0
RESISTENSI PISANG AMPYANG (Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish) TERHADAP Fusarium oxysporum f.sp. cubense HASIL MUTASI INDUKSI DAN SELEKSI IN VITRO
RENI INDRAYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
RESISTENSI PISANG AMPYANG (Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish) TERHADAP Fusarium oxysporum f.sp. cubense HASIL MUTASI INDUKSI DAN SELEKSI IN VITRO
RENI INDRAYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
i
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Resistensi Pisang Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish) terhadap Fusarium oxysporum f.sp. cubense Hasil Mutasi Induksi dan Seleksi In vitro adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2011 Reni Indrayanti A161060031
ii
Abstract RENI INDRAYANTI. Resistance against Fusarium oxysporum f.sp. cubense in banana cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgroup non-Cavendish) through induced mutation and in vitro selection. Under supervised by SUDARSONO, NURHAJATI ANSORI MATTJIK, ASEP SETIAWAN. Fusarium wilt caused by Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense (EF Smith) Snyd & Hans (Foc) is one of the most important disease infecting root of banana and plantain (Musa spp.). This disease reported has become a primary constrain in banana production and lost of some banana germplasm, including in banana cv. Ampyang. Chemical control of this disease is economically impractical, and to widen banana genetic diversity is also a difficult task because most of edible banana are either triploid, male sterility and partenocarp. Therefore conventional breeding approach for resistance to Fusarium wilt for this crop is difficult. The objectives of this research were (1) to increase phenotypic diversity of banana cv. Ampyang through induced mutation; (2) to obtain banana cv. Ampyang resistant to Fusarium wilt. Explants of in vitro grown shoots were exposed to gamma irradiation at 0, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50 Gy to determine its the radiosensitivity. The CurveExpert ver. 1.4 analysis results indicated that lethal doses of irradiation reducing 20% to 50% of shoot growth (LD 20-50 ) were 51.07-64.54 Gy. After 10 months of proliferation and regeneration periods, all regenerated plantlets from irradiated explants produced less numbers of roots, and some of regenerated plantlets, showed significantly less plantlet fresh weight and height, and longer leaves. Glasshouse evaluation indicated that banana plant regenerated from gamma irradiated explants to exhibit lower plant height, shorter leaf, and leaf lenght by leaf width ratio than from non-irradiated ones. Population of banana cv. Ampyang gamma irradiated at 30, 40, 45 and 50 Gy showed wider variation in qualitative characters than that treated with 0 Gy. Field evaluation showed that a number of variants (12 clones) regenerated from gamma irradiated 25, 30, 45, 50 Gy and nonirradiated one identifying as a positive variant. This charachterize were based on agronomyc charachter and quality of fruit. Improvement program to banana cv. Ampyang resistant to Fusarium wilt requiring some previous study in virulences and effectiveness Foc of Banyuwangi isolate as an selective agent. This research showed that Foc of Banyuwangi isolate were virulent to banana cv. Ampyang, and culture filtrate of Foc concentration 40-60% (v/v) was an effective concentration to obtain banana shoots insensitive to culture filtrate of Foc. This experiment also showed that inoculation methods by dipping banana roots for 2 hours into Foc conidial suspensión 2.5 x 107 conidial mL-1 is the most effective methods to identifying banana cv. Ampyang resistant to Fusarium wilt. Several banana clones resistance to Fusarium wilt was obtain. Induced mutation followed by in vitro selection procedures found that 48 clones (40.7%) indicated resistant to Fusarium wilt, most of them originated from gamma irradiated explants of 30 and 50 Gy. Glasshouse evaluation of banana variant regenerated from induced mutation without in vitro selection produced 5 clones (13.8%) and evaluation of banana variant in endemic Fusarium wilt found that 5 clones (4.9%) indicated resistant to Fusarium wilt. Keywords: Fusarium wilt, gamma irradiation , in vitro selection. iii
RINGKASAN RENI INDRAYANTI. Resistensi Pisang Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish) terhadap Fusarium oxysporum f.sp. cubense hasil Mutasi Induksi dan Seleksi In vitro. Dibimbing oleh SUDARSONO, NURHAJATI ANSORI MATTJIK, ASEP SETIAWAN
Pisang dan plantain (Musa spp) merupakan komoditas utama untuk ketahanan pangan, walaupun dalam kondisi lingkungan yang buruk tanaman pisang dapat berperan sebagai tanaman pangan yang bermanfaat. Pisang terdiri dari banyak species dan kultivar, diantaranya pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish). Pisang cv. Ampyang merupakan pisang meja (dessert banana) yang sudah sulit dijumpai di pasar tradisional maupun modern, diduga pisang ini sudah jarang dibudayakan oleh petani lokal. Keberadaan pisang cv. Ampyang yang sulit dijumpai ini diduga karena pisang cv. Ampyang rentan terhadap penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc). Tujuan umum penelitian ini adalah untuk (1) meningkatkan keragaman tanaman pisang (Musa acuminata, AAA) cv. Ampyang melalui teknik mutasi induksi dengan iradiasi gamma secara in vitro; (2) mendapatkan klon-klon dari kultivar pisang (Musa acuminata, AAA) cv. Ampyang yang resistensi terhadap layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Percobaan tahap awal dilakukan untuk menentukan radiosensitivitas tunas pisang cv Ampyang (Musa acuminata, AAA) terhadap perlakuan iradiasi gamma yang ditentukan berdasarkan dosis yang mereduksi pertumbuhan tanaman sebesar 20-50% (LD 20-50 ), dan LD 20-50 berada dikisaran 51.07-64.54 Gy dengan dosis optimum untuk pertumbuhan tunas pisang aseptis berada pada dosis 30 Gy. Secara fenotipik tunas yang diradiasi cenderung menghasilkan plantlet dengan keragaman karakter kuantitatif (jumlah akar, tinggi plantlet, bobot segar plantlet) yang lebih rendah, dan bentuk daun yang lebih panjang dari tanaman kontrol. Evaluasi di rumah kaca menunjukkan, tanaman yang diradiasi dengan dosis iradiasi yang lebih tinggi, menghasilkan rataan tinggi tanaman dan panjang daun yang makin rendah,. Tanaman yang diradiasi memiliki bentuk daun yang cenderung lebih lebar dari tanaman kontrol. Tanaman yang diradiasi dengan dosis diatas 30, 40, 45 dan 50 Gy) menghasilkan jenis varian karakter kualitatif yang lebih banyak dibandingkan dengan dosis yang lebih rendah. Evaluasi keragaman terhadap densitas stomata memperlihatkan bahwa tanaman kontrol dan tanaman hasil iradiasi 45 Gy memiliki densitas stomata yang nyata lebih tinggi dari tanaman 20, 25 dan 30 Gy. Evaluasi keragaman tanaman di lapangan menunjukkan bahwa dosis iradiasi yang lebih tinggi tidak selalu menghasilkan karakter agronomi, baik kuantitas maupun kualitas buah yang lebih buruk dibandingkan dengan pemberian dosis iradiasi yang lebih rendah, disini faktor lingkungan turut berperan dalam membentuk karakteristik tanaman. Dijumpai pula beberapa tanaman dengan sifatsifat agronomis yang rendah, diantara populasi tanaman yang diseleksi. Hal ini diduga merupakan pengaruh negatif dari mutagen, dan faktor lingkungan seperti kesuburan tanah, cekaman air dan teknik pengolahan tanah. Tanaman hasil iradiasi iv
gamma 20 dan 25 Gy yang pada saat periode kultur in vitro menghasilkan jumlah tunas yang cukup banyak, ternyata setelah di evaluasi di rumah kaca dan di lapangan sebagian besar tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan, atau menghasilkan buah dengan karakteristik lebih rendah dari tanaman lainnya. Tanaman kontrol (0 Gy), 30 dan 50 Gy memperlihatkan konsistennya dalam kemampuan tumbuh dan menghasilkan buah dengan kuantitas dan kualitas yang cukup baik. Beberapa tanaman teridentifikasi memiliki bentuk buah yang unik, sedangkan tanaman yang tidak diradiasi pada umumnya memiliki bentuk buah yang lebih besar. Tanaman-tanaman dengan karakter yang lebih unggul dari perlakuan lainnya, memberi dugaan bahwa beberapa sel-sel atau jaringan yang terkena iradiasi dan tidak mengalami kematian, merupakan mutan hasil iradiasi gamma yang positif, sedangkan tanaman yang tidak diradiasi (0 Gy) diduga karena faktor subkultur berulang. Usaha perolehan tanaman pisang cv. Ampyang dengan karakter resisten terhadap layu Fusarium pada percobaan ini dilakukan secara in vitro dan ex vitro. Pendekatan pertama melalui melalui teknik mutasi induksi yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro. Pendekatan kedua teknik mutasi induksi tanpa tahapan seleksi in vitro. Bibit varian yang diperoleh langsung diinfeksi dengan konidia Foc, atau di evaluasi sifat ketahanannya di lahan endemik layu Fusarium. Evaluasi di rumah kaca membutuhkan pengujian virulensi dan patogenitas mycelium F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) isolat Banyuwangi (Bw), dan efektivitas teknik inokulasi dan kerapatan suspensi konidia Foc yang mampu menginfeksi tanaman pisang cv. Ampyang. Hal ini dilakukan karena Foc isolat Bw belum diketahui virulensinya terhadap pisang meja. Pengujian virulensi Foc isolat Bw terhadap tunas pisang Ampyang aseptis dengan metode kultur ganda-1 (dual culture method), membuktikan bahwa Foc isolat Bw virulen terhadap pisang cv. Ampyang. Persentase kematian plantlet sebesar 100% dengan gejala awal perubahan warna merah-kecoklatan yang dimulai dari batang dan daun bagian bawah, yang merupakan ciri tanaman terinfeksi Foc. Evaluasi dan efektivitas metode uji untuk ketahanan pisang cv. Ampyang terhadap layu Fusarium di rumah kaca memperlihatkan bahwa tanaman yang diinokulasi dengan Foc kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 melalui metode perendaman akar, lebih efektif dalam menimbulkan kerusakan dibandingkan dengan metode injeksi batang. Hal ini diperlihatkan dengan gejala kelayuan dan kerusakan bibit yang nyata lebih besar, serta jumlah daun, panjang akar, dan ketebalan daun yang lebih rendah, sehingga memberi gambaran bahwa bibit tanaman yang diinokulasi mengalami penghambatan pertumbuhan akibat terhambatnya aliran air pada jaringan vaskuler tanaman akibat infeksi Foc. Pengujian efektivitas filtrat kultur (FK) Foc isolat Banyuwangi sebagai agen penyeleksi terhadap tunas pisang aseptis usia 2 bulan, didapatkan bahwa media selektif mengandung FK Foc konsentrasi 40-60% (v/v) secara nyata menghasilkan tingkat kerusakan tunas yang lebih besar, dengan persentase kematian tunas sebesar 65.8% - 82.3%. Seleksi in vitro secara bertingkat tunas varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang telah diproliferasi dan diregenerasi selama periode 10 bulan, menunjukkan bahwa media selektif mengandung FK Foc 30% belum mampu menghambat pertumbuhan tunas, v
demikian pula subkultur tunas ke media selektif mengandung FK Foc 40% dan 50%, walaupun terlihat adanya kerusakan dan kematian tunas, namun plantlet masih mampu berproliferasi membentuk tunas baru. Penghambatan pertumbuhan tunas varian yang diseleksi ternyata diperoleh pada media selektif mengandung FK Foc 60% (v/v). Sejumlah tunas (1695 tunas) yang mampu bertahan hidup dalam kondisi selektif dengan konsentrasi tinggi ini dikategorikan sebagai tunas-tunas insensitif FK Foc 60%, walaupun pada konsentrasi ini belum dapat dibedakan tunas varian yang tahan atau rentan. Tunas-tunas insensitif FK Foc hasil seleksi in vitro ini secara teoritis merupakan varian yang mampu menginduksi atau mengaktifkan gen-gen ketahanannya terhadap layu Fusarium, atau menginduksi enzim-enzim yang berperan dalam mendetoksifikasi toksin cendawan. Regenerasi tunas-tunas insensitif FK Foc dalam media perakaran mengandung 6-benzyladenin 2.25 mg L-1 dan Indole-3-acetic acid 0.175 mg L-1 selama 2 bulan, menghasilkan plantlet-plantlet yang secara fenotipik terlihat sehat dan segar, mampu membentuk akar dan tunas baru. Persentase kemampuan hidup terbesar dihasilkan oleh plantlet yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy (56.2%). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan kemampuan tumbuh tunas pisang cv. Ampyang berdasarkan kurva reduksi pertumbuhan pada siklus vegetatif pertama, yaitu kemampuan bertahan hidup yang lebih besar pada tunas pisang yang diradiasi dengan dosis 30 Gy. Aklimatisasi plantlet hasil seleksi in vitro pada percobaan ini secara tidak langsung telah menyeleksi tanaman-tanaman varian yang rentan terhadap penyakit layu Fusarium. Aklimatisasi sebanyak 499 plantlet insensitif FK Foc menghasilkan 118 (23.7%) bibit varian tanaman pisang cv. Ampyang yang mampu beradaptasi dan bertahan hidup 60 hari setelah aklimatisasi. Evaluasi ketahanan bibit varian yang diperoleh dari hasil mutasi induksi yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro secara bertingkat, diperoleh 48 (40.7%) bibit tanaman dari 118 bibit yang diinfeksi dengan konidia Foc isolat Medan VCG 01213/16 Tropical Race 4, atau Foc isolat Banyuwangi dengan kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 memiliki karakteristik tahan layu Fusarium. . Bibit varian dengan karakteristik tahan layu Fusarium hasil induksi mutasi di rumah kaca diperoleh 5 klon tanaman (13.8%) dari 36 bibit yang dievaluasi, dan di lapangan diperoleh 5 klon anakan (4.9%) dari 102 tanaman yang dievaluasi, yang mampu bertahan hidup sampai 24 bulan setelah tanam pada lahan endemik Foc. Bibit varian yang mengindikasikan resisten layu Fusarium tersebut banyak dijumpai dari varian yang berasal dari hasil iradiasi 30 dan 50 Gy. Hasil percobaan ini memberikan kesimpulan bahwa peluang untuk mendapatkan bibit varian tanaman resisten terhadap layu Fusarium lebih besar diperoleh melalui teknik mutasi induksi secara in vitro yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro secara bertingkat, walaupun prosedur ini relatif membutuhkan waktu pekerjaan yang lebih lama Bibit pisang cv. Ampyang yang tahan terhadap layu Fusarium hasil seleksi in vitro ini berpotensi digunakan sebagai populasi untuk di evaluasi kembali sifat ketahanannya di lahan yang terserang cendawan F. oxysporum f.sp. cubense, untuk memastikan sifat ketahanannya dan mengidentifikasi varian tahan layu Fusarium dengan kuantitas dan kualitas unggul tertentu lainnya yang diinginkan. Bibit varian yang diperoleh ini juga berpotensi diperbanyak secara klonal sebagai plasma nutfah yang memiliki karakteristik tahan layu Fusarium. vi
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhkarya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vii
RESISTENSI PISANG AMPYANG (Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish) TERHADAP Fusarium oxysporum f.sp. cubense HASIL MUTASI INDUKSI DAN SELEKSI IN VITRO
RENI INDRAYANTI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 viii
Penguji pada Ujian Tertutup:
Dr. Ir. Endang Nurhayati MSc. Dr. Sintho W. Ardie SP, MSi
Penguji pada Ujian Terbuka :
Prof. Dr. Ir. GA Wattimena MSc Dr. Ir. Catur Hermanto MP
ix
Judul Penelitian
Nama Mahasiswa NRP Program Studi
:
: : :
Resistensi Pisang Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish) terhadap Fusarium oxysporum f.sp cubense hasil Mutasi Induksi dan Seleksi in vitro Reni Indrayanti A161060031 Agronomi
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sudarsono MSc Ketua
Prof. Dr. Ir. Nurhajati A. Ansori M. MS Anggota I
Dr. Ir. Asep Setiawan MS Anggota II
Diketahui Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi MS
Dr. Ir. Dahrul Syah MScAgr
Tanggal Ujian: 20 Desember 2011
Tanggal Lulus :
x
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rizkiNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak September 2007 hingga Juni 2011 berjudul: Resistensi Pisang Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish) terhadap Fusarium oxysporum f.sp. cubense hasil Mutasi Induksi dan Seleksi In vitro. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sudarsono MSc selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Prof. Dr. Ir. Nurhajati Mattjik MSi dan Bapak Dr. Ir. Asep Setiawan MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bimbingan sejak persiapan, pelaksanaan penelitian hingga selesainya disertasi ini. Ir. Y. Supriati MS dari Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Bogor, Dr. Ir. RD Purwati MSc dari Balitas Malang, Ir. A. Sutanto MSc dari Balitbu Solok. Staf dan teknisi pada Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman IPB dan Laboratorium Ekofisologi IPB, analis pada Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi LPPM IPB, serta staf pada Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman UNJ. Kepada Rektor Universitas Negeri Jakarta atas dukungan biaya studi, dan Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M) Dikti Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan dukungan biaya penelitian. Terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan sahabat di Program Studi Agronomi dan Fitopatologi FAPERTA IPB angkatan 2006, kepada rekanrekan di Laboratorum Biologi Molekuler Tanaman yang telah bersahabat dan berdiskusi selama penulis studi di IPB, kepada seluruh rekan dari jurusan Biologi FMIPA UNJ atas persahabatan dan dukungannya. Ungkapan terima kasih yang mendalam kepada suami Ir. Masyudin MM, dan anak-anakku M. Aditya Yudiantama, Afina Rahmah Widyanafi dan Hijran Luqman Harisha, serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa dan kasih sayangnya. Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penelitian dan penyusunan disertasi, penulis dengan segala kerendahan hati menyampaikan terima kasih semoga Allah SWT membalas dengan sebaik-baik balasanNya.
Bogor, Desember 2011 Reni Indrayanti
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Oktober 1962 sebagai anak ke empat dari orang tua Sukardiono Windudipuro (alm) dan Sumartinah Tomopuspito (almh). Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IKIP Jakarta lulus pada tahun 1984. Pendidikan Pascasarjana ditempuh pada tahun 1991 pada Program Studi Biologi, sub program studi Botani pada Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 1994. Kesempatan melanjutkan pendidikan Doktor dilaksanakan pada Program Studi Agronomi - Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman pada perguruan tinggi yang sama pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh melalui BPPS Dikti – Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada Universitas Negeri Jakarta. Artikel berjudul Radiosensivitas Pisang cv. Ampyang dan Potensi Penggunaan Iradiasi Gamma untuk Induksi Varian, telah dimuat pada Jurnal Agronomi Indonesia Vol. XXXIX No. 2. Agustus 2011. Artikel lain berjudul Evaluasi Keragaman Fenotipik Pisang cv. Ampyang Hasil Iradiasi Gamma Di Rumah Kaca, telah disajikan pada Seminar Nasional Perhimpunan Hortikultura Indonesia di Lembang pada 23-24 November 2011, serta artikel berjudul Virulensi dan Efektivitas Filtrat Kultur F. oxysporum f.sp. cubense Isolat Banyuwangi untuk Pengujian Ketahanan Pisang cv. Ampyang terhadap Layu Fusarium telah disajikan dalam Presentasi Poster pada Seminar Nasional dan Kongres PERIPI, UNPAD di Bandung pada 10 Desember 2011. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
xii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
xxii
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
.................................................................................
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................... Pendekatan Masalah ........................................................... Tujuan Umum Penelitian ................................................... Manfaat Penelitian ............................................................ Hipotesis ............................................................................. Ruang Lingkup Penelitian .................................................. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang (Musa spp) ......................................... Cendawan F. oxysporum f.sp. cubense Penyebab Layu Fusarium .......................................................................... Kultur InVitro dan Variasi Somaklonal ......................... Seleksi in vitro untuk Resistensi Tanaman Pisang terhadap Layu Fusarium .............................................
1 4 5 5 5 6
9 10 15 18
RADIOSENSITIVITAS PISANG cv. AMPYANG DAN POTENSI PENGGUNAAN IRADIASI GAMMA UNTUK INDUKSI VARIAN Abstrak ……………………………………………...…… Abstract ………………………………………………...… Pendahuluan ……………………………………………... Bahan dan Metode ………………………………………. Hasil dan Pembahasan …………………………………… Simpulan ………………………………………………… Daftar Pustaka ……………………………………………
19 20 20 22 23 31 31
EVALUASI KERAGAMAN FENOTIPIK PISANG cv. AMPYANG (Musa acuminata, AAA) HASIL MUTASI INDUKSI DENGAN IRADIASI GAMMA Abstrak …………………………………………………... Abstract ………………………………………………….. Pendahuluan ……………………………………………... Bahan dan Metode ………………………………………. Hasil dan Pembahasan …………………………………… Simpulan ………………………………………………… Daftar pustaka ……………………………………………
35 36 36 38 39 62 62
xiii
BAB V
VIRULENSI F. oxysporum f.sp. cubense ISOLAT BANYUWANGI UNTUK IDENTIFIKASI KETAHANAN PISANG cv. AMPYANG TERHADAP LAYU FUSARIUM Abstrak ……………………………………………...…… Abstract ……………………………………………...…... Pendahuluan ……………………………………………... Bahan dan Metode ………………………………………. Hasil dan Pembahasan …………………………………… Simpulan ………………………………………………… Daftar Pustaka ……………………………………………
65 66 66 68 70 77 77
BAB VI
SELEKSI IN VITRO UNTUK MENDAPATKAN PLANTLET PISANG cv. AMPYANG HASIL IRADIASI GAMMA INSENSITIF FILTRAT KULTUR F. oxysporum f.sp. cubense Abstrak …………………………………………………... 79 Abstract ………………………………………………….. 80 Pendahuluan ……………………………………………... 80 Bahan dan Metode ………………………………………. 82 Hasil dan Pembahasan …………………………………… 84 Simpulan ………………………………………………… 100 Daftar Pustaka …………………………………………… 100
BAB VII
KETAHANAN VARIAN PISANG (Musa acuminata, AAA) cv. AMPYANG TERHADAP LAYU FUSARIUM Abstrak …………………………………………………... Abstract ………………………………………………….. Pendahuluan ……………………………………………... Bahan dan Metode ………………………………………. Hasil dan Pembahasan ……………………………………. Simpulan ………………………………………………… Daftar Pustaka ……………………………………………
105 106 106 108 110 134 135
BAB VIII
PEMBAHASAN UMUM
139
BAB IX
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ………………………………………………… Saran ……………………………………………………..
149 151
………………………………………………………
153
LAMPIRAN …………………………………………………………………
164
DAFTAR PUSTAKA
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Rataan jumlah tunas pisang cv. Ampyang sebelum diradiasi (M 0 V 0 ) dan diproliferasi selama enam minggu (M 1 V 1 ). ……………………………
24
2.
Rataan jumlah daun dan jumlah akar plantlet pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan tanaman kontrol setelah diproliferasi dan diregenerasikan selama 10 bulan secara in vitro. ………………………..
27
3.
Rataan bobot segar plantlet, tinggi plantlet, rasio panjang:lebar daun plantlet pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan tanaman kontrol setelah diproliferasi dan diregenerasikan selama 10 bulan secara in vitro.
27
4.
Karakter tinggi tanaman dan lingkar batang semu pisang cv. Ampyang hasil perlakuan iradiasi gamma usia 6 bulan setelah aklimatisasi. ..........
40
5.
Karakter panjang daun, lebar daun dan rasio panjang:lebar daun pisang cv. Ampyang hasil perlakuan iradiasi gamma pada usia 6 bulan setelah aklimatisasi. ............................................................................... . Jenis varian pada tanaman pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro berdasarkan karakter kuantitatif tanaman pada usia 6 bulan setelah aklimatisasi. ................
40
7.
Jumlah tanaman dan persentase varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma usia 6 bulan setelah aklimatisasi di rumah kaca.
44
8
Uji F rataan densitas stomata pada epidermis bawah daun ke-2 dan ke-3 tanaman pisang cv. Ampyang pada usia 8 bulan setelah aklimatisasi. .................................................................................
49
9.
Rataan densitas stomata daun ke-3 pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma usia 8 bulan setelah aklimatisasi. ...........................
49
10. Rataan tinggi tanaman dan lingkar batang semu pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro, pada usia 11 bulan setelah tanam di lapangan. …………………………………………….
51
11. Rataan panjang daun (cm), lebar daun (cm), dan rasio panjang : lebar daun pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro, pada usia 11 bulan di lapangan . ...................................................
52
12. Rataan rasio panjang dan lebar daun, jumlah anakan pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro, pada usia 11 bulan setelah tanam di lapangan.
52
6.
xv
43
13. Jenis varian pada tanaman pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro, pada usia 11 bulan setelah tanam di lapangan.. …………………………………………....………
53
14. Pengamatan karakter kuantitatif buah pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro saat panen usia 14-18 bulan setelah tanam di lapangan. .............................................
55
15. Hasil analisis proksimat buah pisang cv. Ampyang hasil perlakuan iradiasi gamma yang ditumbuhkan di lapangan. ................................
59
16. Respon kerusakan tunas pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA) terhadap Foc isolat Banyuwangi. .........................................................
71
17. Rataan skor gejala kelayuan bibit pisang dengan dua metode inokulasi dengan kerapatan suspensi konidia Foc 2.5 x 106 dan 2.5 x 107 kon mL-1, usia 30 hari setelah inokulasi. ......................................
72
18. Rataan skor gejala kelayuan bibit, jumlah daun, tinggi tanaman, panjang akar, ketebalan daun pisang bibit pisang hasil inokulasi dengan kerapatan suspensi konidia Foc 2.5 x 107 kon mL-1, usia 60 hari setelah inokulasi. ...............................................................................................
73
19. Skoring tingkat kerusakan dan persentase kematian tunas pisang cv. Ampyang pada media selektif mengandung filrat kultur Foc isolat Banyuwangi 2 bulan setelah inokulasi.. ................................................
87
20. Rataan jumlah tunas pisang cv. Ampyang pada media tanpa FK Foc (0%) dan media selektif dengan FK Foc 30% usia 6 minggu setelah subkultur. ...............................................................................................
89
21. Rataan jumlah tunas pisang cv. Ampyang pada media selektif dengan FK Foc 30% dan FK Foc 40% , usia 6 minggu setelah subkultur. .......
91
22. Rataan jumlah tunas pisang cv. Ampyang pada media selektif dengan FK Foc 40% dan FK Foc 50%, usia 6 minggu setelah setelah subkultur.
93
23. Rataan jumlah tunas pisang cv. Ampyang pada media selektif dengan FK Foc 50% dan FK Foc 60% , usia 6 minggu setelah subkultur. …...
94
24. Jumlah total tunas varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang tumbuh setelah dilakukan seleksi secara bertingkat dari media selektif mengandung FK Foc 30% ke media selektif mengandung FK Foc 40%, 50% dan 60%. ....................................................................
95
26. Jumlah dan persentase tanaman varian pisang cv. Ampyang insensitif FK Foc 60% yang mampu bertahan hidup sampai usia 60 hari setelah aklimatisasi. ...........................................................................................
99
xvi
27. Ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium pada usia 2 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Medan di rumah kaca .........
112
28. Identifikasi tanaman varian pisang cv. Ampyang usia 2 bulan setelah infeksi. Persentase tanaman yang bertahan hidup, dan yang mengalami recovery, usia 5 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Medan. ....
114
29
Ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium, usia 2 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Banyuwangi di rumah kaca. ......
116
30. Identifikasi tanaman varian pisang cv. Ampyang, usia 2 bulan setelah infeksi. Persentase tanaman yang bertahan hidup, dan yang mengalami recovery, usia 5 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Banyuwangi.
117
31. Ketahanan varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil mutasi induksi dengan iradiasi gamma tanpa tahapan seleksi in vitro terhadap infeksi cendawan Foc isolat Banyuwangi usia 2 bulan setelah inokulasi di rumah kaca. .....................................................................................
122
32. Rataan jumlah daun, tinggi tanaman (cm) dan panjang akar (cm) pada tanaman pisang cv. Ampyang usia 60 hari setelah recovery. ............
123
33. Tinggi tanaman dan lingkar batang semu varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma usia 12 bulan setelah ditumbuhkan pada lahan endemik layu Fusarium di lapangan. ...........
125
34. Jumlah anakan, jumlah pelepah, rasio panjang : lebar daun varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma usia 12 bulan setelah ditumbuhkan pada lahan endemik layu Fusarium di lapangan..
125
35. Karakter kuantitatif buah pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma pada lahan terserang penyakit layu Fusarium di lapangan. ...............
131
36
Hasil analisis proksimat buah pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang ditumbuhkan pada lahan terserang layu Fusarium. .....
132
37
Jumlah dan persentase tanaman varian pisang cv. Ampyang yang dapat bertahan hidup pada usia 12 dan 21 bulan setelah tanam pada lahan endemik penyakit layu Fusarium di lapangan ............................
134
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Bagan alir strategis penelitian: (A) Induksi mutasi untuk meningkatkan keragaman dan ketahanan tanaman pisang cv. Ampyang; (b) Seleksi in vitro untuk mendapatkan klon pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA) resisten terhadap penyakit layu Fusarium. ................................
7
2.
Penentuan LD 50 berdasarkan penghambatan proliferasi tunas aksilar dari eksplan pisang cv. Ampyang yang diberi perlakuan iradiasi gamma. ....
24
3.
Korelasi antara dosis iradiasi dengan pertumbuhan rataan jumlah akar, tinggi plantlet (cm), bobot segar plantlet (g), dan rasio panjang:lebar (p:l) daun plantlet pisang (Musa acuminata, AAA) cv.Ampyang. …….
28
4.
Proliferasi tunas aksilar, regenerasi plantlet dan pertumbuhan bibit pisang cv. Ampyang, yang berasal dari eksplan hasil perlakuan iradiasi 0, 45 dan 50 Gy: (a) Eksplan tunas sebelum diradiasi, (b) Proliferasi tunas, (c) Regenerasi plantlet dan (d) Pertumbuhan bibit pisang paska aklimatisasi usia 2 bulan. ......................................................................
29
5.
Persamaan regresi karakter tinggi tanaman, panjang daun, rasio panjang: lebar daun tanaman pisang cv. Ampyang 6 bulan setelah aklimatisasi ....
41
6.
Sebaran nilai pada tinggi tanaman, panjang daun dan rasio panjang: lebar daun tanaman pisang cv. Ampyang usia 6 bulan setelah aklimatisasi ...............................................................................................
42
7.
Representasi varian tanaman hasil iradiasi usia 6-8 bulan berdasarkan karakter kuantitatif dan kualitatif: (a) tinggi tanaman tertinggi dan terendah, (b) daun berkerut, (c) daun bergaris hijau tua-muda, (d) daun variegata, (e) susunan daun berbentuk melingkar (roset), (f) tepi daun menggulung, (g) daun tegak dengan ujung daun lancip, (h) bentuk daun tidak beraturan dan robek .........................................................................
45
8.
Varian tanaman hasil iradiasi usia 6-8 bulan berdasarkan karakter kualitatif: (a) pelepah daun berhadapan, (b) pelepah daun menumpuk, (c) pelepah tersusun seperti kipas (d) pelepah daun berwarna merah .....
46
9.
Keberadaan bercak pada daun; (a) daun tanpa bercak, (b) bercak sedikit dan (c) bercak banyak.. ........................................................................
46
11. Stomata daun pisang cv. Ampyang diamati pada usia 8 bulan setelah diaklimatisasi. (a) stomata daun tanpa diradiasi (0 Gy) dan (b) hasil iradiasi 20 Gy dengan perbesaran 40x, (c) stomata daun
50
xviii
tanpa diradiasi (0 Gy) dan (d) hasil iradiasi 25 Gy dengan perbesaran 100x. ............................................................................ 12. Varian tanaman pisang cv Ampyang diidentifikasikan sebagai (a) tanaman standar (normal), (b-d) tanaman dengan tinggi dan kualitas buah rendah dan kate, (e-f) variasi bentuk dan warna brachtea pada tanaman pisang dengan kuantitas buah 96-100 buah per tandan dan (g-i) kuantitas buah 38-57 buah per tandan pada usia 11-14 bulan setelah tanam. …..............................................................................................
57
13. Keragaman fenotipik buah yang dihasilkan dari tanaman yang berasal dari hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro (M 1 V 6 ) yang dikategerikan sebagai varian positif: (a-c) usia 11-12 bln setelah tanam; (d-h) saat panen usia 14-18 bln setelah tanam; (i) buah klon anakan hasil iradiasi 50 Gy usia panen 24 bln setelah tanam. ……………...………
58
14.
Karakteristik buah pisang cv. Ampyang setelah masak fisiologis: (a-b) Warna kecoklatan pada kulit buah dan warna orange tua daging buah pisang yang berasal dari hasil iradiasi gamma 25 Gy; (b) hasil iradiasi 45 Gy; (d-e) sisir buah pisang, buah dibelah membujur dan melintang yang berasal dari tanaman 0 Gy. .…………………………………….
60
15. Pertumbuhan dan perkembangan varian tanaman pisang cv. Ampyang yang berasal dari eksplan hasil iradiasi [45 Gy (4) 17] pada usia: (a) 2 bulan, (b) 4 bulan setelah aklimatisasi, (c-d) usia 18 bulan di lapangan, (e-f) karakteristrik bentuk buah sebelum dan setelah panen. ...............
61
16. Plantlet pisang cv. Ampyang usia 2 bulan yang diinfeksi dengan mycelia Foc dengan teknik inokulasi (a) metode kultur ganda-1 (MKG1) dan (b) metode kultur ganda-2 (MKG-2). ........................................
69
17. Gejala kelayuan tunas pisang terhadap Foc isolat Bw dengan teknik inokulasi (a) metode kultur ganda-1 dan (b) metode kultur ganda-2. .....
71
18. Gejala kelayuan bibit pisang hasil inokulsi Foc dengan: (a) metode injeksi batang semu kerapatan Foc 2.5 x 106 kon mL-1 dan (b) 2.5 x 107 kon mL-1 (c) metode perendaman akar kerapatan Foc 2.5 x 106 kon mL-1 dan (d) 2.5 x 107 kon mL-1, usia 60 hari setelah inokulasi. .................
74
19. Warna merah marone pada batang semu pisang hasil iokulasi Foc dengan (a-b) metode injeksi batang dan (c) metode perendaman akar dengan kerapatan Foc 2.5 x 107 kon mL-1, 60 hari setelah inokulasi. ......
74
20. Potongan melintang daun tanaman pisang hasil inokulasi dengan suspensi konidia cendawan Foc kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 melalui (a) metode perendaman akar dan (b) injeksi batang semu pada perbesaran 40x. ..........................................................................
75
21
85
Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) isolat Banyuwangi: (a) Pertumbuhan cendawan dalam media PDA (b) filtrat kultur (FK) xix
Foc pada media PDB dan (c) mikrokonidia Foc secara mikroskopis dengan perbesaran 400x ……………………………………………... 22. Representatif tingkat kerusakan tunas pisang pada media selektif mengandung berbagai konsentrasi filtrat kultur Foc pada usia 2 bulan setelah tanam. ......................................................................................
87
23. Respon pertumbuhan tunas pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dalam media selektif mengandung filtrat kultur (FK) Foc 30% usia 6 minggu setelah subkultur. ....................................................................
89
24. Respon pertumbuhan tunas pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dalam media selektif mengandung filtrat kultur (FK) Foc 40%, usia 6 minggu setelah subkultur. …………………………………………
91
25. Respon pertumbuhan tunas pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dalam media selektif mengandung filtrat kultur (FK) Foc 50%, usia 6 minggu setelah subkultur. .....................................................................
92
26. Respon pertumbuhan tunas pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dalam media selektif mengandung filtrat kultur (FK) Foc 60%, usia 6 minggu setelah subkultur. .....................................................................
94
27. Persamaan regresi jumlah total tunas pisang yang tumbuh dalam media selektif mengandung FK Foc 30% - 40% -50% dan 60%. ……….…..
96
28. Plantlet insensitif FK Foc 60 % yang berasal dari hasil iradiasi: (a) 20 Gy, (b) 35 Gy dan (c) 50 Gy setelah 2 bulan ditumbuhkan pada media regenerasi secara in vitro. ......................................................................
98
29. Gejala kelayuan bibit varian tanaman pisang hasil seleksi in vitro yang berasal dari hasil iradiasi: (a-b) 50 Gy dan 25 Gy pada usia 30 hari setelah aklimatisasi, (c) pertumbuhan koloni cendawan Foc dalam media tanah, (d) bibit tanaman insensitif FK Foc usia 45 hari, (e) pengamatan mikroskopis potongan melintang akar tanaman insensitif FK Foc 60% pada usia 60 hari dengan perbesaran 40x. ....................
101
30. Respon varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil seleksi in vitro yang di infeksi konidia Foc: (a-e) representasi gambar skoring gejala kelayuan bibit pisang pada skor 0-4, (f-k) representasi gambar skoring nekrosis bonggol pada skor 0-5. ..........................................................
111
31
Respon ketahanan bibit varian insensitif Foc hasil seleksi in vitro setelah 2 bulan diinfeksi dengan konidia F. oxysporum f.sp. cubense isolat Medan di rumah kaca. Gambar horizontal (a) Gejala kelayuan bibit dan nekrosis bonggol (insert), (b) gejala kelayuan bibit dan nekrosis bonggol pisang cv. Ampyang. …………………………………
113
32. Respon ketahanan bibit varian insensitif Foc hasil seleksi in vitro setelah 2 bulan diinfeksi dengan konidia F. oxysporum f.sp. cubense
116
xx
isolat Banyuwangi di rumah kaca. Gambar horizontal (a) Gejala kelayuan bibit dan (b) gejala nekrosis bonggol pisang cv. Ampyang. .... 33. Representatif gambar tanaman varian pisang cv. Ampyang tahan layu Fusarium pada usia 5 bulan setelah infeksi dengan (a-d) cendawan Foc isolat Medan dan (e-g) Foc isolat Banyuwangi. ................................
120
34. Potongan melintang akar pisang cv. Ampyang: (a) akar pisang sehat, (b) perubahan warna menjadi kecoklatan akibat kerusakan pada jaringan epidermis, xylem dan bakal akar cabang yang terinfeksi Foc dilihat dengan mikrokop cahaya, (c) warna merah marone pada jaringan xylem akar yang terinfeksi Foc pada akar tanaman yang sama dilihat dengan mikroskop fluorescent, perbesaran 40x. ...........................................
122
35. Tanaman pisang yang berasal dari hasil iradiasi (a-b) 20 Gy, (c-d) 40 Gy, (e) 45 Gy dan (f) 50 Gy yang mengalami recovery setelah diinfeksi melalui metode perendam akar dalam suspensi konidia Foc kerapatan 2.5 x 107 kon. mL-1 usia 1-2 bulan setelah recovery. .......
123
36. Representatif tanaman varian pisang cv. Ampyang pada lahan endemik layu Fusarium: (a) tanaman usia 3 bulan dengan varian bentuk daun menggulung, (b) pelepah menumpuk, (c) tanaman recovery, (d) tanaman sehat, (e-f) tanaman yang menunjukkan gejala awal terinfeksi Foc pada usia 3 bulan dan 11 bulan setelah tanam, (g) tanaman berbuah pada usia 20 bulan setelah tanam dan gejala kalayuan pada anakan terserang layu Fusarium (insert). .................
127
37
(a) batang tidak terinfeksi Foc, (b) warna kecoklatan pada batang terinfeksi Foc, (c) pertumbuhan koloni cendawan Foc pada pelepah membusuk. Pengamatan secara mikroskopis dengan perbesaran 100x potongan membujur dan melintang, (d-e) pelepah pisang terinfeksi Foc, (f-g) pelepah pisang sehat, (h-j) pertumbuhan koloni Foc hasil isolasi dari pelepah terinfeksi Foc tampak depan dan hasil isolasi dari tangkai buah tampak belakang (reversed colony). ..............................
129
38. Keragaman fenotipik buah pisang cv. Ampyang yang tumbuh pada lahan endemik layu Fusarium (a) buah dipanen setelah masak, (b-d) buah di panen setelah pohon tumbang, (e-g) karakteristik buah abnormal (h-i) buah yang cepat membusuk setelah dipanen. ............
130
39
134
Klon anakan yang berasal dari tanaman varian pisang cv. Amyang hasil iradiasi gamma yang di tanaman pada lahan endemik layu Fusarium: (a) tanaman anakan yang mengalami recovery dan tanaman kimera, (b) tunas baru tumbuh pada tanaman kimera, (c-d) klon anakan usia 4 bulan setelah dipindahkan dari lapang. ...............
xxi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1.
Sebaran nilai dan jumlah tanaman pada karakter jumlah anakan, tinggi tanaman dan lingkar batang semu tanaman pisang cv. Ampyang pada pada usia 11 bulan setelah tanaman di lapangan. ..................................
165
2.
Sebaran nilai dan jumlah tanaman pada karakter panjang daun, lebar daun tanaman dan rasio panjang dan lebar daun tanaman pisang cv. Ampyang pada usia 11 bulan setelah tanaman di lapangan. ................
166
3.
Pengamatan keasaman (pH) tanah dan suhu tanah pada lahan endemik layu Fusarium ........................................................................................
167
xxii
1
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Pisang dan plantain (Musa spp) merupakan tanaman pangan yang ditumbuhkan dan dikonsumsi oleh lebih dari 100 negara di daerah tropis dan subtropis (INIBAP 2000). Di Indonesia pisang dan plantain merupakan komoditas buah tropika yang perlu dikembangkan selain manggis, nenas dan pepaya yang dicanangkan oleh Kemetrian Riset dan Teknologi berdasarkan pertimbangan bahwa komoditas buah tropika tersebut berorientasi kerakyatan, yang mampu menjadi leverage factor bagi peningkatan kesejahteraan petani, kecil kemungkinan diimpor secara segar, kualitas produk masih perlu ditingkatkan untuk memenuhi standar konsumen, dapat diterima luas di pasar domestik, dan memiliki potensi di pasar dunia.
Kultivar-kultivar pisang yang dikonsumsi secara alami berkembang dari species Musa acuminata (genom A) dan Musa balbisiana (genom B). Kultivar diploid (AA dan AB), triploid (AAA, AAB, ABB) dan tetraploid (AAAA, AAAB, AABB atau ABBB), berasal dari hibrida di antara kedua species tersebut, dan di antara 9 subspecies Musa acuminata (Moore et al. 2001; Ploetz et al. 2003; 2007). Kedua species alami dan hibrida kompleks ini menghasilkan kombinasi jenis pisang yang dikonsumsi saat ini. Kultivar pisang dikelompokkan ke dalam dua tipe, yaitu jenis pisang meja (dessert type) yang dikonsumsi tanpa dimasak terlebih dahulu, dan jenis pisang olahan (cooking type) yang dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi (Valmayor et al. 2000; Pillay et al. 2004; Heslop-Harisson & Schwarzacher 2007). Produksi pisang meja atau pisang manis diperkirakan mencakup 43% dari total produksi pisang di seluruh dunia, sedangkan pisang olahan diperkirakan mencakup 57% (Valmayor et al. 2000). Pisang (Musa acuminata, genom AAA, subgrup non-Cavendish) cv. Ampyang merupakan jenis pisang meja, selain di Indonesia pisang ini hanya terdapat di Malaysia (cv. Amping) dan Filipina (cv. Amo) (Valmayor et al. 2000). Di Indonesia diperkirakan sekitar 200 kultivar pisang lokal dan varietas liar telah ditanam di hampir seluruh area pada ketinggian yang berbeda dan pada berbagai jenis tanah, baik ditanam di pekarangan rumah maupun di perkebunan pisang, terutama di daerah Sumatra Barat (Nasir et al. 1999). Lahan yang tersedia untuk
2
tanaman pisang di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua sebesar 20.000.000 ha (Nasir et al. 2003). Pada saat ini penurunan produktivitas dan kualitas pisang disebagian besar kebun pekarangan, perkebunan tradisional dan perkebunan komersial di berbagai daerah di Jawa, Sumatra dan Sulawesi sebagian besar dikarenakan adanya penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc). Penyakit layu Fusarium pada pisang disebabkan oleh cendawan tular tanah Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp. cubense (E. F. Smith) Snyder and Hansen (Foc), dikenal juga dengan nama Panama disease, atau ’penyakit layu kuning’. Patogen tumbuhan ini menyerang jaringan vaskuler, dan sangat berperan dalam sejumlah kerusakan pada tanaman pisang dan plantain. Pengendalian yang efektif dan berkelanjutan merupakan salah satu topik yang paling penting dalam bidang pertanian saat ini. Cendawan Foc pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1916 dari perkebunan pisang di Pulau Jawa (Nasir et al. 1999), dan penyebaran penyakit ini berkembang secara eksponensial 32.2% setelah 4 tahun (Lee et al. 2001). Hilangnya eksport komoditas pada kultivar-kultivar komersial, seperti pada pisang Cavendish di Sumatera Selatan dapat mencapai 70%, di Sumatra Utara lebih dari 1000 ha perkebunan komersial pisang rusak dalam waktu tiga tahun, dan sebagian besar kerusakan pada kebun pekarangan, perkebunan tradisional dan perkebunan komersial tersebut disebabkan oleh serangan cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Di propinsi Riau, 3000 ha perkebunan Cavendish seharga US$ 2.5 juta, di Halmahera 3000 ha dan Lampung 1700 ha telah diserang oleh Foc ras 4 (Nasir et al. 2003), secara umum penyakit layu Fusarium dimasa depan dapat menjadi epidemik di perkebunan-perkebunan di Sumatra dan di Indonesia (Nasir et al. 1999; Moore et al. 2000). Pengendalian penyakit layu Fusarium pada pisang secara kimiawi dengan menggunakan fumigan pada tanah, rotasi tanaman, pemberian substansi organik untuk meningkatkan kondisi kimiawi tanah, saat ini tampaknya bukan suatu metode pengendalian yang efektif dan ekonomis (Moore et al. 2001; Daly & Walduck 2006), karena teknik tersebut tidak mampu mengendalikan penyakit dalam periode yang lama, demikian pula pengendalian dengan biopestisida dan pestisida nabati hanya menekan penurunan penyakit sebesar 26-50% (Suastika & Kamandalu 2005).
Meskipun dijumpai kultivar pisang yang resisten terhadap
3
penyakit ini, transfer gen-gen resisten ke dalam varietas yang rentan dengan persilangan konvensional sangat sulit karena sifat triploid kultivar pisang dan produksi biji yang rendah (Matsumoto et al. 1999; De Ascensao & Dubery 2000; Hwang & Ko 2004). Teknik persilangan konvensional juga diketahui memiliki tingkat keberhasilan yang rendah (Companioni et al. 2003; 2006) dan membutuhkan waktu yang lama, sehingga prospek pengendalian penyakit pisang sangat bergantung pada tersedianya kultivar-kultivar inang yang resisten (Moore et al. 2001; Hwang & Ko 2004). Pisang dan plantain (Musa spp) diperbanyak secara vegetatif melalui suckers atau potongan rhizome, dan sebagian besar pisang yang dikonsumsi bersifat triploid, steril, dan partenokarpi serta membutuhkan waktu generasi yang panjang
dalam
siklus
vegetatifnya,
sehingga
metode
pemuliaan
secara
konvensional sulit dilakukan (Musoke et al. 1999; Valmayor et al. 2000; Hwang & Ko 2004, Suprasana et al. 2008). Pada banyak tanaman yang diperbanyak secara vegetatif, induksi mutasi yang dikombinasikan dengan teknik kultur in vitro merupakan suatu metode yang efektif untuk peningkatan keragaman suatu tanaman (Novak & Brunner 1992; Roux 2004), sangat efektif untuk peningkatkan sumber genetik alami, dan secara signifikan mampu mendukung pengembangan kultivarkultivar tanaman buah (IAEA 2009). Agen mutagenik seperti iradiasi dan beberapa bahan kimia seperti EMS dapat digunakan untuk mutasi induksi dan menghasilkan variasi genetik dimana mutan-mutan yang diinginkan kemungkinan dapat diseleksi (Novak & Brunner 1992; IAEA 2009). Induksi mutasi secara in vitro untuk mendapatkan varian somaklonal yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro untuk mendapatkan tanaman-tanaman pisang yang resisten terhadap layu Fusarium merupakan metode alternatif yang telah digunakan pada beberapa jenis pisang meja lainnya, antara lain pada pisang cv. Highgate (M. acuminata, AAA, subgrup Gros Michel) (Bhaghwat & Duncan 1998), pisang cv. Ambon Kuning (M. acuminata, AAA, subgrup Gros Michel) (Sutarto et al. 1998; Mariska et al. 2006), cv. Maca (Musa spp., AAB, subgrup Silk) (Matsumoto et al. 1999), pisang cv. Cavendish (M. acuminata, AAA, subgrup Cavendish) (Hwang & Ko 2004), cv. Dwarf Parfitt (Musa spp, AAA, subgrup Cavendish) (Smith et al. 2006), cv. Rajabulu (Musa spp, AAB, subgrup Pisang Raja) (Lestari et al. 2009).
4
Pendekatan Masalah Penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) menyerang sebagian besar pertanian pisang dan plantain (Musa spp.) di Indonesia. Pengendalian patogen secara kimiawi maupun hayati sulit dilakukan, karena cendawan ini dapat bertahan hidup secara saprofit dalam tanah sebagai mycelium atau sebagai chlamydospora tanpa adanya inang, serta mampu bertahan hidup pada tanah dalam jangka waktu yang lama (Agrios 2005), sehingga penyediaan kultivar-kultivar pisang yang resisten terhadap layu Fusarium merupakan suatu alternatif yang penting untuk dilakukan. Usaha penyediaan kultivar yang resisten terhadap penyakit layu Fusarium memiliki kendala berupa sulitnya diperoleh keragaman genetik pada kultivarkultivar pisang, karena tanaman ini diperbanyak secara vegetatif (klonal). Peningkatan keragaman pada tanaman akan dilakukan melalui pendekatan secara in vitro, melalui induksi tunas pisang aseptis dengan sinar gamma (γ) agar diperoleh varian somaklonal serta melalui teknik subkultur berulang untuk meningkatkan kemungkinan perolehan varian dan kestabilan karakter varian. Peningkatan variasi somaklonal perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaan plasma nutfah yang akan digunakan untuk seleksi in vitro ketahanan tanaman terhadap penyakit. Identifikasi fenotipik varian tanaman hasil induksi mutasi dengan sinar gamma di rumah kaca dan di lapangan dilakukan untuk memperoleh tanaman pisang dengan keragaman genetik yang tinggi, sehingga dari percobaan ini diperoleh tanaman pisang (Musa acuminta, AAA) cv. Ampyang yang memiliki karakter agronomis yang diinginkan. Sistem seleksi secara in vitro untuk resistensi terhadap layu Fusarium telah dideskripsikan untuk tanaman pisang dan plantain, namun tanaman pisang terdiri dari banyak kultivar dengan genotipe yang berbeda, dan kemungkinan besar memiliki karakteristik ketahanan yang berbeda. Demikian pula cendawan Foc isolat Banyuwangi merupakan isolat yang menyerang abaka (Musa textilis Nee), sehingga pengujian awal untuk mengetahui patogenitas dan virulensi Foc isolat Banyuwangi terhadap pisang cv. Ampyang secara in vitro dan ex vitro, serta pengujian efektivitas Foc isolat ini sebagai agen penyeleksi tetap diperlukan. Pengujian metode seleksi dan kerapatan suspensi konidia Foc yang efektif untuk menginfeksi tanaman pisang dilakukan agar diperoleh metode inokulasi dan kerapatan konidia yang tepat yang dapat digunakan untuk evaluasi ketahanan
5
tanaman terhadap layu Fusarium di rumah kaca, sehingga terhindar dari penarikan kesimpulan yang salah. Identifikasi resistensi klon-klon varian yang berasal dari hasil mutasi induksi yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro dilakukan di rumah kaca, dan identifikasi resistensi klon varian yang berasal dari hasil mutasi induksi tanpa tahapan seleksi in vitro dilakukan melalui pendekatan secara agronomis di rumah kaca dan di lapangan.
Serangkaian percobaan ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang paling relevan dalam penyediaan benih pisang yang resisten atau meningkat resistensinya terhadap penyakit layu Fusarium.
Tujuan Umum Penelitian: 1. Meningkatkan keragaman tanaman pisang (Musa acuminata, AAA) cv. Ampyang melalui teknik mutasi induksi dengan iradiasi gamma secara in vitro. 2. Mendapatkan klon-klon dari kultivar pisang (Musa acuminata, AAA) cv. Ampyang yang resistensi terhadap layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense.
Manfaat Penelitian 1. Penentuan kisaranan dosis letal (LD20-50) pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish) yang dapat menjadi acuan untuk menginduksi mutasi pada pisang kultivar lainnya dengan genom AAA. 2. Diperoleh parameter untuk mengidentifikasi keragaman fenotipik tanaman secara kuantitatif dan kualitatif, dan prosedur baku untuk mendapatkan tanaman pisang yang resisten terhadap penyakit layu Fusarium. 3. Perolehan klon-klon yang dapat digunakan sebagai plasma nutfah tanaman pisang cv. Ampyang resisten layu Fusarium dan potensi pengembangan tanaman pisang secara klonal.
Hipotesis. 1. Teknik mutasi induksi melalui pemberian berbagai dosis iradiasi gamma dapat meningkatkan keragaman tanaman pisang cv. Ampyang. 2. Perolehan klon-klon tanaman pisang resisten layu Fusarium dapat diperoleh melalui teknik mutasi induksi yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro, atau teknik mutasi induksi tanpa tahapan seleksi in vitro
6
Ruang Lingkup Penelitian Tujian akhir dari penelitian ini adalah mendapatkan klon tanaman pisang cv. Ampyang dengan keragaman yang tinggi dan resisten penyakit layu Fusarium. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan serangkaian percobaan yang meliputi: I.
RADIOSENSITIVITAS PISANG cv. AMPYANG DAN POTENSI PENGGUNAAN IRADIASI GAMMA UNTUK INDUKSI VARIAN Percobaan 1. Percobaan 2.
Radiosensitivitas tunas pisang terhadap iradiasi gamma. Regenerasi tunas dan identifikasi fenotipik plantlet pisang hasil iradiasi gamma.
II. EVALUASI KERAGAMAN FENOTIPIK PADA PISANG cv. AMPYANG HASIL MUTASI INDUKSI DENGAN IRADIASI GAMMA Percobaan 3. Percobaan 4.
Evaluasi di rumah kaca terhadap keragaman fenotipik tanaman pisang. Evaluasi di lapangan terhadap keragaman fenotipik tanaman pisang.
III. VIRULENSI F. oxysporum f.sp. cubense ISOLAT BANYUWANGI UNTUK IDENTIFIKASI KETAHANAN PISANG cv. AMPYANG TERHADAP LAYU FUSARIUM Percobaan 5. Percobaan 6.
Uji virulensi Foc isolat Banyuwangi dengan metode kultur ganda secara in vitro. Evaluasi virulensi Foc isolat Banyuwangi dan efektivitas metode uji ketahanan pisang cv. Ampyang terhadap layu Fusarium.
IV. SELEKSI IN VITRO UNTUK MENDAPATKAN PLANTLET PISANG cv. AMPYANG HASIL IRADIASI GAMMA INSENSITIF FILTRAT KULTUR F. oxysporum f.sp. cubense Percobaan 7. Percobaan 8. Percobaan 9.
Efektivitas filtrat kultur (FK) Foc isolat Banyuwangi sebagai agen penyeleksi. Seleksi in vitro secara bertingkat tunas pisang cv. Ampyang dengan FK Foc Regenerasi dan aklimatisasi plantlet pisang insensitif FK Foc.
V. KETAHANAN VARIAN PISANG (Musa AMPYANG TERHADAP LAYU FUSARIUM
acuminata,
AAA)
cv.
Percobaan 10. Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium di rumah kaca. Percobaan 11. Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma terhadap layu Fusarium di rumah kaca. Percobaan 12. Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma terhadap layu Fusarium di lapangan.
7
Diagram Alir Strategi Penelitian. A. Mutasi induksi untuk meningkatkan keragaman dan ketahanan tanaman Perbanyakan tunas (2 bln)
Plantlet pisang in vitro
MT: MS + 4.50 mg L-1 BAP, 0.22 TDZ, 0.175 mg L-1 IAA
I. Radiosensitivitas pisang thdp sinar γ 0, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50 Gy
M1V2… M1V6-8
11. Evaluasi ketahanan varian pisang hasil iradiasi di rumah kaca
(8 bln))
M1V1
Proliferasi tunas
LD20-50
6. Evaluasi virulensi Foc isolat Bw & efektivitas metode uji ketahanan pisang t’hadap layu fusarium
2. Regenerasi & identifikasi fenotipik varian
klon varian pisang (3-4 bln)
3. Evaluasi keragaman fenotipik tan. di rumah kaca
12. Evaluasi ketahanan varian t’hadap layu Fusarium di lapangan
4. Evaluasi keragaman fenotipik tanaman di lapangan
Out put: Klon pisang cv. Ampyang tahan penyakit layu Fusarium
B. Seleksi in vitro untuk mendapatkan klon pisang resisten layu Fusarium Foc isolat Bw dlm media PDA
Inkubasi cendawan Foc dalam media PDB →shaker
Filtrat Kultur Foc
Sterilisasi 121oC – 20’
5. Uji virulensi Foc isolat Bw pd pisang cv. Ampyang Varian tunas pisang in vitro (M1V6-8)
7. Efektivitas FK Foc sbg agen penyeleksi.
8. Seleksi in vitro secara bertingkat tunas pisang dengan FK Foc FK Foc 30% FK Foc 40% FK Foc 50% FK Foc 60%
9. Regenerasi dan Aklimatisasi Planlet insensitif Foc
Tunas pisang in vitro
Konsentrasi FK yg efektif Out put: Klon pisang cv. Ampyang tahan penyakit layu Fusarium
10. Evaluasi ketahanan varian hasil seleksi in vitro thdp layu Fusarium di rumah kaca Klon insensitif Foc
Gambar 1. Bagan alir strategis penelitian: (A) Mutasi induksi untuk meningkatkan keragaman dan ketahanan tanaman pisang cv. Ampyang; (B) Seleksi in vitro untuk mendapatkan klon pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA) hasil mutasi induksi dengan iradiasi gamma resisten terhadap layu Fusarium.
8
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang (Musa spp.) Taksonomi Pisang dan plantain (Musa spp) dan pisang ornamental merupakan tanaman yang termasuk famili Musaceae, ordo Zingiberales. Berasal dari Asia Tenggara dan daerah tropis dan sub tropis termasuk Afika dan Papua New Guinea (Ploetz et al. 2007).
Menurut Valmayor et al. (2000) klon-klon dari pisang diploid di
kultivasi di daerah lembab di Asia Tenggara, dan perkembangan kultivar triploid tanpa biji yang kokoh merupakan hasil dari restitusi kromosom, dan/ atau persilangan dari edible diploid dengan M. acuminata liar (Daniells et al 2001). Kultivar-kultivar pisang secara alami berkembang dari species Musa acuminata (genom A) dan Musa balbisiana (genom B). Kultivar diploid (grup AA dan AB), triploid (grup AAA, AAB, ABB) dan tetraploid (grup AAAB) berasal dari hibrida di antara subspecies M. acuminata yang memiliki 9 subspecies, dan di antara M. acuminata dan M. balbisiana (Moore et al. 2001; Ploetz et al. 2003). Kedua species alami dan hibrida kompleks ini menghasilkan kombinasi jenis-jenis pisang yang dikonsumsi saat ini. Kondisi ini menyebabkan identifikasi pisang menjadi sulit, sehingga para pemulia sepakat mengadopsi penamaan tanaman melalui tiga kategori sistem penamaan yaitu species, grup genom dan kultivar (Valmayor et al. 2000; Ploetz et al. 2007). Penamaan pisang umumnya digunakan untuk subgrup spesifik jenis pisang meja (dessert banana) dan plantain untuk pisang olahan (cooking banana). Pisang Ampyang merupakan jenis pisang meja yang termasuk grup genom AAA, subgrup non-Cavendish (Valmayor et al. 2000)
Karakteristik dan Manfaat Pisang dapat berbuah tanpa melalui proses fertilisasi yang dikenal sebagai partenokarpi dan menghasilkan bonggol di bagian basal (basal suckers) yang dapat digunakan untuk memperbanyak individu tanaman secara vegetatif (Ploetz et al. 2007). Sebagian besar kultivar-kultivar pisang merupakan hibrid alamiah, dan sejak dahulu diseleksi oleh manusia dan diperbanyak secara vegetatif sebagai klon. Menurut Heslop-Harrison & Schwarzhaker (2007) prinsip dasar secara genetik
10
partenokarpi dari M. acuminata sampai saat ini belum dikarakterisasi. Buah yang merupakan produk utama pisang memiliki komposisi zat gizi/100 gram bahan yang cukup tinggi, yaitu air 75.00 gr; Energi 88.00 K; Karbohidrat 23.00 gr, Protein 1.20 gr; Lemak 0.20 gr; Ca 8.00 mg; P 28.00 mg; Fe 0,60 mg; Vitamin A 439.00 SB, B-1 0.04 mg dan C 78.00 mg.
Cendawan F. oxysporum f.sp. cubense Penyebab Layu Fusarium Biologi Fusarium oxysporum Fusarium spp termasuk dalam subklas Deuteromycetes, penamaan Fusarium oxysporum Schlecht sebagai yang dikemukakan oleh Snyder and Hansen pada tahun 1940 (Kistler 2001), merupakan cendawan penyebab layu Fusarium yang tersebar luas menyerang berbagai tanaman. Cendawan ini memproduksi tiga tipe spora aseksual yaitu mikrokonidia, makrokonidia dan chlamidospora yang dorman dan immobil. Chlamidospora terdapat pada jaringan yang membusuk, sampai akhirnya berkecambah melalui nutrisi yang dilepaskan oleh akar tanaman (Agrios 2005), ekskresi dari akar non-inang, atau kontak dengan bagian akar segar tanaman yang tidak terkoloni oleh cendawan Fusarium oxysporum. Bentuk patogenik Fusarium oxysporum yang menyerang tanaman dibagi menjadi formae speciales berdasarkan tanaman inang yang diserang, selanjutnya dibagi kembali ke dalam ’ras’ berdasarkan virulensinya terhadap beberapa kultivar inang (Agrios 2005). Penyakit layu Fusarium diketahui menjadi faktor pembatas dalam produktivitas pada beberapa tanaman pangan dan hortikultura di antaranya pada tanaman pisang (Musa spp) (F. oxysporum f.sp. cubense), melon (Cucumis spp) (F. oxysporum f.sp. melonis), bawang merah (Allium spp) (F. oxysporum f.sp. cepae), tomat (Lycopersicon spp) (F. oxysporum f.sp. lycopersici), krisan (Chrysanthemum spp) (F. oxysporum f.sp. chrysantemi) dan carnation (Dianthus spp) (F. oxysporum f.sp. dianthi) (Agrios 2005).
Perkembangan dan Penyebaran Cendawan F. oxysporum f.sp. cubense. Penyakit pada tanaman pisang merupakan masalah utama yang menurunkan produksi tanaman ini dimanapun tanaman tersebut tumbuh. Hal ini yang mejadi kunci utama alasan untuk membuat program pemuliaan tanaman pisang. Penyakit
11
layu Fusarium atau panama disesase, merupakan penyakit yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp. cubense (E.F. Smith) Snyder and Hansen (Foc), berasal dari Asia Tenggara, namun pertama kali dilaporkan pada tahun 1876 di Australia (Ploettz & Pegg 1997). Di Indonesia penyakit ini berkembang pada tahun 1916 di pulau Jawa. Cendawan ini menyerang akar tanaman pisang dan plantain yang tersebar luas, sangat destruktif dan merupakan penyakit tanaman yang sangat merugikan yang menyerang berbagai perkebunan dan industri pisang di Indonesia (Nasir et al. 2003), walaupun informasi yang akurat dan pengaruhnya secara ekonomi masih sangat terbatas (Hermanto et al. 2011). Besarnya kerusakan dan hilangnya produksi tanaman pisang bervariasi bergantung pada lokasi, kultivar, lama kultivasi, dan ada atau tidaknya ras 4 (Moore el al 2001; Masdek et al 2003) Cendawan F. oxysporum f.sp. cubense ini dikenal dalam empat ras, yang dibedakan berdasarkan suseptibilitas inang.
Ras 1 menyerang pisang varietas
‘Gros Michel’, ‘Lady Finger’ (AAB), dan ‘Silk’ (AAB). Ras 2 menyerang antara lain varietas ‘Bluggoe’ (ABB) dan ras 4 menyerang pisang Cavendish (AAA) dan pisang lain yang diserang ras 1 dan 2. Ras 3 menyerang Heliconia spp yang memiliki kekerabatan dekat dengan pisang, tetapi tidak dianggap sebagai patogen terhadap tanaman pisang. Ras 4 dikelompokkan lagi menjadi ‘sub-tropikal’ dan ‘tropikal’ strains. Di Indonesia dari 261 isolat yang telah dikoleksi di Sumatra dan di Jawa sejak tahun 1990 sampai 2002, 70% adalah ras 4 (Masdek et al. 2003), dan ras 4 ‘tropikal’ ini dilaporkan paling virulen dan tersebar di Halmahera, Irian Jaya, Jawa, Sumatra dan Sulawesi (Ploetz & Churchill 2011).
Penyebaran Foc dan Gejala Kelayuan pada Tanaman Pisang Mycelia patogen Foc masuk ke dalam tanaman melalui ujung-ujung akar, melakukan penetrasi dan mengkolonisasi akar, selanjutnya cendawan memproduksi mikrokonidia yang akan ditraslokasikan ke sistem jaringan vaskuler akar (xylem) dan batang semu, menutupi jaringan vaskuler dan menghambat pergerakan air. Penyebaran konidia terhambat dalam sel tabung (sieve cells) xylem, sehingga terjadi perkecambahan spora, dan spora tumbuh untuk melanjutkan penyebaran sampai akhirnya memblok seluruh sistem jaringan xylem. Setelah tanaman mati, cendawan tumbuh di jaringan sekitarnya dan membentuk chlamidospora yang akan menyebar dalam tanah ketika tanaman yang terinfeksi membusuk.
12
Gejala eksternal pertama yang ditimbulkan penyakit ini adalah warna kuning pada daun bagian bawah yang sangat jelas terlihat, sehingga penyakit ini dinamakan pula yellow leaf disease. Pada pisang Cavendish gejala ini umumnya terjadi 5 bulan setelah penanaman (Hwang & Ko, 2004).
Daun-daun yang
menguning dimulai dari daerah tepi daun dan berkembang ke arah tulang daun, kemudian daun berkembang menjadi titik-titik hitam, petiole akan menjadi coklat dan melengkung, yang diikuti oleh pengeringan daun. Lembaran daun-daun yang telah mati seringkali akan mengelilingi batang-semu pisang. Proses ini dimulai dari daun tua sampai daun-daun muda (Nasir et al. 1999; Daly & Walduck 2006). Gejala pertama secara internal terlihat jelas di jaringan xylem akar dan rhizoma, berupa titik-titik atau garis-garis berwarna merah kecoklatan sampai berwarna merah maroon. Pada tahapan awal infeksi secara khusus terjadi perubahan warna kuning dengan pola melingkar dibagian tengah pada potongan melintang rhizoma. Gejala berkembang ke dalam batang semu pisang membentuk garis-garis kecoklatan sampai bagian ujung dari batang (Daly & Walduck 2006), selanjutnya daun menjadi layu dan menguning, pucuk-pucuk tanaman menjadi pucuk sukulen, yang pada akhirnya seluruh tanaman akan mengalami kematian (Hwang & Ko 2004; Agrios 2005).
Metabolit dan Toksin pada Cendawan Fusarium Toksin utama yang diproduksi berbagai species cendawan Fusarium dan Gibberella adalah asam fusarat (5-n-butylpicolinic acid). Asam fusarat merupakan toksin non-spesisfik inang (Goodman et al. 1986; Huang 2001; Agrios 2005), karena bersifat non-spesifik inang maka asam fusarat dapat berpengaruh baik terhadap inang atau non-inang (Goodman et al. 1986). Asam fusarat merupakan suatu myco-toksin, antibiotik, insektisida dan fitotoksin (Huang, 2001), berperan dalam perubahan permiabilitas membran sel, mengakibatkan terganggunya keseimbangan ion-ion anorganik dalam tanaman yang terinfeksi patogen dan mengakibatkan kebocoran elektrolit dalam sel (Goodman et al. 1986). Metabolit yang disintesis Fusarium oxysporum selain asam fusarat, antara lain auksin
(asam indol-3-acetic acid)
yang menyebabkan
peningkatan
permiabilitas dinding sel tanaman dan enzim pektolitik, beberapa bukti menyebutkan bahwa enzim pektat patogen (pectin methyl esterase, pectin lyase,
13
polygalacturonase) berperan aktif dalam perkembangan penyakit pada jaringan vaskuler (Agrios 2005). Pembongkaran substansi pektat akan membebaskan fragmen pektat yang masuk melewati aliran vaskuler yang akan meningkatkan viskositas dan mereduksi laju aliran air (Goodman et al. 1986).
Mekanisme Resistensi pada Tanaman Tanaman tingkat tinggi dan organisme lain akan menggunakan mekanisme pertahanan dengan cakupan yang luas untuk melindungi dirinya menghadapi invasi patogen. Kemampuan setiap tanaman untuk menimbulkan suatu reaksi pertahanan diketahui dimediasi melalui suatu proses inisiasi pengenalan antara tanaman dan patogen, yang melibatkan deteksi beberapa molekul signal tertentu yang unik dari patogen melalui molekul menyerupai reseptor (receptor-like molecules) dalam tanaman, dan mekanisme cascade biokimiawi yang mengawali ekspresi resistensi tanaman (Ryals et al. 1994; Huang 2001; Roncero et al. 2003). Sel tanaman memiliki kemampuan mempertahankan diri dari patogen melalui mekasime dengan cakupan yang luas, baik secara kimiawi maupun fisik. Induksi resistensi dapat berupa induksi lokal yang merespon molekul signal dengan mobilitas terbatas atau induksi sistemik yang merespon molekul sinyal dengan mobilitas tinggi, konstitutif (fitoantisipin) atau respon yang diiduksi (fitoaleksin) (Mansfield 2000; van Loon 2000). Resistensi pada tanaman terjadi melalui jalur pensinyal yang diinduksi oleh infeksi patogen dan patogen avirulen (systemic acquired resistance), bakteri non-patogen (induced systemic resistance) dan senyawa kimia tertentu. Resistensi melalui jalur SAR (systemic acquired resistance) menyebabkan hipersensitif respon berupa nekrosis jaringan. Ekspresi SAR bergantung pada akumulasi asam salisilat (SA), dan asosiasi induksi protein yang berperan dalam patogenesis (patogenesis-related proteins) dengan aktivitas anti-patogen, sebaliknya rhizobacteria yang memediasi ISR (induced systemic resistance) tidak membutuhkan SA, dapat terjadi tanpa produksi PR protein, dan bergantung pada signal etilen dan asam jasmonat (JA) (van Loon 2000).
Respon Tanaman Pisang terhadap Infeksi Foc. Mekanisme awal pertahanan inang, umumnya dilakukan melalui lignifikasi (fortifikasi dinding sel), sintesis dan akumulasi senyawa fenolik di jaringan di
14
sekitar akar pisang yang terinfeksi.
Lignifikasi dinding sel akar pisang ini
merupakan salah satu barier yang paling efektif melawan invasi patogen. Sintesis enzim-enzim yang terlibat dalam penguatan dinding sel akar pisang juga terjadi, seperti
phenylalanine
ammonia
lyase,
cinnamyl
alcohol
dehydrogenase,
peroxidase, dan pholyphenol oxidase (De Ascensao & Dubery 2000; 2003). Enzim yang berperan dalam fortifikasi dinding sel ini akan meningkat selama adanya ekspresi hipersensitif respon (Huang 2001), yaitu suatu respon yang terjadi pada setiap tanaman, dan berperan utama dalam pertahanan tanaman terhadap infeksi patogen, karena sifatnya yang sangat resisten terhadap degradasi enzim mikroba. Selanjutnya terjadi deposisi kalose, terbentuk gums, tylose, dan gel pada jaringan xylem akar pisang, yang kemungkinan merupakan hasil fotoasimilat dari tanaman untuk mengisolasi patogen (Agrios 2005), namun apabila terjadi infeksi yang berkelanjutan, akan terjadi akumulasi senyawa tersebut pada pembuluh trachea dan tracheid jaringan xilem, yang berakibat terganggunya transportasi air dan garam mineral dari akar ke daun.
Akumulasi gel yang
berlebihan juga terjadi dari perubahan enzim kompleks pada lamela tengah-dinding primer sel parenkim xilem, baik pada pit membran atau dibagian lempeng perforasi. Pembentukan gel dan degradasi lamela tengah dari pit membran ini, selanjutnya merangsang pembentukan tylose yang akan mereduksi transport air dan garam mineral di jaringan vaskuler sehingga terjadi kelayuan yang diikuti oleh pencoklatan jaringan karena adanya oksidasi senyawa fenolik (Goodman et al. 1986). Mekanisme resistensi tanaman pisang juga terjadi melalui pembentukan fitoaleksin, dan pembentukan senyawa protein antimikroba, beberapa fitoaleksin yang telah berhasil diisolasi pada tanaman pisang yang diinfeksi oleh Fusarium oxysporum f.sp. cubense antara lain musalenones C, D, E, F pada rhizoma, irenolone I pada daun dan buah (Luis et al. 1996), 2-hydroxy-9-phenyl-phenalene1-one (hydroxyanigofuron) pada rhizoma (Luis et al. 1996; Binks et al. 1997; Borges et al. 2003) dari Musa acuminata, AAA, kultivar Grande Naine (subgrup Cavendish). Senyawa anti-mikroba yang telah berhasil diisolasi adalah Banana thaumatin-like protein (Ban-TLP) pada buah pisang yang masak (Barre et al. 2000), dan MSI-99 (analog PR-protein, margainin) pada Musa spp kultivar Rastali (Raja Sereh) (Chakrabarti et al. 2003).
15
Kultur In vitro dan Variasi Somaklonal Kultur in vitro Tanaman Pisang Kultur in vitro atau kultur jaringan pada saat ini merupakan suatu metode yang sudah banyak dilakukan untuk tujuan perbanyakan tanaman dan merupakan alat penting bagi studi dasar maupun aplikasi yang berorientasi komersial, termasuk teknik-teknik dan metode yang sesuai untuk penelitian dalam banyak disiplin ilmu botani dan beberapa objek percobaan. Pada tanaman pisang, pertumbuhan jaringan yang terorganisir secara in vitro dibatasi pada kultur embrio dan kultur pucuk, sampai saat ini, lebih dari 1.000 aksesi yang berbeda dari kultur pucuk (shoot-tips culture) telah diinisiasi secara in vitro, dimultiplikasi dan dipelihara pada kondisi temperatur rendah (16 ± 1oC) (Strosse et al. 2004). Multiplikasi pucuk tanaman pisang secara in vitro pada umumnya menggunakan pucuk meristem pada media Murashige dan Skoog (MS) dengan penambahn BA (6-benzyladenin) 2.25 mg L-1 dan IAA (Indole-3-acetic acid) 0.175 mg L-1 (Strosse et al. 2004), atau BA 4.5 mg L-1 (Mariska et al. 2006). Pemberian asam askorbat atau asam sitrat dengan kisaran 10-150 mg L-1 pada medium dasar dapat mengurangi jaringan menjadi hitam, sedangkan untuk pemeliharaan dan menginduksi perakaran konsentrasi BA diturunkan menjadi 0.225 mg L-1 (Strosse et al. 2004). Konsentrasi BA dapat ditingkatkan 10 kalinya menjadi 22.5 mg L-1 dan 0.175 mg L-1 IAA apabila produksi proliferasi meristem yang tinggi dibutuhkan. Laju multiplikasi tunas pisang bergantung pada baik pada sitokinin maupun genotip tanaman. Secara umum pucuk-pucuk kultivar yang hanya memiliki genom A akan memproduksi 2-4 pucuk baru, sedangkan kultivar yang memiliki satu atau dua genom B akan memproduksi kluster-kluster pucuk yang banyak dan kuncup pada setiap siklus subkultur.
Pucuk aksilar dan adventif baru dapat tumbuh
langsung dari eksplan ujung pucuk sekitar 6-12 minggu setelah inisiasi kultur, bergantung ukuran eksplan yang diinisiasi. Kluster pucuk dapat dipisahkan, dan di subkultur kembali dengan interval 4-6 minggu (Strosse et al. 2004). Selain kultur pucuk dan embrio, pertumbuhan jaringan pisang juga dapat diregenerasikan secara tidak terorganisir, yaitu melalui induksi embriogenesis somatik. Embriogenesis dapat diinduksi melaui inokulasi eksplan embrio zigotik, pelepah rhizoma dan lembaran daun (Novak et al. 1989) dan kultur proliferasi
16
meristem, pada medium semi padat mengandung 1 mgL-1 2,4-D (2.4dichlorophenoxyacetic acid) dan 0.22 mgL-1 zeatin. Respon embriogenik bergantung tidak hanya pada genotipe pisang tetapi juga pada galur terseleksi dan percobaan yang dilakukan (Strosse et al. 2004).
Faktor-faktor dalam Induksi Variasi Somaklonal. Variasi somaklonal merupakan variasi genetik yang muncul di antara individual sel anakan pada tanaman yang diregenerasi melalui kultur jaringan dan sel (Collin & Edwards 1999; Hartman et al. 2002), seringkali didefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman yang berasal dari sel somatik. Variasi somaklonal yang diperoleh melalui teknik in vitro merupakan pendekatan yang cepat dan dapat dipercaya untuk peningkatan dan perbaikan tanaman. Beberapa klon pisang yang memiliki kualitas superior diproduksikan melalui seleksi terhadap berbagai pendekatan, termasuk resisten terhadap penyakit (Ho 1999; Hwang & Ko 2004). Laju terbentuknya varian somaklonal dapat ditingkatkan melalui induksi mutasi secara fisik maupun kimiawi. Berbagai varian somaklon dalam kultur in vitro memberi peluang untuk mengidentifikasi varian-varian tertentu yang mempunyai sifat unggul. Berbagai variasi genetik telah digunakan untuk resistensi tanaman terhadap patogen, toleran terhadap stress abiotik dan biotik, resistensi herbisida, dan perolehan banyak variasi lainnya. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi frekuensi munculnya variasi somaklonal dalam kultur in vitro pisang, adalah genotip tanaman induk, jumlah siklus sub-kultur dan umur jaringan dalam kultur in vitro, konsentrasi berbagai komponen media pertumbuhan, tipe regenerasi, tipe dan konsentrasi zat pangatur tumbuh (Nwauzoma et al. 2002), dan penggunaan kondisi selektif dalam media in vitro. Menurut Hartman et al. (2002), variabilitas somaklonal dapat dihasilkan karena (a) variasi dengan karakter tertentu memang ada di antara populasi sel, (b) sistem perbanyakan tanaman secara in vitro melalui pembentukan kalus akan menghasilkan variasi atau (c) variasi dapat diinduksi melalui agen mutagenik secara fisik maupun kimiawi.
Induksi variasi somaklonal dengan mutagen Teknik induksi mutasi dengan berbagai agen mutagenik, secara spesifik juga sangat penting untuk tanaman pisang dan plantain (Musa spp). Tanaman
17
pisang merupakan tanaman yang diperbanyak secara vegetatif sehingga memiliki keterbatasan dalam perolehan variasi genetik. Meskipun mutasi secara spontan dapat memberi kontribusi terhadap diversitas genetik pada Musa dan secara nyata meningkatkan variasi, namun frekwensinya relatif kecil. Penggunaan kultur in vitro untuk menginduksi mutasi pada Musa spp agar diperoleh variasi somaklon dapat menjadi suatu metode alternatif, bila beberapa tahapan dalam proses induksi mutasi dapat di optimalkan yaitu : (1) penggunaan bahan tanaman sebagai eksplan; (2) determinasi dosis mutagenik yang optimal untuk mutagen fisik dan kimia; (3) proses pemisahan chimera; (4) aplikasi metode skrining awal untuk seleksi mutanmutan yang berguna untuk peningkatan karakter tanaman (Roux 2004). Peningkatan variasi somaklonal melalui pemberian mutagen fisik, mutagen kimia dan subkultur berulang telah dilakukan oleh banyak peneliti.
Beberapa
laporan penelitian mengemukakan bahwa pemberian dosis letal (LD) yang tepat juga merupakan faktor penentu untuk keberhasilan perolehan varian-varian somaklon pada pisang (Musoke et al. 1999; Mak et al. 2004). Penggunaan iradiasi gamma (γ) untuk pengembangan tanaman buah-buahan telah banyak digunakan di antaranya untuk mendapatkan tanaman pisang resisten penyakit layu Fusarium (Smith et al. 1995; Sutarto et al. 1998; Musoke et al.1999; Roux et al 2004; Mak et al. 2004; Hwang & Ko 2004; Hutami et al. 2006; Smith et al. 2006; ); induksi embriogenesis dan multiplikasi tunas jeruk limau madu dan limau langkat (Citrus suhuiensis) (Noor et al. 2009), untuk mendapatkan tanaman mangga (Mangifera indica L.) resisten Antracnose (Litz 2009), dan tanaman pepaya (Carica papaya L.) resisten penyakit ring spot virus dan menghambat pemasakan buah (Chan 2009). Hasil penelitian induksi mutasi pada berbagai kultivar pisang memberikan gambaran bahwa, dosis iradiasi yang disarankan untuk tanaman pisang yang termasuk dalam genom diploid AA/BB berkisar 10-20 Gy, triploid AAA dan AAB berkisar 30-40 Gy (Roux. 2004; Mak et al. 2004), triploid ABB berkisar 40-50 Gy (Roux 2004; Hautea et al. 2004). Selain pemberian mutagen fisik dan kimia, peningkatan variasi somaklonal dapat diperoleh melalui subkultur berulang, karena kultur yang ditumbuhkan dalam periode yang lama seringkali memperlihatkan adanya abnormalitas kromosom yang dapat menguntungkan (Predieri 2001). Pada pisang Pacovan (Musa spp., AAB), variasi somaklonal sebesar 5.8% terjadi pada
18
subkultur ke- lima dan ke sembilan pada media Murashige dan Skoog dengan 2.5 mg L-1 BAP yang disubkultur ke media 4.0 mg L-1 BAP (Rodrigues 2004). Seleksi in vitro untuk Resistensi Pisang terhadap Layu Fusarium Seleksi in vitro untuk ketahanan terhadap penyakit pada tanaman buah merupakan suatu fenomena yang melibatkan interaksi antara inang-patogen dan pengaruh aditif faktor abiotik yang mendukung perkembangan suatu penyakit (Jayasankar & Gray 2005; Chandra et al. 2010). Pada saat ini pengembangan strategis pemuliaan tanaman untuk ketahanan terhadap penyakit dilakukan melalui metode kultur jaringan melalui teknik seleksi varian somaklonal terhadap patogen spesifik atau fitotoksin. Pada jenis pisang meja dan pisang olahan, pengujian adanya varian somaklonal dengan karakteristik resisten terhadap F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) dapat dilakukan melalui seleksi in vitro dengan menggunakan agen penyeleksi berupa elisitor dari Foc (De Ascensao & Dubery 2000, 2003; Aguielar et al. 2003), filtrat kultur Foc dan toksin asam fusarat (Morpugo et al. 1994; Matsumoto et al. 1995; Damayanti 2004; Jumjunidang et al. 2005; Companioni et al. 2006; Purwati et al. 2007). Pengujian resistensi varian dengan menggunakan media selektif mengandung filtrat kultur sebagai komponen seleksi, lebih umum digunakan untuk menghasilkan varietas baru yang lebih tahan terhadap penyakit pada berbagai kultivar pisang, namun masalah yang sering dihadapi adalah menurunnya kemampuan regenerasi massa sel setelah seleksi. Kerapatan konidia cendawan Fusarium sebagai agen penyeleksi sangat menentukan keberhasilan induksi resistensi tanaman yang diuji. Hasil penelitian pada bibit abaka (Musa textilis Nee), perendaman dalam suspensi konidia Foc isolat Banyuwangi dengan kerapatan 105 konidia mL-1 atau 106 konidia mL-1, mampu menimbulkan gejala kelayuan pada 3 klon abaka yang diuji (Purwati et al. 2007).
Teknik inokulasi cendawan tular tanah pada umumnya dilakukan dengan
merendam akar tanaman yang telah dilukai ke dalam inokulum yang berisi filtrat kultur, namun saat ini penggunaan daun yang dilukai dan diinokulasi dengan konidia merupakan strategi baru untuk pengujian resistensi tanaman terhadap cendawan tular tanah (Companioni et al. 2003).
19
BAB III RADIOSENSITIVITAS PISANG cv. AMPYANG DAN POTENSI PENGGUNAAN IRADIASI GAMMA UNTUK INDUKSI VARIAN Abstrak Pisang merupakan tanaman yang diperbanyak secara vegetatif melalui bonggol, dan sebagian besar pisang yang dikonsumsi bersifat triploid, steril dan partenokarpi, sehingga pengembangan tanaman pisang melalui pemuliaan secara konvensional menjadi sulit. Mutasi induksi dan teknik in vitro merupakan suatu alternatif untuk pengembangan tanaman pisang. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menentukan radiosensitivitas pisang cv. Ampyang terhadap iradiasi gamma, dan (2) mengevaluasi performan plantlet pisang cv. Ampyang yang diregenerasikan dari eksplan yang diradiasi, sebagai skrining awal adanya varian somaklon. Eksplan tunas pisang aseptis diradiasi gamma pada dosis 0, 20, 25, 30, 35, 40, 45 dan 50 Gy untuk menentukan radiosensitivitas pisang. Hasil analisis menggunakan CurveExpert 1.4 diketahui bahwa dosis letal yang mereduksi pertumbuhan tunas sebesar 20-50% (LD20-50) pada siklus vegetatif pertama (M1V1) berada pada kisaran 51.07 – 64.54 Gy. Pertumbuhan dan perkembangan plantlet diamati setelah tunas diproliferasi dan diregenerasi selama 10 bulan. Seluruh plantlet hasil regenerasi dari eksplan yang diradiasi menghasilkan jumlah akar yang lebih rendah, dan beberapa plantlet secara nyata menghasilkan berat segar dan tinggi yang lebih rendah daripada eksplan yang tidak diradiasi (kontrol). Plantlet yang diregenerasikan dari eksplan yang diradiasi 25, 40 dan 50 Gy secara nyata memiliki rasio panjang dan lebar daun yang lebih besar dari plantlet kontrol. Plantlet hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro ini, telah berhasil di aklimatisasi dalam media tanah dan akan dievaluasi keberadaan varian di antara populasi plantlet pisang yang ada.
Kata Kunci: Mutasi induksi, Musa acuminata (AAA), iradiasi gamma, dosis letal (LD20-50).
20
RADIOSENSITIVITY OF BANANA cv. AMPYANG AND POTENTIAL APPLICATION OF GAMMA IRRADIATION FOR VARIANT INDUCTIONS Abstract Banana is commonly propagated vegetatively by suckers, since most of edible banana are triploid, male steril and parthenocarpic, use of conventional breeding for banana improvement is difficult. Mutation induction and in vitro technique are alternatif tools for banana improvement. The objectives of this research were (1) to determine radiosensitivity of banana cv. Ampyang against gamma irradiation, and (2) to evaluate performance of plantlets regenerated from gamma irradiated explants of banana cv. Ampyang as an eearly screening for somaclonal variation. Explants of in vitro grown shoots were exposed to gamma irradiation at 0, 20, 25, 30, 35, 40, 45, and 50 Gy to determine its the radiosensitivity. The CurveExpert ver. 1.4 analysis results indicated that lethal doses of irradiation reducing 20% to 50% of shoot growth (LD20-50) were 51.07 64.54 Gy. Growth and development of regenerated plantlets were recorded after 10 months of proliferation and regeneration periods. All regenerated plantlets from irradiated explants produced less numbers of roots, and some of regenerated plantlets, showed significantly less plantlet fresh weight and height than the control one. Plantlets regenerated from explants irradiated with 25, 40, 50 Gy have longer leaves than the control. The regenerated plantlets from gamma irradiation treatments were successfully transferred into soil and they would be used to evaluate existence of variants among regenerated banana plantlets.
Keywords: Induced mutation, Musa acuminata (AAA), gamma irradiation, Lethal Dose (LD20-50).
Pendahuluan Pisang dan plantain (Musa spp) merupakan tanaman herba perenial monokotil yang dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis dan subtropis. Pisang yang dikonsumsi berkembang dari Musa acuminata (2n = 2x = 22) dan Musa balbisiana (2n = 2x = 22), dan sebagian besar pisang komersial adalah triploid (2n = 3x = 33) dengan genom AAA, AAB, ABB yang berasal dari poliploidisasi dan hibridisasi interspesifik dari species diploid M. acuminata (genom A) dan M. balbisiana (genom B) (Pua 2007; Ploetz et al. 2007). Kedua species alami dan hibrida kompleks ini menghasilkan kombinasi jenis-jenis pisang yang dikonsumsi pada saat ini.
21
Kultivar pisang yang dikonsumsi diklasifikasikan ke dalam dua tipe yaitu jenis pisang meja yang dikonsumsi tanpa dimasak terlebih dahulu (dessert type), dan pisang olahan yang dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi (cooking type), (Valmayor et al. 2000; Ploetz et al. 2007). Pisang cv. Ampyang (genom AAA) merupakan jenis pisang meja, selain di Indonesia pisang ini terdapat di Malaysia (cv. Amping) dan Filipina (cv. Amo) (Valmayor et al. 2000). Berdasarkan analisis jarak genetik, pisang cv. Ampyang berada dalam klaster yang sama dengan pisang cv. Nangka (AAB) serta merupakan satu kelompok dengan pisang cv. Barangan (AAA), Ambon Kuning (AAA), Ambon Hijau (AAA), dan Badak (AAA) (Sukartini 2008). Pengembangan genetik tanaman pisang (dessert banana) dan plantain (cooking banana) tidak mudah dilakukan karena sebagian besar pisang bersifat triploid, biji yang steril, partenokarpi, membutuhkan waktu generasi yang panjang dalam siklus vegetatifnya, dan adanya keterbatasan informasi genetik dan genomik pisang, sehingga metode pemuliaan secara konvensional sulit dilakukan (Karmarkar et al. 2001; Suprasanna et al. 2008). Karena keterbatasan tersebut metode pemuliaan mutasi dan bioteknologi dapat menjadi suatu alternatif metode yang bermanfaat bagi pemuliaan tanaman pisang. Metode pemuliaan dengan teknik mutasi induksi telah digunakan untuk meningkatkan produktivitas maupun kualitas tanamam yang diperbanyak secara vegetatif terutama untuk tanaman buah-buahan (Ahloowalia & Maluszynski 2001; IAEA 2009), dan secara spesifik sangat penting untuk peningkatan keragaman genetik pada tanaman pisang dan plantain (Musa spp) (Novak & Brunner 1992; Roux 2004). Agen mutagenik seperti iradiasi gamma (Co-60) dan mutagen kimia dapat digunakan untuk menginduksi mutasi dan menghasilkan variasi genetik sehingga mutan dengan karakter tertentu yang diinginkan kemungkinan dapat diseleksi di antara varian yang ada (Novak & Brunner 1992; IAEA 2009; Jain 2010). Pada beberapa studi mutagenesis, faktor kunci didalam melakukan induksi mutasi adalah penentuan dosis iradiasi atau konsentrasi bahan mutagen yang akan digunakan, yang merupakan jumlah energi iradiasi atau banyaknya mutagen yang diabsorbsi oleh jaringan tanaman (Gaul 1977; Ahloowalia & Maluszynski 2001). Satuan unit energi radiasi yang diabsorbsi adalah Gy (Gray) yang setara dengan 1 J kg-1 atau 100 rad (Predieri 2001; Medina et al. 2004). Metode yang tepat untuk
22
penentuan dosis iradiasi pada suatu tanaman telah dilakukan oleh banyak peneliti, tetapi prosedur umum didalam penentuan dosis iradiasi yang paling tepat adalah berdasarkan
radiosensitivitas
(Predieri
2001;
Karmarkar
et
al.
2001).
Radiosensitivitas dapat diperkirakan melalui respon fisiologis bahan tanaman yang diradiasi termasuk di antaranya, penentuan dosis yang mereduksi pertumbuhan vegetatif tanaman yang diradiasi sebesar 20-50% (LD20-50). Radiosensitivitas bervariasi tergantung pada spesies dan kultivar tanaman, kondisi fisiologis dan organ tanaman, serta manipulasi dari materi yang diradiasi sebelum dan sesudah perlakuan mutagenik (Gaul 1977; Predieri 2001). Regenerasi tanaman secara in vitro merupakan satu tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal, dan memberikan indikasi awal bahwa plantlet hasil mutagenesis dapat menghasilkan mutan yang bersifat positif atau negatif. Menurut Jain (2010) keberhasilan setiap program mutagenesis tergantung kepada pemantapan prosedur regenerasi tanaman yang bersifat produktif, optimasi perlakuan mutagen, dan efisiensi skrining populasi tanaman varian untuk mendapatkan mutan yang diinginkan. Hambatan yang sering dijumpai pada tanaman berbiak vegetatif adalah timbulnya kimera setelah perlakuan mutagen. Tujuan dari percobaan ini adalah: (1) untuk menentukan radiosensitivitas tunas pisang cv Ampyang (Musa acuminata, AAA) terhadap perlakuan iradiasi gamma (2) mengevaluasi karakter fenotipik plantlet pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma sebagai identifikasi awal keberadaan varian somaklon.
Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB dan Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Jurusan Biologi, FMIPA, UNJ pada Oktober 2007 - Oktober 2008. Eksplan tunas pisang cv. Ampyang aseptis berukuran 1-2 cm yang diperoleh dari Balai Besar Biologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian - Bogor diproliferasi selama 2 bulan dalam media Murashige dan Skoog (MS) dengan penambahan 6benzyl amino purine (BAP) 4.50 mg L-1, thidiazuron (TDZ) 0.22 mg L-1, indole-3acetic acid (IAA) 0.175 mg L-1, serta 100 mg L-1 asam askorbat (Strosse et al. 2004) untuk mencegah pencoklatan jaringan.
23
Induksi mutasi dilakukan di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi BATAN, Jakarta. Iradiasi dilakukan pada eksplan tunas pisang aseptis dengan dosis sinar gamma (Cobalt-60): 0, 20, 25, 30, 35, 40, 45, dan 50 Gy. Rancangan percobaan acak lengkap (RAL), jumlah perlakuan 8 dengan 6 ulangan, dan setiap ulangan terdiri atas 10-15 tunas. Eksplan yang telah diradiasi selanjutnya disubkultur ke dalam media yang masih segar untuk menghilangkan efek mutagenik pada media. Radiosensitivitas ditentukan pada dosis yang menimbulkan reduksi pertumbuhan tunas sebesar 20-50% (LD20-50) dibandingkan kontrol pada siklus vegetatif yang pertama (M1V1) Tunas majemuk selanjutnya diproliferasi dan diregenerasikan selama 10 bulan melalui subkultur antara 6-8 kali setiap 5-6 minggu ke media yang masih segar untuk meningkatkan perolehan tunas varian. Tunas pisang yang belum mampu membentuk akar selama periode proliferasi, di subkultur ke dalam media MS dengan penambahan BAP 2.25 mg L-1, IAA 1.75 mg L-1 arang aktif 1 mg L-1 selama 1-2 bulan untuk menginduksi perakaran. Plantlet yang sudah mampu membentuk akar tetap ditumbuhkan pada media proliferasi tunas selama 1-2 bulan. Selanjutnya plantlet yang diperoleh diaklimatisasi dan diamati pertumbuhan dan perkembangannya sebagai indikator awal keberadaan plantlet varian. Pengamatan dilakukan terhadap karakter jumlah daun, jumlah akar, bobot segar dan tinggi plantlet, dan rasio panjang dan lebar (p:l) daun plantlet.
Hasil dan Pembahasan Radiosensitivitas tunas pisang terhadap iradiasi gamma. Tunas pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA) in vitro yang berkembang dari eksplan yang diradiasi dengan sinar gamma, ditumbuhkan selama 6 minggu dalam media proliferasi tunas, dan tunas aksilar baru yang tumbuh selanjutnya dihitung untuk menentukan radiosensitivitas pisang yang diuji. Jumlah tunas aksilar yang digunakan sebagai eksplan awal sebelum dilakukan mutasi induksi dikatakan sebagai tunas M0V0. Tunas-tunas aksilar baru yang tumbuh dari hasil mutasi (M1) pada siklus vegetatif pertama (V1) dikatakan sebagai tunas M1V1, Data persentase stadarisasi pertumbuhan tunas selanjutnya diolah dengan menggunakan CurveExpert 1.4 untuk menentukan radiosensitivitas pisang cv. Ampyang (Tabel 1).
24
Tabel 1 Rataan jumlah tunas pisang cv. Ampyang sebelum diradiasi (M0V0) dan setelah diradiasi dan diproliferasi selama enam minggu (M1V1) Rataan jumlah tunas pada: 0 M0 V 0 54.0 M1 V 1 77.0 Standarisasi 100.0 pertumbuhan tunas (%)
20 55.0 76.0
Dosis iradiasi (Gy): 25 30 35 40 55.0 57.0 53.0 52.0 85.0 96.0 71.0 77.0
45 56.0 62.0
50 53.0 67.0
98.7
110.4
80.5
87.0
124.7
92.2
100.0
Keterangan: Standarisasi pertumbuhan tunas (%) pada setiap dosis iradiasi diperoleh dengan rumus: Ʃ tunas hasil iradiasi pada M1V1 / Ʃ tunas kontrol (0 Gy) pada M1V1x100%. = 11.79533388 s =S r11.788 = 0.68779957 r = 0.689
.0
Persentase tanaman hidup (%)
130
.0
110
0
90.
0
70.
LD50 0.0
5
Persamaan Kuadratik: y=a+bx+cx^2 Koefisien Data: a = 9.8803E+001 b = 1.1030E+000 c = -2.8805E-002
0
30.
0
20
40
60
Dosis iradiasi (Gy)
Gambar 2 Penentuan LD50 berdasarkan penghambatan proliferasi tunas aksilar dari eksplan pisang cv. Ampyang yang diberi perlakuan iradiasi gamma. Hasil percobaan ini memberikan persamaan kuadratik y = a + bx+ cx2 dengan koefisien data: a = 98.80, b = 1.10, dan c = -0.03, sehingga persamaan yang diperoleh adalah y = 98.80 + 1.10x - 0.03x2 (Gambar 2). Berdasarkan persamaan tersebut, dapat ditentukan bahwa tingkat reduksi pertumbuhan tunas pisang sebesar 20% (LD20) akibat perlakuan iradiasi gamma pada siklus vegetatif yang pertama (M1V1) diperoleh pada dosis iradiasi 51.07 Gy, dan tingkat reduksi pertumbuhan tunas pisang sebesar 50% (LD50) didapat pada dosis iradiasi 64.54 Gy. Penentuan dosis letal ini merupakan faktor utama yang mendukung keberhasilan perlakuan iradiasi untuk memperoleh varian atau mutan pada suatu tanaman yang diradiasi. Variasi somaklonal merupakan variasi genetik yang muncul di antara individual sel anakan pada tanaman yang diregenerasi melalui kultur sel dan jaringan (Collin & Edwards 1999), seringkali didefinisikan sebagai keragaman
25
genetik tanaman yang berasal dari sel somatik. Pada banyak tanaman, perolehan varian somaklon dapat ditingkatkan dengan teknik mutasi induksi dengan iradiasi gamma dan penentuan dosis yang tepat berdasarkan radisosensitivitas sangat menentukan keberhasilan perolehan varian atau mutan yang diinginkan. Radiosensitivitas dapat diperkirakan melalui respon fisiologis bahan tanaman yang diradiasi di antaranya penentuan dosis yang menyebabkan reduksi pertumbuhan vegetatif tanaman yang diradiasi sampai 50% (LD50) jika dibandingkan dengan kontrol pada siklus vegetatif yang pertama (M1V1) (Gaul 1977; Welsh 1981). Hasil analisis CurveExpert 1.4 menunjukkan bahwa reduksi pertumbuhan tunas pisang cv. Ampyang sebesar 20-50% (LD20-50), berada dikisaran 51.07 – 64.54 Gy (Gambar 2).
Pada kisaran dosis iradiasi tersebut secara teoritis
merupakan dosis yang dapat mengakibatkan terjadinya mutasi pada plantlet pisang cv. Ampyang yang diuji. Kisaran dosis iradiasi yang diperoleh dari percobaan ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian pada kultivar pisang meja lainnya. Pada pisang cv. Barangan (AAA), LD50 berada pada dosis iradiasi 38 Gy, namun varian somaklon pisang banyak dijumpai pada dosis iradiasi 45 Gy (Mak et al. 2004), pada cv. Lakatan (Barangan Kuning, AAA) asal Filipina LD50 dijumpai pada dosis iradiasi 40 Gy (Hautea et al. 2004). Pada pisang cv. Basrai (Dwarf Cavendish, AAA) asal India, varian paling banyak ditemukan pada perlakuan iradiasi 30 Gy (Mishra et al. 2007). Pada cv. Williams (Giant Cavendish, AAA) asal Austarlia LD50 berada pada dosis iradiasi 30 Gy, namun multiplikasi tunas dan vigor plantlet secara umum sangat rendah, sedangkan pada cv. Dwarf Parfitt (Extra-Dwarft Cavendish, AAA) dosis iradiasi 20 Gy mampu menghasilkan plantlet varian yang resisten terhadap cendawan Foc (Smith et al. 2006). Pada pisang cv. Rajabulu (AAB) kalus embriogenik yang diinduksi dengan dosis 10 Gy mampu berproliferasi membentuk nodul dan tunas pada media selektif dengan asam fusarat 30 dan 45 mg L-1 (Lestari et al. 2009). Mutasi merupakan perubahan yang bersifat menurun pada sekuens DNA yang bukan berasal dari proses segregasi atau rekombinasi (Predieri 2001). Mutasi dapat dikelompokkan sebagai mutasi spontan atau induksi, somatik atau genetik, kromosomal atau ekstra-kromosomal (Medina et al. 2004). Efek iradiasi pada DNA adalah dengan mengionisasi basa nitrogen pada rantai DNA terutama saat sintesis DNA. Perubahan atau delesi basa nitrogen akan merubah sekuens basa
26
dari suatu molekul.
Ionisasi satu atau lebih basa dengan radikal bebas yang
diproduksi oleh radiasi, akan merubah struktur basa nitrogen. Kerusakan fisiologis akibat radiasi yang paling sering terjadi pada kromosom tanaman adalah benang kromosom pecah (chromosome breakage atau chromosome aberasion), dan proses perubahan yang terjadi pada struktur kromosom dapat berupa translokasi, inversi, duplikasi dan defisiensi (Medina et al. 2004). Korelasi antara status fisiologis tanaman dan radiosensitivitas seringkali ditentukan oleh kandungan air dari jaringan tanaman karena senyawa target utama iradiasi pengion seperti sinar gamma adalah air (Britt 1996). Iradiasi pada jaringan yang kandungan airnya tinggi dapat meningkatkan frekuensi dihasilkannya varian atau mutan (Predieri 2001). Plantlet pisang hasil kultur in vitro umumnya memiliki kandungan air yang tinggi akibat sedikitnya proses transpirasi ketika plantlet berada pada kondisi in vitro (Nwauzoma et al. 2002) berdasarkan hal tersebut, frekuensi terjadinya varian pada pisang cv. Ampyang diharapkan tinggi, karena menggunakan perlakuan iradiasi pada eksplan tunas in vitro yang mempunyai kadar air tinggi.
Regenerasi tunas dan identifikasi fenotipik plantlet pisang hasil iradiasi gamma. Pengamatan yang dilakukan terhadap plantlet yang tidak diradiasi secara umum menghasilkan fenotipe bentuk akar dan daun yang seragam dalam media proliferasi tunas (Gambar 4). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya pada pisang cv. Grande Naine (Pisang Ambon Jepang) yang menyatakan bahwa proliferasi tunas aksilar secara in vitro, tanpa perlakuan iradiasi cenderung menghasilkan plantlet varian dengan frekuensi yang lebih kecil dibandingkan dengan plantlet yang diradiasi (Garcia et al. 2002). Frekuensi yang lebih kecil ini diduga karena pada proliferasi tunas aksilar, plantlet yang dihasilkan berasal dari pre-existing meristem yang selanjutnya berkembang menjadi tunas aksilar (Acquaah 2007), dan bukan berasal dari sel atau jaringan kalus. Regenerasi plantlet pisang cv. Ampyang hasil iradiasi secara umum menghasilkan plantlet yang bervariasi untuk karakter jumlah daun dan jumlah akar yang terbentuk (Tabel 2), bobot segar dan tinggi plantlet, serta rasio panjang dan lebar (p:l) daun (Tabel 3). Namun demikian hasil uji-F dan BNT terhadap berbagai karakter tersebut menunjukkan bahwa variasi rataan jumlah daun akibat perlakuan
27
berbagai dosis iradiasi tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan plantlet kontrol (0 Gy), sebaliknya terhadap rataan jumlah akar, perlakuan iradiasi gamma memberikan perbedaan yang sangat nyata. Jumlah akar plantlet pisang hasil iradiasi gamma (20-50 Gy) mempunyai rataan lebih rendah dibanding plantlet kontrol (0 Gy) (Tabel 2). Pengamatan terhadap karakter bobot segar plantlet (Tabel 3) menunjukkan bahwa rataan bobot segar plantlet hasil iradiasi berbeda nyata dengan kontrol (2.69 g), kecuali plantlet hasil iradiasi 40 Gy (2.75 g). Tabel 2 Rataan jumlah daun dan jumlah akar plantlet pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan tanaman kontrol setelah diproliferasi dan diregenerasikan selama 10 bulan secara in vitro Dosis iradiasi (Gy) 0 20 25 30 35 40 45 50 Koef. Variasi (%)
Jumlah Daun Perbedaan Rataan dgn kontrol 6.07 6.24 0.17 tn 5.76 -0.30 tn 6.70 0.63 tn 5.75 -0.32 tn 6.75 0.68 tn 6.64 0.57 tn 6.62 0.55 tn 30.75
Jumlah Akar Perbedaan Rataan dgn kontrol 9.85 7.34 -2.51 ** 7.69 -2.16 ** 8.25 -1.60 ** 7.25 -2.60 ** 8.10 -1.75 ** 7.66 -2.19 ** 7.38 -2.47 ** 41.20
Keterangan. ** = nyata pada taraf 1% , tn= tidak nyata melalui Uji BNT.
Tabel 3 Rataan bobot segar plantlet, tinggi plantlet, rasio panjang dan lebar daun plantlet pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan tanaman kontrol setelah diproliferasi dan diregenerasikan selama 10 bulan secara in vitro. Bobot segar plantlet (g) Perbedaan Rataan dgn kontrol 0 2.69 20 1.51 -1.17 ** 25 1.46 -1.22 ** 30 2.05 -0.64 * 35 1.06 -1.63 ** 40 2.75 0.06 tn 45 2.01 -0.67 * 50 1.92 -0.77 ** Koef. Variasi (%) 76.02 Dosis iradiasi (Gy)
Tinggi plantlet (cm) Rataan 14.60 11.79 11.64 13.45 8.91 15.25 11.84 12.69 33.72
Perbedaan dgn kontrol -2.81 ** -2.96 ** -1.15 tn -5.69 ** 0.65 tn -2.76 ** -1.91 **
Rasio p : l daun Rataan 3.56 3.41 3.92 3.68 3.79 4.20 3.73 4.26 20.32
Perbedaan dgn kontrol -0.16 tn 0.35 ** 0.11 tn 0.22 tn 0.63 ** 0.17 tn 0.69 **
Keterangan ** = nyata pada taraf 1%, * = nyata pada taraf 5%, tn= tidak nyata melalui Uji BNT
28
Pengamatan terhadap tinggi plantlet juga memperlihatkan hasil yang nyata lebih rendah dibandingkan dengn kontrol (14.60 cm), kecuali plantlet hasil iradiasi 30 (13.45 cm) dan 40 Gy (15.25 cm). Pengaruh iradiasi terhadap rasio p:l daun menunjukkan bahwa plantlet hasil iradiasi 25 Gy (3.92), 40 Gy (4.20), dan 50 Gy (4.26) berbeda sangat nyata dengan kontrol (3.56), sehingga daun plantlet yang berasal dari eksplan yang diradiasi pada dosis tersebut secara nyata lebih panjang dibandingkan kontrol. Representatif gambar perkembangan eksplan pisang cv. Ampyang selama periode kultur in vitro dan aklimatisasi di rumah kaca pada sampel kontrol (0 Gy) dan hasil iradiasi 45 dan 50 Gy disajikan pada Gambar 4. Hasil persamaan regresi pada berbagai karakter plantlet menunjukkan bahwa peningkatan dosis iradiasi menyebabkan penurunan rataan jumlah akar (r = 0.72) dan peningkatan rasio panjang : lebar daun (r = 0.68). Namun demikian, perlakuan iradiasi tidak menyebabkan penurunan rataan bobot segar plantlet (r = 0.17) dan tinggi plantlet (r = 0.22) (Gambar 3), sehingga diketahui peningkatan pemberian dosis iradiasi pada eksplan awal bukalah satu-satunya faktor yang mempengaruhi penurunan bobot segar dan tinggi plantlet selama periode in vitro.
Tinggi platlet (Cm) Tinggi plantlet (cm)
Jumlah Akar
12,0 10,0 8,0 6,0
y = -0.038x + 9.103 R = 0.72
4,0 2,0 0
20
40
16,0 14,0 12,0 10,0
y = -0.027x + 13.36 R = 0.22
8,0 6,0
60
2,0 1,5
y = -0.006x + 2.13 R = 0.17
1,0 0,5
Rasio p:l daun
2,5
40
60
4,5 4,0 3,5
y = 0.013x + 3.43 R = 0.68
3,0 2,5
0
20
40
Dosis iradiasi gamma (Gy)
Gambar 3
20
5,0
3,0 Ratio p : l daun
Berat segar plantlet (g)
0
60
0
20
40
60
Dosis iradiasi gamma (Gy)
Korelasi antara dosis iradiasi dengan pertumbuhan rataan jumlah akar, tinggi plantlet (cm), bobot segar plantlet (g), dan rasio panjang : lebar (p:l) daun plantlet pisang (Musa acuminata, AAA) cv.Ampyang.
29
a
b
c
d
Gambar 4
Proliferasi tunas aksilar, regenerasi plantlet dan pertumbuhan bibit pisang cv. Ampyang, yang berasal dari eksplan hasil perlakuan iradiasi 0, 45 dan 50 Gy: (a) Eksplan tunas sebelum diradiasi, (b) Proliferasi tunas, (c) Regenerasi plantlet dan (d) Pertumbuhan bibit pisang paska aklimatisasi usia 2 bulan.
Pada percobaan ini, proliferasi dan regenerasi tunas pisang secara in vitro selama 10 bulan pada media MS dengan penambahan BAP, TDZ, dan IAA dengan jumlah siklus subkultur 6-8 kali setiap 5-6 minggu, memperlihatkan bahwa plantlet hasil iradiasi menghasilkan karakter fenotipe yang lebih rendah dibandingkan
30
dengan yang tanpa iradiasi. Plantlet-plantlet tersebut masih mampu tumbuh dan berhasil diaklimatisasi ke media tanah. Menurut Shirani et al. (2010) regenerasi tanaman melalui kultur tunas in vitro menghasilkan bahan tanaman klonal yang lebih baik daripada perbanyakan vegetatif secara konvensional di lapangan. Plantlet yang diregenerasikan dari eksplan yang diradiasi pada dosis 25, 40 dan 45 Gy mempunyai bentuk daun yang lebih panjang dibandingkan yang tidak diradiasi. Dari percobaan ini diperoleh gambaran umum bahwa untuk karakter jumlah akar, bobot segar dan tinggi plantlet, pemberian dosis iradiasi di atas 30 Gy memiliki pola pertumbuhan yang sama dengan apa yang diprediksi berdasarkan kurva reduksi pertumbuhan tunas pisang cv. Ampyang (LD20-50), yaitu menurun setelah dosis iradiasi 30 Gy. Meskipun masih pada tahapan plantlet, adanya keragaman fenotipik untuk berbagai karakter yang diamati dapat menjadi indikasi terjadinya mutasi pada plantlet yang didapat. Namun demikian, evaluasi lebih lanjut memang masih perlu dilakukan pada tingkat bibit dan tanaman di lapangan. Jika terbukti bahwa keragaman fenotipik pada tingkat in vitro yang diamati untuk plantlet pisang cv. Ampyang hasil perlakuan iradiasi gamma ternyata betul-betul disebabkan oleh mutasi, maka populasi bibit yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat diseleksi untuk mengidentifikasi varian atau mutan yang mempunyai sifat unggul tertentu seperti ketahanan terhadap penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh infeksi cendawan F. oxysporum f.sp. cubense (Foc). Pisang cv. Ampyang (AAA, subgrup non-Cavendish) merupakan pisang meja, dari beberapa penelitian yang ada beberapa kultivar pisang meja yang memiliki genom AAA dan termasuk subgrup non-Cavendish dilaporkan rentan terhadap penyakit layu Fusarium (Hautea et al. 2004; Suyamto et al. 2004; Ploetz et al. 2007). Identifikasi fenotipik varian dilakukan sebagai skrining awal kemungkinan terjadinya variasi di antara plantlet pisang cv. Ampyang hasil iradiasi. Menurut IAEA (2009) beberapa sifat yang dapat diidentifikasi di antaranya berupa ukuran daun, jumlah dan bentuk daun, tipe proliferasi akar dan tinggi tanaman (IAEA 2009). Identifikasi varian hasil iradiasi secara in vitro dilaporkan lebih efektif (Predieri 2001), karena induksi mutasi dilakukan pada sekelompok sel atau jaringan, sehingga probabilitas untuk terjadinya mutasi genetik atau epigenetik yang dapat diekspresikan sebagai perubahan fenotipik menjadi lebih besar (Heslop-
31
Harrison & Schwarzacher 2007). Namun karena teknik mutasi induksi dengan iradiasi gamma menyebabkan terjadinya mutasi secara acak (Medina et al. 2004; Mak et al. 2004), maka fenotipe mutan yang didapatkan juga bersifat acak, sehingga evaluasi tanaman varian perlu dilakukan secara menyeluruh, baik untuk sifat varian yang diinginkan maupun untuk sifat varian lainnya melalui evaluasi di rumah kaca dan di lapangan. Populasi bibit pisang yang didapat berpotensi untuk digunakan sebagai populasi untuk mengidentifikasi varian dengan sifat unggul tertentu yang diinginkan.
Simpulan Dosis iradiasi gamma yang mereduksi proliferasi tunas sebesar 20% - 50% (LD20-50) pada pisang cv. Ampyang (Musa acuminta, AAA.) berada pada kisaran 51.07- 64.54 Gy. Kisaran tersebut dapat dijadikan sebagai dosis referensi perlakuan iradiasi untuk menginduksi mutasi kultivar pisang lainnya dengan genom AAA. Plantlet pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma setelah diregenerasikan selama 10 bulan, menghasilkan variasi fenotipik pada karakter jumlah akar, bobot segar dan tinggi plantlet yang cenderung lebih rendah dibandingkan plantlet yang tidak diradiasi. Plantlet yang diregenerasikan dari eksplan yang diradiasi pada dosis 25, 40 dan 45 Gy mempunyai bentuk daun yang lebih panjang dibandingkan yang tidak diradiasi. Bibit pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang didapat dari percobaan ini berpotensi untuk digunakan sebagai populasi untuk mengidentifikasi varian dengan sifat-sifat unggul tertentu yang diinginkan.
Daftar Pustaka Acquaah G. 2007. Principles of plant genetic and breeding. UK. Blackwell Publ.. Ahloowalia B, Maluszynski M. 2001. Induced mutations – A new paradigm in plant breeding. Euphytica 118: 167–173. Britt AB. 1996. DNA damage and repair in plants. Annu Rev Plant Mol Biol 47:75100 Collin HA, Edwards E. 1999. Plant Cell Culture. Singapore. Bios Scientific Publ D’Amato F. 1992. Induced mutations in crop improvement: basic and applied aspects. Agric Med 122:31–60.
32
Garcia LR et al. 2002. Comparative study of variability produced by induced mutation and tissue culture in banana (Musa spp) cv. ‘Grande naine’. Infomusa. 2(2):4-6. http://www.bananas.biodeversityinternational.org/files/ files/pdf/publication/info11.2_en.pdf. [11 Apr 2011] Gaul H. 1977. Mutagen effect in the first generation after seed treatment : Plant injury and lethality. Di dalam: IAEA. (Editor). Induced Mutations in Vegetatively Propagated Plant Ed. ke 2. Vienna. IAEA. .hlm 29-36. Hautea DM et al. 2004. Analysis of induced mutans of Philippine banana with molecular markers. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement: Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Enfield, Sci. Publ. Inc., hlm 41-53. http://www.fao.org/docrep/007/ae216e/ ae216e07. htm#bm07. [26 Mei 2007] Heslop-Harrison JS, Schwarzacher T. 2007. Domestication, genomics and the future for banana. Review. Ann Bot 100:1073–1084 [IAEA] International Atomic Energy Agency. 2009. Induced mutation in tropical fruits trees. Plant breeding and genetic section. Vienna. IAEA. Jain SM. 2010. In vitro mutagenesis in banana (Musa spp). Improvement. Acta Hort 879: 605-614 Karmarkar VM, Kulkarni VM, Suprasanna P, Bapat VA, Rao PS. 2001. Radiosensitivity of in vivo and in vitro cultures of banana cv. Basrai (AAA). Fruits 56:67-74 Lestari EG, Purnamaningsih R, Mariska I, Hutami S. 2009. Induksi keragaman somaklonal dengan iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro kalus pisang Rajabulu menggunakan asam fusarat, serta regenerasi dan aklimatisasi plantlet. Berita Bio 9(4): 411-417. Mak C. Ho YW, Liew KW, Asif JM. 2004. Biotechnology and in vitro mutagenesis for banana improvement. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement: Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Enfield, Sci. Publ. Inc., hlm 54-73. http://www.fao.org/docrep/ 007/ae216e/ae216e08. htm#bm08. [26 Mei 2007] Medina F-IS, Amano E, Tano S. 2004. Mutation Breeding Manual. Japan. Forum For Nuclear Coorporasion in Asia (FNCA). Mishra PJ, Ganapathi TR, Suprasanna P, Bapal VA. 2007. Effect of single and recurrent gamma iraradidation on in vitro shoots culture of banana. Int. J. of Fruit Sci 7(1):47-57. Novak FJ, Brunner H. 1992. Plant breeding: Induced mutation technology for crop improvement. IAEA BULLETIN 4: 25- 33.
33
Nwauzoma AB et al. 2002. Yield and disease resistance of plantain (Musa spp., AAB group) somaclones in Nigeria. Euphytica 123:323–331. Ploetz RC, Kepler AK, Daniells J, Nelson SS. 2007. Banana and plantain and overview with emphasis on Pasific islands cultivars. Specific Profiles for Pasific Island Agroforestry.http://www.agroforestry.net/tti/Banana-plantainoverview.pdf [7 Agust 2007] Predieri S. 2001. Mutation induction and tissue culture in improving fruits. Plant Cell Tissue Organ Cult 64: 185–210. Pua EC. 2007. Banana. Di dalam: Pua EC, Davey MR editor. Biotechnology in Agriculture and Forestry, Vol. 60. Transgenic Crops V. Berlin. SpringerVerlag. hlm 3-31. Roux NS. 2004. Mutation induction in Musa – review. Di dalam: Jain SM, Swensen R. editor. Banana Improvement: Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Enfield. Sci. Publ. Inc., hlm 21-29. http://www.fao. org/ docrep/007/ae216e/ae216e05.htm#bm05. [26 Mei 2007] Shirani S, Sariah M, Zakaria W, Maziah M. 2010. Scalp induction rate responses to cytokinins on proliferating shoot-tips of banana cultivars (Musa spp.). Am J Agric Bio Sci 5 (2):128-134. Smith MK et al. 2006. Towards the development of a Cavendish banana resistant to race 4 of Fusarium wilt: gamma irradiation of micropopagated Dwarf Parlitt (Musa spp, AAA group, Cavendish subgroup). Aust J Exp Agric 46:107-113. Strosse HI, Van den Houwe I, Panis B. 2004. Banana cell and tissue culture – review. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement: Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation Enfield. Sci. Publ. Inc., hlm 1-13. http://www.fao.org/docrep/007/ae216e/ae216e03.htm# bm03 [26 Mei 2007] Sukartini 2008. Analisis jarak genetik dan kekerabatan aksesi-aksesi pisang berdasarkan Primer Random Amplified Polymorphic DNA. J Hort 18(3): 261-266. Suprasanna P, Sidha M, Ganapathi TR. 2008. Characterization of radiation induced and tissue culture derived dwarf types in banana by using a SCAR marker. Aust J Crop Sci 1(2):47-52. Suyamto, Djatnika I, Sutanto A. 2004. Banana R & D in Indonesia: Updated and highlights. Di dalam: Molina AB et al. editor. Advancing Banana and Plantain R & D in Asia and thr Pasific – Vol. 13. Proc. of the 3rd BAPNET Steering Committee. Guangzhou, China. 23-26 November 2004. hlm 81-88.
34
Valmayor RV et al. 2000. Banana cultivar names and synonyms in Southeast Asia. France. INIBAP. http://www/banana.biodeversityinternational.org/files/ files/pdf/.../synonyms.pdf. [29 Juli 2010] Welsh JR. 1981. Fundamental of Plant Genetics and Breeding. New York. John Willey & Sons.
35
BAB IV EVALUASI KERAGAMAN FENOTIPIK PADA PISANG cv. AMPYANG HASIL MUTASI INDUKSI DENGAN IRADIASI GAMMA
Abstrak Pisang dan plantain (Musa spp) merupakan komoditas utama untuk ketahanan pangan. Peningkatan keragaman tanaman pisang memiliki keterbatasan karena sebagian besar pisang yang dikonsumsi bersifat triploid, steril dan partenokarpi, sehingga pemuliaan secara konvensional sulit dilakukan. Tujuan percobaan adalah untuk mengkarakterisasi dan mengevaluasi keragaman fenotipik tanaman pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA) yang berasal hasil iradiasi gamma secara in vitro. Evaluasi varian tanaman usia 6 bulan setelah aklimatisasi memperlihatkan adanya keragaman fenotipik pada karakter kuantitatif dan kualitatif tanaman. Hasil percobaan mengindikasikan bahwa tanaman pisang yang diregenerasikan dari eksplan yang diradiasi memperlihatkan tinggi tanaman, panjang daun, serta rasio panjang dan lebar daun yang lebih rendah daripada tanaman yang berasal dari eksplan yang tidak diradiasi. Populasi pisang yang berasal dari hasil iradiasi 30, 40, 45 dan 50 Gy memperlihatkan jenis variasi yang lebih besar pada karakter kualitatif tanaman dibandingkan tanaman 0 Gy. Daun tanaman yang berasal dari eksplan yang tidak diradiasi (0 Gy) memiliki densitas stomata yang sama dengan tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 45 dan 50 Gy. Selain itu tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 20, 25, 30 dan 40 Gy memperlihatkan densitas stomata yang lebih rendah daripada tanaman perlakuan 0 Gy. Evaluasi di lapangan teridentifikasi 12 klon yang dikarakterisasi sebagai varian positif, yang mampu menghasilkan buah dengan kualitas baik. Tanaman tersebut berasal dari hasil iradiasi 30 Gy (4 klon), 50 Gy (3 klon), 45 Gy (2 klon), 25 Gy (1 klon), dan tanaman 0 Gy (2 klon). Berdasarkan hasil penelitian ini, iradiasi gamma yang diikuti dengan proliferasi tunas secara in vitro dapat menginduksi keragaman fenotipik pada tanaman pisang cv. Ampyang.
Kata kunci: Musa acuminata (AAA), densitas stomata, dosis iradiasi gamma.
36
EVALUATION OF PHENOTYPIC VARIABILITY AMONG BANANA cv. AMPYANG REGENERATED FROM GAMMA IRRADIATION INDUCED-MUTATION Abstract Banana and plantain are important for food security. To widen banana genetic diversity is a difficult task because most of edible banana are either triploid, male sterility and partenocarp. Therefore conventional breeding approach for this crop is difficult. The objectives of this research were to characterize and evaluate phenotypic diversity of banana cv. Ampyang plant, in vitro regenerated from gamma irradiated plantlet. The phenotypes (both quantitative and qualitative characters) were evaluated when the plantlets were at six months after acclimatization. Result indicated banana plant regenerated from gamma irradiated explants to exhibit lower plant height, shorter leaf, and leaf lenght by leaf width ratio than from non-irradiated ones. Population of banana cv. Ampyang gamma irradiated at 30, 40, 45 and 50 Gy showed wider variation in qualitative characters than that treated with 0 Gy. Banana cv. Ampyang originated from explants treated with 0 Gy showed similar stomatal density than that from explants treated with 45 and 50 Gy. On the other hand, those originated from explants treated with 20, 25, 30 or 40 Gy showed lower stomatal densities than that treated with 0 Gy. Field evaluation found that 12 clones of banana variant identified as a positive variant character. Those clones produce high agronomic traits and quality of fruits, and these are regenerated from 30 Gy (4 clones), 50 Gy (3 clones), 45 Gy (2 clones), 25 Gy (1 clon) and the others from non-irradiated plant (2 clones). Based on these research, gamma irradiation followed by in vitro proliferation could induced phenotypic variation among regenerated plantlets of banana cv. Ampyang
Keywords; Musa acuminata (AAA), stomatal density, doses of gamma irradiation.
Pendahuluan Pisang dan plantain (Musa spp) merupakan tanaman buah yang menempati urutan ke-4 sebagai tanaman pangan utama setelah padi, gandum dan jagung (Jain & Swennen 2004) yang tumbuh di negara tropis dan subtropis. Pisang terdiri dari banyak kultivar, perkiraan jumlah kultivar di seluruh dunia berkisar antara 300 sampai lebih dari 1000 (Ploetz et al. 2007). Di Indonesia pisang merupakan komoditas buah-buahan prioritas di samping durian, jeruk, mangga, manggis, nenas dan pepaya dengan produktivitas yang tinggi yaitu sebesar 6.373.533 ton pada tahun 2009 (BPS 2011). Pisang yang dikonsumsi pada saat ini berasal dari pisang liar yang berasal dari kultivasi species dan hibrida dari Musa acuminata (AA) dan Musa balbisiana
37
(BB). Musa acuminata merupakan species yang tersebar luas di antara genus Musa, dan pusat diversitas species ini diduga berada di Malaysia dan Indonesia. Pisang yang dapat dikonsumsi memiliki perbedaan satu dengan lainnya, beberapa dari karakter yang paling variatif adalah: tinggi dan bentuk tanaman, suckers yang dihasilkan, pigmentasi, ukuran orientasi dan bentuk tandan pisang, ukuran, bentuk, warna dan rasa buah (Ploetz et al. 2007). Di Asia Tenggara pisang kultivar triploid telah menggantikan diploid AA karena buah yang besar dan pertumbuhan tanaman yang kokoh (Pillay & Tripathi 2007). Program penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman buah belum cukup tersedia, sehingga program pengembangan tanaman buah mengalami stagnasi yang dapat memicu hilangnya plasma nutfah untuk pengembangan tanaman buah-buahan (IAEA 2009). Pengembangan genetik tanaman buah dapat dilakukan melalui metode konvensional dan non-konvensional seperti bioteknologi dan mutagenesis, agar kontinuitas produksi buah, koleksi plasma nutfah dan konservasi tanaman dapat terjaga. Pada tanaman buah, mutasi induksi digunakan untuk tujuan mendapatkan tanaman dengan karakteristik yang diinginkan seperti tinggi tanaman, waktu pembungaan dan pemasakan buah, warna buah, selfcompatibility dan resisten terhadap patogen (Predieri 2001).
Mutasi
secara alami merupakan proses yang jarang terjadi, bersifat random, dan mutan umumnya bersifat resesif, sehingga pemuliaan mutasi membutuhkan skrining sampel populasi hasil mutasi dalam jumlah yang besar untuk mengidentifikasi individu-individu yang diinginkan. Skrining harus dilakukan pada setiap tahapan pertumbuhan tanaman yang berbeda (Mak et al. 2004). Pada tanaman berbiak vegetatif seperti pisang, peningkatan keragaman tanaman memiliki kendala karena pisang yang dikonsumsi umumnya triploid, partenokarpi (bakal biji dapat menjadi buah tanpa terjadi pembuahan), dan putik yang steril (Valmayor et al. 2000; Hwang & Ko 2004, Suprasana et al. 2008), sehingga teknik mutasi induksi secara in vitro merupakan alternatif untuk pengembangan tanaman pisang dengan keragaman yang lebih tinggi. Evaluasi di rumah kaca dan di lapangan dilakukan untuk melihat konsistensi keragaman fenotipik yang tampak pada tanaman yang berasal dari hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa varian-varian yang dihasilkan bukan terjadi karena efek regenerasi secara in vitro atau pengaruh
38
lingkungan, tetapi karena adanya mutasi pada gen-gen yang terdapat pada plantlet hasil mutasi. Menurut Predieri (2001) iradiasi yang diikuti dengan regenerasi tunastunas adventif, sangat memungkinan terjadinya recovery yang akan menghasilkan mutan-mutan yang memiliki sifat agronomis yang berguna. Pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish) merupakan jenis pisang meja (dessert banana) yang sudah sulit dijumpai di pasar tradisional dan jarang dibudidayakan oleh petani, sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan agar kemungkinan kehilangan plasma nutfah kultivar ini dapat dihindari. Tujuan percobaan untuk mengkarakterisasi dan evaluasi keragaman fenotipik tanaman pisang cv. Ampyang hasil mutasi induksi secara in vitro dengan iradiasi gamma secara kuantitatif dan kualitatif, di rumah kaca dan di lapangan.
Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman dan halaman pekarangan Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB. Lahan petani yang berlokasi di Darmaga – Bogor, pada bulan Oktober 2008 – Mei 2011. Penelitian terdiri atas dua tahapan kegiatan; (1) Evaluasi di rumah kaca terhadap keragaman fenotipik varian tanaman pisang hasil mutasi induksi secara in vitro; (2) Evaluasi di lapangan terhadap keragaman fenotipik varian tanaman pisang hasil hasil mutasi induksi secara in vitro. Bahan tanaman berupa tanaman pisang cv. Ampyang (Musa acuminta, AAA, subgrup non-Cavendish) yang berasal dari plantlet hasil iradiasi gamma (Co60) 0, 20, 25, 30, 40, 45 dan 50 Gy, dan telah diregenerasikan selama 10 bulan. Plantlet pisang yang sehat diaklimatisasi ke dalam gelas plastik 200 ml berisi media tanam dengan komposisi:tanah (33%), pupuk kandang (33%), humus (33%), NPK (0.4%), pestisida (0.3%) dan dolomit (0.3%). Plantlet diberi sungkup plastik untuk mencegah transpirasi yang berlebihan dan diletakkan dalam tempat teduh dan disiram dengan larutan ½ MS setiap 2 minggu sampai bibit berusia 2 bulan. Bibit pisang selanjutnya dipindahkan ke dalam polybag ukuran 15x15x30 cm, berisi campuran media tanam dan kompos (1:1), untuk mendukung pertumbuhan normal tanaman dilakukan penyiraman dengan pupuk NPK setiap 2 minggu sekali. Tanaman pisang ditumbuhkan selama 6 bulan, selanjutnya diamati karakter agronomis tanaman secara kuantitatif (jumlah daun, jumlah stomata, tinggi
39
tanaman, lingkar batang semu, panjang dan lebar daun, rasio panjang:lebar daun) dan secara kualitatif. Setelah berusia 6-8 bulan tanaman yang sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit dipilih dan dipindahkan ke lapangan. Tanaman varian di tanam di lapangan dengan jarak 2 m antar baris dan 2 m dalam baris (2 x 2m) dalam lubang tanam berukuran 25 x 25 x 25cm (p x l x d). Pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai dengan kondisi di lapangan, seperti penyiangan
gulma
dan
pembuangan
daun-daun
yang
kering.
Tanaman
ditumbuhkan sampai berbuah, dan pengamatan terhadap pertumbuhan vegetatif dilakukan pada saat usia tanaman 11 bulan terhadap karakter kuantitatif berupa jumlah pelepah daun, tinggi tanaman, lingkar batang semu, panjang dan lebar daun maksimum.
Selanjutnya
untuk
masing-masing peubah, nilai
pengamatan
dikelompokkan, dan individu yang menyimpang dari nilai pengamatan dari ratarata tanaman standar dianggap sebagai varian. Pertumbuhan generatif diamati pada saat panen, terhadap karakter kuantitatif buah berupa berat buah per tandan, jumlah sisir per tandan, jumlah buah per tandan, kisaran panjang dan lingkar buah. Pengamatan karakter kualitatif dilakukan melalui analisis proksimat pada sampel buah secara duplo pada setiap perlakuan yang diuji, berupa persentase kadar air, abu, lemak, protein, serat kasar dan kandungan karbohidrat.
Hasil dan Pembahasan Evaluasi di rumah kaca terhadap keragaman fenotipik tanaman pisang Evaluasi keragaman fenotipik tanaman hasil mutasi induksi secara in vitro dilakukan setelah tanaman tersebut ditumbuhkan di rumah kaca selama 6 bulan. Pengamatan dilakukan terhadap karakter kuantitatif (tinggi tanaman, lingkar batang semu, panjang daun, lebar daun, rasio panjang:lebar daun, serta densitas stomata), dan kualitatif tanaman (morfologi daun dan pelepah, serta keberadaan bercak). Evaluasi di lapangan dilakukan pada usia 11 bulan setelah tanaman ditumbuhkan di lapangan terhadap karakter kuantitatif, dan saat panen terhadap kuantitas dan kualitas buah yang dihasilkan.
Evaluasi terhadap karakter kuantitatif tanaman Evaluasi terhadap karakter agronomis tanaman pisang cv. Ampyang usia 6 bulan setelah aklimatisasi, secara statistik menunjukkan adanya perbedaan yang
40
nyata pada karakter tinggi tanaman, panjang daun dan rasio panjang : lebar (p:l) daun, sedangkan pada karakter lingkar batang semu dan lebar daun tidak berbeda. nyata antara tanaman yang berasal dari hasil iradiasi dan tanaman kontrol (0 Gy). Tanaman pisang yang tidak diradiasi (0 Gy) memiliki rataan tinggi tanaman yang tertinggi (98.98 cm), dan secara statistik hanya berbeda nyata dengan tanaman hasil iradiasi 50 Gy (81.79 cm) (Tabel 4). Pada karakter panjang daun pisang (Tabel 5), tanaman yang berasal dari eksplan yang tidak diradiasi (0 Gy) memiliki rataan panjang daun terbesar (43.47 cm) dan secara statistik berbeda nyata dengan tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 20, 30, 40, 45 dan 50 Gy, namun tidak berbeda nyata dengan hasil radiasi 25 Gy (42.32 cm).
Tabel 4
Karakter tinggi tanaman dan lingkar batang semu pisang cv. Ampyang hasil perlakuan iradiasi gamma usia 6 bulan setelah aklimatisasi
Persentase tanaman yang hidup (%) 0 75.0 20 40.0 25 56.7 30 90.0 40 60.0 45 87.5 50 61.4 Koef. Variasi (%) Dosis iradiasi (Gy)
Keterangan.
N 43 20 33 45 36 35 43
Tinggi tanaman Lingkar batang semu (cm) (cm) Rataan Rataan 90.98 a 2.73 a 90.15 ab 2.90 a 90.97 a 2.71 a 86.76 ab 2.66 a 88.00 ab 2.85 a 83.11 ab 2.81 a 81.79 b 2.62 a 19.94 22.85
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% melalui uji DMRT
Tabel 5 Karakter panjang daun, lebar daun dan rasio panjang:lebar daun pisang cv. Ampyang hasil perlakuan iradiasi gamma usia 6 bulan setelah aklimatisasi Persentase tanaman yang hidup (%) 0 75.0 20 40.0 25 56.7 30 90.0 40 60.0 45 87.5 50 61.4 Koef. Variasi (%) Dosis iradiasi (Gy)
N 43 20 33 45 36 35 43
Panjang daun (cm) Rataan 43.47 a 40.03 bc 42.32 ab 39.22 c 39.84 bc 37.89 c 38.82 c 18.82
Lebar daun (cm) Rataan 15.49 a 15.07 a 16.17 a 15.40 a 15.44 a 14.55 a 15.47 a 20.89
Ratio p : l daun Rataan 2.82 a 2.69 ab 2.62 bc 2.59 bc 2.63 bc 2.64 bc 2.53 c 10.35
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% melalui uji DMRT.
96,00
TT: y = -0.185x + 92.94 r = 0.84
92,00
Panjang daun (cm)
Tinggi tanaman (cm)
41
88,00 84,00 80,00 0
20
40
44,00 42,00 40,00 38,00 36,00
60
0
Dosis iradiasi gamma (Gy)
20
40
60
Dosis iradiasi gamma (Gy) Rasio p: l daun: y = -0.0045x + 2.78 r = 0.86
2,85
Rasio p : l daun
PD: y = -0.098x + 43.19 r = 0.85
46,00
2,75 2,65 2,55 2,45 0
20
40
60
Dosis iradiasi gamma (Gy)
Gambar 5 Persamaan regresi karakter tinggi tanaman, panjang daun, rasio panjang: lebar daun tanaman pisang cv. Ampyang 6 bulan setelah aklimatisasi. Tanaman kontrol (0 Gy) juga memiliki rataan rasio p:l daun terbesar (2.82), berbeda nyata dengan tanaman hasil iradiasi 25 - 50 Gy namun tidak berbeda nyata dengan hasil iradiasi 20 Gy (2.69) (Tabel 5). Tanaman yang berasal dari hasil iradiasi gamma (20-50 Gy) memiliki rasio p:l daun yang lebih kecil, sehingga secara nyata memiliki bentuk daun yang lebih lebar dibandingkan dengan kontrol. .
Hasil persamaan regresi memperlihatkan bahwa peningkatan perlakuan
dosis iradiasi gamma pada eksplan tunas pisang pada saat mutasi induksi secara in vitro, berkorelasi dengan penurunan tinggi tanaman (r = 0.84), panjang daun (r = 0.85), dan rasio p:l daun (r = 0.86) (Gambar 5), walaupun demikian secara umum, tanaman yang diberi perlakuan iradiasi gamma dengan dosis yang lebih tinggi (4550 Gy) tidak memperlihatkan performan tanaman yang lebih buruk jika dibandingkan dengan pemberian dosis yang lebih rendah. Di dalam pemuliaan mutasi, frekuensi mutasi akan meningkat dengan peningkatan dan laju pemberian dosis iradiasi, namun diakui kemampuan untuk bertahan hidup dan kapasitas untuk beregenerasi akan berkurang dengan meningkatnya dosis iradiasi, sehingga secara keseluruhan efisiensinya akan menurun (Bhagwat & Duncan 1998).
42
Evaluasi keragaman tanaman pisang secara kuantitatif dan kualitatif, serta untuk mengetahui lebih rinci dosis iradiasi yang lebih banyak menghasilkan varian, dilakukan dengan mengidentifikasi karakter agronomis tanaman pada setiap individu.
Identifikasi dilakukan dengan membuat sebaran nilai pada karakter
agronomis tanaman yang secara statistik signifikan. Tanaman yang berada di luar ukuran kisaran tanaman standar dari seluruh populasi yang diamati, diidentifikasi awal sebagai tanaman varian pada usia 6 bulan (Gambar 6).
Jumlah tanaman
30
10
7
5 2
1 1
3
3 4 3 3 3 3 3
14 10 9
varian 9
5
5 6
5
3
5
4
2
1
0
0 Gy
30
Jumlah tanaman
19 15 1514 12
1817
20
< 52.67
≥ 52.67
20 Gy
≥ 70.14
25 Gy
≥ 87.61
30 Gy
40 Gy
≥ 105.67
45 Gy
≥ 122.54
50 Gy
Kisaran panjang daun (cm) 21 18
20
15
10
6 1 2
1
3 4 3 2
6
4
6
12 12 10
8
6 6
20 19 17
varian 12
9 5 6 4 3 3 3
5
1 2
0
< 25.09
0 Gy
Jumlah tanaman
26
Kisaran tinggi tanaman (cm)
30
≥ 25.09
20 Gy
≥ 32.66
25 Gy
≥ 40.24
30 Gy
40 Gy
≥ 47.81
45 Gy
≥ 55.39
50 Gy
Rasio panjang : lebar daun
20
24
varian 10
10 1 1
1 1
5 5 3 4
11
23 23
15 13
15 15 12 9
7 8
9 8 10 4 1
1 2
4
2
2 1
2 1 2
0 < 2.10
0 Gy
Gambar 6
≥ 2.10
20 Gy
≥ 2.37
25 Gy
30 Gy
≥ 2.64
40 Gy
≥ 2.92
45 Gy
≥ 3.19
50 Gy
Sebaran nilai pada tinggi tanaman, panjang daun, rasio panjang dan lebar daun tanaman pisang cv. Ampyang usia 6 bulan setelah aklimatisasi.
43
Tabel 6 Jenis varian pada tanaman pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro berdasarkan karakter kuantitatif tanaman pada usia 6 bulan setelah aklimatisasi. Jenis varian
Jumlah Persentase tanaman varian (%)
Tanaman varian hasil iradiasi gamma
Tinggi tanaman (cm) ≥ 122.54 cm (min. 22.8; maks. 134.0)
2
(0.8)*
25 Gy (2 tanaman)
Panjang daun (cm) ≥ 55.39 cm (min. 18.67; maks. 59.67)
3
(1.2)
25 Gy (1 tanaman) 30 Gy (2 tanaman)
Rasio panjang: lebar daun < 2.10 cm (min. 1.47; maks. 3.82)
2
(0.8)
30 Gy (1 tanaman) 40 Gy (1 tanaman)
Keterangan: * Persentase varian diperoleh dari = Ʃ tanaman varian pada satu karakter / Ʃ populasi tanaman yang diamati (255 tanaman) x 100%.
Hasil pengamatan pada Gambar 6 dan Tabel 6, diketahui 12 tanaman (4.7%) berukuran tinggi lebih rendah dari 52.67 cm, dan 2 tanaman (0.8%) berukuran lebih tinggi dari 122.54 cm. Pada karakter panjang daun diketahui 10 tanaman (3.9%) memiliki panjang daun lebih kecil dari 25.09 cm dan 3 tanaman (1.2%) berukuran lebih besar dari 55.39 cm, sedangkan pada rasio panjang : lebar daun, diketahui 2 tanaman (0.8%) memiliki rasio yang lebih kecil dari 2.10 (0.8 %) serta 8 tanaman (3.2%) memiliki rasio lebih besar dari 3.19.
Varian-varian
tanaman yang berukuran tinggi tanaman dan panjang daun yang lebih rendah, serta rasio panjang : lebar (p:l) daun yang lebih besar dari kisaran tanaman standar (Gambar 6), tidak dikategorikan sebagai varian hasil iradiasi, karena karakter ini juga dijumpai pada tanaman yang berasal dari eksplan yang tidak diiradiasi (0 Gy), varian ini diduga karena faktor subkultur berulang selama plantlet tanaman berada 10 bulan dalam periode kultur in vitro. Pada percobaan tahapan ini tanaman yang memiliki karakter agronomis berada diluar kisaran tanaman standar, memberikan indikasi awal adanya variasi pada tanaman yang berasal dari hasil mutasi induksi secara in vitro, karena gambaran umum tanaman yang berasal dari kultur in vitro adalah potensi terjadinya variasi somaklonal yaitu variasi genetik yang terjadi selama jaringan tanaman dikulturkan, dan variasi ini dapat diturunkan pada anakannya (Vuylsteke 1989; Collin & Edwards 1999). Tanaman pisang yang berasal dari eksplan yang tidak diberi perlakuan iradiasi atau tanaman kontrol (0 Gy) memiliki beberapa karakter
44
agronomis yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang diberi perlakuan iradiasi. Peranan iradiasi gamma terhadap pertumbuhan rataan tinggi tanaman, panjang daun, dan rasio panjang:lebar daun menunjukkan keragaman fenotipik tanaman dipengaruhi oleh perbedaan perlakuan dosis iradiasi yang diberikan.
Evaluasi terhadap karakter kualitatif tanaman Evaluasi terhadap karakter kualitatif tanaman dilakukan pada setiap individu dari seluruh populasi yang ada. Pengamatan kualitatif dilakukan terhadap morfologi daun yaitu berupa daun variegata, daun bergaris hijau tuamuda, daun berkerut, susunan daun berbentuk melingkar (roset), tepi daun menggulung, bentuk daun tidak beraturan dan rusak atau robek, ujung daun berbentuk lancip (Gambar 7 a-g). Morfologi pelepah, berupa pelepah daun tersusun simetris (berhadapan), pelepah tersusun seperti kipas, pelepah menyatu, pelepah berwarna merah (Gambar 8 a-c), serta keberadaan bercak berupa daun tanpa bercak, bercak daun sedikit dan bercak banyak (Gambar 9 a-c).
Tabel 7 Jumlah tanaman dan persentase varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma usia 6 bulan setelah aklimatisasi di rumah kaca. Jenis varian
Jumlah tanaman dan persentase (%) varian hasil iradiasi gamma,
0 Gy
20 Gy
Morfologi Daun 1. Daun variegate 2. Daun bergaris hijau tua-muda 1 (2.3) 3. Daun berkerut 4. Susunan daun melingkar 1 (2.3) 5. Tepi daun menggulung 4 (20.0) 6. Daun tidak beraturan, robek 7. Daun tegak - ujung lancip 1 (2.3) 1 (5.0) Morfologi Pelepah 1. Pelepah berhadapan 2. Pelepah tersusun seperti kipas 3. Pelepah menyatu 4. Pelepah berwarna kemerahan Keberadaan bercak 1. Daun tanpa bercak 2. Daun dengan bercak sedikit 3. Daun dgn bercak banyak Jumlah populasi yang diamati
4 (9.3)
1 (5.0)
25 Gy
40 Gy
45 Gy 50 Gy
1 (2.2) 4 (12.1)
1 (3.0)
3 (9.1)
1 (5.0) 2 (4.7)
30 Gy
1 (3.0)
2 (4.7)
3 (6.7) 4 (8.9)
2 (5.6) 3 (8.3)
1 (2.9)
1 (2.3) 1 (4.3)
2 (4.4)
1 (2.8)
2 (5.7)
2 (4.7) 6 (14.0)
1 (2.2)
2 (5.6) 2 (5.6)
3 (8.6) 4(11.4)
2 (4.7)
3 (8.6)
3 (7.0)
5 (11.1)
3 (6.7) 7 (19.4) 2 (5.6)
3 (8.6) 3 (8.6)
3 (7.0)
5 (11.1)
1 (2.8)
4 (11.4)
1 (2.3)
4 ( 9.3) 8 (40.0)
13(39.4)
12(26.7)
2 ( 8.3)
7 (20.0) 9 (20.9)
3 ( 7.0) 2 (10.0) 36(83.7) 10(50.0)
2 ( 6.1) 18(54.5)
6 (13.3) 4 (11.1) 27(60.0) 29(80.6)
4 (11.4) 5 (11.6) 24(68.6) 29(67.4)
43
33
45
35
20
36
43
Keterangan. Persentase varian pada setiap karakter dihitung berdasarkan: Ʃ varian pada satu karakter / Ʃ populasi yang diamati pada suatu perlakuan dosis iradiasi x 100%.
45
Pengamatan terhadap karakter kualitatif tanaman pada Tabel 7 diperoleh gambaran bahwa tanaman hasil iradiasi 30, 40, 45 dan 50 Gy menghasilkan jenis varian yang lebih banyak daripada tanaman kontrol (0 Gy), dan tanaman hasil iradiasi 20 dan 25 Gy. Tanaman hasil iradiasi 30-50 Gy secara kualitatif menghasilkan 11 jenis varian dari 14 jenis varian yang diamati, dan tanaman hasil iradiasi 50 Gy menghasilkan varian pada hampir semua jenis yang diamati.
a
b b
45 Gy (4) 31
c
45 Gy (4) 17
d
e
50 Gy (1) 37b
40 Gy (4) 19
f
g
50 Gy (3) 23
50 Gy (3) 27
h
50Gy (3) 8
45 Gy (4) 33
Gambar 7 Representasi varian tanaman hasil iradiasi usia 6-8 bulan berdasarkan karakter kuantitatif dan kualitatif: (a) tinggi tanaman tertinggi dan terendah, (b) daun berkerut, (c) daun bergaris hijau tua-muda, (d) daun variegata, (e) susunan daun berbentuk melingkar (roset), (f) tepi daun menggulung, (g) daun tegak dengan ujung daun lancip, (h) bentuk daun tidak beraturan dan robek.
46
a
b
Pelepah berhadapan
50 Gy (3) 14b
45 Gy (4) 29
d
c
Pelepah menumpuk
50 Gy (3) 43
25 Gy (4) 20
50 Gy (3) 43
Gambar 8
Varian tanaman hasil iradiasi gamma usia 6 bulan berdasarkan karakter kualitatif: (a) pelepah daun berhadapan, (b) pelepah daun menumpuk, (c) pelepah tersusun seperti kipas (d) pelepah daun berwarna merah.
a
c
b
30 Gy (1) 2
45 Gy (4) 19
30 Gy (3) 14
Gambar 9 Keberadaan bercak pada daun pisang; (a) daun tanpa bercak, (b) bercak sedikit dan (c) bercak banyak. Tanaman pisang dengan genom AAA secara alami memiliki bercak pada saat muda, dan tanaman yang tidak memiliki bercak diduga merupakan varian (Gambar 9), sedangkan daun variegata, daun berkerut, tepi daun menggulung, dan daun berbentuk tidak beraturan diduga merupakan varian yang disebabkan oleh pemberian iradiasi pada eksplan awal saat periode kultur in vitro. Tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy memiliki jenis varian dengan
47
tepi daun menggulung yang terbanyak (20%) (Gambar 7-f), tanaman hasil iradiasi 25 Gy memiliki jenis varian dengan fenotipik daun bergaris hijau tua dan muda terbesar (12.1%) (Gambar 7-c), sedangkan tanaman yang tidak diradiasi (0 Gy) memperlihatkan bercak daun banyak (83.7%) (Gambar 9-a). Tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 25, 40 dan 45 Gy beberapa memiliki varian berupa pelepah daun berhadapan (simetris), pelepah daun menumpuk, pelepah tersusun seperti kipas, dan pelepah daun berwarna merah (Gambar 8). Karakter daun variegata, daun berkerut, bentuk daun tidak beraturan dan robek, serta bentuk pelepah yang menyatu merupakan mutan yang bersifat negatif, demikian pula varian berupa karakter tanaman kerdil. Menurut Mak et al. (2004), kejadian yang cukup tinggi dari bentuk off-types, seringkali terjadi pada tanaman hasil iradiasi dan kultur in vitro, hal ini merupakan kendala dalam perbanyakan tanaman pisang. Pada pisang Cavendish bentuk off-types terjadi dari hasil perbanyakan secara in vitro dalam periode lama dan sejumlah siklus subkultur yang besar pada fase multiplikasi tunas, dan gen spesifik yang bertanggung jawab dalam mutan tersebut sejauh ini belum diketahui (Khayat et al. 2004). Daun variegata yang terjadi pada percobaan ini (Gambar 7-f) ada kemungkinan merupakan kimera sektorial, atau kimera meriklinal karena daun variegata hanya terlihat pada sebagian permukaan daun. Kimera sektorial merupakan kimera dimana seluruh lapisan sel (L1, L2, L3) pada daerah tertentu secara genetik berbeda dengan bagian lainnya, sedangkan kimera meriklinal hanya terjadi pada lapisan L1 dan jenis kimera paling tidak stabil (Burge et al. 2002). Daun variegata terjadi karena adanya mutasi yang terjadi di dalam genom inti, karena genom inti mengkode lebih dari 90% seluruh protein kloroplas yang terdapat dalam plastida, dengan demikian diferensiasi kloroplas membutuhkan koordinasi ekspresi dari gen-gen inti dan kloroplas, dan perubahan informasi antara dua organel untuk merespon signal tersebut ke daun dan diferensiasi kloroplas dimediasi oleh jalur signal tertentu (Sugimoto et al., 2004). Hasil pengamatan di lapangan dijumpai bahwa varian tanaman yang secara teoritis merupakan mutan negatif, seperti daun berkerut dan daun berbentuk tidak beraturan, ternyata masih mampu bertahan hidup dan beberapa mampu berbuah (Tabel 13; Gambar 12). Karakter kualitatif daun bergaris dan pelepah menyatu merupakan varian negatif karena tidak mampu bertahan hidup.
48
Evaluasi keragaman pada jumlah stomata Evaluasi keragaman tanaman terhadap jumlah stomata dilakukan pada saat tanaman berusia 8 bulan. Hasil pengamatan anatomi stomata pada daun segar diperoleh gambaran bahwa stomata banyak dijumpai pada epidermis bawah daun, berbentuk ginjal dan bertipe anomositik dengan sel-sel epidermis berbentuk heksagonal (Gambar 10). Pengamatan jumlah stomata dilakukan melalui metode imprint dengan mengolesi pelapis kuku (cutex) transparan pada permukaan epidermis bawah daun ke-2 dan ke-3. Pelapis cutex dilepas dengan menggunakan pinset selanjutnya bentuk dan jumlah stomata diamati dibawah mikroskop. Jumlah stomata dihitung di bawah permukaan mikroskop cahaya dengan perbesaran 40x, dan densitas stomata diukur berdasarkan jumlah stomata per mm2 daun. Hasil analisis dengan uji-F menunjukkan bahwa densitas stomata pada daun ke-2 dan ke-3 tidak berbeda nyata (P > 0.05) (Tabel 8), sehingga diketahui bahwa urutan letak daun tidak mempengaruhi keragaman densitas stomata, dengan demikian daun ke-2 atau ke-3 dapat digunakan untuk mengidentifikasi keragaman densitas stomata pada daun pisang cv. Ampyang.
Hasil perhitungan jumlah
stomata pada epidermis bawah daun ke-3 (Tabel 9) diketahui bahwa densitas stomata tertinggi terdapat pada daun tanaman pisang yang berasal dari eksplan tunas yang tidak diradiasi (0 Gy) dengan rataan jumlah stomata 160.7 stomata per mm 2. Densitas terendah terdapat pada tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 25 Gy yaitu sebesar 115.9 stomata per mm2 .
Stoma (a) Sel penutup (b)
Sel tetangga(c) Sel epidermis (d)
Gambar 10 Stomata daun pisang cv. Ampyang dilihat dengan mikroskop cahaya pada perbesaran 400x, (a) stoma, (b) sel penutup (guard cell), (c) sel tetangga (subsidiary cell), (d) sel epidermis.
49
Tabel 8 Uji F rataan densitas stomata pada epidermis bawah daun ke-2 dan ke-3 tanaman pisang cv. Ampyang, usia 8 bulan setelah aklimatisasi Pengamatan stomata pada epidermis bawah : Daun ke-2 Daun ke-3 Perbedaan rataan p Keterangan.:
N
Densitas stomata (jumlah stomata per mm2):
80 80
Rataan 137.9 137.4 0.5 0.4
± SE 3.1 3.0
Pp> 0.05 tidak berbeda nyata berdasarkan uji F.
Tabel 9 Rataan densitas stomata daun ke-3 tanaman pisang cv. Ampyang hasil perlakuan iradiasi gamma, usia 8 bulan setelah aklimatisasi. Dosis iradiasi (Gy) 0 20 25 30 40 45 50 Koef. Variasi (%)
N 10 6 15 15 8 10 16
Densitas stomata (jumlah stomata per mm2) Rataan Min. Maks. 160.7 a 126 198 125.5 bc 104 177 115.9 c 82 164 129.9 bc 94 156 128.3 bc 104 161 157.3 a 118 218 146.1 ab 98 178 19.7
Keterangan. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% melalui uji DMRT.
.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa densitas stomata tanaman
yang berasal dari hasil iradiasi 20, 25, 30 dan 40 Gy secara nyata lebih rendah daripada tanaman kontrol dan tanaman hasil iradiasi 45 dan 50 Gy. Stomata daun tanaman yang tidak diradiasi (0 Gy) terlihat tersusun teratur dan sangat rapat, sedangkan stomata daun yang berasal dari hasil iradiasi 20 dan 25 Gy terlihat berukuran lebih besar dan tersusun kurang beraturan, sehingga ada kemungkinan terjadi perubahan ploidi pada tanaman hasil iradiasi tersebut (Gambar 11). Menurut Hetherington & Woodward (2003) perubahan genetik dapat menyebabkan perubahan densitas stomata dan ukuran stomata. Griffiths et al. (1996) melaporkan bahwa pada tanaman tembakau, semakin tinggi tingkat ploidi semakin besar ukuran sel dan stomatanya. Hasil penelitian Damayanti (2007) juga memperlihatkan bahwa tingkat ploidi berhubungan dengan ukuran sel epidermis dan densitas stomata pisang.
50
a
b
c
d
Gambar 11 Stomata daun pisang cv. Ampyang diamati pada usia 8 bulan setelah diaklimatisasi. (a) stomata daun tanpa diradiasi (0 Gy) dan (b) hasil iradiasi 20 Gy dengan perbesaran 40x, (c) stomata daun tanpa diradiasi (0 Gy) dan (d) hasil iradiasi 25 Gy dengan perbesaran 100x. Hasil persamaan regresi menunjukkan peningkatan dosis iradiasi pada eksplan tunas pisang pada saat mutasi induksi dengan iradiasi gamma secara in vitro, tidak berkorelasi dengan penurunan densitas stomata (5%) saat tanaman berusia 8 bulan. Daun dengan densitas stomata yang rendah (25 Gy) cenderung memiliki bentuk stomata yang lebih besar. Menurut Essau (1977) dan Hetherington & Woodward (2003), distribusi stomata dan ukuran stomata juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, species tanaman dan lingkungan kondisi stomata setiap tanaman. Densitas stomata berkisar 5-1.000 mm2 sel epidermis, selain variabilitas yang tinggi terdapat hubungan yang kuat antara densitas dan ukuran stomata. Densitas stomata pisang cv. Ampyang hasil percobaan ini berkisar 115.88 – 160.70 stomata per mm2, hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Da Silva Costa et al. (2009) juga memperlihatkan densitas stomata pisang cv. Caipira (grup genom AAA) diketahui sebesar 140.9 stomata per mm 2.
51
Evaluasi di lapangan terhadap keragaman fenotipik tanaman. Tanaman pisang cv. Ampyang yang berasal dari mutasi induksi yang telah diregenerasikan selam 10 bulan secara in vitro dan ditumbuhkan di rumah kaca sampai usia 6 bulan, dipisahkan ke lapangan untuk dievaluai keragaman fenotipiknya. Pengamatan pada fase pertumbuhan vegetatif dilakukan pada usia 11 bulan setelah ditanam di lapangan, dan pertumbuhan generatif diamati saat tanaman berbuah. Keragaman fenotipik tanaman diamati terhadap karakter agronomis tanaman berupa tinggi tanaman, lingkar batang semu, panjang daun, lebar daun serta rasio panjang:lebar daun, jumlah sisir per tandan, jumlah buah per tandan, berat tanda buah, rasio panjang dan lingkar buah, dan umur panen.
Evaluasi keragaman fenotipik tanaman pada pertumbuhan vegetatif. Hasil pengamatan terhadap karakter kuantitatif tanaman pisang cv. Ampyang pada usia 11 bulan setelah ditanam di lapangan, diperoleh gambaran umum adanya keragaman fenotipik pada beberapa karakter yang diamati. Persentase kemampuan tumbuh tanaman hasil perbanyakan secara in vitro ini relatif cukup tinggi berkisar 88.2 – 100.0% (Tabel 10). Tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy memiliki karakter agronomis yang lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya pada semua karakter kuantitatif yang diamati, sedangkan tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy menghasilkan pertumbuhan dengan karakter kuantitatif yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya.
Tabel 10
Dosis iradiasi (Gy) 0 20 25 30 40 45 50
Rataan tinggi tanaman dan lingkar batang semu pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro, pada usia 11 bulan setelah tanam di lapangan.
Jumlah dan persentase (%) tanaman hidup
Rataan
± SE
Min. Maks. Rataan
± SE
17 6 15 25 10 15 21
277.29 132.17 246.80 321.20 288.10 220.60 268.86
± 18.70 ± 37.72 ± 25.33 ± 21.94 ± 29.42 ± 25.15 ± 24.24
126 41 121 145 164 54 117
± 3.26 ± 4.29 ± 2.97 ± 2.62 ± 2.79 ± 3.29 ± 3.58
( 89.5)* (100.0) ( 88.2) ( 96.2) ( 78.6) (100.0) ( 80.8)
Tinggi tanaman (cm)
Lingkar batang semu (cm)
436 252 434 536 471 385 535
36.71 17.50 29.93 41.20 37.60 31.93 37.57
Min. Maks 13 8 14 16 24 9 17
62 35 53 72 52 55 75
Keterangan: * = Ʃ tanaman yang hidup pada suatu perlakuan / Ʃ tanaman yang ditumbuhkan di lapangan x 100%.
52
Tabel 11 Rataan panjang daun dan lebar daun pisang cv. Ampyang hasil i radiasi gamma dan regenerasi secara in vitro, pada usia 11 bulan setelah tanam di lapangan. Dosis iradiasi (Gy) 0 20 25 30 40 45 50
Panjang daun (cm) Rataan ± SE Min. Maks. 142.32 ± 11.12 61 226 63.50 ± 17.72 20 119 124.93 ± 11.92 53 201 158.48 ± 10.92 75 275 145.80 ± 10.54 103 214 111.67 ± 10.90 36 170 138.57 ± 11.78 62 271
Lebar daun (cm) Rataan ± SE Min. Maks. 46.03 ± 3.32 21 68 23.67 ± 6.33 8 48 43.27 ± 3.61 20 65 52.56 ± 2.63 25 76 52.10 ± 5.71 31 95 39.80 ± 3.45 14 55 45.40 ± 3.47 15 72
Tabel 12 Rataan rasio panjang dan lebar daun, jumlah anakan pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro, pada usia 11 bulan setelah tanam di lapangan. Dosis iradiasi (Gy) 0 20 25 30 40 45 50
Rasio panjang : lebar daun Rataan ± SE Min Maks 3.09 ± 0.11 2.38 4.40 2.63 ± 0.11 2.48 3.19 2.87 ± 0.09 2.18 3.40 2.97 ± 0.09 2.21 3.93 2.97 ± 0.23 1.37 4.06 2.74 ± 0.07 1.97 3.35 3.12 ± 0.14 2.20 4.71
Jumlah anakan Rataan ± SE Min Maks 3.18 ± 0.78 0 10 0.83 ± 0.31 0 2 2.07 ± 0.80 0 12 3.72 ± 0.60 0 10 2.60 ± 1.14 0 12 2.13 ± 0.57 0 9 2.81 ± 0.67 0 10
Tanaman hasil iradiasi 30 Gy memiliki rataan tinggi tanaman (321.20 cm ± 21.94), lingkar batang semu (41.20 cm ± 2.62), panjang daun (154.48 cm ± 10.92), lebar daun (52.56 cm ± 2.63), serta jumlah anakan (3.72 anakan ± 0.60) yang lebih besar dari semua perlakuan iradiasi, sedangkan terhadap rasio panjang dan lebar daun relatif tidak jauh berbeda (Tabel 10, 11 dan 12). Rasio terbesar dihasilkan oleh tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 50 Gy (3.12 ± 0.14), sehingga secara fenotipik daun tanaman hasil iradiasi 50 Gy memiliki bentuk daun yang relatif lebih panjang. Secara teoritis rasio panjang dan lebar daun merupakan salah satu faktor yang mendukung pertumbuhan tanaman, karena berhubungan dengan luas bidang absorbsi penyerapan cahaya dalam proses fotosintesis (Taiz & Zeiger 2002), namun hasil percobaan ini beberapa tanaman yang memiliki bentuk daun lebih panjang cenderung tidak mampu menghasilkan buah (Tabel 13 dan 14).
53
Evaluasi dan identifikasi keragaman pada setiap individu di lapangan, dilakukan dengan membuat sebaran nilai pada setiap karakter kuantitatif tanaman yang diamati. Tanaman yang berukuran lebih besar dari ukuran kisaran tanaman standar dari seluruh populasi tanaman yang diamati, dan memperlihatkan performan yang kokoh serta mampu berbuah dengan kualitas yang baik, diidentifikasi sebagai varian tanaman yang positif. Berdasarkan sebaran nilai karakter kuantitiatif tanaman dan karakteristik buah yang dihasilkan teridentifikasi beberapa varian yang berukuran lebih besar dari kisaran tanaman standar seperti yang disajikan pada Tabel 13 serta Lampiran 1 dan 2.
Tabel 13 Jenis varian pada tanaman pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro, pada usia 11 bulan setelah tanam di lapangan. Jumlah Persentase tanaman varian (%)
Jenis varian Jumlah anakan ≥ 8.7 (min.0; maks. 12)
Tinggi tanaman (cm) < 53.49 ≥ 482.40 (min. 41.0 ; maks.536.0) Lingkar batang semu < 7.22 ≥ 63.46 (min. 8.0; maks. 70.0 ) Panjang daun (cm) < 30.31 ≥ 239.04 (min. 20.0; maks. 275.0) Lebar daun (cm) < 14.50 ≥ 76.94 (min. 8.0 ; maks. 95.0) Rasio panjang : lebar daun < 1.97 ≥ 3.95 (min. 1.4 ; maks. 4.7)
8
(9.1)*
Tanaman varian berasal dari : 0 Gy (7) 18 30 Gy (7) 44 40 Gy (4) 30
0 Gy (7) 20 30 Gy (7) 50 45 Gy (4) 17
25 Gy (4) 1 50 Gy (3) 8
2 3
(2.3) (3.4)
20 Gy (1) 19 30 Gy (3) 36
20 Gy (1) 23 30 Gy (3) 37
50 Gy (1) 34
0 3
(0.0) (3.4)
30 Gy (7) 48
50 Gy (3) 18
50 Gy (3) 46
2 3
(2.3) (3.4)
20 Gy (1) 19 30 Gy (3) 36
20 Gy (1) 23 30 Gy (3) 37
50 Gy (1) 34
3 1
(3.4) (1.1)
20 Gy (1) 19 40 Gy (4) 36
20 Gy (1) 23
25 Gy (4) 25
1 4
(1.1) (4.6)
40 Gy (4) 36 0 Gy (7) 39 50 Gy (3) 14
40 Gy (4) 30 50 Gy (1) 37b
Keterangan: * Persentase varian diperoleh = Ʃ tanaman diluar kisaran tanaman standar / Ʃ populasi yang diamati (88) x 100%
54
Identifikasi setiap individu tanaman varian di lapangan memperlihatkan bahwa dari 88 populasi tanaman yang diamati, terdapat 8 tanaman (9.1%) memiliki jumlah anakan berkisar 9-12. Varian jumlah anakan ini tidak dikategorikan sebagai varian hasil mutasi karena tanaman 0 Gy juga menghasilkan jumlah anakan yang besar. Tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy (2 tanaman), teridentifikasi memiliki tinggi tanaman (< 53.49 cm), panjang daun (< 30.31 cm) dan lebar daun (< 14.50 cm) yang lebih rendah dari tanaman standar, serta tidak mampu berbuah (Tabel 13). Tanaman yang berukuran jauh dibawah kisaran tanaman standar pada umumnya menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang rapuh dan tidak mampu berbuah, tanaman tersebut dikategorikan sebagai varian yang bersifat negatif. Demkian pula tanaman-tanaman yang teridentifikasi memiliki rasio panjang dan lebar (p:l) daun yang lebih besar dari tanaman standar, ternyata juga belum mampu menghasilkan buah. Tanaman yang memiliki karakter diatas kisaran tanaman standar yang merupakan varian yang bersifat positif, yaitu varian tanaman berasal dari hasil iradiasi 30 Gy (2 tanaman) dengan kode tanaman [30 Gy (3) 36] dan [30 Gy (3) 37] 50 Gy (1 tanaman) yaitu tanaman [50 Gy (1) 34] memiliki tinggi tanaman ≥( 482.40 cm) dan panjang daun (≥ 239.04 cm) yang lebih besar dari tanaman standar. Tanaman hasil iradiasi 30 Gy dan 50 Gy dengan kode tanaman [30 Gy (7) 38], [50 Gy (3) 18] dan 50 Gy (3) 46], memiliki lingkar batang semu lebih besar dari 63.46 cm, keseluruhan varian tersebut juga mampu menghasilkan buah dengan jumlah buah berkisar 61 – 104 buar per tandan (Tabel 13; 14). Tanaman yang tidak diradiasi (0 Gy) sebagian besar memiliki karakter agronomis dengan ukuran yang berada pada kisaran tanaman standar, dan tanaman yang berada pada kisaran tersebut umumnya memiliki performa yang kokoh. Tanaman yang berada dalam kisaran tanaman standar atau sedikit diatas kisaran tanaman standar beberapa mampu berbuah, seperti tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 25 Gy dan tanaman yang tidak diradiasi (0 Gy), sedangkan tanaman yang memiliki karakter pertumbuhan dibawah kisaran tanaman standar, beberapa mampu berbuah, namun menghasilkan kuantitas dan kualitas buah yang rendah, seperti tanaman berasal dari hasil iradiasi 0, 25 dan 50 Gy dengan kode tanaman [0 Gy (3) 47], [25 Gy (4) 18], dan [50 Gy (1) 33] seperti yang disajika pada Tabel 14 dan Gambar 12.
55
Tabel 14 Pengamatan karakter kuantitatif buah pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro saat panen usia 14-18 bulan setelah tanam di lapangan. Dosis iradiasi Jumlah & Kode anakan Tanaman
Jumlah sisir per tandan
Jumlah buah per tandan
Bobot Rasio panjang tandan : lingkar buah (kg)
Umur panen (bln)
0 Gy (7). 18 0 Gy (7). 20 0 Gy (7). 20* 0 Gy (7). 41 0 Gy (3). 47
10 9 15 4 0
8 6 7 5 6
110 93 75 65 58
12.50 7.80 4.50 2.40 5.22
1.48 1.25
14 15 23 13 14
25 Gy (4). 1 25 Gy (4). 18 25 Gy (4). 22 25 Gy (4). 30
12 0 0 4
7 5 6 5
106 23 71 65
10.00 2.67 4.81 2.80
1.40 1.50
17 14 15 15
30 Gy (3). 30 30 Gy (3). 36 30 Gy (3). 37 30 Gy (3). 38 30 Gy (7). 44 30 Gy (7). 48 30 Gy (7). 50
3 8 6 3 9 10 7
4 7 7 4 6 7 6
45 104 99 48 73 98 72
1.20 7.61 6.23 3.36 5.20 8.80 7.00
1.48 1.26 1.38 1.25 1.12 1.24
15 15 15 20 14 17 18
40 Gy (4). 33
4
3
25
1.50
1.10
14
45 Gy (4). 12 45 Gy (4). 17 45 Gy (4). 19
4 17 1
4 5 5
38 52 57
1.20 2.70 2.50
1.10 1.12 1.30
18 18 19
50 Gy (3). 18 50 Gy (3). 18* 50 Gy (1). 33 50 Gy (1). 34 50 Gy (3). 46
10 12 0 6 5
7 7 2 7 6
96 142 18 102 61
5.30 13.10 1.60 6.32 4.50
1.40 1.65 1.30 1.20 -
15 24 14 16 16
Keterangan: * = klon tanaman anakan,
– tidak diamati
Hasil pengamatan pada Tabel 13 menunjukkan bahwa, usia panen tanaman pisang cv. Ampyang berkisar antara 14-18 bulan setelah ditanam dilapangan. Tanaman varian yang konsisten menghasilkan jumlah buah per tandan yang cukup besar dan jumlah anakan berkisar 9 -12 klon diperlihatkan pada tanaman yang tidak diradiasi/kontrol (0 Gy), dan yang berasal dari hasil iradiasi 50 Gy, yaitu pada tanaman dengan kode [0 Gy (7) 20] dan [50 Gy (3) 18], dan beberapa tanaman yang berbuah teridentifikasi tidak memiliki anakan. Pada Tabel 14 memperlihatkan
56
karakteristik buah yang dihasilkan dari keseluruhan populasi tanaman yang diamati, beberapa tanaman hasil iradiasi 25, 30 dan 50 Gy serta tanaman 0 Gy, menghasilkan jumlah buah berkisar 98-142 buah/tandan, dengan bobot tandan buah berkisar 7.61 – 13.10 kg. Individu yang berasal dari tanaman hasil iradiasi dengan kode tanaman [0 Gy (7) 20] dan [50 Gy (3) 18] menunjukkan konsistensi dalam karakteristik buah yang dihasilkan baik secara kuantitas dan kualitas buah, sehingga diidentifikasikan sebagai varian yang positif. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa varian tanaman pisang cv Ampyang yang berasal dari hasil mutasi induksi yang telah diregenerasikan selama 10 bulan dengan 6-8 x subkultur (M1V6-8) secara in vitro, setelah ditumbuhkan di rumah kaca dan di lapangan menunjukkan adanya keragaman fenotipik pada pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman, sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Keragaman fenotipik pada karakter kuantitatif tanaman bervariasi pada setiap tingkatan dosis iradiasi, hal ini dapat terjadi karena mutasi induksi bersifat acak (Medina et al. 2004). Menurut Vuylsteke (1989) dan IAEA (2009), mutasi induksi dengan iradiasi gamma melalui teknik in vitro menjadi aspek utama di dalam penanganan plasma nutfah dan peningkatan efisiensi dalam proses pemuliaan tanaman pisang dan plantain (Musa spp), serta menimbulkan variasi di antara populasi yang ada. Menurut Megia (2005) pisang merupakan model yang unik untuk mempelajari peran dari variasi somklonal. Tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy sebagian besar menghasilkan pertumbuhan yang lebih rendah pada hampir semua karakter pertumbuhan yang diamati dan tidak mampu berbuah, sehingga dikarekterisasikan sebagai varian yang negatif. Tanaman hasil iradiasi 30 Gy menghasilkan rataan pertumbuhan yang lebih tinggi pada hampir semua karakter yang diamati, demikian pula tanaman hasil iradiasi 50 Gy dimana pada umumnya juga menghasilkan karakter agronomis yang cukup baik. Hasil percobaan ini tidak terlihat bahwa tanaman hasil iradiasi tertinggi (50 Gy) akan menghasilkan karakter kualitatif dan kuantitatif tanaman yang lebih buruk jika dibandingkan dengan tanaman yang berasal dari hasil iradiasi yang lebih rendah, bahkan pada tanaman [50 Gy (3) 18] menunjukkan konsistensinya dengan menghasilkan jumlah buah per tandan dan bobot tandan buah yang cukup besar. Menurut Novak et al. (1990) dan Mak et al. (2004) bahwa dosis optimum untuk pemuliaan mutasi tidak bisa menjadi satu-
57
satunya penyebab penurunan kapasitas pertumbuhan tanaman sampai 50%. Representasi gambar tanaman normal, kerdil, variasi bentuk dan warna brachtea pisang, tanaman yang berada diluar kisaran tanaman standar, serta keragaman bentuk buah pisang Ampyang hasil percobaan ini yang dikategorikan varian-varian tanaman yang bersifat positif disajikan pada Gambar 12 dan 13.
a
b
c
50 Gy (3) 18
e
d
0 Gy (3) 47
g
50 Gy (3) 37b
25 Gy (4) 18
f
0 Gy (7) 18
h
30 Gy (3) 36
i
45 Gy (4) 12
45 Gy (4) 19
Gambar 12 Varian tanaman pisang cv. Ampyang diidentifikasikan sebagai (a) tanaman standar (normal), (b-d) tanaman dengan tinggi dan kualitas buah rendah dan kate, (e-f) variasi bentuk dan warna brachtea pada tanaman pisang dengan kuantitas buah 96-100 buah per tandan dan (g-i) kuantitas buah 38-57 buah per tandan pada usia 11-14 bulan setelah tanam.
58
a
c
b
50 Gy (3) 18
30 Gy (3) 36
30 Gy (3) 37
e
d
0 Gy (7) 20
30 Gy (7) 48
g
f
45 Gy (4) 12
50 Gy (1) 34
i
h
50 Gy (3) 46
50 Gy (3) 18*
Gambar 13 Keragaman fenotipik buah yang dihasilkan dari tanaman yang berasal dari hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro (M1V6) yang dikategerikan sebagai varian positif: (a-c) usia 11-12 bln setelah tanam; (d-h) saat panen usia 14-18 bln setelah tanam; (i) buah klon anakan hasil iradiasi 50 Gy, usia panen 24 bln setelah tanam.
Buah pisang cv. Ampyang pada umumnya memiliki bentuk silindris, warna kulit buah masak fisiologis hijau cerah-sedang, beberapa memiliki bercak. Warna kulit buah masak kuning cerah-orange dan setelah tua menjadi kecoklatan, namun
59
warna daging buah tidak berubah hanya menjadi lebih gelap berwarna orange tua (Gambar 14 a-b). Warna daging buah masak fisologis kuning - orange (Gambar 14 c-e), aroma buah cukup tajam seperti pisang mas, rasa daging buah sangat manis dengan kadar kemanisan 21.72 – 24.29 obrix. Pengujian kualitas buah dilakukan pada buah yang dapat dikonsumsi dengan kriteria tidak busuk dan telah masak fisiologis dengan warna kulit buah dan daging buah telah berwarna kuning. Hasil analisis proksimat secara duplo (Tabel 15) sampel pisang dari perlakuan 0, 25, 30, 45 dan 50 Gy, memperlihatkan rataan persentase kadar air, abu, lemak, protein, serat kasar dan karbohidrat yang terkandung pada buah secara umum tidak berbeda jauh dengan hasil analisis pada sampel pisang yang diperoleh dari pasar komersial. Persentase kadar air berkisar 70.02 - 75.68%, sedangkan pada sampel pisang cv. Ambon Hijau sebesar 75.61% dan cv. Raja Sereh 71.46%. Persentase kadar abu dan protein lebih tinggi daripada ke dua sampel pisang pisang komersial yang diuji. Persentase lemak dan serat kasar bervariasi, sedangkan persentase karbohidrat relatif tidak berbeda. Menurut Ahloowalia & Maluszynski (2001), mutasi mempengaruhi biosintesa pati yang dapat menyebabkan perubahan komposisi amylosa dan amylopektin sehingga merubah kandungan fisik-kimia dari butir-butir pati. Tanaman varian yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy tidak ada yang berbuah, dan yang berasal dari hasil iradiasi 40 Gy hanya satu tanaman yang berbuah, namun menghasilkan buah dengan karakteristik cepat membusuk, sehingga tidak dilakukan analisis.
Tabel 15 Hasil analisis proksimat buah pisang cv. Ampyang hasil perlakuan iradiasi gamma yang ditumbuhkan di lapangan. Tanaman varian hasil iradiasi 0 Gy 25 Gy 30 Gy 45 Gy 50 Gy Kontrol (1) Kontrol (2)
Kadar air
Abu
Lemak
Protein
Serat Kasar
Karbohidrat
0.14 0.22 0.20 0.19 0.20 0.16 0.26
23.94 21.44 21.68 23.34 24.19 22.95 25.38
Persentase (%) 72.00 75.68 74.64 70.02 73.45 75.61 71.46
0.72 0.66 0.61 0.61 0.73 0.22 0.78
2.05 0.74 1.34 4.13 0.16 0.19 0.88
1.16 1.33 1.54 1.71 1.27 0.88 1.25
Keterangan: Kontrol (1) berasal dari buah pisang meja cv. Ambon Hijau; (2). cv. Raja Sereh
60
a
b
25 Gy (4) 30
c
25 Gy (4) 30
45 Gy (4) 12
e
d
0 Gy (7) 20
0 Gy (7) 20
Gambar 14 Karakteristik buah pisang cv. Ampyang setelah masak fisiologis: (a-b) Warna kecoklatan pada kulit buah dan warna orange tua daging buah pisang yang berasal dari hasil iradiasi gamma 25 Gy; (b) hasil iradiasi 45 Gy; (d-e) sisir buah pisang, buah dibelah membujur dan melintang yang berasal dari tanaman 0 Gy. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya menunjukkan adanya dosis optimum yang menghasilkan varian-varian yang positif. Seleksi mutan cv. Klue Hom Thong (Pisang Ambon Kuning, AAA) asal Thailand yang diperoleh melaui teknik kultur jaringan dengan iradiasi gamma 25 Gy, menghasilkan tanaman pisang dengan ukuran tandan besar dan bentuk buah silindris (Jain 2010). Pada cv. Lakatan (Barangan Kuning, AAA) asal Malaysia dosis iradiasi 40 Gy menyebabkan penurunan tinggi tanaman dan mempercepat pembungaan (Hautea et al. 2004), sedangkan pada pisang Embul (AAB) asal Srilanka pemberian dosis 45 Gy pada kultur pucuk secara in vitro akan menghasilkan tanaman dengan tinggi yang rendah dan pembuahan yang lebih cepat yaitu 6 bulan setelah tanam di lapangan (Hirimburegama et al. 2004). Hasil percobaan ini tidak tampak bahwa perlakuan iradiasi gamma yang diberikan pada periode kultur in vitro akan mempercepat pembuahan, karena pada umumnya tanaman berbuah pada usia 9-10 bulan setelah tanam, dan panen pada usia 14 – 18 bulan setelah tanam. Varian tanaman yang bersifat positif cenderung banyak dihasilkan pada tanaman yang berasal dari kontrol (0 Gy) dan iradiasi 30, 50 Gy, dan varian negatif dengan karakter agronomis yang rendah dan tidak
61
mampu berbuah atau menghasilkan buah dengan kualitas rendah dihasilkan pada beberapa tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 20 dan 40 Gy. Varian tanaman yang secara teoritis merupakan mutan negatif (daun berkerut, bentuk daun tidak beraturan), masih mampu bertahan hidup dan beberapa mampu berbuah, seperti pada tanaman [45 Gy (4) 17] yang tersaji pada Tabel 14 dan Gambar 15. Perolehan varian tanaman dengan karakter yang rendah hasil percobaan ini tidak diharapkan. Menurut Mak et al. (2004) perolehan karakter yang rendah dan tidak dapat bertahan hidup sampai dewasa merupakan salah satu kemungkinan yang akan diperoleh pada tanaman yang diberi perlakuan mutagenik, di antaranya adalah pertumbuhan yang lambat, daun yang lebih kompak dan tegak, batang semu yang rata, kaku dan warna yang bervariasi dari coklat tua sampai kuning terang, serta deformasi berbagai bentuk tandan dan karakteristik buah. Sifat-sifat agronomis yang rendah di antara populasi tanaman yang diseleksi, selain dipengaruhi oleh pemberian mutagen juga dipengaruhi oleh pengaruh negatif dari mutagen dan faktor lingkungan seperti kesuburan tanah, cekaman air dan teknik pengolahan tanah (Mak et al. 2004; Jain 2010).
a
d
b
e
c
f
Gambar 15 Pertumbuhan dan perkembangan varian tanaman pisang cv. Ampyang yang berasal dari eksplan hasil iradiasi [45 Gy (4) 17] pada usia: (a) 2 bulan dan (b) 4 bulan setelah aklimatisasi, (c-d) usia 18 bulan di lapangan, (e-f) karakteristrik bentuk buah sebelum dan setelah panen.
62
Simpulan Karakterisasi dan evaluasi tanaman pisang cv. Ampyang di rumah kaca terhadap tanaman hasil mutasi induksi dan regenerasi secara in vitro, dapat mengidentifikasi secara fenotipik keberadaan tanaman varian secara kuantitatif dan kualitatif. Karakter tersebut (tinggi tanaman, panjang daun, rasio panjang dan lebar daun, serta densitas stomata, morfologi daun dan pelapah) diyakini dapat digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan varian hasil mutasi induksi dengan iradiasi gamma pada pisang kultivar lainnya di rumah kaca. Peningkatan dosis iradiasi gamma yang diberikan pada eksplan tunas pisang in vitro pada saat mutasi induksi, menyebabkan penurunan tinggi tanaman, panjang daun, serta rasio panjang dan lebar daun, sehingga secara fenotipik tanaman yang diradiasi rata-rata memiliki tinggi tanaman yang lebih rendah dengan bentuk daun yang lebih lebar. Tanaman 0 Gy memiliki densitas stomata yang sama dengan tanaman hasil iradiasi 45 dan 50 Gy, dan lebih besar dari tanaman 20, 25, 30 dan 40 Gy. Evalusi terhadap karakter kualitatif tanaman menunjukkan bahwa tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 30, 40, 45 dan 50 Gy menghasilkan jenis varian yang lebih banyak daripada tanaman kontrol (0 Gy). Evaluasi keragaman tanaman pisang cv. Ampyang di lapangan dapat mengidentifikasikan adanya varian yang bersifat negatif dan positif. Tanaman varian yang bersifat negatif di antaranya daun variegata, bentuk daun tidak beraturan dan sobek, dan varian yang menghasilkan karakter kuantitatif yang lebih rendah dan tidak mampu berbuah. Varian tanaman yang bersifat positif (12 klon) adalah varian yang memiliki bentuk daun keriput dan mampu berbuah yang berasal dari hasil iradiasi 45 Gy (2 klon), tanaman yang menghasilkan karakter agronomis diatas dan diantara kisaran tanaman stándar dengan kualitas buah yang baik, yaitu tanaman hasil iradiasi 30 Gy (4 klon) dan 50 Gy (3 klon), yaitu tanaman hasil iradiasi 25 Gy (1 klon), dan tanaman kontrol (2 klon).
Daftar Pustaka Ahloowalia B, Maluszynski M. 2001. Induced mutations – A new paradigm in plant breeding. Euphytica 118: 167–173. [BPS] Biro Pusat Statistik 2010. Production of Fruit (ton) in Indonesia. Horti. 2011]. Statistic. http://www.bps.co.id [
63
Bhagwat B, Duncan EJ. 1998. Mutation breeding of Highgate (Musa acuminata, AAA) for tolerance to Fusarium oxysporum f. sp. cubense using gamma irradiation. Euphytica 101: 143–150. Burge GK, Morgan ER, Seelye JF. 2002. Opportunities for synthetic plant chimeral breeding: Past and future. Plant Cell Tissue Organ Cult 70:13-21 Collin HA, Edwards E. 1999. Plant Cell Culture. Singapore. Bios Scientific Publ. . Damayanti 2007. Analisis jumlah kromoson dan anatomi stomata pada beberapa plasma nutfah pisang (Musa spp) asal Kalimantan Timur. Bioscientiae 4 (2): 53-61. Da Silva Costa FH, Pasqual M, Pereira JES, Mauro de Castro E. 2009. An anatomical and physiological modifications of micropropagated ‘Caipiria’ banana plants under natural light. Sci Agricv 66 (3): 323-330. Essau K. 1977. Anatomy of seed plants. Ed. Ke-2. Toronto. John Wiley & Sons. Griffiths AJF, Miller JH, Suzuki PT, Lewondr RC, Gelbert WM. 1996. An Introduction to Genetic Analysis. Ed ke-6. New York. WH Freeman & Co. Hautea DM et al. 2004. Analysis of induced mutans of Philippine banana with molecular markers. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement: Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Enfield, Sci. Publ. Inc., hlm 41-53. http://www.fao.org/docrep/007/ae216e /ae216e07.htm#bm07. [26 Mei 2007] Hetherington AM, Woodward FI. 2003. The role of stomata in sensing and driving environmental change. Nature 424: 901-908. Hirimburegama WK, Dias WKG, Hirimburegama K. 2004. Banana improvement through gamma irradiation and testing for banana bract mosaic virus in Sri Lanka. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement: Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Enfield, Sci. Publ. Inc., hlm 41-53. http://www.fao.org/docrep/007/ae216e/ae216e09.htm# bm09. [26 Mei 2007] Hwang S-C, Ko W-H. 2004. Cavendish banana cultivars resistant to Fusarium wilt acquired through somaclonal variation in Taiwan. Plant Disease 88 (6): 580-588. Jain SM. 2010. In vitro mutagenesis in banana (Musa spp). Improvement. Di dalam: Dubois T. et al. editor. Proc. IC on Banana and Plantain in Afrika. Acta Hort 879: 605-614. [IAEA] International Atomic Energy Agency. 2009. Induced mutation in tropical fruits trees. Plant breeding and genetic section. Vienna. IAEA-TECDOC1615.
64
Khayat E, Duvdevani A, Lahav E, Ballesteros BA. 2004. Somaclonal variation in banana (Musa acuminata cv. Grande Naine). Genetic mechanism, frequency, and application as a tool for clonal selection. Di dalam: Jain SM, Swensen R. editor. Banana Improvement: Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Enfield. Sci. Publ. Inc. http://www.fao.org/docrep /007/ae216e0b. htm#bm11 [26 Mei 2007] Mak C, Ho YW, Liew KW, Asif JM. 2004. Biotechnology and in vitro mutagenesis for banana improvement. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement: Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Enfield, Sci. Publ. Inc., hlm 54-73. http://www.fao.org/docrep/ 007/ae216e/ae216e08. htm#bm08. [26 Mei 2007] Megia R. 2005. Musa sebagai model genom. Hayati 12(4): 167-170. Novak FJ, Afza R, van Duren M, Omar MS. 1990. Mutation induction by gamma irradiation of in vitro cultured shoot-tips of banana and plantain (Musa cvs.) Tropic Agric 67: 21–28. Pillay M, Tripathi L. 2007. Banana. Di dalam: C Kole (Eds). Genome Mapping and Molecular Breeding in Plants. Vol. 4. Fruit and Nuts. Berlin SpringerVerlag. hlm. 281-301. Ploetz RC, Kepler AK, Daniells J, Nelson SS. 2007. Banana and plantain and overview with emphasis on Pasific islands cultivars. Specific Profiles for http://www.agroforestry.net/tti/BananaPasific Island Agroforestry. plantain-overview.pdf [7 Agust 2007] Predieri S. 2001. Mutation induction and tissue culture in improving fruits. Plant Cell Tissue Organ Cult 64: 185–210. Sugimoto H. et al. 2004. The virescent-2 Mutation Inhibition Translation of Plastid Transcripts for the Plastic Genetic System at an Early Stage of Chloroplast Differentiation. Plant Cell Physiol 45(8): 985-996. Suprasanna P, Sidha M, Ganapathi TR. 2008. Characterization of radiation induced and tissue culture derived dwarf types in banana by using a SCAR marker. Aust J Crop Sci 1(2):47-52. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Associates, Inc., Publ.
Ed ke-3. Sunderland. Sinauer
Valmayor RV et al. 2000. Banana cultivar names and synonyms in Southeast Asia. France. INIBAP. Vuylsteke DR. 1989. Shoot-tip culture for the propagation conservation and exchange of Musa germplasm. Rome. Int.l Board for Plant Genet. Resourced.
65
BAB V VIRULENSI F. oxysporum f.sp. cubense ISOLAT BANYUWANGI UNTUK IDENTIFIKASI KETAHANAN PISANG cv. AMPYANG TERHADAP LAYU FUSARIUM Abstrak Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) isolat Banyuwangi merupakan cendawan patogen yang menginfeksi tanaman abaka (Musa textilis Nee). Virulensi dan patogenitas isolat ini terhadap pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgroup non-Cavendish) belum diketahui. Tujuan percobaan ini adalah (1) menguji virulensi miselium biotropik Foc isolat Banyuwangi terhadap pisang cv. Ampyang secara in vitro dengan menggunakan metode kultur ganda (dual culture method); (2) menguji efektivitas metode inokulasi dan kerapatan suspensi konidia Foc untuk identifikasi ketahanan pisang terhadap layu Fusarium di rumah kaca. Pengujian virulensi Foc dengan metode kultur ganda merupakan teknik dimana eksplan berupa plantlet pisang dikulturkan bersamaan dengan mycelia Foc secara in vitro. Hasil percobaan memperlihatkan adanya klorosis daun 10 hari setelah inokulasi. Tunas mengalami kematian rata-rata pada 30.44 hari setelah inokulasi, sehingga diketahui bahwa Foc isolat Banyuwangi virulen terhadap pisang Ampyang. Metode kultur ganda diyakini merupakan metode yang sederhana, mudah dan cepat serta efektif untuk skrining awal patogenitas dan virulensi Foc terhadap pisang kultivar lainnya. Hasil percobaan ini juga menunjukkan bahwa perendaman akar yang telah dilukai dalam suspensi konidia Foc kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 selama 2 jam, merupakan metode yang paling efektif untuk mengidentifikasi ketahanan tanaman pisang terhadap layu Fusarium di rumah kaca.
Kata kunci: Metode kultur ganda, metode inokulasi, suspensi konidia Foc.
66
VIRULENCE 0F BANYUWANGI ISOLATE OF F. oxysporum f.sp. cubense FOR IDENTIFYING FUSARIUM WILT RESISTANCE IN BANANA cv. AMPYANG Abstract Fusarium oxysporum f.sp. cubense of Banyuwangi isolate is a pathogen which attack roots of abaca (Musa textilis Nee). Virulences and pathogenesis of this isolate against dessert banana cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgroup non-Cavendish) have not been evaluating yet. The objectives of this study were (1) to examined virulence of biotropic mycelium of Foc from Banyuwangi isolate to banana cv. Ampyang using in vitro dual culture method; (2), to develop inoculation methods and the density of conidia suspension of the Foc Banyuwangi isolate to identified resistance of banana cv. Ampyang to Fusarium wilt in a greenhouse. Dual culture method is technique where explant of in vitro banana plantlet were coculture with a piece of inoculum Foc. Following inoculation, leaf chlorosis appeared 10 days later and shoots died averagely 30.44 after inoculation. This indicated that Banyuwangi isolates of Foc is virulens to banana cv. Ampyang. Dual culture method is believe as a simple, easy and a rapid method to screening patogénesis and virulence of Foc against banana. This research also showed that inoculation methods by dipping banana wounding roots for 2 hours into Foc conidial suspensión 2.5 x 107 conidial mL-1 was the most effective methods to identified recistance of banana cv. Ampyang against Fusarium wilt in a greenhouse. Key words: dual culture method, inoculation method, conidial suspension of Foc.
Pendahuluan Pisang dan plantain (Musa spp) merupakan tanaman pangan utama yang ditanam di negara tropis untuk tujuan komersial, namun produksi tanaman ini terancam oleh adanya peningkatan virulensi dari Fusarium oxysporum f.sp. cubense, penyebab penyakit layu Fusarium yang menyerang jaringan vaskuler. Di daerah tropis, penyakit ini sulit untuk dikendalikan karena Fusarium dapat bertahan hidup secara saprofit dalam tanah sebagai mycelium atau sebagai chlamydospora tanpa adanya inang, dan mampu bertahan hidup pada tanah dalam jangka waktu 20 tahun (Agrios 2005). Cendawan patogen Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) dikenal dalam empat ras, determinasi ras digunakan untuk mendeskripsikan patogenitas berbagai strain dari Foc terhadap inang. Di Indonesia dari 261 isolat yang telah dikoleksi di Sumatra dan di Jawa sejak tahun 1990 sampai 2002, 70% adalah ras 4 (Nasir et al. 1999; Masdek et al. 2003) dan merupakan bentuk patogen
67
yang paling virulen (Moore et al. 2001; Daly & Walduck 2006: Ploetz 2006). Dari berbagai isolat yang ada, Foc isolat Banyuwangi merupakan cendawan patogen yang menyerang abaka (Musa textilis Nee) (Purwati et al. 2007), dan belum diketahui virulensi isolat ini terhadap jenis pisang olahan (cooking type) dan pisang meja (dessert type) seperti pada pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish). Pengujian kemampuan suatu patogen dalam menimbulkan penyakit, melakukan penetrasi dan menetap pada tanaman inang (patogenitas) dan menguji virulensi (tingkatan patogenitas) suatu tanaman dapat dilakukan melalui teknik in vitro dan ex vitro. Kultur in vitro, bersama seleksi in vitro sel dan jaringan tanaman, saat ini efektif digunakan sebagai sistem pengujian yang utama untuk mempelajari interaksi antara inang-patogen, dan pengujian resistensi tanaman terhadap penyakit (Jayasankar & Gray 2005; Chandra et al. 2010). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, pengujian patogenitas secara in vitro dapat dilakukan melalui metode kultur ganda (dual culture method), dan pengujian secara ex vitro patogenitas dan virulensi suatu patogen dapat dilakukan melalui perendaman akar tanaman dalam suspensi konidia Foc. Metode kultur ganda merupakan suatu teknik dimana dua organisma baik bakteri, jamur atau sel tanaman dikulturkan secara bersamaan dalam medium cair atau medium agar (Donovan et al. 1990; Oldenburg et al. 1996; Jayasankar 2005). Metode ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1947 dan belum banyak digunakan karena sulitnya menjaga kestabilan kultur dalam jangka waktu yang lama (Oldenburg 1996), namun beberapa peneliti telah menggunakan teknik ini seperti untuk pengujian patogenitas Plasmophora vitivola pada anggur (Lee & Wicks 1982), Crinipellis perniciosa pada kalus kentang (Griffith & Hedger 1994), dan penghambatan Fusarium oxysporum f.sp. ciceri dengan Trichoderma sp. (Dubey et al. 2007) . Pengujian virulensi suatu patogen F. oxysporum f.sp. cubense di rumah kaca membutuhkan pengetahuan mengenai teknik inokulasi dan kerapatan suspensi konidia Foc yang efektif untuk menginfeksi tanaman. Pengujian ini sangat menentukan keberhasilan induksi resistensi tanaman yang diuji. Menurut beberapa hasil penelitian, teknik inokulasi cendawan tular tanah di rumah kaca pada umumnya dilakukan dengan merendam akar tanaman yang telah dilukai dalam
68
inokulum yang berisi filtrat kultur Foc (Matsumoto et al. 1999; Purwati et al. 2007), atau penggunaan daun yang dilukai dan diinokulasi dengan konidia (Companioni et al. 2003). Gejala internal pertama yang terlihat berupa perubahan warna pada xylem akar menjadi merah kecoklatan, yang berkembang dari daerah absorbsi akar yang merupakan daerah inisiasi awal dari infeksi (Ploetz & Pegg 2000), perubahan warna selanjutnya berkembang ke rhizoma dan proses translokasi berakhir pada batang semu pisang. Pada tanaman berusia lebih dari 4 bulan, daun tertua akan berubah warna menjadi kuning diikuti dengan kelayuan daun-daun muda sampai seluruh daun mengalami kematian (Agrios 2005; Ploetz 2006). Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menguji virulensi dan patogenitas biotropik mycelium Foc isolat Banyuwangi terhadap pisang cv. Ampyang; (2) Efektivitas teknik inokulasi dan kerapatan suspensi konidia Foc untuk pengujian ketahanan tanaman pisang terhadap layu Fusarium di rumah kaca.
Bahan dan Metode Percobaan dilaksanakan di laboratorium Biologi Molekuler Tanaman IPB pada bulan Juni 2008 - Januari 2009. Bahan tanaman berupa eksplan tunas pisang cv. Ampyang aseptis usia 2 bulan dikulturkan dalam media multiplikasi tunas (MT) berisi media dasar Murashige dan Skoog (MS) dengan penambahan 6-benzyl amino purine (BAP) 2.25 mg L-1, Indole-3-acetic acid (IAA) 0.175 mg L-1, dan asam askorbat 100 mg L-1. Tanaman pisang cv. Ampyang usia 4 bulan setelah aklimatisasi, serta cendawan F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) isolat Banyuwangi (Bw) dalam media potato dextrosa agar (PDA) dan potato dextrosa broth (PDB). Pada tahapan ini dilakukan dua kegiatan percobaan: (1) Uji virulensi Foc isolat Banyuwangi dengan metode kultur ganda secara in vitro; (2) Evaluasi virulensi Foc isolat Banyuwangi dan efektivitas metode uji ketahanan pisang cv. Ampyang terhadap layu Fusarium.
Uji virulensi Foc isolat Banyuwangi dengan metode kultur ganda secara in vitro F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi dalam media potato dextrosa agar (PDA) usia 7-14 hari dibuat potongan-potongan berdiameter 0.5 cm dengan menggunakan permukaan cork borrer untuk digunakan sebagai bahan inokulum. Pengujian virulensi Foc isolat Banyuwangi dilakukan dengan metode kultur ganda
69
a
Mycelia Foc
b
Mycelia Foc
Gambar 16 Plantlet pisang cv. Ampyang usia 2 bulan yang diinfeksi dengan mycelia Foc dengan teknik inokulasi (a) metode kultur ganda-1 (MKG-1) dan (b) metode kultur ganda-2 (MKG-2). melalui dua teknik inokulasi. Teknik inokulasi pertama (Metode Kultur Ganda-1) dilakukan dengan menanam plantlet pisang aseptis berukuran 3-4 cm yang telah memiliki 5 daun ke dalam media multiplikasi tunas (MT) selama 1-2 minggu untuk memastikan tidak adanya kontaminan pada media pertunasan, selanjutnya ke dalam media MT diletakkan 1 inokulum berisi mycelia Foc (Gambar 16a). Teknik inokulasi kedua (Metode Kultur Ganda-2) dilakukan dengan menginokulasi terlebih dahulu 1 inokulum mycelia Foc ke dalam media MT dan inokulum diinkubasi selama 7 hari atau sampai mycelia menutupi seluruh permukaan media agar, selanjutnya ditanam 1 plantlet pisang diatas pemukaan media MT berisi mycelia Foc tersebut (Gambar 16b). Kultur diinkubasi dalam ruang kultur suhu 16±2oC sampai terlihat gejala kerusakan tunas. Pengamatan dilakukan terhadap usia tunas membusuk dan mati, serta persentase kematian tunas. Evaluasi virulensi Foc isolat Banyuwangi dan efektivitas metode uji ketahanan pisang cv. Ampyang terhadap layu Fusarium. Suspensi konidia Foc isolat Banyuwangi (Bw) dalam media potato dextrosa broth (PDB) usia 21-30 hari disaring dengan menggunakan kertas saring. Kerapatan konidia dihitung dibawah mikroskop cahaya dengan menggunakan haemacytometer pada 5 bidang pandang. Suspensi konidia dilakukan pengenceran dalam aquades steril untk mendapatkan kerapatan 2.5 x 106 konidia mL-1 dan 2.5 x 107 konidia mL-1, dan selanjutnya suspensi digunakan sebagai bahan inokulum. Plantlet pisang cv. Ampyang aseptis diaklimatisasi dan ditumbuhkan di rumah kaca sampai usia 3-4 bulan, selanjutnya tanaman diinfeksi Foc dengan 2
70
teknik inokulasi (perendaman akar dan penyuntikan batang semu), masing-masing dengan 2 jenis kerapatan konidia (2.5 x 106 konidia mL-1 dan 2.5 x 107 konidia mL-1). Teknik inokulasi pertama dilakukan dengan merendam akar selama 2 jam dalam suspensi konidia Foc. Teknik kedua dengan menyuntikkan 1 ml suspensi konidia Foc ke batang pisang 5 cm diatas bonggol tanaman. Pengamatan dilakukan terhadap umur saat bibit mati, skoring gejala kelayuan bibit 30 hari setelah inokulasi, sehingga pada tahapan ini diketahui kerapatan suspensi konidia yang paling efektif untuk menimbulkan gejala kelayuan pada bibit. Tanaman tersebut selanjutnya ditumbuhkan sampai 60 hari setelah inokulasi, dan diamati kembali gejala kelayuan bibit dan karakter agronomis tanaman, berupa jumlah daun, tinggi tanaman, panjang akar dan ketebalan daun. Skoring gejala layu pada bibit pisang cv. Ampyang akibat infeksi Foc ditentukan sebagai berikut: skor 0 – bibit sehat dan tidak menunjukkan gejala layu; skor 1 – daun bagian bawah sedikit dan mengering; skor 2 – peningkatan jumlah daun yang menguning dan bibit mulai layu; skor 3 – seluruh bibit mengering kecuali daun baru atau belum membuka; skor 4 – bibit mati (Epp 1987). Hasil dan Pembahasan Uji virulensi F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi menggunakan metode kultur ganda secara in vitro. Virulensi F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi terhadap pisang cv. Ampyang diamati secara kualitatif berdasarkan gejala kelayuan bibit dan usia kematian tunas. Gejala kelayuan dan pencoklatan daun pisang akibat infeksi Foc dengan metode kultur ganda-1 (MKG-1), yaitu teknik inokulasi dengan menanam terlebih dahulu plantlet pisang aseptis ke dalam media multiplikasi tunas (MT) sebelum Foc, sudah terlihat 10 hari setelah inokulasi dan semakin meluas pada 20 hari setelah inokulasi. Pertumbuhan cendawan Foc terlihat menutupi daun-daun bagian bawah yang telah membusuk (Gambar 17a). Gejala kelayuan tunas pisang yang diinokulasi dengan MKG-2, yaitu teknik inokulasi dengan menanam terlebih dahulu 1 inokulum mycelia Foc ke dalam media MT selama 7 hari, baru ditanam 1 plantlet pisang diatas pemukaan media MT, terlihat lebih lambat, dimana 18 hari setelah inokulasi hanya daun bagian bawah dan hanya sebagian daun yang mengalami kelayuan (Gambar 17b).
71
a
06/06/08
16/06/08
26/06/08
04/07/08
b
26/06/08
14/07/08
04/07/08
Gambar 17 Gejala kelayuan tunas pisang terhadap Foc isolat Bw dengan teknik inokulasi (a) metode kultur ganda-1 dan (b) metode kultur ganda-2. Tabel 16 Respon kerusakan tunas pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA) terhadap Foc isolat Banyuwangi Metode Kultur Ganda (MKG)
Tunas membusuk dan mati (%)
Usia tunas membusuk dan mati (hari setelah inokulasi)
MKG-1 MKG-2 Perbedaan rataan p
100 100
30.44 37.11 6.55* 0.02
± SE 1.96 2.35
Keterangan : * = berbeda nyata pada taraf 5% (p<0.05) berdasarkan uji t. MKG-: Plantlet pisang dikulturkan dahulu pada media MS selama 2 minggu selanjutnya diinokulasi 1 potong agar berisi mycelia Foc. MKG-2: Mycelia Foc diinokulasi dahulu sampai pertumbuhannya menutupi permukaan media MS selanjutnya ditanam plantlet.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa teknik inokulasi dengan menanam plantlet terlebih dahulu ke media tanam (MKG-1), tunas membusuk dan mengalami kematian rata-rata pada usia 30.44 hari setelah inokulasi, dengan persentase kematian plantlet sebesar 100%. Pada teknik inokulasi dengan menumbuhkan inokulum Foc terlebih dahulu (MKG-2), tunas membusuk dan mati rata-rata pada usia 37.11 hari setelah inokulasi dengan persentase kematian tunas 100%. Teknik inokulasi Foc melalui MKG-1 secara signifikan lebih efektif dalam menimbulkan kerusakan tunas dibandingkan MKG-2 (p < 0.02) (Tabel 16).
72
Patogenitas dan virulensi F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi terhadap pisang (Musa acuminata, AAA) dapat diketahui melalui inokulasi mycelia Foc dengan memantapkan metode kultur ganda (dual culture method). Interaksi antara Foc dan inang, secara fenotipik terlihat dengan adanya gejala awal berupa perubahan warna merah-kecoklatan pada tunas dan daun bagian bawah, yang merupakan ciri tanaman terinfeksi cendawan Foc dan toksin yang diproduksi patogen (Moore et al. 2001; Ploetz 2006). Pada percobaan ini gejala kelayuan pada daun sudah terlihat 10-14 hari setelah inokulasi (Gambar 17). Masa inkubasi ini tidak jauh berbeda dengan inkubasi P. viticola pada anggur yang memperlihatkan adanya gejala nekrosis 7 hari setelah inokulasi (Lee & Wicks 1982), dan gejala infeksi C. perniciosa pada kalus kentang yang terlihat 5-7 hari setelah inokulasi (Griffith & Hedger 1994). Pada kedua metode kultur ganda yang digunakan, tunas pisang mengalami kematian pada 30.44 - 37.11 hari setelah inokulasi (Tabel 15), sehingga diketahui bahwa sistem ini merupakan metode sederhana, efektif dan efisien untuk skrining awal virulensi Foc isolat Banyuwangi terhadap pisang meja. Evaluasi virulensi Foc isolat Banyuwangi dan Efektivitas metode uji ketahanan pisang cv. Ampyang terhadap layu Fusarium. Efektivitas Foc isolat Banyuwangi dalam menimbulkan gejala kelayuan bibit di rumah kaca diamati pada 30 dan 60 hari setelah inokulasi. Hasil analisis statistik pada 30 hari setelah inokulasi, memperlihatkan bahwa kerapatan konidia Foc 2.5 x 107 kon. mL-1 secara nyata mampu menimbulkan gejala kelayuan bibit yang lebih besar dibandingkan dengan kerapatan Foc 2.5 x 106 kon. mL-1 baik melalui teknik inokulasi perendaman akar maupun injeksi batang (Tabel 17). Tabel 17 Rataan skor gejala kelayuan bibit pisang dengan dua metode inokulasi dengan kerapatan suspensi konidia Foc 2.5 x 106 dan 2.5 x 107 kon mL-1, usia 30 hari setelah inokulasi. Kerapatan suspensi konidia Foc (kon mL-1) 2.5 x 106 2.5 x 107 Perbedaan rataan p
Skoring gejala kelayuan bibit pisang dengan metode: Perendaman akar ± SE Injeksi batang ± SE 29 0.23 0.08 0.25 0.10 40 1.23 0.18 0.55 0.11 1.00* 0.30* 0.00 0.02 N
Keterangan: * = pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 5% (p<0.05) berdasarkan uji-t
73
Tabel 18 Rataan skor gejala kelayuan bibit, jumlah daun, tinggi tanaman, panjang akar, ketebalan daun pisang bibit pisang hasil inokulasi dengan kerapatan suspensi konidia Foc 2.5 x 107 kon mL-1, usia 60 hari setelah inokulasi. Karakteter kualitatif dan Perendaman akar kuantitatif Rataan Skor gejala kelayuan bibit 2.03 Jumlah daun 4.03 Tinggi tanaman (cm) 45.60 Panjang akar (cm) 12.31 Ketebalan daun (mm) 0.17 Keterangan:
Injeksi batang Perbedaan rataan Rataan 0.50 1.53 * 5.10 -1.07 * 51.76 -6.16 tn 22.71 -10.40 * 0.21 -0.04 *
p 0.00 0.04 0.16 0.00 0.03
* = pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf 5% (p<0.05) berdasarkan uji-t. tn = tidak nyata
Tanaman yang diinfeksi cendawan Foc dengan kerapatan suspensi konidia 2.5 x 107 konidia mL-1 selanjutnya ditumbuhkan sampai usia 60 hari. Hasil uji-t memperlihatkan bahwa metode perendaman akar lebih efektif dalam menimbulkan kerusakan tanaman, karena secara nyata menghasilkan gejala kelayuan bibit yang lebih besar, dan rataan jumlah daun, panjang akar, serta ketebalan daun yang lebih rendah dari tanaman yang diinokulasi melalui metode injeksi batang (Tabel 18). Gejala kelayuan bibit tanaman yang diinfeksi cendawan Foc melalui metode perendaman akar dengan kerapatan suspensi konidia Foc 2.5 x 106 konidia mL-1 maupun dengan kerapatan Foc 2.5 x 107 konidia mL-1 (Gambar 18 c-d) menunjukkan kelayuan dan kerusakan tanaman yang lebih besar daripada tanaman yang diinfeksi melalui injeksi batang (Gambar 18 a-b). Daun-daun tanaman yang diinfeksi melalui injeksi batang mengalami kelayuan yang bersifat sektoral, yaitu hanya bagian jaringan yang terkena injeksi Foc saja yang mengalami kelayuan daun, atau pembukaan daun muda yang terlalu dini. Hal ini diduga karena adanya cekaman biotik pada bagian daun yang terinfeksi, sedangkan bibit tanaman yang diinokulasi dengan metode perendaman akar mempelihatkan kerusakan yang lebih menyeluruh, dimulai dari daun yang tertua sampai daun yang termuda. Kerusakan pada batang pisang akibat infeksi Foc juga terlihat dengan perubahan warna batang semu menjadi merah kecoklatan yang merupakan ciri tanaman terinfeksi cendawan Foc (Daly & Walduck 2006). Batang semu yang diinokulasi dengan metode injeksi terlihat berwarna coklat-merah marone pada daerah yang terinfeksi, sedangkan pada metode perendaman akar perubahan warna kecoklatan pada batang semu terlihat lebih merata (Gambar 19).
74
a
b
Layu sektoral
c
d
Pembukaan daun dini
Gambar 18 Gejala kelayuan bibit pisang hasil inokulasi Foc dengan: (a) metode injeksi batang semu kerapatan Foc 2.5 x 106 kon mL-1 dan (b) 2.5 x 107 kon mL-1 (c) metode perendaman akar kerapatan Foc 2.5 x 106 kon mL-1 dan (d) 2.5 x 107 kon mL-1, usia 60 hari setelah inokulasi.
a
b
Kerusakan sektoral
c
Gambar 19 Warna merah marone pada batang semu pisang hasil inokulasi Foc dengan (a-b) metode injeksi batang dan (c) metode perendaman akar dengan kerapatan Foc 2.5 x 107 kon mL-1 usia 60 hari setelah inokulas Pengamatan pada potongan melintang daun juga memperlihatkan bahwa, tanaman pisang yang diinfeksi cendawan Foc dengan metode perendaman akar, memiliki rataan ketebalan daun yang nyata lebih tipis (0.17 mm) dibandingkan dengan injeksi batang (0.21 mm) (Gambar 20). Hal ini mengindikasikan adanya penghambatan aliran air yang lebih besar pada jaringan vaskuler tanaman yang diinokulasi dengan metode perendaman akar, sehingga mempengaruhi kandungan air yang ada pada vakuola jaringan daun. Menurut Taiz & Zeiger (2001), cekaman air pada tanaman akan mempengaruhi ukuran daun dan jumlah daun. Respon selular terhadap cekaman meliputi perubahan siklus sel dan pembelahan sel, perubahan dalam sistem endomembran dan pembentukan vakuola. Tanaman akan merubah
laju
pertumbuhannya
sebagai
respon
terhadap
cekaman
yang
dikoordinatori oleh beberapa proses penting seperti biosintesis dinding sel dan membran sel, pembelahan sel dan sintesis protein (Burssens et al. 2000).
75
a
b
Gambar 20 Potongan melintang daun tanaman pisang hasil inokulasi dengan suspensi konidia cendawan Foc kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 melalui (a) metode perendaman akar dan (b) injeksi batang semu pada perbesaran 40x. Efektivitas kerapatan konidia F. oxysporum f.sp cubense isolat Banyuwangi sebagai agen penyeleksi untuk ketahanan tanaman pisang cv. Ampyang secara ex vitro diuji dalam percobaan ini.
Hal ini dilakukan agar pengujian ketahanan
tanaman varian-varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan seleksi in vitro di rumah kaca, terhindar dari penarikan kesimpulan yang salah (false positive) akibat penggunaan patogen yang sudah tidak virulen atau jumlah konidia yang tidak mencukupi untuk menginfeksi tanaman, sehingga proses infeksi menjadi tidak efektif. Menurut Jayasankar & Gray (2005) fenomena tersebut akan memunculkan resistensi yang bersifat epigenetik. Hasil percobaan menunjukkan bahwa metode inokulasi melalui perendaman akar dengan kerapatan suspensi konidia Foc 2.5 x 107 konidia mL-1, secara nyata lebih efektif dalam menimbulkan kerusakan pada pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA) yang diuji. Kerapatan konidia Fusarium sebagai agen penyeleksi sangat menentukan keberhasilan induksi resistensi pada tanaman. Pada beberapa jenis pisang seperti pada abaka (Musa textilis Nee) gejala kelayuan diperoleh dengan perendaman bibit abaka dalam suspensi konidia Foc dengan kerapatan 105 atau 106 konidia mL-1 (Purwati et al. 2007). Hasil penelitian De Ascensao & Dubery (2000) pada cv. ’Goldfinger’ (AAAB) yang resisten dan cv. ’Williams’ (AAA) yang rentan terhadap Foc, perendaman plantlet dalam suspensi konidia 2.3, 4.6, dan 9.2 x 104 konidia mL-1 dengan sistem hidroponik memperlihatkan perubahan warna akar, penurunan pertumbuhan akar, dan nekrosis pada kultivar
76
yang rentan dengan tingkat kerusakan meningkat sesuai dengan peningkatan konsentrasi patogen. Pada cv. Nebusa (Musa spp, AAA) gejala kelayuan bibit terlihat mealalui perendaman akar dengan suspensi konidia kerapatan 1.5-1.75 x 106 konidia mL-1 (Paparu et al. 2008), sedangkan hasil penelitian Aguilar et al. (2000) menunjukkan inokulum dengan kerapatan 2.5 x 105 konidia mL-1, mampu mengolonisasi korteks akar pisang sampai 76%. Penyakit pada tanaman dapat disebabkan oleh mikroorganisma yang memproduksi toksin dan metabolit-metabolit yang dapat terlibat dalam patogenitas, interaksi inang-patogen dan ekspresi suatu penyakit (Agrios 2005; Jayasankar 2005; Niks & Lindhout 2006). Ketika cendawan Fusarium menginfeksi akar tanaman inang, maka akan memicu mekanisma pertahanan inang dengan mensekresi gel dan mendegradasi lamela tengah dari pit membran, yang diikuti dengan pembentukan tylose di jaringan vaskuler. Pembentukan tylose ini menyebabkan viskositas meningkat dan menghambat pergerakan air ke bagian atas tanaman yang mengakibatkan penguningan daun, kelayuan dan kematian tanaman inang (Goodman et al. 1986; Agrios 2005). Fusarium oxysporum juga mensintesis auksin (asam indol-3-acetic acid) yang menyebabkan permiabilitas dinding sel tanaman dan enzim pektolitik menjadi meningkat. Beberapa bukti menyebutkan bahwa enzim pektat patogen ini (pectin methyl esterase, pectin lyase, dan polygalacturonase) turut berperan aktif dalam perkembangan penyakit pada jaringan vaskuler (Huang 2001; Agrios 2005). Pembongkaran substansi pektat akan membebaskan fragmen pektat yang akan masuk melewati aliran vaskuler, sehingga meningkatkan viskositas dan mereduksi laju aliran air (Goodman et al. 1986). Reduksi aliran air kebagian atas tanaman ini akan menimbulkan gejala kelayuan pada daun, dengan tingkat kelayuan bergantung pada besaran kerapatan konidia yang menginfeksi tanaman. Perendaman akar dengan kerapatan suspensi konidia 2.5 x 107 kon mL-1 menimbulkan kelayuan dengan skor gejala kelayuan 2.03, pada kondisi tersebut rata-rata pangkal batang bawah mulai membusuk dan pertumbuhan tunas terhambat, daun yang menguning semakin meluas, dan daun yang baru membuka berwarna kuning pucat (Epp 1987). Metabolit utama yang turut berperan dalam timbulnya gejala kelayuan pada pisang adalah asam fusarat. Asam fusarat (5-n-butylpicolinic acid) merupakan toksin non-spesisfik inang (Goodman et al. 1986; Agrios 2005), berperan dalam
77
perubahan permiabilitas membran sel, yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan ion-ion anorganik dalam tanaman yang terserang penyakit dan mengakibatkan kebocoran elektolit dalam sel (Goodman et al. 1986). Fitotoksisitas dari asam fusarat ini terutama berhubungan dengan proses respirasi, yang menyebabkan penghambatan aliran elektron antara suksinat dehydrogenase dan coenzym
Q,
menghambat
aktivitas
ATP-synthase
dan
α-ketoglutarat
dehydrogenase pada siklus asam trikarboksilat (Huang 2001) dalam proses respirasi tanaman.
Simpulan Cendawan F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi terbukti virulen terhadap pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish). Metode kultur ganda secara in vitro merupakan teknik inokulasi yang sederhana, mudah, cepat dan efektif untuk skrining awal virulensi cendawan F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi terhadap tanaman pisang cv. Ampyang, dimana teknik inokulasi melalui penanaman plantlet terlebih dahulu sebelum media tanam diinokulasi Foc (MKG-1), lebih efektif menimbulkan kerusakan tunas dengan kematian plantlet rata-rata pada usia 30.44 hari setelah inokulasi. Pengujian ketahanan bibit pisang terhadap layu Fusarium di rumah kaca, efektif dilakukan melalui infeksi akar melalui metode perendaman akar. Berdasarkan
gejala kelayuan bibit dan karakter agronomis tanaman, metode
inokulasi dengan perendaman akar selama 2 jam dalam suspensi konidia cendawan F. oxysporum f.sp. cubense kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1, lebih efektif dibandingkan dengan metode injeksi batang semu.
Daftar Pustaka Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. Amsterdam. Elsevier Acad. Press. Aguilar EA, Turner DW, Sivasithamparam K. 2000. Fusarium oxysporum f. sp. cubense inoculation and hypoxia alter peroxidase and phenylalanine ammonia lyase activities in nodal roots of banana cultivars (Musa sp.) differing in their susceptibility to Fusarium wilt. Aust J Bot 48: 589-596. Burssens et al. 2000. Expression of cell cycle regulatory genes and morphological alterations in response to salt stress in Arabidopsis thaliana. Planta 211: 632-640
78
Chandra R, Kamle M, Bajpai A, Muthukumar M, Kalim S. 2010. In vitro selection: A candidat approach for disease resistance breeding in fruit crops. Asian J Plant Sci 9(8): 437-446. Companioni B et al. 2006. Differentiating resistance to Fusarium oxysporum f. sp. cubense strain 1 culture filtrates in banana leaves. Biotechnol Aplic 23(2): 153-157. Daly A, Walduck G. 2006. Fusarium wilt of bananas (Panama disease) (Fusarium oxysporum f. sp. cubense). Agnote I (51):1-5 De Ascensao ARFDC, IA. Dubery. 2000. Panama disease: cell wall reinforcement in banana roots in response to elicitors from Fusarium oxysporum f. sp. cubense race four. Phytopathology 90(10):1173-1180. Donovan A, Isaac A, Collin HA. 1990. Dual fungal and plant cell culture. Di dalam: Pollard JF, Walker JM. editor. Method in molecular biology, Plant Cell Tisue Culture. The Humane Press. hlm 405-412. Dubey SC, Suresh M, Singh B. 2007. Evaluation of Trichoderma species against Fusarium oxysporum f. sp. Ciceris for integrated management of chickpea wilt. Bio Control 40(1):118-127. Epp D. 1987. Somaclonal variation in banana: a case study with Fusarium wilt. .p140-150. Di dalam: Persley GJ, De Langhe EA. editor. Banana and plantain breeding strategies. Canbera ACIAR Publ. hlm 140-150. Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR. 1986. The Biochemistry and Physiology of Plant Disease. Columbia. Univ. of Missouri Press. Griffith GW, Hedger JN. 1994. Dual culture Crinipellis perniciosa and potato callus. Euro J Plant Pathol 100:371-379. Huang J-S. 2001. Plant Pathogenesis and Resistance. Biochemistry and physiology of plant microbe interaction. Netherlands, Kluwer Acad. Publ. Jayasankar. 2005. Variation in tissue culture. Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ. Editor. Plant Development and Biotechnology.. CRC Press. hlm 301-309 Jayasankar, Gray DJ. 2005. In vitro plant pathology. Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and Biotechnology. New York. CRC Press. hlm 293-299. Lee TC, Wicks T. 1982. Dual culture of Plasmophora viticola and grapevine in application of systemic fungicide evaluation. Plant Disease. 66(4):308-310 Masdek N et al. 2003. Global significance of Fusarium wilt in Asia. Ed ke-2. International symposium on Fusarium wilt on banana. Salvador de Bahia. http://www.inibap.org/pdf/Fusarium_Wilt.pdf. [ 11 Jan 2007]
79
Matsumoto K, Barbosa ML, Souza LAC, Teixeira JB. 1999. In vitro selection for Fusarium wilt resistance in banana. II. Resistance to culture filtrate of race 1 Fusarium oxysporum f. sp. cubense. Fruits 54:151-157 Moore NY, Pegg KG, Buddenhagen IW, Bentley S. 2001. Fusarium wilt of banana: a diverse clonal pathogen of domesticated clonal host.. Di dalam: Summerel BA. et al. editor. Fusarium Minnesota. APS Press. hlm 212224. Nasir N, Pittaway PA, Pegg KG, Lisle AT. 1999. A pilot study investigating the complexity of Fusarium wilt of bananas in West Sumatra, Indonesia. Aust J Agric Res 50: 1279-83. Niks RE, Lindhout WH. 2006. Breeding for resistance against diseases and pests. Wageningen Univ. Oldenburg KR, Vo KT, Ruhland B, Schatz PJ. 1996. A dual culture assay for detection of antimicrobial activity. J Biolmol Screen 1 (3):123 – 130. Paparu P et al. 2008. Screenhouse and field persistence of nonpathogenic endophytic Fusarium oxysporum in Musa tissue culture plants. Microb Ecol 55(3): 561-568. Ploetz RC, Pegg KG. 2000. Fusarium wilt. Di dalam: Jones DR. editor. Diseases of Banana, Abacá and Enset. Wallingford, CABI Publishing, hlm. 143-159 Ploetz RC. 2006. Fusarium wilt of banana is caused by several pathogens referred to as Fusarium oxysporum f. sp. cubense. Phytopathol 96(6):653-655. Purwati RD, Harran S, Sudarsono. 2007. In vitro selection of Abaca for resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Hayati 14(2): 65-70. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Associates, Inc., Publ.
Ed ke-3. Sunderland. Sinauer
80
81
BAB VI SELEKSI IN VITRO UNTUK MENDAPATKAN PLANTLET PISANG cv. AMPYANG HASIL IRADIASI GAMMA INSENSITIF FILTRAT KULTUR F. oxysporum f.sp. cubense
Abstrak Kultur filtrat cendawan patogen Fusarium oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi digunakan sebagai agen penyeleksi pada tunas varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma. Tujuan percobaan untuk mendapatkan (1) konsentrasi filtrat kultur (FK) Foc isolat Banyuwangi yang efektif untuk digunakan sebagai agen penyeleksi pengujian seleksi in vitro pisang cv. Ampyang, (2) mendapatkan varian plantlet pisang insensitif filtrat kultur Foc, (3) klon varian tanaman pisang insensitif FK Foc yang mampu beradaptasi dan bertahan hidup di rumah kaca sebagai kandidat tanaman resisten penyakit layu Fusarium. Pendekatan percobaan dilakukan dengan menyeleksi plantlet varian pisang hasil mutasi induksi yang telah diproliferasi selama 10 bulan dalam media selektif mengandung FK Foc secara bertingkat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efek penghambatan filtrat kultur Foc pada tunas pisang cv. Ampyang berada pada konsentrasi 40-60% (v/v). Pada konsentrasi tersebut 65.8 - 82.5% tunas mengalami kematian. Seleksi in vitro secara bertingkat plantlet varian pisang menunjukkan bahwa penambahan FK Foc konsentrasi 30% secara nyata belum mampu menghambat pertumbuhan plantlet yang diseleksi. Peningkatan konsentrasi sampai 50% hanya mempu menghambat beberapa plantlet varian. Penghambatan pertumbuhan tunas secara nyata terlihat pada media selektif mengandung filtrat kultur Foc 60% dan hasil regenerasi plantlet dalam media pertunasan diperoleh 1695 plantlet (57.7%) insensitif terhadap FK Foc. Aklimatisasi plantlet di rumah kaca, diperoleh 118 tanaman (23.7%) mampu bertahan hidup dan diidentifikasi sebagai klon tanaman pisang cv. Ampyang insensitif FK Foc. .
Kata Kunci: Foc isolat Banyuwangi, agen penyeleksi, aklimatisasi.
82
IN VITRO SELECTION FOR IDENTIFYING INSENSITIVE BANANA cv. AMPYANG PLANTLET AGAINST CULTURE FILTRATE OF F. oxysporum f.sp. cubense AMONG GAMMA IRRADIATED SHOOTS VARIANT Abstract Culture filtrate of the fungal pathogen Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) isolate from Banyuwangi has been used extensively for selection of banana variant derived from gamma irradiated explants. The objective of this study were to obtain (1) the effective concentration of Foc culture filtrate to use as a selective agent to examined in vitro selection of banana cv. Ampyang, (2) shoots variant of banana cv. Ampyang insensitive to culture filtrate of Foc, (3) variant of banana plant insensitive to culture filtrate of Foc as a candidat clones resistant to Fusarium wilt. In this approach, plantlets variant regenerated from induced mutation followed by in vitro proliferation for 10 months were selected in culture filtrate of Foc. This study show that inhibory effect of culture fitrate of Foc isolate from Bonyuwangi on banana shoots were on 40-60% (v/v), which are 65.8-82.5% of banana shoots were lethal. In vitro selection of banana variant indicated that addition 30% Foc culture filtrat (CF) into selective media did not significantly inhibit growth of selected plantlet. Increasing concentration of Foc culture filtrat up to 50% only inhibit some of plantlet variant. However plantlet growth inhibition were observed at addition 60% of Foc CF into selective media and 2 months after shoots were on regeneration media found that 1695 plantlet (57.7%) were insensitif to CF Foc. In vitro regeneration of insensitive shoots variant and aclimatization process of plantlets found that 118 plantlet (23.7%) were survived and identified as banana clones resistance to culture fíltrate of Foc.
Key Word: Foc isolate from Banyuwangi, selective agent, aclimatization.
Pendahuluan Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp. cubense (E. F. Smith) Snyd and Hans (Foc)
merupakan cendawan patogen penyebab penyakit layu Fusarium atau
panama disease yang menyerang akar tanaman pisang dan plantain (Musa spp). Di Indonesia penyakit ini berkembang pada tahun 1916 dari perkebunan pisang di pulau Jawa, sangat destruktif dan merupakan penyakit tanaman yang sangat merugikan yang menyerang berbagai perkebunan pisang di Indonesia (Nasir et al. 1999; Moore et al. 2001; Masdek et al. 2003). Pengendalian penyakit secara kimiawi saat ini bukanlah suatu metode pengendalian yang efektif dan ekonomis,
83
sehingga program-program pemuliaan tanaman pisang sangat diperlukan untuk meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit layu Fusarium. Pada saat ini pengembangan tanaman pisang resisten layu Fusarium melalalui prosedur umum bioteknologi seperti perbanyakan mikro dan seleksi in vitro dapat digunakan dalam peningkatan efisiensi proses pemuliaan untuk perbaikan ketersediaan plasma nutfah, dan pengembangan galur yang resisten terhadap penyakit (Matsumoto et al. 1999; Hwang & Ko 2004; Chandra et al. 2010). Strategi pengembangan tanaman untuk pemuliaan ketahanan terhadap penyakit melalui metode yang sederhana dan mudah dilakukan, adalah berdasarkan teknik in vitro untuk seleksi varian-varian hasil mutasi induksi, yaitu dengan menggunakan spesifik patogen, filtrat kultur patogen atau fitotoksin. Seleksi plantlet varian dan regenerasi secara in vitro dalam media kultur yang ditambahkan berbagai konsentrasi filtrat kultur patogen sebagai agen penyeleksi merupakan teknik yang efisien karena proses skrining yang lebih mudah untuk mendapatkan variabilitas tanaman-tanaman yang resisten atau rentan (Matsumoto et al. 1999; Jayasankar, 2005; Chandra et al. 2010).
Sistem seleksi secara in vitro untuk
resistensi terhadap F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) telah dideskripsikan untuk tanaman pisang dan plantain (Morpugo et al. 1994; Matsumoto et al.1999; Hwang & Ko 2004; Jumjunidang et al. 2005; Smith et al. 2006), dan teknik kultivasi Fusarium untuk memproduksi filtrat kultur cendawan yang efektif telah dikembangkan untuk seleksi in vitro mutan mutan pisang dan plantain. Seleksi in vitro untuk mendapatkan tanaman resisten terhadap penyakit dapat dilakukan melalui seleksi langsung atau seleksi secara bertingkat (Collin & Edwards 1999). Seleksi secara bertingkat merupakan suatu seleksi yang dilakukan dengan melakukan subkultur bahan tanaman yang akan diseleksi ke media selektif dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Plantlet pisang hasil mutasi induksi yang dapat bertahan hidup pada media selektif mengandung filtrat kultur patogen yang paling tinggi diharapkan memiliki sifat ketahanan terhadap penyakit. Pengujian resistensi varian dengan media selektif mengandung filtrat kultur Foc sebagai komponen seleksi, lebih umum digunakan untuk menghasilkan varian baru yang lebih tahan terhadap penyakit layu Fusarium. Penggunaan filtrat kultur Foc telah digunakan untuk pengujian ketahanan pada jenis pisang meja lainnya antara lain pada pisang Mas (Musa acuminata, AA, subgrup Sucrier) (Morpurgo et al. 1994),
84
pisang Rastali (Raja Sereh) (Musa x paradisiaca, AAB, subgrup Silk) dan pisang Barangan (M. acumonata, AAA, subgrup Lakatan) (Mak et al. 2004), dan pisang Cavendish (M. acuminata, AAA, subgrup Cavendish) (Hwang & Ko 2004; Jumjunidang et al. 2005). Tujuan percobaan (1) mendapatkan konsentrasi filtrat kultur (FK) Foc isolat Banyuwangi yang efektif untuk digunakan sebagai agen penyeleksi pengujian seleksi in vitro pisang cv. Ampyang, (2) mendapatkan varian plantlet pisang cv. Ampyang insensitif terhadap filtrat kultur Foc melalui seleksi in vitro secara bertingkat, (3) mendapatkan tanaman pisang cv. Ampyang hasil seleksi in vitro insensitif FK Foc yang mampu beradaptasi dan bertahan hidup di rumah kaca sebagai kandidat tanaman yang resisten terhadap layu Fusarium.
Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB dan Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Jurusan Biologi, FMIPA UNJ pada bulan Mei 2009 – Juli 2010. Bahan tanaman berupa plantlet pisang aseptis usia 2 bulan, dan varian plantlet pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA) yang berasal dari hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro usia 10 bulan. Penelitian terdiri dari tiga tahapan kegiatan: (1) Efektivitas filtrat kultur (FK) Foc isolat Banyuwangi sebagai agen penyeleksi; (2) Seleksi in vitro secara bertingkat tunas pisang cv. Ampyang dalam media selektif mengandung filtrat kultur Foc (3)
Regenerasi dan
aklimatisasi plantlet pisang cv. Ampyang hasil seleksi in vitro.
Efektivitas filtrat kultur (FK) Foc isolat Banyuwangi sebagai agen penyeleksi. Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) isolat Banyuwangi (Bw) yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (Balittas) - Malang diperbanyak dengan cara mengambil 1 potongan agar berisi mycelia Foc dan dibiakan dalam media potato dextrosa agar (PDA) selama 7-14 hari pada suhu kamar (28-30oC). Ekstrak kasar filtrat kultur (FK) Foc dibuat dengan mengambil tiga potong agar (diameter 0.5 cm) mengandung mycelia Foc, selanjutnya diinokulasi dan ditumbuhkan dalam botol kultur berukuran 250 ml berisi 100 ml potato dextrosa broth (PDB) (Gambar 21).
85
a
c
b
Gambar 21 Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) isolat Banyuwangi: (a) Pertumbuhan cendawan dalam media PDA. (b) filtrat kultur (FK) Foc dalam media PDB dan (c) mikrokonidia Foc secara mikroskopis dengan perbesaran 400x.
Filtrat kultur diinkubasi selama 21-30 hari dalam shaker dengan kecepatan 60 rpm, setelah diinkubasi filtrat kultur disterilisasikan dengan menggunakan otoklaf (suhu 121oC-20´), kemudian disaring untuk memisahkan miselia cendawan F. oxysporum f.sp. cubense yang tumbuh. Filtrat kultur Foc selanjutnya digunakan sebagai media selektif.
Pengujian efektivitas filtrat kultur (FK) Foc isolat
Banyuwangi sebagai agen penyeleksi dilakukan dengan menanam plantlet pisang cv. Ampyang aseptis usia 2 bulan. Plantlet di tanam pada media selektif mengandung FK Foc konsentrasi 20, 30, 40, 50 dan 60% (v/v) dalam media dasar (MS) dengan penambahan 6-benzyl amino purine (BAP) 2.25 mg L-1, Indole-3acetic acid (IAA) 0.175 mg L-1, thidiazuron (TDZ) 0.22 mg L-1, dan asam askorbat 100 mg L-1.
Plantlet pisang aseptis yang ditumbuhkan dalam media dasar
Murashige dan Skoog tanpa filtrat kultur digunakan sebagai kontrol. Pengamatan dilakukan terhadap tingkat kerusakan tunas dan persentase kematian.
Skoring tingkat kerusakan tunas dilakukan setelah 2 bulan, dan
ditentukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Epp (1987), yaitu: skor 0 – tunas sehat dan hijau, serta tidak mengalami gejala penguningan daun; skor 1 – daun bagian bawah menguning tetapi tunas tumbuh normal, atau tunas tetap hijau tetapi pertumbuhannya terhambat; skor 2 – pangkal batang bawah mulai membusuk dan pertumbuhan tunas terhambat, daun yang menguning semakin meluas, dan daun yang baru membuka berwarna kuning pucat; skor 3 – pangkal batang membusuk dan pertumbuhan tunas terhambat, seluruh daun telah menguning; skor 4 – tunas membusuk dan mati.
86
Seleksi in vitro secara bertingkat tunas pisang cv. Ampyang dengan filtrat kultur (FK) F. oxysporum f.sp. cubense. Seleksi in vitro untuk mendapatkan tunas insensitif Foc dilakukan dengan menanam plantlet varian hasil iradiasi gamma pada media selektif mengandung filtrat kultur (FK) Foc melalui seleksi secara bertingkat. Tunas disubkultur setiap 5-6 minggu ke media selektif dengan konsentrasi lebih tinggi (30% 40% 50% 60%) dan ditumbuhkan dalam ruang kultur pada suhu 250C ± 20C. Peubah yang diukur adalah jumlah kematian tunas setiap subkultur dan skoring tingkat kerusakan tunas (Epp 1987).
Regenerasi dan aklimatisasi plantlet pisang cv. Ampyang hasil seleksi in vitro Plantlet-plantlet yang dikategorikan insensitif terhadap FK Foc 60% hasil seleksi in vitro diregenerasikan dalam media dasar Murashige dan Skoog (MS) mengandung BAP 2.25 mg L-1, IAA 1.75 mg L-1 dan TDZ 0.22 mg L-1, serta asam askorbat 100 mg L-1 selama 2 bulan. Tunas yang mampu beregenerasi membentuk akar diaklimatisasi di rumah kaca dan diamati karakter agronomis plantlet (jumlah dan panjang akar, bobot segar plantlet dan rasio panjang : lebar daun). Plantlet yang mampu beradaptasi dan bertahan hidup selama 2 bulan periode aklimatisasi dikategorikan sebagai klon tanaman insensitif filtrat kultur (FK) Foc.
Hasil dan Pembahasan Efektivitas filtrat kultur (FK) Foc isolat Banyuwangi sebagai agen penyeleksi. Efektivitas filtrat kultur Foc isolat Banyuwangi terhadap gejala kerusakan tunas pisang cv. Ampyang dilihat berdasarkan skoring tingkat kerusakan tunas. Gejala kelayuan dan kerusakan tunas pisang yang ditumbuhkan pada berbagai media selektif umumnya sudah terlihat 1 bulan setelah tanam. Tunas pisang yang ditanam pada media selektif mengandung FK Foc 20% memiliki rataan skoring tingkat kerusakan sebesar 1.02, dengan persentase kematian 25.5% (Tabel 19). Skoring tingkat kerusakan tunas pada media selektif mengandung FK Foc 60% memiliki rataan 3.29, dengan persentase kematian 82.5%, pada kondisi tersebut sebagian besar pangkal batang membusuk dan pertumbuhan tunas terhambat, seluruh daun telah menguning (Epp 1987). Pada Gambar 17 disajikan representatif gambar skoring kerusakan tunas pisang pada media selektif mengandung FK Foc.
87
Tabel 19 Skoring tingkat kerusakan dan persentase kematian tunas pisang cv. Ampyang pada media selektif mengandung filrat kultur Foc isolat Banyuwangi 2 bulan setelah inokulasi. Konsentrasi Filtrat Kultur (FK) Foc 20% 30% 40% 50% 60%
N 27 30 24 23 24
Rataan skoring tingkat kerusakan tunas 1.02 c 2.19 b 2.63 ab 2.88 ab 3.29 a
Persentasae (%) kematian tunas 25.5* 54.8 65.8 72.0 82.3
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji DMRT. * Persentase (%) kematian = rataan skor tingkat kerusakan tunas / skor kerusakan tertinggi (4) x 100%. N = Jumlah plantlet yang diamati
Skor - 0
Skor - 1
Skor - 3
Skor - 2
Skor 4
Gambar 22 Representasi tingkat kerusakan tunas pisang pada media selektif mengandung berbagai konsentrasi filtrat kultur Foc pada usia 2 bulan setelah tanam. Pengujian efektivitas filtrat kultur (FK) Foc isolat Banyuwangi sebagai agen penyeleksi, didapatkan bahwa media selektif mengandung filtrat kultur konsentrasi 40-60% (v/v) secara nyata menghasilkan tingkat kerusakan tunas yang lebih besar dari konsentrasi yang lebih rendah. Secara teoritis FK Foc 40% sudah mampu menyeleksi plantlet yang insensitif Foc, namun konsentrasi subletal yang menimbulkan kematian tunas sebesar 82.3% dijumpai pada media selektif mengandung FK Foc 60%. sehingga konsentrasi ini merupakan konsentrasi FK
88
Foc isolat Banyuwangi yang paling efektif untuk seleksi in vitro untuk mendapatkan tunas-tunas pisang cv. Ampyang yang insensitif FK Foc. Cendawan F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi merupakan patogen virulen yang menginfeksi abaka (Musa textilis Nee), dari hasil penelitian Purwati et al. (2007) filtrat kultur Foc konsentrasi 40% mampu menghambat pertumbuhan tunas majemuk abaka (Musa textilis Nee) sebesar 90%.
Hasil
percobaan ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan terhadap pisang cv. Macã (Musa spp, AAB) yang menyatakan bahwa FK Foc 15% menyebabkan kematian tunas majemuk sebesar 25% (Matsumoto et al. 1999), dan pada pisang cv. Cavendish (Musa acuminata, AAA), FK Foc konsentrasi 40 dan 60% menimbulkan gejala kelayuan 97.5 - 100% (Jumjunidang et al. 2005). Pada pisang cv. Gros Michel (Pisang Ambon Kuning) (Musa acuminata, AAA) FK Foc mampu menimbulkan gejala kerusakan daun pisang sebesar 50% (Companioni et al. 2006). Seleksi in vitro secara bertingkat tunas pisang dalam media selektif Seleksi in vitro tunas pisang dalam media selektif mengandung FK Foc dilakukan secara bertingkat untuk mendapatkan varian pisang cv. Ampyang yang insensitif terhadap FK Foc. Pada percobaan ini tunas varian hasil iradiasi gamma dan proliferasi selama 10 bulan di subkultur dalam media selektif mengandung FK Foc 30%, setelah 6 minggu di subkultur kembali dalam media dengan konsentrasi FK Foc yang lebih tinggi 40%, 50%, sampai konsentrasi FK Foc 60% (v/v).
Seleksi in vitro tunas pisang pada media selektif dengan FK Foc 30% Hasil percobaan ini diperoleh gambaran umum bahwa tunas-tunas varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang ditanam pada media selektif mengandung FK Foc 30% (v/v) sebagian besar mampu bertahan hidup, bahkan berproliferasi membentuk nodul dan tunas baru. Perbedaan pertumbuhan rataan jumlah tunas setelah 6 minggu ditumbuhkan pada media selektif FK Foc 30% berkisar 5.00 – 10.13 tunas (Tabel 20). Pada seleksi tahap awal ini belum banyak tunas pisang yang memperlihatkan gejala kerusakan atau kematian tunas, namun diduga tunas sudah mengalami kondisi cekaman yang disebabkan oleh toksin yang terdapat dalam filtrat kultur. Hal ini terlihat dengan banyaknya akar-akar adventif yang tumbuh seperti yang disajikan pada Gambar 23.
89
20 Gy
25 Gy
35 Gy
30 Gy
a. Akar adventif
40 Gy
45 Gy
50 Gy
b. Nodul sensitif FK Foc 30%
c. Nodul insensitif FK Foc 30%
Gambar 23 Respon pertumbuhan tunas pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dalam media selektif mengandung filtrat kultur (FK) Foc 30% usia 6 minggu setelah subkultur. Tabel 20 Rataan jumlah tunas pisang cv. Ampyang pada media tanpa FK Foc (0%) dan media selektif dengan FK Foc 30% usia 6 minggu setelah subkultur. Dosis iradiasi (Gy) 20 25 30 35 40 45 50 Keterangan:
N 269 256 300 173 307 270 304
Tanpa FK Foc
FK Foc 30 %
Rataan
Rataan
11.70 7.74 9.10 6.65 9.30 11.25 9.50
17.87 12.74 10.03 7.92 16.61 16.96 19.63
Perbedaan rataan jumlah tunas 0% → 30% 6.17 * 5.00 * 0.93 tn 1.27 tn 7.30 * 5.71 * 10.13 *
P 0.01 0.01 0.32 0.33 0.00 0.02 0.00
Koef. Korelasi
0.48 0.46 0.41 0.31 0.56 0.56 0.45
N = Ʃ tunas awal tanpa FK Foc yang disubkultur ke media selektif FK Foc 30% . * = pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf 5% (p<0.05) melalui uji-t sampel berpasangan.
Hasil analisis melalui uji-t sampel berpasangan terhadap rataan jumlah tunas memperlihatkan bahwa tunas varian yang berasal dari hasil iradiasi 20, 25, 40, 45 dan 50 Gy yang disubkultur ke media selektif mengandung FK Foc 30% secara nyata meningkatkan rataan jumlah tunas. Tunas varian hasil iradiasi 30 dan 35 Gy tidak menunjukkan perbedaaan nyata, tunas varian yang ditumbuhkan dalam media selektif mengandung FK Foc 30% atau tanpa FK Foc secara statistik menghasilkan jumlah tunas yang sama (Tabel 20).
90
Pada seleksi in vitro tahap ini diketahui bahwa FK Foc konsentrasi 30% belum mampu menyeleksi tunas-tunas yang insensitif FK Foc, sehingga subkultur ke media selektif dengan konsentrasi yang lebih tinggi perlu dilakukan, namun sebaliknya dari percobaan tahap awal ini dapat diketahui bahwa FK Foc 30% ternyata mampu menginduksi proliferasi tunas dan nodul baru. Hasil percobaan tahap ini memberi dugaan bahwa agen penyeleksi berupa FK Foc dengan konsentrasi 30% dapat menjadi suatu alternatif untuk meningkatkan proliferasi tunas dan akar tanaman pada plantlet pisang yang secara in vitro sulit tumbuh. Kemampuan sel-sel untuk berproliferasi membentuk tunas dan nodul ini diduga karena faktor sitokinin yang diberikan dalam media dasar. Rasio sitokinin yang lebih besar dari hormon pertumbuhan (PGRs) IAA (indole-3-acetic acid) yang diproduksi oleh cendawan Fusarium (Moore et al. 2001; Jayasankar 2005) ini kemungkinan yang menyebabkan pertumbuhan tunas dan nodul yang cukup besar pada tahapan ini. IAA ini berperan dalam peningkatan permiabilitas dinding sel, yang menyebabkan longgarnya ikaran hidrogen dengan mematahkan ikatan rhamnogalakturon yang ada pada dinding sel, sehingga dinding sel yang tersusun atas polisakarida-polisakarida ini menjadi longgar (Moore 1979).
Longgarnya
dinding sel ini menyebabkan air, garam-garam mineral dan toksin bersama-sama mudah masuk ke dalam sel. Selain berperan dalam meningkatkan permiabilitas sel, IAA juga berperan dalam pembentukan akar lateral (Moore 1979; Aloni 2004). Pertumbuhan akar adventif diduga terjadi karena adanya cekaman pada plantlet karena berada dalam media selektif mengandung toksin asam fusarat yang diproduksi oleh patogen. Menurut Taiz & Zeiger (2002) salah satu mekanisme tanaman untuk menghindari adanya cekaman biotik maupun abiotik adalah terbentuknya akar adventif dan percepatan pembungaan.
Seleksi in vitro tunas pisang dalam media selektif dengan FK Foc 40% Seleksi pada tahapan ini diperoleh gambaran bahwa subkultur tunas pisang ke media selektif dengan konsentrasi FK Foc 40% (v/v) masih belum mampu menghambat pertumbuhan tunas, walaupun nodul dan tunas mulai mengalami pencoklatan namun sebagian besar plantlet masih membentuk akar adventif (Gambar 24). Pertumbuhan rataan jumlah tunas cukup besar berkisar 3.90 - 8.12 tunas. Jumlah tunas terbesar dihasilkan dari plantlet hasil iradiasi 20 Gy (Tabel 21)
91
20 Gy
25 Gy
a. Akar adventif
b. Tunas sensitif FK Foc 40%
45 Gy
40 Gy
35 Gy
30 Gy
50 Gy
c. Tunas insensitif FK Foc 40%
Gambar 24 Respon pertumbuhan tunas pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dalam media selektif mengandung filtrat kultur (FK) Foc 40%, usia 6 minggu setelah subkultur. Tabel 21
Dosis iradiasi (Gy) 20 25 30 35 40 45 50
Rataan jumlah tunas pisang cv. Ampyang pada media selektif dengan FK Foc 30% dan FK Foc 40% , usia 6 minggu setelah subkultur. N 220 306 193 155 227 275 347
FK Foc 30% Rataan 13.75 13.91 10.72 6.20 11.95 12.50 11.19
FK Foc 40% Rataan 21.87 17.23 15.11 8.76 16.84 14.36 15.10
Perbedaan rataan jumlah tunas 30% → 40% 8.12 * 3.32 tn 4.39 * 2.56 tn 4.89 tn 1.86 tn 3.90 *
P 0.01 0.15 0.02 0.07 0.09 0.23 0.02
Koef. Korelasi
0.51 0.48 0.54 0.54 0.46 0.52 0.56
Keterangan: N = Ʃ tunas awal pada media FK Foc 30% yang disubkulutr pada media FK Foc 40% * = pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf 5% ( p<0.05) melalui uji-t sampel berpasangan
Hasil uji-t pada Tabel 21 memperlihatkan bahwa tunas varian hasil iradiasi 20, 30, dan 50 Gy yang disubkultur dari medium selektif mengandung FK Foc 30% ke media selektif dengan FK Foc 40% masih mengalami pertumbuhan tunas masing-masing 8.12, 4.39, 3.90, dan secara statistik menunjukkan perbedaan yang nyata, sehingga diketahui bahwa peningkatan konsentrasi FK Foc 40% masih belum dapat menyeleksi tunas-tunas yang insensitif Foc. Rataan jumlah tunas hasil iradiasi 25, 35, 40 dan 45 Gy yang ditumbuhkan dalam media selektif FK Foc 30% dengan FK Foc 40%, secara statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
92
Seleksi in vitro plantlet varian pisang dalam media selektif mengandung FK Foc 30% ke media selektif yang lebih tinggi (FK Foc 40%) ternyata belum mampu menyeleksi tunas yang insensitif filtrat kultur (FK) Foc, walaupun terlihat adanya kerusakan tunas, namun plantlet masih mampu berproliferasi membentuk tunastunas baru. Kemungkinan disini konsentrasi senyawa toksin asam fusarat yang terdapat dalam media selektif dengan konsentrasi FK Foc 40% masih terlalu rendah,
sehingga subkultur ke media selektif dengan konsentrasi lebih tinggi
diperlukan agar diperoleh tunas tunas pisang cv. Ampyang yang insensitif FK Foc. Seleksi in vitro tunas pisang dalam media dengan FK Foc 50% Pada tahapan ini plantlet yang ditumbuhkan pada media selektif dengan konsentrasi FK Foc 50% banyak yang mengalami pencoklatan dan kematian, beberapa plantlet tidak mampu membentuk akar adventif sebagai respon tanaman terhadap cekaman, namun sel-sel yang bertahan hidup masih mampu berproliferasi membentuk nodul dan tunas (Gambar 25). Hal ini memberi dugaan bahwa tunas varian hasil iradiasi yang tumbuh pada media selektif tersebut, diduga mampu mendetoksifikasi asam fusarat yang diproduksikan oleh cendawan Foc.
20 Gy
25 Gy
30 Gy
a. Akar adventif
40 Gy
35 Gy
b. Nodul sensitif FK Foc 40%
45 Gy
50 Gy
c. Tunas insensitif FK Foc 40%
Gambar 25 Respon pertumbuhan tunas pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dalam media selektif mengandung filtrat kultur (FK) Foc 50%, usia 6 minggu setelah subkultur.
93
Tabel 22 Rataan jumlah tunas pisang cv. Ampyang pada media selektif dengan FK Foc 40% dan FK Foc 50%, usia 6 minggu setelah subkultur. Dosis iradiasi (Gy) 20 25 30 35 40 45 50
Ʃ tunas awal
FK Foc 40%
331 378 251 124 430 296 393
13.79 13.03 10.91 7.29 13.87 13.45 11.91
Rataan
FK Foc 50% Perbedaan rataan jumlah tunas Rataan 40%→50% 16.29 2.50 tn 16.06 3.03 * 10.78 -0.13 tn 7.41 0.12 tn 15.71 1.84 tn 15.50 2.05 tn 14.39 2.48 tn
P 0.14 0.01 0.09 0.46 0.22 0.07 0.05
Koef. Korelasi
0.82 0.90 0.80 0.87 0.55 0.85 0.81
Keterangan: N = Ʃ tunas awal pada media FK Foc 40% yang disubkulutr pada media FK Foc 50% * = pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf 5% ( p<0.05) melalui uji-t sampel berpasangan.
Hasil analisis dengan uji-t sampel berpasangan terhadap plantlet varian yang disubkultur dalam media selektif FK Foc 50% (v/v) (Tabel 22) menunjukkan bahwa, peningkatan rataan jumlah tunas secara nyata hanya terlihat pada plantlet varian hasil iradiasi 25 Gy dengan rata-rata peningkatan jumlah tunas sebesar 3.03. Plantlet varian hasil iradiasi 20, 30 – 50 Gy walaupun ada peningkatan rataan jumlah tunas (0.12 – 2.50 tunas), namun secara statistik tidak berbeda nyata, sehingga mengindikasikan bahwa toksin yang terdapat dalam media FK Foc 50% mulai mampu menghambat atau menyeleksi tunas yang insensitif terhadap FK Foc. Seleksi in vitro tunas pisang dalam media dengan FK Foc 60%. Seleksi in vitro plantlet pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma pada media selektif mengandung FK Foc 60% (v/v) memperlihatkan sebagian besar tunas varian mengalami pencoklatan dan kematian (Gambar 21). Pertumbuhan tunas sebagian besar terhambat, kecuali plantlet varian hasil iradiasi 20 Gy. Hasil analisis menunjukkan bahwa subkultur tunas ke media selektif mengandung FK Foc 60% secara nyata mampu menghambat pertumbuhan tunas varian hasil iradiasi 30-45 Gy. Tunas yang berasal dari hasil iradiasi 20, 25 dan 50 Gy walaupun terjadi penurunan jumlah tunas, namun secara statistik tidak berbeda nyata (Tabel 23). Pada tahapan ini diduga plantlet sudah mengalami cekaman yang signifikan yang diekspresikan melalui penghambatan pertumbuhan nodul, tunas dan akar adventif, sedangkan tunas varian yang mampu bertahan hidup dalam media selektif dengan konsentrasi FK Foc 60%, tunas tersebut dikategorikan sebagai tersebut merupakan tunas-tunas insensitif FK Foc. Tunas yang mampu bertahan hidup
94
dalam kondisi selektif dengan konsentrasi yang tinggi, diduga mampu mendetoksifikasi toksin asam fusarat dan mampu menginduksi atau mengaktifkan gen ketahanannya, sehingga mampu bertahan hidup dalam kondisi cekaman yang lebih tinggi. Representasi gambar tunas pisang yang tumbuh pada media selektif mengandung FK Foc 60% (v/v) disajikan pada Gambar 26.
Tabel 23 Rataan jumlah tunas pisang cv. Ampyang pada media selektif dengan FK Foc 50% dan FK Foc 60% , usia 6 minggu setelah subkultur. Dosis iradiasi (Gy) 20 25 30 35 40 45 50
Ʃ tunas awal
FK Foc 50%
286 327 179 146 331 309 343
12.00 11.28 8.14 8.59 11.82 11.04 11.06
Rataan
FK Foc 60% Perbedaan rataan jumlah tunas Rataan 50% → 60% 12.87 0.87 tn 10.48 -0.79 tn 6.68 -1.45 * 6.82 -1.76 * 9.57 -2.25 * 8.68 -2.36 * 10.35 -0.71 tn
P 0.32 0.28 0.02 0.04 0.04 0.04 0.33
Koef. Korelasi
0.71 0.55 0.89 0.86 0.81 0.65 0.64
Keterangan: N = Ʃ tunas awal pada media FK Foc 50% yang disubkulutr pada media FK Foc 60% * = pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf 5% ( p<0.05) melalui uji-t sampel berpasangan
25 Gy – FK Foc 60%
40 Gy
30 Gy – FK Foc 60%
45 Gy Tunas insensitif
50 Gy
FK Foc 60%
Tunas insensitif FK Foc 60%
Gambar 26 Respon pertumbuhan tunas pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dalam media selektif mengandung filtrat kultur (FK) Foc 60%, usia 6 minggu setelah subkultur.
95
Seleksi in vitro plantlet varian hasil iradiasi dalam media selektif mengandung ekstrak kasar filtrat kultur (FK) Foc isolat Banyuwangi (Bw) untuk mendapatkan tunas insensitif Foc, didapatkan bahwa media selektif FK Foc konsentrasi 60% (v/v) menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari konsentrasi FK Foc 20-50%. Hal ini diperlihatkan dari penurunan rataan jumlah tunas pisang yang bertahan hidup pada media selektif tersebut. Menurut Jayasankar & Gray (2005) tunas pisang insensitif FK Foc ini secara teoritis merupakan varian yang mampu menginduksi atau mengaktivasi gen-gen ketahanannya terhadap infeksi cendawan Foc penyebab penyakit layu Fusarium. Hasil seleksi secara bertingkat untuk mendapatkan tunas insensitif FK Foc menunjukkan bahwa tunas varian pisang yang ditumbuhkan dalam media selektif mengandung FK Foc 30 % secara keseluruhan belum terhambat pertumbuhannya, bahkan terjadi peningkatkan jumlah tunas dari 1858 tunas menjadi 2940 tunas (58.2%).
Namun jumlah total tunas pisang in vitro pada media selektif
mengandung FK Foc 30% yang diseleksi secara bertingkat ke media selektif FK Foc 60% menunjukkan perbedaan yang nyata, dan dijumpai 1695 tunas (57.7%) diidentifikasi sebagai tunas varian pisang insensitif FK Foc 60% (Tabel 24). Keberhasilan penghambatan filtrat kultur Foc juga diperoleh pada tanaman abaka (Musa textilis Nee).
Hasil penelitian Damayanti (2004) menunjukkan bahwa
seleksi in vitro dalam media mengandung 50% filtrat Foc kemudian disubkultur dalam media mengandung 70% filtrat Foc, dan selanjutnya diseleksi silang dengan 75 ppm asam fusarat menghasilkan tanaman abaka yang tahan terhadap Fusarium. Hasil persamaan regresi (Gambar 27) menunjukkan, subkultur tunas dari media selektif mengandung FK Foc 30% ke media selektif dengan konsentrasi yang lebih tinggi (40%, 50% dan 60%) berkorelasi dengan penurunan jumlah tunas (r = 0.88). Tabel 24
Jumlah tunas varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang tumbuh setelah diseleksi secara bertingkat dari media selektif mengandung FK Foc 30% ke media selektif FK Foc 40%, 50%, 60%.
Jumlah total tunas pisang in vitro yang diseleksi
FK Foc 30%
FK Foc 40%
FK Foc 50%
FK Foc 60%
1858
2940
2324
2534
1695
Rataan
Jumlah total tunas pada media selektif mengandung:
420 a
332 ab
362 ab
242 b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT
96
Jumlah tunas
3500 3000
y = -3525x + 3959.5 r = 0.88
2940
2534
2500 2324
2000 1500 1000 20%
Gambar 27
1695
30%
40%
50%
60%
FK Foc (v/v)
Persamaan regresi jumlah total tunas pisang yang tumbuh dalam media selektif mengandung FK Foc 30% - 40% -50% dan 60%.
Peningkatan konsentrasi filtrat kultur (FK) Foc dalam media selektif pada setiap tahapan subkultur secara keseluruhan dapat menyeleksi tunas-tunas yang insensitif FK Foc, hal ini diperlihatkan dengan penghambatan pertumbuhan tunastunas baru pada media selektif dengan konsentrasi filtrat kultur Foc isolat Banyuwangi yang tertinggi (FK Foc 60%) (Gambar 27). Menurut Jayasankar (2005) dan Chandra et al. (2010), prinsip pendekatan seleksi in vitro adalah metabolit yang terdapat dalam filtrat kultur, yang berperan sebagai agen penyeleksi untuk menghasilkan secara alami galur-galur resisten.
Ketika sel tanaman
ditempatkan pada kondisi selektif yang intensif, sejumlah gen akan terinduksi namun hanya pada sel-sel tertentu dimana mekanisme pertahanannya teraktivasi secara cepat dan mampu mempertahankan karakteristik ketahanannya pada kondisi selektif tersebut (Jayasankar & Gray (2005). Pada beberapa jenis pisang, penggunaan kultur filtrat cendawan Foc telah berhasil digunakan untuk memantapkan kultur yang resisten dan regenerasi tanaman-tanaman yang resisten (Matsumoto et al. 1999; Jayasankar & Gray 2005; Chandra et al. 2010). Hasil percobaan pada tahapan ini diketahui bahwa filtrat kultur Foc konsentrasi 60% merupakan konsentrasi yang dapat menyeleksi tunastunas varian pisang yang insensitif terhadap filtrat kultur Foc. Penggunaan kultur filtrat sebagai agen penyeleksi memiliki keuntungan, walaupun tidak dianggap sebagai suatu pendekatan terbaik oleh beberapa peneliti. Seleksi secara in vitro melalui penggunaan kultur filtrat lebih mendekati aspek alami interaksi inangpatogen daripada seleksi menggunakan toksin patogen, sejak diketahui bahwa kultur filtrat memiliki seluruh spektrum senyawa-senyawa protein, selain toksin
97
yang dihasilkan patogen (Bhagwat & Duncan 1998; Moore et al. 2001). Studi baru-baru ini memperlihatkan bahwa senyawa-senyawa (protein) tersebut yang dihasilkan patogen dalam kultur, secara kritikal bukan merupakan faktor yang terlibat didalam proses timbulnya suatu penyakit pada tanaman, namun secara umum seringkali berimplikasi dalam mendukung respon pertahanan tanaman inang terhadap penyakit (Jayasankar & Gray 2005). Plantlet insensistif FK Foc ini selanjutnya diregenerasi dan diaklimatisasi di rumah kaca. Evaluasi ini dilakukan karena adanya kemungkinan perbedaan respon tanaman inang terhadap filtrat kultur pada tingkatan seluler (in vitro), dan pada tingkatan secara keseluruhan (in vivo), sehingga adanya variasi epigenetik pada plantlet insensitif FK Foc yang dapat timbul akibat proses seleksi in vitro dapat diketahui.
Regenerasi dan aklimatisasi plantlet pisang insensitif FK Foc 60%. Keberhasilan teknik seleksi untuk mendapatkan tanaman yang toleran juga membutuhkan ketersediaan metode regenerasi untuk sel yang toleran dan perolehan karakter yang diinginkan yang dapat diwariskan (Yusnita et al 2005). Menurut Jain (2001) ketersediaan prosedur regenerasi tanaman yang mapan, sangat mendukung pertumbuhan normal plantlet-plantlet hasil seleksi secara in vitro. Pada tahapan ini tunas insensitif FK Foc 60% yang terlihat sehat, diregenerasi dalam media perakaran mengandung BA (6-benzyladenin) 2.25 mg L-1 dan IAA (Indole-3-acetic acid) 0.175 mg L-1 selama 2 bulan, Hasil percobaan ini memperlihatkan bahwa plantlet pisang cv. Ampyang insensitif FK Foc 60% hasil seleksi in vitro mampu beregenerasi membentuk akar dan tunas-tunas baru pada media perakaran mengandung BA dan IAA. Respon pertumbuhan setiap plantlet pada media regenerasi bervariasi. Plantlet hasil iradiasi 50 Gy memiliki rasio panjang:lebar daun (4.70) yang nyata lebih besar dari perlakuan lainnya sehingga secara fenotipik memiliki bentuk daun yang lebih panjang. Plantlet insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy mampu beregenerasi dengan baik, namun sebagian besar memiliki panjang akar yang pendek (8.21 cm). Plantlet yang berasal dari varian hasil iradiasi 35 Gy memiliki rataan jumlah akar (7.50) dan panjang akar (7.96 cm) terendah, yang nyata berbeda dengan sebagian besar perlakuan lainnya (Tabel 25). Akar
98
plantlet varian hasil iradiasi 35 Gy secara fenotipik terlihat besar, tebal, berwarna coklat tua, serta mudah patah. Plantlet tersebut memiliki rataan bobot segar plantlet terbesar (1.62 g), yang berbeda nyata dengan plantlet insensitif FK Foc hasil iradiasi 20 Gy (1.18 g), 40 Gy (1.22 g), dan 50 Gy (1.02 g). Plantlet yang berasal dari hasil iradiasi 35 Gy rata-rata memiliki panjang akar yang pendek, tebal dan berwarna kecoklatan serta mudah patah, sehingga 14-21 hari setelah aklimatisasi umumnya mengalami kematian. Pembentukan akar plantlet pisang dengan performan kaku, mudah patah dan berwarna coklat ini diduga merupakan mekanisme pertahanan akar tanaman pisang terhadap kondisi cekaman biotik, dengan adanya fortifikasi pada dinding sel akar.
Tabel 25 Rataan jumlah akar, panjang akar, bobot segar plantlet, rasio panjang dan lebar daun plantlet pisang insensitif FK Foc 60%, usia 2 bulan setelah diregenerasikan dalam media pertunasan secara in vitro. Varian hasil iradiasi
N
20 Gy 40 25 Gy 60 30 Gy 55 35 Gy 16 40 Gy 55 45 Gy 50 50 Gy 45 Koef. Variasi (%)
Panjang akar (cm) Rataan 8.21 bc 11.09 ab 15.95 a 7.96 c 15.70 a 13.53 a 10.11 b 55.38
Jumlah akar Rataan 9.20 ab 10.20 a 9.55 ab 7.50 c 8.13 bc 9.50 ab 9.73 a 33.80
Bobot segar plantlet (g) Rataan 1.18 bc 1.49 ab 1.41 ab 1.62 a 1.22 bc 1.48 ab 1.02 c 59.12
Ratio p : l daun Rataan 3.47 d 3.64 cd 3.95 bc 3.80 cd 4.29 b 4.22 b 4.70 a 29.35
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT. N = jumlah plantlet yang diamati.
a
b
c
Akar plantlet yang kaku dan keras
Gambar 28 Plantlet insensitif FK Foc 60 % yang berasal dari hasil iradiasi: (a) 20 Gy, (b) 35 Gy dan (c) 50 Gy setelah 2 bulan ditumbuhkan pada media regenerasi secara in vitro.
99
Tanaman umumnya akan menginduksi mekanisme pertahanan struktural melalui fortifikasi dinding sel dengan melakukan lignifikasi jaringan disekitar akar yang terinfeksi, deposisi kalose, fenolik, dan enzim-enzim yang terlibat dalam penguatan dinding sel (De Ascensao & Dubery 2000; Huang 2001; Taiz & Zeiger 2002; Agrios 2005). Lignin ditemukan dalam lamela tengah di antara dua sel yang berdampingan, seperti halnya pada dinding sekunder dari jaringan pembuluh xylem, dan ditemukan juga dalam jaringan epidermal (Agrios 2005).
Lignin
merupakan serabut yang terbentuk dari fenol sederhana derifat fenolik, seperti halnya flavonoid, stilbene, tannin dan lignan, suberin serta kutin, yang membuat dinding sel tanaman impermiabel terhadap gas dan air (Huang 2001; Heldt & Heldt 2005). Fortifikasi dinding sel merupakan mekanisme pertahanan akar terhadap patogen pada jaringan akar akibat kondisi cekaman. Pada percobaan ini adanya fortifikasi dinding sel pada beberapa tanaman terutama pada tanaman hasil iradiasi 35 Gy, diduga merupakan salah satu penyebab kematian pada tanaman tersebut pada saat aklimatisasi. Hal tersebut dikarenakan kemampuan sel akar mengabsorpsi air menjadi berkurang.
Tabel 26 Jumlah dan persentase tanaman varian pisang cv. Ampyang insensitif FK Foc 60% yang mampu bertahan hidup sampai usia 60 hari setelah aklimatisasi. Tanaman hasil iradiasi 20 Gy 25 Gy 30 Gy 35 Gy 40 Gy 45 Gy 50 Gy
Jumlah plantlet insensitif FK Foc yang diaklimatisasi 67 99 73 26 87 73 74 499 plantlet
Jumlah dan persentase (%) klon tanaman insensitif FK Foc yang bertahan hidup pada usia: 14-21 hr setelah 45-60 hr setelah aklimatisasi aklimatisasi 40 (59.7)* 2 ( 3.0)** 60 (60.6) 13 (13.1) 55 (75.3) 41 (56.2) 16 (61.5) 1 ( 3.9) 55 (63.2) 16 (18.4) 50 (68.5) 23 (31.5) 45 (60.8) 22 (29.7) 321 tanaman 118 tanaman
Keterangan: Persentase varian insensitif FK Foc 60% yang bertahan hidup diperoleh dari : * = Ʃ plantlet varian yang hidup 14 -21 hari setelah aklimatisasi pada suatu perlakuan iradiasi / Ʃ plantlet yang diaklimatisasi x 100%, ** = Ʃ varian yang bertahan hidup 45-60 hr setelah aklimatisasi pada suatu perlakuan iradiasi / Ʃ plantlet yang diaklimatisasi x100% .
100
Hasil aklimatisasi di rumah kaca (Tabel 26) diketahui bahwa persentase plantlet pisang cv. Ampyang insensitif FK Foc 60% yang mampu bertahan hidup sampai usia 14-21 hari setelah aklimatisasi berkisar antara 59.7 - 75.3%, sedangkan sampai usia 45- 60 hari setelah aklimatisasi hanya berkisar 3.0 - 56.2%. Plantlet insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy, hanya 2 tanaman (3.0%) yang mampu bertahan hidup dari 67 plantlet yang diaklimatisasi, dan dari hasil iradiasi 35 Gy hanya 1 tanaman (3.9%) dari 26 tanaman yang diaklimatisasi, sedangkan persentase kemampuan hidup terbesar dihasilkan oleh plantlet yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy (56.2%). Kemampuan bertahan hidup yang besar pada plantlet-plantlet insensitif FK Foc hasil iradiasi 30 Gy ini, tidak jauh berbeda dengan kemampuan tumbuh eksplan pada saat awal eksplan in vitro tunas pisang dilakukan mutasi induksi yaitu berdasarkan apa yang diprediksi pada kurva reduksi pertumbuhan tunas pisang Ampyang sebesar 20-50% (LD20-50) pada siklus vegetatif pertama (M1V1)(Tabel 1). Pada kurva tersebut diperlihatkan bahwa kemampuan bertahan hidup yang lebih besar terdapat pada eksplan tunas pisang yang diradiasi dengan dosis 30 Gy, seperti tersaji pada Gambar 2 pada pembahasan Bab III. Tanaman yang tidak dapat bertahan hidup sebagian besar mengalami gejala kelayuan pada daun, dan adanya pertumbuhan koloni cendawan Fusarium pada media tanah (Gambar 29 a-c).
Hal ini memberi dugaan bahwa mikrokonidia
cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense yang terdapat dalam filtrat kultur mengalami dormansi dan bertahan hidup dalam media selektif. Saat tunas pisang ditumbuhkan pada media selektif tersebut, konidia terabsorbsi ke dalam sel jaringan akar yang terluka atau menempel pada jaringan terluar akar plantlet. Pada proses aklimatisasi, mikrokonidia cendawan Foc dalam sel akar yang pada awalnya dorman, dapat tubuh dan berkembang dan selanjutnya menyebar dalam media tanah karena berada dalam lingkungan yang kondusif. Apabila konidia Foc yang terdapat dalam sel tanaman tumbuh dan berkembang pada tanaman yang rentan, maka tanaman akan menunjukkan gejala kelayuan daun dan kematian, sedangkan gejala tersebut tidak tampak pada tanaman yang diduga tahan terhadap penyakit layu Fusarium. Hasil pengamatan secara mikroskopis pada potongan akar pisang tersebut memperkuat dugaan tersebut karena pada jaringan akar terlihat adanya kerusakan dan perubahan warna menjadi kecoklatan (Gambar 29 d-e).
101
a
b
c
Koloni cendawan Foc
d
e
stele
epidermis
korteks
Gambar 29 Gejala kelayuan bibit varian tanaman pisang hasil seleksi in vitro yang berasal dari hasil iradiasi: (a-b) 50 Gy dan 25 Gy pada usia 30 hari setelah aklimatisasi, (c) pertumbuhan koloni cendawan Foc dalam media tanah, (d) bibit tanaman insensitif FK Foc usia 45 hari, (e) pengamatan mikroskopis potongan melintang akar tanaman insensitif FK Foc 60% pada usia 60 hari dengan perbesaran 40x. Regenerasi dan aklimatisasi plantlet hasil seleksi in vitro merupakan satu tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan tanaman insensitif FK Foc yang mampu tumbuh sehat dalam kondisi ex vitro.
Regenerasi tanaman dilakukan
karena subkultur berulang seringkali memunculkan abnormalitas kromoson dan hilangnya potensial morfogenetik sel atau jaringan tanaman (Collin & Edwards 1998; Chandra et al. 2010). Prosedur regenerasi plantlet insensitif Foc hasil seleksi in vitro sangat penting, karena keberhasilan suatu seleksi tanaman bergantung pada ketersediaan pemantapan sistem regenerasi secara in vitro dan efektivitas agen penyeleksi (Jayasankar 2005; Yusnita et al. 2005). Plantlet pisang cv. Ampyang insensitif FK Foc yang mampu beregenerasi dan bertahan hidup di lingkungan ex vitro saat aklimatisasi sangat diperlukan untuk mendapatkan tanaman yang resisten. Fase ini merupakan saat kritis, karena seleksi in vitro untuk resistensi pada tanaman buah merupakan fenomena biologis yang melibatkan interaksi antara tanaman inang dengan patogen dan pengaruh aditif dari faktor biotik yang mendukung perkembangan suatu penyakit pada tanaman (Chandra et al. 2010).
102
Aklimatisasi di rumah kaca pada plantlet hasil seleksi secara in vitro secara tidak langsung telah menyeleksi tanaman varian yang rentan terhadap penyakit layu Fusarium. Aklimatisasi sebanyak 499 plantlet insensitif FK Foc menghasilkan 118 bibit varian tanaman pisang cv. Ampyang yang mampu beradaptasi dan bertahan hidup sampai 60 hari setelah aklimatisasi. Tanaman tersebut selanjutnya dievaluasi sifat ketahanannya di rumah kaca, dengan menginfeksi akar tanaman dengan konidia cendawan F. oxysporum f.sp. cubense kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 untuk mengetahui kestabilan sifat-sifat resistennya terhadap layu Fusarium.
Simpulan Efek penghambatan filtrat kultur (FK) Foc isolat Banyuwangi pada tunas pisang cv. Ampyang berada pada konsentrasi 40-60% (v/v), pada kisaran tersebut 60.8 – 82.3% tunas pisang mengalami kematian. Media selektif dengan FK Foc 30% belum mampu menyeleksi tunas varian pisang cv. Ampyang yang insensitif Foc.
Pertumbuhan jumlah tunas meningkat, sehingga FK Foc pada
konsentrasi 30% dapat menjadi senyawa alternatif untuk menginduksi akar dan tunas pada pisang secara in vitro.
Seleksi in vitro secara bertingkat dengan
konsentrasi yang lebih tinggi pada setiap tahapan seleksi, secara keseluruhan menghasilkan 1695 tunas (57.7%) pisang cv. Ampyang insensitif FK Foc 60%. Tunas-tunas insensitif FK Foc 60 % yang diregenerasikan dalam media pertunasan, secara umum mampu membentuk plantlet dengan akar dan tunas baru yang normal, kecuali plantlet yang berasal dari hasil iradiasi 35 Gy.. Aklimatisasi plantlet-plantlet insensitif FK Foc dalam media tanah secara tidak langsung dapat menyeleksi plantlet yang rentan terhadap penyakit layu Fusarium, dari total 499 plantlet insensitif Foc yang di aklimatisasi terdapat 118 bibit tanaman (23.7%) mampu beradaptasi dan bertahan hidup di rumah kaca, dan diidentifikasi sebagai bibit pisang cv.Ampyang insensitif FK Foc..
Daftar Pustaka Agrios GN. 2005. Plant Pathology, Ed ke-5. Amsterdam. Elsevier Acad. Press. Aloni R. 2004. The induction of vascular tissue by Auksin. Di dalam: Davies PJ, editor. Plant Hormones. Biosynthesis, Signal Transduction, Action!. Dordrecht. Kluwer Acad. Publ. hlm. 471-492.
103
Bhagwat B, Duncan EJ. 1998. Mutation breeding of Highgate (Musa acuminata, AAA) for tolerance to Fusarium oxysporum f. sp. cubense using gamma irradiation. Euphytica 101: 143–150. Chandra R, Kamle M, Bajpai A, Muthukumar M. Kalim S. 2010. In vitro selection: A candidat approach for disease resistance breeding in fruit crops. Asian J of Plant Sci 9(8): 437-446. Collin HA, Edwards E. 1999. Plant Cell Culture. Singapore Bios. Sci. Publ. Companioni B et al. 2006. Differentiating resistance to Fusarium oxysporum f. sp. cubense strain 1 culture filtrates in banana leaves. Biotechnol Aplic 23(2):153-157. Daly A, Walduck G. 2006. Fusarium wilt of bananas (Panama disease) (Fusarium oxysporum f. sp. cubense). Agnote I(51):1-5. Damayanti F. 2004. Seleksi in vitro tanaman abaka (Musa textilis Nee) dengan filtrat Fusarium oxysporum untuk ketahanan terhadap penyakit layu Fusarium. Bioscientiae. 1(2): 11-22. http://bioscientiae.tripod.com. [31 Okt 2011] De Ascensao ARFDC, Dubery IA. 2000. Panama disease: cell wall reinforcement in banana roots in response to elicitors from Fusarium oxysporum f. sp. cubense race four. Phytopathology 90(10): 1173-1180. Epp D. 1987. Somaclonal variation in banana: a case study with Fusarium wilt. Di dalam: Persley GJ, De Langhe EA, editor. Banana and plantain breeding strategies. Canbera. ACIAR Publ. hlm. 140-150. Heldt HW, Heldt F., 2005. Plant Biochemistry. Ed. ke-3. Amsterdam. Elsevier Academic Press. Huang J-S. 2001. Plant pathogenesis and resistance biochemistry and physiology of plant microbe interaction. Netherlands. Kluwer Acad. Publ. Hwang SC, Ko WH. 2004. Cavendish banana cultivars resistant to Fusarium Wilt acquired through somaclonal variation in Taiwan. Plant Disease 88(6): 580588 Jain SM. 2001. Tissue culture-derived variation in crops. Euphitica 118: 153-166 Jayasankar. 2005. Variation in tissue culture. Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and Biotechnology. New York. CRC Press. hlm 301-309. Jayasankar, Gray DJ. 2005. In vitro plant pathology. Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and Biotechnology. New York. CRC Press. hlm 293-299.
104
Jumjunidang, Nasir N, Riska, Handayani H. 2005. Teknik pengujian in vitro ketahanan pisang terhadap penyakit layu Fusarium menggunakan filtrat toksin dari kultur Fusarium oxysporum f. sp. cubense. J Hort 15(2):135139. Mak C, Mohamed AA, Liew KW, Ho YW. 2004b. Early screening technique for Fusarium wilt resistance in banana micropropagated plant. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Enfield. Sci. Publ. Inc. http://www.fao.org /docrep /007/ ae216e/ae216e08.htm#bm08. [26 Mei 2007] Masdek N et al. 2003. Global significance of Fusarium wilt in Asia. Ed. Ke-2. International symposium on Fusarium wilt on banana. Salvador de Bahia. http://www.inibap.org/pdf/Fusarium_Wilt.pdf. [11 Jan 2007] Matsumoto K, Barbosa ML, Souza LAC, Teixeira JB. 1999. In vitro selection for Fusarium wilt resistance in banana. II. Resistance to culture filtrate of race 1 Fusarium oxysporum f. sp. cubense. Fruits 54:151-157 Moore TC. 1979. Biochemistry and Physiology of Plant Hormone. New York. Springer-Verlag. Inc. Moore NY, Pegg KG, Buddenhagen IW, Bentley S. 2001. Fusarium wilt of banana: a diverse clonal pathogen of domesticated clonal host. Di dalam: Summerel BA et al. editor. Fusarium Minnesota. APS Press. hlm 212-224. Morpurgo R, Lopato SV, Afza R, Novak FJ. 1994. Selection parameters for resistance to race 1 and race 4 on diploid banana (Musa acuminata Colla). Euphytica 75: 121-129. Nasir N, Pittaway PA, Pegg KG, Lisle AT. 1999. A pilot study investigating the complexity of Fusarium wilt of bananas in West Sumatra, Indonesia. Aust J Agric Res 50:1279-83. Purwati RD, Harran S, Sudarsono. 2007. In vitro selection of Abaca for resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Hayati 14(2):65-70. Smith MK et al. 2006. Towards the development of a Cavendish banana resistant to race 4 of Fusarium wilt: gamma irradiation of micropopagated Dwarf Parlitt (Musa spp, AAA group, Cavendish subgroup). Aust J Exp Agric 46:107-113. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Ed ke-3 Sunderland. Sinauer Assoc. Inc. Publ. Yusnita, Widodo, Sudarsono. 2005. In vivo selection of peanut somatic embryos on medium containing culture filtrates of Sclerotium rolfsii and plantlet regeneration. Hayati 12: 50-56.
105
BAB VII KETAHANAN VARIAN PISANG (Musa acuminata, AAA) cv. AMPYANG TERHADAP LAYU FUSARIUM
Abstrak Penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) merupakan masalah utama dalam pemuliaan pisang. Strategi pengendalian terhadap patogen ini adalah dengan perolehan kultivar yang tahan di antaranya melalui teknik mutasi induksi dan seleksi in vitro. Tujuan percobaan untuk mendapatkan tanaman pisang cv. Ampyang tahan terhadap layu Fusarium. Evaluasi ketahanan dilakukan pada varian tanaman yang berasal dari hasil mutasi induksi yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro, dan varian tanaman hasil mutasi induksi tanpa tahapan seleksi in vitro. Evaluasi di rumah kaca terhadap ketahanan varian tanaman yang berasal dari hasil mutasi induksi dengan iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro dihasilkan 48 klon tanaman (40.8%) terindikasi tahan terhadap layu Fusarium. Tanaman tersebut berasal dari hasil evaluasi dengan Foc isolat Medan VCG 01213/16 sebanyak 28 klon (36.4%) dan hasil evaluasi dengan Foc isolat Banyuwangi sebanyak 20 klon (48.9%). Evaluasi di rumah kaca terhadap varian tanaman pisang hasil mutasi induksi tanpa tahapan seleksi in vitro diperoleh 5 klon tanaman (13.8%) terindikasi tahan layu Fusarium. Evaluasi ketahanan tanaman varian hasil mutasi induksi pada lahan endemik layu Fusarium menunjukkan bahwa 5 klon anakan (4.9%) yang berasal dari tanaman 0, 30, 50 Gy mampu bertahan hidup dan diidentifikasi sebagai klon tanaman yang tahan terhadap layu Fusarium.
Kata kunci: Induksi mutasi, seleksi in vitro, Foc isolat Banyuwangi, Foc isolat Medan VCG 01213/16.
106
RESISTANCE OF BANANA VARIANTS cv. AMPYANG (Musa acuminata, AAA) TO FUSARIUM WILT Abstract Fusarium wilt caused by Fusarium oxysporum f.sp. cubense is a major problem in banana breeding. Mutation breeding and in vitro selection is one of control strategy to obtain banana resistant to Fusarium wilt. The objectived of this experiment were to obtain banana cv. Ampyang resistant to Fusarium wilt. Evaluate resistance of banana conducted on banana variant regenerated from induced mutation followed by in vitro selection, and banana variant regenerated from induced mutation without in vitro selection. Glasshouse evaluation of banana variant regenerated from induced mutation followed by in vitro selection produce 48 clones (40.8%) indicated resistant to Fusarium wilt. Twenty eight resistant clones were evaluated from Foc of Medan isolate, and twenty clones were comes from Foc of Banyuwangi isolate. Evaluation of banana variant regenerated from induced mutation without in vitro selection produced 5 clones (13.8%) indicated resistant to Fusarium wilt. Evaluation resistance of banana in endemic Fusarium wilt field indicated that 5 clones (4.9%) regenerated from 0, 30 and 50 Gy gamma iraradiation were survived and identified as a resistant clones to Fusarium wilt.
Keyword: Induced mutation, in vitro selection, Foc of Banyuwangi isolate, Foc of Medan isolate VCG 01213/16.
Pendahuluan Pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, genom AAA, subgrup nonCavendish) merupakan jenis pisang meja yang sudah jarang dibudidayakan oleh petani di Indonesia sehingga sulit dijumpai di pasar tradisional dan modern, selain di Indonesia pisang ini terdapat di Malaysia (cv. Amping) dan Filipina (cv. Amo) (Valmayor et al. 2000). Pengembangan tanaman pisang ini memiliki kendala di antaranya serangan penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp. cubense (E. F. Smith) Snyder and Hansen (Foc). Foc merupakan cendawan tular tanah yang menyerang akar tanaman pisang dan plantain yang tersebar luas di berbagai perkebunan pisang, sangat destruktif dan merupakan penyakit tanaman yang sangat merugikan, karena Foc akan mengolonisasi jaringan vaskuler tanaman yang berperan dalam transpotasi air dan bahan makanan dari akar ke daun (Agrios 2005). Penyakit layu Fusarium atau
107
Panama disease ini merupakan masalah utama yang menurunkan produksi tanaman pisang dan plantain (Musa spp) (Ploetz 1997, Moore et al. 2001, Hwang & Ko 2004, Smith et al 2006). Peningkatan dan pengembangan tanaman pisang yang resisten terhadap layu Fusarium dapat dilakukan di antaranya melalui pemuliaan mutasi dan seleksi in vitro. Induksi mutasi dengan iradiasi gamma secara in vitro dilakukan untuk meningkatkan keragaman genetik pisang, karena usaha untuk pengembangan klon yang resisten terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense menggunakan teknik pemuliaan konvensional memiliki keberhasilan yang sangat rendah (Stover & Buddenhagen 1986; Predieri 2001; Companioni et al 2003). Poliploidi, fertilitas jaringan reproduktif yang rendah dan jantan steril pada tanaman pisang (AAA) dan plantain (AAB dan ABB) merupakan faktor utama keberhasilan yang rendah tersebut. Penggunaan teknik mutasi induksi memiliki keunggulan, namun teknik mutasi induksi menyebabkan terjadi mutasi secara acak, dan sifat mutan yang didapatkan bersifat acak pula (Medina et al. 2004; Mak et al. 2004) sehingga evaluasi varian perlu dilakukan secara menyeluruh di rumah kaca dan di lapangan. Perolehan tanaman yang resisten terhadap layu Fusarium dilakukan pula melalui mutasi induksi dengan iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro secara bertingkat dengan tujuan untuk meningkatkan kemungkinan perolehan klon-klon tanaman yang resisten layu Fusarium. Sistem seleksi secara in vitro untuk resistensi terhadap F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) telah dideskripsikan untuk tanaman pisang dan plantain (Morpugo et al. 1994; Matsumoto et al. 1995, 1999; Hwang & Ko, 2004; Smith et al. 2006). Pada tanaman pisang teknik ini telah digunakan antara lain pada pisang cv. Highgate asal Jamaica dan Honduras (Bhaghwat & Duncan 1998;
Ploetz et al. 2007), pisang cv. Ambon Kuning
(Sutarto et al. 1998), pisang cv. Cavendish (Hwang & Ko 2004), dan pisang cv. Dwarf Parfitt (Smith et al. 2006). Tujuan percobaan: (1) mendapatkan klon-klon pisang cv. Ampyang resisten layu Fusarium yang berasal dari varian hasil mutasi induksi dengan iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro; (2).mendapatkan klonklon pisang cv. Ampyang resisten layu Fusarium yang berasal dari varian hasil mutasi induksi dengan iradiasi gamma tanpa melalui tahapan seleksi in vitro;
108
Bahan dan Metode Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2009 sampai Juni 2011. Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan adalah varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma usia 3 bulan setelah aklimatisasi, varian hasil iradiasi gamma usia 6-8 bulan, serta varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro usia 2 bulan setelah aklimatisasi. Pada tahapan ini perolehan pisang cv. Ampyang tahan terhadap penyakit layu Fusarium dilakukan melalui tiga kegiatan percobaan: (1) Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium di rumah kaca. (2) Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma terhadap layu Fusarium di rumah kaca. (3) Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma di lahan endemik layu Fusarium.
Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium di rumah kaca. Bahan tanaman pada kegiatan percobaan ini adalah bibit varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro secara bertingkat. Plantlet varian insensitif Foc hasil seleksi in vitro yang mampu bertahan hidup sampai usia 2 bulan setelah aklimatisasi, dievaluasi kembali sifat ketahanannya di rumah kaca. Pengujian ketahanan klon tanaman dilakukan dengan menginfeksi akar tanaman dengan cendawan F. oxysporum f.sp. cubense isolat Medan VCG 01213/16 dan isolat Banyuwangi. Akar tanaman pisang dibersihkan dan dicuci dibawah air mengalir dan larutan klorox komersial 5%, selanjutnya akar dipotong sepanjang 2-3 cm dari pangkal akar dan direndam dalam larutan berisi suspensi konidia Foc dengan kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 selama 2 jam dibawah sinar matahari. Tanaman pisang ditanam dalam gelas plastik 300 ml berisi media tanam untuk tanaman buah dengan komposisi: tanah (33%), pupuk kandang (33%), humus (33%), NPK (0.4%), pestisida (0.3%) dan dolomit (0.3%). Tanaman ditumbuhkan sampai usia 2 bulan setelah inokulasi dan diamati usia tanaman mengalami kematian, persentase kematian bibit, panjang akar, skoring gejala kelayuan pada bibit dan skoring gejala nekrosis pada bonggol pisang.
109
Skoring gejala layu pada bibit pisang akibat infeksi Foc (skor 0-4) dilakukan mengikuti kriteria yang dikembangkan Epp (1987), yaitu: skor 0 – bibit sehat dan tidak menunjukkan gejala layu; skor 1 – daun bagian bawah sedikit dan mengering; skor 2 – peningkatan jumlah daun yang menguning dan bibit mulai layu; skor 3 – seluruh bibit mengering kecuali daun baru atau belum membuka; skor 4 – bibit mati.
Skoring gejala nekrosis pada bonggol pisang dilakukan
sebagai berikut: skor 0 – tidak terjadi perubahan warna bonggol; skor 1 – nekrosis antara 0-5%; skor 2- nekrosis 6-20%; skor 3 – nekrosis 21-50%; skor 4 – nekrosis 51-99% (lebih dari 50%); dan skor 5 –nekrosis 100% (Moore et al. 1993; Carlier et al. 2002). Intensitas penyakit (IP) untuk gejala kelayuan bibit dan nekrosis bonggol ditentukan dengan rumus: IP = [ ∑(ni x si)/(N x S) ] x 100%; dengan ni: jumlah bibit dengan skor gejala i; si: skor gejala i, N: jumlah total bibit yang diamati, S: skor gejala tertinggi (Chachinero et al. 2002).
Penentuan respon bibit pisang
terhadap infeksi Foc dilakukan dengan kriteria: imun (I) - jika IP = 0%; tahan (T) – jika IP antara 0-5%; agak tahan (AT) – jika IP antara 5-10%; agak rentan (AR) – jika IP antara 10-25%, rentan (R) – jika IP antara 25-50%; dan sangat rentan (SR) – jika IP > 50% (Yusnita & Sudarsono 2004).
Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma terhadap layu Fusarium di rumah kaca. Varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma, ditumbuhkan di halaman pekarangan sampai usia 3 bulan.
Evaluasi ketahanan varian
tanaman dilakukan dengan metode yang diperoleh dari percobaan sebelumnya. Akar tanaman pisang dipotong sampai berukuran 2-3 cm dari pangkal akar, selanjutnya akar direndam dalam suspensi konidia Foc isolat Banyuwangi dengan kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 selama 2 jam dibawah sinar matahari. Tanaman ditumbuhkan dalam gelas plastik beukuran 300 ml berisi media tanam dengan komposisi: tanah (33%), pupuk kandang (33%), humus (33%), NPK (0.4%), pestisida (0.3%) dan dolomit (0.3%). Tanaman ditumbuhkan dan diamati skor gejala kelayuan bibit 2 bulan setelah inokulasi berdasarkan Epp (1987) dan karakter agronomis tanaman secara kuantitatif.
110
Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma terhadap layu Fusarium di lapangan. Varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro, usia 6-8 bulan ditanam di lahan endemik cendawan Foc di lapangan dengan dengan jarak 2 m antar baris dan 2 m dalam baris (2x2m) dalam lubang tanam berukuran 25 x 25 x 25cm (p x l x d). Pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai dengan kondisi di lapangan seperti penyiangan gulma dan pemberian pupuk kandang. Tanaman ditumbuhkan sampai berbuah, dan pengamatan terhadap pertumbuhan vegetatif dilakukan pada saat usia tanaman 12 bulan terhadap persentase tanaman yang dapat bertahan hidup dan karakter kuantitatif tanaman berupa jumlah anakan, jumlah pelepah daun, tinggi tanaman, lingkar batang semu, dan rasio panjang dan lebar daun maksimum. Pertumbuhan generatif diamati pada saat panen, terhadap karakter kuantitatif buah berupa berat buah per tandan, jumlah sisir per tandan, jumlah buah per tandan. Pengamatan karakter kualitatif dilakukan pada sampel buah secara duplo pada setiap perlakuan yang diuji, berupa persentase kadar air, abu, lemak, protein, serat kasar dan kandungan karbohidrat. Pembuktian kematian tanaman akibat layu Fusarium dilakukan dengan mengisolasi ada tidaknya cendawan Foc yang diambil pada batang semu pisang yang terinfeksi.
Hasil dan Pembahasan Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium di rumah kaca Bibit varian pisang cv. Ampyang insensitif FK Foc yang diperoleh dari hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro dari percobaan sebelumnya yang keseluruhannya berjumlah 118 bibit (Tabel 25), di evaluasi kembali sifat ketahanannya di rumah kaca dengan menginfeksi akar bibit varian dengan konidia F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) isolat Medan dan Foc isolat Banyuwangi. Inokulasi Foc dilakukan dengan metode perendaman akar selama 2 jam dalam suspensi konidia Foc kerapatan 2.5 x 107 kon mL-1. Pengamatan tanaman akibat infeksi Foc dilakukan terhadap skoring gejala kelayuan bibit pisang (skor 0-4) (Epp 1987) dan nekrosis bonggol tanaman pisang (skor 0-5) (Moore et al. 1993; Carlier et al. 2002). serta panjang akar pisang yang diamati pada usia 2 bulan setelah inokulasi (Gambar 30).
111
a
b
Skor 0
Skor 1
c
Skor 2
d
Skor 3
f
Skor 0
i
Skor 3
g
Skor 1
j
Skor 4
h
e
Skor 2
k
Skor 5
Skor 4
Gambar 30 Respon varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil seleksi in vitro yang di infeksi konidia Foc: (a-e) representatif gambar skoring gejala kelayuan bibit pisang pada skor 0-4, (f-k) representasi gambar skoring nekrosis bonggol pada skor 0-5 Evaluasi ketahanan varian terhadap infeksi Foc isolat Medan Evaluasi ketahanan tanaman varian hasil seleksi in vitro terhadap konidia Foc isolat Medan diperoleh gambaran bahwa gejala kelayuan dan nekrosis bonggol sudah terlihat 2-8 minggu setelah infeksi. Pertumbuhan akar dan bulu akar cukup banyak, yang menunjukkan bahwa tanaman mengalami cekaman biotik.
112
Tabel 27
Ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium pada usia 2 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Medan di rumah kaca
Varian Jumlah tanaman tanaman hasil yang iradiasi diinfeksi
20 Gy 25 Gy 30 Gy 35 Gy 40 Gy 45 Gy 50 Gy
1 9 27 1 11 12 16
Jumlah & persentase tanaman yang mati
1 (100.0)* 8 ( 88.8) 6 ( 22.2) 1 (100.0) 8 ( 72.7) 7 ( 58.3) 6 ( 37.5)
Panjang akar (cm)
Rataan ± SE 14.00 8.67 23.59 19.50 11.59 15.06 17.13
0.00 3.84 2.37 0.00 2.70 3.22 3.08
Rataan skor kelayuan
bibit
Rataan IP skor IP (%) nekrosis (%) bonggol
4.00 100.0 3.56 88.9 1.56 38.9 4.00 100.0 3.36 84.1 2.75 68.8 1.75 43.8
5.00 100.0 4.11 77.8 2.59 64.8 5.00 100.0 3.82 76.4 3.75 75.0 2.75 55.0
Kthn
SR SR R SR SR SR R
Keterangan:* = Ʃ tanaman yang hidup 2 bln setelah infeksi / Ʃ tanaman yang diinfeksi Foc x 100% IP = Intensitas Penyakit (%); Kthn = Ketahanan; R = Rentan, SR = Sangat Rentan.
Bibit tanaman insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 20 dan 35 Gy masing-masing hanya 1 tanaman yang dapat di evaluasi (Tabel 27), karena hanya tanaman tersebut yang bertahan hidup dari 67 dan 26 plantlet insensitif FK Foc 60% yang diaklimatisasi pada percobaan sebelumnya (Tabel 26). Tanaman tersebut mengalami kematian 2 bulan setelah infeksi dikategorikan sebagai tanaman yang sangat rentan (SR). Tanaman insensitif FK Foc hasil iradiasi 25, 40 dan 45 Gy beberapa mampu bertahan hidup, persentase kematian tanaman masingmasing 88.8, 72.7 dan 58.3%, dengan rataan skoring gejala kelayuan bibit berkisar 2.75-3.36, pada kisaran tersebut rata-rata seluruh bibit mengering kecuali daun baru atau belum membuka (Epp 1987). Skor rataan nekrosis bonggol berkisar 3.754.11, pada kisaran tersebut lebih dari 50% bonggol mengalami nekrosis (Carlier et al. 2002). Intensitas penyakit (IP) pada daun dan bonggol diatas 50%, sehingga tanaman tersebut dikategorikan sebagai tanaman sangat rentan (SR) terhadap penyakit layu Fusarium. Jumlah dan persentase kematian tanaman insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy cukup rendah yaitu 22.2%, dari 27 tanaman yang diinfeksi hanya 6 tanaman mengalami kematian. Tanaman tersebut memiliki rataan panjang akar terbesar (23.59 cm ± 2.37), rataan skor gejala kelayuan 1.56 dengan intensitas penyakit (IP) 38.9%, serta skor nekrosis bonggol 2.59 dengan IP pada bonggol 64.58%.
Berdasarkan kriteria Mak et al. (2004) jika intensitas penyakit daun
113
menunjukkan rentan (R) dan intensitas penyakit bonggol sangat rentan (SR), maka tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy dikategorikan sebagai tanaman yang rentan (R) terhadap penyakit layu Fusarium (Tabel 27), walaupun dijumpai beberapa tanaman yang tidak menunjukkan gejala kelayuan bibit. Tanaman insensitif Foc yang berasal dari hasil iradiasi 50 Gy juga dikategorikan sebagai tanaman yang rentan (R), namun jumlah tanaman yang mati cukup rendah yaitu 37.5%, dengan panjang akar 17.13 cm ± 3.08.
Pada Gambar 31 diajikan
representasi gambar kelayuan tanaman dan nekrosis bonggol pisang hasil infeksi dengan konidia Foc isolat Medan pada usia 2 bulan setelah inokulasi.
a
45 Gy (4) 35
50 Gy (3) 10
b b
25 Gy (4) 31
30 Gy (3) 37
50 Gy (3) 18
Gambar 31 Respon ketahanan bibit varian insensitif Foc hasil seleksi in vitro setelah 2 bulan diinfeksi dengan konidia F. oxysporum f.sp. cubense isolat Medan di rumah kaca. Gambar horizontal (a) Gejala kelayuan bibit dan nekrosis bonggol (insert), (b) gejala kelayuan bibit dan nekrosis bonggol pisang cv. Ampyang.
114
Tabel 28 Identifikasi tanaman varian pisang cv. Ampyang usia 2 bulan setelah infeksi. Persentase tanaman yang bertahan hidup, dan yang mengalami recovery, usia 6 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Medan. Varian tanaman hasil iradiasi 25 Gy 30 Gy
40 Gy
45 Gy 50 Gy
Kode tanaman (4) 31 (3) 8 (3) 16 (3) 17 (3) 18b (3).19 (3) 19b (3) 23 (3) 23b (3) 28 (3) 31 (recovery) (3) 35 (recovery) (3) 36 (4) 15 (recovery) (4) 15b (4) 32 (4) 4 (recovery) (4) 35 (3) 1 (3) 4 (3) 5 (3) 8 (3) 9 (3) 10 (3) 14 (1) 18 (1) 19 (3) 24
Panjang akar (cm)
Skor gejala kelayuan bibit
Skor nekrosis bonggol
37.5 39.0 28.5 38.5 24.0 27.5 20.0 18.5 42.0 26.0 18.5 32.5 33.0 3.0 21.5 32.0 2.0 19.5 21.0 16.5 14.0 20.0 19.5 40.0 31.0 37.0 22.0 20.5
0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 3 2 1 4 1 1 4 1 1 1 2 0 1 0 1 1 0 0
1 0 3 2 1 2 1 1 2 1 2 2 1 5 2 2 4 2 2 1 3 1 1 1 3 2 1 2
Persentase (%) tanaman yg hidup 6 bln setelah infeksi (11.1) (44.4)
(27.3)
(16.7) (62.5)
Keterangan. Persentase tanaman yang hidup 6 bln setelah infeksi = Ʃ tanaman yang hidup setiap perlakuan / Ʃ bibit yang diinfeksi dengan konidia Foc pada setiap perlakuan x 100%.
Tanaman yang telah dikarakteristik ketahanannya pada usia 2 bulan setelah infeksi, diamati kembali fenotipik tanaman sampai usia 6 bulan setelah infeksi di rumah kaca. Hasil pengamatan memperlihatkan beberapa fenomena yaitu tanaman yang semula menunjukkan gejala kelayuan bibit dan nekrosis bonggol pada usia 2 bulan setelah infeksi, beberapa mengalami recovery dimana daun-daun muda yang tumbuh tidak mengalami kelayuan dan tumbuh sehat. Sebanyak 4 tanaman yang
115
mengalami kematian 2-4 minggu setelah infeksi, juga mengalami recovery dengan tumbuh anakan (Tabel 28), dan dijumpai pula tanaman yang baru menunjukkan gejala kelayuan dan kematian 6 bulan setelah infeksi. Evaluasi ketahanan tanaman setelah berusia 6 bulan di rumah kaca (Tabel 28), dihasilkan 28 tanaman (36.4%) dari 77 tanaman yang diinfeksi dengan Foc isolat Medan VCG 01213/16 terindikasi tahan terhadap layu Fusarium. Persentase perolehan tanaman yang tahan banyak dijumpai pada tanaman hasil seleksi in vitro yang berasal dari hasil iradiasi 50 Gy yang berjumlah 10 tanaman (62.5%), diikuti tanaman yang berasal dari 30 Gy berjumlah 12 tanaman (44.4%). Tanaman hasil seleksi in vitro yang berasal dari hasil iradiasi 25, 40 dan 45 Gy masing-masing hanya menghasilkan 1 tanaman (11.1%), 3 tanaman (27.3%) dan 2 tanaman (16.7%) terindikasi tahan layu Fusarium.
Evaluasi ketahanan varian terhadap infeksi Foc isolat Banyuwangi. Evaluasi ketahanan tanaman varian hasil seleksi in vitro dengan Foc isolat Banyuwangi diperoleh gambaran bahwa jumlah tanaman yang bertahan hidup lebih banyak, kecuali tanaman insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy, dimana 1 tanaman yang bertahan hidup dan diinfeksi dengan konidia Foc mengalami kematian. Gejala kelayuan bibit muncul lebih lama dibandingkan dengan infeksi Foc isolat Medan. Pada umumnya tanaman menunjukkan gejala kelayuan pada 4 – 8 minggu setelah akar diinfeksi Foc isolat Banyuwangi. Hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel 29 memperlihatkan bahwa 4 bibit tanaman insensitif FK Foc isolat Banyuwangi yang berasal dari hasil iradiasi 25 Gy, sebagian (50%) mengalami kematian dengan intensitas penyakit (IP) pada daun dan bonggol diatas 50% sehingga dikategorikan sebagai tanaman yang sangat rentan (SR) terhadap layu Fusarium. Tanaman insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 20, 30, 40, 45 dan 50 Gy memiliki rataan skor gejala kelayuan bibit berkisar 1.07 – 2.00, dengan intensitas penyakit (IP) berkisar 37.5- 50.0%. Pada kisaran tersebut rata-rata daun bagian bawah sedikit mengering dan terjadi peningkatan jumlah daun yang menguning dan bibit mulai layu (Epp 1987). Skor nekrosis bonggol memiliki rataan berkisar 2.00 - 2.60, dengan IP berkisar 41.452.0%. Pada kisaran tersebut kerusakan meliputi 6-20% dari lingkar bonggol (Carlier et al. 2002), sehingga dikategorikan sebagai tanaman yang rentan (R)
116
terhadap layu Fusarium. Representasi gambar tanaman hasil iradiasi 30. 45 dan 50 Gy setelah diinfeksi Foc isolat Banyuwangi disajikan pada Gambar 32.
Tabel 29 Ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium, usia 2 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Banyuwangi di rumah kaca. Varian Jumlah tanaman tanaman hasil yang iradiasi diinfeksi
20 Gy 25 Gy 30 Gy 40 Gy 45 Gy 50 Gy
1 4 14 5 11 6
Jumlah & persentase tanaman yang mati
Rataan
1 (100.0)* 19.50 2 2 1 4
( 50.0) ( 14.3) ( 20.0) ( 36.4) 2 ( 33.3)
Rataan skor kelayuan ± SE bibit
IP (%)
0.00 4.31 1.16 5.46 3.03 3.88
50.0 68.8 26.8 50.0 45.5 37.5
Panjang akar (cm)
13.38 22.07 21.30 17.55 15.83
2.00 2.75 1.07 2.00 1.82 1.50
Rataan skor IP nekrosis (%) bonggol
2.00 3.00 2.07 2.60 2.36 2.50
50.0 75.0 41.4 52.0 47.3 46.7
Kthn
R SR R R R R
Keterangan:* = Ʃ tanaman yang hidup 2 bln setelah infeksi / Ʃ tanaman yang diinfeksi Foc x 100% IP = Intensitas Penyakit (%); Kthn = Ketahanan; R = Rentan, SR = Sangat Rentan.
a
30 Gy (3) 24
45 Gy (4) 11
50 Gy (1) 17b
b
Gambar 32 Respon ketahanan bibit varian insensitif Foc hasil seleksi in vitro setelah 2 bulan diinfeksi dengan konidia F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi di rumah kaca. Gambar horizontal (a) Gejala kelayuan bibit dan (b) gejala nekrosis bonggol pisang cv. Ampyang.
117
Tanaman varian insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy memiliki persentase kematian terendah (14.3%), walaupun dikategorikan sebagai tanaman yang rentan terhadap layu Fusarium, namun memiliki rataan panjang akar tertinggi (22.07 cm ± 1.16 cm) dan skor gejala kelayuan bibit terendah yaitu 1.07 serta skor nekrosis bonggol 2.07. Intensitas penyakit (IP) daun 26.8% dan IP nekrosis bonggol (41.4%) lebih rendah dari tanaman varian lainnya (Tabel 29). Pada skor tersebut, hanya bagian bawah daun yang sedikit mengering, dengan kerusakan bonggol berkisar 6-20%, sehingga di antara tanaman tersebut dijumpai beberapa tanaman yang tumbuh sehat dan tidak menunjukkan gejala kelayuan. Kemampuan tumbuh tanaman setelah infeksi Foc isolat Banyuwangi diamati kembali pada usia 6 bulan (Tabel 30). Tabel 30 Identifikasi tanaman varian pisang cv. Ampyang, usia 2 bulan setelah infeksi. Persentase tanaman yang bertahan hidup, dan yang mengalami recovery, usia 5 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Banyuwangi. Varian tanaman hasil iradiasi 25 Gy 30 Gy
40 Gy 45 Gy
50 Gy
Kode tanaman (4) 30 (4) 37 (recovery) (3) 1 (3) 1b (3) 4 (3) 11 (3) 21b (3) 24 (3) 26 (3) 29 (3) 31b (3) 33 (4) 12 (4) 11 (4) 12 (4) 35 (1) 17b (3) 18b (recovery) (2) 22 (3) 27
Panjang Skor gejala akar kelayuan (cm) bibit 16.5 12.5 27.5 29.0 19.0 23.5 16.0 22.5 24.5 30.0 19.5 20.0 16.5 23.5 22.0 25.0 30.5 15.5 20.0 18.0
1 4 1 1 3 0 1 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0
Skor nekrosis bonggol 1 4 2 2 5 1 2 2 1 2 2 2 1 1 0 2 2 2 1 0
Persentase (%) tanaman yg hidup 6 bln setelah infeksi (50.0) (71.4)
(20.0) (27.3)
(66.7)
Keterangan. Persentase tanaman yang hidup 6 bln setelah infeksiƩ=tanaman yang hidup setiap perlakuan / Ʃ bibit yang diinfeksi dengan konidia Foc pada setiap perlakuan x 100%.
118
Hasil pengamatan pada usia 6 bulan setelah infeksi memperlihatkan bahwa 2 tanaman mengalami recovery dengan tumbuh anakan, dan dijumpai pula tanaman yang baru menunjukkan gejala kelayuan. Evaluasi ketahanan tanaman setelah diinfeksi dengan Foc isolat Banyuwangi usia 6 bulan di rumah kaca, menghasilkan 20 tanaman (48.9%) dari 41 tanaman yang terindikasi tahan terhadap layu Fusarium. Persentase perolehan tanaman yang tahan banyak dijumpai pada tanaman hasil seleksi in vitro yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy yang berjumlah 10 tanaman (71.4%), diikuti dengan tanaman yang berasal dari 50 Gy berjumlah 4 tanaman (66.7%). Tanaman hasil seleksi in vitro yang berasal dari hasil iradiasi 25, 40 dan 45 Gy masing-masing hanya menghasilkan 2 tanaman (50.0%), 1 tanaman (20.0%) dan 3 tanaman (27.3%) yang terindikasi tahan layu Fusarium (Tabel 30). Evaluasi fenotipik ketahanan tanaman pada usia 6 bulan setelah infeksi memberi gambaran bahwa tanaman varian pisang yang berasal dari hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro di rumah kaca dengan Foc isolat Banyuwangi terlihat lebih banyak yang mampu bertahan hidup dibandingkan tanaman yang diinfeksi dengan Foc isolat Medan. Hal ini memberi gambaran umum bahwa Foc isolat Medan lebih virulen dibandingkan Foc isolat Banyuwangi. Foc isolat Medan VCG 01213/16 merupakan cendawan yang telah dikarakterisasi sebagai Foc ras 4 ’tropikal’ (TR4). Kemungkinan lain bahwa tanaman diperkirakan sudah lebih adaptif terhadap Foc isolat Banyuwangi, karena selama 10 bulan periode seleksi in vitro tunas varian tersebut berada dalam medium selektif mengandung Foc isolat Banyuwangi. Isolat ini belum dikarakterisasi virulensinya terhadap jenis pisang meja dan pisang olahan, namun terbukti sebagai cendawan yang virulen terhadap pisang abaka (Musa textilis Nee) (Purwati et al. 2007). Ras 4 ‘tropikal’ (TR4) merupakan bentuk patogen yang paling virulen yang menyerang pisang subgrup Cavendish, dan berbagai tanaman pisang dan plantain yang diserang oleh Foc ras 1 yaitu pisang subgrup Gros Michel (AAA), Silk dan Pome (AAB) dan pisang Awak (ABB), serta yang diserang oleh Foc ras 2 yaitu pisang subgrup Bluggoe (ABB) (Moore et al. 2001; Ploetz et al. 2003; Daly & Walduck 2006; Ploetz & Churchill 2011). Di Indonesia Foc ras 4 ‘tropikal’ ini tersebar luas di hampir seluruh provisi dan menginfeksi pisang lokal kultivar Barangan (AAA), Raja (AAB) dan Ambon Hijau (AAA) dan kultivar lain dengan ploidi dan genom yang berbeda (Hermanto et al. 2011).
119
Tanaman akan mengembangkan suatu mekanisme pertahanan yang terintegrasi secara kompleks untuk menghadapi penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Mekanisme protektif tanaman meliputi pembentukan secara alami barier fisik dan kimia, serta mekanisme pertahanan yang diinduksi (De Ascensao & Duberry 2000: 2003; Huang 2001; Agrios 2005). Mekanisme resistensi penyakit tanaman dibagi ke dalam dua kategori, preformed resistance (resistensi alami) dan induced resistance (resistensi yang diinduksi) (Moerschbacher & Mendgen 2000; Iqbal et al. 2005; Agrios 2005). Resistensi alami bergantung pada karakteristik normal tanaman yang tidak terinfeksi seperti penebalan kutikula, stomata yang terbuka, jumlah trichoma, dan keberadaan konstitutif senyawa antimikroba. Resistensi terinduksi diekspresikan setelah serangan pathogen melalui jalur SAR (systemic acquired resistance) (van Loon 2000), yang diekspresikan melalui fortifikasi dinding sel, biosintesis fitoaleksin, dan akumulasi protein yang berperan dalam ketahanan terhadap penyakit,walaupun perbedaan yang jelas antara senyawa antimikroba konstitutif dan fitoaleksin masih belum jelas (Huang, 2001). Tanaman yang pada awalnya menunjukkan gejala kelayuan daun dan nekrosis bonggol dengan skor 1-4 namun setelah berusia 2-6 bulan daun-daun muda tumbuh sehat dan tidak menunjukkan gejala kelayuan. Hal ini ada kemungkinan terjadi karena mekanisme ekspresi pertahanan yang lambat, sehingga setelah terjadi interaksi antara patogen dan tanaman yang menunjukkan gejala penyakit, gen-gen ketahanan tanaman yang berperan dalam pertahanan tanaman baru teraktivasi, sehingga mampu menghambat atau melokalisasi patogen yang ada pada jaringan vaskuler akar agar tidak terabsorbsi ke jaringan vaskuler batang. Mekanisme pertahanan seperti yang terjadi pada beberapa pisang yang diuji, dikenal sebagai sebagai mekanisme yang terinduksi (induced resistance), sebaliknya pada tanaman yang rentan setelah 2-4 bulan diinfeksi, interaksi antara patogen dan tanaman berkembang menjadi penyakit dan menimbulkan kematian. Tanaman varian yang telah dikarakterisasi sebagai tanaman pisang cv. Ampyang tahan layu Fusarium hasil evaluasi dengan Foc isolat Medan atau Banyuwangi, beberapa mengalami recovery dengan tumbuh anakan yang sehat pada tanaman induk yang telah mati. Tanaman recovery hasil infeksi dengan konidia Foc isolat Medan berasal dari hasil iradiasi 30 Gy (2 tanaman), 40 Gy (1 tanaman) dan 45 Gy (1 tanaman), sedangkan tanaman hasil infeksi dengan Foc
120
isolat Banyuwangi terdapat 2 tanaman, yaitu yang berasal dari hasil iradiasi gamma 25 Gy dan 50 Gy (Tabel 29; 30). Terjadinya recovery ini kemungkinan karena di antara jaringan yang telah mati terdapat beberapa jaringan mutan yang tahan terhadap infeksi cendawan Foc namun mengalami dormansi, sehingga ketika tanaman induk mengalami kematian jaringan mutan tersebut berdiferensiasi membentuk tunas baru. Pertumbuhan tanaman 6 bulan setelah diinfeksi dengan Foc isolat Medan atau Banyuwangi terlihat sehat dan kokoh, daun berwarna hijau tua dan beberapa hijau muda, walupun daun bagian bawah pada beberapa tanaman masih ada yang menunjukkan gejala kelayuan namun tidak mempengaruhi performa pertumbuhan tanaman yang normal (Gambar 33).
a
b
c
25 Gy (4) 31
30 Gy (3) 8
d
f
e
30 Gy (4) 21
g
45 Gy (4) 35
h
30 Gy (3) 23b
Gambar 33
30 Gy (3) 19
50 Gy (1) 18
i
50 Gy (3) 8
30 Gy (3) 31
Representatif gambar tanaman varian pisang cv. Ampyang tahan layu Fusarium pada usia 5-6 bulan setelah infeksi dengan (a-d) cendawan Foc isolat Medan VCG 01213/16 dan (e-g) Foc isolat Banyuwangi.
121
Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma terhadap layu Fusarium di rumah kaca. Evaluasi ketahanan varian-varian pisang yang berasal dari hasil iradiasi gamma, tanpa melalui tahapan seleksi in vitro dilakukan di rumah kaca melalui infeksi akar tanaman pisang melalui metode perendaman akar dengan kerapatan suspensi konidia Foc 2.5 x 107 konidia mL-1 selama 2 jam. Hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel 31 memperlihatkan bahwa tanaman varian yang berasal dari hasil iradiasi 20, 25, 40 dan 45 Gy, menghasilkan rataan skoring gejala kelayuan berurut-turut 3.17, 2.5, 2.25 dan 3.67. Tanaman pada kisaran tersebut memiliki intensitas penyakit (IP) diatas 50%, sehingga dikategorikan sebagai tanaman yang sangat rentan (SR), dan secara kuantitatif memiliki rataan jumlah daun yang rendah (0.67 - 3.13 daun), tinggi tanaman (13.50 - 37.19 cm), serta panjang akar (1.50 - 8.36 cm) yang nyata lebih rendah daripada tanaman hasil iradiasi 30 Gy yang dikategorikan sebagai tanaman tahan (T). Tanaman yang berasal dari eksplan yang tidak diradiasi (0 Gy) dan tanaman hasil iradiasi 50 Gy memiliki rataan skor gejala kelayuan 0.67 (IP = 16.7%) dan 1.00 (IP = 25.0%) tanaman tersebut dikategorikan agak rentan (AR), dan tanaman 0 dan 50 Gy memiliki rataan panjang akar yang nyata lebih pendek dari tanaman yang tahan terhadap infeksi cendawan Foc (30 Gy). Tanaman 30 Gy diduga mampu mengisolasi patogen melalui mekanisme pembentukan gums, tylose dan gel yang merupakan hasil fotoasimilat dari tanaman (Agrios 2005), sehingga mampu menghambat perkembangan konidia atau atau mampu mendetoksifikasi toksin yang diproduksi cendawan, sehingga akar tanaman tetap tumbuh normal. Hasil percobaan ini memperlihatkan bahwa cendawan Foc memproduksi toksin yang masuk ke jaringan vaskuler akar, dan selanjutnya di translokasikan ke xylem batang. Hal ini diperlihatkan pada warna coklat pada penampang melintang akar dengan mikroskop cahaya dan warna merah dengan mikroskop fluorescent (Gambar 34). Pada tanaman yang rentan kelayuan terlihat pada daun bagian bawah yang menguning, selanjutnya daun-daun diatasnya dan pada akhirnya mengalami kematian. Kematian pada tanaman dapat terjadi apabila jaringan vaskuler telah tertutup akibat pembongkaran substansi pektat pada jaringan xylem tersebut, yang mengakibatkan peningkatkan viskositas dan mereduksi laju aliran air (Goodman et al. 1986).
122
Tabel 31 Ketahanan varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil mutasi induksi dengan iradiasi gamma tanpa tahapan seleksi in vitro terhadap infeksi cendawan Foc isolat Banyuwangi usia 2 bulan setelah inokulasi di rumah kaca. Tanaman hasil iradiasi 0 Gy 20 Gy 25 Gy 30 Gy 40 Gy 45 Gy 50 Gy
Jumlah & persentase N tanaman yg hidup
Rataan jumlah Daun
Rataan tinggi tan. (cm)
Rataan panjang akar (cm)
3 6 2 6 8 3 8
4.67 1.83 3.00 5.83 3.13 0.67 4.88
53.83 22.92 23.00 66.33 37.19 13.50 58.06
10.00 ab 4.25 bc 3.80 bc 24.92 a 8.36 bc 1.50 c 13.25 ab
3 (100.0) 1 ( 16.7) 1 ( 50.0) 6 (100.0) 3 ( 37.5) 1 ( 33.3) 7 ( 87.5)
ab c bc a ab c a
a c bc a ab c a
Rataan skor IP kelayuan (%) Kthn bibit 0.67 3.17 2.50 0.17 2.25 3.67 1.00
16.7 79.2 62.5 4.2 56.3 91.7 25.0
AR SR R T SR SR AR
Keterangan. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT setelah ditransformasi√x+0.5 N = Ʃ tanaman yang diinfeksi Foc; IP = Intensitas Penyakit (%); Kthn = Ketahanan; T = Tahan; AR = Agak Rentan, SR = Sangat Rentan.
a
epidermis
b
c
cortex xylem
xylem
xylem bakal akar cabang
Gambar 34. Potongan melintang akar pisang cv. Ampyang: (a) akar pisang sehat, (b) perubahan warna menjadi kecoklatan akibat kerusakan pada jaringan epidermis, xylem dan bakal akar cabang yang terinfeksi Foc dilihat dengan mikrokop cahaya (c) warna merah marone pada jaringan xylem akar yang terinfeksi Foc pada akar tanaman yang sama dilihat dengan mikroskop fluorescent, perbesaran 40x. Tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy (2 tanaman), 40 Gy (3 tanaman), 45 Gy (1 tanaman) dan 50 Gy (1 tanaman) mengalami recovery setelah tanaman induk mengalami kematian (skor 4), dengan tumbuh anakan dari bagian bawah batang semu (pseudostem) (Tabel 32 dan Gambar 35). Varian tanaman pisang yang mengalami recovery yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy, memiliki intensitas penyakit (IP) 25% sehingga dikategorikan agak rentan terhadap infeksi Foc, namun 4 bulan setelah recovery tanaman
123
tersebut mengalami kematian. Tanaman recovery yang berasal dari hasil iradiasi 40, 45 dan 50 Gy tidak menunjukkan gejala kelayuan dan dikategorikan sebagai tanaman yang tahan, serta menghasilkan rataan jumlah daun, tinggi tanaman dan panjang akar yang hampir sama dengan tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy yang dikategorikan sebagai tanaman tahan layu Fusarium.
Tabel 32 Rataan jumlah daun, tinggi tanaman (cm) dan panjang akar (cm) pada tanaman pisang cv. Ampyang usia 30 hari setelah recovery. Tanaman hasil iradiasi 20 Gy 40 Gy 45 Gy 50 Gy
N 2 3 1 1
Jumlah Daun Rataan 2.5 3.7 4.0 6.0
± SE 0.5 0.9 0.0 0.0
Tinggi Tan. (cm) Rataan ± SE 36.5 1.0 50.2 1.7 46.5 0.0 45.5 0.0
Panjang Akar Skor IP (cm) gejala Kthn Rataan ± SE kelayuan (%) 7.2 0.3 1.0 25 AR 14.5 3.1 0.0 0 T 5.6 0.0 0.0 0 T 12.0 0.0 0.0 0 T
Keterangan: IP = Intensitas Penyakit (%); Kthn = Ketahanan; T = Tahan; AR = Agak Rentan
a
tunas recovery
b
c tunas recovery
20 Gy (3). 29
d
20 Gy (1). 39
e
tunas recovery
40 Gy(4). 63
f
tunas recovery
tunas recovery
tunas recovery
40 Gy (4). 66
45 Gy (4). 40
50 Gy (3). 64
Gambar 35 Tanaman pisang yang berasal dari hasil iradiasi (a-b) 20 Gy, (c-d) 40 Gy, (e) 45 Gy dan (f) 50 Gy yang mengalami recovery setelah diinfeksi melalui metode perendam akar dalam suspensi konidia Foc kerapatan 2.5 x 107 kon mL-1 usia 1-2 bulan setelah recovery.
124
Evaluasi varian tanaman yang berasal dari hasi iradiasi pada usia 2 bulan setelah inokulasi menunjukkan bahwa 5 tanaman varian yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy dikategorikan sebagai tanaman yang tahan terhadap infeksi cendawan Foc isolat Banyuwangi. Tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 50 Gy dan tanaman yang tidak diradiasi (0 Gy), walaupun dikategorikan sebagai tanaman yang agak rentan, namun memiliki karakter tinggi tanaman dan jumlah daun yang secara statistik sama dengan tanaman hasil iradiasi 30 Gy. Tanaman yang berasal hasil iradiasi 20, 25 dan 40 dan 45 Gy teridentifikasi sebagai tanaman yang sangat rentan terhadap infeksi cendawan Foc, namun beberapa titik tumbuh dari tanaman hasil iradiasi tersebut mampu bertahan hidup dalam kondisi cekaman tersebut, sehingga dapat tumbuh membentuk tunas baru (recovery). Tanaman tersebut merupakan kandidat tanaman yang tahan terhadap infeksi cendawan Foc. Menurut Predieri (2001) recovery merupakan suatu mekanisme yang seringkali terjadi pada tanaman hasil kultur jaringan dan tanaman yang mengalami cekaman biotik. Kemungkinan disini recovery terjadi karena pertumbuhan dan perkembangan pada tanaman yang bertahan hidup, berasal dari titik tumbuh yang memiliki gen ketahanan, atau sel-sel dalam titik tumbuh mampu menghindari (escape) dari kondisi cekaman yang dialaminya. Evaluasi ketahanan tanaman varian hasil iradiasi pada usia 6
bulan setelah inokulasi,
ternyata hanya menghasilkan 5 klon tanaman yang dapat bertahan hidup. Tanaman tersebut berasal dari hasil iradiasi 30 Gy (2 tanaman), tanaman recovery yang berasal dari hasil iradiasi 40, 45 dan 50 Gy masing-masing 1 tanaman. Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma terhadap layu Fusarium di lapangan. Tanaman-tanaman varian hasil mutasi induksi dengan iradiasi gamma yang telah diaklimatisasi dan ditumbuhkan di rumah kaca sampai berusia 6-8 bulan, di evaluasi sifat ketahanan terhadap penyakit layu Fusarium di lahan endemik cendawan F. oxysporum f.sp cubense (Foc). Evaluasi dilakukan terhadap persentase tanaman yang hidup usia 12 dan 24 bulan setelah tanam, dan karakter agronomis tanaman secara kuantitatif pada usia 12 bulan setelah tanam, karakter kuantitatif buah yang dihasilkan setelah panen.
125
Tabel 33 Tinggi tanaman dan lingkar batang semu varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma usia 12 bulan setelah ditumbuhkan pada lahan endemik layu Fusarium di lapangan. Tanaman varian hasil iradiasi (Gy) 0 20 25 30 40 45 50
Lingkar batang semu (cm)
Tinggi tanaman (cm) N 21 11 9 9 15 10 11
Rataan
± SE
Min Maks
316.8 325.0 246.4 341.9 355.7 273.4 301.1
± 27.9 ± 42.3 ± 36.4 ± 34.6 ± 29.9 ± 36.4 ± 27.5
121 153 107 138 108 176 174
Keterangan: N =Ʃ tanaman hidup yang dievaluasi.
545 556 407 479 470 497 443
Rataan ± SE 36.6 34.8 28.7 44.2 38.7 37.7 31.7
± 2.9 ± 3.9 ± 4.4 ± 4.0 ± 3.5 ± 3.1 ± 2.4
Min Maks 14 16 12 15 14 26 19
61 55 45 56 56 55 41
Tabel 34 Jumlah anakan, jumlah pelepah, rasio panjang dan lebar daun, varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma usia 12 bulan setelah ditumbuhkan pada lahan endemik layu Fusarium di lapangan. Tanaman Jumlah anakan Jumlah pelepah Rasio panjang : lebar daun varian hasil iradiasi Rataan ± SE Min Maks Rataan ± SE Min Maks Rataan ± SE Min Maks (Gy) 0 4.3 ± 0.8 0 15 6.3 ± 0.4 4 10 3.4 ± 0.1 2.7 4.3 20 4.8 ± 1.1 1 12 5.9 ± 0.7 2 11 3.2 ± 0.2 2.3 4.6 25 3.1 ± 0.7 0 6 5.9 ± 0.6 3 8 3.1 ± 0.1 2.5 4.0 30 6.7 ± 1.1 2 11 7.0 ± 0.8 3 11 3.4 ± 0.2 2.8 4.3 40 5.1 ± 0.9 0 10 6.8 ± 0.3 5 9 3.2 ± 0.1 2.5 3.8 45 4.3 ± 0.9 1 10 5.3 ± 0.5 2 7 3.3 ± 0.1 2.6 4.0 50 2.5 ± 0.5 0 5 5.9 ± 0.4 4 9 3.3 ± 0.1 2.6 3.9
Hasil pengamatan terhadap karakter agronomis tanaman usia 12 bulan setelah tanam (Tabel 33; 34) memperlihatkan pertumbuhan tanaman yang normal, sebagian besar belum memperlihatkan gejala kelayuan. Pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah pelepah pada tanaman yang berasal dari hasil iradiasi maupun yang tidak diradiasi relatif tidak berbeda. Rataan jumlah anakan, lingkar batang semu, rasio panjang dan lebar daun terlihat bervariasi. Tanaman varian yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy memperlihatkan konsistensinya pada setiap karakter yang diamati. Tanaman hasil iradiasi 30 Gy memiliki rataan lingkar batang semu (44.2 ± 4.0), jumlah anakan (6.7 ± 1.1), jumlah pelepah (7.0 ± 0.8), dan rasio panjang:lebar daun (3.4 ± 0.2) yang lebih besar
126
dari tanaman perlakuan lainnya, sedangkan karakter pertumbuhan yang rendah dihasilkan pada tanaman hasil iradiasi 25 Gy dengan rataan tinggi tanaman (246.4 cm ± 36.4), lingkar batang semu (28.7 cm ± 4.4), dan rasio panjang : lebar daun (3.1 ± 0.1) yang lebih rendah dari tanaman lainnya Pertumbuhan tanaman varian pisang cv. Ampyang yang sehat, dan variasi morfologi tanaman berupa daun menggulung, pelepah menumpuk yang tampak pada saat evaluasi di rumah kaca, masih terlihat sampai tanaman berusia 3-6 bulan setelah tanam di lahan endemik cendawan Foc Gambar 36a-c). Terdapat beberapa tanaman mengalami recovery (Gambar 36c) dan mengalami gejala kelayuan daun pada usia 3 bulan setelah tanam (Gambar 36e). Pada umumnya gejala kelayuan terlihat setelah tanaman berusia 11-12 bulan bahkan setelah tanaman berbuah atau setelah panen (Gambar 36 f-g). Gejala kelayuan tanaman yang cukup lama terlihat yaitu setelah berusia 11-12 bulan atau setelah tanaman berbuah, kemungkinan karena pertumbuhan dan sporulasi cendawan Foc di dalam tanaman lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan vegetatif sel-sel tanaman. Menurut hasil penelitian Maora et al. (2003), resistensi di lapangan sangat berhubungan antara lain dengan sifat-sifat patogen untuk memproduksi inokulum pada tanaman atau melakukan penetrasi ke dalam tanaman. Pada pisang Cavendish yang rentan gejala awal berupa perubahan warna kuning pada daun bagian bawah sudah mulai terlihat pada tanaman pada usia 5 bulan setelah ditumbuhkan di lapangan (Hwang & Ko 2004). Daun-daun yang menguning dimulai dari daerah tepi daun dan berkembang ke arah tulang daun, kemudian berkembang menjadi titik-titik hitam, petiole menjadi coklat dan melengkung, selanjutnya terjadi pengeringan daun (Nasir et al. 1999; Daly & Walduck 2006). Studi yang telah dilakukan sebelumnya memperlihatkan bahwa temperatur merupakan faktor penting dalam kemajuan penyebaran Foc dan perkembangan gejala pada tanaman pisang (Beckman et al. 1962; Viljoen 2002). Penyebaran maksimum patogen dalam sistem jaringan vaskuler dan terjadinya klorosis pada pisang cv. Gros Michel (AAA) terjadi pada temperatur tanah 26oC, dan penyebaran menurun pada suhu 22oC dan 30oC (Beckman et al. 1962), namun penyebaran penyakit pada tanaman ini tidak terjadi pada pisang cv. Cavendish yang terinfeksi Foc ras 4 subtropik (Ploetz 1990). Selain temperatur tanah, pH tanah juga berperan dalam penyebaran Foc, beberapa peneliti
127
memaparkan bahwa pH yang tinggi menyebabkan penurunan penyebaran penyakit (Sugha et al. 1994). Hasil pengukuran temperatur tanah pada lahan endemik layu Fusarium ini sebesar 31.7 oC dengan pH tanah 6.2, diduga hal ini yang menjadi salah satu faktor penyebab gejala kelayuan baru terlihat 11-12 bulan setelah tanam.
a
b
c
tunas recovery Pelepah menumpuk
d
f
e
g
Gambar 36 Representatif tanaman varian pisang cv. Ampyang pada lahan endemik layu Fusarium: (a) tanaman usia 3 bulan dengan varian bentuk daun menggulung, (b) pelepah menumpuk, (c) tanaman recovery, (d) tanaman sehat, (e-f) tanaman yang menunjukkan gejala awal terinfeksi Foc pada usia 3 bulan dan 11 bulan setelah tanam, (g) tanaman berbuah pada usia 20 bulan setelah tanam dan gejala kalayuan pada anakan terserang layu Fusarium (insert).
128
Pengamatan pada batang semu pisang yang tumbang akibat terinfeksi Foc terlihat berwarna kecoklatan pada bagian pelepah pisang, dan diluar bagian empulur batang. Setelah batang membusuk akan terlihat koloni cendawan Foc yang tumbuh pada ruang antar sel pada pelepah pisang (Gambar 37a-c). Pengamatan mikroskopis melalui potongan membujur dan melintang pelepah pisang juga memperlihatkan perubahan warna pada xylem menjadi kecoklatan. Hal ini memastikan bahwa Foc telah ditraslokasikan dari xylem akar ke xylem pelepah batang, sedangkan pada pelepah yang sehat terlihat berwarna hijau (Gambar 37 d-f). Warna merah kecoklatan sampai merah marone pada potongan melintang batang merupakan ciri tanaman pisang dan plantain yang terinfeksi cendawan Foc (Daly & Walduck 2006). Hasil isolasi pelepah dan tangkai buah pisang pada tanaman terinfeksi, memperlihatkan adanya pertumbuhan koloni cendawan Foc pada media kentang agar yang berwarna putih, dan tampak belakang berwarna orange, seperti halnya Foc isolat Banyuwangi (Gambar 37 h-j). Hasil isolasi ini memastikan bahwa tanaman varian pisang yang ditumbuhkan pada lahan endemik layu Fusarium mengalami kematian karena terinfeksi oleh cendawan Foc. Tanaman pisang yang mampu bertahan hidup sampai usia 12 bulan setelah di tanam sebagian menghasilkan buah, namun pada umumnya buah dipanen sebelum masak yang disebabkan batang pisang tumbang atau membusuk. Secara morfologi kulit buah (pericarp) tebal dan memiliki tepi yang lancip, sebagian kulit buah memiliki bercak yang disebabkan oleh serangga, buah cepat membusuk namun tetap memiliki rasa yang manis. Variasi bentuk morfologi buah dan karakter kuantitatif buah kemungkinan disebabkan oleh pengaruh iradiasi yang diberikan pada saat induksi mutasi. Menurut Mak et al. (2004) bentuk dan karakteristik buah yang abnormal merupakan varian fenotipik yang merupakan salah satu kemungkinan yang akan diperoleh pada tanaman yang diberi perlakuan mutagenik. Variasi bentuk dan kuantitas buah ini bersifat acak, hal ini tidak berbeda dengan pendapat Novak et al. (1990) bahwa tanaman yang berasal dari hasil iradiasi tertinggi tidak selalu menghasilkan kuantitas buah yang rendah.
129
a
c
b
d
Koloni cendawan Foc
epidermis
e ruang antar sel
Jaringan pembuluh terinfeksi Foc
f
h
Jaringan pembuluh tidak terinfeksi Foc
i
g
j
Gambar 37. (a) batang tidak terinfeksi Foc, (b) warna kecoklatan pada batang terinfeksi Foc, (c) pertumbuhan koloni cendawan Foc pada pelepah membusuk. Pengamatan secara mikroskopis dengan perbesaran 100x potongan membujur dan melintang: (d-e) pelepah pisang terinfeksi Foc, (f-g) pelepah pisang sehat, (h-j) pertumbuhan koloni Foc hasil isolasi dari pelepah terinfeksi Foc tampak depan dan hasil isolasi dari tangkai buah tampak belakang (reversed colony). Kualitas buah yang pada umumnya cepat membusuk dan dipanen karena batang tumbang, diduga karena pengaruh infeksi cendawan Fusarium yang menghambat absorbsi air beserta nutrisi dari jaringan vaskuler akar ke jaringan
130
vaskuler batang dan tangkai buah. Menurut Heslop-Harrison (2011), jumlah buah yang abnormal pada satu sisir, adanya bercak atau kerusakan akibat infeksi serangga akan merangsang produksi etilen sehingga turut mempercepat pemasakan dan pembusukan buah. Representasi gambar variasi morfologi buah yang terbentuk disajikan pada Gambar 38.
a
b
45 Gy (4) 6
0 Gy (7) 23
30 Gy (1) 1
c
d
20 Gy (6) 2
50 Gy (1) 5
e
f
40 Gy (4) 15
g
0 Gy (7) 24
40 Gy (4) 11
h
40 Gy (4) 14
40 Gy (4) 21
i
0 Gy (3) 47
30 Gy (3) 14
Gambar 38 Keragaman fenotipik buah pisang cv. Ampyang yang tumbuh pada lahan endemik layu Fusarium (a) buah dipanen setelah masak, (bd) buah di panen setelah pohon tumbang, (e-g) karakteristik buah abnormal, (h-i) buah yang cepat membusuk setelah dipanen.
131
Tabel 35 Karakter kuantitatif buah pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma pada lahan terserang penyakit layu Fusarium di lapangan. Tanaman varian hasil iradiasi
Tanaman yang berbuah
0 Gy 20 Gy 25 Gy 30 Gy 40 Gy 45 Gy 50 Gy
6 (28.6)* 3 (27.3) 1 (11.1) 7 (77.8) 8 (60.0) 2 (30.0) 3 (27.3)
Jumlah sisir buah per tandan Rataan
± SE
6.2 5.0 7.0 5.1 4.4 5.3 4.0
± 0.3 ± 0.0 ± 0.0 ± 0.3 ± 0.2 ± 0.3 ± 0.0
Jumlah buah per tandan Rataan ± SE 79.3 63.0 110.0 61.3 52.8 70.7 66.0
± 6.1 ± 5.3 ± 0.0 ± 5.1 ± 5.4 ± 9.2 ± 2.0
Bobot tandan buah (kg) Rataan
± SE
6.3 4.7 7.5 3.4 2.8 3.8 2.5
± 0.8 ± 0.6 ± 0.0 ± 0.6 ± 0.5 ± 0.8 ± 0.5
Keterangan : * = Ʃ tanaman yang berbuah / Ʃ tanaman yang hidup usia 12 bulan setelah tanam x 100%.
Pengamatan terhadap karakter kuantitatif buah diketahui bahwa rataan jumlah buah berkisar 52.8 – 110.0 buah per sisir, jumlah sisir buah berkisar 4-7 sisir pertandan, dan bobot tandan buah berkisar 2.5 -7.5 kg per tandan. Persentase tanaman berbuah terbesar berasal dari tanaman hasil iradiasi 30 Gy (77.8%) dan terendah dari tanaman 25 Gy (11.1%) (Tabel 33), beberapa tanaman menghasilkan jumlah buah 5-10 buah per sisir dengan bentuk buah kecil seperti tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 40 Gy dengan kode tanaman [40 Gy (4) 11] yang terdapat pada Gambar 38f. Hasil analisis proksimat sampel pisang secara duplo pada semua perlakuan yang diuji (Tabel 34), memperlihatkan bahwa buah pisang cv. Ampyang mengandung persentase kadar air yang lebih rendah, dan persentase karbohidrat, protein dan abu per gram sampel buah yang lebih tinggi dibandingkan sampel buah pisang cv. Ambon Hijau (AAA) yang diperoleh dari pasar komersial. Jika dibandingkan dengan pisang cv. Raja Sereh (AAB) relatif bervariasi dan tidak berbeda jauh. Persentase kadar air buah pisang cv. Ampyang berkisar 70.77 73.97%, sedangkan pada pisang cv. Ambon Hijau sebesar 75.61% dan pisang cv. Raja Sereh sebesar 71.46%. Kandungan protein buah pisang Ampyang berkisar 1.16 – 1.49%, dan karbohidrat berkisar 23.53 – 27.49%. Persentase protein pada pisang cv. Ambon Kuning sebesar 0.88% dan karbohidrat 22.95%. Persentase kadar air yang cukup besar dihasilkan oleh buah pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi 25 Gy (73.97%) dan buah tanaman kontrol (73.96%), sedangkan kandungan protein yang tinggi dihasilkan dari buah
132
pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi 25 Gy (1.47%), 45 Gy (1.49%), dan 50 Gy (1.45%). Persentase karbohidrat buah pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy (27.09%), 45 Gy (27.49%) dan 50 Gy (27.19%) relatif lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya dan sampel pisang komersial yang diuji, yaitu pada pisang cv. Ambon Hijau sebesar 22.95% dan cv. Raja Sereh (25.38%).
Hasil análisis proksimat ini mengindikasikan bahwa buah
pisang cv. Ampyang yang ditumbuhkan pada lahan endemik layu Fusarium ini memiliki kualitas yang sukup baik. Tabel 36
Hasil analisis proksimat buah pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang ditumbuhkan pada lahan terserang layu Fusarium.
Tanaman varian hasil iradiasi 0 Gy 20 Gy 25 Gy 30 Gy 40 Gy 45 Gy 50 Gy Kontrol (1) Kontrol (2)
Kadar air
Abu
Lemak
Protein
Serat Kasar Karbohidrat
Rataan persentase (%) 73.96 72.32 73.97 70.77 71.77 69.79 69.93 75.61 71.46
0.73 0.64 0.35 0.75 0.65 0.78 0.82 0.22 0.78
0.09 1.16 0.41 0.13 0.46 0.22 0.40 0.19 0.88
1.33 1.37 1.47 1.16 1.20 1.49 1.45 0.88 1.25
0.18 0.23 0.27 0.11 0.17 0.23 0.22 0.16 0.26
23.72 24.29 23.53 27.09 23.80 27.49 27.19 22.95 25.38
Keterangan: Kontrol (1) berasal dari buah pisang meja cv. Ambon Hijau; (2). cv. Raja Sereh.
Evaluasi ketahanan varian tanaman cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang ditumbuhkan pada lahan endemik layu Fusarium hasil percobaan tahapan ini menunjukkan bahwa sebagian besar (75.0 – 91.7%) masih dapat bertahan hidup sampai usia 12 bulan atau setelah panen (Tabel 35). Pada usia 18-21 bulan setelah tanam hampir keseluruhan tanaman induk yang ditanam mengalami kematian, dan menyisakan 2 tanaman induk (1.9%), namun tanaman tersebut tidak menghasilkan anakan, dan 5 klon anakan (4.9%) yang mampu bertahan hidup dari 102 tanaman yang dievaluasi. Klon tanaman anakan yang bertahan hidup berasal dari eksplan yang tidak diradiasi (0 Gy) sebanyak 3 tanaman (12.5%), dan eksplan hasil iradiasi 30 Gy dan 50 Gy masing-masing sebanyak 1 tanaman (8.3%), klon anakan tersebut diduga merupakan tanaman yang resisten terhadap layu Fusarium.
133
Tabel 37 Jumlah dan persentase tanaman varian pisang cv. Ampyang yang dapat bertahan hidup pada usia 12 dan 21 bulan setelah tanam pada lahan endemik penyakit layu Fusarium di lapangan. Tanaman varian hasil iradiasi
Jumlah tanaman yang di evaluasi
0 Gy 20 Gy 25 Gy 30 Gy 40 Gy 45 Gy 50 Gy
24 12 12 12 18 12 12
Jumlah & persentase tanaman yang hidup usia 12 bulan setelah tanam 21 11 9 9 15 10 11
(87.5)* (91.7) (75.0) (75.0) (83.3) (83.3) (91.7)
Jumlah & persentase tanaman yang hidup usia 21 bulan setelah tanam 3 0 0 1 0 0 1
( 12.5)** ( 0.0) ( 0.0) ( 8.3) ( 0.0) ( 0.0) ( 8.3)
Ket: * = Ʃ tanaman hidup usia 12 bln setelah tanam / Ʃ tanaman saat awal penanaman x 100%. ** = Ʃ tanaman hidup usia 21 bln setelah tanam / Ʃ tanaman saat awal penanaman x 100%
Tanaman anakan yang bertahan hidup pada lahan endemik layu Fusarium dipelihara dalam polybag dan beberapa mengalami kematian dan recovery setelah 4 bulan ditumbuhkan di rumah kaca. Varian tanaman induk maupun klon anakan yang berasal dari hasil iradiasi 20, 25, 40 dan 45 Gy yang tidak mampu bertahan hidup, diduga merupakan tanaman rentan terhadap infeksi cendawan Foc, walaupun tanaman tersebut memiliki karakter agronomis yang tinggi dan mampu menghasilkan buah. Tanaman yang rentan diduga tidak memiliki gen ketahanan terhadap infeksi cendawan Foc atau tanaman terlambat dalam mengekspresi mekanisme pertahanan tanamannya, sehingga interaksi yang terjadi antara tanaman dan cendawan berkembang menjadi penyakit. Tanaman anakan yang tidak dapat bertahan hidup diduga merupakan tanaman kimera, yang pada umumnya berkembang dari populasi mutan yang berasal dari multiplikasi tanaman yang dilakukan lebih dari generasi M1V4 (Predieri 2001, Jain 2010). Tanaman varian pisang cv. Ampyang yang di evaluasi ketahanannya pada percobaan ini berasal dari generasi M1V6-8, sehingga perolehan tanaman kimera kemungkinan lebih besar. Pada Gambar 39 disajikan klon anakan varian pisang yang bertahan hidup pada lahan endemik layu Fusarium setelah tanaman induk berusia 20 bulan setelah tanam di lapangan. Klon anakan tersebut berasal dari eksplan awal yang tidak diradiasi (0 Gy) yang memperlihatkan adanya recovery dan yang berasal dari hasil iradiasi 50 Gy.
134
a
Tanaman recovery
b
Tanaman kimera
c
Tunas tumbuh pada jaringan kimera
d
Gambar 39 Klon anakan yang berasal dari tanaman varian pisang cv. Amyang hasil iradiasi gamma yang di tanaman pada lahan endemik layu Fusarium: (a) tanaman anakan yang mengalami recovery dan tanaman kimera, (b) tunas baru tumbuh pada tanaman kimera, (c-d) klon anakan usia 4 bulan setelah dipindahkan dari lapang. Simpulan Evaluasi ketahanan varian tanaman pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro, dihasilkan 48 klon tanaman (40.8%) terindikasi tahan terhadap layu Fusarium. Tanaman tersebut berasal dari hasil evaluasi dengan Foc isolat Medan VCG 01213/16 TR4 sebanyak 28 klon (36.4%) dan hasil evaluasi dengan Foc isolat Banyuwangi sebanyak 20 klon (48.9%). Evaluasi ketahanan varian tanaman di rumah kaca melalui infeksi akar dengan cendawan Foc isolat Banyuwangi menunjukkan bahwa varian tanaman pisang cv. Ampyang yang berasal dari eksplan tunas yang diradiasi dan proliferasi tunas secara in vitro, diperoleh 5 klon tanaman (13.8%) yang dapat bertahan hidup. Tanaman tersebut berasal dari hasil iradiasi 30 Gy (2 tanaman), dan tanaman recovery yang berasal dari hasil iradiasi 40, 45, 50 Gy masing-masing 1 tanaman.
135
Evaluasi ketahanan varian tanaman yang berasal dari hasil mutasi induksi pada lahan endemik layu Fusarium menunjukkan bahwa 75.0 – 91.7% varian tanaman cv. Ampyang masih dapat bertahan hidup sampai usia 12 bulan. Gejala kelayuan dan kematian tanaman baru terlihat pada usia 18-21 bulan setelah tanam, hanya 5 klon anakan (4.9%) yang mampu bertahan hidup, yang berasal dari tanaman 0, 30 dan 50 Gy. Tanaman tersebut diidentifikasi sebagai tanaman yang resisten terhadap layu Fusarium.
Daftar Pustaka Agrios GN. 2005. Plant Pathology, Ed ke-5. Amsterdam. Elsevier Acad. Press. Beckman CH, Halmos S, Mace ME. 1962. The interaction of host, pathogen and soil temperature in relation to susceptibility to Fusarium wilt of bananas. Phytophatology 52: 134-140. Bhagwat B, Duncan EJ. 1998. Mutation breeding of Highgate (Musa acuminata, AAA) for tolerance to Fusarium oxysporum f. sp. cubense using gamma irradiation. Euphytica 101: 143–150. Carlier J, De Weel D, Escalant JV. 2002. Global evaluation of Musa germplasm for resistances to Fusarium wilt, Mycosphaerella leaf spot disease and nematodes. Montpellier. INIBAP Techical Guidelines 6. Chachinero JM, Hervas A, Jimenez-Diaz RM, Tena M. 2002. Plant defence reactions against Fusarium wilt in chickpea induced by incompatible race 0 of Fusarium oxysporum f. sp. ciceris and non-host isolates of F. oxysporum. Plant Pathol 551: 765-325. Chandra R, Kamle M, Bajpai A, Muthukumar M. Kalim S. 2010. In vitro selection: A candidat approach for disease resistance breeding in fruit crops. Asian J Plant Sci 9(8): 437-446. Companioni B. et al. 2003. Use of culture-derived Fusarium oxysporum f. sp. cubense, race 1 filtrates for rapid and non-destructive in vitro differentiation between resistant and susceptible clones of field-grown banana. Euphytica 130: 341-347. Daly A, Walduck G. 2006. Fusarium wilt of bananas (Panama disease) (Fusarium oxysporum f. sp. cubense). Agnote I(51):1-5. Epp D. 1987. Somaclonal variation in banana: a case study with Fusarium wilt. Di dalam: Persley GJ, De Langhe EA, editor. Banana and plantain breeding strategies. Canbera. ACIAR Publ. hlm. 140-150.
136
Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR. 1986. The Biochemistry and Physiology of Plant Disease. Columbia. Univ. of Missouri Press. Hermanto C. et al. 2011. Incidence and distribution of Fusarium wilt disease of banana in Indonesia. Acta Hort 897: 313-322 Heslop-Harrison JS. 2011. Genomic, banana breeding and superdomestication. Acta Hort 897: 55-62. Huang J-S. 2001. Plant pathogenesis and resistance biochemistry and physiology of plant microbe interaction. Netherlands. Kluwer Acad. Publ. Hwang SC, Ko WH. 2004. Cavendish banana cultivars resistant to Fusarium Wilt acquired through somaclonal variation in Taiwan. Plant Disease 88(6): 580588. Iqbal, MJ, Yaegashi S, Ahsan R, Shopinski KL,. Lightfoot DA. 2005. Root response to Fusarium solani f. sp . glycines: temporal accumulation of transcripts in partially resistant and susceptible soybean. Theor Appl Genet 110: 1429–1438 Jain SM. 2010. In vitro mutagenesis in banana (Musa spp). Improvement. Di dalam: Dubois T. et al. editor. Acta Hort 879: 605-614 Mak C, Mohamed AA, Liew KW, Ho YW. 2004b. Early screening technique for Fusarium wilt resistance in banana micropropagated plant. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Enfield. Sci. Publ. Inc. http://www.fao.org /docrep/007/ae216e/ae216e08.htm#bm08. [26 Mei 2007] Mak C. Ho YW, Liew KW, Asif JM. 2004. Biotechnology and in vitro mutagenesis for banana improvement. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement: Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Enfield, Sci. Publ. Inc., hlm 54-73. http://www.fao.org/docrep/ 007/ae216e/ae216e08.htm#bm08. [26 Mei 2007] Maora JS, Namaliu Y, Cilas C, Blaha G. 2003. Durability of Field Resistance to Black Pod Disease of Cacao in Papua New Guinea. Plant Disease 87(12): 1423-1425. Masdek N et al. 2003. Global significance of Fusarium wilt in Asia. Ed. Ke-2. International symposium on Fusarium wilt on banana. Salvador de Bahia. http://www.inibap.org/pdf/Fusarium_Wilt.pdf. [11 Jan 2007] Matsumoto K, Barbosa ML, Souza LAC, Teixeira JB. 1999. In vitro selection for Fusarium wilt resistance in banana. II. Resistance to culture filtrate of race 1 Fusarium oxysporum f. sp. cubense. Fruit. 54:151-157
137
Medina F-IS, Amano E, Tano S. 2004. Mutation Breeding Manual. Japan. Forum For Nuclear Coorporasion in Asia (FNCA). Moerschbacher & Mendgen 2000. Structural aspects of defense. Di dalam: Slusarenko AJ, RSS Fraser, LC Van Loon, editor, Mechanisms of Resistance to Plant Diseases. Dordrecht. Kluwer Acad. Publ. hlm. 231-277 Moore NY, Pegg KG, Allen RN, Irwin JAG. 1993. Vegetative compatibility of Fusarium oxysporum f.sp. cubense in Australia. J Exp Agric 33: 797-802. Moore NY, Pegg KG, Buddenhagen IW, Bentley S. 2001. Fusarium wilt of banana: a diverse clonal pathogen of domesticated clonal host. Di dalam: Summerel BA et al. editor. Fusarium Minnesota. APS Press. hlm 212-224. Morpurgo R, Lopato SV, Afza R, Novak FJ. 1994. Selection parameters for resistance to race 1 and race 4 on diploid banana (Musa acuminata Colla). Euphytica 75: 121-129. Nasir N, Pittaway PA, Pegg KG, Lisle AT. 1999. A pilot study investigating the complexity of Fusarium wilt of bananas in West Sumatra, Indonesia. Aust J Agric Res 50:1279-83. Novak FJ, Afza R, van Duren M, Omar MS. 1990. Mutation induction by gamma irradiation of in vitro cultured shoot-tips of banana and plantain (Musa cvs.) Tropic Agric 67: 21–28. Ploetz RC, Churchill. 2011. Fusarium wilt: the banana disease that refuse to go away. Acta Hort 897: 519-526. Ploetz RC, Kepler AK, Daniells J, Nelson SS. 2007. Banana and plantain and overview with emphasis on Pasific islands cultivars. Specific Profiles for Pasific Island Agroforestry. http://www.agroforestry.net/tti/Bananaplantain-overview.pdf [7 Agust 2007] Ploetz RC, Thomas JE, WR. Slabaugh. 2003. Diseases of Banana and Plantains. Di dalam: Ploetz RC. editor. Diseases of Tropical Fruit Crop. Wallingford. CABI Publishing, CAB International. hlm 212-224. Predieri S. 2001. Mutation induction and tissue culture in improving fruits. Plant Cell Tissue Organ Cult 64: 185–210. Purwati RD, Harran S, Sudarsono. 2007. In vitro selection of Abaca for resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Hayati 14(2):65-70. Smith MK et al. 2006. Towards the development of a Cavendish banana resistant to race 4 of Fusarium wilt: gamma irradiation of micropopagated Dwarf Parlitt (Musa spp, AAA group, Cavendish subgroup). Aust J Exp Agric 46:107-113.
138
Stover RH, Buddenhagen IW. 1986. Banana breeding: ploidy, disease resistance, and productivity. Fruit 40: 175-191. Sugha SK, Kapoor SK, Sigh BM.1994. Factor influencing Fusarium wilt of chickpea (Cicer arietinum L.). Indian J. Micol Plant Pathol 24: 97-102. Sutarto I, Meldia Y, Jumjunidang. 1998. Seleksi resistensi mutan pisang Ambon Kuning terhadap penyakit Layu Fusarium. Di dalam: Suhadi F, editor. Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi. Jakarta 18-19 Feb 1998. Jakarta. BATAN, hlm. 123-128. Valmayor RV et al. 2000. Banana cultivar names and synonyms in Southeast Aasia. France. INIBAP. Van Loon LC. 2000. Sistemic induced resistance. Di dalam: Slusarenko AJ, Fraser RSS, Van Loon LC, editor, Mechanisms of Resistance to Plant Diseases. Dordrecht. Kluwer Acad. Publ. hlm. 521-574. Viljoen A. 2002. The status of Fusarium wilt (panama diseases) of banana in South Africa. South Afr J Sci 98: 31-344. Yusnita, Sudarsono. 2004. Metode inokulasi dan reaksi ketahanan 30 genotipe kacang tanah terhadap penyakit busuk batang Sclerotium. Hayati 11:53-58.
139
BAB VIII PEMBAHASAN UMUM
Program penelitian dan pengembangan tanaman buah di Indonesia, terutama peningkatan genetik, produksi dan kualitas buah untuk perbaikan sosioekonomi dan produk pertanian berdasarkan industri, serta mampu menjadi penunjang untuk peningkatan kesejahteraan petani, masih belum cukup tersedia. Menurut IAEA (2009), di daerah tropis dan sub tropis program pengembangan tanaman buah mengalami stagnasi karena kurangnya perhatian pada tanaman hortikultura,
adanya
pertumbuhan
populasi
manusia
dan
pertumbuhan
industrialisasi yang cepat, serta deforesisasi memicu hilangnya plasma nutfah untuk pengembangan tanaman buah. Target di dalam pemuliaan tanaman pisang atau dalam pemuliaan tanaman pangan lainnya, menurut Heslop-Harrison (2011) dipisahkan dalam lima kelompok yang saling berhubungan, yaitu pada karakter produktivitas, resisten terhadap cekaman abiotik dan cekaman biotik, karakter tanaman pasca-panen dan masalah yang berhubungan
dengan
pemasaran,
lingkungan
serta
kualitas hidup.
Produktivitas merupakan karakteristik utama yang diseleksi oleh pemulia, sedangkan masalah cekaman abiotik dan biotik merupakan faktor utama yang menyebabkan ketidakstabilan atau menurunnya produktivitas pada banyak tanaman pangan di Indonesia. Pisang dan plantain (Musa spp) merupakan komoditas utama untuk ketahanan pangan, walaupun dalam kondisi lingkungan yang buruk tanaman pisang dapat berperan sebagai tanaman pangan yang bermanfaat.
Pisang terdiri dari
banyak species dan kultivar, di antaranya pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish).
Pisang cv. Ampyang merupakan pisang meja
(dessert banana) yang sudah sulit dijumpai di pasar tradisional maupun modern, karena sudah jarang dibudayakan oleh petani lokal.
Keberadaan pisang cv.
Ampyang yang sulit dijumpai ini diduga karena pisang cv. Ampyang rentan terhadap penyakit layu Fusarium. Layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense merupakan salah satu patogen yang sangat destruktif yang menyerang tanaman pisang dan plantain (Musa spp) terutama di daerah tropis. Di Indonesia penyakit layu Fusarium dilaporkan telah menginfeksi
140
berbagai pisang meja dan pisang olahan seperti pisang cv. Ambon Kuning (AAA, subgrup Gros Michel), cv. Kepok (ABB, subgrup Saba), cv. Mas (AA, subgrup Sucrier) (Nasir et al. 1999), cv. Barangan (AAA, subgrup Lakatan) , cv. Raja Sereh (AAB, subgrup Silk), cv. Tanduk (AAB, subgroup Plantain) (Hermanto & Setyawati 2002). Usaha perolehan tanaman pisang cv. Ampyang yang memiliki karakter agronomi unggul dan perolehan bibit tanaman yang resisten layu Fusarium dilakukan melalui teknik mutasi induksi dengan iradiasi gamma pada tunas pisang aseptis dan melalui teknik seleksi in vitro. Percobaan tahap awal dilakukan untuk menentukan radiosensitivitas tunas pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA) terhadap perlakuan iradiasi gamma yang ditentukan berdasarkan dosis yang mereduksi pertumbuhan tanaman sebesar 20-50% (LD20-50).
Hasil percobaan diperoleh bahwa LD20-50 berada dikisaran
51.07-64.54 Gy dengan dosis optimum untuk pertumbuhan tunas pisang aseptis berada pada dosis 30 Gy. Tunas pisang cv. Ampyang aseptis setelah diinduksi mutasi dan mengalami periode proliferasi dan regenerasi selama 10 bulan dengan subkultur 6-8x, menghasilkan plantlet yang bervariasi untuk karakter jumlah akar yang terbentuk, bobot segar, tinggi plantlet, serta rasio panjang : lebar (p:l) yang berbeda nyata dengan kontrol. Peningkatan dosis iradiasi yang diberikan pada saat mutasi induksi cenderung menghasilkan plantlet dengan jumlah akar yang lebih sedikit, dan bentuk daun yang lebih panjang dibandingkan plantlet yang tidak diradiasi. Hasil percobaan tahap awal ini dapat digunakan sebagai identifikasi awal keberadaan varian somaklon pada pisangcv. Ampyang (pembahasan bab III). Evaluasi varian tanaman usia 6 bulan setelah aklimatisasi di rumah kaca memperlihatkan adanya keragaman fenotipik pada karakter tinggi tanaman, panjang daun, dan rasio panjang : lebar daun yang lebih rendah dari tanaman tanpa diradiasi. Pada karakter ini terbukti makin tinggi dosis iradiasi yang diberikan, tinggi tanaman semakin rendah, dan secara morfologi bentuk daun terlihat pendek serta lebih lebar. Nilai sebaran normal tanaman menunjukkan beberapa tanaman teridentifikasi kerdil (kate), dan beberapa memiliki tinggi tanaman di atas kisaran tanaman standar. Menurut Khayat et al. (2004), adanya tanaman kate dan raksasa berhubungan dengan sensitivitas tanaman terhadap hormon gibberellin (GA3). Evaluasi terhadap jumlah stomata memperlihatkan bahwa tanaman varian dengan densitas stomata tinggi (0, 45 dan 50 Gy) terlihat tersusun teratur dan sangat rapat,
141
sedangkan varian tanaman dengan densitas stomata rendah cenderung memiliki ukuran yang lebih besar dan tersusun kurang beraturan, sehingga diduga terjadi perubahan ploidi pada tanaman. Menurut Hetherington & Woodward (2003), perubahan genetik dapat menyebabkan perubahan densitas stomata dan ukuran stomata, semakin tinggi tingkat ploidi semakin besar ukuran sel dan stomata daun (Griffiths et al. 1996; Damayanti 2007). .
Pengamatan karakter kualitatif tanaman di rumah kaca, juga dijumpai
adanya keragaman morfologi daun, pelepah daun dan keberadan bercak, namun setelah tanaman di tumbuhkan di lapangan beberapa karakter tersebut tidak muncul pada daun yang baru tumbuh atau pada anakannya. Variasi karakter kualitatif tersebut beberapa tidak mampu bertahan hidup (varian pelepah menyatu), dan memiliki performa pertumbuhan yang rendah (varian bentuk daun tidak beraturan dan sobek). Beberapa varian masih tampak setelah tanaman ditumbuhkan di lapangan (varian daun variegata, daun bergaris hijau tua-muda, tepi daun menggulung, daun tegak dengan ujung daun lancip, pelepah berhadapan), dan sebagian lagi kembali sebagaimana morfologi pada pertumbuhan tanaman yang normal (varian daun berkerut, susunan daun melingkar, pelepah tersusun seperti kipas). Keberadan bercak pada daun tanaman, sebagian besar tidak tampak lagi setelah tanaman ditumbuhkan di lapangan. Perolehan varian ini sesuai dengan pernyataan Predieri (2001) dan Mak et al. (2004), yang menyatakan bahwa pemuliaan mutasi dengan teknik in vitro dapat menghasilkan perubahan morfologi sebagaimana adanya peningkatan variabilitas pada karakter kuantitatif. Evaluasi tanaman varian di lapangan memperlihatkan adanya keragaman karakter kuantitatif tanaman saat pertumbuhan vegetatif dan generatif. Pada saat pertumbuhan vegetatif, keragaman kuantitatif yang ditimbulkan bervariasi pada setiap tingkatan dosis iradiasi yang diberikan, hal ini dapat terjadi karena mutasi induksi bersifat acak (Medina et al. 2004: Mak et al. 2004). Tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy sebagian besar memperlihatkan pertumbuhan dengan karakter kuantitatif yang lebih rendah dan tidak mampu berbuah, demikian pula tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 40 Gy, sehingga dikarekterisasi sebagai varian yang negatif.
Tanaman hasil iradiasi 0, 30 dan 50 Gy sebagian besar
memperlihatkan pertumbuhan dengan karakter kuantitatif tanaman yang lebih tinggi dengan kuantitas buah yang cukup baik, dengan rataan jumlah buah 80.2 -
142
83.8 buah per tandan, dengan bobot tandan 5.81 - 6.38 kg. Hasil analisis proksimat secara duplo pada sampel buah yang masak pada setiap perlakuan, menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat, protein dan abu buah pisang cv. Ampyang lebih tinggi dari pisang cv. Ambon Hijau yang diperoleh dari pasar komersial, sehingga menunjukkan bahwa pisang cv. Ampyang hasil percobaan ini layak dikonsumsi. Evaluasi tanaman di rumah kaca dan di lapangan memperlihatkan bahwa tanaman hasil iradiasi tertinggi tidak selalu akan menghasilkan karakter kualitatif dan kuantitatif tanaman yang lebih buruk jika dibandingkan dengan tanaman yang berasal dari hasil iradiasi yang lebih rendah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya juga menunjukkan bahwa dosis optimum untuk pemuliaan mutasi tidak bisa menjadi satu-satunya penyebab penurunan separuh (50%) kapasitas pertumbuhan tanaman (Novak et al. 1990; Mak et al. 2004) (pembahasan Bab IV).
Varian tanaman yang diidentifikasikan sebagai varian
positif ini, kedepan akan digunakan sebagai plasma nutfah untuk pengembangan dan perbanyakan tanaman pisang cv. Ampyang secara klonal melalui teknik in vitro, sehingga salah satu target di dalam pemuliaan tanaman pisang yaitu penyelamatan plasma nutfah (IAEA 2009) dan peningkatan produktivitas (HeslopHarrison 2011) tanaman buah dapat tercapai. Usaha perolehan tanaman pisang cv. Ampyang dengan karakter resisten terhadap layu Fusarium pada percobaan ini dilakukan secara in vitro dan ex vitro. Pendekatan pertama melalui teknik mutasi induksi dimana bibit varian hasil iradiasi gamma yang diperoleh langsung di evaluasi sifat ketahanannya di lahan endemik layu Fusarium. Pendekatan kedua melalui teknik mutasi induksi yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro. Percobaan seleksi in vitro juga membutuhkan percobaan pendahuluan pengujian virulensi dan patogenitas Foc isolat Banyuwangi sebagai agen penyeleksi, serta metode inokulasi dan kerapatan konidia Foc yang mampu menginfeksi tanaman pisang cv. Ampyang. Hal ini dilakukan karena Foc isolat Banyuwangi belum diketahui virulensinya terhadap pisang meja (dessert banana) Pengujian virulensi Foc isolat Banyuwangi terhadap tunas pisang aseptis usia 2 bulan dengan metode kultur ganda-1 (dual culture method) yaitu metode dengan meletakkan 1 potong inokulum berisi mycelia Foc ke media kultur in vitro pisang berusia 2 bulan, menunjukkan bahwa Foc isolat Bw terbukti virulen terhadap pisang cv. Ampyang. Hal ini ditunjukkan dengan persentase kematian
143
plantlet sebesar 100% pada tunas pisang aseptis yang diuji, dengan gejala awal terlihat berupa perubahan warna merah-kecoklatan yang dimulai dari daun bagian bawah, yang merupakan ciri tanaman terinfeksi Foc dan toksin yang diproduksi patogen (Moore et al. 2001; Ploetz 2006). Evaluasi dan efektivitas metode uji untuk ketahanan pisang cv. Ampyang terhadap layu Fusarium di rumah kaca memperlihatkan bahwa pada tanaman yang diinokulasi dengan metode perendaman akar maupun injeksi batang, Foc dengan kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 mampu menimbulkan gejala kelayuan bibit yang lebih besar dibandingkan dengan kerapatan 2.5 x 106 konidia mL-1 pada usia 30 hari setelah inokulasi. Pengamatan pada usia 60 hari setelah inokulasi menunjukkan tanaman yang diinokulasi dengan Foc kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 melalui metode perendaman akar, lebih efektif dalam menimbulkan kerusakan dibandingkan dengan metode injeksi batang. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh beberapa peneliti juga menunjukkan bahwa peningkatan konsetrasi patogen akan mengakibatkan perubahan warna akar, penurunan pertumbuhan akar, dan nekrosis daun bonggol dengan tingkat kerusakan meningkat sesuai dengan peningkatan konsentrasi patogen (Mendez et al. 1995;
De
Ascensao & Dubery 2000; Mak et al. 2004b: Purwati et al. 2007; Paparu et al. 2008) (Pembahasan Bab V). Teknik seleksi in vitro membutuhkan agen penyeleksi yang mampu memisahkan varian tanaman yang insensitif filtrat kultur Foc di antara populasi yang diseleksi. Untuk itu dilakukan percobaan pengujian filtrat kultur cendawan F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) isolat Banyuwangi sebagai agen penyeleksi. Pengujian efektivitas filtrat kultur (FK) Foc isolat Banyuwangi sebagai agen penyeleksi terhadap tunas pisang aseptis usia 2 bulan, didapatkan bahwa media selektif mengandung FK Foc konsentrasi 40-60% (v/v) secara nyata menghasilkan tingkat kerusakan tunas yang lebih besar dari konsentrasi yang lebih rendah. FK Foc 40-60% mampu menyeleksi tunas yang insensitif filtrat kultur Foc, dengan persentase kematian tunas sebesar 65.75% - 82.25%. Media selektif mengandung FK Foc konsentrasi 60% merupakan konsentrasi yang paling efektif yang dapat digunakan sebagai agen penyeleksi untuk mendapatkan tunas-tunas insensitif terhadap FK Foc pada pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA).
144
Seleksi in vitro secara bertingkat tunas varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang telah diproliferasi dan diregenerasi selama periode 10 bulan, menunjukkan bahwa media selektif mengandung FK Foc 30% belum mampu menghambat pertumbuhan tunas, demikian pula subkultur tunas ke media selektif mengandung FK Foc 40%., walaupun terlihat adanya kerusakan dan kematian tunas, namun plantlet masih mampu berproliferasi membentuk tunas-tunas baru. Subkultur tunas ke media selektif dengan konsentrasi yang lebih tinggi (FK Foc 50%) mulai terlihat adanya penghambatan pertumbuhan tunas, dimana banyak tunas yang mengalami pencoklatan dan mengalami kematian. Beberapa plantlet terlihat tidak mampu membentuk akar adventif sebagai respon tanaman terhadap cekaman, namun sel-sel yang bertahan hidup masih mampu berproliferasi membentuk nodul dan tunas baru. Tunas insensitif FK Foc dijumpai setelah plantlet di subkultur ke media selektif mengandung FK Foc 60% (v/v). Tunas yang mampu bertahan hidup dalam kondisi selektif dengan konsentrasi tinggi ini dikategorikan sebagai tunas-tunas insensitif FK Foc 60%, walaupun pada konsentrasi ini belum dapat dibedakan tunas varian yang tahan atau rentan, yang sesuai dengan pernyataaan Mendez et al. (1995).
Tunas insensitif FK Foc ini diduga memiliki mekanisme pertahanan
terhadap toksin non-spesifik inang yaitu asam fusarat, yang merupakan komponen utama dari kultur filtrat cendawan F. oxysporum (Mendez et al. 1995; Moore et al. 2001; Agrios 2005). Menurut Jayasankar & Gray (2005), tunas-tunas insensitif FK Foc hasil seleksi in vitro ini secara teoritis merupakan varian yang mampu menginduksi atau mengaktifkan gen-gen ketahanannya terhadap layu Fusarium, atau menginduksi enzim-enzim yang berperan dalam mendetoksifikasi toksin cendawan (Roncero et al. 2003; Jayasankar & Gray 2005). Regenerasi tunas-tunas insensitif FK Foc dalam media perakaran mengandung 6-benzyladenin 2.25 mg L-1 dan Indole-3-acetic acid 0.175 mg L-1 selama 2 bulan, menghasilkan plantlet-plantlet yang secara fenotipik terlihat sehat dan segar, mampu membentuk akar dan tunas baru, kecuali plantlet varian yang berasal dari hasil iradiasi 35 Gy yang terlihat besar, tebal dan berwarna coklat tua serta mudah patah. Persentase kemampuan hidup terbesar dihasilkan oleh plantlet yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy (56.2%). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan kemampuan tumbuh tunas pisang cv. Ampyang berdasarkan kurva
145
reduksi pertumbuhan pada siklus vegetatif pertama, yaitu kemampuan bertahan hidup yang lebih besar pada tunas pisang yang diradiasi dengan dosis 30 Gy. Aklimatisasi plantlet insensitif FK Foc hasil seleksi in vitro pada percobaan ini secara tidak langsung telah menyeleksi tanaman-tanaman varian yang rentan terhadap layu Fusarium. Hasil percobaan ini diperoleh 118 bibit varian tanaman yang mampu beradaptasi dan bertahan hidup 60 hari setelah aklimatisasi dan diidentifikasi sebagai bibit pisang insensitif FK Foc (Pembahasan Bab VI). Tanaman varian pisang cv. Ampyang insenstitif FK Foc yang keseluruhannya berjumlah 118 bibit ini di evaluasi sifat ketahanannya di rumah kaca dengan cendawan Foc isolat Medan VCG 01213/16 TR4 dan isolat Banyuwangi. Evaluasi ketahanan dilakukan dengan menginfeksi akar tanaman pisang melalui metode perendaman akar dengan konidia Foc kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 selama 2 jam.
Hasil pengujian ketahanan bibit tanaman varian
insensitif FK Foc dengan suspensi konidia Foc isolat Medan diperoleh gambaran bahwa gejala kelayuan dan nekrosis bonggol sudah terlihat 2-8 minggu setelah infeksi, pertumbuhan akar dan bulu akar pada tanaman cukup banyak, yang menunjukkan bahwa tanaman mengalami cekaman biotik. Evaluasi terhadap 77 bibit tanaman insensitif FK Foc menunjukkan bahwa populasi tanaman varian insensitif Foc yang berasal dari hasil iradiasi 20, 25, 35-45 Gy diketagorikan sebagai tanaman sangat rentan, dan bibit yang berasal 30 dan 50 Gy dikategorikan rentan terhadap layu Fusarium. Namun pengamatan sampai usia 6 bulan setelah diinfeksi, dijumpai beberapa individu yang mengalami recovery dengan tumbuhan anakan, atau daun-daun muda berkembang sebagai daun yang sehat dan normal. Hasil pengujian bibit varian dengan Foc isolat Banyuwangi diperoleh gambaran bahwa jumlah tanaman yang bertahan hidup setelah 2 bulan infeksi lebih banyak, dimana 1 tanaman yang bertahan hidup dan diinfeksi dengan konidia Foc mengalami kematian. Gejala kelayuan bibit muncul lebih lama dibandingkan dengan infeksi Foc isolat Medan, pada umumnya tanaman menunjukkan gejala kelayuan pada 4-8 minggu setelah akar diinfeksi Foc isolat Banyuwangi. Evaluasi ketahanan pada 41 bibit tanaman insensitif FK Foc menunjukkan bahwa bibit varian tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 20, 30, 35, 40, 45 dan 50 Gy dikategorikan sebagai tanaman yang rentan, dan bibit varian yang berasal dari hasil iradiasi 25 Gy dikategorikan sebagai tanaman rentan, seperti halnya tanaman yang
146
diinfeksi dengan Foc isolat Medan, fenomena recovery juga dijumpai pada bibit varian yang diinfeksi dengan Foc isolat Bayuwangi. Evaluasi fenotipik ketahanan tanaman sampai usia 6 bulan setelah infeksi memberi gambaran bahwa tanaman varian pisang yang diinfeksi dengan konidia cendawan Foc isolat Banyuwangi terlihat lebih banyak yang mampu bertahan hidup dibandingkan tanaman yang diinfeksi dengan Foc isolat Medan. Hal ini memberi gambaran bahwa Foc isolat Medan lebih virulen dibandingkan Foc isolat Banyuwangi. Foc isolat Medan VCG 01213/16 merupakan cendawan yang telah dikarakterisasi sebagai Foc ras 4 ’tropikal’ (TR4). Ras 4 ‘tropikal’ ini merupakan bentuk patogen yang paling virulen yang menyerang tanaman pisang dan plantain di Asia Tenggara (Moore et al. 2001; Ploetz et al. 2003; Daly & Walduck 2006; Ploetz & Churchill 2011). Evaluasi tanaman varian pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro, dihasilkan 48 klon tanaman (40.8%) terindikasi tahan terhadap layu Fusarium. Tanaman tersebut berasal dari hasil evaluasi dengan Foc isolat Medan VCG 01213/16 sebanyak 28 klon (36.4%) dan hasil evaluasi dengan Foc isolat Banyuwangi sebanyak 20 klon (48.9%).
Hasil infeksi dengan Foc isolat Medan maupun Banyuwangi
teridentifikasi bahwa persentase tanaman yang tahan banyak dijumpai pada tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 50 Gy dan 30 Gy
Bibit tanaman yang
memiliki ketahanan terhadap infeksi cendawan Foc, kedepan akan dievaluasi kestabilan sifat ketahanannya di lahan endemik layu Fusarium dan adanya karakter agronomis unggul tertentu yang diinginkan.
Bibit tanaman ini juga akan
diperbanyak secara in vitro dan ex vitro sebagai plasma nutfah pisang cv. Ampyang yang resisten terhadap layu Fusarium (pembahasan bab VII). Evaluasi ketahanan varian-varian pisang yang berasal dari hasil mutasi induksi, tanpa melalui tahapan seleksi in vitro juga dilakukan di rumah kaca. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa tanaman varian yang berasal dari hasil iradiasi 20, 25, 40 dan 45 Gy, sebagian besar dikategorikan sebagai tanaman yang sangat rentan (SR) dan tanaman hasil iradiasi 50 Gy dan tanaman kontrol (0 Gy) dikategorikan agak rentan terhadap infeksi cendawan Foc. Tanaman yang tahan diduga mampu mengisolasi patogen melalui mekanisme pembentukan gums, tylose dan gel yang merupakan hasil fotoasimilat dari
147
tanaman (Agrios 2005), sehingga mampu
menghambat konidia yang terdapat
dalam jaringan vaskuler akar dan akar tanaman tetap tumbuh normal.
Pada
percobaan ini beberapa tanaman mengalami recovery, dengan tumbuh anakan pada bagian bawah batang semu (pseudostem) setelah tanaman induk mengalami kematian. Tanaman tersebut merupakan tanaman kimera yang tidak mampu mengisolasi patogen yang masuk ke dalam tanaman, sehingga interaksi antara patogen dan tanaman berkembang menjadi penyakit dan menimbulkan kematian. Hasil percobaan ini diperoleh 5 klon tanaman yang memiliki karakteristik resisten layu Fusarium. Karakteristik dan evaluasi ketahanan varian tanaman hasil mutasi induksi di lahan yang terserang cendawan Foc menunjukkan bahwa sebagian besar tanaman dapat tumbuh normal dan sehat sampai usia 11-12 bulan setelah tanam. Hasil pengamatan terhadap karakter agronomis tanaman usia 12 bulan setelah tanam, memperlihatkan bahwa pertumbuhan jumlah pelepah dan tinggi tanaman relatif sama, sedangkan pada karakter jumlah anakan, lingkar batang semu dan rasio panjang dan lebar daun terlihat bervariasi. Pertumbuhan tanaman varian pisang cv. Ampyang yang sehat, dan variasi morfologi pada tanaman berupa daun menggulung, pelepah menumpuk yang tampak pada saat evaluasi di rumah kaca, masih terlihat sampai tanaman berusia 3-6 bulan setelah tanam di lahan endemik layu Fusarium. Beberapa tanaman menunjukkan gejala kelayuan daun, bahkan mengalami recovery pada usia 3 bulan setelah tanam. Pada umumnya gejala kelayuan terlihat setelah tanaman berusia 11-12 bulan bahkan setelah tanaman mulai berbuah atau setelah panen. Kemungkinan disebabkan karena masa inkubasi dan sporulasi cendawan Foc dalam tanaman lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan vegetatif sel-sel tanaman. Hasil isolasi cendawan Foc yang berasal dari pelepah dan tangkai buah pisang pada tanaman yang terinfeksi, memperlihatkan adanya pertumbuhan koloni cendawan Foc pada media kentang agar dengan warna putih, dan tampak belakang berwarna orange. Hasil isolasi ini memastikan bahwa tanaman varian pisang yang ditumbuhkan pada lahan endemik Foc mengalami kematian karena infeksi cendawan Foc yang patogen. Tanaman yang mampu bertahan hidup pada lahan endemik layu Fusarium ini sebagian mampu menghasilkan buah, walaupun pada umumnya
148
buah dipanen sebelum masak karena batang pisang tumbang atau membusuk. Karakteristik
buah
yang dihasilkan
bervariasi
dan
beberapa
tanaman
menghasilkan jumlah buah 5-10 buah per sisir dengan bentuk buah kecil dan abnormal, sebagian kulit buah memiliki bercak yang disebabkan oleh serangga, buah cepat membusuk namun tetap memiliki rasa yang manis.
Persentase
tanaman berbuah terbesar berasal dari tanaman hasil iradiasi 30 Gy (77.8%) dan terendah dari tanaman 25 Gy (11.1%). Menurut Mak et al. (2004) bentuk dan karakteristik buah yang abnormal merupakan varian fenotipik yang merupakan salah satu kemungkinan yang akan diperoleh pada tanaman yang diberi perlakuan mutagenik.
Kualitas buah yang cenderung cepat membusuk
walaupun tetap memiliki rasa yang manis, diduga karena pengaruh serangan layu Fusarium yang menghambat absorbsi air dari jaringan vaskuler akar ke jaringan vaskuler batang dan tangkai buah. Evaluasi percobaan pada tahapan ini menunjukkan bahwa 75.0 – 91.7% varian tanaman cv. Ampyang hasil iradiasi yang ditumbuhkan pada lahan endemik layu Fusarium masih dapat bertahan hidup sampai usia 12 bulan dan mampu berbuah, namun pada usia 18-21 bulan setelah tanam hampir keseluruhan
tanaman
mengalami
kematian.
Menurut
Agrios
(2005),
perkembangan penyakit dipengaruhi oleh tiga komponen: tumbuhan, patogen dan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan ketahanan tanaman inang, perkembangan penyakit dan tingkat virulensi pathogen. Diduga perkembangan cendawan cukup lambat sehingga respon gejala kelayuan dan kematian baru terlihat setelah 18 bulan. Hasil percobaan ini diperoleh 2 tanaman induk (1.9%) tanpa adanya anakan, serta 5 klon anakan (4.9%) yang mampu bertahan hidup, yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy, 50 Gy dan tanaman kontrol (0 Gy). Klon anakan tersebut diduga merupakan tanaman yang resisten terhadap layu Fusarium. Walaupun hanya tersisa 5 klon, diharapkan klon-klon serupa yang memiliki sifat ketahanan juga ditemui di antara populasi tanaman yang di evaluasi keragamannya di rumah kaca dan di lapangan yang tidak terserang layu Fusarium.
Pada tanaman yang tidak diradiasi (0 Gy) namun memiliki
ketahanan terhadap layu Fusarium, kemungkinan memiliki gen ketahanan yang terinduksi karena faktor subkultur berulang selama periode kultur in vitro.
149
BAB IX SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1.
Peningkatan keragaman pada tanaman pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish) dapat dilakukan melalui teknik pemuliaan mutasi dengan iradiasi gamma secara in vitro. Peubah tinggi tanaman, rasio panjang dan lebar daun, densitas stomata, morfologi daun dan pelepah daun diyakini dapat digunakan untuk identifikasi secara fenotipik keberadaan varian tanaman pisang kultivar lainnya di rumah kaca. Hasil percobaan ini diperoleh sebanyak 12 tanaman varian yang diidentifikasi sebagai varian positif dengan karakter agronomis dan kualitas buah yang baik, yaitu 3 klon berasal dari hasil iradiasi 50 Gy: [50 Gy (3) 18], [50 Gy (1) 34], [50 Gy (3) 46]; 2 klon dari hasil iradiasi 45 Gy: [45 Gy (4) 17] dan [45 Gy (4) 19], 4 klon tanaman dari hasil iradiasi 30 Gy: [30 Gy (3) 36], [30 Gy (3) 37], [30 Gy (7) 44], 30 Gy (7) 48]; 1 klon dari hasil iradiasi 25 Gy: [25 Gy (4) 31], serta 2 klon dari tanaman kontrol (0 Gy): [0 Gy (7) 18] dan [0 Gy (7) 20].
2.
Prosedur untuk mendapatkan klon-klon tanaman pisang resisten layu Fusarium dapat diperoleh melalui teknik mutasi induksi secara in vitro yang dilanjutkan melalui seleksi in vitro secara bertingkat dengan filtrat kultur F.oxysporum f.sp. cubense (Foc), atau melalui teknik mutasi induksi tanpa tahapan seleksi in vitro. Prosedur ini diyakini dapat digunakan untuk mendapatkan dan meningkatkan resistensi pada tanaman pisang kultivar lainnya. Peluang untuk mendapatkan bibit tanaman resisten terhadap layu Fusarium lebih tinggi diperoleh melalui teknik mutasi induksi secara in vitro yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro, walaupun prosedur ini relatif membutuhkan waktu pekerjaan yang lebih lama.
3.
Evaluasi ketahanan varian tanaman pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro, dihasilkan 48 klon tanaman (40.7%) terindikasi tahan terhadap penyakit layu Fusarium, yang berasal dari hasil iradiasi 25 Gy (3 klon), 30 Gy (21 klon), 40 Gy (4 klon), 45 Gy (6 klon), dan 50 Gy (14 klon). Tanaman tersebut berasal dari hasil evaluasi dengan Foc isolat Medan VCG 01213/16 TR4 dan Foc isolat Banyuwangi.
150
4.
Evaluasi ketahanan varian tanaman hasil mutasi induksi di rumah kaca, diperoleh 5 klon tanaman (13.9%) terindikasi resisten layu Fusarium. Tanaman tersebut berasal dari hasil iradiasi 30 Gy (2 tanaman), dan tanaman recovery yang berasal dari hasil iradiasi 40, 45 dan 50 Gy masing-masing 1 tanaman.
Evaluasi ketahanan varian tanaman pada lahan endemik layu
diperoleh 5 klon anakan (4.9%) yang mampu bertahan hidup dan diidentifikasi resisten layu Fusarium, tanaman tersebut berasal dari tanaman kontrol (0 Gy) dan hasil iradiasi 30 dan 50 Gy.
Saran
1.
Tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy dan 50 Gy menghasilkan tanaman dengan karakter agronomi yang tinggi dan memiliki karakteristik tahan layu Fusarium yang secara kuantitatif lebih banyak dari tanaman kontrol dan perlakuan iradiasi lainnya, sehingga dosis ini merupakan dosis iradiasi gamma yang disarankan untuk mendapatkan varian pisang kultivar lainnya.
2.
Cendawan F. oxysporum f.sp. cubense merupakan cendawan tular tanah yang kemampuan tumbuh dalam media agar dan kestabilan virulensinya dipengaruhi oleh banyak faktor. Untuk penyimpanan kultur dalam jangka waktu yang lama agar dapat digunakan kembali sebagai agen penyeleksi, disarankan kultur disimpan dalam kertas saring bentuk kultur spora tunggal (single spore culture) aseptis yang dapat diperoleh suspense konidia hasil penyaringan kultur filtrat cendawan Foc.
3.
Pengunaan media Potato Dextrosa Agar dan Potato Dextrosa Broth instan (Diffco, Merck) tidak disarankan digunakan untuk media pertumbuhan cendawan Foc untuk penyimpanan dalam jangka waktu lama, karena pertumbuhan miselia cendawan cenderung sangat cepat, sehingga cendawan cenderung cepat menjadi dorman atau mengalami kematian.
4.
Evaluasi ketahanan tanaman melalui infeksi akar dengan konidia Foc di rumah kaca, disarankan dievaluasi setelah tanaman berusia 4 bulan setelah inokulasi, untuk menghindari penarikan kesimpulan yang keliru, karena respon tanaman terhadap cendawan yang terinfeksi dalam tanaman seringkali terlambat.
151
5.
Untuk mempercepat dan meningkatkan perolehan tanaman varian hasil mutasi induksi, penggunaan zat pengatur tumbuh BAP dapat ditingkatkan menjadi 6.75 mg L-1 dengan IAA 0.175 mg L-1 dan TDZ 0.22 mg L-1, dengan subkultur setiap 4-6 minggu selama periode 6-8 bulan untuk memperkecil perolehan kimera.
6.
Varian tanaman pisang yang diidentifikasikan sebagai varian positif ini, berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut untuk mendapatkan tanaman dengan karakter unggul lainnya, dan digunakan sebagai plasma nutfah untuk pengembangan dan perbanyakan tanaman pisang cv. Ampyang secara klonal melalui teknik in vitro.
7.
Bibit pisang cv. Ampyang yang terindikasi tahan terhadap layu Fusarium berpotensi digunakan sebagai populasi untuk di evaluasi sifat ketahanannya di lahan endemik layu Fusarium untuk memastikan kestabilan sifat ketahanannya dan mengidentifikasi varian tahan layu Fusarium dengan kuantitas dan kualitas unggul tertentu lainnya yang diinginkan. Bibit varian yang diperoleh ini juga berpotensi diperbanyak secara klonal sebagai plasma nutfah yang memiliki karakteristik tahan layu Fusarium.
152
153
DAFTAR PUSTAKA Acquaah G. 2007. Principles of plant genetic and breeding. UK. Blackwell Publ. Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. Amsterdam. Elsevier Acad. Press. Aguilar EA, Turner DW, Sivasithamparam K. 2000. Fusarium oxysporum f. sp. cubense inoculation and hypoxia alter peroxidase and phenylalanine ammonia lyase activities in nodal roots of banana cultivars (Musa sp.) differing in their susceptibility to Fusarium wilt. Aust J Bot 48: 589-596. Ahloowalia B, Maluszynski M. 2001. Induced mutations – A new paradigm in plant breeding. Euphytica 118: 167–173. Aloni R. The induction of vascular tissue by Auksin. Di dalam: Davies PJ, editor. Plant Hormones. Biosynthesis, Signal Transduction, Action!. Dordrecht. Kluwer Acad. Publ. hlm. 471-492. Barre A et al. 2000. Purification and structural analysis of an abundant thaumatinlike protein from ripe banana fruit. Planta 211: 791-799. Beckman CH, Halmos S, Mace ME. 1962. The interaction of host, pathogen and soil temperature in relation to susceptibility to Fusarium wilt of bananas. Phytophatology 52: 134-140. Binks RH, Greenham JR, Luis JG, Gowen SR. 1997. A Phytoalexin from root of Musa acuminata var. Pisang Sipulu. Phytochemistry 45 (1): 47- 49. Bhagwat B, Duncan EJ. 1998. Mutation breeding of Highgate (Musa acuminata, AAA) for tolerance to Fusarium oxysporum f. sp. cubense using gamma irradiation. Euphytica 101: 143–150. Borges AA, Borges-Perez A, Falcon FM. 2003. Effect of Menadione Sodium Bisulfat, an Inducer of Plant Defenses, on Dynamic of Banana Phytoalexin Accumulation during Patogenesis. J Agric Food Chem 51: 5326-5328 [BPS] Biro Pusat Statistik 2010. Production of Fruit (ton) in Indonesia. Horti. Statistic. http://www.bps.co.id [ 22 Jun 2010] Britt AB. 1996. DNA damage and repair in plants. Annu Rev Plant Mol Biol 47: 75–100 Burssens et al. 2000. Expression of cell cycle regulatory genes and morphological alterations in response to salt stress in Arabidopsis thaliana. Planta 211: 632-640 Carlier J, De Weel D, Escalant JV. 2002. Global evaluation of Musa germplasm for resistances to Fusarium wilt, Mycosphaerella leaf spot disease and nematodes. Montpellier. INIBAP Techical Guidelines 6.
154
Chachinero JM, Hervas A, Jimenez-Diaz RM, Tena M. 2002. Plant defence reactions against Fusarium wilt in chickpea induced by incompatible race 0 of Fusarium oxysporum f. sp. ciceris and non-host isolates of F. oxysporum. Plant Pathol 551: 765-325. Chakrabarti A, Ganapathi TR, Mukherjee PK, Bapat VA. 2003. MSI-99, a margainin analogue, imparts in transgenic tobacco and banana. Planta 216: 587–596 Chan YK. 2009. Radiation-induced mutation breeding of papaya Di dalam: IAEA, editor. Induced Mutation in Tropical Fruits Trees. Vienna, IAEATECDOC-1615. hlm 93-100. Chandra R, Kamle M, Bajpai A, Muthukumar M, Kalim S. 2010. In vitro selection: A candidat approach for disease resistance breeding in fruit crops. Asian J Plant Sci 9(8): 437-446. Collin HA, Edwards E. 1999. Plant Cell Culture. Singapore. Bios Scientific Publ. Companioni B. et al. 2003. Use of culture-derived Fusarium oxysporum f. sp. cubense, race 1 filtrates for rapid and non-destructive in vitro differentiation between resistant and susceptible clones of field-grown banana. Euphytica 130: 341-347. Companioni B et al. 2006. Differentiating resistance to Fusarium oxysporum f. sp. Cubense strain 1 culture filtrates in banana leaves. Biotechnol Aplic 23(2):153-157 D’Amato F. 1992. Induced mutations in crop improvement: basic and applied aspects. Agric Med 122: 31–60. Damayanti F. 2004. Seleksi in vitro tanaman abaka (Musa textilis Nee) dengan filtrat Fusarium oxysporum untuk ketahanan terhadap penyakit layu Fusarium. Bioscientiae 1(2):11-22. http://bioscientiae.tripod.com. [31 Okt 2011] Damayanti F. 2007. Analisis jumlah kromoson dan anatomi stomata pada beberapa plasma nutfah pisang (Musa spp) asal Kalimantan Timur. Bioscientiae 4 (2): 53-61. Da Silva Costa FH, Pasqual M, Pereira JES, Mauro de Castro E. 2009. An anatomical and physiological modifications of micropropagated ‘Caipiria’ banana plants under natural light. Sci Agricv 66 (3): 323-330. Daly A, Walduck G. 2006. Fusarium wilt of bananas (Panama disease) (Fusarium oxysporum f. sp. cubense). Agnote I (51):1-5
155
Daniells J. C. Jenny, D. Karamura, Tomekpe. 2001. Musalogue: A catalog of Musa germplasm diversisty in genus Musa. Montpellier. INIBAP. http://bananas.bioversityinternational.org/files/files/pdf/publication/musalog ue2/.pdf. [14 Apr 2011] De Ascensao ARFDC, Dubery IA. 2000. Panama Disease: cell wall reinforcement in banana roots in response to elicitors from Fusarium oxysporum f. sp. cubense Race Four. Phytopathology 90(10): 1173-1180. Donovan A, Isaac A, Collin HA. 1990. Dual fungal and plant cell culture. Di dalam: Pollard JF,. Walker JM. editor. Method in molecular biology, Plant Cell and Tisue Culture. The Humane Press. hlm 405-412. Dubey SC, Suresh M, Singh B. 2007. Evaluation of Trichoderma species against Fusarium oxysporum f. sp. Ciceris for integrated management of chickpea wilt. Bio Control 40(1): 118-127. Epp D. 1987. Somaclonal variation in banana: a case study with Fusarium wilt. .p140-150. Di dalam: Persley GJ, De Langhe EA. editor. Banana and plantain breeding strategies. Canbera ACIAR Publ. hlm 140-150. Escalant JV, Teisson C. 1989. Somatic embryogenesis from immature zygotic embryos of the species Musa acuminata and Musa balbisiana. Plant Cell Report 7: 23-25. Essau, K., 1977. Anatomy of seed plants. Ed. Ke-2. Toronto. John Wiley & Sons. Falcón MF, Borges AA, Pérez AB. 2003. Induced resistance to Fusarium wilt of banana by exogenous applications of indoleacetic acid. Phytoprotection 84: 149-153 Garcia LR et al. 2002. Comparative study of variability produced by induced mutation and tissue culture in banana (Musa spp) cv. ‘Grande naine’. Infomusa. 2 (2): 4-6. http://www.bananas.biodeversityinternational.org/ files/files/pdf/publication/info11.2_en.pdf. [11 Apr 2011] Gaul H. 1977. Mutagen effect in the first generation after seed treatment : Plant injury and lethality. Di dalam: IAEA. (Editor). Induced Mutations in Vegetatively Propagated Plant. Ed. ke 2. Vienna. IAEA. .hlm 29-36. Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR. 1986. The Biochemistry and Physiology of Plant Disease. Columbia. Univ. of Missouri Press. Griffith GW, Hedger JN. 1994. Dual culture Crinipellis perniciosa and potato callus. Euro J Plant Pathol 100:371-379. Griffiths AJF, Miller JH, Suzuki PT, Lewondr RC, Gelbert WM. 1996. An Introduction to Genetic Analysis. Ed ke-6. New York. WH Freeman & Co
156
Hartmann HT et al. 2002. Plant Propagation - Principle and Practises, Ed-7. New Jersey Prentice Hall. Hautea DM et al. 2004. Analysis of induced mutans of Philippine banana with molecular markers. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement:Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Enfield, Sci. Publ. Inc., hlm 41-53. http://www.fao.org/docrep/007/ae216e/ ae216e07.htm#bm07. [26 Mei 2007] Heldt HW, Heldt F., 2005. Plant Biochemistry. Ed. ke-3. Amsterdam. Elsevier Acad. Press. Hermanto C, Setyawati. 2002. Pola sebaran dan perkembangan penyakit layu fusarium pada pisang Tanduk, Rajasere, Kepok dan Barangan. J Hort 12(1): 64-72. Hermanto C. et al. 2011. Incidence and distribution of Fusarium wilt disease of banana in Indonesia. Acta Hort 897: 313-322 Heslop-Harrison JS, Schwarzacher T. 2007. Domestication, genomics and the future for banana. Review. Ann Bot 100:1073–1084. Heslop-Harrison JS. 2011. Genomic, banana breeding and superdomestication. Acta Hort 897: 55-62. Hetherington AM, Woodward FI. 2003. The role of stomata in sensing and driving environmental change. Nature. 424: 901-908. www.nature.com/nature [11 Des 2010] Hirimburegama WK, Dias WKG, Hirimburegama K. 2004. Banana improvement through gamma irradiation and testing for banana bract mosaic virus in Sri Lanka. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement: Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Enfield, Sci. Publ. Inc., hlm41-53 http://www.fao.org/docrep/007/ae216e/ae216e09.htm#bm09 [26 Mei 2007] Ho HY. 1999. The development of Pisang Mutiara—a Fusarium wilt–tolerant Rastali. Di dalam: Wahab Z. editor. Proc First National Banana Seminar, Awana-Genting, Pahang, Malaysia, hlm. 144-147. Huang J-S. 2001. Plant Pathogenesis and Resistance. Biochemistry and physiology of plant microbe interaction. Netherlands, Kluwer Acad. Publ. Hutami S, Mariska I, Supriati Y. 2006. Peningkatan keragaman genetik tanaman melalui keragaman somaklonal. J Agrobiogen 2(2): 81-88 Hwang SC, Ko WH. 2004. Cavendish banana cultivars resistant to Fusarium wilt acquired through somaclonal variation in Taiwan. Plant Disease 88 (6): 580-588
157
[IAEA] International Atomic Energy Agency. 2009. Induced mutation in tropical fruits trees. Plant breeding and genetic section. Vienna. IAEA-TECDOC1615. [INIBAP] International Network for the Improvement of Banana and Plantain. 2000. Bananas. International Plant Genetic Resouces Institute. http://bananas.bioversityinternational.org/files/files/pdf/publicationbrochure_ bananas.pdf. [14 Apr 2011] Iqbal, MJ, Yaegashi S, Ahsan R, Shopinski KL,. Lightfoot DA. 2005. Root response to Fusarium solani f. sp . glycines: temporal accumulation of transcripts in partially resistant and susceptible soybean. Theor Appl Genet 110: 1429–1438 Jain SM. 2010. In vitro mutagenesis in banana (Musa spp). Improvement. Acta Hort 879: 605-614 Jayasankar. 2005. Variation in tissue culture. Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ. editor.. Plant Development and Biotechnology. New York. CRC Press. hlm 301-309 Jayasankar, Gray DJ. 2005. In vitro plant pathology. Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and Biotechnology. New York. CRC Press. hlm 293-299. Jumjunidang, Nasir N, Riska, Handayani H. 2005. Teknik pengujian in vitro ketahanan pisang terhadap penyakit layu Fusarium menggunakan filtrat toksin dari kultur Fusarium oxysporum f. sp. cubense. J Hort 15(2):135-139 Karmarkar VM, Kulkarni VM, Suprasanna P, Bapat VA, Rao PS. 2001. Radiosensitivity of in vivo and in vitro cultures of banana cv. Basrai (AAA). Fruits 56:67-74 Khayat E, Duvdevani A, Lahav E, Ballesteros BA. 2004. Somaclonal variation in banana (Musa acuminata cv. Grande Naine). Genetic mechanism, frequency, and application as a tool for clonal selection. Di dalam: Jain SM, Swensen R. editor. Banana Improvement: Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Sci. Publ. Inc., Enfield. http://www.fao.org/docrep/ 007/ae216e0b.htm#bm11 [26 Mei 2007] Lee TC, Wicks T. 1982. Dual culture of Plasmophora viticola and grapevine in application of systemic fungicide evaluation. Plant Disease 66(4): 308-310. Lee YM, Teo L, Ong KP. 2001. Fusarium wilt of Cavendish banana and its control in Malaysia. Di dalam: AB. Molina et al. editor. Banana Fusarium Wilt Management: Towards Sustainable Cultivation.. INIBAP/ The Asia and Pacific Network, Los Banos, Laguna, Philippines. hlm. 252-259.
158
Lestari EG, Purnamaningsih R, Mariska I, Hutami S. 2009. Induksi keragaman somaklonnal dengan iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro kalus pisang Raja Bulu menggunakan asam fusarat, sereta regenerasi dan aklimatisasi plantlet. Berita Bio (9)4: 411-417. Litz RE. 2009. Recovery of mango plants with antrachnose resistance following mutation induction and selection in vitro with the culture filtrate of Colletotrichum gloesporoides Penz. Di dalam: IAEA, editor. Induced Mutation in Tropical Fruits Trees. Vienna,IAEA-TECDOC-1615. hlm 7-13 Luis JG et al. 1996. Musalenones: Four 9-Phenylhenalenones from rhizomes of Musa acuminate. Phytochemystry 41(3): 253-757. Mak C, Ho YW, Liew KW, Asif JM. 2004. Biotechnology and in vitro mutagenesis for banana improvement. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement: Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Enfield, Sci. Publ. Inc., hlm 54-73. http://www.fao.org/docrep/ 007/ae216e/ae216e08. htm#bm08. [26 Mei 2007] Mak C, Mohamed AA, Liew KW, Ho YW. 2004b. Early screening technique for Fusarium wilt resistance in banana micropropagated plant. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Enfield. Sci. Publ. Inc. http://www.fao.org/ docrep/007/ae216e/ae216e08.htm#bm08. [26 Mei 2007] Mansfield JW. 2000. Antimicrobial compounds and resistance. Di dalam: Slusarenko AJ, RSS Fraser, LC van Loon, editor, Mechanisms of Resistance to Plant Diseases. Dordrecht. Kluwer Acad. Publ. hlm. 325-370 Maora JS, Namaliu Y, Cilas C, Blaha G. 2003. Durability of Field Resistance to Black Pod Disease of Cacao in Papua New Guinea. Plant Disease 87(12): 1423-1425. Mariska I, Kosmiatin M, Lestari EG, Roostika I. 2006. Seleksi in vitro tanaman pisang ambon kuning untuk ketahanan terhadap penyakit layu fusarium. Laporan Akhir Rusnas Buah Tropis. Bogor. BB Biogen. Masdek N et al. 2003. Global significance of Fusarium wilt in Asia. 2nd International symposium on Fusarium wilt on banana. Salvador de Bahia. http://www.inibap.org/pdf/Fusarium_Wilt.pdf. [ 11 Jan 2007] Matsumoto K, Barbosa ML, Souza LAC, Teixeira JB. 1995. Race 1 Fusarium wilt tolerance on banana plants selected by fusaric acid. Euphytica 84: 67-71. Matsumoto K, Barbosa ML, Souza LAC, Teixeira JB. 1999. In vitro selection for Fusarium wilt resistance in banana. II. Resistance to culture filtrate of race 1 Fusarium oxysporum f. sp. cubense. Fruits 54:151-157
159
Medina F-IS, Amano E, Tano S. 2004. Mutation Breeding Manual. Japan. Forum For Nuclear Coorporasion in Asia (FNCA). Megia R. 2005. Musa sebagai model genom. Hayati 12(4): 167-170. Mendes BMJ, Rodrigues BIP, Tulmann Neto A. 1998. Effect of toxic filtrate of Fusarium oxysporum f.sp. cubense on the development of banana (Musa cvs.) shoot tips. Di dalam IAEA, editor. In Vitro Mutation Breeding of Bananas and Plantains. Vienna. IAEA-TECDOC-800 Mishra PJ, Ganapathi TR, Suprasanna P, Bapal VA. 2007. Effect of single and recurrent gamma iraradidation on in vitro shoots culture of banana. Int J Fruit Sci 7(1):47-57. Moerschbacher & Mendgen 2000. Structural aspects of defense. Di dalam: Slusarenko AJ, RSS Fraser, LC Van Loon, editor, Mechanisms of Resistance to Plant Diseases. Dordrecht. Kluwer Acad. Publ. hlm. 231-277 Moore NY, Pegg KG, Buddenhagen IW, Bentley S. 2001. Fusarium wilt of banana: a diverse clonal pathogen of domesticated clonal host.. Di dalam: Summerel BA. et al. editor. Fusarium Minnesota. APS Press. hlm 212-224 Moore TC. 1979. Biochemistry and Physiology of Plant Hormone. New York. Springer-Verlag. Inc. Morpurgo R, Lopato SV, Afza R, Novak FJ. 1994. Selection parameters for resistance to race 1 and race 4 on diploid banana (Musa acuminata Colla). Euphytica 75: 121-129. Musoke C, Rubaihayo PR, Magambo M. 1999. Gamma rays and ethylmethane sulphonate in vitro induced Fusarium wilt resistant mutants in bananas. Afr Crop Sci J 7(4): 313-320 Nasir N, Pittaway PA, Pegg KG, Lisle AT. 1999. A pilot study investigating the complexity of Fusarium wilt of bananas in West Sumatra, Indonesia. Aust J Agric Res 50: 1279-83. Nasir, N. Jumjunidang, Riska, Eliesti F. 2003. The occurrence of Fusarium oxysporum f. sp. Cubense race 4 in Indonesia. 2 nd International symposium on Fusarium wilt on banana. Salvador de Bahia. http://www.inibap.org /pdf/Fusarium_Wilt.pdf. [ 11 Jan 2007] Noor NM,. Clyde MM, Rao VR, Jeevamoney J. 2009. Radiosensitivity and in vitro studies of Citrus suhuiensis. Di dalam: IAEA,editor. Induced Mutation in Tropical Fruits Trees. Vienna, IAEA-TECDOC-1615. hlm 7-13. Novak, F. J. 1989. Somatic embryogenesis and plant regenerasion in suspension culture of dessert (AA and AAA) and cooking (ABB) bananas (Musa spp). Bio Technol 46. 154-159.
160
Niks RE, Lindhout WH. 2006. Breeding for resistance against diseases and pests. Wageningen Univ. Novak FJ, Afza R, van Duren M, Omar MS. 1990. Mutation induction by gamma irradiation of in vitro cultured shoot-tips of banana and plantain (Musa cvs.) Tropic Agric 67: 21–28 Nwauzoma AB et al. 2002. Yield and disease resistance of plantain (Musa spp., AAB group) somaclones in Nigeria. Euphytica 123:323–331. Oldenburg KR, Vo KT, Ruhland B, Schatz PJ. 1996. A dual culture assay for detection of antimicrobial activity. J. of Biolmol Screen 1 (3):123 – 130. Paparu P et al. 2008. Screenhouse and field persistence of nonpathogenic endophytic Fusarium oxysporum in Musa tissue culture plants. Microb Ecol 55(3): 561-568. Pillay M, Tripathi L. 2007. Banana. Di dalam: C Kole (Eds). Genome Mapping and Molecular Breeding in Plants. Vol. 4. Fruit and Nuts. Berlin SpringerVerlag. hlm. 281-301 Ploetz RC, Pegg KG. 2000. Fusarium wilt. Di dalam: Jones DR. editor. Diseases of Banana, Abacá and Enset. Wallingford, CABI Publishing, hlm. 143-159. Ploetz RC. 2006. Fusarium wilt of banana is caused by several pathogens referred to as Fusarium oxysporum f. sp. cubense. Phytopathol. 96(6): 653-655. Ploetz RC, Kepler AK, Daniells J, Nelson SS. 2007. Banana and plantain and overview with emphasis on Pasific islands cultivars. Specific Profiles for http://www.agroforestry.net/tti/BananaPasific Island Agroforestry. plantain-overview.pdf [7 Agust 2007] Ploetz RC, Churchill. 2011. Fusarium wilt: the banana disease that refuse to go away. Acta Hort 897: 519-526 Predieri S. 2001. Mutation induction and tissue culture in improving fruits. Plant Cell Tissue Organ Cult. 64: 185–210. Pua EC. 2007. Banana. Di dalam: Pua EC, Davey MR, editor. Biotechnology in Agriculture and Forestry, Vol. 60. Transgenic Crops V. Berlin. SpringerVerlag hlm 3-31. Purwati RD, Harran S, Sudarsono. 2007. In vitro selection of Abaca for resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Hayati 14(2): 65-70. Rodrigues SCCC. 2004. Somaclonal variation event on micropropagated pacovan banana seedling (Musa spp, AAB group). Bragantia 63 (2): 201-205
161
Roncero MIG et al. 2003. Fusarium as a model for studying virulence in soilborne plant pathogens. Review. Physiol Mol Plant Pathol 62: 87–98 Roux NS. 2004. Mutation induction in Musa – review. Di dalam: Jain SM, Swensen R. editor. Banana Improvement: Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation. Enfield. Sci. Publ. Inc., hlm 21-29. http://www.fao. org/docrep/007/ae216e/ae216e05.htm#bm05. [26 Mei 2007] Ryals J, Uknes S, Ward E. 1994. Systemic acquired resistance. Plant Physiol. 104: 1109 - 1112. Shirani S, Sariah M, Zakaria W, Maziah M. 2010. Scalp induction rate responses to cytokinins on proliferating shoot-tips of banana cultivars (Musa spp.). Am J Agric Bio Sci 5 (2):128-134. Slusarenko AJ, Fraser RSS, Van Loon LC. 2000. Mechanisms of Resistance to Plant Diseases. Dordrecht. Kluwer Acad. Publ. Smith UK, Hamill SD, Langdon PW, Pegg KG. 1995. In vitro mutation breeding for the development of bananas with resistance to race 4, fusarium wilt (Fusarium oxysporum f. sp. cubense). Di dalam: IAEA, editor. In Vitro Mutation Breeding of Bananas and Plantains. Vienna. IAEA-TECDOC-800 Smith MK et al. 2006. Towards the development of a Cavendish banana resistant to race 4 of Fusarium wilt: gamma irradiation of micropopagated Dwarf Parlitt (Musa spp, AAA group, Cavendish subgroup). Aust J Exp Agric. 46:107-113. Suprasanna P, Sidha M, Ganapathi TR. 2008. Characterization of radiation induced and tissue culture derived dwarf types in banana by using a SCAR marker. Aust J Crop Sci 1(2):47-52. Stover RH, Buddenhagen IW. 1986. Banana breeding: ploidy, disease resistance, and productivity. Fruit 40: 175-191. Strosse HI, Van den Houwe I, Panis B. 2004. Banana cell and tissue culture – review. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement: Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation Enfield. Sci. Publ. Inc.,hlm 1-13. http://www.fao.org/docrep/007/ae216e/ae216e03.htm#bm03. [26 Mei 2007] Suastika, Kamandalu. 2005. Penggunaan biopestisida persada dan pestisida nabati dalam uji adaptasi pengendalian penyakit layu pisang di Provinsi Bali. J. Pengkajian Pengembangan Teknologi Pertanian. 8 (3): 405-416 Sugha SK, Kapoor SK, Sigh BM.1994. Factor influencing Fusarium wilt of chickpea (Cicer arietinum L.). Indian J Micol Plant Pathol 24: 97-102.
162
Sugimoto H. et al. 2004. The virescent-2 Mutation Inhibition Translation of Plastid Transcripts for the Plastic Genetic System at an Early Stage of Chloroplast Differentiation. Plant Cell Physiol 45(8): 985-996. Sukartini 2008. Analisis jarak genetik dan kekerabatan aksesi-aksesi pisang berdasarkan Primer Random Amplified Polymorphic DNA. J Hort 18(3): 261-266 Sutarto I, Meldia Y, Jumjunidang. 1998. Seleksi resistensi mutan pisang Ambon Kuning terhadap penyakit Layu Fusarium. Di dalam: Suhadi F, editor. Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi. Jakarta 18-19 Feb 1998. Jakarta. BATAN, hlm. 123-128. Suyamto, Djatnika I,. Sutanto A. 2004. Banana R & D in Indonesia: Updated and highlights. Di dalam: Molina AB et al. editor. Advancing Banana and Plantain R & D in Asia and thr Pasific – Vol. 13. Proc. of the 3rd BAPNET Steering Committee. Guangzhou, China. 23-26 Nov. 2004. hlm 81-88. Tang CY, Hwang SC. 1998. Selection and asexual inheritance of a dwarf variant of Cavendish banana resistant to race 4 of Fusarium oxysporum f. sp. cubense. Aus J Exp Agric 38: 189-194. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Associates, Inc., Publ.
Ed ke-3. Sunderland. Sinauer
Valmayor RV et al. 2000. Banana cultivar names and synonyms in Southeast Asia. France. INIBAP. http://www/banana.biodeversityinternational.org/files/ files/pdf/.../synonyms.pdf. [29 Juli 2010] Van Loon LC. 2000. Sistemic induced resistance. Di dalam: Slusarenko AJ, Fraser RSS, Van Loon LC, editor, Mechanisms of Resistance to Plant Diseases. Dordrecht. Kluwer Acad. Publ. hlm. 521-574. Viljoen A. 2002. The status of Fusarium wilt (panama diseases) of banana in South Africa. South Afr J Sci.: 98: 341-344. Vulylsteke DR. 1989. Shoot-tip culture for the propagation conservation and exchange of Musa germplasm. Rome. Int. Board for Plant Genet. Resourced Welsh JR. 1981. Fundamental of Plant Genetics and Breeding. New York John Willey & Sons. Yusnita, Sudarsono. 2004. Metode inokulasi dan reaksi ketahanan 30 genotipe kacang tanaman terhadap penyakit busuk batang. Hayati 11: 53-58 Yusnita, Widodo, Sudarsono. 2005. In vivo selection of peanut somatic embryos on medium containing culture filtrates of Sclerotium rolfsii and plantlet regeneration. Hayati 12: 50-56.
163
LAMPIRAN
164
165
Lampiran 1. Sebaran nilai dan jumlah tanaman pada karakter jumlah anakan, tinggi tanaman dan lingkar batang semu tanaman pisang cv. Ampyang pada usia 11 bulan setelah tanam di lapangan.
11
12
Kisaran jumlah anakan
11 11 10
9 7
8
6
6
6
4 3
4
3 3
3 2
2
2
1 1
1
1
0 ≥ 2.7
< 2.7
0 Gy
20 Gy
≥ 5.7
25 Gy
≥ 8.7
30 Gy
40 Gy
≥ 11.6
45 Gy
50 Gy
Kisaran tinggi tanaman (cm) 12 9
8 5
4
4
2
1
2
6
6
8
9
8
5 5
4
3
2
1
4 4 4
varian
5 2
3
2
1 1
2
1
0 ≥ 53.49
< 53.49
0 Gy
≥ 160.72
20 Gy
25 Gy
≥ 267.94
30 Gy
≥ 375.17
40 Gy
45 Gy
≥ 482.40
50 Gy
Kisaran lingkar batang semu (cm) 12 9 7
8 4 4
4
2
4 1
8
6
5
4
5
6
5
4
5
6 4
2
6 3 1
1
2 2
1
0 ≥ 7.22
< 7.22
0 Gy
20 Gy
≥ 21.28
25 Gy
≥ 35.34
30 Gy
40 Gy
≥ 49.40
45 Gy
≥ 63.46
50 Gy
2
166
Lampiran 2. Sebaran nilai dan jumlah tanaman pada karakter panjang daun, lebar daun tanaman, dan rasio panjang dan lebar daun tanaman pisang cv. Ampyang pada usia 11 bulan setelah tanam di lapangan.
Kisaran panjang daun (cm) 12
10 8 7
7 7
8
6
6 5
5
5
4
4
6
4 3
3 2 2
2
2
3
3
2
2
2 1
1
1
0 ≥ 30.31
< 30.31
0 Gy
≥ 82.49
20 Gy
≥ 134.67
25 Gy
≥ 186.86
30 Gy
40 Gy
≥ 239.04
45 Gy
50 Gy
Kisaran lebar daun (cm) 16
13
12
10
8 4
2
1
2 2
3
3
4
5
5
1
7
6
5 2
1
6 6
5
4
4
3
1
3
3 1
1
0 ≥ 14.50
< 14.50
0 Gy
≥ 30.11
20 Gy
25 Gy
≥ 45.72
30 Gy
≥ 61.21
40 Gy
≥ 76.94
45 Gy
50 Gy
Kisaran rasio panjang ; lebar daun
12
10
10
9 9
9 7
8
6 4
5
5
4 1
1
1
5
5 4 3
3
3 2
2 1 1
1
1
1
0 < 1.97
0 Gy
≥ 1.97
20 Gy
≥ 2.46
25 Gy
30 Gy
≥ 2.96
40 Gy
≥ 3.45
45 Gy
≥ 3.95
50 Gy
167
Lampiran 3. Pengamatan keasaman (pH) tanah dan suhu tanah pada lahan endemik layu Fusarium Titik Pengamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rataan
pH 6.0 6.4 6.0 6.0 6.2 6.2 6.4 6.0 6.6 6.0 6.2
Lahan 1 suhu tanah (oC) 32.0 33.0 32.0 32.0 31.0 32.0 32.0 31.0 28.0 28.0 31.1
pH 6.0 6.2 6.4 6.4 6.2 6.4 6.0 6.0 6.4 6.0 6.2
Lahan 2 suhu tanah (oC) 30.0 31.0 31.0 33.0 33.0 33.0 33.0 33.0 33.0 33.0 32.3
Rataan pH dan suhu tanah di lahan endemik layu Fusarium = 6.2 dan 31.7oC