. Trop. Subtrop. Agroeco., 14: 485-492. Moyo, B., S. Oyedemi, P. J. Masika, and V. Muchenje. 2012. Polyphenolic content and antioxidant properties of Moringa oleifera leaf meal extracts and enzymatic activity of liver from goats supplemented with Moringa oleifera/Sunflower cake. Meat Sci., 02: 29. Mujahid, A., Y. Yoshiki, Y. Akiba, M. Toyomizu. 2005. Superoxide radical production in chicken skeletal muscle induced acute heat stress. Poult. Sci., 84: 307-314. Musa, H. H., G. H. Chen, B. C. Cheng, and D. M. Mekki. 2006. Study on carcass characteristic of chicken breeds raised under the intensive condition. Int. J. Poult. Sci., 5: 530-533. Nkukwana, T.T. V. Muchenje, P.J. Masika, L.C. Hoffman, K. Dzama, and A.M. Descalzo. 2013. Fatty acid composition and oxidative stability of breast meat from broiler chicken supplemented with Moringa oleifera leaf meal over a period of refrigeration. Food Chemistry, 142: 255-261. NRC (National Research Centre).1994. Nutrient Requirements of Poultry.9 ed. National Academy Press, Washington DC. Ogbe, A. O. and J. P. Affiku. 2012. Effect of polyherbal aqueous extract (Moringa oleifera, Arabic gum, and wild Ganoderma lucidum) in comparison with antibiotic on growth performance and haematological parameters of broilers chickens. Res. J. Recent Sci., 1(7):10-18.[online article at:www.isca.in] Ogbe, A.O., S.B. Ombugadu, O. A. Dan Azumi, and F. Ayuba. 2013. Oral administration of aqueous extract from Moringa oleifera seed, gum arabic, and wild mushroom (Ganoderma sp): effect on growth performance of broiler chicken in comparison with antibiotic. Int. J. Medic. Plant Alter. Med., 1(2):30-38. Oinam, N. A. Urooj, P. P. Phillips, and N. P. Niranjan. 2012. Effect of dietary lipids and drumstick leaves (Moringa oleifera) on lipid profile and antioxidant parameters in rats. Food and Nutr. Sci., 3: 141-145.
71
Ologhobo, A. D., E. I. Akangbe, I.O. Adejumo, and O. Adeleye. 2014. Effect of Moringa oleifera leaf meal as replacement for oxytetracycline on carcass characteristic of the diets of broiler chickens. Annual Res. & Review in Biology. 4(2): 423-431.[online version at http://www.sciencedomain.org]. Oludoyi, I.A., and A.A. Toye. 2012. The effect of early feeding Moringa oleifera leaf meal on performance of broiler and pullet chicks. Agrosearch, 12(2): 160-172. Olugbemi, T.S., S.K. Mutayoba, and F.P. Lekule. 2010a. Effect of Moringa oleifera inclusion in cassava based diets fed to broiler chickens. Int. J. Poult. Sci., 9: 363-367. Olugbemi, T.S., S.K. Mutayoba, F.P. Lekule. 2010b. Evaluation of Moringa oleifera leaf meal inclusion in cassava chip based diets fed to laying birds. Livest. Res. Rur. Dev., 22:118 Oyedeji, J. O., and J. O. Atteh. 2005. Response of broilers feeding manipulation. Int. J. Poult. Sci., 4: 91-95. Patel, J. P. 2011. Antibacterial activity of methanolic and acetone extract of some medicinal plants used in India folklore. Int. J. Phytomedicine. 3: 261-269. Portugaliza, H.P. and T.J. Fernandez. 2011. Growth performance of Cobb broilers given varying concentration of Malunggay (Moringa oleifera Lam.) aqueous leaf extract. Online J. Anim. Feed Res., 2(6): 465469.[http://www.science-line.com/index] Qwele, K., Hugo, A., Oyedemi, S.O., Moyo, B., Masika, P.J. & Muchenje, V., 2013. Chemical composition, fatty acid content and antioxidant potential of meat from goats supplemented with Moringa (Moringa oleifera) leaves, sunflower cake and grass hay. Meat Sci. 93, 455-462. Richter, N., P. Siddhuraj, and K. Becker. 2003. Evaluation of nutritional quality of Moringa (Moringa oleifera Lam.) leaves as an alterntive protein source for Nila tilapia (Oreochromis niloticus L.). Aquacult. 217: 599611. Ritz, C.W., B.D. Fairchild and M. P. Lacy. 2004. Implication of ammonia production and emission from commercial poultry facilities : a review. J. Appl. Poult. Res., 13: 684-692
72
Roberts, S. A., H. Xin, B. J. Kerr, J. R. Russel, and K. Bregendahl. 2007. Effect of dietary fiber and reduced crude protein on ammonia emission from laying hens manure. Poult. Sci., 86: 1625-1632. Siagian, Y. A. 2016. Gambaran Histologis dan Tinggi Vili Usus Halus Bagian Ileum Ayam Ras Pedaging yang diberi Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera) dalam Ransum. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Singh G. P., and S. K. Sharma. 2012. Antimicrobial evaluation of leaf extract of Moringa oleifera Lam. Int. Res. J. Pharmacy, 3(4): 212-215. Sjofjan, O. 2008. Efek pengunaan tepung daun kelor (Moringa oleifera) dalam pakan terhadap penampilan produksi ayam pedaging. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.p:649-656. Soetan, K. O., and O. E. Oyewole. 2009. The need for adequate processing to reduce the anti-nutritional factors in plants used as human food and animal feeds:a review. African J. Food Sci., 3(9):223-232. Soetan, K.O. 2008. Pharmacological and other beneficial effects of antinutritional factors in plants- a review. African J. Biotech. 7(25):47134721. Sturkie, P.D. 1976. Avian Physiology.Third Edition. Springer-Verlag, New York. Suarni dan S. Widowati. 2006. Struktur, Komposisi, dan Nutrisi Jagung. Teknik Produksi dan Pengembangan, Balai Penelitian Tanaman Serelia Maros.pp.410-426. Tanju, S., and D. Madhuri. 2013. Arsenic induced oxidative stress, hematobiochemical and histological changes in liver and protective effect of moringa leaf powder and ascorbic acid in broiler chicken. J. Chem. Pharm. Res., 5(2): 112-116. Tesfaye, E., G. Animut, M. Urge, and T. Dessie. 2013. Moringa oleifera leaf meal as an alternative protein feed ingredient in broiler ration. Int. J. Poult. Sci.,12(5): 289 - 297 Teteh, A., E. Lawson, K. Tona, E. Decuypere and M. Gbeassor. 2013. Moringa oleifera leaves: Hydro-alcoholic extract and effect on growth performance of broilers. Int. J. Poult. Sci., 12(7): 401-405.
73
Tona, K., O. M. Onagbesan, V. Bruggeman, K. Mertens, Y. Jego, and E. Decuypere. 2004. Comparison of feed intake, blood metabolic parameters, body and organ weights of growing broilers originating from dwarf and standard broiler breeder lines. Int. J. Poult. Sci., 3(6): 422426. Van Leeuwen, P., J.M.V.M. Mouwen, J.D. Van Der Klis, M.W.A. Verstegen. 2004. Morphology of small intestinal mucosal surface of broilers in relation to age, diet formulation, small intestnal microflora and performance. Br. Poult. Sci., 45: 41-48. Wahyu, J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Wangcharoen, W. and S. Gomolmanee. 2013. Antioxidant activity changes during hot-air drying of Moringa oleifera leaves. Maejo Int. J. Sci. Technol., 7(3): 35-363. Wood, J. D., R. I. Richardson, G. R. Nute, A. V. Fisher, M. M. Campo, E. Kasapidou, P. R. Sheard, and M. Enser. 2004. Effects of fatty acid on meat quality: a review. Meat Sci., 66: 21-23. Yang, R.Y., L.C. Chang, J.C. Hsu, B.B.C. Weng, M. C. Palada, M.L. Chadha, and V. Levasseur. 2006. Nutritional and functional properties of Moringa leaves-from germplasm to plant, to food, to health. Proceeding seminar: Moringa and other highly nutritious plant resources: strategies, standards and markets for a better impact on nutrition in Africa. Ghana., Nopember 2006. Yamauchi, K. E., T. Incharoen, and K. Yamauchi. 2010. The relationship between intestinal histology and function as shown by compensatory enlargement of remnant villi after midgut resection in chicken. The Anatomical Record, 293: 2071-2079. Zanu, H.K., P. Asiedu, M. Tampuori, M. Abada, and I. Asante. 2012. Possibilities of using Moringa (Moringa oleifera) leaf meals as partial subtitute fish meal in broiler chicken diets. J. Anim. Feed Res., 2: 70-75. Zhao, J. H., Y. L. Zhang, L. W. Wang, J. Y. Wang, and C. L. Zhang. 2012. Bioactive secondary metabolites from Nigrospora sp LLGLM003 an endophytic fungus of medicinal plant Moringa oleifera Lam. World J. Microbiol. Biotechnol. 28: 2107-2112.
74
74
Lampiran 1. Sidik ragam konsumsi pakan ayam pedaging dengan penambahan tepung daun kelor dalam pakan
a. Deskriptif
b. Anova
75
Lampiran
2.
Sidik ragam berat badan ayam pedaging penambahan tepung daun kelor dalam pakan
Umur 14 hari a. Deskriptif
b. Anova
Umur 35 hari a. Deskriptif
dengan
76
b. Anova
77
Lampiran 3. Sidik ragam pertambahan berat badan (g/e/hari) ayam pedaging dengan penambahan tepung daun kelor dalam pakan a. Deskriptif
b. Anova
78
Lampiran 4. Sidik ragam konversi pakan ayam pedaging dengan penambahan tepung daun kelor dalam pakan a. Deskriptif
b. Anova
c. Uji lanjut
79
80
Lampiran 5. Sidik ragam konsumsi air minum ayam pedaging dengan penambahan tepung daun kelor dalam pakan
a. Deskriptif
b. Anova
81
Lampiran 6. Sidik ragam parameter kimia darah ayam pedaging dengan penambahan tepung daun kelor dalam pakan
Kadar SGOT a. Deskriptif
b. Anova
Kadar SGPT a. Deskriptif
82
b. Anova
Kadar Asam Urat a. Deskriptif
b. Anova
83
Lampiran 7. Sidik ragam dimensi usus halus ayam pedaging dengan penambahan tepung daun kelor dalam pakan
Panjang Usus Halus (cm) Doudenum a. Deskriptif
b. Anova
Jejunum a. Deskriptif
84
b. Anova
Ileum
a. Deskriptif
b. Anova
85
Berat Usus Halus (g) Doudenum a. Deskriptif
b. Anova
Jejunum a. Deskriptif
86
b. Anova
Ileum a. Deskriptif
b. Anova
87
Panjang dan Berat Caeca Panjang Caeca (g) a. Deskriptif
b. Anova
Berat caeca (g) a. Deskriptif
88
b. Anova
89
Lampiran 8. Sidik ragam retensi nitrogen ayam pedaging dengan penambahan tepung daun kelor dalam pakan
Konsumsi Nitrogen a. Deskriptif
b. Anova
Nitrogen Feses a. Deskriptif
90
b. Anova dan uji lanjut
Retensi Nitrogen a. Deskriptif
91
b. Anova